ANAL LISIS FA AKTOR-F FAKTOR R YANG MEMPEN M NGARUH HI IN NFLASI DI D INDON NESIA DA ARI SISII PENAW WARAN TA AHUN 1998-2010
OLEH H DWI D WAH HYUNI H14114005
DE EPARTE EMEN ILM MU EKO ONOMI FAKUL LTAS EK KONOMI DAN MA ANAJEM MEN IN NSTITUT T PERTA ANIAN BO OGOR 20111
RINGKASAN
DWI WAHYUNI. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia dari Sisi Penawaran Tahun 1998-2010 (dibimbing oleh Lukytawati Anggraeni) Inflasi adalah fenomena yang selalu ada di setiap negara dan merupakan salah satu indikator penting dalam perekonomian suatu negara. Kestabilan inflasi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada akhirnya akan bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebagian penelitian yang menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia melihat dari sisi permintaan atau demand pull inflation (Mardianti, 2006; Devi, 2006). Untuk penelitian yang melihat dari sisi penawaran atau cost push inflation di Indonesia telah dilakukan oleh Permana (2006) dan Babussalam (2004). Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan perkembangan inflasi di Indonesia dari tahun 1998-2010 dan untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi laju inflasi di Indonesia dari sisi penawaran agregat. Pada penelitian ini untuk melihat perkembangan inflasi di Indonesia akan digunakan analisis deskriptif sedangkan analisis ekonometrika digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia dari sisi penawaran. Analisisi ekonometrika dengan menggunakan data time series akan dianalisis dengan metode Vector Error Correction Model (VECM) karena data yang digunakan bersifat stasioner di first differencing dan terkointegrasi. Pemanfaatan VAR/VECM menggunakan uji kausalitas Granger Causality, analisis Impulse Response Functions (IRF) dan analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVDs). Berdasarkan hasil uji kausalitas dapat dilihat bahwa yang menyebabkan inflasi adalah variabel nilai tukar rupiah. Berdasarkan analisis IRF dapat dilihat bahwa ada tiga variabel yang jika terjadi guncangan atau shock maka respon inflasi bersifat positif yaitu variabel inflasi itu sendiri, kurs dan indeks harga komoditi pangan dunia. Respon inflasi bersifat negatif yaitu saat terjadi guncangan pada variabel harga minyak dunia, expected inflation dan upah riil. Berdasarkan hasil dekomposisi varian, dapat disimpulkan bahwa pada bulan pertama, variabilitas laju inflasi disebabkan oleh guncangan inflasi itu sendiri yakni sebesar 100 persen. Namun, mulai bulan kedua tampak variabel-variabel lain mulai mempengaruhi variabilitas laju inflasi. Pada tahun pertama peranan laju inflasi dalam menjelaskan fluktuasi laju inflasi itu sendiri masih dominan. Dalam jangka panjang dapat dilihat bahwa variabilitas inflasi paling dominan dijelaskan oleh variabel expected inflation, kemudian inflasi itu sendiri, kurs, indeks harga komoditi pangan, harga minyak dunia dan upah riil.
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INFLASI DI INDONESIA DARI SISI PENAWARAN TAHUN 1998-2010
Oleh DWI WAHYUNI H14114005
Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul skripsi
: ANALISIS FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INFLASI DI INDONESIA DARI SISI PENAWARAN TAHUN 1998-2010
Nama
: Dwi Wahyuni
NRP
: H14114005
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Lukytawati Anggraeni, Ph.D NIP. 19771213 200501 2 002
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dedi Budiman Hakim, Ph.D NIP. 19641022 198903 1 003
Tanggal lulus:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA TULIS ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, November 2011
Dwi Wahyuni H14114005
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Dwi Wahyuni lahir pada tanggal 20 Desember 1980 di Semarang. Penulis anak kedua dari dua bersaudara pasangan (Alm) Djoko Soewardjo dan Sri Tinah. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN Petompon 3-4 Semarang, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 5 Semarang dan lulus pada tahun 1996. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMA Negeri 3 Semarang dan lulus pada tahun 1999. Setelah tamat SMA, pada tahun 1999, penulis melanjutkan pndidikan ke Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta dan lulus pada tahun 2003 dengan gelar Sarjana Sains Terapan (S.St). Setelah menamatkan pendidikan di STIS, penulis bekerja pada Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanjung Jabung Timur di Bidang Integrasi Pengolahan Dan Diseminasi Data (IPDS) selama 4 tahun. Pada tahun 2007, penulis dipindah tugaskan ke BPS Provinsi DKI Jakarta di bidang IPDS. Pada tahun 2011, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Penyelenggaraan Khusus Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor yang merupakan kerja sama antara BPS dengan IPB. Sesuai dengan aturan yang ada, penulis harus mengikuti proses alih jenis dan menyusun skripsi pada akhir proses tersebut sebagai syarat memasuki jenjang strata dua (S-2) pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Untuk itulah, penulis menyusun skripsi ini.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia dari Sisi Penawaran Tahun 1998-2010” tepat pada waktunya. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi tugas akhir dan sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan moral-spiritual dan material kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, khususnya kepada: 1. Lukytawati Anggraeni, selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik. 2. Tanti Novianti, M.Si dan Ranti Wiliasih, M.Si, selaku penguji skripsi yang telah memberikan saran dan kritik yang membangun. 3. Rekan-rekan BPS Batch 4 yang telah memberikan banyak saran dan masukan untuk perbaikan skripsi. 4. Keluarga besar di Semarang, Solo dan Blitar serta Suami dan kedua anakku, atas segala doa dan dukungan yang telah diberikan. 5. Semua pihak yang telah mendukung terselesaikannya skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena terbatasnya kemampuan dan waktu penyelesaian. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan guna perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang memerlukannya. Bogor, November 2011
Dwi Wahyuni H14114005
viii
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii DAFTAR TABEL ................................................................................................ xi DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................... xiii I.
PENDAHULUAN ........................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang ....................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah ............................................................................... 5 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................... 6 1.4. Manfaat Penelitian ................................................................................. 6
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ...................... 8 2.1. Kerangka Teori ...................................................................................... 8 2.1.1. Inflasi ............................................................................................ 8 2.1.2. Teori Inflasi .................................................................................. 9 2.1.3. Sumber Inflasi .............................................................................. 12 2.1.3.1. Hubungan Harga Komoditi Pangan dan Inflasi ........... 16 2.1.3.2. Hubungan antara Harga Minyak Dunia dan Inflasi ..... 18 2.1.3.3. Hubungan antara Upah Buruh dan Inflasi .................... 18 2.1.3.4. Hubungan antara Expected Inflation dan Inflasi .......... 19 2.1.3.5. Hubungan antara Nilai Tukar Rupiah (Exchange Rate) dan Inflasi ..................................................................... 20 2.1.4. Penghitungan Inflasi di Indonesia ............................................... 20 2.2. Tinjauan Studi Terdahulu ...................................................................... 23 2.3. Kerangka Pemikiran Operasional .......................................................... 26 III. METODOLOGI PENELITIAN ................................................................... 28 3.1. Jenis dan Sumber Data .......................................................................... 28 3.2. Metode Analisis ..................................................................................... 29 3.2.1. Analisis Deskriptif ....................................................................... 29 3.2.2. Analisis Ekonometrika ................................................................. 30
ix
3.2.2.1.
Uji Stasionaritas ........................................................... 30
3.2.2.2.
Pemeriksaan Lag Optimal ........................................... 35
3.2.2.3.
Uji Kointegrasi ............................................................ 37
3.2.2.4.
Metode Vector Auto Regressive (VAR) ....................... 39
3.2.2.5.
Metode Vector Error Correction Model (VECM) ...... 41
3.2.2.6.
Pemanfaatan Sistem VAR dan VECM ....................... 42
IV. GAMBARAN PEREKONOMIAN INDONESIA ....................................... 45 4.1. Perkembangan Laju Inflasi .................................................................... 45 4.2. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah (Exchange Rate) di Indonesia ...... 48 4.3. Perkembangan Upah Buruh di Indonesia .............................................. 53 4.4. Perkembangan Indeks Harga Komoditi Pangan Dunia dan Hubungannya dengan Komoditi Pangan Indonesia .............................. 55 4.5. Perkembangan Harga Minyak Dunia .................................................... 58 V. HASIL DAN PEMBAHASAN MODEL ..................................................... 60 5.1. Uji Stasioneritas ..................................................................................... 60 5.2. Uji Lag Optimal ..................................................................................... 62 5.3. Pengujian Stabilitas VAR ...................................................................... 62 5.4. Analisis Kointegrasi .............................................................................. 63 5.5. Analisis Kausalitas dengan Granger Causality .................................... 65 5.6. Analisis Impulse Response Functions (IRF) ......................................... 67 5.6.1. Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Inflasi .................. 67 5.6.2. Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Expected Inflation ........................................................................ 68 5.6.3. Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Kurs ..................... 69 5.6.4. Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Harga Minyak Dunia .............................................................................. 71 5.6.5. Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Indeks Harga Komoditi Pangan Dunia .................................................... 72 5.6.6. Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Upah Buruh di Indonesia .................................................................................. 73 5.7. Analisis Forecast Error Decomposition of Variance (FEDVs) ............ 74
x
VI. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 78 6.1. Kesimpulan ............................................................................................ 78 6.2. Saran ...................................................................................................... 78 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 81 LAMPIRAN ......................................................................................................... 84
xi
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
2.1. Ringkasan Penelitian Terdahulu tentang Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Inflasi ............................................................................ 24 3.1. Variabel, Data yang Digunakan dan Sumbernya ................................... 28 5.1. Hasil Uji Root Test Tingkat Level .......................................................... 60 5.2. Hasil Uji Root Test Tingkat First Differencing ...................................... 61 5.3. Hasil Uji Stabilitas VAR ........................................................................ 63 5.4. Hasil Uji Kointegrasi .............................................................................. 64 5.5. Hasil Uji Kausalitas dengan Granger Causality Test ............................ 66
xii
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.1 Laju Inflasi di Indonesia Kurun Waktu 1998 – 2010................................ 2 1.2 Laju Inflasi di Indonesia Kurun Waktu 2005 – 2010 ............................... 3 2.1 Demand Pull Inflation ........................................................................................ 13 2.2 Cost Push Inflation ............................................................................................. 16
2.3 Skema Kerangka Pemikiran ..................................................................... 27 4.1 Laju Inflasi Tahunan di Indonesia Tahun 1998-2010 .............................. 45 4.2 Laju Inflasi Bulanan Indonesia Tahun 1998-2010 ................................... 46 4.3 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Berdasarkan Sistem Nilai Tukar yang Diterapkan ....................................................................................... 49 4.4 Laju Nilai Tukar Rupiah Bulanan Indonesia Tahun 1998-2010 .............. 50 4.5 Upah Buruh Riil Indonesia Tahun 1998-2010 ......................................... 54 4.6 Perbandingan IHK dan Indeks Upah Riil Buruh ...................................... 55 4.7 Indeks Harga Komoditi PanganDunia Tahun 1998-2010 ........................ 56 4.8 Perbandingan Indeks Harga Komoditi Pangan Dunia dan Indeks Harga Konsumen (IHK) Bahan Makanan di Indonesia Tahun 1998-2010 ................................................................................................ 57 4.9 Perbandingan Inflasi Bahan Makanan dan Inflasi Umum Tahun 1998-2010 ................................................................................................ 58 4.10 Harga Minyak Dunia Bulanan Tahun 1998-2010 ................................... 59 5.1 Respon Inflasi terhadap Guncangan Inflasi ............................................. 68 5.2 Respon Inflasi terhadap Guncangan Expected Inflation .......................... 69 5.3 Respon Inflasi terhadap Guncangan Kurs ............................................... 70 5.4 Respon Inflasi terhadap Guncangan Harga Minyak Dunia ..................... 71 5.5 Respon Inflasi terhadap Guncangan Indeks Harga Komoditi Pangan .... 73 5.6 Respon Inflasi terhadap Guncangan Upah Buruh ................................... 74 5.7 Hasil Forecast Error Variance Decompositions (FEVDs) ...................... 76
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1 Uji Root Test Level ......................................................................................... 84 2 Uji Root Test First Differencing..................................................................... 88 3 Uji Stabilitas VAR .......................................................................................... 92 4 Uji Cointegration Test Summary.................................................................... 93 5 Uji Kointegrasi ............................................................................................... 94 6 Run VECM Model 2 Lag 2 Cointegration 2.................................................. 100 7 Impulse Response Functions ......................................................................... 103 8 Uji Granger Causality .................................................................................... 104 9 Uji FEVDs .................................................................................................... 105
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Inflasi adalah fenomena yang selalu ada di setiap negara dan merupakan salah satu indikator penting dalam perekonomian suatu negara. Kestabilan inflasi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada akhirnya akan bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pengendalian
inflasi
penting
untuk
dilakukan
karena
didasarkan
pada
pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat1 . Dampak negatif tersebut: Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang terutama orang miskin akan bertambah miskin. Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Studi empiris Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan 1 Bank Indonesia Official Website. http://www.bi.go.id/web/id/Moneter/Inflasi/Pengenalan+Inflasi/pentingnya.htm, “Pentingnya kestabilan Inflasi”.
2
tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah. Inflasi di Indonesia pernah mencapai titik yang tertinggi yaitu pada pertengahan dasawarsa 1960-an dimana terjadi hyper inflasi yang melanda perekonomian nasional dengan laju inflasi mencapai 650 persen. Hal tersebut terutama disebabkan oleh defisit anggaran belanja pemerintah yang kemudian dibiayai Bank Indonesia dalam bentuk pencetakan uang. Laju inflasi Indonesia selama tahun 1998-2010 menunjukkan adanya fluktuasi yang bervariasi dari waktu ke waktu yang disebabkan oleh faktor yang berbeda. Pada periode awal 1998, tingkat inflasi tinggi sebesar 77,63 persen, tingkat inflasi yang tinggi ini karena dampak dari krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997. Selama tahun 1999-2000, tingkat inflasi Indonesia mengalami penurunan dan penurunan yang tertinggi terjadi pada bulan Januari 2000 yaitu sebesar -9,30 persen (BPS, 2000). 100
77.63
PERSEN
80 60 40 20
2.01
9.35 12.55 10.03 5.06 6.40
17.11 6.60 6.59
11.06
2.78 6.96
0
TAHUN Inflasi
Sumber : BPS, diolah Gambar 1.1 Laju Inflasi di Indonesia Kurun Waktu 1998 – 2010
Krisis energi dunia yang ditandai dengan naiknya harga minyak dunia menjadi sebuah krisis energi untuk Indonesia. Dimulai tahun 2005 dimana akibat
3
kenaikan harga minyak dunia membuat pemerintah Indonesia menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang mengakibatkan kenaikan harga secara umum. Laju inflasi selama periode 2005-2010 dapat dilihat pada Gambar 1.2. Tingkat inflasi tertinggi terjadi saat pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yaitu tahun 2005 dan tahun 2008. Pada tahun 2005 kenaikan harga BBM mencapai 126 persen dengan menetapkan harga minyak tanah sebesar Rp 2.500 per liter. Harga bensin premium naik menjadi Rp 6.000 per liter dan minyak solar sebesar Rp 5.500 per liter. Pada tahun 2008 harga BBM jenis premium menjadi Rp 6.000 per liter, solar menjadi Rp 5.500 per liter dan minyak tanah menjadi Rp 2.500 per liter. Laju inflasi pada saat pemerintah menaikkan harga BBM pada tahun 2005 mencapai 17,11 persen sedangkan untuk tahun 2008 laju inflasi mencapai 11,06% (BPS, Pertamina, 2005-2008) 20
17.11
PERSEN
15
11.06
10
6.60
6.96
6.59
5
2.78
0 2005
2006
2007
2008
2009
2010
TAHUN Inflasi
Sumber : BPS, diolah Gambar 1.2 Laju Inflasi di Indonesia Kurun Waktu 2005 – 2010
World Bank dalam publikasinya menyebutkan bahwa kenaikan harga pangan dunia telah menyebabkan terjadinya krisis pangan yang semakin
4
mengkhawatirkan 2 . Krisis pangan yang melanda dunia dimulai tahun 2007-2008 di mana berawal dari gagalnya panen yang terjadi di Cina dan Rusia akibat terjadinya bencana banjir dan gelombang panas. Gagalnya panen gandum di Rusia mengakibatkan harga komoditi tersebut naik dan dampaknya secara global akan menaikkan harga pangan dunia. Pada tahun 2008, di beberapa negara seperti Afghanistan, Sri Lanka, Pakistan, Bangladesh dan Nepal telah terbukti bahwa kenaikan harga pangan mempunyai dampak yang besar terhadap tingkat inflasi. Kenaikan harga pangan dunia ini akan berdampak langsung bagi kondisi pangan Indonesia karena tingkat ketergantungan masyarakat masih tinggi khususnya impor bahan pangan. Kenaikan harga kebutuhan pokok dan bahan pangan akan menjadi beban berat bagi rakyat khususnya warga miskin. Hal ini disebabkan pengeluaran maupun kemampuan daya beli keluarga miskin terhadap pangan menempati persentase yang sangat besar dari total pengeluaran keluarga. Identifikasi penyebab inflasi dari sisi supply (penawaran) atau cost push inflation belum banyak dilakukan. Sebagian penelitian yang menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia melihat dari sisi permintaan atau demand pull inflation (Mardianti, 2006; Devi, 2006). Untuk penelitian yang melihat dari sisi penawaran atau cost push inflation di Indonesia telah dilakukan oleh Permana (2006) dan Babussalam (2004). Di kedua penelitian tersebut ada hasil yang pro kontra dimana menurut Permana, harga BBM dan harga beras tidak berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi sedangkan menurut Babussalam kenaikan harga BBM itu berpengaruh terhadap inflasi di Indonesia.
Studi
2
Website World Bank.http://siteresources.worldbank.org/INTURBANDEVELOPMENT/
5
Permana menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah dan ekspektasi adaptif yang berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi dalam kurun waktu 1998-2003.
1.2 Perumusan Masalah Dari sisi penawaran, faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi adalah guncangan penawaran yang bersifat negatif dan kenaikan biaya produksi. Guncangan penawaran yang bersifat negatif ini terjadi akibat bencana alam dan terganggunya distribusi dalam komoditi pangan domestik. Akibat terjadinya gagal panen dan adanya distribusi komoditi pangan yang tidak merata menyebabkan kenaikan harga komoditi pangan domestik. Kenaikan biaya produksi diwakili oleh adanya harga BBM, upah gaji dan exchange rate karena berhubungan dengan harga dari bahan baku produksi yang diimpor dari luar negeri. Krisis energi yang terjadi di Indonesia sebagai dampak dari krisis energi dunia membuat harga bahan bakar minyak (BBM) mengalami kenaikan. BBM yang merupakan salah satu input dalam proses produksi dan kenaikan harga BBM akan meningkatkan biaya produksi dan dampaknya akan menyebabkan produsen menaikkan harga jual produknya di pasaran. Kenaikan harga produk di masyarakat cenderung akan mendorong terjadinya inflasi. Nilai tukar rupiah atau exchange rate yang selalu berfluktuatif berpengaruh terhadap biaya produksi karena dengan naiknya nilai tukar rupiah terhadap dolar membuat bahan baku yang diimpor dari negara lain menjadi lebih mahal dan membuat biaya produksi menjadi mahal dan akhirnya mendorong produsen untuk menaikkan harga jual di masyarakat. Keberadaan serikat pekerja yang selalu
6
mendorong adanya kenaikan upah yang lebih tinggi sebagai tuntutan dari biaya hidup yang semakin mahal disatu sisi akan membuat biaya produksi naik dan sekali lagi akan membuat kenaikan harga jual produk di masyarakat. Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan diatas maka dalam penelitian ini akan dikaji faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya inflasi di Indonesia dari sisi supply atau cost push inflation. Data yang digunakan merupakan data inflasi secara bulanan dari tahun 1998 – 2010.
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah: 1.
Menggambarkan perkembangan inflasi di Indonesia dari tahun 1998-2010.
2.
Untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi dan menjelaskan variabilitas inflasi di Indonesia dari sisi penawaran agregat.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan, antara lain: 1.
Bagi pemerintah atau instansi terkait, penelitian ini bermanfaat untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi dari sisi penawaran sehingga dapat diambil kebijakan yang tepat untuk pengendalian laju inflasi.
2.
Bagi akademisi, diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan pada penelitian lainnya yang ingin menganalisis tentang inflasi.
7
3.
Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang inflasi yang terjadi di Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya terutama dari sisi penawaran agregat.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Kerangka Teori 2.1.1 Inflasi Mankiw (2007) menyebutkan bahwa inflasi adalah seluruh kenaikan dalam harga. Badan Pusat Statistik (2005) mendefinisikan inflasi sebagai angka gabungan dari perubahan harga dari sekelompok barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat dan dianggap mewakili seluruh barang dan jasa yang dijual di pasar. Khalwaty (2000) menyatakan bahwa inflasi adalah suatu keadaan yang mengindikasikan semakin merosotnya nilai riil (intrinsik) mata uang suatu negara. Bank Indonesia , inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Inflasi merupakan salah satu indikator ekonomi makro yang dapat diartikan sebagai gejala kenaikan harga barang dan jasa masyarakat yang bersifat umum dan terus menerus. Secara teori, pada dasarnya inflasi berkaitan dengan fenomena interaksi antara permintaan dan penawaran. Namun, pada kenyataannya inflasi tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor lainnya seperti tata niaga dan kelancaran dalam lalu lintas barang dan jasa serta peranan kebijakan pemerintah.
9
2.1.2 Teori Inflasi Cavanese dalam Atmadja (1999) menyebutkan bahwa terdapat berbagai macam teori yang berusaha menjelaskan inflasi dari berbagai sudut pandang. Teori tersebut adalah Teori Kuantitas, Keynesian Model, Mark-up Model dan Teori Struktural. Teori Kuantitas adalah teori yang tertua yang membahas tentang
inflasi,
tetapi
dalam
perkembangannya
teori
ini
mengalami
penyempurnaan oleh para ahli ekonomi Universitas Chicago, sehingga teori ini juga dikenal sebagai model kaum moneteris (monetarist models). Teori ini menekankan pada peranan jumlah uang beredar dan harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga terhadap timbulnya inflasi. Inti dari teori ini adalah sebagai berikut : 1. Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang beredar, baik uang kartal maupun giral. 2. Laju inflasi juga ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang beredar dan oleh harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga di masa mendatang. Teori Keynesian Model, dasar pemikiran model inflasi dari Keynes ini, bahwa inflasi terjadi karena masyarakat menginginkan hidup di luar batas kemampuan ekonomisnya, sehingga menyebabkan permintaan efektif masyarakat terhadap barang-barang (permintaan agregat) melebihi jumlah barang-barang yang tersedia (penawaran agregat), akibatnya akan terjadi inflationary gap. Keterbatasan jumlah persediaan barang (penawaran agregat) ini terjadi karena dalam jangka pendek kapasitas produksi tidak dapat dikembangkan untuk
10
mengimbangi kenaikan permintaan agregat. Oleh karenanya sama seperti pandangan kaum monetarist, Keynesian models ini lebih banyak dipakai untuk menerangkan fenomena inflasi dalam jangka pendek. Mark-up Model, teori ini mendasarkan pemikiran bahwa model inflasi ditentukan oleh dua komponen, yaitu cost of production dan profit margin. Dengan demikian, apabila terjadi kenaikan harga pada komponen-komponen yang menyusun cost of production dan atau kenaikan pada profit margin akan menyebabkan terjadinya kenaikan pada harga jual komoditi di pasar. Teori Struktural, merupakan inflasi yang terjadi di negara-negara berkembang, menunjukan bahwa inflasi bukan semata-mata merupakan fenomena moneter, tetapi juga merupakan fenomena struktural atau cost push inflation. Hal ini disebabkan karena struktur ekonomi negara-negara berkembang pada umumnya yang masih bercorak agraris. Sehingga, guncangan ekonomi yang bersumber dari dalam negeri, misalnya gagal panen (akibat faktor eksternal pergantian musim yang terlalu cepat, bencana alam, dan sebagainya), atau hal-hal yang memiliki kaitan dengan hubungan luar negeri, misalnya memburuknya term of trade; utang luar negeri; dan kurs valuta asing, dapat menimbulkan fluktuasi harga di pasar domestik. Fenomena struktural yang disebabkan oleh kesenjangan atau kendala struktural dalam perekonomian di negara berkembang, sering disebut dengan structural bottlenecks. Structural bottleneck terutama terjadi dalam tiga hal, yaitu : 1. Supply dari sektor pertanian (pangan) tidak elastis. Hal ini dikarenakan pengelolaan dan pengerjaan sektor pertanian yang masih menggunakan metode
11
dan teknologi yang sederhana, sehingga seringkali terjadi supply dari sektor pertanian domestik tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaannya. 2. Cadangan valuta asing yang terbatas (kecil) akibat dari pendapatan ekspor yang lebih kecil daripada pembiayaan impor. Keterbatasan cadangan valuta asing ini menyebabkan kemampuan untuk mengimpor barangbarang baik bahan baku; input antara; maupun barang modal yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan sektor industri menjadi terbatas pula. Akibat dari lambatnya laju pembangunan sektor industri, seringkali menyebabkan laju pertumbuhan supply barang tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan permintaan. 3. Pengeluaran pemerintah terbatas. Hal ini disebabkan oleh sektor penerimaan rutin yang terbatas, yang tidak cukup untuk membiayai pembangunan, akibatnya timbul defisit anggaran belanja, sehingga seringkali menyebabkan dibutuhkannya pinjaman dari luar negeri ataupun mungkin pada umumnya dibiayai dengan pencetakan uang (printing of money). Adanya structural bottlenecks ini, dapat memperburuk inflasi di negara berkembang dalam jangka panjang, oleh karenanya fenomena inflasi di negaranegara yang sedang berkembang sering menjadi suatu fenomena jangka panjang, yang tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang pendek. Berbeda dengan kaum monetaris yang memandang inflasi sebagai fenomena moneter, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam sektor moneter akibat dari ekspansi jumlah uang beredar, kaum neo-structuralist menekankan pada struktur sektor
12
keuangan. Dasar pemikiran kaum neo-structuralist ini adalah pengaruh uang terhadap perekonomian terutama ditransmisikan dari supply side atau produksi. Berdasarkan pemikiran kaum neo-structuralist, uang merupakan salah satu faktor penentu investasi dan produksi. Bila jumlah uang yang tersedia untuk investasi melimpah, menyebabkan harga uang (suku bunga) menjadi murah, maka volume investasi akan meningkat dan juga meningkatkan volume produksi sehingga penawaran barang meningkat, yang pada akhirnya menekan tingkat inflasi. Kaum strukturalis berpendapat, bahwa selain harga komoditi pangan, penyebab utama terjadinya inflasi di negara-negara berkembang adalah akibat inflasi dari luar negeri (imported inflation). Hal ini disebabkan antara lain oleh harga barang-barang impor yang meningkat di daerah asalnya, atau terjadinya devaluasi atau depresiasi mata uang di negara pengimpor.
2.1.3 Sumber Inflasi Di dalam teori kuantitas, dijelaskan bahwa sumber utama terjadinya inflasi adalah karena adanya kelebihan permintaan (demand) sehingga uang yang beredar di masyarakat bertambah banyak. Dalam teori ini sumber inflasi dibedakan menjadi dua yaitu teori demand pull inflation dan cost push inflation. Selain menggunakan pendekatan teori kuantitas dalam menganalisis sumber-sumber penyebab inflasi, juga digunakan pendekatan struktur ekonomi, pendekatan moneter dan pendekatan akuntansi seperti dijelaskan oleh Khalwaty (2000) di bawah ini:
13
a.
Demand pull inflation Demand pull inflation terjadi karena adanya kenaikan permintaan secara agregat, dimana kondisi produksi telah berada pada kesempatan kerja penuh (full employment). Kenaikan permintaan total (agregate demand) selain dapat menaikkan harga-harga juga dapat meningkatkan produksi. Jika kondisi produksi telah berada pada kesempatan penuh, maka kenaikan permintaan tidak lagi mendorong kenaikan produksi (output) tetapi hanya mendorong kenaikan harga-harga yang biasa disebut sebagai Indeks Murni (pure inflation). Mishkin (2009) menyebutkan inflasi yang disebabkan demand pull inflation dapat ditunjukkan dengan Gambar 2.1 di bawah ini:
Sumber : Mishkin, 2009.
Gambar 2.1 Demand Pull Inflation b.
Cost push inflation Cost push inflation terjadi pada kondisi tingkat penawaran lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat permintaan. Hal ini disebabkan oleh adanya
14
kenaikan harga faktor produksi sehingga produsen terpaksa mengurangi produksinya sampai pada jumlah tertentu. Penawaran total (supply agregat) terus menurun karena semakin mahalnya biaya produksi. Apabila keadaan tersebut berlangsung cukup lama, maka terjadilah inflasi yang disertai dengan resesi. Kenaikan biaya produksi yang menimbulkan cost push inflation didorong oleh beberapa faktor sebagai berikut: 1. Adanya tuntutan kenaikan upah dari para pekerja yang biasa dikoordinir oleh organisasi serikat buruh. 2. Adanya industri yang monopolis, yang memberikan kekuatan kepada produsen untuk menguasai pasar dan selanjutnya menaikkan harga lebih tinggi. 3. Kenaikan bahan baku industri. 4. Pemerintah terlalu berambisi untuk menguasai sumber-sumber ekonomi dalam jumlah yang besar yang seharusnya dapat diserahkan kepada pihak swasta. 5. Adanya kebijakan pemerintah, baik yang bersifat ekonomi maupun non ekonomi yang dapat memicu kenaikan harga-harga, seperti kenaikan tarif angkutan umum dan kenaikan tarif listrik, kenaikan gaji pegawai negeri dan kenaikan anggaran belanja negara yang dibiayai dengan pencetakan uang baru (money creation). 6. Pengaruh alam yang dapat menurunkan produksi dan menaikkan harga seperti musim kemarau panjang yang mengakibatkan gagalnya panen.
15
7. Pengaruh inflasi dari luar negeri, terutama bagi negara-negara yang menganut sistem ekonomi terbuka atau pasar bebas. Sedangkan menurut Lipsey (1995) menyatakan bahwa cost push inflation dapat disebabkan oleh: 1. Wage Cost Push Inflation Teori inflasi yang menekankan dorongan biaya upah menyatakan bahwa kenaikan-kenaikan yang terjadi pada biaya upah, yang sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan permintaan merupakan penyebab awal terjadinya inflasi. 2. Price Push Inflation Teori inflasi yang menekankan price push atau juga dikenal dengan istilah administered price theory of inflation, memiliki persamaan dengan teori inflasi yang menekankan dorongan biaya upah. Teori tersebut menyatakan bahwa para penjual memiliki kekuatan monopoli, dan mereka ingin sekali menaikkan harga, tapi karena mereka takut terjadnya antitrust dari pihak pemerintah maka mereka menggunakan kenaikan dalam biaya produksi dapat dijadikan alasan yang diperlukan untuk membenarkan adanya kenaikan harga. 3. Import Cost Push Inflation Inflasi karena dorongan biaya impor, berupa suatu kenaikan dalam tingkat harga suatu negara yang disebabkan adanya suatu kenaikan dalam harga-harga barang impor penting. 4. Structural Rigidity Inflation Menekankan kekakuan struktural, mengasumsikan bahwa sumber-sumber daya tidak dengan cepat beralih dari penggunaan yang satu ke penggunaan yang lain
16
dan adalah mudah untuk menaikkan upah berupa uang dan harga-harga daripada menurunkannya. Mengingat bahwa upah dan harga-harga adalah kaku, maka tidak akan terlihat adanya penurunan upah dan harga pada sektorsektor yang berkontraksi potensial. Sehingga proses penyesuaian upah dan harga-harga di dalam sebuah perekonomian dengan adanya kekakuan struktural menyebabkan munculnya inflasi. Mishkin (2009) menyebutkan inflasi yang disebabkan cost push inflation dapat ditunjukkan dengan Gambar 2.2 di bawah ini:
Sumber : Mishkin, 2009.
Gambar 2.2 Cost Push Inflation 2.1.3.1 Hubungan Harga Komoditi Pangan dan Inflasi Kenaikan komoditas di belahan dunia merupakan fenomena unik bagi sebagian orang, yang melihat kaitannya dengan perkembangan makro ekonomi dan hubungannya dengan tingkat inflasi. Disadari atau tidak, inflasi bahan pangan secara logika dasar makro ekonomi, dapat menyebabkan peningkatan inflasi,
17
sedangkan inflasi sangat erat kaitannya dengan besaran tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara dan pertumbuhan merupakan kunci untuk memberantas unemployment. Braun (2008), menjelaskan adanya keterkaitan antara krisis pangan dengan krisis finansial, walaupun secara underlying causes (penyebab dasarnya) berbeda. Namun, keduanya dapat mengancam keamanan pangan, keamanan politik, dan stabilitas finansial dan ekonomi. Dapat dijabarkan juga bahwa inflasi pangan menaikkan tekanan secara umum pada nilai inflasi di seluruh dunia. Dalam kaitannya dengan negara berkembang, hal ini dapat terjadi karena rata-rata konsumsi pangan menempati porsi terbesar dari tingkat konsumsi masyarakat. Studi Braun (2008) menunjukkan bahwa rata-rata inflasi bahan pangan lebih tinggi dari rata-rata inflasi secara keseluruhan di 27 dari 31 negara dengan proporsi besar dari konsumsi pangan. Rahardja (2011) menyatakan bahwa harga komoditas di Indonesia seperti gula, minyak goreng, kedelai dan jagung berhubungan dengan harga dunia. Dalam periode sekitar satu tahun, satu persen kenaikan rata-rata harga komoditas dunia akan menyebabkan kenaikan sebesar satu persen harga domestik di Indonesia. Komoditas yang lain akan merespon hal yang sama dengan waktu respon yang bervariasi. Secara umum, kecepatan harga domestik untuk menyesuaikan terhadap guncangan harga dunia yang paling cepat adalah komoditas gula dan minyak goreng sedangkan yang paling lambat pada kedelai dan jagung. Kecepatan transmisi terhadap guncangan harga international juga berbeda diantara provinsi di Indonesia 4 . 4
Sjamsu Rahardja. Ekonom pada World Bank Jakarta. Hhttp://go.worldbank.org/AAG7PZGKR0
18
2.1.3.2 Hubungan antara Harga Minyak Dunia dan Inflasi Purwanti (2011) menyebutkan bahwa mekanisme transmisi dampak oil price shock terhadap harga dan inflasi dijelaskan oleh Blanchard. Ketika terjadi kenaikan harga minyak dunia maka perusahaan akan merespon dengan menaikkan markup sehingga harga akan naik, karena hubungan antara keduanya berbanding lurus. Dengan asumsi upah tetap, peningkatan harga minyak menyebabkan peningkatan biaya produksi dan mendorong perusahaan untuk meningkatkan harga.
2.1.3.3 Hubungan antara Upah Buruh dan Inflasi Hubungan antara upah dan inflasi ditunjukkan oleh teori inflasi yang menekankan dorongan biaya upah dan menyatakan bahwa kenaikan-kenaikan yang terjadi pada biaya upah, yang sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan permintaan merupakan penyebab awal terjadinya inflasi. Di samping itu kekakuan struktural, mengasumsikan bahwa sumber-sumber daya tidak dengan cepat beralih dari penggunaan yang satu ke penggunaan yang lain dan menjadi mudah untuk menaikkan upah berupa uang dan harga-harga daripada menurunkannya. Mengingat bahwa upah dan harga-harga adalah kaku, maka tidak akan terlihat adanya penurunan upah dan harga pada sektor-sektor yang berkontraksi potensial. Jadi proses penyesuaian di dalam sebuah perekonomian dengan adanya kekakuan struktural menyebabkan munculnya inflasi.
19
2.1.3.4 Hubungan antara Expected Inflation dan Inflasi Mankiw (2007) menyebutkan bahwa kurva Philips (Philips Curve) dalam bentuk modernnya menyatakan bahwa tingkat inflasi tergantung pada tiga kekuatan salah satunya adalah inflasi yang diharapkan. Inflasi yang diharapkan (expected inflation) tersebut ada beberapa bentuk yaitu: a.
Inflasi ekspektasional, yang tergantung pada perbandingan-perbandingan dalam hal melihat harapan di masa yang akan datang (forward looking expextation). Dengan begitu laju inflasi yang terbentuk sekarang akan dipengaruhi nilainya oleh nilai laju inflasi pada masa yang akan datang. Hal ini mengakibatkan pembentukan harga dan upah akan disesuaikan dengan laju inflasi yang diharapkan pada masa yang akan datang.
b.
Ekspektasi adaptif, tergantung pada perbandingan-perbandingan dalam hal melihat pengalaman di masa yang lampau (backward looking expectation). Dengan begitu laju inflasi yang akan datang dipengaruhi nilainya oleh laju inflasi pada masa lampau. Hal ini mengakibatkan pembentukan harga dan upah akan disesuaikan dengan laju inflasi yang terjadi pada masa yang lampau. Ekspektasi adaptif ini susah untuk ditanggulangi, karena menyangkut efek psikologis, berupa trauma akan laju inflasi yang terbentuk di masa lalu. Oleh karena itu model ekspektasi adaptif ini memiliki pengaruh yang paling besar terhadap laju inflasi dibandingkan bila menggunakan variabel ekspektasi yang lain (Bank Indonesia, 2000).
20
2.1.3.5 Hubungan antara Nilai Tukar (Exchange Rate) dan Inflasi Studi Permana (2004) menjelaskan bahwa nilai tukar merupakan salah satu variabel mekanisme transmisi kebijakan moneter. Nilai tukar berpengaruh terhadap inflasi karena adanya direct passthrough effect melalui harga bahan baku impor. Barang tersebut dapat berupa barang konsumsi, bahan baku, dan barang modal. Dampak perubahan nilai tukar terhadap laju inflasi melalu impor barang konsumsi tergolong ke dalam first direct passthrough, karena harga impornya dapat langsung mempengaruhi harga jual produk tersebut di dalam negeri. Sedangkan dampak melalui impor bahan baku dan barang modal tergolong ke second direct passthrough, karena pembentukan harganya melalui proses produksi terlebih dahulu. Dengan adanya depresiasi nilai tukar maka harga bahan baku impor akan naik sehingga biaya produksi akan naik, penawaran akan turun dan terjadilah inflasi dari sisi penawaran (cost push inflation). Nilai tukar mempunyai elastisitas yang besar terhadap inflasi karena masih besarnya ketergantungan industri terhadap bahan baku impor.
2.1.4. Penghitungan Inflasi di Indonesia Menurut BPS (2009), inflasi di Indonesia merupakan perubahan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada suatu periode terhadap periode sebelumnya. Penghitungan IHK tersebut menggunakan metode Laspeyers yang dikembangkan (modified Laspeyers) karena dalam rumusan indeksnya menggunakan kuantum
21
yang tetap sesuai tahun dasar. Rumusan Indeks Laspeyers dituliskan sebagai berikut: ∑
100%
∑
(2.1)
dimana : In = Indeks bulan ke-n Pn = Harga jenis komoditi bulan ke-n Po = Harga jenis komoditi tahun dasar Qo= Kuantum jenis komoditi tahun dasar dengan pertimbangan teknis pengolahan dari penghitungan IHK, maka rumusan Indeks Laspeyers diatas dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menghasilkan rumusan indeks sebagai berikut: ∑ ∑
100%
(2.2)
dimana : In = Indeks bulan ke-n Pn = Harga jenis komoditi bulan ke-n Po = Harga jenis komoditi tahun dasar Qo= Kuantum jenis komoditi tahun dasar P(n-1) = Harga jenis komoditi bulan ke- (n-1) Tahapan untuk menghitung inflasi dimulai dengan menghitung relatif harga (RH), kemudian menghitung nilai konsumsi (NK), menghitung IHK, dan terakhir menghitung angka inflasi untuk masing-masing kota. Dari masing-masing kota ditimbang untuk mendapatkan angka inflasi nasional.
22
Menurut BPS, penghitungan inflasi di Indonesia dilaksanakan di 66 kota dan meliputi 774 jenis barang/jasa dan kemudian dikelompokan menjadi 7 kelompok utama yaitu: 1. Bahan Makanan 2. Makanan Jadi, Minuman, Rokok dan Tembakau 3. Perumahan 4. Sandang 5. Kesehatan 7. Transportasi dan Komunikasi Komponen penghitungan IHK adalah: 1. Tahun Dasar Periode dasar atau tahun dasar adalah periode waktu tertentu yang dipakai sebagai dasar perbandingan. Pengukuran IHK sampai dengan bulan maret 1998 menggunakan periode 1988-1989 sebagai tahun dasar. Sedangkan sejak April tahun 1998 menggunakan periode tahun 1996 sebagai periode dasar dan sejak Januari 2004 sudah menggunakan tahun 2002 sebagai periode dasar. Sejak Juni 2008 tahun dasar yang dipakai untuk penghitungan inflasi adalah 2007. 2. Data Harga Harga yang dipilih dalam pengumpulan data harga konsumen adalah harga eceran, yaitu harga transaksi secara tunai yang terjadi antara penjual (pedagang eceran) dan pembeli (konsumen langsung).
23
3. Paket komoditas Adalah sejumlah komoditi yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat di suatu kota yang digunakan sebagai acuan dalam penghitungan indeks. Paket komoditas diperoleh dari suatu survei pengeluaran rumahtangga yang mencakup seluruh pengeluaran konsumsi untuk komoditi. Survei tersebut adalah Survei Biaya Hidup (SBH). 4. Diagram Timbangan Bobot/peran dari setiap jenis barang/jasa, dimana sumber datanya adalah Survei Biaya Hidup (SBH) yaitu nilai konsumsi makanan dan bukan makanan. Setelah diperoleh IHK, maka inflasi dapat diketahui. Penghitungan inflasi menggunakan persamaan sebagai berikut:
100 Dimana
(2.3)
merupakan inflasi yang terjadi pada periode t,
pada periode t sedangkan
merupakan IHK
merupakan IHK pada periode sebelumnya.
Inflasi terjadi apabila perubahan IHK bernilai positif, apabila perubahannya bernilai negatif maka disebut terjadi deflasi.
2.2
Tinjauan Studi Terdahulu Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi telah banyak
dilakukan. Pada Tabel 2.1 akan ditampilkan ringkasan penelitian terdahulu tentang faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi.
24
Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu tentang Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Inflasi. NO 1
NAMA PENELITI Permana, 2004
JUDUL PENELITIAN Analisis Faktorfaktor Penentu Laju Inflasi dilihat dari Sisi Penawaran dan Ekspektasi Adaptif dalam Rezim Nilai Tukar Mengambang Bebas Analisis Determinan Inflasi di Indonesia Periode 19882002
DATA DAN METODE - Indonesia, data tahun 1993-2004 - Model regresi berganda OLS
HASIL PENELITIAN Harga BBM dan harga beras tidak berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi, sedangkan nilai tukar berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi.
- Indonesia, data tahun 1988-2002 - Model Persamaan Simultan
Ekspektasi inflasi dan inflasi impor berpengaruh terhadap inflasi.
- Indonesia (19832004 dan 19972004) - Multicointegration
Output gap sangat berpengaruh terhadap inflasi di Indonesia periode 1983-2004 sedangkan periode 1997-2004 yang berpengaruh terhadap inflasi adalah disequilibrium pasar uang. Inflasi Indonesia periode t-1, perubahan broad money, perubahan nilai tukar periode t-1 dan t-2, berhubungan positif dengan inflasi di Indonesia. PDB, nilai tukar dan jumlah uang beredar secara serentak mempunyai hubungan secara signifikan terhadap inflasi, secara parsial nilai tukar dan jumlah uang beredar
2
Trihadmini, 2004
3
Krisnawati, 2006
4
Mardianti, 2006
Analisis Inflasi di - Data Indonesia Indonesia dari Sisi periode 1990: Permintaan Uang kuartal 1 sampai 2005: kuartal 3 - Error Correction Model (ECM)
5
Devi, 2006
Analisis Inflasi di Indonesia
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Inflasi di Indonesia.
- Indonesia, data tahun 2000-2005 - Model OLS
25
6
Apriani, 2007
Analisis Dampak - Indonesia, data tahun 1990-2006 Guncangan Harga - Model VAR Minyak Dunia dilanjutkan dengan Terhadap Inflasi VECM dan Output di Indonesia: Periode 1990-2006
7
Budiarti, 2008
8
Sultan, 2011
Pengaruh Kenaikan Harga Bbm Terhadap Indeks Harga Konsumen (Ihk) Masing-Masing Kelompok Barang Dan Jasa Di Kota Banda Aceh Tahun 1998-2008 Inflation in Kingdom of Saudi Arabia: A Bound Test Analysis
9
Dwiantoro, 2004
Analisis - Indonesia Determinan Inflasi - Model Eagledi Indonesia Granger Error dengan EngleCorrection Model Granger Error (EG-ECM) Correction Model
10
Monfort and Pena, 2008
Inflation Determinant in Paraguay: Cost Push versus Demand Pull Factors
mempunyai hubungan positif dan berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi. Guncangan harga minyak dunia berhubungan positif dengan inflasi, output, jumlah uang beredar dan nilai tukar riil.
- Kota Banda Aceh, data tahun 19982008 - Model VAR
Kenaikan harga BBM berhubungan positif dengan inflasi umum dan inflasi untuk masing-masing komoditi barang dan jasa.
- Arab Saudi - Model Cointegration dengan VECM
Inflasi di dunia ekonomi, tingkat nilai tukar dan money supply adalah faktor utama yang mempengaruhi inflasi di Saudi Arabia. GDP riil berpengaruh negatif terhadap inflasi dan inflasi harapan berpengaruh positif terhadap tingkat inflasi dalam jangka panjang. Jumlah uang beredar berpengaruh dalam inflasi jangka panjang sedangkan harga luar negeri/ harga beberapa produk makanan dan indeks upah punya pengaruh dalam jangka pendek
- Paraguay - Model Cointegration dengan pendekatan VAR
26
Penelitian ini berdasarkan penelitian Permana (2004). Persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah sama-sama menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia dari sisi penawaran. Sedangkan perbedaannya terletak pada cakupan tahun, variabel yang digunakan dan metode analisis yang digunakan. Periode tahun dalam penelitian Permana adalah data kuartalan dari tahun 1993-2004 sedangkan dalam penelitian ini periode yang digunakan adalah data bulanan dari tahun 1998-2010. Variabel yang digunakan dalam penelitian terdahulu adalah harga BBM dan harga beras sedangkan dalam penelitian ini menggunakan variabel harga minyak dunia dan indeks harga komoditi pangan dunia. Metode yang digunakan dalam penelitian terdahulu adalah regresi berganda Ordinary Least Square (OLS) sedangkan dalam penelitian ini menggunakan analisis Vector Error Correction Model (VECM).
2.3
Kerangka Pemikiran Operasional Guncangan
penawaran
yang
negatif
berupa
bencana
alam
telah
menyebabkan kegagalan panen dan terjadinya kelangkaan komoditi pangan. Kelangkaan pangan akan berimbas pada naiknya harga komoditi pangan. Disamping itu adanya krisis energi yang mulai melanda di tahun 2005 yang dimulai dengan berkurangnya pasokan minyak dunia berimbas pada kenaikan harga minyak dunia. Di Indonesia, kenaikan harga minyak dunia diikuti oleh kenaikan harga bahan bakar minyak oleh pemerintah. BBM yang merupakan input produksi sehingga kenaikan harganya akan meningkatkan biaya produksi. Supaya
27
tidak mengalami kerugian, maka produsen akan menaikkan harga jual produknya ke konsumen sehingga akan menyebabkan terjadinya kenaikan harga di masyarakat. Semakin mahalnya harga-harga membuat buruh berusaha menuntut kenaikan upah supaya bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Kenaikan upah ini akan meningkatkan biaya produksi dan sekali lagi akan membuat produsen menaikkan harga jual produknya. Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar akan membuat harga bahan baku impor menjadi mahal sehingga akan membebani biaya produksi. Kerangka pemikiran di atas dapat disajikan dalam Gambar 2.3. Krisis Pangan Dunia dan Domestik
Harga Pangan Naik
Krisis energi Dunia ‐ Harga minyak dunia ik
UMR
Exchange rate -harga bahan baku impor naik.
Harga BBM naik
Biaya Produksi Naik
Cost Push Inflation
Inflasi
Implikasi Kebijakan Pemerintah
Gambar 2.3 Skema Kerangka Pemikiran
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data sekunder berupa data bulanan periode 1998-2010. Variabel, data, satuan dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Tabel 3.1. Variabel, Data yang Digunakan dan Sumbernya Data (Variabel) Inflasi (INF)
Data yang digunakan Angka inflasi bulanan
Satuan
Sumber Data
Indeks
Badan Pusat Statistik (BPS)
Harga
minyak Data harga minyak dunia
dunia (P_OIL)
$US/barel
per bulan
International Monetary Fund (IMF)
Indeks komoditi
harga Data indeks harga dari 55
Indeks
pangan komoditi pangan dunia.
Food Agricultural
dunia (IHP)
Organization (FAO)
Exchange
Rate Data nilai tukar rupiah
(KURS)
$US/Rupiah
Bank Indonesia
Indeks
BPS
terhadap dolar Amerika Serikat per bulan
Expected inflation Data
inflasi
bulan
(EXP_INF)
sebelumnya (It-1)
Tingkat upah (W)
Rata-rata upah riil per Rupiah/bulan bulan
per
pekerja
di
bawah mandor/supervisor sektor manufaktur
BPS
29
Pada penelitian ini terdapat dua variabel yang merupakan data dunia yaitu harga minyak dunia dan indeks harga komoditi pangan dunia. Penggunaan data harga minyak dunia berdasarkan beberapa penelitian yang menganalisis dampak harga minyak dunia terhadap inflasi yaitu penelitian Purwanti (2011) dan penelitian Apriani (2007), sedangkan penggunaan variabel indeks harga komoditi pangan dunia disebabkan indeks harga komoditi pangan Indonesia tidak tersedia dalam bulanan dan menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Rahardja (2011) menyatakan bahwa kenaikan satu persen harga komoditi pangan dunia akan meningkatkan sebesar satu persen harga komoditi pangan di Indonesia. Periode waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah 13 tahun yaitu dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2008 per bulan, sehingga terdapat sebanyak 156 unit observasi. Dengan periode waktu tersebut, maka dapat digunakan analisis time series, agar dapat menggambarkan hubungan jangka panjang antar variabel.
3.2. Metode Analisis Metode analisis yang digunakan untuk mendukung dan mencapai tujuan penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis ekonometrika.
3.2.1. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif adalah analisis yang digunakan untuk memberikan gambaran umum tentang data yang telah diperoleh. Analisis deskriptif dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan grafik, tabel dan diagram. Dalam penelitian ini, analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui gambaran umum
30
mengenai perkembangan laju inflasi yang terjadi di Indonesia selama kurun waktu 1998-2010 dan juga digunakan untuk menggambarkan perkembangan variabel harga minyak dunia, tingkat upah buruh, exchange rate dan indeks harga pangan dunia.
3.2.2. Analisis Ekonometrika Analisis ekonometrika yang dipakai dalam penelitian ini berdasarkan model pada penelitian yang dilakukan oleh Dwiantoro (2004) dan Permana (2004). Studi Dwiantoro menggunakan analisis Engle-Granger Error Correction Model dan studi Permana menggunakan analisis regresi berganda Ordinay Least Square (OLS) sedangkan dalam penelitian ini akan menggunakan analisis Vector Error Correction Model karena data yang digunakan tidak semua stasioner pada level dan terdapat kointegrasi diantara variabel-variabel tersebut.
3.2.2.1. Uji Stasionaritas Dalam menerapkan uji deret waktu (time series) disyaratkan stasionaritas dari series yang digunakan. Untuk itu, sebelum melakukan analisis lebih lanjut, perlu dilakukan uji stasionaritas terlebih dahulu terhadap data yang digunakan. Tujuan dari uji ini adalah untuk mendapatkan nilai rata-rata yang stabil dan random error sama dengan nol, sehingga model regresi yang diperoleh memiliki kemampuan prediksi yang handal dan menghindari timbulnya regresi lancung (spurious regression). Secara operasional suatu data series dikatakan stasioner apabila data tersebut tidak mengandung unsur trend. Disamping itu, syarat yang
31
harus dipenuhi suatu data series sehingga dapat dikatakan stasioner apabila mempunyai kondisi sebagai berikut: 1. Rata-rata tetap (constant) tidak terpengaruh oleh jalannya waktu (invariant with respect to time). 2. Variasi data tetap (variance to be constant) untuk seluruh series data. 3. Covariance antar nilai dari waktu yang berbeda tergantung dari jarak nilai (time lag) bukan pada posisi waktu dimana covariance tersebut dihitung. Secara statistik, ketiga kondisi series yang stasioner di atas dapat dinyatakan sebagai berikut: Rata-rata :
(3.1)
Variance :
(3.2)
Covariance:
(3.3)
dimana Y adalah data observasi,
adalah rata-rata konstan dari variabel Y,
merupakan varians konstan dari variabel Y, t menunjukkan waktu, p menunjukkan jarak nilai (time lag) dan
, kovarians (atau otokovarians) pada keterlambatan k
adalah kovarians antara nilai sebanyak
dan
yaitu antara dua nilai
, terpisah
periode.
Untuk mendeteksi apakah suatu series data stasioner atau tidak secara visual dapat dilihat plot/grafik data observasi terhadap waktu. Apabila kecenderungan fluktuasinya di sekitar nilai rata-rata dengan amplitudo yang relatif tetap atau tidak terlihat adanya kecenderungan (trend) naik atau turun maka dapat dikatakan stasioner. Penggunaan grafik sangat tergantung pada kejelian dan pengalaman peneliti, untuk itu secara formal dilakukan uji statistik guna lebih meyakinkan
32
peneliti. Uji stasionaritas yang akhir-akhir ini banyak digunakan adalah uji akarakar unit (unit roots test). Dalam penelitian ini, uji stasioneritas yang digunakan adalah uji akar unit (Unit Roots Test) dengan metode Augmenterd Dickey Fuller Test (ADF test) dengan alasan bahwa ADF Test telah mempertimbangkan kemungkinan adanya autokorelasi pada error term jika series yang digunakan non stasioner.
Uji Akar-akar Unit Uji stasioneritas akan dilakukan dengan metode ADF dan PP sesuai dengan bentuk trend deterministik yang dikandung oleh setiap variabel. Hasil series stasioner akan berujung pada penggunaan VAR dengan metode standar. Sementara series nonstasioner akan berimplikasi pada dua pilihan yaitu VAR yaitu VAR dalam bentuk differens atau VECM. Pengujian stasionaritas secara teori dan prakteknya menggunakan tiga asumsi dasar yaitu tidak adanya trend dan konstanta, adanya konstanta, adanya trend dan konstanta. Dalam menentukan uji statistik dan hipotesis alternatif yang sesuai diperlukan pengujian adanya trend pada data deret waktu. Pengujian trend ini dilakukan untuk menghasilkan uji unit root yang lebih powerfull. Langkah awal yang dilakukan adalah dengan melihat adanya trend pada data dengan menggunakan grafik. Pengujian yang lebih formal dapat dilakukan dengan memeriksa signifikansi adanya trend pada data deret waktu. Selanjutnya, dalam memilih uji statistik yang sesuai dalam mendeteksi adanya unit root, hal pertama yang dilakukan adalah meneliti adanya perubahan struktural (structural change) agar tidak terjadi pengambilan keputusan yang bias.
33
Adanya perubahan struktural ini berarti nilai parameter estimasi tidak sama dalam periode penelitian, dengan kata lain perubahan struktural ini akan menyebabkan adanya perbedaan intercept (konstanta) atau slope, ataupun kemungkinan adanya perbedaan pada intercept maupun slope dalam garis regresi. Untuk mendeteksi adanya perubahan struktural ini dapat dilakukan dengan melihat fluktuasi data dengan grafik. Adanya perubahan struktural dapat menyebabkan data terlihat seperti tidak stasioner, sehingga dalam perhitungan akan mengarah pada penerimaan hipotesis nol yang salah. Uji akar unit pertama kali dikembangkan oleh Dickey-Fuller (DF), dasar uji stasioner data dengan akar unit dapat dijelaskan melalui persamaan: , dimana 1 Dimana
1
adalah koefisien otoregresif dan
(3.4) adalah residual yang bersifat
random atau stokastik dengan rata-rata nol, varian konstan dan nonautokorelasi. Residual yang seperti itu disebut white noise. Jika pada persamaan (3.4),
1,
maka dikatakan bahwa variabel random Y mempunyai unit root. Jika data mempunyai unit root maka data tersebut bergerak secara random walk sedangkan yang random walk bersifat tidak stasioner. Dalam bentuk hepotesis dapat ditulis: :
1, (series mengandung unit root)
:
1, (series tidak mengandung unit root)
Dari persamaan 3.4, dapat ditulis juga dalam bentuk:
1
34
∆ Dimana ∆ :
1 , sehingga bentuk hipotesis menjadi :
dan
0, (series mengandung unit root) 0, (series tidak mengandung unit root)
Langkah-langkah uji akar-akar unit dengan menggunakan metode ADF Test adalah sebagai berikut: 1. Misalkan terdapat persamaan sebagai berikut:
di mana
adalah koefisien otoregesif,
adalah white noise error term yang
mempunyai rata-rata sama dengan nol dan varians konstan serta tidak mengandung autokorelasi. Jika
1, maka dapat dinyatakan bahwa variabel
mempunyai akar unit. Dalam istilah ekonometrika, series yang memiliki akar unit disebut ‘random walk’. Dalam bentuk hipotesis menjadi: :
1, (series mengandung unit root)
:
1, (series tidak mengandung unit root)
2. Persamaan di atas dapat juga dinyatakan dalam bentuk lain (turunan pertama),
1 ∆ Dimana ∆ :
dan
1 , sehingga bentuk hipotesis menjadi :
0, (series mengandung unit root) 0, (series tidak mengandung unit root)
35
0 , maka persamaan di atas dapat ditulis:
Jika ∆
Persamaan ini menunjukan bahwa turunan pertama dari series yang random walk ( ) adalah sebuah series stasioner dengan asumsi bahwa
adalah benar-benar
random. 3. Setelah didapat persamaannya, prosedur pengujian adalah dengan menghitung terlebih dahulu nilai statistik ADF. Statistik uji:
Dengan melihat nilai dari statistik ADF yang merupakan koefisien otoregresifnya, dapat diketahui apakah series mengandung unit roots atau tidak. Jika nilai ADF (
) lebih kecil dari nilai kritis Tabel Mackinnon dengan derajat bebas maka
ditolak atau dapat dikatakan bahwa series telah stasioner. Jika
data asli dari suatu series saling berintegrasi atau data sudah stasioner, maka data tersebut berintegrasi pada order 0 atau dilambangkan dengan I(0). Selanjutnya, jika data baru stasioner dan saling berintegrasi pata turunan pertama, maka data terebut berintegrasi pada order 1 atau I(1). Begitu seterusnya sampai didapatkan data yang stasioner pada order d atau I(d).
3.2.2.2. Pemeriksaan Lag Optimal Uji lag merupakan salah satu prosedur penting yang harus dilakukan dalam pembentukan model karena uji kointegrasi, VAR dan VECM sebagai uji lanjutan sangat peka terhadap panjang lag. Pemilihan lag seringkali dilakukan
36
secara arbiter (trial and error) untuk mendapatkan hasil yang optimal. Namun dalam pemilihan lag, selain mempertimbangkan optimalitas seharusnya juga memperhatikan adanya kemungkinan korelasi antar residual dan penurunan degree of freedom dari persamaan yang dihasilkan dan jumlah parameter yang diestimasi menjadi semakin banyak sehingga menjadi tidak efisien (Enders, 2004). Untuk memperoleh panjang selang yang tepat akan dilakukan 3 bentuk pengujian secara bertahap. Pada tahap pertama akan dilihat panjang selang maksimum sistem VAR yang stabil. Stabilitas sistem VAR dilihat dari nilai inverse roots karakteristik AR polinominalnya. Suatu sistem VAR dikatakan stabil (stasioner) jika seluruh roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari satu dan semuanya terletak di dalam unit circle. Pada tahap kedua, panjang selang optimal akan dicari dengan menggunakan kriteria informasi yang tersedia. Kandidat selang yang terpilih adalah panjang selang menurut kriteria Likelihood ratio (LR), Final Prediction Error (FPE), Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SIC), dan Hannan-Quinn Information Criterion (HQ). Jika kriteria informasi hanya merujuk pada sebuah kandidat selang maka kandidat tersebutlah yang optimal. Jika diperoleh lebih dari satu kandidat, maka pemilihan dilanjutkan pada tahap ketiga. Pada tahap terakhir, nilai adjusted R2 variabel VAR dari masing-masing kandidat selang akan diperbandingkan, dengan penekanan pada variabel-variabel terpenting dari sistem VAR tersebut. Selang optimal akan dipih dari sistem VAR
37
dengan selang tertentu yang menghasilkan nilai adjusted R2 terbesar pada variabel-variabel penting di dalam sistem.
3.2.2.3. Uji Kointegrasi Jika series dari variabel-variabel yang diteliti diketahui memiliki unit roots dan terkointegrasi pada order tertentu, maka perlu dilakukan uji kointegrasi. Dengan kata lain, uji kointegrasi dilakukan untuk mendeteksi stabilitas hubungan jangka panjang antara dua variabel atau lebih. Jika di antara variabel-variabel terkait terdapat kointegrasi, berarti terdapat hubungan jangka panjang di antara variabel-variabel tersebut. Jika variabel X dan variabel Y terintegrasi, maka hasil regresi antar variabel X dan Y akan menghasilkan residual yang stasioner. Adapun dua series yang terintegrasi akan memiliki hubungan jangka panjang yang stabil. Gujarati dalam Zahira (2004) menyatakan bahwa pengujian kointegrasi hanya valid jika dilakukan pada data asli yang stasioner. Enders (2004) memberikan catatan penting tentang definisi kointegrasi sebagai berikut: 1. Kointegrasi merupakan kombinasi linier dari variabel-variabel yang seriesnya nonstasioner. 2. Semua variabel yang diuji harus terintegrasi (stasioner) pada order yang sama. 3. Jika Xt mempunyai n komponen, maka dimungkinkan terdapat sebanyak n-1 linearly independent cointegrating vectors, sedangkan jika Xt hanya terdiri atas dua variabel, dimungkinkan hanya terdapat satu independent cointegrating
38
Penelitian ini lebih lanjut menggunakan metode Johansen Contegration test untuk melakukan uji kointegrasi dengan prosedur sebagai berikut: Misalkan terdapat persamaan Vector Autoregression (VAR) dengan order p sebagai berikut: ……
(3.5)
Maka, tahapan-tahapan penerapan pendekatan Johansen untuk kointegrasi adalah: 1.
Lakukan autoregressive order p dalam model
2.
Lakukan regresi dari ∆ residual
3.
untuk masing-masing t,
Lakukan regresi dari residual
4.
, …., ∆
dan hasil
dan mempunyai m elemen.
terhadap ∆
untuk masing-masing t,
, ∆
, ∆
, …., ∆
dan hasil
dan mempunyai m elemen.
Hitung kuadrat dari korelasi canonical antara disebut
5.
terhadap ∆
dan
yang dalam hal ini
.
Lakukan trace test untuk mengetahui nilai tracestatictics atau likelihood ratio dengan rumus: ∑
ln 1
Dimana k = 0,1,…., m-1 dan
(3.6) adalah nilai eigenvalue ke-i. Lambang T
menunjukkan banyak angka dalam periode waktu tersedia dalam data. Zahira (2004) menyatakan bahwa nilai tracestat selanjutnya dibandingkan dengan nilai kritis dari tabel Osterwald-Lenun. Jika nilai tracestat lebih besar dari nilai kritis dari tabel Osterwald-Lenum, maka H0 ditolak.
39
6.
Alternatif uji lainnya dengan menggunakan maximum eigenvalue test yaitu mencari nilai maximum eigenvaluestatistic sebagai berikut: 1
max
(3.7)
Nilai max eigenvaluestat selanjutnya juga dibandingkan dengan nilai kritis dari tabel Osterwald-Lenum. Trace test dan maximum eigenvalue test dilakukan untuk berbagai hipotesis nol, seperti
:
0 atau tidak terdapat hubungan kointegrasi,
1 atau terdapat satu persamaan kointegrasi sampai
:
:
1 atau terdapat
sebanyak (n-1) persamaan kointegrasi antar variabel. Banyaknya persamaan kointegrasi ini menunjukkan banyaknya kombinasi linier antar variabel yang stasioner.
3.2.2.4. Metode Vector Autoregressive (VAR) VAR merupakan salah satu model linear dinamis (MLD) yang sedang marak digunakan untuk aplikasi peramalan variabel-variabel (terutama) ekonomi dalam jangka panjang maupun dalam jangka menengah-panjang. Sebagai bagian dari ekonometrika, VAR merupakan salah satu pembahasan dalam multivariate time series. VAR model pertama kali diperkenalkan oleh C.A. Sims (1972) sebagai pengembangan dari pemikiran Granger (1969). Granger menyatakan bahwa apabila dua variabel misalkan x dan y memiliki hubungan kausal di mana x mempengaruhi y maka informasi masa lalu x dapat membantu memprediksi y. VAR model dapat dikatakan sebagai model persamaan simultan karena didalamnya dipertimbangkan beberapa variabel endogen secara bersamaan.
40
Keunikan VAR yaitu modeling dilakukan dengan memodelkan setiap variabel endogen dalam sistem sebagai fungsi linear dari nilai lag/ selisih waktu (lagged value) untuk semua variabel endogen dalam sistem. Penggunaan VAR model umumnya untuk peramalan sistem peubah yang saling terkait satu sama lain, disamping itu model ini dapat menganalisa dampak dinamis dari perubahan (random disturbance) dalam sistem peubah tersebut. Fokus penggunaan VAR terletak pada kemampuan model ini untuk melakukan peramalan (forecasting). Peramalan yang dilakukan pun tanpa membutuhkan asumsi-asumsi untuk nilai masing-masing variabel endogen di masa datang. Firdaus (2011) menyebutkan beberapa keunggulan metode ini yaitu: 1.
Mengembangkan model secara bersamaan di dalam suatu sistem yang kompleks (multivariat) sehingga dapat menangkap hubungan keseluruhan variabel di dalam persamaan itu.
2.
Uji VAR yang multivariat bisa menghindarkan parameter yang bias akibat tidak dimasukkannya variabel yang relevan.
3.
Uji VAR dapat mendeteksi hubungan antarvariabel di dalam sistem persamaan dengan menjadikan seluruh variabel sebagai variabel endogen.
4.
Metode VAR terbebas dari berbagai batasan teori ekonomi yang sering muncul, termasuk gejala perbedaan palsu (spurious variable) di dalam model ekonometrika konvensional terutama pada persamaan simultan sehingga menghindari penafsiran yang salah.
41
Adapun kelemahan dari analisis VAR adalah sebagai berikut: 1.
Model VAR lebih bersifat teori karena tidak memanfaatkan informasi dari teori-teori terdahulu.
2.
Karena lebih menitikberatkan pada peramalan, maka model VAR dianggap tidak sesuai untuk implikasi kebijakan.
3.
Tantangan terbesar VAR adalah pemilihan panjang lag yang tepat.
4.
Semua variabel yang digunakan dalam model VAR harus stasioner.
5.
Koefisien dalam estimasi VAR sulit untuk diinterpretasikan
3.2.2.5. Metode Vector Error Correction Model (VECM) VECM adalah Vector Autoregressive (VAR) yang terbatas dan dirancang untuk digunakan pada data nonstasioner yang diketahui memiliki hubungan kointegrasi. Enders (2004) menyatakan bahwa variabel dalam VECM merupakan variabel turunan pertama dalam model VAR, atau dengan kata lain bahwa variabel dalam VECM merupakan variabel yang terkointegrasi pada orde pertama [I(1)]. Hubungan dinamis jangka pendek dari suatu variabel di dalam sistem dipengaruhi oleh penyimpangan dari keseimbangan jangka panjang yang dikenal sebagai cointegration term atau error correction term.
Penyimpangan dari
keseimbangan jangka panjang dikoreksi secara bertahap melalui sekumpulan penyesuaian parsial jangka pendek. Hal yang perlu diperhatikan pada variabel yang berkointegrasi adalah apabila suatu model menghendaki adanya persamaan jangka panjang, pergerakan dari
beberapa
variabel
mengadakan
reaksi
adanya
kecenderungan
42
ketidakseimbangan (disequilibrium) dalam jangka pendek yang sering kita temui dalam peristiwa ekonomi. Hal ini berarti apa yang diinginkan perilaku ekonomi belum tentu sama dengan apa yang sebenarnya terjadi. Untuk itu suatu model yang memasukkan penyesuaian untuk melakukan koreksi bagi ketidakseimbangan atau model yang disebut model koreksi kesalahan (Vector Error Correction Model). Model Vector Error Correction Model (VECM) dapat ditulis sebagai berikut: ∆
∆
(3.8)
Dimana:
konstanta
Dalam hal ini koefisien
adalah koefisien jangka pendek sedangkan
adalah koefisien jangka panjang. Koefisien koreksi ketidakseimbangan
dalam
bentuk nilai absolut menjelaskan seberapa cepat waktu diperlukan untuk mendapatkan nilai keseimbangan.
3.2.2.6.
PEMANFAATAN SISTEM VAR DAN VECM Berikut adalah beberapa penggunaan sistem VAR dan VECM setelah
sistem terbentuk:
43
Impulse response Function (IRF) Impulse respon adalah salah satu metode estimasi pada VAR yang digunakan untuk melihat respon variabel endogen terhadap adanya pengaruh inovasi (shock) variabel endogen yang lain (Pindycks dan Rubinfeld, 1991). Inovasi diinterpretasikan sebagai goncangan kebijakan (policy shock) atau sering juga disebut aksi.
Forecast Error Decomposition of Variance (FEDVs) FEVDs adalah metode yang dapat digunakan untuk melihat bagaimana perubahan dalam suatu variabel makro ditunjukkan oleh perubahan variance error yang dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya. Metode ini dapat melihat juga kekuatan dan kelemahan dari masing-masing variabel dalam mempengaruhi variabel lainnya pada kurun waktu yang panjang (how long/how persistent). Dekomposisi varians merinci varians dari error peramalan (forecast) menjadi komponen-komponen yang dapat dihubungkan dengan setiap variabel endogen dalam model. Melalui perhitungan persentase squared prediction error k-tahap ke depan dari sebuah variabel akibat inovasi dalam variabel-variabel lain, dapat dilihat seberapa besar error peramalan variabel tersebut disebabkan oleh variabel itu sendiri dan variabel-variabel lainnya.
Granger Causality Test Pengujian kausalitas dikembangkan oleh Granger (1969). Untuk penyederhanaan uji, berikut diberikan contoh hubungan kausalitas antara variabel X dan Y sebagai berikut:
44
∑
∑
∑
∑
(3.9) (3.10)
Gujarati (2003) menyebutkan bahwa terdapat beberapa kasus yang bisa terjadi dari persamaan kausalitas, yaitu: 1.
Undirectional causality from Y to X, dapat diidentifikasikan jika koefisien lag variabel Y pada persamaan pertama signifikan secara statistik ∑ 0 dan untuk lag variabel X pada persamaan kedua tidak signifikan secara statistik ∑
2.
0 .
Undirectional causality from X to Y, dikatakan terjadi jika koefisien lag variabel Y pada persamaan pertama tidak signifikan secara statistik ∑ 0 dan untuk lag variabel X pada persamaan kedua signifikan secara statistik ∑
3.
0 .
Feedback atau bilateral causality, jika koefisien dari kedua variabel signifikan secara statistik dalam kedua persamaan regresi di atas.
4.
Independen jika koefisien dari kedua variabel tidak signifikan secara statistik dalam kedua persamaan regresi di atas. Dari uji kausalitas, dapat diketahui variabel-variabel mana yang memiliki
hubungan kausalitas dan variabel mana yang terjadi sebelum variabel lainnya atau variabel mana yang bertindak sebagai indikator awal bagi variabel lainnya.
BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA
4.1 Perkembangan Laju Inflasi di Indonesia Tingkat inflasi merupakan salah satu indikator fundamental ekonomi suatu negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi, ekspor-impor, cadangan devisa, utang luar negeri dan kestabilan nilai tukar. Laju inflasi Indonesia selama kurun waktu tahun 1998-2010 menunjukkan fluktuasi seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.1. Nilai tertinggi dicapai pada tahun 1998 yaitu sebesar 77,63 persen dan nilai terendah dicapai pada tahun 1999 dengan laju inflasi sebesar 2,01 persen. Nilai tertinggi pada tahun 1998 merupakan dampak dari merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar dan faktor sosial politik yang tidak aman, sehingga mengakibatkan harga barang dan jasa
LAJU INFLASI (PERSEN)
terus meningkat tajam sampai akhir tahun 1998. 100 77.63 80 60 40 12.5510.03 5.06 6.4 17.11 6.6 6.59 11.06 2.78 6.96 2.01 9.35 20 0
TAHUN Laju Inflasi
Sumber : BPS (diolah) Gambar 4.1 Laju Inflasi Tahunan di Indonesia Tahun 1998-2010
46
Laju inflasi bulanan di tahun 1998 yang tertinggi terjadi pada bulan Juni yang mencapai 12,45 persen. Pada tahun 1999, inflasi tahunan turun menjadi 2,01 persen. Penurunan laju inflasi yang sangat tajam ini tidak terlepas dari pengaruh terbentuknya pemerintah baru yang legitimate dan diharapkan dapat menciptakan stabilitas politik dan ekonomi yang lebih baik (Gambar 4.2). 12.45 8.70
10.00 5.00 0.00 ‐5.00 ‐10.00 ‐15.00
98:01 98:10 99:07 00:04 01:01 01:10 02:07 03:04 04:01 04:10 05:07 06:04 07:01 07:10 08:07 09:04 10:01 10:10
LAJU INFLASI (%)
15.00
‐9.30 TAHUN/PERIODE INFLASI
Sumber : BPS (diolah) Gambar 4.2 Laju Inflasi Bulanan Indonesia Tahun 1998-2010 Laju inflasi tahunan dari tahun 2000-2004 sudah mulai stabil dimana angkanya yang berada dibawah dua digit. Inflasi tahun 2000 jika dibandingkan dengan inflasi tahun 1999 meningkat secara tajam yaitu dari 2,01 persen menjadi 9,35 persen. Peningkatan laju inflasi ini diantaranya disebabkan adanya kenaikan tarif angkutan per 1 September 2000, kenaikan BBM per Oktober 2000, Bulan Puasa/Ramadhan (November 2000), Natal dan Lebaran (Desember 2000). Secara umum pada tahun 2000-2005, inflasi terus terjadi dengan nilai yang terbilang tinggi, yaitu dengan rata-rata mencapai 10 persen. Pada tahun 2005 laju inflasi kembali naik mencapai 17,11 persen. Ini adalah inflasi tertinggi pasca krisis moneter Indonesia (1997/1998). Penyesuaian terhadap
47
kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) diperkirakan menjadi faktor utama tingginya inflasi tahun 2005. Tingginya harga minyak di pasar internasional menyebabkan pemerintah berusaha untuk menghapuskan subsidi BBM. Jika melihat inflasi bulanan pada tahun 2005 yang tertinggi terjadi pada bulan Oktober yaitu sebesar 8,70 persen (Gambar 4.2). Laju inflasi selama tahun 2006-2007 menunjukkan perkembangan yang relatif stabil yaitu berkisar pada 6 persen. Laju inflasi tahun 2006 sebesar 6,60 persen sedangkan pada tahun 2007 sebesar 6,59 persen. Laju inflasi bulanan tahun 2006 dan 2007 menunjukkan dalam kondisi yang stabil yaitu dibawah 5 persen. Tekanan inflasi yang cukup tinggi terjadi di bulan Januari tahun 2006 dan turun secara perlahan sampai nilainya dibawah 1 persen. Penurunan laju inflasi dikarenakan adanya penundaan kenaikan tarif dasar listrik oleh pemerintah. Laju inflasi bulanan di tahun 2007 juga menunjukkan kondisi yang sama dengan tahun 2006 dimana nilainya masih di bawah 1,00 persen. Menjelang akhir tahun 2007, inflasi mengalami kenaikan yaitu dari 0,18 persen menjadi 1,10 persen. Kenaikan inflasi ini lebih disebabkan karena adanya kenaikan harga komoditas di dunia seperti minyak mentah, CPO, emas, dan gandum. Inflasi tahun 2008 mencapai 11,06 persen naik sebesar 4,47 persen bila dibandingkan dengan tahun 2007. Pada Januari tahun 2008 laju inflasi sebesar 1,77 persen. Inflasi bulanan tertinggi dicapai pada bulan Juni yaitu sebesar 2,46 persen. Inflasi pada tahun 2008 selain dipengaruhi oleh krisis keuangan global,
48
juga dipengaruhi oleh inflasi harga yang diatur pemerintah dan bahan makanan yang bergejolak. Laju inflasi tahun 2009-2010 menunjukkan kondisi yang relatif stabil dimana pada tahun 2009 inflasi sebesar 2,78 persen dan tahun 2010 sebesar 6,96 persen. Untuk laju inflasi bulanan selama tahun 2009, nilainya masih dibawah 1 persen dan yang tertinggi dicapai pada bulan September sebesar 1,05 persen. Selama tahun 2009, sempat terjadi deflasi yaitu pada bulan Januari, April dan November dengan deflasi terbesar terjadi di bulan April sebesar 0,31 persen. Laju inflasi bulanan di tahun 2010 masih dibawah 1 persen dan sempat mengalami inflasi tinggi yaitu sebesar 1,57 persen pada bulan Juli. Pada bulan Maret juga sempat terjadi deflasi sebesar 0.14 persen. Inflasi tahun 2010 tersebut melampaui target yang ditetapkan oleh Bank Indonesia di awal tahun yaitu 5±1 persen dan juga melampau target inflasi pemerintah sebesar 5,3 persen.
4.2 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah (Exchange Rate) di Indonesia Sejak tahun 1970 sampai sekarang Indonesia telah melakukan 3 kali perubahan sistem nilai tukar, yaitu mulai tahun 1970 sampai 15 November 1978 sistem yang dipakai adalah sistem nilai tukar tetap, kemudian mulai 15 November 1978 sampai 14 Agustus 1997 menggunakan sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating), dan mulai 14 Agustus 1997 sampai sekarang menggunakan sistem kurs bebas (flexible exchange rate). Perkembangan nilai tukar rupiah seiring dengan perkembangan sistem nilai tukar rupiah dapat dilihat pada Gambar 4.1. Saat Bank Indonesia menggunakan sistem nilai tukar
49
mengambang terkendali dapat dilihat bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat relatif stabil yaitu berkisar pada Rp. 2000,- per dolar. Tetapi pada saat menggunakan sistem nilai tukar bebas sejak Agustus 1997 terlihat bahwa
16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
RUPIAH
nilai tukar rupiah cenderung berfluktuatif.
TAHUN Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar AS
Sumber : BI (diolah) Gambar 4.3 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Berdasarkan Sistem Nilai Tukar yang Diterapkan Perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada lima bulan pertama tahun 1998 cenderung berfluktuasi. Selama triwulan pertama, nilai tukar rupiah rata-rata mencapai sekitar Rp 9.200,- dan selanjutnya menurun menjadi sekitar Rp 8.000,- dalam bulan April hingga pertengahan Mei. Nilai tukar rupiah cenderung di atas Rp 10.000,- sejak minggu ketiga bulan Mei. Kecenderungan meningkatnya nilai tukar rupiah sejak bulan Mei 1998 terkait dengan kondisi sosial politik yang tidak menentu. Nilai tukar tersebut mencapai titik tertingginya yaitu Rp 14.900,- per dolar Amerika pada bulan Juni 1998. Akibat dari melemahnya nilai tukar rupiah tersebut menyebabkan sistem perbankan dan industri mengalami kerugian karena beban pinjaman dalam dolar Amerika meningkat, sementara di sisi lain para importir mengalami kesulitan karena harga
50
barang impor meningkat drastis. Keadaan semakin memburuk karena banyak masyarakat yang membeli dolar untuk menjaga nilai kekayaan mereka, yang
16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0
Rp. 14.900/$US
Rp. 12,151/$US
Rp. 6.726/$US
98:01 98:09 99:05 00:01 00:09 01:05 02:01 02:09 03:05 04:01 04:09 05:05 06:01 06:09 07:05 08:01 08:09 09:05 10:01 10:09
KURS (RP/$US)
mendorong rupiah lebih melemah lagi (Gambar 4.4).
TAHUN/PERIODE
Sumber : BI (diolah) Gambar 4.4 Laju Nilai Tukar Rupiah Bulanan Indonesia Tahun 1998-2010
Pada bulan Januari tahun 1999, nilai tukar rupiah mulai mengalami penguatan dimana nilai tukar rupah mencapai Rp 8.950,- per dolar. Nilai ini semakin menguat dan mencapai titik tertinggi pada bulan Juni yaitu sebesar Rp. 6.726,- per dolar. Penguatan nilai tukar ini disebabkan karena Indonesia yang mendapat bantuan dari International Monetary Fund (IMF) dan dipengaruhi juga oleh kondisi ekonomi, politik dan sosial yang membaik dalam negeri. Sampai akhir tahun 1999, nilai tukar rupiah masih stabil dengan kisaran dibawah Rp. 10.000,-. Di awal tahun 2000 yaitu bulan Januari, rupiah kembali melemah dimana nilainya sebesar Rp. 7.425,- yang naik sebesar 320 poin dari bulan sebelumnya. Tekanan terhadap nilai tukar rupiah terus meningkat sejak bulan April hingga Desember 2000, sebagai akibat dari perkembangan politik dan keamanan
51
menjelang Sidang Tahunan MPR Agustus 2000. Nilai tukar tertinggi di tahun 2000 pada bulan Desember sebesar Rp. 9.595,-. Melemahnya rupiah ini terus berlanjut hingga tahun 2001 dimana nilai tertinggi dicapai pada bulan Juni 2001 sebesar Rp. 11.440,-. Pada pertengahan tahun 2001 atau bulan Juli 2001 nilai tukar rupiah menguat sebesar 1.915 poin atau berada pada level Rp. 9.525,- per dolar Amerika. Perkembangan rupiah selama tahun 2002-2003 menunjukkan terjadinya penguatan. Di awal tahun 2002 nilai rupiah sebesar Rp. 10.320,- per dolar Amerika dan di akhir tahun nilai rupiah menjadi Rp. 8.940,-. Perkembangan tersebut menunjukkan menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Hal ini disebabkan adanya pemerintahan yang baru pada pertengahan tahun 2001. Perkembangan nilai rupiah di awal tahun 2004 cenderung masih stabil tetapi menjelang bulan Mei, rupiah mulai melemah sebesar 549 poin atau berada pada Rp. 9.210,-. Melemahnya nilai rupiah ini terus berlangsung sampai akhir tahun 2004 dan hal ini lebih disebabkan karena situasi politik menjelang Pemilu 2004. Nilai rupiah pada awal-awal tahun 2005 cenderung stabil yang dibuka pada bulan Januari sebesar Rp. 9.165,-. Pada bulan Agustus, nilai rupiah melemah hingga menembus level Rp. 10.240,- per dolar. Meningkatnya harga minyak dunia yang sempat menembus level US$70/barrel memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap meningkatnya permintaan valuta asing sebagai konsekuensi negara pengimpor minyak sehingga menyebabkan nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika. Menjelang akhir tahun 2005 nilai rupiah mulai menguat hingga di bulan Desember ditutup sebesar Rp. 9.830,-.
52
Perbaikan indikator moneter membuat nilai tukar rupiah selama tahun 2006 sedikit menguat dibandingkan akhir tahun 2005. Pada awal tahun nilai tukar dibuka dengan nilai Rp. 9.395,- per dolar dan ditutup di akhir tahun dengan nilai sebesar Rp. 9.020,-. Penguatan nilai rupiah pada tahun ini didukung oleh faktor eksternal maupun internal. Faktor eksternal adalah karena masih dipengaruhi oleh ekonomi AS yang melemah karena terjebak defisit ratusan miliar dolar AS dan oleh kestabilan harga minyak dunia, meskipun masih cukup tinggi. Sementara itu, dari sisi internal penguatan ini dipengaruhi oleh laju inflasi yang berada di bawah 10 persen dan menyebabkan suku bunga turun ke level 9,75 persen. Selama tahun 2007, nilai tukar rupiah juga relatif menguat jika dibandingkan dengan tahun 2006 dan mencapai titik terendah pada bulan Mei dengan nilai Rp. 8.828,- per dolar AS. Menjelang akhir tahun, rupiah sempat melemah yang disebabkan karena besarnya permintaan korporasi terhadap dolar untuk keperluan pembayaran utang jatuh tempo. Disamping itu suku bunga di beberapa negara yang mengalami kenaikan, tingginya harga minyak dunia, rontoknya bursa saham akibat krisis ekonomi di AS juga menjadi pendorongnya. Setelah sempat melemah di akhir tahun 2007, rupiah mulai menguat di awal tahun 2008 yaitu sebesar 128 poin. Penguatan nilai rupiah ini masih berlangsung sampai pertengahan tahun 2008. Mulai bulan Oktober tahun 2008, rupiah mulai melemah dengan kisaran nilai di atas Rp. 10.000,-. Pada akhir tahun rupiah ditutup dengan nilai Rp. 10.950,-. Awal tahun 2009, nilai rupiah masih melemah yang merupakan kelanjutan dari akhir tahun 2008. Nilai rupiah sempat mencapai Rp. 11.980,- pada bulan
53
Februari. Menjelang akhir tahun, rupiah kembali menguat dengan kisaran Rp. 9.000,-. Pada tahun 2010, rupiah diperdagangkan dengan nilai rata-rata Rp. 9.000,- dan relatif stabil sepanjang tahun.
4.3
Perkembangan Upah Buruh di Indonesia Besarnya upah yang diterima buruh tiap bulan dikenal dengan upah buruh
nominal, sedangkan upah buruh riil adalah besar upah yang diharapkan dapat memenuhi
Kebutuhan
Hidup
Minimum
(KHM)
para
buruh
setelah
memperhitungkan faktor inflasi. Upah buruh yang dimaksud adalah upah buruh industri di bawah mandor (supervisor). Dari data BPS, selama kuartal 1-1997 hingga kuartal 3-2001 trend pada upah buruh riil meningkat di tahun 1997 lalu terjadi penurunan di tahun 1998 dan kemudian mulai meningkat lagi di tahun 1999. Timbulnya trend ini merupakan salah satu dampak krisis ekonomi yang dimulai tahun 1997, sehingga perusahaan-perusahaan mengambil kebijakan dengan merumahkan sebagian karyawan/buruh baik sementara ataupun hingga pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini jelas ikut mempengaruhi besar upah yang diterima para buruh. Dari Gambar 4.5, dapat dilihat bahwa dari tahun 1996 sampai akhir tahun 1997 upah riil terus mengalami peningkatan, lalu menurun secara drastis hanya dalam satu kuartal saja mencapai 22,2 persen yaitu dari kuartal 4 -1997 ke kuartal 1-1998. Penurunan ini terus berlanjut hingga akhir kuartal 4-1998 dan mulai meningkat lagi di awal tahun 1999 bahkan hingga akhir kuartal 3-2001 berada 15,7 persen di atas posisi awal. Untuk sektor industri, kenaikan upah buruh riil
54
setelah krisis 1997 mulai terlihat pada kuartal I tahun 1999. Selama tahun 1999,
300000 250000 200000 150000 100000 I‐1997 IV‐1997 III‐1998 II‐1999 I‐2000 IV‐2000 III‐2001 II‐2002 I‐2003 IV‐2003 III‐2004 II‐2005 I‐2006 IV‐2006 III‐2007 II‐2008 I‐2009 IV‐2009
RUPIAH/ORANG
kenaikan upah riil rata-rata 3,9 persen.
KUARTAL UPAH RIIL
Sumber : BPS (diolah) Gambar 4.5 Upah Buruh Riil Indonesia Tahun 1998-2010 Jika dilihat dari rata-rata persentase kenaikan upah riil, dapat dilihat bahwa dari tahun 1999 sampai tahun 2000 terlihat bahwa upah riil buruh industri mengalami peningkatan yang cukup besar yaitu di tahun 1999 sebesar 3,91 dan di tahun 2000 sebesar 6,58. Secara rata-rata tingkat upah riil buruh sektor industri semakin mengalami peningkatan secara bertahap. Penurunan upah riil sempat terjadi pada tahun akhir 2005 sampai akhir tahun 2009. Penurunan ini kemungkinan
besar
disebabkan
oleh
semakin
memburuknya
kondisi
perekonomian bangsa sebagai akibat adanya krisis finansial yang terjadi di Amerika Serikat tahun 2008. Pada tahun 2005, saat pemerintah menaikkan harga BBM, terlihat juga bahwa upah riil buruh cenderung mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2004. Hal ini sebagai dampak dari biaya produksi yang semakin tinggi akibat kenaikan harga BBM. Kenaikan biaya produksi berdampak pada penurunan
55
upah buruh riil. Walaupun sempat naik sedikit di tahun 2006, tetapi tahun 20082009, upah riil kembali mengalami penurunan yang juga sebagai dampak dari kenaikan harga BBM oleh pemerintah. 500 400 300 200 I‐1997 IV‐1997 III‐1998 II‐1999 I‐2000 IV‐2000 III‐2001 II‐2002 I‐2003 IV‐2003 III‐2004 II‐2005 I‐2006 IV‐2006 III‐2007 II‐2008 I‐2009 IV‐2009 III‐2010
100
indeks Upah Riil
IHK
Sumber : BPS, diolah Gambar 4.6 Perbandingan IHK dan Indeks Upah Riil Buruh Jika dilihat perbandingan antara tingkat inflasi atau indeks harga konsumen (IHK) dan besarnya upah riil maka dapat dilihat bahwa indeks upah riil selalu berada di bawah IHK. Hal ini disebabkan karena upah riil ini memang upah yang diterima buruh setelah memperhitungkan tingkat inflasi yang terjadi (Gambar 4.6).
4.4
Perkembangan
Indeks
Harga
Komoditi
Pangan
Dunia
dan
Hubungannya dengan Komoditi Pangan Indonesia Selama kurun waktu tahun 1998 sampai 2003, indeks harga komoditi pangan dunia cenderung stabil. Indeks harga komoditi pangan dunia mulai meningkat pada awal tahun 2006. Perubahan iklim yang bersifat ekstrem di beberapa negara penghasil komoditi pangan utama menyebabkan terganggunya siklus panen di banyak negara yang juga menyebabkan kenaikan harga pangan.
56
INDEKS (UNIT)
250.0
224,1
200.0 150.0 100.0 98:01 98:09 99:05 00:01 00:09 01:05 02:01 02:09 03:05 04:01 04:09 05:05 06:01 06:09 07:05 08:01 08:09 09:05 10:01 10:09
50.0
PERIODE/TAHUN Indeks Harga Makanan
Sumber : FAO (diolah) Gambar 4.7 Indeks Harga Komoditi Pangan Dunia Tahun 1998-2010 Kenaikan harga pangan dunia yang paling tinggi terjadi pada tahun 20072008. Pada tahun 2008, indeks harga pangan dunia mencapai 224,1 yang merupakan posisi tertinggi selama kurun waktu 1998-2010 (Gambar 4.7). Berdasarkan laporan dari Bank Dunia (Food Price Watch, Februari 2011) indeks harga pangan dunia meningkat 15 persen dari bulan Oktober 2010 sampai dengan Januari 2011. Angka tersebut hanya 3 persen di bawah level tertingginya yang dicapai pada Juni 2008. Komoditas pangan yang mengalami kenaikan harga di antaranya adalah gandum, jagung, gula, dan minyak goreng, dengan sedikit kenaikan pada beras. Kenaikan harga komoditas pangan yang terjadi selama beberapa bulan terakhir terutama disebabkan oleh masalah-masalah temporer, diantaranya: (i) gangguan pasokan akibat gangguan cuaca; (ii) larangan ekspor dari negara-negara eskportir pangan untuk mengamankan pasokan domestik; (iii) quantitative easing negara-negara maju yang mendorong investor untuk mencari target investasi yang lebih menguntungkan, yaitu negara-negara berkembang maupun pasar komoditas; dan (iv) kebijakan negara-negara eksportir pangan,
57
terutama AS, untuk mendorong produksi biofuel yang berakibat pada menurunnya pasokan pangan dunia karena alih fungsi lahan pertanian.
INDEKS (UNIT)
400.00 300.00 200.00 100.00 0198 0998 0599 0100 0900 0501 0102 0902 0503 0104 0904 0505 0106 0906 0507 0108 0908 0509 0110 0910
0.00
PERIODE IHK Bahan Makanan
Indeks Harga Komoditi Pangan Dunia
Sumber : FAO dan BPS (diolah) Gambar 4.8 Perbandingan Indeks Harga Komoditi Pangan Dunia dan Indeks Harga Konsumen (IHK) Bahan Makanan di Indonesia Tahun 1998-2010
Jika dibandingkan dengan indeks harga komoditi pangan dunia, maka dapat dilihat bahwa perkembangan indeks harga konsumen (IHK) bahan makanan di Indonesia relatif sama dengan perkembangan indeks harga komoditi pangan dunia. Kenaikan harga komoditi pangan dunia juga akan menyebabkan kenaikan harga bahan makanan di Indonesia. Dari Gambar 4.8 dapat dilihat bahwa perkembangan indeks harga konsumen bahan makanan bergerak searah dengan indeks komoditi pangan dunia, hal ini mengindikasikan bahwa kenaikan harga pangan dunia akan berpengaruh terhadap harga pangan domestik. Jika dilihat proporsi inflasi bahan makanan terhadap inflasi umum, secara rata-rata dari tahun 1998-2010 (dari Gambar 4.9), terlihat bahwa laju inflasi bahan makanan diatas laju inflasi umum. Artinya, sumbangan inflasi bahan makanan
58
terhadap inflasi umum masih cukup besar sehingga jika terjadi guncangan sedikit terhadap harga bahan makanan maka laju inflasi umum juga ikut naik. 250.00 PERSEN
200.00 150.00 100.00 50.00 0.00 ‐50.00 TAHUN INFLASI UMUM
INFLASI BAHAN MAKANAN
Sumber : BPS (diolah) Gambar 4.9 Perbandingan Inflasi Bahan Makanan dan Inflasi Umum Tahun 1998-2010.
4.5
Perkembangan Harga Minyak Dunia Pada periode tahun 1998-2010, fluktuasi harga minyak cenderung
mengalami kenaikan yang terus menerus. Di awal tahun 1998, harga minyak masih relatif rendah yaitu sekitar $15,07 per barrel. Harga minyak dunia ini cenderung stabil sampai awal tahun 2004. Menjelang akhir tahun 2004, harga minyak mulai berfluktuasi yang harganya diatas $40 per barel. Pada bulan Agustus 2004, harga minyak dunia mencapai $42,08 per barel. Pada bulan-bulan selanjutnya harga minyak dunia meningkat dan pada bulan Desember tahun 2004 harganya sempat mengalami penurunan yaitu diperdagangkan di $39,09 per barel. Selama tahun 2005, harga minyak mulai mengalami kenaikan kembali dan di bulan Desember 2005 harganya mencapai $56,47 per barel (Gambar 4.10).
140.00 120.00 100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00 98:01 98:10 99:07 00:04 01:01 01:10 02:07 03:04 04:01 04:10 05:07 06:04 07:01 07:10 08:07 09:04 10:01 10:10
$US/Barrel
59
PERIODE/TAHUN Harga Minyak Dunia
Sumber : IMF (diolah) Gambar 4.10 Harga Minyak Dunia Bulanan Tahun 1998-2010 Selama periode tahun 2006-2008, harga minyak dunia tetap menunjukkan perkembangan yang selalu naik. Kenaikan dalam tahun-tahun ini bahkan sudah menembus $90 per barel, harga yang sangat tinggi jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada bulan Maret 2008, harga minyak kembali mengalami peningkatan bahkan harganya mencapai $100 per barel atau tepatnya $101,84 per barel. Harga diatas $100 per barel ini tetap berlangsung sampai bulan Agustus 2008 dan kembali turun menjelang akhir tahun 2008. Menjelang akhir tahun 2008, harga minyak dunia mulai turun dan stabil dengan kisaran harga $40 per barel. Kondisi ini berlangsung sampai tahun 2009. Tetapi di bulan Juni tahun 2009 harga minyak kembali mengalami peningkatan dimana harganya mencapai level $70 per barel. Kenaikan harga ini terus berlangsung hingga tahun 2010, dimana di akhir tahun harganya mencapai level $90 per barel.
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Uji Stasioneritas Untuk memenuhi salah satu asumsi dalam uji data time series dan uji
VECM, maka perlu terlebih dahulu dilakukan uji stasioneritas. Uji stationaritas yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan uji akar-akar unit (Unit Root Test) dengan merode Augmented Dickey Fuller Test (ADF Test). Tabel 5.1 Hasil Uji Root Test Tingkat Level Variabel
t-hitung
INF
Critical value
Hasil
Kesimpulan
-2.576739
Tolak H0
Stasioner
-2.880211
-2.576805
Tolak H0
Stasioner
-4.019151
-3.439461
-3.144113
TerimaH0
-4.008789
-3.472813
-2.880088
-2.576739
Tolak H0
LN_P_OIL
-2.974839
-4.018748
-3.439267
-3.143999
TerimaH0
LN_W_RIIL
-1.473930
-3.472813
-2.880088
-2.576739
TerimaH0
1%
5%
10 %
-7.384991
-3.472813
-2.880088
EXP_INF
-5.202116
-3.473096
LN_PFW
-3.035290
LN_KURS
Tidak Stasioner Stasioner Tidak Stasioner Tidak Stasioner
Sumber: Lampiran 1 Cetak Tebal menunjukkan bahwa data tersebut stasioner pada taraf nyata 1%, 5% dan 10%
Tabel 5.1 di atas menyajikan hasil Uji Root Test dengan metode ADF pada tahap level. Metode ADF yang digunakan ada yang memasukkan intercept dan ada yang memasukkan intercept and trend tergantung perilaku dari masingmasing variabel. Selanjutnya, dengan membandingkan nilai dari t-hitung dengan nilai Critical Value untuk masing-masing α yaitu 1 persen, 5 persen dan 10 persen
61
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada tingkat level variabel yang stasioner adalah INF, EXP_INF dan LN_KURS sedangkan variabel lainnya yaitu LN_PFW, LN_P_OIL dan LN_W_RIIL masih belum stasioner. Semua variabel stasioner belum stasioner pada level sehingga akan dilakukan kembali uji Root Test pada First Differencing. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 5.2 di bawah ini: Tabel 5.2 Hasil Uji Root Test Tingkat First Differencing Variabel
t-hitung
INF
Critical value
Hasil
Kesimpulan
-2.577008
Tolak H0
Stasioner
-2.880591
-2.577008
Tolak H0
Stasioner
-4.018748
-3.439267
-3.143999
Tolak H0
Stasioner
-10.89417
-3.473096
-2.880211
-2.576805
Tolak H0
Stasioner
LN_P_OIL
-9.598814
-4.018748
-3.439267
-3.143999
Tolak H0
Stasioner
LN_W_RIIL
-12.56887
-4.018748
-3.439267
-3.143999
Tolak H0
Stasioner
1%
5%
10 %
-11.11788
-3.473967
-2.880591
EXP_INF
-10.18206
-3.473967
LN_PFW
-6.587912
LN_KURS
Sumber : Lampiran 2 Cetak Tebal menunjukkan bahwa data tersebut stasioner pada taraf nyata 1%, 5% dan 10%.
Berdasarkan Tabel 5.2 dapat dilihat bahwa pada tingkat first differencing semua variabel sudah stasioner. Artinya, data yang digunakan pada penelitian ini terintegrasi pada ordo satu atau dapat disingkat menjadi I(1). Sims dalam Hasanah (2007), penggunaan data perbedaan pertama tidak direkomendasikan karena akan menghilangkan informasi jangka panjang. Oleh karena itu, untuk menganalisis informasi jangka panjang akan digunakan data level sehingga model VAR akan dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan menjadi VECM.
62
5.2
Uji Lag Optimal Penentuan uji lag optimal sangat penting dalam pendekatan VAR karena lag
dari variabel endogen dalam sistem persamaan akan digunakan sebagai variabel eksogen. Pengujian panjang lag optimal ini sangat berguna untuk menghilangkan masalah autokorelasi dalam sistem VAR. Sehingga dengan digunakannya lag optimal diharapkan tidak muncul lagi masalah autokorelasi. Penentuan panjang lag optimal didasarkan pada nilai dari kriteria Likelihood Ratio (LR), Final Prediction Error (FPE), Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SC), dan Hannan-Quinn Criterion (HQ). Besarnya lag optimal yang dipilih dilihat dari nilai adjusted R2 yang terbesar. Dari pengujian lag optimal di penelitian ini dapat dilihat bahwa lag yang mungkin adalah 1, 2 dan 8. Dari nilai lag tersebut masing-masing akan dimasukkan ke uji VAR dan akan dilihat nilai adjusted R2. Nilai adjusted R2 untuk lag optimal 1 yaitu sebesar 0,34, lag optimal 2 adalah sebesar 0,38 dan lag optimal 8 sebesar
0,21. Nilai adjusted R2 terbesar didapatkan dengan
memasukkan nilai lag optimal 2 yaitu sebesar 0,38. Sehingga dalam penelitian ini nilai lag optimal yang akan digunakan untuk penelitian selanjutnya adalah 2.
5.3
Pengujian Stabilitas VAR Stabilitas VAR perlu diuji sebelum melakukan analisis lebih jauh, karena
jika hasil estimasi VAR yang dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan tidak stabil, maka impulse response function (IRF) dan forecasting error variance decomposition (FEVD) menjadi tidak valid. Untuk pengujian stabil atau tidaknya
63
estimasi VAR yang telah terbentuk, maka dilakukan VAR stability condition check berupa roots of characteristic polynomial. Suatu sistem VAR dikatakan stabil jika seluruh roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari 1. Hasil pengujian stabilitas model VAR dapat dilihat pada Tabel 5.3. Dari tabel dapat dilihat bahwa nilai modulusnya semuanya kurang dari 1 sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa model VAR tersebut sudah stabil. Tabel 5.3 Hasil Uji Stabilitas VAR Root 0.986120 - 0.017026i 0.986120 + 0.017026i 0.830870 0.803402 0.559217 - 0.142070i 0.559217 + 0.142070i 0.386278 - 0.203393i 0.386278 + 0.203393i -0.219882 - 0.147202i -0.219882 + 0.147202i -0.030227 - 0.106995i -0.030227 + 0.106995i
Modulus 0.986267 0.986267 0.830870 0.803402 0.576981 0.576981 0.436555 0.436555 0.264606 0.264606 0.111183 0.111183
Sumber : Lampiran 3
5.4
Analisis Kointegrasi Konsep kointegrasi ini dikemukakan oleh Engle Granger pada tahun 1987
sebagai fenomena kombinasi linier dari dua atau lebih variabel yang tidak stasioner akan menjadi stasioner. Kombinasi linier ini dikenal dengan istilah persamaan
kointegrasi
dan
dapat
diinterpretasikan
sebagai
hubungan
keseimbangan jangka panjang diantara variabel. Metode pengujian kointegrasi didasarkan pada metode Johansen dengan membandingkan antara trace statistics
64
dengan critical value yang digunakan yaitu taraf nyata 5 persen. Jika trace statistics lebih besar dari critical value, terdapat kointegrasi dalam sistem persamaan tersebut. Terdapat lima asumsi deterministic trend dalam uji kointegrasi dan untuk menetukan pilihan trend yang akan dipakai bisa dilihat dari hasil summary, serta pilihan lag yang digunakan adalah lag optimal. Berdasarkan hasil summary dapat dilihat bahwa deterministic trend yang tersedia untuk penelitian ini adalah no intercept or trend (1) dan intercept no trend (2) yang didasarkan pada adanya tanda bintang pada uji kointegrasi tersebut. Untuk penelitian ini akan digunakan pilihan trend yang model 2 yaitu intercept no trend. Setelah mengetahui pilihan trend yang akan digunakan dan lag optimal yang akan dipakai, selanjutnya akan dlakukan uji kointegrasi. Hasil uji tersebut disajikan dalam Tabel 5.4. Tabel 5.4 Hasil Uji Kointegrasi No
Hipotesis
Trace Statistics
Max-Eigen Statistics
1
Rank = 0
179.0905
74.04955
2
Rank = 1
105.0410
57.49217
3
Rank = 2
42.44013
18.14161
4
Rank = 3
24.29852
13.70013
5
Rank = 4
10.59839
7.115182
6
Rank = 5
3.483210
3.483210
Sumber : Lampiran 5 Cetak tebal menunjukkan Trace Statistics dan Max-Eigen Statistics > 5% critical value dan terjadi kointegrasi. Tabel 5.4 menunjukkan bahwa dalam pengujian ini dengan model intercept no trend dan lag optimal sebesar 2 terdapat dua (2) rank kointegrasi pada taraf nyata 5
65
persen. Artinya secara multivariate terdapat dua persamaan linear jangka panjang yang dikandung di dalam model. Dengan adanya kointegrasi, hasil estimasi selanjutnya menggunakan model VECM.
5.5
Analisis Kausalitas dengan Granger Causality Analisis ini digunakan untuk mengetahui hubungan kausalitas antara inflasi
dan variabel-variabel lain yaitu expected inflation, harga minyak dunia, indeks komoditi pangan, nilai tukar rupiah (exchange rate) dan upah buruh. Hasil uji kausalitas dapat diketahui dengan melihat nilai probability-nya. Variabel yang menolak H0 dicerminkan dengan nilai probabilitas kurang dari nilai taraf uji yang digunakan. Dalam uji kausalitas Granger, digunakan taraf uji sampai dengan 10 persen. Jika hasil uji menolak H0, maka terdapat hubungan sebab akibat. Sedangkan pengaruh yang diberikan oleh tiap variabel bisa berbeda jika dilakukan pengujian pada lag berbeda. Adapun penelitian ini menguji hubungan kausalitas dengan menelusuri pengaruhnya sampai dengan lag 2 sesuai dengan panjang lag optimal yang telah dihasilkan dalam uji lag yang dilakukan sebelumnya. Pada penelitian ini, uji kausalitas lebih ditujukan untuk mengetahui variabel-variabel yang menyebabkan inflasi atau variabel-variabel yang bertindak sebagai leading indikator bagi inflasi. Tabel 5.5 menyajikan nilai Fstat dan probability untuk masing-masing H0 dalam uji kausalitas Granger. Tabel 5.5 menunjukkan bahwa yang berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi hanya variabel kurs (KURS), sedangkan variabel inflasi mempengaruhi variabel upah buruh riil (W_RIIL) dan indeks harga komoditi pangan dunia. Hal ini sesuai teori bahwa kurs berpengaruh terhadap inflasi karena berhubungan
66
dengan harga bahan baku impor dimana jika kurs melemah maka harga bahan baku impor akan naik sehingga biaya produksi ikut naik dan akan terjadi kenaikan harga pada barang yang bisa memicu terjadinya inflasi. Yang berpengaruh terhadap variabel expected inflation adalah harga minyak dunia dan upah riil. Yang berpengaruh terhadap variabel kurs adalah variabel expected inflation (EXP_INF). Variabel harga minyak dunia dipengaruhi oleh indeks harga komoditi pangan dunia, sedangkan indeks harga pangan dunia dipengaruhi oleh upah buruh riil. Tabel 5.5 Hasil Uji Kausalitas dengan Granger Causality Test Null Hypothesis: LN_KURS does not Granger Cause INFLASI INFLASI does not Granger Cause LN_KURS LN_PFW does not Granger Cause INFLASI INFLASI does not Granger Cause LN_PFW LN_W_RIIL does not Granger Cause INFLASI INFLASI does not Granger Cause LN_W_RIIL LN_KURS does not Granger Cause EXP_INF EXP_INF does not Granger Cause LN_KURS LN_P_OIL does not Granger Cause EXP_INF EXP_INF does not Granger Cause LN_P_OIL LN_W_RIIL does not Granger Cause EXP_INF EXP_INF does not Granger Cause LN_W_RIIL LN_PFW does not Granger Cause LN_P_OIL LN_P_OIL does not Granger Cause LN_PFW LN_W_RIIL does not Granger Cause LN_PFW LN_PFW does not Granger Cause LN_W_RIIL
Obs 154 154 154 154 154 154 154 154
F-Statistic 11.0698 0.40935 0.31319 2.49973 0.59511 3.30180 0.52401 3.39224 2.53537 2.05444 2.70682 2.13580 6.06175 1.74595 3.36122 0.71423
Prob. 3.E-05 0.6648 0.7316 0.0855 0.5528 0.0395 0.5932 0.0363 0.0826 0.1318 0.0700 0.1218 0.0029 0.1780 0.0373 0.4912
Sumber : Lampiran 8 Cetak Tebal menunjukkan bahwa data tersebut signifikan pada taraf nyata 10%
Tabel 5.5 juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang saling mempengaruhi antar variabel dan hubungan mempengaruhinya hanya berlaku satu sisi saja.
67
5.6
Analisis Impulse Response Function (IRF) Analisis IRF digunakan untuk menunjukkan bagaimana respons suatu
variabel dari sebuah shock dalam variabel itu sendiri dan variabel endogen lainnya. Dalam mengidentifikasi respon inflasi pada IRF dalam model VECM ini, digunakanlah
standar
Cholesky
Decomposition.
Cholesky
Decomposition
bertujuan untuk membangkitkan impulse response yang tergantung secara krusial pada urutan (ordering) variabel dalam sistem. Dalam penelitian ini, jangka waktu yang digunakan dalam menganalisis respon laju inflasi terhadap variabel-variabel lainnya diproyeksikan dalam 50 bulan ke depan.
5.6.1 Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Inflasi Guncangan laju inflasi sebesar satu standar deviasi pada bulan pertama akan menyebabkan peningkatan pada inflasi sebesar 1,30 persen. Hingga bulan keenam, guncangan inflasi masih direspon positif oleh inflasi itu sendiri, meskipun semakin lama respon tersebut semakin berkurang. Misalkan saja pada bulan ketujuh, peningkatan inflasi hanya sebesar 0,12 persen. Namun, mulai bulan kedelapan guncangan pada inflasi mengakibatkan inflasi berkurang sebesar 0.11 persen. Mulai periode ini hingga 50 bulan ke depan, inflasi masih tetap merespon positif
terhadap
guncangan
inflasi
dan
semakin
lama
guncangan
ini
mengakibatkan inflasi naik dalam jumlah yang semakin menurun. Misalkan pada tahun pertama, guncangan tersebut mengakibatkan kenaikan inflasi sebesar 0,11 persen. Respon inflasi terhadap guncangan ini mulai mencapai kseimbangan pada
68
periode jangka panjangnya, yakni pada bulan ke 10, dimana inflasi masih merespon positif guncangan tersebut pada kisaran 0,11 persen (Gambar 5.1).
Response of INFLASI to Cholesky One S.D. INFLASI Innovation 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Gambar 5.1 Respon Inflasi terhadap Guncangan Inflasi
5.6.2 Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Expected Inflation Guncangan expected inflation sebesar satu standar deviasi pada bulan pertama belum direspon oleh inflasi. Mulai bulan kedua, guncangan pada expected inflation direspon negatif oleh inflasi sebesar 0,17 persen. Namun pada bulan kelima respon negatifnya semakin berkurang yaitu sebesar 0,41 persen. Respon negatif ini semakin berkurang mulai bulan kelima dan pada akhirnya respon inflasi terhadap guncangan expected inflation ini mulai mencapai keseimbangan pada bulan kesembilan, dimana inflasi merespon negatif guncangan tersebut pada kisaran 0,36 persen (Gambar 5.2).
69
Response of INFLASI to Cholesky One S.D. EXP_INF Innovation .0
-.1
-.2
-.3
-.4
-.5 5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Gambar 5.2 Respon Inflasi terhadap Guncangan Expected Inflation Pada awal periode respon inflasi terhadap expected inflation memang tidak sesuai teori yaitu seharusnya responnya positif. Tetapi hal ini bisa disebabkan karena jika prediksi expected inflation itu tinggi, di awal bulan masyarakat cenderung untuk mengurangi konsumsinya sehingga menyebabkan inflasi turun di awal bulan. Tetapi setelah sekitar lima bulan penyesuaian, maka masyarakat kembali meningkatkan konsumsinya sehingga inflasi naik kembali.
5.6.3 Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Kurs Guncangan nilai tukar rupiah sebesar satu standar deviasi pada bulan pertama ternyata belum direspon oleh inflasi. Mulai bulan kedua, guncangan pada kurs akan direspon positif oleh inflasi dengan kenaikan inflasi sebesar 0,47 persen. Mulai bulan ketiga sampai bulan kelima respon positif inflasi terhadap guncangan kurs semakin berkurang, dimana pada bulan kelima peningkatan inflasi hanya sebesar 0,21 persen. Di bulan keenam, respon positif inflasi tersebut
70
mulai menunjukkan peningkatan kembali yakni sebesar 0,22 persen. Peningkatan respon positif ini terus berlangsung hingga bulan kesembilan yang mencapai 0,25 persen. Respon inflasi terhadap guncangan kurs mulai mencapai keseimbangan pada bulan ke-10, dimana inflasi merespon positif guncangan tersebut pada kisaran 0,26 persen (Gambar 5.3).
Response of INFLASI to Cholesky One S.D. LN_KURS Innovation .5
.4
.3
.2
.1
.0 5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Gambar 5.3 Respon Inflasi terhadap Guncangan Kurs Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Permana (2004) bahwa nilai tukar rupiah berhubungan positif dengan inflasi melalui sektor usaha dan berhubungan dengan biaya impor atas bahan baku industri. Sebagian besar industri manufaktur di Indonesia masih mengandalkan bahan baku utamanya pada impor dari luar negeri. Semakin melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar membuat harga impor bahan baku menjadi mahal. Bahan baku yang semakin mahal membuat biaya produksi semakin meningkat dan pada akhirnya produsen
71
akan menaikkan harga jual. Melemahnya nilai tukar rupiah pada awal bulan langsung direspon positif dengan naiknya inflasi.
5.6.4 Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Harga Minyak Dunia Guncangan harga minyak dunia sebesar satu standar deviasi pada bulan pertama ternyata belum direpon oleh inflasi. Respon inflasi terhadap guncangan ini mulai muncul pada bulan kedua yang responnya bersifat negatif yang ditunjukkan dengan adanya penurunan inflasi sebesar 0,14 persen. Respon inflasi terhadap guncangan harga minyak dunia mulai mencapai keseimbangan pada bulan ke-15, di mana inflasi akan merespon negatif guncangan tersebut pada kisaran 0,17 persen (Gambar 5.4).
Response of INFLASI to Cholesky One S.D. LN_P_OIL Innovation .00
-.04
-.08
-.12
-.16
-.20 5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Gambar 5.4 Respon Inflasi terhadap Guncangan Harga Minyak Dunia Respon inflasi di awal bulan terhadap guncangan harga minyak dunia tidak sesuai dengan teori. Seharusnya sesuai teori bahwa kenaikan harga minyak
72
dunia akan direspon dengan kenaikan inflasi. Tapi penelitian ini sesuai dengan penelitian Permana (2004) dimana dalam penelitiannya disebutkan bahwa harga BBM tidak berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi. Respon yang negatif pada awal bulan dikarenakan kenaikan harga minyak dunia tidak langsung direspon dengan kenaikan harga minyak dalam negeri. Pemerintah membutuhkan waktu yang agak lama untuk menyesuaikan harga BBM dalam negeri dengan harga minyak dunia. Di samping itu, sektor usaha kemungkinan masih memiliki persediaan BBM sehingga dampak kenaikan harga minyak dunia tidak langsung direspon dengan kenaikan harga. Seiring bertambahnya bulan, respon sektor usaha mulai terasa terhadap kenaikan harga minyak dunia. Mereka meresponnya dengan menaikkan harga jual produknya. Pada awal menaikkan harga jual, akan menyebabkan inflasi di masyarakat tapi hal ini tidak berlangsung lama karena lama kelamaan masyarakat akan mulai menyesuaikan.
5.6.5 Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Indeks Harga Komoditi Pangan Dunia Inflasi tampak belum merespon guncangan indeks harga komoditi pangan dunia sebesar satu standar deviasi pada bulan pertama. Guncangan ini mulai direpon positif pada bulan kedua yakni dengan peningkatan inflasi sebesar 0,29 persen. Namun, mulai bulan ketiga sampai tahun pertama, respon positif ini cenderung semakin berkurang dimana pada tahun pertama sebesar 0,12 persen. Respon inflasi terhadap guncangan ini mulai mencapai keseimbangan pada periode jangka panjangnya, yakni pada bulan ke-19 (Gambar 5.5).
73
Response of INFLASI to Cholesky One S.D. LN_PFW Innovation .30
.25
.20
.15
.10
.05
.00 5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Gambar 5.5 Respon Inflasi terhadap Guncangan Indeks Harga Komoditi Pangan Hal ini sesuai dengan teori bahwa kenaikan harga komoditi pangan akan menyebabkan kenaikan inflasi terutama inflasi makanan. Kecenderungan respon yang semakin berkurang ini dikarenakan masih cukupnya persediaan komoditi pangan di dalam negeri dan mulai berkurangnya ketergantungan terhadap komoditi pangan luar negeri.
5.6.6 Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Upah Buruh di Indonesia Guncangan upah buruh riil sebesar satu standar deviasi juga tampak belum direspon oleh inflasi pada bulan pertama. Di bulan kedua respon inflasi bersifat negatif terhadap guncangan upah riil yang dtunjukkan dengan penurunan inflasi sebesar 0,18 persen. Di bulan ketiga sampai kelima, respon inflasi terhadap guncangan upah riil cenderung berfluktuatif dan menunjukkan penurunan respon negatifnya yaitu berkisar pada 0,05 persen. Inflasi akan mencapai keseimbangan
74
jangka panjangnya pada bulan ke-16 dalam merespon guncangan upah riil pada kisaran 0,06 persen (Gambar 5.6).
Response of INFLASI to Cholesky One S.D. LN_W_RIIL Innovation .00
-.04
-.08
-.12
-.16
-.20 5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Gambar 5.6 Respon Inflasi terhadap Guncangan Upah Buruh Respon inflasi di awal bulan terhadap kenaikan upah buruh kurang sesuai dengan teori biaya produksi bahwa jika upah naik maka biaya produksi akan naik dan terjadi kenaikan harga yang memicu inflasi. Hal ini mungkin disebabkan bahwa data yang dipakai adalah upah riil yang telah terkoreksi dengan kenaikan harga sehingga tidak benar-benar mencerminkan upah yang dibayarkan produsen. Perbedaan hasil ini bisa juga disebabkan produsen yang tidak langsung merespon kenaikan upah tersebut karena kondisi usaha yang lesu karena adanya krisis ekonomi.
5.7
Analisis Forecast Error Decomposition of Variance (FEDVs) FEVDs bermanfaat untuk menjelaskan kontribusi masing-masing variabel
terhadap shock (guncangan) yang ditimbulkannya terhadap variabel endogen
75
utama yang diamati. Dengan kata lain, FEDV menjelaskan proporsi variabel lain dalam menjelaskan variabilitas variabel endogen utama penelitian. Dalam kaitannya dengan FEDVs maka pada penelitian ini akan dibahas bagaimana peranan berbagai macam variabel yang terdapat dalam ruang lingkup penelitian dalam menjelaskan fluktuasi laju inflasi. Di samping itu, FEDVs juga bertujuan untuk menjelaskan seberapa besar persentase kontribusi masing-masing guncangan (shock) variabel endogen lainnya dalam mempengaruhi tingkat inflasi. Berdasarkan hasil dekomposisi varian (Gambar 5.7), dapat disimpulkan bahwa pada awal periode yaitu di bulan pertama, variabilitas laju inflasi disebabkan oleh guncangan inflasi itu sendiri yakni sebesar 100 persen. Pada bulan kedua tampak variabel-variabel lain mulai mempengaruhi variabilitas laju inflasi. Pada tahun pertama peranan laju inflasi dalam menjelaskan fluktuasi laju inflasi itu sendiri masih dominan yaitu sebesar 40,52 persen. Variabel expected inflation berada pada urutan kedua yakni sebesar 28,58 persen. Variabel nilai tukar rupiah (kurs) juga tampak mulai memegang peranan dalam menjelaskan fluktuasi laju inflasi pada periode tersebut, yakni sebesar 16,90 persen. Variabel indeks harga komoditi pangan dunia, upah riil dan harga minyak dunia tampak tidak terlalu mempengaruhi variabilitas laju inflasi, di mana masing-masing hanya berperan sebesar 6,95 persen, 5,71 persen dan 1,34 persen.
76
100 0%
0.00
PERSEN
80 0% 60 0%
0.00 100
1 1.34 95 6.9 71 5.7 16.90
1.34 6.4 46 82 7.8
1 1.34 6.2 23 76 8.7
1..34 6.1 10 29 9.2
20..64
22.30
23.23
36..96
40.67
42.77
26..78
20.70
17.27
28.58
40 0% 40.52
20 0% 0 0% 1 INFLASI
EXP_INF
12
24 36 48 DE PERIOD LN N_KURS LN_P_OIL L LN_PFW LN_W_RIIL
Gam mbar 5.7 Haasil Forecasst Error Varriance Decoompositionss (FEVDs) Dalaam periode dua tahunn mendatang, peranan inflasi dalam menjelaaskan fluktuasi inflasi itu sendiri seemakin berk kurang, yaakni sebesaar 26,78 peersen. Namun diisisi lain, peranan expected inflattion tampakk semakin m meningkat yakni y sebesar 366,96 persen. Peranan kurs k juga menunjukkann peningkataan yakni seebesar 20,64 perssen. Variabeel indeks haarga komod diti pangan dunia d menuunjukkan perranan yang agakk menurun dalam meenjelaskan variabilitas inflasi. Paada periodee ini, variabel harga minyakk dunia mennunjukkan peranan p yanng lebih bessar dibandin ngkan u riil dallam menjellaskan inflaasi yaitu sebbesar 6,23 ppersen Pro oporsi variabel upah untuk varriabel hargaa minyak dunia d dan upah u riil masing-masi m ing sebesar 8,76 persen dann 1,34 perseen. Padaa proyeksi tiga tahunn ke depan (36 bulan)), dominannsi inflasi dalam d menjelaskkan variabilitas inflasi itu sendiri mulai berkkurang dan digantikan n oleh variabel expected e infflation dim mana proporrsinya dalam m menjelasskan variab bilitas inflasi meenjadi sebesar 20,70 persen. p Varriabel expeected inflatiion, proporrsinya
77
dalam menjelaskan variabilitas inflasi sebesar 40,67 persen. Untuk variabel kurs menunjukkan peranan yang semakin meningkat dalam menjelaskan variabilitas inflasi yakni sebesar 22,30 persen, sedangkan variabel indeks harga komoditi pangan dunia menunjukkan peranan yang cenderung menurun walaupun dengan proporsi yang masih relatif besar dalam menjelaskan variabilitas inflasi yaitu sebesar 6,10 persen. Harga minyak dunia menunjukkan peranan yang semakin meningkat dalam menjelaskan variabilitas inflasi dengan proporsi sebesar 9,29 persen. Variabel upah riil mulai tahun pertama sampai tahun ketiga menunjukkan proporsi yang tetap dalam menjelaskan variabilitas inflasi yaitu sebesar 1,34 persen. Periode jangka panjang yang distimulasikan dalam analisis ini yakni proyeksi empat tahun mendatang (48-50 bulan). Dalam jangka panjang dapat dilihat bahwa variabilitas inflasi paling dominan dijelaskan oleh variabel expected inflation dengan proporsi sebesar 42,77 persen. Variabel inflasi dalam jangka panjang memberikan kontribusi sebesar 17,27 persen dalam menjelaskan variabilitas inflasi itu sendiri. Variabel kurs, indeks harga komoditi pangan, harga minyak dunia dan upah riil, dalam jangka panjang memberikan kontribusi masing-masing sebesar 23,34 persen, 6,10 persen, 9,29 persen dan 1,34 persen. Hasil dekomposisi varian tersebut sesuai dengan Kurva Philips bentuk modern dimana inflasi itu salah satunya disebabkan oleh inflasi yang diharapkan (expected inflation). Hasil tersebut juga sesuai dengan penelitian Permana (2004) yang menyebutkan bahwa variabel expected inflation dan kurs berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi di Indonesia.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan 1. Inflasi selama kurun waktu 1998-2010 menunjukkan perkembangan yang relatif berfluktuatif. Sebelum terjadinya krisis 1997/1998, laju inflasi di Indonesia relatif lebih stabil bila dibandingkan pada saat periode setelah krisis. Pada periode 1998-2010, inflasi tertinggi terjadi pada tahun 2005 sebesar dan terendah pada tahun 1999. 2. Hasil studi berdasarkan model VECM menunjukkan bahwa variabel yang secara signifikan berpengaruh terhadap inflasi adalah nilai tukar rupiah. Shock (guncangan) variabel endogen yang berkontribusi pada inflasi jangka panjang adalah expected inflation (42,77 persen), nilai tukar rupiah (23,34 persen), harga minyak dunia (9,29 persen), indeks harga komoditi pangan dunia (6,0 persen) dan upah buruh riil (1,34 persen).
6.2 Saran 1. Dari penelitian terlihat bahwa dalam jangka panjang yang berpengaruh terhadap inflasi di Indonesia adalah nilai tukar rupiah sehingga Bank Indonesia diharapkan dapat menjaga kestabilan nilai tukar rupiah terhadap dolar. Sistem nilai tukar yang digunakan oleh Bank Indonesia (BI) saat ini adalah sistem nilai tukar bebas yang tepat digunakan untuk menjaga
79
kestabilan nilai tukar dengan instrumen operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing. 2. Disamping itu peranan kurs dalam menjelaskan variabilitas inflasi jangka panjang juga relatif besar. Peranan ini berhubungan dengan industri dalam negeri yang berorientasi sustitusi impor dimana kebanyakan bahan baku utamanya itu diimpor dari luar negeri. Jika nilai tukar rupiah melemah maka harga bahan baku menjadi mahal dan akibatnya biaya produksi juga akan mahal dan terjadilah guncangan pada sisi penawaran. Untuk mengatasi adanya hal tersebut diharapkan pemerintah lebih mendorong industri yang berorientasi ekspor yang lebih banyak menggunakan bahan baku dalam negeri sehingga jika terjadi gejolak terhadap nilai tukar rupiah tidak akan berpengaruh terhadap supply dalam negeri. 3. Dalam jangka panjang, variabilitas inflasi itu paling besar dijelaskan oleh variabel expected inflation sehingga Bank Indonesia (BI) sebaiknya dalam menetapkan target inflasi yang akan dicapai mempertimbangkan variabel inflasi harapan dari masyarakat. Dalam penelitian ini expected inflation yang digunakan adalah backward looking dan hasilnya mempunyai pengaruh yang besar sehingga inflasi periode sebelumnya sangat penting untuk dijadikan pedoman dalam penetapan target inflasi periode yang akan datang. 4. Dalam jangka panjang, peranan indeks harga komoditi pangan dunia dalam menjelaskan variabilitas inflasi di Indonesia relatif besar sehingga ketika terjadi kenaikan maka akan berdampak terhadap harga pangan nasional. Harga pangan nasional yang cenderung mengalami kenaikan
80
adalah komoditi pertanian pangan sehingga diharapkan pemerintah lebih memberikan perhatian dengan memberikan subsidi untuk meningkatkan produkasi pangan domestik.
DAFTAR PUSTAKA
Apriani, D. K. 2007. Analisis Dampak Guncangan Harga Minyak Dunia Terhadap Inflasi dan Output di Indonesia: Periode 1990-2006 [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Atmadja, A.S. 1999. “Inflasi di Indonesia: Sumber-sumber Penyebab dan Pengendaliannya”. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Universitas Kristen Petra, 1: 54-67. Babussalam CR. 2006. Pengaruh Harga BBM (Premium, Solar, Minyak Tanah) Terhadap Indeks Harga Konsumen (IHK) Masing-Masing Kelompok Barang Dan Jasa Di Indonesia Tahun 1998–2005 [skripsi]. Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Statistik. Badan Pusat Statistik. 2005. Metode Pengukuran Inflasi di Indonesia. Direktorat Statistik Keuangan dan Harga, Badan Pusat Statistik, Jakarta. Braun. 2008. Food And Financial Crises, Implications for Agriculture and the Poor [Report]. Internasional Food Policy Research Institute (IFPRI), Washington. Budiarti, N. 2008. Pengaruh Kenaikan Harga BBM terhadap Indeks harga Konsumen (IHK) Masing-masing Kelompok Barang dan Jasa di Kota Banda Aceh Tahun 1998-2008 [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Devi, J. 2006. Analisis Inflasi di Indonesia [tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara. Dwiantoro, D. 2004. “Analisis Determinan Inflasi di Indonesia dengan EngleGranger Error Correction Model”. Jurnal Ekonomi dan Manajemen UGM, 5: 1-15. Enders, W. 2004. Applied Econometric Time Series. Second Edition. John Wiley and Sons, Inc, New York. Firdaus, M. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series. IPB Press, Bogor.
82
Gujarati, D. N. 2003. Basic Econometrics. Fourth Editions. McGraw-Hill, New York. Granger, Cwj. 1969. “Investigating Causal Relationships By Econometric Models And Cross-Spectral Methods”. Econometrica, 37: 424-438. Hasanah, H. 2007. Stabilitas Moneter pada Sistem Perbankan Ganda di Indonesia [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Junaidi, E. 2010. Dampak Pengeluaran Pemerintah Terhadap Perekonomian di Negara-Negara ASEAN+3[tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Khalwaty, T. 2000. Inflasi dan Solusinya. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Krisnawati, R. 2006. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Inflasi di Indonesia [tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia. Lipsey, R.G., P.O Steiner, D.D Purvis dan P.N Courant. 1995, Pengantar Makroekonomi edisi Sepuluh. Terj. Jaka Wasana dan Kirbrandoko. Binarupa Aksara, Jakarta. Mankiw, N. G. 2007. Makroekonomi Edisi keenam. Erlangga, Jakarta. Mardianti, N. 2006. Analisis Inflasi di Indonesia dari Sisi Permintaan Uang [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Mishkin, F. S. 2009. Ekonomi Uang, Perbankan, dan Pasar Keuangan Edisi 8 buku 2. Salemba Empat, Jakarta. Monfort, B dan S. Pena. 2008. ”Inflation Determinant in Paraguay: Cost Push versus Demand Pull Factors”. IMF Working Paper No.WP/08/270, Western Hemisphere Department. Permana, D. 2004. Analisis Faktor-Faktor Penentu Laju Inflasi Dilihat dari Sisi Penawaran dan Ekspektasi Adaptif dalam Rezim Nilai Tukar Mengambang Bebas [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Pindyck, RS dan DL Rubinfeld. 1991. Econometrics Models and Econometric Forecast. McGraw-Hill International Book Company, New York.
83
Purwanti, D. (2011). Dampak Guncangan Harga Minyak Dunia Terhadap Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Negara-Negara ASEAN+3 [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sari, D. P. 2010. Analisis Hubungan Antara Inflasi dan Pengangguran di Indonesia [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Sims, C.A. 1980. Macroeconometrics and Reality. Econometrica. Vol.48, P 1-48. Sultan, A. Z. 2011. ”Inflation in Kingdom of Saudi Arabia: A Bound Tesy Analysis”. European Journal of Soial Sciences, 24: 237-245. Trihadmini, N. 2004. Analisis Determinan Inflasi di Indonesia Periode 1988-2002 [tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia.
Zahira. 2004. Pergerakan Investasi di Indonesia Serta Variabel-variabel Ekonomi Makro yang Mempengaruhinya (Periode 1990-2004) [skripsi]. Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Statistik.
84
Lampiran Uji Root Test Level Null Hypothesis: INFLASI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-7.384991 -3.472813 -2.880088 -2.576739
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(INFLASI) Method: Least Squares Date: 11/02/11 Time: 14:03 Sample (adjusted): 1998M02 2010M12 Included observations: 155 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
INFLASI(-1) C
-0.493745 0.417992
0.066858 0.145037
-7.384991 2.881967
0.0000 0.0045
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.262786 0.257968 1.633531 408.2690 -294.9943 54.53810 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-0.038452 1.896339 3.832185 3.871455 3.848135 2.202871
Null Hypothesis: EXP_INF has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(EXP_INF) Method: Least Squares Date: 11/02/11 Time: 14:04 Sample (adjusted): 1998M03 2010M12 Included observations: 154 after adjustments
t-Statistic
Prob.*
-5.202116 -3.473096 -2.880211 -2.576805
0.0000
85
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
EXP_INF(-1) D(EXP_INF(-1)) C
-0.411255 -0.145954 0.390544
0.079055 0.080515 0.155282
-5.202116 -1.812770 2.515060
0.0000 0.0719 0.0129
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.257112 0.247272 1.684812 428.6273 -297.3364 26.13040 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.000909 1.941925 3.900473 3.959635 3.924504 2.029455
Null Hypothesis: LN_KURS has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-4.008789 -3.472813 -2.880088 -2.576739
0.0018
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LN_KURS) Method: Least Squares Date: 11/02/11 Time: 14:06 Sample (adjusted): 1998M02 2010M12 Included observations: 155 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LN_KURS(-1) C
-0.186627 1.702702
0.046555 0.425006
-4.008789 4.006306
0.0001 0.0001
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.095051 0.089137 0.065754 0.661501 202.9564 16.07039 0.000095
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-0.000924 0.068896 -2.592985 -2.553715 -2.577035 1.535003
Null Hypothesis: LN_P_OIL has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
t-Statistic
Prob.*
-2.974839
0.1427
86
Test critical values:
1% level 5% level 10% level
-4.018748 -3.439267 -3.143999
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LN_P_OIL) Method: Least Squares Date: 11/02/11 Time: 14:06 Sample (adjusted): 1998M03 2010M12 Included observations: 154 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LN_P_OIL(-1) D(LN_P_OIL(-1)) C @TREND(1998M01)
-0.084722 0.286700 0.236868 0.001039
0.028479 0.078251 0.076903 0.000393
-2.974839 3.663834 3.080084 2.646968
0.0034 0.0003 0.0025 0.0090
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.112080 0.094322 0.085543 1.097637 162.1555 6.311380 0.000463
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.012005 0.089887 -2.053968 -1.975086 -2.021926 2.079439
Null Hypothesis: LN_PFW has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-3.035290 -4.019151 -3.439461 -3.144113
0.1262
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LN_PFW) Method: Least Squares Date: 11/02/11 Time: 14:07 Sample (adjusted): 1998M04 2010M12 Included observations: 153 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LN_PFW(-1) D(LN_PFW(-1)) D(LN_PFW(-2)) C @TREND(1998M01)
-0.039425 0.440306 0.204936 0.169186 0.000270
0.012989 0.078879 0.079588 0.056789 8.06E-05
-3.035290 5.582035 2.574976 2.979192 3.350769
0.0028 0.0000 0.0110 0.0034 0.0010
87
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.392305 0.375881 0.021927 0.071159 369.9084 23.88579 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.004461 0.027756 -4.770044 -4.671010 -4.729815 2.023484
Null Hypothesis: LN_W_RIIL has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.473930 -3.472813 -2.880088 -2.576739
0.5443
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LN_W_RIIL) Method: Least Squares Date: 11/02/11 Time: 14:07 Sample (adjusted): 1998M02 2010M12 Included observations: 155 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LN_W_RIIL(-1) C
-0.015167 0.190779
0.010290 0.127050
-1.473930 1.501605
0.1426 0.1353
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.014000 0.007556 0.027438 0.115186 338.4238 2.172469 0.142555
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.003544 0.027542 -4.340952 -4.301682 -4.325002 2.031166
88
Lampiran 2 Uji Root Test First Differencing Null Hypothesis: D(INFLASI) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-11.11788 -3.473967 -2.880591 -2.577008
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(INFLASI,2) Method: Least Squares Date: 11/02/11 Time: 14:09 Sample (adjusted): 1998M06 2010M12 Included observations: 151 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(INFLASI(-1)) D(INFLASI(-1),2) D(INFLASI(-2),2) D(INFLASI(-3),2) C
-2.688612 1.064376 0.633971 0.264820 -0.100581
0.241828 0.196183 0.137928 0.074053 0.121468
-11.11788 5.425417 4.596406 3.576083 -0.828046
0.0000 0.0000 0.0000 0.0005 0.4090
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.758196 0.751572 1.485865 322.3379 -271.5129 114.4490 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-0.001722 2.981115 3.662423 3.762333 3.703011 2.074629
Null Hypothesis: D(EXP_INF) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(EXP_INF,2) Method: Least Squares Date: 11/02/11 Time: 14:09
t-Statistic
Prob.*
-10.18206 -3.473967 -2.880591 -2.577008
0.0000
89
Sample (adjusted): 1998M06 2010M12 Included observations: 151 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(EXP_INF(-1)) D(EXP_INF(-1),2) D(EXP_INF(-2),2) D(EXP_INF(-3),2) C
-2.498273 0.961139 0.555985 0.222279 0.000869
0.245360 0.200281 0.143464 0.080665 0.139761
-10.18206 4.798945 3.875437 2.755595 0.006217
0.0000 0.0000 0.0002 0.0066 0.9950
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.723724 0.716155 1.717399 430.6208 -293.3798 95.61432 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.004834 3.223520 3.952050 4.051960 3.992639 2.035917
Null Hypothesis: D(LN_KURS) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-10.89417 -3.473096 -2.880211 -2.576805
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LN_KURS,2) Method: Least Squares Date: 11/02/11 Time: 14:09 Sample (adjusted): 1998M03 2010M12 Included observations: 154 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(LN_KURS(-1)) C
-0.856689 0.000307
0.078637 0.005418
-10.89417 0.056733
0.0000 0.9548
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.438457 0.434763 0.067233 0.687079 198.2274 118.6829 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
Null Hypothesis: D(LN_P_OIL) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend
0.001090 0.089426 -2.548408 -2.508967 -2.532387 1.953179
90
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-9.598814 -4.018748 -3.439267 -3.143999
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LN_P_OIL,2) Method: Least Squares Date: 11/02/11 Time: 14:10 Sample (adjusted): 1998M03 2010M12 Included observations: 154 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(LN_P_OIL(-1)) C @TREND(1998M01)
-0.756816 0.011934 -3.38E-05
0.078845 0.014391 0.000159
-9.598814 0.829239 -0.212359
0.0000 0.4083 0.8321
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.378954 0.370729 0.087738 1.162395 157.7416 46.06915 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.000807 0.110604 -2.009632 -1.950470 -1.985600 2.035501
Null Hypothesis: D(LN_PFW) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-6.587912 -4.018748 -3.439267 -3.143999
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LN_PFW,2) Method: Least Squares Date: 11/02/11 Time: 14:10 Sample (adjusted): 1998M03 2010M12 Included observations: 154 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(LN_PFW(-1))
-0.451416
0.068522
-6.587912
0.0000
91
C @TREND(1998M01) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
-0.003245 6.90E-05 0.223446 0.213160 0.022719 0.077938 365.8204 21.72435 0.000000
0.003741 4.22E-05
-0.867380 1.637015
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.3871 0.1037 0.000336 0.025612 -4.711954 -4.652792 -4.687922 2.184395
Null Hypothesis: D(LN_W_RIIL) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-12.56887 -4.018748 -3.439267 -3.143999
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LN_W_RIIL,2) Method: Least Squares Date: 11/02/11 Time: 14:10 Sample (adjusted): 1998M03 2010M12 Included observations: 154 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(LN_W_RIIL(-1)) C @TREND(1998M01)
-1.022363 0.007393 -4.77E-05
0.081341 0.004571 5.04E-05
-12.56887 1.617576 -0.947037
0.0000 0.1078 0.3451
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.511292 0.504819 0.027727 0.116086 335.1424 78.98888 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.000000 0.039402 -4.313538 -4.254376 -4.289506 2.001478
92
Lampiran 3 Uji Stabilitas VAR Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: INFLASI EXP_INF LN_KURS LN_P_OIL LN_PFW LN_W_RIIL Exogenous variables: C Lag specification: 1 2 Date: 11/02/11 Time: 14:15 Root 0.986120 - 0.017026i 0.986120 + 0.017026i 0.830870 0.803402 0.559217 - 0.142070i 0.559217 + 0.142070i 0.386278 - 0.203393i 0.386278 + 0.203393i -0.219882 - 0.147202i -0.219882 + 0.147202i -0.030227 - 0.106995i -0.030227 + 0.106995i No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
Modulus 0.986267 0.986267 0.830870 0.803402 0.576981 0.576981 0.436555 0.436555 0.264606 0.264606 0.111183 0.111183
93
Lampiran 4 Uji Cointegration Test Summary Date: 11/22/11 Time: 11:12 Sample: 1998M01 2010M12 Included observations: 154 Series: INFLASI EXP_INF LN_KURS LN_P_OIL LN_PFW LN_W_RIIL Lags interval: 1 to 1 Selected (0.05 level*) Number of Cointegrating Relations by Model Data Trend: Test Type Trace Max-Eig
None No Intercept No Trend 2 2
None Intercept No Trend 2 2
Linear Intercept No Trend 2 2
Linear Intercept Trend 2 2
Quadratic Intercept Trend 2 2
*Critical values based on MacKinnon-Haug-Michelis (1999) Information Criteria by Rank and Model Data Trend: Rank or No. of CEs
0 1 2 3 4 5 6
0 1 2 3 4 5 6
0 1 2 3 4 5 6
None No Intercept No Trend
None Intercept No Trend
Linear Intercept No Trend
Linear Intercept Trend
Quadratic Intercept Trend
Log Likelihood by Rank (rows) and Model (columns) 489.2495 489.2495 491.7501 491.7501 525.1735 526.2742 528.7502 530.4898 549.8509 555.0203 557.4954 559.5110 560.5989 567.0692 569.4105 571.7641 566.4564 573.4926 575.5751 579.9211 569.0128 576.3334 578.2790 586.0238 569.0542 578.7947 578.7947 588.6689
494.7318 533.4553 562.3425 574.4412 582.5965 587.3595 588.6689
Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns) -5.886357 -5.886357 -5.840910 -5.840910 -5.801712 -6.197058 -6.198367 -6.165587 -6.175192 -6.148770 -6.361700 -6.402861* -6.383058 -6.383260 -6.368084 -6.345440 -6.390509 -6.381954 -6.373559 -6.369367 -6.265668 -6.305099 -6.306170 -6.310664 -6.319435 -6.143023 -6.173161 -6.185441 -6.221088 -6.225448 -5.987717 -6.036295 -6.036295 -6.086608 -6.086608 Schwarz Criteria by Rank (rows) and Model (columns) -5.176420 -5.176420 -5.012650 -5.012650 -5.250476* -5.232064 -5.100681 -5.090566 -5.178472 -5.180192 -5.081507 -5.042268 -4.925566 -4.911474 -4.843757 -4.776201 -4.609148 -4.569697 -4.531327 -4.456939 -4.249858 -4.181394 -4.173953 -4.110997 -3.857906 -3.788161 -3.788161 -3.720152
MODEL YANG MUNGKIN ADALAH 1 DAN 2
-4.855130 -4.965542 -4.948210 -4.712847 -4.426270 -4.095637 -3.720152
94
Lampiran 5 Uji Kointegrasi Date: 11/22/11 Time: 11:13 Sample (adjusted): 1998M03 2010M12 Included observations: 154 after adjustments Trend assumption: No deterministic trend (restricted constant) Series: INFLASI EXP_INF LN_KURS LN_P_OIL LN_PFW LN_W_RIIL Lags interval (in first differences): 1 to 1 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1 * At most 2 At most 3 At most 4 At most 5
0.381737 0.311559 0.144850 0.080036 0.036222 0.031459
179.0905 105.0410 47.54881 23.45105 10.60423 4.922571
103.8473 76.97277 54.07904 35.19275 20.26184 9.164546
0.0000 0.0001 0.1680 0.4985 0.5805 0.2920
Trace test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1 * At most 2 At most 3 At most 4
0.381737 0.311559 0.144850 0.080036 0.036222
74.04955 57.49217 24.09776 12.84682 5.681656
40.95680 34.80587 28.58808 22.29962 15.89210
0.0000 0.0000 0.1689 0.5716 0.8225
95
At most 5
0.031459
4.922571
9.164546
0.2920
Max-eigenvalue test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I): INFLASI 0.795070 0.030309 0.031204 -0.106074 0.051144 0.040721
EXP_INF 0.169595 0.588756 0.307546 -0.093301 -0.078335 0.017191
LN_KURS -3.800761 7.116035 -8.002710 0.405088 0.540681 0.509434
LN_P_OIL 1.300689 1.272981 -0.532427 -3.832965 2.810816 -0.287302
LN_PFW -1.600511 -2.680368 0.943929 4.899600 -4.774202 -1.171091
LN_W_RIIL 0.851326 -0.918260 2.301342 2.132943 -6.269366 4.279236
C 26.20762 -46.07441 41.91588 -39.05011 85.57890 -50.16284
-0.029638 -0.738500 -0.024007 0.013941 -0.000457 0.002985
0.019300 -0.376265 0.018886 0.010760 -0.000492 0.002736
-0.096788 0.189250 -0.000907 0.016405 -0.001599 0.001531
-0.089437 -0.022017 0.000169 -0.006473 -0.001071 0.004425
-0.043147 0.027993 -0.001861 0.005145 0.003669 0.001159
Log likelihood
526.2742
LN_PFW -2.013045 (1.09348)
LN_W_RIIL 1.070756 (1.10478)
C 32.96265 (16.0887)
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha): D(INFLASI) D(EXP_INF) D(LN_KURS) D(LN_P_OIL) D(LN_PFW) D(LN_W_RIIL)
-0.863835 -0.011972 -0.000452 -0.002747 -0.000946 -0.004646
1 Cointegrating Equation(s):
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) INFLASI EXP_INF LN_KURS LN_P_OIL 1.000000 0.213308 -4.780410 1.635942 (0.08808) (1.41966) (0.62561) Adjustment coefficients (standard error in parentheses)
96
D(INFLASI) D(EXP_INF) D(LN_KURS) D(LN_P_OIL) D(LN_PFW) D(LN_W_RIIL)
-0.686809 (0.08323) -0.009519 (0.11756) -0.000360 (0.00437) -0.002184 (0.00541) -0.000752 (0.00146) -0.003694 (0.00177)
2 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
555.0203
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) INFLASI EXP_INF LN_KURS LN_P_OIL 1.000000 0.000000 -7.440271 1.187781 (1.46457) (0.65885) 0.000000 1.000000 12.46958 2.101007 (2.19069) (0.98551) Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(INFLASI) -0.687708 -0.163952 (0.08327) (0.06412) D(EXP_INF) -0.031902 -0.436827 (0.10720) (0.08255) D(LN_KURS) -0.001087 -0.014211 (0.00408) (0.00314) D(LN_P_OIL) -0.001762 0.007742 (0.00533) (0.00411) D(LN_PFW) -0.000766 -0.000430 (0.00146) (0.00112) D(LN_W_RIIL) -0.003603 0.000969
LN_PFW -1.053508 (1.15265) -4.498361 (1.72413)
LN_W_RIIL 1.419027 (1.17349) -1.632711 (1.75531)
C 50.20686 (16.5651) -80.84182 (24.7780)
97
(0.00176)
3 Cointegrating Equation(s):
(0.00135)
Log likelihood
567.0692
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) INFLASI EXP_INF LN_KURS LN_P_OIL 1.000000 0.000000 0.000000 1.967129 (0.83711) 0.000000 1.000000 0.000000 0.794852 (1.16108) 0.000000 0.000000 1.000000 0.104747 (0.08139)
LN_PFW -2.566664 (1.44646) -1.962377 (2.00624) -0.203374 (0.14064)
LN_W_RIIL -0.349888 (1.45996) 1.331915 (2.02497) -0.237749 (0.14195)
C 8.399700 (19.6089) -10.77480 (27.1975) -5.619037 (1.90657)
LN_PFW -0.088085 (0.99385)
LN_W_RIIL 0.918470 (1.29210)
C -11.79859 (14.7268)
Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(INFLASI) -0.687106 -0.158016 2.917875 (0.08333) (0.07174) (1.18914) D(EXP_INF) -0.043643 -0.552546 -2.198546 (0.10440) (0.08988) (1.48987) D(LN_KURS) -0.000498 -0.008403 -0.320255 (0.00389) (0.00335) (0.05545) D(LN_P_OIL) -0.001426 0.011051 0.023537 (0.00529) (0.00455) (0.07548) D(LN_PFW) -0.000781 -0.000581 0.004273 (0.00146) (0.00126) (0.02085) D(LN_W_RIIL) -0.003518 0.001811 0.017002 (0.00175) (0.00151) (0.02500)
4 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
573.4926
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) INFLASI EXP_INF LN_KURS LN_P_OIL 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000
98
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(INFLASI) -0.676839 -0.148986 2.878668 (0.08382) (0.07219) (1.18642) D(EXP_INF) -0.063717 -0.570203 -2.121883 (0.10457) (0.09007) (1.48021) D(LN_KURS) -0.000402 -0.008318 -0.320623 (0.00392) (0.00338) (0.05548) D(LN_P_OIL) -0.003166 0.009521 0.030183 (0.00522) (0.00450) (0.07394) D(LN_PFW) -0.000611 -0.000432 0.003625 (0.00147) (0.00127) (0.02081) D(LN_W_RIIL) -0.003680 0.001668 0.017623 (0.00176) (0.00152) (0.02497)
5 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
-0.960865 (1.10814) -0.071392 (0.08074) -1.259998 (0.32131)
1.844416 (1.44069) -0.170210 (0.10497) -0.644776 (0.41773)
-18.93626 (16.4204) -6.694573 (1.19639) 10.26790 (4.76115)
LN_W_RIIL 1.215684 (1.15864) 5.086554 (2.00393) 0.070681 (0.15441) 3.606692 (2.53188) 3.374187
C -15.93958 (14.2980) -64.10789 (24.7293) -10.05083 (1.90542) -48.96640 (31.2443) -47.01143
-0.800602 (0.44620) -1.480723 (0.55669) -0.037726 (0.02087) -0.054434 (0.02781) 0.004578 (0.00782) -0.009570 (0.00939)
576.3334
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) INFLASI EXP_INF LN_KURS LN_P_OIL 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000
LN_PFW 0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
99
(1.85465) Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(INFLASI) -0.681413 -0.141980 2.830311 (0.08378) (0.07247) (1.18479) D(EXP_INF) -0.064843 -0.568479 -2.133787 (0.10477) (0.09063) (1.48174) D(LN_KURS) -0.000393 -0.008331 -0.320532 (0.00393) (0.00340) (0.05555) D(LN_P_OIL) -0.003497 0.010028 0.026683 (0.00522) (0.00451) (0.07378) D(LN_PFW) -0.000666 -0.000348 0.003046 (0.00147) (0.00127) (0.02081) D(LN_W_RIIL) -0.003454 0.001321 0.020015 (0.00174) (0.00151) (0.02465)
-1.051994 (0.53262) -1.542609 (0.66611) -0.037251 (0.02497) -0.072627 (0.03317) 0.001567 (0.00935) 0.002868 (0.01108)
1.433008 (0.78879) 2.675810 (0.98648) 0.077645 (0.03698) 0.088464 (0.04912) -0.000444 (0.01385) -0.011605 (0.01641)
(22.8871)
100
Lampiran 6 Run VECM Model 2 Lag 1 Cointegration 2 Vector Error Correction Estimates Date: 11/22/11 Time: 11:15 Sample (adjusted): 1998M03 2010M12 Included observations: 154 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq:
CointEq1
CointEq2
INFLASI(-1)
1.000000
0.000000
EXP_INF(-1)
0.000000
1.000000
LN_KURS(-1)
-7.440271 (1.46957) [-5.06287]
12.46958 (2.19818) [ 5.67268]
LN_P_OIL(-1)
1.187781 (0.66111) [ 1.79666]
2.101007 (0.98888) [ 2.12464]
LN_PFW(-1)
-1.053508 (1.15659) [-0.91087]
-4.498361 (1.73003) [-2.60017]
LN_W_RIIL(-1)
1.419027 (1.17751) [ 1.20511]
-1.632711 (1.76131) [-0.92699]
C
50.20686 (16.6218) [ 3.02055]
-80.84182 (24.8627) [-3.25153]
Error Correction:
D(INFLASI)
D(EXP_INF)
D(LN_KURS)
D(LN_P_OIL)
D(LN_PFW)
D(LN_W_RIIL)
101
CointEq1
-0.687708 (0.08356) [-8.23053]
-0.031902 (0.10757) [-0.29658]
-0.001087 (0.00409) [-0.26587]
-0.001762 (0.00535) [-0.32930]
-0.000766 (0.00147) [-0.52262]
-0.003603 (0.00177) [-2.04087]
CointEq2
-0.163952 (0.06434) [-2.54810]
-0.436827 (0.08283) [-5.27358]
-0.014211 (0.00315) [-4.51241]
0.007742 (0.00412) [ 1.87921]
-0.000430 (0.00113) [-0.38090]
0.000969 (0.00136) [ 0.71302]
D(INFLASI(-1))
-0.141508 (0.06833) [-2.07085]
0.113447 (0.08797) [ 1.28960]
0.001887 (0.00334) [ 0.56419]
-0.005016 (0.00438) [-1.14643]
-0.001218 (0.00120) [-1.01620]
0.002575 (0.00144) [ 1.78301]
D(EXP_INF(-1))
0.059363 (0.06464) [ 0.91841]
-0.109741 (0.08321) [-1.31883]
0.007545 (0.00316) [ 2.38484]
-0.005578 (0.00414) [-1.34772]
0.000753 (0.00113) [ 0.66436]
-0.001869 (0.00137) [-1.36860]
D(LN_KURS(-1))
5.675182 (1.61669) [ 3.51037]
1.368372 (2.08128) [ 0.65747]
0.194498 (0.07913) [ 2.45793]
-0.203773 (0.10352) [-1.96850]
-0.007493 (0.02835) [-0.26433]
-0.062214 (0.03416) [-1.82116]
D(LN_P_OIL(-1))
-1.534474 (1.27716) [-1.20148]
2.038265 (1.64417) [ 1.23969]
-0.003946 (0.06251) [-0.06313]
0.117053 (0.08178) [ 1.43138]
0.019902 (0.02239) [ 0.88878]
0.016089 (0.02699) [ 0.59619]
D(LN_PFW(-1))
11.79785 (4.32578) [ 2.72734]
-15.71853 (5.56888) [-2.82257]
-0.235680 (0.21173) [-1.11311]
0.981828 (0.27698) [ 3.54477]
0.570142 (0.07585) [ 7.51715]
-0.019258 (0.09141) [-0.21069]
D(LN_W_RIIL(-1))
-6.382102 (4.00511) [-1.59349]
1.272498 (5.15606) [ 0.24680]
-0.144055 (0.19604) [-0.73484]
0.402795 (0.25645) [ 1.57067]
0.092211 (0.07022) [ 1.31311]
-0.040193 (0.08463) [-0.47492]
0.525106 0.502337
0.287746 0.253597
0.153887 0.113320
0.177631 0.138203
0.349341 0.318145
0.052156 0.006712
R-squared Adj. R-squared
102
Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
247.9615 1.303214 23.06244 -255.1932 3.418094 3.575858 -0.074870 1.847345
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
410.9520 1.677719 8.426167 -294.0939 3.923297 4.081061 0.000909 1.941925 4.11E-11 2.98E-11 555.0203 -6.402861 -5.180192
0.594049 0.063787 3.793387 209.4299 -2.615972 -2.458209 0.000176 0.067741
1.016604 0.083445 4.505134 168.0608 -2.078712 -1.920948 0.012005 0.089887
0.076228 0.022850 11.19828 367.5286 -4.669203 -4.511439 0.004411 0.027672
0.110716 0.027538 1.147689 338.7893 -4.295964 -4.138201 0.003567 0.027631
103
Lampiran 7 Impulse Response Function
Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of INFLASI to INFLASI
Response of INFLASI to EXP_INF
1.5
1.5
1.0
1.0
0.5
0.5
0.0
0.0
-0.5
-0.5 5
10
15
20
25
30
35
40
45
5
50
Response of INFLASI to LN_KURS
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Response of INFLASI to LN_P_OIL
1.5
1.5
1.0
1.0
0.5
0.5
0.0
0.0
-0.5
-0.5 5
10
15
20
25
30
35
40
45
5
50
Response of INFLASI to LN_PFW
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Response of INFLASI to LN_W_RIIL
1.5
1.5
1.0
1.0
0.5
0.5
0.0
0.0
-0.5
-0.5 5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
104
Lampiran 8 Uji Granger Causality Pairwise Granger Causality Tests Date: 11/02/11 Time: 14:24 Sample: 1998M01 2010M12 Lags: 2 Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Prob.
EXP_INF does not Granger Cause INFLASI INFLASI does not Granger Cause EXP_INF
154
1.45486 0.43911
0.2367 0.6454
LN_KURS does not Granger Cause INFLASI INFLASI does not Granger Cause LN_KURS
154
11.0698 0.40935
3.E-05 0.6648
LN_P_OIL does not Granger Cause INFLASI INFLASI does not Granger Cause LN_P_OIL
154
0.86775 1.16747
0.4220 0.3140
LN_PFW does not Granger Cause INFLASI INFLASI does not Granger Cause LN_PFW
154
0.31319 2.49973
0.7316 0.0855
LN_W_RIIL does not Granger Cause INFLASI INFLASI does not Granger Cause LN_W_RIIL
154
0.59511 3.30180
0.5528 0.0395
LN_KURS does not Granger Cause EXP_INF EXP_INF does not Granger Cause LN_KURS
154
0.52401 3.39224
0.5932 0.0363
LN_P_OIL does not Granger Cause EXP_INF EXP_INF does not Granger Cause LN_P_OIL
154
2.53537 2.05444
0.0826 0.1318
LN_PFW does not Granger Cause EXP_INF EXP_INF does not Granger Cause LN_PFW
154
1.80310 0.32307
0.1684 0.7244
LN_W_RIIL does not Granger Cause EXP_INF EXP_INF does not Granger Cause LN_W_RIIL
154
2.70682 2.13580
0.0700 0.1218
LN_P_OIL does not Granger Cause LN_KURS LN_KURS does not Granger Cause LN_P_OIL
154
2.09249 2.01051
0.1270 0.1375
LN_PFW does not Granger Cause LN_KURS LN_KURS does not Granger Cause LN_PFW
154
1.84158 0.06751
0.1622 0.9347
LN_W_RIIL does not Granger Cause LN_KURS LN_KURS does not Granger Cause LN_W_RIIL
154
1.15340 0.72850
0.3184 0.4843
LN_PFW does not Granger Cause LN_P_OIL LN_P_OIL does not Granger Cause LN_PFW
154
6.06175 1.74595
0.0029 0.1780
LN_W_RIIL does not Granger Cause LN_P_OIL LN_P_OIL does not Granger Cause LN_W_RIIL
154
1.87229 0.34614
0.1574 0.7080
LN_W_RIIL does not Granger Cause LN_PFW LN_PFW does not Granger Cause LN_W_RIIL
154
3.36122 0.71423
0.0373 0.4912
105
Lampiran 9 Uji FEVDs Period
S.E.
INFLASI
EXP_INF
LN_KURS
LN_P_OIL
LN_PFW
LN_W_RIIL
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
1.303214 1.492380 1.604125 1.710362 1.799048 1.878294 1.950749 2.019066 2.084649 2.148135 2.209857 2.269992 2.328658 2.385948 2.441939 2.496707 2.550318 2.602838 2.654325 2.704837 2.754425 2.803137 2.851017 2.898107 2.944444 2.990062 3.034995 3.079273 3.122922 3.165970 3.208440 3.250356 3.291737 3.332605 3.372978 3.412873 3.452308 3.491296 3.529855 3.567996 3.605734 3.643081 3.680050 3.716650 3.752894 3.788791 3.824351 3.859583 3.894497 3.929100
100.0000 82.17407 75.05842 67.20703 61.41044 56.82959 53.08381 49.90104 47.12540 44.67220 42.48478 40.52222 38.75224 37.14852 35.68920 34.35595 33.13333 32.00824 30.96952 30.00764 29.11439 28.28269 27.50639 26.78013 26.09924 25.45958 24.85752 24.28984 23.75368 23.24648 22.76596 22.31007 21.87696 21.46496 21.07257 20.69842 20.34126 19.99998 19.67352 19.36095 19.06139 18.77406 18.49821 18.23317 17.97833 17.73310 17.49694 17.26937 17.04992 16.83817
0.000000 1.306038 4.744766 10.60640 14.96432 18.27367 20.78974 22.82480 24.54858 26.05086 27.38278 28.57571 29.65170 30.62743 31.51623 32.32903 33.07500 33.76188 34.39631 34.98399 35.52985 36.03816 36.51264 36.95656 37.37276 37.76376 38.13177 38.47877 38.80651 39.11654 39.41027 39.68894 39.95368 40.20552 40.44538 40.67408 40.89239 41.10101 41.30056 41.49162 41.67473 41.85037 42.01898 42.18099 42.33677 42.48667 42.63102 42.77013 42.90427 43.03370
0.000000 10.19684 12.33848 12.85588 13.03879 13.37589 13.90123 14.52350 15.16755 15.78832 16.36631 16.89591 17.37809 17.81653 18.21571 18.58012 18.91389 19.22066 19.50359 19.76539 20.00836 20.23451 20.44554 20.64294 20.82798 21.00181 21.16542 21.31968 21.46538 21.60320 21.73378 21.85767 21.97536 22.08732 22.19395 22.29562 22.39267 22.48541 22.57412 22.65906 22.74047 22.81855 22.89351 22.96553 23.03478 23.10142 23.16559 23.22743 23.28706 23.34461
0.000000 0.997642 1.603313 2.348347 3.017666 3.551750 4.004346 4.403823 4.768933 5.106649 5.419247 5.707716 5.973077 6.216732 6.440363 6.645771 6.834740 7.008954 7.169951 7.319111 7.457657 7.586665 7.707077 7.819723 7.925329 8.024535 8.117907 8.205946 8.289095 8.367752 8.442271 8.512971 8.580138 8.644030 8.704882 8.762905 8.818291 8.871218 8.921845 8.970318 9.016773 9.061333 9.104111 9.145212 9.184733 9.222764 9.259386 9.294678 9.328710 9.361548
0.000000 3.817836 4.762675 5.493654 6.119404 6.555205 6.832332 6.976089 7.030486 7.030408 6.999975 6.954355 6.902483 6.849380 6.797694 6.748690 6.702854 6.660255 6.620754 6.584121 6.550099 6.518439 6.488907 6.461297 6.435425 6.411129 6.388268 6.366716 6.346363 6.327111 6.308873 6.291569 6.275131 6.259494 6.244601 6.230400 6.216845 6.203892 6.191501 6.179638 6.168268 6.157363 6.146893 6.136834 6.127162 6.117854 6.108891 6.100254 6.091925 6.083888
0.000000 1.507576 1.492346 1.488690 1.449383 1.413893 1.388550 1.370750 1.359056 1.351563 1.346913 1.344093 1.342410 1.341412 1.340812 1.340439 1.340192 1.340013 1.339871 1.339749 1.339640 1.339539 1.339444 1.339354 1.339269 1.339189 1.339112 1.339040 1.338972 1.338907 1.338846 1.338787 1.338732 1.338679 1.338629 1.338581 1.338535 1.338491 1.338449 1.338409 1.338371 1.338334 1.338299 1.338265 1.338232 1.338200 1.338170 1.338141 1.338113 1.338086
Cholesky Ordering: INFLASI EXP_INF LN_KURS LN_P_OIL LN_PFW LN_W_RIIL