ANALISIS INFLASI DI INDONESIA DARI SISI PERMINTAAN UANG
OLEH NOVA MARDIANTI H14102107
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN
NOVA MARDIANTI. Analisis Inflasi di Indonesia dari Sisi Permintaan Uang (dibimbing oleh IMAN SUGEMA). Selama periode 1990 – 2005, perekonomian Indonesia mengalami berbagai perkembangan dan guncangan. Pada awal tahun 1990-an, perekonomian Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup stabil dengan tingkat inflasi selalu berada di bawah 10 persen per tahun dan pertumbuhan ekonomi mencapai rata-rata 7 persen per tahun. Namun sejalan dengan adanya liberalisasi dan deregulasi, Indonesia ternyata tidak lepas dari berbagai permasalahan. Pada tahun 1997, Indonesia mengalami krisis. Krisis tersebut berawal dari krisis moneter, namun kemudian berubah cepat menjadi krisis ekonomi, krisis sosial budaya dan menjadi krisis multidimensi. Hal tersebut berdampak pada semakin merosotnya nilai tukar rupiah. Menghadapi tekanan yang begitu kuat dan cepat terhadap melemahnya nilai tukar rupiah, maka sejak tanggal 14 agustus 1997 Indonesia menerapkan sistem nilai tukar mengambang. Penerapan sistem nilai tukar mengambang ternyata tidak hanya berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah, tapi juga terhadap inflasi dan broad money. Ada beberapa fakta yang menunjukkan bahwa tingkat harga domestik di Indonesia mempunyai korelasi yang kuat dengan nilai tukar dan broad money. Selain itu, ternyata tingkat harga domestik Indonesia juga berkorelasi dengan suku bunga luar negeri dan indeks harga luar negeri. Seperti yang kita ketahui bahwa inflasi diproksikan dengan perkembangan tingkat harga domestik. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha menganalisis bagaimana hubungan antara inflasi di Indonesia dengan broad money (M2), nilai tukar, indeks harga luar negeri, suku bunga luar negeri, ketidakseimbangan di pasar uang dan peralihan rezim nilai tukar pada jangka pendek. Sebelum mengestimasi model inflasi dinamis tersebut, terlebih dahulu dilakukan analisis terhadap excess inflasi akibat ketidakseimbangan di pasar uang (excess money supply) dan model permintaan uang riil Indonesia pada jangka panjang. Analisis terhadap excess inflasi akibat ketidakseimbangan di pasar uang (excess money supply) pada jangka panjang ini berguna untuk mengkonstruksi error correction term bagi persamaan inflasi dinamis. Adapun tujuan dari penelitian ini, antara lain : (i) untuk menganalisis hubungan antara broad money, harga domestik, GDP riil, dan foreign interest rates dalam model permintaan uang jangka panjang, (ii) menganalisis hubungan antara inflasi, broad money, nilai tukar, foreign prices, dan foreign interest rates dalam model inflasi dinamis (jangka pendek), (iii) menganalisis dampak dari ketidakseimbangan di pasar uang dan peralihan rezim nilai tukar terhadap inflasi di Indonesia. Data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuartal yang mencakup : GDP riil Indonesia, broad money (M2), dan nilai tukar (US$/Rp)
yang diperoleh dari Bank Indonesia. Selain itu, digunakan pula Indeks Harga Konsumen (IHK) Indonesia, rata-rata treasury bill rates negara-negara maju (sebagai proksi terhadap suku bunga luar negeri) dan indeks harga konsumen negara-negara industri. Ketiga data tersebut diperoleh dari International Financial Statistics of IMF. Untuk mencakup peralihan rezim nilai tukar dan faktor musiman, maka dimasukkan pula dum_xrate dan centered seasonal dummy ke dalam model inflasi dinamis Indonesia. Untuk membatasi ruang lingkup, maka penelitian ini dibatasi pada pada periode 1990: kuartal 1 sampai 2005: kuartal 3. Untuk menjawab permasalahan yang dirumuskan, maka ada dua metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini. Estimasi terhadap excess inflasi akibat ketidakseimbangan di pasar uang (excess money supply) dan model permintaan uang riil Indonesia pada jangka panjang dilakukan dengan menggunakan uji kointegrasi Johansen. Sedangkan estimasi terhadap model inflasi dinamis (jangka pendek) Indonesia menggunakan error correction model (ECM) dengan error correction terms merupakan representasi dari excess inflasi akibat ketidakseimbangan di pasar uang (excess money supply) pada jangka panjang. Penggunaan ECM dikarenakan ECM mampu menggabungkan efek jangka panjang dan efek jangka pendek. ECM yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada penelitian Nassar (2005) mengenai Money Demand and Inflation in Madagascar. Hasil dari estimasi model permintaan uang riil Indonesia pada jangka panjang menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara GDP riil dan permintaan uang riil. Disamping itu, model tersebut juga menunjukkan adanya hubungan positif antara suku bunga luar negeri dan permintaan uang riil. Sedangkan estimasi error correction model untuk inflasi menunjukkan bahwa variabel-variabel yang secara signifikan mempengaruhi inflasi Indonesia pada jangka pendek, antara lain : lag dua dari inflasi Indonesia, perubahan broad money, lag satu dan dua dari perubahan nilai tukar, inflasi di luar negeri baik pada saat ini maupun tiga kuarter sebelumnya, centered seasonal dummy 1, centered seasonal dummy 2 dan excess inflasi akibat ketidakseimbangan di pasar uang (excess money supply). Dalam hal ini, excess inflasi akibat ketidakseimbangan di pasar uang (excess money supply) memberikan pengaruh positif yang signifikan terhadap inflasi Indonesia pada jangka pendek. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ketidakseimbangan di pasar uang yang terjadi di Indonesia melalui dampaknya terhadap excess inflasi akan semakin memperburuk tingkat inflasi di Indonesia.
ANALISIS INFLASI DI INDONESIA DARI SISI PERMINTAAN UANG
OLEH NOVA MARDIANTI H14102107
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh : Nama Mahasiswa
: Nova Mardianti
Nomor Registrasi Pokok
: H14102107
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis
Inflasi
di
Indonesia
dari
Sisi
Permintaan Uang
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Dr. Ir. Iman Sugema, M.Ec NIP. 131 846 870
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS NIP. 131 846 872 Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juni 2006
Nova Mardianti H14102107
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Nova Mardianti lahir pada tanggal 14 November 1984 di Bogor, sebuah kota yang terkenal sebagai kota hujan. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Edy Junaedi dan Sri Suryati. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan yang berarti. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN Dramaga 1 di Bogor, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMU Negeri 5 Bogor dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2002 penulis melanjutkan studinya ke Institut Pertanian Bogor (IPB). IPB menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat menggali ilmu dan mengembangkan pola pikir guna menjadi sumber daya yang berguna serta mampu meraih impian di masa depan kelak. Penulis berhasil masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjalani masa perkuliahan, penulis berhasil mengukir beberapa prestasi diantaranya : representatif IPB pada The 5th International Student Summit di Tokyo University of Agriculture (Jepang), finalis LKTM bidang pendidikan tingkat nasional, juara 2 LKTM bidang pendidikan tingkat wilayah B, juara 1 LKTM bidang pendidikan tingkat IPB, finalis Mahasiswa Berprestasi tingkat IPB, juara 1 Mahasiswa Berprestasi FEM, juara 2 The Young Economic Icon, dan lain sebagainya. Penulis juga aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan, seperti HIPOTESA dan DPM-FEM. Selain itu, dalam rangka mengembangkan ilmu yang telah dipelajari, penulis aktif pada beberapa profesi penunjang yaitu : Asisten Dosen Ekonomi Dasar 1, Asisten Dosen Ekonomi Dasar 2 dan Asisten Dosen Ekonomi Umum.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Inflasi di Indonesia dari Sisi Permintaan Uang”. Perhatian terhadap inflasi merupakan hal yang penting, mengingat inflasi adalah permasalahan utama yang dialami setiap negara di dunia termasuk Indonesia. Di samping itu, skripsi ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, terutama kepada Bapak Dr. Ir. Iman Sugema, M.Ec yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada dosen penguji, Bapak Dr. Noer Azam Achsani. Semua saran dan kritikan beliau adalah hal yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Syamsul Hidayat Pasaribu, M.Si., selaku komisi pendidikan yang memberikan masukan dalam perbaikan tata cara penulisan skripsi ini juga atas segala ilmu yang telah diberikan. Meskipun demikian, segala kesalahan yang terjadi dalam penelitian ini, sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. Penulis juga berterima kasih kepada pembahas, Azwar Anas, yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun dalam penelitian ini. Penulis juga sangat terbantu oleh masukan dari para peserta seminar. Oleh karena itu, penulis sangat berterima kasih kepada mereka. Terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, diantaranya: M. Nasrul Pradana, M. Iqbal Irfany, Firmansyah, Edi, Ade, Fickry, Febry, Feronika, Ratih, Michelia, Arum, Nur, Vina, Nurlatifa, Irmayanti, Widi, Mardi, Thami, Sanimah dan pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih yang paling dalam kepada orang tua penulis, yaitu Bapak Edy Junaedi dan Ibu Sri Suryati serta keluarga
besar penulis. Kasih sayang, kesabaran dan dukungan mereka sangat berarti dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga karya kecil ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Juni 2006
Nova Mardianti H14102107
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiv DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ xv I.
II.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ...............................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah .......................................................................
5
1.3. Tujuan ............................................................................................
5
1.4. Manfaat Penelitian .........................................................................
6
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Permintaan Uang 2.1.1. Teori Moneter Klasik 2.1.1.1. Teori Kuantitas Uang ..........................................
7
2.1.1.2. Model Cambridge ...............................................
9
2.1.2. Teori Moneter Keynesian 2.1.2.1. Permintaan Uang sebagai Alat Transaksi ........... 12 2.1.2.2. Permintaan Uang untuk Spekulasi ...................... 14 2.1.2.3. Permintaan Uang Total ....................................... 15 2.1.3. Teori Kuantitas Uang Modern ........................................... 16 2.2. Inflasi 2.2.1. Inflasi sebagai Fenomena Moneter .................................... 19 2.2.2. Model Moneter untuk Inflasi 2.2.2.1. Model Traded-Nontraded Goods untuk Inflasi dibawah Sistem Nilai Tukar Tetap .......... 20 2.2.2.2. Pertumbuhan Uang dan Inflasi dibawah Sistem Nilai Tukar Fleksibel........................................... 23 2.2.3. Teori Mark-Up untuk Inflasi.............................................. 29
2.2.4. Beberapa Pandangan Mengenai Inflasi 2.2.4.1. Monetarist ........................................................... 30 2.2.4.2. Keynesian ............................................................ 31 2.3. Penelitian Terdahulu 2.3.1. Permintaan Uang dan Inflasi di Dollarized Economies (Rusia) ................................................................................ 32 2.3.2. Permintaan Uang dan Inflasi di Madagaskar ..................... 33 2.3.3. Permintaan Uang dan Inflasi di Indonesia ......................... 35 2.4. Kerangka Pemikiran....................................................................... 36 2.5. Hipotesis......................................................................................... 38 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data ................................................................... 39 3.2. Model Penelitian ............................................................................ 39 3.3. Metode Analisis Data 3.3.1. Uji Stasioneritas Data ........................................................ 42 3.3.2. Penentuan Selang (Lag) Optimal ....................................... 43 3.3.3. Uji Hubungan Kointegrasi ................................................. 44 3.3.4. Error Correction Model (ECM) ........................................ 46 3.3.5. Diagnostic Test................................................................... 51 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kestasioneran Data ....................................................................... 55 4.2. Tingkat Lag Optimal ..................................................................... 57 4.3. Kointegrasi .................................................................................... 57 4.4. Error Correction Model (ECM) .................................................... 61 4.5. Diagnostic Test ............................................................................. 64 V.
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ................................................................................... 69 5.2. Saran ............................................................................................ 70
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 72 LAMPIRAN .................................................................................................... 74
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.1.
Matriks Korelasi ..................................................................................
4
4.1.
Hasil Uji Akar Unit (Unit Root Test) pada Level ................................ 55
4.2.
Hasil Uji Akar Unit (Unit Root Test) pada First Difference ............... 56
4.3.
Hasil Uji Heteroskedastisitas (ARCH Test) ........................................ 65
4.4.
Hasil Uji Heteroskedastisitas (White Heteroskedasticity Test) ........... 66
4.5.
Hasil Uji Autokorelasi Error Correction Model untuk Inflasi ........... 66
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.1.
Perkembangan Harga, Broad Money dan Nilai Tukar ........................
3
2.1.
Permintaan Uang untuk Transaksi ...................................................... 13
2.2.
Permintaan Uang untuk Transaksi ...................................................... 14
2.3.
Permintaan Uang Bermotif Spekulasi (Liquidity Preferences) ........... 14
2.4.
Permintaan Uang Total ....................................................................... 16
2.5.
Diagram Fase untuk Inflasi ................................................................. 28
2.6.
Respon dari Peningkatan Money Supply yang Kontinu ...................... 30
2.7.
Kerangka Pemikiran ............................................................................ 37
4.1.
Inflasi Aktual dan Hasil Estimasi ........................................................ 64
4.2.
Hasil Uji Normalitas Error Correction Model untuk Inflasi .............. 65
4.3.
Uji Stabilitas Koefisien dalam ECM untuk Inflasi ............................. 67
4.4.
Uji Stabilitas Error Correction Model untuk Inflasi .......................... 68
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Data Mentah ........................................................................................ 74
2.
Uji Stasioneritas Data .......................................................................... 76
3.
Estimasi VAR untuk Excess Inflasi akibat Ketidakseimbangan di Pasar Uang (Excess Money Supply) pada Jangka Panjang................... 84
4.
Uji Stabilitas VAR untuk Excess Inflasi akibat Ketidakseimbangan di Pasar Uang (Excess Money Supply) pada Jangka Panjang .............. 87
5.
Penentuan Lag Optimal untuk Excess Inflasi akibat Ketidakseimbangan di Pasar Uang (Excess Money Supply) pada Jangka Panjang..................................................................................... 88
6.
Uji Kointegrasi Johansen dengan “Summary” untuk Excess Inflasi akibat Ketidakseimbangan di Pasar Uang (Excess Money Supply) pada Jangka Panjang ............................................................................ 89
7.
Uji Kointegrasi Johansen dengan “Asumsi 2” untuk Excess Inflasi akibat Ketidakseimbangan di Pasar Uang (Excess Money Supply) pada Jangka Panjang ............................................................................ 90
8.
Estimasi VAR untuk Model Permintaan Uang Riil pada Jangka Panjang ................................................................................................ 92
9.
Uji Stabilitas VAR untuk Model Permintaan Uang Riil pada Jangka Panjang .................................................................................... 95
10.
Penentuan Lag Optimal untuk Model Permintaan Uang Riil pada Jangka Panjang ........................................................................... 96
11.
Uji Kointegrasi Johansen dengan “Summary” untuk Model Permintaan Uang Riil pada Jangka Panjang ....................................... 97
12.
Uji Kointegrasi Johansen dengan “Asumsi 2” untuk Model Permintaan Uang Riil pada Jangka Panjang ....................................... 98
13.
Error Correction Model untuk Inflasi dengan Lag 3 .......................... 100
14.
Error Correction Model untuk Inflasi dengan Variabel yang Signifikan ............................................................................................ 101
15.
Hasil Estimasi Koefisien dari Error Correction Model untuk Inflasi .................................................................................................. 102
16.
Uji Heteroskedastisitas terhadap Model Inflasi Dinamis .................... 103
17.
Uji Autokorelasi terhadap Model Inflasi Dinamis .............................. 105
DAFTAR SINGKATAN
ADF
= Augmented Dickey Fuller
AIC
= Akaike Information Criterion
AR
= Autoregressive
ARCH
= Autoregressive Conditional Heteroskedasticity
DW
= Durbin Watson
ECM
= Error Correction Model
FPE
= Final Prediction Error
GDP
= Gross Domestic Product
HQ
= Hannan-Quinn Information Criterion
IFS
= International Financial Statistic
IHK
= Indeks Harga Konsumen
IMF
= International Monetary Fund
PDB
= Produk Domestik Bruto
SC
= Schwarz Information Criterion
VAR
= Vector Autoregression
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Selama periode 1990-2005, perekonomian Indonesia mengalami berbagai perkembangan dan guncangan. Pada tahun 1990-an, terjadi liberalisasi dan deregulasi yang sangat intensif. Liberalisasi tersebut berdampak pada sektor riil dan sektor moneter. Pada sektor riil terlihat adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yaitu mencapai rata-rata 7 persen per tahun selama periode 19901997. Inflasi, kecuali tahun 1997, juga senantiasa berada di bawah 10 persen per tahun (Warjiyo dan Solikin, 2004). Sedangkan di sektor moneter, terlihat derasnya arus modal masuk ke Indonesia selama periode 1995-1997. Di satu sisi, aliran dana luar negeri ini mampu mencakup kesenjangan tabungan-investasi (savinginvestment gap) sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Namun di sisi lain, aliran dana ini menimbulkan sejumlah permasalahan. Besar dan mobilitas aliran dana luar negeri tersebut ternyata mempersulit pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia. Pada perkembangan selanjutnya, Indonesia mengalami krisis sejak tahun 1997. Krisis yang pada mulanya berasal dari krisis moneter telah berubah cepat menjadi krisis ekonomi, krisis sosial budaya, krisis politik dan menjadi krisis multidimensi. Hal tersebut berdampak pada semakin merosotnya nilai rupiah. Menghadapi tekanan yang begitu besar terhadap melemahnya nilai tukar rupiah, sesuai dengan sistem nilai tukar mengambang terkendali yang berlaku pada waktu itu, Bank Indonesia melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk
mempertahankan kisaran nilai tukar yang ditetapkan. Akan tetapi tekanan yang sangat kuat dan demikian cepat terhadap melemahnya nilai tukar rupiah yang disertai dengan penurunan cadangan devisa dalam jumlah yang cukup besar, akhirnya memaksa pemerintah untuk mengubah sistem nilai tukar yang berlaku. Selanjutnya, sejak tanggal 14 agustus 1997 Indonesia menganut sistem nilai tukar mengambang. Puncak dari krisis tersebut terjadi pada tahun 1998. Pada tahun tersebut laju inflasi pernah mencapai 77,63 persen, sementara nilai rupiah pernah mencapai tingkat terendah sekitar Rp. 15.000 per dolar AS pada awal tahun 1998 (Warjiyo dan Solikin, 2004). Pertumbuhan broad money juga mencapai tingkat tertinggi selama triwulan I dan II tahun 1998, yaitu 34 persen dan 12,4 persen per triwulan. Ini disebabkan oleh pertambahan jumlah uang kuasi yang mencapai 27 persen dan 30 persen per triwulan selama periode yang sama. Pertambahan jumlah uang kuasi tersebut dilatarbelakangi oleh motif spekulasi dan berjaga-jaga. Upaya pemulihan ekonomi Indonesia telah dilakukan oleh pemerintah dengan mencakup sejumlah langkah kebijakan dan penataan kelembagaan di bidang moneter. Diantaranya adalah dengan diberlakukannya Undang-undang No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Pemberlakuan undang-undang tersebut telah membawa perubahan mendasar pada perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter di Indonesia. Berdasarkan undang-undang itu, sejak tahun 2000 kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan (inflation targeting).
Ada beberapa fakta yang menunjukkan bahwa terdapat suatu korelasi yang kuat antara tingkat harga domestik, nilai tukar, dan uang beredar (broad money) di Indonesia. Korelasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.1.
Gambar 1.1. Perkembangan Harga, Broad Money dan Nilai Tukar Gambar tersebut menunjukkan bahwa terdapat suatu hubungan positif antara Indeks Harga Konsumen (IHK) dan broad money di Indonesia selama periode penelitian. Dalam hal ini, IHK dan broad money sama-sama memiliki kecenderungan (trend) yang meningkat. Selain itu, dari gambar tersebut juga dapat diketahui adanya hubungan negatif antara IHK dan nilai tukar (US$/Rp) selama periode penelitian. Dimana ketika rupiah mengalami depresiasi yang cukup besar (sekitar tahun 1998), tingkat harga justru menunjukkan tingkat tertinggi. Korelasi antara IHK, broad money dan nilai tukar juga terlihat pada Tabel 1.1. Tabel tersebut memperlihatkan bahwa IHK Indonesia tidak hanya berkorelasi dengan broad money dan nilai tukar, tapi juga berkorelasi dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) negara-negara industri dan suku bunga luar negeri.
Tabel 1.1. Matriks Korelasi LOG_P LOG_M2 LOG_Y LOG_E1 LOG_PF
IF
LOG_P
1.000000 0.983734 0.796294 -0.944914 0.964016 -0.905515
LOG_M2
0.983734 1.000000 0.842484 -0.940199 0.981221 -0.936744
LOG_Y
0.796294 0.842484 1.000000 -0.669672 0.903471 -0.876373
LOG_E1
-0.944914 -0.940199 -0.669672 1.000000 -0.875807 0.813073
LOG_PF
0.964016 0.981221 0.903471 -0.875807 1.000000 -0.956028
IF
-0.905515 -0.936744 -0.876373 0.813073 -0.956028 1.000000
Catatan : Seluruh data yang digunakan dalam bentuk logaritma, kecuali suku bunga. P = IHK Indonesia, M2 = Broad money, Y = GDP riil, E1 = nilai tukar (US$/Rp), PF = IHK negara-negara industri, IF = Suku bunga luar negeri.
Dengan demikian dalam rangka mencapai sasaran inflasi yang telah ditetapkan, baik faktor internal maupun faktor eksternal yang berpengaruh terhadap Indeks Harga Konsumen (IHK) haruslah diperhitungkan. Hal tersebut dikarenakan perkembangan IHK merupakan proksi bagi inflasi di Indonesia. Pencapaian inflation targeting juga membutuhkan adanya suatu sasaran antara. Salah satu sasaran antara dari kebijakan inflation targeting adalah broad money (M2). Seperti yang kita ketahui, broad money dipengaruhi oleh permintaan uang masyarakat. Selain itu, kestabilan permintaan uang sangat penting untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Nassar (2005) bahwa negara dengan sektor keuangan yang underdeveloped biasanya mengandalkan keberadaan fungsi permintaan uang yang stabil untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter yang efisien. Literatur-literatur mengenai determinan inflasi di negara berkembang secara tradisional
juga
menspesifikasi
mempostulatkan
bagaimana
fungsi
kebijakan
permintaan
moneter
uang,
ekspansif
kemudian
mengakibatkan
disekuilibrium di pasar uang dan barang yang akan dieliminasi sepanjang waktu melalui peningkatan tingkat harga. Oleh karena itu, maka analisis mengenai inflasi di Indonesia dari sisi permintaan uang sangat penting untuk dilakukan.
1.2. Perumusan Masalah Dengan dilatarbelakangi oleh berbagai perkembangan dan guncangan yang dihadapi perekonomian Indonesia maka ada beberapa permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini, diantaranya : 1. Bagaimana hubungan antara broad money, harga domestik, GDP riil, dan foreign interest rates dalam model permintaan uang jangka panjang? 2. Bagaimana hubungan antara inflasi, broad money, nilai tukar, foreign prices, dan foreign interest rates dalam model inflasi dinamis (jangka pendek)? 3. Bagaimana dampak dari ketidakseimbangan di pasar uang dan peralihan rezim nilai tukar terhadap inflasi di Indonesia? Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini dibatasi selama periode 1990 : kuartal 1 – 2005 : kuartal 3. Sedangkan data yang digunakan adalah data kuarter yang mencakup variabel internal dan eksternal.
1.3. Tujuan Berdasarkan pada perumusan masalah diatas, tujuan dari penelitian ini antara lain : 1. Menganalisis hubungan antara broad money, harga domestik, GDP riil, dan foreign interest rates dalam model permintaan uang jangka panjang.
2. Menganalisis hubungan antara inflasi, broad money, nilai tukar, foreign prices, dan foreign interest rates dalam model inflasi dinamis (jangka pendek). 3. Menganalisis dampak dari ketidakseimbangan di pasar uang dan peralihan rezim nilai tukar terhadap inflasi di Indonesia.
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian mengenai inflasi di Indonesia dari sisi permintaan uang diharapkan dapat memberikan sumbangan wawasan kepada masyarakat Indonesia. Sehingga, stabilitas harga dan iklim usaha yang kondusif dapat tercapai. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi institusi keuangan, khususnya Bank Indonesia. Dengan demikian, institusiinstitusi keuangan dapat menentukan langkah-langkah ke depan guna menjaga kestabilan moneter dan ekonomi Indonesia. Penulis juga mengharapkan semoga hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Selain itu, diharapkan pula agar hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu literatur bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Permintaan Uang 2.1.1. Teori Moneter Klasik 2.1.1.1. Teori Kuantitas Uang Teori kuantitas uang dikembangkan oleh Irving Fisher pada awal abad dua puluh. Teori kuantitas uang tersebut disampaikan dalam bukunya The Purchasing Power of Money tahun 1911. Fisher ingin melihat hubungan antara kuantitas uang (money supply) dan PDB nominal P × Y . Konsep yang menghubungkan M dan P × Y disebut velositas uang (velocity of money). Velositas uang adalah tingkat perputaran uang yang didefinisikan sebagai berikut : V =
P ×Y M
(2.1)
dengan : V = Velositas uang,
P = Tingkat harga, Y = Pendapatan agregat, M = Kuantitas uang. Dengan mengalikan kedua sisi dengan M , maka persamaan yang menghubungkan pendapatan nominal dengan kuantitas uang dan velositas (equation of exchange) adalah :
M ×V = P ×Y
(2.2)
Irving Fisher juga mengemukakan bahwa velositas uang ditentukan oleh kelembagaan dalam ekonomi yang akan mempengaruhi cara individu melakukan transaksi. Dalam jangka pendek, aspek kelembagaan sulit berubah. Oleh karena itu, dalam jangka pendek velositas uang akan konstan. Pandangan Fisher bahwa velositas uang adalah konstan pada jangka pendek telah mentransformasi equation
of exchange menjadi teori kuantitas uang yang menyebutkan bahwa pendapatan nominal ditentukan oleh pergerakan dalam kuantitas uang. Para ahli ekonomi klasik (termasuk Fisher) menganggap bahwa upah dan harga adalah fleksibel. Oleh karena itu mereka percaya bahwa tingkat output agregat ( Y ) yang diproduksi oleh perekonomian pada waktu normal akan berada pada tingkat full equilibrium, sehingga Y juga akan konstan dalam jangka pendek. Dengan demikian, teori kuantitas uang mengemukakan bahwa jika M berubah maka P juga akan berubah dalam jangka pendek (karena V dan Y konstan). Untuk para ekonom klasik, teori kuantitas uang mampu menjelaskan pergerakan dalam tingkat harga, yaitu : pergerakan tingkat harga merupakan akibat dari perubahan kuantitas uang. Teori kuantitas uang menunjukkan berapa banyak uang yang dipegang untuk tingkat pendapatan tertentu, sehingga teori ini juga merupakan teori permintaan uang (theory of the demand for money). Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan membagi kedua sisi dari persamaan teori kuantitas uang dengan V , sehingga diperoleh : M =
1 × PY V
(2.3)
Dimana PY adalah P × Y , yang merupakan pendapatan nominal. Ketika pasar uang dalam ekuilibrium maka kuantitas uang ( M ) akan sama dengan jumlah uang yang diminta ( M d ), sehingga M dapat diganti dengan M d . Dengan demikian persamaan (2.3) dapat dituliskan :
Md =
1 × PY = k .PY V
(2.4)
Oleh karena itu, teori kuantitas uang dari Irving Fisher menyebutkan bahwa permintaan uang merupakan fungsi dari pendapatan dan suku bunga tidak berpengaruh terhadap permintaan uang. Fisher berkesimpulan seperti itu karena ia percaya bahwa orang memegang uang hanya untuk melakukan transaksi. Sehingga teori ini berpandangan bahwa uang hanya berfungsi sebagai alat tukar. Dengan demikian, menurut teori ini permintaan uang ditentukan oleh : (1) tingkat transaksi yang dihasilkan oleh tingkat pendapatan nominal ( PY ), dan (2) kelembagaan dalam ekonomi yang akan mempengaruhi cara individu melakukan transaksi yang menentukan velositas uang, dengan demikian juga menentukan k .
2.1.1.2. Model Cambridge
Model Cambridge adalah model permintaan uang yang dikembangkan oleh para ekonom Cambridge, khususnya Marshall dan Pigou. Sebagai ahli ekonomi aliran klasik, mereka memandang uang sebagai alat tukar. Tetapi aliran model Cambridge mengakui juga fungsi uang sebagai alat penyimpan kekayaan (store of wealth). Karena itu manusia memiliki dua pilihan dalam menyimpan asetnya, yaitu uang tunai dan surat-surat berharga atau barang.
Manfaat dari memegang uang tunai adalah sifatnya yang sangat likuid dan terbebasnya dari resiko gagal tagih (default) jika uang disimpan dalam bentuk surat berharga dan juga terhindar dari resiko kerugian akibat jual beli surat-surat berharga (capital loss). Tetapi, biaya ekonomi dari memegang uang tunai adalah kehilangan kesempatan memperoleh pendapatan bunga dan keuntungan dari jual beli surat-surat berharga (capital gain). Para teoritisi moneter Cambridge berpandangan bahwa permintaan uang selain dipengaruhi oleh tingkat volume transaksi (PDB riil) juga dipengaruhi oleh tingkat kekayaan seseorang atau masyarakat, tingkat bunga, dan ekspektasi masyarakat tentang masa depan. Karena para ekonom Cambridge berpendapat bahwa nilai aset dihitung dalam nilai nominal, maka mereka percaya bahwa permintaan terhadap uang karena faktor kekayaan berhubungan proporsional dengan pendapatan nasional nominal. Karena itu mereka juga percaya bahwa permintaan uang mempunyai hubungan proporsional dengan pendapatan nominal, sebagai berikut :
M
d
= bPY
(2.5)
dimana :
M d = Permintaan uang,
P
= Tingkat harga,
Y
= Tingkat output riil (PDB riil),
b dalam jangka pendek dianggap konstan.
Persamaan (2.5) sepintas sama dengan persamaan (2.4). Hal ini bermakna bahwa para ekonom Cambridge sependapat dengan Fisher tentang
fungsi uang sebagai alat tukar. Letak perbedaannya adalah Fisher sama sekali mengabaikan fungsi uang sebagai alat penyimpan kekayaan, sehingga tidak ada alternatif selain menyimpan uang dalam bentuk kas. Selain itu Fisher lebih menekankan pada aspek kelembagaan atau teknologi yang dalam jangka pendek diasumsikan konstan, sehingga velositas uang dalam jangka pendek juga konstan. Sebaliknya, ekonom Cambridge tidak menutup kemungkinan bahwa masyarakat dapat saja mengalokasikan kekayaannya dalam bentuk surat-surat berharga. Keputusan pengalokasian tersebut ditentukan oleh tingkat bunga dan tingkat hasil yang diharapkan (expected return). Karena itu, para ekonom Cambridge berpendapat bahwa b dalam jangka pendek pun dapat berubah. Dengan kata lain, velositas uang dapat saja berfluktuasi. Pendapat bahwa b dalam jangka pendek dianggap konstan dihasilkan dari penyusunan asumsi bahwa dalam jangka pendek jumlah kekayaan, volume transaksi, dan produksi riil mempunyai hubungan proporsional-konstan.
2.1.2. Teori Moneter Keynesian
Keynes sependapat dengan para ahli ekonom klasik tentang fungsi uang sebagai alat tukar. Hal ini mempunyai konsekuensi adanya permintaan uang untuk kebutuhan transaksi, sebagaimana yang diajarkan para ekonom klasik. Keynes juga sependapat dengan para ekonom Cambridge yang berpandangan bahwa uang mempunyai fungsi sebagai penyimpan kekayaan yang dipengaruhi terutama oleh tingkat bunga dan tingkat pengembalian yang diharapkan. Tetapi Keynes melangkah lebih jauh dengan menekankan sangat pentingnya peranan tingkat
bunga dalam mempengaruhi perilaku masyarakat memilih memegang uang tunai atau surat-surat berharga. Penekanan faktor tingkat bunga terhadap keinginan memegang uang inilah yang memungkinkan analisis permintaan uang sebagai alat untuk memperoleh keuntungan. Permintaan uang untuk memperoleh keuntungan inilah yang disebut sebagai permintaan uang untuk spekulasi.
2.1.2.1. Permintaan Uang sebagai Alat Transaksi
Sebenarnya Keynes membedakan permintaan uang untuk transaksi menjadi dua komponen, yaitu untuk transaksi rutin dan transaksi yang tak dapat diduga sebelumnya. Permintaan uang untuk transaksi rutin ini yang disebutnya sebagai transaction motive demand for money. Sedangkan permintaan uang untuk transaksi tak terduga disebutnya sebagai permintaan uang untuk berjaga-jaga (precautionary motive). Tidak ada perbedaan prinsipil antara permintaan uang untuk transaksi dan berjaga-jaga. Karenanya, permintaan uang untuk transaksi dan berjaga-jaga dapat digabungkan menjadi permintaan uang untuk transaksi. Tidak ada perbedaan antara teori Keynes tentang permintaan uang untuk transaksi dengan teori permintaan uang untuk transaksi menurut para ekonom klasik. Besarnya permintaan uang untuk transaksi berhubungan positif dengan tingkat pendapatan nasional. Jika pendapatan makin besar maka permintaan uang untuk transaksi juga makin besar. Secara grafis dapat dinyatakan seperti pada Gambar 2.1.
MT MT MT2 MT1 0
Y1
Y2
Y
Sumber : Manurung, M. dan P. Rahardja (2004).
Gambar 2.1. Permintaan Uang Untuk Transaksi
Gambar diatas menunjukkan bila tingkat pendapatan nasional meningkat (Y) meningkat misalnya dari Y1 ke Y2, maka permintaan uang untuk transaksi juga meningkat dari MT1 ke MT2. Tercakup dalam peningkatan permintaan uang untuk transaksi ini adalah untuk kegiatan rutin maupun non rutin (berjaga-jaga). Secara matematis hubungan tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut :
M T = f (Y )
(2.6)
dimana : ΔM T = f (Y ) .
Karena hanya terkait dengan pendapatan maka permintaan uang untuk transaksi tidak sensitif terhadap tingkat bunga : berapapun tingkat bunga, jumlah permintaan uang untuk transaksi tidak berubah. Jika hal ini yang terjadi maka permintaan uang akan inelastis sempurna, seperti ditunjukkan oleh Gambar 2.2.
i
MT
MT
0
Sumber : Manurung, M. dan P. Rahardja (2004).
Gambar 2.2. Permintaan Uang Untuk Transaksi
2.1.2.2. Permintaan Uang untuk Spekulasi
Permintaan uang untuk spekulasi adalah keinginan memegang uang tunai sebagai alternatif dari menyimpannya dalam bentuk obligasi konsol. Permintaan uang untuk spekulasi berhubungan erat dengan perkiraan tingkat bunga di masa mendatang. Perkiraan tingkat bunga di masa mendatang sangat ditentukan oleh persepsi seseorang tentang tingkat bunga yang dianggap normal. i
Perangkap Likuiditas MSp
0 Sumber : Manurung, M. dan P. Rahardja (2004).
Gambar 2.3. Permintaan Uang Bermotif Spekulasi (Liquidity Preferences)
Gambar tersebut menunjukkan hubungan berlawanan arah antara permintaan uang untuk spekulasi dengan tingkat bunga. Dimana permintaan uang untuk spekulasi merupakan fungsi dari tingkat bunga yang dirumuskan sebagai berikut :
M Sp = f (i )
(2.7)
dengan : ΔM Sp Δi ≤ 0 .
Dewasa ini pilihan selain dari memegang uang tunai bukan hanya obligasi konsol. Melainkan aset finansial non uang tunai lainnya. Jika tingkat bunga makin tinggi, maka biaya ekonomi dari menyimpan uang tunai akan semakin besar. Karenanya, masyarakat cenderung menyimpan uangnya dalam bentuk non tunai yang akan memberikan pendapatan bunga. Dengan demikian, pada tingkat bunga yang tinggi, keinginan memegang uang tunai akan semakin kecil. Sebaliknya jika tingkat bunga semakin rendah maka biaya ekonomi dari menyimpan uang tunai akan semakin kecil, sehingga masyarakat cenderung menyimpan uang tunai lebih banyak (Manurung dan Rahardja, 2004).
2.1.2.3. Permintaan Uang Total
Permintaan uang total adalah permintaan uang untuk transaksi ditambah dengan permintaan uang untuk spekulasi, atau dapat dituliskan sebagai berikut :
M D = M T + M Sp = M T (Y ) + M Sp (i )
(2.8)
Dari persamaan (2.8) dapat dinyatakan bahwa permintaan uang dalam suatu perekonomian ditentukan oleh tingkat pendapatan nasional ( Y ) dan tingkat bunga ( i ). Tingkat pendapatan nasional akan menentukan permintaan uang untuk transaksi, sedangkan tingkat bunga menentukan permintaan uang untuk spekulasi. Secara grafis permintaan uang untuk transaksi dan spekulasi dilukiskan oleh gambar di bawah ini. i
i
MT
i MD = MT + MSp MSp
0
MT
MSp
0
MT 0
MD
Sumber : Manurung, M. dan P. Rahardja (2004).
Gambar 2.4. Permintaan Uang Total
Gambar diatas menunjukkan bahwa permintaan uang total adalah penjumlahan horizontal permintaan uang untuk transaksi (MT) ditambah dengan permintaan uang untuk spekulasi (MSp). Karena permintaan uang untuk transaksi tidak sensitif terhadap tingkat bunga, maka perubahan jumlah uang yang diminta sangat dipengaruhi oleh perubahan jumlah uang yang diminta untuk spekulasi.
2.1.3. Teori Kuantitas Uang Modern
Teori ini dikemukakan oleh Milton Friedman pada tahun 1956 dalam artikelnya The Quantity Theory of Money : A Restatement. Meskipun Friedman mengarah pada teori kuantitas uang Fisher, akan tetapi analisisnya lebih mendekati para ekonom Keynes dan Cambridge.
Seperti teori-teori sebelumnya, Friedman juga berusaha menjawab mengapa orang memilih untuk memegang uang. Berbeda dengan Keynes, Friedman menganggap bahwa permintaan uang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang sama dengan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan aset lainnya. Kemudian, Friedman mengaplikasikan teori permintaan aset tersebut terhadap uang. Teori permintaan aset mengindikasikan bahwa permintaan uang merupakan fungsi dari sumberdaya yang tersedia bagi individu (kekayaannya) dan ekspektasi pendapatan dari aset lainnya relatif terhadap ekspektasi pendapatan dari uang. Seperti halnya Keynes, Friedman juga menyadari bahwa orang ingin memegang sejumlah uang riil (real money balances) tertentu. Berdasarkan alasan ini, Friedman merumuskan permintaan uang sebagai berikut : Md = f (Y p , rb − rm , re − rm , π e − rm ) P − − − +
dimana :
Md P
= Permintaan uang riil,
Yp
= Ukuran kekayaan Friedman yang disebut permanent income,
rm
= Ekspektasi pendapatan dari uang,
rb
= Ekspektasi pendapatan dari obligasi,
re
= Ekspektasi pendapatan dari ekuitas (saham),
πe
= Ekspektasi tingkat inflasi.
(2.9)
Tanda positif dan negatif di bawah persamaan mengindikasikan hubungan antara permintaan uang dengan variabel diatas tanda tersebut. Karena permintaan aset berhubungan positif dengan kekayaan, maka permintaan uang berhubungan positif dengan konsep kekayaan Friedman, yaitu permanent income (ditunjukkan dengan tanda positif di bawahnya). Berbeda dengan konsep pendapatan lazimnya, permanent income mempunyai fluktuasi jangka pendek yang kecil karena kebanyakan pergerakan pendapatan bersifat peralihan (transitory). Salah satu implikasi dari konsep permanent income yang digunakan Friedman sebagai determinan permintaan uang adalah bahwa permintaan uang tidak akan berfluktuasi banyak dengan adanya pergerakan siklus bisnis. Individu dapat memegang kekayaannya dalam beberapa bentuk selain uang, Friedman mengelompokkannya ke dalam tiga jenis aset yaitu : obligasi, ekuitas (saham), dan barang. Insentif untuk memegang aset-aset tersebut dibandingkan uang digambarkan dengan ekspektasi pendapatan dari masingmasing aset tersebut relatif terhadap ekspektasi pendapatan dari uang (ditunjukkan dengan tiga bagian terakhir dari fungsi permintaan uang). Menurut Friedman, bagian
rb − rm
dan
re − rm
menggambarkan
ekspektasi pendapatan dari obligasi dan ekuitas relatif terhadap uang, dimana peningkatannya akan mengurangi ekspektasi pendapatan relatif dari uang sehingga akan mengurangi permintaan uang. Sedangkan bagian π e − rm menggambarkan ekspektasi pendapatan dari barang relatif terhadap uang. Jika
π e − rm meningkat, maka ekspektasi pendapatan dari barang relatif terhadap uang juga akan meningkat sehingga permintaan uang akan berkurang.
2.2. Inflasi 2.2.1. Inflasi sebagai Fenomena Moneter
Meskipun faktor-faktor dari sisi permintaan dan penawaran dapat meningkatkan inflasi, akan tetapi money supply merupakan satu-satunya determinan inflasi pada jangka panjang. Alasannya bahwa selain pertumbuhan
money supply, faktor-faktor lain tidak dapat menyebabkan persistent inflation saat tidak ada pengakomodasian pertumbuhan money supply (Mishkin, 1995). Beranjak dari pandangan Mishkin (1995), Hossain dan Chowdhury (2001) menderivasi hubungan antara pertumbuhan uang dan inflasi. Dalam bukunya Open-Economy Macroeconomics for Developing Countries disebutkan bahwa dasar hubungan antara pertumbuhan money supply dan inflasi dapat dibuat berdasarkan kondisi keseimbangan di pasar uang, sebagai berikut :
M
P
= m(Y , r )
(2.10)
dimana :
M
= Jumlah uang (money stock),
P
= Tingkat harga,
m(•) = Permintaan uang riil yang merupakan fungsi dari pendapatan riil ( Y ) dan suku bunga nominal ( r ). Dari persamaan (2.10), tingkat harga dapat dituliskan dengan persamaan (2.11). Persamaan ini menunjukkan bahwa, dengan asumsi elastisitas pendapatan dari permintaan uang riil adalah satu, tingkat harga akan meningkat dua kali lipat pada suatu periode waktu tertentu tanpa ada perubahan dalam money supply jika
permintaan uang berkurang menjadi setengahnya karena penurunan pendapatan riil atau peningkatan suku bunga. P=M
m(Y , r )
(2.11)
Dari persamaan (2.11), model inflasi menurut Hossain dan Chowdhury (2001) dapat diturunkan sebagai berikut :
π = μ − ηm g y + ηr gr
(2.12)
dimana :
π
= Tingkat inflasi,
μ
= Tingkat pertumbuhan money supply,
ηm
= Elastisitas pendapatan dari permintaan uang,
gy
= Tingkat pertumbuhan pendapatan/output riil,
ηr
= Semi-elastisitas permintaan uang terhadap suku bunga,
gr
= Δr .
2.2.2. Model Moneter untuk Inflasi 2.2.2.1. Model Traded-Nontraded Goods untuk Inflasi dibawah Sistem Nilai Tukar Tetap
Dalam model ini, diasumsikan bahwa barang yang ditransaksikan pada perekonomian terbuka dapat dibagi menjadi traded dan nontraded goods. Harga domestik untuk barang yang ditransaksikan (transacted goods) disimbolkan dengan Pt yang didefinisikan sebagai rata-rata tertimbang dari harga traded ( PTt )
dan nontraded goods ( PNTt ). Dengan demikian, identitas tingkat harga dapat dituliskan dalam bentuk logaritma sebagai berikut : ln Pt = φ ln PTt + (1 − φ ) ln PNTt
(2.13)
dimana :
φ = Bagian traded goods dari seluruh total pengeluaran. Untuk perekonomian terbuka kecil, harga dari tradable goods dalam nilai tukar asing ditentukan secara eksogen di pasar internasional. Berdasarkan proposisi purchasing power parity, dapat dituliskan sebagai berikut :
ln PTt = ln et + ln PTt f
(2.14)
dimana : = Nilai tukar (mata uang domestik per mata uang asing),
e
PT
f
= Harga tradable goods dalam mata uang asing. Persamaan (2.14) menunjukkan bahwa harga dari tradable goods dalam
mata uang domestik dapat berubah karena perubahan dalam nilai tukar domestik dan harga dari tradable goods dalam mata uang asing. Ketika nilai tukar tetap,
PT ditentukan secara eksogen dalam perekonomian kecil. Dilain pihak, di bawah sistem nilai tukar fleksibel PT akan tergantung pada perubahan dalam nilai tukar. Meskipun demikian, PT
f
ditentukan secara eksogen.
Model ini juga menyebutkan bahwa harga dari nontradable goods ditentukan oleh permintaan dan penawaran domestik atas nontradable goods. Hal tersebut mengimplikasikan bahwa harga ekuilibrium akan tercapai untuk menyeimbangkan nontradable goods market. Selain itu, diasumsikan pula bahwa harga dari nontradable goods akan berubah untuk menanggapi perbedaan antara
log real money balances aktual pada awal periode ( ln mt −1 ) dengan log real money
balances yang ingin dipegang individu pada akhir periode ( ln mtd ) sehingga :
ln PNTt − ln PNTt −1 = γ (ln mt −1 − ln mtd ) + u t
(2.15)
dimana :
m=M P M = Nominal money supply, P = Tingkat harga,
γ = Koefisien penyesuaian, dimana 0 < γ < 1, u = Error.
Persamaan (2.15) menunjukkan bahwa real money balances hanya merupakan proporsi ( γ ) dari perbedaan log real money balances aktual dan yang diinginkan, yang akan dieliminasi selama periode t − 1 dan t . Dengan mengambil first-order logarithmic difference dari persamaan (2.13) dan (2.14), diperoleh :
ln Pt Pt −1 = φ ln( PTt PTt −1 ) + (1 − φ ) ln( PNTt PNTt −1 )
(2.16)
ln( PTt PTt −1 ) = ln(et et −1 ) + ln( PTt f PTt −f1 )
(2.17)
Dengan mensubstitusikan persamaan (2.15) dan (2.17) kedalam persamaan (2.16) dan mengatur ulang persamaan tersebut, akan didapat : ln( Pt Pt −1 ) = φ [(ln( e t e t −1 ) + ln( PT t f PT t −f 1 )]
+ (1 − φ )γ (ln mt −1 − ln mtd ) + (1 − φ )u t
(2.18)
Jika permintaan uang riil adalah : ln mtd = β 0 + β 1 ln Yt − β 2 ln rt − β 3 ln π e
(2.19)
dimana : Y
= Pendapatan riil,
r
= Suku bunga nominal,
βs
= Parameter struktural.
Selama ekspektasi inflasi tidak dapat diobservasi, maka diasumsikan bahwa ekspektasi inflasi sama dengan inflasi pada satu periode yang akan datang ( π e = π t +1 ). Dengan mensubstitusi persamaan (2.19) ke (2.18) dan menggunakan
π e = π t +1 , akan dihasilkan : ln( Pt Pt −1 ) = − (1 − φ )γβ 0 + φ [ln( et et −1 ) + ln( PTt f PTt −f1 )] + (1 − φ )γ ln m t −1
− (1 − φ )γβ1 ln Yt + (1 − φ )γβ 2 ln rt + (1 − φ )γβ 3 ln π t +1 + (1 − φ )u t (2.20) Persamaan (2.20) merupakan model regresi inflasi yang dapat diestimasi untuk negara berkembang. Model tersebut menunjukkan bahwa inflasi domestik berhubungan dengan tingkat devaluasi mata uang domestik, perubahan dalam harga tradable goods dalam mata uang asing, pendapatan riil, suku bunga, ekspektasi inflasi dan lag satu periode dari money supply riil.
2.2.2.2. Pertumbuhan Uang dan Inflasi dibawah Sistem Nilai Tukar Fleksibel A. Model
Hossain dan Chowdhury (2001) mengembangkan sebuah model mengenai pertumbuhan uang dan inflasi di bawah sistem nilai tukar fleksibel. Model ini akan menunjukkan bahwa pada jangka panjang inflasi akan mengarah
pada tingkat pertumbuhan money supply. Mereka mengasumsikan fungsi permintaan sebagai berikut : m d = Y η m e −η r
(2.21)
dimana :
m d = Permintaan uang riil, Y
= Pendapatan riil,
r
= Suku bunga nominal,
η
m
ηr
= Elastisitas pendapatan dari permintaan uang, = Semi-elastisitas suku bunga dari permintaan uang. Mereka juga mengasumsikan bahwa pemerintah mengalami defisit
anggaran dan membiayainya dengan menciptakan uang, sehingga : ^
M = P(def )
(2.22)
dimana : P
= Tingkat harga,
def = Defisit anggaran riil (real budget deficit), M ^
M
= Money Supply, = dM dt . Berdasarkan Krugman (1979) dalam Hossain dan Chowdhury (2001),
diasumsikan bahwa pemerintah menyesuaikan pengeluarannya. Sehingga defisit anggaran merupakan fraksi yang konstan dari money supply, yaitu : ^
M = P(def ) = λ0 M
(2.23)
Ekuilibrium di pasar uang mensyaratkan bahwa permintaan dan penawaran uang riil adalah sama, yaitu : md = ms = M P
(2.24)
dimana :
ms
= Real money supply. Aliran ekuilibrium di pasar uang mensyaratkan bahwa perubahan
permintaan uang riil diasosiasikan dengan perubahan yang sama dalam penawaran uang riil, sehingga : dm d dt = dm s dt = dm dt
(2.25) ^
Dengan menggunakan M = dM dt dan (dP dt )(1 P ) = π , maka dm dt dapat dituliskan : ^
dm dt = M P − mπ
(2.26)
^
Selama M P = λ0 m , persamaan (2.26) dapat ditulis sebagai berikut : dm dt = (λ0 − π )m
(2.27)
Menurut Hossain dan Chowdhury (2001), ini menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan real money balances ( (dm dt )(1 m) ) berhubungan negatif dengan tingkat inflasi dan dalam kondisi steady state (ketika dm dt = 0 ), λ0 sama dengan π . B. Penyesuaian terhadap Disekuilibrium di Pasar Uang
Kaum monetarist mengasumsikan bahwa ketidakseimbangan moneter berasal dari sisi supply uang. Untuk melihat bagaimana penyesuaian terhadap
disekuilibrium di pasar uang, Hossain dan Chowdhury (2001) mengasumsikan bahwa pasar uang berada dalam ekuilibrium, akan tetapi otoritas moneter memutuskan untuk meningkatkan tingkat pertumbuhan uang dari λ0 ke λ1 . Meskipun pasar uang dan pasar barang tidak dapat menyesuaikan secara cepat, tapi penyesuaian pasar uang akan lebih cepat daripada pasar barang (Dornbusch dalam Hossain dan Chowdhury, 2001). Untuk penyederhanaan analisis, Hossain dan Chowdhury (2001) juga mengasumsikan bahwa ketidakseimbangan di pasar uang menyesuaikan melalui mekanisme penyesuaian parsial, sehingga : (dm dt )(1 m) = γ (ln m d − ln m)
(2.28)
dimana :
γ
= Koefisien penyesuaian yang bernilai antara 0 dan 1. Selama ( (dm dt )(1 m) ) sama dengan λ − π , persamaan (2.28) dapat
dituliskan :
π = λ − γ (ln m d − ln m)
(2.29)
Ini menggambarkan perilaku dinamis dari inflasi ketika terjadi disekuilibrium di pasar uang. Persamaan tersebut menunjukkan bahwa π akan melebihi λ jika terjadi excess supply of money (atau excess demand untuk barang dan jasa). Dari situasi ekuilibrium, ketika tingkat pertumbuhan money supply ditingkatkan dari
λ0 ke λ1 maka akan menyebabkan terjadinya excess money supply atau excess demand untuk barang dan juga akan mempercepat inflasi.
C. Ekuilibrium Intertemporal Inflasi di Negara Berkembang
Sebagian besar negara berkembang seringkali mengalami inflasi. Sebagaimana tujuan dari kebijakan moneter adalah untuk memelihara kestabilan harga, pertanyaannya adalah apakah monetary targetting dapat menstabilkan inflasi. Pada bagian ini Hossain dan Chowdhury menunjukkan bahwa pertumbuhan money supply yang tetap dapat menjamin stabilitas intertemporal inflasi. Akan tetapi, disini diasumsikan bahwa negara menganut sistem nilai tukar fleksibel dan terdapat fungsi permintaan uang yang stabil. Untuk penyederhanaan analisis, permintaan uang diasumsikan hanya sebagai fungsi dari ekspektasi inflasi. Ini merupakan kasus perekonomian saat inflasi tinggi, dimana pendapatan riil dapat dianggap konstan. Ekspektasi inflasi dalam perekonomian tersebut bertindak sebagai proksi yang baik untuk opportunity cost dari memegang uang karena suku bunga tidak ditentukan di pasar. Asumsikan bahwa inflasi aktual sama dengan ekspektasi inflasi, sehingga fungsi permintaan uang adalah :
ln m d = επ
(2.30)
Substitusi persamaan (2.30) kedalam fungsi penyesuaian pasar uang (2.29) dan menuliskannya dalam bentuk :
π = λ − γεπ − γ ln m
(2.31)
Kemudian, dengan mengambil derivasi waktu dari persamaan (2.31) maka setelah penyederhanaan persamaan tersebut akan menjadi (asumsi dλ dt = 0 ) : dπ dt + zπ = zλ
(2.32)
dimana : z = (γ 1 − γε ) .
Ini merupakan persamaan diferensial linier non homogen. Solusi untuk persamaan ini diberikan sebagai berikut :
π (t ) = [π (0) − λ ]e − zt + λ
(2.33)
Solusi tersebut memberikan dinamically stable inflation, dimana z adalah positif jika γε < 1 . Yaitu bagian e − zt dalam fungsi komplementer dari solusi tersebut akan menjadi nol ketika t menjadi tak terhingga. Ini menunjukkan bahwa ketika tingkat inflasi aktual menyimpang dari tingkat inflasi ekuilibrium yaitu λ , tingkat inflasi aktual akan bergerak ke arah tingkat ekuilibrium dengan berlalunya waktu. Hal tersebut ditunjukkan dalam diagram fase pada gambar berikut : dπ dt
π =λ
0
π
Sumber : Hossain, A. dan A. Chowdhury (2001).
Gambar 2.5. Diagram Fase untuk Inflasi Dengan
adanya
persamaan
diferensial
(2.32)
dalam
bentuk
dY dt = f (Y ) , maka sangat memungkinkan untuk menggambarkan hubungan
antara dπ dt dengan π . Kemiringan dari garis fase diberikan oleh z yang menunjukkan bahwa garis fase mempunyai kemiringan yang menurun. π (t ) akan konvergen (mengarah) ke keseimbangan karena, berawal dari posisi non
ekuilibrium, konvergensi π (t ) tergantung pada prospek yaitu bahwa e − zt akan menjadi nol ketika t menjadi tak hingga. Ini merupakan kasus yang jelas. Oleh karena itu, sangat mungkin untuk mengatakan inflasi pada jangka panjang akan mengarah pada tingkat pertumbuhan money supply. Jika z adalah negatif (yaitu
γε > 1 ), inflasi akan divergen dari ekuilibriumnya. Situasi tersebut terjadi ketika permintaan uang riil berkurang secara proporsional lebih besar dari peningkatan tingkat inflasi.
2.2.3. Teori Mark-Up untuk Inflasi
Teori ini dikemukakan oleh Duesenberry (1950) dalam Oomes dan Ohnsorge (2005). Teori mark-up digunakan sebagai kerangka untuk mengestimasi determinan jangka panjang dari inflasi. Berdasarkan teori mark-up untuk inflasi, pada jangka panjang tingkat harga domestik adalah mark-up dari total biaya per unit. Berdasarkan De Brower dan Ericson (1998) dalam Oomes dan Ohnsorge (2005), tingkat harga domestik pada jangka panjang dapat dituliskan seperti pada persamaan (2.34). Dimana, α , β dan γ bernilai positif dan konstan. P = μ .ULC α Pimβ Putγ
dengan : P
= Indeks harga konsumen,
μ
= Mark-Up,
ULC
= Biaya tenaga kerja per unit (rata-rata biaya upah per unit output),
Pim
= Harga dari input yang diimpor,
(2.34)
Put
= Indeks dari utility prices termasuk energi dan listrik,
α
= Elastisitas indeks harga konsumen terhadap biaya tenaga kerja per unit,
β
= Elastisitas indeks harga konsumen terhadap harga input yang diimpor,
γ
= Elastisitas indeks harga konsumen terhadap indeks utility prices.
2.2.4. Beberapa Pandangan Mengenai Inflasi 2.2.4.1. Monetarist
Kaum monetarist berpandangan bahwa satu-satunya faktor yang dapat mengakibatkan inflasi adalah pertumbuhan money supply. Pandangan kaum monetarist tersebut dijelaskan dengan grafik berikut : Harga Agregat, P AS4 P4
4
P3
3
P2
2
AS2
AS1
3’ 2’ 1
P1
AS3
1’ AD2
AD1 Yn
AD3
AD4
Output Agregat, Y
Y’
Sumber : Mishkin, F. S (2001).
Gambar 2.6. Respon dari Peningkatan Money Supply yang Kontinu Pada mulanya perekonomian ada pada titik 1, dengan output berada pada tingkat full employment dan tingkat harga adalah P1. Jika money supply meningkat, maka permintaan agregat akan bergeser ke kanan menjadi AD2. Dampak awalnya adalah perekonomian akan bergerak ke titik 1’ dan output akan
meningkat sehingga lebih besar dari natural rate-nya menjadi Y’. Akan tetapi, penurunan pengangguran di bawah NAIRU itu akan menyebabkan upah meningkat dan AS akan mulai bergeser ke kiri. AS baru akan berhenti bergeser jika telah mencapai AS2, yaitu saat perekonomian kembali ke tingkat output full employment pada kurva AS jangka panjang. Pada ekuilibrium yang baru ini,
tingkat harga meningkat dari P1 ke P2. Jika money supply meningkat lagi pada tahun berikutnya, AD akan kembali bergeser ke AD3 dan AS akan bergeser dari AS2 ke AS3. Sehingga perekonomian akan bergerak dari titik 2’ kemudian ke titik 3, dimana tingkat harga meningkat menjadi P3. Jika money supply terus tumbuh pada tahun-tahun berikutnya, perekonomian akan terus bergerak ke arah tingkat harga yang lebih tinggi. Selama money supply terus tumbuh, proses ini akan terus berlangsung dan inflasi akan terjadi.
2.2.4.2. Keynesian
Analisis Keynesian juga menunjukkan bahwa pertumbuhan money supply akan berdampak sama terhadap AD dan AS seperti pada Gambar 2.6,
yaitu: AD akan bergeser ke kanan dan AS akan bergeser ke kiri. Perbedaannya adalah pergeseran kurva AS ke kiri menurut Keynesian lebih lambat daripada menurut Monetarist. Dengan demikian menurut Keynesian output akan berada diatas tingkat full employment pada jangka waktu yang lebih lama dibandingkan menurut Monetarist.
Kesimpulan kaum Keynesian juga sama dengan kesimpulan kaum Monetarist bahwa pertumbuhan money supply yang cepat akan terus meningkatkan harga, sehingga mengakibatkan terjadinya inflasi. Keynesian juga beranggapan bahwa tidak ada faktor lain yang dapat mengakibatkan inflasi selain pertumbuhan money supply.
2.3. Penelitian Terdahulu 2.3.1. Permintaan Uang dan Inflasi di Dollarized Economies (Rusia)
Penelitian mengenai permintaan uang dan inflasi di negara yang terdolarisasi (Rusia) dilakukan oleh Oomes dan Ohnsorge (2005). Dalam penelitiannya mereka melakukan tiga tahapan, yaitu : Pertama, mereka mengestimasi persamaan inflasi jangka panjang dengan menggunakan mark-up model dimana inflasi adalah rata-rata tertimbang dari peningkatan biaya input. Mereka menemukan bahwa pada jangka panjang nominal effective depreciation, biaya tenaga kerja dan utility price growth mengakibatkan terjadinya inflasi. Mereka juga menguji suatu restriksi bahwa efek marjinal dari inflasi biaya input (input cost inflation) adalah satu. Mereka juga tidak bisa menolak hipotesis bahwa persamaan inflasi bersifat linearly homogenous. Kedua, dalam penelitian tersebut juga diestimasi persamaan permintaan
uang jangka panjang untuk Rusia dengan menggunakan lima macam monetary aggregates dari ruble currency in circulation sampai dengan effective broad money. Dalam hal ini effective broad money mencakup deposito dalam mata uang
asing dan estimasi dari mata uang asing dalam peredaran. Mereka menemukan
bahwa seluruh ukuran permintaan uang yang tidak memasukkan mata uang asing dalam sirkulasi ternyata sangat bergantung secara negatif terhadap nominal depreciation rate. Hal tersebut menunjukkan bahwa mata uang asing merupakan
substitusi penting untuk uang domestik. Terakhir, mereka mengestimasi model koreksi ekuilibrium (equilibrium correction model) untuk inflasi dengan tujuan untuk menentukan bagaimana short-term dynamics of inflation dipengaruhi oleh deviasi dari persamaan inflasi
jangka panjang dan persamaan permintaan uang jangka panjang. Mereka menemukan bahwa kecepatan penyesuaian inflasi ke keseimbangan jangka panjangnya adalah lambat (berkisar antara 6-12 bulan). Inflasi juga tidak memberikan respon yang signifikan terhadap excess supplies of monetary aggregates yang tidak mencakup foreign cash holding. Akan tetapi, inflasi terlihat
memberikan respon yang signifikan terhadap excess supply of effective broad money.
2.3.2. Permintaan Uang dan Inflasi di Madagaskar
Nassar (2005) telah melakukan penelitian mengenai permintaan uang dan inflasi di Madagaskar. Penelitian ini berusaha memodelkan determinan inflasi di Madagaskar selama periode 1982-2004. Adapun spesifikasi persamaan inflasi yang digunakan merupakan traditional extension dari model disekuilibrium moneter untuk ekonomi terbuka. Ini diturunkan dari model teoritis yang menggambarkan perekonomian kecil yang memiliki tradable goods sector dan nontradable goods sector.
Dalam
penelitiannya
Nassar
menggunakan
beberapa
variabel,
diantaranya : indeks harga konsumen (IHK), broad money (M3), suku bunga domestik, foreign interest rate, foreign prices, nilai tukar, dan GDP riil. Sedangkan data yang digunakan adalah data kuarter selama periode 1982-2004. Penelitian
tersebut
diawalinya
dengan
mengestimasi
persamaan
permintaan uang jangka panjang dengan menggunakan uji kointegrasi Johansen. Setelah itu, Nassar memprediksi Error Correction Model (ECM) untuk inflasi dengan memasukkan error correction term yang merupakan ukuran bagi ketidakseimbangan di pasar uang. Dalam mengkonstruksi ECM untuk inflasi, ia juga memasukkan empat lag dari seluruh variabel yang ada dalam sistem, tiga faktor musiman, dan tiga variabel dummy. Ketiga variabel dummy tersebut dimasukkan untuk mewakili : (i) peralihan rezim nilai tukar sejak kuarter dua tahun 1994, (ii) krisis politik pada kuarter dua tahun 2002, dan (iii) krisis pada kuarter tiga tahun 2002. Dari hasil penelitiannya, Nassar menemukan adanya fungsi permintaan uang yang stabil (hubungan yang dapat diprediksi antara broad money, tingkat harga, GDP riil, dan foreign interest rate) di Madagaskar. Dengan kata lain, hasil penelitiannya menunjukkan adanya hubungan jangka panjang yang stabil antara monetary aggregates, harga domestik, pendapatan riil dan foreign interest rate di
Madagaskar. Selain itu, ECM untuk inflasi memperlihatkan bahwa perubahan dalam monetary aggregates, nilai tukar dan foreign interest rate mempunyai dampak signifikan terhadap inflasi. Hasil penelitiannya juga menunjukkan bahwa ketidakseimbangan di pasar uang mempunyai lasting impact terhadap inflasi serta
adanya inflation inertia dimana ekspektasi inflasi sangat ditentukan oleh kejadian sebelumnya.
2.3.3. Permintaan Uang dan Inflasi di Indonesia
Penelitian mengenai permintaan uang dan inflasi juga telah dilakukan di Indonesia oleh Romayani (2005). Dalam penelitiannya, Romayani menggunakan model permintaan uang dan inflasi yang dikemukakan oleh Sanjay Kalra dalam penelitiannya di Albania. Alasan dipilihnya model tersebut adalah karena kondisi perekonomian negara Albania mendekati kondisi Indonesia dan karena model tersebut sesuai dengan permasalahan yang diangkatnya. Adapun tujuan dari penelitian yang dilakukan oleh Romayani (2005) adalah untuk menganalisis hubungan jangka panjang antara uang, nilai tukar dan harga di Indonesia dalam model permintaan uang dan inflasi. Selain itu, dianalisis pula dampak krisis ekonomi 1997 terhadap permintaan uang dan inflasi di Indonesia dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Penelitian tersebut menggunakan Error Correction Model (ECM) dan uji kointegrasi Engle-Granger. Data yang digunakan adalah data sekunder yang merupakan data bulanan periode 1991-2003. Dalam penelitiannya Romayani mempertimbangkan variabel-variabel internal, seperti : M2, suku bunga deposito berjangka (Rp/US $), Indeks Harga Konsumen (IHK), dan GDP riil. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada jangka panjang terdapat hubungan positif antara tingkat harga dan nilai tukar, dan hubungan yang positif pula antara permintaan uang nominal (dan riil), nilai tukar dan output. Namun,
terdapat hubungan yang negatif antara permintaan uang dengan suku bunga. Sedangkan dalam jangka pendek, terjadi perubahan komposisi dari variabelvariabel
yang
mempengaruhi
permintaan
uang
dan
inflasi
akibat
diperhitungkannya lag dari masing-masing variabel yang digunakan. Krisis ekonomi memberikan dampak yang berbeda pada kedua model pada jangka pendek dan jangka panjang. Selama periode penelitiannya, pada jangka pendek krisis ekonomi berhubungan negatif terhadap permintaan uang dan pada jangka panjang krisis ekonomi berdampak positif terhadap permintaan uang masyarakat. Sedangkan pada jangka pendek krisis ekonomi berhubungan positif dengan inflasi dan pada jangka panjang berhubungan negatif dengan inflasi.
2.4. Kerangka Pemikiran
Dengan sejumlah permasalahan dan tujuan yang dirumuskan dalam penelitian ini, secara garis besar tahapan-tahapan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.7. Untuk menjawab permasalahan dan tujuan yang dirumuskan, maka sebagai langkah awal dilakukan studi literatur melalui berbagai sumber mengenai teori-teori ekonomi dan hasil penelitian sebelumnya yang terkait dengan permintaan uang dan inflasi. Kemudian dibuat suatu hipotesis berdasarkan studi literatur tersebut. Hipotesis tersebut akan diuji dengan membandingkannya terhadap data yang telah dianalisis sesuai dengan permasalahan. Adapun analisis yang dilakukan terhadap data meliputi : (1) Analisis terhadap model permintaan uang jangka panjang dengan menggunakan Johansen cointegration procedures. Analisis ini
berguna untuk menjawab permasalahan pertama. (2) Analisis terhadap model inflasi dinamis (jangka pendek) dengan menggunakan Error Correction Model (ECM). Analisis ini dilakukan untuk menjawab permasalahan kedua dan ketiga. Hasil analisis terhadap data tersebut kemudian dibandingkan dengan hipotesis. Sehingga pada akhirnya akan dicapai suatu kesimpulan dan berguna untuk merumuskan suatu saran. 1. 2. 3.
1. 2. 3.
Permasalahan : Bagaimana hubungan antara broad money, harga domestik, GDP riil, dan foreign interest rates dalam model permintaan uang jangka panjang? Bagaimana hubungan antara inflasi, broad money, nilai tukar, foreign prices, dan foreign interest rates dalam model inflasi dinamis (jangka pendek)? Bagaimana dampak dari ketidakseimbangan di pasar uang dan peralihan rezim nilai tukar terhadap inflasi di Indonesia?
Tujuan : Menganalisis hubungan antara broad money, harga domestik, GDP riil, dan foreign interest rates dalam model permintaan uang jangka panjang. Menganalisis hubungan antara inflasi, broad money, nilai tukar, foreign prices, dan foreign interest rates dalam model inflasi dinamis (jangka pendek). Menganalisis dampak dari ketidakseimbangan di pasar uang dan peralihan rezim nilai tukar terhadap inflasi di Indonesia.
Hipotesis
Data
Johansen Cointegration Procedures
Analisis model permintaan uang jangka panjang
Error Correction Model (ECM), Diagnostic Test
Pengujian Hipotesis
Kesimpulan dan Saran
Gambar 2.7. Kerangka Pemikiran
Analisis model inflasi dinamis
2.5. Hipotesis
1. Terdapat hubungan jangka panjang yang stabil antara broad money, harga domestik, GDP riil, dan foreign interest rates dalam model permintaan uang jangka panjang. 2. Inflasi mempunyai hubungan yang positif dengan broad money, foreign prices, dan foreign interest rates. Dimana peningkatan broad money, foreign prices, dan foreign interest rates akan meningkatkan inflasi. Selain itu,
depresiasi rupiah akan mengakibatkan ekspektasi inflasi. 3. Ketidakseimbangan di pasar uang dan peralihan rezim nilai tukar akan memberikan dampak yang signifikan terhadap inflasi.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber, yaitu : Bank Indonesia dan International Financial Statistic (IFS) of International Monetary Fund (IMF). Data-data yang
digunakan, diantaranya : broad money (M2), Indeks Harga Konsumen (IHK) Indonesia, nilai tukar (US$/Rp), GDP riil, suku bunga negara-negara maju, dan Indeks Harga Konsumen (IHK) negara-negara industri. Adapun data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series (kuarter) periode 19902005. Semua variabel yang digunakan dalam bentuk logaritma, kecuali suku bunga. Selain itu, digunakan pula satu variabel dummy (dum_XRate) untuk mencakup peralihan rezim nilai tukar di Indonesia yaitu dari manage floating exchange rate regime ke floating exchange rate regime yang dimulai sejak kuarter
ketiga tahun 1997. Variabel dummy tersebut dimasukkan ke dalam persamaan inflasi dinamis (dynamic inflation equation).
3.2. Model Penelitian
Dalam menganalisis inflasi di Indonesia dari sisi permintaan uang digunakan uji kointegrasi Johansen dan Error Correction Model (ECM). Penggunaan ECM dikarenakan ECM dapat merestriksi hubungan jangka panjang variabel-variabel endogen ke arah hubungan kointegrasinya dengan tetap memungkinkan penyesuaian dinamis jangka pendek. Dalam ECM terdapat error
correction term yang merupakan deviasi dari keseimbangan jangka panjang yang
akan dikoreksi secara perlahan-lahan melalui penyesuaian jangka pendek. Model yang digunakan dalam penelitian ini diadopsi dari model penelitian Nassar (2005) mengenai Money Demand and Inflation in Madagascar. Selain dikarenakan sesuainya model tersebut dengan masalah yang diteliti, pengadopsian model tersebut untuk kasus Indonesia juga dikarenakan baik Indonesia maupun Madagaskar sama-sama mengalami guncangan peralihan rezim nilai tukar dan krisis. Dalam penelitiannya di Madagaskar, Nassar mengkonstruksi
error
correction model untuk inflasi tidak hanya dengan memasukkan error correction term dan lag dari seluruh variabel yang ada dalam sistem. Nassar juga
memasukkan tiga variabel dummy (untuk mencakup shock yang terjadi pada perekonomian Madagaskar) dan centered seasonal dummy variable (yang digunakan pada regresi). Sedangkan variabel GDP atau pendapatan riil dikeluarkan dari sistem persamaan inflasi tersebut. Demikian pula halnya dengan penelitian ini. Sehingga persamaan untuk inflasi di Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut: k
k
k
k
k
i =1
i =0
i =0
i =0
i =0
Δpt = b1 ∑ Δp t −i + b2 ∑ Δmt −i + b3 ∑ Δet −i + b4 ∑ Δpt*−i + b5 ∑ Δit*−i − b6 ECM t −1
+ b 7 dum _ XRate + b8 CSeasonal1 + b9 CSeasonal 2
+ b10 CSeasonal3 + ε t
Dimana : p t −i
= Lag Indeks Harga Konsumen (IHK) Indonesia
(3.1)
mt − i
= Lag broad money (M2) Indonesia
et − i
= Lag nilai tukar (US$/Rp)
pt*−i
= Lag Indeks Harga Konsumen (IHK) luar negeri
it*−i
= Lag suku bunga luar negeri
dum _ XRate
= Variabel dummy untuk peralihan rezim nilai tukar
CSeasonal
= Centered seasonal dummy
ECM t −1
= Error correction term yang merupakan representasi dari excess inflasi akibat ketidakseimbangan di pasar uang (excess money supply) pada jangka panjang, yaitu :
ECMt −1 = pt −1 − β1mt −1 + β 2 yt −1 − β 3it*−1 + β 4
(3.2)
Dalam pembahasan sebelumnya telah disebutkan bahwa semua variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dalam bentuk logaritma. Hal ini merujuk pada model penelitian Nassar (2005). Oleh karena itu, persamaan (3.1) dapat dituliskan dalam bentuk logaritma sebagai berikut : k
k
k
i =1
i =0
i =0
Δ( Log _ P) t = b1 ∑ Δ( Log _ P) t −i + b2 ∑ Δ( Log _ M ) t −i + b3 ∑ Δ( Log _ E ) t −i k
k
i =0
i =0
+ b4 ∑ Δ( Log _ P * ) t −i + b5 ∑ Δit*−i − b6 ECM t −1 + b 7 dum _ XRate
(3.3)
+ b8 CSeasonal1 + b9 CSeasonal 2 + b10 CSeasonal3 + ε t
Dengan :
ECMt −1 = ( Log _ P) t −1 − β1 ( Log _ M ) t −1 + β 2 ( Log _ Y ) t −1 − β 3it*−1 + β 4
(3.4)
3.3. Metode Analisis Data 3.3.1. Uji Stasioneritas Data
Masalah kestasioneran data ini menjadi sangat penting karena data yang tidak stasioner akan menghasilkan Spurious Regression (regresi palsu), yaitu regresi yang menggambarkan hubungan dua variabel atau lebih yang nampaknya signifikan secara statistik padahal kenyataannya tidak demikian, atau tidak sebesar regresi yang dihasilkan tersebut. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengukur keberadaan stasioneritas data, salah satunya adalah dengan menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) Test. Jika nilai ADF statistiknya lebih kecil dari MacKinnon Critical Value maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut stasioner. Namun jika
nilai ADF statistiknya ternyata lebih besar dari nilai MacKinnon Critical Value berarti data tersebut tidak stasioner. Salah satu cara yang dapat dilakukan apabila berdasarkan uji ADF diketahui suatu data time series adalah non stasioner adalah dengan meningkatkan taraf nyata yang digunakan. Jika hal tersebut tidak berhasil, kemudian lakukan difference non stationary processes. Thomas (1997) menyebutkan bahwa pada dasarnya Augmented Dickey Fuller (ADF) test melakukan regresi terhadap persamaan berikut : ΔX t = α + φ * X t −1 + φ1* ΔX t −1 + φ 2* ΔX t −2 + ... + φ r*−1 ΔX t −r +1 + u t
Hipotesis yang diuji adalah : H0 : φ * = 0 (data tidak stasioner), H1 : φ * < 0 (data stasioner).
(3.5)
Dimana φ * = φ1 + φ 2 + ... + φ r − 1 . Nilai φ * diestimasi melalui metode Ordinary Least Squares (OLS) dengan statistik uji yang digunakan, adalah : t hit = φ * sφ *
(3.6)
dengan : sφ * = Simpangan baku dari φ * .
Jika nilai t hit lebih kecil dari nilai MacKinnon Critical Value, maka keputusan yang diambil adalah tolak H0. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa data tersebut stasioner.
3.3.2. Penentuan Selang (Lag) Optimal
Terdapat beberapa tahap bentuk pengujian yang akan dilakukan untuk memperoleh panjang selang (tingkat lag) optimal. Pada tahap pertama akan dilihat panjang selang maksimum sistem VAR yang stabil. Stabilitas sistem VAR dilihat dari nilai inverse roots karakteristik AR polinomialnya. Suatu sistem VAR dikatakan stabil (stasioner) jika seluruh roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari satu dan semuanya terletak di dalam unit circle. Pada tahap kedua, panjang selang optimal akan dicari dengan menggunakan kriteria informasi yang tersedia. Kandidat selang yang terpilih adalah panjang selang menurut kriteria Sequential Modified LR Test Statistic (LR), Final Prediction Error (FPE), Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SC) dan Hannan-Quinn Information Criterion (HQ).
3.3.3. Uji Hubungan Kointegrasi
Uji kointegrasi digunakan untuk memperoleh hubungan jangka panjang antara variabel-variabel dalam model. Enders (2004) dalam bukunya Applied Econometric Time Series menyatakan bahwa kointegrasi merujuk pada kombinasi
linier antara variabel-variabel yang tidak stasioner. Engle dan Granger (1987) dalam Enders (2004) mengemukakan bahwa hubungan kointegrasi hanya bisa dibentuk oleh variabel-variabel yang terintegrasi pada derajat yang sama. Selain itu, menurut Engle dan Granger komponenkomponen dari vektor xt = ( x1t , x 2t ,..., x nt ) dikatakan terkointegrasi pada order (d,b), jika : 1. Semua komponen-komponen dari xt terintegrasi pada order d, 2. Terdapat vektor β = ( β1 , β 2 ,..., β n ) sehingga kombinasi linier dari
βxt = β 1 x1t + β 2 x 2t + ... + β n x nt terintegrasi pada order (d-b) dengan b>0. Pada dasarnya terdapat beberapa cara untuk melakukan uji kointegrasi, yaitu: uji kointegrasi Engle-Granger dan uji kointegrasi Johansen. Namun, yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang disebutkan terakhir yaitu uji kointegrasi Johansen. Prosedur pengujian kointegrasi Johansen merupakan generalisasi multivariat dari Dickey-Fuller Test (Enders, 2004). Seperti halnya the augmented dickey fuller test, model multivariat juga dapat digeneralisasi menjadi : xt = A1 xt −1 + A2 xt − 2 + ... + A p X t − p + ε t
Persamaan (3.7) juga dapat ditransformasi menjadi :
(3.7)
p −1
Δxt = πxt −1 + ∑ π i Δxt −i + ε t
(3.8)
i =1
Dimana : p
π = −( I − ∑ Ai ) i =1
p
π i = − ∑ Aj j = i +1
Pengujian dilakukan untuk mengevaluasi rank dari matriks π . Rank dari matriks π
merupakan jumlah vektor kointegrasi yang independen. Jika
rank( π )=0, maka matriks bernilai nol dan persamaan (3.8) merupakan persamaan
VAR biasa dalam bentuk first difference. Jika rank( π )=1, terdapat satu vektor kointegrasi dan bagian πxt −1 merupakan error correction terms. Jumlah vektor kointegrasi dapat diperoleh dengan melihat signifikansi dari characteristic roots dari π . Pengujian jumlah characteristic roots dapat dilakukan dengan menggunakan dua statistik uji, yaitu : n
λtrace (r ) = −T ∑ ln(1 − λˆi )
(3.9)
i = r +1
λ max (r , r + 1) = −T ln(1 − λˆr +1 )
(3.10)
Dimana :
λˆi
= Estimasi nilai characteristic roots (yang disebut eigenvalues) yang diperoleh dari estimasi matriks π
T
= Jumlah observasi yang digunakan
3.3.4. Error Correction Model (ECM)
Error correction model digunakan untuk mengatasi masalah data deret waktu (time series) yang non stasioner dan spurious correlation (Thomas, 1997). Penggunaan ECM sesuai dengan permasalahan yang diangkat pada penelitian ini karena ECM mampu menggabungkan efek jangka pendek dan efek jangka panjang. Thomas (1997) mengemukakan beberapa kelebihan dari ECM, diantaranya : 1. Dengan dimasukkannya disequilibrium term ke dalam ECM, maka tidak ada informasi yang dikandung oleh variabel-variabel di tingkat level yang tidak dimanfaatkan. 2. Karena ECM diformulasi dalam bentuk first difference maka dapat mengeliminasi trend dari variabel. 3. ECM dapat diestimasi dengan menggunakan metode regresi klasik. 4. ECM mampu memberikan perbedaan yang jelas antara efek jangka pendek dan efek jangka panjang. 5. ECM mampu mengurangi masalah multikolinearitas. 6. ECM juga memungkinkan kita untuk mengeliminasi variabel-variabel yang tidak signifikan tanpa menimbulkan masalah terhadap diagnostic statistic. Sehingga, efisiensi estimasi dapat ditingkatkan. Estimasi ECM yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri atas dua tahap, yaitu : (i) estimasi hubungan kointegrasi dengan Johansen procedure (ii) mengkonstruksi error correction term dari hubungan kointegrasi yang telah
diestimasi kemudian mengestimasi error correction model (ECM) dengan mencakup error correction term sebagai regressors. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa model yang digunakan dalam penelitian ini diadopsi dari model penelitian Nassar (2005) mengenai Money Demand and Inflation in Madagascar. Adapun spesifikasi persamaan inflasi yang dikemukakan oleh Nassar dan selanjutnya juga digunakan dalam penelitian ini adalah traditional extension dari model disekuilibrium moneter untuk ekonomi terbuka. Ini diturunkan dari model teoritis yang menggambarkan perekonomian kecil yang memiliki tradable goods sector dan non tradable goods sector. Keseluruhan tingkat harga dinyatakan dalam logaritma ( pt ) yang merupakan rata-rata tertimbang dari tradable prices ( ptT ) dan nontradable prices ( ptN ), sebagai berikut : p t = λ p tN + (1 − λ ) p tT
(3.11)
dimana:
λ = weight of nontradable prices dalam indeks harga. Harga dari tradable goods ditentukan dari pasar dunia, dengan harga domestik menjadi fungsi dari foreign currency price yang dinyatakan dengan foreign currency terms ( pt* ) dan nilai tukar yang dinyatakan dalam foreign currency per national currency ( et ) :
ptT = pt* + et
(3.12)
Harga dari nontradable goods ditentukan oleh disekuilibrium dalam pasar uang (money market), sehingga inflasi dapat dirumuskan sebagai berikut :
Δ p tN = ϕ [( m t − p t ) − m td ]
(3.13)
dimana : mt
=
mtd
= permintaan uang riil,
ϕ
=
outstanding stock of money,
Scale factor yang mengggambarkan hubungan antara economy wide demand dan demand untuk nontradable goods. Permintaan uang riil diasumsikan ditentukan oleh pendapatan riil ( y t ),
foreign interest rates ( i * ) dan ekspektasi depresiasi nilai tukar ( Δe ). Dengan demikian, inflasi di nontradables sector dapat dituliskan sebagai berikut :
ΔptN = ϕ (m − pt − α 1 y t + α 2 it* − α 3 Δet )
(3.14)
Sebagaimana dikemukakan oleh teori kuantitas uang, peningkatan dalam outstanding money stock mengakibatkan tingginya inflasi ; peningkatan pendapatan riil meningkatkan permintaan uang untuk tujuan transaksi yang akhirnya akan mengurangi inflasi ; peningkatan opportunity cost dari memegang uang, dengan mengurangi permintaan uang riil, akan mengakibatkan peningkatan inflasi ; dan depresiasi menyebabkan ekspektasi inflasi. Dengan mengasumsikan fungsi permintaan uang yang stabil, penurunan error correction model untuk inflasi adalah sebagai berikut : Dari persamaan (3.11), dimana ptT = ( pt* + et ) pt = λptN + (1 − λ )( pt* + et )
(3.15)
Δpt = λΔptN + (1 − λ )(Δpt* + Δet )
(3.16)
Dari persamaan (3.13) : Δp tN = ϕ (
m ts − m td pt
)
(3.17)
Dari persamaan (3.14) : mtd = pt + α 1 yt − α 2 it* + α 3 Δet = λptN + (1 − λ )( pt* + et ) + α1 yt − α 2 it* + α 3 Δet (3.18)
Substitusi (3.18) terhadap (3.17), dimana ΔptN − ptN−1 menghasilkan : p tN = p tN−1 − λϕ p tN + ϕm t − ϕα 1 y t + ϕα 2 it* − ϕα 3 Δet − ϕ (1 − λ )( p t* + et )
(3.19)
Pengaturan ulang persamaan (3.19), didapat :
ptN = −
ϕ ϕα1 ϕα 2 * ϕα 3 1 ptN−1 + mt − yt + it − Δet 1 + λϕ 1 + λϕ 1 + λϕ 1 + λϕ 1 + λϕ ϕ (1− λ)( pt* + et ) 1+ λϕ
(3.20)
Substitusi (3.20) terhadap (3.15), menghasilkan : pt = −
λ λϕ λϕ [α1 yt − α 2it* + α 3 Δet ] ptN−1 + mt − 1 + λϕ 1 + λϕ 1 + λϕ λϕ (1 − λ )( pt* + et ) + (1 − λ )( pt* + et ) 1 + λϕ
(3.21)
Dari persamaan (3.15) :
λptN−1 = pt −1 − (1 − λ )( pt*−1 + et −1 ) Dengan demikian, persamaan (3.21) dapat dituliskan :
(3.22)
pt =
−
λϕ 1 pt −1 − (1 − λ )( p t*−1 + et −1 ) + mt 1 + λϕ 1 + λϕ
[
]
⎡ λϕ λϕ ⎤ (α 1 y t − α 2 it* + α 3 Δet ) + (1 − λ )( pt* + et ) ⎢1 − ⎥ 1 + λϕ ⎣ 1 + λϕ ⎦
(3.23)
Pengaturan ulang persamaan (3.23) akan diperoleh : pt =
λϕ λϕ 1 1− λ pt −1 + Δpt* + Δet + mt − α1 yt − α 2 it* + α 3 Δet 1 + λϕ 1 + λϕ 1 + λϕ 1 + λϕ
[
]
[
]
(3.24)
Definisikan : k≡
1 ∈ (0,1) 1 + λϕ
1− k ≡ 1−
1 λϕ = ∈ (0,1) 1 + λϕ 1 + λϕ
Oleh karena itu, persamaan (3.24) dapat dituliskan :
[
]
pt = kpt −1 + k(1− λ)Δpt* + (1− k) mt − α1 yt + α2it* + [k(1− λ) − (1− k)α3 ]Δet
[k(1− λ) − (1− k)α3 ] = φ > 0 , positif jika α
3
(3.25)
<0
Δpt = π t Δpt = k (1 − λ )Δpt* + φΔet − (1 − k ) pt −1 + (1 − k )[Δmt − α 1 Δy t + α 2 Δit* ] + (1 − k )[mt −1 − α 1 y t −1 + α 2 it*−1 ]
(3.26)
Pengaturan ulang persamaan (3.26) akan didapatkan : Δpt = k (1 − λ )Δpt* + φΔet + (1 − k )[Δmt − α 1 Δy t + α 2 Δit* ] − (1 − k )[ pt −1 − mt −1 + α 1 y t −1 − α 2 it*−1 ]
(3.27)
Dimana : [ p t −1 − mt −1 + α 1 y t −1 − α 2 it*−1 ] adalah error correction term Dengan demikian error correction model untuk inflasi adalah: k
k
k
i =1
i =0
i =0
Δpt = b0 + b1 ∑ Δpt −i + b2 ∑ Δmt −i + b3 ∑ Δyt −i k
k
k
i =0
i =0
i =0
+ b4 ∑ Δet −i + b5 ∑ Δit*−i + b6 ∑ pt*−i − b7 ECMt −1 + ε t
(3.28)
Dimana ECM t −1 adalah error correction term yang merupakan representasi dari
excess inflasi akibat ketidakseimbangan di pasar uang (excess money supply), yaitu :
ECMt −1 = pt −1 − β1mt −1 + β 2 yt −1 − β 3it*−1
(3.29)
3.3.5 Diagnostic Test
Diagnostic test dilakukan untuk mengevaluasi statistical properties dari model. Dalam penelitian ini, diagnostic test yang dilakukan meliputi : A. Uji Normalitas
Uji ini dilakukan untuk memeriksa apakah error term mendekati distribusi normal. Jika asumsi ini tidak terpenuhi, prosedur pengujian menggunakan statistik t menjadi tidak sah. Uji normalitas error term yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan uji Jarque-Bera. Uji ini didasarkan pada error penduga least squares. Prosedur pengujiannya adalah sebagai berikut :
1. H0 : Error term terdistribusi normal, H1 : Error term tidak terdistribusi normal. 2. Daerah kritis penolakan H0 adalah Jarque Bera (J-B) > χ df2 − 2 atau probabilitas (p_value) < α. B. Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas merupakan asumsi penting lainnya dari model regresi linier klasik dimana bahwa gangguan (disturbance) yang muncul dalam fungsi regresi populasi adalah homoskedastik (tidak terjadi heteroskedastisitas), yaitu semua gangguan mempunyai varians yang sama. Untuk mendeteksi heteroskedastisitas
pada
software
Eviews
perlu
dilakukan
uji
White
Heteroskedasticity dan Autoregressive Conditional Heteroskedasticity (ARCH) test. Hipotesis : H0 : tidak terdapat heteroskedastisitas (homoskedastis), H1 : terdapat heteroskedastisitas. Kriteria uji:
Probability Obs*R-squared < α (taraf nyata yang digunakan), maka tolak H0 Probability Obs*R-squared > α (taraf nyata yang digunakan), maka terima H0 Kesimpulannya, jika menolak H0 maka menunjukkan terdapat masalah heteroskedastisitas
dalam
model.
Sebaliknya,
jika
menerima
menunjukkan tidak terdapat masalah heteroskedastisitas dalam model.
H0 maka
C. Uji Autokorelasi
Asumsi penting dari model regresi linier klasik adalah bahwa tidak ada autokorelasi atau kondisi yang berurutan diantara gangguan atau disturbansi u yang masuk ke dalam fungsi regresi populasi. Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (seperti dalam data deret waktu) atau ruang (seperti dalam data cross
sectional). Pada software Eviews untuk mendeteksi adanya autokorelasi (serial correlations) dapat dilakukan melalui uji Durbin-Watson (DW), dimana jika DW > 2 atau DW < 2 maka terdapat indikasi autokorelasi. Namun dalam penelitian ini, dilakukan pengujian melalui Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test. Hipotesis : H0 : tidak terdapat autokorelasi, H1 : terdapat autokorelasi. Kriteria uji:
Probability Obs*R-squared < α (taraf nyata yang digunakan), maka tolak H0. Probability Obs*R-squared > α (taraf nyata yang digunakan), maka terima H0. Kesimpulannya, jika menolak H0 maka menunjukkan terdapat masalah autokorelasi dalam model. Sebaliknya, jika menerima H0 maka menunjukkan tidak terdapat masalah autokorelasi dalam model. D. Uji Stabilitas
• Recursive Coefficient Estimates Uji ini dilakukan untuk melihat pergerakan dari koefisien-koefisien hasil estimasi. Jika koefisien-koefisien menunjukkan variasi yang signifikan
ketika data ditambahkan dalam mengestimasi persamaan, hal tersebut merupakan indikasi yang kuat akan adanya ketidakstabilan.
• One-Step Forecast Test Uji ini dilakukan untuk melihat stabilitas dari model yang diestimasi. Hasil dari One-Step Forecast Test akan menampilkan plot dari recursive
residuals, standard erorr dan titik sampel yang memiliki probabilitas kurang dari atau sama dengan 15 persen. Titik dimana nilai probabilitasnya kurang dari 0,05 adalah titik dimana recursive residuals melewati dua batas standard error. Pada saat itulah terjadi instabilitas dari model yang diestimasi.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian mengenai “Analisis Inflasi di Indonesia dari Sisi Permintaan Uang” ini menggunakan metode analisis Error Correction Model (ECM). Sedangkan software yang digunakan untuk melakukan analisis data adalah Eviews 4.1. 4.1. Kestasioneran Data
Hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan data time series adalah menguji apakah data yang digunakan bersifat stasioner atau tidak. Data deret waktu dikatakan stasioner jika data menunjukkan pola yang konstan dari waktu ke waktu. Untuk melihat kestasioneran data yang akan dianalisis, dilakukan uji akar unit (unit root test). Adapun uji akar unit yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Augmented Dickey Fuller (ADF). Hasil uji ADF untuk data time
series setiap variabel pada tingkat level dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1. Hasil Uji Akar Unit (Unit Root Test) pada Level Variabel
Nilai ADF
Nilai Kritis MacKinnon
Keterangan
t-Statistic
1%
5%
10%
Log_P
-0,455304
-3,546099
-2,911730
-2,593551
Tidak Stasioner
Log_M2
-2,139990
-3,540198
-2,909206
-2,592215
Tidak Stasioner
Log_Y
-1,299989
-3,540198
-2,909206
-2,592215
Tidak Stasioner
Log_E1
-1,076658
-3,542097
-2,910019
-2,592645
Tidak Stasioner
Log_PF
-0,238561
-3,548208
-2,912631
-2,594027
Tidak Stasioner
IF
-2,109209
-3,548208
-2,912631
-2,594027
Tidak Stasioner
Sumber : Lampiran 2.
Pada Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa tidak satupun dari variabel yang datanya bersifat stasioner pada tingkat level. Ini terlihat dari nilai ADF t-statistic keenam variabel tersebut yang lebih besar dari nilai kritis MacKinnon, bahkan hingga taraf nyata 10 persen. Oleh karena itu, maka perlu dilanjutkan dengan uji akar unit pada tingkat first difference. Uji akar unit pada tingkat first difference (derajat satu) ini dilakukan sebagai konsekuensi dari tidak terpenuhinya asumsi stasioneritas pada tingkat
level (derajat nol). Tabel 4.2 memperlihatkan hasil uji stasioneritas pada tingkat first difference. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa semua data yang digunakan dalam penelitian ini bersifat stasioner pada tingkat first difference, meskipun digunakan taraf nyata satu persen. Dengan kata lain, semua data yang digunakan dalam penelitian ini terintegrasi pada derajat satu (I(1)). Tabel 4.2. Hasil Uji Akar Unit (Unit Root Test) pada First Difference Variabel
Nilai ADF
Nilai Kritis MacKinnon
Keterangan
t-Statistic
1%
5%
10%
Log_P
-4,561245
-3,546099
-2,911730
-2,593551
Stasioner
Log_M2
-6,433085
-3,542097
-2,910019
-2,592645
Stasioner
Log_Y
-10,93455
-3,542097
-2,910019
-2,592645
Stasioner
Log_E1
-5,793823
-3,542097
-2,910019
-2,592645
Stasioner
Log_PF
-4,194057
-3,548208
-2,912631
-2,594027
Stasioner
IF
-5,196132
-3,548208
-2,912631
-2,594027
Stasioner
Sumber : Lampiran 2.
Kedua tabel tersebut merupakan rangkuman hasil uji stasioneritas data. Hasil lebih lengkap dari uji stasioneritas data untuk setiap variabel terdapat pada Lampiran 2.
4.2. Tingkat Lag Optimal
Tahapan pertama yang dilakukan untuk menentukan tingkat lag optimal adalah dengan melihat stabilitas sistem VAR. Lampiran 4 menunjukkan nilai
inverse roots karakteristik AR polinomial untuk sistem VAR dengan lag delapan. Dari lampiran tersebut terlihat bahwa seluruh roots memiliki modulus lebih kecil dari satu dan semuanya terletak di dalam unit circle. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem VAR dengan lag delapan tersebut adalah stabil. Tahapan selanjutnya dalam penentuan tingkat lag optimal adalah dengan mempertimbangkan nilai-nilai Sequential Modified LR Test Statistic (LR), Final
Prediction Error (FPE), Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SC) dan Hannan-Quinn Information Criterion (HQ). Sebagaimana terlihat pada Lampiran 5, tingkat lag optimal untuk variabelvariabel yang ingin diestimasi (IHK Indonesia, broad money, GDP riil dan suku bunga luar negeri) adalah lag dua. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar kriteria menunjuk lag dua sebagai lag optimal. Penentuan lag optimal ini penting untuk melakukan uji kointegrasi Johansen.
4.3. Kointegrasi
Uji kointegrasi dilakukan untuk memperoleh hubungan jangka panjang yang stabil antara variabel-variabel yang terintegrasi pada derajat yang sama, yaitu derajat satu (I(1)). Berdasarkan hasil uji stasioneritas, seluruh variabel dalam penelitian ini terintegrasi pada derajat yang sama yaitu I(1). Dengan demikian dapat dilakukan uji kointegrasi. Seperti yang telah disebutkan dalam pembahasan
sebelumnya, uji kointegrasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji kointegrasi Johansen. Uji kointegrasi Johansen ini digunakan untuk mengestimasi hubungan jangka panjang antara IHK Indonesia (Log_P), broad money (Log_M2), GDP riil (Log_Y), dan suku bunga luar negeri (IF). Hubungan jangka panjang antar variabel-variabel tersebut tidak lain adalah representasi dari excess inflasi akibat ketidakseimbangan di pasar uang (excess money supply). Excess inflasi akibat
excess money supply inilah yang merupakan error correction term dalam mengestimasi model inflasi dinamis pada penelitian ini. Adapun tahap awal dari uji kointegrasi Johansen adalah dengan menentukan asumsi tren deterministik yang digunakan. Berdasarkan hasil
summary, sebagaimana terlihat pada Lampiran 6, asumsi tren deterministik yang sesuai untuk digunakan dalam penelitian ini adalah asumsi dua (intercept (no
trend) in CE – no intercept in VAR). Pemilihan asumsi dua diperoleh berdasarkan Schwarz Criteria. Tidak digunakannya asumsi empat (berdasarkan Akaike Information Criteria) merujuk pada Enders (2004) yang mengemukakan bahwa lebih baik menghindari penggunaan tren sebagai variabel independen, kecuali jika terdapat alasan yang kuat untuk menggunakannya. Hasil uji kointegrasi Johansen dengan asumsi dua menunjukkan bahwa terdapat satu persamaan kointegrasi dalam taraf nyata satu persen, baik berdasarkan trace test ataupun max-eigenvalue test (Lampiran 7). Adapun persamaan kointegrasi antar variabel-variabel tersebut adalah : Log_P – 0,263507 Log_M2 – 6,169431 Log_Y - 0,201296 IF + 30,88440
(4.1)
Persamaan (4.1) diatas merupakan representasi dari excess inflasi akibat
excess money supply pada jangka panjang. Persamaan tersebut kemudian digunakan untuk mengkonstruksi error correction term dalam rangka mengestimasi persamaan inflasi dinamis pada penelitian ini. Untuk menjawab permasalahan pertama dalam penelitian ini, maka dibentuk suatu persamaan permintaan uang riil jangka panjang. Persamaan ini dibentuk melalui tiga tahapan, yaitu : (i) mengestimasi sistem VAR yang stabil untuk variabel-variabel M_Riil, Log_Y dan IF, (ii) menentukan tingkat lag optimal, (iii) melakukan uji kointegrasi Johansen untuk menghasilkan persamaan tersebut. Tahapan lebih lengkap terdapat pada Lampiran 8 sampai Lampiran 12. Pada akhirnya akan diperoleh persamaan permintaan uang riil jangka panjang, sebagai berikut :
M_Riil = 6,673365 Log_Y + 0,213221 IF – 30,37554
(4.2)
dengan : M_Riil = Log_M2 – Log_P.
Model permintaan uang riil jangka panjang diatas menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara GDP riil dan permintaan uang riil, jika terjadi peningkatan GDP riil sebesar satu persen akan menyebabkan peningkatan permintaan uang riil sebesar 6,673365 persen. Hal tersebut sesuai dengan teoriteori permintaan uang, yaitu peningkatan GDP riil (pendapatan nasional riil) akan meningkatkan permintaan uang untuk tujuan transaksi yang akhirnya akan meningkatkan permintaan uang riil pada jangka panjang.
Di lain pihak, model tersebut juga menunjukkan adanya hubungan positif antara suku bunga luar negeri dan permintaan uang riil. Peningkatan satu persen pada suku bunga luar negeri, akan meningkatkan permintaan uang riil sebesar 0,213221 persen pada jangka panjang. Hasil ini perlu diinterpretasikan secara hati-hati. Hubungan positif antara suku bunga luar negeri dan permintaan uang riil di Indonesia, bukanlah merupakan fenomena permintaan uang. Akan tetapi dikarenakan money supply di Indonesia yang bersifat endogenous terhadap suku bunga luar negeri, akibat adanya instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Peningkatan suku bunga luar negeri (treasury bill rates) mengharuskan Bank Indonesia untuk meningkatkan suku bunga SBI. Sebagai negara dengan perekonomian terbuka kecil, hal tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya
capital outflow. Meningkatnya suku bunga SBI berarti pula meningkatkan kewajiban Bank Indonesia. Selaku otoritas moneter, Bank Indonesia mempunyai wewenang untuk melakukan pencetakan uang baru dalam rangka memenuhi kewajibannya. Hal ini akan berdampak pada meningkatnya base money (M0) dan
broad money (M2). Dalam penelitian ini, permintaan uang riil (M_Riil) yang digunakan merupakan hasil pengurangan logaritma dari broad money (M2) dan logaritma dari IHK Indonesia. Oleh karena itu, meningkatnya broad money (M2) menyebabkan permintaan uang riil (M-Riil) juga meningkat. Dengan demikian, penelitian ini menemukan bahwa pada jangka panjang kenaikan suku bunga luar negeri akan meningkatkan permintaan uang riil.
4.4. Error Correction Model (ECM)
Error Correction Model (ECM) digunakan untuk mengestimasi model inflasi dinamis (jangka pendek) dalam penelitian ini. Penggunaan ECM dikarenakan ECM mampu menggabungkan efek jangka pendek dan efek jangka panjang. Adapun penyusunan model inflasi dinamis di Indonesia merujuk pada model penelitian Nassar (2005) mengenai Money Demand and Inflation in
Madagascar. Sehingga, faktor-faktor yang diduga sebagai determinan inflasi di Indonesia antara lain : inflasi periode sebelumnya, broad money, nilai tukar, inflasi luar negeri, suku bunga luar negeri, ketidakseimbangan di pasar uang, peralihan rezim nilai tukar dan faktor musiman. Dalam penelitian ini, estimasi ECM untuk inflasi dilakukan dengan merestriksi variabel-variabel yang secara signifikan berpengaruh terhadap inflasi di Indonesia. Hasil restriksi ECM tersebut dapat dilihat pada Lampiran 14 dan Lampiran 15. Dengan demikian error correction model untuk inflasi yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Δ(Log_P) = 0,3118Δ(Log_P)t-2 + 0,2459Δ(Log_M2)t – 0,1393Δ(Log_E1)t-1 – 0,0739Δ(Log_E1)t-2 – 2,1954Δ(Log_PF)t + 1,2192Δ(Log_PF)t-3 + 3,92 X 10-5ECMt-1 + 0,0119CSeasonal1 + 0,0052CSeasonal2 (4.3) Estimasi persamaan inflasi dinamis, persamaan (4.3), memberikan hasil yang menarik. Persamaan tersebut menunjukkan bahwa error correction term (ECMt-1) memberikan dampak positif yang signifikan terhadap inflasi. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa ketidakseimbangan di pasar uang, dalam hal ini
excess money supply, yang terjadi di Indonesia melalui dampaknya terhadap excess inflasi akan semakin memperburuk tingkat inflasi Indonesia. Namun demikian, nilai koefisien error correction term (ECMt-1) sebesar 3,92 X 10-5 menunjukkan relatif kecilnya pengaruh tersebut terhadap inflasi di Indonesia. Sebagian besar variabel-variabel signifikan yang terdapat dalam persamaan inflasi dinamis tersebut juga mempunyai tanda seperti yang diharapkan. Inflasi pada dua kuarter sebelumnya mempunyai dampak positif yang signifikan terhadap inflasi pada periode saat ini. Peningkatan satu persen pada lag dua dari inflasi (inflasi dua kuarter sebelumnya) akan meningkatkan inflasi saat ini sebesar 0,3118 persen. Hal tersebut mengindikasikan bahwa inflasi dua kuarter sebelumnya akan mempengaruhi ekspektasi masyarakat terhadap inflasi saat ini. Tanda positif pada koefisien perubahan broad money menunjukkan bahwa peningkatan dalam perubahan broad money akan meningkatkan inflasi. Dalam hal ini, ketika terjadi kenaikan dalam perubahan broad money sebesar satu persen maka inflasi akan meningkat sebesar 0,2459 persen. Hal ini sesuai dengan hipotesis yang dikemukakan sebelumnya. Hasil estimasi juga menunjukkan bahwa pengaruh nilai tukar terhadap inflasi sesuai dengan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini. Perubahan nilai tukar, baik pada lag satu maupun lag dua, memberikan pengaruh yang signifikan dan negatif terhadap inflasi. Nilai tukar disini adalah nominal effective exchange
rate yang didefinisikan sebagai US$/Rp. Dengan demikian, koefisien dari variabel nilai tukar tersebut dapat diinterpretasikan sebagai berikut :
(i)
Penurunan (depresiasi) sebesar satu persen dari nilai tukar pada satu kuarter sebelumnya, akan meningkatkan inflasi sebesar 0,1393 persen,
(ii)
Penurunan (depresiasi) sebesar satu persen dari nilai tukar pada dua kuarter sebelumnya, akan meningkatkan inflasi sebesar 0,0739 persen,
(iii) Secara keseluruhan, dalam jangka pendek, jika terjadi penurunan (depresiasi) nilai tukar sebesar satu persen akan meningkatkan inflasi sebesar 0,2132 persen. Pengaruh perubahan harga luar negeri (yang merupakan cerminan dari inflasi di luar negeri) terhadap inflasi domestik pada jangka pendek ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan. Inflasi di luar negeri pada tiga kuarter sebelumnya berdampak positif dan signifikan terhadap inflasi domestik saat ini, yaitu kenaikan satu persen pada lag tiga dari inflasi di luar negeri akan meningkatkan inflasi domestik sebesar 1,2192 persen. Namun, hasil penelitian ini juga menemukan bahwa inflasi di luar negeri ternyata berdampak langsung dan negatif terhadap inflasi domestik, dimana kenaikan satu persen pada inflasi di luar negeri saat ini akan menurunkan inflasi domestik sebesar 2,1954. Dengan demikian, dampak keseluruhan dari inflasi di luar negeri terhadap inflasi domestik adalah negatif. Kenaikan satu persen pada inflasi di luar negeri akan menurunkan inflasi domestik sebesar 0.9762 pada jangka pendek. Hasil penelitian ini tentunya tidak sesuai dengan hipotesis yang diajukan sebelumnya. Interpretasi lebih lanjut dari model inflasi dinamis tersebut adalah bahwa suku bunga luar negeri dan peralihan rezim nilai tukar ternyata tidak signifikan mempengaruhi inflasi indonesia. Tidak signifikannya peralihan rezim nilai tukar
terhadap inflasi di Indonesia mengindikasikan bahwa inflasi di Indonesia dipengaruhi oleh perkembangan nilai tukar rupiah itu sendiri dan bukan oleh peralihan rezimnya. Gambar 4.1 memperlihatkan nilai aktual inflasi dan hasil estimasi dari persamaan (4.3). Gambar tersebut menunjukkan bahwa hasil estimasi terhadap inflasi mendekati nilai inflasi yang sebenarnya. Selisih (error) antara inflasi aktual dan hasil estimasi cenderung lebih besar pada kuarter pertama dan kedua di setiap tahun. Hal ini mengindikasikan adanya pengaruh musiman pada kuarter pertama dan kuarter kedua.
Gambar 4.1. Inflasi Aktual dan Hasil Estimasi
4.5. Diagnostic Test
Diagnostic Test terhadap error correction model untuk inflasi dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya masalah-masalah yang muncul dari estimasi OLS. Masalah-masalah yang dimaksud antara lain : normalitas, heteroskedastisitas dan autokorelasi.
A. Uji Normalitas
Uji ini dilakukan untuk memeriksa apakah error term mendekati distribusi normal. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa error term terdistribusi secara normal. Hal ini ditandai dengan nilai probabilitas sebesar 0,522897 yang lebih besar dari taraf nyata 10 persen. Hasil uji normalitas ini dapat dilihat pada Gambar 4.2.
Gambar 4.2. Hasil Uji Normalitas Error Correction Model untuk Inflasi
B. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Autoregressive
Conditional
Heteroskedasticity
(ARCH)
test
dan
white
heteroskedasticity test (no cross terms). Hasil uji heteroskedastisitas tersebut masing-masing ditunjukkan pada Tabel 4.3 dan Tabel 4.4. Tabel 4.3. Hasil Uji Heteroskedastisitas (ARCH Test)
ARCH Test: F-statistic Obs*R-squared Sumber : Lampiran 16.
2.219212 2.210856
Probability Probability
0.141914 0.137043
Tabel 4.4. Hasil Uji Heteroskedastisitas (White Heteroskedasticity Test)
White Heteroskedasticity Test: 0.697948 F-statistic 12.39228 Obs*R-squared
Probability Probability
0.779616 0.716563
Sumber : Lampiran 16.
Pengujian heteroskedastisitas terhadap model inflasi dinamis yang diestimasi, baik dengan ARCH test maupun white heteroskedasticity test (no cross
terms), menunjukkan bahwa tidak terdapat masalah heteroskedastisitas pada model inflasi dinamis tersebut. Hal ini diperlihatkan dengan nilai probabilitas
obs*R-squared yang lebih besar dari taraf nyata (10 persen).
C. Uji Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test digunakan dalam penelitian ini untuk menguji keberadaan autokorelasi pada persamaan inflasi dinamis (jangka pendek). Hasil uji autokorelasi ini ditampilkan pada Tabel 4.5. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa model inflasi dinamis dalam penelitian ini terbebas dari masalah autokorelasi. Hal ini ditunjukkan dengan nilai probabilitas obs*R-squared yang lebih besar dari taraf nyata (10 persen). Tabel 4.5. Hasil Uji Autokorelasi Error Correction Model untuk Inflasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: 0.226016 Probability F-statistic 0.548564 Probability Obs*R-squared Sumber : Lampiran 17.
0.798550 0.760118
D. Uji Stabilitas
• Recursive Coefficient Estimates Hasil recursive estimates terhadap koefisien-koefisien dari seluruh variabel yang signifikan dalam error correction model untuk inflasi (persamaan 4.3) dapat dilihat pada Gambar 4.3. Gambar tersebut menunjukkan estimasi koefisien pada setiap titik sampel bersamaan dengan batas standard errornya (ditunjukkan dengan ± 2SE). Hasil estimasi menunjukkan bahwa sebelum tahun 1998 koefisien-koefisien dalam persamaan (4.3) ternyata kurang stabil. Lebih jauh, ternyata pergerakan koefisien-koefisien hasil estimasi tersebut juga menunjukkan adanya lompatan yang tajam dalam kurun waktu 1998 – 1999. Penemuan ini sangat beralasan mengingat Indonesia mengalami guncangan krisis dan peralihan rezim nilai tukar pada periode tersebut. Penemuan lainnya adalah pergerakan koefisien relatif konstan (stabil) setelah periode 1998-1999.
Gambar 4.3. Uji Stabilitas Koefisien dalam ECM untuk Inflasi
• One-Step Forecast Test Berbeda dengan pembahasan sebelumnya yang berusaha menguji stabilitas dari koefisien-koefisien hasil estimasi, bagian ini berusaha melihat stabilitas dari model yang diestimasi. Uji ini dilakukan dengan melihat stabilitas dari residual dalam model tersebut. Hasil uji ini diberikan pada Gambar 4.4.
Gambar 4.4. Uji Stabilitas Error Correction Model untuk Inflasi Gambar diatas menunjukkan bahwa error correction model untuk inflasi relatif stabil selama periode penelitian (kecuali periode 1998-1999). Stabilnya model inflasi dinamis tersebut terlihat dengan relatif konstannya dua batas
standard error dan pergerakan residual dari model tersebut juga tidak melewati batas standard error yang ada, kecuali periode 1998-1999. Pergerakan residual yang melewati batas standard error pada periode 1998-1999 mengindikasikan bahwa terjadi instabilitas dalam error correction model untuk inflasi pada periode tersebut. Ketidakstabilan ini cukup beralasan mengingat pada masa itu perekonomian Indonesia mengalami guncangan yang cukup besar, yaitu krisis dan peralihan rezim nilai tukar.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Hasil penelitian ini mengindikasikan adanya hubungan jangka panjang yang stabil antara IHK Indonesia, broad money, GDP riil dan suku bunga luar negeri. Adapun hubungan yang stabil tersebut tidak lain merefleksikan excess inflasi akibat ketidakseimbangan di pasar uang (excess money supply) pada jangka panjang. Selain itu, penelitian ini juga menemukan adanya model permintaan uang riil yang stabil di Indonesia pada jangka panjang. Pada model ini, permintaan uang riil di Indonesia pada jangka panjang dipengaruhi oleh GDP riil dan suku bunga luar negeri. Dalam hal ini, baik GDP riil maupun suku bunga luar negeri ternyata berpengaruh positif terhadap permintaan uang riil di Indonesia pada jangka panjang. Berdasarkan pada model inflasi dinamis jangka pendek, analisis ini menunjukkan bahwa perubahan broad money, harga luar negeri dan nilai tukar mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap inflasi Indonesia. Dimana perubahan broad money berpengaruh positif terhadap inflasi Indonesia, sedangkan secara keseluruhan perubahan harga luar negeri dan perubahan nilai tukar berpengaruh negatif terhadap inflasi Indonesia pada jangka pendek. Akan tetapi, penelitian ini menemukan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari suku bunga luar negeri terhadap inflasi di Indonesia pada jangka pendek. Hasil penelitian ini juga menunjukkan signifikannya inflasi pada dua kuarter sebelumnya dalam mempengaruhi inflasi saat ini. Hal tersebut mengindikasikan
bahwa inflasi dua kuarter sebelumnya akan mempengaruhi ekspektasi masyarakat terhadap inflasi saat ini. Model
inflasi
dinamis
tersebut
juga
menunjukkan
bahwa
ketidakseimbangan di pasar uang (excess money supply), melalui dampaknya terhadap excess inflasi, mempunyai pengaruh signifikan yang positif terhadap inflasi di Indonesia pada jangka pendek. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ketidakseimbangan di pasar uang yang terjadi di Indonesia akan semakin memperburuk kondisi inflasi Indonesia. Di lain pihak, peralihan rezim nilai tukar ternyata tidak signifikan dalam mempengaruhi inflasi di Indonesia.
5.2. Saran
Berdasarkan pada hasil yang telah diperoleh, maka ada beberapa saran yang diajukan dalam penelitian ini. Adanya fungsi permintaan uang yang stabil berimplikasi bahwa monetary targeting framework adalah masih kredibel untuk diterapkan di Indonesia dan memungkinkan bank sentral untuk mencapai target inflasinya. Namun demikian, Bank Indonesia saat ini telah beralih pada interest
rate targeting dalam mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan. Oleh karena itu, disarankan akan adanya perbandingan mengenai jalur mana yang paling efektif untuk mencapai target inflasi di Indonesia, apakah monetary targeting atau
interest rate targeting. Penemuan bahwa inflasi sangat dipengaruhi oleh inflasi sebelumnya mengindikasikan bahwa masyarakat dapat membangun ekspektasi inflasi berdasarkan kejadian-kejadian sebelumnya. Dengan demikian, upaya untuk
mengurangi inflasi melalui kebijakan moneter ketat juga harus dibarengi dengan adanya upaya untuk mengubah ekspektasi masyarakat, misalnya melalui pengumuman target inflasi pada media cetak dan elektronik. Akan tetapi, pengumuman target inflasi tersebut harus disertai aksi riil yang meyakinkan masyarakat. Selain itu, signifikannya pengaruh perubahan broad money terhadap inflasi berimplikasi bahwa pemerintah diharapkan mampu mengontrol jumlah
broad money. Dengan adanya liberalisasi dan deregulasi, diharapkan pemerintah tetap mampu mengontrol jumlah broad money melalui pengendalian capital
inflow dan capital outflow. Hal lainnya adalah kestabilan rupiah perlu juga mendapat perhatian dalam pengendalian inflasi. Upaya pengendalian kestabilan rupiah dapat dilakukan dengan stabilisasi kondisi dalam negeri serta pengendalian terhadap capital inflow dan capital outflow.
DAFTAR PUSTAKA
Bank Indonesia. Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia. Berbagai Edisi. Basri, Y. Z. dan M. Subri. 2003. Keuangan Negara dan Analisis Kebijakan Utang Luar Negeri. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Batiz, R. 1994. International Finance and Open Economy Macroeconomics. Prentice Hall, USA. Blavy, R. 2004. “Inflation and Monetary Pass-Through in Guinea”. IMF Working Paper, WP/04/223. Bleaney, M. 2001. “Exchange Rate Regimes and Inflation Persistente”. IMF Staff Papers, 47 (No.3) : 387-402. Callen, T. dan D. Chang. 1999. “Modelling and Forecasting Inflation in India”. IMF Working Paper, WP/99/119. Celasun, O. dan M. Goswami. 2002. “An Analysis of Money Demand and Inflation in The Islamic Republic of Iran”. IMF Working Paper, WP/02/205. Charemza, W. W. dan D. F. Derek. 1997. New Directions in Econometric Practice. Second Edition. Edward Elgard, Cheltenham, UK. Enders, W. 2004. Applied Econometric Time Series. Second Edition. Wiley, USA. Gujarati, D. 1995. Ekonometrika Dasar. Erlangga, Jakarta. Harris, R. dan R. Sollis. 2003. Applied Time Series Modelling and Forecasting. Durham University, England. Hossain, A. dan A. Chowdhury. 2001. Open-Economy Macroeconomics for Developing Countries. Edward Elgar Publishing, United Kingdom.
International Monetary Fund (IMF). International Financial Statistics (IFS). http://www.imf.org [6 Februari 2006] Johansen, S. 1995. Likelihood-Based Inference in Cointegrated Vector Autoregressive Models. Oxford University Press, US.
Kalra, S. 1998. “Inflation and Money Demand in Albania”. IMF Working Paper, WP/98/101. Kuijs, L. 1998. “Determinants of Inflation, Exchange rate, and Output in Nigeria”. IMF Working Paper, WP/98/160. Lim, C. H. dan L. Papi. 1997. “An Econometric Analysis of The Determinants of Inflation in Turkey”. IMF Working Paper, WP/97/170. Maliszewski, W. 2003. “Modeling Inflation in Georgia”. IMF Working Paper, WP/03/212. Manurung, M. dan P. Rahardja. 2004. Uang, Perbankan, dan Ekonomi Moneter (Kajian Konstekstual Indonesia). FE-UI, Jakarta. Mishkin, F. S. 2001. The Economics of Money, Banking, and Financial Markets. 6th Edition. Columbia University, USA. Nachega, J. C. 2001. “A Cointegration Analysis of Broad Money Demand in Cameroon”. IMF Working Paper, WP/01/26. Nassar, K. 2005. “Money Demand and Inflation in Madagascar”. IMF Working Paper, WP/05/236. Nopirin. 2000. Ekonomi Moneter. Edisi ke-4. BPFE, Yogyakarta. Oomes, N. dan F. Ohnsorge. 2005. “Money Demand and Inflation in Dollarized Economies : The Case of Russia”. IMF Working Paper, WP/05/144. Romayani, D. 2005. Analisis Permintaan Uang dan Inflasi di Indonesia. [Skripsi]. FEM IPB, Bogor. Sacerdoti, E. dan Y. Xiao. 2001. “Inflation Dynamics in Madagascar, 1971-2000”. IMF Working Paper, WP/01/168. Sriram, S. S. 2001. “A Survey of Recent Empirical Money Demand Studies”. IMF Staff Papers, 47 (No.3) : 334-365. Thomas, R. L. 1997. Modern Econometrics An Introduction. Addison Wesley Longman Limited, England. Warjiyo, P. 2004. Bank Indonesia Bank Sentral Republik Indonesia Sebuah Pengantar. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia, Jakarta. Williams, O. dan O. S. Adedeji. 2004. “Inflation Dynamics in The Dominican Republic”. IMF Working Paper, WP/04/29.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Mentah
obs 1990:1 1990:2 1990:3 1990:4 1991:1 1991:2 1991:3 1991:4 1992:1 1992:2 1992:3 1992:4 1993:1 1993:2 1993:3 1993:4 1994:1 1994:2 1994:3 1994:4 1995:1 1995:2 1995:3 1995:4 1996:1 1996:2 1996:3 1996:4 1997:1 1997:2 1997:3 1997:4 1998:1 1998:2 1998:3 1998:4 1999:1 1999:2 1999:3 1999:4 2000:1 2000:2 2000:3 2000:4 2001:1 2001:2
P 27.59170 28.20300 29.32230 29.85510 30.19140 30.88560 31.99680 32.72430 33.15560 33.73000 34.02150 34.35820 36.20940 36.92700 37.36510 37.86800 39.07310 39.73030 40.68910 41.51580 42.65450 43.89550 44.47680 45.16800 47.18060 47.40100 47.61180 48.04140 49.28430 49.71230 50.64120 52.44840 62.84890 74.37260 89.29470 93.56220 98.01210 97.36210 95.17600 95.10950 97.45090 98.43380 100.6280 103.4940 106.5580 109.4090
M2 64367.00 70125.00 76907.00 84630.00 81124.00 87757.00 93328.00 99059.00 100796.0 106922.0 113487.0 119052.0 123161.0 124340.0 136387.0 145202.0 148829.0 152798.0 162900.0 174512.0 181701.0 192127.0 206079.0 222638.0 232493.0 249445.0 259928.0 288631.0 294581.0 312839.0 329074.0 355643.0 449824.0 565785.0 550404.0 577381.0 603326.0 615411.0 652289.0 646205.0 656451.0 684335.0 686455.0 747027.0 766812.0 796441.0
Y E (Rp/US$) E1(US$/Rp) 66647.10 1823 0.000549 67955.50 1844 0.000542 63006.80 1864 0.000536 65652.40 1901 0.000526 74107.70 1932 0.000518 70958.10 1954 0.000512 74003.10 1968 0.000508 67696.70 1992 0.000502 86077.30 2017 0.000496 82958.70 2033 0.000492 80196.90 2038 0.000491 58241.50 2062 0.000485 78529.70 2071 0.000483 79380.50 2088 0.000479 85254.10 2108 0.000474 86611.70 2110 0.000474 85605.00 2144 0.000466 87888.20 2160 0.000463 91142.90 2181 0.000459 90004.80 2200 0.000455 92563.10 2219 0.000451 94340.30 2246 0.000445 98293.80 2276 0.000439 98595.40 2308 0.000433 97874.80 2338 0.000428 100634.6 2342 0.000427 106562.1 2340 0.000427 108726.2 2383 0.000420 105260.9 2419 0.000413 105867.1 2450 0.000408 112212.7 3275 0.000305 109904.9 4650 0.000215 100535.7 8325 0.000120 91742.00 14900 6.71E-05 94258.20 10700 9.35E-05 89839.20 8025 0.000125 94371.10 8685 0.000115 93387.70 6726 0.000149 96940.40 8386 0.000119 94654.00 7100 0.000141 98244.50 7590 0.000132 98191.90 8735 0.000114 100862.9 8780 0.000114 100717.6 9595 0.000104 102226.9 10400 9.62E-05 102456.3 11440 8.74E-05
PF 76.82000 77.88600 78.90500 80.17600 80.95500 81.69800 82.28200 83.05000 83.56600 84.40800 84.78300 85.35100 85.93800 86.69400 87.11300 87.53000 88.06600 88.65500 89.14100 89.58800 90.22600 90.98400 91.29000 91.61400 92.21800 93.03000 93.26900 93.74700 94.22100 94.86300 95.20500 95.55300 95.71800 96.29200 96.43600 96.77000 96.83100 97.58200 97.91800 98.37400 98.95200 99.78900 100.3880 100.8710 101.4250 102.4040
IF 11.54820 11.76650 11.50550 11.23600 10.57100 9.622700 9.460800 9.156600 8.958800 8.888400 9.297200 8.892100 7.732300 7.102100 6.305200 5.799600 5.658900 6.057600 6.331300 6.809000 7.573200 7.500900 7.226900 6.884900 6.242800 5.807500 5.590600 5.028600 4.881900 4.863800 4.909100 5.003600 4.905900 4.917400 4.753000 4.209600 3.808800 3.616600 3.850100 4.267100 4.650300 5.107400 5.344300 5.293200 4.684800 4.284400
2001:3 2001:4 2002:1 2002:2 2002:3 2002:4 2003:1 2003:2 2003:3 2003:4 2004:1 2004:2 2004:3 2004:4 2005:1 2005:2 2005:3
113.4700 116.5790 122.0530 123.1460 125.2410 128.5570 131.5060 131.7720 132.8930 135.6880 137.9250 140.6450 142.1460 144.3500 148.5910 151.3970 154.1040
783104.0 844054.0 831410.0 838635.0 859706.0 883908.0 877776.0 894554.0 911223.0 955692.0 935249.0 975166.0 986806.0 1033528. 1020693. 1073746. 1150451.
104685.0 102386.2 104833.3 107037.3 110804.0 106512.9 109661.4 111995.8 115795.3 111504.7 114625.6 116754.4 120877.5 118538.2 128272.4 135511.5 148800.9
9675 10400 9655 8730 9015 8940 8908 8285 8389 8465 8587 9415 9170 9290 9480 9713 10310
0.000103 9.62E-05 0.000104 0.000115 0.000111 0.000112 0.000112 0.000121 0.000119 0.000118 0.000116 0.000106 0.000109 0.000108 0.000105 0.000103 9.70E-05
102.5130 102.3780 102.7270 103.6820 103.9640 104.3520 105.1170 105.5520 105.8350 106.0430 106.6190 107.7680 108.0470 108.6490 108.9290 110.0470 110.8150
Sumber : Bank Indonesia (2006) dan International Monetary Fund (2006) Catatan : P = IHK Indonesia (Index number) M2 = Broad money Indonesia (Milyar Rp) Y = GDP riil Indonesia (Milyar Rp) E = Nilai tukar (Rp/US$) E1 = Nilai tukar (US$/Rp) PF = IHK negara-negara industri (Index number) IF = Rata-rata treasury bill rates negara-negara maju (persen)
3.860200 2.912300 2.997300 3.138700 2.938400 2.682600 2.419600 2.292300 2.188800 2.308800 2.160000 2.291500 2.466200 2.601500 2.691200 2.658600 2.758500
Lampiran 2. Uji Stasioneritas Data
IF PADA LEVEL Null Hypothesis: IF has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.109209 -3.548208 -2.912631 -2.594027
0.2419
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(IF) Method: Least Squares Date: 04/28/06 Time: 12:19 Sample(adjusted): 1991:2 2005:3 Included observations: 58 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
IF(-1) D(IF(-1)) D(IF(-2)) D(IF(-3)) D(IF(-4)) C
-0.035120 0.567393 -0.134853 0.216302 -0.420199 0.081454
0.016651 0.119862 0.140381 0.139599 0.116892 0.094626
-2.109209 4.733703 -0.960623 1.549456 -3.594751 0.860800
0.0398 0.0000 0.3412 0.1273 0.0007 0.3933
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.515550 0.468968 0.279189 4.053216 -5.131394 2.190323
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-0.134698 0.383123 0.383841 0.596990 11.06765 0.000000
IF PADA 1ST DIF Null Hypothesis: D(IF) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-5.196132 -3.548208 -2.912631 -2.594027
0.0001
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(IF,2) Method: Least Squares Date: 04/28/06 Time: 12:19 Sample(adjusted): 1991:2 2005:3 Included observations: 58 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(IF(-1)) D(IF(-1),2) D(IF(-2),2) D(IF(-3),2) C
-0.732854 0.341830 0.199500 0.425244 -0.097185
0.141038 0.138651 0.129592 0.120610 0.043552
-5.196132 2.465392 1.539442 3.525768 -2.231452
0.0000 0.0170 0.1296 0.0009 0.0299
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.381270 0.334574 0.288129 4.399981 -7.511995 2.171059
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.013188 0.353214 0.431448 0.609072 8.164845 0.000033
LOG E1 (US$/Rp) PADA LEVEL Null Hypothesis: LOG_E1 has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.076658 -3.542097 -2.910019 -2.592645
0.7197
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LOG_E1) Method: Least Squares Date: 04/28/06 Time: 12:20 Sample(adjusted): 1990:3 2005:3 Included observations: 61 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LOG_E1(-1) D(LOG_E1(-1)) C
-0.027264 0.286715 -0.108268
0.025323 0.125578 0.092566
-1.076658 2.283159 -1.169638
0.2861 0.0261 0.2469
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.093397 0.062135 0.061858 0.221931 84.74072 2.009108
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-0.012254 0.063874 -2.680023 -2.576210 2.987538 0.058224
LOG E1 (US$/Rp) PADA 1st DIF Null Hypothesis: D(LOG_E1) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-5.793823 -3.542097 -2.910019 -2.592645
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LOG_E1,2) Method: Least Squares Date: 04/28/06 Time: 12:20 Sample(adjusted): 1990:3 2005:3 Included observations: 61 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(LOG_E1(-1)) C
-0.725554 -0.008985
0.125229 0.008070
-5.793823 -1.113427
0.0000 0.2700
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.362633 0.351831 0.061941 0.226367 84.13715 1.999123
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-0.000343 0.076937 -2.693021 -2.623812 33.56838 0.000000
LOG M2 PADA LEVEL Null Hypothesis: LOG_M2 has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.139990 -3.540198 -2.909206 -2.592215
0.2302
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LOG_M2) Method: Least Squares Date: 04/28/06 Time: 12:21 Sample(adjusted): 1990:2 2005:3 Included observations: 62 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LOG_M2(-1) C
-0.013904 0.096952
0.006497 0.035957
-2.139990 2.696293
0.0364 0.0091
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.070913 0.055429 0.020073 0.024176 155.3608 1.727739
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.020197 0.020654 -4.947123 -4.878505 4.579559 0.036431
LOG M2 PADA 1ST DIF Null Hypothesis: D(LOG_M2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-6.433085 -3.542097 -2.910019 -2.592645
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LOG_M2,2) Method: Least Squares Date: 04/28/06 Time: 12:21 Sample(adjusted): 1990:3 2005:3 Included observations: 61 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(LOG_M2(-1)) C
-0.820700 0.016325
0.127575 0.003668
-6.433085 4.451297
0.0000 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.412260 0.402299 0.020541 0.024894 151.4668 2.017713
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-0.000119 0.026569 -4.900552 -4.831343 41.38459 0.000000
LOG P PADA LEVEL Null Hypothesis: LOG_P has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LOG_P) Method: Least Squares
t-Statistic
Prob.*
-0.455304 -3.546099 -2.911730 -2.593551
0.8920
Date: 04/28/06 Time: 12:22 Sample(adjusted): 1991:1 2005:3 Included observations: 59 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LOG_P(-1) D(LOG_P(-1)) D(LOG_P(-2)) D(LOG_P(-3)) C
-0.002898 0.685483 0.166889 -0.366102 0.011516
0.006364 0.125639 0.153816 0.125751 0.011703
-0.455304 5.455960 1.084993 -2.911315 0.984051
0.6507 0.0000 0.2827 0.0052 0.3295
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.516211 0.480374 0.011700 0.007392 181.3372 1.914554
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.012081 0.016231 -5.977531 -5.801468 14.40471 0.000000
LOG P PADA 1ST DIF Null Hypothesis: D(LOG_P) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-4.561245 -3.546099 -2.911730 -2.593551
0.0005
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LOG_P,2) Method: Least Squares Date: 04/28/06 Time: 12:22 Sample(adjusted): 1991:1 2005:3 Included observations: 59 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(LOG_P(-1)) D(LOG_P(-1),2) D(LOG_P(-2),2) C
-0.518248 0.204535 0.370219 0.006271
0.113620 0.129170 0.124519 0.002047
-4.561245 1.583459 2.973205 3.063816
0.0000 0.1191 0.0044 0.0034
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.293469 0.254931 0.011615 0.007420 181.2241 1.913565
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-2.10E-06 0.013457 -6.007597 -5.866747 7.615053 0.000240
LOG PF PADA LEVEL Null Hypothesis: LOG_PF has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-0.238561 -3.548208 -2.912631 -2.594027
0.9269
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LOG_PF) Method: Least Squares Date: 04/28/06 Time: 12:23 Sample(adjusted): 1991:2 2005:3 Included observations: 58 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LOG_PF(-1) D(LOG_PF(-1)) D(LOG_PF(-2)) D(LOG_PF(-3)) D(LOG_PF(-4)) C
-0.001124 0.003458 -0.071735 -0.116660 0.514571 0.003718
0.004712 0.114363 0.111401 0.110276 0.107491 0.009669
-0.238561 0.030236 -0.643930 -1.057887 4.787108 0.384511
0.8124 0.9760 0.5225 0.2950 0.0000 0.7022
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.361254 0.299836 0.000965 4.84E-05 323.5990 1.876382
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.002351 0.001153 -10.95169 -10.73854 5.881899 0.000222
LOG PF PADA 1ST DIF Null Hypothesis: D(LOG_PF) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LOG_PF,2) Method: Least Squares Date: 04/28/06 Time: 12:23 Sample(adjusted): 1991:2 2005:3
t-Statistic
Prob.*
-4.194057 -3.548208 -2.912631 -2.594027
0.0015
Included observations: 58 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(LOG_PF(-1)) D(LOG_PF(-1),2) D(LOG_PF(-2),2) D(LOG_PF(-3),2) C
-0.638232 -0.351854 -0.415509 -0.524563 0.001413
0.152175 0.129845 0.118576 0.098109 0.000391
-4.194057 -2.709800 -3.504169 -5.346726 3.609909
0.0001 0.0090 0.0009 0.0000 0.0007
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.657390 0.631533 0.000956 4.85E-05 323.5673 1.886354
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-2.03E-05 0.001575 -10.98508 -10.80745 25.42372 0.000000
LOG Y PADA LEVEL Null Hypothesis: LOG_Y has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.299989 -3.540198 -2.909206 -2.592215
0.6244
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LOG_Y) Method: Least Squares Date: 04/28/06 Time: 12:24 Sample(adjusted): 1990:2 2005:3 Included observations: 62 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LOG_Y(-1) C
-0.069330 0.350576
0.053331 0.265381
-1.299989 1.321030
0.1986 0.1915
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.027395 0.011185 0.032756 0.064376 125.0003 2.557207
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.005626 0.032940 -3.967750 -3.899133 1.689973 0.198577
LOG Y PADA 1ST DIF Null Hypothesis: D(LOG_Y) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level
t-Statistic
Prob.*
-10.93455 -3.542097
0.0000
5% level 10% level
-2.910019 -2.592645
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LOG_Y,2) Method: Least Squares Date: 04/28/06 Time: 12:24 Sample(adjusted): 1990:3 2005:3 Included observations: 61 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(LOG_Y(-1)) C
-1.348632 0.007341
0.123337 0.004072
-10.93455 1.802760
0.0000 0.0765
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.669587 0.663987 0.031431 0.058288 125.5184 1.978454
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.000528 0.054223 -4.049784 -3.980575 119.5643 0.000000
Lampiran 3. Estimasi VAR untuk Excess Inflasi akibat Ketidakseimbangan di Pasar Uang (Excess Money Supply) pada Jangka Panjang
Vector Autoregression Estimates Date: 06/16/06 Time: 16:26 Sample(adjusted): 1992:1 2005:3 Included observations: 55 after adjusting endpoints Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] LOG_P
LOG_M2
LOG_Y
IF
LOG_P(-1)
1.421947 (0.27710) [ 5.13147]
1.537948 (0.38605) [ 3.98381]
-0.154258 (0.63120) [-0.24439]
4.934114 (5.69727) [ 0.86605]
LOG_P(-2)
-0.328422 (0.38449) [-0.85417]
-1.396614 (0.53566) [-2.60728]
1.019562 (0.87581) [ 1.16413]
0.781285 (7.90521) [ 0.09883]
LOG_P(-3)
-0.281523 (0.42529) [-0.66196]
-0.306957 (0.59249) [-0.51808]
-0.444905 (0.96873) [-0.45926]
-8.914941 (8.74392) [-1.01956]
LOG_P(-4)
0.382855 (0.40474) [ 0.94592]
0.313537 (0.56387) [ 0.55604]
-1.342178 (0.92194) [-1.45582]
-1.935006 (8.32157) [-0.23253]
LOG_P(-5)
-0.459443 (0.41311) [-1.11216]
-0.574008 (0.57553) [-0.99736]
0.481863 (0.94100) [ 0.51208]
2.876767 (8.49356) [ 0.33870]
LOG_P(-6)
-0.037262 (0.39533) [-0.09426]
0.255564 (0.55075) [ 0.46403]
0.424952 (0.90049) [ 0.47191]
3.606949 (8.12797) [ 0.44377]
LOG_P(-7)
0.183385 (0.39999) [ 0.45847]
0.012750 (0.55725) [ 0.02288]
0.392847 (0.91111) [ 0.43117]
3.433832 (8.22383) [ 0.41755]
LOG_P(-8)
-0.047500 (0.21646) [-0.21944]
-0.128804 (0.30157) [-0.42711]
0.001153 (0.49307) [ 0.00234]
-2.149114 (4.45050) [-0.48289]
LOG_M2(-1)
0.229582 (0.20798) [ 1.10385]
0.236265 (0.28975) [ 0.81540]
-0.404001 (0.47375) [-0.85277]
0.529560 (4.27613) [ 0.12384]
LOG_M2(-2)
-0.336535 (0.19546) [-1.72179]
-0.287217 (0.27230) [-1.05478]
-0.279817 (0.44522) [-0.62849]
-1.033784 (4.01860) [-0.25725]
LOG_M2(-3)
-0.121134 (0.20315)
0.248152 (0.28302)
0.270386 (0.46275)
3.006099 (4.17684)
[-0.59627]
[ 0.87679]
[ 0.58430]
[ 0.71971]
LOG_M2(-4)
-0.009772 (0.20276) [-0.04819]
0.477142 (0.28248) [ 1.68910]
0.241274 (0.46186) [ 0.52239]
1.998003 (4.16885) [ 0.47927]
LOG_M2(-5)
0.129933 (0.19960) [ 0.65097]
0.229486 (0.27807) [ 0.82527]
0.650365 (0.45466) [ 1.43045]
6.501464 (4.10379) [ 1.58426]
LOG_M2(-6)
0.075351 (0.18047) [ 0.41753]
0.361385 (0.25142) [ 1.43736]
-0.031851 (0.41108) [-0.07748]
-4.359474 (3.71046) [-1.17491]
LOG_M2(-7)
0.173689 (0.19896) [ 0.87299]
-0.158043 (0.27718) [-0.57018]
0.153377 (0.45320) [ 0.33843]
-0.383842 (4.09061) [-0.09383]
LOG_M2(-8)
-0.049652 (0.19168) [-0.25904]
-0.028874 (0.26704) [-0.10813]
-0.936032 (0.43661) [-2.14385]
-8.102202 (3.94093) [-2.05591]
LOG_Y(-1)
-0.103621 (0.09060) [-1.14372]
0.099751 (0.12622) [ 0.79029]
0.460999 (0.20637) [ 2.23382]
3.658071 (1.86274) [ 1.96381]
LOG_Y(-2)
-0.002109 (0.11231) [-0.01878]
0.239351 (0.15647) [ 1.52969]
0.115830 (0.25583) [ 0.45276]
2.975214 (2.30917) [ 1.28844]
LOG_Y(-3)
0.062545 (0.11347) [ 0.55122]
-0.006777 (0.15808) [-0.04287]
0.070759 (0.25846) [ 0.27377]
-0.945169 (2.33289) [-0.40515]
LOG_Y(-4)
-0.079877 (0.09879) [-0.80856]
-0.131562 (0.13763) [-0.95592]
0.368494 (0.22503) [ 1.63756]
-1.974559 (2.03111) [-0.97216]
LOG_Y(-5)
0.119514 (0.10023) [ 1.19241]
0.149548 (0.13963) [ 1.07099]
-0.146060 (0.22830) [-0.63976]
-1.366651 (2.06071) [-0.66319]
LOG_Y(-6)
0.073072 (0.09984) [ 0.73188]
0.082077 (0.13909) [ 0.59008]
0.068459 (0.22742) [ 0.30102]
-3.950684 (2.05275) [-1.92458]
LOG_Y(-7)
-0.085593 (0.10578) [-0.80915]
-0.096098 (0.14737) [-0.65208]
-0.079358 (0.24095) [-0.32935]
-0.947909 (2.17489) [-0.43584]
LOG_Y(-8)
0.099448 (0.09647) [ 1.03091]
0.146331 (0.13439) [ 1.08884]
0.039330 (0.21973) [ 0.17899]
-2.710560 (1.98334) [-1.36666]
IF(-1)
0.003042
0.000459
-0.034115
1.078588
(0.00966) [ 0.31509]
(0.01345) [ 0.03413]
(0.02199) [-1.55116]
(0.19851) [ 5.43332]
IF(-2)
0.004274 (0.01521) [ 0.28105]
0.024259 (0.02119) [ 1.14494]
0.041388 (0.03464) [ 1.19472]
-0.341043 (0.31269) [-1.09069]
IF(-3)
-0.010801 (0.01634) [-0.66093]
-0.033650 (0.02277) [-1.47802]
-0.017980 (0.03722) [-0.48301]
0.535593 (0.33599) [ 1.59408]
IF(-4)
0.005638 (0.01646) [ 0.34252]
0.023453 (0.02293) [ 1.02268]
0.005803 (0.03750) [ 0.15477]
-0.778002 (0.33844) [-2.29880]
IF(-5)
-0.010722 (0.01599) [-0.67077]
-0.018436 (0.02227) [-0.82783]
-0.014602 (0.03641) [-0.40102]
0.212910 (0.32866) [ 0.64781]
IF(-6)
0.019714 (0.01573) [ 1.25287]
0.027447 (0.02192) [ 1.25209]
0.006487 (0.03584) [ 0.18099]
-0.180314 (0.32351) [-0.55737]
IF(-7)
-0.012561 (0.01511) [-0.83124]
-0.020228 (0.02105) [-0.96082]
0.020175 (0.03442) [ 0.58613]
0.350838 (0.31069) [ 1.12921]
IF(-8)
0.003227 (0.00888) [ 0.36360]
0.002588 (0.01236) [ 0.20928]
-0.027759 (0.02022) [-1.37311]
-0.185939 (0.18247) [-1.01899]
C
-0.606774 (0.71103) [-0.85337]
-2.292277 (0.99058) [-2.31408]
1.797803 (1.61961) [ 1.11002]
32.26777 (14.6188) [ 2.20728]
0.998909 0.997321 0.003171 0.012006 629.2668 190.3838 -5.723047 -4.518647 1.866251 0.231977
0.999024 0.997604 0.006155 0.016727 703.5092 172.1472 -5.059899 -3.855499 5.618740 0.341695
0.927347 0.821670 0.016455 0.027349 8.775300 145.1063 -4.076591 -2.872191 4.999257 0.064762
0.993633 0.984372 1.340593 0.246852 107.2940 24.09946 0.323656 1.528056 4.880104 1.974649
Determinant Residual Covariance Log Likelihood (d.f. adjusted) Akaike Information Criteria Schwarz Criteria
9.35E-13 449.5427 -11.54701 -6.729407
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
Lampiran 4. Uji
Stabilitas
VAR
untuk
Excess
Inflasi
akibat
Ketidakseimbangan di Pasar Uang (Excess Money Supply) pada Jangka Panjang
Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: LOG_P LOG_M2 LOG_Y IF Exogenous variables: C Lag specification: 1 8 Date: 06/16/06 Time: 16:26 Root 0.996983 0.974603 + 0.122984i 0.974603 - 0.122984i 0.919562 + 0.301251i 0.919562 - 0.301251i 0.776389 - 0.560854i 0.776389 + 0.560854i 0.434518 + 0.789186i 0.434518 - 0.789186i -0.459720 - 0.769802i -0.459720 + 0.769802i 0.036620 + 0.888557i 0.036620 - 0.888557i -0.878565 -0.587035 + 0.645645i -0.587035 - 0.645645i 0.700551 + 0.506200i 0.700551 - 0.506200i -0.752680 - 0.333212i -0.752680 + 0.333212i 0.054084 + 0.802007i 0.054084 - 0.802007i -0.208391 - 0.768150i -0.208391 + 0.768150i -0.762370 - 0.119492i -0.762370 + 0.119492i 0.727714 0.329385 + 0.589584i 0.329385 - 0.589584i 0.005196 - 0.581267i 0.005196 + 0.581267i -0.569753 No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
Modulus 0.996983 0.982332 0.982332 0.967650 0.967650 0.957777 0.957777 0.900900 0.900900 0.896626 0.896626 0.889311 0.889311 0.878565 0.872621 0.872621 0.864297 0.864297 0.823139 0.823139 0.803828 0.803828 0.795916 0.795916 0.771678 0.771678 0.727714 0.675355 0.675355 0.581290 0.581290 0.569753
Lampiran 5. Penentuan
Lag
Optimal
untuk
Excess
Inflasi
akibat
Ketidakseimbangan di Pasar Uang (Excess Money Supply) pada Jangka Panjang
VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: LOG_P LOG_M2 LOG_Y IF Exogenous variables: C Date: 06/16/06 Time: 16:27 Sample: 1990:1 2005:3 Included observations: 55 Lag
LogL
LR
0 1 2 3 4 5 6 7 8
114.4753 404.0880 450.1386 465.0178 483.7368 499.4636 519.9272 533.9063 550.3347
NA 526.5684 77.03017* 22.72460 25.86629 19.44398 22.32399 13.21657 13.14270
FPE
AIC
SC
2.12E-07 -4.017285 -3.871297 1.01E-11 -13.96683 -13.23690 3.43E-12* -15.05959 -13.74569* 3.66E-12 -15.01883 -13.12099 3.47E-12 -15.11770 -12.63591 3.80E-12 -15.10777 -12.04202 3.66E-12 -15.27008* -11.62038 4.74E-12 -15.19659 -10.96294 6.13E-12 -15.21217 -10.39457
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
HQ -3.960830 -13.68456 -14.55149* -14.28492 -14.15797 -13.92222 -13.85871 -13.55941 -13.34917
Lampiran 6. Uji Kointegrasi Johansen dengan “Summary” untuk Excess Inflasi akibat Ketidakseimbangan di Pasar Uang (Excess Money Supply) pada Jangka Panjang
Date: 06/16/06 Time: 16:31 Sample: 1990:1 2005:3 Included observations: 61 Series: LOG_P LOG_M2 LOG_Y IF Lags interval: 1 to 1 Data Trend: Rank or No. of CEs
None
None
No Intercept Intercept No Trend No Trend
Linear
Linear
Quadratic
Intercept No Trend
Intercept Trend
Intercept Trend
Selected (5% level) Number of Cointegrating Relations by Model (columns) Trace Max-Eig
1 1
1 1
1 1
2 2
1 1
458.5032 476.7532 484.6325 487.3797 488.7424
458.5032 481.4872 489.4979 493.4131 496.1537
470.9641 485.6820 492.9563 495.9389 496.1537
470.9641 487.9368 502.6488 508.2552 510.3848
477.2831 494.2077 504.1104 509.2352 510.3848
-14.50830 -14.84437 -14.84041 -14.66819 -14.45057
-14.50830 -14.96679 -14.93436 -14.76764 -14.56242
-14.78571 -15.00597 -14.98218 -14.81767 -14.56242
-14.78571 -15.04711 -15.23439* -15.12312 -14.89786
-14.86174 -15.15435 -15.21673 -15.12247 -14.89786
-13.95463 -14.01386 -13.73307 -13.28401 -12.78956
-13.95463 -14.10168* -13.75780 -13.27965 -12.76298
-14.09362 -14.03704 -13.73641 -13.29507 -12.76298
-14.09362 -14.04358 -13.91942 -13.49671 -12.96001
-14.03123 -14.04701 -13.83255 -13.46145 -12.96001
Log Likelihood by Rank (rows) and Model (columns) 0 1 2 3 4 Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns) 0 1 2 3 4 Schwarz Criteria by Rank (rows) and Model (columns) 0 1 2 3 4
Lampiran 7. Uji Kointegrasi Johansen dengan “Asumsi 2” untuk Excess Inflasi akibat Ketidakseimbangan di Pasar Uang (Excess Money Supply) pada Jangka Panjang
Date: 06/16/06 Time: 17:13 Sample(adjusted): 1990:3 2005:3 Included observations: 61 after adjusting endpoints Trend assumption: No deterministic trend (restricted constant) Series: LOG_P LOG_M2 LOG_Y IF Lags interval (in first differences): 1 to 1 Unrestricted Cointegration Rank Test Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
5 Percent Critical Value
1 Percent Critical Value
None ** At most 1 At most 2 At most 3
0.529318 0.230985 0.120470 0.085939
75.30100 29.33305 13.31175 5.481352
53.12 34.91 19.96 9.24
60.16 41.07 24.60 12.97
*(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Trace test indicates 1 cointegrating equation(s) at both 5% and 1% levels Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen Statistic
5 Percent Critical Value
1 Percent Critical Value
None ** At most 1 At most 2 At most 3
0.529318 0.230985 0.120470 0.085939
45.96795 16.02131 7.830393 5.481352
28.14 22.00 15.67 9.24
33.24 26.81 20.20 12.97
*(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating equation(s) at both 5% and 1% levels Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I): LOG_P 2.357201 -1.332511 -8.133192 21.63741
LOG_M2 -0.621139 6.851565 4.203920 -18.70992
LOG_Y -14.54259 -3.644461 21.97721 11.43407
IF -0.474496 0.963458 0.476625 -0.275105
C 72.80073 -22.99025 -121.0849 8.114877
-0.000762 -0.003797 -0.002431 -0.121209
0.001541 0.002676 -0.009713 0.001564
-0.002632 -0.000652 -0.002641 0.020096
Log likelihood
481.4872
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha): D(LOG_P) D(LOG_M2) D(LOG_Y) D(IF)
-0.000822 -0.013868 -0.002661 0.116949
1 Cointegrating Equation(s):
Normalized cointegrating coefficients (std.err. in parentheses) LOG_P LOG_M2 LOG_Y IF 1.000000 -0.263507 -6.169431 -0.201296
C 30.88440
(0.40834)
(1.79106)
(0.07088)
(9.16633)
Adjustment coefficients (std.err. in parentheses) D(LOG_P) -0.001938 (0.00320) D(LOG_M2) -0.032690 (0.00544) D(LOG_Y) -0.006272 (0.00943) D(IF) 0.275671 (0.08936) 2 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
489.4979
Normalized cointegrating coefficients (std.err. in parentheses) LOG_P LOG_M2 LOG_Y IF 1.000000 0.000000 -6.650412 -0.173114 (1.89746) (0.05495) 0.000000 1.000000 -1.825307 0.106951 (1.29615) (0.03753)
C 31.62069 (9.71326) 2.794205 (6.63508)
Adjustment coefficients (std.err. in parentheses) D(LOG_P) -0.000922 -0.004713 (0.00367) (0.00932) D(LOG_M2) -0.027630 -0.017402 (0.00609) (0.01548) D(LOG_Y) -0.003032 -0.015006 (0.01080) (0.02743) D(IF) 0.437184 -0.903116 (0.09281) (0.23581) 3 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
493.4131
Normalized cointegrating coefficients (std.err. in parentheses) LOG_P LOG_M2 LOG_Y IF 1.000000 0.000000 0.000000 0.202685 (0.04809) 0.000000 1.000000 0.000000 0.210095 (0.02246) 0.000000 0.000000 1.000000 0.056508 (0.00929) Adjustment coefficients (std.err. in parentheses) D(LOG_P) -0.013453 0.001764 (0.01148) (0.01080) D(LOG_M2) -0.049391 -0.006154 (0.01904) (0.01791) D(LOG_Y) 0.075967 -0.055839 (0.03232) (0.03040) D(IF) 0.424464 -0.896541 (0.29382) (0.27635)
0.048598 (0.03563) 0.274318 (0.05909) -0.165913 (0.10030) -1.224618 (0.91188)
C -2.217403 (0.29775) -6.493176 (0.13905) -5.088120 (0.05755)
Lampiran 8. Estimasi VAR untuk Model Permintaan Uang Riil pada Jangka Panjang
Vector Autoregression Estimates Date: 06/16/06 Time: 17:04 Sample(adjusted): 1992:1 2005:3 Included observations: 55 after adjusting endpoints Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] M_RIIL
LOG_Y
IF
M_RIIL(-1)
0.717951 (0.17703) [ 4.05559]
0.197927 (0.27239) [ 0.72662]
3.909224 (2.55873) [ 1.52780]
M_RIIL(-2)
0.153894 (0.21710) [ 0.70885]
-0.324463 (0.33406) [-0.97128]
-1.823434 (3.13798) [-0.58109]
M_RIIL(-3)
-0.160382 (0.22153) [-0.72396]
0.065481 (0.34088) [ 0.19210]
-0.045388 (3.20202) [-0.01417]
M_RIIL(-4)
0.150962 (0.21978) [ 0.68688]
-0.044110 (0.33818) [-0.13043]
-0.988361 (3.17666) [-0.31113]
M_RIIL(-5)
-0.014481 (0.21070) [-0.06873]
0.065905 (0.32420) [ 0.20329]
1.904720 (3.04536) [ 0.62545]
M_RIIL(-6)
0.209361 (0.20650) [ 1.01383]
-0.038823 (0.31775) [-0.12218]
-3.168453 (2.98479) [-1.06153]
M_RIIL(-7)
-0.346605 (0.21017) [-1.64919]
0.060376 (0.32339) [ 0.18670]
2.081867 (3.03772) [ 0.68534]
M_RIIL(-8)
0.224859 (0.17279) [ 1.30134]
-0.189743 (0.26587) [-0.71366]
-2.314475 (2.49747) [-0.92673]
LOG_Y(-1)
0.314144 (0.11948) [ 2.62918]
0.601856 (0.18385) [ 3.27361]
1.220770 (1.72700) [ 0.70687]
LOG_Y(-2)
0.123388 (0.14419) [ 0.85571]
-0.032609 (0.22187) [-0.14697]
-0.261297 (2.08417) [-0.12537]
LOG_Y(-3)
-0.176362 (0.14461)
-0.130924 (0.22252)
-3.880340 (2.09023)
[-1.21953]
[-0.58837]
[-1.85642]
LOG_Y(-4)
-0.056371 (0.14519) [-0.38826]
0.506475 (0.22340) [ 2.26708]
-0.801909 (2.09854) [-0.38213]
LOG_Y(-5)
0.046802 (0.14654) [ 0.31939]
-0.095973 (0.22548) [-0.42565]
0.907593 (2.11802) [ 0.42851]
LOG_Y(-6)
0.033182 (0.14249) [ 0.23287]
-0.036389 (0.21925) [-0.16597]
-2.803733 (2.05956) [-1.36133]
LOG_Y(-7)
-0.067487 (0.14151) [-0.47693]
-0.176316 (0.21774) [-0.80978]
2.578511 (2.04529) [ 1.26071]
LOG_Y(-8)
0.123519 (0.13465) [ 0.91733]
0.046960 (0.20719) [ 0.22665]
-0.582913 (1.94623) [-0.29951]
IF(-1)
-0.003847 (0.01208) [-0.31836]
-0.025118 (0.01859) [-1.35104]
1.426354 (0.17464) [ 8.16734]
IF(-2)
0.031647 (0.02137) [ 1.48084]
0.046738 (0.03288) [ 1.42134]
-0.599660 (0.30889) [-1.94134]
IF(-3)
-0.042345 (0.02257) [-1.87625]
-0.061832 (0.03473) [-1.78050]
0.410144 (0.32621) [ 1.25730]
IF(-4)
0.033944 (0.02385) [ 1.42334]
0.040162 (0.03669) [ 1.09449]
-0.771245 (0.34469) [-2.23749]
IF(-5)
-0.018446 (0.02325) [-0.79345]
-0.019926 (0.03577) [-0.55703]
0.325272 (0.33603) [ 0.96799]
IF(-6)
0.010245 (0.02213) [ 0.46296]
0.019511 (0.03405) [ 0.57300]
-0.208804 (0.31985) [-0.65282]
IF(-7)
-0.004945 (0.02052) [-0.24097]
-0.007946 (0.03157) [-0.25167]
0.480989 (0.29658) [ 1.62179]
IF(-8)
0.003172 (0.01180) [ 0.26882]
-0.013263 (0.01816) [-0.73049]
-0.254638 (0.17055) [-1.49300]
C
-1.495473
2.476071
20.51192
(0.93940) [-1.59195]
(1.44546) [ 1.71300]
(13.5779) [ 1.51068]
0.986614 0.975905 0.010579 0.018778 92.12962 157.2548 -4.809267 -3.896843 3.752489 0.120974
0.889412 0.800941 0.025047 0.028894 10.05320 133.5530 -3.947381 -3.034956 4.999257 0.064762
0.989504 0.981107 2.210055 0.271419 117.8414 10.35206 0.532652 1.445077 4.880104 1.974649
Determinant Residual Covariance Log Likelihood (d.f. adjusted) Akaike Information Criteria Schwarz Criteria
2.14E-08 251.5537 -6.420135 -3.682862
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
Lampiran 9. Uji Stabilitas VAR untuk Model Permintaan Uang Riil pada Jangka Panjang
Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: M_RIIL LOG_Y IF Exogenous variables: C Lag specification: 1 8 Date: 06/16/06 Time: 17:06 Root 0.966335 0.733725 - 0.547322i 0.733725 + 0.547322i 0.903174 - 0.131767i 0.903174 + 0.131767i 0.840142 - 0.309276i 0.840142 + 0.309276i 0.143156 + 0.878709i 0.143156 - 0.878709i -0.865299 + 0.049289i -0.865299 - 0.049289i -0.490584 + 0.705593i -0.490584 - 0.705593i -0.169837 - 0.834066i -0.169837 + 0.834066i -0.721106 - 0.391115i -0.721106 + 0.391115i 0.250488 + 0.755710i 0.250488 - 0.755710i 0.583427 + 0.513513i 0.583427 - 0.513513i -0.439912 + 0.591299i -0.439912 - 0.591299i 0.245075 No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
Modulus 0.966335 0.915376 0.915376 0.912735 0.912735 0.895260 0.895260 0.890294 0.890294 0.866701 0.866701 0.859380 0.859380 0.851182 0.851182 0.820344 0.820344 0.796142 0.796142 0.777228 0.777228 0.736992 0.736992 0.245075
Lampiran 10. Penentuan Lag Optimal untuk Model Permintaan Uang Riil pada Jangka Panjang
VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: M_RIIL LOG_Y IF Exogenous variables: C Date: 06/16/06 Time: 17:06 Sample: 1990:1 2005:3 Included observations: 55 Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0 1 2 3 4 5 6 7 8
59.24421 240.5123 261.2852 267.0364 279.1211 286.2843 291.4130 296.2766 301.5599
NA 336.1699 36.25815 9.411137 18.45664* 10.15860 6.713938 5.836419 5.763570
2.60E-05 4.94E-08 3.23E-08* 3.67E-08 3.33E-08 3.65E-08 4.36E-08 5.34E-08 6.58E-08
-2.045244 -8.309538 -8.737643* -8.619507 -8.731678 -8.664882 -8.524108 -8.373696 -8.238542
-1.935753 -7.871574 -7.971207* -7.524598 -7.308296 -6.913028 -6.443781 -5.964896 -5.501270
-2.002903 -8.140173 -8.441256* -8.196097 -8.181245 -7.987426 -7.719628 -7.442194 -7.180017
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
Lampiran 11. Uji Kointegrasi Johansen dengan “Summary” untuk Model Permintaan Uang Riil pada Jangka Panjang
Date: 06/16/06 Time: 17:07 Sample: 1990:1 2005:3 Included observations: 61 Series: M_RIIL LOG_Y IF Lags interval: 1 to 1 Data Trend:
None
None
Linear
Linear
Quadratic
Rank or No. of CEs
No Intercept No Trend
Intercept No Trend
Intercept No Trend
Intercept Trend
Intercept Trend
2 2
1 1
1 1
1 0
3 0
262.8428 275.6877 282.4167 282.8207
262.8428 280.1885 286.9389 289.1229
269.1608 281.7444 288.3088 289.1229
269.1608 281.7464 290.7745 293.2577
273.7949 282.8502 290.8156 293.2577
-8.322716 -8.547137 -8.571040 -8.387563
-8.322716 -8.661918 -8.653735 -8.495832
-8.431503 -8.647358 -8.665864 -8.495832
-8.431503 -8.614637 -8.681132* -8.533039
-8.485080 -8.585251 -8.649692 -8.533039
-8.011275 -8.028069 -7.844346 -7.453241
-8.011275 -8.108247* -7.857832 -7.457698
-8.016249 -8.024478 -7.835356 -7.457698
-8.016249 -7.957151 -7.781416 -7.391091
-7.966013 -7.858557 -7.715371 -7.391091
Selected (5% level) Number of Cointegrating Relations by Model (columns) Trace Max-Eig Log Likelihood by Rank (rows) and Model (columns) 0 1 2 3 Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns) 0 1 2 3 Schwarz Criteria by Rank (rows) and Model (columns) 0 1 2 3
Lampiran 12. Uji Kointegrasi Johansen dengan “Asumsi 2” untuk Model Permintaan Uang Riil pada Jangka Panjang
Date: 06/16/06 Time: 17:11 Sample(adjusted): 1990:3 2005:3 Included observations: 61 after adjusting endpoints Trend assumption: No deterministic trend (restricted constant) Series: M_RIIL LOG_Y IF Lags interval (in first differences): 1 to 1 Unrestricted Cointegration Rank Test Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
5 Percent Critical Value
1 Percent Critical Value
None ** At most 1 At most 2
0.433745 0.198544 0.069102
52.56012 17.86874 4.367918
34.91 19.96 9.24
41.07 24.60 12.97
*(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Trace test indicates 1 cointegrating equation(s) at both 5% and 1% levels Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen Statistic
5 Percent Critical Value
1 Percent Critical Value
None ** At most 1 At most 2
0.433745 0.198544 0.069102
34.69138 13.50083 4.367918
22.00 15.67 9.24
26.81 20.20 12.97
*(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating equation(s) at both 5% and 1% levels Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I): M_RIIL 2.728553 17.46192 1.968680
LOG_Y -18.20863 -12.20555 -27.15805
IF -0.581784 0.745274 -0.588591
C 82.88127 -8.455916 131.8109
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha): D(M_RIIL) D(LOG_Y) D(IF)
-0.011018 0.001567 0.138384
1 Cointegrating Equation(s):
-0.004954 -0.003782 -0.096970
-0.000991 0.007602 -0.020148
Log likelihood
280.1885
Normalized cointegrating coefficients (std.err. in parentheses) M_RIIL LOG_Y IF C 1.000000 -6.673365 -0.213221 30.37554 (1.83195) (0.05290) (9.38215) Adjustment coefficients (std.err. in parentheses) D(M_RIIL) -0.030062 (0.00622)
D(LOG_Y) D(IF)
0.004277 (0.01091) 0.377589 (0.10109)
2 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
286.9389
Normalized cointegrating coefficients (std.err. in parentheses) M_RIIL LOG_Y IF C 1.000000 0.000000 0.072619 -4.094733 (0.00745) (0.04360) 0.000000 1.000000 0.042833 -5.165351 (0.00394) (0.02304) Adjustment coefficients (std.err. in parentheses) D(M_RIIL) -0.116573 0.261086 (0.03859) (0.04787) D(LOG_Y) -0.061758 0.017617 (0.07012) (0.08697) D(IF) -1.315696 -1.336212 (0.61417) (0.76176)
Lampiran 13. Error Correction Model untuk Inflasi dengan Lag 3
Dependent Variable: D(LOG_P) Method: Least Squares Date: 06/16/06 Time: 17:23 Sample(adjusted): 1991:1 2005:3 Included observations: 59 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(LOG_P(-1)) D(LOG_P(-2)) D(LOG_P(-3)) D(LOG_M2) D(LOG_M2(-1)) D(LOG_M2(-2)) D(LOG_M2(-3)) D(LOG_E1) D(LOG_E1(-1)) D(LOG_E1(-2)) D(LOG_E1(-3)) D(LOG_PF) D(LOG_PF(-1)) D(LOG_PF(-2)) D(LOG_PF(-3)) D(IF) D(IF(-1)) D(IF(-2)) D(IF(-3)) ECM(-1) DUM_XRATE CSEASONAL1 CSEASONAL2 CSEASONAL3
0.040986 0.370831 -0.135890 0.294695 0.013505 -0.092440 0.055939 0.034382 -0.134761 -0.073046 0.008087 -1.096416 -0.882159 -0.296648 1.702380 -0.002351 0.001762 0.001870 -0.002846 -5.67E-06 0.004802 0.010158 0.004288 -0.001364
0.161583 0.137034 0.136119 0.099589 0.094267 0.094175 0.095587 0.037672 0.032549 0.034998 0.034157 1.170162 1.083808 1.043272 1.027678 0.003135 0.003804 0.003413 0.002786 6.05E-05 0.006434 0.004190 0.004527 0.004623
0.253655 2.706124 -0.998323 2.959109 0.143267 -0.981567 0.585216 0.912670 -4.140286 -2.087161 0.236746 -0.936978 -0.813944 -0.284344 1.656530 -0.749732 0.463072 0.548019 -1.021439 -0.093823 0.746340 2.424005 0.947152 -0.295092
0.8012 0.0104 0.3250 0.0055 0.8869 0.3331 0.5622 0.3677 0.0002 0.0442 0.8142 0.3552 0.4212 0.7778 0.1066 0.4584 0.6462 0.5872 0.3141 0.9258 0.4604 0.0207 0.3501 0.7697
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood
0.915081 0.859277 0.006089 0.001298 232.6658
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Durbin-Watson stat
0.012081 0.016231 -7.073417 -6.228317 2.100252
Lampiran 14. Error Correction Model untuk Inflasi dengan Variabel yang Signifikan
Dependent Variable: D(LOG_P) Method: Least Squares Date: 06/16/06 Time: 17:29 Sample(adjusted): 1991:1 2005:3 Included observations: 59 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(LOG_P(-2)) D(LOG_M2) D(LOG_E1(-1)) D(LOG_E1(-2)) D(LOG_PF) D(LOG_PF(-3)) ECM(-1) CSEASONAL1 CSEASONAL2
0.311841 0.245934 -0.139273 -0.073999 -2.195355 1.219185 3.92E-05 0.011863 0.005167
0.046423 0.036750 0.011985 0.012860 0.758062 0.631255 1.41E-05 0.001946 0.002402
6.717430 6.692001 -11.62037 -5.754341 -2.896010 1.931366 2.781977 6.097360 2.150953
0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0056 0.0591 0.0076 0.0000 0.0363
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood
0.901004 0.885165 0.005500 0.001513 228.1410
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Durbin-Watson stat
0.012081 0.016231 -7.428510 -7.111597 1.902229
Lampiran 15. Hasil Estimasi Koefisien dari Error Correction Model untuk Inflasi
Regressor
Unrestricted Coefficient
D(LOG_P(-1)) D(LOG_P(-2)) D(LOG_P(-3)) D(LOG_M2) D(LOG_M2(-1)) D(LOG_M2(-2)) D(LOG_M2(-3)) D(LOG_E1) D(LOG_E1(-1)) D(LOG_E1(-2)) D(LOG_E1(-3)) D(LOG_PF) D(LOG_PF(-1)) D(LOG_PF(-2)) D(LOG_PF(-3)) D(IF) D(IF(-1)) D(IF(-2)) D(IF(-3)) ECM(-1) DUM_XRATE CSEASONAL1 CSEASONAL2 CSEASONAL3 R-squared Adjusted R-squared
0.040986 0.370831** -0.135890 0.294695*** 0.013505 -0.092440 0.055939 0.034382 -0.134761*** -0.073046** 0.008087 -1.096416 -0.882159 -0.296648 1.702380 -0.002351 0.001762 0.001870 -0.002846 -5.67E-06 0.004802 0.010158** 0.004288 -0.001364 0.915081 0.859277
Restricted Coefficient 0.311841*** 0.245934***
-0.139273*** -0.073999*** -2.195355***
1.219185*
3.92E-05*** 0.011863*** 0.005167** 0.901004 0.885165
Keterangan : *** = signifikan pada taraf nyata 1 persen, ** = signifikan pada taraf nyata 5 persen, * = signifikan pada taraf nyata 10 persen.
Lampiran 16. Uji Heteroskedastisitas terhadap Model Inflasi Dinamis
Hasil Uji Heteroskedastisitas (ARCH Test) ARCH Test: F-statistic Obs*R-squared
2.219212 2.210856
Probability Probability
0.141914 0.137043
Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 06/16/06 Time: 17:39 Sample(adjusted): 1991:2 2005:3 Included observations: 58 after adjusting endpoints Variable C RESID^2(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
2.07E-05 0.195427
5.14E-06 0.131186
4.033231 1.489702
0.0002 0.1419
0.038118 0.020942 2.94E-05 4.84E-08 523.9312 1.969463
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
2.58E-05 2.97E-05 -17.99763 -17.92658 2.219212 0.141914
Hasil Uji Heteroskedastisitas (White Heteroskedasticity Test) White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
0.697948 12.39228
Probability Probability
0.779616 0.716563
Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 06/16/06 Time: 17:40 Sample: 1991:1 2005:3 Included observations: 59 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C D(LOG_P(-2)) (D(LOG_P(-2)))^2 D(LOG_M2) (D(LOG_M2))^2 D(LOG_E1(-1)) (D(LOG_E1(-1)))^2 D(LOG_E1(-2)) (D(LOG_E1(-2)))^2 D(LOG_PF) (D(LOG_PF))^2 D(LOG_PF(-3)) (D(LOG_PF(-3)))^2
5.95E-05 0.000853 -0.004575 0.000729 -0.007197 -0.000118 -0.000169 -7.66E-05 -0.001055 0.000643 -1.381490 -0.027461 3.776112
4.66E-05 0.000929 0.015570 0.000650 0.008481 0.000125 0.000967 0.000107 0.001058 0.014538 2.986601 0.011488 1.617478
1.276233 0.917227 -0.293818 1.120467 -0.848535 -0.946828 -0.174265 -0.714012 -0.997165 0.044243 -0.462563 -2.390354 2.334568
0.2089 0.3643 0.7703 0.2689 0.4010 0.3491 0.8625 0.4792 0.3244 0.9649 0.6461 0.0214 0.0244
ECM(-1) ECM(-1)^2 CSEASONAL1 CSEASONAL2
7.50E-08 -1.00E-09 3.04E-05 3.65E-06
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.210039 -0.090899 3.08E-05 3.98E-08 539.2381 1.486547
8.73E-07 5.03E-09 1.61E-05 1.59E-05
0.085978 -0.199463 1.887718 0.229353
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.9319 0.8429 0.0660 0.8197 2.56E-05 2.95E-05 -17.70299 -17.10437 0.697948 0.779616
Lampiran 17. Uji Autokorelasi terhadap Model Inflasi Dinamis
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
0.226016 0.548564
Probability Probability
0.798550 0.760118
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 06/16/06 Time: 17:40 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(LOG_P(-2)) D(LOG_M2) D(LOG_E1(-1)) D(LOG_E1(-2)) D(LOG_PF) D(LOG_PF(-3)) ECM(-1) CSEASONAL1 CSEASONAL2 RESID(-1) RESID(-2)
0.009802 -0.002143 8.24E-05 0.000726 0.036792 -0.032637 -8.46E-07 1.30E-06 -8.52E-06 0.040617 -0.095691
0.050061 0.037564 0.012176 0.013118 0.785373 0.654490 1.44E-05 0.001980 0.002454 0.146335 0.156002
0.195804 -0.057053 0.006764 0.055359 0.046847 -0.049866 -0.058707 0.000659 -0.003474 0.277564 -0.613395
0.8456 0.9547 0.9946 0.9561 0.9628 0.9604 0.9534 0.9995 0.9972 0.7825 0.5425
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood
0.009298 -0.197099 0.005587 0.001498 228.4176
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Durbin-Watson stat
2.87E-05 0.005107 -7.370087 -6.982749 1.994159