DEFISIT ANGGARAN, PERTUMBUHAN UANG DAN INFLASI DI INDONESIA
OLEH NANANG ANDRIAN H14063028
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN
NANANG ANDRIAN. Defisit Anggaran, Pertumbuhan Uang dan Inflasi di Indonesia (dibimbing oleh IMAN SUGEMA). Hubungan defisit anggaran, pertumbuhan uang dan inflasi menjadi salah satu isu penting dalam literatur kebijakan moneter dan fiskal di dunia. Secara teori, paling tidak ada empat pandangan yang berbeda untuk melihat hubungan ketiga variabel tersebut. Pandangan tersebut antara lain, yaitu kaum Monetaris Ortodoks, The Fiscal Theory of Price Level (FTPL), Keynesian, dan Ricardian Equivalence (RE). Terdapat sebuah persepsi yang menyatakan bahwa kebijakan anggaran yang terlalu besar dan dalam jangka waktu yang lama dapat mempengaruhi variabel moneter yang kemudian menjadi akar permasalahan dari ketidakstabilan makroekonomi seperti inflasi yang tinggi, defisit current account yang besar, kewajiban utang yang besar, dan pertumbuhan ekonomi yang rendah. Berdasarkan pengalaman interaksi kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia, dimana sebelum diberlakukannya UU No. 23 Tahun 1999, Indonesia telah mengalami hyperinflation yang disebabkan oleh pencetakan uang (money creation) secara berlebihan oleh Bank Indonesia untuk membiayai defisit anggaran pemerintah akibat kebijakan fiskal yang terlalu ekspansif. Sejak diberlakukan tahun 2000, kerangka kerja Inflation Targetting (kebijakan moneter) sudah mulai diterapkan oleh Bank Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa era fiscal dominance tidak boleh terjadi lagi di Indonesia. Namun perubahan institusional tersebut secara empiris tidak menghalangi kemungkinan adanya pengaruh defisit anggaran (kebijakan fiskal ekspansif) terhadap jumlah uang beredar maupun variabel moneter (inflasi). Pengaruh tersebut dimungkinkan antara lain karena adanya jangka waktu antara pengeluaran dan penerimaan pemerintah, sumber pendanaan (utang domestik maupun luar negeri), dan perubahan permintaan agregat. Penelitian ini membahas hubungan jangka panjang antara inflasi, pertumbuhan uang, dan defisit anggaran. Penelitian ini juga akan menganalisis apakah di Indonesia defisit anggaran (kebijakan fiskal ekspansif) mempengaruhi pertumbuhan uang dan inflasi. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series sekunder. Data-data tersebut diperoleh dari berbagai sumber, antara lain dari Kementrian Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Statistik Ekonomi dan Keuangan Bank Indonesia (SEKI-BI) dari berbagai edisi, International Financial Statistic (IFS) of International Monetary Fund (IMF) serta sumber lain yang relevan. Data yang digunakan, diantaranya yaitu defisit anggaran pemerintah, pertumbuhan uang (base money (M0), narrow money (M1), dan broad money (M2)) serta IHK (Indeks Harga Konsumen) sebagai pencerminan tingkat inflasi dengan periode waktu data antara bulan Januari 2002 hingga Desember 2009. Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah metode analisis Vector Error Correction (VEC) yang dilengkapi dengan dua uji lag structure tambahan, yaitu uji lag exclusion dan weak exogeneity.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa defisit anggaran pemerintah tidak mempengaruhi pertumbuhan uang (M0, M1, dan M2) dalam jangka panjang. Teori FTPL (the fiscal theory of the price level) juga tidak berlaku di Indonesia, hal ini dikarenakan dalam jangka panjang, laju inflasi tidak dipengaruhi oleh defisit anggaran. Pertumbuhan M1 dan M2 (money supply) juga tidak mempengaruhi laju inflasi dalam jangka panjang. Hal tersebut menunjukkan bahwa teori Monetaris dan Keynesian juga tidak berlaku di Indonesia. Hubungan antara defisit anggaran, pertumbuhan uang dan laju inflasi di Indonesia dapat dijelaskan oleh teori Ricardian Equivalence (RE) dimana defisit anggaran tidak akan berpengaruh ke variabel moneter dan perekonomian. Koordinasi yang erat antara penguasa fiskal (pemerintah) dan moneter (Bank Indonesia) dalam menentukan instrumen dan sasaran kebijakan yang menjadi target bersama tetap diperlukan agar pencapaian target tersebut dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Walaupun defisit anggaran tidak memiliki dampak terhadap pertumbuhan uang dan laju inflasi di Indonesia namun defisit anggaran yang terlalu besar dan dalam jangka waktu yang lama, bukan tidak mungkin akan menjadi akar permasalahan makroekonomi seperti hyperinflation, current account deficits, overindebtness dan rendahnya pertumbuhan ekonomi. Apabila dalam jangka panjang kebijakan defisit anggaran terus dipertahankan oleh pemerintah, maka pembiayaan melalui money creation (pencipataan uang) lebih baik untuk dihindari karena telah terbukti menyebabkan hyperinflation di Indonesia pada periode 1965 hingga 1970. Disatu sisi, sesuai dengan UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dimana Bank Indonesia yang telah memiliki kebijakan moneter Inflation Targetting Framework (ITF) akan berhasil dalam menetapkan inflasi yang ditargetkan jika salah satu persyaratan dapat dipenuhi yaitu tidak adanya dominasi sektor fiskal terhadap kebijakan moneter. Hal tersebut dikarenakan kebijakan defisit anggaran masih efektif, tetapi efisiensinya harus diperhitungkan secara cermat.
DEFISIT ANGGARAN, PERTUMBUHAN UANG DAN INFLASI DI INDONESIA
Oleh NANANG ANDRIAN H14063028
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, September 2011
Nanang Andrian H14063028
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Nanang Andrian, dilahirkan di Bekasi pada tanggal 5 Oktober 1989. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Bapak Hadhi Wardoyo dan Ibu Subarinah. Penulis menjalani pendidikan di bangku sekolah dasar dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2000 di SD Negeri Jatirahayu 01, Bekasi. Selanjutnya meneruskan ke pendidikan lanjutan tingkat pertama dari tahun 2000 sampai tahun 2003 di SMP Negeri 157 Jakarta. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan menengah umum di SMA Negeri 48 Jakarta dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun 2006, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan menjadi salah satu mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) pada Program Studi Ilmu Ekonomi dan mengambil Supporting Course. Selama menjadi mahasiswa, penulis mencoba mengaktualisasi diri dengan mengikuti beberapa kelembagaan sebagai anggota, antara lain UKM Futsal IPB, Kemsi (Keluarga Mahasiswa Bekasi), HIPOTESA dan IMEPI. Penulis juga tercatat sebagai panitia acara-acara yang diadakan di tingkat kampus, fakultas maupun departemen, seperti HIPOTEX-R, Economic Contest, Sportakuler FEM IPB, Pujangga FEM IPB dan Olimpiade Mahasiswa IPB. Kecintaan pada dunia pendidikan, penulis wujudkan dengan menjadi tentor IPS dan Ekonomi di lembaga pendidikan LCC LP3I Jalan Baru, Bogor. Tahun 2011 penulis melakukan penelitian dengan judul “Defisit Anggaran, Pertumbuhan Uang dan Inflasi di Indonesia” untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Defisit Anggaran, Pertumbuhan Uang dan Inflasi di Indonesia”. Hubungan defisit anggaran, pertumbuhan uang dan inflasi menjadi salah satu isu penting dalam literatur kebijakan moneter dan fiskal di dunia. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini. Disamping hal tersebut, skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan dan dukungan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik, khususnya kepada: 1.
Dr. Ir. Iman Sugema, M.Ec. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis, teoritis maupun moril dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
2.
Prof. Dr. Ir. Bambang Djuanda, M.S. dan Dr. Lukytawati Anggraeni, Sp., M.Si. selaku dosen penguji utama dan komisi pendidikan yang telah bersedia menguji dan memperbaiki tata cara penulisan skripsi ini.
3.
Kedua orang tua tercinta, Bapak Hadhi Wardoyo dan Ibu Subarinah serta segenap keluarga besar, yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, motivasi, dukungan baik moril maupun materil serta doa bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4.
Staf InterCAFE yaitu Ka Ade, Ka Nilam, dan Ka Muth. Teman sebimbingan Dini dan Cathy serta teman-teman Ec-Think Elsha dan Fitria atas bantuan data, semangat, motivasi, doa, dan perjuangan yang luar biasa.
5.
Penghuni Pondok Wina yaitu Miftah, Fachri, Nodi, Irfan, Hengky, Bayu, Arief, Riki, Heru, Luki, Eka, Vicky, Hendra dan Koko atas kebersamaan yang tak tergantikan dalam suka maupun duka hidup di IPB.
6.
Seluruh saudara-saudaraku di Ilmu Ekonomi 43 atas kebersamaan dan semangat yang telah menguatkan langkah perjalanan penyelesaian skripsi ini.
7.
Pakuan Regency yaitu Ardhi, Fahmi, Fuad, Bronson, Adrian, Taufik, Meiyora, Farhana, Farah, dan lain-lain atas tempat singgah dan kebersamaan yang cukup lama dengan penulis.
8.
Para dosen, staf, dan seluruh civitas akademika Departemen Ilmu Ekonomi FEM-IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis selama menjalani studi di Departemen Ilmu Ekonomi.
9.
Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pihak lain yang
membutuhkan.
Bogor, September 2011
Nanang Andrian H14063028
i
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................... iv DAFTAR GAMBAR .........................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... vi I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ..........................................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah .....................................................................................
8
1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................................
9
1.4. Manfaat Penelitian ....................................................................................
9
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Defisit Anggaran ............................................................................. 10 2.2. Teori Money Supply .................................................................................. 13 2.2.1. Definisi Uang Beredar .................................................................... 13 2.2.2. Jenis Uang Beredar ......................................................................... 14 2.2.3. Mekanisme Penciptaan Uang Beredar ............................................ 15 2.2.4. Hubungan Uang Primer dengan Uang Beredar .............................. 16 2.3. Teori Inflasi ............................................................................................... 18 2.3.1. Definisi Inflasi ................................................................................ 18 2.3.2. Disagregasi Inflasi .......................................................................... 19 2.3.3. Sumber Inflasi ................................................................................. 20 2.3.3.1. Demand Pull Inflation .......................................................... 20 2.3.3.2. Cost Push Inflation ............................................................... 21 2.4. Hubungan Defisit Anggaran, Pertumbuhan Uang dan Inflasi .................. 21 2.4.1. Government Budget Constraint ...................................................... 21 2.4.2. The Dornbusch-Reynoso Model ..................................................... 24 2.5. Kontroversi Defisit Anggaran Pemerintah ................................................ 26 2.5.1. Kaum Monetaris ............................................................................. 26 2.5.2. The Fiscal Theory of the Price Level (FTPL) ................................. 27 2.5.3. Kelompok Keynesian ..................................................................... 29 2.3.1. Teori Ricardian Equivalence (RE) ................................................. 30
ii
2.6. Penelitian Terdahulu ................................................................................. 32 2.7. Kerangka Pemikiran .................................................................................. 37 2.8. Hipotesis Penelitian ................................................................................... 39 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data .............................................................................. 40 3.2. Model Penelitian ....................................................................................... 40 3.3. Metode Analisis Data ................................................................................ 41 3.3.1. Uji Stasioneritas Data .................................................................... 41 3.3.2. Penentuan Lag Optimal .................................................................. 43 3.3.3. Uji Kointegrasi ............................................................................... 44 3.3.4. Vector Error Correction (VEC) Model .......................................... 46 3.3.5. Vector Error Correction Restriction .............................................. 48 3.3.6. Uji Lag Structure ............................................................................ 49 3.3.6.1. Uji Lag Exclusion ................................................................. 49 3.3.6.2. Uji Weak Exogeneity ............................................................. 49 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Uji Stasioneritas Data ................................................................................ 51 4.2. Penentuan Lag Optimal ............................................................................. 53 4.3. Uji Kointegrasi .......................................................................................... 54 4.4. Persamaan Jangka Panjang Inflasi, Pertumbuhan Uang dan Defisit Anggaran .................................................................................................. 55 4.5. Uji Kausalitas Granger .............................................................................. 66 V. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ............................................................................................... 68 6.2. Saran .......................................................................................................... 68 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 71 LAMPIRAN ........................................................................................................ 75
iii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1. Ringkasan Metode Pengukuran Defisit ............................................ 12 Tabel 2.2. Neraca Otoritas Moneter Indonesia ................................................. 15 Tabel 4.1. Hasil Pengujian Akar Unit pada Level ............................................. 52 Tabel 4.2. Hasil Pengujian Akar Unit pada First Difference ............................. 52 Tabel 4.3. Penentuan Lag Optimal ..................................................................... 53 Tabel 4.4. Hasil Uji Kointegrasi Johansen .......................................................... 54 Tabel 4.5. Hasil Estimasi VEC ........................................................................... 57 Tabel 4.6. Hasil Uji Lag Structure ...................................................................... 58 Tabel 4.7. Hasil Uji Kausalitas Granger ............................................................. 66
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.1. Ringkasan Defisit APBN Indonesia periode 1999-2009 ...............
3
Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran ...................................................................... 38
v
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Data yang Digunakan ..................................................................... 76 Lampiran 2. Grafik Data yang Digunakan ......................................................... 79 Lampiran 3. Uji Akar Unit pada Variabel Penelitian ......................................... 80 Lampiran 4. Penentuan Lag Optimal ................................................................. 81 Lampiran 5. Uji Kestabilan VAR ....................................................................... 83 Lampiran 6. Uji Kointegrasi dengan Asumsi Summary ..................................... 84 Lampiran 7. Uji Kointegrasi dengan Asumsi Berdasarkan SC .......................... 87 Lampiran 8. Uji Lag Structure (Lag Exclusion dan Weak Exogeneity) ............. 91 Lampiran 9. Uji Kausalitas Granger .................................................................. 94
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan makro yang dijalankan oleh pemerintah bersama dengan kebijakan moneter dan sektoral. Kebijakan fiskal yang dijalankan oleh pemerintah dapat terlihat melalui kebijakan anggaran. Kebijakan anggaran di Indonesia ditujukan untuk mendukung kegiatan ekonomi nasional dalam memacu pertumbuhan, menciptakan dan memperluas lapangan kerja, meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dan mengurangi kemiskinan.
Kebijakan
anggaran
memiliki
instrumen
berupa
Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN merupakan penjabaran rencana kerja para penyelenggara negara untuk kurun waktu satu tahun yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran (1 Januari hingga 31 Desember)1. Indikator makroekonomi yang digunakan sebagai dasar dalam penyusunan kebijakan anggaran (APBN) adalah sebagai berikut: a. Pertumbuhan ekonomi
e. Harga minyak internasional
b. Inflasi
f. Produksi minyak Indonesia
c. Nilai tukar d. Suku bunga SBI 1
Nota Keuangan dan APBN dari berbagai edisi.
2
Kebijakan anggaran di suatu negara dalam prakteknya memiliki tiga kondisi, antara lain berimbang, surplus dan defisit. Anggaran negara yang berimbang memang terlihat sebagai kondisi paling ideal bagi pemerintah karena total pengeluaran pemerintah seimbang dengan total penerimaan dan juga merupakan indikator yang berguna untuk kesehatan makroekonomi. Namun tidak sedikit ekonom yang menentang hal di atas karena kondisi tersebut tidak optimal untuk pertumbuhan ekonomi dan menganggap bahwa surplus atau defisit anggaran yang lebih optimal. Menurut Mankiw (2000), kebijakan fiskal yang optimal pada suatu negara sebagian besar membutuhkan kondisi defisit atau surplus pada anggarannya karena setidaknya ada tiga alasan, yaitu alat stabilisasi, tax smoothing dan redistribusi intergenerasi. Pada umumnya, negara berkembang dan maju mengadopsi
kebijakan
defisit
anggaran
yang
sering
disebabkan
untuk
mempercepat pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan masyarakat, rendahnya daya beli masyarakat, melemahnya nilai tukar, pengeluaran akibat krisis global, dan pengeluaran berlebih karena inflasi. Kebijakan defisit anggaran merupakan kondisi dimana total pengeluaran pemerintah (belanja negara) lebih besar dari total penerimaan pemerintah (pendapatan negara ditambah hibah). Kebijakan anggaran di Indonesia juga menerapkan kebijakan defisit anggaran yang terlihat dari penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mulai dari rezim Orde Baru hingga tahun 2000, pemerintah selalu menetapkan kebijakan fiskal ekspansif. Walaupun sejak pemerintahan Orde Baru dinyatakan bahwa APBN selalu bersendikan pada prinsip anggaran berimbang
3
dan dinamis, namun sebenarnya lebih bersifat politis (agar sesuai dengan GBHN), karena secara konseptual dan faktual APBN selalu mengalami defisit (Basri, 2000). Setelah krisis multidimensional tahun 1997-1998, Indonesia juga masih menjaga konsistensi defisit anggarannya dibawah 3 persen dari PDB, seperti yang terlihat pada Gambar 1.1.
4 3.5 3 2.5 2
BUDEF (% PDB)
1.5 1 0.5 0 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Sumber : Nota Keuangan dari berbagai tahun, diolah.
Gambar 1.1. Ringkasan Defisit APBN Indonesia Periode 1999-2009 Berdasarkan Gambar 1.1, terlihat bahwa sebelas tahun sesudah krisis ekonomi yang mengguncang negara-negara di Asia Tenggara pada tahun 19971998, pemerintah Indonesia ternyata tetap melakukan ekspansi fiskal untuk melanjutkan program pemulihan krisis, namun secara bersamaan juga menyehatkan APBN dengan menurunkan defisit anggaran hingga dibawah 3 persen dari nilai PDB. Seperti pada tahun 1999, persentase defisit anggaran terhadap PDB mencapai 3,9 persen dan berfluktuasi menurun hingga tahun 2005 mendekati 0,5 persen. Namun setelah tahun 2005, terus mengalami kenaikan hingga mencapai 2,5 persen pada tahun 2009.
4
Dalam perkembangannya, kebijakan defisit anggaran juga tidak bisa lepas dari pro dan kontra mengenai waktu dan pembiayaan terhadap defisit tersebut karena selain kebijakan moneter, keseimbangan fiskal (anggaran) juga merupakan indikator untuk melihat kesehatan makroekonomi. Persepsi yang berkembang adalah kebijakan anggaran yang terlalu besar dan dalam jangka waktu yang lama seringkali menjadi akar permasalahan dari ketidakstabilan makroekonomi seperti inflasi yang tinggi, defisit current account yang besar, kewajiban utang yang besar dan pertumbuhan ekonomi yang rendah. Pada negara industri maju, beberapa publikasi memperlihatkan hubungan antara defisit anggaran dengan ketidakseimbangan indikator makroekonomi sulit dijelaskan tapi bisa lebih dikaitkan dengan bagaimana defisit anggaran tersebut dibiayai dan untuk berapa lama terjadi (Hossain dan Chowdhury, 1998). Sedangkan menurut Lozano (2008), hasil di negara berkembang, seringkali inflasi yang tinggi terjadi ketika pemerintah menghadapi defisit yang besar dan terus-menerus yang kemudian dibiayai oleh penciptaan uang (money creation) sehingga sering disebut inflasi yang timbul karena fiscal driven monetary phenomenon. Pembiayaan defisit anggaran di Indonesia, fakta sebelum diberlakukannya UU No. 23 Tahun 1999, Bank Indonesia adalah sebagai bendahara pemerintah yang mempunyai kewajiban untuk mendanai pengeluaran pemerintah (defisit anggaran) dengan mencetak uang (money creation), tentu saja pembiayaan ini akan menyebabkan meningkatnya base money (M0) dan mempengaruhi money supply (M1 dan M2) yang dapat berimbas pula pada tingkat inflasi. Seperti yang terjadi pada tahun 1960 hingga 1970, tingkat inflasi Indonesia yang terus naik
5
hingga mencapai lebih dari 1000 persen atau bisa dikatakan hyperinflation yang disebabkan oleh kebijakan fikal pemerintah yang terlalu ekspansif dan tidak prudent. Hal tersebut menyebabkan Bank Indonesia melakukan pencetakan uang secara berlebihan untuk membiayai defisit anggaran yang sangat besar (proyekproyek mercusuar atau pengeluaran untuk militer) namun berhasil diturunkan dengan solusi alternatif pembiayaan defisit anggaran, yaitu berupa pinjaman luar negeri (Chowdhury dan Sugema, 2006). Setelah diberlakukan pada tahun 2000, transmisi pengaruh defisit anggaran terhadap variabel moneter melalui jalur moneter secara institusional berubah. Bank Indonesia tidak diperbolehkan memberikan dana talangan terhadap pengeluaran pemerintah dan atau bahkan membiayai defisit rekening pemerintah (Net Claim on Government) di Bank Indonesia. Hal ini berarti Bank Indonesia hanya sebagai pemegang rekening pemerintah dan tidak akan mengeluarkan dana, jika pemerintah tidak memiliki dana di rekeningnya (Maryatmo, 2004). Selain itu, Bank Indonesia juga mulai menempuh langkah-langkah untuk semakin meningkatkan tingkat independensi, transparansi, dan akuntabilitas. Hal ini dapat dilihat dengan penerapan kerangka kerja kebijakan moneter berdasarkan suatu kerangka yang dikenal dalam literature ekonomi dan praktek di bank-bank sentral lain dengan sebutan Inflation Targetting Framework (ITF). Prinsip dasar dari ITF adalah sasaran akhir dari kebijakan moneter diutamakan untuk mencapai dan memlihara laju inflasi yang rendah dan stabil. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan pokok yaitu laju inflasi yang tinggi menimbulkan biaya sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat dan kebijakan
6
moneter jangka menengah-panjang hanya berpengaruh pada inflasi dan bukan pada pertumbuhan ekonomi (Warjiyo, 2004). Hal ini sesuai dengan pendapat Friedman dalam Mishkin (2001) yang menyatakan bahwa pergerakan ke atas pada tingkat harga adalah sebuah fenomena moneter yang hanya akan terjadi apabila pergeseran tersebut adalah sebuah proses yang berkelanjutan, sehingga inflasi merupakan fenomena moneter dan sumber dari segala inflasi adalah pertumbuhan money supply yang tinggi. Agar sasaran akhir utama ITF yaitu tingkat inflasi yang rendah dan stabil dapat diterapkan, maka ITF memiliki beberapa syarat yang salah satunya adalah tidak adanya dominasi sektor fiskal (fiscal dominance). Hal tersebut berarti Bank Indonesia harus dilindungi undang-undang dan dibebaskan dari segala pengaruh atau kewajiban untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Ekspansi moneter untuk pembiayaan pengeluaran fiskal telah terbukti secara nyata berdampak pada tidak terkendalinya uang beredar dan memperlemah efektifitas kebijakan moneter dalam mempengaruhi dan mencapai sasaran inflasi yang telah ditetapkan (Warjiyo, 2004). Menurut Lozano (2008), hubungan antara defisit anggaran, pertumbuhan uang, dan inflasi selalu menjadi isu penting dalam literatur ekonomi moneter di dunia. Beberapa literatur telah mencoba untuk melihat kemungkinan hubungan sebab-akibat antara pembiayaan defisit anggaran dan tingkat harga secara umum. Secara teori, paling tidak ada empat pandangan yang berbeda untuk melihat hubungan ketiga variabel tersebut. Pertama, pandangan kaum Monetaris Ortodoks dengan dasar teori kuantitas uang menjelaskan bahwa bila terjadi perubahan pada
7
kuantitas uang secara nominal akan menyebabkan perubahan yang sama pada tingkat harga dan perubahan kuantitas uang bisa disebabkan karena penciptaan uang (money creation) yang digunakan untuk membiayai defisit anggaran. Kedua, The Fiscal Theory of Price Level (FTPL) atau yang dikenal sebagai teori kuantitas utang pemerintah, menjelaskan dimana tingkat harga bisa dipengaruhi oleh aksi kebijakan fiskal sehingga defisit anggaran merupakan salah satu faktor perhitungan inflasi dalam jangka panjang dengan pertumbuhan uang yang tidak berperan dalam sistem tersebut. Ketiga, pandangan kaum Keynesian dimana berkesimpulan inflasi yang tinggi tidak disebabkan oleh kebijakan fiskal saja tetapi banyak faktor yang lain dan lebih memfokuskan pada efek defisit anggaran yang temporer pada tingkat inflasi dan bukan seperti inflasi pada umunya dimana terjadi peningkatan tingkat harga secara terus-menerus. Pandangan yang terakhir adalah pandangan kaum Ricardian Equivalence (RE) dimana defisit anggaran pemerintah bersifat netral atau tidak akan berpengaruh pada perekonomian (neutrality preposition). Oleh karena dampak defisit anggaran dapat mempengaruhi variabel moneter berupa pertumbuhan uang dan tingkat inflasi, maka penelitian tentang hubungan defisit anggaran, pertumbuhan uang dan inflasi menarik untuk diteliti. Walaupun kerangka kerja Inflation Targetting (kebijakan moneter) sudah diterapkan di Indonesia, bukan tidak mungkin pengaruh defisit anggaran (kebijakan fiskal ekspansif) tetap dapat mempengaruhi jumlah uang beredar dan tingkat inflasi, antara lain seperti adanya jangka waktu (lag of time) antara
8
pengeluaran dan penerimaan pemerintah, sumber pendanaan (utang domestik maupun luar negeri), dan perubahan permintaan agregat.
1.2. Perumusan Masalah Defisit anggaran yang besar dan terjadi secara terus-menerus dapat menjadi
akar
dari
permasalahan
makroekonomi
seperti
hyperinflation,
ketergantungan terhadap utang luar negeri, dan pertumbuhan ekonomi yang rendah.
Apabila
ketidakseimbangan
makroekonomi
terjadi
maka
akan
membahayakan bagi kelanjutan perekonomian. Fakta di Indonesia, sebelum diberlakukannya UU No. 23 Tahun 1999, Indonesia telah mengalami hyperinflation karena pencetakan uang (money creation) secara berlebihan oleh Bank Indonesia untuk membiayai defisit anggaran pemerintah akibat kebijakan fiskal yang terlalu ekspansif. Namun setelah diberlakukan, kerangka kerja Inflation Targetting (kebijakan moneter) oleh Bank Indonesia, hal ini menunjukkan bahwa era fiscal dominance sudah tidak akan terjadi lagi di Indonesia. Perubahan institusional tersebut secara empiris tidak menghalangi kemungkinan adanya pengaruh defisit anggaran (kebijakan fiskal ekspansif) terhadap jumlah uang beredar maupun variabel moneter (inflasi). Pengaruh tersebut dimungkinkan misalnya saja karena adanya jangka waktu antara pengeluaran dan penerimaan pemerintah, sumber pendanaan (utang domestik maupun luar negeri), dan perubahan permintaan agregat.
9
Permasalahan yang dirumuskan secara spesifik dalam penelitian ini adalah bagaimanakah hubungan jangka panjang inflasi, pertumbuhan uang dan defisit anggaran di Indonesia? Apakah defisit anggaran pemerintah (kebijakan fiskal ekspansif) berpengaruh terhadap variabel moneter yaitu pertumbuhan uang dan inflasi di Indonesia?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini secara rinci adalah mengidentifikasi persamaan jangka panjang inflasi, pertumbuhan uang, dan defisit anggaran. Menganalisis dan mengetahui apakah defisit anggaran (kebijakan fiskal ekspansif) mempengaruhi pertumbuhan uang dan inflasi serta teori yang mendasarinya.
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini akan memberikan gambaran mengenai dampak defisit anggaran (kebijakan fiskal ekspansif) terhadap variabel moneter yaitu pertumbuhan uang dan inflasi di Indonesia. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan oleh pihak-pihak yang berwenang sebagai referensi untuk harmonisasi dan koordinasi kebijakan fiskal dan moneter. Selain itu, penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi pembacanya dan sebagai referensi untuk penelitian lebih lanjut. Bagi penulis sendiri, penelitian ini merupakan wadah pembelajaran untuk menerapkan ilmu yang diperoleh selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor.
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Defisit Anggaran Suatu anggaran pemerintah terdiri dari besaran pengeluaran dan penerimaan pemerintah. Dalam kondisi perekonomian tertentu, salah satu kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah adalah melalui kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal yang diterapkan dapat dilihat dalam anggaran pemerintah tersebut, dan defisit anggaran adalah salah satu kebijakan fiskal pemerintah yaitu kebijakan fiskal ekspansif. Anggaran pemerintah memiliki sifat struktural dan siklikal. Anggaran memiliki sifat struktural atau aktif, berarti anggaran tersebut ditentukan oleh kebijakan aktif dan beban (diskresioner) seperti penetapan tingkat pajak, jaminan sosial, dan belanja pemerintah untuk menghitung seberapa besar penerimaan dan pengeluaran pemerintah, serta kemungkinan defisit/surplus bila perekonomian beroperasi pada tingkat produksi potensial. Akan tetapi, sebagian besar dari anggaran bersifat siklikal atau pasif dimana ditentukan oleh keadaan siklus ekonomi, untuk menghitung dampak daripada siklus ekonomi terhadap anggaran atau mengukur perubahan dalam penerimaan, pengeluaran, dan defisit/surplus yang timbul oleh karena perekonomian tidak beroperasi pada output potensialnya. Anggaran yang bersifat siklikal ini merupakan selisih antara anggaran aktual dan anggaran struktural (Samuelson dan Nordhaus, 1997). Konsep atau definisi defisit anggaran bervariasi. Perbedaan definisi yang diaplikasikan oleh berbagai penguasa fiskal maupun oleh para peneliti didasari
11
oleh perbedaan metode pencatatan dan oleh perbedaan tujuan analisis dampak defisit anggaran terhadap berbagai sektor perekonomian. Definisi defisit secara konvensional, dapat dihitung berdasarkan selisih antara total belanja dengan total pendapatan termasuk hibah. Sementara itu, pengertian kedua adalah defisit moneter. Defisit moneter adalah selisih antara total belanja pemerintah (di luar pembayaran pokok utang) dengan total pendapatan (di luar penerimaan utang). Pengertian ketiga adalah defisit operasional, yaitu defisit moneter yang diukur dalam nilai riil dan bukan nilai nominal. Definisi yang terakhir adalah defisit primer. Menurut Dornbusch, et al. (1989) defisit anggaran dapat dikelompokkan menjadi dua komponen. Kedua komponen itu adalah defisit primer dan komponen pembayaran bunga utang. Defisit primer didefinisikan sebagai selisih antara pengeluaran pemerintah (tidak termasuk pembayaran bunga utang) dengan seluruh penerimaan pemerintah (tidak termasuk utang baru dan pembayaran cicilan utang). Pengelompokan komponen defisit anggaran itu dimaksudkan untuk melihat peranan beban utang dalam anggaran pemerintah. Jika beban utang pemerintah, suku bunga pinjaman, dan kurs mata uang semakin tinggi maka pembayaran bunga utang juga akan semakin tinggi, selanjutnya defisit anggaran cenderung semakin tinggi. Pemerintah terpaksa menjalankan defisit anggaran yang lebih tinggi karena faktor pembayaran bunga utang. Selain itu, masih terdapat beberapa definisi dari defisit dan sangat tergantung pada kriteria yang digunakan serta tujuan analisis. Biasanya pilihan konsep defisit yang tepat tergantung oleh beberapa faktor, antara lain: jenis
12
ketidakseimbangan yang terjadi, cakupan pemerintah (pemerintah pusat, konsolidasi pemerintah, dan sektor publik), metode akuntasi (cash dan accrual basis), dan status dari contingent liabilities (Simanjuntak dalam Waluyo, 2006). Beberapa konsep ukuran defisit anggaran lainnya terangkum dalam Tabel 2.1. Tabel 2.1. Ringkasan Metode Pengukuran Defisit Jenis Defisit Metode Defisit Konvensional dan a. DEF = (R + A) – (G + B) ; atau b. DEF = (R + A + D) – (G + B) ; atau Defisit Keseluruhan c. DEF = (R – A) – Tx ; atau d. DEF = (R + A) – G Defisit Fiskal Berjalan DEF = Sg = Rd – Gr dan Konsep Nilai Bersih Defisit Domestik DEF = Rd – Gd Defisit Moneter Db = R – (G – (Df + Dnb)) Defisit Primer DEF = (R – A) – (G – B) Augmented Defisit Primer DEF = {(R – A) – (G – B)} – Defisit Operasional Defisit APBN Indonesia
(D – FR) + S
a. DEF = ((R – A) – G) – iB ; atau b. DEF = ((R – A) – (G – B)) + iB Primer : DEF = (R + A) – (G – B) Anggaran : DEF = (R + A) – G
Sumber : Waluyo, 2006. Keterangan: Jika nilai sisi kiri persamaan negatif (-) maka menunjukkan terjadinya defisit, dan berlaku pula sebaliknya. DEF = Defisit Anggaran. G = Pertumbuhan Ekonomi Sg = Tabungan Pemerintah. i* = Suku Bunga Utang Luar Negeri R = Total Penerimaan Pemerintah. Rd = Penerimaan Dalam Negeri. A = Total Hibah. Gr = Pengeluaran Rutin (DN + LN). G = Total Pengeluaran Pemerintah. B = Pembayaran Bunga Utang. D = Total Utang Pemerintah. Gd = Pengeluaran Dalam Negeri. Df = Utang LN Pemerintah. FR = Cadangan Devisa Luar Negeri. Db = Utang dari Sektor Perbankan. S = Seignorage. Dnb = Utang DN dari Non Perbankan. Tx = Penerimaan Pajak. i = Suku Bunga Riil. π = Tingkat Inflasi. ε = Nilai Tukar.
13
2.2. Teori Money Supply 2.2.1. Definisi Uang Beredar Uang beredar adalah suatu istilah yang digunakan dalam illmu ekonomi moneter. Sebelum sampai pada konsep atau pengertian uang beredar perlu dipahami terlebih dahulu penggunaaan uang dalam praktik kehidupan sehari-hari. Menurut Solikin dan Suseno (2002), terdapat tiga jenis uang, yaitu : 1. Uang Kartal, adalah uang yang berada ditangan masyarakat atau di luar bank umum dan dapat dibelanjakan setiap saat, terutama untuk pembayaran dengan nilai yang tidak terlalu besar. Di Indonesia, uang kartal adalah uang kertas dan uang logam yang beredar di masyarakat yang diedarkan oleh Bank Indonesia atau yang dikenal sebagai uang tunai. 2. Uang Giral, adalah uang simpanan masyarakat yang berada di bank umum dan dapat dicairkan setiap saat. Uang jenis ini sering disebut sebagai rekening giro. Masyarakat dapat menggunakan cek untuk mencairkan simpanan ini. 3. Uang Kuasi, adalah uang yang yang tidak dapat dipakai setiap saat dalam proses pembayaran karena keterkaitan waktu. Jenis uang ini disimpan dalam bentuk tabungan dan deposito berjangka. Pada dasarnya uang kuasi berbentuk bukan uang namun memiliki fungsi mendekati uang. Tabungan dan deposito berjangka tersebut harus melalui proses pencairan terlebih dahulu untuk dapat digunakan sebagai alat pembayaran. Otoritas moneter (Bank Indonesia) dan bank umum adalah lembaga memiliki kewenanngan untuk menciptakan dan mengedarkan uang. Bank
14
Indonesia menciptakan dan mengadakan uang kartal sedangkan bank umum mengeluarkan dan mengedarkan uang giral dan uang kuasi. Kedua lembaga ini dikenal sebagai lembaga yang termasuk dalam sistem moneter.
2.2.2. Jenis Uang Beredar Berbagai negara menggunakan uang beredar dengan jenis yang beragam yang secara resmi didefinisikan berdasarkan komponen yang tercakup didalamnya. Komponen tersebut adalah tiga jenis uang yang telah dikenal pada bagian sebelumnya, yaitu uang kartal, uang giral dan uang kuasi. Jenis uang beredar pun beragam sesuai dengan cakupan definisi uang beredar tersebut. Menurut Bank Indonesia dalam Hidayat (2004), di Indonesia saat ini hanya mengenal dua macam uang beredar saja, yaitu : 1. Uang beredar dalam arti sempit (narrow money), yang sering disebut M1, didefinisikan sebagai kewajiban sistem moneter terhadap sektor swasta domestik yang terdiri dari uang kartal (C) dan uang giral (D). 2. Uang beredar dalam arti luas (broad money), yang disimbolkan M2, didefinisikan sebagai kewajiban sistem moneter terhadap sektor swasta domestik yang terdiri dari uang kartal (C), uang giral (D) dan uang kuasi (T). Dengan kata lain, M2 adalah M1 ditambah dengan tabungan dan simpanan berjangka lain yang jaraknya lebih pendek, termasuk rekening pasar uang dan pinjaman semalam antar bank.
15
2.2.3. Mekanisme Penciptaan Uang Beredar Berdasarkan peranannya, secara umum terdapat tiga pelaku ekonomi utama dalam proses penciptaan uang, yaitu otoritas moneter, bank umum, dan masyarakat atau sektor swasta domestik. Otoritas moneter menciptakan uang kartal, sedangkan bank umum menciptakan uang giral dan uang kuasi. Uang yang diciptakan oleh otoritas moneter dan bank umum ini yang digunakan masyarakat untuk melakukan kegiatan ekonomi. Bank Indonesia sebagai Bank Sentral adalah pelaksana fungsi moneter yang memiliki wewenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang kartal. Selain menciptakan uang giral, dalam prakteknya Bank Indonesia juga menerima simpanan giro bank umum. Uang kartal ditambah dengan simpanan bank umum di Bank Indonesia inilah yang disebut dengan uang primer (base money) dan disimbolkan dengan M0. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi M0, maka perlu diketahui terlebih dahulu Neraca Otoritas Moneter di Indonesia yang disajikan pada Tabel 2.2. Tabel 2.2. Neraca Otoritas Moneter di Indonesia Aktiva
Pasiva
Aktiva Luar Negeri Bersih
(ALNB)
Uang Kartal
Aktiva Dalam Negeri Bersih
(ADNB)
•
Di masyarakat
(C)
• Tagihan bersih pada pemerintah pusat
•
Di bank umum
(R)
• Tagihan pada sektor swasta domestic
Saldo giro
• Tagihan pada bank umum Aktiva Lainnya Bersih
_______ M0
•
Milik bank umum
•
Milik masyarakat
_____ M0
Sumber : Solikin dan Suseno, 2002
16
2.2.4. Hubungan Uang Primer dengan Uang Beredar Hubungan antara uang primer (M0) dengan uang beredar (M1 dan M2) dapat dijelaskan dengan konsep pengganda uang (money multiplier). Konsep ini muncul ketika kondisi menciptakan uang giral dan uang kuasi, bank tidak harus menjamin sepenuhnya uang tersebut dengan uang tunai yang ada di kas. Berdasarkan Neraca Otoritas Moneter, diketahui bahwa secara umum uang primer (M0) terdiri dari uang kartal (C) dan saldo giro bank umum di Bank Sentral (R). Sedangkan jumlah uang beredar dalam arti sempit (M1) terdiri dari uang kartal (C) dan uang giral (D), dan jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) terdiri dari M1 ditambah dengan uang kuasi (T). Sehingga konsep tersebut dapat diformulasikan sebagai berikut (Solikin dan Suseno, 2002) : M0 = C + R
(2.1)
M1 = C + D
(2.2)
M2 = C + D + T
(2.3)
Dengan mendefinisikan C/D = c (currency ratio), T/D = t (time and saving deposit ratio), dan R/(D+T) = r (reserve ratio), maka didapat angak pengganda uang untuk masing-masing M1 dan M2 (yang disimbolkan dengan mm1 dan mm2) yang dapat menggambarkan interaksi antara otoritas moneter, bank umum, dan masyarakat, yaitu : mm1 = M1/M0 =
………….………………….…………..(2.4)
mm2 = M2/M0 =
…………..…………………………….(2.5)
17
Berdasarkan persamaan diatas, dapat disimpulkan bahwa naik turunnya angka pengganda uang dipengaruhi oleh ketiga determinan angka pengganda uang, yaitu currency ratio, time and savings deposits ratio dan reserve ratio. Currency ratio (c) dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dalam memilih memegang uang kartal atau giral. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat, yaitu biaya penggunaan uang giral (biaya transportasi dan biaya administrasi simpanan) dan kenyamanan serta keamanan (uang giral lebih aman dan nyaman dalam penyelesaian transaksi yang relatif besar). Untuk time and savings deposits ratio (t) juga memiliki faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat menentukan t, yaitu opportunity cost (t berubah searah dengan suku bunga uang kuasi dan berlawanan arah dengan suku bunga uang giral), pendapatan masyarakat (t berubah searah dengan perubahan tingkat pendapatan), dan kemajuan layanan sektor perbankan (t meningkat bila layanan sektor perbankan semakin maju). Reserve ratio (r) yang berada di bank umum dibagi dua, yaitu legal reserve ratio dan excess reserve. Legal reserve ratio adalah rasio cadangan resmi terhadap simpanan masyarakat yang dipengaruhi oleh ketentuan bank sentral. Sedangkan excess reserve ratio adalah rasio cadangan terhadap simpanan masyarakat yang dipengaruhi oleh keperluan bank akan terhadap likuiditas jangka pendek yaitu simpanan giro atau simpanan tabungan.
18
2.3. Teori Inflasi 2.3.1. Definisi Inflasi Inflasi adalah kenaikan harga-harga komoditi secara umum yang disebabkan oleh tidak sinkronnya antara program pengadaan komoditi (produksi, penentuan harga, pencetakan uang, dan sebagainya) dengan tingkat pendapatan yang dimiliki oleh masyarakat. Pada dasarnya, terjadinya inflasi bukanlah masalah yang terlalu berarti apabila keadaan tersebut diiringi oleh tersedianya komoditi yang diperlukan secara cukup dan diikuti dengan naiknya persentase pendapatan yang lebih besar dari persentase inflasi tersebut (Putong, 2003). Friedman dalam Mishkin (2001) menyatakan bahwa pergerakan ke atas pada tingkat harga adalah sebuah fenomena moneter yang hanya akan terjadi apabila pergeseran tersebut adalah sebuah proses yang berkelanjutan. Mayoritas pakar ekonomi, baik monetaris maupun Keynesian, menyatakan persetujuannya terhadap pernyataan Friedman (1963) bahwa inflasi adalah fenomena moneter. Friedman (1963) juga berpendapat bahwa sumber dari segala inflasi adalah pertumbuhan money supply yang tinggi. Mengurangi pertumbuhan money supply sampai ke tingkat yang rendah akan dapat menahan inflasi. Berikut adalah pernyataan Friedman (1963) secara langsung tentang hubungan uang dan inflasi : “Whenever a country’s inflation rate is extremely high for a sustained period of time, it’s rate of money supply growth is also extremely high.” Para pakar ekonomi menggunakan dua konsep dalam mempelajari inflasi. Konsep pertama adalah tingkat harga, yang berarti tingkat rata-rata semua harga dalam sistem ekonomi dan dinyatakan dalam simbol P. Konsep kedua adalah laju inflasi yang berarti laju kenaikan tingkat harga secara umum. Pada umumnya,
19
untuk mengukur tingkat haga rata-rata, para ekonom menyusun suatu indeks harga yang merata-rata harga komoditi yang berbeda menurut seberapa penting komoditi tersebut. Indeks tersebut dikenal sebagai Consumer Price Index (CPI) atau Indeks Harga Konsumen (IHK) (Lipsey et al., 1995).
2.3.2. Disagregasi Inflasi Disagregasi inflasi yang sering terjadi dalam perekonomian suatu negara dapat dibagi menjadi dua, yaitu: a. Core Inflation (inflasi karena faktor moneter) Inflasi inti adalah inflasi yang dipengaruhi oleh faktor fundamental moneter dan pada umumnya dapat dikendalikan bank sentral melalui kebijakan moneter (base money, money supply, interest rate dan exchange rate). Contohnya : interaksi permintaan-penawaran, lingkungan eksternal (nilai tukar, harga komoditi internasional dan inflasi mitra dagang), dan ekspektasi inflasi dari pedagang dan konsumen. b. Non Core Inflation (inflasi karena faktor non moneter) Inflasi non inti adalah inflasi yang terjadi selain faktor fundamental moneter dan sulit sekali dikendalikan oleh bank sentral. Inflasi non inti dibagi menjadi dua, yaitu: 1) Inflasi Volatile Food Inflasi yang dipengaruhi oleh shock dalam kelompok bahan pangan atau makanan, seperti gagal panen, gangguan alam dan iklim, dan
gangguan
penyakit.
20
2) Inflasi Administered Price Inflasi yang dipengaruhi shock berupa kebijakan harga pemerintah, seperti harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik (TDL), tarif angkutan, dan lain-lain.
2.3.3. Sumber Inflasi 2.3.3.1. Demand Pull Inflation Inflasi yang terjadi akibat adanya permintaan total yang berlebihan dimana biasa dipicu oleh membanjirnya likuiditas di pasar sehingga terjadi permintaan yang tinggi dan memicu perubahan pada tingkat harga. Bertambahnya volume alat tukar atau likuiditas yang terkait dengan permintaan terhadap barang dan jasa mengakibatkan bertambahnya permintaan terhadap faktor-faktor produksi tersebut. Meningkatnya permintaan terhadap faktor produksi kemudian akan menyebabkan harga faktor produksi meningkat sehingga inflasi terjadi karena suatu kenaikan dalam permintaan total sewaktu perekonomian yang bersangkutan dalam situasi full employment dimana biasanya lebih disebabkan oleh rangsangan volume likuiditas dipasar yang berlebihan. Membanjirnya likuiditas di pasar juga disebabkan oleh banyak faktor selain yang utama tentunya kemampuan bank sentral dalam mengatur peredaran jumlah uang, kebijakan suku bunga bank sentral, sampai dengan aksi spekulasi yang terjadi di sektor industri keuangan.
21
2.3.3.2. Cost Push Inflation Inflasi yang terjadi akibat adanya kelangkaan produksi dan termasuk adanya kelangkaan distribusi, walaupun permintaan secara umum tidak ada perubahan yang meningkat secara signifikan. Adanya ketidak-lancaran aliran distribusi atau berkurangnya produksi yang tersedia dari rata-rata permintaan normal dapat memicu kenaikan harga sesuai dengan berlakunya hukum demand and supply, atau juga karena terbentuknya posisi equilibrium baru produk tersebut akibat pola atau skala distribusi yang baru. Berkurangnya produksi dapat terjadi akibat berbagai hal seperti adanya masalah teknis di sumber produksi (pabrik, perkebunan, dll), bencana alam, cuaca, atau kelangkaan bahan baku untuk menghasilkan produksi tersebut, aksi spekulasi (penimbunan), dll, sehingga memicu kelangkaan produksi yang terkait tersebut di pasaran. Begitu juga hal yang sama dapat terjadi pada distribusi, dimana dalam hal ini faktor infrastruktur memainkan peranan yang sangat penting.
2.4. Hubungan Defisit Anggaran, Pertumbuhan Uang, dan Inflasi 2.4.1. Government Budget Constrain Dampak defisit anggaran terhadap variabel makroekonomi sering diteliti dalam kerangka kerja analisis yang berpusat pada kendala anggaran pemerintah. Ketika pendapatan turun secara terus menerus dan untuk membayar modal, pemerintah akan mengalami defisit yang kemudian dapat dibiayai dengan sumber moneter dan non-moneter. Kendala anggaran pemerintah merupakan cara untuk
22
membuktikan hubungan antara kebijakan moneter, fiskal dan makroekonomi akibat adanya defisit anggaran. Defisit anggaran pemerintah dapat didefinisikan dan dihubungkan dnegan perubahan government net debt yang dapat dirumuskan : Dg – Dg-1 = (G + Ig – T) + r Dg-1
(2.6)
dimana (Dg – Dg-1) adalah perubahan government net debt periode sekarang dengan periode sebelumnya; G adalah pengeluaran pemerintah; Ig merupakan investasi pemerintah; T merupakan taxes net of transfers; dan r adalah nominal interest rate. Sisi sebelah kanan persamaan di atas adalah untuk mengukur defisit anggaran dan persamaan memperlihatkan perubahan dalam government net debt setara dengan defisit anggaran. Ketika anggaran pemerintah dalam keadaan defisit, surat utang diperlukan untuk membiayai defisit tersebut untuk menambah dana melalui penerbitan obligasi. Pembeli dari obligasi dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori yaitu perusahaan dan rumah tangga domestik, sistem perbankan umum domestik, bank sentral negara tersebut, dan pihak asing (swasta maupun publik). Contoh pada negara berkembang, bank sentral sering membeli surat utang obligasi dalam jumlah besar yang diterbitkan untuk membiayai defisit karena permintaan yang terbatas dari pembeli yang lain. Pemerintah mungkin juga enggan untuk menjual dalam jumlah besar surat utang obligasi kepada publik karena akan mewajibkan untuk membayar bunga pada periode yang akan datang. Berdasarkan fakta tersebut, bank sentral seringkali menjadi bagian penting untuk pemerintah,
23
mungkin tidak ada pilihan untuk membeli surat utang obligasi atau monetized the deficit. Kecuali seperti situasi khusus, surat utang dipegang oleh publik dan bank sentral. Oleh karena itu, perubahan dalam utang dipegang oleh bank sentral (Dgc – Dgc-1) setara dengan keseluruhan perubahan dalam utang (Dg – Dg-1) dikurangi perubahan dalam utang yang dipegang oleh publik (Dgp – Dgp-1) : Dgc – Dgc-1 = (Dg – Dg-1) – (Dgp – Dgp-1)
(2.7)
Efek dari defisit anggaran pada money supply dapat ditunjukkan dari persamaan berikut untuk perubahan monetary base (MB) : MB – MB-1 = (Dgc – Dgc-1) + e (Rc – Rc-1) + (Lcb – Lcb-1)
(2.8)
dimana Rc adalah cadangan devisa di bank sentral; e adalah nominal exchange rate yang dihitung dari mata uang domestik per unit mata uang asing; dan Lcb adalah persediaan kredit dari bank umum melalui discount window. Jika komponen discount window merupakan perubah monetary base (MB) dapat diabaikan, persamaannya dapat ditulis : MB – MB-1 = (Dgc – Dgc-1) + e (Rc – Rc-1)
(2.8a)
Kemudian sustitusi persamaan (2.7) dengan (2.8a) untuk menyusun kembali hasil persamaan : (Dg – Dg-1) = (MB – MB-1) + (Dgc – Dgc-1) – e (Rc – Rc-1)
(2.9)
atau (G + Ig – T) + r Dg-1 = (MB – MB-1) + (Dgc – Dgc-1) – e (Rc – Rc-1) (2.9a) Persamaan di atas dapat disebut sebagai persamaan fundamental untuk membiayai defisit anggaran. Persamaan tersebut juga menunjukkan bahwa tiga
24
cara untuk membiayai defisit, yang mana setara dengan perubahan dalam government net debt (Dg – Dg-1) : 1. Meningkatkan monetary base, MB – MB-1 2. Meningkatkan surat utang yang dipegang oleh publik, Dgc – Dgc-1 atau 3. Menurunkan cadangan devisa di bank sentral, e (Rc – Rc-1) Untuk lebih mudahnya, untuk membiayai defisit anggaran pemerintah dapat menciptakan uang, meminjam dari publik, atau mengurangi cadangan devisa. Menurut Easterly, et al. dalam Hossain dan Chowdhury (1998), ketiga sumber pembiayaan defisit tersebut dapat menyebabkan berbagai macam permasalahan makroekonomi : “the consequences of deficit depend on how they are financed. As a first approximation each major type of financing, if used excessively, brings about a macroeconomic imbalance. Money creation to finance the deficit often leads to inflation. Domestic borrowing leads to a credit squeeze – through higher interest rate or, when interest rates are fixed, through credit allocation and ever more stringent financial repression – and the crowding out of private investment and consumption. External borrowing leads to a current account deficit and real exchange rate appreciation and sometimes to a balance of payment crisis (if foreign reserve are run down) or an external debt crisis (if debt is too high).” 2.4.2. The Dornbush-Reynoso Model Peran penting defisit anggaran dalam inflasi yang tinggi membuat para ekonom besar mencoba untuk membangun sebuah model inflasi yang dipengaruhi oleh defisit anggaran untuk negara-negara berkembang. Seperti contohnya Dornbusch dan Reynoso dalam Hossain dan Chowdhury (1998) membuktikan bahwa inflasi di negara ekonomi berkembang menunjukkan interaksi dengan empat faktor, yaitu :
25
1. Pembiayaan defisit, yang memengaruhi pertumbuhan money supply 2. Institusi keuangan, yang menetapkan permintaan uang 3. Shock pada anggaran pemerintah, dan 4. Kemampuan untuk bertindak terhadap shock tersebut dengan kebijakan fiskal yang baik. Inflasi yang tinggi memiliki dua karakteristik, yaitu pertama, sebagian besar defisit anggaran dibiayai oleh money creation. Kedua, ada petunjuk dimana inflasi periode sekarang berhubungan dengan inflasi periode sebelumnya. Menurut Mundell dalam Hossain and Chowdury (1998), defisit anggaran merupakan bagian (α) dari income riil dan fungsi permintaan untuk high powered money merupakan fungsi linier inflasi yang meningkat. Bagian (β) adalah defisit yang dibiayai oleh menciptakan uang dan dengan beberapa asumsi, Dornbusch dan Reynoso (1993) membangun model melalui hubungan pertumbuhan dari high powered money (μ) dan defisit anggaran, yaitu : μ = αβ(ρ + γπ)
(2.10)
dimana ρ dan γ adalah parameter dari fungsi kecepatan. Saat kondisi steady-state, dengan tingkat pertumbuhan output riil (gy) dan elastisitas pendapatan terhadap uang yang bersifat unitary, tingkat inflasi (π) dapat ditunjukkan dengan : π = (βρα – gy) / (1 – βΔα)
(2.11)
Berdasarkan model di atas maka dapat diambil tiga poin penting, yaitu Pertama, hubungan antara inflasi dan defisit anggaran yang dibiayai oleh money creation adalah tidak linier. Kenaikan yang rendah dari defisit dimana kondisi defisit telah tinggi, signifikan menaikkan tingkat inflasi yang dibutuhkan untuk
26
membiayai anggaran. Kedua, struktur keuangan memengaruhi inflasi karena pembiayaan defisit. Semakin maju struktur keuangan maka koefisien ρ dan γ akan semakin besar, oleh karena itu, inflasi yang tinggi terhubung dengan defisit tertentu. Ketiga, pertumbuhan ekonomi mengurangi inflasi yang disebabkan pembiayaan defisit. Tingkat persentase penurunan pertumbuhan pendapatan akan menaikkan inflasi berkali lipat ketika kondisi defisit yang tinggi dan juga kecepatan lebih peka terhadap inflasi. Pergerakan besar yang menurun pertumbuhan pendapatan riil dapat menjadi faktor penting yang memperbesar inflasi.
2.5. Kontroversi Defisit Anggaran Pemerintah 2.5.1. Kaum Monetaris Teori yang berdasar pada teori kuantitas uang dan menganggap aktivitas ekonomi riil memerlukan tingkat real money balances (JUB) tertentu yang dapat dikendalikan dan tingkat harga yang dapat dikendalikan oleh money supply. Penjelasannya yaitu dengan jumlah money supply tertentu (bersifat eksogen dan ditetapkan oleh kewenangan moneter) tingkat harga ditetapkan sebagai tingkat harga yang unik dimana akan membuat daya beli money supply setara dengan tingkat jumlah uang beredar yang diinginkan, artinya bank sentral mencoba untuk memastikan jumlah uang dari pelaku yang diperlukan untuk transaksi. Dalam tingkat harga tertentu, jika money supply nominal berbeda dengan jumlah uang beredar yang diinginkan maka hal tersebut dapat dikatakan sebagai perubahan
27
pada tingkat harga. Oleh karena itu, tingkat harga bersifat sangat fleksibel dan hanya ditetapkan oleh jumlah nominal money supply. Mengenai kebijakan fiskal, jumlah nominal money supply dapat berubah karena digunakannya seigniorage sebagai sumber utama pembiayaan untuk pengeluaran publik atau sebagai hasil dari operasi pasar terbuka (OPT) dari bank sentral yang membeli utang pemerintah yang berbunga. Berdasarkan dua mekanisme ekspansi uang tersebut mungkin memiliki akibat yang berbeda yaitu terhadap pajak dan jumlah utang pemerintah yang juga akan berdampak berbeda terhadap tingkat harga atau suku bunga. Kaum monetaris mengomentari dalam mekanisme pertama (seigniorage), sedangkan mekanisme kedua (monetized the debt) dijelaskan oleh FTPL. Defisit anggaran dan proses pembiayaan melalui seigniorage (penciptaan uang) dianggap sebagai exogenous terhadap kewenangan moneter. Pertumbuhan uang akan sangat dipengaruhi oleh keperluan pembiayaan pemerintah dan tingkat harga akan naik sebagai akibat ekspansi moneter. Dilihat dari pembahasan empiris, dengan sistem defisit anggaran, pertumbuhan uang, dan inflasi, berarti defisit anggaran dalam sistem persamaan jangka panjang pertumbuhan uang bersifat weak-exogeneity. Sehingga kaum monetaris beranggapan inflasi sebagai fenomena moneter karena terjadi karena pertumbuhan dari money supply semata.
2.5.2. The Fiscal Theory of the Price Level (FTPL) Teori ini menghubungkan kebijakan fiskal dan moneter melalui kendala anggaran pemerintah (GBC) antarwaktu atau dapat dipahami sebagai kondisi
28
kesanggupan pemerintah dalam membayar utang atas sektor keuangan publik dalam jangka panjang. Kendala anggaran pemerintah dapat dipenuhi ketika discounted value dari surplus primer pemerintah pada periode mendatang lebih besar (atau sama dengan) nilai nominal utang publik pada periode sekarang. Penting untuk diketahui bahwa seigniorage termasuk dalam surplus primer pemerintah sebagai sumber pendapatan, sedangkan utang publik nominal masuk dalam catatan atau perhitungan monetary base (M0) karena hal tersebut mengapa sektor publik berhubungan dengan pemerintah dan bank sentral. Kendala anggaran pemerintah (GBC) seringkali dilihat dengan persentase nominal gross domestic product (GDP), dimana discount rate ditentukan oleh ratio antara tingkat suku bunga terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi. Sesuai
dengan
FTPL,
maka
GBC
diasumsikan
dalam
kondisi
keseimbangan (ekuilibrium) lalu pendapatan periode mendatang dan pengeluaran primer bersifat exogenous terhadap kewenangan fiskal. Oleh karena itu, dalam discount rate tertentu, jika discount value dari surplus primer lebih rendah daripada tingkat nominal utang sebelum ditentukan (keduanya dalam persentase terhadap GDP nominal), tingkat harga akan mengalami kenaikan untuk menyesuaikan kondisi GBC, dengan kata lain tingkat harga menjadi satu-satunya variabel penyesuaian untuk mempertahankan kondisi keseimbangan. Penelitian Woodford (1995) yang menunjukkan bagaimana tingkat harga dapat dipengaruhi oleh aksi fiskal dan menganjurkan untuk mempertimbangkan shock harga yang positif dan bersifat eksogen yang akan menurunkan nilai riil dari kewajiban pemerintah (utang) dan juga mengarah pada penurunan secara paralel
29
dari nilai riil dari portofolio swasta yang diinvestasikan dalam surat berharga pemerintah. Penurunan nilai riil dari aset swasta tersebut menyebabkan efek yang negatif terhadap tingkat kekayaan yang juga direfleksikan sebagai penurunan pada permintaan barang (output). Berdasarkan FTPL, ekspektasi dari pelaku (agen) mengenai kebijakan fiskal yang berkelanjutan akan menghasilkan efek yang sama pada tingkat kekayaan. Dalam kondisi pasar yang memiliki persepsi negatif terhadap ketahanan keuangan publik seperti jika discounted value dari surplus primer pemerintah tidak dapat menutupi nilai nominal dari kewajibannya, persepsi tersebut akan mendorong naiknya tingkat harga yang diperlukan untuk mengembalikan kondisi keseimbangan GBC. Tingkat harga yang tinggi akan menurunkan nilai riil dari portofolio swasta dan akan berdampak negatif terhadap kekayaan yang akhirnya akan mencerminkan permintaan barang dan jasa yang menurun. Kewajiban pemerintah nominal (utang nominal) yang tinggi membutuhkan penyesuaian yang besar terhadap tingkat harga sehingga FTPL dikenal juga sebagai teori kuantitas dari utang publik. Sebagai hasilnya, persamaan jangka panjang inflasi disebabkan adannya defisit anggaran dimana pertumbuhan uang tidak berperan mungkin merupakan hal yang kuat mendukung FTPL.
2.5.3. Kelompok Keynesian Kelompok Keynesian memiliki tiga ciri yang berbeda dengan aliran yang lain. Pertama, kelompok Keynesian mengasumsikan bahwa ada kemungkinan sumber daya tidak digunakan secara penuh. Kedua, pelaku ekonomi mempunyai
30
pandangan yang bersifat myopic. Sifat ini menggambarkan adanya hubungan antar generasi yang erat. Ketiga, aliran Keynesian lebih memfokuskan diri pada efek defisit anggaran temporer yang disebabkan oleh fluktuasi perekonomian. Pengeluaran pemerintah yang meningkat secara berkelanjutan merupakan kebijakan yang tidak mungkin dilakukan, ada suatu batas jumlah total yang mungkin dikeluarkan pemerintah yaitu tidak bisa mengeluarkan lebih dari 100 persen dari gross domestic product (GDP). Faktanya, sebelum batas tersebut dicapai, proses politik akan menghentikan pengeluaran pemerintah yang meningkat tersebut. Seperti saat terjadinya penyusunan anggaran pemerintah, dimana antara publik, politikus dan pemerintah pasti akan berdebat tentang keseimbangan anggaran dan belanja pemerintah agar memiliki target yang tepat bagi perekonomian. Tentu saja persepsi publik dan politikus sedikit banyak menentukan batas yang wajar untuk pengeluaran pemerintah dapat naik. Sehingga kelompok Keynesian menganggap bahwa inflasi yang tinggi tidak disebabkan oleh kebijakan fiskal semata.
2.5.4. Teori Ricardian Equivalence (RE) Berdasarkan teori Ricardian Equivalence (RE) yang berpendapat bahwa defisit anggaran tidak akan berpengaruh terhadap perekonomiaan. Teori yang berasal dari David Ricardo’s Funding System dan dikemukakan kembali oleh Robbert Barro (1974) sehingga dapat dikenal juga sebagai Ricardo-Barro Preposition.
Ricardo-Barro
Preposition
berlandaskan
pada
asumsi:
intergenerational altruism atau immortality, perfect capital markets, lump sum
31
taxation, dan kondisi bahwa tingkat utang lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi. RE mengajukan hipotesis bahwa kebijakan pemerintah yang diterapkan tidak selalu akan membawa dampak yang penting bagi perekonomiaan (neutrality preposition). RE menggabungkan dua pendekatan fundamental, yaitu kendala anggaran pemerintah (GBC) dan Permanent Income Hypothesis (PIH). Kendala anggaran pemerintah menyatakan jika pengeluaran pemerintah tidak mengalami perubahan maka tingkat pajak yang rendah pada periode sekarang akan diimbangi oleh kenaikan tingkat pajak pada periode mendatang. Sedangkan PIH menyatakan bahwa rumah tangga akan merespon melalui keputusan konsumsi berdasarkan pada permanent income yang besarnya sangat tergantung oleh nilai pendapatan setelah pajak pada periode sekarang. Pembiayaan defisit anggaran dengan memotong pajak sekarang akan berpengaruh pada beban pajak periode mendatang, tetapi tidak dalam nilai periode sekarang sehingga pemotongan pajak tidak akan mengubah permanent income atau konsumsi (Waluyo, 2006). Neutrality preposition harus di tanggapi dengan sangat hati-hati, walaupun suku bunga tak berubah karena penerbitan obligasi negara, tetapi suku bunga dapat mengalami perubahan karena adanya tambahan pengeluaran pemerintah. Menurut Barro (1974), pembiayaan defisit anggaran dengan penerbitan obligasi negara akan diimbangi oleh kenaikan pajak pada periode mendatang. Kenaikan tingkat pajak tidak perlu membuat masyarakat takut terhadap kemakmurannya (wealth) karena kenaikan pajak pada periode mendatang akan diantisipasi dengan meningkatkan tabungan dan mengurangi konsumsi pada periode sekarang. Implikasinya, individu tidak menggunakan semua pendapatan
32
untuk meningkatkan konsumsi karena penerbitan obligasi negara. Individu akan menyimpan untuk mengantisipasi kenaikan beban pajak periode mendatang sehingga hal itu tidak akan menaikkan permintaan terhadap barang dan jasa. Jika pemerintah meningkatkan pajak hari ini untuk membayar utang obligasi negara maka individu akan memandang kebijakan ini sama dengan menggantikan pajak saat ini untuk pajak yang akan datang (pada present value yang sama). Kebijakan ini akan menggeser titik endowment tetapi nilai aliran pendapatan sekarang secara keseluruhan tidak mengalami perubahan. Individu akan memilih berkonsumsi dan akan lebih banyak meminjam sekarang sampai terjadi kenaikan dalam present value pajak. RE juga berpendapat bahwa perubahan dalam pajak dan pembiayaan defisit anggaran mempunyai dampak yang sama bagi variabel makro (terutama konsumsi swasta). RE dibangun dari premis bahwa penerbitan obligasi Negara pada saat ini selalu disertai dengan rencana kenaikan pajak di masa mendatang. Pembiayaan utang pemerintah diasumsikan hanya mengalami perubahan sesuai dengan perubahan perpajakan sehingga konsumsi agregat akan tetap. Dalam kerangka pemikiran RE individu mengasumsikan pajak yang akan datang sama dengan besarnya beban utang pemerintah (Barro, 1989).
2.6. Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai hubungan defisit anggaran dengan variabel moneter maupun makroekonomi telah diteliti secara luas di negara sedang berkembang maupun negara maju dengan berbagai hasil yang berbeda. Berikut ini akan
33
dipaparkan penelitian terdahulu yang menganalisis dmapak defisit anggaran terhadap perekonomian. Penelitian Cevdet Akcay, et al. (1996), menggunakan data tahunan (periode 1948 hingga 1994) dan data kuartalan (periode 1987Q1 hingga 1995Q4) Turki. Cevdet Akcay, et al. (1996) menggunakan VAR dan VEC. Mereka meneliti adanya hubungan jangka panjang yang stabil antara defisit anggaran, pertumbuhan uang dan inflasi. Penelitian ini menemukan vektor kointegrasi yang menyimpulkan bahwa pengaruh yang signifikan defisit anggaran terhadap inflasi tidak dapat ditolak setelah kesesuaian data kuartalan menggambarkan periode pembiayaan surat obligasi sebagai acuan. Hasil tersebut memberi kesan bahwa variabel lain mempunyai hubungan lemah terhadap inflasi. Lebih lanjut dengan menggunakan
pendekatan
ARIMA
bahwa
hasil
tersebut
sesuai
dan
menggambarkan kelembaman dalam proses inflasi terus meningkat. Adanya pembiayaan dengan surat obligasi sesudah 1986 mungkin menjadi catatan untuk hubungan yang lemah defisit anggaran terhadap inflasi sampai pada tingkat tertentu. Tekin-Koru dan Ozmen (2003) meneliti hubungan jangka panjang antara defisit anggaran, inflasi dan pertumbuhan uang di Turki dengan menggunakan dua alternatif sistem trivariat secara bersamaan dan data kuartalan (1983 hingga 1999). Dimana definisi money supply yang digunakan adalah dalam arti sempit (currency in circulation, CC) dan arti luas (M2Y). Mereka menemukan bahwa pada studi kasus di Turki, uang dan inflasi bersifat endogenous sehingga menolak pandangan kaum monetaris. Hubungan langsung yang lemah antara inflasi dan defisit
34
anggaran juga menyebabkan teori fiskal (FTPL) ditolak. Defisit anggaran yang ditetapkan bersifat eksogen terhadap pertumbuhan uang sesuai dengan pendapat Sargent dan Wallace (1981). Meski demikian, agregat moneter yang tumbuh karena pembiayaan defisit bukanlah di luar uang seperti yang diteliti oleh SW, akan tetapi oleh agregat yang lainnya, sebagian besar dapat dijelaskan seperti di dalam uang atau uang berjangka atau uang kuasi (M2Y). Mengacu pada kebijakan pembiayaan dengan utang domestik (publik) di luar sistem bank komersial, defisit anggaran di Turki menyebabkan tumbuhnya uang dalam arti luas dan bukan penciptaan mata uang. Penelitian Lozano (2008) menganalisis fakta tentang hubungan sebabakibat jangka panjang antara defisit anggaran, pertumbuhan uang dan inflasi di Colombia. Data yang dipakai adalah data tahunan selama 53 tahun dan data kuartalan selama 25 tahun (periode 1982Q1 hingga 2007Q4) yaitu defisit anggaran, CPI dan pertumbuhan uang (dimana definisi money supply yang dipakai adalah standar (M1), sempit (M0-primer) dan luas (M3)). Menggunakan VECM untuk pengujian beberapa hipotesis (Monetarist Hypotheses (MH), The Fiscal Theory of the Price Level (FTPL), New Keynesian (NK), dan Sarget and Wallace Hypothesis (SW-H). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa Sargent and Wallace
Hypothesis
(SW-H)
merupakan
hipotesis
yang
sesuai
untuk
menggambarkan hubungan ketiga variabel di Kolombia, yaitu defisit angaran, pertumbuhan uang dan inflasi. Pendapat tersebut menyimpulkan bahwa terdapat hubungan jangka panjang antara inflasi dan pertumbuhan uang di satu sisi dan antara pertumbuhan uang dan defisit anggaran di sisi yang lain.
35
Saad dan Kalacech (2009) menguji pengaruh dari defisit anggaran terhadap permintaan uang di Lebanon. Variabel makroekonomi yang lainnya (PDB riil, IHK, pengeluaran pemerintah dan tingkat suku bunga) juga digunakan di dalam penelitian tersebut untuk menganalisis pengaruhnya terhadap permintaan uang riil (M1) saat defisit anggaran terjadi secara terus-menerus. Menggunakan kointegrasi ECM dan data tahunan dari tahun 1973 hingga 2007, mereka menemukan bahwa terdapat hubungan jangka panjang yang terjadi antara permintaan uang (dalam arti sempit) riil dan
PDB, pengeluaran pemerintah,
tingkat suku bunga, dan IHK. Walaupun defisit anggaran tidak berpengaruh pada permintaan uang di jangka panjang atau seperti pandangan Ricardian, VECM menggambarkan bahwa 52 persen ketidakseimbangan selalu disesuaikan setiap tahun. Koefisien defisit anggaran yang secara statistik signifikan dan positif di jangka pendek sesuai dengan pandangan Keynesian-Neoklasik. Kemudian hasil penelitian juga menggambarkan bahwa IHK tidak signifikan terhadap M1 di jangka pendek dan PDB riil berdampak negatif terhadap permintaan uang riil selama periode tersebut atau sering disebut crowding-out effect. Analisis yang lain memperlihatkan defisit anggaran memiliki efek positif terhadap permintaan uang di jangka pendek, namun tidak berpengaruh terhadap M1 di jangka panjang. Penelitian Adji (1995) menggunakan model persamaan tunggal dan data tahun 1971-92. Aplikasi Error Correction Model (ECM) digunakan untuk melihat proses keseimbangan jangka panjang dan jangka pendek antara tingkat inflasi dan defisit anggaran. Hasil penelitian membuktikan bahwa Ricardian Equivalence berlaku di dalam perekonomian Indonesia. Dalam jangka panjang, pembiayaan
36
anggaran pemerintah dengan utang publik tidak mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat. Maryatmo (2004) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengamati dampak dari kebijakan defisit anggaran yang dilakukan oleh pemerintah terhadap variabel makro ekonomi secara umum dan khususnya variabel moneter dalam jangka panjang dan jangka pendek di Indonesia. Penelitian ini menggunakan spesifikasi model asa nalar (Rational Expectation) yang memungkinkan pengambil keputusan untuk mencegah efek-efek yang lain. Model tersebut mengkonstruksi delapan persamaan jangka panjang, delapan persamaan jangka pendek dan 12 persamaan identitas. Pengestimasian menggunakan metode Two Stage Least Square (2SLS) dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa defisit anggaran mempengaruhi tingkat suku bunga dalam jangka panjang dan jangka pendek. Defisit anggaran juga berpengaruh terhadap nilai tukar dan tingkat harga dalam jangka panjang hasil uji kausalitas memperlihatkan bahwa nilai tukar dan tingkat harga mempunyai efek yang berkebalikan dengan defisit anggaran. Penelitian Waluyo (2006) mengenai dampak pembiayaan defisit anggaran dengan utang luar negeri terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia tahun 1970-2003. Penelitian ini menggunakan persamaan simultan dan metode Two Stage Least Squares (2SLS). Model dari penelitian ini terdiri dari 17 persamaan perilaku dan 18 persamaan identitas dengan 6 blok. Berdasarkan penelitian Waluyo (2005) dapat diambil kesimpulan bahwa pembiayaan defisit anggaran dengan menggunakan utang luar negeri akan berdampak meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan bersifat inflationary. Kesimpulan ini didukung pula
37
dengan hasil simulasi yang menunjukkan bahwa setiap adanya kenaikan penarikan utang luar negeri baru maka menambah cadangan devisa. Penambahan cadangan devisa akan menyebabkan terjadinya peningkatan uang primer. Setelah uang primer dengan angka pengganda uang maka akan berdampak terhadap peningkatan tingkat harga. Tambahan capital inflow dari utang luar negeri akan meningkatkan pengeluaran pemerintah sehingga investasi pemerintah juga ikut mengalami kenaikan. Selanjutnya peningkatan investasi pemerintah akan berdampak terhadap peningkatan kapital stok pemerintah, sehingga pertumbuhan ekonomi akan mengalami peningkatan pula.
2.7. Kerangka Pemikiran Penelitian ini difokuskan untuk menganalisis hubungan defisit anggaran terhadap pertumbuhan uang dan inflasi (kebijakan moneter) di Indonesia, dengan menggunakan pendekatan sistem trivariabel antara inflasi, pertumbuhan uang dan defisit anggaran. Estimasi persamaan jangka panjang inflasi dan pertumbuhan uang akan dilakukan untuk mengetahui dampak defisit anggaran terhadap persamaan tersebut. Hasil dari analisis data kemudian nantinya dibandingkan dengan hipotesis yang telah dibuat. Pada akhirnya akan ditarik kesimpulan apakah defisit anggaran (kebijakan fiskal) mempengaruhi pertumbuhan uang dan inflasi (kebijakan moneter) di Indonesia. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan dalam Gambar 2.1.
38
Kebijakan Fiskal
Kebijakan Moneter
Kebijakan Anggaran
Variabel Moneter
Defisit Anggaran
Pertumbuhan Uang (M0, M1 & M2)
Inflasi
Data dan Pembentukan Sistem (INF, M0GRW, DEFY) (INF, M1GRW, DEFY) (INF, M2GRW, DEFY)
Estimasi Persamaan Jangka Panjang Inflasi dan Pertumbuhan Uang (VEC model yang dilengkapi dengan uji exclusion dan weak exogeneity)
Apakah Defisit Anggaran Berpengaruh? Teori Apa yang Berlaku di Indonesia?
Kesimpulan dan Saran
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
39
2.8. Hipotesis Penelitian Berdasarkan teori dan konsep yang relevan serta hasil penelitian terdahulu, hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Defisit anggaran memiliki hubungan positif dengan pertumbuhan uang (M0, M1 dan M2).
2.
Pertumbuhan uang berhubungan positif dengan inflasi. (Teori Monetaris dan Keynesian)
3.
Defisit anggaran memiliki hubungan positif dengan inflasi. (FTPL)
4.
Defisit anggaran tidak memiliki hubungan antara pertumbuhan uang dan inflasi. (Teori Ricardian Equivalance (RE))
40
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series sekunder. Data-data tersebut diperoleh dari berbagai sumber, antara lain dari Kementrian Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Statistik Ekonomi dan Keuangan Bank Indonesia (SEKI-BI) dari berbagai edisi, International Financial Statistic (IFS) of International Monetary Fund (IMF) serta sumber lain yang relevan. Data yang digunakan, diantaranya yaitu defisit anggaran pemerintah, pertumbuhan uang (base money (M0), narrow money (M1), dan broad money (M2)) serta IHK (Indeks Harga Konsumen) sebagai pencerminan tingkat inflasi dengan periode waktu data antara bulan Januari 2002 hingga Desember 2009.
3.2. Model Penelitian Dalam menganalisis hubungan jangka panjang antara defisit anggaran, pertumbuhan uang, dan inflasi pada penelitian ini digunakan model Vector Error Correction (VEC). Penggunaan model VEC adalah untuk melihat hubungan keseimbangan jangka panjang dari persamaan-persamaan yang terkointegrasi. Sebagai tambahan, ketika terjadi shock yang tidak terduga yang menyebabkan variabel-variabel tersebut menyimpang dari kondisi keseimbangan, maka model tersebut juga memberikan penilaian melalui penyesuaian dinamis pada jangka pendek menuju jangka panjang. Model yang digunakan dalam penelitian ini
41
diadopsi dari model penelitian Lozano (2008). Penelitian ini menggunakan sistem trivariabel yang menggunakan model VEC dimana: ,
=(
,
,
)
(3.1)
,
=(
,
,
)
(3.2)
,
=(
,
,
)
(3.3)
dimana: INF
= laju inflasi year on year
M0GRW = pertumbuhan base money (uang inti-M0) M1GRW = pertumbuhan narrow money (uang dalam arti sempit-M1) M2GRW = pertumbuhan broad money (uang dalam arti luas-M2) DEFY
= defisit anggaran pemerintah Sesuai dengan jurnal yang diacu, maka data pertumbuhan uang dan IHK
diubah dalam bentuk laju pertumbuhan year on year sehingga berbentuk persentase, sedangkan data defisit anggaran pemerintah sudah berbentuk persentase dari total Produk Domestik Bruto (PDB). Khusus untuk variabel defisit anggaran, jika terjadi defisit maka akan bernilai positif sedangkan jika terjadi surplus maka bernilai negatif. Data pertumbuhan uang (M0, M1 dan M2) berbentuk nominal, sedangkan data inflasi dan defisit anggaran dalam bentuk riil.
3.3. Metode Analisis Data 3.3.1. Uji Stasioneritas Data Data ekonomi time series pada umumnya bersifat stokastik atau memiliki trend tidak stasioner artinya data tersebut mengandung akar unit. Untuk dapat
42
mengestimasi suatu model menggunakan data tersebut maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah masalah uji stasioneritas data atau dikenal dengan unit root test. Apabila data yang digunakan mengandung akar unit maka akan sulit untuk mengestimasi suatu model dengan menggunakan data tersebut karena trend data tersebut cenderung berfluktuasi tidak disekitar nilai rata-ratanya. Maka dapat disimpulkan bahwa data yang stasioner akan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rata-ratanya dan berfluktuasi di sekitar nilai rata-ratanya (Gujarati, 2004). Ada berbagai cara untuk mengukur kestasioneran data, salah satunya adalah dengan menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) Test. Jika nilai ADF statistiknya lebih kecil dari MacKinnon Critical Value maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut stasioner. Namun jika nilai ADF statistiknya ternyata lebih besar dari nilai MacKinnon Critical Value berarti data tersebut tidak stasioner. Salah satu cara yang dapat dilakukan apabila berdasarkan uji ADF diketahui suatu data time series adalah non stasioner adalah dengan meningkatkan taraf nyata yang digunakan. Jika hal tersebut tidak berhasil, kemudian lakukan difference non stationary processes. Pada dasarnya Augmented Dickey Fuller (ADF) Test melakukan regresi terhadap persamaan berikut: ∆
Δ
…
∆
(3.4)
Hipotesis yang diuji adalah : H0 :
= 0 (data tidak stasioner)
H1 :
< 0 (data stasioner)
43
dimana
=
+
+… +
. Nilai
diestimasi melalui metode Ordinary
Least Square (OLS) dengan statistik uji yang digunakan adalah : =
/
(3.5)
dengan: = simpangan baku dari Jika nilai
lebih kecil dari nilai MacKinnon Critical Value, maka
keputusan yang diambil adalah tolak H0. Sehingga dapat disimpulkan bahwa data tersebut telah stasioner.
3.3.2. Penentuan Lag Optimal Untuk memperoleh panjang lag optimal ada dua pengujian yang dilakukan. Tahap pertama adalah melihat panjang lag maksimum sistem VAR yang stabil. Stabilitas sistem VAR dapat dilihat dari nilai inverse roots karakteristik AR polinomialnya dan dapat dikatakan stabil apabila seluruh rootsnya memiliki modulus lebih kecil dari satu dan semuanya terletak pada unit circle. Kemudian tahap kedua yang harus dilakukan dalam mencari panjang lag (ordo) optimal. Penentuan lag optimal dapat diidentifikasi dengan menggunakan Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SC), Hannan-Quinn Criterion (HQ), dan sebagainya.. Secara matematis, perumusan AIC dan SC adalah sebagai berikut: AIC(k) = - 2 SC(k) = - 2
+2 + k log (T)/T
(3.6) (3.7)
44
dimana l adalah nilai dari fungsi log likelihood dan k adalah jumlah parameter yang diestimasi dengan menggunakan T pengamatan. Dalam penelitian ini akan digunakan kriteria SC. Besarnya lag optimal ditentukan oleh lag yang memiliki kriteria SC terkecil.
3.3.3. Uji Kointegrasi (Cointegration Test) Kointegrasi merupakan hubungan jangka panjang (long term relationship) antara variabel-variabel stasioner pada derajat integrasi yang sama. Konsep dari kointegrasi menyatakan bahwa jika satu variabel atau lebih tidak stasioner akan tetapi terkointegrasi, maka kombinasi linier antara variabel dalam sistem akan bersifat stasioner, sehingga diperoleh sistem persamaan jangka panjang yang relatif stabil (Enders, 1995). Engle dan Granger dalam Enders (1995) menyatakan bahwa hubungan kointegrasi hanya dapat dibentuk oleh variabel-variabel yang terintegrasi pada derajat yang sama. Selain itu, menurut Engle dan Granger komponen-komponen dari vektor
=(
,
,…,
) dikatakan terkointegrasi pada order (d,b), jika:
1. Semua komponen-komponen dari xt terintegrasi pada order d, 2. Terdapat vector β = ( , =
+
,…,
+…+
) sehingga kombinasi linier dari terintegrasi pada order (d-b) dengan
b>0. Pada dasarnya terdapat pelbagai cara untuk melakukan uji kointegrasi, yaitu : uji kointegrasi Engle-Granger dan uji kointegrasi Johansen. Namun, yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji kointegrasi Johansen.
45
Prosedur
pengujian
kointegrasi
Johansen
merupakan
generalisasi
multivariat dari Dickey-Fuller Test (Enders, 1995). Seperti halnya the augmented dickey fuller test, model multivariat juga dapat digeneralisasi menjadi: =
+
+…+
+
(3.8)
Persamaan diatas juga dapat ditransformasi menjadi: ∆
∆ (3.9)
dimana: 1–
Pengujian bertujuan untuk menilai rank dari matriks π. Rank dari matriks π adalah jumlah vektor kointegrasi yang independen. Jika rank (π) = 0, maka matriks bernilai nol dan persamaan (3.14) merupakan persamaan VAR biasa dalam bentuk first difference. Jika rank (π) = 1, maka terdapat satu vektor kointegrasi dan bagian
merupakan error correction model.
Jumlah vektor kointegrasi bisa diketahui dengan melihat signifikansi dari characteristic roots dari π. Pengujian untuk jumlah characteristic roots dapat dilakukan melalui dua uji statistik, yaitu:
(3.10)
46
, (3.11) dimana: = estimasi nilai characteristic roots (yang disebut eigenvalues) yang diperoleh dari estimasi matriks T
= jumlah observasi yang digunakan
3.3.4. Vector Error Correction (VEC) Model VEC Model adalah bentuk VAR yang terestriksi. Tambahan restriksi harus diberikan karena tidak stasionernya bentuk data yang diestimasi namun terkointegrasi. Informasi restriksi kointegrasi tersebut akan dimanfaatkan VECM dalam modelnya sehingga VECM juga disebut sebagai bentuk VAR bagi time series non stasioner yang memiliki kointegrasi. Persamaan regresi yang lancung (spurious regression) dapat diatasi dengan cara menarik differensial dari variabel dependen dan independen, sehingga didapatkan variabel yang stasioner dengan pendifferensialan I(n). Namun kestasioneran data melalui pendifferensialan tersebut tidaklah cukup, hal ini juga merepresentasikan bahwa model VAR biasa tidak langsung dapat digunakan karena mempertimbangkan masuk atau tidaknya informasi jangka pendek dan panjang dalam model. Terdapat dua pilihan yang dapat dilakukan yaitu model VAR dengan pendifferensialan (VAR first difference) untuk data yang tidak terkointegrasi atau VECM untuk data yang terkointegrasi. Apabila pilihan pertama dilakukan maka informasi jangka panjang akan hilang karena hanya menerangkan hubungan
47
jangka pendek sehingga hubungan antara variabel pada level menjadi hilang karena berdasarkan parameter yang tidak terkointegrasi. Sehingga diperlukan pendekatan alternatif yaitu dengan Error Correction Model (ECM) jika persamaan tunggal dan Vector Error Correction Model (VECM) jika persamaannya lebih dari satu. ECM atau VECM telah meng-cover informasi jangka pendek dan jangka panjang karena dalam persamaan mengandung parameter jangka pendek dan jangka panjang. Sehingga persamaan ECM dapat dituliskan sebagai: ∆
∆
(3.12)
dimana: = parameter jangka pendek, λ
= parameter error correction, ,
= parameter jangka panjang. VECM berasal dari VAR (k) dengan mengurangi lag VAR sama dengan
satu dimana variabel yng relevan bersifat endogen. Model VECM (k-1) secara umum adalah: ∆
∆
´
(3.13) dimana: ∆
=
-
(k – 1) = lag VECM dari VAR, Γ
= matriks koefisien regresi (b1, b2, b3), = vektor intersep,
48
= vektor koefisien regresi, = loading matrix, ´
= vektor kointegrasi. Berdasarkan persamaan di atas, vektor kointegrasi
´
sangat ditekankan
karena menunjukkan adanya kointegrasi dalam variabel-variabel yang diestimasi. Apabila rank kointegrasi sama dengan dua (r=2) maka terdapat dua vektor kointegrasi yang terbentuk.
3.3.5. Vector Error Correction Restrictions Vector Error Correction Restrictions merupakan suatu metode turunan dari VAR yang berguna untuk melihat hubungan keseimbangan jangka panjang dari persamaan-persamaan yang terkointegrasi. Hubungan kointegrasi ke-I direpresentasikan sebagai berikut: ,
*
+
,
*
+…+
,
*
=0
(3.14)
dimana: ,
,…
= variabel endogen. = koefisien kointegrasi persamaan kointegrasi ke-i dan variabel
,
endogen ke-k. Cara untuk dapat mengidentifikasi persamaan jangka panjang adalah dengan merestriksi beberapa variabel dari satu persamaan kointegrasi. Metode ini juga merupakan cara untuk melihat pengaruh suatu variabel terhadap variabel lainnya dalam jangka panjang. Intepretasi dapat dilakukan dengan melihat
49
koefisien kointegrasinya dan pembacaan tanda adalah terbalik dari tanda koefisiennya.
3.3.6. Uji Lag Structure Untuk mengetahui hubungan jangka pendek atau jangka panjang antar variabel dalam sistem persamaan VAR/VECM tidak cukup jika hanya menggunakan tingkat dan tanda dari koefisien yang dihasilkan, maka untuk memeriksa ketepatan estimasi VAR/VECM akan dilanjutkan dengan dua uji lag structure tambahan yaitu uji lag exclusion dan weak exogeneity.
3.3.5.1. Uji Exclusion Pengujian lag exclusion dapat dilakukan untuk setiap lag pada VAR. Untuk setiap lag yang diuji, statistik
(Wald) bertujuan untuk melihat
signifikansi semua variabel endogen dalam setiap persamaan pada lag tersebut, yang dapat dilihat secara terpisah maupun bersama (Joint). Namun perlu diperhatikan, jika estimasi yang digunakan adalah VEC, lag pada variabel yang diuji untuk exclusion adalah hanya pada first differenced sedangkan saat lag pada level dalam persamaan kointegrasi (saat error correction) tidak diuji.
3.3.5.2. Uji Weak Exogeneity Uji weak exogeneity (uji pairwise Granger causality) dapat dilakukan untuk menguji apakah variabel endogen dalam suatu persamaan dapat
50
diperlakukan menjadi variabel eksogen. Untuk setiap persamaan pada VAR, hasil output memperlihatkan nilai statistik
(Wald) untuk signifikansi setiap variabel
endogen dalam suatu persamaan. Nilai statistik pada baris terakhir (All) adalah statistik
(Wald) untuk melihat nilai signifikansi gabungan dari seluruh variabel
endogen dalam suatu persamaan.
51
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah metode analisis Vector Error Correction (VEC) yang dilengkapi dengan dua uji lag structure tambahan yaitu lag exclusion dan weak exogeneity dengan menggunakan alat analisis Software Eviews versi 6.0. Metode VEC digunakan dalam penelitian karena sesuai untuk data time series dan sesuai untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Tahapan-tahapan dalam analisis VEC adalah sebagai berikut:
4.1. Uji Stasioneritas Data Uji kestasioneran data pada seluruh variabel sangat penting dilakukan untuk data yang bersifat time series guna mengetahui apakah data tersebut mengandung akar unit atau tidak. Data yang tidak mengandung akar unit atau bersifat stasioner berarti data tersebut memiliki ragam yang tidak terlalu besar dan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rata-ratanya. Apabila data yang digunakan tidak stasioner maka dapat menghasilkan hubungan palsu atau spurious regression. Spurious regression adalah regresi yang menggambarkan hubungan dua variabel atau lebih yang nampaknya signifikan secara statistik tetapi pada kenyataannya tidak, atau tidak sebesar yang nampak pada regresi yang dihasilkan.
52
Tabel 4.1. Hasil Pengujian Akar Unit pada Level Variabel ADF Nilai Kritis MacKinnon Statistic 1% 5% 10% INF -2.367895 -4.058619 -3.458326 -3.155161 M0GRW -3.875170 -4.057528 -3.457808 -3.154859 M1GRW -2.108224 -4.058619 -3.458326 -3.155161 M2GRW -3.637500 -4.057528 -3.457808 -3.154859 DEFY -9.276394 -4.057528 -3.457808 -3.154859
Keterangan* Tidak Stasioner Stasioner Tidak Stasioner Stasioner Stasioner
Sumber : Lampiran 3 *) taraf nyata 5%
Hasil uji ADF in level atau I(0) menunjukkan bahwa nilai mutlak statistik ADF lebih besar dari nilai kritis MacKinnon pada taraf nyata 5 persen pada variabel M0GRW, M2GRW dan DEFY sehingga dapat disimpulkan ketiga variabel tersebut tidak mengandung akar unit atau sudah stasioner pada level. Sedangkan untuk variabel INF dan M1GRW, nilai mutlak statistik ADF lebih kecil dari nilai kritis MacKinnon sehingga disimpulkan kedua variabel mengandung akar unit atau belum stasioner pada level. Oleh karena itu, diperlukan pengujian akar unit lanjutan yaitu pengujian in first difference atau I(1) untuk kedua variabel tersebut agar stasioner pada tingkat yang sama (Tabel 4.1). Tabel 4.2. Hasil Pengujian Akar Unit pada First Difference Variabel ADF Nilai Kritis MacKinnon Statistic 1% 5% 10% INF -7.966493 -2.589795 -1.944286 -1.614487 M1GRW -13.92580 -2.589795 -1.944286 -1.614487
Keterangan* Stasioner Stasioner
Sumber : Lampiran 3 *) taraf nyata 5%
Hasil pengujian in first difference atau I(1) menunjukkan bahwa variabel INF dan M1GRW tidak mengandung akar unit atau stasioner pada taraf nyata 5 persen. Hal ini karena nilai mutlak statistik ADF lebih besar dari nilai kritis MacKinnon pada taraf nyata 5 persen (Tabel 4.2). Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa seluruh variabel yang diestimasi sudah stasioner dan
53
dapat dilanjutkan dengan langkah pengujian selanjutnya yaitu penentuan lag optimal.
4.2. Penentuan Lag Optimal Penentuan lag optimal penting untuk dilakukan karena dalam metode VAR, lag optimal dari variabel endogen merupakan variabel independen yang digunakan dalam model. Lag optimal dalam model ini ditentukan nilai Schwarz Information Criteria (SC) yang terkecil. Tabel 4.3. Penentuan Lag Optimal Schwarz Information Criterion (SC) Lag 0 1 2 3 4 5 6 7 8
18.28994 16.04337* 16.36702 16.76291 17.04243 17.38566 17.73559 18.09697 18.27320
17.21259 14.61269* 14.85764 15.23484 15.52232 15.90667 16.31311 16.67446 16.80918
16.53939 13.14919* 13.46052 13.84323 14.06105 14.46193 14.82433 15.16792 15.21982
Sumber : Lampiran 4 *) lag optimal
Berdasarkan Tabel 4.3, lag optimal dari seluruh sistem trivariabel ( ,
, dan
) pada model VAR adalah lag 1. Setelah itu diuji kembali dengan
lag 1 untuk melihat apakah ketiga sistem trivariabel tersebut stabil atau tidak. Hasil pengujian kestabilan model VAR dapat dilihat pada Lampiran 5. Hasil uji kestabilan menunjukkan bahwa seluruh sistem trivariabel tersebut stabil karena semua modulusnya tidak lebih besar dari 1. Uji stabilitas ini perlu dilakukan karena persamaan yang tidak stabil akan menyebabkan hasil dari Impulse Response Function (IRF) menjadi tidak valid.
54
4.3. Uji Kointegrasi Kointegrasi merupakan hubungan jangka panjang (long term relationship) antara variabel-variabel stasioner pada derajat integrasi yang sama. Konsep dari kointegrasi menyatakan bahwa jika satu variabel atau lebih tidak stasioner akan tetapi terkointegrasi, maka kombinasi linier antara variabel dalam sistem akan bersifat stasioner, sehingga diperoleh sistem persamaan jangka panjang yang relatif stabil (Enders, 2004). Uji kointegrasi pada penelitian ini menggunakan Johansen Trace Statistic Test untuk mengetahui konsistensi jangka panjang dari model yang dianalisis. Tabel 4.4. Hasil Uji Kointegrasi Johansen System Hypothesis Eigenvalue
Trace Statistic
Z1
r = 0* r ≤ 1* r≤2
0.348605 0.104931 0.020664
52.67509 12.38304 1.962755
5 Percent Critical Value 24.27596 12.32090 4.129906
Z2
r = 0* r≤1 r≤2
0.345966 0.070699 0.009369
47.68915 7.777162 0.884864
24.27596 12.32090 4.129906
Z3
r = 0* r≤1 r≤2
0.367496 0.058234 0.006198
49.28276 6.224349 0.584450
24.27596 12.32090 4.129906
Sumber : Lampiran 7 *) tolak H0 pada taraf 5 %
Jumlah persamaan yang terkointegrasi dari setiap sistem trivariabel dapat diketahui dengan membandingkan nilai Trace Statistic terhadap nilai Critical Value. Taraf nyata yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5 persen. Apabila nilai Trace Statistic lebih besar daripada nilai 5 Percent Critical Value maka persamaan tersebut terkointegrasi. Hasil uji kointegrasi Johansen menunjukkan bahwa untuk sistem trivariabel
dan
terdapat satu persamaan yang
55
terkointegrasi pada taraf 5 persen, sedangkan pada sistem trivariabel
terdapat
dua persamaan yang terkointegrasi pada taraf 5 persen (Tabel 4.4).
4.4. Persamaan Jangka Panjang Inflasi, Pertumbuhan Uang dan Defisit Anggaran Persamaan jangka panjang inflasi, pertumbuhan uang dan defisit anggaran dapat diidentifikasi dengan model Vector Error Correction. Penggunaan model VEC adalah untuk melihat hubungan keseimbangan jangka panjang dari persamaan-persamaan yang terkointegrasi. Sebagai tambahan, ketika terjadi shock yang tidak terduga yang menyebabkan variabel-variabel tersebut menyimpang dari kondisi keseimbangan, maka model tersebut juga memberikan penilaian melalui penyesuaian dinamis pada jangka pendek menuju jangka panjang. Intepretasi dapat dilakukan dengan melihat koefisien kointegrasinya dan pembacaan tanda adalah terbalik dari tanda koefisiennya. Kemudian, untuk mendapatkan hasil analisis statistik dan ekonomi yang lebih tepat pada model VEC, maka tingkat signifikansi dan tanda koefisien dari variabel tidaklah cukup sehingga perlu dilengkapi dengan dua uji lag structure tambahan yaitu exclusion dan weak exogeneity. Uji exclusion digunakan untuk menilai dan mengevaluasi hubungan (signifikansi) antar variabel terhadap sistem dalam persamaan jangka panjang. Jika hipotesis awal (H0) ditolak pada vektor pertama maka variabel tersebut dapat dimasukkan (signifikan) ke dalam sistem. Sedangkan uji weak exogeneity dapat digunakan untuk membuktikan variabel tersebut dapat menjadi variabel yang menjelaskan (biasanya berada di sisi sebelah kanan persamaan) sebagai eksogen terhadap sistem atau hanya menjadi variabel
56
yang dijelaskan (berada di sisi sebelah kiri persamaan) sebagai endogen terhadap sistem. Pada uji ini, jika hipotesis awal (H0) tidak mampu ditolak maka variabel tersebut sebagai weak exogeneity. Hasil uji kointegrasi pada analisis model Vector Error Correction, menunjukkan koefisien estimasi jangka panjang. Hasil vektor kointegrasi inflasi, pertumbuhan uang dan defisit anggaran dapat dilihat pada Tabel 4.5, dimana angka di dalam kurung merupakan standard error. T-statistik diperoleh dari pembagian koefisien variabel dengan standard error, jika t-statistik lebih besar dari t-tabel (pada taraf nyata 5 persen), maka variabel independen memberikan pengaruh terhadap variabel dependen. Untuk intepretasi dapat dilakukan dengan melihat koefisien kointegrasinya dan pembacaan tanda adalah terbalik dari tanda koefisiennya.
57
Tabel 4.5. Hasil Estimasi VEC Sistem (INF, M0GRW, DEFY) : Standardized Eigenvectors (β’s) INF M0GRW 1.000000 0.000000 Vektor pertama (0.00000) 0.000000 (0.00000)
Vektor kedua
(0.00000) 1.000000 (0.00000)
DEFY -23.86757* (3.41304) -52.30928* (7.89635)
Standardized Adjustment Coefficients (α’s) D(INFYOY) D(M0GRW) D(DEFY)
0.152080 -0.238974 -0.104868
0.047685 -0.263068 -0.044306
Sistem (INF, M1GRW, DEFY) : Standardized Eigenvectors (β’s) INF M1GRW DEFY Vektor pertama
1.000000 (0.00000)
0.800058 (0.52847)
10.68284* (1.44995)
-0.001257 0.080278 0.104635
C -26.77522 (8.47368)
Standardized Adjustment Coefficients (α’s) D(INFYOY) D(M1GRW) D(DEFY)
0.190094 -0.546646 -0.013293
0.011528 -0.348082 0.013705
Sistem (INF, M2GRW, DEFY) : Standardized Eigenvectors (β’s) INF M2GRW Vektor pertama
1.000000 (0.00000)
-1.311706* (0.33259)
0.039114 0.124090 0.100034
DEFY 14.43921* (1.99895)
Standardized Adjustment Coefficients (α’s) D(INFYOY) D(M2GRW) D(DEFY)
0.189349 -0.031864 -0.112423
0.179727 -0.040395 -0.286608
0.030442 -0.003062 0.108039
Sumber : Lampiran 8 *) signifikan pada taraf nyata 5%
58
Tabel 4.6. Hasil Uji Lag Structure Uji Lag Structure
Sistem Trivariabel Sistem (INF, M0GRW, DEFY) : INF M0GRW DEFY 10.56702* 6.466979* 2.270763
Uji Lag Exclusion LR~
Uji Weak Exogeneity LR~
Sumber : Lampiran 9 *) tolak H0 pada taraf 5 % (
Sistem INF 4.155143*
(INF, M1GRW, DEFY) : M1GRW DEFY 18.33136* 0.965916
Sistem INF 9.583525*
(INF, M2GRW, DEFY) : M2GRW DEFY 0.206532 3.563111
Sistem INF 6.966624*
(INF, M0GRW, DEFY) : M0GRW DEFY 0.227202 1.692069
Sistem INF 0.700262
(INF, M1GRW, DEFY) : M1GRW DEFY 5.885373* 0.029582
Sistem INF 6.023973*
(INF, M2GRW, DEFY) : M2GRW DEFY 0.059331 3.050137
variabel
tabel = 3,84)
Persamaan pada Sistem INF = 23.86757 DEFY [6.95409] M0GRW = 52.30928 DEFY [6.58758] Berdasarkan hasil estimasi sistem trivariabel
pada Tabel 4.5, dapat
diketahui bahwa terdapat dua persamaan jangka panjang yang dipengaruhi oleh defisit anggaran yaitu persamaan jangka panjang inflasi dan pertumbuhan M0 (base money). Pengaruh defisit anggaran terhadap inflasi dan pertumbuhan M0 tersebut dapat diidentifikasi dengan Vector Error Correction Restrictions. Pada
59
persamaan jangka panjang inflasi, vektor kointegrasi inflasi dan pertumbuhan M0 direstriksi masing-masing menjadi
= 1 dan
= 0, agar hubungan defisit
anggaran terhadap inflasi dapat diidentifikasi. Sedangkan untuk melihat hubungan defisit anggaran terhadap pertumbuhan M0, maka pada persamaan jangka panjang pertumbuhan M0 perestriksian vektor kointegrasi inflasi dan pertumbuhan M0 diubah menjadi
= 0 dan
= 1. Kemudian dengan melihat t-statistik (angka
dalam tanda kurung siku) pada variabel defisit anggaran yang lebih besar daripada t-tabel pada taraf nyata 5 persen maka dalam jangka panjang defisit anggaran berpengaruh signifikan terhadap inflasi dan pertumbuhan M0. Defisit anggaran memiliki hubungan yang positif terhadap inflasi maupun pertumbuhan M0. Defisit anggaran mempengaruhi inflasi dengan koefisien sebesar 23,87, artinya jika defisit anggaran meningkat sebesar satu persen maka laju inflasi akan meningkat 23,87 persen. Sedangkan pertumbuhan M0 dipengaruhi defisit anggaran dengan koefisien sebesar 52,31. Hal ini berarti pertumbuhan M0 akan meningkat sebesar 52,734 persen ketika defisit anggaran meningkat sebesar satu persen. Namun untuk mengetahui hubungan jangka panjang antar variabel pada sistem trivariabel
dan memeriksa ketepatan estimasi VAR/VEC maka belum
cukup jika hanya menggunakan tingkat signifikansi dan tanda koefisien yang diharapkan. Oleh karena itu, diperlukan dua uji lag structure tambahan yaitu lag exclusion dan weak exogeneity yang hasilnya terdapat pada Tabel 4.6. Berdasarkan uji lag exclusion (
) pada sistem
, terdapat hasil yang sangat
menarik dimana hipotesis awal (H0) tidak mampu ditolak pada tingkat
60
kepercayaan 95 persen hanya pada variabel defisit anggaran, artinya variabel defisit anggaran tidak berpengaruh (tidak signifikan) terhadap sistem dalam jangka panjang. Sehingga dapat dikatakan bahwa hanya variabel inflasi dan pertumbuhan M0 (base money) signifikan terhadap sistem trivariabel
dalam
jangka panjang. Sedangkan hasil dari uji lag structure kedua yaitu uji weak exogeneity diketahui bahwa H0 mampu ditolak oleh variabel inflasi, maka dapat dikatakan bahwa variabel tersebut merupakan variabel endogen yang tidak bisa menjadi variabel eksogen, sedangkan untuk variabel sisanya (defisit anggaran dan pertumbuhan M0) dapat menjadi variabel eksogen. Berdasarkan hasil estimasi VEC dan dua uji lag structure tambahan pada sistem trivariabel
tersebut didapatkan fakta yang menarik, antara lain:
a. Defisit anggaran tidak mempengaruhi pertumbuhan M0 (base money). Pembiayaan defisit anggaran dapat dilakukan pemerintah melalui penciptaan uang (money creation), menerbitkan surat utang, menggunakan cadangan devisa maupun utang luar negeri. Pada saat perencanaan APBN tersebut, koordinasi Pemerintah dan Bank Indonesia menjadi penting. Bank Indonesia yang telah bersifat independen, artinya Bank Indonesia dilarang memberikan pinjaman kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran APBN baik secara langsung (money creation) maupun melalui pembelian surat utang negara (monetized the debt). Hal ini dikarenakan pengalaman hyperinflation pada periode 1960 hingga 1970 menunjukkan bahwa fiscal dominance telah terjadi di Indonesia dimana ekspansi moneter untuk pembiayaan pengeluaran fiskal telah terbukti secara nyata berdampak pada
61
tidak terkendalinya base money (M0) dan money supply (M1 dan M2) yang mengakibatkan hyperinflation. Oleh karena itu, pembiayaan defisit anggaran haruslah mencari alternatif yang lain, misalnya saja penerbitan surat utang negara kepada publik maupun menambah utang luar negeri walaupun tidak dapat dipungkiri pembiayaan tersebut juga mempunyai resiko, contohnya ketergantungan utang luar negeri, krisis nilai tukar, serta beban utang dan bunga utang yang besar.
b. Selain pertumbuhan M0 (base money), laju inflasi juga tidak dipengaruhi oleh defisit anggaran. Hal tersebut juga menunjukkan jika penerapan Inflation Targetting Framework (ITF) yang bertujuan untuk mencapai dan menjaga tingkat inflasi yang rendah sudah cukup berhasil, karena salah satu syarat yaitu tidak adanya dominasi fiskal (pemerintah) dalam kebijakan moneter (Bank Indonesia) juga sudah terpenuhi. Defisit anggaran yang bersifat netral terhadap inflasi menunjukkan bahwa defisit anggaran pemerintah akan direspon oleh masyarakat dengan langkah antisipatif terhadap penerbitan surat hutang maupun kenaikan tingkat pajak periode yang akan datang, hal ini sesuai dengan teori Ricardian Equivalence (RE). Inflasi terkadang juga terjadi bukan karena base money (M0) atau money supply (M1 dan M2) tetapi mungkin karena faktor non moneter seperti harga pangan yang bergejolak (volatile foods) dan administered price. Harga pangan yang bergejolak dan administered
price
seringkali
menjadi
penyebab
inflasi
di
negara
berkembang, khususnya Indonesia. Bank Indonesia memang hanya bisa untuk
62
menetapkan core inflation (inflasi inti) sedangkan volatile foods dan administered price sulit sekali untuk dihindari.
Persamaan pada Sistem
dan INF = 26.77522 - 10.68284 DEFY [-7.36773] dan
INF = 1.311706 M2GRW - 14.43921 DEFY [3.94397] [-7.22341] Berdasarkan hasil persamaan sistem trivariabel tampak berbeda dengan hasil pada sistem trivariabel
dan
pada Tabel 4.5,
antara lain jumlah dari
persamaan jangka panjang, vektor kointegrasi yang direstriksi, dan tanda koefisien dari variabel defisit anggaran. Sistem trivariabel
dan
hanya
memiliki satu persamaan jangka panjang saja yaitu persamaan inflasi sehingga tidak perlu untuk direstriksi variabel kointegrasi inflasi dan pertumbuhan M1 dan M2. Namun ternyata persamaan inflasi pada sistem trivariabel
dan
pun
memiliki perbedaan dalam hal variabel yang mempengaruhi. Persamaan inflasi pada sistem trivariabel
menunjukkan bahwa dalam
jangka panjang defisit anggaran signifikan mempengaruhi laju inflasi. Namun hubungan keduanya adalah negatif (berbeda dengan hasil pada sistem trivariabel ) dengan koefisien sebesar 10,68. Hal ini berarti ketika defisit anggaran meningkat sebesar satu persen maka inflasi malah akan menurun sebesar 10,68 persen sedangkan pada sistem trivariabel
, inflasi memiliki hubungan positif
dengan pertumbuhan M2 namun negatif dengan defisit anggaran. Pertumbuhan
63
M2 dan defisit anggaran signifikan mempengaruhi inflasi dalam jangka panjang dengan koefisien masing-masing sebesar 1,31 dan 14,34, artinya jika pertumbuhan uang meningkat sebesar satu persen maka inflasi juga akan meningkat sebesar 1,31 persen namun inflasi akan menurun sebesar 14,34 persen jika defisit anggaran meningkat sebesar satu persen. Proses pengujian yang sama dilakukan seperti sistem trivariabel
, untuk
mengetahui hubungan jangka panjang antar variabel dalam sistem trivariabel dan
serta memeriksa ketepatan estimasi VAR/VEC maka tidak cukup jika
hanya menggunakan tingkat signifikansi dan tanda koefisien yang diharapkan. Oleh karena itu, diperlukan juga dua uji lag structure tambahan yaitu lag exclusion dan weak exogeneity yang hasilnya terdapat pada Tabel 4.6. Berdasarkan uji exclusion ( dan memiliki kesamaan dengan
) pada sistem
dan
, terdapat hasil menarik
dimana selain variabel pertumbuhan M2 yang
tidak mampu menolak hipotesis awal (H0) pada selang kepercayaan 95 persen, defisit anggaran ternyata juga tidak mampu menolak H0 sehingga menyebabkan defisit anggaran dan pertumbuhan M2 tidak berpengaruh (tidak signifikan) terhadap sistem dalam jangka panjang. Sehingga hanya variabel inflasi dan pertumbuhan M1 yang signifikan dalam kedua sistem trivariabel tersebut. Berdasarkan hasil dari uji tambahan kedua yaitu uji weak exogeneity diketahui bahwa hipotesis awal (H0) mampu ditolak pada taraf nyata 5 persen hanya pada variabel pertumbuhan M1 pada sistem
maka dapat dikatakan
variabel tersebut tidak bisa menjadi variabel eksogen dalam sistem. Kemudian
64
pada sistem
, variabel inflasi mampu menolak hipotesis nol, sehingga variabel
eksogen pada persamaan di atas adalah pertumbuhan M2 dan defisit anggaran. Berdasarkan hasil estimasi VEC dan dua uji lag structure tambahan pada sistem trivariabel
tersebut didapatkan fakta yang menarik, antara lain:
a. Laju inflasi tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan M1 dan M2 (money supply). Dalam kebijakan moneter, sasaran antara yang digunakan untuk mencapai sasaran akhir yaitu inflasi yang rendah dan stabil (sesuai dengan ITF) terkadang lebih efektif melalui interest rate (tingkat suku bunga) daripada money supply (M1 dan M2). Tingkat suku bunga menjadi variabel yang lebih dicermati para pelaku pasar dan rumah tangga daripada money supply (M1 dan M2) karena tingkat suku bunga mencerminkan cost of capital (biaya modal), yang pada gilirannya akan mempengaruhi pengeluaran investasi dan konsumsi yang merupakan komponen dari permintaan agregat. Hal ini semakin menguatkan bahwa laju inflasi di Indonesia lebih karena faktor non moneter seperti harga pangan yang bergejolak (volatile foods),
administered
price,
kelembaman
(inersia)
inflasi
ataupun
international driven issue. Namun harga pangan yang bergejolak dan administered price seringkali menjadi penyebab inflasi di negara berkembang, khususnya Indonesia. Bank Indonesia memang hanya bisa menetapkan core inflation (inflasi inti) sedangkan volatile foods dan
65
administered price sulit untuk dikendalikan karena bukan variabel moneter dan banyak faktor yang mempengaruhinya.
b. Defisit anggaran pemerintah tidak mempengaruhi laju inflasi. Inflation Targetting Framework (ITF) yang bertujuan untuk mencapai dan menjaga tingkat inflasi yang rendah sudah cukup berhasil diterapkan, karena salah satu syarat yaitu tidak adanya dominasi fiskal (pemerintah) dalam kebijakan moneter (Bank Indonesia) sudah terpenuhi. Defisit anggaran yang bersifat netral terhadap inflasi menunjukkan bahwa defisit anggaran pemerintah akan direspon oleh masyarakat dengan langkah antisipatif terhadap penerbitan surat hutang maupun kenaikan tingkat pajak periode yang akan datang, hal ini sesuai dengan teori Ricardian Equivalence (RE). Selain itu, laju inflasi di Indonesia sering kali terjadi bukan karena base money (M0), money supply (M1 dan M2) dan defisit anggaran, namun mungkin lebih kepada faktor non moneter seperti harga pangan yang bergejolak (volatile foods) dan administered price. Berdasarkan hasil estimasi seluruh sistem trivariabel juga dapat dibandingkan dengan teori-teori yang berlaku dalam ekonomi, antara lain Pertama, hipotesis kaum monetaris orthodoks (MH) dimana perubahan yang sebanding untuk jumlah nominal dari uang menyebabkan perubahan yang sebanding juga pada tingkat harga (inflasi) tidak berlaku di Indonesia karena laju inflasi yang tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan M1 dan M2 (money supply). Kedua, defisit anggaran yang tidak mempengaruhi secara
66
langsung terhadap laju inflasi, membuktikan bahwa fiscal dominance tidak terjadi di Indonesia, sehingga the fiscal theory of the price level (FTPL) juga tidak berlaku. Ketiga, teori yang dapat menjelaskan hubungan antara defisit anggaran, pertumbuhan uang (M0, M1 dan M2) adalah teori Ricardian Equivalence (RE) yang beranggapan bahwa defisit anggaran tidak akan berpengaruh ke variabel makroekonomi dan perekonomian. Hal tersebut dibuktikan melalui hasil pada penelitian ini yaitu dalam jangka panjang defisit anggaran tidak mempengaruhi pertumbuhan uang (M0, M1 dan M2) dan laju inflasi.
4.5. Uji Kausalitas Granger (Granger Causality Test) Uji kausalitas Granger dilakukan dengan tujuan untuk melihat kausalitas dari variabel-variabel dalam suatu sistem persamaan. Kemudian dengan menggunakan Pairwise Granger Causality Test, maka keterkaitan variabelvariabel dalam model penelitian ini, khususnya keterkaitan defisit anggaran terhadap pertumbuhan uang (M0, M1 dan M3) dan inflasi akan dapat terlihat. Tabel 4.7. Hasil Uji Kausalitas Granger Causal Direction (Probability) Pair-Variables DEFY, M0GRW 0.3581 DEFY, M1GRW 0.7302 DEFY, M2GRW 0.7671 DEFY, INF 0.6128 M0GRW, INF 0.0395* M1GRW, INF 0.7288 M2GRW, INF 0.0853 Sumber : Lampiran 10 *) signifikan pada taraf nyata 5%
0.0487* 0.2615 0.4003 0.6956 0.9594 0.1104 0.9899
67
Hipotesis awal (H0) yang diuji adalah tidak adanya kausalitas antar variabel. Sementara hipotesis alternatif (H1) adalah adanya kausalitas antar variabel. Untuk menolak ataupun menerima H0, dapat menggunakan nilai probability. Apabila nilai probability lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yaitu 5 persen, maka H0 ditolak. Hasil uji kausalitas yang tertera pada Tabel 4.7, terlihat bahwa pertumbuhan M0 memiliki hubungan searah terhadap variabel defisit anggaran dan laju inflasi. Hal ini semakin mengindikasikan bahwa defisit anggaran (DEFY) tidak memiliki hubungan dengan pertumbuhan uang (M0GRW, M1GRW dan M2GRW) dan inflasi (INF).
68
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Beberapa hal yang dapat disimpulkan berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai berikut : 1. Defisit anggaran pemerintah tidak mempengaruhi pertumbuhan uang (M0, M1, dan M2) dalam jangka panjang. 2. Teori FTPL (the fiscal theory of the price level) tidak berlaku di Indonesia, hal ini dikarenakan dalam jangka panjang, laju inflasi juga tidak dipengaruhi oleh defisit anggaran. 3. Pertumbuhan M1 dan M2 (money supply) tidak mempengaruhi laju inflasi dalam jangka panjang. Hal tersebut menunjukkan bahwa teori Monetaris dan Keynesian juga tidak berlaku di Indonesia. 4. Hubungan antara defisit anggaran, pertumbuhan uang dan laju inflasi di Indonesia dapat dijelaskan oleh teori Ricardian Equivalence (RE) dimana defisit anggaran tidak akan berpengaruh ke variabel makroekonomi dan perekonomian.
5.2. Saran Adapun saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini yaitu : 1. Koordinasi yang erat antara penguasa fiskal (pemerintah) dan moneter (Bank Indonesia) dalam menentukan instrumen dan sasaran kebijakan yang menjadi
69
target bersama tetap diperlukan agar pencapaian target tersebut dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Walaupun defisit anggaran tidak memiliki dampak pada pertumbuhan uang dan laju inflasi di Indonesia namun defisit anggaran yang terlalu besar dan dalam jangka waktu yang lama, bukan tidak mungkin akan menjadi akar permasalahan makroekonomi seperti hyperinflation, current account deficits, overindebtness dan rendahnya pertumbuhan ekonomi. 2. Bila dalam jangka panjang kebijakan defisit anggaran terus dipertahankan oleh pemerintah, maka pembiayaan melalui money creation (pencipataan uang) lebih baik untuk dihindari karena telah terbukti menyebabkan hyperinflation di Indonesia pada periode 1965 hingga 1970. Disatu sisi, sesuai dengan UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia yang telah memiliki kebijakan moneter Inflation Targetting Framework (ITF) akan berhasil dalam menetapkan inflasi yang ditargetkan jika salah satu persyaratan dapat dipenuhi yaitu tidak adanya dominasi sektor fiskal terhadap kebijakan moneter. Karena kebijakan defisit anggaran masih efektif, tetapi efisiensinya harus diperhitungkan secara cermat. 3. Penelitian ini tentunya masih memiliki kelemahan dan memerlukan perbaikan guna mendapatkan hasil yang lebih realistis dengan kondisi yang terjadi. Upaya mempertahankan kesederhaaan dalam model dalam penelitian ini memberikan implikasi pada relatif rendahnya kemampuan model dalam melakukan analisis dan proyeksi. Sehingga perlu penyempurnaan lebih lanjut terhadap model yang dilakukan atau penggunaan model yang berbeda dengan penelitian ini dengan harapan realitas yang terjadi dalam interaksi kebijakan
70
fiskal dan moneter di Indonesia dapat digambarkan secara lebih akurat. Selain itu, variabel lain juga dapat ditambahkan ke dalam penelitian yang selanjutnya agar fenomena ekonomi dari dampak defisit anggaran yang lain juga dapat ditemukan, seperti tingkat suku bunga, nilai tukar, investasi, dan lain-lain.
71
DAFTAR PUSTAKA Adji, A. 1995. “Is Publik Debt Neutral? Evidence For Indonesia”. Journal Ekonomi dan Bisnis Indonesia (JEBI), September 2005: 21-34. Bank Indonesia. Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia. Edisi 2000 hingga 2009. http://www.bi.go.id/web/id/data+statistik/statcat.htm. Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Data Realisasi APBN 2002 hingga 2009. Departemen Keuangan, Jakarta. Barro, Robert J. 1974. “Are Government Bonds Net Wealth?”, Journal of Political Economics, Vol. 6, No. 82: 1095-1117. Barro, Robert J. 1989. “The Ricardian Approach to Budget Deficits”. Journal of Economic Perspectives, Vol.3, No.2: 37-54. Basri, F. 1995. Perekonomian Indonesia Menjelang Abad XXI; Distorsi, Peluang dan Kendala. Erlangga, Jakarta. Cevdet, A., Alper E. C., dan Ozmucur, S. 2001. “Budget Deficit, Inflation and Debt Sustainbility: Evidence from Turkey (1970-2000)”. Mim. Istanbul: Bogazici University. Chimobi, O. P. dan Igwe, O. L. 2010. “Budget Deficit, Money Supply and Inflation in Nigeria”. European Journal of Economics, Finance and Administrative Sciences, Issue 19. Chowdhury, A. dan Sugema, I. 2006. “Aid and Fiscal Behaviour in Indonesia: The Case of a Lazy Government”. [SECURED]. APEA.
72
Dornbusch, R., Fischer, S., dan Sparks, G. R. 1989. Macroeconomics, 3rd Edd., McGraw-Hill Ryerson Limited, Toronto. Dornbusch, R. dan Reynoso, A. 1993. Financial Factors in Economic Development. in R. Dornbusch (ed.), Policymaking in the Open Economy : Concepts and Case Studies in Economic Performance. Oxford University Press, New York. Easterly, W., Rodriguez, C. A., dan Schmith-Hebbel, K. 1994. “Publik Sector Deficits and Macroeconomic Performance”. Oxford University Press, New York. Enders, W. 1995. Applied Econometric Time Series. Second Edition. John Wiley & Sons, Inc., New York. Engle, R. F. dan Granger, C. W. J. 1987. “Co-integration and Error Correction: Representation, Estimation, and Testing”, Econometrica, Vol.55, No.2, 251-276. Gujarati, D. N. 2004. Basic Econometrics. 4th edd. McGraw-Hill International Editions, New York. Hidayat, S. 2004. Pengendalian Jumlah Uang Beredar di Indonesia [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hossain, A. dan Chowdhury, A. 1998. Open Economy Macroeconomics for Developing Countries. Edward Elgar, Massachusetts. International Financial Statistics (IFS) of International Monetary Fund (IMF). Country Table – Indonesia : 1990-2010.
73
Kementrian Keuangan Republik Indonesia. Nota Keuangan dan APBN. edisi 2000 hingga 2009. Kementrian Keuangan Republik Indonesia, Jakarta. Lipsey, R. G., Courant P. N., Purvis, D. D., dan Steiner, P. O. 1995. Pengantar Makroekonomi. Edisi ke-10. Jilid 1. Wasana, Kirbrandoko, dan Budijanto [editor]. Binarupa Aksara, Jakarta. Lozano, I. 2008. “Budget Deficit, Pertumbuhan uang, and Inflation : Evidence from the Colombian Case”. Borradores de Economia, No. 537, Banco de la Republica. Mankiw, N. G. 2000. Pengantar Ekonomi. Jilid 2. Munandar dan Salim [penerjemah]. Sumiharti dan Kristiaji [editor]. Erlangga, Jakarta. Metin, K. 1998. “The Relationship between Inflation and the budget deficit in Turkey”. Journal of Business and Economic Statistics, Vol. 16, No. 4: 412-22. Mishkin, F. S. 2001. The Economics of Money, Banking, and Financial Markets. 6th Edd. The Addison-Wesley, New York. Mundell, R. 1971. Monetary Theory. Goodyear Publishing Company, California. Maryatmo, R. 2004. Dampak Moneter Kebijakan Defisit Anggaran Pemerintah dan Peranan Asa Nalar dalam Simulasi Model Makro-Ekonomi Indonesia (1983:1-2002:4). Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004. Putong, I. 2003. Pengantar Ekonomi Mikro & Makro. Edisi ke-2. Ghalia Indonesia, Jakarta.
74
Saad, W. dan Kalakech, K. 2009. “The Impact of Budget Deficit on Money Demand: Evidence from Lebanon”. Middle Eastern Finance and Economics, Issue 3. Samuelson, P. A dan Nordhaus, W. D. 1997. Macroeconomics. 13th edd. McGraw-Hill, New York. Sargent, T., dan Wallace, N. 1981. “Some Unpleasant Monetarist Arithmetic”. Federal Reserve Bank of Minneapolis Quarterly Review 5: 1‐17. Solikin, dan Suseno. 2002. Uang : Pengertian, Penciptaan, dan Peranannya dalam Perekonomian. Pusat Penelitian dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia, Jakarta. Tekin‐Koru, A., dan Özmen E. 2003. “Budget Deficits, Pertumbuhan uang and Inflation: The Turkish Evidence”. Applied Economics, Taylor and Francis Journals, Vol. 35, No.5: 591‐596. Thomas, R. L. 1997. Modern Econometrics; an Introduction. 1st edd. Addison Wesley Longman, Reading. Waluyo, J. 2006. Pengaruh Pembiayaan Defisit Anggaran terhadap Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi: Suatu Model Ekonomi Makro Indonesia 19702003. KINERJA, Vol.10, No.1: 1-22 Warjiyo, P. 2004. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia, Jakarta. Woodford, M. 1995. “Price Level Determination without Control of A Monetary Aggregate”. Working Paper No. 5204, National Bureau of Economic Research.
LAMPIRAN
76
Lampiran 1. Data yang Digunakan PERIODE
INF
M0GRW
M1GRW
M2GRW
DEFY
2002M1 2002M2 2002M3 2002M4 2002M5 2002M6 2002M7 2002M8 2002M9 2002M10 2002M11 2002M12 2003M1 2003M2 2003M3 2003M4 2003M5 2003M6 2003M7 2003M8 2003M9 2003M10 2003M11 2003M12 2004M1 2004M2 2004M3 2004M4 2004M5 2004M6 2004M7 2004M8 2004M9 2004M10 2004M11 2004M12 2005M1 2005M2
14.41695 15.12666 14.08162 13.29544 12.92504 11.4752 10.04959 10.59183 10.47869 10.32524 10.47797 10.02606 8.758387 7.345051 7.146247 7.532903 6.895143 6.589741 5.764349 6.382071 6.18384 6.248034 5.32532 5.087016 4.821181 4.613547 5.211679 6.106 6.831979 7.261696 7.637041 6.804788 6.452464 6.414252 6.334402 6.400825 7.315515 7.153844
12.82918 13.94946 13.3283 9.124641 9.273595 8.443637 5.86341 4.863524 7.494381 7.127152 15.79721 8.180225 9.366926 7.539259 7.003316 7.849043 9.443033 10.38827 10.45629 11.39336 10.17365 12.31419 25.08054 20.41519 15.40889 13.16701 13.98998 17.10184 14.50436 37.55655 41.96164 36.86403 39.50656 37.43798 12.80983 23.85117 29.19906 30.72665
14.7401 12.51943 11.99528 9.530321 8.002388 8.664186 7.011853 5.462958 10.68821 6.886205 14.67707 7.994103 8.000887 7.641586 9.066455 8.260849 13.96308 12.18387 13.29211 14.71477 14.18992 17.03501 14.13525 16.59902 20.11582 20.6594 20.88292 17.75496 16.65641 15.84272 17.50759 15.24975 13.04947 13.11344 8.567302 9.895933 12.03182 11.70372
13.44089 10.75039 8.424229 4.55059 5.678405 5.297951 10.5796 10.6969 9.781843 6.740267 5.884816 4.72186 4.255253 5.262435 5.576791 6.583659 7.200354 6.667978 5.745745 5.679507 5.992397 7.336416 8.574374 8.121207 8.423421 6.188047 6.547456 5.439795 6.706425 8.813656 8.027388 8.522373 8.444695 7.75571 6.027966 8.181297 7.412087 8.403465
3.438596 0.434389 -0.78715 -0.13519 0.268275 0.315706 0.978539 -0.13436 0.36433 -0.20067 2.944669 -0.67336 1.016853 0.1553 -1.99005 -0.40321 0.494887 3.061736 0.681581 -0.05766 0.696799 0.527225 1.214537 3.644451 1.875468 -0.44429 -1.59647 -0.97221 -0.59726 1.858114 -0.25345 -1.39847 -0.2399 -0.64411 -2.33802 10.48757 1.347103 -2.89141
77
2005M3 2005M4 2005M5 2005M6 2005M7 2005M8 2005M9 2005M10 2005M11 2005M12 2006M1 2006M2 2006M3 2006M4 2006M5 2006M6 2006M7 2006M8 2006M9 2006M10 2006M11 2006M12 2007M1 2007M2 2007M3 2007M4 2007M5 2007M6 2007M7 2007M8 2007M9 2007M10 2007M11 2007M12 2008M1 2008M2 2008M3 2008M4 2008M5 2008M6
8.725144 8.12253 7.395971 7.422514 7.841537 8.33487 9.061423 17.89128 18.38196 17.11489 17.02878 17.91369 15.82766 15.39869 15.59503 15.53574 15.15647 14.89725 14.54841 6.290781 5.268495 6.601532 6.261723 6.301436 6.514492 6.296694 6.004409 6.0094 6.153261 6.409635 6.743547 6.664693 6.716191 5.788901 6.44518 6.567152 7.220806 8.966029 10.38652 11.03494
34.08721 29.41418 32.84914 12.71077 7.939212 12.53129 26.51981 39.19805 23.97628 30.93947 28.85884 30.33401 28.47058 28.73338 33.57994 31.29935 32.87614 30.06226 17.29977 19.9091 20.12125 28.34416 28.1858 31.72298 21.67351 24.13096 16.22856 18.63503 16.24247 20.46232 14.5682 7.580425 16.95768 26.5426 11.80484 5.592847 19.35184 19.25323 22.41257 25.90061
11.37265 11.61719 10.27221 15.7716 13.03554 15.56641 14.09859 16.53881 10.33728 10.25428 13.07736 10.49177 10.82856 13.77138 20.03981 16.03772 16.09835 18.65757 20.96003 19.9818 23.67041 27.97069 22.4874 24.43423 22.67209 25.05428 15.94321 22.37141 27.40437 22.86454 23.52378 20.14583 24.40839 29.69399 22.35687 19.32769 23.52232 21.11673 24.1689 21.86283
9.350675 12.44349 10.13241 10.59505 12.12538 13.88372 16.78623 17.09864 16.72341 16.33458 17.43997 18.07902 17.21424 14.37525 18.32647 16.8365 14.70505 13.84863 12.19098 13.73926 14.785 14.94313 14.47939 14.31577 15.05652 15.75364 12.41766 15.64662 17.71603 17.18652 17.15711 15.37651 16.21757 19.32528 16.71101 17.12702 15.59917 16.30789 17.59654 17.10459
-4.38903 -0.53952 -1.76273 2.573552 0.226095 -0.25075 1.04039 1.015652 -0.0439 6.719419 2.517277 -0.02361 -3.54581 -1.48334 -0.16312 1.433834 -2.4167 2.103319 0.76597 0.803617 -0.07457 6.250828 2.14391 0.270878 -0.65625 -5.09268 -1.29972 1.122081 1.694344 -0.99248 -0.22011 -0.42696 2.292856 11.20815 -2.23878 -3.08727 -6.71965 -0.90675 -0.65286 1.394266
78
11.90312 11.84659 12.15123 11.7708 11.48022 11.06095 9.172878 8.600687 7.924164 6.041083 4.617285 3.651651 2.706526 2.754998 2.834127 2.566518 2.41456 2.78392
2008M7 2008M8 2008M9 2008M10 2008M11 2008M12 2009M1 2009M2 2009M3 2009M4 2009M5 2009M6 2009M7 2009M8 2009M9 2009M10 2009M11 2009M12
23.15004 13.25011 42.94691 12.56964 9.453036 -2.87666 7.911914 4.364252 1.348842 3.207519 -0.43222 -3.27739 -1.08827 5.024247 -10.8294 5.527933 7.240851 9.52126
15.45359 12.34208 19.90077 13.63751 12.13292 1.495817 6.595951 8.308463 9.338455 9.302107 7.19522 6.5278 5.163022 11.30773 2.153252 5.754973 6.985699 12.9244
14.3263 12.70955 17.21428 18.16605 18.68784 14.92308 17.38676 18.48542 20.21839 18.6717 17.38045 16.09447 16.30438 18.56894 13.5 11.53275 9.793519 12.95151
1.259877 -5.01174 9.431223 -3.19271 0.650501 9.314933 -0.49152 -1.47864 1.402138 -1.56696 0.463973 2.656892 2.167608 2.708826 3.248585 3.819884 4.427069 5.065615
Keterangan : INF
= laju inflasi year on year
M0GRW = pertumbuhan base money (uang inti-M0) M1GRW = pertumbuhan narrow money (uang dalam arti sempit-M1) M2GRW = pertumbuhan broad money (uang dalam arti luas-M2) DEFY
= defisit anggaran pemerintah
79
Lampiran 2. Grafik Data yang Digunakan
INF
M1GRW
DEFY
M0GRW
M2GRW
80
Lampiran 3. Uji Akar Unit pada Variabel Penelitian INF Level Null Hypothesis: INF has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.367895 -4.058619 -3.458326 -3.155161
0.3938
t-Statistic
Prob.*
-3.875170 -4.057528 -3.457808 -3.154859
0.0168
t-Statistic
Prob.*
-2.108224 -4.058619 -3.458326 -3.155161
0.5343
t-Statistic
Prob.*
-3.637500 -4.057528 -3.457808 -3.154859
0.0319
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
M0GRW Level Null Hypothesis: M0GRW has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
M1GRW Level Null Hypothesis: M1GRW has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
M2GRW Level Null Hypothesis: M2GRW has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
81
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
DEFY Level Null Hypothesis: DEFY has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-9.276394 -4.057528 -3.457808 -3.154859
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-7.966493 -2.589795 -1.944286 -1.614487
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-13.92580 -2.589795 -1.944286 -1.614487
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
INF
Difference
Null Hypothesis: D(INF) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
M1GRW
Difference
Null Hypothesis: D(M1GRW) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 4. Penentuan Lag Optimal Sistem Trivariabel VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: INF M0GRW DEFY Exogenous variables: C Date: 06/30/11 Time: 11:00
82
Sample: 2002M01 2009M12 Included observations: 88 Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-798.0412 -679.0442 -673.1368 -670.4081 -662.5587 -657.5130 -652.7618 -648.5146 -636.1206
NA 227.1762 10.87489 4.837229 13.37966 8.256703 7.450719 6.370807 17.74586*
16185.22 1328.899* 1426.838 1648.619 1698.361 1868.740 2075.652 2339.782 2200.446
18.20548 15.70555* 15.77584 15.91837 15.94452 16.03439 16.13095 16.23897 16.16183
18.28994 16.04337* 16.36702 16.76291 17.04243 17.38566 17.73559 18.09697 18.27320
18.23951 15.84165* 16.01401 16.25861 16.38684 16.57878 16.77742 16.98751 17.01245
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
Sistem Trivariabel VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: INF M1GRW DEFY Exogenous variables: C Date: 06/30/11 Time: 11:01 Sample: 2002M01 2009M12 Included observations: 88 Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-750.6380 -616.0942 -606.7240 -603.1731 -595.6739 -592.4372 -590.1728 -585.9242 -571.7038
NA 256.8564 17.24964 6.294761 12.78269 5.296435 3.551009 6.372920 20.36097*
5511.040 317.8008 315.3976* 357.6750 371.4113 425.8238 500.4734 564.1414 508.9742
17.12814 14.27487 14.26645* 14.39030 14.42441 14.55539 14.70847 14.81646 14.69781
17.21259 14.61269* 14.85764 15.23484 15.52232 15.90667 16.31311 16.67446 16.80918
17.16216 14.41097* 14.50463 14.73054 14.86673 15.09979 15.35494 15.56500 15.54843
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
Sistem Trivariabel VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: INF M2GRW DEFY Exogenous variables: C Date: 06/30/11 Time: 11:02
83
Sample: 2002M01 2009M12 Included observations: 88 Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-721.0171 -551.7004 -545.2508 -541.9420 -531.3783 -528.8690 -524.6666 -519.6362 -501.7718
NA 323.2411 11.87295 5.865623 18.00639 4.106162 6.590063 7.545579 25.57864*
2811.029 73.54728* 78.00062 88.94420 86.14616 100.4131 112.9310 125.0558 103.8588
16.45493 12.81137* 12.86934 12.99868 12.96314 13.11066 13.21970 13.30991 13.10845
16.53939 13.14919* 13.46052 13.84323 14.06105 14.46193 14.82433 15.16792 15.21982
16.48896 12.94747* 13.10751 13.33893 13.40546 13.65505 13.86616 14.05846 13.95907
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
Lampiran 5. Uji Kestabilan VAR Sistem Trivariabel Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: INF M0GRW DEFY Exogenous variables: C Lag specification: 1 1 Date: 06/30/11 Time: 11:03 Root
Modulus
0.911982 0.748648 -0.000504
0.911982 0.748648 0.000504
No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
Sistem Trivariabel Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: INF M1GRW DEFY Exogenous variables: C Lag specification: 1 1 Date: 06/30/11 Time: 11:04 Root
Modulus
0.893512 0.858203 0.017479
0.893512 0.858203 0.017479
84
No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
Sistem Trivariabel Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: INF M2GRW DEFY Exogenous variables: C Lag specification: 1 1 Date: 06/30/11 Time: 11:05 Root
Modulus
0.923720 - 0.023253i 0.923720 + 0.023253i 0.037193
0.924012 0.924012 0.037193
No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
Lampiran 6. Uji Kointegrasi dengan Asumsi Summary Sistem Trivariabel Date: 06/30/11 Time: 11:06 Sample: 2002M01 2009M12 Included observations: 94 Series: INF M0GRW DEFY Lags interval: 1 to 1 Selected (0.05 level*) Number of Cointegrating Relations by Model Data Trend: Test Type Trace Max-Eig
None No Intercept No Trend 2 1
None Intercept No Trend 1 1
Linear Intercept No Trend 3 1
Linear Intercept Trend 1 1
Quadratic Intercept Trend 1 1
Linear Intercept Trend
Quadratic Intercept Trend
*Critical values based on MacKinnon-Haug-Michelis (1999) Information Criteria by Rank and Model Data Trend: Rank or No. of CEs
None No Intercept No Trend Log
None Intercept No Trend
Linear Intercept No Trend
85
0 1 2 3
Likelihood by Rank (rows) and Model (columns) -742.3667 -722.2207 -717.0106 -716.0292
-742.3667 -720.0861 -714.7775 -712.0242
-742.0540 -719.7744 -714.5656 -712.0242
-742.0540 -719.0270 -713.6948 -710.9991
-741.8820 -718.9082 -713.6911 -710.9991
0 1 2 3
Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns) 15.98653 15.68555 15.70235 15.80913
15.98653 15.66141* 15.69739 15.78775
16.04370 15.69733 15.71416 15.78775
16.04370 15.70270 15.73819 15.82977
16.10387 15.74273 15.75938 15.82977
0 1 2 3
Schwarz Criteria by Rank (rows) and Model (columns) 16.23003 16.09139* 16.27054 16.53965
16.23003 16.09431 16.31969 16.59944
16.36838 16.18434 16.36351 16.59944
16.36838 16.21677 16.44165 16.72263
16.50972 16.31091 16.48991 16.72263
None Intercept No Trend 1 1
Linear Intercept No Trend 1 1
Linear Intercept Trend 1 1
Quadratic Intercept Trend 1 1
Sistem Trivariabel Date: 06/30/11 Time: 11:07 Sample: 2002M01 2009M12 Included observations: 94 Series: INF M1GRW DEFY Lags interval: 1 to 1 Selected (0.05 level*) Number of Cointegrating Relations by Model Data Trend: Test Type Trace Max-Eig
None No Intercept No Trend 1 1
*Critical values based on MacKinnon-Haug-Michelis (1999) Information Criteria by Rank and Model
86
Data Trend: Rank or No. of CEs
None No Intercept No Trend
None Intercept No Trend
Linear Intercept No Trend
Linear Intercept Trend
Quadratic Intercept Trend
0 1 2 3
Log Likelihood by Rank (rows) and Model (columns) -669.4472 -649.4912 -646.0450 -645.6026
-669.4472 -647.0775 -643.6277 -641.6754
-669.1444 -646.7752 -643.5397 -641.6754
-669.1444 -645.5094 -642.1549 -640.2200
-668.9832 -645.4083 -642.0664 -640.2200
0 1 2 3
Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns) 14.43505 14.13811 14.19245 14.31069
14.43505 14.10803* 14.18357 14.29097
14.49243 14.14415 14.20297 14.29097
14.49243 14.13850 14.21606 14.32383
14.55283 14.17890 14.23545 14.32383
0 1 2 3
Schwarz Criteria by Rank (rows) and Model (columns) 14.67855 14.54395 14.76063 15.04121
14.67855 14.54093* 14.80586 15.10266
14.81711 14.63117 14.85232 15.10266
14.81711 14.65257 14.91953 15.21669
14.95868 14.74708 14.96598 15.21669
None Intercept No Trend 1 1
Linear Intercept No Trend 1 1
Linear Intercept Trend 2 2
Quadratic Intercept Trend 3 3
Sistem Trivariabel Date: 06/30/11 Time: 11:08 Sample: 2002M01 2009M12 Included observations: 94 Series: INF M2GRW DEFY Lags interval: 1 to 1 Selected (0.05 level*) Number of Cointegrating Relations by Model Data Trend: Test Type Trace Max-Eig
None No Intercept No Trend 1 1
87
*Critical values based on MacKinnon-Haug-Michelis (1999) Information Criteria by Rank and Model Data Trend: Rank or No. of CEs
None No Intercept No Trend
None Intercept No Trend
Linear Intercept No Trend
Linear Intercept Trend
Quadratic Intercept Trend
0 1 2 3
Log Likelihood by Rank (rows) and Model (columns) -608.6990 -587.1698 -584.3498 -584.0576
-608.6990 -586.9079 -583.9182 -582.0732
-608.4418 -586.6509 -583.9148 -582.0732
-608.4418 -585.8044 -574.5646 -572.0798
-608.3717 -585.7868 -574.5646 -572.0798
0 1 2 3
Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns) 13.14253 12.81212 12.87978 13.00123
13.14253 12.82783 12.91315 13.02283
13.20089 12.86491 12.93436 13.02283
13.20089 12.86818 12.77797* 12.87404
13.26323 12.91036 12.79925 12.87404
0 1 2 3
Schwarz Criteria by Rank (rows) and Model (columns) 13.38604 13.21797* 13.44797 13.73175
13.38604 13.26073 13.53545 13.83452
13.52556 13.35193 13.58371 13.83452
13.52556 13.38225 13.48144 13.76690
13.66907 13.47854 13.52977 13.76690
Lampiran 7. Uji Kointegrasi dengan Asumsi Berdasarkan SC Sistem Trivariabel
(Asumsi: Model 1)
Date: 06/30/11 Time: 11:09 Sample (adjusted): 2002M03 2009M12 Included observations: 94 after adjustments Trend assumption: No deterministic trend Series: INF M0GRW DEFY Lags interval (in first differences): 1 to 1 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized
Trace
0.05
88
No. of CE(s)
Eigenvalue
Statistic
Critical Value
Prob.**
None * At most 1 * At most 2
0.348605 0.104931 0.020664
52.67509 12.38304 1.962755
24.27596 12.32090 4.129906
0.0000 0.0488 0.1899
Trace test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1 At most 2
0.348605 0.104931 0.020664
40.29205 10.42029 1.962755
17.79730 11.22480 4.129906
0.0000 0.0690 0.1899
Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I): INF -0.039455 -0.203475 -0.049950
M0GRW 0.008965 0.093250 -0.027413
DEFY 0.472756 -0.021402 0.009987
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha): D(INF) D(M0GRW) D(DEFY)
-0.112056 -0.842221 -2.119303
1 Cointegrating Equation(s):
0.289900 -1.579132 -0.151872
0.148270 0.920393 0.024659
Log likelihood
-722.2207
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) INF M0GRW DEFY 1.000000 -0.227216 -11.98207 (0.18010) (1.70997) Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(INF) 0.004421 (0.00572) D(M0GRW) 0.033230 (0.03381) D(DEFY) 0.083618 (0.01223)
2 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
-717.0106
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)
89
INF 1.000000
M0GRW 0.000000
0.000000
1.000000
DEFY -23.86757 (3.41304) -52.30928 (7.89635)
Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(INF) -0.054566 0.026029 (0.02935) (0.01326) D(M0GRW) 0.354544 -0.154805 (0.17422) (0.07875) D(DEFY) 0.114520 -0.033161 (0.06414) (0.02899)
Sistem Trivariabel
(Asumsi: Model 2)
Date: 06/30/11 Time: 11:11 Sample (adjusted): 2002M03 2009M12 Included observations: 94 after adjustments Trend assumption: No deterministic trend (restricted constant) Series: INF M1GRW DEFY Lags interval (in first differences): 1 to 1 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1 At most 2
0.378706 0.070770 0.040688
55.54355 10.80413 3.904640
35.19275 20.26184 9.164546
0.0001 0.5610 0.4265
Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1 At most 2
0.378706 0.070770 0.040688
44.73942 6.899487 3.904640
22.29962 15.89210 9.164546
0.0000 0.6818 0.4265
Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I): INF -0.044621 -0.200505 -0.148804
M1GRW -0.035699 0.089916 -0.146976
DEFY -0.476675 0.007061 0.058321
C 1.194726 0.166350 3.236820
90
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha): D(INF) D(M1GRW) D(DEFY)
0.146246 0.413917 2.242869
1 Cointegrating Equation(s):
0.364119 -0.134498 -0.126006
0.065019 0.673320 -0.005733
Log likelihood
-647.0775
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) INF M1GRW DEFY C 1.000000 0.800058 10.68284 -26.77522 (0.52847) (1.44995) (8.47368) Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(INF) -0.006526 (0.00667) D(M1GRW) -0.018469 (0.01607) D(DEFY) -0.100078 (0.01369)
Sistem Trivariabel
(Asumsi: Model 1)
Date: 06/30/11 Time: 11:13 Sample (adjusted): 2002M03 2009M12 Included observations: 94 after adjustments Trend assumption: No deterministic trend Series: INF M2GRW DEFY Lags interval (in first differences): 1 to 1 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1 At most 2
0.367496 0.058234 0.006198
49.28276 6.224348 0.584450
24.27596 12.32090 4.129906
0.0000 0.4092 0.5062
Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1 At most 2
0.367496 0.058234 0.006198
43.05841 5.639898 0.584450
17.79730 11.22480 4.129906
0.0000 0.3925 0.5062
91
Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I): INF 0.033072 0.225001 -0.040067
M2GRW -0.043380 -0.130456 0.100866
DEFY 0.477526 -0.037135 0.008156
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha): D(INF) D(M2GRW) D(DEFY)
-0.173844 -0.077376 -2.175363
1 Cointegrating Equation(s):
-0.309430 0.149401 0.149485
-0.035151 -0.137250 -0.021312
Log likelihood
-587.1698
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) INF M2GRW DEFY 1.000000 -1.311706 14.43921 (0.33259) (1.99895) Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(INF) -0.005749 (0.00480) D(M2GRW) -0.002559 (0.00646) D(DEFY) -0.071943 (0.01022)
Lampiran 8. Uji Lag Structure (Lag Exclusion dan Weak Exogeneity) Sistem Trivariabel a. Uji Lag Exclusion VEC Lag Exclusion Wald Tests Date: 06/30/11 Time: 11:14 Sample: 2002M01 2009M12 Included observations: 94 Chi-squared test statistics for lag exclusion: Numbers in [ ] are p-values D(INF)
D(M0GRW)
D(DEFY)
Joint
DLag 1
10.56702 [ 0.014313]
6.466979 [ 0.090974]
2.270763 [ 0.518145]
22.50745 [ 0.007403]
Df
3
3
3
9
92
b. Uji Weak Exogeneity VEC Granger Causality/Block Exogeneity Wald Tests Date: 06/30/11 Time: 11:14 Sample: 2002M01 2009M12 Included observations: 94
Dependent variable: D(INF) Excluded
Chi-sq
df
Prob.
D(M0GRW) D(DEFY)
6.788303 0.000630
1 1
0.0092 0.9800
All
6.966624
2
0.0307
Dependent variable: D(M0GRW) Excluded
Chi-sq
df
Prob.
D(INF) D(DEFY)
0.160931 0.073420
1 1
0.6883 0.7864
All
0.227202
2
0.8926
Dependent variable: D(DEFY) Excluded
Chi-sq
df
Prob.
D(INF) D(M0GRW)
0.236986 1.280527
1 1
0.6264 0.2578
All
1.692069
2
0.4291
Sistem Trivariabel a. Uji Lag Exclusion VEC Lag Exclusion Wald Tests Date: 11/30/11 Time: 11:15 Sample: 2002M01 2009M12 Included observations: 94 Chi-squared test statistics for lag exclusion: Numbers in [ ] are p-values
DLag 1
D(INF)
D(M1GRW)
D(DEFY)
Joint
4.155143 [ 0.245191]
18.33136 [ 0.000376]
0.965916 [ 0.809499]
25.28366 [ 0.002673]
93
df
3
3
3
9
b. Uji Weak Exogeneity VEC Granger Causality/Block Exogeneity Wald Tests Date: 11/30/11 Time: 11:15 Sample: 2002M01 2009M12 Included observations: 94
Dependent variable: D(INF) Excluded
Chi-sq
df
Prob.
D(M1GRW) D(DEFY)
0.078529 0.583417
1 1
0.7793 0.4450
All
0.700262
2
0.7046
Dependent variable: D(M1GRW) Excluded
Chi-sq
df
Prob.
D(INF) D(DEFY)
4.860680 1.011821
1 1
0.0275 0.3145
All
5.885373
2
0.0527
Dependent variable: D(DEFY) Excluded
Chi-sq
df
Prob.
D(INF) D(M1GRW)
0.003960 0.026343
1 1
0.9498 0.8711
All
0.029582
2
0.9853
Sistem Trivariabel a. Uji Lag Exclusion VEC Lag Exclusion Wald Tests Date: 11/30/11 Time: 11:16 Sample: 2002M01 2009M12 Included observations: 94 Chi-squared test statistics for lag exclusion: Numbers in [ ] are p-values D(INF)
D(M2GRW)
D(DEFY)
Joint
94
DLag 1
9.583525 [ 0.022459]
0.206532 [ 0.976528]
3.563111 [ 0.312669]
13.20290 [ 0.153638]
df
3
3
3
9
b. Uji Weak Exogeneity VEC Granger Causality/Block Exogeneity Wald Tests Date: 11/30/11 Time: 11:16 Sample: 2002M01 2009M12 Included observations: 94
Dependent variable: D(INF) Excluded
Chi-sq
df
Prob.
D(M2GRW) D(DEFY)
5.017303 0.368501
1 1
0.0251 0.5438
All
6.023973
2
0.0492
Dependent variable: D(M2GRW) Excluded
Chi-sq
df
Prob.
D(INF) D(DEFY)
0.056152 0.002059
1 1
0.8127 0.9638
All
0.059331
2
0.9708
Dependent variable: D(DEFY) Excluded
Chi-sq
df
Prob.
D(INF) D(M2GRW)
0.278949 2.811700
1 1
0.5974 0.0936
All
3.050137
2
0.2176
Lampiran 9. Uji Kausalitas Granger Pairwise Granger Causality Tests Date: 06/30/11 Time: 11:18 Sample: 2002M01 2009M12 Lags: 1 Null Hypothesis: M0GRW does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause M0GRW
Obs
F-Statistic
Prob.
95
4.92568 0.12347
0.0289 0.7261
95
M1GRW does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause M1GRW
95
1.40405 1.54710
0.2391 0.2167
M2GRW does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause M2GRW
95
1.14595 0.10239
0.2872 0.7497
DEFY does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause DEFY
95
0.27664 0.54496
0.6002 0.4623
M1GRW does not Granger Cause M0GRW M0GRW does not Granger Cause M1GRW
95
0.03268 0.33261
0.8570 0.5655
M2GRW does not Granger Cause M0GRW M0GRW does not Granger Cause M2GRW
95
0.74236 0.10214
0.3911 0.7500
DEFY does not Granger Cause M0GRW M0GRW does not Granger Cause DEFY
95
3.62499 5.29421
0.0600 0.0237
M2GRW does not Granger Cause M1GRW M1GRW does not Granger Cause M2GRW
95
0.39157 0.05352
0.5330 0.8176
DEFY does not Granger Cause M1GRW M1GRW does not Granger Cause DEFY
95
1.04111 2.48783
0.3102 0.1182
DEFY does not Granger Cause M2GRW M2GRW does not Granger Cause DEFY
95
0.75746 0.00122
0.3864 0.9722