ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN RUMAHTANGGA DI KABUPATEN ACEH UTARA Oleh : Muhammad Nasir Staf Pengajar Jurusan Tata Niaga Politeknik Negeri Lhokseumawe ABSTRACT This research is aimed at analyzing the factors that influence household poverty and provide recommendations as to poverty reduction strategies in Aceh Utara District. The research used data from 2006 National Social Economic Survey (Susenas) by Central Agency of Statistics (BPS) of Aceh Utara District. Descriptive analysis and logistic regression were used to describe the relationship between dichotomous dependent variable and independent variables. The result of descriptive analysis shows that there is significant and close relationship between household poverty and dependency ratio, family size, consumption of of clean water, age, place of residence and level of education with different significance levels, meanwhile some variables like occupation, gender, and health complaints have no significant effects. However, logistic regression estimation confirms that only gender variable is not significant. The implication of this research is that there is a need for comprehensive policies to reduce household poverty by the involvement of all relevant institutions and the poor themselves. Poverty reduction has to be linked with the factors that cause the poverty. In this case, there is a need for a program to advocate prosperous quality family, accessibility to basic public utilities, education and training, working capital assistance, equalizing development across region, especially directed toward disanvantaged regions.
Key words: household poverty, Susenas, logistic regression PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Upaya pengentasan kemiskinan pada hakekatnya adalah bagaimana meningkatkan pendapatan/penghasilan, baik rumahtangga maupun individu. Ini berarti peningkatan daya beli dan kesejahteraan penduduk miskin tersebut. Peningkatan pendapatan yang dilakukan melalui kegiatan produktif oleh angkatan kerja miskin, yang pada gilirannya akan membuat penduduk miskin tersebut mampu membeli kebutuhan barang dan jasa yang lebih sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Kemiskinan erat kaitannya dengan kualitas sumberdaya manusia. Sumberdaya manusia merupakan faktor terpenting dalam pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tidak semata-mata tergantung dari jumlah sumberdaya manusia saja, namun yang lebih penting adalah kualitas dan efisiensi mereka. Kualitas sumberdaya manusia dapat dilihat dari tingkat pendidikannya. Simanjuntak (1985,59) mengatakan bahwa asumsi dasar teori human capital adalah bahwa seseorang dapat meningkatkan penghasilannya melalui peningkatan pendidikan. Hubungan pendidikan dan produktivitas kerja dapat tercermin dalam tingkat penghasilan. Pendidikan yang lebih tinggi mengakibatkan produktivitas kerja yang lebih tinggi dan oleh sebab itu memungkinkan penghasilan yang lebih tinggi juga. Aspek lain yang berkaitan dengan teori human capital adalah perbaikan gizi dan kesehatan. 1
2
Oleh karena kedua hal tersebut sangat penting dalam peningkatan produktivitas, yang akhirnya akan dapat meningkatkan penghasilan. Dengan demikian peningkatan pendidikan, perbaikan gizi dan kesehatan merupakan salah satu bentuk usaha yang ampuh untuk memerangi kemiskinan dalam jangka panjang. Upaya pemerintah untuk mengurangi kemiskinan sebenarnya sudah cukup membanggakan. Statistik mencatat, jumlah penduduk miskin di Indonesia berhasil diturunkan dari 15,08 persen pada tahun 1990 menjadi 11,3 persen pada tahun 1996. Namun kondisi penduduk miskin makin diperparah dengan adanya krisis ekonomi yang dimulai pada tahun 1997 yang telah meningkatkan jumlah penduduk miskin pada tahun 1999 menjadi 23,32 persen. Setelah 1999 angka kemiskinan cenderung terus menurun sehingga pada Februari 2005 penduduk miskin Indonesia menjadi 15,97 persen. Akan tetapi pada Maret 2006 penduduk miskin bertambah sehingga menjadi 17,75 persen (Suhariyanto, 2006). Hal ini memperlihatkan bahwa rencana pemerintah yang menurunkan kemiskinan tahun 2006 menjadi 13,3 persen tidak/belum berhasil. Pertanyaannya adalah apa yang salah? Apakah kebijakan program kemiskinan yang kurang mengenai sasaran atau sebab lain? Hal serupa juga terjadi di Kabupaten Aceh Utara memiliki rumah tangga 1552.441 rumah tangga. Sebanyak 55.437 rumah tangga miskin dan 97.004 rumah tangga tidak miskin. Perbaikan kondisi perekonomian secara umum akan berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan masyarakat, yang akhirnya akan mengurangi kemiskinan. Kondisi perekonomian nasional yang mulai membaik, juga berpengaruh terhadap perekonomian regional, khususnya di Kabupaten Aceh Utara. Hal ini ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi yang positif dengan rata–rata pertumbuhan per tahun sebesar 3,99 persen selama kurun 2004-2009. Akan tetapi, jika dilihat dari sisi sumber daya manusianya, daerah ini belum baik. Kondisi ini tercermin dari tingginya persentase penduduk yang tidak tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama yaitu mencapai 64,51 persen. Di sisi lain penduduk yang bekerja di sektor pertanian juga cukup tinggi yaitu sebesar 67,51 persen. Sedangkan kondisi perumahan, rumahtangga yang memiliki dinding bukan tembok sebesar 27,3 persen dan yang memiliki lantai tanah sebesar 29,96 persen. Kondisi yang demikian sangat terkait dengan fenomena kemiskinan. (BPS Aceh Utara, 2010). Dengan demikian tidaklah berlebihan bila dalam penyusunan program untuk masyarakat miskin perlu didukung oleh data mengenai faktor-faktor penyebab kemiskinan itu sendiri, sehingga nantinya pengentasan kemiskinan akan lebih tepat sasaran. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan itulah yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini. Dengan demikian pemerintah daerah dapat merencanakan program pengentasan kemiskinan yang baik dan dapat menentukan prioritas pemberian bantuan kepada keluarga miskin. Perumusan Masalah Kondisi Kabupaten Aceh Utara, seperti halnya daerah lain, kegiatan ekonomi kembali mengalami peningkatan sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1997 sebagaimana terlihat pada tingkat pertumbuhan ekonomi yang positif. Tetapi di sisi lain, penduduk miskin cenderung mengalami peningkatan, terutama dari 2004-2009. Mengapa hal ini terjadi? Bagaimanakah dengan faktor sumberdaya manusia dan faktor lainnya yang turut menentukan kemiskinan serta bagaimana seharusnya kebijakan pemerintah daerah?. Penelitian ini difokuskan pada analisis faktor-faktor dominan yang mempengaruhi kemiskinan rumahtangga di Kabupaten Aceh Utara?.
3
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan rumahtangga di Kabupaten Aceh Utara dan menentukan yang mana di antara faktor-faktor tersebut yang dominan. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini berguna bagi pemerintah khususnya di Kabupaten Aceh Utara dalam mengambil kebijakan pembangunan dan bagi pihak-pihak yang peduli untuk menanggulangi kemiskinan yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tindakan yang diambil akan lebih efektif dengan diketahuinya beberapa faktor yang mempengaruhi kemiskinan rumahtangga. Penelitian ini juga akan bermanfaat sebagai salah satu referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan kesejahteraan rakyat khususnya yang berkaitan dengan kemiskinan rumahtangga. Selain itu juga dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan berkaitan dengan kemiskinan rumahtangga dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan Kemiskinan disamping disebabkan oleh faktor ekonomi, juga dapat diakibatkan oleh faktor-faktor nonekonomi seperti rendahnya pendidikan dan buruknya kondisi kesehatan masyarakat. Namun secara umum penyebab kemiskinan dapat dilihat dari tiga bentuk, yaitu: 1) Kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan, peraturan maupun lembaga yang ada di masyarakat sehingga dapat menghambat peningkatan produktivitas dan mobilitas masyarakat; 2) Kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan yang berhubungan dengan adanya nilai-nilai yang tidak produktif dalam masyarakat, tingkat pendidikan yang rendah, kondisi kesehatan dan gizi yang buruk; dan 3) Kemiskinan alamiah, yaitu kemiskinan yang ditunjukkan oleh kondisi alam maupun geografis yang tidak mendukung, misalnya daerah tandus, kering, maupun keterisolasian daerah (Makmun, 2003:9) World Bank Institute (2002:131-140) menjelaskan bahwa faktor-faktor penyebab kemiskinan dapat berupa karakteriktik penduduk menurut wilayah, komunitas, karakteristik rumahtangga dan karakteristik individu. Karakteristik wilayah atau komunitas didekati dengan kondisi tempat tinggal di daerah perkotaan/perdesaan. Sedangkan karakteristik rumahtangga dan individu antara lain dapat dilihat dari karakteristik demografi (yaitu struktur dan ukuran rumahtangga, rasio ketergantungan dan jender kepala rumahtangga); karakteristik ekonomi (yaitu ketenagakerjaan, pendapatan, struktur pengeluaran, dan kepemilikan rumahtangga); dan karakteristik sosial (yaitu kesehatan, pendidikan, dan tempat tinggal/perumahan). a. Karakteritik Wilayah Todaro (2000:200) mengatakan bahwa penduduk miskin pada umumnya bertempat tinggal di daerah-daerah perdesaan, dengan mata pencarian pokok di bidang pertanian dan kegiatan-kegiatan lainnya yang erat hubungannya dengan sektor ekonomi tradisional tersebut. Mereka kebanyakan wanita dan anak-anak dari laki-laki dewasa. Migrasi berlangsung sebagai akibat dari perbedaan desa-kota yang berkaitan dengan penghasilan yang diharapkan. Todaro melihat bahwa secara
4
implisit ada perbedaan tingkat pendapatan atau upah antara pekerja di perkotaan dengan pekerja di perdesaan. b. Karakteritik Demografi Hubungan antara kemiskinan dan jumlah anggota rumahtangga didasarkan pada kecenderungan rumahtangga miskin mempunyai tingkat kelahiran tinggi dan tingkat kematian anak yang tinggi akibat kurangnya pendapatan dan terbatasnya akses kesehatan, serta pemenuhan gizi anak. Pada tahun 2002 rata-rata jumlah anggota rumahtangga miskin di Indonesia adalah 5,1 orang di perkotaan dan 5 orang di perdesaan, sementara rumahtangga tidak miskin rata-rata sebanyak 3,9 orang untuk perkotaan dan 3,7 orang untuk perdesaan (BPS, 2002:29). Todaro (2000:201) mengatakan bahwa banyaknya perempuan yang menjadi kepala rumahtangga, rendahnya kesempatan dan kapasitas mereka dalam memperoleh pendapatan sendiri, serta terbatasnya kontrol mereka terhadap penghasilan suami, merupakan sebab-sebab pokok fenomena amat memperihatinkan tersebut. Selain itu akses kaum perempuan juga sangat terbatas dalam memperoleh kesempatan menikmati pendidikan dan program penciptaan lapangan kerja. Kesenjangan pendapatan antara laki-laki dan perempuan karena upah perempuan lebih rendah daripada laki-laki (meski beban kerja sama), mereka juga sulit memperoleh pekerjaan dengan upah yang tinggi. c. Karakteritik Ekonomi Hal yang mendasari karakteristik ekonomi rumahtangga adalah sektor pekerjaan atau lapangan usaha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk dunia yang termiskin adalah yang penghidupan pokoknya bersumber dari pola pertanian subsisten. Berdasarkan pengalaman sejarah yang dijalani oleh negaranegara barat, apa yang disebut sebagai pembangunan ekonomi diidentikkan dengan transformasi struktural terhadap perekonomian secara cepat, yakni dari perekonomian yang bertumpu pada kegiatan pertanian menjadi perekonomian industri modern dan jasa-jasa yang serba lebih kompleks. Selain itu terungkap bahwa dalam rangka peningkatan taraf hidup kelompok masyarakat yang paling miskin, maka upaya itu harus langsung diarahkan kepada kelompok penduduk yang bersangkutan. Karena umumnya mereka bekerja di sektor pertanian, maka kunci pengentasan kemiskinan terletak pada pembangunan sektor pertanian secara sungguh-sungguh. Model pembangunan yang diajukan oleh Lewis menyebutkan bahwa perekonomian yang terkebelakang terdiri dari dua sektor, yakni : (1) sektor tradisional, yaitu sektor pertanian subsisten di perdesaan yang kelebihan penduduk dan ditandai dengan produktivitas marginal tenaga kerja sama dengan nol. (2) sektor industri modern di perkotaan yang tingkat produktivitasnya tinggi dan menjadi tempat penampungan tenaga kerja yang ditransfer sedikit demi sedikit dari sektor pertanian (Todaro 2000:100,431-434). d. Karakteritik Sosial Di Indonesia pendidikan baik formal atau nonformal bisa berperan penting dalam mengurangi kemiskinan dalam jangka penjang. Pendidikan baik secara tidak langsung melalui perbaikan produktivitas dan efisiensi secara umum, maupun secara langsung melalui pelatihan golongan miskin dengan ketrampilan yang dibutuhkan dapat meningkatkan produktivitas mereka. Dengan demikian, pendidikan membantu keluarga miskin untuk mampu bersaing dalam pasar kerja, sehingga dapat
5
memperoleh pekerjaan yang lebih layak yang pada gilirannya akan dapat meningkatkan pendapatan keluarganya (Arsyad, 1999). Kondisi tempat tinggal juga mencerminkan ciri kemiskinan rumahtangga. Rumahtangga miskin akan cenderung memiliki tempat tinggal yang lebih jelek (ukuran kecil, lantai tanah, bahan bangunan kualitas rendah, perlengkapan kurang, lingkungan kurang bersih/hegienis, dll). Kondisi yang kurang baik tersebut tentunya akan mempunyai kontribusi terhadap tingkat kesehatan yang rendah dan pada gilirannya produktivitas anggota rumahtangga juga rendah. Indikator tempat tinggal merujuk pada kerangka keseluruhan dari kehidupan rumahtangga, karena tempat tinggal inilah sebagai tempat berlindung mereka dalam mengarungi kehidupan. Indikator ini antara lain mencakup jenis bangunan, kepemilikan tempat tinggal dan perlengkapan rumahtangga. METODE PENELITIAN Teknik Pemilihan Sampel Pemilihan sampel rumahtangga Susenas dilakukan melalui tahapan-tahapan yaitu pertama pemilihan blok sensus sebagai satuan unit wilayah terkecil (wilayah bagian dari desa/kelurahan yang memuat sekitar 80-120 rumahtangga) dan tahap berikutnya adalah pemilihan sampel rumahtangga. Dari rumahtangga terpilih tersebut dilakukan pendataan dengan daftar/kuesioner Susenas. Kerangka sampel yang digunakan dalam Susenas terdiri dari 3 jenis, yaitu: kerangka sampel untuk pemilihan blok sensus, kerangka sampel untuk pemilihan sub blok sensus dalam blok sensus (khusus untuk blok sensus yang mempunyai muatan jumlah rumahtangga lebih besar dari 150 rumahtangga atau blok sensus yang telah dibuat sub blok sensus pada saat up-dating sketsa peta blok sensus dalam rangka kegiatan Sensus Pertanian 2010), dan kerangka sampel untuk pemilihan rumahtangga dalam blok sensus/sub blok sensus terpilih. Kerangka sampel blok sensus adalah daftar blok sensus (biasa) yang dilengkapi dengan jumlah rumahtangga hasil pencacahan Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P4B) keadaan April 2010 yang dibedakan menurut daerah perkotaan dan pedesaan. Kerangka sampel untuk pemilihan sub blok sensus adalah daftar sub blok sensus yang terdapat dalam blok sensus terpilih yang mempunyai jumlah rumahtangga lebih besar dari 150 rumahtangga. Kerangka sampel rumahtangga adalah daftar rumahtangga (biasa) hasil pendaftaran rumahtangga pada blok atau sublok terpilih. Kerangka sampel rumahtangga ini dibedakan menurut tiga kelompok pengeluaran rumahtangga sebulan. Rancangan sampel Susenas adalah rancangan sampel bertahap dua untuk blok sensus yang tidak dibentuk sub blok sensus, dan rancangan sampel bertahap tiga untuk blok sensus yang dibentuk sub blok sensus, baik untuk daerah perkotaan maupun daerah pedesaan. Pemilihan sampel untuk daerah perkotaan dan daerah pedesaan dilakukan secara terpisah.Setiap tahap dalam rancangan pemilihan sampel dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Blok sensus yang tidak dibentuk sub blok sensus (2 tahap):
6
Tahap pertama, dari kerangka sampel blok sensus dipilih sejumlah blok sensus secara Probability Proportional to Size (PPS) – Linear Systematic Sampling dengan size banyaknya rumahtangga hasil listing di setiap blok sensus hasil P4B. Tahap kedua, dari sejumlah rumahtangga hasil listing di setiap blok sensus terpilih dipilih 16 rumahtangga secara Linear Systematic Sampling.
b. Blok sensus yang dibentuk sub blok sensus (3 tahap): Tahap pertama, dari kerangka sampel blok sensus dipilih sejumlah blok sensus secara Probability Proportional to Size (PPS) – Linear Systematic Sampling dengan size banyaknya rumahtangga hasil listing di setiap blok sensus hasil P4B. Tahap kedua, dari setiap blok sensus terpilih dibentuk sejumlah sub blok sensus, selanjutnya dipilih satu sub blok sensus secara Probability Proportional to Size (PPS) Sampling dengan size banyaknya rumahtangga hasil listing hasil P4B di setiap sub blok sensus. Tahap ketiga, dari sejumlah rumahtangga hasil listing di setiap blok sub blok sensus terpilih dipilih 16 rumahtangga secara Linear Systematic Sampling. Metode dan Model Analisis Analisis Deskriptif Untuk analisis deskriptif, sebelum melakukan pengujian terlebih dahulu dibuat tabulasi silang 2x2 seperti terlihat pada Tabel di bawah ini (Dajan:1986:285289). Tabel Bentuk Tabulasi Silang 2x2 Y=1
Y=0
Total
X=1 X=0
n11 n21
n12 n22
n1. n2.
Total
n.1
n.2
n..
Statistik uji Chi-Square yang digunakan berdasarkan tabel 2x2 adalah: 2
2
=
2
i1
j1
( n ij mˆ ij ) 2 mˆ ij
dimana:
mˆ ij = 2 nij ni. n.j
ni. n. j n..
i,j = 1 dan 2
= statistik Chi-Square = frekuensi observasi baris ke-i dan kolom ke-j = total frekuensi observasi untuk X=i = total frekuensi observasi untuk Y=j
di atas
7
mˆ ij = frekuensi harapan baris ke-i dan kolom ke-j n.. = Jumlah sampel Nilai 2 dibandingkan dengan nilai 2 (nilai Chi-Square Tabel). Atau df , nilai p-value dibandingkan dengan nilai dimana: df = derajat bebas = (r-1)(c-1) = (2-1)(2-1) = 1 = tingkat signifikan Hipotesa yang digunakan dalam uji Pearson Chi-Square adalah : H0 = tidak ada hubungan antara varibel X dan Y H1 = ada hubungan antara X dan Y Jika : 2 > 2 atau p-value . df , maka keputusannya adalah: Tolak hipotesis Ho dan menerima hipotesis H1. Hal ini berarti bahwa variabel bebas (penjelas) X secara statistik mempunyai hubungan yang signifikan dengan variabel tak bebas (yang dijelaskan) Y.
Alat Analisis: Regresi Logistik Wold Bank Institute (2002: 24,149-150) dalam penjelasan teoritis menjelaskan bahwa dalam menganalisis kemiskinan menggunakan pendekatan konsumsi rumahtangga atau pengeluaran per kapita, dan fungsi pengeluaran akan memfasilitasi analisis yang sederhana. Dalam bentuk yang sederhana, fungsi pengeluaran ditunjukkan oleh persamaan (2.3) yaitu, yi = p.q = e(p,x,u). Kemudian dalam menganalisis determinan kemiskinan, lebih lanjut dijelaskan dengan teknik regresi semilog yaitu, Log wi = γXi + εi. Dengan demikian diperoleh nilai variabel tak bebas yang bernilai 1 (satu) untuk rumahtangga miskin (yang pengeluaran/konsumsi per kapitanya lebih rendah atau sama dengan garis kemiskinan) dan bernilai 0 untuk yang lain. Oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan analisis regresi logistic (Model Logit). Dengan berbagai keterbatasan yang ada, terutama data pendapatan, maka variabel bebas yang digunakan seperti yang dijelaskan dalam ruang lingkup di atas dengan variabel tak bebas adalah kemiskinan yaitu rumahtangga miskin atau tidak miskin (yang dilihat dari konsumsi/pengeluaran rumahtangga per bulan). Analisis regresi logistic (Model Logit) seperti dijelaskan Nachrowi (2002: 252-263) dan Ramanathan (1998:607) digunakan untuk menganalisis data yang peubah responnya bernilai 1 dan 0 (berskala biner). Y=1 menyatakan kejadian yang “sukses”, yaitu rumahtangga miskin dan Y=0 menyatakan kejadian yang “gagal” atau rumahtangga yang tidak miskin. Peubah tersebut mengikuti sebaran Bernoulli, sedangkan peubah penjelasnya dapat berskala biner, kategori atau kontinyu. Regresi logistik yang merupakan model dengan menggunakan variabel tak bebas (Y) bernilai 1 dan 0 digunakan karena jika menggunakan regresi linier (OLS) akan menimbulkan permasalahan antara lain: 1. Disturbansi (ui) tidak berdistribusi normal, dimana ui mengikuti distribusi Binomial. 2. Variansi ui heteroskedastis, yaitu nilai variansinya sebesar pi qi (tergantung dari nilai pi dan qi)
8
3. Persyaratan untuk nilai ekspektasi Yi. dengan syarat Xi berada diantara 0 dan 1 [ 0 ≤ E(Yi / Xi ) ≤ 1 ] sulit untuk dipenuhi, karena nilainya bias lebih besar dari 1 atau kurang dari 0. Secara teori hal ini tidak memungkinkan. Persamaan regresi logistik (model logit) secara matematis diderivasi dari suatu nilai peluang terjadinya suatu peristiwa yang didefinisikan dengan persamaan:
pi
1 , 1 e Zi
dimana
Z i 0 1 x1 2 x 2 ... k x k
( 3.1)
dan
1- pi 1
1 e Zi 1 e Zi 1 e Zi
rasio antara pi dan 1-pi adalah 1 Zi pi 1 1 e Z Z i e Z i e 0 1 x1 2 x 2 ... k x k ( 3 . 2 ) 1 - pi e e i Zi 1 e Angka ini disebut Odd atau resiko yaitu perbandingan antara peluang terjadinya suatu peristiwa dengan peluang tidak terjadinya suatu peristiwa. Bila nilai odd ini dilog-kan, maka akan didapatkan log odd sebagai berikut:
pi Z i 0 1 x 1 2 x 2 ... k x k ( 3 . 3 ) L i ln 1 pi Dengan penurunan rumus dari persamaan (1), dimana pi mengikuti fungsi distribusi logistic, sehingga diperoleh bentuk persamaan (3) yang demikian merupakan Model Logit . catatan:: - L disebut Log odd atau Model Logit - L linier dalam X, juga linier dalam βi - Karena p terletak antara 0 dan 1, maka L terletak antara - ∞ dan ∞ - Meskipun L linier dalam X, tetapi p tidak linier dalam X - βi menyatakan perubahan dalam Li bila Xi berubah 1 unit (i= 1,2,…,k) dan β0 menyatakan log odd pada saat nilai X sama dengan nol. Sehingga model logit untuk analisis dalam penelitian ini adalah:
L i β 0 β DT D DT β ART D ART β DR V DR β AIR D AIR β KES D KES β JK D JK β UM D UM β DIK D DIK β KER D KER
( 3 .4 )
dimana β0 = intersep, βDT .. βKER2 = koefisien regresi, DDT ..DKER2 = variabel bebas Salah satu cara mengestimasi parameter model logit adalah menggunakan metode Maximum Likelihood (Nachrowi, 2002: 258-260). Misal L(x) seperti pada persamaan (4) adalah fungsi likelihood yang menyatakan probabilitas bersama dari data hasil observasi yang masih merupakan fungsi dari parameter yang tidak diketahui. Penaksiran parameter fungsi likelihood L( 1 , 2 ,..., p ) ini adalah dilakukan dengan mencari suatu nilai
ˆ 1 , ˆ 2 ,..., ˆ p
yang dapat memaksimumkan
9
nilai L( 1 , 2 ,..., p ). Oleh karenanya ˆ 1 , ˆ 2 ,..., ˆ p disebut taksiran maksimum likelihood (Maximum Likelihood Estimator/MLE). Penghitungan parameterparameter tersebut akan sangat mudah diperoleh dengan bantuan software SPSS. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Daerah Tempat Tinggal Jika dilihat menurut daerah tempat tinggal, kemiskinan di daerah perdesaan sebesar 23,99 persen sedangkan di daerah perkotaan hanya 11,36 persen. Rumahtangga miskin yang tinggal di daerah perdesaan jauh lebih besar dari pada daerah perkotaan, yaitu masing-masing sebesar 85,61 persen dan 14,39 persen. Kemiskinan di daerah perdesaan tersebut antara lain berada di wilayah-wilayah terisolir (daerah pegunungan atau lokasi terpencil), yang sebagian besar kehidupan masyarakatnya masih sangat sederhana dengan fasilitas pelayanan publik yang belum memadai, infrastruktur dan komunikasi masih lemah, serta pasar kurang berkembang. Kondisi demikian kurang mendukung aktifitas ekonomi masyarakat atau kegiatan mencari nafkah, sehingga mereka akan terjerat oleh kemiskinan baik absolut maupun struktural. Sedangkan daerah perkotaan merupakan daerah yang lebih maju, dengan fasilitas publik yang lebih lengkap, dan karakteristik demografi/ekonominya lebih baik (pendidikan dan pekerjaan lebih baik) sehingga mereka mempunyai tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi. Tabel 1.
Rumahtangga Sampel menurut Daerah Tempat Tinggal dan Kemiskinan di Aceh Utara Tahun 2010 Kemiskinan Rumahtangga
Daerah Tempat Tinggal
Tidak Miskin
Miskin
(1)
(2)
(3)
Total (4)
Hasil Uji ChiSquare (5)
Perkotaan
156 (29,27) 20 (14,39) 176 (26,19) (88,64) (11,36) (100)
Nilai: 12,627
Perdesaan
377 (70,73) 119 (85,61) 496 (73,81) (76,01) (23,99) (100)
p-value: 0,000
Total 533 (100) Catatan: Angka (…) = persen Sumber: Susenas 2010 (diolah)
139 (100)
672 (100)
Hubungan antara kemiskinan dengan daerah tempat tinggal yang ditunjukkan dalam tabulasi silang dan uji ketergantungan memperlihatkan nilai ChiSquare sebesar 12,62 dengan p-value sebesar 0,000. Dengan demikian daerah tempat tinggal termasuk salah satu variabel yang mempunyai hubungan dengan kemiskinan rumahtangga.
10
Jumlah Anggota Rumahtangga Dalam suatu rumahtangga, semakin banyak jumlah anggota, maka kebutuhan akan konsumsinya juga semakin banyak. Apabila sumber pendapatan yang diperoleh sama, maka rumahtangga dengan jumlah anggota rumahtangga lebih banyak akan mempunyai peluang lebih besar untuk menjadi miskin. Hal ini karena pendapatan yang diperoleh rumahtangga dibagi atau untuk membiayai seluruh anggota rumahtangga, terutama mereka yang belum mempunyai penghasilan. Dengan kata lain bahwa semakin banyak anggota rumahtangga yang harus ditanggung, maka semakin berat beban ekonomi suatu rumahtangga dan menjadi tugas kepala rumahtangga. Tabel 2. Rumahtangga Sampel menurut Jumlah Anggota Rumahtangga dan Kemiskinan di Aceh Utara Tahun 2010 Jumlah ART (1) 1-2 orang 3-4 orang
Kemiskinan Rumahtangga Tidak Miskin Miskin (2) (3)
Total (4)
158 (29,64) 11 (7,91) 169 (25,15) (93,49) (6,51) (100) 279 (52,35) 75 (53,96) 354 (52,68) (78,81) (21,19) (100)
>= 5 orang
96 (18,01) 53 (38,13) 149 (22,17) (64,43) (35,57) (100) Total 533 (100) 139 (100) 672 (100) Catatan: Angka (…) = persen Sumber: Susenas 2010 (diolah)
Hasil Uji Chi-Square (5) Nilai: 40,870 p-value: 0,000
Rumahtangga dengan jumlah anggota rumahtangga satu sampai dua orang yang tergolong miskin persentasenya lebih kecil daripada rumahtangga dengan anggota tiga sampai empat orang, dan lebih kecil lagi dibandingkan dengan anggota rumahtangga lebih dari empat orang, yaitu masing-masing sebesar 6,51 persen, 21,19 persen dan 35,57 persen. Hal ini menandakan bahwa semakin besar anggota rumahtangga, maka semakin besar kemungkinan untuk menjadi miskin. Selain itu dari uji ketergantungan terlihat bahwa nilai Chi-Square sebesar 40,87 dengan p-value sebesar 0,000 yang berarti jumlah anggota rumahtangga berpengaruh terhadap kemiskinan rumahtangga. Dengan kata lain bahwa ada hubungan antara kemiskinan dan jumlah anggota rumahtangga yang harus ditangung kepala rumahtangga, sehingga dapat dimasukkan sebagai salah satu variabel bebas yang mempengaruhi kemiskinan rumahtangga.
Angka Ketergantungan (Dependency Ratio) Jika dikaitkan dengan kemiskinan, maka semakin besar angka ketergantungan, semakin besar pula kemungkinan suatu rumahtangga menjadi miskin. Persentase rumahtangga miskin dengan angka ketergantungan di bawah
11
setengah (0-49 persen) hanya 10,58 persen, sedangkan rumahtangga dengan angka ketergantungan yang lebih tinggi, persentase rumahtangga miskin makin besar yaitu 21,52 persen terus bertambah lagi menjadi 34,48 persen dan bahkan mencapai 38,60 persen untuk rumahtangga dengan angka ketergantungan satu setengah ke atas. Tabel 3.
Angka Ketergantungan (1)
Rumahtangga Sampel menurut Angka Ketergantungan dan Kemiskinan di Aceh Utara Tahun 2010 Kemiskinan Rumahtangga Tidak Miskin Miskin (2) (3)
Total
Hasil Uji Chi_Square
(4)
(5)
< 0,5
279 (52,35) 33 (23,74) 312 (46,43) (89,42) (10,58) (100)
Nilai: 47,470
0,5 - 0,9
124 (23,26) 34 (24,46) 158 (23,51) (78,48) (21,52) (100)
p-value: 0,000
1 - 1,49
95 (17,82) 50 (35,97) 145 (21,58) (65,52) (34,48) (100)
1,5 +
35 (6,57) (61,40)
Total 533 (100) Catatan: Angka (…) = persen Sumber: Susenas 2010 (diolah)
22 (15,83) (38,60) 139 (100)
57 (8,48) (100) 672 (100)
Konsumsi Air Minum Kesadaran mengkonsumsi air yang bersih terlihat pada Tabel 4.5, dimana sekitar 20 persen rumahtangga sudah mengkonsumsinya. Hal ini berarti kondisi kesehatan dari sisi akses terhadap air bersih sudah baik di Kabupaten Aceh Utara. Dalam hubungannya dengan kemiskinan terlihat bahwa sebagian besar (50,9 persen) rumahtangga yang mengkonsumsi air kurang bersih tergolong rumahtangga miskin. Hal ini menandakan bahwa kebiasaan hidup sehat dengan mengkonsumsi air yang bersih berpengaruh terhadap kemiskinan. Besaran dari nilai Chi-Square yaitu 33,355 dengan p-value sebesar 0,000 juga menguatkan bahwa konsumsi air bersih mempunyai hubungan dengan p kemiskinan rumahtangga. Tabel 4 Rumahtangga Sampel menurut Konsumsi Air Minum/Masak dan Kemiskinan di Aceh Utara Tahun 2010 Kemiskinan Rumahtangga
Konsumsi Air Minum/Masak
Tidak Miskin
Miskin
(1)
(2)
(3)
Bersih
506 (94,93)
111 (79,86)
Total (4) 617 (91,82)
Hasil Uji ChiSquare (5) Nilai:
12
Kurang Bersih
(82,01)
(17,99)
27 (5,07) (49,09)
28 (20,14) 55 (8,18) (50,91) (100)
Total 533 (100) Catatan: Angka (…) = persen Sumber: Susenas 2010 (diolah)
139 (100)
(100)
33,355 p-value: 0,000
672 (100)
Jenis Kelamin Kepala Rumahtangga Keseteraan gender diharapkan dapat berjalan dengan baik, dimana kaum perempuan mempunyai peran dan kedudukan yang sama dengan laki-laki. Walaupun demikian kodrati perempuan tetap akan melekat kepadanya. Perempuan akan mempunyai peran ganda yaitu mengurus rumahtangga selain bekerja membantu mencari nafkah. Oleh karena itu waktu yang digunakan tersita untuk kegiatan mengurus rumahtangga sehingga mengurangi jam kerja serta produktivitasnya. Di sisi lain perlakuan diskriminatif di lingkungan kerjanya atau dapat pula perempuan cenderung menginginkan pekerjaan yang lebih ringan dan mudah sehingga berpengaruh pada pendapatan yang diperoleh. Selain itu akses yang berbeda terhadap pendidikan dan keterampilan, berakibat pada pendapatan yang diperoleh perempuan karena memiliki pendidikan dan keterampilan yang lebih rendah dari laki-laki. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jenis kelamin berpengaruh terhadap tingkat pendapatan yang juga akhirnya pada tingkat kemiskinan. Tabel 6
Rumahtangga Sampel menurut Jenis Kelamin Kepala Rumahtangga dan Kemiskinan di Aceh Utara Tahun 2010 Kemiskinan Rumahtangga
Jenis Kelamin
Tidak Miskin
Miskin
(1)
(2)
(3)
Total (4)
Hasil Uji ChiSquare (5)
Laki-laki
452 (84,80) 124 (89,21) 576 (85,71) (78,47) (21,53) (100)
Nilai: 1,748
Perempuan
81 (15,20) 15 (10,79) 96 (14,29) (84,38) (15,63) (100)
p-value:
Total 533 (100) Catatan: Angka (…) = persen Sumber: Susenas 2010 (diolah)
139 (100)
0,186
672 (100)
Rumahtangga yang dikepalai oleh laki-laki sebanyak 85,71 persen dan yang dikepalai oleh perempuan sebanyak 14,29 persen (lihat Tabel 4.7). Rumahtangga yang dikepalai laki-laki sebanyak 21,53 persen diantaranya miskin, sedangkan yang dikepalai perempuan lebih sedikit yaitu hanya 15,63 persen. Hal ini mengindikasikan
13
bahwa jenis kelamin kepala rumahtangga dalam penelitian ini kurang berpengaruh terhadap kemiskinan. Nilai Chi-Square yang diperoleh juga mengambarkan hal yang demikian, dimana nilainya kecil (sebesar 1,748) dengan p-value sebesar 0,186. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jenis kelamin sedikit mempunyai hubungan dengan kemiskinan. Umur Kepala Rumahtangga Terlihat bahwa kepala rumahtangga sampel sebagian besar (38,24 persen) berumur 35-49 tahun dan dari jumlah tersebut 26,46 persen diantaranya adalah rumahtangga miskin. Sedangkan rumahtangga dengan kepala rumahtangga berumur kurang dari 35 tahun sebanyak 24,71 persen rumahtangga diantaranya tergolong miskin. Tingkat kemiskinan rumahtangga semakin menurun sejalan dengan peningkatan umur kepala rumahtangga. Hal ini menandakan bahwa umur berpengaruh negatif terhadap kemiskinan. Tabel 7
Rumahtangga Sampel menurut Umur Kepala Rumahtangga dan Kemiskinan di Aceh Utara Tahun 2010 Kemiskinan Rumahtangga
Umur (1)
Tidak Miskin
Miskin
(2)
(3)
Total (4)
Hasil Uji ChiSquare (5)
<35 thn
64 (12,01) 21 (15,11) 85 (12,65) (75,29) (24,71) (100)
Nilai: 12,881
35 - 49
189 (35,46) 68 (48,92) 257 (38,24) (73,54) (26,46) (100)
p-value:
50 - 64
154 (28,89) 31 (22,30) 185 (27,53) (83,24) (16,76) (100)
65 +
126 (23,64) 19 (13,67) 145 (21,58) (86,90) (13,10) (100)
Total 533 (100) Catatan: Angka (…) = persen Sumber: Susenas 2010 (diolah)
139 (100)
0,005
672 (100)
Kondisi di atas memperlihatkan kesesuaian Teori Konsumsi Modigliani yang menyatakan bahwa semakin tinggi umur seseorang, maka semakin tinggi tingkat pendapatannya, sehingga peluang untuk menjadi miskin lebih kecil. Pada tabel tersebut terlihat bahwa walaupun umur memasuki pensiun, tetapi persentase rumahtangga miskin untuk kelompok kepala rumahtangga yang berumur 65 tahun ke atas tetap lebih kecil (13,10 persen) dibanding dengan umur kepala rumahtangga yang lebih muda (50-64 tahun) yang mencapai angka 16,76 persen. Nampaknya fenomena ini sejalan dengan julukan Aceh Utara sebagai daerah agraris dan kota pensiun. Masyarakat di Aceh Utara selagi umur produktif akan mencari nahkah di luar daerah dan akan kembali ke kampung halamannya dikala pensiun untuk bertani
14
atau melakukan kegiatan produktif lainnya. Dengan demikian walaupun memasuki usia pensiun tetap masih memperoleh penghasilan sambil menikmati hasil tabungan mereka. Apalagi jika tabungan yang diperoleh digunakan untuk investasi, maka penghasilan orang tersebut bertambah dan semakin besar peluang rumahtangga tersebut untuk tidak miskin. Hasil uji Chi-Square yang diperoleh juga mengambarkan hal yang menunjukkan bahwa umur mempunyai hubungan dengan kemiskinan dengan nilai sebesar 12,881 dan p-value sebesar 0,005. Pendidikan Kepala Rumahtangga Pendidikan kepala rumahtangga miskin sebagian besar (87,77 persen) hanya tamatan SLTP ke bawah dan yang berpendidikan minimal SLTA hanya 12,2 persen. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan mempunyai hubungan dengan kemiskinan rumahtangga, dimana semakin tinggi pendidikan, maka semakin rendah kemungkinan suatu rumahtangga tergolong miskin. Pernyataan ini didukung oleh data yang memperlihatkan bahwa persentase rumahtangga miskin untuk kepala rumahtangga yang berpendidikan SLTA ke atas hanya 11,56 persen, sedangkan yang berpendidikan SLTP ke bawah mencapai 23,24 persen. Sejalan dengan hal itu, hasil uji Chi-Square mengambarkan hal yang menunjukkan bahwa pendidikan mempunyai hubungan dengan kemiskinan, dengan nilai sebesar 9,539 dan p-value sebesar 0,002. Tabel 8
Rumahtangga Sampel menurut Pendidikan Kepala Rumahtangga dan Kemiskinan di Aceh Utara Tahun 2010 Kemiskinan Rumahtangga
Pendidikan (1) SLTA ke Atas SLTP ke Bawah
Tidak Miskin
Miskin
(2)
(3)
Total (4)
130 (24,39) 17 (12,23) 147 (21,88) (88,44) (11,56) (100) 403 (75,61) (76,76)
Total 533 (100) Catatan: Angka (…) = persen Sumber: Susenas 2010 (diolah)
122 (87,77) (23,24) 139 (100)
525 (78,13) (100)
Hasil Uji ChiSquare (5) Nilai: 9,539 p-value: 0,002
672 (100)
Sektor Pekerjaan Kepala Rumahtangga Sektor/lapangan pekerjaan kepala rumahtangga dikelompokkan menjadi dua sektor yaitu sektor primer (pertanian dan pertambangan) dan sektor non primer. Sektor pekerjaan merupakan salah satu indikator kemajuan atau kesejahteraan. Daerah yang potensi sektor non primer (misal industri, perdagangan, atau jasa), biasanya merupakan daerah yang maju dan berkembang. Demikian pula untuk rumahtangga yang bergerak di sektor non primer, tentunya mempunyai peluang yang lebih kecil untuk terjerat dalam kemiskinan.
15
Tabel 9
Rumahtangga Sampel menurut Sektor Pekerjaan Kepala Rumahtangga dan Kemiskinan di Aceh Utara Tahun 2010 Kemiskinan Rumahtangga
Sektor Pekerjaan
Tidak Miskin
Miskin
(1)
(2)
(3)
Sektor Lainnya
Total (4)
240 (45,03) 51 (36,69) 291 (43,30) (82,47) (17,53) (100)
Primer 293 (54,97) 88 (63,31) 381 (56,70) (Pertanian+ (76,90) (23,10) (100) Pertbg/Pengln) Total 533 (100) 139 (100) 672 (100) Catatan: Angka (…) = persen Sumber: Susenas 2010 (diolah)
Hasil Uji ChiSquare (5) Nilai: 3,122 p-value: 0,077
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa rumahtangga miskin lebih banyak bekerja di sektor primer yaitu sebesar 63,3 persen, sedangkan yang bekerja disektor non primer sebesar 36,69 persen. Hal ini dapat difahami karena produktivitas sektor primer relatif lebih rendah dibandingkan sektor lainnya, seperti sektor jasa-jasa, sektor industri modern, dan sektor perdagangan. Jika dilihat persentase rumahtangga yang bekerja di sektor primer, sebesar 23,10 persen tergolong rumahtangga miskin, sedangkan sektor non primer yang hanya mencapai 17,53 persen. Gambaran ini menunjukkan bahwa sektor pekerjaan mempunyai hubungan yang cukup terhadap kemiskinan. Fenomena ini juga ditunjukkan oleh hasil uji ketergantungan dengan nilai Chi-Square sebesar 3,122 dan p-value sebesar 0,077. Dari hasil uji ketergantungan antara variabel kemiskinan rumahtangga dan masing-masing variabel tak bebas dengan statistik uji Chi-Square pada tingkat signifikansi 5 persen, maka terdapat adanya ketergantungan yang signifikan antara kemiskinan dan variabel bebas. Variabel tersebut yang terbesar adalah variabel variabel bebas angka ketergantungan, konsumsi air bersih, jumlah anggota rumahtangga yaitu dengan nilai Chi-Square di atas 25. Sedangkan variabel umur, daerah tempat tinggal, dan pendidikan menghsilkan nilai Chi-Square sekitar 10. Ada tiga variabel yang tidak signifikan yaitu sektor pekerjaan (signifikan pada level 7,7 persen), jenis kelamin (signifikan pada level 18,6 persen) dan keluhan kesehatan (signifikan pada level 47,1 persen). Dengan demikian berdasarkan uji ketergantungan hanya ada enam variabel yang mempunyai hubungan dengan kemiskinan pada level signifikan lima persen yaitu angka ketergantungan, konsumsi air bersih, jumlah anggota rumahtangga, umur, daerah tempat tinggal, dan pendidikan. Analisis Regresi Logistik Berbeda dengan analisis tabulasi silang yang telah diuraikan sebelumnya, analisis regresi logistik (logit) dapat menjelaskan tingkat maupun arah hubungan variabel-variabel yang berhubungan/mempengaruhi kemiskinan rumahtangga pada tingkat signifikansi tertentu. Model estimasi regresi logistik dengan MLE
16
(pengolahan menggunakan SPSS seperti pada lampiran 3) dalam penelitian ini, diperoleh persamaan sebagai berikut: pY -4,538 0 ,666 D DT 0 ,571 V ART 0,757 V DR 1, 461 D AIR L (Y) ln 1 pY 0 , 797 D KES 0 ,029 V UM 1, 008 D DIK 0 ,5999 D KER
Variabel jenis kelamin tidak masuk dalam persamaan karena nilai p_value sebesar 0,362 sehingga tidak signifikan pada tingkat α = 5 persen. L Dari hasil pengolahan memperlihatkan bahwa G 2 2 ln 0 = 149,641 (p_value = L1 2 0,000) dimana nilai ini jauh lebih besar dari angka χ (0,05;8) = 15,507 serta nilai signifikansi yang jauh lebih kecil dari 0,05, sehingga H0 ditolak. Dengan kata lain bahwa model regresi logistik tersebut dapat disimpulkan signifikan dan merupakan model yang dapat digunakan untuk menjelaskan kemiskinan. Tingkat keakuratan data dalam menjelaskan kemiskinan pada model logit dapat dilihat dari peningkatan nilai overall classification table pada setiap step. Terlihat bahwa nilai overall percentage pada step_0 sebesar 79,32 persen kemudian meningkat pada step_1 menjadi sebesar 82,29 persen dan meningkat lagi menjadi 82,89 persen pada step_2. Hal ini menandaklan bahwa secara keseluruhan variabelvariabel penjelas dapat menjelaskan sampai 82,89 persen terhadap kemiskinan.
Pengujian Parameter Nilai Wald yang besar menunjukkan bahwa variabel tersebut sangat signifikan mempengaruhi kemiskinan. Nilai statistik uji Wald berlawanan dengan nilai signifikansinya, semakin besar nilai Wald semakin kecil nilai signifikansinya, artinya semakin signifikan mempengaruhi kemiskinan. Dalam kasus ini berturut-turut variabel yang paling besar pengaruhnya terhadap kemiskinan adalah jumlah anggota rumahtangga, konsumsi air bersih, angka ketergantungan, umur, pendidikan, sektor pekerjaan, keluhan kesehatan, dan daerah tempat tinggal. Tabel 10 Hasil Pengolahan Model Regresi Logistik menurut Variabel dan Parameter Statistik Variabel
β
S.E.
Wald
df
Sig.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Exp(β)/ Odd Ratio (7)
DT
0.6657
0.2962
5.0510
1
0.0246
1.9458
ART
0.5711
0.0888
41.3740
1
0.0000
1.7702
DR
0.7570
0.1749
18.7433
1
0.0000
2.1319
AIR
1.4606
0.3348
19.0276
1
0.0000
4.3085
KES
0.7974
0.3469
5.2840
1
0.0215
2.2198
17
UM
-0.0293
0.0086
11.5008
1
0.0007
0.9712
DIK
1.0076
0.3218
9.8044
1
0.0017
2.7390
KER
0.5987
0.2365
6.4093
1
0.0114
1.8198
Constant
-4.5378
0.6795
44.6023
1
0.0000
0.0107
JK *)
0.3344
0.3666
0.8321
1
0.3617
1.3971
Catatan: Variabel JK (jenis kelamin) tereliminasi pada step_2 (tidak masuk dalam model)
Sumber: Susenas 2010 (diolah)
Penafsiran Model dan Rasio Kecenderungan Penafsiran dalam model logit sedikit berbeda dengan regresi biasa, karena penafsiran analisis logistik adalah seberapa besar peluang terjadinya peristiwa (variabel tak bebas sukses bernilai satu) apabila diketahui nilai variabel bebasnya. Hasil persamaan logit seperti; pY -4,538 0 , 666 D DT 0 ,571 V ART 0,757 V DR 1, 461 D AIR L (Y) ln 1 pY 0 ,797 D KES 0 ,029 V UM 1,008 D DIK 0 ,5999 D KER
` maka besarnya peluang terjadinya peristiwa (py) untuk variabel bebasnya adalah:
py
1 1 e
( -4,5380, 666 DDT 0,571VART0,757 VDR 1, 461DAIR 0, 797 DKES 0, 029 VUM 1, 008 DDIK 0,5999 DKER )
Model tersebut dapat memberikan prediksi probalitas suatu rumahtangga akan miskin dengan karakteristik tertentu. Jika karakteristik rumahtangga adalah tinggal di perkotaan, jumlah anggota rumahtangga satu orang (angka ketergantungan/DR sama dengan nol), konsumsi air sumur terlindung (air bersih), kepala rumahtangga tidak mengalami keluhan kesehatan, berumur 20 tahun dengan pendidikan minimal SLTA dan bekerja di sektor jasa, maka probabilitas rumahtangga tersebut miskin adalah sebesar 1,04 persen atau probabilitas rumahtangga tersebut tidak miskin adalah sebesar 98,86 persen. Apabila karakteristik rumahtangganya adalah tinggal di perdesaan, jumlah anggota rumahtangga sepuluh orang, dengan angka ketergantungan/DR sama dengan lima, konsumsi air sumur tak terlindung (air kurang bersih), kepala rumahtangga mengalami keluhan kesehatan dan terganggu, berumur 88 tahun dengan pendidikan paling tinggi SLTP dan bekerja di sektor pertanian, maka probabilitas rumahtangga tersebut miskin adalah sebesar 99,90 persen atau probabilitas rumahtangga tersebut tidak miskin hanya adalah sebesar 0,10 persen. Selajutnya model logistik juga digunakan untuk analisis rasio rasio kecenderungan (odds ratio) dari suatu variabel bebas tertentu. Interpretasi nilai odds ratio selengkapnya adalah sebagai berikut: 1. Wilayah geografis berpengaruh terhadap kemiskinan, hal ini terlihat dari kecenderungan rumahtangga yang tinggal di daerah perdesaan menjadi miskin
18
2.
3.
4.
5.
6.
7.
lebih besar 1,946 kali dibandingkan dengan rumahtangga yang tinggal di daerah perkotaan. Jumlah anggota rumahtangga (variabel kontinyu) merupakan variabel yang paling besar pengaruhnya terhadap kemiskinan. Nilai odd ratio sebesar 1,770 menunjukkan bahwa setiap penambahan satu anggota rumahtangga akan mengakibatkan resiko rumahtangga menjadi miskin sebesar e(1 x 0,571) (= 1,770) kali lebih besar dibandingkan sebelumnya. Beban kepala rumahtangga juga akan berat jika semakin banyak usia belum/tidak produktif. Dengan beban yang lebih banyak, maka kemungkinan menjadi miskin akan lebih besar. Hal ini terlihat dari angka odd ratio dari variabel angka ketergantungan yang sebesar 2,132, yang berarti bahwa setiap penambahan satu angka ketergantungan (misal dari 0,5 menjadi 1,5) akan mengakibatkan resiko rumahtangga menjadi miskin sebesar e(1 x 0,757) atau sama dengan 2,132 kali lebih besar dibandingkan sebelumnya. Kecenderungan rumahtangga yang mengkonsumsi air kurang bersih menjadi miskin lebih besar 4,308 kali dibandingkan dengan rumahtangga yang mengkonsumsi air bersih. Kesehatan sangat erat kaitannya produktivitas yang pada gilirannya berpengaruh terhadap kemiskinan. Oleh karena itu rumahtangga yang tidak sehat akan lebih besar kemungkinan untuk menjadi miskin. Hal ini terlihat dari angka odd ratio sebesar 2,220 untuk variabel keluhan kesehatan. Angka ini mempunyai arti bahwa rumahtangga dengan kepala rumahtangga yang mengalami keluhan kesehatan dan terganggu kegiatan sehari-harinya, mempunyai kemungkinan untuk menjadi miskin sebesar 2,220 kali dibanding dengan kepala rumahtangga yang sehat. Hubungan antara umur kepala rumahtangga dan kemiskinan rumahtangga adalah negatif. Ini berarti bahwa setiap ada kenaikkan umur satu tahun kepala rumahtangga, maka akan semakin kecil kecenderungan rumahtangga untuk menjadi miskin. Kecenderungan rumahtangga menjadi miskin dengan bertambahnya umur kepala rumahtangga satu tahun adalah sebesar 0,971 kali. Umur dalam penelitian ini merupakan variabel kontinu. Kepala rumahtangga pada umur muda belum mempunyai tabungan yang banyak dan cenderung konsumtif sehingga tidak memberikan tambahan pendapatan dan kekayaan. Sebaliknya, dengan bertambahnya umur dan masa kerja yang lama, telah dapat mempunyai tabungan yang relatif lebih besar daripada masa kerja yang lebih sedikit. Hubungan antara tingkat pendidikan kepala rumahtangga dan kemiskinan rumahtangga adalah positif. Hal ini berarti bahwa suatu rumahtangga yang tingkat pendidikan kepala rumahtangga adalah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) ke bawah, maka kecenderungan rumahtangga untuk menjadi miskin akan semakin besar dibandingkan dengan tingkat pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) ke atas. Kecenderungan rumahtangga menjadi miskin dengan tingkat pendidikan tertinggi kepala rumahtangga kurang dari atau sama dengan SLTP adalah sebesar 2,739 kali dibandingkan dengan rumahtangga yang pendidikan kepala rumahtangganya SLTA ke atas. Kondisi ini sesuai dengan hipotesis peneliti bahwa tingkat pendidikan kepala rumahtangga yang rendah berpengaruh terhadap kemiskinan. Sebaliknya dengan pendidikan yang lebih tinggi, seseorang diperkirakan akan mendapat pekerjaan yang lebih baik dan tentunya juga mendapat upah yang lebih tinggi dan kemungkinan untuk menjadi miskin lebih kecil. Hal ini disebabkan karena seseorang yang berpendidikan tinggi mempunyai
19
bekal keterampilan dan kemampuan yang lebih baik daripada orang yang berpendidikan lebih rendah, sehingga produktivitasnya lebih tinggi dan pendapatan yang diperoleh juga akan lebih banyak. 8. Hubungan antara sektor pekerjaan/lapangan usaha kepala rumahtangga dan kemiskinan rumahtangga adalah positif. Hal ini berarti bahwa suatu rumahtangga yang kepala rumahtangganya bekerja di sektor primer (terutama pertanian), kecenderungan untuk menjadi miskin akan semakin besar dibandingkan dengan rumahtangga yang sektor pekerjaannya non primer (sekunder atau tersier). Kecenderungan rumahtangga menjadi miskin dengan sektor pekerjaan primer adalah sebesar 1,820 kali dibandingkan dengan rumahtangga yang pekerjaan kepala rumahtangganya di sektor non primer (misalnya industri, perdagangan, atau jasa). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa masyarakat miskin umumnya bekerja di sektor pertanian dan tinggal di perdesaan. Dari hasil regresi logistik dengan metode stepwise hanya menghasilkan delapan variabel yang signifikan. Sedangkan satu variabel yaitu jenis kelamin kepala rumahtangga tereliminir oleh proses, yaitu pada step_2. Dalam analisis kemiskinan lanjutan, nampaknya variabel jenis kelamin tidak dapat dilupakan, karena berdasarkan hasil logistik nilai signifikansinya tidak jauh menyimpang dari toleransi, yaitu sebesar 0,362, yang berarti masih signifikan pada tingkat 37 persen. Hal ini dimungkinkan karena keterbatasan sampel rumahtangga terutama yang dikepalai oleh perempuan. Fenomena masih terjadinya diskriminasi terhadap perempuan seperti dalam bidang pendidikan dan bidang lainnya sehingga kemampuan perempuan pada umumnya dianggap lebih rendah daripada laki-laki merupakan suatu hal yang perlu dicermati bahwa jenis kelamin berpengaruh terhadap kegiatan maupun kondisi sosial ekonomi masyarakat Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan terhadap kemiskinan rumahtangga di Kabupaten Aceh Utara menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional 2006, dapat diidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan rumahtangga dengan kesimpulkan sebagai berikut: 1. Faktor yang dominan (cukup besar) mempengaruhi kemiskinan rumahtangga adalah jumlah anggota rumahtangga, konsumsi air bersih, angka ketergantungan, dan umur. 2. Rumahtangga dengan karakteristik tinggal di perdesaan, jumlah anggota rumahtangga lebih dari 4 orang, angka ketergantungan di atas 100 persen, konsumsi air minum/masak kurang bersih, kepala rumahtangga mengalami keluhan kesehatan dan terganggu, berumur muda (di bawah 45 tahun) dengan pendidikan paling tinggi SLTP dan bekerja di sektor pertanian, maka probabilitas rumah tangga tersebut miskin adalah lebih besar. Sebaliknya untuk kondisi rumahtangga yang tinggal di perkotaan, jumlah anggota rumahtangga lebih kecil dari 4 orang, angka ketergantungan di bawah 100 persen, konsumsi air minum/masak bersih, kepala rumahtangga tidak mengalami keluhan kesehatan atau tidak terganggu, berumur tua (di atas 45 tahun) dengan pendidikan minimal SLTA dan bekerja di sektor non primer (misal jasa), maka probabilitas rumah tangga tersebut miskin adalah kecil. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh variabel bebas tersebut berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan.
20
3. Variabel jenis kelamin kepala rumahtangga tidak signifikan mempengaruhi kemiskinan rumahtangga pada level lima persen, tetapi signifikan pada level 36,17 persen, oleh karena itu dalam penelitian atau analisis yang lain variabel ini tetap harus dipertimbangkan. Saran Berdasarkan pembahasan penelitian bahwa terdapat beberapa faktor yang secara nyata mempengaruhi kemiskinan rumahtangga, untuk itu disarankan: 1. Program pengentasan kemiskinan di Kabupaten Aceh Utara antara lain: program pembinaan keluarga sejahtera dan berkualitas; program penyediaan dan kemudahan akses fasilitas publik dasar (pendidikan, kesehatan, perumahan dan lingkungan, informasi, dan administrasi pemerintahan); program pendidikan dan pelatihan; bantuan modal usaha, dan pemerataan pembangunan terutama untuk daerah terbelakang. Program-program tersebut dilaksanakan oleh pemerintah daerah yang didukung dengan dana yang bersumber dari APBD Kabupaten Aceh Utara maupun sumber lain (misalnya APBN, pada program yang terintegrasi dengan program nasional) 2. Penduduk miskin diperlakukan sebagai aktor utama dalam perang melawan kemiskinan, sedangkan peran pemerintah baik pusat maupun daerah sebagai fasilitator dan katalisator serta memberikan dukungan terhadap aktor utama. 3. Program penghapusan kemiskinan harus berpihak kepada masyarakat miskin, baik dari sisi sasaran, pelayanan maupun anggaran. Program tersebut antara lain harus dapat membuat pertumbuhan ekonomi yang bermanfaat bagi rakyat miskin; membuat layanan sosial yang bermanfaat bagi rakyat miskin; dan membuat pengeluaran pemerintah yang bermanfaat bagi rakyat miskin. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan tingkatan kemiskinan, mulai dari kemiskinan kronis (sangat miskin), miskin dan hampir miskin.
DAFTAR PUSTAKA Arsyad, Lincolin. 1999. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: Yayasan Penerbit STIE YKPN Yogyakarta. Badan Pusat Statistik Aceh Utara. 2010. Indikator Ekonomi Tahun 2009. Aceh Utara: BPS Aceh Utara. Badan Pusat Statistik. 2002. Indikator Ekonomi Tahun 2002. Jakarta: BPS Republik Indonesia. Dajan, Anto. 1986, Pengantar Metoda Statistik II, Jakarta : LP3ES. Makmun. 2003. Gambaran Kemiskinan dan Action Plan Penanganannya. Kajian Ekonomi Dan Keuangan, Vol. 7, No. 2 Juni 2003. Nachrowi, Nachrowi Djalal dan Hardius Usman. 2002. Penggunaan Teknik Ekonometri: Pendekatan Populer dan Praktis Dilengkapi dengan Teknik
21
Analisis Data dengan Menggunakan Paket Program SPSS. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Ramanathan, Ramu. 1998. Introductory Econometrics with Applications. San Diego: Universitas of California. Simanjuntak, Payaman J. 1985. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta: Universitas Indonesia Suhariyanto, Kecuk. 2006. Data dan Informasi Kemiskinan 2006 (bahan Rakernas BPS 2006, tidak dipublikasikan). Jakarta: BPS. Todaro, Michael P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. (Terjemahan Haris Munandar). Jakarta: Erlangga. World Bank Institute. 2002. Dasar-dasar Analisis Kemiskinan. (Terjemahan Ali Said dan Aryago Mulia). Jakarta: BPS dan World Bank Institute.