1
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PRODUKSI IKAN HIAS GUPPY (Poecilia reticulata) DI KECAMATAN PARUNG, KABUPATEN BOGOR
ALYANI FADHILAH HUSNA
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
2
3
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Produksi Ikan Hias Guppy (Poecilia reticulata) di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Alyani Fadhilah Husna NIM H34144008
4
i
ABSTRAK ALYANI FADHILAH HUSNA. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Produksi Ikan Hias Guppy (Poecilia reticulata) di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh DWI RACHMINA. Ikan hias guppy merupakan jenis ikan hias yang memiliki laju pertumbuhan produksi tertinggi di Kecamatan Parung. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi produksi dan pendapatan petani ikan hias guppy di Kecamatan Parung. Metode yang digunakan yaitu fungsi Cobb-Douglas dan analisis pendapatan. Hasil menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh nyata terhadap produksi ikan hias guppy di Kecamatan Parung yaitu pakan cacing, pelet, tenaga kerja, dan dummy (jenis tempat pemeliharaan). Faktor produksi yang paling responsif adalah tenaga kerja. Nilai R/C rasio atas biaya total yang didapatkan sebesar 1.06. Imbalan yang diterima oleh petani ikan hias guppy di Kecamatan Parung sudah lebih besar daripada upah yang berlaku, tetapi belum lebih besar dari tingkat suku bunga deposito. Kata kunci: faktor produksi, pendapatan, R/C rasio, return to capital, return to family labour
ABSTRACT ALYANI FADHILAH HUSNA. Analysis of Factors that Affect Production of the Guppy Ornamental Fish (Poecilia reticulata) in Parung Subdistrict, Bogor Regency. Supervised by DWI RACHMINA. Guppy fish is an ornamental fish that has the highest growth rate in Parung Subdistrict. The purpose of this research is to analyze factors that affect production and income of the guppy fish farmers in Parung Subdistrict. The Cobb-Douglas equation and income analysis was used as the method in this research. The result showed that the factors that affect the production of guppy fish in Parung Subdistrict were worm as the feed, pellets, labour, and dummy (type of pisciculture place). The most responsive production factor was the labour. The R/C ratio of total cost was 1.06. The returns earned by the guppy fish farmers in Parung Subdistrict was already more than the applied wage, but it was not more than the deposit interest rate. Key words: factors of production, revenue, R/C ratio, returns to capital, returns to family labour
ii
iii
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PRODUKSI IKAN HIAS GUPPY (Poecilia reticulata) DI KECAMATAN PARUNG, KABUPATEN BOGOR
ALYANI FADHILAH HUSNA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMENAGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2016
iv
vi
vii
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2016 sampai Mei 2016 ini ialah usahatani, dengan judul Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Produksi Ikan Hias Guppy (Poecilia reticulata) di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Dwi Rachmina, MSi selaku pembimbing yang telah banyak memberi kritik dan saran, Dr Ir Burhanuddin, MM yang telah banyak memberi saran pada saat seminar proposal, Tintin Sarianti, SP MM dan Etriya, SP MM yang telah banyak memberi saran pada saat sidang penelitian, serta seluruh pengelola Program Studi Alih Jenis Agribisnis Institut Pertanian Bogor. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Andi dari Ketua Kelompok Petani Ikan (Pokdakkan) Ikan Hias Usaha Sejahtera, Mas Ahmad Muharya, dan Mas Saifudin yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2016
Alyani Fadhilah Husna
viii
ix
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL x DAFTAR GAMBAR xi DAFTAR LAMPIRAN xi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 4 Tujuan Penelitian 5 TINJAUAN PUSTAKA 5 Karakteristik Bisnis pada Perikanan Budidaya 5 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Produksi Perikanan Budidaya 6 Analisis Pendapatan pada Perikanan Budidaya 7 KERANGKA PEMIKIRAN 8 Kerangka Pemikiran Teoritis 8 Konsep Usahatani ............................................................................................ 8 Fungsi Produksi ............................................................................................... 9 Struktur Biaya Usahatani ............................................................................... 11 Pendapatan Usahatani .................................................................................... 12 Kerangka Pemikiran Operasional 14 METODE PENELITIAN 15 Lokasi dan Waktu Pengumpulan Data 15 Jenis dan Sumber Data 15 Metode Penentuan Sampel 16 Metode Pengumpulan Data 16 Metode Pengolahan dan Analisis Data 17 Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Produksi Ikan Hias Guppy di Kecamatan Parung ................................................................................ 17 Hipotesis ........................................................................................................ 18 Analisis Pendapatan Produksi Ikan Hias Guppy di Kecamatan Parung ........ 22 GAMBARAN UMUM LOKASI DAN RESPONDEN 24 Kondisi Umum Lokasi Penelitian 24 Karakteristik Responden 26 HASIL DAN PEMBAHASAN 28 Perkembangan Pengusahaan Ikan Hias Guppy di Kecamatan Parung 28 Kegiatan Budidaya Ikan Hias Guppy di Kecamatan Parung 29 Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Ikan Hias Guppy 34 di Kecamatan Parung 34 Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Produksi Ikan Hias Guppy 41 di Kecamatan Parung 41 Analisis Pendapatan Budidaya Ikan Hias Guppy di Kecamatan Parung 48 Penerimaan Budidaya Ikan Hias Guppy di Kecamatan Parung .................... 48 Biaya Budidaya Ikan Hias Guppy di Kecamatan Parung .............................. 49 Pendapatan Budidaya Ikan Hias Guppy di Kecamatan Parung ..................... 54 Analisis R/C Rasio ......................................................................................... 55 Return to Capital dan Return to Family Labour............................................ 56 SIMPULAN DAN SARAN 57
x
Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA
57 57 58
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Pertumbuhan target, realisasi, dan selisih produksi ikan hias tahun 2010-2014 di Indonesia (ribu ekor) Pertumbuhan target, realisasi, selisih produksi, luas lahan, dan produktivitas ikan hias di Kabupaten Bogor tahun 2010-2014 Produksi ikan hias di Kecamatan Parung tahun 2010-2014 (ribu ekor) Pertumbuhan produksi, luas lahan, dan produktivitas ikan hias di Kecamatan Parung tahun 2010-2014 Identifikasi autokorelasi dengan nilai DW Rincian pertumbuhan jumlah penduduk di Kecamatan Parung tahun 2015 Jenis pekerjaan beserta jumlah pekerja di Kecamatan Parung tahun 2015 Sebaran responden menurut jenis kelamin di Kecamatan Parung Sebaran responden menurut usia di Kecamatan Parung tahun 2015 Sebaran responden menurut tingkat pendidikan di Kecamatan Parung tahun 2015 Sebaran responden menurut status pengusahaan ikan di Kecamatan Parung tahun 2015 Rata-rata, standar deviasi, minimum, dan maksimum penggunaan faktor-faktor produksi ikan hias guppy di Kecamatan Parung tahun 2015 Rata-rata penggunaan tenaga kerja dalam keluarga petani responden pada budidaya ikan hias guppy dengan luasan 30 m2 tahun 2015 Hasil pendugaan fungsi produksi pada petani responden di Kecamatan Parung tahun 2015 Rata-rata penerimaan petani responden pada budidaya ikan hias Guppy dengan luasan 30 m2 tahun 2015 Rata-rata biaya petani responden pada budidaya ikan hias guppy dengan luasan 30 m2 tahun 2015 Rata-rata biaya penyusutan petani responden pada budidaya ikan hias guppy dengan luasan 30 m2 tahun 2015 Rata-rata pendapatan petani responden pada budidaya ikan hias guppy dengan luasan 30 m2 tahun 2015 Rata-rata return to capital dan return to family labour petani responden pada budidaya ikan hias guppy dengan luasan 30 m2 tahun 2015
1 2 3 4 20 25 26 26 27 27 28 34 39 43 48 50 53 55 56
xi
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Daerah produksi dan elastisitas produksi Kurva biaya tetap (FC), biaya tidak tetap (VC), dan biaya total (TC) pada usahatani Alur kerangka pemikiran operasional penelitian Bentuk dari induk ikan hias guppy di Kecamatan Parung Penggunaan paranet pada usaha ikan hias guppy di Kecamatan Parung Bentuk dari kutu air pada usaha ikan hias guppy di Kecamatan Parung Bentuk dari cacing sutera pada usaha ikan hias guppy di Kecamatan Parung Bentuk dari pelet pada usaha ikan hias guppy di Kecamatan Parung Penggunaan hapa pada usaha ikan hias guppy
10 12 15 31 33 36 37 38 41
DAFTAR LAMPIRAN 1
2 3 4
Perkembangan produksi, luas lahan, dan produktivitas ikan hias di Kecamatan Ciseeng, Parung, Kemang, serta Gunung Sindur pada tahun 2010 hingga 2014 Jumlah peralatan petani responden pada budidaya ikan hias guppy selama tahun 2015 Data penggunaan faktor-faktor produksi petani responden tahun 2015 Hasil pendugaan fungsi produksi pada petani responden di Kecamatan Parung selama tahun 2015
63 64 66 67
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Perikanan merupakan salah satu subsektor pertanian yang berperan penting sebagai penggerak perekonomian nasional. Hal ini karena dari tahun 2010 hingga tahun 2014, pertumbuhan PDB subsektor perikanan mengalami peningkatan setiap tahunnya (BPS 2015). Selain itu, laju pertumbuhan PDB subsektor perikanan berada di atas pertumbuhan PDB sektor pertanian secara umum dan nasional. Persentase pertumbuhan PDB sektor pertanian secara umum sebesar 10.1 persen per tahun dan nasional sebesar 11.9 persen per tahun, sedangkan subsektor perikanan sebesar 14.3 persen per tahun. Tingginya pertumbuhan PDB perikanan menunjukkan bahwa adanya peningkatan daya beli dari para pelaku subsektor perikanan dibandingkan dengan sektor pertanian secara umum dan nasional. Hal ini menggambarkan bahwa secara umum perikanan memegang peranan strategis dalam mendorong pertumbuhan pada PDB kelompok pertanian maupun PDB nasional. Sektor perikanan terbagi menjadi dua macam, yaitu sektor perikanan budidaya dan sektor perikanan tangkap. Sektor perikanan budidaya lebih mudah untuk dikembangkan dibandingkan dengan sektor perikanan tangkap karena sektor ini memiliki kepastian produksi. Kepastian produksi tersebut dapat dilihat dari faktor-faktor yang memengaruhi produksinya, seperti penggunaan lahan, modal, benih, pakan, sumberdaya manusia, maupun manajemennya. Ikan hias merupakan salah satu komoditas perikanan budidaya yang saat ini mulai banyak diusahakan. Menurut Sharif Cicip Sutardjo, Menteri Kelautan dan Perikanan Kabinet Indonesia Bersatu II, ikan hias merupakan salah satu komoditas andalan perikanan karena memiliki nilai perdagangan terbesar untuk produk non konsumsi (Wire 2013). Tingginya nilai perdagangan tersebut didukung oleh pasar internasional yang prospektif dan memiliki potensi sumberdaya yang melimpah. Ikan hias di Indonesia memiliki pertumbuhan produksi yang cukup baik dengan produksi yang cenderung meningkat (Tabel 1). Tabel 1 Pertumbuhan target, realisasi, dan selisih produksi ikan hias tahun 20102014 di Indonesia (ribu ekor) Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 Laju (%/tahun)
Target Produksi 600 000 700 000 850 000 1 100 000 1 100 000 16.88
Realisasi Produksi 605 054 945 376 938 472 1 137 836 1 140 988 19.26
Selisih Produksi 340 322 -6 904 199 364 3 152
Sumber: Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya 2015 (diolah)
Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa pertumbuhan target produksi ikan hias di Indonesia terus meningkat dari tahun 2010 hingga 2014 dengan laju pertumbuhan sebesar 16.88 persen per tahun. Sedangkan realisasi produksi ikan hias dari tahun 2010 hingga 2014 berfluktuasi namun cenderung meningkat
2
dengan laju pertumbuhan 19.26 persen per tahun. Laju pertumbuhan realisasi produksi lebih besar dibandingkan dengan laju target produksinya. Hal ini menunjukkan bahwa produksi ikan hias di Indonesia dapat tumbuh dengan baik. Wilayah produksi ikan hias tersebar di 30 provinsi, dengan sentra budidaya ikan hias yang terdapat di Jawa Timur dan Jawa Barat. Pada tahun 2014, Jawa Barat menyumbang produksi ikan hias sebanyak 426 926 ribu ekor atau 37.42 persen dari total produksi Indonesia yang ada (DJPB 2015). Jawa Barat merupakan salah satu lokasi sebagai penghasil ikan hias yang cukup tinggi karena tersedianya infrastruktur yang memudahkan petani dalam berproduksi. Kabupaten Bogor merupakan salah satu kawasan di Jawa Barat yang ditetapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KKPRI) sebagai lokasi pengembangan minapolitan sejak tahun 2010. Program minapolitan merupakan upaya untuk menjadikan sektor perikanan sebagai sektor unggulan dalam pembangunan daerah yang kawasannya memiliki potensi perikanan. Tujuan dari pengembangan kawasan minapolitan adalah meningkatkan produksi, produktivitas, serta kualitas produk kelautan dan perikanan, sehingga diharapkan akan meningkatkan pendapatan nelayan/petani ikan maupun pengolah hasil perikanan. Tidak hanya itu, secara tidak langsung pengembangan kawasan minapolitan akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di daerah (Disnakan Kabupaten Bogor 2015). Berdasarkan data dari Disnakan (Dinas Peternakan dan Perikanan) Kabupaten Bogor (2015), dari tahun 2010 hingga 2014, produksi ikan hias di Kabupaten Bogor setiap tahunnya mengalami peningkatan dan telah mencapai target produksi. Berikut ini adalah Tabel 2 yang menunjukkan pertumbuhan jumlah realisasi produksi dan target produksi ikan hias di Kabupaten Bogor selama 5 tahun terakhir (2010 hingga 2014). Tabel 2 Pertumbuhan target, realisasi, selisih produksi, luas lahan, dan produktivitas ikan hias di Kabupaten Bogor tahun 2010-2014 Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 Laju (%/tahun)
Target Produksi (ribu ekor) 112 085.82 154 394.54 185 273.45 222 328.14 233 261.00
Realisasi Produksi (ribu ekor) 112 085.82 156 618.80 188 936.64 224 054.00 235 173.74
20.67
20.98
Selisih Produksi (ribu ekor) 44 532.98 32 317.84 35 117.36 11 119.74 -
Luas lahan (ha)
Produktivitas (ribu ekor/ha)
30.85 33.09 35.06 35.12 35.12
3 633.25 4 733.16 5 388.95 6 379.67 6 696.29
3.35
16.87
Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor 2015 (diolah)
Target produksi yang ditetapkan oleh Disnakan Kabupaten Bogor mengacu pada tujuan dan sasaran dari Rencana Strategi dan RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) Kabupaten Bogor. Berdasarkan Tabel 2, realisasi produksi ikan hias di Kabupaten Bogor dari tahun 2010 hingga 2014 cenderung meningkat dengan laju pertumbuhan 20.98 persen per tahun dan telah mencapai target yang telah ditetapkan. Produktivitas ikan hias terus meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar 16.87 persen per tahun. Hal ini menunjukkan
3
bahwa produksi ikan hias di Kabupaten Bogor memegang peranan dalam mendorong pertumbuhan produksi ikan hias di Indonesia. Lokasi minapolitan Kabupaten Bogor tersebar di empat kecamatan, yaitu Kecamatan Ciseeng, Parung, Kemang, dan Gunung Sindur. Laju pertumbuhan produktivitas ikan hias yang dimiliki oleh masing-masing kecamatan diantaranya adalah 10.87 persen per tahun untuk Kecamatan Ciseeng, 35.19 persen per tahun untuk Kecamatan Parung, 20.20 persen per tahun untuk Kecamatan Kemang, dan 78.69 persen per tahun untuk Kecamatan Gunung Sindur. Kecamatan Gunung Sindur memiliki laju produktivitas ikan hias yang paling tinggi, namun tidak sejalan dengan produksinya. Jumlah produksi ikan hias di Kecamatan Gunung Sindur lebih rendah dibandingkan dengan tiga kecamatan lainnya (dapat dilihat pada Lampiran 1). Berdasarkan empat lokasi minapolitan Kabupaten Bogor, produktivitas ikan hias di Kecamatan Parung terus meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar 35.19 persen per tahun. Hal ini sejalan dengan pertumbuhan produktivitas ikan hias secara keseluruhan di Kabupaten Bogor yang juga terus meningkat. Tingginya produktivitas ikan hias di Kecamatan Parung menyebabkan kecamatan ini dijadikan sebagai sentra produksi ikan hias di Kabupaten Bogor. Selain itu, di Kecamatan Parung juga terdapat pasar ikan hias terbesar di Kabupaten Bogor bahkan di seluruh Indonesia, yang dinamakan sebagai Pasar Ikan Hias Parung (Disnakan Kabupaten Bogor 2015). Ketersediaan pasar ikan hias tersebut membuat petani semakin meningkatkan produksi ikan hiasnya karena mudahnya akses dalam menjual hasil produksinya. Ikan hias guppy (Poecilia reticulata) merupakan jenis ikan hias pendamai yang dapat ditempatkan bersama ikan hias jenis lainnya yang sama-sama jinak. Sehingga di kalangan penggemar akuarium dan ikan hias, ikan ini banyak dicari. Ikan hias guppy termasuk ke dalam salah satu jenis ikan hias yang memiliki produksi tertinggi di Kecamatan Parung pada tahun 2014. Produksi ikan hias guppy dari tahun 2010 hingga 2014 mengalami peningkatan setiap tahunnya dibandingkan dengan jenis ikan hias lain dan memiliki laju pertumbuhan yang tinggi, yaitu sebesar 227.71 persen per tahun. Tingginya laju pertumbuhan tersebut membuat hal ini menjadi menarik untuk dilihat mengenai bagaimana pengaruh dari faktor-faktor produksi yang digunakan dalam membudidayakan ikan hias guppy dan juga pendapatan petani dari ikan hias guppy. Berikut ini adalah Tabel 3 yang menunjukkan produksi ikan hias di Kecamatan Parung tahun 2010 hingga 2014. Tabel 3 Produksi ikan hias di Kecamatan Parung tahun 2010-2014 (ribu ekor) Jenis Cupang Guppy Koi Boster Plati pedang
2010 1 430.00 310.00 832.55 1 200.00 1 500.00
2011 2 507.95 3 020.05 897.11 1 230.69 1 482.58
Tahun 2012 2 996.47 3 213.01 335.41 1 859.07 1 892.73
2013 2996.47 3 467.05 819.82 1 996.04 1 892.73
Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor 2015 (diolah)
2014 4 549.89 4 241.16 3 625.00 2 417.80 2 380.15
Laju (%/tahun) 36.68 227.71 107.93 20.53 13.06
4
Perumusan Masalah Kecamatan Parung merupakan sentra produksi ikan hias di Kabupaten Bogor. Tersedianya infrastruktur, yaitu pasar ikan hias yang memudahkan para petani dalam melangsungkan proses transaksi penjualan ikan hias antar provinsi, memberikan nilai tambah dalam meningkatkan produksi ikan hias di kecamatan ini. Selain itu, potensi sumberdaya yang dimiliki oleh Kecamatan Parung juga ikut menunjang dalam meningkatkan produksi ikan hias. Secara keseluruhan, luas lahan yang dimiliki Kecamatan Parung mencapai 2 552.478 Ha dan didukung dengan kondisi iklim tropisnya yang memungkinkan untuk melaksanakan aktivitas usaha budidaya ikan hias sepanjang tahun. Kecamatan Parung merupakan salah satu kecamatan yang ditetapkan oleh Pemerintah daerah Kabupaten Bogor (Pemkab Bogor) sebagai lokasi minapolitan di Kabupaten Bogor. Implikasi dari penetapan lokasi minapolitan ini yaitu, Pemkab Bogor, melalui Disnakan memberikan bantuan berupa induk ikan hias untuk sejumlah komoditi, serta bantuan sarana usaha seperti akuarium dan pakan. Pemkab Bogor juga membantu pemasaran ikan hias dengan membangun Depo untuk mengadakan bursa ikan hias, serta pasar ikan hias yang berada di Parung. Implikasi tersebut menyebabkan produksi ikan hias di Kecamatan Parung terus meningkat setiap tahunnya. Berikut ini adalah Tabel 4 yang menunjukkan pertumbuhan produksi, luas lahan, dan produktivitas ikan hias di Kecamatan Parung pada tahun 2010 hingga 2014. Tabel 4 Pertumbuhan produksi, luas lahan, dan produktivitas ikan hias di Kecamatan Parung tahun 2010-2014 Produksi Luas lahan Produktivitas Tahun (ribu ekor) (ha) (ribu ekor/ha) 2010 12 924.18 8.74 1 479.59 2011 19 012.48 8.96 2 121.93 2012 19 788.12 5.81 3 405.87 2013 23 215.51 5.81 3 995.78 2014 27 747 00 5.81 4 775.73 Laju (%/tahun) 22.01 -8.15 35.19 Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor 2015 (diolah)
Berdasarkan Tabel 4, dapat dilihat bahwa meskipun luas lahan ikan hias di Kecamatan Parung menurun dengan laju sebesar 8.15 persen per tahun, tetapi produksinya justru meningkat dengan laju sebesar 22.01 persen per tahun. Peningkatan produksi ikan hias tersebut menyebabkan produktivitasnya meningkat dengan laju sebesar 35.19 persen per tahun. Produktivitas ikan hias di Kecamatan Parung ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Jenis ikan hias yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah guppy (Poecilia reticulata). Ikan hias guppy merupakan salah satu jenis ikan hias yang memiliki produksi tertinggi di Kecamatan Parung pada tahun 2014. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa pada tahun 2010 jumlah ikan hias guppy yang diproduksi petani di Kecamatan Parung sebesar 310 ribu ekor. Kemudian pada tahun berikutnya, jumlah ikan hias guppy yang diproduksi meningkat dengan pesat menjadi 3 020.05 ribu ekor. Jika menggunakan luas lahan yang sama dengan luas
5
lahan di Kecamatan Parung, produktivitas ikan hias guppy terus meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar 236.14 persen per tahun. Tingginya produktivitas ikan hias guppy tersebut disebabkan karena adanya peningkatan minat konsumen yang direspon baik oleh petani karena produktivitas ikan hias guppy di Kecamatan Parung juga meningkat. Produktivitas yang meningkat tersebut berimplikasi pada penggunaan faktor-faktor produksi. Semakin meningkatnya faktor-faktor produksi yang digunakan, maka diharapkan hasil produksi juga akan meningkat. Peningkatan penggunaan faktor-faktor produksi tersebut akan meningkatkan biaya yang harus dikeluarkan petani selama berproduksi ikan hias guppy yang nantinya berpengaruh terhadap pendapatan petani. Oleh sebab itu, peningkatan produksi ikan hias guppy di Kecamatan Parung ini menimbulkan sejumlah pertanyaan, yaitu mengapa produksi ikan hias guppy di Kecamatan Parung dapat meningkat dengan pesat? Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi peningkatan produksi tersebut? Dengan peningkatan produksi ikan hias guppy di Kecamatan Parung, bagaimana dengan pendapatan petani ikan hias guppy di Kecamatan Parung? Berdasarkan uraian yang ada, permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan menjadi: 1. Faktor-faktor apa yang memengaruhi produksi ikan hias guppy di Kecamatan Parung? 2. Bagaimana pendapatan petani ikan hias guppy di Kecamatan Parung?
Tujuan Penelitian Berdasarkan hasil perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi produksi ikan hias guppy di Kecamatan Parung 2. Menganalisis pendapatan petani ikan hias guppy di Kecamatan Parung
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Bisnis pada Perikanan Budidaya Menurut Suci (2001), karakteristik bisnis perikanan budidaya ikan hias dapat dilihat dari modal, skala usaha, tenaga kerja, dan pemilikan saprokan. Modal kegiatan budidaya ikan hias dibedakan atas modal investasi dan modal operasional. Modal investasi yaitu berupa dana atau uang yang digunakan untuk pembelian atau penyewaan lahan, pembuatan kolam atau akuarium, serta pembelian peralatan, seperti blower, aerator, tabung oksigen, selang, ataupun saringan. Sedangkan modal operasional atau modal kerja yaitu dana atau uang yang digunakan untuk pembelian induk ataupun benih ikan, pakan, pupuk, obatobatan, dan lainnya. Modal untuk budidaya ikan hias berada dalam kategori sedang karena budidaya ikan hias ini tidak membutuhkan modal yang terlalu besar, seperti tidak membutuhkan lahan yang luas.
6
Skala usaha seringkali dilihat dari besarnya modal yang ditanamkan, kelengkapan sarana dan prasarana, sumberdaya manusia, serta jumlah produksi. Namun dalam budidaya ikan hias, ukuran skala usahanya dibedakan berdasarkan jenis dan jumlah ikan yang diusahakannya. Pada penelitian Suci (2001), skala usaha diukur dari jumlah kepemilikan induk dan jenis ikan hias. Tingkat skala usaha yang tinggi tidak berarti menggambarkan penanaman modal yang tinggi. Hal ini karena bergantung pada jenis ikan hias yang diusahakan. Demikian juga dengan skala usaha yang rendah, tidak mencerminkan modal yang digunakan rendah. Jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam kegiatan budidaya ikan hias akan menyesuaikan dengan besarnya skala usaha yang dijalankan. Pada penelitian Suci (2001), tenaga kerja yang banyak digunakan dalam budidaya ikan hias berasal dari tenaga kerja dalam keluarga. Saprokan merupakan sarana yang terkait langsung dengan kegiatan produksi, baik berupa benih, induk, pakan, pupuk, maupun obat-obatan. Kelengkapan petani dalam memiliki saprokan menunjukkan tingkat intensitas pengelolaan usaha.
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Produksi Perikanan Budidaya Perikanan budidaya dalam arti sempit adalah usaha memelihara ikan yang sebelumnya hidup secara liar di alam menjadi ikan peliharaan. Sedangkan dalam arti luas, yaitu semua usaha membesarkan dan memperoleh ikan, baik itu ikan masih hidup liar di alam atau sudah dibuatkan tempat tersendiri dengan adanya campur tangan manusia. Tujuan perikanan budidaya yaitu untuk mendapatkan produksi perikanan yang lebih baik atau lebih banyak dibandingkan dengan hasil dari ikan yang hidup di alam secara liar. Oleh karena itu, untuk memenuhi tujuan tersebut perlu memperhatikan faktor-faktor produksi yang memengaruhi perikanan budidaya. Faktor produksi merupakan sebuah input yang diberikan pada kegiatan produksi untuk menghasilkan output tertentu. Faktor produksi akan memengaruhi besar kecilnya produksi yang diperoleh. Berdasarkan penelitian Permatasari (2010), produksi pada usaha pembesaran ikan mas dipengaruhi oleh jumlah jaring apung yang digunakan, benih ikan yang ditanam, pakan pelet, obat-obatan, lama produksi, dan tenaga kerja. Dari faktor-faktor produksi tersebut, faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi ikan mas dengan selang kepercayaan 95 persen yaitu jumlah jaring apung, benih ikan yang ditanam, pakan pelet, obatobatan, dan tenaga kerja. Semua faktor produksi yang berpengaruh nyata tersebut memiliki pengaruh yang positif terhadap produksi ikan mas. Sehingga setiap penambahan masing-masing faktor produksi, maka akan menambah jumlah produksi ikan mas. Menurut Jayamurti (2014), produksi pada usaha ikan mas koi dipengaruhi oleh benih ikan yang ditanam, pakan dedak, pupuk kandang, obat-obatan, dan tenaga kerja. Dari faktor-faktor produksi tersebut, faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi ikan koi yaitu benih ikan yang ditanam (pada selang kepercayaan 99 persen), pupuk kandang (pada selang kepercayaan 85 persen), dan obat-obatan (pada selang kepercayaan 75 persen). Faktor produksi yang berpengaruh nyata ini memiliki pengaruh yang berbeda terhadap produksi
7
ikan koi. Jumlah benih yang ditanam dan pupuk kandang memiliki pengaruh yang positif, sedangkan obat-obatan memiliki pengaruh yang negatif. Pada faktor produksi obat-obatan, setiap penambahan obat-obatan yang digunakan, dapat menurunkan jumlah produksi ikan koi. Hal ini karena penggunaan obat-obatan yang berlebihan (dosis yang digunakan tidak tepat), dapat menyebabkan kematian pada ikan. Faktor produksi lainnya yang dapat memengaruhi produksi pada perikanan budidaya adalah luasan tempat pemeliharaan. Berdasarkan penelitian Istiqomah (2014), untuk tempat pemeliharaan yang sempit dapat menghasilkan produksi ikan yang lebih tinggi. Hal ini karena pada tempat pemeliharaan yang sempit, petani lebih intensif dalam mengalokasikan penggunaan faktor-faktor produksinya. Sehingga produksi yang dihasilkan lebih tinggi jika dibandingkan dengan tempat pemeliharaan yang luas. Dalam penelitian tersebut, luasan tempat pemeliharaan dibagi menjadi luasan sempit (< 282 m2), luasan sedang (282 m2 hingga 786 m2), dan luas (> 786 m2).
Analisis Pendapatan pada Perikanan Budidaya Besarnya pendapatan yang akan diperoleh dari suatu kegiatan perikanan budidaya tergantung dari beberapa faktor yang digunakan dan hasil produksi, seperti luasan tempat pemeliharaan, tingkat produksi, dan efisiensi penggunaan tenaga kerja. Dalam melakukan kegiatan perikanan budidaya, petani berharap dapat meningkatkan pendapatannya sehingga kebutuhan hidup sehari-hari mereka dapat terpenuhi. Penelitian yang mengkaji mengenai analisis pendapatan pada perikanan budidaya dilakukan oleh Permatasari (2010), Eka (2013), Trisnani (2013), dan Sihombing et al (2013). Permatasari (2010) dan Trisnani (2013) melakukan penelitian mengenai analisis pendapatan budidaya ikan konsumsi, sedangkan Eka (2013) dan Sihombing et al (2013) melakukan penelitian mengenai analisis pendapatan budidaya ikan hias. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa budidaya ikan hias memiliki tingkat pendapatan yang tinggi dibandingkan dengan budidaya ikan konsumsi. Hal ini karena ikan hias mempunyai perputaran modal yang relatif cepat dan mempunyai nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan ikan konsumsi (Sihombing et al 2013). Selain itu, budidaya ikan konsumsi menjual hasilnya dengan sistem kiloan. Usaha ini lebih menekankan pada kuantitas, sedangkan usaha budidaya ikan hias lebih menekankan pada kualitas. Pendapatan juga dapat menggambarkan keuntungan dari usahatani yang dijalankan. Untuk menganalisis apakah budidaya yang dilakukan menguntungkan atau tidak, maka dilakukan analisis perbandingan antara revenue dan cost (R/C). Usaha yang menguntungkan adalah usaha yang mempunyai nilai R/C lebih besar dari 1. Apabila dibandingkan antara tingkat keuntungan yang diperoleh petani ikan hias dengan ikan konsumsi yang ditunjukkan dari nilai R/C rasio, maka dapat diketahui budidaya ikan mana yang lebih menguntungkan antara budidaya ikan hias atau ikan konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Eka (2013) dan Sihombing et al (2013) menunjukkan bahwa nilai R/C rasio total yang diperoleh petani ikan hias di Surabaya sebesar 1.68 dan nilai R/C rasio total untuk petani
8
ikan hias di Bali sebesar 1.69. Sedangkan untuk nilai R/C rasio total yang diperoleh petani ikan konsumsi sebesar 1.009 untuk petani dengan satu jenis ikan konsumsi dan 1.216 untuk petani dengan dua jenis ikan konsumsi (Permatasari 2010 dan Trisnani 2013). Berdasarkan hasil penelitian tersebut dinyatakan bahwa budidaya ikan hias lebih menguntungkan dibandingkan dengan budidaya ikan konsumsi. Meskipun petani ikan konsumsi telah mengusahakan 2 jenis ikan konsumsi, nilai R/C rasio totalnya masih lebih rendah dibandingkan dengan nilai R/C rasio total pada ikan hias. Hal ini karena nilai jual dari ikan konsumsi masih lebih rendah dibandingkan dengan nilai jual dari ikan hias. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dengan mengusahakan budidaya ikan hias, petani akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar jika dibandingkan dengan mengusahakan budidaya ikan konsumsi.
KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Konsep Usahatani Definisi usahatani menurut Soekartawi (1995) adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Usahatani yang dikatakan efektif apabila petani dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki atau kuasai sebaik-baiknya. Sedangkan untuk usahatani yang dikatakan efisien apabila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan output yang melebihi input. Menurut Suratiyah (2015), ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara petani menentukan, mengorganisasikan, dan mengkoordinasikan penggunaan faktor-faktor produksi seefektif dan seefisien mungkin sehingga usaha tersebut memberikan pendapatan semaksimal mungkin. Faktor-faktor yang bekerja dalam usahatani adalah faktor alam, tenaga kerja, dan modal. Berikut ini adalah penjelasan dari faktor-faktor produksi yang bekerja dalam usahatani. 1. Alam merupakan faktor yang sangat menentukan usahatani. Faktor alam dibedakan menjadi dua, yaitu faktor tanah dan lingkungan alam sekitarnya. Faktor tanah misalnya jenis tanah dan kesuburan, sedangkan faktor alam sekitarnya misalnya iklim yang berkaitan dengan ketersediaan air, suhu, dan lain sebagainya. Alam mempunyai berbagai sifat yang harus diketahui karena usaha pertanian adalah usaha yang sangat peka terhadap pengaruh alam. 2. Tenaga kerja merupakan faktor penting lainnya dalam usahatani. Tenaga kerja salah satu unsur penentu, terutama bagi usahatani yang sangat bergantung pada musim. Kelangkaan tenaga kerja mengakibatkan mundurnya waktu penanaman, sehingga berpengaruh pada pertumbuhan tanaman, produktivitas, dan kualitas produk. Tenaga kerja dalam usahatani memiliki karakteristik yang berbeda dengan tenaga kerja dalam usaha bidang lain yang bukan pertanian. Hal ini karena tenaga kerja dalam usahatani terbagi menjadi
9
dua jenis, yaitu tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga kerja luar keluarga. Pemilihan tenaga kerja ini dipengaruhi oleh modal yang ada. Petani umumnya, petani memiliki modal yang terbatas, sehingga jika petani mempunyai modal yang kurang maka tenaga kerja diusahakan menggunakan tenaga kerja dalam keluarga. 3. Modal dalam pengertian ekonomi adalah barang atau uang yang bersamasama dengan faktor produksi lain menghasilkan barang-barang baru. Pada usahatani, yang dimaksudkan dengan modal adalah tanah, bangunan, alat pertanian, tanaman, ternak, ikan, bahan pertanian, uang tunai, dan piutang dari bank atau pihak ketiga. Modal dibedakan oleh sifatnya, yaitu modal tetap (seperti tanah) dan modal bergerak (seperti alat dan bahan pertanian, uang tunai, serta tanaman yang dimiliki). Modal usahatani dapat berupa biaya investasi, biaya operasional, biaya pemeliharaan, dan biaya pengelolaan. Faktor produksi lainnya yang bekerja dalam usahatani menurut Hernanto (1989) adalah pengelolaan atau manajemen usahatani. Pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani dalam menentukan, mengorganisir, dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang dimiliki sebaik-baiknya dan mampu memberikan produksi pertanian sebagaimana yang diharapkannya. Pengelolaan usahatani ini merupakan faktor produksi secara tidak langsung yang bekerja dalam usahatani.
Fungsi Produksi Faktor keberhasilan suatu kegiatan produksi tidak akan terlepas dari faktorfaktor produksi yang digunakan secara kontinu dalam jumlah yang tepat. Untuk mencapai produksi atau output yang optimal sangat dipengaruhi oleh faktor produksi atau inputnya. Hubungan antara input dan output suatu kegiatan produksi dapat dilihat dari bentuk fungsi produksinya. Menurut Nicholson (1995), fungsi produksi merupakan hubungan matematis antara input dan output. Sedangkan menurut Dillon dan Hardaker (1986), fungsi produksi merupakan hubungan fisik antara masukan dan produksi. Input produksi merupakan syarat mutlak dalam sebuah proses produksi. Input produksi terdiri atas tanah, tenaga kerja, modal, dan manajemen. Untuk menghasilkan produksi yang baik, petani biasanya mengetahui jumlah input produksi tertentu untuk menghasilkan sejumlah output tertentu. Pendugaan atau pengetahuan sebagian besar berasal dari pengalaman sebelumnya. Namun, hal tersebut mungkin akan lebih sulit jika masukan produksinya berupa faktor-faktor yang diluar kendali petani seperti iklim, penyakit, dan lain-lain. Jika diketahui bentuk fungsi produksi, lalu memanfaatkan informasi harga dan biaya yang dikorbankan maka petani dapat menentukan kombinasi masukan input untuk menghasilkan output yang terbaik. Menurut Dillon dan Hardaker (1986), dalam bentuk matematika sederhana, fungsi produksi dapat dituliskan pada Persamaan (1). Keterangan:
( ).................................................. (1) Y = output atau hasil produksi f = bentuk hubungan yang mentransformasikan faktor-faktor produksi dengan hasil produksi
10
X1, X2, X3, ..., Xn = input atau faktor-faktor produksi yang digunakan Berdasarkan fungsi produksi tersebut, maka dapat dilihat bahwa besar kecilnya Y (hasil produksi atau output) ditentukan peranan X1, X2, X3, ..., Xn dan faktor-faktor lain yang tidak terdapat pada persamaan. Perlu diperhitungkan juga bahwa besar kecilnya produksi dipengaruhi oleh kondisi setempat mengingat sifat pertanian yang adaptasinya tergantung pada lingkungan atau kondisi setempat (local spesific). Untuk mengukur jumlah perubahan produk yang dihasilkan akibat faktor produksi yang dipakai, dapat dinyatakan dengan elastisitas produksi. Elastisitas produksi (Ep) adalah persentase perubahan dari output sebagai akibat dari persentase perubahan input. Persamaan elastisitas produksi dapat dirumuskan pada Persamaan (2). ............................................ (2) Keterangan: Ep = Elastisitas produksi ΔY = Perubahan hasil produksi ΔXi = Perubahan faktor produksi Y = Hasil produksi Xi = Jumlah faktor produksi ke-i Berdasarkan nilai elastisitas produksi, maka fungsi produksi terbagi menjadi tiga daerah (Gambar 1). Y PT
I
III
II
X
PM/AP
PR X1 X2
X3
PM
Gambar 1 Daerah produksi dan elastisitas produksi
11
Keterangan: Y = Jumlah output X = Jumlah input PM = Produk marginal PT = Produk total PR = Produk rata-rata Daerah I :
mempunyai nilai elastisitas produksi lebih dari satu (Ep > 1), artinya bahwa penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan mengakibatkan penambahan produksi lebih dari satu persen. Pada daerah ini produksi masih dapat ditingkatkan dengan pemakaian faktor produksi yang lebih banyak. Oleh karena itu, daerah ini disebut daerah irrasional. Daerah II : mempunyai nilai elastisitas produksi lebih dari nol kurang dari satu (0 < Ep < 1), artinya bahwa setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan mengakibatkan penambahan produksi paling kecil nol dan paling besar satu persen. Daerah ini ditandai dengan adanya penambahan hasil produksi yang menurun. Pada daerah ini dicapai keuntungan maksimum dengan tingkat penggunaan faktor tertentu. Oleh karena itu, daerah ini disebut daerah rasional. Daerah III : mempunyai nilai elastisitas produksi kurang dari nol (Ep < 0), artinya bahwa setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan mengakibatkan penurunan jumlah produksi sebesar nilai elastisitasnya. Daerah ini mencerminkan bahwa pemakaian faktor produksi tidak efisien. Oleh karena itu, daerah ini disebut daerah irrasional.
Struktur Biaya Usahatani Penggunaan faktor-faktor produksi selama produksi berlangsung akan berpengaruh terhadap biaya yang harus dikeluarkan petani. Menurut Soekartawi (1995), biaya usahatani diklasifikasikan menjadi dua, yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost). Biaya tetap didefinisikan sebagai biaya yang jumlahnya relatif tetap dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh berbeda, baik itu banyak ataupun sedikit. Jadi, besarnya biaya tetap ini tidak tergantung pada besar-kecilnya produksi yang diperoleh. Contoh biaya tetap antara lain sewa tanah, alat pertanian, dan iuran irigasi. Sedangkan biaya tidak tetap didefinisikan sebagai biaya yang besar-kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh. Contoh biaya tidak tetap seperti biaya pakan ternak dan biaya bibit. Jumlah dari biaya tetap dan tidak tetap disebut sebagai biaya total. Berikut ini adalah Gambar 2 yang menunjukkan kurva biaya tetap atau fixed cost (FC), biaya tidak tetap atau variable cost (VC), dan biaya total atau total cost (TC) pada usahatani.
12
TC, VC, FC TC VC
FC
Output Gambar 2 Kurva biaya tetap (FC), biaya tidak tetap (VC), dan biaya total (TC) pada usahatani Berdasarkan Gambar 2, dapat dilihat bahwa kurva biaya tetap (kurva FC) menunjukkan garis horisontal yang mewakili biaya tertentu dengan sejumlah modal yang dipergunakan. Biaya tersebut tidak berubah atau tidak dapat divariasikan, sehingga output atau jumlah produksi tidak memengaruhi biaya yang dikeluarkan. Kurva biaya tidak tetap (kurva VC) menunjukkan biaya produksi berubah atau dapat divariasikan sesuai dengan jumlah produksi yang ditentukan, sehingga jumlah produksi akan memengaruhi biaya yang dikeluarkan. Sedangkan kurva biaya total (kurva TC) menunjukkan penjumlahan dari kurva FC dan VC. Semakin meningkatnya jumlah produksi suatu usaha, maka biaya yang dikeluarkan juga akan semakin meningkat (Nicholson 1995). Biaya dalam usahatani juga dapat dibedakan menjadi biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Biaya tunai usahatani merupakan pengeluaran tunai yang dikeluarkan oleh petani. Sedangkan biaya yang diperhitungkan merupakan pengeluaran yang secara tidak tunai dikeluarkan petani. Biaya diperhitungkan ini dapat berupa faktor produksi yang digunakan petani tanpa mengeluarkan uang tunai seperti penggunaan tenaga kerja dalam keluarga, penggunaan benih dari hasil produksi, dan penyusutan dari alat produksi (Dillon dan Hardaker 1986).
Pendapatan Usahatani Pendapatan usahatani dianalisis untuk mengetahui informasi mengenai keadaan penerimaan dan pengeluaran selama jangka waktu tertentu. Penerimaan usahatani adalah nilai produksi yang diperoleh dalam jangka waktu tertentu dan merupakan hasil perkalian antara jumlah produksi total dengan harga satuan jual dari hasil produksi tersebut. Sedangkan biaya atau pengeluaran usahatani adalah nilai dari penggunaan faktor-faktor produksi melalui proses produksi untuk menghasilkan produk. Untuk mengukur pendapatan, langkah-langkah perhitungan yang harus dilakukan diantaranya adalah (Dillon dan Hardaker 1986):
13
1. Mengukur pendapatan kotor usahatani (gross farm income), didefinisikan sebagai nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual, seperti dikonsumsi sendiri oleh petani 2. Mengukur pengeluaran total usahatani (total farm expenses), didefinisikan sebagai nilai semua masukan yang habis terpakai atau dikeluarkan untuk menghasilkan produk, tetapi tidak termasuk tenaga kerja dalam keluarga. Pengeluaran usahatani mencakup pengeluaran tunai dan tidak tunai. 3. Mengukur pendapatan bersih usahatani (net farm income), didefinisikan sebagai selisih antara pendapatan kotor usahatani dengan pengeluaran total usahatani. Pendapatan bersih usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi. 4. Mengukur penghasilan bersih usahatani (net farm earnings), didefinisikan sebagai selisih antara pendapatan bersih usahatani dengan bunga yang dibayarkan kepada modal pinjaman. Ukuran ini menggambarkan penghasilan yang diperoleh dari usahatani untuk keperluan keluarga dan merupakan imbalan terhadap semua sumberdaya milik keluarga yang dipakai dalam usahatani. 5. Mengukur imbalan kepada seluruh modal (return to capital), didefinisikan sebagai selisih antara pendapatan bersih usahatani dengan biaya tenaga kerja dalam keluarga. 6. Mengukur imbalan kepada modal petani (return to farm equity capital), didefinisikan sebagai selisih antara penghasilan bersih usahatani dengan biaya tenaga kerja dalam keluarga. 7. Mengukur imbalan kepada tenaga kerja keluarga (return to family labour), didefinisikan sebagai selisih antara penghasilan bersih usahatani dengan bunga modal petani yang diperhitungkan. Ukuran imbalan ini dapat dibagi dengan jumlah anggota keluarga yang bekerja dalam usahatani sehingga diperoleh taksiran imbalan untuk setiap orang. Angka dalam imbalan ini dapat dibandingkan dengan imbalan atau upah kerja di luar usahatani. Menurut Hernanto (1989), pendapatan yang besar bukanlah sebagai petunjuk bahwa usahatani efisien dan menguntungkan. Suatu usahatani dikatakan menguntungkan apabila memiliki tingkat efisiensi penerimaan yang diperoleh atas setiap biaya yang dikeluarkan hingga mencapai perbandingan tertentu. Kriteria usahatani yang menguntungkan dapat diukur dengan menggunakan analisis imbangan penerimaan dan biaya (analisis R/C rasio) yang didasarkan pada perhitungan secara finansial. Analisis ini menunjukkan besarnya penerimaan usahatani yang akan diperoleh petani untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan produk. Semakin besar nilai R/C maka akan semakin besar pula penerimaan usahatani yang diperoleh untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan atau usahatani dikatakan menguntungkan. Kegiatan usahatani dikategorikan menguntungkan jika memiliki nilai R/C rasio lebih besar dari satu, artinya setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar daripada tambahan biaya atau secara sederhana kegiatan usahatani menguntungkan. Sebaliknya kegiatan usahatani dikategorikan tidak menguntungkan jika memiliki nilai R/C rasio lebih kecil dari satu, artinya untuk setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih kecil daripada tambahan biaya atau kegiatan usahatani merugi. Sedangkan untuk kegiatan usahatani yang
14
memiliki nilai R/C rasio sama dengan satu berarti kegiatan usahatani berada pada keuntungan normal.
Kerangka Pemikiran Operasional Kecamatan Parung merupakan sentra produksi ikan hias di Kabupaten Bogor. Luas lahan produksi ikan hias di Kecamatan Parung dari tahun 2010 hingga 2014 menurun dengan laju sebesar 8.15 persen per tahun. Meskipun luas lahan produksinya menurun, jumlah produksi ikan hias di kecamatan ini meningkat dengan laju sebesar 22.01 persen per tahun. Ikan hias guppy merupakan jenis ikan hias yang memiliki laju pertumbuhan produksi tertinggi dibandingkan dengan jenis ikan hias lainnya di Kecamatan Parung. Produksi ikan hias guppy meningkat dengan pesat dari tahun ke tahun. Oleh sebab itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang memengaruhi produksi ikan hias guppy di Kecamatan Parung. Berdasarkan teori dan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, faktorfaktor produksi yang diduga memiliki pengaruh terhadap produksi ikan hias guppy di Kecamatan Parung diantaranya adalah luas lahan, pakan (terdiri dari kutu air, cacing, dan pelet), obat-obatan, tenaga kerja, serta jenis tempat pemeliharaan. Luas lahan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah total dari luasan lahan yang digunakan petani selama tahun 2015. Pakan dan obat-obatan yang dimaksudkan adalah banyaknya jumlah pakan dan obat-obatan yang digunakan petani selama tahun 2015. Tenaga kerja yang dimaksudkan adalah total dari tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi selama tahun 2015. Jenis tempat pemeliharaan yang dimaksudkan adalah tempat pemeliharaan yang digunakan dalam proses produksi selama tahun 2015. Jenis tempat pemeliharaan ini nantinya akan dijadikan sebagai dummy. Kemudian, faktor-faktor produksi yang digunakan petani tersebut nantinya akan menghasilkan jumlah produksi tertentu sesuai dengan banyaknya faktor produksi yang digunakan oleh petani. Semakin banyak faktor produksi yang digunakan, maka semakin tinggi biaya yang harus dikeluarkan oleh petani. Oleh sebab itu, penelitian ini juga dilakukan untuk mengetahui gambaran pendapatan petani ikan hias guppy di Kecamatan Parung. Gambaran pendapatan petani dapat diketahui melalui analisis biaya, pendapatan, dan R/C rasio. Selain itu, dalam penelitian ini juga dilakukan analisis mengenai return to capital dan return to family labour untuk mengetahui seberapa besar imbalan yang akan didapatkan bagi faktor-faktor produksi yang digunakan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah informasi yang bermanfaat sebagai dasar untuk mengetahui prospek pertumbuhan produksi ikan hias guppy dalam kondisi riil di lokasi penelitian. Selain itu juga, diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan selama proses produksi ikan hias guppy yang dilakukan, sehingga dapat memberikan hasil yang optimal. Secara umum, alur kerangka pemikiran operasional penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.
15
Faktor produksi yang diduga: 1. Luas lahan 2. Pakan jenis kutu air 3. Pakan jenis cacing 4. Pakan jenis pelet 5. Obat-obatan 6. Tenaga kerja 7. Jenis tempat pemeliharaan (dummy)
Produksi Ikan Hias Guppy
Biaya Produksi
Harga Output
Penerimaan
Harga Input
Pendapatan R/C rasio Return to capital Return to family labour
Gambar 3 Alur kerangka pemikiran operasional penelitian
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Pengumpulan Data Penelitian dilakukan di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor pada bulan Maret hingga bulan Mei 2016. Kecamatan ini dipilih dengan pertimbangan bahwa Kecamatan Parung merupakan salah satu lokasi minapolitan yang memiliki laju produktivitas ikan hias tertinggi di Kabupaten Bogor. Selain itu, kecamatan ini dipilih karena meskipun luas lahan produksinya menurun, jumlah produksi ikan hias di kecamatan ini meningkat setiap tahunnya. Sehingga perlu diketahui faktorfaktor apa yang memengaruhi peningkatan produksi ikan hias dan gambaran pendapatan petani dari adanya penggunaan faktor-faktor produksi.
Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder. Jenis data primer yang dikumpulkan diantaranya adalah karakteristik responden, kegiatan budidaya ikan hias guppy, penggunaan faktor-faktor produksi pada ikan hias guppy, serta besarnya penerimaan dan biaya
16
selama proses produksi ikan hias guppy di Kecamatan Parung. Jenis-jenis data primer tersebut bersumber dari para petani yang dijadikan sebagai responden dalam penelitian. Jenis data sekunder yang dikumpulkan diantaranya adalah data produksi ikan hias di Indonesia dan Jawa Barat yang bersumber dari Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, data produksi ikan hias di Kabupaten Bogor dan Kecamatan Parung yang bersumber dari Dinas Peternakan dan Perikanan Pemerintah Kabupaten Bogor, konsep usahatani, fungsi produksi, struktur biaya usahatani, dan pendapatan usahatani yang bersumber dari buku-buku terkait, penelitianpenelitian terdahulu, serta gambaran umum lokasi penelitian yang bersumber dari Pemerintah Kecamatan Parung.
Metode Penentuan Sampel Unit analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah usaha budidaya ikan hias di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor. Penentuan sampel penelitian dengan menggunakan kombinasi dari metode non probability, yaitu snowball sampling dan purposive sampling. Hal ini karena tidak adanya kerangka sampling (daftar nama petani) yang tersedia, baik dari Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor maupun Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP3K) setempat. Cara penggunaan metode ini diawali dengan metode snowball sampling, yaitu mencari informasi mengenai petani budidaya ikan hias jenis Guppy dari para penjual ikan hias di Pasar Ikan Hias Parung. Kemudian dari informasi petani yang didapat tersebut dicari lagi informasi mengenai petani-petani lainnya hingga mencapai jumlah responden yang diinginkan. Selanjutnya, untuk memilih petani yang akan dijadikan sebagai petani responden digunakan metode purposive sampling, yaitu dengan menentukan suatu kriteria dalam memilih petani. Petani yang dipilih sebagai responden adalah petani yang telah melakukan budidaya ikan hias Guppy selama satu tahun atau lebih dari itu. Hal ini karena petani tersebut telah konsisten dalam memproduksi ikan hias guppy. Jumlah responden yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 40 petani. Hal ini untuk memenuhi aturan statistik secara umum.
Metode Pengumpulan Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh melalui survei langsung di lapangan dengan menggunakan kuisioner yang telah disiapkan, studi literatur atau pustaka, dan wawancara dengan responden. Survei lapang dimaksudkan untuk mengetahui secara langsung kondisi di lapangan. Sedangkan studi literatur atau pustaka dilakukan untuk memperoleh pendalaman informasi yang berkaitan dengan topik penelitian.
17
Metode Pengolahan dan Analisis Data Analisis data merupakan suatu proses lanjutan setelah dilakukan pengumpulan data. Analisis data ditujukan agar data yang telah dikumpulkan lebih bernilai dan dapat memberikan informasi yang diharapkan. Data yang telah diperoleh kemudian dipindahkan secara tertulis dan diolah dengan menggunakan alat analisis yang telah ditetapkan. Analisis faktor-faktor yang memengaruhi produksi ikan hias guppy di Kecamatan Parung dianalisis dengan menggunakan model Cobb-Douglas yang dibantu dengan software SPSS 16 dan Microsoft Excel. Untuk melihat gambaran pendapatan petani ikan hias guppy di Kecamatan Parung dilakukan dengan menggunakan analisis pendapatan, R/C rasio, return to capital, dan return to family labour.
Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Produksi Ikan Hias Guppy di Kecamatan Parung Model yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi produksi ikan hias guppy di Kecamatan Parung adalah model Cobb-Douglas, dimana terdapat dua variabel, yaitu variabel Y sebagai peubah tak bebas (dependent variable) dalam hal ini adalah produksi ikan hias guppy, serta variabel X1, X2, X3, X4, X5, X6, X7 sebagai peubah bebas (independent variable), yaitu faktor-faktor yang memengaruhi produksi ikan hias guppy. Persamaan fungsi produksi Cobb-Douglas dapat dituliskan pada Persamaan (3). Y = β0 X1β1 X2β2 X3β3 X4β4 X5β5 X6β6 X7β7 εε .......................(3) Dalam menduga parameter pada persamaan fungsi Cobb-Douglas, maka data yang dikumpulkan melalui kuisioner harus diubah terlebih dahulu ke dalam bentuk double logaritme natural (In), sehingga bentuk persamaannya dirumuskan pada Persamaan (4). Ln Y = Inβ0 + β1InX1 + β2InX2 + β3InX3 + β4InX4 + β5InX5 + β6InX6 + Β7InX7 + ε ................................................................................................(4) Keterangan: Y = Produksi Ikan Hias Guppy (ekor/tahun) X1 = Luas lahan (m2/tahun) X2 = Pakan jenis kutu air (kg/tahun) X3 = Pakan jenis cacing (L/tahun) X4 = Pakan jenis pelet (kg/tahun) X5 = Obat-obatan (kg/tahun) X6 = Tenaga kerja (HOK/tahun) X7 = Jenis tempat pemeliharaan (dummy), dimana 0 adalah tempat pemeliharaan berjenis akuarium 1 adalah tempat pemeliharaan berjenis kolam β0 = Konstanta β1, β2, ..., β7 = Koefisien parameter dugaan X1, X2, ...., X7 ε = Error
18
Faktor-faktor produksi yang digunakan di atas diperoleh dari penelitian terdahulu dan perolehan informasi lainnya terkait faktor-faktor yang memengaruhi produksi ikan hias guppy. Jika koefisien-koefisien dari parameter dugaan fungsi produksi bertanda positif, artinya semakin banyak input yang digunakan dalam proses produksi maka akan memengaruhi kenaikan hasil produksi ikan hias guppy. Apabila terdapat koefisien dari parameter dugaan fungsi produksi bertanda negatif, artinya kebalikan dari yang bertanda positif, yaitu semakin banyak input yang digunakan dalam proses produksi maka akan memengaruhi penurunan hasil produksi ikan hias guppy. Model fungsi produksi yang lebih banyak digunakan oleh para peneliti sebelumnya dalam menganalisis usahatani atau faktor-faktor yang memengaruhi produksi adalah fungsi produksi Cobb-Douglas. Hal ini karena perhitungan dan penjelasan dari fungsi ini dapat diaplikasikan ke dalam keadaan riil dalam usahatani dibandingkan dengan fungsi linear. Fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan fungsi produksi dalam bentuk perkalian. Sehingga apabila salah satu variabel bebas atau faktor produksi tidak ada, maka variabel terikatnya atau produksinya juga tidak ada. Contohnya adalah apabila tidak ada lahan, maka tidak akan ada ikan hias yang dapat dihasilkan (tidak ada produksi). Sedangkan apabila menggunakan fungsi produksi linear yang merupakan fungsi produksi dalam bentuk penjumlahan, jika salah satu variabel bebas atau faktor produksi tidak ada maka variabel terikatnya atau produksinya tetap ada. Sehingga hal ini tidak sesuai dengan keadaan riilnya. Alasan lain menggunakan fungsi Cobb-Douglas adalah karena lebih mudah ditransfer ke dalam bentuk linear dibandingkan dengan fungsi lain. Selain itu, parameter-parameter dari fungsi produksi Cobb-Douglas dapat langsung digunakan sebagai elastisitas produksi untuk setiap faktor produksi.
Hipotesis Suatu kegiatan penelitian perlu dilakukan suatu hipotesis ataupun kesimpulan sementara berkaitan dengan faktor-faktor yang memengaruhi produksi ikan hias guppy. Adapun hipotesis tersebut adalah sebagai berikut: 1. Luas lahan (β1) β1 > 0, artinya apabila semakin besar luas lahan yang digunakan, maka produksi ikan hias guppy akan semakin meningkat. Lahan digunakan sebagai tempat pemeliharaan ikan hias guppy. Semakin besar luas lahan yang digunakan, maka populasi ikan hias guppy yang dapat dipelihara juga akan semakin banyak. Hal ini akan berpengaruh terhadap meningkatnya produksi ikan hias guppy. Besaran yang digunakan untuk luas lahan ini adalah meter persegi (m2). Sehingga pendugaannya adalah semakin besar luas lahan yang digunakan, maka hasil produksi ikan hias guppy semakin meningkat. 2. Pakan jenis kutu air (β2) β2 > 0, artinya apabila semakin banyak pakan jenis kutu air yang diberikan, maka produksi ikan hias guppy akan semakin meningkat. Pakan jenis kutu air digunakan untuk menambah nutrisi yang dibutuhkan oleh induk dan benih ikan hias guppy. Selain itu, pakan jenis kutu air ini
19
3.
4.
5.
6.
7.
juga dapat berfungsi untuk mempercepat proses produksi telur. Sehingga hal ini akan berpengaruh terhadap meningkatnya produksi ikan hias guppy. Besaran yang digunakan untuk pakan jenis kutu air ini adalah kilogram (kg). Pendugaannya adalah semakin banyak pakan jenis kutu air yang digunakan, maka hasil produksi ikan hias guppy semakin meningkat. Pakan jenis cacing (β3) β3 > 0, artinya apabila semakin banyak pakan jenis cacing yang diberikan, maka produksi ikan hias guppy akan semakin meningkat. Pakan jenis cacing digunakan untuk mempercepat pertumbuhan dan perkembangan ikan hias guppy pada saat proses pembesaran ikan. Semakin banyak pakan jenis cacing yang diberikan kepada ikan hias guppy, maka ikan tersebut akan semakin cepat membesar. Hal ini akan berpengaruh terhadap meningkatnya produksi ikan hias guppy. Besaran yang digunakan untuk pakan jenis cacing ini adalah liter (L). Sehingga pendugaannya adalah semakin banyak pakan jenis cacing yang digunakan, maka hasil produksi ikan hias guppy semakin meningkat. Pakan jenis pelet (β4) β4 > 0, artinya apabila semakin banyak pakan jenis pelet yang diberikan, maka produksi ikan hias guppy akan semakin meningkat. Pakan jenis pelet digunakan untuk menggantikan pakan kutu air dan cacing. Hal ini karena fungsi dalam pakan jenis pelet sudah mewakili fungsi dari pakan kutu air dan juga cacing. Besaran yang digunakan untuk pakan jenis pelet ini adalah kilogram (kg). Sehingga pendugaannya adalah semakin banyak pakan jenis pelet yang digunakan, maka hasil produksi ikan hias guppy semakin meningkat. Obat-obatan (β5) β5 < 0, artinya apabila semakin banyak obat-obatan yang diberikan, maka produksi ikan hias guppy akan semakin menurun. Penggunaan obat-obatan yang berlebihan dapat menyebabkan keracunan pada ikan hias guppy. Apabila obat-obatan ini semakin banyak diberikan pada luasan lahan dan jumlah air yang masih sama, maka akan meracuni ikan yang hidup didalamnya. Besaran yang digunakan untuk obat-obatan ini adalah kilogram (kg). Sehingga pendugaannya adalah semakin banyak obat-obatan yang digunakan, maka hasil produksi ikan hias guppy semakin menurun. Tenaga kerja (β6) β6 > 0, artinya apabila semakin banyak jam tenaga kerja yang digunakan, maka produksi ikan hias guppy akan semakin meningkat. Tenaga kerja merupakan faktor kunci dari produksi ikan hias guppy. Hal ini karena tenaga kerja berfungsi untuk mengatur dan mengontrol seluruh proses produksi ikan hias guppy. Besaran yang digunakan untuk tenaga kerja ini adalah jam kerja atau hari orang kerja (HOK). Sehingga pendugaannya adalah semakin banyak jam tenaga kerja yang digunakan, maka hasil produksi ikan hias guppy semakin meningkat. Jenis tempat pemeliharaan atau dummy (β7) Menganggap nilai 0 untuk tempat pemeliharaan berjenis akuarium dan nilai 1 untuk tempat pemeliharaan berjenis kolam, dimana petani yang menggunakan kolam sebagai tempat pemeliharaannya memiliki produksi
20
ikan hias guppy yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang menggunakan akuarium sebagai tempat pemeliharaannya. Jenis tempat pemeliharaan yang digunakan akan mempengaruhi tingkat produksi ikan hias guppy yang dihasilkan. Jenis tempat pemeliharaan yang digunakan petani responden ada 2, yaitu akuarium = 0 dan kolam = 1. Pendugaannya adalah tempat pemeliharaan berjenis kolam dapat menghasilkan produksi ikan hias guppy lebih tinggi jika dibandingkan dengan tempat pemeliharaan berjenis akuarium. Pengujian Hipotesis Pengujian hipotesis dipergunakan untuk melihat hasil dari model fungsi produksi yang didapat dari proses pengolahan data. Pengujian ini bertujuan untuk mengevaluasi apakah model yang digunakan sudah baik atau belum. Adapun pengujian yang dilakukan adalah dengan metode Ordinary Least Square (OLS). Pengujian Asumsi OLS (Ordinary Least Square) Dalam melakukan pendugaan model dilakukan dengan menggunakan metode OLS. Namun, sebelum dilakukan pengujian ini terlebih dahulu harus dilakukan uji asumsi-asumsi yang sesuai dengan OLS, yaitu pengujian multikolinearitas dan autokorelasi. Multikolinearitas merupakan kondisi yang terjadi di dalam analisis regresi, dimana terdapat hubungan linear antara variabelvariabel bebasnya. Terdapat beberapa penyebab terjadinya multikolinearitas, salah satunya adalah adanya kecenderungan variabel-variabel bebas yang bergerak secara bersamaan. Adanya multikolinearitas menyebabkan ragam variabel menjadi sangat besar, sehingga koefisien regresi dugaan tidak stabil dan arah koefisien variabel menjadi tidak valid untuk diinterpretasikan. Selain itu, multikolinearitas menyebabkan hasil uji signifikansi koefisien model dugaan menjadi tidak valid. Terdapat beberapa cara untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolinear dalam analisis regresi, salah satunya adalah dengan menggunakan kriteria Variance Inflation Factor (VIF). Apabila nilai VIF > 10, maka terdapat masalah multikolinear di antara variabel bebasnya, sehingga harus diperbaiki dengan cara menambah observasi atau mengeluarkan variabel bebas yang berkorelasi kuat. Autokorelasi adalah uji korelasi antara anggota serangkaian observasi. Cara untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi adalah dengan melihat nilai dari Durbin Watson (DW). Nilai DW ini kemudian dibandingkan dengan nilai tabel DW. Berikut ini adalah Tabel 5 mengenai identifikasi autokorelasi dengan nilai DW. Tabel 5 Identifikasi autokorelasi dengan nilai DW Nilai DW Hasil Kurang dari 1.1754 Ada autokorelasi 1.1754 ≤ DW < 1.5838 Tanpa kesimpulan 1.5838 ≤ DW < 2.4162 Tidak ada autokorelasi 2.4162 ≤ DW < 2.8246 Tanpa kesimpulan Lebih dari 2.8246 Ada autokorelasi
21
Pengujian Koefisien Determinasi Koefisien determinasi (R2) menunjukkan besarnya keragaman variabel tidak bebas (dependent variable) yang dapat dijelaskan oleh variabel bebas (independent variable). Sedangkan sisa dari nilai koefisien determinasi (1 - R2) dijelaskan oleh independent variable di luar model. Nilai koefisien determinasi berkisar antara nol dan satu. Apabila nilai koefisien determinasi semakin mendekati satu, maka semakin besar keragaan mengenai dependent variable yang dapat dijelaskan oleh independent variable. Koefisien determinasi dapat dirumuskan pada Persamaan (5). ..............................................(5) Keterangan:
R2 SSR SSE SST
= koefisien determinasi = jumlah kuadrat regresi = jumlah kuadrat sisa = jumlah kuadrat total
Pengujian Parameter Model (Uji F) Uji F digunakan untuk melihat apakah variabel bebas (independent variable) yang digunakan secara bersama-sama berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel tidak bebas (dependent variable). Uji statistik yang digunakan untuk Uji F dapat dirumuskan pada Persamaan (6). ( (
Keterangan:
R2 k n
) (
) )
.......................................(6)
= Koefisien determinasi = Jumlah variabel bebas = Jumlah sampel
Kriteria uji: F hitung > F-tabel (k-1, n-k) pada taraf nyata α maka tolak H0 F hitung < F-tabel (k-1, n-k) pada taraf nyata α maka terima H0 Apabila tidak dilakukan dengan menggunakan tabel, maka dapat dilihat berdasarkan nilai P dengan kriteria uji sebagai berikut: P-value < α, maka tolak H0 P-value > α, maka terima H0 Apabila F hitung > F-tabel atau P-value < α, maka secara bersama-sama variabel bebas dalam proses produksi mempunyai pengaruh yang nyata terhadap produksi. Sedangkan F hitung < F-tabel atau P-value > α, maka secara bersamasama variabel bebas dalam proses produksi tidak berpengaruh secara nyata terhadap produksi. Pengujian Parameter Variabel (Uji t) Pengujian hipotesis dengan menggunakan uji t digunakan untuk mengetahui apakah koefisien regresi dari masing-masing independent variable (X) yang digunakan berpengaruh nyata terhadap dependent variable (Y). Rumusan hipotesis fungsi produksi adalah sebagai berikut:
22
H0: βi = 0, artinya independent variable tidak berpengaruh nyata terhadap dependent variable. H1: βi ≠ 0, artinya independent variable berpengaruh nyata terhadap dependent variable. Uji statistik yang digunakan dalam uji t dapat dirumuskan pada Persamaan (7). ...............................................(7) Keterangan: βi = Koefisien regresi ke-i yang diduga Sβi = Standar deviasi dari βi Kriteria uji: T hitung > T tabel (α / 2; n– k), maka tolak H0, artinya ada pengaruh antara variabel bebas terhadap variabel terikat. T hitung < T tabel (α / 2; n – k), maka terima H0, artinya tidak ada pengaruh antara variabel bebas dengan variabel terikat. Dimana : n : Jumlah sampel k : Jumlah variabel
Analisis Pendapatan Produksi Ikan Hias Guppy di Kecamatan Parung Penerimaan Produksi Ikan Hias Guppy di Kecamatan Parung Penerimaan diperoleh dari hasil perkalian antara total hasil produksi ikan hias guppy dan harga jual ikan per ekornya. Penerimaan produksi ikan hias guppy merupakan penerimaan petani sebelum dikurangi biaya-biaya produksi. Penerimaan terdiri atas penerimaan tunai, penerimaan diperhitungkan (tidak tunai), dan penerimaan total. Penerimaan tunai pada produksi ikan hias guppy diperoleh dari nilai uang yang diterima dari hasil penjualan produksi, yaitu ikan hias guppy. Penerimaan tidak tunai adalah produk hasil usaha yang tidak dijual secara tunai. Sedangkan penerimaan total adalah penjumlahan antara penerimaan tunai dan penerimaan tidak tunai. Biaya Produksi Ikan Hias Guppy di Kecamatan Parung Pengeluaran atau biaya usahatani adalah semua biaya operasional yang meliputi pengeluaran tunai, penyusutan benda fisik, serta nilai tenaga kerja yang tidak dibayar. Biaya total dalam produksi ikan hias guppy terdiri atas biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Biaya tunai adalah biaya yang dibayar dengan uang, seperti biaya sarana-sarana produksi yang digunakan selama proses produksi ikan hias guppy berlangsung. Komponen biaya tunai seperti pakan, obat-obatan, dan listrik. Pada penelitian ini tidak ada biaya tenaga kerja luar keluarga karena selama proses produksi berlangsung petani responden hanya menggunakan tenaga kerja dalam keluarga. Sedangkan biaya diperhitungkan adalah biaya yang tidak dikeluarkan tetapi dihitung secara ekonomi. Komponen biaya yang
23
diperhitungkan seperti sewa lahan milik sendiri, pakan yang dicari sendiri, tenaga kerja dalam keluarga, dan penyusutan peralatan. Perhitungan penyusutan peralatan menggunakan metode garis lurus, yaitu membagi selisih antara nilai pembelian dengan nilai sisa dan kemudian dibagi dengan umur manfaat barang tersebut. Terdapat asumsi bahwa nilai sisa bernilai nol (tidak ada) karena barang tersebut habis terpakai hingga umur manfaatnya berakhir. Biaya penyusutan dapat dirumuskan pada Persamaan (8). ..................................(8) Pendapatan Produksi Ikan Hias Guppy di Kecamatan Parung Analisis pendapatan terdiri atas penerimaan (tunai dan diperhitungkan), biaya (tunai dan diperhitungkan), pendapatan atas biaya total, serta pendapatan atas biaya tunai. Pendapatan atas biaya total, yaitu penerimaan total dikurangi dengan biaya total. Pendapatan atas biaya tunai, yaitu penerimaan total dikurangi dengan biaya tunai. Dalam analisis pendapatan ini juga dilakukan untuk menganalisis return to capital dan return to family labour. Return to capital dan return to family labour dianalisis untuk mengetahui imbalan yang didapatkan bagi faktor-faktor produksi yang digunakan. Berikut ini adalah rumus dalam analisis pendapatan: A. Penerimaan total, yaitu nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik dijual (tunai) atau tidak dijual (diperhitungkan) B. Pengeluaran total usahatani, yaitu nilai semua masukan yang habis dipakai (tidak termasuk tenaga kerja keluarga) tunai dan diperhitungkan C. Pendapatan bersih usahatani, yaitu selisih antara penerimaan total usahatani dengan pengeluaran total usahatani. C = A – B D. Imbalan kepada seluruh modal, yaitu selisih antara pendapatan bersih usahatani dan nilai kerja keluarga. D = C – Nilai tenaga kerja keluarga E. Return to capital, yaitu perbandingan antara imbalan kepada seluruh modal dengan jumlah modal yang dikeluarkan petani. E = D / modal F. Return to family labour, yaitu selisih antara total penerimaan dengan modal petani yang telah dikurangi biaya tenaga kerja keluarga. Kemudian hasil tersebut dibagi dengan total tenaga kerja keluarga. F = (A – (modal petani – biaya TKDK)) / total TK R/C Rasio Produksi Ikan Hias Guppy di Kecamatan Parung Analisis R/C rasio digunakan untuk mengetahui tingkat keuntungan relatif dari kegiatan produksi ikan hias guppy atau indeks efisiensi usaha yang dilakukan. Analisis ini terbagi menjadi dua macam, yaitu (1) R/C rasio atas biaya tunai yang diperoleh dari hasil pembagian antara total penerimaan dengan total biaya tunai, dan (2) R/C rasio atas biaya total yang diperoleh dari hasil pembagian antara total penerimaan dengan total biaya. Secara matematis R/C rasio atas biaya tunai dapat dirumuskan pada Persamaan (9), sedangkan R/C rasio atas biaya total dirumuskan pada Persamaan (10). ⁄
................................(9)
24
⁄
................................(10)
Kegiatan usahatani dikategorikan menguntungkan jika memiliki nilai R/C rasio lebih besar dari satu, artinya setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar daripada tambahan biaya. Secara sederhana kegiatan usahatani tersebut menguntungkan. Sebaliknya, kegiatan usahatani dikategorikan tidak menguntungkan jika memiliki nilai R/C rasio lebih kecil dari satu, yang artinya untuk setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih kecil daripada tambahan biaya (kegiatan usahatani merugikan). Sedangkan untuk kegiatan usahatani yang memiliki nilai R/C rasio sama dengan satu berarti kegiatan usahatani berada pada keuntungan normal.
GAMBARAN UMUM LOKASI DAN RESPONDEN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor. Kondisi umum yang berkaitan dengan lokasi penelitian akan dijelaskan mengenai aspek geografis dan demografis. Aspek Geografis Secara geografis Kecamatan Parung terletak di wilayah pembangunan Kabupaten Bogor Utara dengan koordinat 6o18’ - 6o47’10’’ Lintang Selatan dan 106o23’45’’ – 107o13’30’’ Bujur Timur. Luas wilayah dari Kecamatan Parung seluas 2 552.478 Ha dengan batasan wilayah sebagai berikut: Sebelah Utara : Kecamatan Gunung Sindur dan Kota Depok Sebelah Barat : Kecamatan Ciseeng Sebelah Timut : Kecamatan Tajur Halang Sebelah Selatan : Kecamatan Kemang Jarak antara Kecamatan Parung dengan Ibukota Kabupaten sekitar 30 km. Sedangkan jarak antara Kecamatan Parung dengan Ibukota Provinsi (Bandung) sekitar 140 km dan jarak dengan Ibukota Negara (Jakarta) sekitar 40 km. Iklim wilayah Kecamatan Parung termasuk ke dalam iklim tropis basah dengan rata-rata curah hujan tahunan 2 891.1 mm/tahun. Suhu rata-rata wilayah Kecamatan Parung berkisar antara 20 hingga 29 oC. Kelembaban udara Kecamatan Parung sebesar 70 persen. Kecamatan Parung memiliki kecepatan angin rata-rata sebesar 1.2 m/detik dengan evaporasi di daerah terbuka rata-rata sebesar 146.2 mm/bulan. Secara administratif, Kecamatan Parung terdiri dari 9 desa, 32 dusun, 54 Rukun Warga (RW), dan 235 Rukun Tetangga (RT). Sembilan desa tersebut merupakan jumlah desa yang dikumpulkan oleh pihak Kecamatan Parung pada tahun 2015. Desa-desa tersebut diantaranya adalah Desa Parung, Desa Pemagarsari, Desa Jabon Mekar, Desa Waru, Desa Waru Jaya, Desa Bojong Indah, Desa Bojong Sempu, Desa Cogreg, dan Desa Iwul.
25
Aspek Demografis Kecamatan Parung memiliki jumlah penduduk sebanyak 107 005 jiwa. Jumlah penduduk ini didapatkan dari hasil pendataan pihak Kecamatan Parung pada bulan Desember 2015. Sedangkan untuk jumlah kepala keluarga di Kecamatan Parung sebanyak 32 860 jiwa. Berikut ini adalah Tabel 6 mengenai rincian dari pertumbuhan jumlah penduduk di Kecamatan Parung tahun 2015. Tabel 6 Rincian pertumbuhan jumlah penduduk di Kecamatan Parung tahun 2015 Desa Parung Pemagarsari Jabon mekar Waru Waru Jaya Bojong Indah Bojong Sempu Cogreg Iwul Total
Jumlah penduduk awal bulan Desember 2015 (jiwa) LakiPerempuan Total laki 8 017 7 438 15 455 6 737 6 411 13 148
Jumlah penduduk akhir bulan Desember 2015 (jiwa) LakiPerempuan Total laki 8 023 7 444 15 467 6 738 6 417 13 155
Laju (%/bu lan) 0.08 0.05
3 968
3 872
7 840
3 968
3 880
7 848
0.10
8 200 7 675
7 123 6 073
15 323 13 748
8 203 7 678
7 128 6 084
15 331 13 762
0.05 0.10
4 283
3 970
8 253
4 277
3 862
8 139
-1.40
4 460
4 232
8 692
4 461
4 233
8 694
0.02
8 326 3 479 55 145
7 544 5 229 51 892
15 870 8 708 107 037
8 341 3 480 55 169
7 558 5 230 51 836
15 899 8 710 107 005
0.18 0.02 -0.03
Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa laju pertumbuhan penduduk Kecamatan Parung pada akhir tahun 2015 menurun sebesar 0.03 persen. Jika dilihat dari laju pertumbuhan penduduk setiap desa, laju pertumbuhan penduduk Desa Bojong Indah menurun sebanyak 1.40 persen sedangkan sisanya memiliki laju pertumbuhan yang meningkat. Laju pertumbuhan yang menurun ini disebabkan oleh banyaknya penduduk yang berpindah tempat tinggal dibandingkan dengan penduduk yang lahir di desa tersebut. Meskipun desa lain di Kecamatan Parung juga terdapat penduduk yang berpindah, tetapi jumlah penduduk yang berpindah di Desa Bojong Indah lebih banyak. Bidang tenaga kerja merupakan salah satu faktor penting dalam proses pembangunan daerah. Hal ini berkaitan erat dengan pendapatan daerah tersebut. Berikut ini adalah Tabel 7 mengenai rincian jenis pekerjaan beserta jumlah pekerja di Kecamatan Parung tahun 2015.
26
Tabel 7 Jenis pekerjaan beserta jumlah pekerja di Kecamatan Parung tahun 2015 Jenis pekerjaan Jumlah pekerja (jiwa) Petani 5 092 Pedagang 3 963 Pegawai swasta 2 807 Pegawai negeri sipil 1 253 Pertukangan 1 089 Buruh tani 841 Pengrajin 772 Karyawan 537 Jasa 350 Pensiunan 262 TNI 230 Pemulung 74 Kepolisian 58 Total 17 328 Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa total penduduk Kecamatan Parung yang terdaftar pekerjaannya sebanyak 17 328 jiwa. Jenis pekerjaan yang paling banyak dimiliki oleh penduduk Kecamatan Parung adalah petani atau sebesar 29 persen dari keseluruhan penduduk yang terdaftar pekerjaannya. Petani di Kecamatan Parung paling banyak melakukan usaha pertanian di bidang perikanan, baik itu merupakan jenis ikan konsumsi maupun ikan hias.
Karakteristik Responden Petani yang dijadikan sebagai responden dalam penelitian ini adalah petani di Kecamatan Parung. Responden yang diambil dalam penelitian ini sebanyak 40 petani ikan hias guppy. Karakteristik responden yang akan dijelaskan dalam penelitian ini meliputi karakteristik jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, dan status pengusahaan ikan. Karakteristik responden penting karena akan memengaruhi setiap kegiatan usahatani dan proses pengambilan keputusan petani dalam kegiatan usahataninya. Jenis Kelamin Responden Jenis kelamin termasuk ke dalam salah satu karakteristik responden karena dapat mencerminkan kemampuan fisik petani dalam melakukan kegiatan usahataninya. Berikut ini adalah Tabel 8 yang menunjukkan sebaran responden menurut jenis kelamin di Kecamatan Parung tahun 2015. Tabel 8 Sebaran responden menurut jenis kelamin di Kecamatan Parung tahun 2015 Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Total
Jumlah (orang) 38 2 40
Persentase (%) 95 5 100
27
Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa petani ikan hias guppy yang dijadikan sebagai responden sebagian besar merupakan laki-laki, sedangkan sisanya merupakan perempuan. Persentase petani laki-laki sebanyak 95 persen atau 38 orang dan perempuan sebanyak 5 persen atau dua orang. Alasan petani perempuan melakukan budidaya ikan hias guppy karena untuk mencari tambahan keuangan rumah tangga mereka. Usia Responden Usia petani yang dijadikan sebagai responden bervariasi. Usia responden berada pada kisaran antara 18 tahun hingga 60 tahun. Berikut ini adalah Tabel 9 yang menunjukkan sebaran responden menurut usia di Kecamatan Parung tahun 2015. Tabel 9 Sebaran responden menurut usia di Kecamatan Parung tahun 2015 Usia (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%) 18-30 12 30.0 31-40 15 37.5 41-50 6 15.0 51-60 7 17.5 Total 40 100.0 Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat bahwa usia termuda responden berkisar antara usia 18 tahun hingga 30 tahun. Sedangkan usia tertua responden berkisar antara usia 51 tahun hingga 60 tahun. Persentase usia petani tertinggi terletak pada usia kisaran 31 tahun hingga 40 tahun, yaitu sebanyak 37.5 persen atau 15 orang dari total responden yang diambil. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani berada pada usia yang produktif atau usia kerja. Tingkat Pendidikan Responden Tingkat pendidikan memiliki pengaruh terhadap jalannya kegiatan usahatani. Petani yang memiliki tingkat pendidikan tinggi diharapkan dapat mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan ataupun teknologi, sehingga dalam melakukan kegiatan usahatani dapat dijalankan dengan lebih baik. Berikut ini adalah Tabel 10 yang menunjukkan sebaran responden menurut tingkat pendidikan di Kecamatan Parung tahun 2015. Tabel 10 Sebaran responden menurut tingkat pendidikan di Kecamatan Parung tahun 2015 Tingkat pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%) SD 16 40 SMP 8 20 SMA 14 35 Sarjana (S1) 2 5 Total 40 100 Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat bahwa jenjang tingkat pendidikan responden bervariasi. Persentase tingkat pendidikan tertinggi berada pada jenjang
28
SD, yaitu sebanyak 40 persen atau 16 orang. Selanjutnya diikuti oleh tingkat pendidikan jenjang SMA, yaitu sebanyak 35 persen atau 14 orang. Meskipun masih banyak responden yang menempuh pendidikan hanya sampai SD, tetapi terdapat dua responden yang dapat menempuh pendidikan sampai sarjana (S1). Alasan petani tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dikarenakan kurangnya biaya, sehingga melanjutkan pendidikan tidak dijadikan sebagai prioritas mereka. Status Pengusahaan Ikan Status pengusahaan ikan terbagi menjadi dua, yaitu sebagai pekerjaan utama dan sampingan. Status pengusahaan ikan termasuk ke dalam salah satu karakteristik responden karena dapat mencerminkan keseriusan petani dalam melakukan usahataninya. Cara membedakan pekerjaan utama dan sampingan ini dengan melihat banyaknya waktu yang diluangkan oleh petani untuk melakukan pekerjaan tersebut. Waktu yang paling banyak diluangkan menunjukkan bahwa pekerjaan tersebut adalah pekerjaan utama mereka. Berikut ini adalah Tabel 11 yang menunjukkan sebaran responden menurut status pengusahaan ikan di Kecamatan Parung tahun 2015. Tabel 11 Sebaran responden menurut status pengusahaan ikan di Kecamatan Parung tahun 2015 Status pengusahaan Jumlah (orang) Persentase (%) Pekerjaan utama 15 37.5 Pekerjaan sampingan 25 62.5 Total 40 100.0 Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat bahwa persentase status pengusahaan ikan tertinggi terletak pada pekerjaan sampingan, yaitu sebanyak 62.5 persen atau 15 orang. Sehingga petani yang dijadikan responden sebagian besar melakukan budidaya ikan hias guppy sebagai pekerjaan sampingan mereka. Pekerjaan utama mereka diantaranya seperti petani ikan konsumsi, petani ikan hias selain jenis guppy, pemilik toko, dan satpam. Alasan mereka tidak mengutamakan budidaya ikan hias guppy karena jenis ikan hias ini tidak memerlukan perhatian khusus dalam kegiatan usahataninya (dari segi teknik budidaya lebih mudah) namun dapat menghasilkan tambahan penghasilan yang cukup besar.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan Pengusahaan Ikan Hias Guppy di Kecamatan Parung Ikan hias guppy (Poecilia reticulata) merupakan salah satu jenis ikan hias yang hidup di air tawar. Ikan hias guppy berjenis kelamin jantan memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan banyak diminati konsumen karena memiliki variasi warna yang menarik dengan corak sirip yang beragam di bagian ekornya. Selain itu, ikan hias guppy merupakan jenis ikan hias pendamai yang dapat ditempatkan
29
bersama ikan hias jenis lainnya yang sama-sama jinak. Sehingga di kalangan penggemar akuarium dan ikan hias, ikan ini banyak dicari oleh penggemar ikan hias dan akuarium. Dari segi teknik budidaya, ikan ini cukup mudah untuk dikembangbiakkan. Ikan ini pada awalnya dibudidayakan oleh masyarakat untuk digunakan sebagai pengontrol nyamuk. Namun pada tahun 2010, terdapat petani ikan hias yang kemudian mengembangbiakkan ikan hias guppy menjadi ikan yang memiliki warna ekor lebih menarik. Mereka melakukan kawin silang antar jenis ikan hias guppy agar didapatkan ikan hias guppy yang diminati konsumen, sehingga memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi dari sebelumnya. Pengembangan ikan hias guppy di Kecamatan Parung didukung oleh potensi sumberdaya yang ada di Kecamatan Parung dalam meningkatkan produksi ikan hias guppy, seperti luas wilayah, suhu, dan iklim. Pada tahun 2011, produksi ikan hias guppy di Kecamatan Parung meningkat pesat dengan laju pertumbuhan sebesar 874.21 persen per tahun. Peningkatan ini disebabkan karena petani berhasil mengembangbiakkan jenis-jenis ikan hias guppy yang memiliki warna tubuh dan ekor yang menarik, seperti jenis lemon dan scotlight. Ikan hias guppy jenis lemon memiliki tubuh dan ekor berwarna kuning cerah, sedangkan ikan hias guppy jenis scotlight memiliki tubuh berwarna hijau kebiruan dengan bintik hitam pada ekornya. Ikan ini kemudian banyak diminati konsumen dan direspon baik oleh petani di Kecamatan Parung yang ditunjukkan dari adanya peningkatan produktivitas ikan hias guppy pada saat itu. Pada tahun 2014, produksi ikan hias guppy di Kecamatan Parung meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar 22.33 persen per tahun. Tingginya laju pertumbuhan produksi ini dikarenakan adanya jenis ikan hias guppy baru yang berhasil dikembangbiakkan pada saat itu. Jenis ikan hias guppy yang berhasil dikembangkan adalah jenis halfmoon. Ikan hias guppy jenis halfmoon ini kemudian banyak dikembangbiakkan dan diproduksi petani di Kecamatan Parung hingga saat ini. Ikan hias guppy jenis halfmoon memiliki warna pelangi pada tubuh dan ekornya. Selain itu, ekor dari jenis halfmoon berbentuk setengah bulan dan berukuran besar. Dari 40 petani ikan hias guppy yang dijadikan sebagai responden, sebanyak 37 petani membudidayakan ikan hias guppy jenis halfmoon, sedangkan sisanya membudidaya ikan hias guppy jenis lemon, scotlight, blackmoscow, dan red eye.
Kegiatan Budidaya Ikan Hias Guppy di Kecamatan Parung Kegiatan budidaya ikan hias guppy yang dilakukan oleh petani di Kecamatan Parung sebagian besar dimulai dari kegiatan pembenihan ikan. Petani tidak membeli benih ikan, melainkan petani melakukan pembenihan ikan sendiri. Setiap petani memiliki lama pemeliharaan ikan yang berbeda. Lama pemeliharaan ikan hias guppy di Kecamatan Parung antara dua hingga tiga bulan. Kegiatan budidaya ikan hias guppy dari persiapan tempat pemeliharaan hingga pemanenan diantaranya adalah persiapan tempat pemeliharaan, pembenihan ikan, pemeliharaan dan pembesaran ikan, pengecekan kondisi ikan, serta pemanenan.
30
Persiapan Tempat Pemeliharaan Hal pertama yang dilakukan petani di Kecamatan Parung dalam kegiatan budidaya ikan hias guppy adalah mempersiapkan tempat pemeliharaan ikan. Tempat pemeliharaan ikan yang digunakan oleh petani terdapat dua jenis, yaitu kolam dan akuarium. Namun, akuarium tidak banyak digunakan oleh petani di Kecamatan Parung karena tidak semua petani memiliki modal yang besar untuk membelinya. Kegiatan awal yang dilakukan oleh petani adalah membersihkan tempat pemeliharaan dari alga atau lumut yang menempel pada dinding tempat pemeliharaan. Pembersihan ini dilakukan dengan cara mengeringkan air yang terdapat di dalam tempat pemeliharaan. Setelah itu, petani menggosok seluruh dinding-dinding dan permukaan tempat pemeliharaan dengan menggunakan spons. Petani menggunakan spons karena untuk menghindari kerusakan tempat pemeliharaan yang dilapisi terpal. Pembersihan tempat pemeliharaan ini tidak menggunakan sabun agar tidak meracuni ikan ketika ikan dimasukkan. Tempat pemeliharaan yang telah dibersihkan dari alga, kegiatan selanjutnya adalah mengisi tempat dengan air yang baru. Kedalaman air yang digunakan petani berkisar antara 15 hingga 30 cm. Air yang digunakan adalah air tanah. Setelah tempat pemeliharaan diisi dengan air, kemudian tempat pemeliharaan ditambahkan garam ikan. Banyaknya garam ikan yang diberikan sesuai dengan besarnya tempat pemeliharaan. Kegiatan terakhir yang dilakukan adalah membiarkan air di tempat pemeliharaan selama beberapa jam untuk menetralkan pH dan suhu air. Pemberian garam ikan dilakukan untuk mempercepat proses penetralan air. Hal ini karena apabila air yang baru tersebut tidak diberikan garam ikan, maka penetralan pH dan suhu air dapat berlangsung selama satu hingga dua hari. Besarnya pH yang baik untuk ikan hias guppy berkisar antara 6 hingga 7, sedangkan suhu yang baik untuk ikan hias guppy mencapai 25 hingga 28 oC. Suhu rata-rata wilayah Kecamatan Parung berkisar antara 20 hingga 29 oC, sehingga Kecamatan Parung cocok digunakan untuk memproduksi ikan hias guppy. Kualitas air yang baik dapat mendukung perkembangan ikan secara optimal. Setelah air sudah netral, maka tempat pemeliharaan sudah dapat digunakan untuk budidaya. Pembenihan Ikan Hal yang dilakukan petani di Kecamatan Parung selanjutnya dalam kegiatan budidaya ikan hias guppy adalah pembenihan ikan. Induk ikan yang digunakan adalah induk yang telah berumur empat bulan untuk betina dan berumur 40 hari untuk jantan. Umur tersebut adalah umur yang telah siap untuk dikawinkan atau umur yang sudah matang. Masa produktif dari induk betina adalah empat bulan. Hal ini karena ketika betina sudah mencapai umur delapan bulan, benih yang dihasilkan dari induk menjadi berkurang. Sedangkan masa produktif dari induk jantan adalah tiga bulan. Hal ini karena pada umur tersebut, induk jantan sudah tidak mampu untuk mengejar betina pada saat proses perkawinan. Ikan hias guppy berkembang biak dengan cara melahirkan atau beranak (benih). Pemilihan induk yang baik juga perlu dilakukan agar benih yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik. Ciri-ciri dari induk jantan yang baik yaitu mempunyai benjolan di bagian belakang sirip perut, memiliki warna ekor yang
31
cerah, tubuh yang ramping, kepala yang besar, dan sirip punggung yang panjang (Gambar 4a). Sedangkan ciri-ciri dari induk betina yang baik yaitu tidak mempunyai benjolan di bagian belakang sirip perut, memiliki tubuh yang relatif besar, dan bentuk tubuh yang mengembung (Gambar 4b).
(a)
(b)
Gambar 4 Bentuk dari induk ikan hias guppy di Kecamatan Parung (a) jantan (b) betina Induk-induk yang telah dipilih, kemudian dimasukkan ke dalam satu tempat untuk dilakukan proses pemijahan. Pada satu tempat tersebut, petani meletakkan induk betina lebih banyak dibandingkan dengan induk jantan. Perbandingan antara induk betina dan jantan dalam satu tempat adalah 3 : 1, misalnya 300 ekor untuk induk betina dan 100 ekor untuk induk jantan. Proses pemijahan ini biasanya berlangsung selama satu hari, sehingga pada keesokan harinya induk betina akan melahirkan benih. Ciri atau tanda kehamilan pada induk betina dapat dilihat dengan perutnya yang menggelembung. Dalam satu kali pemijahan, biasanya induk betina akan hamil satu hingga lima kali masa hamil. Hal ini dikarenakan induk betina dapat menyimpan sperma dari induk jantan di dalam tubuhnya. Satu ekor induk betina dapat menghasilkan benih ikan sebanyak 30 hingga 100 ekor benih secara bertahap, sehingga hal ini dapat menguntungkan petani karena benih ikan yang hasilkan cukup banyak. Benih yang telah dihasilkan kemudian segara dipindahkan ke tempat pemeliharaan baru yang telah dipersiapkan sebelumnya. Hal ini dilakukan agar induk ikan tidak memakan benih yang mereka lahirkan. Pakan yang diberikan untuk induk dan benih ikan adalah kutu air yang dicari sendiri oleh petani, tetapi beberapa petani ada yang menggunakan pelet sebagai pengganti dari kutu air. Kegunaan kutu air bagi induk ikan adalah untuk mempercepat pematangan sel telur induk. Kutu air sangat diperlukan bagi benih karena memiliki ukuran yang kecil dan sesuai dengan ukuran mulut benih. Benih ikan dapat diberikan pakan ketika umurnya sudah lebih dari empat hari. Pemberian pakan dilakukan setiap hari sebanyak dua hingga tiga kali, yaitu pagi, siang, atau sore hari. Pemeliharaan dan Pembesaran Ikan Kegiatan budidaya ikan hias guppy selanjutnya adalah pemeliharaan dan pembesaran ikan. Ikan hias guppy yang telah berumur sepuluh hari, disortir jenis kelaminnya untuk dipindahkan ke tempat pemeliharaan baru sesuai dengan jenis kelaminnya. Jenis kelamin ikan hias guppy yang diminati oleh konsumen adalah
32
jantan karena jenis tersebut memiliki warna ekor yang cerah dan tubuh yang indah. Untuk menghasilkan warna ekor dan tubuh yang indah, jumlah ikan jantan yang dipelihara dalam satu tempat pemeliharaan tidak sebanyak ikan betina. Warna ekor dari jenis betina tidak cerah dan tubuhnya cenderung berwarna gelap, sehingga dalam satu tempat pemeliharaan diletakkan ikan betina yang jumlahnya lebih banyak. Oleh sebab itu, petani lebih fokus memelihara dan membesarkan ikan berjenis kelamin jantan. Namun ikan betina juga dipelihara dan dibesarkan petani karena ikan ini dapat dijual kepada petani ikan lele sebagai pakan dari ikan lele. Ikan jantan dan betina dipelihara hingga mencapai umur yang siap untuk dipasarkan. Pakan yang dapat diberikan untuk ikan hias guppy berumur lebih dari sepuluh hari adalah cacing, pelet, atau kutu air. Pemberian pakan ini dilakukan setiap hari dengan masing-masing hari diberikan sebanyak dua hingga tiga kali, yaitu pada pagi, siang, atau sore hari. Cacing dan kutu air merupakan pakan alami, sedangkan pelet merupakan pakan buatan. Kegunaan dari pakan cacing adalah untuk pembesaran tubuh ikan. Kegunaan dari pakan kutu air adalah untuk memperindah ekor dan warna tubuh dari ikan. Sedangkan kegunaan dari pakan pelet adalah untuk membesarkan dan memperindah tubuh ikan. Petani yang biasanya menggunakan pakan pelet adalah petani yang tidak memiliki waktu untuk mencari pakan alami. Pakan pelet yang digunakan petani berbentuk bubuk dan memiliki ukuran yang kecil, sehingga dapat dimakan oleh benih yang berumur kurang dari sepuluh hari. Ketika pakan pelet ditebar di tempat pemeliharaan, pakan tersebut langsung menyebar ke seluruh area. Terdapat lima petani yang menggunakan pakan pelet sebagai pengganti dari pakan alami, baik untuk induk hingga pembesaran ikan. Petani-petani tersebut selama kegiatan budidaya ikan hias guppy tidak menggunakan pakan cacing dan kutu air. Cacing yang digunakan petani di Kecamatan Parung sebagai pakan ikan adalah cacing sutera. Terdapat 15 petani yang mendapatkan cacing dengan cara mencari sendiri di sungai-sungai kecil terdekat, sedangkan sisanya mendapatkan cacing dengan cara membeli dari toko pakan ikan. Petani mencari cacing pada pagi hari. Pencarian cacing ini dilakukan satu kali dalam sehari, sehingga ketika sore hari petani tidak lagi mencari cacing. Cacing yang telah didapatkan petani kemudian diendapkan agar cacing-cacing tersebut naik ke permukaan atas dan mengumpul. Hal ini untuk memudahkan petani dalam pengambilan cacing. Ketika cacing telah mengumpul, cacing-cacing tersebut dapat langsung diberikan kepada ikan sesuai dengan jumlah ikan dalam tempat pemeliharaan. Banyaknya cacing yang diberikan tidak boleh berlebihan karena sisa dari cacing tersebut akan merusak kualitas air dan memberikan penyakit bagi ikan. Kutu air yang digunakan petani di Kecamatan Parung sebagai pakan didapatkan dengan cara mencari sendiri di empang-empang terdekat. Petani di Kecamatan Parung tidak ada yang membeli kutu air di toko pakan ikan karena toko yang menjual kutu air sulit untuk ditemukan. Petani mencari kutu air pada pagi hari (sekitar pukul 05.30 hingga 06.30 WIB) dan sore hari (sekitar pukul 17.00 WIB). Kutu air yang telah didapatkan petani kemudian langsung diberikan kepada ikan. Hal ini karena untuk menghindari matinya kutu air. Kutu air yang mati tidak disukai ikan. Pemberian kutu air juga tidak boleh berlebihan agar kutu air yang tersisa tidak merusak kualitas air dan memberikan penyakit bagi ikan.
33
Pengecekan Kondisi Ikan Kegiatan budidaya ikan hias guppy selanjutnya adalah pengecekan kondisi ikan. Pengecekan kondisi ikan dilakukan setiap hari pada saat petani memberi pakan. Pengecekan kondisi ikan ini diperlukan untuk mencegah penyebaran penyakit ikan. Jadi, ketika salah satu ikan ada yang sakit, ikan tersebut dapat langsung dipisahkan dari kelompoknya dan diberikan pengobatan. Kesehatan ikan sangat penting bagi petani karena ikan yang sakit dapat mengurangi jumlah dan kualitas ikan. Penyakit yang biasanya menyerang ikan adalah white spot, jamur, dan pembengkakan pada tubuh ikan. Obat-obat yang digunakan petani ketika penyakit menyerang ikan adalah garam ikan, larutan methylene blue, ataupun kapsul supertetra. Pemberian obat-obatan ini juga dilakukan untuk mencegah penyakit. Obat yang banyak digunakan petani adalah garam ikan. Hal ini karena garam ikan dapat memicu daya tubuh ikan terhadap penyakit dan memiliki harga yang terjangkau oleh petani. Pengecekan kondisi ikan juga dilakukan untuk melihat keberadaan hama di tempat pemeliharaan. Keberadaan hama juga dapat mengurangi jumlah dan kualitas ikan, sehingga harus ditanggulangi. Hama yang biasanya menyerang ikan hias guppy adalah burung, kodok, dan kutu jarum. Burung menjadi hama karena burung dapat memakan ikan yang dipelihara di kolam. Petani di Kecamatan Parung banyak yang melakukan budidaya dengan menggunakan kolam sebagai tempat pemeliharaannya. Pencegahan hama burung yang dilakukan petani adalah dengan memberikan penutup, seperti paranet dan terpal (Gambar 5). Paranet dan terpal ini selain itu mencegah hama burung, juga untuk mencegah daun yang jatuh ke kolam.
Gambar 5 Penggunaan paranet pada usaha ikan hias guppy di Kecamatan Parung Hama selanjutnya adalah kodok. Bagian kodok yang menjadi hama adalah telurnya. Kodok ini apabila bertelur di tempat pemeliharaan, maka dapat menyebabkan kematian pada ikan. Hama kodok ini biasanya dialami petani yang melakukan budidaya ikan di kolam. Cara mengatasi hama kodok adalah dengan memberikan jaring di sekitar tempat pemeliharaan. Pemanenan Kegiatan budidaya ikan hias guppy selanjutnya adalah pemanenan. Ikan yang siap untuk dipanen adalah ikan yang telah berumur dua hingga tiga bulan
34
(untuk jenis jantan). Pemanenan ikan biasanya dilakukan pada hari libur, yaitu sabtu dan minggu. Hal ini karena hari-hari tersebut adalah hari datangnya tengkulak (pengumpul ikan) atau pedagang ke petani. Pemanenan dilakukan pada pagi hari atau sore hari. Sedangkan untuk jenis betina, ikan yang siap untuk dipanen adalah ikan yang telah berumur empat hingga lima bulan. Waktu pemanenan ikan jenis betina tidak menentu. Hal ini karena ikan betina yang dipanen tidak mementingkan kualitas. Ikan betina biasanya dijual kepada petani ikan lele sebagai pakan ikan. Pemanenan ikan hias guppy (untuk jenis jantan) dilakukan dengan cara sederhana. Hal pertama yang dilakukan adalah melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan saringan. Penangkapan ini harus dilakukan hati-hati agar tidak mengurangi kualitas dan kesehatan ikan. Kualitas ikan ini dilihat dari bentuk ekor ikan. Sehingga apabila ekor ikan mengalami patah pada saat penyerokan, hal ini dapat merugikan petani. Setelah ikan ditangkap, kemudian jumlah ikan dihitung dan dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah diisikan gas oksigen. Kantong plastik dan gas oksigen disediakan oleh tengkulak atau pedagang. Pada proses pemanenan, petani tidak melakukan penyortiran. Hal ini karena penyortiran dilakukan sendiri oleh tengkulak atau pedagang.
Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Ikan Hias Guppy di Kecamatan Parung Faktor-faktor yang digunakan dalam memproduksi ikan hias guppy di Kecamatan Parung diantaranya adalah luas lahan, jumlah benih, pakan kutu air, pakan cacing, pakan pelet, obat-obatan, tenaga kerja, dan peralatan produksi. Berikut ini adalah Tabel 12 yang menunjukkan rata-rata, standar deviasi, maksimum, dan minimum penggunaan faktor-faktor produksi ikan hias guppy di Kecamatan Parung tahun 2015. Tabel 12
Rata-rata, standar deviasi, minimum, dan maksimum penggunaan faktor-faktor produksi ikan hias guppy di Kecamatan Parung tahun 2015
Faktor Produksi Luas lahan (m2) Jumlah benih (ekor) Pakan kutu air (kg) Pakan cacing (L) Pakan pelet (kg) Obat-obatan (kg) Tenaga kerja (HOK)
Rata-rata 30.09 34 061.00 121.84 51.18 30.44 36.94 63.03
Standar Deviasi 17.97 13 901.00 77.64 50.70 50.01 33.19 24.56
Minimum 8.00 9 600.00 30.24
Maksimum 96.25 68 571.00 252.00 185.14 33.19 170.67 130.32
Lahan Lahan merupakan faktor utama yang digunakan dalam memproduksi ikan hias guppy. Hal ini karena lahan dibutuhkan sebagai tempat berlangsungnya proses produksi dari benih hingga menjadi ikan hias yang siap untuk dijual. Petani responden memiliki lahan yang dekat dengan tempat tinggalnya dengan luas lahan yang beragam. Lahan untuk budidaya ikan hias guppy tidak membutuhkan luasan yang terlalu besar, sehingga petani dapat menggunakan lahan sisa di sekitar
35
rumahnya. Selain itu, alasan lain dalam memilih lokasi lahan yang dekat ini adalah untuk memudahkan petani dalam mengawasi dan memberi makan ikan yang dibudidayakannya. Terdapat 17 petani responden atau 42.5 persen yang menggunakan lahannya untuk membudidayakan berbagai macam jenis ikan hias. Jenis-jenis ikan hias yang dipelihara diantaranya adalah guppy, cupang, manfish, dan koki. Petani responden menggunakan sistem pertanian polikultur dengan memisahkan lahan untuk setiap jenis ikan hias yang dibudidayakan. Proporsi lahan yang digunakan untuk budidaya ikan hias guppy berkisar antara 8 hingga 96.25 m2 dengan ratarata luas lahan yang digunakan sebesar 30.09 m2. Lahan yang digunakan petani untuk budidaya ikan hias guppy memiliki luas lahan yang beragam dengan nilai standar deviasi sebesar 17.97 (dapat dilihat pada Tabel 12). Lahan yang digunakan petani responden terbagi ke dalam dua jenis tempat, yaitu kolam dan akuarium. Jumlah petani responden yang menggunakan kolam sebagai tempat budidayanya sebanyak 37 petani atau 92.5 persen dari total petani responden, sedangkan sisanya menggunakan akuarium. Petani responden yang menggunakan akuarium juga menggunakan kolam sebagai tempat budidayanya. Hal ini karena akuarium yang digunakan hanya untuk memelihara ikan hias jenis jantan, sedangkan untuk induk, benih, dan jenis betina dipelihara di kolam. Total luas kolam yang digunakan seluruh petani responden untuk budidaya ikan hias guppy adalah 1 186.34 m2, sedangkan total luas akuarium yang digunakan adalah 17.20 m2. Jumlah Benih Benih merupakan faktor produksi selanjutnya yang digunakan dalam memproduksi ikan hias guppy. Benih yang digunakan oleh petani responden adalah benih hasil dari pembenihan langsung oleh petani. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani responden, semakin banyak jumlah benih yang digunakan, maka semakin banyak juga ikan hias guppy yang akan dihasilkan. Banyaknya benih yang dihasilkan tergantung dari jumlah dan kualitas induk yang digunakan. Total induk betina yang digunakan seluruh petani responden sebanyak 41 324 ekor dengan rata-rata sebesar 1 033 ekor, sedangkan total induk jantan yang digunakan adalah 8 933 ekor dengan rata-rata sebesar 223 ekor. Induk betina digunakan petani responden selama empat bulan, sedangkan induk jantan hanya digunakan selama satu bulan. Induk-induk yang sudah tidak digunakan dalam pembenihan ikan kemudian dijual oleh petani responden. Induk jantan lebih cepat untuk dijual dibandingkan dengan induk betina karena induk jantan yang sudah berumur tua memiliki ekor yang semakin lebar. Ekor yang semakin lebar ini membuat induk jantan tidak mampu untuk mengejar betina pada saat proses perkawinan. Rata-rata benih yang digunakan petani responden selama tahun 2015 sebanyak 34 061 ekor. Terdapat keragaman yang cukup tinggi pada petani responden dalam menggunakan benih. Hal ini dapat dilihat dari nilai standar deviasi jumlah benih yang digunakan petani tinggi, yaitu 13 901.00 (dapat dilihat pada Tabel 12). Keragaman yang tinggi ini karena setiap petani responden memiliki jumlah induk yang berbeda untuk memproduksi benih, sehingga berpengaruh terhadap jumlah benih yang digunakan.
36
Pakan Kutu Air Kutu air merupakan salah satu faktor produksi yang penting dalam memberikan nutrisi pada ikan hias. Kutu air mengandung kurang lebih 66 persen protein dan 6 persen lemak. Petani responden menggunakan kutu air untuk diberikan kepada induk dan benih. Kutu air yang diberikan kepada induk ikan bertujuan untuk mempercepat proses produksi telur. Sedangkan kutu air yang diberikan kepada benih ikan bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan dan perkembangan benih. Jenis kutu air yang digunakan oleh petani responden sebagai pakan induk dan benih ikan adalah Daphnia sp. Terdapat 35 petani responden atau 87.5 persen yang menggunakan kutu air sebagai pakan bagi induk ikan. Sedangkan petani responden yang menggunakan kutu air sebagai pakan bagi benih sebanyak 34 petani atau 85 persen. Alasan penggunaan kutu air sebagai pakan bagi benih adalah ukuran tubuh kutu air yang relatif kecil sangat sesuai dengan lebar bukaan mulut benih (Gambar 6). Pada saat benih baru lahir, benih masih memiliki cadangan makanan. Cadangan makanan ini hanya tersedia selama empat hari setelah benih lahir. Ketika cadangan makanan itu habis, benih membutuhkan pakan yang sesuai dengan ukuran mulutnya. Oleh sebab itu, kutu air cocok diberikan kepada benih yang memiliki ukuran mulut relatif kecil. Selain itu, sifat dari kutu air yang selalu bergerak aktif akan merangsang pergerakan benih. Benih yang sering bergerak ini akan mempercepat pertumbuhan dan memperindah ekor benih, sehingga dapat meningkatkan kualitas dari benih.
Gambar 6 Bentuk dari kutu air pada usaha ikan hias guppy di Kecamatan Parung Berdasarkan Tabel 12 dapat dilihat bahwa rata-rata penggunaan kutu air sebagai pakan ikan hias guppy pada petani responden selama tahun 2015 sebanyak 121.84 kg. Terdapat lima petani responden yang tidak menggunakan pakan kutu air. Petani-petani tersebut menggunakan pakan pelet sebagai pengganti pakan kutu air karena mereka tidak memiliki waktu untuk mencari pakan kutu airnya. Keragaman dari penggunaan pakan kutu air sangat tinggi yang dapat dilihat dari nilai standar deviasinya yang tinggi, yaitu 77.64. Hal ini karena tidak semua petani responden menggunakan kutu air sebagai pakan ikannya, tetapi terdapat petani responden yang menggunakan kutu air sebagai pakan ikan dalam jumlah yang banyak. Kutu air merupakan pakan alami yang dapat dicari langsung oleh petani di dekat tempat tinggalnya. Rata-rata petani responden bertempat tinggal di dekat dengan empang-empang lele, patin, atau ikan konsumsi lainnya. Empang-empang tersebut merupakan tempat hidup atau habitat dari kutu air. Berdasarkan hasil wawancara, petani responden lebih memilih untuk mencari kutu air dibandingkan
37
dengan membeli artemia karena artemia memiliki harga yang tinggi, sehingga tidak ekonomis bagi petani. Selain itu, toko-toko yang menjual artemia sulit untuk ditemukan di sekitar tempat tinggal petani. Oleh sebab itu, petani lebih memilih untuk mencari langsung kutu airnya di empang-empang terdekat meskipun membutuhkan waktu dan tenaga yang lebih besar. Pemberian pakan kutu air untuk induk ikan dilakukan setiap hari hingga induk tidak lagi digunakan. Sedangkan untuk benih ikan hanya diberikan kutu air sampai benih berumur sepuluh hari. Pakan Cacing Cacing merupakan faktor produksi lainnya yang penting dalam mempercepat pertumbuhan dan perkembangan ikan. Cacing yang digunakan oleh petani responden adalah cacing sutera (Gambar 7). Cacing ini mengandung kurang lebih 57 persen protein dan 13.3 persen lemak. Petani responden menggunakan cacing untuk diberikan kepada ikan yang sudah besar atau berumur lebih dari sepuluh hari. Cacing ini digunakan untuk mempercepat pembesaran tubuh ikan karena adanya protein yang terkandung didalamnya. Sebanyak 26 petani atau 65 persen dari total petani responden yang menggunakan cacing sebagai pakan bagi pembesaran ikan. Dari 26 petani responden tersebut, 15 petani diantaranya mendapatkan cacing dengan cara mencari langsung di sungai-sungai kecil yang dekat dengan tempat tinggalnya. Sedangkan sisanya, petani mendapatkan cacing dengan cara membeli dari toko yang menjual pakan ikan. Alasan petani responden membeli cacing adalah tidak adanya waktu untuk mencari cacing meskipun tempat tinggal mereka tidak jauh dari sungai. Biasanya petani yang membeli cacing adalah petani yang memiliki pekerjaan utama disamping budidaya ikan.
Gambar 7 Bentuk dari cacing sutera pada usaha ikan hias guppy di Kecamatan Parung Berdasarkan Tabel 12 dapat dilihat bahwa rata-rata petani responden menggunakan cacing sebagai pakan ikannya selama tahun 2015 sebanyak 51.18 L. Penggunaan pakan cacing ini sangat beragam yang ditunjukkan dari besarnya nilai standar deviasinya, yaitu 50.70. Pemberian pakan cacing dilakukan setiap hari hingga ikan siap untuk dipanen. Pemberian pakan dilakukan sesuai dengan jumlah ikan yang ada, sehingga tidak menimbulkan sisa dari pakan yang diberikan.
38
Pakan Pelet Pelet merupakan pakan buatan yang digunakan petani untuk menggantikan pakan kutu air dan cacing. Pakan pelet mengandung kurang lebih 61 persen protein dan 5 persen lemak. Pakan pelet merupakan pelet yang berbentuk bubuk dan memiliki ukuran yang relatif kecil, sehingga dapat dimakan oleh benih ikan (Gambar 8). Sebanyak dua petani responden yang menggunakan pelet sebagai pengganti kutu air untuk diberikan kepada benih ikan. Sedangkan petani responden yang menggunakan pelet sebagai pengganti cacing untuk diberikan kepada ikan yang sudah besar sebanyak sembilan petani. Terdapat lima petani responden yang hanya menggunakan pelet sebagai pakan yang diberikan kepada induk ikan hingga ikan yang sudah besar. Sehingga total petani responden yang menggunakan pelet sebagai pakan bagi benih ikan sebanyak tujuh petani, sedangkan total petani responden yang menggunakan pelet sebagai pakan bagi ikan yang sudah besar sebanyak 14 petani.
Gambar 8 Bentuk dari pelet pada usaha ikan hias guppy di Kecamatan Parung Berdasarkan Tabel 12 dapat dilihat bahwa rata-rata petani responden menggunakan pelet sebagai pakan ikannya selama tahun 2015 sebanyak 30.44 kg. Penggunaan pakan pelet ini sangat beragam yang ditunjukkan dari besarnya nilai standar deviasinya, yaitu 50.01. Keragaman yang tinggi ini disebabkan karena tidak semua petani menggunakan pelet sebagai pakan ikannya, tetapi terdapat petani yang hanya menggunakan pelet sebagai pakan ikannya sehingga jumlah pakan pelet yang digunakan sangat banyak. Petani yang biasanya menggunakan pakan pelet adalah petani yang tidak memiliki waktu untuk mencari pakan alami, baik itu kutu air maupun cacing. Alasan petani memilih untuk menggunakan pelet sebagai pengganti pakan alami adalah pelet dapat digunakan untuk mempercepat pertumbuhan ikan dan memperindah ekor ikan. Sehingga pelet ini dapat menggantikan fungsi dari kutu air dan juga cacing. Tidak banyak petani yang menggunakan pelet karena menurut sebagian petani responden, pakan alami adalah pakan yang paling baik untuk pertumbuhan dan perkembangan ikan. Pemberian pelet dilakukan setiap hari hingga ikan siap untuk dipanen. Pemberian pakan ini dilakukan sesuai dengan jumlah ikan yang ada, sehingga tidak menimbulkan sisa dari pakan yang diberikan.
39
Obat-obatan Obat-obatan yang paling banyak digunakan petani responden adalah garam ikan ikan. Garam ikan ikan merupakan faktor produksi yang digunakan petani responden dalam mencegah bahkan mengobati penyakit pada ikan. Sebanyak 39 petani responden menggunakan garam ikan sebagai pencegahan dan pengobatan penyakit pada ikan. Berdasarkan hasil wawancara, pemberian garam ikan termasuk aman bagi ikan jika diberikan dengan dosis yang tepat dan sesuai. Garam ikan akan membantu dalam menyeimbangkan kondisi air. Selain itu, garam ikan juga akan memicu daya tahan tubuh ikan terhadap penyakit. Berdasarkan hasil wawancara, garam ikan mampu membunuh bakteri-bakteri yang mengganggu keberlangsungan hidup ikan. Banyaknya petani responden yang menggunakan garam ikan karena garam ikan mudah didapat dan memiliki harga yang lebih murah dibandingkan dengan obat lainnya. Pemberian garam ikan ini biasanya dilakukan petani ketika petani mengganti air lama menjadi air baru (pada waktu pembersihan kolam ataupun akuarium). Berdasarkan Tabel 12 dapat dilihat bahwa rata-rata petani responden menggunakan garam ikan sebagai obatobatan selama tahun 2015 sebanyak 36.94 kg. Tenaga Kerja Tenaga kerja merupakan faktor produksi penting lainnya dalam budidaya ikan hias. Sumber tenaga kerja yang digunakan oleh petani responden hanya berasal dari Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK). TKDK ini hanya dilakukan oleh laki-laki. Biasanya biaya untuk TKDK tidak diperhitungkan oleh petani responden karena berasal dari dalam keluarganya sendiri. Alasan petani memilih untuk tidak menggunakan Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK) karena luasan lahan yang digunakan masih kecil dan kegiatan-kegiatan budidaya yang dilakukan tidak rumit dan berat (tidak memerlukan tenaga yang besar). Berikut ini adalah Tabel 13 mengenai rata-rata penggunaan tenaga kerja dalam keluarga petani responden pada budidaya ikan hias guppy tahun 2015. Tabel 13 Rata-rata penggunaan tenaga kerja dalam keluarga petani responden pada budidaya ikan hias guppy dengan luasan 30 m2 tahun 2015 Jenis kegiatan TKDK (HOK) % terhadap total HOK Pembersihan tempat pemeliharaan 11.346 18.01 Pencarian kutu air 12.612 20.01 Pencarian cacing 6.463 10.25 Penyortiran benih 3.340 5.30 Penyortiran jenis kelamin 2.113 3.35 Pemberian pakan dan pengawasan ikan 26.047 41.32 Pemanenan 1.111 1.76 Total HOK 63.032 100.00 Berdasarkan Tabel 13, dapat dilihat bahwa terdapat tujuh jenis kegiatan yang dilakukan petani responden dalam budidaya ikan hias guppy. Kegiatan pemberian pakan dan pengawasan ikan merupakan kegiatan yang memerlukan nilai HOK lebih banyak dibandingkan dengan jenis kegiatan lainnya. Hal ini karena kegiatan pemberian pakan dan pengawasan ikan dilakukan setiap hari. Meskipun kegiatan pencarian kutu air dan cacing, serta penyortiran benih juga
40
dilakukan setiap hari, tetapi kegiatan ini hanya dilakukan satu kali setiap harinya. Sedangkan kegiatan pemberian pakan dan pengawasan ikan dilakukan setiap dua hingga tiga kali sehari, yaitu pada pagi hari, siang hari, atau sore hari. Oleh sebab itu, kegiatan pemberian pakan dan pengawasan ikan memerlukan nilai HOK yang lebih banyak. Kegiatan pencarian kutu air memerlukan nilai HOK yang lebih banyak dibandingkan dengan pencarian cacing. Hal ini karena petani merasa sulit untuk mencari kutu air dibandingkan dengan cacing. Habitat kutu air adalah empangempang kosong yang sebelumnya digunakan untuk lele, patin, atau jenis ikan konsumsi lainnya. Pencarian empang-empang tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama. Sedangkan untuk kegiatan pencarian cacing, hingga saat ini petani masih mudah untuk mendapatkan lokasi keberadaan cacing. Petani yang mencari cacing langsung di sungai-sungai terdekat tidak sebanyak dengan petani yang mencari kutu air langsung, sehingga cacing masih mudah untuk dicari dan tidak membutuhkan waktu yang cukup lama. Peralatan Produksi Peralatan produksi merupakan faktor penunjang dari budidaya ikan hias. Peralatan ini digunakan untuk membantu kelancaran proses budidaya ikan hias. Peralatan yang digunakan petani responden dalam budidaya ikan hias guppy adalah mesin pompa air, blower, aerator, paranet, jaring, hapa, saringan (kutu air, cacing, kecil, sedang, besar), baskom, bak (kecil dan besar), ember (kecil dan besar), selang air, selang aerator, paralon, dan terpal (dapat dilihat pada Lampiran 2). Pompa air merupakan mesin yang berfungsi untuk memompa air tanah. Air tanah ini adalah air yang digunakan sebagai habitat ikan hias. Semua petani responden menggunakan pompa ini untuk memompa air tanah. Blower adalah mesin yang berfungsi untuk memberikan oksigen tambahan di dalam air. Aerator memiliki fungsi yang sama dengan blower. Aerator biasanya digunakan oleh petani responden yang memiliki akuarium, sedangkan blower digunakan pada kolam. Tidak semua petani menggunakan blower dan aerator karena menurut beberapa petani penggunaan alat ini tidak terlalu penting. Apabila petani rajin membersihkan kolam dan akuarium, maka oksigen di dalam air dapat terpenuhi. Paranet digunakan untuk pencegahan hama, seperti burung. Selain itu, paranet juga digunakan untuk mencegah masuknya daun yang jatuh ke kolam. Jaring digunakan untuk pencegahan hama, seperti kodok. Hapa digunakan untuk mempercepat proses penyortiran antara benih dengan induk ikan. Benih ikan yang baru lahir akan terpisah dari induk ikan karena hapa memiliki lubang-lubang kecil yang dapat dilewati oleh benih, tetapi tidak dapat dilewati oleh induk ikan (Gambar 9) Tidak semua petani menggunakan hapa dalam proses penyortiran benih.
41
Gambar 9 Penggunaan hapa pada usaha ikan hias guppy Saringan yang digunakan petani respoden terdiri dari lima macam, yaitu saringan kutu air, saringan cacing, saringan kecil, saringan sedang, dan saring besar. Saringan kutu air digunakan untuk membantu kegiatan pencarian kutu air. Saringan ini memiliki kayu yang panjang sehingga memudahkan petani dalam mendapatkan kutu air. Saringan cacing digunakan untuk membantu kegiatan pencarian cacing. Saringan ini memiliki lubang yang rapat, sehingga lumpur (yang ada cacingnya) dan air akan terpisah. Saringan kecil adalah saringan yang memiliki diameter 20 cm, saringan sedang memiliki diameter 30 cm, dan saringan besar memiliki diameter 60 cm. Saringan kecil, sedang, dan besar digunakan untuk menangkap ikan. Baskom dan bak digunakan sebagai tempat penampungan ikan sementara. Bak kecil memiliki diameter 30 cm dan bak besar memiliki diameter 60 cm. Ember digunakan ketika petani responden mencari kutu air dan cacing. Ember kecil dengan diameter 15 cm digunakan untuk kutu air, sedangkan ember besar dengan diameter 20 cm digunakan untuk mencari cacing. Selang air digunakan untuk membantu kegiatan pengisian atau penyedotan air di kolam atau akuarium. Selang aerator digunakan untuk menyalurkan oksigen ke beberapa bagian akuarium. Paralon digunakan untuk membantu dalam mengurangi air di kolam. Namun tidak semua petani responden menggunakan alat ini. Terpal memiliki fungsi yang sama dengan paranet. Terpal ini digunakan bagi petani responden yang tidak memiliki paranet. Banyaknya jumlah peralatan-peralatan produksi yang digunakan petani responden tergantung dari seberapa luas lahan yang digunakan untuk budidaya ikan hias guppy.
Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Produksi Ikan Hias Guppy di Kecamatan Parung Analisis mengenai faktor-faktor yang memengaruhi produksi ikan hias guppy dapat dijelaskan berdasarkan hasil dari pendugaan model fungsi produksi ikan hias guppy petani responden selama tahun 2015. Model dari pendugaan fungsi produksi tersebut diperoleh dari jumlah produksi ikan hias guppy yang dijadikan sebagai dependent variable dan faktor-faktor yang memengaruhi produksi ikan hias guppy, meliputi luas lahan (X1), pakan kutu air (X2), pakan cacing (X3), pakan pelet (X4), obat-obatan (X5), tenaga kerja (X6), dan jenis tempat pemeliharaan atau dummy (X7) yang dijadikan sebagai independent variable. Variabel-variabel dari faktor yang memengaruhi produksi tersebut akan
42
dilihat seberapa besar pengaruhnya terhadap produksi ikan hias guppy di Kecamatan Parung. Variabel dari faktor produksi berupa jumlah benih dan induk ikan hias guppy tidak dimasukkan ke dalam model karena variabel ini sangat berhubungan dengan faktor produksi lainnya. Ketika faktor produksi berupa jumlah benih dan induk ditambah, maka luas lahan, pakan, dan obat-obatan yang digunakan juga ikut bertambah. Adanya hubungan antara faktor produksi jumlah benih dan induk ikan hias guppy dengan faktor produksi lainnya, hal ini membuat variabel jumlah benih dan induk ikan hias guppy memiliki nilai VIF yang tinggi atau terdapat multikolinearitas di dalam hasil pendugaan model. Sebelum dilakukan pengujian model, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang sesuai dengan OLS untuk diuji secara statistik, yaitu uji multikolinearitas dan autokorelasi pada hasil pendugaan model yang diperoleh. Pada Tabel 14 dapat dilihat bahwa tidak adanya hubungan linear antara independent variable atau tidak ada multikolinearitas dalam hasil pendugaan model. Hal ini dilihat dari nilai VIF dari masing-masing independent variable, meliputi luas lahan, pakan kutu air, pakan cacing, pakan pelet, obat-obatan, tenaga kerja, dan dummy, yang kurang dari 10. Selain itu, hasil dari pendugaan model pada produksi ikan hias guppy di Kecamatan Parung juga tidak terjadi autokorelasi karena nilai dari durbin watson yang didapatkan sebesar 1.615. Berdasarkan hasil dari uji multikolinearitas dan autokorelasi pada hasil pendugaan model yang diperoleh menunjukkan bahwa hasil pendugaan model tidak memiliki multikolinearitas dan autokorelasi. Setelah melakukan pengujian pada hasil pendugaan model, hal yang dilakukan adalah melakukan pengujian koefisien determinasi. Tabel 14 menunjukkan bahwa nilai koefisien determinasi (R2) yang didapatkan sebesar 69.9 persen. Interpretasi dari nilai R2 tersebut yaitu sebesar 69.9 persen keragaman independent variable dapat menjelaskan dependent variable. Sedangkan sisa dari nilai R2 tersebut atau sebesar 30.1 persen dependent variable dijelaskan oleh independent variable di luar model. Pengujian selanjutnya adalah pengujian parameter model atau Uji F. Pengujian ini dilakukan untuk melihat apakah independent variable yang digunakan secara bersama-sama berpengaruh nyata atau tidak terhadap dependent variable. Pada Tabel 14 menunjukkan bahwa nilai Prob dari F hitung sebesar 0.000. Nilai tersebut lebih kecil dari nilai taraf nyata yang digunakan atau selang kepercayaan yang digunakan, yaitu sebesar 0.05 atau 95 persen. Interpretasi dari nilai tersebut adalah secara bersama-sama independent variable yang digunakan dalam proses produksi ikan hias guppy mempunyai pengaruh yang nyata terhadap dependent variable (produksi ikan hias guppy). Kemudian hasil pendugaan model juga dilakukan pengujian parameter variabelnya atau uji t. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah koefisien regresi dari masing-masing independent variable yang digunakan berpengaruh nyata terhadap dependent variable. Pada Tabel 14 dapat dilihat bahwa independent variable yang memiliki pengaruh nyata terhadap dependent variable adalah pakan cacing, pakan pelet, tenaga kerja, dan dummy. Hal ini dapat dilihat dari nilai signifikansi dari masing-masing independent variable yang lebih kecil dari nilai taraf nyata yang digunakan, yaitu sebesar 0.05. Penyebaran data juga dilihat untuk mengetahui apakah terdapat heterokedastisitas dari data yang digunakan dalam pendugaan model fungsi produksi ikan hias guppy. Berdasarkan hasil yang didapat, data yang digunakan
43
dalam pendugaan model menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi masalah heterokedastisitas. Selain itu, data juga dilihat penyebarannya di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal. Hal ini untuk melihat apakah model memenuhi asumsi normalitas atau tidak. Berdasarkan hasil yang didapat, data yang digunakan dalam pendugaan model menyebar dengan normal dan telah memenuhi asumsi normalitas (dapat dilihat pada Lampiran 4). Hasil analisis pendugaan model fungsi produksi ikan hias guppy pada petani responden di Kecamatan Parung selama tahun 2015 secara statistik telah memenuhi asumsi OLS. Hal ini dapat dilihat bahwa tidak adanya multikolinearitas dan autokorelasi dari hasil pendugaan model yang didapat. Selain itu independent variable mampu menjelaskan dependent variable secara bersama-sama dan independent variable memiliki pengaruh nyata terhadap dependent variable. Terpenuhinya asumsi-asumsi tersebut menunjukkan bahwa model fungsi produksi ikan hias guppy yang diperoleh dapat digunakan untuk menduga hubungan antara independent variable terhadap dependent variable. Berikut ini adalah Tabel 14 mengenai hasil pendugaan fungsi produksi pada petani responden dan besarnya pengaruh faktor-faktor produksi terhadap produksi ikan hias guppy di Kecamatan Parung tahun 2015. Tabel 14 Hasil pendugaan fungsi produksi pada petani responden di Kecamatan Parung tahun 2015 Koefisien Standard Nilai Variabel t-hitung VIF Regresi Error Signifikansi Konstanta 4.692* 0.769 6.103 0.000 Luas lahan 0.139* 0.092 1.517 0.139 1.228 Kutu air -0.026* 0.037 -0.697 0.491 2.007 Cacing 0.223* 0.042 5.337 0.000 3.803 Pelet 0.266* 0.047 5.642 0.000 4.806 Obat-obatan -0.046* 0.047 -0.979 0.335 1.460 Tenaga kerja 0.900* 0.150 6.002 0.000 1.743 Dummy 0.371* 0.181 2.047 0.049 1.164 2 R = 69.9 persen R2(adj) = 83.6 persen F hitung = 10.637 dengan nilai Prob sebesar 0.000 *) berpengaruh nyata pada taraf nyata (α) sebesar 5 persen Nilai koefisien regresi yang didapat merupakan nilai elastisitas produksi dari independent variable tersebut. Berdasarkan Tabel 14, nilai koefisien dari hasil pendugaan model fungsi produksi sebesar 6.519. Nilai tersebut menunjukkan bahwa dengan pemberian faktor-faktor produksi atau input produksi yang sedikit, seperti luas lahan, pakan kutu air, pakan cacing, pakan pelet, obat-obatan, dan tenaga kerja, maka produksi ikan hias guppy yang akan didapatkan petani sebesar 6.519 persen. Nilai koefisien dari hasil pendugaan model, yaitu sebesar 6.519 menunjukkan bahwa daerah produksi dari budidaya ikan hias guppy masih berada pada daerah I atau daerah irrasional. Hal ini memiliki arti bahwa budidaya ikan hias guppy masih perlu dikembangkan karena dengan faktor-faktor produksi yang digunakan belum menghasilkan hasil produksi yang maksimum.
44
Faktor-faktor produksi yang memiliki pengaruh nyata terhadap produksi ikan hias guppy adalah pakan cacing, pakan pelet, tenaga kerja, dan dummy. Dari keempat faktor tersebut, faktor yang paling responsif terhadap produksi ikan hias guppy adalah tenaga kerja. Berikut ini adalah pengaruh dari masing-masing faktor-faktor produksi (independent variable) terhadap produksi ikan hias guppy (dependent variable). Tenaga Kerja Tenaga kerja merupakan faktor produksi yang digunakan untuk mengatur dan mengontrol seluruh proses budidaya ikan hias guppy berlangsung. Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa variabel tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi ikan hias guppy dan memiliki nilai koefisien regresi yang positif. Koefisien regresi yang positif tersebut memiliki arti bahwa apabila terjadi penambahan faktor produksi berupa jam tenaga kerja, maka produksi ikan hias guppy akan meningkat dengan menganggap bahwa faktor produksi lainnya tetap (ceteris paribus). Arti tersebut telah sesuai dengan hipotesis sebelumnya yang menyatakan bahwa semakin banyak tenaga kerja yang digunakan, maka produksi ikan hias guppy akan semakin meningkat. Tenaga kerja merupakan faktor kunci dari proses budidaya ikan hias guppy. Hal ini membuat tenaga kerja memiliki nilai koefisien regresi yang paling besar diantara faktor produksi lainnya atau tenaga kerja yang paling responsif terhadap peningkatan produksi ikan hias guppy dibandingkan dengan faktor produksi lain. Berdasarkan Tabel 13 dapat dilihat bahwa kegiatan budidaya yang paling banyak menggunakan tenaga kerja terdapat pada kegiatan pemberian pakan dan pengawasan ikan. Pemberian pakan merupakan faktor yang paling menentukan dalam keberlangsungan hidup ikan. Pemberian pakan yang tidak tepat waktu atau dalam jumlah yang tidak tepat, dapat mengancam kehidupan ikan. Pengawasan ikan yang dimaksudkan adalah ikan hias selalu dilihat pertumbuhan dan perkembangannya, serta dilihat apakah terdapat ikan yang terserang penyakit atau tidak. Selain itu, petani juga mengawasi lingkungan tempat tinggal ikan. Apabila terdapat hama yang mengganggu habitat ikan, petani dapat langsung mengatasinya. Berdasarkan hasil survei langsung, petani responden yang lebih rajin dalam melakukan budidaya ikan hias guppy, mendapatkan hasil produksi yang lebih banyak dibandingkan dengan petani yang malas. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan hasil produksi yang tinggi, maka harus memperhatikan bagaimana tenaga kerja mengatur pengelolaan selama proses budidaya ikan hias guppy yang dapat dilihat dari seberapa besar jam kerja yang dikeluarkan selama budidaya ikan hias guppy berlangsung. Dummy (Jenis Tempat Pemeliharaan) Dummy yang digunakan dalam pendugaan model adalah penggunaan jenis tempat pemeliharaan. Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa variabel dummy berpengaruh nyata terhadap produksi ikan hias guppy dan memiliki nilai koefisien regresi yang positif. Koefisien regresi yang positif tersebut memiliki arti bahwa menggunakan tempat pemeliharaan berjenis kolam dalam budidaya ikan hias guppy akan meningkatkan produksi ikan hias guppy dibandingkan dengan menggunakan tempat pemeliharaan berjenis akuarium. Hal ini karena kolam
45
memiliki luasan yang besar jika dibandingkan dengan akuarium, sehingga petani responden yang menggunakan kolam dapat memelihara ikan hias guppy lebih banyak. Rata-rata satu buah kolam yang dimiliki oleh petani responden memiliki luas sebesar 3.25 m2. Dalam luasan tersebut rata-rata petani responden memelihara ikan hias guppy sebanyak 1 127 ekor. Sedangkan rata-rata satu buah akuarium yang dimiliki oleh petani responden memiliki luas sebesar 0.4 m2. Dalam luasan tersebut rata-rata petani responden memelihara ikan hias guppy sebanyak 267 ekor. Oleh sebab itu, hasil produksi ikan hias guppy dengan menggunakan tempat pemeliharaan jenis kolam lebih tinggi jika dibandingkan dengan tempat pemeliharaan jenis akuarium. Pakan Pelet Pelet merupakan pakan buatan yang digunakan oleh petani responden untuk diberikan kepada ikan hias guppy, baik untuk induk, benih, ataupun ikan yang sudah besar. Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa variabel pakan pelet berpengaruh nyata terhadap produksi ikan hias guppy dan memiliki nilai koefisien regresi yang positif. Koefisien regresi yang positif tersebut memiliki arti bahwa apabila terjadi penambahan faktor produksi berupa pakan pelet, maka produksi ikan hias guppy akan meningkat dengan menganggap bahwa faktor produksi lainnya tetap (ceteris paribus). Maksud tersebut sesuai dengan hipotesis sebelumnya yang menyatakan bahwa semakin banyak pakan pelet yang diberikan, maka produksi ikan hias guppy akan semakin meningkat. Pakan pelet berpengaruh nyata terhadap produksi ikan hias guppy karena pakan ini memiliki kandungan berupa protein dan lemak yang dibutuhkan dalam pertumbuhan ikan hias guppy. Berdasarkan hasil survei langsung, pakan pelet diberikan ketika ikan masih berupa benih. Sehingga pakan ini dapat menggantikan fungsi dari pakan kutu air. Penggunaan pakan pelet ini juga sangat penting terutama pada saat proses pembesaran ikan hias guppy karena kandungan proteinnya yang cukup tinggi, yaitu sebesar 61 persen. Pakan pelet diberikan ketika ikan masih berupa benih hingga ikan menjadi besar dan siap untuk dijual. Sehingga pakan pelet diberikan dalam jumlah yang banyak pada ikan hias guppy karena waktu pemberian pakan yang panjang. Pakan pelet memiliki nilai koefisien regresi yang lebih besar dibandingkan dengan pakan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pakan pelet lebih responsif terhadap peningkatan produksi ikan hias guppy dibandingkan dengan pakan lain. Meskipun begitu, tidak banyak petani responden yang menggunakan pakan pelet karena pakan ini hanya dapat dibeli di toko yang menjual pakan ikan sehingga membutuhkan biaya. Sedangkan pakan kutu air dan cacing, petani dapat mencari langsung di sekitar tempat tinggalnya sehingga mereka tidak membutuhkan biaya. Pakan Cacing Cacing merupakan pakan alami yang banyak digunakan oleh petani responden untuk diberikan kepada ikan hias guppy yang sudah besar atau berumur lebih dari sepuluh hari. Cacing yang digunakan petani responden sebagai pakan ikan hias guppy adalah cacing sutera. Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa variabel pakan cacing berpengaruh nyata terhadap produksi ikan hias guppy dan memiliki nilai koefisien regresi yang positif. Koefisien regresi yang positif tersebut memiliki arti bahwa apabila terjadi penambahan faktor produksi berupa
46
pakan cacing, maka produksi ikan hias guppy akan meningkat dengan menganggap bahwa faktor produksi lainnya tetap (ceteris paribus). Pakan cacing diberikan kepada ikan hias guppy yang sudah besar atau berumur lebih dari sepuluh hari dengan tujuan untuk mempercepat pembesaran tubuh ikan. Variabel pakan cacing memiliki pengaruh nyata terhadap produksi ikan hias guppy karena pakan ini memiliki kandungan protein sebesar 57 persen yang sangat diperlukan dalam proses pertumbuhan ikan hias guppy. Lama pemeliharaan ikan hias guppy di Kecamatan Parung antara dua hingga tiga bulan. Pakan cacing diberikan kepada ikan hias guppy dari umur sepuluh hari sampai ikan siap untuk dijual, maka dapat dilihat bahwa pakan cacing memiliki waktu yang lebih panjang untuk diberikan kepada ikan hias guppy dan menyebabkan variabel pakan cacing berpengaruh nyata terhadap produksi ikan hias guppy. Luas Lahan Lahan merupakan tempat pemeliharaan ikan hias yang digunakan petani responden dalam membudidaya ikan hias guppy. Wadah yang digunakan petani responden ada dua jenis, yaitu kolam dan akuarium. Namun, rata-rata petani responden menggunakan kolam sebagai tempat pemeliharaannya karena memiliki nilai luasan lahan yang besar. Pada penelitian ini, luas lahan diduga sebagai faktor yang memengaruhi produksi ikan hias guppy karena ikan hias guppy hidup di perairan dangkal. Ikan hias guppy tidak banyak menghabiskan waktunya di dasar tempat pemeliharaan, sehingga petani yang membudidayakan ikan hias tidak memerlukan air yang terlalu dalam. Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa variabel luas lahan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi ikan hias guppy, tetapi memiliki nilai koefisien regresi yang positif. Koefisien yang positif tersebut memiliki arti bahwa apabila terjadi penambahan faktor produksi berupa luasan lahan, maka produksi ikan hias guppy akan meningkat dengan menganggap bahwa faktor produksi lainnya tetap (ceteris paribus). Berdasarkan hasil survei langsung, petani responden yang memiliki luasan lahan yang besar, akan menghasilkan produksi ikan hias guppy yang lebih banyak. Hal ini karena jumlah ikan hias guppy yang dapat dipelihara dalam luasan lahan yang besar lebih banyak dibandingkan dengan luasan lahan yang kecil. Dalam satu buah kolam ukuran 3.25 m2, petani responden memelihara ikan hias guppy sebanyak 1 127 ekor. Sedangkan menurut Lingga dan Susanto (2001), bak pemeliharaan seluas 3 m2 dapat digunakan untuk memelihara ikan hias guppy sebanyak 2 000 ekor. Sehingga luas lahan belum berpengaruh nyata terhadap produksi ikan hias guppy karena lahan yang digunakan untuk budidaya ikan hias guppy di Kecamatan Parung masih belum digunakan secara maksimal. Obat-obatan Obat-obatan yang digunakan dalam pendugaan model produksi ini adalah garam ikan karena petani responden banyak menggunakan garam ikan selama proses budidaya ikan hias guppy berlangsung. Garam ikan selain dapat menyeimbangkan kondisi air untuk habitat ikan, juga dapat meningkatkan daya tahan tubuh ikan terhadap penyakit. Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa variabel obat-obatan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi ikan hias guppy
47
dan memiliki nilai koefisien regresi yang negatif. Nilai koefisien tersebut menunjukkan bahwa apabila terjadi penambahan faktor produksi berupa obatobatan, maka produksi ikan hias guppy akan menurun dengan menganggap bahwa faktor produksi lainnya tetap (ceteris paribus). Berdasarkan hasil survei langsung, untuk mengobati penyakit pada ikan hias guppy petani responden menggunakan garam ikan sebanyak 200 gram untuk satu buah tempat pemeliharaan. Tempat pemeliharaan yang biasanya digunakan petani responden untuk masa pengobatan ikan hias guppy adalah baskom dengan diameter 30 cm yang diisi air hingga mencapai tinggi 10 cm. Sehingga dalam satu liter air, petani responden memberikan garam ikan sebanyak 19 gram. Sedangkan menurut Lingga dan Susanto (2001), untuk satu liter air dibutuhkan garam ikan sebanyak 10 gram. Sehingga garam ikan yang digunakan untuk mengobati ikan hias guppy sudah melebihi dari standar yang ditetapkan. Selain itu, menurut Lingga dan Susanto (2001), dalam pemberian garam ikan sebagai obat untuk penyakit ikan hias guppy, harus dilakukan secara bertahap. Pada awalnya, garam ikan yang diberikan sebanyak satu gram. Kemudian secara teratur garam ditambahkan pada selang waktu antara tiga hingga empat jam sekali. Hal ini untuk menghindari terjadinya stress pada ikan yang akan diobati. Sedangkan petani responden tidak memberikan garam ikan secara bertahap. Sehingga pada masa pengobatan tersebut, terdapat ikan yang sembuh dan juga mati. Oleh sebab itu, penambahan jumlah obat-obatan dapat menurunkan produksi ikan hias guppy. Pakan Kutu Air Kutu air merupakan pakan alami yang banyak digunakan oleh petani responden untuk diberikan kepada induk dan benih ikan hias guppy. Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa variabel pakan kutu air tidak berpengaruh nyata terhadap produksi ikan hias guppy dan memiliki nilai koefisien regresi yang negatif. Nilai koefisien tersebut mempunyai arti bahwa apabila terjadi penambahan faktor produksi berupa pakan kutu air, maka produksi ikan hias guppy akan menurun dengan menganggap bahwa faktor produksi lainnya tetap (ceteris paribus). Hasil koefisien regresi berbeda dengan hipotesis awal. Hal ini karena pakan kutu air merupakan pakan alami yang masih hidup ketika diberikan kepada ikan hias guppy. Berdasarkan hasil survei langsung, semakin banyak kutu air yang diberikan dengan jumlah ikan hias guppy yang masih sama, akan mengakibatkan adanya sisa dari pakan kutu air yang tidak termakan oleh ikan. Sisa dari pakan kutu air ini nantinya akan mengganggu proses keberlangsungan hidup ikan hias guppy karena kutu air yang sisa tersebut mencemari habitat ikan hias guppy. Pakan kutu air tidak berpengaruh nyata terhadap produksi ikan hias guppy dan memiliki nilai koefisien regresi yang paling kecil diantara faktor produksi lainnya. Hal ini karena berdasarkan hasil survei langsung, kutu air lebih banyak digunakan untuk pakan pada benih ikan hias guppy. Alasan petani responden memberikan pakan kutu air untuk benih ikan karena ukuran dari pakan ini yang sesuai dengan lebar bukaan mulut benih ikan. Ketika ikan hias guppy telah berumur lebih dari sepuluh hari, ikan tersebut kemudian tidak lagi diberikan pakan kutu air. Sehingga pemberian pakan kutu air memiliki pengaruh yang kecil bagi produksi ikan hias guppy.
48
Analisis Pendapatan Budidaya Ikan Hias Guppy di Kecamatan Parung Analisis pendapatan budidaya ikan hias guppy dilakukan bertujuan untuk mengetahui gambaran pendapatan petani responden yang didapatkan dari selisih tingkat penerimaan dan pengeluaran petani responden. Selain itu, analisis ini juga dapat mengetahui keuntungan yang diperoleh petani responden dan imbalan bagi faktor-faktor produksi yang digunakan. Analisis pendapatan budidaya ikan hias terdiri dari analisis penerimaan, biaya, pendapatan, R/C rasio, return to capital, dan return to family labour.
Penerimaan Budidaya Ikan Hias Guppy di Kecamatan Parung Penerimaan budidaya ikan hias guppy pada petani responden terbagi menjadi dua macam, yaitu penerimaan tunai dan penerimaan diperhitungkan. Penerimaan tunai adalah penerimaan yang benar-benar diterima oleh petani responden dalam bentuk uang tunai sebagai hasil penjualan dari produksinya. Sedangkan penerimaan diperhitungkan adalah penerimaan yang diterima petani dalam bentuk uang tidak tunai atau hasil produksi yang tidak dijual. Terdapat 10 petani responden yang memiliki penerimaan diperhitungkan. Hal ini karena ikan hasil produksinya tidak dijual, melainkan dijadikan sebagai pakan untuk lele. Ikan yang tidak dijual ini adalah ikan jenis betina. Total dari penerimaan tunai dan diperhitungkan disebut sebagai penerimaan total. Berikut ini adalah Tabel 15 mengenai rata-rata penerimaan petani responden pada budidaya ikan hias guppy tahun 2015. Tabel 15 Rata-rata penerimaan petani responden pada budidaya ikan hias guppy dengan luasan 30 m2 tahun 2015 Harga Uraian Jumlah (ekor) Nilai (Rp) (Rp/ekor) Penerimaan tunai Jantan 14 646 551 8 069 946 Betina 6 101 233 1 421 533 Total penerimaan tunai 9 491 479 Penerimaan diperhitungkan Betina 2 258 233 526 114 Total penerimaan diperhitungkan 526 114 Total penerimaan 23 005 10 017 593 Penerimaan tunai didapatkan dari hasil perkalian antara jumlah ikan yang dipanen dengan harga jual ikan per ekornya. Berdasarkan Tabel 15 dapat dilihat bahwa penerimaan tunai petani responden didapatkan dari hasil penjualan ikan jenis jantan dan betina. Penerimaan tunai dari ikan yang dipanen untuk jenis jantan lebih tinggi dibandingkan dengan penerimaan tunai dari ikan untuk jenis betina. Hal ini karena ikan jenis jantan yang dipanen lebih banyak dibandingkan dengan jenis betina. Selain itu, harga jual dari ikan jenis jantan lebih tinggi dibandingkan dengan jenis betina.
49
Ikan jenis betina memiliki warna ekor yang tidak cerah dan cenderung berwarna gelap, sehingga ikan ini tidak dapat dijual di pasar ikan hias dan memiliki harga yang rendah. Sedangkan ikan jenis jantan memiliki warna ekor yang cerah dan tubuh yang indah, sehingga ikan ini yang banyak diminati konsumen dan dapat dijual di pasar. Hal tersebut yang membuat ikan jenis jantan memiliki harga jual yang lebih tinggi dan petani responden lebih fokus memelihara dan membesarkan ikan jenis jantan sehingga jumlah ikan yang dipanen dapat lebih banyak. Penerimaan diperhitungkan didapatkan dari hasil perkalian antara jumlah ikan yang tidak dijual dengan harga jual ikan per ekornya. Harga jual ikan per ekor pada penerimaan diperhitungkan diasumsikan sama dengan harga jual ikan per ekor pada penerimaan tunai. Berdasarkan Tabel 15 dapat dilihat bahwa hanya ikan jenis betina yang masuk ke dalam penerimaan diperhitungkan. Jumlah petani responden yang tidak menjual ikan jenis betina ada 10 petani. Petani-petani tersebut tidak menjual ikan jenis betina karena petani memiliki empang ikan lele. Oleh sebab itu, mereka lebih memilih untuk menggunakan ikan jenis betina sebagai pakan ikan lele yang dipeliharanya. Total penerimaan merupakan penjumlahan dari penerimaan tunai dan penerimaan diperhitungkan. Total penerimaan rata-rata petani responden selama tahun 2015 sebesar Rp10 017 593. Total penerimaan budidaya ikan hias guppy untuk setiap ekornya sebesar Rp435 per ekor.
Biaya Budidaya Ikan Hias Guppy di Kecamatan Parung Biaya budidaya ikan hias guppy petani responden terbagi menjadi dua macam, yaitu biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Biaya tunai adalah biaya yang benar-benar dikeluarkan oleh petani responden dalam bentuk uang tunai dan berkaitan langsung dengan kegiatan budidaya ikan hiasnya. Biaya tunai terdiri dari pengeluaran kebutuhan cacing yang dibeli, pelet, garam ikan, methylene blue, supertetra, dan listrik. Sedangkan biaya diperhitungkan adalah biaya yang dikeluarkan petani secara tidak tunai tetapi diperhitungkan sebagai biaya imbangan atas kegiatan budidaya ikan hiasnya. Biaya diperhitungkan terdiri dari kutu air, cacing yang dicari langsung oleh petani, induk ikan, tenaga kerja dalam keluarga, sewa lahan, dan biaya penyusutan. Total dari biaya tunai dan diperhitungkan disebut sebagai biaya total. Berikut ini adalah Tabel 16 mengenai rata-rata biaya petani responden pada budidaya ikan hias guppy tahun 2015.
50
Tabel 16 Rata-rata biaya petani responden pada budidaya ikan hias guppy dengan luasan 30 m2 tahun 2015 Uraian Biaya tunai Cacing (L) Pelet (kg) Garam ikan (kg) Methylene blue (ml) Supertetra (g) Listrik Total biaya tunai Biaya diperhitungkan Kutu air (kg) Cacing (L) Induk ikan TKDK (HOK) Sewa lahan Biaya penyusutan Total biaya diperhitungkan Total biaya
Jumlah
Harga (Rp/unit)
20.12 30.44 36.94 39.59 2.92
24 229 18 175 2 250 200 4 000
487 487 553 247 83 115 7 918 11 680 256 201 1 399 648
5.18 5.88 0.88 0.09 0.12 2.72
121.84 32.57
25 000 24 229
63.03
50 000
3 046 000 789 138 76 553 3 151 500 643 447 306 939 8 013 577 9 413 225
32.36 8.38 0.81 33.48 6.84 3.26
Nilai (Rp)
% terhadap total biaya
100.00
Berdasarkan Tabel 16 dapat dilihat bahwa persentase biaya diperhitungkan terhadap total biaya lebih tinggi dibandingkan dengan biaya tunai. Persentase biaya diperhitungkan terhadap total biaya sebesar 85.13 persen, sedangkan persentase biaya tunai terhadap total biaya sebesar 14.87 persen. Rendahnya persentase biaya tunai disebabkan belum diperhitungkannya biaya untuk pakan kutu air, cacing, induk ikan, tenaga kerja dalam keluarga, sewa lahan, dan biaya penyusutan dari peralatan-peralatan produksi yang digunakan. Biaya budidaya ikan hias guppy untuk setiap ekornya sebesar Rp409 per ekor. Persentase biaya yang paling tinggi diantara seluruh biaya yang dikeluarkan petani responden dimiliki oleh biaya pakan kutu air. Tingginya biaya pakan kutu air karena seluruh petani menggunakan lebih banyak kutu air selama kegiatan budidaya berlangsung. Selain itu, harga jual pakan kutu air di toko pakan ikan cukup tinggi. Hal ini lah yang membuat biaya pakan kutu air lebih tinggi dibandingkan dengan biaya lainnya. Persentase biaya selanjutnya yang juga tinggi adalah biaya bagi tenaga kerja. Kutu Air Kutu air yang digunakan oleh petani responden seluruhnya didapatkan dengan cara mencari langsung di empang-empang terdekat. Oleh sebab itu, penggunaan pakan kutu air hanya memengaruhi satu sisi biaya, yaitu biaya diperhitungkan. Petani responden tidak membeli kutu air di toko pakan ikan karena petani keberadaan kutu air di sekitar tempat tinggal petani responden masih dapat dicari. Selain itu, toko yang menjual kutu air sulit untuk ditemukan. Selama tahun 2015, petani responden menggunakan kutu air sebagai pakan ikan hias guppy sebanyak 121.84 kg. Banyaknya jumlah kutu air yang digunakan petani responden membuat biaya kebutuhan untuk penggunaan kutu air menjadi
51
tinggi. Harga kutu air pada biaya diperhitungkan diasumsikan sama dengan harga kutu air yang dijual di toko pakan ikan. Persentase biaya kutu air terhadap total biaya sebesar 32.36 persen. Cacing Cacing yang digunakan oleh petani responden didapatkan dengan dua cara, yaitu cacing yang dibeli di toko pakan ikan dan cacing yang dicari langsung oleh petani di sungai-sungai terdekat. Perbedaan cara mendapatkan cacing ini memengaruhi biaya di kedua sisi, yaitu biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Terdapat 15 petani responden yang mencari langsung di sungai terdekat, sedangkan sisanya membeli cacing di toko pakan ikan. Jumlah cacing yang dibeli oleh petani responden selama tahun 2015 sebanyak 20.12 kg, sedangkan jumlah cacing yang dicari langsung oleh petani responden sebanyak 32.57 kg. Banyaknya jumlah cacing yang dicari langsung oleh petani responden membuat tingginya biaya diperhitungkan yang dikeluarkan petani. Harga cacing pada biaya diperhitungkan diasumsikan sama dengan harga cacing jika petani responden membeli cacing di toko pakan ikan. Persentase biaya cacing pada biaya tunai terhadap total biaya sebesar 5.18 persen, sedangkan persentase biaya cacing pada biaya diperhitungkan terhadap total biaya sebesar 8.38 persen. Pelet Pelet yang digunakan oleh petani responden seluruhnya didapatkan dengan cara membeli di toko pakan ikan. Oleh sebab itu, penggunaan pakan pelet hanya memengaruhi satu sisi biaya, yaitu biaya tunai. Selama tahun 2015, petani responden menggunakan pelet sebagai pakan ikan hias guppy sebanyak 30.44 kg. Rata-rata harga pelet yang dibeli oleh petani responden sebesar Rp18 175 untuk satu kg, sehingga persentase biaya pelet terhadap total biaya sebesar 5.88 persen. Obat-obatan Obat-obatan yang digunakan oleh petani responden terbagi ke dalam tiga macam, yaitu garam ikan, methylene blue, dan supertetra. Namun obat yang paling banyak digunakan oleh petani responden adalah garam ikan. Obat-obatan ini seluruhnya didapatkan petani dengan cara membelinya di toko ikan. Oleh sebab itu, penggunaan obat-obatan hanya memengaruhi satu sisi biaya, yaitu biaya tunai. Selama tahun 2015, petani responden menggunakan garam ikan sebanyak 36.94 kg, menggunakan methylene blue sebanyak 39.59 ml, dan menggunakan supertetra sebanyak 2.92 gram. Harga dari masing-masing obat merupakan harga yang dibeli oleh petani responden di toko ikan. Persentase biaya garam ikan terhadap total biaya lebih besar dibandingkan dengan persentase biaya methylene blue maupun supertetra. Persentase biaya garam ikan terhadap total biaya sebesar 0.88 persen, persentase biaya methylene blue sebesar 0.09 persen, dan persentase biaya supertetra sebesar 0.12 persen. Tingginya persentase biaya garam ikan disebabkan banyaknya petani responden yang menggunakan garam ikan sebagai obat dalam mencegah maupun mengobati penyakit ikan. Petani responden yang menggunakan garam ikan sebanyak 39 petani, yang menggunakan methylene blue sebanyak tiga petani, dan yang menggunakan supertetra sebanyak satu petani.
52
Listrik Listrik digunakan petani responden ketika petani melakukan pengisian air. Pengisian air dilakukan dengan menggunakan mesin pompa air, sehingga petani membutuhkan listrik untuk mengoperasikan mesinnya. Selain itu, listrik juga digunakan petani responden untuk mengoperasikan mesin aerator dan blower. Namun, tidak semua petani responden menggunakan mesin aerator dan blower selama budidaya ikan hias guppy. Selama tahun 2015, rata-rata petani responden menggunakan listrik sebesar Rp256 201. Penggunaan listrik hanya akan memengaruhi satu sisi biaya, yaitu biaya tunai. Persentase biaya listrik terhadap biaya total sebesar 2.72 persen. Induk Ikan Induk ikan yang digunakan oleh petani responden seluruhnya didapatkan dengan cara menggunakan induk yang dihasilkan dari periode produksi sebelumnya. Oleh sebab itu, penggunaan induk ikan hanya memengaruhi satu sisi biaya, yaitu biaya diperhitungkan. Selama tahun 2015, rata-rata biaya yang dikeluarkan petani responden dalam menggunakan induk ikan sebesar Rp76 553, sehingga persentase biaya induk ikan terhadap total biaya sebesar 0.81 persen. Tenaga Kerja Tenaga kerja yang digunakan petani responden seluruhnya adalah tenaga kerja yang bersumber dari anggota keluarga petani (TKDK). TKDK termasuk ke dalam biaya diperhitungkan karena petani tidak membayar langsung dengan uang tunai atas tenaga yang telah dikeluarkan selama kegiatan budidaya ikan hias berlangsung. TKDK ini tetap diperhitungkan sebagai biaya imbangan yang memang dikeluarkan petani. Terdapat tujuh jenis kegiatan yang dilakukan petani responden dalam budidaya ikan hias guppy. Ketujuh jenis kegiatan ini seluruhnya dilakukan dengan menggunakan TKDK. Jenis-jenis kegiatan tersebut diantaranya adalah pembersihan tempat pemeliharaan, pencarian kutu air, pencarian cacing, penyortiran benih, penyortiran jenis kelamin, pemberian pakan dan pengawasan ikan, serta pemanenan. Besarnya nilai HOK pada masing-masing jenis kegiatan dapat dilihat pada Tabel 13. Selama tahun 2015, rata-rata petani responden menggunakan TKDK untuk melakukan seluruh kegiatan budidaya ikan hias sebesar 63.03 HOK. Tidak adanya petani yang menggunakan tenaga kerja yang bersumber dari luar anggota keluarga (TKLK), sehingga untuk penentuan harga balas jasa atas tenaga kerja yang telah dikeluarkan menggunakan harga tenaga kerja pada budidaya ikan lele di sekitar tempat tinggal petani responden, yaitu sebesar Rp50 000 dalam setiap satu hari kerja. Dalam satu hari kerja, pekerja tersebut menghabiskan waktu selama tujuh jam. Harga tenaga kerja ini diasumsikan sama karena tenaga yang dikeluarkan selama kegiatan budidaya ikan hias dengan budidaya ikan lele tidak jauh berbeda. Persentase biaya tenaga kerja atau biaya TKDK terhadap biaya total sebesar 33.48 persen. Sewa Lahan Sewa lahan termasuk ke dalam biaya diperhitungkan karena lahan yang digunakan oleh seluruh petani responden berstatus sebagai lahan pemilik. Lahan yang dimiliki oleh petani responden berada di dua desa yang berbeda, yaitu Desa
53
Cogreg dan Desa Bojong Indah. Perbedaan lokasi ini membuat harga dari sewa lahan juga berbeda. Hal ini karena harga sewa lahan bergantung pada jarak lokasi lahan yang dimiliki dengan akses jalan umum. Harga sewa lahan untuk Desa Cogreg setiap tahunnya sebesar Rp20 000 per m2, sedangkan harga sewa lahan untuk Desa Bojong Indah setiap tahunnya sebesar Rp25 000 per m2. Harga sewa lahan di Desa Bojong Indah lebih tinggi dibandingkan dengan Desa Cogreg karena Desa Bojong Indah lebih dekat dengan akses jalan umum. Persentase biaya sewa lahan terhadap biaya total sebesar 6.84 persen. Penyusutan Biaya penyusutan termasuk ke dalam biaya diperhitungkan. Biaya penyusutan ini tetap diperhitungkan sebagai biaya imbangan yang memang dikeluarkan petani dalam investasi peralatan produksi. Secara umum peralatan produksi yang dimiliki oleh petani responden terdiri dari mesin pompa air, blower, aerator, paranet, jaring, hapa, saringan (kutu air, cacing, kecil, sedang, besar), baskom, bak (kecil dan besar), ember (kecil dan besar), selang air, selang aerator, paralon, dan terpal. Penentuan besarnya biaya penyusutan menggunakan metode garis lurus, yaitu selisih antara nilai pembelian dengan nilai sisa yang kemudian dibagi dengan umur manfaat dari peralatan tersebut. Peralatan produksi yang diasumsikan memiliki nilai sisa adalah peralatan yang terbuat dari bahan logam, seperti mesin pompa air. Besarnya nilai sisa dari peralatan tersebut didasarkan pada nilai besi tua yang dijual kepada pedagang loak. Sedangkan peralatan produksi yang terbuat dari bahan non logam, seperti plastik dan kayu, tidak memiliki nilai sisa. Hal ini karena peralatan tersebut tidak dapat dijual atau digunakan kembali. Lamanya umur manfaat peralatan produksi didasarkan pada hasil wawancara dengan petani responden yang memiliki pengalaman budidaya ikan hias lebih lama dibandingkan dengan petani responden lainnya. Persentase biaya penyusutan terhadap biaya total sebesar 3.26 persen. Berikut ini adalah Tabel 17 mengenai rata-rata biaya penyusutan petani responden pada budidaya ikan hias guppy dengan luasan 30 m2 tahun 2015. Tabel 17 Rata-rata biaya penyusutan petani responden pada budidaya ikan hias guppy dengan luasan 30 m2 tahun 2015 Peralatan produksi Kolam (unit) Akuarium (unit) Pompa air (unit) Blower (unit) Aerator (unit) Paranet (meter) Jaring (meter) Hapa (meter) Saringan kutu air (unit) Saringan cacing (unit)
Jumlah 10.00 1.00 1.00 1.00 1.00 4.64 8.29 1.03 1.00 1.00
Umur manfaat (tahun) 2 20 20 5 3 5 5 5 2 3
Nilai beli (Rp) 195 595 161 535 1 209 474 9 019 11 274 64 942 41 447 6 173 30 148 12 755
Nilai sisa (Rp) 50 000 -
Penyusutan (Rp/tahun) 97 798 8 077 57 974 1 804 3 758 12 988 8.289 1 235 15 074 4 252
54
Lanjutan Tabel 17 Peralatan Umur manfaat Nilai beli Jumlah produksi (tahun) (Rp) Saringan kecil 1.00 2 1 711 (unit) Saringan sedang 3.00 2 25 718 (unit) Saringan besar 1.00 2 4 957 (unit) Baskom (unit) 3.00 2 33 371 Bak kecil (unit) 2.00 2 39 716 Bak besar (unit) 1.00 2 3 915 Ember kecil 1.00 2 5 973 (unit) Ember besar 1.00 2 8 737 (unit) Selang air 18.26 10 127 839 (meter) Selang aerator 3.17 5 6 345 (meter) Paralon (meter) 1.96 10 35 228 Terpal (meter) 3.21 2 32 134 Total penyusutan (Rp)
Nilai sisa (Rp) -
Penyusutan (Rp/tahun) 855
-
12 859
-
2 479
-
16 685 19 858 1 958 2 986
-
4 368
-
12 784
-
1 268
-
3 523 16 067 309 939
Pendapatan Budidaya Ikan Hias Guppy di Kecamatan Parung Pendapatan budidaya ikan hias guppy dihitung untuk mengetahui keuntungan yang diperoleh petani selama melakukan kegiatan budidaya ikan hias guppy. Perhitungan pendapatan petani nantinya akan diketahui pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Pendapatan atas biaya tunai didapatkan dari pengurangan antara total penerimaan dengan biaya tunai saja. Pada pendapatan atas biaya tunai tidak memperhitungkan biaya diperhitungkan, sehingga belum menggambarkan pendapatan yang diperoleh petani sesungguhnya. Sedangkan pendapatan atas biaya total didapatkan dari pengurangan antara total penerimaan dengan total biaya yang dikeluarkan petani secara keseluruhan. Berikut ini adalah Tabel 18 mengenai rata-rata pendapatan petani responden pada budidaya ikan hias guppy tahun 2015.
55
Tabel 18 Rata-rata pendapatan petani responden pada budidaya ikan hias guppy dengan luasan 30 m2 tahun 2015 Uraian Nilai A Penerimaan tunai (Rp) 9 491 479 B Penerimaan diperhitungkan (Rp) 526 114 C Total penerimaan (Rp) 10 017 593 D Biaya tunai (Rp) 1 399 648 E Biaya diperhitungkan (Rp) 8 013 577 F Total biaya (Rp) 9 413 225 Pendapatan atas biaya tunai (C-D) (Rp) 8 617 945 Pendapatan atas biaya total (C-F) (Rp) 604 368 R/C atas biaya tunai 7.16 R/C atas biaya total 1.06 Berdasarkan Tabel 18 dapat dilihat bahwa selama tahun 2015, rata-rata petani responden mendapatkan pendapatan atas biaya tunai sebesar Rp8 617 945. Sedangkan rata-rata petani responden mendapatkan pendapatan atas biaya total sebesar Rp604 368. Pendapatan atas biaya tunai petani responden lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan atas biaya total. Hal ini karena pada pendapatan atas biaya tunai, petani tidak memperhitungkan biaya-biaya yang tidak dikeluarkan secara tunai, seperti pakan kutu air, cacing, induk ikan, TKDK, sewa lahan, dan penyusutan. Apabila petani responden memperhitungkan semua biaya yang dikeluarkan, baik itu tunai maupun diperhitungkan, maka pendapatan petani responden sebesar pendapatan atas biaya total. Pendapatan atas biaya tunai dan biaya total petani responden lebih besar dari nol, yang artinya budidaya ikan hias ini memperoleh keuntungan, baik dari segi biaya tunai maupun biaya total. Keuntungan budidaya ikan hias guppy untuk setiap ekornya sebesar Rp26 per ekor.
Analisis R/C Rasio Analisis R/C rasio digunakan untuk mengetahui tingkat keuntungan relatif dari kegiatan budidaya ikan hias atau indeks efisiensi usaha budidaya yang dilakukan. Analisis ini dibedakan menjadi dua, yaitu R/C rasio atas biaya tunai dan R/C rasio atas biaya total. R/C rasio atas biaya tunai yang diperoleh dari hasil pembagian antara total penerimaan tunai dengan total biaya tunai, sedangkan R/C rasio atas biaya total yang diperoleh dari hasil pembagian antara total penerimaan dengan total biaya. Kegiatan budidaya ikan hias dikategorikan menguntungkan jika memiliki nilai R/C rasio lebih besar dari satu. Berdasarkan Tabel 18 dapat dilihat bahwa R/C rasio atas biaya tunai yang didapatkan oleh petani responden sebesar 7.16. Nilai R/C rasio tersebut memiliki arti bahwa setiap petani responden mengeluarkan tambahan biaya tunai sebesar Rp1 000, maka petani akan mendapatkan tambahan penerimaan sebesar Rp7 160. Sehingga hal ini dapat dikatakan bahwa kegiatan budidaya ikan hias yang dilakukan petani responden memberikan keuntungan. Sedangkan R/C rasio atas biaya total yang didapatkan oleh petani responden sebesar 1.06. Nilai R/C rasio tersebut memiliki arti bahwa setiap petani responden mengeluarkan tambahan
56
biaya total sebesar Rp1 000, maka petani akan mendapatkan tambahan penerimaan sebesar Rp1 060. Hal ini juga masih dapat dikatakan bahwa kegiatan budidaya ikan hias yang dilakukan petani responden memberikan keuntungan.
Return to Capital dan Return to Family Labour Return to capital dihitung untuk mengetahui imbalan kepada seluruh modal yang dikeluarkan oleh petani responden. Sedangkan return to family labour dihitung untuk mengetahui imbalan kepada tenaga kerja dalam keluarga. Return to capital ditunjukkan dalam satuan persen yang didapatkan dari perbandingan antara nilai imbalan kepada seluruh modal dengan jumlah modal yang dikeluarkan petani. Imbalan kepada seluruh modal ini diperoleh dari hasil selisih antara pendapatan bersih dengan nilai tenaga kerja dalam keluarga. Sedangkan return to family labour ditunjukkan dalam satuan rupiah per HOK, yang diperoleh dari hasil selisih antara total penerimaan dengan modal petani yang telah dikurangi biaya tenaga kerja dalam keluarga kemudian dibagi dengan total tenaga kerja dalam keluarga. Berikut ini adalah Tabel 19 mengenai rata-rata return to capital dan return to family labour petani responden pada budidaya ikan hias guppy tahun 2015. Tabel 19 Rata-rata return to capital dan return to family labour petani responden pada budidaya ikan hias guppy dengan luasan 30 m2 tahun 2015 Uraian Nilai Total penerimaan (Rp) 10 017 593 Total pengeluaran tanpa TKDK (Rp) 6 261 725 Pendapatan bersih (Rp) 3 755 868 Return to capital (%) 6.42 Return to family labour (Rp/HOK) 59 589 Berdasarkan Tabel 19 dapat dilihat bahwa rata-rata pendapatan bersih yang didapatkan petani responden dalam usaha budidaya ikan hias guppy selama tahun 2015 sebesar Rp3 755 868. Persentase dari return to capital petani responden didapatkan sebesar 6.42 persen atau petani memperoleh imbalan bagi total modal sebesar 0.0642 kali dari modal petani. Persentase tersebut memiliki arti bahwa setiap 1 juta rupiah modal yang dikeluarkan petani untuk melakukan budidaya ikan hias, maka petani akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp64 200. Persentase dari return to capital kemudian dibandingkan dengan suku bunga deposito Bank Rakyat Indonesia sebesar 6.63 persen (Bank Indonesia 2016). Hal ini menunjukkan bahwa petani responden belum tepat dalam menginvestasikan modal pada budidaya ikan hias guppy dibandingkan di bank. Rendahnya persentase dari return to capital karena tingginya biaya tenaga kerja dalam keluarga yang harus dikeluarkan. Return to family labour yang didapatkan petani responden sebesar Rp59 589. Nilai return to family labour ini kemudian dibandingkan dengan nilai UMR (Upah Minimum Regional) Kabupaten Bogor dan upah tenaga kerja yang berlaku di budidaya ikan hias. Nilai UMR Kabupaten Bogor pada tahun 2016 sebesar Rp2 590 000 per bulan atau Rp86 333 per hari, sedangkan upah tenaga kerja yang
57
berlaku sebesar Rp50 000. Apabila nilai return to family labour petani responden dibandingkan dengan nilai UMR di Kabupaten Bogor, return to family labour petani masih lebih rendah. Namun, apabila nilai return to family labour petani dibandingkan dengan upah tenaga kerja yang berlaku, nilai return to family labour sudah lebih tinggi. Sehingga dapat dikatakan bahwa keputusan petani responden dalam melakukan budidaya ikan hias guppy sudah tepat jika dibandingkan dengan nilai upah tenaga kerja yang berlaku. Kecilnya nilai return to capital dan return to family labour yang didapatkan petani responden, sehingga banyak petani responden yang menjadikan usaha budidaya ikan hias guppy ini sebagai pekerjaan sampingannya.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
2.
Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap produksi ikan hias guppy di Kecamatan Parung yaitu pakan cacing, pakan pelet, tenaga kerja, dan jenis tempat pemeliharaan. Sedangkan faktor luas lahan, pakan kutu air, dan obatobatan tidak memengaruhi produksi ikan hias guppy secara nyata. Ketiga faktor produksi yang berpengaruh nyata tersebut memiilki pengaruh positif terhadap produksi ikan hias guppy. Faktor produksi yang paling responsif terhadap produksi ikan hias guppy terdapat pada tenaga kerja. Nilai R/C rasio atas biaya total dari usaha budidaya ikan hias guppy di Kecamatan Parung sebesar 1.06. Nilai tersebut menunjukkan bahwa usaha budidaya ikan hias guppy pada petani responden sudah menguntungkan. Imbalan yang diterima petani responden sudah lebih besar daripada upah yang berlaku, tetapi belum lebih besar dari tingkat suku bunga deposito.
Saran 1.
2.
Penggunaan pakan kutu air sebaiknya dikurangi. Hal ini karena pakan kutu air dapat menurunkan produksi ikan hias guppy jika dilihat dari hasil pendugaan model yang didapat. Selain itu, pakan kutu air juga memiliki biaya yang cukup besar selama proses budidaya ikan hias guppy berlangsung. Untuk meningkatkan produksi ikan hias guppy ke produksi maksimum, maka petani responden harus meningkatkan jumlah penggunaan jam tenaga kerja, pakan cacing, dan pakan pelet. Penggunaan jam tenaga kerja sebaiknya lebih difokuskan karena jam tenaga kerja yang paling responsif terhadap produksi ikan hias guppy.
58
DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku menurut Lapangan Usaha (Miliar Rupiah), 2000-2014 [Internet]. [diunduh 2015 September 19]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id. Bank Indonesia. 2016. Suku Bunga Deposito [Internet]. [diunduh 2016 Agustus 17]. Tersedia pada: www.bi.go.id. [Disnakan] Dinas Peternakan dan Perikanan Pemerintah Kabupaten Bogor. 2015. Buku Saku Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor. Bogor (ID): Dinas Peternakan dan Perikanan. [DJPB] Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2015. Laporan Kinerja (LKj) Direktorat Produksi Tahun 2014 [Internet]. [diunduh 2015 Desember 13]. Tersedia pada: http://www.djpb.kkp.go.id/public/upload/files/lakip-finalok.pdf. Dillon John L dan Brian Hardaker. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Soekartawi A, Soeharjo, penerjemah. Jakarta (ID): UI Press. Terjemahan dari: Farm Management Research for Small Development. Eka R A. 2013. Analisis faktor-faktor yang memengaruhi produksi dan pendapatan usaha budidaya ikan mas koki (kelompok budidaya Tugu Mina Asri, Tulungagung). [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hernanto F. 1989. Ilmu Usahatani. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Istiqomah F. 2014. Analisis usahatani lele phyton (Clarias sp) di Kecamatan Seyegan, Sleman. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Jayamurti K. 2014. Analisis efisiensi faktor yang memengaruhi produksi ikan koi di Kecamatan Cisaat Kabupaten Sukabumi. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Lingga P dan Susanto H. 2001. Ikan Hias Air Tawar. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Nicholson W. 1995. Teori Mikroekonomi, Prinsip Dasar dan Perluasan. Daniel Wirajaya, penerjemah. Jakarta (ID): Binarupa Aksara. Terjemahan dari: Microeconomic Theory Basic Prinsiples and Extensions. Ed ke-5. Permatasari D. 2010. Analisis usahatani dan faktor-faktor produksi yang memengaruhi usaha pembesaran ikan mas (Kasus: Waduk Cirata, Kabupaten Cianjur). [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sihombing F, Ni Wayan A, dan Ratna K D. 2013. Kontribusi pendapatan nelayan ikan hias terhadap pendapatan total rumah tangga di Desa Serangan. Jurnal Agribisnis dan Agrowisata. 2(4): 178-190. Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Jakarta (ID): UI Press. Suci K I. 2001. Analisis hubungan antara karakteristik usaha dengan keefektifan jaringan komunikasi agribisnis ikan hias (Kasus di Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Suratiyah K. 2015. Ilmu Usahatani Edisi Revisi. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Trisnani K. 2013. Analisis pendapatan dan efisiensi produksi usahatani budidaya pembesaran ikan mas dan nilai pada keramba jaring apung ganda. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
59
Wire PR. 2013. Perdagangan Perikanan Non Konsumsi Capai Rp 1.7 Trilyun [komunikasi singkat]. www.antaranews.com . [diunduh 2015 Desember 13]. Tersedia pada: http://www.antaranews.com/berita/427523/perdaganganperikanan-non-konsumsi-capai-rp-17-trilyun.
60
61
LAMPIRAN
62
63
Lampiran 1 Perkembangan produksi, luas lahan, dan produktivitas ikan hias di Kecamatan Ciseeng, Parung, Kemang, serta Gunung Sindur pada tahun 2010 hingga 2014 Tahun Ciseeng 2010 2011 2012 2013 2014 Laju (%/tahun) Parung 2010 2011 2012 2013 2014 Laju (%/tahun) Kemang 2010 2011 2012 2013 2014 Laju (%/tahun) Gunung Sindur 2010 2011 2012 2013 2014 Laju (%/tahun)
Produksi (ribu ekor)
Luas lahan (ha)
Produktivitas (ribu ekor/ha)
16 021.14 21 998.75 27 455.11 32 537.69 35 265.78 22.25
1.45 1.68 2.14 2.14 2.14 10.79
11 041.45 13 094.49 12 829.49 15 204.53 16 479.34 10.87
12 924.18 19 012.48 19 788.12 23 215.51 27 747 00 22.01
8 .74 8.96 5.81 5.81 5.81 -8.15
1 479.59 2 121.93 3 405.87 3 995.78 4 775.73 35.19
6 806.17 10 768.56 16 661.22 19 121.08 19 732.43 32.72
2.60 2.60 3.84 3.84 3.84 11.94
2 619.77 4 141.75 4 338.86 4 979.45 5 138.65 20.20
104.00 1 276.97 84.50 110.69 23.32 246.63
0.09 0.20 0.13 0.13 0.13 21.81
1 155.56 6 384.85 650.00 851.46 179.38 78.69
Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor 2015 (diolah)
64
Res pon den 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Tempat (unit) Ko lam
Akua rium
6 14 23 10 12 9 9 9 9 12 2 10 7 13 6 10 22 8 7 8 10 3 5 11 7 18 6
16
Mesin (unit)
Em pang
20
2
6
Pom pa air 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Blo wer
Aera tor
Para net (m)
Ja ring (m)
Ha Pa (m)
Saringan (unit) Kutu Air
Ca Cing
Ke cil
16 21 20 2 2 2 1 1 1
5.0 1 1
3 2 1
7.5
6.0 13.0 10.0 10.0
2 3
10 15 10
1 10 3 3
1 1 1 1
27 12 12 20 30 15 12
20.0 10.0 15.0 8.0
20
15.0
17
20 10
12
1 1
8 3 1 2
2
1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1
1 1
1 1
1 1
1 2
1 1 1 1
1 1
Se Dan g 4 2 5 5 3 4 3 2 2 2 2 1 2 3 3 2 2 3 3 2 2 3 2 4 1 2 2
Be sar 1 1 2
2 2 2 1 1 1
1
1
Bas Kom (unit) 2 2 3 3 1 1 2 3 2 3 5 3 4 4 2 3 4 4 2 3 4 3 2 4 2 3 3
64
Lampiran 2 Jumlah peralatan petani responden pada budidaya ikan hias guppy selama tahun 2015 Bak (unit) Ke cil 4 3 4 5 3 3 1 1 1 4 2 4 2 1 2 2 1 3 1 2 1 1 1 2
Besar
1
1
Ember (unit) Ke cil
Be sar
1 1
1
1 1 1 1
1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1
1 1
1 1 1
Selang (m) Air 15 20 10 10 20 17 20 10 8 20 20 30 50 30 10 20 20 10 25 15 20 8 6 10 10 10 10
Aera tor
Para lon (m)
35
Ter pal (m) 20 15
50 8
10
4
10 15 7
10
20 15 15 15
5 8 15 10 3 5 9 4
65
Res pon den 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Tempat (unit) Ko lam 4 8 5 4 5 20 12 2 7 10 8 7 5
Akua rium
Mesin (unit)
Em pang
2 1
Pom pa air 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Blo wer
Aera tor
2
Para net (m)
Ja ring (m)
Ha Pa (m)
10.0
15.0 6
Saringan (unit) Kutu Air
Ca Cing
1 1 1 1 1 1 1
1
Ke cil
1 2
6 15.0
5.0
15 16 7
2 2 2
1 1 1 1 1
1 1 1 1
1 1
Se dang 2 1 3 2 2 2 2 2 2 3 2 2 4
Be sar
1 1
Bas Kom (unit) 3 3 3 2 3 4 3 2 2 2 2 4
Bak (unit) Ke cil
1 1 1 2
Besar
1
Ember (unit) Ke cil
Be sar
1 1 1 1 1 1 1
1
1
1 1 3 1 1 3
1
1 1 1 1 1
1 1 1 1
Selang (m) Air 15 8 10 7 20 10 10 5 10 20 15 20 10
Aera tor
Para lon (m)
2 1 2
Ter pal (m)
12 14
65
66
Lampiran 3 Data penggunaan faktor-faktor produksi petani responden tahun 2015
22.80
Kutu Air (kg) 0.00
Cacing (L) 0.00
Pelet (kg) 189.47
Garam ikan (kg) 29.68
Tenaga Kerja (HOK) 95.332
Dummy 0
Produksi (ekor) 39 421
2
48.30
0.00
0.00
120.75
83.48
46.259
1
19 185
3
96.25
167.75
67.32
0.00
23.19
55.065
0
13 278
4
27.00
220.00
88.00
0.00
170.67
95.712
1
32 889
5
28.00
0.00
0.00
124.97
66.86
69.923
1
30 857
36.00
36.00
45.00
9.00
36.00
37.417
1
6
18 750
7
19.80
120.00
87.27
0.00
65.45
91.934
1
22 121
8
27.75
134.27
62.27
0.00
0.00
75.109
1
23 027
9
21.60
100.00
80.00
0.00
30.00
55.754
1
28 472
10
58.00
0.00
0.00
128.48
64.55
35.764
1
31 293
11
39.00
127.38
66.46
27.69
2.12
30.971
1
37 673
12
45.00
220.80
108.00
0.00
64.00
59.079
1
23 000
13
26.25
236.57
185.14
0.00
76.80
98.939
1
59 314
14
46.80
213.46
0.00
53.08
40.00
53.919
1
28 173
15
18.00
207.00
0.00
42.00
12.00
53.452
1
17 225
16
45.00
165.60
0.00
124.80
32.00
59.889
1
34 800
17
66.00
225.82
39.27
0.00
19.64
57.792
1
15 745
18
24.00
198.00
126.00
0.00
48.00
98.979
1
29 719
19
16.80
96.43
64.29
0.00
60.00
63.639
1
13 750
20
24.00
121.50
0.00
36.00
1.20
38.560
1
10 013
21
30.00
93.60
50.40
0.00
48.00
58.405
1
15 450
22
11.40
75.79
56.84
0.00
13.26
73.383
0
14 132
23
20.00
86.40
32.40
0.00
18.00
38.514
1
16 650
24
55.00
62.84
35.35
0.00
14.40
37.739
1
11 918
25
14.00
239.14
77.14
0.00
72.00
91.898
1
16 414
26
27.00
120.00
144.00
0.00
96.00
130.320
1
42 667
27
24.00
36.00
0.00
36.00
4.50
32.131
1
13 500
28
12.00
252.00
108.00
0.00
12.00
84.899
1
31 000
29
13.00
199.38
0.00
0.00
11.08
82.951
1
14 769
30
25.00
51.84
0.00
25.92
28.80
30.794
1
6 564
31
8.00
108.00
81.00
0.00
18.00
68.143
1
19 538
32
22.50
93.60
28.80
0.00
32.00
50.165
1
10 700
33
60.00
100.80
0.00
50.40
12.00
39.256
1
19 350
34
27.00
160.00
0.00
80.00
16.00
79.130
1
21 778
35
18.00
0.00
0.00
132.00
4.00
30.238
1
19 300
36
14.00
165.86
92.57
0.00
18.00
61.148
1
25 200
37
24.75
218.18
174.55
0.00
14.55
100.046
1
38 885
38
21.84
49.45
69.23
0.00
52.75
75.419
1
17 514
39
28.00
133.07
50.14
0.00
36.00
44.005
1
11 357
40
11.70
36.92
27.69
36.92
30.77
39.231
1
24 821
No 1
Luas lahan (m2)
67
Lampiran 4
Hasil pendugaan fungsi produksi pada petani responden di Kecamatan Parung selama tahun 2015 Descriptive Statistics Mean
Produksi ikan hias
Std. Deviation
N
9.94088
.461732
40
Luas lahan
3.2575
.54154
40
Pakan kutu air
4.1975
1.69475
40
Pakan cacing
2.7542
2.08876
40
Pakan pelet
1.6248
2.07769
40
Obat-obatan
3.1443
1.14984
40
Tenaga kerja
4.0690
.39409
40
.267
40
Dummy
.92
b
Model Summary
Change Statistics
Model 1
R .836
R
Adjusted R
Std. Error of
R Square
F
Square
Square
the Estimate
Change
Change
a
.699
.634
.279469
df1
.699 10.637
df2 7
Sig. F
Durbin-
Change
Watson
32
.000
1.615
a. Predictors: (Constant), Dummy, Tenaga kerja, Pakan pelet, Pakan kutu air, Luas lahan, Obat-obatan, Pakan cacing b. Dependent Variable: Produksi ikan hias b
ANOVA
Mean Model 1
Sum of Squares
Df
Square
Regression
5.815
7
.831
Residual
2.499
32
.078
Total
8.315
39
F 10.637
Sig. .000
a. Predictors: (Constant), Dummy, Tenaga kerja, Pakan pelet, Pakan kutu air, Obat-obatan, Luas lahan, Pakan cacing b. Dependent Variable: Produksi ikan hias
a
68
68
Coefficients
a
Unstandardized
Standardized
95% Confidence Interval for
Coefficients
Coefficients
B
Model
B
Std. Error
1
(Constant)
4.692
.769
Luas lahan
.139
.092
Pakan kutu air
-.026
Pakan cacing
Beta
t
Sig.
Correlations
Lower Bound Upper Bound Zero-order Partial
Collinearity Statistics Part
Tolerance
VIF
6.103
.000
3.126
6.258
.163
1.517
.139
-.048
.325
.029
.259
.147
.814
1.228
.037
-.096
-.697
.491
-.102
.050
-.072
-.122
-.068
.498
2.007
.223
.042
1.009
5.337
.000
.138
.308
.198
.686
.517
.263
3.803
Pakan pelet
.266
.047
1.199
5.642
.000
.170
.363
.106
.706
.547
.208
4.806
Obat-obatan
-.046
.047
-.115
-.979
.335
-.142
.050
.234
-.170
-.095
.685
1.460
Tenaga kerja
.900
.150
.768
6.002
.000
.594
1.205
.494
.728
.582
.574
1.743
Dummy
.371
.181
.214
2.047
.049
.002
.739
.040
.340
.198
.859
1.164
a. Dependent Variable: Produksi ikan hias
69
70
71
RIWAYAT HIDUP Penulis memiliki nama lengkap Alyani Fadhilah Husna yang dilahirkan pada tanggal 2 Agustus 1993 di Jakarta. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Wefrizal dan Ibu Elvy Yunita. Penulis berhasil menyelesaikan pendidikan dasar di SD Islam Al-Azhar Syuhada pada tahun 2005. Selanjutnya penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertama di SMP Negeri 3 Depok pada tahun 2008 dan tahun 2011 penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMA Negeri 2 Depok. Penulis diterima sebagai mahasiswa Program Keahlian Teknik dan Manajemen Lingkungan, Diploma Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2011 dan lulus pada tahun 2014. Pada tahun 2014 penulis melanjutkan pendidikan strata satu pada program Alih Jenis Agribisnis Institut Pertanian Bogor, Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.