831
Penggunaan madu dalam produksi ikan guppy jantan (Munti Sarida)
PENGGUNAAN MADU DALAM PRODUKSI IKAN GUPPY JANTAN (Poecillia reticulata) Munti Sarida*), Tarsim*), dan Epro Barades**) PS Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung Jl. Soemantri Brojonegoro No. 1, Bandar Lampung 35145 E-mail:
[email protected] **) Alumni PS Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung *)
ABSTRAK Umumnya maskulinisasi menggunakan hormon 17α-metiltestosteron. Namun, penggunaan hormon sudah mulai dikurangi karena berbahaya bagi lingkungan dan penggunanya. Hal tersebut mengakibatkan perlunya bahan alami yang dapat menggantikan hormon dalam proses maskulinisasi, salah satunya madu. Madu merupakan bahan alami yang didalamnya terdapat senyawa aromatase inhibitor alami berupa chrysin. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dosis perendaman madu yang optimum untuk pengarahan kelamin ikan guppy menjadi jantan. Penelitian dilakukan secara eksperimental dengan rancangan acak lengkap (RAL). Metode perendaman induk ikan guppy dalam madu selama 15 jam pada dosis perlakuan 0 mL/ L (kontrol), 25 mL/L, 50 mL/L, dan 75 mL/L. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis madu berpengaruh terhadap persentase ikan guppy berjenis kelamin jantan dengan nilai tertinggi pada dosis 50 mL/L dengan persentase jantan 64,07±9,71%. Berdasarkan uji BNT diketahui perlakuan dosis 25 mL/L, 50 mL/L, dan 75 mL/L memberikan respons yang berbeda dari kontrol. Tetapi, tidak berbeda antara satu dengan yang lainnya. Berdasarkan uji proporsi menunjukkan bahwa dosis 50 mL/L memiliki proporsi jantan yang lebih tinggi dari kontrol. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dosis perendaman madu yang optimum dalam produksi ikan guppy jantan adalah 50 mL/L.
KATA KUNCI:
guppy jantan, madu, chrysin, sex reversal
LATAR BELAKANG Ikan guppy merupakan ikan hias yang berasal dari Amerika Selatan dan Amerika Tengah (Eli, 2006 dan Kuncoro, 2009). Ikan guppy memiliki daya adaptasi yang tinggi sehingga ikan guppy mudah untuk dibudidayakan. Ikan guppy jantan banyak diminati oleh masyarakat, karena tampilan dan bentuk ekor guppy jantan lebih menarik serta beraneka ragam dibanding guppy betina. Umumnya proses budidaya akan menghasilkan perbandingan individu jantan dan betina sebesar 1:1 (OspinaAlvarez, 2008). Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu usaha agar anakan yang dihasilkan banyak berjenis kelamin jantan. Usaha dalam menghasilkan ikan guppy jantan dapat dilakukan dengan cara sex reversal. Aplikasi sex reversal untuk menjadi jantan atau maskulinisasi dapat dilakukan dengan menggunakan bahan sintetis berupa hormon 17α-metiltestosteron atau aromatase inhibitor. Penggunaan kedua bahan tersebut akan menghasilkan individu jantan yang lebih banyak dari betina. Namun, harga dari hormon 17α-metiltestosteron dan aromatase inhibitor yang relatif mahal. Selain itu, hormon 17αmetiltestosteron juga berbahaya, karena dapat menimbulkan pencemaran dan kanker pada manusia (Sudrajat & Sarida, 2006). Diperkuat Contreras-Sánchez et al. (2001) menyatakan bahwa residu anabolik 17α-metiltestosteron masih tertinggal pada sedimen kolam setelah tiga bulan penggunaannya pada jantanisasi ikan nila. Oleh karena itu, perlu dicari bahan alternatif yang dapat digunakan untuk menghasilkan populasi jantan. Salah satu upaya untuk menghindari bahaya dan meringankan biaya produksi adalah menggunakan bahan yang bersifat alami dan mudah diperoleh, seperti madu. Madu adalah salah satu pemanis alami yang banyak digunakan oleh masyarakat di dunia (Ball, 2007). Madu mengandung senyawa chrysin yang berfungsi sebagai aromatase inhibitor alami (IJEACCM, 2006). Aromatase inhibitor mengakibatkan terjadinya penurunan konsentrasi estrogen yang mengarah pada tidak aktifnya transkripsi dari gen aromatase (Ballthazart & Ball, 1989 dalam Server et al., 1999). Penurunan konsentrasi estrogen oleh aromatase inhibitor mengakibatkan banyaknya hormon testosteron yang kemudian akan mengarahkan kelamin menjadi jantan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dosis perendaman madu yang optimum dalam produksi ikan guppy jantan.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
832
MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan dalam beberapa tahap yaitu: Tahap Persiapan Pada tahap persiapan dilakukan beberapa kegiatan yang meliputi pemeliharaan induk, persiapan wadah pemijahan, dan pemeliharaan larva. Pemeliharaan induk dilakukan dalam wadah terpisah antara induk jantan dan induk betina. Induk dipelihara dalam akuarium dengan ukuran 50 cm x 40 cm x 40 cm. Pemberian makan induk selama pemeliharaan dilakukan sebanyak dua kali sehari secara ad libitum menggunakan cacing sutera dan pakan komersial yang diberikan secara bergantian. Selanjutnya induk jantan dan betina dicampurkan rasio jantan dan betina 1:1. Pencampuran dilakukan selama empat hari, kemudian induk jantan dipelihara secara terpisah dari induk betina. Hari ke-10 setelah induk jantan dipisahkan, induk betina yang sudah terlihat bunting direndam dalam larutan madu selama 15 jam sesuai dengan masing-masing dosis perlakuan. Tahap Pelaksanaan Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah perendaman induk dalam larutan madu selama 15 jam dengan dosis perendaman 0 mL/L (kontrol), 25 mL/L, 50 mL/L, dan 75 mL/L. Perendaman induk dilakukan setelah 10 hari induk betina dipisahkan dari induk jantan. Sebelum perendaman dilakukan, madu dilarutkan dalam media sesuai dosis perlakuan dan disusun berdasarkan desain penelitian. Induk yang telah diberi perlakuan perendaman selama 15 jam dipelihara dalam wadah akuarium dengan dimensi 30 cm x 20 cm x 20 cm sampai melahirkan anak. Kemudian induk yang telah melahirkan dipisahkan dari anak-anaknya. Anak ikan guppy yang telah lahir diberi pakan awal daphnia hingga berumur satu minggu lalu dilanjutkan pakan komersial. Pemberian pakan pada anak guppy dilakukan secara ad libitum sebanyak tiga kali sehari. Pengukuran kualitas air dilakukan sebelum perlakuan, awal perlakuan, akhir perlakuan, induk melahirkan, perawatan larva, dan panen. Kualitas air yang diukur adalah suhu, Ph, dan DO (dissolved oxygen). Tahap Pengamatan Pengamatan jenis kelamin dilakukan setelah 60 hari pemeliharaan anak ikan guppy. Pengamatan dilakukan secara visual dengan memperhatikan ciri kelamin sekunder pada ikan guppy. Ciri kelamin sekunder ikan guppy dapat diketahui dengan melihat perbedaan antara ikan jantan dan betina. Parameter yang Diamati Parameter utama yang diamati dalam penelitian adalah persentase individu jantan dan parameter pendukung adalah sintasan dan kualitas air. Persentase Individu Jantan Parameter utama dalam penelitian ini merupakan jumlah anakan ikan guppy yang memiliki jenis kelamin jantan dari hasil perlakuan. Pengamatan dilakukan setelah masa pemeliharaan selama empat sampai enam minggu. Anakan guppy dapat diketahui jenis kelamin melalui pengamatan secara visual terhadap morfologisnya. Setelah dilakukan pengamatan morfologis, dilakukan perhitungan persentase individu jantan dengan rumus:
% jantan =
∑ ikan berjenis kelamin jantan x 100% ∑ ikan yang diamati
Sintasan atau Survival Rate (SR) Tingkat sintasan ikan guppy yang diamati dapat diketahui dengan menggunakan rumus:
833
Penggunaan madu dalam produksi ikan guppy jantan (Munti Sarida)
SR =
∑ ikan akhir ∑ ikan awal
x 100%
HASIL DAN BAHASAN Perubahan morfologi yang terjadi pada ikan guppy merupakan ciri sekunder dari perbedaan jenis kelamin. Ciri sekunder ikan guppy jantan adalah warna pada badan ikan yang menutupi hampir seluruh bagian badannya, modifikasi dari sirip anal menjadi gonopodium, dan bentuk ekor yang panjang dan lebar. Sedangkan ciri sekunder pada ikan guppy betina adalah warna hanya ada pada bagian ekor dan sedikit pada pangkal ekornya, memiliki bentuk perut yang lebih besar, sirip ekor tidak panjang, dan lebar (Gambar 1).
Gambar 1. Anakan ikan guppy berumur 2 bulan berjenis kelamin jantan (kiri) dan betina (kanan) Pengujian menggunakan analisis ragam menunjukkan pengaruh perendaman dosis madu yang berbeda terhadap persentase kelamin jantan (P<0,05). Hasil uji tersebut membuktikan bahwa madu berpengaruh terhadap jumlah persentase jenis kelamin jantan pada ikan guppy (Tabel 1). Persentase jenis kelamin jantan tertinggi akibat perendaman induk ikan guppy yang sudah dibuahi selama 15 jam terlihat pada dosis 50 mL/L dengan persentase jantan 64,07%. Keberhasilan maskulinisasi ini diduga adanya kandungan chrysin dalam madu. Sehingga semakin tinggi konsentrasi madu dalam perlakuan akan memberikan nisbah kelamin jantan yang lebih banyak dibanding betina. Yamazaki (1983) dalam Zairin (2002) menyatakan bahwa testosteron merangsang pertumbuhan organ kelamin jantan dan meningkatkan perkembangan sifat-sifat kelamin sekunder jantan. Pemberian dosis madu 50 mL/L menghasilkan persentase jenis kelamin jantan tertinggi sebanyak 64,07±9,71%. Tingginya persentase tersebut diakibatkan oleh pengaruh chrysin yang menghambat aktivitas aromatase hingga transkripsi gen aromatase. Penghambatan tersebut mengakibatkan kandungan hormon testosteron lebih banyak dibandingkan dengan kandungan hormon estradiol. Tabel 1. Hasil perlakuan perendaman induk dalam larutan madu selama 15 jam dengan dosis berbeda dalam produksi ikan guppy , Poecillia reticulata jantan terhadap beberapa parameter Parameter pengamatan
Dosis perendaman (mL/L)
Sintasan (%)
Jumlah jantan (%)
0 25 50 75
40,43±3,75a 54,29±4,17b 64,07±9,71b 60,02±3,77b
81,86±9,02a 94,66±4,64a 96,67±5,77a 93,57±5,26a
Huruf superscript yang sama menunjukkan tidak berbeda secara nyata pada taraf kepercayaan 95%
834
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
Sehingga embrio yang berada di dalam perut induk ikan guppy yang diberi perlakuan akan memiliki konsentrasi hormon testosteron yang lebih banyak dibandingkan hormon estradiol. Menurut Server et al. (1999) larva yang mengalami aktivitas aromatase rendah akan mengarah pada terbentuknya testis, sebaliknya larva yang mengalami aktivitas aromatase tinggi akan mengarah pada terbentuknya ovari. Suatu individu akan berubah atau berdiferensiasi pada awal perkembangannya, tergantung dengan ada atau tidaknya hormon testosteron. Gonad akan berdiferensiasi menjadi jantan apabila terdapat hormon testosteron, sebaliknya gonad akan berdiferensiasi menjadi betina apabila terdapat hormon estradiol (Hunter & Donaldson, 1983 dalam Piferrer, 2001). Pada kondisi normal individu akan berkembang dengan fenotipe yang terekspresi dari genotipenya. Individu dengan genotipe XX akan berkembang menjadi betina, sedangkan individu dengan genotipe XY akan berkembang menjadi individu jantan (Zairin, 2002). Sebagai salah satu ikan hias air tawar, ikan guppy akan melakukan penyerapan madu melalui proses difusi pada bagian tubuh dan insang. Sehingga, untuk mencapai embrio madu akan melalui proses metabolisme dalam tubuh yang akan mempengaruhi kuantitas madu pada embrio dalam mengarahkan perkembangan kelamin menjadi jantan pada ikan guppy. Berdasarkan uji analisis ragam perendaman madu tidak berpengaruh terhadap tingkat sintasan ikan guppy (P>0,05). Hal ini diduga perlakuan perendaman madu pada induk yang sedang bunting tidak mempengaruhi tingkat sintasan induk ataupun larva ikan guppy. Hal tersebut diduga karena penggunaan dosis madu dalam perlakuan masih dalam batasan tolerir ikan guppy sehingga tidak mempengaruhi mekanisme fisiologis ikan. Menurut Fujaya (2004), ikan akan mengalami kematian apabila mengalami gangguan dalam melakukan mekanisme fisiologis. Selama penelitian kualitas air dalam perlakuan tidak begitu banyak mengalami perubahan. Perubahan kualitas air terjadi pada saat perlakuan dilakukan. Perubahan yang signifikan terjadi pada kualitas air dengan parameter DO (dissolved oxygen). Kadar DO saat pembuatan media perendaman berkisar antara 5,34 mg/L sampai 8,52 mg/L, sedangkan setelah 15 jam dari perendaman menjadi 0,99 mg/L sampai 4,44 mg/L (Tabel 2). Tabel 2. Kualitas air selama penelitian Waktu pengamatan Sebelum perlakuan Perlakuan - Awal - Akhir Melahirkan Perawatan larva Panen
Parameter pH
DO (mg/L)
Suhu (°C)
6,64-6,66
6,09-8,92
25,90-26,40
6,59-6,61 4,91-5,00 6,45-6,84 6,60-6,65 4,71-4,87
5,34-8,52 0,99-4,44 5,57-9,20 5,78-7,60 5,26-7,33
26,70-27,30 25,50-25,70 26,60-28,10 26,60-27,40 28,30-28,80
Kadar DO merupakan kualitas air yang banyak mengalami perubahan di awal dan akhir perlakuan. Awal perlakuan menunjukkan kadar DO berkisar antara 5,34 sampai 8,52 mg/L sedangkan akhir perlakuan 0,99 sampai 4,44 mg/L. Penurunan Kadar DO terjadi kadar air madu yang tinggi dapat merangsang terjadinya proses fermentasi madu yang disebabkan oleh aktivitas jamur atau khamir yang terdapat di dalam madu (Almayanthy, 1998 dalam Sukmawati et al., 2007). Semakin rendah kadar airnya, maka peluang fermentasi pada madu semakin kecil dan lambat. Hal tersebut diakibatkan adanya kandungan dalam madu yang dapat menghambat pertumbuhan jamur. Menurut Gencay et al. (2008), madu merupakan bactericidal, bacteriostatic, antifungal, antiviral, scolicidal, antioxidant, antitumoral, dan antiinflammatory. Kadar DO sebesar 0,99 akan membahayakan ikan bila terpapar lebih dari 8 jam. Pescod et al. (1973) kadar DO yang baik untuk menunjang kehidupan ikan harus lebih dari 2 mg/L. Apabila kurang
835
Penggunaan madu dalam produksi ikan guppy jantan (Munti Sarida)
dari 2 mg/L tidak boleh terpapar melebihi waktu 8 jam dari 24 jam. Kadar DO 0,3 sampai 1 mg/L akan mengakibatkan kematian pada ikan bila terpapar dalam waktu lama (Effendi, 2003). Kandungan pH yang ideal bagi produktivitas perairan adalah 5,5 sampai 6,5, sedangkan kisaran pH yang baik untuk pemeliharaan ikan adalah 7 sampai 8,5 (Effendi, 2003). pH dalam perlakuan berada pada kisaran 4,91 sampai 6,59 atau pada kondisi asam. Penurunan pH mengakibatkan metabolisme ikan menjadi terganggu. Perubahan nilai pH juga berpengaruh pada kadar CO2 dalam perairan, semakin tinggi nilai pH semakin rendah kadar CO2 bebas. Sebaliknya semakin rendah nilai pH kadar CO2 bebas semakin tinggi. Suhu merupakan faktor eksternal yang dapat berpengaruh terhadap perubahan fenotip betina menjadi jantan pada ikan yang memiliki genotip betina (XX). Ikan tilapia akan memiliki fenotip jantan apabila diberi perlakuan suhu diatas 32°C minimal 10 hari setelah 10 hari pembuahan (Baroiller et al., 1995, Tessema et al., 2006, Wessel & Horstgen-Schwark, 2007 dalam Baroiller et al., 2009). Pada ikan medaka (Oryzias latipes) persentase jantan akan meningkat melebihi 50% pada kondisi suhu melebihi 28°C, namun pada suhu 18°C–28°C persentase jantan dan betina 50%:50% (OspinaAlvarez, 2008). Suhu selain berpengaruh perubahan fenotif juga berpengaruh terhadap kecepatan metabolisme ikan. Laju metabolisme dapat dipercepat sebesar dua kali dengan peningkatan suhu sebesar 10°C. Proses dekomposisi dan konsumsi oksigen akan lebih cepat dua kali lipat setiap peningkatan suhu sebesar 10°C (Effendi, 2003). Suhu dalam penelitian berada pada kisaran 25°C sampai 28°C. Kisaran suhu dalam penelitian tersebut, diduga tidak memberikan pengaruh terhadap pengarahan kelamin jantan, sehingga pengaruh pengarahan kelamin jantan hanya disebabkan oleh perlakuan. Selain itu, ikan guppy dapat bertahan pada suhu 18°C sampai 28°C (Elaxamana, 2009). Hal tersebut menunjukkan bahwa suhu dalam penelitian masih berada dalam kisaran ikan guppy dapat bertahan hidup. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dosis perendaman madu yang optimum dalam produksi ikan guppy jantan adalah 50 mL/L. Penelitian lanjutan untuk maskulinisasi dengan menggunakan madu dilakukan dengan dosis yang lebih tinggi dan waktu pemaparan singkat, serta perlu dilakukan penelitian mengenai kemampuan ikan guppy untuk menyerap madu yang diberikan. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini terselenggara atas hibah Penelitian DIPA Universitas Lampung. Terima kasih saya ucapkan kepada Epro Barades yang sudah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. DAFTAR ACUAN Ball, W.D. 2007. The Chemical Composition of Honey. J. of Chemical Education, 84(10): 1643. Balthazart, J. & Ball, G.F. 1998. New Insight Into Regulation and Function of Brain Estrogen Synthase (Aromatase). Review. Control and Function of Brain Aromatase. J. Trends in Neurosciences, 21(6): 243–249. Barroiller, J.F., D’Cotta, H., Bezault, E., Wessel, S., & Hoerstgen-Scwark, G. 2009. Tilapia sex determination : Where temperature and genetics meet. Comparative Biochemistry and Physiology - Part A: Molecular & Integrative Physiology, 153(1): 30–38. Contreras-Sánchez, W.M. & Fitzpatrick, M.S. 2001. Fate of Methyltestosterone in the Pond Environment: Impact of MT-Contaminated Soil on Tilapia Sex Differentiation.http://pdacrsp.oregonstate.edu/ pubs/technical/18tchhtml/9ER2C.html. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius, Yogyakarta. Elaxamana. 2009. Poecillia reticulata, Peters “Guppy”. Dikutip dari http://www.fishbase.org/Summary/ SpeciesSummary.php?id=3228 pada tanggal 7 Desember 2009. Eli. 2006. Poecilia reticulata Peters, 1859 “Guppy”. Dikutip dari http://www.fishbase.org/FieldGuide/
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
836
FieldGuideSummary.cfm?GenusName=Poecilia&SpeciesName=reticulata&pda=&sps= pada tanggal 30 Juni 2009. Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan Dasar Pengembangan Teknologi Perikanan. Rineka Cipta : Jakarta. Gencay, C., Kilicoglu, S.S., Kismet, K., Kilicoglu, B., Erel, S., Muratoglu, S., Sunay, A.E., Erdemli, E., & Akkus, M.A. 2008. Effect of honey on bacterial translocation and intestinal morphology in obstructive jaundice. World J. of Gastroenterology ISSN 1007-9327, 14(21): 3410–3415. IJEACCM. 2006. Evaluation of a new Class 1 subsatance “Chrysin”. IJEACCM 03. Dikutip dari http:// www.medsafe.govt.nz/regulatory/CompMed/PIL/IJEACCM/3/Chrysin.pdf pada tanggal 30 Juni 2009. Kuncoro, E.B. 2009. Ensiklopedia Populer “Ikan Air Tawar”. Lily Publisher, Yogyakarta. Ospina-Alvarez, N. & Piferrer, F. 2008. Temperature-dependent Sex Determination in Fish Revisited : Prevalence, a Single Sex Ratio Response Pattern, and Possible Effect of Climate Change. PLoS ONE, 3(7): e2837. Pescod, M.B. 1973. Investigation of Rational Effluent and Sream Standars for Tropical Countries. Enviromental Engginering Division. Asian Inst Of Tech Bangkok AD0782199, 61 pp. Piferrer, F. 2001. Endocrine Sex Control Strategis For Feminization Of Teleosts Fish. Aquaculture. 197: 229–281 Sudrajat, A.O & Sarida, M. 2006. Effectivity of Aromatase Inhibitor and 17á-Methyl Testosteron Treatments In Male Production of Freshwater Prawn (Macrobrachium Rosenbergii de Man). J. Aquacultura Indonesiana, 7(1). Server, D., Halliday, M., Waight, V., Brown, J., Davies, H.A., & Moriarty, .E.C. 1999. Sperm Storage in Female of the Smooth New (Triturus vulgaris, L).I. Ultrastructure of the Spermathecal during the Breeding Season. J. of Experimental Zoology, 283: 51–70. Sukmawati, A., Siregar, H.C.H., & Mauidah, C. 2007. Analisis Manajemen Mutu Terpadu di PT Madu Pramuka Cibubur Jakarta Timur. Media Peternakan, ISSN 0126-0472, 30(2): 88–99. Yamazaki, R. 1983. Sex Control and Manipulation in Fish. Aquaculture, 33: 329–354. Zairin, M.Jr. 2002. Sex Reversal “Memproduksi Benih Ikan Jantan atau Betina”. Penebar Swadaya. Jakarta.