PRODUKSI BENIH IKAN NILA JANTAN DENGAN RANGSANGAN HORMON METIL TESTOSTERON DALAM TEPUNG PELET Zulkifli Mantau Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara, Jalan Kampus Pertanian Kalasey Provinsi Sulawesi Utara
ABSTRAK Tulisan ini manyajikan ulasan tentang teknologi menjantankan (maskulinisasi) benih ikan nila yang efektif, praktis, serta menguntungkan. Ikan nila sangat mudah memijah terutama inbreeding. Akibatnya, pertumbuhannya lambat dan benih yang dihasilkan berukuran kerdil. Untuk mengatasinya perlu dikembangkan budi daya ikan nila secara tunggal kelamin (monosex culture), yaitu hanya memelihara ikan jantan. Selain itu ikan nila jantan memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih cepat dan dagingnya lebih empuk dibanding ikan nila betina. Benih jantan dapat diproduksi dengan menggunakan hormon androgen sintetis seperti metil testosteron (MT) dalam pakan larva. Beberapa penelitian dan pengkajian di dalam dan luar negeri menunjukkan bahwa aplikasi pakan berhormon metil testosteron untuk maskulinisasi benih ikan nila menghasilkan 90−96% benih jantan. Hasil penelitian dan kajian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara menunjukkan dosis hormon yang optimal dan aman adalah 15 mg MT/kg pakan. Hormon diaplikasikan pada tahap pembenihan maksimal selama 1 bulan. Penerapan teknologi maskulinisasi memberi keuntungan bersih Rp19.971.500/13 ekor induk/tahun, dengan B/C ratio 2,60, periode kembali modal setelah 13 induk betina memijah dan BEP Rp2.370.887/13 ekor induk/tahun. Untuk pembenihan nila tanpa maskulinisasi diperoleh keuntungan bersih Rp16.840.000/14 ekor induk/tahun, B/C ratio 2,50, periode kembali modal setelah 14 ekor induk betina memijah dan BEP Rp2.134.322/14 ekor induk/tahun. Kata kunci: Ikan nila, pemberian pakan, metil testosteron, budi daya tunggal kelamin
ABSTRACT Male fry production of nile tilapia by methyl testosterone stimulation in flour of pellet feed This article reviewed technology of fish fry masculinization of nile tilapia in effective, practical and profitable way. Nile tilapia is easy to spawn especially inbreeding, as a result its growth is slow or retarded. To solve the problem, it can be developed monosex culture by growing only the male fish. Male nile tilapia also have quicker growth and softer flesh than the female one. Male fish fry could be produced by using the synthetic androgen like methyl testosterone (MT) in larval feed. Studies and researches conducted in the country and abroad showed that application of methyl testosterone hormone in larval feed for masculinization of nile tilapia produced fry which is 90−96% male. Research result and study of North Sulawesi Assesment Institute for Agricultural Technology showed that peaceful and optimal dose is 15 mg MT/kg of flour pellet. The hormone was applied at seeding stage for 1 months of duration. Furthermore, economic analysis showed that the masculinization technology is feasible with NPV Rp19.971.500/13 fishes/year; B/C ratio 2,60; payback period after 13 female fish spawning and BEP Rp2.370.887/13 fishes/year. The conventional technology only has NPV Rp16.840.000/14 fishes/year; B/C ratio 2,50; payback period after 14 female fish spawning and BEP Rp2.134.322/14 fishes/year. Keywords: Oreochromis niloticus, feeding, methyl testosterone, monosex culture
I
kan nila sangat mudah memijah terutama inbreeding, karena ikan ini cepat matang gonad dan dapat melakukan pemijahan berkali-kali (Suyanto 1994; Guerrero III dan Guerrero 2004). Akibatnya pertumbuhannya menjadi lambat dan benih yang dihasilkan berukuran kecil sehingga tidak diminati konsumen. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlu dikembangkan alternatif budi daya 80
dengan pemeliharaan ikan secara tunggal kelamin (monosex culture), yakni hanya memelihara benih ikan jantan, karena pertumbuhannya lebih cepat, dagingnya lebih empuk, dan ukurannya lebih besar dibanding ikan betina (Suyanto 1994; Fitzsimmons 2004). Terdapat beberapa cara untuk mengubah kelamin atau maskulinisasi ikan nila dan meningkatkan persentase individu
jantan dalam populasi ikan tersebut, yaitu: 1) memisahkan jantan dan betina dengan cara seleksi manual, namun cara ini kurang efisien karena boros waktu dan tenaga, dan 2) melakukan kawin silang (hibridisasi) antarspesies. Pada tahun 1960-an dan 1970-an, ilmuwan dari Israel menyatakan bahwa spesies hibrida unggul ikan nila yang dihasilkan dari kawin silang lebih condong memiliki jenis kelamin Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005
jantan. Namun cara ini kurang praktis dan memakan waktu lama untuk menghasilkan 100% ikan nila jantan (Fitzsimmons 2004), 3) manipulasi kromosom, tetapi cara ini hanya dapat dilakukan oleh ahli genetik dan memakan waktu lama, serta memerlukan tingkat ketelitian yang tinggi dan biaya yang besar. Untuk tingkat petani, cara ini belum dapat diterapkan kecuali melalui kerja sama dengan lembaga-lembaga penelitian yang sudah melakukan hal tersebut, 4) untuk mendapatkan benih jantan ikan nila secara cepat, akurat dan praktis dapat dilakukan dengan rangsangan hormon steroid seperti metil testosteron (MT). Aplikasinya dilakukan secara oral dengan pemberian dosis tertentu dalam pakan larva (Guerrero III dan Guerrero 2004). Maskulinisasi dengan rangsangan hormon perlu memperhatikan umur ikan. Shapiro (1987) menyatakan bahwa semakin muda umur ikan, peluang terbentuknya kelamin jantan semakin besar, dan semakin tua umur ikan peluang perubahan kelamin betina ke jantan makin berkurang. Maskulinisasi pada ikan berumur 2 bulan (50 g) tidak akan berhasil karena pada saat itu organ kelamin sudah terbentuk sempurna. Oleh karena itu, maskulininasi sebaiknya dilakukan pada umur 7–10 hari setelah telur menetas dan maksimal pada umur 17−19 hari (Suyanto 1994; Irfan 1996). Tulisan ini bertujuan memberikan informasi terutama kepada petani ikan tentang teknologi maskulinisasi benih ikan nila secara efektif, praktis, dan menguntungkan. Diuraikan pula dosis dan
durasi yang aman yang dapat menjadi acuan dalam penerapan teknologi ini di lapangan.
PEMBENIHAN IKAN NILA Teknik produksi benih ikan nila jantan (maskulinisasi) berkaitan erat dengan proses awalnya yaitu pembenihan. Pembenihan dilakukan dengan memelihara seekor ikan nila jantan dan 3–5 ekor ikan nila betina dalam ruang pemijahan (kolam atau happa) berukuran 1 m 2 (acuan standar). Ikan jantan berukuran ± 200 g/ ekor dan ikan betina ± 150 g/ekor, masingmasing berumur ± 4 bulan. Ruang pemijahan dilengkapi dengan bilahanbilahan bambu yang diatur rapat seperti pagar (Gambar 1) Ikan nila merupakan parental care fish, yaitu mengerami telur dan menjaga larvanya dalam mulut (Suyanto 1994; www.balitbang-sumut.go.id. 2004; Griffin 2004). Seekor induk betina dapat menghasilkan 1.000–1.500 ekor larva. Pada saat mengerami dan menjaga larvanya, induk betina menyendiri dan pada saat larva telah lepas dari asuhan induknya (± 7 hari), induk tetap dalam kelompoknya. Pemijahan dapat dilakukan pada kolam atau happa (jaring dari kawat nyamuk). Jika dalam satu kolam atau happa pemijahan terdapat 10 ekor betina yang mengeram, maka setelah 7 hari atau setelah induk dipindahkan akan tetap terdapat 10 kelompok larva di sudut dan pinggiran tempat pemijahan. Inilah salah
Gambar 1. Pen/pagar tempat pemijahan induk ikan nila di kolam tanah. Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005
satu cara mengetahui keberadaan populasi larva dalam tempat pemijahan.
PERLAKUAN PAKAN BERHORMON METIL TESTOSTERON Masalah umum yang dihadapi dalam budi daya ikan nila adalah kemampuan reproduksi ikan yang tinggi, sehingga sukar diatur dan sering terjadi inbreeding. Akibatnya tingkat pertumbuhan ikan menjadi lambat sehingga diperlukan waktu yang lama untuk mencapai ukuran konsumsi, bahkan pertumbuhannya sering terhenti (stagnan). Berdasarkan pengalaman penulis di lapangan, jika ikan nila dipelihara secara campur kelamin (polysex culture) maka ikan dengan ukuran 50 g/ekor sudah mulai memijah, sehingga pertumbuhan menjadi lambat bahkan terhenti karena energinya terkuras untuk memijah dan mengerami telur (khususnya ikan betina), padahal ukuran konsumsi atau siap jual adalah lebih dari 100 g/ekor. Untuk mengatasinya perlu dilakukan budi daya tunggal kelamin yaitu hanya memelihara ikan nila jantan. Benih ikan nila jantan antara lain dapat diproduksi dengan rangsangan hormon MT yang dicampur dalam pakan tepung pelet. Ada berbagai cara meracik pakan berhormon, salah satunya adalah yang dihasilkan Mantau et al. (2001) dengan menggunakan tiga dosis hormon berbeda yaitu 15, 25, dan 30 mg. Selanjutnya hormon dilarutkan dalam alkohol 95% masing-masing sebanyak 7,50; 12,50; dan 15 ml. Larutan hormon alkohol yang telah siap kemudian dicampur dengan 1 kg tepung pelet (sebagai acuan). Pakan berhormon dapat langsung diberikan kepada larva ikan nila atau disimpan dalam kantong plastik tertutup dan dimasukkan ke dalam lemari es. Pakan tahan hingga 2 bulan. Pakan diberikan empat kali sehari dengan dosis 10% dari total bobot populasi per happa. Bobot populasi per happa diketahui dengan sampling sebanyak 10% dari total populasi pada penebaran awal yaitu 200 ekor larva per happa. Guerrero III dan Guerrero (2004) telah meneliti efek androstenedion (AD) dan MT pada larva dan benih ikan nila yang dijantankan. Dalam penelitian tersebut diuji tiga perlakuan dosis AD dan MT 81
yaitu 0 (kontrol), 30 mg AD (AD-30), 50 mg AD (AD-50), 30 mg MT (MT-30), dan 50 mg MT (MT-50) per 1 kg pakan. Pemeliharaan larva dilakukan dalam happa selama 21 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot badan ratarata larva tertinggi diperoleh pada perlakuan 50 mg MT/kg pakan dan terendah pada perlakuan 30 mg AD/kg pakan. Namun survival rate (sintasan) tertinggi dihasilkan perlakuan 30 mg AD/ kg pakan (Tabel 1). Perlakuan androgen tidak memiliki efek yang nyata terhadap pertumbuhan dan sintasan benih ikan nila selama 21 hari proses pengubahan kelamin. Sementara itu, bobot badan rata-rata dari benih yang diberi perlakuan AD berada pada kisaran terendah dan tertinggi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh faktor-faktor lain di luar efek androgen (Guerrero III dan Guerrero 2004). Pertumbuhan dan sintasan benih selama proses pengubahan kelamin ditentukan oleh beberapa faktor, seperti padat tebar, pemberian pakan, suhu, dan kondisi lingkungan lainnya (Bocek et al. 1992 dalam Guerrero III dan Guerrero 2004). Jo et al. (1995) dalam Guerrero III dan Guerrero (2004) melaporkan bahwa perlakuan MT 5–25 mg/kg pakan memiliki pengaruh yang lebih nyata dibanding kontrol setelah periode pengubahan kelamin. Diduga MT memiliki efek anabolik terhadap ikan. Namun, Vera Cruz dan Mair (1994) tidak menemukan pengaruh yang nyata perlakuan MT 40 mg/kg pakan terhadap pertumbuhan dan sintasan ikan nila selama pengubahan kelamin. Mantau et al. (2001) juga menyatakan tidak ada pengaruh yang nyata perlakuan MT 0, 15, 25, 30 mg/kg pakan terhadap
pertumbuhan harian dan mortalitas benih ikan nila selama 28 hari periode pengubahan kelamin yang dilanjutkan 28 hari periode pemeliharaan atau pembesaran benih, di mana pada tahap ini pakan berhormon diganti dengan pakan tepung pelet tanpa hormon. Rata-rata pertumbuhan harian larva ikan nila selama 56 hari pengubahan kelamin dan pembesaran benih sebesar 8% bobot badan (bb)/ekor/ hari dengan mortalitas 3–4%/56 hari. Irfan (1996) juga melaporkan tidak terdapat pengaruh yang nyata perlakuan MT terhadap pertumbuhan bobot mutlak dan mortalitas benih ikan nila yang dijantankan. Enam dosis hormon (10, 20, 30, 40, 50, dan 0 mg) yang masing-masing dicampur dalam 200 g pakan tepung pelet menghasilkan pertumbuhan bobot mutlak ikan yang dipelihara selama 3 bulan sebesar 2,05–2,83 g/ekor dengan pertumbuhan harian rata-rata 4,13−5,54% bb/ekor/hari, dan mortalitas 16,60–58,86%. Pertumbuhan harian benih ikan nila hasil penelitian Irfan (1996) lebih rendah dengan tingkat mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Mantau et al. (2001). Sementara itu hasil penelitian Guerrero III dan Guerrero (2004) menunjukkan rata-rata bobot badan dan sintasan benih ikan nila yang dipelihara selama 30 hari setelah pemijahan dengan perlakuan MT lebih tinggi (MT-30: 5 g/ ekor dan sintasan 91%; MT-50: 6,50 g/ ekor dan sintasan 93%) dibanding kontrol (bobot rata-rata 3 g/ekor dan sintasan 95%) maupun perlakuan AD (AD-30: 3,50 g/ekor dan sintasan 85%; AD-50: 3 g/ekor dan hanya sintasan 70%). Namun, sebenarnya titik berat penelitian maskulinisasi adalah persentase pembentukan individu jantan. Vera Cruz dan Mair (1994)
Tabel 1. Rata-rata bobot badan dan sintasan larva O. niloticusa yang dijantankan dalam happa selama 21 hari dengan pakan berhormon. Parameter Bobot akhir rata-rata (g/ekor) Sintasan (%)
Dosis hormon (mg/kg pakan) 0
AD-30
AD-50
MT-30
MT-50
0,19
0,17
0,23
0,19
0,19
82,30
91,20
78,50
87,70
77,60
Berat awal rata-rata = 0,01 g, AD = androstenedion, MT = metil testosteron. Sumber: Guerrero III dan Guerrero (2004).
a
82
serta Mantau et al. (2001) tidak menemukan pengaruh yang nyata perlakuan hormon MT terhadap laju pertumbuhan ikan nila. Perlakuan rangsangan hormon MT memberikan hasil rata-rata tertinggi dibanding kontrol maupun perlakuan AD, yaitu menghasilkan 96% jantan baik MT30 maupun MT-50 dengan sintasan 100% dan bobot akhir rata-rata pada 75 hari setelah pemijahan masing-masing 15,80 dan 18 g/ekor. Pada perlakuan AD, persentase individu jantan hanya 74– 81% dengan sintasan 98–100% dan bobot akhir rata-rata pada 75 hari setelah pemijahan 15–16,20%. Larva ikan nila yang tidak diberi rangsangan hormon menghasilkan individu jantan 59% walaupun sintasannya 100% dan bobot akhir rata-rata pada 75 hari setelah pemijahan 17,70 g/ekor (Guerrero III dan Guerrero 2004). Dari hasil penelitian tersebut sebetulnya dosis hormon MT yang digunakan terlalu tinggi sehingga cenderung boros padahal persentase benih jantan yang diperoleh rata-rata hanya 96%. Di samping itu, dosis hormon MT yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan paradoxial effect, paradoxial feminization atau efek berbalik (Harahap 1994 dalam Irfan 1996). Selain itu penggunaan hormon yang berlebihan akan menyebabkan ikan menjadi jantan sebelum waktunya sehingga menghambat pertumbuhan (Matty 1985). Fenomena paradoxial feminization dilaporkan oleh Haniffa et al. (2004) sebagai akibat penggunaan dosis hormon MT yang tinggi (400 µg/l). Individu jantan yang dihasilkan hanya mencapai 30% sedangkan individu betina 70%. Dalam penelitian tersebut digunakan ikan Heteropneustes fossilis (Bloch) atau catfish, di mana telur-telur ikan dicelup dalam larutan hormon MT dalam berbagai dosis (100, 200, 300, 400 µg/l) dengan empat durasi waktu perlakuan. Walaupun tidak menggunakan ikan nila sebagai ikan uji, hasil tersebut dapat mewakili atau menggambarkan efek atau akibat dari penggunaan dosis hormon MT yang berlebihan. Penggunaan hormon yang berlebihan juga ditemukan pada penelitian Irfan (1996), dengan pembentukan individu jantan hanya 83,54% pada perlakuan hormon MT 50 mg/200 g pakan. Mantau et al. (2001) melaporkan penggunaan 15 mg hormon MT/kg pakan tepung pelet sudah dapat menghasilkan Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005
benih jantan 93% dengan rata-rata mortalitas 3,25%. Penelitian ini menggunakan happa sebagai wadah pemeliharaan larva sebagaimana yang dilakukan oleh Guerrero III dan Guerrero (2004). Sementara itu penelitian Gustiano (1992) dengan beberapa variasi perlakuan dosis hormon MT (0, 15, 30, 45, 60 mg/ kg pakan) menghasilkan dosis terbaik 15 mg/kg pakan dengan individu jantan yang terbentuk 79% dan sintasan 99%, lebih rendah dari yang diperoleh Guerrero III dan Guerrero (2004) yaitu 100% sintasan. Ketiga penelitian tersebut menggunakan metode yang serupa, sehingga jika dibandingkan, dosis hormon MT yang efisien adalah yang dihasilkan Mantau et al. (2001), karena dengan dosis hormon rendah (15 mg/kg/ pakan), persentase individu jantan yang diperoleh tidak berbeda nyata dengan hasil penelitian Guerrero III dan Guerrero (2004) dan berbeda nyata dengan Gustiano (1992) maupun Irfan (1996) yang hanya mencampurkan hormon MT dalam 200 g pakan. Dari beberapa hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa perubahan sel kelamin ikan nila dengan pemberian pakan berhormon MT lebih efektif dibandingkan dengan metode pencelupan dalam larutan hormon karena persentase terjadinya individu jantan mendekati 100%, sedangkan dengan pencelupan hanya sekitar 80%. Berdasarkan pengalaman penulis di lapangan, penggunaan pakan berhormon lebih mudah dilakukan karena tidak perlu menangkap telur atau larva ikan yang akan dimaskulinisasi, namun hanya cukup memindahkan induk ikan dan pakan berhormon langsung bisa diaplikasikan. Kesulitan penangkapan larva dan telur lebih disebabkan peluang mortalitasnya yang sangat tinggi. Masalah dalam penggunaan metil testoteron adalah hormon tersebut tidak dijual bebas dan dibatasi penggunaannya khususnya untuk tujuan komersial. Penggunaan hormon MT untuk maskulinisasi ikan nila dibatasi hanya pada tahap pembenihan dengan durasi tidak lebih dari 1 bulan. Penggunaan pada tahap pembesaran tidak diperbolehkan karena dikhawatirkan akan membawa pengaruh genetis bagi yang mengonsumsi ikan tersebut. Untuk mengatasi keterbatasan dalam menggunakan metil testosteron, Baroiller dan Toguyeni (1995) menyarankan menggunakan androgen alami yaitu Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005
AD disarankan menggunakan (11 βhydroxy-androstenedione) untuk mengubah kelamin ikan nila. Mereka menyatakan bahwa perlakuan androstenedione pada benih ikan nila pada dosis 10–35 mg/ kg pakan selama 21 hari sama efektifnya dengan menggunakan MT pada dosis yang sama.
ASPEK SOSIAL-EKONOMI Ikan nila khususnya di Sulawesi Utara, dewasa ini lebih diminati petani ikan karena harga benih dan ikan ukuran konsumsi relatif bersaing dengan ikan mas, penanganan benih dan pembesarannya relatif mudah serta efisien dalam memanfaatkan pakan. Selain itu, benih ikan nila lebih mudah diperoleh dan permintaan pasarnya pun lebih terjamin dibanding ikan mas dan ikan air tawar lainnya (komunikasi pribadi dengan para petani ikan nila di Desa Tara-Tara II, Eris, Telap dan Tounelet 2000−2003). Berdasarkan penelitian dan pengkajian yang dilakukan BPTP Sulawesi Utara, Mantau et al. (2001) melaporkan bahwa keuntungan bersih teknologi intro duksi BPTP Sulawesi Utara mencapai Rp19.971.500/13 ekor induk/tahun, sedangkan teknologi konvensional Rp16.840.000/14 ekor induk/tahun, dengan B/C ratio teknologi introduksi 2,60 (Tabel 2). Dengan demikian teknologi
pakan berhormon untuk menghasilkan benih jantan lebih unggul dibandingkan teknologi konvensional. Penerapan teknologi maskulinisasi memberikan berbagai keuntungan baik dari segi teknis maupun ekonomis. Benih yang dihasilkan seragam (ukuran dan jenis kelamin), sehingga petani tidak perlu lagi melakukan sortasi atau seleksi benih serta ikan nila terhindar dari pemijahan yang terlalu dini dan inbreeding. Pemijahan dini dapat menurunkan produktivitas ikan budi daya akibat pertumbuhan ikan terhambat bahkan terhenti terutama pada ikan betina (Suyanto 1994). Dampak ekonominya adalah ikan tidak laku terjual karena ukuran konsumsi umumnya berkisar 1 kg/3–4 ekor, sedangkan bila pertumbuhan terhenti bobot ikan kurang dari 50 g/ekor. Maskulinisasi juga memudahkan petani menerapkan budi daya ikan tunggal kelamin terutama untuk menghindari inbreeding atau perkawinan pada keturunan yang sama. Pada budi daya secara tunggak kelamin, energi dari makanan hanya digunakan untuk pertumbuhan sehingga dapat meningkatkan produksi (Suyanto 1994). Dampak ekonominya adalah penggunaan pakan menjadi efisien sehingga menurunkan biaya pakan yang merupakan biaya terbesar dalam usaha budi daya ikan. Selain itu poduksi yang tinggi dapat meningkatkan daya jual petani sehingga
Tabel 2. Analisis usaha per tahun teknologi maskulinisasi (introduksi) (15 mg MT/kg pakan) dan teknologi konvensional di Desa Tara-Tara II Kota Tomohon. Uraian
Teknologi introduksi
Teknologi konvensional
Total biaya Nilai penjualan benih Keuntungan bersih B/C ratio Payback period BEP
Rp7.678.000 Rp27.649.500/13 ekor induk/tahun
Rp6.637.980 Rp23.478.000/14 ekor induk/ tahun Rp16.840.000/14 ekor induk/ tahun 2,50 Setelah 14 induk betina memijah Rp2.134.322/14 ekor induk/ tahun
Rp19.971.500/13 ekor induk/tahun 2,60 Setelah 13 induk betina memijah Rp2.370.887/13 ekor induk/tahun
Keterangan: 1. Pemijahan selama 6 periode (1 periode = 1 bulan); 2. pemijahan menggunakan 18 ekor induk betina dan 6 ekor induk jantan (perbandingan 1 jantan : 3 betina/m2); 3. hasil tetas = 1.500 ekor larva; 4. mortalitas untuk teknologi introduksi = 3% dan teknologi konvensional = 4%. Sumber: Mantau et al. (2001).
83
dapat memenuhi permintaan pasar secara kontinu (Komunikasi pribadi dengan petani ikan di Desa Eris dan Telap 2002–2003). Maskulinisasi dapat pula menghasilkan benih unggul untuk tujuan pembesaran, karena ikan nila jantan lebih cepat pertumbuhannya, dagingnya lebih tebal, dan ukurannya lebih besar dibanding ikan betina sehingga cocok untuk ikan konsumsi. Jika dipersiapkan
untuk induk, ikan nila hasil dari maskulinisasi ini lebih cepat matang gonad.
KESIMPULAN Pakan berhormon MT dapat merangsang perubahan kelamin ikan nila pada stadium larva (0−30 hari). Namun cara ini tidak direkomendasikan untuk diaplikasi-
kan pada pembesaran benih menjadi ikan konsumsi. Penggunaan pakan berhormon MT dapat memproduksi 90− 96% ikan nila jantan. Keberhasilan maskulinisasi dengan pakan berhormon antara lain dipengaruhi oleh dosis hormon, suhu air, tingkah laku ikan, umur larva, dan durasi atau lama pemberian pakan berhormon. Faktor yang terakhir masih terus diteliti agar pembentukan individu jantan optimal.
DAFTAR PUSTAKA Baroiller, J.F. and A. Toguyeni. 1995. Comparative effects of a natural androgen. ll βhydroxy-androstenedione and a synthetic androgen, 17 α-methyl testosterone on the sex ratios of Oreochromis niloticus. In R.S.V. Pullin, J. Lazard, M. Legendre, J.B. Amon Kothias, and D. Pauly (Eds.). The Third International Symposium on Tilapia in Aquaculture. ICLARM Conf. Proc. 41. Fitzsimmons, K. 2004. Introduction to tilapia sex-determination and sex-reversal. www. aq.arizona.edu. Gustiano, R. 1992. Penggunaan hormon dalam pakan pada pembentukan ikan nila jantan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian XIV(5): 15−16. Griffin, M. 2004. Tilapia reproduction and sex reversal. www.aquanic.org. Guerrero III, R.D. and L.A. Guerrero. 2004. Effects of androstenedione and methyl
84
testosterone on Oreochromis niloticus fry treated for sex reversal in outdoor net enclosures. www.nraes.org/publications. www.aq.arizona.edu Haniffa, M.A., S. Sridhar, and M. Nagarajan. 2004. Hormonal manipulation of sex in stinging catfish Heteropneustes fossilis (Bloch). Curr. Sci. 86(7): 1012−1017. April 2004. www.ias.ac.in Irfan, M. 1996. Penggunaan hormon testosteron dengan dosis berbeda terhadap pembentukan individu jantan, mortalitas, dan pertambahan berat benih ikan nila (Oreochromis niloticus). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi, Manado. Mantau, Z., A. Supit, Sudarty, J.B.M. Rawung, U. Buchari, L. Oroh, J. Sumampow, dan A. Mamentu. 2001. Penelitian adaptif pembenihan ikan mas dan maskulinisasi ikan nila
di Sulawesi Utara. Laporan Hasil Penelitian. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Kalasey, Sulawesi Utara. Matty, A.J. 1985. Fish Endocrinology. Croom Helm London-Sydney, Timber Press, Oregon. Shapiro, Y.D. 1987. Differentiation and evolution of sex change in fishes. Biosci. Ser. 37(7): 490−496. Suyanto, S.R. 1994. Nila. PT Penebar Swadaya, Jakarta. Vera Cruz, E.M. and G.C. Mair. 1994. Conditions for effective androgen sex-reversal in Oreochromis niloticus (L.). Aquaculture 122: 237−248. www.balitbang-sumut.go.id. 2004. Pembenihan ikan nila (Oreochromis niloticus).
Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005