ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PSIKOLOGIS YANG MEMPENGARUHI DEATH ANXIETY SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S. Psi)
Oleh : DIANA MUMPUNI NIM: 109070000191
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 M/ 1435 H
ABSTRAK
A) Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta B) April 2014 C) Diana Mumpuni D) Analisis Faktor-Faktor Psikologis yang Mempengaruhi Death Anxiety pada Lansia E) 110 Halaman + Lampiran F) Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh locus of control, perceived social support, religious orientation, pengalaman mengenai kematian, dan jenis kelamin terhadap death anxiety pada lansia. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 150 lansia baik pria maupun wanita di RW 09 Kelurahan Kebon Pala, Jakarta Timur. Penelitian menggunakan metode kuantitatif melalui pemberian kuesioner kepada sampel penelitian. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi berganda yang diperoleh dari hasil perhitungan skala death anxiety (Death Anxiety Scale), skala locus of control (I, P, & C Locus of Control Scale), skala perceived social support (Multidimensional Scale of Perceived Social Support), dan skala religious orientation (Religious Orientation ScaleRevised). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara seluruh variabel independen terhadap death anxiety secara simultan. Apabila dilihat dari koefisien regresi masing-masing variabel, ditemukan satu variabel yang memiliki pengaruh signifikan terhadap death anxiety yaitu variabel jenis kelamin. Sedangkan variabel locus of control, perceived social support, religious orientation, dan pengalaman mengenai kematian tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap death anxiety. Selanjutnya, jika dilihat berdasarkan proporsi varians masing-masing variabel maka terdapat satu variabel yang berpengaruh signifikan terhadap death anxiety, yaitu extrinsic religious orientation. Pada penelitian selanjutnya diharapkan memperluas jangkauan sampel agar lebih beragam, serta mengukur variabel death anxiety dengan aspek-aspek yang terpisah sehingga terlihat hasil yang lebih menarik. G) Bahan Bacaan : 20 Buku, 3 Artikel, 18 Jurnal (1966-2014)
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim Alhamdulillahirabbil’alamiin puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat kekuasaan-Nya, rahmat, karunia, anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam terlimpah kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta sahabat dan keluarga, serta pengikutnya hingga akhir zaman. Allahumma shalli ‘alasaiyidinaa Muhammad wa’ala alisaiyidina Muhammad. Skripsi ini merupakan sebuah karya ilmiah yang disusun dalam rangka menyelesaikan jenjang pendidikan Sarjana Strata Satu (S1) sesuai dengan kurikulum yang telah ditetapkan di Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama penyelesaian skripsi ini peneliti tidak luput dari proses pembelajaran yang amat panjang. Peneliti telah melewati berbagai macam bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan Terima Kasih yang sebesar – besarnya kepada pihak yang telah membantu, yaitu sebagai berikut : 1. Prof. Dr. Abdul Mujib, Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah beserta jajaran dekanat yang selalu berjuang agar Fakultas Psikologi menjadi lebih baik. 2. Jahja Umar, Ph.D atas kebijakannya yang membuat kami lebih banyak dan giat belajar serta mengembangkan Fakultas Psikologi menjadi lebih baik dan berkualitas. 3. Dr. Achmad Syahid, M.A, penasihat akademik penulis yang telah banyak memberikan dukungan dan masukan selama masa perkuliahan berlangsung. 4. Ibu S. Evangeline I. Suaidy, M.Si, Psi, sebagai pembimbing I dan ibu Yufi Adriani, M. Psi, sebagai pembimbing II, terima kasih atas waktu dan kesabaran yang diberikan kepada penulis sehingga penulis mempu menyelesaikan skripsi ini. Serta kepada ibu Dra. Netty Hartati, M.Si sebagai penguji I, Terima kasih atas segala masukan yang sangat bermanfaat dalam penyempurnaan skripsi ini. 5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas ilmu, teladan, serta kerja kerasnya dalam mendidik kami selama ini. 6. Seluruh warga lansia RW. 09 kelurahan Kebon Pala yang bersedia menjadi sampel penelitian ini, serta para kader lansia RW. 09 kelurahan Kebon Pala, ibu Ummi Marfu’ah, dan ibu Neneng yang telah membantu penulis dalam pengambilan data penelitian. 7. Kedua orang tua penulis, Bapak Musidi dan Ibu Siwiyastiana Anjarhiaswati atas kasih sayang, dukungan, do’a dan ketulusan yang telah menyertai penulis selama ini. 8. Seluruh Staf Akademik yang sangat sabar melayani dan menyediakan kebutuhankebutuhan yang Penulis butuhkan selama proses penyelesaian skripsi. 9. Sahabat-sahabat: Anggun Setiawati, Syifa Alamiah, Evy Megawati, Emmy Primasti, Rizky Setyowati, Yuli Utami, Seila Rizkina, Rosita Dewi, Yuska Wulandari, Terimakasih telah meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk memberikan bantuan apapun dan kapanpun yang penulis butuhkan. Tiara Maharani, Nisaul Istiqomah, Fitriyah, Yunia Syukmawati, terima kasih atas
dukungannya yang menguatkan, serta teman-teman kelas E 2009 yang sangat peneliti banggakan, terima kasih atas keceriaannya selama masa perkuliahan. 10. Dian Nilasari dan Adi Nugroho, kakak dan adik tersayang, atas dukungannya yang tidak biasa sekaligus luar biasa. 11. Kepada seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu peneliti menyelesaikan skripsi ini. Akhir kata, Penulis hanya bisa memohon kepada Allah SWT agar memberikan balasan yang sebaik-baiknya kepada semua pihak yang telah berjasa dalam rentang kehidupan Penulis. Amin Allahumma Amin.
Jakarta, 30 April 2014
Penulis
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL…………………………………………………………….. LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ………………………………….. LEMBAR PERNYATAAN …………………………………………………..…. LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ………………………………….. ABSTRAK………………………………………………………………………. KATA PENGANTAR …………………………………………………………… DAFTAR ISI …………………………………………………………………….. DAFTAR TABEL ………………………………………………………………. DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………... DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………
i ii iii iv v vi viii xi xii xiii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………..
1
Latar Belakang……………………………………………….… Pembatasan dan Perumusan masalah ……………………......… 1.2.1 Pembatasan masalah ……………………………………. 1.2.2 Perumusan masalah ………..…………………………… Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………………… 1.3.1 Tujuan penelitian ………………………………………. 1.3.2 Manfaat penelitian ……………………………………… Sistematika Penulisan ………………………………………..…
1 11 11 12 13 13 13 14
BAB II KAJIAN PUSTAKA …………………………………………………
16
1.1 1.2
1.3
1.4
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
Lansia…………………………………..................................... 2.1.1 Pengertian lansia........................………...…………. . . . 2.1.2 Karakteristik Lansia……………………………………. 2.1.3 Perubahan-perubahan di masa lansia…………………… 2.1.3 Death Anxiety pada Lansia…………................................. Death Anxiety ......…………………………………………........ 2.2.1 Pengertian death anxiety….. . . . . ……………………… 2.2.2 Penolakan terhadap death anxiety …...……………..….. 2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi death anxiety............. 2.2.4 Pengukuran death anxiety................................................. Locus of Control…………………………………………...……. 2.3.1 Pengertian locus of control……………..……………….. 2.3.2 Dimensi-dimensi locus of control ………………………. 2.3.3 Pengukuran locus of control............................................... Religious Orientation……………………………………………. 2.4.1 Pengertian religious orientation…………..…………….. 2.4.2 Dimensi-dimensi religious orientation …………………. 2.4.3 Pengukuran religious orientation………………………... Perceived Social Support……………………………………………… 2.5.1 Pengertian social support…………………………..………… 2.5.2 Aspek-aspek social support…………………..……………… 2.5.3 Perceived social support……………………………………… 2.5.4 Pengukuran perceived social support……………………….
16 16 17 18 22 26 26 29 31 34 34 34 36 38 38 38 41 43 43 43 45 47 48
2.6 2.7 2.7
Pengalaman mengenai Kematian………………………………… 2.6.1 Pengukuran pengalaman mengenai kematian……..……... Kerangka Berpikir ……………………………………………...... Hipotesis…………………………………………………………..
BAB III METODE PENELITIAN………………………………………….... 3.1 3.2 3.3 3.4
3.5
3.6 3.7
Sampel dan Teknik Pengambilan Data ……………….………... Variabel Penelitian ……………………………………………... Definisi Operasional……………………………………………. Pengumpulan Data……................................................................ 3.4.1 Teknik Pengumpulan Data……………………………… 3.4.2 Instrumen Penelitian…………………………………….. Pengujian Validitas Konstruk........................................................ 3.5.1 Uji validitas konstruk death anxiety ……...…………….. 3.5.2 Uji validitas konstruk locus of control.............................. 3.5.3 Uji validitas konstruk perceived social support................ 3.5.4 Uji validitas konstruk religious orientation……………… Prosedur Pengumpulan Data…………………………………...... Metode Analisis Data.....................................................................
48 50 50 55 57 57 57 58 59 59 62 64 66 68 71 72. 77 78
BAB IV HASIL PENELITIAN ……………..………………………….…….
81
Analisis Deskriptif …………………………………………….. Uji Hipotesis Penelitian ………………………………………... 4.2.1 Analisis regresi variabel penelitian ……………………. 4.2.2 Pengujian proporsi varian masing-masing IV ………….
81 88 88 94
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, SARAN ……....…………………….....
98
4.1 4.2
Kesimpulan …………………………………………………..... Diskusi ………………………………………………………… Saran …………………………………………………………... 5.3.1 Saran Teoritis …………………………………….……. 5.3.2 Saran Praktis ……………………………………….…..
98 99 105 105 106
Daftar Pustaka …………………………………………………………..........
108
5.1 5.2 5.3
Lampiran
DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Tabel 3.2 Tabel 3.3 Tabel 3.4 Tabel 3.5 Tabel 3.6 Tabel 3.7 Tabel 3.8 Tabel 3.9 Tabel 3.10 Tabel 3.11 Tabel 3.12 Tabel 3.13 Tabel 3.14 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6 Tabel 4.7 Tabel 4.8 Tabel 4.9 Tabel 4.10 Tabel 4.11 Tabel 4.12 Tabel 4.13 Tabel 4.14
Bobot nilai.....................................................………………… 61 Blue Print Death Anxiety Scale………………….................... 62 Blue Print I, P, & C Locus of Control Scale …………….…... 63 Blue Print Multidimensional Scale of Perceived Social Support 63 Blue Print Religious Orientation Scale-Revised……………… 64 Muatan Faktor dimensi death anxiety .................................….. 67 Muatan Faktor dimensi locus of control bagian internal………. 68 Muatan Faktor dimensi locus of control bagian external-chance 70 Muatan Faktor dimensi locus of control bagian external-powerful others ………………………………………………………… 71 Muatan Faktor dimensi perceived social support bagian family 72 Muatan Faktor dimensi perceived social support bagian friends 73 Muatan Faktor dimensi perceived social support bagian significant others ………………………………………………………………… 74 Muatan Faktor dimensi religious orientation bagian intrinsic.... 75 Muatan Faktor dimensi religious orientation bagian extrinsic… 77 Tabel subjek berdasarkan jenis kelamin..…………………...….. 81 Tabel subjek berdasarkan death anxiety…………………….......... 82 Tabel subjek berdasarkan tingkat death anxietyjenis kelamin..... 82 Tabel subjek berdasarkan tingkat internal locus of control……... 83 Tabel subjek berdasarkan tingkat external locus of control…….. 84 Tabel subjek berdasarkan tingkat perceived social support family 84 Tabel subjek berdasarkan tingkat perceived social support friends 85 Tabel subjek berdasarkan tingkat perceived social support significant others……………………………………………………… 86 Tabel subjek berdasarkan tingkat intrinsic religious orientation… 87 Tabel subjek berdasarkan tingkat extrinsic religious orientation… 88 Tabel Anova………………………………………………………. 89 Tabel R Square…………………………………………………… 90 Tabel Koefisien Regresi………………………………………….. 91 Tabel Proporsi Varians …………………………………………... 95
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Kerangka Berpikir ………………………………………….
54
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lampiran 2
Kuesioner Penelitian Path Diagram CFA
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah dan pokok bahasan, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan skripsi.
1.1
Latar Belakang Masalah Masa tua adalah periode penutup dari perkembangan masa hidup manusia. Masa ini adalah sebuah periode dimana seseorang “berpindah” dari periode yang lebih diinginkan — atau saat-saat ketika mereka merasa “berguna” (Hurlock, 1980). Artinya, orang yang berada pada masa tua seharusnya telah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Saat ini, populasi warga lanjut usia atau lansia cenderung mengalami peningkatan di Asia Tenggara, terutama Indonesia. Kementerian Sosial melansir data bahwa jumlah penduduk lansia Indonesia berjumlah 9,58% dari total populasi pada tahun 2010 dan akan bertambah menjadi 11,34% pada tahun 2020 (Kemensos, 2007). Bertambahnya populasi lansia di Indonesia tidak terlepas dari peningkatan usia harapan hidup dari semula 52,2 tahun pada 1980, meningkat
1
2
menjadi 67,4 tahun pada 2010 serta perkiraan usia harapan hidup hingga 71,1 tahun pada tahun 2020 (Kemensos, 2007). Peningkatan usia harapan hidup pada lansia tersebut memang merupakan suatu kemajuan, namun hal tersebut bukan tanpa masalah. Lanjut usia merupakan suatu proses berkelanjutan dalam kehidupan yang ditandai dengan berbagai perubahan ke arah penurunan fungsi, baik fisik, psikologis, maupun minat. Mereka mengalami kecemasan-kecemasan karena penurunan fungsi fisik pada diri mereka dan rekan seusianya, serta karena mereka mulai dianggap “tua” oleh dirinya sendiri dan lingkungan budayanya (Hoyer & Roodin, 2003). Berdasarkan data kuesioner mengenai hal apa yang paling dicemaskan pada 150 lansia RW 09 kelurahan Kebon Pala, Jakarta Timur saat ini, 43 responden menyatakan takut terkena penyakit, 37 responden menyatakan takut pada kematian, 34 responden menyatakan takut tidak bisa bertemu dengan keluarga, sedangkan 36 lainnya mencemaskan hal lain, seperti kesepian, keadaan finansial, dan hidup sendiri. Data tersebut menunjukkan bahwa kecemasan terbesar lansia adalah terserang penyakit. Walaupun bukan kecemasan yang paling banyak dialami oleh lansia, namun kematian menjadi hal yang relatif dicemaskan bagi banyak lansia. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti lansia di RW 09 kelurahan Kebon Pala, Jakarta Timur sebagai lokasi penelitian.
3
Yang harus diperhatikan adalah ketika mereka mengalami beragam penurunan, terutama penurunan kesehatan, mereka cenderung berkonsentrasi pada kematian dan memberikan perhatian penuh pada hal tersebut (Hurlock, 1981), karena usia tersebut (masa lanjut usia) merupakan masa kritis manusia menuju ke kematian. Dengan penurunan kondisi fisik dan mental, paparan terhadap kematian yang meningkat, serta dukungan sosial yang berangsurangsur menurun karena meninggalnya orang terdekat, lansia menjadi rentan mengalami kecemasan, termasuk kecemasan yang berhubungan dengan kematian. Secara umum manusia ingin hidup panjang dengan berbagai upaya yang dilakukan, proses hidup yang dialami manusia yang cukup panjang ini telah menghasilkan kesadaran pada diri setiap manusia akan datangnya kematian sebagai tahap terakhir kehidupannya di dunia ini. Namun demikian, meski telah muncul kesadaran tentang kepastian datangnya kematian ini, persepsi tentang kematian dapat berbeda pada setiap orang atau kelompok orang. Kematian dapat dipersepsikan sebagai sesuatu yang menakutkan maupun sesuatu yang wajar di dalam kehidupan. Persepsi positif dalam hal ini menganggap kematian sebagai suatu bentuk pencapaian dalam kehidupan dan hal yang wajar dialami oleh manusia merupakan penerimaan yang positif pada kematian. Sedangkan jika seseorang merasa takut dan cemas mengenai
4
kematian, hal ini merupakan persepsi negatif terhadap kematian dan akan menimbulkan ketakutan akan kematian. Dengan menerima kematian dengan positif, hal tersebut dapat membebaskan lansia dari segala kecemasan dan mendukung kehidupan yang lebih vital dan bermakna (Tomer & Eliason, 2008). Namun, penerimaan terhadap kematian tersebut tidak dialami oleh semua lansia. Rangkaian perasaan-perasaan yang dipicu oleh pemikiran-pemikiran mengenai kematian disebut sebagai death anxiety (Schultz, 1979, dalam Bryant, 2003). Kastenbaum (2000) menyatakan bahwa tingkat death anxiety yang sebagian besar dirasakan oleh individu dalam kehidupan sehari-harinya mungkin dapat meningkat secara dramatis ketika individu mengalami periode stres atau ancaman, seperti masalah kesehatan, penyakit, atau kematian orang terdekatnya. Tingkat death anxiety juga berhubungan dengan masalah fisik dan psikologis (Cicirelli, 2002). Death anxiety diasosiasikan dengan kecemasan, gejala-gejala depresi, dan keyakinan-keyakinan mengenai apa yang akan dialami setelah kematian (Khawar, Aslam, & Aamir, 2013). Dari wawancara singkat peneliti terhadap tujuh lansia di RW 09 kelurahan Kebon Pala, tiga orang menyatakan tidak takut terhadap kematian sedangkan empat orang lain mengaku merasakan takut terhadap kematian. Lansia yang memiliki rasa takut terhadap kematian tersebut memiliki alasan yang berbeda-beda mengapa mereka takut terhadap kematian. Dua orang
5
menyatakan mereka takut meninggal karena mereka takut keluarganya sedih karena ditinggalkan dan karena mereka masih mengurus keluarganya. Satu orang tidak menyatakan alasan mengapa ia takut pada kematian (hanya takut), dan satu orang lainnya takut karena merasa kurang beribadah kepada Tuhan. Sedangkan tiga orang sisanya lebih siap menghadapi kematian karena mereka sadar bahwa mereka sudah berusia lanjut, bahwa kematian itu adalah takdir Tuhan yang harus diterima. Dari data wawancara tersebut dapat terlihat bahwa lansia memiliki sikap terhadap kematian yang berbeda. Di satu sisi, ada lansia yang siap dengan kematian, dan di sisi lain merasa takut terhadap kematian. Individu dengan agama, budaya, dan perspektif yang sama mungkin dapat memiliki perbedaan sikap terhadap kematian. Tinggi rendahnya death anxiety seseorang dapat dijelaskan oleh berbagai aspek. Berbagai penelitian telah membuktikan adanya pengaruh berbagai faktor terhadap death anxiety, diantaranya Cicirelli (1999) meneliti pengaruh locus of control, perceived social support terhadap death anxiety. Sementara itu, Swanson & Byrd (1998) meneliti pengaruh religious orientation terhadap death anxiety, dan Azaiza et al., (2011) yang meneliti pengalaman terhadap kematian orangtua yang kehilangan anaknya terhadap death anxiety. DePaola et al., (2003) juga meneliti mengenai pengaruh faktor demografis jenis kelamin tehadap death anxiety.
6
Suatu faktor yang penting yang terkait dengan kelangsungan hidup dan juga kesehatan adalah perasaan untuk mengontrol (Baltes & Wahl, 1991; Schmidt, 1990; Santrock, 2002). Locus of control adalah perbedaan individu dalam hal kontrol personal mana yang akan digunakan seseorang dalam situasi yang sama (Rotter, 1966). Individu-individu yang percaya bahwa mereka memiliki tingkat kontrol yang tinggi lebih cenderung merasa bahwa tindakan-tindakan mereka dapat membuat sesuatu yang berbeda dalam hidupnya, sehingga mereka lebih cenderung merawat dirinya sendiri secara lebih baik dengan memakan makanan yang sehat dan berolahraga. Sebaliknya, mereka yang memiliki perasaan kontrol yang kurang mungkin merasa bahwa apapun yang mereka lakukan tidak akan membuat sesuatu yang berbeda, dan kemudian tidak bersusah-susah untuk berusaha membuat sesuatu yang berbeda (Rodin & Timko, 2001 dalam Santrock, 2002). Memang pada dasarnya kematian merupakan suatu hal yang tidak terelakkan. Namun, dengan adanya perasaan kontrol diri di dalam aspek kematian yang lain, hal tersebut dapat mempengaruhi tingkat death anxiety. Kepercayaan religius mengenai adanya kehidupan setelah kematian dapat menjadi sebuah ilusi kontrol terhadap kematian. Perasaan kontrol pada lingkungan seseorang dapat menghasilkan perasaan aman dan dalam hal ini individu dengan internal locus of control memiliki ketakutan akan kematian yang rendah (Cicirelli, 1999). Williams (1990) dalam penelitiannya
7
membuktikan bahwa orang dengan internal locus of control memiliki penerimaan terhadap kematian yang lebih baik. Faktor berikutnya yang dapat menjelaskan tinggi rendahnya death anxiety adalah social support. Masa tua merupakan waktu dimana social support terkadang menurun intensitasnya. Lansia mungkin dapat menerima dukungan yang lebih sedikit sebagai akibat dari kehilangan atau mereka merasa enggan untuk meminta pertolongan ketika mereka memiliki masalah (Sarafino & Smith, 2011). Dukungan sosial (social support) dianggap mampu mereduksi kecemasan lansia dalam menghadapi kematian. Setelah seseorang memasuki masa lansia, maka dukungan sosial dari orang lain menjadi sangat berharga dan akan menambah ketentraman hidupnya. Lansia yang memiliki social support yang kuat cenderung memiliki ketakutan yang lebih rendah terhadap kematian karena adanya perasaan aman dari ikatan dirinya dengan orang lain (Becker, 1973 dalam Daaleman & Dobbs, 2010). Social support ditemukan memiliki hubungan dengan death anxiety dan ketakutan akan hal-hal yang gaib (Mullins & Lopez, 1982 dalam Azaiza et. al., 2010). Khawar, Aslam, & Aamir (2013) juga menemukan hubungan yang negatif antara death anxiety dan social support. Oleh karena itu, banyak lansia yang seharusnya mulai mencari dukungan sosial dari lembaga-lembaga atau kegiatan yang ada di
8
lingkungannya, contohnya melalui kegiatan-kegiatan atau komunitas di lingkungannya. Namun terkadang keterlibatan lansia dalam kegiatan-kegiatan yang disediakan tidak terlihat. Contohnya, satu-satunya kegiatan di RW 09 kelurahan Kebon Pala yang paling digemari lansia adalah pengajian, sedangkan program kegiatan lain yang disiapkan untuk kesejahteraan lansia seperti posyandu lansia sangat sepi dan senam rutin minggu pagi telah dihapus karena kurangnya peminat. Tingginya keterlibatan lansia dalam kegiatan keagamaan dapat menjadi suatu strategi dalam menurunkan tingkat death anxiety, karena kematian erat kaitannya dengan religiusitas. Agama dapat meredakan kecemasan terhadap kematian dan kehidupan setelah kematian. Perasaan tenang yang dirasakan dari adanya agama dan rendahnya rasa takut akan kematian cenderung identik dengan kepercayaan agama yang konservatif (Wade, 1972 dalam Hurlock, 1981). Agama juga berfungsi sebagai sumber dukungan emosional dan sosial pada individu, terutama pada saat-saat kritis (Cicirelli, 2002). Agama seharusnya dapat menurunkan tingkat death anxiety, namun jika agama tidak benar-benar diterapkan dan diyakini seutuhnya, terutama jika ada motif lain dalam kegiatan beragama, hal tersebut dikhawatirkan akan semakin meningkatkan death anxiety karena individu belum menemukan motivasi yang sebenarnya dalam beragama, yaitu mendekatkan diri pada
9
Tuhan. Intrinsic religious orientation adalah motivasi beragama yang berpusat pada Tuhan, buka pada diri sendiri. Sedangkan extrinsic religious orientation adalah motivasi beragama untuk mencari keuntungan personal dalam bentuk ketenangan, harga diri dan sosiabilitas, bahkan demi orang lain (Allport, 1967 dalam Pargament, 1997). Beberapa penelitian melaporkan hasil yang berbeda terhadap pengaruh religious orientation pada death anxiety. Thorson & Powell (2000, dalam Cicirelli, 2002) menemukan bahwa religiusitas intrinsik berhubungan secara negatif dengan death anxiety. Individu dengan extrinsic religious orientation juga dilaporkan memiliki death anxiety yang tinggi dalam penelitian Swanson & Byrd (1998). Namun hasil yang berbeda ditunjukkan pada penelitian Chuin & Choo (2009) dimana tidak ditemukan pengaruh yang signifikan antara religious orientation dengan death anxiety. Kemudian, peningkatan intensitas paparan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kematian dan pengalaman kehilangan teman terdekat atau keluarga juga dapat mempengaruhi sikap terhadap kematian. Kehilangan orang yang disayangi merupakan hal yang berat karena keluarga, teman, atau orang terdekat lainnya adalah salah satu sumber kekuatan seseorang dalam bertahan menghadapi suatu masalah. Florian & Mikulnicer (1997, dalam Azaiza et al., 2011) melaporkan tingkat death anxiety yang lebih tinggi pada wanita yang baru saja mengalami kehilangan orang yang dicintainya.
10
Sedangkan Azaiza et al., (2011) dalam penelitiannya dengan sampel orangtua yang kehilangan anaknya, tidak menemukan pengaruh yang signifikan dari pengalaman kehilangan terhadap death anxiety. Selain dapat dijelaskan oleh faktor-faktor tersebut, tinggi rendahnya death anxiety seseorang juga ditentukan oleh jenis kelamin. Faktor perbedaan jenis kelamin mempengaruhi death anxiety pada individu. Wanita cenderung lebih rentan mengalami kecemasan dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan wanita menunjukkan gejala-gejala depresi dua kali lebih tinggi dibandingkan pria (Russac et al., 2007). Holocomb, Neimeyer, dan Moore (1993, dalam Bath, 2010) menemukan bahwa wanita cenderung merasa cemas mengenai ketidakpastian kematian dan kehidupan setelah kematian dibandingkan pria. Wanita juga cenderung melihat kematian sebagai sesuatu yang negatif dan sangat emosional, sedangkan pria cenderung melihat kematian sebagai hal yang tidak terlalu memiliki pengaruh besar terhadap hidupnya (Holocomb et al., 1993 dalam Bath, 2010). Fortner (1995, dalam DePaola et al., 2003) menemukan tingkat death anxiety yang lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Russac (2007) juga melaporkan perbedaan tingkat ketakutan akan kematian yang signifikan antara pria dan wanita, dimana wanita lebih merasakan takut dari pada pria.
11
Dengan melihat uraian masalah tersebut, yaitu lansia yang rentan mengalami kecemasan termasuk kecemasan terhadap kematian, maka peneliti tertarik untuk mengangkat tema penelitian mengenai death anxiety pada lansia.
Dengan
meneliti
death
anxiety
dan
beberapa
aspek
yang
menjelaskannya, maka dapat diberikan gambaran mengenai tingkat death anxiety pada lansia RW 09 kelurahan Kebon Pala. Dengan demikian, maka dapat diketahui apa saja yang mempengaruhi death anxiety pada lansia, faktor apakah yang paling besar pengaruhnya, sehingga dapat dijadikan referensi bagi upaya-upaya untuk menurunkan death anxiety pada lansia agar dapat mencapai hidup yang lebih sejahtera. Melihat dari hal-hal yang telah peneliti uraikan, maka judul yang diangkat pada penelitian ini adalah “Analisis Faktor-Faktor Psikologis yang mempengaruhi Death Anxiety”. 1.2
Batasan dan Rumusan Masalah
1.2.1
Batasan Masalah Agar pembahasan dalam penelitian ini menjadi lebih terarah dan
menghindari kesalahan persepsi, maka penulis membatasi masalah yang berkaitan dengan faktor-faktor psikologis dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
12
A. Locus of Control dalam penelitian ini adalah dimensi internal locus of control dan external locus of control. B. Perceived Social Support dalam penelitian ini adalah persepsi dukungan dari keluarga, teman, atau significant others. C. Religious Orientation dalam penelitian ini adalah dimensi intrinsic religious orientation dan extrinsic religious orientation. D. Death anxiety atau kecemasan terhadap kematian yang bersifat unidimensional, yang menyangkut kematian diri sendiri, baik dalam proses menuju kematian, saat kematian, maupun kehidupan setelah kematian. E. Pengalaman bermakna mengenai kematian dalam penelitian ini adalah pengalaman meninggalnya keluarga, teman, kerabat, atau orang terdekat lain yang berarti maupun tidak berarti. F. Responden dari penelitian ini terdiri dari pria dan wanita. G. Responden dari penelitian ini dibatasi pada masyarakat lanjut usia (lansia) yang berusia lebih dari 60 tahun keatas serta masih mampu membaca serta menulis. 1.2.2
Rumusan Masalah Rumusan masalah yang akan diteliti pada penelitian ini antara lain:
1. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara internal locus of control dengan death anxiety?
13
2. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara external locus of control dengan death anxiety? 3. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara perceived social support dengan death anxiety? 4. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara intrinsic religious orientation terhadap death anxiety? 5. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara extrinsic religious orientation dengan death anxiety? 6. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara jenis kelamin dengan death anxiety? 7. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara pengalaman bermakna mengenai kematian dengan death anxiety? 1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1
Tujuan Penelitian
Dengan mengacu pada latar belakang, rumusan dan batasan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya pengaruh antara faktor-faktor psikologis, yaitu locus of control, social support, religious orientation, pengalaman terhadap kematian, dan jenis kelamin terhadap death anxiety. 1.3.2
Manfaat Penelitian
14
Manfaat yang akan didapat dari penelitian ini adalah: 1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan perbandingan bagi teori-teori psikologi yang berhubungan dengan kematian atau psikologi penuaan (aging) yang belum banyak diterapkan saat ini, serta memperkaya penelitian-penelitian mengenai death anxiety. 2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi seluruh individu untuk meningkatkan kesadaran terhadap death anxiety, dan penerapan pembelajaran mengenai kematian sehingga diharapkan para lansia memiliki kesiapan untuk menghadapinya serta mengurangi kecemasan yang dialaminya, serta mendukung program persiapan menuju orang tua yang ditujukan pada komunitas lanjut usia baik secara sosial maupun religius. 1.4
Sistematika Penulisan
Untuk mengetahui gambaran yang jelas mengenai isi dan materi yang dibahas dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut. BAB I
: PENDAHULUAN Berisi tentang latar belakang masalah, rumusan dan batasan masalah,
tujuan dan manfaat dari penelitian serta sistematika penulisan.
15
BAB II
: KAJIAN TEORI Terdiri dari teori tentang locus of control, perceived social support,
religious orientation, death anxiety, asumsi dasar, kerangka berpikir, dan hipotesis. BAB III
: METODOLOGI PENELITIAN
Terdiri dari jenis penelitian, definisi konsep dan operasional konsep, sampel penelitian, teknik pengumpulan data, instrument penelitian, teknik analisis data, dan prosedur penelitian. Berisi tentang identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan metode pengambilan sampel, metode pengumpulan data, metode analisis instrumen serta metode analisis data. BAB IV
: HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian disajikan dengan jelas, dilengkapi dengan tabel, dan penjelasan berdasarkan teori terhadap hasil penelitian yang diperoleh. BAB V
: DISKUSI DAN SARAN
Berisi tentang kesimpulan dan saran-saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
BAB II KAJIAN TEORI
Bab ini akan menjelaskan landasan teoritis penelitian mengenai definisi death anxiety, faktor-faktor yang mempengaruhi death anxiety, definisi locus of control, dimensi-dimensi locus of control, definisi religious orientation, dimensi-dimensi religious orientation, definisi perceived social support, dimensi-dimensi perceived social support dan kerangka berpikir beserta hipotesis yang diajukan dalam penelitian. 2.1
Lansia
2.1.1
Pengertian Lansia
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 mengenai kesejahteraan lanjut usia, lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas dengan dua kategori, yaitu: lansia usia potensial adalah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa, dan lansia tidak potensial yaitu lansia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya tergantung pada orang lain. Sedangkan menurut WHO (2014), definisi umum lansia adalah seseorang yang telah memasuki usia 50 tahun keatas
16
17
Menurut Gorman (2000, dalam WHO, 2014), proses penuaan merupakan realitas biologis yang memiliki dinamika tersendiri, sebagian besar diluar kontrol manusia. Namun, hal ini juga merupakan bagaimana sebuah budaya atau komunitas mengkonstruksikan lansia. Usia 60 atau 65 tahun, usia rata-rata masa pensiun di negara-negara maju dan berkembang, diartikan sebagai permulaan dari masa tua. Definisi lainnya adalah berkaitan dengan peran yang dilekatkan dengan orang tua, yang dalam beberapa kasus, hilangnya peran yang mengikuti penurunan fungsi fisik yang merupakan definisi yang signifikan dari masa tua. Kemudian, masa tua dalam banyak negara berkembang terlihat dimulai ketika kontribusi aktif dalam masyarakat sudah tidak mungkin dapat dicapai (Gorman, 2000 dalam WHO, 2014). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan kategori lansia berdasarkan UU No. 13 tahun 1998 mengenai Kesejahteraan Lanjut Usia, yaitu lanjut usia (lansia) adalah seseorang yang telah berusia 60 tahun keatas. 2.1.2
Karakteristik Lansia
Santrock (2002) menyatakan masa dewasa akhir (lansia) dimulai pada usia 60-an dan diperluas sampai sekitar usia 120 tahun, dan memiliki rentang kehidupan yang paling panjang dalam periode perkembangan manusia—50 sampai 60 tahun. Kombinasi antara panjangnya masa kehidupan dengan peningkatan dramatis orang dewasa yang hidup menuju usia tua telah membawa peningkatan perhatian pada perbedaan periode masa dewasa akhir (Santrock, 2002).
18
Peneliti
sosial
yang
fokus
mengenai
penelitian
tentang
penuaan
mengemukakan terdapat tiga kelompok dewasa akhir (lansia): lansia “muda” (young old), lansia “tua” (old old), dan lansia “lanjut” (oldest old). Secara kronologis, lansia muda merujuk pada lansia yang berusia 65 sampai 74, yang biasanya lebih aktif dan bersemangat. lansia tua memiliki rentang usia 75-84 tahun. Sedangkan lansia lanjut memiliki rentang usia 85 tahun keatas dan biasanya lebih rapuh dan memiliki kesulitan untuk beraktifitas dalam kegiatan sehari-hari (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Suzman, Wilis & Manton (1992 dalam Santrock, 2002) menyatakan orang tua muda ialah seseorang yang masih berada di usia 60 tahun, sedangkan orangtua berusia lanjut merupakan seseorang yang telah berusia 85 tahun keatas. Orangtua lanjut lebih banyak kemungkinannya wanita, dan mereka memiliki angka morbiditas yang lebih tinggi dan jauh lebih besar mengalami ketidakmampuan dibandingkan orang tua yang lebih muda (Suzman, Wilis & Manton, 1992 dalam Santrock, 2002) . Hampir di seluruh dunia, wanita hidup lebih lama dibandingkan laki-laki (Kinsella & Phillips, 2005 dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Hal ini dihubungkan dengan kecenderungan mereka untuk lebih merawat dirinya sendiri dan mencari perawatan kesehatan, tingkat dukungan sosial yang lebih tinggi, peningkatan status sosioekonomi wanita yang meningkat dalam satu dekade terakhir, dan tingkat kematian pria yang lebih tinggi selama masa hidup (Gordman & Read, 2007 dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009). 2.1.3
Fase Perkembangan dan Perubahan-Perubahan di Masa Lansia
19
Menurut Erikson (1963, dalam Hoyer & Roodin, 2003), dalam tahun-tahun terakhirnya, lansia memasuki fase ego integrity vs. despair. Beberapa orang tua mengembangkan perasaan positif mengenai masa lalu mereka dan melihat bahwa kehidupan mereka penuh arti dan memuaskan (ego integrity). Namun, beberapa orang tua melihat masa lalunya dengan kepahitan atau ketidakpuasan. Beberapa juga merasa bahwa mereka tidak dapat menciptakan kehidupan yang mereka inginkan untuk dirinya sendiri, atau menyalahkan orang lain mengenai rasa tidak puasnya (despair). Hurlock (1981) menyatakan tugas-tugas perkembangan di masa tua lebih berkaitan dengan kehidupan personal mereka dibandingkan orang lain. Orang tua diharapkan untuk dapat beradaptasi dengan kekuatan dan kesehatan yang menurun. Hal ini menandakan perubahan peran yang mereka terapkan di dalam lingkungan rumah dan diluar. Mereka juga diharapkan untuk menemukan aktifitas-aktifitas sebagai pengganti pekerjaan yang mereka lakukan pada saat masih muda. Mempertemukan kewajiban sosial dan sipil sangat sulit dilakukan oleh lansia karena kesehatan yang melemah dan berkurangnya penghasilan karena masa pensiun. Sebagai hasilnya, mereka seringkali dipaksa untuk tidak aktif secara sosial. Anak yang sudah besar akan lebih melibatkan diri pada masalah vokasional dan keluarganya sendiri, jadi lansia akan mengalami berkurangnya ikatan. Hal ini berarti bahwa mereka harus menemukan ikatan lain dengan rekan sesama usianya jika mereka ingin menghindari rasa kesepian ketika kontaknya dengan dunia luar terputus
20
akibat pensiun dan karena mereka sedikit demi sedikit mengurangi kontak dengan komunitas sosial. Perubahan-perubahan fisik yang terjadi pada masa lansia menurut Hurlock (1981) adalah sebagai berikut: a. Perubahan penampilan Tanda-tanda penuaan yang paling mencolok adalah adanya perubahan terutama pada bagian wajah. Walaupun wanita dapat memakai kosmetik untuk menutupi tanda-tanda penuaan, banyak yang tidak dapat ditutupi tetapi bagian tubuh lain bisa. Tangan juga dapat menunjukkan usia seseorang. Seperti wajah, tangan juga menua lebih cepat daripada bagian tubuh yang lain dan tidak terlalu bisa dikamuflase. b. Perubahan-perubahan internal Walaupun perubahan-perubahan internal (di dalam tubuh) tidak terlihat, perubahan tersebut yang paling sering dialami. Perubahan pada tulang karena mengerasnya tulang, kurangnya asupan mineral, dan modifikasi struktur tulang. Akibatnya, tulang menjadi rapuh dan mudah mengalami fraktur atau patah, dan hal tersebut lebih sulit untuk disembuhkan seiring usia bertambah. Saluran pencernaan juga berubah pada usia tua. Terdapat penurunan fungsi beberapa organ dalam, diantaranya limpa, hati, testis, jantung, paru-paru, pankreas, dan ginjal. Mungkin yang paling dirasakan dan dialami adalah perubahan pada
21
jantung. Sistem gastrointestinal, sistem urin dan organ berotot lunak adalah organ yang tidak terlalu mengalami perubahan karena usia lanjut. c. Perubahan-perubahan sensorik Seluruh organ fungsi penginderaan mengalami penurunan fungsi pada usia lanjut. Bagaimanapun juga, perubahan sensorik adalah perubahan yang relatif lama prosesnya pada sebagian besar kasus, sehingga individu memiliki kesempatan untuk beradaptasi pada perubahan tersebut. Contohnya kacamata dan alat bantu dengar yang dapat membantu pengelihatan dan pendengaran yang menurun. d. Perubahan-perubahan kemampuan motorik Sebagian besar lansia menyadari bahwa mereka bergerak lebih lambat dan kurang terkoordinasi dari sebelumnya. Perubahan dalam fungsi motorik ini termasuk penurunan kekuatan dan energi yang merupakan kompensasi yang normal dari perubahan fisik yang berhubungan dengan usia tua; kurangnya irama gerak otot; kekakuan sendi; dan tremor pada tangan, lengan, kepala, dan dagu. Bagaimanapun juga, walaupun mereka sedang dalam kondisi yang fit dan memiliki motivasi yang kuat, beberapa individu masih berharap kemampuan motorik mereka dapat kembali seperti saat mereka muda. Perubahan motorik ini memiliki efek yang penting dalam adaptasi personal dan sosial. e. Perubahan-perubahan dalam kemampuan mental Para pakar psikologi, dari penelitian-penelitian yang mereka lakukan, telah menyatakan beberapa kepercayaan bahwa dengan adanya penurunan fungsi beberapa area tubuh, hal tersebut mungkin dapat mempengaruhi penurunan fungsi
22
mental juga. Penyebabnya antara lain keadaan fisik yang memburuk yang juga diikuti oleh kondisi mental yang menurun dan kurangnya stimulasi dari lingkungan. Penelitian menunjukkan bahwa lansia dengan kemampuan inteligensi yang tinggi memiliki resiko yang rendah dalam penurunan funsi mental daripada orang dengan inteligensi yang rendah. f. Perubahan-perubahan minat personal Semakin bertambahnya usia, seseorang menjadi lebih memusatkan perhatian pada dirinya sendiri. Mereka mungkin akan menjadi lebih egosentris dan berpusat pada diri sendiri sehingga mereka hanya memikirkan dirinya sendiri daripada orang lain dan cenderung tidak mempedulikan minat dan keinginan orang lain. Bahkan ketika mereka berada dalam kondisi kesehatan yang baik, lansia cenderung terlalu perhatian pada kesehatannya. Mereka cenderung mudah mengeluh mengenai kesehatannya. Mereka juga sering menunjukkan perhatiannya pada dirinya sendiri dengan cara membicarakan masa lalunya terus menerus, berharap untuk ditunggu, dan selalu ingin menjadi pusat perhatian. Pemusatan pada diri sendiri tersebut menimbulkan kesan sikap yang kurang menyenangkan pada lansia. 2.1.4
Death Anxiety pada Lansia
Melihat death anxiety pada lansia yang mengacu pada teori perkembangan psikososial, fase kedua akhir (generativity vs stagnation) muncul ketika seseorang menyadari dekatnya kematian dan fase tersebut akan terselesaikan jika seseorang mampu berkontribusi terhadap perkembangan generasi berikutnya, dan death anxiety
23
akan muncul jika seseorang tidak mampu melakukannya. Fase final dari kehidupan manusia (integrity vs. despair), tercapai jika seseorang mampu melihat dirinya secara keseluruhan dan mampu mengingat masa lalu tanpa rasa bersalah. Hal tersebut memunculkan ketakutan terhadap kematian yang rendah, sedangkan penyesalan terhadap kesalahan yang dilakukan di masa lalu serta kesempatan-kesempatan yang tidak diambil dulu dapat berakhir pada tingginya tingkat death anxiety (Erikson, 1963; Labouvie-Vief, 1982; Cicirelli, 2002). Hoyer dan Roodin (2003) mengemukakan, seperti halnya kecemasan yag merupakan emosi yang normal, kecemasan yang berhubungan dengan kematian juga merupakan suatu hal yang normal. Banyak penelitian lanjutan dari death anxiety dalam populasi nonklinis. Penemuan-penemuan dari penelitian Kastenbaum (2000) adalah sebagai berikut: 1. Sebagian
besar
responden
dalam
sebuah
komunitas
tidak
menunjukkan tingkat death anxiety yang tinggi. 2. Wanita menunjukkan tingkat death anxiety yang lebih tinggi dibandingkan pria. 3. Dalam penelitian lintas budaya, orang dengan usia yang lebih tua pada umumnya tidak menunjukkan tingkat death anxiety yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang usianya lebih muda walaupun mereka lebih dekat dengan kematian itu sendiri.
24
4. Tingkat pendidikan dan status sosial-ekonomi yang lebih tinggi berhubungan dengan tingkat death anxiety yang lebih rendah. 5. Tingkat religiusitas yang tinggi dan partisipasi dalam praktek religius tidak berhubungan dengan tingkat death anxiety yang lebih rendah. Kastenbaum (2000) juga menyatakan bahwa tingkat death anxiety yang sebagian besar dirasakan oleh individu dalam kehidupan sehari-harinya mungkin dapat meningkat secara dramatis ketika individu mengalami periode stres atau ancaman, seperti masalah kesehatan, penyakit, atau kematian orang terdekatnya. Pada umumnya, orang lanjut usia tidak terlalu merasa cemas terhadap kematian dibandingkan dengan orang pada usia yang lebih muda (Bengston, Cuellar, & Ragan, 1975 dalam Papalia et al., 2007). Kesadaran akan kematian meningkat seiring bertambahnya usia, tetapi orang yang lebih tua menunjukkan penerimaan yang lebih tinggi daripada individu pada usia yang lebih muda atau pertengahan (Woodruff-Pak, 1988 dalam Hoyer dan Roodin, 2003). Mereka lebih cenderung menggunakan strategi coping emosional. Dari tahun ke tahun, selama mereka mengalami kehilangan teman-teman terdekat dan kerabatnya, mereka secara perlahan menata pemikiran dan perasaannya untuk dapat menerima kenyataan mengenai kematian. Kemunduran fisik dan masalah-masalah lain pada masa lanjut usia mungkin dapat mengurangi kenikmatan seseorang dalam menjalani hidupnya. Namun sebaliknya, ketika 414 pasien rumah sakit yang berusia 80-90 ditanya berapa lama
25
waktu yang akan mereka tukar jika mereka ditawarkan untuk menukarnya dengan kesembuhan dan hidup yang sehat, 2 dari 3 orang tidak ingin memberikan lebih dari sebulan masa hidupnya (Tsevat et al., 1998 dalam Papalia et al., 2007). Menurut Erikson, orang-orang di masa lanjut usia harus menghadapi fase kedelapan dari perkembangan manusia, yaitu integrity versus despair. Seseorang yang dapat melewati fase ini meraih kebijaksanaan yang memungkinkan mereka untuk dapat menerima apa yang telah mereka lakukan selama hidup dan kematian yang akan segera datang (Papalia et al., 2007). Ketika seseorang telah mencapai usia lansia, mereka tahu bahwa waktu mereka sudah dekat dengan akhir kehidupan. Ditambah lagi, mereka dihadapkan dengan meningkatnya paparan terhadap kematian di dalam lingkungannya. Pasangannya, saudara, dan teman mungkin sudah terlebih dahulu meninggal, dan hal tersebut menjadi pengingat konstan mengenai kematiannya sendiri. Prevalensi kematian pada lansia membuat mereka lebih kurang merasakan kecemasan mengenai kematian daripada di awal-awal kehidupan mereka. Hal ini bukan berarti bahwa para lansia menerima kematian. Justru hal ini mengimplikasikan bahwa mereka menjadi lebih realistis dan reflektif mengenai hal itu. Mereka berpikir mengenai kematian, dan mulai mempersiapkannya (Feldman, 2011). Walaupun banyak yang membuktikan bahwa lansia memiliki penerimaan yang lebih besar dalam hal kematian daripada orang yang usianya lebih muda atau dewasa madya, pengalaman masa lalu seseorang dan konfrontasi terhadap kematian
26
adalah prediktor yang lebih baik dalam menentukan penerimaan kematian daripada faktor usia (Hoyer & Roodin, 2003). Menurut Tomer et. al. (2008), terdapat tiga determinan utama dari death anxiety, yaitu: 1. Penyesalan yang berhubungan dengan masa lalu (past-related regret), yaitu tipe emosi atau kognisis yang berhubungan dengan masa lalu seseorang (kesalahan — sesuatu yang dilakukan seseorang namun tidak terlaksana). 2. Penyesalan yang berhubungan dengan masa depan (future related regret), yaitu sesuatu yang kita rasakan ketika rencana penting atau perbuatan kita di masa depan menjadi tidak mungkin terlaksana. 3. Kebermaknaan dari kematian, yaitu kenseptualisasi individu tentang kematian sebagai hal yang positif atau negatif, sebagai sesuatu yang masuk akal atau sesuatu yang absurd/ tidak masuk akal. Jika penyesalan di masa lalu tidak teratasi, atau kematian dianggap tidak berarti, maka individu tersebut akan merasakan death anxiety yang tinggi. 2.2
Death Anxiety
2.2.1
Pengertian Death Anxiety
Teori yang dianggap sebagai teori klasik dari death anxiety adalah Big Theories yang dikemukakan oleh Sigmund Freud (Kastenbaum, 2000). Ia sebenarnya menolak gagasan death anxiety sebagai sebuah masalah yang mendasar. Ia sadar bahwa manusia memiliki berbagai pemikiran mengenai kematian. Sudah merupakan hal
27
yang biasa jika ketakutan akan kematian terlihat sebagai reaksi yang menonjol, atau diekspresikan melalui mimpi. Menurutnya, Hanya karena seseorang yang cemas tiba-tiba membicarakan kematian, bukan berarti kematian adalah akar dari masalah yang dialami oleh orang tersebut. Semua masalah yang berkaitan dengan kematian hanyalah sekedar kemasan yang menutupi masalah yang sebenarnya. Thanataphobia (ketakutan akan kematian) sebenarnya merupakan ekspresi simbolik dari konflik yang belum terselesaikan dalam dunia psikis kita yang terdalam. Dalam Terror Management Theory, Becker (1970 dalam Cicirelli, 2002) bersumsi bahwa pada dasarnya manusia secara tidak sadar selalu didorong oleh insting untuk mempertahankan hidupnya dan melanjutkan eksistensi, sementara pada waktu yang sama mereka tidak mengetahui bahwa mereka tidak dapat menghindari kematian. Hasilnya, manusia memiliki kemungkinan secara sadar untuk merasa diteror oleh kematian. Kecemasan yang terjadi berkaitan dengan hal-hal mengenai kematian sering disebut death anxiety. Tomer (1994, dalam Cicirelli, 2002) menyatakan ketakutan akan kematian dapat diartikan sebagai kecemasan yang dialami di dalam kehidupan sehari-hari yang disebabkan karena antisipasi kondisi kematian. Hal ini dianggap hal yang biasa dan berbeda dengan kecemasan ketika seseorang mengetahui ada pistol di kepalanya, maupun kecemasan yang diakibatkan bencana alam. Templer (1970,
28
dalam Templer et. al., 2006) mendefinisikan death anxiety sebagai suatu kondisi emosional yang tidak menyenangkan yang dialami seseorang manakala ia memikirkan kematian, dan karena keadaan tidak jelas yang menyertai kematian. Neimeyer (2008, dalam Azaiza et al., 2011) menyatakan death anxiety meliputi berbagai bentuk sikap terhadap kematian, yang dikarakteristikkan dengan rasa takut, ancaman, ketidaknyamanan, dan reaksi negatif lainnya, bersamaan dengan kecemasan sebagai ketakutan yang tidak beralasan terhadap objek yang tidak jelas. Firestone (1997, dalam Tomer et. al., 2008) mengkonseptualisasikan death anxiety sebagai fenomena kompleks yang mereprentasikan paduan proses pemikiranpemikiran dan emosi yang berbeda, termasuk ketakutan akan kematian, teror dari mental dan fisik yang memburuk, perasaan kesepian, pengalaman kehilangan dan perpisahan, kesedihan mengingat diri yang akan hilang, dan kemarahan yang memuncak terhadap keadaan yang sama sekali tidak dapat dikontrol. Walaupun death anxiety memiliki pengaruh yang luas terhadap emosi-emosi yang negatif, definisi tersebut merujuk kepada realisasi penuh bahwa hidup kita bisa berakhir. Dalam teori Self-Realization, ketakutan akan kematian muncul dari kesadaran akan dekatnya kematian seseorang, serta ancamannya terhadap keberfungsian diri (Maslow, 1968; Rogers, 1989 dalam Cicirelli, 2002). Schultz (1979 dalam Bryant, 2003) menyatakan death anxiety adalah suatu rangkaian perasaan yang dipicu oleh pemikiran-pemikiran mengenai kematian. Meskipun merupakan sebuah bentuk kecemasan, death anxiety merupakan suatu hal yang universal. Artinya mayoritas orang di dunia memiliki ketakutan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kematian.
29
Dari pengertian-pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa death anxiety merupakan kecemasan yang berhubungan dengan kematian, baik secara sadar maupun tidak sadar yang timbul dari pemikiran individu mengenai kematian dan halhal yang berkaitan dengan kematian. 2.2.2
Penolakan terhadap Death Anxiety
Tidak semua orang yang dekat dengan kematian dapat mengkomunikasikannya dengan jujur dan terbuka. Penolakan adalah sebuah karakteristik seseorang ketika dohadapkan dengan kematian. Penolakan akan melindungi seseorang dari kenyataan bahwa mereka akan segera meninggal. Beberapa ahli melaporkan hubungan yang negatif antara penolakan dan penerimaan terhadap kematian (Shneidman, 1992, dalam Hoyer & Roodin, 2003). Penolakan terhadap kematian memiliki beragam bentuk. Menolak untuk mengetahui adanya penyakit atau situasi yang mengancam jiwa adalah salah satu bentuk penolakan. Sebagai contoh, seorang pria yang akan menjalani operasi kanker kolon mungkin dapat menolak kenyataan dan lebih mempercayai bahwa operasi tersebut hanya untuk mengangkat polip. Atau seseorang yang menerima kenyataan bahwa dirinya mengidap gangguan ginjal, namun menyangkal bahwa hal tersebut membahayakan jiwa. Denial dapat menjadi suatu hal yang maladaptif jika hal tersebut menyebabkan seseorang persisten dalam menolak kenyataan. Contohnya, hal tersebut dapat membuat seseorang menghindari pemeriksaan kesehatan menyeluruh
30
dan perawatannya ketika gejala-gejala penyakit berbahaya muncul (Hoyer & Roodin, 2003). Yalom (1980, dalam Tomer et. al., 2008) menyatakan bahwa death anxiety dimanifestasikan bukan sebagai argumen filosofis, namun lebih kepada penolakan. Ia membedakan dua bentuk penolakan tersebut, bentuk pertama terdiri dari kepercayaan seseorang terhadap “spelialitas”, kepercayaan yang berada dalam akar menuju ke heroisme. Tipe kedua dari mekanisme ini terdiri dari kepercayaan terhadap penyelamat agung, yaitu Tuhan atau figur pemimpin, atau mungkin figur politik yang dikagumi atau dokter yang hebat, memutuskan seluruh keputusan untuknya, atau orang tua yang perhatian. Penolakan terhadap kematian juga dikemukakan oleh Firestone & Catlett (2009). ia menyebutkan bahwa penolakan (denial) merupakan pertahanan utama terhadap death anxiety, dan terdapat dua bentuk dasar dari penolakan terhadap kematian, yaitu: 1. Literal Immortality, seringkali dimanifestasikan kepada agama atau religiusitas
dan
hal
ini
merupakan
pertahanan
kunci
yang
meniadakan/menolak fakta bahwa manusia akan mati sama dengan spesies lainnya, dan tidak ada bukti ilmiah mengenai kehidupan setelah kematian (akhirat).
31
2. Symbolic Immortality. Yaitu ilusi dalam memperpanjang usia dan arti hidup seseorang lewat pertahanan-pertahanan dengan meninggalkan warisan yang tetap ada setelah penciptanya/ pemiliknya meninggal dunia. Warisan tersebut seperti karya, anak, kesombongan dan mengumpulkan harta kekayaan serta kekuasaan.
2.2.3
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Death Anxiety Beberapa faktor telah diteliti dan memiliki pengaruh dengan death anxiety. Faktor-faktor tersebut antara lain:
a) Religiusitas Religiusitas
adalah
salah
satu
faktor
teoritis
yang potensial,
dan
dikonseptualisasikan sebagai: totalitas sistem kepercayaan, iman atau disposisi dari dalam diri, atau praktek ritual keagamaan (Wulff, 1997 dalam Daaleman dan Dobbs, 2003). Religiusitas memainkan peran penting sebagai salah satu faktor death anxiety karena masing-masing agama menjamin umat-umat pengikutnya akan kehidupan setelah kematian. Selain itu, tingkat religiusitas yang berbeda juga menghasilkan tingkat death anxiety yang berbeda-beda pula. Seperti yang dinyatakan oleh Daaleman dan Dobbs (2010) bahwa orang yang memiliki tingkat kepercayaan yang moderat memiliki ketakutan yang lebih besar dibandingkan mereka yang memiliki tingkat kepercayaan yang kuat.
32
Perbedaan agama juga membuat persepsi kematian yang berbeda pada masing-masing pengikutnya. Williams (1990) menyatakan bahwa orang yahudi dan Kristen menganggap kematian adalah jalan menuju sebuah keabadian, sedangkan orang Hindu di India mempersepsikan kematian lewat perspektif reinkarnasi.
b) Locus of Control Bagaimana cara kita memandang apa yang terjadi pada diri kita, apakah cenderung ke faktor luar diri atau dalam diri, juga dapat mempengaruhi tingkat death anxiety. Williams (1990) menyatakan bahwa individu yang memiliki kecenderungan locus of control internal terlihat lebih mampu mengendalikan lingkungan luar dan juga lingkungan afektif dari dalam yang kemudian dapat menghasilkan perilaku kematian yang lebih baik. Vargo dan Black (dalam Williams, 1990) melaporkan adanya hubungan antara locus of control eksternal dan death anxiety pada mahasiswa kedokteran. Dan Hickson, Housley, dan Boyle (dalam Williams, 1990) melaporkan adanya interaksi yang signifikan antara locus of control dan usia dengan death anxiety. Fry (dalam Daaleman dan Dobbs, 2010) juga menyatakan bahwa individu dengan keyakinan yang kuat terhadap dirinya cenderung berpikir untuk mengatur dan memainkan control yang kuat terhadap pikiran-pikiran mereka dan hal itu akan menurunkan tingkat death anxiety.
33
c) Kepribadian Tipe kepribadian yang melandasi bagaimana kita berperilaku juga memegang peranan penting terhadap death anxiety dan perilaku seperti apa yang akan ditampilkan. Frazier dan Foss-Goodman (dalam Williams, 1990) melaporkan bahwa death anxiety dengan tingkat yang tinggi berkorelasi dengan neurotisisme dan behavioral pattern type A. d) Social Support Dukungan sosial juga dibuktikan memiliki pengaruh terhadap death anxiety. Menurut Becker (1973) dalam Daaleman dan Dobbs (2010), Orang tua yang memiliki social support yang kuat cenderung memiliki ketakutan yang lebih rendah karena adanya perasaan aman dari ikatan dirinya dengan orang lain. Khawar, Aslam, & Aamir (2013) juga menunjukkan hasil penelitian dimana terdapat hubungan yang negatif antara perceived social support dengan death anxiety. e) Usia Death anxiety diketahui memiliki hubungan dengan usia. Russac et. al. (2007) dalam penelitiannya membuktikan bahwa wanita menunjukkan tingkat death anxiety yang tidak terduga selama awal usia 50 tahun. Setelah berusia 60 tahun, kecenderungannya menurun dan menjadi stabil. Namun, Chuin & Choo (2009) membuktikan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara death anxiety dengan faktor usia. f) Jenis Kelamin
34
Antara pria dan wanita diketahui memiliki pola pikir yang berbeda satu sama lain, perbedaan pola pikir tersebut juga mempengaruhi death anxiety. Holcomb, Neimeyer, dan Moore (1993, dalam Bath, 2010) membuktikan bahwa wanita cenderung melihat kematian sebagai suatu kepastian dan kehidupan selanjutnya dibanding pria. Namun, studi lainnya membuktikan hal yang tidak sejalan. Neimeyer (1994, dalam Bath, 2010) menemukan bahwa tidak ada perbedaan antara pria dan wanita dalam ketakutan akan kematian. Dari faktor-faktor tersebut, penulis memutuskan bahwa faktor-faktor yang akan peneliti gunakan sebagai variabel bebas adalah Religious Orientation, Locus of Control dan Perceived Social Support. 2.2.4
Pengukuran Death Anxiety
Untuk mengukur variabel death anxiety, peneliti menggunakan alat ukur berdasarkan skala baku Death Anxiety Scale dari Templer (1970). Alat ukur ini akan diadaptasi kedalam bahasa Indonesia dan akan disesuaikan dengan norma yang ada di Indonesia. Alat ukur ini terdiri dari 15 item dan memiliki dua alternatif jawaban, True (benar) dan False (salah). Dalam penelitian ini, peneliti mengganti alternatif pilihan jawaban menjadi 4, yaitu SS (sangat setuju), S (setuju), TS (tidak setuju), dan STS (sangat tidak setuju) agar dapat dianalisis lebih lanjut. Responden harus memilih salah satu dari empat alternatif jawaban yang paling menggambarkan dirinya. 2.3
Locus of Control
2.3.1
Pengertian Locus of Control
35
Selama tahun 1950-an dan awal 1960-an, Rotter mulai tertarik dengan observasi terhadap banyak orang yang tidak meingkatkan perasaan kontrol personal mereka setelah mengalami kesuksesan, dan orang lainnya yang tidak meurunkan ekspektasi mereka setelah mengalami kegagalan yang berulang-ulang (Zuroff & Rotter, 1985 dalam Feist & Feist, 2009). Dengan kata lain, beberapa orang cenderung untuk menganggap tercapainya sesuatu yang diinginkan sebagai hasil dari keberuntungan, sementara orang lain mempertahankan kontrol personal yang tinggi setelah beberapa perilaku yang dilakukan tidak membuahkan penguatan. Kecenderungan ini sering terjadi pada situasi yang dianggap ambigu atau baru (Rotter, 1992 dalam Feist & Feist, 2009), atau pada saat mereka tidak mengetahui apakah akibat dari perilaku mereka disebabkan oleh kemampuan mereka sendiri atau kebetulan. Rotter (1990 dalam Feist & Feist, 2009) berpendapat bahwa baik situasi maupun orangnya berkontribusi pada perasaan kontrol personal. Oleh karena itu, jika seseorang telah memiliki ekspektasi untuk dapat berhasil dalam suatu kondisi, dapat memiliki perasaan kontrol personal yang rendah dalam situasi lainnya. Rotter (1989) menyatakan bahwa kontrol internal dan eksternal mengacu pada bagaimana seseorang mengharapkan sebuah penguat atau akibat dari sebuah perilaku merupakan bagian dari perilakunya sendiri atau karakteristik personal versus apakah seseorang menganggap penguat atau akibat dari perilaku merupakan hasil dari keberuntungan, kesempatan, atau sekedar tidak dapat diduga.
36
Rotter (1966) menyatakan bahwa locus of control mengacu pada perbedaan yang terjadi di antara individu dalam hal kontrol personal mana yang akan digunakan seseorang dalam situasi yang sama. Sedangkan Levenson (1981) mengartikan locus of control sebagai espektasi umum untuk mempersepsikan penguat sebagai suatu kesatuan dan bagian dari perilaku individu (internal control) atau merupakan hasil dari kekuatan diluar kontrol manusia dan bergantung pada takdir, kesempatan, atau orang yang berkuasa (external control). Dari pengertian-pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa locus of control adalah bagaimana individu mempersepsikan kejadian-kejadian disekitarnya apakah
karena faktor dari dalam (tingkah lakunya sendiri dan usaha yang
dilakukannya sendiri) atau karena faktor dari luar dirinya (keberuntungan, kesempatan, orang-orang yang berkuasa atau takdir). 2.3.2
Dimensi-Dimensi Locus of Control
Terdapat dua dimensi dari locus of control. Dimensi-dimensi tersebut antara lain: 1. Internal Locus of Control Internal locus of control adalah keyakinan bahwa perbuatan seseorang dapat menghasilkan konsekuensi sesuai yang diharapkan (Friedman & Schutstack, 2009). Individu dengan internal locus of control cenderung lebih berorientasi pada prestasi karena mereka yakin bahwa perilaku mereka menghasilkan efek yang positif, dan mereka cenderung adalah orang-orang yang berprestasi (high achievers) (Findley & Cooper, 1983 dalam Friedman & Schustack, 2009).
37
Menurut Rotter (1966), apabila seseorang mempersepsikan bahwa suatu kejadian merupakan akibat dari perilakunya ataupun karakteristiknya yang relatif permanen. 2. External Locus of Control External locus of control adalah keyakinan bahwa hal-hal yang berasal dari luar diri individu, seperti kesempatan atau kekuatan, dapat menentukan terjadinya konsekuensi yang diharapkan (Friedman & Schutstack, 2009). Sedangkan Rotter (1966) menyatakan external locus of control adalah ketika seseorang mempersepsikan penguat yang mengikuti sebuah perilaku dianggap bukan hasil dari dirinya, namun dalam budaya kita dianggap sebagai hasil dari keberuntungan, kesempatan, karena kontrol dari kekuatan orang lain, atau kebetulan. Individu dengan external locus of control cenderung kurang independen dan lebih mudah depresi dan stress, seperti yang diduga oleh Rotter (Benassi, Sweeney, & Dufour, 1988; Rotter, 1954 dalam Friedman & Schutstack, 2009). Dalam 40 tahun terakhir, sebagian besar locus of control dari anak-anak amerika adalah eksternal. Mereka percaya bahwa hidup mereka lebih dikontrol oleh kekuatan dari luar diri. Hal tersebut berbeda dengan apa yang orangtua mereka yakini saat mereka masih muda di usia yang sama dengan anak mereka (Twenge, Zhang, & Im, 2004 dalam Friedman & Schutstack, 2009). Sayangnya, hal tersebut menjadi konsisten dengan peningkatan sinisme dan depresi. Orang-orang tersebut lebih mudah
38
menyalahkan orang lain untuk masalah-masalah yang mereka alami dan kurang
memiliki
inisiatif
untuk
mengambil
sikap
dalam
rangka
pengembangan masyarakat (Friedman & Schutstack, 2009). Merton (1946, dalam Rotter, 1966) menyatakan bahwa kepercayaan pada keberuntungan merupakan perilaku defensif dalam rangka “mempersiapkan fungsi psikologis bagi seseorang agar dapat melindungi self-esteem mereka dalam menghadapi kegagalan. Sedangkan Levenson (1981) dalam konsep multidimensionalnya berpendapat bahwa terdapat dua tipe orientasi eksternal, yaitu kepercayaan bahwa dunia merupakans suatu hal yang tidak terduga dan kepercayaan bahwa dunia sebenarnya dapat diprediksi serta ada orang yang berkuasa yang ikut mengendalikan kejadian-kejadian di dunia. Seseorang yang mempercayai bahwa kesempatan itu ada mungkin memiliki kontrol yang berbeda secara perilaku dan kognitif dari orang-orang yang memiliki kontrol personal yang rendah. (Levenson, 1981). 2.3.3
Pengukuran Locus of Control Untuk mengukur variabel locus of control peneliti menggunakan alat ukur
berdasarkan skala baku Levenson’s I,P, and C Scale dari Levenson (1981). Alat ukur ini akan diadaptasi kedalam bahasa Indonesia dan akan disesuaikan dengan norma yang ada di Indonesia. Alat ukur ini terdiri dari 24 item dan memiliki empat alternatif jawaban, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak
39
Setuju (STS). Responden harus memilih salah satu dari empat alternatif jawaban yang paling menggambarkan dirinya. 2.4
Religious Orientation
2.4.1
Pengertian Religious Orientation Menurut Pargament (1997) pengertian yang cocok dalam kehidupan sehari-
hari ketika kita berbicara mengenai agama adalah agama mengacu pada sebuah entitas, ide, kepercayaan, atau praktek yang spesifik. Agama juga merupakan sebuah sistem kepercayaan kepada kekuatan ketuhanan dan praktek atau ritual peribadatan yang ditujukan kepada kekuatan tersebut (Argyle & Beit-Hallahmi, 1975 dalam Pargament, 1997) Agama berfungsi sebagai sumber pendukung emosional dan sosial, terutama pada masa-masa krisis. Sebagai tambahan, agama memberikan seseorang gambaran perilaku dalam kehidupan personal mereka, menegakkan standar-standar bagi perilaku dan memunculkan ide-ide (Cicirelli, 2002). Menurut Flere & Lavric (1989), Dasar religiusitas yang multifaset dan kompleks telah dipola dengan cara yang berbeda-beda yang membuatnya menjadi lebih komprehensif. Salah satunya adalah klasifikasi dari Glock and Stark (1965 dalam Flere & Lavric, 1989). Dibalik perilaku, perbuatan, dan afiliasi institusional, terdapat juga motif-motif yang seringkali tidak dapat terpisahkan dari religiusitas itu sendiri. Pendekatan inilah yang digunakan pula oleh Allport (1950 dalam Flere & Lavric, 2007) untuk mendasari apa yang disebut dengan „orientasi religius‟.
40
Allport (1950, dalam Flere & Lavric, 2007) pada mulanya menyatakan orientasi religius sebagai motif-motif dibalik perilaku untuk memahami berbagai bentuk perbuatan-perbuatan yang dilakukan, termasuk yang dianggap berlawanan oleh penganut kristiani. Dimulai dari gagasan bahwa ada bentuk kematangan dan ketidakmatangan religius, ia sampai kepada tipologi religius intrinsik dan ekstrinsik. Cara yang paling tepat untuk mendeskripsikan dua kutub dari subjektifitas agama adalah bahwa orang yang termotivasi secara ekstrinsik “memakai” agamanya, sedangkan orang dengan motif intrinsik “hidup dengan agamanya” (Allport, 1967). Allport (1967, dalam Pargament 1997) secara lebih lanjut menjelaskan bahwa orang yang lebih berorientasi intrinsik mengetahui apa motif dasar dari agama yang dianutnya. Motif tersebut berpusat pada Tuhan, bukan pada diri sendiri. Sedangkan orang yang berorientasi ekstrinsik mencari keuntungan personal dalam bentuk ketenangan, harga diri, dan sosiabilitas, bahkan demi orang lain. Pargament (1997) mendefinisikan religious orientation sebagai disposisi umum untuk menggunakan kutub yang berbeda dalam rangka meraih tujuan hidup yang berbeda. Orientasi yang berbeda ini timbul dari keterlibatan Tuhan dalam pencarian tujuan hidup. Kata “umum” digunakan untuk menekankan bahwa religious orientation tidak berlaku pada situsi secara keseluruhan, namun merupakan fenomena lintas budaya; yang menjelaskan kecenderungan umum untuk menggunakan tujuan beragama tertentu dan menceri tujuan beragama tertentu dalam berbagai situasi.
41
Kirkpatrick (1988, dalam Gorsuch & McPherson, 1989) menganalisa kembali beberapa penelitian yang menggunakan skala I-E yang lebih lama. Ia kemudian menyimpulkan skala ekstrinsik yang terbagi kedalam kategori ekstrinsik, yaitu apa yang kita sebut dengan “Ep untuk item skala yang cenderung berorientasi personal dan “Es” untuk item skala ekstrinsik yang lebih berorientasi sosial. Dari beberapa definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa orientasi religius dapat diartikan sebagai motivasi yang mendasari seseorang dalam beragama, apakah didasari oleh dorongan-dorongan dari luar diri ataukah didorong dari keinginan untuk menjadikan agama tersebut sebuah landasan bagi kehidupannya dan mendekatkan diri pada Tuhan, yang dapat dilihat dari caranya berperilaku dalam menjalankan ajaran agamanya. 2.4.2
Dimensi-Dimensi Religious Orientation
Allport (1950 dalam Flere & Lavric, 2007) membagi orientasi religius kedalam dua dimensi yang berbeda, yaitu intrinsic religious orientation (orientasi religius intrinsik) dan extrinsic religious orientation (orientasi religius ekstrinsik). Dimensidimensi tersebut adalah: 1. Intrinsic Religious Orientation (Orientasi Religius Intrinsik). Allport & Ross (1967) berpendapat bahwa individu dengan orientasi ini telah menemukan motif dasar dari beragama. Kebutuhan lainnya, sekuat apapun, dianggap kurang penting dan sebisa mungkin memiliki harmoni dengan kepercayaan
42
religius. Individu berusaha untuk menginternalisasikan keyakinannya dan mengikuti ajaran-ajaran agamanya. Inilah yang disebut bahwa seseorang menjalankan keyakinanya. Keyakinan seperti ini dapat merubah eksistensi seseorang tanpa memaksakannya pada konsep-konsep yang terbatas dan kebutuhan-kebutuhan egosentris. Tipe ini dapat disebut tipe agama yang “interioris” atau “intrinsik” atau “berpusat diluar diri”, yang dalam kasus ini bertolak belakang dengan tipe ekstrinsik yang mengedepankan manfaat, berpusat pada diri sendiri (Allport 1950, dalam Stark dan Glock, 1968). Intrinsic religious orientation juga didefinisikan sebagai kedewasaan spiritual (Thomas, 1994 dalam Tomer et. al., 2008), atau sebagai cara hidup dan komitmen seseorang terhadap Tuhan. Orang dengan orientasi religius intrinsik cenderung mempercayai adanya kehidupan yang lebih baik setelah kematian (Tomer et. al., 2008). 2. Extrinsic Religious Orientation (Orientasi Religius Ekstrinsik). Allport (1950 dalam Stark dan Glock , 1968) mengkategorikan tipe religius ekstrinsik sebagai religius yang memanfaatkan, mementingkan diri sendiri, berpusat pada keselamatan, status, kenyamanan dan protektifitas dari penganutnya. Orang yang religius dalam artian ini “menggunakan” Tuhan. Mereka adalah orang yang bergantung dan pada dasarnya kekanak-kanakan. Individu dengan orientasi religius ekstrinsik mungkin telah mendapatkan doktrin agama dari lembaga-lembaga atau rumah ibadah, namun karena mereka tidak terlalu
43
melibatkan agama dalam kehidupannya, mereka memiliki kemungkinan untuk takut terhadap hal-hal yang gaib dan masa depan setelah kematian (Donahue, 1985 dalam Tomer et al., 2008). Selanjutnya, Gorsuch & McPherson (1989) menyatakan terdapat dua komponen yang berbeda dari orientasi religius ekstrinsik, yaitu: a. Social Extrinsic Orientation (Es), yaitu orientasi religius ekstrinsik yang mengacu pada pencapaian manfaat-manfaat sosial. Tipe ini mengharapkan manfaat secara sosial (Flere & Lavric, 2007). b. Personal Extrinsic Orientation (Ep), yaitu orientasi religius ekstrinsik yang menekankan pada penanganan dan kontrol pada masalah-masalah dan tekanan psikologis. Tipe ini mengacu pada mengatasi dan mengontrol masalah-masalah psikologis personal (Flere & Lavric, 2007). 2.4.3
Pengukuran Religious Orientation
Untuk mengukur variabel religiusitas, peneliti menggunakan alat ukur berdasarkan skala baku Religious Orientation Scale-Revised (ROS-R) dari Gorsuch & McPherson (1989). Alat ukur ini akan diadaptasi kedalam bahasa Indonesia dan akan disesuaikan dengan norma yang ada di Indonesia. Alat ukur ini memiliki empat alternatif jawaban, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Responden harus memilih salah satu dari empat alternatif jawaban yang paling menggambarkan dirinya. 2.5
Perceived Social Support
44
2.5.1
Pengertian Social Support
Sumber psikososial yang paling vital dan protektif adalah dukungan sosial (social support). Ikatan sosial dan hubungan dengan orang lain telah dianggap sebagai aspek kehidupan yang memuaskan secara emosional. Social support juga dapat meredakan efek dari stress, membantu seseorang untuk dapat mengatasi kejadian-kejadian yang membuat stress, dan menurunkan kemungkinan stress yang dapat memperburuk kondisi kesehatan (Taylor, 2009). Social support diartikan sebagai informasi bahwa ada orang yang menyayangi dan memperhatikan kita, meninggikan harga diri dan menilai tinggi diri kita, dan menganggap kita adalah seseorang yang berharga. Social support bisa datang dari orangtua, pasangan atau kekasih, kerabat, teman-teman, komunitas (seperti klub atau kegiatan keagamaan) (Rietschlin dalam Taylor, 2009), atau bahkan hewan peliharaan (Allen, 2003 dalam Taylor, 2009). Social support (dukungan sosial) merujuk kepada ketersediaan rasa nyaman, perhatian, harga diri, atau bantuan kepada seseorang yang datang dari orang lain atau kelompok (Uchino, 2004, dalam Sarafino & Smith, 2011). Dukungan tersebut dapat datang dari mana saja—dari pasangan atau kekasih, keluarga, teman, dokter, atau komunitas organisasi.Seseorang dengan social support percaya bahwa dirinya dicintai, dihargai, dan menjadi bagian dari lingkungan sosial, seperti keluarga atau organisasi komunitas. Dukungan tersebut dapat membantu disaat membutuhkan (Sarafino & Smith, 2011).
45
Social support menunjukkan konsep dari perspektif yang berbeda-beda, termasuk perbedaan antara persepsi individu dalam menerima dukungan, perspektif observer bahwa dukungan telah diterima, dan perspektif penyedia dukungan bahwa dukungan tersebut telah ia berikan (Dunkel-Schetter, Blasband, Feinstein, & Herbert, 1992 dalam Neufeld & Harrison, 2010). Sarafino & Smith (2011) menyatakan bahwa social support bukan hanya mengacu kepada perilaku yang secara nyata dilakukan oleh seseorang, atau disebut received support, namun juga merujuk pada persepsi seseorang bahwa kenyamanan, perhatian, dan bantuan selalu tersedia jika dibutuhkan atau disebut dengan perceived support. Dari berbagai definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial (social support) merupakan suatu betuk hubungan interpersonal yang di dalamnya berisi pemberian bantuan yang melibatkan aspek-aspek dari informasi, perhatian, emosi, penilaian dan bantuan instrumental yang diperoleh oleh individu melalui interaksi dengan lingkungan dan memiliki manfaat emosional atau efek perilaku bagi penerima, sehingga dapat membantu individu dalam menjalani kehidupannya atau ketika menghadapi masalah yang dialaminya. 2.5.2
Aspek-Aspek Social Support Menurut Taylor (2009), social support memiliki beberapa bentuk, yaitu:
46
1. Tangible assistance melibatkan ketersediaan material, seperti pelayanan, dukungan finansial, atau harta benda. Contohnya, hadiah makanan yang diterima setelah kematian seseorang dalam sebuah keluarga dapat diartikan bahwa keluarga yang berkabung tidak perlu memasak untuk diri mereka dan kerabat yang datang disaat energi mereka sedang berada dalam tingkat yang rendah. 2. Informational support, yaitu dukungan dari keluarga atau teman mengenai situasi atau keadaan yang penuh tekanan. Sebuah informasi dapat membantu individu untuk dapat memahami situasi stress lebih baik dan menentukan strategi coping apa yang tepat digunakan dalam situasi tersebut. Contohnya, ketika seseorang akan menghadapi prosedur medis yang tidak menyenangkan, teman yang pernah mengalami kejadian yang sama akan memberikan informasi mengenai langkah-langkah apa yang ia tempuh, ketidaknyamanan yang akan terjadi, dan sebagainya (Taylor , 2009). 3. Emotional Support. Saat berada dalam kondisi stres, seseorang terkadang menderita secara emosional dan mungkin dapat mengalami depresi, kesedihan, kecemasan, dan keyakinan diri yang rendah. Teman-teman dan keluarga yang mendukung dapat memberikan emotional support dengan menenangkan orang tersebut bahwa ia adalah seseorang yang berharga. Kehangatan dan perhatian dari orang lain dapat menurunkan tingkat stres dan memungkinannya untuk menghadapai stres dengan keyakinan yang tinggi.
47
Tipe-tipe dari social support tersebut melibatkan ketersediaan dari bantuan yang nyata dari seseorang ke orang lain. Namun nyatanya, banyak manfaat dari social support justru datang dari persepsi bahwa social support tersedia untuknya. Menerima social support secara langsung sebenarnya memiliki beberapa resiko. Pertama, individu dapat menyita atau memonopoli waktu dan perhatian dari orang lain, dimana dapat menimbulkan rasa bersalah. Keinginan untuk bersandar pada orang lain juga dapat membahayakan self-esteem seseorang, karena hal tersebut sering terlihat sebagai suatu ketergantungan terhadap orang lain (Bolger, Zuckerman, & Kessler, 2000 dalam Taylor, 2009). Resiko dari penerimaan social support ini dapat membahayakan fungsi dari social support tersebut yang seharusnya dapat memperbaiki tingkat stres seseorang (Taylor, 2009). 2.5.3
Perceived Social Support Social support tidak selalu bisa meredakan stres dan bermanfaat bagi
kesehatan. Hal itu karena dukungan yang tersedia tersebut mungkin tidak kita persepsikan sebagai suatu hal yang mendukung (tidak dibutuhkan) (Dunkel-Schetter & Bennet, 1990; Wilcox, Kasl, & Berkman, 1994, dalam Sarafino & Smith, 2011). Kemungkinan itu terjadi karena batuan atau dukungan tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan kita, atau memang kita tidak sedang membutuhkan bantuan. Ketika kita tidak menganggap bantuan itu mendukung, dukungan dari orang lain itu kurang mampu menurunkan stres yang kita alami.
48
Menerima dukungan atau bantuan dari orang lain terkadang membuat penerima bantuan dianggap tidak mampu mengatasi masalahnya sendiri, yang dapat mengakibatkan self-esteem yang rendah (Lepore et al., 2008 dalam Sarafino & Smith, 2011). Konsekuensi negatif inilah yang menjadi alasan bahwa manfaat kesehatan yang diterima dari persepsi seseorang bahwa dirinya memiliki dukungan menjadi prediktor yang lebih baik daripada dukungan yang benar-benar diterima (Uchino, 2004, dalam Sarafino & Smith, 2011). Perceived social support atau perceived support adalah fungsi dukungan yang dipersepsikan selalu tersedia jika dibutuhkan (Wills & Shinar, 2000). Cobb (1974 dalam Wills & Shinar, 2000) menyatakan bahwa fungsi dukungan dapat membantu seseorang mengatasi permasalahan dan perubahan. Selain itu ia juga menyatakan bahwa efek dari dukungan tersebut timbul dari informasi yang membuat seseorang percaya bahwa ia diperhatikan, dicintai, dihargai, dinilai, dan dianggap sebagai bagian dari sebuah jaringan komunikasi. Jenis dukungan seperti ini dianggap mampu membantu seseorang dalam menghadapi stres, dan memungkinkan seseorang untuk menghadapi permasalahan hidup lainnya. Adanya persepsi dukungan ini terbukti memiliki signifikansi yang tinggi dalam kesehatan. 2.5.4
Pengukuran Perceived Social Support Untuk mengukur variabel perceived social support, peneliti menggunakan alat
ukur berdasarkan skala baku MSPSS (Multidimensional Scale of Perceived Social Support) dari Dahlem, Zimet, & Walker (1991). Alat ukur ini akan diadaptasi
49
kedalam bahasa Indonesia dan akan disesuaikan dengan norma yang ada di Indonesia. Alat ukur ini memiliki empat alternatif jawaban, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Responden harus memilih salah satu dari empat alternatif jawaban yang paling menggambarkan dirinya. 2.6
Pengalaman Terhadap Kematian
Hampir semua orang akan mengalami kehilangan orang yang dicintainya selama masa hidupnya. Ketika seseorang menua, coping terhadap rasa duka akibat kehilangan orang yang disayangi akan menjadi hal yang sulit (Azaiza et al., 2011). Malkinson & Bar-Tur (2005 dalam Azaiza, et al., 2011) menyatakan bahwa orangtua akan mengalami kehilangan yang signifikan: anggota keluarga dan teman yang sakit dan kemudian meninggal, masa pensiun yang dapat mengurangi relasi sosial, berkurangnya aktifitas yang dulu dilakukan ketika bekerja, serta rumah yang terasa sepi. Kemudian, orangtua atau lansia akan merasa cemas mengenai kematian yang akan datang padanya dan mengkhawatirkan keluarga yang akan terbengkalai ketika dirinya meninggal (Malkinson & Bar-Tur, 1999 dalam Azaiza, 2011). Hoyer & Roodin (2003) menyatakan terdapat beberapa kematian yang sulit untuk dilupakan. Yaitu kematian anak yang masih kecil, kematian anak yang telah dewasa, kematian saudara, kematian orangtua, dan kematian pasangan. Kematian anak yang masih kecil menyisakan rasa duka yang sulit dipulihkan, terutama jika penyebab kematian adalah kecelakaan atau penyakit berat. Kematian anak yang sudah dewasa juga dapat menyisakan rasa duka yang mendalam, namun
50
tidak lebih intens dari kehilangan pasangan atau orangtua. Kematian saudara merupakan hal yang sering dirasakan oleh lansia, namun juga menyisakan rasa duka yang mendalam. Kematian orangtua bukan hanya menunjukkan efek jangka panjang ketika terjadi pada masa anak-anak karena perpisahan dengan pengasuhnya, namun juga pada lansia hal tersebut juga merupakan kehilangan yang besar. Kemudian, kehilangan pasangan hidup merupakan kehilangan yang paling umum dirasakan oleh lansia dan membuat lansia harus menghadapi rasa duka yang mendalam serta tantangan-tantangan hidup lainnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengalaman mengenai kematian adalah pengalaman mengenai meninggalnya orang-orang yang ada di sekitar kita, baik keluarga, teman, maupun orang lain yang menyisakan duka maupun tidak. 2.6.1
Pengukuran Pengalaman mengenai Kematian
Untuk mengukur variabel pengalaman mengenai kematian, peneliti memberikan pertanyaan apakah responden pernah mengalami kehilangan baik keluarga, teman, maupun orang lain. Kemudian, peneliti membuat skala kebermaknaan kematian tersebut kedalam 2 alternatif pilihan, sangat bermakna dan tidak bermakna. Responden harus memilih salah satu dari dua alternatif pilihan yang paling menggambarkan kebermaknaan tersebut. 2.7
Kerangka Berpikir
51
Peningkatan populasi lansia di Indonesia tidak terlepas dari peningkatan harapan hidup. Akan tetapi, sebagaimana manusia yang sedang berada di akhir tahap perkembangan, lansia mengalami banyak penurunan fungsi yang kompleks, baik fisik, mental, minat, dan finansial. Lansia juga mengalami lebih banyak paparan terhadap kematian, terlihat dari banyaknya rekan-rekan seusianya serta keluarga yang telah meninggal. Karena hal-hal tersebut, lansia rentan mengalami kecemasan, terutama kecemasan yang berkaitan dengan kematian. Setiap orang memiliki persepsi yang berbeda terhadap kematian. Persepsi yang positif akan memunculkan penerimaan terhadap kematian dan persepsi negatif akan memunculkan death anxiety. Death anxiety dapat dirasakan berbeda bagi pria dan wanita. Wanita yang cenderung rentan pada kecemasan, memandang kematian sebagai suatu hal yang emosional sehingga wanita rentan memiliki death anxiety yang tinggi. Sedangkan pria lebih memandang kematian dari segi kognitif, oleh karena itu, pria lebih memiliki sikap terhadap kematian yang lebih positif. Seseorang yang memiliki ketakutan akan kematian tidak terlepas dari pegalamannya mengenai kematian itu sendiri. Individu yang telah mengalami atau menyaksikan keluarga, kerabat, atau temannya meninggal dapat memiliki death anxiety yang berbeda dengan individu yang mengalami perpisahan dengan orang yang kurang berarti dalam hidupnya. Orang yang lebih sering terpapar oleh kematian diasumsikan memiliki sikap terhadap kematian yang lebih baik dibandingkan orang
52
yang belum mengalami pengalaman yang berarti mengenai kematian orang yang dicintainya. Kematian memang tidak terlepas dari kontrol Tuhan, namun sebaiknya kita sebagai manusia turut mengupayakan hal-hal yang dapat mempertahankan kehidupan kita. Dengan perasaan kontrol yang kuat bahwa kita sudah berusaha mempertahankan kesehatan kita dan meningkatkan religiusitas, maka death anxiety dapat dikurangi. Individu dengan perasaan kontrol terhadap lingkungannya akan merasa lebih aman, sehingga orang dengan internal locus of control akan memiliki ketakutan akan kematian yang lebih rendah. Sebaliknya, individu dengan external locus of control mempercayai bahwa ia tidak dapat mengontrol kehidupannya, bahwa kejadiankejadian di dalam hidupnya merupakan suatu takdir akan memiliki ketakutan akan kematian yang lebih tinggi karena ketidakpastian hidup. Hayslip & Stewart-Bussey (1987, dalam Cicirelli, 1999) melaporkan eksternalitas berhubungan dengan death anxiety yang lebih tinggi, dan internalitas berhubungan dengan death anxiety yang lebih rendah. Tingginya death anxiety memerlukan upaya untuk menurunkannya sehingga lansia dapat hidup lebih sejahtera dan bahagia. Upaya tersebut diantaranya melalui dukungan sosial dan religiusitas. Dukungan sosial (social support) berupa ikatan yang kuat antara lansia dengan orang-orang terdekatnya. Dengan kedekatannya pada orang-orang disekitarnya, hal tersebut dapat memicu persepsi bahwa banyak orang
53
yang mendukung dirinya yang nantinya akan dapat menurunkan tingkat kecemasan pada kematian. Persepsi social support merupakan faktor yang positif, sedangkan death anxiety adalah faktor yang negatif. Oleh karena itu, perceived social support diasumsikan memiliki pengaruh yang negatif dengan death anxiety. Individu yang memiliki perceived social support yang tinggi cenderung memperlihatkan death anxiety yang rendah (Khawar, Aslam, & Aamir, 2013). Social support dapat diperoleh bukan hanya dari keluarga, namun juga dengan mengikuti komunitaskomunitas dan kegiatan-kegiatan yang bukan hanya dapat dapat memberdayakan lansia, namun juga menambah relasi sehingga lansia mendapatkan social support yang lebih baik. Selain itu, upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan death anxiety yang lain adalah religiusitas. Sayangnya, orang yang terlihat religius belum tentu benarbear mengamalkan agamanya untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Terdapat motifmotif lain seseorang dalam beribadah dan menjalankan agamanya, contohnya motif sosial dan emosional. Individu yang memiliki intrinsic religious orientation cenderung memandang agama sebagian dari hidupnya dan benar-benar ingin mendekatkan diri pada Tuhan. Sedangkan individu dengan extrinsic religious orientation memandang agama sebagai sebuah agen sumber kenyamanan, solusi bagi masalah-masalah di dunia dan ajang bersosialisasi.
54
Sebagai catatan penting mengenai penelitian yang melibatkan religiusitas ekstrinsik bergantung pada kepercayaan religius individu. Jika kepercayaan individu menekankan pada hal pembalasan pada kehidupan setelah kematian, maka religiusitas yang tinggi akan membuat ketakutan akan kematian yang tinggi pula (Florian & Kravits, 1983 dalam Cicirelli, 2002). Sebaliknya, jika kepercayaan tersebut lebih condong kepada cinta Tuhan, Tuhan sebagai penyayang utama, dan dengan konsep kehidupan setelah kematian sebagai suatu hal yang indah, berhubungan dengan tingkat death anxiety yang rendah (Rigdon & Epting, 1985 dalam Cicirelli, 2002). Jadi dalam penelitian ini, peneliti akan meneliti pengaruh locus of control, perceived social support, religious orientation, pengalaman mengenai kematian, dan jenis kelamin pada lansia. Gambar 2.1 merupakan rangkuman kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian ini.
55
Internal Locus Of Control External Locus of Control Perceived Social Support Family Perceived Social Support Friends
Perceived Social Support Significant Others Intrinsic Religious Orientation Extrinsic Religious Orientation Pengalaman Mengenai Kematian Jenis Kelamin
Death Anxiety
56
2.8
Hipotesis
2.7.1
Hipotesis Mayor Ha
: ada pengaruh yang signifikan antara religiusitas dan locus of control
2.7.2
terhadap death anxiety
Hipotesis Minor H1
: ada pengaruh yang signifikan antara internal locus of control terhadap death anxiety
H2
: ada pengaruh yang signifikan antara external locus of control terhadap death anxiety
H3
: ada pengaruh yang signifikan antara perceived social support family terhadap death anxiety
H4
: ada pengaruh yang signifikan antara perceived social support friend terhadap death anxiety
H5
: ada pengaruh yang signifikan antara perceived social support significant others terhadap death anxiety
H6
: ada pengaruh yang signifikan antara intrinsic religious orientation terhadap death anxiety
H7
: ada pengaruh yang signifikan antara extrinsic religious orientation terhadap death anxiety
57
H8
: ada pengaruh yang signifikan antara pengalaman bermakna mengenai kematian terhadap death anxiety
H9
: ada pengaruh yang signifikan antara jenis kelamin dengan death anxiety
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini akan memberikan penjelasan mengenai metode penelitian yang meliputi populasi dan sampel, variabel penelitian beserta definisi operasionalnya, instrumen pengumpulan data, pengujian validitas konstruk, prosedur penelitian, dan metode analisis data yang digunakan dalam penelitian. 3.1
Sampel dan Teknik Pengambilan Data
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 150 orang dengan kriteria yaitu lansia yang berusia lebih dari 60 tahun baik pria maupun wanita di RW 09 kelurahan Kebon Pala Jakarta Timur, masih mampu membaca dan menulis, serta bersedia menjadi responden di dalam penelitian ini. Adapun pengambilan sampel dalam penelitian ini termasuk kategori nonprobability sampling dimana semua anggota populasi tidak diketahui probabilitas atau peluangnya untuk dijadikan sampel. 3.2
Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu variabel terikat (dependent variable) dan variabel bebas (independent variable). Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
57
58
a. Variabel terikat (dependent variable) dalam penelitian ini adalah death anxiety. b. Variabel bebas (independent variable) dalam penelitian ini yaitu: 1. Variabel locus of control dengan dimensi-dimensi yang meliputi internal locus of control dan external locus of control. 2. Variabel religious orientation dengan dimensi-dimensi yang meliputi intrinsic religious orientation dan extrinsic religious orientation. 3. Variabel perceived social support dengan dimensi-dimensi yang meliputi perceived social support family, perceived social support friend, dan perceived social support significant others. 4. Variabel pengalaman mengenai kematian 5. Variabel jenis kelamin 3.3
Definisi Operasional Variabel 1. Death Anxiety adalah skor yang diperoleh dari pengukuran death anxiety melalui skala death anxiety berdasarkan tingkat kecemasan manusia terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kematian yang diperoleh dari skor skala death anxiety Templer (1970). 2. Locus of Control adalah skor yang diperoleh dari pengukuran locus of control melalui skala locus of control berdasarkan bagaimana individu mempersepsikan keberhasilan atau kegagalan yang diraihnya karena faktor dari dalam (tingkah lakunya sendiri dan usaha yang dilakukannya sendiri) atau karena faktor dari luar dirinya (keberuntungan, kesempatan,
59
atau takdir) terdiri dari internal locus of control dan external locus of control yang diperoleh dari skala locus of control Levenson (1981). 3. Perceived Social Support adalah skor yang diperoleh dari pengukuran perceived social support melalui skala perceived social support berdasarkan bagaimana individu memepersepsikan apakah dukungan dan bantuan akan selalu ada disaat ia membutuhkan dari keluarga teman atau orang
terdekat
(significant
others)
yang
diambil
dari
MSPSS
(Multidimensional Scale of Perceived Social Support) oleh Dahlem, Zimet, & Walker (1991). 4. Religious Orientation adalah skor yang diperoleh dari pengukuran orientasi religius melalui skala orientasi religius berdasarkan dimensidimensi intrinsic religious orientation dan extrinsic religious orientation yang diperoleh dari skala orientasi religius Gorsuch & McPherson (1989). 5. Variabel jenis kelamin adalah skor yang diperoleh dari usia subjek berupa data mengenai jenis kelamin subjek. 6. Variabel pengalaman mengenai kematian yaitu skor yang diperoleh dari pengalaman bermakna kematian berupa data mengenai pengalaman bermakna mengenai kematian dari orang-orang yang disayangi 3.4
Pengumpulan Data
3.4.1
Teknik Pengumpulan Data Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan instrumen baku yang telah dikembangkan oleh peneliti lain. Instrumen yang diadaptasi Antara
60
lain Death Anxiety Scale (Templer, 1970), Levenson’s I, P, and C Locus of Control Scale (Levenson, 1981), Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS) oleh Dahlem, Zimet, & Walker (1991) dan Religious Orientation Scale-Revised (ROS-R), (Gorsuch & McPherson, 1989). Peneliti kemudian akan menerjemahkan item-item dalam instrumen tersebut kedalam bahasa Indonesia. Dalam proses penerjemahan dan penyusunan alat ukur, peneliti menggunakan literatur yang terkait dengan instrumen penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode skala sebagai alat pengumpul data, yaitu sejumlah pernyataan tertulis untuk memperoleh jawaban dari responden. skala yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan skala model Likert dengan variasi pilihan respon dan skala penilaian. Beberapa hal yang harus diperhatikan ketika menggunakan alat ukur model Likert antara lain adalah terdapat variasi pilihan respon yang masingmasing terdiri dari empat alternatif jawaban yang disediakan. untuk mengukur variabel-variabel penelitian ini, peneliti menggunakan skala model Likert yang telah dimodifikasi, yaitu dengan menghilangkan jawaban netral agar mendorong responden untuk memilih dan memutuskan respon negatif ataupun positif, sehingga terlihat central tendency dari jawaban responden. Selanjutnya pernyataan tertinggi untuk pernyataan unfavorable diberikan pada pilihan jawaban “sangat tidak setuju” dan skor terendah diberikan untuk pilihan “sangat setuju”.
61
62
Tabel 3.1 Tabel Skor Skala Model Likert Kategori Respon
SS
S
TS
STS
Favorable
4
3
2
1
Unfavorable
1
2
3
4
Skala model likert dipilih untuk mengukur variabel death anxiety, locus of control, perceived social support, dan religious orientation. Dalam penelitian ini, subjek akan diberikan kuesioner yang terdiri dari tiga bagian, yaitu: 3.1 Bagian Pengantar, berisi tentang nama peneliti, tujuan dari penelitian, kerahasiaan jawaban yang diberikan oleh responden, dan ucapan terima kasih peneliti. 3.2 Bagian data, berisi tentang data-data subjek seperti nama insial, jenis kelamin, dan pengalaman mengenai kematian. 3.3 Bagian inti, berisi tiga alat ukur penelitian, yaitu alat ukur death anxiety, locus of control, perceived social support dan religious orientation. Saat penelitian, subjek diminta untuk memilih salah satu dari pilihan jawaban yang menunjukkan kesesuaian pernyataan yang diberikan dengan keadaan yang dirasakan oleh responden dengan memberikan tanda silang (X) pada pilihan jawaban.
63
3.4.2
Instrumen Penelitian
1. Skala Death Anxiety Untuk mengukur death anxiety dalam penelitian ini menggunakan skala berdasarkan skala baku death anxiety scale dari Templer (1970). Skala ini menggunakan model Likert dengan empat alternatif jawaban, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). skala ini terdiri dari 15 butir item pertanyaan yang mengukur death anxiety. Tabel 3.2 Blue Print Death Anxiety Scale No
Indikator
Item
Jumlah
1
Death anxiety secara umum
5, 7*, 1
3
2
Ketakutan akan sakit
11, 4, 9, 6*
4
3
Pemikiran mengenai kematian
10, 14, 3*
3
4
Bergantinya waktu dan kehidupan yang singkat
12, 8, 2*
3
5
Ketakutan akan masa depan
13, 15*
2
Keterangan: (*) unfavorable 2. Skala Locus of Control Untuk mengukur kecenderungan locus of control pada penelitian ini menggunakan skala model Likert berdasarkan skala baku Levenson’s I,P, and C Locus of Control Scale. Skala ini menggunakan model Likert dengan empat alternatif jawaban, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS).
64
Tabel 3.3 Blueprint Levenson’s I, P, and C Locus of Control Scale No
Dimensi
Nomor Butir
External Locus of Control (Chance) External Locus of Control (Powerful Others) Internal Locus of Control
1 2 3
Jumlah
2, 6, 7, 10, 12, 14, 16, 8 24 3, 8, 11, 13, 15, 17, 20, 8 22 1, 4, 5, 9, 18, 19, 21, 23 8
3. Skala Perceived Social Support Untuk mengukur kecenderungan perceived social support pada penelitian ini menggunakan skala model Likert berdasarkan skala baku Levenson’s I,P, and C Locus of Control Scale. Skala ini menggunakan model Likert dengan empat alternatif jawaban, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Tabel 3.4 Blueprint MSPSS (Multidimensional Scale of Perceived Social Support) Dahlem, Zimet, & Walker (1991) No
Dimensi
Nomor Butir
Jumlah
1
Perceived Social Support (Family)
3, 4, 8, 11
4
2
Perceived Social Support (Friends)
6, 7, 9, 12
4
3
Perceived Social (Significant Others)
1, 2, 5, 10
4
Support
4. Skala Religious Orientation Untuk mengukur religiusitas, pada penelitian ini peneliti menggunakan skala model Likert, berdasarkan dimensi-dimensi yang dikemukakan oleh
65
Gorsuch & McPherson, (1989), Skala ini menggunakan model Likert dengan empat alternatif jawaban, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Tabel 3.5 Blue Print Skala Religious Orientation No
Dimensi
Butir
Jumlah
1
Intrinsic Religious Orientation
1, 3*, 4, 5, 7, 10*, 12, 14* 6, 8, 9
8
2, 11, 13
3
2
Extrinsic Religious OrientationPersonally Oriented 3 Extrinsic Religious OrientationSocially Oriented Keterangan: (*) unfavorable 3.5
3
Pengujian Validitas Konstruk
Sebelum melakukan analisis data, peneliti melakukan pengujian terhadap validitas konstruk keempat instrumen yang dipakai, yaitu 1) Death Anxiety Scale 2) Levenson’s I, P, & C Locus of Control Scale 3) Multidimensional Scale of Perceived Social Support dan 4) Religious Orientation Scale-Revised. Untuk menguji validitas konstruk alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA). Adapun logika dari CFA (Umar, 2011) : 1
Bahwa ada sebuah konsep atau trait berupa kemampuan yang didefinisikan secara operasional sehingga dapat disusun pertanyaan atau pernyataan untuk mengukurnya. Kemampuan ini disebut faktor, sedangkan pengukuran terhadap faktor ini dilakukan melalui analisis terhadap respon atas item-itemnya.
66
2
Diteorikan setiap item hanya mengukur satu faktor saja, begitupun juga tiap subtes hanya mengukur satu faktor juga. Artinya baik item maupun subtes bersifat unidimensional.
3
Dengan data yang tersedia dapat digunakan untuk mengestimasi matriks korelasi antar item yang seharusnya diperoleh jika memang unidimensional. Matriks korelasi ini disebut sigma (∑), kemudian dibandingkan dengan matriks dari data empiris, yang disebut matriks S. Jika teori tersebut benar (unidimensional) maka tentunya tidak ada perbedaan antara matriks ∑ - matriks S atau bisa juga dinyatakan dengan ∑ - S = 0.
4
Pernyataan tersebut dijadikan hipotesis nihil yang kemudian diuji dengan chi square. Jika hasil chi square tidak signifikan p>0.05, maka hipotesis nihil tersebut “tidak ditolak”. Artinya teori unidimensionalitas tersebut dapat diterima bahwa item ataupun sub tes instrument hanya mengukur satu faktor saja.
5
Jika model fit, maka langkah selanjutnya menguji apakah item signifikan atau tidak mengukur apa yang hendak di ukur, dengan menggunakan t-value. Jika hasil t-value tidak signifikan maka item tersebut tidak signifikan dalam mengukur apa yang hendak diukur, bila perlu item yang demikian di drop dan sebaliknya.
6
Terakhir, apabila dari hasil CFA terdapat item yang koefisien muatan faktornya negatif, maka item tersebut harus di drop. Sebab hal ini tidak sesuai dengan sifat item, yang bersifat positif (favorable).
67
Adapun pengujian analisis CFA seperti ini dilakukan dengan menggunakan software LISREL 8.70 (Joreskog dan Sorbom, 1999). Uji validitas tiap alat ukur akan dipaparkan pada sub bab berikut. 3.5.1
Uji Validitas Konstruk Death Anxiety
Peneliti menguji apakah lima belas item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur death anxiety. Dari hasil CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi-Square= 599,90, df=90, P-value= 0,00000, RMSEA= 0,195. Oleh karena itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lain, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square= 66,16, df= 51, P-value= 0,07522, RMSEA= 0,045. Nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0,05 (signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dimana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu death anxiety. Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur atau tidak sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop atau tidak. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut:
68
Tabel 3.6 Tabel Muatan faktor item death anxiety No Koefisien Standar Error ITEM01 0,87 0,08 ITEM02 -0,45 0,08 ITEM03 0,65 0,09 ITEM04 0,20 0,07 ITEM05 0,75 0,07 ITEM06 0,26 0,08 ITEM07 0,50 0,08 ITEM08 0,39 0,09 ITEM09 0,24 0,08 ITEM10 0,26 0,07 ITEM11 0,23 0,07 ITEM12 0,20 0,07 ITEM13 0,22 0,08 ITEM14 0,39 0,07 ITEM15 0,42 0,09 Keterangan: tanda V=signifikan
Nilai T 11,24 -5,49 7,33 2,72 10,19 3,32 6,68 4,59 3,06 3,51 3,12 3,12 2,75 5,29 4,62
Signifikan V X V V V V V V V V V V V V V
Pada tabel diatas terdapat satu item yang memiliki nilai koefisien t < 1,96 dan memiliki muatan faktor yang negatif, yaitu item nomor 2. Oleh karena itu item tersebut di drop dan tidak ikut serta dianalisis. Langkah terakhir yang perlu dilakukan yaitu item-item death anxiety yang tidak di drop di hitung faktor skornya. Faktor skor ini dihitung untuk menghindari estimasi bias dari kesalahan pengukuran. Jadi perhitungan faktor skor ini tidak menjumlahkan item-item variabel pada umumnya, tetapi justru dihitung true score pada tiap item. Setelah didapatkan faktor skor yang telah diubah menjadi T skor, nilai baku inilah yang akan dianalisis dalam uji hipotesis korelasi dan regresi. Perlu dicatat, bahwa hal yang sama juga berlaku untuk variabel-variabel lain dalam penelitian ini
69
3.5.2 a.
Uji Validitas Konstruk Locus of Control Internal Locus of Control
Dari hasil CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi-Square=85,91, df=20, P-value=0,00000, RMSEA=0,149. Oleh karena itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lain, maka diperoleh model fit dengan Chi-square= 21,91, df= 15, P-value=0,11024, RMSEA=0,056. Nilai ChiSquare menghasilkan P-value > 0,05 (signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dimana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu internal locus of control. Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur atau tidak sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop atau tidak. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut: Tabel 3.7 Tabel muatan faktor item internal locus of control No ITEM1 ITEM4 ITEM5 ITEM9 ITEM18 ITEM19 ITEM21 ITEM23
Koefisien 0,09 0,25 0,72 0,57 0,60 0,70 0,56 0,60
Standar Error 0,09 0,09 0,09 0,08 0,09 0,08 0,08 0,08
Nilai T 1,01 2,93 8,37 6,83 6,89 9,17 7,02 7,21
Signifikan X V V V V V V V
70
Keterangan: tanda V=signifikan Pada tabel diatas terdapat satu item yang memiliki nilai koefisien t < 1,96 dan memiliki muatan faktor yang negatif, yaitu item nomor 2. Oleh karena itu item tersebut di drop dan tidak ikut serta dianalisis. b.
External Locus of Control-Chance
Dari hasil CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi-Square= 34,59, df=20, P-value= 0,02242, RMSEA=0,070. Oleh karena itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lain, maka diperoleh model fit dengan Chi-square= 14,35, df= 18, P-value=0,70576, RMSEA=0,000. Nilai ChiSquare menghasilkan P-value > 0,05 (signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dimana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu external locus of control-chance. Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur atau tidak sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop atau tidak. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut:
71
Tabel 3.8 Tabel muatan faktor item external locus of control-chance No Koefisien Standar Error ITEM2 0,15 0,09 ITEM6 0,27 0,09 ITEM7 0,55 0,09 ITEM10 0,47 0,11 ITEM12 0,35 0,11 ITEM14 0,70 0,11 ITEM16 0,41 0,09 ITEM24 0,28 0,09 Keterangan: tanda V=signifikan
Nilai T 1,66 2,97 5,85 4,23 3,15 6,11 4,53 3,08
Signifikan X V V V V V V V
Pada tabel diatas terdapat satu item yang memiliki nilai koefisien t < 1,96, yaitu item nomor 1. Oleh karena itu item tersebut di drop dan tidak ikut serta dianalisis. c.
External Locus of Control-Powerful Others
Dari hasil CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi-Square= 87,95, df=20, P-value= 0,00000, RMSEA=0,151. Oleh karena itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lain, maka diperoleh model fit dengan Chi-square= 21,95, df= 15, P-value=0,10919, RMSEA=0,056. Nilai ChiSquare menghasilkan P-value > 0,05 (signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dimana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu external locus of control-powerful others. Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur atau tidak sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di
72
drop atau tidak. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut: Tabel 3.9 Tabel muatan faktor external locus of control-powerful others No Koefisien Standar Error ITEM3 0,72 0,17 ITEM8 0,07 0,08 ITEM11 -0,11 0,09 ITEM13 -0,07 0,08 ITEM15 0,26 0,09 ITEM17 0,29 0,09 ITEM20 0,46 0,11 ITEM22 0,87 0,17 Keterangan: tanda V=signifikan
Nilai T 4,31 0,85 -1,17 -0,93 2,90 3,20 4,28 5,17
Signifikan V X X X V V V V
Pada tabel diatas terdapat tiga item yang memiliki nilai koefisien t < 1,96 dengan dua item yang memiliki muatan faktor yang negatif, yaitu item nomor 8, 11, dan 13. Oleh karena itu item tersebut di drop dan tidak ikut serta dianalisis. 3.5.3
Uji Validitas Konstruk Perceived Social Support
a.
Perceived Social Support-Family
Dari hasil CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata fit dengan ChiSquare=5,08,
df=2,
P-value=
0,07867,
RMSEA=0,102.
Nilai
Chi-Square
menghasilkan P-value > 0,05 (signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dimana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu perceived social support-family.
73
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur atau tidak sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop atau tidak. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut: Tabel 3.10 Tabel muatan faktor item perceived social support-family No Koefisien Standar Error ITEM3 0,89 0,07 ITEM4 0,82 0,07 ITEM8 0,46 0,08 ITEM11 0,65 0,08 Keterangan: tanda V=signifikan
Nilai T 12,26 10,99 5,58 8,28
Signifikan V V V V
Pada tabel diatas tidak terdapat item yang memiliki nilai koefisien t < 1,96. Selanjutnya melihat muatan faktor dari item, pada tabel tidak terdapat item yang memiliki muatan faktor negatif. Kemudian tidak ada muatan faktor yang tidak signifikan, seluruh item signifikan. Maka ini menunjukkan bahwa tidak ada item yang di drop, seluruh item tersebut ikut serta dianalisis. b.
Perceived Social Support-Friends
Dari hasil CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi-Square=6,50, df=2, P-value= 0,03868, RMSEA=0,123. Oleh karena itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lain, maka diperoleh model fit dengan Chisquare=
0,00,
df=
0,
P-value=1,00000,
RMSEA=0,00.
Nilai
Chi-Square
74
menghasilkan P-value > 0,05 (signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dimana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu perceived social support-friends. Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur atau tidak sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop atau tidak. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut: Tabel 3.11 Tabel muatan faktor item perceived social support-friends. No Koefisien Standar Error ITEM6 0,75 0,11 ITEM7 0,68 0,08 ITEM9 0,88 0,09 ITEM12 0,63 0,08 Keterangan: tanda V=signifikan
Nilai T 7,17 8,12 10,24 7,49
Signifikan V V V V
Pada tabel diatas tidak terdapat item yang memiliki nilai koefisien t < 1,96. Selanjutnya melihat muatan faktor dari item, pada tabel tidak terdapat item yang memiliki muatan faktor negatif. Kemudian tidak ada muatan faktor yang tidak signifikan, seluruh item signifikan. Maka ini menunjukkan bahwa tidak ada item yang di drop, seluruh item tersebut ikut serta dianalisis. c.
Perceived Social Support-Significant Others
75
Dari hasil CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi-Square=42,12, df=12, P-value= 0,00000, RMSEA=0,367. Oleh karena itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lain, maka diperoleh model fit dengan Chi-square= 0,00 df= 0, P-value=1,00000, RMSEA=0,00. Nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dimana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu perceived social support-significant others. Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur atau tidak sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop atau tidak. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut: Tabel 3.12 Tabel muatan faktor item perceived social support-significant others No Koefisien Standar Error ITEM1 0,65 0,08 ITEM2 0,81 0,07 ITEM5 0,82 0,07 ITEM10 0,88 0,07 Keterangan: tanda V=signifikan
Nilai T 8,39 11,38 11,63 12,75
Signifikan V V V V
Pada tabel diatas tidak terdapat item yang memiliki nilai koefisien t < 1,96. Selanjutnya melihat muatan faktor dari item, pada tabel tidak terdapat item yang memiliki muatan faktor negatif. Kemudian tidak ada muatan faktor yang tidak
76
signifikan, seluruh item signifikan. Maka ini menunjukkan bahwa tidak ada item yang di drop, seluruh item tersebut ikut serta dianalisis. 3.5.4
Uji Validitas Konstruk Religious Orientation
a.
Intrinsic Religious Orientation
Dari hasil CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi-Square=98,18, df=20, P-value= 0,00000, RMSEA=0,162. Oleh karena itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lain, maka diperoleh model fit dengan Chi-square= 25,21, df= 16, P-value=0,06616, RMSEA=0,062. Nilai ChiSquare menghasilkan P-value > 0,05 (signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dimana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu internal religious orientation. Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur atau tidak sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop atau tidak. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut: Tabel 3.13 Tabel muatan faktor item intrinsic religious orientation No ITEM1 ITEM3 ITEM4
Koefisien 0,53 0,00 0,84
Standar Error 0,08 0,09 0,07
Nilai T 6,74 0,01 12,38
Signifikan V X V
77
ITEM5 0,93 0,06 ITEM7 0,89 0,06 ITEM10 0,44 0,08 ITEM12 0,82 0,07 ITEM14 0,36 0,08 Keterangan: tanda V=signifikan
14,73 13,82 5,66 11,98 4,40
V V V V V
Pada tabel diatas terdapat satu item yang memiliki nilai koefisien t < 1,96, yaitu item nomor 3. Oleh karena itu item tersebut di drop dan tidak ikut serta dianalisis. b.
Extrinsic Religious Orientation
Dari hasil CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi-Square=111,68, df=9, P-value= 0,00000, RMSEA=0,277. Oleh karena itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lain, maka diperoleh model fit dengan Chi-square= 6,67, df= 4, P-value=0,15429, RMSEA=0,067. Nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0,05 (signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dimana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu extrinsic religious orientation. Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur atau tidak sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop atau tidak. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut:
78
79
Tabel 3.14 Tabel muatan faktor item extrinsic religious orientation No Koefisien Standar Error ITEM2 0,16 0,09 ITEM6 -0,86 0,07 ITEM8 -0,87 0,07 ITEM9 -0,79 0,07 ITEM11 0,44 0,08 ITEM13 0,43 0,09 Keterangan: tanda V=signifikan
Nilai T 7,43 -4,62 -5,80 -5,19 8,10 17,39
Signifikan V X X X V V
Pada tabel diatas terdapat empat item yang memiliki nilai koefisien t < 1,96 dengan tiga item memiliki muatan faktor yang negatif, yaitu item nomor 6, 8, dan 9. Oleh karena itu item tersebut di drop dan tidak ikut serta dianalisis.. 3.6
Prosedur Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini melalui beberapa tahapan dalam pengumpulan data yaitu sebagai berikut: 1. Peneliti menentukan dan menyusun instrumen yang akan digunakan dalam penelitian, yaitu adaptasi alat ukur Templer Death Anxiety Scale (1970) untuk mengukur death anxiety, adaptasi alat ukur Levensons I, P, & C Locus of Control Scale (1981) untuk mengukur locus of control, Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS)
(1991) untuk mengukur perceived
social support dan adaptasi alat ukur Religious Scale-Revised (ROS-R) (1989) untuk mengukur religious orientation.
80
2. Menentukan sampel penelitian yaitu lansia di RW 09 Kelurahan Kebon Pala. Pengambilan sampel bersifat nonprobability sampling, kemudian memberikan angket yang telah disediakan kepada subjek. 3. Hasil skala yang telah diisi kemudian diri skoring untuk dianalisis datanya. 3.7
Metode Analisis Data
Untuk menjawab pertanyaan penelitian digunakan teknik analisis regresi berganda karena peneliti ingin melihat pengaruh IV terhadap DV. Dalam penelitian ini terdapat 10 IV dan 1 DV, sehingga susunan persamaan regresi penelitian adalah: Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6 +b7X7 + b8X8 + b9X9 + b10X10 + e Jika dituliskan variabelnya maka: Y
= death anxiety
a
= konstanta
b
= koefisien regresi untuk masing-masing X
X1
= internal locus of control
X2
= external locus of control-chance
X3
= external locus of control-powerful others
X4
= perceived social support family
X5
= perceived social support friends
81
X6
= perceived social support significant others
X7
= intrinsic religious orientation
X8
= extrinsic religious orientation
X9
= pengalaman mengenai kematian
X10
= jenis kelamin
e
= residu Selanjutnya analisis regresi, dimulai secara simultan, kemudian dari satu per
satu IV. Sehingga nilai R2 yang dihasilkan dapat dilihat secara murni. Fungsi R2 ini adalah untuk melihat proporsi varians dari komitmen organisasi yang dipengaruhi IV yang ada. Melihat jumlah R2 x (dikalikan) 100%. Maka dihasilkanlah proporsi varians atau determinant. R2 sendiri didapatkan dengan rumus :
Selanjutnya, untuk membuktikan apakah regresi Y dan X signifikan atau tidak, maka digunakanlah uji F untuk membuktikan hal tersebut menggunakan rumus:
82
Dimana pembilang disini adalah R2 dengan df nya (dilambangkan k), yaitu sejumlah IV yang dianalisis, sedangkan penyebutnya (1 – R2) dibagi dengan df nya N – k – 1 dimana N adalah jumlah sampel. Dari hasil uji F yang dilakukan nantinya, dapat dilihat apakah IV yang diujikan memiliki pengaruh terhadap DV. Kemudian peneliti melakukan uji T dari tiap-tiap IV yang dianalisis. Maksud uji T adalah melihat apakah signifikan dampak dari tiap IV terhadap DV. Uji T dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Dimana b adalah koefisien regresi dan Sb adalah standar error dari b. Hasil uji T ini akan diperoleh dari hasil regresi yang akan dilakukan oleh peneliti nantinya. Adapun seluruh perhitungan penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan software SPSS 17.0 for windows.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISA DATA
Dalam bab ini akan dibahas hasil dari penelitian yang telah dilakukan. Pembahasan tersebut mencakup analisis deskriptif, dan pengujian hipotesis penelitian 4.1
Analisis Deskriptif
Subjek dalam penelitian ini adalah 150 orang lansia di RW 09 Kelurahan Kebon Pala, Jakarta Timur. Selanjutnya akan dijelaskan gambaran subjek berdasarkan jenis kelamin, dan pengalaman mengenai kematian. Tabel 4.1 Gambaran Subjek Kategori Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Pengalaman Kematian Tidak bermakna bermakna
Frekuensi
Persentase
44 106
29,3% 70,7%
50 100
33,3% 66,7%
Mengenai
Subjek dalam penelitian ini berasal dari jenis kelamin yang berbeda, laki-laki dan perempuan. Berdasarkan tabel diatas dapat kita lihat sebagian besar lansia yang menjadi responden adalah perempuan.
81
82
Selanjutnya akan dipaparkan mengenai distribusi sampel penelitian berdasarkan tingkat death anxiety, sebagai berikut: Tabel 4.2 Tabel subjek berdasarkan tingkat death anxiety Kategorisasi Rendah Tinggi
Frekuensi 64 86
Persentase 42,7% 57.3%
Subjek dalam penelitian ini memiliki tingkat death anxiety yang berbeda, berdasarkan hasil skoring jawaban kuesioner yang diterima oleh peneliti. Untuk kategori ini peneliti membagi tingkat death anxiety dalam 2 kategori yaitu tinggi, dan rendah. Kedua kategori tersebut didapatkan berdasarkan nilai skor minimum subjek 20,20 dan nilai maksimum subjek 71,26 (M=50,00 ; SD=9,05926). Tingginya tingkat death anxiety artinya individu memiliki tingkat kecemasan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kematian, atau kecemasan yang intens ketika seseorang memikirkan kematian. Sedangkan orang dengan tingkat death anxiety yang rendah tidak menunjukkan kecemasan ketika dihadapkan dengan situasi atau pikiran tetang kematian. Selanjutnya, perbedaan tingkat death anxiety berdasarkan jenis kelamin adalah sebagai berikut: Tabel 4.3 Tabel subjek berdasarkan tingkat death anxiety pada pria dan wanita Kategori Pria Rendah Tinggi Wanita Rendah
Frekuensi
Persentase
26 18
59,1% 40,9%
38
35,8%
83
Tinggi
68
64,2%
Berdasarkan tabel diatas, terdapat perbedaan tingkat death anxiety antara pria dengan wanita, dimana kecenderungan tingkat death anxiety yang tinggi terlihat pada wanita, sedangkan pria cenderung memiliki tingkat death anxiety yang rendah. Selanjutnya akan dipaparkan mengenai distribusi sampel penelitian berdasarkan tingkat internal locus of control, sebagai berikut: Tabel 4.4 Tabel subjek berdasarkan tingkat internal locus of control Kategorisasi Rendah Tinggi
Frekuensi 86 64
Persentase 57,3% 42,7%
Subjek dalam penelitian ini memiliki tingkat internal locus of control yang berbeda, berdasarkan hasil skoring jawaban kuesioner yang diterima oleh peneliti. Untuk kategori ini peneliti membagi tingkat internal locus of control dalam 2 kategori yaitu tinggi dan rendah. Kedua kategori tersebut didapatkan berdasarkan nilai skor minimum subjek 30,23 dan nilai maksimum subjek 69,43 (M=50,00 ; SD=8,49442). Individu dengan internal locus of control internal locus of control yang tinggi akan mempersepsikan bahwa dirinya memiliki kontrol yang besar terhadap kejadiankejadian yang ada dalam hidupnya. Selanjutnya akan dipaparkan mengenai distribusi sampel penelitian berdasarkan tingkat external-chance locus of control, sebagai berikut:
84
Tabel 4.5 Tabel subjek berdasarkan tingkat external locus of control Kategorisasi Rendah Tinggi
Frekuensi 85 65
Persentase 56,7% 43,3%
Subjek dalam penelitian ini memiliki tingkat externaln locus of control yang berbeda, berdasarkan hasil skoring jawaban kuesioner yang diterima oleh peneliti. Untuk kategori ini peneliti membagi tingkat external locus of control dalam 2 kategori yaitu tinggi dan rendah. Kedua kategori tersebut didapatkan berdasarkan nilai skor minimum subjek 30,15 dan nilai maksimum subjek 69,65 (M=50,00 ; SD=7,49154). Tingkat external locus of control yang tinggi mengindikasikan individu kurang memiliki perasaan kontrol terhadap lingkungannya, namun ada faktor dari luar diri seperti keberuntungan, kekuatan orang lain, atau kebetulan yang turut mengontrol kejadian-kejadian dalam hidupnya. Selanjutnya akan dipaparkan mengenai distribusi sampel penelitian berdasarkan tingkat perceived social support family, sebagai berikut: Tabel 4.6 Tabel subjek berdasarkan tingkat perceived social support family Kategorisasi Rendah Tinggi
Frekuensi 80 70
Persentase 53,3% 46,7%
85
Subjek dalam penelitian ini memiliki tingkat perceived social support family yang berbeda, berdasarkan hasil skoring jawaban kuesioner yang diterima oleh peneliti. Untuk kategori ini peneliti membagi tingkat perceived social support family dalam 2 kategori yaitu tinggi dan rendah. Kedua kategori tersebut didapatkan berdasarkan nilai skor minimum subjek 19,25 dan nilai maksimum subjek 62,41 (M=50,00 ; SD=8,85062). Tingkat perceived social support family yang tinggi memiliki arti bahwa seseorang memiliki perasan bahwa dirinya mendapatkan dukungan berupa kenyamanan, perhatian, atau bantuan yang diperoleh dari keluarga. Sedangkan tingkat perceived social support family yang rendah memiliki arti bahwa seseorang kurang mendapatkan dukungan tersebut dari keluarga. Selanjutnya akan dipaparkan mengenai distribusi sampel penelitian berdasarkan tingkat perceived social support friend, sebagai berikut: Tabel 4.7 Tabel subjek berdasarkan tingkat perceived social support friend Kategorisasi Rendah Tinggi
Frekuensi 106 44
Persentase 70,7% 29,3%
Subjek dalam penelitian ini memiliki tingkat perceived social support friend yang berbeda, berdasarkan hasil skoring jawaban kuesioner yang diterima oleh peneliti. Untuk kategori ini peneliti membagi tingkat perceived social support friend dalam 2 kategori yaitu tinggi dan rendah. Kedua kategori tersebut didapatkan berdasarkan nilai skor minimum subjek 19,80 dan nilai maksimum subjek 69,87 (M=50,00 ;
86
SD=8,69313). Tingkat perceived social support friends yang tinggi menandakan bahwa seseorang memiliki perasan bahwa dirinya mendapatkan dukungan berupa kenyamanan, perhatian, atau bantuan yang diperoleh dari teman-teman atau rekan. Sedangkan tingkat perceived social support friends yang rendah memiliki arti bahwa seseorang kurang mendapatkan dukungan tersebut dari teman. Selanjutnya akan dipaparkan mengenai distribusi sampel penelitian berdasarkan tingkat perceived social support significant others sebagai berikut: Tabel 4.8 Tabel subjek berdasarkan tingkat perceived social support significant others Kategorisasi Rendah Tinggi
Frekuensi 92 58
Persentase 61,3% 38,7%
Subjek dalam penelitian ini memiliki tingkat perceived social support significant others yang berbeda, berdasarkan hasil skoring jawaban kuesioner yang diterima oleh peneliti. Untuk kategori ini peneliti membagi tingkat perceived social support significant others dalam 2 kategori yaitu tinggi dan rendah. Kedua kategori tersebut didapatkan berdasarkan nilai skor minimum subjek 22,73 dan nilai maksimum subjek 62,73 (M=50,00 ; SD=9,43854). Tingkat perceived social support significant others yang tinggi mengindikasikan bahwa seseorang memiliki perasan bahwa dirinya mendapatkan dukungan berupa kenyamanan, perhatian, atau bantuan yang diperoleh dari orang lain yang turut andil dalam kehidupannya, seperti pelayan masyarakat,
87
dokter, perawat, dan lain-lain. Sedangkan tingkat perceived social support significant others yang rendah memiliki arti bahwa seseorang kurang mendapatkan dukungan tersebut dari orang lain tersebut. Selanjutnya akan dipaparkan mengenai distribusi sampel penelitian berdasarkan tingkat intrinsic religious orientation sebagai berikut: Tabel 4.9 Tabel subjek berdasarkan tingkat intrinsic religious orientation Kategorisasi Rendah Tinggi
Frekuensi 72 78
Persentase 48% 52%
Subjek dalam penelitian ini memiliki tingkat intrinsic religious orientation yang berbeda, berdasarkan hasil skoring jawaban kuesioner yang diterima oleh peneliti. Untuk kategori ini peneliti membagi tingkat intrinsic religious orientation dalam 2 kategori yaitu tinggi dan rendah. Kedua kategori tersebut didapatkan berdasarkan nilai skor minimum subjek 29,73 dan nilai maksimum subjek 62,52 (M=50,00 ; SD=9,18124). Tingkat intrinsic religious orientation yang tinggi berarti bahwa individu telah menemukan motivasi dalam beragama, yaitu untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, telah menginternalisasikan keyakinannya dan mengikuti ajaran-ajaran agamanya. Selanjutnya akan dipaparkan mengenai distribusi sampel penelitian berdasarkan tingkat extrinsic religious orientation sebagai berikut:
88
Tabel 4.10 Tabel subjek berdasarkan tingkat extrinsic religious orientation Kategorisasi Rendah Tinggi
Frekuensi 91 59
Persentase 60,7% 39,3%
Subjek dalam penelitian ini memiliki tingkat extrinsic religious orientation yang berbeda, berdasarkan hasil skoring jawaban kuesioner yang diterima oleh peneliti. Untuk kategori ini peneliti membagi tingkat extrinsic religious orientation dalam 2 kategori yaitu tinggi dan rendah. Kedua kategori tersebut didapatkan berdasarkan nilai skor minimum subjek 32,59 dan nilai maksimum subjek 73,33 (M=50,00 ; SD=8,37832). Individu dengan extrinsic religious orientation yang tinggi cenderung beribadah demi memperoleh pencapaian manfaat-manfaat sosial dan personal, atau individu yang “menggunakan” agamanya. 4.2
Uji Hipotesis Penelitian
4.2.1
Analisis Regresi Variabel Penelitian
Pada tahapan ini peneliti menguji hipotesis dengan teknik analisis regresi berganda dengan menggunakan software SPSS 17. Seperti yang sudah disebutkan pada bab 3, dalam regresi ada 3 hal yang dilihat, yaitu melihat besaran R square untuk mengetahui berapa persen (%) varians DV yang dijelaskan oleh IV, kedua apakah secara keseluruhan IV berpengaruh secara signifikan dengan DV, kemudian terakhir melihat signifikan atau tidaknya koefisien regresi dari masing masing IV.
89
Langkah pertama peneliti menganalisis dampak dari seluruh variabel independen terhadap death anxiety lansia. Adapun hasil uji F dapat dilihat pada tabel 4.11 berikut ini. Tabel 4.11 Tabel Anova ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 1828.348 10400.105 12228.454
df 9 140 149
Mean Square 203.150 74.286
F
Sig.
2.735
.006a
a. Predictors: (Constant), gender, roextrinsic, locinternal, lossofloved, pssfriend, rointrinsic, locexternal, psssignificat, pssfamily b. Dependent Variable: deathanxiety
Dari tabel Anova, diperoleh nilai F hitung yang didapat adalah sebesar 2,735. Sementara nilai probabilitas hitung atau taraf signifikansi yang didapat adalah 0,006 karena taraf signifikansi < 0,05 maka persamaan regresi yang dipergunakan dapat diterapkan dalam analisis data. Hal ini menjadi dasar bagi peneliti untuk menerima hipotesis penelitian yang berbunyi “ada pengaruh yang signifikan dari locus of control, perceived social support, religious orientation, pengalaman kematian, dan jenis kelamin terhadap death anxiety pada lansia. Langkah kedua peneliti melihat besaran Rsquare untuk mengetahui berapa persen (%) varians DV yang dijelaskan oleh IV. Selanjutnya untuk Rsquare dapat dilihat pada tabel 4.12
90
Tabel 4.12 Tabel Rsquare Model Summary Model 1
R .387a
R Square .150
Adjusted R Square .095
Std. Error of the Estimate 8.61896
a. Predictors: (Constant), gender, roexternal, locinternal, lossofloved, pssfriend, rointernal, locexternal, psssignificat, pssfamily
Berdasarkan tabel diatas diketahui nilai koefisien determinasi (R Square) pada penelitian ini adalah sebesar 0,150. Artinya seluruh variabel independen yang diteliti secara simultan menjelaskan 15% proporsi varian death anxiety. Hal ini menunjukkan bahwa 85% dari bervariasinya death anxiety pada lansia dijelaskan oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Langkah ketiga adalah melihat koefisien regresi setiap independen variabel. Jika nilai p< 0,05 maka koefisien regresi tersebut signifikan yang berarti bahwa IV tersebut memiliki dampak yang signifikan terhadap death anxiety. Adapun penyajiannya pada tabel 4.13 berikut:
91
Tabel 4.13 Koefisien Regresi Coefficientsa Model
1
Unstandardized Standardized t Coefficients Coefficients B Std. Error Beta (Constant) 51.256 8.858 5.786 locinternal -.110 .095 -.103 -1.152 locexternal -.061 .101 -.056 -.609 pssfamily .075 .114 .074 .665 pssfriend -.018 .110 -.017 -.165 psssignificat .017 .105 .018 .161 rointrinsic -.128 .095 -.130 -1.352 roextrinsic .027 .088 .025 .311 lossofloved -2.066 1.530 -.108 -1.350 gender 7.058 1.673 .356 4.220 a. a. Dependent Variable: deathanxiety keterangan: (*) signifikan
Sig.
.000 .251 .544 .507 .870 .872 .178 .756 .179 .000
Berdasarkan tabel diatas, dapat dijelaskan persamaan regresi sebagai berikut: death anxiety: 51.256 - .110 internal locus of control - .061 external locus of control + 0,075 perceived social support family - 0,018 perceived social support friend + 0,017 perceived social support significant others - 0,128 intrinsic religious orientation + 0,027 extrinsic religious orientation - 2.066 pengalaman kematian + 7,058 jenis kelamin Dari tabel 4.12 , diketahui bahwa hanya ada satu variabel independen yang signifikan, yaitu variabel jenis kelamin dengan nilai beta 3,56 dan nilai signifikansinya sebesar 0,000 (p< 0,05), sedangkan sisanya delapan variabel tidak signifikan. Adapun penjelasan dari nilai koefisien regresi yang diperoleh pada masing-masing variabel independen adalah sebagai berikut:
92
1. Nilai koefisien regresi internal locus of control sebesar -0,110 dan nilai signifikansinya sebesar 0,251 (p> 0,05). Hal ini berarti variabel internal locus of control secara negatif berpengaruh terhadap death anxiety tetapi tidak signifikan berdasarkan analisis statistik. Jadi semakin tinggi skor internal locus of control maka semakin rendah death anxiety pada lansia. 2. Nilai koefisien regresi external locus of control sebesar -0,61 dan nilai signifikansinya sebesar 0,544 (p> 0,05). Hal ini berarti variabel external-chance locus of control secara negatif berpengaruh terhadap death anxiety tetapi tidak signifikan berdasarkan analisis statistik. Jadi semakin tinggi skor external locus of control maka semakin rendah death anxiety pada lansia. 3. Nilai koefisien regresi perceived social support family sebesar +0,075 dan nilai signifikansinya sebesar 0,507 (p> 0,05). Hal ini berarti variabel perceived social support family secara positif berpengaruh terhadap death anxiety tetapi tidak signifikan berdasarkan analisis statistik. Jadi semakin tinggi skor perceived social support family maka semakin tinggi death anxiety pada lansia. 4. Nilai koefisien regresi perceived social support friend sebesar -0,018 dan nilai signifikansinya sebesar 0,870 (p> 0,05). Hal ini berarti variabel perceived social support friend secara negatif berpengaruh terhadap death anxiety tetapi tidak signifikan berdasarkan analisis statistik. Jadi semakin tinggi skor perceived social support friend maka semakin rendah death anxiety pada lansia. 5. Nilai koefisien regresi perceived social support significant others sebesar +0,017 dan nilai signifikansinya sebesar 0,872 (p> 0,05). Hal ini berarti variabel
93
perceived social support significant others secara positif berpengaruh terhadap death anxiety tetapi tidak signifikan berdasarkan analisis statistik. Jadi semakin tinggi skor perceived social support significant others maka semakin tinggi death anxiety pada lansia. 6. Nilai koefisien regresi intrinsic religious orientation sebesar -0,128 dan nilai signifikansinya sebesar 0,178 (p> 0,05). Hal ini berarti variabel intrinsic religious orientation secara negatif berpengaruh terhadap death anxiety tetapi tidak signifikan berdasarkan analisis statistik. Jadi semakin tinggi skor intrinsic religious orientation maka semakin rendah death anxiety pada lansia. 7. Nilai koefisien regresi extrinsic religious orientation sebesar +0,027 dan nilai signifikansinya sebesar 0,756 (p> 0,05). Hal ini berarti variabel extrinsic religious orientation secara positif berpengaruh terhadap death anxiety tetapi tidak signifikan berdasarkan analisis statistik. Jadi semakin tinggi skor extrinsic religious orientation maka semakin tinggi death anxiety pada lansia. 8. Nilai koefisien pengalaman mengenai kematian sebesar -2,066, dan nilai signifikansinya sebesar 0,179 (p< 0.05). Hal ini berarti tidak ada perbedaan yang signifikan dari pengalaman mengenai kematian dengan death anxiety pada lansia. 9. Nilai koefisien regresi jenis kelamin sebesar 7,058 dan nilai signifikansinya sebesar 0,000 (p< 0.05). Hal ini berarti ada perbedaan yang signifikan dari jenis kelamin dengan death anxiety pada lansia. Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini dari sepuluh hipotesis minor yang ada, hanya satu hipotesis minor yang ditolak, yaitu:
94
1. H01 diterima, yaitu tidak ada pengaruh internal locus of control terhadap death anxiety pada lansia. 2. H02 diterima, yaitu tidak ada pengaruh external locus of control terhadap death anxiety pada lansia. 3. H03 diterima, yaitu tidak ada pengaruh perceived social support family terhadap death anxiety pada lansia. 4. H04 diterima, yaitu tidak ada pengaruh perceived social support friend terhadap death anxiety pada lansia. 5. H05 diterima, yaitu tidak ada pengaruh perceived social support significant others terhadap death anxiety pada lansia. 6. H06 diterima, yaitu tidak ada pengaruh intrinsic religious orientation terhadap death anxiety pada lansia. 7. H07 diterima, yaitu tidak ada pengaruh extrinsic religious orientation terhadap death anxiety pada lansia. 8. H08 diterima, yaitu tidak ada perbedaan pengalaman mengenai kematian terhadap death anxiety pada lansia. 9. H9 diterima, yaitu ada perbedaan jenis kelamin terhadap death anxiety pada lansia. 4.2.2
Pengujian Proporsi Varian Masing-Masing Independent Variable
Berdasarkan hasil dari koefisien regresi, diketahui bahwa pada variabel dukungan sosial dan variabel strategi coping hanya dua dari empat belas variabel yang
95
mempengaruhi secara signifikan. Kemudian langkah terakhir penulis ingin melihat besarnya kontribusi signifikansi masing masing IV terhadap DV. Tabel 4.14 Tabel Proporsi Varians untuk masing-masing independent variable Model summary
Model
R
R Square
1 2 3 4 5 6 7 8 9
.067a .079b .119c .130d .130e .150f .150g .203h .387i
.005 .006 .014 .017 .017 .022 .023 .041 .150
Adjusted Std. Error R of the Square Estimate -.002 9.06931 -.007 9.09224 -.006 9.08713 -.010 9.10585 -.017 9.13721 -.019 9.14322 -.026 9.17483 -.013 9.11812 .095 8.61896
Change Statistics R Square F df1 Change Change .005 .670 1 .002 .254 1 .008 1.165 1 .003 .400 1 .000 .006 1 .006 .811 1 .000 .016 1 .019 2.772 1 .108 17.805 1
df2 148 147 146 145 144 143 142 141 140
a. Predictors: (Constant), locinternal b. Predictors: (Constant), locinternal, locexternal c. Predictors: (Constant), locinternal, locexternal, d. Predictors: (Constant), locinternal, locexternal, pssfamily e. Predictors: (Constant), locinternal, locexternal, pssfamily, pssfriend f. Predictors: (Constant), locinternal, locexternal, pssfamily, pssfriend, psssignificat g. Predictors: (Constant), locinternal, locexternal, pssfamily, pssfriend, psssignificat, rointrinsic h. Predictors: (Constant), locinternal, locexternal, pssfamily, pssfriend, psssignificat, rointrinsic, roextrinsic i. Predictors: (Constant), locinternal, locexternal, pssfamily, pssfriend, psssignificat, rointrinsic, roextrinsic, lossofloved Keterangan: (*) signifikan
Jika di jabarkan kontribusi dari setiap IV terhadap DV diatas disampaikan sebagai berikut: 1. Aspek internal locus of control memiliki R square change sebesar 0,005 jadi aspek ini memberikan kontribusi sebesar 0,5% terhadap death anxiety lansia. Kontribusi tersebut tidak signifikan secara statistik karena sig F Change = 0,414>0,05
Sig. F Change .414 .615 .282 .528 .936 .369 .899 .098 .000*
96
2. Aspek external locus of control memiliki R square change sebesar 0,002 jadi aspek ini memberikan kontribusi sebesar 0,2% terhadap death anxiety lansia. Kontribusi tersebut tidak signifikan secara statistik karena sig F Change = 0,615>0,005 3. Aspek perceived social support family memiliki R square change sebesar 0,008 jadi aspek ini memberikan kontribusi sebesar 0,8% terhadap death anxiety lansia. Kontribusi tersebut tidak signifikan secara statistik karena sig F Change = 0,282>0,005 4. Aspek perceived social support friend memiliki R square change sebesar 0,003 jadi aspek ini memberikan kontribusi sebesar 0,3% terhadap death anxiety lansia. Kontribusi tersebut tidak signifikan secara statistik karena sig F Change = 0,528>0,005 5. Aspek perceived social support significant others memiliki R square change sebesar 0,000 jadi aspek ini memberikan kontribusi sebesar 0,0% terhadap death anxiety lansia. Kontribusi tersebut tidak signifikan secara statistik karena sig F Change = 0,936>0,005 6. Dimensi intrinsic religious orientation memiliki R square change sebesar 0,006 jadi aspek ini memberikan kontribusi sebesar 0,6% terhadap death anxiety lansia. Kontribusi tersebut tidak signifikan secara statistik karena sig F Change = 0,369>0,005 7. Dimensi extrinsic religious orientation memiliki R square change sebesar 0,000 jadi aspek ini memberikan kontribusi sebesar 0,0% terhadap death anxiety lansia.
97
Kontribusi tersebut tidak signifikan secara statistik karena sig F Change = 0,899 <0,005 8. Dimensi pengalaman mengenai kematian
memiliki R square change sebesar
0,019 jadi aspek ini memberikan kontribusi sebesar 1,9% terhadap death anxiety lansia. Kontribusi tersebut tidak signifikan secara statistik karena sig F Change = 0,97 >0,005 9. Dimensi jenis kelamin memiliki R square change sebesar 0,108 jadi aspek ini memberikan kontribusi sebesar 10,8% terhadap death anxiety lansia. Kontribusi tersebut signifikan secara statistik karena sig F Change = 0,00>0,005
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai kesimpulan hasil penelitian, diskusi tentang penelitian serta saran secara praktis dan secara teoritis untuk penelitian selanjutnya. 5.1
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan uji hipotesis yang telah dipaparkan sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah secara simultan, independent variable yang diteliti pengaruhnya dalam penelitian ini memberikan pengaruh yang signifikan terhadap death anxiety. Dengan demikian, hipotesis mayor diterima, artinya, “terdapat pengaruh yang signifikan locus of control, perceived social support, religious orientation, pengalaman mengenai kematian, dan jenis kelamin terhadap death anxiety”. Hal tersebut ditunjukkan dari hasil uji F yang menguji seluruh independent variable (IV) terhadap dependent variable (DV). Dilihat dari nilai Rsquare kontribusi seluruh independent variable (IV) terhadap dependent variable (DV) adalah sebesar 15%. Kemudian jika dilihat secara parsial melalui koefisien regresi, hasil uji hipotesis minor yang menguji signifikansi masing-masing koefisien regresi terhadap dependent variable, diperoleh satu dari sepuluh koefisien regresi yang signifikan
98
99
pengaruhnya terhadap death anxiety yaitu jenis kelamin. Dengan demikian hanya satu hipotesis minor yang diterima yaitu ada pengaruh yang signifikan dari jenis kelamin terhadap death anxiety. Dimensi-dimensi dari independent variable lainnya tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan, yaitu locus of control, perceived social support, religious orientation, dan pengalaman mengenai kematian. Penyebab tidak signifikannya variabel-variabel tersebut akan dijelaskan di subbab diskusi. Berdasarkan proporsi varian masing-masing independent variable, hanya ada satu sumbangan iv yang memberikan sumbangan varian yang signifikan terhadap death anxiety, yaitu sumbangan varians dari jenis kelamin yaitu sebesar 10,9%. 5.2
Diskusi
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh locus of control, perceived social support, religious orientation, pengalaman mengenai kematian dan jenis kelamin terhadap death anxiety lansia di RW 09 kelurahan Kebon Pala, Jakarta Timur. Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan bahwa lima variabel tersebut memiliki pengaruh yang signifikan terhadap death anxiety. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis kelamin memiliki pengaruh yang signifikan terhadap death anxiety, sedangkan variabel lain yaitu locus of control, perceived social support, religious orientation, dan pengalaman mengenai kematian tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Hasil ini juga menggambarkan kesesuaian sekaligus
100
pertentangan dengan teori-teori yang juga meneliti variabel-variabel ini sebelumnya. Oleh karena itu peneliti mencoba untuk membahasnya. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa jenis kelamin memiliki pengaruh yang signifikan terhadap death anxiety. Artinya dalam penelitian ini terdapat perbedaan tingkat death anxiety pada responden pria dan wanita. Perbedaan tingkat death anxiety antara pria dan wanita tersebut kemudian menunjukkan bahwa responden wanita cenderung memiliki death anxiety yang lebih tinggi dibandingkan pria. Hasil ini sesuai dengan penelitian Daaleman & Dobbs (2010) yang menemukan bahwa wanita memiliki penerimaan yang rendah terhadap kematian daripada pria. Penjelasan yang mungkin dapat dikemukakan dalam perbedaan tersebut
adalah bahwa pria
cenderung kurang terbuka dalam
mengekspresikan perasaan takutnya, dan sebaliknya, wanita lebih “dekat dengan perasaannya” daripada pria (Kastenbaum, 2000; Russac, et. al., 2007). Azaiza, Ron, Shoham, & Gigini (2010) juga menemukan perbedaan tingkat death anxiety yang siginfikan antara pria dan wanita dalam penelitiannya mengenai death anxiety pada lansia di Arab. Pendapat yang serupa mengenai hal yang menyebabkan penelitian ini juga dikemukakan, bahwa norma budaya mendukung wanita untuk lebih bebas mengungkapkan emosi-emosinya, seperti rasa takut, dan lebih menekan pria untuk melakukannya. Norma budaya ini juga terdapat di Indonesia, dimana wanita cenderung lebih bebas mengekspresikan emosinya, sedangkan pria dituntut untuk menjadi orang yang kuat dan tangguh karena mereka
101
menghargai kekuatan. Krieger, Epting, & Leitner, 1974 (dalam DePaola et. al., 2003) juga menyatakan bahwa wanita lebih melihat kematian dari segi emosional, sedangkan pria melihatnya dari segi kognitif. Sejalan dengan itu, rendahnya tingkat death anxiety pada pria diintepretasikan oleh Da Silva & Schork (1985, dalam Kastenbaum, 2000) berhubungan dengan macho effect. Mereka lebih nyaman ketika menghindari pikiran tentang kematian dan hanya memikirkannya tidak lebih dari setahun sekali. Mereka lebih termotivasi dalam prestasi dalam hidupnya daripada pemikiran mengenai kematiannya sendiri. Pendapat yang sama juga dilontarkan oleh Schumaker, Barraclough, & Vagg (1988, dalam Chuin & Choo, 2009) yaitu bahwa pria lebih didorong untuk mengejar kesuksesan dan meraih prestasi yang sebenarnya makin memperkuat ilusi imortalitas dibandingkan wanita. Ilusi ini sering digunakan untuk melawan death anxiety. Selain itu, tingkat death anxiety yang tinggi pada wanita juga dipicu oleh peran wanita sebagai pengasuh di dalam keluarga. Perlu diketahui bahwa responden wanita di dalam penelitian ini sebagian besar pekerjaannya adalah ibu rumah tangga, yang merawat suami dan anak-anak dari kecil hingga sudah berkeluarga. Bahkan ketika anak-anak mereka sudah berkeluarga, masih ada yang tinggal dengan orangtuanya. Oleh karena itu, lansia wanita yang masih merawat keluarganya cenderung mengalami ketakutan akan kematian karena mereka takut tidak akan bisa bersama keluarganya dan anak-anak serta cucunya tidak terawat dengan baik. Kastenbaum (2000) juga berpendapat bahwa tingginya tingkat death anxiety pada
102
wanita berhubungan dengan sensitifitas wanita pada kebutuhan-kebutuhan orang lain dan kemauan mereka untuk memberikan perawatan dan kenyamanan. Variabel yang tidak signifikan terhadap death anxiety adalah variabel locus of control. Variabel internal locus of control dalam penelitian ini memiliki pengaruh negatif yang tidak signifikan, artinya semakin internal locus of control dalam diri seseorang, semakin rendah tingkat death anxiety. Individu dengan kecenderungan Internal locus of control yang tinggi memiliki kepercayaan bahwa dirinya memiliki kontrol terhadap kehidupannya. Sedangkan aspek external locus of control memiliki pengaruh negatif yang tidak signifikan terhadap death anxiety. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Cicirelli (1999) yang membuktikan bahwa ada pengaruh positif yang signifikan antara external locus of control dengan death anxiety. Penelitian Hayslip & Steward-Bussey (1987 dalam Cicirelli, 1999) juga menunjukkan hal yang berbeda, yaitu eksternalitas berhubungan dengan tingkat death anxiety yang lebih tinggi, sedangkan internalitas berhubungan dengan death anxiety yang rendah. Penyebab perbedaan
hasil
penelitian tersebut
mungkin
dikarenakan
kepercayaan yang kuat bahwa kontrol dari kematian sepenuhnya berasal dari Tuhan. Profil warga RW 09 kelurahan Kebon Pala yang sebagian besar beragama Islam dan memiliki kepercayaan bahwa kematian merupakan takdir Tuhan, berbeda dengan di barat dimana terdapat orang-orang atheis dan agnostik yang skeptis terhadap Tuhan dan berpersepsi bahwa individu memiliki kontrol terhadap kehidupan di dunia. Mungkin individu dapat memiliki kontrol kuat terhadap kehidupannya, namun
103
dengan kepercayaan yang kuat ini, individu berpendapat bahwa apapun yag dilakukannya tidak akan merubah kenyataan bahwa kematian merupakan hal yang tidak dapat dikontrol, dan kontrol tersebut ada pada Tuhan. Adanya pengaruh yang tidak signifikan juga ditunjukkan oleh variabel perceived social support. Walaupun tidak signifikan, aspek perceived social support dari keluarga menunjukkan arah yang positif, dimana jika individu menerima banyak dukungan dari keluarga, ia akan memiliki death anxiety yang lebih tinggi. Sedangkan dukungan yang bersumber dari teman menunjukkan arah yang negatif, diaman semakin besar persepsi dukungan dari teman, maka death anxiety akan semakin menurun. Hasil yang berbeda dibuktikan oleh Cicirelli (1999) yang menemukan bahwa terdapat pengaruh negatif yang signifikan antara perceived social support terhadap salah satu bentuk dari death anxiety. Penelitian oleh Khawar, Aslam, & Aamir (2013) juga menunjukkan hasil yang berbeda, yaitu terdapat pengaruh negatif yang signifikan antara perceived social support terhadap death anxiety. Variabel lain yang tidak memiliki pengaruh secara signifikan terhadap death anxiety adalah religious orientation. Walaupun tidak signifikan, masing-masing dimensi memberikan pengaruh yang berbeda kepada death anxiety, yaitu dimensi internal religious orientation yang berpengaruh negatif terhadap death anxiety dan dimensi external religious orientation yang berpengaruh secara positif terhadap death
104
anxiety. Hasil penelitian Chuin & Choo (2009) juga menunjukkan hasil yang serupa, yaitu tidak ditemukan adanya hubungan negatif yang signifikan antara intrinsic religious orientation dan death anxiety, serta tidak ditemukan juga hubungan yang signifikan antara extrinsic religious orientation dan death anxiety. Hal ini berbeda dengan penelitian Swanson & Byrd (1998) yang menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan dari extrinsic religious orientation terhadap death anxiety. Ketidaksesuaian ini dapat disebabkan oleh perbedaan sampel yang diambil, dimana dalam penelitian Swanson & Byrd (1998) menggunakan sampel dewasa muda. Penyebab tidak signifikannya variabel-variabel tersebut mungkin juga dikarenakan level religiusitas yang serupa dalam populasi ini. Sampel hampir seluruhnya beragama islam yang memiliki dogma yang kuat mengenai kehidupan setelah kematian. Level religiusitas yang relatif sama pada masyarakat ini, serta kepercayaan tradisional yang kuat bahwa takdir, kesehatan, dan penyakit merupakan ketentuan dari Tuhan dapat menjadi faktor penyebab tidak signifikannya variabel ini. Variabel terakhir yang tidak memiliki perbedaan yang signifikan terhadap death anxiety adalah variabel pengalaman mengenai kematian. Pengalaman terhadap kematian disini adalah apakah ada anggota keluarga dari responden yang telah meninggal. Hubungan dan pengaruh pengalaman mengenai kematian terhadap death anxiety telah dijelaskan oleh beberapa penelitian. Hasil ini tidak sejalan dengan Florian & Mikulnicer, yaitu ada pengaruh yang signifikan dari seseorang yang merasakan kehilangan terhadap death anxiety. Namun, Azaiza et al., (2011) dalam
105
penelitiannya menunjukkan hasil yang sama, yaitu tidak ada pengaruh yang signifikan dari pengalaman kehilangan terhadap death anxiety. Hal yang mungkin dapat menjadi penyebab mengapa tidak ada perbedaan yang signifikan dari pengalaman mengenai kematian terhadap death anxiety masih terkait dengan kepercayaan atau agama. Yaitu kepercayaan mengenai adanya kehidupan setelah kematian yang dapat mempertemukan kembali mereka dengan keluarga yang telah meninggal. Selain itu, kondisi subjek pada saat penelitian yang tidak benar-benar dalam rasa berduka juga mungkin menjadi penyebab tidak signifikannya variabel ini mempengaruhi death anxiety . 5.3
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan ini, penulis menyadari bahwa secara keseluruhan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Dengan keterbatasan tersebut, penulis mencoba berbagi pengalaman dan memberikan saran sebagai pertimbangan dalam melakukan penelitian yang terkait yaitu saran teoritis dan saran praktis sebagai berikut: 5.3.1
Saran Teoritis
a. Karakteristik sampel yang kurang luas, yaitu hanya lansia di RW 09 kelurahan Kebon Pala, Jakarta Timur. Seperti yang kita ketahui, lansia memiliki beragam karakteristik di dalam setiap lingkungan tempat tinggalnya. Untuk itu, diharapkan penelitian death anxiety selanjutnya memperluas cakupan
106
pengambilan sampel guna memperoleh hasil yang lebih beragam. Keterlibatan wariabel demografis lainnya seperti status sosial ekonomi juga dapat dipertimbangkan untuk mendapatkan hasil yang lebih bervariasi. b. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan aspek-aspek dari locus of control dan religious orientation secara terpisah. Untuk penelitian selanjutnya, dapat dipertimbangkan untuk memakai aspek locus of control dan religious orientation yang berada dalam satu kontinum sehingga dapat diperoleh hasil yang lebih menarik. c. Death anxiety dalam penelitian ini bersifat unidimensional. Setiap individu mungkin memiliki ketakutan pada kematian yang berbeda pada setiap aspek. Juga, banyak ahli yang mengemukakan bahwa death anxiety merupaka variabel yang memiliki aspek-aspek berbeda. Maka untuk penelitian selanjutnya diharapkan menggunakan aspek-aspek death anxiety secara terpisah agar lebih terlihat perbedaannya. 5.3.2
Saran Praktis
a. Perlu diketahui bahwa lansia memiliki keterbatasan terutama dalam pengelihatan yang menurun sehingga mereka terkadang sulit membaca. Juga, dalam kasus tertentu kemungkinan banyaknya lansia yang tidak mengenyam jenjang pendidikan yang tinggi menyebabkan keterbatasan pemahaman lansia dalam mengisi kuesioner. Oleh karena itu, dalam pengambilan sampel pada penelitian berikutnya, pendampingan kepada seluruh responden lansia dalam
107
pengisian kuesioner dibutuhkan untuk menghindari bias yang terjadi sehingga mempengaruhi hasil penelitian. b. Pada penelitian ini, peneliti menerapkan metode kuantitatif berupa pengisisan skala untuk mengetahui hasil penelitian. Untuk penelitian selanjutnya, penambahan studi kualitatif berupa deep interview kepada beberapa sampel lansia disarankan agar dapat memperkaya hasil penelitian mengenai death anxiety. c. Dalam penelitian ini terlihat tingkat perceived social support yang cenderung rendah terutama yang bersumber dari teman. Untuk meningkatkan social support pada lansia, pemerintah kelurahan dibantu oleh kader-kader lansia diharapkan meningkatkan serta mensosialisasikan kegiatan yang melibatkan lansia dan seluruh elemen masyarakat agar mereka dapat berinteraksi dengan lebih banyak orang dan memperoleh social support yang lebih tinggi. Dengan itu diharapkan dukungan terutama dukungan emosional yang diperoleh dari interaksi antar warga tersebut dapat meningkatkan perasaan positif dari lansia dan menurunkan tingkat death anxiety. d. Hasil penelitian ini menunjukkan tingkat death anxiety yang tinggi pada wanita. Seperti yang telah dijelaskan, wanita cenderung rentan mengalami kecemsan dibandingkan pria. Oleh karena itu, perlu dilakukan penanganan untuk menurunkan kecemasan tersebut, salah satunya dengan cara memberdayakan mereka agar lebih aktif dan memiliki relasi yang lebih luas,
108
sehingga dengan keaktifan mereka, diharapkan dapat menurunkan tingkat death anxiety.
DAFTAR PUSTAKA
Allport, G. W., & Ross, J. M. (1967). Personal religious orientation and prejudice. journal of personality and social psychology, 5, 432-443. Azaiza, F., Ron, P., Shoham, M., & Gigini, I. (2010). Death and dying anxiety among elderly arab muslims in israel. Death Studies, 34, 351-364. DOI: 10.1080/07481181003613941 Bath, D. M. (2010). Separation from loved ones in the fear of death. Death Studies, 404-425. DOI: 10.1080/07481181003697639. Bryant, C. D. (2003). Handbook of death and dying. California: Sage Publications. Chuin, C. L., & Choo, Y. C. (2009). Age, gender, and religiosity as related to death anxiety. Sunway Academic Journal, 6. Cicirelli, V. G. (1999). Personality and demographic factors in older adults fear of death. The Gerontologist, 39, 569-579. Cicirelli, V. G. (2002). Older adults' view on death. New York: Springer Publishing Company. Daaleman, T. P., & Dobbs, D. (2010). Religiosity, spirituality, and death attitudes in chronically ill older adults. Research on Aging, 224-243. DOI: 10.1177/0164027509351476. Dahlem, N. W., Zimet, G. D., & Walker, R. R. (1991). The multidimensional scale of perceived social support: a confirmation study. Journal of Clinical Psychology, 47. DePaola, S. J., Griffin, M., & Young, J. R. (2003). Death anxiety and attitudes toward the elderly among older adults: the role of gender and ethnicity. Death Studies, 27, 335-354. DOI: 10.1080/07481180390199091. Feist, J., & Feist, G. J. (2009). Theories of personality. New York: McGraw-Hill. Feldman, R. S. (2011). Development across the life span. New Jersey: Pearson Education. Firestone, R., & Catlett, J. (2009). Beyond death anxiety: achieving life affirming death awareness. New York: Springer Publishing Company. Flere, S., & Lavric, M. (2007). Is intrinsic religious orientation a culturally specific american protestant concept? the fusion and extrinsic religious orientation
108
109
among non-protestant. European Journal of Social Psychology. DOI: 10.1002/esjp.437. Friedman, H. S., & Schustack, M. W. (2009). Personality: classic theory and modern research. Boston: Pearson. Gorsuch, R. L., & McPherson, S. E. (1989). Intrinsic extrinsic measurement: i/e revised and single item scales. Journal for the Scientific Study of Religion. Hoyer, W. J., & Roodin, P. A. (2003). Adult development and aging. New York: McGraw-Hill. Hurlock, E.B. (1981). Developmental psychology: a life-span approach. New York: McGraw-Hill. Kastenbaum, R. (2000). The psychology of death. New York: Springer Publishing Company. Kemsos. (2007). Penduduk lanjut usia dan masalah kesejahteraannya. Dikutip pada tanggal 13 September 2013 dari https://www.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=522 Khawar, M., Aslam, N., & Aamir, S. (2013). Perceived social support and death anxiety among patients with chronic diseases. Pakistan Journal of Medical Research, 52, 75-79. Levenson, H. (1981). Differentiating among internality, powerful others, and chance. in h. m. lefcourt, research with the locus of control construct (pp. 15-55). New York: Academic Press. McLaughlin, S. J., Connel, C. M., Heeringa, S. G., Li, L. W., & Roberts, S. (2009). Successful aging in the united states prevalence estimates from a national sample of older adults. Journal of Gerontology: Social Sciences, 216-116. DOI: 10.1093/geronb/gbp101. Neufeld, A., & Harrison, M. (2010). Nursing and family caregiving social support and nonsupport. New York: Springer Publishing Company. Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2007). Human development. New York: McGraw-Hill. Papalia, D. E., Sterns, H. L., Feldman, R. D., & Camp, C. J. (2007). Adult development and aging. New York: McGraw-Hill. Pargament, K. I. (1997). The psychology of religion and coping. New York: Guilford Press.
110
Republik Indonesia. (1998). Undang-undang tentang kesejahteraan lanjut usia. Jakarta: Kementerian Sosial. Rotter, J. B. (1966). Generalized expectancies for internal versus external control of reinforcement. Psychological Monographs: General and Applied. Rotter, J. B. (1989). Internal versus external control of reinforcement: a case history of a variable. APA Award Adresses, 489-493. Russac, R. J., Gatliff, C., Reece, M., & Spottswood, D. (2007). Death anxiety across the adult years: an examination of age and gender effects. Death Studies, 31, 549-561. Santrock, J. W. (2002). Life-span development: perkembangan masa hidup, edisi 5, jilid ii (A. Chusairi, Trans). Jakarta: Erlangga. Sarafino, E. P., & Smith, T. W. (2011). Health psychology. New Jersey: Wiley. Stark, R., & Glock, C. Y. (1968). American piety: the nature of religious commitment. California: University of California Press. Swanson, J. L., & Byrd, K. R. (1998). Death anxiety in young adults as a function religious orientiation, guilt, and separation-individuation conflict. Death Studies, 22, 257-268. DOI: 0748-1187. Taylor, S. E. (2006). Health psychology. New York: McGraw-Hill. Templer et. al. (2006). Construction of a death anxiety scale-extended. Omega, 53(3). 209-226. Tomer, A., Eliason, G. T., & Wong, P. T. (2008). Existensial and spiritual issues in death attitudes. New York: Lawrence Erlbaum Associates. Umar, J. (2010). Bahan pelatihan statistika untuk mentor akademis Fakultas Psikologi UIN Jakarta. World Health Organization (WHO). (2014). Definition of an older or elderly person. Dikutip pada tanggal 1 Mei 2014 dari http://www.who.int/healthinfo/survey/ageingdefolder/en/ Williams, L. A. (1990). The effects of locus of control and death education in death attitudes. Wills, T. A., & Shinar, O. (2000). Measuring perceived and received social support. In S. Cohen, L. G. Underwood, & B. H. Gottlieb, Social support measurement and intervention (pp. 86-135). New York: Oxford University Press.
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 Assalamualaikum, Wr. Wb, Saya Diana Mumpuni mahasiswa Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sedang melakukan penelitian untuk Skripsi. Oleh karena itu, saya mengharapkan partisipasi Bapak/Ibu untuk menjadi responden dalam penelitian ini dengan mengisi beberapa pertanyaan kuesioner terlampir. Dalam kuesioner ini tidak ada jawaban benar atau salah. Adapun informasi atau data yang anda berikan akan sangat bermanfaat dalam penelitian ini, dan saya berkewajiban untuk menjaga kerahasiaan data yang anda berikan. Sebelum mengisi jawaban, bacalah terlebih dahulu petunjuk pengisian dalam kuesioner ini. Atas perhatiannya, saya ucapkan Terima Kasih.
Hormat Saya,
Diana Mumpuni
DATA DIRI
1. Nama/Inisial
:
2. Usia Saat Ini
:
3. Jenis Kelamin
:
a. Laki-Laki b. Perempuan 4. Apakah anda memiliki pengalaman berharga mengenai kematian orang lain? YA Siapa? a. Orangtua (Ayah/Ibu) b. Anak c. Pasangan (Suami/Istri) d. Saudara/Kerabat e. Teman
TIDAK
5. Kapan anda mengalaminya? a. Kurang dari 1 tahun terakhir b. 2-5 tahun yang lalu c. 6-15 tahun yang lalu d. Lebih dari 15 tahun yang lalu 6. Dari skala 1 sampai 5, seberapa berarti orang tersebut bagi anda? Sangat
Kurang
Tidak
berarti
berarti
4
5
berarti berarti 1
2
7. Hal apa yang paling Anda cemaskan saat ini? a. Kesepian b. Hidup sendiri c. Tidak bisa bertemu dengan keluarga dan teman-teman d. Tidak ada kegiatan/pekerjaan e. Tidak punya uang f. Sakit
g. Kematian h. Lainnya (sebutkan)…..
PETUNJUK PENGISIAN:
Kuesioner ini berisi sejumlah pernyataan-pernyataan yang membantu mengambarkan diri Anda. Baca dan pahami terlebih dahulu pernyataan tersebut, kemudian berikanlah tanda silang (X) pada salah satu dari keempat pilihan yang tersedia di bawah pernyataan. Adapun pilihan tersebut adalah sebagai berikut: A
: bila Anda Sangat Setuju dengan pernyataan tersebut
B
: bila Anda Setuju dengan pernyataan tersebut
C
: bila Anda Tidak Setuju dengan pernyataan tersebut
D
: bila Anda Sangat Tidak Setuju dengan pernyataan tersebut
Contoh: Saya suka buah mangga. A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
Jawaban diatas (pada pilihan A, yaitu sangat setuju) berarti bahwa Anda sangat setuju dengan pernyataan no. 1 atau Anda sangat menyukai buah mangga.
SKALA 1 1. Kemampuan saya menentukan apakah saya dapat menjadi pemimpin atau tidak A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
2. Sebagian besar hidup saya diatur oleh kejadian-kejadian yang tidak terduga A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
3. Saya merasa bahwa apa yang terjadi dalam kehidupan saya ditentukan oleh orang-orang yang kuat/berpengaruh A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
4. Kecelakaan lalu lintas dapat terjadi tergantung kemahiran pengemudi A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
5. Ketika saya punya rencana, saya pasti bisa melakukannya A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
6. Seringkali saya tidak bisa melindungi pendapat atau keinginan saya dari nasib buruk A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
7. Saya mendapatkan apa yang saya inginkan karena saya beruntung A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
8. Walaupun saya punya kemampuan, saya tidak akan menjadi pemimpin jika tidak dekat dengan orang-orang yang berkuasa A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
9. Banyaknya teman yang saya miliki tergantung pada seberapa baiknya saya A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
10. Saya merasa apa yang terjadi pastilah terjadi A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
11. Hidup saya diatur oleh orang-orang yang lebih berkuasa/kuat A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
12. Keberuntungan dapat menentukan apakah saya akan mengalami kecelakaan lalu lintas atau tidak A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
13. Orang seperti saya hanya memiliki sedikit kesempatan untuk mempertahankan pendapat ketika sedang konflik dengan kelompok yang lebih kuat A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
14. Menurut saya kita tidak perlu lebih jauh berencana, karena keberuntungan bisa merubah banyak hal A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
15. Saya harus menyenangkan atasan saya terlebih dahulu sebelum saya mendapatkan apa yang saya inginkan A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
16. Kesempatan saya menjadi pemimpin bergantung pada keberuntungan berada di tempat yang tepat di saat yang tepat A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
17. Ketika ada orang penting yang tidak suka dengan saya, saya mungkin tidak dapat membangun hubungan dengan orang lain A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
18. Saya bisa menentukan apa yang akan terjadi dalam hidup saya A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
19. Saya bisa mempertahankan pendapat saya A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
20. Seorang pengemudi dapat menentukan keselamatan penumpangnya A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
21. Saya bisa memperoleh sesuatu karena hasil dari kerja keras saya sendiri A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
22. Agar rencana-rencana saya berjalan, saya memastikan rencana tersebut sesuai dengan apa yang diinginkan oleh atasan saya A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
23. Kehidupan saya ditentukan oleh perilaku diri saya sendiri A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
24. Takdir menentukan apakah saya memiliki banyak teman atau tidak A. Sangat Setuju B. Setuju C. Tidak Setuju D. Sangat Tidak Setuju
SKALA 2 1. Saya sangat takut meninggal A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
2. Pikiran tentang kematian terkadang memasuki pikiran saya A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
3. Saya tidak merasa gugup ketika orang lain membicarakan kematian A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
4. Saya takut menjalani operasi A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
5. Saya samasekali tidak takut meninggal A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
6. Saya tidak terlalu takut terkena penyakit kanker A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
7. Pikiran tentang kematian tidak pernah mengganggu saya A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
8. Saya sering stress karena merasa waktu berlalu begitu cepat A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
9. Saya takut tersiksa saat meninggal A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
10. Saya sangat terganggu dengan adanya kehidupan setelah kematian A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
11. Saya sangat takut terkena serangan jantung A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
12. Seringkali saya berfikir bahwa hidup ini terlalu singkat A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
13. Saya merinding mendengar orang lain membicarakan perang dunia III A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
14. Saya takut melihat mayat A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
15. Saya merasa tidak ada yang harus ditakutkan di masa depan A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
SKALA 3 1. Ada orang yang spesial yang selalu ada di sekitar saya ketika saya sedang membutuhkan A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
2. Ada orang yang spesial yang bisa saya ajak bercerita mengenai kebahagiaan dan kesedihan saya A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
3. Keluarga saya selalu mencoba membantu saya A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
4. Saya mendapatkan bantuan secara emosional dan dukungan yang saya butuhkan dari keluarga saya A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
5. Saya memiliki orang yang spesial di dalam hidup saya yang memberikan kenyamanan A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
6. Teman-teman saya selalu mencoba untuk membantu saya A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
7. Saya bisa meminta bantuan pada teman-teman ketika ada suatu hal yang tidak beres A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
8. Saya bisa berbicara mengenai masalah-masalah saya dengan keluarga A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
9. Saya memiliki teman yang bisa saya ajak bercerita mengenai kebahagiaan dan kesedihan saya A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
10. Ada orang spesial di hidup saya yang peduli dengan perasaan saya A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
11. Keluarga saya mau membantu saya membuat keputusan A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
12. Saya bisa membicarakan masalah-masalah yang saya alami dengan temanteman saya A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
SKALA 4 1. Saya suka membaca buku mengenai agama A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
2. Saya pergi ke tempat ibadah karena membantu untuk berkenalan dengan orang lain A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
3. Tidak peduli agama apa yang saya anut asalkan saya dapat berbuat baik A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
4. Penting bagi saya untuk meluangkan waktu untuk berfikir dan berdoa A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
5. Saya memiliki perasaan yang kuat akan kehadiran Tuhan A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
6. Saya berdoa untuk menenangkan diri dan meminta perlindungan A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
7. Saya mencoba sekuat tenaga untuk hidup sesuai ajaran agama saya A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
8. Agama saya menjanjikan saya ketenangan di dalam segala kesulitan dan kesedihan A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
9. Berdoa adalah untuk kedamaian dan kebahagiaan A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
10. Walaupun saya beragama, saya tidak terlalu melibatkannya dalam kehidupan sehari-hari A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
11. Saya pergi ke tempat ibadah untuk menghabiskan waktu dengan teman-teman A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
12. Saya hidup berdasarkan apa yang agama saya ajarkan A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
13. Saya pergi ke tempat ibadah karena saya menikmati bertemu orang yang saya kenal disana A. Sangat Setuju
C. Tidak Setuju
B. Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
14. Walaupun saya percaya dengan agama saya, masih banyak hal yang lebih penting di dalam hidup A. Sangat Setuju B. Setuju C. Tidak Setuju D. Sangat Tidak Setuju
MOHON CEK KEMBALI JANGAN SAMPAI ADA JAWABAN YANG TERLEWAT TERIMA KASIH ATAS PARTISIPASI ANDA DALAM PENELITIAN INI
LAMPIRAN 2 Path Diagram Death Anxiety
Path Diagram Internal Locus of Control
Path Diagram External-Chance Locus of Control
Path Diagram External-Powerful Others Locus of Control
Path Diagram Perceived Social Support Family
Path Diagram Perceived Social Support Friends
Path Diagram Perceived Social Support Significant Others
Path Diagram Intrinsic Religious Orientation
Path Diagram Extrinsic Religious Orientation