ANALISIS DISPARITAS PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DALAM PERSPEKTIF PENGELOLAAN PESISIR PROVINSI JAWA TIMUR
TOTOK HENDARTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis Disparitas Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dalam Perspektif Pengelolaan Pesisir Provinsi Jawa Timur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Mei 2010
Totok Hendarto NIM. C261030061
ABSTRACT TOTOK HENDARTO. Disparity Analysis of Fishery Resources Utilization in East Java Province Coastal Area Management Perspective. Under Direction of ISMUDI MUCHSIN, HARIADI KARTODIHARDJO and LUKY ADRIANTO. Indonesia consists of 70% sea, a big potential of diversity, 6.1 million ton per year of fishery, and 57% have utilized. Law No.27, 2007 said that fishery resources potential should be managed well, while said that authority of fishery management should be decentralized to province/regency-city government as broad as to increase people’s welfare and local competition. The objectives of this study were to 1) identify disparity of fishery resources utilization in East Java coastal area; 2) to identify disparity of East Java coastal area development, and 3) to arrange the strategy of East Java coastal area management. The study has done by quantitative and qualitative phenomenological by survey method. North location of this study represented by Lamongan Regency, while the south location represented by Trenggalek Regency. Disparity of fishery resources utilization in coastal area management perspective caused development disparity in north coastal area and south coastal area in East Java Province. The characteristic of north coastal area was more opened and has high economic activity network. It showed economical dynamic which higher than others. Planning and arranging area development strategy should be directed to maturing organization and revitalization its function. In the south coastal area, according to its diversity, resources condition, decentralization maturity level, and region authority, it should be directed to investment which bigger both the number of variety and the number of infrastructure unit, and facility of area development. Key words: disparity, management, development, fishery resources
RINGKASAN
TOTOK HENDARTO. Analisis Disparitas Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dalam Perspektif Pengelolaan Pesisir Provinsi Jawa Timur. Dibimbing oleh ISMUDI MUCHSIN, HARIADI KARTODIHARDJO dan LUKY ADRIANTO. Indonesia dengan luas wilayah yang terdiri dari 70 % lautan merupakan negara kepulauan dengan luas perairan diperkirakan mencapai 5,8 juta km2 dan panjang garis pantai 81.000 km2. Potensi sumberdaya perikanan masih cukup besar sekitar 6,1 juta ton per tahun dan baru dimanfaatkan 57 persennya. Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang cukup besar baik dari segi kuantitas maupun keragamannya. Potensi yang besar dan memiliki arti penting dalam konteks perekonomian bangsa, perencanaan dan pengelolaan yang berkelanjutan dari wilayah pesisir merupakPPan sebuah kebutuhan yang mutlak. Kerangka spasial, suatu pemerataan hasil pembangunan adalah adanya keseimbangan kemajuan antar wilayah. Salah satu masalah mendasar pembangunan di Indonesia adalah masalah disparitas pembangunan antar wilayah. Beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah diantaranya adalah : (1). aspek geografi, (2). aspek aktifitas ekonomi serta (3). aspek kebijakan pemerintah. Pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan pesisir pada masa otonomi daerah yang paling tepat adalah dengan melakukan pengelolaan secara optimal, yang dapat menjamin potensi lestari sumberdaya perikanan dan stablitas produksi serta keberlanjutan ditingkat usaha perikanan, sesuai Undang-undang otonomi daerah dalam rangka menjamin kelestarian sumberdaya wilayah pesisir dan sumberdaya hayati laut. Salah satu aspek teknik yang digunakan sebagai tolak ukur adalah hasil tangkapan per upaya penangkapan (CPUE / Catch Per Unit Effort). Pemetaan potensi ekonomi wilayah merupakan seperangkat proses menghasilkan rumusan informasi pendukung pemerintah menyusun sebuah kebijakan. Perkembangan wilayah pesisir dianalisis dengan Shift Share, untuk menganalisis herarki wilayah pesisir indikator sosial digunakan analisis komponen utama dan menganalisis herarki wilayah pesisir indikator man-made capital digunakan analisis Skalogram. Kontribusi dan keterkaitan sektor perikanan laut dalam struktur pembangunan nasional dipergunakan analisis input output. Untuk mengetahui tingkat kesusksesan maupun tingkat kegagalannya, sehingga digunakan analisis kebijakan Tren nilai CPUE per alat tangkap di wilayah pesisir Utara selama tahun 2001-2007 cenderung menurun, di Selatan cenderung meningkat. Sektor perikanan laut tidak dominan relatif terhadap sektor lainnya. Pembangunan wilayah pesisir tidak terkonsenterasi pada sektor tertentu. Kuota lokasi di kedua wilayah pesisir merupakan sektor basis, di Utara dua kali lipat lebih besar dibanding di Selatan. Laju pertumbuhan lokal sektor perikanan laut berjalan cepat, kecepatan di Utara hampir tiga kali lipat dibanding di Selatan. Dayasaing lokal sektor perikanan laut bersifat kompetitif atau berdaya saing tetapi kemampuannya sangat jauh berbeda. Disparitas perkembangan wilayah pesisir memperlihatkan tingkat pertumbuhan di Utara hampir dua puluh lima kali lipat lebih cepat dibanding Selatan. Daya saing Utara sangat baik dan berkeunggulan comparatif (comparatif advantage), di Selatan tidak mempunyai daya saing dan tidak
berkeunggulan comparatif (comparatif advantage). Pergeseran wilayah pesisir Utara bersifat progresif, di Selatan tidak progresif. Disparitas perkembangan wilayah pesisir dari aspek kependudukan, di Utara berherarki rendah, di Selatan berherarki sedang, aspek kependidikan di Utara berherarki tinggi, di Selatan berherarki sedang, aspek kesehatan di Utara-Selatan berherarki sedang, meskipun nilai Utara tiga kali lipat lebih besar dari Selatan. Faktor keragaan pemanfaatan sumberdaya perikanan (secara geografis), potensi ekonomi wilayah (tingkat kematangan aktifitas ekonomi) dan kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di wilayah pesisir Utara dan Selatan Jawa Timur menyebabkan terjadinya disparitas. Disparitas pembangunan wilayah menghasilkan struktur hubungan antar wilayah yang saling memperlemah dan menimbulkan banyak permasalahan sosial, ekonomi dan politik. Secara menyeluruh disparitas pemanfaatan sumberdaya perikanan dalam perspektif pengelolaan wilayah pesisir menyebabkan terjadinya disparitas pembangunan wilayah pesisir Utara dan Selatan di Provinsi Jawa Timur. Strategi yang bisa disarankan oleh penulis guna mengurangi terjadinya disparitas wilayah pesisir meliputi dua strategi yaitu strategi pertama, program pengembangan wilayah pesisir atas dasar pasokan (supply side strategy) dan permintaan (demand side strategy). Strategi kedua, adalah pengembangan wilayah pesisir atas dasar strategi keterkaitan (lingkages) antar wilayah pesisir. Kata kunci : disparitas, manajemen, pembangunan, sumberdaya perikanan.
ANALISIS DISPARITAS PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DALAM PERSPEKTIF PENGELOLAAN PESISIR PROVINSI JAWA TIMUR
TOTOK HENDARTO
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul Disertasi
: Analisis Disparitas Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dalam Perspektif Pengelolaan Pesisir Provinsi Jawa Timur
Nama
: Totok Hendarto
Nomor Pokok
: C261030061
Program Studi
: Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Lautan
Komisi Pembimbing : Ketua
: Prof. Dr. Ismudi Muchsin
Anggota
: Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo MS Dr. Ir. Luky Adrianto M.Sc
Penguji Luar Komisi : Daniel Mohammad Rosyid PhD, CPM (Institut Teknologi Sepuluh Nopember ITS Surabaya, Ketua Dewan Masyarakat Pesisir Jawa Tmur)
Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo M.Sc ( Guru Besar Institut Pertanian Bogor)
Ujian Terbuka pada
:
Hari
: Jum’at
Tanggal
: 5 Maret 2010-02-23
Jam
: 13.30 – Selesai
Tempat
: Auditorium Andi Hakim Nasution Gedung Andi Hakim Nasution Kampus IPB darmaga, Bogor
i
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ……………………………………………………………… DAFTAR TABEL ………………………………………………………… DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………...
i iv vii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………...
x
1.
PENDAHULUAN ………………………………………………… 1.1 Latar Belakang ....………….…………………………..………
1 1
1.2 Perumusan Masalah .........……...…………………..………… 1.3 Tujuan Penelitian ...……………………...………….………... 1.4 Kegunaan Penelitian………………………………………...…
5 7 7
TINJAUAN PUSTAKA…………………….……………………… 2.1 Ekosistem Wilayah Pesisir dan Lautan .………………………. 2.2 Tipologi Perkembangan Wilayah Pesisir ……………………… 2.3 Nilai Ekonomi Sumberdaya Pesisir …….…………….......……
8 8 13 17
2.4 Integrasi Perikanan dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu............. 2.5 Pengelolaan Perikanan dalam Konsepsi Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir .................................................…. 2.6 Pengembangan Sektor Perikanan Laut dan Industri Perikanan..
21 28 32
2.7 Penelitian Terdahulu ..................................................................
35
KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................... 3.1 Kerangka Teoritis ......……………………………………………
39 39
3.2 Hipotesis ....................…………………………………………… 3.3 Novelty (Kebaruan) Penelitian ......................................................
43 43
METODOLOGI PENELITIAN.......………………………………
44
4.1 Lokasi Penelitian .................…………………………...……... 4.2 Data dan Sumber Data ............................................................... 4.3 Metode Analisis ....……………………………………………. 4.3.1 Analisis Keragaan Perikanan ............................................
44 46 46 46
4.3.2 Analisis Disparitas Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Wilayah Pesisir .................................................................
47
2.
3.
4.
ii
V.
VI.
4.3.3 Analisis Disparitas Pembangunan Wilayah Pesisir Jawa Timur ................................................................................. 4.3.4 Analisis Kontribusi-Keterkaitan dan Struktur Perekonomian
49
Wilayah .............................................................................. 4.3.5 Analisis Kebijakan Pembangunan Perikanan .....................
51 62
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN .................................
64
5.1 Keragaan Umum Propinsi Jawa Timur .……………………….. 5.1.1 Kondisi Geografis ………………………………..……… 5.1.2 Demografi …………………………………………… 5.1.3 Kondisi Perekonomian ………………………….………
64 64 65 65
5.1.4 Disparitas Wilayah dan Kondisi social Budaya .……… 5.2 Keragaan Umum Kabupaten Lamongan ...……………...…….. 5.2.1 Kondisi Geografis ………………………………..……… 5.2.2 Demografi ...……………………………………………
66 69 69 70
5.2.3 Kondisi Perekonomian ………………………….……… 5.2.4 Potensi Perikanan …………………………….......……… 5.3 Keragaan Umum Kabupaten Trenggalek ..................................... 5.3.1 Kondisi Geografis ………………………………..………
70 71 73 73
5.3.2 Demografi ...…………………………………………… 5.3.3 Kondisi Perekonomian ………………………….……… 5.3.4 Potensi Perikanan …………………………….......………
74 75 76
HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 6.1 Analisis Keragaan Perikanan ………………………………… 6.1.1 Analisis Keragaan Perikanan Wilayah Pesisir Utara .....… 6.1.2 Analisis Keragaan Perikanan Wilayah Pesisir Selatan ..…
79 79 80 90
6.1.3 Analisis Deskriptif Program dan Bentuk Kegiatan Pembangunan Wilayah Pesisir ..............................……… 6.2 Analisis Disparitas Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan .......… 6.2.1 Rasio antar Dua Variabel Tiap Lokasi .............................
100 103 105
6.2.2 6.2.3 6.2.4 6.2.5
Pangsa Sektoral Tiap Lokasi ............................................ Pangsa Lokal Tiap Sektor ................................................ Indeks Spesialisasi Tiap Lokasi ........................................ Indeks Lokalisasi Tiap Sektor ..........................................
111 112 113 115
6.2.6 Kuota Lokasi ....................................................................
115
iii
6.2.7 Laju Pertumbuhan Lokal Tiap Sektor ............................... 6.2.8 Dayasaing Lokal Tiap Sektor ...…..................................... 6.3 Analisis Disparitas Pembangunan Wilayah Pesisir Jawa Timur
116 117 119
6.3.1 Analisis Shift Share Perkembangan Wilayah Pesisir ….... 6.3.2 Analisis Komponen Utama Herarki Wilayah Indikator Sosial Ekonomi ……………………………………….… 6.3.3 Analisis Skalogram Herarki Wilayah Pesisir Indikator
119
Man-made Capital ........................................................... 6.4 Analisis Kontribusi dan Keterkaitan Sumberdaya Pesisir Terhadap Perkembangan Wilayah .......................................... 6.4.1 Analisis Pembentukan Output, NTB dan Pendapatan
125 130 133
diWilayah Pesisir .......………………………………… 133 6.4.2 Analisis Pengganda Output, Pendapatan dan Tenaga Kerja Wilayah Pesisir .............................................................. 135 6.4.3 Analisis Keterkaitan-Sebaran Kebelakang dan Kedepan Output, Pendapatan dan tenaga Kerja di Wilayah Pesisir 6.5 Pembahasan .....................................................……………
138 144
KESIMPULAN DAN SARAN .....................................……………
157
7.1 Kesimpulan ......................................…………………………. 7.2 Saran ...........................................................................................
157 158
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
160
LAMPIRAN …..............................................................................................
170
7.
iv
DAFTAR TABEL Halaman 1. Matrik Analisis Pemetaan Potensi Ekonomi Wilayah Pesisir dan Laut ............................…..…………………………….. 2. Bentuk Umum Tabel Input-Output ..………………………...
47 53
3. Perkembangan Jumlah Alat Tangkap Kab. Lamongan ….. .. 4. Produksi dan Nilai Produksi Ikan Laut Kab. Lamongan ... .. 5. Keragaan Jenis, Produksi Utama, Skala Usaha & Lokasi Industri Perikanan Laut di Kab. Lamongan ................….. .. 6. 7. 8. 9.
71 72 72
Jumlah Nelayan di Kabupaten Trenggalek ..…………….. .. Jumlah dan jenis Alat Tangkap di Kabupaten Trenggalek . . Produksi dan Nilai Produksi Ikan Laut Kabupaten Trenggalek Keragaan Jenis, Produksi Utama & Lokasi Industri Perikanan
Laut di Kab.Trenggalek. ....................................................... 10. Hasil Tangkapan Ikan di Wilayah Pesisir Utara .................... 11. Rata-rata Bulan Produksi Hasil Tangkapan Ikan di Wilayah Pesisir Utara............................................................
77 77 78 78
12. Rata-rata Produksi Hasil Tangkapan Ikan per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Utara............................................................ 13. Jumlah dan Rata-rata Hasil Tangkapan Ikan per Bulan di Wilayah Pesisir Utara............................................................ 14. Upaya Penangkapan (effort) Tahunan (Trip) di Wilayah Pesisir Utara ............................................................ 15. Rata-rata Upaya Penangkapan (effort) Ikan per Bulan per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Utara ............................................. 16. Nilai Rata-rata dan Fluktuasi Upaya Penangkapan Ikan per Bulan per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Utara ............................... 17. Hasil Tangkapan Ikan di Wilayah Pesisir Selatan ………….. 18. Rata-rata Bulan Produksi Hasil Tangkapan Ikan
80 81 82 83 84 85 85 90
di Wilayah Pesisir Selatan ......................................................... 19. Rata-rata Produksi Hasil Tangkapan Ikan per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Selatan ......................................................... 20. Jumlah dan Rata-rata Hasil Tangkapan Ikan per Bulan
91
di Wilayah Pesisir Selatan .........................................................
93
92
v
21. Upaya Penangkapan (effort) Tahunan (Trip) di Wilayah Pesisir Selatan ....................................................... 94 22. Upaya Penangkapan (effort) Rata-rata Hasil Tangkapan Ikan per Bulan per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Selatan ................ 95 23. Nilai Rata-rata dan Fluktuasi Upaya Penangkapan Ikan per Bulan per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Selatan .......................... 96 24. Program dan Bentuk Kegiatan di Wilayah Pesisir di Wilayah Pesisir Utara ........................................................... 25. Program dan Bentuk Kegiatan di Wilayah Pesisir di Wilayah Pesisir Selatan ........................................................ 26. Struktur Ekonomi Kecamatan Paciran dan Brondong
101
Di Wilayah Pesisir Utara ......................................................... 27. Struktur Ekonomi Kecamatan Paciran dan Brondong Di Wilayah Pesisir Selatan ........................................................ 28. Rasio Sektor Perikanan Laut- Pertanian Wilayah Pesisir Tahun
103
2004-2007 ................................................................................. 29. Rasio Sektor Perikanan Laut-Perikanan Lainnya Wilayah Pesisir Tahun 2004-2007 ........................................................ 30. Rasio Sektor Perikanan Laut-Industri Pengolahan Tahun
105
102
104
107
2004-2007 .............................................................................. 109 31. Rasio Sektor Perikanan Laut-Jasa Wilayah Pesisir Tahun 2004 2007 ....................................................................................... 110 32. Profil Pergeseran Wilayah Pesisir Utara – Selatan Tahun 2004 2007 ……………………………………………………........ 33. Keterkaitan-Penyebaran Kebelakang dan Kedepan Output Wilayah Pesisir Utara Selatan ................................................... 34. Keterkaitan-Penyebaran Kebelakang dan Kedepan Pendapatan
125 139
Wilayah Pesisir Utara Selatan ……………….…………….. 141 35. Keterkaitan-Penyebaran Kebelakang dan Kedepan Tenaga Kerja Wilayah Pesisir Utara Selatan .………….…………….. 143 36. Nilai Potensi Ekonomi Sumberdaya Perikanan di Wilayah Pesisir Utara Dan Selatan Propinsi Jawa Timur .………….…………….. 144 37. Disparitas Perkembangan Wilayah Pesisir Utara dan Selatan Sumberdaya Alam, Sumberdaya Sosial dan Sumberdaya Buatan . 147 38. Disparitas Perkembangan Wilayah Pesisir Utara dan Selatan .. 149 39. Nilai Score CPUE per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Utara-Selatan ..........................................................................
151
vi
40. Nilai Score Analisis Disparitas Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (DPSDPI) .................................................................. 41. Nilai Score Analisis Disparitas Pembanguan Wilayah Pesisir
152
(DPWP) ................................................................................ 152 42. Nilai Score Analisis Disparitas Kontribusi Sebaran Perkembangan Wilayah Pesisir (DKSPWP) ........................... 153 43. Nilai Score Analisis Kebijakan Pembangunan Perikanan (AK).. 154
vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka Pemikiran Penelitian ................………...……….…..
42
2. Sketsa Lokasi Penelitian Wilayah Pesisir Jawa Timur ……...
44
3. Sketsa Lokasi Penelitian Wilayah Pesisir Utara direpresentasikan Oleh Kabupaten Lamogan ……………………...……….…..
45
4. Sketsa Lokasi Penelitian Wilayah Pesisir Utara direpresentasikan Oleh Kabupaten Trenggalek …...…………...……….…..
45
5. Perkembangan Hasil Tangkapan Ikan di Wilayah Pesisir Utara
80
6. Rata-rata Bulan Produksi Hasil Tangkapan Ikan di Wilayah Pesisir Utara .............………………...……….…..
81
7. Rata-rata Produksi Hasil Tangkapan Ikan per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Utara .............………………...……….…..
82
8. Fluktuasi Hasil Tangkapan Ikan Rata-rata per Bulan di Wilayah Pesisir Utara .............………………...……….….. 9. Upaya Penangkapan (effort) Tahunan di Wilayah Pesisir Utara
83 84
10. Rata-rata dan Fluktuasi Hasil Tangkapan Ikan per Bulan per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Utara ……...……….…..
86
11. Tren CPUE Alat Tangkap Purse Seine di Wilayah Pesisir Utara ..............................................………………...……….…..
86
12. Tren CPUE Alat Tangkap Payang Besar di Wilayah Pesisir Utara ...........................................………………...……….…..
87
13. Tren CPUE Alat Tangkap Pancing Prawe di Wilayah Pesisir Utara ..............................................………………...……….…..
88
14. Tren CPUE Alat Tangkap Payang Kecil di Wilayah Pesisir Utara ...........................................………………...……….…..
88
15. Tren CPUE Alat Tangkap Gill Net di Wilayah Pesisir Utara ...........................................………………...……….…..
89
viii
16. Indeks Musim Penangkapan Perikanan Laut Wilayah Pesisir Utara .............………………...……….….. 17. Perkembangan Hasil Tangkapan Ikan di Wilayah Pesisir Selatan
90 91
18. Rata-rata Bulan Produksi Hasil Tangkapan Ikan di Wilayah Pesisir Selatan ...........………………...……….…..
92
19. Rata-rata Produksi Hasil Tangkapan Ikan per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Selatan ...........………………...……….…..
93
20. Fluktuasi Hasil Tangkapan Ikan Rata-rata per Bulan di Wilayah Pesisir Selatan ...........………………...……….…..
94
21. Upaya Penangkapan (effort) Tahunan di Wilayah Pesisir Selatan
95
22. Rata-rata dan Fluktuasi Hasil Tangkapan Ikan per Bulan per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Selatan …...……….…..
96
23. Tren CPUE Alat Tangkap Pukat Pantai di Wilayah Pesisir Selatan ..........................................………………...……….…..
97
24. Tren CPUE Alat Tangkap Jaring Klitik di Wilayah Pesisir Selatan ..........................................………………...……….…..
97
25. Tren CPUE Alat Tangkap Pukat Cincin di Wilayah Pesisir Selatan ..........................................………………...……….…..
98
26. Tren CPUE Alat Tangkap Pancing di Wilayah Pesisir Selatan...........................................………………...……….…..
98
27. Tren CPUE Alat Tangkap Jaring Angkat di Wilayah Pesisir Selatan ..........................................………………...……….…..
99
28. Indeks Musim Penangkapan Perikanan Laut Wilayah Pesisir Selatan .............………………...……….…..
100
29. PDRB Wilayah Pesisir Utara Selatan Tahun 2004-2007……..
104
30. Rasio Sektor Perikanan Laut-Pertanian Tahun 2004-2007 .......
106
31. Rasio Sektor Perikanan Laut-Perikanan Lainnya Tahun 2004-2007 ..........................................................................…...
108
32. Rasio Sektor Perikanan Laut-Industri Pengolahan Tahun 2004-2007 ...........................................................................…..
109
33. Rasio Sektor Perikanan Laut-Jasa Tahun 2004-2007..………..
111
34. Pangsa Sektoral Tiap Lokasi Tahun 2004-2007..........………..
112
ix
35. Pangsa Lokal Tiap Sektor Tahun 2004-2007...............………..
113
36. Indeks Spesialisasi Tiap Lokasi Tahun 2004-2007 ..……….....
114
37. Indeks Lokalisasi Tiap Sektor Tahun 2004-2007 ....……….....
115
38. Kuota Lokasi Tahun 2004-2007 .......……..................………..
116
39. Laju Pertumbuhan Lokal Tiap Sektor Tahun 2004-2007 ……..
117
40. Daya Saing Tiap Sektor Tahun 2004-2007..................………..
118
41. Profil Tingkat Pertumbuhan Tahun 2004-2007 ......................
120
42. Profil Daya Saing Tahun 2004-2007...............………………..
122
43. Profil Pergeseran Wilayah Tahun 2004-2007 ...…………….
123
44. Profil Pergeseran Wilayah Pesisir Utara Selatan Tahun 2004 2007 .....................................................................................….
124
45. Score Analisis Komponen Utama Kependudukan Tahun 2004 2007 .................................................................……...………..
126
46. Score Analisis Komponen Utama Kependidikan Tahun 2004 2007 ...........................................................……….....………..
127
47. Faktor Score Analisis Komponen Utama Kesehatan Tahun 2004 2007 ............................................................................………..
129
48. Jumlah Jenis Fasilitas Pelayanan Tahun 2004-2007 …..……..
130
49. Jumlah Unit Fasilitas Pelayanan Tahun 2004-2007 …..……..
132
50. Pembentukan Output Tahun 2004-2007 …................………..
133
51. Pembentukan NTB Tahun 2004-2007 ……...............………..
134
52. Pembentukan Pendapatan Tahun 2004-2007 ..............………..
135
53. Pengganda Output Tahun 2004-2007 …................……….......
136
54. Pengganda Pendapatan Tahun 2004-2007....................…….....
137
55. Pengganda Tenaga Kerja Tahun 2004-2007 ................…….....
138
56. Keterkaitan-Penyebaran Kebelakang dan Kedepan Output Tahun 2004-2007.................................................……........…..
140
57. Keterkaitan-Penyebaran Kebelakang dan Kedepan Pendapatan Tahun 2004-2007.................................................……........…..
142
58. Keterkaitan-Penyebaran Kebelakang dan Kedepan Tenaga Kerja Tahun 2004-2007 ......................................……........…..
143
x
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. PDRB Kab. Lamongan per Kec (Rp/juta) Th 2000 ………
171
2. PDRB Kab. Lamongan per Kec (Rp/juta) Th 2004 ………
172
3. PDRB Kab. Lamongan per Kec (Rp/juta) Th 2007….……
173
4. Rasio Sektor Perikanan Laut - Sektor Lainnya, Pangsa Sektoral Kab. Lamongan per Kec (Rp/juta) Th 2004 .……
174
5. Pangsa Sektoral, Pangsa Sektoral Agregat Tiap Kec Kab. Lamongan Th 2004 ………………………….……....
175
6. Kuota Lokasi dan Indeks Spesialisasi per Kec Tiap Sektor PDRB Th 2004 ..........................................……… 7. Laju Pertumbuhan Kec Tiap Sektor Th 2000-2004..………
176 177
8. Laju Pertumbuhan Sektoral Agregat, Dayasaing Sektoral Agregat Th 2000 sd. 2004 ……………………………….…
178
9. Rasio Sektor Perikanan Laut-Sektor Lainnya dan Pangsa Sektoral PDRB Kab. Lamongan per Kec (Rp/juta) Th 2007 …………………………………...................………
179
10. Pangsa Sektoral dan Pangsa Lokal Tiap Sektor Kab. Lamongan Th 2007 ……………………………..………
180
11. Pangsa Sektoral Agregat dan Pangsa Lokal Tiap Sektor Per Kec di Lamongan Th 2007 ............................................
180
12. Kuota Lokasi, Indeks Spesialisasi dan Indeks Lokalisasi per Kec Kab. Lamongan Sektor Th 2007 ................................… 13. Laju Pertumbuhan Kec di Lamongan Th 2004-2007 ……
181 182
14. Laju Pertumbuhan Dayasaing Sektoral Kec di Lamongan Th 2004-2007 ...............................................................……
183
15. Dayasaing Lokal Kec di Lamongan Th 2004-2007 ………
184
16. PDRB Kab. Trenggalek per Kec (Rp/juta) Th 2000………
185
17. PDRB Kab. Trenggalek per Kec (Rp/juta) Th 2004 ………
186
18. PDRB Kab. Trenggalek per Kec (Rp/juta) Th 2007 ………
187
xi
19. Rasio Sektor Perikanan Laut-Sektor Lainnya, Pangsa Sektoral Kab. Trenggalek per Kec (Rp/juta) Th 2004 ................………
188
20. Pangsa Sektoral Agregat dan Pangsa Lokal Kab. Trenggalek Th 2004 ....................................................................………
189
21. Indeks Lokalisasi, Indeks Spesialisasi Sektor, Kuota Lokasi dan Laju Pertumbuhan Tiap Kec Th 2004 .........……..........…
190
22. Laju Pertumbuhan Kec Agregat dan Dayasaing Sektoral Agregat Th 2000-2004 …………………………….…..………
191
23. Rasio Sektor Perikanan Laut - Sektor Lainnya Kab. Trenggalek per Kec (Rp/juta) Th 2007 ……………….....……
191
24. Pangsa Sektoral Tiap, Pangsa Sektoral Agregat dan Pangsa Lokal Kec terhadap PDRB Th 2007............................………
192
25. Pangsa Lokal Agregat Sektor, Indeks Spesialisasi, Indeks Lokalisasi dan Kuota Lokasi PDRB per Kec Th 2007 .............
193
26. Laju Pertumbuhan Kec Tiap Sektor Th 2004-2007 …….........
193
27. Laju Pertumbuhan Kec Agregat Sektor Tiap Sektor Th 2004-2007 .............................................................……
194
28. Laju Pertumbuhan Sektoral Agregat Th 2004-2007 ………
194
29. Dayasaing Sektoral Agregat Wilayah Th 2004-2007 ..……
194
30. Klasifikasi Tabel IO Jawa Timur untuk 20 Sektor …...……
195
31. Tabel Koefisien Input Output Jatim th 2000 ………………
196
32. Tabel Transaksi Input Output Jatim th 2004 ……...………
198
33. Tabel Transaksi Input Output Jatim th 2007 ……...………
200
34. Tabel PDRB Sektoral Kecamatan Th 2000 ..............………
202
35. Tabel PDRB Sektoral Kecamatan Th 2004 ………..………
203
36. Tabel PDRB Sektoral Kecamatan Th 2007 ………..………
204
37. Tabel PDRB Sektoral Kecamatan Th 2000 ………..………
205
38. Tabel PDRB Sektoral Kecamatan Th 2004 ………..………
206
39. Tabel PDRB Sektoral Kecamatan Th 2007 ...……...………
207
40. Open Direct Coefficient Matrix Column Output Linkages Lamongan ……………………………….………
208
xii
41. Open Direct Coefficient Matrix Column Income Linkages Lamongan ……………………………….………
208
42. Open Direct Coefficient Matrix Column Employment Linkages Lamongan ……………………………….………
209
43. Total Output Multiplers Lamongan ……………...…...……
209
44. Total Income Multiplers Lamongan ……………….………
210
45. Open Direct Coefficient Matrix Column Output Linkages RAS Lamongan 2007 ……………………………...………
210
46. Open Direct Coefficient Matrix Column Income Linkages RAS Lamongan 2007 ……………………………...………
211
47. Open Direct Coefficient Matrix Column Employment Linkages RAS Lamongan 2007 ……………………………...………
211
48. Total Output Multiplers RAS Lamongan 2007 ……………
212
49. Total Income Multiplers RAS Lamongan 2007 …...………
212
50. Total Employment Multiplers RAS 2007 ………...………
213
51. Open Direct Coefficient Matrix Column Output Linkages Trenggalek ……………………………...………
213
52. Open Direct Coefficient Matrix Column Income Linkages Trenggalek ……………………………...………
214
53. Open Direct Coefficient Matrix Column Employment Linkages Trenggalek ………………………………...……
214
54. Total Output Multiplers Trenggalek ……………....………
215
55. Total Income Multiplers Trenggalek ……………...………
215
56. Total Employment Multiplers Trenggalek ………..………
216
57. Open Direct Coefficient Matrix Column Output Linkages Trenggalek ……………………………...………
216
58. Open Direct Coefficient Matrix Column Income Linkages Trenggalek ……………………………...………
217
59. Open Direct Coefficient Matrix Column Employment Linkages Trenggalek ……………………………...………
217
60. Total Output Multiplers Trenggalek ………………………
218
61. Total Income Multiplers Trenggalek ……………...………
218
xiii
62. Total Employment Multiplers Trenggalek ………..………
219
63. Hasil Perhitungan Analisis Komponen Utama Pesisir Utara Tahun 2004 Indikator Kependudukan ...……
220
64. Hasil Perhitungan Analisis Komponen Utama Pesisir Utara Tahun 2004 Indikator Kependidikan .......................………
221
65. Hasil Perhitungan Analisis Komponen Utama Pesisir Utara Tahun 2004 Indikator Kesehatan .............................………
222
66. Hasil Perhitungan Analisis Komponen Utama Pesisir Utara Tahun 2007 Indikator Kependudukan .....................………
223
67. Hasil Perhitungan Analisis Komponen Utama Pesisir Utara Tahun 2007 Indikator Kependidikan .......................………
224
68. Hasil Perhitungan Analisis Komponen Utama Pesisir Utara Tahun 2007 Indikator Kesehatan .............................………
225
69. Hasil Perhitungan Analisis Komponen Utama Pesisir Selatan Tahun 2004 Indikator Kependudukan .....................………
226
70. Hasil Perhitungan Analisis Komponen Utama Pesisir Selatan Tahun 2004 Indikator Kependidikan .......................………
227
71. Hasil Perhitungan Analisis Komponen Utama Pesisir Selatan Tahun 2004 Indikator Kesehatan .............................………
228
72. Hasil Perhitungan Analisis Komponen Utama Pesisir Selatan Tahun 2007 Indikator Kependudukan .....................………
229
73. Hasil Perhitungan Analisis Komponen Utama Pesisir Selatan Tahun 2007 Indikator Kependidikan .......................………
230
74. Hasil Perhitungan Analisis Komponen Utama Pesisir Selatan Tahun 2007 Indikator Kesehatan .............................……… 75.
231
Analisis Skalogram Fasos kecamatan di Kab Lamongan Tahun 2004..................................................................………
232
76. Analisis Skalogram Fasos kecamatan di Kab Lamongan Tahun 2007..................................................................………
233
77. Analisis Skalogram Fasos kecamatan di Kab Trenggalek Tahun 2004..................................................................………
234
xiv
78. Analisis Skalogram Fasos kecamatan di Kab Trenggalek Tahun 2007..................................................................………
235
79. Profil Jumlah Jenis dan jumlah Unit Fasilitas Pelayanan Utama Wilayah Pesisir Utara Tahun 2004 .............................………
236
80. Profil Jumlah Jenis dan jumlah Unit Fasilitas Pelayanan Utama Wilayah Pesisir Utara Tahun 2007 .............................………
237
81. Profil Jumlah Jenis dan jumlah Unit Fasilitas Pelayanan Utama Wilayah Pesisir Selatan Tahun 2004 ..........................………
238
82. Profil Jumlah Jenis dan jumlah Unit Fasilitas Pelayanan Utama Wilayah Pesisir Selatan Tahun 2007 ..........................……… 83. Standar Penilaian Score Lima Indikator Kebijakan ......………
238 239
84. Profil Kelas Pelabuhan Perikanan, Produksi Ikan dan Jumlah Nelayan di Jawa Timur ................................................………
240
85. PDRB Kab Lamongan Tahun 2000 ........................................
241
86. PDRB Kab Lamongan Tahun 2004 ........................................
242
87. Nilai r dan R .........................................................................
243
88. Komponen Pertumbuhan setiap sektor.......................................
244
89. Komponen Pertumbuhan Proporsional setiap sektor .................
245
90. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah .................................
246
91. PDRB Kab Lamongan Tahun 2004 .........................................
247
92. PDRB Kab Lamongan Tahun 2007 ........................................
249
93. Nilai r dan R .........................................................................
250
94. Komponen Pertumbuhan setiap sektor .....................................
251
95. Komponen Pertumbuhan Proporsional setiap sektor .................
252
96. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah ................................
253
97. Prosentase Komponen Pertumbuhan, Pertumbuhan Proporsional dan Pangsa Wilayah ..............................................................
254
98. PDRB Kab Trenggalek tahun 2000 ........................................
255
99. PDRB Kab Trenggalek tahun 2004 ........................................
255
100. PDRB Kab Trenggalek Tahun 2004 ........................................
256
101. PDRB Kab Trenggalek Tahun 2007 ........................................
256
102. Nilai r dan R ..........................................................................
257
xv
103. Nilai r dan R ..........................................................................
257
104. Komponen Pertumbuhan setiap sektor ....................................
258
105. Komponen Pertumbuhan setiap sektor ...................................
258
106. Komponen Pertumbuhan Proporsional setiap sektor ...............
259
107. Komponen Pertumbuhan Proporsional setiap sektor ...............
259
108. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah ...............................
260
109. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah ..............................
260
110. Prosentase Komponen Pertumbuhan, Pertumbuhan Proporsional dan Pangsa Wilayah ..............................................................
261
111. Prosentase Komponen Pertumbuhan, Pertumbuhan Proporsional dan Pangsa Wilayah .............................................................. 112. Daftar Istilah (Glossary) ..............................................………
261 262
1
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dengan luas wilayah yang terdiri dari 70 % lautan merupakan negara kepulauan dengan luas perairan diperkirakan mencapai 5,8 juta km dan panjang garis pantai 81.000 km. Potensi sumberdaya perikanan masih cukup besar sekitar 6,1 juta ton per tahun dan baru dimanfaatkan 57 persennya. Dengan luas laut 5,8 juta km, Indonesia sesungguhnya memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang cukup besar baik dari segi kuantitas maupun keragamannya. Namun ketersediaan atau stok ikan secara alami di perairan merupakan salah satu faktor pembatas peningkatan produktifitas usaha dalam kegiatan penangkapan. Potensi yang demikian besar dan memiliki arti penting dalam konteks perekonomian bangsa, perencanaan dan pengelolaan yang berkelanjutan dari wilayah pesisir merupakan sebuah kebutuhan yang mutlak. Fungsi perencanaan dan pengelolaan tidak hanya berdimensi fisik untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan sistem alam dan sumberdaya perikanan namun juga memiliki dimensi sosial karena komunitas di wilayah pesisir yang telah berinteraksi secara dinamis dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan merupakan salah satu unsur yang perlu diperhatikan sehingga pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan dapat terwujud (Kusumastanto, 2006). Ketchum dalam Kusumastanto et al. 2006 menyatakan wilayah pesisir adalah wilayah pertemuan antara wilayah daratan dan laut. Secara ekologis wilayah pesisir adalah sebuah wilayah yang dinamik dengan pengaruh daratan terhadap lautan atau sebaliknya. Proses keterkaitan antara wilayah darat dan laut merupakan sumber dinamika dalam kerangka pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu (integrated coastal management; ICM). (Jones and Westmascot dalam Kusumastanto, et al. 2006) menyatakan wilayah pesisir tidak hanya diidentifikasi berdasarkan sifat ekologis semata, namun mencakup definisi administratif sebagai suatu wilayah pengelolaan. Wilayah pesisir dan laut diharapkan menjadi pusat pertumbuhan dan sebagai kutub dari ruang ekonomi. Ruang ekonomi mengandung pusat-pusat dan kutub-kutub, mempunyai kekuatan centrifugal memancar ke sekelilingnya dan
1
2 mempunyai kekuatan centripental menarik sekitarnya ke pusat-pusat tersebut. Penentu kebijakan pembangunan seringkali berharap wilayah pesisir menjadi pusat pertumbuhan dengan beberapa alasan antara lain : terjadinya proses aglomerasi, konsentrasi investasi dan proses penyebaran bagi wilayah-wilayah belakangnya. Unit ekonomi industri yang dominan tampil memainkan peranan utama dalam ruang ekonomi. Dalam rangka mewujutkan sektor perikanan menjadi sumber pertumbuhan baru bagi perekonomian, diperlukan usaha-usaha memanfaatkan sumberdaya perikanan sampai tingkat optimal di seluruh wilayah, sasaran peningkatan devisa dan kesejahteraan bagi nelayan dan petani ikan melalui perluasan usaha yang menjadi prioritas utama disamping aspek kelestarian. Disparitas pembangunan regional merupakan fenomena universal. Di semua negara tanpa memandang ukuran dan tingkat pembangunannya, disparitas pembangunan merupakan masalah regional yang tidak merata. Pembagian ekonomi telah melahirkan tekanan sosial politik, baik sistem perekonomian pasar maupun ekonomi terencana, secara terpusat pembangunan diarahkan agar mengikuti kebijakankebijakan mengurangi disparitas pembangunan antar wilayah (Rustiadi, 2005). Wilayah pesisir dan laut menyediakan sumberdaya alam yang produktif sebagai sumber pangan dan merupakan tumpuan harapan dalam pemenuhan kebutuhan hidup dimasa mendatang (Bengen, 2000). Pemanfaatan sumberdaya ikan di Indonesia sampai saat ini, secara umum belum optimal dan masih berpeluang
untuk
dikembangkan.
Karakteristik
wilayah
yang
berbeda,
menyebabkan adanya kesenjangan pemanfaatan sumberdaya ikan. Wilayah perairan Indonesia mempunyai karakteristik yang berbeda antara satu wilayah perairan dengan wilayah perairan yang lain. Perbedaan yang ada diantaranya meliputi perbedaan kondisi geografi, topografi, demografi, kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia, budaya dan sosial kultural masyarakat, karakteristik sumberdaya ikan, teknologi, kemampuan investasi permodalan pemerintah dan masyarakat dan merupakan komponen sistem perikanan yang bersifat spesifik yang dimiliki daerah. Komponen sistem perlu dikelola dan diperhatikan dengan baik dalam upaya pengembangan perikanan. Undang-undang No. 31 tahun 2004 tentang perikanan menyatakan potensi sumberdaya perikanan Indonesia perlu
1
3 dikelola dengan baik. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai pemasaran, dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses terintegrasi pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya, implementasi serta penegakan hukum peraturan perundangan di bidang perikanan, dilakukan pemerintah dan otoritas lain diarahkan mencapai kelangsungan produktifitas sumberdaya hayati dan tujuan yang telah disepakati. Pemerintah provinsi dan kebupaten kota diberi kewenangan menentukan urusan pilihan nyata dan berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerahnya. Kekhasan yang dimiliki beberapa kabupaten di Utara dan Selatan Jawa, berupa potensi kelautan dan perikanan dijadikan pilihan untuk dikelola dan dikembangkan dengan baik (Pusat Riset Perikanan Tangkap, 2001). Disparitas pembangunan antar wilayah disatu sisi terjadi dalam bentuk buruknya distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya yang menciptakan inefisiensi
dan
tidak
optimalnya
sistem
ekonomi
wilayah.
Disparitas
pembangunan menghasilkan struktur hubungan antar wilayah, membentuk interaksi yang saling memperlemah. Wilayah hinterland menjadi lemah karena pengurasan sumberdaya berlebihan (backwash) mengakibatkan aliran nilai tambah dan terakumulasi di pusat-pusat pembangunan secara besar-besaran dan berlebihan. Disparitas pembangunan inter-regional disamping menyebabkan kapasitas pembangunan regional sub-optimal, juga menihilkan potensi-potensi pertumbuhan pembanguan agregat dari interaksi pembangunan inter-regional yang sinergis atau saling memperkuat. Menyadari terjadinya disparitas pembangunan inter-regional, pemerintah berupaya menyelenggarakan berbagai program pengembangan wilayah. Strategi program pengembangan wilayah lebih didasarkan atas strategi dari sisi pasokan, berupa program pengembangan wilayah didasarkan atas keunggulan komparatif berupa upaya-upaya peningkatan produksi dan produktifitas wilayah didasarkan atas pertimbangan optimalisasi daya dukung, kapabilitas dan kesesuaian sumberdaya wilayah (Rustiadi, 2005).
1
4 Strategi pembangunan yang hanya dilakukan dari sisi pendekatan pasokan akhirnya terhenti akibat adanya keterbatasan dari sisi permintaan baik secara domestik maupun dari luar wilayah. Strategi pembangunan wilayah harus dikembangkan atas dasar strategi pengembangan sisi permintaan. Strategi ini dikembangkan
melalui
upaya-upaya
mendorong
tumbuhnya
permintaan-
permintaan suatu produk dan jasa secara domestik melalui peningkatanpeningkatan kesejahteraan diantaranya peningkatan pendapatan, pendidikan dan kesehatan. Keinginan untuk menjadikan pembangunan kelautan dan perikanan sebagai arus utama pembangunan nasional, yang ditunjukkan dengan letak geografis dan kandungan sumberdaya kelautan yang dimiliki, dengan potensi yang sangat besar serta kenyataan posisi geopolitis yang penting dan dinamis. Pertimbangan yang mendasari pembangunan berbasis sumberdaya perikanan dan kelautan sebagai arus utama pembangunan diantaranya adalah (Dahuri, 2003) : 1. Melimpahnya sumberdaya perikanan kelautan; 2. Keterkaitan yang kuat kedepan dan kebelakang antara industri berbasis kelautan dengan industri dan aktivitas ekonomi lainnya; 3. Sumberdaya kelautan merupakan sumberdaya yang dapat diperbaharui sehingga keunggulan komparatif dan kompetitif dapat bertahan. Pendekatan pembangunan yang sangat menekankan pertumbuhan ekonomi makro cenderung mengakibatkan terjadinya disparitas pembanguan antar wilayah yang cukup besar. Investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi dipusatpusat pertumbuhan, sementara wilayah belakangnya mengalami pengurasan sumberdaya berlebihan. Di Jawa Timur secara makro dapat dilihat ketimpangan pembangunan signifikan antara perkembangan wilayah pesisir Utara Jawa Timur dengan wilayah pesisir Selatan Jawa Timur. Disparitas pembangunan antara wilayah pesisir Utara Jawa Timur dengan wilayah pesisir Selatan Jawa Timur pada akhirnya menimbulkan permasalahan yang sangat merugikan proses pembangunan yang ingin dicapai. Studi tentang pengelolaan dan tingkat pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan perspektif ekonomi terhadap disparitas perkembangan wilayah pesisir Jawa Timur sangat perlu dilakukan.
1
5 1.2 Perumusan Masalah Persoalan pembangunan tidak hanya menyangkut perlunya investasi pembangunan untuk memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki untuk mendorong pertumbuhan semata, tetapi juga harus memperhatikan aspek distribusi dan pemerataan hasil pembangunan, sehingga hasil pembangunan dapat dinikmati seluruh lapisan masyarakat secara adil dan proporsional. Kerangka spasial, suatu pemerataan hasil pembangunan adalah adanya keseimbangan kemajuan antar wilayah. Salah satu masalah mendasar pembangunan di Indonesia adalah masalah disparitas pembangunan antar wilayah. Kebijakan pembangunan yang hanya menitik beratkan pencapaian pertumbuhan ekonomi semata, secara spasial ternyata menambah tingkat ketimpangan antar wilayah. Disparitas hasil pembangunan wilayah lebih disebabkan diantaranya 1. kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan 2. kebijakan yang bersifat sektoral (Hadi, 2001). Menurut Rustiadi (2005), beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah diantaranya adalah : (1). aspek geografi, (2). aspek aktifitas ekonomi serta (3). aspek kebijakan pemerintah. Aspek geografi, suatu wilayah yang cukup luas akan terjadi variasi spasial kuantitas dan kualitas sumberdaya. Apabila faktor-faktor yang lain berada pada posisi yang sama, maka kondisi geografi yang lebih baik akan berkembang dengan lebih baik pula. Dari aspek aktifitas ekonomi, faktor-faktor ekonomi yang menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah diantaranya adalah : (1). faktor ekonomi terkait perbedaan kuantitas dan kualitas faktor produksi yang dimiliki, (2). faktor ekonomi terkait akumulasi dari berbagai faktor, (3). faktor ekonomi terkait pasar bebas dan pengaruhnya pada spread effect dan backwash effect dan (4). faktor ekonomi terkait distorsi pasar, yaitu kebijakan pemerintah seringkali memberikan penekanan dan arah pertumbuhan dengan membangun pusat-pusat pertumbuhan yang justru menimbukan disparitas antar wilayah. Secara nasional potensi ikan masih belum dimanfaatkan secara optimal, namun di beberapa wilayah perairan tingkat pemanfaatannya telah melampaui potensi lestari maksimum. Tingkat pemanfaatan ikan di perairan Utara Pulau Jawa telah melampaui potensi lestari maksimum, tetapi di perairan Selatan Pulau Jawa masih mungkin dikembangkan. Mempertimbangkan kondisi sumbedaya ikan dan
1
6 dalam kerangka pembangunan nasional, peningkatan kontribusi perikanan harus diupayakan secara berhati-hati, agar tidak menimbulkan dampak negatif di masa mendatang. Peranan pengelolaan sumberdaya perikanan sangat strategis dan sangat erat kaitannya dengan isu lebih tangkap (over fishing), kelebihan kapasitas penangkapan, deplesi stok ikan, perubahan ekosistem dan meningkatnya perdagangan ikan dunia dengan segala potensi dampaknya (FAO, 1999). Berdasarkan penyebaran daerah penangkapan ikan, potensi produksi perikanan tangkap di perairan laut Indonesia dibagi berdasarkan sembilan wilayah pengelolaan perikanan. Potensi lestari sumberdaya ikan laut Indonesia sebesar 6,4 juta ton per tahun. Jumlah tangkapan yang diperbolehkan adalah 80 persen dari potensi lestari atau sekitar 5,12 juta ton per tahun (Dahuri, 2003). Pembangunan perikanan khsusunya perikanan tangkap di Indonesia hakekatnya mempunyai tujuan ganda yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan di satu sisi dan menjaga kelestarian sumberdaya ikan disisi lain. Program pembangunan perikanan baik langsung maupun tidak langsung seharusnya dapat menyentuh semua lapisan masyarakat nelayan. Perairan Selatan Jawa merupakan bagian dari wilayah pengelolaan perikanan Samudera Hindia (WPP 9), dengan wilayah perairan terbuka. Luas wilayah mencakup wilayah perairan teritorial dan perairan ZEE Indonesia. Perairan Selatan Jawa memiliki potensi sumbedaya ikan yang potensial. Potensi lestari sumberdaya ikan di WPP 9, meliputi Barat Sumatera, Selatan Jawa sampai dengan Selatan Flores. Dasar variasi pengaruh lautan, wilayah laut Jawa Timur dikategorikan menjadi lima wilayah, dua diantaranya adalah : 1. wilayah Utara Jawa Timur; 2. wilayah Selatan Jawa Timur. Wilayah Selatan ditandai gelombang tinggi dan sulit dijangkau nelayan kecil. Tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan laut Jawa Timur bervariasi berdasarkan wilayah penangkapan dan pengaruh iklim global lainnya (Muhammad, 2001). Reformasi kebijakan pembangunan daerah, harus segera dilakukan baik faktor eksternal yaitu kesepakatan didasarkan efisiensi dan faktor internal yaitu tuntutan
kesimbangan
wilayah
dalam
menikmati
hasil
pembangunan.
Penyeimbangan pembangunan antara wilayah pesisir Utara Jawa Timur dengan wilayah pesisir Selatan Jawa Timur perlu dilakukan secara berkesinambungan.
1
7 Pembangunan infrastruktur yang membuka wilayah pesisir Selatan Jawa Timur harus diikuti peningkatan kemampuan pengelolaan wilayah pesisir. Dari latar belakang, dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : 1.
Bagaimana keragaan sumberdaya perikanan laut mempengaruhi disparitas perkembangan wilayah pesisir Utara dan Selatan Jawa Timur;
2.
Sejauhmana kontribusi dan keterkaitan sektor perikanan laut mempengaruhi disparitas struktur perekonomian wilayah pesisir Utara dan Selatan Jawa Timur;
3.
Bagaimana keragaan disparitas kebijakan pengelolaan wilayah pesisir Utara dan Selatan Jawa Timur.
1.3 Tujuan Penelitian : Tujuan penelitian adalah untuk : 1. Mengidentifikasi disparitas pemanfaatan sumberdaya perikanan wilayah pesisir Utara dan Selatan Jawa Timur 2. Mengidentifikasi disparitas pembangunan wilayah pesisir Utara dan Selatan Jawa Timur 3. Menyusun strategi pengelolaan wilayah pesisir Utara dan Selatan Jawa Timur
1.4 Kegunaan Penelitian Hasil analisis bersifat makro penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan penetapan rekomendasi kebijakan pembangunan dengan merumuskan, menentukan, memprioritaskan, mengarahkan serta upaya peningkatan efisiensi alokasi dana investasi. Hasil analisis bersifat mikro digunakan sebagai masukan bagi para pelaku ekonomi serta seluruh stakeholders akan pentingnya pengelolaan wilayah pesisir.
1
8
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Wilayah Pesisir dan Lautan Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam, dan sering dilakukan perubahan-perubahan ekosistem dan sumberdaya alam. Perubahan-perubahan yang dilakukan tentunya dapat memberikan pengaruh lingkungan hidup. Semakin tinggi laju pembangunan, semakin tinggi pula tingkat pemanfaatan sumberdaya alam dan makin besar perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan hidup. Perencanaan pembangunan sistem ekologi yang berimplikasi perencanaan penggunaan sumberdaya alam, perlu diperhatikan kaidah-kaidah ekologis yang berlaku untuk mengurangi akibat-akibat negatif yang merugikan kelangsungan pembangunan secara menyeluruh. Perencanaan, pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam perlu dipertimbangkan secara cermat dan terpadu, sehingga dicapai pengembangan lingkungan hidup dalam pembangunan (Bengen, 2000). Pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan terjaganya kualitas lingkungan, agar secara agregat keputusan pembangunan dapat menguntungkan semua pihak (Darwanto, 2000 dalam Adibroto, 2001). Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu proses individu maupun lembaga untuk menggerakkan dan mengelola sumberdaya, agar menghasilkan perbaikan berkelanjutan menuju kualitas hidup yang diinginkan. Terdapat enam elemen kunci dalam pembangunan yaitu perubahan, proses, perbaikan atau pertumbuhan, keberlanjutan, distribusi dan kualias hidup. Pembangunan sebagai suatu perubahan, mewujutkan kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi sekarang, pembangunan sebagai suatu pertumbuhan, menunjukkan kemampuan kelompok untuk terus berkembang baik secara kualitas maupun kuantitas dan merupakan keharusan dalam pembangunan (Soley, 1999). Agenda 21 Indonesia, strategi nasional untuk pembangunan berkelanjutan menyarankan
pengelolaan
perencanaan
wilayah
pesisir
hendaknya
mengintegrasikan lingkungan dengan tujuan sosial dan harus dibuat dengan partisipasi aktif dan sedini mungkin dari anggota masyarakat (Sonak et al, 2008).
4
8
9 Partisipasi dan keterlibatan masyarakat hendaknya ditingkatkan melalui program pendidikan lingkungan serta pengelolaan limbah perairan hendaknya termasuk dalam upaya terpadu yang melibatkan seluruh perwakilan dikabupaten kota, provinsi hingga tingkat nasional (Lasut et al, 2008). Seragaldin dan Steer (1993) mengemukakan bahwa terdapat empat tipe yaitu tipe yang pertama adalah sumberdaya buatan manusia (man-made capital), seperti mesin, pabrik, bangunan dan bentuk infrastruktur dan teknologi lain. Wanmali (1992) menyatakan bahwa ada dua tipe infrastruktur yaitu hard infrastructure seperti jalan, telekomunikasi, listrik dan sistem irigasi dan soft infrastructure berbentuk pelayanan seperti transportasi, kredit dan perbankan, input produksi dan pemasaran. Secara fisik man made capital merupakan kekayaan hasil pembangunan yang dapat diukur dengan mudah. Tipe kedua adalah sumberdaya yang disediakan oleh lingkungan (natural capital) seperti sumberdaya alam dan lingkungan hidup, baik yang dapat diperbaharui ataupun tidak. Tipe ketiga adalah sumberdaya manusia (human capital) serta tipe keempat adalah sumberdaya sosial (sosial capital) sebuah bentuk fungsi kelembagaan dan budaya berbasis sosial. Fauzi (2001) mengemukakan pengelolaan sumberdaya alam adalah bagaimana (how best) mengelola sumberdaya alam tersebut di dalam suatu wilayah untuk dapat menghasilkan manfaat sebesar-besarnya bagi manusia dan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya alam itu sendiri. Paradigma pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, telah mengalami perubahan menjadi pembangunan yang berkelanjutan. Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini, tanpa mengurangi kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhannya. Konsep keberlanjutan merupakan konsep sederhana namun kompleks, sehingga pengertian keberlanjutan sangat multi dimensi dan multi interprestasi. Pengertian sederhana dalam perspektif ekonomi terutama pandangan ekonomi neo klasikal, keberlanjutan diartikan sebagai maksimalisasi kesejahteraan sepanjang waktu. Konsep kesejahteraan menyangkut dimensi yang sangat
luas,
perspektif
neo-klasikal
melihatnya
sebagai
maksimalisasi
kesejahteraan yang diturunkan dari utilitas yang diperoleh dengan mengkonsumsi barang dan jasa. Barang dan jasa yang dikonsumsi antara lain dihasilkan dari
4
9
10 sumberdaya alam dan lingkungan (Fauzi, 2004). Di banyak negara, terutama negara berkembang, terdapat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap sumberdaya laut untuk memenuhi kehidupan sehari-harinya, sebagai menahan dampak angin topan dan tsunami, dan sebagai media transportasi laut, pariwisata, perikanan, dan pengembangan daerah pesisir. Terdapat 1.2 juta orang (23%) dari total penduduk dunia yang hidup di wilayah pesisir dan secara terus menurus memberikan tekanan kepada ekosistem pesisir sehingga terjadi perubahan relative cepat diseluruh dunia. Ekosistem pesisir juga berubah diantaranya akibat kerusakan habitat, penangkapan ikan yang berlebihan serta dampak tumpahan minyak. Pengelolaan wilayah pesisir teradu (ICM) berpotensi untuk menampung banyak isu ditujukan ke proses multi-stakeholder, tetapi hendaknya didukung kolaborasi, kontribusi dan penghargaan pemerintah. (Wilson dan Wiber, 2009). Sumberdaya kelautan Indonesia merupakan salah satu aset pembangunan yang penting dan memiliki peluang sangat besar untuk dijadikan sumber pertumbuhan ekonomi baru. Setidaknya terdapat tiga alasan utama yang mendasarinya, pertama, secara fisik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Kedua di wilayah pesisir dan lautan yang sangat luas terdapat potensi pembangunan berupa aneka sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang belum dimanfaatkan secara optimal (Resosudarmo et.al., 2000). Ketiga, seiring pertambahan jumlah penduduk dunia dan semakin menipisnya sumberdaya pembangunan didaratan, permintaan terhadap produk dan jasa kelautan diperkirakan meningkat (Resosudarmo et.al., 2002). Indonesia memiliki potensi sumberdaya wilayah pesisir dan laut yang sangat besar. Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Dilihat dari garis pantai, wilayah pesisir mempunyai dua macam batas, yaitu batas sejajar garis pantai dan batas tegak lurus terhadap garis pantai. Secara ekologis wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Batas wilayah pesisir ke arah darat mencakup daratan yang masih di pengaruhi proses-proses kelautan. Batas wilayah pesisir ke arah laut meliputi perairan laut yang masih dipengaruhi proses-proses alamiah dan kegiatan manusia di daratan (Dahuri, 1998).
4
10
11 Wilayah pesisir merupakan wilayah yang bersifat dinamis dan merupakan tantangan bagi sistem perencanaan wilayah pesisir dengan tingkat ketidakpastian dan dinamika yang sangat tinggi. Lingkungan kelautan masih sedikit dimengerti jika dibanding wilayah daratannya, terutama yang berhubungan dengan flora dan fauna serta dampak dari perubahan yang terjadi. Secara pasti, perencanaan wilayah pesisir jauh lebih rumit dibandingkan dengan perencanaan wilayah daratan lainnya, karena ekosistem wilayah pesisir lebih kompleks dibandingkan dengan ekosistem daratan lainnya. Dibutukan komunikasi yang baik antara berbagai kelompok masyarakat lokal untuk bersama-sama bekerja dan berpikir secara nasional dalam konteks wilayah lokal. Yang perlu diingat manajemen wilayah pesisir terpadu (ICZM) merupakan rangkaian proses, yang lebih mengarah kepada penjiwaan dari sekedar bentuk spesifik dari sebuah manajemen. Tidak ada yang salah ataupun benar dalam metode penerapan ICZM, karena setiap situasi tentunya berbeda (Stead dan McGlashan, 2006). Kawasan pesisir dan lautan merupakan kawasan yang kaya akan berbagai ekosistem sumberdaya alam dengan keanekaragaman hayatinya total nilai kawasan pesisir di seluruh permukaan bumi yang disebut dengan word’s gross natural product (COREMAP, 1999). Wilayah pesisir pada umumnya merupakan wilayah yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat. Karena kondisi geografis dan potensi yang dimilikinya, banyak sektor ekonomi yang berkembang diwilayah pesisir. Khususnya di wilayah pesisir, sektor-sektor ekonomi yang dominan adalah perikanan laut, yang mencakup kegiatan penangkapan, budidaya dan pengolahan (Anonymous, 2000). Pengelolaan wilayah pesisir terpadu adalah proses pengaturan, para stakeholder dan anggota kelompok memiliki kekuatan dan kesempatan formal untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan yang merupakan hal penting berdampak pada peraturan pengelolaan perikanan. Banyak pelaku aktifitas ekonomi disektor perikanan tidak memiliki kemauan untuk maju dan mendiskusikan permasalahan keamanan dan pengelolaan perikanan secara terbuka karena pendapatnya seringkali tidak berpengaruh pada peraturan yang sedang disusun. Masyarakat pesisir membutuhkan koordinasi lebih lanjut dengan pemerintah dalam pembentukan peraturan yang mengatur kehidupan dimasa
4
11
12 mendatang (Kaplan dan Powell, 2000). Pengelolaan wilayah pesisir terpadu telah digunakan lebih dari satu dekade untuk mengarahkan perubahan paradigma dalam pengelolaan sumberdaya pesisir Kesuksesan dapat diraih apabila para stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu memiliki inisiatif untuk berbagi pengalaman, belajar dari kesalahan masa lalu dan memiliki keinginan untuk mengubah strategi pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Pengelolaan wilayah pesisir terpadu hendaknya dimengerti sebagai proses dinamis dan interaktif yang mengalami dinamika dan perubahan secara ters menrus. Pengelolaan wilayah pesisir terpadu membutuhkan waktu dan dukungan jangka panjang dari pemerintah, membawa pada pendekatan pengelolaan yang efisien, adil, bertahan, dan berkelanjutan (Hauck dan Sowman, 2001). Sebuah tantangan bagi seluruh stakeholder yang terlibat, untuk menemukan keseimbangan antara mendorong kegiatan dan mengelola lingkungan pesisir yang tepat dibawah panduan yang telah disepakati secara internasional. Untuk menjawab tantangan tersebut, beberapa rekomendasi yang diusulkan antara lain: 1) dibutuhkan jawaban atas permasalahan lingkungan wilayah pesisir dan termasuk respon dalam perspektif jangka panjang untuk para pembuat kebijakan, 2) dibutuhkan pengakuan terhadap kebergantungan ekonomi dan sistem lingkungan dan untuk menentukan batas antara aktivitas manusia yang dibutuhkan, khususnya di daerah pesisir, dan 3) dibutuhkan perlindungan terhadap kelestarian lingkungan dan mengembalikan lingkungan yang terdegradasi (Sarda, Avila, dan Mora, 2005). Wilayah laut terlindung (Marine Protected Areas) merupakan salah satu bentuk program untuk melindungi keberagaman dan mengelola habitat pesisir yang sensitif dan juga untuk melindungi spesies yang berharga secara komersial serta beragam bentuk pengelolaan aktivitas ekonomi di wilayah pesisir (Cho, 2005). Dalam pendekatan pengelolaan, akan lebih efektif apabila terdapat pihakpihak yang pro aktif, mengambil sudut pandang strategi jangka panjang, mengenali dinamisme dari sistem yang sedang dikelola, adaptif (dalam hal geografis dan respon terhadap informasi baru), dan mencari solusi yang menyeluruh (Fletcher dan Pike, 2007). Sistem pengelolaan wilayah pesisir terpadu merupakan sistem pengelolaan wilayah pesisir yang memiliki karekateristik
4
12
13 serupa baik sumberdaya alami dan manusianya yang secara fisik terhubung melalui laut (Laine dan Kronholm, 2005). Kelompok pesisir lokal merupakan organisasi netral yang mewakili banyak kepentingan dan memiliki peran yang sangat penting dalam melibatkan mayarakat, meningkatkan kesadaran, dan menampung aspirasi (Storrier dan McGlashan, 2006).
2.2 Tipologi Perkembangan Wilayah Pesisir Konsep ruang mempunyai beberapa elemen atau unsur yang dapat dilihat secara terpisah, secara bersamaan dan dipergunakan dalam ruang lingkup yang lebih luas yaitu organisasi tata ruang dari kegiatan manusia. Unsur-unsur tata ruang penting adalah jarak, lokasi, bentuk dan ukuran atau skala. Keempat unsur ini secara bersamaan menyusun unit tata ruang yang disebut Wilayah. Usaha menetapkan batas-batas wilayah, kerapkali pengelompokan atas kriteria : homogenitas; nodalitas dan unit program atau unit administrasi. Konsep homogenitas menetapkan batas berdasarkan beberapa persamaan unsur tertentu, seperti unsur ekonomi wilayah yaitu pendapatan per kapita, kelompok industri maju, tingkat pengangguran atau keadilan sosial politik seperti identitas wilayah berdasarkan sejarah, budaya dan sebagainya. Konsep nodalitas, menekankan perbedaan struktur tata ruang dalam wilayah terdapat sifat ketergantungan fungsional. Mendefinisikan konsep disadari penduduk tidak dapat hidup terpisahpisah sedemikian rupa, cenderung berkumpul pada pusat yang spesifik dari kegiatan. Pusat atau kota dan wilayah belakangnya saling tergantung dan tingkat ketergantungan dapat dilihat dari arus penduduk, faktor produksi, barang-barang dan pelayanan ataupun komunikasi dan transportasi (Budiharsono, 2006). Setiap wilayah mempunyai satu atau beberapa kota besar sebagai pusat dan diantaranya tertinggi berwujut kota metropolitan dan prinsip dominasi atau pengaruh kota dipakai untuk menetapkan batas wilayah. Konsep administrasi atau unit program, lebih mudah dipahami karena didasarkan perlakuan kebijakan yang sama disebut wilayah perencanaan atau wilayah program. Manfaat konsep ini adalah perencana dan analisisi dapat bekerja dan lebih mudah mengadakan evaluasi dan monitoring program pembangunan. Kelemahannya adalah batas wilayah administrasi tidak sama dengan wilayah fungsional (Budiharsono, 2006).
4
13
14 Teori kutub dan pusat pertumbuhan menekankan pada kutub pertumbuhan ruang ekonomi. Teori dipergunakan memahami dan menanggapi masalah di bidang yang menunjukkan hubungan kausal diantara berbagai variabel dalam kerangka utuh di bidang tertentu. Abstraksi ruang dibedakan atas tiga tipe yaitu : ruang sebagai suatu rencana diagram atau cetak biru; ruang sebagai medan kekuatan-kekuatan dan ruang sebagai suatu keadaan yang homogen. Kutub diartikan vektor dari ruang ekonomi sebagai medan kekuatan. Ruang ekonomi mengandung pusat-pusat dan kutub-kutub yang mempunyai kekuatan centrifugal yang memancar sekelilingnya dan mempunyai kekuatan centripental yang menarik. Setiap pusat merupakan pusat penarik dan penolak serta mempunyai medan sendiri dalam gugus medan pusat-pusat lainnya. Unit ekonomi yang dominan tampil memainkan peranan utama dalam ruang ekonomi. Persaingan diantara perusahaan-perusahaan sejenis menciptakan keadaan hanya perusahaan kuat saja yang bisa hidup. Peranan dari unit-unit tersebut digambarkan sebagai perusahaan pendorong. Perusahaan-perusahaan pendorong dapat meningkatkan produksi perusahaan lainnya, jika peningkatan produksi tularan, lebih besar dari kenaikan produksi pendorong, maka perusahaan pendorong disebut perusahaan utama. Ciri-ciri perusahaan pendorong antara lain : perusahaan besar dengan modal besar dan tekonologi maju; termasuk ke dalam kelompok industri maju dan cepat tumbuh; mempunyai produktifitas tinggi dan kemampuan besar dalam penerapan teknologi maju; mempunyai posisi penawaran kuat dan hubungan kuat dengan kegiatan lain di wilayah tersebut (Todaro, 1995). Pengertian kutub pertumbuhan didasarkan atas teori keseimbangan dengan menyadari seluruh produksi bukan hanya merupakan penjumlahan produksi dari setiap perusahaan dalam suatu matrik, tetapi merupakan fungsi pengaruh mempengaruhi perusahaan tertentu yang ditimbulkan arus perusahaan-perusahaan lain dan proses rangkaian dinamis menciptakan hubungan ketergantungan serta tumbuh berkembang terus menerus. Konsep dasar sosial ekonomi dari kutub pertumbuhan meliputi : 1. Konsep industri utama dan perusahaan pendorong, berdasarkan karakteristiknya, industri utama dan perusahaan-perusahaan pendorong mendominasi unit-unit ekonomi lainnya. Terdapat gugus perusahaan
4
14
15 atau industri kutub pertumbuhan tersebut. Lokasi geografis dapat terjadi berdasarkan manfaat atau keuntungan yang diperoleh dari lokasi sumberdaya, tenaga kerja atau fasilitas prasarana; 2. Konsep polarisasi, pertumbuhan dari industri utama dan perusahaan pendorong menimbulkan polarisasi unit-unit lainnya ke kutub pertumbuhan. Aglomerasi ekonomi ditandai : a. economics internal to firm dicirikan dengan biaya produksi rata-rata yang rendah, b. economics external to firm but internal to industry, ditandai penurunan biaya tiap unit produksi karena lokasi tertentu dari industri, seperti dekat dengan sumber bahan baku dan tenaga kerja trampil. 3. Konsep spred backwash effect dan konsep trikling down effect, konsepkonsep ini mengandung pengertian pemancaran, penyebaran, penetesan dan pengertian penarikan, pengumpulan atau polarisasi yang terjadi diantara hubungan kutub dan wilayah pengaruhnya (hinterland). Struktur perekonomian wilayah merupakan faktor dasar yang membedakan keadaan wilayah dengan wilayah lainnya. Perbedaan sangat erat dengan kondisi dan potensi wilayah baik dari segi fisik lingkungan, ekonomi sosial dan kelembagaan (Todaro, 1995). Strategi kutub dan pusat pertumbuhan telah menarik penentu kebijakan pembangunan karena beberapa alasan antara lain : 1. Berbagai aglomerasi ekonomi cenderung menjadi alasan efisien dalam rangka menekan biaya-biaya; 2. Konsentrasi investasi di titik-titik pertumbuhan spesifik menjadi lebih murah, khususnyanya pembiayaan pemerintah tersebar di wilayahwilayah yang lebih luas dan; 3. Spred effect mengimbas ke sekitar titik pertumbuhan menanggulangi masalah-masalah didaerah terbelakang. Dampak atau manfaat dari strategi kutub dan pertumbuhan dipandang kurang memuaskan, terutama spread effect atau trickling down ke daerah pinggiran (periphery) tidak berlangsung sebagaimana yang diharapkan. Telaah dan studi dan penelitian dampak strategi kutub dan pusat pertumbuhan menghasilkan pemahaman sebagai berikut :
4
15
16 1. Spread effect dari pusat pertumbuhan biasanya lebih kecil dari yang diharapkan, atau lebih kecil dari backwash effect dan memberikan hasil akhir negatif bagi hinterlandnya. Spread effect secara geografis amat terbatas dan sempit, biasanya terbatas commuting area dan berfungsi sesuai dengan ukuran pusat-pusat yang bersangkutan; 2. Peningkatan pendapatan di pusat-pusat berhirarki lebih rendah atau di wilayah pedesaan menyebabkan penggandaan pendapatan yang kuat di pusat-pusat yang jenjang hirarkinya lebih tinggi dan tidak sebaliknya dan tampaknya lebih berorientasi ke atas dari pada ke bawah, dalam sistem jenjang hirarki kota-kota; 3. Kerangka pembangunan lebih luas, khususnya pembangunan tata ruang, agak sulit menerapkan kebijakan pusat pertumbuhan untuk daerahdaerah terbelakang karena kurangnya spread effect dari kota-kota ke daerah hinterland yang lebih luas. Penerapan strategi kutub dan pusat pertumbuhan cenderung gagal karena kekeliruan dalam beberapa hal diantaranya adalah : 1. Seringkali
penentu
kebijakan
membuat
keputusan
melakukan
konsentrasi investasi wilayah yang kondisinya tidak menunjukkan tingginya potensi industri untuk tumbuh didaerah-daerah terbelakang. Daerah industri membutuhkan kondisi tertentu untuk tumbuh, selain faktor investasi semata; 2. Pertumbuhan diprioritaskan pada distribusi atau pemerataan. Kesadaran kutub dan pusat pertumbuhan lebih didasarkan pertimbangan fungsional dari pada berdasarkan geografis yang cenderung diabaikan; 3. Kecenderungan kutub-kutub pertumbuhan mempunyai interaksi dengan kutub-kutub di wilayah lain. Tidak terdapat hubungan dan interaksi yang cukup nyata dengan industri-industri tersebar diwilayah bersangkutan. Seharusnya terdapat interaksi kutub-kutub pertumbuhan berfungsi dengan industri-industri. Industri seharusnya menyediakan input, bahan baku atau bahan setengah jadi bagi industri pendorong atau industriindustri pendorong harus memanfaatkan input dari industri-industri
4
16
17 lokal. Di bidang agroindustri, pengolahan hasil perikanan memanfaatkan hasil-hasil tangkapan nelayan lokal di wilayah pedesaan; 4. Adanya batas pertumbuhan atau polarisasi dari kutub dan pusat pertumbuhan, masalah Diseconomics of scale. Industri maju di kotakota, mengalami kemunduran disebabkan diseconomics of scale, seperti masalah efisiensi manajemen perusahaan besar, kenaikan biaya produksi. Manfaat aglomerasi berkurang akibat meningkatnya biaya fasilitas pelayanan umum, kenaikan gaji dan upah, kenaikan harga bahan baku dan energi disebabkan ongkos sosial seperti pencemaran suara, udara dan air. Bila tidak diatasi dan tetap dipertahankan, memerlukan biaya tinggi dibebankan kegiatan ekonomi di tempat lain; Kutub dan pusat pertumbuhan tampil di kota-kota yang memiliki kompleks industri pendorong, masalahnya adalah ukuran dari kota tersebut. Pertumbuhan kota menghadapi masalah-masalah perluasan kota, baik disebabkan tata ruang dan topografi, masalah harga tanah, teknologi, fasilitas transportasi, jaringan
komunikasi,
fasilitas
pelayanan
sosial
dan
tata
guna
lahan.
Menanggulangi masalah ini dapat dipecahkan melalui analisa dan teori batas ambang pertumbuhan kota yaitu cara penyebaran kota-kota dengan ukuran-ukuran tertentu dalam sistim tata ruang, terutama di wilayah-wilayah yang kurang maju.
2.3 Nilai Ekonomi Sumberdaya Wilayah Pesisir Sumberdaya dapat didefinisikan dalam arti luas sebagai segala sesuatu yang baik langsung maupun tidak langsung memiliki nilai untuk memenuhi kebutuhan manusia (Randall, 1997). Menurut Adrianto (2006), sumberdaya secara awam sering diartikan sebagai sesuatu yang bernilai untuk melaksanakan kegiatan tertentu. Menurut pandangan ekonomi, paling tidak dikenal tiga sumberdaya yaitu sumberdaya kapital, sumberdaya tenaga kerja dan sumberdaya alam. Sumberdaya kapital menunjuk kepada kelompok sumberdaya yang digunakan untuk menciptakan proses produksi yang lebih efisien. Sementara sumberdaya tenaga kerja dimaksudkan sebagai kapasitas produktif dari manusia baik secara pisik maupun mental yang terkait dengan kemampuan untuk bekerja atau memproduksi suatu barang dan atau jasa. Sedangkan sumberdaya alam adalah stok materi living
4
17
18 maup non living yang terdapat dalam lingkungan pisik secara potensial memiliki fungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Sumberdaya
alam
memiliki
peran
ganda,
yaitu
sebagai
modal
pertumbuhan ekonomi (resource basesd economy) dan sekaligus sebagai penopang sistem kehidupan (life support system). Sumberdaya alam sangat berperan sebagai tulang punggung perekonomian nasional (BPS, 2008). Pada dasarnya pertumbuhan ekonomi disebagian besar negara di dunia adalah berbasiskan sumberdaya alam. Perkembangan pemikiran mengenai perhitungan pertumbuhan ekonomi suatu negara, yang biasanya dianggap sebagai penggambaran dari kesejahteraan masyarakat (System of National Accounting / SNA, Growth Domestic Product / GDP dan Net National Product / NNP), ternyata masih mengabaikan perhitungan mengenai penurunan sumberdaya. Perkembangan selanjutnya dalam neo classical ekonomi, pengukuran dengan menggunakan GDP dan NNP, belum menjawab mengenai sumberdaya itu sendiri dalam kaitannya dengan man-made capital, human capital dan natural capital, yang dalam kurun waktu tertentu mengalami depresi dan apresiasi. Natural capital sendiri pada dasarnya menghasilkan barang dan jasa yang tidak dihitung secara utuh dalam prespektif neo-classical economy (Fauzi dan Anna, 2002). Indonesia memiliki modal sumberdaya alam (natural capital) yang besar dan relative masih belum optimal pemanfaatannya, ditambah dengan modal sosial (sosial capital), teknologi dan sumberdaya manusia yang perlu didesain secara komprehensif dalam sebuah aransemen pembangunaan yang tepat dan berkelanjutan. Dengan meletakkan fungsi dan kebijakan ekonomi secara benar sesuai dengan visi ecological economics (EE) maka pembangunan berkelanjutan sebagai tujuan akhir dari visi ecological economics (EE) adalah suatu keniscayaan, yaitu sebuah konesp pembangunan ekonomi yang lebih arif, meletakkan keseimbangan peran manusia sebagai bagian dari komunitas dan kelestarian ekosistem (Adrianto, 2004b). Nilai keberadaan merupakan katagori nilai yang dimiliki ekosistem pesisir. Nilai keberadaan ekosistem pesisir merupakan nilai kegunaan didapat seseorang atau masyarakat mengetahui ekosistem pesisir terpelihara keberadannya. Keberadaan sistem alam termasuk indivisible in consumtion, kegunaan diperoleh
4
18
19 seseorang yang mengetahui keberadaan spesies atau ekosistem, tidak berkurang hanya karena orang lain juga mengetahui keberadaan spesies atau ekosistem tersebut. Salah satu wujud nyata adanya nilai keberadaan adalah timbulnya partisipasi didalam usaha merehabilitasi sumberdaya alam yang mengalami kerusakan,
partisipasi
pelestarian
tumbuhan.
Kegunaan
keberadaan
dan
ketidakbergunaan karena kepunahan merupakan sumber nilai keberadaan. Pertimbangan dasar penetapan ekosistem pesisir paling tidak menggunakan lima kriteria utama yaitu (Alikodra, 1999) : 1. Keanekaragaman, yaitu sumberdaya pesisir memiliki keanekaragaman yang besar, baik biota maupun ekosistemnya, penting dalam menentukan stabilitas biota dan menjamin sumber genetika yang besar. 2. Keterwakilan, yaitu sumberdaya pesisir memiliki formasi biota tertentu dan dipergunakan pembaku bagi formasi-formasi sejenis di daerah lain. 3. Keaslian, yaitu sumberdaya pesisir memiliki kondisi biota maupun fisik sejauh mungkin masih asli atau belum dipengaruhi kegiatan manusia. 4. Kekhasan, yaitu sumberdaya pesisir harus memiliki sifat-sifat yang khas yang tidak diketemukan di daerah lain. 5. Keefektifan, yaitu sumberdaya pesisir memiliki kondisi yang mendukung efektifitas pengelolaan, seperti luas, batas alam seperti sungai, pantai sehingga memudahkan pengawasan dan pengamanan. Bertitik tolak kriteria tampak bahwa kriteria satu sampai lima dapat menjadi sumber adanya nilai keberadaan. Pengembangan konsep nilai keberadaan sangat membantu sebagai penghubung antara ahli ekonomi dan ahli lingkungan di dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Nilai Penggunaan adalah nilai kegunaan atau manfaat yang diperoleh seseorang atau masyarakat dari penggunaan barang atau jasa lingkungan saat kini. Penggunaan barang atau jasa lingkungan bersifat konsumtif maupun non konsumtif. Jenis nilai penggunaan digolongkan atas dua nilai penggunaan yaitu nilai penggunaan langsung dan nilai penggunaan tidak langsung (Dahuri, 2000) Surplus konsumen dari sumberdaya pesisir menggunakan asumsi ekosistem pesisir dianggap barang privat. Jumlah responden yang bersedia membayar sama dengan jumlah permintaan dan nilai nominal yang bersedia
4
19
20 dibayar responden sama dengan harga dari nilai ekonomi pesisir. Total nilai ekonomi dari sumberdaya pesisir dan laut terdiri dari nilai pakai dan nilai yang bukan nilai pakai. Nilai pakai adalah nilai yang timbul dari pemanfaatan sebenarnya terhadap fungsi atau sumberdaya yang terdapat dalam ekosistem. Nilai-nilai pakai selanjutnya dibagi menjadi nilai-nilai pemanfaatan secara langsung, nilai-nilai dari pemanfaatan secara tidak langsung dan nilai pilihan. Nilai-nilai pemanfaatan secara langsung adalah pemanfaatan sebenarnya. Nilainilai pemanfaatan secara tidak langsung berupa keuntungan-keuntungan berasal dari fungsi-fungsi ekosistem. Nilai-nilai pilihan adalah nilai yang menunjukkan kesediaan seseorang membayar pelestarian sumberdaya pesisir dan laut bagi penggunaan dimasa depan, nilai-nilai pilihan dapat dianggap sebagai premi asuransi dan masyarakat bersedia membayarnya guna menjamin pemanfaatan di masa depan terhadap sumberdaya pesisir dan laut (Pearce & Moran, 1994). Menurut Spinner (2006), kekuatan ekonomi wilayah sangat tergantung ketersediaan sumberdaya alam berkelanjutan. Hubungan manajemen sumberdaya dan pembangunan ekonomi dijelaskan dengan konsep nilai sumberdaya. Nilai dikuantifikasi dengan mengukur nilai hasil produksi sumberdaya, pendapatan ekspor, jumlah orang yang terserap ke dalam lapangan pekerjaan baik langsung maupun tidak langsung, dan nilai budaya sumberdaya yang tidak dapat dikuantifikasi dengan uang. Berbagai perististiwa yang merusak ekosistem wilayah, seperti banjir memiliki dampak langsung pada nilai sumberdaya dan mempengaruhi produktivitas dan kesejahteraan ekonomi penduduk. Melalui upaya-upaya pencegahan dan rehabilitasi kerusakan serta pengelolaan sumberdaya terpadu, integritas ekologi menjadi terjamin dan kegiatan produksi dapat berlangsung berkelanjutan, kesejahteraan ekonomi masyarakat dapat dicapai. Menurut Biro Pusat Statistik, tingkat kesejahteraan dikaji melalui bidang-bidang antara lain : kependudukan, pendidikan dan kesehatan (Suwito, 2005). Salah satu tujuan utama komunitas berbasis pengelolaan sumberdaya pesisir adalah pemberdayaan masyarakat yang kurang beruntung, terdiri dari sebagian besar penduduk pesisir dan seringkali terpengaruh oleh berbagai isu pengelolaan. Pengembangan komunitas haruslah berlandaskan pendekatan pendidikan dan pematangan organisasi komunitas sebagai dasar utama mencapai
4
20
21 tujuan yaitu melestarikan sumberdaya, rehabilitasi habitat, dan pengurangan kemiskinan
(Balgos,
2005).
Mengkombinasikan
partisipasi
masyarakat,
pendidikan lingkungan dan dorongan ekonomi merupakan keputusan yang tepat untuk secara bersama-sama memberikan dukungan kelembagaan dalam jangka panjang dari pemerintah, lembaga non-pemerintah, akademisi, atau institusi lainnya yang tergabung dalam kerangka kesuksesan penyelenggaraan wilayah laut terlindung/Marine Protected Areas (White et al, 2005).
2.4 Integrasi Perikanan dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan geranasi mendatang untuk memenuhi kebuthan hidupnya. Pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan semacam ambang batas laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Ambang batas ini tidaklah bersifat mutlak, tetapi merupakan batas yang luwes yang bergantung pada kondisi teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam, serta kemampuan biosfir untuk menerima dampak kegiatan manusia. Pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiah sedemikian rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia tidak rusak, sehingga pengelolaan pesisir dan laut yang berkelanjutan tidak lepas dari frame pembangunan berkelanjutan (Dahuri, 2000). Perikanan merupakan salah satu aktivitas ekonomi yang sangat kompleks. Tantangan untuk memelihara sumberdaya menjadi issue yang cukup kompleks dalam pembangunan perikanan. Keberlanjutan merupakan kata kunci dalam pembangunan perikanan yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi sumberdaya dan masyarakat perikanan. Walaupun konsep keberlanjutan dalam perikanan sudah dapat dipahami, namun sampai sekarang masih menghadapi kesulitan dalam menganalisis atau mengevaluasi keberlanjutan pembangunan perikanan. Khususnya ketika dihadapkan pada permasalahan mengintegrasikan informasi atau data dari ekologi, sosial, ekonomi maupun ehtik (Fauzi, 2002). Perikanan sebagai suatu sumberdaya yang bersifat common property dan berada pada suatu
4
21
22 tempat yang tidak mudah untuk dipisahkan atau dibagi-bagikan, pemanfaatan sumberdaya yang dilakukan seorang individu berpengaruh pada individu yang lain. Persoalan eksternalitas tetap muncul saat sumberdaya tersebut dimanfaatkan, wakaupun sumberdaya tersebut terdistribusikan merata menurut waktu dan lokasi. Kondisi sumberdaya perikanan, eksternalitas merupakan dilemma sebuah ciri khas dan membedakannya dari sumberdaya lainnya (Sobari, 2003). Pembangunan perikanan berkelanjutan adalah suatu kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya guna memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Terdapat dua substansi pokok yaitu : 1) konsep kebutuhan mensejahterakan nelayan dan generasi mendatang, 2) gagasan tentang keterbatasan yang bersumber kepada keadaan teknologi dan organisasi sosial yang dikenakan terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan masa mendatang (Kusumastanto, 2003). Terdapat beberapa cara pengembangan perikanan, diantaranya memperbaiki kerangka legislatif yang berpengaruh pada sektor perikanan, dan penguatan institusional departemen perikanan berupa kolaborasi yang lebih baik dengan departemen lain, ketiga, memecahkan masalah pendanaan,
keempat
meningkatkan
penelitian
perikanan
dan
kelima
pengembangan sumberdaya manusia dibidang perikanan (Thorpe et al. 2009). Pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan pesisir pada masa otonomi daerah yang paling tepat adalah dengan melakukan pengelolaan secara optimal, yang dapat menjamin potensi lestari sumberdaya perikanan dan stablitas produksi serta keberlanjutan ditingkat usaha perikanan, sesuai Undang-undang otonomi daerah dalam rangka menjamin kelestarian sumberdaya wilayah pesisir dan sumberdaya hayati laut. Pengelolaan optimal perikanan laut memberikan ruang tidak saja untuk keberlanjutan sumberdaya perikanan namun juga mendorong pemerataan serta tegaknya kelembagaan dan kearifan lokal di wilayah pesisir dan lautan. Pengelolaan optimal juga dapat mengalokasikan sumberdaya secara lebih efektif dan efisien sehingga mendorong perubahan produksi kearah yang sesuai dengan daya dukung ekonomi dan daya dukung ekologis wilayah pesisir (Masydzulhak, 2006).
4
22
23 Revitalisasi perikanan merupakan upaya yang tidak dapat dilakukan dalam jangka pendek dan merupakan upaya jangka panjang dan terus menerus. Revitalisasi perikanan itu sendiri memerlukan prasyarat perubahan diantaranya adalah kemauan untuk mengubah pendekatan sektoral menuju pendekatan integratif untuk mengelola sumberdaya perikanan (Dahuri dan Adrianto, 2005). Penurunan yang tajam pada spesies ikan lebih disebabkan oleh terjadinya penangkapan yang berlebihan sebagai akibat dari perubahan sistem ekonomi menjadi ekonomi pasar bebas (Vetemaa et al, 2005). Komunitas ikan di wilayah pesisir pantai Baltik perubahan yang signifikan terjadi karena faktor eutrofikasi dan suhu air (Adjers et al, 2005). Eutrofikasi merupakan peningkatan kadar nitrogen dan fosfor di laut, diakui sebagai ancaman utama pada ekosistem laut (Nordvarg dan Hakanso, 2002). Statistika penangkapan ikan yang formal sekarang ini masih merupakan satu sumber data yang digunakan secara luas untuk menggambarkan dinamika persediaan ikan (Lajus, Ojaveer, Tammiksaar, 2007). Proses terpadu pengelolaan perikanan meliputi pengumpulan informasi, analisis,
perencanaan,
konsultasi,
pembuatan
keputusan,
pengalokasian
sumberdaya dan formulasi serta implementasi, dengan pelaksanaan peraturan yang berpengaruh pada aktivitas perikanan dalam rangka untuk memastikan keberlanjutan produktivitas sumberdaya (FAO, 1997). Pengelolaan perikanan meliputi : 1) mengatur kebijakan dan tujuan budidaya perikanan yang ada maupun potensial serta aktivitas lain terkait dengan pengaruh potensi ekonomi serta kontribusi sosial perikanan untuk tujuan dan kebutuhan lokal maupun nasional; 2) menentukan dan mengimplementasikan tindakan yang penting untuk memungkinkan stakeholders untuk bekerja mencapai tujuan (FAO, 1996). Nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal diantarnya meliputi nilai pengetahuan, religi, sosial dan ekonomi. Tipe pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan dalam kerangka co–management merupakan tipe cooperatif, pemerintah dan masyarakt terlibat secara bersama dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan (Ramadhan, 2006). Masalah utama dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah adanya kesenjangan antara kepercayaan publik seperti konservasi jangka panjang stok perikanan dan lingkungan ekologi dengan adanya keinginan tertentu dari pengguna yang mengeksploitasi sumberdaya
4
23
24 perikanan. Terdapat dua faktor utama yang berkontribusi terhadap perilaku nelayan memanfaatkan sumberdaya perikanan yaitu faktor internal dan eskternal. Perilaku positif nelayan merupakan perilaku yang comform, mengikuti prinsip ekonomi dan konservasi, sedangkan perilaku negatif adalah kegiatan destruktif yang berakibat buruk bagi kelestarian sumberdaya perikanan (Amanah, 2006). Masyarakat dan stake holders terkait yang diwakili lembaga adat seharusnya terlibat secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi kebijakan terkait dengan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Pentingnya untuk mengambil nilai-nilai kearifan lokal yang sudah ada dalam masyarakat kedalam suatu model pengelolaan diterjemahkan dalam bentuk co-management, secara ideal masyarakat dan pemerintah adalah mitra yang setara, perhatian utamanya adalah bagaimana memecahkan masalah dalam sistem pengaturan dan pengawasan (Dubbink and Viiet, 1996). Ancaman terhadap kapasitas keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perikanan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, baik akibat aktivitas manusia maupun fenomena alam, menuju sumberdaya pesisir dan lautan secara sektoral dan dapat diatasi melalui pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan dengan pendekatan terpadu dan holistik (Efendy, 2005). Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), mengamanatkan negara-negara didunia untuk melakukan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara bertanggung jawab. Prinsip-prinsip pengelolaan meliputi : 1) pelaksanan hak menangkap ikan diikuti upaya konservasi; 2) pengelolaan mempertahankan kualitas sumberdaya, keanekaragaman hayati dan berkelanjutan; 3) pengembangan armada sesuai kemampuan reproduksi sumberdaya; 4) perumusan kebijakan perikanan; 5) pengelolaan berdasakan prinsip kehati-hatian; 6) pengembangan alat penangkapan yang selektif dan aman terhadap sumberdaya; 7) mempertahankan nilai kandungan nutrisi ikan pada keseluruhan proses produksi; 8) perlindungan dan rehabilitasi terhadap habitat sumber-sumber perikanan kritis; 9) pengintegrasian pengelolaan sumber perikanan dalam kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan 10) penegakan hukum (Manggabarani, 2006).
4
24
25 Undang-undang 31 tahun 2004 Bab I Pasal 1 menyatakan, pengelolaan perikanan adalah semua upaya termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan dan implementasi serta penegakan hukum dari perundang-undangan dibidang perikanan, yang dilakukan pemerintah atau otoritas lain diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktifitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang disepakati. Pasal 2 menyebutkan, pengelolaan perikanan dilakukan
berdasarkan
asas
manfaat,
keadilan,
kemitraan,
pemeratan,
keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestarian berkelanjutan. Tujuan pengelolaan perikanan tercantum pada Pasal 3, yaitu : 1) meningkatkan taraf hidup nelayan atau pembudidaya skala kecil, 2) meningkatkan penerimaan dan devisa negara, 3) mendorong perluasan dan kesempatan kerja, 4) meningkatkan ketersediaan dan konsumsi protein ikan, 5) mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya, 6) meningkatkan poduktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing, 7) meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengeloahan ikan, 8) mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan lingkungan sumberdaya ikan secara optimal serta 9) menjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan tata ruang. Menurut Nikijuluw (2002), sumberdaya perikanan harus dikelola dengan baik, karena sumberdaya perikanan sangat sensitif terhadap tindakan manusia. Pendekatan apapun yang dilakukan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya, jika pemanfaatannya dilakukan berlebihan, akhirnya sumberdaya mengalami tekanan secara ekologi dan menurun kualitasnya. Pengelolaan sumberdaya perikanan patut dilakukan supaya pembangunan perikanan dapat dilaksanakan dengan baik dan tujuan pembangunan dapat tercapai. Sumberdaya perikanan terdiri atas sumberdaya ikan, sumberdaya lingkungan serta segala sumberdaya buatan manusia digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya. Pengelolaan sumberdaya perikanan mencakup penataan pemanfaatan sumberdaya ikan, pengelolaan lingkungannya serta pengelolaan kegiatan manusia. Diberlakukannya Undang-undang 32 tahun 2004 membawa konsekuensi berupa perubahan dalam tata pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan. Berdasarkan Undang-undang tersebut, Pemda memiliki landasan
4
25
26 yang kuat untuk mengimplementasikan pembangunan kelautan secara terpadu, mulai dari aspek perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumberdaya dalam upaya menerapkan pembangunan kelautan dan perikanan secara berkelanjutan. Upaya yang dapat dilakukan adalah menyusun rencana strategis (RENSTRA) pengelolaan sumberdaya secara terpadu dari setiap provinsi dan kabupaten kota, yaitu menyusun zonasi kawasan perairan untuk menfokuskan sektor-sektor tertentu dalam suatu zona, menyusun rencana pengelolaan untuk suatu kawasan tertentu atau suatu sumberdaya tertentu. Membuat rencana aksi yang memuat rencana investasi berbagai sektor, untuk kepentingan pemerintah daerah, swasta maupun masyarakat. Perencanaan hendaknya dilakukan secara partisipatif yaitu segenap komponen daerah terlibat dalam proses dan tahapan perencanaan pengelolaan tersebut (Dahuri, 2003). Kerangka pembangunan perikanan khususunya perikanan tangkap, pemerintah mempunyai peranan yang sangat penting untuk mengelola sumberdaya perikanan, sebagaimana diamanatkan Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 maupun Undang-undang Perikanan No 9 tahun 1985, diperbaharui Undang-undang Perikanan No. 31 tahun 2004. Peran dimaksud adalah memberikan mandat kepada pemerintah dalam mengelola sumberdaya alam, termasuk sumberdaya perikanan untuk kesejahteraan rakyat. Keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya ikan, diwujutkan dalam tiga fungsi yaitu (Nikijuluw, 2002) : (1) Fungsi alokasi, dijalankan melalui regulasi untuk membagi sumberdaya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. (2) Fungsi distribusi, dijalankan pemerintah agar terwujut keadilan dan kewajaran sesuai pengorbanan dan biaya yang dipikul setiap orang, disamping keberpihakan pemerintah kepada yang tersisih atau lebih lemah. (3) Fungsi stabilisasi, ditujukan agar pemanfaatan sumberdaya ikan tidak berpotensi menimbulkan instabilitas yang merusak dan menghancurkan tatanan sosial ekonomi masyarakat. Tujuan pembangunan perikanan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang No. 31 tahun 2004 tentang perikanan adalah sebagai berikut : (1) Meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil
4
26
27 (2) Meningkatkan penerimaan dan devisa negara (3) Mendorong perluasan dan kesempatan kerja (4) Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein hewani (5) Mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan (6) Meningkatkan produktifitas, mutu, nilai tambah dan daya saing (7) Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan (8) Mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan lingkungan sumberdaya ikan secara optimal (9) Menjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan budidaya ikan dan tata ruang. Penyiapan berbagai program pembangunan dalam pengelolaan pesisir dan lautan terpadu harus didasarkan pada kondisi biofisik, sosial ekonomi dan kelembagaan setempat. Atas dasar kondisi biofisik dan sosial ekonomi tersebut dapat diimplementasikan berbagai program terkait pelibatan aktif masyarakat pesisir mulai dari perencanaan hingga tindak lanjut program (Amanah, 2004). Kebijakan pembangunan perikanan Indonesia ke depan lebih ditekankan pada pengendalian perikanan tangkap, pengembangan budidaya perikanan dan peningkatan nilai tambah melalui perbaikan mutu dan pengembangan produk mengarah pada pengembangan industri kelautan dan perikanan terpadu berbasis masyarakat. Strategi yang ditempuh adalah peningkatan daya saing komoditas perikanan didukung dengan peningkatan sumberdaya manusia serta pemberian akses dan kesempatan yang sama pada seluruh pelaku usaha di bidang perikanan, sehingga mampu menghadapi persaingan global di tengah peningkatan tuntutan dan kebutuhan masyarakat dengan berbagai dimensinya. Kebijakan pengendalian perikanan tangkap wilayah perairan yang sudah lebih tangkap, pengembangannya kedepan dilakukan melalui prinsip kehati-hatian, membatasi penambahan upaya penangkapan sekaligus mendorong nelayan dapat beralih kegiatan pembudidayaan ikan atau pengolahan, khususunya melalui pengembangan produk. Wilayah padat tangkap, peningkatan mutu lebih didorong guna memberikan penghasilan lebih besar bagi para nelayan. Wilayah perairan yang masih potensial, peningkatan produksi dilakukan secara selektif sesuai jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan memperhitungkan prinsip kelestarian sumberdaya ikan (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2004).
4
27
28 2.5 Pengelolaan Perikanan dalam Konsepsi Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terminologi perencanaan (planning) dan pengelolaan (management) memiliki berbagai interpretasi yang tergantung pada tujuan waktu penggunaan terminologi. Perencanaan merupakan serangkaian proses sebelum melakukan sesuatu dimasa depan, yang memiliki dua komponen yaitu menentukan tujuan yang akan dicapai dimasa depan dan mengidentifikasi langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut. Perencanaan dapat dikategorikan kedalam dua kelompok besar yaitu perencanaan strategis (strategic planning) dan perencanaan operasional (operasional planning). Perencanaan strategis merupakan level tertinggi dalam perencanaan, jenis perencanaan ini menyediakan kerangka, visi dan misi serta strategi besar untuk mencapai beberapa tujuan spesifik. Perencanaan strategis tidak berisi detail langkah pencapaian tujuan. Rencana pengelolaan pesisir dan laut disusun sebagai sebuah dokumen yang diharapkan mampu mengidentifikasi isu dan permasalahan pengelolaan wilayah pesisir pada saat yang sama mampu memberikan solusi dimasa depan. Terminologi pengelolaan (management) memiliki berbagai makna tergantung dari tujuan dan sudut pandang pelaku. Pengelolaan memiliki makna sebagai proses pengaturan kegiatan sehari-hari untuk mencapai tujuan tertentu. Pengelolaan pesisir (coastal management) dapat dipandang sebagai proses pengaturan kegiatan sehari-hari yang terjadi di wilayah pesisir dan laut. Pengelolaan dapat dikelompokkan menjadi pengelolaan strategis (strategic management)
dan
pengelolaan
operasional
(operational
management).
Pengelolaan strategis memfokuskan pada proses terkendali dari sebuah urusan institusi yang terkait dengan wilayah pesisir dan laut, lebih berprespektif makro, sedangkan pengelolaan operasional lebih menitik beratkan pengaturan kegiatan sehari-hari di lapangan sehingga berorientasi mikro (Kay and Alder,1999). Perencanaan strategis (strategic planning), perencanaan operasional (operasional planning), pengelolaan strategis (strategic management) dan pengelolaan operasional (operational management) dalam konteks pengelolaan pesisir dan laut di Indonesia, kedua jenis perencanaan dan pengelolaan dapat dilakukan tergantung tujuannnya. Bahkan dalam beberapa kasus, tidak ada
4
28
29 pembedaan yang tegas antara kedua jenis perencanaan dan pengelolaan tersebut dalam kerangka pengelolaan pesisir dan laut (Kusumastanto. 2006). Prinsip pengelolaan wilayah pesisir terdiri dari lima hal yaitu : 1) prinsip pembangunan berkelanjutan; 2) prinsip keterpaduan; 3) prinsip desentralisasi pengelolaan pesisir; 4) prinsip berorientasi pada masyarakat dan 5) prinsip pengelolaan global (Cicin-Sain and Knecht,1998). Kesatuan ekosistem menjadi hal utama dalam pengelolaan perikanan, tetapi para ahli masih mempunyai pendapat yang berbeda pada cara mengukur ekosistem yang sehat serta memasukkannya dalam konsep penilaian kelestarian sumberdaya perikanan. Terdapat kecenderungan meningkatnya perhatian terhadap kontribusi perikanan terhadap pembangunan yang berkelanjutan. Berkenaan dengan proses globalisasi, industri perikanan merupakan industri yang adaptif, maket-driven dan sektor yang selalu berkembang dalam perkonomian dunia secara global (FAO, 2001). Pengelolaan perikanan memiliki tujuan yang berbeda-beda bahkan seringkali terjadi konflik diantara tujuan-tujuan itu, beberapa contoh tujuan diantaranya adalah penyediaan berkelanjutan, peningkatan efisiensi dan dan keuntungan ekonomi, komunitas wisata yang berkelanjutan dan kondisi kerja yang sehat dan aman bagi para wisatawan. Tujuan ini secara umum selaras dengan tiga tujuan pengembangan secara berkelanjutan yaitu ekologis, ekonomis, dan pengembangan sosial, yang terdapat dalam tujuan regional. Pengembangan secara berkelanjutan seringkali didefinisikan sebagai ketahanan secara ekonomi, ekologi, dan sosial, untuk mencapai tujuan ini menggunakan pengelolaan perikanan berbasis pengetahuan yang melibatkan beberapa bidang ilmu, di antaranya biologi, ekonomi dan geografi (Heen dan Flaaten, 2007). Kebijakan pengelolaan perikanan tidak akan berhasil optimal apabila dilakukan secara parsial baik dalam konsteks institusi maupun pengelolaan itu sendiri. Kabijakan dan strategi penguatan kapasitas kelembagaan yang berorientasi pada isu dan permasalahan internasional menjadi sangat pentin dan merupakan komplemen dari strategi kebijakan yang sudah ada dan harus dipandang sebuah pendekatan holistic dan komprehensif (Adrianto, 2004a).
4
29
30 Pada mulanya pengelolaan sumberdaya ikan banyak didasarkan pada faktor biologis semata dengan pendekatan yang disebut Maximum Sustainable Yield (MSY) yaitu tangkapan maksimm yang lestari. Inti pendekatan ini adalah setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasias produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini dipanen (tidak lebih dan tidak kurang), maka stok ikan mampu bertahan secara berkesinambungan. Akan tetapi pendekatan pengelolaan dengan konsep ini banyak dikritik oleh berbagai pihak sebagai pendekatan yang terlalu sederhana dan tidak mencukupi. Kritik yang
paling
mendasar
diantaranya
karena
pendekatan
MSY
tidak
mempertimbangan sama sekali aspek sosial ekonomi pengelolaan sumberdaya alam (Fauzi, 2000). Pelaksanaan konsep pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu menjadikan kebijkan nyata dalam pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan Indonesia harus segera dilaksanakan. Peluang keberhasilan implementasi pengelolaan wilayah pesisir paling tidak didukung oleh adanya dua kebijakan yaitu pertama, lahirnya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang akan memberikan peluang yang besar bagi daerah untuk mengelola kawasan psisir dan laut, kedua terbentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan diharapkan menjadi lokomotif penggerak pembangunan kelautan dan perikanan nasional termasuk didalamnya pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Karena kedua hal tersebut, partisipasi dan komitmen para stakeholder untuk mewujutkan pembangunan pesisir secara lestari merupakan faktor penentu utama (Adrianto dan Kususmastanto, 2004). Pendekatan ekosistem perikanan diadopsi meliputi penggabungan dua hal yang berbeda tetapi berhubungan dengan harapan dapat menyatukan paradigma. Pertama yaitu pengelolaan ekosistem bertujuan untuk mencapai tujuan dari penghematan struktur, keberagaman dan fungsi ekosistem melalui tindakan pengelolaan yang fokus pada komponen biofisikal ekosistem. Kedua yaitu pengelolaan perikanan bertujuan untuk mencapai tujuan dari pemuasan kebutuhan manusia dan sosial akan makanan dan keuntungan ekonomi melalui tindakan pengelolaan yang berfokus pada aktivitas mencari ikan dan sasaran sumberdaya. Dua paradigma ini cenderung terbagi ke dua perspektif yang berbeda, tetapi
4
30
31 konsep pengembangan berkelanjutan membutuhkan keduanya untuk menjadi pendekatan yang lebih menyeluruh untuk menyeimbangkan manusia dan ekosistem. Pendekatan ekosistem perikanan adalah suatu cara implementasi pengembangan berkelanjutan dalam konteks perikanan (FAO, 2003). Pengelolaan perikanan merupakan sebuah proses yang kompleks, membutuhkan integrasi antara ekologi dan biologi sumberdaya dengan sosial ekonomi serta faktor institusi yang mempengaruhi perilaku nelayan dan pembuat keputusan. Tujuan dari bidang yang multidisplin ini adalah untuk membantu pengambil keputusan guna mencapai pembangunan yang berkelanjutan dari aktivitas perikanan sehingga generasi yang akan datang juga memperoleh manfaat dari sumberdaya (Seijo et al, 1998). Pengelolaan sumberdaya ikan adalah suatu proses yang terintegrasimulai dari pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pengambilan keputusan, alokasi sumber dan implementasinya, dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas serta pencapaian tujuan pengelolaan (FAO. 1997). Indikator-indikator yang digunakan sebagai alat bantu pengelolaan harus dapat membantu mengkomunikasikan secara jelas, efektif dan dapat dipertanggung jawabkan dalam aspek pengelolaan sumberdaya (FAO, 2001). Widodo dan Nurhakim (2002), mengemukakan pengelolaan sumberdaya ikan, pada hakekatnya mencari kemungkinan tindakan yang tepat secara biologi disatu sisi dan kegiatan penangkapan ikan yang mampu memberikan keuntungan ekonomi di sisi lain. Pengelolaan sumberdaya ikan harus mampu mencegah terjadinya konflik antara kegiatan pemnafaatan sumberdaya ikan untuk tujuan ekonomi termasuk adanya keadilan didalam distribusi manfaat yang dihasilkan sumberdaya ikan, serta upayah konservasi ikan untuk kepentingan generasi mendatang. Secara umum tujuan utama pengelolaan sumberdaya ikan adalah : (1) Menjaga kelestarian produksi, melalui regulasi serta tindakan perbaikan. (2) Meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial para nelayan (3) Memenuhi keperluan industri yang memanfaatkan produksi tersebut. Dalam pengelolaan perikanan khususnya pada saat penangkapan, terdapat suatu mekanisme yang lazim dilakukan penangkap ikan yaitu pembuangan, merupakan bagian penangkapan yang tersisa di kapal selama penangkapan ikan secara komersial dan dikembalikan lagi ke laut. Pembuangan ini meliputi spesies
4
31
32 komersial, bahan-bahan komersial tapi tidak dapat dijual, dan organisme yang dapat dijual. Pola pembuangan ditentukan oleh faktor lingkungan dan sosial termasuk peraturan dan kebiasaan nelayan terutama ditentukan kebijaksanaan nelayan yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Mekanisme ini memberikan dampak negatif secara ekonomi dan ekologi seperti hilangnya pendapatan yang potensial dan juga sumber pangan bagi manusia serta dampak pada ekosistem laut (Catchpole, Frid, dan Gray, 2005). Penyusunan kebijakan perikanan dan kelautan memerlukan pendekatan yang komprehensif dan berisi faktor-faktor strategis, bersifat makro kebijakan yang dapat digunakan sebagai petunjuk bagi proses pengambilan keputusan yang terkait dengan sektor perikanan dan kelautan. Untuk itu diperlukan tiga pilar sebagai penopang implementasi kebijakan perikanan dan kelautan yaitu : 1) integrasi fungsi dan kewenangan pengelolaan perikanan dan kelautan; 2) implementasi kebijakan perikanan dan kelautan; 3) pendidikan dan riset perikanan dan kelautan yang kuat. Ketiga pilar ini merupakan satu kesatuan yang dapat digunakan sebagai landasan bagi disain sekaligus implementasi kebijakan perikanan dan kelautan nasional (Soewardi dan Adrianto, 2005).
2.6. Pengembangan Sektor Perikanan Laut dan Industri Perikanan Sektor perikanan di berbagai daerah mempunyai arti strategis terhadap pembangunan wilayah, pembangunan daerah memungkinkan peningkatan pemerataan menuju terciptanya masyarakat adil dan makmur. Pengembangan sektor perikanan di Indonesia didukung besarnya potensi sumberdaya yang dimiliki dan tuntutan pasar yang semakin meningkat. Kebijakan ekonomi nasional berorientasi ekonomi kerakyatan berbasis perikanan perlu dikembangkan untuk meningkatkan lapangan pekerjaan dan tingkat pertumbuhan perekonomian. Pengembangan sektor perikanan menjadi penekanan pembangunan dengan tujuan peningkatan pendapatan dan taraf hidup nelayan, menciptakan kesempatan kerja produktif dan mendorong pengembangan wilayah. Keberhasilan pembangunan sektor perikanan akhirnya berdampak positif bagi pengembangan industri perikanan hulu dan industri perikanan hilir (Wardoyo, 1992).
4
32
33 Pengembangan sektor perikanan menyangkut berbagai aspek yang mampu menumbuhkan kegiatan produktif lainnya saling terkait, saling mendukung dan saling menguntungkan, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, mulai dari sub sistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi, sub sistem produksi, sub sistem pengolahan hingga sub sistem pemasarannya. Pengembangan sektor perikanan di suatu wilayah dapat dipandang sebagai jembatan dalam mewujutkan industri yang meningkatkan nilai tambah. Industrialisasi sektor perikanan dapat menjadi jembatan antara hasil perikanan sebagai bahan baku dengan teknologi pengelohannya. Sektor perikanan relatif tidak terpengaruh adanya krisis ekonomi dan dapat dijadikan sektor unggulan bagi pemulihan perekonomian nasional. Peran strategis sektor perikanan sebagai sektor unggulan antara lain : 1. Berbahan baku lokal, tidak tergantung komponen impor untuk proses produksinya, 2. Meningkatkan devisa karena umumnya berorientasi ekspor, 3. Memiliki dimesi pemerataan karena kuatnya keterkaitan kedepan dan kebelakang dengan penggerak utamanya nelayan dan para pengusaha. Secara tidak langsung pembangunan sektor perikanan dapat ditempuh melalui transformasi sektor perikanan subsisten ke arah modern (Solahuddin, 1999). Sektor perikanan dapat menjadi salah satu sektor unggulan, jika pembangunan sektor perikanan memperhatikan arah pengembangan dan sasaran sektor perikanan. Pengembangan sektor perikanan diarahkan mencapai komoditi yang berdaya saing, berkeunggulan komparatif serta berwawasan lingkungan, sasarannya adalah peningkatan peran serta sumberdaya manusia agar bernilai tambah dan berdaya saing tinggi. Jenis komoditi atau produk sektor perikanan yang perlu dikembangkan adalah komoditi berciri antara lain : 1. berdaya saing tinggi, 2. termasuk dalam kebutuhan pokok masyarakat secara luas, 3. berdampak luas terhadap sektor ekonomi lainnya (Lukmana, 1995). Nasution (1999) menambahkan strategi peningkatan daya saing sektor perikanan dalam rangka memasuki era pasar global, antara lain melalui :
4
33
34 1. Restrukturisasi ekonomi perikanan dalam arti luas; 2. Peningkatan investasi; 3. Penataan keterkaitan dengan sektor lain dan; 4. Peningkatan peran serta pemerintah dan swasta. Salah satu indikator utama menilai kemampuan bersaing suatu komoditas dari perusahaan adalah ukuran produktivitas, menunjukkan seberapa jauh sebuah perusahaan dapat memanfaatkan sumber-sumber terbatas yang dimiliki (input) terhadap output yang dihasilkan. Pengukuran produktivitas merupakan langkah awal yang menentukan proses perbaikan maupun peningkatan performasi unjuk kerja perusahaan. Produk memiliki daya saing tinggi jika terdapat upaya penciptaan nilai tambah produk. Tiga penciptaan nilai tambah produk yaitu : 1. Pemilihan produk strategis, yaitu produk yang secara riil berpotensi memiliki pasar domestik dan global; 2. Peningkatan kualitas unit terkecil dari sistem iptek industri-pemasaran yang memiliki unsur SDM, teknologi, modal, sistem dan organisasi; 3. Pengenalan inovasi teknologi setiap tahap transformasi industri untuk meningkatkan impuls nilai tambah dan keunggulan kompetitif (Djojodihardjo, 1997). Menurut Sahardjo (1992) dasar upaya pengembangan adalah : 1. Industri berdaya saing kuat dan peluang pasar yang cukup luas, perlu didorong pengembangannya terutama industri pengolahan bahan baku yang dapat diperbaharui; 2. Perlu dilakukan pengkajian dalam pemilihan teknologi yang tepat; 3. Perlu dikembangkan dukungan litbang terapan secara bertahap; 4. Menciptakan keterkaitan yang luas antara sektor pertanian dan sektor industri sehingga mendorong peningkatan nilai tambah dan menambah kegiatan ekonomi di daerah melalui pengaruh gandanya dan mendorong pengembangan zona industri, kantong-kantong industri, kawasan industri dan sentra-sentra industri kecil. Usaha budidaya perikanan sangat beragam dan berhubungan dengan faktor sosial, budaya, dan ekonomi. Ditinjau dari sudut pandang sosial, perkembangan percepatan ekonomi di daerah pesisir meliputi pematangan kelembagaan
4
34
35 organisasi perikanan, penataan ruang dan sumberdaya (Guillemot et al, 2009). Indikasi ekonomi perikanan tangkap seringkali diperhitungkan diberbagai Negara, dalam jangka pendek meliputi pembukuan dan pengawasan pelaksanaan. Dalam jangka panjang lebih menyoroti tentang investasi modal yang digunakan. (Floc’h et al, 2008). Keuntungan sosial dan aktifitas ekonomi diwilayah pesisir dan berbagai kegiatan kelautan berujung pada kesejahteraan masyarakat pesisir dan untuk kebaikan perekonomian nasional. Kebijakan konservasi sumber daya alam dan kelestarian budaya haruslah seimbang dengan perkembangan kebijakan, sehingga tidak membatasi keuntungan sosial ekonomi dan kesempatan pengembangan (Cicin-Sain dan Belfiore, 2005). Peningkatan
teknologi
budidaya
perairan
menyebabkan
adanya
peningkatan produksi ikan meliputi budidaya perikanan secara ilmiah, produksi bibit, praktik penggabungan budidaya ikan dengan pertanian yang terintegrasi, dan pengelolaan perusahaan bersamaan dengan komersialisasi pakan ikan yang telah merevolusi praktik perikanan dibeberapa negara (Ninan dan Sharma, 2006). Kekayaan biodiversitas terumbu karang merupakan tempat berkumpulnya ikanikan yang mendukung sektor perikanan, berkaitan erat dengan keberlanjutan ketersediaan pangan dan kebutuhan mata pencaharian bagi masyarakat pesisir di seluruh wilayah Pasifik (L C L Teh et al, 2009). Salah satu cara lain untuk mengembangkan perikanan yaitu dengan memanfaatkan kekuatan angin lepas pantai. Namun keuntungan dari metode ini dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu sejumlah variabel yang berhubungan dengan lingkungan dan juga spesies ikan yang ada di sekitar fasilitas tersebut (Fayram dan Risi, 2007).
2.7 Penelitian Terdahulu Penelitian yang mengkaji investasi salah satunya dilakukan Hadi (2001), salah satu tujuannya adalah mempelajari perubahan kebijakan pembangunan, investasi dalam bentuk pengeluaran pembangunan pemerintah dan adanya desentralisasi pengelolaan serta peningkatan investasi swasta terhadap pemerataan pembangunan wilayah terhadap disparitas ekonomi Kawasan Indonesia Timur. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi Antar Regional Kawasan Indoneisa Timur dan Barat sebagai kerangka kerja dan
4
35
36 analisisnya. Hasil yang didapat dalam penelitian tersebut antara lain adalah : kebijakan pengembangan investasi dalam sektor industri manufaktur dan perdagangan
internasional
yang
terpusat
di
Kawasan
Indonesia
Barat
menyebabkan sektor industri manufaktur berkembang di Kawasan Indonesia Barat. Analisis pengganda menunjukkan nilai tambah dari adanya injeksi ekonomi dimasing-masing wilayah berjalan tidak seimbang. Penelitian Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (1999) mengenai kajian kebutuhan invstasi pembangunan perikanan dalam pembangunan lima tahun mendatang (1999-2003) menggunakan pendekatan analisis Tabel I-O tahun 1995 mendapatkan hasil sebagai berikut, nilai ICOR sub sektor perikanan berkisar antara 2,75-3,95 mengindikasikan sub sektor perikanan mempunyai prospek yang cukup baik bagi investasi yang ditanam. ICOR Sub sektor perikanan sebesar 3,55 mengindikasikan sektor perikanan relative efisien untuk penanaman modal. Kebutuhan investasi yang diperlukan kurun waktu 1999-2003 sebesar Rp. 16,45 trilyun dengan asumsi pertumbuhan GDP sebesar 6 % per tahun. Susanti (2003) melalukan penelitian tentang dampak perubahan investasi dan produktivitas sektor perikanan terhadap kinerja ekonomi makro dan sektoral di Indonesia menghasilkan kesimpulan diantaranya adalah ; pengaruh peningkatan investasi sektor perikanan terhadap kinerja sektor perekonomian secara umum berpengaruh positif serta menimbulkan peningkatan output sektoral. Pengaruh dari perubahan produktifitas juga memberikan hasil yang sama yakni perubahan produktivitas baik produktivitas total, kapital maupun tenaga kerja memberikan pengaruh meningkatkan output sektor perekonomian. Apabila investasi dan produktivitas dirubah secara bersama-sama maka perubahan output yang terjadi di sektor perikanan relatif lebih besar dibandingkan secara parsial. Konsumsi rumah tangga sektoral mengalami peningkatan akibat peningkatan investasi dan produktivitas. Harga output sektor perikanan mengalami penurunan akibat adanya peningkatan output. Harga output sektor perekonomian lain bergerak mengikuti mekanisme permintaan-penawaran. Nababan (2008) mengadakan penelitian tentang tinjauan aspek ekonomi keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Tegal Jawa Tengah, menghasilkan atribut yang paling berpengaruh terhadap penentuan indeks
4
36
37 keberlanjutan dari segi ekonomi adalah tingkat subsidi, besarnya pemasaran perikanan, sifat kepemilikan sarana penangkapan dan alternatif pekerjaan dan pendapatan. Indeks keberlanjutan untuk alat tangkap perikanan skala kecil pada dimensi ekonomi adalah sebesar 50,51 (cukup berkelanjutan). Hamdan (2006) mengadakan penelitian tentang analisis kebijakan pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat dengan tujuan penelitian ; mereview potensi SDI dan tingkat pemanfaatannya,
mengkaji
status
keberlanjutan
perikanan
tangkap
dan
menentukan faktor-faktor utama yang berpengaruh terhadap keberlanjutan perikanan tangkap. Hasil peneltian diantaranya adalah status keberlanjutan yang terdiri dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, etika dan kelembagaan, nilai indeksnya semua berada di bawah 50 berarti kebijakan pengelolaan perikanan tangkap tidak berkelanjutan. Tiga aspek penting berpengaruh terhadap penyusunan kebijakan yaitu aspek ekologi, aspek ekonomi dan aspek sosial. Penelitian tentang peranan sektor perikanan dan kelautan terhadap pembangunan wilayah Kabupaten Kendal Propinsi Jawa Tengah yang dilakukan Sobari (2007) bertujuan untuk mengidentifikasi keragaan sektor perikanan dan kelautan, menganalisis peranan sektor perikanan dan kelautan di lihat dari indikator pendapatan wlayah dan tenaga kerja, serta menetapkan alternatif strategi pengembangan sektor perikanan dan kelautan di kabupaten Kendal. Hasil peneltian diantaranya adalah kontribusi sektor perikanan dan kelautan terhadap PDRB dari tahun 1999 sampai tahun 2003 berkisar antara 1,48 % - 1,69 %. Trend kontribusi sektor perikanan dan kelautan terhadap PDRB cenderung menigkat. Sektor perikanan dan kelautan berdasarkan indikator pendapatan wilayah, memberikan dampak yang positif dan cenderung meningkat terhadap pembanguan wilayah. Dampak sektor perikanan dan kelautan terhadap pembangunan wilayah berdasarkan tenaga kerja cenderung menurun. Alternatif strategi
yang
diprioritaskan untuk pengembangan sektor perikanan dan kelautan adalah : 1) melakukan pengembangan pengusahaan sektor perikanan dan kelautan dengan memanfaatkan potensi sektor perikanan dan kelautan yang besar, tenaga kerja perikanan dan aksesibility yang mudah didapat serta adanya dukungan pemerintah daerah lewat program pembinaan dan pemberdayaan masyarakat pesisir, guna
4
37
38 memenuhi kebutuhan lokal maupun ekspor; 2) membuka dan mengembangkan usaha baru dengan memanfaatkan potensi yang ada serta peluang adanya surplus permintaan karena belum terpenuhinya produk perikanan, seiring dengan meningkatnya pola konsumsi masyarakat. Penelitian ekonomi perikanan dengan menggunakan alat analisisi tabel input output, dilakukan oleh Razali (1996), di Kabupaten Sabang, dengan melihat sejauh mana peran sektor perikanan dalam perekonomian Sabang. Penelitian tersebut menggunakan beberapa metode analisi antara lain : 1) metode input output (non survey–metode RAS), 2) analisis perubahan struktur perekonomian, yaitu melihat perubahan sumbangan relatif sektor perikanan dibandingkan dengan sektor lainnya dalam kurun waktu tertentu, 3) analisis komponen utama dan 4) metode deskriptif. Hasil penelitian menyatakan kontribusi sektor perikanan terhadap perekonomian Kabupaten Sabang masih kecil, baik dari nilai output, nilai tambah bruto, nilai ekspor dan penyerapan tenaga kerja, serta sektor perikanan belum termasuk salah satu sektor unggulan, karena memiliki nilai keterkaitan dan nilai pengganda yang masih relatif kecil dibandingkan dengan sektor lainnya. Mudzakir (2003) meneliti tentang dampak pengembangan sektor perikanan terhadap perekonomian Jawa Tengah, penelitian bertujuan antara lain menganalisis : 1) besarnya potensi dan kontribusi sumberdaya perikanan pada perekonomian Jawa tengah, 2) Struktur perekonomian jawa Tengah dan peranan sektor perikanan dalam perekonomian Jawa Tengah pada pembentukan output, permintaan antara dan permintaan akhir. Hasil penelitian menyatakan bahwa sektor perikanan di Jawa Tengah memiliki potensi sumberdaya perikanan yang besar, baik sumberdaya ikan maupun sumberdaya perairan lainnya dan berpotensi untuk menghasilkan devisa negara, karena sifat usaha perikanan dengan input dari lokal serta dapat membuka lapangan kerja bagi penduduk. Investasi di jawa Tengah masih didominasi sektor yang secara langsung berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan infrastruktur pembangunan. Sektor perikanan belum merupakan sektor unggulan dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian Jawa Tengah.
4
38
39 3. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Teoritis Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan sumberdaya. Sumberdaya dapat didefinisikan dalam arti luas sebagai segala sesuatu yang baik langsung maupun tidak langsung memiliki nilai untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dalam suatu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih ekosistem dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir dapat bersifat alami ataupun buatan (manmade). Sumberdaya alam di wilayah pesisir terdiri dari sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resources) dan sumberdaya alam yang tidak dapat pulih (non renewable resources). Sumberdaya alam yang dapat pulih satu diantaranya adalah
sumberdaya
perikanan.
Sumberdaya
alam
yang
dapat
pulih,
pemanfaatannya memerlukan pengelolaan yang tepat dan terintegrasi. Hal ini diperlukan guna menjamin kelestarian sumberdaya alam untuk kepentingan generasi yang akan datang, serta mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Kawasan pesisir dan lautan merupakan kawasan yang kaya akan berbagai ekosistem sumberdaya alam. Wilayah pesisir pada umumnya merupakan wilayah yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat. Karena kondisi geografis dan potensi yang dimilikinya, banyak sektor ekonomi yang berkembang diwilayah pesisir. Khususnya di wilayah pesisir, sektor-sektor ekonomi yang dominan adalah
perikanan.
Pengembangan
sektor
perikanan
menjadi
penekanan
pembangunan dengan tujuan peningkatan pendapatan dan taraf hidup nelayan, menciptakan kesempatan kerja produktif dan mendorong pengembangan wilayah. Sektor perikanan diberbagai daerah mempunyai arti strategis terhadap pembangunan wilayah. Struktur perekonomian wilayah merupakan faktor dasar yang membedakan keadaan wilayah dengan wilayah lainnya. Perbedaan sangat erat dengan kondisi dan potensi wilayah baik dari segi fisik lingkungan dan sosial ekonomi. Kekuatan ekonomi wilayah sangat tergantung ketersediaan sumberdaya alam berkelanjutan. Dalam perekonomian yang luas, hubungan antar kegiatan ekonomi menunjukkan keterkaitan yang kuat dan dinamis. Kemajuan di satu sektor tidak dapat dicapai tanpa dukungan sektor lain. Hubungan manajemen
39
40 sumberdaya dan pembangunan ekonomi dijelaskan dengan konsep nilai sumberdaya. Nilai dikuantifikasi dengan mengukur nilai hasil produksi sumberdaya, pendapatan, jumlah orang yang terserap ke dalam lapangan pekerjaan baik langsung maupun tidak langsung. Ruang ekonomi mengandung pusat-pusat dan kutub-kutub yang mempunyai kekuatan centrifugal yang memancar sekelilingnya dan mempunyai kekuatan centripental yang menarik Hasil analisis diketahui bagaimana perkembangan sektor wilayah dibandingkan secara relative sektor-sektor lainnya, apakah tumbuh secara cepat atau lambat. Pendekatan pembangunan wilayah yang sangat menekankan pertumbuhan ekonomi makro cenderung mengakibatkan terjadinya disparitas pembanguan antar wilayah yang cukup besar. Investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi dipusat pertumbuhan, sementara wilayah belakangnya mengalami pengurasan sumberdaya berlebihan (Rustiadi, 2005). Ketidakseimbangan (disparity) pembangunan wilayah diartikan sebagai keterkaitan yang bersifat asimetris dan dapat memperlemah pembangunan ekonomi wilayah secara menyeluruh. Ketidakseimbangan atau disparitas dari pertumbuhan wilayah akan mengakibatkan suatu kondisi yang tidak stabil. Disparitas antar wilayah telah menimbulkan banyak permasalahan sosial, ekonomi dan politik. Paradigma keterkaitan antar wilayah, suatu kesejahteraan harus didistribusikan secara berkeadilan keseluruh wilayah, untuk itu dibutuhkan kebijakan atau program yang mampu mengatasi permasalahan disparitas antar wilayah dan perencanaan yang mampu mewujutkan pembangunan wilayah yang berimbang (Rustiadi, 2005). Salah satu permasalahan utama pengelolaan wilayah pesisir adalah kemiskinan masyarakat pesisir. Wilayah pesisir yang memiliki sumbedaya melimpah, namun pada saat yang bersamaan kemiskinan di wilayah pesisir merebak diwilayah ini. Secara teoritis, berdasarkan metode pengukurannya kemiskinan masyarakat pesisir dapat digolongkan dalam kemiskinan absolut dankemiskinan relatif. Kemiskinan absolut diukur dengan menggunakan pendekatan garis kemiskinan (poverty line) sedangkan kemiskinan relatif diukur dari perbandingan pendapatan anatar kelompok rumahtangga. Kemiskinan masyarakat pesisir merupakan hal yang nyata (Kusumastanto, 2006).
40
41 Menurut Rustiadi (2005), beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah diantaranya adalah : (1). aspek geografi, (2). aspek aktifitas ekonomi serta (3). aspek kebijakan pemerintah. Aspek geografi, suatu wilayah yang cukup luas akan terjadi variasi spasial kuantitas dan kualitas dari sumberdaya yang dimiliki. Salah satu contoh kebijakan yang mengakibatkan munculnya disparitas wilayah adalah beberapa kebijakan yang lebih menekankan pertumbuhan dengan membangun pusat-pertumbuhan telah menimbulkan kesenjangan antar wilayah yang luar biasa. Di Jawa Timur secara makro dapat dilihat ketimpangan pembangunan signifikan antara perkembangan wilayah pesisir Utara Jawa Timur dengan wilayah pesisir Selatan Jawa Timur. Disparitas pembangunan antara wilayah pesisir Utara Jawa Timur dengan wilayah pesisir Selatan Jawa Timur pada akhirnya
menimbulkan
permasalahan
yang
sangat
merugikan
proses
pembangunan yang ingin dicapai. Pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan pesisir pada masa otonomi daerah yang paling tepat adalah dengan melakukan pengelolaan secara optimal, yang dapat menjamin potensi lestari sumberdaya perikanan dan stablitas produksi serta keberlanjutan ditingkat usaha perikanan, sesuai Undang-undang otonomi daerah dalam rangka menjamin kelestarian sumberdaya wilayah pesisir dan sumberdaya hayati laut. Pengelolaan optimal perikanan laut memberikan ruang tidak saja untuk keberlanjutan sumberdaya perikanan namun juga mendorong pemerataan dan kearifan lokal di wilayah pesisir dan lautan. Pengelolaan optimal juga dapat mengalokasikan sumberdaya secara lebih efektif dan efisien sehingga mendorong perubahan produksi kearah yang sesuai dengan daya dukung ekonomi dan daya dukung ekologis wilayah pesisir. Pengelolaan sumberdaya ikan adalah suatu proses yang terintegrasi mulai dari pengumpulan informasi, analisis, perencanaan,
konsultasi,
pengambilan
keputusan,
alokasi
sumber
dan
implementasinya, dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas serta pencapaian tujuan pengelolaan.
41
42 Indikator-indikator yang digunakan sebagai alat bantu pengelolaan harus dapat
membantu
dipertanggung
mengkomunikasikan
jawabkan
dalam
aspek
secara
jelas,
pengelolaan
efektif
dan
sumberdaya.
dapat Secara
diagramatik kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada gambar 1 berikut :
Ekosistem Pesisir dan Laut Jawa Timur
Pengembangan Sumberdaya Alam
Pengelolaan Sumberdaya eksisting
Karakteristik Utara dan Selatan
Peran Pemerintah Disparitas Ekonomi Pengelolaan Sumberdaya Tidak Ada
Disparitas Umpan Balik
Ada
Parameter Disparitas Ekonomi
Strategi Integrasi
Pengelolaan Utara
Pengelolaan Selatan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
42
43 Asumsi penelitian dari : 1. Setiap sektor memproduksi suatu output tunggal dengan struktur input tunggal dan bahwa tidak ada substitusi otomatis antara berbagai sektor; 2. Dalam proses produksi, hubungan antara input dengan output merupakan fungsi linier yaitu tiap jenis input yang diserap oleh sektor tertentu naik atau turun sebanding kenaikan atau penurunan output sektor tersebut; 3. Efek total pelaksanaan produksi di berbagai sektor dihasilkan oleh masingmasing sektor secara terpisah berarti diluar sistim input output semua pengaruh dari luar diabaikan.
3.2 Hipotesis Terdapat disparitas perkembangan wilayah pesisir Utara dan Selatan Jawa Timur yang disebabkan oleh disparitas pengelolaan dan tingkat pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan perspektif ekonomi.
3.3. Kebaharuan Penelitian Kebaharuan penelitian (novelty) adalah 1) aspek teori : penelitian ini merupakan penjabaran dan pembuktian lebih lanjut tentang disparitas pengelolaan dan tingkat pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan perspektif ekonomi terhadap perkembangan wilayah, 2) aspek aplikasi : penelitian ini memfokuskan kepada disparitas perkembangan wilayah pesisir utara-selatan. Aspek teori maupun aspek aplikasi, merupakan kajian pertama kali di Indonesia, diharapkan memberikan sumbangsih pemikiran bersifat komprehensif dan holistic.
43
44
44
44
4. METODA PENELITIAN 4.1 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini adalah wilayah pesisir Provinsi Jawa Timur. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu wilayah pesisir di Indonesia dengan disparitas ekonomi pembangunan perikanan Utara dan Selatan secara nyata serta yang disebabkan oleh disparitas pengelolaan pesisir dan laut.
Gambar 2. Sketsa Lokasi Penelitian Wilayah Pesisir Jawa Timur Wilayah pesisir Utara direpresentasikan oleh Kabupaten Lamongan (Gambar 3) dan sebelah Selatan (Gambar 4) oleh Kabupaten Trenggalek, dengan pertimbangan 1) ketersediaan fasilitas pelabuhan perikanan (pelabuhan perikanan yang dimilikinya berstatus sebagai Pelabuhan Perikanan Nusantara) dan 2) konsentrasi nelayan dan aktivitas perikanan. Kelas pelabuhan sesuai Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : Kep 10/Men/2004 tentang Pelabuhan Perikanan adalah : 1) Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS), 2) Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), 3) Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP), 4) Pusat Pendaratan Ikan (PPI) dan 5) Tempat Pendaratan Ikan (TPI). Jumlah produksi dan jumlah nelayan di Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Trenggalek merupakan yang terbesar di masing-masing pesisir Utara dan Selatan (Lampiran 84).
45 Secara umum pelabuhan perikanan yang berstatus PPS dan PPN, fasilitas kepelabuhannya dapat mendukung perkembangan perikanan di wilayahnya. Pelabuhan perikanan berstatus PPP, PPI atau TPI masih diperlukan peningkatan pembangunan fasilitas dan pelayanan kepelabuhanan.
Gambar 3. Sketsa Lokasi Penelitian Wilayah Pesisir Utara direpresentasikan Oleh Kabupaten Lamogan
Gambar 4. Sketsa Lokasi Penelitian Wilayah Pesisir Selatan direpresentasikan Oleh Kabupaten Trenggalek
46 4.2 Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. 1) Data sekunder yang diperlukan guna menganalisis perkembangan wilayah pesisir dan laut adalah : PDRB Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Trenggalek per Kecamatan menurut sektor tahun 2004 dan 2007, data sarana prasarana perkembangan wilayah indikator kependudukan, kependidikan dan kesehatan Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Trenggalek tahun 2004 dan 2007. 2) Data sekunder yang diperlukan guna menganalisis kontribusi dan keterkaitan sektor perikanan laut terhadap perkembangan wilayah pesisir dan laut : tabel input output transaksi domestik atas dasar harga konstan Provinsi Jawa Tmur tahun 2000 klasifikasi 20 sektor, dan data perekonomian regional Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Trenggalek dalam angka tahun 2004 dan 2007. 3) Data sekunder yang diperlukan guna menganalisis pemetaan potensi ekonomi wilayah pesisir dan laut adalah data perekonomian regional Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Trenggalek per Kecamatan dan per sektor dalam angka tahun 2004 dan 2007. 4) Data sekunder hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan diperoleh dari Dinas Perikanan Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Trenggalek.
4.3 Metode Analisis 4.3.1
Analisis Keragaan Perikanan Hasil tangkapan adalah output dari kegiatan penangkapan, sedangkan effort
yang diperlukan merupakan input dari kegiatan penangkapan. Besaran atau nilai dari catch per unit effort (CPUE) menggambarkan tingkat produktifitas dari upaya penangkapan, semakin tinggi nilai CPUE menunjukkan tingkat produktifitas alat tangkap yang digunakan semakin tinggi. CPUE merupakan nlai yang dihasilkan dari perbandingan jumlah produksi dan jumlah upaya tangkap (Dajan, 1983) : a. Rumus menghitung CPUE (ton/trip)
b. Rumus menghitung CPUE Standard (ton/trip)
47 4.3.2
Analisis Disparitas Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Wilayah Pesisir Pemetaan potensi ekonomi wilayah merupakan seperangkat proses
menghasilkan rumusan informasi pendukung bagi pemerintah dalam menyusun sebuah kebijakan. Sebuah kebijakan seharusnya didasarkan pada kerangka logika keilmuan serta kondisi riil dilapangan. Tabel 1 memperlihatkan matrik analisis pemetaan potensi ekonomi wilayah pesisir dan laut. Tabel 1. Matrik Analisis Pemetaan Potensi Ekonomi Wilayah Pesisir dan Laut No
Parameter
1.
Rasio antar Dua Variabel Tiap Lokasi
2.
Pangsa Sektotal Tiap Lokasi
3.
Pangsa Lokal Tiap Sektor
4.
Indeks Spesialisasi Tiap Lokasi
5.
Indeks Lokalisasi Tiap Sektor
6.
Kuota Lokasi
7.
Laju Pertumbuhan Lokal Tiap Sektor
8.
Dayasaing Lokal Tiap Sektor
Sumber : Saefulhakim, S. 2008.
Formula
Deskripsi Nilai R i, j1,j2, t < α, pada tahun t, keberadaan x j2 di lokasi i bersifat melimpah relatif terhadap keberadaan x jx (atau keberadaan x fl di lokasi i bersifat langka relatif terhadap keberadaan x j2 ). Nilai pS i, j, t mendekati angka 100% pada tahun t, untuk lokasi i, sector y merupakan sektor dominan relatif terhadap sektor-sektor lainnya. Nilai pL i, j, t yang mendekati angka 100% pada tahun t, untuk sektor j, lokasi i lebih dominan relatif thdp lokasi-lokasi lainnya Nilai cS i, t yang mendekati angka 1 pada tahun t, lokasi i lebih terkonsentrasi (terspesialisasikan) pada sektor-sektor tertentu. Nilai cL j, t yang mendekati angka 1 pada tahun t, sektor j lebih terkonsentrasi (terlokalisasikan) di lokasi-lokasi tertentu. Nilai LQ i, j, t ,yang lebih besar dari angka 1 sektor perikanan laut merupakan sektor basis. Nilai IDE i, t yang mendekati angka 100 pada tahun t, lokasi i memiliki diversitas (keberagaman) sektor yang lebih tinggL Nilai DS i, j, t0, t1 yang positif (>0) antara periode tahun t 0 sd. t 1 laju pertumbuhan lokasi i untuk sektor j lebih cepat relatif thdp laju pertumbuhan sektor j secara agregat wilayah. Sektor j, lokasi i lokasi dayasaing (kompetitif). Angka negatif sektor j lokasi i bukan sektor yang kompetitif.
48 4.3.3
Analisis Disparitas Pembangunan Wilayah Pesisir Untuk menganalisis perkembangan wilayah pesisir digunakan analisis
Shift Share yaitu suatu teknik analisis perkembangan wilayah atas dasar potensi sumberdaya alam (natural capital). Sedangkan untuk menganalisis herarki wilayah pesisir indikator sosial digunakan analisis komponen utama dan menganalisis herarki wilayah pesisir indikator man-made capital digunakan analisis Skalogram (Budiharsono, 2006).
(1) Analisis Shift Share Perkembangan Wilayah Pesisir Ketiga komponen pertumbuhan regional, komponen pertumbuhan proporsional,
dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah secara matematik
dapat dinyatakan sebagai berikut jika dalam Kabupaten terdapat m daerah kecamatan ( j = 1, 2, 3,..., m ) dan n sektor ekonomi ( i =1,2,3, ..., n ) maka perubahan tersebut diatas dapat dinyatakan sebagai berikut (Budiharsono, 2006) : ▲Y ij = PR ij + PP ij + PPW ij Atau secara rinci dapat dinyatakan sebagai berkut : Y’ ij – Y ij = ▲Y ij = Y ij (Ra-1) + Y ij (Ri-Ra) + Y ij (ri-Ri)
Dimana : ▲Y ij = perubahan dalam kesempatan kerja/produksi sektor i pada wilayah ke j Y ij = produksi/tenaga kerja sektor i pada wilayah ke j pada tahun dasar analisis Y’ ij = produksi/tenaga kerja sektor i pada wilayah ke j pada tahun akhir analisis = Produk domestik regional bruto (PDRB) atau tenaga kerja sektor i pada tahun dasar analisis = Produk domestik regional bruto (PDRB) atau tenaga kerja sektor i pada tahun akhir analisis = Produk domestik regional bruto (PDRB) atau tenaga kerja pada tahun dasar analisis = Produk domestik regional bruto (PDRB) atau tenaga kerja pada tahun akhir analisis
49 Dimana : ri Ri Ra (ri-1) (R a -1)
= Y’ ij / Y ij = Y’ i. / Y i. = Y’ .. / Y .. = persentase perubahan PDRB / tenaga kerja pada sektor i kec ke j = PR ij = persentase perubahan PDRB / tenaga kerja yang disebabkan komponen pertumbuhan regional. (R i -R a ) = PP ij = persentase perubahan PDRB / tenaga kerja yang disebabkan komponen pertumbuhan poporsional (r i -R i ) = PPW ij = persentase perubahan PDRB / tenaga kerja yang disebabkan komponen pertumbuhan pangsa wilayah
Kriteria pengambilan keputusan : Jika PP ij < 0, menunjukkan bahwa sektor i pada wilayah ke j pertumbuhannya bersifat lambat. Jika PP ij > 0, menunjukkan bahwa sektor i pada wilayah ke j pertumbuhannya bersifat cepat. Jika PPWij < 0 wilayah ke j tidak mempunyai comparatif advantage untuk sektor ke i jika dibandingkan dengan wilayah lainnya. Jika PPWij > 0 wilayah ke j mempunyai comparatif advantage untuk sektor ke i jika dibandingkan dengan wilayah lainnya. PB ij PB .j
= PP ij + PPW ij = PP .j + PPW .j
Dimana : PBij PB.j
= pergeseran bersih sektor i pada wilayah j = pergeseran bersih wilayah j
Kriteria pengambilan keputusan : Jika PBij < 0, pertumbuhan sektor i pada wilayah j termasuk bersifat lambat Jika PBij ≥ 0, pertumbuhan sektor i pada wilayah j termasuk bersifat progresif Jika PB.j < 0, pertumbuhan wilayah tersebut termasuk bersifat lambat Jika PB.j ≥ 0, pertumbuhan wilayah tersebut termasuk bersifat progresif
50 (2) Analisis Komponen Utama (Principal Components Analysis) Perkembangan Wilayah Metode seleksi variabel seperti ini dilakukan dengan teknik Analisis Komponen Utama (PCA: Principal Components Analysis) (Tanaka, Tarumi dan Wakimoto, 1984). Perangkat lunak yang digunakan adalah STATISTICA for Windows (StatSoft, 2001). Analisis dilakukan terhadap variabel yang telah dibakukan. Nilai baku suatu variabel didefinisikan sebagai simpangan nilai variabel tersebut dari rataannya dibagi dengan simpangan bakunya. Secara matematis definisi ini dapat ditulis sebagai berikut:
Dimana : yt xt x, Sx n
: j: : : :
nilai variabel baku ke-j untuk sampel ke-/ nilai variabel ke-j untuk sampel ke-i rataan nilai variabel ke-j antar sampel i—\...n simpangan baku variabel ke-j banyaknya sampel pengukuran variabel key
Kriteria pengambilan keputusan : Rendah skor ≤ - 0,5 Sedang - 0,5 ≤ skor ≤ 0,5 Tinggi skor > 0,5 (3) Analisis Skalogram Perkembangan Wilayah Pesisir Sedangkan penentuan herarki wilayah berdasarkan potensi man-made capital pada dasarnya adalah membuat tingkatan berdasarkan fasilitas pelayanan (infrastruktur) yang ada, yang selanjutnya digunakan metode skalogram. Metode ini dapat digunakan untuk menentukan pemukiman atau wilayah dan kelembagaan
51 atau fasilitas pelayanan, dengan data yang diperlukan meliputi jumlah penduduk, jenis dan jumlah fasilitas pelayanan untuk masing-masing wilayah kecamatan (Budiharsono, 2006). Tahapan metode skalogram adalah: 1. kecamatan disusun urutannya berdasarkan jumlah penduduk; 2. kecamatan diurutkan berdasakan jumlah jenis fasilitas pelayanan yang ada pada setiap kecamatan; 3. fasilitas-fasilitas tersebut diurutkan berdasarkan jumlah wilayah kecamatan yang memiliki jenis fasilitas tersebut; 4. jenis fasilitas diurutkan berdasarkan jumlah total unit fasilitas; 5. peringkat kecamatan diurutkan berdasarkan jumlah total fasilitas dimiliki oleh masing-masing kecamatan.
4.3.4
Analisis Kontribusi-Keterkaitan dan Struktur Perekonomian Wilayah Kontribusi dan keterkaitan sektor perikanan laut dalam struktur
pembangunan nasional dipergunakan analisis input output. Pembentukan output, nilai tambah bruto, pendapatan, permintaan antara dan permintaan akhir dapat diketahui secara langsung dari tabel input output. Dalam suatu model IO, transaksi yang digunakan dalam penyusunan Tabel IO harus memenuhi 3 asumsi dasar : 1. asumsi homogenitas yang mensyaratkan setiap sektor memproduksi suatu output tunggal dengan struktur input tunggal dan bahwa tidak ada substitusi otomatis antara berbagai sektor; 2. asumsi proporsionalitas yang mensyaratkan dalam proses produksi, hubungan antara input dengan output merupakan fungsi linier yaitu tiap jenis input yang diserap oleh sektor tertentu naik atau turun sebanding kenaikan atau penurunan output sektor tersebut; 3. asumsi aditivitas, yaitu suatu asumsi yang menyebutkan efek total pelaksanaan produksi di berbagai sektor dihasilkan oleh masingmasing sektor secara terpisah berarti diluar sistim input output semua pengaruh dari luar diabaikan.
52 Dengan asumsi-asumsi tersebut, Tabel IO mempunyai keterbatasan antara lain : 1. karena rasio input output tetap konstan sepanjang periode analisis; 2. produsen tak dapat menyesuaikan perubahan-perubahan inputnya atau mengubah proses produksi. Hubungan yang tetap ini berarti menunjukkan bahwa apabila input suatu sektor di dua kali lipatkan maka outputnya akan dua kali juga. Asumsi semacam itu menolak adanya pengaruh perubahan teknologi ataupun produktivitas yang berarti perubahan kuantitas dan harga input sebanding dengan perubahan kuantitas dan harga output. Walaupun mengandung keterbatasan dan kelemahan, model IO tetap merupakan alat analisis ekonomi yang lengkap dan komprehensif.Analisis input output mempunyai beberapa kelemahan : 1. Model IO hanya bersifat deskriptif dan bebas nilai (netral) dari pandangan kebijakan. Kekuatan Analisis IO mendiskripsikan hubungan antar industri, aspek tekniknya dan karaktersitiknya yang bebas nilai, juga merupakan kelemahannya ketika dilihat dari perspektif lain. 2. Operasi Model IO lemah ketika parameter berubah. Didalamnya juga tidak memasukkan mekanisme untuk menangkap efek substitutsi baik dalam kemajuan teknologi maupun pola perdagangan. 3. Ketika dipertimbangkan sebagai alat perencana maka model IO kurang dapat mengakomodasi perencanaan pemerintah yang seringkali berorientasi pada tujuan (goal oriented). (1) Analisis Kontribusi Perikanan Laut. Untuk mengetahui peranan sektor kelautan dan perikanan sebagai sektor penyedia input (sektor hulu) maupun sebagai sektor pengguna output (sektor hilir) serta dampak yang ditimbulkan terhadap peronomian wilayah diketahui berdasarkan analisis multiplier dan analisis keterkaitan. Model ini pertama kali diperkenalkan oleh Francois Quesnay dan selanjutnya dikembangkan Wassily W. Leontief menggunakan pendekatan hubungan interdependensi antar sektor dalam suatu perekonomian, yang dinyatakan melalui persamaan linear.
53 Penerapan model ini mensyaratkan terpenuhinya tiga asumsi dasar, yaitu : 1. homogenitas, menyatakan perubahan suatu sektor hanya menghasilkan barang melalui suatu cara dengan satu susunan input; 2. proporsionalitas, perubahan suatu tingkat output selalu didahului oleh penggunaan input yang seimbang dan 3. additivitas, akibat total pelaksanaan produksi diberbagai sektor dihasilkan masing-masing sektor secara terpisah (BPS, 1995).
Tabel 2. Bentuk Umum Tabel Input-Output. /--------------------------------------------------------------------------------\ | |Permintaan Antara| Permintaan Akhir | | Alokasi Ouput |------------------------------------------------------------| | |Sektor Produksi | Konsum.| Konsum. | Pembentuk-| |Jumlah| | |-----------------| Rumah | Pemerin-| kan Modal |Stok|Ekspor| ||Susunan input | 1 |..| j |..| n | Tangga | tah | Tetap | | | |--------------------------------------------------------------------------------| | i a | s p | 1 |x11|..|xij|..|xin| Rt1 | KP1 | I1 | S1 |E1 X1 | | n n | e r | . |...|..|...|..|...| ... | ... | .. | .. | .. | | p t | k o | . |...|..|...|..|...| ... | ... | .. | .. | .. | | u a | t d | . |...|..|...|..|...| ... | ... | .. | .. | .. | | t r | o u | i |xi1|..|xij|..|xin| Rti | KPi | Ii | Si |Ei Xi | | a | r k | . |...|..|...|..|...| ... | ... | .. | .. | .. | | | s | . |...|..|...|..|...| ... | ... | .. | .. | .. | | | i | . |...|..|...|..|...| ... | ... | .. | .. | .. | | | | n |xn1|..|xnj|..|xnn| Rtn | KPn | In | Sn |En Xn | |--------------------------------------------------------------------------------/ | Upah dan Gaji | L1|..| Lj|..| Ln| | Rumah Tangga | | | | | | |-------------------------------------| |Nilai Tambahan Lain| V1|..| Vj|..| Vn| |-------------------------------------| | Import | M1|..| Mj|..| Mn| |-------------------------------------| | Jumlah Input | X1|..| Xj|..| Xn| \-------------------------------------/ Sumber:Nasendi,1986; Miernyk,1957;BPS,1995.
Dimana : X ij = banyaknya ouput sektor 1 yang digunakan sebagai input sektor j Y i = permintaan akhir terhadap sektor i = RT i + KP i + Ii + S i + E i Sektor dalam baris, menunjukkan alokasi ouput sektor i untuk permintaan antara (intermediate demand) sektor j dan sebagian untuk permintaan akhir. Secara matematis persamaan tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut :
54 i = 1, 2, ..., n Dimana : X i = total output sektor i X ij = jumlah output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j Y i = permintaan akhir terhadap sektor i Sektor dalam kolom, penggunaan input yang disediakan sektor lain untuk aktivitas produksi. Persamaan matematisnya dapat ditulis :
= 1, 2, ..., n Dimana : X i = total output sektor j X ij = banyaknya input yang disediakan sektor i untuk memproduksi sektor j G j = input primer dari sektor j = (L j + M j + V j ) Lj = upah dan gaji rumah tangga M j = import V j = nilai tambah lainnya. Permintaan antara menunjukkan jumlah penawaran output dari suatu sektor ke sektor lain yang digunakan dalam proses produksi. Permintaan akhir merupakan konsumen akhir terdiri dari : 1. pengeluaran konsumsi rumah tangga 2. pengeluaran konsumsi pemerintah; 3. pembentukan modal tetap; 4. perubahan stok dan; 5. ekspor. Penyusunan Tabel I-O pada penelitian ini menggunakan metode non-survey Table I-O terbaru Provinsi Jawa Timur yang telah tersedia, menggunakan teknik "partial non-survey", metode "RAS". Metode Ras pertama kali diperkenalkan oleh Stone dan Brown, yaitu suatu metode mencari satu set bilangan pengganda baris dan pengganda kolom untuk mendapatkan matriks kuadrant II baru. Matriks A adalah matriks
55 koefisien input yang berasal dari kuadrant II dan aij adalah sel-sel matriks, dan a ij terbentuk dua macam pengaruh : a. pengaruh substitusi, seberapa jauh komoditas ini dapat digantikan oleh komoditas lain dalam proses produksi; b. pengaruh fabrikasi (pembuatan), seberapa jauh komoditas j dapat menyerap input antara dari jumlah input yang tersedia. Apabila pengganda substitusi di beri notasir dan pengganda fabrikasi diberi notasi s sedangkan Ao adalah matriks koefisien input nasional maka matriks koefisien input regional adalah : At = r Ao s. Langkah yang ditempuh dalam menurunkan I-O regional dari I-O dasar, yaitu : 1. pada wilayah yang akan dibuat tabelnya dihitung komponen jumlah permintaan antara, input antara, input primer (nilai tambah bruto), permintaan akhir dan input primer masing-masing sektor, 2. kebalikan matriks A (koefisien input tabel I-O) dengan total input sektor. Penyusunan matriks dengan menggunakan pengganda basis ke-r dan pengganda kolom ke-s, berlanjut terus sampai diperoleh suatu matriks, dimana jumlah angka masing-masing baris sama dengan jumlah permintaan antara masing-masing sektor dan jumlah angka masingmasing kolom sama dengan jumlah input antara masing-masing sektor. 1 Koefisien Input (Teknologi) Koefisien input atau koefisien teknologi dalam Tabel I-O diperoleh dari perbandingan antara output sektor i yang digunakan dalam sektor j, atau (X ij ) input total sektor j, (X j ). Input atau koefisien itu a ij , maka : X ij a ij = -----Xj Dimana a ij = koefisien input Dengan koefisien input tersebut disusun matriks sebagai berikut : a 11 x 1 + a 12 x 2 + ….. + a in x n + Y 1 = X 1 a 21 x 1 + a 22 x 2 + ….. + a 2n x n + Y 2 = X 2 ….. + …. + ….. + ….. + … = .. a n1 x 1 + a n2 x 2 + ..... + a nn x n + Y n = X n
56
Atau dalam bentuk matriks dapat ditulis sebagai berikut : | a 11 ......... a 1n | | a 21 ......... a 2n | | : ........ : | | a n1 ......... a nn | A
|x1| |x2| | : | + |xn| X
|Y1 | |X1 | |Y2 | |X2 | | : | = | : | |Yn | |Xn | Y X
AX + Y = X -----> Y = X - AX -------> Y = (I - A)X dimana (I-A) disebut Matrik Leontief. Bentuk matriks Leontief selengkapnya adalah sebagai berikut :
(I - A) =
/ | (1 - a 11 ) ......... a 1n | | | - a n1 ......(1 - a nn ) \
Dimana : I X (I - A) (I - A)-1 X
\ | | | | /
: matrik identitas berukuran n x n yang elemennya memuat satu pada diagonalnya dan nol selainnya. : jumlah output : matrik Leontif : matrik kebalikan Leontif
Selanjutnya dari persamaan Y = (I-A) X, didapatkan X= (I-A)-1 Y; dimana (I-A)-1 merupakan matriks kebalikan Leontief. Fungsi matriks ini dalam Tabel I-O berguna untuk analisa ekonomi, karena tergambar saling berkaitan antara sektor baik pada tingkat produksi maupun pada tingkat permintaan akhir.
(2)
Analisis Keterkaitan Sektor Perikanan Laut 1. Keterkaitan Langsung Ke depan Keterkaitan langsung ke depan menunjukkan akibat suatu sektor perikanan terhadap sektor-sektor yang menggunakan sebagian output tersebut secara langsung perunit kenaikan permintaan total. Untuk mengetahui besarnya keterkaitan langsung ke depan, digunakan rumus :
57
i = 1, 2, .., n
Dimana : F i = keterkaitan langsung ke depan X ij = banyaknya output sektor i yang digunakan sektor j X i = total output sektor i (antara dan akhir) a ij
= unsur matriks koefisien teknis
2. Keterkaitan Langsung ke Belakang Keterkaitan langsung ke belakang menunjukkan akibat dari suatu sektor perikanan terhadap sektor-sektor yang menyediakan input antara bagi sektor tersebut secara langsung perunit kenaikan permintaan total. Untuk mengetahui besarnya keterkaitan langsung ke belakang suatu sektor, dapat digunakan rumus :
i = 1, 2, .., n
Dimana : B j = keterkaitan langsung ke belakang X ij = banyaknya input sektor j X j = total output sektor j (antara dan akhir) a ij = unsur matriks koefisien teknis 3. Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung Ke Depan Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan merupakan alat untuk mengukur akibat suatu sektor perikanan terhadap sektor-sektor yang menyediakan output bagi sektor tersebut, baik secara langsung maupun tak langsung perunit kenaikan permintaan total. Untuk mengetahui besarnya keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan digunakan rumus sebagai berikut (Langham, 1982) :
58 j = 1, 2, .., n
Dimana
FLTL i C ij
= keterkaitan langsung dan tidak ke depan = unsur kebalikan matriks Leontief terbuka.
4. Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung Ke belakang Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang merupakan alat untuk mengukur akibat dari suatu sektor yang diteliti terhadap sektor-sektor yang menyediakan input antara bagi sektor tersebut, secara langsung maupun tak langsung perunit kenaikan permintaan total. Untuk besarnya keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang digunakan rumus (Langham, 1982) :
i = 1, 2, .., n
Dimana
BLTL j
= keterkaitan langsung dan tidak belakang
C ij
= unsur kebalikan matriks Leontief terbuka.
(3) Analisis Multiplier Effect Sektor Perikanan Laut 1. Pengganda Pendapatan Tipe I Pengganda pendapatan tipe I adalah besarnya peningkatan pendapatan pada suatu sektor akibat meningkatnya permintaan akhir output sektor tersebut sebesar satu unit. Pengganda pendapatan tipe ini, merupakan penjumlahan pengaruh langsung dan tidak langsung dibagi dengan pengaruh langsung yang dirumuskan sebagai berikut:
Atau secara matematik dapat dirumuskan sebagai berikut :
, i = 1, 2, ....n
59 Dimana MIj = pengganda pendapatan tipe I sektor j Pi
= koefisien input gaji/upah rumah tangga sektor i
Cij
= unsur kebalikan matriks Leontief
2. Pengganda Pendapatan Tipe II Pengganda pendapatan tipe ini, selain menghitung pengaruh langsung dan tidak langsung juga menghitung pengaruh induksi.
Atau secara matematik dapat dirumuskan sebagai berikut :
,
j = 1, 2, ....n
Dimana MIIj
= pengganda pendapatan tipe II sektor j
Pj
= koefisien input gaji/upah rumah tangga sektor j
Dij
= unsur kebalikan matriks Leontief tertutup.
3. Pengganda Kesempatan Kerja Tipe I Pengganda tenaga kerja adalah besarnya kesempatan kerja yang tersedia pada sektor yang diteliti sebagai akibat penambahan permintaan akhir dari sektor yang bersangkutan sebesar satuan rupiah. Untuk menghitung pengganda tenaga kerja tipe I digunakan :
,
i = 1, 2, ....n
60 Dimana MLIj = pengganda tenaga kerja tipe I ke j Ti
= koefisien tenaga kerja sektor ke-i (orang/satuan rupiah)
Tj
= koefisien tenaga kerja sektor ke-j (orang/satuan rupiah)
Li
= Komponen tenaga kerja sektor ke-i
Xi
= total ouput (satuan rupiah) ke-i
Cij
= unsur kebalikan matriks Leontief.
4. Pengganda Tenaga Kerja Tipe II Untuk menghitung pengganda tenaga kerja tipe II digunakan rumus ,
i = 1, 2, ....n
Dimana MLIIj = pengganda tenaga kerja tipe II ke j Dij
= unsur kebalikan matriks Leontief tertutup.
5. Pengganda Output Sederhana Pengganda output sederhana bertujuan untuk mengetahui sampai berapa jauh pengaruh kenaikan permintaan akhir suatu sektor dalam suatu wilayah terhadap output sektor lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk menghitung pengganda output sederhana digunakan rumus :
,
i = 1, 2, ...., n
Dimana MXSj = pengganda output sederhana sektor j Cij
= unsur kebalikan matriks Leontief.
6. Pengganda Output Total Pengganda output total bertujuan untuk mengetahui sampai berapa jauh pengaruh kenaikan permintaan akhir suatu sektor di
61 dalam perekonomian suatu wilayah terhadap output sektor lainnya, baik secara langsung dan tidak langsung maupun induksi. Untuk menghitung pengganda output total secara sederhana digunakan rumus sebagai berikut : ,
i = 1, 2, ...., n
Dimana MXTj
= pengganda output total sektor j
Dij
= unsur kebalikan matriks Leontief tertutup.
(4) Analisis Manfaat Investasi Sektor Perikanan Laut 1. Koefisien Penyebaran Analisis ini menunjukkan koefisien kaitan yang memberikan gambaran tentang pengaruh yang ditimbulkan oleh satu unit permintaan akhir untuk semua sektor dalam perekonomian. Koefisien penyebaran merupakan keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang yang dinormalkan dengan jumlah sektor dan jumlah seluruh koefisien matriks kebalikan Leontief (Sutomo, 1996). Secara matematik dirumuskan sebagai berikut :
,
i,j = 1,2, ..., n
Dimana bj = koefisien penyebaran Cij = unsur kebalikan matriks Leontief (I-A)-1 baris ke-i, kolom ke-j = dampak yang ditimbulkan satu unit permintaan akhir sektor ke-i terhadap semua sektor. = dampak yang ditimbulkan satu unit permintaan akhir semua sektorterhadap salah satu sektor.
62 2. Kepekaan Penyebaran Kepekaan penyebaran memberikan gambaran tentang pengaruh yang ditimbulkan oleh satu unit permintaan akhir untuk semua sektor di dalam perekonomian. Kepekaan penyebaran merupakan keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan dinormalkan dengan jumlah sektor dan jumlah seluruh koefisien matriks kebalikan Leontief (Sutomo,1995), yang dirumuskan sebagai berikut :
,
i,j = 1,2, ..., n
Dimana fi
= kepekaan penyebaran
Cij
= unsur kebalikan matriks Leontief (I-A)-1 baris ke-i, kolom ke-j = dampak yang ditimbulkan oleh suatu unit permintaan akhir sektor ke-i terhadap semua sektor. = dampak yang ditimbulkan oleh satu unit permintaan akhir semua sektor terhadap salah satu sektor. Apabila nilai indeks bj dari sektor i > 1, hal ini menunjukkan
bahwa sektor tersebut memperoleh pengaruh dari sektor lainnya juga tinggi. Dengan perkataan lain, sektor peka terhadap pengaruh sektor lain. Sebaliknya apabila indeks fi dari sektor j > 1, berarti pengaruh sektor tersebut terhadap sektor lainnya juga tinggi (Sutomo, 1996).
4.3.5
Analisis Kebijakan Pembangunan Perikanan Pengelolaan adalah sebuah proses yang berkelanjutan, iterative, adaptif
dan partisipatif yang tediri dari sebuah set tugas yang saling terkait satu sama lain dan harus dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Proses perencanaan harus dimonitor agar sistem yang sudah direncanakan dapat berjalan sesuai dengan rencana dan harus dievaluasi untuk mengetahui tingkat kesusksesan maupun tingkat kegagalannya, sehingga diperlukan suatu analisis kebijakan (Adrianto, 2007).
63 (United Nations dalam Budiharsosno, 2003), kebijakan adalah pedoman untuk bertindak atau lebih lengkapnya adalah suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai kegiatan-kegiatan
tertentu
atau
suatu
rencana.
(Carl
Frederich
dalam
Budiharsosno, 2003), kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang mencapai tujuan atau mewujutkan sasaran yang diinginkan. Teknik Amoeba digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan pengelolaan
kebijakan
pembangunan
perikanan,
indikator-indikator
yang
dianalisis didasarkan evaluasi program dan bentuk kegiatan pembangunan perikanan. Pada hakekatnya, pendekatan ini dikembangkan berdasarkan kerangka pembangunan berkelanjutan sebagaimana dipersyaratkan oleh Food and Agricultural Organization (FAO) melalui Code of Conduct for Responsible Fisheries. Dengan pendekatan ini dimungkinkan dilakukan diagnose terhadap kondisi suatu kebijakan berdasarkan hasil pengukuran beberapa indikator (Pitcher and Preikshot, 2001). Aplikasi teknik amoeba dalam penelitian ini didasarkan pada hasil identifikasi berdasarkan indikator CPUE, potensi sumberdaya perikanan (DPSDPI),
pembanguan
wilayah
pesisir
(DPWP),
kontribusi
sebaran
perkembangan wilayah pesisir (DKSPWP) dan kebijakan pembangunan perikanan (AK). Teknik amoeba didasarkan pada teknik ordinasi dengan multi dimensional scaling, yang mencoba melakukan transformasi multidimensi ke dalam dimensi yang lebih rendah. Multi dimensional scaling adalah satu klas prosedur yang menyajikan persepsi secara spasial dengan menggunakan tayangan yang dapat dilihat. Hubungan antara indikator ditunjukkan sebagai hubungan geografis antara titik-titik di dalam suatu ruang multidimensional. Sumbu dari peta spasial diasumsikan menunjukkan dimensi yang dipergunakan dengan menggunakan acuan pengukuran atribut sehingga diperoleh daftar skor untuk setiap dimensi (Supranto, 2004).
64
5. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1 Keragaan Umum Propinsi Jawa Timur 5.1.1 Kondisi Geografis Propinsi Jawa Timur terletak 111˚0’ hingga 114˚4’ Bujur Timur, dan 7˚12’ hingga 8˚48’ Lintang Selatan. Luas wilayah Propinsi Jawa Timur mencapai 46.428 km², terbagi ke dalam empat badan koordinasi wilayah (Bakorwil), 29 kabupaten, sembilan kota, dan 658 kecamatan, 8.457 desa/kelurahan (2.400 kelurahan dan 6.097 desa). Secara umum wilayah Jawa Timur terbagi dua bagian besar, yaitu Jawa Timur daratan mencakup 90% luas wilayah Propinsi Jawa Timur. Di sebelah utara, Propinsi Jawa Timur berbatasan dengan Laut Jawa. Di sebelah timur berbatasan dengan Selat Bali. Di sebelah selatan berbatasan dengan perairan terbuka, Samudera Indonesia, di sebelah barat berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah. Surabaya sebagai Ibukota Propinsi Jawa Timur. Wilayah Propinsi Jawa Timur dapat dikelompokkan dalam tiga zona: zona selatan-barat, merupakan pegunungan yang memiliki potensi tambang cukup besar; zona tengah (gunung berapi), merupakan daerah relatif subur terdiri dari dataran rendah dan dataran tinggi; dan zona utara dan Madura (lipatan), merupakan daerah relatif kurang subur (pantai, dataran rendah dan pegunungan). Bagian tengah wilayah Jawa Timur terbentang rangkaian pegunungan berapi. Jawa Timur memiliki iklim tropis basah. Dibandingkan wilayah Pulau Jawa bagian barat, Jawa Timur pada umumnya memiliki curah hujan lebih sedikit. Curah hujan rata-rata 1.900 mm per tahun, dengan musim hujan selama 100 hari. Suhu rata-rata berkisar 21-34°C. Suhu tertinggi terjadi pada Oktober dan November (35,3°C), dan terendah di bulan Agustus (19,3°C) dengan kelembaban 39%-97%. Tekanan udara tertinggi di bulan Agustus sebesar 1.012,0 Milibar. Jumlah curah hujan terbanyak terjadi di bulan Februari. Rata-rata penyinaran matahari terlama di bulan Agustus, sedangkan terendah di bulan April. Kecepatan angin tertinggi terjadi di bulan Oktober, dan terendah di bulan April (Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur, 2008).
65 5.1.2 Demografi Jawa Timur merupakan Propinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia, pada 2008 mencapai 37.094.836 jiwa, dengan laju pertumbuhan 0,54%. Pada 2007 jumlah penduduk Jawa Timur tercatat sebanyak 36.895.571 jiwa (51% di antaranya adalah perempuan), kepadatan penduduk 814 jiwa/km2. Kepadatan penduduk di kota umumnya lebih tinggi dibanding di kabupaten. Kota Surabaya sebagai ibukota Propinsi dan sentra kegiatan ekonomi Jawa Timur yang memiliki faktor penarik untuk menjadi daerah tujuan bagi para pencari kerja, pertumbuhan penduduknya sudah semakin jenuh, para pendatang umumnya mencari domisili di kabupaten/kota sekitarnya. Penduduk Jawa Timur mayoritas (46,18%) memiliki mata pencaharian di bidang pertanian, selebihnya bekerja di sektor perdagangan (18,80%), sektor jasa (12,78%), dan sektor industri (12,51%). Etnisitas di Jawa Timur relatif heterogen, mayoritas penduduk adalah suku Jawa. Suku Madura mendiami Pulau Madura dan daerah bagian timur, terutama di daerah pesisir utara dan selatan. Suku Madura tersebar hampir di seluruh kota di Jawa Timur, umumnya mereka bekerja di sektor informal. Penduduk Jawa Timur mayoritas beragama Islam (95,76%), beragama Kristen Protestan 1,98%; Katolik (0,98%); Hindu (0,94%); Budha (0,29%); dan lainnya (0,05%) (Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur, 2008).
5.1.3 Kondisi Perekonomian Jawa Timur merupakan barometer perekonomian nasional setelah DKI Jakarta, dan Propinsi Jawa Barat, kontribusi PDRB Jawa Timur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional mencapai sekitar 16%. Perekonomian Jawa Timur ditopang tiga sektor utama : perdagangan, industri, dan pertanian. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur atas dasar harga berlaku (ADHB) pada periode 2000-2008 menunjukkan kecenderungan terus meningkat sejalan membaiknya kondisi perekonomian. Berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan 2000, menunjukkan kecenderungan pertumbuhan ekonomi Jawa Timur terus membaik, meski pada 2006 terjadi sedikit perlambatan dibanding 2005, antara lain disebabkan dampak negatif kenaikan harga BBM dua kali, dan cukai rokok
66 pada 2005, serta dampak luapan lumpur panas Lapindo. Tahun 2008, pertumbuhan ekonomi kembali melambat menjadi 5,90%, meski masih di atas angka pertumbuhan 2005. Melemahnya pertumbuhan ekonomi 2008 antara lain disebabkan dampak krisis ekonomi global. Dampak kenaikan harga BBM dan berlanjutnya dampak lumpur panas Lapindo tidak menghalangi perekonomian Jawa Timur untuk tetap tumbuh pada 2007. Pertumbuhan ekonomi Jawa Timur pada 2007 meski tertatih-tatih, merangkak naik menjadi 6,11%, atau naik 0,31%. Tahun 2008, pertumbuhan ekonomi Jawa Timur kembali melambat menjadi 5,90%, atau melemah 0,21% dibanding 2007. Hampir seluruh sektor mengalami perlambatan pertumbuhan, kecuali sektor pertambangan dan penggalian. Sektor ini tumbuh menjadi 9,26%, yang pada 2007 hanya mencapai 10,44%. Pertanian yang diharapkan menjadi sektor unggulan mendongkrak pertumbuhan ekonomi 2008, ternyata mengalami perlambatan akibat kemarau panjang. Pertumbuhan sektor industri pengolahan melambat akibat menurunnya permintaan dari negara-negara tujuan ekspor. Pada 2008, sektor pertanian memberikan kontribusi sebesar 16,57% terhadap PDRB,
5.1.4 Disparitas Wilayah dan Kondisi Sosial Budaya Tingkat kesenjangan ekonomi antar-wilayah di Jawa Timur pada kurun 2004-2007 menunjukkan nilai yang fluktuatif seiring tingkat perubahan PDRB per kapita Jawa Timur, juga dipengaruhi kondisi sosial ekonomi selama kurun tersebut. Kesenjangan antar-kabupaten/kota di Propinsi Jawa Timur sangat dipengaruhi kreativitas pemerintah daerah dalam memanfaatkan potensi dimiliki untuk meningkatkan ouput daerah, yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi, dan mendorong peningkatan pendapatan per kapita masyarakat setempat. Struktur ekonomi secara nasional mengalami kejutan akibat kenaikan harga BBM, mendorong tingginya laju inflasi pada 2005 yang berdampak terhadap nilai PDRB per kapita karena melemahnya daya beli, kesenjangan antar-wilayah sesudah tahun 2005 menunjukkan kemajuan yang signifikan. Perspektif perbandingan absolut antar-daerah melalui perbandingan nilai PDRB per kapita dan tingkat pertumbuhan ekonomi terhadap rata-rata capaian Jawa Timur pada 2007, maka diperoleh empat kategori daerah. Pertama,
67 umumnya wilayah perkotaan memiliki pertumbuhan sektor-sektor ekonomi tinggi dan PDRB per kapita tinggi di atas rata-rata kabupaten/kota di Propinsi Jawa Timur. Kedua, daerah-daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi PDRB per kapita lebih rendah dibandingkan rata-rata PDRB per kapita Propinsi, menyebar di kabupaten/kota. Ketiga, PDRB per kapita yang tinggi, tetapi pertumbuhan ekonominya rendah, terjadi di Kota Kediri. Keberadaan perusahaan industri rokok berskala nasional di daerah merupakan pendorong nilai PDRB per kapita, meskipun tingginya nilai PDRB per kapita tidak benar-benar mencerminkan tingginya pendapatan masyarakat. Keempat, daerah-daerah PDRB per kapitanya rendah sekaligus pertumbuhan ekonominya juga rendah. Kondisi sosial budaya Jawa Timur secara umum relatif baik, terutama yang menyangkut pelayanan pendidikan, kesehatan. Pendidikan merupakan isu sentral dalam pembangunan berpusat pada rakyat karena salah satu premis pentingnya adalah memperbesar pilihan-pilihan bagi rakyat. Meningkatkan produktivitas sumber daya manusia, faktor kesehatan menjadi sesuatu yang sangat penting. Jumlah tenaga medis yang berada di unit pelayanan kesehatan pada 2008 secara umum mengalami peningkatan sebesar 2,3%. Jumlah tenaga paramedis di unit pelayanan kesehatan meningkat sebesar 3,2%. Satu tenaga medis melayani 4.730 penduduk, dan setiap satu tenaga paramedis melayani 1.011 penduduk. Rasio jumlah puskesmas terhadap penduduk sebesar 1:39.677 jiwa. Ratarata setiap puskesmas memiliki 1-2 puskesmas pembantu. Pondok Bersalin Desa merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA), keluarga berencana, dan pelayanan kesehatan lainnya sesuai kemampuan bidan desa. Keberadaan posyandu menyebar sampai tingkat rukun warga dan dusun. Upaya meningkatkan aksesibilitas dan kualitas pelayanan kesehatan, terutama untuk keluarga miskin dan daerah terpencil, mulai tahun 2006 dilakukan pengembangan puskesmas menjadi puskesmas rawat inap sesuai standar. Pada tahun 2007, jumlah kunjungan rawat jalan di puskesmas sebanyak 19.340.858 orang, dan rawat inap puskesmas sebanyak 754.084 orang. Persentase penduduk yang memanfaatkan puskesmas dalam mencari pengobatan pada 2007 mencapai 54,40%. Terdapat kecenderungan masyarakat untuk beralih dari persalinan yang ditolong tenaga non-medis ke tenaga medis. Data Susenas 2008
68 menunjukkan, cakupan persalinan tenaga medis pada balita usia 0-4 tahun di Jawa Timur mencapai 88,45% dan 11,55% masyarakat Jawa Timur memanfaatkan tenaga non-medis dalam membantu proses kelahiran. Persentase penolong persalinan tenaga medis di daerah pedesaan lebih rendah dibanding perkotaan. Tahun 2007, panjang jalan raya di Jawa Timur mencapai 3.900,19 kilometer, terbagai atas jalan nasional (1.899,21 km), dan jalan Propinsi (2.000,98 km). 16,06% Dari total panjang jalan tersebut, 16,06% di antaranya dalam kondisi baik, kemudian 65,18% lainnya dalam kondisi sedang, dan sisanya sebesar 18,76% dalam kondisi rusak ringan dan berat. Jika dilihat panjang jalan Propinsi yang 2.000,98 km, maka 5,35% (107,09 km) di antaranya dalam kondisi rusak berat; dan 14,58% (291,68 km) rusak ringan; 75,50% (1.510,63 km) dalam kondisi sedang dan 4,58% (91,58 km) sisanya dalam kondisi baik (Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur, 2008). Semburan Lumpur Lapindo di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo sejak 29 Mei 2006 hingga kini, menyebabkan kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian, sekolah, serta infrastruktur lainnya, seperti jalan tol, jaringan telepon, listrik, air bersih, gas, dan lainnya, di tiga kecamatan tenggelam dalam lumpur, berdampak negatif terhadap aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Perkembangan struktur ruang Jawa Timur mengarah pada dominasi kawasan perkotaan yang mempengaruhi perekonomian wilayah pedesaan. Urbanisasi dan aglomerasi wilayah terus berkembang mengarah ke hierarki perkotaan lebih besar, sehingga primacy kota metropolitan semakin tinggi dibandingkan tingkatan kotakota lainnya. Perkembangan kawasan perkotaan cenderung membesar, dan berpotensi mendorong perkembangan mega-urban, perkembangan perkotaan, dan mengendalikan perkembangan kawasan terbangun di perkotaan serasi dengan kawasan pedesaan sesuai daya dukung, serta prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, struktur ruang wilayah dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Jawa Timur dibagi menjadi sembilan Satuan Wilayah Pengembangan (SWP). Penentuan sembilan SWP di Jawa Timur berdasarkan kecenderungan pergerakan manusia, barang dan jasa, serta karakteristika wilayah. Orientasi pergerakan manusia, barang dan jasa di Jawa Timur cenderung memusat pada titik-titik tertentu, mengarah kepada wilayah yang telah berkembang.
69 Pola ruang wilayah Jawa Timur sampai dengan tahun 2005 terbagi atas 11,62% kawasan lindung, dan 88,38% kawasan budidaya. Potensi kawasan budidaya yang sangat besar ini perlu dikelola dan diarahkan pada pencapaian pemanfaatan ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Keamanan dapat diterjemahkan sebagai pemanfaatan ruang yang terbebas dari kerawanan bencana; kenyamanan berarti masih dalam batas daya dukungnya; produktif berarti menghasilkan nilai ekonomi; dan berkelanjutan berarti keseimbangan aspek sosial dan lingkungan hidup.
5.2 Keragaan Umum Kabupaten Lamongan 5.2.1 Kondisi Geografis Secara geografis Kabupaten Lamongan terletak pada 6° 51’54” sampai dengan 7° 23’ 6” Lintang Selatan dan diantara garis bujur timur 112° 4’ 4” sampai 112°33’12” Kabupaten Lamongan memiliki luas wilayah kurang lebih 1.812,8 km² atau + 3.78% dari luas wilayah Propinsi Jawa Timur. Panjang garis pantai sepanjang 47 km, maka wilayah perairan laut Kabupaten Lamongan adalah seluas 902,4 km2. Kabupaten Lamongan dibelah Sungai Bengawan Solo, dan secara garis besar daratannya dibedakan menjadi 3 karakteristik yaitu: 1. Bagian Tengah Selatan merupakan daratan rendah relatif agak subur yang membentang dari Kecamatan Kedungpring, Babat, Sukodadi, Pucuk, Lamongan, Deket, Tikung Sugio, Maduran, Sarirejo dan Kembangbahu. 2. Bagian Selatan dan Utara merupakan pegunungan kapur berbatu dengan kesuburan sedang, terdiri dari Kecamatan Mantup, Sambeng, Ngimbang, Bluluk, Sukorame, Modo, Brondong, Paciran, dan Solokuro. 3. Bagian Tengah Utara merupakan daerah rawan banjir, meliputi kecamatan Sekaran, Laren, Karanggeneng, Kalitengah, Turi, Karangbinagun, Glagah. Batas wilayah administratif Kabupaten Lamongan : Sebelah Utara perbatasan dengan Laut Jawa, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Gresik, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Jombang dan Kabupaten Mojokerto, sebelah barat berbatasan dengan Kabupten Bojonegoro dan Kabupaten Tuban. Kabupaten Lamongan terdiri dari daratan rendah ketinggian 0-25 meter seluas 50,17%, 25-100 meter seluas 45,68%, selebihnya 4,15% berketinggian di
70 atas 100 meter di atas permukaan air laut. Wilayah Kabupaten Lamongan, 72,5% lahannya datar tingkat kemiringan 0-2%, sebagian kecil wilayahnya sangat curam, atau kurang dari 1% (0,16%) tingkat kemirimgan lahan 40%. Tata guna tanah di Kabupaten Lamongan : sawah 44.08 Hektar, sawah tidak resmi 8.168,56 Hektar, sawah tadah hujan 25.407,80 Hektar, Tegalan 32.844,33 Hektar, pemukiman 12.418,89 Hektar, Tambak 3.497,72 Hektar, kawasan hutan 32.224,00 Hektar, kebun Campuran 212,00 Hektar, Rawa 1.340,00 Hektar, Tanah tandus kritis 889,00 Hektar (Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur, 2008).
5.2.2 Demografi Data Survey Sensus Ekonomi Nasional (susenas) Propinsi Jawa Timur Tahun 2005, jumlah penduduk Kabupaten Lamongan tahun 2005 : 1.261,972 jiwa, terdiri dari 646.830 jiwa (51,26%) perempuan dan 615.142 jiwa (48,74%) laki-laki. Jumlah penduduk Kabupaten Lamongan berdasarkan kelompok usia 014 tahun sebanyak 321.704 jiwa, usia 15-64 tahun sebanyak 843.132 jiwa, usia 65 ke atas sebanyak 97.136 jiwa. Banyaknya pencari kerja tamatan SD yang terdaftar : 55 orang, tamatan SMP : 216 orang, tamatan SMU sederajat : 5.371 orang, tamatan Diploma I/II/III : 2.125 orang, tamatan sarjana : 3.419 orang. Pemenuhan lowongan kerja menurut sektor listrik-gas-air 186 orang, bangunan 242 orang, perdagangan 417 orang (Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur, 2008).
5.2.3 Kondisi Perekonomian Berdasarkan kondisi sumber daya alam yang ada, potensi unggulan daerah Kabupaten Lamongan di sektor pertanian khususnya. Besarnya volume perdagangan
di
Kabupaten
Lamongan
khususnya
komoditi
pertanian,
pertambangan dan penggalian dan industri hasil produk lamongan merupakan suatu potensi unggulan daerah yang perlu didukung sistem pemasaran yang efisien dan dukungan sarana prasarana yang baik. Kabupaten Lamongan mempunyai letak strategis diantara pusat-pusat pertumbuhan di Jawa Timur merupakan potensi yang besar untuk dioptimalkan dalam rangka pengembangan wilayah. Model pembangunan ekonomi daerah pendekatan kutub pertumbuhan, menciptakan pusat pertumbuhan khususnya di wilayah pantura dengan pihak
71 investor merupakan strategi yang telah dikembangkan selama beberapa tahun. Diharapkan pusat-pusat pertumbuhan tersebut menjadi mesin pertumbuhan perekonomian Kabupaten Lamongan secara keseluruhan tanpa mengesampingkan pengembangan
wilayah
lainnya.
Perkembangan
pencapaian
kemajuan
perekonomian daerah dapat dilihat dari nilai pertumbuhan perekonomian yang dicapai setiap tahunnya. Pertumbuhan ekonomi selama Lima tahun terakhir menunjukkan
pola
kecenderungan
yang
semakin
meningkat,
meskipun
pencapaian pertumbuhan ekonomi tersebut disadari masih dibawah rata-rata pertumbuhan ekonomi Jawa Timur dan Nasional. Peranan sektor primer menunjukkan kecenderungan samakin menurun, sektor tersier menunjukkan kecenderungan meningkat.
5.2.4 Potensi Perikanan Wilayah penangkapan ikan laut di Kabupaten Lamongan sepanjang 47 km. Perkembangan jumlah alat tangkap di sajikan pada Tabel 3, produksi dan nilai produksinya di sajikan pada Tabel 4. Tabel 3. Perkembangan Jumlah Alat Tangkap Kabupaten Lamongan No
Jenis Alat Tangkap
1.
Purse Seine
2.
Th 2001
Th 2002
Th 2003
Th 2004
Th 2005
Th 2006
Th 2007
79
83
88
88
86
137
187
Payang Besar
501
524
558
558
542
1.210
1.878
3.
Pancing Prawe
214
224
239
239
232
245
258
4.
Payang Kecil
72
75
80
80
78
68
57
5.
Gill Net
325
340
362
362
352
404
456
1.191
1.246
1.327
1.327
1.290
2.064
2.836
Jumlah
Sumber :Kab Lamongan dalam angka 2008.
Produksi ikan olahan meliputi pengalengan, pindang, asinan, tepung ikan, vilet. Komoditasnya meliputi Cumi (Loligo spp), Layang (Decapterus spp), Kembung
(Rastrelliger
spp),
Tembang
(Sardinella
fimbriata),
Tongkol
(Euthynnus spp), Tengiri (Scomberomorus commersoni), Kerapu ( Serranidae).
72 Tabel 4. Produksi dan Nilai Produksi Ikan Laut Kabupaten Lamongan No
Tahun
Produksi (Ton)
Pertumbuhan Produksi (%)
1.
2001
28.909,17
--
43.257,56
--
2.
2002
31.035,67
6,85
44.763,94
3,36
3.
2003
32.020,70
3,08
45.569,06
1,77
4.
2004
31.976,49
-0,14
46.827,56
2,69
5.
2005
32.170,44
0,60
48.145,22
2,74
6.
2006
26.430,88
-10,86
179.862,62
36,61
7.
2007
20.691,32
-10,86
311.580,01
36,61
58.346,56
13,96
Rata-rata
Nilai Produksi (Rp. Jt)
Pertumb Nilai Produksi (%)
Sumber :Kab Lamongan dalam angka 2008.
Pada Tabel 5 terlihat industri perikanan laut di Kab. Lamongan terdiri dari 32 perusahaan berskala sedang sampai besar yaitu hanya 7,06 % sedangkan skala kecil mencapai 421 perusahaan atau 92,94 % dari total 453 industri perikanan. Tabel 5. Keragaan Jenis, Produksi Utama, Skala Usaha & Lokasi Industri Perikanan Laut di Kabupaten Lamongan. No
Jenis Industri & Produksi Utama
Skala Usaha
Jml
Lokasi Di Kec
Status & Jarak dr wil Penghasil ikan
1.
Ikan asin
Sedang-besar
12
11 di Brondong 1 di Paciran
Wil pesisir Wil pesisir
0 km 7 km
2.
Ikan penggaraman
Sedang-besar
1
1 di Brondong
Wil pesisir
0 km
3
Ikan kering
Sedang-besar
2
2 di Brondong
Wil pesisir
0 km
4.
Ikan pindang
Sedang-besar
15
15 di Brondong
Wil pesisir
0 km
5.
Es batu balok
Sedang-besar
2
1 di Kambangb 1 di Solokuro
Wil daratan 54 km Wil daratan 14 km
6.
Pengeringan
Kecil
104
1 di Brondong
Wil pesisir
0 km
7.
Pemindangan
Kecil
43
1 di Brondong
Wil pesisir
0 km
8.
Pendinginan/es-esan
Kecil
139
1 di Brondong
Wil pesisir
0 km
9.
Petis/trasi
Kecil
47
1 di Brondong
Wil pesisir
0 km
10.
Pengasapan
Kecil
61
1 di Brondong
Wil pesisir
0 km
11.
Tepung Ikan
Kecil
4
1 di Brondong
Wil pesisir
0 km
12.
Kerupuk
Kecil
23
1 di Brondong
Wil pesisir
0 km
453
lokasi di 4 Kec
Jumlah Sumber :Kab Lamongan dalam angka 2008.
73 5.3 Keragaan Umum Kabupaten Trenggalek 5.3.1 Kondisi Geografis Kabupaten Trenggalek merupakan satu dari 38 (tiga puluh delapan) kabupaten/kota di Propinsi Jawa Timur, yang terletak di Kawasan Selatan Jawa Timur (KSJT) yaitu ± 181 km sebelah barat daya dari Kota Surabaya, dengan luas wilayah 1.261,40 km2 atau 126.140 Ha. Secara geografis terletak pada koordinat 111°24’ - 112°11’ Bujur Timur dan 7°53’ - 8°34’ Lintang Selatan, yang memiliki batas-batas administratif, sebagai berikut : 1.
Sebelah Utara
: Kabupaten Tulungagung dan Ponorogo
2.
Sebelah Timur
: Kabupaten Tulungagung
3.
Sebelah Selatan
: Samudera Indonesia
4.
Sebelah Barat
: Kabupaten Pacitan dan Ponorogo
Secara administrasi pemerintahan, Kabupaten Trenggalek terdiri dari 14 kecamatan, 152 desa dan 5 kelurahan, 322 dusun/lingkungan, 1.400 Rukun Warga dan 4.254 Rukun Tetangga. Kondisi topografi terdiri
2
/ 3 bagian wilayah
pegunungan dan 1/ 3 bagian wilayah dataran rendah dengan ketinggian antara 0 sampai dengan 1.250 di atas permukaan laut, dan dari ketinggian tersebut 53,8% berketinggian 100-500 m, kemiringan tanah 0% - 7% wilayah dataran rendah dan 7% - 40% wilayah pegunungan. Secara hidrologi, di Kabupaten Trenggalek terdapat Sungai Ngasinan merupakan muara sungai Bagong, Prambon, Pinggir, Nglongah, dan Sungai Tawing. Sungai Ngasinan mengalir ke Parit Agung dan Parit Raya menuju Samudera Indonesia, sungai yang langsung mengalir ke Samudera Indonesia adalah Sungai Gedangan, Konang, Tumpak Nongko dan Sungai Ngemplak. Pola penggunaan tanah yang paling dominan di Kabupaten Trenggalek yaitu untuk hutan negara, mencapai luas 61.089 Ha (48,43%). Penggunaan tanah kering mencapai 37,19% seluas 46.923 Ha. tanah sawah mencapai 11.168 Ha (8,85%). Kabupaten Trenggalek memiliki panjang pantai mencapai ± 96 km yang terletak di tiga kecamatan yaitu Kecamatan Watulimo, Panggul dan Munjungan. Salah satu pantainya yaitu Pantai Prigi memiliki luas ZEE ± 35.558 km2 dengan tingkat eksploitasi sekitar ± 7,54 %.
74 5.3.2 Demografi Hasil registrasi penduduk akhir tahun 2004, jumlah penduduk Kabupaten Trenggalek 679.248 jiwa jumlah rumah tangga 175.001, terdiri dari 338.096 jiwa penduduk laki-laki (49,78 %) dan 341.152 jiwa penduduk perempuan (50,22 %). Jumlah penduduk naik 0,30 % dibanding akhir tahun sebelumnya. Kepadatan penduduk Kabupaten Trenggalek 538 jiwa/km2, tingkat kepadatan penduduk tertinggi adalah Kecamatan Panggul sebesar 1.117 jiwa/km2, disusul Kecamatan Trenggalek tingkat kepadatan 1.018 jiwa/km2, dan tingkat kepadatan penduduk paling rendah adalah Kecamatan Bendungan 290 jiwa/km2. Salah satu upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah melalui jalur pendidikan. Tingkat pendidikan di daerah berkaitan dengan tersedianya fasilitas pendidikan. Fasilitas pendidikan Sekolah Dasar di Kabupaten Trenggalek sejumlah 453 sekolah, dilengkapi 2.815 ruang belajar dan didukung 60.282 murid dan 4.207 guru. Kecamatan Panggul, Pule dan Dongko merupakan kecamatan terbanyak memiliki SD berkaitan jumlah murid SD yang ditampung dan kondisi geografis yang bergunung-gunung. Jika ditinjau dari kepadatan murid per sekolah, Kecamatan Trenggalek dan Panggul merupakan kecamatan terpadat dengan jumlah murid per sekolah masing-masing 162 dan 159 murid. Angka pengangguran cenderung meningkat periode empat tahun terakhir. Jika pada tahun 1998 sebesar 2,59% maka pada tahun 2002 naik menjadi 3,58% dari total angkatan kerja. Hasil survei angkatan kerja Propinsi Jawa Timur pada tahun 2004, angka pengangguran mencapai 6%. Kualitas kesehatan masyarakat Kabupaten Trenggalek pada umumnya cukup baik. Pemerataan jangkauan dan mutu pelayanan kesehatan kepada masyarakat baik promotif, preventif, kuratif maupun rahabilitatif dengan sasaran utama yaitu kelompok penduduk rentan kesehatan seperti Ibu Hamil, Ibu Bersalin, Bayi, Balita dan Ibu Menyusui dilaksanakan terpadu melalui sarana pelayanan kesehatan dasar dan rujukan. Tahun 2004, kondisi fasilitas kesehatan di Kabupaten Trenggalek terdiri : 1 Rumah Sakit Pemerintah, 2 Rumah Sakit Swasta, 22 Puskesmas, 66 Puskesmas Pembantu, 24 Puskesmas Keliling, 110 Polindes, 834 Posyandu dan 10 apotek. Dari 22 Puskesmas yang ada tahun 2004, terdapat 6 Puskesmas dengan cakupan kunjungan penderita diatas 25.000 orang pertahun.
75 5.3.3 Kondisi Perekonomian Kondisi perekonomian makro daerah Kabupaten Trenggalek diketahui dari beberapa indikator seperti Pertumbuhan Ekonomi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Pendapatan Regional Per Kapita, Tingkat Inflasi dan Indeks Disparitas Wilayah. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Trenggalek selama enam tahun terakhir, cenderung fluktuatif. Upaya-upaya pemulihan ekonomi yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Trenggalek nampak hasilnya, peningkatan pertumbuhan ekonomi 3,18%. Kontribusi terbesar peningkatan pertumbuhan diberikan sektor industri pengolahan 2,56%. Sektor Pertanian dari tahun ke tahun selalu menjadi primadona dalam pembentukan PDRB. Masyarakat Trenggalek masih bersifat agraris karena mayoritas bekerja pada sektor ini. Inflasi yang terjadi di Kabupaten Trenggalek cenderung fluktuatif, mencapai puncaknya pada tahun 1998 sebesar 46,13%. Dampak dari krisis moneter tahun 1997 yang terasa tahun 1998 diperparah dengan kenaikan harga-harga barang kebutuhan pokok. Untuk mengetahui tingkat pemerataan pembangunan antar wilayah kecamatan dalam Kabupaten Trenggalek maupun antar kecamatan dalam satu kawasan, bagaimana struktur ekonomi kecamatan, pendapatan Per kapita kecamatan dan tingkat kemakmuran penduduk, dipergunakan indikator ekonomi Indeks Disparitas Wilayah. Hasil perhitungan Indeks Disparitas Wilayah menunjukkan pembangunan selama menyebar merata pada masing-masing wilayah kecamatan. Keragaman antar kecamatan di Kabupaten Trenggalek relatif merata dan kesenjangan antar kecamatan kecil. Kemampuan daya beli masyarakat Trenggalek secara umum untuk mengkonsumsi barang dan jasa mengalami peningkatan sebesar 2,76%. Kabupaten
Trenggalek
memiliki
potensi
ekonomi
cukup
besar
untuk
dikembangkan antara lain : pertanian, peternakan, perikanan dan kelautan, industri kecil dan menengah serta pariwisata, seni dan budaya. Kabupaten Trenggalek memiliki potensi perikanan dan kelautan yang dapat dikembangkan baik perikanan laut maupun perikanan darat. Salah satu sektor andalan Kabupaten Trenggalek adalah sektor pariwisata. Obyek wisata yang sering dikunjungi wisatawan adalah wisata alam diantaranya Pantai Prigi.
76 Kondisi prasarana dan sarana daerah Kabupaten Trenggalek dapat diketahui dari beberapa indikator seperti panjang Jalan dan jembatan serta sarana telekomunikasi daerah. Sarana prasarana jalan merupakan unsur vital yang dapat menggerakkan dan memperlancar kegiatan perekonomian, pendidikan dan kesehatan di suatu wilayah baik perkotaan maupun perdesaan. Panjang jalan di Kabupaten Trenggalek 859,290 Km, 457,96 Km kondisi baik (53,29%), 220,97 Km kondisi sedang (25,71%), 126,87 Km kondisi rusak ringan (14,76%) dan 53,49 Km kondisi rusak berat (6,22%). Jumlah jembatan di Kabupaten Trengggalek sebanyak 293 buah, yang terdiri dari : 254 jembatan beton, 6 jembatan komposit, 4 jembatan besi dan 29 jembatan kayu.
5.3.4 Potensi Perikanan Pusat pendaratan perikanan laut di Kabupaten Trenggalek terletak antara, sebelah Utara berbatasan Kabupaten Tulungagung dan Ponorogo, sebelah Timur Kabupaten Tulungagung, sebelah Selatan Samudra Hindia dan sebelah Barat Kabupaten Ponorogo dan Pacitan. Luas wilayah Kabupaten Trenggalek 120.532.950 hektar terdiri 60% pegunungan dan 40 % merupakan daratan rendah. Panjang pantai Selatan Kabupaten Trenggalek ± 96 km, dimana sebagian besar pantainya berbentuk teluk yang terdiri dari Teluk Panggul, Tuluk Mujungan dan yang terbesar adalah Teluk Prigi. Teluk Prigi mempunyai tiga pantai yaitu Pantai Damas yang berada di Desa Karanggandu, Pantai Ngresep yang berada di Desa Tasikmadu dan Desa Prigi, kemudian Pantai Karanggongso termasuk Pasir Putih yang terletak di Dusun Karanggongso Desa Tasikmadu. Teluk Prigi memiliki dasar laut Lumpur bercampur pasir dengan sedikit berbatu karang dan memiliki kedalaman antara 15-61 m. Sebagian besar Pantai Prigi sudah terbuka dan hanya sebagian kecil masih terdapat hutan. Komoditasnya meliputi Tengiri (Scomberomorus commersoni), Tembang (Sardinella fimbriata), Kembung (Rastrelliger spp), Teri (Stolepharus spp), Lemuru (Sardinella longiceps).
77
Tabel 6. Jumlah Nelayan di Kabupaten Trenggalek Lokal (org)
Pertumb (%)
Andon (org)
Pertumb (%)
Jumlah
Pertumb (%)
No
Tahun
1.
2001
3.157
--
276
--
3.433
--
2.
2002
3.433
8,74
805
191,67
4.247
23,70
3.
2003
3.444
0,32
180
-77,64
3.624
-14,66
4.
2004
3.878
12,60
312
73,33
4.203
15,96
5.
2005
4.210
8,56
221
-29,17
4.440
5,64
6.
2006
4.387
4,03
240
7,92
4.627
4,04
7.
2007
3.609
-21,55
198
-21,21
3.807
-21,54
Sumber :Kab Trenggalek dalam angka 2008.
Iklim yang ada di Kabupaten Trenggalek terdiri dari musim penghujan dan musim kemarau. Musim penghujan yang terbagi menjadi tujuh bulan dan pada musim kemarau terbagi menjadi lima bulan. Pada Tabel 6 terlihat pertumbuhan jumlah nelayan di pesisir selatan ini berfluktuasi dari tahun ke tahun meskipun penurunan dan kenaikannya tidak terlalu besar. Sebagian besar nelayan didominasi nelayan lokal yang rata-rata pertumbuhannya adalah 2,12 persen. Tabel 7. Jumlah dan jenis Alat Tangkap di Kabupaten Trenggalek No
Jenis Alat Tangkap
1.
Pukat Pantai
2.
Th 2001
Th 2002
Th 2003
Th 2004
Th 2005
Th 2006
Th 2007
73
75
75
72
74
81
81
Jarring Klitik
3.320
3.220
3.230
1.997
1.567
1.461
1.434
3.
Pukat Cincin
120
120
122
122
127
122
119
4.
Pancing
2.103
2.103
4.374
2.110
3.047
2.058
1.839
5.
Jaring Angkat
48
48
52
36
36
44
40
5.664
5.566
7.853
4.337
4.851
3.766
3.513
Jumlah
Sumber :Kab Trenggalek dalam angka 2008.
Di wilayah pesisir Selatan jenis alat tangkap hanya ada enam jenis yaitu Pukat Pantai, Jaring Klitik, Pukat Cincin, Pancing dan Jaring Angkat. Jumlah alat tangkap tahun 2001-2007 fluktuasinya tidak terlalu tinggi.
78 Tabel 8. Produksi dan Nilai Produksi Ikan Laut Kabupaten Trenggalek Produksi (Ton)
Nilai Produksi (Rp. Jt)
Pertumb. Nilai Prod (%)
--
5.760,12
--
13.340,10
48,97
26.094,28
353,02
2003
8.936,50
-33,01
14.353,57
-44,99
4.
2004
14.027,60
56,97
24.205,14
68,63
5.
2005
57.293,40
308,43
53.836,79
122,42
6.
2006
23.883,30
-139,89
85.527,70
37,05
7.
2007
22.589,10
- 5,73
95.946,60
10,09
No
Tahun
1.
2001
8.954,90
2.
2002
3.
Pertumb. Produksi (%)
Sumber :Kab Trenggalek dalam angka 2008.
Nilai produksi tahun 2001-2002 meningkat sebesar 48 %, tahun berikutnya justru mengalami penurunan 33,01 % dan naik kembali tahun 2004. Tahun 2005 mengalami kenaikan yang nyata yaitu 308 %. Tahun 2006 dan 2007 justru mengalami penurunan. Nilai produksi dari tahun ketahun semenjak tahun 2001 sampai tahun 2007 selalu meningkat. Keragaan jenis, produksi utama dan lokasi industri perikanan laut menunjukkan di wilayah pesisir selatan hanya ada satu jenis industri yaitu ikan pindang dengan jumlah industri 24 industri, semuanya berada di Kecamatan Watulimo. Industri yang ada berskala sedang sampai besar, diharapkan industri perikanan dapat menampung produksi nelayan setempat.
Tabel 9. Keragaan Jenis, Produksi Utama & Lokasi Industri Perikanan Laut di Kab.Trenggalek. No 1.
Jenis Industri & Produksi Utama Ikan pindang
Skala Usaha
Jml
Lokasi Di Kec
Status & Jarak dr wil Penghasil ikan
Sedang-besar
24
24 di Watulimo
Wil pesisir
24
lokasi di 1 Kec
Jumlah Sumber :Kab Trenggalek dalam angka 2008.
0 km
79
6. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Analisis Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumerdaya Perikanan Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dari waktu ke waktu mengalami perubahan, perubahan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut, dipengaruhi intensitas pemanfaatan berupa penambahan atau pengurangan jumlah unit alat penangkapan ikan atau jumlah satuan upaya penangkapan ikan yang dilakukan, serta ketersediaan besarnya stok sumberdaya ikan yang dimanfaatkan. Salah satu ukuran untuk mengetahui tingkat pemanfaatan ataupun laju pemanfaatan suatu jenis sumberdaya perikanan selama kurun waktu tertentu, adalah dengan melihat besar kecilnya hasil tangkapan ikan yang diperoleh dari seluruh upaya penangkapan ikan yang dilakukan. Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan ini didasarkan pada nilai catch per unit effort (CPUE) yang dihasilkan. Penghitungan nilai CPUE untuk mengetahui status pemanfaatan sumberdaya ikan, banyak digunakan beberapa kalangan karena tidak memerlukan penghitungan yang rumit dan dengan biaya rendah. CPUE dapat diperoleh dari data statistik perikanan yang tersedia atau dari hasil pencatatan kegiatan penangkapan ikan di tempat pendaratan ikan. Data yang dihasilkan sangat ditentukan pada kemampuan petugas yang ada di tempat pendaratan atau pada kemampuan dalam memberikan laporan sesuai dengan yang sebenarnya. Upaya penangkapan dinyatakan dalam satuan upaya penangkapan (jumlah unit alat tangkap, jumlah trip penangkapan ataupun jumlah mata pancing yang digunakan). Jumlah hasil tangkapan ikan (catch) merupakan jumlah hasil tangkapan ikan yang diperoleh dan upaya penangkapan (effort) merupakan jumlah satuan upaya penangkapan ikan yang dilakukan untuk mendapatkan hasil tangkapan tersebut. Hasil tangkapan ikan (catch) dapat dinyatakan dalam satuan berat (kg atau ton) ataupun satuan ekor ikan yang diperoleh (Uktolseja et al, 1998). Upaya (effort) adalah berbagai sarana atau faktor masukan (input) yang dipergunakan dalam mengeksploitasi sumberdaya ikan. Pengertian umum dari upaya ini pada dasarnya merupakan indeks dari berbagai faktor masukan seperti tenaga kerja, kapal, jaring (alat tangkap) dan sebagainya yang dibutuhkan untuk suatu aktivitas penangkapan (Fauzi, 2004).
79
80 6.1.1 Analisis Keragaan Perikanan Wilayah Pesisir Utara 6.1.1.1 Hasil Tangkapan (Catch) Tahunan Hasil tangkapan ikan di pusat pendaratan perikanan laut di wilayah pesisir Utara dari tahun 2001 hingga 2007 dapat dilihat pada Tabel 10, sedangkan perkembangan hasil tangkapannya terlihat pada grafik pada Gambar 5 berikut ini : Tabel 10. Hasil Tangkapan Ikan di Wilayah Pesisir Utara Tahun 2001-2007 No
Tahun
Hasil Tangkapan (ton)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
28.909,17 31.035,67 32.020,70 31.976,49 32.170,44 26.430,88 20.691,32
Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Lamongan.
Gambar 5. Perkembangan Hasil Tangkapan Ikan di Wilayah Pesisir Utara Dari Tabel 10 dan Gambar 5 diatas, menunjukkan hasil tangkapan ikan pada tahun 2001-2003 kecenderungan meningkat, kemudian menurun tahun 2004 dan
meningkat
kembali
tahun
2005.
kecenderungan yang menurun.
80
Tahun
2006-2007
menunjukkan
81 Tabel 11. Rata-rata Bulan Produksi Hasil Tangkapan Ikan di Wilayah Pesisir Utara (Tahun 2001-007) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Rata-rata (Ton) 1.529,64 1.458,27 1.959,85 1.893,22 2.387,43 2.165,51 3.174,25 3.285,21 3.688,90 3.100,43 2.316,70 2.074,12
Gambar 6. Rata-rata Bulan Produksi Hasil Tangkapan Ikan di Wilayah Pesisir Utara (Tahun 2001-007) Berdasarkan Tabel 11 dan Gambar 6 diatas, terlihat rata-rata produksi tertinggi terdapat pada bulan September sebesar 3.688,90 ton/bulan sedangkan rata-rata produksi terendah terdapat pada bulan Februari yaitu 1.458,27 ton/bulan. Rata-rata produksi hasil tangkapan ikan di wilayah pesisir Utara menggunakan jenis alat tangkap utama yaitu purse seine, payang besar, pancing prawe, payang kecil dan gill net. Kontribusi masing-masing alat tangkap berbeda-beda terhadap 81
82 hasil tangkapan secara total, kontribusi terbesar ke yang terkecil secara berurutan adalah payang besar, gill net, pancing prawe, purse seine dan payang kecil. Selengkapnya tersaji pada Tabel 12 dan Gambar 7. Tabel 12. Rata-rata Produksi Hasil Tangkapan Ikan per Alat Tangkap (Ton) di Wilayah Pesisir Utara (Tahun 2001-007)
1.917,569
Payang Besar 12.160,784
Pancing Prawe 5.194,427
Payang Kecil 1.747,658
7.888,732
2002
2.067,384
13.051,919
5.579,446
1.868,118
8.468,802
3
2003
2.123,453
13.464,620
5.767,104
1.930,411
8.735,112
4
2004
2.131,766
13.435,083
5.750,811
1.933,462
8.725,368
5
2005
2.133,383
13.527,585
5.794,073
1.939,439
8.775,960
6
2006
3.071,273
7.285,866
5.492,422
1.524,427
9.056,892
7
2007
2.371,572
5.853,265
4.171,664
921,647
7.373,173
No
Tahun
Purse Seine
1
2001
2
Gill Net
Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Lamongan
Gambar 7. Rata-rata Produksi Hasil Tangkapan Ikan per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Utara (Tahun 2001-007) Rata-rata tiap bulannya penangkapan mengalami fluktuasi memiliki pola fluktuasi yang cukup tajam, seperti yang terlihat pada Tabel 13 dan Gambar 8 dibawah ini. Hasil tangkapan rata-rata mencapai puncak pada bulan September, dan tangkapan rata-rata terendah terjadi pada bulan Pebruari.
82
83 Tabel 13. Jumlah dan Rata-rata Hasil Tangkapan Ikan per Bulan (Ton) di Wilayah Pesisir Utara (Tahun 2001-007) Tahun Jumlah
Ratarata
801,35
10.707,46
1.529,64
1.346,86
921,52
10.207,88
1.458,27
1.530,12
3.979,81
1.204,81
13.718,92
1.959,85
2.239,19
1.099,16
2.795,06
954,47
13.252,54
1.893,22
1.890,39
4.934,45
1.768,60
2.822,58
802,07
16.712,03
2.387,43
2.624,34
3.037,48
2.774,80
2.233,95
1.758,83
807,88
15.158,58
2.165,51
3.946,22
2.569,48
3.792,34
2.840,55
3.999,16
2.031,74
3.040,28
22.219,77
3.174,25
Agst
2.646,01
3.072,91
4.362,81
3.304,48
4.652,29
1.317,71
3.640,27
22.996,48
3.285,21
Sept
4.581,84
2.876,31
4.897,98
3.741,56
4.036,89
2.665,44
3.022,26
25.822,28
3.688,90
Okt
3.808,60
4.805,21
2.908,11
1.768,26
3.193,67
2.251,09
2.968,08
21.703,02
3.100,43
Nov
2.667,46
3.006,60
2.181,56
1.689,67
3.546,34
1.396,18
1.729,08
16.216,89
2.316,70
Des
1.634,92
3.664,06
1.001,53
1.336,64
4.423,02
1.659,41
799,25
14.518,83
2.074,12
Jumlah
28.909,16
31.035,66
32.020,70
31.976,50
32.170,44
26.430,90
20.691,32
203.234,68
Rata-rata
2.409,10
2.586,31
2.668,39
2.664,71
2.680,87
2.202,58
1.724,28
Bulan 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Jan
1.058,61
1.242,21
1.777,57
2.242,91
1.178,62
2.406,19
Feb
1.478,97
1.735,47
1.906,46
2.309,98
508,62
Mar
1.243,11
1.755,09
1.211,97
2.794,01
Apr
1.576,29
1.535,87
3.052,50
Mei
2.345,83
2.148,11
Juni
1.921,30
Juli
Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Lamongan
Gambar 8. Fluktuasi Hasil Tangkapan Ikan Rata-rata per Bulan di Wilayah Pesisir Utara (Tahun 2001-007) 83
84 6.1.1.2 Upaya Penangkapan (Effort) Perikanan Laut Upaya penangkapan ikan di wilayah pesisir Utara menggunakan jenis alat tangkap utama yaitu purse seine, payang besar, pancing prawe, payang kecil dan gill net serta perkembangannya dalam kurun waktu tujuh tahun (2001-2007) disajikan pada Tabel 14 dan Gambar 9 dibawah ini :
Tabel 14. Upaya Penangkapan (effort) Tahunan (Trip) di Wilayah Pesisir Utara (Tahun 2001-007)
2001
Purse Seine 58,74
Payang Besar 421,50
Pancing Prawe 89,17
Payang Kecil 39,40
2
2002
48,04
337,80
62,31
27,49
358,64
3
2003
29,39
265,92
155,80
27,85
393,54
4
2004
82,24
282,46
259,61
35,07
175,27
5
2005
50,95
287,97
167,43
91,81
359,85
6
2006
124,81
387,97
63,87
39,65
306,47
7
2007
52,35
582,46
137,98
26,31
513,78
No
Tahun
1
Gill Net 375,99
Gambar 9. Upaya Penangkapan (effort) Tahunan (Trip) di Wilayah Pesisir Utara (Tahun 2001-007)
84
85 Waktu pengamatan tujuh tahun (2001-2007), alat tangkap payang besar adalah alat tangkap yang paling produktif untuk menangkap ikan di wilayah pesisir Utara dibanding alat tangkap lainnya, disebabkan efektivitas alat tangkap payang besar lebih tinggi dibanding alat tangkap yang lainnya disetiap operasi penangkapan. Tabel 15 memperlihatkan rata-rata upaya penangkapan setiap bulan per alat tangkap sangat bebeda-beda. Tabel 15. Rata-rata Upaya Penangkapan (effort) Ikan per Bulan (Trip) per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Utara (Tahun 2001-2007) Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Purse Seine 4 5 5 6 9 7 15 10 17 14 10 6
Payang Besar 15 21 22 19 27 32 32 38 36 59 37 45
Alat Tangkap Pancing Payang Prawe Kecil 13 5 14 5 9 6 22 5 14 11 22 6 28 6 32 8 36 9 21 4 16 4 7 3
Gill Net 14 6 18 13 20 26 46 54 47 37 41 51
Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Lamongan
Tabel 16. Rata-rata dan Fluktuasi Upaya Penangkapan Ikan per Bulan (Trip) per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Utara (Tahun 2001-007) Bulan Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agst Sept Okt Nov Des
Purse Seine rata- Fluktuasi rata (%) 22 25 13,36 26 3,59 23 -11,19 27 17,39 30 11,11 20 -33,33 21 5,00 28 33,33 25 -10,71 23 -8,00 25 8,70
Payang Besar rata- Fluktuasi rata (%) 270 264 -2,22 299 13,26 271 -9,36 256 -5,54 240 -6,25 260 8,15 302 16,33 262 -13,23 207 -20,89 230 11,04 287 24,72
Pancing Prawe rata- Fluktuasi rata (%) 74 79 7,25 76 -3,63 71 -6,58 78 10,13 77 -1,53 72 -6,49 74 2,78 69 -6,76 72 4,35 75 4,17 78 4,00
Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Lamongan
85
Payang Kecil rata- Fluktuasi rata (%) 39 30 -24,26 36 20,95 32 -10,43 34 6,25 35 4,36 36 2,37 42 16,33 34 -19,53 37 8,82 32 -13,51 36 12,50
Gill Net rata- Fluktuasi rata (%) 110 115 4,33 116 1,13 102 -12,49 122 20,12 117 -4,10 121 3,42 123 1,65 117 -4,88 114 -2,56 124 8,77 125 0,81
86 Rata-rata dan fluktuasi upaya penangkapan ikan per bulan per alat tangkap disajikan pada Tabel 16 dan Gambar 10.
Gambar 10. Rata-rata dan Fluktuasi Hasil Tangkapan Ikan per Bulan (Trip) per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Utara (Tahun 2001-007) Tujuan untuk mengidentifikasi disparitas pemanfaatan sumberdaya perikanan wilayah pesisir Utara dan Selatan Jawa Timur diantaranya dapat dilihat melalui tren CPUE per alat tangkap baik di wilayah pesisir Utara maupun di Selatan selama tahun pengamatan 2001 sampai dengan 2007.
Gambar 11. Tren CPUE Alat Tangkap Purse Seine di Wilayah Pesisir Utara Tahun 2001-2007 86
87 Pada Gambar 11 diatas terlihat CPUE alat tangkap purse seine dari tahun 2001 sampai 2003 mengalami kenaikan yang cukup tajam dan mengalami penurunan pada tahun 2004. CPUE tahun 2004 sampai 2007 mengalami fluktuasi akan tetapi secara keseluruhan tren perkembangan CPUE relatif stabil dengan tingkat fluktuasi yang tidak terlalu besar.
Gambar 12. Tren CPUE Alat Tangkap Payang Besar di Wilayah Pesisir Utara Tahun 2001-2007 CPUE alat tangkap payang besar dari tahun 2001 sampai 2003 mengalami kenaikan yang cukup tajam dan mengalami penurunan yang tidak terlalu besar pada tahun 2004 dan 2005. CPUE tahun 2003 sampai 2007 cenderung mengalami penurunan yang cukup tajam, bahkan terendah dicapai pada tahun 2007.
87
88
Gambar 13. Tren CPUE Alat Tangkap Pancing Prawe di Wilayah Pesisir Utara Tahun 2001-2007 Pada Gambar 13 diatas terlihat CPUE alat tangkap pancing prawe dari tahun 2001 sampai 2002 mengalami kenaikan yang cukup tajam dan mengalami penurunan pada tahun 2003 dan 2004. CPUE tahun 2005 sampai 2006 mengalami kenaikan dan mengalami penurunan kembali pada tahun 2007.
Gambar 14. Tren CPUE Alat Tangkap Payang Kecil di Wilayah Pesisir Utara Tahun 2001-2007
88
89 Pada Gambar 14 diatas terlihat CPUE alat tangkap payang kecil dari tahun 2001 sampai 2003 mengalami kenaikan dan mengalami penurunan sampai pada tahun 2005. CPUE tahun 2005-2007 mengalami fluktuasi produksi.
Gambar 15. Tren CPUE Alat Tangkap Gill Net di Wilayah Pesisir Utara Tahun 2001-2007 Pada Gambar 15 diatas terlihat CPUE alat tangkap gill net dari tahun 2001 sampai 2003 mengalami dinamika kenaikan dan penurunan yang tidak terlau besar yang selanjutnya meningkat tajam tahun 2004. CPUE tahun 2005 menurun sangat tajam naik sedikit tahun 2006 mengalami penurunan kembali tahun 2007.
6.1.1.5 Indeks Musim Penangkapan Perikanan Laut Analisis potensi dan musim penangkapan sumberdaya ikan di suatu kawasan perairan laut sangat penting untuk mengontrol dan memonitor tingkat eksploitasi penangkapan ikan yang dilakukan terhadap sumberdaya di perairan tersebut. Pola musim yang berlangsung di suatu perairan diantaranya dipengaruhi oleh pola arus Di Indonesia terdapat empat musim penangkapan ikan yaitu mism barat, musim timur, musim peralihan awal tahun dan musim peralihan akhir tahun (Nontji, 1987). Indonesia dipengaruhi musim timur pada bulan Mei-September dan dipengaruhi musim barat yang jatuh pada periode bulan November-Maret, sedangkan bulan April dan Oktober di Indonesia mengalami musim peralihan.
89
90 Memasuki bulan April arah angin sudah tidak menentu dan pada periode inilah dikenal sebagai musim peralihan atau pancaroba awal tahun. Siklus ini berlangsung kembali ketika bulan Oktober, dimana arah angin kembali tidak menentu dan dikenal sebagai musim pancaroba akhir tahun (Wyrtki, 1961).
Indeks Musim Penangkapan 90.32
100.00 90.00 80.00
75.28
74.68
74.64
Nilai IMP
70.00
57.21
60.00
57.20
55.24
50.00
50.04 38.04
40.00
52.82
45.81
34.51
30.00 20.00 10.00 -
Juli
September
Nopember
Januari
Maret
Mei
Bulan Juli - Juni
Gambar 16. Indeks Musim Penangkapan Perikanan Laut Wilayah Pesisir Utara
6.1.2 Analisis Keragaan Perikanan Wilayah Pesisir Selatan 6.1.2.1 Hasil Tangkapan (Catch) Tahunan Hasil tangkapan ikan di pusat pendaratan perikanan laut wilayah pesisir Selatan dari tahun 2001 hingga 2007 dapat dilihat pada Tabel 17, sedangkan perkembangan hasil tangkapannya terlihat pada Gambar 17 berikut ini : Tabel 17. Hasil Tangkapan Ikan Laut di Wilayah Pesisir Selatan Tahun 2001-2007 No
Tahun
Hasil Tangkapan (Ton)
1 2 3 4 5 6 7
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
8.954,90 13.340,10 8.936,50 14.027,60 14.818,90 23.883,30 22.589,10
Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Trenggalek
90
91
Gambar 17. Perkembangan Hasil Tangkapan Ikan di Pusat Pendaratan Perikanan Laut Wilayah Pesisir Selatan (Tahun 2001-007) Dari Tabel 17 dan Gambar 17 diatas, menunjukkan bahwa hasil tangkapan ikan pada tahun 2001-2003 menunjukkan kecenderungan yang meningkat, kemudian menurun pada tahun 2004 dan meningkat kembali pada tahun 2005. Tahun 2006-2007 menunjukkan kecenderungan yang menurun.
Tabel 18. Rata-rata Bulan Produksi Hasil Tangkapan Ikan di Wilayah Pesisir Selatan (Tahun 2001-2007) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Rata-rata (Ton) 847,70 743,84 1.188,54 1.008,09 1.226,15 1.041,21 1.661,22 1.730,79 1.890,21 1.654,01 1.178,79 1.050,95
Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Trenggalek
91
92
Gambar 18. Rata-rata Bulan Produksi Hasil Tangkapan Ikan di Wilayah Pesisir Selatan (Tahun 2001-007) Berdasarkan Tabel 18 dan Gambar 18 diatas, terlihat rata-rata produksi tertinggi terdapat pada bulan September sebesar 2.651,62 ton/bulan sedangkan rata-rata produksi terendah terdapat pada bulan Februari yaitu 839,77 ton/bulan. Rata-rata produksi hasil tangkapan ikan di wilayah pesisir Selatan menggunakan alat tangkap utama yaitu pukat pantai, jaring klitik, pukat cincin, pancing dan jaring angkat. Selengkapnya tersaji pada Tabel 19 dan Gambar 19.
Tabel 19. Rata-rata Produksi Hasil Tangkapan Ikan per Alat Tangkap (Ton) di Wilayah Pesisir Selatan (Tahun 2001-007) Jaring Klitik 1.075
Pukat Cincin 2.328
Pancing
2001
Pukat Pantai 3.045
1.254
Jaring Angkat 1.254
2
2002
3.068
1.734
2.801
3.468
2.268
3
2003
2.770
1.877
1.609
894
1.787
4
2004
3.647
1.683
3.367
2.806
2.525
5
2005
16.615
13.750
10.886
8.594
7.448
6
2006
6.687
6.448
3.821
3.105
3.821
7
2007
5.421
3.840
4.292
3.614
5.421
No
Tahun
1
Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Trenggalek
92
93
Gambar 19. Rata-rata Produksi Hasil Tangkapan Ikan per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Selatan (Tahun 2001-007) Rata-rata penangkapan setiap bulan mengalami fluktuasi dengan pola fluktuasi yang cukup tajam, seperti yang terlihat pada Tabel 20 dan Gambar 20 dibawah ini. Hasil tangkapan rata-rata mencapai puncak pada bulan September dan tangkapan rata-rata terendah terjadi pada bulan Pebruari. Tabel 20. Jumlah dan Rata-rata Hasil Tangkapan Ikan per Bulan (Ton) di Wilayah Pesisir Selatan (Tahun 2001-007) Tahun Bulan
Jumlah
Ratarata
874,85
5.933,91
847,70
1.217,04
1.006,04
5.206,88
743,84
3.596,21
1.315,32
8.319,75
1.188,54
506,31
2.525,65
1.042,01
7.056,61
1.008,09
814,68
2.550,52
875,63
8.583,05
1.226,15
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Jan
327,91
533,94
496,09
983,93
542,92
2.174,27
Feb
458,12
745,96
532,06
1.013,35
234,29
Mar
385,07
754,39
338,24
1.225,69
704,83
Apr
488,27
660,16
851,91
982,30
Mei
726,64
923,33
527,58
2.164,67
2007
Juni
595,14
1.128,02
847,71
1.217,26
1.029,04
1.589,30
881,98
7.288,47
1.041,21
Juli
1.222,38
1.104,44
1.058,38
1.246,11
1.842,16
1.835,90
3.319,13
11.628,51
1.661,22
Agst
819,63
1.320,83
1.217,60
1.449,62
2.143,02
1.190,70
3.974,15
12.115,55
1.730,79
Sept
1.419,27
1.236,33
1.366,95
1.641,37
1.859,54
2.408,53
3.299,46
13.231,44
1.890,21
Okt
1.179,75
2.065,43
811,61
775,71
1.471,12
2.034,11
3.240,31
11.578,04
1.654,01
Nov
826,27
1.292,33
608,84
741,23
1.633,57
1.261,61
1.887,67
8.251,52
1.178,79 1.050,95
506,43
1.574,93
279,51
586,36
2.037,41
1.499,46
872,56
7.356,67
8.954,90
13.340,10
8.936,50
14.027,60
14.818,90
23.883,30
22.589,10
106.550,40
Rata-rata 746,24 1.111,68 744,71 Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Trenggalek
1.168,97
1.234,91
1.990,28
1.882,43
Des Jumlah
93
94
Gambar 20. Fluktuasi Hasil Tangkapan Ikan per Bulan di Wilayah Pesisir Selatan (Tahun 2001-007) 6.1.2.2 Upaya Penangkapan (Effort) Perikanan Laut Upaya penangkapan ikan di Wilayah Pesisir Selatan menggunakan jenis alat tangkap utama yaitu pukat pantai, jaring klitik, pukat cincin, pancing dan jaring angkat serta perkembangannya dalam kurun waktu tujuh tahun (2001-2007) disajikan pada Tabel 21 dan Gambar 21 dibawah ini :
Tabel 21. Upaya Penangkapan (effort) Tahunan (Trip) di Wilayah Pesisir Selatan (Tahun 2001-007) No
Tahun
1 2 3 4 5 6 7
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Pukat Pantai 129,33 36,43 89,24 170,05 510,18 154,55 258,62
Jaring Klitik 106,46 74,05 113,77 64,26 167,84 292,77 72,29
Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Trenggalek
94
Pukat Jaring Pancing Cincin Angkat 73,94 109,46 94,75 128,16 44,55 113,78 47,79 58,03 95,00 111,86 156,39 153,45 649,43 243,36 219,83 315,54 286,18 297,91 198,17 69,67 113,40
95
Gambar 21. Upaya Penangkapan (effort) Tahunan (Trip) di Wilayah Pesisir Selatan (Tahun 2001-007) Dalam kurun waktu tujuh tahun (2001-2007), alat tangkap pukat cincin adalah alat tangkap yang paling produktif untuk menangkap ikan di wilayah pesisir Selatan dibandingkan alat tangkap lainnya, disebabkan efektivitas alat tangkap pukat cincin lebih tinggi dibanding alat tangkap yang lainnya disetiap operasi penangkapan (trip).
Tabel 22. Upaya Penangkapan (effort) Rata-rata Hasil Tangkapan Ikan per Bulan (Trip) per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Selatan (Tahun 2001-007) Alat Tangkap Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Pukat Pantai 6 9 5 4 7 4 5 4 8 6 8 9
Jaring Klitik 74 66 71 99 121 80 90 98 74 50 119 121
Pukat Cincin
Pancing
Jaring Angkat
9 15 10 9 7 6 9 12 14 13 9 9
193 133 270 173 153 162 117 274 200 166 180 223
4 4 3 4 3 3 4 3 3 4 4 3
Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Trenggalek
95
96 Tabel 23. Rata-rata dan Fluktuasi Hasil Tangkapan Ikan per Bulan (Trip) per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Selatan (Tahun 2001-007) Bulan Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agst Sept Okt Nov Des
Pukat Pantai rata- Fluktuasi rata (%) 34 37 8,82 32 -13,51 36 12,50 32 -11,11 34 6,25 35 4,36 36 2,37 39 7,37 40 2,56 30 -26,16 36 20,95
Jarring Klitik rata- Fluktuasi rata (%) 286 332 16,33 281 -15,54 332 18,41 258 -22,26 228 -11,70 253 11,04 286 12,77 312 9,33 288 -7,67 238 -17,42 253 6,38
Pukat Cincin rata- Fluktuasi rata (%) 71 78 10,13 77 -1,53 72 -6,49 74 2,78 74 -0,64 79 7,25 76 -3,63 69 -9,21 72 4,35 75 4,17 78 4,00
Pancing rata- Fluktuasi rata (%) 256 240 -6,25 260 8,15 302 16,33 262 -13,23 207 -20,89 230 11,04 287 24,72 270 -5,95 264 -2,22 299 13,26 271 -9,36
Jaring Angkat rata- Fluktuasi rata (%) 21 28 33,33 25 -10,71 23 -8,00 25 8,70 22 -11,78 25 13,36 30 20,00 20 -33,33 21 5,00 25 19,05 23 -8,00
Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Trenggalek
Gambar 22. Rata-rata dan Fluktuasi Hasil Tangkapan Ikan per Bulan (Trip) per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Selatan (Tahun 2001-007)
96
97
Gambar 23. Tren CPUE Alat Tangkap Pukat Pantai di Wilayah Pesisir Selatan Tahun 2001-2007 Pada Gambar 23 terlihat CPUE alat tangkap pukat pantai dari tahun 20012002 mengalami kenaikan yang cukup tajam dan mengalami penurunan kembali pada tahun 2003. CPUE di tahun 2004 mengalami penurunan dan mulai mengalami kenaikan tahun 2006 dan menurun kembali pada tahun 2007.
Gambar 24. Tren CPUE Alat Tangkap Jaring Klitik di Wilayah Pesisir Selatan Tahun 2001-2007
97
98 CPUE alat tangkap jaring klitik dari tahun 2001 sampai 2005 mengalami kenaikan yang cukup tajam dan mengalami penurunan pada tahun 2006. CPUE naik kembali pada tahun 2007, tren perkembangan nilai CPUE meningkat.
Gambar 25. Tren CPUE Alat Tangkap Pukat Cincin di Wilayah Pesisir Selatan Tahun 2001-2007 CPUE alat tangkap pukat cincin dari tahun 2002 menurun dan tahun 2003 mengalami kenaikan yang cukup tajam dan mengalami penurunan kembali sampai tahun 2006. CPUE naik kembali tahun 2007, secara keseluruhan tren perkembangan CPUE menurun.
Gambar 26. Tren CPUE Alat Tangkap Pancing di Wilayah Pesisir Selatan Tahun 2001-2007
98
99 CPUE alat tangkap pancing tahun 2002 mengalami kenaikan yang sangat tajam dan mengalami penurunan secara tajam pula di tahun 2003 dan meningkat pula di tahun 2004 meskipun relatif kecil peningkatannya akan tetapi tahun 20052006 terjadi penurunan yang tidak terlalu tinggi. CPUE naik kembali secara tajam di tahun 2007.
Gambar 27. Tren CPUE Alat Tangkap Jaring Angkat di Wilayah Pesisir Selatan Tahun 2001-2007 CPUE alat tangkap jaring angkat dari tahun 2001 mengalami kenaikan dan mengalami penurunan terus menerus sampai tahun 2006 dengan tingkat penurunan yang tidak terlalu tinggi. CPUE naik kembali tahun 2007.
6.1.2.5 Indeks Musim Penangkapan Perikanan Laut Indeks musim penangkapan perikanan laut wilayah pesisir Selatan disajikan pada Gambar 28 dibawah ini :
99
100
Indeks Musim Penangkapan 100.00 90.00 80.00
85.98 74.62
72.87
72.36
Nilai IMP
70.00
56.14
54.66
54.64
60.00
49.35 41.45
50.00 40.00
52.28
43.94
35.68
30.00 20.00 10.00 -
Juli
September
Nopember
Januari
Maret
Mei
Bulan Juli - Juni Gambar 28. Indeks Musim Penangkapan Perikanan Laut Wilayah Pesisir Selatan
6.1.3 Analisis Deskriptif Program dan Bentuk Kegiatan Pembangunan Wilayah Pesisir Pembangunan daerah, sebagai bagian integral pembangunan nasional, selain berkepentingan terhadap penyelenggaraan pembangunan sektoral, juga berkepentingan terhadap pembangunan dalam dimensi kewilayahan bertujuan mencapai sasaran-sasaran sektoral dan tujuan pengintegrasian pembangunan antar-sektor di dalam satu wilayah. Perubahan paradigma sistem pemerintahan dari sentralistik ke desentralistik (otonomi daerah) membawa konsekuensi terjadinya perubahan paradigma perencanaan pembangunan dari pendekatan pembangunan sektoral ke pendekatan kewilayahan (RPJMD Kab Lamongan, 2009).
100
101 Desentralisasi dibutuhkan untuk menumbuhkan prakarsa dan aspirasi daerah sesuai keanekaragaman kondisinya masing-masing, sehingga pengambilan keputusan penyelenggaraan pemerintaan dan penyediaan pelayanan publik menjadi lebih sederhana, cepat, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat lokal. Desentralisasi mendekatkan rentang kendali antara pembuat kebijakan dengan masyarakat, dan memberikan wewenang melaksanakan pengaturan atau kebijakan pada tingkat daerah (RPJMD Kab Lamongan, 2009).
Tabel 24. Program dan Bentuk Kegiatan di Wilayah Pesisir Utara No
Program Kegiatan
Bentuk Kegiatan
1.
Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir
2.
Program Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan Program Pengembangan Budidaya Perikanan
1. Pemberdayaan lembaga keuangan mikro sektor kelautan 2. Pengembangan kelompok usaha bersama (KUB) 3. Pemberdayaan tokoh keagamaan/lembaga adat 1. Operasional kegiatan poskamla 2. Sosialisasi UU No, 27 Tahun 2007 3. Pengembangan sarana dan prasarana pengendalian sumberdaya kelautan 1. Pengembangan bibit ikan unggul 2. Pembinaan dan pengembangan perikanan 3. Fasilitasi PMI sawah tambak 4. Fasilitasi PMI tambak 5. Pembangunan gedung laboratorium kesehatan ikan 6. Laboratorium kesehatan ikan keliling 7. Pembuatan data base peta kondisi lahan sawah tambak 8. Pengadaan peralatan dan perkolaman BBI Lamongan 9. Operasional kendaraan BBI 10. Resctoking ikan di perairan umum 1. Rehabilitasi sedang/berat tempat pelelangan ikan 2. Fasilitasi penguatan modal TPI 3. Pengembangan sarana dan prasarana perikanan tangkap 1. Optimalisasi penyuluh perikanan 2. Penyuluhan pembudidaya ikan dan nelayan 3. Pembuatan dan penyusunan lieflet dan buletin 4. Lomba kelompok pembudidaya ikan dan nelayan 1. Promosi gerakan gemar makan ikan kepada anak sekolah 2. Pelatihan hasil laut 3. Pembangunan outlet pemasaran ikan (DAK) 4. Pengadaan keranjang ikan/basket (DAK) 5. Operasional kegiatan produk unggulan pengolahan 6.Optimalisasi Perda No 7 Th 2004 pengusaha perikanan (pembenihan ikan, pembudidaya, pengolah, hasil perikanan, perikanan tangkap)
3.
4.
Program Pengembangan Perikanan Tangkap
5.
Program Pengembangan Sistem Penyuluhan Perikanan
6.
Program Optimalisasi Pengelolaan dan Pemasaran Produksi Perikanan
Sumber : RPJMD Kab Lamongan 2004-2009
101
102
Pembangunan daerah dilaksanakan melalui pengembangan otonomi daerah dan pengaturan sumberdaya yang memberikan kesempatan bagi terwujudnya masyarakat sejahtera. Upaya mencapai keberhasilan pembangunan daerah membutuhkan perencanaan strategis berupa program dan bentuk kegiatan pembangunan. Program dan bentuk kegiatan pembangunan wilayah pesisir Utara meliputi enam program terdiri dari dua program pemberdayaan, tiga program pengembangan dan satu program optimalisasi dengan 29 bentuk kegiatan seperti yang tersaji pada Tabel 24. Program dan bentuk kegiatan pembangunan wilayah pesisir
Selatan
meliputi
sembilan
program
terdiri
dari
satu
program
pemberdayaan, empat program pengembangan, satu program optimalisasi dan tiga program peningkatan dengan sepuluh bentuk kegiatan tersaji pada Tabel 25. Tabel 25. Program dan Bentuk Kegiatan di Wilayah Pesisir Wilayah Pesisir Selatan No
Program Kegiatan
Bentuk Kegiatan
1. 2.
Pengembangan budidaya perikanan Pengembangan perikanan tangkap
3.
Pengembangan sistem penyuluhan perikanan Optimalisasi pengelola an dan pemasaran produksi perikanan Pengembangan kawasan budidaya laut, air payau dan air tawar, Pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir Peningkatan kesadaran dan penegakan hukum dalam pendayagunaan sumber daya laut Peningkatan Mitigasi Bencana alam Laut dan Prakiraan Iklim Laut Peningkatan Kegiatan Budidaya Kelautan dan wawasan Maritim kepada Masyarakat
1. Peningkatan produksi perikanan budidaya 1. Peningkatan produksi perikanan perairan umum Laut 2. Peningkatan produksi perikanan perairan umum sungai 1. Peningkatan SDM penyuluh perikanan
4. 5. 6. 7.
8. 9.
1. Ketersediaan fasilitas TPI 1. Peningkatan kawasan budidaya perikanan 1. Peningkatan jumlah petani ikan 1. Penurunan pelanggaran pendayagunaan sumber daya laut 1. Terlindunginya kawasan pantai thd, Kemungkinan adanya bencana alam laut 1. Meningkatnya budaya mayarakat nelayan terhadap budaya kelautan
Sumber : RPJMD Kab Trenggalek 2004-2009
102
103 6.2 Analisis Disparitas Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Wilayah Pesisir Jawa Timur
Struktur ekonomi Kecamatan Paciran dan Brondong masih memiliki sektor pertanian sebagai sektor dominan di tahun 2004 mapun tahun 2007. Sektor yang paling kecil sumbangannya dalam struktur perekonomian di kedua Kecamatan pesisir tersebut adalah sektor pertambangan. Sektor perikanan laut merupakan sembilan besar dalam struktur perekonomian. Sektor perikanan laut di Kecamatan Paciran dari tahun 2004 ke tahun 2007 mengalami kenaikan sedangkan di Kecamatan Brondong mengalami penurunan (Lampiran 1 dan 2). Tabel 26. Struktur Ekonomi Kecamatan Paciran dan Brondong di Wilayah Pesisir Utara No
Kecamatan
"Agr"
"plaut"
0,0261 0,0185
0,0009 0,0007
0,0335 00172
0,0012 0,0006
"pl"
"Min"
"Ind"
"Lga"
"Kon"
"Dag"
"Ang"
"Keu"
"Jsa"
0,0040 0,0031
0,0001 0,0001
0,0037 0,0026
0,0006 0,0005
0,0022 0,0016
0,0146 0,0103
0,0010 0,0007
0,0025 0,0018
0,0058 0,0041
0,0052 0,0032
0,0002 0,0001
0,0049 0,0026
0,0008 0,0003
0,0030 0,0016
0,0194 0,0106
0,0014 0,0007
0,0034 0,0019
0,0075 0,0039
Tahun 2004 (%) 1 2
"Paciran" "Brondong"
Tahun 2007 (%) 1 2
"Paciran" "Brondong"
Keterangan : "Agr" "plaut" "pl" "Min" "Ind" "Lga" "Kon" "Dag" "Ang" "Keu" "Jsa"
= = = = = = = = = = =
"Pertanian" "Perikanan Laut" "Perikanan Lainnya" "Pertambangan" "Industri Pengolahan" "Listrik, gas dan air bersih" "Konstruksi" "Perdagangan, Hotel & Restoran" "Pengangkutan & Komunikasi" "Keuangan, persewaan & jasa pers" "jasa-jasa"
Struktur ekonomi Kecamatan Panggul, Munjungan dan Watulimo juga masih didominasi oleh sektor pertanian di tahun 2004 mapun tahun 2007. Sektor yang paling kecil sumbangannya dalam struktur perekonomian di ketiga Kecamatan pesisir tersebut adalah sektor perikanan lainnya. Sektor perikanan laut merupakan delapan besar dalam struktur perekonomian. Sektor perikanan laut di ketiga Kecamatan Panggul, Munjungan dan Watulimo dari tahun 2004 ke tahun 2007 tidak mengalami perubahan (Lampiran 17 dan 18).
103
104
Tabel 27. Struktur Ekonomi Kecamatan Panggul, Munjungan dan Watulimo di Wilayah Pesisir Selatan No
Kecamatan
"Agr"
"plaut"
"pl"
"Min"
0,0357 0,0258 0,0298
0,0016 0,0012 0,0014
0,0001 0,0001 0,0000
0,0007 0,0005 0,0005
0,0354 0,0256 0,0296
0,0016 0,0012 0,0014
0,0001 0,0001 0,0000
0,0007 0,0005 0,0006
"Ind"
"Lga"
"Kon"
"Dag"
"Ang"
"Keu"
"Jsa"
0,0074 0,0053 0,0062
0,0004 0,0003 0,0003
0,0052 0,0037 0,0043
0,0191 0,0138 0,0159
0,0060 0,0043 0,0050
0,0059 0,0042 0,0049
0,0194 0,0140 0,0162
0,0075 0,0054 0,0062
0,0004 0,0003 0,0003
0,0053 0,0038 0,0044
0,0198 0,0143 0,0165
0,0059 0,0043 0,0049
0,0056 0,0041 0,0047
0,0189 0,0137 0,0158
Tahun 2004 (%) 1 2 3
"Panggul" "Munjungan" "Watulimo"
Tahun 2007 (%) 1 2 3
"Panggul" "Munjungan" "Watulimo"
Pemetaan potensi ekonomi wilayah merupakan seperangkat proses yang menghasilkan rumusan informasi pendukung bagi pemerintah dalam menyusun sebuah kebijakan. Secara makro kebijakan pengembangan potensi ekonomi wilayah salah satunya terlihat dari besarnya PDRB wilayah. PDRB wilayah pesisir Utara rata-rata mencapai Rp. 3.160 juta. Dari tiga tahun pengamatan 2004 ke 2007 telah terjadi peningkatan PDRB rata-rata sebanyak Rp. 567 juta.
UTARA 4500
SELATAN
4142
4000 3500 2919
2500
2179
2268
2237 2013
1791
2000 1500
1981 1670
1507
1000 500 0
2007
2004
Kec. Watulimo
Kec. Munjungan
Kec. Panggul
Kec. Watulimo
Kec. Munjungan
Kec. Panggul
Kec. Brondong
Kec. Brondong
2004
Kec. Paciran
Lokasi
Kec. Paciran
PDRB Per Kecamatan
3000
2007
Gambar 29. PDRB Sektor Perikanan Laut di Wilayah Pesisir Utara Selatan Tahun 2004-2007
104
105 Pada tahun 2004, PDRB wilayah pesisir Selatan rata-rata mencapai Rp. 1.962 juta. Tahun pengamatan 2004-2007 terjadi peningkatan PDRB rata-rata sebanyak Rp. 192 juta. Dari hasil perhitungan seperti yang tersaji pada Gambar 29, terjadi disparitas PDRB wilayah pesisir antara Utara dan Selatan. Tahun pengamatan 2004 ke 2007 telah terjadi peningkatan PDRB rata-rata wilayah pesisir Utara sebanyak Rp. 567 juta, sedangkan untuk wilayah pesisir Selatan hanya sebanyak Rp. 192 juta.
6.2.1
Rasio antar Dua Variabel Tiap Lokasi Rasio antar dua variabel tiap lokasi memperlihatkan besarnya nilai relatif
suatu sektor dalam struktur perekonomian di suatu lokasi dibanding sektor lain yang menjadi acuan atau pembanding.
6.2.1.1 Rasio Sektor Perikanan Laut-Sektor Pertanian Tahun 2004, rata-rata rasio sektor perikanan laut-sektor pertanian di wilayah pesisir Utara rata-rata 0,0400. Tahun 2007, rata-rata rasio sektor perikanan laut-sektor pertanian di wilayah pesisir Utara 0,0400. Tahun pengamatan 2004-2007 tidak terjadi perubahan yaitu interpretasi sektor perikanan laut terhadap sektor pertanian bersifat langka atau relatif kecil perannya dalam struktur perekonomian di wilayah pesisir utara (Lampiran 4 dan 9).
Tabel 28. Rasio Sektor Perikanan Laut - Pertanian Tahun 2004-2007 Wilayah Pesisir
Rasio Th 2004
Rasio Th 2007
Interaksi
Rata-rata Utara
0,0400
0,0400
Langka
1.
Kec Paciran
0,0350
0,0350
Langka
2.
Kec Brondong
0,0380
0,0360
Langka
Rata-rata Selatan
0,0466
0,0500
Langka
1.
Kec Panggul
0,0440
0,0450
Langka
2.
Kec Munjungan
0,0460
0,0470
Langka
3.
Kec Watulimo
0,0470
0,0480
Langka
No
105
106 Tahun 2004, rata-rata rasio sektor perikanan laut-sektor pertanian di wilayah pesisir Selatan 0,0466. Tahun 2007, rata-rata rasio sektor perikanan lautsektor pertanian wilayah pesisir Selatan 0,0500. Tahun pengamatan 2004-2007 tidak terjadi perubahan yaitu interaksinya bersifat langka (Lampiran 19 dan 23).
SELATAN
UTARA 0.060
0.040
0.044 0.035
0.038 0.035
0.046
0.047
0.045
0.047
0.048
0.036
0.030 0.020 0.010 0.000
2007
2004
Kec. Watulimo
Kec. Munjungan
Kec. Panggul
Kec. Watulimo
Kec. Munjungan
Kec. Panggul
Kec. Brondong
Kec. Brondong
2004
Kec. Paciran
Lokasi
Kec. Paciran
Nilai rasio perikanan laut - pertanian
0.050
2007
Gambar 30. Rasio Sektor Perikanan Laut-Pertanian Tahun 2004-2007 Dari hasil perhitungan seperti yang tersaji pada Tabel 28 dan Gambar 30, tidak terjadi disparitas rasio sektor perikanan laut-sektor pertanian diwilayah pesisir antara Utara dan Selatan disebabkan sektor perikanan laut relatif kecil dibandingkan sektor pertanian.
106
107 6.2.1.2 Rasio Sektor Perikanan Laut dengan Sektor Perikanan Lainnya Tahun 2004, rata-rata rasio sektor perikanan laut-sektor pertanian di wilayah pesisir Utara 0,2200. Tahun 2007, rata-rata rasio sektor perikanan lautsektor perikanan lainnya di wilayah pesisir Utara 0,2050. Tahun pengamatan 2004-2007 interaksinya bersifat langka. Tahun 2004, rata-rata rasio sektor perikanan laut-sektor perikanan lainnya di wilayah pesisir Selatan 21,2800. Tahun 2007, rata-rata rasio sektor perikanan laut-sektor perikanan lainnya di wilayah pesisir Selatan 21,9200. Tahun pengamatan 2004-2007 tidak terjadi perubahan yaitu interaksinya bersifat melimpah. Tabel 29. Rasio Sektor Perikanan Laut-Perikanan Lainnya Th 2004-2007 Wilayah Pesisir
Rasio Th 2004
Rasio Th 2007
Interaksi
Rata-rata Utara
0,2200
0,2050
Langka
1.
Kec Paciran
0,2230
0,2230
Langka
2.
Kec Brondong
0,2230
0,1890
Langka
Rata-rata Selatan
21,2800
21,9200
Melimpah
1.
Kec Panggul
10,5210
11,1960
Melimpah
2.
Kec Munjungan
17,3250
17,9630
Melimpah
3.
Kec Watulimo
35,9890
36,5980
Melimpah
No
107
108
UTARA
SELATAN
40.000
36.598
30.000 25.000 20.000
17.963
17.325
15.000
11.196
10.521 10.000 5.000
2007
2004
Kec. Watulimo
Kec. Munjungan
Kec. Panggul
Kec. Watulimo
Kec. Paciran
Kec. Brondong 2004
0.189
Kec. Munjungan
0.223
Kec. Panggul
0.223
Kec. Brondong
0.223 0.000
Kec. Paciran
Nilai rasio perikanan laut - perikanan lainnya
35.989 35.000
Lokasi
2007
Gambar 31. Rasio Sektor Perikanan Laut-Perikanan Lainnya Tahun 2004-2007
Dari hasil perhitungan seperti yang tersaji pada Tabel 29 dan Gambar 31, terlihat telah terjadi disparitas rasio sektor perikanan laut-sektor perikanan lainnya diwilayah pesisir antara Utara dan Selatan disebabkan di wilayah pesisir Utara nilai sektor perikanan laut relatif kecil dibanding sektor perikanan lainnya. Rasio antar dua variabel wilayah pesisir Selatan relatif lebih besar dibanding rasio antar dua variabel wilayah pesisir Utara, dikarenakan sektor perikanan lainnya di wilayah pesisir Selatan relatif lebih kecil, sehingga bersifat melimpah.
6.2.1.3 Rasio Sektor Perikanan Laut dengan Sektor Industri Pengolahan Tahun 2004, rata-rata rasio sektor perikanan laut-sektor industri pengolahan di wilayah pesisir Utara 0,2550. Tahun 2007, rata-rata rasio sektor perikanan laut-sektor industri pengolahan di wilayah pesisir Utara 0,2400. Tahun pengamatan 2004-2007 tidak terjadi perubahan, interaksinya bersifat langka. Tahun 2004, rata-rata rasio sektor perikanan laut-sektor industri pengolahan di Selatan 0,2200. Tahun 2007, rata-rata rasio sektor perikanan laut-sektor industri pengolahan di Selatan 0,2200. Tahun pengamatan 2004-2007 tidak terjadi perubahan yaitu interaksinya bersifat langka.
108
109 Tabel 30. Rasio Sektor Perikanan Laut-Industri Pengolahan Th 2004-2007 Wilayah Pesisir
Rasio Th 2004
Rasio Th 2007
Interaksi
Rata-rata Utara
0,2550
0,2400
Langka
1.
Kec Paciran
0,2420
0,2400
Langka
2.
Kec Brondong
0,2650
0,2380
Langka
Rata-rata Selatan
0,2200
0,2200
Langka
1.
Kec Panggul
0,2140
0,2140
Langka
2.
Kec Munjungan
0,2210
0,2210
Langka
3.
Kec Watulimo
0,2280
0,2270
Langka
No
UTARA
SELATAN
0.300
0.250
0.240
0.238 0.214
0.221
0.228
0.214
0.221
0.227
0.200
0.150
0.100
0.050
0.000
2007
2004
Kec. Watulimo
Kec. Munjungan
Kec. Panggul
Kec. Watulimo
Kec. Munjungan
Kec. Panggul
Kec. Brondong
Kec. Brondong
2004
Kec. Paciran
Lokasi
Kec. Paciran
Nilai rasio perikanan laut - industri pengolahan
0.265 0.242
2007
Gambar 32. Rasio Sektor Perikanan Laut-Industri Pengolahan Tahun 2004-2007
109
110 Dari hasil perhitungan seperti yang tersaji pada Tabel 30 dan Gambar 32, terlihat bahwa tidak terjadi disparitas rasio sektor perikanan laut-sektor industri pengolahan diwilayah pesisir antara Utara dan Selatan disebabkan baik diwilayah pesisir Utara mapun Selatan, sektor perikanan laut jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan sektor industri pengolahan.
6.2.1.4 Rasio Sektor Perikanan Laut dengan Sektor Jasa Tahun 2004, rata-rata rasio sektor perikanan laut-sektor jasa di wilayah pesisir Utara 0,2550. Tahun 2007, rata-rata rasio sektor perikanan laut-sektor jasa di wilayah pesisir Utara 0,1600. Tahun pengamatan 2004-2007 tidak terjadi perubahan yaitu interaksinya bersifat langka. Tahun 2004, rata-rata rasio sektor perikanan laut-sektor jasa di Selatan 0,0833. Tahun 2007, rata-rata rasio sektor perikanan laut-sektor jasa di wilayah pesisir Selatan 0,0900. Tahun pengamatan 2004-2007 tidak terjadi perubahan yaitu interaksinya bersifat langka.
Tabel 31. Rasio Sektor Perikanan Laut-Jasa Tahun 2004-2007 Wilayah Pesisir
Rasio Th 2004
Rasio Th 2007
Interaksi
Rata-rata Utara
0,1650
0,1600
Langka
1.
Kec Paciran
0,1560
0,1560
Langka
2.
Kec Brondong
0,1710
0,1570
Langka
Rata-rata Selatan
0,0833
0,0900
Langka
1.
Kec Panggul
0,0810
0,0850
Langka
2.
Kec Munjungan
0,0840
0,0870
Langka
3.
Kec Watulimo
0,0870
0,0900
Langka
No
110
111
UTARA 0.180 0.160
SELATAN
0.171 0.156
0.156
0.157
Nilai rasio perikanan laut - jasa-jasa
0.140 0.120 0.100 0.081
0.084
0.087
0.085
0.087
0.090
0.080 0.060 0.040 0.020
2004
2007
2004
Kec. Watulimo
Kec. Munjungan
Kec. Panggul
Kec. Watulimo
Kec. Munjungan
Kec. Panggul
Kec. Brondong
Kec. Paciran
Kec. Paciran
Kec. Brondong
0.000
Lokasi
2007
Gambar 33. Rasio Sektor Perikanan Laut-Jasa Tahun 2004-2007
Dari hasil perhitungan seperti yang tersaji pada Tabel 29 dan Gambar 33, terlihat tidak terjadi disparitas rasio sektor perikanan laut-sektor jasa di Utara dan Selatan disebabkan baik diwilayah pesisir Utara mapun Selatan, sektor perikanan laut jauh lebih kecil dibandingkan sektor jasa.
6.2.2
Pangsa Sektoral Tiap Lokasi (%) Tahun 2004, pangsa sektor perikanan laut di Kecamatan Paciran 1,46 %
dan Kecamatan Brondong 1,59 %. Rata-rata pangsa sektoral tiap lokasi di Utara 1,52 %. Tahun 2007, pangsa sektoral tiap lokasi di Kecamatan Paciran 1,45 % dan Kecamatan Brondong 1,42 %. Rata-rata pangsa sektoral tiap lokasi di Utara 1,43 % (Lampiran 4 dan 9). Tahun 2004, pangsa sektoral tiap lokasi di Kecamatan Panggul 1,55 %; Kecamatan Munjungan 1,60 % dan Kecamatan Watulimo 1,65 %. Rata-rata pangsa sektoral tiap lokasi di Selatan 1,60 %. Tahun 2007, Kecamatan Panggul 1,57 %; Kecamatan Munjungan 1,62 % dan Kecamatan Watulimo 1,67 %. Rata-rata pangsa sektoral tiap lokasi di Selatan 1,62 % (Lampiran 19 dan 24).
111
112
UTARA
SELATAN
1.700
1.673
1.656 1.650 1.600
1.628
1.609
1.591
1.578 1.554
PSTL
1.550 1.500
1.462
1.451
1.450
1.428
1.400 1.350 1.300
2004
2007
2004
Kec. Watulimo
Kec. Munjungan
Kec. Panggul
Kec. Watulimo
Kec. Munjungan
Kec. Panggul
Kec. Brondong
Kec. Paciran
Kec. Brondong
Kec. Paciran
Lokasi
2007
Gambar 34. Pangsa Sektoral Tiap Lokasi Tahun 2004-2007
Dari hasil perhitungan seperti yang tersaji pada Gambar 34, terlihat telah terjadi disparitas pangsa sektoral tiap lokasinya antara wilayah pesisir Utara dan Selatan, hal ini berarti di wilayah pesisir Selatan, relative lebih besar tingkat keuntungan yang diperoleh untuk setiap investasi disebabkan di hampir semua sektor di tiap lokasi masih sangat terbuka dan belum mengalami faktor kejenuhan.
6.2.3
Pangsa Lokal Tiap Sektor (%)
Tahun 2004, pangsa lokal sektor perikanan laut di Kecamatan Paciran 56,28 % dan Kecamatan Brondong 43,71 %. Rata-rata pangsa lokal tiap sektor di Utara 50,00 %. Tahun 2007, pangsa lokal tiap sektor di Kecamatan Paciran 65,53 % dan Kecamatan Brondong 34,46 %. Rata-rata pangsa lokal tiap sektor di Utara 50,00 % (Lampiran 5 dan 10). Tahun 2004, pangsa lokal tiap sektor di Kecamatan Panggul 37,89 %; Kecamatan Munjungan 28,37 % dan Kecamatan Watulimo 33,72 %. Rata-rata pangsa lokal tiap sektor di Selatan 33,33 %. Tahun 2007, Kecamatan Panggul 37,99 %; Kecamatan Munjungan 28,35 % dan Kecamatan Watulimo 33,65%. Rata-rata pangsa lokal tiap sektor di Selatan 33,33 % (Lampiran 20 dan 24). 112
113
UTARA 70.000 60.000
65.531 56.282
50.000
PLTS
SELATAN
43.718
40.000
34.469
37.994
37.897 33.726
33.650
28.377
30.000
28.356
20.000 10.000 0.000
2004
2007
2004
Kec. Watulimo
Kec. Munjungan
Kec. Panggul
Kec. Watulimo
Kec. Munjungan
Kec. Panggul
Kec. Brondong
Kec. Paciran
Kec. Paciran
Kec. Brondong
Lokasi
2007
Gambar 35. Pangsa Lokal Tiap Sektor Tahun 2004-2007
Dari hasil perhitungan seperti yang tersaji pada Gambar 35, terlihat terjadi disparitas pangsa lokal tiap sektor antara wilayah pesisir Utara dan Selatan, hal ini berarti tingkat kesesuaian lokasi untuk seluruh sektor di wilayah pesisir Utara lebih sesuai, yang berimplikasi kepada konsep aglomerasi.
6.2.4 Indeks Spesialisasi Tiap Lokasi (ISTL) Tahun 2004, indeks spesialisasi tiap lokasi di Kecamatan Paciran 0,0130 dan Kecamatan Brondong 0,0140. Rata-rata indeks spesialisasi tiap lokasi di Utara 0,0135. Tahun 2007, indeks spesialisasi tiap lokasi di Kecamatan Paciran 0,0250 dan Kecamatan Brondong 0,0130. Rata-rata indeks spesialisasi tiap lokasi di Utara 0,0190 (Lampiran 6 dan 12). Tahun 2004, indeks spesialisasi tiap lokasi di Kecamatan Panggul 0,0110; Kecamatan Munjungan 0,0120 dan Kecamatan Watulimo 0,0120. Rata-rata indeks spesialisasi tiap lokasi di Selatan 0,0116. Tahun 2007, Kecamatan Panggul 0,0120; Kecamatan Munjungan 0,0120 dan Kecamatan Watulimo 0,0130. Rata-rata indeks spesialisasi tiap lokasi di Selatan 0,0123 (Lampiran 20 dan 25).
113
114
UTARA
SELATAN
0.030 0.025
0.025
ISTL
0.020 0.015
0.013
0.014
0.013 0.011
0.012
0.012
0.012
0.012
0.013
0.010 0.005 0.000
2004
2007
2004
Kec. Watulimo
Kec. Munjungan
Kec. Panggul
Kec. Watulimo
Kec. Munjungan
Kec. Panggul
Kec. Brondong
Kec. Paciran
Kec. Brondong
Kec. Paciran
Lokasi
2007
Gambar 36. Indeks Spesialisasi Tiap Lokasi Tahun 2004-2007
Dari hasil perhitungan seperti yang tersaji pada Gambar 36, terlihat telah terjadi disparitas indeks spesialisasi tiap lokasi antara wilayah pesisir Utara dan Selatan. Di wilayah pesisir Utara, setiap lokasi relative lebih terkonsentrasi kepada sektor-sektor tertentu dibandingkan di wilayah pesisir Selatan.
114
115 6.2.5 Indeks Lokalisasi Tiap Sektor / ILTS 0.95 0.9
ILTS
0.85 Utara
0.8
Selatan
0.75 0.7 2004
2007 Tahun
Gambar 37. Indeks Lokalisasi Tiap Sektor Tahun 2004-2007
Tahun 2004, rata-rata indeks lokalisasi tiap sektor di Utara sebesar 0,8940 dan tahun 2007 sebesar 0,0190 (Lampiran 5 dan 11), di Selatan tahun 2004 sebesar 0,7410 dan tahun 2007 sebesar 0,0123. Dari hasil perhitungan seperti yang tersaji pada Gambar 37, telah terjadi disparitas rata-rata indeks lokalisasi tiap sektor wilayah pesisir Utara dan Selatan. Di wilayah pesisir Utara, setiap sektor relative lebih terkonsentrasi pada lokasi tertentu (Lampiran 21 dan 25).
6.2.6 Kuota Lokasi Tahun 2004, kuota lokasi di Kecamatan Paciran 9,1380 dan Kecamatan Brondong 9,9430. Rata-rata kuota lokasi di Utara 9,5405. Tahun 2007, kuota lokasi di Kecamatan Paciran 8,1630 dan Kecamatan Brondong 8,0320. Rata-rata kuota lokasi di Utara 8,0975 (Lampiran 6 dan 12). Tahun 2004, kuota lokasi di Kecamatan Panggul 3,7400; Kecamatan Munjungan 3,8720 dan Kecamatan Watulimo 3,9850. Rata-rata kuota lokasi di Selatan 3,8656. Tahun 2007, Kecamatan Panggul 3,7490; Kecamatan Munjungan 3,8690 dan Kecamatan Watulimo 3,9760. Rata-rata kuota lokasi di Selatan 3,8646 (Lampiran 21 dan 25).
115
116
UTARA
SELATAN
12.000
10.000
9.943 9.138 8.163
Kuota Lokasi
8.000
8.032
6.000 3.740
4.000
3.872
3.985
3.749
3.869
3.976
2.000
0.000
2004
2007
2004
Kec. Watulimo
Kec. Munjungan
Kec. Panggul
Kec. Watulimo
Kec. Munjungan
Kec. Panggul
Kec. Brondong
Kec. Paciran
Kec. Brondong
Kec. Paciran
Lokasi
2007
Gambar 38. Kuota Lokasi Tahun 2004-2007
Dari hasil perhitungan seperti yang tersaji pada Gambar 38, terlihat telah terjadi disparitas rata-rata kuota lokasi wilayah pesisir Utara dan Selatan. Di wilayah pesisir Utara, setiap lokasi relative lebih terkonsentrasi kepada sektorsektor tertentu dibandingkan di Selatan, meskipun di kedua wilayah pesisir tersebut sektor yang berkembang merupakan sektor basis.
6.2.7 Laju Pertumbuhan Lokal Tiap Sektor (%) Tahun 2004, laju pertumbuhan lokal tiap sektor di Kecamatan Paciran 31,61 % dan Kecamatan Brondong -1,24 %. Rata-rata laju pertumbuhan lokal tiap sektor di wilayah pesisir Utara 15,18 %. Tahun 2007, laju pertumbuhan lokal tiap sektor di Kecamatan Paciran 13,96 % dan Kecamatan Brondong -1,30 %. Ratarata laju pertumbuhan lokal tiap sektor di wilayah pesisir Utara 6,32 % (Lampiran 7 dan 13). Tahun 2004, laju pertumbuhan lokal tiap sektor di Kecamatan Panggul 4,36 %; Kecamatan Munjungan 4,19 % dan Kecamatan Watulimo 4,12 %. Ratarata laju pertumbuhan lokal tiap sektor di Selatan 4,22 %. Tahun 2007, Kecamatan Panggul 3,71 %; Kecamatan Munjungan 3,59 % dan Kecamatan Watulimo 3,53 %. Rata-rata laju pertumbuhan lokal tiap sektor di Selatan 3,61 % (Lampiran 21 dan 27).
116
117
UTARA 35.000
SELATAN
31.614
30.000 25.000
LPLTS
20.000 13.960
15.000 10.000
4.364
5.000
4.196
4.122
3.716
3.593
3.538
0.000
2004
2007
2004
Kec. Watulimo
Kec. Munjungan
Kec. Panggul
Kec. Watulimo
Kec. Panggul
Kec. Brondong -1.308
Kec. Munjungan
-1.243
Kec. Paciran
Kec. Brondong
Kec. Paciran
-5.000
Lokasi
2007
Gambar 39. Laju Pertumbuhan Lokal Tiap Sektor Tahun 2004-2007
Dari hasil perhitungan seperti yang tersaji pada Gambar 39, terlihat telah terjadi disparitas rata-rata laju pertumbuhan lokal tiap sektor wilayah pesisir Utara dan Selatan. Di wilayah pesisir Utara, pertumbuhan sektoralnya relative lebih tinggi dibandingkan di wilayah pesisir Selatan.
6.2.8 Daya saing Lokal Tiap Sektor Tahun 2004, daya saing lokal sektor perikanan laut di Kecamatan Paciran 21,3320 dan Kecamatan Brondong -11,5240. Rata-rata daya saing lokal tiap sektor di Utara 4,1220. Tahun 2007, daya saing lokal tiap sektor di Kecamatan Paciran 6,6750 dan Kecamatan Brondong -8,5930. Rata-rata daya saing lokal tiap sektor di Utara -0,9590 (Lampiran 8 dan 14). Tahun 2004, daya saing lokal tiap sektor di Kecamatan Panggul 0,1300; Kecamatan Munjungan -0,0380 dan Kecamatan Watulimo -0,1130. Rata-rata daya saing lokal tiap sektor di Selatan 0,0070. Tahun 2007, Kecamatan Panggul 0,0950; Kecamatan Munjungan -0,0280 dan Kecamatan Watulimo -0,0830. Rata-rata daya saing lokal tiap sektor di Selatan -0,0053 (Lampiran 22 dan 29) 117
118
UTARA
SELATAN
25 21.332 20 15
6.675
5 0.130
2004
2007
-0.038
2004
-0.028
Kec. Watulimo
Kec. Panggul
Kec. Watulimo -0.113
Lokasi
Kec. Munjungan
-8.593
0.095
Kec. Munjungan
-11.524
Kec. Brondong
-15
Kec. Paciran
-10
Kec. Paciran
-5
Kec. Brondong
0
Kec. Panggul
DSLTS
10
-0.083
2007
Gambar 40. Daya Saing Tiap Sektor Tahun 2004-2007
Dari hasil perhitungan seperti yang tersaji pada Gambar 40, terlihat telah terjadi disparitas daya saing lokal tiap sektor wilayah pesisir Utara dan Selatan, berarti di setiap lokasi wilayah pesisir Utara, seluruh sektor mempunyai daya saing yang relative lebih tinggi dibandingkan di wilayah pesisir Selatan.
118
119 6.3 Analisis Disparitas Pembangunan Wilayah Pesisir Jawa Timur 6.3.1 Analisis Shiftt Share Perkembangan Wilayah Pesisir 6.3.1.1 Profil Tingkat Pertumbuhan Wilayah Identifikasi sumber atau komponen pertumbuhan wilayah dilakukan menggunakan analisis shift share. Shift share menganalisis perubahan berbagai indikator kegiatan ekonomi pada dua titik waktu di suatu wilayah. Hasil analisis shift share menunjukkan perkembangan sektor di suatu wilayah dibandingkan secara relative dengan sektor lainnya dan perkembangan wilayah dibandingkan wilayah lainnya tumbuh cepat atau lambat. Hasil analisis shift share di suatu wilayah antara tahun dasar dengan tahun akhir analisis dibagi menjadi tiga komponen pertumbuhan yaitu komponen pertumbuhan
nasional
(National
Growth
Component/PN),
komponen
pertumbuhan proporsional (Proportional or Industrial Mix Growth Component / PP) dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (Regional Share Growth Component / PPW). Komponen pertumbuhan adalah perubahan kesempatan kerja atau produksi suatu wilayah disebabkan perubahan kesempatan kerja atau produksi nasional secara umum, perubahan kebijakan ekonomi atau perubahan dalam hal-hal yang mempengaruhi perekonomian semua sektor dan wilayah. Komponen pertumbuhan proporsional tumbuh karena perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir, perbedaan dalam ketersediaan bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan industri seperti kebijakan perpajakan, subsidi dan price support dan perbedaan dalam struktur dan keragaman pasar. Komponen pertumbuhan pangsa wilayah timbul karena peningkatan atau penurunan PDRB atau kesempatan kerja dalam suatu wilayah dibandingkan wilayah lainnya. Cepat lambatnya pertumbuhan suatu wilayah dibandingkan wilayah lainnya ditentukan oleh keunggulan komparatif, akses pasar, dukungan kelembagaan, prasarana sosial dan ekonomi serta kebijakan ekonomi regional wilayah tersebut. Dari penjumlahan dua komponen pertumbuhan wilayah yaitu komponen pertumbuhan proporsional dan pertumbuhan pangsa wilayah digunakan mengidentifikasi pertumbuhan wilayah atau suatu sektor dalam suatu wilayah. Jumlah antara dua komponen disebut pergeseran bersih (PB). Persentase komponen pertumbuhan regional, pertumbuhan proporsional dan pertumbuhan pangsa wilayah.
119
120 Dari hasil perhitungan seperti yang tersaji pada Gambar 41, menunjukkan diwilayah pesisir Utara tahun 2004, Kecamatan Paciran mempunyai nilai tingkat pertumbuhan wilayah negatif, berarti tingkat pertumbuhan wilayahnya mengalami perlambatan -11,69 %, Kecamatan Brondong tingkat pertumbuhan wilayahnya mengalami perlambatan -8,88 %. Rata-rata tingkat pertumbuhannya negatif (-10,28 %), berarti mengalami perlambatan. Di wilayah pesisir Utara tahun 2007, Kecamatan Paciran mempunyai tingkat pertumbuhan wilayah positif, berarti mengalami percepatan 6,23 % dan Kecamatan Brondong tingkat pertumbuhan wilayahnya mengalami percepatan 1,66 %. Rata-rata tingkat pertumbuhan wilayah pesisir Utara tahun 2007 mempunyai nilai positif (3,94 %) berarti mengalami percepatan. Sebagai wilayah dengan akses lebih terbuka (relatif dibandingkan Selatan), diwilayah pesisir Utara terjadi dinamisasi tingkat pertumbuhan wilayah dari nilai negatif tahun 2004 menjadi posistif tahun 2007 (Lampiran 90 dan 97).
UTARA
SELATAN
8.00 6.23510 6.00
1.66150
4.00
-8.00
2004
2007
2007
-11.69270
-14.00
Gambar 41. Profil Tingkat Pertumbuhan Tahun 2004-2007
120
Kec. Watulimo
Kec. Munjungan
Kec. Panggul
Kec. Watulimo
Kec. Munjungan 2004
0.00047 0.27000 0.24000 0.26000
-8.88490
-10.00 -12.00
Kec. Brondong
-6.00
Kec. Paciran
-4.00
Kec. Brondong
-2.00
Kec. Panggul
0.00089 0.00008
0.00
Kec. Paciran
Tingkat pertumbuhan
2.00
Lokasi
121 Diwilayah pesisir Selatan tahun 2004, Kecamatan Panggul mempunyai tingkat pertumbuhan wilayah positif meskipun kecil, berarti mengalami percepatan 0,00 %, Kecamatan Munjungan mengalami percepatan 0,00 % dan Kecamatan Watulimo mengalami percepatan 0,00 %. Rata-rata tingkat pertumbuhannya mengalami percepatan, ditandai tingkat pertumbuhan positif (0,00 %) meskipun relative kecil. Tahun 2007, Kecamatan Panggul mempunyai tingkat pertumbuhan wilayah positif meskipun kecil, berarti mengalami percepatan 0,27 %, Kecamatan Munjungan mengalami percepatan 0,24 % dan Kecamatan Watulimo mengalami percepatan 0,26 %. Rata-rata tingkat pertumbuhannya mengalami percepatan ditandai tingkat pertumbuhan yang positif (0,25 %). Hasil perhitungan pada Gambar 41 diatas, terjadi disparitas tingkat pertumbuhan wilayah pesisir antara Utara dan Selatan (Lampiran 110 dan 111).
6.3.1.2 Profil Daya Saing Wilayah Dari sisi daya saing wilayah, hasil perhitungan seperti yang tersaji pada Gambar 36, menunjukkan diwilayah pesisir Utara tahun 2004, Kecamatan Paciran mempunyai daya saing wilayah negatif (-9,62 %) berarti daya saing wilayah bersifat lemah. Kecamatan Brondong mempunyai daya saing wilayah bersifat kuat karena mempunyai nilai positif (8,30 %). Rata-rata daya saing wilayah pesisir Utara mempunyai nilai negatif (-0,66 %) berarti daya saing wilayah bersifat lemah. Tahun 2007, Kecamatan Paciran mempunyai daya saing wilayah positif, berarti kuat yaitu 26,83 % dan Kecamatan Brondong daya saing wilayah bersifat lemah karena mempunyai nilainya negatif (-4,35 %). Rata-rata daya saing wilayah pesisir Utara mempunyai nilai positif (11,24 %) berarti daya saing wilayah pesisir Utara bersifat kuat (Lampiran 90 dan 97).
121
122
UTARA
SELATAN
30.00 26.8300 25.00
Daya Saing
20.00
15.00
10.00
8.3000
5.00
0.00
-15.00
2004
-0.0088
2007
2004
-0.2400
Kec. Watulimo
-0.2600
Kec. Munjungan
-0.0541
Kec. Panggul
Kec. Watulimo
-0.1022
Kec. Munjungan
-4.3500
Kec. Panggul
Kec. Brondong
-9.6200
Kec. Paciran
Kec. Brondong
-10.00
Kec. Paciran
-5.00
Lokasi
-0.2500
2007
Gambar 42. Profil Daya Saing Tahun 2004-2007
Di wilayah pesisir Selatan tahun 2004, Kecamatan Panggul mempunyai daya saing bersifat lemah (-0,10 %), Kecamatan Munjungan bersifat lemah (-0,00 %) dan Kecamatan Watulimo bersifat lemah (-0,05 %). Rata-rata daya saing wilayah pesisir Selatan bersifat lemah ditandai daya saing wilayah negatif (-0,05 %). Tahun 2007, Kecamatan Panggul mempunyai daya saing bersifat lemah (-0,26 %), Kecamatan Munjungan bersifat lemah (-0,24 %) dan Kecamatan Watulimo bersifat lemah (-0,25 %). Rata-rata daya saing wilayah pesisir Selatan semakin lemah, ditandai tingkat pertumbuhan yang semakin negatif (-0,25 %). Dari hasil perhitungan seperti yang tersaji pada Gambar 42 diatas, terjadi disparitas daya saing wilayah pesisir antara Utara dan Selatan. Diwilayah pesisir Utara terjadi dinamisasi daya saing wilayah, daya saing wilayah lemah (tahun 2004) menjadi kuat (tahun 2007). Karakteristik wilayah pesisir Selatan lebih bersifat lemah tahun 2004 dan menjadi semakin lemah di tahun 2007 (Lampiran 110 dan 111).
122
123 6.3.1.3 Profil Pergeseran Wilayah Dari sisi pergeseran wilayah, hasil perhitungan seperti yang tersaji pada Gambar 39, menunjukkan diwilayah pesisir Utara tahun 2004, Kecamatan Paciran mempunyai pergeseran wilayah negatif (-21,31 %) berarti Kecamatan Paciran merupakan wilayah tidak progresif. Kecamatan Brondong merupakan wilayah yang tidak progresif (-0,58 %). Rata-rata pergeseran wilayahnya bernilai negatif (-10,94 %) berarti bersifat tidak progresif, disebabkan tingkat pertumbuhan dan daya saing wilayah negatif sehingga wilayah pesisir Utara tahun 2004 termasuk kuadran III profil pertumbuhan yang tersaji pada Gambar 44. Tahun 2007 diwilayah pesisir Utara, Kecamatan Paciran mempunyai pergeseran wilayah positif (33,06 %) berarti Kecamatan Paciran merupakan wilayah progresif, Kecamatan Brondong tidak progresif (-2,68 %). Rata-rata pergeseran wilayah pesisir Utara bernilai positif (15,19 %) bersifat progresif, disebabkan tingkat pertumbuhan dan daya saing wilayah positif sehingga wilayah pesisir Utara tahun 2007 masuk kuadran I profil pertumbuhan (Gambar 44) (Lampiran 90 dan 97).
UTARA
SELATAN
40.00 33.0600 30.00
10.00 0.0100
0.0010
0.0100
0.00
-21.3100
2004
-0.0087
2007
2004
2007
-30.00
Gambar 43. Profil Pergeseran Wilayah Tahun 2004-2007
123
Kec. Watulimo
Kec. Munjungan
-0.0536
Kec. Panggul
Kec. Watulimo
Kec. Panggul -0.1013
-2.6800
Kec. Munjungan
-0.5800
Kec. Brondong
-20.00
Kec. Paciran
Kec. Brondong
-10.00
Lokasi
Kec. Paciran
Pergeseran Wilayah
20.00
124 Dari sisi pergeseran wilayah, hasil perhitungan (Gambar 43), menunjukkan di Selatan tahun 2004, Kecamatan Panggul mempunyai pergeseran wilayah negatif (-0,10 %) berarti wilayah tidak progresif, Kecamatan Munjungan dan Kecamatan Watulimo tidak progresif (-0,00 %) dan (-0,05 %). Rata-rata pergeseran di Selatan bernilai negatif (-0,05 %) berarti wilayah pesisir Selatan bukanlah wilayah progresif, tingkat pertumbuhan positif tetapi daya saing wilayahnya negatif sehingga wilayah pesisir Selatan termasuk kuadran II profil pertumbuhan seperti yang tersaji pada Gambar 44. Tahun 2007 diwilayah pesisir Selatan, Kecamatan Panggul mempunyai pergeseran wilayah positif (0,01 %) berarti wilayah progresif, Kecamatan Munjungan dan Kecamatan Watulimo merupakan wilayah progresif (0,00 %) dan (0,01 %). Rata-rata pergeseran wilayah pesisir Selatan bernilai positif (0,00 %) berarti wilayah progresif, tingkat pertumbuhan positif tetapi daya saing wilayahnya negatif maka wilayah pesisir Selatan termasuk dalam kuadran II profil pertumbuhan (Gambar 44 dan Tabel 30). Wilayah pesisir Utara berdasarkan profil pertumbuhannya masuk kuadran III tahun 2004 dan kuadran I tahun 2007. Wilayah pesisir Selatan tahun 2004 dan 2007 masuk kuadran II profil pertumbuhan wilayahnya (Lampiran 110 dan 111). 30 25 Sumbu Y=Daya Saing (PPW)
20
Paciran'07
PB=Progresif
I
I
15 PB=Non Progresif 10
Munjungan'04 Watulimo'04 Panggul'04 Munjungan'07 Watulimo'07 Panggul'07
Brondong'04
5 0 -5
Brondong'07
Paciran'04
-10
PB=Progresif
-15 -20 -25
I
PB=Non Progresif
I
-30 -30
-25
-20
-15
-10
-5
0
5
10
15
20
25
Sumbu X=Tingkat Pertumbuhan (PP)
Gambar 44. Profil Pertumbuhan Wilayah Pesisir Tahun 2004-2007 124
30
125 Tabel 32. Profil Pergeseran Wilayah Pesisir Utara-Selatan Tahun 2004- 2007
No
Tahun
Nama Kecamatan
Tk. Pertumbuhan PP (X)
Daya Saing
Kuadran
Kriteria
Rendah (-9.62000)
III
Non Progresif
PPW (Y)
1
2004
Kec. Paciran
Lambat (-11.69270)
2
2004
Kec. Brondong
Lambat (-8.88490)
Tinggi (8.30000)
IV
Non Progresif
3
2007
Kec. Paciran
Cepat (6.23510)
Tinggi (26.83000)
I
Progresif
4
2007
Kec. Brondong
Cepat (1.66150)
Rendah (-4.35000)
II
Non Progresif
5
2004
Kec. Panggul
Cepat (0.00089)
Rendah (-0.10219)
II
Non Progresif
6
2004
Kec. Munjungan
Cepat (0.00008)
Rendah (-0.00881)
II
Non Progresif
7
2004
Kec. Watulimo
Cepat (0.00047)
Rendah (-0.05407)
II
Non Progresif
8
2007
Kec. Panggul
Cepat (0.27000)
Rendah (-0.26000)
II
Progresif
9
2007
Kec. Munjungan
Cepat (0.24000)
Rendah (-0.24000)
II
Progresif
10
2007
Kec. Watulimo
Cepat (0.26000)
Rendah (-0.25000)
II
Progresif
6.3.2 Analisis Komponen Utama Herarki Wilayah Indikator Sosial Demografi 6.3.2.1 Indikator Kependudukan Herarki wilayah pesisir Utara indikator kependudukan tahun 2004, di Kecamatan Paciran berherarki rendah karena faktor skor negatif (-3,2713) nilai ini dibawah -0,5 disebabkan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. Kecamatan Brondong berherarki sedang karena faktor skor positif (0,2466) nilai ini berada diantara -0,5-0,5 disebabkan tingkat kepadatan penduduk yang rendah. Wilayah pesisir Utara indikator kependudukan, mempunyai rata-rata faktor skor negatif (-1,5123) jauh dibawah -0,5 berarti wilayah pesisir Utara berherarki rendah, disebabkan di wilayah pesisir Utara rata-rata memiliki kepadatan penduduk tinggi. Tahun 2007, Kecamatan Paciran berherarki rendah karena faktor skor negatif (-2,5346) disebabkan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. Kecamatan Brondong berherarki rendah karena faktor skor negatif (-0,8757) disebabkan tingkat kepadatan penduduk yang rendah. Wilayah pesisir Utara indikator kependudukan tahun 2007, mempunyai rata-rata faktor skor negatif (-1,7065) berarti wilayah pesisir Utara berherarki rendah, disebabkan memiliki kepadatan penduduk yang tinggi (Lampiran 63 dan 66).
125
126
UTARA
SELATAN
2.00 1.32627
1.50 1.00 0.24668
0.24795
0.05414
Lokasi
-2.00
2004
2007
2004
Kec. Watulimo
Kec. Panggul
Kec. Watulimo
-0.03381 -1.61349
Kec. Munjungan
-0.87857
Kec. Munjungan
Kec. Panggul
-1.50
Kec. Brondong
-1.00
Kec. Paciran
-0.50
Kec. Brondong
0.00
Kec. Paciran
Kependudukan
0.50
-0.47634
2007
-2.50 -2.5346 -3.00 -3.50
-3.27133
-4.00
Gambar 45. Skor Analisis Komponen Utama Kependudukan Tahun 2004-2007
Herarki wilayah pesisir Selatan indikator kependudukan tahun 2004, di Kecamatan Panggul berherarki tinggi karena faktor skor positif (1,3262), Kecamatan Munjungan berherarki sedang karena faktor skor positif (0,0541) dan Kecamatan Watulimo berherarki sedang karena faktor skor negatif (-0,03381) disebabkan di ketiga kecamatan tersebut tingkat kepadatan penduduknya yang rendah. Wilayah pesisir Selatan indikator kependudukan, mempunyai rata-rata faktor skor positif (0,4489) berarti wilayah pesisir Selatan berherarki sedang. Tahun 2007, Kecamatan Panggul berherarki rendah karena faktor skor negatif (-1,6134), Kecamatan Munjungan berherarki sedang karena faktor skor positif (0,2479) dan Kecamatan Watulimo berherarki sedang karena faktor skor negatif (-0,4763). Wilayah pesisir Selatan indikator kependudukan, mempunyai rata-rata faktor skor negatif (-0,6139) berarti wilayah pesisir Selatan berherarki rendah, disebabkan kepadatan penduduk tinggi. Hasil perhitungan yang tersaji pada Gambar 45, terjadi disparitas herarki wilayah pesisir antara Utara dan Selatan 126
127 indikator kependudukan tahun 2004. Wilayah pesisir Utara berherarki rendah dan Selatan berherarki sedang. Tahun 2007, wilayah pesisir Utara dan Selatan samasama berherarki rendah (Lampiran 69 dan 72).
6.3.2.2 Indikator Kependidikan Herarki wilayah pesisir Utara indikator kependidikan tahun 2004, di Kecamatan Paciran berherarki tinggi karena faktor skor positif (0,6075). Kecamatan Brondong berherarki sedang karena faktor skor positif (2,1408). Wilayah pesisir Utara indikator kependidikan, mempunyai nilai rata-rata faktor skor positif (1,3741) berarti wilayah pesisir Utara berherarki tinggi. Tahun 2007, Kecamatan Paciran berherarki sedang karena faktor skor positif (0,3067). Kecamatan Brondong berherarki tinggi karena skor positif (1,0000). Wilayah pesisir Utara indikator kependidikan, mempunyai nilai rata-rata faktor skor positif (0,6533) berarti wilayah pesisir Utara berherarki tinggi (Lampiran 64 dan 67).
UTARA
2.50
SELATAN
2.14089 2.00
1.38530
Kependidikan
1.50 1.00001
1.00
0.93819
0.60757
0.51994
0.50
0.30673
0.26081
0.00
-1.50
2004
2007
2004
-0.59641
Kec. Watulimo
Kec. Munjungan
Kec. Panggul
Kec. Watulimo
Kec. Munjungan
Kec. Panggul
Kec. Brondong
Kec. Paciran
Kec. Brondong
-1.00
Kec. Paciran
-0.50
Lokasi
-1.18822
2007
Gambar 46. Skor Analisis Komponen Utama Kependidikan Tahun 2004-2007
127
128 Herarki wilayah pesisir Selatan indikator kependidikan tahun 2004, di Kecamatan Panggul berherarki tinggi karena faktor skor positif (1,3853), Kecamatan Munjungan berherarki tinggi karena faktor skor positif (0,5199) dan Kecamatan Watulimo berherarki tinggi karena faktor skor positif (0,9381). Wilayah pesisir Selatan indikator kependidikan, rata-rata faktor skor positif (0,9477) berarti wilayah pesisir Selatan berherarki tinggi. Tahun 2007, Kecamatan Panggul berherarki rendah karena faktor skor negatif (-0,5964), Kecamatan Munjungan berherarki sedang karena faktor skor negatif (-1,1882) dan Kecamatan Watulimo berherarki sedang karena faktor skor positif (0,2608). Wilayah pesisir Selatan indikator kependidikan berherarki rendah karena rata-rata faktor skor negatif (-0,5079) (Lampiran 70 dan 73). Dari hasil perhitungan yang tersaji pada Gambar 46, terlihat tahun 2004 Wilayah pesisir Utara dan Selatan sama-sama berherarki tinggi. Tahun 2007 telah terjadi disparitas herarki wilayah pesisir Utara dan Selatan indikator kependidikan. Wilayah pesisir Utara berherarki tinggi sedangkan Selatan berherarki rendah.
6.3.2.3 Indikator Kesehatan Herarki wilayah pesisir Utara indikator kesehatan tahun 2004, di Kecamatan Paciran berherarki tinggi karena faktor skor positif (2,4349). Kecamatan Brondong juga berherarki tinggi karena faktor skor positif (1,7322). Wilayah pesisir Utara indikator kesehatan, mempunyai rata-rata faktor skor positif (2,0835) berarti berherarki tinggi, disebabkan rendahnya rasio ibu hamil, bayi dan balita per posyandu. Tahun 2007, Kecamatan Paciran berherarki rendah karena faktor skor negatif (-2,2730). Kecamatan Brondong berherarki rendah karena faktor skor negatif (-0,6069). Wilayah pesisir Utara indikator kesehatan, mempunyai rata-rata faktor skor negatif (-1,4399) berarti berherarki rendah, disebabkan tingginya nilai rasio ibu hamil, bayi dan balita per posyandu (Lampiran 65 dan 68).
128
129
UTARA
3.00 2.50
SELATAN
2.43492
2.00
1.73224
1.50
0.52215
0.37189 0.40189
0.50 0.00
-2.00 -2.50
2004
2007
2004
Kec. Watulimo
-0.63229
Kec. Munjungan
Kec. Panggul
Kec. Watulimo
-0.51233
Kec. Munjungan
-0.60698
Kec. Panggul
Kec. Brondong
-1.50
Kec. Paciran
-1.00
Kec. Brondong
-0.50
Lokasi
Kec. Paciran
Kesehatan
1.00
-0.71818
2007
-2.27303
-3.00
Gambar 47. Skor Analisis Komponen Utama Kesehatan Tahun 2004-2007
Herarki wilayah pesisir Selatan indikator kesehatan tahun 2004, di Kecamatan Panggul berherarki rendah karena faktor skor negatif (-0,5123), Kecamatan Munjungan berherarki sedang karena faktor skor positif (0,3718) dan Kecamatan Watulimo berherarki sedang karena faktor skor positif (0,4018). Wilayah pesisir Selatan indikator kesehatan, mempunyai rata-rata faktor skor positif (0,0871) berarti berherarki sedang. Tahun 2007, Kecamatan Panggul berherarki rendah karena faktor skor negatif (-0,6322), Kecamatan Munjungan berherarki tinggi karena faktor skor positive (0,5221) dan Kecamatan Watulimo berherarki rendah karena faktor skor negatif (-0,7181). Wilayah pesisir Selatan indikator kesehatan, rata-rata faktor skor negatif (-0,2760) berarti berherarki sedang. Hasil perhitungan seperti yang tersaji pada Gambar 47, terjadi disparitas herarki wilayah pesisir antara Utara dan Selatan indikator kesehatan tahun 2004 (Lampiran 71 dan 74). Wilayah pesisir Utara berherarki tinggi sedangkan Selatan berherarki sedang. Tahun 2007 Wilayah pesisir Utara berherarki rendah,
129
130 sedangkan Selatan berherarki sedang. Hasil perhitungan analisis komponen utama tentang herarki wilayah didapatkan kenyataan herarki wilayah pesisir Utara dan Selatan indikator sosial demografi meliputi aspek kependudukan, kependidikan dan
kesehatan
(kriteria
human
development
indeks/HDI)
mempunyai
kecenderungan menurun.
6.3.3 Analisis Skalogram Herarki Wilayah Pesisir Indikator Man-made Capital 6.3.3.1 Jumlah Jenis Fasilitas Pelayanan Hasil perhitungan analisis skalogram menunjukkan, tahun 2004 di wilayah pesisir Utara, Kecamatan Paciran memiliki 16 jumlah jenis fasilitas pelayanan, Kecamatan Brondong memiliki 13 dan wilayah pesisir Utara rata-rata memiliki 15. Tahun 2007, Kecamatan Paciran memiliki 16 jumlah jenis fasilitas pelayanan, Kecamatan Brondong hanya 15 dan wilayah pesisir Utara rata-rata memiliki 16. Tahun 2004 ke 2007 meningkat 1 jenis fasilitas pelayanan (Lampiran 79 dan 80).
SELATAN
UTARA 18.00 16.00
16
16
14.00
15
13 10
10.00
11 10
11 10
10
8.00 6.00 4.00 2.00 0.00
2007
2004
Kec. Watulimo
Kec. Munjungan
Kec. Panggul
Kec. Watulimo
Kec. Munjungan
Kec. Panggul
Kec. Brondong
Kec. Brondong
2004
Kec. Paciran
Lokasi
Kec. Paciran
Jmlh Jenis Fasilitas Pelayanan
12.00
2007
Gambar 48. Jumlah Jenis Fasilitas Pelayanan Tahun 2004-2007
130
131 Hasil perhitungan analisis skalogram menunjukkan tahun 2004 di wilayah pesisir Selatan, Kecamatan Panggul memiliki 10 jumlah jenis fasilitas pelayanan, Kecamatan Munjungan memiliki 10 dan Kecamatan Watulimo memiliki 11 dan Selatan rata-rata memiliki 10. Tahun 2007, Kecamatan Panggul memiliki 10 jumlah jenis fasilitas pelayanan, Kecamatan Munjungan memiliki 10, Kecamatan Watulimo memiliki 11 dan Selatan rata-rata memiliki 10. Tahun pengamatan 2004-2007 tidak terjadi peningkatan jumlah jenis fasilitas pelayanan. Hasil perhitungan tersaji pada Gambar 48, terjadi disparitas herarki wilayah pesisir antara Utara dan Selatan atas dasar jumlah jenis fasilitas pelayanan tahun 20042007, wilayah pesisir Utara meningkat 1 jumlah jenis fasilitas pelayanan dari 15 ke 16 sedangkan Selatan tidak mengalami peningkatan jumlah jenis fasilitas pelayanannya yakni 10 jumlah jenis fasilitas pelayanan (Lampiran 81 dan 82).
6.3.3.2 Jumlah Unit Fasilitas Pelayanan Hasil perhitungan analisis skalogram menunjukkan tahun 2004 di wilayah pesisir Utara, Kecamatan Paciran memiliki 381 jumlah unit fasilitas pelayanan, Kecamatan Brondong memiliki 214 dan wilayah pesisir Utara rata-rata memiliki 298. Tahun 2007, Kecamatan Paciran 391 jumlah unit fasilitas pelayanan, Kecamatan Brondong 232 dan wilayah pesisir Utara rata-rata 312. Tahun 20042007 meningkat 14 jumlah unit fasilitas pelayanan (Lampiran 79 dan 80). Dari hasil perhitungan analisis skalogram tahun 2004 di wilayah pesisir Selatan, Kecamatan Panggul memiliki 447 jumlah unit fasilitas pelayanan, Kecamatan Munjungan memiliki 349, Kecamatan Watulimo memiliki 416 dan Wilayah pesisir Selatan rata-rata memiliki 404. Tahun 2007, Kecamatan Panggul memiliki 474 jumlah unit fasilitas pelayanan, Kecamatan Munjungan memiliki 347, Kecamatan Watulimo memiliki 429 dan wilayah pesisir Selatan rata-rata memiliki 417. Tahun 2004-2007 meningkat 13 jumlah unit fasilitas pelayanan. Hasil perhitungan seperti tersaji pada Gambar 49, tidak terlihat adanya disparitas herarki wilayah pesisir antara Utara dan Selatan atas dasar jumlah unit fasilitas pelayanan tahun 2004-2007. Wilayah pesisir Utara rata-rata meningkat 14 jumlah unit fasilitas pelayanan dari 298 ke 312 sedangkan Selatan meningkat 13 jumlah unit fasilitas pelayanan dari 404 ke 417 (Lampiran 81 dan 82).
131
132
SELATAN
UTARA
474
500.00
447
450.00 400.00
429
416 391
381
349
350.00
347
232
250.00
214
200.00 150.00 100.00 50.00 0.00
2007
2004
Kec. Watulimo
Kec. Munjungan
Kec. Panggul
Kec. Watulimo
Kec. Munjungan
Kec. Panggul
Kec. Brondong
Kec. Brondong
2004
Kec. Paciran
Lokasi
Kec. Paciran
Jmlh Unit Fasilitas Pelayanan
300.00
2007
Gambar 49. Jumlah Unit Fasilitas Pelayanan Tahun 2004-2007
Dari hasil perhitungan analisis skalogram tentang herarki wilayah indikator man-made capital aspek jumlah jenis fasilitas pelayanan didapatkan kenyataan herarki wilayah pesisir Utara mengalami peningkatan (meskipun relative lebih kecil) dibandingkan wilayah pesisir Selatan. Analisis skalogram tentang herarki wilayah indikator man-made capital dari aspek jumlah unit fasilitas pelayanan didapatkan kenyataan bahwa herarki wilayah pesisir Utara dan Selatan menempati herarki yang relative sama peningkatannya
132
133 6.4 Analisis Kontribusi dan Keterkaitan Sumberdaya Pesisir terhadap Perkembangan Wilayah 6.4.1 Analisis Pembentukan Output, Nilai Tambah Bruto dan Pendapatan di Wilayah Pesisir 6.4.1.1 Pembentukan Output Secara umum struktur perekonomian wilayah pesisir Utara tahun 2004 – 2007 dengan analisis input-output, menggambarkan peran dari masing-masing sektor ekonomi dalam pembentukan output, nilai tambah bruto dan pendapatan. Pembentukan output tahun 2004 di wilayah pesisir Utara sebesar 2.928.230 tahun 2007 di wilayah pesisir Utara sebesar 4.389.162. Pembentukan output tahun 2004 di Selatan mencapai 1.132.259 tahun 2007 mencapai 1.508.740. Hasil perhitungan yang tersaji pada Gambar 50, terlihat telah terjadi disparitas pembentukan output wilayah pesisir Utara dan Selatan. Selama tiga tahun di kedua wilayah terjadi kenaikan pembentukan output, tetapi kenaikan pembentukan output di wilayah pesisir Utara sangat besar sehingga terdapat perbedaan yang nyata dengan
Output
pembentukan output diwilayah pesisir Selatan.
5000000 4500000 4000000 3500000 3000000 2500000 2000000 1500000 1000000 500000 0
Utara Selatan
2004
2007 Tahun
Gambar 50. Pembentukan Output Tahun 2004-2007
134 6.4.1.2 Pembentukan Nilai Tambah Bruto Pembentukan nilai tambah bruto (NTB) tahun 2004 di wilayah pesisir Utara sebesar Rp. 1.924.075 tahun 2007 di wilayah pesisir Utara sebesar Rp. 3.048.054 Pembentukan nilai tambah bruto (NTB) tahun 2004 di wilayah pesisir Selatan mencapai Rp. 790.123 tahun 2007 mencapai Rp. 1.093.211. Hasil perhitungan yang tersaji pada Gambar 51, terjadi disparitas pembentukan nilai tambah bruto di wilayah pesisir Utara dan Selatan. Di wilayah pesisir Utara, nilai tambah bruto lebih besar karena disetiap hasil produksinya terdapat penambahan perlakuan sehingga tingkat keuntungannya menjadi lebih besar serta tingkat kebocoran wilayahnya lebih kecil.
3500000 3000000
NTB
2500000 2000000 1500000
Utara
1000000
Selatan
500000 0 2004
2007 Tahun
Gambar 51. Pembentukan Nilai Tambah Bruto Tahun 2004-2007
Pembentukan pendapatan tahun 2004 di wilayah pesisir Utara sebesar Rp. 892.162 dan tahun 2007 sebesar Rp. 1.191.534 sedangkan wilayah pesisir Selatan mencapai Rp. 375.602 tahun 2007 sebesar Rp. 456.174. Hasil perhitungan yang tersaji pada Gambar 52, terjadi disparitas pembentukan pendapatan di wilayah pesisir Utara dan Selatan. Di wilayah pesisir Utara, pembentukan pendapatan
135 lebih besar karena nilai tambah bruto lebih besar ditangkap di wilayah pesisir Utara maka pembentukan pendapatannyapun lebih besar. Hasil perhitungan analisis pembentukan output, nilai tambah bruto dan pendapatan memperlihatkan terjadinya disparitas di wilayah pesisir Utara dan Selatan. Secara keseluruhan wilayah pesisir Utara jauh lebih tinggi dibandingkan Selatan.
1400000
Pendapatan
1200000 1000000 800000 600000
Utara
400000
Selatan
200000 0 2004
2007 Tahun
Gambar 52. Pembentukan Pendapatan Tahun 2004-2007 6.4.2 Analisis Pengganda Output, Pendapatan dan Tenaga Kerja Pengganda output tahun 2004, di wilayah pesisir Utara sebesar 1,0731 tahun 2007 sebesar 1,0727. Tahun 2004, pengganda output di wilayah pesisir Selatan mencapai 1,0763 tahun 2007 sebesar 1,0754. Jika terjadi perubahan permintaan akhir sebesar satu satuan output, maka semua sektor meningkat sebesar 1,0731 satuan untuk wilayah pesisir Utara dan 1,0763 satuan di wilayah pesisir Selatan di tahun 2004. Hasil perhitungan (Gambar 53), menunjukkan terjadinya disparitas pengganda output di wilayah pesisir Utara dan Selatan. Di wilayah pesisir Selatan, pengganda output lebih besar dibandingkan wilayah Utara disebabkan di wilayah Selatan.
136
1.0770 Pengganda Output
1.0760 1.0750 1.0740 1.0730
Utara
1.0720
Selatan
1.0710 1.0700 2004
2007 Tahun
Gambar 53. Pengganda Output Tahun 2004-2007
Pengganda pendapatan tahun 2004, di wilayah pesisir Utara sebesar 1,0811 tahun 2007 sebesar 1,0307. Tahun 2004, pengganda pendapatan di wilayah pesisir Selatan mencapai 1,0352 tahun 2007 sebesar 1,0367, hal ini berarti pendapatan tenaga kerja meningkat sebesar 1,0811 di wilayah pesisir Utara dan 1,0352 di wilayah pesisir Selatan akibat adanya perubahan dalam permintaan akhir pada sektor tertentu terhadap pendapatan sektor tersebut. Hasil perhitungan yang tersaji pada Gambar 54, menunjukkan terjadi disparitas pengganda pendapatan di wilayah pesisir Utara dan Selatan. Di wilayah pesisir Selatan, pengganda pendapatan lebih besar dibandingkan wilayah Utara disebabkan di wilayah Selatan, semua sektor masih sangat terbuka dan belum mengalami faktor kejenuhan sehingga investasi masih dapat dilakukan sampai titik optimalnya.
137
Pengganda Pendapatan
1.0900 1.0800 1.0700 1.0600 1.0500
Utara
1.0400
Selatan
1.0300 1.0200 2004
2007 Tahun
Gambar 54. Pengganda Pendapatan Tahun 2004-2007
Pengganda tenaga kerja tahun 2004, di wilayah pesisir Utara sebesar 1,0219 tahun 2007 sebesar 2,4560. Tahun 2004, pengganda tenaga kerja di wilayah pesisir Selatan mencapai 1,0359 tahun 2007 sebesar 1,0071 berarti jika pada tahun 2004 terjadi perubahan permintaan akhir sebesar satu satuan output pada semua sektor meningkat peluang tenaga kerja sebesar 1,0219 orang di wilayah pesisir Utara dan 1,0359 orang wilayah pesisir Selatan. Hasil perhitungan yang tersaji pada Gambar 55, menunjukkan telah terjadi disparitas pengganda tenaga kerja di wilayah pesisir Utara dan Selatan. Tahun 2004, di wilayah pesisir Selatan, pengganda tenaga kerja lebih besar dibandingkan wilayah Utara tetapi tahun 2007, wilayah pesisir Utaranya justru lebih besar dibandingkan wilayah Selatan disebabkan di wilayah Utara, merupakan wilayah dengan sifat terbuka dan dinamis sehingga lebih peka terhadap adanya perubahan penyerapan tenaga kerja berkaitan dengan modal dan teknologi yang dipergunakan. Hasil perhitungan analisis pengganda output, pendapatan dan tenaga kerja memperlihatkan disparitas di wilayah pesisir Utara dan Selatan. Secara keseluruhan wilayah pesisir Utara jauh lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah pesisir Selatan.
Pengganda Tenaga Kerja
138
2.6000 2.4000 2.2000 2.0000 1.8000 1.6000 1.4000 1.2000 1.0000 0.8000
Utara Selatan
2007
2004 Tahun
Gambar 55. Pengganda Tenaga Kerja Tahun 2004-2007
6.4.3 Analisis Keterkaitan-Sebaran Kebelakang dan Kedepan Output, Pendapatan dan Tenaga Kerja di Wilayah Pesisir 6.4.3.1 Analisis Keterkaitan-Sebaran Kebelakang dan Kedepan Output Tahun 2004 di wilayah pesisir Utara, sektor perikanan laut mempunyai keterkaitan kebelakang output 0,1356 jika terjadi peningkatan permintaan akhir sebesar satu satuan maka sektor perikanan laut memerlukan input dari sektor lainnya termasuk dari sektor perikanan laut sendiri 0,1356 satuan. Keterkaitan kebelakang menggambarkan kemampuan suatu sektor sebagai sektor hulu dalam pertumbuhan perekonomian wilayah. Keterkaitan kebelakang menunjukkan hubungan sektor tersebut dengan pasar inputnya. Keterkaitan kedepannya 0,0398 keterkaitan kedepan menganalisis kepekaan peningkatan output, pendapatan dan tenaga kerja suatu sektor akibat adanya perubahan permintaan akhir output sektor perekonomian secara keseluruhan (sektor ekonomi lainnya). Interpretasi terhadap keterkaitan kedepan menunjukkan kepekaan suatu sektor sebagai sektor hulu dalam menangkap peluang akibat perubahan pada sektor hilir.
139 Keterkaitan kedepan menunjukkan keterkaitan sektor tersebut dengan pasar outputnya. Di tahun 2007, sektor perikanan laut mempunyai keterkaitan kebelakang 0,1359 berarti terjadi peningkatan dari tahun 2004 meskipun relatif sangat kecil. Keterkaitan kedepannya tetap 0,0398. Sebaran kebelakang output sektor perikanan laut 2,1267
berarti jika
terjadi peningkatan permintaan akhir sebesar satu satuan maka sektor perikanan laut meningkatkan output sektor perekonomian lainnya sebesar 2,1267 satuan. Koefisien penyebaran menunjukkan kemampuan sektor perikanan laut untuk meningkatkan output sektor perekonomian lainnya, atau dengan kata lain koefisien penyebaran menunjukkan efek relatif yang ditimbulkan oleh keeratan kebelakang antara suatu sektor dengan semua sektor yang ada. Sebaran kedepannya sebesar 1,7156. Tahun 2007, sebaran kebelakang sektor perikanan laut 2,1267 dan sebaran kedepannya sebesar 1,7156. Di Selatan tahun 2004, sektor perikanan
laut
mempunyai
keterkaitan
kebelakang
0,1328.
Keterkaitan
kedepannya sebesar 0,5074. Di tahun 2007, keterkaitan kebelakang 0,1461 berarti terjadi peningkatan dari tahun 2004 meskipun relatif sangat kecil. Keterkaitan kedepannya tetap 0,5074. Sebaran kebelakang sektor perikanan laut 1,1734. Sebaran kedepannya sebesar 1,3504. Tahun 2007, sebaran kebelakang sektor perikanan laut 1,1404 dan sebaran kedepannya sebesar 1,3504.
Tabel 33. Keterkaitan-Penyebaran Kebelakang dan Kedepan Output Wilayah Pesisir Utara Selatan Tahun 2004 No
BL Pesisir Utara 1. Perikanan Laut 0.1356 Pesisir Selatan 1. Perikanan Laut 0.1328 Sumber : Tabel IO diolah th 2009. Keterangan : BL BS FL FS
Tahun 2007
Wilayah dan Sektor
= = = =
Backward Linkage Backward Spread Forward Linkage Forward Spread
BS
FL
FS
BL
BS
FL
FS
2.1267
0.0398
1.7156
0.1359
2.1267
0.0398
1.7156
1.1734
0.5074
1.3504
0.1461
1.1404
0.5074
1.3504
140
UTARA
SELATAN
2.50 2.1267
2.1267
2.00
Output
1.7156
1.7156
1.50
1.3504 1.1734
1.3504 1.1404
1.00 0.5074
0.50 0.1356
0.1359
0.0398
0.5074 0.1461
0.1328
0.0398
0.00 BL BS FL 2004
FS
BL BS FL
FS
BL BS FL
2007
2004
FS
BL BS FL
FS
2007
Tahun
Gambar 56. Keterkaitan-Penyebaran Kebelakang Kedepan Output Tahun 2004-2007 Keterkaitan kebelakang output wilayah pesisir Utara di tahun 2004 lebih besar dari Selatan disebabkan di wilayah pesisir Utara telah tersusun jaringan infrastruktur dan sarana prasarana penunjang produksi yang lebih baik, Sedangkan keterkaitan kedepannya di wilayah pesisir Selatan justru lebih besar disebabkan banyak pihak yang terlibat dalam hal penanganan pasca panen. Karena keterkaitannya kebelakangnya lebih besar, tingkat sebaran kebelakangnya juga jauh lebih besar. Tahun 2007, keterkaitan kebelakang output wilayah pesisir Utara mengalami kenaikan meskipun sangat kecil, akan tetapi justru di wilayah pesisir Selatan menjadi lebih besar. Keterkaitan kedepan outputnya masih tetap sama, begitu juga sebaran kedepannya, selengkapnya tersaji pada Gambar 56.
141 6.4.3.2 Analisis Keterkaitan-Sebaran Kebelakang dan Kedepan Pendapatan Tahun 2004 di wilayah pesisir Utara, sektor perikanan laut mempunyai keterkaitan kebelakang pendapatan 0,1515 jika terjadi peningkatan permintaan akhir sebesar satu satuan maka sektor perikanan laut memerlukan input pendapatan dari sektor lainnya termasuk dari sektor perikanan laut sendiri sebesar 0,1515 satuan. Keterkaitan kedepannya 0,0109. Tahun 2007, keterkaitan kebelakang 0,1517 jika terjadi peningkatan dari tahun 2004 meskipun relatif sangat kecil. Keterkaitan kedepannya tetap 0,0578. Sebaran kebelakang sektor perikanan laut 2,1197 jika terjadi peningkatan permintaan akhir satu satuan maka sektor perikanan laut meningkatkan pendapatan sektor perekonomian lainnya 2,1197 satuan. Sebaran kedepannya 0,4867. Tahun 2007, sebaran kebelakang sektor perikanan laut 2,1198 dan sebaran kedepannya 2,1343. Di Selatan tahun 2004, sektor perikanan laut mempunyai keterkaitan kebelakang 0,1433. Keterkaitan kedepannya 0,7899. Di tahun 2007, keterkaitan kebelakang 0,1567 dan keterkaitan kedepannya tetap 0,1521. Tahun 2004 sebaran kebelakang sektor perikanan laut 1,1785 sebaran kedepannya 1,8634. Tahun 2007, sebaran kebelakang 1,1415 dan sebaran kedepannya 0,3725. Tabel 34. Keterkaitan-Penyebaran Kebelakang dan Kedepan Pendapatan Wilayah Pesisir Utara Selatan Tahun 2004 No
Tahun 2007
Wilayah dan Sektor BL
Pesisir Utara 1. Perikanan Laut 0.1515 Pesisir Selatan 1. Perikanan Laut 0.1433 Sumber : Tabel IO diolah th 2009.
BS
FL
FS
BL
BS
FL
FS
2.1197
0.0109
0.4867
0.1517
2.1198
0.0578
2.1343
1.1785
0.7899
1.8634
0.1567
1.1415
0.1521
0.3725
Keterkaitan kebelakang pendapatan wilayah pesisir Utara di tahun 2004 lebih besar dari Selatan. Keterkaitan kedepannya justru di wilayah pesisir Selatan lebih besar. Tahun 2007, keterkaitan kebelakang dan kedepannnya pendapatan wilayah pesisir Utara mengalami kenaikan meskipun kecil. Di Selatan keterkaitan kebelakangnya mengalami kenaikan meskipun relatif kecil, tetapi keterkaitan kedepannya justru mengalami penurunan.
142
UTARA
SELATAN
2.50 2.1198
2.1197
2.1343 1.8634
Pendapatan
2.00
1.50 1.1785 1.00
1.1415
0.7899 0.4867
0.50 0.1515
BL
0.1517
0.0109
0.00 BS
FL
2004
0.3725
FS
BL
BS
FL
0.1567
0.1433
0.0578 FS
BL
2007
BS
FL
2004
FS
BL
0.1521
BS
FL
FS
2007
Tahun
Gambar 57. Keterkaitan-Penyebaran Kebelakang Kedepan Pendapatan Tahun 2004-2007 6.4.3.3 Analisis Keterkaitan-Sebaran Kebelakang-Kedepan Tenaga Kerja Tahun 2004 di Utara, sektor perikanan laut mempunyai keterkaitan kebelakang tenaga kerja 0,0506, jika terjadi peningkatan permintaan akhir satu satuan maka sektor perikanan laut memerlukan input tenaga kerja dari sektor lainnya termasuk dari sektor perikanan laut sendiri 0,0506 satuan. Keterkaitan kedepannya 0,0061. Tahun 2007, keterkaitan kebelakangnya 0,6596. Keterkaitan kedepannya 0,0061. Sebaran tenaga kerja kebelakang sektor perikanan laut tahun 2004 sebesar 1,6230 jika terjadi peningkatan permintaan akhir sebesar satu satuan maka sektor perikanan laut meningkatkan tenaga kerja sektor perekonomian lainnya 1,6230 satuan. sebaran kedepannya 0,4539. Tahun 2007, sebaran kebelakang sektor perikanan laut 1,5209 dan sebaran kedepannya 0,4539. Di Selatan tahun 2004, sektor perikanan laut mempunyai keterkaitan kebelakang tenaga kerja 0,2042. Keterkaitan kedepannya 0,0709. Tahun 2007, keterkaitan
143 kebelakang 0,2218 dan keterkaitan kedepannya 0,0709. Tahun 2004, sebaran kebelakang sektor perikanan laut 1,6835 sebaran kedepannya 0,3459. Tahun 2007, sebaran kebelakang 1,6872 dan sebaran kedepannya 0,3459. Tabel 35. Keterkaitan-Penyebaran Kebelakang dan Kedepan Tenaga Kerja Wilayah Pesisir Utara Selatan Tahun 2004 No
Tahun 2007
Wilayah dan Sektor BL
Pesisir Utara 1. Perikanan Laut 0.0506 Pesisir Selatan 1. Perikanan Laut 0.2042 Sumber : Tabel IO diolah th 2009.
BS
FL
FS
BL
BS
FL
FS
1.6230
0.0061
0.4539
0.6596
1.5209
0.0061
0.4539
1.6835
0.0709
0.3459
0.2218
1.6872
0.0709
0.3459
Keterkaitan kebelakang tenaga kerja wilayah pesisir Utara tahun 2004 lebih kecil dari Selatan. Tahun 2007, keterkaitan kebelakang pendapatan wilayah pesisir Utara mengalami kenaikan meskipun kecil. 1.8
1.623
UTARA
SELATAN
1.5209
1.6
1.6872
1.6835
1.4
Tenaga Kerja
1.2 1 0.8
0.6596
0.6
0.4539
0.4539
0.3459 0.2218
0.4 0.2
0.2042 0.0506
0.0061
0 BL
BS
FL
2004
0.0709
0.0061 FS
BL
BS
FL
0.3459
FS
BL
2007
BS
FL
2004
0.0709 FS
BL
BS
FL
2007
Tahun
Gambar 58. Keterkaitan dan Penyebaran Kebelakang Tenaga Kerja Tahun 2004-2007
FS
144 6.5 Pembahasan Tujuan untuk mengidentifikasi disparitas pemanfaatan sumberdaya perikanan wilayah pesisir Utara dan Selatan Jawa Timur diantaranya dapat dilihat melalui tren nilai CPUE per alat tangkap baik di wilayah pesisir Utara maupun di Selatan selama tahun pengamatan 2001 sampai dengan 2007. Tren nilai CPUE per alat tangkap di wilayah pesisir Utara selama tahun pengamatan 2001 sampai dengan 2007 cenderung menurun. Tren nilai CPUE per alat tangkap di wilayah pesisir Selatan selama tahun pengamatan 2001 sampai dengan 2007 cenderung meningkat kecuali alat tangkap pukat pantai yang cenderung menurun meskipun tingkat penurunannya relatif kecil. Disparitas pemanfaatan sumberdaya perikanan di wilayah pesisir Utara dan Selatan Jawa Timur juga terlihat pada hasil analisis potensi ekonomi sumberdaya perikanan yang tersaji pada Tabel 36 dibawah ini (Lampiran 1-29) :
Tabel 36. Potensi Ekonomi Sumberdaya Perikanan di Wilayah Pesisir Utara Dan Selatan Propinsi Jawa Timur No
1. 2.
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Potensi Ekonomi Sumberdaya Perikanan Laut PDRB (juta) Rasio antar dua variabel a. Rasio Sektor Perikanan laut-Pertanian b. Rasio Sektor Perikanan Luat-Perik Lainnya c. Rasio Sektor Perikanan Laut-Industri d. Rasio Sektor Perikanan Laut-Jasa Pangsa Sektor Perikanan Laut Pangsa Lokal sektor Perikanan Laut Indeks Spesialisasi Wilayah Pesisir Indeks Lokalisasi Sektor Perikanan Laut Kuota Lokasi Sektor Perikanan Laut Laju Pertumbuhan Lokal Sektor Perikanan laut Dayasaing Lokal sektor Perikanan Laut
Pesisir Utara
Pesisir Selatan
2004
2007
2004
1 610 437
3 333 024
806 202
0,0355 0,2060 0,2390 0,1565 1,4395 50,0000 0,0190 0,8770 8,0975 6,3260 -1,9180
0,0456 21,2783 0,2210 0,0840 1,6060 33,3333 0,0120 0,7410 3,8656 4,2273 0,6230
0,0365 0,2230 0,2535 0,1635 1,5265 50,0000 0,0135 0,8940 9,5405 15,1855 16,4280
2007 1 308 177 0,0466 21,9190 0,2206 0,0873 1,6263 33,3333 0,0120 0,7410 3,8646 3,6156 0,4660
PDRB wilayah pesisir Utara dari sektor perikanan laut tahun 2004 sebesar Rp. 1 610 437 juta dan tahun 2007 sebesar Rp. 3 333 024 juta. Wilayah pesisir Selatan tahun 2004 sebesar Rp. 806 202 juta dan tahun 2007 sebesar Rp. 1 308 177 juta. Besarnya PDRB menunjukkan besarnya nilai produksi barang dan jasa yang dihasilkan kedua wilayah pesisir dalam satu satuan waktu tertentu. Dari Tabel 36 terlihat rasio sektor perikanan laut dengan sektor lainnya hampir seluruhnya berada di bawah nilai 1, yang menandakan sektor perikanan laut relatif sangat kecil terhadap sektor lainnya baik di pesisir Utara maupun di Selatan 144
145 dibawah nilai 1 sehingga dapat diartikan sektor perikanan bersifat langka, kecuali rasio sektor perikanan laut terhadap perikanan lainnya di wilayah pesisir Selatan yang mempunyai nilai diatas 1 yang berarti bersifat melimpah. Rasio antar dua variabel menunjukkan potensi ekonomi sumberdaya perikanan laut perlu didorong dengan lebih kuat ketika sektor perikanan laut diharapkan dapat menjadi sektor unggulan dan menjadi wilayah pesisir sebagai wilayah kutub pertumbuhan yang memberikan penguatan ekonomi wilayah di daerah hinterlandnya. Pangsa sektor perikanan laut mempunyai nilai yang sangat kecil yaitu sebesar 1,4830 % untuk wilayah pesisir Utara dan 1,6160 % untuk wilayah pesisir Selatan. Pangsa sektor perikanan laut ini menunjukkan sektor perikanan laut tidak bersifat dominan relatif terhadap sektor-sektor lainnya dalam struktur ekonomi wilayah di kedua wilayah pesisir tersebut. Pangsa lokal sektor perikanan laut seluruhnya di kuasai kedua wilayah pesisir karena pangsa lokal sektor perikanan laut di kedua wilayah pesisir Utara 50 % sehingga secara keseluruhan berjumlah 100%. Di ketiga wilayah pesisir Selatan juga berjumlah 100 %, menunjukkan secara pisik sektor perikanan laut didominasi wilayah pesisir. Indeks spesialisasi dari wilayah pesisir baik Utara dan Selatan sangat kecil yaitu jauh lebih kecil dari 1 yang berarti wilayah pesisir tidak terkonsenterasi pada sektor-sektor tertentu, termasuk untuk sektor perikanan laut. Indeks lokalisasi wilayah pesisir disektor perikanan laut berada diatas nilai 0,5 baik wilayah pesisir Utara dan Selatan yang berarti bahwa sektor perikanan laut telah teralokasikan dengan baik di lokasi-lokasi pesisir. Sektor perikanan laut di wilayah pesisir Utara relatif lebih teralokasikan dibandingkan dengan di wilayah pesisir Selatan. Kuota lokasi di kedua wilayah pesisir baik wilayah pesisir Utara dan Selatan mempunyai nilai diatas 1 yang berarti sektor perikanan laut merupakan sektor basis. Sektor perikanan laut merupakan sektor basis berarti wilayah pesisir tersebut menghasilkan barang dan jasa disektor perikanan laut mampu untuk memenuhi keperluan wilayah itu sendiri dan mempunyai kemampuan untuk mengekpornya ke luar wilayah pesisir. Kuota lokasi di wilayah pesisir Utara dua kali lipat lebih besar dibanding kuota lokasi di wilayah pesisir Selatan. Laju pertumbuhan lokal sektor perikanan laut di kedua wilayah pesisir baik wilayah pesisir Utara dan Selatan mempunyai nilai positif yang berarti di wilayah pesisir
145
146 pertumbuhan sektor perikanan lautnya berjalan dengan cepat. Kecepatan rata-rata tingkat pertumbuhan sektor perikanan laut di wilayah pesisir Utara (10,75) hampir tiga kali lipat jika dibandingkan wilayah pesisir selatan (3,92). Dayasaing rata-rata lokal sektor perikanan laut di wilayah pesisir Utara sebesar 7,2550 berarti sektor perikanan laut di wilayah pesisir Utara bersifat kompetitif atau berdaya saing. Dayasaing rata-rata lokal sektor perikanan laut di wilayah pesisir Selatan sebesar 0,5445 berarti sektor perikanan laut di wilayah pesisir Selatan juga bersifat kompetitif atau berdaya saing karena sama-sama memiliki nilai yang positif tetapi kemampuan daya saingnya sangat jauh berbeda. Disparitas potensi ekonomi sumberdaya perikanan di wilayah pesisir Utara dan Selatan terlihat jelas sebagai berikut : 1) PDRB dalam struktur ekonomi wilayah pesisir; 2) laju pertumbuhan lokal sektor perikanan laut di kedua wilayah pesisir, Kecepatan tingkat pertumbuhan sektor perikanan laut di wilayah pesisir Utara hampir tiga kali lipat jika dibandingkan wilayah pesisir selatan; 3) dayasaing lokal sektor perikanan laut di wilayah pesisir Utara, tiga ratus dua puluh delapan kali lebih besar dibanding di wilayah pesisir Selatan; 4) kuota lokasi di wilayah pesisir Utara dua kali lipat lebih besar dibanding kuota lokasi di wilayah pesisir Selatan. Karaktersitik wilayah pesisir Utara dan Selatan mempunyai perbedaan yang relatif kecil dari sisi : 1) rasio sektor perikanan laut relatif sangat kecil terhadap sektor lainnya, yaitu bernilai jauh dibawah 1, kecuali nilai rasio sektor perikanan laut terhadap perikanan lainnya di wilayah pesisir Selatan yang mempunyai nilai diatas 1 yang berarti bersifat melimpah; 2) pangsa sektor perikanan laut mempunyai nilai yang sangat kecil; 3) pangsa lokal sektor perikanan laut; 4) indeks spesialisasi dan 5) indeks lokalisasi wilayah pesisir disektor perikanan laut. Tujuan untuk mengidentifikasi disparitas pembangunan wilayah pesisir Utara dan Selatan Jawa Timur dapat dijelaskan melalui disparitas perkembangan wilayah pesisir.
146
147 Tabel 37. Disparitas Perkembangan Wilayah Pesisir Utara dan Selatan Sumberdaya Alam, Sumberdaya Sosial dan Sumberdaya Buatan No
Disparitas Perkembangan Wilayah Pesisir
Pesisir Utara 2004
1.
2.
3.
Analisis Shift Share a. Tingkat Pertumbuhan wilayah b. Dayasaing Wilayah c. Pergeseran Wilayah Analisis Komponen Utama a. Aspek Kependudukan b. Aspek Kependidikan c. Aspek Kesehatan Analisis Skalogram a. Jumlah Jenis Fasilitas Pelayanan b. Jumlah Unit Fasilitas Pelayanan
2007
-10,2888 3,9483 -0,6600 11,2400 -10,9450 15,1900 -1,5123 0,5247 -1,5123
-1,7065 0,7061 -1,4400 15,0000 304,5000
Pesisir Selatan 2004
2007
0,0004 -0,0550 -0,0545
0,2566 0,2500 0,0060
0,4488 0,9478 0,0871
-0,6139 -0,5079 -0,2761 10,3333 410,3333
Disparitas Perkembangan Wilayah Pesisir dengan analisis Shift Share memperlihatkan sintesis sebagai berikut : 1) Tingkat pertumbuhan wilayah rata-rata di pesisir Utara pada tahun 2004 sebesar -10,28 % berarti pada tahu 2004 wilayah pesisir Utara mengalami perlambatan pertumbuhan karena mempunyai nilai negatif sedangkan pada tahun 2007, tingkat pertumbuhan wilayahnya 3,94 % yang berarti telah mengalami percepatan pertumbuhan wilayah. Daya saing wilayah pada tahun 2004 sebesar -0,6600 yang berarti wilayah pesisir Utara tidak memiliki daya saing yang baik, akan tetapi pada tahun 2007, nilainya meningkat menjadi 11,24 %. Rata-rata pergeseran wilayah tahun 2004 mempunyai nilai -10,94 % berarti bersifat tidak progresif dan tahun 2007 menjadi 15,19 % berarti berifat progresif (Lampiran 90 dan 97). 2) Tingkat pertumbuhan wilayah rata-rata di pesisir Selatan pada tahun 2004 sebesar 0,0004 % berarti pada tahu 2004 wilayah pesisir Utara mengalami pertumbuhan karena mempunyai nilai positif meskipun sangat kecil, sedangkan pada tahun 2007, tingkat pertumbuhan wilayahnya 0,2566 % yang berarti telah mengalami percepatan pertumbuhan wilayah. Daya saing wilayah pada tahun 2004 sebesar -0,0550 yang berarti wilayah pesisir Selatan tidak memiliki daya saing yang baik, akan tetapi pada tahun 2007, nilainya meningkat menjadi 0,2500 %. Rata-rata pergeseran wilayah pada tahun 2004 mempunyai nilai -0,0545 % yang berarti bersifat tidak progresif dan pada tahun 2007 menjadi 0,0060 % berifat progresif (Lampiran 110 dan 111). 147
148 Disparitas perkembangan wilayah pesisir dengan analisis komponen utama memperlihatkan sintesis sebagai berikut (Lampiran 63 sampai 74) : 1) Faktor skor dari aspek kependudukan tahun 2004 menunjukkan wilayah pesisir Utara -1,0392 berherarki wilayah rendah begitu juga pada tahun 2007 mempunyai faktor skor -1,7065 karena jauh berada dibawah -0,5 sedangkan tahun 2004 di wilayah Selatan 0,4488 berarti berherarki wilayah sedang karena nilainya diantara -0,5 sampai 0,5 tahun 2007 mempunyai berherarki rendah karena faktor skor nya bernilai -0,6139. 2) Faktor skor dari aspek kependidikan tahun 2004 menunjukkan wilayah pesisir Utara 0,5247 berherarki wilayah tinggi begitu juga pada tahun 2007 mempunyai faktor skor 0,7061 karena diatas 0,5 sedangkan tahun 2004 di wilayah Selatan 0,9478 berarti berherarki wilayah tinggi karena nilainya berada diatas 0,5 tetapi pada tahun 2007 mempunyai berherarki rendah karena faktor skor nya bernilai -0,5079. 3) Faktor skor dari aspek kesehatan tahun 2004 menunjukkan wilayah pesisir Utara -1,5123 berherarki wilayah rendah begitu juga pada tahun 2007 mempunyai faktor skor -1,4400 karena jauh berada dibawah -0,5 sedangkan tahun 2004 di wilayah Selatan 0,0871 berherarki wilayah sedang karena nilainya diantara -0,5 sampai 0,5 begitu juga tahun 2007 mempunyai berherarki rendah karena faktor skor nya bernilai -0,2761. Disparitas perkembangan wilayah pesisir dengan analisis skalogram memperlihatkan sintesis sebagai berikut (Lampiran 90 dan 97) : 1) Jumlah jenis fasilitas pelayanan di wilayah pesisir Utara sebesar 15 jenis dengan jumlah penduduk sebanyak 165.977 dan jauh berbeda dengan jumlah jenis fasilitas pelayanan di wilayah pesisir Selatan sebesar 10 jenis dengan jumlah penduduk sebanyak 186.302. 2) Jumlah unit fasilitas pelayanan di wilayah pesisir Utara sebesar 304 unit dengan luas wilayah 11.948 hektar, berarti satu unit fasilitas pelayanan melayani seluas 39 hektar wilayah pesisir. Wilayah pesisir Selatan jumlah unit fasilitas pelayanan di wilayah pesisir Selatan sebesar 410 unit dengan luas wilayah 44.080 hektar, berarti satu unit fasilitas pelayanan melayani seluas 107 hektar wilayah pesisir.
148
149 Disparitas kontribusi dan keterkaitan sumberdaya perikanan laut disajikan pada Tabel 38 berikut ini (Lampiran 30 sampai 62) : Tabel 38. Disparitas Perkembangan Wilayah Pesisir Utara dan Selatan No 1.
2.
3.
Disparitas Perkembangan Wilayah Pesisir Analisis Pembentukan Sektor Perikanan Laut : a. Pembentukan Output (unit/tahun) b. Pembentukan Nilai Tambah Bruto (Rp/tahun) c. Pembentukan Pendapatan (Rp/tahun) Analisis Pengganda Sektor Perikanan Laut : a. Pengganda Output b. Pengganda Pendapatan c. Pengganda Tenaga Kerja Analisis Keterkaitan-Sebaran Kebelakang & ke depan Sektor Perikanan Laut : a. Keterkaitan Kebelakang Output b. Keterkaitan kedepan Output c. Sebaran Kebelakang Output d. Sebaran kedepan Output e. Keterkaitan Kebelakang Pendapatan f. Keterkaitan kedepan Pendapatan g. Sebaran Kebelakang Pendapatan h. Sebaran kedepan Pendapatan i. Keterkaitan Kebelakang Tenaga Kerja j. Keterkaitan kedepan Tenaga Kerja k. Sebaran Kebelakang Tenaga Kerja l. Sebaran kedepan Tenaga Kerja
Pesisir Utara
Pesisir Selatan
3.658.696,19 2.486.064,50 1.041.848,70
1.320.500,45 941.667,50 415.888,45
1,0729 1,0559 1,7389
1,0758 1,0359 1,0215
0,1357 0,0398 2,1267 1,7156 0,1516 0,0343 2,1197 1,3105 0,3551 0,0061 1,5719 0,4539
0,1394 0,5074 1,1569 1,3504 0,1500 0,4710 1,1600 1,1179 0,2130 0,0709 1,6853 0,3459
Disparitas perkembangan wilayah pesisir dengan analisis kontribusi dan keterkaitan memperlihatkan sintesis sebagai berikut : 1) Pembentukan output sektor perikanan laut di wilayah pesisir Utara 3.658.696,19 sedangkan Selatan 1.320.500,45 berarti pembentukan output di wilayah pesisir Utara hampir tiga kali lipat (277 %) dari pembentukan output di wilayah pesisir Selatan. Pembentukan nilai tambah bruto wilayah pesisir Utara juga hampir tiga kali lipat (264 %) dari pembentukan nilai tambah bruto wilayah pesisir Selatan. Pembentukan pendapatan wilayah pesisir Utara juga dua setengah kali lipat (250 %) dari pembentukan pendapatan wilayah pesisir Selatan. 2) Pengganda output, pendapatan dan tenaga kerja sektor perikanan laut di wilayah pesisir Utara dan Selatan tidak terlalu berbeda dan samasama memiliki nilai yang relatif kecil. 3) Keterkaitan dan sebaran yang menunjukkan adanya disparitas di wilayah pesisir Utara-Selatan adalah a) keterkaitan kedepan output; b)
149
150 keterkaitan kedepan pendapatan; c) keterkaitan kebelakang tenaga kerja; d) keterkaitan kedepan tenega kerja e) sebaran kebelakang output; f) sebaran kedepan output; g) sebaran kebelakang pendapatan; h) sebaran kedepan pendapatan; i) sebaran kebelakang tenaga kerja dan j) sebaran kedepan tenaga kerja. Nilai keterkaitan dan sebaran menunjukkan disparitas yang relatif kecil adalah : a) keterkaitan kebelakang output dan b) keterkaitan kebelakang pendapatan. Tujuan menyusun strategi pemanfaatan sumberdaya perikanan dalam perspektif pengelolaan wilayah pesisir Utara dan Selatan Jawa Timur dapat dipahami melalui kenyataan sumberdaya memiliki peran ganda yaitu sebagai modal pertumbuhan ekonomi (resource based economy) dan sekaligus sebagai penopang sistem kehidupan (life support system). Kekuatan ekonomi wilayah sangat tergantung ketersediaan sumberdaya secara berkelanjutan dan hubungan manajemen sumberdaya dan pembangunan ekonomi dijelaskan dengan konsep nilai sumberdaya. Nilai sumberdaya dapat dikuantifikasi dengan mengukur nilai hasil produksi sumberdaya, pendapatan ekspor, jumlah orang yang terserap ke dalam lapangan pekerjaan baik langsung maupun tidak langsung. Kawasan pesisir merupakan salah satu kawasan yang memiliki kekayaan sumberdaya. Wilayah pesisir pada umumnya merupakan wilayah yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat. Karena kondisi geografis dan potensi yang dimilikinya, banyak sektor ekonomi yang berkembang diwilayah pesisir. Khususnya di wilayah pesisir, sektor-sektor ekonomi diantaranya adalah perikanan laut, yang mencakup kegiatan penangkapan, budidaya dan pengolahan. Potensi ekonomi sumberdaya perikanan di wilayah pesisir Utara dan Selatan Jawa Timur sangat tinggi terlihat dari daya saing yang dimiliki, tingkat pertumbuhannya yang berjalan dengan cepat, dan merupakan sektor basis akan tetapi sektor perikanan laut perlu didorong dengan lebih kuat agar sektor perikanan laut bersifat dominan relatif terhadap sektor-sektor lainnya dalam struktur ekonomi wilayah pesisir. Perkembangan wilayah pesisir haruslah dikonsenterasikan pada sektor perikanan laut. Pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan pesisir pada masa otonomi daerah yang paling tepat adalah dengan melakukan pengelolaan secara optimal, yang dapat menjamin potensi lestari
150
151 sumberdaya perikanan dan stablitas produksi serta keberlanjutan ditingkat usaha perikanan dalam rangka menjamin kelestarian sumberdaya wilayah pesisir. Pengelolaan optimal perikanan laut memberikan ruang tidak saja untuk keberlanjutan sumberdaya perikanan namun juga mendorong pemerataan dan kearifan lokal di wilayah pesisir. Pengelolaan optimal juga dapat mengalokasikan sumberdaya secara lebih efektif dan efisien sehingga mendorong perubahan produksi kearah yang sesuai dengan daya dukung ekonomi dan daya dukung ekologis wilayah pesisir. Konsep polarisasi mendorong tumbuh berkembangnya sektor perikanan laut dan memunculkan polarisasi unit-unit lainnya ke kutub pertumbuhan. Aglomerasi sektor perikanan laut ini ditandai dengan biaya produksi rata-rata yang rendah dan penurunan biaya tiap unit produksi, selanjutnya sektor perikanan laut dapat diharapkan menjadi sektor unggulan dan dapat menjadikan wilayah pesisir sebagai wilayah kutub pertumbuhan yang dapat memberikan penguatan ekonomi wilayah di daerah hinterlandnya (spread effect). Analisis kebijakan guna menyusun strategi pengelolaan wilayah pesisir Utara dan Selatan terlihat dari nilai skor CPUE, analisis disparitas potensi sumberdaya perikanan (DPSDPI), analisis disparitas pembanguan wilayah pesisir (DPWP), analisis disparitas kontribusi sebaran perkembangan wilayah pesisir (DKSPWP), analisis kebijakan pembangunan perikanan (AK) yang disajikan pada Tabel 39 sampai Tabel 43 serta Gambar 59. Standar penilaian skor lima indikator analisis kebijakan ada pada lampiran 83.
Tabel 39. Skor CPUE per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Utara-Selatan
1 2 3 4
Alat Tangkap (Utara) Purse Seine Payang Besar Pancing Prawe Payang Kecil
Alat Tangkap (Selatan) Pukat Pantai Jaring Klitik Pukat Cincin Pancing
5
Gill Net
Jaring Angkat
No
Rata-rata
151
Pesisir Utara
Pesisir Selatan
3 3 3 3
2 2 3 2
2
2
2.80
2.20
152 Tabel 40. Skor Analisis Disparitas Potensi Sumberdaya Perikanan (DPSDPI) No
Pesisir Utara 1
Pesisir Selatan 1
b. Rasio Sektor Perikanan Luat-Perik Lainnya
1
5
c. Rasio Sektor Perikanan Laut-Industri
1
1
d. Rasio Sektor Perikanan Laut-Jasa
1
1
Potensi Ekonomi Sumberdaya Perikanan Laut a. Rasio Sektor Perikanan laut-Pertanian
1
2
Pangsa Sektor Perikanan Laut
1
1
3
Pangsa Lokal sektor Perikanan Laut
3
2
4
Indeks Spesialisasi Wilayah Pesisir
1
1
5
Indeks Lokalisasi Sektor Perikanan Laut
1
1
6
Kuota Lokasi Sektor Perikanan Laut
5
5
7
Laju Pertumbuhan Lokal Sektor Perikanan Laut
5
5
8
Dayasaing Lokal sektor Perikanan Laut
5
5
2.27
2.55
Rata-rata
Tabel 41. Skor Analisis Disparitas Pembanguan Wilayah Pesisir (DPWP) No 1
2
3
Disparitas Perkembangan Wilayah Pesisir
Pesisir Utara
Pesisir Selatan
a. Tingkat Pertumbuhan wilayah
5
5
b. Dayasaing Wilayah
5
1
c. Pergeseran Wilayah
5
1
Analisis Shift Share
Analisis Komponen Utama a. Aspek Kependudukan
1
3
b. Aspek Kependidikan
5
3
c. Aspek Kesehatan
3
3
a. Jumlah Jenis Fasilitas Pelayanan
3
1
b. Jumlah Unit Fasilitas Pelayanan
3
1
Rata-rata
3.75
2.25
Analisis Skalogram
152
153 Tabel 42. Skor Analisis Disparitas Kontribusi Sebaran Perkembangan Wilayah Pesisir (DKSPWP) No 1
2
3
Pesisir Utara
Pesisir Selatan
a. Pembentukan Output
3
1
b. Pembentukan Nilai Tambah Bruto
3
1
c. Pembentukan Pendapatan
3
1
Disparitas Perkembangan Wilayah Pesisir Analisis Pembentukan Sektor Perikanan Laut :
Analisis Pengganda Sektor Perikanan Laut : a. Pengganda Output
5
5
b. Pengganda Pendapatan
5
5
c. Pengganda Tenaga Kerja Analisis Keterkaitan-Sebaran Kebelakang dan ke depan Sektor Perikanan Laut :
5
5
a. Keterkaitan Kebelakang Output
1
1
b. Keterkaitan kedepan Output
1
1
c. Sebaran Kebelakang Output
5
5
d. Sebaran kedepan Output
5
5
e. Keterkaitan Kebelakang Pendapatan
1
1
f. Keterkaitan kedepan Pendapatan
1
1
g. Sebaran Kebelakang Pendapatan
5
5
h. Sebaran kedepan Pendapatan
5
5
i. Keterkaitan Kebelakang Tenaga Kerja
1
1
j. Keterkaitan kedepan Tenaga Kerja
1
1
k. Sebaran Kebelakang Tenaga Kerja
5
5
l. Sebaran kedepan Tenaga Kerja
1
1
3.11
2.78
Rata-rata
153
154 Tabel 43. Skor Analisis Kebijakan Pembangunan Perikanan (AK) No 1
Program dan Bentuk Kegiatan Propinsi Jawa Timur
Utara
Selatan
5
5
1
1
5
1
1
1
4. Optimalisasi daya guna potensi sumber daya kelautan & pesisir
1
1
5. Koordinasi berbagai sumber bantuan modal, peralatan tangkap dan teknologi untuk mendukung pengembangan ekonomi masyarakat pesisir
5
1
6. Pemberdayaan ekonomi perempuan miskin di kawasan pesisir
1
1
7. Peningkatan keamanan nelayan, pengamanan sumber daya kelautan dan pesisir
1
1
8. Pembangunan dan pengembangan fasilitas memperpanjang lama waktu nelayan melaut, antara lain pembangunan SPBU terapung, perlengkapan cold storage perahu penangkap ikan
1
1
Program Pengembangan Sumberdaya Perikanan
5
5
5
1
5
1
Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir
5
5
1. Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir dan pulau-pulau kecil, melalui peningkatan pemasaran, standar mutu dan nilai tambah produk perikanan
5
1
2. Pengelolaan Jasa Lingkungan dan Kelautan
1
1
Program Pengembangan Perikanan Tangkap
5
5
5
5
5
1
5
5
5
5
5
1
1
1
1
1
Program Peningkatan Keberdayaan Masyarakat Pesisir 1. Pengembangan kapasitas masyarakat pesisir dalam pengelolaan sumber daya pesisir yang berkelanjutan. 2. Pemberdayaan kelembagaan nelayan untuk meningkatkan posisi tawar terhadap harga-harga hasil tangkapan nelayan, dan dalam pengambilan keputusan 3. Pelaksanaan regulasi yang mengatur kawasan penangkapan ikan, dan pengakuan atas tradisi lokal masyarakat pesisir
2
1. Peningkatan usaha perikanan skala kecil, termasuk di pulau kecil yang potensial dan peningkatan pemasaran, standar mutu, nilai tambah produk perikanan 2. Pengembangan kawasan budidaya laut, air payau dan air tawar serta percepatan dan menata usaha budidaya tambak air tawar 3
4
1. Pembangunan dan rehabilitasi sarana dan prasarana perikanan serta percepatan dan penataan kembali usaha budidaya tambak dan air tawar 2. Pembangunan dan pengembangan fasilitas memperpanjang lama waktu nelayan melaut, : SPBU terapung, perlengkapan cold storage perahu penangkap ikan 5
Program Pengembangan Budidaya Perikanan 1. Peningkatan produksi perikanan budi daya melalui intensifikasi, diversifikasi, dan ekstensifikasi usaha perikanan 2. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perikanan, serta sistem perbenihan dan pengembangan sistem sertifikasi balai benih serta budidaya 3. Penerapan Good Agriculture Practices (GAP), Good Hatchery Practices (GHP) dan sistem jaminan mutu berdasarkan (HACCP) budidaya 4. Pengendalian Penyakit Ikan-Peningkatan Kualitas Lingkungan
6
7
Program optimalisasi pengelolaan dan pemasaran produksi perikanan
5
5
1. Pembinaan dan Pengembangan Jaringan Usaha dan Pemasaran Hasil Perikanan
5
1
2. Pengembangan Pemasaran Dalam Luar Negeri Serta Ekspor Hasil Perikanan
1
1
Program Pengembangan dan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan
5
5
1. Perumusan kebijakan dan penyusunan peraturan dalam pengelolaan sumber daya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil secara terintegrasi
5
1
2. Pengelolaan sumber daya pesisir, pulau kecil efisien lestari berbasis masyarakat
1
1
3. Pengembangan sistem monitoring, controlling, and surveillance pengendalian dan pengawasan, termasuk pemberdayaan masyarakat dalam sistem pengawasan
1
1
4. Penataan ruang laut, pesisir pulau kecil sesuai daya dukung lingkungannya
1
1
1
5
5
5
7. Penataan dan peningkatan kelembagaan lembaga masyarakat di tingkat lokal
5
1
8. Penegakan hukum pelanggar perusak sumber daya laut, pesisir, dan pulau kecil
5
1
3.40
2.26
5. Pengelolaan dan pengembangan kawasan konservasi laut, dan rehabilitasi habitat ekosistem rusak terumbu karang, mangrove, padang lamun, dan estuaria 6. Peningkatan peran aktif masyarakat dan swasta melalui kemitraan dalam pengelolaan sumber daya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil
Rata-rata
154
155
Gambar 59. Grafik Layang-Layang Analisis Kebijakan Pembangunan Perikanan
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan teknik amoeba terhadap indikator CPUE, potensi sumberdaya perikanan (DPSDPI), pembanguan wilayah pesisir (DPWP), kontribusi sebaran perkembangan wilayah pesisir (DKSPWP) dan kebijakan pembangunan perikanan (AK) (Gambar 59) menunjukkan dari lima indikator yang teliti, empat indikator di wilayah pesisir Utara lebih besar dibandingkan wilayah pesisir Selatan. Empat indikator itu adalah CPUE, pembanguan wilayah pesisir (DPWP), kontribusi sebaran perkembangan wilayah pesisir (DKSPWP) dan kebijakan pembangunan perikanan (AK). Satu indikator di wilayah pesisir Selatan yanglebih besar dibandingkan Utara adalah potensi sumberdaya perikanan. Disparitas yang terbesar adalah pada indikator pembanguan wilayah pesisir (DPWP) dan disparitas terkecil adalah potensi sumberdaya perikanan (DPSDPI). Hasil analisis kebijakan dengan teknik amoeba ini selanjutnya digunakan untuk menentukan strategi pengelolaan wilayah pesisir.
155
156 Selanjutnya uji signifikansi dari analisis kebijakan pembangunan perikanan di sajikan pada tabel 44 sebagai berikut :
Tabel 44. Uji Signifikansi Analisis Kebijakan Pembangunan Perikanan No
Peubah
1
CPUE
2
DPSDPI
3
DPWP
4
DKSPWP
5
AK
T-tabel
|T-hit|
Keterangan
1%
3.355
2.121
Tidak berbeda nyata
5%
2.306
2.121
Tidak berbeda nyata
10%
1.860
2.121*
Berbeda nyata
1%
2.845
0.335
Tidak berbeda nyata
5%
2.086
0.335
Tidak berbeda nyata
10%
1.725
0.335
Tidak berbeda nyata
1%
2.977
2.016
Tidak berbeda nyata
5%
2.145
2.016
Tidak berbeda nyata
10%
1.761
2.016*
Berbeda nyata
1%
2.728
0.510
Tidak berbeda nyata
5%
2.032
0.510
Tidak berbeda nyata
10%
1.691
0.510
Tidak berbeda nyata
1%
2.650
2.468
Tidak berbeda nyata
5%
1.995
2.468**
Berbeda nyata
10%
1.668
2.468*
Berbeda nyata
Ket : * = Berbeda nyata pada α=10% ** = Berbeda nyata pada α=5% *** = Berbeda nyata pada α=1% Strategi
pengelolaan
wilayah
pesisir
Utara
dan
Selatan
dapat
dikembangkan melalui pertama : pengembangan wilayah pesisir atas dasar pasokan (supply side strategy) dan permintaan (demand side strategy). Program pengembangan wilayah pesisir atas dasar pasokan berupa program dan bentuk kegiatan
pengembangan
wilayah
pesisir
didasarkan
kepada
keunggulan
komparatif berupa upaya peningkatan produksi sumberdaya perikanan dan produktivitas wilayah pesisir dengan pertimbangan optimalisasi daya dukung, kapabilitas dan kesesuaian sumberdaya perikanan di wilayah pesisir. Program pengembangan wilayah pesisir atas dasar permintaan berupa program dan bentuk kegiatan pengembangan wilayah pesisir didasarkan kepada upaya-upaya mendorong tumbuhnya permintaan barang dan jasa sumberdaya perikanan domestik melalui upaya-upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat di wilayah pesisir diantarnya meliputi peningkatan pendapatan,
156
157 pendidikan dan kesehatan. Pengembangan sektor perikanan laut di wilayah pesisir atas dasar pasokan pada akhirnya akan meningkatkan PDRB dalam struktur perekonomian wilayah dan pembentukan output, nilai tambah bruto dan pendapatan juga meningkatkan pengganda output, pendapatan dan tenaga kerja. Pemperhatikan tren CPUE, potensi ekonomi, pembangunan wilayah pesisir, kontribusi-sebaran dan kebijakan pembangunan sektor perikanan maka strategi pengelolaan wilayah pesisir Utara sebaiknya lebih mengarah kepada pengembangan wilayah pesisir atas dasar permintaan (demand side strategy), sedangkan strategi pengelolaan wilayah pesisir Selatan sebaiknya lebih mengarah kepada pengembangan wilayah pesisir atas dasar pasokan (supply side strategy). Kedua : pengembangan wilayah pesisir atas dasar strategi keterkaitan (lingkages) antar wilayah pesisir, yang pada awalnya dapat diwujutkan dengan mengembangkan keterkaitan fisik antar wilayah pesisir dengan membangun berbagai infrastruktur fisik seperti jaringan transportasi dan jaringan komunikasi yang dapat menciptakan keterkaitan yang bersifat sinergis atau saling memperkuat dari aktivitas ekonomi wilayah, terutama pengelolaan wilayah pesisir Selatan. Keterkaitan fisik antar wilayah pesisir haruslah diikuti dengan pengembangan keterkaitan sinergis yang lebih luas seperti kebijakan-kebijakan yang menciptakan struktur insentif, yang mendorong keterkaitan sinergis antar wilayah pesisir.
157
158 Lampiran 83. Standar Penilaian Skor Lima Indikator Analisis Kebijakan I. Standar Penilai Skor Indikator CPUE : Wilayah Pesisir Utara Tahun Purse Seine CPUE (ton/Trip) 2001 32.646 2002 43.032 2003 72.252 2004 25.921 2005 41.873 2006 24.608 2007 45.301 Score ř
40.80
Nilai Payang Besar Score CPUE (ton/Trip) 1.000 28.851 5.000 38.639 5.000 50.633 1.000 47.564 5.000 46.975 1.000 18.779 5.000 10.049 3.29
34.50
Nilai Pancing Prawe Score CPUE (ton/Trip) 1.000 58.255 5.000 89.539 5.000 37.017 5.000 22.152 5.000 34.606 1.000 85.999 1.000 30.234 3.29
51.11
Nilai Payang Kecil Nilai Gill Net Nilai Score CPUE (ton/Trip) Score CPUE (ton/Trip) Score 5.000 44.361 1.000 20.981 1.000 5.000 67.953 5.000 23.614 1.000 1.000 69.314 5.000 22.196 1.000 1.000 55.130 5.000 49.782 5.000 1.000 21.126 1.000 24.388 1.000 5.000 38.444 1.000 29.552 5.000 1.000 35.028 1.000 14.351 1.000 2.71
47.34
2.71
26.41
2.14
Wilayah Pesisir Selatan Pukat
Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Score ř
CPUE (ton/Trip)
Nilai Score
Jaring
Nilai
CPUE (ton/Trip)
Score
Pukat
Nilai
CPUE (ton/Trip)
Score
Pancing CPUE (ton/Trip)
Nilai Score
Jaring
Nilai
CPUE (ton/Trip)
Score
23.54
1.00
10.09
1.00
31.49
5.00
11.45
1.00
13.23
1.00
84.22
5.00
23.42
1.00
21.86
1.00
77.85
5.00
19.93
1.00
31.04
1.00
16.49
1.00
33.66
5.00
15.40
1.00
18.81
1.00
21.45
1.00
26.20
1.00
30.10
5.00
17.94
1.00
16.46
1.00
22.60
1.00
52.43
5.00
18.84
1.00
15.51
1.00
9.99
1.00
43.27
5.00
22.03
1.00
12.11
1.00
10.85
1.00
12.83
1.00
20.96
1.00
53.12
5.00
21.66
1.00
51.88
5.00
47.81
5.00
35.30
2.14
29.11
2.14
24.24
2.71
28.70
2.14
19.87
1.57
nilai rata-rata skor ř
II. Standar Penilai Skor Indikator DPSDPI : 1. <1 dengan nilai skor 1 2. > 1 dengan nilai skor 5 Untuk Pangsa Sektor Perikanan Laut (PLSPL) 0 % ~ 20 % dengan nilai skor 1 21 % ~ 40 % dengan nilai skor 2 41 % ~ 60 % dengan nilai skor 3 61 % ~ 80 % dengan nilai skor 4 81 % ~ 100 % dengan nilai skor 5 III. Standar Penilai Skor Indikator DPWP : 1. Analisis Shift Share 3. <1 dengan nilai skor 1 4. > 1 dengan nilai skor 5 2. Analisis Komponen Utama 1. < -0,5 dengan nilai skor 1 2. -0,5 ~ 0,5 dengan nilai skor 3 3. > 0,5 dengan nilai skor 5 3. Analisis Skalogram 1. Rasio perbandingan 15 : 10 dengan nilai skor 3 : 1 2. Rasio perbandingan 304 : 410 dengan nilai skor 3 : 1 IV. Standar Penilai Skor Indikator DKSPWP : 1. < -0,5 dengan nilai skor 1 2. -0,5 ~ 0,5 dengan nilai skor 3 3. > 0,5 dengan nilai skor 5 V. Standar Penilai Skor Indikator AK: 1. Jika program dan bentuk kegiatan tidak ada atas dasar Propinsi dengan nilai skor 1 2. Jika program dan bentuk kegiatan tidak ada atas dasar Propinsi dengan nilai skor 5
158
159
159
© Hak cipta milik IPB (Institut Pertanian Bogor)
Bogar Agricultural University
-.-' 0
•
~~o
HeR Cipte Dilindungi Undeng-Undeng
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh barya tulis ini tan po mencantumRan dan menyebutRan sumber: a. Pengutipan hanya untub bepentingan pendidiban, penelitian, penulisan barya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan britib atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidab merugiban bepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumban dan memperbanyab sebagian atau seluruh barya tulis ini dalam bentub apapun tanpa izin IPB.
158
7. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan terdapat disparitas pemanfaatan sumberdaya perikanan diwilayah pesisir Utara dan Selatan, tren CPUE di wilayah pesisir Utara cenderung menurun sedangkan di wilayah pesisir Selatan cenderung meningkat. Disparitas pembangunan wilayah pesisir Utara dan Selatan dapat diidentifikasi melalui a) besarnya selisih nilai PDRB sektor perikanan laut; b) rasio sektor perikanan laut dengan sektor perikanan lainnya di wilayah pesisir Utara bersifat langka sedangkan di wilayah pesisir Selatan bersifat melimpah; c) kuota lokasi sektor perikanan laut di kedua wilayah pesisir merupakan sektor basis, di Utara dua kali lebih besar dibanding di Selatan; d) laju pertumbuhan lokal sektor perikanan laut di kedua wilayah pesisir berjalan cepat, kecepatan di Utara hampir tiga kali lebih cepat dari Selatan; e) dayasaing lokal sektor perikanan laut di kedua wilayah pesisir bersifat kompetitif, di Utara tiga ratus dua puluh delapan kali lebih besar dibanding di Selatan Disparitas perkembangan wilayah pesisir atas dasar potensi sumberdaya alam (natural capital) memperlihatkan tingkat pertumbuhan di Utara dua puluh lima kali lipat lebih cepat dibanding Selatan. Daya saing wilayah pesisir Utara sangat baik dan berkeunggulan comparatif (comparatif advantage), tiga puluh lima kali lipat lebih besar dibanding wilayah pesisir Selatan. Pergeseran wilayah pesisir Utara bersifat progresif, sembilan puluh kali lebih cepat dari Selatan. Disparitas perkembangan wilayah pesisir atas dasar potensi sumberdaya sosial (social capital) dari aspek kependudukan, diwilayah pesisir Utara berherarki lebih rendah dibanding Selatan, aspek kependidikan di Utara berherarki lebih tinggi, dibanding Selatan, aspek kesehatan di Utara-Selatan berherarki sedang, meskipun faktor skor Utara tiga kali lipat lebih besar dari Selatan. Disparitas perkembangan wilayah pesisir atas dasar potensi sumberdaya buatan manusia (man made capital) memperlihatkan a) di wilayah pesisir Utara, satu jenis fasilitas pelayanan melayani 11.065 jiwa sedangkan di Selatan satu jenis fasilitas pelayanan melayani 18.630 jiwa b) di wilayah pesisir Utara, satu unit fasilitas pelayanan melayani seluas 39 hektar, di Selatan satu jenis fasilitas pelayanan melayani 107 hektar.
158
159 Disparitas perkembangan wilayah pesisir dari sisi kontribusi dan keterkaitan sektor perikanan laut dalam struktur perekonomian wilayah memperlihatkan pembentukan output sektor perikanan laut di Utara tiga kali lebih besar, pembentukan nilai tambah brutonya tiga kali lebih besar dan pembentukan pendapatannya dua setengah kali lebih besar dari Selatan. Disparitas yang tinggi dari sisi keterkaitan dan sebaran di wilayah pesisir Utara-Selatan ditunjukkan oleh : a) keterkaitan kedepan output; b) keterkaitan kedepan pendapatan; c) keterkaitan kebelakang tenaga kerja; d) keterkaitan kedepan tenaga kerja e) sebaran kebelakang output; f) sebaran kedepan output; g) sebaran kebelakang pendapatan; h) sebaran kedepan pendapatan; i) sebaran kebelakang tenaga kerja dan j) sebaran kedepan tenaga kerja. Disparitas pembangunan sektor perikanan juga terlihat dari sisi kebijakan pengelolaan wilayah pesisir Utara dan Selatan Jawa Timur, skor di Utara (15,33 point) lebih besar dibanding di Selatan (12,04 point), yang didasarkan atas skor CPUE, potensi sumberdaya perikanan (PSDPI), pembanguan wilayah pesisir (PWP), kontribusi sebaran perkembangan wilayah pesisir (KSPWP) dan kebijakan pembangunan perikanan (AK).
7.2 Saran Berdasarkan hasil analisis disparitas pemanfaatan sumberdaya perikanan perspektif ekonomi dalam pengelolaan pesisir di Provinsi Jawa Timur maka strategi pengelolaan wilayah pesisir Utara sebaiknya lebih diarahkan kepada pengelolaan sumberdaya alam (natural capital), sedangkan strategi pengelolaan wilayah pesisir Selatan sebaiknya lebih mengarah kepada 1) pengelolaan upaya penangkapan guna mendorong tingkat produktifitas, 2) pengelolaan sumberdaya sosial (social capital) dan sumberdaya buatan (man-made capital), 3) pengelolaan kontribusi dan keterkaitan sektor perikanan dalam struktur perekonomian wilayah serta 4) pengelolaan kebijakan pembangunan perikanan. Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang pembangunan berkelanjutan berbasis
sektor perikanan
menyangkut
keserasian
antara laju
kegiatan
pembangunan dengan daya dukung (carrying capacity) lingkungan alam dari perspektif yang berbeda yaitu dari perspektif sosial politik dan ekologi.
159
160 DAFTAR PUSTAKA
Adibroto. 2001. Pendekatan Keterkaitan Ekologis Hulu-hilir dalam Penataan Ruang Wilayah Berkawasan Pesisir : Kawasan Pesisir sebagai Elemen Penting dalam Penataan Ruang Wilayah Berkelanjutan. Disertasi ITB. Adjers, K., Appelberg, M., Eschbaum, R., Lappalainen, A., Minde, A., Repecka, R., Thoresson, G., 2005. Trends in Coastal Fish Stocks of the Baltic Sea. Boreal Environmental Research Journal Vol. 11, pg. 13–25. Adrianto dan Kusumastanto. 2004. Penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan (Fisheries Management Plan) dan Rencana Pengelolaan Kawasan Pesisir (Coastal management Plan). Working Paper. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor Adrianto, L. 2004a. Kebijakan dan Kelembagaan Perikanan Tangkap dalam Menuju Akselerasi Gerbang Mina Bahari. Working Paper. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Adrianto, L. 2004b. Menggagas Visi Ekonomi-Ekologi (Ecological Economics) dalam Perspektif Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan menuju Terwujudnya Indonesia Berkelanjutan. Working Paper. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB. Bogor. Adrianto, L. 2006. Pengenalan Konsep dan Metodologi Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Adrianto, L. 2007. Pendekatan dan Metodologi Evaluasi Program. Marginal Fisheries Community Development Pilot. IPB Bogor. Alikodra. 1999. Konservasi Alam dan Pengelolaan Margasatwa. Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor. Amanah. 2004. Perencanaan Strategis Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Terpadu Kelurahan Pulau Panggang Kecamatan Seribu, Kabupaten Kepulauan Seribu DKI Jakarta. Buletin Ekonomi Perikanan. Volume V no 2 Tahun 2004. Departemen Sosial Ekonomi Perikanan dan Kalautan. IPB. 1-16. Amanah. 2006. Pengembangan Masyarakat Pesisir dalam Mengelola Sumberdaya Pesisir dan Laut. Jurnal Pascasarjana. Vol 29 No 1 Januari 2006. 25-35. Anderson, L. G. 1977. The Economics of Fisheries Management. The Johns Hopkins University Press. Baltimore and London.
160
161 Anonimous. 2000. An Assessment of the Sociao-economic Costs and Benefit of Integrated Coastal Zone Management. Final Report to the European Commision. Firn Crihton Roberts Ltd and Graduated School of Enviromental Studies, University of Statchlyde, UK. Balgos, Miriam C. 2005. Integrated Coastal Management and Marine Protected Areas in the Philipines: Concurrent Developments. Ocean and Coastal Management Journal Vol. 48, pg. 972-995. Bengen. 2000. Sinopsis Ekosistem Dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik. 1995. Tabel Input Output Indonesia. BPS Jakarta [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Berita Resmi Statistik. No. 43/08/Th.XI.14 Agustus 2008. BPS Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Provinsi Jawa Timur dalam Angka 2008. BPS Provinsi Jawa Timur. Budiharsosno. 2003. Analisis dan Formulasi Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Materi Pelatihan Perencanan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu (ICZPM). Kerjasama Departemen Kelautan dan Perikanan-PKSPL IPB. Budiharsono. 2006. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Cetakan Pertama. PT Pradnya Paramita. Jakarta. Catchpole, T.L, C. L. J. Frid, dan T. S. Gray. 2005. Discards in North Sea Fisheries : Causes, Consequences and Solutions. Marine Policy Journal Vol. 29, pg. 421-430. Cho, Leandra. 2005. Marine Protected Areas: A Tool for Integrated Coastal Management in Belize. Ocean and Coastal Management Journal Vol. 48, pg 932-947. Cicin-Sain, B and R. Knecht.1998. Integrated Coastal and Ocean Management. Island Press. Cicin-Sain, Biliana, dan Stefano. 2005. Linking Marine Protected Areasto Integrated Coastal and Ocean Management: Review of Theory and Practice. Ocean and Coastal Management Journal Vol. 48, pg 847-868. COREMAP. 1999. World’s Gross Natural Product, Ocean and Coastal Management Journal. Volume 3 No. 1. Jakarta
161
162 Cunningham, S. M. R. Dunn and D Whitmarsh. 1985. Fisheries Economics. An Introduction. London. Mansell Publishing Limited. Dahuri. 1998. Makalah Pidato Pembukaan Konperensi Nasional 1: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, 19-20 Maret 1998, Bogor. Kerjasama PKSPL – IPB dan Proyek Pesisir University Rhode Island. Dahuri. 2000. Menggagas Kota Pantai sebagai Ujung Tombak Pemerataan dan Pembangunan di Daerah. Warta, Jurnal Pesisir dan Lautan. Edisi Nomor 03 tahun ke II / 2000. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 5-7. Dahuri. 2000. Pengelolaan Wilayah Pesisir dalam Konteks Pengembangan Kota Pantai dan Kawasan Kepulauan. Lembaga Studi Komunikasi Pembangunan. Jakarta, Indonesia. Dahuri. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan, Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Dahuri dan Adrianto. 2005. Konsep Revitalisasi di Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. Working Paper. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dajan. 1983. Pengantar Metode Statistik Jilid 1. Jakarta. Lembaga Penelitian Pendidikan Penerangan Ekonomi Sosial. Jakarta. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2002. Kebijakan dan Program Kerja Ditjen Perikanan Tangkap. Disampaikan dalam Rapat Koordinasi Nasional dan Rapat Kerja Teknis Departemen Kelautan dan Perikanan RI, pada tanggal 30 Mei s/d 1 Juni 2002 di Jakarta. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2006. Program Jangka Pendek dan Program Strategis Perikanan Tangkap 2006-2009. Pokok-Pokok Pemikiran Program Pembangunan Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. Djojodihardjo, H. 1997. Peranan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Penelitian dan Pengembangan dalam Meningkatkan Peran Agroindustri Indonesia. Makalah Simposium Nasional Agroindustri III. Agroindustri : Proses Nilai Tambah yang menyempurnakan Sukses Pertanian, Bogor, 4-5 September. Djojohadikusumo. 1985. Perdagangan dan Industri dalam Pembangunan di Indonesia. LP3ES Jakarta, hal 124. Doring R. 2001. Concept of Sustainable Fisheris. Paper Botanical Institute University of Greifswald. Greifswald.
162
163 Dubbink and Viiet. 1996. Market Regulation Versus Co-management Two Perspctives on Regulating Fisheries Compared. Marine Policy Journal, Vol 22. No. 4-5 pp 423. Elsevier science. Great Britain. Efendy. 2005. Rancang Bangun Sistem Informasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan secara Terpadu. Jurnal Forum Pascasarjana. Volume 28 Nomor 3 Juli 2005. 273283. Fauzi, A. 2000. Teori Ekonomi Sumberdaya Perikanan. Working Paper. Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan IPB. Bogor. Fauzi, A. 2001. Prinsip-prinsip Penelitian Sosial Ekonomi : Panduan Singkat Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fauzi, A. 2002. Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan : Aplikasi Pendekatan Rapfhish. Jurnal Pesisir dan Lautan. Edisi Volume 4 Nomor 03 tahun 2002. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.43-55. Fauzi, A dan Anna. 2002. Penilaian Depresiasi Sumberdaya Perikanan sebagai Bahan Pertimbangan Penentuan Kebijakan Pembangunan Perikanan. Jurnal Pesisir dan Lautan Volume 4, No. 2 tahun 2002. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.36-49. Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Teori dan Aplikasi. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. Fayram, Andrew H., dan Arturo de Risi. 2007. The Potential Compatibility of Offshore Wind Power and Fisheries: An Example Using Bluefin Tuna in the Adriatic Sea. Ocean and Coastal Management Journal. Vol. 50, pg 597-605. Fletcher, Stephen, dan Kate Pike. 2007. Coastal management in The Solent: The Stakeholder Perspective. Marine Policy Journal Vol.31, pg. 638-644. Floc’h, P. Le, et al. 2008. A Comparison of Economic Performance in The Fisheries Sector: A Short and Long Term Perspective. Marine Policy Journal Vol 32, pg 421-431. Food and Agricultural Organization (FAO). 1996. Integration of Fisheries Into Coastal Area Management. FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries Journal, Vol 3, 17 p. Food and Agricultural Organization (FAO). 1997. Fisheries Management Rome. FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries Journal, Vol 4, 82 p.
163
164 Food and Agricultural Organization (FAO). 1999. Indicators for Sustainable Development of Marine Capture Fisheries. Technical Guidelines for Responsible Fisheries No.8. Rome 68 p. Food and Agricultural Organization (FAO). 2001. Indicator for Sustainable Development of Marine Fisheries. FAO Technical for Responsible Fisheries No. 08 Food and Agriculture Organization (FAO) Roma serial online. www.fao.org./fi/agreem/codecond/gdlines/guide8/ guide8a. Food and Agricultural Organization (FAO). 2003. Fisheries Management The Ecosystem Approach to Fisheries. FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries, No. 4 Suppl 2. Guillemot N. et al. 2009. Characterization and Management of Informal Fisheries Confronted with Socio-economic Changes in New Caledonia (South Pacific). Fisheries Research Journal Vol. 98, page 51-61. Hadi. 2001. Studi Dampak Kebijaksanaan Pembangunan terhadap Disparitas Ekonomi antar Wilayah (Pendekatan Model Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi) Disertasi Program Pascasarjana. IPB. Bogor. Hamdan. 2006. Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat. Buletin PSP Volume XV No. 3 Desember 2006. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 86-101. Hauck, Maria and Merle Sowman. 2001. Coastal and Fisheries Co-Management in South Africa: An Overview and Analysis. Marine Policy Journal Vol. 25, pg 173-185. Heen, Knut, dan Ola Flaaten. 2007. Spatial Employment Impacts of Fisheries Management: A study of the Barents Sea and the Norwegian Sea Fisheries. Fisheries Research Journal Vol 85, pg 74-83. Kaplan, L. M. dan H.L. Kite-Powell. 2000. Safety at Sea and Fisheries Management : Fishermen’s Attitudes and The Need for Co-Management. Marine Policy Journal Vol. 24, pg 493-497. Kay, R and J. Alder.1999. Coastal Planning and Management. London.UK : Sponge Press. Kusumastanto. 2006. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut. Universitas Terbuka. Jakarta. Laine, Anne, dan Malin Kronholm. 2005. Bothnian Bai Life: Towards Integrated Coasatal Zone Management. Environmental Science and Policy Journal. Vol 8, pg 259-262.
164
165 Lajus, Julia, Heen Ojaveer, dan Erki Tammiksaar. 2007. Fisheries at the Estonian Baltic Sea Coast in the First Half of the 19th Century; What can be Learned from the Archives of Karl Ernst Baer. Fisheries Research Journal Vol. 87, pg 126-136. Langham. M.R. dan R.H. Retzlaff. 1982. Agriculture Sector Analysis in Asia. Singapore Univ. Press. Singapore. Lasut, Markus T., et al. 2008. Analysis of Constraints and Potentials for Waste Water Management in The Coastal City of Manado, North Sulawesi, Indonesia. Journal of Environmental Management Vol 88, pg 1141-1150. Lawson. R.M. 1984. Economics of Fisheries Development. London Fraces Pinter (Publisher). Lubis. 2005. Metodologi Sistem Pengelolaan Pelabuhan Perikanan (vahan Kuliah Pengembangan Pelabuhan Perikanan). Program Pascasarjana IPB. Bogor. Lukmana, A 1995. Peluang dan Tantangan Agroindustri dalam Menghadapi Era Globalisasi. Makalah Seminar Sehari tentang Peluang dan Tantangan Agroindustri Menghadapi Era Globalisasi. Fateta, IPB. Masydzulhak. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Kota Bengkulu. Tinjauan Analisis Degradasi Sumberdaya Perikanan Tangkap. Jurnal Pesisir dan Lautan Volume 7 No. 2 tahun 2006. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 31-39. Muhammad, 2001. Inovation and Management of the Java Sea Pelagic Fisheries. East Java Fishermen’s Attitudes Towards New Fishing Technology in Roch, J. Proceedings of Socio Economics, Seminar SOSEKIMA 4-7 December 1999 Bandungan. European Union Central Research Institute for Fisheries (CRIFI)-French Scientific research Institute for Development Trough Cooperation (ORSTOM) Jakarta). Nababan. 2008. Tinjauan Aspek Ekonomi Keberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil di Kabupaten Tegal Jawa Tengah. Buletin Ekonomi Perikanan, Volume VIII Nomor 2 tahun 2008. Kelompok Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.50-68. Nasution. L.I. 1999. Perencanaan Regional Pedesaan. Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, Program Pascasarjana IPB. Ninan, Sunitha, dan Arpita Sharma. 2006. Cross-Sectional Analysis of Patents in Indian Fisheries Sector. World Patent Information Journal Vol. 28, pg. 147-158. Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Jakarta. Djambatan. Hal 45-52.
165
166 Nordvarg, Lennart, dan Lars Hakanson. 2002. Predicting the Environmental Response of Fish Farming in Coastal Areas of the Aland Archipelago (Baltic Sea) Using Management Models for Coastal Water Planning. Aquaculture Journal Vol 2006, pg 217-243. Pearce and Turner.1990. The Economic Value of Biodiversity. IUCN Earthscan Publ. Ltd, London. Pitcher and Preikshot. 2001. Rapfish : A rapid Appraisal Technique to Evaluate the Sustainability Status of Fisheries. Fisheries Research 49 (3) : 255270. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. 1999. Kajian Kebutuhan Investasi Pembangunan Perikanan dalam Pembangunan Lima Tahun Mendatang (1999-2003). Kerjasama Direktorat Jenderal Perikanan. Departemen Pertanian dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pusat Riset Perikanan Tangkap. 2001. Pengkajian Stok Ikan di Perairan Indonesia. Jakarta : PRPT-BRKP-DKP, P3O LIPI. Ramadhan. 2006. Perspektif Co-management dalam Pengelolan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Nangroe Aceh Darussalam. Studi Kasus di Kota Sabang. Jurnal Kebijakan dan Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol. 1 No. 2 Desember 2006. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. 141-152 p. Randall. 1997. Resource Economics, An Economic Approach to Natural Resource and Enviromental Policy, John Wiley & Son. Razali. 1996. Dampak Ekonomi Sektor Perikanan terhadap Pengembangan Wilayah Kotamadya Sabang Daerah Istimewa Aceh. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Resosudarmo, Nina dan Rahayu. 2000. The Indonesian Marine Resources : An overview of Their Problems and Challenges. The Indonesian Quarterly. Vol. XXVIII, No. 3 Thierd Quarter. Center for Strategic and International Studies. Jakarta. 2000. Resosudarmo et.al. 2002. Analisa Penentuan Sektor Prioritas di Kelautan dan Perikanan Indonesia. Jurnal Pesisir dan Lautan. Edisi Volume 4 Nomor 03 tahun 2002. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.17-28. Romero, C. 1987. Multiple Objectives in Agricultural Planning : A Compromise Programming Aplication. American Journal of Agricultural Economics, 69 (1) : 78-86.
166
167 RPJMD Kab Lamongan. 2009. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Lamongan. Pemerintah Kabupaten Lamongan. Rustiadi. 2005. Diktat Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Edisi 1 Maret 2005. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Saefulhakim. 2008. Model Pemetaan Potensi Ekonomi untuk Perumusan Kebijakan Pembangunan Daerah. Konsep, Metode, Aplikasi dan Teknik Komputasi. Community and regional Development Institut of Aqwati (CORDIA). Bogor. Saharjo, S. 1992. Perkembangan Agroindustri dan Kebijakan Pengembangannya. Makalah pada Seminar Nasional Agroindustri III, Desember 1992. Yogyakarta. Sarda, R., C. Avila, dan J. Mora. 2005. A Methodological Approach to be Used in Integrated Coastal Zone Management Processes: The Case of The Catalan Coast (Catalonia, Spain). Estuarine, Coastal and Shell Science Journal. Vol 62, pg 427-439. Seijo JC, Defeo O, Salas S. 1998. Fisheries Bioeconomics Theory, Modelling and Management, FAO Fisheries Technical Paper 368. Seragaldin, I dan Steer. 1993. Epilog : Expanding the Capital Stock bab dari Making Development Sustainable : From Concepts to Action. The International bank for Reconstruction and Development. The World bank Washington DC. USA. Sobari.
2003. Membangun Model Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan Berdasarkan Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan : Tinjauan Sosiologi Antropologi. Buletin Ekonomi Perikanan. Vol V No. 1 Tahun 2003. Departemen Sosial Ekonomi Perikanan dan Kalautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 41-48.
Sobari. 2007. Peranan Sektor Perikanan dan Kelautan terhadap Pembangunan Wilayah Kabupaten Kendal Propinsi Jawa Tengah. Buletin Ekonomi Perikanan, Volume VII Nomor 1 tahun 2007. Kelompok Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Perikanan dan Kalautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 1-19. Soewardi dan Adrianto. 2005. Tiga Pilar Kebijakan Kelautan Indonesia. Working Paper. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Solahudin, H. 1999. Visi Pembangunan Pertanian Abad 21. Humas IPB, Bogor.
167
168 Sonak, Sangeeta, Prajwala Pangam, and Asha Giriyan. 2008. Green Reconstruction of The Tsunami-affected Areas in India Integrated Coastal Zone Management Concept. Journal of Environmental Management Vol 89, pg. 14-23. Spinner, C.A. 2006. An Integrated Approach to Storm Water Management in the Coastal Zone. Master Thesis. The School of Lanscape Architecture, Louisana State University and Agricultural and Mechanical College, Baton Rouge, Louisiana. StatSoft. 2001. STATISTICA : Data Analysis Software System web Book. StatSoft, Inc. Diakses 23 Oktober 2003 pada http://www.statsoft.com/textbook/. Stead, S. M., dan McGlashan, D. J. 2006. A Coastal and Marine National Park for Scotland in Partnership With Integrated Coastal Zone Management. Ocean and Coastal Management Journal Vol.49, pg 22-41. Storrier, K.L. dan D.J. McGlashan. 2006. Development and Management of a Coastal Litter Campaign: The Voluntary Coastal Partnership Approach. Marine Policy Journal Vol. 30, pg 189-196. Supranto, J. 2004. Analisis Multivariat. Arti dan Interprestasi. Rineka Cipta. Jakarta Susanti. 2003. Dampak Perubahan Investasi dan Produktivitas Sektor Perikanan terhadap Kinerja Ekonomi Makro dan Sektoral di Indonesia. Tesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sutomo. 1996. Kemiskinan dan Pembangunan Ekonomi Wilayah. Disertasi Program Pasca Sarjana, IPB, Bogor. Suwito. 2005. Indikator Kesejahteraan Rakyat (Welfare Indicators). Biro Pusat Statistik. Taha, H.A. 1992. Operations Research. Fifth Edition. Macmillan Publishing Company, New York. Tanaka, Yutaka, Tomoyuki Tarumi dan Kazumasa Wakimoto. 1984. Pasokon Toukei kaiseki Handobukku II : Tabenryo Kaiseki Hen. Kyoritsu Shuppansha Kabussiki Gaisha, Tokyo dalam Saefulhakim. 2008. Model Pemetaan Potensi Ekonomi untuk Perumusan Kebijakan Pembangunan Daerah. Konsep, Metode, Aplikasi dan Teknik Komputasi. Community and regional Development Institut of Aqwati (CORDIA). Bogor. Tarigan, R. 2005. Ekonomi Regional : Teori dan Aplikasi. Jakarta. PT. Bumi Aksara.
168
169 Teh. L. C. L et al. 2009. An Overview of Socio-Economic and Ecological Perspectives of Fiji’s Inshore Reef Fisheries. Marine Policy Journal Vol 33, pg 807-817. Thorpe, Andy, et.al. 2009. The Collapse of The Fisheries Sector in Kyrgyzstan: An Analysis of its Roots and its Prospects for Revival. Communist and Post-Communist Studies Journal Vol. 42, pg 141-163. Todaro, MP. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Penerbit Erlangga, Jakarta Uktolseja JCB. Gafa, B. Purwasasmita R. Iskandar. 1998. Sumberdaya Ikan Pelagis Besar. Di dalam : Priyo BE et al. Editor. Potensi dan Penyebaran Sumberdaa Ikan Laut Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian. Hlm 33-53. Vetemaa, M., Eschbaum, R., Saat.,T. 2005. The Transition From the Soviet System to a Market Economy as a Cause of Instability in the Estonian Coastal Fisheries Sector. Marine Policy Journal Vol. 30, pg. 635–640. Wanmali, S. 1992. Rural Infrastructure, The Settlement System and Development of The Regional Economy in Southern India. International Food Policy Research Institute. Wardoyo. 1992. Arah Perkembangan Agroindustri. Makalah pada Seminar Nasional Agroindustri III, Desember 1992. Yogyakarta. White, Alan T. et al. 2005. Integrated Coastal Management and Marine Protected Areas: Complementarity in the Philippines. Ocean and Coastal Management Journal Vol. 48 pg. 948-971. Widodo, J. 2003. Peran Pengusaha Perikanan Tangkap dalam Pengkajian Stok Ikan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Pengkajian Stok Ikan Sumberdaya Ikan Nasional. Tanggal 25 Maret 2003. Kerjasama MPNDitjen Tangkap-Ispikani. Wilson, Jieni Muaror, dan Melanie G Wiber. 2009. Community Perspectives on Integrated Coastal Management: a case study from the Annapolis Basin Area, Nova Scotia, Canada. Ocean and Coastal Management Journal Wyrtki, 1961. Physical Oseanography of South East Asian Waters. Naga Report Journal. Vol. 2. The University of California. 203 Hal.
169