ANALISIS KONFLIK NELAYAN DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN SELAT MADURA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS-HUKUM (Studi Kasus Nelayan Batah Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan, Provinsi Jawa Timur)
ZAINATUL HIKMAH
PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
ABSTRAK
ZAINATUL HIKMAH. Analisis Konflik Nelayan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Selat Madura Dalam Perspektif Sosiologis-Hukum (Studi Kasus Nelayan Batah Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan, Provinsi Jawa Timur). Dibimbing oleh ARIF SATRIA dan SRI RACHJATI EIDMAN Berbagai kasus konflik kenelayanan di wilayah perairan Selat Madura, provinsi Jawa Timur terjadi karena sumberdaya perikanan merupakan public property. Kasus konflik kenelayanan di Jawa Timur salah satunya seperti pada kasus konflik nelayan di desa Batah, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan, Provinsi Jawa Timur. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan tipe dan karakteristik konflik kenelayanan dalam usaha pemanfaatan sumberdaya perikanan Selat Madura Propinsi Jawa Timur pra-pasca otonomi daerah, mengidentifikasi pihak-pihak dalam konflik dan menjelaskan peranannya dalam upaya penyelesaian konflik, menelusuri sebab-sebab permasalahan konflik serta menjelaskan penanganan dan penyelesaian konflik secara sosial dan hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 6 (enam) tipologi konflik kenelayanan sebagaimana Satria (2006) yaitu: konflik kepemilikan sumberdaya, konflik pengelolaan sumberdaya, konflik cara produksi/alat tangkap, konflik lingkungan, konflik usaha dan konflik primordial. Konflik cenderung terbuka dan bernuansa kekerasan seperti pada kasus konflik antara nelayan Batah, Kecamatan Kwanyar dengan nelayan-nelayan Kabupaten Sampang dan Kabupaten Pasuruan. Isu utama yang menjadi akar permasalahan konflik adalah berkaitan dengan isu keterbatasan sumberdaya perikanan Selat Madura yang telah overfishing. Pihakpihak dalam konflik yaitu komunitas nelayan (kelompok nelayan Batah dan nelayan luar), Diskanla Kabupaten Bangkalan, Muspika Kwanyar, Polsek Kwanyar, Koramil Kwanyar, Aparat Kamla, Tokoh Masyarakat, Tokoh Nelayan dan Penyuluh Lapang. Manajemen konflik dilakukan secara alternatif (alternative dispute resolution) dan adjudikasi. Penyelesaian (resolusi) alternatif ditujukan untuk menghasilkan suatu kesepakatan atau konsensus, sedangkan adjudikasi secara litigasi efektif untuk meredam tindakan-tindakan yang cenderung melanggar hukum, seperti pelanggaran aturan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya serta akibat yang ditimbulkan dari pemanfaatan sumberdaya. Upaya pencegahan konflik (resolving) telah dan masih dilakukan seperti sosialisasi hukum dan perundangan perikanan kepada masyarakat nelayan, patroli aparat Kamla (Keamanan Laut) dalam hal pengawasan dan penegakan hukum perikanan, serta pengaturan penggunaan alat tangkap Minitrawl.
Kata kunci : Tipe dan Karakteristik Konflik, Alternative Dispute Resolution, Adjudikasi, Litigasi, dan Resolving.
ANALISIS KONFLIK NELAYAN DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN SELAT MADURA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS-HUKUM (Studi Kasus Nelayan Batah Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan, Provinsi Jawa Timur)
SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
Oleh : ZAINATUL HIKMAH C44103010
PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Hak cipta milik Zainatul Hikmah, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm dan sebagainya
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul : ANALISIS KONFLIK NELAYAN DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN SELAT MADURA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS-HUKUM (Studi Kasus Nelayan Batah Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan, Provinsi Jawa Timur) adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantum dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.
Bogor, Januari 2008
Zainatul Hikmah C44103010
SKRIPSI
Judul Usulan Penelitian
: Analisis Konflik Nelayan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Selat Madura Dalam Perspektif Sosiologis-Hukum (Studi Kasus Nelayan Batah Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan, Provinsi Jawa Timur)
Nama Mahasiswa
: Zainatul Hikmah
Nomor Pokok
: C44103010
Program Studi
: Manajemen Bisnis dan Ekonomi Perikanan-Kelautan
Disetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Arif Satria, M.Si. NIP. 132 164 113
Sri Rachjati Eidman, S.H NIP. 130 350 057
Diketahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 131 578 799
Tanggal Lulus : 22 Januari 2008
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bangkalan pada tanggal 29 Nopember 1984 dari ayah Moh. Syamsul dan Ibu Mundjiati. Penulis merupakan putra kedua dari enam bersaudara. Pendidikan formal yang dilalui adalah SMU Negeri Kamal. Pada tahun 2003 penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui Jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Program Studi Manajemen Bisnis dan Ekonomi Perikanan-Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama studi di IPB penulis aktif sebagai anggota Organisasi Mahasiswa Daerah Keluarga Mahasiswa Madura (GASISMA) dan pada tahun 2004-2005 penulis dipercaya sebagai Duta Wisata Daerah Kabupaten Bangkalan, Provinsi Jawa Timur dan sejak tahun 2004 menjadi anggota tetap Ikatan Kacong Jebbing (IKJ) Kabupaten Bangkalan, Provinsi Jawa Timur.
KATA PENGANTAR ﺒﺴﻢﺍﷲﺍﻠﺮﺤﻤﻦﺍﻠﺮﺤﯿﻢ Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Illahi Rabbi yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga skripsi ini dapat selesai tepat pada waktunya. Skripsi ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan pada masyarakat pesisir di Desa Batah, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan, Provinsi Jawa Timur pada bulan Agustus 2006 dan pada tanggal 20 Maret sampai 5 April 2007 dengan judul “ Analisis Konflik Nelayan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Selat Madura Dalam Perspektif Sosiologis-Hukum (Studi Kasus Nelayan Batah Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan, Provinsi Jawa Timur)”. Pada kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih kepada: 1) Dr. Ir. Arif Satria, M.Si dan Sri Rachjati Eidman, S.H selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan, masukan dan arahan kepada penulis selama penulis menyelesaikan skripsi ini. 2) Ir. Narni Farmayanti, M.Sc yang turut memberikan bimbingan selama penulis melaksanakan studi pada Program Studi Manajemen Bisnis dan Ekonomi Perikanan-Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 3) Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bangkalan Bapak Dr. Eddy Moelyono, M.M, mantan Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bangkalan Bapak Drs. Moch Muin, Kasubdin Bapak Abdurrahman dan seluruh staf Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bangkalan atas data dan informasi yang diberikan kepada penulis. 4) Kepala Desa Batah Barat Bapak Zainal Arifin, Aparat Kamla dan Masyarakat Desa Batah Barat Kecamatan Kwanyar atas informasi dan dokumentasi yang diberikan selama di lapang sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. 5) Keluarga Terkasih Ayahanda Moh. Syamsul dan Ibunda Mundjiati atas segala pengorbanan, do’a dan kasih sayangnya yang tiada terhapuskan. Mas Yaz (Achmad Yazid S.Ti), adik-adik tersayang (Coco, Ida, Wiwi, dan Unyun)
Thanks for Everything You Give to Me, May Allah SWT Always Caring Us With Love...Amin. 6) Mas Hafi (Hafiluddin S.Pi), Ayah Syamsuri, Ibunda Halimah, dik Uus dan Soefi atas kasih sayang, kesabaran dan pengertiannya selama penulis menyelesaikan studi. 7) My Lovely Sista (drg. Feby Ellyana Wardhani) atas masukannya selama penulis melaksanakan penelitian. 8) Keluarga besar GASISMA dan semua teman-teman THP 40, 41 dan 42 atas kebersamaannya selama ini. 9) Teman-teman Sei perjuangan 40 (Indah, Lulu, Mia, Rara, Lincan, Novi, Cita, Ikip, Kastana, dan yang lainnya). 10) Keluarga besar PERWIRA 6 (Mba’ Nia, Yuli, Reza, Ida, Nirwan, Bubun, Mas Ilham, Didin, Dodik, Mb’ Banun, Abang, Bpk Yazid, Papi Ayus, Pak Kisman, Pak Cahyo, dan yang lainnya) atas kebersamaan dan kekompakannya. 11) Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu saran dan kritik sangat penulis harapkan untuk kebaikan karya ini. Semoga karya ini bermanfaat bagi penulis khususnya, para akademisi dan semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Januari 2008
Zainatul Hikmah
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL
..................................................................................v
DAFTAR GAMBAR
..............................................................................viii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................x I. PENDAHULUAN ..................................................................................1 1.1. Latar Belakang ......................................................................1 1.2. Perumusan Masalah ......................................................................4 1.3. Tujuan Penelitian ......................................................................7 1.4. Manfaat Penelitian ......................................................................8 II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................9 2.1. Definisi Konflik ......................................................................9 2.2. Analisis Konflik ....................................................................10 2.3. Akar Permasalahan Konflik ........................................................12 2.4. Tipe dan Karakteristik Konflik ........................................................16 2.5. Resolusi Konflik ....................................................................18 2.5.1. Manajemen Konflik ............................................19 2.5.2. Resolving (Alternatif Solusi Konflik) ................................22 2.6. Kasus Konflik antar Nelayan ........................................................23 2.7. Hukum Pemerintah terkait Konflik Kenelayanan ....................25 2.7.1. Undang-Undang No.31 Tahun 2004 Tentang Perikanan ....................................................................26 2.7.2. Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ........................................................26 2.7.3. Surat Keputusan Menteri Pertanian No.392/Kpts/ IK.120/4/1999 tentang Jalur-jalur Penangkapan Ikan ........27 2.7.4. Peraturan Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Timur ........28 III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI ............................................29 3.1. Kerangka Pendekatan Studi ........................................................29 3.2. Hipotesis Penelitian ....................................................................32 IV. METODOLOGI ................................................................................33 4.1. Metode Penelitian ....................................................................33 4.2. Jenis dan Sumber Data ....................................................................35 4.3. Metode Pengumpulan Data ........................................................36 4.4. Analisis Data ................................................................................40 4.5. Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................41 4.6. Batasan dan Konsep ....................................................................42
Halaman V. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................43 5.1. Kondisi Umum Daerah ........................................................43 5.1.1. Kondisi Wilayah ........................................................43 5.1.2. Kependudukan dan Mata Pencaharian ................................44 5.1.3. Pendidikan ....................................................................46 5.1.4. Sarana Kesehatan ........................................................47 5.1.5. Sarana Telekomunikasi dan Sarana Ekonomi ....................47 5.2. Profil Desa dalam Ruang Lingkup Penelitian ................................48 5.2.1. Desa Batah Barat ........................................................48 5.2.1.1. Kondisi Wilayah ............................................48 5.2.1.2. Kependudukan ............................................48 5.2.2. Desa Batah Timur ........................................................49 5.2.2.1. Kondisi Wilayah ............................................49 5.2.2.2. Kependudukan ............................................49 5.3. Profil Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Nelayan Kwanyar ................................................................................51 5.3.1. Potensi Sumberdaya Perikanan ............................................51 5.3.1.1. Perikanan Tangkap dan Budidaya ....................51 5.3.1.2. Mangrove ........................................................53 5.3.2. Jumlah Nelayan Kwanyar ............................................54 5.3.3. Teknologi Penangkapan ............................................55 5.3.4. Kegiatan Penangkapan Nelayan Kwanyar ....................57 5.4. Analisis Konflik Nelayan ........................................................60 5.4.1. Kronologi Konflik ........................................................60 5.4.2. Penahapan Konflik Secara Umum ................................71 5.4.3. Tipe dan Karakteristik Konflik Nelayan ....................76 5.4.3.1. Konflik Kepemilikan Sumberdaya ....................76 5.4.3.1.1. Konflik antara Nelayan Batah Timur, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dengan Nelayan Kecamatan Sreseh, Kabupaten Sampang ....................77 5.4.3.1.2. Konflik antara Nelayan Batah Barat, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dengan Nelayan Kecamatan Lekok dan Kecamatan Kraton, Kabupaten Pasuruan ................................84 5.4.3.2. Konflik Pengelolaan Sumberdaya ....................90 5.4.3.3. Konflik Cara Produksi/Alat Tangkap ....................96 5.4.3.3.1. Konflik antara Nelayan Tradisional Batah, Kec. Kwanyar dengan Nelayan Tradisional Daerah Lain ............................................97
Halaman 5.4.3.3.2.
Konflik antara Nelayan Tradisional Batah, Kec. Kwanyar dengan Nelayan Modern Daerah Lain ............................................98 5.4.3.4. Konflik Lingkungan ............................................99 5.4.3.5. Konflik Usaha ..........................................101 5.4.3.6. Konflik Primordial ..........................................103 5.4.4. Akar Permasalahan Konflik ..........................................106 5.4.4.1. Keberadaan Sumberdaya Ikan ..................106 5.4.4.2. Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ......................................................107 5.4.4.3. Hukum dan Peraturan Pemerintah dalam Usaha Penangkapan Ikan ..............................108 5.4.4.3.1. Pengaturan Penggunaan Alat Tangkap ..............................108 5.4.4.3.2. Pengaturan Jalur-Jalur Penangkapan Ikan ..................109 5.4.4.3.3. Pengaturan Penggunaan Bahan Tidak Ramah Lingkungan ......109 5.4.4.3.4. Pengaturan Nelayan Andon ......110 5.4.4.4. Perbedaan Cara Pandang Memanfaatkan Sumberdaya Perikanan ..............................111 5.4.4.5. Perbedaan Latar Belakang Sosial,Ekonomi, dan Budaya Komunitas Nelayan ..................111 5.4.4.6. Terbatasnya Fasilitas dan Sarana Perikanan ......................................................112 5.5. Pihak-pihak dalam Konflik ......................................................112 5.5.1. Nelayan Lokal (Komunitas Nelayan Batah) ..................113 5.5.2. Nelayan Luar (Nelayan Daerah Lain) ..............................115 5.5.3. Instansi Pemerintahan Daerah ..............................116 5.5.3.1. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bangkalan ......................................................117 5.5.3.2. Muspika ......................................................117 5.5.3.3. Kamla (Keamanan Laut) Batah ..................119 5.5.4. Pihak-pihak Lain dalam Konflik ..............................121 5.6. Penyelesaian Konflik ..................................................................125 5.6.1. Manajemen Konflik ......................................................125 5.6.2. Alternatif Resolusi Konflik (Resolving Conflict) …..129 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................132 6.1.Kesimpulan ..............................................................................132 6.2.Saran ..........................................................................................135 DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................137 LAMPIRAN ..........................................................................................141
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Karakteristik Pertanyaan Tiap-tiap Informan ............................................39 2. Jumlah Penduduk Desa Pantai Kecamatan Kwanyar per Luas Wilayah (Km2) ....................................................................42 3. Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Kwanyar Berdasarkan Lapangan Usaha ........................................................45 4. Tingkat Pendidikan Menurut Angkatan Kerja Penduduk
....................46
5. Jumlah Penduduk Desa Batah Barat Menurut Jenis Kelamin
........48
6. Jumlah Penduduk Desa Batah Timur Menurut Jenis Kelamin
........50
7. Hasil Estimasi Produksi Ikan Maksimum (MSY) Wilayah Perairan Selat Madura (Model Schaefer) dan Produksi Ikan Pada Tahun 2004 ............................................................................................51 8. Nilai Produksi Perikanan Kecamatan Kwanyar
................................52
9. Potensi Perikanan Budidaya Kecamatan Kwanyar
....................53
10. Jumlah Armada Perikanan, Nelayan dan Rumah Tangga Perikanan (RTP) Kecamatan Kwanyar ............................................54 11. Jenis Perahu dan Alat Tangkap Nelayan Kwanyar
................................56
12. Karakteristik Teknologi Penangkapan Nelayan Kwanyar
....................56
13. Aturan Lokal Penangkapan Ikan Nelayan Batah, Kecamatan Kwanyar (Sampai Tahun 1990) ........................................................58 14. Aturan Lokal Penangkapan Ikan Nelayan Batah, Kecamatan Kwanyar (Setelah Tahun 1990) ........................................................59 15. Kronologi Konflik Nelayan di Perairan Kwanyar Pada Masa Orde Baru (Tahun 1995-1998) ........................................................67 16. Kronologi Konflik Nelayan di Perairan Kwanyar Pasca Reformasi (Tahun 1999-2004) ........................................................68
Halaman 17. Kronologi Konflik Nelayan di Perairan Kwanyar Pasca Otonomi Daerah (Setelah Tahun 2004)
................................69
18. Intensitas Konflik Nelayan di Perairan Kwanyar, Selat Madura
........70
19. Karakteristik Konflik antara Nelayan Batah Timur, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dengan Nelayan-nelayan Kecamatan Sreseh, Kabupaten Sampang ............................................78 20. Surat Pernyataan
................................................................................80
21. Karakteristik Konflik Nelayan antara Nelayan Batah Barat, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dengan Nelayan-nelayan Kecamatan Lekok dan Kecamatan Kraton, Kabupaten Pasuruan ................................................................................87 22. Matrik Hasil Identifikasi Kasus Konflik Nelayan Kwanyar Berkaitan dengan Pengelolaan Sumberdaya Selat Madura, Wilayah Perairan Selatan Kabupaten Bangkalan (Tahun 1995-2006) ................................................................................92 23. Karakteristik Konflik Pengelolaan Sumberdaya antar Pihak dalam Konflik Kenelayanan di Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan ............................................................................................93 24. Peraturan Usaha Penangkapan Ikan Terkait Konflik Kenelayanan di Kecamatan Kwanyar dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Selat Madura ............................................94 25. Konflik antara Nelayan Tradisional Batah, Kecamatan Kwanyar dengan Nelayan Tradisional Daerah Lain ............................................97 26. Konflik antara Nelayan Tradisional Batah, Kecamatan Kwanyar dengan Nelayan Semi-modern Daerah Lain ............................................98 27. Kejadian Konflik antara Nelayan Batah dengan Nelayan Andon
......104
28. Hasil Pendugaan Stok Ikan Selat Madura Atas Dasar Model Surplus Produksi ..............................................................................107 29. Karakteristik dan Peranan Pihak-pihak dalam Konflik
..................123
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Kerangka Pendekatan Studi ....................................................................31 2. Model Triangulasi dalam Penelitian ........................................................36 3. Pemetaan Konflik Kepemilikan Sumberdaya Kasus antara Nelayan Batah Timur, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dengan Nelayan Kecamatan Sreseh, Kabupaten Sampang (Pra Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan) ........................................................81 4. Pemetaan Konflik Kepemilikan Sumberdaya Kasus antara Nelayan Batah Timur, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dengan Nelayan Kecamatan Sreseh, Kabupaten Sampang (Pasca Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan) ........................................................83 5. Pemetaan Konflik Kepemilikan Sumberdaya Kasus antara Nelayan Batah Barat, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dengan Nelayan Kecamatan Lekok dan Kecamatan Kraton, Kabupaten Pasuruan (Pra Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan) ........88 6. Pemetaan Konflik Kepemilikan Sumberdaya Kasus antara Nelayan Batah Barat, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dengan Nelayan Kecamatan Lekok dan Kecamatan Kraton, Kabupaten Pasuruan (Pasca Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan........90 7. Pemetaan Konflik Kenelayanan Berkaitan dengan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan ............................................................................................95 8. Penyelesaian Konflik Kenelayanan Berkaitan dengan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan ............................................................................................96 9. Pemetaan Konflik Alat Tangkap Nelayan Batah, Kecamatan Kwanyar, Kabuaten Bangkalan dengan Nelayan-Nelayan Luar
........99
10. Pemetaan Konflik Lingkungan di Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan ..............................................................................101 11. Pemetaan Konflik Usaha antara Nelayan Lokal (Nelayan Batah Timur) dengan Pemilik Modal Lokal ......................................................103
Halaman 12. Pemetaan Konflik Primordial antara Kelompok Nelayan Batah, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dengan Kelompok Nelayan Andon ..............................................................................106 13. Pola Hubungan Pihak-Pihak dalam Konflik ..........................................124
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Peta Propinsi Jawa Timur
..................................................................142
2. Peta Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Selat Madura, Propinsi Jawa Timur ..............................................................................143 3. Peta Wilayah Pesisir Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan, Propinsi Jawa Timur ..............................................................................144 4. Surat Pernyataan Damai antara Nelayan Desa Batah Barat Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dengan Nelayan Desa Noreh Kecamatan Sreseh, Kabupaten Sampang ..................145 5. Surat Pernyataan Damai antara Nelayan Desa Kelurahan Lumpur Kecamatan Gresik Kabupaten Gresik dengan Nelayan Batah Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan ..............................147 6. Surat Pernyataan Damai antara Nelayan Kecamatan Lekok Kabupaten Pasuruan dengan Nelayan Desa Batah Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan ......................................................148 7. Surat Kelanjutan Damai antara Nelayan Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan dengan Nelayan Batah Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan ......................................................149 8. Islah/Rekonsiliasi antara Nelayan-nelayan Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dengan Nelayan-nelayan Kabupaten Pasuruan ..............................................................................150 9. Surat Pembebasan Tersangka Konflik pada Kasus Konflik antara Nelayan Desa Tambak Oso Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo dengan Nelayan Batah Barat Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan ..........................................................................................153 10. Keputusan Dirjen Perikanan No. 340/ DJ. 10106/ 1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Surat Keputusan Mentan No. 503/ Kpts/ Um/ 7/ 1980 tentang Jaring Trawl ......................................................154 11. Keputusan Mentan No. 392/ Kpts/ IK.120/ 4/ 1999 tentang Jalur-jalur Penangkapan Ikan ..................................................................167
Halaman
12. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur No. 9 tahun 1983 tentang Pengaturan Nelayan Andon di Jawa Timur ............170 13. Karakteristik Perikanan di Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan, Propinsi Jawa Timur ......................................................173 14. Unit Pengawasan dan Keamanan Laut di Desa Batah Barat Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan, Propinsi Jawa Timur ......174 15. Dokumentasi Konflik pada Tahun 1995
..........................................175
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic country) yang terdiri dari 17.506 pulau dengan luas wilayah perairan yakni kira-kira 5,3 juta km2 dan panjang pantai adalah 81.000 km (telah berkurang setelah pisahnya Timor-Timur). Sebagai negara kepulauan, wilayah pesisir Indonesia memiliki sumberdaya kelautan (SDK) yang sangat melimpah. Salah satunya adalah potensi sumberdaya perikanan (SDI) laut. Potensi sumberdaya perikanan laut Indonesia yakni sebesar 6,7 juta ton per tahun. Potensi sumberdaya perikanan berperan penting sebagai sumber devisa bagi negara, penyokong penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD), serta menjadi sumber penghidupan bagi penduduk yang menempati wilayah pesisir terutama penduduk yang mata pencahariannya sebagai nelayan. Sebelum diberlakukan otonomi daerah, peranan pemerintah pusat sangat mendominasi dalam usaha pemanfaatan sumberdaya. Hampir semua kebijakan yang mengatur pengelolaan sumberdaya, termasuk sumberdaya perikanan, bersifat sentralisme dan antipluralisme hukum adat/aturan lokal. Sentralisme kebijakan dan anti-pluralisme hukum tidak kalah destruktifnya, karena keduanya secara sinergis telah menciptakan konflik antar pelaku perikanan dan tumpang tindihnya wilayah penangkapan ikan (Kusumastanto dan Solihin 2004). Disamping itu, juga mengakibatkan terjadinya degradasi dan mengabaikan kepentingan-kepentingan lokal. Perikanan merupakan sistem yang kompleks karena banyak pihak yang berkepentingan untuk memanfaatkannya. Pihak yang paling vital adalah nelayan kecil yang merupakan lapisan yang cukup banyak. Mereka ini sebagian hidup di wilayah terpencil dengan alternatif pekerjaan yang terbatas sehingga mereka hidup dalam kemiskinan. Dari sisi sosial-ekonomi, pemanfaatan kekayaan laut masih terbatas pada kelompok pengusaha besar dan pengusaha asing. Nelayan sebagai jumlah terbesar (baik nelayan skala usaha menengah maupun nelayan kecil) merupakan kelompok profesi paling miskin di Indonesia (Sumintarsih et al. 2005).
2
Sumberdaya perikanan-kelautan yang sifatnya lintas wilayah, perlu mendapatkan perhatian yang cermat mengingat kemungkinan timbulnya konflik ”kewenangan“ sangat terbuka. Sumberdaya ini telah lama diketahui membawa permasalahan yang kompleks terkait dengan hak kepemilikannya (property rights)1. Diberlakukannya kebijakan otonomi daerah, permasalahan banyak muncul seperti kesalahpahaman dalam menginterpretasikan makna dari batasan ”kewenangan“ yang diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Di tingkat instansi pemerintah ”kewenangan“ dimaknai sebagai ”kedaulatan“ teritorial laut yang batasannya 12 mil untuk provinsi dan 4 mil laut untuk kabupaten/kota, memunculkan gagasan dari kalangan pemerintah dan nelayan yang salah satunya berupa gagasan untuk membagi perairan laut Indonesia menjadi wilayah eksklusif provinsi atau bahkan kabupaten yang melarang nelayan daerah lain memasuki wilayah perairannya. Wajar jika argumen seperti ini muncul karena selama ini (pra otonomi daerah) kekayaan laut di suatu wilayah hasilnya banyak dinikmati oleh nelayan daerah lain, sementara nelayan dan pemerintah daerah setempat nyaris tidak mendapatkan bagian apapun. Akibatnya antar kabupaten/kota seringkali terjadi konflik yang bersifat vertikal pada tataran birokrasi. Sedangkan di tingkat masyarakat, yaitu nelayan ditafsirkan sebagai ”pengkavlingan“ laut yang ternyata disinyalir telah menimbulkan konflik horisontal, misalkan konflik dalam hal pengelolaan sumberdaya perikanan antara nelayan tradisional dengan nelayan pendatang akibat dikukuhkannya kembali aturan-aturan/nilai-nilai lokal pemanfaatan sumberdaya yang lama tenggelam pada masa orde baru. Meskipun demikian, konflik horisontal tersebut belum tentu ada hubungannya dengan otonomi daerah karena sudah berlangsung sejak dulu (Satria et al. 2002). Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan dan terjadi ketika tujuan dalam masyarakat tidak sejalan (Fisher et al. 2001). Konflik nelayan adalah ketidakharmonisan diantara pengguna sumberdaya
1
Kekeliruan antara konsep common property dan open access dimana common property sering disalahartikan sebagai open access (Charles 2001) dari munculnya tragedy of the commons (Hardin 1968 diacu dalam Charles 2001).
3
perikanan (nelayan) karena belum adanya atau dilanggarnya norma dan kesepakatan dalam prinsip pemanfaatan sumberdaya perikanan (Anonim 2001). Konflik dapat muncul karena adanya kesenjangan antara tujuan, sasaran, perencanaan, dan fungsi antara berbagai pihak yang terkait. Akar permasalahan konflik ini sering berasosiasi dengan faktor sosial, ekonomi, budaya dan bio-fisik yang mempengaruhi kondisi lingkungan pesisir. Status pemanfaatan sumberdaya perikanan pada wilayah Laut Selat Madura, provinsi Jawa Timur diduga sudah melebihi kapasitas kemampuan stok sumberdaya ikan untuk melakukan pemulihan secara alami (PUSLITKAN 2004). Konsentrasi aktivitas penangkapan ikan di perairan ini mengindikasikan suatu kawasan dengan jumlah nelayan yang padat, namun sumberdaya laut yang tersedia terbatas. Di wilayah laut lainnya, seperti pada wilayah perairan Selatan Jawa Timur yang termasuk dalam kawasan perairan Samudera Hindia dan merupakan wilayah ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia), status pemanfaatan sumberdaya perikanannya masih dalam kondisi layak tangkap dimana tingkat penangkapan ikan masih belum optimal. Berbagai kasus konflik kenelayanan dalam usaha pemanfaatan sumberdaya perikanan, misalnya pada kasus di wilayah perairan Selat Madura terjadi karena sumberdaya perikanan merupakan public property2 yang akan mendorong setiap orang mengeksploitasi secara bebas/tanpa pembatasan akses untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomi. Pada saat hasil tangkapan memberikan keuntungan ekonomi akan terjadi peningkatan eksploitasi (free entry) secara bebas. Pada kondisi ini sumberdaya mengalami tekanan karena eksploitasi berlebih (overfishing) yang akhirnya berdampak pada terpuruknya ekonomi nelayan skala kecil, disamping juga menyebabkan kelangkaan sumberdaya ikan. Pada saat yang bersamaan kemungkinan nelayan mengalami kesulitan beralih pada mata pencaharian lain sebagai pengganti usaha penangkapan karena akan berhadapan dengan resiko dan ketidakpastian untuk berinvestasi.
2
Tidak seorangpun dapat mengklaim kepemilikannya dan melarang satu sama lainnya (Charles 2001).
4
Fenomena konflik pemanfaatan sumberdaya perikanan di Selat Madura sampai saat ini masih terjadi meskipun berbagai upaya penanganan telah dilakukan. Ketidakjelasan pengelolaan sumberdaya dan terbatasnya regulasi yang mengatur kegiatan penangkapan ikan diduga meningkatkan potensi konflik diantara pengguna sumberdaya, seperti antara nelayan lokal dengan nelayan pendatang maupun antara kelompok nelayan dengan pemerintah daerahnya. Disamping itu, konflik juga tidak terlepas dari adanya penyimpangan dan pelanggaran terhadap hukum perikanan serta belum terdefinisinya pengetahuan lokal3 masyarakat nelayan di beberapa daerah tertentu di Jawa Timur.
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan karakteristik wilayah geografi, sumberdaya ikan, dan nelayan, perikanan laut di Jawa Timur dibagi ke dalam 4 (empat) area, yaitu ; (1) Wilayah perairan Laut Jawa di bagian Utara Jawa Timur; (2) Wilayah perairan Selat Madura; (3) Wilayah perairan Selat Bali; dan (4) Wilayah perairan Pantai Selatan Jawa Timur yang termasuk dalam kawasan perairan Samudera Hindia yang merupakan wilayah ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia). Potensi konflik pemanfaatan sumberdaya perikanan pada sektor perikanan tangkap (laut), banyak ditemukan di wilayah Selat Madura karena wilayah ini merupakan wilayah perairan semi tertutup yang relatif sempit dengan status sumberdaya ikan yang sudah overfishing dimana tingkat eksploitasinya sangat tinggi (overScrowded) serta jumlah nelayan yang sangat banyak dengan karakteristik armada penangkapan skala kecil dan tradisional. Secara administrasi Pulau Madura terbagi kedalam empat wilayah kabupaten, yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Perairan Selat Madura memiliki luas kurang lebih 10.962 km2 dengan potensi sumberdaya ikan yang bersifat multispesies sehingga memerlukan informasi yang tepat dalam menentukan pemanfaatan dan pilihan strategi pengelolaan sumberdaya perikanan. Penduduk umumnya terkonsentrasi pada dataran rendah khususnya wilayah pesisir, hal ini menyebabkan tingginya pemanfaatan sumberdaya pesisir sebagai sumber penghidupan bagi penduduk. 3
Dituangkan sebagai norma-norma lokal/aturan lokal penangkapan ikan.
5
Sebagian besar penduduk nelayan di sepanjang pesisir Selat Madura tergantung dari keberadaan sumberdaya perikanan. Nelayan yang kebanyakan dalam skala kecil dan tradisional sangat bergantung pada luas wilayah perairan antara 0 – 4 mil atau kira-kira ± 6,622 km2 dibandingkan dengan jumlah nelayan jika diperkirakan dalam setiap 1 km2 wilayah perairan laut dieksploitasi rata-rata oleh ± 6,5 orang nelayan. Hal ini memberikan indikasi permasalahan pada kurang seimbangnya antara jumlah pengguna (nelayan) dengan kondisi sumberdaya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat. Masalah overfishing di perairan Selat Madura yang berdampak pada menurunnya penghasilan nelayan (kelompok usaha skala kecil dan tradisional), menyebabkan sebagian besar nelayan (kelompok usaha skala kecil) melakukan andon ke daerah lain dengan tujuan untuk mencari daerah penangkapan yang lebih baik. Ini merupakan perwujudan dari konteks wilayah penangkapan yang tidak tertutup. Sedangkan, sebagian ada yang tetap memilih bertahan pada wilayah perairan sempit dengan sumberdaya yang semakin terbatas (kelompok nelayan tradisional). Kedua hal tersebut, akan menyebabkan timbulnya konflik, baik diantara kelompok nelayan lokal maupun antara nelayan lokal dengan kelompok nelayan pendatang (andon). Pada masyarakat nelayan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan yang menempati wilayah paparan Madura, kawasan perairan utara Selat Madura, juga melakukan andon ke wilayah perairan laut daerah lain untuk mendapatkan hasil tangkapan ikan yang maksimal, namun itu dilakukan jauh sebelum tahun 1990-an. Setelah maraknya konflik yang dilatarbelakangi oleh adanya perebutan wilayah penangkapan karena terbatasnya sumberdaya ikan, membuat nelayan setempat bertahan di daerahnya sendiri dan memilih penangkapan secara tradisional. Kegiatan penangkapan lebih ditujukan pada kebutuhan yang bersifat subsisten. Namun tidak menutup kemungkinan masyarakat nelayan Kwanyar memberikan kesempatan bagi nelayan daerah lain untuk melakukan andon ke wilayah perairannya sejauh mereka mau mematuhi aturan lokal pemanfaatan dan penangkapan sumberdaya ikan.
6
Mengambil contoh pada komunitas nelayan Batah, menghendaki adanya pemanfaatan sumberdaya perikanan yang mempertimbangkan kelestarian dan keberlangsungan sumberdaya sehingga aktivitas penangkapan ikan di perairan Kwanyar hanya boleh dilakukan secara tradisional dengan alat tangkap yang tradisional pula karena luas wilayah perairannya sempit yaitu ± 11,80 km (sekitar 3 mil laut) dari pinggir pantai. Permasalahan muncul ketika nelayan pendatang dengan alat tangkap modern (sejenis Minitrawl) menangkap ikan dalam wilayah inshore (0-4 mil) perairan Kwanyar yang merupakan wilayah penangkapan nelayan lokal. Hal ini memicu konflik diantara pengguna sumberdaya yang wilayah tangkapannya berada di sekitar perairan Kwanyar. Konflik yang berlangsung sejak dulu membuat sebagian besar masyarakat nelayan melakukan pelarangan terhadap kehadiran nelayan andon ke daerahnya karena mereka banyak melakukan pelanggaran hukum dan aturan lokal dalam menangkap ikan. Nelayan lokal kehilangan kesempatan untuk memetik manfaat atas sumberdaya perikanannya. Di sisi lain, pengawasan dan penegakan hukum di wilayah laut jarang dilakukan mengingat terbatasnya petugas penegak hukum dan tingginya resiko biaya yang akan ditanggung oleh pemerintah. Pasca otonomi, konflik semakin marak dan terbuka baik yang melibatkan kelompok-kelompok nelayan yang pernah bertikai sebelumnya maupun dengan kelompok-kelompok baru. Maraknya konflik pemanfaatan sumberdaya perikanan pasca otonomi daerah di perairan Kwanyar, Selat Madura dapat terjadi antara nelayan tradisional lokal dengan nelayan luar yang menggunakan alat tangkap modern (seperti pada kasus yang melibatkan komunitas nelayan Batah, Kecamatan Kwanyar dengan nelayan dari Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo dan Situbondo). Permasalahan utama di sektor perikanan tangkap pada wilayah perairan Selat Madura yang menjadi pemicu konflik diduga berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya yang terlalu eksploitatif dari segi kualitas dan kuantitas.
7
Kondisi-kondisi dan permasalahan diatas dapat dirumuskan menjadi beberapa pertanyaan yang menjadi landasan penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimanakah tipe dan karakteristik konflik nelayan dalam usaha pemanfaatan sumberdaya perikanan di wilayah perairan Kwanyar, Selat Madura pra-pasca otonomi daerah? 2. Bagaimanakah keterlibatan pihak non-nelayan dan pihak-pihak lain dalam usaha penyelesaian konflik? 3. Apa faktor penyebab terjadinya konflik nelayan dan pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan Kwanyar, Selat Madura? 4. Bagaimanakah penanganan dan penyelesaian konflik secara sosial dan hukum?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah dan uraian – uraian di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: 1. Menjelaskan tipe dan karakteristik konflik nelayan dalam usaha pemanfaatan sumberdaya perikanan di wilayah perairan Kwanyar, Selat Madura pra-pasca otonomi daerah. 2. Mengidentifikasi pihak-pihak dalam konflik dan menjelaskan peranannya dalam upaya penyelesaian konflik. 3. Menelusuri sebab-sebab permasalahan konflik nelayan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan Kwanyar, Selat Madura. 4. Menjelaskan penanganan dan penyelesaian konflik secara sosial dan hukum.
8
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Manajemen Bisnis dan Ekonomi Perikanan – Kelautan, Departemen Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 2. Menjadi sarana bagi penulis dalam mengaplikasikan ilmu-ilmu yang telah diperoleh selama studinya di Departemen Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan. 3. Memberikan masukan atau sebagai referensi bagi Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat dan masyarakat setempat dalam mengelola dan menangani konflik karena permasalahan pemanfaatan sumberdaya perikanan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Konflik Kusnadi (2000) mengemukakan bahwa dalam menyikapi kebijakan modernisasi perikanan tidak semua lapisan masyarakat nelayan dapat memanfaatkan peluang yang tersedia, hanya sebagian kecil yang dapat memanfaatkannya. Pada umumnya nelayan kurang memberikan respon terhadap peluang yang tersedia, akibatnya kehidupan mereka sendiri tidak banyak mengalami perubahan kearah kesejahteraan. Modernisasi di bidang perikanan selama ini dinilai telah banyak menimbulkan permasalahan yang berakhir pada terjadinya konflik dalam usaha memanfaatkan sumberdaya perikanan. Studi mengenai konflik diarahkan untuk memahami konflik dari sisi makna, kronologis dan penanganannya agar konflik yang terjadi tidak sampai berakhir pada permusuhan. Pada dasarnya, konflik terjadi bila dalam satu peristiwa terdapat dua atau lebih pendapat atau tindakan yang dipertimbangkan, konflik tidak harus berarti perseteruan meski situasi ini dapat menjadi bagian dari situasi konflik. Daniel Webster diacu dalam Pickering (2001), mendefinisikan konflik sebagai: 1) Persaingan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain. 2) Keadaan atau perilaku yang bertentangan (misalnya : pertentangan pendapat, kepentingan, atau pertentangan antarindividu). 3) Perselisihan akibat kebutuhan, dorongan, keinginan atau tuntutan yang bertentangan. 4) Perseteruan. Konflik merupakan salah satu proses yang bersifat disosiatif yang tidak selalu berarti negatif karena konflik jika dihadapi dengan bijaksana dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang terlibat didalamnya. Fisher et al. (2001), menjelaskan konflik sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaransasaran yang tidak sejalan. Konflik terjadi ketika tujuan dalam masyarakat tidak sejalan. Konflik timbul karena adanya ketidakseimbangan antara hubungan-
10
hubungan sosial, seperti kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang yang kemudian menimbulkan masalah diskriminasi. Soekanto (2002) memberikan definisi konflik sebagai suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman atau kekerasan. Faktor penyebab utama terjadinya pertentangan adalah perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan, perbedaan budaya yang berpengaruh pada kepribadian setiap individu, perbedaan kepentingan (dalam ekonomi, politik, dan lain sebagainya), dan perubahan sosial terhadap nilai dalam masyarakat. Kriesberg (1998) diacu dalam Shaliza (2004) beranggapan bahwa konflik sosial dapat terjadi ketika dua atau lebih individu atau kelompok memperlihatkan keyakinan bahwa mereka mempunyai tujuan yang tidak harmonis. Artinya, pencapaian tujuan bagi satu pihak dapat menghalangi pencapaian tujuan pihak lain. Dalam hal ini dapat memunculkan pertentangan-pertentangan antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Bentuk-bentuk pertentangan (conflict) menurut Soekanto (2002) antara lain: 1) Pertentangan pribadi yaitu pertentangan antara dua orang dimana masingmasing pihak berusaha untuk memusnahkan pihak lawannya. 2) Pertentangan rasial yaitu pertentangan yang dilatarbelakangi oleh penampakan individu, perbedaan kepentingan dan kebudayaan. 3) Pertentangan antar kelas sosial yaitu pertentangan yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan individu yang menempati kelas yang berbeda. 4) Pertentangan politik yaitu pertentangan antar golongan kelompok dalam masyarakat.
2.2 Analisis Konflik Menurut Fisher et al. (2001) analisis konflik sebagai suatu proses praktis untuk mengkaji dan memahami kenyataan konflik dari berbagai sudut pandang, selanjutnya pemahaman ini membentuk dasar untuk mengembangkan strategi dan merencanakan tindakan. Analisis konflik dapat dilakukan dengan sejumlah alat
11
bantu dan teknik yang sederhana, praktis dan sesuai yang dapat dikombinasikan antara satu dengan yang lainnya untuk memahami konflik, yaitu: 1) Kronologi konflik (urutan kejadian) merupakan suatu alat bantu yang digunakan untuk menunjukkan sejarah konflik berdasarkan waktu kejadiannya (hari/ bulan/ tahun sesuai skalanya) yang ditampilkan secara berurutan. Alat ini menjadi starting point dalam memahami konflik karena mampu mengidentifikasi interpretasi berbagai pihak terhadap suatu kejadian. Interpretasi ini dapat berasal dari satu pihak untuk digunakan bagi kepentingan mereka sendiri maupun untuk dipergunakan bersama dengan pihak lain. 2) Penahapan konflik merupakan alat bantu yang ditujukan untuk menganalisis berbagai dinamika yang terjadi pada masing-masing tahap konflik. Analisis tersebut meliputi lima tahap yaitu prakonflik, konfrontasi, krisis, akibat dan pascakonflik. 3) Pemetaan konflik yang merupakan visualisasi terhadap hubungan-hubungan dinamis antara pihak-pihak yang terlibat konflik. Selain ditujukan untuk mengidentifikasi masalah atau isu-isu yang dihadapi oleh masing-masing pihak, alat bantu ini berguna untuk menganalisis tingkat dan jenis hubungan di antara pihak-pihak tersebut. Konflik berubah setiap saat melalui berbagai tahap aktivitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Tahap konflik adalah suatu keadaan dimana para pihak menyadari atau mengetahui adanya perasaan tidak puas (Maskanah et al. 2000). Tahap-tahap ini penting untuk diketahui dan digunakan untuk menganalisis dinamika dan kejadian yang berkaitan dengan masing-masing tahap konflik. Penahapan konflik terdiri dari lima tahap (Fisher et al. 2001), yaitu: 1) Prakonflik, merupakan periode dimana terdapat suatu ketidaksesuaian sasaran diantara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Konflik tersembunyi dari pandangan umum meskipun satu pihak atau lebih mungkin mengetahui potensi terjadinya konfrontasi. Mungkin terdapat ketegangan hubungan diantara beberapa pihak dan/atau keinginan untuk menghindari kontak satu sama lain pada tahap ini.
12
2) Konfrontasi, konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksi demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya. Kadang pertikaian atau kekerasan pada tingkat rendah lainnya terjadi diantara kedua belah pihak. Masing-masing pihak mungkin mengumpulkan sumberdaya dan kekuatan dan mungkin mencari sekutu dengan harapan dapat meningkatkan konfrontasi dan kekerasan. Hubungan diantara kedua pihak menjadi sangat tegang yang mengarah pada polarisasi diantara para pendukung di masing-masing pihak. 3) Krisis, merupakan puncak konflik ketika ketegangan dan/atau kekerasan terjadi paling hebat. Komunikasi normal antara kedua belah pihak mungkin terputus. Pernyataan-pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak lainnya. Contoh dalam periode perang. 4) Akibat, tingkat ketegangan, konfrontasi dan kekerasan pada tahap ini menurun dengan kemungkinan adanya penyelesaian. 5) Pascakonflik, situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri konfrontasi. Kekerasan dan/atau ketegangan berkurang dan hubungan mengarah lebih normal diantara kedua pihak. Namun, jika isu-isu (seperti isu kritis kekuasaan, budaya dan identitas) dan masalah-masalah yang timbul karena sasaran mereka yang saling bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahap ini sering kembali lagi menjadi situasi prakonflik.
2.3 Akar Permasalahan Konflik Konflik dalam pengelolaan sumberdaya alam dapat disebabkan oleh keterbatasan sumberdaya alam dan kebutuhan yang selalu meningkat akan keberadaan, fungsi dan manfaat sumberdaya alam (Mitchell et al. 2000). Selain itu, diungkapkan juga bahwa sumberdaya alam yang terbatas sangat rentan terhadap perubahan, sehingga inisiatif-inisiatif industrialisasi telah menimbulkan ancaman bagi keberlanjutan sumberdaya alam itu sendiri. Perubahan keadaan sosial, budaya, lingkungan, ekonomi, hukum dan politik dapat menciptakan kepentingan-kepentingan baru terhadap sumberdaya perikanan. Perubahan faktorfaktor tersebut apabila mengalami ketidaksesuaian, maka menyebabkan adanya suatu potensi konflik.
13
Dorcey (1986) diacu dalam Mitchell et al. (2000), menyebutkan empat penyebab dasar konflik, yakni: 1) Perbedaan pengetahuan atau pemahaman Perbedaan akan pengetahuan dan pemahaman dapat mengarah pada timbulnya konflik. Berbagai kelompok mungkin menggunakan model, perkiraan dan informasi yang berbeda. Konflik terjadi ketika kelompok kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang bijaksana dan informasi yang didapatkan salah. Perbedaan fakta dan interpretasi dua kelompok terhadap suatu keadaan akan dapat menimbulkan konflik tentang apakah telah muncul persoalan, dan/ atau penyelesaian persoalan manakah yang paling tepat. Konflik tidak harus selalu terjadi karena hal ini hanya disebabkan oleh kurangnya komunikasi antara orang-orang yang berkonflik. 2) Perbedaan nilai Konflik sering kali muncul karena perbedaan nilai. Nilai adalah kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti dalam hidupnya. Nilai menjelaskan mana yang baik dan buruk, benar atau salah, adil atau tidak. Sebagai contoh, pada awalnya mungkin ada kesepakatan tentang bentuk suatu persoalan serta cara penyelesaiannya, namun tetap terjadi perbedaan yang pokok pada titik akhir yang dituju. 3) Perbedaan alokasi keuntungan dan kerugian Kesamaan penerimaan fakta, informasi dan nilai-nilai pada suatu kelompok terkadang masih menyisakan perbedaan kepentingan dalam kelompok tersebut, dimana perbedaan yang dimaksud dapat memicu munculnya konflik. Dengan demikian konflik muncul sebagai akibat dari perbedaan tentang siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan, bukan karena perbedaan pengetahuan dan perbedaan nilai. Konflik dapat terjadi ketika satu pihak atau lebih meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhannya, pihak lain yang harus berkorban. 4) Perbedaan latar belakang personal dan sejarah kelompok-kelompok yang berkepentingan. Dalam hal ini terjadi karena adanya emosi negatif yang kuat, salah persepsi, salah komunikasi serta adanya tingkah laku negatif yang berulang (repetitif). Masalah ini sering menghasilkan konflik yang tidak realistis, dimana
14
konflik bahkan dapat terjadi dalam kondisi obyektif, seperti terbatasnya sumberdaya atau tidak tercapainya tujuan-tujuan bersama. Dalam masyarakat pesisir, konflik terjadi khususnya pada komunitas yang berprofesi sebagai nelayan. Hardin (1968) diacu dalam Adhuri et al. (2005) dalam artikelnya yang berjudul ”The Tragedy of The Commons“ menjelaskan bahwa sumberdaya yang tergolong kepada public property resource (termasuk sumberdaya laut) melahirkan gejala open acces yang mendorong setiap orang untuk selalu meningkatkan level eksploitasi dalam memanfaatkan sumberdaya. Sementara itu, jika terjadi kerusakan akibat overeksploitasi kerugiannya akan ditanggung bersama. Dengan demikian, konflik antara orang-orang yang terlibat dalam pengeksploitasian akan lahir dan semakin lama semakin meningkat intensitasnya karena orangnya bertambah semakin banyak sementara sumberdayanya semakin berkurang. Teori Hardin didukung pula oleh teori Homer-Dixon (1994) diacu dalam Adhuri et al. (2005) yang mengatakan bahwa keterbatasan sumberdaya alamlah yang telah memicu konflik-konflik kekerasan di berbagai negara. Dalam konteks ini, studinya menunjukkan bahwa semakin lama langka keadaan sumberdaya, maka akan semakin besar persaingn (kontestasi) terhadap limited resource tersebut. Hal ini, pada akhirnya akan mendorong lahirnya konflik dengan kekerasan. Teori lain yang bisa menjelaskan tentang permasalahan konflik adalah teori yang menjelaskan hubungan antara identitas sosial suatu kelompok dengan teritori yang ditempatinya (Peluso dan Harwell 2001; Adhuri 2003 diacu dalam Adhuri et al. 2005). Pada intinya teori ini menjelaskan bahwa ada keterkaitan antara identitas sebuah kelompok sosial dengan tempat dimana mereka hidup. Keterkaitan ini bisa diwujudkan dalam bentuk konsep kepemilikan. Lebih lanjut Adhuri et al. (2005) menjelaskan jika terdapat wujud yang sedikit lebih lemah dari konsep kepemilikan, yaitu masyarakat lokal yang mengembangkan konsep ”keyakinan“ bahwa sebagai orang lokal mereka mempunyai hak prioritas untuk mengeksploitasi sumberdaya yang berada di sekitar tempat mereka hidup atau paling tidak, kesadaran keterikatan yang mendorong lahirnya anggapan bahwa orang lain tidak boleh mengadakan kegiatan
15
eksploitasi dengan level yang lebih tinggi dari masyarakat lokal. Pada masyarakat yang demikian ini, maka jika terdapat orang-orang luar yang terlibat dalam kegiatan eksploitasi di wilayah tersebut dan tidak dikehendaki oleh masyarakat lokal, maka konflik yang bernuansa kekerasan kemungkinan terpicu. Dalam logika ini, konflik kenelayanan dapat berakar pada ”konflik pranata“ atau nilai atau juga mungkin hukum yang melingkupi pengaturan penangkapan ikan (Adhuri et al. 2005). Teori lain yang turut relevan untuk menjelaskan konflik kenelayanan adalah teori yang mengatakan bahwa konflik dilahirkan karena terjadinya inequalitas di dalam masyarakat. Stewart (2001; 2002) diacu dalam Adhuri et al. (2005) menjelaskan bahwa jika terdapat ketimpangan di masyarakat yang sudah melebihi ambang batas toleransi, maka konflik akan segera terpicu, terutama antara mereka yang berada pada posisi yang rendah dengan mereka yang berada di level atas. Rudianto (2004) membedakan sebab-sebab konflik antar nelayan di pesisir dalam usaha pemanfaatan sumberdaya, antara lain karena: 1) Batasan penentuan hak kepemilikan wilayah perairan untuk penangkapan tidak jelas, seperti hak pengelolaan perairan. 2) Terjadi ″transfer of ownership“ karena kebijakan desentralisasi dimana pemerintah daerah yang berkewenangan untuk mengatur pengelolaan dan pembagian wilayah perairan rakyat. 3) Perbedaan penggunaan alat produksi seperti jenis alat tangkap dan perahu motor. 4) Pemerintah daerah yang tidak konsisten dalam menerapkan rencana pembagian wilayah. 5) Lemahnya penegakan hukum (law enforcement).
16
2.4 Tipe dan Karakteristik Konflik Konflik yang muncul terkait dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan Charles (2001), membedakan menjadi 4 (empat) tipologi berdasarkan ruang lingkup atau aspek-aspeknya, yaitu sebagai berikut: 1) Fishery jurisdiction, yaitu konflik yang terjadi pada tingkat kebijakan dan perencanaan, seperti konflik antar instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah. 2) Management mechanism, yaitu konflik yang terjadi pada tingkat pengelolaan dari perencanaan hingga penegakan hukum. 3) Internal allocation, yaitu konflik yang muncul sesama pengguna sumberdaya, misalnya antara nelayan dengan pengusaha processing. 4) External allocation, yaitu konflik yang terjadi antara nelayan dengan pelaku lain, seperti pembudidaya ikan, nelayan asing, atau pertambangan dan lain sebagainya. Sedangkan konflik kenelayanan yang muncul terkait pemanfaatan sumberdaya perikanan, Satria (2006) mengidentifikasikannya berdasarkan penyebabnya menjadi 7 (tujuh) tipologi konflik antara lain sebagai berikut: 1) Konflik kelas, adalah konflik yang terjadi antar kelas sosial nelayan dalam memperebutkan wilayah penangkapan (fishing ground). Konflik kelas terjadi sebagai akibat adanya kesenjangan teknologi penangkapan ikan. Konflik bisa terjadi antara nelayan tradisional dengan nelayan modern. 2) Konflik kepemilikan sumberdaya, adalah konflik yang terjadi sebagai akibat dari isu kepemilikan sumberdaya, dimana kepemilikan laut serta ikan tidak dapat terdefinisi secara jelas milik siapa. Konflik bisa terjadi antara nelayan tradisional dengan sesama nelayan baik nelayan tradisional ataupun nelayan modern, nelayan dengan pembudidaya ikan, nelayan dengan pelaku pariwisata bahari, nelayan dengan industri pertambangan maupun nelayan dengan pemerintah. Misalnya kasus konflik yang terjadi pada Industri Mutiara dengan nelayan di Lombok. 3) Konflik pengelolaan sumberdaya, adalah konflik yang terjadi akibat ”pelanggaran aturan pengelolaan“ serta adanya isu-isu tentang siapa yang berhak mengelola sumberdaya perikanan atau sumberdaya laut. Konflik bisa
17
terjadi antara nelayan tradisional dengan sesama nelayan ataupun nelayan tradisional dengan pemerintah. 4) Konflik cara produksi/alat tangkap, adalah konflik yang terjadi akibat perbedaan penggunaan alat tangkap. Konflik bisa terjadi antara sesama nelayan tradisional maupun nelayan tradisional dengan nelayan modern yang merugikan salah satu pihak yang berkonflik. 5) Konflik lingkungan, adalah konflik yang terjadi akibat kerusakan lingkungan karena praktek satu pihak yang merugikan nelayan lain. Konflik bisa terjadi antara nelayan tradisional dengan nelayan pengebom (nelayan yang menggunakan bom dalam kegiatan penangkapan ikan), dan terjadi antara nelayan tradisional dengan nelayan penambang. 6) Konflik usaha, adalah konflik yang terjadi di darat sebagai akibat mekanisme harga maupun sistem bagi hasil yang merugikan sekelompok nelayan. Konflik bisa terjadi antara nelayan tradisional dengan sesama nelayan, pengolah ikan, pedagang ikan, maupun dengan pemilik kapal. 7) Konflik primordial, adalah konflik yang terjadi akibat perbedaan ikatan primordial/identitas (ras, etnik, dan asal daerah). Konflik biasanya terjadi antara nelayan tradisional dengan nelayan pendatang. Menurut Fisher et al. (2001) perlu menggambarkan tipe-tipe konflik yang akan menuntun ke berbagai bentuk kemungkinan intervensi, sifat-sifat konflik yang memiliki potensi dan tantangan sendiri. Sifat konflik yang diajukan oleh Fisher et al. (2001), yaitu: 1) Tanpa Konflik, kesan umumnya baik. Dalam kehidupan yang bersifat dinamis, memanfaatkan konflik perilaku tujuan serta mengelola konflik secara kreatif. 2) Konflik Laten, sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan sehingga dapat ditangani secara efektif. 3) Konflik Terbuka, berakar dalam dan sangat nyata. Memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan beebagai efeknya. 4) Konflik di Permukaan, memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran dimana dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi.
18
Berdasarkan level permasalahannya, terdapat dua jenis konflik yaitu konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik vertikal terjadi apabila pihak yang dilawan oleh pihak lainnya berada pada level yang berbeda, sehingga kaitan makro-mikronya lebih cepat diketahui. Sedangkan konflik horizontal terjadi antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya, dalam hal ini kaitan makro-mikronya agak sulit digambarkan dengan jelas bahkan sering kali sulit untuk menentukan siapakaha lawan yang sebenarnya (Maskanah et al. 2000).
2.5 Resolusi Konflik Walaupun konflik merupakan suatu proses disosiatif yang tajam yang menekankan pada oposisi, akan tetapi konflik sebagai bentuk proses sosial mempunyai fungsi yang positif bagi masyarakat. Hal itu tergantung pada permasalahan dan juga dari struktur sosial yang menyangkut tujuan, nilai ataupun kepentingan terhadap konflik, dimana konflik diharapkan menghasilkan adanya penyesuaian kembali terhadap norma-norma dan hubungan sosial dalam kelompok yang bertikai sesuai dengan kebutuhan setiap kelompok. Sikap toleran diperlukan dalam usaha penanganan konflik sebagai jalan untuk mengetahui sumber-sumber masalah pembawa konflik yang memberikan jalan menuju tercapainya stabilitas dan integritas di masyarakat (Soekanto 2002). Permasalahan konflik diidentifikasi secara bertahap dimulai dengan penelusuran pihak-pihak yang terlibat, faktor penyebabnya serta hubungan diantara pihak-pihak. Hal ini penting dalam menggambarkan konflik berdasarkan sejarah terjadinya sehingga berguna untuk merumuskan jalur penyelesaian terhadap konflik. Penyelesaian konflik bertujuan untuk memfasilitasi proses pembuatan keputusan oleh kelompok-kelompok yang bersengketa, sehingga sedapat mungkin menghindari penyelesaian masalah melalui jalur hukum (Mitchell et al. 2000).
19
2.5.1 Manajemen Konflik Maguire dan Boiney (1994) diacu dalam Mitchell et al. (2000), mengajukan beberapa karakteristik teknik penyelesaian konflik yaitu: 1) Lebih menekankan pada kesamaan kepentingan kelompok yang saling bersengketa dari pada posisi tawar menawar. 2) Berpikir kreatif untuk mencari upaya penyelesaian. 3) Menuntut kesepakatan banyak pihak untuk suatu keputusan dan memerlukan seorang mediator yang tidak memihak dalam penyelesaian sengketa. Ketika sengketa muncul akibat perbedaan kepentingan tentang alokasi sumberdaya dan lingkungan, maka empat pendekatan dapat dipakai sebagai teknik penyelesaian sengketa sebagaimana dalam Mitchell et al. (2000), yaitu: politis, administratif, hukum dan alternatif penyelesaian konflik (APK). APK terdiri dari konsultasi publik, negosiasi, mediasi, dan arbitrasi. APK ini muncul sebagai jawaban atas berbagai ketidakpuasan terhadap pendekatan hukum, juga sebagai jawaban atas tumbuhnya kesadaran akan pentingnya partisipasi masyarakat terhadap penyelesaian konflik. Berlawanan dengan kenyataan plural dalam manajemen konflik4, upaya penyelesaian konflik seringkali dibatasi pada kerangka berfikir yang terarah pada 2 (dua) model penyelesaian konflik yaitu secara litigasi (melalui mekanisme peradilan) dan non litigasi (di luar pengadilan) yang kemudian dikenal sebagai penyelesaian konflik alternatif (PKA) (Maskanah et al. 2000). Dalam pengertian yang lebih mendasar, penyelesaian konflik alternatif (PKA) merupakan sebuah konsep yang mencakup berbagai pendekatan pengelolaan konflik selain menggunakan proses peradilan, melalui cara-cara yang sah menurut hukum, baik berdasar konsensus (kooperatif) ataupun tidak berdasar konsensus (non kooperatif) (Hadimulyo 1997 diacu dalam Maskanah et al. 2000). Dalam kasus konflik pemanfaatan sumberdaya perikanan-kelautan, manajemen konflik ditempuh secara litigasi dengan cara membawa suatu perselisihan ke pengadilan agar menyelesaiakannya dengan aturan formal sehingga menghasilkan keputusan yang mempunyai kekuatan hukum, namun jika perselisihan mengalami suatu peningkatan maka ditempuh suatu teknis alternatif 4
Pada kasus-kasus konflik/sengketa pengelolaan sumberdaya hutan
20
dalam manajemen konflik yang disebut ADR (alternative dispute resolution) untuk mencapai penyelesaian konflik yang berkelanjutan (Satria et al. 2002). Teknik-teknik ADR ini wujudnya antara lain: fasilitasi, konsultasi, koordinasi, konsiliasi, mediasi, negosiasi, maupun kombinasi berbagai teknik-teknik ADR5. Menurut Soekanto (2002) penyelesaian konflik dapat dilakukan melalui pendekatan akomodasi. Istilah akomodasi dipergunakan dalam dua arti, yaitu yang menunjuk pada suatu keadaan dan yang menunjuk pada suatu proses. Akomodasi yang menunjuk pada suatu keadaan, merupakan kenyataan adanya suatu keseimbangan (equilibrium) dalam interaksi antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat. Sedangkan akomodasi yang menunjuk pada suatu proses, merupakan akomodasi yang menunjuk kepada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha untuk mencapai kestabilan. Tujuan akomodasi yaitu: 1) Untuk mengurangi pertentangan antara orang-perorangan atau kelompokkelompok manusia sebagai akibat perbedaan paham. Akomodasi di sini bertujuan untuk menghasilkan suatu sintesa antara kedua pendapat tersebut, agar menghasilkan suatu pola yang baru. 2) Mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara waktu atau secara temporer. 3) Memungkinkan terjadinya kerjasama antara kelompok-kelompok sosial yang hidupnya terpisah sebagai akibat faktor-faktor sosial psikologis dan kebudayaan, seperti yang dijumpai pada masyarakat yang mengenal sistem berkasta. 4) Mengusahakan peleburan antara kelompok-kelompok sosial yang terpisah, misalnya melalui perkawinan campuran atau asimilasi dalam arti luas.
5
Kombinasi berbagai teknik-teknik ADR (alternative dispute resolution) ini diperlukan dalam menetapkan suatu aturan yang dibuat berdasarkan negosiasi.
21
Bentuk-bentuk akomodasi sebagai suatu proses menurut Young dan Mack (1959) diacu dalam Soekanto (2002), adalah sebagai berikut : 1) Coercion adalah suatu bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan oleh karena adanya paksaan. Coercion merupakan bentuk akomodasi dimana salah satu pihak berada dalam keadaan yang lemah bila dibandingkan dengan pihak lawan. Pelaksanaannya dapat dilakukan secara fisik (secara langsung), maupun secara psikologis (secara tidak langsung). 2) Compromise adalah bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yang terlibat saling mengurangi tuntutannya, agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada. Sikap dasar untuk dapat melaksanakan compromise adalah bahwa salah satu pihak bersedia untuk merasakan dan mengerti keadaan pihak lainnya dan begitu pula sebaliknya. 3) Arbitration merupakan suatu cara untuk mencapai compromise apabila pihakpihak yang berhadapan, masing-masing tidak sanggup mencapainya sendiri. Pertentangan diselesaikan oleh pihak ketiga yang dipilih oleh kedua pihak atau badan yang kedudukannya lebih tinggi dari pihak-pihak yang bertentangan tersebut. 4) Mediation adalah hampir menyerupai arbitration, namun pihak ketiga yang dilibatkan dalam mediation adalah netral dalam perselisihan. Pihak ketiga tersebut tugasnya terutama untuk mengusahakan suatu penyelesaian secara damai. Kedudukan pihak ketiga tersebut hanyalah sebagai penasehat sehingga tidak memiliki wewenang untuk memberikan keputusan-keputusan dalam penyelesaian perselisihan tersebut. 5) Conciliation adalah suatu usaha untuk mempertemukan pihak-pihak yang berselisih, bagi tercapainya suatu persetujuan bersama. Conciliation sifatnya lebih lunak dari pada coercion serta membuka kesempatan bagi pihak-pihak yang bersangkutan untuk mengadakan asimilasi. 6) Toleration, disebut dengan tolerant-participation. Ini merupakan suatu bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formil bentuknya. Kadang-kadang toleration timbul tanpa disadari dan tanpa direncanakan, yang disebabkan karena adanya watak orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia yang sedapat mungkin untuk menghindarkan diri dari suatu perselisihan.
22
7) Stalemate, merupakan suatu akomodasi dimana pihak-pihak yang bertentangan karena mempunyai kekuatan yang seimbang, berhenti pada suatu titik dalam melakukan pertentangannya. Hal ini disebabkan oleh karena bagi kedua belah pihak sudah tidak ada kemungkinan lagi untuk maju maupun untuk mundur. 8) Adjudication, yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan.
2.5.2 Resolving (Alternatif Solusi Konflik) Berdasarkan teori Hardin (1968) diacu dalam Adhuri et al. (2005) bahwa akar dari konflik-konflik kenelayanan adalah kenyataan bahwa laut merupakan sumberdaya milik umum (public property resource), maka solusi untuk menghindari konflik tersebut adalah berupa penciptaan pranata kepemilikan, private property (Gordon 1954) dan sole ownership (Scott 1955) atau usulan dari Hardin sendiri berupa keputusan yang disetujui bersama yang bisa memaksa setiap orang untuk tunduk padanya (Adhuri et al. 2005). Sedangkan pada konflik kenelayanan yang berakar pada ”konflik pranata“ atau nilai atau hukum yang melingkupi pengaturan penangkapan ikan maka solusi adalah melalui perubahan struktur legal (hukum) kearah yang memungkinkan terakomodasinya dua kepentingan yakni kepentingan masyarakat lokal dengan orang ”luar“ yang dalam konteks hukum sebelumnya berada pada kerangka hukum yang berlainan, atau bahkan berseberangan (Adhuri et al. 2005). Terhadap maraknya konflik nelayan pasca otonomi daerah, Satria (2003) mengagendakan beberapa langkah antisipasi terhadap konflik sosial diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Pengukuhan terhadap model pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat (community based fisheries management-CBFM). CBFM muncul sebagai konsekuensi keberadaan rejim common property. Banyak komunitas nelayan yang sebenarnya telah memiliki model CBFM yang otentik, namun karena faktor eksternal (seperti adanya kekuatan modal dari luar), model CBFM tersebut memudar di masyarakat nelayan. Lemahnya institusi CBFM ini karena di Undang-Undang Perikanan eksistensi CBFM tidak diakui.
23
2) Penguatan organisasi nelayan. Kehadiran organisasi nelayan yang solid dengan jaringan sosial yang kokoh akan memudahkan dalam membangun komunikasi dan koordinasi sesama nelayan lintas daerah yang nantinya memudahkan dalam mengantisipasi terjadinya konflik serta merumuskan mekanisme resolusi konflik. 3) Kerjasama lintas daerah baik pada level masyarakat maupun pemerintah mengenai pengelolaan sumberdaya perikanan baik dalam perencanaan, implementasi, maupun pengawasan. Kerjasama lintas daerah sangat diperlukan di era otonomi daerah untuk mengantisipasi terjadinya konflik baik pada tingkat masyarakat dan pemerintah. 4) Pemberdayaan nelayan yang diarahkan pada peningkatan kapasitas usaha dan ketahanan ekonomi rumah tangga nelayan. Pemberdayaan nelayan merupakan langkah pokok dalam mengantisipasi konflik, baik konflik kelas maupun konflik orientasi. 5) Mensosialisasikan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah secara tepat untuk mengantisipasi terjadinya kesalahpahaman interpretasi substansi otonomi daerah.
2.6 Kasus Konflik antar Nelayan Konflik antar nelayan merupakan gejala sosial yang sering terjadi di berbagai wilayah perairan Indonesia. Namun, sampai saat ini upaya penyelesaian konflik belum menyentuh pada akar permasalahannya. Di aras makro, konflik antar nelayan hanya dipahami sebagai sebuah gejolak terhadap kesenjangan teknologi (Shaliza 2004). Konflik nelayan pada akhir-akhir ini sering dihubungkan dengan otonomi daerah, dimana fenomena ″pengkavlingan laut“ sebagai penyebab terjadinya konflik tersebut di beberapa daerah. Padahal pada kenyataannya dari dahulu nelayan telah ″mengkavling“ dan mengklaim wilayah perairan tertentu di daerah sebagai miliknya secara de facto. Hal ini sebagai ciri kepemilikan sumberdaya yang bersifat common property yang mengarah pada pengelolaan sumberdaya dengan ciri open access.
24
Beberapa contoh kasus konflik antar komunitas nelayan dalam memperebutkan sumberdaya perikanan diantaranya sebagai berikut: 1) Kasus di perairan Bangkalan Utara Pada pertengahan tahun 1995, telah terjadi bentrokan fisik antar dua komunitas nelayan yaitu antara nelayan Bangkalan dengan nelayan Lamongan karena alasan perebutan daerah penangkapan ikan. Ini terjadi di perairan Karangjamuang, Bangkalan Utara, Madura. Meskipun tidak ada korban jiwa, tetapi kerugian yang ditaksir cukup besar yaitu sekitar Rp 40 juta. Dua perahu milik nelayan Lamongan musnah dibakar dan ikan hasil tangkapan mereka dibuang ke laut. Menurut keterangan, setelah dua hari dua malam nelayan asal Lamongan menangkap ikan di perairan Karangjamuang, kelompok nelayan tersebut diserang secara tiba-tiba oleh sekelompok nelayan lokal yang datang dengan membawa senjata tajam. Para nelayan dari Madura bertindak demikian karena mereka merasa sebagai ″pemilik“ perairan Karangjamuang sejak turuntemurun. Mereka melarang nelayan asal Lamongan untuk tidak menangkap ikan lagi di perairan tersebut (Kusnadi 2001). 2) Kasus di perairan Probolinggo Konflik terjadi pada tahun 1998 antara nelayan dari Kalibuntu Kecamatan Kraksan dengan nelayan Gili Ketapang, Kecamatan Sumberasih, Probolinggo. Penyebabnya adalah nelayan Kalibuntu menuduh nelayan Giliketapang menggunakan jaring Trawl. Perahu nelayan Giliketapang dibakar oleh nelayan Kalibuntu. Penyelesaian dari kasus ini yaitu dengan cara mengadakan pertemuan antara dua tokoh dari kedua desa tersebut yang dihadiri oleh Bupati dan Dandim 0820. Dari pertemuan dua tokoh masyarakat tersebut, dihasilkan kesepakatan antara nelayan Kalibuntu dengan nelayan Giliketapang. Bupati Probolinggo juga membentuk tim operasi laut yang difokuskan pada pelarangan operasi jaring Trawl di Selat Madura (Anonim 2001). 3) Kasus di perairan Kalimantan. Konflik antar nelayan itu berawal dari pembakaran terhadap Kapal Motor (KM) Mutiara Sakti asal Jawa Tengah di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Klandasan, Balikpapan, pada 16 Januari 2006. Pelakunya adalah nelayan setempat. Kerugian ditaksir Rp 1,2 miliar. Kasus kedua menimpa KM Dharma
25
Samudra pada 21 Januari 2006 di PPI Kotabaru, Kalimantan Selatan (Kalsel). Dalam kasus ini, seorang anak buah kapal tewas. Kerugian sekitar Rp 1,4 miliar. Kasus lain adalah pengaplingan wilayah penangkapan ikan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Kebijakan itu diberlakukan sejak tahun 1997. Pembatasan tersebut diprotes nelayan setempat. Menurut Chandra (Ketua DPP HNSI), yang harus segera dituntaskan adalah penanganan hukum. Ini untuk memberi rasa jera kepada pelaku dan masyarakat lainnya agar tak lagi main hakim sendiri terhadap setiap persoalan yang dihadapi. Selain itu, pemerintah pusat juga harus lebih giat melakukan sosialisasi tentang pengelolaan wilayah laut kepada pemerintah daerah serta nelayan. Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi (Pusinfo) DKP Aji Sularso mengatakan, setelah berdialog dengan nelayan dari Jateng, Menteri Kelautan dan Perikanan akan melakukan hal serupa dengan nelayan di Kaltim dan Kalsel. Dialog itu adalah salah satu upaya penyelesaian konflik antarnelayan. DKP juga terus berusaha untuk memberikan solusi mendasar agar kasus yang sama tak terulang lagi. Ini demi keamanan investasi. Sementara itu, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap DKP Dr. Ir. Husni Manggabarani, M.Si, berpendapat bahwa konflik antar nelayan itu tak terlepas dari kesenjangan teknologi alat tangkap. Nelayan di Balikpapan, misalnya telah merasa sangat terganggu dengan penggunaan alat tangkap yang lebih canggih dan modern oleh kapal ikan dari Jateng. Untuk itu, kami berupaya melakukan pembenahan teknologi alat tangkap di kalangan nelayan. Hal tersebut perlu didukung perbankan guna memudahkan nelayan memperoleh modal usaha (Kompas 2006).
2.7 Hukum Pemerintah terkait Konflik Kenelayanan Hukum-hukum pemerintah terdiri dari Undang-Undang dan peraturanperaturan lainnya yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dalam permasalahan konflik perikanan seperti konflik yang melibatkan nelayan, salah satu tindakan pihak atau kelompok dalam sengketa atau konflik cenderung melanggar hukum yang melingkupi pengaturan penangkapan ikan. Hukum pemerintah yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:
26
2.7.1 Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan Pelanggaran hukum dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan terkait dengan konflik kenelayanan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan adalah berupa pelanggaran terhadap pengelolaan sumberdaya yang tercantum dalam pasal 5, pasal 6, pasal 8 dan pasal 9. Secara hukum, penanganan konflik nelayan dalam Undang-Undang perikanan meliputi hal-hal berikut:
Pengawasan dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan, tercantum dalam pasal 66, pasal 67, pasal 68, dan pasal 69 (ayat 1-4).
Pengadilan perikanan, tercantum dalam pasal 71 (ayat 1).
Penyidikan tindak pidana, tercantum dalam pasal 72, dan pasal 73 (ayat 1-3).
Penegakan hukum di laut, tercantum dalam pasal 84 (ayat 1-3), dan pasal 85.
2.7.2 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dalam pasal 18, ditentukan bahwa wilayah laut sejauh 12 mil merupakan wilayah kewenangan provinsi (diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan), dan 1/3 atau 4 mil dari wilayah provinsi merupakan kewenangan kabupaten/kota (ayat 4). Ketentuan ini tidak berlaku pada penangkapan ikan oleh nelayan kecil. Kewenangan daerah di dalam wilayah laut yang dimaksdukan yaitu ; 1) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut; 2) pengaturan kepentingan administrasi; 3) pengaturan tata ruang; 4) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan pemerintah daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah pusat; dan 5) bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara (untuk wilayah kabupaten/kota).
27
2.7.3 Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 392/ Kpts/ IK. 120/4/1999 Tentang Jalur Penangkapan Ikan. Nelayan dalam usahanya untuk menangkap ikan di laut, harus mengetahui peraturan tentang adanya jalur-jalur penangkapan ikan sebagaimana yang tertuang dalam SK Menteri Pertanian No. 392/Kpts/ IK. 120/ 4/ 1999 yaitu: a) Jalur I (Perairan pantai diukur dari permukaan air laut pada surut terendah pada setiap pulau s/d 6 mil ke arah laut)
Dari 0 s/d 3 Mil laut, diperbolehkan untuk alat penangkapan ikan yang menetap, alat penangkapan ikan tidak menetap yang tidak dimodifikasi, dan kapal perikanan tanpa motor yang panjangnya ≤ 10 meter. Disamping itu wajib diberi tanda pengenal, yaitu: tanda pengenal jalur dengan cat warna putih ≥ ¼ lambung kiri dan kanan kapal, serta tanda pengenal alat tangkap.
Dari 3 s/d 6 Mil laut, diperbolehkan untuk alat penangkapan ikan yang tidak menetap. Kapal yang diperbolehkan yaitu panjangnya ≤ 10 meter tanpa dan/atau dengan motor tempel, motor tempel dan motor dalam ≤ 5 GT dengan panjang ≤ 12 meter, kapal pukat cincin (Purse Seine) ≤ 150 meter. Jaring berupa Drift Gill Net (jaring insang hanyut) ≤ 1.000 meter dan wajib diberi tanda pengenal jalur dengan cat merah ≥ ¼ lambung kiri dan kanan kapal, serta tanda pengenal alat tangkap (ditetapkan oleh Dirjenkan).
b) Jalur II (6 s/d 12 Mil laut), diperbolehkan untuk kapal perikanan motor dalam ≤ 60 GT, Pukat Cincin ≤ 600 meter dengan kapal tunggal (bukan grup) atau ≤ 1.000 dengan 2 kapal/ ganda (bukan grup), Tuna Long Line ≤ 1.200 mata pancing, Jaring Insang Hanyut ≤ 2.500 meter. Wajib diberi tanda pengenal, yaitu: tanda pengenal jalur dengan warna oranye ≥ ¼ lambung kiri dan kanan kapal, dan tanda pengenal alat tangkap (ditetapkan oleh DirjenKan). c) Jalur III (12 s/d 200 Mil laut atau batas terluar ZEE), diperbolehkan untuk kapal perikanan berbendera Indonesia ≤ 200 GT, kecuali yang menggunakan Pukat Cincin besar di Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Flores, dan Laut Sawu dilarang untuk semua ukuran,kapal
28
perikanan berbendera Indonesia ≤ 200 GT di ZEE Selat Malaka, kecuali yang menggunakan Pukat Ikan (Fish Net) ≥ 60 GT. Untuk perairan ZEE di luar ZEE Selat Malaka:
Kapal perikanan berbendera Indonesia dan asing ≤ 350 GT.
Kapal perikanan > 350-800 GT yang menggunakan Pukat Cincin hanya boleh beroperasi diluar > 100 Mil laut dari garis pangkal kepulauan Indonesia.
Kapal perikanan yang menggunakan Pukat Cincin dengan sistem grup hanya boleh beroperasi > 100 Mil laut dari garis pangkal kepulauan Indonesia.
Kapal perikanan berbendera asing berdasarkan Peraturan pada Perundang-Undangan yang berlaku.
2.7.4 Peraturan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur Peraturan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur terkait permasalahan konflik kenelayanan di Jawa Timur adalah mengenai Surat Keputusan Gubernur Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Timur No. 9 Tahun 1983 Tentang Pengaturan Nelayan Andon di Jawa Timur.
III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI
3.1 Kerangka Pendekatan Studi Pemanfaatan sumberdaya perikanan seringkali menciptakan konflik diantara penggunanya dalam hal pengelolaan yang terkait dengan hak kepemilikannya. Di sisi pemerintah, sumberdaya perikanan merupakan state property yang dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah sehingga dalam pemanfaatannya pemerintah yang berhak mengaturnya melalui regulasi dan pemberian akses pada pelaku usaha perikanan yang telah memiliki surat perijinan. Pada masyarakat pesisir, pelaku perikanan terbanyak adalah nelayan dimana pada beberapa komunitas ada yang menerapkan prinsip pengelolaan sumberdaya perikanan sebagai common property. Sampai saat ini di beberapa daerah pengelolaan sumberdaya masih mengabaikan nilai-nilai lokal masyarakat, tidak terkecuali terhadap sumberdaya perikanan. Sumberdaya perikanan sebagai public property dalam pemanfaatannya tidak terlepas dari pola open access. Konsep open access merupakan resultan dari tidak adanya (kegagalan) pengelolaan dari sistem otoritas yang bertujuan untuk memperkenalkan dan menerapkan norma yang memberikan kepemilikan khusus terhadap sumberdaya alam, seperti state property, private property, dan common property (Bromley dan Cernea 1989 diacu dalam Saad 2003). Pada sistem open access setiap pengguna merasa berhak untuk melakukan eksploitasi sumberdaya secara besarbesaran (over-exploitation). Akibatnya sumberdaya mengalami tekanan dan menjadi overfishing dan akhirnya terjadi deplesi sumberdaya, sedangkan setiap pengguna tidak jarang melakukan persaingan yang tidak sehat untuk mendapatkan sumberdaya yang semakin terbatas. Kondisi ini mendorong terjadinya konflik diantara pengguna sumberdaya perikanan, seperti konflik-konflik kenelayanan Konflik dapat terjadi karena terbatasnya sumberdaya dan kebutuhan yang selalu meningkat akan keberadaan, fungsi dan manfaat sumberdaya (Mitchell et al. 2000). Di level nelayan, konflik yang terjadi kemungkinan dipengaruhi oleh hal-hal seperti perbedaan antar individu seperti pendirian dan perasaan yang dipengaruhi oleh faktor kebudayaan, etnis dan asal daerah (Soekanto 2002).
30
Sedangkan dari sisi hubungannya dengan sesama pengguna sumberdaya, dipengaruhi oleh hal-hal seperti: (1) keadaan/perilaku yang bertentangan seperti pertentangan pendapat, pertentangan kepentingan, dan pertentangan antarindividu; (2) ketidakseimbangan hubungan-hubungan sosial seperti kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran, dan akses yang tidak seimbang; (3) perselisihan akibat kebutuhan, dorongan, keinginan, atau tuntutan yang bertentangan; dan (4) persaingan antarindividu dan perseteruan (Webster diacu dalam Pickering 2001). Konflik yang terjadi tidak selamanya akan menimbulkan efek negative apabila ada upaya untuk mengelolanya (Fisher et al. 2001). Upaya pengelolaan konflik diperlukan untuk mengurangi intensitas konflik. Penyelesaian konflik melibatkan pihak-pihak yang berkonflik (individu/kelompok/komunitas). Disamping itu, juga dapat ditangani oleh pihak ketiga selaku arbitrator konflik jika penyelesaian masalah mengalami hambatan. Dalam hal konflik pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan, pengelolaan konflik dapat ditangani oleh pemerintah, baik pemerintah pusat atau daerah melalui peranan instansi yang ditunjuk. Pengelolaan konflik ditujukan bukan hanya untuk menyelesaikan perselisihan, tetapi juga untuk mendapatkan resolusi. Resolusi konflik mengarah pada strategi-strategi penanganan konflik terbuka yang ditujukan untuk pencapaian suatu kesepakatan untuk mengakhiri kekerasan dan juga menghasilkan suatu resolusi dari berbagai perbedaan sasaran yang menjadi penyebabnya (Fisher et al. 2001). Bagaimanapun juga, penyelesaian konflik dan resolusinya dilakukan secara seimbang agar pihak yang berselisih berdamai dan meredam tindakantindakan anarkis yang berujung pada peristiwa bentrokan. Selain itu, adanya resolusi berpeluang untuk mendapatkan acuan dalam menetapkan kebijakan dan peraturan-peraturan terhadap usaha pemanfaatan sumberdaya, dan bagi nelayan dapat menjamin hak-haknya di dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya secara berkelanjutan. Secara skematis, penjelasan-penjelasan diatas dapat dilihat pada Gambar 1.
31
NELAYAN
Perbedaan antar Individu Seperti Pendirian dan Perasaan yang Dipengaruhi oleh Kebudayaan, Etnis dan Asal Daerah
Keadaan/Perilaku yang Bertentangan (Pertentangan Pendapat, Kepentingan, dan antarindividu) Ketidakseimbangan antara Hubungan Sosial (Kesenjangan Status Sosial, Kurang Meratanya Kemakmuran, dan Akses yang tidak Seimbang) Perselisihan Akibat Kebutuhan, Dorongan, Keinginan, atau Tuntutan yang Bertentangan Persaingan Antarindividu dan Perseteruan
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Keterbatasan SDA dan Kebutuhan yang Selalu Meningkat akan Keberadaan, Fungsi dan Manfaat SDA
Kebijakan Pemanfaatan SDI
Hukum Pemerintah
KONFLIK
Nilai-Nilai Lokal Masyarakat Nelayan (tidak diakui) Akibat Konflik: Kerusakan Lingkungan Tindakan Agresif Nelayan Lokal Akses Nelayan Luar pada SDI dibatasi Perebutan dan Penjarahan SDI Kerugian Materi dan Sosial Kelangkaan SDI
Resolusi Konflik:
Manajemen Konflik Resolving Konflik
tidak berhasil
berhasil
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan (Co-Managenent)
Keterangan
Penguatan Hukum dan Nilai-nilai Lokal Masyarakat Nelayan
: : Aksi (diteliti)
: Batasan Penelitian
: Reaksi (tidak diteliti)
Gambar 1. Kerangka Pendekatan Studi
32
3. 2 Hipotesis Penelitian Mengacu pada tujuan penelitian, kerangka pendekatan studi penelitian, serta beberapa literatur, maka secara hipotesis konflik kemungkinan disebabkan antara lain: (1) belum diterapkannya norma maupun kesepakatan bersama tentang aturan penangkapan ikan; (2) perbedaan norma dalam menangkap ikan antara pengguna (nelayan) dengan latar belakang etnis, budaya dan daerah yang berbeda; (3) faktor sosial ekonomi masyarakat pantai Selat Madura; dan (4) menurunnya ketersediaan sumberdaya bagi masyarakat perikanan pesisir. Untuk itu perlu suatu upaya dari semua pihak yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya ikan di perairan tersebut dimana nelayan atau masyarakat lokal sebagai user lebih banyak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.
IV. METODOLOGI
4.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini tergolong metode penelitian deskriptif-kualitatif yang memadukan perspektif sosiologis dan hukum dalam pengelolaan penyelesaian konflik pemanfaatan sumberdaya perikanan. Menurut Becker et al. (1968) diacu dalam Mulyana (2001), perspektif6 mengandung suatu definisi situasi, seperangkat gagasan yang melukiskan karakter situasi yang memungkinkan pengambilan tindakan, suatu spesifikasi jenis-jenis tindakan yang secara layak dan masuk akal dilakukan orang, atau standar nilai yang memungkinkan orang dapat dinilai. Suryabrata (2004) menjelaskan bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk membuat pencanderaan (deskripsi) secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai situasi-situasi atau kejadian dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Adapun Salim (2000) menjelaskan penelitian kualitatif adalah : ″ Penelitian kualitatif mempunyai arti yang berbeda-beda untuk tiap-tiap momen, meskipun demikian definisi umum bisa ditawarkan : penelitian kualitatif merupakan suatu metode berganda dalam fokus, yang melibatkan suatu pendekatan interpretatif dan wajar terhadap setiap pokok permasalahannya. Ini berarti penelitian kualitatif bekerja dalam setting yang alami, yang berupaya untuk memahami, memberi tafsiran pada fenomena yang dilihat dari arti yang diberikan kepadanya“. Penelitian kualitatif umumnya difokuskan pada strategi penelitian studi kasus. Penelitian ini terbagi dalam dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama dimana peneliti memilih menggunakan metode studi kasus dalam teknik pengumpulan data untuk mempelajari dan mengetahui model penanganan dan penyelesaian konflik pemanfaatan sumberdaya perikanan. Hal ini disesuaikan dengan kondisi sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat setempat, keadaan 6
Perspektif berbeda dengan persepsi, Charon diacu dalam Mulyana (2001), menjelaskan bahwa perspektif itu bukan persepsi, melainkan pemandu persepsi kita; perspektif mempengaruhi apa yang kita lihat dan bagaimana kita menafsirkan apa yang kita lihat itu. Dengan demikian, Perspektif merupakan “kacamata” yang kita pakai untuk melihat.
34
geografis wilayah, dan karakteristik pemanfaatan sumberdaya perikanan. Studi kasus merupakan suatu strategi penelitian multi-metode, lazimnya memadukan teknik pengamatan, wawancara, dan analisis dokumen (Stake et al. 1994 diacu dalam Sitorus 1998). Salim (2000) menjelaskan studi kasus adalah suatu pendekatan untuk mempelajari, menerangkan, atau menginterpretasikan suatu kasus (case) dalam konteks secara natural tanpa adanya intervensi dari pihak luar. Studi kasus digunakan sesuai dengan alasan-alasan antara lain: (1) pertanyaan penelitian berkenaan dengan “bagaimana“ atau “mengapa“ konflik pemanfaatan sumberdaya perikanan banyak terjadi di perairan Selat Madura, seperti di perairan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan; (2) peluang peneliti sangat kecil untuk mengontrol peristiwa/gejala sosial yang terjadi pada komunitas nelayan Kwanyar dan nelayan pendatang, serta pihak mediator dalam penyelesaian konflik; (3) fokus penelitian adalah peristiwa/gejala sosial masa kini dalam konteks kehidupan yang nyata (Yin 1996 diacu dalam Sitorus 1998). Hartono dan Nasution (2004) menyebutkan bahwa sebagai studi kasus maka kesimpulan yang dihasilkan terbatas pada komunitas yang diteliti yaitu pada komunitas nelayan yang terlibat konflik secara langsung. Teknik observasi (pengamatan) digunakan pada saat penelitian pendahuluan, sedangkan teknik wawancara digunakan pada saat penelitian utama. Sunarto (2004) mendefinisikan metode observasi (pengamatan) sebagai suatu metode penelitian nonsurvai dimana peneliti mengamati secara langsung perilaku para subjek penelitiannya. Sedangkan Kartono (1996) menjelaskan bahwa observasi merupakan studi yang disengaja dan sistematis tentang fenomena sosial dan gejala-gejala alam dengan jalan pengamatan dan pencatatan, observasi merupakan verbalisasi mengenai hal-hal yang diamati peneliti (James, P. Chaplin 1981 diacu dalam Kartono 1996). Sedangkan wawancara adalah suatu percakapan, tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih yang berhadapan secara fisik dan diarahkan pada suatu masalah tertentu (Kartono 1996). Teknik wawancara dalam penelitian ini lebih ditujukan sebagai alat penguji kebenaran dan kemantapan suatu peristiwa yang dicapai dari metode observasi.
35
4.2 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data deskriptif dan data kualitatif. Data deskriptif berupa kata-kata lisan atau tulisan dari manusia atau tentang perilaku manusia yang dapat diamati (Taylor dan Bogdan 1984 diacu dalam Sitorus 1998). Dengan demikian, data berupa penjelasan atau keterangan secara tertulis tentang tindakan nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan di perairan Kwanyar serta situasi penanganan pasca konflik (pengelolaan konflik) di wilayah perairan Selat Madura, yaitu yang melibatkan komunitas nelayan Batah Kwanyar, Kabupaten Bangkalan. Sedangkan Patton (1990) diacu dalam Sitorus (1998), mengemukakan bahwa data kualitatif dapat dipilih kedalam tiga kategori yaitu: (1) Hasil pengamatan, yaitu uraian (deskripsi) rinci mengenai situasi, kejadian/peristiwa, orang-orang, interaksi, dan perilaku yang diamati secara langsung di lapangan; (2) Hasil pembicaraan, yaitu kutipan langsung dari pernyataan orang-orang tentang pengalaman, sikap, keyakinan, dan pandangan/pemikiran mereka dalam kesempatan wawancara mendalam; dan (3) Bahan tertulis, yaitu petikan atau keseluruhan bagian dari dokumen, suratmenyurat, rekaman, dan kasus historis (sejarah). Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer yang bersifat kualitatif dan data sekunder yang bersifat deskriptif. Penggunaan data primer diutamakan untuk mendapatkan gambaran situasi dan kondisi nelayan (pra – pasca konflik). Data primer dikumpulkan melalui pengamatan berperan serta-terbatas dan wawancara mendalam dengan kelompok masyarakat nelayan, tokoh masyarakat, perangkat desa (Kepala Desa/Lurah), serta pihak dari Satpol-Air. Sementara data sekunder merupakan data yang dikumpulkan dari bahan pustaka atau hasil penelitian orang lain dan hasil dokumentasi pihak lain sebagai data pendukung dalam penelitian ini. Data sekunder juga diperoleh dari informasi dan dokumentasi pemerintah berwenang yaitu instansi Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bangkalan, dokumentasi dari Kepala Desa atau instansi pemerintah Kecamatan Kwanyar. Disamping itu, data sekunder dapat berasal juga dari kumpulan literatur yang berhubungan dengan permasalahan dan penyelesaian konflik nelayan yang diperoleh melalui dokumentasi dari media massa dan internet.
36
4.3 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui teknik triangulasi yang memadukan tiga metode yaitu metode pengamatan (observation), wawancara mendalam serta analisis isi (studi dokumen/arsip). Mulyana (2001), menjelaskan bahwa triangulasi merupakan cara pengumpulan data dengan menggunakan berbagai metode yang saling melengkapi. Menurut Denzin (1970) diacu dalam Sitorus (1998), triangulasi dapat diartikan sebagai kombinasi sumber data, tenaga peneliti, teori dan metodologi dalam suatu penelitian tentang suatu gejala sosial. Triangulasi diperlukan karena setiap metode memiliki kelemahan dan keunggulannya sendiri maka memadukan sedikitnya tiga metode seperti pengamatan (observation), wawancara, dan analisis dokumen sehingga metode yang satu dengan lainnya dapat menutupi kelemahan agar realitas sosialnya menjadi lebih valid (Sitorus 1998). Denzin (1970) diacu dalam Sitorus (1998), membedakan triangulasi kedalam empat tipe yaitu: (1) Triangulasi data7, (2) Triangulasi Peneliti8, (3) Triangulasi teori9, (4) Triangulasi metodologi10. Dalam penelitian ini, memadukan tiga tipe triangulasi yaitu: triangulasi data, triangulasi teori dan triangulasi metode. Model triangulasi dalam penelitian ini digambarkan pada Gambar 2.
Wawancara (Wawancara dilakukan secara mendalam terhadap informan untuk memahami pandangannya tentang kehidupan, pengalaman dan situasi konflik, jenis data primer)
Analisis Dokumen (Dilakukan pada hasil dokumentasi instansi pemerintah terhadap konflik, analisis pada dokumentasi media massa/peranan publik, jenis data sekunder)
Gambar 2. Model Triangulasi dalam Penelitian
7
Triangulasi data, yaitu penggunaan beragam sumber data dalam suatu penelitian Triangulasi peneliti, yaitu penggunaan beberapa peneliti yang berbeda disiplin ilmunya dalam suatu penelitian Triangulasi teori, yaitu penggunaan sejumlah perspektif dalam menafsir satu set data 10 Triangulasi metodologi, yaitu penggunaan sejumlah metode dalam suatu penelitian 8 9
37
Wawancara dilakukan secara mendalam terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam penyelesaian konflik. Menurut Mulyana (2001), menyebutkan bahwa wawancara mendalam atau wawancara berstruktur adalah metode yang selaras dengan interaksionisme simbolik, karena hal tersebut memungkinkan pihak yang diwawancarai untuk mendefinisikan dirinya sendiri dan lingkungannya untuk menggunakan istilah-istilah mereka sendiri mengenai fenomena yang diteliti, tidak sekedar menjawab pertanyaan. Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data kualitatif antara lain berupa catatan lapang, panduan topik pertanyaan, dokumentasi yang dimiliki oleh pihak yang berwenang (Lurah, DKP, Satpol-Air), serta literatur yang diambil dari koran/media massa. Sitorus (1998), catatan harian adalah catatan yang berisi data kualitatif hasil pengamatan dan wawancara di lapangan dalam bentuk uraian rinci maupun kutipan langsung. Panduan topik pertanyaan mencakup aspek sosial ekonomi komunitas nelayan dalam konflik, pemahaman nelayan terhadap hukum, persepsi dan peranan nelayan terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Informasi yang menunjang penelitian ini diperoleh dari para informan dari berbagai elemen, yaitu masyarakat nelayan, Kepala Desa, tokoh masyarakat, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bangkalan, petugas Satpol-Airud dan TNI-AL. Informan pertama atau informan kunci (key person) adalah tokoh masyarakat yang ditetapkan secara purposif (sengaja) melalui informasi yang diperoleh dari Kepala Desa. Informan selanjutnya baik nelayan atau tokoh masyarakat didapat dengan menggunakan teknik snowball (Wahyono et al. 2001 diacu dalam Hartono dan Nasution 2004). Metode snowball artinya informan didapat berdasarkan informasi dari informan yang telah diwawancarai sebelumnya. Disamping itu, dilakukan juga Focus Grup Discusion (FGD) untuk mendapatkan informasi tentang penyelesaian konflik. Cara ini dilakukan untuk mendapatkan persepsi penyelesaian konflik yang efektif menurut masyarakat antar dua komunitas (Desa Batah Barat dan Desa Batah Timur) di wilayah penelitian. Dengan demikian, data yang terkumpul merupakan informasi partisipatif yang dilakukan dengan teknik Participatory Rural Appraisal (PRA) melalui wawancara (Hartono dan Nasution 2004).
38
Informan utama dalam penelitian ini adalah masyarakat nelayan di dua desa pesisir yaitu Desa Batah Timur dan Desa Batah Barat yang sering terlibat konflik secara langsung dengan nelayan pendatang. Wawancara dengan nelayan dilakukan saat setelah mereka dari laut, dan pada saat mereka tidak melaut yaitu pada hari Jum’at. Jumlah informan utama tidak dibatasi. Hal ini ditujukan untuk menggali atau menelusuri informasi secara mendalam. Penelusuran informasi dihentikan ketika informasi yang didapatkan oleh peneliti sama antara satu informan dengan informan lainnya. Dari proses penggalian informasi tersebut didapatkan sekitar 25 informan utama. Penelusuran informasi konflik secara mendalam dilakukan juga terhadap informan lain yang terlibat atau bertindak sebagai mediator dalam konflik, diantaranya Kepala Desa (Batah Barat dan Batah Timur), Camat, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bangkalan, aparat Kamla (Keamanan Laut) dari kesatuan Pol-Airud dan TNI-AL yang berada di desa Batah Barat, serta tokoh masyarakat (Ulama) dan tokoh nelayan Kwanyar. Informan tersebut masing-masing jumlahnya ditetapkan 1 orang, kecuali Kamla peneliti menetapkan 2 orang masing-masing dari kesatuan Pol-Airud dan TNI-AL. Sehingga jumlah informan seluruhnya sebanyak 33 informan. Tabel 1. menyajikan karakteristik pertanyaan terhadap masing-masing informan.
39
Tabel 1. Karakteristik Pertanyaan Tiap-tiap Informan Stakeholder
Level
Teknik
Kelompok nelayan Desa Batah Barat dan Desa Batah Timur, Kecamatan Kwanyar
Community Wawancara Focus Group Discussion
Tokoh masyarakat (Ulama dan Tokoh nelayan)
Community Wawancara Focus Group Discussion
Pemerintah daerah dan staff (tingkat Kecamatan dan Desa)
Supracommunity
Wawancara
Dinas Perikanan Kelautan Kabupaten Bangkalan
Supracommunity
Wawancara
Aparat Kamla (Keamanan Laut) dari Kesatuan PolAirud dan TNIAL
Supracommunity
Wawancara
Topik Persepsi terhadap kebijakan perikanan, partisipasi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, persepsi terhadap nelayan luar, partisipasi dalam melakukan penegakan hukum, pengalaman konflik, sebab dan akibat konflik serta persepsi terhadap pemerintah daerah dalam penanganan konflik. Peranannya terhadap konflik, sejarah konflik, persepsi terhadap pihakpihak lain (instansi pemerintah,aparat keamanan, dan individu) dalam penanganan konflik. Peranannya terhadap konflik, persepsi terhadap masyarakat nelayan, persepsi terhadap konflik nelayan. Peranannya terhadap konflik, proses sosialisasi hukum dan perundangan perikanan, pembinaan kepada nelayan, kebijakan perikanan terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan, persepsi terhadap pengelolaan perikanan oleh nelayan lokal. Peranannya terhadap konflik, proses sosialisasi hukum dan perundangan perikanan, pembinaan nelayan, penegakan hukum di laut.
Jumlah Informan 25 informan
2 informan
Kecamatan : 1 informan Kepala Desa : 2 informan 1 informan
2 informan
40
4.4 Analisis Data Analisis data yang dijadikan acuan dalam penelitian meliputi reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Miles dan Huberman 1992 diacu dalam Sitorus 1998). Selanjutnya sesuai dengan Kartono (1996), menjelaskan tentang prosedur ilmiah yang harus diperhatikan dalam setiap penelitian, diantaranya adalah: (1) menimbang data secara cermat dan hati-hati; (2) pengaturan data dengan mengadakan klasifikasi; (3) menciptakan konsepkonsep atau sistem formal tertentu, yaitu memformulasikan ide-ide dan definisi mengenai tingkah laku sosial dan fenomena sosial; dan (4) memikirkan sistemsistem deduktif atau logis untuk membuktikan dan memverifikasi proporsiproporsi (pendirian) tertentu dan pembuktian faktual. Penelitian ini dinyatakan berhenti pada kondisi data jenuh, yaitu saat penggalian informasi dari informan yang satu ke informan lainnya yang direkomendasikan, keterangannya tetap berkisar atau hampir sama dengan informan-informan sebelumnya yang telah peneliti wawancarai.
1) Reduksi data Seluruh data yang berupa dokumen dipilih dan diseleksi secara ketat untuk mengetahui keabsahannya. Data yang tidak sesuai sebaiknya dipisahkan untuk sementara waktu atau secara permanen sehingga yang ada hanya data yang sesuai dengan pertanyaan dan tujuan penelitian. Kelengkapan data diperoleh apabila data tersebut sudah dapat menjawab masalah dan tujuan penelitian. Keabsahan data juga dicek dengan memperbandingkan antar data, misalnya data yang berupa catatan lapang dari hasil pengamatan peneliti dengan data-data lain seperti statement-statement pengakuan/surat perjanjian (Kartono 1996), dokumentasi pemerintah dan publik, dan lain-lain. Dengan demikian didapatkan data yang benar-benar mempunyai kesinkronan dengan hasil pengamatan di lapangan. Peneliti juga menyesuaikan data dengan hasil wawancara mendalam dengan informan kunci (key person) sehingga keabsahan data dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
41
2) Penyajian data Penyajian data hasil reduksi data disajikan dalam bentuk teks naratifdeskriptif. Seperti yang diungkapkan dalam Sitorus (1998), menyatakan bahwa terdapat beberapa bentuk penyajian data, yaitu: (1) Teks naratif yang berupa catatan lapang, sehingga tidak praktis. Ini mengandung kesulitan karena teks naratif sangat panjang sehingga melebihi kemampuan manusia memproses informasi dan menggerogoti kecenderungan mereka untuk menemukan pola-pola yang sederhana; (2) Matriks, grafik, jaringan, dan bagan. Bentuk-bentuk seperti ini menggabungkan informasi yang tersusun dalam bentuk yang padu dan mudah diraih, sehingga memudahkan untuk melihat apa yang sedang terjadi, dan menentukan apakah menarik kesimpulan yang benar ataukah terus melangkah melakukan analisis. Pada penyajian dalam teks naratif, karena teks yang sangat panjang maka peneliti membatasinya melalui teks deskriptif untuk menggambarkan faktor yang menjadi penyebab konflik, penanganan konflik terhadap masalah pemanfaatan sumberdaya yang juga memuat konsep hukum yang pada intinya berfungsi sebagai pengendalian sosial (social control) aktivitas masyarakat nelayan.
3) Penarikan kesimpulan Penarikan kesimpulan dalam hal ini mencakup juga verifikasi atas kesimpulan selama penelitian berlangsung dengan cara: (1) Memikir ulang selama penulisan; (2) Meninjau ulang catatan-catatan lapang (harian); (3) Meninjau kembali dan bertukar pikiran dengan teman satu tema penelitian dan dosen pembimbing untuk mengembangkan kesepakatan intersubjektif. Selain itu penulis juga menghubungi kembali beberapa informan untuk mengkonfirmasi hasil penelitian; dan (4) Melakukan upaya-upaya yang luas untuk menempatkan salinan suatu temuan dalam seperangkat data yang lain.
4.5 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Kwanyar yang merupakan wilayah pesisir selatan Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Provinsi Jawa Timur, dimana perairan lautnya berada dalam kawasan perairan Selat Madura
42
yang rawan terhadap konflik. Penelitian pengamatan dilakukan pada seluruh desa pesisir di Kecamatan Kwanyar sedangkan penelitian utama yaitu masalah konflik hanya dilakukan pada dua desa pesisir yaitu: Desa Batah Barat, dan Desa Batah Timur. Penelitian pendahuluan dilakukan pada bulan Agustus 2006, sedangkan penelitian utama dilakukan pada tanggal 20 Maret sampai dengan 5 April 2007. 4.6 Batasan dan Konsep 1. Konflik nelayan adalah ketidakharmonisan diantara kelompok pengguna sumberdaya perikanan karena belum adanya atau dilanggarnya norma maupun kesepakatan bersama dalam prinsip pemanfaatan sumberdaya perikanan. 2. Penanganan konflik adalah cara yang ditempuh oleh pihak-pihak yang terlibat dan peduli dalam konflik dengan tujuan untuk meredakan dan mengurangi terjadinya konflik/pertentangan dalam masyarakat, mendamaikan pihak-pihak yang bertikai demi kelangsungan hidup masyarakat yang sejahtera. 3. Sumberdaya perikanan adalah semua kekayaan/ potensi yang ada di laut meliputi ikan dan biota perikanan. 4. Pemanfaatan sumberdaya perikanan adalah usaha yang ditujukan untuk mengambil, menangkap, ataupun menggunakan sumberdaya ikan secara optimal yang dilakukan secara kontinyu. 5. Nelayan tradisional adalah nelayan yang menggunakan alat tangkap jaring biasa (jala, jaring klitik), pancing, bubu dan rawe dasar kecil.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Kondisi Umum Daerah 5.1.1 Kondisi Wilayah Kecamatan Kwanyar terletak di kawasan pesisir selatan Pulau Madura, Kabupaten Bangkalan, Provinsi Jawa Timur pada 07o09‟840” Lintang Selatan (LS) dan 112o51‟221” Bujur Barat (BB). Kecamatan Kwanyar merupakan salah satu dari 18 Kecamatan yang ada di Kabupaten Bangkalan dengan luas wilayah 47,78 km2. Secara geografis dibatasi oleh: 1. Kecamatan Tragah dan Kecamatan Tanah Merah di sebelah Utara 2. Selat Madura di sebelah Selatan 3. Kecamatan Modung di sebelah Timur 4. Kecamatan Labang di sebelah Barat Jarak tempuh dari pusat pemerintahan kota Kabupaten Bangkalan ± 21 km dan dari Pelabuhan Penyeberangan Kamal ± 20 km. Letak Kecamatan Kwanyar berada pada ketinggian 0-24 m dari permukaan laut. Sebagian besar wilayah Kwanyar terletak pada lahan relatif datar. Secara umum topografi berkisar antara 0-40% dan tidak menunjukkan adanya perbedaan ketinggian lahan yang cukup menyolok. Ketinggian tempat berkisar antara 5 m sampai 17 m di atas permukaan air laut. Kecamatan Kwanyar memiliki daya dukung pertanahan yang baik. Pengaruh tanah bergerak hampir tidak ada dimana kondisi jalan dan rumah permanen cukup baik. Jenis tanah adalah kompleks mediteran dan sebagian kecil di bagian utara jenis tanah asosiasi hidromorf kelabu dan Planosol cokelat kekelabuan. Sedangkan jenis batuan atau geologi sebagian besar adalah jenis batuan endapan Pleistocene, Pleocens batu kapur. Sedangkan di bagian selatan sebagian besar jenis tanahnya berupa tanah Hidro Morphe Alluvial dan sebagian kecil berupa tanah Granosol dan mediteran merah. Iklim di Kecamatan Kwanyar pada umumnya beriklim kering dengan tipe D/E, dimana musim kemarau panjang yaitu 7 bulan dan musim penghujan yaitu 5 bulan. Rata-rata curah hujan adalah 15,46 mm3/hari dengan kondisi cuaca rata-
44
rata amplitude suhu harian sekitar 330C dengan rata-rata suhu siang 320C dan ratarata suhu malam 290C. Mengenai kondisi demografinya, Kecamatan Kwanyar terdiri dari 16 Desa dimana terdapat 6 desa pantai yakni : Desa Tebul, Desa Kwanyar Barat, Desa Pesanggrahan, Desa Karang Anyar, Desa Batah Barat, dan Desa Batah Timur. Mata pencaharian masyarakatnya sehari-hari disamping sebagai petani, pedagang, pekerja jasa dan angkutan, ± 37,5% bekerja di sektor perikanan sebagai nelayan yang menangkap dan mencari ikan di laut perairan Selat Madura, petani tambak dan pengolah hasil perikanan.
5.1.2 Kependudukan dan Mata Pencaharian Jumlah penduduk di Kecamatan Kwanyar berdasarkan data registrasi terakhir pada bulan Desember 2005 berjumlah 36.383 jiwa dengan jumlah perbandingan penduduk laki-laki 17.078 jiwa atau 46,94% dan jumlah penduduk perempuan 19.305 jiwa atau 53,06% dari jumlah penduduk total dengan 1.039 kepala keluarga yang sebagian besar dikepalai perempuan. Hal ini karena penduduk laki-laki banyak yang bekerja ke daerah lain sebagai pekerja buruh, pedagang dan TKI. Kepadatan penduduk sebesar 761,47 jiwa/Km2. Sedangkan jumlah penduduk di wilayah desa-desa pesisir di Kecamatan Kwanyar berjumlah 15.546 jiwa, dengan jumlah perbandingan penduduk laki-laki 7.335 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 8.211 jiwa. Jumlah penduduk desa-desa pantai di Kecamatan Kwanyar ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah Penduduk Desa Pantai Kecamatan Kwanyar per Luas Wilayah (Km2) Nama Desa Desa Tebul Desa Kwanyar Barat Desa Pesanggrahan Desa Karang Anyar Desa Batah Barat Desa Batah Timur Jumlah
Jumlah Penduduk (jiwa) 1.450 3.254 3.622 1.725 2.687 2.808 15.546
Luas Wilayah (km2) 1,97 2,47 3,32 1,80 1,78 3,50 14,84
Sumber: Data Kependudukan Kecamatan Kwanyar Desember 2005
Rata-Rata Kepadatan Penduduk per km2 763,04 1.317,41 1.090,96 958,33 1.509,55 802,29 1.047,57
45
Mata pencaharian penduduk Kecamatan Kwanyar berdasarkan lapangan usaha yang tersedia adalah 52,38 % di sektor pertanian pangan, 0,58 % di sektor perkebunan, 9,14 % di sektor perikanan, 0,14% di sektor peternakan, 0,72 % di sektor pertanian lainnya (tanaman rempah), 0,87 % di sektor industri pengolahan (pangan), 21,40 % di sektor perdagangan, 7,69 % di sektor jasa (buruh, penjaga wartel), 3,41 % di sektor angkutan (sopir), dan 3,67 % di sektor lainnya (PNS dan guru). Tabel 3. Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Kwanyar berdasarkan Lapangan Usaha Lapangan Usaha Jumlah Pekerja (orang) Persentase (%) Pertanian Tanaman Pangan 12.179 52,38 Perkebunan 135 0,58 Perikanan 2.124 9,14 Peternakan 33 0,14 Pertanian Lainnya 167 0,72 Industri Pengolahan 203 0,87 Perdagangan 4.975 21,40 Jasa 1.787 7,69 Angkutan Darat 794 3,41 Lainnya 854 3,67 Jumlah 23.251 100,00 Sumber: Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Bangkalan Tahun 2005
Mata pencaharian penduduk di wilayah desa-desa pesisir sebagian besar sebagai nelayan, petani tambak dan petani (± 37,5%). Mata pencaharian lain penduduk di desa-desa pesisir berdasarkan lapangan usaha yang tersedia, antara lain sebagai pedagang ikan, pedagang dan pengolah hasil perikanan, sopir angkutan, buruh bangunan, pegawai negeri sipil (PNS), guru, buruh tani, dan tenaga kerja ke luar negeri (TKI). Lapangan usaha penduduk desa-desa pesisir didominasi oleh usaha perikanan dan pertanian yang terbagi menjadi: 1. Usaha perikanan Perikanan tangkap, komoditas utama yang dihasilkan seperti udang putih dan rajungan, sedangkan hasil tangkapan lain dalam jumlah kecil seperti ikan pengantih (gulamah), cumi-cumi, bawal laut, pari, serta ikan-ikan pelagis kecil. 2. Usaha pertanian, terdiri dari: a. Lahan pertanian tanaman pangan, seperti padi, jagung, dan ubi kayu. b. Lahan pertanian tanaman hortikultura, seperti jambu biji, jambu air, mangga, nangka, pisang, pepaya, sawo dan sukun.
46
c. Peternakan, seperti ayam kampong, ayam ras, itik, bebek manila, sapi, kambing dan domba. d. Perikanan, seperti budidaya udang windu. Disamping itu terdapat juga sektor usaha lain seperti jasa, misalnya pedagang toko, penjahit, bidan, guru, PNS, sopir, buruh bangunan dan pabrik, pedagang keliling dan warung makanan, dan penjaga wartel.
5.1.3 Pendidikan Penyediaan sarana fisik pendidikan dan tenaga pengajar yang memadai merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan partisipasi sekolah penduduk. Pada tahun ajaran 2005-2006 jumlah sekolah Taman Kanak-kanak terdapat 12 buah dengan jumlah siswa sebanyak 603 orang dan tenaga pengajar/guru sebanyak 51 orang. Terdapat 36 buah Sekolah Dasar dengan jumlah siswa sebanyak 6.623 orang dan guru sebanyak 305 orang. Sedangkan untuk Sekolah Lanjutan Pertama (SLTP) terdapat 1 buah dengan jumlah siswa sebanyak 327 orang dan guru sebanyak 30 orang. Sementara itu untuk Sekolah Lanjutan Atas (SLTA) terdapat 1 buah dengan jumlah siswa sebanyak 450 orang dan guru 38 orang. Dari Tabel 4. didapatkan bahwa pendidikan penduduk tertinggi adalah kelulusan/tamatan SD (Sekolah Dasar)/MI (Madrasah Ibtidaiyah) atau 74,42 % dari total angkatan kerja. Dengan demikian, tingkat pendidikan penduduk masih rendah. Hal ini kemungkinan mempengaruhi pada jenis pekerjaan yang akan didapatkan. Tabel 4. Tingkat Pendidikan menurut Angkatan Kerja Penduduk Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%) Buta huruf 364 3,29 Tidak/belum pernah sekolah 512 4,63 Tidak/belum pernah tamat SD/MI 468 4,23 Tamat SD/MI 8.231 74,42 Tamat SLTP/MTS 762 6,89 Tamat SMU/MA 623 5,63 Tamat Diploma III/ Sarjana Muda 52 0,47 Tamat Sarjana 48 0,43 Jumlah 11.060 100,00 Sumber: Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Bangkalan Tahun 2005
47
5.1.4 Sarana Kesehatan Dalam bidang kesehatan pemerintah Kabupaten Bangkalan telah membangun sarana dan prasarana pendukung untuk membantu pelayanan kesehatan kepada masyarakat umum. Sarana kesehatan di Kecamatan Kwanyar cukup memadai. Jumlah sarana kesehatan yang disediakan oleh pemerintah Kabupaten Bangkalan di Kecamatan Kwanyar adalah sebanyak 63 unit terdiri dari 1 unit Puskesmas dan 4 unit Puskesmas Pembantu di pusat Kecamatan, 5 unit Pondok Bersalin dan 53 unit Posyandu yang tersebar di setiap desa. Sedangkan jumlah tenaga medis yang tersedia terdapat 2 orang dokter umum, 8 orang bidan, 10 orang perawat, dan 16 orang dukun beranak yang sebelumnya telah memiliki pelatihan/pendidikan keperawatan.
5.1.5 Sarana Telekomunikasi dan Sarana Ekonomi. Prasarana dan sarana yang ada di Kecamatan Kwanyar antara lain meliputi sarana telekomunikasi, sarana ekonomi, dan sarana . Sarana dan prasarana umum lain seperti sarana telekomunikasi sudah tersedia di 16 desa dengan jumlah pelanggan 2.135 pelanggan. Sarana ekonomi seperti fasilitas bank dan perkreditan masih terbatas dan hanya terdapat 1 buah yaitu Cabang Bank Rakyat Indonesia (BRI) di pusat Kecamatan.
48
5.2 Profil Desa dalam Ruang Lingkup Penelitian 5.2.1 Desa Batah Barat 5.2.1.1 Kondisi Wilayah Desa Batah Barat adalah salah satu dari enam desa pesisir yang ada di kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan Provinsi Jawa Timur. Desa Batah Barat terletak diantara desa Karang Anyar dan desa Batah Timur yang berada pada 07o10,590′ Lintang selatan (LS) dan 112o44,190′ Bujur Barat (BB). Topografi desa ini pada umumnya adalah daratan pantai dengan elevasi derajat dan ketinggian ± 0.75 m diatas permukaan laut. Curah hujan mencapai 15,46 mm3/hari dan suhu udara rata-rata berkisar antara 29oC. Secara geografis dan administratif Desa Batah Barat berbatasan dengan: 1. Sebelah Utara berbatasan dengan desa Pandanan 2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Selat Madura 3. Sebelah Barat berbatasan dengan desa Karang Anyar 4. Sebelah timur berbatasan dengan desa Batah Timur Desa Batah Barat terdiri dari 5 dusun dengan luas wilayah 1,78 Ha. Jarak dari pemerintahan Desa ke pemerintahan Kecamatan sekitar 3,5 km dengan lama tempuh ke ibukota kecamatan selama 15 menit, dan ke ibukota Kabupaten sekitar 24,5 km yang ditempuh selama 2 jam.
5.2.1.2 Kependudukan Kepadatan penduduk Desa Batah Barat pada akhir bulan Desember 2005 adalah 1.509,55 jiwa/km2 dalam 72 Kepala Keluarga (KK). Pada Tabel 5. menunjukkan bahwa jumlah penduduk Desa Batah Barat adalah 2.687 jiwa dengan jumlah perbandingan penduduk laki-laki 1.294 jiwa atau 48,16 % dan jumlah penduduk perempuan 1.393 jiwa atau 51,84 %.
Tabel 5. Jumlah Penduduk Desa Batah Barat menurut Jenis Kelamin Jenis Kelamin Penduduk Jumlah (jiwa) Penduduk Laki-Laki Penduduk Perempuan Jumlah Sumber: Data Kependudukan Kecamatan Kwanyar Desember 2005
1.294 1.393 2.687
49
Sebagian besar penduduk menempati lokasi-lokasi tertentu, yaitu dekat dengan jalan utama dan pantai. Alur pemukiman penduduk berada di sepanjang pantai dan di sepanjang jalan utama yang menghubungkan antar kecamatan dan kabupaten di Pulau Madura. Mata pencaharian penduduk umumnya adalah nelayan, petani dan pedagang.
5.2.2 Desa Batah Timur 5.2.2.1 Kondisi Wilayah Desa Batah Timur adalah salah satu dari enam desa pesisir yang ada di kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan Provinsi Jawa Timur. Desa Batah Timur terletak pada wilayah timur kecamatan Kwanyar setelah Desa Batah Barat, dan berada pada 07o10,825′ Lintang selatan (LS) dan 112o54,515′ Bujur Barat (BB). Topografi desa ini pada umumnya adalah daratan pantai dengan elevasi derajat dan ketinggian ± 1 m diatas permukaan laut. Curah hujan mencapai 15,46 mm3/hari dan suhu udara rata-rata berkisar antara 29oC. Secara geografis dan administratif Desa Batah Timur berbatasan dengan: 1. Sebelah utara berbatasan dengan desa Duwek Buter 2. Sebelah selatan berbatasan dengan laut Selat Madura 3. Sebelah Barat berbatasan dengan desa Batah Barat 4. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Modung. Desa Batah Timur terdiri dari 6 dusun dengan luas wilayah 3,5 Ha. Jarak dari pemerintahan Desa ke pemerintahan Kecamatan sekitar 4 km dengan lama tempuh ke ibukota kecamatan selama 25 menit, dan ke ibukota Kabupaten sekitar 25 km yang ditempuh selama 2,5 jam.
5.2.2.2 Kependudukan Kepadatan penduduk Desa Batah Timur pada akhir bulan Desember 2005 adalah 802,29 jiwa/km2 dalam 62 Kepala Keluarga (KK). Pada Tabel 6. menunjukkan bahwa jumlah penduduk Desa Batah Timur adalah 2.808 jiwa dengan jumlah perbandingan penduduk laki-laki 1.314 jiwa atau 46,79 % dan jumlah penduduk perempuan 1.494 jiwa atau 53,21 %.
50
Tabel 6. Jumlah Penduduk Desa Batah Timur menurut Jenis Kelamin Jenis Kelamin Penduduk Jumlah (jiwa) Penduduk Laki-Laki Penduduk Perempuan Jumlah Sumber: Data Kependudukan Kecamatan Kwanyar Desember 2005
1.314 1.494 2.808
Sebagian besar penduduk menempati lokasi-lokasi tertentu, yaitu dekat dengan jalan raya dan pantai. Alur pemukiman penduduk berada hanya di sepanjang jalan utama (jalan kecamatan/kabupaten). Alur pemukiman penduduk tidak ditemukan di sepanjang pantai karena di desa ini lahan di sepanjang pantai sempit dan hanya dimanfaatkan untuk mangrove. Mata pencaharian penduduk umumnya adalah nelayan, petani dan pedagang.
51
5.3 Profil Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Nelayan Kwanyar 5.3.1 Potensi Sumberdaya Perikanan 5.3.1.1 Perikanan Tangkap dan Budidaya Perairan laut Kwanyar termasuk dalam perairan Selat Madura yang memiliki luas 10.962 km2 yang merupakan kawasan pantai semi tertutup dan sempit dengan potensi sumber daya yang relatif terbatas, serta dieksploitasi oleh banyak nelayan (over crowded) dengan karakteristik armada penangkapan skala kecil. Hasil estimasi produksi ikan maksimum (MSY) perairan Selat Madura ditunjukkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil Estimasi Produksi Ikan Maksimum (MSY) Wilayah Perairan Selat Madura (Model Schaefer) dan Produksi Ikan Pada Tahun 2004 Item
Produksi Maksimal Armada Optimum CPUE Optimum Produksi tahun 2004 Armada tahun 2004 Status
Ikan Pelagis MSY Effort (ton) 101.120,00
Ikan Demersal MSY Effort (ton) 27.734,53
1.653-PS
128.854,53
544-DS
61,18
50,96
128.402,60
6.189,60*) 1.713-PS
Jumlah
Keterangan
PS = baku Purse Seine DK = baku Danish Seine *) Produksi tahun 2003 = 35.553,40 ton
1.012-DS
Over Over Eksploitasi Eksploitasi Sumber: Pusat Penelitian Perikanan (PUSLITKAN) Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur 2005
Berdasarkan Tabel 7. dapat dijelaskan bahwa pada tahun 1994 menunjukkan MSY ikan pelagis mencapai 101.120 ton per tahun, sedangkan MSY ikan demersal adalah 27.734,53 ton per tahun. Hasil estimasi tahun 2004 menunjukkan angka MSY ikan pelagis meningkat, sedangkan MSY ikan demersal mengalami perubahan, yaitu MSY ikan demersal sebesar 27.734,53 ton per tahun pada tahun 1994 dan 6.189,60 ton per tahun pada tahun 2004. Dengan demikian disimpulkan bahwa pemanfaatan sumberdaya perikanan Selat Madura menunjukkan kondisi pemanfaatan ikan pelagis dan ikan demersal yang mengindikasikan telah terjadi over-exploited dimana jumlah armada penangkapan ikan telah melampaui jumlah yang seharusnya diijinkan. Penurunan produksi ikan demersal secara drastis dari 35.553,40 ton pada tahun 2003 menjadi hanya
52
6.189,60 ton pada tahun 2004 diduga terjadi akibat penggunaan alat tangkap dasar yang menguras sumberdaya perikanan demersal secara berlebihan, sementara cadangan ikan demersal Selat Madura hampir tetap atau tidak ada wilayah penangkapan ikan lainnya. Disamping itu karena adanya dugaan penggunaan alat tangkap ikan demersal tanpa kendali yang merusak lingkungan perairan, seperti masuknya jaring Dogol (Danish seine) dari luar Selat Madura seperti dari Brondong, Laut Utara Jawa Timur (PUSLITKAN 2005). Potensi perikanan laut di Kecamatan Kwanyar rendah dibandingkan dengan kecamatan lain di Kabupaten Bangkalan. Karakteristik perikanan di Kecamatan Kwanyar merupakan perikanan tradisional dengan skala kecil yang bersifat subsistence11. Disamping itu perairan laut Kecamatan Kwanyar sempit dengan panjang pantai 11,80 km (± 3 mil laut) dan rawan konflik12 mengingat wilayahnya termasuk dalam wilayah perairan Selat Madura dimana kondisi perikanannya sudah mengalami overfishing (padat tangkap). Aktivitas penangkapan ikan di laut cukup tinggi. Areal penangkapan (fishing ground) yang terbatas menyebabkan perikanan laut sulit berkembang jika tetap difokuskan pada kegiatan penangkapan. Sumberdaya perikanan yang termanfaatkan dapat dilihat berdasarkan nilai data produksi tahunan pada Tabel 8.
Tabel 8. Nilai Produksi Perikanan Kecamatan Kwanyar Sub Sektor Produksi (Ton) Perikanan 2001 2002 2003 2004 2005 Perikanan Laut 2.396,954 2.018,670 2.088,670 2.551,00 1.385,35 Penangkapan Perairan Umum 10,950 10,965 1,00 1,00 (Sungai) Perikanan Darat 423,200 102,300 102,350 27,00 32,00 Budidaya Air Payau Total 2.820,154 2.131,970 2.201,985 2.578 1.417,35 Sumber: Bangkalan Dalam Angka 2002, 2003, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bangkalan 2006
11
Nelayan dalam menangkap ikan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari karena rata-rata nelayan Kwanyar merupakan nelayan kecil yang tidak berorientasi untuk mendapatkan keuntungan yang besar dari aktivitas penangkapan ikan. Kegiatan penangkapan dilakukan menggunakan alat tangkap yang sederhana dengan memperhatikan kelestarian dan keberlanjutan ekosistem demi menjamin kelangsungan hidupnya. 12 Konflik nelayan di Kecamatan Kwanyar akibat dari semakin berkurangnya stok sumberdaya ikan di perairan Selat Madura akibatnya terjadi perebutan wilayah penangkapan ikan (fishing ground) dimana banyak nelayan dari daerah lain melakukan pelanggaran yaitu menangkap ikan di dalam wilayah pantai Kecamatn Kwanyar.
53
Dari Tabel 8. untuk perikanan laut yaitu pada sub sektor penangkapan terjadi peningkatan produksi pada tahun 2003 dan tahun 2004, namun mengalami penurunan pada tahun 2005. Sedangkan dari sub sektor perairan umum, penurunan produksi terjadi pada tahun 2004 dan 2005 atau hampir ± 99% dari produksi tahun 2003. Hal ini karena pada sub sektor penangkapan dan perairan umum, lingkungan telah mengalami degradasi dan keterbatasan sumberdaya ikan. Begitu pula untuk perikanan darat juga mengalami perubahan yang fluktuatif, dimana produksi paling rendah terjadi pada tahun 2004. Hal ini disebabkan karena perikanan budidaya mengalami kegagalan panen udang akibat serangan penyakit SEMBV (Septicemia Monodon Baculo Virus). Potensi sub sektor perikanan darat berupa budidaya air payau (tambak), terdapat di 3 (tiga) desa pesisir yaitu Desa Pesanggrahan dengan luas lahan 15 Ha dimanfaatkan oleh 14 RTP, Desa Karang Anyar dengan luas lahan 20 Ha dimanfaatkan oleh 10 RTP. Pada kedua desa tersebut luas lahan tambak telah dimanfaatkan seluruhnya. Sedangkan di Desa Batah Barat luas lahan tambak 22 Ha masih dimanfaatkan seluas 15 Ha oleh 8 RTP (Tabel 9).
Tabel 9. Potensi Perikanan Budidaya Kecamatan Kwanyar Desa/Kelurahan
Luas Lahan Lahan Tambak Lahan Produktif (Ha) (Ha) Desa Pesanggrahan 15.00 15.00 Desa Karang Anyar 20.00 20.00 Desa Batah Barat 22.00 15.00 Jumlah 57.00 50.00 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangkalan 2005
Jumlah RTP Tambak (orang) 14 10 8 32.00
5.3.1.2 Mangrove Potensi mangrove terdapat di 4 (empat) desa dari 6 (enam) desa pesisir di Kecamatan Kwanyar. Keempat desa yang dimaksud adalah;
Desa Pesanggrahan
: 67,00 Ha
Desa Karang
: 46,25 Ha
Desa Batah Barat
: 48,50 Ha
Desa Batah Timur
: 29,50 Ha
Total seluruh desa
: 191,25 Ha
Ketebalan mangrove
: 120 m
54
Desa yang tidak memiliki potensi mangrove adalah Desa Tebul dan Desa Kwanyar Barat. Di Desa Tebul tidak terdapat mangrove karena wilayah pantainya merupakan pantai berkarang dan perbukitan dengan relief yang cukup curam mengarah ke laut. Sedangkan di Desa Kwanyar Barat, tidak terdapat mangrove karena sebagian lahan pantai sejak dahulu telah dimanfaatkan untuk pemukiman penduduk dan penyediaan sarana aktivitas ekonomi masyarakat nelayan seperti pelabuhan pendaratan ikan (PPI). Lahan mangrove di Kecamatan Kwanyar ditetapkan sebagai kawasan preservasi yang ditujukan untuk mempertahankan fungsinya sebagai kawasan lindung (konservasi dan preservasi).
5.3.2 Jumlah Nelayan Kwanyar Nelayan merupakan salah satu alternatif pekerjaan bagi penduduk desadesa pesisir di Kecamatan Kwanyar. Jumlah armada perikanan, Nelayan dan Rumah Tangga Perikanan (RTP) di Kecamatan Kwanyar ditunjukkan pada Tabel 10.
Tabel 10. Jumlah Armada Perikanan, Nelayan dan Rumah Tangga Perikanan (RTP) di Kecamatan Kwanyar Tahun Armada (unit) Nelayan (orang) 2001 390 576 2002 410 640 2003 410 640 2004 428 640 2005 428 640 Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bangkalan 2006
RTP (orang) 369 410 410 410 410
Berdasarkan data diatas, tahun 2003 sampai dengan tahun 2005 tidak terjadi pertambahan jumlah nelayan atau RTP. Hal ini disebabkan karena fishing ground yang semakin sempit dengan keberadaan sumberdaya yang semakin terbatas. Pekerjaan sebagai nelayan bukan menjadi pekerjaan yang utama bagi penduduk Kwanyar. Penduduk yang tetap bertahan sebagai nelayan adalah mereka yang secara turun temurun memanfaatkan kekayaan laut sejak dahulu. Pertambahan jumlah nelayan atau RTP hanya terjadi pada tahun 2002 yaitu sebanyak 64 orang (± 11,1%) dari tahun 2001. Pertambahan hanya terjadi pada jumlah armada perikanan. Pada tahun 2002, terjadi pertambahan armada sebanyak
55
20 armada (± 5,1%). Pada tahun 2004 dan tahun 2005 dibandingkan dengan tahun 2002 dan tahun 2003, maka pertambahan yang terjadi sebanyak 18 armada (± 4,4%). Hal ini disebabkan karena perahu-perahu nelayan banyak mengalami kerusakan akibat disandera oleh nelayan-nelayan luar yang terlibat konflik dengan nelayan Kwanyar. Menurut keterangan seorang informan X, menyatakan: ”Sekarang yang jadi nelayan tidak banyak, ikannya sudah semakin sedikit, melaut juga hanya disekitar sini, disesuaikan dengan banyaknya solar. Paling-paling sehari hanya dapat satu Loyang ikan (± 1-1½ kg) itu kalo mungkin, kadang ngak dapat apapun. Saya dan teman-teman nelayan yang lain bertahan jadi nelayan karena ngak tahu mau kerja apa, dari dulu ngikutin orang tua jadi nelayan.” Berdasarkan hasil wawancara dengan Kasubdin Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bangkalan, bapak Abdurahman, menyatakan: ”Pertambahan armada di Kwanyar berasal dari bantuan pemerintah. Pemerintah mengalokasikan sejumlah dana untuk membantu nelayan memperbaiki perahu dan alat tangkapnya. Disamping itu, ada sebagian nelayan yang tidak memiliki perahu sendiri (numpang dengan tetangganya), padahal hasil yang mereka dapatkan sedikit, tentu saja semakin mengurangi pendapatan mereka. Dengan memiliki perahu sendiri, setidaknya memaksimalkan waktu mereka dilaut. Pengalokasian dana banyak ditujukan untuk nelayan di Desa Batah Barat karena masyarakatnya banyak dirugikan karena konflik dengan nelayan luar (Pasuruan dan Sreseh) dari dulu. Banyak perahu nelayan yang rusak karena tenggelam dan disandera.” 5.3.3 Teknologi Penangkapan Teknologi penangkapan (alat tangkap) yang digunakan oleh nelayan Kwanyar beragam sesuai dengan sumberdaya yang ditangkapnya meskipun masih sederhana. Disamping itu disesuaikan juga dengan kondisi kedalaman perairan laut yaitu antara 4-5 meter pada jarak 3 (tiga) mil dari pinggir pantai. Berdasarkan Tabel 11. nelayan di Desa Kwanyar Barat menggunakan alat tangkap seperti Trammel net dan Gill net untuk menangkap Udang atau Rajungan, serta Rebon (udang kecil). Nelayan di Desa Pesanggrahan, Karang Anyar, Batah Barat dan Batah Timur, menggunakan Pancing rawai/Line fishing untuk menangkap CumiCumi atau Pari, dan Jaring insang (Gill net) untuk menangkap udang. Sedangkan hasil tangkapan sampingannya (by catch) adalah ikan Pengantih (Gulamah). Nelayan di Desa Tebul banyak memanfaatkan biota laut seperti Kerang-kerangan
56
dan Kepiting di sekitar pantai dengan menggunakan alat pengumpul Kerang/Dredge dan Lift net untuk menangkap ikan pelagis kecil.
Tabel 11. Jenis Perahu dan Alat Tangkap Nelayan Kwanyar Desa Pesisir Desa Tebul Desa Kwanyar Barat Desa Pesanggrahan Desa Karang Anyar Desa Batah Barat
Jenis perahu Perahu Sampan (Cocco‟) Perahu Sampan (Cocco‟) Perahu Kroman Perahu Ales-ales Perahu Ales-ales Perahu Ales-ales
Desa Batah Timur
Perahu Ales-ales
Alat Tangkap Alat pengumpul kerang dan Lift net Gill net dan Line fishing/Pancing Trammel net Jaring insang (Gill net) Jaring insang (Gill net) Jaring insang (Gill net) dan Pancing/Line fishing Jaring insang (Gill net) dan Pancing/Line fishing
Sumber: Data Primer (diolah) tahun 2007
Jenis perahu, teknologi dan cara pengoperasiannya dideskripsikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Karakteristik Teknologi Penangkapan Nelayan Kwanyar Desa Pesisir Desa Tebul
Jenis Perahu Perahu Sampan atau Cocco‟ (istilah nelayan Kwanyar) tanpa/ dengan motor tempel kekuatan 5-7 PK.
Cara Operasi Perahu Bila cuaca memungkinkan perahu Sampan dioperasikan menggunakan layar, bila tidak maka menggunakan mesin/motor tempel.
Nelayan per Perahu
1-2 orang
Desa Kwanyar Perahu Sampan atau Cocco‟ Barat (istilah nelayan Kwanyar) tanpa/dengan motor tempel kekuatan 5-9 PK. Perahu Kroman (bentuknya lebih besar dari perahu Sampan dan perahu Ales-Ales) dengan motor out board ± 10PK
Bila cuaca memungkinkan Untuk perahu perahu Sampan Sampan, sebanyak dioperasikan menggunakan 1-2 orang layar, bila tidak maka Untuk perahu menggunakan motor Kroman, sebanyak tempel. Sedangkan Perahu 5-8 orang (saat ini Kroman dioperasikan tidak dioperasikan dengan motor. lagi)
Desa Pesanggrahan
Perahu Ales-ales (istilah nelayan Kwanyar) atau Ijo-Ijo (istilah nelayan Jawa) dengan motor tempel berkekuatan 4-7 PK
Perahu bisa dioperasikan dengan layar dan motor tempel.
2-3 orang
Perahu Ales-ales (istilah nelayan Kwanyar) atau Ijo-Ijo (istilah nelayan Jawa) dengan motor tempel berkekuatan 4-7 PK
Perahu bisa dioperasikan dengan layar dan motor tempel.
2-3 orang
Perahu Ales-ales (istilah nelayan Kwanyar) atau Ijo-Ijo (istilah nelayan Jawa) dengan motor tempel berkekuatan 5-7 PK
Perahu bisa dioperasikan dengan layar dan motor tempel.
2-3 orang
Perahu Ales-ales (istilah nelayan Kwanyar) atau Ijo-Ijo (istilah nelayan Jawa) dengan motor tempel berkekuatan 5-9 PK Sumber: Data Primer (diolah) tahun 2007
Perahu bisa dioperasikan dengan layar dan motor tempel.
2-3 orang
Desa Karang Anyar
Desa Batah Barat
Desa Batah Timur
57
5.3.4 Kegiatan Penangkapan Nelayan Kwanyar Wilayah penangkapan yang berdekatan dengan nelayan-nelayan daerah lain, seperti Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, dan Sampang, menyebabkan wilayah penangkapan ikan nelayan Kwanyar terbatas atau berada di sekitar pantai. Nelayan Kwanyar dikenal dengan nelayan yang taat pada ajaran agama dan mayoritas muslim. Mereka umumnya menyeimbangkan antara pekerjaan melaut, bermasyarakat, dan beribadah. Hal ini diamati berdasarkan rutinitas melaut yang hanya dilakukan setengah hari. Umumnya mereka melaut pada pagi hari setelah menunaikan shalat shubuh sekitar pukul 05.00 WIB dan kembali sebelum dzuhur sekitar pukul 11.30 WIB, atau pada malam hari setelah shalat isya„ sekitar pukul 20.00 WIB dan kembali sebelum fajar sekitar pukul 03.00 WIB. Dahulunya nelayan Kwanyar masih bisa melakukan andon ke daerah lain, saat ini mereka berhenti melakukan andon mengingat semakin seringnya terlibat bentrokan dengan nelayan daerah lain. Dalam hal pemanfaatan sumberdaya, nelayan Kwanyar berpendapat bahwa sumberdaya ikan di perairan laut merupakan berkah Tuhan YME sehingga perlu dijaga atau dikelola kelestariannya. Pada komunitas nelayan Batah memiliki seperangkat aturan lokal yang harus ditaati oleh semua nelayan termasuk nelayan lokal dan nelayan pendatang (nelayan luar). Aturan lokal tersebut diberlakukan pada kegiatan penangkapan ikan. Pengaturan penangkapan ikan yang diketahui oleh masyarakat Batah merupakan pengaturan positif. Pengaturan positif dapat berasal dari pemerintah seperti larangan penangkapan ikan menggunakan bom, racun dan bahan berbahaya lainnya yang kemudian oleh nelayan dipahami kebenarannya (Hartono dan Nasution 2004). Pranata atau nilai-nilai lokal (local rules) itu ada sejak dulu dan disadari sebagai aturan yang mengikat dalam hal penyetaraan hidup sebagai sesama nelayan yang bergantung pada keberadaan sumberdaya. Namun aturan lokal tersebut baru mendapat perhatian pemerintah akhir-akhir ini. Berkes et al. (1995) diacu dalam Adrianto (2006) menerangkan bahwa pengetahuan lokal adalah kumulatif pengetahuan dan kepercayaan (beliefs) secara turun menurun antar generasi tentang kehidupan masyarakat baik terkait antar individu dalam masyarakat maupun hubungan antara masyarakat dan lingkungan. Aturan-aturan
58
lokal pemanfaatan sumberdaya perikanan yang ada pada masyarakat nelayan Desa Batah, Kecamatan Kwanyar dijelaskan pada Tabel 13. dan Tabel 14.
Tabel 13. Aturan Lokal Penangkapan Ikan Nelayan Batah, Kecamatan Kwanyar (Sebelum Tahun 1990) Komunitas Nelayan
Nelayan Lokal
Nelayan Luar (Daerah Lain)
Pemberitahuan secara lisan kepada Kepala Desa atau tokoh nelayan
Menyertakan surat kelengkapan andon dari daerah asal, bersedia mematuhi aturan adat komunitas lokal, ikut menjaga keamanan dan ketertiban di masyarakat a) Jarak sejauh mata memandang dari pinggir pantai, maka menggunakan alat tangkap yang tradisional (Gill net, Trammel net, Pancing ulur, dan alat tangkap lain yang sama dengan nelayan lokal) b) Jarak selebihnya (dari poin a), boleh menggunakan alat tangkap sendiri atau alat tangkap modern Semua jenis kapal pendatang (umumnya tipe kapal mirip dengan perahu Kroman atau lebih tinggi tipenya)
Batasan Aturan Izin Penangkapan
Batasan Wilayah Perairan
Jenis Perahu/Kapal
a) Jarak sejauh mata memandang dari pinggir pantai adalah wilayah nelayan tradisional b) Jarak selebihnya (dari poin a) adalah wilayah tangkap nelayan besar
Perahu tradisional atau jenis perahu jukung, dengan nama lokal yaitu Sampan, Cocco„ dan Ales-ales. Perahu Kroman (tipe kapal) digunakan oleh nelayan besar. Ukuran Kapal a) Kapal/perahu < 5 GT (antara 4-9 Tidak membedakan ukuran PK) tergolong nelayan kapal, hanya jenis alat tangkap tradisional. Jenis perahu Cocco‟, disesuaikan dengan nelayan lokal Ales-Ales dan Sampan dengan/tanpa motor tempel. b) Semi modern/modern yaitu perahu jenis Kroman dengan motor out board ≥ 12 PK Lama Melaut a) Nelayan tradisional : ½ hari a) Nelayan tradisional : ½ hari b) Nelayan modern/besar : tidak b) Nelayan modern/besar : tidak ditentukan ditentukan Alat Tangkap a) Nelayan tradisional: Pancing Disesuaikan dengan nelayan rawai/Line fishing, Gill net, dan lokal Pengumpul kerang/Dredge b) Nelayan modern/semi modern: Trammel net dan Dogol Larangan Selama Melaut Dilarang melakukan pencemaran Dilarang melakukan pencemaran atau penangkapan ikan tidak atau penangkapan ikan tidak ramah lingkungan, misalkan ramah lingkungan, misalkan dengan bom, potasium, dan laindengan bom, potasium, dan lainlain lain Sanksi Nelayan lokal yang melanggar Izin andon dicabut atau ditolak aturan maka dikenakan sanksi oleh Kepala Desa, dikenakan berupa ganti rugi kepada hukum adat (perahu dibakar dan masyarakat. Sanksi sosial berupa hasil tangkapan disita), pengucilan dari masyarakat. penggantian ganti rugi kepada nelayan lokal. Sumber: Data Primer (diolah) Tahun 2007
59
Tabel 14. Aturan Lokal Penangkapan Ikan Nelayan Batah, Kecamatan Kwanyar (Setelah Tahun 1990) Komunitas Nelayan
Nelayan Lokal
Nelayan Luar (Daerah Lain)
Izin Penangkapan
Pemberitahuan secara lisan kepada Kepala Desa atau tokoh nelayan
Menyertakan surat kelengkapan andon dari daerah asal, surat izin dari Pemda Bangkalan, bersedia mematuhi aturan adat komunitas lokal, serta ikut menjaga keamanan dan ketertiban di masyarakat
Batasan Wilayah Perairan
Jarak sejauh mata memandang dari pinggir pantai adalah wilayah nelayan tradisional (sekitar 3 mil laut dari pinggir pantai)
Pada jalur I-a, maka alat tangkap harus tradisional (sama dengan nelayan lokal)
Jenis Perahu/Kapal
Perahu tradisional, antara lain seperti Sampan, Cocco„, dan Alesales. Perahu Kroman tidak difungsikan saat ini.
Semua jenis kapal pendatang (umumnya tipe kapal mirip dengan perahu Kroman atau lebih tinggi tipenya).
Ukuran Kapal
Kapal/perahu < 5 GT (kapasitas 4-9 pk), tergolong nelayan tradisional. Jenis perahu Cocco‟, Ales-Ales dan Sampan tanpa atau dengan motor tempel
Semua ukuran kapal (< 30 GT)
Lama Melaut
½ hari per trip
Batasan Aturan
½ hari per trip
Alat Tangkap
Pancing rawai/Line fishing dan Jaring Insang atau Gill net
Disesuaikan dengan nelayan lokal
Larangan Selama Melaut
Dilarang melakukan pencemaran atau penangkapan ikan tidak ramah lingkungan, misalkan dengan bom, potasium, dan lain-lain
Dilarang melakukan pencemaran atau penangkapan ikan tidak ramah lingkungan, misalkan dengan bom, potasium, dan lain-lain
Sanksi
Nelayan lokal yang melanggar aturan maka dikenakan sanksi berupa ganti rugi kepada masyarakat. Sanksi sosial berupa pengucilan dari masyarakat Sumber: Data Primer (diolah) Tahun 2007
Izin andon dicabut atau ditolak oleh Kepala Desa, dikenakan hukum adat dan hukum formal (sanksi pidana dan perdata)
60
5.4 Analisis Konflik Nelayan dalam Memanfaatkan Sumberdaya Perikanan 5.4.1 Kronologi Konflik Sebagaimana yang diungkapkan oleh Fisher et al. (2001), menyatakan bahwa kronologi konflik disebut juga sebagai urutan kejadian dimana merupakan suatu alat bantu yang dipergunakan untuk menunjukkan sejarah suatu konflik berdasarkan daftar waktu kejadiannya (tahun, bulan/hari, sesuai skalanya) yang ditampilkan secara berurutan. Alat bantu ini dapat menjadi ”starting point” dalam memahami dan mengungkap konflik karena dapat mengidentifikasi interpretasi berbagai pihak terhadap suatu kejadian. Interpretasi ini dapat berasal dari satu pihak atau pihak lain yang nantinya digunakan untuk kepentingan sendiri atau bersama dengan pihak lain. Sebelum tahun 1980-an, kehidupan sosial masyarakat Kwanyar, khususnya nelayan Batah dengan nelayan Pantai Utara Jawa yang berandon ke Kwanyar hidup tentram. Dengan hanya menggunakan alat tangkap Gill net, Lift net, Trammel net, Pancing rawai (pancing ulur) dan Purse seine, mereka mendapatkan hasil tangkapan ikan yang dapat diprediksi waktu, jumlah dan jenisnya, terkecuali pada musim paceklik. Daerah tangkapan sebagian nelayan Batah pada saat itu tidak hanya di sekitar tepi pantai tetapi juga sampai ke wilayah perairan nelayan lain yaitu ke wilayah Surabaya, Sampang, bahkan Lamongan. Salah satu nelayan Batah Barat, Musa (40 tahun), menerangkan: ”Dulu sebagian nelayan disini menangkap ikan sampai ke arah timur Sampang, ada juga yang ke selatan Surabaya dan ke arah barat yaitu Lamongan karena nelayan sanapun juga menangkap ikan di sini juga. Nelayan sini tidak masalah selama mereka menangkap ikan sama dengan alat tangkap yang kami gunakan. Mereka (nelayan andon) banyak yang tinggal sementara di desa Kwanyar Barat dan hidup rukun dengan masyarakat, meskipun kadang hasil tangkapan yang berbeda, tapi kami bisa menerima.” Setelah tahun 1990, kondisi berubah dan kehidupan masyarakat nelayan di Kwanyar mulai terusik. Kondisi ini dipicu oleh nelayan andon Pantai Utara Jawa yang beralih untuk menggunakan alat tangkap Minitrawl dan sejenisnya di sekitar perairan pantai Kwanyar. Nelayan Kwanyar dari desa Batah tidak setuju dan menentang keras nelayan yang melakukan penangkapan ikan di perairan Kwanyar dengan jaring Minitrawl dan sejenisnya. Berbagai upaya dilakukan oleh
61
masyarakat nelayan Batah dengan mengajak nelayan-nelayan desa lainnya di Kwanyar untuk menolak kehadiran nelayan Minitrawl, hingga membuat kesepakatan sesama nelayan lokal untuk tidak menggunakan Minitrawl dan tetap memilih menggunakan Gill net dan pancing tradisional. Konflik berawal pada tahun 199513, dimana sekitar 500 warga yang berasal dari lima desa pesisir (yaitu Desa Batah Barat, Batah Timur, Karanganyar, Kwanyar Barat dan Pesanggrahan), Kecamatan Kwanyar melakukan protes ke Mapolres Bangkalan. Protes tersebut berkaitan dengan penahanan dua nelayan Desa Batah yang diduga menjadi pelaku provokasi pembakaran perahu milik nelayan Weru, Kec. Paciran, Kab. Lamongan. Warga Kwanyar meminta dua rekan mereka dibebaskan karena aksi pembakaran kapal melibatkan banyak orang. Anggapan warga Kwanyar, bila tindakan hukum dikenakan maka semua orang yang terlibat aksi juga harus dikenakan hukuman. Setelah dimintai keterangan dua nelayan Kwanyar tersebut dibebaskan. Setelah kejadian tersebut, nelayan Kwanyar melarang setiap nelayan luar melakukan andon ke wilayahnya jika mereka menggunakan jaring Trawl dan sejenisnya. Pembakaran kapal terpaksa dilakukan karena nelayan Kwanyar merasa kesal sudah memperingatkan nelayan pendatang Jawa (nelayan Weru Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan) untuk tidak menangkap ikan di perairan Kwanyar dengan menggunakan kapal bermotor besar dan alat tangkap sejenis Trawl. Seminggu sebelum penahanan, nelayan asal Lamongan melakukan penangkapan ikan menggunakan jaring Pukat (Trawl), padahal mereka telah diperingatkan oleh nelayan Kwanyar untuk tidak melaut di dekat pantai Kwanyar. Namun nelayan Lamongan tetap melaut karena adanya dugaan penyuapan terhadap oknum aparat. Informasi tersebut semakin membuat marah warga Kwanyar sehingga secara sepihak ”menghakimi sendiri” nelayan asal Lamongan dengan cara membakar satu kapal dari lima kapal yang berhasil ditangkap yang beroperasi di pantai Kwanyar. Bulan April tahun 1997, nelayan Batah Timur menemukan nelayan desa Noreh, Sampang menangkap ikan dengan Minitrawl di perairan pantai Batah. Kecemburuan muncul pada nelayan Batah Timur karena menurut mereka semua Sumber media massa: Surabaya Post, pada hari jum‟at tanggal 1 Desember 1995 dan Jawa Pos pada hari Sabtu Kliwon, 2 Desember 1995 (Lampiran 15). 13
62
jenis ikan baik yang berukuran besar maupun yang kecil akan masuk ke jaring Minitrawl, tragisnya nelayan Batah Timur hanya mendapatkan sisa-sisa ikan yang tidak berhasil masuk ke jaring bahkan nyaris tidak mendapatkan ikan. Sebelumnya nelayan Noreh diperingatkan secara baik-baik untuk tidak menangkap ikan dengan Minitrawl di pantai Batah. Namun mereka tidak memperdulikan sehingga pada saat mereka kembali melaut dekat perairan Batah, nelayan Batah melakukan perlawanan dengan menangkap beberapa orang dan melaporkan ke Polsek Kwanyar untuk ditindak sebagai pelaku aksi pencurian. Demikian pula perahu dan jaring milik nelayan Noreh disita untuk dijadikan bukti. Seperti yang diterangkan oleh Moniri (60 tahun), bahwa: ”Sebenarnya tidak apa-apa menangkap ikan kesini, cuma jangan pake Minitrawl. Disini lautnya sempit, ikannya juga terbatas, kalo pake Minitrawl yang rugi nelayan-nelayan Batah.” Merasa kasihan karena sama-sama sebagai nelayan yang memiliki kehidupan ekonomi yang sulit, nelayan Batah membebaskan nelayan Noreh tetapi perahunya tetap ditahan dan pada malam harinya dibakar oleh masyarakat. Sebagai tindakan lanjut, Muspika Kwanyar dan Muspika Sreseh didampingi Kepala Desa masing-masing pihak, segera melakukan pendekatan agar kedua pihak mau berdamai dan mengadakan kesepakatan bersama. Akhirnya, pada tanggal 26 April 1997, disetujui kesepakatan damai14 yang isinya menyatakan bahwa nelayan Desa Noreh tidak akan kembali menangkap ikan di perairan Batah, Kwanyar. Pasca konflik15 yaitu pada tahun 1998, mampu mengubah situasi dimana nelayan Noreh sudah berhenti melaut di perairan Kwanyar. Nelayan Batah menduga dengan menahan dan memberikan hukuman ”main hakim sendiri” kepada nelayan luar atau nelayan daerah lain, akan membuat mereka takut untuk melaut kembali di pantai Kwanyar. Namun pada kenyataannya konflik tetap terulang kembali. Bulan Pebruari 1999, nelayan Batah Barat melakukan perlawanan terhadap nelayan Kelurahan Lumpur, Kota Gresik karena menangkap ikan sampai ke perairan pantai Batah. Bentrok fisik di tengah laut tidak 14
Lampiran 4 Situasi di wilayah perairan Kwanyar, khususnya di sekitar Desa Batah Barat cenderung aman dari konflik, nelayan Noreh, Sreseh yang pada tahun 1997, terlibat konflik tidak lagi melaut di pantai Batah. 15
63
terhindarkan ketika nelayan Batah menahan orang, perahu dan jaring Minitrawl beserta hasil tangkapan nelayan Gresik. Kemudian nelayan Batah menyerahkan nelayan Kelurahan Lumpur, Gresik ke Mapolsek Kwanyar. Selanjutnya mereka segera mengadakan kesepakatan bersama16 melalui pendekatan Muspika Kwanyar dan Muspika Gresik. Pada tanggal 25 Pebruari 1999, kesepakatan kedua pihak dituangkan dalam Surat Pernyataan yang menjelaskan bahwa nelayan Kelurahan Lumpur, Gresik tidak akan menangkap ikan kembali di perairan Kwanyar. Surat pernyataan tersebut dibuat oleh Kepala Kelurahan Lumpur, Gresik dan di tandatangani oleh Ketua nelayan desa Lumpur. Akhirnya nelayan Lumpur dibebaskan beserta perahu dan jaringnya dikembalikan. Pada hari Rabu, tanggal 5 April 2000, tepatnya sekitar pukul.11.00 WIB, konflik terulang dengan nelayan dari Desa Nguling, Kecamatan Lekok (Pasuruan). Penyebabnya adalah masalah penggunaan jaring Minitrawl oleh nelayan Lekok, namun perselisihan ini dirasakan kedua pihak sangat ”memanas” sampai mengarah pada perkelahian. Aparat kepolisian dan Muspika Kwanyar yang cepat datang ke lokasi kejadian berhasil melerai dan menahan 7 orang nelayan Pasuruan di Mapolsek Kwanyar. Sedangkan perahu dan jaring nelayan Pasuruan ditahan oleh nelayan Batah namun kemudian diserahkan ke Mapolsek Kwanyar sebagai bukti. Demi kepentingan, perdamaian dan keselamatan warga nelayan kedua belah pihak, Muspika Kwanyar, tokoh Ulama, tokoh masyarakat dan kepala desa mengadakan musyawarah untuk mencari solusi pendekatan yang terbaik. Melalui Surat Pernyataan17 pada 10 April 2000, yang disyahkan oleh Muspika Pasuruan dan diketahui oleh Kepala Desa Jati Rejo, Pasuruan. Perwakilan nelayan Lekok, mengajukan permohonan maaf kepada warga nelayan Batah Barat. Menindaklanjuti masalah warga nelayannya, tokoh masyarakat Lekok yang sekaligus sebagai Ketua KUD Lekok, Pasuruan didampingi dengan Kepala Desa Payangan, Pasuruan dan Anggota Dinas Perikanan Pasuruan mengusulkan kepada Kepala Desa Batah Barat, Kwanyar untuk membuat suatu kesepakatan bersama antar kedua pihak. Akhirnya pada hari Selasa, tanggal 11 16
Lampiran 5 Surat pernyataan tersebut menjelaskan kesanggupan warga nelayan Lekok, Pasuruan, untuk tidak menangkap ikan di perairan sekitar Desa Batah Barat dengan menggunakan alat yang dilarang oleh masyarakat Desa Batah Barat dan apabila masih terjadi pelanggaran maka nelayan Lekok sanggup untuk dituntut secara hukum maupun secara adat masyarakat Desa Batah Barat (Lampiran 6) 17
64
April 2000, pukul 12.00 WIB, dihadiri Muspika Kwanyar, Ulama dan tokoh nelayan Batah, kedua pihak sepakat untuk berdamai. Nelayan Pasuruan bersedia tidak melampaui batas-batas perairan penangkapan ikan masing-masing18. Kesepakatan bersama yang telah ditempuh untuk mengakhiri perselisihan antara nelayan Batah dengan nelayan Lekok ternyata tidak berhasil. Pada 28 April 2000, kedua pihak terlibat perkelahian kembali dimana nelayan Batah Barat menganggap nelayan Pasuruan mencuri mesin kapal dan mencaplok lahan tangkapannya. Selama setahun kedua pihak saling mengancam ketika bertemu di laut saat menangkap ikan. Nelayan Lekok tetap menangkap ikan sampai ke perairan Batah karena mereka menilai sesama nelayan kecil memiliki akses untuk menangkap ikan di manapun. Namun, penggunaan alat tangkap tidak dijadikan pertimbangan oleh nelayan Lekok karena mereka mengganggap Minitrawl (Tongep) 19 yang dipakai bukanlah jenis alat tangkap yang dilarang karena hasil modifikasi dari Dogol (Danish seine) yang bersifat pasif. Nelayan Batah selalu melakukan pengejaran, menahan orang, kapal, alat tangkap dan hasil tangkapan ikan nelayan luar, bahkan tidak segan mereka membakar perahu dan jaring. Hal itu dilakukan karena mereka sudah kehilangan kesabaran untuk menghadapi tingkah laku nelayan luar. Meskipun sudah dilakukan kesepakatan damai, namun nelayan-nelayan luar yang menggunakan Minitrawl tetap beroperasi di pantai Kwanyar. Perselisihan antara nelayan Batah dengan nelayan Lekok, Pasuruan, melahirkan permusuhan hingga berujung pada perkelahian (carok) yang mengakibatkan korban jiwa dan meninggal.
18
Lampiran 7 Dalam KEPPRES No. 39 tahun 1980, sudah jelas bahwa penggunaan mini-trawl dilarang karena serupa dengan trawl (pukat harimau). Nelayan Pasuruan umumnya menyebut alat tangkap mini trawl dengan istilah jaring Jongrang atau Tongep. 19
65
Seperti yang diungkapkan oleh Naqib (50 tahun), menyatakan: ”Pada waktu kejadian dengan nelayan Lekok, sampai-sampai ada yang mati. Dari nelayan sini kira-kira 2 orang dan dari nelayan sana 3 orang. Nelayan kami yang meninggal itu kami anggap jadi pahlawan karena sudah membela nelayan disini. Sebelum kejadian bentrok itu, sudah pernah nelayan Lekok menangkap ikan disini. Perjanjian juga sudah ada, tapi mereka langgar dan kembali melaut kesini lagi. Kami tidak sabar dan mengusir mereka. Setelah itu, mereka balas kami, banyak nelayan Lekok datang ke sini. Sekitar 7 perahu, kira-kira 10-12 orang satu perahunya. Nelayan sini yang melaut langsung ngasih tahu (melaporkan ke sesama nelayan Batah ke darat). Kami juga tidak takut, kalo memang begitu maunya, kami susul mereka (nelayan Lekok) ke tengah laut, jadinya pertengkaran terjadi di laut waktu itu.” Untuk menyelesaikan permusuhan yang semakin berkepanjangan, maka pada tanggal 14 September 2001 kedua pihak mengadakan kesepakatan bersama atau islah20 yang bertempat di Masjid Sunan Ampel Surabaya yang dihadiri oleh para pejabat, para ulama dan tokoh masyarakat dari tingkat Kabupaten21 dan dari tingkat Provinsi22 Jawa Timur. Dengan tercapainya islah di Masjid Sunan Ampel Surabaya tahun 2001 maka diharapkan permasalahan konflik antara nelayan Batah dengan nelayan Lekok, Pasuruan selesai. Namun permasalahan baru semakin terbuka dengan nelayan-nelayan luar yang lain. Pada bulan April 2002, konflik terjadi antara nelayan Batah Timur dengan nelayan dari Desa Labuhan, Sreseh, Sampang. Bahkan pada bulan Mei 2002, juga terjadi konflik dengan nelayan Desa Sedati (Sidoarjo), nelayan Desa Kedung Turi, Paciran, Rangka, Ujung Rejo (Lamongan), nelayan Desa Semedu Sari, Lekok (Pasuruan) dan nelayan Desa Bangsal (Mojokerto). Semua permasalahan konflik tersebut diselesaikan secara musyawarah dan kekeluargaan yang dikuatkan dengan surat pernyataan dari tokoh-tokoh masyarakat nelayan kedua belah pihak. Sebagai tindaklanjut islah pada tahun 2001 dan untuk mengantisipasi semakin meluasnya konflik, maka pada tahun 2003 Pemerintah Kabupaten Bangkalan melalui Dinas Perikanan dan Kelautan mendirikan Pos Keamanan 20
Lampiran 8 Perwakilan dari Kabupaten Bangkalan, dihadiri oleh para pejabat diantaranya adalah Bupati Bangkalan dan Ka. Polres Bangkalan, para ulama dan tokoh masyarakat antara lain: KH. Abdullah Schal, KH. Hannan Nawawi, KH. Amin Nawawi dan Drs. KH. Badrus Sholeh. Sedangkan perwakilan dari Kabupaten Pasuruan, dihadiri oleh para pejabat diantaranya adalah Bupati Pasuruan dan Ka. Polres Pasuruan, para ulama dan tokoh masyarakat antara lain: H. Abdullah Bafaqih, Ustadz Yasin, Ustadz Syarief dan H. Syahrir. 22 Perwakilan dari tingkat II Provinsi Jawa Timur antara lain: Gubernur Jawa Timur, Kepala POLAIRUD Surabaya, Kanit. POLAIRUD Madura, Kanit. POLAIRUD Lekok serta sesepuh Jawa Timur yaitu H. Mohammad Noer. 21
66
Terpadu (Poskamladu) di desa Batah Barat, Kecamatan Kwanyar yang merupakan aparat keamanan laut (Kamla) dari Kesatuan Polisi Air-Udara (Satpol-Airud) Surabaya dan TNI-AL Distrik Perak, Surabaya. Sekitar bulan Mei tahun 2004, saat aparat melakukan patroli laut, ditemukan adanya pelanggaran jalur tangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan dari Desa Panggung Rejo, Pasuruan. Berdasarkan kesepakatan dengan masyarakat Batah, Kwanyar, pelanggaran itu diselesaikan secara kekeluargaan. Seminggu kemudian, pelanggaran kembali dilakukan oleh nelayan Desa Tambak Rejo, Kecamatan Kraton, Pasuruan dan diselesaikan secara kekeluargaan. Situasi di pantai Kwanyar relatif terkendali dengan adanya patroli petugas Satpol-Airud. Akan tetapi patroli petugas di laut belum sepenuhnya menjamin konflik antar nelayan berakhir. Ini diketahui dari hadirnya nelayan-nelayan Minitrawl dari daerah lainnya yaitu dari Pantai Utara Jawa Timur, seperti nelayan Brondong, Lamongan yang melakukan andon ke wilayah Pasuruan dan Sidoarjo tetapi menangkap ikan sampai ke perairan Kwanyar. Pada tanggal 6 September 2004, konflik terjadi dengan nelayan dari Tambak Oso, Kecamatan Waru, Kota Sidoarjo. Mereka tidak sengaja menangkap ikan memasuki wilayah pantai Batah Barat. Nelayan Batah menangkap 4 (empat) orang nelayan Sidoarjo dan kemudian menyerahkannya ke Mapolsek Kwanyar. Atas keinginan kedua pihak masalah diselesaikan secara damai melalui musyawarah23. Nelayan Tambak Oso, Sidoarjo, bersedia menerima keinginan nelayan Batah Barat untuk tidak lagi melaut sampai ke wilayah pantai Kwanyar. Perselisihan memperebutkan sumberdaya ikan di perairan Selat Madura khususnya di daerah aloran perairan pantai Kwanyar hingga saat ini tetap terjadi meskipun sudah dilakukan berbagai upaya untuk mengurangi dan menyelesaikan konflik tersebut. Apalagi ketika musim barat/paceklik ketika sumberdaya ikan terbatas maka tentu akan terjadi perebutan lahan tangkapan sehingga fenomena konflik antar nelayanpun akan tetap ada. Berdasarkan penelusuran dokumen dan pengamatan penulis, didapatkan informasi konflik nelayan di perairan Kwanyar
23
Lampiran 9
67
yang dibedakan kedalam tiga periode kronologi kejadiannya yaitu: 1. Periode pertama, yaitu konflik nelayan pada masa orde baru (tahun 19951998). 2. Periode kedua, yaitu konflik nelayan setelah reformasi (tahun 1999-2004) 3. Periode ketiga, yaitu konflik nelayan pasca desentralisasi (setelah tahun 2004). Kronologi konflik pada masa orde baru dijelaskan dalam Tabel 15.
Tabel 15. Kronologi Konflik Nelayan di Perairan Kwanyar pada Masa Orde Baru (Tahun 1995-1998) Waktu Kejadian Nopember 1995
Pihak yang Terlibat Nelayan Tradisional Batah Barat (Vs) Nelayan Trawl Weru, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan
Keterangan Ratusan nelayan Kwanyar melakukan protes ke Mapolres Bangkalan atas ditangkapnya dua nelayan Batah Barat terkait aksi pembakaran perahu milik nelayan Weru
Solusi Tidak sampai diproses secara hukum
April 1997
Nelayan Batah Timur Nelayan Batah Timur Dilakukan kesepakatan (Vs) Nelayan Desa menahan orang, perahu bersama melalui peran Noreh, Kecamatan dan jaring eret Minitrawl Muspika Kwanyar dan Sreseh, Kabupaten nelayan Noreh Muspika Sreseh Sampang Sumber: Bedah Konflik Nelayan Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan Tahun 2004
Perkembangan politik dalam negeri yang ditandai dengan reformasi ikut mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat nelayan. Konflik-konflik nelayan semakin kerap terjadi pada masa itu. Nelayan Kwanyar khususnya nelayan Batah yang dulu hanya berdiam diri mulai memperjuangkan haknya sebagai komunitas lokal yang terpinggirkan sehingga banyak dari mereka yang tidak segan-segan melawan dominansi nelayan-nelayan daerah lain yang memasuki wilayah tangkapannya. Kronologi konflik pada masa itu (pasca reformasi) yaitu dari tahun 1999 sampai tahun 2004 dijelaskan pada Tabel 16.
68
Tabel 16. Kronologi Konflik Nelayan di Perairan Kwanyar Pasca Reformasi (Tahun 1999-2004) Waktu Kejadian Pebruari 1999
April 2000
Januari 2001
Pihak yang Terlibat Nelayan Tradisional Batah Barat Kecamatan Kwanyar (Vs) Nelayan Kelurahan Lumpur Kabupaten Gresik Nelayan Tradisional Batah Barat dan Batah Timur (Vs) Nelayan Desa Jati Rejo dan Desa Nguling, Kec. Lekok, Kab. Pasuruan Nelayan Tradisional Batah Barat (Vs) Nelayan Tongep (Minitrawl) Desa Kraton, Kec. Lekok, Kab. Pasuruan
April 2002
Nelayan Tradisional Batah Timur (Vs) Nelayan Desa Labuhan, Kec. Sreseh, Kab. Sampang
Mei 2002
Nelayan Tradisional Batah Barat (Vs) Nelayan Desa Sedati (Sidoarjo) dan Nelayan-nelayan Andon dari Desa Kedung Turi, Kec. Paciran (Lamongan), Nelayan Rangka, Kec. Ujung Rejo (Lamongan), Nelayan Desa Semedu Sari, Kec. Lekok (Pasuruan), serta Nelayan Desa Bangsal (Mojokerto) Nelayan Tradisional Batah Barat (Vs) Nelayan Panggung Rejo, Kab. Pasuruan
Mei 2004
Mei 2004
Keterangan Bentrokan fisik di tengah laut, nelayan Batah Barat menahan orang, perahu, jaring dan hasil tangkapan ikan nelayan Kelurahan Lumpur, Gresik Perebutan lahan tangkapan, 7 nelayan Pasuruan beserta perahu dan jaringnya ditahan
Perebutan lahan tangkapan, terjadi bentrokan fisik dan korban jiwa dari kedua pihak. Nelayan Batah juga membakar perahu dan jaring nelayan Lekok yang berhasil disita Nelayan Batah memperingatkan nelayan Sreseh untuk tidak lagi melaut di perairan Kwanyar.
Solusi Musyawarah kekeluargaan dimana nelayan Kelurahan Lumpur berjanji untuk tidak lagi menangkap ikan di perairan Kwanyar Kesepakatan bersama melalui Tokoh masyarakat, kedua pihak berjanji untuk menangkap ikan di wilayahnya masing-masing Pendekatan kedua pihak oleh Muspika dan Tokoh Masyarakat Kesepakatan damai/Islah
Musyawarah kekeluargaan
Pengoperasian alat tangkap sejenis Minitrawl di perairan Kwanyar oleh nelayan-nelayan Andon Sidoarjo. Tidak sampai pada bentrokan fisik
Musyawarah kekeluargaan
Perkelahian nelayan karena Nelayan Panggung Rejo menangkap ikan dengan bom ikan (bondet) dan Minitrawl di sekitar perairan Batah Pengoperasian alat tangkap Minitrawl dan perebutan lahan tangkapan di perairan Kwanyar oleh nelayan Pasuruan Pengoperasian alat tangkap sejenis Trammel net yang digerakkan secara melingkar oleh nelayan Tambak Oso dan Sumber Rejo di perairan Batah, Kwanyar
Musyawarah kekeluargaan
Nelayan Tradisional Batah Musyawarah kekeluargaan Barat (Vs) Nelayan Desa Tambak Rejo, Kec. Kraton, Kab. Pasuruan September Nelayan Tradisional Batah Musyawarah kekeluargaan 2004 Barat (Vs) Nelayan Tradisional Tambak Oso, Kec. Waru, Kab. Sidoarjo dan Nelayan Andon Sumber Rejo, Kab. Lamongan 27 Nelayan Tradisional Batah Penggunaan alat tangkap Musyawarah kekeluargaan Oktober Barat (Vs) Nelayan sejenis Trammel net oleh 2004 Tradisional Kec. Kraton, nelayan Pasuruan di sekitar Kabupaten Pasuruan perairan Kwanyar 09 Nelayan Tradisional Batah Penggunaan alat tangkap Musyawarah kekeluargaan Desember Timur (Vs) Nelayan berkantong oleh nelayan Sreseh 2004 Sreseh, Kab. Sampang di perairan Kwanyar Sumber: Bedah Konflik Nelayan Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan Tahun 2004 dan Dokumentasi Konflik Nelayan Dinas Perikanan Bangkalan Tahun 2006
69
Sedangkan kronologi konflik nelayan di perairan Kwanyar terkait isu kebijakan otonomi daerah saat ini dijelaskan pada Tabel 17. berikut;
Tabel 17. Kronologi Konflik Nelayan di Perairan Kwanyar Pasca Otonomi Daerah (Setelah Tahun 2004) Waktu Kejadian 03 Pebruari 2005 16 April 2005
10 Mei 2005
11 Juni 2005
Pihak yang Terlibat Nelayan Tradisional Batah Barat (Vs) Nelayan Trammel net Sidoarjo Nelayan Tradisional Batah Barat (Vs) Nelayan Desa Panggung Rejo, Kab. Pasuruan/Nelayan Andon Desa Weru, Kab. Sidoarjo Nelayan Tradisional Batah Barat (Vs) Nelayan jaring Purse seine Pasuruan dan Nelayan Payang Weru Komplek, Kab. Lamongan Nelayan Tradisional Batah Timur (Vs) Nelayan jaring Arad/eret, Kec. Sreseh, Kab. Sampang
23 Juni 2005
Aparat Kamla Batah Barat (Vs) Nelayan jaring Arad/eret, Kec. Sreseh, Kab. Sampang
04 Juli 2005
Nelayan Tradisional Batah Barat (Vs) Nelayan Tradisional Desa Bangil, Kab. Probolinggo
03 Agustus 2005
Aparat Kamla Batah Barat (Vs) Nelayan jaring Arad/eret, Kec. Sreseh, Kab. Sampang
20 April 2006
Aparat Kamla Batah Barat (Vs) Nelayan Probolinggo
Keterangan
Solusi
Tidak sampai pada bentrokan fisik karena langsung ditangani Airud Tidak sampai pada bentrokan fisik karena langsung ditangani Airud
Musyawarah kekeluargaan
3 orang mengalami luka dan 7 orang diamankan di Polres Bangkalan
Musyawarah kekeluargaan
Penangkapan nelayan Sreseh oleh nelayan Batah, 2 perahu, 4 ABK dan jaring Minitrawl nelayan Sreseh diamankan Pelanggaran jalur tangkapan, 3 ABK dan 2 perahu nelayan Sreseh diamankan oleh Airud
Tindakan hukuman pidana (P21) berkas perkara ditangani kejaksaan, vonis ringan 6 bulan penjara terhadap nelayan Sreseh Tindakan hukuman pidana (P21) berkas perkara ditangani kejaksaan, vonis ringan 6 bulan penjara terhadap nelayan Sreseh Tindakan pidana ringan yaitu vonis 6 bulan penjara terhadap nelayan Bangil
Pelanggaran jalur tangkapan, 3 ABK, 1perahu dan mesin (kekuatan 18 pK) nelayan Bangil diamankan oleh Airud Pelanggaran batas perairan, nelayan Sreseh diamankan oleh Airud Batah Barat
Musyawarah kekeluargaan
Tindakan hukuman pidana (P21) berkas perkara ditangani kejaksaan, vonis ringan 6 bulan penjara terhadap nelayan Sreseh Di proses di Polres Bangkalan, vonis 6 bulan penjara
Pelanggaran jalur tangkapan, 5 ABK, 1 perahu, alat tangkap Cantrang dan Gardan nelayan Probolinggo diamankan oleh Airud 26 Juni Aparat Kamla Batah Barat Pelanggaran jalur Tindakan hukum pidana (P21) 2006 (Vs) Nelayan Lamongan tangkapan, 9 ABK dan 4 berkas perkara ditangani perahu nelayan Lamongan kejaksaan, vonis ringan 6 diamankan bulan penjara 22 Juli Nelayan Tradisional Batah Perebutan lahan Musyawarah kekeluargaan 2006 Timur (Vs) Nelayan Sreseh, tangkapan, nelayan Sreseh Kab. Sampang melanggar batas perairan yang disepakati 22 Aparat Kamla Batah Barat Pelanggaran jalur Musyawarah kekeluargaan Agustus (Vs) Nelayan Lekok, Kab. tangkapan, 7 nelayan 2006 Pasuruan Pasuruan diamankan Sumber : Dokumentasi Konflik Nelayan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bangkalan Tahun 2006, Data Primer (diolah) Tahun 2007
70
Tabel 18. menjelaskan perkembangan intensitas konflik nelayan di perairan Kwanyar, Selat Madura berdasarkan periode kejadiannya;
Tabel 18. Intensitas Konflik Nelayan di Perairan Kwanyar, Selat Madura Pihak yang Terlibat
Nelayan Tradisional Batah Barat (Vs) Nelayan Minitrawl Weru, Kec. Paciran, Kab. Lamongan Nelayan Tradisional Batah Timur dan Batah Barat (Vs) Nelayan jaring Arad/eret, Desa Noreh, Kec. Sreseh, Kab. Sampang Nelayan Tradisional Batah Barat (Vs) Nelayan Tradisional Kelurahan Lumpur, Kab. Gresik Nelayan Tradisional Batah Barat (Vs) Nelayan Tongep (Minitrawl) Desa Kraton, Kec. Lekok, Kab. Pasuruan Nelayan Tradisional Batah Barat (Vs) Nelayan Andon Kota Sidoarjo Nelayan Tradisional Batah Barat (Vs) Nelayan Panggung Rejo, Kab. Pasuruan Nelayan Tradisional Batah (Vs) Nelayan Tradisonal Tambak Oso, Kab. Sidoarjo Nelayan Tradisional Batah (Vs) Nelayan Trammel net, Kec. Lekok, Kab. Pasuruan Nelayan Tradisional Batah Barat (Vs) Nelayan Purse seine, Kodya Pasuruan Nelayan Tradisional Batah Barat (Vs) Nelayan Payang Weru Komplek, Kec. Paciran (Lamongan) Nelayan Tradisional Batah Barat (Vs) Nelayan Tradisional Bangil, Kab. Probolinggo
Intensitas Konflik per Periode Orde Pasca Otoda Baru Reformasi (2005(1999 Sekarang) 2004) Sering Satu kali -
Sebab Konflik
Penggunaan Minitrawl tidak ramah lingkungan dan cepat menguras ketersediaan stok ikan Penggunaan jaring eret merusak SDI, pelanggaran jalur penangkapan dan batas wilayah perairan
Sering
Sering
Sering
-
Satu kali
Jarang terjadi
-
Sering
Sering
Jarang terjadi
Sering
Sering
-
Sering
Jarang terjadi
-
Jarang terjadi
Sering terjadi
Penggunaan jaring sejenis Minitrawl oleh nelayan Andon yang merusak jaring nelayan tradisional Batah Penangkapan ikan tidak ramah lingkungan di sekitar perairan Kwanyar, Selat Madura Perebutan lahan tangkapan ikan
Jarang terjadi
Sering terjadi
Sering terjadi
Perebutan lahan tangkapan ikan
Jarang terjadi
Jarang terjadi
Sering terjadi
-
Jarang terjadi
Sering terjadi
Pelanggaran jalur penangkapan ikan oleh nelayan Kodya Pasuruan Pelanggaran jalur penangkapan ikan oleh nelayan Weru
-
-
Satu kali
Nelayan Tradisional Batah Barat (Vs) Nelayan Cantrang, Kab. Probolinggo Sumber : Data Sekunder, Data Primer (diolah) Tahun 2007
Satu kali
Penggunaan jaring Minitrawl oleh nelayan Gresik di perairan Kwanyar, Selat Madura Pelanggaran jalur penangkapan ikan
Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Bangil (Gill net) berbeda dengan yang digunakan oleh nelayan Batah Barat Pelanggaran jalur penangkapan ikan oleh nelayan Bangil
71
5.4.2 Penahapan Konflik Secara Umum Tahapan konflik dilakukan untuk menganalisis berbagai dinamika dan kejadian yang berkaitan dengan masing-masing tahap konflik (Fisher et al. 2001). Tahapan tersebut meliputi lima tahap, yaitu: Pertama, prakonflik yang ditandai oleh adanya ketidaksesuaian sasaran diantara pihak-pihak yang berkonflik. Kondisi ini diawali oleh adanya ketegangan hubungan sehingga masing-masing pihak berusaha menghindari kontak antara satu dengan yang lain. Kedua, konfrontasi. Pada tahap ini konflik semakin terbuka dimana masing-masing pihak menyusun kekuatan, melakukan perilaku konfrontatif dan kekerasan pada tingkat yang rendah. Ketiga, krisis yang merupakan puncak dari konflik, yaitu ketika ketegangan atau kekerasan terjadi paling hebat. Keempat, akibat. Pada tahap ini terdapat salah satu pihak yang menyerah karena keinginannya sendiri atau karena desakan pihak lain, atau kedua pihak setuju untuk bernegosiasi. Tingkat ketegangan dan kekerasan mulai menurun. Kelima, pascakonflik dimana situasi konflik diselesaikan dengan mengakhiri berbagai ketegangan dan kekerasan sehingga kembali ke kondisi normal. Namun, jika penyebab konflik tidak diatasi dengan baik, tahap ini akan kembali lagi menjadi situasi prakonflik. Periode awal terjadinya konflik yang disebut prakonflik ditandai dengan adanya ketidaksesuaian sasaran antara nelayan tradisional Kwanyar dengan nelayan Weru (jaring Trawl), Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan sekitar tahun 1995. Akibatnya muncul potensi konfrontasi dan ketegangan hubungan antar kedua pihak. Nelayan Batah (jaring Gill net) melakukan protes terhadap kehadiran nelayan luar di perairan Kwanyar. Nelayan Kwanyar merasa pengoperasian jaring eret (istilah nelayan Kwanyar untuk jaring Trawl/Minitrawl), merusak fungsi ekologis perairan pesisir Kwanyar. Nelayan Kwanyar sangat dirugikan karena komoditas tangkapan mereka berupa udang menjadi semakin berkurang. Ketegangan kedua pihak terlihat dari tindakan keras nelayan Batah dengan membakar perahu dan jaring nelayan Weru. Memasuki pertengahan tahun 1997 sampai dengan tahun 2000, konflik meningkat menjadi fase konfrontasi. Nelayan Batah mulai menyusun kekuatan untuk melawan kehadiran nelayan luar. Nelayan Batah merasa kesal terhadap nelayan luar karena pengoperasian jaring Trawl/Minitrawl menyebabkan jaring
72
nelayan Batah putus, rusak dan hilang. Pada akhirnya, nelayan Batah bersamasama dengan tokoh nelayan melakukan tindakan perampasan jaring Minitrawl (jaring eret), kapal, hasil tangkapan ikan, bahkan tidak segan mengejar dan menahan nelayan Minitrawl jika ketahuan kapalnya memasuki daerah tangkapan nelayan Batah. Sedangkan dalam setiap penyelesaian masalah, nelayan Batah merasa kecewa terhadap tindakan Muspika dan aparat keamanan (Polsek Kwanyar) selaku mediator konflik karena tidak tegas menindak pelanggaran nelayan Minitrawl. Aparat selalu mengembalikan kapal dan jaring Minitrawl yang ditangkap nelayan Batah kepada juragan nelayan luar. Kondisi ini semakin memperparah masalah sehingga konflik semakin terbuka. Puncak konflik dimana terjadi ketegangan dan kekerasan yang sangat hebat (Fisher et al. 2001) terjadi pada tahun 2001. Konflik yang diusahakan selesai melalui perundingan dan kesepakatan berupa pembatasan wilayah tangkap antara nelayan Batah (pengguna Gill net) dengan nelayan luar (pengguna Minitrawl) dan penegasan agar kapal-kapal nelayan luar tidak beroperasi di dalam wilayah tangkapan nelayan Batah, justru merupakan salah satu sumber masalah diantara keduanya. Hal ini karena nelayan luar senantiasa melanggar kesepakatan tersebut. Pada hari kamis tanggal 16 Agustus 2001, konflik yang merupakan perpanjangan masalah sebelumnya dengan nelayan desa Nguling, Lekok, Pasuruan kembali terulang. Nelayan Batah menghakimi sendiri nelayan Nguling dengan merusak dan membakar kapal dan jaring mereka. Ketegangan saat itu diselesaikan melalui kesepakatan bersama kedua pihak. Namun selama sebulan situasi di laut tidak kunjung damai, konflik kedua pihak semakin mencuat disertai tindakan balas dendam nelayan Nguling, Lekok, Pasuruan ke pantai Kwanyar, yang menyebabkan perkelahian antar nelayan. Dalam peristiwa itu, mengakibatkan korban meninggal dari kedua pihak dan kerugian materi keduanya sangat besar. Mengetahui kejadian itu, Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Bangkalan segera melakukan sosialisasi bersama tokoh masyarakat dan Ulama Bangkalan dengan memfasilitasi kedua pihak untuk berdamai. Pada 14 September 2001, kedua pihak mengadakan pertemuan dan kesepakatan damai di Masjid Sunan Ampel Surabaya. Dari pertemuan itu didapatkan kesepakatan bahwa nelayan
73
Nguling, Lekok, dilarang menggunakan alat tangkap Minitrawl dan sejenisnya sebagaimana yang dilarang menurut Keputusan Dirjen Perikanan24 Nomor: IK.340/DJ.10.106/97 dan Keputusan Mentan25 No.392/Kpts/IK. 120/4/99, tidak melakukan penangkapan ikan menggunakan bahan peledak (bondet), melengkapi data diri sebagai nelayan andon berdasarkan Keputusan Gubernur26 Kepala Daerah Tingkat I JATIM No. 9 tahun 1983. Sedangkan nelayan Batah bersedia melaporkan tindakan nelayan luar kepada aparat dan tidak bertindak main hakim sendiri. Kedua pihak juga sepakat untuk saling memaafkan, tidak saling mengganggu antar sesama nelayan, dan berkewajiban memberi nomor lambung dan bendera pada kapal/perahu masing-masing sesuai dengan Keputusan Mentan No. 392/Kpts/IK.120/4/99. Apabila salah satu pihak melanggar kesepakatan, maka kedua pihak bersedia untuk musyawarah kembali, apabila tidak berhasil maka akan ditindak sesuai dengan jalur hukum. Kesepakatan kedua pihak menggambarkan tahapan konflik yang disebut akibat, dimana terdapat salah satu pihak (dalam kasus ini nelayan Batah, Kwanyar) mengalah karena desakan pihak lain (DKP dan Pemda Kabupaten Bangkalan) untuk melakukan damai dengan nelayan luar (nelayan Lekok). Namun demikian, DKP dan Pemda Bangkalan tetap menjamin dan melindungi kepentingan warga nelayan Batah dalam proses kesepakatan tersebut. Situasi berubah dimana konflik mulai menurun dan perairan Kwanyar aman dari gangguan nelayan luar. Namun kondisi ini hanya efektif selama satu tahun karena pada tahun 2002 ketegangan terjadi kembali dengan nelayan Sreseh, Sampang dan dengan nelayan-nelayan Kedung Turi, Paciran, Lamongan, nelayan Semedu Sari, Lekok, Pasuruan, dan nelayan Bangsal, Mojokerto yang melakukan andon ke wilayah Kenjeran, Surabaya, namun menangkap ikan sampai ke wilayah pantai Kwanyar. Semua kasus itu ditangani secara kekeluargaan. Konfrontasi kembali terulang sejak tahun 2002. Hal ini disebabkan karena nelayan Minitrawl menangkap ikan semakin mendekati pesisir yaitu pinggir pantai (inshore). Untuk mengantisipasi konflik kembali meluas, maka Dinas Perikanan Kabupaten Bangkalan pada tahun 2003, berdasarkan instruksi dari Dinas Perikanan dan 24
Lampiran 10 Lampiran 11 26 Lampiran 12 25
74
Kelautan Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Timur menempatkan Keamanan Laut (Kamla) dari Kesatuan Polisi Air-Udara (Satpol-Airud) Surabaya dan Angkatan Laut (TNI-AL) di desa Batah Barat, Kwanyar. Ketegangan kembali menurun karena patroli petugas mampu mengurangi potensi konflik. Namun karena tindakan aparat sering mengalami keterlambatan dalam memonitoring perairan Kwanyar maka konflik hanya mampu diredam dalam jangka pendek. Pada tahun 2004 sampai dengan tahun 2005, konflik kembali terbuka. Misalnya, konflik yang terjadi pada bulan Pebruari 2005, ketika nelayan Batah menyandera 22 orang nelayan Minitrawl Weru Komplek, Lamongan yang mengoperasikan alat tangkap Minitrawl di perairan Kwanyar, Bangkalan. Dalam penyanderaan tersebut, sebanyak tiga orang nelayan Paloh dan Sidokumpul mengalami luka parah dan dirawat di Rumah Sakit Bangkalan. Tidak hanya itu, pada bulan Juli 2005 terjadi lagi penangkapan 2 orang nelayan pengguna Minitrawl Desa Weru oleh Operasi Gabungan (Satpol-Airud dan TNIAL) di sekitar perairan Kwanyar, Muara Kamal, dan Kedung Cowek, Surabaya. Pelanggaran wilayah tangkap seringkali dilakukan oleh nelayan Minitrawl, namun nelayan Batah, Kwanyar berusaha bersabar. Mereka menyerahkan sepenuhnya keamanan perairan kepada pihak Kamla (Keamanan Laut). Masyarakat nelayan Batah turut melakukan pengamanan di laut dari nelayan luar bersama dengan aparat. Jika nelayan Batah menemukan nelayan luar (pengguna Minitrawl) menangkap ikan sampai memasuki perairan Batah, maka segera dilaporkan ke aparat untuk ditangkap dan ditindak sebagai pelanggaran jalur wilayah penangkapan. Meskipun demikian penangkapan tetap mengikuti kaedahkaedah yang ditentukan secara hukum. Mengenai hal ini salah satu nelayan Abd. Rosyid (50 tahun), menerangkan: ”Kalau nelayan sini tahu ada nelayan lain nangkap ikan sampai masuk perairan Batah, langsung kami susul ke tengah laut. Kami tidak langsung main tangkap, biasanya KTPnya kami minta. Kalo sudah begitu, mereka kami giring ke darat untuk dilaporkan pada Pak desa. Setelah itu, masalah selesai lewat perjanjian. Sekarang semua masalah nelayan Airud yang tangani dan mereka yang tahu hukuman yang mestinya diberikan.”
75
Hal serupa juga diterangkan oleh Kepala Desa Batah Barat, Bapak Zainal Arifin (55 tahun), bahwa: “Perjanjian sudah berkali-kali dilakukan antara nelayan Batah dengan nelayan luar. Salah satunya tentang penentuan batas wilayah tangkapan nelayan. Arah 3 mil Laut ke utara adalah wilayah tangkap nelayan Batah, sedangkan 3 mil Laut dan selebihnya ke arah Selatan dari pinggir pantai Batah adalah wilayah tangkap nelayan-nelayan luar. Tapi kenyataannnya, tetap saja nelayan luar itu memasuki wilayah tangkap nelayan Batah. Mereka memang sengaja mencari gara-gara, tetapi nelayan sini saya suruh lebih bersabar dan menyerahkan segala masalah pada Airud saja.” Saat ini, potensi konflik dimonitoring oleh aparat Kamla (dari SatpolAirud dan TNI-AL). Ini dilakukan untuk mengurangi frekuensi konflik dan meminimalisir konflik terbuka kembali. Masyarakat nelayan Batah turut serta dalam pengamanan situasi di laut. Walaupun demikian, masih ada nelayannelayan luar pengguna Minitrawl yang menangkap ikan di perairan Kwanyar secara sembunyi-sembunyi untuk menghindari konflik dengan nelayan Batah maupun dengan aparat. Nelayan Batah menganggap nelayan luar sebagai lawan/musuh jika tidak bersedia mematuhi aturan-aturan komunitas nelayan Batah. Kejadian ini menggambarkan bahwa konflik tidak dapat dihilangkan atau dihapuskan. Masalah yang dipertentangkan kedua pihak (antara nelayan Batah dengan nelayan luar Minitrawl) tidak dapat dihapuskan dan ketegangan kedua pihak masih terjadi saat keduanya melaut. Selain faktor permusuhan, hal lain yang turut mendorong konflik keduanya karena faktor ketersediaan sumberdaya yang semakin menipis dan faktor kerusakan ekologi perairan karena pengoperasian jaring Minitrawl serta faktor pencemaran limbah dari kegiatan industri dan rumah tangga di daratan (Land Base Pollution Sources).
76
5.4.3 Tipe dan Karakteristik Konflik Konflik nelayan Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan Selat Madura dalam perkembangannya dipicu oleh permasalahan yang berbeda-beda. Karakteristik konflik diketahui dengan mengidentifikasi tahapan-tahapannya yaitu konflik tersembunyi (latent), konflik mencuat (emerging), konflik terbuka (manifest) dan konflik yang meningkat (eskalasi) (Kusumastuti 2006 diacu dalam Satria 2006). Identifikasi tahapan-tahapan konflik ditujukan untuk mengetahui pihak-pihak yang terlibat konflik serta tindakan-tindakannya dalam konflik dan proses penyelesaian konflik. Berdasarkan perbedaan masalah yang menjadi penyebabnya dan identifikasi pihak-pihak yang terlibat, konflik diklasifikasikan kedalam tipe-tipe konflik yang mengacu pada Satria (2006), yaitu konflik kepemilikan sumberdaya, konflik pengelolaan sumberdaya, konflik cara produksi/alat tangkap, konflik lingkungan, konflik usaha, serta konflik primordial. Konflik nelayan Kecamatan Kwanyar umumnya bersifat terbuka yang mengarah pada tindakan kekerasan. Namun beberapa diantaranya berupa konflik permukaan dan konflik latent yang terjadi sebagai bagian atau pengaruh dari adanya konflik yang terbuka. Pada konflik terbuka pihak- pihak yang berselisih secara aktif terlibat dalam perselisihan yang terjadi (Kusumastuti 2006 diacu dalam Satria 2006), berakar dalam dan sangat nyata serta memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya (Fisher et al. 2001).
5.4.3.1 Konflik Kepemilikan Sumberdaya Perbedaan pandangan nelayan terhadap keberadaan sumberdaya perikanan, perebutan lahan tangkapan antar sesama nelayan tradisional dan nelayan tradisional dengan nelayan modern, perbedaan operasi penangkapan (cara produksi/alat tangkap) dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan antar nelayan serta batas administratif daerah antar nelayan yang menempati satu kawasan di Selat Madura merupakan pemicu timbulnya konflik yang berkaitan dengan kepemilikan sumberdaya. Konflik kepemilikan sumberdaya adalah konflik yang terjadi akibat isu kepemilikan sumberdaya yaitu siapakah yang memiliki sumberdaya ikan di laut (Satria 2006).
77
Pada masyarakat nelayan di kawasan pesisir Selat Madura, Provinsi Jawa Timur tidak ada kepemilikan atau komunalitas wilayah pesisir. Secara normatif laut bersifat ”bebas” (open access) bagi siapapun untuk memanfaatkannya namun secara yuridis dalam hal pengelolaan terhadap pemanfaatan sumberdayanya merupakan kepemilikan negara (state property). Daerah penangkapan ikan dengan alat tangkap tradisional maupun skala kecil yang telah dimodifikasi antar nelayan di wilayah Selat Madura bersifat terbuka. Artinya nelayan Pasuruan misalnya dapat mengoperasikan alat tangkapnya memasuki wilayah Sampang dan sebaliknya nelayan Sampang juga dapat memasuki wilayah Pasuruan sejauh teknologi yang dimiliki nelayan dapat melakukannya (Muhammad 2007). Namun nelayan di Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan terutama kelompok nelayan Desa Batah melakukan pembatasan terhadap akses nelayan-nelayan luar di perairan Selatan Bangkalan, wilayah perairan Selat Madura. Maraknya konflik antara nelayan tradisional dengan nelayan-nelayan modern alat tangkap Minitrawl di wilayah perairan Selat Madura sebelum tahun 1980 (Anonim 2001) menyebabkan masyarakat nelayan Batah menerapkan sebuah aturan lokal (local rules) sebagai pengontrol akses nelayan-nelayan daerah lain di perairan Kecamatan Kwanyar. Pada sisi lain, nelayan Batah juga melakukan usaha pengkaplingan laut sebagai batasan teritorial (territorial boundary) perairan yang dikelolanya. Ini untuk membedakan perairan antara nelayan lokal dengan nelayan luar/nelayan daerah lain. Perselisihan dalam memperebutkan sumberdaya dan lahan tangkapan tidak dapat dihindarkan ketika terdapat perbedaan pendapat antara nelayan lokal dengan nelayan luar/nelayan daerah lain dalam mengakses sumberdaya di perairan ini.
5.4.3.1.1 Konflik antara Nelayan Batah Timur, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dengan Nelayan Kecamatan Sreseh, Kabupaten Sampang Wilayah tangkapan antara kelompok nelayan Batah, Kecamatan Kwanyar dengan nelayan Kecamatan Sreseh, Kabupaten Sampang berdekatan dan berada dalam satu kawasan di perairan Selat Madura. Berbagai tindakan dilakukan nelayan Batah Timur terhadap kegiatan penangkapan nelayan-nelayan Kecamatan Sreseh, Kabupaten Sampang seperti mengawasi cara penangkapannya karena
78
nelayan-nelayan Kecamatan Sreseh dikenal banyak yang menggunakan alat tangkap seperti Minitrawl (jaring eret). Tidak jarang keduanya terlibat perselisihan memperebutkan lahan tangkapan. Pada tahun 1997 konflik yang terjadi antara nelayan Desa Batah Timur, Kecamatan Kwanyar dengan nelayan dari Desa Noreh, Kecamatan Sreseh, Kabupaten Sampang berkembang dari wujud yang latent (Tabel 19). Tabel 19. Karakteristik Konflik antara Nelayan Batah Timur, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dengan Nelayan-nelayan Kecamatan Sreseh, Kabupaten Sampang. Pihak terlibat Langsung dalam Konflik
Waktu Kejadian
Karakteristik Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Sentralistik
Sifat Konflik
Solusi
Latent berkembang kearah terbuka
Musyawarah
Musyawarah dan proses hukum (tindakan pidana)
Nelayan Tradisional Desa Batah Timur, Kec. Kwanyar, Kab. Bangkalan (Vs) Nelayan Desa Noreh, Kec. Sreseh, Kab. Sampang
Tahun 1997
Nelayan Tradisional Desa Batah Timur, Kec. Kwanyar, Kab. Bangkalan (Vs) Nelayan Tradisional Desa Labuhan, Kec. Sreseh, Kab. Sampang
Tahun 2002
Desentralisasi
Terbuka
Nelayan Tradisional Batah Timur (Vs) Nelayan Sreseh, Kab. Sampang
Tahun 2004
Desentralisasi
Terbuka
Nelayan Tradisional Batah Timur (Vs) Nelayan jaring Arad/eret, Kec. Sreseh, Kab. Sampang
Tahun 2005
Desentralisasi
Eskalasi
Nelayan Tradisional Batah Timur (Vs) Nelayan Sreseh, Kab. Sampang
Tahun 2006
Desentralisasi
Latent
Hasil Kesepakatan
Penetapan wilayah atau batas penangkapan ikan
Menaati kesepakatan yang pernah dibuat sebelumnya Kesepakatan baru dimana kedua pihak berjanji untuk hidup rukun dan damai Musyawarah Menaati melalui kesepakatan peranan yang pernah Kamla dibuat sebelumnya Proses hukum Tindakan pidana ringan dengan vonis 6 bulan penjara kepada nelayan Sreseh karena melanggar jalur penangkapan Musyawarah Kesepakatan kekeluargaan atau melalui perjanjian peranan damai Kamla
Sumber : Diolah dari Data Primer (Hasil Observasi dan Wawancara Mendalam) 2007 dan Data Sekunder (Dokumentasi Konflik Nelayan Desa Batah Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan, September 2004) dan Laporan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bangkalan Tahun 2006
79
Diawali dengan tekanan-tekanan samar nelayan Desa Batah Timur terhadap nelayan Desa Noreh, Kecamatan Sreseh, Kabupaten Sampang, seperti peringatan dan pembatasan akses ke perairan Kwanyar jika penangkapannya (alat tangkap dan operasi penangkapan) berbeda dengan nelayan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan. Konflik menjadi terbuka ketika perselisihan berubah menjadi perlawanan. Nelayan Desa Noreh, Kecamatan Sreseh yang menangkap ikan sampai ke perairan Kwanyar tepatnya di sekitar Desa Batah Timur dengan menggunakan Minitrawl dianggap berusaha merebut lahan tangkapan nelayan Batah Timur. Salah seorang nelayan Batah Timur (X), mengungkapkan: ” Bagaimana nelayan Sreseh itu tidak dianggap merebut lahan tangkapan, kalo mereka masih saja menangkap ikan di sekitar Desa sini. Mereka purapura tidak tahu kalo sudah menangkap ikan sampai masuk perairan Batah, padahal sudah diingatkan juga tidak memakai jaring eret. Tapi tetap saja sembunyi-sembunyi pakainya. Setelah ketahuan kami, tentu saja kami menangkapnya (beberapa nelayan Desa Noreh, Kecamatan Sreseh, Sampang beserta perahu dan jaringnya), habisnya kami tidak bisa sabar lagi.....Setelah di darat kami serahkan ke Kepala Desa, karena kasian maka dilepaskan saja, kalo jaringnya kami bakar saja biar tidak bisa dan tidak ada yang pakai.“ Beberapa nelayan Desa Noreh ditangkap beserta perahu dan jaringnya disita oleh nelayan Batah, Kecamatan Kwanyar. Bahkan setelah nelayan Desa Noreh dibebaskan, perahu dan jaringnya dibakar beramai-ramai oleh kelompok nelayan Batah. Perangkat Desa Batah yaitu Kepala Desa pada peristiwa itu tidak mampu meredam emosi masyarakat nelayan Batah. Penyelesaian konflik dilakukan dengan musyawarah melalui peranan Muspika masing-masing daerah. Proses hukum belum diterapkan (gagal) karena dikhawatirkan akan semakin memperkeruh suasana kedua pihak kearah permusuhan. Dalam musyawarah nelayan Desa Noreh, Sreseh tidak setuju untuk menyamakan alat tangkap seperti yang digunakan oleh nelayan-nelayan Kwanyar sehingga kesepakatan yang dibuat berupa pembatasan wilayah penangkapan masing-masing27 (Tabel 20). Selama nelayan Sreseh menggunakan Jaring Minitrawl maka penangkapannya tidak boleh sampai ke wilayah perairan Kabupaten Bangkalan. Konflik pada kasus ini dipetakan dalam Gambar 3. 27
Batasan teritorial (territorial boundary) untuk membedakan perairan antara nelayan Batah, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dengan nelayan Kecamatan Sreseh, Kabupaten Sampang. Ini disebut juga sebagai usaha pengkaplingan laut.
80
Tabel 20. Surat Pernyataan Yang bertanda tangan dibawah ini: Nama : Moch. Zainal Arifin Umur : 45 tahun Pekerjaan : Kepala Desa Batah Barat Kecamatan Kwanyar Kabupaten Dati II Bangkalan Alamat : Desa Batah Barat Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan Atas nama/wakil masyarakat nelayan dari Desa Batah Barat Kecamatan Kwanyar Kabupaten Dati II Bangkalan. Nama : MUHAJI Umur : 25 Tahun Pekerjaan : Nelayan Alamat : Desa Noreh Kecamatan Sreseh Kabupaten Sampang Atas nama/wakil masyarakat nelayan dari Desa Noreh Kecamatan Sreseh Kabupaten Dati II Sampang. Dengan ini kami menyatakan bahwa, pada hari Sabtu tanggal 26 April 1997 mulai pukul 16.00 s/d 18.30 WIB, telah diadakan musyawarah yang dihadiri oleh Tokoh masyarakat dan nelayan dari Desa Noreh sebanyak 15 orang, dari Desa Batah Barat sebanyak 7 orang. Karena tidak terjadi kesepakatan ”penggunaan jaring ladang eret” maka dimusyawarahkan mengenai batas wilayah penangkapan ikan dengan hasil kesepakatan sebagai berikut; 1. Penangkapan ikan dengan menggunakan jaring insang, ladang tidak ada pembatasan wilayah; 2. Penangkapan ikan dengan menggunakan jaring ladang eret, wilayah penangkapannya dibatasi; a) Untuk nelayan Desa Noreh ke ujung paling barat sebatas di Desa Patengteng (Langkap), demikian sebaliknya nelayan Desa Batah ke ujung paling timur di desa tersebut diatas; b) Dari utara ke selatan; ditarik garis lurus dari Desa Patengteng (Langkap) kearah selatan, tidak terbatas. 3. Bila ada pelanggaran batas wilayah dan penggunaan jaring tidak sesuai hasil kesepakatan, baik nelayan Batah Barat maupun Noreh tidak akan main hakim sendiri dan harus melaporkan kepada Kepala Desa serta Muspika masing-masing. Demikian kesepakatan ini dihasilkan untuk dijadikan pedoman dan dipatuhi bersama. Sreseh, 26 April 1997 Yang menyatakan Perwakilan Nelayan Noreh
Kepala Desa Batah Barat
MUHAJI
MOCH. ZAINAL ARIFIN
81
1
2
Nelayan Batah Timur, Kec. Kwanyar, Kab. Bangkalan
Nelayan Kec. Sreseh, Kabupaten Sampang 4 3
5
Tokoh Masyarakat Batah, Kec. Kwanyar
Aparat Keamanan dan Muspika
Kepemilikan Sumberdaya
1. Perebutan lahan tangkapan 4. Cara penangkapan berbeda
Keterangan:
Isu Kepemilikan Sumberdaya : 2. Perebutan sumberdaya ikan 3. Alat tangkap berbeda 5. Batasan Wilayah Penangkapan (usaha mengkapling laut)
: Konflik terbuka : Hubungan sementara : Pengawasan (gagal) : Arah wewenang
: Hubungan dekat : Hubungan terputus : Koordinasi putus : Koordinasi sementara
Gambar 3. Pemetaan Konflik Kepemilikan Sumberdaya antara Nelayan Batah Timur, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dengan Nelayan Kecamatan Sreseh, Kabupaten Sampang (Pra Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan)
Tahun 2002, konflik terjadi dengan nelayan Desa Labuhan, Kecamatan Sreseh, Kabupaten Sampang. Nelayan Desa Labuhan menangkap ikan dengan Minitrawl di lokasi yang sama dengan nelayan Batah Timur yaitu di antara perairan Kecamatan Kwanyar dan Kecamatan Modung, Kabupaten Bangkalan. Nelayan Minitrawl dari Kecamatan Sreseh, Kabupaten Sampang seringkali menangkap ikan sampai ke perairan Kecamatan Kwanyar dan Kecamatan Modung, Kabupaten Bangkalan untuk menghindari persaingan memperebutkan sumberdaya ikan dan konflik antar nelayan di daerahnya (konflik sesama nelayan tradisional yang menggunakan Minitrawl dan sejenisnya28 atau alat tangkap lain29). Pada kasus ini, konflik bersifat terbuka dan mencapai fase kekerasan 28
Alat tangkap sejenis Minitrawl yaitu berupa alat tangkap berbentuk kantong yang telah dimodifikasi sehingga bentuk komponen serta ukurannya menyerupai jaring Trawl, secara teknis sama dengan jaring Trawl tetapi tidak termasuk klasifikasi jaring trawl seperti Jaring Arad, Cotok/otok, Garuk perang, dan lain-lain. 29 Alat tangkap lainnya yang biasa digunakan oleh kalangan nelayan usaha skala kecil dan tradisional, seperti Gill net, Trammel net, bubu, dan lain-lain.
82
dimana kedua pihak terlibat dalam perkelahian. Dalam perkelahian tersebut nelayan Batah Timur mengalami kerugian materi karena jaring Insang (Gill net) dan perahunya mengalami kerusakan. Penyelesaian konflik masalah pelanggaran aturan penangkapan (local rules) diselesaikan secara musyawarah disertai negosiasi berupa pembayaran ganti rugi terhadap nelayan Batah Timur. Sedangkan kerugian jiwa akibat perkelahian, diselesaikan secara hukum (tindakan pidana) melalui penyelidikan terhadap tersangka dan korban. Sedangkan pada tahun 2004, konflik terjadi dengan nelayan Trammel net Desa Sreseh, Kecamatan Sreseh. Perselisihan terjadi karena pertentangan pendapat terhadap cara penggunaan/operasi Trammel net. Nelayan Batah Timur, Kecamatan Kwanyar tidak setuju Trammel net nelayan Desa Sreseh, Kecamatan Sreseh dioperasikan secara melingkar di dasar laut sekitar perairan antara Kecamatan Kwanyar dengan Kecamatan Modung, Kabupaten Bangkalan. Meskipun nelayan Desa Sreseh tidak melanggar aturan penangkapan dan kesepakatan sebelumnya, tetapi penggunaan Trammel net secara melingkar oleh nelayan Batah Timur dinilai sama teknisnya dengan Minitrawl. Nelayan Batah Timur dan nelayan-nelayan Kwanyar lainnya yang menggunakan Gill net akan kalah bersaing dengan nelayan Trammel net Desa Sreseh. Diantara nelayan Batah Timur ada yang menggunakan Trammel net, namun saat ini jumlahnya semakin berkurang. Hal ini karena Trammel net nelayan Batah Timur banyak yang rusak tersapu jaring Minitrawl nelayan-nelayan daerah lain. Sedangkan untuk memperbaikinya, nelayan Batah Timur mengalami hambatan modal sehingga nelayan yang dulunya mengoperasikan Trammel net sekarang beralih mengoperasikan jaring Insang (Gill net). Tindakan ini juga untuk menghindari persaingan dan kecemburuan sesama nelayan lokal serta untuk memberikan ”rasa keadilan” diantara sesama nelayan lokal di Kecamatan Kwanyar. Penyelesaian konflik pada kasus ini secara musyawarah melalui peranan aparat Kamla (Keamanan Laut) Batah, Kecamatan Kwanyar. Nelayan Desa Sreseh, Kabupaten Sampang harus bersedia untuk tidak menggunakan Trammel net jika menangkap ikan di sekitar perairan Kwanyar.
83
Pada tahun 2005, konflik meningkat dan mencapai pada tahap eskalasi yang merupakan puncak dari konflik. Konflik bukan hanya terjadi dengan kelompok nelayan Batah Timur, tetapi juga dengan aparat Kamla yang berusaha mengamankan perairan dari tindakan pelanggaran hukum sehingga penyelesaian juga dilakukan secara hukum (tindakan pidana). Sedangkan pada tahun 2006, konflik terjadi karena adanya kesalahpahaman terhadap pengoperasian alat tangkap, dimana nelayan Sreseh mengoperasikan Gill net dengan menggunakan alat bantu berupa gardan. Konflik berwujud latent langsung ditangani oleh aparat Keamanan laut (Kamla). Penyelesaian masalah ini dilakukan dengan mengangkat kembali norma atau kesepakatan yang telah disepakati kedua pihak (antara nelayan Batah Timur dengan nelayan Sreseh) sebelumnya. Konflik antara nelayan Batah Timur, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dengan nelayannelayan Kecamatan Sreseh, Kabupaten Sampang pasca desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan di Selat Madura, perairan Selatan Kabupaten Bangkalan, dipetakan dalam Gambar 4. berikut. 1
2
Nelayan Batah Timur, Kec. Kwanyar, Kab. Bangkalan
Nelayan Kec. Sreseh, Kabupaten Sampang 4 3
5
Tokoh Masyarakat Batah, Kec. Kwanyar
Pol-Airud Dan TNI-AL
Kepemilikan Sumberdaya
1. Perebutan lahan tangkapan 4. Cara penangkapan berbeda
Keterangan:
Isu Kepemilikan Sumberdaya : 2. Perebutan sumberdaya ikan 3. Alat tangkap berbeda 5. Batasan Wilayah Penangkapan (usaha mengkapling laut)
: Konflik terbuka : Konflik latent : Pengawasan : Arah wewenang
: Hubungan dekat : Hubungan terputus : Koordinasi
Gambar 4. Pemetaan Konflik Kepemilikan Sumberdaya antara Nelayan Batah Timur, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dengan Nelayan Kecamatan Sreseh, Kabupaten Sampang (Pasca Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan)
84
5.4.3.1.2 Konflik antara Nelayan Batah Barat, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dengan Nelayan Kecamatan Lekok dan Kecamatan Kraton, Kabupaten Pasuruan Konflik yang terjadi antara nelayan Pasuruan dengan nelayan Kwanyar sudah berlangsung sejak tahun 1996. Konflik tersebut bermula dari adanya kecemburuan sosial karena peralatan yang digunakan oleh nelayan Pasuruan lebih canggih dibanding milik nelayan Kwanyar. Hal ini menyebabkan munculnya kontroversi pelarangan berlayar di kawasan Kwanyar bagi nelayan Pasuruan, terutama yang memakai alat canggih seperti Minitrawl dan sejenisnya (Anonim 2001). Saat ini, permasalahan konflik berkembang sebagai dampak dari terbentuknya paguyuban lokal nelayan-nelayan di Kwanyar yang secara implementasi diterapkan dalam konsep kepemilikan lokal sumberdaya laut. Lokasi perairan yang saling berdampingan dengan nelayan Pasuruan, menyebabkan kelompok nelayan Batah Barat, Kecamatan Kwanyar melakukan pembagian batas perairan atau wilayah tangkapan agar dapat dibedakan dengan wilayah tangkapan nelayan tetangganya, yaitu nelayan-nelayan Kecamatan Sreseh, Kabupaten Bangkalan dan nelayan-nelayan Kecamatan Lekok serta nelayan Kecamatan Kraton, Kabupaten Pasuruan. Tindakan ini dilakukan untuk menghindari konflik antara kelompok nelayan Batah Barat dengan nelayan Sreseh, Sampang dan nelayan Lekok, serta nelayan Kraton, Kabupaten Pasuruan. Namun pembagian batas tersebut ternyata semakin memicu konflik terbuka. Hal ini karena kelompok nelayan Batah tidak melibatkan nelayan Pasuruan saat melakukan penentuan batas. Padahal lokasi wilayah tangkapan mereka sangat berdekatan atau berada dalam satu kawasan. Nelayan Pasuruan merasa memiliki hak pada perairan yang telah diberi tanda oleh nelayan Batah. Nelayan Pasuruan tidak setuju jika laut ”dibatas-batasi“ hanya untuk mengklaim suatu perairan sebagai milik kelompok karena yang mereka butuhkan adalah sumberdaya ikannya. Ini karena nelayan pasuruan mengikuti pergerakan ikan.
85
Salah seorang nelayan andon Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan yang terlibat dalam konflik dengan nelayan Batah Barat, ZY (23 Agustus 2006), menyatakan bahwa: ” Apa salahnya jika menangkap ikan sampai ke sekitar sini (perairan Kwanyar), wong kami ngikutin ikannya. Ikan-ikan dari daerah kami juga lari kesini. Kalo laut kan bisa dibedakan milik siapa-siapanya, tapi kalo ikan kan tidak bisa...apalagi wilayah laut kami dan orang Batah bersebelahan, jadi sudah tentu ikannya jadi rebutan.“ Bagi masyarakat Batah Barat, Kecamatan Kwanyar, pembagian batas wilayah perairan merupakan salah satu solusi untuk mempertahankan kelestarian sumberdaya dan melindungi hak-hak penangkapan nelayan lokal dari nelayan daerah lain karena praktek penangkapan yang merusak lingkungan. Hal ini dilakukan karena umumnya nelayan Kecamatan Lekok dan Kraton, Kabupaten Pasuruan menggunakan alat tangkap yang sifatnya dapat menguras ketersediaan stok ikan serta pengoperasian alat tangkap yang tidak sesuai dengan nilai lokal nelayan Batah Barat, Kecamatan Kwanyar. Perselisihan antar kelompok nelayan ini muncul karena nelayan Batah Barat, Kecamatan Kwanyar selalu mendapatkan hasil tangkapan yang sedikit karena kalah bersaing dalam hal teknologi penangkapan. Konflik antara nelayan Batah Barat, Kecamatan Kwanyar dengan nelayan Kecamatan Lekok dan Kecamatan Kraton, Kabupaten Pasuruan bersifat terbuka dan keduanya selalu terlibat perselisihan ketika di laut. Perebutan lahan tangkapan menjadi pemicu konflik kedua kelompok nelayan tersebut. Pada tahun 2000 konflik terjadi antara nelayan Batah Barat, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dengan nelayan dari Desa Jati Rejo dan Desa Nguling, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan. Nelayan Kecamatan Lekok, Pasuruan menangkap ikan di daerah aloran Desa Batah Barat, Kecamatan Kwanyar dengan Minitrawl atau jaring Bronjong. Tindakan nelayan Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan oleh nelayan Batah Barat dianggap sebagai usaha merebut lahan tangkapan nelayan lokal karena nelayan Kecamatan Lekok umumnya melakukan ekspansi atau mencari lahan tangkapan baru untuk mendapatkan hasil tangkapan ikan yang lebih. Ketika nelayan Desa Jati Rejo dan Desa Nguling beramai-ramai menangkap ikan hingga ke wilayah pantai (inshore) Kecamatan Kwanyar, mereka mendapatkan perlawanan dan terlibat perkelahian dengan nelayan Batah Barat.
86
Nelayan Batah Barat menahan 7 (tujuh) orang nelayan Pasuruan beserta perahu dan jaringnya. Nelayan-nelayan Pasuruan hampir dihakimi secara ”massa” oleh masyarakat Batah, Kecamatan Kwanyar ketika di darat. Namun dapat digagalkan oleh aparat kepolisian dan Muspika Kwanyar. Untuk mengurangi ketegangan dan menjaga keamanan di laut maka segera dilakukan musyawarah yang disaksikan oleh Muspika Kwanyar beserta Tokoh Ulama dan Tokoh masyarakat kedua kelompok nelayan tersebut. Tanggal 11 April 2000, dicapai kesepakatan antara nelayan Batah Barat, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dengan nelayan Desa Jati Rejo dan Desa Nguling, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan (Tabel 21). Konflik baru dengan nelayan Pasuruan terjadi setahun berikutnya antara nelayan Batah Barat, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dengan nelayan dari Desa Kraton, Kecamatan Kraton, Kabupaten Pasuruan. Penyebabnya adalah sama dengan konflik sebelumnya yaitu masalah pengoperasian jaring Minitrawl di perairan pantai Kwanyar. Potensi konflik lebih besar dibandingkan dengan sebelumnya dimana bukan hanya terjadi perselisihan tetapi keduanya bahkan terlibat aksi kekerasan yaitu saling menyandera, menculik, dan membunuh hingga mengakibatkan korban jiwa pada keduanya. Tindakan kekerasan kedua pihak dilatarbelakangi oleh adanya dendam dan permusuhan yang lahir sebagai konsekuensi untuk membela kepentingan masing-masing kelompok. Hal ini karena ketidaksepakatan dalam perjanjian sebelumnya kurang dipertimbangkan. Konflik berlangsung lama dimana kedua pihak sulit untuk berdamai. Sulitnya mencarikan solusi bagi keduanya menyebabkan pemerintah daerah turun tangan dan mengusulkan keduanya untuk berislah. Seperti yang dibenarkan oleh Kasubdin Humas DKP Bangkalan, Bapak Abdurahman, menerangkan bahwa: ”Konflik nelayan Batah dengan nelayan Pasuruan merupakan konflik yang cukup berat dan rumit. Kedua kelompok nelayan sama-sama keras dan susah untuk berdamai. Tiap kali dilakukan kesepakatan ujungnya masih ada salah satu pihak yang melanggar. Karena sudah banyak melibatkan publik (wartawan dan penyuluh lapang), dan akhirnya selalu buntu maka cara yang kami berikan dengan Islah karena cara hukum kurang kuat, terlalu lama pengadilan untuk menyelidiki...tahu sendiri adik, orang Madura biasanya takut pada sumpah. Dengan begitu diharapkan keduanya tidak bermusuhan lagi...masalah sekarang masih ada pelanggaran, Kamla yang lebih berhak menangani.“
87
Tabel 21. Karakteristik Konflik antara Nelayan Batah Barat, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dengan Nelayan-nelayan Kecamatan Lekok dan Kecamatan Kraton, Kabupaten Pasuruan. Pihak terlibat Langsung dalam Konflik
Waktu Kejadian
Karakteristik Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Sentralistik
Sifat Konflik
Solusi
Nelayan Tradisional Batah Barat, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan (Vs) Nelayan Desa Jati Rejo dan Desa Nguling, Kec. Lekok, Kab. Pasuruan
Tahun 2000
Terbuka
Musyawarah dan kesepakatan bersama
Nelayan Tradisional Batah Barat, Kecamatan Kwanyar (Vs) Nelayan Tongep (Minitrawl) Desa Kraton, Kecamatan Kraton, Kabupaten Pasuruan
Tahun 2001
SentralistikDesentralisasi
Terbuka ke arah eskalasi
Nelayan Tradisional Batah Barat (Vs) Nelayan Desa Tambak Rejo, Kec. Kraton, Kab. Pasuruan Nelayan Batah Barat (Vs) Nelayan Kecamatan Lekok, Kab. Pasuruan
Tahun 2004
Desentralisasi
Terbuka
Tahun 2006
Desentralisasi
Latent
Hasil Kesepakatan
Nelayan Lekok berjanji untuk mematuhi peraturan penangkapan ikan komunitas nelayan Batah dengan tidak menggunakan Minitrawl di perairan Kwanyar Mematuhi batas wilayah tangkapan masing-masing Nelayan Kec. Lekok, Pasuruan sanggup untuk tidak menangkap ikan dekat Desa Batah, Kec. Kwanyar Apabila nelayan Pasuruan melanggar maka sanggup dituntut sesuai hukum atau tata cara masyarakat Batah. Islah Pelarangan alat tangkap Minitrawl dan sejenisnya sesuai Kepdirjen No.IK.340/DJ.10106/ 97 Penggunaan alat tangkap disesuaikan dengan Kepmentan No.392/Kpts/IK.120/4 /99 Tidak melakukan penangkapan yang merusak lingkungan Pengaturan nelayan andon Tidak melakukan tindakan penghakiman sendiri bila salah satu pihak melakukan pelanggaran Memberi nomor lambung dan bendera pada kapal. Kekeluargaan Musyawarah dan yang pembayaran ganti rugi ditangani Pol- kepada nelayan Batah Airud Barat Kekeluargaan yang ditangani PolAirud
Musyawarah dan pembayaran ganti rugi kepada nelayan Batah Barat
Sumber : Diolah dari Data Primer (Hasil Observasi dan Wawancara Mendalam) 2007 dan Data Sekunder (Dokumentasi Konflik Nelayan Desa Batah Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan, September 2004) dan Laporan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bangkalan Tahun 2006
88
Pada tanggal 14 September 2001, diadakan islah atau perjanjian damai di Masjid Sunan Ampel Surabaya. Islah tersebut ditujukan agar permasalahan konflik segera selesai. Namun, jika konflik suatu saat kembali terjadi maka menjadi tanggung jawab bersama kedua pihak dalam penyelesaiannya. Setelah Islah, intensitas konflik antara nelayan Batah Barat, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dengan nelayan Desa Kraton, Kecamatan Kraton, Kabupaten Pasuruan berkurang. Demikian setelah diperbantukannya Kamla (Keamanan Laut) di Desa Batah Barat untuk mengamankan perairan Kwanyar, ketegangan kedua pihak di laut mulai mereda. Konflik antara nelayan Batah Barat, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dengan nelayan-nelayan dari Kabupaten Pasuruan terkait isu kepemilikan sumberdaya pra desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan dipetakan dalam Gambar 5.
1
2
Nelayan Batah Barat, Kec. Kwanyar, Kab. Bangkalan
Nelayan Kec. Kraton dan Kec. Lekok, Kabupaten Pasuruan 4 3
5
Tokoh Masyarakat Batah, Kec. Kwanyar
Aparat Keamanan dan Muspika
Kepemilikan Sumberdaya
1. Perebutan lahan tangkapan 4. Cara penangkapan berbeda
Keterangan:
Isu Kepemilikan Sumberdaya : 2. Perebutan sumberdaya ikan 3. Alat tangkap berbeda 5. Batasan Wilayah Penangkapan (usaha mengkapling laut)
: Konflik terbuka : Hubungan sementara : Pengawasan (gagal) : Arah wewenang
: Hubungan dekat : Hubungan terputus : Koordinasi putus : Koordinasi sementara
Gambar 5. Pemetaan Konflik Kepemilikan Sumberdaya antara Nelayan Batah Barat, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dengan Nelayannelayan Kecamatan Kraton dan Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan (Pra Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan)
89
Perebutan wilayah tangkapan ikan antara nelayan Batah Barat, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dengan nelayan-nelayan dari Kabupaten Pasuruan menjadi pemicu terjadinya konflik. Perairan laut yang menjadi batas administratif antara Kabupaten Pasuruan dengan Kabupaten Bangkalan dan juga Kabupaten-Kabupaten Lainnya di sepanjang pesisir Selat Madura memang menyimpan potensi konflik yang tinggi dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Pada tahun 2004 konflik kembali terjadi dengan nelayan dari Desa Tambak Rejo, Kecamatan Kraton, Kabupaten Pasuruan. Nelayan Tambak Rejo menangkap ikan di wilayah tangkapan nelayan Desa Batah Barat dengan menggunakan Minitrawl (Tongep). Sedangkan pada tahun 2006, konflik terjadi dengan nelayan Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan karena nelayan Kecamatan Lekok melanggar aturan lokal dan kesepakatan damai sebelumnya. Penyelesaian kasus terkait perebutan sumberdaya ini masih bersifat pembinaan. Nelayan-nelayan dari Kabupaten Pasuruan yang menangkap ikan sampai ke perairan Pantai Kwanyar hanya diminta menandatangani surat pernyataan yang intinya tidak melakukan pelanggaran aturan-aturan lokal nelayan Batah Barat serta tidak lagi menangkap ikan di sekitar perairan pantai Kwanyar, Kabupaten Bangkalan. Konflik antara nelayan Batah Barat, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dengan nelayan-nelayan dari Kabupaten Pasuruan terkait isu kepemilikan sumberdaya pasca desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan dipetakan pada Gambar 6.
90
1
2
Nelayan Batah Barat, Kec. Kwanyar, Kab. Bangkalan
Nelayan Kec. Kraton dan Kec. Lekok, Kabupaten Pasuruan 4 3
5
Tokoh Masyarakat Batah, Kec. Kwanyar
Pol-Airud Dan TNI-AL
Kepemilikan Sumberdaya
1. Perebutan lahan tangkapan 4. Cara penangkapan berbeda
Keterangan:
Isu Kepemilikan Sumberdaya : 2. Perebutan sumberdaya ikan 3. Alat tangkap berbeda 5. Batasan Wilayah Penangkapan (usaha mengkapling laut)
: Konflik terbuka : Konflik latent : Pengawasan : Arah wewenang
: Hubungan dekat : Hubungan terputus : Koordinasi
Gambar 6. Pemetaan Konflik Kepemilikan Sumberdaya antara Nelayan Batah Barat, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dengan Nelayannelayan Kecamatan Kraton dan Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan (Pasca Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan)
5.4.3.2 Konflik Pengelolaan Sumberdaya Pengelolaan sumberdaya perikanan Selat Madura yang ada pada saat ini terutama dilakukan tanpa pengaturan dan berlangsung self regulated (Muhammad 2007). Masalah property right, ketidakjelasan pengelolaan sumberdaya dan lemahnya penegakan hukum serta pengawasan di Selat Madura memberikan peluang potensi konflik terbuka antara berbagai pihak yang berkepentingan terhadap pemanfaatan dan perebutan sumberdaya perikanan di perairan Selat Madura. Perbedaan persepsi berbagai pihak dalam mengakses sumberdaya dan peraturan perundangan perikanan turut memicu potensi konflik terkait pengelolaan sumberdaya perikanan di Selat Madura. Usaha penangkapan ikan di perairan Selatan Bangkalan, Kecamatan Kwanyar, wilayah perairan Selat Madura diperbolehkan apabila dengan menggunakan alat tangkap yang sifatnya ramah lingkungan, misalnya Gill net dan
91
Trammel net dengan gerakan pasif. Penangkapan oleh nelayan luar/nelayan daerah lain tidak dipermasalahkan selama menggunakan alat tangkap dan operasi penangkapan yang sama dengan nelayan lokal. Hal ini ditujukan untuk mengurangi tingkat persaingan antar nelayan lokal dengan nelayan luar/daerah lain serta menjaga kelestarian lingkungan dan sumberdaya ikan. Namun karakteristik usaha penangkapan nelayan luar yang dalam perkembangannya cenderung memodifikasi alat tangkap, misalnya Dogol yang diubah menjadi bentuk Minitrawl (jaring Arad, Cantrang, dan sejenisnya) sebagai wujud adaptasi terhadap sumberdaya yang telah overfishing menyebabkan nelayan Batah, Kecamatan Kwanyar menolak keberadaan nelayan luar di perairan Selatan Kabupaten Bangkalan, yaitu di perairan Kecamatan Kwanyar dan Kecamatan Modung. Hal ini terkait juga dengan isu kepemilikan sumberdaya (property right) yang akhirnya memunculkan fenomena pengkaplingan laut sebagai batasan teritorial (territorial boundary) yang membedakan perairan antara nelayan lokal dengan nelayan luar. Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi pengelolaan wilayah laut yang disinyalir sebagai munculnya konflik kenelayanan, fenomena pengkaplingan laut dan hak eksklusi (exclusion right) nelayan lokal merupakan fenomena lama dan bukan serta merta akibat otonomi daerah (Satria 2003). Pada intinya ini lebih menunjukkan pada adanya keterkaitan antara identitas sebuah kelompok sosial dengan tempat mereka hidup atau penghargaan identitas selaku nelayan yang merasa berhak terhadap suatu wilayah tertentu (Adhuri 2005 dan Satria 2003), seperti pada kelompok nelayan Batah, Kecamatan Kwanyar yang merasa berhak untuk mengelola wilayah perairan Kecamatan Kwanyar dari praktek penangkapan nelayan luar yang banyak merusak kelestarian sumberdaya dan lingkungan. Konflik pengelolaan sumberdaya adalah konflik yang terjadi akibat pelanggaran peraturan pengelolaan, ini terkait isu siapakah yang berhak mengelola sumberdaya perikanan dan kelautan (Satria 2006). Hampir semua kasus konflik (Tabel 22) yang terjadi dilatarbelakangi oleh adanya pelanggaran terhadap peraturan-peraturan pengelolaan sumberdaya termasuk aturan lokal (local rules) seperti di masyarakat nelayan Batah, Kecamatan Kwanyar,
92
Kabupaten Bangkalan (Tabel 24) yang mencirikan pengelolaan oleh masyarakat (Community Based Fisheries Management). Konflik pengelolaan sumberdaya terjadi antar sesama nelayan yaitu antara kelompok nelayan Batah, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dengan nelayan-nelayan luar/nelayan daerah lain maupun antar nelayan luar/nelayan daerah lain dengan pemerintah Kabupaten Bangkalan (Tabel 23).
Tabel 22. Matrik Hasil Identifikasi Kasus Konflik Nelayan Kwanyar Berkaitan dengan Pengelolaan Sumberdaya Selat Madura, Wilayah Perairan Selatan Kabupaten Bangkalan (Tahun 1995-2006) Jenis Pelanggaran
Jumlah Kasus
Penggunaan alat tangkap yang dilarang yang dapat merusak kelestarian 2 sumberdaya dan lingkungan perairan, seperti jaring trawl dan bom ikan Penggunaan alat tangkap berkantong yang dimodifikasi 8 Permasalahan pelanggaran jalur penangkapan ikan 13 Sumber: Diolah dari Data Primer (Hasil Interview) 2006 dan Data Sekunder Bedah Konflik Nelayan Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan Tahun 2004 dan Dokumentasi Konflik Nelayan Dinas Perikanan Bangkalan Tahun 2006
Pelanggaran terhadap aturan pengelolaan umumnya dilakukan oleh nelayan luar atau nelayan dari Kabupaten lain yang aktivitas perikanannya juga bergantung pada sumberdaya di perairan Selat Madura. Pelanggaran terhadap peraturan pemerintah (goverment rules) dalam usaha penangkapan, seperti pelanggaran terhadap pelarangan pengoperasian jaring Trawl yang termuat dalam Keppres No. 39 tahun 1980, SK Mentan nomor 503/Kpts/Um/9/1980 tentang langkah-langkah penghapusan jaring Trawl dan Kep. Dirjen Perikanan No.Ik.340/DJ.10106/97 tentang pengoperasian alat tangkap berbentuk kantong yang telah dimodifikasi namun tidak termasuk klasifikasi jaring Trawl yang tidak sesuai dengan Kep Mentan No. 392/Kpts/Ik.120 /4/99, pelanggaran pengaturan jalur-jalur penangkapan ikan yang tercantum dalam Kep. Mentan No.392/Kpts/Ik.120/4/99 (Tabel 24). Disamping itu, pelanggaran aturan pengelolaan juga terlihat pada karakteristik usaha penangkapan nelayan luar/nelayan Kabupaten lain dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan seringkali mengancam keberlanjutan sumberdaya dan merusak kelestarian lingkungan perairan, seperti nelayan
93
Panggung Rejo, Kabupaten Pasuruan yang tidak jarang menggunakan bom ikan/bondet untuk mendapatkan tangkapan lebih.
Tabel 23. Karakteristik Konflik Pengelolaan Sumberdaya antar Pihak dalam Konflik Kenelayanan di Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan Nelayan Lokal Nelayan Tradisional Batah Barat Kec. Kwanyar, Kab. Bangkalan Nelayan Tradisional Batah Timur, Kec. Kwanyar, Kab. Bangkalan Nelayan Tradisional Batah Barat, Kec. Kwanyar, Kab Bangkalan Nelayan Tradisional Batah Barat, Kec. Kwanyar, Kab Bangkalan
-
-
Pihak yang Terlibat Nelayan Luar Instansi (Nelayan Pemerintahan Daerah Lain) Nelayan Weru (jaring Trawl) Kec. Paciran, Kab. Lamongan
Nelayan Kec. Sreseh (jaring Minitrawl) Kabupaten Sampang
Nelayan Purse seine Kabupaten Pasuruan
Nelayan Payang Weru Komplek, Kabupaten Lamongan
Sifat Konflik
Penyelesaian
Konflik terbuka
Pelanggaran peraturan pemerintah dalam usaha penangkapan
Tidak ada penyelesaian (proses hukum gagal)
Konflik terbuka
Pelanggaran aturan-aturan lokal
Kesepakatan untuk menaati aturan nelayan Batah Barat
Konflik terbuka
Pelanggaran aturan-aturan lokal
Kesepakatan untuk menaati aturan nelayan Batah Barat
Konflik terbuka
Pelanggaran aturan-aturan lokal
Kesepakatan untuk menaati aturan nelayan Batah Barat
Pelanggaran peraturan pemerintah dalam usaha penangkapan Pelanggaran peraturan pemerintah dalam usaha penangkapan Pelanggaran aturan-aturan lokal
Proses hukuman yaitu vonis 6 bulan penjara
-
-
-
Nelayan Kec. Sreseh, Kabupaten Sampang
Aparat Kamla, Desa Batah Barat, Kec. Kwanyar
Konflik latent
Nelayan Cantrang Kabupaten Probolinggo
Aparat Kamla, Desa Batah Barat, Kec. Kwanyar
Konflik permukaan
Nelayan Kec. Aparat Kamla, Lekok, Desa Batah Kabupaten Barat, Kec. Pasuruan Kwanyar Sumber : Diolah dari Data Primer 2007
Sebab
Konflik latent
Proses hukuman yaitu vonis 6 bulan penjara
Musyawarah kekeluargaan
94
Tabel 24. Peraturan Usaha Penangkapan Ikan Terkait Konflik Kenelayanan di Kecamatan Kwanyar dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Selat Madura Jenis Peraturan Peraturan pemerintah (Government rules)
Bentuk
Konten (isi)
Keppres No. 39/1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl.
Pasal 1 ayat (1) Menghapuskan kegiatan penangkapan ikan yang menggunakan jaring Trawl bertahap. ayat (2) Dalam pengertian jaring Trawl termasuk pula alat penangkap ikan yang dipersamakan, yang perinciannya akan ditetapkan lebih lanjut. Pasal 3 Terhitung mulai tanggal berlakunya keputusan ini sampai dengan tanggal 30 September 1980 dilaksanakan penghapusan secara bertahap terhadap seluruh kapal perikanan yang menggunakan jaring Trawl yang berdomisili dan beroperasi di sekitar Jawa dan Bali; Pada tanggal 1 Oktober 1980 melarang semua kegiatan penangkapan ikan yang menggunakan jaring Trawl di perairan laut yang mengelilingi pulau-pulau Jawa dan Bali. Pertama, Perincian mengenai jaring Trawl adalah sebagai berikut: Jenis-jenis jaring berbentuk kantong yang ditarik oleh sebuah kapal bermotor dan menggunakan alat penentuan suku jaring yang disebut gawang (beam) atau sepasang alat pembuka (otter board) dan jaring yang ditarik oleh dua buah kapal bermotor. Jenis-jenis jaring Trawl termaksud dikenal dengan macammacam pukat harimau, pukat tarik, trawl tarik, jaring tarik, jaring trawl ikan, pukat apollo, pukat dan sebagainya. Adalah alat penangkap ikan berbentuk kantong yang telah dirubah/dimodifikasi sehingga bentuk komponen serta ukuran alat penangkap ikan berbentuk kantong tersebut menyerupai jaring Trawl, tetapi tidak termasuk klasifikasi jaring Trawl (Cantrang, Arad, Otok, Garuk Perang, dan lain-lain). Digunakan oleh nelayan usaha skala kecil (small scale fisheries), 1. Kapal tidak bermotor/bermotor luar/bermotor dalam < 5 GT atau mesin 15 DK. 2. Kecuali Lampara Dasar dengan panjang kapal < 12 m/mesin < 36 DK, panjang bentangan sayap < 60 m. Jalur I 0 – 3 mil, diperbolehkn untuk alat penangkapan ikan yang menetap, alat penangkapan ikan yang tidak menetap yang tidak dimodifikasi, dan kapal perikanan tanpa motor yang panjangnya ≤ 10 m. 3 – 6 mil, diperbolehkan untuk alat penangkapan ikan yng tidak menetap yang dimodifikasi, kapal perikanan yang diperbolehkan yaitu; - Tanpa motor dan bermotor tempel ukuran panjang ≤ 10 m. - Bermotor tempel dan bermotor dalam ukuran panjang maksimal 12 m/maksimal 5 GT. - Pukat cincin (Purse seine) ukuran panjang maksimal 150 m. - Jaring insang hanyut (Drift gill net) ukuran panjang maksimal 1000 m. Alat tangkap ramah lingkungan (Gill net dan Trammel net) dengan gerakan pasif. Tidak mempermasalahkan kedatangan nelayan daerah lain dengan alat tangkap sejenis sebagaimana yang dimaksud sebagai alat tangkap ramah lingkungan.
Peraturan pemerintah (Government rules)
SK Mentan No. 503/Kpts/Um/9/1980 tentang Langkahlangkah Penghapusan Jaring Trawl Tahap Pertama
Peraturan pemerintah (Government rules)
Keputusan Dirjen Perikanan No. Ik.340/DJ. 10106/97 tentang Alat Tangkap Ikan Berbentuk Kantong
Peraturan pemerintah (Government rules)
Kep Mentan No. 392/Kpts/Ik. 120/4/99 tentang Jalur-jalur Penangkapan Ikan
Aturan lokal masyarakat (local rules)
Karakteristik usaha penangkapan nelayan Batah, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan. Sumber: Diolah dari data Primer 2007
95
Konflik pengelolaan sumberdaya secara umum dipetakan dalam Gambar 7. Penyelesaian konflik dilakukan secara musyawarah dan hukum. Proses musyawarah (bersifat pembinaan) dilakukan pada konflik horisontal yang terjadi antar sesama nelayan, yaitu antara kelompok nelayan Batah, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dengan nelayan-nelayan dari daerah lain/nelayan Kabupaten lain. Sedangkan proses hukum perikanan dikenakan terhadap konflik yang terjadi dalam 3 (tiga) tahun terakhir, yang berkenaan dengan pelanggaran pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan (pasal 18 dalam UndangUndang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan). Proses hukum terutama dikenakan terhadap penyelesaian kasus pelanggaran jalur penangkapan (Gambar 8).
Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur
Pemerintah Daerah Kota Bangkalan
Diskanla Provinsi Jawa Timur
Diskanla Kota Bangkalan
Nelayan Luar/Nelayan Daerah Lain
Kelompok Nelayan Batah, Kec. Kwanyar, Kab. Bangkalan Aparat Kamla Batah (PolAirud dan TNI-AL)
Tokoh Masyarakat Batah, Kec. Kwanyar, Kab. Bangkalan
Keterangan:
: Konflik terbuka : Konflik latent : Hubungan dekat : Hubungan sementara : Hubungan terputus
: Koordinasi : Koordinasi sementara : Arah wewenang : Wewenang sementara
Gambar 7. Pemetaan Konflik Kenelayanan Berkaitan dengan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kecamatan Kwanyar, Perairan Selatan Kabupaten Bangkalan, Wilayah Perairan Selat Madura
96
Nelayan Luar/Nelayan Kabupaten Lain
Pemerintah daerah (Kota/Provinsi)
Pra Otoda
Pasca Otoda dan Terbentuknya UU Perikanan
Muspika dan Aparat Kwanyar
Tokoh Masyarakat Batah
Pol-Airud
DKP Bangkalan
Nelayan Batah, Kec. Kwanyar
Musyawarah Proses hukum Penyelesaian Musyawarah dan Islah
Keterangan:
: Konflik terbuka : Konflik latent : Hubungan dekat : Hubungan sementara
: Hubungan yang terputus : Arah wewenang : Koordinasi
Gambar 8. Penyelesaian Konflik Kenelayanan Berkaitan dengan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kecamatan Kwanyar, Perairan Selatan Kabupaten Bangkalan, Wilayah Perairan Selat Madura
5.4.3.3 Konflik Cara Produksi/Alat Tangkap Konflik cara produksi/alat tangkap adalah konflik yang terjadi akibat perbedaan alat tangkap (Satria 2006), misalnya konflik antar sesama kelompok nelayan tradisional maupun konflik antar kelompok nelayan tradisional dengan nelayan alat tangkap semi-modern yang merugikan salah satu pihak, seperti konflik antara nelayan tradisional (Gill net) dan Trammel net dan konflik antara nelayan alat tangkap Gill net dengan Trawl/Minitrawl. Setiap nelayan berhak untuk mendapatkan keuntungan yang sebesarbesarnya dan ini akan tercapai jika nelayan menerapkan teknologi yang lebih canggih dalam penangkapannya, baik teknologi pada kapal dan alat tangkap (Anonim 2001). Nelayan-nelayan di sepanjang pesisir Selat Madura banyak yang
97
melakukan modifikasi terhadap alat tangkap mereka untuk memaksimalkan hasil tangkapannya. Umumnya nelayan yang melakukan modifikasi alat tangkap adalah nelayan pesisir Pantai Utara Jawa, seperti di daerah Tuban yaitu memodifikasi Dogol menjadi jaring Minitrawl. Perselisihan terjadi ketika mereka menangkap ikan dalam wilayah tangkapan yang sama. Berbeda dengan komunitas nelayan Batah Kecamatan Kwanyar yang memilih tetap bertahan dengan alat tangkap (Gill net) yang bersifat tradisional karena pertimbangan pada kelestarian sumberdaya. Umumnya nelayan-nelayan daerah lain (nelayan tradisional maupun nelayan semi-modern) menggunakan alat tangkap yang berbeda dengan nelayan Kwanyar. Sedangkan wilayah penangkapannya berada dalam satu kawasan dengan nelayan Batah. Hal ini memicu terjadinya konflik dengan nelayan Batah. Pada kasus ini, penyelesaian konflik lebih banyak ditangani oleh aparat Kamla dan Tokoh Masyarakat Batah (Kepala Desa Batah Barat).
5.4.3.3.1 Konflik antara Nelayan Tradisional Batah, Kecamatan Kwanyar dengan Nelayan Tradisional Daerah Lain Perbedaan alat tangkap sesama nelayan tradisional menjadi pemicu timbulnya konflik alat tangkap antara nelayan Batah dengan nelayan tradisional daerah lain (Tabel 25), meskipun keduanya sama-sama sebagai nelayan artisanal dengan ukuran perahu 5 DK (5-10 PK) dengan skala usaha yang subsistence.
Tabel 25. Konflik antara Nelayan Tradisional Batah dengan Nelayan Tradisional Daerah Lain Nelayan Batah Barat
Nelayan Kelurahan Lumpur, Gresik Dogol/ Danish seine Jaring Perangkap/ Trammel net Jaring Insang/ Gill net
Jaring Insang (Gill net)
√
Nelayan Batah Barat
Jaring Insang (Gill net)
Nelayan Batah Timur
Nelayan Tambak Oso,Sidoarjo
Nelayan Lekok, Pasuruan
Dogol/ Danish seine Jaring Perangkap/ Trammel net Jaring Insang/ Gill net
Dogol/ Danish seine Jaring Perangkap/ Trammel net Jaring Insang/ Gill net
Sumber: Data Primer (diolah) tahun 2007
√ √
Jaring Insang (Gill net)
Nelayan Batah Timur
Jaring Insang (Gill net)
Nelayan Sreseh, Sampang √ √
Dogol/ Danish seine Jaring Perangkap/ Trammel net Jaring Insang/ Gill net
√
98
5.4.3.3.2 Konflik antara Nelayan Tradisional Batah, Kecamatan Kwanyar dengan Nelayan Semi-modern Daerah Lain Konflik terjadi antar kelompok nelayan yang berbeda alat tangkap, yaitu antara nelayan tradisional Batah dengan nelayan luar (nelayan daerah lain) yang menggunakan alat tangkap yang lebih modern. Nelayan luar (nelayan semimodern) umumnya menggunakan perahu 5 GT (antara 10-15 DK) dengan alat tangkap Purse seine, Payang, Gill net, dan alat tangkap sejenis dengan Minitrawl (Cantrang dan jaring Arad) (Tabel 26).
Tabel 26. Konflik antara Nelayan Tradisional Batah dengan Nelayan Luar yang Modern Nelayan Batah Barat
Jaring Insang (Gill net)
Nelayan Kota Pasuruan Pukat Langgar/ Purse seine
√
Nelayan Batah Barat
Jaring Insang (Gill net)
Nelayan Weru Komplek, Lamongan Pukat Langgar/ Purse seine √
Nelayan Batah Timur
Jaring Insang (Gill net)
Nelayan Batah Timur
Nelayan Sreseh, Sampang
Nelayan Bangil, Probolinggo
Pukat Langgar/ Purse seine
Pukat Langgar/ Purse seine
Payang
Payang
Payang
Payang
Jaring Insang/Gill net yang diseret Jaring Cantrang/ Minitrawl Jaring Arad (eret)/ Minitrawl
Jaring Insang/Gill net yang diseret
Jaring Insang/Gill net yang diseret
Jaring Insang/Gill net yang diseret
Jaring Cantrang/ Minitrawl Jaring Arad (eret)/ Minitrawl
Jaring Cantrang/ Minitrawl Jaring Arad (eret)/ Minitrawl
Jaring Cantrang/ Minitrawl Jaring Arad (eret)/ Minitrawl
Sumber: Data Primer (diolah) tahun 2007
√
Jaring Insang (Gill net)
√
√
99
Pemetaan konflik alat tangkap pada kedua kasus diatas, secara umum dipetakan dalam Gambar 9. Berikut ; Konflik Terbuka Nelayan Luar (Modern)
Nelayan Batah (Artisanal)
Konflik Permukaan
Nelayan Luar (Artisanal)
Tokoh Masyarakat Batah Pol-Airud dan TNI-AL
Keterangan:
: Konflik terbuka : Konflik latent : Hubungan dekat
: Hubungan sementara : Koordinasi : Pengawasan
Gambar 9. Pemetaan Konflik Alat Tangkap Nelayan Batah, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dengan Nelayan-nelayan Luar
5.4.3.4 Konflik Lingkungan Konflik lingkungan adalah konflik yang terjadi akibat kerusakan lingkungan karena praktek satu pihak yang merugikan nelayan lain (Satria 2006). Kerusakan lingkungan perairan Selat Madura, seperti perairan pesisir Kwanyar terjadi karena adanya praktek individu atau kelompok (yang teridentifikasi langsung maupun yang tidak) memberikan pengaruh yang buruk terhadap lingkungan (eksternalitas negatif). Akibatnya akan merugikan pihak-pihak lain yang turut berkepentingan memanfaatkan lingkungan tersebut. Kerusakan ekologi pantai Kwanyar menurut masyarakat Batah terjadi sebagai dampak dari penggunaan Minitrawl dalam kurun jangka panjang (dari tahun 1990-2004). Masalah yang ditimbulkan akibat pengoperasian Minitrawl diantaranya adalah kerusakan habitat dan daerah pemijahan udang. Pengoperasian Minitrawl mengakibatkan rusaknya jaring Gill net nelayan Batah. Jaring Gill net yang dioperasikan secara menetap tidak jarang hilang atau tenggelam karena disapu oleh alat tangkap aktif seperti Minitrawl dan sejenisnya (Dogol, Pukat udang, Arad dan sejenisnya). Akibatnya kerugian materi yang diderita nelayan Batah sangat banyak. Jaring Gill net yang tenggelam atau tertinggal di laut akan
100
menyebabkan tertangkapnya ikan, yang kemudian karena mati ikan menjadi busuk. Jaring Gill net tersebut secara terus menerus akan menangkap ikan yang disebut dengan istilah Ghost fishing yaitu proses tertangkapnya ikan yang tak termanfaatkan sebagai akibat dari tertinggalnya alat tangkap ikan di laut (Wiyono 2005). Proses ini akan berlangsung secara terus menerus hingga alat tangkap tersebut hancur. Akibatnya stok sumberdaya ikan akan berkurang dan diduga akan menurunkan pendapatan nelayan karena hasil tangkapan yang berkurang. Salah seorang nelayan Batah, Shohib (37 tahun), menerangkan: ”---Sekarang udang sudah jarang didapat, jumlahnya semakin sedikit. Laut yang rusak karena banyaknya jaring-jaring nelayan Batah yang tenggelam karena terseret Trawl dan alat tangkap kantong sejenisnya. Akibatnya sedikit udang yang memijah di sekitar perairan Batah karena dirusak oleh Trawl. Jaring yang tenggelam itu juga membahayakan ikan yang terperangkap karena tidak dapat keluar dan akhirnya mati, itu masalahnya laut jadi rusak---”. Konflik lingkungan juga terjadi sebagai akibat adanya penangkapan ikan dengan bahan-bahan beracun yang dapat mencemari lingkungan, seperti yang pernah dilakukan oleh nelayan Tambak Rejo, Pasuruan yang menangkap ikan di sekitar perairan Kwanyar dengan potas atau bom ikan (bondet). Sedangkan masalah pencemaran lingkungan akibat buangan limbah rumah tangga disebabkan karena kurangnya kesadaran masyarakat Batah sendiri dahulunya terhadap lingkungan pesisir. Saat ini kepedulian masyarakat terhadap lingkungan mulai dibangun kembali, seperti tidak membuang limbah rumah tangga ke laut. Meskipun kelangkaan sumberdaya dan kerusakan lingkungan perairan disebabkan karena tindakan komunitas luar yang tidak bertanggung jawab, masyarakat Batah tetap memiliki keinginan dan berusaha mengembalikan kondisi sumberdaya itu secara sendiri ataupun melalui bantuan pemerintah. Konsentrasi masyarakat nelayan Batah saat ini ditujukan kepada upaya rehabilitasi kondisi lingkungan perairan yang sudah rusak dengan cara memfungsikan kembali mangrove di pesisir pantai sebagai area nursery ground dan spawning ground ikan. Disamping itu, masyarakat memfungsikan kembali lahan-lahan pertambakan dan sawah sebagai alternatif pekerjaan lain karena masyarakat menyadari tidak selamanya dapat bekerja sebagai nelayan. Konflik pada kasus ini dipetakan dalam Gambar 10.
101
Social linkage
Human System
Nelayan Luar (mini-trawl)
Natural System
Nelayan Batah (Artisanal) Nelayan Luar (pengebom)
Keterangan :
: User and Gear Conflict : Environment Conflict : Interlinkage
Gambar 10. Pemetaan Konflik Lingkungan Nelayan Batah, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dengan Nelayan-nelayan Luar
5.4.3.5 Konflik Usaha Konflik usaha terjadi di darat sebagai akibat mekanisme harga maupun sistem bagi hasil yang merugikan sekelompok nelayan (Satria 2006). Pemasukan daerah dari sektor perikanan sangat rendah. Pemda Bangkalan tidak dapat mengandalkan pemasukan dari kegiatan nelayan lokal di Kecamatan Kwanyar karena karakteristik usaha penangkapannya berorientasi pada kegiatan subsistence. Hadirnya nelayan daerah lain ke perairan Bangkalan, yaitu di perairan Kwanyar, Selat Madura tidak memberikan kontribusi pendapatan ke Pemda Bangkalan, karena nelayan daerah lain banyak yang menjual hasil tangkapannya di daerahnya sendiri. Hal ini dikarenakan tidak adanya TPI dan KUD di Kwanyar. Konflik usaha di tingkat lokal terjadi di Desa Batah Timur yaitu antara nelayan dengan pemilik modal lokal. Maraknya konflik dengan nelayan-nelayan luar/nelayan daerah lain menyebabkan nelayan lokal (nelayan Kecamatan Kwanyar) banyak mengalami kerugian materi di sektor penangkapan, seperti kerusakan dan kehilangan jaring (Gill net dan Trammel net). Kondisi yang demikian menyebabkan nelayan lokal sulit untuk melaut. Sedangkan untuk memperbaiki dan mengganti kerugian, nelayan lokal mengalami hambatan dalam permodalan. Pada sisi lain, nelayan
102
dituntut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Akibatnya banyak dari mereka yang menggunakan bantuan pemilik modal untuk menjamin kelangsungan usahanya. Disamping itu, kesulitan nelayan lokal juga terjadi pada sektor pemasaran. Ketiadaan TPI mengakibatkan nelayan mengalami kesulitan untuk memasarkan hasil tangkapan terutama jenis tangkapan yang komoditasnya tinggi, seperti kepiting, rajungan dan udang. Nelayan umumnya memasarkan hasil tangkapannya di pasar-pasar tradisional terdekat dari tempat tinggalnya, misalnya pasar di Kecamatan Kwanyar, Kecamatan Labang dan Kecamatan Tanah Merah. Namun itu dilakukan pada hasil tangkapan sampingan, seperti jenis ikan gulamah dan ikan-ikan rucah. Sedangkan pada komoditas kepiting, udang, dan rajungan nelayan cenderung menjualnya kepada pemilik modal karena dikenal memiliki hubungan luas dengan pedagang/pengusaha perikanan di luar Kwanyar. Keberadaan pemilik modal yang sekaligus sebagai pembeli tidak jarang merugikan para nelayan karena harga yang ditawarkan jauh dibawah harga pasaran. Misalkan pada jenis rajungan, harga yang ditawarkan berkisar antara Rp.10.000, - Rp.13.000, per Kg. Sedangkan harga pasar berkisar antara Rp.25.000, - Rp.28.000, per Kg. Nelayan tidak mampu berbuat banyak dalam sistem pemberlakuan harga karena kuatnya dominansi pemilik modal. Pemberian modal akan dihentikan jika nelayan diketahui memiliki ikatan dengan pedagang atau pemilik modal lainnya. Hasil tangkapan yang berkurang akibat kondisi sumberdaya Selat Madura yang telah mengalami overfishing menyebabkan stok tangkapan ikan yang diterima pemilik modal dari nelayan berkurang pula. Kondisi dimana nelayan-nelayan lokal (nelayan Batah Timur) kalah bersaing dengan nelayan luar menyebabkan pemilik modal mendesak nelayan lokal (nelayan Batah Timur) untuk mengganti alat tangkap Gill net menjadi Minitrawl seperti yang dioperasikan oleh nelayan luar. Namun keinginan pemilik modal bertentangan dengan mayoritas nelayan lokal (nelayan Desa Batah) yang lebih memilih menjaga kelestarian sumberdaya lokal untuk menjamin keberlanjutan lingkungan dan usaha. Pada kasus ini, konflik usaha antara nelayan lokal (nelayan Batah Timur) dengan pemilik modal cenderung latent (tertutupi). Masing-masing pihak mampu meredam emosi terhadap ketidaksamaan atau perbedaan keinginan/pendapat. Pemilik modal berusaha menghindari permasalahan dengan
103
nelayannya (peminjam modal) karena khawatir akan menimbulkan protes massa (nelayan-nelayan lokal lainnya) yang berkepentingan menjaga kelestarian sumberdaya lokal. Disamping itu, kuatnya solidaritas antar nelayan lokal di Kecamatan Kwanyar dan dukungan tokoh-tokoh masyarakat menyebabkan posisi pemilik modal pada tingkat lokal lemah (Gambar 11).
Nelayan Desa Batah Timur Kecamatan Kwanyar
Pemilik Modal Lokal
Tokoh Masyarakat (Kepala Desa Batah)
Keterangan :
: Konflik latent : Hubungan dekat : Hubungan Sementara
Gambar 11. Pemetaan Konflik Usaha antara Nelayan Lokal dengan Pemilik Modal Lokal
5.4.3.6 Konflik Primordial Konflik primordial adalah konflik yang terjadi akibat perbedaan ikatan primordial/identitas (ras, etnik, dan asal daerah) (Satria 2006). Secara sosialbudaya, masyarakat yang menempati desa-desa pesisir Selat Madura dikategorikan kedalam dua sifat sosio-kultural, yaitu: (1) masyarakat egalitarian dengan ciri suka berterus terang dan cenderung patuh pada pimpinan informal serta potensi konflik yang relatif tinggi. Masyarakat ini didominasi oleh etnis Madura yang meliputi kawasan Madura, Pasuruan sampai Banyuwangi; (2) masyarakat patient atau ”penyabar” yang meliputi kawasan Pantai Utara mulai dari wilayah Tuban sampai wilayah Surabaya. Masyarakat ini cenderung tertutup (pendiam) dan sabar bila menghadapi masalah atau konflik sehingga cenderung lebih menghindari konflik. Dalam setiap penyelesaian konflik banyak menempuh cara musyawarah untuk menghindari permusuhan dengan lawan.
104
Dalam kasus konflik kenelayanan yang banyak terjadi di perairan Selat Madura, Provinsi Jawa Timur, selama 10 tahun terakhir ini telah berlangsung masuknya nelayan andon dari pantai Utara Jawa Timur dan Sumatera (Bagan Siapi-api) ke wilayah perairan Selat Madura. Hal ini menyebabkan penambahan jumlah armada penangkapan ikan di Selat Madura. Jumlah penambahan tersebut tidak terkontrol sehingga menimbulkan konflik antar nelayan lokal dan nelayan andon. Di wilayah Kabupaten Bangkalan, yaitu di perairan Kecamatan Kwanyar konflik antara nelayan lokal (kelompok nelayan Batah) dengan nelayan andon terjadi karena nelayan andon melakukan pelanggaran seperti pengoperasian alat tangkap yang melanggar jalur penangkapan ikan (Tabel 27).
Tabel 27. Kejadian Konflik antara Nelayan Batah dengan Nelayan Andon Waktu Kejadian Mei 2002
September 2004
Pihak yang Terlibat Nelayan Tradisional Batah Barat (Vs) Nelayan-nelayan Andon Desa Semedu Sari, Kec. Lekok (Pasuruan) yaitu dari Desa Kedung Turi, Kec. Paciran (Lamongan), Nelayan Rangka, Kec. Ujung Rejo (Lamongan), dan Nelayan Desa Bangsal (Mojokerto) Nelayan Tradisional Batah Barat (Vs) Nelayan Andon Sumber Rejo, Kab. Lamongan
16 April 2005
Nelayan Tradisional Batah Barat (Vs) Nelayan Desa Panggung Rejo, Kab. Pasuruan/Nelayan Andon Desa Weru, Kab. Sidoarjo
10 Mei 2005
Nelayan Tradisional Batah Barat (Vs) Nelayan Andon Jaring Purse seine dari Pasuruan dan Nelayan Payang Weru Komplek, Kab. Lamongan Aparat Kamla Batah Barat (Vs) Nelayan Lamongan
26 Juni 2006
Permasalahan
Solusi
Pengoperasian alat tangkap sejenis Minitrawl (Cantrang) oleh nelayan-nelayan andon Sidoarjo di perairan Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan
Musyawarah kekeluargaan
Pengoperasian Trammel net yang digerakkan secara melingkar oleh nelayan Sumber Rejo di perairan Batah, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan Pengoperasian Trammel net secara melingkar oleh nelayan Desa Panggung Rejo, Kabupaten Pasuruan di perairan Desa Batah Barat, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan Pengoperasian Purse seine dan Payang di perairan Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan Pengoperasian Purse seine di perairan Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan
Musyawarah kekeluargaan
Musyawarah kekeluargaan
Musyawarah kekeluargaan
Tindakan hukum pidana (P21) berkas perkara ditangani kejaksaan, vonis ringan 6 bulan penjara Sumber : Dokumentasi Konflik Nelayan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bangkalan Tahun 2006, Data Primer (diolah) Tahun 2007
105
Pelanggaran jalur penangkapan terjadi akibat semakin menipisnya ketersediaan sumberdaya perikanan di wilayah/jalur penangkapan yang telah ditetapkan untuk nelayan andon tersebut. Pada umumnya nelayan andon menggunakan teknologi penangkapan yang lebih maju dibandingkan dengan nelayan Batah. Aktivitas penangkapan nelayan-nelayan andon berada di jalur IbII30. Mengingat sumberdaya ikan yang semakin terbatas di jalur ini dan pengaruh angin Gending (bulan Agustus-September) menyebabkan nelayan andon melakukan penangkapan ikan di perairan bagian Barat Selat Madura (Lampiran 1) yang cukup terlindung dan dangkal, yaitu perairan Karang Kokop, Karang Congkeh dan Karang Sirampa. Sedangkan perairan aloran Kwanyar yang diakui oleh komunitas nelayan Batah sebagai wilayah tangkapan nelayan Kwanyar termasuk di dalam ketiga wilayah perairan tersebut. Akibatnya konflik dengan nelayan lokal (nelayan Batah, Kecamatan Kwanyar) tidak dapat dihindari. Pada umumnya nelayan andon yang melakukan penangkapan di Kecamatan Kwanyar ijin andonnya ditujukan ke daerah Kabupaten Pasuruan dan Sidoarjo. Namun, kebanyakan mereka melakukan penangkapan sampai ke wilayah perairan Selatan Kabupaten Bangkalan, Kecamatan Kwanyar dan Kecamatan Modung yang termasuk dalam wilayah perairan Selat Madura. Bentrokan fisik sering terjadi antar nelayan lokal (kelompok nelayan Batah, Kecamatan Kwanyar) dengan nelayan andon di tengah laut bahkan sampai pada tindakan kekerasan dan perkelahian. Pada kenyataannya nelayan andon yang merupakan etnik Jawa dan Bagan Siapi-api lebih banyak menghindari konflik yang bersifat kekerasan. Dalam setiap kejadian konflik nelayan Batah cenderung agresif dibandingkan dengan nelayan andon. Hal ini karena masyarakat Batah yang merupakan etnik Madura cenderung memiliki sikap ekspresif, spontan, terbuka, dan keras dalam mempertahankan prinsip maupun mendebat orang lain. Perkelahian terjadi ketika nelayan andon berusaha kabur dan tidak mau menerima keinginan nelayan lokal untuk melaporkan pelanggarannya kepada Kepala Desa Batah atau aparat keamanan. Penyelesaian konflik umumnya secara musyawarah kekeluargaan untuk menghindari potensi permusuhan antara kedua pihak. 30
Merupakan wilayah tangkapan yang berada di bagian Timur perairan Selat Madura, antara lain gugus pulau Gili Raja dan Gili Genteng. Pada bulan Agustus-September, aktivitas nelayan di wilayah ini sangat terganggu (pengaruh angin Gending). Sebagai dampaknya, pada musim tersebut terjadi peningkatan effort di wilayah Barat, hal ini memicu timbulnya konflik antara nelayan andon dengan nelayan yang memang wilayah tangkapannya di wilayah tersebut (Anonim 2001).
106
Penyelesaian konflik masih bersifat pembinaan yaitu dengan jalan musyawarah yang ditindaklanjuti dengan surat pernyataan kesediaan nelayan andon untuk tidak melakukan penangkapan di perairan Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan. Hal ini untuk menghindari permusuhan kedua pihak saat melaut. Konflik baru dikelola serta diselesaikan secara hukum pada tahun 2006. Hal ini dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Bangkalan sebagai wewenangnya untuk mengelola wilayah perairannya serta memberikan perlindungan terhadap masyarakat dengan meningkatkan operasi pengamanan perairan Kecamatan Kwanyar oleh aparat Kamla Batah. Konflik pada kasus ini dipetakan dalam Gambar 12.
Kelompok nelayan Desa Batah Kecamatan Kwanyar
Kelompok nelayan Andon
Tokoh Masyarakat (Kepala Desa Batah) KAMLA (Keamanan Laut)
Keterangan :
: Konflik terbuka : Hubungan dekat : Hubungan Sementara
: Koordinasi : Pengawasan
Gambar 12. Pemetaan Konflik Primordial antara Kelompok Nelayan Batah, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dengan Kelompok Nelayan Andon
5.4.4 Akar Permasalahan Konflik Akar permasalahan konflik nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kecamatan Kwanyar, perairan Selatan Kabupaten Bangkalan, wilayah perairan Selat Madura antara lain berkaitan dengan: 5.4.4.1 Keberadaan Sumberdaya Ikan Hasil estimasi terhadap tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan didapatkan bahwa perairan Selat Madura sudah berada pada kondisi overfishing baik untuk perikanan pelagis dan perikanan demersal (Tabel 28). Berdasarkan hasil penelitian TIM Peneliti MCMA Madura-Kangean, menyimpulkan bahwa penggunaan teknologi tradisional produktif seperti: Payang, Dogol, Cantrang dan sejenisnya
107
yang tidak terkendalikan telah berdampak negatif terhadap kondisi perikanan di Selat Madura dan sekitarnya pada awal dekade 1990-an dan telah menunjukkan gejala yang sangat mengkhawatirkan (Widodo et al. 1994 dalam PUSLITKAN 2005). Selama tahun 1994-2003 mengindikasikan kondisi cadangan ikan di Selat Madura telah berada pada kondisi overfishing dan cenderung semakin menurun dari waktu ke waktu (Muhammad 2007). Kondisi yang demikian menjadi salah satu faktor yang menyebabkan turunnya pendapatan nelayan dan menjadi akar permasalahan konflik terkait perebutan sumberdaya ikan di kalangan nelayan.
Tabel 28. Hasil Pendugaan Stok Ikan di Selat Madura Atas Dasar Model Surplus Produksi Tahun 19941) (MCMA MaduraKangean)
Jenis Ikan 1. Pelagis kecil 2. Ikan demersal 3. Pelagis besar 4. Udang penaeid
MSY (ton) 71.397 28.256 11.292 7.595 118.540 617,73
F opt 3.491 unit 20.478 unit 5.625 unit 5.899 unit
Tingkat Eksploitasi Over Fishing Over Fishing Over Fishing Over Fishing
19982) 1. Ikan kurisi 213 unit Over Fishing (Selat Madura) 20033) Multi-species 49.510 34.231 unit Over Fishing Keterangan : 1) PUSLITKAN (1994); 2) Sahri Muhammad (1998) dan 3) Sahri Muhammad (2002), belum termasuk di Madura Kepulauan dengan MSY sebesar 57.042 ton per tahun Sumber : Pusat Penelitian Perikanan (PUSLITKAN) Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur 2005
5.4.4.2 Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Ketidakjelasan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan terutama pada sektor penangkapan di provinsi Jawa Timur, menyebabkan nelayan bertindak secara sendiri-sendiri (dalam komunitasnya) untuk mengusahakan pengaturan perikanan dalam kerangka untuk mempertahankan kelestarian sumberdaya. Hal ini sering menimbulkan persepsi yang berbeda-beda diantara komunitas nelayan berdasarkan kemampuan masing-masing komunitas untuk melaksanakan aturan pengelolaan yang ditentukan oleh pemerintah. Perbedaan persepsi ini menyebabkan munculnya konflik diantara komunitas nelayan. Pemanfaatan sumberdaya perikanan di perairan Selat Madura bersifat open access dimana setiap unit usaha penangkapan dapat secara bebas masuk dan keluar memanfaatkan sumberdaya tersebut. Namun, di wilayah tertentu, seperti di perairan Kwanyar, masyarakat nelayan di Desa Batah menganggap bahwa sumberdaya perikanan merupakan hak masyarakat lokal tetapi tidak menutup
108
kemungkinan siapa saja, termasuk nelayan luar/nelayan pendatang dapat memanfaatkan sumberdaya perikanan tersebut. Oleh sebab itu, mereka mengusahakan seperangkat aturan dalam usaha penangkapan. Konflik muncul ketika terjadi pelanggaran terhadap aturan lokal yang pada umumnya dilakukan nelayan pendatang (nelayan luar). Hal ini karena kurangnya pengetahuan dan kesadaran nelayan luar terhadap kelestarian sumberdaya yang berorientasi pada kuantitas produksi sesaat untuk mendapatkan keuntungan yang besar tanpa memperhatikan kelanjutan usaha nelayan lokal. Akibatnya nelayan lokal melakukan perlawanan dan penolakan terhadap kedatangan nelayan luar ke wilayahnya.
5.4.4.3 Hukum dan Peraturan Pemerintah dalam Usaha Penangkapan Ikan Beberapa peraturan dan hukum di sektor penangkapan masih tumpang tindih antara satu dengan lainnya. Penegakan hukum dalam hal pengawasan usaha penangkapan ikan yang dilakukan oleh pihak berwenang masih kurang maksimal menindak tindakan nelayan yang melanggar hukum. Patroli aparat dalam usaha pengawasan dan penegakan hukum di laut relatif jarang, terkecuali jika terjadi konflik. Berdasarkan hasil pengamatan, pelanggaran yang dimaksudkan meliputi hal-hal sebagai berikut;
5.4.4.3.1 Pengaturan Penggunaan Alat Tangkap Pelanggaran penggunaan alat tangkap terjadi karena pertimbangan teknis penangkapan sebagai akibat kondisi perairan yang mengalami penurunan stok sumberdaya ikan, sehingga tidak memberikan alternatif pilihan pada nelayan selain melanggar ketentuan yang berlaku. Misalkan penggunaan alat tangkap Minitrawl, yaitu alat tangkap berkantong yang telah dimodifikasi menyerupai Trawl (secara teknis sama dengan Trawl) tetapi bukan klasifikasi jarring Trawl (Kep Dirjen Perikanan No.Ik.340/DJ.10106/97) diluar jalur penangkapannya, penggunaan alat tangkap yang dilarang yaitu jaring Trawl atau Lampara dasar di Selat Madura (Keppres No. 39 tahun 1980 dan SK Mentan nomor 503/Kpts/Um/ 9/1980).
109
5.4.4.3.2 Pengaturan Jalur-Jalur Penangkapan Ikan Pada umumnya, nelayan tidak mengetahui adanya ketentuan penangkapan ikan berdasarkan jalur-jalur wilayah tangkapan, seperti SK Mentan No.39/Kpts/ Ik.120/4/1999. Peraturan tersebut terkesan kurang efektif karena belum banyak diterapkan oleh nelayan di kawasan perairan Selat Madura. Pada dasarnya pengaturan jalur-jalur penangkapan ikan bertujuan untuk melindungi daerah kritis di pantai dan estuary (sebagai nursery ground), pemerataan usaha untuk mencegah potensi konflik antara nelayan artisanal dan armada perikanan yang lebih maju dan modern, serta memberikan peluang usaha bagi nelayan kecil yang lebih bersifat subsisten. Namun demikian, perlu dicatat bahwa peraturan tersebut dibuat sebagai akibat telah terjadinya konflik antar nelayan artisanal dan nelayan modern. Pelanggaran terjadi karena belum adanya tanda/batas yang jelas bagi nelayan untuk membedakan batas masing-masing jalur penangkapan, disamping karena alasan kepentingan ekonomis untuk mengurangi biaya operasi (mencari lahan tangkapan yang terdekat dengan daerah asalnya), serta belum optimalnya pelaksanaan penegakan hukum dan sarana pendukung dalam operasi keamanan di laut.
5.4.4.3.3 Pengaturan Penggunaan Bahan Tidak Ramah Lingkungan Larangan pemanfaatan sumberdaya yang merusak kelestarian lingkungan terdapat dalam Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang lingkungan hidup, sedangkan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang ditujukan untuk keberlanjutan dan kelestarian sumberdaya perikanan terdapat dalam UndangUndang No.31 Tahun 2004 tentang perikanan. Alasan beberapa nelayan melakukan penangkapan ikan dengan bahan yang tidak ramah lingkungan, seperti bahan peledak dan potassium antara lain karena tidak membutuhkan biaya yang tetap dibandingkan alat tangkap seperti jaring. Pengoperasiannya praktis dan tidak menanggung resiko kerusakan seperti pada jaring. Namun, kebanyakan nelayan memberi alasan menggunakan bahan terlarang karena desakan kebutuhan ekonomi.
110
5.4.4.3.4 Pengaturan Nelayan Andon Ketentuan tentang nelayan andon di Jawa Timur tercantum dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jatim No.5 tahun 1975 yang ditindaklanjuti melalui SK Gubernur Provinsi Jatim No.9 tahun 1983, dan Instruksi Kepala Dinas Perikanan Provinsi Jatim No. 06/Inst/I-1993. Dikaitkan dengan pemberlakuan desentralisasi, pengaturan nelayan andon sudah tidak relevan lagi. Dalam SK Gubernur tersebut, terdapat pasal yang melemahkan daerah Kabupaten/Kota yaitu pasal 4, yang menyebutkan bahwa: (1) Nelayan dapat melakukan penangkapan ikan diluar tempat yang telah ditentukan sebagai nelayan andon, setelah mendapat ijin tertulis dari Kepala Desa dan Kepala Cabang Dinas Perikanan Daerah Tingkat I di tempat asal nelayan yang bersangkutan; (2) Dalam melakukan penangkapan ikan di luar tempat yang telah ditetapkan, nelayan tersebut (dalam ayat 1, pasal ini), harus segera melaporkan diri kepada Kepala Desa dan Kepala Cabang Dinas Perikanan Daerah Tingkat I melalui Kepala TPI setempat mengenai kegiatan penangkapan ikan tersebut. Pasal tersebut dapat melemahkan pemerintah Kabupaten/Kota tujuan andon karena mengabaikan kewenangan pemerintah Kabupaten/Kota dalam hal perijinan usaha penangkapan. Selama ini, nelayan andon dapat diterima asalkan tidak merugikan nelayan lokal dalam melakukan penangkapan ikan. Konflik yang timbul disebabkan karena kebanyakan nelayan andon beroperasi di wilayah tangkap nelayan lokal tanpa meminta izin sebelumnya atau karena izin berandon tidak ditujukan ke daerah tempat mereka melakukan penangkapan, misalnya pada kasus konflik antara nelayan Batah dengan nelayan Ujung Rejo (Lamongan) yang berandon ke Kota Sidoarjo (tahun 2002), namun melakukan penangkapan ikan sampai ke perairan Kecamatan Kwanyar, wilayah perairan Selatan Kabupaten Bangkalan, Selat Madura.
111
5.4.4.4 Perbedaan Cara Pandang Memanfaatkan Sumberdaya Perikanan Perbedaan cara pandang dalam memanfaatkan sumberdaya diantara komunitas nelayan juga menjadi faktor pemicu konflik. Nelayan luar banyak melakukan kecurangan karena berorientasi jangka pendek, tanpa memperhatikan kelangsungan sumberdaya. Mereka menggunakan alat tangkap terlarang atau melakukan penangkapan diluar jalur tangkapan yang telah disepakati karena pertimbangan ekonomi untuk mendapatkan keuntungan besar. Sementara nelayan lokal (nelayan Kwanyar) berorientasi jangka panjang dengan tetap menggunakan alat tangkap tradisional sebagai usaha menjaga keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan.
5.4.4.5 Perbedaan Latar Belakang Sosial, Ekonomi, dan Budaya Komunitas Nelayan Kejadian konflik nelayan di perairan Kwanyar, Selat Madura terjadi antara komunitas nelayan tradisonal (lokal) yang teknologi alat tangkapnya tradisional dengan nelayan luar (nelayan pendatang) yang lebih maju alat tangkapnya. Hasil tangkapan nelayan lokal yang lebih sedikit dibandingkan nelayan pendatang (nelayan luar) mengakibatkan timbulnya kecemburuan nelayan lokal terhadap nelayan pendatang sehingga berusaha mencari alasan tertentu (seperti pelanggaran jalur penangkapan dan penggunaan alat tangkap terlarang), untuk mengusir nelayan pendatang (nelayan luar) melakukan penangkapan di sekitar wilayah tangkapan nelayan lokal. Pada kenyataannya nelayan luar/nelayan pendatang (sepanjang pesisir Utara Pulau Jawa) yang mayoritas merupakan etnik Jawa lebih banyak menghindari permasalahan dengan nelayan lokal (nelayan Kwanyar). Namun, pada beberapa kejadian tindakan nelayan lokal cenderung agresif dibandingkan dengan nelayan luar yang lebih memilih berdiam. Hal ini mengakibatkan berkembangnya konflik terbuka. Pada kasus-kasus tertentu, misalkan pada kasus yang melibatkan nelayan Batah Timur dengan nelayan Sreseh, persamaan etnik (Madura) ternyata malah mengakibatkan munculnya konflik-konflik yang mengarah pada tindakan kekerasan.
112
5.4.4.6 Terbatasnya Fasilitas Perikanan Terbatasnya fasilitas dan sarana penunjang ekonomi nelayan, seperti TPI dan KUD mengakibatkan nelayan mengalami kesulitan dalam mendapatkan modal usaha dan memasarkan hasil tangkapannya. Demikian pula, adanya konflik dengan nelayan luar mengakibatkan nelayan lokal (Kecamatan Kwanyar) mengalami kerugian materi yang cukup besar. Kondisi demikian, mendesak beberapa nelayan lokal melakukan pinjaman modal kepada pemilik modal (rentenir). Meskipun demikian, keberadaan pemilik modal sebenarnya sangat merugikan nelayan. Beberapa kejadian di lapangan, terlihat bahwa nelayan peminjam diharuskan menyetor atau menjual hasil tangkapannya kepada pemilik modal dengan penetapan harga jauh dibawah pasar. Akibatnya konflik usaha muncul antara nelayan dengan pemilik modal.
5.5 Pihak-pihak dalam Konflik Pihak-pihak dalam konflik kenelayanan di perairan Kecamatan Kwanyar, Selat Madura yaitu nelayan sebagai pelaku utama konflik (komunitas nelayan Batah dan kelompok nelayan pendatang/nelayan luar) dan pihak-pihak ke-3 (tiga) yang memberikan akomodasi/bantuan dalam penyelesaian konflik secara partisipatif, antara lain yaitu; Instansi pemerintah daerah sebagai autoritas yang berwenang dalam penyelesaian konflik, meliputi Pemerintah Kabupaten Bangkalan dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur (pihak-pihak ini meliputi instansi dari Dinas Perikanan dan Kelautan (Diskanla) Kabupaten dan Provinsi, Muspika, Aparat Keamanan yaitu Polisi, Pol-Airud dan TNI-AL). Sedangkan pihak-pihak ke-3 (tiga) non-pemerintah yang turut membantu dalam penyelesaian konflik antara lain adalah Organisasi nelayan, PPL (petugas penyuluh lapang), peneliti serta Tokoh masyarakat maupun pemimpin informal lainnya yang berperan sebagai mediator dalam penyelesaian konflik.
113
5.5.1 Nelayan Lokal (Komunitas Nelayan Batah, Kwanyar) Nelayan Batah sejak dahulu mengenal wilayah penangkapan tradisional31 (traditional fishing ground). Wilayah ini adalah perairan pantai yang terdekat dari desa tempat tinggalnya dan biasa menjadi tempat menangkap ikan sepanjang tahun. Wilayah ini tetap terbuka untuk nelayan-nelayan daerah lain. Hanya saja harus mempertimbangkan prinsip ”keadilan” yang berarti menyamakan alat tangkap yang akan digunakan. Dalam prinsip ”keadilan” ini, perbedaan kelompok nelayan tidak terlalu dipermasalahkan. Artinya semua kelompok nelayan (termasuk nelayan luar) dapat menangkap ikan di wilayah ini dengan syarat harus mempertimbangkan prinsip ”keadilan” tersebut. Masyarakat yang bekerja sebagai nelayan di Desa Batah memilih bertahan sebagai nelayan tradisional, meskipun sebagian besar mampu mengembangkan usahanya. Hal ini karena pertimbangan akan terlibat konflik nelayan. Jika usaha perikanan dikembangkan ke arah yang modern, disamping mengganti kapasitas kapal mereka juga harus mengganti alat tangkap yang digunakan, misalnya dari gill net menjadi pukat kantong (dogol, arad, cotok, dan pukat kantong lain yang sifatnya mirip dengan Minitrawl). Selain itu wilayah penangkapan (fishing ground) harus sesuai dengan jalur yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Padahal perairan Batah, Kecamatan Kwanyar merupakan perairan yang sempit dengan luas ± 3 mil, hanya diperbolehkan bagi usaha yang subsistence. Jika mereka bertahan dalam perairan yang sempit tersebut dengan mengganti alat tangkap dengan jaring kantong, maka potensi konflik antar sesama nelayan lokal (nelayan desa lainnya di Kwanyar) mungkin terjadi.
31
Nelayan mengidentifikasikan wilayah ini sesuai letak desa mereka sebagai wilayah eksklusif masing-masing komunitas nelayan.
114
Sedangkan untuk melakukan ekspansi daerah tangkapan diluar perairan Kwanyar atau mencari daerah tangkapan baru, maka mereka mungkin akan terlibat konflik dengan nelayan-nelayan lain yang telah lama beroperasi di daerah baru itu. Salah seorang nelayan, Rasyid (50 tahun), menjelaskan: ”Bukan tidak bisa ganti alat, tapi kami tidak mau pake selain jaring biasa (Gill net) apalagi Minitrawl, biar adil, supaya tidak ada kecemburuan sesama nelayan Kwanyar. Kalo masalah hasil tangkapan yang beda, itu sudah rezeki masing-masing. Lagi pula tidak mungkin kami menangkap sampai ke arah selatan (di luar perairan Kwanyar) karena bakal bercekcok dengan nelayan lain”. Nelayan Batah tidak memperluas daerah tangkapannya di luar perairan Kwanyar karena mereka akan kalah bersaing dengan nelayan-nelayan lain yang alat tangkapnya lebih maju. Hasil tangkapan yang sedikit dan tidak menentu menyebabkan nelayan memilih menangkap ikan di sekitar perairan pantai karena pertimbangan efisiensi usaha. Selama ini konflik antar nelayan di Selat Madura yang melibatkan nelayan Batah terjadi di dalam wilayah perairan Kwanyar. Secara umum pelanggaran banyak dilakukan oleh nelayan luar (nelayan daerah lain) berupa pelanggaran jalur penangkapan (SK MentanNo.392/Kpts/ Ik.120/4/1999), alat tangkap sejenis dengan Trawl (Keppres No.3 tahun 1980 dan SK Mentan Nomor 503/ KPTS/ UM/ 7/ 1980), dan pelanggaran aturan-aturan lokal. Dalam pengelolaan konflik, sampai saat ini nelayan Batah hanya melakukan pelarangan, pengawasan dan penentuan batas wilayah perairan untuk membedakan wilayah perairannya dengan wilayah perairan nelayan daerah lain. Penentuan batas perairan ini dilakukan dengan cara menanam balok-balok kayu (petorosan) ke dasar perairan. Ini ditujukan agar nelayan luar mengetahui batas wilayah penangkapan ikan yang diperuntukkan bagi mereka. Diperbantukannya Kamla sejak tahun 2003, dianggap oleh nelayan dapat mengurangi konflik terbuka muncul kembali. Operasi Kamla di laut dapat menekan jumlah nelayan luar di sekitar perairan Kwanyar. Shohib (37 tahun) menuturkan: ” Sejak dibangunnya Poskamla disini, konflik mulai berkurang. Nelayan Minitrawl di sekitar laut sini mulai berkurang. Kalo ada, paling-paling langsung di kejar masyarakat dan Kamla ke tengah laut.“
115
Nelayan Batah mengakui bahwa hasil intervensi Kamla dengan cara melakukan patroli laut dan menindak pelanggaran nelayan luar mampu meredam emosi masyarakat Batah yang cenderung anarkis terhadap nelayan luar. Masyarakat Batah banyak bersabar dan menyerahkan permasalahan keamanan di laut kepada aparat Kamla. Bagi masyarakat Batah, di saat sumberdaya melimpah maka haruslah disyukuri dengan memanfaatkan sebaik-baiknya, namun ketika sumberdaya itu langka maka harus diperbaharui dengan cara menghentikan pemanfaatan sementara waktu dan beralih ke pekerjaan lain sambil menunggu sumberdaya itu melimpah seperti kondisi awal. Pekerjaan nelayan bukan satusatunya pekerjaan masyarakat Batah selama masih ada tawaran pekerjaan lain yang menguntungkan. Masyarakat Batah yang bekerja sebagai nelayan umumnya mereka yang mata pencahariannya tidak tetap, misalnya buruh bangunan. Nelayan Batah menyadari permasalahan yang terjadi dengan nelayan luar akibat perbedaan kepentingan yang dilatarbelakangi oleh kebutuhan ekonomi. Masalah krusial sebagai dampak dari kemiskinan nelayan yang hampir terjadi di seluruh pesisir Selat Madura.
5.5.2 Nelayan Luar (Nelayan Daerah Lain) Kebutuhan akan lahan tangkapan baru sebagai sarana pemenuhan kebutuhan hidup menjadi alasan yang kuat bagi nelayan-nelayan luar di sepanjang pesisir pantai utara Pulau Jawa untuk memperluas wilayah penangkapannya sampai ke perairan daerah lain seperti ke perairan Kwanyar. Selain ditujukan untuk mengoptimalkan operasi armada penangkapannya, hal itu juga ditujukan untuk menghindari konflik sosial dengan nelayan lokal tradisional di wilayah asalnya. Konflik di daerah asalnya disebabkan karena adanya kecemburuan tingkat penghasilan dengan nelayan tradisional. Disamping itu, status sumberdaya lokal yang semakin habis juga menjadi pertimbangan nelayan pendatang melakukan ekspansi wilayah tangkapannya ke luar. Pada kenyataannya kehadiran nelayan luar ke perairan Kwanyar memicu terjadinya konflik. Nelayan luar mendapatkan perlawanan dari masyarakat. Hal ini karena masyarakat yang bekerja sebagai nelayan khawatir perairan mereka akan menjadi rusak dan berdampak pada terbatasnya sumberdaya ikan. Nelayan luar
116
yang menangkap ikan sampai ke perairan Kwanyar banyak yang menggunakan Minitrawl, diantaranya Jaring arad (jaring eret), Otok/Cotok, Cantrang yang dikategorikan sebagai Pukat kantong karena hasil modifikasi Dogol, namun karakteristik pengoperasiannya sama dengan Trawl. Meskipun nelayan-nelayan luar tidak menyebut alat tangkapnya Minitrawl, tapi sebagian besar mereka paham bahwa alat tangkap tersebut sama secara konstruksi dan pengoperasiannya dengan Trawl. Nelayan luar yang terlibat konflik, umumnya tidak terima dengan tindakan nelayan Batah yang membatasi wilayah laut untuk membedakan jalur tangkapan ikan. Nelayan luar menganggap sumberdaya laut sebagai common property resources maka siapapun bebas untuk memanfaatkan dengan cara apapun. Karena anggapan itu mereka merasa sah-sah saja menangkap ikan dimanapun. Oleh sebab itu, larangan nelayan Batah lebih dianggap sebagai alasan untuk tidak saling berbagi sumberdaya. Semakin gencarnya patroli Kamla bersama masyarakat Batah dalam melakukan pengamanan di laut, menyebabkan nelayan luar banyak yang menangkap ikan di sekitar perairan Kwanyar secara sembunyi-sembunyi. Dengan mengingat jadwal patroli Kamla, mereka akan menangkap ikan di luar jadwal patroli sehingga kemungkinan besar akan lolos dari penangkapan. Patroli aparat Kamla di sekitar perairan Kwanyar yang terkesan menghalangi kepentingan nelayan luar untuk mendapatkan lahan tangkapan baru, menyebabkan konflik latent terjadi antara nelayan luar dengan Kamla. 5.5.3 Instansi Pemerintahan Daerah Ketika rezim orde baru, masalah konflik nelayan Kwanyar dengan nelayan pendatang (nelayan luar) diserahkan pemerintah daerah kepada aparat keamanan (Polsek, Koramil, Pol-Airud, dan TNI-AL). Proses penyelesaian konflik banyak ditangani di tingkat lokal yaitu di pihak Kepala desa atau Lurah. Namun ketika konflik menjadi terbuka dan anarkis diantara kedua pihak, maka ditindaklanjuti oleh Muspika di tingkat kecamatan. Namun setelah terbentuknya Departemen Perikanan dan Kelautan (DKP), maka masalah penyelesaian konflik diserahkan kepada instansi tersebut. Pemerintah daerah termasuk Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bangkalan melalui Dinas Perikanan dan Kelautan (Diskanla) Provinsi dan Kabupaten melakukan
117
koordinasi dengan aparat keamanan dan autoritas lokal (Kepala Desa atau Lurah) dalam menyelesaikan konflik.
5.5.3.1 Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bangkalan Peranan Dinas Perikanan dan Kelautan (Diskanla) Kabupaten Bangkalan dalam menangani konflik nelayan di kecamatan Kwanyar antara lain: (1) melakukan pembinaan ke nelayan; (2) melakukan sosialisasi hukum dan peraturan perikanan kepada nelayan; (3) bertindak sebagai mediator konflik; (4) menyediakan fasilitas pengamanan laut, seperti membanguan Poskamla (Pos Keamanan Laut); dan (5) mencarikan alternatif pekerjaan lain (selain perikanan tangkap) melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat. Peran Dinas Perikanan dan Kelautan Bangkalan dalam mencegah konflik yang mengarah pada tindakan anarkis sering dirasakan terlambat oleh sebagian besar masyarakat nelayan. Hal ini disebabkan karena Dinas Perikanan dipandang kurang melakukan upaya yang persuasif dan maksimal untuk mencegah konflik secara intensif sejak dini sehingga konflik yang masih bersifat potensial dan tertutup berkembang cepat menjadi konflik terbuka yang mengarah pada kelas aksi (class action). Saat ini, pasca konflik DKP memfokuskan untuk melakukan pembenahan kelembagaan ekonomi masyarakat nelayan melalui Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PPEMP) yang ditujukan untuk membantu nelayan dalam usaha penangkapan, misalnya bantuan modal untuk memperbaiki jaring, kapal dan pembangunan tempat pendaratan kapal.
5.5.3.2 Muspika Muspika merupakan gabungan beberapa lembaga yang bertanggung jawab untuk mengupayakan penyelesaian konflik, terutama dalam hal meredam gejolak masyarakat pada saat terjadi konflik. Lembaga yang terlibat secara langsung antara lain Pemerintahan lokal (Kecamatan dan Desa) dan aparat keamanan (Polsek Kwanyar maupun Koramil). Peranan pihak Kecamatan dalam upaya menangani konflik kurang begitu memberikan pengaruh terhadap penyelesaian akhir konflik. Ini disebabkan karena masyarakat Batah lebih mempercayai permasalahan konflik kepada Kepala Desa,
118
sebab ada kecenderungan masyarakat kurang begitu percaya bahwa pihak Kecamatan akan segera turun tangan untuk menuntaskan permasalahan mereka. Peran pihak Kecamatan Kwanyar dominan pada usaha mereka dalam melakukan koordinasi dengan aparatur pemerintah (Muspika) daerah yang terlibat konflik dengan masyarakatnya. Peran Kepala Desa Batah dan perangkat desa yang lain adalah sebagai pihak pertama yang menerima laporan dari pihak yang bertikai ketika terjadi konflik/pertikaian antar nelayan sehingga biasanya Kepala Desa dijadikan sebagai inisiator pertama dalam upaya menangani konflik. Disamping itu Kepala Desa beserta perangkat desa yang lain bertindak sebagai negosiator konflik, dari mempertemukan anggota masyarakatnya (nelayan Batah) dengan perwakilan komunitas nelayan luar yang terlibat konflik sampai melakukan proses tawarmenawar jika penyelesaian konflik mengarah pada proses ganti rugi. Bahkan pada beberapa kasus, Kepala Desa Batah juga melakukan proses negosiasi jika salah satu nelayannya atau kapal warganya disandera nelayan luar, misalnya pada konflik dengan nelayan Lekok, Pasuruan pada tahun 2004. Selain itu Kepala Desa selaku institusi pemerintahan terendah mempunyai kewajiban untuk membuat laporan kepada institusi diatasnya (pihak Kecamatan) dan melakukan koordinasi dengan aparat keamanan. Polsek Kwanyar memiliki peran yang cukup berpengaruh untuk mencegah aksi anarkis yang dilakukan oleh salah satu kelompok nelayan. Namun dalam penanganan masalah hukum konflik, aparat Polsek kwanyar sering mengalami kesulitan. Hal ini karena konflik selalu terjadi di laut yang lokasinya jauh dari darat. Aparat Polsek sering mengalami kesulitan untuk menemukan evidence atau bukti pendukung pelanggaran. Pada sisi lain, keterangan saksi sering lemah dan bahkan kurang bisa dijadikan bukti yang cukup kuat untuk menindaklanjuti pelanggaran nelayan luar. Oleh karena itu, konflik sering diselesaikan secara islah atau damai melalui negosiasi. Koramil Kwanyar dalam penyelesaian konflik memiliki peran yang hampir sama dengan Polsek Kwanyar yaitu melakukan pencegahan tindakan anarkis yang dilakukan oleh salah satu kelompok nelayan yang bertikai. Tindakan aparat Koramil lebih represif dibandingkan dengan aparat Polsek. Namun
119
demikian, Koramil tidak pernah bertindak sebagai mediator dalam proses penyelesaian konflik di lapangan.
5.5.3.3 Kamla (Keamanan Laut) Kamla (Keamanan Laut) adalah salah satu instansi/lembaga yang diperbantukan untuk menangani konflik yang terjadi di dalam wilayah perairan desa pesisir di kecamatan Kwanyar yang aparatnya merupakan gabungan dari Satpol Airud (Kesatuan Polisi Air dan Udara) Polda Surabaya dan TNI-AL (Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Laut) KOAMARTIM Surabaya Provinsi Jawa Timur. Kamla merupakan lembaga pengawas laut yang dibentuk oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Dati I Provinsi Jawa Timur yang ditindaklanjuti oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bangkalan. Namun demikian, instruksi pengamanan dan pengawasan yang dilakukan aparat Pol-Airud berada dibawah tanggung jawab Polda Jawa Timur yang dikoordinasikan dengan Polres Bangkalan. Sedangkan aparat TNI-AL berada di bawah tanggung jawab TNI-AL Distrik Perak, Surabaya. Ketika rezim orde baru, peran Satpol-Airud dan TNI-AL dianggap kurang berperanan secara nyata dalam menangani konflik. Hal ini disebabkan karena terbatasnya fasilitas untuk melakukan pengawasan terhadap pelanggaran di laut serta ketiadaannya di lokasi konflik. Pada tahun 2003, pemerintah Kabupaten Bangkalan melalui Dinas Perikanan dan Kelautan mendirikan Poskamladu (Pos Keamanan Terpadu) di desa Batah, Kecamatan Kwanyar dengan menempatkan sejumlah personil Kamla (Keamanan Laut) sebanyak 4 orang dari kesatuan PolAirud Surabaya dan TNI-AL. Tugas dan fungsi Poskamladu tersebut adalah: (1) mengamankan wilayah perairan Selat Madura, khususnya perairan pesisir desa Batah dari nelayan-nelayan yang menangkap ikan secara tidak benar (tidak ramah lingkungan, misalnya dengan Minitrawl, bom ikan, potasium, dll); (2) membantu Dinas Perikanan dan Kelautan Bangkalan dalam melakukan controlling, monitoring, dan surveilance terhadap aktivitas nelayan-nelayan di sekitar perairan Kwanyar dan sekitarnya; (3) memberikan pengertian hukum terhadap nelayannelayan pelanggar; (4) memberikan bimbingan dan motivasi terhadap masyarakat nelayan Batah, sebagai komunitas lokal agar bersabar dan tidak anarkis
120
menghadapi konflik dengan nelayan luar; (5) bertanggung jawab terhadap keamanan nelayan luar yang terlibat konflik dengan nelayan Batah, termasuk pengamanan pada perahu, jaring dan hasil tangkapan ikan. Dalam melakukan operasi di laut, aparat Kamla menggunakan sebuah speedboat yang dibeli dari kas DKP Bangkalan. Biasanya Kamla melakukan operasi rutin seminggu sekali pada hari Kamis dari pukul 07.30-12.00 WIB, namun jika terdapat banyak kabar/laporan bahwa nelayan luar melakukan penangkapan di dalam wilayah pantai (inshore) perairan Kwanyar, maka operasi insidentil segera dilakukan aparat. Ini ditujukan seefektif mungkin bentrokan antar nelayan di tengah laut terhindarkan. Salah seorang personil Kamla, bapak Anam (30 tahun) aparat Satpol-Airud, menjelaskan bahwa: ” Patroli rutin selalu kami lakukan satu hari dalam seminggu, biasanya pada hari kamis dari pukul 07.30-12.00. Tapi kalo konflik mulai banyak terjadi di laut Kwanyar, maka patroli dilakukan hampir tiap hari atas permintaan nelayan Batah juga. Koordinasi dengan Dinas Perikanan kami lakukan dengan memberi kabar tempat dan kejadian konfliknya. Setelah itu, kalo kasusnya sangat berat Dinas biasanya langsung melakukan peninjauan lapang dan sosialisasi kepada masyarakat nelayan Batah saat itu.------- Tindakan hukum pidana tidak selalu dikenakan kepada nelayan luar, jika pada saat penangkapan mereka melawan instruksi kami, maka sanksi pidana dan perdata dikenakan, tapi jika mereka menyerah tanpa perlawanan maka hanya diproses secara kekeluargaan, dan sanksi terbatas pada hukuman perdata yaitu penggantian rugi kepada masyarakat yang dibayarkan oleh juragan mereka kemudian. Nelayan luar itu nekat juga, ditengah laut selalu kejar-kejaran lari dari penangkapan aparat, meskipun sudah diperingatkan dengan tembakan. Kalo sekiranya mereka masih dekat-dekat perairan Kwanyar, kemungkinan tertangkap sudah pasti bisa. Tapi kalo sudah jauh melewati perairan Kwanyar, kami yang menghentikan pengejaran karena sudah bukan wilayah perairan Bangkalan lagi. Meskipun izin dari Polda Jatim juga ada, tapi bahan bakar yang terbatas jadi pertimbangan untuk kembali lagi ke pos.-------- Dana operasi tidak sepenuhnya dari Dinas, masyarakat juga ikut menanggung. Dari Dinas terbatas pada saat operasi rutin. Kalo masyarakat meminta operasi ditingkatkan, maka masyarakat yang membantu pendanaannya.“ Berdasarkan penjelasan tersebut, peranan Satpol-Airud dan TNI-AL telah memberikan peranan yang nyata dalam melakukan pengamanan di laut, meredam konflik serta menindak pelanggaran nelayan luar. Dalam melakukan pengamanan di laut, aparat Satpol-Airud selalu berkoordinasi dengan masyarakat nelayan lokal dan melakukan patroli secara bersama-sama. Meskipun demikian tindakan aparat
121
Satpol-Arud dan TNI-AL masih kurang maksimal dalam melakukan penangkapan terhadap nelayan pelanggar karena terbatasnya fasilitas yang dimiliki serta jumlah personil Satpol-Airud dan TNI-AL di lokasi konflik terbatas terutama ketika konflik terjadi secara tidak terduga (insidentil), aparat Satpol-Airud dan TNI-AL tidak berada di lokasi kejadian.
5.5.4 Pihak-Pihak Lain dalam Konflik Pihak-pihak lain yang juga bertindak selaku mediator dalam konflik antara lain: Petugas Penyuluh Lapang (PPL), Ulama, Tokoh nelayan, serta organisasi kemasyarakatan (non-pemerintah) yang secara tidak langsung memberikan masukan dalam penyelesaian konflik. Penyuluh lapang memiliki peranan yang terbatas terhadap penyelesaian konflik secara langsung. Peranan mereka biasanya dominan pada upaya sosialisasi hukum dan peraturan dalam bidang perikanan. Penempatan tenaga penyuluh lapang di desa Batah dilakukan oleh Dinas Perikanan Kabupaten Bangkalan. Keberadaan mereka bersifat insidentil yaitu hanya jika konflik/perkelahian antar nelayan terjadi. Hingga penelitian selesai, peneliti tidak menemukan keberadaan penyuluh lapang di desa Batah. Menurut masyarakat jika penyuluh lapang ada, maka akan memudahkan masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya dalam upaya memperbaiki lingkungan pesisir yang rusak dan membantu menumbuhkan kegiatan ekonomi dengan memfungsikan kembali lahan pertambakan dan pertanian sebagai usaha nelayan untuk beralih ke mata pencaharian lain. Peranan Ulama Kwanyar terhadap konflik sangat dominan. Ini disebabkan karena masyarakat Kwanyar secara sosial dan budaya mempunyai kepercayaan yang kuat terhadap agama (muslim). Ulama dinilai dapat meredam emosi massa sehingga konflik tidak meluas dan mengarah pada tindakan anarkis. Sama halnya dengan Ulama, tokoh nelayan di desa Batah juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap konflik karena mampu mempengaruhi opini massa. Selain itu, keberanian dan sifat kritis yang dimiliki seringkali menempatkannya sebagai penyampai aspirasi nelayan sehingga tokoh nelayan selalu bertindak sebagai negosiator konflik bersama dengan Kepala Desa.
122
Peran organisasi kemasyarakatan seperti HNSI, KUD, LSM hampir tidak ada. Lembaga seperti HNSI belum banyak diketahui oleh nelayan-nelayan Batah yang umumnya adalah nelayan kecil. Keberadaan KUD di desa Batah sampai saat ini belum ada, jikapun ada nelayan mungkin menempatkannya sebagai lembaga apolitis yang tidak ada hubungannya dengan upaya penyelesaian konflik. Organisasi masyarakat yang terdapat di desa Batah hanya berupa forum komunikasi nelayan, namun organisasi ini belum memberikan kontribusi yang nyata dalam penyelesaian konflik karena berupa lembaga non-formal yang mengalami kevakuman. Dari sekian konflik yang terjadi di wilayah perairan Kwanyar yang terlibat langsung hanya masyarakat dari dua desa pesisir yaitu desa Batah Barat dan desa Batah Timur. Namun meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan nelayannelayan di desa pesisir Kwanyar lainnya terlibat konflik laten dengan nelayan luar namun mereka hanya menyerahkan kepada Kamla. Berbagai pihak yang telah disebutkan diatas memiliki karakteristik dan peranan yang berbeda dalam konflik (Tabel 29). Sedangkan pola hubungan pihak-pihak dalam konflik, secara umum dipetakan dalam Gambar 13.
123
Tabel 29. Karakteristik dan Peranan Pihak-pihak dalam Konflik Pihak-Pihak dalam Konflik Masyarakat Nelayan Desa Batah Barat dan Batah Timur Komunitas Nelayan luar
Pemda Bangkalan DKP Bangkalan
Pemerintah Desa Batah Barat dan Batah Timur Polsek Kwanyar
Satpol Airud
TNI-AL
TNI-AD (Koramil) Tenaga Penyuluh Lapang Ulama dan Tokoh Nelayan
Karakteristik Berusaha memenuhi kebutuhan hidup dengan menangkap ikan, melakukan pelestarian sumberdaya, dan menerapkan aturan lokal dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir. Berusaha memenuhi kebutuhan hidup dengan menangkap ikan, melakukan ekspansi wilayah tangkapan ke perairan Kwanyar, dan melakukan pemanfaatan tidak ramah lingkungan. Lembaga pemerintah yang menjamin kehidupan sosial masyarakat aman. Lembaga pemerintah yang memiliki hubungan dekat dengan pemerintah desa Batah. Menjadi tempat konsultasi pihak perangkat desa dan nelayan Batah.
Lembaga pemerintah yang menginginkan masyarakat nelayannya melaut dengan aman, tanpa ada pertikaian dan permusuhan dengan nelayan daerah lain/nelayan luar. Aparat keamanan yang melakukan identifikasi/penyelidikan lokasi konflik. Mengarahkan masyarakat dalam hal kamtib dan menangani perkara pidana dan perdata konflik. Aparat keamanan yang sering membantu nelayan Batah untuk mengamankan perairan Kwanyar. mendapatkan dana keamanan/operasi dari masyarakat dan DKP. Aparat keamanan yang sering membantu nelayan Batah untuk mengamankan perairan Kwanyar. mendapatkan dana keamanan/operasi dari masyarakat dan DKP. Aparat keamanan yang ikut turun tangan dalam konflik. Berusaha menarik simpati masyarakat Batah. Tenaga pendamping yang diperbantukan secara insidentil kepada masyarakat. Menelusuri sebab konflik. Tokoh yang mempunyai pengaruh besar dalam meredam emosi massa, sangat dekat dengan masyarakat.
Organisasi Wadah komunikasi antar nelayan di desa Masyarakat Batah. Merupakan lembaga non formal FKN (Forum yang mengalami kevakuman (tidak Komunikasi memiliki progam/kegiatan). Nelayan) Sumber: Data Primer (diolah) tahun 2007
Peranan Pelaku utama konflik, melakukan perlawanan terhadap nelayan luar. Meminta pihak lain untuk membantu dalam melakukan perlawanan dan penyelesaian konflik. Pelaku utama konflik, melakukan tindakan-tindakan yang dapat mendorong konflik sekaligus yang dapat meredam konflik dalam waktu tertentu. Mediator konflik, saksi dalam islah/perjanjian. Sebagai mediator konflik, melakukan sosialisasi hukum dan perundangan perikanan kepada nelayan Batah. Mendamaikan sementara pihak yang bertikai dan menyelesaikan urusan administrasi konflik dengan Kabupaten/Kota Nelayan luar berasal. Memberikan dukungan kepada masyarakat Batah, mediator dan negosiator dalam upaya penyelesaian konflik. Menyampaikan aspirasi masyarakat ke instansi tertinggi daerah Mediator konflik, mencegah konflik tidak sampai meluas, walaupun seringkali terlambat dalam mendeteksi potensi konflik Menjaga keamanan dan ketertiban wilayah perairan Kwanyar dan Selat Madura. Sebagai mediator konflik, mencegah konflik agar tidak sampai meluas. Menjaga keamanan dan ketertiban wilayah perairan Kwanyar dan Selat Madura. Mencegah konflik agar tidak sampai meluas dan mencegah tindakan anarkis massa, serta mediator konflik Mencegah konflik agar tidak sampai meluas dan mencegah tindakan anarkis massa, walaupun seringkali terlambat. Sosialisasi hukum dan perundangan perikanan kepada masyarakat, konsultan dalam konflik. Mediator konflik, penyampai aspirasi masyarakat nelayan Batah, mendamaikan pihak yang bertikai sementara waktu. Tidak banyak memberikan peranan dalam konflik.
124
Pemerintah Desa Batah Barat dan Desa Batah Timur Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bangkalan
Mendukung masyarakat Batah
Pembinaan dan Sosialisasi Hukum dan UU perikanan
Ulama dan Tokoh Nelayan di Batah, Kwanyar
Forum Komunikasi Nelayan Batah
Masyarakat Nelayan Batah
Menjamin keamanan Keamanan Laut (Satpol-Airud dan TNI-AL)
Saksi dalam islah Pengamat konflik
Peringatan dan ancaman hukum
Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten Bangkalan
Keterangan :
Komunitas Nelayan Luar/Daerah Lain
Tindakan hukuman Mngusulkan islah
Memberi mandat
: Konflik terbuka : Konflik laten :Arah wewenang : Hubungan Sementara/Kepentingan
Muspika Kwanyar (Camat, Polisi dan TNIAD)
: Hubungan dekat : Aliansi : Aliansi putus
Gambar 13. Pola Hubungan Pihak-Pihak dalam Konflik Nelayan di Perairan Kwanyar, Selat Madura
125
5.6 Penyelesaian Konflik Resolusi konflik dipandang sebagai upaya meredakan dan mengurangi konflik yang telah dan sedang terjadi. Pada dasarnya konflik kenelayanan (terkait pemanfaatan sumberdaya laut) bernuansa kekerasan (Adhuri et al. 2005). Konflik yang bernuansa kekerasan maupun yang tidak, bermanfaat dan tidak dapat dihilangkan dalam masyarakat karena hubungan-hubungan antar pihak-pihak (individu atau kelompok) dalam masyarakat tidak selamanya harmonis, setidaknya ada hal yang dipertentangkan. Akar konflik dalam pengeksploitasian sumberdaya laut atau yang dikenal dengan istilah kenelayanan adalah kenyataan bahwa laut tergolong sumberdaya milik umum (public property resource) sehingga untuk mengatasinya dilakukan dengan penciptaan keputusan yang disetujui bersama yang bisa memaksa setiap orang untuk tunduk padanya (Hardin 1968 dalam Adhuri et al. 2005). Upaya penyelesaian (resolusi) perlu segera dilakukan terutama pada konflik yang bernuansa kekerasan agar tidak semakin buruk dan diharapkan dapat menghasilkan keseimbangan (equilibrium) baru di masyarakat. Di pihak lain, resolusi konflik mengacu pada strategi-strategi untuk menangani konflik terbuka dengan harapan tidak hanya mencapai suatu kesepakatan untuk mengakhiri suatu kekerasan (penyelesaian konflik), tetapi juga mencapai suatu resolusi dari berbagai perbedaan sasaran yang menjadi penyebabnya (Fisher et al. 2001).
5.6.1 Manajemen Konflik Manajemen konflik dilakukan dengan konsep yang disebut community based conflict management (CBCM)32. Inisiatif penyelesaian konflik (terutama berdasarkan konsensus atau kesepakatan) tidak dapat dipisahkan dari konteks perubahan sosial secara umum. Harus disadari bahwa tidak ada satupun mekanisme penyelesaian konflik yang dapat melenyapkan konflik, mereka hanya mampu meredakan dan mengatur konflik agar turun kadarnya dari suatu konfrontasi hebat kepada tingkat perselisihan atau perbedaan pendapat saja (Maskanah et al. 2005). Pada akhirnya manajemen konflik dilakukan secara 32
Secara umum, CBCM ditujukan untuk mendapatkan kemungkinan-kemungkinan perubahan paradigma dan metode dari penyelesaian konflik melalui konfrontasi dan permusuhan yang digunakan dalam kehidupan masyarakat, ke arah penyelesaian dan pemecahan konflik yang lebih kontekstual dengan mengelola akar permasalahan yang menyebabkan terjadinya atau ter-eskalasi-nya konflik (Maskanah et al. 2005).
126
alternatif yang dititikberatkan kepada bagaimana fasilitasi pihak-pihak (individu, kelompok, organisasi) untuk beradaptasi dengan perubahan sosial (social change) yang terjadi. Kondisi sosial budaya masyarakat Batah, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan merupakan masyarakat pedesaan yang mengalami transisi menjadi masyarakat urban. Hartono dan Nasution (2004) menjelaskan bahwa dalam suatu masyarakat yang mengalami transisi sosial budaya sangat membutuhkan peranan pihak luar (pihak ke-3) dalam penyelesian konflik. Peranan pihak ke-3 (tiga) dalam penyelesaian konflik terlihat setelah konflik semakin terbuka dan intensitasnya semakin meningkat yaitu telah mencapai eskalasi dan terdapat tindakan kekerasan dalam konflik. Upaya penyelesaian konflik dengan nelayan luar/nelayan daerah lain awalnya dilakukan sendiri oleh masyarakat nelayan Batah, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan. Namun upaya yang dilakukan menjadi tidak efektif mengingat mekanisme penyelesaian yang ditempuh oleh masyarakat cenderung mengarah pada usaha-usaha yang bersifat ”memaksa” nelayan luar. Dalam proses penyelesaian (pemecahan masalah) masyarakat Batah, Kecamatan Kwanyar cenderung bertindak coercion sehingga mengakibatkan perselisihan semakin terbuka. Bahkan dalam beberapa kasus di masyarakat Kwanyar masih berkembang hukum massa ”menghakimi sendiri” nelayan luar/nelayan daerah lain yang melanggar aturan (kelokalan) pemanfaatan sumberdaya perikanan dengan melakukan pembakaran jaring Trawl dan kapal nelayan luar (pada konflik dengan nelayan luar pengguna Minitrawl). Pemerintah Kabupaten Bangkalan telah berupaya menangani permasalahan konflik nelayan di Kecamatan Kwanyar melalui peranan beberapa instansi seperti Muspika, aparat kepolisian (Polsek Kwanyar), TNI-AD (Koramil) di Kecamatan Kwanyar. Muspika Kwanyar turut melakukan usaha-usaha untuk meredamkan atau mengurangi ketegangan antara nelayan Batah dengan nelayan luar dengan melakukan pendekatan (konsiliasi) kepada kedua pihak dan mengupayakan kedua pihak melakukan pertemuan untuk melaksanakan upaya perdamaian (rekonsiliasi). Muspika Kwanyar melakukan koordinasi dengan Muspika asal daerah nelayan luar/nelayan daerah lain yang dimaksud, seperti pada kasus konflik antara nelayan Batah Timur, Kecamatan Kwanyar dengan nelayan
127
Desa Noreh, Kecamatan Sreseh, Kabupaten Sampang pada tahun 1997. Sedangkan aparat keamanan, yaitu Polsek Kwanyar dan Koramil Kwanyar lebih bertindak sebagai mediator yang membantu menciptakan keamanan saat proses dilaksanakannya negosiasi. Sejak tahun 2001, penyelesaian konflik kenelayanan di Kecamatan Kwanyar melibatkan peranan instansi Dinas Perikanan Kabupaten Bangkalan. Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh Dinas Perikanan Kabupaten Bangkalan dalam penyelesaian konflik antara lain dengan fasilitasi suatu pertemuan atau perundingan, konsultasi permasalahan dengan nelayan yang terlibat konflik, konsiliasi, serta melakukan koordinasi lintas instansi/departemen (Kepolisian, TNI-AD, Muspika, Tokoh Informal Lokal, Penyuluh Perikanan, Kepala Desa) di wilayah lokal maupun antar Kabupaten yang nelayannya terlibat konflik dengan nelayan Batah, Kecamatan Kwanyar untuk bersama-sama merumuskan solusi konflik yang efektif. Untuk mengefektifkan kinerjanya sebagai lembaga yang berwenang dalam menetapkan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan Selat Madura termasuk penegakan hukum di wilayah perairan Kabupaten Bangkalan, termasuk di kawasan Kwanyar, Dinas Perikanan Kabupaten Bangkalan mendirikan Poskamladu (Pos Keamanan Laut Terpadu) di desa Batah, Kecamatan Kwanyar sebagai lembaga pengawas dan pengamanan di laut. Lembaga (Poskamladu) tersebut juga turut berperan dalam penyelesaian konflik meskipun terbatas sebagai mediator dalam pelaksanaan negosiasi antara nelayan Batah, Kecamatan Kwanyar dengan nelayan luar/nelayan daerah lain. Demikian pula keterlibatan pihak lokal lainnya, seperti Kepala Desa Batah sebagai Tokoh masyarakat dan Ketua kelompok nelayan Batah, Kecamatan Kwanyar turut berperan sebagai mediator dalam proses negosiasi antara nelayan Batah dengan nelayan-nelayan luar/nelayan daerah lain. Dengan demikian, negosiasi, mediasi, dan fasilitasi berlangsung sekaligus dalam proses penyelesaian konflik melalui musyawarah pihak-pihak yang berkonflik. Hasil akhir musyawarah tersebut berupa penandatanganan surat pernyataan bersama atau surat perjanjian damai. Sampai saat ini mekanisme penyelesaian konflik secara negosiasi menjadi alternatif pilihan masyarakat Batah, meskipun pada kenyataannya upaya ini hanya berlaku untuk meredam konflik secara temporer atau sementara waktu.
128
Pada kasus tertentu, seperti konflik dengan nelayan-nelayan Kecamatan Lekok dan Kecamatan Kraton, Kabupaten Pasuruan, mekanisme penyelesaian masalah juga ditempuh secara litigasi melalui media peradilan hukum (pengadilan). Proses ini dilakukan karena perselisihan/persengketaan kedua pihak telah mengarah pada tindakan kejahatan dan kriminalitas (pidana), yaitu terjadi tindakan pencurian mesin kapal, perkelahian, dan pembunuhan antar nelayan. Penyelesaian dilakukan melalui cara-cara peradilan sesuai dengan UndangUndang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pihak yang berwenang adalah aparat kepolisian (Polsek Kwanyar), Pol-Airud, dan TNI-AL yang diatur sebagaimana dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana . Sedangkan tindakan pidana seperti pembakaran jaring dan kapal Minitrawl, proses hukum (peradilan) gagal dilakukan mengingat terbatasnya bukti-bukti (evidence) yang mendukung dalam proses penyidikan. Pengadilan mengalami kelemahan untuk memutuskan sanksi (pidana dan perdata). Sanksi pidana gagal karena tindakan pembakaran dilakukan oleh massa sehingga aparat mengalami kesulitan untuk menetapkan tersangkanya. Penentuan ganti rugi (perdata) dilakukan diluar pengadilan melalui proses negosiasi karena bukti-bukti yang berkenaan terhadap kepemilikan kapal dan alat tangkap Minitrawl, yaitu ijin penangkapan (SIPI), ijin kapal pengangkutan ikan (SIKPI), dan ijin usaha (SIUP) hampir tidak ada. Hal ini karena alat tangkap Minitrawl tersebut kepemilikannya oleh nelayan-nelayan tradisional yang usahanya bersifat subsistence. Sedangkan kapal yang digunakan kapasitasnya < 5 GT atau < 15 DK, sehingga ijin kelaikan kapal (SKPKP) tidak dibutuhkan atau dengan kata lain nelayan dapat secara bebas mengoperasikan kapal tersebut. Dalam perkembangannya (setelah tahun 2004), manajemen konflik di masyarakat Batah, Kecamatan Kwanyar mengalami kemajuan, yaitu menyertakan mekanisme semacam arbitrasi dan proses-proses adjudikasi. Mekanisme tersebut berlangsung sekaligus yang ditangani oleh pihak Poskamladu/Kamla (Pol-Airud dan TNI-AL). Arbitrasi ditujukan untuk membuka jalan menuju proses negosiasi (musyawarah kekeluargaan), sedangkan pelanggaran-pelanggaran (nelayan luar) dalam bidang perikanan diproses secara adjudikasi. Mekanisme arbitrasi dan adjudikasi diadopsi oleh masyarakat nelayan Batah, Kecamatan Kwanyar,
129
Kabupaten Bangkalan karena mereka sadar bahwa permasalahan tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab masyarakat, tetapi juga Pemerintah Daerah Kabupaten Bangkalan (Dinas Perikanan Kabupaten Bangkalan) yang turut memiliki kepentingan terhadap pengelolaan sumberdaya.
5.6.2 Alternatif Resolusi Konflik (Resolving Conflict) Konflik antara nelayan Batah, Kecamatan Kwanyar dengan nelayannelayan di kawasan Kwanyar, perairan Selatan Kabupaten Bangkalan, wilayah perairan Selat Madura terjadi dalam wilayah 4 mil dari pantai sehingga penyelesaiannya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah Kabupaten Bangkalan, namun mengingat pihak-pihak yang berkonflik melibatkan nelayannelayan antar Kota/Kabupaten di Selat Madura, maka Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur turut bertanggung jawab untuk menyelesaikannya. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bangkalan bersama-sama dengan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur telah melakukan berbagai upaya dalam menangani permasalahan konflik kenelayanan di Kecamatan Kwanyar. Pada tahun 2001 Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur melaksanakan kerjasama dengan Lembaga Penelitian Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya Malang melalui Surat Perjanjian Pelaksanaan Kerjasama (SPPK) Nomor. 191.1/SPP/Proda 01/X/2001 untuk menangani permasalahan konflik kenelayanan di Selat Madura, Jawa Timur. Berdasarkan hasil kajian lapang Tim Peneliti, direkomendasikan bahwa konflik kenelayanan di Selat Madura perlu diatasi dengan cara pengefektifan kelembagaan/institusi penanganan konflik (seperti FKPPS Provinsi Jawa Timur, BAKORKAMLA, dan HNSI), pengalihan mata pencaharian nelayan dari usaha penangkapan menjadi usaha alternatif, peningkatan fasilitas penegakan hukum dan penambahan aparat pengawasan laut, dan sosialisasi hukum dan peraturan di bidang perikanan kepada masyarakat nelayan di sepanjang pesisir Selat Madura. Rekomendasi yang di tawarkan oleh Tim Peneliti sebagian telah diimplementasikan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur dan ditindaklanjuti oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di pesisir Selat Madura.
130
Mengatasi permasalahan pada pengoperasian jaring Minitrawl, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur menetapkan kebijakan yang membatasi pengoperasian alat tangkap Minitrawl ini di perairan Selat Madura. Kebijakan yang ditempuh Dinas Perikanan Provinsi Jawa Timur antara lain; (1) pelarangan penambahan alat tangkap Minitrawl yang diikuti dengan mekanisme pengawasan dan penegakan hukum; (2) penetapan daerah operasi Minitrawl yang sudah mendapatkan ijin melalui pemberian identitas warna perahu dan kode lambung pada masing-masing armada Minitrawl; (3) penetapan waktu operasi armada Minitrawl sebaiknya diberlakukan hanya pada siang hari untuk memudahkan pengawasan; (4) kekuatan mesin armada Minitrawl yang diijinkan ≤ 10 PK; (5) penetapan mesh size atau ukuran mata jaring baik pada bagian sayap maupun kantong ditetapkan melalui pengkajian selektifitas alat; (6) pembatasan ketentuan modifikasi alat tangkap yang meliputi penggunaan otter board, penggunaan beam, dan penggunaan rantai pengejut atau kili-kili. Sedangkan pengefektifan kelembagaan penanganan konflik kenelayanan di Jawa Timur seperti FKPPS di Provinsi Jawa Timur telah berjalan sejak tahun 2003. Forum Koordinasi Pengelolaan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan (FKPPS) Provinsi Jawa Timur telah terbentuk sejak tahun 2000 oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur melalui SK Gubernur Jawa Timur No.188/234/SK/014/2000 yang memiliki 4 (empat) wilayah kerja sesuai dengan karakteristik perikanan di Provinsi Jawa Timur, yaitu; (1) FKPPS wilayah I yang meliputi perairan Laut Jawa; (2) FKPPS wilayah II yang meliputi perairan Selat Madura; (3) FKPPS wilayah III yang meliputi perairan Selat Bali; dan (4) FKPPS wilayah IV yang meliputi perairan Lautan Hindia. Secara implisit FKPPS bertugas untuk mempersiapkan manajemen pemanfaatan sumberdaya perikanan serta menangani masalah konflik nelayan sebagai akibat dari pemanfaatan sumberdaya. Konflik kenelayanan di Kecamatan Kwanyar diselesaikan melalui FKPPS Tingkat I Provinsi Jawa Timur (regional) karena melibatkan nelayan-nelayan antar Kabupaten/Kota di Selat Madura. FKPPS Provinsi berkoordinasi dengan FKPPS wilayah II perairan Selat Madura. Anggota FKPPS wilayah II adalah institusi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sepanjang pesisir Selat Madura (Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan,
131
Probolinggo, dan Situbondo). Dinas Perikanan Kabupaten Bangkalan sebagai salah satu anggota FKPPS wilayah II telah melibatkan sejumlah stakeholder yaitu instansi-instansi Pemerintah Daerah Kabupaten Bangkalan seperti Muspika Kwanyar, Kepolisian (Polsek Kwanyar, Satpol-Airud Polda Surabaya), dan BAKORKAMLA (TNI-AL) maupun Tokoh Informal Lokal (Tokoh masyarakat dan Tokoh nelayan) untuk menangani konflik kenelayanan di Kecamatan Kwanyar. Implementasi kelembagaan FKPPS wilayah II perairan Selat Madura di Kabupaten Bangkalan diwujudkan dengan pembangunan Pos Keamanan Laut (Poskamla) di Desa Batah Barat, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan. Terkait pengawasan dan penegakan hukum di laut sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Subbab manajemen konflik, maka pemecahan masalah konflik pada jalur hukum mengalami banyak kendala dan selalu gagal. Betapapun sulitnya proses penyelesaian hukum pada bidang perikanan tangkap, usaha penegakan hukum harus tetap diusahakan seperti pada bidang pelanggaran lainnya mengingat kepatuhan nelayan terhadap hukum dan perundangan-undangan masih rendah (Anonim 2001). Nelayan di Selat Madura umumnya kurang memahami hukum dan peraturan perundang-undangan termasuk pada bidang perikanan sehingga mereka kurang memahami bahwa terdapat sanksi dalam hukum dan perundangan-undangan tersebut. Saat ini pemahaman nelayan di pesisir Selat Madura terhadap hukum mulai meningkat setelah adanya sosialisasi hukum di bidang perikanan dan peraturan dalam bidang penangkapan ikan tetapi pelanggaran hukum dalam bidang penangkapan ikan masih terjadi di laut. Di Kabupaten Bangkalan pelanggaran-pelanggaran di bidang perikanan masih dilakukan oleh nelayan luar/nelayan daerah lain. Selama tahun 2005-2006 terdapat 6 kasus pelanggaran jalur penangkapan ikan. Pelanggaran ini merupakan tindak pidana sehingga diproses secara hukum sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Pemerintah Provinsi Jawa Timur No.4 Tahun 2005 Tentang Usaha Perikanan dan Usaha Kelautan Provinsi Jawa Timur. Sanksi berupa pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan penjara atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Dari analisis terhadap hasil temuan di lapangan, maka beberapa hal yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut: 1) Terdapat 6 (enam) tipe konflik kenelayanan di Kecamatan Kwanyar berdasarkan penyebabnya dalam usaha pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan Selat Madura sebagaimana Satria et al. (2006), yaitu; konflik kepemilikan sumberdaya, konflik pengelolaan sumberdaya, konflik cara produksi/alat tangkap, konflik lingkungan, konflik primordial, dan konflik usaha. 2) Konflik kenelayanan di Kecamatan Kwanyar cenderung terbuka dan bernuansa kekerasan. Pada beberapa kasus, seperti konflik antara nelayan Batah, Kecamatan Kwanyar dengan nelayan-nelayan Kabupaten Sampang dan Kabupaten Pasuruan, konflik ter-eskalasi atau dapat dikatakan kuantitas dan kualitasnya meningkat yang diperlihatkan dengan adanya tindakan kekerasan dan kejahatan antar komunitas nelayan, seperti; perkelahian, pencurian, penculikan, dan pembunuhan. 3) Isu utama yang menjadi akar permasalahan konflik adalah berkaitan dengan isu keterbatasan sumberdaya, ketidakjelasan pengelolaan sumberdaya perikanan, tumpang tindihnya hukum dan peraturan pemerintah dalam usaha penangkapan, perbedaan cara pandang nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya, perbedaan latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya masingmasing kelompok nelayan, serta terbatasnya fasilitas pemerintah dalam usaha perikanan. Keterbatasan sumberdaya Selat Madura pada kondisi overfishing didukung tindakan nelayan-nelayan luar yang cenderung menginovasi teknologi penangkapannya misalnya memodifikasi alat tangkap tradisional menjadi Minitrawl dan sejenisnya melahirkan persaingan antar nelayan luar dengan nelayan Batah sehingga nelayan Batah melakukan pelarangan penangkapan ikan bagi nelayan luar di sekitar perairan Kwanyar. Ketidakjelasan kebijakan pengelolaan sumberdaya pada sektor usaha
133
penangkapan di Provinsi Jawa Timur menyebabkan nelayan Batah dengan nelayan luar bertindak secara sendiri-sendiri (self regulated) dalam memanfaatkan sumberdaya. Hal ini dipengaruhi oleh perbedaan kepentingan antara nelayan Batah yang mengutamakan kelestarian sumberdaya dengan nelayan luar yang mengutamakan keuntungan sesaat dalam pengaksesan sumberdaya. Nelayan Batah cenderung membangun tindakan rasional melalui kearifan lokal yang memuat aturan dalam hal penangkapan ikan sebagai upaya pengelolaan sumberdaya lokal yang berkelanjutan. Dalam hal hukum dan peraturan, penegakan hukum di laut oleh aparat penegak hukum (Pol-Airud dan TNI-AL) masih lemah sehingga membuka kesempatan bagi nelayan luar melakukan pelanggaran-pelanggaran diantaranya seperti menggunakan alat tangkap yang dilarang (Trawl/Minitrawl) dalam Keppres No. 39 Tahun 1980 tentang larangan penggunaan jaring Trawl, SK Mentan No 503/Kpts/Um/9/1980 tentang penggunaan alat tangkap Lampara Dasar, dan Kep Dirjen Perikanan No. Ik.340/DJ.10106/97 tentang alat tangkap berkantong yang tidak termasuk dalam klasifikasi Trawl, pelanggaran jalurjalur penangkapan ikan (sesuai dengan SK Mentan No.39/Kpts/Ik.120/4/99), Pengaturan penggunaan bahan tidak ramah lingkungan (sesuai dengan Undang-Undang No.23 Tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup dan UndangUndang No.31 Tahun 2004 Tentang Perikanan), serta pengaturan nelayan andon di Jawa Timur (Perda Provinsi Jatim No.9 Tahun 1983). Dalam hal perbedaan latar belakang sosial, ekonomi dan budaya, konflik lebih disebabkan karena adanya kecemburuan antar etnis. Sedangkan keterbatasan fasilitas pemerintah dalam usaha perikanan mendorong lahirnya konflik usaha. 4) Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik antara lain nelayan (komunitas nelayan Batah dan nelayan-nelayan luar/nelayan daserah lain) sebagai pelaku konflik, sedangkan pihak-pihak yang mengakomodasikan penyelesain konflik (bertindak sebagai arbitrator, mediator, fasilitator, dan koordinator) antara lain yaitu; Pemerintah Daerah Kabupaten Bangkalan, Diskanla Kabupaten Bangkalan, Muspika Kwanyar, Polsek Kwanyar, Koramil Kwanyar, Aparat Kamla (Satpol-Airud dan TNI-AL); (4) Tokoh Masyarakat (Kepala Desa Batah, Ulama); (5) Tokoh Nelayan; dan (6) Penyuluh lapang.
134
5) Dalam upaya penyelesaian konflik, komunitas nelayan Batah, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dan kelompok nelayan luar bertindak sebagai negosiator (berlangsung proses negosiasi). Sedangkan mediator dalam upaya upaya penyelesaian konflik yaitu; Pemerintah Daerah Kabupaten Bangkalan (Muspika Kwanyar dalam proses konsiliasi dan rekonsiliasi), Polsek Kwanyar, Koramil Kwanyar, aparat Kamla (Satpol-Airud dan TNI-AL) yang sekaligus sebagai konsultan, Diskanla Kabupaten Bangkalan sekaligus sebagai fasilitator dan konsultan. 6) Penyelesaian konflik secara sosial dilakukan dengan 2 (dua) cara; (1) tanpa melibatkan peranan pihak ke-3 (tiga) melalui proses negosiasi; dan (2) dengan melibatkan peranan pihak ke-3 (tiga) melalui proses-proses fasilitasi, konsultasi, koordinasi, konsiliasi dan rekonsiliasi, dan mediasi. Proses penyelesaian seperti yang disebutkan diatas merupakan bentuk penyelesaian alternatif (alternative dispute resolution) yang didasarkan untuk mencapai suatu konsensus atau kesepakatan di luar jalur hukum atau disebut dengan jalur/pendekatan penyelesaian konflik non-formal. 7) Penyelesaian konflik secara hukum (adjudikasi) yaitu melalui proses litigasi yang dipahami sebagai upaya penyelesaian konflik yang menggunakan media peradilan formal diupayakan untuk menyelesaiakan konflik yang ter-eskalasi atau yang memperlihatkan tindakan-tindakan pidana (kekerasan/kejahatan/ kriminalitas). Proses penyelesaian secara hukum mengikuti kaidah hukum atau perundangan dimana tindakan pidana di bidang perikanan maka ditindak sesuai dengan hukum dan perundangan di bidang perikanan sesuai dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan dan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Timur No. 4 Tahun 2005 Tentang Usaha Perikanan dan Usaha Kelautan di Jawa Timur, sedangkan untuk tindakan pidana yang bernuansa kekerasan (perkelahian dan pembunuhan) ditindak melalui caracara peradilan sesuai dengan Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
135
8) Bila dibandingkan antara penyelesaian konflik secara adjudikasi dengan Penyelesaian konflik secara alternatif (alternative dispute resolution), ada perbedaan dimana penyelesaian konflik secara alternatif lebih efektif untuk mengatasi permasalahan yang diakibatkan dari lahirnya konflik, seperti tindakan-tindakan ”kebrutalan”. Sedangkan adjudikasi efektif dilakukan untuk meredam tindakan-tindakan yang cenderung melanggar hukum, seperti pelanggaran aturan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya serta akibat yang ditimbulkan dari pemanfaatan sumberdaya. Baik penyelesaian konflik secara alternatif ataupun adjudikasi masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan sebagai jalan resolusi konflik. Penyelesaian konflik saat ini diupayakan secara adjudikasi karena permasalahan utamanya terkait pelanggaran pada pengaturan pemanfaatan sumberdaya.
6.2 Saran Dari hasil analisis terhadap penyelesaian konflik kenelayanan di Kecamatan Kwanyar dalam usaha pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan Selat Madura maka untuk menghindari dampak buruk adanya konflik, rekomendasi yang dapat diajukan yaitu; 1) Perlu peningkatan dalam hal pengawasan dan penegakan hukum bidang perikanan di laut dengan cara meningkatkan patroli aparat keamanan laut (Kamla) dan juga penambahan sarana dan prasananya seperti penambahan kapal pengawas. 2) Perlu penguatan kelembagaan (management body) pengelolaan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Selat Madura dan dibentuknya kelembagaan ekonomi masyarakat nelayan. Langkah atau kebijakan yang dapat ditempuh dalam penguatan kelembagaan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Selat Madura yaitu; penguatan kerjasama kelembagaan antar Kabupaten/Kota, penetapan armada dan kuota penangkapan, realokasi wilayah penangkapan. Sedangkan pembentukan kelembagaan ekonomi masyarakat nelayan dapat ditempuh melalui pemberdayaan dengan cara pemberian pinjaman modal yang ditujukan untuk alternatif usaha selain usaha penangkapan, seperti usaha pengolahan ikan, budidaya perikanan.
136
3) Perlu penguatan jaringan antar komunitas nelayan Selat Madura (bridging social capital) sebagai jalan resolusi konflik ke depannya serta penguatan jaringan nelayan dengan dunia luar (linking social capital) yang kemudian dapat direpresentasikan kedalam konsep co-management pemanfaatan sumberdaya perikanan Selat Madura yang berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Adhuri D.S, Wahyono Ary, Indrawasih Ratna, editor. 2005. Fishing in, Fishing out : Memahami Konflik-Konflik Kenelayanan di Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Timur. Ed ke-1. Jakarta : LIPI Press. Adrianto Luky. 2007. Pengantar Kepada Ko-Manajemen Perikanan [Paper]. Disampaikan pada Pelatihan Fisheries Co-management, Kerjasama Departemen Kelautan dan Perikanan dan FAO. 16-23 April 2007. Anonim. 2001. Studi Kajian Upaya Menangani Konflik Nelayan di Selat Madura [Laporan Akhir]. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Timur Bekerjasama dengan Universitas Brawijaya Malang. Malang: Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya. _______. 2002a. Konflik Nelayan Akibat Kurangnya Sosialisasi Hukum Perikanan. http://www.kompas.com/kompascetak/0206/10/jatim/ konf46.htm. [10 Juni 2002]. _______. 2002b. Lamongan, Gresik, dan Madura Rawan Konflik Nelayan. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0208/10/jatim/lamo42.htm. [10 Agustus 2002]. _______ . 2004. Bedah Konflik Nelayan Desa Batah Barat Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan Provinsi Jawa Timur (tidak dipublikasikan). _______ . 2005a. Undang-Undang Perikanan 2004 : Undang-Undang RI No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Jakarta : Sinar Grafika. _______ . 2005b. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No. 4 Tahun 2005 Tentang Usaha Perikanan dan Usaha Kelautan. Pemerintah Provinsi Jawa Timur. _______ . 2006. KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Bandung : Citra Umbara. _______ . 2006. Konflik Nelayan Hambat Investasi. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0602/15/eknomi/2439627.htm. [15 Februari 2006]. [Bappeda] Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Bangkalan. 2005. Profil Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan Tahun 2005. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Bangkalan dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Trunojoyo. Bangkalan.
138
_______ . 2006. Laporan Rancangan Rencana Tata Ruang Kawasan Pesisir Selatan Kabupaten Bangkalan Tahun 2006-2016. Pemerintah Daerah Kabupaten Bangkalan, Provinsi Jawa Timur. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangkalan. 2002. Bangkalan dalam Angka Tahun 2002. Bangkalan. _______ . Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangkalan. 2003. Bangkalan dalam Angka Tahun 2003. Bangkalan. Charles A.T. 2001. Fishery Conflict and the Co-management Approach. Di dalam: Tony J. Pitcher, editor. Sustainable Fishery Systems. Canada: University of British Columbia. hlm. 250-276. [Diskanla] Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bangkalan. 2006. Inventarisasi Potensi dan Informasi Data Perikanan Tahun 2005. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bangkalan, Provinsi Jawa Timur. Fisher S, D. I. Abdi, J. Ludin, R. Smith, S. Williams. 2000. Mengelola Konflik : Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak. Kartikasari, S. N, M. D. Lapilatu, R. Maharani dan D. N. Rini [Penterjemah]. Jakarta : The British Council. Hartono T. T, Nasution Zahri. 2004. Profil Sosial Budaya Masyarakat Nelayan Perairan Laut di Indonesia. Penelitian Perikanan Indonesia Edisi Sosial Ekonomi 10(7):47-54. Kartono, Kartini. 1996. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Cet. 7. Ed. 3. Jakarta. Mandar Maju. Kusnadi. 2000. Nelayan Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Humaniora Utama Press. Bandung. _______ . 2001a. Konflik Sosial Nelayan. Kemiskinan dan Perebutan Sumberdaya Perikanan. Yogyakarta : LkiS. _______ . 2001b. Islah Nelayan Kraton dan Kwanyar. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0109/19/jatim/isla36.htm. [19 September 2001]. _______ . 2004. Polemik Kemiskinan Nelayan. Bantul : Pondok Edukasi-Pokja Pembaharuan.
139
Kusumastanto, Solihin. 2004. Aspek Hukum dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut di Era Desentralisasi [Makalah]. Disampaikan pada Seminar Nasional “Implementasi Pengendalian Kerusakan Lingkungan Pesisir dan Laut dari Undang-undang Perikanan dalam Proyeksi Pembangunan Pesisir dan Laut ke Depan” diselenggarakan oleh Himasper FPIK-Universitas Brawijaya. 16 September 2004. Maskanah Siti, Fuad Faisal. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumber Daya Hutan. Bogor : Pustaka LATIN. Mitchell Bruce, B. Setiawan, Dwita H. Rahmi. 2000. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Modung. 1998. Peta Rupa Bumi Digital Indonesia. Bogor : Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal). Lembar 1608-442. Muhammad Sahri. 2007. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Selat Madura untuk Menunjang Keberlanjutan Usaha Perikanan Tangkap [Paper]. Disampaikan pada Evaluasi Management Plan dan Action Plan Perikanan Selat Madura. DKP Propinsi Jawa Timur. 14 Nopember 2007. Mulyana D. 2001. Metode Penelitian Kualitatif : Paradigma Ilmu Baru Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung : Remaja Rosdakarya. Pickering Peg. 2001. How To Manage Conflict. Jakarta : Erlangga. Purwaka T. H. 2005. Tinjauan dan Analisis Peraturan Perundang-undangan Perikanan Tangkap. Di dalam : Patlis, M. Jason, Purwaka T. H, Wiyana. A, Perdanahurdja. G.H, editor. Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia. Jakarta : Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Departemen Kelautan dan Perikanan , Departemen Hukum dan HAM bekerjasama dengan Coastal Resources Management Project (Mitra Pesisir). [PUSLITKAN] Pusat Penelitian Perikanan. 2005. Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Selat Madura. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur. Rudianto. 2004. Analisis Konflik Pemanfaatan Lahan Wilayah Pesisir (Studi Kasus Pantai Utara Jakarta) [ Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Saad Sudirman. 2003. Politik Hukum dan Kelembagaan Indonesia. Jakarta : Lembaga Sentra Pemberdayaan Masyarakat. Salim A. 2000. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (dari Dezin Guba dan Penerapannya). Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya. 244 hal.
140
Satria A. 2001. Dinamika Modernisasi Perikanan, Formasi Sosial dan Mobilitas Nelayan. Bandung : HUP. _______. 2002a. Menuju Desentralisasi Pengelolaan Kelautan. Jakarta. Pustaka Cidesindo. 210 hal. _______. 2002b. Acuan Singkat Menuju Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta. Pustaka Cidesindo. 96 hal. _______ . 2003. Konflik Nelayan Pasca Otonomi Daerah. Kagoshima, in press. _______ . 2006. Konflik Nelayan dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. [Paper]. Disampaikan pada Forum Koordinasi Pengelolaan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan, DKP, Manado, 7-9 Desember 2006. Sitorus MT Felix. 1998. Penelitian Kualitatif Suatu Perkenalan. Bogor : DOKIS. Shaliza F. 2004. Dinamika Konflik Antar Komunitas dan Transformasi Modal Sosial. Studi Kasus Konflik antara Komunitas Nelayan Parit III dan Melati di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. [Tesis] (tidak dipublikasikan). Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Soekanto Soerjono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Cetakan ke 33 Tahun 2002. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Solihin A, Karim M, Suhana, Nugroho T. 2005. Strategi Pembangunan Kelautan dan Perikanan Indonesia (Bunga Rampai). Bandung : Humaniora. Sumintarsih. et. al. 2005. Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Nelayan Madura. Yogyakarta : Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta. Sunarto Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi (Edisi Revisi). Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Suryabrata S. 1983. Metodologi Penelitian. Cetakan Ke 16 Tahun 2004. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Suseno Dwi. P. 2005. Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan di Kawasan Muara Angke, Kelurahan Pluit, Jakarta Utara [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Wahyono Ary et al. 2000. Hak Ulayat Laut di Kawasan Timur Indonesia. Yogyakarta : Media Pressindo. Wiyono E.S. 2005. Ghost Fishing. http://www.beritaiptek-com/zberitaberitaiptek-2005-10-06-ghost-fishing.shtml.
Lampiran 1. Peta Propinsi Jawa Timur
1120 300 BT
1120 BT
1130 BT
1130 300 BT
1140 BT
1140 300 BT
70LS
70300L S Keterangan : : Wilayah Konflik
80LS
Lampiran 2. Peta Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Selat Madura, Propinsi Jawa Timur
Lampiran 3. Peta Wilayah Pesisir Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan, Propinsi Jawa Timur
Keterangan :
: Daerah Penelitian
: Batas Wilayah Penangkapan Nelayan Batah, Kwanyar (territorial Boundary)
145
Lampiran 4. Surat Pernyataan Damai antara Nelayan Desa Batah Barat Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dengan Nelayan Desa Noreh Kecamatan Sreseh, Kabupaten Sampang.
146
Lanjutan Lampiran 4.
147
Lampiran 5. Surat Pernyataan Damai antara Nelayan Desa Kelurahan Lumpur Kecamatan Gresik Kabupaten Gresik dengan Nelayan Batah Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan.
148
Lampiran 6. Surat Pernyataan Damai antara Nelayan Kecamatan Lekok Kabupaten Pasuruan dengan Nelayan Desa Batah Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan.
149
Lampiran 7. Surat Kelanjutan Damai antara Nelayan Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan dengan Nelayan Batah Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan.
150
Lampiran 8. Islah/Rekonsiliasi antara Nelayan-nelayan Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dengan Nelayan-nelayan Kabupaten Pasuruan.
151
Lanjutan Lampiran 8.
152
Lanjutan Lampiran 8.
153
Lampiran 9. Surat Pembebasan Tersangka Konflik pada Kasus Konflik antara Nelayan Desa Tambak Oso Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo dengan Nelayan Batah Barat Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan.
154
Lampiran 10. Keputusan Dirjen Perikanan No. 340/ DJ. 10106/ 1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Surat Keputusan Mentan No. 503/ Kpts/ Um/ 7/ 1980 tentang Jaring Trawl
DEPARTEMEN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN Jl. Harsono RM No. 3 Rangunan Pasar Minggu Tromol Pos No : 1794/JKS JAKARTA – 12550
Telp Telex FAC
: 7804116-119 : 66138 dijadikan ia : 7803196
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERIKANAN Nomor : Ik.340/ DJ.10106/ 97 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN SURAT KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 503/ Kpts/ Um/ 7/ 1980 DIREKTUR JENDERAL PERIKANAN Menimbang
:
a. b.
c.
bahwa dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 503/Kpts/Um/7/1980 telah ditetapkan menjadi pengertian tentang Jaring Trawl. bahwa dengan perkembangan teknologi di kalangan Nelayan Usaha Skala Kecil mengakibatkan adanya modifikasi Alat Penangkap Ikan berbentuk katong yang sebelumnya tidak termasuk klasifikasi jaring Trawl. bahwa untuk dapat membedakan Alat Penangkap Ikan berbetuk kantong yang termasuk klasifikasi jaring trawl dan klasifikasi bukan jaring trawl, dan sekaligus memberikan pedoman yang jelas bagi aparat penegak hukum di lapangan, serta menyesuaikan dengan perkembangan teknologi Nelayan usaha Skala Kecil yang menggunakan Alat Penangkap Ikan berbentuk kantong, perlu ditetapkan petunjuk pelaksanaan Keputusan Menteri pertanian tersebut.
Mengingat
: 1. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1974. 2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1984 jo Nomor 83 Tahun 1993. 3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1980. 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 298/M Tahun 1995. 5. Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1982. 6. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 503/Kpts/Um/7/1980. 7. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 769/Kpts/Hk. 210/10/1988. 8. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 96/Kpts/OT.210/2/1994.
Menetapkan
:
Pertama
: Jaring Trawl merupakan jenis-jenis jaring berbentuk kantong yang ditarik oleh sebuah kapal bermotor dan menggunakan alat pembuka mulut jaring yang disebut gawang (beam) atau sepasang alat pembuka (otter board) dan jaring yang ditarik oleh dua buah kapal bermotor, sebagaimana tercantum dalam Gambar 1 Keputusan ini.
Kedua
: Spesifikasi teknis dan cara pengoperasian Jaring Trawl sebagaimana dimaksud dalam Amar Pertama, sebagaimana tercantum dalam Gambar 2 Keputusan ini.
Ketiga
: Jaring Trawl sebagaimana dimaksud dalam Amar Pertama dilarang penggunaannya, karena sudah dihapuskan.
MEMUTUSKAN
155
Keempat
: Alat Penangkap Ikan berbentuk kantong yang telah dirubah/ dimodifikasi sehingga bentuk, komponen serta ukuran Alat Penangkap Ikan berbentuk kantong tersebut menyerupai Jaring Trawl tetapi tidak termasuk klasifikasi Jaring Trawl antara lain Cantrang, Arad, Otok, Garuk Kerang dan sejenisnya sebagaimana tercantum dalam Gambar 3 Keputusan ini.
Kelima
: Spesifikasi teknis dan cara pengoperasian Alat Penangkap Ikan berbentuk kantong yang telah dirubah/dimodifikasi sebagaimana dimaksud dalam Amar Keempat, sebagaimana tercantum dalam Gambar 4 Keputusan ini.
Keenam
: Alat Penangkap Ikan berbentuk kantong yang telah dirubah/ dimodifikasi sebagaimana yang dimaksud dalam Amar Keempat, hanya boleh digunakan oleh Nelayan Usaha Skala Kecil yaitu Nelayan yang memiliki sebuah akapal tidak bermotor atau bermotor luar atau bermotor dalam berukuran tidak lebih dari 5 (lima) Gross Ton (GT) dan atau mesinnya berkekuatan tidak lebih dari 15 (lima belas) Daya Kuda (DK), kecuali Lampara Dasar dapat menggunakan kapal berukuran panjang tidak lebih dari 12 meter dan atau mesin berkekuatan tidak lebih dari 36 Daya Kuda (DK) dan ukuran bentangan sayap tidak kurang dari 60 meter sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 769/Kpts/HK.210/10/1988.
Ketujuh
: Tabel beberapa komponen yang membedakan Jaring Trawl yang dilarang, dengan Alat Penangkap Ikan berbentuk kantong yang telah dirubah/dimodifikasi yang boleh digunakan oleh Nelayan Usaha Skala Kecil, sebagaimana tercantum dalam Gambar 5 Keputusan ini.
Kedelapan
: Keputusan ini berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 23 Oktober 1997 DIREKTUR JENDERAL PERIKANAN
Salinan Keputusan ini disampaikan Kepada Yth : Sdr. ASOPS KASAL Sdr. Kepala Kantor Wilayah Departemen Pertanian seluruh Indonesia; Sdr. Kepala Dinas Perikanan Propinsi Dati I seluruh Indonesia;
---------------------------------------------------------------------------------------------
156
157
158
159
160
161
162
163
164
165
166
167
Lampiran 11. Keputusan Mentan No. 392/ Kpts/ IK.120/ 4/ 1999 tentang Jalur-jalur Penangkapan Ikan MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 392/Kpts/IK.120/4/99 TENTANG JALUR-JALUR PENANGKAPAN IKAN MENTERI PERTANIAN Menimbang
: a. bahwa dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 607/Kpts/Um/9/1976 jo Nomor 608/Kpts/Um/9/1976 dan Nomor 300/Kpts/Um/5/1978, telah diatur mengenai Jalur-jalur Penangkapan Ikan ; b. bahwa dengan adanya perkembangan teknologi penangkapan ikan, Surat Keputusan Menteri Pertanian tersebut diatas perlu diadakan perubahan, dan sekaligus melaksanakan pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985, perlu diatur kembali mengenai Jalur-jalur Penangkapan Ikan dalam Keputusan Menteri Pertanian.
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 ; 2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 ; 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 ; 4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 ; 5. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1984 ; 6. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1990 jo Nomor 46 Tahun 1993 ; 7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1974 ; 8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1998 ; 9. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 122/M/Tahun 1998 ; 10. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 957/Kpts/IK.120/12/96 ; 11. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1016/Kpts/OT.210/12/98. MEMUTUSKAN :
Menetapkan
: KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN TENTANG JALUR-JALUR PENANGKAPAN IKAN
Pasal 1 Dengan tidak mengurangi ketentuan mengenai alur-alur pelayaran yang ditetapkan Pemerintah, menetapkan Jalur-jalur Penangkapan Ikan di Wilayah Perikanan Republik Indonesia.
a. b. c.
1. 2.
3.
Pasal 2 Wilayah Perikanan Republik Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga) Jalur Penangkapan Ikan yaitu : Jalur Penangkapan Ikan I ; Jalur Penangkapan Ikan II ; dan Jalur Penangkapan Ikan III . Pasal 3 Jalur Penangkapan Ikan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, meliputi perairan pantai diukur dari permukaan air laut pada surut yang terendah pada setiap pulau sampai dengan 6 (enam) mil laut ke arah laut. Jalur Penangkapan Ikan I sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibagi menjadi sebagai berikut : a. Perairan pantai yang diukur dari permukaan air laut pada pasang surut terendah sampai dengan 3 (tiga) mil laut ; b. Perairan pantai di luar 3 (tiga) mil laut sampai 6 (enam) mil laut. Perairan pantai yang diukur dari permukaan air laut pada surut yang terendah sampai dengan 3 (tiga) mil laut sebagaimana dimaksud dlam ayat (2) huruf a, hanya dibolehkan bagi : a. Alat Penangkap Ikan yang menetap ; b. Alat Penangkap Ikan tidak menetap yang tidak dimodifikasi; dan/atau c. Kapal Perikanan tanpa motor dengan ukuran panjang keseluruhan tidak lebih dari 10 m.
168
4.
5.
1. 2.
3.
1. 2. 3. 4.
1. 2.
Perairan pantai di luar 3 (tiga) mil laut sampai dengan 6 (enam) mil laut, sebaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b, hanya boleh digunakan bagi : a. Alat Penangkap Ikan tidak menetap yang dimodifikasi ; b. Kapal Perikanan ; 1. tanpa motor dan atau bermotor tempel dengan ukuran panjang keseluruhan tidak lebih dari 10 m. 2. bermotor tempel dan bermotor dalam dengan ukuran panjang keseluruhan maksimal 12 m atau berukuran maksimal 5 GT dan atau ; 3. pukat cincin (purse seine) berukuran panjang maksimal 150 m; 4. jaring insang hanyut (drift gill net) ukuran panjang maksimal 1000 m. Setiap Kapal Perikanan yang beroperasi di luar Jalur Penangkapan Ikan I wajib diberi tanda pengenal Jalur dengan mengecat minimal ¼ (seperempat) lambung kiri dan kanan : a. Dengan warna putih bagi Kapal Perikanan yang beoperasi di perairan sampai dengan 3 (tiga) mil laut diukur dari permukaan air laut pada surut yang terendah ; b. Dengan warna merah bagi Kapal Perikanan yang beroperasi di perairan pantai di luar 3 (tiga) mil laut sampai dengan 6 (enam) mil. Pasal 4 Jalur Penangkapan Ikan II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b meliputi perairan perairan di luar Jalur Penangkapan Ikan I sampai dengan 12 (dua belas) mil laut ke arah laut. Pada Jalur Penangkapan Ikan II sebagaimana dimaksud (1), dibolehkan bagi : a. Kapal Perikanan bermotor dalam berukuran maksimal 60 GT ; b. Kapal Perikanan dengan menggunakan Alat Penangkapa Ikan : 1. pukat cincin (purse seine) berukuran panjang maksimal 600 m dengan cara pengoperasian menggunakan 1 (satu) kapal (tunggal) yang bukan grup atau maksimal 1000 m dengan cara pengoperasian menggunakan 2 (dua) kapal (ganda) yang bukan grup; 2. tuna long line (pancing tuna) maksimal 1200 buah mata pancing ; 3. jaring insang hanyut (drift gill net) berukuran panjang maksimal 2500 m. Setiap Kapal Perikanan yang beroperasi di Jalur Penangkapan Ikan II, wajib diberi tanda pengenal jalur dengan mengecat minimal ¼ (seperempat) lambung kiri dan kanan dengan warna oranye. Pasal 5 Jalur Penangkapan Ikan III, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c meliputi perairan di luar Jalur Penangkapan Ikan II sampai dengan batas terluar Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE). Pada Jalur Penangkapan Ikan III sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur sebagai berikut : Kapal Perikanan berbendera asing boleh dioperasikan pada Jalur Penangkapan Ikan III sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c sepanjang dimungkinkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setiap kapal perikanan yang beroperasi di Jalur Penangkapan Ikan III, wajib diberi tanda pengenal jalur dengan mengecat minimal ¼ (seperempat) lambung kiri dan kanan dengn warna kuning. Pasal 6 Semua Alat Penangkap Ikan yang dipergunakan pada setiap Jalur Penangkapan Ikan wajib diberi tanda pengenal alat penangkap ikan Ketentuan mengenai penggunaan tanda pengenal alat penangkap ikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Perikanan
Pasal 7 Kapal Perikanan yang menggunakan jaring dengan ukuran mata jaring kurang dari 25 mm (1 inch) dan purse seine cakalang (Tuna) dengan ukuran mata jaring kurang dari 75 mm (3 inch) dilarang untuk dioperasikan di semua Jalur Penangkapan Ikan, kecuali pukat teri dan jaring angkat (lift net). Pasal 8 Dikecualikan dari ketentuan Jalur-jalur Penangkapan Ikan sebagaimana diatur dalam Keputusan ini yaitu Kapal Perikanan Bermotor yang melakukan kegiatan penelitian, survey, eksplorasi dan latihan penangkapan ikan harus memperoleh persetujuan Direktur Jenderal Perikanan.
1.
Pasal 9 Semua Kapal Perikanan dan Alat Penangkap Ikan yang diperbolehkan di Jalur Penangkapan Ikan I sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (2) huruf a, boleh dioperasikan pada Jalur Penangkapan Ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b, Jalur Penangkapan II dan III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dan c
169
2.
3.
4.
1. 2.
Semua Kapal Perikanan dan Alat Penangkap Ikan yang diperbolehkan beroperasi pada Jalur Penangkapan Ikan I sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (2) huruf b, boleh dioperasikan pada Jalur Penangkapan Ikan II dan III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dan c. Semua Kapal Perikanan dan Alat Penangkap Ikan yang diperbolehkan beroperasi pada Jalur Penangkapan Ikan II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, diperbolehkan beroperasi pada Jalur Penangkapan Ikan III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c dan dilarang beroperasi pada Jalur Penangkapan Ikan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2). Semua Kapal Perikanan dan Alat Penangkap Ikan yang diperbolehkan beroperasi pada Jalur Penangkapan Ikan III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, dilarang beroperasi pada Jalur Penangkapan Ikan I dan II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan b. Pasal 10 Direktur Jenderal Perikanan mencantumkan Jalur-jalur Penangkapan, ikan yang dilarang dalam SPI dan SIPI bagi setiap kapal. Kepala Dinas Perikanan Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II mencantumkan Jalur-jalur Penangkapan Ikan yang dilarang dalam Surat Izin Kapal Ikan (SIKPI) bagi setiap kapal perikanan.
Pasal 11 Setiap Kapal Perikanan yang melakukan pelanggaran terhadap Ketentuan Jalur Penangkapan Ikan, Ketentuan Kapal Perikanan, Ketentuan Alat Penangkap Ikan serta Ketentuan Tanda Pengenal Alat Penangkap Ikan dapat dikenakan pencabutan SPI atau SIPI atau IUP dan atau pidana denda sebanyak-banyaknya Rp. 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah) sesuai dengan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan. Pasal 12 Pemberian Tanda Pengenal Jalur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5), Pasal 4 ayat (3), dan Pasal 5 ayat (4) harus telah dilaksanakan paling lambat 1 tahun setelah berlakunya Keputusan ini. Pasal 13 Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 607/Kpts/Um/9/1976 tentang Jalur-jalur Penangkapan Ikan, Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 608/Kpts/Um/9/1976 tentang Penetapan Jalur Penangkapan Bagi Kapal-kapal Milik Perusahaan-Perusahaan Perikanan Negara dan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 300/Kpts/Um/5/1978 tentang Pemasangan Tanda Pengenal Jalur Penangkapan Ikan pada Kapal-Kapal Ikan, dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 14 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 5 April 1999 MENTERI PERTANIAN
Keputusan ini disampaikan kepada Yth : ----------------------------------------------1. Menteri Negara Sekretaris Negara; 2. Menteri Dalam Negeri ; 3. Menteri Pertahanan dan Keamanan ; 4. Menteri Perhubungan ; 5. Menteri Negara Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan ; 6. Menteri Kehakiman ; 7. Menteri Keuangan ; 8. Jaksa Agung ; 9. Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ; 10. Kepala Staf TNI-AL ; 11. Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan ; 12. Para Pimpinan Unit kerja Eselon I lingkup Departemen Pertanian ; 13. Direktur Jenderal Perhubungan Laut ; 14. Para Gubernur Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia ; 15. Para Kepala Kantor Wilayah Departemen Pertanian seluruh Indonesia ; 16. Para Kepala Dinas Perikanan Propinsi Dati I dan Dati II seluruh Indonesia. --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
170
Lampiran 12. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur No. 9 tahun 1983 tentang Pengaturan Nelayan Andon di Jawa Timur
GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR NOMOR : 9 TAHUN 1983 TENTANG PENGATURAN KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR Menimbang
: Bahan untuk menjamin kelestarian sumber hayati serta dalam rangka mengatur kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan yang berpindah-pindah tempat (Nelayan Andon) pada musim ikan di wilayah tertentu di perairan Jawa Timur, termasuk pemasaran hasil tangkapannya, dipandang perlu untuk mengadakan pengaturan bagi nelayan Andon tersebut baik menyangkut wilayah operasi, tempat pemasaran maupun perlunasan kredit.
Mengingat
: 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 1957; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1960; 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1980; 5. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1978; 6. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1981; 7. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur Nomor 5 tahun 1975; 8. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur tanggal 9 Mei 1977 Nomor : HK. 1/37/77; 9. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur tanggal 6 April 1982 Nomor 60 Tahun 1982. MEMUTUSKAN
Menetapkan
1. 2. 3. 4. 5.
: KEPUTUSAN GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR TENTANG PENGATURAN NELAYAN ANDON DI JAWA TIMUR
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan : Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, ialah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur; Kepala Dinas Perikanan Daerah Tingkat I Jawa Timur, ialah Kepala Dinas Perikanan Daerah Propinsi Tingkat I Jawa Timur; Cabang Dinas Perikanan Daerah, ialah Cabang Dinas Perikanan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur; TPI, ialah Tempat Pelelangan Ikan setempat; Nelayan Andon, ialah Nelayan yang berpindah-pindah tempat baik dalam kegiatan operasi penangkapan maupun pemasaran hasil tangkapan pada wilayah dan waktu-waktu tertentu. BAB II PENGATUR NELAYAN ANDON Pasal 2
1.
2.
Semua Nelayan wajib untuk : a. Mengatur kegiatan penangkapan ikan pada musim dan waktu-waktu tertentu dengan menjaga kelestarian sumber Perikanan serta mengutamakan usaha penangkapan ikan pada daerah dan waktu yang ditentukan; b. Mengatur pelaksanaan/ pengambilan kredit Bimas Perikanan yang diperolehnya; Semua Nelayan berhak untuk memperoleh jaminan pemasaran hasil usahanya.
171
1.
2.
1.
2.
1.
2.
1.
2. 3.
1.
2.
Pasal 3 Nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan diluar tempat dan waktu yang telah ditentukan harus melengkapi diri dan dapat menunjukkan : a. Surat Keterangan dari Kepala Desa dan Kepala Cabang Dinas Perikanan Daerah tempat asal nelayan yang bersangkutan; b. Memiliki Surat Ijin Usaha Perikanan dan Surat Ijin Kapal Perikanan; c. Surat-surat kapal yang sesuai dengan peraturan kesyahbandaran; d. Surat Keanggotaan Koperasi Unit Desa (Mina); e. Syarat Keterangan Mutasi Kredit; f. Surat Pernyataan kesanggupan/ ketaatan terhadap ketentuan yang berlaku ditempat nelayan melakukan kegiatan operasi. Kepala Dinas Perikanan Daerah Tingkat I Jawa Timur menetapkan dan memberikan tanda-tanda tertentu kepada kapal nelayan sesuai dengan daerah dan waktu penangkapan ikan yang telah ditentukan. Pasal 4 Nelayan dapat melakukan kegiatan penangkapan ikan diluar tempat yang telah ditentukan sebagai nelayan andon, setelah mendapat ijin tertulis dari Kepala Desa dan Kepala Cabang Dinas Perikanan Daerah Tingkat I ditempat asal nelayan yang bersangkutan; Dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan diluar tempat yang telah ditetapkan, nelayan tersebut pada ayat (1) pasal ini harus segera melaporkan diri kepada Kepala Desa dan Kepala Cabang Dinas Perikanan Daerah Tingkat I melalui Kepala TPI setempat mengenai kegiatan penangkapan ikan tersebut. Pasal 5 Nelayan Andon, dilarang : a. Menggunakan alat tangkap yang karena sifatnya dapat mengganggu/ merusak kelestarian sumber perairan, serta melakukan tindakan-tindakan yang dapat merugikan setempat; b. Menjual hasil tangkapan ikan ditengah laut; c. Menggunakan alat tangkap purse seine untuk mengadakan penangkapan ikan di perairan Selat Bali; Pelanggran terhadap ketentuan pada ayat (1) pasal ini, dapat dikenakan sanksi berupa pencabutan ijin usaha perikanannya. Pasal 6 Nelayan Andon yang mendapat fasilitas kredit dari Pemerintah wajib membuat pernyataan kepada Koperasi Unit Desa (KUD) tempat asal nelayan yang bersangkutan mengenai kesediaan untuk menyerahkan angsuran pengambilan kredit, biaya lelalng dan tabungan nelayan dengan pemotongan dari hasil tangkapannya. Pelaksanaan pemotongan angsuran pengambilan kredit dimaksud pada ayat (1) pada pasal ini dilakukan di TPI yang didatangi nelayan andon yang bersangkutan; Pimpinan TPI selanjutnya menyetor hasil pengembalian kredit dimaksud pada ayat (2) pada pasal ini kepada Koperasi Unit Desa (KUD) Mina tempat asal Nelayan Andon tersebut. Pasal 7. Ketentuan pemotongan angsuran kredit dimaksud dalam pasal 6 Keputusan ini disamping kewajiban pembayaran retribusi sebesar 5 % (lima persen) untuk biaya pelelangan sebagaiman dimaksud dalam Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur Nomor 5 Tahun 1975, juga diwajibkan mengembalikan angsuran dengan ketentuan : a. Bagi Nelayan bukan peserta Bimas paling sedikit sebesar 10 % (sepuluh persen) dari hasil bersih; b. Bagi Nelayan penerima paket partial peserta Bimas paling sedikit sebesar 15 % (lima belas persen) dari hasil bersih; c. Bagi Nelayan penerima paket kredit lengkap paling sedikit sebesar 20 % (duapuluh persen) dari hasil bersih. Pemotongan dimaksud pada ayat (1) pada pasal ini dihitung dari hasil kotor penjualan ikan di TPI.
Pasal 8 Kepala Dinas Perikanan Daerah Tingkat I mengatur lebih lanjut mengenai pelaksanaan koordinasi antara Cabang Dinas Perikanan Daerah dengan Koperasi Unit Desa (KUD) Mina tempat asal/ tujuan nelayan andon.
172
Pasal 9 Kepala Dinas Perikanan Daerah Tingkat I bersama-sama Kepala Kantor Daerah Bank Rakyat Indonesia Jawa Timur serta Kepala Kantor Wilayah Koperasi Propinsi Jawa Timur wajib memberikan bimbingan, pembinaan dan pengawasan langsung terhadap kelancaran administrasi angsuran kredit serta kelangsungan komunikasi antar Koperasi Unit Desa Mina bagi Nelayan Andon. BAB III KETENTUAN LAIN-LAIN DAN PENUTUP Pasal 10 Kepala Dinas Perikanan Daerah Tingkat I Jawa Timur menetapkan petunjuk-petunjuk sepanjang mengenai pelaksanaan Keputusan ini. 1. 2.
Pasal 11 Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan; Keputusan ini diumumkan dalam Lembaran Daerah Propinsi Darah Tingkat I Jawa Timur.
Ditetapkan : Surabaya Tanggal : 13 Januari 1983 A.N. GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR Wakil Gubernur Kepala Daerah Cap. Ttd. Drs. SOEPARMANTO NIP.010019859 SALINAN Keputusan ini disampaikan kepada : Yth. 1. Sdr. Menteri Dalam Negeri di Jakarta. 2. Sdr. Menteri Pertanian di Jakarta. 3. Sdr. Direktur Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian di Jakarta. 4. Sdr. Ketua DPRD Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur di Surabaya. 5. Sdr. Pembantu Gubernur di Jawa Timur. 6. Sdr. Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur. 7. Sdr. Kepala Kantor Wilayah Departemen Pertanian Propinsi Jawa Timur di Surabaya. 8. Sdr. Kepala Kantor Wilayah Koperasi Propinsi Jawa Timur di Surabaya. 9. Sdr. Kepala Kantor Daerah Bank Rakyat Indonesia Jawa Timur di Surabaya. 10. Sdr. Kepala Inspektorat Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur di Surabaya. 11. Sdr. Kepala Dinas Perikanan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur di Surabaya. 12. Sdr. Kepala Biro Bina Pengembangan Sarana Perekonomian Daerah, Kantor Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur di Surabaya. 13. Sdr. Ketua PUSKUD Mina Tingkat I Jawa Timur di Surabaya.
173
Lampiran 13. Karakteristik Perikanan di Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan, Propinsi Jawa Timur
Kondisi Pesisir Kecamatan Kwanyar
Perahu Cocco’
Kondisi Mangrove di Pesisir Kecamatan Kwanyar
Perahu Ales-Ales atau Ijo-ijo
Alat Tangkap Gill net (Jaring Udang/Rajungan)
174
Lampiran 14. Unit Pengawasan dan Keamanan Laut di Desa Batah Barat Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan, Propinsi Jawa Timur
Kapal Motor (speed boat) untuk Operasi Pengamanan Laut
Kapal Nelayan Luar Diamankan (Konflik Bulan Agustus 2006)
Jaring Minitrawl Nelayan Luar
Hasil Tangkapan Nelayan Luar yang Disita (Konflik Bulan Agustus 2006)
Pos Keamanan Laut (Pol-Airud dan TNI-AL) Batah Kecamatan Kwanyar
175
Lampiran 15. Dokumentasi Konflik Tahun 1995
176
Lanjutan Lampiran 15.
