ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS
SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini, saya menyatakan bahwa tesis ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA
PERIKANAN
DENGAN
PEMBERDAYAAN
EKONOMI
MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir tesis ini Bogor, Mei 2008
Syarif Iwan Taruna Alkadrie C225010341
ABSTRAK SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE. Analisis Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Pesisir Kecamatan Pemangkat Kabupaten Sambas. Dibimbing oleh ACHMAD FAHRUDIN dan FREDIAN TONNY. Sumberdaya Perikanan Laut Cina Selatan yang merupakan Fishing Ground nelayan Kabupaten Sambas masih sangat besar. Namun pemanfaatan Sumberdaya Perikanan ini harus memperhatikan dan mempertimbangkan tingkat upaya penangkapan ikan yang ada sekarang. Sumberdaya ikan yang didaratkan di PPN Pemangkat menunjukkan kondisi telah terjadi over fishing terhadap sumberdaya Pelagis Kecil, Udang dan Molusca. Alokasi optimum untuk sumberdaya ikan Demersal dan Pelagis Besar masih mampu memberikan manfaat yang lebih besar daripada kondisi aktual yang terjadi Program PEMP yang dilaksanakan di Kabupaten Sambas pada Tahun 2001 – 2006 diharapkan telah menunjukkan hasil yang positif sesuai dengan tujuannya. Adapun indikasi keberhasilan Program PEMP ini akan terlihat dari meningkatnya kesejahteraan masyarakat Pesisir, berfungsinya kelembagaan PEMP yang dibentuk, dan bergulirnya Dana Ekonomi Produktif (DEP), hal ini dibuktikan Sub sektor perikanan memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap PDRB Kabupaten Sambas dan menduduki urutan ketiga dari lima sektor pertanian. Untuk itu, perlu dilakukan evaluasi dan kajian terhadap kinerja program PEMP selama 4 tahun di Kabupaten Sambas. Tujuan penelitian ini adalah merumuskan altenatif kebijakan pembangunan untuk pengembangan Program PEMP di Kabupaten Sambas.Tujuan Spesifik dari penelitian ini adalah untuk Mengkaji kondisi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia pesisir dan laut Kabupaten Sambas, Mengevaluasi kinerja pelaksanaan Program PEMP di Kabupaten Sambas dan Menelaah faktor-faktor yang mempengaruhi (mendukung dan menghambat) status kinerja Program PEMP Kabupaten Sambas. Pengumpulan data dengan metode Primer dan sekunder, sedangkan sedangkan teknik pengumpulannya dengan kuisioner, wawancara terarah dan observasi. Menganalisis data dengan RAPFISH yang kemudian dilanjutkan dengan Multi-dimensional Scalling (MDS). Sumberdaya Perikanan Laut Cina Selatan yang merupakan Fishing Ground nelayan Kabupaten Sambas masih sangat besar. Namun pemanfaatan Sumberdaya Perikanan ini harus memperhatikan dan mempertimbangkan tingkat upaya penangkapan ikan yang ada sekarang. Berdasarkan rata-rata nilai total lima elemen kinerja Program PEMP Kabupaten Sambas, hasil analisis MDS meunjukkan bahwa kinerja program secara menyeluru mencapai 68,27 atau tergolong “baik”, yang berarti kinerja Program PEMP telah berjalan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ditetapkan. Rincian hasil analisis menunjukkan bahwa nilai kinerja untuk elemen kelembagaan program PEMP sebesar 79,85, Pengelolaan Koperasi LEPP-M3 adalah 78,35, Kapasitas Pemanfaat Program 68,32 dan persepsi pemangku kepentingan 65,66 sehingga tergolong”Baik”.
Sedangkan nilai kinerja elemen Kemitraan sebesar 49,16 tergolong “Cukup”. Nilainilai kinerja keempat elemen pertama mencerminkan bahwa berdasarkan input, proses, dan outputnya, program PEMP telah terlaksana cukup baik. Sebaliknya nilai elemen kinerja yang terakhir walaupun digolongkan “cukup” menunjukkan bahwa pada masa mendatang pelaksanaan program PEMP masih harus disempurnakan dan diintensifkan
©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2008 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip Sebagian atau seluruh karya ulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS
SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul Tesis : ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS Nama : Syarif Iwan Taruna Alkadrie NIM : C225010341 Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Lautan
Disetujui : Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Achmad Fahrudin, MS Ketua
Ir. Fredian Tonny, MS Anggota Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Lautan
Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Tanggal Lulus :
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr. Ir.Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 26 Mei 2008
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Sambas dengan luas wilayah 6.395,70 km2 atau 639.570 ha (4,36% dari luas wilayah Propinsi Kalimantan Barat), merupakan wilayah Kabupaten yang terletak pada bagian pantai barat paling utara dari wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Panjang pantai ± 128,5 km. Berbatasan dengan Negara Malaysia sehingga memiliki nilai strategis. Kabupaten Sambas memiliki potensi perikanan yang relatif besar. Daerah ini karena berbatasan langsung dengan Perairan Natuna – Laut Cina Selatan. yang meupakan wilayah pengelolaan perikanan Indonesia yang masih potensial dikembangkan dengan potensi lestari Perairan Natuna – Laut Cina Selatan per tahun 23.250 ton (DKP Kabupaten Sambas 2005). Luas laut pengelolaan sejauh ± 4 mil mencapai 1.467,86 km2 (Lapan 2003). Sementara untuk hutan mangrove, daerah ini memiliki hutan mangrove seluas ± 7.720 km2 (Disbuntan Kabupaten Sambas 2004). Produksi perikanan tangkap sebesar 15.702,72 Ton/tahun dan perikanan budidaya sebesar 718,2 Ton/tahun (DKP Kabupaten Sambas 2005). Potensi Perikanan Laut Cina Selatan yang merupakan Fishing Ground nelayan Sambas sampai saat ini baru dimanfaatkan sebesar 35,94% dari total sumberdaya yang ada. Potensi ikan pelagis besar sejumlah 66.080 ton/tahun hingga saat ini yang dimanfaatkan baru 53,21% yakni sejumlah 35.160 ton/tahun, sedangkan potensi ikan pelagis kecil sejumlah 621.500 ton/tahun baru dimanfaatkan 33,07% yakni sejumlah 205.530 ton/tahun dan potensi ikan demersal 334.800 ton/tahun baru dimanfaatkan 16,34% yakni 54.690 ton/tahun (BRKP-DKP dan P 3O LIPI di acu dalam Dahuri 2003). Nilai ini menunjukkan bahwa peluang pengembangan perikanan di Kabupaten Sambas masih sangat besar. Berdasarkan besarnya potensi Sumberdaya Perikanan presentase pemanfaatannya maka Pemerintah mendorong peningkatan pemanfaatan Sumberdaya Perikanan tersebut sebagai salah satu upaya pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Peningkatan pemanfaatan Sumberdaya Perikanan tersebut salah satunya dengan cara pelaksanaan Program PEMP. Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan
2
kegiatan ekonomi, peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan penguatan kelembagaan sosial ekonomi dengan mendayagunakan sumberdaya perikanan dan kelautan secara optimal dan berkelanjutan (DKP 2003). Kabupaten Sambas menjadi salah satu daerah sasaran PEMP yang dimulai sejak tahun 2001 sampai saat ini. Pada awalnya, program PEMP digagas untuk mengatasi dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) terhadap perekonomian masyarakat pesisir, yang difokuskan pada penguatan modal melalui perguliran (revolving fund) Dana Ekonomi Produktif (DEP). Namun selama 6 tahun pelaksanaan Program PEMP yang diimplementasikan secara nasional telah mengalami beberapa perubahan dan diversifikasi usaha. Pembentukan kelembagaan dan perubahan-perubahan sistem semata-mata dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir secara holistik dan sistematik sesuai dengan pinsip pemberdayaan, helping the poor to help themselves (DKP 2006). Program PEMP yang dilaksanakan di Kabupaten Sambas pada Tahun 2001 – 2006 diharapkan telah menunjukkan hasil yang positif sesuai dengan tujuannya. Adapun indikasi keberhasilan Program PEMP ini akan terlihat dari meningkatnya kesejahteraan masyarakat Pesisir, berfungsinya kelembagaan PEMP yang dibentuk, dan bergulirnya Dana Ekonomi Produktif (DEP), hal ini dibuktikan Sub sektor perikanan memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap PDRB Kabupaten Sambas dan menduduki urutan ketiga dari lima sektor pertanian. Untuk itu, perlu dilakukan evaluasi dan kajian terhadap kinerja program PEMP selama 4 tahun di Kabupaten Sambas. Penerapan Program PEMP di Kabupaten Sambas yang mengacu Program PEMP secara Nasional apakah sudah sesuai dengan kondisi Sumber daya Alam dan kondisi faktual yang ada di lapangan, yang paling penting sebenarnya dalam menjalankan Program PEMP adalah strategi yang tepat yang sesuai dengan kondisi Kabupaten Sambas yang cukup strategis, dimana berbatasan langsung dengan Negara Malaysia dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Maka hal yang paling penting dalam penelitian ini bagaimana alternatif kebijakan pengembangan Program PEMP di Kabupaten Sambas..
3
1.2 Rumusan Masalah Perairan laut Pemangkat memiliki Sumberdaya Perikanan yang baru dimanfaatkan sebesar 35,94% dari total Sumberdaya yang ada, sehingga pengelolaan Sumberdaya Perikanan di arahkan pada peningkatan pemanfaatan Sumberdaya Perikanan tersebut. Salah satu upaya peningkatan pemanfaatan Sumberdaya Perikanan adalah dengan Program PEMP.
Namun pemanfaatan
peluang ini harus memperhatikan dan mempertimbangkan tingkat upaya penangkapan ikan yang ada sekarang, apakah sudah melewati effort optimum atau belum. Program PEMP merupakan program yang dibuat secara nasional yang diimplementasikan di beberapa daerah Indonesia secara serentak. Padahal permasalahan yang dihadapi masyarakat pesisir antara satu wilayah dengan wilayah lain belum tentu sama. Masyarakat pesisir di Kabupaten Sambas memiliki kelebihan, kelemahan, peluang dan ancaman yang berbeda dan tidak bisa disamakan pada daerah-daerah penerima Program PEMP lain, sehingga mengakibatkan tidak optimalnya pencapaian tujuan program PEMP. Untuk itu agar dapat mengelola dan memanfaatkan Sumberdaya perikanan dan kelautan secara optimal, setiap daerah membutuhkan pendekatan program yang berbeda pula. Program PEMP disusun untuk mencapai sejumlah sasaran dan tujuan yang akan dicapai melalui suatu alur proses yang direncanakan dengan input yang diharapkan mampu mendorong pencapaiannya sebagai sebuah perencanaan. Permasalahannya apakah perencanaan yang dibuat sudah sesuai dengan kondisi Sumberdaya manusia dan Sumberdaya Perikanan di Kabupaten Sambas. Program PEMP di Kabupaten Sambas telah berjalan sejak Tahun 2001 kemudian tahun 2003, 2004 dan tahun 2006 kembali mendapatkan Program PEMP dalam bentuk dana bergulir. Dari perjalanan tersebut sudahkah evaluasi dilaksanakan terhadap kemajuan selama Program PEMP berlangsung. Program PEMP di Kabupaten Sambas telah berjalan selama 6 tahun dan dalam kurun waktu tersebut mendapatkan program selama 4 tahun, melihat sudut pandang Program PEMP dari sisi pengambil kebijakan dan stakeholder terkesan tidak dalam satu sudut pandang. Sehingga sering terjadi konflik baik itu antar
4
instansi maupun di antara lembaga PEMP lainnya. Disini persepsi penentu kebijakan (baik kalangan legislatif maupun eksekutif), masyarakat maupun stakholder terkait masih beragam. Dari keragaman sudut pandang tentang Program PEMP ini apakah menjadi faktor pendukung atau penghambat dalam pelaksanaannya. Mempertimbangkan permasalahan diatas, maka perlu juga diketahui bagaimana kinerja Kelembagaan PEMP yang mencakup Dinas Kelautan dan Perikanan, LEPP-M3, Konsultan Manajemen (KM), Tenaga Pendamping Desa (TPD), Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP) dan kemitraan serta persepsi Stakholder. Dimensi atau elemen ini penting dan merupakan hal yang dapat menjawab dinamika bekerjanya aspek-aspek dalam Program PEMP, seperti input, proses dan outputnya.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah merumuskan altenatif kebijakan pembangunan untuk pengembangan Program PEMP di Kecamatan Pemangkat, Kabupaten Sambas. Tujuan Spesifik dari penelitian ini adalah untuk : 1. Mengkaji kondisi sumberdaya Perikanan dan sumberdaya manusia pesisir dan Perairan Kecamatan Pemangkat, Kabupaten Sambas. 2. Mengevaluasi kinerja pelaksanaan Program PEMP di Kecamatan Pemangkat, Kabupaten Sambas. 3. Menelaah
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
(mendukung
dan
menghambat) status kinerja Program PEMP Kecamatan Pemangkat. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi dan masukan terhadap pengembangan program PEMP di Kecamatan Pemangkat yang akan datang. Selain itu juga dapat memberi informasi terhadap masalah yang berkaitan dengan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir untuk pengembangan penelitian selanjutnya.
5
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Perikanan Sumberdaya perikanan bukan satu-satunya manfaat yang dapat diperoleh dari pengelolaan laut nasional. Laut juga memiliki fungsi penyedia produksi dan jasa bagi sektor-sektor transportasi, pertambangan mineral, pariwisata, pertahanan dan keamanan, serta produksi energi. Namun demikian, sebagai sebuah sistem, sumberdaya perikanan dapat dijadikan indikator yang baik bagi pengelolaan laut (Dahuri 2004). Hal ini terkait dengan premise bahwa sumberdaya perikanan merupakan sistem yang kompleks dan dinamik di mana dalam tataran empiris melakukan sharing dengan sumberdaya lain dalam konteks ruang (space) dan karakteristik. Dengan demikian, pengelolaan sumberdaya perikanan secara langsung maupun tidak akan mencakup keterkaitan dengan sumberdaya lain. Persoalan yang muncul dalam pengelolaan sumberdaya perikanan menjadi tanda (signals) bagi kesalahan kebijakan kelautan yang bisa berlaku baik di level lokal, regional maupun nasional. Namun demikian, pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan secara komprehensif tetap diperlukan dalam konteks bahwa seluruh manfaat laut memiliki keterkaitan ke dalam maupun ke luar antar sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Ini berarti pendekatan kebijakan kelautan (marine policy) menjadi salah satu prasyarat di mana, dalam konteks platform ini, sumberdaya perikanan menjadi salah satu indikator utamanya. Sementara
itu,
dalam
hal
struktur
pengelolaan,
Hanna
(1999)
mengindentifikasi bahwa tidak ada bentuk terbaik dari struktur pengelolaan sumberdaya perikanan. Selalu ada kesenjangan (tradeoffs) antara stabilitas dan fleksibilitas, antara otoritas dan keterwakilan, antara sosial dan individu, dan lain sebagainya. Dalam teori kebijakan, fungsi utama dari struktur pengelolaan sumberdaya perikanan adalah adanya stabilitas dan konsistensi dari pengambilan keputusan ketika sistem atau kondisi senatiasa harus adaptif terhadap perubahan (Nohria 1994). Dalam konteks ini maka struktur yang baik bagi pengelolaan sumberdaya perikanan adalah struktur yang stabil dalam konteks representasi,
6
distribusi autoritas pengambilan keputusan dan informasi serta mampu memberikan batas yang jelas antara advisory roles dan decision roles. Seperti yang telah diidentifikasi oleh Charles (2001), paling tidak ada dua makna dalam hal ini, yaitu pertama, bahwa sumberdaya sumberdaya perikanan yang tidak tak terbatas ini diakses oleh hampir kapal yang tidak terbatas (laissezfaire) yang diyakini akan menghasilkan kerusakan sumberdaya dan masalah ekonomi. Makna kedua adalah bahwa tidak ada kontrol terhadap akses kapal namun terdapat pengaturan terhadap hasil tangkapan. Hal ini diyakini menjadi salah satu kontributor dari overkapitalisasi terhadap kapal yang didorong oleh pemahaman rush for the fish; siapa yang kuat dia yang menang. Indonesia,
melalui
penataan
hukum
yang
menyangkut
kegiatan
sumberdaya perikanan maupun pengelolaan laut pada umumnya, memang menyebut adanya pembatasan akses terhadap wilayah penangkapan ikan. Namun demikian, pengaturan ini tidak diikuti dengan pembatasan jumlah kapal sehingga yang terjadi adalah quasi open access atau open access dalam makna kedua menurut Charles (2001) seperti yang telah diuraikan di atas. Selain itu, lemahnya penegakan hukum di laut menjadi kontributor utama dari belum berhasilnya rejim tata kelola (governance) sumberdaya perikanan kita. Dalam konteks ini revitalisasi tata kelola (governance revitalization) menjadi salah satu prasyarat utama sebagai bagian dari sebuah konsepsi negara kelautan terbesar (ocean state) di dunia. Charles (2001) memperingatkan bahwa rejim pengelolaan limited entry tidak dapat digunakan secara sendirian, namun harus dilakukan dalam skema management portofolio dimana melibatkan tool lain seperti quantitative allocation of inputs atau allowable catches yang dipayungi oleh sebuah kerangka peraturan (legal endorsment) yang sesuai. Konsepsi limited entry ini akan semakin bermanfaat dalam konteks sumberdaya perikanan budidaya. Tidak jarang kegiatan budidaya yang sudah established harus kolaps karena tidak adanya kepastian hukum, ekonomi dan politik terhadap unsur spasialnya. Konsepsi limited entry ini dapat pula menjadi titik awal bagi pemberian hak yang jelas kepada nelayan sumberdaya perikanan pantai untuk melakukan aktifitasnya melalui mekanisme fishing right. Dalam konteks ini, pemberian hak penangkapan ikan (fishing right)
7
harus mempertimbangkan "kepada siapa hak tersebut diberikan". Oleh karena itu, definisi nelayan perlu pula direvitalisasi sehingga menghasilkan nelayan yang profesional bukan sekedar free raiders yang menjadi ciri utama pelaku sumberdaya perikanan dalam rejim open access. Pengetahuan nelayan terhadap Sumberdaya tidak berorientasi hanya kepada pertimbangan ekonomi saja, namun yang lebih penting adalah pertimbangan komunitas sehingga menjamin keberlanjutan sumberdaya perikanan dari sisi komunitas seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Berdasarkan karakteristik human system dalam tipologi fishery system seperti yang disampaikan oleh Charles (2001), terdapat beberapa karakteristik umum dari nelayan (fishers) yaitu bahwa pertama, nelayan berbeda menurut latar belakang sosial seperti tingkat umur, pendidikan, status sosial dan tingkat kohesitas dalam komunitas mikro (antar nelayan dalam satu grup) atau dalam komunitas makro (nelayan dengan anggota masyarakat pesisir lainnya). Kedua, dalam komunitas nelayan komersial, nelayan dapat bervariasi menurut occupational commitment-nya seperti nelayan penuh, nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan, atau menurut occupational pluralism-nya seperti nelayan dengan spesialisasi tertentu, nelayan dengan sumber pendapatan beragam, dan lain sebagainya. Ketiga, nelayan dapat bervariasi menurut motivasi dan perilaku di mana dalam hal ini terdiri dari dua kelompok yaitu nelayan dengan karakteristik profit-maximizers yaitu nelayan yang aktif menangkap ikan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan cenderung berperilaku seperti layaknya "perusahaan", dan kelompok nelayan satisficers atau nelayan yang aktif menangkap ikan untuk mendapatkan penghasilan yang cukup.
2.2 Gambaran Umum Tentang PEMP Sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, pemberdayaan masyarakat mendapatkan perhatian yang sangat besar yang dituangkan dalam bentuk kebijakan nasional. Melalui program kompensasi pengurangan subsidi BBM, diluncurkan bantuan dana ekonomi produktif untuk beberapa bidang yang dikelola oleh departemen terkait. Pada Departemen Kelautan dan Perikanan, salah satu bentuk program kompensasi melalui peluncuran dana ekonomi produktif
8
dikemas dalam bentuk program Pemberdayaan Ekonomi Masyarkat Pesisir (PEMP) yang dimulai sejak tahun 2001. Secara umum, PEMP bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kegiatan ekonomi, peningkatan kualitas melalui sumber daya manusia dan penguatan kelembagaan sosial ekonomi dengan mendayagunakan sumberdaya perikanan dan kelautan secara optimal dan berkelanjutan (DKP 2003), Sedangkan secara khusus, PEMP bertujuan untuk: 1. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat yang didampingi dengan pengembangan kegiatan sosial, pelestarian lingkungan dan pengembangan infrastruktur untuk mendorong kemandirian masyarakat pesisir. 2. Menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha utnuk meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir yang terkait dengan sumberdaya perikanan dan kelautan. 3. Mengelola dan memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut secara optimal dan berkelanjutan sesuai dengan kaidah kelestarian lingkaungan. 4. Memeperkuat kelembangaan sosial ekonomi masyarakat dan kemitraan dalam mendukung perkembangan wilayahnya. 5. Mendorong
terwujudnya
mekanisme
manajemen
pembangunan
yang
partisipasif dan transparan dalam kegiatan masyarakat. Sasaran PEMP adalah masyarakat pesisir yang memiliki mata pencaharian atau berusaha dengan memanfaatkan potensi pesisir seperti nelayan, pembudidaya ikan,
pengolah
ikan
dan
kelautan,
yang
kurang
berdaya
dalam
peningkatan/penguatan usahanya. PEMP bukan bersifat hadiah, melainkan pemberdayaan sehingga diharapkan dapat terus berkembang dan menyentuh sebagian besar masyarakat pesisir yang menjalankan jenis usaha yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut serta usaha lain yang terkait. Program ini menggunakan model pengembangan usaha yang bersifat perguliran /revolving yang dilakukan setelah ada keuntungan dan usaha kelompok telah kuat. Pinjaman modal melalui dana ekonomi produktif masyarakat yang diterima oleh sasaran
9
wajib untuk dikembalikan agar terjadi perguliran kepada masyarakat pesisir lainnya yang membutuhkan serta terpilih sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Model pengembangan PEMP disajikan pada Gambar 1
Identifikasi : (Potensi dan Permasalahan) SDA & SDM Kegiatan Usaha Perikanan Sarana dan Prasarana Kelembagaan Sosial Ekonomi Kebijakan Pemerintah
Analisis Data
Program Ekonomi Implementasi Program : Pemilihan Peserta Pelatihan Pelaksanaan Kegiatan Ekonomi Pelaksanaan Kegiatan Sosial, Lingkungan & Fasilitas Penguatan Kelembagaan Sosial Ekonomi
Penyusunan Program Pengembangan
Program Sosial
Program Lingkungan dan Infrastruktur
Sosialisasi Program
Pendamping
Monitoring dan Evaluasi
Gambar 1. Model Pengembangan PEMP(DKP 2003)
10
Sedangkan struktur kelembagaan PEMP disajikan pada Gambar 2
Instansi Terkait
Departemen Kelautan dan Perikanan
Dinas Propinsi
Dinas Kota/Kabupaten
BAPEDDA
LEPP-M3 : Wakil KMP Profesional
CAMAT Mitra Desa : Aparat Desa Tokoh Masyarakat/ Agama KCD/PPL DKP
Konsultan Manajemen Kota/Kabupaten Mitra Pengembangan : Pengusaha Lembaga Keuangan Perguruan Tinggi
Kelompok A
Pendamping (TPD)
Kelompok B
KMP1 KMP2 KMP3………KMP N Gambar 2. Struktur Kelembagaan PEMP(DKP 2003)
2.3 Kinerja PEMP Penelitian tentang PEMP telah dilakukan oleh Khasanahturodhiyah (2002) di Kecamatan WonokertoKabupaten Pekalongan – Jawa Tengah. Pada penilitian ini, digunakan istilah KUB (Kelompok Usaha Bersama) untuk kelompok pemanfaat dana ekonomi produktif program PEMP, sedangkan pada struktur kelembagaan PEMP kelompok tersebut dikenal dengan istilah KMP (kelompok masyarakat pemanfaat), maka dalam penulisan hasil penelitian ini digunakan istilah KMP. Beberapa kendala dan permsalahan dalam pelaksanaan program PEMP di Kecamatan Wonkerto Kabupaten Pekalongan (Khasanaturodhiyah 2002), yaitu :
11
1. Mundurnya pelaksanaan sosialisasi di tingkat kabupaten, kecamatan dan desa. 2. Data dari desa-desa yang tersedia kurang lengkap maka perlu adanya pengumpulan dari berbagai sumber. 3. Pandangan masyarakat yang terbentuk sekarang ini menganggap bahwa bantuan dari pemerintah merupakan sebuah bantuan cuma-Cuma dan tidak perlu dikembalikan. 4. Terlambatnya terbentuknya KMP mengakibatkan pelaksanaan pelatihan untuk semua KMP mundur dari waktu yang ditentukan. 5. Kurangnya pengetahuan KMP tentang pemilihan kapal, modifikasi teknologi dan pentingnya cool box (kotak pendingin). 6. Pada saat penelitian, kemampuan KMP dalam menguasai materi relatif lambat dikarenakan tingkat pendidikan rata-rata rendah. Pada penelitian ini juga diukur tingkat partisipasi peserta program PEMP dengan indikator yang digunakan adalah (1) kemauan masyarakat untuk ikut menanggung biaya pembangunan baik berupa waktu maupun tenaga dalam melaksanakan program PEMP, (2) hak masyarakat untuk ikut menentukan arah dan tujuan program yang dilaksanakan di Kecamatan Wonokerto Kabupaten Pekalongan,
dan
(3)
kemauan
masyarakat
untuk
melestarikan
dan
mengembangkan hasil program (Khasanaturodhiyah2002). Tingkat partisipasi KMP Pedagang terhadap PEMP di Kecamatan Wonokerto Kabupaten Pekalongan – Jawa Tengah yang tergolong partisipasi tinggi sebanyak 57,1%, partisipasi sedang sebanyak 28,5% dan partisipasi rendah sebanyak 14,2% (jumlah responden 28 orang). Factor-faktor yang secara nyata mempengaruhi tingkat partisipasi tersebut adalah jumlah tanggungan keluarga, status penduduk, pendidikan dan kondisi rumah. Sedangkan pada KMP Nelayan, 43,7% berpartisipasi tinggi, 37,5% berpartisipasi sedang dan 18,7% berpartisipasi rendah (jumlah responden 16 orang). Faktor-faktor yang secara nyata mempengaruhi tingkat partisipasi ini adalah status penduduk, pendidikan, pendapatan dan kondisi rumah (Khasanaturodhiyah 2002). Bantuan PEMP yang diberikan belum mampu memberikan surplus produksi yang dapat digunakan untuk akumulasi modal bagi produksi yang dapat digunakan untuk akumulasi modal bagi proses perdagangan dan pengolahan ikan dan hanya cukup memenuhi
12
kebutuhan sehari-hari. Sebanyak 70,3% responden menyatakan bahwa omset per hari mereka tetap. Pengembalian pinjaman juga tidak lancar (ada pinjaman yang macet) karena adanya pedagang yang mendapat musibah (anggota keluarga sakit). Sutomo (2003) menyatakan pelaksanaan program PEMP tahun anggaran 2001 di Kabupaten Banggai-Sulawesi Tengah belum mencapai hasil yang optimal. Hasil evaluasi keberhasilan pencapaian indikator kinerja pelaksana PEMP diperoleh : Bupati = 63%, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan = 60%, Pimbagpro = 60%, Tenaga Pendamping Desa = 55%, KM Kabupaten = 65%, Mitra Desa = 46%, KMP = 79% dan Lembaga EkonomiPengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPP-M3) = 20%. Hal ini disebabkan oleh pengelolah program tidak memahami dengan baik konsep pembedayaan masyarakat pesisir. Disamping itu, mereka yang pernah malakukan pelanggaran belum pernah mendapat tindakan nyata atas pelanggaran yang mereka lakukan seperti pada program KUT sehingga aktor-aktor proyek di daerah semakin berani melakukan pelanggaran. Hasil
evaluasi
terhadap
pencapaian
kinerja
tahapan
kegiatan
diklasifikasikan menjadi 6 kategori, yaitu input (masukan), process (pelaksanaan), output (keluaran), outcome (hasil), benefit (manfaat) dan impact (dampak). Indikator
kinerja
input
yang
digunakan
adalah
sumberdaya
manusia,
kelembagaan, sosialisasi, modal usaha yang diterima, pelatihan, tenaga pendamping desa (TPD) dan konsultan. Indikator process adalah pemilihan lokasi dan kelompok sasaran, penyaluran bantuan, penyusunan rencana kegiatan, pengawasan dan pelaporan. Indikator output adalah keragaan produksi, yaitu produksi primer dan sampingan. Indikator outcome adalah pendapatan dan perguliran dana ekonomi produktif. Indikator benefit adalah pendapatan agregat dan pemerataan inter wilayah dan Indikator impact adalah dampak positif dan negatif program secara umum (Sutomo 2003). Penelitian ini menunjukkan pencapaian kinerja input = 48%, process = 59%, output = 16% serta Oucomet/benefit/Impact = 0%. Hal ini disebabkan oleh kurang diperhatikannya dampak positif suatu proyek di daerah dan administrasi yang rapi masih lebih diutamakan dari pada hasil dari suatu proyek. Ini berarti PEMP Kabupaten Banggai – Sulawesi Tengah hanya berjalan pada tahap awal
13
pelaksanaan dan kinerja program semakin buruk pada kegiatan selanjutnya. Beberapa faktor yang menyeababkan program ini tidak berjalan dengan baik adalah moralitas pelaksana, fasilitas yang diberikan tidak digunakan secara optimal dan modal sosial seperti kepercayaan dan solidaritas kurang dimiliki oleh KMP ( Sutomo 2003). Penelitian Cahyadinata (2005) menyebutkan bahwa DEP PEMP di Kota Bengkulu belum mampu meningkatkan skala usaha masyarakat dan masih ada anggota KMP yang tidak berusia produktif, tidak memiliki pengalaman dan tidak memiliki hari kerja sehingga pengembalian pinjaman hanya 21% dari DEP dan bunga serta perguliran DEP hanya 10% dari pengembalian. Akibat tingkat pengembalian yang rendah, LEPP-M3 dan Mitra Kelurahan tidak memiliki dana operasional yang cukup untuk menjalankan tugasnya. Meskipun demikian, DEP PEMP yang diterima oleh anggota KMP dapat meningkatkan pendapatan yang diindikasikan oleh berpengaruh nyatanya jumlah pinjaman terhadap pendapatan. Setiap peningkatan jumlah pinjaman sebesar Rp 1, akan meningkatkan pendapatan anggota KMP sebesar Rp 0,04 per bulan. Berdasarkan analisis SWOT dan MAHP, alternative pendekatan program PEMP adalah peningkatan skala usaha masyarakat, pembinaan masyarakat pesisir (program pendampingan), peningkatan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan dan menciptakan iklim usaha yang kondusif.
2.4 Pengertian Pemberdayaan Masyarakat Kartasasmita (1996) mengemukakan bahwa memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan demikian memberdayakan masyarakat adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Keberdayaan masyarakat adalah unsur dasar yang memungkinkan
suatu masyarakat untuk bertahan, dan
mengembangkan diri untuk mencapai kemajuan. Sumodiningrat (1996) mengemukakan bahwa keberdayaan masyarakat yang tinggi adalah masyarakat yang sebagian besar anggotanya sehat fisik dan mental, terdidik dan kuat, dan memiliki nilai-nilai intrinsik, seperti: kekeluargaan, kegotongroyongan, dan
14
kebhinekaan. Pemberdayaan adalah
upaya untuk membangun daya, dengan
mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Selaras dengan pendapat tersebut, Jim Ife (1995) mengemukakan bahwa “empowerment means providing people with the resources, opportunities, knowledge, and skill to increase their capacity to determine their own future, and to participate in and effect of their community”. Akhirnya Kartasasmita (1996) menyimpulkan bahwa, upaya yang amat pokok dalam rangka pemberdayaan masyarakat
adalah
peningkatan taraf pendidikan, kesehatan, serta akses
terhadap sumber-sumber kemajuan ekonomi, seperti: modal, teknologi, informasi dan pasar. Menurut Jim Ife (1995) dalam membicarakan konsep pemberdayaan, tidak dapat dilepas-pisahkan dengan dua konsep sentral, yaitu konsep power (“daya”) dan konsep disadvantaged (“ketimpangan”) Pengertian pemberdayaan yang terkait dengan konsep power dapat ditelusuri dari
empat sudut
pandang/perspektif, yaitu perspektif pluralis, elitis, strukturalis dan poststrukturalis. 1. Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif pluralis, adalah suatu proses untuk menolong kelompok-kelompok masyarakat dan individu yang kurang beruntung untuk bersaing secara lebih efektif dengan kepentingan-kepentingan lain dengan jalan menolong mereka untuk belajar, dan menggunakan keahlian dalam melobi, menggunakan media yang berhubungan dengan tindakan politik, memahami bagaimana bekerjanya sistem (aturan main), dan sebagainya. Oleh karenanya, diperlukan upaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat untuk bersaing sehingga tidak ada yang menang atau kalah. Dengan kata lain, pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk mengajarkan kelompok atau individu bagaimana bersaing di dalam peraturan (how to compete wthin the rules). 2. Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif elitist adalah suatu upaya untuk bergabung dan mempengaruhi para elitis, membentuk aliansi dengan elitis, melakukan konfrontasi dan mencari perubahan pada elitis.
15
Masyarakat menjadi tak berdaya karena adanya power dan kontrol yang besar sekali dari para elitis terhadap media, pendidikan, partai politik, kebijakan publik, birokrasi, parlemen, dan sebagainya. 3. Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif strukturalis adalah suatu agenda yang lebih menantang dan dapat dicapai apabila bentukbentuk ketimpangan struktural dieliminir. Masyarakat tak berdaya suatu bentuk struktur dominan yang menindas masyarakat, seperti: masalah kelas, gender, ras atau etnik. Dengan kata lain pemberdayaan masyarakat adalah suatu
proses pembebasan, perubahan struktural secara
fundamental, menentang penindasan struktural. 4. Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif post-strukturalis adalah suatu proses yang menantang dan mengubah diskursus. Pemberdayaan lebih ditekankan pertama-tama pada aspek intelektualitas ketimbang aktivitas
aksi;
atau
pemberdayaan
masyarakat
adalah
upaya
pengembangan pengertian terhadap pengembangan pemikiran baru, analitis, dan pendidikan dari pada suatu usaha aksi.
Ketidakberdayaan masyarakat yang disebabkan oleh ketiadaan daya (powerless) perlu ditemu-kenali. Jim Ife (1995) mengidentifikasi beberapa jenis daya yang dimiliki masyarakat yang dapat digunakan untuk memberdayakan mereka, antara lain: 1. Power terhadap pilihan pribadi, yaitu memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menentukan pilihan pribadi atau kesempatan untuk hidup lebih baik. 2. Power terhadap pendefinisian kebutuhan, yaitu mendampingi masyarakat untuk merumuskan kebutuhannya sendiri. 3. Power terhadap kebebasan berekspresi, yaitu mengembangkan kapasitas masyarakat untuk bebas berekspresi dalam bentuk budaya publik. 4. Power terhadap institusi, yaitu meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap kelembagaan
pendidikan, kesehatan, keluarga, keagamaan,
sistem kesejahteraan sosial, struktur pemerintahan, media dan sebagainya.
16
5. Power terhadap sumberdaya, yaitu meningkatkan aksesibilitas dan kontrol terhadap aktivitas ekonomi. 6. Power terhadap kebebasan reproduksi, yaitu memberikan kebebasan kepada masyarakat dalam menentukan proses reproduksi. Ketidakberdayaan masyarakat selain disebabkan oleh faktor ketidak-adaan
daya
(powerless),
juga
disebabkan
oleh
faktor
ketimpangan, antara lain: 1. Ketimpangan struktural antar kelompok primer, seperti: perbedaan kelas; antara orang kaya-orang miskin; the haves-the haves not; buruh-majikan; ketidaksetaraan gender; perbedaan ras, atau etnis antara masyarakat lokal-pendatang, antara kaum minoritas – mayoritas, dan sebagainya. 2. Ketimpangan kelompok lain, seperti: masalah perbedaan usia, tuamuda, ketidakmampuan fisik, mental, dan intelektual, masalah gaylesbi,
isolasi
geografis
dan
sosial
(ketertinggalan
dan
keterbelakangan). 3. Ketimpangan personal, seperti: masalah dukacita, kehilangan orangorang yang dicintai, persoalan pribadi dan keluarga. Dengan
demikian
untuk
dapat
merancang,
melaksanakan
dan
mengevaluasi program pemberdayaan secara efektif, maka perlu memahami terlebih dahulu faktor apa sajakah yang menjadi akar permasalahan pengungsi, apakah terkait dengan faktor daya atau faktor ketimpangan, ataukah kombinasi keduanya. 2.4 Masyarakat Pesisir Dalam kenyataan, perbedaan masyarakat pesisir atau pemukiman sukar dibedakan karena sifat masyarakat yang memiliki mata pencaharian yang saling bertumpang tindih. Menurut Muluk (1996) klasifikasi masyarakat dapat dibedakan berdasarkan sifat mereka bermukim. Dengan kombinasi kiteria itu, masyarakat wilayah pesisir dapat dibagi kedalam : (a) Masyarakat nelayan, (b) masyarakat petani dan nelayan , (c) masyarakat petani (d) masyarakat pengumpul
17
atau penjarah (collector , foreger), (e) masyarakat perkotaan dan perindustrian dan (f) masyarakat tidak menetap /sementara atau (migratory) . Dalam konteks masyarakat menurut Satria (2002) yaitu masyarakat desa terisolisasi (masyarakat pulau kecil). Komunitas kecil tersebut memiliki beberapa ciri : (1) mempunyai identitas yang khas; (2) terdiri dari jumlah penduduk dengan jumlah yang cukup terbatas sehingga saling mengenal sebagai individu yang berkepribadian; (3) bersifat beragam dengan diferensiasi terbatas; (4) kebutuhan hidup penduduknya sangat terbatas sehingga semua dapat dipenuhi sendiri tanpa bergantung pada pasar diluar. Selanjutnya dikatakan bahwa masyarakat pesisir yang berjenis desa pantai dan desa terisolasi dicirikan oleh sikap mereka terhadap alam dan manusia. Pada penelitian ini yang dimaksud masyarakat pesisir adalah masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir baik sebagai nelayan, pengolah maupun bakul/pedagang ikan dalam kegiatan usaha perikanan . Menurut Undang-undang No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan, nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan/budidaya binatang/tanaman air. Nelayan dibedakan nelayan pemilik dan nelayan pekerja (buruh). Nelayan pemilik adalah orang atau badan hukum yang dengan hak apapunberkuasa atas kapal/perahu yang dipdalam usaha perlukan dalam usaha penagkapan ikan di laut. Nelayan pekerja (buruh) yaiu semua orang yang sebagai satu kesatuan menyediakan tenaga kerjanya turut serta dalam usaha penangkapan ikan di laut baik sebagai nakoda/pendega maupun sebagai pengoperasian alat tangkap.
2.5 Pendapatan Rumah Tangga Keluarga Nelayan adalah suatu keluarga yang kepala keluarga atau lebih anggota keluarga terlibat dalam proses produksi atau pengolahan hasil perikanan sebagai sumber pendapatan dan penghidupannya. Pendapatan rumah tangga dapat diketahui dengan menjumlahkan pendapatan keluarga dari semua sumber pendapatan dan pendapatan tersebut dapat beragam. Hal ini disebabkan disamping
18
kegiatan utama sebagai nelayan juga diupayakan kegiatan-kegiatan lain, seperti dagang, usaha jasa dan lainnya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Menurut Dahuri et al (2001) pada saat ini kira-kira 60 % dari nelayan di desa
pantai
rata-rata
35.000,00/kapita/bulan,
pendapatannya jauh
dibawah
hanya kebutuhan
berkisar
anatara
minimumnya.
Rp. Untuk
meningkatkan pendapatan agar kesejahteraan masyarakat pantai meningkat perlu usaha-usaha untuk menghadapi perusahaan yang dihadapi. Permasalahan masyarakat pantai memang kompleks, baik masalah kependudukan / sumberdaya manusia, permasalahan potensi alam daratan maupun masalah perairan sebagai lahan masyarakat mencari nafkah.
2.6 Kesejahteraan Menurut Dahuri (2000), bahwa tidak adanya akses ke sumber moral, akses terhadap teknologi, akses terhadap pasar serta rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah alasan-alasan terjadinya kemiskinan. Alasan lain terkait dengan sifat sumberdaya pesisir. Selanjutnya dikatakan bahwa kemiskinan juga disebabkan karena faktor-faktor sosial seperti pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi, rendahnya tingkat pendidikan dan berkembangnya kriminalitas. Alasan lain juga terkait dengan kurangnya prasarana umum di wilayah pesisir., lemahnya perencanaan yang berakhir pada tumpang tindih berbagai sektor di suatu kawasan, dampak polusi dan kerusakan lingkungan. Kemiskinan juga terjadi karena prasarana pembangunan yang kurang di wilayah pesisir. Prasarana di wilayah pesisir memang sangat dibutuhkan, mengingat masyarakat hanya mampu memanfaatkan dan tidak mampu membangun atau mengadakannya. Batas baris kemiskinan yang dipergunakan oleh BPS dihitung berdasarkan nilai dari kebutuhan pokok minimum masyarakat. Angka tersebut secara reguler direvisi sesuai dengan laju kenaikan indeks harga barang kebutuhan pokok. Akan tetapi penggunaan indeks harga untuk menetapkan garis kemiskinan harus dilakukan pembobotan dengan adanya variasi indeks harga antara wilayah. Dengan demikian penggunaan nilai konsumsi riil setara dengan kebutuhan kalori
19
untuk hidup normal kiranya dapat diaplikasikan sebagai dasar menentukan garis kemiskinan seperti yang diperkenalkan oleh Sajogyo (1996). Klasifikasi tingkat kesejahteraan (kemiskinan) menurut Sajogyo (1977), didasarkan pada nilai pengeluaran perkapita per tahun yang diukur dengan nilai beras setempat, yaitu : (1) Miskin, apabila nilai perkapita per tahun lebih rendah dari setara 320 kg beras untuk pedesaan dan 480 kg beras untuk daerah kota. (2) Miskin, sekali, apabila pengeluaran pekapita per tahun lebih rendah dari setara 240 kg beras untuk pedesaan dan 360 kg beras untuk daerah kota. (3) Paling miskin, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari setara 180 kg beras untuk pedesaan dan 270 kg untuk daerah kota. Aspek lain yang juga penting dalam menganalisis kesejahteraan rumah tangga, menurut BPS (2001) berdasarkan pada data kependudukan, kesehatan, pendidikan, fertilitas, pengeluaran rumah tangga, kriminalitas serta perumahan dan lingkungan. Karakteristik social ekonomi penduduk yang lebih spesifik dikumpulkan berdasarkan : (a) Konsumsi/Pengeluaran/Pendapatan (b) Kesehatan, pendidikan, Perumahan dan Pemukiman, dan (c) Sosial Budaya, Kesejahteraan Rumah Tangga, Kriminalitas.
20
3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilaksanakan di Wilayah Pesisir Kecamatan Pemangkat Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat (Gambar 3). Kecamatan Pemangkat dipilih sebagai lokasi penelitian karena kecamatan ini selalu mendapatkan Program PEMP sejak tahun 2001 hingga tahun 2006. Waktu penelitian selama 3 bulan yang dibagi dalam 2 tahap. Tahap I adalah tahap pengambilan data primer selama bulan April – Mei 2007. Tahap II adalah pengambilan data sekunder dan dilanjutkan analisis data pada bulan Mei hingga Agustus 2007.
Gambar 3. Lokasi Penelitian.
21
3.2 Kerangka Konseptual Penelitian Pengelolaan sumberdaya perikanan secara langsung maupun tidak akan mencakup keterkaitan dengan sumberdaya lain. Persoalan yang muncul dalam pengelolaan sumberdaya perikanan menjadi tanda (signals) bagi kesalahan kebijakan kelautan yang bisa berlaku baik di level lokal, regional maupun nasional. Besarnya potensi sumberdaya perikanan di Kabupaten Sambas belum mampu mengangkat kehidupan ekonomi masyarakat pesisirnya. Kegiatankegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan ini bukan semata-mata terkendala masalah pembiayaan/dana tetapi juga mencakup faktor sumber daya manusia/ nelayan yang tidak terampil menggunakan teknologi penangkapan ikan serta jumlah armada yang masih sedikit. Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Sambas (2003) hanya terdapat 26 kapal motor penangkap ikan dengan bobot > 50 GT. Sementara kapal motor berbobot 0 – 5 GT yang dominan digunakan nelayan Kabupaten Sambas (435 buah). Beberapa kajian tentang masyarakat pesisir, khususnya masyarakat nelayan, di berbagai wilayah Indonesia telah memberikan Gambaran yang jelas bahwa persoalan kerawanan sosial-ekonomi, seperti kemiskinan, kesenjangan sosial, keterbatasan akses pendidikan dan kesehatan, kelembagaan sosial yang lemah, serta kesulitan akses modal usaha, teknologi dan pasar. Merupakan masalah-masalah serius yang perlu diatasi. Masyarakat pesisir yang berjumlah 16.420.000 jiwa hidup dan tersebar pada 8.090 desa pesisir. Mereka terdiri atas kelompok nelayan 4.015.320 jiwa, pembudidaya perairan 2.671.400 jiwa, dan kelompok sosial lainnya 9.733.280 jiwa. Persentase yang hidup di bawah garis kemiskinan sebesar 32% atau 5.254.400 jiwa, dari total masyarakat pesisir (Direktorat PMP 2006). Kabupaten Sambas merupakan salah satu kabupaten di Kalimantan Barat yang memiliki desa pesisir hampir 40% dari total luas daerahnya, yaitu meliputi Kecamatan Selakau (292,50 km2), Pemangkat (193,75 km2), Jawai (287,50 km2), Paloh (1.148,84 km2) dan Telok Keramat (741,10 km2). Dari kelima kecamatan tersebut dihasilkan produksi perikanan tangkap sebesar 15.702,72 ton/tahun dan perikanan budidaya sebesar 718,2 ton/tahun (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sambas 2005).
22
Sejak terpilih sebagai daerah penerima dana Program PEMP pada tahun 2001, pemerintah daerah Kabupaten Sambas dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan, menyalurkan dana program PEMP dengan penekanan pada penanggulangan masalah setempat. Karena itu, kucuran dana dari LEPP-M3 difokuskan pada pembelian/pembuatan kapal penangkap ikan. Sebagian lain dimanfaatkan sebagai modal usaha dan pembelian alat penangkap ikan baru (LEPP-M3 Kabupaten Sambas 2003). Program PEMP yang dilaksanakan di Kabupaten Sambas pada tahun 2001 – 2006 diharapkan telah menunjukkan hasil yang positif sesuai dengan tujuannya. Adapun indikasi keberhasilan Program PEMP ini akan terlihat dari meningkatnya kesejahteraan masyarakat Pesisir, berfungsinya kelembagaan PEMP yang dibentuk, dan bergulirnya Dana Ekonomi Produktif (DEP). Untuk itu, perlu dilakukan evaluasi dan kajian terhadap kinerja program PEMP selama 4 tahun di Kabupaten Sambas. Penerapan Program PEMP di Kabupaten Sambas yang mengacu Program PEMP secara nasional apakah sudah sesuai dengan kondisi sumberdaya alam dan kondisi faktual yang ada di lapangan, yang paling penting sebenarnya dalam menjalankan Program PEMP adalah strategi yang tepat yang sesuai dengan kondisi Kabupaten Sambas. Untuk lebih memudahkan memahami kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4.
23
Masyarakat Pesisir
Potensi dan Kondisi Sumberdaya Pesisir
Kendala & Pola Pemanfaatan Sumberdaya
Kesejahteraan Masyarakat Pesisir
Dana/Lembaga pembiayaan SDM Teknologi
Mitra
Program PEMP
Analisis Kinerja
Strategi & Kebijakan Pelaksanaan PEMP
Gambar 4. Kerangka Pemikiran Pendekatan Studi
3.3 Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini ada dua jenis data yang dikumpulkan, yaitu data primer dan data sekunder. Data Primer dikumpulkan dari seluruh stakeholder yang menjadi sasaran evaluasi secara langsung. Proses untuk mendapatkan data primer ini melalui teknik wawancara terhadap responden dengan menggunakan kuisioner dan observasi langsung ke lapangan.
24
Data sekunder berupa dokumen atau referensi yang relevan dengan Program PEMP seperti Laporan Keuangan LEPP-M3, kelengkapan administrasi lembaga, data statistik perikanan kabupaten Sambas serta kondisi geografis, demografis dan sosial ekonomi masyarakat yang didapat dari instansi pemerintah setempat. Tabel 1. Jenis dan sumber data penelitian No A
B 1.
Aspek Perikanan
Sosial Demografi Demografi
Jenis Data Jumlah produksi perikanan
Sumber Data PPI Pemangkat
Jenis dan jumlah alat tangkap
PPI Pemangkat/
Sarana dan Prasarana perikanan
DKP Kab. Sambas
Pemanfaat Perikanan
Literatur
Sumberdaya
6
Keagamaan
7
Transportasi/te le-komunikasi
Jumlah Penduduk, Kepadatan, Umur, Pertumbuhan dan Penyebaran Penduduk. Pekerjaan Utama penduduk, Banyaknya Rumah Tangga (RTP) Pertanian persektor. Jumlah fasilitas sekolah TK, SD, SMTP dan SMTA per Kecamatan/desa Jumlah dokter , tenaga medis, dukun beranak dan fasilitas kesehatan perkecamatan/desa Jumlah fasilitas perekonomian; Bank, pasar, toko/warung, koperasi Per kecamatan/desa. Jumlah fasilitas keagamaan; mesjid, langgar/surau, gereja, vihara dll.per kecamatan/desa Panjang jalan, keadaan jalan, kedaan sarana tranportasi darat dan laut, Jaringan telepon dan listrik per Kecamatan/desa. Laporan keuangan
C
LEPP-M3
Rekapitulasi administrasi
2
Pekerjaan Utama
3
Pendidikan
4
5
Kesehatan
Ekonomi
BPS
Akta Pendirian LEPP-M3
Susenas, BPS
Diknas, BPS
Dinkes, BPS Kecamatan Dalam Angka Kecamatan Dalam Angka Dinas Kimprasda, Bappelitbangda, Kecamatan Dalam Angka Laporan Tahunan LEPP-M3
25
3.4 Teknik Pengambilan Contoh Teknik sampling dilakukan secara acak sederhana (Simple Random Sampling) pada nelayan-nelayan yang menerima program PEMP. Jumlah sampel yang diambil dihitung dengan rumus Slovin (Sevilla dalam Umar 2002) sebagai berikut :
n
=
N 1 + Ne2
dimana :
n
= ukuran sampel
N
= ukuran populasi
e
= Sampling error
Masyarakat yang medapatkan penyaluran Kredit dari Koperasi LEPP-M3 sebanyak 317 orang. Jumlah sampel yang diamati 23,173 (dibulatkan 23 orang).
3.5 Teknik Pengumpulan Data (1). Kuesioner (wawancara Terstuktur). Kuesioner merupakan alat yang memuat himpunan pertanyaan yang dibuat secara terstruktur sebagai alat bantu dalam mengekplorasi Penyusunan
dan dan
mengumpulkan
penggunaan
data/informasi
kuesioner
ini
melalui
mengacu
pada
wawancara. kebutuhan
data/indikator untuk setiap elemen yang akan diukur, serta berdasarkan sasaran stakeholder yang diwawancarai. Penggunaan Kuesioner akan digunakan bagi anggota KMP dan bukan KMP.
(2). Wawancara Terarah. Pola wawancara yang dilakukan merupakan wawancara dua arah (dialogis) dimana penulis sebagai pewawancara dan stakeholder sebagai orang yang diwawancarai. Meskipun Topik wawancara dengan teknik seperti ini berpotensi memperluas cakupanya, namun pewawancara sudah dilengkapi dengan poin-poin (guide question) yang akan diwawancarakan dan didiskusikan. Wawancara dititikberatkan pada sejumlah key person dari lembaga/stakeholder sasaran seperti : Kepala Dinas Kelautan Dan Perikanan Kabupaten Sambas, Kepala LEPP-M3, Ketua KMP, dan sejumlah key person lainnya.
26
(3). Observasi. Kegiatan ini untuk melihat secara langsung kondisi faktual yang terbangun dilapangan serta memperluas lingkup pengamatan terhadap subyek yang dinilai (faktor atau dinamika yang mempengaruhi kinerja). Observasi merupakan teknik dalam melakukan verifikasi (cross check) terhadap data dan informasi yang dihimpun dari wawancara yang dilakukan. Kegiatan observasi dapat dikembangkan untuk melihat secara langsung hal-hal yang terkait dengan kehidupan sosial dan kegiatan ekonomi sehari-hari masyarakat yang menjadi sasaran Program PEMP.
3.6 Analisis Data Untuk mengetahui kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pesisir dalam memanfaatkan sumberdaya wilayah pesisir dilakukan analisis deskriptif terhadap hasil penelitian sebelumnya dan data primer yang diperoleh melalui pengamatan lapangan dan wawancara maupun data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait. Demikian pula kondisi dan potensi sumber daya alam dianalisis secara deskriptif. Rapfish
(Rapid
Appraissal
For
Fisheries)
ádalah
teknik
yang
dikembangkan oleh University of British Columbia, Kanada. Yang merupakan analisis untuk mengevaluasi secara Multidisipliner. Rapfish didasarkan pada teknik ordinasi (menempatkan sesuatu pada urutan atribut yang terukur) dengan Multi-Dimensional Scaling (MDS). MDS sendiri pada dasarnya merupakan teknik statistik yang mencoba melakukan transformasi multidimensi ke dalam dimensi yang lebih rendah. Secara umum, analisis Rapfish dimulai dengan mereview atribut dan mendifnisikan yang akan dianalisis. elemen kinerja yang menjadi penekanan untuk dinilai adalah sebagai berikut : 1. Kelembagaan Program PEMP (DKP, LEPP-M3, KM, TPD, Bank Pelaksana, KMP) Indikator : a. Kemantapan organisasi pelaksana program b. Pemahaman terhadap tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dalam program PEMP
27
c. Terlaksananya tupoksi dalam program PEMP d. Kesesuaian kualifikasi TPD e. Kapasitas TPD dalam operasional tupoksi f. Proporsi daya serap anggaran UEP g. Kesesuaian penetapan KMP/ individu penerima UEP h. Keterwakilan gender dalam pengurus LEPP-M3 i. Pelaporan periodik perkembangan LEPP-M3 j. Status LEPP-M3 k. Berjalannya pembianaan terhadap LEPP-M3 l. Kesesuaian kualifikasi TPD m. Dst. 2. Pengelolaan LEPP-M3/ Koperasi LEPP-M3/ Koperasi Perikanan Indikator : a. Pemahaman pengurus LEPP-M3 terhadap program dan Gambaran tugasnya. b. Pengurus tetap/permanen LEPP-M3 dengan kualifikasi serta kompetensi yang relevan dengan bidang tugasnya. c. Berjalannya sistem dan mekanisme organisasi LEPP-M3 d. Berfungsinya sistem pengelolaan DEP yang disalurkan pada anggota KMP/individu. e. Berjalannya sistem administrasi keuangan DEP. f. Kualitas fortopolio LEPP-M3. g. Produktivitas dan efisiensi Lembaga Keuangan Mikro (LKM). h. Pengembangan usaha LEPP-M3. i. Pelaporan kegiatan LEPP-M3.
3. Kapasitas Pemanfaat (KMP/Individu) Indikator : a. Adanya manajemen dan administrasi keuangan UEP yang dilaksanakan. b. Penguasaan teknis UEP. c. Ekstensifikasi dan diversifikasi jenis UEP. d. Perubahan pendapatan dan bertambahnya nilai manfaat.
28
e. Transformasi dan replikasi UEP bagi kelompok/individu nonpemanfaat. 4. Kemitraan Indikator : a. Sinergisitas peran pemangku kepentingan mendukung pelaksanaan program. b. Pengembangan dan diversifikasi UEP yang diprakarsai atau diinisiasi dan difasilitasi pihak lain. c. Penguatan modal LEPP-M3 dari perbankan. d. Pembinaan UEP oleh lembaga mitra.
5. Persepsi Pemangku Kepentingan (stakeholders) Indikator : a. Pemahaman terhadap substansi dan manajemen program. b. Kesesuaian peran dalam program. c. Relevansi perencanaan program dan anggaran dari para pemangku kepentingan yang mendukung program. d. Bentuk partisispasi dalam implementasi program.
Kemudian dilanjutkan dengan scoring yang didasarkan pada ketentuan yang sudah ditetapkan Rapfish. Rapfish
adalah teknik untuk mengevaluasi
sumberdaya(Perikanan) secara kompeherensif berdasarkan atribut/indikator yang mudah untuk di scoring (Fauzi, 2002). Teknik scoring ini dilakukan terhadap seluruh indikator keberhasilan. Proses analisis statistik dilakukan terhadap hasil scoring dari seluruh indikator. Dalam pemberian scoring ini digunakan rentang nilai sebagai berikut :
Tabel 2. Rentang Scoring Data Kualitatif Rentang Scoring
Status
0 – 25
Kurang
26 – 50
Cukup
51 – 75
Baik
75 – 100
Sangat baik
29
setelah itu dilakukan MDS untuk menentukan posisi relatif terhadap ordinasi bad dan good. Dimensi atau Uji MDS dilakukan untuk memudahkan pengGambaran status kinerja Program PEMP dalam bentuk score dari bad (0) hingga good (100). Nilai 0 atau buruk mengindikasikan kinerja Program PEMP tidak sesuai dengan tujuan dan sasaran yang diharapkan. Nilai 100 mengindikasikan kinerja Program PEMP berjalan sebagaimana tujuan dan sasaran yang ditetapkan dalam score selang 0 - 100 tersebut dibagi kedalam lima level status kinerja Program PEMP seperti dalam Tabel 3
Tabel 3. Rentang score Rentang Score
Status
0,00 – 20,00
Sangat Kurang
>20,00 – 40,00
Kurang
>40,00 – 60,00
Cukup
>60,00 – 80,00
Baik
>80,00 – 100,00
Sangat baik
Selanjutnya Leverage analysis dilakukan untuk mengetahui pengaruh indikator kinerja terhadap status keberhasilan Program PEMP untuk setiap dimensi/elemen yang digunakan. Dengan menggunakan metode analisis ini akan dapat dinilai indikator-indikator kinerja yang mana dari setiap elemen yang paling berpengaruh (mendukung dan menghambat) status keberhasilan pelaksanaan Program PEMP.
30
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KONDISI SUMBERDAYA PERIKANAN PERAIRAN KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS 4.1.1 Kondisi Umum Kabupaten Sambas 4.1.1.1 Letak Geografis Kabupaten Sambas Kabupaten Sambas terletak di bagian paling Utara Provinsi Kalimantan Barat atau di antara 2°08' Lintang Utara serta 0°33' Lintang Utara dan 108°39' Bujur Timur serta 110°04' Bujur Timur. Secara administratif, batas wilayah Kabupaten Sambas adalah: Utara :
Serawak (Malaysia Timur) dan Laut Natuna
Selatan:
Kabupaten Bengkayang dan Kota Singkawang
Barat :
Laut Natuna
Timur :
Kabupaten Bengkayang dan Serawak
Kabupaten Sambas dengan luas 6.395,70 Km2 terdiri atas 16 kecamatan dan 183 desa (BPS Kabupaten Sambas 2005). Lima (5) kecamatan diantaranya merupakan kecamatan pesisir dengan 30 desa pesisir. Tabel 4 menyajikan data kecamatan pesisir di Kabupaten Sambas.
Tabel 4. Data Wilayah Pesisir Kabupaten Sambas, Tahun 2005 No 1. 2. 3. 4. 5.
Nama Kecamatan Paloh Teluk Keramat Jawai Pemangkat Selakau Jumlah
Luas Jumlah Desa Panjang Pantai (Km2) Pesisir (Km) 1.148,84 5 105,56 741,10 3 19,67 193,99 13 42,53 193,75 3 20,49 292,50 6 13,51 2570,18 30 198,76
Luas laut (Km2) 758,94 142,59 314,72 151,62 99,97 1.467,86
Sumber : BPS Kabupaten Sambas 2005 (diolah 2007)
Tabel 4 menunjukkan Kecamatan Paloh merupakan kecamatan terluas yang terdapat di Kabupaten Sambas dengan luas 1.148,84 Km2 yang memiliki 5 desa pesisir dengan panjang pantai 105,56 Km dan luas laut sebesar 758,94 Km2. Kecamatan Jawai memiliki desa pesisir terbanyak dengan jumlah 13 Desa. Kecamatan Pemangkat relatif kecil jika dibandingkan dengan kecamatan lainnya, dengan luas 193,75 Km2 dengan 3 Desa pesisir dan panjang pantai sebesar 20,49
31
Km serta luas laut sebesar 151,62 Km2, namun demikian Kecamatan Pemangkat memiliki potensi besar sebagai penghasil sumberdaya ikan laut bagi Kabupaten Sambas. Sementara luas Kecamatan Pemangkat hanya 3,03 persen dari luas Kabupaten Sambas, yaitu seluas 193,75 Km2. Sentra kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Sambas berada di lima (5) wilayah kecamatan. Produksi perikanan tangkap terbesar dihasilkan dari Kecamatan Pemangkat, yang merupakan wilayah kerja TPI Penjajab dan berada di PPN Pemangkat.
Angka produksi dan nilai
produksi yang dihasilkan di wilayah Kecamatan Pemangkat cukup memberikan sumbangan yang besar terhadap perkembangan produksi perikanan tangkap di Kabupaten Sambas. Sumbangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kecamatan Pemangkat adalah sebesar Rp 241.627.430,00 melalui retribusi pasar grosir TPI Penjajab pada Tahun 2003. 4.1.1.2 Perekonomian Wilayah Kecamatan Pemangkat Tinggi rendahnya perekonomian suatu daerah tergantung dari sumberdaya alam dan sumberdaya manusia serta ditunjang oleh faktor-faktor ekstern seperti kebijakan-kebijakan pemerintah daerah yang tepat dan terarah. Keberagaman aktivitas dan produktivitas ekonomi berbasis sumberdaya pesisir dan laut ditunjukkan oleh perekonomian wilayah pesisir Kecamatan Pemangkat yang tercermin dari beberapa sektor dan sub sektor dalam struktur pendapatan regional Kecamatan Pemangkat. Sektor penggerak roda
perekonomian Kecamatan Pemangkat secara
sederhana diwakili oleh tiga jenis kelompok sumberdaya yang berbeda. Sektor perikanan mewakili kelompok sumberdaya hayati (renewable resource) yang sangat tergantung pada kualitas dan daya dukung lingkungan perairan agar dapat memberikan manfaat ekologis dan ekonomis, sedangkan sektor pertambangan dalam hal ini mewakili kelompok sumberdaya non hayati (non renewable resource). Berdasarkan besaran nilai PDRB tahun 2003-2005, wilayah Kabupaten Sambas telah memberikan kontribusi pendapatan sebesar Rp 2,05 trilyun pada tahun 2003 dan pada tahun 2005 meningkat menjadi sekitar Rp 2,27 trilyun. Terjadi peningkatan yang cukup besar di setiap sektor dan sub sektor, walaupun secara proporsi beberapa sektor mengalami penurunan.
32
Beberapa sektor yang mengalami penurunan adalah sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, bangunan, perdagangan, angkutan dan sektor keuangan. Sektor pertanian secara proporsi mengalami peningkatan dari 46,15 % pada tahun pada tahun 2003, meningkat menjadi 46,79 % pada tahun 2004 dan sedikit menurun pada tahun 2005 menjadi 47,76 %. Sektor pertanian memberikan peran dominan terhadap pembangunan wilayah Kabupaten Sambas, diantaranya adalah sektor pertanian (46,15 % tahun 2003 dan 47,76 % tahun 2005), sektor perdagangan, hotel dan restoran (27,50 % tahun 2003 dan 27 % tahun 2005). Sub sektor perikanan memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap PDRB Kabupaten Sambas dan menduduki urutan ketiga dari lima sektor pertanian.
Perkembangan dan proporsi kontribusi masing-masing sektor bagi
perekonomian Kabupaten Sambas selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Sambas Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2003-2005
Komponen PDRB
1 Pertanian a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan dan Hasilnya d. Kehutanan dan Perkebunan e. Perikanan 2 Pertambangan dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas dan Air Minum 5 Bangunan dan Konstruksi 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 7 Angkutan dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 9 Jasa-Jasa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Tahun 2003 Jumlah Proporsi (Rp Jutaan) (%) 946.117,60 46,15
PDRB Kabupaten Sambas Tahun 2004 Tahun 2005 Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi (Rp Jutaan) (%) (Rp Jutaan) (%) 1.006.966,61 46,79 1.086.997,98 47,76
621.442,67 218.185,95 35.129,03
30,31 10,64 1,71
659.465,72 237.871,86 36.741,87
30,65 11,05 1,71
717.348,52 255.908,38 38.041,34
31,52 11,24 1,67
3.905,42 67.454,52
0,19 3,29
3.361,39 69.525,76
0,16 3,23
3.050,99 72.648,75
0,13 3,19
3.871,06 206.872,79
0,19 10,09
3.974,26 211.678,99
0,18 9,84
4.081,00 217.573,78
0,18 9,56
4.996,77 50.649,28
0,24 2,47
5.233,37 51.878,34
0,24 2,41
5.637,73 52.919,05
0,25 2,33
563.797,47 79.099,86 98.414,71
27,50 3,86 4,80
587.757,09 81.770,09 101.266,62
27,31 3,80 4,71
614.531,71 84.014,40 103.832,05
27,00 3,69 4,56
96.426,50
4,70
101.343,05
4,71
106.362,61
4,67
2.050.246,04
100,00
2.151.868,43
100,00
2.275.950,31
100,00
Sumber : BPS Kabupaten Sambas 2006
33
Pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Sambas telah memberikan perubahan-perubahan sosial ekonomi yang secara makro dicerminkan oleh peningkatan pendapatan perkapita yang diikuti laju pertumbuhan ekonomi setiap tahunnya atau dengan kata lain terjadi pertumbuhan PDRB yang cukup tinggi. Laju pertumbuhan perekonomian Kabupaten Sambas dapat dilihat ada Gambar 5. Pada tahun 2005, PDRB Kabupaten Sambas atas dasar harga konstan meningkat 5,77 % dari 2.151.868,43 juta rupiah pada tahun 2004 menjadi 2.275.950,31 juta rupiah pada tahun 2005 (Tabel 5). Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Kalimantan Barat yang sebesar 4,71 % (BPS Kabupaten Sambas 2006).
7 6
Persen
5
5,77 5,22 4,73
4,96
4 3
2,98
2 1 0 2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
Gambar 5 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Sambas Tahun 2001-2005 4.1.2 Keragaan Perikanan di Perairan Pemangkat 4.1.2.1 Potensi Sumber Daya Perikanan di Perairan Laut Pemangkat Wilayah Perairan Laut Pemangkat merupakan bagian dari wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Laut Cina Selatan. WPP Laut Cina Selatan memiliki potensi perikanan sebagai berikut : a) Sumber Daya Ikan Demersal, meliputi: potensi 334.800 ton per tahun, produksi 54.690 ton per tahun, dan pemanfaatannya 16,34 %. b) Sumber Daya Ikan Pelagis Kecil, meliputi: potensi 621.500 ton per tahun, produksi 205.530 ton per tahun, dan pemanfaatannya 33,07 %. c) Sumber Daya Ikan Pelagis Besar, meliputi: potensi 66.080 ribu per tahun, produksi 35.160 ton per tahun, dan pemanfaatannya 53,21 %.
34
Perairan Laut Cina Selatan hampir lengkap memiliki kelompok sumber daya ikan, diantaranya sumberdaya ikan Pelagis Besar seperti tongkol dan tenggiri, sumberdaya ikan Pelagis Kecil seperti layang, selar, kembung, sardine; sumberdaya ikan Demersal seperti bawal, bambangan atau kakap merah, serta berbagai jenis udang dan cumi. Wilayah Perairan Pemangkat terletak di sebelah Barat Kabupaten Sambas, yang merupakan perairan terbuka dan berhadapan langsung dengan Laut Natuna dengan panjang garis pantai kurang lebih 115 mil. Dalam radius jarak lebih dari 12 mil terbentang perairan ZEEI dan laut lepas yang termasuk dalam wilayah Laut Cina Selatan. Kecamatan Pemangkat merupakan kecamatan yang banyak disinggahi nelayan untuk datang dan mendaratkan serta melelang ikan hasil tangkapannya. PPN Pemangkat merupakan pelabuhan perikanan yang mempunyai klasifikasi sebagai Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Kelas B dengan luas lahan 7,5 hektar. Lokasi Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pemangkat terletak di Desa Penjajap di muara Sungai Sambas, Kabupaten Sambas. Secara geografis Kecamatan Pemangkat terletak pada posisi 1o05’01”- 1o12’14” Lintang Utara dan 108o54’01”- 109o04’49” Bujur Timur Volume produksi dan harga ikan yang didaratkan di PPN Pemangkat dari Tahun 1998-2006 yang berasal dari berbagai jenis alat tangkap. Berdasarkan hasil tangkapan ikan yang didaratkan di PPN Pemangkat sebagaimana terlihat pada Tabel 6, menunjukkan tren peningkatan dari Tahun 1998-2006. Tahun 2002 terlihat volume produksi menunjukkan penurunan, akan tetapi memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan nilai pada tahun sebelumnya. Hal ini memberikan pengertian bahwa jenis ikan yang didaratkan adalah ikan yang bernilai ekonomis tinggi. Tabel 6 Produksi dan Nilai Produksi Perikanan di PPN Pemangkat Tahun 1998-2006 No 1 2 3 4 5
Tahun 1998 1999 2000 2001 2002
Produksi (Ton) 3.981,06 3.966,54 5.709,56 5.918,11 5.338,11
Nilai (Rp Juta) 2.070,24 4.696,46 6.100,97 8.246,53 9.216,10
Produksi Rata-rata/hari (Ton) 11,06 11,02 15,87 16,44 14,83
35
6 2003 6.405,00 7 2004 9.205,00 8 2005 9.278,77 9 2006 10.474,53 Sumber: PPN Pemangkat 2006
15.436,02 35.168,02 45.038,12 73.476,77
17,79 25,57 25,77 29,10
Jenis ikan yang dominan tertangkap di perairan Pemangkat diantaranya adalah kelompok ikan Pelagis Besar, Pelagis Kecil, Demersal, Udang dan Molusca. Kelompok sumberdaya yang dominan bila dilihat dari hasil produksi yang didaratkan di PPN Pemangkat adalah jenis Pelagis Kecil. Hal ini terindikasi dari besarnya produksi rata-rata tahunan kelompok sumberdayanya yang mencapai sekitar 4.394.880 kilogram pada periode tahun 1998-2006.
4.1.2.2 Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Pengelolaan perikanan umumnya dilakukan untuk menjaga pemanfaatan sumberdaya ikan secara berkelanjutan. Dengan demikian, maka pemanfaatan dilakukan secara optimal pada masa sekarang agar generasi di masa datang dapat memperoleh manfaat yang paling tidak sama dari sumberdaya perikanan di suatu wilayah perairan. Pengelolaan perikanan secara optimal dan berkelanjutan diharapkan dapat didekati melalui hasil penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa melalui analisis tingkat produksi lestari sumberdaya ikan yang didaratkan di PPN Pemangkat menunjukkan kondisi telah terjadi over fishing terhadap sumberdaya Pelagis Kecil, Udang dan Molusca. Alokasi optimum untuk sumberdaya ikan Demersal dan Pelagis Besar masih mampu memberikan manfaat yang lebih besar daripada kondisi aktual yang terjadi. Perbandingan pengelolaan aktual dan pengelolaan optimal dapat dilihat pada Tabel 7.
64
Tabel 7 Alokasi Optimal Sumberdaya Ikan Demersal, Pelagis Besar,Pelagis Kecil, Udang dan Molusca di PPN Pemangkat. Alokasi Optimal Yield
Satuan
Alat tangkap
Ton per tahun Trip per tahun Kg per trip Rp per tahun (juta) Unit
Nelayan
Orang
Effort Tangkapan Rente Total
Demersal Aktual Optimal
Pelagis Besar Aktual Optimal
Pelagis Kecil Aktual Optimal
Udang Aktual
Molusca Optimal
Aktual
Optimal
424.251,83
725.477,08
1.390.817,03
1.478.324,11
4.008.022,12
82.591,29
49.258,82
1.559.137,64
4.008.022,12
3.479.266,20
124.724,46
46.216,47
18.736,03
26.970,36
1.643.108,16
12.357,35
3.570,36
36.283,99
7.277,45
2.424,58
30,22
15,70
74,23
54,81
0,80
6,68
16,71
42,97
0,80
1.435,00
1.939.880,32
2.865.860,0 7
3.988.843,60
3.591.250,79
7.273.367,25
30.696,86
31.717,60
3.591.250,79
7.273.367,25
6.675.727,85
95
10
36
65
0
78
0
6
36
0
15
51
1.080
1.963
0
156
0
187
1.080
13
Sumber : Supriani (2007)
37
38
Dari tabel 7 kita lihat bahwa ikan demersal dan Pelagis besar yang masih belum terdegradasi, sumberdaya ikan Demersal dan Pelagis Besar masih dapat memperbaharui diri. Kondisi ini dimungkinkan karena sumberdaya ikan Pelagis Besar memiliki daerah ruaya yang jauh sehingga daerah tangkapannya tidak berada di sekitar Perairan Pemangkat. Sementara ikan Demersal umumnya adalah jenis ikan dasar yang daearah tangkapannya memang masih berada di sekitar Perairan Pemangkat akan tetapi kondisi stoknya masih terjaga dari kondisi degradasi. Hal ini diduga karena ikan jenis Demersal berada di zona kawasan konservasi sehingga kondisi biomassnya masih belum terdegradasi. Namun demikian kondisi kedua jenis sumberdaya ikan ini sudah hampir mendekati titik degradasi sehingga perlu diwaspadai dalam pemanfaatannya. Laju degradasi sumberdaya Pelagis Kecil, Udang, dan Molusca terlihat telah mengalami degradasi, khususnya untuk sumberdaya Pelagis Kecil dan Molusca terdegradasi secara konstan. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa sumberdaya Pelagis Kecil, Udang, dan Molusca telah mengalami over fishing dan kemampuan memperbaharuinya sudah sangat terganggu, sehingga introduksi ke dalam stok menjadi terganggu, akibatnya keberadaan di alam akan berkurang, sehingga tingkat produksinya juga akan berkurang.
1,2
Nilai Koefisien
1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Tahun Demersal Pelagis kecil Molusca
Pelagis Besar Udang Treshold Koefisien Laju Degradasi
Gambar 6 Laju Degradasi Sumberdaya Ikan (Supriani 2007)
39
Standarisasi alat tangkap dilakukan terhadap alat tangkap Purse seine, Gill net dan Lampara Dasar untuk menangkap ikan demersal yang distandarkan ke alat tangkap Gill net(Bottom Gillnet) .Untuk ikan pelagis besar yang ditangkap dengan purse seine dan gill net, alat tangkap distandarkan ke alat tangkap purse seine. Sementara untuk pelagis kecil ditangkap dengan menggunakan tiga jenis alat tangkap yaitu purse seine, gill net dan lampara dasar distandarisasi ke alat tangkap purse seine Untuk udang tidak dilakukan standarisasi karena hanya ditangkap dengan satu jenis alat tangkap yaitu lampara dasar. Sementara untuk molusca tertangkap dengan dua jenis alat tangkap yaitu lampara dasar dan purse seine dan distandarisasikan ke alat tangkap lampara dasar.(Supriani 2007).
4.2 EVALUASI KINERJA PROGRAM PEMP DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS 4.2.1 Program PEMP Di Kecamatan Pemangkat Kabupaten Sambas Program PEMP yang dilaksanakan di Kecamatan Pemangkat Kabupaten Sambas pada tahun 2001 – 2006 diharapkan telah menunjukkan hasil yang positif sesuai dengan tujuannya. Adapun indikasi keberhasilan Program PEMP ini akan terlihat dari meningkatnya kesejahteraan masyarakat Pesisir, berfungsinya kelembagaan PEMP yang dibentuk, dan bergulirnya Dana Ekonomi Produktif (DEP). Tahun 2001 Kabupaten Sambas pertama kali mendapatkan Program ini, kemudian pada tahun 2003 dan 2004 kembali mendapatkan program PEMP, dan yang terkahir tahun
2006
mendapatkan
Program
ini
kembali.
Untuk
pemanfaatannya program PEMP tahun 2001 dan 2003 perguliran DEP dengan membuat kelompok-kelompok pemanfaat yang di gulirkan di tiga kecamatan. Baru pada Program PEMP tahun 2004 dan 2006 dibentuk Koperasi LEPP-M3 sebagai pengelola dana tersebut, dan mulai tahun inilah mulai tampak keberhasilan program. Bantuan yang diberikan kepada para nelayan sasaran Program PEMP sebagian besar berupa kapal dengan alat tangkap walaupun ada juga sebagian yang berupa uang.
40
4.2.2 Status Kinerja Program PEMP Dalam studi ini, analisis Rapfish dilakukan untuk Program PEMP. Identifikasi didasarkan pada status kinerja Program PEMP di Kecamatan Pemangkat Kabupaten Sambas mencakup 5 elemen dasar yang berpengaruh terhadap Kinerja Program PEMP, yaitu : (1) Kelembagaan Program PEMP, (2) Pengelolaan Koperasi LEPP-M3, (3) Kapasitas Pemanfaat Program, (4) Kemitraan, dan (5) Persepsi Pemangku Kepentingan. Data analisis ini diperoleh dari survey, statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sambas dan sumber-sumber lain untuk data scoring. Analisis MDS ditujukan untuk menentukan posisi relatif dari Kinerja setiap elemen Program terhadap good dan bad. Nilai analisis MDS adalah dalam bentuk score 0 hingga 100 yang dibagi dalam lima level, yaitu : (1) Level “sangat kurang” apabila nilai elemen kinerja masuk dalam interval 0 – 20; (2) Level “kurang” apabila nilai elemen kinerja masuk dalam interval >20 - 40; (3) Level “cukup” apabila nilai elemen kinerja masuk dalam interval >40 – 60; (4) Level “baik” apabila nilai elemen kinerja masuk dalam interval >60 – 80; (5) Level “sangat baik” apabila nilai elemen kinerja masuk dalam interval >80 – 100. Semakin mendekati nilai 0 menunjukkan kinerja program semakin tidak sesuai dengan tujuan dan sasaran, begitu pula sebaliknya. Hasil analisis Ordinasi dari ke lima aspek atau dimensi tersebut disajikan dalam Gambar 7 sampai Gambar 11. pada Gambar tersebut aksis horizontal menunjukkan perbedaan dalam ordinasi bad (0) sampai good (100) untuk setiap dimensi yang dianalisis. Sementara aksis vertikal menunjukkan perbedaan dari campuran skor atribut di antara Program yang di evaluasi. Analisis ordinasi menunjukkan bahwa keberlanjutan Program PEMP dapat terlaksana.
41
RAPFISH Ordination 60
UP
Other Distin gishin g Featur es
40
20
BAD
GOOD
0 -20
0
20
40
60
80
100
120
-20
-40
DOWN -60 Fisheries Sustainability KELEMBAGAAN Dimension
Gambar 7. Ordinasi Dimensi Kelembagaan
Dari hasil perhitungan MDS, terlihat bahwa kriteria-kriteria dalam elemen kelembagaan menunjukkan jarak eklidian yang cukup dekat seperti terlihat pada Gambar 7. Terlihat bahwa kriteria mekanisme pengawasan DEP memiliki kesamaan persepsi paling tinggi. RAPFISH Ordination 60
UP
O ther Distin gishin g Featu res
40
20
BAD
GOOD
0 0
20
40
60
80
100
120
-20
-40
DOWN -60 Fisheries Sustainability PENGELOLAAN LEPP-ME Dimension
Gambar 8. Ordinasi Dimensi Pengelolaan LEPP-
42
Pada elemen pengelolaan LEPP-M3 menunjukkan bahwa kecendrungan kesamaan persepsi atas sistem dan mekanisme LEPP-M3 diberikan pada kriteria berjalannya sistem dan mekanisme organisasi LEPP-M3,
adanya neraca
keuangan secara periodik, produktivitas dan efisiensi LKM dan skala jangkauan dan pertumbuhan ekonomi pada sistem LEPP-M3. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa kriteria pengelolaan terhadap program dan tupoksi menunjukkan persepsi yang tidak jauh berbeda. RAPFISH Ordination 60
UP
Other Distin gish in g F eatu res
40
20
BAD
GOOD
0 0
20
40
60
80
100
120
-20
-40 DOWN
-60 Fisheries Sustainability KAPASITAS PEMANFAAT Dimension
Gambar 9. Ordinasi Dimensi Kapasitas Analisis MDS pada elemen kapasitas pemanfaat program menghasilkan kecendrungan nilai yang menonjol antara masing-masing kriteria seperti yang terlihat pada Gambar di atas. Pada kriteria manajemen pemanfaatan UEP menunjukkan persepsi pengelolaan UEP yang baik, sementara pada kriteria transformasi dan replikasi UEP bagi kelompok/individu non pemanfaat menunjukkan preferensi agak kebawah.
43 RAPFISH Ordination 60
UP
Other Distingishing Fea tures
40
20
BAD
GOOD
0 0
20
40
60
80
100
120
-20
-40
DOWN -60 Fisheries Sustainability KEMITRAAN Dimension
Gambar 10. Ordinasi Dimensi Kemitraan Hasil
analisis
untuk
elemen
Kemitraan
terlihat
bahwa
kriteria
pengembangan dan diversifikasi UEP yang diprakarsai pihak lain dan pembinaan UEP oleh lembaga mitra memiliki similirity (kesamaan) yang ditunjukkan oleh posisi saling berdekatan. Tetapi garis besar hasil analisis menunjukkan bahwa hampir semua kriteria dalam elemen kemitraan menunjukkan preferensi yang tidak dikehendaki dimana kriteria penganggaran oleh PEMDA/DPRD atau pihak lain menunjukkan ketidaksinergisan dan tidak strategis dalam pengembangan kemitraan program PEMP
44
Tabel 9. Rekapitulasi Nilai hasil MDS per elemen kinerja Progrsm PEMP
No Elemen Kinerja PEMP Kabupaten Sambas
Nilai MDS
1.
Kelembagaan
79,85
2.
Pengelolaan LEPP-M3
78,35
3.
Kapasitas Pemanfaat
68,32
4.
Persepsi Pemangku Kepentingan
65,66
5.
Kemitraan
49,16
Rata-Rata
68,27
Dari data didalam Tabel 9 diketahui bahwa menunjukkan ordinasi bad (0) sampai good (100) untuk setiap dimensi yang dianalisis. kinerja Program PEMP Kecamatan Pemangkat Baik (68,27). Sementara itu berdasarkan nilai per elemen bahwa elemen kelembagaan (78,85), Pengelolaan LEPP-M3 (78,35), persepsi Pemangku Kepentingan (68,32) dan kapasitas pemanfaat (65,66) menunjukkan kinerja program PEMP baik. Sementara itu elemen yang lainnya yaitu kemitraan (49,16) menunjukkan kinerja program PEMP tergolong Cukup.
Kapasitas Pem anfaat Program 80 60 40 Persepsi Stakeholder
Kelem bagaan
20 0
Pengelolaan LEPP-M3
Kem itraan
Gambar 12. Diagram Layang Nilai Rata-rata 5 elemen Kinerja Hasil analisis menunjukkan ketiga hal berikut : (1) Kelembagaan Program PEMP dan kelembagaan ekonomi lokal hasil bentukan Program PEMP (Koperasi LEPP-M3) sudah mulai menguat. Setiap stakeholder program, terutama pengelola koperasi LEPP-M3,
45
sudah mulai memahami tugas pokok dan fungsinya. Pemahaman tupoksi ini merupakan modal kuat didalam pelaksanaan mekanisme dan prosedur program baik dan benar; (2) Sosialisasi program sudah mulai berhasil, persepsi masyarakat yang sudah cukup baik terhadap konsep dan prinsip program merupakan bukti berjalannya sosialisasi program sesuai dengan harapan; (3) Outcome atau dampak program perlu ditingkatkan agar jumlah penduduk miskin di Kabupaten Sambas penerima Program PEMP berkurang secara signifikan.
kemitraan yang masih tergolong ”Cukup” menunjukkan
perlunya perlakuan lebih lanjut. Secara umum, jika mengacu pada tahapan Program PEMP di akhir tahun 2006 maka Program PEMP di Kecamatan Pemangkat Kabupaten Sambas dapat dikatakan telah berada pada jalur yang benar. 4.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Program PEMP 4.2.3.1 Kelembagaan Program PEMP Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (PEMP) yang dilaksanakan sejak tahun 2001 hingga saat ini masih terus mencari bentuk ideal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Setidaknya terdapat 2 (dua) elemen penting dalam memperkuat peran Program PEMP sebagai akselerator peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir, yaitu : penguatan peran kelembagaan (institutional strengthening) pengelola program, dan peningkatan kapasitas (capacity building) lembaga ekonomi mikro. Namun demikian, kedua elemen ini tidak dapat berperan secara optimal dan berkelanjutan jika tidak didukung oleh elemen lainnya, seperti kelompok masyarakat pemanfaat (KMP), keterlibatan stakeholder dan kemitraan yang dibangun oleh program dengan instansi terkait lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka diperlukan evaluasi secara komprehensif secara menyeluruh, terutama hubungan antar elemen yang terkait dalam Program PEMP. Dalam konteks ini, evaluasi kinerja kelembagaan pengelola program dan kelembagaan pengelola ekonomi mikro dalam kurun waktu pelaksanaan Program PEMP di Kecamatan Pemangkat Kabupaten Sambas. Review dan analisis kinerja kelembagaan Program PEMP mencakup 6 komponen kelembagaan terkait yakni : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
46
Sambas, Koperasi LEPP-M3, Konsultan Manajemen (KM), Tenaga Pendamping Desa (TPD), Bank Pelaksana, dan Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP). Hasil skoring penilaian kelembagaan Program PEMP di Kecamatan Pemangkat dikategorikan Baik. Berdasarkan hasil analisis leverage dengan menggunakan perangkat analisis RAPFISH terGambar besaran pengaruh yang diberikan oleh berbagai Faktor terhadap capaian status dan kategori kinerja kelembagaan program PEMP. Secara umum dari 6 komponen yang dinilai menunjukkan bahwa Kesesuaian KMP/individu dengan penerima dengan jenis UEP adalah faktor yang memberikan pengaruh paling besar terhadap kinerja kelembagaan pengelola Program PEMP secara umum. Pengaruh yang besar juga ditunjukkan Mekanisme Pelaporan oleh LEPP-M3 dan TPD, serta faktor yang terkait dengan kelembagaan dan sistem perbankan, seperti
Proporsi daya serap anggaran, mekanisme
pengaksesan kredit, pembinaan Bank terhadap LEPP-M3 dan akses lokasi Bank juga berpengaruh sangat besar. Faktor-faktor menyangkut tugas pokok dan fungsi (tupoksi) komponenkomponen kelembagaan PEMP, baik Dinas Kelautan dan Perikanan, Koperasi LEPP-M3, Konsultan Manajemen (KM) cenderung menunjukkan pengaruh kecil terhadap status kinerja kelembagaan Program PEMP.
47
Leverage of Attributes
Kesesuaian Kualifikasi TPD Kapasitas TPD dalam operasional Tupoksi Berjalannya sistem dan mekanisme pengaksesan kredit Pelaporan Periodik TPD Pelaporan Periodik Perkembangan LEPP-M3 Proporsi daya serap anggaran/jumlah proposal UEP Kesesuaian pembentukan KMP dgn konsep pemberdayaan Berjalannya Pembinaan Bank terhadap LEPPM3 Letak/Posisi Geografis Bank untuk kemudahan akses Kesesuaian Penetapan KMP/Individu penerima DEP Kesesuaian KMP/Individu penerima dengan jenis UEP Keterwakilan Gender dalam Pengurus LEPPM3 Status LEPP-M3 Pelaporan Periodik KM
Attribute
Pemahaman Tupoksi KM Pelaksanaan Tupoksi TPD Kesesuaian Kualifikasi KM Pelaksanaan Tuksi KM Pemahaman Tupoksi TPD Pelaksanaan Tupoksi LEPP-M3 Pemahaman Tupoksi LEPP-M3 Mekanisme Pembentukan-Pemilihan Pengurus LEPP-M3 Pelaporan Periodik Dinas Mekanisme Pengawasan DEP Pelaksanaan Sistem dan mekanisme Pencairan DEP Kapasitas KM dalam operasional Tupoksi Keterwakilan Unsur masyarakat dalam pengurus LEPP-M3 Pemahaman Tupoksi Dinas Pelaksanaan Tupoksi Dinas Kemantapan Organisasi Pelaksana di Dinas Penetapan KM 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 13. Diagram Analisis Laverage Kelembagaan
48
Tabel 10. Faktor-faktor yang mempengaruhi Status Kinerja Kelembagaan Program PEMP No
Faktor – faktor Berpengaruh
KMP
Nilai Leverage 78,02
BANK
77,68
LEPP-M3 BANK
77,60 77,47
TPD
77,46
6 Berjalannya pembinaan bank terhadap LEPPM3/Koperasi 7 Kesesuian pembentukan KMP dengan konsep pemberdayaan 8 Kesesuaian kualifikasi TPD
BANK
77,44
KMP
77,40
TPD
77,35
9 Kesesuian penetapan KMP/individu penerima DEP 10 Pelaporan periodic TPD 11 Berjalanannya system dan mekanisme pengaksesan kredit 12 Pelaporan periodik KM 13 Pelaksanaan Tupoksi LEPP-M3 14 Pelaksanaan Tupoksi KM 15 Pelaksanaan tupoksi TPD 16 Kesesuaian kualifikasi KM 17 Keterwakilan gender dalam pengurus LEPPM3 18 Pemahaman tupoksi KM 19 Pemahaman tupoksi TPD 20 Pelaporan Periodik Dinas 21 Status LEPP-M3 22 Mekanisme Pengawasan DEP 23 Pemahaman Tupoksi LEPP-M3 24 Kemantapan organisasi pelaksana di Dinas 25 Keterwakilan unsur masyarakat dalam pengurus LEPP-M3 26 Pemahaman Tupoksi Dinas 27 Mekanisme pembentukan pengurus LEPP-M3 28 Pelaksanaan Tupoksi Dinas 29 Pelaksanaan sistem dan mekanisme pencairan DEP 30 Kapasitas KM dalam operasional tupoksi 31 Penetapan KM
KMP
77,35
TPD BANK
77,31 77,30
KM LEPP-M3 KM TPD KM LEPP-M3
1,08 1,05 1,03 1,01 1,01 0,98
KM TPD DINAS LEPP-M3 DINAS LEPP-M3 DINAS LEPP-M3
0,97 0,97 0,96 0,95 0,95 0,91 0,91 0,86
DINAS LEPP-M3 DINAS DINAS
0,83 0,80 0,80 0,67
KM DINAS
0,59 0,25
1 Kesesuaian KMP/individu dengan penerima dengan jenis UEP 2 Proporsi daya serap anggaran/jumlah proposal UEP 3 Pelaporan Periodik Perkembangan LEPP-M3 4 Letak/posisi geografis bank untuk kemudahan akses 5 Kapasitas TPD dalam operasional tupoksi
Komponen
49
Status kinerja kelembagaan pengelola PEMP Kabupaten Sambas mencapai nilai 79,85 nilai tersebut dikategorikan dalam status baik. Hasil evaluasi juga mensahkan
kategori tersebut, persentase nilai kinerja kelembagaan ini dapat
diartikan bahwa kapasitas dan kualitas kerja yung dimiliki oleh komponenkomponen kelembagaan pengelohan PEMP sejauh ini, sudah mengalami peningkatan yang signifikan. Selanjutnya, berdasarkan hasil evaluasi kinerja kelembagaan juga didapatkan kondisi-kondisi sebagai berikut: a.Kecenderungan optimalisasi peran kelembagaan pengelola program PEMP, seperti keterlibatan langsung dalam penyeleksian konsultan Manajemen (KM), membangun partisipasi masyarakat, terutama dalam pembentukan LEPPM3,termasuk jalinan kemitraan dengan Bank pelaksana, dan bahkan kesetaraan dalam kepengurusan LEPP-M3 juga diakomodasi seperti yang dilakukan pada kepengurusan LEPP-M3 pada tahun 2003. Kererlibatan lembaga pemerintah mulai tingkat pusat sampai dengan tingkat kabupaten, dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan dan DPRD pada tingkat menunjukkan dukungan pelaksanaan program ditunjukkan dengan dikeluarkannya sejumlah instrumen pendukung program, seperti Pedoman Umum dan mekanisme berbagai Surat Keputusan (SK Penunjukan Konsultan Manajemen dan Kepengurusan LEPPM3), termasuk didalamnya penjelasan jabaran dan fungsi pelaksana program. Walaupun demikian, secara eksplisit masih diperlukan penguatan peran kelembagaan pengelola, terutama pembentukan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) dari kelembagaan LEPP-M3 harus segera dibenahi dan optimalisasi kinerja Bank Pelaksana yang dinilai belum mencapai titik optimal. b.Peningkatan pemahaman terhadap tugas pokok dan fungsi kemampuan pengelola program PEMP dalam menjelaskan subtansinya termasuk peluang mengatasi persoalan sosial ekonomi masyarakat pesisir. Faktor koordinasi kelembagaan pengelola program menjadi intrumen sangat penting karena menyangkut hal fungsi koordinatif, supervisi, verifikasi, dan pembinaan. Hal ini ditunjukkan dengan diperlukannya peningkatan koordinasi yang tidak hanya koordinasi internal diantara elemen pendukung, tetapi juga terhadap pihak luar
50
yang justru menentukan efektivitas peran kelembagaan pengelola, misalnya koordinasi dengan Bank Pelaksana. c.Dalam pelaksanaan tupoksi kelembagaan pengelola program, masih diperlukan konsistensi dalam proses rekrutmen tenaga KM dan TPD dinilai masih belum optimal, sehingga proses transpormasi manajerial program dan pembinaan belum terjadi seperti yang diinginkan. Konsistensi proses dan kualifikasi tenaga KM dan TPD menjadi penting ketika sumberdaya manusia di lokasi program tersedia,dan hal ini telah dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan dengan menempatkan sejumlah
tenaga handal dibidangnya yang juga turut
mempengaruhi kinerja kelembagaan pengelola secara umum. Dalam kondisi yang khusus, proses rekutmen KM dan TPD yang dinilai tidak transparan terjadi akibat kelangkaan sumber daya manusia tetapi disisi lain program sedapat mungkin
meminimalisasi
keterlambatan pelaksanaan sehingga hal
ini bukan menjadi kendala utama. Hal ini
ditunjukkan dengan tidak
terpengaruhnya pencapaian tujuan program, seperti penyaluran Dana Ekonomi Produktif (DEP) ke Kelompok masyarakat Pemanfaat (KMP). Proses institutionalisasi kelembagaan ekonomi mikro (menjadikan LEPP-M3) menjadi suatu badan hukum merupakan salah satu bentuk keberhasilan pencapaian program PEMP. Kompleksitas pemilihan lokasi program dan bank pelaksana masih terjadi sehingga mempengaruhi etektivitas proses pembinaan masyarakat dipesisir, terutama aspek DEP. d.Intervensi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten masih menyisakan pekerjaan yang harus segera dibenahi. Misalnya, penentuan KM, TPD, KMP, dan Ketua Pengurus LEPP-M3 yang prosesnya terkesan tidak melibatkan anggotannya mempengaruhi kinerja dan semangat anggota pelaksana program. Artinya masih terdapat perbedaan persepsi diamana komponen pelaksana program, yang berakibat kepada disproporsi peran diantara komponen tersebut. Namun secara menyeluruh kinerja kelembagaan program menunjukkan hasil yang menggembirakan dengan terciptanya kemampuan pengguna program melakukan pembukuan pelaporan secara periodik. Sejalan dengan itu, maka diperlukan upaya secara terus menerus bagi sosialisasi manfaat program PEMP ke segenap lapisan masyarakat, termasuk tokoh adat dan dunia usaha.
51
e.Lembaga perbankan sebagai stakeholder vital, belum menunjukkan keseriusan untuk memberikan fasilitas dan pelayanan bagi masyarakat pesisir dalam mengakses modal. Hal ini tersebut diindikasikan dengan belum adanya upaya rekapitalisasi bagi koperasi LEPP-M3. Kendala yang juga ditemukan adalah letak lokasi Bank Bukopin sebagai bank pelaksana yang tidak berada atau jauh dari Kabupaten Sambas. Seharusnya Kabupaten Sambas bisa menunjuk Bank Kalbar sebagai Bank Pelaksana. Sementara itu pemanfaatan dana-dana bantuan bagi masyarakat pesisir relatif belum dirasakan, sebab lembaga perbankan belum melakukan penguatan modal bagi koperasi yang ada.
4.2.3.2 Pengelolaan Koperasi LEPP-M3 Sebagaimana diuraikan pada bagian awal. salah satu faktor penyebab kemiskinan dan keterbelakangan sosial di kawasan pesisir adalah kedudukan kelembagaan ekonomi masyarakat setempat kurang berfungsi untuk mendukung berkembangnya dinamika pembangunan secara berkelanjutan. untuk mengatasi hal tersebut, program PEMP telah dirancang dengan pendekatan kelembagaan ekonomi melalui pembentukan Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPP-M3). Sesuai tuntutan yang berkembang untuk membenahi sistem
pengelolaan
Dana
Ekonomi
Produktif
(DEP)
dan
menguatkan
kelembagaan, LEPP-M3 berubah Menjadi lembaga berbadan hukum koperasi, yang di dalamnya didirikan lembaga Keuangan Mikro (LKM). pada masa mendatang, Koperasi LEPP-M3 sebagai sasaran antara program PE'MP diharapkan menjadi cikal-bakal holding company masyarakat pesisir dan memiliki tanggung jawab besar untuk mengelola Program PEMP. Sejak perubahan paradigma penyaluran dan pengelolaan DEP pada tahun 2004, pengelolaan Koperasi LEPP-M3 menunjukkan kecenderungan perkembangan yang positif. Kondisi terakhir perkembangan Koperasi LEPP-M3 Kabupaten Sambas menunjukkan kinerja yang tergolong Baik (78,35).
52
Leverage of Attributes Pelaporan Kegiatan LEPP-M3
pengembangan usaha LEPP-M3
Skala jangkauan dan pertumbuhan ekonomi
Produktivitas dan efisiensi LKM
Attribute
kualitas LEPP-M3
adanya neraca keuangan secara periodik
Berjalannya sistem administrasi keuangan DEP berfungsinya sistem pengelolaan DEP yg disalurkan pd anggota KMP Berjalannya sistem dan mekanisme organisasi LEPPM3 Kesesuain kulalifikasi dan kompetensi yg relevan dg bidangnya Pengelolaan Terhadap Program dan Tupoksi 0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 14. Diagram Analysis Leverage Pengelolaan Koperasi LEPP-M3
Tabel 11. Faktor-faktor yang mempengaruhi Pengelolaan Koperasi LEPP-M3 No.
Faktor – faktor Berpengaruh
Nilai Leverage
1.
Kualitas LEPP-M3
3,35
2.
Berfungsinya sistem pengelolaan DEP yang disalurkan pd anggota KMP
2,95
3.
Adanya neraca keuangan secara periodik
2,79
4.
Berjalannya sistim administrasi keuangan DEP
2,76
5.
Pengembangan Usaha LEPP-M3
2,52
6.
Produktifitas dan Efisiensi LKM
2,42
7.
Berjalannya sistem dan mekanisme organisasi LEPP-M3
2,20
8.
Pelaporan Kegiatan LEPP-M3
2,17
9.
Skala Jangkauan dan Pertumbuhan Ekonomi
1,90
10.
Kesesuaian kualifikasidan kompetensi yang relevan dengan bidangnya
1,82
11.
Pengelolaan terhadap program dan tupoksi
1,18
Berdasarkan nilai Leverage Relevansi antara faktor-faktor yang berpengaruh dengan tingginya kinerja pengelolaan Koperasi LEPP-M3 dapat diketahui dari perkembangan koperasi LEPP-M3 yang memiliki kinerja pengelolaan tergolong "Baik", Koperasi LEPP-M3 Kecamatan Pemangkat yang memiliki status kinerja 78,35. Kinerja atau kondisi kesehatan keuangan Koperasi LEPP-M3. Koperasi LEPP-M3 yang dibentuk pada tanggal 09 September 2004 Merupakan hasil
53
penguatan status hukum LEPP-M3 yang dibentuk dengan mekanisme yang sesuai dengan pedoman umum Program PEMP tahun 2001. Berdasarkan
laporan
keuangan tahun 2006, tercatat bahwa Koperasi LEPP-M3 Kabupaten Sambas ini telah membukukan laba bersih sebesar
Rp.56.000.000,- atau mengalami
peningkatan sebesar 179,99% di dibanding dengan tahun 2005. (sebesar Rp.20.000.064,-). Peningkatan laba tersebut terjadi seiring dengan peningkatan pendapatan operasional Koperasi LEPP-M3. Kondisi kinerja keuangan yang baik juga tampak ada meningkatnya pendapatan dari
tahun 2006 sebesar Rp.
195.444.172,- dibandingkan dengan tahun 2005 sebesar Rp.81.743.518,-. Sistem dan mekanisme pengelolaan DEP, Pada saat ini (tahun 2006), koperasi telah mampu menjalankan pengelolaan DEP untuk berbagai kegiatan, yaitu mulai dari simpan pinjam, warung serba ada maupun SPDN. Hal ini menunjukkan bahwa koperasi telah memiliki dan mekanisme pengelolaan DEP yang baik. Pemilihan lokasi SPDN yang tepat dengan pertimbangan agar bisa melayani dengan lebih baik anggota, KMP maupun nelayan juga merupakan bukti penguatan tentang sistem dan mekanisme pengelolaan DEP dan dihasilkan dari suatu perencanaan yang baik. Kapasitas dan kapabilitas SDM pengurus koperasi. Semenjak dibentuk, sebagai pengurus koperasi telah memiliki kualifikasi sesuai persyaratan yang diterapkan. Dengan jumlah pegawai 5 orang, koperasi mampu melayani sebanyak 317 orang nasabah
pada 3 (tiga) kecamatan yaitu Kecamatan Pemangkat,
Kecamatan Selakau dan Kecamatan Paloh. Kecakapan dalam mengelola koperasi ini dimotori oleh pengurus yang telah berpengalaman dan faham terhadap karakteristik masyarakat yang dibantu oleh pegawai yang mempunyai latar belakang Sarjana Teknik dan Sarjana Perikanan. yang juga telah memiliki pengalaman didalam memahami karakter sosial budaya masyarakat setempat. Dimaksudkan dalam hal ini, pengurus sebelumnya merupakan Pengurus HNSI dimana untuk mengidentifikasi potensi dan permasalahan yang ada di lokasi program terkait dengan upaya pengembangan usaha ekonomi produk masyarakat pesisir sudah tidak diragukan lagi. Sistem dan mekanisme monitoring, evaluasi dan pelaporan perkembangan koperasi.
Koperasi
LEPP-M3 telah memiliki sistem dan mekanisme untuk
54
monitoring dan evaluasi. Adanya sistem monitoring yang baik disertai dengan pelaksanaannya yang baik telah membuat pengurus mampu mengidentifikasi penyebab timbulnya kemacetan kredit serta ada keinginan untuk melunasi hutang secara cepat dari nasabah yang tinggi pada saat mereka memiliki uang yang cukup. Sebagai tindak lanjutnya, pengurus kemudian menjadikan berbagai informasi hasil monitoring terhadap kondisi di lapangan tersebut sebagai bahan untuk menentukan sistem dan mekanisme pengelolaan kredit yang sesuai dengan kondisi di lapangan. Sebagai contoh hasil tindak lanjut dari hasil monitoring tersebut diantaranya adalah : (1) Bagi peminjam dengan tingkat pengembalian yang cukup tinggi koperasi akan memberi kemudahan peminjaman serta nilai skim yang lebih besar; (2) Baik penabung maupun maupun peminjam uang dikenakan bunga antara 1,2% sampai dengan 1,5% per bulan. Tingkat bunga ini sangat tergantung wilayah kerja serta tingkat pengembalian dari nasabah. Hasil dari bunga digunakan untuk insentif bagi Ketua Kelompok. Pengelola kredit. serta sebagai nilai tambah bagi koperasi. Seluruh kegiatan tersebut terlaporkan dengan cukup baik di setiap laporan tahunan koperasi. 4.2.3.3 Kapasitas Pemanfaat Hasil evaluasi program PEMP yang sejak tahun 2001 hingga tahun 2006 pada Kabupaten Sambas status kapasitas pemanfaat yang terdiri dari Kelompok Pemanfaat/KMP (periode tahun 2001-2003) dan individu (periode 2004-2006) menunjukkan kondisi yang baik. Sebenarnya dari beberapa aspek penting dari kapasitas pemanfaat mulai nampak kecenderungan mengindikasikan kondisi yang positif terutama dari sisi proses penetapan jenis Usaha Ekonomi Produktif (UEP) yang difasilitasi program PEMP, dan kesesuaian kriteria penerima DEP. Meskipun masih terjadi kelemahan-kelemahan. Dalam hubungannya dengan proses penetapan jenis UEP dan penerima DEP, beberapa hal perlu dipenuhi seperti penggunaan format sistematik standar dalam pembuatan proposal (rencana bisnis) UEP yang disiapkan oleh LEPP-M3, rumusan kriteria sebagai acuan verifikasi UEP dan penerima DEP instrumen untuk survei faktual, dan yang terpenting adanya kerangka waktu yang digunakan mulai dari pengajuan usulan, verifikasi,
55
persetujuan proposal, kontrak kerja sampai pada likuiditas dana kepada pemanfaat (kelompok masyarakat atau individu). Untuk membantu pelaksanaan kegiatankegiatan tersebut, Departemen Kelautan dan Perikanan sebagai penanggung jawab program PEMP telah menyediakan Pedoman Umum (Pedum), tetapi hal-hal yang sifatnya detail teknis belum disiapkan. Meskipun demikian, dengan melihat situasi dan kebutuhan-kebutuhan untuk efektifitas proses seharusnya penanggung jawab program PEMP di daerah dan pelaku-pelaku lainnya berinisiatif untuk menyusun instrumen-instrumen yang terkait dengan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan, sehingga
proses
pelembagaan
(sistem,
organisasi,
penatakelolaan
program/internal governance) dan domestikasi (pengambil alihan peran pemangku kepentingan lokal) secara perlahan dapat terwujud. Leverage of Attributes
Transformasi dan replikasi UEP bagi kelompok/individu non pemanfaat
Attr ibu te
Perubahan pendapatan dan bertambahnya nilai manfaat
Ekstensifikasi dan diversifikasi jenis UEP
Penguasaan teknis UEP yg dilaksanakan
Adanya manajemen & administrasi Keuangan UEP yg dilaksanakan
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 15. Diagram Analysis Leverage Kapasitas Pemanfaat Tabel 12. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kapasitas Pemanfaat No.
Faktor – faktor Berpengaruh
Nilai Leverage
1.
Perubahan pendapatan dan bertambahnya nilai manfaat
7,86
2.
Adanya manajemen & administrasi keuangan UEP yg dilaksanakan
6,32
3.
Penguasaan teknis UEP yang dilaksanakan
5,73
4.
Tranformasi dan replikasi UEP bagi kelompok/individu non pemanfaat
5,68
5.
Ekstensifikasi dan diversifikasi jenis UEP
5,57
Variabel penting lainnya pada indikator kapasitas pemanfaat terkait dengan pelaksanaan UEP dan pengelolaan DEP adalah tingkat keterampilan pemanfaat dalam memilih, menjalankan dan mengembangkan UEP. Keberhasilan UEP yang dilaksanakan oleh masyarakat pemanfaat dilihat dari sisi manfaat
56
ekonomi dari UEP, status keberlanjutan UEP, manajemen usaha yang efektif, dan pengadministrasian (pembukuan). Nilai manfaat ekonomi berupa peningkatan pendapatan (income gernerating) dari UEP yang dilaksanakan oleh pemanfaat merupakan tujuan utama program PEMP sebagai salah satu bentuk upaya penanggulangan kemiskinan masyarakat pesisir. Penghantaran sumberdaya DEP untuk mendukung pelaksaan UEP untuk masyarakat pemanfaat diharapkan dapat membantu dalam optimalisasi (intensifikasi), pengembangan (ekstensifikasi), dan perluasan usaha (diverfisifikasi), dengan itu akan terbangun kekuatan masyarakat pemanfaat, yang selanjutnya secara mandiri dapat melakukan UEP bahkan meneteskan manfaat bagi kelompok masyarakat lainnya. Manajemen usaha yang diterapkan oleh masyarakat pemanfaat untuk melakukan UEP dalam hal keterampilan merencanakan usaha, keterampilan teknis, keterampilan mengelola keuangan dan kemampuan mengembangkan jaringan kemitraan
akan sangat
membantu efektifitas dan pengembangan UEP. Tertib administrasi usaha akan mendukung masyarakat mewujudkan tertib administrasi, transparansi dan akuntabilitas usaha, sehingga akan menumbuhkan kepercayaan antar anggota kelompok dan lembaga-lembaga mitra (pemerintah, koperasi dan lembaga perbankan). Status kapasitas pemanfaat yang dicapai saat ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Secara internal, masyarakat pesisir dan kepulauan memiliki potensi untuk mengembangkan diri, semangat berkarya dan berprestasi, serta motivasi meningkatkan taraf kesejahteraan mereka. Pengelolaan potensi internal tidak dapat berjalan secara optimal untuk mewujudkan harapan-harapan masyarakat pesisir. Perkembangan potensi internal masyarakat dipengaruhi oleh input / stimulus dan proses interaksi dengan lingkungan sekitar. Pengetahuan, wawasan dan kompetensi masyarakat ditentukan antara lain oleh latar belakang pendidikan, pembelajaran, pengalaman (formal dan informal) dan intervensi luar yang dapat merangsang tumbuhnya kecerdasan berfikir masyarakat. Secara spesifik, kemampuan masyarakat untuk mengembangkan usaha ekonomi dipengaruhi oleh keterampilan manajemen teknis, kemitraan, dan dukungan fasilitas termasuk akses terhadap jaringan pemasaran.
57
Beberapa dekade perjalanan pembangunan, masyarakat pesisir dan kepulauan belum mendapatkan fasilitas dan pelayanan yang memadai dapat mengembangkan potensi internal yang dimilikinya dalam rangka memanfaatkan sumberdaya alam (perikanan). Dengan paradigma pembangunan yang bertumpu pada sektor agraris dan urban (masyarakat pemerintah, menyebabkan intervensi
perkotaan) yang diterapkan oleh
pembangunan di wilayah pesisir dan
kepulauan sangat minim, bahkan beberapa wilayah yang letaknya sangat terpencil (pulau-pulau tertular dan perbatasan) hampir tidak tersentuh pembangunan sama sekali. Kebijakan-kebijakan yang dilahirkan untuk semua bidang / sektor, seperti kesehatan, pendidikan, infra struktur, dan sosial kemasyarakatan tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan membantu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat yang berdiam di wilayah ini. Implikasinya, komunitas pesisir mengalami marginalisasi kepentingan dan kesempatan untuk memperbaiki kualitas hidup dan mengelola sumberdaya lingkungan sehingga sulit berpartisipasi dalam proses pembangunan. Program PEMP merupakan wujud keberpihakan pemerintah untuk mendistribusi sumberdaya bagian pengembangan wilayah pesisir dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat yang berdiam di dalamnya. Strategi pemberian insentif yang dikembangkan oleh PEMP dalam bentuk kemudahan mengakses modal usaha dalam bentuk dana ekonomi produktif (DEP) dan pembinaan kelembagaan diharapkan secara bertahap dapat memperbaiki derajat kesejahteraan masyarakat kemampuan yang relatif terbatas, masyarakat tidak serta merta dapat berperan efektif dan mengambil tanggung jawab dalam program PEMP. Adanya pola interaktif masyarakat dengan program PEMP yang akomodatif terhadap situasi dan kecenderungan pilihan-pilihan perubahan, merupakan keniscayaan yang akan memhawa masyarakat pada status siap untuk menjadi bagian dalam program PEMP. Dalam konteks program PEMP, masyarakat tidak diposisikan sebagai obyek atau pihak yang akan di intervensi, melainkan masyarakat sebagai subyek atau pihak yang berperan penting bersama-sama dengan koperasi LEPP-M3 dalam menentukan sistem, mekanisme, dan tata cara pengelolaan fasilitas yang diberikan oleh PEMP, khususnya dana ekonomi produktif (DEP). Melalui
58
penumbuhan wawasan dan pengetahuan, peningkatan kapasitas, penguatan jaringan usaha, serta pembinaan terhadap masyarakat diharapkan dapat mendorong partisipasi dan tanggung jawab masyarakat dalam mengelola DEP yang difasilitasi program PEMP. Sebelum masyarakat memanfaatkan DEP untuk mendukung UEP, dilakukan beberapa kegiatan sebagai "early action".Tujuan kegiatan-kegiatan tersebut tidak hanya untuk memberikan pemahaman tentang tujuan, hasil dan target program PEMP, tetapi juga untuk meningkatkan kepercayaan dan membangun kompetensi masyarakat dalam mengelola usaha. Perjalanan proram PEMP selama 5 tahun, status kapasitas pemanfaat belum dapat diakselerasi untuk mencapai performa kinerja yang baik. Dari hasil evaluasi program PEMP, kondisi tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor,antara lain: -
Latar belakang pendidikan masyarakat yang relatif rendah menyebabkan proses tranformasi pengetahuan, keterampilan dan teknologi tidak berjalan efektif. Hal ini menyebabkan masyarakat sulit melakukan inovasi dan improvisasi dalam manajemen usaha;
-
Model-model manajemen modern masih dianggap suatu yang baru oleh masyarakat, sehingga masih membutuhkan waktu bagi masyarakat untuk beradaptasi dan internalisasi;
-
Pada beberapa daerah, masih efektif sistem sosial “juragan-pekerja”, menyebabkan pola pengambilan keputusan dan kontrol terhadap manajemen usaha masih didominasi oleh pihak yang memiliki kekuatan dan kekuasan;
-
Kultur menabung dan orientasi jangka panjang belum terbangun secara kuat ditengah-tengah masyarakat, sehingga model manajemen dan hasil-hasil yang diperoleh dalam berusaha belum sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhankebutuhan masyarakat; dan
-
Terjadi preseden buruk mengenai bantuan-bantuan yang diberikan oleh pemerintah dan pihak-pihak lainnya (NGO’s, , sektor swasta) dimasa lalu yang umumnya bersifat “charity” atau hibah dimana masyarakat tidak punya kewajiban untuk mengembalikannya, sehingga terbangun image pada masyarakat yang menggeneralisasi bantuan-bantuan yang ada ( termasuk program PEMP).
59
Selain faktor-faktor dia atas, masih terdapat hal-hal lain yang turut berkontribusi terhadap status kapasitas pemanfaat yang belum baik, yaitu tidak efektifnya proses tranformasi serta pembaruan wawasan dan kemampuan masyarakat yang difasilitasi oleh Konsultan
Manajemen (KM), Tenaga
Pendamping Desa (TPD) dan Koperasi LEPP-M3 yang diangkat dan dibentuk oleh Dinas Kelautan dan Perikanan. Fungsi-fungsi asistensi, supervisi dan pembinaan yang diperankan oleh pihak-pihak tersebut belum dijalankan secara baik dan konsisten. Fakta-fakta yang banyak dijumpai ditingkat lapangan adalah banyaknya kelompok-kelompok yang dibentuk tidak berdasarkan kebutuhan dan kepentingan berkelompok, tetapi hanya sekedar “artificial” untuk memenuhi kewajiban administrasi (ada kelompok yang dapat menyerap dana yang tersedia). Hal ini berdampak pada orientasi usaha serta soliditas kelompok yang tidak fokus dan rapuh. Dalam pengajuan usulan usaha, memang tidak diwajibkan usaha sejenis yang akan dilakukan oleh kelompok, tetapi kelompok bertanggung jawab memfasilitasi anggota baik dalam melaksanakan usahanya, penerapan manajemen maupun pengembalian kredit. Dengan adanya pola pembentukan kelompok yang artificial seperti diatas, maka “perekat” dalam kelompok tidak akan berfungsi, manfaat berkelompok tidak akan dirasakan oleh anggota, dan pada akhirnya kelompok akan bubar bersamaan dengan gagalnya usaha atau terhentinya program PEMP. Pada periode tahun 2004 sampai dengan 2006, pendekatan yang digunakan program PEMP dalam mendistribusi DEP tidak lagi difokuskan pada kelompok-kelompok masyarakat, melainkan individu-individu dengan syarat tertentu. Hal ini dilakukan tidak bermaksud
untuk membatasi sekuritas dan
efektiftas pengelolaan DEP. Dari hasil eveluasi pelaksanaan program PEMP khususnya periode tahun 2001 sampai dengan 2003 ditemukan kegagalan (macet) pelaksanaan UEP, bahkan penyimpangan dalam penggunaan DEP. Hal tesebut disebabkan lemahnya sistem verifikasi usulan usaha, dan tidak kuatnya mekanisme pencairan dan pengawasan penggunaan DEP oleh Dinas Perikatan dan Kelautan. sementara pendekatan yang dilakukan pada periode tahun 2004 sampai dengan 2006, DEP diinternalisasikan pada bank-bank pelaksana yang ditunjuk (berdasarkan MoU Bank dengan Departemen Kelautan dan Perikanan RI). Dengan pola seperti ini,
60
pemanfaat DEP ditujukan bagi individu-individu yang berminat dan memenuhi kriteria. Perkembangan UEP dapat dipantau secara berkala, dan tingkat akuntabilitas pemanfaat akan lebih besar, karena tanggung jawab dan resiko sepenuhnya ditanggung oleh individu pemanfaat. Pendekatan yang berbasis individu akan bertumpu pada keinginan atau motivasi untuk memanfaatkan fasilitas yang disiapkan oleh program PEMP. Beberapa hal yang dapat mendorong keinginan atau motivasi masyarakat untuk memanfaatkan DEP, seperti informasi rinci mengenai program PEMP (yang dilakukan melalui sosialisasi, diseminasi dan penyuluhan-penyuluhan) serta kemudahan dalam mengakses DEP di lembaga keuangan (bank pelaksana). keinginan masyarakat untuk mengakses lembaga keuangan tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh suku bunga pinjaman, melainkan kemudahan persyaratan dan prosedur pengajuan pinjaman serta lamanya waktu yang diperlukan sejak pengajuan hingga pencapain pinjaman. Kabupaten Sambas sebagai menerima program PEMP lebih dari 3 tahun dan menjalankan program-program pemberdayaan lainnya, nampaknya telah belajar dari pengalaman-pengalaman dalam melakukan strategi penguatan kapasitas masyarakat. Hal tersebut sangat membantu pihak pengelola dan masyarakat
dalam
melaksanakan
UEP.
Pendekatan
dan
strategi
yang
dikembangkan untuk mendorong proses penguatan kapasitas masyarakat pemanfaat dan optimalisasi pengelolaan UEP adalah sebagai berikut : -
Melakukan seleksi yang ketat dalam mengangkat KM dan TPD berdasarkan kualifikasi standar (sesuai Pedum), karena yang akan berfungsi melakukan asistensi, penguatan kapasitas supervisi dan pembinaan bagi koperasi LEPPM3 dan masmyarakat pemanfaat;
-
Merumuskan sistem dan mekanisme dalam bank pelaksana sifatnya lebih akomodatif terhadap kondisi masyarakat dalam hal penentuan suku bunga, persyaratan, prosedur, waktu pinjaman;
-
Melakukan kajian bersama dalam menentukan kebutuhan penentuan jenis usaha, penumbuhan kelompok (pembentukan penguatan kelompok yang sudah eksis), dan peningkatan kapasitas masyarakat pemanfaat;
-
Melakukan monitoring dan supervisi secara berkala, masalah-masalah yang
61
dapat
menghambat
pelaksanaan usaha pengajuan kredit dan lain-lain
terdeteksi dan segera melakukan upaya pemecahannya; -
Koordinasi dan komunikasi yang intensif dengan para pelaku program (Dinas, KM, TPD, Koperasi, dan Bank pelaksana), sehingga terbangun sinergisitas dan keterpaduan dalam bertindak mendukung program PEMP khususnya bagi pengembangan usaha masyarakat pemanfaat;
-
Melakukan pelatihan-pelatihan, kursus-kursus, magang, dan studi banding dalam rangka meningkatkan keterampian masyarakat pemanfaat untuk mengelola dan mengembangkan usaha, penguatan akses permodalan serta pemasaran, dan membangun jaringan kemitraaan strategis; dan
-
Mendorong
partisipasi
keiompok-kelompok
perempuan
yang
secara
psikologis memiliki semangat wirausaha yang baik, manajemen yang rapi dan tanggung jawab yang besar dalam mengelola usaha yang berbasis pinjaman. Kelemahan dan kekuatan yang dimiliki oleh masyarakat perlu difasilitasi agar menjadi potensi yang berdaya guna bagi mereka sehingga peran-peran strategis dapat difungsikan secara baik. Kelemahan masyarakat tidak harus dijadikan sebagai alasan untuk tidak memberikan kesempatan dan tanggung jawab, tetapi dengan kelemahan tersebut
dijadikan dasar untuk menggali
kebutuhan-kebutuhan ril dalam kerangka pemberdayaan masyarakat. Kekuatan masyarakat harus dikelola secara baik, agar dapat membantu masyarakat memanfaatkan kesempatan dan menjalankan
tanggung jawabnya secara
proporsional dalam mengelola UEP. Status kapasitas pemanfaat saat ini, harus dijadikan sebagai cambuk untuk mengembangkan strategi dan pendekatan yang relevan dengan program PEMP, sehingga daya
masyarakat yang hilang
(mispower) dapat dibangkitkan kembali (empowerment) yang pada gilirannya mewujudkan bergeraknya Tridaya Masyarakat, yakni daya ekonomi, daya sosial dan daya pembangunan. Status kapasitas pemanfaat yang dicapai saat ini, tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal seperti latar belakang pendidikan, kultur masyarakat yang belum kondusif untuk pengembangan program, kemampuan adaptasi dan improvisasi, kemampuan dalam manajemen modern, kemampuan teknis, dan
62
jaringan kemitraan. Akan tetapi, kondisi tersebut juga banyak dipengaruhi oleh faktor ekstenal seperti intensitas dan konsistensi pembinaan, upaya peningkatan kapasitas, pengembangan model usaha, dan fasilitasi kemitraan usaha. Input yang diberikan oleh PEMP, sebaiknya dimaknai sebagai simulasi sekaligus apresiasi atas kesiapan masyarakat untuk berperan dan berpartisipasi dalam pelaksanaan program PEMP. Proses yang berlangsung dan hasil-hasil yang telah dicapai harus dijadikan sebagai masukan-masukan bagi penyempurnaan strategi dan pendekatan yang berorientasi untuk memberikan kesempatan yang luas bagi masyarakat selain memanfaatkan fasilitas DEP, tetapi juga untuk mengembangkan diri dalam proses pemberdayaan dan pembangunan masyarakat (community development). Perbaikan kapasitas pemanfaat tidak terlepas dari peran Dinas, KM, TPD dan koperasi LEPP-M3, karena pihak-pihak inilah yang berinteraksi secara intensif, baik dalam proses penumbuhan kelompok, penyiapan proposal usaha, pendampingan kelompok (manajemen keuangan dan teknis usaha), dan pembinaan usaha, Kapasitas yang baik dan kompetensi yang relevan sangat mempengaruhi performa kapasitas pemanfaat Sensitifitas KM, TPD, koperasi LEPP-M3 untuk menjaring kebutuhan-kebutuhan masyarakat pemanfaat dan kemampuan mengelola potensi dan situasi bagi pengembangan UEP merupakan keniscayaan dalam membangun kapasitas pemanfaat. Status kapasitas pemanfaat menunjukkan Baik (68,32). Perkembangan status kapasitas pemanfaat memiliki pola yang cenderung lamban, hal tersebut disebabkan oleh faktor internal dan eksternal latar belakang pendidikan masyarakat yang rendah berpengaruh
secara signifikan
terhadap proses
transformasi pengetahuan dan keterampilan, sehingga kemampuan adaptasi dan praktek manajemen modern dalam pelaksanaan usaha ekonomi produktif (UEP) masih lemah. Pencapaian status kapasitas pemanfaat. dapat diakselerasi melalui, asistensi, supervisi dan pembinaan bagi masyarakat pemanfaat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pembinaan dan penguatan masyarakat pemanfaat harus didasari atas kebutuhan peningkatan kapasitas melaksanakan dan mengembangkan UEP yang dikaji secara partisipatoris.
63
Selain hal-hal tersebut di atas, beberapa faktor lain yang turut mempengaruhi secara signifikan efektifitas pelaksanaan peran pemanfaat khususnya dalam pengelolaan DEP maka sebaiknya dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: -
KM, TPD dan koperasi LEPP-M3 harus meakukan identifikasi obyektif terhadap kebutuhan-kebutuhan bagi pengembangan usaha dapat berjalan secara baik;
-
Koperasi LKPP-M3 harus melakukan asistensi, supervisi dan pembinaan bagi masyarakat pemanfaat, sehingga kemanfaatan
UEP dapat dirasakan oleh
masyarakat secara keseluruhan; -
Dinas Kelautan dan Perikanan setempat perlu membuat sistem dan mekanisme monitoring dan evaluasi bagi KM, TPD, koperasi LEPP-M3 dan pelaksanaan UEP oleh pemanfaat, sehingga secara berkala tersedia data dan informasi mengenai perkembangan status dari masing-masing pihak;
-
Dinas
Kelautan dan
Perikanan setempat: perlu menerapkan manajemen
penghargaan (reward) dan sanksi (punishment) bagi KM. TPD, koperasi LEPP-M3 dan masyarakat pemanfaat, agar tumbuh motivasi prestasi, dan sikap tanggung jawab. Dari hasil analysis leverage diperoleh bahwa umumnya indikator-indikator penting yang digunakan dalam evaluasi program PEMP yang mengGambarkan status kapasitas pemanfaat, seperti; (1) ekstensifikasi dan intensifikasi jenis usaha ekonomi produktif (UEP), (2) penguasaan teknis UEP yang dilaksanakan, (3) perubahan pendapatan dan bertambahnya nilai manfaat, (4) Transformasi dan replikasi UEP bagi pemanfaat dan non pemanfaat, dan (5) Adanya manajemen dan administrasi keuangan UEP yang dilaksanakan menunjukkan perbedaan nilai yang relatif kecil (berturut-turut 5.68, 7.86, 5.57, 5.73, dan 6.32). Indikatorindikator tersebut menjadi faktor yang mempengaruhi derajat status kapasitas pemanfaat yang terefleksi riil pada aspek wawasan dan keterampilan pemanfaat dalam mengelola serta mengembangkan jenis UEP, termasuk intensitas pengembalian pinjaman / kredit. Kondisi tersebut mengGambarkan bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pencapaian status kapasitas pemanfaat adalah
64
Perubahan pendapatan dan bertambahnya nilai manfaat, meskipun faktor lainnya juga turut mempengaruhi, akan tetapi pengaruhnya tidak signifikan. Dalam proses peningkatan kapasitas pemanfaat, arah perbaikan kapasitas pemanfaat dapat terlihat, beberapa pembelajaran penting yang dapat diungkap terkait dengan peningkatan kapasitas pentanfaat antara lain: -
Produktifitas usaha ekonomi produktif (UEP) sangat dipengaruhi oleh kultur wirausaha, wawasan dan kemampuan relevan yang dimiliki masyarakat.
Penumbuhan
atau
revitalisasi
kultur
wirausaha
dan
peningkatan kapasitas masyarakat dapat terwujud melalui proses pendampingan yang intensif. Aktualisasi pengalaman dan proses berfikir produktif dari masyarakat perlu dirangsang dengan pendekatan relasi sosial yang baik. demonstrasi contoh-contoh UEP yang baik dan pembinaan teknis secara kontinyu. -
Nilai manfaat dari sebuah UEP sangat dipengaruhi atau ditentukan oleh manajemen usaha dan admnistrasi keuangan yang efektif dan efisien. Semakin baik manajemen usaha dan administrasi keuangan UEP maka semakin besar pula nilai
manfaat
yang
akan diperoleh. termasuk
meneteskan manfaat bagi masyarakat yang lain. Membangun manajemen usaha administrasi keuangan dalam implemetasi UEP dapat dilakukan dan berbagai pendekatan,seperti penguatan kapasitas individu dan kelembagaan dalam bentuk latihan-latihan dan praktek-praktek manajemen usaha. -
Perluasan UEP dalam bentuk replikasi UEP sejenis akan terjadi apabila UEP yang sedang diimplementasikan dapat terlihat secara mudah hasil yang dicapainya ataupun UEP tersebut memiliki potensi untuk berhasil. Situasi psikologi masyarakat yang cenderung mengikuti arus tanpa adanya pertimbangan Substansi atas pilihannya harus dikelola secar tepat, agar pilihan untuk melakukan UEP tidak hanya sekadar melihat hasil UEP dari luar, tetapi secara paralel memiliki kapasitas dan kompetensi yang relevan dengan UEP tersebut. Upaya-upaya yang dapat dilakukan masyarakat tidak bersikap "latah" melalui sosialisasi intensif, latihan motivasi prestasi, praklek-praktek perencanaan, dan pembinaan.
65
4.2.3.4 Kemitraan Sebagai salah satu elemen kinerja program PEMP, kemitraan dapat diihat dari sejumlah indikator, yakni: (1) sinergitas peran pemangku kepentingan mendukung pelaksanaan program PEMP (2) pengembangan dan diversifikasi UEP yang difasilitasi oleh pihak lain; (3) penggunaan modal LEPP-M3 dari perbankan; (4) penganggaran di APBD oleh Pemda dan lembaga lainnya untuk mendukung program; (5) pembinaan UEP oleh lembaga mitra. Kecenderungan yang terjadi pada kemitraan program PEMP tidak bisa dipisahkan dari sisi pemangku kepentingan dan sisi pelaku program sebagai penentu keberhasilan kemitraan tersebut. Berbagai alasan yang diberikan mengapa kemitraan masih rendah, antara lain misalnya tidak adanya dukungan dari para pemangku kepentingan sehingga tidak terjadi kerjasama, tidak terjadi sinergisitas. Beberapa pemangku kepentingan yang diindikasikan sebagai faktor penyebab sulitnya terjalin dan terbangun kemitraan secara etektif adalah sebagai berikut: Bank pelaksana. Bank pelaksana dinilai kurang mendukung dalam hal pencairan
dana.
Sistem
perbankan dirasa
masih menghambat
pelaksanaan kegiatan koperasi, maka Koperasi LEPP-M3 Kabupaten Sambas mengusulkan perbaikan sistem perbankan. Kemitraan dalam pengelolaan anggaran masih sangat terbatas khususnya dalam mendukung program PEMP. Departemen Kelautan dan Perikanan. Kita melihat bahwa kebijakan DKP pusat sebagai faktor yang
kurang mendukung kegiatan kerjasama
dengan perbankan melalui penunjukan bank pelaksana tertentu, tanpa memperhatikan eksistensi bank tersebut di daerah, sehingga kondisi ini cenderung merugikan nasabah (sulit untuk
dapat
mengakses, karena
letaknya jauh dari dimana program dilaksanakan). Dari diskusi dengan Pengurus Koperasi LEPP-M3 terungkap kesan bahwa pedoman dan petunjuk pelaksanaan dari pusat menjadi salah satu kendala dalam upaya penumbuhan dan penguatan kemitraan dalam konteks implementasi program PEMP.
66
Pemda dan Legislatif. Hasil diskusi dengan Konsultan Manjemen dan pengurus Koperasi LEPP-M3, pada umumnya menilai kurangnya dukungan dari pihak Pemerintah Daerah dan Legislatif khususnya dalam hal penganggaran di APBD dan kebijakan. Lemahnya dukungan pemangku kepentingan ini disebabkan belum adanya kerangka acuan kerja bersama antara pemangku kepentingan sehingga tidak terbangun persepsi yang sama terhadap program PEMP utamanya dikalangan anggota DPRD belum terwujud. LEPP-M3. LEPP-M3 adalah salah satu pelaku program yang dinilai belum memiliki profesionalisme menyebabkan calon mitra belum percaya penuh. Ketidakpercayaan pemangku kepentingan lainnya terhadap kinerja LEPP-M3 berpengaruh atas terjalinnya kemitraan yang dapat mendukung program. Jaringan kerjasama yang dimiliki masih terbatas dan tidak ada koordinasi dengan pihak-pihak lain. Di lain pihak, LEPP-M3 menghadapi persoalan
operasional
yang secara signifikan
ini
mempengaruhi
kinerjanya, seperti beban insentif yang diberikan kepada mitra desa menjadi beban operasional lembaga ini. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sambas. Dari diskusi diperoleh informasi bahwa Dinas kelautan dan perikanan Kabupaten Sambas belum menjalankan koordinasi dengan pemangku kepentingan lainnya. DKP Kabupaten Sambas tidak dapat memainkan perannya secara penuh untuk membangun relasi dengan perbankan berimplikasi kepada penggunaan biaya tinggi termasuk menghambat proses likuiditas DEP yang disalurkan ke nasabah. Pelaku Usaha/swasta. Kalangan pemangku kepentingan ini masih belum memahami substansi bahkan teknis pelaksanaan program PEMP, sehingga belum dapat menjalin kemitraan dengan kelompok pemanfaat. Sektor swasta, koperasi dan kelompok pemanfaat belum membangun inisiatif kemitraan untuk mengatasi permasalahan kebutuhan modal usaha dan pemasaran
hasil
tangkapan
atau
budidaya
sehingga
kondisi
ketergantungan dengan pemodal swasta atau '"tengkulak", pelepasan uang
67
masih terjadi. Pemangku kepentingan utama dalam program PEMP harus memiliki komitmen dengan pinak-pihak lain yang memiliki kunci kelembagaan dan kebijakan sehingga ada keberpihakan terhadap masyarakat pesisir. Salah satu strategi untuk menumbuhkan kemitraan adalah perlunya melakukan kegiatankegiatan (seperti workshop atau lokakarya) yang melibatkan semua pemangku kepentingan, baik dari pelaksana program, perbankan, pemda, DPRD dan sektor swasta. Hal-hal yang perlu menjadi topik pembahasan, seperti dukungan anggaran dari daerah untuk menunjang kesinambungan program PEMP dan menjadi agenda pembangunan daerah di bidang pemberdayaan masyarakat
pesisir,
kesepakatan bersama aturan main perbankan yang dapat memperlancar penyaluran DEP, dan kerjasama dengan sektor swasta dalam memperkuat akses pemasaran kelompok pemanfaat program PEMP. Perlu juga melakukan review terhadap pedoman dan petunjuk pelaksanaan dari pusat yang berpotensi menjadi penghambat proses penguatan kemitraan. Leverage of Attributes
Pembinaan UEP oleh lembaga mitra
Attribute
Penganggaran dari PEMDA atau lembaga lain
Penguatan modal LEPPM3 dari lembaga perbankan/keuangan
Pengembangan dan diversivikasi UEP yg diprakarsai dan/diinisiasi pihak lain
Sinergisitas peran pemangku kepentingan untuk mendukung program 0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 16. Diagram Analysis Leverage Kemitraan
68
Tabel 13. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kemitraan No. 1.
Faktor – faktor Berpengaruh Penguatan Modal LEPP-M3 dari Lembaga Perbankan/keuangan
Nilai Leverage 2,74
2. 3.
Pengembangan dan diversifikasi UEP yang diprakarsai pihak lain Penganggaran dari PEMDA atau lembaga lain
2,59 1,80
4. 5.
Sinergisitas peran pemangku kepentingan untuk mendukung program Pembinaan UEP oleh lembaga mitra
0,99 0,70
Dari hasil analysis leverage diperoleh bahwa pada umumnya indikatorindikator penting yang digunakan dalam evaluasi program PEMP yang mengGambarkan status kinerja kapasitas kemitraan pemangku kepentingan, seperti; (1) sinergitas peran pemangku kepentingan untuk mendukung pelaksanaan program, (2) pengembangan dan diversifikasi LEPP-M3 yang diprakarsai/difasilitasi pihak lain, (3) penguatan modal LEPP-M3 dari lembaga perbankan/keuangan, (4) penganggaran
pendukung program dari pemerintah
daerah dan lembaga lainnya, dan (5) pembinaan UEP oleh mitra menunjukan perbedaan nilai yang relatif kecil (berturut-turut 0.99, 2.59, 2.74, 1.80, dan 0.70). Indikator-indikator tersebut menjadi faktor yang mempengaruhi derajat status kemitraan pemangku kepentingan yang terefleksi riil pada aspek komitmen, keberpihakan kebijakan, aksi-aksi riil mendukung implementasi program PEMP. Kondisi tersebut mengGambarkan bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pencapaian status kinerja kapasitas kemitraan pemangku kepentingan adalah penguatan modal LEPP-M3 dari lembaga perbankan/keuangan, meskipun faktor lainnya juga turut mempengaruhi, akan tetapi pengaruhnya tidak signifikan.
Kemitraan yang baik akan berpengaruh secara signifikan terhadap proses pencapain misi dari program PEMP. Keterlibatan pemangku kepentingan yang dibingkai dalam sebuah kemitraan, akan melahirkan sintegritas yang tinggi dan pembagian peran yang efektif. Dari hasil evaluasi, ditemukan berbagai fenomena yang ternyata dapat memberikan pengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap proses terjalin dan terbangunnya kemitraan. Dari perjalanan program PEMP sebagai pembelajaran utama, agar dapat diadopsi atau dijadikanya
69
sebagai bahan komparasi dalam mengembangkan strategi kemitraan pada masa yang akan datang. Pembelajaran tersebut adalah sebagai berikut : (1) Keterpaduan dan sinergitas peran pemangku kepentingan dalam implementasi program PEMP dilandasi atas pemahan yang benar, komitmen dan keberpihakan
untuk
membangun
daerah
khususnya
masyarakat
pesisir.
Kondusifitas "medan partisipasi" terbangun melalui proses sosialisasi/diseminasi secara intensif koordinasi dan konsultasi berkala, serta advokasi dan penyadaran bagi pemangku kepentingan mengenai arti penting pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan dan nilai strategis program PEMP dalam mewujudkan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat pesisir. (2)
Lemahnya dukungan dan konstribusi pemangku kepentingan
berdasarkan tugas pokok dan lingkup otoritas yang dimilikinya sangat mempengaruhi keberhasilan program PEMP. Kondisi tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti tidak memadainya distribusi yang sampai pada sasaran pemangku kepentingan, rendahnya intensitas hubungan antar pemangku kepentingan dalam konteks formal maupun non-formal, masih menggejalanya "ego sektoral" di lingkup institusi pemerintah. dan rendahnya kepercayaan pemangku kepentingan terhadap pelaksana/penanggung jawab program.
4.2.3.5 Persepsi Pemangku Kepentingan Keberhasilan suatu program sangat dipengaruhi oleh persepsi orang-orang yang terkait dengan program itu, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Adapun mereka yang terkait dengan program PEMP ini antara lain adalah Pemda, KM, TPD, anggota LEPP-M3 dan masyarakat pesisir sebagai penerima / pemanfaat program. Hasil evaluasi Kabupaten sambas dari hasil analisa masuk dalam katagori Baik (65,66). Refleksi persepsi para pemangku kepentingan terhadap program PEMP yang cenderung negatif umumnya terkait: dengan kemampuan KM dan TPD, penunjukan bank pelaksana, diperlukannya agunan untuk memperoleh pinjaman dana dan bunga bank yang cenderung tinggi.
70
Penunjukan bank pelaksana oleh pusat juga menimbulkan persepsi yang kurang baik di masyarakat. itu karena bank pelaksana yang ditunjuk tidak selalu ada diKabpaten Sambas, sehingga untuk mengurusnya menmerlukan waktu dan biaya ekstra. Selain itu birokrasi yang dijalankan oleh bank pelaksana dianggap terlalu berbelit, sehingga tidak mendukung proses pencairan dana. Adanya agunan untuk memperoleh pinjaman juga disikapi secara kritis oleh sebagian masyarakat. Dengan adanya agunan, maka program PEMP tidak ubahnya sebagai praktek perbankan, sehingga yang memperoleh pinjaman hanya mereka yang secara ekonomi sudah mapan sementara untuk nelayan buruh yang selama ini terpinggirkan, selamanya tidak akan pernah mendapatkan bantuan pinjaman karena ketiadaan agunan. Semua itu adalah bagian dari persepsi negatif dari masyarakat terhadap program PEMP. Pertanyaannya adalah mengapa terdapat kecendrungan dari masyarakat terjadinya persepsi yang negatif. Hasil wawancara menunjukkan bahwa persepsi masyarakat itu dipengaruhi oleh beberapa hal. Adanya informasi yang salah tentang program PEMP, ternyata memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap persepsi masyarakat tentang PEMP. Adapun informasi yang salah itu muncul karena keberadaan program-program lain yang di luar PEMP. Banyak program diluar PEMP yang menggulirkan dana bantuan ke masyarakat
dengan
sistem
hibah,
sehingga
masyarakat
tidak
perlu
mengembalikan dana yang sudah diperoleh. Hal itu sangat mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap program PEMP, yang menganggap bahwa program PEMP juga merupakan hibah, dan bukan kredit bergulir. Pandangan yang demikian itu masih dimiliki oleh sebagian masyarakat. Bahkan pandangan yang demikian sengaja dihembuskan oleh oknum-oknum tertentu, termasuk anggota legislatif, untuk kepentingan individual maupun kelompoknya. Pandangan yang demikian tentunya menyesatkan. Karena sesuai dengan realitas
PEMP yang sebenarya merupakan kredit bergulir. Dengan
statusnya sebagai kredit bergulir, maka menjadi kewajiban masyarakat untuk mengembalikannya. Karena itu pandangan demikian bahwa dana PEMP merupakan hibah pada gilirannya dapat menghambat pengembalian kredit yang sudah dipinjam oleh masyarakat.
71
Pandangan bahwa DEP yang disalurkan dalam program PEMP itu merupakan hibah dalam batas tertentu bisa diterima, namun terbatas pada hibah dari pemerintah kepada LEPP-M3 sebagai lembaga keuangan mikro yang diharapkan dapat berbentuk koperasi. Meskipun demikian dalam kaitannya ke masyarakat, dana itu sama sekali bukan merupakan dana yang bersifat hibah. Masalah sosialisasi dari program PEMP ternyata juga besar pengaruhnya terhadap persepsi tentang PEMP. Ada beberapa pemangku kepentingan cenderung memiliki persepsi yang negatif ternyata bahwa sosialisasi di daerah itu belum dilaksanakan secara intensif. Hal itu bukan berarti bahwa di daerah itu tidak ada sosialisasi, namun sosialisasi yang dilakukan sangat minim. Sebagai Gambaran, sosialisasi dilaksanakan hanya satu kali di kabupaten, itupun tidak diikuti oleh semua unsur masyarakat yang ada. Terkait dengan hal tersebut maka masalah keterlibatan berbagai unsur yang ada dalam masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam sosialisasi juga merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam. membentuk persepsi masyarakat. Di daerah-daerah yang persepsi masyarakatnya cenderung positif ternyata sosialisasi program PEMP tidak hanya terbatas pada pelaku program PEMP saja, melainkan juga melibatkan kelompok-kelompok sosial yang ada di daerah itu, termasuk pihak eksekutif dan legislatif. Walaupun tidak terkait langsung dengan program PEMP, namun pemahaman anggota legislatif terhadap program PEMP itu nampaknya penting, karena ternyata persepsi yang salah yang dimiliki oleh seorang anggota dewan itu bisa mempengaruhi masyarakat pendukungnya. Ketersediaan sarana informasi yang memadai juga merupakan pendukung bagi terwujudnya persepsi yang positif. Di kecamatan yang tidak didukung oleh sarana informasi yang memadai, ternyata pemahaman masyarakat terhadap program PEMP sangat kurang. Hal itu membuka peluang kepada mereka untuk mencari sumber informasi yang lain tentang PEMP, yang belum tentu dapat dijamin kebenarannya. Walaupun sosialisasi sudah berjalan dengan baik, namun jika tanpa didukung oleh sarana informasi yang baik, seperti brosur dan sejenisnya, maka masyarakat cenderung melupakan materi sosialisasi yang pernah didapat, Sebaliknya dengan ketersediaan sarana informasi yang memadai, maka
72
selain persebaran informasi dapat lebih meluas, masyarakat juga lebih mudah mengingat karena setiap saat bisa melihat informasi yang tersedia di beberapa lokasi. Keberadaan
kelompok-kelompok
kepentingan
lainnya
yang
aktif
melakukan pemantauan dan pengawasan pada program-program bantuan pemerintah sangat membantu untuk membangun prinsip transparansi dan akuntabilitas, sehingga menumbuhkan kepercayaan terhadap program PEMP. Adanya kepercayaan itu ternyata mampu menimbulkan persepsi yang positif pada program ini. Selain itu, adanya sinergi program antara pemangku kepentingan terkait, seperti Dinas, Koperasi dan UKM, terkait dengan pemberdayaan masyarakat pesisir dan pertanggungjawaban kegiatan PEMP, juga ikut memberi warna pada munculnya persepsi yang positif dari masyarakat. Dengan adanya sinergi maka memunculkan kesan di masyarakat bahwa program PEMP merupakan program yang dilaksanakan secara serius. Dalam hal ini di Kecamatan Pemangkat, sinergi antara pemangku kepentingan itu kurang terwujud dilapangan. Masing-masing pemangku kepentingan berjalan sendiri dalam megimplementasikan program PEMP, sehingga kadang terjadi perbedaan pemahaman di antara pemangku kepentingan sendiri. Hal itu misalnya terkait dengan pandangan tentang pengembalian kredit macet, bukan karena yang bersangkutan tidak mau bayar tetapi karena tidak mampu, baik yang disebabkan kegagalan usaha maupun faktor lain. Sebagian pemangku kepentingan pelaksana menyatakan bahwa yang seperti itu tidak perlu membayar, tetapi sebagian yang lain menyatakan bahwa tetap harus dibayar tetapi ditangguhkan pembayarannya. Tanpa ada koordinasi yang baik diantara pelaksana program, yang dirugikan adalah nasabah karena mereka diombang-ambingkan oleh ketidakpastian. Adapun faktor lain yang tidak kalah pentingnya yang ikut berpengaruh terhadap munculnya persepsi yang positif adalah adanya pemahaman yang dimiliki oleh para pelaku program PEMP, baik secara konseptual maupun implementatif. Pemahaman itu bahkan mencakup upaya identifikasi kelemahan
73
dan kekuatan program. Dengan pemahaman yang demikian maka masyarakat menjadi yakin terhadap keseriusan program PEMP, sehingga memunculkan persepsi yang positif. Munculnya kelompok-kelompok dadakan juga ikut berpengaruh terhadap persepsi masyarakat terhadap program PEMP. Kelompok dadakan yang dibentuk hanya untuk memperoleh pinjaman dari PEMP mengakibatkan mereka tidak begitu memahami apa sebenarnya misi dan visi dari PEMP. Ketidaktahuan itulah maka mereka memiliki pemahaman yang keliru tentang program ini. Terkait dengan permasalahan-permasalahan yang ikut menentukan persepsi masyarakat tersebut, maka direkomendasikan agar sosialisasi tentang PEMP lebih digalakkan. Sosialisasi tidak cukup diaksanakan di kabupaten, melainkan juga di berbagai tingkat wilayah, termasuk provinsi, kecamatan dan desa. Sosialisasi tidak cukup melalui perwakilan, melainkan secara langsung ke berbagai lapisan masyarakat, termasuk ke pihak eksekutif dan legisatif. Dengan demikian tidak terjadi distorsi informasi. Agar lebih efektif, disarankan sosialisasi menggunakan berbagai media dan berbagai sarana dan prasarana yang ada, seperti tempat-tempat ibadah. Selain itu, agar sosialisasi lebih mencakup kalangan yang lebih luas, dapat menggunakan leaflet atau poster untuk menyebarluaskan informasi. Sosialisasi juga dapat dilaksanakan dalam bentuk rapat koordinasi antar pelaksana program dan lokakarya secara terbatas untuk membahas permasalahan-permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan program PEMP. Untuk menimbulkan persepsi yang positif dari masyarakat terhadap program
PEMP,
sebaiknya
masyarakat
dilibatkan
dalam
pembentukan
kelembagaan PEMP. Keterlibatan masyarakat itu penting, karena dengan keterlibatan itu maka masyarakat merasa memiliki lembaga yang sudah dibentuk. Peningkatan kapasitas
Konsultan Manajemen (KM) dan Tenaga
Pendamping Desa (TPD) juga perlu dilakukan untuk memunculkan persepsi yang positif dari masyarakat. Sesuai dengan fungsinya, konsultan manajemen memang
74
hanya berkewajiban memberikan saran yang terkait dengan pengelolaan PEMP. Meskipun demikian, akan lebih baik jika mereka juga diberi beban tambahan untuk memberikan pengertian kepada masyarakat tentang PEMP. Beban itu juga perlu diberikan kepada TPD, sehingga mereka dapat melakukan pendampingan yang lebih intensif kepada masyarakat. Leverage of Attributes
Attribute
Bentuk partisipasi dalam implementasi program
Relevansi perencanaan program dan anggaran dari para pemangku kepentingan
Kesesuaian peran dalam Program
Pemahaman terhadap substansi dan manajemen program
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 17. Diagram Analysis Leverage Pemangku Kepentingan
Tabel 14. Faktor-faktor yang mempengaruhi Pemangku Kepentingan No. 1.
Faktor – faktor Berpengaruh Kesesuaian peran dalam program
Nilai Leverage 9,10
2.
Relevansi perencanaan program dan anggaran dari para pemangku kepentingan
4,60
3.
Bentuk partisipasi dalam implementasi program
4,08
4.
Pemahaman terhadap substansi dan manajemen program
0,32
Dari hasil anaysis leverage diperoleh bahwa pada umumnya indikatorindikator penting yang digunakan dalam evaluasi komprehensif program PEMP yang mengGambarkan status persepsi pemangku kepentingan, seperti; (1) pemahaman terhadap substansi dan manajemen program, (2) kesesuaian peran dan program, (3) relevansi perencanaan program dan anggaran dari pemangku kepentingan yang mendukung program, dan (4) bentuk partisipasi dalam
75
implementasi program menunjukkan perbedaan nilai yang relatif kecil (berturutturut 0.32, 9.10, 4.60, dan 4.08). Indikator-indikator tersebut menjadi faktor yang mempengaruhi derajat status persepsi pemangku kepentingan yang terefleksi riil pada aspek kebijakan dan konstribusi pembiayaan kegiatan-kegiatan untuk mendukung pencapain target implementasi program PEMP. Kondisi tersebut mengGambarkan bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pencapaian status persepsi pemangku kepentingan adalah kesesuaian peran dan program, meskipun faktor lainnya juga turut mempengaruhi, akan tetapi pengaruhnya tidak signifikan. Pembelajaran utama yang dapat ditarik dari evaluasi status persepsi pemangku kepentingan adaah sebagai berikut : -
Persepsi yang baik dari pemangku kepentingan akan terbangun melalui proses penghantaran informasi yang intensif mengenai hal-hal yang terkait dengan program PEMP, baik yang bersifat substansi maupun manajemen. Selain itu, persepsi yang baik dari pemangku kepentingan dapat terbangun dan dipengaruhi oleh
kemampuan program menampilkan praktek-praktek
transparansi dan akuntabilitas. -
Keterlibatan pemangku kepentingan umumnya masih bersifat partisipasi manipulatif yang hanya mengukur manfaat yang dapat diperoleh dari keterlibatannya tanpa melihat tingkat urgensi dan kemanfaatan yang dapat diperoleh dengan keterlibatannya. Menumbuhkan partisipasi
sejati dari
pemangku kepentingan hanya dapat terjadi jika didekati dengan teknik persuasif, konsisten, dan keikhlasan. Seain itu, perlu melahirkan presedenpreseden yang baik dalam bentuk karya/presetasi untuk menggantikan “suasana trauma” dan preseden-preseden buruk masa lalu, sehingga secara perlahan pemangku kepentingan dapat melihat manfaat dan keistimewaan program PEMP.
76
4.3 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA PROGRAM PEMP KECAMATAN PEMANGKAT Hal-hal yang mempegaruhi Kinerja Program PEMP merupakan faktor yang menjadi bagian yang cukup penting dalam melihat kinerja Program PEMP tersebut anatar lain :
4.3.1 Faktor yang mempengaruhi Kelembagaan Analisis yang lebih mendalam dilakukan dengan mengekplorasi berjalannya faktor-faktor yang secara mendasar mempengaruhi pencapaian status kinerja kelembagaan. Analisis terhadap faktor tesebut sekaligus sebagai bahan yang dapat dijadikan acuan untuk program tahun berikutnya : 1. Sumberdaya Tenaga Pendamping desa (TPD). Merupakan tenaga yang mempunyai kompetensi kerja dalam pendampingan masyarakat yang bersedia tinggal (komitmen) ditengah masyarakat secara terus menerus selama masa program. TPD mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam menyusun perencanaan, pelaksanaan dan tindak lanjut kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat atau KMP terutama dalam upaya menyiapkan rencana usaha, mengakses modal dan pengelolaan kegiatan usahanya. Person yang menjadi TPD ditekankan berasal dari daerah program pendidikan minimal SMA. Kinerja kelembagaan dikategorikan baik tergambar bahwa TPD di lokasi tersebut dimana tenaga-tenaga yang mempunyai pengalaman dalam menangani program pemberdayaan atau pendampingan masyarakat dan memahami konsepsi pemberdayaan masyarakat. Hal ini yang menjadi jaminan kapasitas personal dan kualitas kerja TPD
dalam
menjalankan
tugas
dan
tanggungjawab
yang
diembannya. Kondisi tersebut di atas setelah diteliti, pemahaman atas tanggung jawab serta kesesuaian kualitas menunjukkan nilai yang cukup tinggi. Artinya kualifikasi memenuhi sebagaimana dipersyaratkan, namun demikian dalam proses pelaksanaan tugas dan tanggungjawabnya menjadi melemah situasi ini pada akhirnya menyebabkan output hasil dari tugastugas yang seharusnya dijalankan oleh TPD menjadi tidak optimal. Di lain pihak, faktor yang juga menjadi penyebab adalah proses perekrutan yang
77
tidak dijalankan oleh KM dan tidak kompetitif, namun lebih didasarkan atas rekomendasi atau inisiatif dari Dinas KP. 2. Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP). Merupakan kelompok atau individu yang berusaha di sektor kelautan dan perikanan yang selanjutnya dapat mengakses atau menjadi nasabah dari pinjaman kredit disediakan oleh program PEMP dibawah pengelolaan Koperasi LEPP-M3. di Kabupaten Sambas sangat jelas tergambar bahwa KMP atau individu penerima tersebut telah melakui proses seleksi kelayakan dan kesesuaian usaha sesuai dengan sistem dan mekanisme dipersyaratkan. Proses ini yang setidaknya menjadi parameter awal yang menentukan keberlanjutan usaha dan kelancaran proses pengangsuran pinjaman kredit. 3. Kondisi dan sistem Perbankan. Tugas dan fungsi Lembaga Perbankan dalam program PEMP adalah menyediakan kredit bagi koperasi sebagai konsekuensi dari adanya DEP yang dijaminkan untuk penyaluran kredit, menyalurkan DEP langsung dengan pola hibah melalui rekening koperasi yang ada di bank pelaksana. Faktor berjalannya sistem dan mekanisme kredit, proporsi penyerapan daya serap per jumlah pengajuan, dan proses pembinaannya kepada kopersi LEPP-M3 di Kabupaten Sambas. faktorfaktor yang berpengaruh tersebut, berjalan dengan baik, namun kendala letak Bank Pelaksana yang tidak berada di lokasi setempat, sehingga terdapat kendala dalam hal akses lokasi. 4.3.2 Faktor yang mempengaruhi Pengelolaan Koperasi LEPP-M3 Analysis terhadap faktor-faktor yang dievaluasi, tampak bahwa kinerja pengelolaan koperasi LEPP-M3 tersebut sangat dipengaruhi atau ditentukan secara berurutan berdasarkan besarnya pengaruh adalah faktor: 1. Kondisi kesehatan keuangan koperasi LEPP-M3 merupakan gambaran tidak langsung tentang bagaimana pengelolaan koperasi LEPP-M3 sebagai suatu lembaga ekonomi. Secara rinci, kondisi kesehatan keuangan akan menginformasikan kemampuan
struktur
menutupi
permodalan,
penarikan
kualitas
simpanan
aktiva
nasabah,
produktif, kemampuan
pengendalian biaya operasional dan kemampuan menghasilkan keuntungan
78
dari koperasi LEPP-M3. Status kinerja kesehatan keuangan dapat diartikan sebagai baik buruknya pengelolaan koperasi LEPP-M3. Berdasarkan fungsinya, setiap koperasi LEPP-M3 harus menyusun secara periodik neraca keuangan, laporan laba (rugi) maupun aliran tunai. Ketiganya merupakan alat verifikasi kondisi kesehatan keuangan koperasi LEPP-M3 sebagai cerminan tidak langsung dari baik-buruknya pengelolaan Koperasi LEPP-M3. 2. Faktor kedua yang berpengaruh terhadap status kinerja pengelolaan koperasi LEPP-M3 setelah kinerja keuangan adalah sistem dan mekanisme pengelolaan keuangan atau dana ekonomi produktif (DEP). Berdasarkan jenisnya, DEP pada periode program PEMP kedua (tahun 2004-2006) di bagi kedalam 4 kategori penggunaan, yaitu DEP untuk penjaminan tunai atau (cash collateral), DEP untuk BPR pesisir, DEP untuk solar Packed Dealer untuk nelayan (SPDN) dan DEP untuk Kedai Pesisir. DEP akan dimasukan ke rekening koperasi LEPP-M3 pada Bank Pelaksana untuk masing-masing kegiatan yang mempunyai nomor rekening tersendiri dan pencairannya dilakukan dengan mekanisme tersendiri. Untuk kegiatan penjaminan tunai pada bank pelaksana, mekanismenya menggunakan mekanisme executing, sedangkan BPR Pesisir, SPDN dan Kedai Pesisir akan menggunakan mekanisme langsung kepada koperasi namun tetap melalui rekening koperasi di masing masing Bank Pelaksana.
Besarnya
pengaruh
sistem
dan
mekanisme pengelolaan DEP terhadap status kinerja pengelolaan Koperasi LEPP-M3 dapat dicontohkan pada penggunaan DEP untuk penjaminan tunai. Pengelola koperasi pesisir. mampu menyusun, memahami dan melaksanakan sistem dan mekanisme distribusi angsuran kredit yang lancar untuk atau dari masyarakat. Ketidakmampuan pengelola terhadap aspek tersebut akan menyebabkan rendahnya kinerja koperasi LEPP-M3 yang tercermin dari margin keuntumgan yang diperoleh LKM tidak sebanding dengan biaya operasional yang dikeluarkan, terjadinya kredit
macet dan lambatnya
penguatan modal usaha. Hal demikian dikhawatirkan akan menghambat pengembangan unit-unit usaha dan rendahnya pelayanan perputaran modal dan bahkan mungkin terjadinya kebangkrutan usaha Koperasi LEPP-M3 (LKM). Sebagai tambahan, pentingnya faktor ini tercermin pula dari periode
79
pertama program (tahun 2001-2003) terhadap masalah terhambatnya angsuran kredit sebagai suatu masalah yang bersifat umum. artinya, masalah ini terjadi diberbagai kabupaten/kota yang menjadi sasaran Program PEMP. Kuantitas kemacetan/hambatan angsuran kredit untuk Program PEMP tahun 2001, 2002, dan 2003 lebih tinggi jika dibandingkan dengan Program PEMP tahun 2004 dan 2005. Sebagaimana telah disinggung pula bagian awal sub bab ini, sejak tahun 2004 telah terjadi perubahan sistem dalam penyaluran DEP, dari sistem perguliran (revolving fund) ke hibah kepada koperasi yang dijaminkan pada
bank
pelaksana
(cash
colleteral).
Aturan-aturan
kredit
yang
diberlakukan sejak tahun 2004 cukup ketat, seperti digunakannya agunan, sehingga hal ini membantu mengurangi kemacetan kredit. Namun demikian, sebagian dari nasabah yang menghadapi kemacetan angsuran dan masih memiliki komitmen untuk membayar karena alasan tanggung jawab sosial dan agamis, pihak pengurus koperasi LEPP-M3 melakukan penjadwalan ulang atas pinjaman kredit tersebut. Dalam konteks demikian, pihak pengurus memberikan kemudahan pengangsuran sesuai dengan kemampuan keuangan yang ada. Misalnya, setiap hari atau setiap minggu, nasabah mengangsur kredit yang nilainya sesuai dengan kondisi keuangan yang ada. Juru tagih secara intensif melakukan komunikasi dengan nasabah untuk mengambil angsuran, dengan sedikit demi sedikit pinjaman kredit nasabah bisa terlunasi. Sistem dan mekanisme pengelolaan DEP yang baik juga didukung oleh adanya pengelolaan administrasi keuangan yang baik. Dalam hal ini, pengurus harus senantiasa mencatat transaksi harian dan merekapnya secara periodik baik bulanan dan tahunan. Pencatatan harus mengacu pada aturan perbankan dan karenanya pengurus harus mampu menyediakan formulir format yang terkait dengan persetujuan kredit, verifikasi transaksi dan hal lainnya sebagaimana keperluan/ kebutuhan sesuai prinsip akuntansi yang berlaku di lembaga keuangan formal. 3. Kedua faktor yang berpengaruh besar terhadap pengelolaan koperasi LEPPM3 tidak terlepas dari peran SDM koperasi. Peningkatan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia (SDM) pengelola sangat diperlukan untuk mendukung perkembang kinerja Koperasi LEPP-M3. ini menjadi penting
80
untuk
pengelola Koperasi LEPP-M3
yang secara geogragfis jauh dari
kemajuan perkembangan masyarakat, karena selama ini peran mereka yang belum optimal. Praktik-praktik manajemen koperasi yang modern tidak dapat dijalankan secara baik karena kapasitas dan kapabilitas pengurus belum memadai.
Uniknya penguatan kelembagaan ekonomi yang berbasis
masyarakat seperti halnya Koperasi LEPP-M3 dalam Program PEMP menyebabkan kapasitas dan kapabilitas SDM pengurus tidak hanya pada halhal yang bersifat teknis seperti tingkat pendidikan dan pengalaman kerja di lembaga ekonomi yang serupa. Personal pengurus koperasi juga harus memiliki sensitivitas terhadap kondisi sosial-budaya serta sumberdaya alam dan lingkungan tempat hidup, tinggal dan berusaha masyarakat Pengurus koperasi dalam hal ini harus mampu memahami karekter-karakter non-teknis lembaga keuangan sebagai bagian dari penyusun sistem dan
mekanisme
pengelolaan LEPP-M3. Sebagai contoh pentingnya pemahaman faktor nonteknis dapat disimak dari sebab-sebab kemacetan dan terhambatnya yang cukup beragam. Faktor yang pertama adalah pandangan bahwa eksistensi DEP merupakan dana hibah yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada masyarakat. Persepsi ini dipengaruhi oleh pengalaman bantuan-bantuan dana sebelumnya atau program-program pemberdayaan sejenis yang masuk Kabupaten Sambas di suatu daerah dan tidak harus dikembalikan, seperti terjadi pada Program Jaring Pengaman Sosial (JPS), Program Inpres Tertinggal (IDT), dan Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP). Kedua, kondisi sumber daya perikanan yang sudah dalam kodisi tangkap lebih (overfishing), sehingga menimbulkan kelangkaan sumber daya. Akibat, nelayan kesulitan untuk memperoleh hasil tangkap. Ketiga, berlangsungnya musim paceklik yang cukup panjang dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini terjadi karena faktor-faktor alamiah. Keempat, kesadaran masyarakat rendah untuk mengembalikan pinjaman kredit nasabah seperti ini memiliki niat secara sengaja untuk tidak membayar. Kelima, kerusakan atau pencemaran lingkungan pesisir dan perairan pantai, sehingga sumber daya perikanan menjauh ke tengah laut. Hal ini berdampak menyulitkan nelayan mendapatkan hasil tangkapan.
81
4. Faktor terakhir berkaitan dengan sistem dan mekanisme monitoring, evaluasi dan pelaporan secara periodik terhadap perkembangan koperasi LEPP-M3. Pelaporan periodik ini mencerminkan pengelola telah menjalankan sistem dan mekanisme monitoring dan evaluasi terhadap pengelolaan koperasi. Hasil dari pelaporan tersebut akan sangat bermanfaat sebagai feedback bagi pengelola untuk memperbaiki sistem dan mekanisme pengelolaan koperasi LEPP-M3 yang mendukung tercapainya tujuan dan sasaran
program secara
keseluruhan. Di sisi lain, adanya pelaporan perkembangan periodik tentang perkembangan koperasi LEPP-M3 merupakan
cerminan dan pemenuhan
prinsip kererbukaan sebagai salah pengelolaan Program PEMP.Belum adanya dukungan dana operasional uang dan fasilitas yang memadai untuk meningkatkan kinerja pengelola koperasi LEPP-M3 menjadi faktor krusial untuk membantu meningkatkan komunikasi dan interaksi sosial antara pengurus koperasi LEPP-M3 dengan nasabahnya. Komunikasi dan hubunganhubungan sosial yang baik dengan nasabah akan meningkatkan kepedulian nasabah terhadap tanggung jawab yang harus dipenuhi, seperti mengangsur pinjaman kredit sesuai dengan kesepakatan yang ada. Dengan demikian dapat menekan angka kemacetan kredit.
4.3.3 Faktor yang mempengaruhi Kapasitas Pemanfaat Dari data-data kualitatif diketahui bahwa sejamlah faktor dapat menghasilkan nilai-nilai seperti di atas disebabkan oleh kondisi-kondisi tertentu. Untuk itu kapasitas pemanfaat dipengaruhi atau ditentukan berdasarkan besarnya pengaruh faktor-faktor sebagai berikut: 1. Faktor yang paling mempengaruhi status kapasitas pemanfaat adalah Perubahan Pendapatan dan bertambahnya nilai manfaat. Hal tersebut terjadi dikarenakan program PEMP berjalan sesuai dengan harapan, dimana adanya peningkatan pendapatan penghasilan pada KMP/Individu dan pemenuhan kebutuhan pokok sekunder keluarga dapat terpenuhi. Selain itu terbukanya akses pemasaran bagi produk hasil UEP akan memudahkan terjadinya transaksi penjualan., dan naiknya harga produk hasil UEP di pasar membuka peluang pemanfaat mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Dukungan
82
yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan, KM, dan TPD dalam hal peningkatan keterampilan serta pembinaan manajemen dan teknis UEP akan mengakselerasi pencapaian kapasitas pemanfaat yang baik, Kondisi ini akan mendorong pemanfaat untuk memperkuat volume usaha, sehingga income bagi mereka menjadi lebih besar dan pemenuhan kebutuhan menjadi terpenuhi. 2. Faktor kedua yang mempengaruhi status kapasitas pemanfaat adalah manajemen usaha dan administrasi keuangan yang baik. Kekuatan untuk mencapai keberhasilan UEP terletak pada manajemen usaha dan administrasi keuangan. Manajemen usaha akan mendorong efektifitas dan efisiensi dan berbagai kegiatan produksi, nilai dari penatakelolaan tenaga kerja, penggunaan teknologi, dan keuangan. Dengan manajemen usaha yang baik akan merangsang terciptanya iklim / lingkungan berusaha yang kondusif baik secara internal maupun eksternal. Manajemen usaha meliputi perencanaan, pengorganisasian, dan pelaksanaan usaha yang berbasis kemampuan pemanfaat serta berorientasi pada produktifitas. Hal sangat penting dan menentukan tingkat keberhasilan UEP adalah pengadministrasian keuangan. Pola-pola manajemen tradisional yang sejak lama diterapkan oleh masyarakat pesisir dalam berusaha tidak melakukan dokumentasi dan pencatatan keuangan. Hal ini menyebabkan hilangnya nilai keuntungan dan potensi keuntungan lainnya yang dapat diperoleh oleh masyarakat. Kondisi ini pula yang menyebabkan tingkat ketergantungan yang tinggi, hutang yang besar dan produktifitas yang rendah. Untuk meningkatkan kualitas pengelolaan UEP, program PEMP mempromosikan dan memfasilitasi proses pengadministrasian khususnya keuangan. Melalui pola ini, kultur masyarakat dapat berubah dari pula konvensional ke modern, dan kalkulasi dalam melaksanakan UEP dapat dilakukan secara efektif dan efisien. 3. Faktor ketiga yang mempengaruhi status kapasitas pemanfaat adalah penguasaan teknis UEP dan nilai manfaat yang diperoleh. Kemampuan yang baik dari pemanfaat dalam mengimplementasikan UEP memberikan jaminan kelancaran dan keberhasilan UEP. Keberhasilan ini dapat dilihat dari dua sisi yaitu besarnva keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan produk UEP,
83
dan kesinambungan UEP tersebut. Keuntungan berdampak langsung terhadap pendapatan pemanfaat, sementara kesinambungan UEP akan memberikan kesempatan yang luas bagi penmanfaat untuk merasakan manfaat sekaligus melakukan
pengembangan
agar volume UEP
meningkat.
Besarnya
keuntungan dan bertambahnya nilai manfaat dari UEP akan mempengaruhi perbaikan status kinerja pemanfaat. 4. Faktor keempat yang mempengaruhi status kapasitas pemanfaat adalah transformasi dan replikasi UEP. Implementasi UEP dalam program PEMP tidak hanya bertujuan untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat, akan tetapi proses edukasi dan penciptaan kultur wirausaha juga dijadikan target. Insiatif dalam memilih dan mengembangkan usaha oleh pemanfaat merupakan bagian dari proses edukasi, termasuk penerapan manajemen usaha modern dan penggunaan teknologi dalam aktifitas produksi. Tumbuhnya semangat dan bakat wirausaha bagi masyarakat dapat mempercepat proses pendayagunaan potensi-potensi produktif serta penanggulangan kemiskinan masyarakat pesisir dan kepulauan. Bentuk dan jenis usaha, nilai-nilai, dan ketepatan dalam menerapkan manajemen akan berpengaruh secara signifikan terhadap proses penghantaran pengetahuan, keterampilan adopsi UEP. Dengan pola seperti ini akan mempolarisasi dan meneteskan kemanfaatan kepada masyarakat.
4.3.4 Faktor yang mempengaruhi Kemitraan Dari data-data kualitatif yang diperoleh dapat dilihat
Kecenderungan
yang terjadi pada kemitraan program PEMP tidak bisa dipisahkan dari sisi pemangku kepentingan dan sisi pelaku program sebagai penentu keberhasilan kemitraan tersebut. Diketahui
bahwa Kemitraan pemangku kepentingan
dipengaruhi atau ditentukan berdasarkan besarnya pengaruh faktor-faktor sebagai berikut: 1. Faktor yang paling mempengaruhi status kemitraan adalah penguatan modal LEPP-M3 dari pemangku kepentingan. LEPP-M3 sebagai institusi yang menjalankan fungsi dan peran "intermediasi" dalam penyediaan modal usaha bagi pelaksanaan PEMP masyarakat akan mengalami hambatan-hambatan
84
apabila belum
sanggup
memenuhi
kebutuhan-kebutuhan masyarakat
utamanya dalam penyediaan dana. Jangkauan pelayanan yang diberikan oleh LEPP-M3 sangat tergantung dari kapasitas modal yang dapat didistribusikan bagi masyarakat. Penghantaran modal pemerintah melakukan program PEMP meskipun telah dirasakan manfaatnya, tetapi dengan berbagai dinamika yang terjadi ternyata dapat mempengaruhi kemampuan LEPP-M3 dalam memenuhi permintaan modal dari masyarakat. Dengan adanya pembinaan teknis yang dilakukan oleh perbankan, termasuk rekapitalisasi (penguatan modal) akan mendukung performa LEPP-M3 dalam melayani kebutuhan modal usaha bagi masyarakat. Salah satu ukuran atau faktor yang mempengaruhi manifestasi dari persepsi yang baik dari pemangku kepentingan adalah adanya kebijakan untuk melakukan pernyertaan ataupun modal bagi LEPP-M3. 2. Faktor kedua yang mempengaruhi status kemitraan adalah pengembangan dan diversifikasi UEP oleh pemangku kepentingan. UEP merupakan bagian dari skenario program yang paling mudah untuk mengukur kemanfaatan yang diberikan bagi masyarakat. Apabila terjadi perubahan pendapatan sebagai dampak dari pelaksanaan UEP adalah keberhasilan program PEMP. Akan tetapi, besarnya nilai kemanfaatan dipengaruhi oleh volume atau kapasitas UEP yang dilaksanakan. Semakin besar volume atau kapasitas UEP yang telah berjalan efektif, maka akan semakin meluas nilai manfaat yang akan dirasakan. Kehadiran pemangku kepentingan memfasilitasi pengembangan dan diverifikasi UEP yang dilaksanakan oleh masyarakat akan membuka akses dan peluang bagi masyarakat luas untk berpasrtisipasi dalam pelaksanakan UEP. Dukungan-dukungan pemangku kepentingan baik dalam manajemen maupun teknis usaha akan mendorong tumbuh kembangnya bahkan proses lahirnya inovasi-inovasi kreatif dalam rangka diversifikasi UEP. 3. Faktor yang ketiga mempengaruhi status kemitraan adalah penganggaran dan pembinaan UEP. Salah satu masalah klasik yang kerap dihadapi khususnya dalam program-program ketersediaan usaha ekonomi masyarakat adalah ketersediaan fasilitas dukungan. baik berupa anggaran yang memadai maupun
85
bantuan-bantuan teknis. Komitmen dan tindakan yang ditempuh oleh pemerintah daerah dan pihak-pihak lainnya dalam bentuk kebijakan penganggaran termasuk pembinaan terhadap masyarakat yang melaksanakan UEP akan mendorong terwujudnya efektifitas UEP. yang pada gilirannya mewujudkan keberlanjutan program PEMP (proses pengambil alihan peran dan tanggung jawab daerah). 4. Faktor yang paling akhir berpengaruh terhadap status kemitraan adalah sinergitas peran pemangku kepentingan. Keberadaan berbagai pemangku kepentingan dalam “medan” program PEMP merupakan potensi yang sangat besar utamanya untuk mewujudkan keberhasilan atau untuk mencapai targettarget program PEMP. Sebaliknya, kehadiran pemangku kepentingan apabila tidak "dikelola" secara baik akan berdampak buruk terhadap program, sebagai contoh; legislatif yang tidak memahami visi, misi dan strategi program PEMP akan menganggap bahwa program ini tidak akan memberikan manfaat apaapa bagi masyarakat di wilayahnya, implikasinya, kebijakan-kebijakan yang dapat menunjang kelancaran proses implementasi program sulit untuk dilahirkan termasuk penyediaan anggaran. Apabila kondisi ini muncul, maka peluang program untuk dapat sustainable akan kecil sekali. Pemahaman yang baik mengenai posisi dan lingkup otoritas yang dimiliki oleh masing-masing pemangku kepentingan dalam kerangka keterlibatan dalam program PEMP akan menjadi kekuatan yang besar dalam mengusung tanggung jawab dan distribusi peran yang efektif.
4.3.5 Faktor yang mempengaruhi Pemangku Kepentingan Dari data-data kualitatif dapat diketahui bahwa Persepsi pemangku kepentingan dipengaruhi atau ditentukan berdasarkan besarnya pengaruh faktorfaktor sebagai berikut: 1. Faktor yang paling berpengaruh terhadap status persepsi pemangku kepentingan adalah Kesesuaian Peran dan Program. Penguasaan hal-hal prinsip sangat mempengaruhi cara pandang, sikap, dan refleksi prilaku pemangku kepentingan terhadap program PEMP. Memahami visi, misi, dan
86
strategi program PEMP akan menggiring pemangku kepentingan untuk memposisikan pihaknya menjadi bagian dari program PEMP. Dengan begitu, maka tanggung jawab pemangku kepentingan akan tumbuh secara simultan dengan lahirnya konstribusi peran dalam implementasi program PEMP. Kondisi ini tidak seketika lahir, akan tetapi harus melewati proses dimana didalamnya juga terjadi dinamika yang cukup kuat, antara lain kritik terhadap program, dan mungkin juga penolakan. Melalui strategi advokasi yang dikembangkan oleh program PEMP yang diperankan oleh Dinas, KM, dan TPD dalam bentuk sosialisasi/diseminasi, kemitraan, dan pelibatan secara partisipatif dalam dalam kegiatan-kegiatan akhirnya mendorong pemangku kepentingan untuk bisa menyesuaikan dan ikut menyukseskan program PEMP. 2. Faktor terakhir yang mempengaruhi status persepsi pemangku kepentingan adalah relevansi peran, program dan bentuk partisipasi dalam implementasi program PEMP. Melalui informasi yang disuplai secara terus menerus baik melalui media maupun interaksi langsung antara pengelola program dengan pemangku kepentingan akhirnya dapat membuka wawasan pemangku kepentingan
dalam
memahami
relevansi
program
PEMP
dengan
keberadaannya (terkait dengan tupoksi dan lingkup otoritasnya). Pemahaman yang baik terhadap program akan menentukan formula konstribusi yang akan diperankan. Konstribusi pemangku kepentingan untuk mendukung program PEMP akan variatif bergantung konteks peran yang dibutuhkan dalam implementasi program. Bentuk partisipasi yang lahir dari pemangku kepentingan dapat berupa pemikiran-pemikiran, gagasan konstruktif, fasilitas, dan bahkan finansial. Persepsi yang baik akan mempengaruhi bobot program dan bentuk partisipasi pemangku kepentingan dalam program PEMP.
87
4.4 PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN MEMANFAATKAN PROGRAM PEMP SEBAGAI ALTERNATIF KEBIJAKAN Sumberdaya Perikanan yang dihasilkan oleh nelayan Pemangkat adalah Ikan Pelagis Kecil, Ikan Demersal, Ikan Plagis Besar
dan Udang. Dari daerah
tangkapan kita lihat yang berasal dari perairan disekitar pesisir pemangkat adalah Ikan Pelagis Kecil, Ikan Demersal dan Udang, sedangkan yang dari perairan Laut Cina Selatan adalah Ikan Pelagis Besar. Dari pembahasan sebelumnya kita ketahui bahwa ikan demersal dan Pelagis besar yang masih belum terdegradasi, sumberdaya ikan Demersal dan Pelagis Besar masih dapat memperbaharui diri. Kondisi ini dimungkinkan karena sumberdaya ikan Pelagis Besar memiliki daerah ruaya yang jauh sehingga daerah tangkapannya tidak berada di sekitar Perairan Pemangkat. Sementara ikan Demersal umumnya adalah jenis ikan dasar yang daearah tangkapannya memang masih berada di sekitar Perairan Pemangkat akan tetapi kondisi stoknya masih terjaga dari kondisi degradasi. Hal ini diduga karena ikan jenis Demersal berada di zona kawasan konservasi sehingga kondisi biomassnya masih belum terdegradasi. Nelayan Pemangkat yang menerima bantuan Program PEMP adalah nelayan yang menggunakan jenis kapal hingga 10 GT. Jadi untuk daerah tangkapan mereka hanya disekitar perairan pemangkat yang meliputi Ikan Demersal, Pelagis Kecil dan Udang. Dari data yang diperoleh ikan pelagis kecil menempati urutan pertama dari hasil tangkapan mereka, kemudian Ikan Demersal dan udang. Sementara Ikan Pelagis Kecil dan Udang adalah Sumberdaya Perikanan yang sudah terdegradasi, hanya Ikan Demersal saja yang masih terjaga kelestariannya. Standarisasi alat tangkap dilakukan terhadap alat tangkap Purse seine, Gill net dan Lampara Dasar untuk menangkap ikan demersal yang distandarkan ke alat tangkap Gill net(Bottom Gillnet) .Untuk ikan pelagis besar yang ditangkap dengan purse seine dan gill net, alat tangkap distandarkan ke alat tangkap purse seine. Sementara untuk pelagis kecil ditangkap dengan menggunakan tiga jenis alat tangkap yaitu purse seine, gill net dan lampara dasar distandarisasi ke alat
88
tangkap purse seine Untuk udang tidak dilakukan standarisasi karena hanya ditangkap dengan satu jenis alat tangkap yaitu lampara dasar (Supriani 2007). Untuk menjaga keberlanjutan dari Sumberdaya Perikanan di Perairan Pemangkat maka Program PEMP mengharuskan pada para penerima Program untuk bisa mengarahkan tangkapan pada ikan Demersal dengan alat tangkap Gillnet (Bottom Gillnet) sehingga kelestarian dari Sumberdaya perikanan bisa dimaksimalkan terhadap Ikan Pelagis Kecil dan Udang. Fungsi mitra dalam hal ini juga menjadi penting dalam pelestarian ini. Seperti penampung/pengumpul hasil tangkapan dengan membeli hasil tangkapan ikan demersal dengan harga yang lebih tinggi dari Ikan Pelagis Kecil dan Udang. Para Pemangku Kepentingan juga mesti mensosialisasikan dan memberikan pengertian kepada masyarakat terhadap pentingnya pelestarian Sumberdaya Perikanan di perairan Pemangkat demi keberlanjutan. Koperasi LEPP-M3 dalam memberikan perguliran dana juga harus mensyaratkan alat tangkap untuk Ikan Demersal.
Jika kita lihat dari tujuan program PEMP untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kegiatan ekonomi, peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan penguatan kelembagaan sosial ekonomi dengan mendayagunakan sumberdaya perikanan dan kelautan secara optimal dan berkelanjutan (DKP 2003) kita bandingkan dengan hasil analisis status kinerja Program PEMP yang rata-rata cukup baik maka sudah sesuai, artinya program PEMP di Kecamatan Pemangkat Kabupaten Sambas bisa dikatakan berhasil walaupun perlu perbaikan-perbaikan. Dari Analisis diatas maka perlu dibuat alternatif Kebijakan dalam menunjang pengembangan Program PEMP. Dimana kebijakan tersebut akan sangat berguna sekali dalam proses implementasi Program secara berkelanjutan. 1. TPD menjadi tidak maksimal dikarenakan faktor yang juga menjadi penyebab adalah proses perekrutan yang tidak dijalankan oleh KM dan tidak kompetitif, namun lebih didasarkan atas rekomendasi atau inisiatif dari Dinas KP.
89
kendala letak Bank Pelaksana yang tidak berada di lokasi setempat, sehingga terdapat kendala dalam hal akses lokasi. Dari kelemahan Kelembagaan maka perlu dibuat Kebijakan : a. Dinas Kelautan dan Perikanan untuk mengumumkan secara terbuka proses perekrutan TPD sehingga TPD yang didapat akan berkualitas dan pertanggungjawaban terhadap publik menjadi transparan. b. Memindahkan Bank pelaksana ke Bank Kalbar yang menjangkau di setiap kecamatan. 2. Ketidakmampuan pengelola terhadap aspek tersebut akan menyebabkan rendahnya kinerja koperasi LEPP-M3 yang tercermin dari
margin
keuntumgan yang diperoleh LKM tidak sebanding dengan biaya operasional yang dikeluarkan, terjadinya kredit
macet dan lambatnya
penguatan modal usaha. sebab-sebab kemacetan dan terhambatnya yang cukup beragam. Faktor yang pertama adalah pandangan bahwa eksistensi DEP merupakan dana hibah yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada masyarakat. Persepsi ini dipengaruhi oleh pengalaman bantuan-bantuan dana sebelumnya atau program-program pemberdayaan sejenis yang masuk Kabupaten Sambas di suatu daerah dan tidak harus dikembalikan, seperti terjadi pada Program Jaring Pengaman Sosial (JPS), Program Inpres Tertinggal (IDT), dan Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan
(P2KP).
Kedua,
kesadaran
masyarakat
rendah
untuk
mengembalikan pinjaman kredit nasabah seperti ini memiliki niat secara sengaja untuk tidak membayar. Ketiga, kerusakan atau pencemaran lingkungan pesisir dan perairan pantai, sehingga sumber daya perikanan menjauh ke tengah laut. Hal ini berdampak menyulitkan nelayan mendapatkan hasil tangkapan. Dalam hal ini maka Kijakan yang mesti dibuat adalah : a. membuat persyaratan yang mengikat terhadap KMP yang akan meminjam kepada Koperasi dan mensosialisasikan kepada masyarakat tentang program PEMP ini agar tidak disamakan dengan program hibah yang lain.
90
b. Membuat Peraturan Teknis terhadap Program PEMP untuk menjaga keberlanjutan Program PEMP sehingga Kelembagaan Program PEMP sebagai Institusi yang terlibat bisa terus menguat, terutama Koperasi LEPP-M3 sebagai pemegang amanah menggulirkan dana. c. Menetapkan Daerah-daerah Konservasi yang melarang penangkapan terhadap Ikan Pelagis Kecil dan Udang. Dimana daerah konservasi tersebut sebagai tempat pemijahan Ikan Pelagis Kecil dan Udang. 3. Hal sangat penting dan menentukan tingkat keberhasilan UEP adalah pengadministrasian keuangan. Pola-pola manajemen tradisional yang sejak lama diterapkan oleh masyarakat pesisir dalam berusaha tidak melakukan dokumentasi dan pencatatan keuangan. Hal ini menyebabkan hilangnya nilai keuntungan dan potensi keuntungan lainnya yang dapat diperoleh oleh
masyarakat.
Kondisi
ini
pula
yang
menyebabkan
tingkat
ketergantungan yang tinggi, hutang yang besar dan produktifitas yang rendah. Dalam hal ini perlu dibuat aturan yang jelas : a. Untuk pendampingan manajemen masyarakat dan diwajibkan kepada Konsultan Manajemen membuat panduan tentang manajemen modern sehingga kendala tersebut bisa diatasi. 4. Dalam kemitraan kehadiran pemangku kepentingan yang tidak "dikelola" secara baik akan berdampak buruk terhadap program, sebagai contoh; legislatif yang tidak memahami visi, misi dan strategi program PEMP akan menganggap bahwa program ini tidak akan memberikan manfaat apa-apa bagi masyarakat di wilayahnya, implikasinya, kebijakan-kebijakan yang dapat menunjang kelancaran proses implementasi program sulit untuk dilahirkan termasuk penyediaan anggaran. Apabila kondisi ini muncul, maka peluang program untuk dapat sustainable akan kecil sekali. Maka untuk itu perlu di buat kebijakan : a. menganggarkan pendanaan di dalam APBD untuk kegiata yang mendukung berkembangnya Usaha Ekonomi masyarakat pesisir. b. Memfasilitasi Investor yang masuk untuk bisa bekerja sama dengan Kelembagaan Program PEMP untuk meningkatkan produksi dan pemasaran hasil.
91
c. Memprioritaskan pembentukan Koperasi untuk masyarakat Pesisir dengan model seperti Koperasi LEPP-M3. sehingga untuk masyarakat yang tidak atau belum tersentuh Program PEMP bisa dibantu dengan cara yang sama. 5. Keberhasilan Program PEMP terhadap berkelanjtannya Program sangat dipengaruhi oleh Pemangku Kepentingan. Kondisi yang harus diperbaiki dalam hal ini adalah sosialisasi pemahaman dari pemangku kepentingan kepada masyarakat karena kita tahu dalam Program ini yang menjadi kelemahannya adalah kurangnya sosialisasi terhadap masyarakat tentang pemahaman dari Program PEMP ini. Kebijakan yang mesti dibuat adalah : a. Meningkatkan volume sosialisasi kepada masyarakat, baik itu melalui media maupun pertemuan-pertemuan formal dan informal agar pemahaman masyarakat terhadap kelestarian sumberdaya perikanan. Sehingga hal itu bisa menjadi budaya masyarakat untuk melestarikan lingkungan disekitarnya.
92
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Sumberdaya Perikanan Laut Cina Selatan yang merupakan Fishing Ground nelayan Kabupaten Sambas masih sangat besar. Namun pemanfaatan Sumberdaya Perikanan ini harus memperhatikan dan mempertimbangkan tingkat upaya penangkapan ikan yang ada sekarang. Sumberdaya ikan yang didaratkan di PPN Pemangkat menunjukkan kondisi telah terjadi over fishing terhadap sumberdaya Pelagis Kecil, Udang dan Molusca. Alokasi optimum untuk sumberdaya ikan Demersal dan Pelagis Besar masih mampu memberikan manfaat yang lebih besar daripada kondisi aktual yang terjadi. Berdasarkan rata-rata nilai total lima elemen kinerja Program PEMP Kabupaten Sambas, hasil analisis MDS meunjukkan bahwa kinerja program secara menyeluruh mencapai 68,27 atau tergolong “baik”, yang berarti kinerja Program PEMP telah berjalan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ditetapkan. Rincian hasil analisis menunjukkan bahwa nilai kinerja untuk elemen kelembagaan program PEMP sebesar 79,85, Pengelolaan Koperasi LEPP-M3 adalah 78,35, Kapasitas Pemanfaat Program 68,32 dan persepsi pemangku kepentingan 65,66 sehingga tergolong”Baik”. Sedangkan nilai kinerja elemen Kemitraan sebesar 49,16 tergolong “Cukup”. Nilai-nilai kinerja keempat elemen pertama mencerminkan bahwa berdasarkan input, proses, dan outputnya, program PEMP telah terlaksana cukup baik. Sebaliknya nilai elemen kinerja yang terakhir walaupun digolongkan “cukup” menunjukkan bahwa pada masa mendatang pelaksanaan program PEMP masih harus disempurnakan dan diintensifkan. Hasil
analisis
RAPFISH
menunjukkan
adanya
kecenderungan-
kecenderungan berikut ini : (1) Kelembagaan Program PEMP sudah mulai menguat, setiap stakeholder program, terutama pengelola koperasi LEPP-M3 sudah mulai memahami tugas pokok dan fungsinya. Pemahaman tupoksi ini merupakan modal kuat dalam pelaksanaan mekanisme dan prosedur program yang baik dan benar, (2) sosialisasi program sudah mulai berhasil. Persepsi masyarakat yang sudah cukup baik terhadap konsep dan prinsip program merupakan bukti berjalannya sosialisasi program sesuai dengan harapan, dan (3) outcome program
93
perlu ditingkatkan agar jumlah penduduk miskin di Kabupaten Sambas berkurang secara signifikan. Kemitraan yang masih tergolong cukup menunjukkan perlunya perbaikan dalam pelaksanaan Program PEMP pada masa mendatang. Leverage Analysis menunjukkan bahwa status kinerja Program PEMP per elemen yang di evaluasi tersebut sangat dipengaruhi oleh : (a) berjalan atau tidaknya peranan dan fungsi TPD, Koperasi LEPP-M3, dan bank pelaksana di dalam kelembagaan program PEMP, (b) berjalan atau tidaknya sistem dan mekanisme pengelolaan DEP yang mendukung baiknya kinerja keuangan Koperasi LEPP-M3, (c) atau ada tidaknya perubahan pendapatan bagi KMP/Individu dan bertambahnya nilai manfaat terhadap Program PEMP, (d) terwujud atau tidaknya sinergitas stakeholder program untuk bahu membahu mendukung pelaksanaan program, dan (e) ada atau tidaknya pemahaman yang baik masyarakat pemanfaat terhadap substansi, mekanisme, dan kelembagaan program PEMP yang tercermin pada tingkat partisipasi masyarakat pada pelaksanaan Program PEMP. Untuk menjaga keberlanjutan dari Sumberdaya Perikanan di Perairan Pemangkat maka Program PEMP mengharuskan pada para penerima Program untuk bisa mengarahkan tangkapan pada ikan Demersal dengan alat tangkap Gillnet (Bottom Gillnet) sehingga kelestarian dari Sumberdaya perikanan bisa dimaksimalkan terhadap Ikan Pelagis Kecil dan Udang. Fungsi mitra dalam hal ini juga menjadi penting dalam pelestarian ini. Seperti penampung/pengumpul hasil tangkapan dengan membeli hasil tangkapan ikan demersal dengan harga yang lebih tinggi dari Ikan Pelagis Kecil dan Udang. Para Pemangku Kepentingan juga mesti mensosialisasikan dan memberikan pengertian kepada masyarakat terhadap pentingnya pelestarian Sumberdaya Perikanan di perairan Pemangkat demi keberlanjutan. Koperasi LEPP-M3 dalam memberikan perguliran dana juga harus mensyaratkan alat tangkap untuk Ikan Demersal. Kebijakan Pemerintah dalam menunjang pengembangan Program PEMP harus dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sambas. Dimana kebijakan tersebut akan sangat berguna sekali dalam proses implementasi Program secara berkelanjutan. Adapaun kebijakan yang mesti diambil oleh Pemda Kabupaten Sambas adalah :
94
1. Membuat Peraturan Daerah dan kebijakan yang berpihak kepada Masyarakat. 2. menganggarkan pendanaan di dalam APBD untuk kegiata yang mendukung berkembangnya Usaha Ekonomi masyarakat pesisir.
5.2 Saran Berdasarkan beberapa substansi dan kesimpulan diatas hal-hal yang perlu disarankan adalah : 1. Pengumpul/Penampung
sebaiknya
dalam
menjaga
keberlanjutan
Sumberdaya Perikanan di Perairan Pemangkat mesti lebih banyak membeli Ikan Jenis Demersal disbanding Ikan Pelagis Kecil dan Udang. 2. Pemangku Kepentingan Harus bisa mensosialisasikan kepada masyarakat nelayan agar menangkap Ikan Jenis Demersal. 3. Untuk
memaksimalkan kedudukan dan peran Kelembagaan
dalam
menunjang pelaksanaan program PEMP perlu ditingkatkan partisipasi segenap lapisan masyarakat sehingga menciptakan dukngan sumberdaya yang luas untuk mencapai ujuan Program. 4. Dalam upaya mengoptimalkan kinerja dan pengelolaan Koperasi LEPPM3 diperlukan peningkatan kualitas SDM, Rumusan dan mekanisme kerja sebagai
dasar
menjalankan
koperasi
untuk
menghindari
konflik
kepentingan dan kewenangan, pengembangan model pengelolaan koperasi sesuai
dengan
karakteristik
sosial-budaya
pesisir dan
kebutuhan
masyarakat, penerapan manajemen keuangan dan pelaporan yang baik, dan menyediakan biaya-biaya operasional yang memadai. 5. Untuk
meningkatkan
pengetahuan,
kemampuan
dan
keterampilan
manajemen usaha peserta program (KMP/Individu) harus dilakukan diklat yang relevan dengan kebutuhan, pembinaan usaha secara konsisten serta memonitoring dan mengevaluasi perkembangan usaha nasabah. 6. Untuk membangun kemitraan dengan berbagai pihak perlu ditingkatkan interaksi dan komunikasi sosial, koordinasi dan membentuk forum-forum pertemuan berkala.
95
7. Panduan dari Departemen Kelautan dan Perikanan perlu dibuatkan aturan yang bersifat detail teknis pelaksanaannya oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sambas.
96
DAFTAR PUSTAKA
---------. 2001. Pembangunan di Sambas. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan dan Pembangunan Sambas. Sambas. -----------. 2003. Pedoman Umum Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir. Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Jakarta. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sambas. 2005. Sambas Dalam Angka.Sambas Bengen, DG. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolannya. PKSPL IPB. Bogor. Cahyadinata, I. 2005. Analisis Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) di Kota Bengkulu (Tesis). Bogor: Program Pascasarjana ,Institut Pertanian Bogor. Charles, A.T. 2001. Sustainable Fishery Systems. Blackwell Sciences. London, UK. Dahuri, R. 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan untuk Kesejahteran Rakyat. LISPI bekerjasama dengan Ditjen P3K DELP. Jakarta. Dahuri, R., Rais, J., Ginting, SP., Sitepu, MJ. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Dahuri, R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah: Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dahuri, R. 2004. Membangun Indonesia yang Maju, Makmur dan Mandiri Melalui Pembangunan Maritim. Makalah disampaikan pada Temu Nasional Visi dan Misi Maritim Indonesia dari Sudut Pandang Politik, Jakarta, 18 Februari 2004 Fauzi A, Anna S. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama Hanna, S. 1999. Strenthening Governance of Ocean Fishery Resources. Ecological Economics Vol. 31 Ife, J., 1995. Community Development: Creating Community-Vision, Analysis and Practice. Longman. Australia.
97
Kartasasmita, G., 1996. Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Cides. Jakarta. Khasanaturodhiyah, ST. 2002. Kajian Partisipasi Peserta dan Kinerja Pengelolaan Program PEMP. (Tesis). Bogor: Program Pasca Sarjana, Insitut Pertanian Bogor. Kusumastanto, T. 2002. Reposisi ”Ocean Policy” dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia di Era Otonomi Daerah. Orasi Ilmiah: Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Kebijakan Ekonomi Perikanan dan Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Muluk, C. 1996. Sistem Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Pesisir. Makalah Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Angkatan V. 16 April – 31 Agustus 1996. Bogor. Nazir, Moh. 1999. Metode Penelitian. Cetakan Keempat. Penerbit Ghalia. Indonesia. Nohria, N and Gulati, R. 1994. Firms and Their Environments. In : Smelser, N.J. and Swedberg, R. (Eds). The Handbook of Economic Sociology. Princenton University Press. Pricenton, NJ Satria, A. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta. Sumodiningrat, G. 1996. Memberdayakan Masyarakat. Kumpulan Makalah tentang Inpres Desa Tertinggal. Penakencana Nusadwipa. Jakarta. Supriani, E 2007. Kajian Ekonomi Sumberdaya Perikanan di Perairan Pemangkat Kabupaten Sambas (Tesis). Bogor: Program Pasca Sarjana, Insitut Pertanian Bogor. Sutomo. 2003. Evaluasi Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir. (Tesis). Bogor: Program Pasca Sarjana, Insitut Pertanian Bogor. Sajogyo. 1977. Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan. Mimeograf. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sajogyo. 1996. Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia. PT. Gramedia Wicdiasarana Indonesia. Jakarta.