ANALISIS DAN EVALUASI MENGENAI KEBIJAKAN PENENTUAN SUMBERDAYA KELAUTAN DI WILAYAH PERBATASAN NEGARA TETANGGA∗ Laode M. Kamaluddin
epasnya pulau Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia, telah menyadarkan kita betapa lemahnya visi kemaritiman Indonesia. Kepopuleran Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, nampaknya tidak kita sadari secara utuh karena keberadaan pulau-pulau yang jumlahnya mencapai 17.506 buah (tadinya 17.508 buah) terlantar begitu saja tanpa kompetensi untuk mengelolanya. Seruan dari TNI AL tentang show the flag dengan menyinggahi pulau-pulau perbatasan agar masyarakat yang berada di pulau terpencil tetap merasa sebagai bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia, merupakan indikasi bila selama ini visi maritim kita sangat lemah dan baru sampai terbatas pada pasang bendera. Di Pulau Miangas misalnya, pulau kecil yang berbatasan dengan Filipina ini, sebagian besar penghuni pulau tersebut lebih akrab dengan orang Filipina padahal pulau tersebut adalah wilayah Indonesia. Mereka hanya mengenal Sangihe Talaud dan Filipina. Fenomena ini terjadi karena tarikan kesejahteraan Pulau Miangas lebih banyak di suplai pedagang antar pulau dari Filipina dari pada pedagang Indonesia. Orientasi ekonomi masyarakatnya justru berbasis pada kemajuan daerah inti yang berasal dari negara tetangga. Karena itulah jangan heran bila mereka kurang mengenal yang namanya Indonesia. Dari segi pertahanan dan keamanan, fenomena seperti ini sangat berbahaya, karena dapat saja pulau-pulau perbatasan itu dijadikan sebagai sumber informasi untuk membaca kekuatan Indonesia.
∗
Makalah disampaikan pada Acara Diskusi Pembangunan Pulau-Pulau Kecil Perbatasan. Diselenggarakan oleh PKSPL-IPB, 2 Januari 2003 di JMC Jakarta
Jurnal Universitas Paramadina Vol.2 No. 3, Mei 2003: 264-273
Laode M. Kamaluddin “Analisis dan Evaluasi Mengenai Kebijakan Penentuan Sumberdaya Kelautan”
Sumber informasi yang diperoleh Departemen Kelautan dan Perikanan (2002) menyebutkan bahwa terdapat 83 pulau kecil milik Indonesia yang berbatasan dengan 10 negara tetangga. Tetapi pulau-pulau yang masih krusial karena masih dalam sengketa ada lima pulau yaitu: Pertama, Pulau Nipah yang berbatasan dengan Singapura. Pulau ini menjadi sengketa karena terancam dari kemungkinan tenggelam akibat penambangan pasir laut yang dijual ke Singapura. Saat ini bila terjadi puncak pasang, maka tinggi daratan Pulau Nipah tinggal 0,5 meter dari permukaan laut, atau sekitar 90 % seluruh daratan Pulau Nipah mulai tenggelam. Padahal keberadaan Pulau Nipah merupakan titik pangkal penentuan batas wilayah Republik Indonesia dengan Singapore dan Republik Indonesia dengan Malaysia sejauh 200 mil laut dari pulau terluar. Kedua, Pulau Miangas di Sangir Talaud yang berbatasan dengan Filipina, masyarakatnya justru lebih kuat berinteraksi dengan negara Filipina dari pada Indonesia. Posisi ini harus diwaspadai karena bila penguasaan ekonomi Pulau Miangas telah didominasi oleh Filipina, maka sangat mudah bagi Filipina untuk mengintervensi pulau itu dan tidak menutup kemungkinan akan bernasib seperti sama seperti Pulau Sipadan dan Ligitan. Ketiga, Pulau Pasir didekat kepulauan Christmas diperairan Nusa Tenggara Timur yang kemungkinan dilirik oleh Australia karena mobilisasi orang-orang Australia di pulau tersebut sangat tinggi. Keempat, terdapat satu pulau di Kalimantan Barat yang belum memiliki nama, yang justru dimanfaatkan oleh pelaut-pelaut Thailand saat melakukan penangkapan illegal di perairan Indonesia. Kelima, Pulau Mapia yang ada di sebelah utara Papua yang berbatasan dengan Palau (Papua Nugini) yang penduduknya juga merasa sebagai orang Palau. Tentunya masih banyak lagi (sekitar 70an pulau) baik yang memiliki nama maupun tidak memiliki nama merupakan pulau-pulau yang diincar negara tetangga. Negara tetangga akan terus mengincar pulau-pulau kecil di Indonesia karena kita sendiri belum serius mengurus atau memanfaatkan pulau-pulau itu sebagai sumber-sumber ekonomi baru. Padahal keberadaan
265
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 264-273
pulau-pulau kecil itu dapat dijadikan kota-kota pantai berbasis sumberdaya maritim, misalnya memobilisasi investasi untuk menjadikan pulau-pulau kecil itu sebagai basis pembangunan perikanan dan pariwisata bahari di Indonesia. Dengan demikian, lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan sebenarnya erat kaitannya dengan kurangnya pemahaman kita tentang makna ekonomi pulau-pulau kecil. Problem yang kita hadapi adalah menyangkut cara berpikir dan orientasi kegiatan yang terlalu fanatik pada daratan atau pulau-pulau besar dan melupakan pulau-pulau kecil. Dalam kenyataannya, jika kita bertanya tentang nama pulau di Indonesia, maka secara spontan dapat disebutkan atau dihafal adalah pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya (tanah Papua). Di luar itu, pulau-pulau kecil yang diingat adalah pulau Bali, Madura dan Batam. Padahal masih ada 17.500 pulau lainnya yang menyebar dari Sabang sampai Merauke. Cara berpikir seperti itu telah membawa konsekuensi serius bangsa Indonesia dalam pandangannya yang continental state dan melupakan maritime state. Karena itu selama tiga dasawarsa lamanya kita menganggap bangsa kita sebagai bangsa petani atau agraris. Hal menarik lainnya dalam pandangan continental state adalah ketika mengukur potensi kekayaan wilayah suatu daerah selalu mengatakan bahwa Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah daerah miskin. Analisis yang terburu-buru seperti itu dilakukan karena dasar pengukurannya adalah kesuburan tanah dari pulau-pulau di NTT. Kita selalu melupakan kekayaan laut di NTT, potensi tambang off shore, perikanan, pariwisata bahari yang begitu kaya di NTT. Sekali lagi hal ini menunjukan visi kita yang miskin tentang kepulauan dan maritim. Perlu ditegaskan bahwa nilai ekonomi sebuah pulau, tidak ditentukan oleh besar kecilnya pulau tersebut, tetapi lebih kepada potensi alam dan manfaat ekonomi sosial yang terkandung di dalamnya. Lihat misalnya pulau Singapura, Hongkong, Hawaii, Manhatan New York, Maladewa, Bali, Bunaken, Wakatobi dan masih banyak lagi contoh-contoh kepulauan di dunia
266
Laode M. Kamaluddin “Analisis dan Evaluasi Mengenai Kebijakan Penentuan Sumberdaya Kelautan”
ini yang dapat diajukan untuk membuktikan bahwa pulau kecil tidak kalah penting nilai ekonominya dengan daratan. Untuk mengungkap peran pulau kecil di Indonesia pada masa silam, dunia mengenal Pulau Run karena potensi pulau kecil itu, sementara orang Indonesia tidak mengenalnya, padahal sejak dahulu pulau tersebut menjadi incaran negara-negara Eropa. Ketika jalur pelayaran dari Eropa menuju perairan nusantara masih dimonopoli oleh Kerajaan Osmania di Turki, dengan menggunakan pelabuhan Venesia di Italia, negara-negara Eropa senantiasa berusaha mencari jalur pelayaran lain menuju pulau Run di Banda Neira. Kegigihan bangsa Eropa yang membuahkan hasil, dilihat dari kemampuannya dalam mematahkan hegemoni Kerajaan Osmania, sehingga pada tahun 1511, pelaut-pelaut Portugis menemukan jalur baru menuju pulau Run, melalui Tanjung Harapan di Afrika Selatan dan kemudian Inggris berhasil menemukan jalur melalui Pantai Selatan Amerika. Ini artinya pulaupulau kecil Indonesia sejak dahulu telah menjadi incaran negara-negara lain.
Kategori Pulau-Pulau Kecil Pulau-pulau kecil dicirikan oleh keterisolasian penduduknya dengan daratan besar, jumlah penduduknya sedikit dan umumnya sulit dijangkau karena keterbatasan dalam prasarana dan sarana komunikasi, transportasi laut, air bersih, irigasi, kesehatan, pendidikan sehingga membuat pulaupulau kecil sulit untuk berkembang. Berdasarkan tingkat pengembangan daerah pulau-pulau kecil dibedakan atas empat kategori : 1. Pulau-pulau kecil yang termasuk dalam kawasan potensial untuk tumbuh dan berkembang secara ekonomi dari kegiatan industri; 2. Pulau-pulau kecil di kawasan perbatasan yang memiliki potensi untuk dijadikan sebagai kawasan pertahanan dan keamanan negara; 3. Pulau-pulau kecil yang memiliki keindahan untuk dijadikan objek pariwisata bahari;
267
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 264-273
4. Pulau-pulau kecil yang potensial untuk dikembangkan menjadi kotakota pantai berbasis perikanan.
Jalur Pengembangan Pulau-Pulau Kecil Untuk menyegarkan pemahaman kita tentang pengembangan pulaupulau kecil, maka saya ingin menampilkan kembali jalur pengembangan pulau-pulau kecil di Indonesia berbasis ekonomi maritim yaitu jalur lingkar luar, jalur lingkar dalam, dan jalur barat tengah : Jalur lingkar luar dimulai dari Barat yaitu Pulau Weh (Sabang) di Nangroe Aceh Darussalam; Pulau Nias Propinsi Sumatera Utara; Pulau Siberut Propinsi Sumatera Barat; Pulau Enggano dan Pulau Tikus Propinsi Bengkulu; Kota Pantai Ujung Kulon; Pangandaran dan Pelabuhan Ratu Propinsi Jawa Barat; Cilacap Propinsi Jawa Tengah; Sendang Biru Propinsi Jawa Timur; Pulau Sumba, Pulau Sumbawa, Pulau Roti di Propinsi NTT; kemudian naik ke arah utara Pulau Wetar, pulau Tual Propinsi Maluku, pulau Waegeo dan Pulau Biak Propinsi Papua. Jalur lingkar dalam terdiri dari Pulau Seribu (DKI Jakarta), Karimun Jawa Propinsi Jawa Tengah, Madura dan Bawean Propinsi Jawa Timur; Pulau Bali; Pulau Laut Propinsi Kalimantan Selatan, Pulau Moyo Propinsi NTB; Pulau Bonearate dan Selayar Propinsi Sulawei Selatan; Pulau Wakatobi Propinsi Sulawesi Tenggara; Pulau Buru Propinsi Maluku; Pulau Banda Propinsi Maluku; Pulau Bacan Propinsi Maluku Utara, Pulau Banggai Propinsi Sulawesi Tengah; Pulau Bitung Propinsi Sulawesi Utara; Sangir Talaud Propinsi Sulawesi Utara dan Pulau Tarakan Propinsi Kalimantan Timur. Jalur barat tengah melalui Bagan Siapi-api Propinsi Riau, Pulau Rupat Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau, Pulau Bangka Belitung Propinsi Babel, Pulau Karimata Propinsi Kalimantan Barat dan Pulau Natuna Propinsi Riau.
Peluang Ekonomi Sumberdaya Maritim
268
Laode M. Kamaluddin “Analisis dan Evaluasi Mengenai Kebijakan Penentuan Sumberdaya Kelautan”
Peluang ekonomi pada sektor maritim sangat banyak, hanya saja kita masih memiliki keterbatasan memanfaatkan potensi tersebut untuk kemajuan bangsa Indonesia. Peluang-peluang ekonomi sumberdaya maritim tersebut berupa : a. Transportasi dan Perhubungan Laut ♦
Angkutan ekonomi pelayaran nasional dalam mengangkut muatan dalam negeri masih tersisa 49,85 % atau sekitar 89.843.022 MT pertahun.
♦
Peluang angkutan bagi pelayaran nasional untuk mengangkut muatan luar negeri masih sangat besar yakni 95,21 % atau sekitar 322.532.608 MT pertahun.
♦
Pergerakan barang antar pulau diangkut melalui laut sekitar 88 %.
b. Pelabuhan ♦
Pelabuhan
merupakan
pintu
gerbang
ekonomi
yang
menghubungkan antara aktivitas daratan dan laut. ♦
Peningkatan
aktivitas
pelayaran
menyebabkan
peningkatan
pemanfaatan pelabuhan. ♦
Peningkatan jumlah produksi barang dan jasa yang membutuhkan aktivitas bongkar muat melalui pelabuhan laut.
♦
Berkembangnya armada transportasi laut dan bongkar muat yang membutuhkan pelabuhan.
Perkembangan muatan barang antar pulau melalui pelabuhan laut dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini : Tabel 1. Pangsa Muatan Angkutan Luar Negeri (Ditlala Ditjenla, 2001) Tahun 1995
Pelayaran Nasional (%) Muatan (M/T) 5.989.085
2,15
Pelayaran Asing Muatan (M/T) (%) 272.230.980
97,85
269
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 264-273
1996
22.212.440
6,59
314.850.390
93,41
1997
10.283.183
3,85
256.795.489
96,15
1998
9.381.171
3,52
257.405.305
96,48
1999
16.236.366
4,79
322.532.608
95,21
Tabel 2. Pangsa Muatan Angkutan Dalam Negeri (Ditlala Ditjenla, 2001) Tahun 1995
Pelayaran Nasional Muatan (M/T) (%) 51,44 75.339.592
Pelayaran Asing Muatan (M/T) (%) 48,56 71.118.216
1996
90.631.149
53,27
79.502.298
46,73
1997
61.965.146
46,38
71.643.573
53,62
1998
58.718.762
43,95
66.455.031
49,74
1999
90.386.130
50,15
89.843.022
49,85
c. Perikanan Tangkap dan Budidaya. ♦
Potensi perikanan yang belum termanfaatkan sebanyak 2,8 juta ton/tahun.
♦
Terdapat sembilan titik fishing ground (dari 17 titik fishing ground dunia) di Indonesia masing-masing : Selat Malaka, Selat Makasar dan Laut Flores, Laut Banda, Laut Seram, Laut Sulawesi dan Samudera Pasific, Laut Arafura, Samudera Hindia, Laut Cina Selatan dan Laut Jawa.
♦
Permintaan ikan tuna dunia yang terus meningkat.
♦
Lahan budidaya perikanan yang masih tersedia serta tumbuhnya perikanan budidaya berbasis masyarakat.
d. Pariwisata Bahari. Nilai ekonomi pariwisata bahari sangat tinggi, tetapi bangsa Indonesia belum termasuk dalam kategori 10 negara penghasil pariwisata bahari dunia karena masih lemahnya manajemen kepariwisataan, khususnya wisata bahari. Dampak bom Bali tentu saja semakin merontokkan nilai
270
Laode M. Kamaluddin “Analisis dan Evaluasi Mengenai Kebijakan Penentuan Sumberdaya Kelautan”
ekonomi pariwisata Indonesia. Peluang-peluang ekonomi pariwisata bahari dapat dijelaskan sebagai berikut : ♦
Nilai ekonomi pariwisata dunia sebesar US$ 4,4 trilun (Word Tourism Center, 1998).
♦
Nilai tersebut disumbang oleh sepuluh negara penghasil pariwisata bahari dunia masing-masing : (i) Amerika Serikat menciptakan penghasilan sebesar US$ 71,3 miliar; (ii) Prancis (US$ 29,9 miliar); Italia (US$ 29,8 miliar); Spanyol (US$ 29,8 miliar); Inggris (US$ 21,0 miliar); Jerman (US$ 16,4 miliar); China (US$ 12,6 miliar); Austria (US$ 11,6 miliar); Canada (US$ 9,4 miliar) dan Mexico (US$ 7,9 miliar).
♦
Dalam
peta
pariwisata
bahari
dunia,
bangsa
Indonesia
menguasai tiga titik lokasi pariwisata kelas dunia masing-masing di : Tulamben (Bali), Likuan 2 (Manado) dan Wakatobi (Buton). ♦
Nilai ekonomi pariwisata bahari di beberapa lokasi seperti di Tulamben (Bali) memperoleh pendapatan tiap tahunnya sebesar RP. 29,39 miliar; Likuan 2 (Sulawesi Utara) sebesar Rp. 22,04 dan Wakatobi (Buton) sebesar Rp. 14,70 miliar.
♦
Potensi pariwisata bahari lainnya di Indonesia menyumbang sebesar Rp. 213,09 miliar, namun potensial loss pariwisata bahari karena masih dikelola oleh Singapura sebesar Rp. 840,96 miliar pertahun. Hal ini tentunya merupakan salah satu kegelisahan dari kita yang peduli pada dunia maritim.
e. Pertambangan dan energi lepas pantai Untuk melihat perkembangan produksi minyak dan gas lepas pantai dapat diikuti pada Tabel 3 berikut ini : Tabel 3. Sumbangan Mineral Lepas Pantai (Dalam miliar US$)
271
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 264-273
Tahun
Minyak dan Gas
Total
3,54
Lifting Crude Oil dan Gas/LNG/LPG 2,61
1998 1999
4,63
3,75
2000
8,38
6,54
3,00
9,54
6,15
Sumber : Data Pertamina di olah kembali 2001
Tabel 4. Total Produksi Minyak Nasional, Minyak dari Darat, Minyak Lepas Pantai (Offshore) Tahun 1998-2000
Thn 1998
Total Minyak Produksi Penjualan MMBO Miliar (US $) 502,7 11,06
Minyak Darat Produksi Penjualan MMBO Miliar (US $) 341,8 7,52
Minyak Lepas Pantai Produksi Penjualan MMBO Miliar (US $) 160,9 3,54
1999
519,9
13,63
343,2
8,99
176,8
4,63
2000
487,2
20,45
331,3
13,91
155,9
6,54
Sumber : Pertamina Diolah kembali 2001
Dari data-data di atas terlihat bahwa kontribusi sektor minyak lepas pantai sangat besar, tetapi dalam statistik kita belum dipilah secara baik sehingga kontribusi offshore tidak kelihatan dengan jelas. Padahal sumberdaya maritim khususnya minyak lepas pantai hanya bisa diperhitungkan bilamana share sektor ini secara tegas terlihat dalam pendapatan negara kita. Di sini pula pentingnya kebijakan kelautan yang dapat memberikan payung politik dan ekonomi sektor maritim bahwa maritim harus dibangun secara paralel dalam negara kepulauan seperti Indonesia.
Strategi Pemanfaatan Sumberdaya Maritim Daerah Perbatasan Strategi pembangunan pulau-pulau kecil di daerah perbatasan dilakukan dengan mengembangkan ekonomi pulau-pulau tersebut menjadi kota-kota industri yang maju dengan memanfaatkan kerjasama dengan negara-negara terdekat. Pengembangan pulau-pulau kecil di daerah perbatasan harus terlebih dahulu didekati dengan pendekatan community development
272
dengan cara mendayagunakan hasil-hasil sumber daya
Laode M. Kamaluddin “Analisis dan Evaluasi Mengenai Kebijakan Penentuan Sumberdaya Kelautan”
maritim yang ada di pulau tersebut untuk rehabilitasi ekonomi masyarakat pulau-pulau kecil. Tetapi pengembangan masyarakatnya harus secara paralel membangun kondisi fisik wilayahnya untuk meningkatkan harkat dan martabat masyarakat yang menghuni pulau tersebut. Dalam pandangan saya konsep itu disebut township berbasis sumber daya maritim. Daftar Pustaka Harian Kompas, 24 Desember 2002. Kamaluddin, Laode M. 1999. Pembangunan Wilayah Tertinggal Melalui Konsep Belt Ekonomi Maritim Berbasis Pulau-Pulau Kecil dan Kota Pantai, Hak Paten No. 020476, 4 November 1999, Jakarta. Kamaluddin, Laode M. 2002. Pembangunan Ekonomi Maritim Di Indonesia, Jakarta: Gramedia Kamaluddin, Laode M. 2003. Titik Krusial Pulau Perbatasan, Artikel Harian Umum Republika. Lisoboda, Carlos M. 1998. Ecotourism in the Philippines, Malaty City: Bookmark Soegijoko, Ducky Tjalijati S. Seminar.
1997. Penataan Ruang Pulau-Pulau Kecil, Makalah
273