ANALISIS DAMPAK RENCANA PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR KAKAO TERHADAP INTEGRASI PASAR KAKAO INDONESIA
Oleh: FITRI NURDIYANI A14103013
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
ANALISIS DAMPAK RENCANA PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR KAKAO TERHADAP INTEGRASI PASAR KAKAO INDONESIA
Oleh: FITRI NURDIYANI A14103013
Skripsi Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
RINGKASAN FITRI NURDIYANI. Analisis Dampak Rencana Penerapan Pungutan Ekspor Kakao terhadap Integrasi Pasar Kakao Indonesia. Di bawah bimbingan AMZUL RIFIN. Kakao merupakan salah satu jenis tanaman perkebunan yang berperan penting dalam perekonomian negara Indonesia. Mengingat besarnya potensi komoditas ini dalam perekonomian, maka tak heran pengembangan komoditas ini terus dilakukan. Dalam 20 tahun terakhir luas perkebunan kakao meningkat pesat lebih dari 25 kali lipat dan produksi meningkat lebih dari 69 kali lipat pada tahun 2003. Peningkatan produksi dan perluasan perkebunan kakao tersebut didorong oleh membaiknya harga kakao di dunia sejak tahun 1970-an. Berfluktuasinya harga kakao dunia membuat ikut berfluktuasinya harga kakao di dalam negeri, termasuk harga kakao di beberapa sentra utama kakao Indonesia. Sehingga melalui pola inilah dapat diketahui bagaimana integrasi antara kedua pasar tersebut. Selain itu adanya rencana pemerintah untuk menghapuskan PPN 10 persen dan menerapkan kebijakan pungutan ekspor untuk komoditas kakao memerlukan suatu analisis tersendiri. Oleh karena itu diadakan penelitian yang bertujuan: (1) menganalisis integrasi pasar kakao dunia dan dalam negeri, termasuk di beberapa sentra kakao di Indonesia, (2) menganalisis dampak kebijakan pungutan ekspor kakao terhadap integrasi pasar kakao Indonesia serta implikasinya terhadap para stakeholder agribisnis kakao. Penelitian ini akan membahas dampak penerapan rencana kebijakan pungutan ekspor kakao dan integrasi antara pasar kakao Indonesia, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara dengan pasar
dunia. Adapun penelitian ini dilakukan pada bulan Desember-Januari 2007. Data yang dikumpulkan meliputi data primer (wawancara dengan pihak ASKINDO) dan sekunder (berupa data harga bulanan kakao). Alat analisis yang digunakan adalah model integrasi pasar berupa model Autoregressive Distributed Lag. Berdasarkan hasil analisis integrasi pasar, secara umum dapat disimpulkan bahwa pasar kakao dalam negeri dan dunia tersegmentasi dan tidak terintegrasi dalam jangka pendek. Dengan demikian harga yang terbentuk di dalam negeri tidak dipengaruhi oleh perubahan harga kakao di dunia dan perubahan ini tidak langsung diteruskan ke pasar dalam negeri. Pembentukan harga kakao di dalam negeri hanya dipengaruhi oleh harga kakao bulan sebelumnya di pasar domestik (pengaruhnya sebesar 71 persen) dan dipengaruhi pula oleh harga bulan sebelumnya di dunia. Selain itu terlihat pula bahwa Propinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara kondisi pasarnya tidak tersegmentasi dengan dunia. Oleh karena itu harga kakao dikedua propinsi ini dipengaruhi oleh perubahan harga di dunia, dimana pengaruhnya masing-masing adalah sebesar 210 persen dan 287 persen untuk masing-masing pasar. Namun untuk Propinsi Sumatera Utara dan Sulawei Tengah pasarnya tersegmentasi. Karena sebagian besar pasar di beberapa sentra kakao tersebut tidak terintegrasi dalam jangka pendek (yang terintegrasi hanya Sumatera Utara), maka perubahan harga kakao di dunia tidak akan direfleksikan langsung pada harga kakao di wilayah tersebut. Keadaan tersegmetasinya wilayah Indonesia dan beberapa sentra kakao di dalam negeri (Sumatera Utara dan Sulawesi Tengah) disebabkan oleh adanya sistem kontrak (resi guna) yang dilakukan oleh eksportir di dalam negeri dengan
perusahaan induk di negara tujuan ekspor Selain itu, penalti atau automatic detention yang dikenakan atas kakao Indonesia seringkali membuat harga kakao di dalam negeri berbeda dengan harga kakao yang berlaku di dunia. Dengan demikian harga kakao yang terbentuk di dalam negeri lebih dipengaruhi oleh kualitas kakao yang dihasilkan dari pada oleh perubahan harga yang terjadi di dunia. Tidak terintegrasinya Indonesia dan sebagian besar sentra kakao Indonesia (kecuali Sumatera Utara) dalam jangka pendek dikarenakan jauhnya jarak untuk mengakses informasi harga dunia ke London Cocoa Terinal Market dan New York Board of Trade. Khusus untuk Sumatera Utara karena di wilayah ini terdapat perkebunan milik negara (PTPN), maka akses informasi lebih mudah untuk dilakukan. Nilai IMC untuk semua sentra kakao kurang dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan pasar kakao di wilayah-wilayah tersebut mempunyai hubungan yang cukup tinggi dengan pasar kakao dunia. Akan tetapi wilayah Sulawesi Tenggara ternyata memiliki hubungan dengan pasar dunia yang lebih dekat, karena nilai IMC lebih dekat dengan nol. Terkait dengan rencana pemerintah untuk menerapkan pungutan ekspor kakao, ternyata penerapan kebijakan ini pada akhirnya akan membuat kondisi pasar kakao di dalam negeri menjadi semakin tidak terintegrasi. Selain itu, adanya kebijakan pungutan ekspor ini akan berimplikasi pada: (1) melemahnya posisi daya saing ekspor kakao Indonesia di dunia, (2) menurunnya bagian pendapatan yang akan diterima oleh petani, (3) bagi pedagang (eksportir), pungutan ekspor mungkin tidak akan begitu berpengaruh meskipun akan memicu kegiatan penyelundupan, (4) bagi pihak industri, adanya pungutan ekspor akan menjamin
ketersediaan input untuk proses pengolahan cokelat dan bagi pemerintah tentu saja kebijakan ini akan menjadi alternatif pendapatan bukan pajak. Dari hasil penelitian tersebut, saran yang diajukan antara lain: (1) Pemerintah sebaiknya meninjau ulang rencana kebijakan ini pungutan ekspor sebelum diterapkan karena pada dasarnya adanya kebijakan ini akan menyebabkan kondisi pasar kakao Indonesia menjadi semakin tidak terintegrasi. (2) Untuk memecahkan masalah kurang berkembangnya industri pengolahan kakao di dalam negeri, maka rencana pemerintah untuk mencabut PPN 10 persen tetap perlu dilakukan dan sebagai gantinya pemerintah dapat menerapkan pajak yang serupa yang dikenakan atas barang jadi bukan barang primer. (3) Rencana pembentukan Bursa Barjangka Kakao di Jakarta sebaiknya segera direalisasikan agar harga ekspor kakao tidak terlalu berfluktuasi jika mengikuti harga yang berlaku di bursa berjangka komoditi di Singapura atau dunia dan diharapkan pasar akan lebih terintegrasi serta tidak tersegmentasi karena akses informasi lebih mudah.
Judul Skripsi
: Analisis Dampak Rencana Penerapan Pungutan Ekspor Kakao terhadap Integrasi Pasar Kakao Indonesia
Nama
: Fitri Nurdiyani
NRP
: A14103013
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Amzul Rifin, SP, MA NIP. 132 288 333
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr NIP. 130 422 698
Tanggal Lulus: 12 Maret 2007
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS DAMPAK RENCANA PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR KAKAO TERHADAP INTEGRASI PASAR KAKAO INDONESIA” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENARBENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Maret 2007
Fitri Nurdiyani A14103013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan dan kemudahan dalam proses penulisan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai syarat dalam meraih gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Skripsi yang berjudul “Analisis Dampak Rencana Penerapan Pungutan Ekspor Kakao terhadap Integrasi Pasar Kakao Indonesia” menggambarkan kondisi pasar kakao di Indonesia dan dampak kebijakan pungutan ekspor yang rencananya akan diterapkan oleh pemerintah. Penulis pun tak lupa menyampaikan terima kasih kepada: 1. Drs. Achmad J.S. dan Yati Rustiati, selaku orang tua penulis dan Dadi yang telah memberikan segala yang penulis perlukan selama proses belajar dan mencurahkan motivasi, kasih sayang serta doa kepada penulis. 2. Amzul Rifin, SP, MA atas saran-saran, bimbingan dan kritikannya selama proses penelitian dan penulisan skripsi. 3. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS, selaku dosen penguji utama yang telah memberikan masukan untuk penyempurnaan skripsi ini. 4. Arif Karyadi, SP, selaku dosen penguji komisi pendidikan yang telah memberikan masukan untuk penulisan skripsi yang lebih baik. 5. Faisal yang telah memberikan motivasi, kasih sayang, waktu dan kesabaran kepada penulis serta Netta, Astrid, Widia dan Iis atas bantuan dan dukungannya selama proses seminar dan sidang. 6. Teman-teman satu bimbingan (Aloy, Ance, Metta dan Dewi), terima kasih atas semangat yang telah diberikan.
7. Rekan-rekan Agribisnis 40, 39 dan 41 atas persahabatan dan pertemanannya, semoga tali silaturahmi kita tetap terjalin dengan erat. 8. Seluruh kader HMI Komisariat Fakultas Pertanian atas persahabatan, motivasi serta dukungannya kepada penulis. 9. Keluarga besar IKC (Ikatan Kekeluargaan Cirebon). 10. Mbak Fitri dari Asosiasi Kakao Indonesia (ASKINDO) atas kemudahan dan seluruh informasi yang telah diberikan. 11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Akhir kata, penulis mengharapkan kritik dan saran kepada semua pihak untuk kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.
Bogor, Maret 2007
Fitri Nurdiyani
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cirebon, 29 Juni 1985 sebagai anak tertua dari dua bersaudara pasangan Drs. Achmad Jatodawa Situmorang dan Yati Rustiati. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Sadagori I Cirebon pada tahun 1996. kemudian penulis melanjutkan pendidikan menengahnya di SLTP Negeri 1 Cirebon. Pada tahun 2000 penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 1 Cirebon dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di organisasi intra kampus Unit Kegiatan Mahasiswa CENTURY (Center of Entrepreunership Development for Youth) dan menjabat sebagai sekretaris periode 2005-2006. Penulis juga aktif pada organisasi ekstra kampus yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Pertanian dan menjabat sebagai wakil sekretaris umum Bidang Pembinaan Anggota periode 2006-2007. Selain itu, penulis pun pernah menjabat sebagai sekretaris Ormas Forum Komunitas Muda Indonesia pada tahun 2005-2006. Beberapa prestasi yang telah berhasil diukir selama masa perkuliahan diantaranya adalah juara 3 Mahasiswa Berprestasi Fakultas Pertanian (2006), mewakili IPB dalam kegiatan International Academic Exchange Symposium Program International Student Workshop in Ami “Consideration to Food Life and Environment in Asia”, Universitas Ibaraki Jepang (2006) dan finalis universitas “Trust By Danone Day” Internastional Business Simulation Competition (2007).
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI .......................................................................................................... i DAFTAR TABEL ............................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................................v BAB I
PENDAHULUAN ................................................................................1 1.1 Latar Belakang ................................................................................1 1.2 Perumusan Masalah ........................................................................4 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ....................................................7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................8 2.1 Komoditas Kakao ............................................................................8 2.2 Perkembangan Kakao Dunia ...........................................................9 2.2.1 Perkembangan Produksi .........................................................9 2.2.2 Perkembangan Ekspor .........................................................11 2.2.3 Perkembangan Impor ...........................................................12 2.2.4 Perkembangan Harga ...........................................................13 2.3 Kajian Penelitian Terdahulu ..........................................................14
BAB III
KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................18 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ........................................................18 3.1.1 Teori Permintaan dan Penawaran .........................................18 3.1.2 Teori Perdagangan Internasional ..........................................19 3.1.3 Pajak Ekspor ........................................................................21 3.1.4 Integrasi Pasar ......................................................................24 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional .................................................25
BAB IV
METODE PENELITIAN .................................................................28 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................28 4.2 Pengumpulan Data ........................................................................28 4.3 Metode Analisis Data ....................................................................29 4.3.1 Analisis Deskriptif ...............................................................29 4.3.2 Analisis Integrasi Pasar ........................................................29 4.3.3 Pengujian Hipotesis Integrasi Pasar .....................................32 4.3.3.1 Segmentasi Pasar ......................................................32 4.3.3.2 Integrasi Jangka Pendek ...........................................33 4.4 Definisi Operasional ......................................................................35
BAB V
GAMBARAN UMUM KAKAO INDONESIA ..............................37 5.1 Luas Areal dan Produksi Perkebunan Kakao ................................37 5.2 Perkembangan Ekspor-Impor .......................................................38 5.3 Perkembangan Harga ....................................................................40
ii
5.4 Perkembangan Konsumsi ..............................................................41 5.5 Perkembangan Kebijakan Kakao Indonesia ..................................43 BAB VI
ANALISIS INTEGRASI PASAR ....................................................46 6.1 Analisis Integrasi Pasar Dalam Negeri dan Dunia ........................46 6.2 Analisis Integrasi Pasar Beberapa Sentra Kakao Indonesia dan Dunia ......................................................................................50
BAB VII DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR KAKAO ........59 BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN .........................................................63 8.1 Kesimpulan ...................................................................................63 8.2 Saran ..............................................................................................64 DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................66 LAMPIRAN ........................................................................................................69
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.
Perkembangan Produksi dan Areal Perkebunan Kakao Indonesia ...........3
2.
Perkembangan Produksi Kakao Dunia, 2000/2001-2003/2004 (Ribu Ton) ..............................................................................................11
3.
Perkembangan Ekspor Biji Kakao Beberapa Negara Produsen Utama, 2000/2001-2003/2004 (Ribu Ton) ..........................................................12
4.
Perkembangan Impor Biji Kakao Beberapa Negara Importir Utama, 2000/2001-2003/2004 (Ribu Ton) .........................................................13
5.
Perkembangan Harga Rata-Rata Tahunan Biji Kakao di Pasar Dunia, 1988-2005 (SDR/ton) .............................................................................14
6.
Volume dan Nilai Ekspor-Impor Indonesia, 1969-2004 ........................39
7.
Perkembangan Konsumsi dan Grindings Kakao Indonesia (Ribu ton) ..42
8.
Perbandingan Koefisien Regresi Antara Data Sebelum dan Sesudah Diubah ke Dalam Bentuk Logaritma Natural .........................................47
9.
Koefisien Regresi Integrasi Pasar antara Pasar Kakao Dalam Negeri dan Dunia ................................................................................................47
10.
Analisis Integrasi Pasar Kakao Dalam Negeri dan Dunia .....................49
11.
Koefisien Regresi Integrasi Pasar antara Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara terhadap Dunia ............51
12.
Analisis Integrasi Pasar Antara Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dengan Dunia ...............51
13.
Formulasi Harga Kakao Apabila Memperhitungkan Pungutan Ekspor Dengan Menggunakan Perhitungan Versi ASKINDO ..........................59
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.
Nilai Ekspor Komoditas Pertanian, 2000-2004 ..................................1
2.
Perkembangan Harga Kakao Dunia, 1995-2005 ................................4
3.
Pergerakan Harga Kakao Dunia, Domestik dan Beberapa Sentra Kakao .................................................................................................5
4.
Kurva Perdagangan Internasional .....................................................21
5.
Pembebanan Pajak Ekspor ...............................................................22
6.
Dampak Pemberlakuan Pungutan Ekspor CPO terhadap Industri CPO ...................................................................................................23
7.
Alur Pemikiran Operasional .............................................................27
8.
Perkembangan Harga Kakao di Pasar Domestik .............................40
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Luas Areal dan Produksi Perkebunan Kakao Seluruh Indonesia Menurut Propinsi dan Status Pengusahaan, 2003 ..................................69
2.
Harga Bulanan Kakao di Pasar Dalam Negeri (Domestik) Dan Dunia ...............................................................................................70
3.
Harga Rata-Rata Bulanan Kakao di Propinsi Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Pasar Dunia ...........71
4.
Persamaan Regresi Integrasi Pasar Kakao Dalam Negeri dengan Pasar Dunia ............................................................................................73
5.
Persamaan Regresi Integrasi Pasar Kakao Dalam Negri dengan Pasar Dunia (Menggunakan Data yang Diubah ke Dalam Bentuk Logaritma Natural) .................................................................................74
6.
Pengujian Integrasi Pasar antara Pasar Kakao Dalam Negeri dan Dunia ......................................................................................................75
7.
Persamaan Regresi Integrasi Pasar Kakao Sumatera Utara dan Dunia...77
8.
Persamaan Regresi Integrasi Pasar Kakao Sulawesi Selatan dan Dunia ......................................................................................................78
9.
Persamaan Regresi Integrasi Pasar Kakao Sulawesi Tengah dan Dunia ......................................................................................................79
10.
Persamaan Regresi Integrasi Pasar Kakao Sulawesi Tenggara dan Dunia ......................................................................................................80
11.
Pengujian Integrasi Pasar antara Pasar Kakao di Sumatera Utara dan Dunia ......................................................................................................81
12.
Pengujian Integrasi Pasar antara Pasar Kakao di Sulawesi Selatan dan Dunia ......................................................................................................83
13.
Pengujian Integrasi Pasar antara Pasar Kakao di Sulawesi Tengah dan Dunia ......................................................................................................85
14.
Pengujian Integrasi Pasar antara Pasar Kakao di Sulawesi Tenggara Dan Dunia ..............................................................................................87
15.
Tataniaga Kakao Indonesia ....................................................................89
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Perkembangan nilai ekspor Indonesia sampai tahun 1986 masih didominasi oleh ekspor migas, namun sejak tahun 1987 ekspor Indonesia didominasi oleh sektor non migas. Ekspor komoditas pertanian merupakan salah satu bagian penting dalam komposisi ekspor non migas. Total nilai ekspor produk pertanian selama lima tahun terakhir menunjukkan trend yang meningkat (Gambar 1), yaitu dari 3,8 milyar US$ di tahun 2000 menjadi 8,2 milyar US$ di tahun 2004. Dari total komoditas pertanian tersebut, sub sektor yang memberikan kontribusi terbesar dibandingkan sub sektor lainnya adalah sub sektor perkebunan, yaitu sebesar 87,57 persen di tahun 2004 dengan total nilai ekspor sebesar 7,4 milyar US$. Besarnya kontribusi tersebut menyebabkan sub sektor ini dijadikan
Juta US$
andalan Indonesia dalam ekspor di luar non migas. 9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 2000
2001
2002
2003
2004
Tahun Tanaman Pangan
Hortikultura
Peternakan
Total
Perkebunan
Gambar 1. Nilai Ekspor Komoditas Pertanian, 2000-2004 Sumber: Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Deptan, 2006 (Diolah)
2
Salah satu komoditas perkebunan yang berkontribusi terhadap ekspor perkebunan Indonesia adalah kakao. Kakao merupakan salah satu jenis tanaman perkebunan yang berperan penting dalam perekonomian negara Indonesia. Selain sebagai penyedia lapangan pekerjaan, sumber pendapatan dan devisa negara, kakao
juga
berperan
dalam
mendorong
pengembangan
wilayah
dan
pengembangan agroindustri. Pada tahun 2002, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 900.000 kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) serta memberikan sumbangan devisa terbesar ke-tiga sub sektor perkebunan setelah karet dan minyak sawit dengan nilai sebesar 701 juta US$ (Badan Penelitian dan Pengembangan Deptan, 2005). Mengingat besarnya potensi komoditas ini dalam perekonomian, maka tak heran pengembangan komoditas ini terus dilakukan. Dalam 20 tahun terakhir luas perkebunan kakao meningkat pesat lebih dari 25 kali lipat dari 37 ribu hektar pada tahun 1980 menjadi 961 ribu hektar pada tahun 2003 dan produksi meningkat lebih dari 69 kali lipat dari 10 ribu ton pada tahun 1980 menjadi 695 ribu ton pada tahun 2003 (Tabel 1). Perluasan areal yang begitu pesat umumnya dilakukan petani, sehingga perkebunan rakyat telah mendominasi perkebunan kakao Indonesia. Perkebunan kakao yang dikelola oleh rakyat adalah sebesar 87,4 persen dan selebihnya enam persen perkebunan besar negara serta 6,6 persen perkebunan besar swasta. Tanaman kakao hampir ditanam di seluruh pelosok tanah air dengan sentra utama kakao di Indonesia secara berurutan adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur,
3
Kalimantan Timur, Maluku Utara dan Irian Jaya (Badan Penelitian dan Pengembangan Deptan, 2005). Tabel 1. Perkembangan Produksi dan Areal Perkebunan Kakao Indonesia Luas Areal Perkembangan Tahun Produksi Perkembangan (ha) Luas Areal (ton) Produksi (persen) (persen) 1970 1738 12110 1975 3921 125.60 17498 44.49 1980 10284 162.28 37082 111.92 1985 33798 228.65 92797 150.25 1990 142347 321.17 357490 285.24 1995 304866 114.17 602428 68.52 2000 421142 38.14 749917 24.48 2001 536804 27.46 821449 9.54 2002 619192 15.35 914051 11.27 2003 695361 12.30 961107 5.15 Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian, 2005 (Diolah)
Peningkatan produksi dan perluasan perkebunan kakao tersebut didorong oleh membaiknya harga kakao di dunia sejak tahun 1970-an (Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian, 2005). Selama 10 tahun terakhir, harga kakao dunia cukup fluktuatif. Pada tahun 1995 rata-rata harga kakao dunia berada di kisaran 945,23 SDR/ton dan pada tahun 2002 rata-rata harga kakao dunia adalah sebesar 1369,17 SDR/ton. Pada tahun 2000, harga kakao sempat mencapai titik terendah, yaitu sebesar 672,76 SDR/ton. Pada dua tahun terakhir harga kakao dunia relatif stabil pada kisaran 1070 SDR/ton. Adapun perkembangan harga kakao dunia tersebut dapat dilihat pada gambar berikut.
4
1600 1400
SDR/ton
1200 1000 800 600 400 200 0 1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
Gambar 2. Perkembangan Harga Kakao Dunia, 1995-2005 Sumber: International Cocoa Organization, 2006 (Diolah)
Keberhasilan peningkatan produksi dan perluasan perkebunan kakao yang telah dilakukan tersebut memberikan dampak yang nyata bagi perkembangan pangsa pasar ekspor kakao Indonesia. Pada tahun 2002, Indonesia menjadi produsen kakao terbesar di dunia setelah Pantai Gading (Cote D’Ivoire), walaupun pada tahun 2003 Indonesia harus kembali tergeser ke posisi tiga di bawah Ghana (Intenational Cocoa Organization, 2006).
1.2 Perumusan Masalah Berfluktuasinya harga kakao dunia membuat ikut berfluktuasinya harga kakao di dalam negeri, termasuk harga kakao di beberapa sentra utama kakao Indonesia. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian (2005), harga kakao di dalam negeri mengikuti harga kakao di pasar dunia, terutama di London Cocoa Terminal Market dan New York Board of Trade (NYBOT).
5
14000
1800 1600
12000
1400 SDR/ton
1000
8000
800
6000
600
Rp/kg
10000
1200
4000
400 2000
200
0
20 02
Ja Fe n Mb ar A p Mr ei Ju n Ju A l gs Se p O k N t o 20 D v 03 es Ja n Fe Mb ar A p Mr e Ju i n Ju A l g Se s p O k N t ov 2 0 De 04 s Ja Fe n Mb a Ar p Mr e Ju i n Ju A l g Se s p O k N t ov D es
0
Bulan
Internasional
Sumut
Sulsel
Sulteng
Sultra
Domestik
Gambar 3. Pergerakan Harga Kakao Dunia, Domestik dan Beberapa Sentra Kakao Sumber: International Cocoa Organization dan Dirjen Perkebunan Deptan, 2006 (Diolah)
Gambar 3 menunjukkan bahwa pergerakan harga kakao domestik (dalam negeri) dan harga di wilayah Sulawesi Tengah tidak memiliki pergerakan yang sama dengan harga di dunia. Untuk wilayah Sulawesi Selatan pergerakan harga yang sama tampak setelah periode Januari 2004. Untuk wilayah Sumatera Utara meskipun sebelum Januari 2004 pergerakan yang ditunjukkan secara umum hampir sama, namun pada periode setelah bulan Januari 2004 terdapat beberapa pergerakan yang berbeda. Begitu pula halnya dengan wilayah Sulawesi Tenggara. Menurut Baffes dan Bruce (2003) pasar dapat dikatakan terintegrasi apabila perubahan harga yang terjadi di pasar kakao dunia tersebut langsung diteruskan dan direfleksikan ke pasar dalam negeri. Dengan kata lain pola harga yang ditunjukkan harus sama. Demikian halnya dengan pola yang ditunjukkan antara harga kakao dunia dan dalam negeri seharusnya menunjukkan pola yang sama agar dapat dikatakan terintegrasi. Baffes dan Bruce mengatakan pula bahwa segala bentuk campur tangan pemerintah yang umumnya dilakukan di negara-negara berkembang (termasuk
6
Indonesia), baik melalui pajak maupun mekanisme subsidi akan menimbulkan distorsi harga. Adanya kebijakan tersebut akan membuat harga di dalam negeri jauh dari harga internasional. Dengan kata lain, adanya kebijakan pemerintah akan mempengaruhi integrasi antara pasar dalam negeri dan dunia. Terkait dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2003, penjualan domestik kakao dikenakan PPN 10 persen, sehingga tidak heran pedagang kakao lebih senang menjual kakao ke luar negeri (ekspor) dari pada menjual kakao untuk kepentingan industri pengolahan cokelat dalam negeri. Sebab, selama ini pungutan ekspor atas kakao tidak dikenakan atau sebesar nol persen. Dengan kondisi seperti ini dapat dipastikan industri pengolahan cokelat dalam negeri akan sulit berkembang. Menurut catatan Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Jakarta, dari 15 pabrik pengolahan cokelat dengan total kapasitas penggilingan sebesar 293.000 ton sejak beberapa tahun terakhir jumlah pabrik pengolahan hanya tinggal enam pabrik dengan kapasitas penggilingan sebesar 100.000 ton1. Dilatarbelakangi kondisi tersebut, untuk menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri pengolahan dalam negeri, pemerintah berencana untuk menghapuskan PPN 10 persen dan sebagai gantinya pemerintah akan menerapkan kebijakan pungutan ekspor untuk komoditas kakao (Supriyanto, 2006). Rencana pemerintah untuk menerapkan pungutan ekspor untuk kakao sebenarnya masih menjadi perdebatan berbagai pihak, terutama pihak-pihak yang terkait dalam agribisnis kakao Indonesia (petani, pedagang dan eksportir, serta industri). Petani, pedagang dan eksportir adalah pihak yang kontra terhadap kebijakan ini. Sementara itu, pihak industri memandang bahwa pungutan ekspor 1
Kompas. 2005. Komoditas Tertentu akan Kena Pungutan Ekspor. www.kompas.com/kompascetak/0505/03. Diakses tanggal 29 November 2006.
7
akan memberikan dukungan atas pasokan bahan baku industri pengolahan cokelat (Supriyanto, 2005). Mengingat pentingnya komoditas ini terhadap perekonomian Indonesia, akan sangat relevan apabila dilakukan analisis mengenai dampak kebijakan pungutan ekspor tersebut apabila jadi diterapkan di Indonesia sebagai langkah antisipatif. Oleh karena itu permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana integrasi antara pasar kakao dunia dan dalam negeri? 2. Bagaimana dampak kebijakan pungutan ekspor terhadap integrasi pasar kakao Indonesia dan bagaimana implikasi kebijakan ini terhadap para stakeholder agribisnis kakao?
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis integrasi pasar kakao dunia dan dalam negeri, termasuk di beberapa sentra kakao di Indonesia, (2) menganalisis dampak kebijakan pungutan ekspor kakao terhadap integrasi pasar kakao Indonesia serta implikasi kebijakan ini terhadap petani, pedagang dan industri kakao serta pemerintah Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam merencanakan dan menetapkan kebijakan perkakaoan Indonesia, khususnya mengenai rencana penerapan kebijakan pungutan ekspor. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan, referensi dan literatur bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komoditas Kakao Secara umum budidaya kakao (Theobroma cacao L.) terdiri atas pembibitan, penanaman, pemeliharaan, panen dan pasca panen. Sebelum penanaman pohon kakao, lahan ditanami pohon pelindung. Pembibitan kakao dilakukan dengan menyemaikan bijinya pada polibag sampai bibit berumur sekitar enam bulan. Setelah itu bibit dipindahkan ke lapangan, dengan lubang dan pohon pelindung yang telah dipersiapkan sebelumnya. Jarak tanam kakao yaitu tiga meter dalam baris dan enam meter jarak antar baris, sehingga barisan pohon pelindung terletak diantara barisan tanaman kakao. Kegiatan dalam pemeliharaan tanaman kakao antara lain mempertahankan kesuburan
tanah,
penyiangan,
pengendalian
hama
dan
penyakit,
dan
pemangkasan. Pemangkasan dilakukan untuk menjaga agar tajuk tidak saling bersinggungan sehingga sinar matahari tidak terhalangi sehingga merangsang pertumbuhan dan pembuahan. Tanaman kakao mulai berbuah setelah berumur tiga tahun dengan umur ekonomis 20 tahun. Pemanenan buah kakao dilakukan setelah buah yang merah menjadi orange dan buah hijau menjad kuning, perubahan warna kulit tersebut menunjukkan bahwa buah tersebut sudah masak. Pada saat itu biji-biji di dalam buah mulai lepas dari dinding buah. Pengolahan biji kakao yang baru dipanen sampai siap untuk dipasarkan terdiri atas fermentasi, pencucian dan penjemuran. Fermentasi biasanya dilakukan
9
selama dua sampai tiga hari, selanjutnya dilakukan pencucian untuk menghindari kapang atau jamur. Setelah pencucian, biji kakao dikeringkan dengan cara dijemur selama kurang lebih tiga hari, kemudian dilakukan sortasi sebelum dipasarkan ke pabrik pengolahan. Dalam industri pengolahan, biji kakao dapat diolah menjadi cocoa butter, cocoa cake, cocoa paste, cocoa powder, cokelat, bahan baku farmasi dan bahan campuran kosmetik. Selain itu kulit buah kakao dapat diolah menjadi bahan pakan ternak.
2.2 Perkembangan Kakao Dunia 2.2.1
Perkembangan Produksi Produksi kakao dunia didominasi oleh negara-negara Afrika (Ghana,
Nigeria, Pantai Gading dan Kamerun) karena negara-negara ini memproduksi kakao sebanyak 80 persen dari total produksi kakao dunia. Pada awal dekade tahun 1980-an, negara-negara Asia-Pasifik yang berperan dalam produksi kakao adalah Malaysia, Papua Nugini dan Indonesia. Pada waktu itu pangsa produksi ketiga negara tersebut hanyalah sebesar lima persen dari produksi dunia. Rincian pangsa produksi tersebut adalah Indonesia (0,4 persen), Pantai Gading (24,7 persen), Brazil (21,3 persen), Ghana (15,5 persen), Nigeria (9,3 persen), Kamerun (7,2 persen), Ekuador (4,9 persen), Malaysia (2,4 persen), Papua Nugini (1,7 persen) dan negara-negara lainnya sekitar 12,6 persen (Roesmanto, 1991). Produksi kakao dunia terus bertambah sejak tahun 1986/1987 setelah produksi mengalami penurunan pada tahun 1981/1982 dan tahun 1983/1984. Produksi tahun 1987/1988 sebanyak 2,2 juta ton dan lebih besar lagi pada tahun 1988/1989. Kenaikan produksi tercatat di Pantai Gading, Brazil, Nigeria,
10
Malaysia, Kamerun dan Indonesia. Sebaliknya produksi menurun di Ghana dan Ekuador. Ternyata kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara, pangsa produksinya telah meliputi 15,2 persen dari total produksi dunia tahun 1987/1988. Ghana, sebagai salah satu produsen kakao terbesar di Afrika dan dikenal sebagai “a high quality origin”, ternyata pada saat ini hanya mampu menghasilkan kakao sekitar 180-200 ribu ton setahun bila dibandingkan dengan prestasinya sebelum tahun 1970-an yang mampu menghasilkan 400 ribu ton setahun (Roesmanto, 1991). Diperkirakan produksi kakao di beberapa negara di Afrika masih akan terus menurun, demikian juga di beberapa negara di Amerika Latin (Siswoputranto, 1988). Pada tahun 2002/2003, produksi kakao dunia diperkirakan sebesar 2.996 ribu ton. Wilayah Afrika memproduksi biji kakao sebesar 2.058,8 ribu ton atau 68,7 persen produksi dunia. Sementara Asia Oceania dan Amerika Latin masingmasing memproduksi 549,7 ribu ton dan 387,6 ribu ton atau 18,4 persen dan 12,9 persen produksi dunia. Produksi utama kakao dunia adalah Pantai Gading dengan total produksi 1,4 juta ton pada tahun 2003/2004. Produsen utama lainnya adalah Indonesia, Ghana, Nigeria dan Brazil dengan produksi pada tahun 2003/2004 masing-masing 420 ribu ton, 737 ribu ton, 175 ribu ton dan 136 ribu ton. Perkembangan produksi kakao negara-negara produsen utama kakao dunia dapat dilihat pada Tabel 2.
11
Tabel 2. Perkembangan Produksi Kakao Dunia, 2000/2001-2003/2004 (Ribu Ton) Negara
2000/01
2001/02
2002/03
2003/04
Cameroon Ivoire Ghana Nigeria Brazil Ecuador Indonesia Malaysia Lainnya
120,00 100,00 410,00 180,00 120,00 105,00 420,00 45,00 1.329,60
126,00 1.265,00 340,60 180,00 123,60 80,70 455,00 25,00 259,40
135,00 1.300,00 475,00 165,00 150,00 85,00 440,00 40,00 265,70
162,00 1.407,20 737,00 175,00 136,40 117,00 420,00 34,00 333,00
Pertumbuhan (persen/tahun) 3,70 3,47 12,53 1,29 (4,26) 1,84 3,73 (14,28) 2,36
Pangsa (persen) 4,60 39,96 20,93 4,97 3,87 3,32 11,93 0,97 9,46
Sumber: Dirjen Perkebunan Deptan, 2006
2.2.2
Perkembangan Ekspor Pada awal tahun 1970-an total ekspor dunia telah mencapai sekitar 1,13
juta ton, kemudian mengalami penurunan sekitar awal tahun 1980-an, namun setelah itu, secara terus-menerus mengalami kenaikan dimana pada tahun 1985 ekspor menjadi sekitar 1,40 juta ton. Kemudian pada tahun 1990 naik menjadi sekitar 1,90 juta ton dan pada tahun 1996 total ekspor sudah mencapai sekitar 2,08 juta ton atau meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 1970 (Arsyad, 2004). Tabel 3 menunjukkan bahwa sampai saat ini volume ekspor dunia masih didominasi oleh negara-negara produsen di Kawasan Afrika (75 persen dari total ekspor dunia). Pantai Gading merupakan eksportir utama di kawasan tersebut, menyusul Ghana, Nigeria dan Kamerun. Kawasan Asia Oceania memiliki pangsa 14,5 persen terhadap total ekspor dunia dan sisanya adalah negara lain.
12
Tabel 3. Perkembangan Ekspor Biji Kakao Beberapa Negara Produsen Utama, 2000/2001-2003/2004 (Ribu Ton) Negara
2000/01
2001/02
2002/03
2003/04 136.08 1,039.48 608.10 161.84 1.56 40.44 85.88 7.39 314.10 11.84 38.70
Pertumbuhan (persen/tahun) 5.24 1.63 12.51 2.42 (24.89) (0.23) 6.80 (2.62) 2.50 (13.69) 4.63
Pangsa (persen) 5.40 41.25 24.13 6.42 0.06 1.60 3.41 0.29 12.47 0.47 1.54
Cameroon Ivore Ghana Nigeria Brazil Rep.Dominica Equador Venezuela Indonesia Malaysia Papua New Guinea Lainnya
101.56 903.39 306.83 149.37 2.48 33.81 57.19 7.59 326.46 17.17 38.80
95.63 1,019.25 284.68 160.29 3.50 40.25 58.86 8.20 364.81 18.45 37.92
108.19 1,070.98 310.33 145.09 3.59 38.39 57.37 8.30 365.65 21.11 39.07
42.07
46.80
47.92
74.38
2.26
2.95
Sumber: Dirjen Perkebunan Deptan , 2006
2.2.3
Perkembangan Impor Secara umum impor biji kakao dunia sangat didominasi oleh negara-
negara yang industrinya lebih maju. Biji kakao dijadikan bahan baku industri cokelat di negara importir tersebut. Sampai saat ini, negara importir utama kakao dunia yang cukup terkenal berasal dari Kawasan Eropa dan Amerika Utara. Selain itu, kawasan Oceania akhir-akhir ini nampaknya juga melakukan impor untuk memenuhi konsumsi dalam negeri dan mengharapkan biji berkualitas dari impor (Arsyad, 2004). Berdasarkan data di bawah terlihat bahwa importir utama biji kakao adalah Belanda dengan jumlah impor mencapai 21 persen dari total impor dunia dan disusul Amerika Serikat dengan pangsa impor sebesar 18,24 persen.
13
Tabel 4. Perkembangan Impor Biji Kakao Beberapa Negara Importir Utama, 2000/2001-2003/2004 (Ribu Ton) Negara France Germany Netherland United Kingdom Spain Belgium Switzerland Estonia Rusia Federation South Afrika Brazil Canada USA Cina Japan Malaysia Singapore Thailand Lainnya
2000/01
2001/02
2002/03
2003/04 154.59 212.15 561.23 138.81
Pertumbuhan (persen/tahun) 4.79 (5.98) 2.77 (3.32)
Pangsa (persen) 5.77 7.92 20.95 5.18
157.18 228.24 549.05 150.73
142.65 212.39 493.91 107.34
138.89 205.13 495.24 126.96
48.80 101.31 21.48 58.65 71.67
55.73 106.27 22.12 65.50 68.35
60.05 122.54 22.51 57.28 70.72
67.35 139.59 24.64 68.69 64.49
4.74 11.13 1.44 0.81 (1.93)
2.51 5.21 0.92 2.56 2.41
5.80
3.46
3.63
2.52
(13.76)
0.09
41.73 57.84 354.68 22.09 49.16 109.63 67.00 12.29 302.18
46.56 56.23 397.13 12.16 50.09 113.99 62.53 14.53 298.47
60.71 52.15 323.26 9.06 49.18 99.19 64.97 15.72 276.46
44.15 71.85 488.57 19.43 56.84 181.20 57.09 18.89 306.39
16.90 11.10 4.74 (8.06) 0.82 27.11 (7.28) 7.89 3.99
1.65 2.68 18.24 0.73 2.12 6.77 2.13 0.71 11.44
Sumber: Dirjen Perkebunan Deptan , 2006
2.2.4
Perkembangan Harga Fluktuasi harga biji kakao dapat dilihat dalam jangka pendek, menengah
dan jangka panjang. Berdasarkan metode yang dipublikasikan oleh ICCO, variasi harga dalam jangka pendek biasanya diukur dalam mingguan, jangka menengah diukur dalam bulanan, sedangkan dalam jangka panjang diukur dalam tahunan. Sementara itu menurut Lolowang (1999), untuk informasi mengenai harga tersebut selama ini berpatokan pada harga yang berlaku dan terjadi di London Cocoa Terminal Market dan New York Board of Trade (NYBOT) mengingat tujuan ekspor dan konsumen kakao terbesar di dunia sejak dulu adalah Masyarakat Eropa dan Amerika Utara. Pada dasarnya harga kakao dunia dipengaruhi oleh harga kakao nomor satu dari Pantai Gading, Afrika Barat. Sejak
14
dahulu Pantai Gading memang merajai kakao dunia dengan hasil tinggi dan mutunya yang menjadi incaran para pembeli (Roesmanto, 1991). Harga kakao di pasar dunia senantiasa berfluktuasi. Hal ini disebabkan oleh laju peningkatan produksi yang tinggi. Terjadinya akumulasi stok yang terus meningkat
mengakibatkan
harga
kakao
dunia
melemah.
Sebagaimana
diperlihatkan pada Tabel 5, harga biji kakao dunia selama periode 1988-1990 cukup fluktuatif. Pada tahun 1989 harga biji kakao mengalami penurunan meskipun kembali mengalami kenaikan yang cukup berarti pada tahun 1997. Hal ini mendorong terjadinya perluasan areal yang dapat meningkatkan produksi kakao dunia dan secara terus-menerus mengakumulasi stok. Akibatnya, harga kakao dunia turun kembali pada tahun 1999 dan kembali menguat pada tahun 2002. Tabel 5. Perkembangan Harga Rata-Rata Tahunan Biji Kakao di Pasar Dunia, 1988-2005 (SDR/ton) Tahun Harga Tahun Harga 1988 1176.94 1997 1177.06 1989 967.44 1998 1236.46 1990 934.20 1999 833.45 1991 872.36 2000 672.76 1992 780.52 2001 855.17 1993 800.04 2002 1369.17 1994 973.86 2003 1256.28 1995 945.23 2004 1045.09 1996 1002.98 2005 1040.50 Sumber : Quarterly Bulletin of Cocoa Statistics ICCO, 2006
2.3 Kajian Penelitian Terdahulu Meskipun hingga penelitian ini didesain belum ditemukan penelitian yang mengkaji secara khusus mengenai dampak rencana kebijakan pungutan ekspor kakao, namun ditemukan berbagai studi terdahulu yang relevan, yang terkait dengan komoditas kakao. Mulai dari analisis keunggulan komparatif, analisis
15
penawaran dan permintaan sampai pada penelitian yang membahas dampak kebijakan ekonomi terhadap perkembangan dan ekspor kakao. Namun dalam bagian ini hanya akan dijabarkan studi-studi terdahulu yang terkait dengan penelitian yang akan dilakukan. Arsyad (2004) dalam penelitiannya mencoba untuk menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi areal panen dan produktivitas kakao di daerah produsen utama Sulawesi Selatan, faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor kakao Sulawesi Selatan, menganalisis dampak kebijakan ekonomi dan perubahan faktor eksternal terhadap produksi dan ekspor kakao Sulawesi Selatan serta menganalisis dampak kebijakan ekonomi dan perubahan faktor eksternal terhadap kesejahteraan masyarakat dan devisa ekspor. Hasil analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa dalam jangka pendek ekspor kakao Sulawesi Selatan kurang responsif terhadap perubahan harga ekspor sebelumnya, pertumbuhan produksi kakao Sulawesi Selatan, nilai tukar tahun sebelumnya dan trend waktu. Kebijakan subsidi harga pupuk bagi petani produsen ternyata merupakan alternatif kunci pengembangan produksi dan ekspor kakao Sulawesi Selatan. Kebijakan depresiasi perlu dipertimbangkan sebagai langkah berikutnya, mengingat dampak kebijakan ini mampu meningkatkan produksi, ekspor, dan harga kakao Sulawesi Selatan sebagai sentra produksi utama kakao Indonesia. Secara umum dapat disimpulkan bahwa kedua kebijakan tersebut mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini berbeda dengan dilakukan oleh Noorsapto (1994) yang meneliti mengenai keunggulan komparatif dan dampak kebijakan pemerintah pada komoditas kakao di perkebunan rakyat, perkebunan besar negara dan perkebunan
16
besar swasta. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan Policy Analysis Matrix (PAM). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa semua sistem komoditas kakao menguntungkan baik secara finansial dan ekonomi dimana ketiga bentuk pengusahaan memiliki keunggulan komparatif dan secara finansial memiliki keunggulan kompetitif sebagai komoditas ekspor. Pada sisi yang berbeda, Akiyama (1992) menganalisis dampak dari pajak optimal atas komoditas kakao terhadap surplus produsen dan cadangan pemerintah. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa faktor yang paling penting dalam menentukan pajak ekspor yang optimal adalah bagaimana petani dan pemerintah membentuk harapan harga. Ketika harapan petani tidak diketahui atau tidak tergantung pada harga dan pajak, maka pajak optimal tidak dapat ditentukan. Penelitian lainnya dilakukan oleh Lam (1979). Lam mengukur pengaruh pajak ekspor pada kopi, kopra, dan kakao di Papua New Guinea. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa adanya penerapan pajak ekspor membuat petani dengan luas tanah marginal akan mendapat efek negatif yang paling besar apabila harga ekspor turun. Di sisi lain, apabila terjadi kenaikan harga, maka keuntungan tersebut tidak akan ditransfer seluruhnya oleh petani. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pajak dalam sektor ini akan menyebabkan harga yang tidak pantas untuk petani. Baffes dan Bruce (2003) menyatakan dalam penelitiannya bahwa: “One of the objectives of these programs was the removal of distortionary price and trade policies by moving prices close to international ones.” Program dalam kata tersebut mengacu pada reformasi kebijakan dengan mengurangi pajak, subsidi dan hambatan non tarif. Merujuk pada pernyataan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah akan menimbulkan
17
distorsi harga dan perdagangan serta membuat harga domestik semakin jauh dari harga internasional. Dengan demikian hubungan antara pasar dalam negeri dan internasional akan semakin jauh dan semakin tidak terintegrasi. Dalam penelitian yang dilakukannya di beberapa negara yang mengalami reformasi kebijakan, misalnya di Chile, adanya kebijakan yang diterapkan pemerintah untuk mengatasi pasar gelap (dengan memonopoli penjualan gandum) membuat harga gandum di negara tersebut tidak bergantung pada harga internasional. Selain itu di Madagaskar, adanya reformasi kebijakan membuat integrasi pasar di negara ini membaik. Adapun studi yang menggunakan pendekatan integrasi pasar, salah satunya adalah yang dilakukan Lestari (2006) untuk menganalisis tataniaga bengkuang. Lestari menganalisis keterpaduan pasar antara tingkat petani di Kecamatan Prembun dengan Pasar Gamping Yogyakarta dan Pasar Induk Keramat Jati sebagai pasar acuan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pasar di tingkat petani, yaitu Pasar Prembun, tidak terintegrasi dengan kedua pasar acuan. Namun melalui analisis nilai Index of Market Connection (IMC) terlihat bahwa antara pasar Prembun dan Pasar Gamping lebih efisien. Perbedaan seluruh studi tersebut dengan penelitian yang akan dilakukan kali ini adalah akan dikajinya perkiraan dampak dari sebuah kebijakan (pungutan ekspor kakao) yang belum diterapkan apabila kebijakan tersebut jadi diterapkan. Dengan menggunakan pendekatan integrasi pasar diharapkan mampu menjelaskan kondisi pasar kakao di Indonesia, sehingga dapat mempermudah analisis. Dari analisis tersebut akan didapat rekomendasi tentang perlu tidaknya penerapan kebijakan ini.
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1
Teori Permintaan dan Penawaran Permintaan terhadap suatu komoditas adalah jumlah yang diinginkan oleh
konsumen untuk dibeli dalam suatu pasar pada tingkat harga dan waktu tertentu. Antara harga dan jumlah yang diinginkan untuk dibeli tersebut mempunyai hubungan yang negatif, artinya jika harga komoditi tersebut naik, maka jumlah yang ingin dibeli oleh konsumen akan menurun, ceteris paribus. Permintaan akan suatu komoditas dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain harga komoditas itu sendiri, harga komoditas lain, selera, tingkat pendapatan, harapan harga yang akan datang, dan jumlah penduduk. Dengan asumsi bahwa faktor-faktor lain tetap (ceteris paribus) kecuali harga komoditas itu sendiri dan pasar merupakan pasar persaingan sempurna maka apabila harga komoditas itu sendiri berubah, dapat menyebabkan perubahan jumlah komoditas yang diminta atau ingin dibeli oleh konsumen sehingga terjadi pergerakan sepanjang kurva permintaan. Di sisi lain, pergeseran kurva permintaan merupakan akibat dari perubahan faktor-faktor di luar harga komoditi tersebut. Sementara itu penawaran suatu komoditas baik barang atau jasa merupakan jumlah komoditas yang ditawarkan oleh produsen kepada konsumen dalam suatu pasar dalam tingkat harga dan waktu tertentu. Lebih lanjut dikatakan bahwa antara harga dan jumlah yang ditawarkan ini mempunyai hubungan positif, artinya jika harga komoditas yang bersangkutan naik, jumlah komoditas yang
19
ditawarkan semakin banyak, ceteris paribus. Menurut Limbong dan Panggabean (1985), terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi penawaran, yaitu tujuan perusahaan, harga komoditas itu sendiri, harga komoditas lain, harga faktor-faktor produksi, dan teknologi yang digunakan. Penawaran pasar dari suatu komoditas merupakan fungsi dari harga komoditas itu sendiri dengan koefisien arah (slope) positif. Jika harga komoditas tersebut naik, maka jumlah komoditas yang ditawarkan akan naik. Sebaliknya jika harga komoditas tersebut turun maka jumlah komoditas yang ditawarkan akan turun. Sedangkan pengaruh dari perubahan tujuan perusahaan, harga faktor produksi dan teknologi yang digunakan adalah faktor-faktor yang akan menggeser fungsi penawaran suatu komoditi.
3.1.2
Teori Perdagangan Internasional Teori perdagangan internasional merupakan teori yang dapat digunakan
untuk
mengkaji
dasar-dasar
terjadinya
perdagangan
internasional
serta
keuntungan yang diperoleh dari kegiatan ini. Selain itu teori perdagangan internasional pun dapat digunakan untuk membantu menjelaskan arah serta komposisi perdagangan antar beberapa negara serta bagaimana efeknya terhadap perekonomian suatu negara. Teori perdagangan internasional juga merupakan aspek mikroekonomi ilmu ekonomi internasional sebab berhubungan dengan masing-masing negara sebagai individu yang diberlakukan sebagai unit tunggal, serta berhubungan dengan harga relatif suatu komoditas. Secara teoritis, suatu negara (misal negara 1) akan mengekspor suatu komoditas, sebut saja komoditas x, ke negara lain (negara 2) apabila harga
20
domestik di negara 1 (sebelum terjadinya perdagangan) relatif lebih rendah dibandingkan harga domestik di negara 2 (Gambar 4). Kondisi awal di negara 1 misalnya berada dalam kondisi keseimbangan dan harga berada pada P1. Pada kondisi ini tidak terjadi ekspor dari negara 1. Ketika harga berada pada posisi P2, ceteris paribus, struktur harga yang relatif lebih tinggi ini menyebabkan terjadinya kelebihan penawaran (excess supply) di negara 1 yaitu sebesar QA’QA’’. Dalam hal ini faktor produksi di negara 1 relatif berlimpah, dengan demikian negara 1 mempunyai kesempatan menjual kelebihan produksinya ke negara lain. Sebaliknya di negara 2, pada kondisi harga berada di P2, negara ini terjadi kekurangan suplai karena konsumsi domestiknya melebihi produksi domestik (excess demand) sebesar QB’QB’’ sehingga harga menjadi lebih tinggi. Pada keadaan ini negara 2 berkeinginan untuk membeli komoditas kakao dari negara lain dengan harga yang relatif lebih murah. Apabila kemudian terjadi komunikasi antara negara 1 dan negara 2 maka akan terjadi perdagangan antar kedua negara tersebut. Suplai di pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih besar dari pada P1, sedangkan permintaan di pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih rendah dari P3. Dengan adanya perdagangan tersebut, maka negara 1 akan mengekspor kakao sebesar BE sedangkan negara 2 akan mengimpor kakao sebesar B’E’. Pada pasar internasional, besarnya BE akan sama dengan B’E’. Dengan kata lain, besarnya ekspor suatu komoditas perdagangan akan sama dengan besarnya impor komoditas tersebut.
21
Panel A Pasar di negara 1 untuk komoditi X
Px/Py P3 P2
ekspor B3
P1 QA’
A”
Sx
QA
E*
B*
E A
Panel PI Hubungan perdagangan Px/Py internasional komoditi X
Px/Py A’
P3
S
Sx
B’
E’ Dx
impor
A* Dx QA”
QB’ QB QB”
QPI
Gambar 4. Kurva Perdagangan Internasional Sumber: Salvatore, 1994
Harga yang terjadi di pasar internasional merupakan harga keseimbangan antara permintaan dan penawaran dunia. Perubahan dalam produksi dunia akan mempengaruhi penawaran dunia, sedangkan perubahan dalam konsumsi dunia akan mempengaruhi permintaan dunia. Kedua perubahan tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi harga dunia.
3.1.3
Pajak Ekspor Piermartini (2004) menjelaskan bahwa pajak ekspor banyak diterapkan di
negara berkembang dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan pemerintah dan menjamin ketersediaan produk di pasar domestik. Produk yang menjadi subjek untuk pajak ekspor biasanya merupakan produk pertanian seperti gula, kopi, produk kehutanan, kakao, minyak kelapa sawit, produk perikanan, mineral, produk logam dan produk kulit. Lebih lanjut Piermartini menjelaskan bahwa efek pajak ekspor tergantung pada kekuatan pasar yang ada. Pelaksanaan pajak ekspor oleh negera yang memiliki kekuatan pasar akan lebih efektif dibandingkan dengan negara tanpa kekuatan
pasar
dalam
hal
mempengaruhi
harga
internasional,
volume
22
perdagangan, dan distribusi pendapatan. Sementara itu, dampak pajak ekspor pada suatu negera yang tidak memiliki kekuatan pasar akan memperburuk pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan nasional. Bagaimanapun apabila terjadi peningkatan perdagangan, hal tersebut akan diikuti dengan peningkatan harga ekspor. Sementara itu Helpman dan Krugman dalam Rifin (2005) memaparkan bahwa penerapan pajak ekspor akan mengurangi harga domestik, sementara itu harga ekspor akan meningkat. Gambar 5 menggambarkan efek pajak ekspor sebesar t. Harga domestik akan turun menjadi Pt, mengurangi surplus konsumen dan surplus produsen oleh area PfDCPt. Bagaimanapun, pendapatan hasil pajak sepadan dengan volume setelah pajak dikalikan dengan tarif pajak atau area P*tACPt. Hilangnya pajak sama dengan area BCD, sementara itu keuntungan perdagangan sepadan dengan area P*tABPf . Harga
S A
P*t = Pt +t Pf
B
Pt
D
C D
Xt
Xf
Kuantitas Ekspor
Gambar 5. Pembebanan Pajak Ekspor Sumber : Helpman dan Krugman dalam Rifin, 2005
Dampak pajak/pungutan ekspor ini dapat dilihat pula pada komoditas ekspor CPO (Crude Palm Oil). CPO adalah satu komoditas ekspor yang telah dikenakan pungutan ekspor. Sejak Maret 2001 sampai November 2005, ekspor CPO dikenakan tarif pungutan ekpor sebesar tiga persen. Pengaruh pengenaan
23
pungutan ekspor terhadap harga, permintaan dan penawaran domestik dibandingkan dengan jika tidak dikenakan pungutan ekspor dapat dijelaskan pada Gambar 6. P
P Se1
Se2
Pe1 Pe2
Sd P0 P2 P1
Se
De
D Q1 Q5 Q3
Q4 Q6 Q2
Q
Q
Ekspor CPO
Industri CPO
Gambar 6. Dampak Pemberlakuan Pungutan Ekspor CPO terhadap Industri CPO Sumber : Puteri et al., 2006
Pada saat tidak dikenakan pungutan ekspor maka harga ekspor akan sama dengan harga domestik, yaitu sebesar P0. Dengan harga tersebut, jumlah CPO domestik yang ditawarkan sebanyak Q2 dan jumlah yang diminta perusahaan domestik sebanyak Q1, sehingga banyaknya yang diekspor sebesar Q1Q2. dengan pengenaan tarif pungutan eskpor sebesar tiga persen maka kurva penawaran akan bergeser (Se) ke kiri atas menjadi Se1. Pada saat itu harga ekspor sebesar Pe1, tetapi yang diterima eksportir sebesar P1, yang lebih rendah dari P0. Akibatnya jumlah CPO domestik yang ditawarkan sebesar Q4 sedangkan yang diminta oleh perusahaan domestik sebesar Q1. Hal ini berakibat jumlah yang diekspor berkurang menjadi Q3Q4 (lebih kecil dari Q1Q2). Penurunan harga CPO yang diterima eksportir berarti juga penurunan harga CPO yang diterima produsen CPO domestik . Jika harga CPO yang diterima
24
produsen menurun akan mengakibatkan harga pembelian bahan baku CPO (dalam hal ini tandan buah segar) juga akan menurun, dan selanjutnya pendapatan petani sawit diduga juga menurun. Tarif pungutan ekspor CPO sejak Desember 2005 diturunkan dari tiga persen menjadi 1,5 persen. Dampak penurunan ini terhadap harga CPO, jumlah ekspor dapat dijelaskan pada Gambar 6. Penurunan tarif pungutan ekspor dari tiga persen menjadi 1,5 persen dapat digambarkan oleh pergeseran kurva penawaran ekspor dari Se1 menjadi Se2. Dengan asumsi permintaan ekspor tetap, maka harga ekspor turun dari Pe1 menjadi Pe2 dan harga yang diterima produsen CPO (eksportir) meningkat dari P1 menjadi P2. Akibatnya jumlah CPO domestik yang ditawarkan meningkat dari Q6, yang diminta turun dari Q3 menjadi Q5 dan yang diekspor meningkat dari Q3Q4 menjadi Q5Q6. Disamping itu kenaikan harga CPO yang diterima produsen CPO diduga akan berdampak pada kenaikan harga tandan buah segar yang diterima produsen sawit dan selanjutnya diduga akan meningkatkan pendapatan petani sawit.
3.1.4
Integrasi Pasar Sebuah sistem pasar yang terintegrasi secara efisien akan memiliki
hubungan yang positif antara harga di wilayah pasar yang berbeda. Jika perdagangan terjadi pada dua wilayah yang berbeda dan harga di daerah yang mengimpor sebanding dengan harga di daerah yang mengekspor ditambah dengan biaya yang diperlukan, maka kedua pasar tersebut dapat dikatakan telah terintegrasi (Ravallion, 1986). Kekuatan pembentukan harga antara pasar yang satu dengan pasar yang lainnya akan berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa setiap pasar memiliki kurva
25
penawaran dan permintaan yang berbeda. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pembentukan harga pada suatu pasar dengan pasar lainnya, apakah suatu sistem pasar telah efisien atau belum maka dapat dilakukan analisis integrasi pasar. Selain itu, pengukuran integrasi pasar pun dapat digunakan untuk melihat bagaimana sebuah sistem pasar bekerja. Haytens (1986) mengatakan bahwa terintegrasi atau tidaknya suatu pasar dapat dianalisis dengan memperhatikan faktor: •
Segmentasi pasar Pasar dikatakan tersegmentasi apabila harga yang terjadi di suatu pasar tidak dipengaruhi oleh perubahan harga di pasar acuan. Diharapkan dengan terintegrasinya suatu pasar, maka harga yang terjadi di pasar tersebut dipengaruhi oleh perubahan harga yang ada di pasar acuan.
•
Integrasi jangka pendek Pasar dikatakan terintegrasi dalam jangka pendek apabila perubahan harga yang terjadi di pasar acuan secara langsung dan utuh diteruskan ke dalam suatu pasar. Dengan demikian dalam sebuah pasar yang terintegrasi, perubahan tersebut akan langsung ditransmisikan.
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Kakao
merupakan
komoditas
andalan
Indonesia
dalam
kancah
perdagangan dunia. Selama beberapa dekade terakhir upaya pengembangan komoditas ini terus dilakukan. Harga kakao dunia yang terus membaik mendorong peningkatan produksi kakao di Indonesia. Hal ini menyebabkan pangsa produksi Indonesia di dunia menempati peringkat ke-tiga setelah Pantai Gading dan Ghana.
26
Harga kakao dunia yang sering berfluktuasi menyebabkan turut berfluktuasinya harga kakao di dalam negeri. Hubungan harga antara kedua pasar tersebut (pasar dalam negeri dan dunia) dapat dijadikan sebagai indikator tingkat integrasi antara keduanya. Jika antara pasar kakao dalam negeri dan dunia sudah saling terintegrasi, maka perubahan harga yang terjadi di dunia akan ditransmisikan secara sempurna ke pasar dalam negeri. Hal ini berarti harga yang diterima oleh petani, selaku pelaku utama agribisnis kakao dalam negeri, telah sesuai dengan harga yang terjadi di dunia. Namun apabila belum terintegrasi, maka pasar kakao di dalam negeri masih belum efisien. Adanya rencana pemerintah untuk menerapkan kebijakan pungutan ekspor atas kakao tentu saja akan mempengaruhi integrasi pasar kakao Indonesia serta berimplikasi kepada para stakeholder yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis terhadap rencana pemerintah ini sebagai langkah antisipatif sebelum kebijakan ini jadi diterapkan. Apabila dari hasil analisis integrasi pasar diperoleh bahwa antara pasar kakao di dalam negeri dan di dunia terintegrasi, maka adanya kebijakan ini (apabila kelak jadi untuk diterapkan) akan membuat pasar kakao dalam negeri menjadi tidak efisien dan pada akhirnya pasar dalam negeri menjadi tidak terintegrasi, akibat distorsi yang akan ditimbulkan. Terlebih lagi jika antara kedua pasar sudah tidak terintegrasi, tentunya adanya penerapan dari rencana kebijakan ini akan membuat kondisi pasar kakao Indonesia menjadi semakin tidak terintegrasi. Adapun alur pemikiran operasional dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 7.
27
Harga kakao
Harga kakao dalam negeri
Integrasi pasar (Apakah terintegrasi atau tidak)
Pungutan ekspor
Dampak pungutan ekspor terhadap integrasi pasar
Petani
Pedagang
Implikasi pungutan ekspor
Pemerintah
Rekomendasi: Jadi atau tidak menerapkan kebijakan Gambar 7. Alur Pemikiran Operasional
Industri
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan membahas dampak penerapan rencana kebijakan pungutan ekspor kakao dan integrasi antara pasar kakao di dalam negeri dan pasar dunia. Dalam penelitian kali ini pun akan dibahas integrasi antara pasar kakao di beberapa sentra produksi kakao di Indonesia (Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara). Indonesia dipilih sebagai fokus penelitian karena pertumbuhan produksi di negara ini menempati posisi terbesar di dunia (30 persen) setelah Ghana dan Pantai Gading. Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara dipilih karena keempat daerah tersebut mempunyai luas lahan dan produksi kakao terbesar di Indonesia (sebagai sentra kakao utama). Pemilihan ini dilakukan secara purposive (sengaja). Adapun penelitian ini dilakukan pada bulan Desember-Januari 2007.
4.2 Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang berasal dari data hasil survei, penelitian, maupun data statistik yang diterbitkan oleh lembaga-lembaga terkait. Selain itu dikumpulkan pula pendapat dan informasi tentang rencana dikeluarkannya kebijakan pungutan ekspor kakao dari beberapa pakar kakao, sebagai sumber data primer. Data yang digunakan untuk analisis integrasi pasar adalah : (1) harga kakao bulanan di pasar dalam negeri dari tahun 1999-2004, (2) harga kakao bulanan di dunia dari tahun 1999-2005, (3) harga kakao bulanan di
29
pasar Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2000-2005. Data tersebut diperoleh dari berbagai sumber, seperti Badan Pusat Statistik Indonesia, Departemen Pertanian, International Cocoa Organization serta lembaga terkait lainnya. Selain itu, informasi mengenai seluk beluk terjadinya ekspor kakao dan kemungkinan dampak pengenaan pungutan ekspor diperoleh dari hasil wawancara dengan pihak Asosiasi Kakao Indonesia (ASKINDO).
4.3 Metode Analisis Data Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini meliputi metode kuantitatif dan metode kualitatif (deskriptif). Metode kuantitatif digunakan untuk menganalisis
integrasi
pasar
dengan
menggunakan
pendekatan
Model
Autoregresive Distributed Lag. Data yang telah dikumpulkan diolah dengan menggunakan software Microsoft Excell dan Minitab 14.
4.3.1
Analisis Deskriptif Metode ini digunakan untuk mendeskripsikan besaran/koefisien yang
diperoleh dari hasil analisis integrasi pasar. Selanjutnya pendeskripsian tersebut disajikan dalam tabulasi data. Selain itu diharapkan dengan menggunakan metode ini, dengan bantuan gambar tertentu, mampu menggambarkan implikasi penerapan kebijakan pungutan ekspor apabila jadi diterapkan di Indonesia.
4.3.2
Analisis Integrasi Pasar Tingkat integrasi pasar kakao diukur antara pasar dalam negeri (domestik)
dan dunia, sebagai pasar acuan. Dalam sebuah sistem pasar yang terintegrasi
30
secara efisien akan terjadi korelasi (hubungan) yang positif di antara lokasi pasar yang berbeda sepanjang waktu. Koefisien korelasi tersebut secara langsung mengukur seberapa dekat harga dari suatu komoditas bergerak bersama-sama dalam lokasi pasar yang berbeda. Demikian pula halnya pada pasar kakao. Analisis integrasi pasar ini dilakukan secara statistik melalui pendekatan Model Autoregressive Distributed Lag (Heytens, 1986), yang dikemukakan oleh Ravallion, yang menghubungkan antara harga suatu komoditas di pasar lokal/domestik dan harga di pasar acuan. Analisis menggunakan metode ordinary least square (OLS). Secara spesifik model tersebut adalah sebagai berikut:
α i ( L) Pit = β i ( L) P t + γ i ( L) X it + µ it
(1)
(i = 1,2,3,..., k ) (t = 1,2,3,..., n)
Dimana:
Pit = harga di pasar i pada waktu t
P t = harga di pasar acuan pada waktu t X = vektor dari musiman dan variabel yang relefan lainnya di pasar
i pada waktu t
µ it = error term (galat) α i ( L ), β i ( L ) dan γ i (L) menunjukkan polinominal dalam operasi lag ( Li Pt = Pt −1 ) yang didefinisikan sebagai:
α i ( L) = 1 − α i1 L − ... − α in Ln ,
β i ( L) = β io + β i1L + ... + β im Lm , γ i ( L) = γ io + γ i1 L + ... + γ in Ln
31
Persamaan (1) tidak mempunyai variabel dependen untuk estimasi secara ekonometrik sehingga harus dispesifikasi ulang. Persamaan (1) akan ditulis ulang dengan melakukan first difference terhadap harga domestik sebagai variabel dependen. Akan sangat berguna untuk mendefinisikan ∆ sebagai operator timedifferencing (misal: ∆Pit = Pit − Pit −1 ) dan ∆i sebagai spatial price differencial t
(contohnya, ∆i = Pit − P ). Untuk n ≤ m , persamaan (1) menjadi: n
m−1
j
j
n
m
k =0
j =1
j =1
∆Pit = ((∑α ij L ) − L)∆ Pt + ∑ (∑α ik + ∑ β ik − 1) L j ∆ P t + (∑α ij + ∑ β ij − 1) P t −1 j
i
j =1
j =0 k =0
+ γ i ( L) X + µ it
(2)
dimana α io = 1 . Namun, persamaan (2) ini tidak begitu intuitif. Akhirnya upaya mempermudah perhitungan dilakukan dengan mengurangi persamaan tersebut satu lag untuk setiap price differences baik pada pasar domestik maupun pasar acuan ( n = m = 1) . ∆Pit = (α i1 L − L ) ∆i Pt + β io ∆Pt + (α i1 + β io + β i1 − 1) P t −1 + γ i X + µ it (3)
Dengan mengubah ∆, persamaan (3) menjadi: ( Pit − Pit −1 ) = (α i − 1)( Pit − Pt −1 ) + β io ( Pt − Pt −1 ) + (α i + β io + β i1 − 1) Pt −1
+ γ i X + µ it
(4)
Model pada persamaan (4) menggambarkan bahwa perubahan harga di pasar domestik merupakan fungsi dari perubahan harga di pasar acuan pada periode yang sama, margin harga spasial (perbedaan antara harga di pasar domestik periode t dengan harga di pasar acuan) periode lalu, harga periode lalu di pasar acuan dan karakteristik pasar domestik. Dalam persamaan (4) β io mengukur sampai sejauh mana pelaku di pasar domestik (pedagang, pengecer dan
32
petani) mengetahui kondisi di pasar acuan sehingga harga di pasar domestik dapat terpengaruh dengan cukup cepat pada periode yang sama. Koefisien α i −1 mengukur tingkat sampai sejauh mana perbedaan harga spasial periode lalu direfleksikan terhadap perubahan harga di pasar domestik periode saat ini. Pada akhirnya tingkat harga di pasar acuan dapat mempengaruhi perubahan harga di pasar domestik. Hal ini umumnya terjadi pada lingkungan yang mengalami inflasi yang kuat atau ketika biaya bunga merupakan komponen yang besar dari biaya pemasaran. Persamaan (4) di atas, dapat diubah dengan membuat α i − 1 = b1 , β io = b2 ,
α i + β io + β i1 − 1 = b3 menjadi: ( Pit − Pit −1 ) = b1 ( Pit −1 − Pt −1 ) + b2 ( Pt − Pt −1 ) + b3 Pt −1 + b 4 X + µ it
(5)
kemudian dengan mengubah susunan variabel, persamaan tersebut menjadi persamaan di bawah ini.
Pit = (1 + b1 ) Pit −1 + b2 ( P t − Pt −1 ) + (b3 − b1 ) Pt −1 + b 4 X
4.3.3
(6)
Pengujian Hipotesis Integrasi Pasar
4.3.3.1 Segmentasi Pasar Analisis dari segmentasi pasar domestik menyatakan bahwa perubahan harga di pasar acuan tidak mempunyai pengaruh, baik cepat atau lambat terhadap harga di pasar domestik. Suatu pasar i dikatakan tersegmentasi apabila :
b2 = 0 (dari persamaan (6)) yang dapat ditentukan dengan melakukan uji T terhadap koefisien regresi dugaan tersebut. Adapun hipotesis yang akan diuji adalah:
33
H o : b2 = 0
H 1 : b2 ≠ 0 Untuk mendapatkan t-hitung digunakan rumus:
t hit =
b2 − 0 Se(b2 )
Se(b2 ) adalah standard error koefisien regresi dugaan b2 . Apabila t-hitung < t ∗ n − k ,(α ) atau P-value > α, maka terima hipotesis nol. Hal ini berarti pasar domestik tersegmentasi dengan pasar dunia.
4.3.3.2 Integrasi Jangka Pendek Analisis ini mensyaratkan bahwa perubahan harga di pasar acuan direfleksikan secara langsung dan penuh terhadap harga di pasar domestik. Hal ini berarti:
b2 = 1 Hipotesis yang akan diuji melalui uji T adalah sebagai berikut: H o : b2 = 1 H 1 : b2 ≠ 1 Untuk mendapatkan t-hitung digunakan rumus:
t hit =
b2 − 1 Se(b2 )
Se(b2 ) adalah standard error koefisien regresi dugaan b2 . Apabila t-hitung < t ∗ n − k ,(α ) atau P-value > α, maka terima hipotesis nol. Analisis ini juga mensyaratkan bahwa tidak ada efek lag pada harga dimasa yang akan datang, dengan demikian:
34
b1 = −1 , sehingga (1 + b1 ) = 0 Hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut: H o : (1 + b1 ) = 0 H 1 : (1 + b1 ) ≠ 0
t hit =
(1 + b1 ) − 0 Se(1 + b1 )
Se(1 + b1 ) adalah standard error koefisien regresi dugaan (1 + b1 ) . Apabila thitung < t ∗ n − k ,(α ) atau P-value > α, maka terima hipotesis nol. Jika kedua hipotesis tersebut diterima maka pasar i terintegrasi dengan pasar acuan dalam satu periode. Diterimanya hipotesis tersebut mengindikasikan bahwa perubahan harga di pasar acuan periode ini dan harga di pasar acuan periode lalu direfleksikan secara penuh pada harga di pasar lokal saat ini. Faktor karakteristik lokal dapat dianggap tidak ada ( γ i = 0 ) apabila pola harga di pasar acuan dan pasar lokal sama. Indikator terakhir yang dapat menggambarkan integrasi pasar adalah nilai
b2 yang mendekati satu (sebelumnya adalah β 10 ) namun persyaratan (1 + b1 ) = 0 tidak terpenuhi. Dalam kasus tersebut kondisi integrasi jangka pendek tidak dapat diterima, namun kekuatan ekonomi yang ada menyebabkan perubahan harga di pasar acuan secara umum direfleksikan pada harga di pasar domestik. Dengan demikian, integrasi pasar tetap terjadi meskipun antara pasar acuan dan pasar lokal tidak terhubung dalam jangka pendek (perubahan margin spasial tidak diteruskan secara penuh). Diasumsikan pasar acuan berada dalam keseimbangan jangka panjang ( Pt − Pt −1 = 0 ), b4 = 0 , (i + b1 ) dan (b3 − b1 ) tetap, maka harga di pasar domesik
35
hanya akan dipengaruhi oleh harga di pasar domestik dan pasar acuan periode sebelumnya. Sehingga untuk menangkap efek kedua variabel tersebut digunakanlah Index of Market Connection (IMC) yang dibangun oleh Timmer. IMC didefinisikan sebagai rasio dari koefisien lag harga di pasar domestik terhadap koefisien lag harga di pasar acuan:
IMC =
1 + b1 b3 − b1
Apabila pasar berada dalam kondisi terintegrasi jangka pendek, dengan nilai b1 = −1 (sebelumnya adalah α i − 1 ) maka nilai IMC = 0 . Ketika pasar tersegmentasi, dimana b1 sama dengan b3 maka nilai IMC = ∞ . Umumnya nilai indeks tersebut bernilai positif dan nilai b1 berada diantara 0 dan -1. Secara umum dapat dikatakan bahwa apabila nilai indeks tersebut semakin mendekati nol maka derajat integrasi pasar akan semakin kuat. Sedangkan apabila nilai tersebut kurang dari satu, maka dapat disimpulkan bahwa derajat integrasi pasar jangka pendek pasar tersebut kuat.
4.4 Definisi Operasional Untuk menyamakan pengertian mengenai istilah-istilah yang digunakan, maka berikut ini akan didefinisikan sejumlah istilah: 1. Harga kakao bulanan di sentra-sentra produksi kakao, seperti Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, pada waktu t adalah harga produsen yaitu harga transaksi antara petani (penghasil) dan pembeli (pedagang pengumpul/tengkulak). Dengan demikian harga ini
36
mencerminkan harga yang diterima oleh petani. Peubah ini diukur dalam satuan rupiah per kilogram. 2. Harga kakao bulanan di pasar dalam negeri pada waktu t merupakan harga kakao yang berlaku secara nasional. Peubah ini diukur dalam satuan rupiah per kilogram. 3. Harga kakao bulanan di dunia merupakan harga kakao yang dihitung menggunakan rata-rata dari harga bursa di London Cocoa Terminal Market dan New York Board of Trade. Harga kakao bulanan yang digunakan merujuk pada kedua tempat ini karena ekspor kakao Indonesia yang terbesar adalah ke Amerika Serikat dan Eropa. Satuan yang digunakan untuk harga kakao bulanan di dunia ini adalah SDR/ton. Nilai SDR (Special Drawing Rights) ekuivalen dengan nilai harian US$ atau nilai SDR yang dikeluarkan oleh International Monetary Fund (ICCO, 2006). 4. Pasar dunia bertindak sebagai pasar acuan. 5. Istilah kakao yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada biji kakao. Sedangkan untuk produk yang siap pakai atau telah diolah, digunakan istilah coklat.
BAB V GAMBARAN UMUM KAKAO INDONESIA
5.1 Luas Areal dan Produksi Perkebunan Kakao Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Meskipun hama penggerek buah kakao (PBK) terus mengancam, tetapi budidaya kakao tetap menarik perhatian petani. Membaiknya harga kakao dunia sejak awal tahun 1970-an telah membangkitkan kembali semangat petani untuk mengembangkan perkebunan kakao secara besar-besaran. Hanya dalam waktu 20 tahun, perkebunan kakao Indonesia berkembang pesat lebih dari 24 kali lipat dari 37 ribu hektar tahun 1980 menjadi 914 ribu hektar pada tahun 2002 dan produksi meningkat lebih dari 57 kali lipat dari 10 ribu ton tahun 1980 menjadi 571 ribu ton pada tahun 2002 (Badan Penelitian dan Pengembangan Deptan, 2005). Bahkan Dirjen Perkebunan (2006) menyebutkan bahwa kegiatan pengembangan kakao tersebut hingga tahun 2010 akan mencakup luasan 245 ribu ha. Propinsi penghasil kakao terbesar adalah Sulawesi Selatan (40,5 persen dari total produksi kakao di Indonesia) dan berturut-turut diikuti oleh Propinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Sumatera Utara. Selain itu terlihat bahwa sebagian besar perkebunan kakao di Indonesia ternyata sebagian besar dimiliki oleh rakyat (smallholder), yaitu sebesar 89,3 persen (Lampiran 1).
38
5.2 Perkembangan Ekspor-Impor Produksi kakao Indonesia sebagian besar diekspor dan hanya sebagian kecil yang digunakan untuk konsumsi dalam negeri. Produk yang diekspor sebagian besar (78,5 persen) dalam bentuk biji kering (produk primer) dan hanya sebagian kecil (21,5 persen) dalam bentuk hasil olahan. Tujuan utama ekspor kakao Indonesia adalah Amerika Serikat, Malaysia, Brazil dan Singapura. Disisi lain, Indonesia juga mengimpor biji kakao yang akan digunakan untuk campuran bahan baku industri pengolahan dalam negeri. Negara asal impor biji kakao Indonesia antara lain: Pantai Gading, Ghana dan Papua New Guinea (Badan Penelitian dan Pengembangan Deptan, 2005). Ekspor kakao Indonesia dimulai sejak pertengahan tahun 1950-an, akan tetapi hingga tahun 1970-an volumenya masih relatif kecil. Pada Tabel 6 ditunjukkan bahwa pada periode 1969-1980 volume ekspor rata-rata sekitar 2.614 ton dengan nilai 5,319 US$. Sedangkan pada periode 1981-1991 rata-rata volume ekspor meningkat menjadi 52.547 ton dengan nilai sekitar 75,693 juta US$. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa volume ekspor tahun 2004 mencapai 366.855 ton dengan nilai 546,60 juta US$. Peningkatan volume dan nilai ekspor yang sangat cepat itu disebabkan oleh trend perkembangan produksi yang meningkat. Terlihat pula bahwa pada periode 1975-1985 rata-rata volume impor mencapai 4,128 ton dengan nilai sekitar 2,19 juta US$. Periode 1986-1996 impor masih berfluktuasi dengan volume rata-rata 3.104 ton dan bernilai sekitar 1,955 juta US$. Sedangkan rata-rata volume impor tahun 1997-2004 adalah 22.356 ton dengan nilai sekitar 36,32 juta US$. Meskipun dalam volume impor mengalami
39
trend peningkatan, namun peningkatan tersebut masih berada di bawah peningkatan volume ekspor. Berikut adalah tabel yang dapat menunjukkan perkembangan ekspor dan impor kakao Indonesia. Tabel 6. Volume dan Nilai Ekspor-Impor Kakao Indonesia, 1969-2004 Ekspor Impor Tahun Volume Nilai (000 US$) Volume (ton) Nilai (000 (ton) US$) 1969 410 155 0 0 1970 145 61 0 0 1971 630 492 0 0 1972 1 307 745 0 0 1973 540 580 0 0 1974 1 089 1 906 0 0 1975 2 355 3 061 1 002 587 1976 2 338 3 290 1 947 1 426 1977 3 084 6 651 1 389 1 034 1978 6 224 14 652 2 186 2 452 1979 8 632 22 144 2 518 2 220 1980 4 680 10 098 8 550 4 650 1981 6 814 11 340 7 200 5 135 1982 11 395 15 212 8 030 5 986 1983 25 228 41 802 9 257 6 343 1984 25 163 53 285 2 825 2 419 1985 31 429 63 844 511 652 1986 35 014 60 963 355 319 1987 40 911 66 337 670 722 1988 61 274 81 907 548 302 1989 75 851 85 232 523 862 1990 119 725 127 091 640 1 664 1991 145 217 149 918 1 054 1 026 1992 176 001 158 835 1 780 3 492 1993 228 799 210 934 1 641 5 220 1994 231 168 279 390 2 438 6 044 1995 233 593 309 328 3 588 8 478 1996 322 858 373 927 4 262 9 765 1997 265 949 419 066 6 410 9 981 1998 334 807 5025 906 7 709 13 046 1999 419 874 423 273 11 840 15 699 2000 424 089 341 860 18 252 18 953 2001 392 072 389 262 11 841 15 699 2002 465 622 701 034 36 603 64 001 2003 355 726 621 022 39 226 76 205 2004 366 855 546 560 46 974 77 023 Sumber: Dirjen Perkebunan Deptan , 2006
40
5.3 Perkembangan Harga Harga kakao di pasar dunia maupun di pasar domestik senantiasa berfluktuasi. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya produksi kakao yang mengganggu keseimbangan stok kakao dunia. Arsyad (2004) mengatakan bahwa peningkatan produksi terbesar datang dari Indonesia (33 persen) kemudian Malaysia (18,9 persen), Ghana (8,16 persen) dan Pantai Gading (4,72 persen). Dampak dari peningkatan stok ini mengakibatkan harga kakao dunia melemah karena peningkatan tersebut tidak diikuti oleh peningkatan konsumsi (over supply). Pergerakan harga kakao domestik selama ini mengacu pada harga di pasar internasional. Hal ini dimungkinkan karena posisi Indonesia selama ini lebih sebagai price taker dari pada sebagai price maker. Gambar di bawah ini menunjukkan bahwa mulai tahun 1994 harga kakao di pasar domestik mulai membaik hingga tahun 1998 akibat menguatnya harga dunia dan depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap US$. Pada tahun 2003/2004 harga kakao domestik relatif stabil pada kisaran Rp 9.570. 12000 Harga (Rp/kg)
10000 8000 6000 4000 2000 0 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Tahun Harga Domestik (Rp/kg)
Gambar 8. Perkembangan Harga Kakao di Pasar Domestik Sumber: Dirjen Perkebunan Deptan, 2006
41
5.4 Perkembangan Konsumsi Konsumsi (permintaan) kakao Indonesia masih rendah dengan pangsa hanya 1,94 persen dari total konsumsi kakao dunia. Namun demikian, tingkat konsumsi terus meningkat pesat dengan laju sekitar 15,89 persen per tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa industri hilir kako Indonesia semakin berkembang dan pentingnya untuk mempercepat teknologi industri hilir pengolahan kakao di dalam negeri (PPSEP, 1998). Menurut Muharminto (1996), konsumsi biji kakao di dalam negeri terutama diserap oleh industri kakao olahan untuk dijadikan cokelat bubuk, mentega dan dalam bentuk makanan. Pada saat ini industri-industri cokelat amat jarang membeli kakao rakyat. Kakao rakyat ini kemungkinan dibeli oleh pabrik cokelat dalam negeri yang memproduksi cokelat makanan mutu rendah. Mungkin juga pada waktu harga kakao biji ekspor sedang baik, kakao rakyat tersebut dicampur dengan kakao biji yang bermutu lebih baik guna menambah kuantitas dan mengurangi kerugian (Roesmanto, 1991). Bahan baku tersebut oleh industri kakao olahan ataupun pabrik cokelat (chocolate manufacture) umumnya dicampur dengan biji kakao mutu baik dari PT Perkebunan atau impor. Produk yang dihasilkan sebagian besar dipasarkan di dalam negeri, sebagian lagi diekspor. Pada sisi lain, jenis industri pengolahan biji kakao yang ada di tanah air belum tersebar merata di wilayah produksi utama kakao Indonesia. Sehingga upaya guna melakukan intensifikasi industri kakao dalam negeri belum maksimal. Industri pengolahan kakao masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, terutama di Jawa Barat dan Jawa Timur, sementara sentra produksi utama kakao ada di luar Pulau Jawa.
42
Terbatasnya
data
konsumsi
(industri
pengolahan)
yang
dapat
menggambarkan kondisi pengolahan kakao dalam negeri menyebabkan tulisan ini tidak dapat mendeskripsikan secara lengkap mengenai perkembangan konsumsi (permintaan) kakao Indonesia, terutama kapasitas industri dan indeks konsumsi secara lengkap. Akan tetapi perkembangan konsumsi atas komoditas ini dapat dilihat melalui tabel di bawah ini. Tabel 7. Perkembangan Konsumsi dan Grindings Kakao Indonesia (Ribu ton) Tahun Konsumsi Pertumbuhan (persen/tahun) 1996/1997 12,00 1997/1998 12,00 0 1998/1999 9,00 -3 1999/2000 8,40 -0,6 2000/2001 9,00 0,6 2001/2002 9,50 0,5 2002/2003 11,00 1,5 2003/2004 12,00 1 Rata-Rata Pertumbuhan 0 Sumber: Dirjen Perkebunan Deptan , 2006
Berdasarkan Tabel 7, dapat terlihat bahwa rata-rata pertumbuhan konsumsi kakao di Indonesia adalah sebesar nol persen. Artinya selama pasang surut agribisnis kakao di Indonesia pada tahun-tahun tersebut peningkatan konsumsi kakao tidak terjadi. Angka ini dapat menggambarkan kondisi industri pengolahan cokelat di Indonesia. Dengan rata-rata pertumbuhan sebesar nol persen mengindikasikan bahwa tidak terjadi peningkatan kegiatan pengolahan kakao yang berarti. Sehingga pengembangan industri pengolahan semakin penting untuk ditingkatkan untuk menyerap produksi kakao yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.
43
5.5 Perkembangan Kebijakan Kakao Indonesia Kakao mulai dibudidayakan secara luas di Indonesia sejak tahun 1970. Sampai saat ini berbagai kebijakan telah diterapkan atas komoditas ini. Kebijakan pengembangan areal dan produksi kakao melalui proyek-proyek nasional menjadi pusat perhatian pemerintah, mengingat kakao adalah komoditas perkebunan yang sangat potensial. Perkembangan produksi dan ekspor yang sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir telah berhasil mengangkat posisi pangsa produksi dan ekspor Indonesia sehingga menduduki peringkat ke-tiga di dunia. Dukungan pemerintah untuk mengembangkan produksi kakao antara lain dengan mengunakan beberapa pola pengembangan, seperti: (1) Plasma, PRPTE, UPP Berbantuan, Partial, Swadaya Berbantuan, Swadaya Murni (dilaksanakan oleh perkebunan pakyat); (2) Program Inti dan Non Inti (dilaksanakan oleh pemerintah); (3) PBSN dan PBSA (dilaksanakan oleh perkebunan besar swasta) yang dilaksanakan hampir di tiap propinsi dengan tingkat produktivitas yang berbeda-beda (Arsyad, 2004). Departemen Pertanian pada tahun 2007 berencana memperluas areal perkebunan kakao hingga mencapai 23 ribu hektar. Hal ini dilakukan guna meningkatkan produktivitas kakao Indonesia sebagai program Revitalisasi Perkebunan2. Selain kebijakan produksi, kakao sebagai komoditas perdagangan internasional telah mengikuti perkembangan kebijakan perkakaoan dunia. Antara lain perubahan harga dunia, automatic detention, depresiasi nilai tukar dan standar mutu. Automatic detention telah lama dijadikan kebijakan oleh negara importir
2
Jaknews. 2006. Deptan Perluas Areal Kakao 23 Ribu HA. www.jaknews.com. Diakses tanggal 2 Januari 2007.
44
kakao Indonesia untuk mengenakan denda bagi kakao Indonesia sebesar US$200/ton, karena isu kualitas (Kedutaan Besar Republik Indonesia, 2005). Pemerintah menerapkan pula kebijakan keringanan pajak untuk investasi kakao. Menurut Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Muhammad Luthfi, pemerintah akan memberikan keringanan pajak 30 persen bagi investor Amerika Serikat yang tertarik menggarap pengolahan kakao. Insentif lain yang ditawarkan adalah dispensasi pembayaran pajak selama beberapa tahun3. Kebijakan lainnya adalah PPN 10 persen yang dikenakan untuk seluruh hasil komoditas primer, termasuk kakao. Adanya kebijakan ini membuat pedagang lebih senang untuk menjual kakao ke luar negeri (ekspor). Lebih lanjut lagi adanya kebijakan ini membuat industri pengolahan coklat mengalami kesulitan untuk mendapatkan bahan baku untuk usahanya, sehingga tidak heran industri pengolahan cokelat dalam negeri tidak berkembang. Akhirnya untuk menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri pengolahan dalam negeri serta menciptakan keseimbangan antara ekspor komoditas dan ketersediaan komoditas di dalam negeri sebagai bahan baku industri nasional, maka pemerintah berencana untuk menghapuskan PPN 10 persen dan sebagai gantinya pemerintah akan menerapkan kebijakan pungutan ekspor untuk komoditas kakao4. Sebenarnya rencana pemeritah untuk menerapkan pungutan ekspor atas komoditas kakao masih menjadi perdebatan berbagai pihak 3
4
Tempo. 2006. Keringanan Pajak untuk Investasi Kakao. www.tempointeraktif.com. Diakses tanggal 29 November 2006. Kompas. 2005. Komoditas Tertentu akan Kena Pungutan Ekspor. www.kompas.com/kompascetak/0505/03. Diakses tanggal 29 November 2006.
45
meskipun kenyataannya pada 17 Maret 2005 lalu, Mensesneg dengan surat No. B.168/M.Sesneg/03/05 meminta Menkeu untuk segera mengatur kebijakan penghapusan PPN dan penerapan pungutan ekspor atas kakao, serta melaporkan realisasinya langsung kepada Presiden (Supriyanto, 2005). Petani, pedagang dan eksportir berada pada posisi menolak. Di pihak lain, industri pengolahan yang setuju dan memperjuangkan penerapan PE. Masingmasing mempunyai dasar pertimbangan sendiri, yang sebenarnya cukup beralasan. Petani, pedagang dan eksportir berpandangan bahwa PE akan semakin membebani petani, karena nantinya harga jual akan lebih rendah. Sementara bagi eksportir tidak akan kena efek apapun karena pihak ini hanya menyesuaikan harga jual (yang dibebankan kepada petani) dengan adanya PE. Industri pengolahan, pada sisi lain memandang bahwa PE akan memberikan dukungan bagi pasokan kebutuhan biji kakao industri yang selama ini kesulitan, karena eksportir lebih memilih melakukan ekspor biji kakao. Hal ini karena eksportir lebih memilih tidak dikenakan PPN 10 persen dengan mengekspor langsung, daripada menjual kepada industri pengolahan.
BAB VI ANALISIS INTEGRASI PASAR
6.1 Analisis Integrasi Pasar Dalam Negeri dan Dunia Data yang digunakan dalam analisis ini adalah harga bulanan kakao yang terjadi di dalam negeri dan harga bulanan kakao dunia dari tahun 1999-2004. Harga bulanan kakao tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2. Data diolah secara statistik melalui pendekatan Model Autoregressive Distributed Lag yang diduga dengan Metode Kuadrat Terkecil Biasa (OLS). Persamaan (6) yang tertulis dalam metode penelitian digunakan untuk memudahkan penentuan koefisien regresi dugaan dan interpretasi. Diasumsikan karena selama ini posisi Indonesia dalam kancah perdagangan kakao dunia lebih sebagai price taker dan harga kakao dalam negeri mengikuti harga kakao dunia, maka faktor karakteristik lokal dianggap tidak ada ( X = 0 ). Intercept term (konstanta) dimasukkan ke dalam model untuk menangkap perbedaan harga yang disebabkan oleh perbedaan jarak. Meskipun Heytens (1986) menggunakan data yang telah diubah ke dalam bentuk logaritma natural (Ln) dalam menyusun modelnya, namun dalam penelitian kali ini akan dibandingkan terlebih dahulu antara model yang menggunakan data awal (sebelum diubah) dan model yang menggunakan data yang telah diubah ke dalam bentuk logaritma natural, baru kemudian dipilih model yang paling akurat diantara keduanya. Adapun perbandingan hasil olahan data tersebut (Lampiran 4 dan Lampiran 5) dapat dilihat pada Tabel 8.
47
Tabel 8.
Perbandingan Koefisien Regresi antara Data Sebelum dan Sesudah di Ubah ke Dalam Bentuk Logaritma Natural R2 adj Variabel Bebas Data (persen) Konstanta Pit −1 Pt −1 ( P t − Pt −1 ) Awal 1145.2 0.71215 0.4676 1.2508 78.1 (0.020) (0.000) (0.640) (0.004) Data dalam bentuk 1.5962 0.69471 0.1347 0.16797 76.2 Ln (0.006) (0.000) (0.359) (0.005)
Keterangan : Angka di dalam tanda kurung adalah nilai P-value
Berdasarkan hasil tersebut, karena kedua model sama-sama mempunyai tiga variabel yang signifikan (P-value > α) maka pemilihan model yang lebih akurat adalah berdasarkan nilai R2 adjustednya. Karena nilai R2 adjusted model yang menggunakan data awal lebih besar (78,1 persen) maka model tersebut dapat dikatakan relatif lebih akurat dan lebih mampu menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Oleh karena koefisien regresi yang dihasilkan dari model inilah yang digunakan untuk menganalisis integrasi pasar. Hasil estimasi persamaan regresi keterpaduan pasar kakao di dalam negeri dan dunia dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9.
Koefisien Regresi Integrasi Pasar antara Pasar Kakao Dalam Negeri dan Dunia DW Variabel Bebas 2 R Statistik F-hitung Konstanta Pit −1 Pt −1 ( P t − Pt −1 ) (d) (persen) 84.32 1.2508 0.4676 1145.2 0.71215 78.1 1.85874 (0.000) (0.004) (0.640) (0.020) (0.000)
Keterangan: Angka di dalam tanda kurung adalah nilai P-value
Secara individu melalui uji T, koefisien (1 + b1 ) berbeda secara nyata dengan nol. Artinya variabel Pit −1 memiliki pengaruh yang nyata terhadap variabel bebasnya dalam selang kepercayaan 99 persen. Dengan demikian dapat diartikan bahwa harga kakao bulan lalu di pasar dalam negeri berpengaruh terhadap harga kakao bulan ini.
48
Nilai koefisien b2 secara nyata tidak berbeda dengan nol berdasarkan hasil uji T. Dengan demikian perubahan harga kakao dunia pada bulan ini tidak berpengaruh terhadap harga kakao yang terjadi di dalam negeri. Koefisien (b3 − b1 ) berdasarkan uji T berbeda nyata dengan nol. Hal ini mengindikasikan bahwa harga kakao di pasar dunia bulan sebelumnya berpengaruh terhadap pembentukan harga kakao bulan sekarang di pasar dalam negeri. Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 78,1 persen artinya bahwa sebesar 78,1 persen variasi dari harga kakao bulan ini di pasar dalam negeri dapat dijelaskan oleh variabel harga kakao bulan sebelumnya di pasar dalam negeri, perubahan harga kakao di pasar dunia, dan harga kakao bulan sebelumnya di pasar dunia serta sisanya sebesar 21,8 persen dijelaskan oleh error. Pengujian autokorelasi berdasarkan hasil Durbin Watson statistik menunjukkan bahwa dalam kasus ini tidak ada autokorelasi (karena nilai DW statistik
mendekati
2
( d > du ),
dengan
nilai
1.525 < dl < 1.543
dan
1.703 < du < 1.709 ). Uji hipotesis secara bersama-sama (F-hitung) menunjukkan bahwa sekurang-kurangnya ada satu variabel bebas pada model berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas pada taraf satu persen. Hasil estimasi parameter koefien (1 + b1 ) sebesar 0,71215 artinya apabila harga kakao di pasar dalam negeri pada bulan sebelumnya meningkat Rp 1000/kg, maka harga kakao bulan ini di pasar dalam negeri akan meningkat sebesar Rp 712/kg, ceteris paribus. Nilai tersebut menunjukkan bahwa harga kakao bulan lalu di pasar dalam negeri berpengaruh sebesar 71,2 persen. Dengan demikian pedagang akan melakukan perkiraan terhadap harga yang akan terjadi di masa depan dengan melihat harga pada bulan lalu.
49
Nilai koefisien b2 sebesar 0,4676 menunjukkan bahwa perubahan harga kakao di pasar dunia sebesar 100 persen akan meningkatkan harga kakao di pasar dalam negeri sebesar 46,8 persen. Hal ini berarti perubahan yang ada tidak ditransmisikan secara utuh terhadap harga kakao di dalam negeri. Sedangkan nilai koefisien (b3 − b1 ) sebesar 1,2508 menunjukkan bahwa harga kakao bulan lalu di dunia berpengaruh sangat besar terhadap harga kakao bulan ini di pasar dalam negeri, yaitu sebesar 125 persen. Hal ini menunjukkan bahwa umumnya penetapan harga bulanan kakao kakao di Indonesia sangat dipengaruhi oleh harga bulan lalu di dunia. Melalui nilai koefisien regresi tersebut maka dapat dilakukan analisis integrasi pasar, dengan ringkasan hasil yang dapat dilihat pada tabel di bawah. Tabel 10. Analisis Integrasi Pasar Kakao Dalam Negeri dan Dunia Integrasi Jangka Segmentasi Pasar Integrasi Jangka Pendek ( 1 + b1 = 0 ) Pendek ( b2 = 1 ) t-hitung 0.47 0.534 8.74 1.960 1.960 1.960 t *71− 4,( 0.05 / 2 ) Keterangan IMC
Terima Ho (Tersegmentasi)
Terima Ho Tolak Ho (Tidak terintegrasi dalam jangka pendek) 0.5694
Berdasarkan pengujian hipotesis segmentasi pasar, terbukti bahwa pasar kakao dalam negeri tersegmentasi (terpisah) dari pasar kakao dunia, artinya perubahan harga kakao di dunia tidak mempengaruhi harga kakao di dalam negeri. Sehingga tidak aneh informasi harga yang ada tidak dapat secara langsung ditransfer ke pasar kakao dalam negeri. Hal ini terbukti melalui hasil pengujian integrasi pasar jangka pendek yang membuktikan bahwa antara pasar kakao dalam negeri dan dunia belum terintegrasi secara penuh (Lampiran 6).
50
Nilai Indeks of Market Connection (IMC) merupakan rasio antara nilai koefisien (1 + b1 ) terhadap koefisien (b3 − b1 ) . Nilai IMC antara pasar kakao dalam negeri dan dunia dalam penelitian ini adalah sebesar 0,5694. Bila nilai
(1 + b1 ) adalah sebesar 0,5694 maka nilai (b3 − b1 ) adalah sebesar satu, artinya kenaikan sebesar satu persen harga kakao bulan sebelumnya di pasar dalam negeri maka harga kakao bulan ini di pasar dalam negeri akan hanya meningkat sebesar 0,57 persen. Selain itu kenaikan satu persen harga kakao bulan lalu di pasar dunia ternyata mampu meningkatkan harga kakao bulan ini di dalam negeri sebesar satu persen.
6.2 Analisis Integrasi Pasar Beberapa Sentra Kakao Indonesia dan Dunia Data yang digunakan dalam melakukan analisis integrasi pasar antara beberapa sentra kakao di Indonesia, seperti Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara adalah data harga bulanan kakao di masing-masing propinsi tersebut dan harga kakao bulanan di dunia dari tahun 2000-2005 (Lampiran 3). Integrasi pasar di beberapa sentra utama kakao Indonesia perlu diteliti pula untuk melihat apakah setiap perubahan harga yang terjadi di dunia akan langsung diteruskan ke sentra-sentra kakao di Indonesia Hasil regresi integrasi pasar masing-masing sentra kakao di Indonesia dan dunia tersebut dapat dilihat pada Tabel 11.
51
Tabel 11. Koefisien Regresi Integrasi Pasar antara Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara terhadap Dunia Pasaar Lokal
Pasar Acuan
Sumut
Dunia
Variabel Bebas Konstanta
Pit −1
Pt − Pt −1
Pt −1
R2 (persen)
DW (d)
Fhitung
48 0.954 0.185 0.360 95.7 1.630 493.62 (0.848) (0.000) (0.796) (0.157) 0 (0.000) Sulsel Dunia 209 0.853 2.10 0.983 97.1 1.529 745.78 (0.240) (0.000) (0.000) (0.004) 9 (0.000) Sulteng Dunia 146 0.817 1.01 1.37 93.2 1.737 307.51 (0.619) (0.000) (0.231) (0.000) 8 (0.000) Sultra Dunia -334 0.815 2.87 1.73 94.3 1.921 371.11 (0.250) (0.000) (0.002) (0.000) 8 (0.000) Keterangan : Angka di dalam kurung adalah nilai P-value, Sumut: Sumatera Utara, Sulsel: Sulawesi Selatan, Sulteng: Sulawesi Tengah, Sultra: Sulawesi Tenggara
Melalui nilai koefisien regresi tersebut dapat dilakukan analisis integrasi pasar, dengan ringkasan hasil yang dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Analisis Integrasi Pasar antara Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dengan Dunia Segmentasi Pasar Integrasi Jangka Pendek IMC Sentra b2 = 0 b2 = 1 1 + b1 = 0 Kakao t-hitung t-tabel t-hitung t-tabel t-hitung t-tabel 0.259 1.960 1.140 1.960 1.43 1.960 Sumut 0.954* Terima Ho Terima kedua Ho (terintegrasi) (tersegmentasi) 4.06 1.960 2.125 1.960 2.965 1.960 0.868 Sulsel Tolak Ho (tidak Tolak kedua Ho (tidak terintegrasi) tersegmentasi) 1.21 1.960 0.012 1.960 3.69 1.960 Sulteng 0.596 Terima Ho Hanya satu Ho yang diterima (tidak (tersegmentasi) terintegrasi) Sultra 3.26 1.960 2.125 1.960 3.70 1.960 0.471 Tolak Ho (tidak Tolak kedua Ho (tidak terintegrasi) tersegmentasi) *
(b3 − b1 ) tidak signifikan pada taraf nyata lima persen sehingga tidak digunakan dalam perhitungan IMC
Pada wilayah Sumatera Utara, hasil estimasi koefisien (1 + b1 ) sebesar 0,954 artinya peningkatan harga kakao bulan lalu sebesar Rp 100/kg , ceteris paribus, akan meningkatkan harga kakao bulan ini di Pasar Sumatera Utara sebesar Rp
52
95/kg. Dengan demikian pengaruh variabel ini terhadap pembentukan harga kakao di Sumatera Utara adalah sebesar 95 persen. Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 95,7 persen artinya sebesar 95,7 persen variasi dari harga kakao bulan ini di Sumatera Utara dapat dijelaskan oleh variabel harga kakao bulan sebelumnya di Sumatera Utara, perubahan harga kakao di pasar dunia, dan harga kakao bulan sebelumnya di pasar dunia serta sisanya sebesar 4,3 persen dijelaskan oleh error. Pengujian autokorelasi melalui nilai Durbin Watson statistik (d) menunjukkan bahwa ada tidaknya autokorelasi tidak dapat disimpulkan (inconclusive) karena dl < d < du . Adapun nilai
1.525 < dl < 1.543 dan 1.703 < du < 1.709 . Selain itu melalui goodness of fit (uji F) dapat disimpulkan bahwa paling tidak terdapat satu variabel yang berpengaruh terhadap harga kakao bulan ini di Sumatera Utara. Berdasarkan hasil analisis integrasi pasar antara pasar kakao Sumatera Utara dan dunia (Lampiran 11) terlihat bahwa pasar ini tersegmentasi dengan dunia. Artinya perubahan harga kakao di dunia tidak mempunyai pengaruh terhadap harga kakao di wilayah ini. Di sisi lain, melalui hasil pengujian hipotesis integrasi jangka pendek, ternyata antara Sumatera Utara dan dunia terintegrasi secara penuh dalam jangka pendek. Artinya perubahan harga kakao di dunia akan langsung dan secara utuh diteruskan pada harga kakao di Sumatera Utara. Merujuk pada variabel yang secara signifikan mempengaruhi harga kakao di Sumatera Utara, maka variabel harga kakao bulan sebelumnyalah yang berpengaruh terhadap pembentukan harga kakao di Sumatera Utara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa adanya perubahan harga kakao di dunia yang ditransmisikan secara langsung dan utuh tersebut akan mempengaruhi harga
53
kakao yang akan diterima produsen dan pada akhirnya mempengaruhi pembentukan harga kakao pada waktu tertentu di propinsi ini. Hasil uji signifikansi variabel di Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa koefisien yang secara signifikan mempengaruhi harga kakao di Sulawesi Selatan adalah (1 + b1 ) , b2 , (b3 − b1 ) . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa harga kakao di wilayah ini tidak hanya dipengaruhi oleh harga kakao bulan lalu di Sulawesi Selatan, namun dipengaruhi juga oleh perubahan harga kakao di dunia dan harga kakao dunia bulan sebelumnya. Hasil estimasi koefisien (1 + b1 ) sebesar 0,853 berarti besarnya peningkatan
harga kakao bulan lalu sebesar Rp 100/kg akan meningkatkan harga kakao bulan ini di Pasar Sulawesi Selatan sebesar Rp 85/kg, ceteris paribus. Sehingga pengaruh variabel ini terhadap pembentukan harga kakao di Sulawesi Selatan adalah sebesar 85 persen. Koefisien b2 sebesar 2,1 artinya perubahan harga kakao di dunia akan berpengaruh sekitar 210 persen terhadap pembentukan harga kakao bulan ini di Sulawesi Selatan. Nilai koefisien (b3 − b1 ) sebesar 0,983 artinya harga kakao bulan lalu di dunia berpengaruh terhadap harga kakao bulan ini di Sulawesi Selatan sebesar 98 persen. Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 97,1 persen artinya bahwa sebesar 97,1 persen variasi dari harga kakao bulan ini di Sulawesi Selatan dapat dijelaskan oleh variabel harga kakao bulan sebelumnya di Sulawesi Selatan, perubahan harga kakao di pasar dunia, dan harga kakao bulan sebelumnya di pasar dunia serta sisanya sebesar 2,9 persen dijelaskan oleh error. Pengujian autokorelasi melalui nilai Durbin Watson statistik (d) menunjukkan bahwa ada tidaknya autokorelasi tidak dapat disimpulkan (inconclusive) karena dl < d < du . Adapun nilai
54
1.525 < dl < 1.543 dan 1.703 < du < 1.709 . Selain itu melalui goodness of fit (uji F) dapat disimpulkan bahwa paling tidak terdapat satu variabel yang berpengaruh terhadap harga kakao bulan ini di Sulawesi Selatan. Analisis integrasi pasar yang dilakukan terhadap propinsi Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa pasar ini tidak tersegmentasi dan tidak terintegrasi dengan dunia (Lampiran 12). Artinya harga yang terbentuk di wilayah ini dipengaruhi oleh perubahan harga kakao dunia, namun perubahan tersebut tidak langsung dan utuh ditransmisikan untuk membentuk harga kakao yang baru. Namun demikian pada propinsi ini perubahan harga kakao yang terjadi di dunia sangat dominan dalam mempengaruhi pembentukan harga kakao di Sulawesi Selatan. Hal ini mungkin saja terjadi, meskipun pasar tidak terhubung dalam jangka pendek, namun dengan kekuatan ekonomi yang ada (misalnya kekuatan penawaran yang lebih besar akan membuat posisi harga produsen untuk menentukan harga lebih besar dengan merujuk pada informasi yang ada), akan membuat perubahan harga kakao dunia direfleksikan dan mempengaruhi harga kakao di propinsi ini. Sulawesi Tengah pembentukan harga kakaonya hanya dipengaruhi oleh harga kakao bulan sebelumnya di wilayah ini dan harga kakao dunia bulan sebelumnya. Hal ini dikarenakan hanya koefisien (1 + b1 ) dan (b3 − b1 ) saja yang secara signifikan mempengaruhi variabel bebasnya. Hasil estimasi koefisien (1 + b1 )
sebesar 0,817 menunjukkan bahwa
peningkatan harga bulan lalu sebesar Rp 100/kg akan meningkatkan harga kakao bulan ini di Sulawesi Tengah sebesar Rp 82/kg. Dengan kata lain pengaruh variable ini adalah sebesar 82 persen, ceteris paribus. Nilai koefisien
55
(b3 − b1 ) sebesar 1,37 artinya harga kakao bulan lalu di dunia berpengaruh terhadap harga kakao bulan ini di Sulawesi Tengah sebesar 137 persen. Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 93,2 persen artinya bahwa sebesar 93,2 persen variasi dari harga kakao bulan ini di Sulawesi Tengah dapat dijelaskan oleh variabel harga kakao bulan sebelumnya di Sulawesi Tengah, perubahan harga kakao di pasar dunia, dan harga kakao bulan sebelumnya di pasar dunia serta sisanya sebesar 6,8 persen dijelaskan oleh error. Uji autokorelasi melalui Durbin Watson Statistik menunjukkan bahwa karena d > du maka dapat simpulkan tidak terjadi autokorelasi di dalamnya. Adapun nilai
1.525 < dl < 1.543
dan
1.703 < du < 1.709 . Selain itu melalui goodness of fit (uji F) dapat disimpulkan bahwa paling tidak terdapat satu variabel yang berpengaruh terhadap harga kakao bulan ini di Sulawesi Tengah. Hasil analisis integrasi di Propinsi Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa pasar kakao di wilayah ini tersegmentasi dari pasar dunia dan tidak terintegrasi secara penuh dengan pasar dunia (Lampiran 13). Besarnya perubahan harga yang terjadi di pasar internasional hanya akan ditransmisikan tetapi tidak secara langsung. Pedagang akan menunggu agar harga menjadi stabil terlebih dahulu baru kemudian meneruskannya ke pasar lokal. Tidak berbeda jauh dengan Sulawesi Selatan, harga kakao di Sulawesi Tenggara pun dipengaruhi oleh harga kakao bulan sebelumnya di wilayah ini dan dunia serta dipengaruhi pula oleh perubahan harga kakao di dunia. Hasil estimasi koefisien (1 + b1 ) sebesar 0,815 artinya peningkatan harga kakao bulan sebelumnya
di wilayah ini akan menyebabkan peningkatan harga kakao bulan ini di Sulawesi Tenggara sekitar Rp 82/kg. Hasil ini menunjukkan bahwa pengaruh variabel ini
56
terhadap pembentukan harga kakao di Sulawesi Tenggara adalah sebesar 82 persen. Nilai koefisien b2 sebesar 2,87 artinya perubahan harga kakao dunia akan berpengaruh sebesar 287 persen terhadap pembentukan harga di Sulawesi Tenggara, ceteris paribus. Nilai koefisien (b3 − b1 ) sebesar 1,73 mengindikasikan bahwa harga kakao bulan lalu di dunia berpengaruh terhadap harga kakao bulan ini di Sulawesi Tenggara sebesar 173 persen. Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 94,3 persen artinya bahwa sebesar 94,3 persen variasi dari harga kakao bulan ini di Sulawesi Tenggara dapat dijelaskan oleh variabel harga kakao bulan sebelumnya di Sulawesi Tenggara, perubahan harga kakao di pasar dunia, dan harga kakao bulan sebelumnya di pasar dunia serta sisanya sebesar 5,7 persen dijelaskan oleh error. Uji autokorelasi melalui Durbin Watson Statistik menunjukkan bahwa karena d > du maka dapat simpulkan tidak terjadi autokorelasi di dalamnya. Adapun nilai 1.525 < dl < 1.543 dan 1.703 < du < 1.709 . Selain itu melalui goodness of fit (uji F) dapat disimpulkan bahwa paling tidak terdapat satu variabel yang berpengaruh terhadap harga kakao bulan ini di Sulawesi Tenggara. Pasar kakao di Sulawesi Tenggara berdasarkan hasil analisis integrasi pasar pada Lampiran 14, mengindikasikan bahwa antara pasar kakao di Sulawesi Tenggara dan dunia tidak tersegmentasi dan tidak terintegrasi dalam jangka pendek. Artinya pembentukan harga kakao di pasar ini mengacu pada harga kakao di dunia dengan memperhatikan perubahan harga yang terjadi di pasar dunia. Akan tetapi adanya informasi perubahan tersebut tidak akan langsung diteruskan oleh pedagang ke pasar lokal.
57
Keadaan tersegmetasinya wilayah Indonesia dan beberapa sentra kakao di dalam negeri (Sumatera Utara dan Sulawesi Tengah) disebabkan oleh adanya sistem kontrak (resi guna) yang dilakukan oleh eksportir di dalam negeri dengan perusahaan induk di negara tujuan ekspor. Dengan demikian berapapun perubahan harga kakao di dunia, tidak akan mempengaruhi harga kakao dalam negeri. Informasi ini diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan pihak ASKINDO. Kontrak tersebut memuat perjanjian tentang volume dan harga kakao yang diperjualbelikan serta waktu pengirimannya. Waktu kontrak umumnya antara satu sampai dua bulan. Harga kakao ditetapkan pada saat penandatanganan kontrak, mengacu pada harga yang berlaku pada saat itu di dunia. Namun kenyataannya, harga tersebut tidak percis sama dengan harga di dunia karena diantara pihakpihak tersebut terjadi negosiasi diskonto. Meskipun di wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara terdapat beberapa eksportir yang sudah terikat kontrak, namun karena eksportir di kedua wilayah ini seringkali melakukan ekspor langsung dari pelabuhannya masingmasing (Pelabuhan Makassar dan Pelabuhan Kolaka) tanpa melalui Singapura maka harga kakao di kedua wilayah ini dipengaruhi oleh perubahan harga dunia. Pada sisi yang berbeda, penalti atau automatic detention yang dikenakan atas kakao Indonesia seringkali membuat harga kakao di dalam negeri berbeda dengan harga kakao yang berlaku di dunia. Penalti tersebut dikenakan karena mutu kakao yang dihasilkan masih rendah. Dengan demikian harga kakao yang terbentuk di dalam negeri lebih dipengaruhi oleh kualitas kakao yang dihasilkan dari pada oleh perubahan harga yang terjadi di dunia.
58
Tidak terintegrasinya Indonesia dan sebagian besar sentra kakao Indonesia (kecuali Sumatera Utara) dalam jangka pendek dikarenakan jauhnya jarak untuk mengakses informasi harga dunia ke London Cocoa Terinal Market dan New York Board of Trade. Meskipun saat ini akses informasi tersebut dilakukan dengan menggunakan telepon, namun karena mahalnya biaya tersebut maka ekportir tidak dapat memantau perubahan harga yang terjadi secara terus-menerus. Pedagang akan menunggu hingga kondisi harga stabil baru meneruskannya perubahan tersebut ke pedagang yang ada di bawahnya. Khusus untuk Sumatera Utara karena di wilayah ini terdapat perkebunan milik negara (PTPN), maka akses informasi lebih mudah untuk dilakukan. Nilai IMC untuk semua sentra kakao tersebut kurang dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan pasar kakao di wilayah-wilayah tersebut mempunyai hubungan yang cukup tinggi dengan pasar kakao dunia. Akan tetapi wilayah Sulawesi Tenggara ternyata memiliki hubungan dengan pasar dunia yang lebih dekat, karena nilai IMC lebih dekat dengan nol.
BAB VII DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR KAKAO
Adanya rencana pemerintah untuk menerapkan kebijakan pungutan ekspor terhadap kakao tentunya akan menimbulkan berbagai dampak. Meskipun kebijakan ini baru berada pada tahap perencanaan, namun berbagai polemik yang timbul dibalik perlu atau tidaknya menerapkan kebijakan ini memerlukan analisis tersendiri terhadap permasalahan ini. Penerapan pungutan ekspor, seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, akan meningkatkan harga ekspor kakao Indonesia namun di sisi lain akan menurunkan harga yang diterima oleh eksportir Indonesia dan pada akhirnya akan menyebabkan harga yang diterima oleh produsen kakao (petani) menjadi lebih rendah dibandingkan sebelumnya. Adapun pengurangan harga yang diterima petani akibat adanya pungutan ekspor dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Formulasi Harga Kakao Apabila Memperhitungkan Pungutan Eskpor dengan Menggunakan Perhitungan Versi ASKINDO. Rincian a. Harga dunia (NYBOT) b. Penalti d. Harga yang diterima eksportir (FOB) e. Cost & margin (eksportir) f. Harga kakao g. Harga kakao pedagang* h. Harga kakao (petani) setelah dikurangi PPh 0.5 persen *
Tanpa Pungutan Ekspor (PE) 1.501 US$/mt 250 US$/mt 1.251 US$/mt 50 US$/mt 1201 US$/mt 10.448,7/kg 10.396/kg
Dengan Pungutan Ekspor (PE) 1.501 US$/mt 250 US$/mt (1.251 US$/kg – t) 50 US$/mt (1201 US$/mt – t) (10.448,7/kg – t) (10.396/kg – t)
Berdasarkan kurs 1 US$ = Rp 8700
Diasumsikan harga kakao dunia tetap, baik sebelum maupun sesudah adanya pungutan ekspor, untuk memudahkan perhitungan. Adanya pungutan ekspor ini (sebesar t) ternyata akan dibebankan ke petani sehingga mengakibatkan harga kakao di dalam negeri tidak memiliki pola yang sama dengan harga dunia.
60
Di satu sisi, harga kakao dunia tetap (tidak terjadi perubahan), namun harga kakao di dalam negeri menurun. Perbedaan pola tersebut menunjukkan bahwa antara pasar kakao dunia dengan dalam negeri tidak terintegrasi. Dengan kondisi pasar kakao di dalam negeri yang sudah tidak terintegrasi maka adanya pungutan ekspor ini akan membuat kondisi pasar kakao di dalam negeri semakin jauh dari dunia dan semakin tidak terintegrasi. Begitu pula halnya dengan ketiga wilayah lainnya, seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, yang memiliki kondisi pasar yang sudah tidak terintegrasi sebelum adanya pungutan ekspor. Untuk wilayah Sumatera Utara, perkebunan kakao tidak hanya dimiliki oleh smallholders saja namun juga oleh perkebunan negara dengan luas wilayah yang cukup besar. Untuk perkebunan kakao yang dikelola oleh negara, tentunya formulasi harga yang ditampilkan pada Tabel 13 tidak berlaku karena dalam tataniaganya tidak melibatkan pedagang perantara. Selain itu pemerintah bertindak sebagai eksportir sekaligus sebagai pemilik dari perkebunan (produsen). Dengan demikian pungutan ekspor akan ditanggung sendiri oleh perusahaan perkebunan negara dan harga produsen di dalam negeri yang terjadi adalah sebesar 1.251 US$/kg – t. Kondisi Sumatera Utara ini mengakibatkan harga kakao dunia dan dalam negeri memiliki pola yang berbeda namun perbedaan tersebut tidak akan terlalu jauh, seperti yang terjadi di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara (di ketiga wilayah tersebut harga yang diterima produsen adalah sebesar 10.396/kg – t). Kebijakan pungutan ekspor ini ternyata tidak hanya berdampak pada integrasi pasar kakao saja tetapi mempunyai implikasi lain. Pertama, adanya
61
pungutan ekspor akan membuat daya saing Indonesia di dunia dalam ekspor kakao melemah. Tanpa dilakukannya perbaikan kualitas kakao Indonesia, maka kenaikan harga ekspor kakao Indonesia, akibat adanya pungutan ekspor, akan membuat importir kakao Indonesia beralih pada eksportir kakao lainnya yang menjadi saingan Indonesia (seperti Pantai Gading dan Ghana). Hal ini dikarenakan kedua negara tersebut cukup dikenal akan kualitas biji kakaonya. Kedua, penurunan harga yang akan diterima produsen kakao akibat penerapan pungutan ekspor kakao ini akan menurunkan pendapatan yang diperoleh petani. Selain itu perlu diketahui bahwa dalam sistem tataniaga kakao di Indonesia (Lampiran 15) besarnya margin yang ditetapkan pedagang biasanya tetap (untuk eksportir adalah sebesar 50 US$/mt). Apabila rantai distribusi untuk sampai ke tangan eksportir semakin panjang, maka semakin besar bagian petani yang akan hilang. Hal ini disebabkan ada biaya tambahan akibat pungutan tersebut akan dibebankan pada petani. Padahal selama ini telah cukup banyak komponen biaya yang dibebankan kepada petani, contohnya pungutan Pemda Rp50/kg, PPh 0.5 persen, PPN dan biaya ekspedisi dari gudang-pelabuhan Rp200/kg. Ketiga, bagi pedagang (eksportir) adanya kebijakan ini tidak akan begitu berpengaruh. Pihak ini hanya akan menyesuaikan harga beli kakao di tingkat petani jika terjadi kenaikan harga jual kakao ekspor. Selain itu, adanya kebijakan ini akan menyebabkan terjadinya penyelundupan kakao ke negara lain akibat adanya biaya pungutan dalam melakukan ekspor. Keempat, adanya penerapan pungutan ekspor kakao akan menyebabkan pihak industri lebih terjamin dalam memperoleh input untuk produksi cokelatnya
62
karena selama ini pedagang lebih memilih untuk melakukan ekspor akibat kebijakan PPN 10 persen atas biji kakao. Akan tetapi dengan kondisi kualitas biji kakao olahan dalam negeri yang masih rendah, tidak dapat dijamin apakah industri akan beralih menggunakan kakao dalam negeri sebagai input dalam proses produksinya. Dan apabila kebijakan PPN 10 persen atas komoditas primer jadi akan dicabut, maka penerapan pungutan ekspor dapat menjadi alternatif pendapatan bukan pajak bagi pemerintah.
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 Kesimpulan Harga kakao dunia yang berfluktuasi turut membuat berfluktuasinya harga kakao dalam negeri. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pembentukan harga kakao di dunia terhadap harga kakao di dalam negeri serta apakah suatu pasar tersegmentasi atau terintegrasi, maka dilakukan analisis integrasi pasar kakao antara dunia dan dalam negeri serta di beberapa sentra kakao Indonesia (Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi tengah dan Sulawesi Tenggara). Berdasarkan hasil analisis integrasi pasar, secara umum dapat disimpulkan bahwa pasar kakao dalam negeri dan dunia tersegmentasi dan tidak terintegrasi dalam jangka pendek. Dengan demikian harga yang terbentuk di dalam negeri tidak dipengaruhi oleh perubahan harga kakao di dunia dan perubahan ini tidak langsung diteruskan ke pasar dalam negeri. Pembentukan harga kakao di dalam negeri hanya dipengaruhi oleh harga kakao bulan sebelumnya di pasar domestik (pengaruhnya sebesar 71 persen) dan dipengaruhi pula oleh harga bulan sebelumnya di dunia. Selain itu terlihat pula bahwa Propinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara kondisi pasarnya tidak tersegmentasi dengan dunia. Oleh karena itu harga kakao dikedua propinsi ini dipengaruhi oleh perubahan harga di dunia, dimana pengaruhnya masing-masing adalah sebesar 210 persen dan 287 persen untuk masing-masing pasar. Namun untuk Propinsi Sumatera Utara dan Sulawei Tengah pasarnya tersegmentasi. Karena sebagian besar pasar di beberapa sentra
64
kakao tersebut tidak terintegrasi dalam jangka pendek (yang terintegrasi hanya Sumatera Utara), maka perubahan harga kakao di dunia tidak akan direfleksikan langsung pada harga kakao di wilayah tersebut. Terkait dengan rencana pemerintah untuk menerapkan pungutan ekspor kakao, ternyata penerapan kebijakan ini pada akhirnya akan membuat kondisi pasar kakao di dalam negeri menjadi semakin tidak terintegrasi. Selain itu, adanya kebijakan pungutan ekspor ini akan berimplikasi pada: (1) melemahnya posisi daya saing ekspor kakao Indonesia di dunia, (2) menurunnya bagian pendapatan yang akan diterima oleh petani, (3) bagi pedagang (eksportir), pungutan ekspor mungkin tidak akan begitu berpengaruh meskipun akan memicu kegiatan penyelundupan, (4) bagi pihak industri, adanya pungutan ekspor akan menjamin ketersediaan input untuk proses pengolahan cokelat dan bagi pemerintah tentu saja kebijakan ini akan menjadi alternatif pendapatan bukan pajak.
8.2 Saran Berdasarkan hasil analisis tersebut maka beberapa rekomendasi saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: 1. Pemerintah sebaiknya meninjau ulang rencana penerapan kebijakan pungutan ekspor ini karena pada dasarnya akan menyebabkan kondisi pasar kakao Indonesia menjadi semakin tidak terintegrasi. 2. Untuk memecahkan masalah kurang berkembangnya industri pengolahan kakao di dalam negeri, maka rencana pemerintah untuk mencabut PPN 10 persen tetap perlu dilakukan dan sebagai gantinya pemerintah dapat menerapkan pajak yang serupa yang dikenakan atas barang jadi bukan barang primer.
65
3. Rencana pembentukan Bursa Barjangka Kakao di Jakarta sebaiknya segera direalisasikan agar harga ekspor kakao tidak terlalu berfluktuasi jika mengikuti harga yang berlaku di bursa berjangka komoditi di Singapura atau dunia dan diharapkan pasar akan lebih terintegrasi serta tidak tersegmentasi karena akses informasi lebih mudah.
66
DAFTAR PUSTAKA
Akiyama, T. 1992. Is There a Case for an Optimal Export Tax on Perennial Crops. Internastional Economics Department. World Bank. Akiyama, T. dan Akihiko Nishio. 1997. Sulawesi’s Cocoa Boom: Lesson of Smallholder Dinamism and A-Hands of Policy. Bulletin of Indonesian Economic Studies Vol 33 No.2, pp97-121. Arsyad, M. 2004. Dampak Kebijakan Ekonomi terhadap Produksi dan Ekspor Kakao Indonesia. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Baffes, J. dan Bruce Gardner. 2003. The Transmission of World Commodity Prices to Domestic Markets Under Policy reform in Developing Countries. Policy Reform, September 2003, Vol 6(3), pp 159-180. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kakao. Departemen Pertanian Republik Indonesia. Capricon Indonesia Consult (CIC). 2005. Laporan Khusus: Prospek Industri dan Pemasaran Kakao di Indonesia. CIC No.358 Edisi 16 Juni 2005. Direktorat Jenderal (Dirjen) Perkebunan Departemen Pertanian. 2006. Statistik Perkebunan Indonesia 2003-2005. Departemen Pertanian. Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2006. Buletin Pemasaran Internasional, Edisi Januari 2006. Departemen Pertanian. Heytens, P.J. 1986. Testing Market Integration. Food Research Institute Studies. Vol. XX, No.1, 1986. International Cocoa Organization. 2006. Quarterly Bulletin of Cocoa Statistics. www.icco.org. Diakses tanggal 17 November 2006. Iswandi, M.R. 1996. Analisis Ekonomi dan Kelembagaan Perkebunan Kakao Rakyat Serta Peranannya terhadap Pembangunan Wilayah di Sulawesi Tenggara. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor Kedutaan Besar Republik Indonesia. 2005. Nasib Kakao Indonesia di Pier-84, Philadelphia-AS. www.embassyofindonesia.org. Diakses tanggal 5 Desember 2006. Lam, N.V. 1979. Incidence of Agricultural Export Taxation in Papua New Guinea. Journal of Development Studies, Volume 15 Issue 2, p177-193.
67
Lestari, M. 2006. Analisis Tataniaga Bengkuang (Pachyrrhizus erosus) (Kasus Kecamatan Prembun Kabupaten Kebumen Propinsi Jawa Tengah). Skripsi. Program Studi Manajemen Agribisnis Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Limbong, W.H, Panggabean Sitorus. 1985. Pengantar Tataniaga Pertanian. Program Studi Manajer Koperasi Uni Desa (KUD), Fakultas Politeknik Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Lolowang, T.F. 1999. Analisis Penawaran dan Permintaan Kakao Indonesia di Pasar Domestik dan Internasional. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor Muharminto, B.S. Abbas dan S.O. Lubis. 1996. Upaya Pengembangan Pasar Produk Agroindustri Perkebunan (KAKAO). Laporan Penelitian. Pusat Pengkajian dan Pengembangan Agribisnis, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Noorsapto, A. 1994. Keunggulan Komparatif dan Dampak Kebijakan Pemerintah pada Komoditas Kakao: Studi Kasus pada Perkebunan Kakao Sumatera Utara. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Piermartini, R. 2004. The Role of Export Taxes in The Field of Primary Commodities. World Trade Organization. PPSEP. 1998. Analisis Dampak Globalisasi terhadap Perdagangan dan Kebijaksanaan Kakao Indonesia. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Puteri, Eka Intan K, Sri Hartoyo, Heny K. Daryanto, Amzul Rifin, Widyastutik. 2006. Kebijakan Pungutan Ekspor Crude Palm Oil (CPO). Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Institut Pertanian Bogor (LPPM-IPB) dengan Badan Pengkajian Ekonomi Keuangan dan Kerjasama Internasional (BAPEKKI), Departemen Keuangan Republik Indonesia. Rifin, A. 2005. The Export Tax and Indonesia’s Crude Palm Oil Export. Tesis. International University of Japan. Ravallion, M. 1986. Testing Market Integration. American Journal of Agriculture Economics. February, 1986, 68(1). American Agriculture Economics Association. Roesmanto, J. 1991. Kajian Sosial Ekonomi Kakao. Aditya Media. Jogjakarta.
68
Siswoputranto, P.S. 1988. Prospek Percoklatan Dunia dan Kepentingan Indonesia. Kumpulan Makalah Konperensi Coklat Nasional II. Balai Penelitian Perkebunan Medan. Supriyanto, B. 2005. Ketika PPN 0% & PE Kakao jadi Sengketa. www.bisnis.com. Diakses tanggal 17 Februari 2007. Salvatore, D. 1994. Ekonomi Internasional. Terjemahan. Jakarta: Erlangga.
69
Lampiran 1.
Propinsi Nangroe Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bangka Belitung Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogya Jawa Timur Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Irian Jaya Indonesia
Luas Areal dan Produksi Perkebunan Kakao Seluruh Indonesia Menurut Propinsi dan Status Pengusahaan, 2003 Perkebunan Rakyat Luas Produksi (ha) (ton) 18,099 11,273
Perkebunan Negara Luas Produksi (ha) (ton) 0 0
Perkebunan Swasta
Jumlah
Luas (ha) 3,522
Produksi (ton) 1,168
Luas (ha) 21,621
Produksi (ton) 12,441
32,626
21,217
19,405
18,200
7,960
8,774
59,991
48,191
11,078
6,804
0
0
1,834
1,126
12,912
7.930
1,688 1,791 347
360 370 132
0 0 0
0 0 0
2,810 0 0
2,459 0 0
4,498 1,791 347
2,819 370 132
325
45
0
0
0
0
325
45
3,272 26,180 0 3,786 3,402 3,098
768 14,199 0 2,127 494 406
0 0 0 3,901 0 2,242
0 0 0 1,311 0 618
9,033 2,712 0 2,740 1,874 1,554
1,461 2,169 0 1,272 901 1,003
12,305 28,892 0 10,427 5,276 6,894
2,229 16,368 0 4,710 1,395 2,027
3,014 7,674 7,535 3,948 33,946 8,710
318 1,495 5,967 1,668 9,383 1,864
0 22,781 0 0 0 0
0 11,246 0 0 0 0
0 3,976 125 0 0 0
0 2,909 72 0 0 0
3,014 34,431 7,660 3,948 33,946 8,710
318 15,650 6,039 1,668 9,383 1,864
676
24
0
0
0
0
676
24
678
86
0
0
2,837
208
3,515
294
32,327
22,013
0
0
600
0
32,927
22,013
9,254
4211
0
0
830
587
10,084
4,798
4,684 136,888
2,086 116,03
0 0
0 0
0 5,689
0 1,048
4,684 142,577
2,086 117,080
293,857
280,88
0
0
2,182
1,805
296,039
282,692
136,345
99,471
0
0
0
0
136,345
99,471
15,200 31,070
4,006 11,867
1,584 0
700 0
1,839 0
1,800 338
18,623 31,070
6,506 12,205
29,601 861,099
15,304 634,877
0 49,913
0 32,075
1,094 53,211
2,764 31,864
30,695 964,223
18,068 698,816
Sumber: Dirjen Perkebunan Deptan, 2006
70
Lampiran 2.
Bulan 1999 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des 2000 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des 2001 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
Harga Bulanan Kakao di Pasar Dalam Negeri (Domestik) dan Dunia Dunia (SDR/ton) 1036.15 1020.15 963.77 875.49 787.55 867.04 831.21 774.38 771.12 735.18 670.16 669.18 669.6 638.78 694.69 680.43 693.42 707.62 707.44 670.97 682.62 682.52 624.24 620.77 742.57 894.58 878.39 853.22 855.18 777.54 772.89 811.03 792.77 848.13 978.69 1057.05
Domestik (Rp/kg) 7469 7896 7859 7695 7595 7578 6478 5000 6000 6000 5500 5000 7000 8000 7400 7000 9250 9250 7026 7201 6948 6982 6525 6352 6198 6187 7064 7698 7018 7313 7626 7394 6971 7087 8150 7792
Bulan 2002 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des 2003 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des 2004Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
Dunia (SDR/ton) 1105.14 1198.54 1273.32 1248.77 1256.85 1274.96 1404.51 1484.18 1637.41 1673.48 1362.8 1510.09 1599.91 1633.97 1455.88 1408.11 1243.6 1116.24 1115.74 1135.11 1168.83 1034.94 1053.66 1109.38 1089.27 1048.61 1021.28 984.03 974.12 960.64 1059.1 1180.44 1051.78 1003.46 1098.04 1070.3
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2006 dan Internastional Cocoa Organization, 2006
Domestik (Rp/kg) 7487 7615 8724 9249 8424 8205 8873 8581 9889 9320 10490 10523 9809 9583 10386 10896 10506 9176 8849 8894 9228 9224 9262 9094 9441 9105 9206 9446 9890 8856 8913 9712 9944 9947 10143 10349
71
Lampiran 3.
Bulan 2000 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des 2001 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des 2002 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des 2003 Jan Feb Mar Apr
Harga Rata-Rata Bulanan Kakao di Propinsi Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Pasar Dunia
Dunia (SDR/ton) 669.6 638.78 694.69 680.43 693.42 707.62 707.44 670.97 682.62 682.52 624.24 620.77 742.57 894.58 878.39 853.22 855.18 777.54 772.89 811.03 792.77 848.13 978.69 1057.05 1105.14 1198.54 1273.32 1248.77 1256.85 1274.96 1404.51 1484.18 1637.41 1673.48 1362.8 1510.09 1599.91 1633.97 1455.88 1408.11
Harga Pasar Sumut Sulsel (Rp/kg) (Rp/kg) 4120.56 4086.44 3892.28 3779.96 3892.28 3982.94 4021.89 4048.66 4259.99 4217.89 4259.99 4475.61 4259.99 4783.98 4331.13 4948.07 4358.41 4504.72 4559.34 4960.15 4679.25 4995.86 4549.16 5029.33 4359.46 5164.62 4359.46 5531.31 4359.46 6546.86 4359.46 7390.75 6083.2 7723.33 6083.2 7610.57 5904.35 7826.71 4974.41 6704.36 4414.79 6516.64 4767.98 6812.5 5075.51 7559.15 6200.75 7802.55 7092.42 7694.1 6608.72 8114.19 6683.33 8488.26 7412.5 9412.63 7412.5 9603.71 7312.5 9657.49 6550 9911.48 7050 10063.12 7350 10525 7790 11000 7790 10944.44 7790 10944.44 7990 11062.5 8550 10777.77 8550 10200 8750 10100
Sulteng (Rp/kg) 4416 4548.48 4418.39 4142.24 4240.82 4570.76 4784.42 4921.04 5074.58 5074.58 5255.74 5334.58 5334.58 6195.05 6442.85 7130.3 8870.81 9481.12 8757.71 8161.31 7834.86 7834.86 7834.86 7834.86 6195.02 6758.15 8292.93 8292.93 8352.64 8352.64 8352.64 9257.23 9330.36 9330.36 9330.36 9330.36 11900 12600 12600 12900
Sultra (Rp/kg) 4575 4601.99 4331.39 4229.17 4478.69 4501.98 4689.26 4779.77 4602.44 4196.04 3995.05 3995.05 4016.22 4016.22 4016.22 5382.14 5256.74 5056.46 5242.03 5242.03 4831.05 4831.05 4629.6 4968.95 7600 7916.66 8750 8250 7916.66 8083.33 8583.33 9233.33 10833.33 11333.33 10500 10333.33 11166.66 12166.66 11166.66 9750
72
Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des 2004Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des 2005 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
1243.6 1116.24 1115.74 1135.11 1168.83 1034.94 1053.66 1109.38 1089.27 1048.61 1021.28 984.03 974.12 960.64 1059.1 1180.44 1051.78 1003.46 1098.04 1070.3 1016.36 1077.04 1151.44 1050.04 1008.82 1048.96 1027.12 1010.3 1025.73 1004.95 1004.81 1060.43
8250 7650 7650 6441.66 6541.66 7041.66 7041.66 7291.66 9125 9750 9750 9225 9425 9625 9750 9625 9875 9875 10000 10125 10416.66 10416.66 10450 10416.66 10450 9916.66 10250 10250 9940 9950 9920 10240
9650 9300 9611.11 9800 10066.66 9588.88 9433.33 9488.88 9444.44 8900 8712.5 8650 8837.5 8540 9120 9470 9370 8720 9077.77 9275 8781.25 8714.28 8968.75 8312.5 8777.77 9366.66 9277.77 9062.5 8347.22 8069.44 7762.5 7585.71
12100 11500 10700 10700 9625 9250 9000 9125 9000 9300 9000 9375 8125 8500 8500 8450 8610 8800 9300 9600 9700 8800 9083.33 9000 9250 9166.66 9216.66 8916.66 9083.33 8750 8500 8833.33
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2006 dan Internastional Cocoa Organization, 2006 Keterangan: Sumut : Sumatera Utara Sulsel : Sulawesi Selatan Sulteng : Sulawesi Tengah Sultra : Sulawesi Tenggara
9750 9750 8750 9833.33 10166.66 8433.33 7933.33 8100 9333.33 10000 8933.33 9333.33 9500 9333.33 9333.33 10166.66 10333.33 9333.33 9333.33 9250 9333.33 8666.66 9000 9666.66 9000 9000 8899.99 8899.99 8899.99 8899.99 8883.33 8325
73
Lampiran 4.
Persamaan Regresi Integrasi Pasar Kakao Dalam Negeri dengan Pasar Dunia
Regression Analysis: Pit versus Pit-1, Pt-Pt-1, Pt-1 The regression equation is Pit = 1145 + 0.712 Pit-1 + 0.468 Pt-Pt-1 + 1.25 Pt-1
71 cases used, 1 cases contain missing values
Predictor Constant Pit-1 Pt-Pt-1 Pt-1
Coef 1145.2 0.71215 0.4676 1.2508
S = 674.258
SE Coef 479.2 0.08147 0.9963 0.4157
R-Sq = 79.1%
PRESS = 34996478
T 2.39 8.74 0.47 3.01
P 0.020 0.000 0.640 0.004
VIF 2.1 1.0 2.1
R-Sq(adj) = 78.1%
R-Sq(pred) = 75.94%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source Pit-1 Pt-Pt-1 Pt-1
DF 1 1 1
DF 3 67 70
SS 115003181 30459787 145462968
MS 38334394 454624
F 84.32
P 0.000
Seq SS 110862214 25488 4115480
Unusual Observations Obs 8 13 17 19 47
Pit-1 6478 5000 7000 9250 9320
Pit 5000.0 7000.0 9250.0 7026.0 10490.0
Fit 6771.6 5543.1 6987.4 8617.6 9730.3
SE Fit 146.1 205.1 123.1 209.6 369.8
Residual -1771.6 1456.9 2262.6 -1591.6 759.7
St Resid -2.69R 2.27R 3.41R -2.48R 1.35 X
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
Durbin-Watson statistic = 1.85874
Pit Pit-1
: Harga bulanan kakao di dalam negeri (Rp/kg) atau Pit : Harga bulanan kakao di dalam negeri periode sebelumnya (Rp/kg) atau Pit −1
Pt-Pt-1 : Perubahan harga bulanan kakao di dunia (SDR/ton) atau ( Pt − Pt −1 ) Pt-1
: Harga bulanan kakao di dunia (SDR/ton) atau Pt −1
74
Lampiran 5.
Persamaan Regresi Integrasi Pasar Kakao Dalam Negeri dengan Pasar Dunia (Menggunakan Data yang Diubah ke Dalam Bentuk Logaritma Natural)
Regression Analysis: Pit versus Pit-1, Pt-Pt-1, Pt-1 The regression equation is Pit = 1.60 + 0.695 Pit-1 + 0.135 Pt-Pt-1 + 0.168 Pt-1
71 cases used, 1 cases contain missing values
Predictor Constant Pit-1 Pt-Pt-1 Pt-1
Coef 1.5962 0.69471 0.1347 0.16797
S = 0.0897164
SE Coef 0.5576 0.08567 0.1459 0.05754
T 2.86 8.11 0.92 2.92
R-Sq = 77.2%
PRESS = 0.622760
P 0.006 0.000 0.359 0.005
VIF 2.1 1.0 2.1
R-Sq(adj) = 76.2%
R-Sq(pred) = 73.65%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source Pit-1 Pt-Pt-1 Pt-1
DF 1 1 1
DF 3 67 70
SS 1.82376 0.53929 2.36304
MS 0.60792 0.00805
F 75.53
P 0.000
Seq SS 1.75155 0.00361 0.06859
Unusual Observations Obs 8 13 17 19 47
Pit-1 8.78 8.52 8.85 9.13 9.14
Pit 8.5172 8.8537 9.1324 8.8574 9.2582
Fit 8.8128 8.6061 8.8451 9.0427 9.1649
SE Fit 0.0209 0.0315 0.0177 0.0296 0.0378
Residual -0.2956 0.2476 0.2873 -0.1854 0.0933
St Resid -3.39R 2.95R 3.27R -2.19R 1.15 X
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
Durbin-Watson statistic = 1.83876
Pit Pit-1
: Harga bulanan kakao di dalam negeri (Rp/kg) atau Pit : Harga bulanan kakao di dalam negeri periode sebelumnya (Rp/kg) atau Pit −1
Pt-Pt-1 : Perubahan harga bulanan kakao di dunia (SDR/ton) atau ( Pt − Pt −1 ) Pt-1
: Harga bulanan kakao di dunia (SDR/ton) atau Pt −1
75
Lampiran 6.
Pengujian Integrasi Pasar antara Pasar Kakao Dalam Negeri dan Dunia
1. Pengujian Segmentasi Pasar H o : b2 = 0
H 1 : b2 ≠ 0 b2 − 0 Se(b2 ) thit = 0.47 t hit =
t ∗ 71− 4,( 0.05 / 2) = 1.960 Karena t-hitung < t ∗ 71− 4,( 0, 05 / 2 ) , maka hipotesis nol diterima secara statistik pada taraf 5%. Hal ini berarti pasar domestik tersegmentasi dengan pasar dunia.
2. Pengujian Integrasi Jangka Pendek H o : b2 = 1 H 1 : b2 ≠ 1
t hit =
b2 − 1 Se(b2 )
t hit = 0.534 t ∗ 71− 4,( 0, 05 / 2 ) = 1.960 Karena t hit < t ∗ 71− 4,( 0,05 / 2 ) , maka hipotesis nol diterima secara statistik pada taraf 5%.
76
Lanjutan Lampiran 6. Pengujian hipotesis lainnya: H o : (1 + b1 ) = 0 H 1 : (1 + b1 ) ≠ 0
(1 + b1 ) − 0 Se(1 + b1 ) t-hit = 8.74 t hit =
t ∗ 71− 4,( 0, 05 / 2 ) = 1.960 Karena t-hit > t ∗ 71− 4,( 0, 05 / 2 ) , maka tolak hipotesis nol pada taraf nyata 5%. Berdasarkan hasil hipotesis untuk pengujian integrasi jangka pendek tersebut, karena hanya satu hipotesis saja yang diterima, maka kedua pasar tidak terintegrasi dalam jangka pendek secara penuh.
77
Lampiran 7.
Persamaan Regresi Integrasi Pasar Kakao Sumatera Utara dan Dunia
Regression Analysis: Pit versus Pit-1, Pt-Pt-1, Pt-1 The regression equation is Pit = 48 + 0.954 Pit-1 + 0.185 Pt-Pt-1 + 0.360 Pt-1
71 cases used, 1 cases contain missing values
Predictor Constant Pit-1 Pt-Pt-1 Pt-1
Coef 48.2 0.95392 0.1855 0.3597
S = 474.441
SE Coef 250.8 0.02946 0.7144 0.2515
R-Sq = 95.7%
PRESS = 16324509
T 0.19 32.38 0.26 1.43
P 0.848 0.000 0.796 0.157
VIF 1.4 1.0 1.4
R-Sq(adj) = 95.5%
R-Sq(pred) = 95.31%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source Pit-1 Pt-Pt-1 Pt-1
DF 1 1 1
DF 3 67 70
SS 333334030 15081313 348415343
MS 111111343 225094
F 493.62
P 0.000
Seq SS 332872832 705 460493
Unusual Observations Obs 17 20 24 31 35 44 49
Pit-1 4359 5904 5076 7313 7790 7650 7292
Pit 6083.2 4974.4 6200.8 6550.0 7790.0 6441.7 9125.0
Fit 4514.1 5965.6 5256.4 7506.4 8023.6 7750.7 7399.2
SE Fit 94.8 81.4 93.9 126.6 258.7 60.1 61.1
Residual 1569.1 -991.2 944.3 -956.4 -233.6 -1309.0 1725.8
St Resid 3.38R -2.12R 2.03R -2.09R -0.59 X -2.78R 3.67R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
Durbin-Watson statistic = 1.63001
Pit Pit-1
: Harga bulanan kakao di Sumatera Utara (Rp/kg) atau Pit : Harga bulanan kakao di Sumatera Utara periode sebelumnya (Rp/kg) atau Pit −1
Pt-Pt-1 : Perubahan harga bulanan kakao di dunia (SDR/ton) atau ( Pt − Pt −1 ) Pt-1
: Harga bulanan kakao di dunia (SDR/ton) atau Pt −1
78
Lampiran 8.
Persamaan Regresi Integrasi Pasar Kakao Sulawesi Selatan dan Dunia
Regression Analysis: Pit versus Pit-1, Pt-Pt-1, Pt-1 The regression equation is Pit = 209 + 0.853 Pit-1 + 2.10 Pt-Pt-1 + 0.983 Pt-1
71 cases used, 1 cases contain missing values
Predictor Constant Pit-1 Pt-Pt-1 Pt-1
Coef 209.0 0.85296 2.1005 0.9827
S = 344.130
SE Coef 176.3 0.04275 0.5178 0.3314
R-Sq = 97.1%
PRESS = 8940190
T 1.19 19.95 4.06 2.97
P 0.240 0.000 0.000 0.004
VIF 4.5 1.0 4.5
R-Sq(adj) = 97.0%
R-Sq(pred) = 96.72%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source Pit-1 Pt-Pt-1 Pt-1
DF 1 1 1
DF 3 67 70
SS 264956263 7934487 272890750
MS 88318754 118425
F 745.78
P 0.000
Seq SS 262311603 1603331 1041329
Unusual Observations Obs 15 16 20 28 35
Pit-1 5531 6547 7827 8488 11000
Pit 6546.9 7390.8 6704.4 9412.6 10944.4
Fit 5772.1 6603.6 7724.5 8648.9 10583.6
SE Fit 83.7 55.7 87.3 75.3 186.4
Residual 774.7 787.2 -1020.2 763.7 360.8
St Resid 2.32R 2.32R -3.06R 2.27R 1.25 X
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
Durbin-Watson statistic = 1.52994
Pit Pit-1
: Harga bulanan kakao di Sulawesi Selatan (Rp/kg) atau Pit : Harga bulanan kakao di Sulawesi Selatan periode sebelumnya (Rp/kg) atau Pit −1
Pt-Pt-1 : Perubahan harga bulanan kakao di dunia (SDR/ton) atau ( Pt − Pt −1 ) Pt-1
: Harga bulanan kakao di dunia (SDR/ton) atau Pt −1
79
Lampiran 9.
Persamaan Regresi Integrasi Pasar Kakao Sulawesi Tengah dan Dunia
Regression Analysis: Pit versus Pit-1, Pt-Pt-1, Pt-1 The regression equation is Pit = 146 + 0.817 Pit-1 + 1.01 Pt-Pt-1 + 1.37 Pt-1
71 cases used, 1 cases contain missing values
Predictor Constant Pit-1 Pt-Pt-1 Pt-1
Coef 146.2 0.81749 1.0100 1.3671
S = 547.802
SE Coef 292.8 0.04711 0.8362 0.3703
R-Sq = 93.2%
PRESS = 22841408
T 0.50 17.35 1.21 3.69
P 0.619 0.000 0.231 0.000
VIF 2.3 1.1 2.2
R-Sq(adj) = 92.9%
R-Sq(pred) = 92.31%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source Pit-1 Pt-Pt-1 Pt-1
DF 1 1 1
DF 3 67 70
SS 276837291 20105821 296943112
MS 92279097 300087
F 307.51
P 0.000
Seq SS 272324929 421997 4090365
Unusual Observations Obs 17 25 35 37
Pit-1 7130 7835 9330 9330
Pit 8870.8 6195.0 9330.4 11900.0
Fit 7143.6 8044.8 9747.7 9928.9
SE Fit 80.8 76.9 330.7 175.4
Residual 1727.2 -1849.8 -417.4 1971.1
St Resid 3.19R -3.41R -0.96 X 3.80R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
Durbin-Watson statistic = 1.73787
Pit Pit-1
: Harga bulanan kakao di Sulawesi Tengah (Rp/kg) atau Pit : Harga bulanan kakao di Sulawesi Tengah periode sebelumnya (Rp/kg) atau Pit −1
Pt-Pt-1 : Perubahan harga bulanan kakao di dunia (SDR/ton) atau ( Pt − Pt −1 ) Pt-1
: Harga bulanan kakao di dunia (SDR/ton) atau Pt −1
80
Lampiran 10. Persamaan Regresi Integrasi Pasar Kakao Sulawesi Tenggara dan Dunia Regression Analysis: Pit versus Pit-1, Pt-Pt-1, Pt-1 The regression equation is Pit = - 334 + 0.815 Pit-1 + 2.87 Pt-Pt-1 + 1.73 Pt-1
71 cases used, 1 cases contain missing values
Predictor Constant Pit-1 Pt-Pt-1 Pt-1
Coef -333.9 0.81512 2.8744 1.7347
S = 580.318
SE Coef 287.8 0.05196 0.8821 0.4689
R-Sq = 94.3%
PRESS = 25603993
T -1.16 15.69 3.26 3.70
P 0.250 0.000 0.002 0.000
VIF 3.3 1.1 3.2
R-Sq(adj) = 94.1%
R-Sq(pred) = 93.56%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source Pit-1 Pt-Pt-1 Pt-1
DF 1 1 1
DF 3 67 70
SS 374937604 22563547 397501151
MS 124979201 336769
F 371.11
P 0.000
Seq SS 366664443 3663905 4609256
Unusual Observations Obs 25 35 40 46 49
Pit-1 4969 11333 11167 10167 8100
Pit 7600.0 10500.0 9750.0 8433.3 9333.3
Fit 5688.3 10914.1 11156.5 9595.9 8135.2
SE Fit 165.5 317.5 131.8 149.5 74.6
Residual 1911.7 -414.1 -1406.5 -1162.6 1198.1
St Resid 3.44R -0.85 X -2.49R -2.07R 2.08R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
Durbin-Watson statistic = 1.92187
Pit Pit-1
: Harga bulanan kakao di Sulawesi Tenggara (Rp/kg) atau Pit : Harga bulanan kakao di Sulawesi Tenggara periode sebelumnya (Rp/kg) atau Pit −1
Pt-Pt-1 : Perubahan harga bulanan kakao di dunia (SDR/ton) atau ( Pt − Pt −1 ) Pt-1
: Harga bulanan kakao di dunia (SDR/ton) atau Pt −1
81
Lampiran 11. Pengujian Integrasi Pasar antara Pasar Kakao di Sumatera Utara dan Dunia 1. Pengujian Segmentasi Pasar H o : b2 = 0
H 1 : b2 ≠ 0 b2 − 0 Se(b2 ) thit = 0.259 t hit =
t ∗ 71− 4,( 0, 05 / 2 ) = 1. 960 Karena t-hitung < t ∗ 71− 4,( 0, 05 / 2 ) , maka hipotesis nol diterima secara statistik pada taraf 5%. Hal ini berarti pasar kakao di Sumatera Utara tersegmentasi dengan pasar dunia.
2. Pengujian Integrasi Jangka Pendek H o : b2 = 1 H 1 : b2 ≠ 1
t hit =
b2 − 1 Se(b2 )
t hit = 1.140 t ∗ 71− 4,( 0, 05 / 2 ) = 1.960 Karena t hit < t ∗ 71− 4,( 0,05 / 2 ) , maka hipotesis nol diterima secara statistik pada taraf 5%.
82
Lanjutan Lampiran 11. Pengujian hipotesis lainnya: H o : (1 + b1 ) = 0 H 1 : (1 + b1 ) ≠ 0
t hit =
(1 + b1 ) − 0 Se(1 + b1 )
t-hit = 1.43 t ∗ 71− 4,( 0.05 / 2) = 1.960 Karena t-hit < t ∗ 71− 4,( 0, 05 / 2 ) , maka terima hipotesis nol. Berdasarkan hasil hipotesis untuk pengujian integrasi jangka pendek tersebut, karena kedua hipotesis tersebut diterima maka dapat disimpulkan bahwa pasar kakao di Sumatera Utara terintegrasi secara penuh dalam jangka pendek.
83
Lampiran 12. Pengujian Integrasi Pasar antara Pasar Kakao di Sulawesi Selatan dan Dunia 1. Pengujian Segmentasi Pasar H o : b2 = 0
H 1 : b2 ≠ 0 b2 − 0 Se(b2 ) thit = 4.06 t hit =
t ∗ 71− 4,( 0, 05 / 2 ) = 1.960 Karena t-hitung > t ∗ 71− 4,( 0, 05 / 2 ) , maka hipotesis nol ditolak secara statistik pada taraf nyata
5%. Hal ini berarti pasar kakao di Sulawesi Selatan tidak
tersegmentasi dengan pasar dunia.
2. Pengujian Integrasi Jangka Pendek H o : b2 = 1 H 1 : b2 ≠ 1
b2 − 1 Se(b2 ) t hit = 2.125
t hit =
t ∗ 71− 4,( 0, 05 / 2 ) = 1.960 Karena t hit > t ∗ 71− 4,( 0,05) , maka hipotesis nol ditolak secara statistik pada taraf 5%.
84
Lanjutan Lampiran 12. Pengujian hipotesis lainnya: H o : (1 + b1 ) = 0 H 1 : (1 + b1 ) ≠ 0
t hit =
(1 + b1 ) − 0 Se(1 + b1 )
t-hit = 2.965 t ∗ 71− 4,( 0, 05 / 2 ) = 1.960 Karena t-hit > t ∗ 71− 4,( 0, 05 / 2 ) , maka tolak hipotesis nol. Berdasarkan hasil hipotesis untuk pengujian integrasi jangka pendek tersebut, karena tidak ada kriteria hipotesis yang diterima maka pasar kakao di Sulawesi Selatan dapat dikatakan tidak terintegrasi dengan dunia.
85
Lampiran 13. Pengujian Integrasi Pasar antara Pasar Kakao di Sulawesi Tengah dan Dunia 1. Pengujian Segmentasi Pasar H o : b2 = 0
H 1 : b2 ≠ 0 b2 − 0 Se(b2 ) thit = 1.21 t hit =
t ∗ 71− 4,( 0, 05 / 2 ) = 1.960 Karena t-hitung < t ∗ 71− 4,( 0, 05 / 2 ) , maka hipotesis nol diterima secara statistik pada taraf nyata
5%. Hal ini berarti pasar kakao di Sulawesi Tengah
tersegmentasi dengan pasar dunia.
2. Pengujian Integrasi Jangka Pendek H o : b2 = 1 H 1 : b2 ≠ 1
b2 − 1 Se(b2 ) t hit = 0.012
t hit =
t ∗ 71− 4,( 0, 05 / 2 ) = 1.960 Karena t hit < t ∗ 71− 4,( 0,05) , maka hipotesis nol diterima secara statistik pada taraf 5%.
86
Lanjutan Lampiran 13. Pengujian hipotesis lainnya: H o : (1 + b1 ) = 0 H 1 : (1 + b1 ) ≠ 0
t hit =
(1 + b1 ) − 0 Se(1 + b1 )
t-hit = 3.69 t ∗ 71− 4,( 0, 05 / 2 ) = 1.960 Karena t-hit > t ∗ 71− 4,( 0, 05 / 2 ) , maka tolak hipotesis nol. Berdasarkan hasil hipotesis untuk pengujian integrasi jangka pendek tersebut, hanya ada satu kriteria hipotesis yang diterima maka pasar kakao di Sulawesi Tengah dapat dikatakan tidak secara penuh terintegrasi dengan dunia.
87
Lampiran 14. Pengujian Integrasi Pasar antara Pasar Kakao di Sulawesi Tenggara dan Dunia 1. Pengujian Segmentasi Pasar H o : b2 = 0
H 1 : b2 ≠ 0 b2 − 0 Se(b2 ) thit = 3.26 t hit =
t ∗ 71− 4,( 0, 05 / 2 ) = 1.960 Karena t-hitung > t ∗ 71− 4,( 0, 05 / 2 ) , maka hipotesis nol ditolak secara statistik pada taraf nyata
5%. Hal ini berarti pasar kakao di Sulawesi Tenggara tidak
tersegmentasi dengan pasar dunia.
2. Pengujian Integrasi Jangka Pendek H o : b2 = 1 H 1 : b2 ≠ 1
b2 − 1 Se(b2 ) t hit = 2.125
t hit =
t ∗ 71− 4,( 0, 05 / 2 ) = 1.960 Karena t hit > t ∗ 71− 4,( 0,05) , maka hipotesis nol ditolak secara statistik pada taraf 5%.
88
Lanjutan Lampiran 14. Pengujian hipotesis lainnya: H o : (1 + b1 ) = 0 H 1 : (1 + b1 ) ≠ 0
t hit =
(1 + b1 ) − 0 Se(1 + b1 )
t-hit = 3.70 t ∗ 71− 4,( 0, 05 / 2 ) = 1.960 Karena t-hit > t ∗ 71− 4,( 0, 05 / 2 ) , maka tolak hipotesis nol. Berdasarkan hasil hipotesis untuk pengujian integrasi jangka pendek tersebut, karena kedua kriteria hipotesis integrasi jangka pendek tersebut tidak ada yang diterima maka pasar kakao di Sulawesi Tenggara dapat dikatakan tidak terintegrasi dengan dunia.
89
Lampiran 15. Tataniaga Kakao Indonesia
Petani
Pedagang Pengumpul
Pedagang Antar Kota
Usaha Dagang
Pedagang Perantara
Bahan Baku Eksportir
Industri
Biji Kakao
Hasil Olahan C. Butter/Cake/Powder Cokelat
Konsumen Luar Negeri
Konsumen Dalam/Luar Negeri
Sumber: Asosiasi Kakao Indonesia (ASKINDO)
Pedagang Pengumpul