i ]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]] DAMPAK PERUBAHAN
FAKTOR EKONOMI TERHADAP KINERJA INDUSTRI KAKAO INDONESIA
WELDA YUNITA
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
ii
iii PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Dampak Perubahan Faktor Ekonomi terhadap Kinerja Industri Kakao Indonesia” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari skripsi saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Welda Yunita H44080009
iv
v
ABSTRAK WELDA YUNITA. Dampak Perubahan Faktor Ekonomi terhadap Kinerja Industri Kakao Indonesia. Dibimbing oleh BONAR M. SINAGA dan NIA K. HIDAYAT. Subsektor perkebunan mempunyai peranan yang penting dalam perekonomian Indonesia dan kakao adalah salah satu komoditas perkebunan yang berpotensi untuk dikembangkan. Indonesia memiliki produksi kakao yang besar, tetapi industri kakao di Indonesia belum berkembang dengan baik. Penelitian bertujuan untuk menganalisis (1) faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran, permintaan dan harga biji kakao di Indonesia, (2) dampak perubahan faktor ekonomi terhadap penawaran, permintaan, harga biji kakao dan produksi cocoa butter di Indonesia, dan (3) dampak perubahan faktor ekonomi terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen biji kakao di Indonesia. Data yang digunakan adalah data time series dari tahun 1990-2010, dianalisis secara kuantitatif menggunakan model ekonometrika dan diestimasi dengan metode 2SLS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa simulasi kebijakan pajak ekspor biji kakao sebesar 15 persen (Peraturan Menteri Keuangan No 67/PMK.011/2010) berdampak terhadap penurunan volume ekspor biji kakao di Indonesia tetapi belum meningkatkan produksi cocoa butter di Indonesia, namun dapat meningkatkan kesejahteraan bersih. Kebijakan subsidi pupuk dan kuota ekspor meningkatkan produksi cocoa butter dan menurunkan volume ekspor biji kakao, tetapi kebijakan berdampak pada menurunnya tingkat kesejahteraan bersih. Guna meningkatkan kesejahteraan nasional maka peraturan menteri keuangan No 67/PMK.011/2010 disarankan untuk diterapkan. Kata kunci: biji kakao, cocoa butter, pajak ekspor, industri
vi
ABSTRACT WELDA YUNITA. Impact of Economic Factor’s Change on the Performance of Indonesia’s Cocoa Industry. Supervised by BONAR M. SINAGA and NIA K. HIDAYAT. Estate crop subsector plays an important role in Indonesia’s economy and cocoa is one of the commodities which has the potential for development. Indonesia has abundant production of cocoa beans, however the cocoa industry has not been developed well. The objectives of research are to analyze; (1) the factors which influence supply, demand and price of cocoa beans in Indonesia; (2) the impact of economic factor’s change on supply, demand, price of cocoa beans and cocoa butter production in Indonesia; and (3) the impact of economic factor’s change on the welfare of producers and consumers of cocoa beans. The research used time series data from 1990 to 2010, analyzed quantitatively using econometric model and estimated using 2SLS method. The results show that simulation of cocoa beans of 15 percent export tax (Regulation of the Minister of Finance Number 67/PMK.011/2010), was able to decrease export volume of cocoa beans but did not work for boosting cocoa butter production but resulted in increase net welfare. Provision of fertilizer subsidies by 15 percent and export quota could increase cocoa butter production and decrease the export rates of cocoa beans as well. However it could not increase net welfare. Thus, in order to increase national welfare, it is recommended to immediately put the minister of finance regulation into practice. Key words: cocoa beans, cocoa butter, export tax ,industry
vii
DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR EKONOMI TERHADAP KINERJA INDUSTRI KAKAO INDONESIA
WELDA YUNITA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
viii
Judul Skripsi
: Dampak Perubahan Faktor Ekonomi terhadap Kinerja Industri
Nama
:Welda Yunita
NIM
: H44080009
Kakao Indonesia
Disetujui oleh
�� r--
Prof Dr Ir Bonar M Sinaga, MA
Diketahui oleh
Tanggal Lulus:
2 2 SEP 2014
Nia1<.umiawati Hidayat, SP, MSi Pembimbing II
Pembimbing I
x
xi
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih ialah Dampak Perubahan Faktor Ekonomi terhadap Kinerja Industri Kakao Indonesia. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Bonar M Sinaga, MA sebagai pembimbing pertama dan Ibu Nia K Hidayat, SP. MSi sebagai pembimbing kedua yang telah memberikan arahan dan pembekalan ilmu serta wawasan selama penyusunan skripsi. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Adi Hadianto, SP. MSi dan Ibu Nuva, SP. MSi selaku dosen penguji sidang yang telah memberikan kritik dan saran bagi kesempurnaan skripsi. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta (Ayahanda Ediy Nicholman dan Ibunda Gusniati), kakak (Endriyani), nenek (Nura’i), mak itam (Anizar), adek (Derli, Iga, dan Kristi) dan keponakan tersayang (Arkando Eka Febriansyah) yang senantiasa memberikan doa, perhatian, kasih sayang dan motivasi yang tak pernah putus kepada penulis. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS selaku dosen pemimbing akademik atas bimbingan dan nasehat selama penulis kuliah. Selanjutnya ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Hengki, Bapak Denny, dan Bapak Christian selaku pembina dan donatur beasiswa KSE yang tidak hanya memberikan bantuan finansial kepada penulis namun juga cinta kasih dan arahan selama penulis menjadi penerima beasiswa. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Agnes, Ibu Inge, Ibu Heidi dan Ibu Ruth selaku pembina dan donatur beasiswa PMD yang tidak hanya sekedar memberikan beasiswa namun telah menjadi orangtua kedua penulis selama menempuh kuliah di IPB. Selanjutnya ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman PMD (Diana, Deni, Osi, Kak Rifki, Kak Imam, Kak Ade), KSE IPB (Erna, Hendra, Rifki, Neneng), KSE UI (Eni, Ika), KSE ITB (Zain, Pandu), KSE UNPAD (Ade, Hani, Enang), KSE UGM (Martinus, Gofur, Findi, Elsya), KSE ITS (Sofyan,Wiwin, Tatik, Malta), KSE UNDIP (Laela, Eko), KSE UNUD (Made, Ari), KSE UNAND (Ririn, Yeni), KSE USU (Nova, Roy), KSE UNSRAT (Lidya), kostn Nahla (Leni, Rehan, Dian Marlina, Dian Fitria, Imma, Susan, Leli, Ayu, Eni, Hamda, Citra), teman PS (Dea, Ayu, Sausan, Agung, Indri, Ebes dan Yuri), teman-teman ESL 45 (Tika, Ninis, Udin, Esti, Windi, Sari, Asih, Gea, Wiwid, Yoppy) dan rekan-rekan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas kebersamaan, keceriaan dan dukungan yang diberikan selama ini. Semoga skripsi ini memberi manfaat bagi semua dan penulis sebagai proses pembelajaran.
Bogor, September 2014 Welda Yunita
xii
xiii
DAFTAR ISI Halaman
I.
II.
DAFTAR TABEL..........................................................................
xvi
DAFTAR GAMBAR .....................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................
xviii
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang .........................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah..................................................................
7
1.3. Tujuan Penelitian......................................................................
9
1.4. Manfaat Penelitian....................................................................
9
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ...........................
9
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kakao .......................................................................................
11
2.2. Kakao di Indonesia ...................................................................
12
2.3. Industri Pengolahan Kakao 2.3.1. Bahan Baku Industri Pengolahan kakao ......................... 2.3.2. Kondisi Industri Pengolahan Kakao Indonesia .............. 2.3.3. Kendala Industri Pengolahan Kakao ..............................
14 15 15
2.4. Penelitian Terdahulu 2.4.1. Penelitian Mengenai Perdagangan Biji Kakao ............... 2.4.2. Penelitian Mengenai Kebijakan Perdagangan ............... III.
IV.
16 22
KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Teori Harga .............................................................................
22
3.2. Konsep Perdagangan Internasional ........................................
24
3.3. Fungsi Produksi .......................................................................
27
3.4. Fungsi Permintaan ...................................................................
29
3.5. Kerangka Pemikiran Penelitian ...............................................
31
METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................
33
4.2. Jenis dan Sumber Data ............................................................
33
4.3. Metode Analisis Data ..............................................................
33
4.4. Model Kebijakan Perdagangan Kakao ....................................
35
xiv
V.
4.4.1. Luas Areal Tanam Biji Kakao Indonesia...................... 4.4.2. Produktivitas Biji Kakao Indonesia .............................. 4.4.3. Produksi Biji Kakao Indonesia ..................................... 4.4.4. Penawaran Biji Kakao Indonesia .................................. 4.4.5. Volume Impor Biji Kakao Indonesia ............................ 4.4.6. Volume Ekspor Biji Kakao Indonesia .......................... 4.4.7. Permintaan Total Biji Kakao Indonesia ........................ 4.4.8. Permintaan Biji Kakao oleh Industri Butter Indonesia . 4.4.9. Harga Biji Kakao Domestik.......................................... 4.4.10. Harga Ekspor Biji Kakao Indonesia ............................. 4.4.11. Produksi Cocoa Butter Indonesia .................................
35 36 36 36 37 37 38 38 39 39 40
4.5. Identifikasi Model ....................................................................
40
4.6. Metode Pendugaan Model.........................................................
42
4.7. Uji Kesesuaian Model ...............................................................
43
4.8. Uji Estimasi Variabel Secara Individu ......................................
43
4.9. Uji Autokorelasi ........................................................................
44
4.10. Surplus Konsumen dan Surplus Produsen ................................
45
4.11. Konsep Elastisitas .....................................................................
45
4.12. Validasi Model ..........................................................................
46
4.13. Simulasi model .........................................................................
47
4.14. Definisi Operasional..................................................................
49
GAMBARAN UMUM KERAGAAN KAKAO 5.1. Perkembangan Ekspor Biji Kakao Indonesia ...........................
51
5.2. Perkembangan Luas Areal Kakao Indonesia ............................
55
5.3. Perkembangan Produksi Kakao Indonesia ...............................
56
VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, PERMINTAAN, PENAWARAN DAN HARGA KAKAO DI INDONESIA 6.1. Keragaan Umum Hasi Estimasi Model Ekonometrika .............
57
6.1.1. Hasil Uji Autokorelasi ....................................................
58
6.2. Luas Areal Kakao Indonesia ....................................................
58
6.3. Produktivitas Kakao Indonesia ................................................
59
6.4.
Produksi Biji Kakao Indonesia ................................................
60
6.5. Penawaran Biji Kakao Indonesia .............................................
60
6.6.
Volume Impor Biji Kakao Indonesia .......................................
60
6.7.
Volume Ekspor Biji Kakao Indonesia .....................................
62
xv 6.8.
Permintaan Total Biji Kakao Indonesia .................................
63
6.9.
Permintaan Biji Kakao oleh Industri Cocoa Butter ..............
64
6.10. Harga Riil Biji Kakao Domestik ...........................................
65
6.11. Harga Ekspor Riil Biji Kakao Indonesia ...............................
65
6.12. Produksi Cocoa Butter Indonesia ..........................................
66
VII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR EKONOMI 7.1. Validasi Model ........................................................................ 7.2. Dampak Perubahan Faktor Ekonomi terhadap Penawaran, Permintaan, Harga Biji Kakao dan Produksi Cocoa Butter Indonesia 7.2.1. Dampak Penetapan Pajak Ekspor Biji Kakao Sebesar 15 Persen ..................................................................... 7.2.2. Dampak Penurunan Suku Bunga Kredit Sebesar 15 Persen ........................................................................ 7.2.3. Dampak Pemberian Subsidi Pupuk Sebesar 15 Persen 7.2.4. Dampak Peningkatan Harga Ekspor Biji Kakao Sebesar 15 Persen ...................................................... 7.2.5. Dampak Larangan Ekspor Biji Kakao Indonesia ....... 7.2.6. Dampak Pemberlakuan Kuota Ekspor Biji Kakao Indonesia Sebesar 75 Persen ...................................... 7.2.7. Dampak Peningkatan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar Sebesar 15 Persen ............................................ 7.2.8. Dampak Kombinasi Pajak Ekspor Biji Kakao 15 Persen dan Subsidi Pupuk 15 Persen ........................ 7.2.9. Dampak Kombinasi Kuota Ekspor Biji Kakao 75 Persen dan Subsidi Pupuk 15 Persen ........................ 7.2.10. Ringkasan Hasil Perubahan Faktor Ekonomi terhadap Penawaran, Permintaan, Harga Biji Kakao dan Produksi Cocoa Butter Indonesia............................... 7.3. Dampak Perubahan Faktor Ekonomi terhadap Kesejahteraan Produsen dan Konsumen Biji Kakao Indonesia ......................
67
68 69 70 71 72 73 74 75 76
77 80
VIII. SIMPULAN DAN SARAN 8.1. Simpulan..................................................................................
85
8.2. Saran ........................................................................................
86
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
89
LAMPIRAN ...............................................................................................
93
RIWAYAT HIDUP ...................................................................................
141
xvi DAFTAR TABEL No 1.
Halaman Nilai Neraca Perdagangan Pertanian Indonesia Menurut Sub Sektor Tahun 2010-2013 ................................................................
1
Nilai dan Volume Ekspor Komoditas Perkebunan Indonesia Tahun 2010-2013 ............................................................................
3
3.
Produksi Biji Kakao Dunia Tahun 2001-2010 ...............................
4
4.
Volume dan Nilai Ekspor Impor Biji Kakao Indonesia Tahun 2007-2011 ........................................................................................
4
5.
Konsumsi Biji Kakao Dunia Tahun 2001-2010 .............................
12
6.
Perkembangan Volume dan Nilai Impor Kakao Indonesia Tahun 2007-2011 ............................................................................
14
7.
Produksi Industri Pengolahan Kakao Indonesia Tahun 2010-2011
15
8.
Ringkasan Penelitian Terdahulu .....................................................
17
9.
Hasil Identifikasi Model dari Masing-masing Persamaan ...............
42
10.
Range Statistik Durbin Watson .......................................................
44
11.
Perkembangan Ekspor Cocoa Beans, Whole or Broken, Raw or Roasted Indonesia Tahun 2006-2010 .............................................
52
Perkembangan Nilai Ekspor Cocoa Beans,Whole or Broken, Raw or Roasted Indonesia Menurut Negara Tujuan Utama Tahun 2006-2010 .............................................................................
52
Perkembangan Volume Ekspor Cocoa Beans, Whole or Broken, Raw or Roasted Indonesia Menurut Negara Tujuan Utama Tahun 2006-2010 .............................................................................
53
14.
Perkembangan Volume Ekspor Kakao Indonesia Tahun 2007-2011
53
15.
Perkembangan Nilai Ekspor Kakao Indonesia Tahun 2007-2011..
54
16.
Luas Areal Tanam Kakao Indonesia Menurut Provinsi Tahun 2008- 2009 ............................................................................
56
17.
Produksi Kakao Indonesia Menurut Provinsi Tahun 2008-2009 ....
57
18.
Hasil Estimasi Parameter Luas Areal Biji Kakao Indonesia ...........
59
19.
Hasil Estimasi Parameter Produktifitas Biji Kakao Indonesia ........
60
20.
Hasil Estimasi Parameter Volume Impor Biji Kakao Indonesia .....
61
21.
Hasil Estimasi Parameter Volume Ekspor Biji Kakao Indonesia....
63
22.
Hasil Estimasi Parameter Permintaan Biji Kakao oleh Industri Cocoa Butter ....................................................................................
64
Hasil Estimasi Parameter Harga Biji Kakao Domestik ...................
65
2.
12.
13.
23.
xvii 24.
Hasil Estimasi Parameter Harga Ekspor Biji Kakao Indonesia ......
66
25.
Hasil Validasi Model Dampak Perubahan Faktor Ekonomi terhadap Kinerja Industri Kakao di Indonesia Tahun 2008-2010 ..................
67
Hasil Simulasi Penerapan Pajak Ekspor Biji Kakao Indonesia Sebesar 15 Persen ............................................................................
69
Hasil Simulasi Penurunan Suku Bunga Kredit Bank Persero Sebesar 15 Persen ............................................................................
70
28.
Hasil Simulasi Pemberian Subsidi Pupuk Sebesar 15 Persen .........
71
29.
Hasil Simulasi Peningkatan Harga Ekspor Biji Kakao Sebesar 15 Persen .........................................................................................
72
30.
Hasil Simulasi Larangan Ekspor Biji Kakao Indonesia ..................
73
31.
Hasil Simulasi Penetapan Kuota Ekspor Biji Kakao Sebesar 75 Persen ..............................................................................................
74
Hasil Simulasi Penguatan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar Sebesar 15 Persen ............................................................................
75
Hasil Simulasi Kombinasi Pajak Ekspor Biji Kakao Sebesar 15 Persen dan Pemberian Subsidi Pupuk Sebesar 15 Persen ...............
76
Hasil Simulasi Kombinasi Kuota Ekspor Biji Kakao Sebesar 75 Persen dan Pemberian Subsidi Pupuk Sebesar 15 Persen ...............
77
Ringkasan Hasil Perubahan Faktor Ekonomi terhadap Penawaran, Permintaan, Harga Biji Kakao dan Produksi Cocoa Butter Indonesia
79
Ringkasan Hasil Perubahan Faktor Ekonomi terhadap Kesejahteraan Produsen dan Konsumen Biji Kakao Indonesia ..............................
82
26. 27.
32. 33. 34. 35. 36.
DAFTAR GAMBAR No
Halaman
1.
Persentase Nilai Ekspor Kakao Olahan Indonesia Tahun 2009 ......
5
2.
Nilai Ekspor Kakao Olahan Negara Eksportir Tahun 2001-2011… .
6
3.
Proses Penetapan Peraturan Menteri Keuangan di Indonesia Tahun 2012 .....................................................................................
8
4.
Proses Terjadinya Perdagangan Internasional ................................
25
5.
Diagram Alur Pemikiran Penelitian ................................................
32
6.
Keterkaitan antar Variabel dalam Model Perdagangan Kakao di Indonesia ..........................................................................
34
xviii DAFTAR LAMPIRAN No 1.
Halaman Peraturan Pemerintah Terkait Penerapan Kebijakan Bea Keluar Biji Kakao ........................................................................................
95
2.
Sumber Data Awal yang Digunakan ...............................................
96
3.
Variabel Data yang Digunakan untuk Estimasi Model ...................
97
4.
Program Estimasi Parameter Model Perdagangan Kakao di Indonesia dengan Menggunakan Metode 2SLS ..............................
110
Hasil Estimasi Parameter Model Perdagangan Kakao di Indonesia dengan Menggunakan Metode 2SLS ...............................................
116
6.
Program Validasi Model Perdagangan Kakao.................................
123
7.
Hasil Validasi Model Perdagangan Kakao di Indonesia .................
129
8.
Program Simulasi Penerapan Kebijakan Pajak Ekspor Biji Kakao Sebesar 15 Persen ............................................................................
132
Contoh Hasil Simulasi Penerapan Kebijakan Pajak Ekspor Biji Kakao Sebesar 15 Persen .................................................................
138
5.
9.
1
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting bagi perekonomian Indonesia. Sektor pertanian di Indonesia menyumbang sekitar 1 311 037.30 miliar rupiah untuk nilai pendapatan Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga yang berlaku menurut lapangan usaha (Badan Pusat Statistik, 2014). Sektor pertanian terdiri dari subsektor perkebunan, subsektor hortikultura, subsektor peternakan, dan subsektor tanaman pangan. Diantara keempat subsektor tersebut, hanya subsektor perkebunan yang memiliki surplus neraca perdagangan (Tabel 1). Tabel 1.
Nilai Neraca Perdagangan Subsektor Tahun 2010-2013
Pertanian
Indonesia
Menurut
Tahun Subsektor
2010
2011
2013
2012
TW I
TW II
Nilai (US$ 000) 1.
Tanaman Pangan
Ekspor
477 708
584 861
150 705
31 602
32 853
Impor
3 893 840
7 023 936
6 306 808
1 116 501
1 557 943
Neraca
-3 416 131
-6 439 075
-6 156 103
-1 084 899
-1 525 089
390 740
491 304
504 538
91 218
98 795
2.
Hortikultura
Ekspor Impor
1 292 868
1 686 131
1 813 405
266 528
556 841
Neraca
-902 128
-1 194 827
-1 308 868
-175 310
-458 047
Ekspor
30 702 864
40 689 768
32 479 157
7 672 423
7 211 465
Impor
6 028 160
8 843 792
4 518 784
612 457
675 362
Neraca
24 674 704
31 845 976
27 960 373
7 059 965
6 536 103
951 662
1 599 071
556 527
134 054
135 989
Impor
2 768 339
3 044 801
2 698 100
530 489
802 963
Neraca
-1 816 677
-1 445 730
-2 141 573
-396 435
-666 974
Ekspor
32 522 975
43 365 004
33 690 927
7 929 297
7 479 102
Impor
13 983 207
20 598 660
15 337 098
2 525 976
3 593 109
Neraca
18 539 768
22 766 344
18 353 830
5 403 321
3 885 993
3.
4.
Perkebunan
Peternakan
Ekspor
Total (Pertanian)
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
Subsektor
perkebunan
memiliki
nilai
ekspor
yang
lebih
besar
dibandingkan nilai impornya, yang menjadikan nilai neraca perdagangan
2 subsektor perkebunan surplus dari tahun ke tahun. Subsektor perkebunan menyumbang ekspor lebih dari 96 persen terhadap total ekspor pertanian yaitu sebesar US$ 32.47 miliar dari total ekspor pertanian US$ 33.69 miliar (Badan Pusat Statistik, 2014). Pada tahun 2011 terjadi peningkatan nilai neraca perdagangan yang signifikan dari tahun sebelumnya sebesar US$ 7.2 miliar (Badan Pusat Statistik, 2014). Hal ini membuktikan bahwa subsektor perkebunan memiliki keunggulan pada sektor pertanian di Indonesia. Nilai dan volume ekspor komoditas perkebunan di Indonesia disajikan pada Tabel 2. Komoditas unggulan sektor perkebunan Indonesia diantaranya kelapa, karet, kelapa sawit, kopi, teh, lada, tembakau, kakao, cengkeh, kapas, tebu, pinang dan lainnya. Salah satu komoditas unggulan perkebunan yang berpotensi untuk dikembangkan adalah kakao. Kakao Indonesia merupakan komoditas utama perkebunan yang menyumbang devisa negara untuk ekspor hasil perkebunan. Nilai ekspor kakao Indonesia menempati urutan ketiga setelah kelapa sawit dan karet dengan total nilai ekspor sebesar US$ 1.64 miliar pada tahun 2010 (Badan Pusat Statistik, 2014). Hal
ini menunjukkan potensi dan peluang
komoditas kakao dalam perdagangan internasional. Kakao merupakan salah satu komoditas unggulan perkebunan yang mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Peran tersebut terwujud dalam bentuk penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Pada saat ini, sebagian besar produksi kakao Indonesia di ekspor dan hanya sebagian kecil saja yang dikonsumsi dalam negeri. Indonesia tercatat sebagai negara produsen biji kakao terbesar ketiga dunia setelah Pantai Gading dan Ghana (International Cocoa Organization, 2011). Volume ekspor biji kakao Indonesia memperlihatkan kecenderungan yang terus meningkat. Pada tahun 2008 volume ekspor biji kakao mencapai 380 512.9 ton, meningkat dibanding tahun 2007 yang mencapai 379 829.2 ton. Pada tahun 2009 volume ekspor biji kakao kembali meningkat menjadi 439 305.3 ton dari total produksi biji kakao nasional pada tahun 2009 sebesar 577 000 ton (Kementerian Perindustrian, 2012). Dengan demikian, pada tahun 2009 hampir 76 persen dari total produksi biji kakao Indonesia diekspor ke mancanegara.
3 Tabel 2.
Nilai dan Volume Ekspor Komoditas Perkebunan Indonesia Tahun 2010-2013 Tahun
Komoditas Kelapa Volume (Ton) Nilai (US$000) Karet Volume (Ton) Nilai (US$000) Kelapa Sawit Volume (Ton) Nilai (US$000) Kopi Volume (Ton) Nilai (US$000) The Volume (Ton) Nilai (US$000) Lada Volume (Ton) Nilai (US$000) Tembakau Volume (Ton) Nilai (US$000) Kakao Volume (Ton) Nilai (US$000) Cengkeh Volume (Ton) Nilai (US$000) Kapas Volume (Ton) Nilai (US$000) Tebu Volume (Ton) Nilai (US$000) Pinang Volume (Ton) Nilai (US$000) Lainnya Volume (Ton) Nilai (US$000)
2013
2010
2011
2012
1 045 960 703 239
1 200 206 1 189 240
1 519 353 1 192 334
383 775 238 454
288 529 159 796
2 420 716 7 470 112
2 638 382 11 969 058
2 444 438 7 861378
630 794 1 852 430
676 444 1 800 233
20 394 174 15 413 639
20 972 382 19 753 190
23 811 342 19 560 136
7 065 002 4 721 829
6 228 464 4 334 758
433 594 814 311
346 493 1 036 671
448 591 1 249 519
96 354 243 854
122 665 289 168
87 101 178 549
75 450 166 717
70 071 156 741
18 509 43 903
16 984 38 483
62 599 245 924
36 487 214 681
62 608 423 477
7 309 51 814
5 428 39 722
117 158 672 597
99 485 710 070
37 110 159 564
12 334 59 244
11 318 50 807
552 892 1 643 773
410 257 1 345 430
387 803 1 053 615
95 072 250 434
94 982 250 900
6 008 12 581
5 397 16 304
5 941 24 767
1 443 5 360
1 052 4 153
36 584 45 663
25 361 61 564
23 727 41 588
7 367 12 145
7 827 12 361
485 031 81 901
544 297 78 447
388 875 46 191
11 411 5 106
80 021 10 933
213 601 115 501
187 109 154 010
173 461 125 606
56 906 43 178
60 709 46 302
1 161 888 3 305 073
1 322 441 3 962 680
453 123 584 241
152 013 144 670
151 768 173 848
TW I
TW II
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
Meskipun ekspor biji kakao terus meningkat, ekspor tersebut sebagian besar masih dalam bentuk mentah. Kurang lebih 90 persen dari total ekspor biji kakao Indonesia masih dalam bentuk biji kakao yang belum difermentasi (Kementerian Perindustrian, 2012). Akibatnya harga ekspor biji kakao Indonesia selalu didiskon atau mendapat potongan harga karena harga biji kakao yang tercantum di terminal New York adalah harga untuk biji kakao yang telah difermentasi. Sementara itu, volume ekspor produk kakao olahan 95 885.80 ton masih relatif sangat kecil jika dibandingkan dengan volume ekspor biji kakao 439 305.3 ton (Kementerian Perindustrian, 2012).
4 Tabel 3. Produksi Biji Kakao Dunia Tahun 2001-2010 Produksi (000 Ton) Negara
2001/ 2002
2002/ 2003
2003/ 2004
2004/ 2005
2005/ 2006
2006/ 2007
2007/ 2008
2008/ 2009
2009/ 2010
AFRIKA Kamerun
1 952 131
2 232 160
2 550 166
2 375 185
2 642 166
2 391 166
2 692 185
2 519 227
2 458 190
Pantai Gading
1 265
1 352
1 407
1 286
1 408
1 292
1 382
1 222
1 242
Ghana
341
497
737
599
740
614
729
662
632
Nigeria
185
173
180
200
200
190
230
250
240
Lainnya
30
50
60
105
128
129
166
158
154
370 124
428 163
462 163
445 171
446 162
411 126
469 171
488 157
522 161
81
86
117
116
114
114
118
134
160
165
179
182
158
170
171
180
197
201
539 455
510 410
525 430
559 460
636 530
597 490
592 485
599 490
633 535
Lainnya 84 100 95 99 TOTAL 2 861 3 170 3 537 3 379 DUNIA Sumber: International Cocoa Organization, 2011
106
107
107
109
98
3 724
3 399
3 753
3 606
3 613
AMERIKA Brazil Ekuador Lainnya ASIA DAN OCEANIA Indonesia
Indonesia pernah berada di peringkat kedua sebagai negara penghasil biji kakao terbesar di dunia pada tahun 2001/2002, namun pada tahun berikutnya, Indonesia berada di peringkat ketiga (Tabel 3). Tingkat persaingan ekspor Indonesia dengan negara utama penghasil kakao lainnya sangat ketat, disebabkan kualitas biji kakao Indonesia masih rendah. Kualitas kakao Indonesia masih didominasi oleh biji kakao yang belum terfermentasi, biji dengan kadar kotoran yang tinggi, serta terkontaminasi serangga, jamur, atau mikotoksin sehingga kakao Indonesia dihargai paling rendah di pasar internasional, yang menyebabkan volume dan nilai ekspor kakao Indonesia fluktuatif dari tahun ke tahun. Volume dan nilai ekspor impor komoditas kakao Indonesia disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Volume dan Nilai Ekspor Impor Biji Kakao Indonesia Tahun 2007-2011 Tahun
Ekspor Volume (Ton)
Impor
Nilai (000 US $)
Volume(Ton)
Nilai (000 US$)
2007
379 829.2
622 600.4
19 655.4
3 922.3
2008
380 512.9
854 584.8
22 967.9
59 573.5
2009
439 305.3
1 087 484.6
27 230.0
76 312.4
2010
432 426.8
1 190 739.6
24 830.6
89 497.0
2011 210 066.9 614 496.3 Sumber: Kementerian Perindustrian, 2012
19 100.0
62 881.0
5 Fluktuasi perdagangan komoditas kakao di pasar internasional terlihat dari perkembangan volume dan nilai ekspor impor biji kakao Indonesia selama lima tahun terakhir. Pada tahun 2011 biji kakao menjadi komoditas unggulan dengan volume ekspor sebesar 210 066 ton dan nilai ekspor US$ 614 496.3 ribu (Kementerian Perindustrian, 2012). Sementara itu, Nilai ekspor kakao olahan yang disajikan pada Gambar 1 sebesar US$ 325 956.628 yang berasal dari cocoa butter, fat and oil sebesar US$ 230 055.963, cocoa powder, not contang added sugar or other sweetening matter sebesar US$ 45 207.673, chocolate confectionary in blocks, slab or bars, weighing > 2 kg sebesar US$ 17 540.817, cocoa paste, wholly or partly defatted sebesar US$ 14 645.172 dan lain-lain (Kementerian Perindustrian, 2012). Cocoa paste, wholly or partly defatted Chocolate confectionary in blocks, slab or bars, weighing > 2 kg
5% 2% 3% 4% 14%
Cocoa powder, not containing added sugar or other sweetening matter
Cocoa paste, not defatted Oth chocolate & oth food preparations cont. cocoa, weighing > 2 kg Cocoa butter, fat and oil
71%
Sumber: Kementerian Perindustrian, 2012.
Gambar 1. Persentase Nilai Ekspor Kakao Olahan Indonesia Tahun 2009 Jika dilihat dari persentase olahan kakao Indonesia, cocoa butter mendominasi produk olahan kakao yang di ekspor yaitu sebesar 71 persen dari total nilai ekspor kakao olahan Indonesia US$ 325 956.628 (Kementerian Perindustrian, 2012), sehingga dalam cocoa butter akan mewakili produk olahan kakao Indonesia. Indonesia sebagai negara yang memiliki kekayaan sumberdaya alam yang besar, memiliki peluang dan potensi untuk menciptakan sistem industrialisasi yang baik dengan cara mengembangkan potensi industri yang ada dan menghubungkan rantai produksi dari industri hulu ke industri hilir. Besarnya biji kakao yang dimiliki Indonesia belum mampu menjadikan Indonesia sebagai negara eksportir utama kakao olahan. Indonesia hanya berperan sebagai penyedia bahan baku bagi industri hilir kakao (cokelat) di luar negeri. Industri hilir cokelat justru berkembang di negara-negara yang relatif tidak memiliki sumber bahan
6 baku biji kakao seperti Netherland, Malaysia, Perancis dan Jerman (International Trade Centre, 2012). Posisi Indonesia masih jauh berada dibawah Malaysia untuk kategori eksportir olahan kakao padahal produksi dan luas areal tanam kakao Malaysia jauh lebih kecil dibanding Indonesia (International Trade Centre, 2012). Perkembangan nilai ekspor kakao olahan oleh negara eksportir utama tahun 20102011 disajikan pada Gambar 2. Nilai Ekspor ($US 000)
800000 Netherlands
600000
Malaysia 400000
Perancis
200000
Jerman Indonesia
0 2010
2011 Tahun
Sumber: International Trade Centre, 2012
Gambar 2. Nilai Ekspor Kakao Olahan Negara Eksportir Utama Tahun 2010-2011 Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan industri
hilir
pengolahan
kakao.
Untuk
itu
pemerintah
mengadakan
pengembangan industri hilir kakao nasional. Diharapkan Indonesia akan mampu meningkatkan perolehan nilai tambah di dalam negeri yang nantinya akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan meningkatkan perolehan devisa dari kegiatan ekspor produk olahan biji kakao. Sebelumnya,
ada
beberapa
kebijakan
yang
kurang
mendukung
upaya
pengembangan industri hilir kakao dalam negeri sehingga industri hilir kakao nasional kurang berkembang, diantaranya adalah Undang-Undang No. 18 Tahun 2000 tentang PPN atas komoditas primer. Pengenaan PPN sebesar 10 persen mengakibatkan beralihnya biji kakao yang semula diolah di dalam negeri menjadi diekspor dalam bentuk biji. Sebagai akibatnya, pasokan bahan baku untuk perusahaan pengolahan biji kakao dalam negeri berkurang. Dalam rangka mengembangkan industri pengolahan kakao, pada tahun 2010 pemerintah mengeluarkan kebijakan pajak ekspor, atau lebih dikenal dengan kebijakan Bea Keluar (BK). Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan
7 (PMK) No 67/PMK.011/2010 tentang penetapan barang ekspor yang dikenakan BK dan Tarif BK. Peraturan tersebut diterapkan secara progresif. Besaran tarif BK dan harga patokan ekspor biji kakao ditentukan berdasarkan harga referensi biji kakao. Harga referensi yang dimaksud adalah harga rata-rata internasional yang berpedoman pada harga rata-rata CIF terminal New York. Besaran harga referensi dan Harga Patokan Ekspor (HPE) ditetapkan setiap bulan oleh menteri perdagangan. 1.2
Perumusan Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki produksi biji kakao yang besar. Pada tahun 2010, produksi biji kakao Indonesia mencapai 600 000 ton. Akan tetapi besarnya biji kakao Indonesia belum dapat dimanfaatkan dengan baik oleh industri pengolahan kakao nasional. Sebanyak 72 persen nya di ekspor dalam bentuk mentahannya (berupa biji) yaitu sebanyak 432 427 ton, hanya sebagian kecil yang diekspor dalam bentuk kakao olahan dan cokelat olahan yang masing-masing sebanyak 103 055 ton dan 11 764 ton dan bahan baku industri kakao dan cokelat juga berasal dari biji kakao impor sebanyak 24 831 ton (Kementerian Perindustrian, 2011). Upaya pengembangan industri pengolahan kakao sudah dilakukan pemerintah sejak awal tahun 2000. Namun baru pada akhir tahun 2010 terbit kebijakan-kebijakan pro industri pengolahan kakao, seperti dihapuskannya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di tahun 2007 untuk perdagangan biji kakao dalam negeri, dan diterapkannya kebijakan pajak ekspor yang kemudian disebut dengan kebijakan BK pada tahun 2010 (Kementerian Perindustrian, 2011). Penghapusan PPN yang besarnya sepuluh persen dimaksudkan untuk memperlancar pasokan biji kakao kepada industri pengolahan kakao dalam negeri, sedangkan kebijakan BK ditujukan untuk menghambat ekspor biji kakao dan mendorong pasokan biji kakao untuk industri domestik. Kebijakan penghapusan PPN sepuluh persen pada tahun 2007 belum mampu menciptakan iklim usaha industri pengolahan kakao yang kondusif. Selanjutnya pada 1 April 2010 pemerintah secara resmi menerapkan kebijakan BK secara progresif terhadap ekspor biji kakao melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 67/PMK.011/2010 tentang penetapan barang ekspor yang dikenakan BK dan tarif BK. Secara umum, pengambilan
8 keputusan penetapan tarif BK dilakukan melalui koordinasi antar instansi terkait seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan. PMK ditetapkan oleh tim penentuan tarif atas dasar masukan beberapa pelaku pasar dan tim ahli dari instansi terkait. Proses penetapan PMK disajikan pada Gambar 3. PMK
Terbitkan
Draft PMK
Menteri Keuangan
Biro Hukum Kementerian Keuangan
Kajian Draft Draft dan Kajian
Pendapat Pendapat
Pelaku Pasar
Tim Tarif Koordinasi Koordinasi Koordinasi
Kementerian Pertanian
Kementerian Perindustrian
Kementerian Perdagangan
Sumber: Kementerian Keuangan, 2012
Gambar 3. Proses Penetapan Peraturan Menteri Keuangan di Indonesia Tahun 2012 PMK tersebut menjelaskan bahwa untuk harga referensi biji kakao sampai dengan US$ 2 000 per ton, maka tarif BK yang berlaku adalah sebesar nol persen. Harga referensi di atas US$ 2 000 sampai dengan US$ 2 750 per ton, maka tarif BK yang berlaku adalah sebesar lima persen. Harga referensi di atas US$ 2 750 sampai dengan US$ 3 500 per ton, maka tarif BK yang berlaku adalah sebesar sepuluh persen. Harga referensi di atas US$ 3 500 per ton, maka tarif BK yang berlaku adalah sebesar 15 persen. Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan penelitian adalah: 1.
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penawaran, permintaan, dan harga biji kakao di Indonesia?
2.
Bagaimana dampak perubahan faktor ekonomi terhadap penawaran, permintaan, harga biji kakao dan produksi cocoa butter di Indonesia?
3.
Bagaimana dampak perubahan faktor ekonomi terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen biji kakao di Indonesia?
9 1.3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian bertujuan untuk: 1.
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran, permintaan, dan harga biji kakao di Indonesia.
2.
Menganalisis dampak perubahan faktor ekonomi terhadap penawaran, permintaan, harga biji kakao dan produksi cocoa butter di Indonesia.
3.
Menganalisis dampak perubahan faktor ekonomi terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen biji kakao di Indonesia. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai
pihak. Bagi Pemerintah, penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran tentang efektivitas kebijakan pajak ekspor biji kakao yang telah dirumuskan dan diterapkan sehingga dapat merumuskan serta menerapkan kebijakan yang tepat dan bermanfaat bagi pelaku ekonomi baik produsen maupun konsumen domestik. Bagi masyarakat umum, penelitian diharapkan dapat menambah wawasan mengenai ekspor hasil pertanian khususnya biji kakao di Indonesia terhadap pasar Internasional. Bagi
akademisi, penelitian diharapkan dapat memberikan ilmu
pengetahuan yang lebih beranekaragam. Bagi penulis selanjutnya, penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dan bahan pertimbangan dengan topik penelitian yang serupa mengenai ekspor hasil pertanian di subsektor perkebunan khususnya biji kakao. 1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian mengambil permasalahan yang ada pada perekonomian nasional di Indonesia yang berkaitan dengan pertumbuhan makroekonomi yaitu ekspor komoditas unggulan di sektor pertanian yaitu subsektor perkebunan. Komoditas subsektor perkebunan yang dimaksudkan adalah kakao yaitu biji kakao. Periode amatan yang dilakukan dalam penelitian adalah tahun 1990 sampai dengan tahun 2010, dimaksudkan agar dapat menganalisis faktor-faktor apa saja yang mampu menjelaskan perubahan penawaran, permintaan, dan harga biji kakao di Indonesia dan dampak terhadap kinerja industri kakao dalam negeri. Kinerja industri kakao yang dimaksud adalah semua endogenous variable yaitu
10 penawaran, permintaan, harga, produksi, ekspor, impor, dan harga ekspor biji kakao serta produksi cocoa butter Indonesia. Istilah industri dipandang sebagai suatu sistem secara keseluruhan, yang meliputi dari penanaman kakao hingga ke proses olahan setengah jadi yaitu hingga diolah menjadi cocoa butter. Keterbatasan penelitian adalah tidak dibedakannya kualitas biji kakao. Di sisi lain, bentuk pengusahaan tidak dibedakan antara perkebunan besar negara, perkebunan besar swasta dan perkebunan besar rakyat karena diuraikan kepada total luas areal, total produksi dan total ekspor dari ketiga bentuk pengusahaan perkebunan tersebut. Produk olahan kakao hanya dikhususkan untuk produk setengah jadi yaitu cocoa butter karena cocoa butter merupakan produk olahan kakao yang dapat mewakili total keseluruhan produk olahan kakao oleh industri, karena berdasarkan data Kementerian Perindustrian 2012, cocoa butter merupakan produk olahan yang memberikan kontribusi terbesar dalam total nilai ekspor produk olahan kakao Indonesia yaitu sebesar 71 persen. Harga domestik cocoa butter tidak tersedia sehingga didekati dengan harga ekspor. Penelitian bukan bertujuan menguji efektifitas kebijakan pajak ekspor biji kakao yang ditetapkan oleh pemerintah. Penulis hanya melakukan simulasi jika kebijakan pajak ekspor biji kakao ditetapkan sehingga hanya melihat dan menfokuskan perhatian kepada besar kecilnya perubahan yang terjadi pada harga, permintaan, dan penawaran biji kakao serta cocoa butter Indonesia.
11
II. TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Kakao Tanaman kakao pertama kali dibudidayakan dan dimanfaatkan oleh Suku Indian Maya dan Suku Astek (Aztec) sebagai bahan makanan dan minuman cokelat. Suku Maya dahulu hidup di daerah yang sekarang disebut Guatemala, Yucatan, dan Honduras (Amerika Tengah). Oleh karena itu, berdasarkan penelusuran sejarah menunjukkan bahwa tanaman kakao berasal dari hutan-hutan tropis di Amerika Tengah dan di bagian utara Amerika Selatan. Seiring penaklukan Suku Maya oleh Suku Astek, maka Suku Astek lebih dikenal sebagai penanam dan pembudidaya tanaman kakao oleh Bangsa Spanyol yang datang pada tahun 1519. Kemudian pada tahun 1525, masyarakat Spanyol tercatat sebagai penanam pertama kakao di Trinidad. Pengenalan kakao terus berkembang hingga ke Eropa pada tahun 1528. Rasa olahan kakao sebagai cokelat yang lezat membuat komoditas
menjadi
terkenal sebagai produk makanan dan minuman baru di Spanyol. Hingga pada awal tahun 1550 pengenalan kakao semakin meluas hingga ke seluruh daratan Eropa. Beberapa pabrik pengolahan kakao mulai berdiri di daerah Lisbon (Portugal), Genoa, Turin (Italia), dan Marseilles (Perancis). Negara lain yang tercatat sebagai perintis penanaman kakao adalah Belanda, khususnya untuk penanaman kakao di Asia. Kakao semakin terkenal setelah ditemukan cara baru pengolahannya seperti inovasi baru yang dipopulerkan oleh C.J Van Houten sekitar tahun 1828 di Belanda. Inovasi tersebut berupa alat untuk mengekstrak biji kakao menjadi lemak cokelat (cocoa butter) atau bubuk cokelat (cocoa powder). Sejak saat itu perdagangan biji kakao di Amerika dan Eropa berkembang sangat pesat. Produsen kakao terbesar di dunia berada di Pantai Gading (Ivory Coast), kemudian diikuti oleh Ghana dan Indonesia, dengan produksi masing-masing sebesar 40 persen, 19 persen, dan 11 persen dari total produksi dunia. Ketiga negara produsen terbesar kakao menghasilkan tujuh persen produksi kakao dunia dan sisanya dihasilkan oleh negara-negara lain. Konsumsi kakao dunia didominasi oleh negara-negara Eropa, Amerika Serikat, atau negara-negara industri dengan pendapatan per kapita
12 jauh di atas US$ 1 000. Negara-negara maju dengan tingkat pendapatan tinggi merupakan pengolah dan konsumen dari produk-produk berbasis kakao. Pada tahun 2008/2009 negara-negara di Eropa mengkonsumsi sekitar 41 persen dari total konsumsi kakao dunia, sementara negara di benua Amerika sekitar 22 persen, diikuti negara-negara di Asia 18 persen, dan Afrika 17 persen. Perbandingan konsumsi kakao antar negara disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Konsumsi Biji Kakao Dunia Tahun 2001-2010 2001/ 2002
2002/ 2003
2003/ 2004
2004/ 2005
2005/ 2006
2006/ 2007
2007/ 2008
2008/ 2009
000 Ton 2009/ 2010
EROPA Jerman
1 282
1 320
1 348
1 379
1 456
1 541
1 551
1 446
1 499
195
193
225
235
306
357
385
342
361
Belanda
418
450
445
460
455
465
490
440
470
Lainnya
669
677
678
684
695
719
676
664
668
AFRIKA Pantai Gading
422
446
464
501
485
515
564
622
660
290
315
335
364
336
336
374
419
400
Lainnya
132
131
129
137
149
179
190
203
260
AMERIKA Brazil
758
814
852
853
881
854
831
773
813
173
196
207
209
223
224
232
216
226
Amerika Serikat
403
410
410
419
432
418
391
361
382
Lainnya ASIA DAN OCEANIA Indonesia
182
208
235
225
226
212
208
196
205
413
499
575
622
698
609
804
650
687
105
115
120
115
140
140
160
120
120
Malaysia
105
150
203
249
267
270
331
278
298
Lainnya 203 234 252 258 TOTAL 2 875 3 079 3 239 3 355 DUNIA Sumber: International Cocoa Organization, 2011
291
289
313
252
269
3 520
3 609
3 750
3 491
3 659
Negara
2.2
Kakao di Indonesia
Kakao di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh bangsa Spanyol pada tahun 1560 di Minahasa, Sulawesi. Indonesia mengekspor kakao diawali dari pelabuhan Manado ke Manila dengan jumlah ekspor sekitar 92 ton pada tahun 1825-1828. Ekspor Indonesia sempat terhenti setelah tahun 1828 karena serangan hama pada tanaman kakao. Penyebaran tanaman kakao di Jawa baru dimulai sekitar tahun 1880. Percobaan penanaman kakao dilakukan di perkebunan kopi milik orang Belanda di Jawa Tengah dan Jawa Timur, karena pada saat itu tanaman kopi Arabika mengalami kerusakan akibat terserang penyakit karat daun. Jenis kakao yang banyak dibudidayakan adalah jenis Criollo, Forastero, dan Trtiaro yang berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Jenis Criollo
13 menghasilkan biji kakao bermutu sangat baik dan dikenal sebagai kakao mulia, fine flavor cocoa, choiced cocoa, atau edel cocoa. Jenis Forastero menghasilkan biji kakao bermutu menengah dan dikenal sebagai ordinary coco atau bulk cocoa. Jenis Trtiaro yang merupakan hibrida alami dari Criollo dan Forastero sehingga menghasilkan biji kakao yang dapat termasuk fine flavor cocoa atau bulk cocoa. Jenis Tritiaro yang banyak ditanam di Indonesia adalah Hibrid Djati Runggo (DR) dan Uppertimazone Hybrida atau yang biasa disebut dengan kakao lindak (Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian, 2011). Pengusahaan perkebunan kakao di Indonesia lebih banyak dilakukan oleh perkebunan rakyat dan sisanya adalah produksi dari perkebunan swasta dan perkebunan pemerintah. Pada tahun 2011 luas areal perkebunan rakyat mencapai 1.60 juta ha diikuti luas areal perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta masing-masing sebesar 54 ribu ha dan 50 ribu ha. Sementara itu, produksi kakao di seluruh Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan bertambahnya luas areal lahan kakao. Produksi kakao diprediksi mencapai 903.09 ton pada tahun 2011. Produksi kakao Indonesia masih sangat berpeluang untuk terus ditingkatkan, dilihat dari ketersediaan lahan perkebunan kakao Indonesia yang cukup luas (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2011). Sebagian besar produksi kakao Indonesia sebesar 96 persen adalah biji yang belum difermentasi (unfermented beans) dan umumnya di ekspor belum dalam bentuk olahan, yaitu masih dalam bentuk biji (beans). Padahal sebagian besar permintaan impor dari negara Uni Eropa adalah biji kakao yang telah difermentasi untuk dijadikan produk cokelat olahan. Sedangkan ekspor kakao unfermented dari Indonesia yang masuk ke Malaysia dan Singapura akan diolah untuk dijadikan kakao fermentasi dan menjual hasil olahan tersebut dengan harga yang berlipat. Kondisi
terjadi akibat keterbatasan pengetahuan yang dimiliki
petani dan kebutuhan ekonomi yang seringkali memaksa petani menjual kakao hasil panen mereka dalam bentuk biji yang tidak terfermentasi karena petani sangat membutuhkan bantuan dan dukungan untuk menghasilkan nilai tambah dengan hasil panen yang difermentasi terlebih dahulu. Upaya untuk mencegah berkurangnya keuntungan para petani misalnya dengan cara memberikan penyuluhan dan bimbingan teknis. Kebutuhan kakao untuk industri kakao
14 nasional masih belum tercukupi sehingga tidak heran bila Indonesia masih harus mengimpor biji kakao untuk kepentingan bahan baku industri. Volume dan nilai impor kakao Indonesia disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Perkembangan Volume dan Nilai Impor Kakao Indonesia Tahun 2007-2011 Impor
Tahun
Volume (Ton)
Nilai (000 US$)
2007
19 655.40
39 221.30
2008
22 967.90
59 573.50
2009
27 230.00
76 312.40
2010
24 830.60
89 497.00
2011 19 100.00 Sumber: Kementerian Perindustrian, 2012
62 881.00
2.3
Industri Pengolahan kakao
2.3.1 Bahan Baku Industri Pengolahan kakao Industri pengolahan kakao menggunakan biji kakao sebagai bahan baku utama dalam proses produksinya. Biji kakao pada umumnya digunakan oleh industri pengolahan kakao Indonesia untuk dijadikan produk olahan setengah jadi atau makanan cokelat jadi yang kemudian dikonsumsi lansung oleh konsumen atau sebagai bahan baku bagi beberapa industri makanan dan minuman. Biji kakao yang baik untuk diolah adalah biji kakao yang telah melewati tahap fermentasi, karena pada tahap fermentasi bertujuan untuk membebaskan biji kakao dari pulp dan untuk memperbaiki dan membentuk citarasa cokelat yang enak dan menyenangkan serta mengurangi rasa sepat dan pahit pada biji (Widyotomo et al, 2004). Pangsa produksi Indonesia pada tahun 2007 menempati posisi ketiga di dunia dengan nilai sebesar 15.68 persen. Suatu potensi untuk dapat mengembangkan industri pengolahan nasional. Akan tetapi kualitas biji kakao Indonesia pada umumnya masih rendah, karena biji kakao Indonesia tidak melewati tahap fermentasi terlebih dahulu, walaupun demikian biji kakao Indonesia tetap diminati di beberapa negara. Biji kakao Indonesia yang dijual dengan kualitas rendah (tanpa fermentasi) dikenakan potongan harga oleh negara pengimpor seperti kebijakan automatic detention yang diberlakukan USA terhadap komoditas biji kakao Indonesia.
15 2.3.2 Kondisi Industri Pengolahan Kakao Indonesia Indonesia merupakan negara yang memiliki biji kakao yang besar, tetapi industri pengolahan kakao di Indonesia belum berkembang dengan baik. Produksi industry pengolahan kakao Indonesia disajikan pada Tabel 7. Perusahaan General Food Industries merupakan perusahaan yang memiliki kapasitas produksi terbesar yaitu 80 000 ton pada tahun 2010 dan meningkat menjadi 100 000 ton pada tahun 2011. Tabel 7. Produksi Industri Pengolahan Kakao Indonesia Tahun 2010-2011 No 1
2010
Perusahaan (PT)
2011
Kapasitas
Produksi
%
Kapasitas
Produksi
%
80 000
66 055
83
100 000
70 000
70
48 000
37 000
96 000
85 000
89
7 000
7 000
77 10 0
14 000
14 000
100
0
0
0
85 000
50 000
59
15 000
8 000
53
24 500
8 000
33
2
General Food Industries Bumi Tangerang Mesindotama
3
Cocoa Ventures Indonesia
4
Asia Cocoa Indonesia
5
Teja Sekawan
6
Kakao Mas Gemilang
375
205
55
450
275
61
7
Mas Ganda
5 000
4 860
97
5 000
5 000
100
8
Tri Keeson Utama
7 800
6 300
81
7 800
7 200
92
9
Symbioscience Indonesia
17 000
15 000
88
17 000
15 000
88
10 11
Budidaya Kakao Lestari Jaya Makmur Hasta
15 000 15 000
0 0
0 0
15 000 15 000
5 000 5 000
33 33
12
Unicom Kakao Makmur
10 000
3 000
30
10 000
7 000
70
13
140 000
55 000
39
140 000
110 000
79
14
Davomas Abadi Maju Bersama Cocoa Industries
20 000
6 500
33
20 000
15 000
75
15
Poleco Indonesia
4 000
3 000
75
4 000
4 000
100
16 Kopi Jaya Cocoa 24 000 17 Industri Kakao Utama 25 000 Total Industri Pengolahan Kakao 433 175 Sumber: Kementerian Perindustrian, 2011
0 0 211 920
0 0 49
24 000 25 000 602 750
3 000 0 403 475
13 0 67
Kapasitas produksi yang besar tersebut ternyata tidak termanfaatkan dengan maksimal, hanya berproduksi sebanyak 66 055 ton pada tahun 2010 atau berkisar 83 persen dan kinerja menurun pada tahun 2011 sebesar 70 persen, disebabkan oleh kurangnya pasokan biji kakao dalam proses produksi. 2.3.3
Kendala Industri Pengolahan Kakao Industri pengolahan kakao di Indonesia sulit untuk berkembang, padahal
Indonesia merupakan negara yang memiliki biji kakao yang besar. Disebabkan beberapa kendala yang menghambat proses produksi industri pengolahan kakao
16 Indonesia. Beberapa kendala tersebut adalah infrastruktur yang terbatas, ketersediaan dan kemudahan akses terhadap sumber permodalan, serta kualitas biji kakao yang masih rendah. Di Indonesia pembangunan infrastruktur belum bisa sepenuhnya mendukung
industri
pengolahan
kakao,
seperti
sarana
dan
prasarana
penyimpanan, pengangkutan, transportasi, dan telekomunikasi. Akses permodalan yang sulit didapat oleh para pelaku agribisnis kakao membuat mereka sulit untuk mengembangkan usahanya sampai ke tahap industri. Selain itu, kualitas biji kakao sebagai bahan baku industri pengolahan kakao masih belum cukup baik karena biji kakao yang diproduksi di Indonesia belum melalui tahap fermentasi. 2.4 Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian yang dapat dijadikan referensi antara lain penelitian Lolowang (1999), Rahmanu (2009), Jamaludin (2005), Sukmananto (2007), Nurdiyani (2007), Hastuti (2012), Hidayat (2012), Arsyad, Sinaga dan Yusuf (2011). Hasil penelitian tersebut disajikan pada Tabel 8. 2.4.1
Penelitian mengenai Perdagangan Biji Kakao Lolowang (1999) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Penawaran
dan Permintaan Kakao Indonesia di Pasar Domestik dan Internasional, menyatakan bahwa ekspor kakao Indonesia ke Amerika Serikat, Singapura, dan Jerman dalam jangka pendek tidak responsif terhadap harga kakao dunia, harga ekspor cocoa butter, produksi kakao Indonesia, nilai tukar rupiah dan tingkat suku bunga. Dalam jangka panjang hanya ekspor ke Amerika Serikat yang responsif terhadap produksi kakao Indonesia sedangkan ke Singapura dan Jerman tidak responsif terhadap semua faktor penjelas (Tabel 8). Rahmanu (2009) melakukan penelitian yang berjudul Analisis Daya Saing Industri Pengolahan dan Hasil Olahan Kakao Indonesia, menggunakan metode Revealed Comparative Advantage (RCA, metode Porter’s Diamond dan metode Ordinary Least Square (OLS) (Tabel 8).
17
Tabel 8. Ringkasan Penelitian Terdahulu No 1
2
Peneliti dan Judul Tujuan Penelitian Muhammad Arsyad, B. M. 1. Menganalisis faktor-faktor Sinaga, dan S. Yusuf yang mempengaruhi (2011), Analisis Dampak ekpsor kakao Indonesia Kebijakan Pajak Ekspor 2. Menganalisis dampak dan Subsidi Harga Pupuk rencana pemberlakuan terhadap Produksi dan pajak ekspor dan subsidi Ekspor Kakao Indonesia harga pupuk terhadap Pasca Putaran Uruguay produksi dan ekspor kakao pasca putaran uruguay
Nia Kurniawati Hidayat (2012), Dampak Perubahan Harga Beras Dunia terhadap Kesejahteraan Masyarakat Indonesia pada Berbagai Kondisi Transimi Harga dan Kebijakan Domestik
1. Menganalisis transmisi harga beras dan integrasi pasar dari pasar dunia ke pasar domestik 2. Menganalisis dampak perubahan harga beras dunia terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen pada berbagai skenario derajat transmisi harga spasial 3. Menganalisis dampak perubahan harga beras dunia dan kebijakan domestik (harga pokok pembelian, tarif impor, dan kuota impor beras)
Metode Penelitian Model persamaan simultan dengan metode pendugaan Two-Stages Least Square
Hasil Penelitian Faktor-faktor yang secara potensial mempengaruhi ekspor kakao Indonesia adalah harga ekspor kakao Indonesia, pertumbuhan produksi kakao, nilai tukar rupiah, dan trend waktu. Rencana pemberlakuan pajak ekspor berdampak negatif terhadap produksi dan ekspor kakao Indonesia pasca Putaran Uruguay, sementara rencana kebijakan pemberian subsidi harga pupuk berdampak positif terhadap peningkatan produksi dan ekspor kakao Indonesia. Implikasinya adalah bahwa kebijakan subsidi harga pupuk masih dapat diharapkan sebagai strategi kunci untuk memacu produksi dan ekspor kakao Indonesia Model persamaan Kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) simultan dengan metode efektif dalam menstabilkan harga beras domestik Two-Stages Least dan melindungi petani. Kenaikan HPP dapat Squares. meningkatkan kesejahteraan petani meskipun konsumen dirugikan dan penerimaan pemerintah berkurang. Begitu pula dengan kenaikan tarif impor 10 persen, namun kenaikan belum mampu melindungi petani dari penurunan harga dunia. Sedangkan kebijakan penetapan kuota impor 1.57 juta ton dapat menurunkan kesejahteraan petani, namun konsumen diuntungkan.
17
No
3
18
18
Peneliti dan Judul
Hastuti (2012), Dampak 1. Kebijakan Tarif dan Kuota Impor terhadap Penawaran dan Permintaan Gandum dan Tepung Terigu di Indonesia 2.
3.
4.
Tujuan Penelitian terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen. Mengidentifikasi faktor faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan gandum dan tepung terigu dipasar dunia dan domestik. Mengevaluasi dampak kebijakan tarif dan kuota impor terhadap penawaran dan permintaan gandum dan tepung terigu di pasar dunia dan domestik. Mengevaluasi kebijakan tarif dan kuota impor gandum dan tepung terigu terhadap kesejahteraan konsumen gandum, produsen dan konsumen tepung terigu, dan industri pengguna tepung terigu di Indonesia. Merumuskan kebijakan tarif dan kuota impor gandum dan tepung terigu yang terbaik bagi kesejahteraan masyarakat di Indonesia.
Metode Penelitian
Model persamaan simultan dengan metode pendugaan Two-Stages Least Square
Hasil Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan tarif lebih efektif diterapkan daripada kebijakan kuota. karena kebijakan tarif menciptakan penerimaan pemerintah dari tarif impor, sehingga mendorong meningkatkan kesejahteraan bersih masyarakat. Kebijakan perdagangan (tarif dan kuota) impor gandum lebih responsif dibandingkan dengan tepung terigu. karena besarnya impor gandum di Indonesia dibandingkan dengan impor tepung terigu di Indonesia. Berdasarkan hasil simulasi yang telah dilakukan, simulasi kebijakan pengenaan tarif impor gandum di Indonesia sebesar lima persen merupakan simulasi yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat terbesar. Meskipun kebijakan menurunkan surplus industri pengguna tepung terigu, dikarenakan tingginya harga tepung terigu, namun dapat dikompensasi dengan besarnya peningkatan surplus industri tepung terigu. Simulasi kebijakan yang meningkatkan surplus industri pengguna tepung terigu terbesar adalah simulasi peningkatan kuota impor gandum Indonesia sebesar 10 persen.
19
No 4
Peneliti dan Judul Jamaludin (2005), Dampak Kebijakan Perdagangan Gandum Tepung Terigu terhadap Keseimbangan Tepung Terigu di Indonesia
Tujuan Penelitian 1. Menganalis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi, permintaan dan harga tepung terigu Indonesia 2. Menganalisis dampak kebijakan perdagangan gandum tepung terigu terhadap keseimbangan tepung terigu di Indonesia
5
Lolowang (1999), Analisis Penawaran dan Permintaan Kakao Indonesia di Pasar Domestik dan Internasional
6
Rahmanu (2009), Analisis Daya Saing Industri Pengolahan dan Hasil Olahan Kakao Indonesia
1. Menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi perilaku areal tanam dan produktifitas kakao berdasarkan kawasan , penawaran ekspor Indonesia serta perdagagan internasional 2. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah dan perubahan eksternal terhadap pasar domestik dan pasar internasional 1. Menganalisa posisi daya saing hasil olahan kakao Indonesia 2. Menganalisa faktor-faktor yang menghambat perkembangan industri
Metode Penelitian Model persamaan simultan dengan metode pendugaan Two-Stages Least Square
Hasil Penelitian Produksi tepung terigu Indonesia secara nyata dipengaruhi oleh variabel harga tepung terigu domestik, jumlah impor gandum, upah tenaga kerja di sektor Industri, dan bedakala produksi tepung terigu Indonesia. Permintaan tepung terigu ditentukan dan responsif terhadap harga tepung terigu domestik, pendapatan nasional, jumlah penduduk dan dummy kebijakan perdagangan impor gandum-tepung terigu. Sedangkan untuk harga tepung terigu domestik secara nyata ditentukan oleh penawaran tepung terigu Indonesia dan tren waktu Model persamaan Ekspor kakao Indonesia ke Amerika Serikat, simultan dengan metode Singapua, Jerman dalam jangka pendek tidak pendugaan Three-Stages responsif terhadap harga kakao dunia, harga ekspor Least Square cocoa butter, produksi kakao Indonesia, nilai tukar rupiah dan tingkat suku bunga. Dalam jangka panjang hanya ekspor ke Amerika Serikat yang responsif terhadap produksi kakao Indonesia sedangkan ke Singapura dan Jerman tidak responsif terhadap semua faktor penjelas.
1. metode Revealed Comparative Advantage (RCA) 2. Porter’s Diamond 3. metode Ordinary Least Square (OLS)
Faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing hasil olahan kakao adalah harga ekspor kakao olahan, volume ekspor kakao olahan, dan krisis ekonomi, sedangkan faktor-faktor yang tidak berpengaruh terhadap daya saing hasil olahan kakao Indonesia adalah produktivitas industri pengolahan kakao.
19
No
20
20
Peneliti dan Judul 3.
7
Sukmananto (2007), 1. Dampak Kebijakan Perdagangan terhadap Kinerja Ekspor Produk 2. Industri Pengolahan Kayu Primer Indonesia
3.
8
Nurdiyani (2007), Analisis Dampak Rencana Penerapan Pungutan Ekspor Kakao terhadap Integrasi Pasar Kakao
Tujuan Penelitian pengolahan kakao nasional Menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi posisi daya saing hasil olahan kakao Indonesia Mengindentifikasi faktorfaktor yangmempengaruhi kinerja ekspo Mengevaluasi dampak kebijakan perdagangan kayubulat terhadap kinerja ekspor periode tahun 19802002 Meramalkan dampak kebijakan perdagangan kayu bulat terhadap kinerja ekspor produk industri pengolahan kayu primer periode tahun 2007-2010
1. Menganalisis integrasi pasar kakao dunia dan dalam negeri, termasuk di beberapa sentra kakao di Indonesia
Metode Penelitian
Model persamaan simultan dengan metode pendugaan Two-Stages Least Square
Model integrasi pasar berupa model Autoregressive Distributed Lag
Hasil Penelitian
Kombinasi kebijakan penghapusan larangan ekspor kayu bulat, kenaikan provisi sumberdaya hutan, kenaikan dana reboisasi,penurunan suku bunga, kenaikan upah tenaga kerja dan penawaran kayu bulat domestik, merupakan kebijakan yang paling sesuai dan terbaik untuk dilakukan.Selain menghasilkan kenaikan devisa yang paling tinggi dari ekspor produk industri pengolahan kayu primer. Kebijakan larangan ekspor kayu bulat yang diganti dengan pengaturan kuota penawaran kayu bulat domestik akan lebih dapat diterima di perdagangan internasional karena terhindar dari isu lingkungan yang sering jadi penghambat perdagangan internasional. Pada variabel produktivitas industri pengolahan kakao tidak berpengaruh terhadap daya saing hasil olahan kakao, karena daya saing hasil olahan kakao lebih dipengaruhi oleh mutu dan kualitas produk, sedangkan peningkatan produktivitas tidak menjamin peningkatan mutu hasil olahan kakao. Kebijakan pada akhirnya akan membuat kondisi pasar kakao di dalam negeri menjadi semakin tidak terintegrasi. selain itu, adanya kebijakan pungutan ekspor akan berimplikasi pada: (1) melemahnya posisi daya saing ekspor kakao indonesia di dunia,
21
No
Peneliti dan Judul Indonesia
Tujuan Penelitian 2. Menganalisis dampak kebijakan pungutan ekspor kakao terhadap integrasi pasar kakao Indonesia serta implikasinya terhadap para stakeholder agribisnis kakao
Metode Penelitian
Hasil Penelitian (2) menurunnya bagian pendapatan yang akan diterima oleh petani, (3) bagi pedagang (eksportir), pungutan ekspor mungkin tidak akan begitu berpengaruh meskipun akan memicu kegiatan penyelundupan, (4) bagi pihak industri, adanya pungutan ekspor akan menjamin ketersediaan input untuk proses pengolahan cokelat dan bagi pemerintah tentu saja kebijakan akan menjadi alternatif pendapatan bukan pajak.
21
22 2.4.2
Penelitian mengenai Kebijakan Perdagangan Jamaludin (2005) melakukan penelitian dengan menggunakan metode Two
- Stage Least Square (2SLS) untuk menganalisis dampak kebijakan perdagangan gandum tepung terigu terhadap keseimbangan tepung terigu di Indonesia (Tabel 8). Sukmananto (2007) melakukan penelitian yang berjudul dampak kebijakan perdagangan terhadap kinerja ekspor produk industri pengolahan kayu primer Indonesia (Tabel 8). Nurdiyani (2007) melakukan penelitian yang berjudul analisis dampak rencana penerapan pungutan ekspor kakao terhadap integrasi pasar kakao Indonesia. Alat analisis yang digunakan adalah model integrasi pasar berupa model autoregressive distributed lag (Tabel 8). Hastuti (2012) melakukan penelitian yang berjudul
dampak kebijakan tarif dan kuota impor terhadap
penawaran dan permintaan gandum dan tepung terigu di Indonesia (Tabel 8). Hidayat (2012) melakukan penelitian yang berjudul dampak perubahan harga beras dunia terhadap kesejahteraan masyarakat Indonesia pada berbagai kondisi transmisi harga dan kebutuhan domestik (Tabel 8).
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1
Teori Harga
Teori harga merupakan teori ekonomi yang menjelaskan tentang perilaku harga pasar barang atau jasa tertentu. Harga merupakan suatu nilai tukar dari produk barang maupun jasa yang dinyatakan dalam satuan moneter. Harga menjadi salah satu penentu keberhasilan dalam proses perdagangan karena harga menentukan seberapa besar keuntungan yang akan diperoleh dari penjualan produk baik berupa barang maupun jasa. Teori harga membahas mengenai harga suatu barang atau jasa yang pasarnya kompetitif, tinggi rendahnya ditentukan oleh permintaan pasar dan penawaran pasar. Permintaan (demand) pasar merupakan jumlah (kuantitas) suatu komoditas yang mampu dan ingin dibeli oleh konsumen pada suatu tempat dan waktu tertentu pada berbagai tingkat harga dengan faktor lain yang tidak berubah (cateris paribus). Teori permintaan menerangkan tentang hubungan antara jumlah permintaan dan harga. Hubungan tersebut dapat digambarkan melalui kurva
23 permintaan. Kurva permintaan menunjukkan hubungan antara harga suatu produk dengan jumlah produk yang diminta masyarakat, jika hal-hal lainnya dianggap konstan (cateris paribus). Kurva permintaan memiliki slope (koefisien arah) negatif terhadap harga, berdasarkan hukum permintaan yang menyatakan ketika harga naik maka permintaan akan turun dan sebaliknya jika harga turun maka permintaan akan naik. Pergerakan sepanjang kurva permintaan terjadi apabila harga komoditas berubah sehingga dapat menyebabkan perubahan jumlah komoditas yang diminta atau ingin dibeli konsumen. Sedangkan, pergeseran kurva permintaan merupakan akibat dari perubahan faktor-faktor di luar harga komoditas tersebut. Faktor penentu permintaan diantaranya adalah harga barang itu sendiri, harga barang substitusi atau komplementer, pendapatan masyarakat, jumlah penduduk, dan selera masyarakat. Penawaran (supply) pasar merupakan hubungan yang menunjukkan banyaknya suatu komoditas yang akan ditawarkan untuk dijual pada suatu tempat dan waktu tertentu pada berbagai tingkat harga dengan faktor lain yang tidak berubah (cateris paribus). Kurva penawaran adalah suatu kurva yang menunjukkan hubungan antara harga suatu barang tertentu dengan jumlah barang tersebut yang ditawarkan. Kurva penawaran menunjukkan hubungan yang positif antara jumlah komoditas yang akan dijual dengan tingkat harga dari komoditas tersebut. Artinya, jika harga naik maka penawaran terhadap barang akan bertambah dan sebaliknya jika harga turun maka jumlah penawaran terhadap suatu barang akan menurun juga. Jadi, dapat disimpulkan bahwa penawaran pasar merupakan fungsi dari harga komoditas dengan koefisien arah (slope) yang positif. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penawaran diantaranya adalah harga barang itu sendiri, harga barang substitusi atau komplementer, harga input atau biaya produksi, kebijakan pemerintah, dan tingkat teknologi yang digunakan. Perubahan dari faktor-faktor
dapat menggeser fungsi penawaran dari suatu
komoditas. Kurva permintaan dan penawaran yang digambarkan dalam satu kurva akan saling memotong di suatu titik yang dinamakan dengan titik equilibrium. Titik equilibrium disebut juga titik keseimbangan pasar yang menunjukkan jumlah produk dan harga keseimbangan suatu komoditas yang terjadi di pasar.
24 Ada beberapa metode dalam menentukan harga jual suatu produk antara lain (1) pendekatan permintaan dan penawaran (supply demand approach), dilakukan dengan cara mencari harga keseimbangan, yaitu harga yang mampu dibayar konsumen dan harga yang diterima produsen sehingga terbentuk jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan, (2) pendekatan biaya (cost oriented approach), dilakukan dengan cara menghitung biaya yang dikeluarkan produsen dengan tingkat keuntungan yang diinginkan, dan (3) pendekatan pasar (market approach), dilakukan dengan cara merumuskan harga untuk produk yang dipasarkan dengan cara menghitung variabel-variabel yang mempengaruhi pasar dan harga seperti situasi dan kondisi politik, persaingan, sosial budaya, dan lainlain. Harga pasar mempunyai dua fungsi utama, yaitu 1) sebagai pemberi sinyal/informasi bagi produsen mengenai berapa banyak barang yang seharusnya diproduksi untuk mencapai laba maksimum dan 2) penentu tingkat permintaan bagi konsumen yang menginginkan kepuasan maksimum. 3.2
Konsep Perdagangan Internasional
Perdagangan internasional adalah kegiatan memperdagangkan suatu barang dan jasa, yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Perdagangan internasional timbul karena pada hakikatnya tidak ada suatu negara pun di dunia
yang dapat
menghasilkan semua barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduknya. Perdagangan tersebut dapat dijelaskan oleh teori Heckescher–Ohlin yang menekankan pada perbedaan relatif faktor alam dan harga faktor produksi sebagai faktor yang paling penting. Berdasarkan teori tersebut, suatu negara akan melakukan perdagangan dengan negara lain disebabkan negara tersebut memiliki keunggulan komparatif yaitu keunggulan dalam teknologi dan faktor produksi. Teori H-O menganggap bahwa tiap negara akan mengekspor komoditas yang mempunyai faktor produksi berlimpah dan murah dan mengimpor komoditas yang relatif jarang dan mahal. Penyamaan harga faktor produksi dengan perdagangan akan menghapuskan atau mengurangi perbedaan harga faktor produksi sebelum perdagangan. Suatu kegiatan perdagangan internasional terjadi ditandai dengan adanya kegiatan ekspor dan impor atau pertukaran komoditas antar dua negara, dimana kegiatan
dapat terjadi karena adanya perbedaan
25 permintaan dan penawaran serta adanya perbedaan tingkat harga antar kedua negara. Secara teoritis, suatu negara (misalnya negara A) akan dapat mengekspor suatu komoditas (misalnya biji kakao) ke negara lain (misalnya negara B). Negara A mau dan mampu mengekspor komoditasnya tersebut ke negara B apabila harga domestik negara A (sebelum terjadi perdagangan internasional) lebih rendah dari harga domestik di negara B. Harga domestik komoditas tersebut di negara A relatif lebih rendah karena di negara A jumlah penawaran akan barang tersebut lebih tinggi dari permintaan konsumen negara A, atau dengan kata lain mengalami excess supply untuk komoditas tersebut di negara A.
P
DA
P
SA
P
ES
DB
SB
PB
x PE
PA
m
ED
0
QA Negara A (Eksportir)
0
0
QB
QE
Pasar Dunia
Negara B (Importir)
Keterangan: QE = x = m Sumber : Salvatore 1997
Gambar 4. Proses Terjadinya Perdagangan Internasional Keterangan : 0 – QA :
Jumlah produksi domestik barang di negara A tanpa perdagangan internasional
0 – QB :
Jumlah produksi domestik barang di negara B tanpa perdagangan internasional
PE
: Harga barang yang terjadi di pasar internasional setelah kedua negara sepakat untuk melakukan proses ekspor impor
26 QE
:
Jumlah barang yang diproduksi atau jumlah barang yang tersedia dipasar internasional setelah kedua negara sepakat untuk melakukan proses ekspor impor
PA
: Harga domestik barang di negara A tanpa perdagangan internasional
PB
: Harga domestik barang di negara B tanpa perdagangan internasional
x
:
Jumlah barang yang di ekspor setelah terjadinya perdagangan internasional
m
: Jumlah barang yang di impor setelah terjadinya perdagangan internasional Dengan kondisi demikian , maka negara A mempunyai kesempatan untuk
menjual kelebihan produksi komoditasnya tersebut ke negara lain. Sedangkan di lain pihak, negara B terjadi kekurangan penawaran karena jumlah pemintaan domestik negara B melebihi jumlah penawaran domestik negara B, atau dengan kata lain mengalami excess demand. Akibat dari keadaan maka harga untuk komoditas tersebut di negara B menjadi tinggi. Maka dengan keadaan seperti negara B ingin membeli komoditas tersebut dari negara A yang harganya relatif lebih murah. Setelah kedua negara tersebut (negara A dan negara B) melakukan komunikasi dan negosiasi, maka negara A menyetujui untuk mengekspor komoditasnya tersebut ke negara B, dan negara B secara langsung melakukan impor komoditas tersebut dari negara A. Dengan terjadinya kegiatan yang dilakukan antar kedua negara tersebut maka terjadilah suatu proses kegiatan perdagangan internasional (Salvatore 1997). (Gambar 4). Jika komoditas yang digunakan untuk perdagangan internasional adalah komoditas biji kakao. Maka, sebelum terjadi proses perdagangan internasional, harga biji kakao di negara A (negara pengekspor) adalah sebesar P A, sedangkan harga biji kakao di negara B (negara pengimpor) adalah sebesar PB. Sebelum terjadi proses perdagangan internasional jumlah produksi biji kakao di negara A adalah sebesar 0 – QA, sedangkan jumlah produksi biji kakao di negara B adalah sebesar 0 – QB. Apabila harga biji kakao di negara B adalah sebesar PA maka akan menyebabkan terjadinya kondisi kelebihan permintaan (excess demand), sedangkan apabila harga biji kakao di negara A adalah sebesar PB maka akan
27 menyebabkan terjadinya kondisi kelebihan penawaran (excess supply). Pertemuan antara kondisi excess supply dan excess demand lah yang nantinya akan membentuk harga di pasar internasional yang disepakati oleh kedua negara tersebut. Negara A akan mengekspor biji kakao ke negara B, sedangkan negara B akan mengimpor biji kakao dari negara A, sehingga terjadilah proses perdagangan internasional. Ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari aktivitas perdagangan internasional atau perdagangan luar negeri yaitu seseorang dapat menikmati suatu barang atau jasa yang tidak dapat dihasilkan dalam negeri dengan cara mengimpornya
dari
negara
lain.
Selain
itu,
perdagangan
luar
negeri
memungkinkan dilakukannya spesialisasi sehingga barang dan jasa dapat dihasilkan secara lebih murah karena lebih cocok dengan kondisi negara tersebut, baik dari segi bahan baku maupun cara berproduksi. Negara yang melakukan perdagangan luar negeri dapat memproduksi barang atau jasa yang lebih besar daripada yang dibutuhkan pasar dalam negeri sehingga tingkat perekonomian dan pendapatan nasional dapat ditingkatkan serta angka pengangguran dapat ditekan. 3.3
Fungsi Produksi
Dalam arti sempit, kegiatan produksi berarti menghasilkan suatu barang dengan menggunakan faktor-faktor yang tersedia. Dengan kata lain, produksi merupakan fungsi dari faktor-faktor produksi. Yang dimaksud dengan faktor produksi adalah semua input yang dimasukkan kedalam proses produksi. Biji kakao termasuk golongan produk antara (intermediate product) yang merupakan output dari suatu perusahaan namun menjadi input bagi perusahaan lain, misalnya oleh industri pengolahan kakao. Fungsi produksi merupakan hubungan antara input yang digunakan dalam proses produksi dengan kuantitas output yang dihasilkan (Lipsey, 1995). Proses produksi mengasumsikan bahwa produsen bertindak rasional yaitu selalu memaksimumkan keuntungan. Fungsi produksi biji kakao dapat dirumuskan sebagai berikut: QKIN = f (AKIN, L, NKIN) … ........................................................... (3.1) Keterangan: QKIN = Produksi biji kakao (Ton)
28 AKIN = Luas areal biji kakao (Ha) L
= Tenaga kerja (HOK)
NKIN = Input produksi lainnya (Unit) Sehingga persamaan biaya total dapat dirumuskan sebagai berikut: C = C0 + Pa*AKIN + Pl*L + Pn*NKIN ................................................ (3.2) C adalah biaya total, C0 adalah biaya tetap sedangkan Pa, Pl, Pn adalah harga lahan, upah tenaga kerja, dan harga input lain. Keuntungan didefinisikan sebagai selisih antara penerimaan dan biaya produksi, jika PKD adalah harga biji kakao maka fungsi keuntungan petani biji kakao dapat dirumuskan sebagai berikut: π = PKD*QKIN – C π = PKD * f (AKIN, L, NKIN) – (C0 + Pa * AKIN + Pl * L+ Pn*NKIN) ...................................................................................... (3.3) Fungsi keuntungan maksimum akan tercapai apabila turunan pertama dari fungsi tersebut sama dengan nol, maka diperoleh: δπ/ δAKIN = PKD*MPAKIN – Pa = 0 maka PKD* MPAKIN = Pa.............. (3.4) δπ/ δL
= PKD* MPL – Pl
= 0 maka PKD* MPL
= Pl ......... (3.5)
δπ/ δNKIN = PKD* MPNKIN – Pn = 0 maka PKD* MPNKIN = Pn. ........ (3.6) Berdasarkan syarat order pertama, keuntungan petani akan maksimum jika pada suatu tingkat produksi tertentu diperoleh nilai produk marjinal masingmasing input sama dengan harga yang harus dibayarkan untuk memperoleh input tersebut. Selanjutnya fungsi (3.4), (3.5), dan (3.6) dapat dinyatakan dalam bentuk sebagai berikut: MPAKIN = Pa/PKD ................................................................................. (3.7) MPL
= Pl/PKD .................................................................................. (3.8)
MPNKIN = Pn/PKD ................................................................................. (3.9) Berdasarkan fungsi (3.7), (3.8), dan (3.9) dapat diperoleh fungsi permintaan masing-masing inputnya, yaitu berturut-turut AKINd, Ld, NKINd adalah permintaan terhadap lahan, tenaga kerja, dan input lain. AKINd = a (Pa, PKD, Pl, Pn) ............................................................. (3.10) Ld
= l (Pl, PKD, Pa, Pn) ............................................................. (3.11)
NKINd = n (Pn, PKD, Pa, Pl) ............................................................. (3.12)
29 Substitusi fungsi permintaan input ke dalam fungsi produksi (3.1) dapat menghasilkan fungsi produksi biji kakao sebagai berikut: QKIN = f (PKD, Pa, Pl, Pn) ............................................................... (3.13) Persamaan (3.13) menunjukkan bahwa jumlah produksi biji kakao merupakan fungsi dari harga biji kakao (PKD) dan harga input seperti lahan, tenaga kerja dan input lainnya. Harga lahan tidak tersedia dalam kurun waktu penelitian, sehingga harga lahan tidak diperhitungkan. Produksi biji kakao pada suatu periode waktu merupakan perkalian antara luas areal panen dengan hasil produksi per satuan luas (produktivitas). Fungsi produksi dapat dirumuskan sebagai berikut: QKIN = AKIN * YKIN..................................................................... (3.14) Keterangan : QKIN = Produksi biji kakao (Ton) AKIN = Luas areal tanam biji kakao (Ha) YKIN = Produktivitas biji kakao (Ton/Ha) Secara teoritis tingkat produksi dipengaruhi oleh harga output, harga output alternatif, dan harga input. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap produksi adalah luas areal tanam biji kakao. Luas areal tanam selain dipengaruhi harga output itu sendiri juga dipengaruhi oleh harga output komoditas alternatifnya. Komoditas alternatif yang dipilih adalah komoditas sawit karena sawit dapat dibudidayakan pada kondisi agroekosistem yang sama dengan biji kakao. Fungsi luas areal panen dapat dirumuskan sebagai berikut: AKINt = a (PKDt, PLt, PFt, PMSDt) ................................................. (3.15) Keterangan: AKINt
= Luas areal panen biji kakao pada tahun ke-t (Ha)
PKDt
= Harga biji kakao pada tahun ke-t (Rp/Kg)
PLt
= Upah tenaga kerja pada tahun ke-t (Rp/HOK)
PFt
= Harga pupuk pada tahun ke-t (Rp/Kg)
PMSDt = Harga minyak sawit pada tahun ke-t (Rp/Kg) 3.4
Fungsi Permintaan
Permintaan adalah jumlah barang yang sanggup dibeli oleh para pembeli pada tempat dan waktu tertentu dengan harga yang berlaku pada saat itu. Fungsi
30 permintaan merupakan sebuah representasi yang menyatakan bahwa kuantitas yang diminta tergantung pada harga, pendapatan, dan preferensi. Menurut Koutsoyiannis (1979) fungsi permintaan diturunkan dari fungsi utilitas konsumen yang dimaksimumkan dengan kendala tingkat pendapatan tertentu. Fungsi utilitas konsumen dapat dirumuskan sebagai berikut: U = u (Q, R) ....................................................................................... (3.16) Keterangan: U = Total utilitas mengkonsumsi kakao Q = Jumlah konsumsi biji kakao (Ton) R = Jumlah konsumsi komoditas lain (substitusi/komplementer) (Unit) Konsumen yang rasional akan selalu memaksimumkan kepuasannya terhadap konsumsi suatu komoditas pada tingkat harga yang berlaku dan pada tingkat pendapatan tertentu. Tingkat pendapatan merupakan kendala dalam memaksimumkan fungsi utilitas yang dapat dinyatakan dalam persamaan berikut: Y = PKD * QKD + PR * R................................................................ (3.17) Keterangan: Y
= Tingkat pendapatan konsumen (Rp)
PKD = Harga biji kakao per unit (Rp/Kg) PR
= Harga komoditas lain per unit (Rp/Unit)
Dari persamaan (3.17) dan (3.18) dapat dirumuskan fungsi kepuasan yang akan dimaksimumkan dengan kendala pendapatan sebagai berikut: Z = U (Q, R) + λ (Y – PKD*QKIN – PR*R) ................................... (3.18) Dimana λ adalah lagrangian multiplier. Untuk memaksimumkan fungsi Z, maka turunan dari fungsi tersebut sama dengan nol. Dengan memasukkan syarat tersebut maka: δZ/ δQKIN = δU/ δQKIN – λ PKD = 0 atau MUQKIN = λ PKD .... . (3.19) δZ/ δR = δU/ δR – λ PR = 0 atau MUR = λ PR................................. (3.20) δZ/ δ λ = Y – PKD*QKIN – PR*R = 0 ............................................ (3.21) Dengan menyelesaikan persamaan (3.20) dan (3.21) maka diperoleh nilai: λ = MUQKIN/PKD = MUR /PR atau MUQKIN/MUR = PKD/PR
(3.22)
dimana MUQKIN dan MUR masing-masing adalah utilitas marjinal komoditas QKIN dan R. Persamaan (3.20), (3.21), dan (3.22) menunjukkan bahwa PKD, PR,
31 dan Y merupakan variabel eksogen yang mempengaruhi permintaan biji kakao. Dengan demikian, fungsi permintaan biji kakao dapat dirumuskan sebagai berikut: QKINd = d (PKD, PR, Y) ................................................................. (3.23) 3.5
Kerangka Pemikiran Penelitian
Kakao menjadi salah satu komoditas unggulan dari sektor perkebunan di Indonesia. Tingginya total nilai ekspor kakao hingga mencapai angka US$ 1.64 Miliar di tahun 2010 menjadikan kakao berada pada peringkat ketiga setelah kelapa sawit dan karet untuk komoditas yang menyumbang devisa negara terbesar dalam bidang perkebunan. Kontribusi terbesar dari komoditas kakao tersebut berasal dari volume dan nilai ekspor biji kakao yang mencapai 432 426.8 ton dengan nilai US$ 1 190 739.6 ribu pada tahun 2010. Selain itu, potensi dan peluang komoditas biji kakao dalam perdagangan internasional dapat dilihat dari peningkatan pangsa pasar kakao Indonesia di dunia. Indonesia berhasil menjadi produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Seiring dengan berkembangnya waktu, adanya globalisasi memberikan pengaruh di berbagai bidang salah satunya adalah perekonomian. Dampak globalisasi di bidang ekonomi diikuti oleh adanya kebijakan liberalisasi perdagangan yang membuat seluruh negara di dunia dapat melakukan perdagangan dengan bebas ke negara lain, termasuk juga untuk perdagangan komoditas biji kakao. Sebagai salah satu produsen terbesar penghasil biji kakao didunia,
seharusnya
Indonesia
memiliki
kemampuan
untuk
mengontrol
perdagangan biji kakao baik dalam hal jumlah ataupun posisi tawar yang kuat dalam pembentukan harga karena harga merupakan hal penting dalam perdagangan. Eksportir kakao akan melakukan ekspor secara besar-besaran apabila harga kakao internasional sedang meningkat secara tajam tanpa memikirkan pasokan dalam negeri, akan berdampak pada industri hilir kakao yang didominasi oleh industri cocoa butter. Industri akan mengalami kesulitan dalam mendapatkan bahan baku, sehingga produksinya akan menurun. Lebih jauh lagi, akan mengakibatkan terjadinya kelangkaan pasokan bahan baku di pasar domestik yang disertai dengan kenaikan harga. Menyadari dampak tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan perdagangan di sektor industri biji kakao yang berupa
32 pajak ekspor guna membatasi para eksportir biji kakao untuk tidak mengekspor kakao dalam bentuk biji dan lebih memikirkan pasokan dalam negeri. Kerangka Pemikiran Penelitian Alat analisis: Model: Persamaan Simultan Metode: Two Stage Least Square
Kurang berkembangnya industri kakao Indonesia
Ekspor biji kakao meningkat
Faktor-faktor yang mempengaruhi keragaan kakao
Dampak terhadap kinerja industri kakao (produksi dan volume ekspor cocoa butter)
Simulasi dengan menggunakan skenario kebijakan
Rekomendasi kebijakan perdagangan kakao Indonesia Gambar 5 : Diagram Alur Pemikiran Penelitian
33
IV. METODE PENELITIAN
4.1
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian membahas dampak perubahan faktor ekonomi terhadap kinerja industri kakao Indonesia. Indonesia dipilih sebagai lokasi penelitian karena Indonesia merupakan produsen kakao terbesar ketiga dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pengekspor utama kakao dunia. Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2012 - Februari 2014. 4.2
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang berupa data time series tahunan selama 20 tahun dari tahun 1990 sampai tahun 2010. Diantaranya adalah luas areal tanam biji kakao, harga biji kakao Indonesia, rata-rata harga pupuk, suku bunga, upah buruh sektor perkebunan, produktivitas biji kakao Indonesia, produksi biji kakao Indonesia, volume impor biji kakao Indonesia, volume ekspor biji kakao Indonesia, nilai tukar Indonesia terhadap $US, harga ekspor biji kakao Indonesia, volume ekspor cocoa butter, harga impor biji kakao, harga ekspor cocoa butter, indeks harga konsumen, harga minyak sawit domestik, bea keluar biji kakao, produksi cocoa butter, dan tarif impor biji kakao, yang berasal dari berbagai sumber yaitu Badan Pusat Statistik, Kementerian Perindustrian,
Kementerian
Perdagangan,
dan
FAO
(Food
Agricultural
Organization) (Lampiran 2). 4.3
Metode Analisis Data
Data dan informasi yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif melalui metode estimasi dan simulasi. Metode estimasi digunakan untuk menduga parameter masing-masing variabel dalam setiap persamaan dengan menggunakan model Two-Stage Least Squares (2SLS). Metode simulasi dengan model Newton digunakan untuk menganalisis dampak perubahan faktor ekonomi terhadap kinerja industri kakao Indonesia dengan memanfaatkan program komputer SAS/ETS (Statistical Analysis System/Econometric Time Series).
34
34
Upah Buruh Perkebunan
Curah Hujan
Produksi Biji Kakao Indonesia
Harga Pupuk
Produktifitas Kakao Indonesia
Tarif Impor Biji Kakao
Harga Minyak Swait Domestik
Luas Areal Tanam Biji Kakao Indonesia
Suku Bunga
Permintaan Biji Kakao oleh Industri Kakao Butter
Produksi Kakao Butter Indonesia
Permintaan Total Biji Kakao
Permintaan Biji Kakao oleh Industri selain Kakao Butter
Harga Impor Biji Kakao Harga Biji Kakao Domestik
Volume Impor Biji Kakao Indonesia
Tren Nilai Tukar Pajak Ekspor Biji Kakao
Penawaran Biji Kakao Indonesia
Harga Ekspor Kakao Butter
Volume Ekspor Biji Kakao Indonesia
Harga Ekspor Biji Kakao Indonesia
Keterangan: Variabel eksogen Variabel endogen
Gambar 6. Keterkaitan Antar Variabel dalam Model Perdagangan Kakao di Indonesia
Harga Biji Kakao Dunia
35
35 4.4
Model Kebijakan Perdagangan Kakao
Model adalah sesuatu yang menggambarkan fenomena yang sebenarnya seperti suatu metode atau proses aktual (Intriligator, 1978). Model analisis yang digunakan adalah model ekonometrika. Model ekonometrika dibedakan atas persamaan tunggal dan persamaan simultan. Persamaan tunggal adalah persamaan dimana variabel terikat dinyatakan sebagai variabel fungsi dari satu atau lebih variabel bebas yang tidak menggambarkan ketergantungan. Sedangkan persamaan simultan adalah persamaan yang membentuk suatu sistem persamaan yang menggambarkan ketergantungan diantara berbagai variabel dalam persamaanpersamaan tersebut. Menurut Koutsoyiannis (1977), dalam membangun model ekonometrika ada empat tahap utama yang harus dilalui yaitu: spesifikasi model, pendugaan model, validasi model, dan penerapan model. Spesifikasi model merupakan langkah pertama dan paling penting karena peneliti harus menspesifikasi model yang didasarkan pada teori ekonomi dan informasi yang berhubungan dengan fenomena yang diteliti. Spesifikasi model juga merupakan hipotesis penelitian yang digambarkan dalam bentuk persamaan struktural yang mencakup variabel eksogen dan endogen. 4.4.1 Luas Areal Tanam Biji Kakao Indonesia Persamaan luas areal tanam biji kakao di Indonesia dipengaruhi oleh harga biji kakao domestik, harga minyak sawit domestik, harga rata-rata pupuk, suku bunga, upah buruh dan tren. Dengan demikian persamaan struktural bagi luas areal tanam komoditas biji kakao dirumuskan sebagai berikut: AKINt = a0 + a1 PKDRt-1 + a2 PMSDRt + a3 PFRt + a4 (IRRt - IRRt-1) + a5 LRt + a6 Tt + a7 AKINt-1 + U1 ......................................... (4.1) Keterangan: AKINt
= Areal tanam biji kakao pada tahun t (Ha)
PKDRt-1 = Harga biji kakao domestik riil pada tahun sebelumnya (Rp/Kg) PMSDRt = Harga minyak sawit domestik riil pada tahun t (Rp/Kg) PFRt
= Harga rata-rata pupuk riil pada tahun t (Rp/Ton)
IRRt
= Suku bunga kredit bank persero pada tahun t (%/Thn)
LRt
= Upah buruh sektor perkebunan pada tahun t (Rp/HOK)
36 T
= Tren waktu
U1
= error
Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: a1,a6 > 0 ; a2, a3, a4, a5 < 0 dan 0 < a7 < 1 4.4.2
Produktivitas Biji Kakao Persamaan produksi biji kakao dipengaruhi oleh harga biji kakao
domestik, luas areal kakao Indonesia, rata-rata harga pupuk, dan curah hujan. Dengan demikian model persamaan produktifitas biji kakao Indonesia dirumuskan sebagai berikut: YKINt = b0 + b1 PKDRt + b2 AKINt + b3 CHt + b4 YKINt-1+ U2 ........... (4.2) Keterangan: YKINt
= Produktifitas biji kakao Indonesia pada tahun t (Ton/Ha)
PKDRt
= Harga biji kakao domestik riil pada tahun t (Rp/Kg)
AKINt
= Areal tanam biji kakao pada tahun t (Ha)
CHt
= Curah hujan pada tahun t (mm/Thn)
U2
= error
Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: b1, b3,> 0 ; b2 < 0 dan 0 < b4 <1. 4.4.3
Produksi Biji Kakao Indonesia Produksi biji kakao Indonesia merupakan persamaan identitas dari
perkalian luas areal tanam dengan produktifitas biji kakao Indonesia. Secara matematis persamaan identitas dari produksi biji kakao Indonesia dapat dilihat pada persamaan: QKINt = AKINt * YKINt ...................................................................... (4.3) Keterangan: QKINt
= Produksi total kakao Indonesia pada tahun t (Ton)
AKINt
= Luas areal total kakao Indonesia pada tahun t (Ha)
YKINt
= Produktifitas kakao Indonesia pada tahun t (Ton/Ha)
4.4.4
Penawaran Biji Kakao Indonesia Penawaran biji kakao Indonesia merupakan persamaan identitas dari
penjumlahan produksi biji kakao Indonesia, ditambah jumlah impor biji kakao,
37 dan dikurangi jumlah ekspor biji kakao Indonesia. Secara matematis persamaan identitas dari penawaran biji kakao Indonesia dapat dilihat pada persamaan: SKINt = QKINt + MKINt - XKINt........................................................ (4.4) Keterangan: SKINt
= Penawaran domestik kakao Indonesia pada tahun t (Ton)
QKINt
= Produksi total kakao Indonesia pada tahun t (Ton)
MKINt
= Volume impor biji kakao Indonesia pada tahun t (Ton)
XKINt
= Volume ekspor biji kakao Indonesia pada tahun t (Ton)
4.4.5
Volume Impor Biji Kakao Indonesia Volume impor biji kakao Indonesia dipengaruhi harga impor biji kakao
Indonesia, harga biji kakao domestik, nilai tukar dan tarif impor. Dengan demikian, model persamaan struktural bagi impor biji kakao dapat dirumuskan sebagai berikut: MKINt =
co + c1 PMKINRt + c2 PKDRt + c3 EXCRRt + c4 TMt + c5 MKINt-1 + U3. .......................................................... (4.5)
Keterangan: MKINt
= Jumlah impor biji kakao Indonesia pada tahun t (Ton)
PMKINRt
= Harga riil impor biji kakao Indonesia (US$/Kg)
PKDRt
= Harga biji kakao domestik riil pada tahun t (Rp/Kg)
EXCRRt
= Nilai tukar pada tahun t (Rp/US$)
TMt
= Tarif impor biji kakao Indonesia pada tahun t(%)
U3
= error
Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: c2 > 0 ; c1, c3, c4 < 0 dan 0 < c5 < 1 4.4.6
Volume Ekspor Biji Kakao Indonesia Ekspor biji kakao Indonesia terjadi karena adanya sinyal harga yang
memberikan insentif ekonomi bagi aktivitas perdagangan. Persamaan ekspor biji kakao Indonesia dirumuskan sebagai berikut: XKINt =
d0 + d1 (PXINRt-1*EXCRRt-1) + d2 (QKINt*Tt) + d3 PJXt + d4 XKINt-1 + U4 ........................................................................................... (4.6)
Keterangan: XKINt
= Volume ekspor biji kakao pada tahun t (Ton)
38 PXINRt-1
= Harga ekspor biji kakao Indonesia pada t-1(US$/Kg)
EXCRRt-1
= Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika pada t-1 (Rp/US$)
QKINt
= Produksi biji kakao Indonesia pada tahun t (Ton)
Tt
= Tren
U4
= error
Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: d1, d2 > 0 ; d3 < 0 dan 0 < d4 < 1 4.4.7
Permintaan Total Biji Kakao Indonesia Permintaan Total Biji Kakao Indonesia merupakan persamaan identitas
dari penjumlahan permintaan biji kakao oleh industri cocoa butter dan permintaan biji kakao oleh selain cocoa butter. Secara matematis persamaan identitas dari permintaan total biji kakao Indonesia dapat dilihat pada persamaan: DKINt = DKINBUt + DKNONBUt ...................................................... (4.7) Keterangan: DKINt
= Permintaan total biji kakao Indonesia pada tahun t (Ton)
DKINBUt
= Permintaan biji kakao oleh industri cocoa butter pada tahun t (Ton)
DKNONBUt = Permintaan biji kakao oleh industri selain cocoa butter pada tahun t (Ton) 4.4.8
Permintaan Biji Kakao oleh Industri Cocoa Butter Indonesia Persamaan permintaan biji kakao oleh industri cocoa butter indonesia
dapat dirumuskan sebagai berikut: DKINBUt = e0 + e1 (PKDRt - PKDRt-1) + e2 (PEKBURt - PEKBURt-1) + e3 Tt + e4 DKINBUt-1 + U5 ............................................ (4.8) Keterangan: DKINBUt
= Permintaan biji kakao oleh industri cocoa butter pada tahun t (Ton)
PKDRt
= Harga biji kakao domestik riil pada tahun t (Rp/Kg)
PEKBURt
= Harga ekspor riil biji kakao Indonesia pada tahun t (US$/Kg)
Tt
= Tren
U5
= error
39 Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: e2, e3 > 0; e1 < 0 dan 0 < e4 < 1 4.4.9
Harga Biji Kakao Domestik Harga biji kakao Indonesia dipengaruhi oleh harga ekspor biji kakao, nilai
tukar, penawaran biji kakao dan tren. Dengan demikian, model persamaan struktural bagi harga biji kakao domestik dapat dirumuskan sebagai berikut: PKDRt = f0 + f1 PXINRt + f2 EXCRRt + f3 SKINt + f4 Tt + f5 PKDRt-1 + U6 ............................................................... (4.9) Keterangan: PKDRt
= Harga biji kakao domestik riil pada tahun t (Rp/Kg)
PXINRt
= Harga riil ekspor biji kakao Indonesia pada tahun t (US$/Kg)
EXCRR
= Nilai tukar rupiah terhadap dolar pada tahun t (Rp/US$)
SKINt
= Permintaan total biji kakao Indonesia pada tahun t (Ton)
Tt
= Tren waktu
U6
= error
Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: f1 ,f2, f4,> 0; f3 < 0 dan 0 < f5 < 1 4.4.10 Harga Ekspor Biji Kakao Indonesia Harga ekspor biji kakao Indonesia dipengaruhi oleh volume ekspor biji kakao Indonesia, harga biji kakao dunia, dan tren. Dengan demikian model persamaan struktural bagi harga ekspor biji kakao Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut: PXINRt = g0 + g1 XKINt + g2 (PWBKRt - PWBKRt-1) + g3 Tt + g4 PXINRt-1+ U7 ................................................................ (4.10) Keterangan: PXINRt
= Harga ekspor riil biji kakao pada tahun t (US$/Kg)
XKINt
= Volume ekspor biji kakao Indonesia pada tahun t (Ton)
PWBKRt
= Harga biji kakao dunia pada tahun t (US$/Kg)
Tt
= Tren
U7
= error
Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: g2, g3, > 0 ; g1 < 0 dan 0 < g4 < 1
40 4.4.11 Produksi Cocoa Butter Produksi cocoa butter merupakan persamaan identitas dari perkalian permintaan biji kakao oleh industri butter dengan faktor konversinya. Secara matematis persamaan identitas dari penawaran biji kakao Indonesia dapat dilihat pada persamaan: QKBUt = 0.3 *DKINBUt................................................................... (4.11) dimana: QKBUt
= Produksi cocoa butter pada tahun t (Ton)
DKINBUt
= Permintaan biji kakao Indonesia oleh industri cocoa butter pada tahun t (Ton) 4.5
Identifikasi Model
Masalah identifikasi terjadi karena kumpulan koefisien struktural yang berbeda mungkin cocok dengan sekumpulan data yang sama. Berdasarkan Koutsoyiannis (1977), masalah identifikasi muncul hanya untuk persamaan yang di dalamnya terdapat koefisien-koefisien yang harus diestimasi secara statistik. Masalah identifikasi tidak muncul dalam persamaan-persamaan definisi, identitas atau dalam pernyataan tentang kondisi equilibrium karena dalam hubunganhubungan tersebut tidak memerlukan pengukuran. Dalam teori ekonometrika, terdapat dua kemungkinan situasi dalam suatu identifikasi, yaitu Koutsoyiannis (1977): 1.
Persamaan Underidentified Suatu persamaan dikatakan underidentified jika bentuk statistiknya tidak tunggal. Selain itu, persamaan tersebut tidak dapat diduga dari seluruh parameter yang ada dengan teknik ekonometrik manapun.
2.
Persamaan Identified Jika suatu persamaan memiliki bentuk statistik tunggal, maka persamaan tersebut dapat diidentifikasi (identified). Dalam persamaan
yang
teridentifikasi, koefisien yang terdapat didalamnya dapat diduga secara statistik. Jika persamaan exactly identified (identifikasi tepat), maka metode yang sesuai untuk pendugaan adalah Indirect Least Squares (ILS) atau metode kuadrat terkecil tak langsung, sedangkan jika persamaan overidentified (terlalu diidentifikasikan), maka salah satu metode yang
41 dapat digunakan untuk pendugaan adalah Two-Stages Least Squares (2SLS). Dalam persamaan identified, terdapat dua kondisi yang harus dipenuhi: a)
Order Condition (kondisi ordo) Order Condition adalah suatu kondisi yang bertujuan untuk mengetahui
apakah
persamaan-persamaan
yang
ada
dapat
diidentifikasi. Kondisi tersebut antara lain: (1) apabila (K-M) = (G1), maka persamaan tersebut exactly identified; (2) apabila (K-M) > (G-1), maka persamaan tersebut overidentified; (3) apabila (K-M) < (G-1), maka persamaan tersebut underidentified. Keterangan: K
= Total variabel dalam model
M = Total variabel endogen dan eksogen dalam persamaan yang akan diidentifikasi G b)
= Total persamaan dalam model
The Rank Condition of Identifiability (Kondisi tingkat dari identifiabilitas) The
Rank
Condition
of
Identifiability
digunakan
untuk
mengidentifikasi persamaan yang setelah dilakukan uji Order Condition
(kondisi
ordo)
menghasilkan
kesimpulan
dapat
diidentifikasi, yang selanjutnya dilihat apakah persamaan tersebut exactly identified (identifikasi tepat) atau overidentified (terlalu diidentifikasikan). Langkah-langkah The Rank Condition of Identifiability adalah: i. Jadikan persamaan simultan yang ada menjadi persamaan yang ruas kanannya nol. ii. Susun matriks koefisien dari semua variabel yang ada untuk persamaan-persamaan tersebut. iii. Jika ingin mengidentifikasi persamaan ke-i, maka coret baris persamaan itu dan kolom dari variabel yang ada dalam persamaan tersebut.
42 iv. Dari matriks sisanya, cari semua determinan yang mungkin dapat dihitung. v. Jika paling sedikit ada satu determinan yang tidak sama dengan nol, maka untuk melihat apakah persamaan tersebut exactly identified atau overidentified dapat digunakan order condition (K-M) ≥ (G-1). Tabel 9. Hasil Identifikasi Model dari Masing-masing Persamaan Variabel AKIN YKIN MKIN XKIN DKINBU PKDR PXINR
K 23 23 23 23 23 23 23
M 7 4 5 6 4 5 4
G 11 11 11 11 11 11 11
K-M 16 19 18 17 19 18 19
G-1 10 10 10 10 10 10 10
Keterangan Overidentified Overidentified Overidentified Overidentified Overidentified Overidentified Overidentified
Berdasarkan hasil identifikasi pada Tabel 9 terlihat bahwa model yang telah dirumuskan terdiri dari 11 variabel endogen (G) dan 12 variabel eksogen, sehingga total variable (K) yang terdapat dalam model sebanyak 23 variabel. Jumlah variabel endogen dan eksogen dalam satu persamaan tertentu (M) maksimum adalah tujuh variabel, sehingga diperoleh K-M > G-1. Oleh karena itu, seluruh persamaan struktural adalah overidentified (Koutsoyiannis, 1997). 4.6 Hasil
identifikasi
Metode Pendugaan Model yang
menghasilkan
kesimpulan
overidentified
memungkinkan persamaan untuk diestimasi dengan metode Two-Stage Least Squares (2SLS), Three-Stage Least Squares (3SLS), Limited Information Maximum Likelihood (LIML) atau Full Information Maximum Likelihood (FIML). Metode yang digunakan adalah Two-Stage Least Squares (2SLS). Beberapa alasan digunakan metode Two-Stage Least Squares (2SLS) adalah (Koutsoyiannis, 1977): 1. Merupakan salah satu metode yang cocok untuk digunakan dalam estimasi parameter model ekonometrika simultan, terutama untuk persamaan simultan. 2. Lebih efisien digunakan dalam kondisi tidak semua persamaan dalam sistem akan diestimasi parameternya.
43 3. lebih cocok digunakan jika jumlah sampel kecil. 4. Menghindari estimasi yang bias dan tidak konsisten. 4.7
Uji Kesesuaian Model
Pengujian terhadap estimasi persamaan secara keseluruhan dapat dilakukan dengan menggunakan uji statistik F. Uji statistik F adalah uji statistik yang digunakan untuk mengetahui dan menguji apakah variabel penjelas secara bersama-sama mampu menjelaskan keragaman variabel endogennya dengan baik (Koutsoyiannis, 1977). Hipotesis: H0 : β1 = β2 …… = βi = 0 H1 : mmal ada satu βi ≠ 0 Keterangan: i = banyaknya variabel bebas dalam suatu persamaan Apabila P-value uji statistik F < taraf α sebesar 10 persen maka tolak H0. Tolak H0 berarti seluruh variabel penjelas dalam satu persamaan secara bersamasama mampu menjelaskan variabel endogennya dengan baik. 4.8
Uji Estimasi Variabel Secara Individu
Uji statistik t adalah uji statistik yang digunakan untuk mengatahui dan menguji apakah masing-masing variabel penjelas berpengaruh nyata terhadap variabel endogen (Koutsoyiannis, 1977). Hipotesis: H0 : βi = 0 H1 : uji satu arah → βi> 0; βi< 0 uji dua arah → βi ≠ 0 Kriteria uji : Jika
H1 : βi> 0, bila P-value uji statistik t < α maka tolak H0 H1 : βi< 0, bila P-value uji statistik t < α maka tolak H0 H1 : βi ≠ 0, bila P-value uji statistik t < α/2 maka tolak H0
Penelitian menggunakan uji satu arah dengan taraf α sebesar 10 persen, sehingga apabila P-value uji statistik t < taraf α sebesar 10 persen maka tolak H0.
44 Tolak H0 berarti suatu variabel penjelas berpengaruh nyata terhadap variabel endogen. 4.9
Uji Autokorelasi
Autokorelasi adalah adanya korelasi/hubungan antara kesalahan (error term) pada tahun sekarang dengan kesalahan pada tahun sebelumnya. Guna mengetahui ada atau tidaknya masalah autocorrelation pada setiap persamaan maka perlu dilakukan uji autocorrelation dengan menggunakan statistik DW (Durbin-Watson statistic). Tabel 10. Range Statistik Durbin Watson Nilai DW 4-dl
Hasil Tolak H0, Terjadi masalah autocorrelation negative Masalah autocorrelation tidak dapat disimpulkan Terima H0, Tidak terjadi masalah autocorrelation Terima H0, Tidak terjadi masalah autocorrelation Masalah autocorrelation tidak dapat disimpulkan Tolak H0, Terjadi masalah autocorrelation positif
Sumber: Pindyck dan Rubinfield, 1998
Untuk mengetahui dan menguji apakah variabel eksogen secara bersamasama berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen, maka pada setiap persamaan digunakan uji statistik F. Sedangkan untuk menguji apakah masingmasing variabel eksogen berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen, maka pada setiap persamaan digunakan uji statistik t. Selanjutnya karena model mengandung persamaan simultan dan variabel lag, maka untuk mengetahui apakah terdapat serial korelasi (autocorrelation) atau tidak dalam persamaan digunakan statistik dh (durbin-h statistic), sebagai berikut (Pindyck dan Rubinfeld, 1998): (
)√
.......................................................... (4.12)
( )
Keterangan: h
= Angka durbin h statistik
T
= Jumlah periode pengamatan sampel
var(β) = Kuadrat dari standar error koefisien “lagged endogenous variabel” DW
= Nilai statistik Durbin Watson
45 Suatu persamaan tidak mengalami masalah autokorelasi pada kondisi normal yaitu taraf lima persen, bila nilai h hitung berada diantara -1.96 sampai 1.96. Namun, jika nilai durbin-h statistic lebih kecil dari -1.96 berarti terdapat autokorelasi negatif dan jika nilai durbin-h statistic lebih besar dari 1.96 berarti terdapat autokorelasi positif. 4.10 Surplus Konsumen dan Produsen Surplus konsumen dan produsen merupakan indikator penentu arah kebijakan oleh para pelaku ekonomi. Surplus konsumen dan produsen juga menunjukkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Perubahan kesejahteraan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Perubahan Surplus Produsen Biji Kakao ΔSP = (PKDRs-PKDRb)*(QKINb+1/2*(QKINs-QKINb)) ...................... (4.13) 2. Perubahan Surplus Konsumen Biji Kakao ΔSK = (PKDRb-PKDRs)*(DKINBUs+1/2*(DKINBUb-DKINBUs)) ...... (4.14) 3. Penerimaan Pemerintah ΔPP = (XKINs*PXINRs*PJXs*EXCRR) - (XKINb*PXINRb* PJXb*EXCRR) ........................................................................... (4.15) 4. Kesejahteraan Nasional Net Surplus = ΔSP + ΔSK + ΔPP........................................................... (4.16) Keterangan: ΔSP
= Perubahan surplus produsen
ΔSK
= Perubahan surplus konsumen
ΔPP
= Perubahan penerimaan pemerintah
b
= Nilai dasar
s
= Nilai simulasi 4.11
Konsep Elastisitas
Nilai elastisitas dapat digunakan untuk melihat derajat kepekaan variabel endogen pada suatu persamaan terhadap perubahan dari variabel penjelas. Nilai elastisitas jangka pendek (short-run) diperoleh dari perhitungan sebagai berikut (Pindyck dan Rubinfeld, 1998): Esr (Yt, Xi) = ai (Xi)/(Yt) …………………………………………… (4.17) Keterangan:
46 Esr (Yt, Xi) = Elastisitas jangka pendek variabel penjelas Xi terhadap variabel endogen Yt ai
= Parameter estimasi variabel penjelas Xi
Xi
= Rata-rata variabel penjelas Xi
Yt
= Rata-rata variabel endogen Yt
Nilai elastisitas jangka panjang (long-run) dapat diperoleh dari perhitungan sebagai berikut: (
)
……………………………………………………….(4.18)
Keterangan: Elr (Yt, Xi) = Elastisitas jangka panjang variabel penjelas Xi terhadap variabel endogen Yt ai lag
= Parameter estimasi dari lag-variabel endogen
Kriteria uji: a) Jika nilai elastisitas lebih dari satu (E > 1), maka dikatakan elastis karena perubahan satu persen variabel penjelas mengakibatkan perubahan variabel endogen lebih dari satu persen. b) Jika nilai elastisitas antara nol dan satu (0 < E < 1), maka dikatakan inelastis (tidak
responsif)
karena
perubahan
satu
persen
variabel
penjelas
mengakibatkan perubahan variabel endogen kurang dari satu persen. c) Jika nilai elastisitas sama dengan nol (E = 0), maka dikatakan inelastis sempurna. d) Jika nilai elastisitas tak hingga (E = ~), maka dikatakan elastis sempurna. e) Jika nilai elastisitas sama dengan satu (E = 1), maka dikatakan unitary elastis. 4.12
Validasi Model
Validasi model dilakukan untuk mengetahui apakah model cukup valid digunakan untuk simulasi kebijakan. Simulasi kebijakan yang digunakan berupa simulasi perubahan pajak ekspor biji kakao terhadap pertumbuhan industri Indonesia. Kriteria statistik yang sering digunakan untuk validasi pendugaan model ekonometrika adalah Root Mean Squares Error (RMSE), Root Mean Squares Percent Error (RMSPE), dan Theil’s Inequality Coefficient (U) (Pindyck dan Rubinfeld, 1998). Kriteria-kriteria itu dapat dirumuskan sebagai berikut:
47 √ ⁄ ∑
(
√ ⁄ ∑ √ ⁄ ∑ √ ⁄ ∑
(
) .................................................. (4.19) (
( )
) .................................................. (4.20) )
√ ⁄ ∑
.................................................. (4.21) (
)
Keterangan: RMSE
= Akar tengah kuadrat galat
RMSPE = Akar tengah kuadrat persen galat U
= Koefisien pertidaksamaan Theil = Nilai dugaan dari model = Nilai aktual
T
= Jumlah periode pengamatan dalam simulasi
Statistik RMSPE berguna untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai variabel endogen hasil pendugaan yang menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya dalam ukuran relatif (persen). Nilai statistik U bermanfaat untuk mengetahui kemampuan model untuk analisis simulasi historis maupun peramalan. Semakin kecil nilai RMSE, RMSPE, dan U semakin baik pendugaan model. Nilai U berkisar antara 0 dan 1. Jika U = 0, maka pendugaan model sempurna. 4.13
Simulasi Model
Untuk melihat pengaruh adanya dampak penerapan kebijakan perdagangan terhadap kinerja industri domestik dalam penelitian digunakan simulasi. Skenario simulasi kebijakan yang dilakukan adalah: 1.
Penetapan kebijakan pajak ekspor biji kakao sebesar 15 persen. Berdasarkan kebijakan pajak ekspor biji kakao yang tertuang pada peraturan menteri keuangan No 67/PMK.011/2010 bahwa pajak ekspor untuk harga referensi di atas US $ 3 500 per ton adalah sebesar 15 persen.
2.
Penurunan suku bunga kredit sebesar 15 persen. Karena suku bunga kredit merupakan input utama dari industri hulu kakao, sehingga dengan adanya penurunan suku bunga kredit diharapkan mampu meningkatkan industri hilir kakao.
48 3.
Pemberian subsidi pupuk oleh pemerintah sebesar 15 persen. karena pupuk merupakan input utama dari industri hulu kakao, sehingga dengan adanya pemberian subsidi diharapkan mampu meningkatkan industri hilir kakao.
4.
Peningkatan harga ekspor biji kakao meningkat sebesar 15 persen. Sengaja dibuat untuk melihat kecenderungan perilaku variabel endogen ketika mutu biji kakao Indonesia membaik. Sesuai dengan kondisi perdagangan kakao Indonesia ke Eropa, harga kakao Indonesia selalu mendapat potongan harga 15 persen karena mutu kakao Indonesia di nilai rendah karena mengandung keasaman yang tinggi, rendah senyawa precursor flavor dan rendah kadar lemak.
5.
Penerapan kebijakan larangan ekspor biji kakao Indonesia. Sengaja di buat dalam usaha meningkatkan industri pengolahan biji kakao menjadi produk olahan.
6.
Penentuan kuota ekspor biji kakao Indonesia sebesar 75 persen. Sengaja dibuat dalam usaha menjamin ketersediaan bahan baku biji kakao untuk industri berproduksi.
7.
Penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika sebesar 15 persen. Sengaja dibuat untuk melihat seberapa kuat perubahan yang terjadi pada variabel endogen jika rupiah dalam kondisi menguat.
8.
Kombinasi pajak ekspor biji kakao Indonesia sebesar 15 persen dengan kebijakan subsidi pupuk sebesar 15 persen. Sengaja dibuat untuk melihat perubahan yang terjadi jika dua kebijakan yang saling berlawanan diterapkan dalam waktu yang sama.
9.
Kombinasi kuota ekspor biji kakao Indonesia sebesar 75 persen dengan kebijakan subsidi pupuk sebesar 15 persen. Sengaja dibuat untuk melihat perubahan yang terjadi jika dua kebijakan yang saling berlawanan diterapkan dalam waktu yang sama.
49 4.14 1.
Definisi Operasional
Faktor ekonomi adalah kebijakan pajak ekspor biji kakao sebesar 15 persen, kebijakan kuota ekspor biji kakao sebesar 75 persen, kebijakan suku bunga kredit bank persero sebesar 15 persen, subsidi harga pupuk sebesar 15 persen, peningkatan harga ekspor biji kakao sebesar 15 persen, larangan ekspor biji kakao, penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar sebesar 15 persen, kombinasi pajak ekspor biji kakao sebesar 15 persen dan subsidi pupuk sebesar 15 persen, serta kombinasi kuota ekspor biji kakao sebesar 75 persen dan subsidi pupuk sebesar 15 persen.
2.
Kinerja industri kakao adalah luas areal tanam biji kakao, produktifitas biji kakao, produksi biji kakao, penawaran biji kakao, volume impor biji kakao, volume ekspor biji kakao, permintaan biji kakao, harga domestik biji kakao, harga ekspor biji kakao, dan produksi cocoa butter Indonesia. Istilah industri dipandang sebagai suatu sistem, dari penanaman kakao hingga ke proses olahan setengan jadi yaitu hingga diolah menjadi cocoa butter.
3.
Konsumen biji kakao adalah industri cocoa butter yang menggunakan biji kakao sebagai bahan baku untuk produk yang akan dijual kembali (derived demand).
50
51 V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN KAKAO
5.1
Perkembangan Ekspor Biji Kakao Indonesia
Wilayah sentra utama produksi kakao terdapat di kawasan Indonesia bagian Timur, meliputi Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah. Dari ketiga provinsi tersebut, Sulawesi Selatan merupakan sentra perkebunan kakao rakyat terbesar yang memberikan kontribusi besar terhadap komoditas kakao Indonesia. Total luas areal perkebunan kakao rakyat di Provinsi Sulawesi Selatan tercatat sekitar 263.20 hektar dengan total produksi 111.40 ton per tahun, dan produktivitas 423.25 kilogram per hektar per tahun (Badan Pusat Statistik, 2011). Di Provinsi Sulawesi Selatan, kakao merupakan komoditas unggulan utama dibandingkan jenis tanaman perkebunan lainnya. Adapun kabupaten sentra produksi kakao meliputi Luwu Utara, Mamuju, Bone, Polmas, Luwu, dan Pinrang. Jenis tanaman kakao yang diusahakan di Indonesia sebagian besar adalah jenis kakao lindak dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah. Di samping itu juga diusahakan jenis kakao mulia oleh perkebunan besar negara di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Berdasarkan wawancara dengan ketua Askindo, sekitar 96 persen produksi kakao Indonesia diekspor, sedangkan sisanya digunakan sebagai bahan baku industri cokelat dalam negeri. Kakao umumnya diekspor dalam bentuk biji yang belum difermentasikan. Kakao merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia yang secara langsung terkait dengan perdagangan internasional yang sifatnya kompetitif. Pada umumnya kakao dari Sulawesi Selatan memiliki keunggulan spesifik, yaitu kandungan lemaknya tidak mencair bila disimpan pada suhu kamar dan mempunyai titik leleh yang tinggi sehingga cocok untuk blending. Akan tetapi, keterbatasan teknologi yang dimiliki petani dapat menyebabkan komoditas kalah bersaing dalam liberalisasi ekonomi. Data perkembangan ekspor biji kakao Indonesia dari tahun 2006 sampai 2010 disajikan pada Tabel 11.
52 Tabel 11. Perkembangan Ekspor Cocoa Beans, Whole or Broken, Raw or Roasted Indonesia Tahun 2006-2010 Tahun Volume (Ton) Nilai (Ribu US$) 2006 490 777.60 619 016.80 2007 379 829.20 622 600.40 2008 380 512.90 854 584.80 2009 439 305.30 1 087 484.70 2010 432 426.80 1 190 739.70 20.52 Trend (%) -1.07 Sumber : Statistik Perdagangan, 2011
Volume ekspor biji kakao Indonesia dari tahun ke tahun memperlihatkan nilai yang fluktuatif, namun nilai ekspor menunjukkan nilai yang selalu meningkat dan memiliki rata-rata pertumbuhan yang baik yaitu sebesar 20.52 persen, disebabkan oleh harga ekspor yang cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada sisi volume, ekspor biji kakao menurun sebesar 379 829.20 pada tahun 2007 dan sebesar 380 512.90 ton pada tahun 2008, padahal sebelumnya, pada tahun 2006 volume ekspor biji kakao Indonesia sebesar 490 777.60 ton, namun pada tahun selanjutnya terjadi peningkatan sebesar 439 305.30 ton pada tahun 2009 dan sebesar 432 426.80 ton pada tahun 2010. Tabel 12. Perkembangan Nilai Ekspor Cocoa Beans, Whole or Broken, Raw or Roasted Indonesia Menurut Negara Tujuan Utama Tahun 2006-2010 2008
2009
2010
000 US$ Tren (%)
Negara
2006
2007
Malaysia
234 811.70
296 882.00
468 788.30
451 582.50
550 917.20
23.68
AS
163 986.70
83 287.00
128 154.10
297 012.90
246 501.30
23.20
Singapura
57 824.60
74 093.10
102 529.10
139 238.80
151 483.90
29.14
Brasilia
83 771.80
75 021.90
68 173.00
103 380.40
89 414.90
4.61
Cina 23 092.50 34 453.70 Negara Lainnya 55 529.40 58 862.60 Sumber : Statistik Perdagangan, 2011
35 600.30
17 006.50
42 741.40
5.39
51 340.10
79 263.60
109 681.00
18.04
Berdasarkan Tabel 12, ekspor biji kakao Indonesia memiliki nilai terbesar untuk tujuan negara Malaysia yang kemudian diikuti oleh negara AS dengan nilai masing-masing sebesar US$ 550 917.20 ribu dan US$ 246 501.30 ribu pada tahun 2010. Singapura menempati urutan ketiga tertinggi untuk negara tujuan ekspor biji kakao Indonesia, namun jika dilihat dari tren setiap tahunnya, Singapura menempati urutan pertama sebagai negara tujuan ekspor biji kakao Indonesia
53 yang memiliki tren terbesar yaitu sebesar 29.14 persen, dan disusul oleh Malaysia dan AS dengan tren masing-masing sebesar 23.68 dan 23.20 persen. Tabel 13. Perkembangan Volume Ekspor Cocoa Beans, Whole or Broken, Raw or Roasted Indonesia Menurut Negara Tujuan Utama Tahun 2006-2010 Negara
Ton Trend (%)
2006
2007
2008
2009
2010
Malaysia
190 298.00
183 172.10
209 408.50
183 081.60
202 849.20
1.28
AmerikaSerikat
131 738.50
53 224.40
53 689.70
120 304.00
89 306.50
0.38
Singapura
43 976.50
43 683.50
45 157.50
55 889.30
53 932.20
6.76
Brasilia
63 799.30
42 087.40
29 917.60
41 646.50
31 984.20
-12.99
Cina
18 240.90
20 746.10
15 902.50
7 122.60
15 317.90
-13.22
Negara Lainnya 42 724.30 36 915.60 Sumber : Statistik Perdagangan, 2011
26 437.10
31 261.30
39 036.90
-3.41
Malaysia juga menempati urutan pertama negara tujuan ekspor biji kakao Indonesia dengan volume sebesar 202 849.20 ton pada tahun 2010, kemudian diikuti oleh Amerika Serikat pada urutan kedua dan Singapura pada urutan ketiga sebesar 89 306.50 dan 53 932.20 ton. Namun jika dilihat dari tren setiap tahunnya, Singapura memberikan tren terbesar untuk volume ekspor biji kakao Indonesia sebesar 6.76 persen, kemudian diikuti oleh Malaysia dan Amerika Serikat yang masing-masing memiliki tren sebesar 1.28 dan 0.38 persen. Perkembangan volume ekspor ke Brasilia dan Cina memiliki tren yang menurun masing-masing sebesar 12.99 dan 13.22 persen. Tabel 14. Perkembangan Volume Ekspor Kakao Indonesia Tahun 2007-2011 URAIAN Cocoa beans, whole or broken,raw/roasted
2007
2008
379.80 380.51
2009
2010
2011
439.30
432.42
210.06
Cocoa shells, husks, skins &oth cocoa waste
1.80
2.16
1.10
1.20
4.67
Cocoa paste, not defatted
2.00
1.44
1.63
6.25
11.53
20.10
28.60
11.75
13.76
43.38
51.10
55.58
41.60
46.68
82.53
32.20
34.40
27.54
36.35
41.49
0.09
0.10
0.05
0.10
0.34
Cocoa paste, wholly or partly defatted Cocoa butter, fat and oil Cocoa powder, not contang added sugar or other sweetening matter Cocoa powder,contang added sugar or other sweetening matter Sumber: Kementerian Perdagangan, 2012
Berdasarkan Tabel 14, ekspor cocoa beans, whole or broken,raw/roasted menunjukan nilai yang fluktuatif, meningkat cukup tinggi pada tahun 2009 sebesar 439.30 ton dan ditahun berikutnya menunjukkan nilai yang terus menurun
54 sebesar 210.06 ton pada tahun 2011. Untuk produk olahan kakao, volume ekspor tertinggi yaitu untuk cocoa butter, fat and oil sebesar 51.10 ton pada tahun 2007 dan diikuti oleh cocoa powder, not contang added sugar or other sweetening matter dan cocoa paste, wholly or partly defatted dengan volume masing-masing sebesar 32.20 dan 20.10 ton. Dilihat dari perkembangan ekspor setiap tahunnya masing-masing komoditas menunjukkan nilai yang berfluktuatif cukup tinggi seperti cocoa paste, wholly or partly defatted meningkat pada tahun 2008 yaitu sebesar 28.60 ton dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar 20.10 ton. Namun menurun pada tahun berikutnya sebesar 11.75 ton, kemudian mengalami kenaikan kembali pada tahun 2010 sebesar 13.76 ton dan ditahun berikutnya kembali meningkat dengan peningkatan yang tinggi sebesar 42.38 ton. Selain cocoa paste, wholly or partly defatted, cocoa butter, fat and oil juga mengalami peningkatan yang cukup fluktuatif setiap tahunnya. Dan setiap tahunnya juga, cocoa butter, fat and oil menempati urutan pertama untuk produk olahan kakao yang memiliki volume ekspor tertinggi. Diikuti oleh cocoa powder, not contang added sugar or other sweetening matter pada urutan kedua dan cocoa paste, wholly or partly defatted pada urutan ketiga. Tabel 15. Perkembangan Nilai Ekspor Kakao Indonesia Tahun 2007-2011 URAIAN
2007
Cocoa beans, whole or broken,raw/roasted 622.60 Cocoa shells, husks, skins &oth cocoa waste 0.68 Cocoa paste, not defatted 4.61 Cocoa paste, wholly or partly defatted 10.92 Cocoa butter, fat and oil 230.15 Cocoa powder, not contang added sugar or other sweetening matter 32.08 Cocoa powder,contang added sugar or other sweetening matter 0.13 Sumber: Kementerian Perdagangan, 2012
2008
2009
2010
2011
854.58
1087.48
1190.73
614.49
1.44 4.25
0.65 5.66
0.72 22.71
2.59 43.52
19.92 326.44
14.64 230.05
43.38 236.80
170.79 304.58
37.15
45.20
103.18
157.99
0.16
0.13
0.22
0.85
Kondisi ekspor kakao Indonesia berdasarkan nilai ekspornya (Juta US$) disajikan pada Tabel 15. Nilai ekspor cocoa beans, whole or broken, raw/roasted menunjukkan nilai yang fluktuatif, meningkat cukup tinggi pada tahun 2008 yaitu sebesar US$ 854.58 juta dan ditahun berikutnya menunjukkan nilai yang terus menurun yaitu 614.49 ton pada tahun 2011. Untuk produk olahan kakao, nilai
55 ekspor tertinggi yaitu untuk cocoa butter, fat and oil yaitu sebesar US$ 230.15 juta pada tahun 2007 dan diikuti oleh cocoa powder, not contang added sugar or other sweetening matter dan cocoa paste, wholly or partly defatted yang masingmasing memiliki volume sebesar 32.08 dan US$ 10.92 juta. Perkembangan nilai ekspor masing-masing komoditas setiap tahunnya menunjukan nilai yang berfluktuatif cukup tinggi seperti cocoa paste, wholly or partly defatted meningkat pada tahun 2008 yaitu sebesar US$ 19.92 juta dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar US$ 10.92 juta. Namun menurun pada tahun berikutnya yaitu pada tahun 2009 yaitu sebesar US$ 14.64 juta, kemudian mengalami kenaikan kembali pada tahun 2010 yaitu sebesar US$ 43.38 juta dan ditahun berikutnya kembali meningkat dengan peningkatan yang tinggi yaitu sebesar US$ 170.79 juta. Cocoa paste, wholly or partly defatted, cocoa butter, fat and oil juga mengalami peningkatan yang cukup fluktuatif setiap tahunnya. Cocoa butter, fat and oil menempati urutan pertama untuk produk olahan kakao yang memiliki nilai ekspor tertinggi. Diikuti oleh cocoa powder, not contang added sugar or other sweetening matter pada urutan kedua dan cocoa paste, wholly or partly defatted pada urutan ketiga. 5.2
Perkembangan Luas Areal Kakao Indonesia
Kakao Indonesia tersebar di berbagai provinsi di Indonesia. Berdasarkan data BPS 2010, kakao Indonesia paling banyak tertanami di provinsi Sulawesi Selatan yaitu seluas 264.2 ribu Ha pada tahun 2009, kemudian diikuti Sulawesi Tenggara dan Sulawesi tengah untuk urutan kedua dan ketiga yaitu masingmasing seluas 239 dan 225 ribu Ha. Kakao tidak ditanami di provinsi Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, dan DKI Jakarta. Selain daerah Sulawesi, kakao juga banyak ditanami di daerah Sumatera yaitu untuk Sumatera Utara, Aceh dan Sumatera Barat yang masing-masing memberikan luas sebesar 85.3, 74.50 dan 61.50 ribu Ha. Nusa Tenggara timur, Kalimantan Timur juga Jawa Timur memiliki lahan kakao yang cukup luas juga yaitu 44.50, 34.60 dan 52.50 ribu Ha.
56 Tabel 16. Luas Areal Tanam Kakao Indonesia Menurut Provinsi Tahun 2008-2009 000 Ha Provinsi
2008
2009
Provinsi
2008
2009
Aceh
74.50
76.40 Nusa Tengga Barat
5.40
5.70
Sumatera Utara
85.30
84.20 Nusa Tenggara Timur
44.50
44.70
Sumatera Barat
61.50
61.40 Kalimantan Barat
10.00
10.20
0.90
0.90
Riau
6.40
6.40 Kalimantan Tengah
Kepulauan Riau
0.00
0.00 Kalimantan Selatan
2.30
2.30
Jambi
1.30
1.30 Kalimantan Timur
34.60
35.40
Sumatera Selatan Kepulauan Bangka Belitung
5.00
5.20 Sulawesi Utara
11.90
11.00
0.00
0.00 Gorontalo
10.90
11.10
Bengkulu
15.30
16.00 Sulawesi Tengah
221.70
225.00
Lampung
38.70
39.00 Sulawesi Selatan
262.80
264.20
- Sulawesi Barat
153.00
153.00
6.70 Sulawesi Tenggara
197.40
239.00
DKI Jakarta
-
Jawa Barat
12.50
Banten
6.20
6.20 Maluku
16.80
17.10
Jawa Tengah DI Yogyakarta
6.90 4.50
7.10 Maluku Utara 4.60 Papua
34.70 21.40
34.80 21.60
13.40 1 425.20
14.40 1 475.30
JawaTimur 52.50 58.50 Papua Barat Bali 12.60 11.50 Total Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011
5.3
Perkembangan Produksi Kakao Indonesia
Sulawesi Tengah merupakan penyumbang produksi kakao terbesar untuk Indonesia pada tahun 2009 yaitu sebesar 154.80 ribu ton, yang diikuti oleh Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan masing-masing berkontribusi sebesar 149.50 dan 11.40 ribu ton. Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Aceh juga memproduksi sebesar 59.30, 32.40 dan 25.10 ribu ton. Jika dilihat dari total produksi kakao Indonesia menurun dari tahun 2008 ke tahun 2009 yaitu 803.60 ribu ton pada tahun 2008, namun ditahun berikutnya hanya memproduksi sebesar 758.40 ribu ton. Produksi kakao Indonesia sangat beragam dan tersebar di beberapa provinsi di Indonesia, karena kepemilikan lahan untuk pengusahaan kakao juga hampir merata tersebar diseluruh provinsi di Indonesia. Sulawesi merupakan provinsi terbanyak yang menanami dan memproduksi kakao, karena didukung juga oleh kondisi lahan dan temperature di lokasi tersebut yang membuat Sulawesi cocok ditanami kakao.
57 Tabel 17. Produksi Kakao Indonesia Menurut Provinsi Tahun 2008-2009 000 Ton Provinsi
2008
2009
Provinsi
Aceh
27.30
25.10 Nusa Tengga Barat
Sumatera Utara
60.30
59.30 Nusa Tenggara Timur
Sumatera Barat
32.20
32.40 Kalimantan Barat
2008
2009
1.70
1.70
11.90
12.00
2.20
2.20
Riau
4.10
4.00 Kalimantan Tengah
0.30
0.30
Kepulauan Riau
0.00
0.00 Kalimantan Selatan
0.30
0.20
Jambi
0.40
0.50 Kalimantan Timur
23.90
21.40
Sumatera Selatan Kepulauan Bangka Belitung
1.20
1.70 Sulawesi Utara
4.00
2.80
0.00
0.00 Gorontalo
3.40
3.60
Bengkulu
5.40
5.00 Sulawesi Tengah
151.90
154.80
Lampung
25.70
26.00 Sulawesi Selatan
DKI Jakarta
-
112.00
111.40
- Sulawesi Barat
149.50
149.50
117.00
75.60
6.90
7.10
Jawa Barat
3.70
2.30 Sulawesi Tenggara
Banten
2.40
2.60 Maluku
Jawa Tengah
2.70
2.90 Maluku Utara
12.50
11.30
DI Yogyakarta
1.20
1.20 Papua
11.30
11.50
2.70
4.00
803.60
758.40
JawaTimur
18.30
20.30 Papua Barat
Bali 6.80 5.40 Total Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011
VI.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN, PENAWARAN DAN HARGA BIJI KAKAO DI INDONESIA 6.1
Keragaan Umum Hasi Estimasi Model Ekonometrika
Program estimasi parameter model perdagangan kakao di Indonesia menggunakan metode 2SLS (Lampiran 4). Data yang digunakan adalah data time series tahunan dengan periode pengamatan dari tahun 1990 sampai dengan 2010 (Lampiran 3). Model ekonometrika merupakan model simultan dinamis yang dibangun dari 11 persamaan, terdiri dari tujuh persamaan struktural dan empat persamaan identitas. Hasil estimasi model dihasilkan setelah melalui beberapa tahapan respesifikasi model. Secara keseluruhan estimasi model yang dilakukan menunjukkan hasil yang cukup baik dilihat dari kriteria ekonomi (kesesuaian tanda), kriteria statistik, dan kriteria ekonometrika. Setiap persamaan struktural mempunyai besaran parameter dan tanda sesuai hipotesis dan logis dari sudut pandang ekonomi. Secara keseluruhan masing-masing persamaan memiliki R-Sq yang lebih besar dari 60 persen, menunjukkan bahwa secara umum masing-
58 masing keragaman variabel endogen dapat dijelaskan oleh variabel-variabel penjelas yang dimasukkan dalam persamaan struktural (Lampiran 5). Berdasarkan uji statistik-F diperoleh hasil bahwa keseluruhan persamaan struktural memiliki P-value uji statistik-F lebih kecil dari taraf α sebesar 10 persen yang berarti variabel penjelas dalam setiap persamaan struktural secara bersamasama mampu menjelaskan dengan baik variabel endogennya. Hasil uji statistik-t menunjukkan bahwa dengan pengujian satu arah secara individual ada beberapa variabel penjelas yang tidak berpengaruh nyata terhadap variabel endogennya pada taraf nyata α sebesar 10 persen, namun yang diutamakan adalah kelogisan serta kesesuaian tanda dan besaran dengan kriteria ekonomi. 6.1.1
Hasil Uji Autokorelasi Pendeteksian masalah autokorelasi dilakukan dengan menggunakan
statistik DW dan statistik Durbin-h. Nilai statistik Durbin-h yang diperoleh pada persamaan perdagangan biji kakao Indonesia berkisar antara -0.04 sampai 1.47 sehingga dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan masing-masing persamaan tidak terdapat serial korelasi. Ada tidaknya masalah serial korelasi, Pindyck dan Rubinfeld (1991) telah membuktikan bahwa masalah serial korelasi hanya mengurangi efisiensi estimasi parameter dan serial korelasi tidak menimbulkan bias
parameter
regresi.
Berdasarkan
kriteria-kriteria
tersebut,
dengan
mempertimbangkan periode pengamatan yang cukup panjang maka hasil estimasi model dapat dikatakan cukup menggambarkan fenomena ekonomi kakao di Indonesia. 6.2
Luas Areal Tanam Biji Kakao Indonesia
Berdasarkan hasil estimasi persamaan luas areal tanam biji kakao Indonesia pada Tabel 18, diketahui bahwa persamaan luas areal tanam biji kakao Indonesia memiliki nilai koefisien determinasi yang tinggi (0.9860), menunjukkan tingginya kemampuan variabel penjelas untuk menjelaskan perilaku variabel endogennya. Sebagaimana diduga, luas areal biji kakao sangat dipengaruhi oleh harga biji kakao domestik, harga produk kompetitifnya (minyak sawit), harga rata-rata pupuk, suku bunga, upah buruh dan teknologi.
59 Tabel 18. Hasil Estimasi Parameter Luas Areal Biji Kakao Indonesia Variabel
Koefisien
Pr > |t|
Elastisitas SR
Intersep LPKDR
366 780.9000 15.5909
0.1900 0.2409
0.0810
0.1518
PMSDR
-37.1468
0.1727
-0.0484
-0.0908
-298.4620
0.1881
-0.1272
-0.2384
-2 958.9500
0.4089
0.0008
0.0015
-1.4808
0.8728
-0.0131
-0.0247
33 161.0800
0.1665
0.4216
0.7899
LAKIN
0.4662
0.1944
R-Sq
0.9860
F value
121.55
Adj R-Sq
0.9779
Pr > F
<.0001
DW stat
2.3319
DH stat
0.1994
PFR SIRR LR T
Nama Variabel
LR Intersep Harga riil biji kakao domestik tahun sebelumnya Harga riil minyak sawit domestik Indonesia Harga riil rata-rata pupuk Perubahan suku bunga kredit bank persero Upah riil buruh sektor perkebunan Tren waktu/ teknologi Luas areal kakao Indonesia tahun sebelumnya
Harga minyak sawit domestik, harga pupuk dan teknologi berpengaruhi secara nyata terhadap luas areal tanam kakao Indonesia pada taraf 20 persen. Variabel luas areal tanam kakao tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap luas areal tanam kakao Indonesia, menunjukkan bahwa terdapat tenggang waktu yang relatif lambat untuk merespon perubahan eksternal. 6.3
Produktivitas Biji Kakao Indonesia
Berdasarkan Tabel 20, harga domestik biji kakao, luas areal tanam, dan curah hujan sangat berpengaruh terhadap poduktifitas biji kakao Indonesia dengan nilai estimasi masing-masing sebesar 0.0268, 0.0090, dan 0.0018 yang berarti jika harga domestik biji kakao, luas areal tanam dan curah hujan meningkat sebesar satu persen maka produktifitas biji kakao Indonesia akan meningkat sebesar 0.0268, 0.0090, dan 0.0018. Harga domestik biji kakao, luas areal tanam, dan curah hujan juga memberikan pengaruh yang elastis pada jangka panjang yang masing-masing memiliki nilai elastisitas jangka panjang sebesar 1.3728, -1.1989, dan 1.2962. Persamaan produktifitas biji kakao Indonesia memiliki nilai determinasi sebesar 0.7793 yang artinya model yang diestimasi sudah mampu dengan baik menggambarkan kondisi yang sebenarnya yaitu 77.93 persen variabel eksogen yang terdapat dalam model mampu menjelaskan keragaan produktifitas biji kakao Indonesia sisanya dijelaskan oleh faktor lain diluar model.
60 Tabel 19. Hasil Estimasi Parameter Produktifitas Biji Kakao Indonesia Variabel
Koefisien
Elastisitas
Pr > |t| SR
Nama Variabel LR
Intersep
-0.0445
0.6338
PKDR
0.00002
0.0268
0.4178
1.3728
AKIN
-1.13E-07
0.0090
-0.3649
-1.1989
0.3945
1.2962
CH
Intersep
0.00008
0.0018
LYKIN
0.6956
0.0002
R-Sq
0.7793
F value
Adj R-Sq
0.7205
Pr > F
<.0001
DW stat
2.3878
DH stat
0.1501
6.4
Harga riil biji kakao domestic Luas areal kakao Indonesia Curah hujan Produktifitas kakao tahun sebelumnya
13.25
Produksi Kakao Indonesia
Produksi biji kakao Indonesia merupakan persamaan identitas dari perkalian luas areal tanam dengan produktifitas biji kakao Indonesia. Secara matematis persamaan identitas dari produksi biji kakao Indonesia dapat dilihat pada persamaan: QKINt = AKINt * YKINt Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap perubahan kebijakan atau gangguan pada luas areal tanam dan produktifitas biji kakao akan memberi pengaruh dan efek balik kepada peubah endogen baik secara langsung maupun tidak langsung. 6.5
Penawaran Biji Kakao Indonesia
Penawaran biji kakao Indonesia merupakan persamaan identitas dari penjumlahan produksi biji kakao Indonesia, ditambah jumlah impor biji kakao, dan dikurangi jumlah ekspor biji kakao Indonesia. Secara matematis persamaan identitas dari penawaran biji kakao Indonesia dapat dilihat pada persamaan: SKINt = QKINt + MKINt - XKINt Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap perubahan kebijakan atau gangguan pada produksi biji kakao, impor, maupun ekspor biji kakao Indonesia akan memberi pengaruh dan efek balik kepada peubah endogen baik secara langsung maupun tidak langsung. 6.6
Volume Impor Biji Kakao Indonesia
Persamaan model volume impor biji kakao Indonesia dipengaruhi oleh harga impor biji kakao Indonesia , harga biji kakao domestik, nilai tukar, dan tarif impor. Harga impor biji kakao Indonesia, nilai tukar, dan tarif impor berpengaruh
61 negatif terhadap volume impor biji kakao Indonesia, sesuai dengan teori ekonomi bahwa jika harga meningkat maka volume permintaan akan mengalami penurunan, begitu juga dengan tarif impor. Persamaan volume impor memiliki nilai determinasi yang tinggi yaitu 0.9152 yang berarti model baik dan mampu menjelaskan kondisi impor biji kakao Indonesia sebesar 91.52 persen yang diwakili oleh variabel endogen yang terdapat didalam model, sisanya 8.48 persen dijelaskan oleh faktor lain diluar model. Harga impor memberikan respon yang elastis baik jangka pendek maupun jangka panjang dengan nilai elastisitas sebesar -0.0266 pada jangka pendek dan -0.0932 pada jangka panjang. Harga biji kakao domestik, tarif impor dan nilai tukar juga memberikan respon yang elastis pada jangka pendek yaitu masing-masing bernilai 0.0932, -0.1657, dan -0.1071. Nilai tukar sangat erat kaitannya dengan terjadinya depresiasi dan apresiasi nilai mata uang. Tabel 20. Hasil Estimasi Parameter Volume Impor Biji Kakao Indonesia Variabel
Koefisien
Pr > |t|
Elastisitas SR
Intersep PMKINR PKDR EXCRR TM
Nama Variabel
LR
26 871.0700
0.1776
-0.7961
0.6340
-0.0266
-0.0933
0.4349
0.7558
0.0932
0.3272
-1.3597
0.2916
-0.1071
-0.0453
Nilai tukar riil
-0.1657
-0.5815
Tarif impor
-1 573.2200
0.3799
LMKIN
0.7149
0.0005
R-Sq
0.9152
F value
Adj R-Sq
0.8849
Pr > F
DW stat
2.4308
DH stat
Intersep Harga riil impor biji kakao Indonesia Harga riil biji kakao domestic
Volume impor biji kakao Indonesia tahun sebelumnya 30.22 <.0001 0.1619
Depresiasi dan apresiasi nilai mata uang asing akan mengakibatkan perubahan pada ekspor maupun impor negara Indonesia. Jika kurs mengalami depresiasi, yaitu nilai mata uang dalam negeri menurun dan berarti nilai mata uang asing bertambah tinggi kursnya (harganya) akan menyebabkan ekspor meningkat dan impor menurun. Jadi kurs valuta asing mempunyai hubungan yang searah dengan volume ekspor. Kurs dalam negeri mempunyai hubungan yang searah dengan volume impor.
62 Selanjutnya melemahnya rupiah akan menyebabkan pasar modal dalam negeri kurang menarik karena adanya resiko nilai tukar yang menyebabkan penurunan nilai investasi dan mempunyai hubungan negatif terhadap return saham. Penurunan investasi itu sendiri disebabkan karena kenaikan suku bunga pinjaman riil atau bisa diartikan sebagai peningkatan ongkos sewa modal. Karena itu akan menyebabkan beban pembayaran kembali modal menjadi meningkat dan mengurangi insentif untuk melakukan investasi. Penurunan investasi menyebabkan pendapatan masyarakat berkurang, sehingga akan mengurangi daya beli masyarakat untuk membeli produk industri, sehingga menambah
menurunkan
perkembangan
pengangguran
sehingga
industri.
Penurunan
perekonomian
industri
rakyat
akan
mengalami
kemerosotan. Menurunnya mata uang asing akan menurunkan minat eksportir terhadap
mata
uang
asing
sehingga
ekspor
menurun
dan
impor
meningkat. Menguatnya nilai rupiah akan menarik minat investor asing untuk menanamkan modal karena semakin tinggi investasi akan menyebabkan harga saham meningkat sehingga menyebabkan permintaan uang semakin tinggi dengan tingkat bunga yang semakin tinggi. Investasi asing yang masuk ke dalam negeri menyebabkan pendapatan nasional dan pendapatan masyarakat meningkat. Peningkatan ini akan meningkatkan daya beli masyarakat, efeknya akan sangat baik untuk perkembangan perindustrian lokal maupun internasional. Pertumbuhan industri yang semakin banyak tentu akan berdampak positif terhadap jumlah tenaga kerja yang terserap dalam industri tersebut, akan tetapi banyaknya jumlah tenaga kerja yang terserap dalam industri belum tentu menambah kesejahteraan. Karena pendapatan tidak dinikmati oleh sebagian besar rakyat karena adanya ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan. 6.7
Volume Ekspor Biji Kakao Indonesia
Nilai koefisien determinasi yang tinggi (R2) menunjukkan tingginya kemampuan variabel penjelas untuk menjelaskan perilaku variabel endogen yaitu sebesar 0.8434 artinya 84.34 persen keragaan variabel endogen mampu dijelaskan oleh variabel eksogen yang ada didalam model, sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor lain diluar model. Harga ekspor memberikan respon yang elastis untuk
63 jangka pendek maupun jangka panjang dengan nilai elastisitas sebesar 0.0023 dan 0.0047. Hubungan exchange rates dengan volume ekspor adalah negatif, sehingga apabila nilai mata uang suatu negara mengalami depresiasi maka volume ekspor negara tersebut akan meningkat begitu juga sebaliknya bila nilai mata uang suatu negara mengalami apresiasi maka volume ekspor negara tersebut akan menurun. Semakin tinggi tingkat volatilitas (fluktuasi) nilai mata uang maka keuntungan potensial yang dapat diperoleh dari perdagangan internasional juga semakin meningkat tetapi resiko akan menjadi semakin besar juga. Exchange rates juga merupakan komponen yang paling banyak memberikan informasi mengenai perkembangan pertumbuhan ekspor dan pertumbuhan ekonomi di masa mendatang. Tabel 21. Hasil Estimasi Parameter Volume Ekspor Biji Kakao Indonesia Variabel
Koefisien
Pr > |t|
Elastisitas SR
Intersep
Nama Variabel
LR
77 434.3300
0.4599
LPXINR2
0.0027
0.5349
0.0023
0.0047
PXINRt-1*EXCRRt-1
QKINT
0.0128
0.0406
0.4135
0.8422
QKINt*Tt
-0.0965
-0.1967
PJX
Intersep
-5 340.3700
0.4622
LXKIN
0.5089
0.0461
R-Sq
0.8434
F value
Adj R-Sq
0.8016
Pr > F
<.0001
DW stat
2.1009
DH stat
0.0550
6.8
Pajak ekspor biji kakao Indonesia Volume ekspor biji kakao Indonesia tahun sebelumnya
20.20
Permintaan Total Biji Kakao Indonesia
Permintaan total biji kakao Indonesia merupakan persamaan identitas yang diperoleh dari penjumlahan permintaan biji kakao yang digunakan untuk memproduksi cocoa butter dengan permintaan biji kakao yang digunakan untuk memproduksi selain cocoa butter. Secara matematis persamaan identitas dari permintaan total biji kakao Indonesia dapat dilihat pada persamaan: DKINt = DKINBUt + DKNONBUt Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap perubahan kebijakan atau gangguan pada permintaan biji kakao oleh industri butter dan oleh selain cocoa
64 butter akan memberi pengaruh dan efek balik kepada peubah endogen baik secara langsung maupun tidak langsung. 6.9
Permintaan Biji Kakao oleh Industri Cocoa Butter
Suatu hipotesis ekonomi yang mendasar adalah bahwa untuk kebanyakan komoditas, harga komoditas dengan kuantitas yang ditawarkan berhubungan secara positif dan harga komoditas dengan kuantitas yang diminta berhubungan secara negatif dengan semua faktor lainnya adalah konstan. Semakin tinggi harga suatu komoditas maka akan semakin besar jumlah komoditas yang ditawarkan dan semakin kecil jumlah yang diminta. Sebaliknya jika harga suatu komoditas semakin rendah maka jumlah yang ditawarkan akan semakin kecil dan jumlah yang diminta akan semakin besar (Lipsey, 1995). Pada Tabel 23, disajikan nilai estimasi harga domestik biji kakao yaitu -1.3327 berarti jika harga biji kakao meningkat sebesar satu persen maka permintaan biji kakao oleh industri butter akan menurun sebesar 1.3327 persen. Harga biji kakao domestik memberikan respon elastis pada jangka pendek yaitu sebesar -0.0826. Respon yang elastis juga ditunjukan oleh harga ekspor cocoa butter yaitu sebesar - 0.0225 pada jangka pendek. Persamaan permintaan biji kakao oleh industri butter memiliki nilai koefisien determinasi yang tinggi yaitu sebesar 0.6170 menunjukkan bahwa variabel endogen yang terdapat didalam model mampu menjelaskan keragaan model permintaan biji kakao oleh industri butter yaitu sebesar 61.70 persen, sisanya diterangkan oleh variabel lain diluar model. Tabel 22. Hasil Estimasi Parameter Permintaan Biji Kakao oleh Industri Cocoa Butter Variabel
Koefisien
Elastisitas
Pr > |t| SR
Nama Variabel LR
Intersep
7 632.6370
0.4787
SPKDR
-1.3327
0.5875
-0.0826
-0.2789
1.7661
0.7457
-0.0225
-0.0760
0.2840
0.9584
SPEKBUR T
Intersep
345.9695
0.7138
LDKINBU
0.7036
0.0035
R-Sq
0.6170
F value
Adj R-Sq
0.5148
Pr > F
0.0042
DW stat
1.6301
DH stat
-0.1414
Perubahan harga riil biji kakao domestic Perubahan harga riil ekspor cocoa butter Indonesia Tren waktu/teknologi Permintaan biji kakao oleh industri cocoa butter tahun sebelumnya
6.04
65 6.10
Harga Riil Biji Kakao Domestik
Penawaran biji kakao berhubungan negatif terhadap harga biji kakao domestik yaitu dengan nilai elastisitas jangka pendek sebesar -0.0856 dan jangka panjang sebesar -0.0999, artinya jika permintaan biji kakao meningkat sebesar satu persen maka harga biji kakao meningkat sebesar 0.0856 persen pada jangka pendek dan 0.0999 pada jangka panjang Tabel 23. Hasil Estimasi Parameter Harga Biji Kakao Domestik Variabel
Koefisien
Pr > |t|
Elastisitas SR
Intersep
-7 702.9200
0.005
PXINR
2.1928
0.001
0.2611
0.3048
EXCRR
0.7047
<.0001
0.2589
0.3022
-0.0025
0.3883
-0.0856
-0.0999
513.7838
0.0001
1.0603
1.2377
LPKDR
0.1433
0.3597
R-Sq
0.8499
F value
15.86
Adj R-Sq
0.7963
Pr > F
<.0001
DW stat
2.5522
DH stat
1.4794
SKIN T
Nama Variabel
LR Intersep Harga riil ekspor biji kakao Indonesia Nilai tukar riil Penawaran total biji kakao Indonesia Tren waktu/teknologi Harga riil biji kakao domestik tahun sebelumnya
Variabel lain yang turut mempengaruhi keragaan model harga biji kakao domestik adalah harga ekspor biji kakao, nilai tukar, dan tren waktu. Tren waktu elastis baik jangka pendek maupun jangka panjang terhadap harga domestik dengan nilai elastisitas sebesar 1.0603 dan 1.2377. Tren waktu dalam persamaan mewakili teknologi, yang berarti jika teknologi yang diterapkan pada tanaman kakao semakin baik, mutu kakao juga akan semakin baik, mutu kakao biasa dianalogikan dengan harga kakao itu sendiri sehingga jika mutu baik, harga juga akan baik. 6.11
Harga Ekspor Riil Biji Kakao Indonesia
Harga ekspor biji kakao Indonesia dipengaruhi oleh volume ekspor biji kakao, harga biji kakao dunia, dan tren. Volume ekspor biji kakao elastis terhadap harga ekspor biji kakao Indonesia, dengan nilai elastisitas sebesar -1.4188 pada jangka pendek dan -3.2637 pada jangka panjang artinya jika volume ekspor biji kakao meningkat sebesar satu persen maka harga ekspor biji kakao menurun sebesar 1.4188 pada jangka pendek dan sebesar 3.2637 pada jangka panjang,
66 mengindikasikan bahwa Indonesia adalah negara maju dalam bidang komoditas kakao. Tabel 24. Hasil Estimasi Parameter Harga Ekspor Biji Kakao Indonesia Variabel Intersep
Koefisien
Pr > |t|
Elastisitas SR
LR
1 423.0810
0.0661
-0.0031
0.1122
-1.4188
-3.2637
0.0137
0.4578
-0.0161
-0.0370
31.4044
0.4722
0.5441
1.2517
LPXINR
0.5652
0.0096
R-Sq
0.8418
F value
19.96
Adj R-Sq
0.7997
Pr > F
<.0001
DW stat
1.9070
DH stat
-0.0450
XKIN SPWBKR T
Nama Variabel Intersep volume ekspor biji kakao Indonesia Perubahan harga riil biji kakao dunia Tren waktu/teknologi Harga riil ekspor biji kakao Indonesia tahun sebelumnya
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kakao terbesar dunia mempunyai peran untuk mempengaruhi harga ekspor, dari nilai probabilitas volume ekspor sebesar 0.1122 nyata pada taraf 15 persen. Oleh karena itu, Indonesia harus menyadari hal tersebut agar mampu bersaing dengan negara lain, dan berusaha meningkatkan kualitas serta nilai tambah produk kakao Indonesia. 6.12
Produksi Cocoa Butter Indonesia
Produksi cocoa butter merupakan persamaan identitas yang diperoleh dari perkalian antara nilai konversi dengan permintaan biji kakao untuk cocoa butter. Secara matematis persamaan identitas dari produksi cocoa butter Indonesia dapat dilihat pada persamaan: QKBUt = 0.3 * DKINBUt Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap perubahan kebijakan atau gangguan pada permintaan biji kakao oleh industri butter memberi pengaruh dan efek balik kepada produksi cocoa butter baik secara langsung maupun tidak langsung.
67 VII.
DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR EKONOMI 7.1
Validasi Model
Model dampak perubahan faktor ekonomi telah di uji dengan simulasi dasar untuk sampel pengamatan dari 2008-2010 (Lampiran 6). Batasan rentang tahun tersebut ditetapkan sesuai dengan tujuan penelitian yaitu melihat dampak penerapan kebijakan pajak ekspor biji kakao dan kebijakan mulai diterapkan pada tahun 2010. Range waktu tersebut juga dipilih karena merupakan rentang waktu perumusan kebijakan penerapan pajak ekspor biji kakao hingga tersosialisasikan. Indikator validasi statistik yang digunakan adalah Root Mean Square Percent Error (RMSPE) untuk mengukur seberapa dekat nilai masing-masing peubah endogen hasil pendugaan mengikuti nilai aktualnya selama periode pengamatan atau dengan kata lain seberapa jauh penyimpangannya dalam ukuran persen. Selain itu digunakan statistik Theil’s Inequality Coefficient (U) untuk mengevaluasi kemampuan model bagian analisis historis. Semakin kecil nilai RMSPE dan U-Theil’s, maka pendugaan model semakin baik. Nilai koefisien Theil (U) berkisar antara 1 dan 0. Jika U = 0 maka estimasi model sempurna, jika U = 1 maka pendugaan model naif (Lampiran 7). Tabel 25. Hasil Validasi Model Dampak Perubahan Faktor Ekonomi terhadap Kinerja Industri Kakao di Indonesia Tahun 2008-2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Variabel AKIN YKIN QKIN SKIN MKIN XKIN DKIN DKINBU
PKDR PXINR QKBU Rata-rata
RMSPE 2.7238 2.4157 3.8333 3.6123 8.9689 4.8296 5.0095 58.8708 14.2089 32.8862 58.8708 17.8390
U theil 0.0133 0.0117 0.0189 0.0190 0.0490 0.0231 0.0246 0.2181
Nama Variabel Luas Areal Tanam Biji Kakao Indonesia Produktifitas Kakao Indonesia Produksi Biji Kakao Indonesia Penawaran Biji Kakao Indonesia Volume Impor Biji Kakao Indonesia Volume Ekspor Biji Kakao Indonesia Permintaan Total Biji Kakao Indonesia Permintaan Biji Kakao oleh Industri Cocoa Butter Indonesia 0.0842 Harga Domestik Biji Kakao Indonesia 0.1991 Harga Ekspor Biji Kakao Indonesia 0.2181 Produksi Cocoa Butter Indonesia 0.0799
Hasil validasi pada Tabel 25 menunjukkan bahwa nilai RMSPE berkisar antara 2.7238 persen sampai dengan 58.8708 persen. Nilai statistik U-Theil berkisar antara 0.0117 sampai dengan 0.2181, menunjukkan bahwa secara umum
68 model memiliki kemampuan prediksi yang baik. Model yang dibangun juga memiliki kemampuan prediksi yang cukup valid untuk melakukan simulasi historis. 7.2
Dampak Perubahan Faktor Ekonomi terhadap Penawaran, Permintaan, Harga Biji Kakao, dan Produksi Cocoa Butter Indonesia Simulasi kebijakan yang dilakukan terdiri dari sembilan skenario
kebijakan antara lain penerapan pajak ekspor biji kakao sebesar 15 persen, penurunan suku bunga bank kredit persero sebesar 15 persen, pemberian subsidi pupuk oleh pemerintah sebesar 15 persen, peningkatan harga ekspor biji kakao Indonesia sebesar 15 persen, larangan ekspor biji kakao Indonesia, penetapan kuota ekspor biji kakao Indonesia sebesar 75 persen, penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika sebesar 15 persen, kombinasi penetapan pajak ekspor 15 persen dan pemberian subsidi pupuk sebesar 15 persen, dan kombinasi kuota ekspor biji kakao Indonesia sebesar 75 persen dan subsidi pupuk oleh pemerintah sebesar 15 persen. Penelitian tentang kebijakan perdagangan kakao sudah banyak dilakukan sebelumnya, seperti oleh Lubis dan Nuryanti (2011) dalam jurnal analisis kebijakan pertanian, dengan artikel yang berjudul analisis dampak Asian China Free Trade Area (ACFTA) dan kebijakan perdagangan kakao di pasar domestik dan China, dan oleh Susila (1996) tentang prospek pasar kakao dunia, serta oleh Susila et al (1998) mengenai dampak pelaksanaan putaran uruguay terhadap industri kakao dunia dan domestik. 7.2.1 Dampak Penetapan Pajak Ekspor Biji Kakao Sebesar 15 Persen Penetapan alternatif kebijakan ini berdasarkan kebijakan pajak ekspor biji kakao yang tertuang pada peraturan menteri keuangan No 67/PMK.011/2010 bahwa pajak ekspor untuk harga referensi di atas US $ 3 500 per ton adalah sebesar 15 persen. Alternatif digunakan untuk melihat dampak kebijakan pajak ekspor 15 persen terhadap volume ekspor biji kakao dan produksi cocoa butter Indonesia yang ada jika kebijakan tersebut diterapkan. Alternatif
pernah
digunakan oleh Malian dan Saptana (2002) dalam penelitiannya yang berjudul dampak peningkatan tarif impor gula terhadap pendapatan petani tebu.
69 Adanya pajak ekspor biji kakao yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia sebesar 15 persen menyebabkan volume ekspor biji kakao Indonesia mengalami penurunan sebesar 14.6870 persen. Menurunnya volume ekspor biji kakao Indonesia berdampak meningkatkan harga ekspor biji kakao Indonesia sebesar 50.5812 persen. Peningkatan harga ekspor berdampak meningkatkan harga biji kakao domestik sebesar 7.9280 persen. Peningkatan harga domestik biji kakao berdampak menurunkan permintaan biji kakao domestik untuk industri cocoa butter sebesar 1.4282 persen dan juga menurunkan permintaan total sebesar 0.1912 persen, sehingga mengakibatkan produksi cocoa butter menurun sebesar 1.4285 persen. Meningkatnya harga domestik kakao menyebabkan impor meningkat sebesar 0.8283 persen. Peningkatan harga domestik biji kakao juga berdampak meningkatkan luas areal tanam kakao dan produktifitas kakao Indonesia masingmasing sebesar 0.3909 dan 3.3674 persen. Peningkatan luas areal tanam dan produktifitas kakao mengakibatkan produksi kakao mengalami peningkatan sebesar 3.8225 persen. Peningkatan produksi, impor, dan penurunan ekspor biji kakao menyebabkan penawaran dalam negeri meningkat sebesar 36.1650 persen. Tabel 26. Hasil Simulasi Penetapan Pajak Ekspor Sebesar 15 Persen Variabel
Satuan
Perubahan
Nilai Dasar
Nilai Simulasi
1 551 125.0000
1 557 189.0000
6 064.0000
0.3909
0.5375
0.5556
0.0181
3.3674
Unit
Persentase
AKIN
Ha
YKIN
Ton/Ha
QKIN
Ton
832 388.0000
864 206.0000
31 818.0000
3.8225
SKIN
Ton
317 547.0000
432 388.0000
114 841.0000
36.1650
MKIN
Ton
47 733.2000
48 127.8000
395.4000
0.8284
XKIN
Ton
562 574.0000
479 946.0000
-82 628.0000
-14.6900
DKIN
Ton
342 032.0000
341 378.0000
-654.0000
-0.1910
DKINBU
Ton
45 735.4000
45 082.2000
-653.2000
-1.4280
PKDR
Rp/Kg
7 728.3000
8 341.0000
612.7000
7.9280
PXINR
$ US/ Kg
QKBU
Ton
774.2000
1 165.8000
391.6000
50.5810
13 720.6000
13 524.6000
-196.0000
-1.4290
7.2.2 Dampak Penurunan Suku Bunga Kredit Bank Persero Sebesar 15 Persen Alternatif kebijakan penurunan suku bunga kredit bank persero dibuat karena suku bunga kredit merupakan input utama dari industri hulu kakao, sehingga dengan adanya penurunan suku bunga kredit diharapkan mampu
70 meningkatkan industri hilir kakao. Penurunan suku bunga kredit bank persero seharusnya dapat meningkatkan luas areal tanam kakao, tetapi penurunan suku bunga kredit bank persero belum mampu meningkatkan luas areal tanam kakao. Luas areal tanam kakao mengalami penurunan sebesar 0.0166 persen. Penurunan luas areal tanam kakao mengakibatkan produktifitas kakao meningkat sebesar 0.0186 persen. Peningkatan produktifitas dan penurunan luas areal tanam kakao mengakibatkan produksi kakao menurun sebesar 0.0068 persen. Penurunan produksi kakao mengakibatkan volume ekspor biji kakao menurun sebesar 0.0035 persen. Penurunan volume ekspor biji kakao sangat kecil sehingga tidak berpengaruh pada perubahan harga ekspor biji kakao Indonesia. Penurunan volume ekspor menyebabkan penawaran kakao dalam negeri menurun sebesar 0.0116 persen. Penurunan penawaran kakao mengakibatkan harga kakao domestik meningkat sebesar 0.0038 persen. Meningkatnya harga domestik kakao menyebabkan permintaan biji kakao oleh industri cocoa butter berkurang sebesar 0.0006 persen sehingga produksi cocoa butter menurun sebesar 0.0007 persen. Tabel 27. Variabel
Hasil Simulasi Penurunan Suku Bunga Kredit Bank Persero Sebesar 15 Persen Satuan
AKIN
Ha
YKIN
Ton/Ha
QKIN
Nilai Dasar
Nilai Simulasi
Perubahan Unit
Persentase
1 551 125.0000
1 555 086.6000
-259.0000
-0.0166
0.5375
0.5376
1E-04
0.0186
Ton
832 388.0000
832 331.0000
-57.0000
-0.0068
SKIN
Ton
317 547.0000
317 510.0000
-37.0000
-0.0116
MKIN
Ton
47 733.2000
47 732.6000
0.2000
0.0004
XKIN
Ton
562 574.0000
562 554.0000
-20.0000
-0.0035
DKIN
Ton
342 032.0000
342 031.0000
-1.0000
-0.0002
DKINBU
Ton
45 735.4000
45 735.1000
-0.3000
-0.0006
PKDR
Rp/Kg
7 728.3000
7 728.6000
0.3000
0.0038
PXINR
$ US/ Kg
774.2000
774.2000
0.0000
0.0000
QKBU
Ton
13 720.6000
13 720.5000
-0.1000
-0.0007
7.2.3
Dampak Pemberian Subsidi Pupuk Sebesar 15 Persen Alternatif kebijakan subsidi pupuk dibuat karena pupuk merupakan input
utama dari industri hulu kakao, sehingga dengan adanya pemberian subsidi diharapkan mampu meningkatkan industri hilir kakao.
71 Pemberian subsidi pupuk sebesar 15 persen menyebabkan luas areal tanam meningkat sebesar 2.3675 persen. Meningkatnya luas areal tanam kakao menyebabkan produktifitas menurun sebesar 1.4139 persen. Peningkatan luas areal tanam dan penurunan produktifitas kakao menyebabkan produksi biji kakao meningkat sebesar 0.8649 persen. Peningkatan produksi kakao menyebabkan volume ekspor biji kakao meningkat sebesar 0.4694 persen. Peningkatan volume ekspor menyebabkan harga ekspor biji kakao Indonesia menurun sebesar 1.5600 persen. Penurunan harga ekspor biji kakao berdampak menurunkan harga domestik kakao sebesar 0.5395 persen. Penurunan harga domestik biji kakao direspon baik oleh para pelaku industri kakao dengan meningkatnya permintaan biji kakao untuk cocoa butter sebesar 0.0922 persen. Peningkatan permintaan menyebabkan produksi cocoa butter meningkat sebesar 0.0925 persen. Tabel 28. Hasil Simulasi Pemberian Subsidi Pupuk Sebesar 15 Persen Variabel
Satuan
Perubahan
Nilai Dasar
Nilai Simulasi
1 551 125.0000
1 587 849.0000
36 724.0000
2.3676
0.5375
0.5299
-0.0076
-1.4140
Unit
Persentase
AKIN
Ha
YKIN
Ton/Ha
QKIN
Ton
832 388.0000
839 588.0000
7 200.0000
0.8650
SKIN
Ton
317 547.0000
322 076.0000
4 529.0000
1.4262
MKIN
Ton
47 733.2000
47 703.7000
-28.7000
-0.0600
XKIN
Ton
562 574.0000
562 215.0000
2 641.0000
0.4694
DKIN
Ton
342 032.0000
342 074.0000
42.0000
0.0123
DKINBU
Ton
45 735.4000
45 777.6000
42.2000
0.0923
PKDR
Rp/Kg
7 728.3000
7 686.6000
-41.7000
-0.5400
PXINR
$ US/ Kg
774.2000
762.1000
-12.1000
-1.5630
QKBU
Ton
13 720.6000
13 733.3000
12.7000
0.0926
7.2.4 Dampak Peningkatan Harga Ekspor Biji Kakao Sebesar 15 Persen Alternatif peningkatan harga ekspor biji kakao sengaja dibuat untuk melihat kecenderungan perilaku variabel endogen ketika mutu biji kakao Indonesia membaik. Sesuai dengan kondisi perdagangan kakao Indonesia ke Eropa, harga kakao Indonesia selalu mendapat potongan harga 15 persen karena mutu kakao Indonesia di nilai rendah karena mengandung keasaman yang tinggi, rendah senyawa precursor flavor dan rendah kadar lemak. Fasilitas pebaikan mutu dan produktifitas kakao Indonesia pernah ditulis dalam sebuah warta pusat penelitian kopi dan kakao Indonesia oleh Wahyudi dan Misnawi (2007).
72 Peningkatan harga ekspor biji kakao sebesar 15 persen menyebabkan harga kakao domestik meningkat sebesar 15.5247 persen. Peningkatan harga kakao domestik mengakibatkan luas areal tanam dan produktifitas kakao meningkat masing-masing sebesar 0.8598 dan 6.8465 persen. Peningkatan luas areal tanam dan produktifitas biji kakao menyebabkan produksi cocoa butter meningkat
sebesar
7.8569
persen.
Peningkatan
harga
kakao
domestik
mengakibatkan permintaan biji kakao oleh industri butter menurun sebesar 2.6985 persen. Penurunan permintaan berdampak menurunkan produksi cocoa butter sebesar 2.6981 persen. Peningkatan harga kakao domestik mengakibatkan volume impor biji kakao meningkat sebesar 1.6971 persen. Peningkatan volume impor, ekspor dan produksi kakao menyebabkan penawaran domestik meningkat sebesar 12.0993 persen. Peningkatan harga ekspor biji kakao mengakibatkan volume ekspor biji kakao Indonesia meningkat sebesar 4.9396 persen. Tabel 29. Hasil Simulasi Peningkatan Harga Ekspor Biji Kakao Sebesar 15 Persen Variabel
Satuan
Nilai Dasar
AKIN
Ha
YKIN
Ton/Ha
0.5375
QKIN
Ton
832 388.0000
SKIN
Ton
317 547.0000
MKIN
Ton
XKIN DKIN
1 564 462.0000
Perubahan Unit
Persentase
13 337.0000
0.8598
0.5743
0.0368
6.8465
897 788.0000
65 400.0000
7.8569
355 968.0000
38 421.0000
12.0990
47 733.2000
48 542.5000
810.1000
1.6972
Ton
562 574.0000
590 363.0000
27 789.0000
4.9396
Ton
342 032.0000
340 798.0000
-1 234.0000
-0.3610
DKINBU
Ton
45 735.4000
44 501.2000
-1 234.2000
-2.6990
PKDR
Rp/Kg
7 728.3000
8 928.1000
1 199.8000
15.5250
PXINR
$ US/ Kg
QKBU
Ton
7.2.5
1 551 125.0000
Nilai Simulasi
774.2000
890.3300
116.1300
15.0000
13 720.6000
13 350.4000
-370.2000
-2.6980
Dampak Pemberlakuan Larangan Ekspor Biji Kakao Indonesia Alternatif kebijakan ini sengaja di buat dalam usaha meningkatkan industri
pengolahan biji kakao menjadi produk olahan. Pemberlakuan larangan ekspor mengakibatkan harga ekspor biji kakao meningkat sebesar 335.65 persen. Peningkatan harga ekspor biji kakao menyebabkan harga kakao domestik meningkat sebesar 51.8950 persen. Peningkatan harga kakao domestik mengakibatkan luas areal tanam dan produktifitas kakao meningkat masing-
73 masing sebesar 2.5333 dan 21.9907 persen. Peningkatan luas areal tanam dan produktifitas biji kakao menyebabkan produksi cocoa butter meningkat sebesar 25.6210 persen. Peningkatan harga kakao domestik menurunkan permintaan biji kakao oleh industri butter sebesar 9.3612 persen. Penurunan permintaan berdampak menurunkan produksi cocoa butter sebesar 9.3611 persen. Peningkatan harga kakao domestik mengakibatkan volume impor biji kakao meningkat sebesar 5.4143 persen. Peningkatan volume impor dan produksi kakao serta tidak adanya ekspor kakao menyebabkan penawaran domestik meningkat sebesar 245.1360 persen. Tabel 30. Hasil Simulasi Larangan Ekspor Biji Kakao Indonesia Variabel
Satuan
Nilai Dasar
Nilai Simulasi
1 551 125.0000
1 590 421.0000
AKIN
Ha
YKIN
Ton/Ha
0.5375
QKIN
Ton
832 388.0000
SKIN
Ton
317 547.0000
MKIN
Ton
47 733.2000
XKIN
Ton
DKIN
Ton
DKINBU
Ton
PKDR
Rp/Kg
PXINR
$ US/ Kg
QKBU
Ton
7.2.6
Perubahan Unit
Persentase
39.2960
2.5334
0.6557
0.1182
21.9910
1 045 654.0000
213 266.0000
25.6210
1 095 970.0000
778 423.0000
245.1400
50 316.8000
2 584.4000
5.4144
562 574.0000
0.0000
-562 574.0000
-100.0000
342 032.0000
337 750.0000
-4 282.0000
-1.2520
45 735.4000
41 454.0000
-4 281.4000
-9.3610
7 728.3000
11 738.3000
4 010.6000
51.8950
774.2000
3 372.8000
2 598.6000
335.6500
13 720.6000
12 436.2000
-1 284.4000
-9.3610
Dampak Penetapan Kuota Ekspor Biji Kakao Indonesia Sebesar 75 Persen Alternatif ini sengaja dibuat dalam usaha menjamin ketersediaan bahan
baku biji kakao untuk industri berproduksi. Penetapan kuota ekspor biji kakao sebesar 75 persen menyebabkan harga ekspor biji kakao menurun sebesar 226.92 persen. Penurunan harga ekspor biji kakao dapat ditransfer dengan baik oleh harga domestik biji kakao. Harga domestik biji kakao menurun sebesar 35.072 persen. Penurunan harga domestik biji kakao direspon baik oleh para pelaku industri kakao dengan meningkatnya permintaan biji kakao untuk cocoa butter sebesar 6.3939 persen. Peningkatan permintaan menyebabkan produksi cocoa butter meningkat sebesar 6.3940 persen.
74 Tabel 31. Variabel
Hasil Simulasi Penetapan Kuota Ekspor Biji Kakao Indonesia Sebesar 75 Persen Satuan
Perubahan
Nilai Dasar
Nilai Simulasi
1 551 125.0000
1 525 665.0000
-25 460.0000
-1.6410
0.5375
0.4587
-0.0788
-14.6600
Unit
Persentase
AKIN
Ha
YKIN
Ton/Ha
QKIN
Ton
832 388.0000
697 689.0000
-134 699.0000
-16.1800
SKIN
Ton
317 547.0000
-206 124.0000
-523 671.0000
-164.9000
MKIN
Ton
47 733.2000
46 010.1000
-1 722.3000
-3.6080
XKIN
Ton
562 574.0000
421 930.5000
-140 644.0000
-25.0000
DKIN
Ton
342 032.0000
344 956.0000
2 924.0000
0.8549
DKINBU
Ton
45 735.4000
48 659.7000
2 924.3000
6.3940
PKDR
Rp/Kg
7 728.3000
5 017.8000
-2 710.5000
-35.0700
PXINR
$ US/ Kg
774.2000
-982.9000
-1 757.1000
-227.0000
QKBU
Ton
13 720.6000
14 597.9000
877.3000
6.3940
7.2.7 Dampak Penguatan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar Sebesar 15 Persen Alternatif penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar sengaja dibuat untuk melihat seberapa kuat perubahan yang terjadi pada variabel endogen jika rupiah dalam kondisi menguat. Dradjat (2009) pernah melakukan penelitian berjudul dampak intervensi pemerintah terhadap kinerja ekonomi komoditas perkebunan utama pada berbagai rezim nilai tukar rupiah. Penguatan nilai tukar rupiah mengakibatkan harga domestik kakao meningkat sebesar 5.1356 persen. Peningkatan harga kakao domestik mengakibatkan luas areal tanam dan produktifitas kakao meningkat masing-masing sebesar 0.3688 dan 2.4930 persen. Peningkatan luas areal tanam dan produktifitas biji kakao menyebabkan produksi cocoa butter meningkat sebesar 2.8754 persen. Peningkatan harga kakao domestik menurunkan permintaan biji kakao oleh industri butter sebesar 0.8087 persen. Penurunan permintaan berdampak menurunkan produksi cocoa butter sebesar 0.8082 persen. Penguatan nilai tukar rupiah menurunkan volume impor biji kakao sebesar 2.6451 persen. Penguatan nilai tukar rupiah menyebabkan volume ekspor meningkat sebesar 1.8241 persen. Peningkatan volume ekspor menyebabkan harga ekspor biji kakao menurun sebesar 5.5799 persen.
75
Tabel 32. Hasil Simulasi Penguatan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar Sebesar 15 Persen Variabel
Satuan
Nilai Dasar
AKIN
Ha
1 551 125.0000
YKIN
Ton/Ha
0.5375
QKIN
Ton
832 388.0000
SKIN
Ton
317 547.0000
MKIN
Ton
XKIN DKIN
Nilai Simulasi 1 556 847.0000
Perubahan Unit
Persentase
5 722.0000
0.3689
0.5509
0.0134
2.4930
856 323.0000
23 935.0000
2.8755
329 957.0000
12.4100
3.9081
47 733.2000
46 469.8000
-1 262.6000
-2.6450
Ton
562 574.0000
572 836.0000
10 262.0000
1.8241
Ton
342 032.0000
341 662.0000
-370.0000
-0.1080
DKINBU
Ton
45 735.4000
45 365.5000
-369.9000
-0.8090
PKDR
Rp/Kg
7 728.3000
8 125.2000
396.9000
5.1357
PXINR
$ US/ Kg
QKBU
Ton
774.2000
731.0000
-43.2000
-5.5800
13 720.6000
13 609.7000
-110.9000
-0.8080
7.2.8 Dampak Kombinasi Pajak Ekspor Biji Kakao Indonesia Sebesar 15 Persen dan Pemberian Subsidi Pupuk Sebesar 15 Persen Alternatif kombinasi sengaja dibuat untuk melihat perubahan yang terjadi jika dua kebijakan yang saling berlawanan diterapkan dalam waktu yang sama. Kebijakan pajak ekspor biji kakao sebesar 15 persen menyebabkan volume ekspor biji kakao menurun sebesar 14.1862 persen. Menurunnya volume ekspor biji kakao Indonesia berdampak meningkatkan harga ekspor biji kakao Indonesia sebesar 48.9408 persen. Peningkatan harga ekspor berdampak meningkatkan harga biji kakao domestik sebesar 7.35349 persen. Peningkatan harga domestik biji kakao berdampak menurunkan permintaan biji kakao domestik untuk industri cocoa butter sebesar 1.32939 persen dan permintaan total menurun sebesar 0.1777 persen, mengakibatkan produksi cocoa butter menurun sebesar 1.3293 persen. Meningkatnya harga domestik kakao menyebabkan impor meningkat sebesar 0.7648 persen. Peningkatan harga domestik biji kakao yang diikuti dengan adanya subsidi pupuk berdampak meningkatkan luas areal tanam kakao dan produktifitas kakao Indonesia masing-masing meningkat sebesar 2.7575 dan 1.9348 persen. Peningkatan luas areal tanam dan produktifitas kakao mengakibatkan produksi kakao meningkat sebesar 4.7546 persen. Peningkatan produksi, impor dan penurunan ekspor biji kakao menyebabkan penawaran dalam negeri meningkat sebesar 37.7110 persen.
76 Tabel 33.
Variabel
Hasil Simulasi Kombinasi Pajak Ekspor Biji Kakao Indonesia Sebesar 15 Persen dan Pemberian Subsidi Pupuk Sebesar 15 Persen Satuan
AKIN
Ha
YKIN
Ton/Ha
QKIN SKIN
Nilai Dasar
Nilai Simulasi
Perubahan Unit
Persentase
1 551 125.0000
1 593 898.0000
42 773.0000
2.7575
0.5375
0.5479
0.0104
1.9349
Ton
832 388.0000
871 965.0000
39 577.0000
4.7546
Ton
317 547.0000
437 297.0000
119 750.0000
37.7110
MKIN
Ton
47 733.2000
48 097.5000
365.1000
0.7649
XKIN
Ton
562 574.0000
482 766.0000
-79 808.0000
-14.1900
DKIN
Ton
342 032.0000
341 424.0000
-608.0000
-0.1780
DKINBU
Ton
45 735.4000
45 127.4000
-608.0000
-1.3290
PKDR
Rp/Kg
7 728.3000
8 296.6000
568.3000
7.3535
PXINR
$ US/ Kg
774.2000
1 153.1000
378.9000
48.9410
QKBU
Ton
13 720.6000
13 538.2000
-182.4000
-1.3290
7.2.9. Dampak Kombinasi Kuota Ekspor Biji Kakao Indonesia Sebesar 75 Persen dan Pemberian Subsidi Pupuk Sebesar 15 Persen Alternatif kombinasi sengaja dibuat untuk melihat perubahan yang terjadi jika dua kebijakan yang saling berlawanan diterapkan dalam waktu yang sama. Pemberian subsidi pupuk sebesar 15 persen menyebabkan luas areal tanam meningkat sebesar 0.7404 persen. Meningkatnya luas areal tanam kakao menyebabkan produktifitas menurun sebesar 15.9440 persen. Peningkatan luas areal tanam dan penurunan produktifitas kakao menyebabkan produksi biji kakao menurun sebesar 15.5280 persen. Penetapan kuota ekspor biji kakao sebesar 75 persen menyebabkan harga ekspor biji kakao menurun sebesar 226.96 persen. Penurunan harga ekspor biji kakao dapat ditransfer dengan baik oleh harga domestik biji kakao. Harga domestik biji kakao menurun sebesar 35.278 persen. Penurunan harga domestik biji kakao direspon baik oleh para pelaku industri kakao dengan meningkatnya permintaan biji kakao untuk cocoa butter sebesar 6.4239 persen. Peningkatan permintaan menyebabkan produksi cocoa butter meningkat sebesar 6.4239 persen.
77 Tabel 34.
Variabel
Hasil Simulasi Kombinasi Kuota Ekspor Biji Kakao Indonesia Sebesar 75 Persen dan Pemberian Subsidi Pupuk Sebesar 15 Persen Satuan
AKIN
Ha
YKIN
Ton/Ha
QKIN
Ton
SKIN
Ton
MKIN
Nilai Dasar
Nilai Simulasi
Perubahan Unit
Persentase
1 551 125.0000
1 562 610.0000
11 485.0000
0.7404
0.5375
0.4518
-0.0857
-15.9400
832 388.0000
703 138.0000
-129 250.0000
-15.5300
317 547.0000
-200 687.0000
-518 234.0000
-163.2000
Ton
47 733.2000
45 997.3000
-1 735.1000
-3.6350
XKIN
Ton
562 574.0000
421 930.5000
-140 644.0000
-25.0000
DKIN
Ton
342 032.0000
344 970.0000
2 938.0000
0.8590
DKINBU
Ton
45 735.4000
48 673.4000
2 938.0000
6.4239
PKDR
Rp/Kg
7 728.3000
5 001.9000
-2 726.4000
-35.2800
PXINR
$ US/ Kg
774.2000
-982.9000
-1 757.1000
-227.0000
QKBU
Ton
13 720.6000
14 602.0000
881.4000
6.4239
7.2.10 Ringkasan Hasil Perubahan Faktor Ekonomi terhadap Penawaran, Permintaan, Harga Biji Kakao dan Produksi Cocoa Butter Indonesia Hasil simulasi masing-masing faktor ekonomi dapat menimbulkan dampak positif maupun negatif terhadap variabel-variabel endogen yang dibangun dalam model. Berdasarkan hasil simulasi dapat dikemukakan bahwa penerapan setiap alternatif kebijakan direspon pada arah yang sama baik dalam produksi, permintaan, penawaran, ekspor maupun harga riil biji kakao domestik, meskipun dengan besar perubahan yang berbeda. Kebijakan yang berdampak pada peningkatan luas areal tanam adalah penerapan pajak ekspor sebesar 15 persen, pemberian subsidi pupuk sebesar 15 persen, peningkatan harga ekspor biji kakao sebesar 15 persen, larangan ekspor biji kakao, penguatan rupiah terhadap dolar sebesar 15 persen, kombinasi pajak ekspor biji kakao sebesar 15 persen dan subsidi pupuk sebesar 15 persen, dan kombinasi kuota ekspor 75 persen dan subsidi pupuk 15 persen. Penurunan suku bunga kredit bank persero dan kuota ekspor 75 persen berdampak menurunkan luas areal tanam kakao. Kebijakan yang dapat meningkatkan produksi cocoa butter adalah subsidi pupuk sebesar 15 persen, kuota ekspor 75 persen, serta kombinasi diantara keduanya. Penetapan pajak ekspor sebesar 15 persen, penurunan suku bunga kredit bank persero sebesar 15 persen, peningkatan harga ekspor biji kakao
78 Indonesia sebesar 15 persen, larangan ekspor dan peguatan nilai tukar rupiah berdampak menurunkan produksi cocoa butter. Kebijakan yang dapat menurunkan volume ekspor biji kakao Indonesia adalah penetapan pajak ekspor biji kakao sebesar 15 persen, penurunan suku bunga kredit bank persero sebesar 15 persen, larangan ekspor, kuota ekspor sebesar 75 persen serta kombinasi keduanya. Subsidi pupuk sebesar 15 persen, peningkatan harga ekspor biji kakao Indonesia sebesar 15 persen, dan nilai tukar rupiah menguat sebesar 15 persen berdampak meningkatkan volume ekspor biji kakao Indonesia. Kebijakan yang dapat meningkatkan harga riil biji kakao domestik adalah penerapan pajak ekspor biji kakao sebesar 15 persen, penurunan suku bunga kredit bank persero sebesar 15 persen, peningkatan harga ekspor biji kakao sebesar 15 persen, larangan ekspor, dan penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar.
79 Tabel 35. Ringkasan Hasil Perubahan Faktor Ekonomi terhadap Penawaran, Permintaan, Harga Biji Kakao dan Produksi Cocoa Butter Indonesia (%) Variabel
Satuan
Perubahan
Nilai Dasar S1
AKIN YKIN QKIN SKIN MKIN XKIN DKIN DKINBU PKDR PXINR QKBU
Ha Ton/Ha Ton Ton Ton Ton Ton Ton Rp/Kg $ US/ Kg Ton
1 551 125.0000 0.5375 832 388.0000 317 547.0000 47 733.2000 562 574.0000 342 032.0000 45 735.4000 7 728.3000 774.2000 13 720.6000
0.3909 3.3674 3.8224 36.1650 0.8283 -14.6870 -0.1912 -1.4282 7.9280 50.5812 -1.4285
S2 -0.0166 0.0186 -0.0068 -0.0116 0.0004 -0.0035 -0.0002 -0.0006 0.0038 0.0000 -0.0007
S3 2.3675 -1.4139 0.8649 1.4262 -0.0601 0.4694 0.0122 0.0922 -0.5395 -1.5600 0.0925
S4 0.8598 6.8465 7.8569 12.0993 1.6971 4.9396 -0.3607 -2.6985 15.5247 15.0000 -2.6981
S5 2.5333 21.9907 25.6209 245.1363 5.4143 -100.0000 -1.2519 -9.3612 51.8949 335.6497 -9.3611
S6 -1.6413 -14.6605 -16.1822 -164.9110 -3.6082 -25.0000 0.8548 6.3939 -35.0724 -226.9570 6.3940
S7 0.3688 2.4930 2.8754 3.9080 -2.6451 1.8241 -0.1081 -0.8087 5.1356 -5.5799 -0.8083
S8 2.7575 1.9348 4.7546 37.7109 0.7648 -14.1862 -0.1777 -1.3293 7.3534 48.9408 -1.3293
S9 0.7404 -15.9442 -15.5276 -163.1990 -3.6350 -25.0000 0.8589 6.4239 -35.2781 -226.9570 6.4239
Keterangan: S1 Penetapan pajak ekspor biji kakao 15 persen S2 Penurunan suku bunga kredit 15 persen S3 Subsidi harga pupuk 15 persen S4 Peningkatan harga ekspor biji kakao 15 persen S5 Larangan ekspor biji kakao Indonesia S6 Penetapan kuota ekspor biji kakao 75 persen S7 Penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar 15 persen S8 Kombinasi pajak ekspor biji kakao 15 persen dan subsidi pupuk 15 persen S9 Kombinasi kuota ekspor biji kakao 75 persen dan subsidi pupuk 15 persen 79
80 80 7.3
Dampak Perubahan Faktor Ekonomi terhadap Kesejahteraan Produsen dan Konsumen Biji Kakao Indonesia Analisis distribusi kesejahteraan yang dilakukan mencakup surplus
produsen, surplus konsumen serta penerimaan pemerintah. Kesejahteraan bersih merupakan penjumlahan dari perubahan surplus produsen, perubahan surplus konsumen, dan perubahan penerimaan pemerintah (Tabel 36). Penerapan kebijakan pajak ekspor sebesar 15 persen dapat meningkatkan surplus produsen sebesar Rp 0.5197 milyar, sedangkan surplus konsumen menurun sebesar Rp 0.0278 milyar. Peningkatan surplus produsen disebabkan oleh peningkatan harga riil biji kakao di tingkat produsen yang menjadi insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi. Adanya pajak ekspor sebesar 15 persen menyebabkan pemerintah memperoleh penerimaan yang lebih tinggi yaitu meningkat sebesar Rp 10.7697 milyar, disebabkan persentase peningkatan harga riil ekspor biji kakao lebih tinggi dibandingkan respon penurunan ekspor biji kakao. Kebijakan penerapan pajak ekspor sebesar 15 persen cukup baik karena net surplus masih bernilai positif, kerugian konsumen masih dapat tertutupi oleh surplus produsen dan tambahan penerimaan pemerintah. Penerapan kebijakan penurunan suku bunga kredit bank persero sebesar 15 persen berdampak positif terhadap harga domestik biji kakao sehingga surplus produsen kakao mengalami peningkatan sebesar Rp 0.0002 milyar, sedangkan surplus konsumen kakao mengalami penurunan sebesar Rp 0.0001 milyar. Penerapan kebijakan penurunan suku bunga kredit bank persero sebesar 15 persen mengakibatkan berkurangnya penerimaan pemerintah sebesar Rp 0.0431 milyar. Kebijakan penurunan suku bunga kredit bank persero tidak cukup baik karena net surplus bernilai negatif, kerugian konsumen dan berkurangnya penerimaan pemerintah belum dapat ditutupi oleh surplus produsen. Penerapan kebijakan pemberian subsidi pupuk sebesar 15 persen mengakibatkan berkurangnya surplus produsen kakao sebesar Rp 0.0348 milyar. Berkurangnya surplus produsen disebabkan oleh penurunan harga riil biji kakao yang mempengaruhi keputusan petani untuk mengurangi produksi. Di sisi lain, konsumen mengalami keuntungan akibat penurunan harga riil biji kakao sebesar Rp 0.0019 milyar. Adanya subsidi pupuk sebesar 15 persen menyebabkan
81 pemerintah memperoleh penerimaan yang lebih rendah yaitu menurun Rp 0.1278 milyar. Kebijakan tersebut belum baik karena kerugian yang diterima produsen dan pemerintah belum dapat ditutupi dengan keuntungan yang diperoleh produsen, nilai net surplus negatif sebesar Rp 0.1608 milyar. Kebijakan perbaikan mutu kakao yang disimulasikan dengan peningkatan harga ekspor biji kakao sebesar 15 persen memberi keuntungan bagi produsen kakao sebesar Rp 1.0379 milyar, juga berdampak meningkatkan penerimaan pemerintah sebesar Rp 2.4027 milyar. Akan tetapi, mengakibatkan kerugian bagi konsumen kakao sebesar Rp 0.0541 milyar. Kebijakan peningkatan harga ekspor biji kakao masih cukup baik karena kerugian yang diterima konsumen lebih kecil dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh produsen dan peningkatan penerimaan pemerintah, terlihat dari nilai net surplus yang positif sebesar Rp 3.3865 milyar. Pemberlakuan larangan ekspor biji kakao Indonesia dapat menurunkan surplus konsumen dan penerimaan pemerintah masing-masing sebesar Rp 0.1748 milyar dan Rp 11.6182 milyar. Sementara surplus produsen meningkat sebesar Rp 3.7660 milyar. Peningkatan surplus produsen disebabkan adanya peningkatan harga riil biji kakao domestik. Kebijakan ini belum cukup baik karena penurunan surplus konsumen dan penerimaan pemerintah belum dapat ditutupi oleh surplus produsen. Terlihat dari net surplus bernilai negatif sebesar Rp 8.0270 milyar. Penerapan kebijakan kuota ekspor biji kakao sebesar 75 persen menurunkan surplus produsen biji kakao sebesar Rp 2.0736 milyar. Penurunan surplus produsen karena dibatasinya ekspor biji kakao yang keluar dari Indonesia, sehingga biji kakao yang ditawarkan di dalam negeri meningkat dan harga riil biji kakao di tingkat domestik menurun. Penerimaan pemerintah menurun sebesar Rp 22.6808 milyar. Di sisi lain, terjadi peningkatan pada surplus konsumen sebesar Rp 0.1279 milyar. Secara nasional, kebijakan tersebut belum cukup baik untuk diterapkan di Indonesia karena keuntungan yang diterima konsumen belum dapat menutupi kerugian yang diterima oleh produsen dan pemerintah, sehingga net surplus bernilai negatif sebesar Rp 24.6265 milyar. Kebijakan penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar berdampak pada penurunan surplus konsumen dan penerimaan pemerintah, masing-masing sebesar
82 Rp 0.0180 milyar dan Rp 0.4481 milyar. Sementara surplus produsen meningkat sebesar Rp 0.3351 milyar. Secara nasional kebijakan tersebut cukup baik untuk diterapkan di Indonesia karena net surplus bernilai negatif sebesar Rp 0.1311 milyar. Kombinasi penerapan pajak ekspor biji kakao sebesar 15 persen dan pemberian subsidi pupuk sebesar 15 persen menyebabkan peningkatan surplus produsen dan penerimaan pemerintah masing-masing sebesar Rp 0.4842 milyar dan Rp 3.2312 milyar. Sementara surplus konsumen mengalami penurunan sebesar Rp 0.0258 milyar.
83 Tabel 36. Ringkasan Hasil Perubahan Faktor Ekonomi terhadap Kesejahteraan Produsen dan Konsumen Biji Kakao Indonesia (Milyar Rp) No
Skenario simulasi
Perubahan surplus produsen
Perubahan surplus konsumen
Perubahan penerimaan pemerintah
Net surplus
1
Penerapan pajak ekspor biji kakao Indonesia sebesar 15 persen
0.5197
-0.0278
10.7697
11.2616
2
Penurunan suku bunga kredit bank persero sebesar 15 persen
0.0002
-0.0001
-0.0413
-0.0410
3
Pemberian subsidi pupuk oleh pemerintah sebesar 15 persen
-0.0348
0.0019
-0.1278
-0.1608
4
Peningkatan harga ekspor biji kakao Indonesia sebesar 15 persen
1.0379
-0.0541
2.4027
3.3865
5
Larangan ekspor biji kakao Indonesia
3.7660
-0.1748
-11.6182
-8.0270
6
Penetapan kuota ekspor biji kakao Indonesia sebesar 75 persen
-2.0736
0.1279
-22.6808
-24.6265
7 8
Penguatan nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika sebesar 15 persen Kombinasi penetapan pajak ekspor biji kakao 15 persen dan pemberian subsidi pupuk sebesar 15 persen Kombinasi kuota ekspor biji kakao Indonesia sebesar 75 persen dan subsidi pupuk oleh pemerintah sebesar 15 persen
0.3351 0.4842
-0.0180 -0.0258
-0.4481 3.2312
-0.1311 3.6897
-2.0932
0.1286
-22.6808
-24.6453
9
83
84 Secara nasional kebijakan tersebut cukup baik karena net surplus yang diperoleh bernilai positif sebesar Rp 3.6897 milyar. Kombinasi penerapan kuota ekspor biji kakao sebesar 75 persen dan pemberian subsidi pupuk sebesar 15 persen menyebabkan penurunan surplus produsen dan penerimaan pemerintah masing-masing sebesar Rp 2.0932 milyar dan Rp 22.6808 milyar. Sementara surplus konsumen meningkat sebesar Rp 0.1286 milyar. Secara nasional kebijakan tersebut belum cukup baik karena net surplus yang diperoleh bernilai negatif sebesar Rp 24.6453 milyar. Secara keseluruhan dapat dikemukakan bahwa kebijakan yang cenderung berpihak kepada produsen kakao adalah penerapan pajak ekspor biji kakao sebesar 15 persen, penurunan suku bunga kredit bank persero sebesar 15 persen, peningkatan harga ekspor biji kakao sebesar 15 persen, larangan ekspor biji kakao, penguatan nilai tukar rupiah sebesar 15 persen, dan kombinasi pajak ekspor biji kakao sebesar 15 persen dan subsidi pupuk sebesar 15 persen. Kebijakan yang berpihak terhadap produsen kakao cenderung menguntungkan secara nasional karena kerugian konsumen kakao dapat tertutupi oleh kelebihan surplus produsen dan penerimaan pemerintah, kecuali penurunan suku bunga kredit bank persero sebesar 15 persen, larangan ekspor, dan penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar. Kebijakan yang cenderung berpihak kepada konsumen kakao cenderung menurunkan kesejahteraan nasional. Besarnya surplus konsumen kakao belum dapat menutupi kerugian yang diterima oleh produsen dan pemerintah seperti pemberian subsidi pupuk sebesar 15 persen, kuota ekspor biji kakao sebesar 15 persen, dan kombinasi diantara keduanya.
85 VIII. SIMPULAN DAN SARAN 8.1
Simpulan
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi luas areal tanam perkebunan kakao, produktivitas perkebunan kakao, harga biji kakao Indonesia, harga dan volume ekspor biji kakao, dan volume impor biji kakao Indonesia adalah: a. Harga biji kakao domestik, harga minyak sawit domestik, harga pupuk, suku bunga dan upah buruh perkebunan berpengaruh nyata terhadap luas areal tanam biji kakao di Indonesia. b. Harga biji kakao domestik, luas areal tanam kakao dan curah hujan berpengaruh nyata terhadap produktifitas biji kakao di Indonesia. c. Harga impor biji kakao, harga domestik biji kakao, nilai tukar dan tarif impor berpengaruh nyata terhadap volume impor biji kakao di Indonesia. d. Harga ekspor biji kakao, nilai tukar rupiah terhadap dolar, produksi biji kakao, tren dan pajak ekspor berpengaruh nyata terhadap volume ekspor biji kakao di Indonesia. e. Harga domestik biji kakao, harga ekspor cocoa butter, dan tren berpengaruh nyata terhadap permintaan biji kakao oleh industri cocoa butter di Indonesia. f. Harga ekspor biji kakao, nilai tukar rupiah terhadap dolar, penawaran kakao domestik dan tren berpengaruh nyata terhadap harga biji kakao domestik di Indonesia. g. Volume ekspor biji kakao, harga biji kakao dunia dan tren berpengaruh nyata terhadap harga ekspor biji kakao di Indonesia. 2. Kebijakan pajak ekspor biji kakao, subsidi harga pupuk, peningkatan harga ekspor biji kakao, larangan ekspor biji kakao, penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar berdampak meningkatkan penawaran biji kakao domestik. Permintaaan biji kakao oleh industri butter meningkat dengan adanya subsidi harga pupuk, kuota ekspor biji kakao dan kombinasi diantara keduanya. Pajak ekspor biji kakao, penurunan suku bunga kredit bank persero, peningkatan harga ekspor biji kakao, larangan ekspor biji kakao, penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar dan kombinasi keduanya
86 berdampak meningkatkan harga biji kakao domestik. Subsidi harga pupuk, kuota ekspor, dan kombinasi keduanya berdampak meningkatkan produksi cocoa butter. Pajak ekspor, penurunan suku bunga, larangan ekspor, kuota ekspor, kombinasi pajak ekspor dan subsidi pupuk serta kombinasi kuota ekspor dan subsidi berdampak menurunkan volume ekspor biji kakao Indonesia. 3. Kebijakan pajak ekspor biji kakao, penurunan suku bunga kredit bank persero, peningkatan harga ekspor biji kakao, larangan ekspor biji kakao, penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar dan kombinasi pajak ekspor biji kakao dan subsidi pupuk meningkatkan surplus produsen biji kakao. Subsidi harga pupuk, kuota ekspor biji kakao dan kombinasi diantara keduanya meningkatkan surplus konsumen biji kakao. Kebijakan pajak ekspor, subsidi pupuk dan kombinasi keduanya berdampak meningkatkan kesejahteraan nasional. 8.2
Saran
1. Jika pemerintah ingin meningkatkan kinerja industri (produksi) cocoa butter dalam negeri, maka pemerintah disarankan menerapkan kebijakan pemberian subsidi pupuk sebesar 15 persen kepada petani kakao, atau kuota ekspor biji kakao 75 persen, atau kombinasi diantara keduanya dan memberikan kompensasi kepada produsen biji kakao (karena surplus produsen menurun). 2. Agar kesejahteraan secara nasional
meningkat
maka pemerintah
disarankan menerapkan kebijakan penerapan pajak ekspor biji kakao sebesar 15 persen dan memberikan kompensasi kepada konsumen biji kakao (karena surplus konsumen menurun). 3. Pada penelitian lanjutan komoditas kakao disarankan pengembangan spesifikasi model sebagai berikut: a. Perlu memasukkan variabel input produksi (jumlah pupuk dan jumlah tenaga kerja) agar dapat dianalisis dampak perubahan jumlah dan harga input produksi terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen biji kakao di Indonesia.
87 b. Biji kakao merupakan bahan baku industri olahan, maka perlu penelitian lanjutan terkait produk industri kakao selain cocoa butter seperti cokelat putih, biskuit, kue, wafer dan lain-lain.
88
89 DAFTAR PUSTAKA Arsyad, M., B. M. Sinaga, dan S. Yusuf. 2011. Analisis Dampak Kebijakan Pajak Ekspor dan Subsidi Harga Pupuk terhadap Produksi dan Ekspor Kakao Indonesia Pasca Putaran Uruguay. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian, 8 (1) : 63-71. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian. 2011. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kakao. Departemen Pertanian Republik Indonesia. http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/JAE%2025-1b.pdf (28 Februari 2014). Badan Pusat Statistik. 2011. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia Ekspor. BPS, Jakarta. .2014. Nilai Neraca Perdagangan Pertanian Indonesia menurut Sub Sektor Tahun 2010-2013. http: // eksim . pertanian. go.id/tinymcpuk/gambar/file/Buku_Saku_TW3_2014.pdf (28 Februari 2014). .2014. Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga yang Berlaku Menurut Lapangan Usaha (Milyar Rupiah). http : // www. bps. go. id/download_file/IP_Mei_2014.pdf (28 Februari 2014). Direktorat Jenderal Perkebunan. 2011. Luas Areal, Produksi, dan Produktifitas Kakao Nasional Tahun 1990-2010. http: // www. ditjenbun. go. id/tampil.php?page=inf_basisdata (12 Oktober 2011). Dradjat, B. 2009. Dampak Intervensi Pemerintah terhadap Kinerja Ekonomi Komoditas Perkebunan Utama pada Berbagai Rezim Nilai Tukar Rupiah 1975-2005. Jurnal Agro Ekonomi, 27(1):61-80. . 2011. Peluang Peningkatan Nilai Tambah Kakao Domestik melalui Regulasi Perdagangan. Pelita Perkebunan, 27(2):130-149. Hastuti. 2012. Dampak Kebijakan Tarif dan Kuota Impor terhadap Penawaran dan Permintaan Gandum dan Tepung Terigu di Indonesia. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hidayat, N. K. 2012. Dampak Perubahan Harga Beras Dunia terhadap Kesejahteraan Masyarakat Indonesia pada Berbagai Kondisi Transmisi Harga dan Kebijakan Domestik. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. International Cocoa Organization. 2011. Produksi Biji Kakao Dunia Tahun 20012010. http://www.icco.org/tampil.php? page=inf_basisdata (10 Mei 2012). International Trade Centre. 2012. Negara Eksportir Kakao Olahan Tahun 20012011. http://www.itc.org/tampil.php? page=inf_basisdata (10 Mei 2012). Intriligator, M. D. 1978. Econometric Model, Techniques, and Applications. Prentice Hall Inc., New Jersey. Jamaludin, J. 2005. Dampak Kebijakan Perdagangan Gandum-Tepung Terigu terhadap Keseimbangan Tepung Terigu di Indonesia. Skripsi Sarjana.
90 Departemen Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kementerian Perdagangan. Perdagangan, Jakarta.
2012.
Statistik
Perdagangan.
Kementerian
Kementerian Perindustrian. 2012. Kebijakan dan Strategi Pengembangan Industri Kakao Indonesia. Kementerian Perindustrian Indonesia, Jakarta. Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometric Methods. Second Edition. The Macmillan Press Ltd, London. Lipsey, G. R. 1995. Pengantar Mikro Ekonomi. Jilid I. Binarupa Aksara, Jakarta. Lolowang, T. F. 1999. Analisis Penawaran dan Permintaan Kakao Indonesia di Pasar Domestik dan Internasional. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Lubis, A. D. dan S. Nuryanti. 2011. Analisis Dampak ACFTA dan Kebijakan Perdagangan Kakao di Pasar Domestik dan China. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, 9(2):143-156. Malian, A. H. dan Saptana. 2002. Dampak Peningkatan Tarif Impor Gula terhadap Pendapatan Petani Tebu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Misnawi dan T.Wahyudi. 2007. Trend in Cocoa Production, Grinding and Barrier. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesa, 23(2):51-61. Nurdiyani, F. 2007. Dampak Rencana Penerapan Pungutan Ekspor Kakao Terhadap Integrasi Pasar Kakao Indonesia. Skripsi Sarjana. Program Studi Manajemen Agribisnis, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pindyck, R. S., and D. L.Rubinfeld. 1998. Econometric Model and Economic Forecasts. Fourth edition. Mc Graw-Hill, International Editions, Singapore. Rahmanu, R. 2009. Analisis Daya Saing Industri Pengolahan dan Hasil Olahan Kakao Indonesia. Skripsi Sarjana. Program Studi Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Salvatore, D. 1997. International Economics. Third Edition. MacMillan International Edition, Singapore. Sukmananto, B. 2007. Dampak Kebijakan Perdagangan terhadap Kinerja Ekspor Produk Industri Pengolahan Kayu Primer Indonesia. Disertasi Program Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Susila,W. R. 1996. Prospek Pasar Kakao Dunia. Warta Puslit Kopi dan Kakao, 12(1):1-11. Susila, W. R., S. O. Lubis, dan A. Supriatna. 1998. Dampak Pelaksanaan Putaran Uruguay terhadap Industri Kakao Dunia dan Domestik. Jurnal Agro Ekonomi, 17(2):1-21.
91 Wahyudi, T., dan Misnawi. 2007. Fasilitas perbaikan mutu dan produktifitas kakao Indonesia. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesa, 23(1):32-43. Widyotomo, S., Mulato, dan Handaka. 2004. Mengenal Lebih dalam Teknologi Pengolahan Biji Kakao.Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 26(2):274-283.
92
93
LAMPIRAN
94
95 Lampiran 1. Peraturan Pemerintah Terkait Penerapan Kebijakan Bea Keluar Biji Kakao
96
96
Lampiran 2. Sumber Data Awal yang Digunakan Variabel
Keterangan
Sumber
AKIN (Ha)
Luas Areal Kakao Indonesia
Statistik Indonesia (BPS)
QKIN (Ton)
Produksi Kakao Indonesia
Statistik Indonesia (BPS)
MKIN (Ton)
Volume Impor Biji Kakao Indonesia
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia
XKIN (Ton)
Volume Ekpsor Biji kakao Indonesia
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia
PKD (Rp/Kg)
Harga Biji Kakao Domestik
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia
PEKBU (US$/Kg)
Harga Ekspor Cocoa butter Indonesia
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia
PXIN (US$/Kg)
Harga Ekspor Biji Kakao Indonesia
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia
XKBU (Ton)
Volume Ekspor Cocoa Butter
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia
PDKO (Rp/Kg)
Harga Kopi Domestik
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia
PDGU (Rp/Kg)
Harga gula domestik
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia
PF (Rp/Kg)
Harga rata-rata pupuk
Statistik Indonesia (BPS)
IR (%)
Suku Bunga
Statistik Indonesia (BPS)
L (Rp/HOK)
Upah Buruh Perkebunan
Statistik Indonesia (BPS)
CH (mm/Thn)
Curah Hujan
Statistik Indonesia (BPS)
EXCR (Rp/US$)
Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar
Nilai Tukar Valuta Asing (BPS)
PJX (%)
Pajak Ekspor Biji Kakao Indonesia
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia
IHK
Indeks Harga Konsumen (constant thn 2000=100)
Food Agricultural Organization (http://faostat.fao.org)
PWBK (US$/Kg)
Harga Biji Kakao Dunia
Food Agricultural Organization (http://faostat.fao.org)
PMSD (Rp/Kg)
Harga Minyak Sawit Domestik
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia
PMKIN (US$/Kg)
Harga Impor Biji kakao Indonesia
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia
TM (%)
Tarif Impor Biji Kakao Indonesia
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia
97
Lampiran 3. Variabel Data yang Digunakan untuk Estimasi Model TH
T
AKIN
YKIN
QKIN
MKIN
XKIN
PKD
PEKBU
PXIN
SKIN
DKIN
QKBU
1990
1
357490
0.39818
142347.00
640
119725
1510
2374
950
23262
23262.00
4244.27
1991
2
444062
0.39386
174899.00
1054
145217
1498
2178
940
30736
30736.00
3782.36
1992
3
496006
0.41763
207147.00
1780
176001
1373
2177
827
32926
32926.00
5053.09
1993
4
535285
0.48210
258059.00
1641
228799
1265
2269
828
30901
30901.00
4649.91
1994
5
597011
0.45222
269981.00
2438
231168
2581
3043
1064
41251
41251.00
4500.27
1995
6
602119
0.50632
304866.00
3588
233593
2021
3270
1143
74861
74861.00
3671.64
1996
7
655331
0.57070
373999.00
4262
322598
2281
3309
959
55663
55663.00
3929.64
1997
8
529057
0.62417
330219.00
6410
265949
2932
3585
1342
70680
70680.00
3941.27
1998
9
572553
0.78408
448927.00
7709
334807
8903
3217
1375
121829
121828.98
3524.36
1999
10
667715
0.55035
367475.00
11840
419874
6673
2539
888
59441
59441.00
3016.37
2000
11
749917
0.56158
421142.00
18252
424089
7411
1729
699
15305
15305.00
2915.64
2001
12
821449
0.65348
536804.00
11841
392072
7208
1778
900
156573
156573.00
25787.27
2002
13
914051
0.62486
571155.00
36603
465622
8948
2290
1424
142136
142136.00
27163.64
2003
14
964223
0.72475
698816.00
39226
355726
9576
2730
1543
382316
382315.97
22568.18
2004
15
1090960
0.63403
691704.00
46974
366855
9579
2508
1343
371823
371823.02
22434.55
2005
16
1167046
0.64164
748828.00
52353
463632
9421
3576
1273
337549
337549.02
17424.55
2006
17
1320820
0.58251
769386.00
47939
609035
10103
3617
1261
208290
208290.03
15321.82
2007
18
1379279
0.53652
740006.00
43528
503522
13325
4500
1639
280012
280011.98
13187.27
2008
19
1425216
0.56384
803593.00
53761
515576
16357
5873
2246
341778
341778.00
9410.91
2009
20
1587136
0.51009
809583.00
46929
559799
18557
5529
2475
296713
296712.95
9553.64
2010
21
1651539
0.51142
844626.00
47455
552892
23115
5072
2753
339189
339188.96
7672.73
97
98
98
Lampiran 3. Lanjutan TH
T
XKBU
PDKO
PDGU
PF
IR
L
CH
EXCR
PJX
IHK
PMKIN
1990
1
4668.7
2497.58
813
210.0
19.26
1438.96
2296.74
1849.99
0
28.78
2600
1991
2
4160.6
2345.47
902
220.0
23.25
1777.20
1717.49
1957.63
0
31.46
973
1992
3
5558.4
2201.26
1006
240.0
22.16
1824.30
1916.71
2037.12
0
33.82
1961
1993
4
5114.9
1907.72
1003
260.0
19.37
2259.83
2115.94
2096.29
0
37.11
3180
1994
5
4950.3
1710.13
1003
260.0
16.77
2695.33
1586.69
2170.61
0
40.26
2479
1995
6
4038.8
1594.55
1070
260.0
16.86
3130.86
2605.70
2256.16
0
44.07
2362
1996
7
4322.6
1525.09
1070
330.0
17.02
3566.36
2352.78
2342.27
0
47.55
2291
1997
8
4335.4
1494.96
1125
400.0
18.49
3981.00
2507.23
2955.54
0
50.70
1557
1998
9
3876.8
1445.03
2224
782.5
25.09
5175.06
2173.88
10828.11
0
80.04
1692
1999
10
3318.0
13438.50
2640
1150.0
26.22
6350.43
252.74
8049.30
0
96.43
1325
2000
11
3207.2
8800.00
2737
1150.0
19.55
7676.93
3060.59
8475.95
0
100.00
1038
2001
12
28366.0
5317.70
3746
1150.0
19.15
8919.76
2515.63
10472.73
0
111.48
1063
2002
13
29880.0
4939.50
3529
1150.0
18.85
14699.05
2026.00
9387.50
0
124.73
1672
2003
14
24825.0
4839.90
4307
1150.0
16.18
21152.84
2556.36
8621.58
0
132.95
2194
2004
15
24678.0
5379.00
4114
1150.0
14.32
22617.00
2506.80
9087.06
0
141.26
1630
2005
16
19167.0
658.70
5490
1150.0
15.59
23702.00
2524.53
9751.84
0
156.03
1582
2006
17
16854.0
857.90
5980
1200.0
15.36
25883.00
1657.64
9269.51
0
176.47
1608
2007
18
14506.0
1204.80
6342
1200.0
13.47
26250.00
2391.40
9198.61
0
187.78
1995
2008
19
10352.0
1414.80
6191
1200.0
14.61
28981.00
3010.00
9884.39
0
207.22
2594
2009
20
10509.0
1356.70
8205
1200.0
13.63
31549.00
2206.24
10483.76
0
216.06
2802
2010
21
8440.0
1547.50
10447
1600.0
13.26
33424.66
2373.72
9132.07
10
227.16
3604
99
Lampiran 3. Lanjutan TH
T
TM
PPN
DKINBU
DKNONBU
PWBK
PMSD
PPU
PKDR
PDGUR
PFR
LR
1990
1
10
10
14147.58
9114.42
2343.3
525.3
201.86
5246.70
2824.88
620.22
4999.86
1991
2
10
10
12607.88
18128.12
2339.5
654.6
228.12
4761.60
2867.13
594.41
5649.08
1992
3
10
10
16843.64
16082.36
2339.9
728.2
248.59
4059.73
2974.57
603.19
5394.15
1993
4
10
10
15499.70
15401.30
2341.4
694.3
278.84
3408.78
2702.78
595.53
6089.54
1994
5
10
10
15000.91
26250.09
3030.0
988.0
301.72
6410.83
2491.31
548.93
6694.81
1995
6
10
10
12238.79
62622.21
3231.8
1275.2
333.10
4585.89
2427.96
501.47
7104.29
1996
7
10
10
13098.79
42564.21
3409.3
1147.9
387.92
4797.06
2250.26
589.91
7500.23
1997
8
5
10
13137.58
57542.42
4784.2
1424.2
447.96
5783.04
2218.93
670.61
7852.07
1998
9
5
10
11747.88
110081.10
18152.0
3942.5
572.56
11123.19
2778.61
830.99
6465.59
1999
10
5
10
10054.55
49386.45
9138.5
2979.3
1088.40
6920.05
2737.74
1013.69
6585.53
2000
11
5
10
9718.79
5586.21
7677.4
2412.1
1352.81
7411.00
2737.00
977.50
7676.93
2001
12
5
10
85957.58
70615.42
11192.5
2048.9
1494.80
6465.73
3360.24
876.84
8001.22
2002
13
5
10
90545.45
51590.55
16689.6
2840.3
1533.47
7173.90
2829.31
783.69
11784.69
2003
14
5
10
75227.27
307088.70
15095.3
3299.7
1597.27
7202.71
3239.56
735.24
15910.37
2004
15
5
10
74781.82
297041.20
14083.5
3672.3
1626.77
6781.11
2912.36
691.99
16010.90
2005
16
5
10
58081.82
279467.20
14999.5
3747.5
1668.78
6037.94
3518.55
626.48
15190.67
2006
17
5
10
51072.73
157217.30
14756.1
3977.4
1813.62
5725.05
3388.68
578.00
14667.08
2007
18
5
10
43957.58
236054.40
17958.1
4207.2
1862.46
7096.07
3377.36
543.19
13979.12
2008
19
5
10
31369.70
310408.30
25473.2
4437.0
2166.06
7893.54
2987.65
492.23
13985.62
2009
20
5
10
31845.45
264867.50
30284.9
4666.9
2294.43
8588.82
3797.56
472.09
14601.96
2010
21
5
0
25575.76
313613.20
28610.8
4896.7
2422.79
10175.65
4598.96
598.70
14714.15
99
100
100
Lampiran 3. Lanjutan TH
T
EXCRR
PXINR
PEKBUR
PDKOR
PMKINR
PWBKR
PMSDR
IRR
PPUR
LAKIN
LYKIN
1990
1
5978.08
3300.90
8248.78
8678.18
9034.05
8142.11
1825.23
669.215
701.39
.
.
1991
2
5787.02
2987.92
6923.08
7455.40
3092.82
7436.43
2080.74
739.034
725.11
357490
0.39818
1992
3
5601.78
2445.30
6437.02
6508.75
5798.34
6918.69
2153.16
655.234
735.04
444062
0.39386
1993
4
5253.43
2231.20
6114.25
5140.72
8569.12
6309.35
1870.92
521.962
751.39
496006
0.41763
1994
5
5014.08
2642.82
7558.37
4247.71
6157.48
7526.08
2454.05
416.542
749.43
535285
0.48210
1995
6
4761.13
2593.60
7420.01
3618.22
5359.66
7333.33
2893.58
382.573
755.84
597011
0.45222
1996
7
4581.10
2016.82
6958.99
3207.34
4818.09
7169.93
2414.09
357.939
815.81
602119
0.50632
1997
8
5421.40
2646.94
7071.01
2948.64
3071.01
9436.29
2809.07
364.694
883.55
655331
0.57070
1998
9
12581.39
1717.89
4019.24
1805.38
2113.94
22678.66
4925.66
313.468
715.34
529057
0.62417
1999
10
7762.99
920.88
2633.00
13936.02
1374.05
9476.82
3089.60
271.907
1128.69
572553
0.78408
2000
11
7882.63
699.00
1729.00
8800.00
1038.00
7677.40
2412.10
195.500
1352.81
667715
0.55035
2001
12
8736.67
807.32
1594.90
4770.09
953.53
10039.92
1837.91
171.780
1340.87
749917
0.56158
2002
13
6999.42
1141.67
1835.97
3960.15
1340.50
13380.58
2277.16
151.126
1229.43
821449
0.65348
2003
14
6030.89
1160.59
2053.40
3640.39
1650.24
11354.12
2481.91
121.700
1201.41
914051
0.62486
2004
15
5982.56
950.73
1775.45
3807.87
1153.90
9969.91
2599.67
101.373
1151.61
964223
0.72475
2005
16
5812.48
815.87
2291.87
422.16
1013.91
9613.22
2401.78
99.917
1069.53
1090960
0.63403
2006
17
4885.05
714.57
2049.64
486.14
911.20
8361.82
2253.87
87.040
1027.72
1167046
0.64164
2007
18
4555.71
872.83
2396.42
641.60
1062.41
9563.37
2240.49
71.733
991.83
1320820
0.58251
2008
19
4436.10
1083.87
2834.19
682.75
1251.81
12292.83
2141.20
70.505
1045.29
1379279
0.53652
2009
20
4512.59
1145.52
2559.01
627.93
1296.86
14016.89
2160.00
63.084
1061.94
1425216
0.56384
2010
21
3738.70
1211.92
2232.79
681.24
1586.55
12595.00
2155.62
58.373
1066.56
1587136
0.51009
101
Lampiran 3. Lanjutan TH
T
LDKIN
LXKIN
LPXINR
LPKDR
LXKBU
LQKBU
LMKIN
LDKINBU
LQKIN
LPEKBUR
LSKIN
1990
1
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
1991
2
23262
119725
3300.90
5246.70
4668.7
4668.7
640
14147.58
142347
8248.78
23262
1992
3
30736
145217
2987.92
4761.60
4160.6
4160.6
1054
12607.88
174899
6923.08
30736
1993
4
32926
176001
2445.30
4059.73
5558.4
5558.4
1780
16843.64
207147
6437.02
32926
1994
5
30901
228799
2231.20
3408.78
5114.9
5114.9
1641
15499.70
258059
6114.25
30901
1995
6
41251
231168
2642.82
6410.83
4950.3
4950.3
2438
15000.91
269981
7558.37
41251
1996
7
74861
233593
2593.60
4585.89
4038.8
4038.8
3588
12238.79
304866
7420.01
74861
1997
8
55663
322598
2016.82
4797.06
4322.6
4322.6
4262
13098.79
373999
6958.99
55663
1998
9
70680
265949
2646.94
5783.04
4335.4
4335.4
6410
13137.58
330219
7071.01
70680
1999
10
121829
334807
1717.89
11123.19
3876.8
3876.8
7709
11747.88
448927
4019.24
121829
2000
11
59441
419874
920.88
6920.05
3318.0
3318.0
11840
10054.55
467475
2633.00
59441
2001
12
15305
424089
699.00
7411.00
3207.2
3207.2
18252
9718.79
421142
1729.00
15305
2002
13
156573
392072
807.32
6465.73
28366.0
28366.0
11841
85957.58
536804
1594.90
156573
2003
14
142136
465622
1141.67
7173.90
29880.0
29880.0
36603
90545.45
571155
1835.97
142136
2004
15
382316
355726
1160.59
7202.71
24825.0
24825.0
39226
75227.27
698816
2053.40
382316
2005
16
371823
366855
950.73
6781.11
24678.0
24678.0
46974
74781.82
691704
1775.45
371823
2006
17
337549
463632
815.87
6037.94
19167.0
19167.0
52353
58081.82
748828
2291.87
337549
2007
18
208290
609035
714.57
5725.05
16854.0
16854.0
47939
51072.73
769386
2049.64
208290
2008
19
280012
503522
872.83
7096.07
14506.0
14506.0
43528
43957.58
740006
2396.42
280012
2009
20
341778
515576
1083.87
7893.54
10352.0
10352.0
53761
31369.70
803593
2834.19
341778
2010
21
296713
559799
1145.52
8588.82
10509.0
10509.0
46929
31845.45
809583
2559.01
296713
101
102
102
Lampiran 3. Lanjutan TH
T
LLR
LPFR
LPDKOR
LPMSDR
LEXCRR
LPWBKR
LPMKINR
LIRR
LPPUR
SAKIN
SQKIN
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
1990
1
1991
2
4999.86
729.67
8678.18
1825.23
6428.04
8142.11
9034.05
669.215
701.39
86572
32552
1992
3
5649.08
699.30
7455.40
2080.74
6222.60
7436.43
3092.82
739.034
725.11
51944
32248
1993
4
5394.15
709.64
6508.75
2153.16
6023.42
6918.69
5798.34
655.234
735.04
39279
50912
1994
5
6089.54
700.62
5140.72
1870.92
5648.85
6309.35
8569.12
521.962
751.39
61726
11922
1995
6
6694.81
645.80
4247.71
2454.05
5391.48
7526.08
6157.48
416.542
749.43
5108
34885
1996
7
7104.29
589.97
3618.22
2893.58
5119.49
7333.33
5359.66
382.573
755.84
53212
69133
1997
8
7500.23
694.01
3207.34
2414.09
4925.91
7169.93
4818.09
357.939
815.81
-126274
-43780
1998
9
7852.07
788.95
2948.64
2809.07
5829.47
9436.29
3071.01
364.694
883.55
43496
118708
1999
10
6465.59
977.64
1805.38
4925.66
13528.37
22678.66
2113.94
313.468
715.34
95162
18548
2000
11
6585.53
1192.57
13936.02
3089.60
8347.30
9476.82
1374.05
271.907
1128.69
82202
-46333
2001
12
7676.93
1150.00
8800.00
2412.10
8475.95
7677.40
1038.00
195.500
1352.81
71532
115662
2002
13
8001.22
1031.58
4770.09
1837.91
9394.27
10039.92
953.53
171.780
1340.87
92602
34351
2003
14
11784.69
921.99
3960.15
2277.16
7526.26
13380.58
1340.50
151.126
1229.43
50172
127661
2004
15
15910.37
864.99
3640.39
2481.91
6484.83
11354.12
1650.24
121.700
1201.41
126737
-7112
2005
16
16010.90
814.10
3807.87
2599.67
6432.86
9969.91
1153.90
101.373
1151.61
76086
57124
2006
17
15190.67
737.04
422.16
2401.78
6249.98
9613.22
1013.91
99.917
1069.53
153774
20558
2007
18
14667.08
680.00
486.14
2253.87
5252.74
8361.82
911.20
87.040
1027.72
58459
-29380
2008
19
13979.12
639.05
641.60
2240.49
4898.61
9563.37
1062.41
71.733
991.83
45937
63587
2009
20
13985.62
579.09
682.75
2141.20
4770.00
12292.83
1251.81
70.505
1045.29
161920
5990
2010
21
14601.96
555.40
627.93
2160.00
4852.24
14016.89
1296.86
63.084
1061.94
64403
35043
103
Lampiran 3. Lanjutan TH
T
SDKIN
SXKIN
SPXINR
SPKDR
SXKBU
SQKBU
SMKIN
SPEKBUR
SSKIN
SLR
SPFR
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
1990
1
1991
2
7474
25492
-312.982
-485.10
-508.1
-508.1
414
-1325.71
7474
649.22
-30.373
1992
3
2190
30784
-542.623
-701.87
1397.8
1397.8
726
-486.06
2190
-254.93
10.339
1993
4
-2025
52798
-214.094
-650.94
-443.5
-443.5
-139
-322.76
-2025
695.40
-9.019
1994
5
10350
2369
411.617
3002.04
-164.6
-164.6
797
1444.12
10350
605.26
-54.817
1995
6
33610
2425
-49.221
-1824.94
-911.5
-911.5
1150
-138.36
33610
409.48
-55.832
1996
7
-19198
89005
-576.777
211.17
283.8
283.8
674
-461.02
-19198
395.94
104.036
1997
8
15017
-56649
630.118
985.98
12.8
12.8
2148
112.02
15017
351.84
94.948
1998
9
51149
68858
-929.052
5340.15
-458.6
-458.6
1299
-3051.77
51149
-1386.48
188.682
1999
10
-62388
85067
-797.016
-4203.14
-558.8
-558.8
4131
-1386.24
-62388
119.94
214.939
2000
11
-44136
4215
-221.875
490.95
-110.8
-110.8
6412
-904.00
-44136
1091.40
-42.575
2001
12
141268
-32017
108.320
-945.27
25158.8
25158.8
-6411
-134.10
141268
324.29
-118.425
2002
13
-14437
73550
334.346
708.16
1514.0
1514.0
24762
241.06
-14437
3783.47
-109.584
2003
14
240180
-109896
18.921
28.81
-5055.0
-5055.0
2623
217.44
240180
4125.68
-57.005
2004
15
-10493
11129
-209.858
-421.59
-147.0
-147.0
7748
-277.95
-10493
100.53
-50.885
2005
16
-34274
96777
-134.860
-743.17
-5511.0
-5511.0
5379
516.42
-34274
-820.23
-77.064
2006
17
-129259
145403
-101.300
-312.89
-2313.0
-2313.0
-4414
-242.23
-129259
-523.59
-57.035
2007
18
71722
-105513
158.261
1371.02
-2348.0
-2348.0
-4411
346.78
71722
-687.96
-40.957
2008
19
61766
12054
211.042
797.47
-4154.0
-4154.0
10233
437.76
61766
6.49
-59.951
2009
20
-45065
44223
61.643
695.27
157.0
157.0
-6832
-275.17
-45065
616.34
-23.693
2010
21
42476
-6907
66.406
1586.83
-2069.0
-2069.0
526
-326.22
42476
112.19
148.948
103
104
104
Lampiran 3. Lanjutan TH
T
SPDKOR
SPMSDR
SEXCRR
SPWBKR
SPMKINR
1990
1
.
.
.
.
.
1991
2
-1222.78
255.51
-205.44
-705.69
-5941.24
1992
3
-946.65
72.43
-199.18
-517.74
2705.53
1993
4
-1368.04
-282.24
-374.56
-609.34
2770.77
1994
5
-893.00
583.12
-257.37
1216.73
-2411.64
1995
6
-629.49
439.53
-271.99
-192.75
1996
7
-410.88
-479.49
-193.58
1997
8
-258.70
394.98
903.56
SIRR
SPPUR
TAKIN
TQKIN
TDKIN
TXKIN
.
.
.
.
.
.
69.819
23.721
0.24217
0.22868
0.32130
0.21292
-83.800
9.927
0.11697
0.18438
0.07125
0.21199
-133.272
16.349
0.07919
0.24578
-0.06150
0.29999
-105.419
-1.959
0.11531
0.04620
0.33494
0.01035
-797.82
-33.969
6.414
0.00856
0.12921
0.81477
0.01049
-163.41
-541.57
-24.634
59.972
0.08837
0.22677
-0.25645
0.38103
2266.37
-1747.08
0.6755
67.735
-0.19269
-0.11706
0.26978
-0.17560
1998
9
-1143.25
2116.59
7698.91
13242.37
-957.06
-51.226
-168.208
0.08221
0.35948
0.72367
0.25891
1999
10
12130.63
-1836.06
-5181.07
-13201.84
-739.89
-41.561
413.352
0.16621
0.04132
-0.51209
0.25408
2000
11
-5136.02
-677.50
128.65
-1799.42
-336.05
-76.407
224.116
0.12311
-0.09911
-0.74252
0.01004
2001
12
-4029.91
-574.19
918.32
2362.52
-84.47
-23.720
-11.942
0.09539
0.27464
923.019
-0.07550
2002
13
-809.94
439.25
-1868.01
3340.66
386.96
-20.653
-111.437
0.11273
0.06399
-0.09221
0.18759
2003
14
-319.76
204.75
-1041.43
-2026.46
309.75
-29.427
-28.025
0.05489
0.22351
168.979
-0.23602
2004
15
167.48
117.76
-51.97
-1384.20
-496.34
-20.327
-49.792
0.13144
-0.01018
-0.02745
0.03129
2005
16
-3385.71
-197.89
-182.88
-356.70
-139.99
-0.1457
-82.089
0.06974
0.08258
-0.09218
0.26380
2006
17
63.98
-147.91
-997.24
-1251.40
-102.70
-12.876
-41.804
0.13176
0.02745
-0.38293
0.31362
2007
18
155.46
-13.37
-354.13
1201.55
151.21
-15.307
-35.891
0.04426
-0.03819
0.34434
-0.17325
2008
19
41.15
-99.29
-128.61
2729.46
189.40
-0.1228
53.464
0.03331
0.08593
0.22058
0.02394
2009
20
-54.83
18.80
82.25
1724.06
45.05
-0.7420
16.646
0.11361
0.00745
-0.13185
0.08577
2010
21
53.31
-4.38
-832.14
-1421.89
289.68
-0.4711
4.615
0.04058
0.04329
0.14316
-0.01234
105
Lampiran 3. Lanjutan TH
T
TPXINR
TPKDR
TXKBU
TQKBU
TMKIN
TDKINBU
TPEKBUR
TSKIN
TLR
TPFR
TPDKOR
1990 1991 1992 1993 1994
1 2 3 4 5
. -0.09482 -0.18161 -0.08755 0.18448
. -0.09246 -0.14740 -0.16034 0.88068
. -0.10883 0.33596 -0.07979 -0.03218
. -0.10883 0.33596 -0.07979 -0.03218
. 0.64688 0.68880 -0.07809 0.48568
. -0.10883 0.33596 -0.07979 -0.03218
. -0.16072 -0.07021 -0.05014 0.23619
. 0.32130 0.07125 -0.06150 0.33494
. 0.12985 -0.04513 0.12892 0.09939
. -0.04163 0.01478 -0.01271 -0.07824
. -0.14090 -0.12698 -0.21018 -0.17371
1995 1996 1997 1998 1999 2000
6 7 8 9 10 11
-0.01862 -0.22238 0.31243 -0.35099 -0.46395 -0.24094
-0.28467 0.04605 0.20554 0.92342 -0.37787 0.07095
-0.18413 0.07027 0.00296 -0.10578 -0.14414 -0.03339
-0.18413 0.07027 0.00296 -0.10578 -0.14414 -0.03339
0.47170 0.18785 0.50399 0.20265 0.53587 0.54155
-0.18413 0.07027 0.00296 -0.10578 -0.14414 -0.03339
-0.01831 -0.06213 0.01610 -0.43159 -0.34490 -0.34333
0.81477 -0.25645 0.26978 0.72367 -0.51209 -0.74252
0.06116 0.05573 0.04691 -0.17657 0.01855 0.16573
-0.08645 0.17634 0.13681 0.23915 0.21986 -0.03570
-0.14820 -0.11356 -0.08066 -0.38772 671.914 -0.36854
2001 2002 2003 2004 2005 2006
12 13 14 15 16 17
0.15496 0.41414 0.01657 -0.18082 -0.14185 -0.12416
-0.12755 0.10953 0.00402 -0.05853 -0.10959 -0.05182
784.447 0.05337 -0.16918 -0.00592 -0.22332 -0.12068
784.447 0.05337 -0.16918 -0.00592 -0.22332 -0.12068
-0.35125 209.121 0.07166 0.19752 0.11451 -0.08431
784.448 0.05337 -0.16918 -0.00592 -0.22332 -0.12068
-0.07756 0.15114 0.11843 -0.13536 0.29087 -0.10569
923.019 -0.09221 168.979 -0.02745 -0.09218 -0.38293
0.04224 0.47286 0.35009 0.00632 -0.05123 -0.03447
-0.10298 -0.10623 -0.06183 -0.05883 -0.09466 -0.07738
-0.45794 -0.16980 -0.08075 0.04601 -0.88913 0.15156
2007 2008 2009 2010
18 19 20 21
0.22148 0.24179 0.05687 0.05797
0.23948 0.11238 0.08808 0.18476
-0.13931 -0.28636 0.01517 -0.19688
-0.13931 -0.28636 0.01517 -0.19688
-0.09201 0.23509 -0.12708 0.01121
-0.13931 -0.28636 0.01517 -0.19688
0.16919 0.18267 -0.09709 -0.12748
0.34434 0.22058 -0.13185 0.14316
-0.04690 0.00046 0.04407 0.00768
-0.06023 -0.09381 -0.04091 0.26818
0.31977 0.06414 -0.08030 0.08490
105
106
106
Lampiran 3. Lanjutan TH
T
TPMSDR
TEXCRR
TPWBKR
TPMKINR
TIRR
TPPUR
REXCRR
RAKIN
RQKIN
RDKIN
RXKIN
1990
1
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
1991
2
0.13999
-0.03196
-0.08667
-0.65765
0.10433
0.03382
0.96804
124.217
122.868
13.213
121.292
1992
3
0.03481
-0.03201
-0.06962
0.87478
-0.11339
0.01369
0.96799
111.697
118.438
10.713
121.199
1993
4
-0.13108
-0.06218
-0.08807
0.47786
-0.20340
0.02224
0.93782
107.919
124.578
0.9385
129.999
1994
5
0.31168
-0.04556
0.19285
-0.28143
-0.20197
-0.00261
0.95444
111.531
104.620
13.349
101.035
1995
6
0.17910
-0.05045
-0.02561
-0.12957
-0.08155
0.00856
0.94955
100.856
112.921
18.148
101.049
1996
7
-0.16571
-0.03781
-0.02228
-0.10105
-0.06439
0.07934
0.96219
108.837
122.677
0.7436
138.103
1997
8
0.16362
0.18343
0.31609
-0.36261
0.01887
0.08303
118.343
0.80731
0.88294
12.698
0.82440
1998
9
0.75348
132.069
140.334
-0.31164
-0.14046
-0.19038
232.069
108.221
135.948
17.237
125.891
1999
10
-0.37275
-0.38298
-0.58213
-0.35000
-0.13258
0.57784
0.61702
116.621
104.132
0.4879
125.408
2000
11
-0.21928
0.01541
-0.18988
-0.24457
-0.28100
0.19856
101.541
112.311
0.90089
0.2575
101.004
2001
12
-0.23805
0.10834
0.30772
-0.08137
-0.12133
-0.00883
110.834
109.539
127.464
102.302
0.92450
2002
13
0.23899
-0.19885
0.33274
0.40582
-0.12023
-0.08311
0.80115
111.273
106.399
0.9078
118.759
2003
14
0.08992
-0.13837
-0.15145
0.23107
-0.19471
-0.02280
0.86163
105.489
122.351
26.898
0.76398
2004
15
0.04745
-0.00801
-0.12191
-0.30077
-0.16702
-0.04145
0.99199
113.144
0.98982
0.9726
103.129
2005
16
-0.07612
-0.02843
-0.03578
-0.12132
-0.01437
-0.07128
0.97157
106.974
108.258
0.9078
126.380
2006
17
-0.06159
-0.15956
-0.13017
-0.10130
-0.12887
-0.03909
0.84044
113.176
102.745
0.6171
131.362
2007
18
-0.00593
-0.06742
0.14370
0.16595
-0.17587
-0.03492
0.93258
104.426
0.96181
13.443
0.82675
2008
19
-0.04432
-0.02625
0.28541
0.17827
-0.01712
0.05390
0.97375
103.331
108.593
12.206
102.394
2009
20
0.00878
0.01724
0.14025
0.03599
-0.10525
0.01592
101.724
111.361
100.745
0.8681
108.577
2010
21
-0.00203
-0.17150
-0.10144
0.22337
-0.07468
0.00435
0.82850
104.058
104.329
11.432
0.98766
107
Lampiran 3. Lanjutan TH
T
RPXINR
RPKDR
RXKBU
RQKBU
RMKIN
RPKDPF
RPKDL
RKBUPKD
RDKINBU
RPEKBUR
RSKIN
1990
1
.
.
.
.
.
71.905
104.937
157.219
.
.
.
1991
2
0.90518
0.90754
0.89117
0.89117
164.688
68.091
0.84290
145.394
0.89117
0.83928
13.213
1992
3
0.81839
0.85260
133.596
133.596
168.880
57.208
0.75262
158.558
133.596
0.92979
10.713
1993
4
0.91245
0.83966
0.92021
0.92021
0.92191
48.654
0.55978
179.368
0.92021
0.94986
0.9385
1994
5
118.448
188.068
0.96782
0.96782
148.568
99.269
0.95758
117.900
0.96782
123.619
13.349
1995
6
0.98138
0.71533
0.81587
0.81587
147.170
77.731
0.64551
161.801
0.81587
0.98169
18.148
1996
7
0.77762
104.605
107.027
107.027
118.785
69.121
0.63959
145.068
107.027
0.93787
0.7436
1997
8
131.243
120.554
100.296
100.296
150.399
73.300
0.73650
122.271
100.296
101.610
12.698
1998
9
0.64901
192.342
0.89422
0.89422
120.265
113.776
172.037
0.36134
0.89422
0.56841
17.237
1999
10
0.53605
0.62213
0.85586
0.85586
153.587
58.026
105.079
0.38049
0.85586
0.65510
0.4879
2000
11
0.75906
107.095
0.96661
0.96661
154.155
64.443
0.96536
0.23330
0.96661
0.65667
0.2575
2001
12
115.496
0.87245
884.447
884.447
0.64875
62.678
0.80809
0.24667
884.448
0.92244
102.302
2002
13
141.414
110.953
105.337
105.337
309.121
77.809
0.60875
0.25592
105.337
115.114
0.9078
2003
14
101.657
100.402
0.83082
0.83082
107.166
83.270
0.45271
0.28509
0.83082
111.843
26.898
2004
15
0.81918
0.94147
0.99408
0.99408
119.752
83.296
0.42353
0.26182
0.99408
0.86464
0.9726
2005
16
0.85815
0.89041
0.77668
0.77668
111.451
81.922
0.39748
0.37958
0.77668
129.087
0.9078
2006
17
0.87584
0.94818
0.87932
0.87932
0.91569
84.192
0.39033
0.35801
0.87932
0.89431
0.6171
2007
18
122.148
123.948
0.86069
0.86069
0.90799
111.042
0.50762
0.33771
0.86069
116.919
13.443
2008
19
124.179
111.238
0.71364
0.71364
123.509
136.308
0.56440
0.35905
0.71364
118.267
12.206
2009
20
105.687
108.808
101.517
101.517
0.87292
154.642
0.58820
0.29795
101.517
0.90291
0.8681
2010
21
105.797
118.476
0.80312
0.80312
101.121
144.469
0.69156
0.21942
0.80312
0.87252
11.432
107
108
108
Lampiran 3. Lanjutan TH
T
RPMKINR
RIRR
RPPUR
RPKDPPU
RPXINPKD
PEKBUR2
PEKBUR2T
PXINR2
PWBKR2
PMKINR2
PEKBURT
1990
1
.
.
.
74.804
0.62914
53023515.24
53023515.24
21218340.13
52337827.83
16712904.79
8248.78
1991
2
0.34235
110.433
103.382
65.667
0.62750
43079539.34
86159078.68
18592638.65
46273912.90
6054589.92
13846.15
1992
3
187.478
0.88661
101.369
55.232
0.60233
38772859.83
116318579.49
14729056.08
41674145.48
11811922.89
19311.06
1993
4
147.786
0.79660
102.224
45.367
0.65455
34538537.97
138154151.89
12603750.30
35640605.03
17963358.12
24457.02
1994
5
0.71857
0.79803
0.99739
85.543
0.41224
40750806.73
203754033.64
14248721.12
40576715.21
13365479.86
37791.85
1995
6
0.87043
0.91845
100.856
60.672
0.56556
37986698.25
227920189.48
13277919.30
37542939.26
12092239.44
44520.08
1996
7
0.89895
0.93561
107.934
58.801
0.42043
34279358.07
239955506.51
9934694.59
35318409.03
11285258.82
48712.93
1997
8
0.63739
101.887
108.303
65.452
0.45771
41220198.87
329761590.98
15430266.91
55008556.61
9076480.83
56568.05
1998
9
0.68836
0.85954
0.80962
155.495
0.15444
54373784.29
489364058.65
23240271.50
306805387.79
22890007.65
36173.16
1999
10
0.65000
0.86742
157.784
61.310
0.13307
21978420.66
219784206.58
7686820.62
79105867.34
11060170.59
26329.98
2000
11
0.75543
0.71900
119.856
54.782
0.09432
14654917.55
161204093.05
5924689.05
65073258.53
8798036.10
19019.00
2001
12
0.91863
0.87867
0.99117
48.220
0.12486
14982964.26
179795571.13
7584177.63
94317675.75
9986106.92
19138.86
2002
13
140.582
0.87977
0.91689
58.351
0.15914
13817949.07
179633337.92
8592471.39
100705695.55
12583901.23
23867.55
2003
14
123.107
0.80529
0.97720
59.952
0.16113
13315970.55
186423587.75
7526206.07
73629512.93
14227714.57
28747.65
2004
15
0.69923
0.83298
0.95855
58.884
0.14020
11421220.70
171318310.57
6115908.85
64135072.48
10485564.07
26631.74
2005
16
0.87868
0.98563
0.92872
56.454
0.13512
14324117.02
229185872.30
5099161.34
60082380.66
9887464.51
36669.87
2006
17
0.89870
0.87113
0.96091
55.706
0.12481
10766226.56
183025851.52
3753445.31
43922453.90
8446405.67
34843.88
2007
18
116.595
0.82413
0.96508
71.545
0.12300
11739133.74
211304407.35
4275653.38
46847230.59
9772727.10
43135.58
2008
19
117.827
0.98288
105.390
75.515
0.13731
13519061.22
256862163.21
5170068.36
58636770.02
12373374.99
53849.53
2009
20
103.599
0.89475
101.592
80.878
0.13337
12416949.55
248338991.07
5558319.79
68013397.64
13595989.78
51180.23
2010
21
122.337
0.92532
100.435
95.407
0.11910
8976039.53
188496830.20
4872049.85
50633216.06
14488457.60
46888.54
109
Lampiran 3. Lanjutan TH
T
PKDRT
PXINRT
XKINT
SKINT
QKINT
LPXINR2
LPWBKR2
1990
1
5246.70
3300.90
119725
23262
142347.00
.
.
1991
2
9523.20
5975.84
290434
61472
349798.00
20540201.95
50665110.76
1992
3
12179.18
7335.90
528003
98778
621441.00
17997498.44
44792710.22
1993
4
13635.14
8924.82
915196
123604
1032236.00
13813136.85
39082658.91
1994
5
32054.15
13214.11
1155840
206255
1349905.00
12029495.43
34016739.84
1995
6
27515.32
15561.61
1401558
449166
1829196.00
13529903.60
38529706.67
1996
7
33579.39
14117.77
2258186
389641
2617993.00
12775844.42
36123336.84
1997
8
46264.30
21175.54
2127592
565440
2641752.00
11757012.18
41796852.57
1998
9
100108.70
15461.02
3013263
1096461
4040343.00
35808830.35
127657679.70
1999
10
69200.46
9208.75
4198740
594410
3674750.00
14339749.52
189305551.52
2000
11
81521.00
7689.00
4664979
168355
4632562.00
7805292.54
80325074.22
2001
12
77588.81
9687.84
4704864
1878876
6441648.00
6566593.35
72123553.37
2002
13
93260.64
14841.66
6053086
1847768
7425015.00
6076095.30
75562996.30
2003
14
100837.91
16248.21
4980164
5352424
9783424.00
7403508.64
86770785.00
2004
15
101716.69
14260.94
5502825
5577345
10375560.00
7465893.29
73039467.88
2005
16
96607.06
13053.90
7418112
5400784
11981247.99
5942035.87
62311736.57
2006
17
97325.89
12147.67
10353595
3540930
13079562.00
4285546.25
50495719.58
2007
18
127729.26
15710.94
9063396
5040216
13320107.99
3500395.14
40961285.28
2008
19
149977.32
20593.57
9795944
6493782
15268267.00
4163396.97
45617266.13
2009
20
171776.36
22910.30
11195980
5934260
16191660.01
5259213.25
59647814.34
2010
21
213688.59
25450.34
11610732
7122969
17737145.99
4605090.86
56349380.27
109
110 Lampiran 4.
Program Estimasi Parameter Model Perdagangan Kakao di Indonesia dengan Menggunakan Metode 2SLS
DATA KAKAO; INPUT TH T AKIN YKIN QKIN MKIN XKIN PKD PEKBU PXIN DKIN QKBUXKBU PDKO PDGU PF IR L CH PJX IHK PMKIN TM PPN DKINBU DKNONBU PWBK PMSD PPU; /*meriilkan PKDR PDGUR PFR LR EXCRR PXINR PEKBUR PDKOR PMKINR PWBKR PMSDR IRR PPUR
data*/ = (PKD/IHK)*100; = (PDGU/IHK)*100; = (PF/IHK)*100; = (L/IHK)*100; = (EXCR/IHK)*100; = (PXIN/IHK)*100; = (PEKBU/IHK)*100; = (PDKO/IHK)*100; = (PMKIN/IHK)*100; = (PWBK/IHK)*100; = (PMSD/IHK)*100; = (IR/IHK)*100; = (PPU/IHK)*100;
/*MEMBUAT VARIABEL LAG*/ LAKIN = LAG(AKIN); LYKIN = LAG(YKIN); LDKIN = LAG(DKIN); LXKIN = LAG(XKIN); LPXINR = LAG(PXINR); LPKDR = LAG(PKDR); LXKBU = LAG(XKBU); LQKBU = LAG(QKBU); LMKIN = LAG(MKIN); LDKINBU = LAG(DKINBU); LQKIN = LAG(QKIN); LPEKBUR = LAG(PEKBUR); LSKIN = LAG(SKIN); LLR = LAG(LR); LPFR = LAG(PFR); LPDKOR = LAG(PDKOR); LPMSDR = LAG(PMSDR); LEXCRR = LAG(EXCRR); LPWBKR = LAG(PWBKR); LPMKINR = LAG(PMKINR); LIRR = LAG(IRR); LPPUR = LAG(PPUR); /*MEMBUAT SELISIH*/ SAKIN = AKIN-LAKIN; SQKIN = QKIN-LQKIN; SDKIN = DKIN-LDKIN; SXKIN = XKIN-LXKIN; SPXINR = PXINR-LPXINR; SPKDR = PKDR-LPKDR; SXKBU = XKBU-LXKBU; SQKBU = QKBU-LQKBU; SMKIN = MKIN-LMKIN;
SKIN EXCR
111 Lampiran 4. Lanjutan SPEKBUR SSKIN SLR SPFR SPDKOR SPMSDR SEXCRR SPWBKR SPMKINR SIRR SPPUR
= = = = = = = = = = =
PEKBUR-LPEKBUR; SKIN-LSKIN; LR-LLR; PFR-LPFR; PDKOR-LPDKOR; PMSDR-LPMSDR; EXCRR-LEXCRR; PWBKR-LPWBKR; PMKINR-LPMKINR; IRR-LIRR; PPUR-LPPUR;
/*MEMBUAT PERTUMBUHAN ATAU LAJU*/ TAKIN = (AKIN-LAKIN)/LAKIN; TQKIN = (QKIN-LQKIN)/LQKIN; TDKIN = (DKIN-LDKIN)/LDKIN; TXKIN = (XKIN-LXKIN)/LXKIN; TPXINR = (PXINR-LPXINR)/LPXINR; TPKDR = (PKDR-LPKDR)/LPKDR; TXKBU = (XKBU-LXKBU)/LXKBU; TQKBU = (QKBU-LQKBU)/LQKBU; TMKIN = (MKIN-LMKIN)/LMKIN; TDKINBU = (DKINBU-LDKINBU)/LDKINBU; TPEKBUR = (PEKBUR-LPEKBUR)/LPEKBUR; TSKIN = (SKIN-LSKIN)/LSKIN; TLR = (LR-LLR)/LLR; TPFR = (PFR-LPFR)/LPFR; TPDKOR = (PDKOR-LPDKOR)/LPDKOR; TPMSDR = (PMSDR-LPMSDR)/LPMSDR; TEXCRR = (EXCRR-LEXCRR)/LEXCRR; TPWBKR = (PWBKR-LPWBKR)/LPWBKR; TPMKINR = (PMKINR-LPMKINR)/LPMKINR; TIRR = (IRR-LIRR)/LIRR; TPPUR = (PPUR-LPPUR)/LPPUR; /*MEMBUAT RASIO*/ REXCRR = EXCRR/LEXCRR; RAKIN = AKIN/LAKIN; RQKIN = QKIN/LQKIN; RDKIN = DKIN/LDKIN; RXKIN = XKIN/LXKIN; RPXINR = PXINR/LPXINR; RPKDR = PKDR/LPKDR; RXKBU = XKBU/LXKBU; RQKBU = QKBU/LQKBU; RMKIN = MKIN/LMKIN; RPKDPF = PKDR/PFR; RPKDL = PKDR/LR; RKBUPKD = PEKBUR/PKDR; RDKINBU = DKINBU/LDKINBU; RPEKBUR = PEKBUR/LPEKBUR; RSKIN = SKIN/LSKIN; RPMKINR = PMKINR/LPMKINR; RIRR = IRR/LIRR; RPPUR = PPUR/LPPUR; RPKDPPU = PKDR/PPUR; RPXINPKD = PXINR/PKDR;
112 Lampiran 4. Lanjutan /*CREATE DATA*/ SKIN = QKIN+MKIN-XKIN; SKIN = DKIN; QKIN = AKIN*YKIN; QKBU = XKBU; DKIN = DKINBU+DKNONBU; PEKBUR2 = PEKBUR*EXCRR; PEKBUR2T = PEKBUR2*T; PXINR2 = PXINR*EXCRR; PWBKR2 = PWBKR*EXCRR; PMKINR2 = PMKIN*EXCRR; PEKBURT = PEKBUR*T; PKDRT = PKDR*T; PXINRT = PXINR*T; PWBKR2 = PWBKR*EXCRR; XKINT = XKIN*T; SKINT = SKIN*T; QKBU = DKINBU*0.3; QKINT = QKIN*T; LPXINR2 = LPXINR*LEXCRR; LPWBKR2 = LPWBKR*LEXCRR; /*MELABELKAN DATA*/ LABEL AKIN ='LUAS AREAL KAKAO' PKDR ='HARGA BIJI KAKAO DOMESTIK RIIL' PDGUR ='HARGA GULA RIIL' PFR ='HARGA PUPUK RILL' IRR ='SUKU BUNGA KREDIT RIIL' LR ='UPAH BURUH PERKEBUNAN RIIL' YKIN ='PRODUKTIFITAS KAKAO' CH ='CURAH HUJAN' QKIN ='PRODUKSI BIJI KAKAO INDONESIA' MKIN ='IMPOR BIJI KAKAO INDONESIA' XKIN ='EKSPOR BIJI KAKAO INDONESIA' PXINR ='HARGA EKSPOR RIIL BIJI KAKAO INDONESIA' XKBU ='VOLUME EKSPOR COCOA BUTTER' PEKBUR ='HARGA EKSPOR RIIL COCOA BUTTER' IHK ='INDEKS HARGA KONSUMEN' PDKOR ='HARGA KOPI RIIL' PJX ='PAJAK EKSPOR' QKBU ='PRODUKSI COCOA BUTTER' PMKINR ='HARGA IMPOR RIIL BIJI KAKAO INDONESIA' TH ='TAHUN' TM ='TARIF IMPOR' EXCRR ='NILAI TUKAR RIIL' DKINBU ='PERMINTAAN BIJI KAKAO OLEH INDUSTRI BUTTER' DKNONBU ='PERMINTAAN BIJI KAKAO OLEH INDUSTRI SELAIN BUTTER' PWBK ='HARGA BIJI KAKAO DUNIA' PMSDR ='HARGA MINYAK SAWIT DOMESTIK RIIL' T ='DERET WAKTU' SKIN ='PENAWARAN BIJI KAKAO INDONESIA' DKIN ='PERMINTAAN BIJI KAKAO INDONESIA' PPUR ='HARGA PUPUK UREA RIIL' LR ='UPAH RIIL BURUH PERKEBUNAN';
113 Lampiran 4. Lanjutan datalines; 1990 1 357490 0.398184565 142347 640 119725 1510 2374 950 23262 23262 4668.7 4668.7 2497.58 813 210 19.26 1438.96 2296.74 1849.99 0.00 28.78 2600 10 10 14147.58 9114.424 2343.3 525.3 201.86 1991 2 444062 0.393861668 174899 1054 145217 1498 2178 940 30736 30736 4160.6 4160.6 2345.47 902 220 23.25 1777.2 1717.49 1957.63 0.00 31.46 973 10 10 12607.88 18128.12 2339.5 654.6 228.12 1992 3 496006 0.417630029 207147 1780 176001 1373 2177 827 32926 32926 5558.4 5558.4 2201.26 1006 240 22.16 1824.3 1916.71 2037.12 0.00 33.82 1961 10 10 16843.64 16082.36 2339.9 728.2 248.59 1993 4 535285 0.482096453 258059 1641 228799 1265 2269 828 30901 30901 5114.9 5114.9 1907.72 1003 260 19.37 2259.83 2115.94 2096.29 0.00 37.11 3180 10 10 15499.7 15401.3 2341.4 694.3 278.84 1994 5 597011 0.452221148 269981 2438 231168 2581 3043 1064 41251 41251 4950.3 4950.3 1710.13 1003 260 16.77 2695.33 1586.69 2170.61 0.00 40.26 2479 10 10 15000.91 26250.09 3030 988 301.72 1995 6 602119 0.50632184 304866 3588 233593 2021 3270 1143 74861 74861 4038.8 4038.8 1594.55 1070 260 16.86 3130.86 2605.7 2256.16 0.00 44.07 2362 10 10 12238.79 62622.21 3231.8 1275.2 333.10 1996 7 655331 0.570702439 373999 4262 322598 2281 3309 959 55663 55663 4322.6 4322.6 1525.09 1070 330 17.02 3566.36 2352.78 2342.27 0.00 47.55 2291 10 10 13098.79 42564.21 3409.3 1147.9 387.92 1997 8 529057 0.62416526 330219 6410 265949 2932 3585 1342 70680 70680 4335.4 4335.4 1494.96 1125 400 18.49 3981 2507.23 2955.54 0.00 50.70 1557 5 10 13137.58 57542.42 4784.2 1424.2 447.96 1998 9 572553 0.784079378 448927 7709 334807 8903 3217 1375 121829 121829 3876.8 3876.8 1445.03 2224 782.5 25.09 5175.06 2173.88 10828.11 0.00 80.04 1692 5 10 11747.88 110081.1 18152 3942.5 572.56 1999 10 667715 0.550347079 467475 11840 419874 6673 2539 888 59441 59441 3318 3318 13438.5 2640 1150 26.22 6350.43 252.74 8049.3 0.00 96.43 1325 5 10 10054.55 49386.45 9138.5 2979.3 1088.40 2000 11 749917 0.561584815 421142 18252 424089 7411 1729 699 15305 15305 3207.2 3207.2 8800 2737 1150 19.55 7676.93 3060.59 8475.95 0.00 100.00 1038 5 10 9718.788 5586.212 7677.4 2412.1 1352.81
114 Lampiran 4. Lanjutan 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
12 821449 0.65348427 536804 11841 392072 7208 1778 900 156573 156573 28366 28366 5317.7 3746 1150 19.15 8919.76 2515.63 10472.73 0.00 111.48 1063 5 10 85957.58 70615.42 11192.5 2048.9 1494.80 13 914051 0.624861195 571155 36603 465622 8948 2290 1424 142136 142136 29880 29880 4939.5 3529 1150 18.85 14699.05 2026 9387.5 0.00 124.73 1672 5 10 90545.45 51590.55 16689.6 2840.3 1533.47 14 964223 0.724745209 698816 39226 355726 9576 2730 1543 382316 382316 24825 24825 4839.9 4307 1150 16.18 21152.84 2556.36 8621.58 0.00 132.95 2194 5 10 75227.27 307088.7 15095.3 3299.7 1597.27 15 1090960 0.634032412 691704 46974 366855 9579 2508 1343 371823 371823 24678 24678 5379 4114 1150 14.32 22617 2506.8 9087.06 0.00 141.26 1630 5 10 74781.82 297041.2 14083.5 3672.3 1626.77 16 1167046 0.641643945 748828 52353 463632 9421 3576 1273 337549 337549 19167 19167 658.7 5490 1150 15.59 23702 2524.53 9751.84 0.00 156.03 1582 5 10 58081.82 279467.2 14999.5 3747.5 1668.78 17 1320820 0.582506322 769386 47939 609035 10103 3617 1261 208290 208290 16854 16854 857.9 5980 1200 15.36 25883 1657.64 9269.51 0.00 176.47 1608 5 10 51072.73 157217.3 14756.1 3977.4 1813.62 18 1379279 0.536516542 740006 43528 503522 13325 4500 1639 280012 280012 14506 14506 1204.8 6342 1200 13.47 26250 2391.4 9198.61 0.00 187.78 1995 5 10 43957.58 236054.4 17958.1 4207.2 1862.46 19 1425216 0.563839446 803593 53761 515576 16357 5873 2246 341778 341778 10352 10352 1414.8 6191 1200 14.61 28981 3010 9884.39 0.00 207.22 2594 5 10 31369.7 310408.3 25473.2 4437 2166.06 20 1587136 0.510090503 809583 46929 559799 18557 5529 2475 296713 296713 10509 10509 1356.7 8205 1200 13.63 31549 2206.24 10483.76 0.00 216.06 2802 5 10 31845.45 264867.5 30284.9 4666.9 2294.43 21 1651539 0.511417532 844626 47455 552892 23115 5072 2753 339189 339189 8440 8440 1547.5 10447 1600 13.26 33424.66 2373.72 9132.07 10 227.16 3604 5 0.00 25575.76 313613.2 28610.8 4896.7 2422.79
; procprintdata=KAKAO; run; procsyslin2SLS data=KAKAO;
115 Lampiran 4. Lanjutan ENDOGENOUS AKIN YKIN QKIN SKIN MKIN XKIN DKIN DKINBU PKDR PXINR QKBU; INSTRUMENTS PMSDR PFR IRR LR CH PEKBUR EXCRR PWBKR PJX PMKINR T TM DKNONBU; /*PERSAMAAN STRUKTURAL*/ LUAS_AREAL_KIN : MODEL AKIN = LPKDR PMSDR PFR SIRR LR T LAKIN/DW; PRODUKTIFITAS_KIN : MODEL YKIN = PKDR AKIN CH LYKIN/DW; VOL_IMPOR_KIN : MODEL MKIN = PMKINR PKDR EXCRR TM LMKIN /DW; VOL_EKSPOR_KIN : MODEL XKIN = LPXINR2 QKINT PJX LXKIN /DW; PERMINTAAN_KINBU : MODEL DKINBU = SPKDR SPEKBUR T LDKINBU/DW; HRG_DOMESTIK_KIN : MODEL PKDR = PXINR EXCRR SKIN T LPKDR/DW; HRG_EKSPOR_KIN : MODEL PXINR = XKIN SPWBKR T LPXINR/DW; /*PERSAMAAN IDENTITAS*/ IDENTITY QKIN = QKIN+0; IDENTITY SKIN = QKIN+MKIN-XKIN; IDENTITY DKIN = DKINBU+DKNONBU; IDENTITY QKBU = DKINBU+0; run;
116 Lampiran 5. Hasil Estimasi Parameter Model Perdagangan Kakao di Indonesia dengan Menggunakan Metode 2SLS The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
LUAS_ARE AKIN LUAS AREAL KAKAO
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
7 12 19
2.862E12 4.036E10 2.902E12
4.088E1 3.363E9
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
57995.0004 908538.750 6.383
R-Square Adj R-Sq
F Value
Pr > F
121.55
<.0001
0.98609 0.97798
Parameter Estimates variable
DF
Intersep LPKDR PMSDR PFR SIRR LR T LAKIN
1 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 366780.9 15.59095 -37.1468 -298.462 -2958.95 -1.48086 33161.08 0.466200
Standard Error 264021.5 12.63563 25.61642 213.8448 3457.911 9.056446 22515.97 0.339155
t Value
Pr > |t|
1.39 1.23 -1.45 -1.40 -0.86 -0.16 1.47 1.37
0.1900 0.2409 0.1727 0.1881 0.4089 0.8728 0.1665 0.1944
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.3319 20 -0.24834
117 Lampiran 5. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
PRODUKTI YKIN PRODUKTIFITAS KAKAO
Analysis of Variance Source
DF
Model Error Corrected Total
4 15 19
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Squares
Mean Square
0.145581 0.041209 0.180339
0.036395 0.002747
0.05241 0.56631 9.25542
R-Square Adj R-Sq
F Value 13.25
Pr > F <.0001
0.77939 0.72055
Parameter Estimates Variable
DF
Intersep PKDR AKIN CH LYKIN
1 1 1 1 1
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
-0.04458 0.000021 -1.13E-7 0.000085 0.695639
0.091679 8.444E-6 3.771E-8 0.000022 0.144165
-0.49 2.45 -3.00 3.79 4.83
0.6388 0.0268 0.0090 0.0018 0.0002
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.387812 20 -0.21352
118 Lampiran 5. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
VOL_IMPO MKIN IMPOR BIJI KAKAO INDONESIA
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Model Error Corrected Total
5 14 19
7.6289E9 7.069E8 8.3317E9
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
7105.82716 24279.1500 29.26720
Mean Square 1.5258E9 50492780
R-Square Adj R-Sq
F Value 30.22
Pr > F <.0001
0.91520 0.88491
Parameter Estimates Variable
DF
Intersep PMKINR PKDR EXCRR TM LMKIN
1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
26871.07 -0.79610 0.434979 -1.35970 -1573.22 0.714974
18926.90 1.635789 1.371503 1.240721 1735.112 0.158595
1.42 -0.49 0.32 -1.10 -0.91 4.51
0.1776 0.6340 0.7558 0.2916 0.3799 0.0005
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.430808 20 -0.22297
119 Lampiran 5. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
VOL_EKSP XKIN EKSPOR BIJI KAKAO INDONESIA
Analysis of Variance Source
DF
Model Error Corrected Total
4 15 19
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Squares 2.94E11 5.458E10 3.486E11
60319.7363 378341.300 15.94321
Mean Square 7.35E10 3.6385E9
R-Square Adj R-Sq
F Value
Pr > F
20.20
<.0001
0.83342 0.80167
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intersep LPXINR2 QKINT PJX LXKIN
1 1 1 1 1
77434.33 0.002751 0.012891 -5340.37 0.508974
102093 0.004332 0.005752 7077.240 0.234085
0.76 0.64 2.24 -0.75 2.17
0.4599 0.5349 0.0406 0.4622 0.0461
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.100987 20 -0.07927
120 Lampiran 5. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
PERMINTA DKINBU PERMINTAAN BIJI KAKAO OLEH INDUSTRI BUTTER Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 15 19
9.0512E9 5.7038E9 1.476E10
3.0171E9 3.5649E8
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
18880.9002 34918.1834 54.07183
R-Square Adj R-Sq
F Value
Pr > F
8.46
0.0013
0.61343 0.54095
Parameter Estimates Variable
DF
Intersep SPKDR SPEKBUR T LDKINBU
1 1 1 1 1
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
10197.30 -1.19967 1.822407 345.9695 0.744312
10504.70 2.404096 5.345255 925.5755 0.203017
0.73 -0.55 0.33 0.37 3.47
0.4787 0.5875 0.7457 0.7138 0.0035
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.630176 20 0.176286
121 Lampiran 5. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
HRG_DOME PKDR HARGA BIJI KAKAO DOMESTIK RILL
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Model Error Corrected Total
5 14 19
58057635 10249626 69723210
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
855.63785 6620.0839 12.92488
Mean Square 1161152 732116.1
R-Square Adj R-Sq
F Value
Pr > F
15.8
<.0001
0.84995 0.79636
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intersep PXINR EXCRR SKIN T LPKDR
1 1 1 1 1 1
-7702.92 2.192825 0.704774 -0.00257 513.7838 0.143320
2349.810 0.555147 0.112882 0.002892 97.51856 0.151349
-3.28 3.95 6.24 -0.89 5.27 0.95
0.0055 0.0015 <.0001 0.3883 0.0001 0.3597
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.552265 20 -0.35269
122 Lampiran 5. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
HRG_EKSP PXINR HARGA EKSPOR RILL BIJI KAKAO INDONESIA Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Model Error Corrected Total
4 15 19
9758722 1833050 11603829
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
349.57589 1540.36291 22.69438
Mean Square 2439680 122203.3
R-Square Adj R-Sq
F Value 19.96
Pr > F <.0001
0.84187 0.79970
Parameter Estimates Variable
DF
Intersep XKIN SPWBKR T LPXINR
1 1 1 1 1
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1423.081 -0.00311 0.013728 31.40441 0.565282
717.8370 0.001843 0.018011 42.58594 0.190646
1.98 -1.69 0.76 0.74 2.97
0.0661 0.1122 0.4578 0.4722 0.0096
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.907075 20 0.030561
123 Lampiran 6.
Program Validasi Model Perdagangan Kakao di Indonesia dengan Menggunakan Metode 2SLS
DATA KAKAO; INPUT TH T AKIN YKIN QKIN MKIN XKIN PKD PEKBU PXIN DKIN QKBUXKBU PDKO PDGU PF IR L CH PJX IHK PMKIN TM PPN DKINBU DKNONBU PWBK PMSD PPU; /*meriilkan PKDR PDGUR PFR LR EXCRR PXINR PEKBUR PDKOR PMKINR PWBKR PMSDR IRR PPUR
data*/ = (PKD/IHK)*100; = (PDGU/IHK)*100; = (PF/IHK)*100; = (L/IHK)*100; = (EXCR/IHK)*100; = (PXIN/IHK)*100; = (PEKBU/IHK)*100; = (PDKO/IHK)*100; = (PMKIN/IHK)*100; = (PWBK/IHK)*100; = (PMSD/IHK)*100; = (IR/IHK)*100; = (PPU/IHK)*100;
/*MEMBUAT VARIABEL LAG*/ LAKIN = LAG(AKIN); LYKIN = LAG(YKIN); LDKIN = LAG(DKIN); LXKIN = LAG(XKIN); LPXINR = LAG(PXINR); LPKDR = LAG(PKDR); LXKBU = LAG(XKBU); LQKBU = LAG(QKBU); LMKIN = LAG(MKIN); LDKINBU = LAG(DKINBU); LQKIN = LAG(QKIN); LPEKBUR = LAG(PEKBUR); LSKIN = LAG(SKIN); LLR = LAG(LR); LPFR = LAG(PFR); LPDKOR = LAG(PDKOR); LPMSDR = LAG(PMSDR); LEXCRR = LAG(EXCRR); LPWBKR = LAG(PWBKR); LPMKINR = LAG(PMKINR); LIRR = LAG(IRR); LPPUR = LAG(PPUR); /*MEMBUAT SELISIH*/ SAKIN = AKIN-LAKIN; SQKIN = QKIN-LQKIN; SDKIN = DKIN-LDKIN; SXKIN = XKIN-LXKIN; SPXINR = PXINR-LPXINR; SPKDR = PKDR-LPKDR; SXKBU = XKBU-LXKBU; SQKBU = QKBU-LQKBU; SMKIN = MKIN-LMKIN;
SKIN EXCR
124 Lampiran 6. Lanjutan SPEKBUR SSKIN SLR SPFR SPDKOR SPMSDR SEXCRR SPWBKR SPMKINR SIRR SPPUR
= = = = = = = = = = =
PEKBUR-LPEKBUR; SKIN-LSKIN; LR-LLR; PFR-LPFR; PDKOR-LPDKOR; PMSDR-LPMSDR; EXCRR-LEXCRR; PWBKR-LPWBKR; PMKINR-LPMKINR; IRR-LIRR; PPUR-LPPUR;
/*MEMBUAT PERTUMBUHAN ATAU LAJU*/ TAKIN = (AKIN-LAKIN)/LAKIN; TQKIN = (QKIN-LQKIN)/LQKIN; TDKIN = (DKIN-LDKIN)/LDKIN; TXKIN = (XKIN-LXKIN)/LXKIN; TPXINR = (PXINR-LPXINR)/LPXINR; TPKDR = (PKDR-LPKDR)/LPKDR; TXKBU = (XKBU-LXKBU)/LXKBU; TQKBU = (QKBU-LQKBU)/LQKBU; TMKIN = (MKIN-LMKIN)/LMKIN; TDKINBU = (DKINBU-LDKINBU)/LDKINBU; TPEKBUR = (PEKBUR-LPEKBUR)/LPEKBUR; TSKIN = (SKIN-LSKIN)/LSKIN; TLR = (LR-LLR)/LLR; TPFR = (PFR-LPFR)/LPFR; TPDKOR = (PDKOR-LPDKOR)/LPDKOR; TPMSDR = (PMSDR-LPMSDR)/LPMSDR; TEXCRR = (EXCRR-LEXCRR)/LEXCRR; TPWBKR = (PWBKR-LPWBKR)/LPWBKR; TPMKINR = (PMKINR-LPMKINR)/LPMKINR; TIRR = (IRR-LIRR)/LIRR; TPPUR = (PPUR-LPPUR)/LPPUR; /*MEMBUAT RASIO*/ REXCRR = EXCRR/LEXCRR; RAKIN = AKIN/LAKIN; RQKIN = QKIN/LQKIN; RDKIN = DKIN/LDKIN; RXKIN = XKIN/LXKIN; RPXINR = PXINR/LPXINR; RPKDR = PKDR/LPKDR; RXKBU = XKBU/LXKBU; RQKBU = QKBU/LQKBU; RMKIN = MKIN/LMKIN; RPKDPF = PKDR/PFR; RPKDL = PKDR/LR; RKBUPKD = PEKBUR/PKDR; RDKINBU = DKINBU/LDKINBU; RPEKBUR = PEKBUR/LPEKBUR; RSKIN = SKIN/LSKIN; RPMKINR = PMKINR/LPMKINR; RIRR = IRR/LIRR; RPPUR = PPUR/LPPUR; RPKDPPU = PKDR/PPUR; RPXINPKD = PXINR/PKDR;
125 Lampiran 6. Lanjutan /*CREATE DATA*/ SKIN = QKIN+MKIN-XKIN; SKIN = DKIN; QKIN = AKIN*YKIN; QKBU = XKBU; DKIN = DKINBU+DKNONBU; PEKBUR2 = PEKBUR*EXCRR; PEKBUR2T = PEKBUR2*T; PXINR2 = PXINR*EXCRR; PWBKR2 = PWBKR*EXCRR; PMKINR2 = PMKIN*EXCRR; PEKBURT = PEKBUR*T; PKDRT = PKDR*T; PXINRT = PXINR*T; PWBKR2 = PWBKR*EXCRR; XKINT = XKIN*T; SKINT = SKIN*T; QKBU = DKINBU*0.3; QKINT = QKIN*T; LPXINR = LPXINR*LEXCRR; LPWBKR2 = LPWBKR*LEXCRR; /*MELABELKAN DATA*/ LABEL AKIN ='LUAS AREAL KAKAO' PKDR ='HARGA BIJI KAKAO DOMESTIK RIIL' PDGUR ='HARGA GULA RIIL' PFR ='HARGA PUPUK RIIL' IRR ='SUKU BUNGA KREDIT RIIL' LR ='UPAH BURUH PERKEBUNAN RIIL' YKIN ='PRODUKTIFITAS KAKAO' CH ='CURAH HUJAN' QKIN ='PRODUKSI BIJI KAKAO INDONESIA' MKIN ='IMPOR BIJI KAKAO INDONESIA' XKIN ='EKSPOR BIJI KAKAO INDONESIA' PXINR ='HARGA EKSPOR RILL BIJI KAKAO INDONESIA' XKBU ='VOLUME EKSPOR COCOA BUTTER' PEKBUR ='HARGA EKSPOR RIIL COCOA BUTTER' IHK ='INDEKS HARGA KONSUMEN' PDKOR ='HARGA KOPI RIIL' PJX ='PAJAK EKSPOR' QKBU ='PRODUKSI COCOA BUTTER' PMKINR ='HARGA IMPOR RIIL BIJI KAKAO INDONESIA' TH ='TAHUN' TM ='TARIF IMPOR' EXCRR ='NILAI TUKAR RIIL' DKINBU ='PERMINTAAN BIJI KAKAO OLEH INDUSTRI BUTTER' DKNONBU ='PERMINTAAN BIJI KAKAO OLEH INDUSTRI SELAIN BUTTER' PWBK ='HARGA BIJI KAKAO DUNIA' PMSDR ='HARGA MINYAK SAWIT DOMESTIK RIIL' T ='DERET WAKTU' SKIN ='PENAWARAN BIJI KAKAO INDONESIA' DKIN ='PERMINTAAN BIJI KAKAO INDONESIA' PPUR ='HARGA PUPUK UREA RIIL' LR ='UPAH RIIL BURUH PERKEBUNAN';
126 Lampiran 6. Lanjutan datalines; 1990 1 357490 0.398184565 142347 640 119725 1510 2374 950 23262 23262 4668.7 4668.7 2497.58 813 210 19.26 1438.96 2296.74 1849.99 0.00 28.78 2600 10 10 14147.58 9114.424 2343.3 525.3 201.86 1991 2 444062 0.393861668 174899 1054 145217 1498 2178 940 30736 30736 4160.6 4160.6 2345.47 902 220 23.25 1777.2 1717.49 1957.63 0.00 31.46 973 10 10 12607.88 18128.12 2339.5 654.6 228.12 1992 3 496006 0.417630029 207147 1780 176001 1373 2177 827 32926 32926 5558.4 5558.4 2201.26 1006 240 22.16 1824.3 1916.71 2037.12 0.00 33.82 1961 10 10 16843.64 16082.36 2339.9 728.2 248.59 1993 4 535285 0.482096453 258059 1641 228799 1265 2269 828 30901 30901 5114.9 5114.9 1907.72 1003 260 19.37 2259.83 2115.94 2096.29 0.00 37.11 3180 10 10 15499.7 15401.3 2341.4 694.3 278.84 1994 5 597011 0.452221148 269981 2438 231168 2581 3043 1064 41251 41251 4950.3 4950.3 1710.13 1003 260 16.77 2695.33 1586.69 2170.61 0.00 40.26 2479 10 10 15000.91 26250.09 3030 988 301.72 1995 6 602119 0.50632184 304866 3588 233593 2021 3270 1143 74861 74861 4038.8 4038.8 1594.55 1070 260 16.86 3130.86 2605.7 2256.16 0.00 44.07 2362 10 10 12238.79 62622.21 3231.8 1275.2 333.10 1996 7 655331 0.570702439 373999 4262 322598 2281 3309 959 55663 55663 4322.6 4322.6 1525.09 1070 330 17.02 3566.36 2352.78 2342.27 0.00 47.55 2291 10 10 13098.79 42564.21 3409.3 1147.9 387.92 1997 8 529057 0.62416526 330219 6410 265949 2932 3585 1342 70680 70680 4335.4 4335.4 1494.96 1125 400 18.49 3981 2507.23 2955.54 0.00 50.70 1557 5 10 13137.58 57542.42 4784.2 1424.2 447.96 1998 9 572553 0.784079378 448927 7709 334807 8903 3217 1375 121829 121829 3876.8 3876.8 1445.03 2224 782.5 25.09 5175.06 2173.88 10828.11 0.00 80.04 1692 5 10 11747.88 110081.1 18152 3942.5 572.56 1999 10 667715 0.550347079 467475 11840 419874 6673 2539 888 59441 59441 3318 3318 13438.5 2640 1150 26.22 6350.43 252.74 8049.3 0.00 96.43 1325 5 10 10054.55 49386.45 9138.5 2979.3 1088.40 2000 11 749917 0.561584815 421142 18252 424089 7411 1729 699 15305 15305 3207.2 3207.2 8800 2737 1150 19.55 7676.93 3060.59 8475.95 0.00 100.00 1038 5 10 9718.788 5586.212 7677.4 2412.1 1352.81
127 Lampiran 6. Lanjutan 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
12 821449 0.65348427 536804 11841 392072 7208 1778 900 156573 156573 28366 28366 5317.7 3746 1150 19.15 8919.76 2515.63 10472.73 0.00 111.48 1063 5 10 85957.58 70615.42 11192.5 2048.9 1494.80 13 914051 0.624861195 571155 36603 465622 8948 2290 1424 142136 142136 29880 29880 4939.5 3529 1150 18.85 14699.05 2026 9387.5 0.00 124.73 1672 5 10 90545.45 51590.55 16689.6 2840.3 1533.47 14 964223 0.724745209 698816 39226 355726 9576 2730 1543 382316 382316 24825 24825 4839.9 4307 1150 16.18 21152.84 2556.36 8621.58 0.00 132.95 2194 5 10 75227.27 307088.7 15095.3 3299.7 1597.27 15 1090960 0.634032412 691704 46974 366855 9579 2508 1343 371823 371823 24678 24678 5379 4114 1150 14.32 22617 2506.8 9087.06 0.00 141.26 1630 5 10 74781.82 297041.2 14083.5 3672.3 1626.77 16 1167046 0.641643945 748828 52353 463632 9421 3576 1273 337549 337549 19167 19167 658.7 5490 1150 15.59 23702 2524.53 9751.84 0.00 156.03 1582 5 10 58081.82 279467.2 14999.5 3747.5 1668.78 17 1320820 0.582506322 769386 47939 609035 10103 3617 1261 208290 208290 16854 16854 857.9 5980 1200 15.36 25883 1657.64 9269.51 0.00 176.47 1608 5 10 51072.73 157217.3 14756.1 3977.4 1813.62 18 1379279 0.536516542 740006 43528 503522 13325 4500 1639 280012 280012 14506 14506 1204.8 6342 1200 13.47 26250 2391.4 9198.61 0.00 187.78 1995 5 10 43957.58 236054.4 17958.1 4207.2 1862.46 19 1425216 0.563839446 803593 53761 515576 16357 5873 2246 341778 341778 10352 10352 1414.8 6191 1200 14.61 28981 3010 9884.39 0.00 207.22 2594 5 10 31369.7 310408.3 25473.2 4437 2166.06 20 1587136 0.510090503 809583 46929 559799 18557 5529 2475 296713 296713 10509 10509 1356.7 8205 1200 13.63 31549 2206.24 10483.76 0.00 216.06 2802 5 10 31845.45 264867.5 30284.9 4666.9 2294.43 21 1651539 0.511417532 844626 47455 552892 23115 5072 2753 339189 339189 8440 8440 1547.5 10447 1600 13.26 33424.66 2373.72 9132.07 10 227.16 3604 5 0.00 25575.76 313613.2 28610.8 4896.7 2422.79
; procprintdata=KAKAO; run;
128 Lampiran 6. Lanjutan PROCSIMNLIN data=KAKAO SIMULATE STAT THEIL; ENDOGENOUS AKIN YKIN QKIN SKIN MKIN XKIN DKIN DKINBU PKDR PXINR QKBU; INSTRUMENTS PMSDR PFR IR LR CH PEKBUR EXCRR PWBKR PJX PMKINR T TM; LAKIN LYKIN LMKIN LXKIN LIRR LDKINBU LPKDR LPXINR LPWBKR RPKDPF LLR LDKIN LEXCRR
= = = = = = = = = = = = =
LAG(AKIN); LAG(YKIN); LAG(MKIN); LAG(XKIN); LAG(IRR); LAG(DKINBU); LAG(PKDR); LAG(PXINR); LAG(PWBKR); PKDR/PFR; LAG(LR); LAG(DKIN); LAG(EXCRR);
PARAMETER a0 366780.9 a1 15.59095 a2 -37.1468 a3 -298.462 a4 2958.95 a5 -1.48086 a6 33161.08 a7 0.466200 b0 -0.04458 b1 0.000021 b2 -1.13E-7 b3 0.000085 b4 0.695639 c0 26871.07 c1 -0.79610 c2 0.434979 c3 -1.35970 c4 -1573.22 c5 0.714974 d0 77434.33 d1 0.002751 d2 0.012891 d3 -5340.37 d4 0.508974 e0 7632.637 e1 -1.33270 e2 1.766147 e3 345.9695 e4 0.703606 f0 -7702.92 f1 2.192825 f2 0.704774 f3 -0.00257 f4 513.7838 f5 0.143320 g0 1423.081 g1 -0.00311 g2 0.013728 g3 31.40441 g4 0.565282; AKIN = a0 + a1*LPKDR + a2*PMSDR + a3*PFR + a4*(IRR-LIRR) + a5*LR + a6*T + a7*LAKIN; YKIN = b0 + b1*PKDR + b2*AKIN + b3*CH + b4*LYKIN; MKIN = c0 + c1*PMKINR + c2*PKDR + c3*EXCRR + c4*TM + c5*LMKIN; XKIN = d0 + d1*(LPXINR*LEXCRR)+ d2*(QKIN*T) + d3*PJX + d4*LXKIN; DKINBU = e0 + e1*(PKDR-LPKDR) + e2*(PEKBUR-LPEKBUR) + e3*T + e4*LDKINBU; PKDR = f0 + f1*PXINR + f2*EXCRR + f3*SKIN + f4*T + f5*LPKDR; PXINR = g0 + g1*XKIN + g2*(PWBKR-LPWBKR) + g3*T + g4*LPXINR; QKIN = SKIN = DKIN = QKBU = RANGE TH=2008 RUN;
AKIN*YKIN; QKIN+MKIN-XKIN; DKINBU+DKNONBU; DKINBU*0.3; TO 2010;
129
Lampiran 7. Hasil Validasi Model Perdagangan Kakao di Indonesia The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Range Variable Equations Number of Statements Program Lag Length
11 11 40 TH 11 24 1
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA =
KAKAO
Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
11 1 TH 2008 2010 NEWTON 1E-8 2.18E-16 2 6 2
Observations Processed Read Lagged Solved First Last Variables Solved For
4 1 3 19 21
AKIN YKIN QKIN SKIN MKIN XKIN DKIN DKINBU PKDR PXINR QKBU
130 Lampiran 7. Lanjutan The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TH = 2008 To 2010 Descriptive Statistics Variable
N Obs
AKIN YKIN QKIN SKIN MKIN XKIN DKIN DKINBU PKDR PXINR QKBU
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Mean
Actual Std Dev
1554630 0.5284 819267 325893 49381.7 542756 325893 29597.0 8886.0 1147.1 8879.1
116610 0.0307 22164.5 25304.0 3801.7 23790.3 25304.1 3490.6 1169.7 64.0392 1047.2
Predicted Mean Std Dev 1551125 0.5375 832388 317547 47732.4 562574 342032 45735.4 7728.3 774.2 13720.6
66326.7 0.0320 13356 22500.8 1945.7 18583.9 27561.4 464.5 292.9 52.9544 139.3
Statistics of fit Variable N AKIN YKIN QKIN SKIN MKIN XKIN DKIN DKINBU PKDR PXINR QKBU
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Mean Error
Mean % Error
-3505 -0.0589 0.0091 1.7286 13120 1.6763 -8346.8 -2.4871 -1649.2 -2.8190 19817.9 3.7273 16138.5 4.9384 16138.5 56.2118 -1157 -12.274 -372.9 -32.2540 4841.5 56.2118
Mean Abs Mean Abs RMS RMS % Error %Error Error Error R-Square 38542 0.0099 29744 8346 3619.0 20916 16138 16138 1157.7 372.9 4841.5
2.5173 1.8985 3.6446 2.4871 6.9804 3.9259 4.9384 56.2118 12.274 32.2540 56.2118
41214 0.012 31158 12236 4765.4 25491 16458 16458 1403 383 4937
2.723 2.415 3.8333 3.6123 8.9689 4.8296 5.0095 58.8708 14.208 32.8862 58.8708
0.812 0.750 -1.964 0.649 -1.357 -4.722 0.365 -32.35 -1.159 -52.65 -32.35
131
131
Lampiran 7. Lanjutan The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TH = 2008 To 2010 Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions Corr
Bias
Reg
Dist
Var
Covar
Variable N
MSE
(R) (UM) (UR) (UD) (US)
(UC)
AKIN YKIN QKIN SKIN MKIN XKIN DKIN DKINBU PKDR PXINR QKBU
1.6987E9 0.000157 9.7085E8 1.4974E8 22708799 6.4982E8 2.3383E8 2.7088E8 196944 146680 24378925
1.00 0.94 -0.89 0.90 -0.79 0.59 0.99 -1.00 0.74 -0.66 -1.00
0.00 0.46 0.77 0.50 0.78 0.37 0.03 0.02 0.06 0.05 0.02
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
0.01 0.53 0.18 0.47 0.12 0.60 0.96 0.96 0.68 0.95 0.96
0.99 0.04 0.75 0.00 0.72 0.02 0.01 0.04 0.11 0.04 0.04
0.00 0.43 0.07 0.53 0.16 0.38 0.02 0.00 0.21 0.01 0.00
0.99 0.01 0.05 0.03 0.10 0.03 0.01 0.02 0.26 0.00 0.02
Inequality
U1 0.0265 0.0237 0.0380 0.0375 0.0963 0.0469 0.0504 0.5535 0.1570 0.3335 0.5535
Coef
U 0.013 0.001 0.018 0.019 0.049 0.023 0.024 0.218 0.084 0.199 0.218
Theil Relative Change Forecast Error Statistics Relative Change Variable
N
AKIN YKIN QKIN SKIN MKIN XKIN DKIN DKINBU PKDR PXINR QKBU
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
MSE
MSE Decomposition Proportions
Corr Bias (R) (UM)
0.0005 0.78 0.0109 0.96 0.0131 0.86 0.0260 0.88 0.0115 0.75 0.0070 0.83 0.0014 1.00 0.1142 0.84 0.0093 -0.42 0.0326 0.94 0.1142 0.84
0.03 0.94 0.98 0.78 0.07 0.91 0.95 0.94 0.21 0.85 0.94
Reg Dist Var (UR) (UD) (US) 0.10 0.03 0.00 0.03 0.07 0.02 0.03 0.02 0.64 0.12 0.02
0.88 0.03 0.02 0.19 0.85 0.07 0.01 0.04 0.15 0.03 0.04
0.00 0.04 0.00 0.07 0.38 0.05 0.03 0.01 0.04 0.10 0.01
Covar Inequality (UC) U1 0.97 0.02 0.02 0.15 0.54 0.04 0.02 0.05 0.75 0.04 0.05
0.3331 0.6761 2.0510 0.9486 0.6934 1.6189 0.2277 1.6829 0.7175 1.2259 1.6829
Coef U 0.1629 0.6579 0.5278 0.3890 0.4501 0.5051 0.1059 0.7863 0.4065 0.6029 0.7863
132 Lampiran 8. Program Simulasi Penerapan Kebijakan pajak ekspor biji kakao sebesar 11 Persen DATA KAKAO; INPUT TH T AKIN YKIN QKIN MKIN XKIN PKD PEKBU PXIN DKIN QKBU XKBU PDKO PDGU PF IR L CH PJX IHK PMKIN TM PPN DKINBU DKNONBU PWBK PMSD PPU; /*meriilkan PKDR PDGUR PFR LR EXCRR PXINR PEKBUR PDKOR PMKINR PWBKR PMSDR IRR PPUR
data*/ = (PKD/IHK)*100; = (PDGU/IHK)*100; = (PF/IHK)*100; = (L/IHK)*100; = (EXCR/IHK)*100; = (PXIN/IHK)*100; = (PEKBU/IHK)*100; = (PDKO/IHK)*100; = (PMKIN/IHK)*100; = (PWBK/IHK)*100; = (PMSD/IHK)*100; = (IR/IHK)*100; = (PPU/IHK)*100;
/*MEMBUAT VARIABEL LAG*/ LAKIN = LAG(AKIN); LYKIN = LAG(YKIN); LDKIN = LAG(DKIN); LXKIN = LAG(XKIN); LPXINR = LAG(PXINR); LPKDR = LAG(PKDR); LXKBU = LAG(XKBU); LQKBU = LAG(QKBU); LMKIN = LAG(MKIN); LDKINBU = LAG(DKINBU); LQKIN = LAG(QKIN); LPEKBUR = LAG(PEKBUR); LSKIN = LAG(SKIN); LLR = LAG(LR); LPFR = LAG(PFR); LPDKOR = LAG(PDKOR); LPMSDR = LAG(PMSDR); LEXCRR = LAG(EXCRR); LPWBKR = LAG(PWBKR); LPMKINR = LAG(PMKINR); LIRR = LAG(IRR); LPPUR = LAG(PPUR); /*MEMBUAT SELISIH*/ SAKIN = AKIN-LAKIN; SQKIN = QKIN-LQKIN; SDKIN = DKIN-LDKIN; SXKIN = XKIN-LXKIN; SPXINR = PXINR-LPXINR; SPKDR = PKDR-LPKDR; SXKBU = XKBU-LXKBU; SQKBU = QKBU-LQKBU; SMKIN = MKIN-LMKIN; SPEKBUR = PEKBUR-LPEKBUR;
SKIN EXCR
133 Lampiran 8. Lanjutan SSKIN SLR SPFR SPDKOR SPMSDR SEXCRR SPWBKR SPMKINR SIRR SPPUR
= = = = = = = = = =
SKIN-LSKIN; LR-LLR; PFR-LPFR; PDKOR-LPDKOR; PMSDR-LPMSDR; EXCRR-LEXCRR; PWBKR-LPWBKR; PMKINR-LPMKINR; IRR-LIRR; PPUR-LPPUR;
/*MEMBUAT PERTUMBUHAN ATAU LAJU*/ TAKIN = (AKIN-LAKIN)/LAKIN; TQKIN = (QKIN-LQKIN)/LQKIN; TDKIN = (DKIN-LDKIN)/LDKIN; TXKIN = (XKIN-LXKIN)/LXKIN; TPXINR = (PXINR-LPXINR)/LPXINR; TPKDR = (PKDR-LPKDR)/LPKDR; TXKBU = (XKBU-LXKBU)/LXKBU; TQKBU = (QKBU-LQKBU)/LQKBU; TMKIN = (MKIN-LMKIN)/LMKIN; TDKINBU = (DKINBU-LDKINBU)/LDKINBU; TPEKBUR = (PEKBUR-LPEKBUR)/LPEKBUR; TSKIN = (SKIN-LSKIN)/LSKIN; TLR = (LR-LLR)/LLR; TPFR = (PFR-LPFR)/LPFR; TPDKOR = (PDKOR-LPDKOR)/LPDKOR; TPMSDR = (PMSDR-LPMSDR)/LPMSDR; TEXCRR = (EXCRR-LEXCRR)/LEXCRR; TPWBKR = (PWBKR-LPWBKR)/LPWBKR; TPMKINR = (PMKINR-LPMKINR)/LPMKINR; TIRR = (IRR-LIRR)/LIRR; TPPUR = (PPUR-LPPUR)/LPPUR; /*MEMBUAT RASIO*/ REXCRR = EXCRR/LEXCRR; RAKIN = AKIN/LAKIN; RQKIN = QKIN/LQKIN; RDKIN = DKIN/LDKIN; RXKIN = XKIN/LXKIN; RPXINR = PXINR/LPXINR; RPKDR = PKDR/LPKDR; RXKBU = XKBU/LXKBU; RQKBU = QKBU/LQKBU; RMKIN = MKIN/LMKIN; RPKDPF = PKDR/PFR; RPKDL = PKDR/LR; RKBUPKD = PEKBUR/PKDR; RDKINBU = DKINBU/LDKINBU; RPEKBUR = PEKBUR/LPEKBUR; RSKIN = SKIN/LSKIN; RPMKINR = PMKINR/LPMKINR; RIRR = IRR/LIRR; RPPUR = PPUR/LPPUR; RPKDPPU = PKDR/PPUR; RPXINPKD = PXINR/PKDR;
134 Lampiran 8. Lanjutan /*CREATE DATA*/ SKIN = QKIN+MKIN-XKIN; SKIN = DKIN; QKIN = AKIN*YKIN; QKBU = XKBU; DKIN = DKINBU+DKNONBU; PEKBUR2 = PEKBUR*EXCRR; PEKBUR2T = PEKBUR2*T; PXINR2 = PXINR*EXCRR; PWBKR2 = PWBKR*EXCRR; PMKINR2 = PMKIN*EXCRR; PEKBURT = PEKBUR*T; PKDRT = PKDR*T; PXINRT = PXINR*T; PWBKR2 = PWBKR*EXCRR; XKINT = XKIN*T; SKINT = SKIN*T; QKBU = DKINBU*0.3; QKINT = QKIN*T; LPXINR2 = LPXINR*LEXCRR; LPWBKR2 = LPWBKR*LEXCRR; /*MELABELKAN DATA*/ LABEL AKIN ='LUAS AREAL KAKAO' PKDR ='HARGA BIJI KAKAO DOMESTIK RIIL' PDGUR ='HARGA GULA RIIL' PFR ='HARGA PUPUK RIIL' IRR ='SUKU BUNGA KREDIT RIIL' LR ='UPAH BURUH PERKEBUNAN RIIL' YKIN ='PRODUKTIFITAS KAKAO' CH ='CURAH HUJAN' QKIN ='PRODUKSI BIJI KAKAO INDONESIA' MKIN ='IMPOR BIJI KAKAO INDONESIA' XKIN ='EKSPOR BIJI KAKAO INDONESIA' PXINR ='HARGA EKSPOR RIIL BIJI KAKAO INDONESIA' XKBU ='VOLUME EKSPOR COCOA BUTTER' PEKBUR ='HARGA EKSPOR RIIL COCOA BUTTER' IHK ='INDEKS HARGA KONSUMEN' PDKOR ='HARGA KOPI RIIL' PJX ='PAJAK EKSPOR' QKBU ='PRODUKSI COCOA BUTTER' PMKINR ='HARGA IMPOR RIIL BIJI KAKAO INDONESIA' TH ='TAHUN' TM ='TARIF IMPOR' EXCRR ='NILAI TUKAR RIIL' DKINBU ='PERMINTAAN BIJI KAKAO OLEH INDUSTRI BUTTER' DKNONBU ='PERMINTAAN BIJI KAKAO OLEH INDUSTRI SELAIN BUTTER' PWBK ='HARGA BIJI KAKAO DUNIA' PMSDR ='HARGA MINYAK SAWIT DOMESTIK RIIL' T ='DERET WAKTU' SKIN ='PENAWARAN BIJI KAKAO INDONESIA' DKIN ='PERMINTAAN BIJI KAKAO INDONESIA' PPUR ='HARGA PUPUK UREA RIIL' LR ='UPAH RIIL BURUH PERKEBUNAN';
135 135 Lampiran 8. Lanjutan datalines; 1990 1 357490 0.398184565 142347 640 119725 1510 2374 950 23262 23262 4668.7 4668.7 2497.58 813 210 19.26 1438.96 2296.74 1849.99 0.00 28.78 2600 10 10 14147.58 9114.424 2343.3 525.3 201.86 1991 2 444062 0.393861668 174899 1054 145217 1498 2178 940 30736 30736 4160.6 4160.6 2345.47 902 220 23.25 1777.2 1717.49 1957.63 0.00 31.46 973 10 10 12607.88 18128.12 2339.5 654.6 228.12 1992 3 496006 0.417630029 207147 1780 176001 1373 2177 827 32926 32926 5558.4 5558.4 2201.26 1006 240 22.16 1824.3 1916.71 2037.12 0.00 33.82 1961 10 10 16843.64 16082.36 2339.9 728.2 248.59 1993 4 535285 0.482096453 258059 1641 228799 1265 2269 828 30901 30901 5114.9 5114.9 1907.72 1003 260 19.37 2259.83 2115.94 2096.29 0.00 37.11 3180 10 10 15499.7 15401.3 2341.4 694.3 278.84 1994 5 597011 0.452221148 269981 2438 231168 2581 3043 1064 41251 41251 4950.3 4950.3 1710.13 1003 260 16.77 2695.33 1586.69 2170.61 0.00 40.26 2479 10 10 15000.91 26250.09 3030 988 301.72 1995 6 602119 0.50632184 304866 3588 233593 2021 3270 1143 74861 74861 4038.8 4038.8 1594.55 1070 260 16.86 3130.86 2605.7 2256.16 0.00 44.07 2362 10 10 12238.79 62622.21 3231.8 1275.2 333.10 1996 7 655331 0.570702439 373999 4262 322598 2281 3309 959 55663 55663 4322.6 4322.6 1525.09 1070 330 17.02 3566.36 2352.78 2342.27 0.00 47.55 2291 10 10 13098.79 42564.21 3409.3 1147.9 387.92 1997 8 529057 0.62416526 330219 6410 265949 2932 3585 1342 70680 70680 4335.4 4335.4 1494.96 1125 400 18.49 3981 2507.23 2955.54 0.00 50.70 1557 5 10 13137.58 57542.42 4784.2 1424.2 447.96 1998 9 572553 0.784079378 448927 7709 334807 8903 3217 1375 121829 121829 3876.8 3876.8 1445.03 2224 782.5 25.09 5175.06 2173.88 10828.11 0.00 80.04 1692 5 10 11747.88 110081.1 18152 3942.5 572.56 1999 10 667715 0.550347079 467475 11840 419874 6673 2539 888 59441 59441 3318 3318 13438.5 2640 1150 26.22 6350.43 252.74 8049.3 0.00 96.43 1325 5 10 10054.55 49386.45 9138.5 2979.3 1088.40
136 Lampiran 8. Lanjutan 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
;
11 749917 0.561584815 421142 18252 424089 7411 1729 699 15305 15305 3207.2 3207.2 8800 2737 1150 19.55 7676.93 3060.59 8475.95 0.00 100.00 1038 5 10 9718.788 5586.212 7677.4 2412.1 1352.81 12 821449 0.65348427 536804 11841 392072 7208 1778 900 156573 156573 28366 28366 5317.7 3746 1150 19.15 8919.76 2515.63 10472.73 0.00 111.48 1063 5 10 85957.58 70615.42 11192.5 2048.9 1494.80 13 914051 0.624861195 571155 36603 465622 8948 2290 1424 142136 142136 29880 29880 4939.5 3529 1150 18.85 14699.05 2026 9387.5 0.00 124.73 1672 5 10 90545.45 51590.55 16689.6 2840.3 1533.47 14 964223 0.724745209 698816 39226 355726 9576 2730 1543 382316 382316 24825 24825 4839.9 4307 1150 16.18 21152.84 2556.36 8621.58 0.00 132.95 2194 5 10 75227.27 307088.7 15095.3 3299.7 1597.27 15 1090960 0.634032412 691704 46974 366855 9579 2508 1343 371823 371823 24678 24678 5379 4114 1150 14.32 22617 2506.8 9087.06 0.00 141.26 1630 5 10 74781.82 297041.2 14083.5 3672.3 1626.77 16 1167046 0.641643945 748828 52353 463632 9421 3576 1273 337549 337549 19167 19167 658.7 5490 1150 15.59 23702 2524.53 9751.84 0.00 156.03 1582 5 10 58081.82 279467.2 14999.5 3747.5 1668.78 17 1320820 0.582506322 769386 47939 609035 10103 3617 1261 208290 208290 16854 16854 857.9 5980 1200 15.36 25883 1657.64 9269.51 0.00 176.47 1608 5 10 51072.73 157217.3 14756.1 3977.4 1813.62 18 1379279 0.536516542 740006 43528 503522 13325 4500 1639 280012 280012 14506 14506 1204.8 6342 1200 13.47 26250 2391.4 9198.61 0.00 187.78 1995 5 10 43957.58 236054.4 17958.1 4207.2 1862.46 19 1425216 0.563839446 803593 53761 515576 16357 5873 2246 341778 341778 10352 10352 1414.8 6191 1200 14.61 28981 3010 9884.39 0.00 207.22 2594 5 10 31369.7 310408.3 25473.2 4437 2166.06 20 1587136 0.510090503 809583 46929 559799 18557 5529 2475 296713 296713 10509 10509 1356.7 8205 1200 13.63 31549 2206.24 10483.76 0.00 216.06 2802 5 10 31845.45 264867.5 30284.9 4666.9 2294.43 21 1651539 0.511417532 844626 47455 552892 23115 5072 2753 339189 339189 8440 8440 1547.5 10447 1600 13.26 33424.66 2373.72 9132.07 10 227.16 3604 5 0.00 25575.76 313613.2 28610.8 4896.7 2422.79
137
137 Lampiran 8. Lanjutan procprintdata=KAKAO; run; /*skenario simulasi kebijakan*/
/*PJX=10;*/ /*PJX=5;*/ PJX=15; /*PJX=11;*/ /*PJX=1.5;*/ /*PFR=PFR*0.85;*/ /*IRR=IRR*0.85;*/ PROCSIMNLIN data=KAKAO SIMULATE STAT THEIL; ENDOGENOUS AKIN YKIN QKIN SKIN MKIN XKIN DKIN DKINBU PKDR PXINR QKBU; INSTRUMENTS PMSDR PFR IR LR CH PEKBUR EXCRR PWBKR PJX PMKINR T TM; LAKIN LYKIN LMKIN LXKIN LIRR LDKINBU LPKDR LPXINR LPWBKR RPKDPF LLR LDKIN LEXCRR
= = = = = = = = = = = = =
LAG(AKIN); LAG(YKIN); LAG(MKIN); LAG(XKIN); LAG(IRR); LAG(DKINBU); LAG(PKDR); LAG(PXINR); LAG(PWBKR); PKDR/PFR; LAG(LR); LAG(DKIN); LAG(EXCRR);
ARAMETER a0 339099.0 a1 15.73306 a2 3005.57 a5 30738.86 a6 0.492813 b0 -0.09352 b1 0.002490 b2 -8.67E-6 c0 26871.07 c1 0.434979 c2 -0.79610 0.714974 d0 125949.9 d1 0.000387 d2 0.010840 e0 10197.30 e1 -1.19967 e2 1.822407 f0 2213.480 f1 0.003920 f2 0.333487 g0 2736.797 g1 -0.00371 g2 0.057835 0.382168;
-35.6980 a3 -281.629 a4 b3 0.000097 b4 0.907585 c3 -1.35970 c4 -1573.22 c5 d3 e3 f3 g3
0.476497 0.744312 192.0658 f4 0.254522 -0.15564 g4 -1.23135 g5
AKIN = a0 + a1*LPKDR + a2*PMSDR + a3*PFR + a4*(IRR-LIRR) + a5*T + a6*LAKIN; YKIN = b0 + b1*(PKDR/PFR) + b2*LLR + b3*CH + b4*LYKIN; MKIN = c0 + c1*PKDR + c2*PMKINR + c3*EXCRR + c4*TM + c5*LMKIN; XKIN = d0 + d1*(LPXINR*LEXCRR)+ d2*(QKIN*T) + d3*LXKIN; DKINBU = e0 + e1*(PKDR-LPKDR) + e2*(PEKBUR-LPEKBUR)+ e3*LDKINBU; PKDR = f0 + f1*(DKIN-LDKIN) + f2*PXINR + f3*T + f4*LPKDR; PXINR = g0 + g1*XKIN + g2*PWBKR + g3*EXCRR + g4*PJX + g5*LPXINR; QKIN = SKIN = DKIN = QKBU = RANGE TH=2008 RUN;
AKIN*YKIN; QKIN+MKIN-XKIN; DKINBU+DKNONBU; DKINBU*0.3; TO 2010;
138 Lampiran 9. Contoh Hasil Simulasi Penerapan Kebijakan Pajak Ekspor Biji Kakao Sebesar 15 Persen The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Range Variable Equations Number of Statements Program Lag Length The SAS System
11 11 37 TH 11 24 1
The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA=
KAKAO
Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
11 1 TH 2008 2010 NEWTON 1E-8 2.32E-16 2 6 2
Observations Processed Read Lagged Solved First Last Variables Solved For
4 1 3 19 21
AKIN YKIN QKIN SKIN MKIN XKIN DKIN DKINBU PKDR PXINR QKBU
139 139 Lampiran 9. Lanjutan The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TH = 2008 To 2010 Descriptive Statistics Actual Std Dev
Variable
N Obs
N
Mean
AKIN YKIN QKIN SKIN MKIN XKIN DKIN DKINBU PKDR PXINR QKBU
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
1554630 0.5284 819267 325893 49381.7 542756 325893 29597.0 8886.0 1147.1 8879.1
116610 0.0307 22164.5 25304.0 3801.7 23790.3 25304.1 3490.6 1169.7 64.0392 1047.2
Predicted Mean Std Dev 1557189 0.5556 864206 432388 48127.8 479946 341378 45082.2 8341 1165.8 13524.6
72650 0.0209 8711.7 4607.4 2200.9 8073.3 27709.4 485.2 560.9 79.7436 145.5
Statistics of fit Mean Variable N Error
Mean % Error
AKIN YKIN QKIN SKIN MKIN XKIN DKIN DKINBU PKDR PXINR QKBU
0.3122 5.2281 5.5180 33.288 -1.993 -11.476 4.7343 53.970 -5.5296 1.6039 53.970
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
2559.2 0.0272 44938.2 106494 -1253.9 -62810 15485 15485 -545 18.718 4645.6
Mean Abs Error
Mean Abs RMS RMS % %Error Error Error R-Square
32478.1 2.1461 0.0272 5.2281 44938.2 5.5180 106494 33.2885 3925.7 7.6408 62810 11.473 15485 4.7343 15485 53.9704 560.3 5.7068 25.03 2.1868 4645 53.970
36166.4 0.0288 46410.1 109017 4834.6 65217 15813 15813 851 33.51 4743.9
2.443 5.597 5.721 34.66 9.170 11.83 4.805 56.62 8.412 2.926 56.62
0.8557 -.3256 -5.577 -26.84 -1.426 -10.27 0.4142 -29.78 0.2061 0.5892 -29.78
140 Lampiran 9. Lanjutan The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TH = 2008 To 2010 Theil Forecast Error Statistics
Variable N AKIN YKIN QKIN SKIN MKIN XKIN DKIN DKINBU PKDR PXINR QKBU
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
MSE
MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U
1.308 1.00 0.000 0.97 2.153 0.95 1.188 -0.66 23373 -0.80 4.253 0.44 2.500 0.99 2.500 -0.88 72412 0.79 1123 0.91 22504 -0.88
0.01 0.89 0.94 0.95 0.07 0.93 0.96 0.96 0.41 0.31 0.96
0.99 0.06 0.05 0.03 0.79 0.00 0.02 0.03 0.12 0.27 0.03
0.02 0.05 0.02 0.02 0.15 0.07 0.02 0.01 0.46 0.42 0.01
0.98 0.08 0.06 0.02 0.07 0.04 0.02 0.02 0.34 0.15 0.02
0.01 0.03 0.01 0.02 0.86 0.03 0.03 0.02 0.25 0.54 0.02
0.02 0.05 0.05 0.33 0.09 0.12 0.04 0.53 0.09 0.02 0.53
0.0116 0.0266 0.0276 0.1436 0.0495 0.0637 0.0236 0.2114 0.0492 0.0145 0.2114
Theil Relative Change Forecast Error Statistics Relative Change Variable N AKIN YKIN QKIN SKIN MKIN XKIN DKIN DKINBU PKDR PXINR QKBU
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
MSE 0.000 0.002 0.003 0.120 0.012 0.015 0.002 0.218 0.009 0.000 0.218
MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U 0.75 0.99 0.91 1.00 0.74 0.58 1.00 0.72 -0.99 0.97 0.72
0.01 0.90 0.93 0.98 0.08 0.93 0.94 0.92 0.43 0.28 0.92
0.08 0.08 0.02 0.02 0.07 0.00 0.03 0.04 0.57 0.21 0.04
0.91 0.02 0.05 0.00 0.85 0.07 0.03 0.04 0.00 0.52 0.04
0.01 0.08 0.01 0.02 0.38 0.01 0.03 0.02 0.00 0.30 0.02
0.98 0.01 0.06 0.00 0.53 0.06 0.03 0.06 0.57 0.42 0.06
0.35 0.84 1.07 2.04 0.71 2.38 0.31 2.32 0.73 0.21 2.32
0.1736 0.4393 0.3613 0.5740 0.4647 0.8638 0.1406 0.8520 0.4806 0.1038 0.8520
141 RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bengkulu pada tanggal 10 Juni 1990 dari Ayah Ediy Nicholman dan Ibu Gusniati. Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Tahun 2008 penulis lulus dari SMAN 1 Harau, Sumatera Barat dan pada tahun yang sama penulis diterima menjadi mahasiswa departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (ESL FEM IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Selama di perkuliahan, penulis aktif di berbagai kegiatan keorganisasian didalam maupun diluar kampus seperti anggota tim pengajar bina desa BEM KM IPB, anggota divisi sumberdaya insani Syariah Economic Student Club (SESC), Sekretaris komisi DPM FEM IPB, pengajar rumah sahabat (paguyuban KSE IPB) dan anggota Future Project (PMD) Die Brucke. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Fisika untuk mahasiswa semester 1 pada saat penulis masih semester 3, selama 1 tahun. Penulis juga pernah menjadi coder pada proyek bertemakan pemberantasan kemiskinan yang dilakukan oleh Kementerian PU dan proyek tentang komoditas pertanian yang dilakukan BI serta surveyer dari Litbang Kompas dan LSI. Penulis juga pernah menjadi pengajar privat Nurul Fikri. Serta aktif di berbagai kegiatan sosial di luar kampus seperti menjadi pengajar sukarelawan (Volunteer) di Yayasan Cipta Mandiri, Yayasan Tarbiyatul Yatama Bogor dan Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia (YKAKI). Penulis juga aktif mengikuti lomba karya ilmiah dan lolos menjadi finalis yang didanai Dikti dalam Program Kreatifitas Mahasiswa Gagasan Tertulis (PKM-GT) pada tahun 2010. Penulis juga mengikuti seleksi mahasiswa berprestasi tingkat departemen hingga tahap 4 besar. Penulis juga meraih juara 1 olimpiade tenis meja. Penulis juga merupakan penerima beasiswa PPA, Karya Salemba Empat (KSE), Beasiswa Indofood Sukses Makmur (BISMA), Bogor International School (BIC), dan Future Project Die Brucke (German Women Asosiation) selama masa perkuliahan. Sebelum lulus, penulis sudah diterima bekerja di PT Indofood Sukses Makmur Tbk sebagai staff Internal Audit di PT. Salim Ivomas Pratama Tbk. (Indofood Plantation).