DAMPAK PROGRAM WAJIB TANAM KAKAO TERHADAP PRODUKSI KAKAO DI KABUPATEN JAYAPURA PAPUA THE IMPACT OF COCOA PLANTING MANDATORY MOVEMENT PROGRAM ON COCOA PRODUCTION IN JAYAPURA , PAPUA
Yunus Paelo1,Rahim Darma2,Muhammad Arsyad3
1
Program Studi Agribisnis, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin,Makassar 2 Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar
Alamat Korespondensi: Yunus Paelo, S.P. Program Studi Agribisnis Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 HP: 081344394457 Emai :
[email protected]
Abstrak Program Gerakan Wajib Tanam Kakao (GWTK) dilaksanakan berdasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati Kabupaten Jayapura Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Program Gerakan Wajib Tanam Kakao (GWTK) sebagai kebijakan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan petani. Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mendeskripsikan implementas program GWTK yang dimulai tahap proses, input dan output (2) Menganalisis dampak implementasi program GWTK terhadap peningkatan luas areal, peningkatan produksi, produktivitas kakao dan pendapatan petani. Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian di Kabupaten Jayapura Papua . Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Proses Implementasi program GWTK tidak didukung dengan kecukupan sumberdaya manusia sehingga soialisasi tidak terlaksana secara merata pada tingkat Distrik dan Kampung. Akibatnya pengawasan dalam pengunaan bibit, penyiapan lahan, penanaman, maupun pemelihraan tanaman tidak terlaksana berdasarkan aturan. Pemberian modal dan bibit dapat meningkatkan jumlah petani kakao dan berpengaruh pada peningkatan luas lahan rata-rata petani sebesar 0,95 ha/tahun (68,42 %) dan peningkatan produksi sebesar 50 kg/ha/tahun ( 0,93 %). (2) Program GWTK menujukkan bahwa peningkatan luas lahan dan jumlah petani yang membudidayakan kakao tidak mampu mendorong peningkatan produksi kakao, produtivitas kakao maupun pendapatan petani karna budidaya tanaman kakao tidak disertai dengan pengunaan bibit unggul, pemupukan, pemangkasan, sanitasi maupun pengaruh serangan penggerek buah kakao Kata kunci : Kakao, Dampak Program, GWTK,Papua
Abstrak Program of Cocoa Planting Mandatory Movement (GWTK) was carried out based on decision letter of “Bupati” Jayapura in 2006 as a policy to increase production and income for farmers. The research objectives are (1) to describe the implementation of GWTK, (2) to analyse the impact of GWTK on cocoa area, production, productivity and farmers incomes. The research used qualitative approach. The research site was located in Jayapura District of Papua. The results showed that; first, the implementation process of GWTK program was not supported by human resources adequacy causing unequity socialitation program among sub-districts. As a result, supervision of seeds utiization, land preparation, planting and keeping of plants is not following technical direction (“juknis”). It was found that capital and seed can increase cocoa area of 0.95 Ha/year (68.42%) and increasing production of 50 Kg/Ha/Year (0.93%). Second, the GWTK program can enhances cocoa plantation area and increasing number of farmers. However, the program cannot improve production, productivity and farmers income. This was caused by farmers who are not applied High Yielding Variety, fertilizer, trimming, sanitation and difficult to avoid cocoa pod borer. Keywords: Cocoa, Program Impact, GWTK, Papua
PENDAHULUAN Indonesia sebagai salah satu negara penghasil kakao terbaik di dunia setelah pantai Gading dan Ghana. Usaha Indonesia untuk menjadi penghasil kakao terbaik di dunia terus di lakukan melalui pengembangan sektor kakao di berbagai daerah. Melihat peluang budidaya tanaman yang potensial, Pemerintah Kabupaten Jayapura berusaha menjadi salah satu daerah penghasil kakao nasional melalui program Gerakan Wajib tanaman Kakao (GWTK). Program GWTK dilaksanakan berdasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati Kabupaten Jayapura Nomor 1 Tahun 2006 Tentang
Gerakan Wajib Tanam Kakao (GWTK). Program
GWTk mewajibkan seluruh masyarakat tani di Kabupaten Jayapura menanam dan memiliki lahan kakao minimal satu hektar dengan tujuan peningkatan produksi dan pendapatan petani untuk merubah kondisi ekonomi petani. Data Pemda Kabupaten Jayapura menunjukkan bahwa luas potensi lahan perkebunan sekitar 177.900 ha, sementara yang tergarap baru mencapai 16.254,02 ha, dengan rata-rata kepemilikan luas lahan 0,65 ha setiap petani. Permasalahan yang dihadapi masyarakat di Kabupaten Jayapura adalah tingkat produksi dan produktivitas kakao yang masih sangat rendah meskipun didukung dengan potensi lahan serta dukungan program dari pihak pemerintah dengan alokasi anggaran yang cukup memadai. Keberhasilan program GWTK tidak hanya berhenti sampai tahap keberadaan bentuk fisiknya atau terlaksananya program akan tetapi diharapkan program memberikan perubahan secara nyata kepada masyarakat dan petani di Kabupaten Jayapura Djogo dkk (2003) dalam Santoso & Silalahai (2011) mengatakan bahwa pembuatan kebijakan juga perlu proses yang partisipatif dan melibatkan semua stakeholder yang terkait terutama bagi kelompok sasaran kebijakan. Karena dalam praktek proses pembuatan kebijakan sangat sarat dengan kepentingan dan kekuasaan. Sehingga dalam praktek banyak kebijakan yang dibuat untuk mempertahankan kekuasaan, kepentingan kelompok atau pribadi. Kebijakan tentunya merupakan suatu gerbong pemerintah untuk berbuat baik dan kesejahteraan rakyatnya, karena itu kebijakan dibuat
untuk kepentingan umum, bukan
kelompok atau individu. Kebijakan dapat dinyatakan dalam berbagai istrumen seperti Instrumen legal (hukum) seperti peraturan dan perundangan-undangann Implementasi program atau fase pelaksanaan dari program akan terjadi interaksi antara berbagai factor –faktor yang
saling mempengaruhi dan prosesnya menghasilkan
output. Implementasi kebijakan menurut Mazmanian dan Paul Sabatier (1979) dalam Coleman & Bush (2006) bahwa “Implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijaksanaan yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang
timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan dampak nyata pada masyarakat atas kejadian-kejadian”. Mosher (1968) mendefenisikan usahatani sebagai himpunan dari sumber-sumber alam yang ada di tempat itu yang diperlukan untuk produksi pertanian seperti tanah dan air, perbaikan – perbaikan yang dilakukan atas tanah itu, sinar matahari maupun bangunan – bangunan yang didirikan diatas tanah itu dan sebagainya. Untuk memaksimalkan dalam pengelolaan usahatani itu diperlukan unsur-unsur pokok yang merupakan faktor utama dalam usahatani. Unsur – unsur pokok tersebut sering juga disebut faktor produksi (input). Proses produksi pertanian adalah proses yang mengkombinasikan antara faktor produksi pertanian untuk menghasilkan produksi pertanian (output)
METODE PENELITIAN Desain dan Lokasi Penelitian Penelitian ini adalah penelitian deskriptif menggunakan pendekatan kualitatif dengan mengkaji implementasi program GWTK serta dampak yang ditimbulkan terhadap kelompok sasaran. Penelitian kualitatif mencakup penggunaan subyek yang dikaji dan kumpulan berbagai data empiris studi kasus, pengalaman pribadi, introspeksi, perjalanan hidup, wawancara,
teks-teks hasil pengamatan,
historis,
interaksional,
dan visual yang
menggambarkan saat-saat dan makna keseharian dan problematis dalam kehidupan seseorang (Denzin dkk., 2009). Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petani kakao yang ada di Kabupaten Jayapura. Penentuan sampel dilakukan secara purposive sampling. Sugiyono (2009) bahwa, purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan penentuan berdasarkan pertimbangan tertentu. Jumlah sampel dalam peneltian ini masing-masing 15 petani pada kedua lokasi penelitian, sehingga total sampel dalam penelitian sebanyak 30 petani kakao Analisis Data Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah adalah analisis kualitatif yaitu analisis yang mendeskripsikan implementasi program yang meliputi proses, output serta dampak program GWTK terhadap petani kakao di Kabupaten Jayapura. Data yang telah dikumpulkan diolah dengan tujuan menyederhanakan data dari hasil kuisioner dan menyajikannya dalam susunan yang baik serta
menganalisisnya
secara deksriptif
kualitatif. Tahapan analisis dan indikator penelitian yang akan dianalisis secara kualitatif sebagai berikut : (1) Analisis Proses Implementasi program. (2) Analisis Output Program .(3) Analisis Dampak Program GWTK.
HASIL PENELITIAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani di lokasi penelitian didominasi oleh kelompok umur 56 keatas. Perbandingan antara kelompok umur 35 hingga umur 55 lebih rendah dibanding dengan keompok umur 56 tahun hingga umur 75 tahun. Petani yang berusia lanjut biasanya cenderung konserfatif dalam menyikapi perubahan atau inovasi teknologi, diperlukan sikap yang hati-hati (Seotrisno, 2002). Tingkat pendidikan petani dilokasi penelitian menunjukkan bahwa dominan petani hanya berpendidikan pada tingkat pendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah Rakyat. Dari 30 responden sebanyak 66,66% responden hanya berpendidikan dasar. Kondisi ini akan mempegaruhi cara
berpikir
petani
dan berpengaruh pada hasil yang didapat dari
usahataninya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan petani pada lokasi penelitian
tergolong rendah. Dikti (2011) dalam Endang dkk (2012) bahwa
pengetahuan tenaga kerja pertanian Indonesia perlu ditingkatkan, melalui pendidikan dan pelatihan tidak diraguka lagi. Dewasa ini fropil tenaga kerja pertanian nasional 75% pendidikan SD kebawah, 22,6 % pendidikan sekolah menegah dan 0,4% pendidikan tinggi. Oeh karena itu pendidikan tenaga kerja pertanian Indonesia perlu ditingkatkan tidak saja pendidikan tinggi tetapi pendidikan dasar dan pendidikan menegah dalam suatu kerangka kualifikasi Nasional Pendidikan Indonesia (KKNI) Pengalaman dapat diartikan sebagai suatu peristiwa yang terjadi pada waktu yang telah dilewati, peristiwa tersebut dapat jadikan sebagai pelajaran atau pedoman. Pengalaman seorang petani dalam menjalankan kegiatan usahataninya menunjukkan masa waktu tertentu yang telah dilalui petani dalam usahataninya (Rakhmat, 2001). Masyarakat di Kabupaten Jayapura sudah membudidayakan tanaman kakao sejak 30 tahun silam. Meskipun petani sudah memiliki pengalaman namun belum mampu memanfaatkan lahan dan tanaman kakao yang dikelola sebagai sumber pendapatan untuk meningkatkan taraf ekonomi petani. Kondisi demikian terjadi karena petani masih bertani secara subsistem sementara tingkat pendidikan dan pengetahuan
yang sangat rendah. Faktor lain adalah kurangnya peranan pemerintah
dalam memberikan penyuluhan, karena keterbatasan
tenaga penyuluh pertanian dalam
memberikan informasi bagi petani untuk merubah sistim pertanian masyarakat setempat.
Masalah utama pada masyarakat pedesaan, khususnya petani
adalah kondisi
ekonomi. Hal ini disebabkan karena pendapatan yang tidak menentu dan sistem usahatani yang bersifat konsumtif. Peranan pemerintah pada tingkat Kabupaten mempunyai tangung jawab untuk memberikan solusi yang dihadapi oleh masyarakat. Melalui program GWTK diharapkan dapat memebrikan solusi pada tingkat pendapatan petani dan masyarakat yang belum memiliki pekerjaan untuk memperbaiki kondisi ekonominya .Woll (1966) dalam Juhrodin (2013) bahwa kebijakan adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Mayoritas penduduk Kabupaten Jayapura hidup dengan mata pencaharian bertani. Meskipun memiilki
lahan
yang potensial untuk pertanian, terbatas yang sanggup dan
mampu memanfaatkan potensi tersebut. Akibatnya petani di Kabupaten Jayapura umumnya dikategorikan sebagai keluarga prasejahtera. Melalui program GWTK diharapkan peran serta seluruh petani maupun yang belum memiliki mata pencaharian untuk ikut serta dalam program GWTK. Peranan aparat pemerintah sebagai pemandu dalam pelaksana program merupakan sumberdaya utama dan menentukan keberhasilan program. Setiap tahapan implementasi program menuntut adanya sumberdaya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan. Selain sumberdaya manusia, sumberdaya finansial dan waktu menjadi perhitungan penting dalam keberhasilan implementasi kebijakan (Witaradya, 2010) Van Mater dan Van Horn dalam Wahyudi (2008) bahwa Sumberdaya kebijakan (policy resources) tidak kalah pentingnya dengan komunikasi. Sumberdaya kebijakan ini harus juga tersedia dalam rangka memperlancar administrasi implementasi
kebijakan.
Sumberdaya ini terdiri atas dana atau insentif lain yang dapat memperlancar implementasi program. Perbandingan tim teknis atau penyuluh pertanian yang akan mengawal jalannya kebijakan masih sangat terbatas. Jumlah penyuluh di Kabupaten Jayapura sebanyak 71 orang untuk melayani 19 Distrik dan 137 Kampung. Kondisi tersebut tidak memadai dalam mendukung terselengaranya implementasi program GWTK yang menyentuh seluruh lapisan masyarakat Kabupaten Jayapura. Strategi dalam sebuah program merupakan pola yang diterapkan oleh pembuat kebijakan sehingga mampu menarik minat masyarakat (target group) untuk ikut dalam suatu kebijakan. Untuk mencapai tujuan dari imlementasi
program GWTK,
maka Pemda
Kabupaten Jayapura menerapkan strategi melalui pemberian bibit secara gratis bagi seluruh
petani maupun dana pendampingan selama tiga tahun yang dimulai dari tahun 2006 hingga 2008
PEMBAHASAN Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses Implementasi program GWTK di Kabupaten Jayapura tidak didukung dengan kecukupan sumberdaya pelaksana kebijakan sehingga soialisasi tidak terlaksana secara merata pada tingkat Distrik dan Kampung. Akibatnya pengawasan dalam pengunaan
bibit, penyiapan lahan,
penanaman, maupun
pemelihraan tanaman tidak terkontrol. Pemberian modal dan bibit dapat memacu petani yang berpengaruh pada luas lahan dan produksi kakao. Sosialisasi implementasi program GWTK sebagai langkah awal untuk memberikan informasi kepada
kelompok sasaran. Untuk mempermudah pelaksanaan sosialisai maka
dilaksanakan pada aula kantor Distrik akibatnya banyak petani yang tidak mampu mendatangi kantor Distrik mengingat akses transportasi yang tidak mendukung maupun jarak tempuh untuk masing-masing Kampung. Sosialisasi yang tidak merata disebabkan oleh jumlah petani maupun jumlah Kampung yang cukup banyak dalam setiap Distrik tanpa diimbangi dengan jumlah PPL dalam pelaksanaan Sosialisasi. Tenaga PPL yang berjumlah 71 orang untuk melayani 19 Distrik yang terdiri dari 139 Kampung. Tahapan dalam Juknis GWTK, 2006 yang diawali dengan perencanaan luas kebun masing-masing petani. Sistim pembukaan lahan secara manual,
penanaman pohon
pelindung, pengajiran dengan jarak tanam 4 x 4 m, penyiapan lubang tanam dengan ukuran 60 cm x 60cm x 60 cm serta pemeliharaan kodisi drainase masing-masing lokasi. Pembukaan lahan berdasarkan aturan patut diperhatikan memberikan dampak
negativ
yang
karena kerusakan tanah akan
pada akhirnya memengaruhi proses pertumbuhan
tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembukaan lahan baru oleh petani tidak mendapat pengawasan secara maksimal dari pihak pelaksana program. Kondisi ini akan berakibat buruk, bukan hanya pada penyiapan lahan yang tidak memadai serta berdasarkan juknis namun juga akan berpengaruh terhadap jumlah sarana produksi maupun dana pendampingan bagi masyarakat. Sehingga output dari program menyangkut jumlah lahan masing-masing petani tidak sesuai ukuran luas lahan yang disebutkan oleh setiap petani dengan kondisi sebenarnya dilapangan. Pengadaan bibit dalam budidaya tanaman
adalah aspek yang sangat penting.
Khususnya tanaman perkebunan, memerlukan bibit dalam
jumlah besar. Sesuai Juknis
GWTK pengadaan bibit mengacu pada peraturan Dirjen Perkebunan Tahun 2007 tentang
pedoman teknis produksi, sertifikasi dan peredaran benih binaan. Dimana diberikan kepada petani adalah bibit yang bersertifikat atau dikenal bibit
bibit yang "label biru".
Tingkat pemahaman dan pengetahuan petani dalam mengenal bibit yang bersertifikat masih sangat minim. Kondisi ini disebabkan karena tingkat pendidikan dan pengetahuan petani yang tidak mampu mengenali syarat-syarat yang harus dimiliki pada bibit yang bersertifikat. Dari 30 responden, 50 ,00 % responden menjawab bahwa tidak paham atau mengetahui kondisi bibit
yang diterimah. 10 ( 33,33 %) responden menjawab
bahwa bibit yang
diterimah tidak bersertifikat. Hal ini didasarkan pada kenyataan yang dialami oleh petani bahwa bibit yang mereka gunakan dalam program GWTK tidak memberikan produksi yang maksimal bahkan disebutkan petani bahwa bibit yang didapatkam melalui program GWTK merupakan sumber pembawa penyakit. Tanpa dukungan anggaran yang memadai, implementasi program tidak berjalan sebagaimana tujuannya. Melalui program GWTK Pemda Kabupaten Jayapura memberikan dana pendampingan secara bertahap bagi semua petani yang ikut terdaftar dalam program GWTK terhitung tahun 2006 s/d 2008. Besarnya dana pendampaingan disesuaikan dengan luas lahan yang disiapkan petani. Setiap petani dengan luas lahan satu hektar
diberikan
dana pendampingan sebesar Rp, 750.000, sebagai modal awal dalam pemeliharaan tanaman. Meskipun petani diberikan dana namun belum secara penuh menutupi seluruh biaya yang dikeluarkan mulai dari tahap pembukaan lahan hingga pemeliharaan. Taylor dan Michael dalam Anwar (2012) menjelaskan bahwa output program adalah jumlah atau unit pelayanan yang diberikan atau jumlah orang-orang yang telah dilayani. Output implementasi program kebijakan GWTK tahun 2006 meliputi total dari jumlah luas lahan kakao, Jumlah petani dan total jumlah produksi kakao kakao di Kabupaten Jayapura setelah implementasi program. Lahan sebagai mempunyai
faktor
kontribusi
produksi yang
merupakan pabriknya hasil pertanian yang cukup
besar
terhadap
usahatani.
Besar kecilnya produksi dari usahatani antara lain dipengaruhi oleh luas sempitnya lahan yang digunakan (Mubyarto, 1995).
Output
implementasi program
penambahan luas lahan pada lokasi penelitian sebesar 28,1 ha (40,96 %). pemerintah dalam
dengan
Tanpa peran
memberikan pendampingan dan penyuluhan tentang budidaya kakao
secara benar belum menjamin adanya peningkatan produksi sementara tingkat pengetahuan dan keterampilan petani dalam budidaya kakao masih rendah maupun serangan hama dan penyakit.
Petani yang ikut dalam program GWTK pada tahun pertama diikuti oleh petani pada 10 Distrik sementara 8 Distrik lainnya menyusul pada tahun 2007 dan tahun 2008. Respon masyarakat
dalam mengikuti implementasi
program GWTK cukup besar sehingga
meningkatkan output dari program GWTK. Tahun 2006 jumlah petani dari 10 Distrik yang ikut dalam program GWTK sebanyak 1.418 petani kemudian pada tahun 2007 sebanyak 4.977 petani dan tahun 2008 mencapai 8.584. Tabel 5.16/terlampir, menunjukkan bahwa jumlah petani yang paling banyak terlibat dalam implementasi Kebijakan GWTK adalah petani pada Distrik Yapsi dengan jumlah 2.371 petani, walaupun baru mengikuti program GWTK pada tahun 2007, diikuti Distrik Kemtuk sebanyak 1.950 petani dan Kemtuk Gresi sebanak 1.254 petani . Petani sebagai orang yang melakukan kegiatan bercocok tanam dengan tujuan untuk memperoleh produksi. Keberhasilan usahataninya tergantung pada kemampuan indifidu untuk memanfaatkan sarana produksi yang dimiliki. Kondisi petani yang ada di Kabupaten Jayapura
mayoritas berpendidikan rendah adalah kendala utama dalam budidaya kakao
karena tidak mampu mengikuti dan menerima
kemajuan teknologi dalam pemanfaatan
sumberdaya yang mereka miliki. Petani di Indonesia pada umumnya adalah petani gurem yang harus mengusahakan usahatani dilingkungan tropika yang penuh resiko, misalnya banyaknya hama serta tidak menentunya curah hujan. Dalam kondisi yang ekstra hati-hati dalam menerima inovasi karena kegagalan berarti kegagalan bagi semua keluarga. Sementara di Indonesia belum terdapat asuransi yang dapat melindungi para petani dari kegagalan dalam pengembangan usahatani (Soetrisno, 2002). Produksi sebagai hasil akhir dalam budidaya tanaman dapat dijadikan sebagai acuan untuk menilai sejauh mana produksi memberikan nilai tambah serta hasil menguntungkan. Sejak
implementasi program GWTK
hingga akhir tahun 2012
produksi kakao
di
Kabupaten Jayapura belum mengalami peningkatan yang signifikan. Hasil wawancara dari 30 responden dimana 16 responden mengalami penurunan produksi dan 14 responden mengalami peningkatan produksi namun dengan jumlah peningkatan yang relativ kecil. Total produksi kakao petani di lokasi penelitian sebelum program GWTK mencapai 10.020 kg/tahun menjadi 10.520 setelah program GWTK dilaksanakan. Peningkatan produksi yang mampu dicapai sebesar 50 kg (0,95) dari total luas lahan dengan tingkat rata-rata setiap petani hanya 1,66 kg (0,83%). Rendahnya produksi kakao petani tersebut disebabkan oleh masalah yang kompleks. Pada umumnya petani hanya sekedar menanam tanpa diimbangi dengan perawatan. Hasil
wawancara juga menunjukan bahwa petani hanya sekedar menanam tanpa pemupukan , penyiangan yang tidak memadai , tidak mengenal pemangksan serta pengendalian hama dan penyakit yang tidak maksimal. Kondisi tersebut mengakibatkan banyak tanaman kakao yang terlantar. Perluasan lahan kakao melalui implementasi program GWTK belum menjamin adanya peningkatan produksi yang maksimal. Perluasan areal dalam rangka meningkatkan produksi perlu diimbangi perawatan tanaman serta menjaga kondisi kesuburan tanah. Faktor lain yang harus dilakukan adalah pemangkasan maupun pemupukan pada tanaman belum menghasilakn maupun yang sudah menghasilkan serta pengendalian
tehadap hama dan
penyakit. Soekartawi (1996) bahwa Produksi adalah suatu proses mengubah input menjadi output sehingga nilai barang tersebut bertambah. Input dapat berupa barang atau jasa yang digunakan didalam proses produksi, dan output adalah barang atau jasa yang di hasilkan dari suatu proses produksi. Sementara Pappas (1995) dalam Anwar (2012) mendefenisikan bahwa
Produksi adalah berkaitan dengan cara bagaimana sumberdaya (masukan)
dipergunakan untuk menghasilkan produk-produk perusahaan (keluaran). Keberhasilan program dapat lihat berdasarkan perspektif proses implementasi dan perspektif hasil. Pada perspektif proses, program pemerintah dikatakan berhasil jika pelaksanaannya sesuai dengan petunjuk dan ketentuan pelaksanaan yang dibuat
oleh
pembuat program yang mencakup antara lain cara pelaksanaan, agen pelaksana, kelompok sasaran dan manfaat program. Sedangkan pada perspektif hasil, program dapat dinilai berhasil
manakala program membawa dampak seperti yang diinginkan. Suatu program
mungkin saja berhasil dilihat dari sudut proses, tetapi boleh jadi gagal ditinjau dari dampak yang dihasilkan, atau sebaliknya (Haedar , 2008) Untuk melihat bagaimana dampak
program GWTK terhadap
petani kakao di
Kabupaten Jayapura berdasarkan teori diatas maka kajian di fokuskan pada peningkatan luas lahan , peningkatan produksi, peningkatan produktivitas kakao dan pendapatan petani kakao di Kabupaten Jayapura. Partispasi petani di Kabupaten Jayapura dalam implementasi program GWTK cukup baik, hal ini terlihat pada tingkat perubahan luas lahan yang miliki petani pada kondisi saat ini. Sebelum implementasi program rata-rata luas lahan responden antara 0,1 ha – 0,5 ha menjadi rata-rata 1,6 ha – 2 ha setelah implementasi. Perubahan luas lahan kaksao petani ini disebabkan adanya insentif maupun pembagian bibit secara gratis. Luas lahan dalam kegiatan usahatani dapat menentukan pendapatan rumah tangga petani. Namun untuk
mencapai hasil yang maksimal dan mengungtungkan dari usahatani, kualitas tanah harus ditingkatkan. Peningkatan produksi kakao setelah implementasi program GWTK dapat dijadikan sebagai indicator terhadap pola petani dalam melaksanakan budidaya kakao. Pembagian dana pendampingan maupun bibit diharapkan dapat memacu petani dalam budidaya kakao unyuk meningkatkan produksi kakao petani. Berdasarkan hasil wawancara terhadap 30 responden , produksi yang
mamppu
dicapai sebelum implementasi menunjukkan bahwa 10 (33,33%) responden dengan tingkat produksi 310 – 400 kg/tahun,
6 (20 %) responden dengan tingkat produksi 410- 500
kg/tahun dan 5 (16,66) responden dengan tingkat produksi diatas 510 kg/tahun. Dibandingkan setelah implementasi dari 30 responden 16 (53,33 %) dengan tingkat produksi 210 – 300 kg/tahun, 8 (26,67) responden dengan tingkat produksi 310 – 400 kg/tahun dan tidak ada responden yang mampu mencapai produksi diatas 510kg/tahun. Rendahnya produksi tersebut disebabkan sistim budidaya kakao yang diterapkan masyarakat pada wilayah penelitian tidak menerpkan pemupukan, pemangkasan, sanitasi serta pengaruh serangan hama dan penyakit. Penambahan luas areal serta bantuan sarana produksi maupun dana pendampingan tanpa diimbangi teknik budidaya yang benar, tidak akan memberikan produksi yang maksimal dalam budidaya tanaman kakao. Peningkatan jumlah luas areal yang tidak diikuti dengan peningkatan hasil produksi mempengaruhi tingkat produktivitas lahan kakao di Kabupaten Jayapura. Pada umumnya tanaman perkebunan termasuk kakao produktivitas akan meningkat seiring pertambahan usia hingga batas umur maksimum dan makin tua umur tanaman hingga produktivitas mulai menurun. Dewan Produktivitas Nasional dalam Witaradya (2002) bahwa: produktivitas sebagai perbandingan antara hasil yang dicapai (output) dengan keseluruhan sumberdaya yang digunakan (input).
Produktivitas
lahan kakao di Kabupaten Jayapura sebelum
imlplementasi program GWTK mencapai 513 kg/ha/thn. Sementara tingkat produktivitas yang mampu dicapai setelah implementasi kebijakan hanya 215.75 kg/ha/thn. Meskipun terjadi peningkatan luas lahan tidak mampu mendorong peningkatan produksi sehingga tingkat produktivitas mengalami penurunan yang cukup besar. Penururnan tingkat produktivitas tersebut juga disebabkan karena petani hanya dipacu dalam pembukaan lahan baru tanpa memberikan pengawasan dan pendampingan dalam hal penggunaan bibit unggul, pemeliharaan, pemupukan, pemangkasan serta penggunaan pestisida dalam penanggulangan hama dan penyakit
Target yang dicanagkan melalui implementasi program GWTK adalah setiap petani diwajibkan memiliki luas lahan kakao minimal 1 ha hingga 2 ha. Dengan harapan lahan kakao tersebut dapat di kelolah untuk menjadi sumber pendapatan dengan target
minimal
Rp 5.000.000., per bulan untuk setiap petani. Berdasarkan hasil wawancara pada 30 responden menunjukkan bahwa tingkat pendapatan tersebut belum dapat dicapai. Tingkat pendapatan yang mampu di capai berdsarkan hasil wawancara dimana 10 (30,33) persen petani dengan tingkat pendapatan
antara Rp, 3.100.000 – Rp, 4.000.000 /tahun dan 5
(16,67%) responden yang mampu mencapai pendapatan diatas
Rp,5.000.000./tahun.
Sementara hasil yang mampu di capai setelah implementasi adalah 10 (30,33%) responden dengan tingkat pendapatan 2.100.000 – 3.000.000/tahun sementara tingkat pendapatan diatas Rp 5.000.000 tidak mampu dicapai. Dengan demikian dapat dikatakan program GWTK belum memberikan dampak yang positif terhadap produksi, produktivitas dan pendapatan petani kakao di
Kabupaten Jayapura. Besarnya pendapatan petani dan usahatani dapat
menggambarkan kemajuan ekonomi usahatani dan besarnya tingkat pendapatan
juga
digunakan untuk membandingkan keberhasilan petani yang satu dengan kondisi petani yang lainnya (Hernanto, 1993)
KESIMPULAN DAN SARAN Implementasi program GWTK di
Kabupaten Jayapura tidak didukung dengan
kecukupan sumberdaya manusia sehingga soialisasi tidak terlaksana secara merata pada tingkat Distrik dan Kampung. Akibatnya pengawasan dalam pengunaan bibit, penyiapan lahan,
penanaman, maupun pemelihraan
tanaman tidak terlaksana berdasarkan juknis.
Pemberian modal dan bibit dapat meningkatkan luas lahan rata-rata petani sebesar 0,95 ha/tahun (68,42 %) dan produksi sebesar 50 kg/ha/tahun ( 0,93 %). (2). Program GWTK menujukkan bahwa peningkatan luas lahan dan jumlah petani yang membudidayakan kakao tidak mampu mendorong peningkatan produksi kakao, produtivitas kakao maupun pendapatan karna sistim budidaya yang tidak disertai dengan pemupukan, pemangkasan, sanitasi serta pengaruh serangan pengerek buah kakao. Diperlukan kajian mendalam serta keterlibatan pihak lain dalam pengambilan kebijakan untuk penyelesaian masalah yang dihadapi oleh petani kakao di Kabupaten Jayapura, Implementasi kebijakan GWTK perlu didukung dengan kecukupan penyuluh pertanian lapangan (PPL) dalam menjalankan proses implementasi dan perlu pendampingan dan penyuluhan bagi masyarakat Kabupaten Jayapura secara rutin dalam budidaya tanaman kakao mengingat pendidikan dan penegtahuan masyarakat tentang budidaya kakao masih rendah.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar.(2012). Pengertian Produksi (http://khairilanwarsemsi.blogspot.com/2011/12/pengertian-produksi.html. diakses Desember 2012) Colemen M & Bush T, 2006, Manajemen Strategis Kepemimpinan Pendidikan. Yogyakarta: IRCISOD Denzin, NK dan Lincoln, YS.(2009). Handbook Qualitative Research. Penerbit Pustaka Belajar. Yogyakarta. Edward III, George C (edited), (1984), Public Policy Implementing, Jai Press Inc, LondonEngland. Endang. et.al, ( 2012) Merevolusi Revolusi Hijau, Pemikiran Guru Besar IPB.IPB Press 2012 Haedar Akib, & Antonius Tarigan. (2008). ARTIKULASI KONSEP IMPLEMENTASI KEBIJAKAN:Perspektif, Model dan Kriteria Pengukurannya. (http://www.google.com.Frudisalam.files.wordpress.com.Fartikulasi-konsepimplementasi-kebijakan-diakses 23 Oktober 2011) Hernanto.(1993). Teori Ekonomi, Bina Aksara, Jakarta. Juhrodin, Udin .(2013).Perbedaan Antara Output dan Outcome https://atcontent.com/Publication/869582916462999PO.text/-/Perbedaan-Antara-Output-danOutcome. Diakses 20 Oktober 2013
Mubyarto.(1995).Pengantar Ekonomi Pertanian Cetakan Keempat Edisi 3 Jakarta: PPBS Mosher AT. 1968, Menggerakkan dan Membangun Pertanian, Syarat Mutlak Pembangunan dan Modernisasi. Terjemahan. Getting Agriculture Moving (1966). Yasaguna. Jakarta Rakhmat, Jalaluddin. (2001). Psikologi Komunikasi.PT. Remaja Rosdakarya. Bandung Santosa Andri dan Mangarah Silalahi, 2011, Laporan Kajian Kebijakan Kehutanan Masyarakat dan Kesiapannya dalam REDD+. Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM). Bogor, Indonesia. 115p Soetrisno, Lukman.(2002). Paradigma Baru Pembangunan Pertanian Sebuah Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta : Kanisius Soekartawi.(1996). Manajemen Usahatani, Universitas Indonesia Press, Jakarta
Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung : Alfabeta Wahyudi, T., Panggabean, T.R. dan Pujiyanto.(2008). Panduan Lengkap Kakao: Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Penebar Swadaya, Jakarta.
Witaradya, Kertya. (2010). Implementasi Kebijakan Publik Model Van Meter Van Horn: The Policy Implementation Process (http://kertyawitaradya.wordpress.com/2010/04/13/implementasi-kebijakan-publikmodel-van-meter-van-horn-the-policy-implementation-process/ diakses 21 Oktober 2013) Widodo.(2011).Analisis Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan Publik. Malang. Bayu Media