PUNGUTAN EKSPOR BIJI KAKAO SEBAGAI ISU KEBIJAKAN
1.
Pemerintah atas permintaan sebagian perusahaan pengolah kakao yang tergabung
dalam
Asosiasi
Industri
Kakao
Indonesia
(AIKI)
sedang
mempertimbangkan untuk mengenakan pungutan ekspor (PE) atas biji kakao yang diekspor. 2.
Dengan adanya PE, maka ekspor kakao dalam bentuk bahan mentah (biji) diharapkan dapat berkurang, sedangkan ekspor dalam bentuk olahan akan meningkat sehingga nilai tambah akan lebih banyak yang jatuh di dalam negeri.
3.
Dasar hukum dari penerapan PE adalah PP No. 35 Tahun 2005 tentang PE. Dasar hukum PP ini adalah UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dalam UU tersebut Pasal 2 Ayat 2 disebutkan bahwa tujuan penerapan PE untuk barang ekspor tertentu adalah untuk : (a) menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri; (b) melindungi kelestarian sumber daya alam; (c) mengantisipasi pengaruh kenaikan harga yang cukup drastis dari barang ekspor tertentu; dan (iv) menjaga stabilitas harga barang tertentu di dalam negeri.
4.
Namun
Pemerintah
tampaknya
tidak
segera
mengabulkan
permintaan
mengenai penerapan PE tersebut karena ada pihak yang pro dan ada yang kontra PE, baik dari tataran teoritis maupun empiris. Beberapa argumen pro dan kontra PE adalah sebagai berikut: Argumen Teoritis 4.1. Kontra : penerapan PE terhadap biji kakao oleh Indonesia akan berdampak negatif terhadap produsen biji kakao di dalam negeri berupa penurunan harga dan produksi yang pada akhirnya menurunkan pendapatan dan kesejahteraan produsen. Ekonomi kakao secara keseluruhan mengalami penurunan kesejahteraan dengan munculnya deadweight social loss, yaitu surplus ekonomi yang hilang yang berarti efisiensi ekonomi menurun. 4.2. Pro : konsumen biji kakao akan diuntungkan dengan turunnya harga dan meningkatnya pasokan bahan baku karena menurunnya ekspor sehingga surplus ekonomi konsumen meningkat. Demikian pula, pemerintah akan memperoleh penerimaan dari penarikan PE.
20
Argumen Empiris – Pembangunan Ekonomi 4.3. Dalam konteks pembangunan ekonomi, peranan PE pada biji kakao dapat dilihat dari berbagai aspek yaitu: Kontra: (1) Meredistribusi pendapatan dari produsen (petani) ke konsumen (industri pengolah) karena produsen domestik (petani) yang lemah tidak mampu menggeser beban tersebut ke konsumen. (2) Memberi
proteksi
sementara
atau
subsidi
terhadap
industri
pengolahan kakao yang tidak efisien. Selanjutnya, industri yang tidak
efisien
akan
selalu
tergantung
pada
proteksi/subsidi
pemerintah sehingga akan sulit berkembang. Pro : (1) Dapat digunakan untuk mengurangi ketidakstabilan harga komoditas melalui penerapan sistem tarif pajak berubah-ubah (progresif), yaitu tarif tinggi pada saat harga tinggi dan sebaliknya nol pada tingkat harga tertentu yang mencerminkan biaya produksi. Pada saat yang sama, petani terhindar dari instabilitas harga. Tiga alasan utama penerapan PE dengan tarif progresif adalah : (a) dapat mencegah efek berantai dari kenaikan harga komoditas di pasar internasional ke pasar domestik sehingga melindungi konsumen lokal, yaitu industri pengolahan kakao, (b) dapat meningkatkan penerimaan pemerintah sehingga mengurangi instabilitas fiskal; dan (c) dapat memajaki manfaat tak terduga yang dinikmati pengekspor sehingga menjawab masalah redistribusi pendapatan. (2) Merupakan
sumber
pendapatan
pemerintah.
Namun
dalam
kenyatannya, penerimaan pemerintah dari PE di negara-negara berkembang sangat rentan terhadap perubahan harga komoditas internasional, produksi dan nilai tukar yang fluktuatif. Argumen Praktis – Pelaku Bisnis Kontra : (1) Perdagangan kakao dalam negeri yang rantai distribusinya panjang dan posisi petani yang lemah telah menciptakan kondisi yang
21
merugikan para petani produsen karena PE akhirnya akan dibebankan kepada mereka melalui penurunan harga kakao, sedangkan pelaku bisnis lainnya (pedagang dan pengolah) tidak dirugikan. Turunnya harga kakao akan merugikan petani yang dapat mendorong petani menggantikan kakao dengan komodiatas lainnya sehingga produksi kakao akan turun. (2) Produksi biji kakao Indonesia tahun 2006 diperkirakan mencapai sekitar 600 ribu ton, jauh di atas kebutuhan industri pengolahan biji kakao yang hanya 220 ribu ton per tahun. Ekspor biji kakao dalam periode tahun 2000-2006 yang mencapai rata-rata 343 ribu ton dan meningkat dengan laju 5,5 persen per tahun, masih menyisakan sebagian produksi untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan biji kakao. (3) Pada saat ini di Indonesia terdapat 12 pabrik pengolahan biji kakao dengan total kapasitas penggilingan sebesar 290.000 ton. Namun, sejak beberapa tahun terakhir, jumlah pabrik pengolahan kakao hanya tinggal enam pabrik dengan kapasitas penggilingan sebesar 100.000 ton. (4) Berbagai pungutan berupa PBB, PPh Pasal 22, PPN, retribusi dan iuran ekspor yang dipungut oleh Pemerintah Daerah sudah menjadi beban petani. (5) Indonesia termasuk produsen biji kakao terbesar ketiga setelah Pantai Gading dan Ghana, tetapi terjadi lonjakan impor pada tahun 2004 dibanding 2003 yaitu volume impor biji kakao melonjak dari 23.896 ton menjadi 31.082 ton. Hal ini mengindikasikan tidak ada masalah dalam pengadaan bahan baku industri pengolahan biji kakao. (6) PE akan meredistribusi pendapatan dari wilayah luar Jawa ke wilayah Jawa karena sebanyak 81 persen kapasitas pabrik berada di Jawa, sedangkan sebagian besar daerah produksi adalah luar Jawa, terutama Sulawesi Selatan. (7) PPN 10 persen untuk komoditas perkebunan sudah dihapus sehingga harga beli bahan baku yang dibayar oleh industri
22
pengolahan kakao menjadi lebih murah dan pasokan dalam negeri akan cukup. (8) Konsumsi coklat masyarakat Indonesia masih sangat rendah dan stabil sehingga penerapan PE tidak bermanfaat dalam rangka stabilisasi pasokan produk kakao konsumsi (final product). Pro : (1) Tanpa PE, sebagian besar biji kakao diekspor dalam bentuk mentah ke Malaysia, Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara lain tanpa diolah terlebih dahulu menjadi produk yang bernilai tambah. Akibatnya, industri pengolahan kakao di luar negeri tumbuh cepat, sedangkan industri pengolahan kakao di dalam negeri sulit berkembang. (2) Dalam persentase yang memadai, hasil PE atas biji kakao yang diterima
pemerintah
dapat
dimanfaatkan
kembali
untuk
pengembangan on-farm dan off-farm dalam upaya menumbuhkembangkan sektor kakao di Indonesia, antara lain peningkatan produktivitas kakao petani melalui perbaikan bahan tanaman, pengadaan bibit unggul, pemberantasan hama, dan penanganan pascapanen. Dengan demikian, petani mendapatkan nilai tambah karena produktivitas, kualitas, dan pendapatan meningkat. (3) Penerapan PE biji kakao akan sangat efektif menjaga ketersediaan bahan baku industri pengolahan biji kakao sehingga nilai tambah di dalam negeri lebih besar. Dalam periode 1990 – 2005, ekspor biji kakao lebih dominan dibandingkan berbagai jenis kakao olahan dan meningkat dengan laju 7 persen per tahun. Dengan masih adanya idle
capacity
di
industri
pengolahan,
penerapan
PE
akan
menghambat laju ekspor biji kakao dan meningkatkan ketersediaan bahan baku industri pengolahan biji kakao. (4) Penerapan
PE
selanjutnya
dapat
meningkatkan
kegiatan
pengolahan sehingga dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak lagi.
23
B.
Pengalaman Empiris Penerapan PE
5.
Kopra di Filipina : Penerapan PE di Filipina didasarkan pada argumen bahwa sebagai negara besar pengekspor kopra, negara ini diyakini mempunyai kekuatan monopoli dan industri minyak kelapa menghadapi permintaan ekspor yang elastis. Penerapan PE diharapkan dapat memperbaiki nilai tukar (term of trade), mengendalikan tekanan inflasi dari perubahan eksternal, dan menjawab masalah distribusi pendapatan. Namun penerapan PE di Filipina tidak memenuhi harapan karena beberapa alasan, yaitu: (a) PE tidak mengurangi fluktuasi harga domestik kopra di Filipina lebih rendah dibandingkan fluktuasi harga dunia, bahkan memperbesar transmisi fluktuasi harga dunia ke harga domestik, dan Filipina ternyata adalah negara pengekspor kecil dan porsi pengeluaran impor negara-negara pengimpor untuk minyak kelapa relatif kecil dan dapat disubstitusi oleh minyak sayur lainnya; dan (b) penerapan PE pada kopra menurunkan kesejahteraan industri minyak kelapa dan tenaga kerja tidak terampil di Filipina. Dampak negatif terhadap pendapatan kotor industri minyak mengalahkan dampak positif dari turunnya harga kopra. Selain itu, turunnya harga relatif produk kelapa menyebabkan turunnya upah bagi tenaga kerja tidak terampil.
6.
CPO dan Produk Turunannya di Indonesia : Penerapan PE untuk CPO dan produk turunannya di Indonesia didasarkan pada meningkatnya harga minyak makan di Indonesia pada tahun 1993. Argumen yang digunakan dalam penerapan
PE
adalah
untuk
pengendalian
inflasi,
sedangkan
untuk
memperbaiki nilai tukar dan lainnya tidak jelas. Dampak PE atas CPO dan produk turunannya adalah sebagai berikut. Pertama, penurunan harga domestik menguntungkan konsumen. Namun dampak positif penurunan harga domestik terhadap inflasi dan kesejahteraan konsumen ternyata kecil. Hal ini terjadi karena harga minyak goreng hanya sekitar 4 persen dari pengeluaran 20 persen penduduk miskin di pedesaan dan 1,4 persen dari indeks harga konsumen di Indonesia. Selanjutnya, penurunan harga minyak goreng di tingkat pabrik tidak diikuti dengan penurunan harga di tingkat konsumen. Kedua, PE menurunkan pendapatan produsen CPO dan produk turunannya, tetapi meningkatkan pendapatan distributor. Produsen CPO di antarnya adalah petani perkebunan rakyat (PR) yang kontribusinya sekitar 22 persen, sedangkan perusahaan perkebunan negara (PN) dan swasta (PS) berperan masimgmasing sekitar 33 persen dan 43 persen. Pengalaman pada tahun 1998
24
menunjukkan bahwa kerugian yang ditanggung PR diperkirakan hampir sekitar US$ 70 juta, dan lebih dari US$ 100 juta untuk PN dan PS. Sementara itu, distributor diperkirakan memperoleh keuntungan sekitar US$ 100 juta. Hal ini berarti penurunan harga CPO hanya sebagian kecil yang dirasakan oleh konsumen karena penurunan harga eceran lebih kecil daripada penurunan harga CPO. Ketiga, PE menurunkan total penerimaan pemerintah dari minyak sawit, yaitu keuntungan dari perusahaan pengolahan. Kenaikan penerimaan pemerintah dari PE tidak sebanding dengan kerugian yang dialami oleh PN. Keempat, penerapan PE untuk CPO dan produk turunannya juga berpengaruh terhadap pasar minyak kelapa. PE untuk CPO mengubah pasokan minyak sawit dari pasar ekspor ke pasar domestik sehingga menekan harga minyak kelapa. Dalam tekanan persaingan ini, banyak perusahaan/pabrik minyak kelapa bangkrut. Dapat disimpulkan bahwa penerapan PE pada CPO dan produk turunannya mencapai tujuan untuk pengendalian inflasi tetapi menimbulkan kerugian siginifikan pada sisi efisiensi ekonomi. Dampak dari penerapan PE tersebut juga menyebar ke pasar minyak kelapa. 7.
Kapas dan Benang di Pakistan : Penerapan PE untuk kapas dan tekstil di Pakistan
antara
tahun
1988
dan
1995
bertujuan
untuk
memperkuat
pengembangan industri benang, yaitu industri yang bernilai tambah lebih tinggi. PE untuk kapas adalah untuk menurunkan harga kapas sehingga produsen benang memperoleh keuntungan dari penurunan harga input. Setelah tahun 1988, ekspor kapas turun secara nyata dan produksi serta ekspor benang meningkat. Namun penurunan harga kapas tidak berpengaruh nyata terhadap produksi benang karena permintaan benang di Pakistan sangat tidak elastis. Oleh karena itu, kontribusi PE pada kapas untuk meningkatkan pertumbuhan industri benang bersifat marjinal. Industri benang Pakistan sudah tercatat lebih kompetitif dari industri pesaingnya di luar negeri. Peningkatan daya saing industri benang mungkin terbantu oleh subsidi tak langsung karena adanya penggunaan teknologi baru (cost saving technology) di luar negeri. Namun subsidi tak langsung tersebut menimbulkan disinsentif bagi industri benang untuk memperbaiki teknologi yang dimiliki. Penerapan PE mengakibatkan dampak yang merugikan pada industri kapas. Pertumbuhan industri bahan baku jauh lebih rendah dibandingkan pada situasi perdagangan bebas, dimana produsen bahan baku tergantung pada harga internasional. PE mengalihkan pendapatan produsen kapas ke produsen benang. Efektivitas dan efisiensi penerapan PE untuk mengembangkan industri benang sangat tergantung pada
25
hubungan permintaan antara bahan baku dan bahan olahannya. Hasil lainnya adalah bahwa penerapan PE secara sepintas berhasil, namun dapat mengakibatkan disinsentif bagi industri pengolahan untuk memperbaiki teknologi yang dimiliki dan pertumbuhan industri pengolahan yang bernilai tambah lebih tinggi. 8.
Beras di Thailand : Thailand menerapkan PE hanya sampai dengan tahun 1986 karena : (a) adanya dampak negatif yang ditimbulkan bagi pendapatan penduduk yang hidup di pedesaan; dan (b) munculnya berbagai jenis pajak/pungutan
dengan
pengembangan
administrasi
yang
lebih
baik.
Penerapan PE menimbulkan dua dampak yang berbeda antara penduduk pedesaan dan perkotaan. Penduduk pedesaan mengalami kerugian karena penurunan pendapatan dari tenaga kerja tidak terampil dan dari lahan. Padahal pendapatan penduduk pedesaan pada umumnya dari lahan. Keuntungan yang diperoleh dari peningkatan daya beli karena penurunan harga beras tidak dapat mengkompensasi kerugian pendapatan di atas. Pada sisi lain, penduduk perkotaan diuntungkan melalui peningkatan daya beli dan pendapatan yang diperoleh dari peningkatan upah untuk tenaga kerja terampil dan peningkatan pendapatan dari modal non-pertanian yang merupakan sumber utama pendapatan penduduk kaya di perkotaan. Kelompok penduduk kaya perkotaan menikmati keuntungan dari keterampilan/keahlian mereka yang lebih tinggi dibandingkan kelompok penduduk kaya pedesaan. 9.
Produk Kehutanan di Indonesia : Penerapan PE didasarkan pada beberapa alasan,
yaitu
melindungi
sumber
daya
alam,
pengembangan industri
pengolahan hasil hutan dan untuk meyakinkan adanya kecukupan pasokan produk kehutanan esensial. Penerapan PE pada kayu gergajian telah mempromosikan pengembangan indutri plywood dan mendorong ekspor plywood. Namun penerapan PE juga menimbulkan dampak negatif. Pertama, harga rendah log telah menimbulkan inefisiensi pada praktek logging dan industri pengolahan kayu. Kedua, kartel ekspor yang sangat kuat muncul di pasar kayu dan produk kayu untuk menangkap rente ekonomi dari pembatasan ekspor. Ketiga, harga log yang rendah melemahkan investasi yang mengarah pada perlindungan dan keberlanjutan pengembangan hutan. Bahkan, kebijakan perdagangan hasil hutan ini mempunyai kontribusi pada meningkatnya kebakaran hutan di Indonesia karena kebijakan tersebut tidak memberi insentif yang tepat untuk melindungi hutan sebagai salah satu sumber daya alam.
26
C.
Nilai Proteksi Nominal dan Distribusi Kesejahteraan
10.
Berkaitan dengan isu kebijakan di atas, secara umum dapat dinyatakan bahwa tingkat proteksi dan distribusi kesejahteraan dari penerapan PE biji kakao menjadi penting untuk diketahui. Tingkat proteksi dianalisis dengan menghitung tingkat proteksi nominal (Nominal Protection Rate/NPR), sedangkan tingkat distribusi
kesejahteraan
(welfare)
dihitung
dengan
pendekatan
Goal
Programming. Pendekatan ini digunakan untuk mengakomodasikan adanya perbedaan kepentingan diantara pelaku bisnis pada perekonomian kakao nasional. 11.
Pada tahun 2007 industri pengolahan kakao Indonesia masih mendapatkan proteksi dengan instrumen kebijakan penerapan tarif bea masuk (TBM) bagi input (bahan baku) berupa biji kakao dan output (hasil olahan) berupa cocoa butter, cocoa powder dan cocoa cake sebesar 5 persen. Pada Policy Brief ini analisis penerapan pajak ekspor (PE) untuk biji kakao dilakukan dengan menggunakan tiga skenario analisis yaitu: (a) TBM 5% tanpa PE; (b) TBM 5% + PE 10%; dan (c) TBM 5% + PE 3%.
12.
Hasil analisis menunjukkan bahwa NPR untuk industri pengolahan kakao di Indonesia saat ini adalah 4,05 (Tabel 1). Nilai ini berarti setiap tambahan 1 unit output akan meningkatkan nilai tambah 4,05 persen. Dengan kata lain, saat ini industri pengolahan kakao di Indonesia sudah menikmati insentif kebijakan dari Pemerintah Indonesia melalui instrumen pajak impor input dan output.
13.
Dengan adanya usulan penerapan PE oleh industri pengolahan biji kakao, berarti insentif yang ada saat ini mereka rasakan masih kurang. PE sebagai instrumen kebijakan proteksi terhadap industri tentunya dapat meningkatkan NPR. Hasil analisis menunjukkan bahwa dengan PE 10 persen, nilai NPR meningkat dari 4,05 persen menjadi 10,15 persen (Tabel 2). Sedangkan dengan PE 3 persen, maka nilai NPR meningkat dari 4,05 persen menjadi 5,88 persen (Tabel 3).
14.
Pengukuran NPR dengan penerapan PE di atas tidak dapat menjelaskan distribusi kesejahteraan (welfare) pada tingkat optimum (satisfying condition) dalam perekonomian sehingga distribusi gain dan loss dalam perekonomian tidak diketahui. Hasil analisis distribusi gain and loss pada tingkat non-satisfying condition menunjukkan bahwa loss yang dialami produsen dan yang hilang
27
dalam perekonomian tidak seimbang dengan gain dan revenue yang diperoleh pemerintah (Tabel 4). 15.
Dengan menggunakan model Goal Programming, maka satisfying condition pada PE 10 persen dapat dicapai pada tingkat konsumsi biji kakao domestik sebesar 47.786 ton dan produksi 433.420 ton (Tabel 5). Nilai tersebut lebih rendah 83,20 persen dan 35,32 persen dibandingkan nilai pada tingkat nonsatisfying condition. Hal ini berarti konsumsi berada di bawah kapasitas produksi industri pengolahan biji kakao dan produksi biji kakao dari perkebunan kakao di Indonesia bisa menurun hingga 35,32 persen dengan adanya PE 10 persen.
16.
Ekspor biji kakao, harga ekspor dan harga domestik tidak mengalami perubahan. Target Producer Loss sebagai prioritas untuk diminimumkan dapat berkurang 1,92 persen, tetapi target Deadweight Social Loss sebagai priporitas terendah meningkat 100 persen. Sementara itu, Consumer Gain dan Government Tax Revenue tetap (Tabel 6). Khusus tentang ekspor, hal ini berarti pengekspor tidak mengalami masalah pada situasi non maupun satisfying condition.
17.
Hasil yang tidak terlalu berbeda terjadi jika penerapan PE biji kakao seebsar 3 persen (Tabel 7). Jika dibandingkan dengan PE 10 persen, maka semua nilai/ukuran parameter lebih kecil kecuali ekspor. Ekspor biji kakao pada PE 10 persen adalah 385.634 sedangkan pada PE 3 persen adalah 405.280 ton.
D.
KESIMPULAN DAN SARAN
18. Penerapan PE secara teoritis merugikan produsen, terutama petani, pengekspor relatif tidak dirugikan dan menguntungkan konsumen (industri pengolahan biji kakao) dan pemerintah. Namun perekonomian kakao secara keseluruhan menjadi kurang efisien. Hasil analisis empiris kajian ini juga mengkonfirmasi dampak tersebut. Pengalaman di berbagai negara juga membuktikan bahwa dampak penerapan PE terhadap komoditas primer pertanian gagal untuk mencapai tujuannya semula.
19. Sejauh ini pemerintah sudah memberikan proteksi terhadap industri pengolahan kakao di Indonesia dalam bentuk penerapan tarif bea masuk sebesar 5 persen dan penghapusan PPN sebesar 10 persen. Penerapan PE akan meningkatkan kerugian petani, apalagi jika PE mencapai 10 persen.
28
Dalam jangka panjang, penerapan PE dikhawatirkan akan menimbulkan disinsentif bagi produsen untuk berusaha sehingga peningkatan produksi dapat tertekan dan selanjutnya minat untuk menanam kakao melemah dan bahkan produsen mungkin menggantinya dengan tanaman lain.
20. Sebagian besar industri kakao saat ini bekerja pada kondisi normal dan bahkan banyak yang mencapai kapasitas penuh dan bahkan ada investasi baru yang akan masuk. Ini menunjukkan bahwa investasi di bidang pengolahan kakao masih atraktif. Namun memang masih ada sebagian industri pengolahan yang bekerja jauh di bawah kapasitas terpasangnya yang disebabkan oleh masalah inefisiensi. Di sisi lain, bisnis biji kakao memang masih menarik dan memberikan keuntungan, terutama bagi pengekspor biji kakao. Struktur ekspor kakao Indonesia menunjukkan bahwa ekspor biji kakao hingga saat ini masih tetap dominan dibandingkan ekspor produk olahan, seperti butter, powder, pasta, coklat batangan, dan produk akhir lainnya.
21. Berdasarkan kesimpulan tersebut, ada dua opsi kebijakan yang dapat ditempuh pemerintah berkaitan dengan pengembangan industri kakao nasional, yaitu: Opsi Pertama: mempertahankan status quo, yaitu bahwa pemberian proteksi berupa tarif impor 5 persen dan pembebasan PPN, dipandang sudah sesuai dengan kebutuhan sehingga tidak perlu ada pengenaan PE. Kebijakan ini terbukti telah dapat memberikan kesempatan kepada investor baru untuk masuk, baik PMDN, PMA maupun patungan (joint venture). Opsi Kedua: mengenakan PE pada tingkat moderat yaitu 3 persen dalam jangka pendek dengan tujuan untuk memberikan kesempatan kepada sejumlah industri pengolahan yang saat ini belum efisien untuk membenahi kinerja usahanya. Kebijakan ini bersifat temporer untuk memberikan kesempatan kepada beberapa industri pengolahan tersebut hingga mampu mendekati kapasitas terpasangnya.
22. Jika Opsi Kedua (penerapan PE 3 persen) yang dipilih, maka pemerintah perlu sungguh-sungguh
memberikan
perhatian
pada
pentingnya
pemberian
kompensasi bagi petani. Sumber kompensasi berasal dari dana PE tersebut yang
mekanisme
perundang-undangan
operasionalisasinya yang
berlaku.
disesuaikan
Pemerintah
juga
dengan
peraturan
perlu
melakukan
pengawasan operasionalisasi penerapan PE, terutama yang terkait dengan pembebanan PE ke petani melalui mekanisme penentuan harga. Beban PE
29
yang ditanggung petani, pedagang dan pengekspor biji kakao harus proporsional. Selain itu, selama masa penerapan PE, industri pengolahan yang tidak efisien (terlindungi) harus dapat menarik pelajaran dari industri pengolahan biji kakao lain yang telah berhasil berkembang.
Tabel 1. Nominal Protection Rate Industri Pengolahan Biji kakao Indonesia Tanpa PE Uraian Input atau Output (%) Ekspor Output (%) Konsumsi Domestik (%) Pajak Impor (%) Pungutan Ekspor (%) Harga Batas (US$/ton) Harga Domestik (US$/ton) Nilai Tanpa Pajak/Pungutan: - Nilai Biji kakao (US$/ton) - Nilai Output (US$/ton) - Nilai Tambah (US$/ton) Nilai Dengan Pajak/Pungutan: - Nilai Biji kakao (US$/ton) - Nilai Output (US$/ton) - Nilai Tambah (US$/ton) Nominal Protection Rate (US$/ton) Nominal Protection Rate (%)
Input: Biji kakao Impor Lokal 20% 80%
5% 0% 2,050.00 2,152.50
0 0% 1,640.00 1,640.00
Butter 35% 90% 10% 5% 0% 5,130.00 5,386.50
1,722.00 2,150.50 428.50 1,742.50 2,258.03 515.53 87.02 4.05
Catatan: Harga "benchmark" biji kakao di New York: US$ 1,900/ton Harga impor biji kakao dari Gana mendapat premium harga: US$ 150/ton Harga biji kakao Indonesia terkena discount: US$ 130/ton Freight and insurance: US$130/ton Nilai Tukar: Rp 9,000/ton Asumsi harga cake: Rp 1,800/kg
30
Output Powder 45% 90% 10% 5% 0% 700.00 735.00
Cake 20% 0% 100% 5% 0% 200.00 210.00
Tabel 2. Nominal Protection Rate Industri Pengolahan Biji kakao Indonesia Dengan PE 10% Uraian Input atau Output (%) Ekspor Output (%) Konsumsi Domestik (%) Pajak Impor (%) Pungutan Ekspor (%) Harga Batas (US$/ton) Harga Domestik (US$/ton) Nilai Tanpa Pajak/Pungutan: - Nilai Biji kakao (US$/ton) - Nilai Output (US$/ton) - Nilai Tambah (US$/ton) Nilai Dengan Pajak/Pungutan: - Nilai Biji kakao (US$/ton) - Nilai Output (US$/ton) - Nilai Tambah (US$/ton) Nominal Protection Rate (US$/ton) Nominal Protection Rate (%)
Input: Biji kakao Impor Lokal 20% 80%
5% 0% 2,050.00 2,152.50
0 10% 1,640.00 1,476.00
Butter 35% 90% 10% 5% 0% 3,770.00 3,958.50
Output Powder 45% 90% 10% 5% 0% 800.00 840.00
Cake 20% 0% 100% 5% 0% 200.00 210.00
1,722.00 2,150.50 428.50 1,611.30 2,258.03 646.73 218.23 10.15
Catatan: Lihat catatan pada Tabel 1.
Tabel 3. Nominal Protection Rate Industri Pengolahan Biji kakao Indonesia Dengan PE 3% Uraian Input atau Output (%) Ekspor Output (%) Konsumsi Domestik (%) Pajak Impor (%) Pungutan Ekspor (%) Harga Batas (US$/ton) Harga Domestik (US$/ton) Nilai Tanpa Pajak/Pungutan: - Nilai Biji kakao (US$/ton) - Nilai Output (US$/ton) - Nilai Tambah (US$/ton) Nilai Dengan Pajak/Pungutan: - Nilai Biji kakao (US$/ton) - Nilai Output (US$/ton) - Nilai Tambah (US$/ton) Nominal Protection Rate (US$/ton) Nominal Protection Rate (%)
Input: Biji kakao Impor Lokal 20% 80%
5% 0% 2,050.00 2,152.50 1,722.00 2,150.50 428.50 1,703.14 2,258.03 554.89 126.39 5.88
Catatan: Lihat catatan pada Tabel 1.
31
0 3% 1,640.00 1,476.00
Butter 35% 90% 10% 5% 0% 3,770.00 3,958.50
Output Powder 45% 90% 10% 5% 0% 800.00 840.00
Cake 20% 0% 100% 5% 0% 200.00 210.00
Tabel 4. Distribusi Welfare Pada Tingkat Non-Satisfying Condition Dengan PE 10% Uraian
Nilai
Konsumsi dengan PE (ton) Produksi dengan PE (ton) Konsumsi, tanpa PE (ton) Produksi tanpa PE (ton) Selisih konsumsi (ton) Selisih produksi (ton) Ekspor tanpa PE (ton) Ekspor dengan PE (ton) Elastisitas permintaan *) Elastisitas penawaran *) Nilai tukar (Rp/$US) Harga domestik (Rp/ton) Harga domestik (US$/ton) Harga ekspor ($US/ton) Marjin pemasaran (US$/ton) Harga tingkat petani - US$/ton - Rp/kg Welfare: 1. 1. Producer Loss (US$) 2. Consumer Gain (US$) 3. Government Tax Revenue (US$) 4. Deadweight Social Loss (US$) 5. Jumlah (2 + 3 + 4) (US$)
284,480 670,114 280,000 693,700 4,480.00 23,585.80 413,700 385,634 0.16 0.34 9,000 13,243,500 1,471.50 1,635 150 1,337 12,029
11,149,181 4,614,624 6,305,119 229,438 11,149,181 Catatan: *) Elastisitas permintaan dan penawaran diambil dari disertasi Dradjat (2003).
32
Tabel 5. Distribusi Welfare Pada Tingkat Satisfying Condition Dengan PE 10% Uraian
Nilai Non-Satisfying Condition
Satisfying Condition
Deviasi (%)
Konsumsi dengan PE (ton)
284,480
47,786
(83.20)
Produksi dengan PE (ton)
670,114
433,420
(35.32)
Konsumsi, tanpa PE (ton)
280,000
43,307
(84.53)
Produksi tanpa PE (ton)
693,700
236,693
(65,88)
Selisih konsumsi (ton)
4,480.00
4,479
(0.02)
Selisih produksi (ton)
23,585.80
23,587
0.01
Ekspor tanpa PE (ton)
413,700
413,700
-
Ekspor dengan PE (ton)
385,634
385,634
-
Harga domestik (US$/ton)
1,471.50
1,471.50
-
Harga ekspor ($US/ton)
1,635
1,635
-
Harga tingkat petani - US$/ton
1,337
1337
-
1. Producer Loss (US$)
11,149,181
10,935,571
(1.92)
2. Consumer Gain (US$)
4,614,624
4,614,624
-
3. Government Tax Revenue (US$)
6,305,119
6,305,119
-
229,438
458,876
100.00
11,149,181
11,378,619
2.06
Welfare:
4. Deadweight Social Loss (US$) 5. Jumlah (2 + 3 + 4) (US$)
Tabel 6. Distribusi Welfare Pada Tingkat Satisfying Condition Dengan PE 3% Nilai Non-Satisfying Condition
Satisfying Condition
Konsumsi dengan PE (ton)
281,344
15,963
(94.33)
Produksi dengan PE (ton)
686,624
421,243
(38.65)
Konsumsi, tanpa PE (ton)
280,000
14,619
(38.26)
Produksi tanpa PE (ton)
693,700
428,319
(94.78)
Selisih konsumsi (ton)
1,344
1,344
-
Selisih produksi (ton)
7,076
7,076
-
Ekspor tanpa PE (ton)
413,700
413,700
-
Ekspor dengan PE (ton)
405,280
405,280
-
Harga domestik (US$/ton)
1,585
1,585
-
Harga ekspor ($US/ton)
1,635
1,635
-
Harga tingkat petani - US$/ton
1,440
1,440
-
1,015,574
793,392
(21.8775)
413,009
413,009
-
596,370
596,370
-
6,195
12,390
100.00
1,015,574
1,021,769
0.61
Uraian
Deviasi (%)
Welfare: 1. Producer Loss (US$) 2. Consumer Gain (US$) 3. Government Tax Revenue (US$) 4. Deadweight Social Loss (US$) 5. Jumlah (2 + 3 + 4) (US$)
33