ANALISIS DAMPAK KENAIKAN HARGA BERAS TERHADAP POLA KONSUMSI BERAS RUMAH TANGGA DI CIPINANG, JAKARTA TIMUR
Oleh : NINA TAMA SARI A14103129
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
ANALISIS DAMPAK KENAIKAN HARGA BERAS TERHADAP POLA KONSUMSI BERAS RUMAH TANGGA DI CIPINANG, JAKARTA TIMUR
Oleh :
NINA TAMA SARI A14103129
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
RINGKASAN
NINA TAMA SARI. Analisis Dampak Kenaikan Harga Beras Terhadap Pola Konsumsi Beras Rumah Tangga di Cipinang, Jakarta Timur. Di Bawah Bimbingan BAYU KRISNAMURTHI. Beras merupakan komoditi pangan utama sebagian besar masyarakat Indonesia. Bagi masyarakat dengan pangan utama beras, biasanya belum merasa puas apabila belum mengkonsumsi beras (nasi) sehingga hal tersebut secara nyata akan meningkatkan permintaan terhadap beras. Tingginya tingkat konsumsi beras per kapita dan laju pertumbuhan penduduk yang naik setiap tahunnya akan menyebabkan ketergantungan beras yang cukup besar. Kebutuhan konsumsi beras di Indonesia dapat dipenuhi dengan cara memproduksi sendiri ataupun mengimpor beras dari pasar internasional. Peningkatan produksi beras nasional yang lebih kecil dibandingkan dengan peningkatan laju pertumbuhan penduduk setiap tahunnya disebabkan oleh laju peningkatan produktivitas usaha tani padi yang semakin kecil. Sehingga ketersediaan beras nasional tidak dapat mencukupi kebutuhan konsumsinya. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya defisit untuk konsumsi beras pada tahun 2006 dan 2007 yaitu musim kemarau yang panjang sehingga menyebabkan musim tanam padi yang biasanya dimulai Oktober menjadi mundur, pada akhirnya panen raya yang diprediksi dapat menutupi kebutuhan beras tertunda. Permintaan beras yang cukup tinggi tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah sehingga terjadi kelangkaan beras di pasar. Dan pada akhirnya harga beras menjadi tinggi karena permintaan akan beras tidak dapat dipenuhi oleh persediaan beras nasional. Mayoritas penduduk Indonesia memilih beras sebagai bahan pangan pokoknya. Sehingga ketersediaan beras perlu dijaga dengan baik karena masyarakat sangat sensitif terhadap isu mengenai beras dan hal ini terkait erat dengan harga (Lastry, 2006). Untuk rumah tangga dengan pendapatan yang tetap, kenaikan harga beras tentu saja akan berdampak negatif terhadap pola konsumsinya sehingga mempengaruhi tingkat kesejahteraan rumah tangga pada umumnya (Arifin, 1994). Penelitian ini mengkaji perubahan pola konsumsi beras pada rumah tangga setelah kenaikan harga beras dan faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti pendapatan, pendidikan, selera, kelas sosial dan karakteristik konsumen lainnya. Konsumen rumah tangga dikelompokkan berdasarkan kelas sosial yang ada di masyarakat sebagai dasar segmentasi. Pengelompokkan ini dilakukan untuk memudahkan peneliti karena besarnya keragaman karakteristik dan sumberdaya yang terdapat dalam rumah tangga. Rumah tangga yang dikelompokkan berdasarkan kelas sosial diduga akan membentuk pola konsumsi tertentu sesuai dengan kelas sosialnya. Perubahan pola konsumsi beras pada rumah tangga dapat dianalisis melalui variabel- variabel diantaranya frekuensi konsumsi, jumlah konsumsi, jenis beras, frekuensi dan jumlah pembelian, tempat pembelian serta jenis pangan lainnya apabila konsumen tidak lagi menjadikan beras sebagai makanan pokoknya. Pembentukan pola konsumsi beras pada rumah tangga dipengaruhi
oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan pengaruh yang berasal dari rumah tangga yaitu pendapatan rumah tangga, jumlah konsumsi beras, jumlah pembelian beras dan kelas sosial. Faktor eksternal adalah pengaruh yang berasal dari luar lingkungan rumah tangga, yaitu harga beras. Apabila harga beras mengalami peningkatan, perubahan pola konsumsi beras rumah tangga dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yang membentuk pola konsumsi beras. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi perubahan pola konsumsi beras sebagai akibat kenaikan harga beras di tingkat rumah tangga Jakarta Timur dan mengidentifikasi faktor- faktor yang mempengaruhi perubahan pola konsumsi beras tersebut. Penelitian ini berguna untuk mengetahui perubahan pola konsumsi beras rumah tangga dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Bagi pengambil kebijakan, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi tambahan dalam menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan di masa yang akan datang dalam upaya mengatasi masalah beras. Bagi penulis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai proses belajar dan sebagai sarana untuk mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh. Bagi pembaca, dapat menjadi bahan acuan untuk penelitian selanjutnya. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purposive) yaitu di beberapa perumahan Jakarta Timur. Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan adalah melalui metode analisis deskriptif, metode chi-square dan model regresi logistik. Responden merupakan ibu rumah tangga yang mengkonsumsi beras sebagai makanan pokoknya sebesar 100 orang dengan lokasi pengambilan sampel pada beberapa perumahan di Jakarta Timur yang dianggap dapat mewakili masing- masing kelas sosial. Berdasarkan hasil uji Chi-Square dapat disimpulkan terdapat perubahan pola konsumsi beras pada rumah tangga di Jakarta Timur. Perubahan pola konsumsi setelah kenaikan harga beras terlihat nyata hanya pada perubahan jenis beras yang dikonsumsi dan frekuensi pembelian beras. Penurunan kualitas beras yang dikonsumsi setelah kenaikan harga beras banyak dilakukan oleh rumah tangga kelas bawah dan menengah. Rumah tangga kelas atas tidak mengalami perubahan jenis beras karena tingginya daya beli yang mereka miliki. Perubahan jenis beras tersebut dipengaruhi oleh pendapatan rumah tangga dan jumlah konsumsi beras. Hasil uji dengan model regresi logit diperoleh bahwa semakin tinggi pendapatan yang diperoleh rumah tangga maka peluang rumah tangga untuk mengubah jenis beras yang dikonsumsi cenderung kecil. Perubahan frekuensi pembelian beras per bulan setelah harga beras naik terlihat nyata melalui uj i chi-square. Rumah tangga kelas bawah cenderung lebih sering melakukan pembelian beras karena keterbatasan sumberdaya yang mereka miliki. Rumah tangga kelas menengah cenderung mengurangi frekuensi pembelian beras, mereka akan membeli beras dalam jumlah ya ng lebih besar setiap melakukan pembelian karena khawatir harga beras akan terus meningkat. Pengujian dengan metode regresi logistik menunjukkan semakin tinggi harga beras maka rumah tangga akan mengubah frekuensi pembelian. Besarnya jumlah pembelian beras berpengaruh negatif terhadap perubahan frekuensi pembelian. Semakin banyak jumlah beras yang dibeli maka perubahan frekuensi pembelian cenderung kecil. Kelas sosial berpengaruh nyata terhadap perubahan frekuensi pembelian beras. Rumah tangga kelas bawah dan menengah berpeluang lebih
besar untuk mengubah frekuensi pembeliannya dibandingkan dengan rumah tangga kelas atas. Perubahan pada frekuensi dan jumlah konsumsi beras, jumlah pembelian serta tempat melakukan pembelian beras setelah kenaikan harga beras tidak tampak nyata berdasarkan hasil uji Chi-Square. Beras merupakan makanan pokok penduduk Indonesia dan belum ada bahan pangan lain yang dapat menggantikannya, sehingga setinggi apapun harga beras, rumah tangga akan tetap berusaha untuk memenuhi kebutuhannya terhadap beras.
Judul Nama NRP
: Analisis Dampak Kenaikan Harga Beras Terhadap Pola Konsumsi Beras Rumah Tangga di Cipinang, Jakarta Timur : Nina Tama Sari : A14103129
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi, MS NIP. 131 846 869
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN
DENGAN
INI
SAYA
BERJUDUL
“ANALISIS
TERHADAP
POLA
MENYATAKAN DAMPAK
KONSUMSI
BAHWA
KENAIKAN
BERAS
SKRIPSI
YANG
HARGA
BERAS
RUMAH
TANGGA
DI
CIPINANG, JAKARTA TIMUR” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU.
Bogor, Desember 2007
NINA TAMA SARI A14103129
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 14 November 1984. Penulis merupakan anak ke-dua dari dua bersaudara pasangan Bapak Hasan Basri Harahap dan Ibu Darmawaty Purba. Jenjang pendidikan penulis dilalui dengan penuh semangat dan perjuangan yang keras namun tanpa hambatan yang berarti. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Swasta Krishna Jakarta tahun 1997, lalu melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 62 Jakarta dan lulus pada tahun 2000. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Umum Negeri 54 Jakarta. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan studinya di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) pada Program Studi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian. Selama menjadi mahasisiwa, penulis aktif dalam kegiatan dan kepanitian di kampus dan organisasi khusus mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian (MISETA).
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Dampak Kenaikan Harga Beras Terhadap Pola Konsumsi Beras Rumah Tangga di Cipinang, Jakarta Timur”. Adapun skripsi ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Beras merupakan makanan pokok hampir seluruh masyarakat Indonesia. Pada saat terjadi defisit antara kebutuhan dan produksi beras maka yang terjadi adalah kenaikan harga beras. Kenaikan harga bahan pangan ini pada akhir tahun 2006 cukup membuat masyarakat resah dan khawatir. Oleh karena itu, pemahaman sepenuhnya akan dampak kenaikan harga beras terhadap pola konsumsi beras rumah tangga penting untuk dianalisis. Penulis menyadari skripsi ini belum sempurna dan masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan yang perlu mendapat perbaikan. Dengan segala kerendahan hati, penulis memohon maaf apabila dalam penulisan skripsi ini terdapat kesalahan dan kekhilafan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkannya.
Bogor, Desember 2007
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dengan segala dukungan
dan
bantuan
yang
penulis
peroleh,
dalam
kesempatan
ini
perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi, MS, selaku dosen pembimbing akademik dan skripsi yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam proses penulisan skrip si ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. 2. Dr. Ir. Harianto, MS, selaku dosen penguji utama atas masukan dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini. 3. Dra. Yusalina, MS, selaku dosen penguji komisi pendidikan atas ketelitian dan perhatian yang diberikan untuk perbaikan dalam tata cara penulisan. 4. Para dosen di lingkungan Fakultas Pertanian yang telah memberikan ilmu sebagai bekal penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Kakakku, Riski Haruna Maya Santy dan seluruh keluarga besarku atas doa, dukungan dan semangatnya. 6.
Arief Rahman, Panji Pratama, Anggun Wahyuningsih dan Eko Restu, terima kasih untuk semua waktu yang telah kita lalui bersama selama di IPB. Tanpa kalian langit Bogor tak’kan pernah seindah ini.
7. AGB boys (Adhan, Anin, Faisal, Idham, Jurist, Medy, Om, Pipin, Pram, Rama, Tatang) dan AGB gals (Aini, Ana, Ance, Ayu, Budew, Dai, Endah, Lusi, Gilda, Merry, Nova, Rosma, Santi, Yayah, Yeyen), terima kasih atas saran, informasi, masukan dan ilmu yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
8. Sahabat-sahabatku di Jakarta, Dian Ramadhania, Desy Tri Cakrie, Fernando Pardamean, Fidya Tryanti, Ihsan Hadad, Indra Onggo dan Vina Hasnawaty, terima kasih atas semangat dan motivasinya. Semoga kelak kita menjadi orang-orang yang sukses. 9. Staf IPB, khususnya Mas Hamid dan Mas Pian, terima kasih atas kerelaan dan kesediaannya untuk membantu penulis dalam kelancaran proses penyelesaian skripsi ini. 10. Teman-teman IPB dan pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu oleh penulis, terima kasih. Akhir kata penulis mendedikasikan seluruh goresan skripsi ini sebagai baktiku untuk kedua orang tuaku, Papa Hasan Basry Harahap dan Mama Darmawaty Purba. Ini bukan akhir, tapi ini adalah sebuah tanda bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika kita berjalan dengan restu darimu.
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR.......................................................................................... i UCAPAN TERIMA KASIH................................................................................ ii DAFTAR ISI......................................................................................................... iv DAFTAR TABEL................................................................................................. vi DAFTAR GAMBAR............................................................................................ vii DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................viii I.
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.......................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah.................................................................................. 8 1.3 Tujuan Penelitian...................................................................................... 13 1.4 Kegunaan Penelitian................................................................................. 13 1.5 Ruang Lingkup Penelitian........................................................................ 13
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Beras ......................................................................................................... 15 2.2 Konsumen................................................................................................. 17 2.3 Perilaku Konsumen .................................................................................. 18 2.4 Teori Permintaan...................................................................................... 20 2.5 Pola Konsumsi.......................................................................................... 23 2.6 Konsumsi Rumah Tangga ........................................................................ 24 2.7 Kelas Sosial .............................................................................................. 27 2.8 Hasil Penelitian Terdahulu ....................................................................... 31 2.9 Kerangka Pemikiran Operasional............................................................. 34 III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian.................................................................... 39 3.2 Jenis dan Sumber Data ............................................................................. 39 3.3 Metode Pengumpulan Data ...................................................................... 40 3.4 Metode Pengambilan Sampel................................................................... 40 3.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data ..................................................... 43 3.5.1 Metode Analisis Deskriptif ............................................................. 43 3.5.2 Uji Chi-Square ................................................................................ 44 3.5.3 Model Regresi Logit ....................................................................... 45 3.6 Definisi Operasiona l ................................................................................. 48 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum ..................................................................................... 50 4.1.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian .............................................. 50 4.1.2 Gambaran Umum Responden......................................................... 51 4.1.2.1 Responden Kelas Bawah.................................................... 51 4.1.2.2 Responden Kelas Menengah .............................................. 52 4.1.2.3 Responden Kelas Atas ........................................................ 53 4.2 Analisis Perubahan Pola Konsumsi Beras................................................ 55 4.2.1 Frekuensi Konsumsi........................................................................ 57 4.2.2 Jumlah Konsumsi............................................................................ 60
4.2.3 Jenis Beras....................................................................................... 61 4.2.4 Frekuensi Pembelian Beras ............................................................. 65 4.2.5 Jumlah Pembelian Beras ................................................................. 69 4.2.6 Tempat Pembelian Beras ................................................................ 71 V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan............................................................................................... 74 5.2 Saran ......................................................................................................... 75 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 76 LAMPIRAN.......................................................................................................... 78
DAFTAR TABEL
Nomor.......................................................................................................... Halaman 1. Rata-rata Konsumsi Komoditas Pangan Indonesia Tahun 2005 .............. 2 2. Konsumsi Beras Rumah Tangga di Indonesia Tahun 1999-2006 ............ 3 3. Komposisi Pengeluaran Rumah Tangga per kapita sebulan menurut Jenis Pengeluaran (%) Tahun 1999-2006................................... 4 4. Permintaan dan Penyediaan Beras Nasional Tahun 1999-2007 ............... 5 5. Perkembangan Rata-rata Bulanan Harga Beras September 2006 sampai Mei 2007....................................................................................... 7 6. Jumlah Penduduk DKI Jakarta Tahun 2005 ............................................. 51 7. Karakteristik Umum Responden Berdasarkan Kelas Sosial..................... 54 8. Rata-rata Harga Beras yang dibeli Responden Berdasarkan Kelas Sosial (Rp/kg) .............................................................................. .. 55 9. Persentase Perubahan Pola Konsumsi Rumah Tangga Setelah Kenaikan Harga Beras ........................................................................... .. 56 10. Perubahan Frekuensi Konsumsi Beras (per hari) ..................................... 58 11. Perubahan Jumlah Responden yang Mengkonsumsi Pangan Lain........... 60 12. Perubahan Jumlah Konsumsi Beras (per hari).......................................... 61 13. Perubahan Jenis Beras yang Dikonsumsi ................................................. 62 14. Hasil Analisis Regresi Logit Perubahan Jenis Beras yang Dikonsumsi............................................................................................... 64 15. Perubahan Frekuensi Pembelian Beras per Bulan.................................... 66 16. Hasil Analisis Regresi Logit Perubahan Frekuensi Pembelian per bulan ................................................................................................... 67 17. Perubahan Jumlah Pembelian setiap kali Membeli Beras ........................ 70 18. Perubahan Tempat Pembelian Beras ........................................................ 71 19. Perubahan Jenis Beras di Setiap Kelas Sosial .......................................... 72 20. Perubahan Frekuensi Pembelian Beras di Setiap Kelas Sosial................. 73
DAFTAR GAMBAR
Nomor .................................................................................................. Halaman 1. Model Perilaku Pengambilan Keputusan Konsumen............................... 19 2. Kerangka Pemikiran Operasional............................................................. 38
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor.......................................................................................................... Halaman 1. Kuisioner Penelitian.................................................................................. 78 2. Data Mentah untuk Perubahan Jenis Beras............................................... 81 3. Data Mentah untuk Perubahan Frekuensi Pembelian............................... 82 4. Hasil Uji Chi-Square................................................................................. 83 5. Hasil Uji Model Regresi Logistik............................................................. 86
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia
untuk mempertahankan hidup. Manusia sebagai makhluk hidup, tanpa pangan tidak mungkin dapat melangsungkan hidup dan bermasyarakat. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sejak dulu hingga nanti pun manusia memerlukan bahan pangan untuk bertahan hidup. Pangan telah menjadi kebutuhan primer manusia yang harus dipenuhi sebelum memenuhi kebutuhan hidup lainnya seperti sandang, papan dan pendidikan. Beras merupakan salah satu komoditas pangan yang sangat strategis bagi Indonesia dan sering menjadi komoditas politik 1 . Hal ini disebabkan keberadaannya sebagai bahan pangan pokok bagi hampir seluruh bangsa Indonesia. Mengkonsumsi beras terkait erat dengan budaya makan dan citra status sosial di masyarakat. Masyarakat yang mengkonsumsi beras dinilai memiliki status sosial lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat yang mengkonsumsi sumber karbohidrat lain seperti jagung, ubi- ubian atau sagu. Sifat beras yang mudah diolah dan sesuai dengan budaya konsumsi masyarakat menyebabkan ketergantungan terhadap beras sangat tinggi (Lastry, 2006). Akibatnya, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk maka kebutuhan beras di Indonesia akan terus meningkat. Rata-rata konsumsi beras per kapita per tahunnya mencapai 116,95 kg, sangat tinggi dibandingkan konsumsi
1
Anton Apriyantono. Beras, Komoditas Penuh Tantangan. Harian Seputar Indonesia 18 Desember 2006
per kapita per tahun tanaman pangan lainnya. Tabel 1 menyajikan rata-rata konsumsi komoditas pangan di Indonesia. Tabel 1. Rata-rata Konsumsi Komoditas Pa ngan Indonesia Tahun 2005 (kilogram/kapita/tahun) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Komoditas Pangan Beras Jagung Ketela Pohon Ayam Daging Telur Susu Ikan Sayuran Buah Kedelai Gula
Jumlah Konsumsi 116,95 3,32 15,04 4,07 1,81 6,12 1,41 18,58 50,78 31,74 7,78 9,90
Sumber : Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), 2006
Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi beras di Indonesia tinggi. Jumlahnya merupakan proporsi terbesar dari konsumsi jenis pangan lain. Konsumsi beras per kapita per tahun yang tinggi menyebabkan total konsumsi beras secara nasional semakin meningkat dari tahun ke tahun. Secara umum, konsumsi beras per kapita per tahun di Indonesia cenderung menurun dengan adanya diversifikasi pangan sebagai dampak dari perubahan pendapatan dan status sosial. Penurunan tersebut tidak diikuti dengan penurunan pada total konsumsi beras secara nasional. Hal ini disebabkan jumlah penduduk yang meningkat setiap tahunnya. Data konsumsi beras per kapita per tahun di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Konsumsi Beras Rumah Tangga di Indonesia Tahun 1999-2006 Tahun
Jumlah Penduduk (000 jiwa)
Konsumsi/kapita (kg)
Total Konsumsi (ton)
1999
202.776
165,02
33.462.096
2000 2001
205.844 208.643
146,37 136,30
30.129.328 28.438.055
2002
211.439
140,55
29.717.737
2003 2004
214.251 217.077
140,95 136,81
30.198.735 29.698.277
2005
219.205
139,15
30.502.334
2006
222.051
139,15
30.898.438
Sumber: BPS, 2006
Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa mulai tahun 1999 konsumsi beras per kapita cenderung mengalami penurunan. Pada Tahun 1999, konsumsi beras per kapita per tahunnya sebesar 165,02 kg dan turun hingga 139,15 kg pada tahun 2007. Penurunan yang cukup besar ini seharusnya mendorong penurunan total konsumsi beras secara nasional. Kenyataannya, total konsumsi beras nasional masih tetap tinggi. Hal ini disebabkan pertambahan jumlah penduduk setiap tahunnya. Rata-rata pertambahan jumlah penduduk sebesar 1,01 persen setiap tahun menyebabkan kebutuhan konsumsi beras juga meningkat, sehingga total konsumsi beras nasional tetap tinggi. Dapat disimpulkan bahwa peningkatan total konsumsi beras nasional didorong oleh pertambahan jumlah penduduk. Beras sebagai bahan pangan pokok, merupakan komoditi yang inelastis terhadap perubahan harga 2 . Naik atau turunnya harga beras akan berpengaruh relatif sangat kecil terhadap perubahan permintaan beras. Hal ini disebabkan orang tidak akan secara signifikan menambah atau mengurangi konsumsinya terhadap beras, walaupun harga berfluktuasi. Konsumsi beras juga relatif tidak
2
Martin Manurung. Mengupas Tuntas Masalah Beras. Artikel (http://www.IndoPROGRESS.co.id, download: 21 Maret 2007)
21
Februari
2007
sensitif terhadap perubahan pendapatan3 . Peningkatan pendapatan seseorang tidak akan meningkatkan kuantitas beras tetapi lebih pada meningkatkan kualitas beras yang dikonsumsi. Dengan demikian, proporsi pengeluaran untuk beras cenderung berbanding terbalik dengan tingkat kesejahteraan seseorang. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan seseorang, proporsi pengeluaran untuk beras cenderung semakin kecil, dan sebaliknya. Tabel 3 menyajikan perubahan pola konsumsi rumah tangga selama periode 1999-2006 menurut jenis pengeluarannya. Tabel 3. Komposisi Pe ngeluaran Rumah tangga per Kapita sebulan menurut Jenis Pengeluaran (%) Tahun 1999-2006 Jenis Komoditas Makanan - Padi-padian - Ikan, daging, telur dan susu - Sayuran dan Buah - Makanan lainnya Total Makanan Bukan Makanan - Perumahan - Pakaian - Barang yang tahan lama - Bukan makanan lainnya Total bukan makanan
1999
2002
2003
2004
2005
2006
16,78 10,78 8,3 27,08 62,94
12,47 11,31 7,57 27,12 58,47
10,36 11,31 7,77 27,45 56,89
9,44 10,96 6,94 27,25 54,59
8,54 10,22 6,21 26,4 51,37
11,37 9,53 6,52 25,59 53,01
15,92 5,23 2,87 13,04 37,06
17,80 5,18 4,10 14,45 41,53
19,15 5,49 3,56 14,19 43,11
20,65 5,11 4,15 15,5 45,41
22,53 3,82 4,52 17,76 48,63
22,56 4,42 2,98 17,03 46,99
Sumber : www.bps.go.id (download tanggal 17 Januari 2008)
Tabel 3 menunjukkan bahwa selama periode 1999-2005 proporsi pengeluaran untuk makanan mengalami penurunan, yaitu dari 62,94 persen menjadi 51,37 persen pada tahun 2005. Dan pada tahun 2006, proporsi pengeluaran untuk makanan menga lami peningkatan menjadi 53,01 persen. Adanya perubahan pola konsumsi pada tahun 2006 dengan peningkatan proporsi pengeluaran untuk makanan khususnya padi-padian (beras) memberikan indikasi penurunan kesejahteraan masyarakat dengan adanya pengorbanan masya rakat 3
Daniel Perwira dkk. Konsumsi Beras Sebagai Ukuran Sederhana Kesejahteraan Masyarakat Mei 2003. (http://www.smeru.co.id, download: 14 Mei 2007)
untuk mengurangi konsumsi bukan makanan agar kuantitas dan kualitas beras yang dikonsumsi tidak turun terlalu tajam. Perubahan pola konsumsi tersebut juga terjadi karena adanya penurunan standar hidup secara drastis akibat meningkatnya harga-harga kebutuhan rumah tangga, sehingga rumah tangga akan memberikan prioritas utama pada pengeluaran untuk makanan. Ketersediaan beras dapat memberi pengaruh besar terhadap ketahanan pangan nasional suatu bangsa. Ketersediaan beras yang cukup, baik kualitas maup un kuantitas akan memberikan pengaruh positif pada pembangunan suatu negara. Hal ini mendorong pemerintah untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri dengan berbagai cara, seperti mendorong produksi dalam negeri atau melalui perdagangan dunia (impor). Di Indonesia, sebagian besar konsumsi beras dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Tabel 4 menyajikan jumlah permintaan beras untuk konsumsi dan produksi beras nasional tahun 1999-2007. Tabel 4. Permintaan dan Penyediaan Beras Nasional Tahun 1999-2007 Tahun
Produksi Beras Dalam Negeri untuk Konsumsi (ton)
Konsumsi Langsung (ton)
Selisih (Produksi-Konsumsi) (ton)
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007*
28.808.419 29.393.160 28.578.703 29.161.432 29.528.379 30.633.260 30.668.730 30.840.811 31.221.681
33.462.096 30.129.328 28.438.055 29.717.737 30.198.735 29.698.277 30.502.334 30.898.438 31.295.517
(4.653.677) (736.167) 140.648 -556.30 (556.306) -670.356 (670.356) 934.983 166.396 (57.627) (73.836)
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2006 * Angka Ramalan (ARAM) II BPS, 2007
Produksi beras untuk konsumsi dari tahun 1999 sampai tahun 2007 mengalami peningkatan, tetapi hal ini tetap tidak dapat memenuhi permintaan
beras nasional yang terus meningkat setiap tahunnya. Pada Tabel 4 menunjukkan hanya pada tahun 2001, 2004 dan 2005 Indonesia memiliki surplus beras. Berdasarkan angka ramalan II Badan Pusat Statistik 2007, jumlah produksi beras untuk konsumsi adalah 31,22 juta ton, sedangkan perkiraan untuk konsumsi langsung sebesar 31,29 juta ton. Dengan demikian, terjadi kekurangan beras sebesar 70 ribu ton. Musim kemarau yang panjang pada tahun 2006 menyebabkan musim tanam padi terlambat dua sampai tiga bulan. Selain itu, penurunan produktivitas usaha tani akibat dari pengaturan distribusi sarana produksi yang tidak berjalan dengan baik, mengakibatkan persediaan beras pada bulan Januari dan Februari 2007 mengami penurunan dibandingkan dengan produksi padi pada tahun 2006. Penurunan produksi beras yang terjadi menyebabkan kelangkaan beras di pasar tidak dapat dihindari. Akibatnya, kenaikan harga beras terjadi pada akhir tahun 2006. Pada akhir November 2006, harga beras mengalami kenaikan yang tinggi dan cukup meresahkan masyarakat, terutama karena harga beras melambung tinggi dan belum pernah terjadi dalam kurun waktu lima tahun terakhir 4 . Berdasarkan data BPS, harga beras mulai mengalami kenaikan sejak akhir November 2006. Harga beras untuk jenis IR-64 mengalami kenaikan dari Rp. 5.193 per kg menjadi Rp. 5.450 per kg pada minggu pertama Desember 5 . Kenaikan ini merupakan kenaikan rata-rata nasional, sehingga harga beras yang terjadi di kota-kota tertentu dapat lebih tinggi dari harga rata-rata. Tabel 5 menyajikan perkembangan harga pangan pokok di Indonesia. Berdasarkan Tabel 5, harga beras jenis IR-I di DKI 4
Nofie Iman. Beras Sebagai Sumber Kemiskinan. http://wordpress.com/tag/ekonomi-mikro/ (14 Mei 2007) 5 Nofie Imam. op cit.
Jakarta mulai mengalami peningkatan pada November 2006 dan mencapai harga tertinggi pada bulan Maret sebesar Rp. 6.377 per kg. Dan kemudian berangsur turun hingga Rp.5.326 per kg pada Maret 2007. Tabel 5. Perkembangan Rata-rata Bulanan Harga Beras September 2006 sampai Mei 2007 Provinsi/ Komoditi
Sept
Okt
Nov
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
DKI Jakarta (IR-I) 4.854 4.706 4.780 DKI Jakarta (IR-II) 4.346 4.293 4.375 DKI Jakarta (IR-III) Bandung (IR-64/II) 4.142 4.116 4.200 Semarang (IR-64/I) 4.392 4.316 4.371 Cisadane II 4.408 4.418 4.452 Yogyakarta (IR-I) 4.435 4.495 4.500 Yogyakarta (IR-II) 4.135 4.216 4.200 Surabaya (IR-64) 4.619 4.600 4.627 Surabaya (Mentik) 4.888 4.726 4.827 Surabaya 4.992 4.774 4.873 (Bengawan) Surabaya(Eksdolog) 3.900 3.900 3.927 Denpasar (C4) 4.477 4.489 4.400 Denpasar (IR) 4.296 4.300 4.300 Sumber : Departemen Perdagangan, 2006
5.338 4.946 4.867 5.031 4.889 4.963 4.717 4.996 5.202
5.720 5.350 5.092 5.200 5.200 5.100 4.900 4.700 5.400
6.227 5.845 5.546 5.706 5.455 5.455 5.729 5.533 6.046 6.317
6.377 5.879 5.472 5.543 5.474 5.474 5.757 5.532 6.009 6.509
5.725 5.308 4.873 4.680 5.183 5.183 4.908 4.708 5.925 6.329
5.326 4.911 4.429 4.425 5.079 5.079 4.950 4.750 5.786 6.186
4.719
5.000
5.308
4.755
4.563
4.500
4.208 4.575 4.400
4.000 4.767 4.333
3.850 5.150 5.321
3.700 5.193 5.732
1.079 5.021 5.508
5.000 5.500
Kebutuhan akan beras yang tinggi jika tidak diimbangi dengan peningkatan produksi beras yang tinggi maka akan menimbulkan kekurangan dalam ketersediaan beras di pasar. Jika upaya untuk meningkatkan produksi beras nasional tidak ada maka akan menimbulkan masalah antara kebutuhan dan ketersediaan beras dengan kesenjangan yang semakin melebar. Apabila kebutuhan untuk mengkonsumsi beras semakin tinggi dan tidak diikuti oleh ketersediaan beras maka harga beras di pasar akan mengalami kenaikan. Harga beras yang melonjak tinggi mengakibatkan perubahan dalam pola konsumsi beras. Sebagian masyarakat menghendaki adanya pasokan dan harga beras yang stabil, tersedia sepanjang waktu serta terdistribusi secara merata dan dengan harga yang
terjangkau. Oleh karena itu, ketersediaan beras baik kualitas maupun kuantitas harus dijaga dengan baik. Dampak dari kenaikan harga beras terlihat nyata pada masyarakat miskin. Data BPS menunjukkan 23 persen pengeluaran rumah tangga miskin (gakin) dialokasikan untuk beras. Proporsi pengeluaran beras dalam konsumsi rata-rata nasional hanya sekitar 16 persen. Sementara untuk masyarakat kelas atas tidak lebih dari 5 persen6 . Dengan demikian, semakin tinggi pendapatan semakin tidak terasa dampak kenaikan harga beras. Hal ini menyebabkan pengetahuan mengenai perubahan pola konsumsi beras pada rumah tangga diperlukan untuk melihat seberapa besar pengaruh kenaikan harga beras terhadap pola konsumsi rumah tangga berdasarkan kelas dan status sosial.
1.2
Perumusan Masalah Pentingnya peranan beras dalam kehidupan rakyat dan perekonomian
Indonesia tidak dapat dipungkiri lagi. Beras merupakan suatu komoditi yang bersifat strategis dan bahan pangan pokok bagi hampir seluruh masyarakat Indonesia. Harga beras dipengaruhi oleh ketersediaannya di pasar. Harganya akan naik jika ketersediaannya berkurang. Upaya pemenuhan kebutuhan beras untuk masyarakat di Indonesia tidak hanya mendapat tantangan dari bertambahnya jumlah penduduk tetapi juga dari semakin meningkatnya pendapatan dan berubahnya pola konsumsi. Oleh karena itu, pemerintah tidak hanya menekankan kebijaksanaannya untuk memperbesar produksi, tetapi juga disertai dengan mengkampanyekan diversifikasi pangan. Untuk masyarakat dengan penghasilan
6
Imam Sugema. Inflasi Beras. www.Republika.com (download: 19 Februari 2007)
rendah, kebutuhan akan kalori dan protein relatif dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi beras sebagai pangan pokok. Hal ini disebabkan kandungan protein dan kalori yang terdapat pada beras lebih besar dibandingkan dengan bahan pangan lainnya seperti jagung atau ketela pohon. Beras dapat menghasilkan kalori 68,6 persen dan protein 68,7 persen yang diperlukan oleh tubuh, sedangkan jagung hanya menghasilkan 13,7 persen kalori dan 20 persen protein (Arifin, 1994). Beras dikonsumsi oleh konsumen baik konsumen individu, konsumen rumah tangga maupun konsumen usaha jasa. Permintaan terhadap beras meliputi konsumsi di dalam rumah, di luar rumah, konsumsi makanan hasil industri pengolahan dan kebutuhan beras untuk cadangan rumah tangga. Beberapa golongan konsumen di atas, rumah tangga adalah konsumen beras yang paling besar. Rumah tangga ditempatkan sebagai konsumen terbesar karena rumah tangga terdiri dari beberapa individu, sehingga jumlah yang dikonsumsi adalah kumulatif dari kebutuhan per kapita masing- masing individu tersebut. Kebutuhan beras rumah tangga terdiri dari kebutuhan untuk konsumsi langsung dan untuk sediaan minimum (Lastry, 2006). Rumah tangga sebagai konsumen berasal dari latar belakang etnis dan budaya, ekonomi serta status sosial yang berbeda. Faktor budaya dan ekonomi merupakan variabel-variabel yang dapat mempengaruhi pembentukan sikap dan perilaku konsumen. Perbedaan tersebut menyebabkan timbulnya sikap dan perilaku yang berbeda dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Keanekaragaman ini banyak ditemukan pada konsumen rumah tangga di kota Jakarta.
Kota Jakarta adalah ibukota Negara Republik Indonesia yang disebut juga kota metropolitan, dengan penduduk yang sangat padat serta terdapat berbagai aktivitas
baik
dibidang
pemerintahan,
perekonomian,
dan
pendidikan.
Sebagaimana halnya kota metropolitan pengaruh adanya budaya luar dalam iklim globalisasi, teknologi serta informasi yang tiada batas, sangat cepat berkembang seiring laju perkembangan dan dampak yang dapat ditimbulkannya. Jakarta Timur sebagai salah satu kotamadya DKI Jakarta memiliki populasi dengan tingkat kepadatan penduduk terbesar (Lampiran 1) dan memiliki struktur masyarakat yang beraneka ragam. Keragaman tersebut meliputi suku bangsa, latar belakang pendidikan dan pekerjaan, budaya serta tingkat perekonomian yang tercermin dalam kehidupan masyarakat sehari- hari. Keanekaragaman sosial budaya tersebut membentuk perilaku dan kebiasaan yang beragam di masyarakat, sehingga struktur konsumsi masyarakat juga beranekaragam khususnya untuk konsumsi beras. Oleh karena itu, hal ini menarik untuk diamati dan dikaji lebih mendalam. Kenaikan harga beras yang terjadi saat ini disebabkan pemerintah tidak memiliki persediaan beras dalam jumlah yang cukup untuk mengatasi kelangkaan beras yang sedang terjadi, khususnya pada kondisi dimana iklim kurang mendukung (musim kemarau yang lebih panjang pada tahun 2006 mengakibatkan berkurangnya persediaan beras di bulan Januari dan Februari 2007). Peningkatan produksi padi yang kecil diakibatkan semakin sempitnya areal persawahan, kelangkaan pupuk dan masalah teknis lainnya, menjadi penyebab utama berkurangnya persediaan beras yang ada di Bulog. Mayoritas penduduk Indonesia memilih beras sebagai bahan pangan pokoknya. Sehingga ketersediaan beras perlu dijaga dengan baik karena
masyarakat sangat sensitif terhadap isu mengenai beras dan hal ini terkait erat dengan harga (Lastry, 2006). Untuk rumah tangga dengan pendapatan yang tetap, kenaikan harga beras tentu saja akan berdampak negatif terhadap pola konsumsinya sehingga mempengaruhi tingkat kesejahteraan rumah tangga pada umumnya (Arifin, 1994). Penelitian ini mengkaji seberapa besar perubahan pola konsumsi beras pada rumah tangga setelah kenaikan harga beras dan faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti pendapatan, pendidikan, selera, kelas sosial dan karakteristik konsumen lainnya. Konsumen rumah tangga dikelompokkan berdasarkan kelas sosial yang ada di masyarakat sebagai dasar segmentasi. Pengelompokkan ini dilakukan untuk memudahkan peneliti karena besarnya keragaman karakteristik dan sumberdaya yang terdapat dalam rumah tangga. Rumah tangga yang dikelompokkan berdasarkan kelas sosial diduga akan membentuk pola konsumsi tertentu sesuai dengan kelas sosialnya. Pendapatan merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi seseorang atau rumah tangga dalam melakukan konsumsi. Indikator pendapatan dapat dicerminkan dari kesejahteraan suatu rumah tangga. Jika rumah tangga sejahtera
maka
pendapatan
diperkirakan
tinggi
sehingga
mereka
lebih
mengutamakan mengkonsumsi pangan yang banyak mengandung protein dan mengurangi konsumsi karbohidrat seperti beras. Namun untuk rumah tangga dengan pendapatan rendah, konsumsi lebih diutamakan pada pangan yang mengandung karbohidrat. Selera konsumen akan berpengaruh pada jenis beras yang dikonsumsi, terutama bagi rumah tangga kelas menengah dan kelas atas. Kelompok rumah
tangga kelas menengah diperkirakan akan mengkonsumsi beras jenis kualitas sedang, yang harganya pun relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kualitas rendah. Jika akhir-akhir ini harga beras semakin tinggi maka rumah tangga kelas atas diperkirakan tidak akan mengurangi konsumsi beras maupun menurunkan kualitas beras yang dikonsumsi. Pola konsumsi penduduk berubah dari waktu ke waktu dan antara daerah satu dengan daerah lainnya tergantung kepada selera, pendapatan dan lingkungan. Pada akhirnya, pola konsumsi menentukan seberapa besar jenis barang tertentu harus disediakan dan bagaimana distribusinya, terutama dalam hal makanan agar harganya tidak terguncang. Pada saat terjadi defisit antara kebutuhan dan produksi beras maka yang terjadi adalah kenaikan harga beras yang akan memberatkan masyarakat, khususnya masyarakat menengah ke bawah. Oleh karena itu, pemahaman sepenuhnya akan dampak kenaikan harga beras terhadap pola konsumsi penting untuk dianalisis. Berdasarkan uraian di atas maka pembahasan penelitian ini akan dibatasi atas beberapa pokok permasalahan, yaitu : 1.
Bagaimana perubahan pola konsumsi beras sebagai akibat kenaikan harga beras di tingkat rumah tangga Jakarta Timur.
2.
Faktor-faktor apa yang mempengaruhi perubahan pola konsumsi beras tersebut.
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah dilakukan sebelumnya, maka
tujuan dari penelitian ini adalah : 1.
Mengidentifikasi perubahan pola konsumsi beras sebagai akibat kenaikan harga beras di tingkat rumah tangga Jakarta Timur.
2.
Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan pola konsumsi beras akibat kenaikan harga beras pada rumah tangga di Jakarta Timur.
1.4
Kegunaan Penelitian Penelitian mengenai Analisis Dampak Kenaikan Harga Beras Terhadap
Pola Konsumsi Beras Rumah Tangga berguna untuk mengetahui perubahan pola konsumsi beras pada rumah tangga setelah harga beras mengalami kenaikan dan faktor- faktor yang mempengaruhinya. Bagi pengambil kebijakan khususnya pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi tambahan dalam menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan di masa yang akan datang dalam upaya mengatasi masalah beras. Bagi penulis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai proses belajar yang akan memberi banyak tambahan ilmu dan pengetahuan dan juga sebagai sarana untuk mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama mengikuti kuliah. Bagi pembaca, dapat menjadi bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini difokuskan pada pola konsumsi beras rumah tangga secara
umum dan tidak spesifik terhadap jenis atau merek beras tertentu yang ada di
pasar. Penelitian ini hanya memperhitungkan jumlah konsumsi beras di dalam rumah saja, sedangkan untuk konsumsi beras di luar rumah tidak diperhitungkan. Perubahan pola konsumsi beras pada rumah tangga hanya meliputi frekuensi dan jumlah konsumsi beras, jenis beras, frekuensi dan jumlah pembelian beras serta tempat pembelian beras.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Beras Beras menempati urutan pertama dalam jenis bahan makanan yang
dikonsumsi oleh penduduk Indonesia, walaupun konsumsinya semakin menurun. Penurunan konsumsi ini dapat diakibatkan oleh peningkatan kesejahteraan rakyat. Semakin tinggi pendapatan maka porsi pengeluaran akan bergeser dari pengeluaran untuk makanan ke pengeluaran untuk bukan makanan. Selain itu pendapatan
yang
meningkat
tidak
menyebabkan
peningkatan
konsumsi
karbohidrat, tetapi beralih ke pemenuhan protein, seperti daging, ayam, susu, telur, dan sebagainya. Dengan demikian, dapat disimpulkan proporsi pengeluaran untuk beras dalam total pengeluaran untuk makanan di tingkat perkotaan maupun nasional secara seragam dipengaruhi oleh harga beras dan pendapatan konsumen. Berdasarkan Suryana (2003), secara umum penduduk Asean, khususnya Philipina, Malaysia, Thailand, dan Indonesia menyenangi rasa nasi dari beras dengan kandungan amilosa medium (20-25%), sedangkan Jepang dan Korea menyenangi beras dengan kadar amilosa rendah (13-25%). Kandungan amilosa ini mempengaruhi rasa nasi secara keseluruhan sebesar 65 persen. Amilosa adalah rangkaian dari unit- unit gula (glukosa) yang menyusun molekul- molekul besar dari pati beras. Semakin kecil kadar amilosa beras, semakin lekat (pulen) nasinya.Oleh karena itu, beras ketan praktis tidak ada amilosanya (0-9%). Selain itu, kandungan amilosa mempengaruhi sifat pemekaran volume beras, dan cepatnya nasi mengeras setelah dimasak. Semakin tinggi kadar amilosanya maka beras semakin pera, semakin mekar dan semakin cepat menjadi keras setelah
dingin. Beras dengan amilosa rendah biasanya menghasilkan nasi dengan sifat tidak kering, teksturnya pulen, tidak menjadi keras setelah dingin, rasanya enak dan nasinya mengkilap. Aroma pada beras ternyata dipengaruhi oleh suhu dan udara. Apabila beras disimpan pada suhu diatas 15ºC, setelah 3-4 bulan akan mengalami perubahan aroma dan rasa. Suhu gudang di Indonesia biasanya lebih tinggi dari 15ºC, sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan aroma yang mempengaruhi rasa beras. Semakin lama beras disimpan, semakin menurun rasa dan aroma nasinya (Suryana, 2003). Identifikasi beras dapat dilakukan dengan melihat pada keragaan dan sifat fisik beras, antara lain dilihat dari warna. Warna beras yang berbeda-beda diatur secara genetik. Beberapa warna beras yang tersedia di pasar antara lain : 1. Beras “biasa” berwarna putih agak transparan yang umumnya dikonsumsi oleh masyarakat dan mendominasi pasar beras. 2. Beras merah 3. Beras hitam 4. Beras ketan 5. Beras ketan hitam Beras yang paling banyak tersedia di pasar adalah beras “biasa” yang dapat diidentifikasi melalui jenis, kemasan dan harga. Jika dilihat dari segi harga, beras terdiri dari beberapa jenis yang biasanya dijadikan sebagai patokan terhadap kualitasnya. Beras dengan harga yang mahal biasanya memiliki kualitas yang baik dan menghasilkan rasa nasi yang lebih enak. Di pasar dikenal beras dengan kualitas super, medium dan biasa, dimana yang paling mahal adalah beras dengan
kualitas super. Beras juga dapat dibedakan dari merek yang dipasarkan, karena merek sebagai simbol dapat mencerminkan identitas jenis produk dalam hal ini beras. Identifikasi melalui merek hanya bisa dilakukan apabila beras sudah dikemas dan diberi label. Beberapa merek beras yang banyak beredar dan diminati oleh masyarakat diantaranya; IR-64, Setra Ramos, Cianjur, Rojolele dan Pandan Wangi. Beras dapat pula dibedakan berdasarkan tekstur nasi yang dihasilkan antara lain pulen, sedang dan pera. Beras pulen biasanya dikonsumsi oleh masyarakat yang didominasi oleh suku Sunda sedangkan beras pera lebih disukai dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat yang berasal dari daerah Sumatera. Perbedaan preferensi tersebut disebabkan oleh latar belakang budaya dan etnis yang sudah terbentuk di dalam masyarakat (Lastry, 2006).
2.2
Konsumen Pengertian konsumen berdasarkan masyarakat awam sebagai orang yang
membeli dan mengkonsumsi barang dan jasa yang diproduksi dan dipasarkan oleh produsen untuk pemenuhan kebutuhan. Pemerintah Indonesia mendefinisikan konsumen secara spesifik di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 tahun 1999 sebagai setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia bagi masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga atau orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Menurut Sumarwan (2002) konsumen dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
1.
Konsumen akhir (final customer) adalah setiap rumah tangga atau individu yang membeli produk atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau dikonsumsi langsung.
2.
Konsumen
organisasi
(organizational
customer)
adalah
organisasi,
perusahaan, pedagang, pemerintah dan lembaga non profit yang membeli barang atau jasa untuk diproses lebih lanjut hingga menjadi produk akhir. Tipe konsumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsumen akhir (final customer).
2.3
Perilaku Konsumen Setiap konsumen memiliki perilaku yang berbeda dan selalu berubah dari
waktu ke waktu sesuai dengan proses pembelajaran yang mereka terima. Ada banyak hal yang dapat kita pelajari dan analisis dari perilaku konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Engel, Blackwell dan Miniard (1994) mendefinisikan perilaku konsumen sebagai tindakan yang langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi dan menghabiskan produk dan atau jasa termasuk proses keputusan yang mendahului dan menyusuli tindakan ini. Sumarwan (2002) menyimpulkan definisi dari perilaku konsumen adalah semua kegiatan, tindakan serta proses psikologis yang mendorong tindakan tersebut pada saat sebelum membeli, ketika membeli, menggunakan, menghabiskan produk dan jasa setelah melakukan hal- hal di atas atau kegiatan mengevaluasi. Teori perilaku konsumen mencoba menerangkan perilaku konsumen dalam membelanjakan pendapatannya untuk memperoleh alat-
alat pemuas kebutuhan yang dapat berupa barang-barang ataupun jasa-jasa konsumsi. Perilaku konsumen dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pengaruh lingkungan, perbedaan individu serta proses psikologis. Pengaruh lingkungan yang dimaksud antara lain budaya, kelas sosial, pengaruh pribadi, keluarga dan situasi. Selanjunya perbedaan individu terdiri dari sumberdaya konsumen, motivasi dan keterlibatan, pengetahuan, sikap, kepribadian dan gaya hidup serta demografi. Proses psikologis yang mempengaruhi dalam perilaku konsumen antara lain pengolahan informasi, pembelajaran, perubahan dan sikap atau perilaku. Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang terdiri dari beberapa tahap yaitu ; pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi alternatif, keputusan pembelian dan kepuasan terhadap hasil. Hubungan kausal antara perilaku konsumen dan faktor- faktor yang mempengaruhinya disajikan pada Gambar 1. Perbedaan Individu : • Sumberdaya Konsumen • Motivasi dan Keterlibatan • Pengetauan • Sikap • Kepribadian dan Gaya Hidup
Pengaruh Lingkungan : • Budaya • Kelas sosial • Keluarga • Pengaruh situasi
Proses keputusan : • Pengenalan kebutuhan • Pencarian informasi • Evaluasi Alternatif • Pembelian • Hasil
Proses Psikologis : • Pemrosesan informasi • Pembelajaran • Perubahan sikap
Gambar 1. Model Perilaku Pengambilan Keputusan Konsumen dan Faktorfaktor yangiMempengaruhinya Sumber : Engel et. al, 1994
2.4
Teori Permintaan Permintaan seseorang atau masyarakat terhadap suatu barang dipengaruhi
oleh banyak faktor. Diantara banyaknya faktor- faktor tersebut yang dianggap paling penting adalah sebagai berikut (Lipsey,1995) : 1. Harga barang itu sendiri 2. Harga barang lain yang berkaitan erat dengan barang tersebut 3. Pendapatan rumah tangga 4. Distribusi pendapatan dalam masyarakat 5. Citarasa masyarakat 6. Jumlah penduduk 7. Ramalan keadaan di masa mendatang Faktor-faktor tersebut akan sulit jika diteliti secara bersamaan. Oleh sebab itu, didalam analisa ekonomi dianggap permintaan suatu barang terutama dipengaruhi oleh harga barang itu sendiri dan dianggap faktor-faktor lain tidak berubah “cateris paribus”. Selanjutnya, kita bisa memisalkan harga adalah konstan kemudian menganalisa bagaimana permintaan suatu barang dipengaruhi oleh faktor lainnya. Berdasarkan inilah dapat diketahui bagaimana permintaan suatu barang akan berubah apabila pendapatan, harga barang lain, citarasa dan faktor lainnya mengalami perubahan. 1. Harga barang itu sendiri Hukum permintaan menjelaskan hubungan antara permintaan suatu barang dengan harganya. Hukum permintaan pada hakekatnya merupakan suatu hipotesa yang menyatakan “semakin rendah harga dari suatu barang, semakin banyak
permintaan terhadap barang tersebut, sebaliknya semakin tinggi harga suatu barang, semakin sedikit permintaan atas barang tersebut”. 2. Harga-harga barang lain Kaitan antara suatu barang dengan barang lain dapat dibedakan menjadi dua yaitu barang tersebut merupakan barang pengganti (subtitusi) atau barang tersebut merupakan barang pelengkap (komplementer). Barang pengganti ialah barang lain yang dapat menggantikan fungsi suatu barang, jika harga barang tersebut turun maka barang yang digantikannya akan mengalami penurunan di dalam permintaan. Barang pelengkap ialah barang yang jika digunakan bersamasama dengan barang lainnya maka akan menambah kepuasan penggunanya, kenaikan atau penurunan permintaan barang pelengkap selalu seiring dengan permintaan dari barang yang dilengkapinya. 3. Pendapatan rumah tangga Pendapatan rumah tangga merupakan faktor yang sangat penting di dalam menentukan corak permintaan terhadap berbagai jenis barang. Perubahan dalam pendapatan selalu menimbulkan perubahan ke atas permintaan suatu barang. Dengan pendapatan yang tinggi rumah tangga akan memiliki pilihan barang untuk dikonsumsi lebih banyak sehingga lebih leluasa memilih barang yang akan dikonsumsinya. 4. Distribusi pendapatan Distribusi pendapatan dalam masyarakat dapat mempengaruhi corak permintaan dari berbagai jenis barang. Sejumlah pendapatan masyarakat yang tertentu besarnya akan menimbulkan corak permintaan masyarakat yang berbeda apabila pendapatan tersebut diubah corak distribusinya. Hal ini berkaitan dengan
tingkatan kelas sosial masyarakat, golongan masyarakat kelas atas tentunya akan memiliki pola permintaan barang yang berbeda dengan golongan masyarakat kelas menengah dan bawah. 5. Citarasa masyarakat Citarasa mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap keinginan masyarakat untuk membeli barang-barang. Pendidikan merupakan salah satu indikator yang mempengaruhi citarasa seseorang, orang yang berpendidikan tinggi akan memiliki citarasa yang berbeda dengan orang yang berpendidikan rendah. Pendidikan bukan merupakan satu-satunya indikator yang mempengaruhi citarasa seseorang. Pekerjaan, umur, daerah tempat tinggal, anggota keluarga, etnis merupakan faktor- faktor lain yang dapat mempengaruhi citarasa seseorang. 6. Jumlah penduduk Pertambahan
penduduk
tidak
dengan
sendirinya
mnyebabkan
pertambahan permintaan. Akan tetapi, biasanya pertambahan penduduk diikuti oleh perkembangan dalam kesempatan kerja. Dengan demikian, lebih banyak orang yang menerima pendapatan dan akan menambah daya beli masyarakat. Penambahan daya beli ini akan menambah permintaan. 7. Ramalan keadaan di masa mendatang Perubahan-perubahan yang diramalkan mengenai keadaan masa yang akan datang dapat mempengaruhi permintaan. Ramalan para konsumen bahwa hargaharga akan menjadi bertambah tinggi di masa depan akan mendorong mereka membeli lebih banyak pada masa sekarang ini, untuk menghemat pengeluaran pada masa yang akan datang.
2.5
Pola Konsumsi Sebagai dasar dari model konsumsi adalah fungsi permintaan yang
diturunkan dari fungsi utilitas dengan pendapatan sebagai faktor pembatas. Selain itu permintaan setiap komoditi ditentukan oleh komoditi lain, sehingga terjadi kombinasi yang memberikan utilitas maksimal. Dengan demikian tingkah laku konsumen dapat diterangkan dengan pendekatan fungsi kepuasan (Bilas dalam Nurmansyah, 2006). Pendapat Lipsey et. al (1995) tentang konsumen yang dihadapkan pada pendapatan yang terbatas, konsumen tidak dapat membeli semua barang dan jasa yang diinginkan, akan tetapi berusaha untuk memaksimumkan kepuasaannya dari pemakaian barang dan jasa, kemudian konsumen akan mengubah pola pengeluaran dan menyesuaikannya sehingga akan memperoleh kepuasan maksimal atau konsumen berada pada keseimbangan. Tindakan menggunakan komoditi, baik barang maupun jasa untuk memuaskan kebutuhan menurut Lipsey et. al (1995) disebut konsumsi. Pola konsumsi merupakan refleksi dari kebiasaan makan suatu masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh budaya, termasuk pengetahuan dan sikap terhadap pangan (Departemen Pertanian, 1993). Menurut Pratiwi (2002), pola konsumsi masyarakat ditentukan oleh beberapa faktor, seperti kondisi geografi, agama, tingkat sosial ekonomi, pengetahuan akan pangan dan gizi, serta ketersediaan pangan. Menurut Kamus Istilah Ketahanan Pangan, pola konsumsi didefinisikan sebagai susunan makanan yang mencakup jenis dan jumlah bahan makanan ratarata per orang per hari yang umum dimakan/dikonsumsi penduduk dalam waktu tertentu. Secara khusus, pola konsumsi menunjukkkan bagaimana makanan
dikonsumsi, termasuk jumlah, jenis, keragaman dan frekuensi konsumsinya (Cameron and Stavern dalam Predesha, 2004). Berdasarkan beberapa pengertian teoritis, pola konsumsi pangan secara umum menggambarkan bagaimana sikap dan tingkah laku konsumen terhadap produk pangan itu sendiri. Pola konsumsi tercermin dari kualitas dan kuantitas produk yang dikonsumsi serta frekuensi yang terbentuk dari kebiasaan khususnya kebiasaan makan. Pola konsumsi pangan dapat diamati melalui frekuensi konsumsi, jumlah konsumsi, jenis pangan, frekuensi pembelian, jumlah setiap kali pembelian, dan tempat pembelian.
2.6
Konsumsi Rumah Tangga Pengertian rumah tangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang
mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik, dan biasanya mereka melakukan kegiatan konsumsi makan secara bersama-sama dalam satu dapur (BPS, 2006). Pola pengeluaran rumah tangga dapat digunakan sebagai indikator tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu daerah. Rumah tangga membayar pengeluaran terutama dari pendapatannya, dan besar pengeluaran konsumsi tersebut ditentukan oleh tingkat pendapatannya. Dalam melakukan konsumsi, rumah tangga akan memenuhi kebutuhan konsumsi yang paling mendesak terlebih dahulu yaitu kebutuhan pangan lalu sandang (pakaian) dan papan (tempat tinggal). Setelah ketiga kebutuhan tersebut terpenuhi, rumah tangga akan terus berusaha memuaskan kebutuhan lainnya, seperti sarana transportasi, sarana komunikasi sampai pemenuhan kebutuhan akan gaya hidup. Selain mengeluarkan pengeluaran
untuk bentuk-bentuk konsumsi diatas, biasanya rumah tangga melakukan saving (menabung) untuk cadangan dana kebutuhan yang tidak terduga. Pola pengeluaran rumah tangga secara garis besar dibagi menjadi dua bagian, yaitu penge luaran untuk makanan dan pengeluaran untuk bukan makanan. Tarik-menarik antara kedua bagian pengeluaran tersebut mencerminkan keadaan pendapatan masyarakat. Meningkatnya pendapatan masyarakat akan menurunkan proporsi pengeluaran makanan. Dengan kata lain, peningkatan pendapatan per kapita diharapkan dapat menurunkan proporsi pengeluaran makanan sehingga pengeluaran dapat beralih ke sektor bukan makanan, seperti sandang, papan, sarana transportasi, sarana komunikasi dan lainnya. Dengan meningkatnya proporsi pengeluaran untuk bukan makanan maka diharapkan kesejahteraan masyarakat meningkat. Telah disadari bahwa pertumbuhan tingkat pendapatan masyarakat yang merupakan akibat dari pertumbuhan ekonomi akan mempengaruhi tingkat pengeluaran. Di negara berkembang kenaikan pendapatan akan berpengaruh besar pada peningkatan konsumsi rumah tangga, terutama konsumsi pangan untuk memenuhi tingkat kecukupan gizi. Tingginya proporsi konsumsi makanan berkaitan erat dengan rendahnya persentase pembagian pendapatan yang diterima oleh sebagian besar masyarakat. Oleh karena itu, pola pengeluaran konsumsi rumah tangga suatu daerah merupakan salah satu indikator untuk menilai tingkat kesejahteraan masyarakat. Pada dasarnya setiap manusia untuk mempertahankan hidupnya akan mendahulukan kebutuhan-kebutuhan pokok seperti pangan, sandang dan papan. Setelah kebutuhan pokok terpenuhi, barulah kebutuhan lainnya akan dipenuhi
seperti kesehatan, pendidikan, rekreasi, pesta dan sebagainya. Apabila seseorang atau suatu rumah tangga berpenghasilan sangat rendah, maka hampir seluruh penghasilannya akan digunakan untuk menutup keperluan pangan saja. Keadaan ini akan berlainan sekali pada mereka yang mempunyai penghasilan tinggi, karena untuk memenuhi kebutuhan pangannya mereka hanya memerlukan sebagian kecil saja dari seluruh penghasilannya. Selain sudah tercukupi kebutuhan gizinya juga tercukupi kenikmatannya. Kelebihan dari penghasilannya digunakan untuk memenuhi keinginan yang lain termasuk pengeluaran yang bersifat mewah dan umumnya dalam porsi yang relatif besar. Hal ini sesuai dengan Hukum Engel yang
menyebutkan
bahwa
rumah
tangga
berpendapatan
rendah
akan
mengeluarkan sebagian besar pendapatannya untuk membeli kebutuhan pokok. Sebaliknya, rumah tangga dengan pendapatan tinggi hanya akan membelanjakan sebagian saja dari total pengeluaran untuk kebutuhan pokoknya. Makanan merupakan kebutuhan manusia untuk hidup sehingga sebesar apapun pendapatan seseorang ia akan tetap berusaha untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Seseorang atau rumah tangga akan terus menambah konsumsi makanannya sejalan dengan bertambahnya pendapatan, namun sampai batas tertentu penambahan pendapatan tidak lagi menyebabkan bertambahnya jumlah makanan yang dikonsumsi, karena pada dasarnya kebutuhan manusia akan mempunyai titik jenuh. Apabila neraca kuantitas kebutuhan pangan seseorang sudah terpenuhi maka lazimnya ia akan mementingkan kualitas atau beralih pada pemenuhan kebutuhan bukan makanan. Dengan demikian, ada kecenderungan semakin tinggi pendapatan seseorang semakin berkurang persentase pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan.
2.7
Kelas Sosial Kelas sosial adalah bentuk lain dari pengelompokan masyarakat ke dalam
kelas atau kelompok yang berbeda. Kelas sosial akan mempengaruhi jenis produk, jenis jasa, dan merek yang dikonsumsi konsumen. Menurut Sumarwan (2002) kelas sosial adalah pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas yang berbeda atau strata yang berbeda. Sedangkan Engel et. al (1994) mendefinisikan kelas sosial sebagai pengelompokan orang yang sama dalam perilaku mereka berdasarkan posisi ekonomi mereka di dalam pasar. Sistem kelas sosial menggolongkan keluarga atau rumah tangga, bukan konsumen sebagai individu karena semua anggota keluarga menggambarkan persamaan dalam nilai- nilai yang dianut, penggunaan pendapatan bersama dan daya beli yang sama. Kelas sosial akan mempengaruhi apa yang dibeli dan dikonsumsi oleh seorang konsumen atau sebuah keluarga. Bila suatu kelompok besar keluarga kira-kira sama dalam peringkat dan jelas berbeda dengan keluarga lain, maka mereka membentuk suatu kelas sosial. Stratifikasi kelas sosial yang terjadi di dalam masyarakat berguna untuk mengembangkan dan melestarikan identitas sosial kolektif di dalam dunia yang dicirikan oleh ketidaksamaan ekonomi yang mudah menyebar. Identitas sosial dicapai dengan menetapkan batas-batas interaksi di antara manusia dari status yang tidak sama. Engel et. al (1994) mengemukakan pendapat Gilbert dan Kahl bahwa ada sembilan variabel yang menentukan status atau kelas sosial seseorang, kesembilan variabel tersebut digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu sebagai berikut :
1. Variabel ekonomi. Pekerjaan, pendapatan dan kekayaan mempunyai kepentingan kritis karena apa yang orang kerjakan untuk nafkah tidak hanya untuk menentukan berapa banyak yang harus dibelanjakan oleh keluarga, tetapi juga sangat penting dalam menentukan kehormatan yang diberikan kepada anggota keluarga. Kekayaan biasanya adalah hasil dari akumulasi pendapatan masa lalu. Dalam bentuk tertentu seperti pemilikan perusahaan atau saham dan obligasi, kekayaan adalah sumber pendapatan masa datang yang memungkinkan keluarga mempertahankan kelas sosialnya dari generasi ke generasi. 2. Variabel interaksi. Prestise pribadi, asosiasi, dan sosialisasi adalah inti dari kelas sosial. Prestise pribadi adalah sentimen di dalam pikiran orang yang mungkin tidak selalu mengetahui bahwa hal itu ada di sana. Seseorang yang mempunyai prestise lebih tinggi apabila orang lain menghormati mereka. Asosiasi adalah variabel yang berkenaan dengan hubungan sehari- hari. Seseorang mempunyai hubungan sosial yang erat dengan orang yang suka mengerjakan hal- hal yang sama seperti yang mereka kerjakan, dengan cara yang sama dan dengan siapa mereka merasa senang. Sosialisasi adalah proses dimana
individu
belajar
keterampilan,
sikap
dan
kebiasaan
untuk
berpartisipasi di dalam kehidupan komunitas bersangkutan. Penelitianpenelitian sosiologis menyimpulkan bahwa perilaku dan nilai- nilai kelas sosial dipelajari secara dini di dalam siklus kehidupan. 3. Variabel politik. Kekuasaan, kesadaran kelas dan mobilitas adalah penting untuk mengerti aspek politik dari sistem stratifikasi. Kekuasaan adalah potensi individu atau kelompok untuk menjalankan kehendak mereka atas
orang lain. Kesadaran kelas mengacu pada tingkat dimana orang di dalam suatu kelas sosial sadar akan diri mereka sebagai kelompok tersendiri dengan kepentingan politik dan ekonomi bersama. Mobilitas dan suksesi adalah konsep kembar yang berhubungan dengan stabilitas atau instabilitas sistem stratifikasi. Suksesi mengacu kepada proses anak-anak yang mewarisi posisi kelas orang tua mereka. Mobilitas mengacu pada proses pergerakan naik atau turun yang berhubungan dengan orang tua mereka. Apabila mobilitas naik terjadi, ada kemungkinan konsumen akan belajar seperangkat perilaku konsumsi yang baru meliputi produk dan merek yang konsisten dengan status baru mereka. Tahap selanjutnya yang perlu diketahui adalah apa saja yang dapat menentukan kelas dan status sosial seseorang atau keluarga dalam sebuah sistem sosial. Berdasarkan penelitian diperoleh bahwa keluarga dimana seseorang dibesarkan adalah faktor penting dalam menentukan status sosial. Berikut ini akan dijabarkan faktor- faktor yang menentukan kelas dan status sosial seseorang di masyarakat menurut Sumarwan (2002), yaitu : 1. Pekerjaan.
Analisis
konsumen
mempertimbangkan
pekerjaan
sebagai
indikator tunggal terbaik mengenai kelas sosial. Pekerjaan yang dilakukan oleh konsumen sangat mempengaruhi gaya hidup mereka dan merupakan satu-satunya basis terpenting untuk menyampaikan prestise, kehormatan dan respek. 2. Prestasi pribadi. Status seseorang dapat dipengaruhi oleh keberhasilannya yang berhubungan dengan status orang lain di dalam pekerjaan yang sama oleh prestasi pribadi individu. Prestasi pribadi juga melibatkan kegiatan selain
pengejaran yang berhubungan dengan pekerjaan. Walaupun pendapatan bukanlah indikator yang baik untuk keseluruhan kelas sosial, pendapatan dapat berfungsi sebagai ukuran prestasi pribadi di dalam suatu pekerjaan. 3. Pemilikan. Pemilikan adalah simbol keanggotaan kelas, tidak hanya jumlah pemilikan tetapi sifat pilihan yang dibuat. Keputusan pemilikan terpenting yang mencerminkan kelas sosial suatu keluarga adalah pilihan dimana untuk tinggal. Hal ini mencakup jenis rumah dan lingkungan tetangga. Produk dan merek kerap berusaha agar ditempatkan sebagai simbol status, yaitu sebagai produk yang digunakan oleh kelas menengah atau kelas atas. 4. Interaksi. Analisis interaksi sosial menyatakan seseorang akan merasa senang apabila mereka berada bersama dengan orang lain yang memiliki nilai dan perilaku yang sama. Keanggotaan kelompok dan interaksi dianggap sebagai determinan utama dari kelas sosial seseorang. 5. Kesadaran kelas. Kelas sosial seseorang ditunjukkan sampai jangkauan tertentu dengan seberapa sadar orang tersebut akan kelas sosial di dalam suatu masyarakat. Individu yang sadar akan perbedaan kelas lebih mungkin berasal dari kelas yang lebih tinggi, walaupun individu dari kelas sosial yang lebih rendah mungkin lebih sadar akan realitas kelas sosial secara keseluruhan. 6. Orientasi nilai. Nilai adalah kepercayaan bersama mengenai bagaimana orang harus berperilaku sehingga akan menunjukkan kelas sosial dimana seseorang termasuk didalamnya. Ketika sekelompok orang berbagi seperangkat keyakinan bersama yang abstrak yang mengorganisasi dan menghubungkan banyak sifat spesifik, adalah mungkin untuk menggolongkan individu di dalam kelompok dengan tingkat dimana ia memiliki nilai tersebut.
Menurut Sumarwan (2002), masyarakat Indonesia secara tidak disadari sering mengelompokan masyarakat ke dalam beberapa kelas, misalnya kelas bawah, kelas menengah, dan kelas atas. Tiga kelas tersebut yang paling banyak disajikan di dalam berbagai media. Namun, sampai saat ini belum ada studi yang mendalam apa kriteria bagi ketiga kelas tersebut. Kelas sosial sebenarnya menggambarkan suatu konsep yang kontinus, yaitu suatu penggolongan kelas dari yang paling rendah sampai yang paling atas. Engel et. al (1994) mengelompokkan konsumen menjadi enam kelas sosial, yaitu : atas-atas, atas-bawah, menengahatas, menengah-bawah, bawah-atas dan bawah-bawah. Untuk memudahkan penelitian, pembagian kelas tersebut disederhanakan menjadi beberapa strata, yaitu kelas bawah, kelas menengah dan kelas atas.
2.8
Hasil Pene litian Terdahulu Perilaku konsumen terhadap produk dan jasa selalu berkembang sehingga
telah banyak dilakukan penelitian sebelumnya antara lain oleh Suryana (2003), Pradesha (2004) dan Lastry (2006). Suryana (2003) melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen dalam proses keputusan pembelian beras domestik dan impor di Kecamatan Bojong Tengah berdasarkan kelas sosial. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi konsumen dalam pembelian beras domestik dan impor. Konsumen dibagi ke dalam tiga kelas sosial yaitu kelas atas, menengah dan bawah. Pengolahan data dengan analisis faktor menghasilkan bahwa terdapat tiga komponen utama yang dipertimbangkan konsumen pada setiap kelas dalam memutuskan untuk membeli
beras dan mengkonsumsi beras domestik dan impor. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan kelas sosial mengakibatkan perbedaan perilaku konsumen dalam hal preferensi, cara berpikir, dan pengambilan keputusan. Hasil penelitian menunjukkan variabel yang mempengaruhi responden kelas bawah dalam memutuskan untuk membeli beras adalah keragaman jenis beras di toko, perolehan informasi dari penjual, dapat membeli dengan cara berhutang, lokasi penjual dan daya tahan beras. Variabel yang dominan pada kelas menengah adalah rasa beras, kepulenan beras, daya tahan beras dan kenyamanan lokasi pembelian. Sedangkan variabel yang mempengaruhi konsumen kelas atas yaitu beragam jenis beras yang dijual, pengetahuan tentang beras, kemasan beras, iklan beras dan keutuhan butir beras. Pradesha (2004) melakukan penelitian mengenai perubahan pola konsumsi beras rumah tangga setelah dihapuskannya tunjangan beras secara natura pada konsumen pegawai negeri sipil Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian. Berdasarkan surat keputusan (SK) Presiden No. 9 tahun 1982 diberlakukan tunjangan beras secara natura yang diperuntukan bagi PNS dan TNI/Polri. Pada tahun anggaran 2000, kebijakan tersebut diganti menjadi kebijakan dalam bentuk uang. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perubahan pola konsumsi beras akibat terjadinya perubahan kebijakan tersebut. Pola konsumsi beras dilihat dari frekuensi konsumsi, jumlah konsumsi beras, kualitas beras, frekuensi dan lokasi tempat pembelian beras. Hasil analisis menunjukkan bahwa penghapusan kebijakan tunjangan beras dalam bentuk natura secara keseluruhan tidak mengubah seluruh pola konsumsi beras rumah tangga PNS. Perubahan pola konsumsi beras hanya terjadi
pada variabel tempat pembelian dan jenis beras yang dikonsumsi. Setelah diberlakukannya kebijakan tersebut jenis beras yang dikonsumsi menjadi lebih baik.
Perubahan
tunjangan
dalam
bentuk
beras
menjadi
bentuk
uang
menyebabkan rumah tangga lebih leluasa memilih jenis beras yang dikonsumsi yang dalam hal ini mencerminkan kualitas. Perubahan tempat pembelian terjadi pada setiap golongan PNS, khususnya pada golongan III dimana rumah tangga yang membeli beras di supermarket meningkat. Variabel lain seperti jumlah konsumsi, frekuensi pembelian dan frekuensi konsumsi tidak mengalami perubahan secara umum. Dari segi kuantitas konsumen tetap mempertahankan jumlah konsumsinya walaupun ada sebagian rumah tangga yang mengurangi jumlah konsumsi terhadap beras. Lastry (2006) meneliti mengenai pola konsumsi beras rumah tangga di kota Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pola konsumsi beras rumah tangga di kota Bogor dan faktor- faktor yang mempengaruhi jumlah pembelian dan sediaan beras minimum pada rumah tangga di kota Bogor. Rumah tangga dikelompokkan menjadi tiga tipe berdasarkan kelas sosial, yaitu rumah tangga kelas bawah, rumah tangga kelas menengah dan rumah tangga kelas atas. Hasil
penelitian
dengan
menggunakan
statistik
uji
MANOVA
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pola konsumsi beras pada tiga tipe rumah tangga dalam hal frekuensi dan jumlah konsumsi beras, frekuensi dan jumlah pembelian beras, lokasi pembelian, dan jumlah sediaan minimum. Frekuensi konsumsi beras tertinggi ada pada rumah tangga kelas bawah dan jumlah konsumsi beras terendah pada kelas menengah. Rumah tangga kelas bawah menempati urutan tertinggi dalam frekuensi pembelian beras dan berada pada
urutan terakhir untuk jumlah pembelian beras. Variabel yang berpengaruh secara nyata terhadap jumlah pembelian beras adalah frekuensi pembelian, jumlah anggota rumah tangga dan pendapatan. Lokasi pembelian beras dipengaruhi oleh gaya hidup masing- masing tipe rumah tangga. Dan untuk jumlah sediaan minimum dipengaruhi oleh frekuensi pembelian dan pendapatan. Berdasarkan penelitian-penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa konsumen dapat digolongkan atas beberapa kelas sosial. Pengelompokan konsumen menjadi beberapa kelas sosial mempengaruhi sikap serta keputusan konsumen dalam mengkonsumsi beras. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu penulis ingin mengetahui apakah faktor-faktor yang mempengaruhi pola konsumsi beras pada penelitian di atas juga mempengaruhi pola konsumsi beras pada rumah tangga dalam bentuk mengurangi konsumsi atau tetap mengkonsumsi atau mengganti dengan jenis pangan lain setelah terjadi lonjakan harga beras. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu yaitu dalam penelitian ini peneliti akan menganalisis dampak kenaikan harga beras yang terjadi di Indonesia terhadap pola konsumsi beras pada rumah tangga dan faktorfaktor apa saja yang dapat mempengaruhi perubahan pola konsumsi beras rumah tangga tersebut.
2.9
Kerangka Pemikiran Operasional Beras merupakan komoditi pangan utama sebagian besar masyarakat
Indonesia. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sejak dulu dan hingga nanti pun manusia memerlukan makanan untuk bertahan hidup. Bagi masyarakat dengan pangan utama beras, biasanya belum merasa puas apabila belum mengkonsumsi
beras (nasi) sehingga hal tersebut secara nyata akan meningkatkan permintaan terhadap beras. Tingginya tingkat konsumsi beras per kapita dan laju pertumbuhan penduduk yang naik setiap tahunnya akan menyebabkan ketergantungan beras yang cukup besar. Kebutuhan konsumsi beras di Indonesia yang cukup besar dapat dipenuhi dengan cara memproduksi sendiri ataupun mengimpor beras dari pasar internasional. Peningkatan produksi beras nasional yang lebih kecil dibandingkan dengan peningkatan laju pertumbuhan penduduk setiap tahunnya disebabkan oleh laju peningkatan produktivitas usaha tani padi yang semakin kecil karena perkembangan teknologi produksi padi telah mengalami kejenuhan, keterbatasan anggaran pemerintah sehingga tidak mampu melakukan perluasan areal irigasi dan pemberian subsidi input produksi kepada petani, serta konversi lahan pertanian terutama di Pulau Jawa ke penggunaan non sawah. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan peningkatan produktivitas padi yang cukup rendah. Sehingga ketersediaan beras nasional tidak dapat mencukupi kebutuhan konsumsinya. Faktor lainnya yang menyebabkan terjadinya defisit untuk konsumsi beras pada tahun 2006 dan 2007 yaitu musim kemarau yang panjang sehingga menyebabkan musim tanam padi yang biasanya dimulai Oktober menjadi mundur dan pada akhirnya panen raya yang diprediksi dapat menutupi kebutuhan beras tertunda. Permintaan beras yang cukup tinggi tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah sehingga terjadi kelangkaan beras di pasar. Dan pada akhirnya harga beras menjadi tinggi karena permintaan akan beras tidak dapat dipenuhi oleh persediaan beras nasional.
Konsumen beras terdiri dari individu, usaha jasa dan industri pengolahan. Beras dikonsumsi langsung dalam bentuk nasi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Kegiatan konsumsi dilakukan di dalam dan di luar rumah. Konsumsi di dalam rumah tangga lebih besar dibandingkan konsumsi di luar rumah, karena adanya kebiasaan makan di dalam rumah oleh sebagian masyarakat. Sedangkan konsumsi di luar rumah seperti konsumsi di restoran lebih sedikit dan jarang dilakukan oleh masyarakat. Oleh karena itu, penelitian ini difokuskan untuk konsumsi beras di dalam rumah tangga saja. Rumah tangga sebagai suatu unit konsumen yang membutuhkan berbagai produk dan jasa berasal dari latar belakang sosial dan ekonomi yang berbeda. Secara umum semua rumah tangga membutuhkan pangan khususnya beras baik kualitas maupun kuantitas berdasarkan karakteristik dan sumberdaya yang mereka miliki. Hasil penelitian sebelumnya menyatakan bahwa rumah tangga sebagai pengguna beras dalam pemenuhannya dikelompokkan berdasarkan karakteristik dan sumberdaya yang dimilikinya. Salah satu variabel yang menentukan pengelompokkan konsumen menjadi beberapa kelas yaitu variabel kelas sosial. Berdasarkan kelas sosial, konsumen rumah tangga dikelompokkan menjadi tiga kelas yaitu rumah tangga kelas bawah, rumah tangga kelas menengah dan rumah tangga kelas atas. Pada penelitian ini, konsumen diasumsikan adalah rumah tangga yang mengkonsumsi beras dan telah melalui tahap proses keputusan pembelian serta memiliki perbedaan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi keputusannya. Sehingga penelitian ini akan menganalisis perubahan pola konsumsi rumah tangga setelah harga beras mengalami peningkatan dan apakah keanekaragaman
karakteristik dan sumberdaya yang diwakili oleh kelas sosial mempengaruhi sikap dan perilaku konsumen dalam mengkonsumsi beras. Jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor internal dan eksternal. Kedua faktor tersebut secara simultan akan berpengaruh terhadap preferensi seseorang atau rumah tangga dalam menentukan pilihan bahan pangan yang dikonsumsi. Faktor internal berupa keadaan fisiologi tubuh, umur serta tingkat aktivitas berperan dalam menent ukan konsumsi pangan. Sedangkan faktor eksternal yang tidak kurang peranannya terhadap pola konsumsi pangan adalah produksi pangan, daya jangkau, daya beli, dan faktor sosial budaya yang berlaku di masyarakat (Departemen Pertanian dalam Pradesha, 2004). Pola konsumsi secara khusus menunjukkan bagaimana makanan dikonsumsi, termasuk jumlah, jenis, keragaman, dan frekuensi konsumsinya (Cameron dan Stavern dalam Pradesha, 2004). Berdasarkan pengertian di atas, maka perubahan pola konsumsi beras pada rumah tangga dapat dianalisis melalui variabel- variabel diantaranya frekuensi konsumsi, jumlah konsumsi, jenis beras, frekuensi dan jumlah pembelian, tempat pembelian serta jenis pangan lainnya apabila konsumen tidak lagi menjadikan beras sebagai makanan pokoknya. Pembentukan pola konsumsi beras pada rumah tangga dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan pengaruh yang berasal dari rumah tangga yaitu pendapatan rumah tangga, jumlah konsumsi beras, jumlah pembelian beras dan kelas sosial. Faktor eksternal adalah pengaruh yang berasal dari luar lingkungan rumah tangga, yaitu harga beras.
Setelah harga beras mengalami peningkatan, perubahan pola konsumsi beras rumah tangga dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yang membentuk pola konsumsi beras. Secara skematik kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 2. Berdasarkan kerangka pemikiran operasional maka dapat diturunkan hipotesis sebagai berikut : 1.
Terjadinya perubahan pola konsumsi terlihat dari jenis dan kualitas beras yang semakin rendah dan frekuensi pembelian beras yang cenderung berubah. Pada frekuensi dan jumlah konsumsi beras, jumlah pembelian dan tempat pembelian beras tidak berubah setelah harga beras mengalami kenaikan.
2.
Perubahan pola konsumsi beras dipengaruhi oleh pendapatan rumah tangga, jumlah konsumsi, jumlah pembelian, kelas sosial serta harga beras itu sendiri. • Jumlah penduduk yang meningkat setiap tahun • Permintaan beras nasional tinggi
Peningkatan produksi beras yang lebih kecil dibanding kenaikan jumlah penduduk
Persediaan beras tidak mencukupi Terjadi kelangkaan beras di pasar
Kenaikan harga beras Faktor internal : • Pendapatan rumah tangga • Jumlah konsumsi beras • Jumlah pembelian beras • Kelas Sosial
Faktor eksternal : • Harga beras
Perubahan Pola Konsumsi rumah tangga: • Frekuensi Konsumsi Beras • Jumlah Konsumsi Beras • Jenis dan kualitas beras • Frekuensi Pembelian Beras • Jumlah Pembelian beras • Tempat Pembelian Beras
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional
III. METODE PENELITIAN
3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di kotamadya Jakarta Timur dengan pertimbangan
bahwa Jakarta Timur merupakan salah satu kotamadya DKI Jakarta dan di daerah ini terdapat Pasar Induk Cipinang yang merupakan pasar penjualan beras terbesar di Jakarta. Pertimbangan lainnya bahwa Jakarta Timur memiliki populasi penduduk yang paling besar dan beraneka ragam dalam hal kelas sosialnya dan memperoleh beras melalui proses pembelian. Lokasi konsumen yang dijadikan responden adalah empat kawasan perumahan karena terdiri dari rumah tangga dengan ciri-ciri yang cenderung homogen sehingga perilaku yang terbentuk serupa. Pemilihan lokasi perumahan dilakukan secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan perumahan yang dipilih dapat mewakili masing- masing kelas sosial. Kegiatan pengumpulan data dilaksanakan bulan April sampai dengan Juni 2007.
3.2
Jenis Dan Sumber Data Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan hasil wawancara yang dilengkapi dengan kuesioner kepada responden. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai sumber literatur yang terkait dengan topik penelitian, dari perpustakaan Fakultas Pertanian, perpustakaan pusat IPB, Departemen Pertanian,
Biro Pusat Statistik serta literatur dan informasi data dari instansi- instansi terkait lainnya.
3.3
Metode Pengumpulan Data Data primer diperoleh melalui metode wawancara yang dilengkapi dengan
kuisioner yang telah disiapkan. Pengambilan data dilakukan dengan cara door to door untuk memudahkan peneliti dalam menentukan responden yang sesuai dengan kriteria dan membimbing responden dalam pengisian kuisioner. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara membaca beberapa sumber pustaka yang berhubungan dengan data yang dibutuhkan baik berupa jurnal maupun buku yang dikeluarkan lembaga bersangkutan.
3.4
Metode Pengambilan Sampel Metode pengambilan sampel dilakukan dengan teknik Stratified Random
Sampling, yaitu sampel diambil acak berdasarkan pada kelas sosial rumah tangga di masyarakat (Nazir, 1988). Unit sampel dalam penelitian ini adalah rumah tangga yang berada pada empat perumahan di kawasan Jakarta Timur. Rumah tangga dikelompokkan berdasarkan kelas sosialnya di masyarakat karena kelas sosial akan mempengaruhi apa yang dibeli dan dikonsumsi oleh suatu rumah tangga. Pendekatan yang digunakan dalam pengambilan sampel didasarkan pada lingkungan fisik daerah tempat tinggal responden karena dapat mencerminkan kelas sosial seseorang yang diukur dari pendapatan melalui pendekatan pengeluaran. Kemudian, secara acak ditentukan komplek perumahan yang rumah tangganya dipertimbangkan dapat mewakili masing- masing kelas sosial.
Pembagian wilayah tersebut berdasarkan pada jumlah pengeluaran rumah tangga per bulan dengan melakukan pendekatan terhadap lingkunga n fisik daerah tempat tinggal. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik tahun 2005 dalam Lastry (2006), untuk melakukan Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) digunakan pendekatan pengkelasan dengan menetapkan tiga kelas sosial berdasarkan jumlah pengeluaran untuk masyarakat perkotaaan. Rumah tangga kelas bawah memiliki selang pengeluaran kurang dari Rp777.000, rumah tangga kelas menengah dengan total pengeluaran pada selang Rp777.000 - Rp1.442.000, sedangkan rumah tangga kelas atas dengan pengeluaran lebih dari Rp1.442.000. Unit analisis rumah tangga dapat dibagi berdasarkan selang pengeluaran tersebut dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga di daerah perkotaan adalah empat orang. Untuk memudahkan peneliti digunakan selang pengeluaran per bulan kurang dari Rp800.000 untuk rumah tangga kelas bawah, Rp800.000 – Rp1.400.000 untuk kelas menengah, dan lebih dari Rp1.400.000 untuk rumah tangga kelas atas. Pengambilan sampel dilakukan di empat perumahan yang berada di kawasan Jakarta Timur dengan pembagian berdasarkan tingkat pengeluaran diatas yang diperoleh melalui pendekatan lingkungan fisik daerah tempat tinggal. Lokasi perumahan yang terletak tidak jauh dari Pasar Induk Beras Cipinang juga menjadi pertimbangan dalam penentuan komplek perumahan yang akan dijadikan sampel. Rumah tangga kelas atas diambil dari perumahan Cipinang Indah karena lokasi tersebut dianggap sesuai dan dikategorikan sebagai perumahan mewah. Jarak antara komplek dengan pasar induk juga tidak jauh, kira-kira sekitar 3 kilometer.
Rumah tangga disimpulkan dapat memperoleh beras dengan mudah. Perumahan berupa komplek dengan tipe rumah diatas 70, tertata baik dan dilengkapi dengan sarana olahraga dan keamanan yang cukup baik. Komplek dihubungkan dengan jalan yang bisa dilewati kendaraan roda empat. Rumah tangga kelas menengah diambil dari perumahan Cipinang Elok dan Cipinang Jaya dengan tipe rumah antara 36-70, tertata baik dan dilengkapi dengan fasilitas jalan yang baik. Perumahan dan fasilitas pendukung yang tersedia sudah cukup baik tetapi tidak semewah kelas atas. Lokasi perumahan juga dekat dengan Pasar Induk Cipinang, jarak yang harus ditempuh kira-kira 2 km. Sedangkan rumah tangga kelas bawah diambil dari pemukiman penduduk di kawasan Gang Swadaya, Cipinang dengan tipe rumah ya ng tidak seragam, tidak tertata baik, kecil dan berdesakan. Fasilitas jalan kurang baik seperti jalan tidak beraspal dan tidak dapat dilalui kendaraan roda empat karena merupakan gang yang sempit. Fasilitas umum seperti mesjid dan warung yang tersedia sangat sederhana. Jarak antara pemukiman dan pasar induk juga tidak jauh, kira-kira 1,5 km. Responden yang dipilih adalah ibu rumah tangga, dengan pertimbangan bahwa ibu rumah tangga memiliki peranan besar dalam pengambilan keputusan produk yang akan dibeli oleh sebuah rumah tangga khususnya produk yang akan dikonsumsi oleh semua anggota rumah tangga. Pada penelitian ini digunakan 100 responden yang dipilih secara acak dan diperoleh melalui hasil perhitungan dengan rumus Slovin, dimana jumlah rumah tangga di Jakarta Timur sebesar 613.484 dengan nilai kritis yang digunakan adalah 10 persen (Umar, 2002). Penentuan jumlah sampel tersebut disajikan sebagai berikut :
n=
N 1+ Ne2
dimana : N = ukuran populasi n = ukuran sampel e = persen kelonggaran Jumlah sampel tersebut dibagi menjadi tiga kelas dengan proporsi 4 : 4 : 2 sehingga jumlah sampel untuk masing- masing kelas sosial sebesar 40 responden untuk rumah tangga kelas bawah, 40 responden untuk rumah tangga kelas menengah dan 20 responden untuk rumah tangga kelas atas. Pembagian proporsi ini didasarkan pada standar yang digunakan Bank Dunia pada tahun 1998 untuk suatu kepentingan ilmiah dalam pengelompokan kelas sosial di masyarakat berdasarkan piramida penduduk (Umar, 2002).
3.5
Metode Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah dikumpulkan diedit terlebih dahulu sebelum diolah
dengan maksud memeriksa kelengkapan data. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif disajikan dalam uraian atau deskriptif, sedangkan data kuantitatif akan disajikan dalam bentuk tabulasi. Penelitian ini dianalisis menggunakan metode analisis deskriptif, uji chi-square dan model regresi logit.
3.5.1 Metode Analisis Deskriptif Menurut Nazir (1998), ana lisis deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Analisis deskriptif
digunakan untuk mengetahui karakteristik setiap variabel dalam sampel. Analisis tabulasi silang ‘cross tabulation’ adalah metode paling sederhana tetapi memiliki daya menerangkan yang cukup kuat untuk menjelaskan hubungan antar variabel. Analisis ini digunakan untuk menganalisa data yang bersifat kualitatif dan informasi lain yang relevan dengan tujuan penelitian. Metode ini digunakan untuk mendapatkan gambaran menyeluruh mengenai karakteristik umum responden dan dampak kenaikan harga beras terhadap pola konsumsi beras berdasarkan hasil perolehan kuisioner. Selain itu, analisis deskriptif juga digunakan menjelaskan faktor- faktor yang mempengaruhi perubahan pola konsumsi beras yang tidak dianalisa secara statistik inferensia.
3.5.2 Uji Chi-Square Untuk melihat perubahan yang terjadi pada pola konsumsi beras rumah tangga dibuat bentuk tabulasi sederhana yang kemudian dideskripsikan. Adapun alat untuk menguji ada tidaknya perubahan pola konsumsi beras tersebut digunakan analisa uji statistik non parametrik, yaitu Chi-Square. Uji ini merupakan teknik statistik unt uk menguji hubungan dua variabel kategori. Nilai yang diharapkan dari frekuensi dihitung dengan menggunakan data dalam tabel kontingensi (Nazir, 1988). Adapun hipotesis yang digunakan dalam pengujiannya adalah : H0 = Kedua variabel tidak berhubungan H1 = Kedua variabel berhubungan secara nyata
X2=
fo − fh fh
dimana : X2 = Chi-square fo = Frekuensi yang diobservasi (diperoleh dari hasil kuesioner) fh = Frekuensi yang diharapkan Jika : 1. X2 hitung < X2tabel maka terima H0, artinya tidak terjadi perubahan pola konsumsi beras setelah kenaikan harga beras pada derajat bebas tertentu. 2. X2 hitung > X2tabel maka tolak H0, artinya terjadi perubahan pola konsumsi beras setelah kenaikan harga beras pada derajat bebas tertentu. Menurut Walpole (1993), untuk melakukan uji chi-square harus memenuhi persyaratan sebegai berikut : 1. Jumlah sampel tidak kurang dari 20 2. Frekuensi yang diharapkan (fh ) minimum harus bernilai lima dalam setiap sel. Untuk sel yang frekuensi harapannya kurang dari lima tidak lebih banyak dari 20 persen. Jika syarat ini tidak terpenuhi, beberapa kolom atau baris perlu digabung. 3. Apabila X2 memiliki derajat bebas kurang dari 30 dan frekuensi harapan minimum 2 atau lebih maka penggunaan tabel-tabel X2 telah memadai.
3.5.3 Model Regresi Logit Model regresi logit digunakan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan yang terjadi pada pola konsumsi beras rumah tangga. Hosmer and Lemeshow (1989) menyebutkan model regresi logit merupakan persamaan matematik yang menggambarkan hubungan antar variabel tak bebas dengan sejumlah variabel bebas. Adapun variabel tak bebas dalam
regresi logistik ini bersifat biner/dikotomi yakni memiliki nilai yang diskontinu 1 atau 0. Dalam penelitian ini, rumah tangga dibagi berdasarkan perubahan pola konsumsi beras rumah tangganya, yang dilihat dari perubahan frekuensi dan jumlah konsumsi, perubahan jenis beras, perubahan frekuensi dan jumlah pembelian serta perubahan tempat pembelian beras. Perubahan yang terjadi pada pola konsumsi beras rumah tangga sebagai variabel tidak bebas dipengaruhi oleh beberapa variabel bebas yaitu jumlah anggota keluarga, pendapatan rumah tangga per bulan, frekuensi konsumsi beras per hari, harga beras, tempat pembelian beras dan kelas sosial responden. Model matematisnya adalah sebagai berikut : Y = g(x) = b0 + b1 X1 + ... + bp Xp
Nilai variabel tak bebas bersifat dikotomi : Y = 1, jika terjadi perubahan pola konsumsi beras Y = 0, jika tidak terjadi perubahan pola konsumsi beras Nilai harapan (Y|X) dinyatakan dalam peluang, diperoleh dari : E(YIX)
= P(X) =
e g(x) 1 + e g(x)
Model regresi logistiknya : g ( x ) = ln
P(x) 1 − P (x )
= b0 + b1Yrt + b2Jmlh Kons + b3 Jmlh Pemb + b4 Pberas + b5 D1 + b6 D2
dimana : g(x)
b0
= Peluang perubahan pola konsumsi beras rumah tangga Y = 1 (Berubah) Y = 0 (Tidak berubah) = Intersep
b1 -b6 Yrt Jmlh Kons Jmlh Pemb Pberas D
= Koefisien variabel bebas = Pendapatan rumah tangga (Rp/bulan) = Jumlah konsumsi beras rumah tangga per bulan (kg) = Jumlas pembelian beras per frekuensi pembelian (kg) = Harga beras (Rp/kg) = Dummy kelas sosial D1 =1 → kelas menengah ; D1 = 0 → kelas sosial lainnya D2 =1 → kelas atas ; D2 = 0 → kelas sosial lainnya
Nilai Odds Ratio Nilai odd ratio ini digunakan untuk melihat melihat hubungan antara variabel bebas dan tak bebas yang didapat dari perhitungan eksponensial dari koefisien estimasi (bi) atau exp (bi). Odd ratio menunjukkan perbandingan peluang Y =1 (bila terjadi perubahan pola konsumsi beras rumah tangga) dengan Y = 0 (bila tidak terjadi perubahan pola konsumsi beras rumah tangga) dengan dipengaruhi oleh variabel bebas tertentu. p(X) atau P(Xi) atau exp (bi) Oddratio(? ) = 1 − p(X) 1 − P(Xi)
Uji Rasio Likelihood Uji rasio Likelihood digunakan untuk melihat spesifikasi dan kesesuaian model pada regresi logistik dengan cara membandingkan nilai Ghitung dengan nilai chi-square pada tabel. G hitung = 2{nilai log likelihood − [n1 Ln(n1 ) + n0 Ln(n0 ) − nLn(n) )]}
dimana : Ghitung log likelihood n1 n0 n
= nilai rasio likelihood = nilai likelihood model tanpa variabel tak bebas = jumlah sampel yang termasuk dalam kategori P(Y=1|X) = jumlah sampel yang termasuk dalam kategori P(Y=0|X) = total jumlah sampel
3.6
Definisi Operasional Konsep yang digunakan dalam penelitian ini secara operasional
didefinisikan sebagai berikut : 1. Responden adalah ibu rumah tangga yang mengkonsumsi beras sebagai makanan pokoknya. 2. Frekuensi konsumsi beras adalah berapa kali dalam sehari reponden mengkonsumsi beras, dan dibagi atas tiga selang yaitu satu kali, dua kali dan tiga kali. 3. Jumlah konsumsi beras adalah jumlah beras yang dikonsumsi oleh rumah tangga per hari dalam kilogram. Pada penelitian ini jumlah konsumsi dibagi atas tiga selang yaitu < 1 kg, 1-2 kg dan > 2 kg. 4. Jenis beras adalah varietas atau nama merek beras dalam kemasan yang ada di pasar. Jenis beras berdasarkan mereknya lebih sering digunakan responden untuk membedakan beras-beras tersebut. Pada penelitian ini diasumsikan beras jenis Pandan Wangi memiliki kualitas yang paling baik, Rojolele, Cianjur, Setra Ramos dan beras jenis IR-64 secara berurutan masing- masing beras tersebut diurutkan dari kualitas baik ke rendah. 5. Frekuensi pembelian beras adalah berapa kali dalam sebulan responden membeli beras untuk kebutuhan konsumsi rumah tangganya. Frekuensi pembelian dikelompokkan dan berdasarkan hasil penelitian diperoleh lima bagian, yaitu satu kali, dua kali, tiga kali, empat kali dan 30 kali. 6. Jumlah pembelian beras adalah jumlah beras yang dibeli oleh rumah tangga setiap kali membeli beras (satu kali pembelian). Pada penelitian ini jumlah pembelian dibagi atas empat selang yaitu < 1 kg, 1-5 kg, 5-20 kg dan > 20 kg.
7. Tempat pembelian beras adalah lokasi dimana responden melakukan pembelian beras untuk konsumsinya. Terdapat tiga tempat yang biasanya dikunjungi oleh responden untuk melakukan pembelian beras yaitu pasar, warung dan supermarket. 8. Pendapatan rumah tangga adalah total penerimaan yang diperoleh rumah tangga baik dari suami, istri ataupun anggota rumah tangga yang telah bekerja, dalam kurun waktu satu bulan dan dinyatakan dalam rupiah. 9. Harga beras adalah harga tertinggi setiap kilogram yang dibayar ibu rumah tangga atau kepala rumah tangga pada pembelian rata-rata dan dinyatakan dalam rupiah. Harga beras mulai mengalami kenaikan pada November 2006 dan harga beras tertinggi terjadi pada bulan Februari dan Maret 2007. 10. Kelas sosial adalah pembagian dalam masyarakat yang terdiri dari individuindividu dengan nilai minat, dan perilaku yang sama. Faktor ini dilihat dari latar belakang pendidikan dan pekerjaan responden serta pendapatan per bulan. 11. Keluarga adalah kelompok yang terdiri dari dua atau lebih orang yang berhubungan melalui darah, perkawinan, atau adopsi dan tinggal bersama.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Gambaran Umum
4.1.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian Jakarta Timur terletak diantara 1060 49'35'' Bujur Timur dan 060 10'37'' Lintang Selatan. dengan ketinggian rata-rata 50 meter dari permukaan laut. Jakarta Timur mempunyai luas wilayah dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : 1. Selatan : Kabupaten Daerah Tk.II Bogor 2. Timur : Kabupaten Daerah Tk.II Bekasi 3. Utara
: Jakarta Pusat dan Jakarta Utara
4. Barat
: Jakarta Selatan
Wilayah Jakarta Timur dibagi menjadi 10 kecamatan yaitu Kecamatan Matraman, Kecamatan Jatinegara, Kecamatan Pasar Rebo, Kecamatan Kramat Jati, Kecamatan Pulo Gadung, Kecamatan Cakung, Kecamatan Ciracas, Kecamatan Cipayung, Kecamatan Makasar dan Kecamatan Duren Sawit. Dari sepuluh kecamatan tersebut dapat dibagi menjadi 65 kelurahan, 673 Rukun Warga dan 7.513 Rukun Tetangga dengan kepadatan penduduk mencapai 2.393.788 jiwa dan terdiri dari 613.484 rumah tangga (BPS, 2006). Menurut data BPS, jumlah penduduk Jakarta Timur pada tahun 2005 adalah sebesar 2.393.788 jiwa yang terdiri dari 1.199.152 jiwa laki- laki (50 persen) dan 1.194.636 jiwa perempuan (50 persen). Berdasarkan jumlah tersebut dapat dilihat bahwa rasio antara penduduk laki- laki dan perempuan di Jakarta Timur seimbang. Sex Ratio penduduk Jakarta Timur adalah sebesar 1,003 yang
artinya, setiap 1003 penduduk laki- laki berbanding dengan 1000 orang penduduk perempuan. Tabel 6 menunjukkan proporsi jumlah penduduk DKI Jakarta. Tabel 6. Jumlah Penduduk DKI Jakarta Tahun 2005 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kotamadya Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara TOTAL
Laki-Laki (jiwa) 11.664 1.002.152 1.199.152 422.668 1.158.072 709.648 4.503.356
Perempuan (jiwa) 10.448 993.062 1.194.636 438.843 1.164.160 737080 4.538.229
Jumlah (jiwa) 22.112 1.995.214 2.393.788 861.511 2.322.232 1.446.728 9.041.585
Sumber : BPS, 2005
4.1.2 Gambaran Umum Responden Responden dalam penelitian ini berjumlah 100 orang dan seluruhnya adalah ibu rumah tangga, yang terdiri dari ibu rumah tangga yang bekerja dan ibu rumah tangga yang tidak bekerja. Karakteristik responden yang dianalisis meliputi usia, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan jumlah pendapatan rumah tangga. 4.1.2.1 Responden Rumah Tangga Kelas Bawah Responden kelas bawah terdiri dari kelompok usia antara 23-55 tahun dengan proporsi 2,5 persen responden adalah ibu rumah tangga dengan usia antara 15-24 tahun; 30 persen adalah usia antara 25-34 tahun; 35 persen adalah usia antara 34-44 tahun; 27,5 persen
adalah usia antara 45-54 tahun dan sisanya
sebesar 5 persen adalah usia lebih dari 55 tahun. Rata-rata jumlah anggota keluarga pada rumah tangga kelas bawah adalah 5,275 dengan jumlah anggota keluarga paling sedikit 3 orang dan paling banyak 10 orang dalam satu rumah. Jumlah anggota keluarga yang cukup besar disebabkan rata-rata satu rumah tangga memiliki tiga orang anak. Penyebab lain yaitu keadaan ekonomi yang
kurang baik menyebabkan terdapat rumah yang dihuni oleh dua keluarga sekaligus untuk mengurangi pengeluaran tempat tinggal. Tingkat pendidikan responden kelas bawah hampir sebagian besar (45%) adalah ibu rumah tangga berpendidikan SLTA dan merupakan tingkat pendidikan tertinggi yang dimiliki responden, sedangkan sisanya ibu rumah tangga dengan pendidikan terakhir SD dan SLTP. Tingkat pendidikan yang rendah dan ketrampilan yang kurang memadai berdampak pada pekerjaan responden. Sebagian besar (87,5%) responden hanya sebagai ibu rumah tangga saja karena ketrampilan yang terbatas sehingga tidak mampu bersaing untuk memperoleh pekerjaan dengan tenaga kerja yang lain. Sisanya (12,5%) bekerja sebagai pedagang dan buruh pabrik. Pendapatan rumah tangga sebagian besar hanya berasal dari kepala rumah tangga saja. Hasil wawancara menyebutkan pekerjaan kepala rumah tangga umumnya adalah buruh pabrik, supir, pekerja bangunan dan pedagang. Pendapatan yang diperoleh tidak menentu dan sebagian besar bersifat harian dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp 20.000 sampai dengan Rp 50.000 per hari. Tingkat pendapatan rumah tangga kelas bawah berkisar antara Rp 500.000 sampai dengan Rp 2.000.000 per bulan. 4.1.2.2 Responden Rumah Tangga Kelas Menengah Karakteristik reponden kelas menengah lebih beragam karena berada diantara kelas bawah dan kelas atas sehingga karakteristiknya merupakan peralihan dari kelas bawah ke kelas atas. Responden kelas menengah terdiri dari kelompok usia antara 25-60 tahun dengan proporsi yang seimbang. Rata-rata jumlah anggota keluarga lebih sedikit dibandingkan kelas bawah yaitu sebesar
5,425. Setiap satu rumah tangga dihuni oleh satu keluarga dengan jumlah anggota keluarga sebagian besar (72,5%) berkisar antara 4 - 6 orang terdiri dari 2 - 4 orang anak dan sebagian rumah tangga memiliki satu orang pembantu rumah tangga. Responden kelas menengah memiliki tingkat pendidikan yang cukup baik dibandingkan dengan responden kelas bawah. Sebagian besar (55%) responden berpendidikan SLTA dan jenjang pendidikan tertinggi yang telah dicapai responden yaitu pascasarjana. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelas menengah responden telah memiliki kesadaran akan pentingnya pendid ikan. Tingkat pendidikan yang tinggi diduga menyebabkan 57,5 persen responden adalah ibu rumah tangga yang bekerja untuk meningkatkan perekonomian rumah tangga. Jenis pekerjaan yang dilakukan adalah pegawai negeri (22,5%), pegawai swasta (12,5%) dan wiraswasta (22,5%). Semakin banyak orang yang bekerja dalam satu rumah tangga maka semakin tinggi pula pendapatan rumah tangga yang diperoleh. Tingkat pendapatan responden kelas menengah berkisar antara Rp 2.000.000 sampai dengan Rp 5.000.000 setiap bulannya. 4.1.2.3 Responden Rumah Tangga Kelas Atas Responden kelas atas terdiri atas kelompok usia antara 25-60 tahun dengan usia terbanyak antara 35-44 tahun yaitu sebesar 40 persen. Rata-rata jumlah anggota keluarga pada kelas ini cukup besar yaitu 5,5. Hal ini disebabkan anggota rumah tangga kelas atas terdiri dari keluarga inti termasuk pembantu. Rumah tangga responden rata-rata memiliki satu orang pembantu namun ada juga yang memiliki lebih dari satu orang. Responden kelas atas sebagian besar (50%) sudah menempuh jenjang pendidikan sarjana yang menunjukkan pentingnya pendidikan pada golongan ini.
Namun 40 persen responden tidak bekerja dan hanya berperan sebagai ibu rumah tangga saja, hal ini diduga karena jumlah pendapatan yang diperoleh oleh kepala keluarga sudah cukup besar. Sisanya bekerja sebagai pegawai swasta (20%) dan wiraswasta (40%). Tingkat pendapatan yang dihasilkan pada golongan ini lebih besar dari Rp 5.000.000 per bulan. Karakteristik responden rumah tangga masingmasing kelas sosial disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Karakteristik Umum Responden Berdasarkan Kelas Sosial Karakteristik Responden
Kelas Bawah
Kelas Menengah
Kelas Atas
Total
jumlah
%
jumlah
%
jumlah
%
Jumlah
%
Usia 15-24 tahun 25-34 tahun 35-44 tahun 45-54 tahun > 55 tahun Anggota Keluarga
1 12 14 11 2
2,5 30 35 27,5 5
0 12 9 14 5
0 30 22,5 35 12,5
0 6 8 4 2
0 30 40 20 10
1 30 31 29 9
1 30 31 29 9
3 orang 4 orang 5 orang 6 orang 7 orang 8 orang 10 orang Rata-rata
1 16 13 4 1 1 4 5,3
2,5 40 32,5 10 2,5 2,5 10
0 4 8 8 13 3 3 1 5,4
10 20 20 32,5 7,5 7,5 2,5
0 4 7 5 3 1 0 5,5
0 20 35 25 15 5 0
5 28 28 22 7 5 5 5,38
5 28 28 22 7 5 5
11 11 18 0 0 0
27,5 27,5 45 0 0 0
0 0 22 11 6 1
0 0 55 27,5 15 2,5
0 0 4 6 8 2
0 0 20 30 40 10
11 11 44 17 14 3
11 11 44 17 14 3
33 0 2 5
82,5 0 5 12,5
17 9 5 9
42,5 22,5 12,5 22,5
8 0 4 8
40 0 20 40
58 9 11 22
58 9 11 22
31 9 0 0 0
77,5 22,5 0 0 0
0 0 26 14 0
0 0 65 35 0
0 0 0 0 20
0 0 0 0 100
31 9 26 14 20
Pendidikan SD SLTP SLTA Diploma Sarjana Pasca Sarjana Pekerjaan00 Ibu Rumah Tangga Pegawai Negeri Pegawai Swasta Wiraswasta Pendapatan RT/bulan 500.000 - 1.000.000 1.000.000 - 2.000.000 2.000.000 - 3.000.000 3.000.000 - 5.000.000 Lebih 5.000.000
31 9 26 14 20
4.2
Analisis Perubahan Pola Konsumsi Beras Hasil penelitian diperoleh rata-rata harga beras setelah kenaikan
berdasarkan kelas sosial mencapai Rp 8.000,00 per kg untuk responden kelas atas, Rp 6.385,00 untuk responden kelas menengah dan Rp 4.838,00 untuk responden kelas atas. Harga beras yang tinggi ini menyebabkan sebagian besar responden akan mengubah pola konsumsinya, baik dalam frekuensi, jumlah, tempat maupun jenis beras yang dikonsumsinya. Tabel 8 menyajikan rata-rata harga beras pada saat harga normal dan harga tertinggi. Tabel 8. Rata-rata Harga Beras yang dibeli Responden Berdasarkan Kelas Sosial (Rp/kg) Kelas Sosial
Harga Normal
Harga Tertinggi
Kelas Bawah
2.788,00
4.838,00
Kelas Menengah
4.365,00
6.385,00
Kelas Atas
5.975,00
8.000,00
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 63 persen dari seluruh responden mengalami perubahan pada pola konsumsi mereka. Perubahan tersebut terlihat dari penurunan kualitas dari beras yang dikonsumsi (30%), mengurangi konsumsi beras (8%) dan perubahan dalam frekuensi pembelian beras (25%). Untuk perubahan dalam jenis makanan pokok, seluruh responden menyatakan tidak akan mengganti beras sebagai makanan pokok. Mereka merasa belum ada bahan pangan yang dapat menggantikan fungsi beras seutuhnya sebagai makanan pokok. Responden yang tidak mengalami perubahan pada pola konsumsi beras setelah kenaikan harga beras sebesar 37 persen. Persentase perubahan pola konsumsi beras rumah tangga selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Persentase Perubahan Pola Konsumsi Rumah Tangga Setelah Kenaikan Harga Beras Perubahan Pola Konsumsi Berubah • Menurunkan kualitas beras yang dikonsumsi • Mengurangi konsumsi beras • Perubahan dalam Frekuensi Pembelian • Mengganti pangan pokok Tidak berubah Total
Kelas Bawah 70
Kelas Sosial Kelas Kelas Menengah Atas 78 5
Total 63
34
37
0
30
6 30 0 30 100
12 29 0 22 100
0 5 0 95 100
8 25 0 37 100
Keterangan : Jawaban boleh lebih dari satu
Perubahan kua litas beras yang dikonsumsi oleh responden dilihat pada jenis berasnya. Responden menurunkan kualitas dari beras yang dikonsumsinya karena tingginya harga beras yang biasanya mereka konsumsi. Agar pengeluaran untuk beras tetap maka responden menurunkan kua litas beras yang dikonsumsinya dengan kata lain responden membeli beras dengan harga yang sama seperti sebelum kenaikan harga beras atau pun dengan harga yang lebih rendah. Perubahan jenis beras tidak terjadi pada responden kelas atas, dimana pada kelas ini responden memiliki daya beli yang tinggi sehingga kenaikan harga beras tidak akan mengubah jenis beras yang mereka konsumsi. Perubahan
jumlah
konsumsi
beras
dengan
mengurangi
jumlah
konsumsinya hanya sebesar delapan persen dari keseluruhan responden. Sisanya, 88 persen responden tidak mau mengurangi konsumsi berasnya walaupun harga beras melambung tinggi. Hal ini disebabkan beras merupakan makanan pokok dan belum ada yang dapat menggantikannya. Perubahan dalam frekuensi pembelian banyak terjadi pada responden kelas bawah. Sebesar 30 persen responden mengalami perubahan frekuensi pembelian beras. Keterbatasan dalam sumberdaya ekonomi menyebabkan
kenaikan harga beras sangat berdampak negatif terhadap pemenuhan kebutuhan konsumsi beras mereka. Harga beras yang tinggi menyebabkan responden pada kelas ini lebih sering melakukan pembelian beras dibandingkan dengan responden kelas atas dan menengah. Frekuensi pembelian yang lebih sering ini disebabkan responden hanya mampu membeli beras untuk kebutuhan satu hari saja dan juga disesuaikan dengan pendapatan yang diperoleh oleh rumah tangga tersebut. Terdapat 37 persen dari keseluruhan responden yang tidak mengalami perubahan pola konsumsi berasnya. Proporsi terbesar pada responden kelas atas yaitu sebesar 95 persen. Responden ini memiliki daya beli yang tinggi sehingga dengan terjadinya kenaikan harga beras tidak akan mempengaruhi pola konsumsi beras mereka. Pada responden kelas bawah, 30 persen responden tidak mengalami perubahan pola konsumsi beras, hal ini disebabkan karena beras yang mereka konsumsi adalah beras dengan kualitas terendah dan jumlah konsumsi beras tidak dapat dikurangi lagi. Analisis perubahan pola konsumsi beras rumah tangga di Jakarta Timur akibat kenaikan harga beras dilakukan dengan membandingkan pola konsumsi sebelum dan sesudah kenaikan harga beras. Adapun variabel penyusun pola konsumsi diantaranya adalah frekuensi konsumsi beras per hari, jumlah konsumsi beras per hari, jenis/kualitas beras, frekuensi pembelian beras per bulan, jumlah pembelian beras per frekuensi pembelian dan tempat pembelian beras.
4.2.1 Frekuensi Konsumsi Pada Tabel 10 menunjukkan bahwa perubahan frekuensi konsumsi setelah kenaikan harga beras pada kelas bawah tampak dengan berkurangnya jumlah
rumah tangga yang mengkonsumsi beras tiga kali sehari dan muncul responden yang mengkonsumsi beras satu kali sehari, serta diikuti dengan meningkatnya responden yang mengkonsumsi beras dua kali sehari. Responden kelas bawah cenderung mengkonsumsi beras lebih sering dibandingkan dengan responden kelas menengah dan atas. Sebelum harga beras naik, 60 persen dari responden kelas bawah mengkonsumsi beras tiga kali sehari. Hal ini menunjukkan bahwa rumah tangga kelas bawah masih bergantung pada beras sebagai sumber karbohidrat. Setelah harga beras naik, muncul responden dari kelas bawah yang mengkonsumsi beras satu kali sehari. Responden kelas bawah mengurangi frekuensi konsumsi berasnya karena tidak mampu untuk membeli beras kualitas rendah dalam jumlah yang sama seperti sebelum harga beras naik. Tabel 10. Perubahan Frekuensi Konsumsi Beras (per hari) Frekuensi Konsumsi 1 kali 2 kali 3 kali
Kelas Bawah Sebelum
0 16 24
Setelah
1 17 22
Kelas Sosial Kelas Menengah Sebelum
9 21 10
Setelah
8 22 10
Total
Kelas Atas Sebelum
1 14 5
Setelah
1 15 4
Sebelum
10 51 39
Setelah
10 54 36
Secara keseluruhan perubahan frekuensi konsumsi beras terlihat dengan adanya penurunan jumlah responden yang mengkonsumsi beras tiga kali sehari sebesar tiga persen dan diikuti dengan peningkatan jumlah responden yang mengkonsumsi beras dua kali sehari. Perubahan frekuensi konsumsi beras setelah kenaikan harga beras secara statistik tidak terlihat secara nyata, hal ini ditunjukkan oleh uji Chi-Square yang menghasilkan nilai ?-value lebih besar dari nilai a (0,05). Dapat disimpulkan bahwa kenaikan harga beras tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap frekuensi konsumsi beras.
Frekuensi konsumsi beras cenderung lebih sering dilakukan pada rumah tangga kelas bawah karena responden pada kelas ini jarang atau tidak sama sekali mengkonsumsi jenis pangan pokok lain sebagai pengganti beras karena keterbatasan sumberdaya ekonomi yang dimilikinya. Pada rumah tangga kelas menengah dan atas, responden telah melakukan penganekaragaman pangan sehingga frekuensi konsumsi berasnya lebih sedikit dibandingkan kelas bawah. Berdasarkan hasil penelitian, rumah tangga kelas bawah pada umumnya mengkonsumsi mie instan dan roti sebagai pangan alternatif pengganti beras, karena harga kedua jenis pangan ini terjangkau. Responden kelas menengah dan atas juga telah melakukan penganekaragaman jenis pangan, responden pada kelas ini mengkonsumsi jenis pangan yang lebih beragam seperti mie instan, roti, sereal dan kentang. Harga sereal dan kentang yang lebih mahal dibandingkan roti dan mie instan menyebabkan hanya respoden dengan daya beli tinggi yang mampu mengkonsumsinya. Tabel 11 menunjukkan perubahan konsumsi jenis pangan lain. Peningkatan konsumsi mie instan pada responden kelas bawah disebabkan karena mie instan dapat dikonsumsi sebagai pengganti beras dan juga pengganti sayur. Harganya yang terjangkau menyebabkan responden memilih untuk meningkatkan konsumsi mie instan dan mengurangi konsumsi beras karena harga beras yang tinggi. Tetapi, seluruh responden menyatakan bahwa mie instan tidak dapat menggantikan beras sebagai pangan pokok. Responden tetap akan mengkonsumsi beras sebagai makanan pokoknya walaupun harganya tinggi. Secara keseluruhan, terjadi penurunan dari jumlah responden yang mengkonsumsi roti (16%) dan
sereal (4%), namun terjadi peningkatan jumlah responden yang mengkonsumsi mie instan sebesar 10 persen. Tabel 11. Perubahan Jumlah Responden yang Mengkonsumsi Pangan Lain Jenis Pangan Lain
Mie Instan Roti Sereal Kentang
Kelas Sosial Kelas Menengah
Kelas Bawah
Total
Kelas Atas
Sebelum
Setelah
Sebelum
Setelah
Sebelum
Setelah
Sebelum
Setelah
34 17 0 0
40 10 0 0
31 29 4 10
35 20 0 10
10 18 10 12
10 18 10 12
75 64 14 22
85 48 10 22
Keterangan : Jawaban boleh lebih dari satu
Perubahan jumlah responden yang mengkonsumsi jenis pangan lain setelah kenaikan harga beras dianalisis dengan menggunakan uji Chi-Square. Hasil dari uji ini diperoleh bahwa perubahan jumlah responden yang mengkonsumsi jenis pangan lain setelah kenaikan harga beras tidak terlihat secara nyata. Hal ini ditunjukkan dengan nilai ?-value lebih besar dari nilai a (0,05). Dapat disimpulkan bahwa kenaikan harga beras tidak berdampak secara signifikan terhadap jumlah responden yang mengkonsumsi jenis pangan lain selain beras.
4.2.2
Jumlah Konsumsi Beras Tabel 12 menyajikan perubahan jumlah konsumsi beras sebelum dan
setelah kenaikan harga beras. Responden tidak dapat menyebutkan secara pasti jumlah konsumsi berasnya per hari sehingga peneliti menggunakan selang jumlah konsumsi beras untuk membantu responden. Secara keseluruhan, diperoleh peningkatan jumlah responden yang mengkonsumsi beras kurang dari 1 kilogram (4%) dan penurunan konsumsi beras 1 -2 kg dan lebih dari 2 kg masing- masing sebesar dua persen. Penurunan jumlah konsumsi beras terjadi pada responden kelas bawah dan menengah. Hal ini diduga disebabkan oleh keterbatasan sumber
daya ekonomi yang dimiliki oleh rumah tangga kelas bawah sehingga responden memutuskan untuk mengurangi konsusmi beras. Untuk rumah tangga kelas menengah, penurunan jumlah konsumsi beras disebabkan reponden ingin menjaga kesehatan sehingga mengurangi konsumsi beras. Tabel 12. Perubahan Jumlah Konsumsi Beras per hari Jumlah Konsumsi < 1 kg 1-2 kg > 2 kg
Kelas Bawah Sebelum
20 15 5
Setelah
23 12 5
Kelas Sosial Kelas Menengah Sebelum
19 19 2
Setelah
20 20 0
Total
Kelas Atas Sebelum
8 10 2
Setelah
8 10 2
Sebelum
47 44 9
Setelah
51 42 7
Perubahan jumlah konsumsi beras setelah kenaikan harga beras dianalisis dengan menggunakan uji Chi-Square. Hasil dari uji ini diperoleh bahwa perubahan jumlah konsumi beras per hari setelah kenaikan harga beras tidak terlihat secara nyata. Hal ini ditunjukkan dengan nilai ?-value lebih besar dari nilai a (0,05). Dapat disimpulkan bahwa kenaikan harga beras tidak berdampak secara signifikan terhadap jumlah konsumsi beras per hari rumah tangga responden.
4.2.3
Jenis Beras Perubahan jenis beras yang dikonsumsi rumah tangga pada setiap kelas
sosial disajikan pada Tabel 13. Pada rumah tangga kelas bawah terdapat peningkatan responden yang mengkonsumsi beras jenis IR-64 dan penurunan pada responden yang mengkonsumsi beras jenis Setra Ramos dan Rojolele. Hal ini diduga karena ketidakmampuan responden kelas bawah untuk membeli jenis beras yang biasa mereka konsumsi, sehingga mereka memutuskan untuk mengkonsumsi beras berkualitas rendah dengan harga yang lebih murah.
Responden kelas bawah juga memiliki keterbatasan untuk memutuskan jenis beras yang akan mereka konsumsi karena jenis beras yang tersedia di warung (tempat yang paling sering dituju responden kelas bawah untuk membeli beras) tidak beragam, hanya terdapat dua sampai tiga jenis beras saja yaitu beras dengan merek dagang IR-64, Setra Ramos, dan Rojolele. Selain itu, keterbatasan sumberdaya ekonomi yang mereka miliki menyebabkan responden pada kelas ini lebih mengutamakan harga beli sebagai kriteria utama dalam memutuskan jenis beras yang akan dikonsumsi. Tabel 13. Perubahan Jenis Beras yang Dikonsumsi Jenis Beras
Kelas Sosial Total Kelas Bawah Sebelum
Setelah
Kelas Menengah Sebelum
Setelah
Kelas Atas Sebelum
Setelah
Sebelum
Setelah
IR-64
24
33
2
4
0
0
26
37
Setra Ramos
9
5
4
14
2
2
15
21
Cianjur
1
1
4
8
0
0
5
9
Rojolele
6
1
20
10
5
5
31
16
Pandan Wangi
0
0
10
4
13
13
23
17
Responden kelas menengah dan atas memiliki pengetahuan dan kemampuan yang lebih baik untuk memutuskan jenis beras yang akan dikonsumsi sehingga jenis beras yang dikonsumsi pun beragam. Setelah harga beras naik, terdapat perubahan jenis beras yang dikonsumsi responden kelas menengah. Mereka menurunkan kualitas beras karena harga beras yang biasa dikonsumsi terlampau tinggi. Responden pada kelas ini memutuskan untuk beralih dan membeli beras dengan kualitas yang lebih rendah dan harga terjangkau agar pengeluaran untuk makanan khususnya beras tetap sama seperti sebelum harga beras naik. Pada Tabel 13, penurunan kualitas beras yang dikonsumsi terjadi
untuk beras jenis Rojolele dan Pandan Wangi yaitu sebesar 25 persen dan 15 persen, diikuti dengan peningkatan responden yang mengkonsumsi beras IR-64, Setara Ramos dan Cianjur masing- masing sebesar lima persen, 25 persen dan 10 persen. Pada responden kelas atas tidak terjadi perubahan pada jenis beras yang dikonsumsi karena responden lebih mengutamakan rasa dan kualitas dari beras yang akan mereka konsumsi. Secara keseluruhan peningkatan untuk responden yang mengkonsumsi beras jenis IR-64, Setra Ramos dan Cianjur masing- masing sebesar 11 persen, enam persen dan empat persen. Diikuti dengan penurunan untuk konsumsi beras jenis Rojolele dan Pandan Wangi masing- masing sebesar 15 persen dan 6 persen. Perubahan jenis beras yang dikonsumsi responden setelah kenaikan harga beras terlihat secara nyata, hal ini ditunjukkan melalui uji Chi-Square. Hasil uji diperoleh bahwa nilai ?-value lebih kecil dari nilai a (0,05). Dapat disimpulkan bahwa kenaikan harga beras berdampak signifikan terhadap pemilihan jenis beras yang dikonsumsi. Perubahan yang nyata pada keputusan jenis beras yang dikonsumsi ini diakibatkan oleh berbagai faktor yang dapat dijelaskan melalui hasil analisis regresi logistik pada Tabel 14 dan secara keseluruhan model tersebut dapat dikatakan cukup baik. Hasil pendugaan dengan model regresi logit diperoleh nilai log-likelihood sebesar -59,226 nilai G sebesar 11,037 signifikan pada a = 0,004 yang artinya terdapat paling sedikit satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap perubahan kualitas beras yang dikonsumsi. Hasil pendugaan dengan model regresi logistik selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5.
Tabel 14. Hasil Analisis Regresi Logit Perubahan Jenis Beras yang Dikonsumsi Predictor
Coef
Constant 0,742036 Yrt -0,0000003 Jmlh Konsumsi -0,0148480 Variabel Value Count Y 1 35 (event) 0 65 Total 100
SE Coef 0,627336 0,0000001 0,0162922
Z
P
Odds Ratio
1,18 0,237 -2,75 0,006* 1,00 -0,91 0,362 0,99 Log-Likelihood = -59,226 G = 11,037; DF = 2; P-Value = 0,004
Variabel pendapatan rumah tangga (Yrt) berpengaruh nyata dalam model regresi logit tersebut pada taraf nyata a (0,05) dengan arah negatif yang menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan yang diperoleh rumah tangga maka rumah tangga tersebut cenderung untuk tidak mengubah mengubah pola konsumsinya dalam hal ini menurunkan kualitas beras yang dikonsumsi. Berdasarkan nilai odds ratio pendapatan rumah tangga sebesar 1,00 disimpulkan bahwa semakin tinggi pendapatan rumah tangga maka peluang perubahan jenis beras yang dikonsumsi rumah tangga lebih besar 1,00 kali daripada peluang untuk tidak berubah. Semakin tinggi pendapatan rumah tangga maka peluang rumah tangga untuk mengubah jenis berasnya sebanding (sama besar) dengan peluang rumah tangga untuk tidak mengubah jenis berasnya. Kondisi ini menggambarkan kenyataan dimana rumah tangga dengan pendapatan yang tinggi tidak perlu khawatir akan kenaikan harga beras, karena mereka memiliki daya beli yang tinggi dan lebih mengutamakan rasa serta kualitas dari beras yang akan dikonsumsi. Dengan demikian, rumah tangga dengan pendapatan tinggi cenderung untuk tidak menurunkan kualitas berasnya. Variabel jumlah konsumsi beras rumah tangga per bulan tidak berpengaruh nyata pada α (0,05) dengan nilai koefisien negatif. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin besar jumlah beras yang dikonsumsi maka perubahan jenis beras oleh rumah tangga cenderung kecil. Nilai odds ratio sebesar 0,99 menunjukkan bahwa semakin besar jumlah konsumsi beras maka peluang perubahan jenis beras rumah tangga lebih besar 0,99 kali dibandingkan peluang untuk tidak berubah. Semakin besar jumlah konsumsi beras rumah tangga maka semakin rendah peluang perubahan jenis beras yang dikonsumsi.
4.2.4
Frekuensi Pembelian Beras Perubahan frekuensi pembelian beras dapat dilihat pada Tabel 15.
Responden kelas bawah lebih sering melakukan pembelian beras dibandingkan dengan kelas sosial yang lain. Hal ini disebabkan perilaku pembelian responden yang membeli beras dalam jumlah sedikit karena rendahnya daya beli yang mereka miliki. Setelah harga beras mengalami kenaikan, frekuensi pembelian beras oleh responden kelas bawah sebanyak satu kali dalam sebulan mengalami penurunan sebesar 15 persen sedangkan responden yang membeli beras setiap hari mengalami kenaikan sebesar 17,5 persen. Hal ini diduga disebabkan harga beras yang terlalu tinggi sehingga responden kelas bawah tidak dapat membeli beras dalam jumlah besar dan lebih memilih untuk membeli beras secara eceran. Peningkatan frekuensi pembelian satu kali dalam sebulan terjadi pada responden kelas menengah dan atas masing- masing sebesar 10 persen dan lima persen. Hal ini diduga dilakukan karena responden khawatir harga beras akan semakin tinggi di masa yang akan datang. Sehingga untuk mengurangi resiko kenaikan harga beras, responden lebih memilih membeli beras dalam jumlah besar untuk mencukupi kebutuhannya selama satu bulan.
Tabel 15. Perubahan Frekuensi Pembelian Beras per Bulan Kelas Sosial
Frekuensi Pembelian Beras
Sebelum
1 kali 2 kali 3 kali 4 kali 30 kali
11 7 1 5 16
Kelas Bawah Setelah
5 2 3 7 23
Kelas Menengah Sebelum
22 11 3 0 4
Setelah
26 2 6 2 4
Total Kelas Atas Sebelum
Setelah
13 7 0 0 0
14 6 0 0 0
Sebelum
46 25 4 5 20
Setelah
45 10 9 9 27
Secara keseluruhan, perubahan frekuensi pembelian beras sebanyak tiga kali, empat kali dan 30 kali dalam sebulan meningkat sebesar lima persen, empat persen dan tujuh persen, diikuti dengan berkurangnya jumlah responden yang membeli beras 1 kali dan 2 kali dalam sebulan yaitu sebesar satu persen dan 15 persen. Setelah kenaikan harga beras perubahan frekuensi pembelian beras terlihat nyata, hal ini ditunjukkan dari nilai ?-value yang diperoleh melalui uji Chi-Square yaitu 0,032 lebih kecil dari nilai a (0,05). Dapat disimpulkan bahwa kenaikan harga beras berdampak signifikan terhadap frekuensi pembelian beras. Perubahan yang nyata pada frekuensi pembelian beras per bulan ini diakibatkan oleh berbagai faktor yang dapat dijelaskan melalui persamaan logistik (Tabel 16). Hasil pendugaan terhadap fungsi peluang logit dengan variabelvariabel bebas menghasilkan nilai log-likelihood sebesar -55,220 dengan nilai statistik G sebesar 11,732 yang signifikan pada a = 0,019. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan model tersebut cukup baik, artinya terdapat paling sedikit satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap perubahan frekuensi pembelian beras per bulan rumah tangga di Jakarta Timur. Tabel 16 menunjukkan variabel- variabel yang mempengaruhi perubahan frekuensi pembelian beras yaitu harga beras, jumlah pembelian beras per frekuensi dan dummy kelas sosial. Hasil pendugaan peluang dengan regresi logit
diperoleh variabel yang signifikan pada a (0,05) yaitu dummy kelas sosial, sedangkan harga beras dan jumlah pembelian tidak signifikan. Tabel 16. Hasil Analisis Regresi Logit Perubahan Frekuensi Pembelian per bulan Predictor Constant Pberas Jmlh Pembelian D1 (kelas bawah) D2 (kelas menengah) Variabel Value Count Y 1 30 0 70 Total 100
Coef -6,59576 0,000519 -0,02052 3,57767 3,23507 (event)
SE Coef 3,52004 0,0004182 0,0203152 1,75302 1,31532
Z
P
Odds Ratio
-1,87 0,061 1,24 0,215 -1,01 0,312 2,04 0,041* 2,46 0,014* Log-Likelihood = -55,220 G = 11,732; DF = 4; P-Value = 0,019
1,00 0,98 35,79 25,41
Variabel harga beras tidak signifikan pada taraf nyata α (0,05) dengan nilai koefisien positif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi harga beras maka perubahan frekuensi pembelian beras akan meningkat. Berdasarkan nilai odds ratio harga beras sebesar 1,00 disimpulkan bahwa dengan meningkatnya harga beras maka peluang terjadinya perubahan frekuensi pembelian beras pada rumah tangga lebih besar 1,00 kali dibandingkan peluang rumah tangga untuk tidak berubah. Hal ini menggambarkan kenyataan dimana ketika harga beras meningkat maka akan terjadi perubahan pada frekuensi pembelian beras oleh rumah tangga. Kondisi ini berlaku pada rumah tangga kelas bawah dan menengah, sedangkan rumah tangga kelas atas dengan pendapatan dan daya beli yang tinggi perubahan tidak terlalu signifikan. Responden kelas menengah khawatir jika di kemudian hari harga beras akan semakin tinggi, sehingga rumah tangga pada kelas ini mengurangi frekuensi pembelian berasnya per bulan. Pembelian beras sekali dalam sebulan merupakan frekuensi pembelian yang paling banyak dilakukan oleh
responden kelas menengah, hal ini dilakukan untuk menghindari risiko apabila harga beras akan semakin meningkat. Berbeda dengan responden kelas menengah, apabila terjadi kenaikan harga beras maka responden kelas bawah akan lebih sering
melakukan
pembelian
beras.
Keterbatasan
sumberdaya
ekonomi
menyebabkan responden kelas bawah hanya mampu membeli beras dalam jumlah sedikit setelah kenaikan harga beras. Variabel jumlah pembelian memiliki nilai koefisien negatif, yang berarti jika jumlah pembelian beras meningkat maka perubahan frekuensi pembelian cenderung kecil. Berdasarkan nilai odds ratio sebesar 0,98 disimpulkan bahwa jika terjadi peningkatan jumlah pembelian beras maka peluang terjadinya perubahan frekuensi pembelian oleh rumah tangga lebih besar 0,98 kali dari peluang untuk tidak berubah. Semakin banyak beras yang dibeli maka semakin rendah peluang responden untuk mengubah frekuensi pembelian beras. Kondisi ini menggambarkan bahwa rumah tangga yang membeli beras dalam jumlah besar adalah rumah tangga dengan pendapatan dan daya beli yang tinggi, sehingga ketika harga beras naik maka mereka tidak mengubah pola pembelian berasnya. Banyak sedikitnya jumlah pembelian beras yang dilakukan responden tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan frekuensi beras. Hal tersebut ditunjukkan oleh nilai ?-value yang lebih besar dari α (0,05). Variabel yang berpengaruh nyata pada taraf nyata α (0,05) dengan nilai koefisien positif yaitu dummy kelas sosial (D1 dan D2). Untuk variabel D1 arah hubungan yang positif dari variabel ini terhadap variabel respon memberi arti bahwa rumah tangga dengan kelas sosial bawah cenderung untuk mengubah frekuensi pembelian beras ketika harga beras meningkat. Hubungan variabel kelas
sosial terhadap perubahan jenis beras yang dikonsumsi dijelaskan oleh nilai odds ratio yakni sebesar 35,79. Hal ini berarti peluang terjadinya perubahan frekuensi pembelian beras pada rumah tangga kelas bawah akan meningkat 35,79 kali dibandingkan dengan rumah tangga kelas atas. Variabel D2 dengan nilai koefisien positif menunjukkan bahwa rumah tangga kelas menengah cenderung untuk mengubah frekuensi pembelian berasnya ketika harga beras naik. Nilai odds ratio sebesar 25,41 memberi arti bahwa peluang rumah tangga kelas menengah untuk mengubah frekuensi pembelian berasnya lebih besar 25,41 kali dibandingkan dengan rumah tangga kelas atas. Hal ini berarti rumah tangga kelas bawah dan menengah cenderung akan mengubah frekuensi pembelian berasnya dibandingkan dengan rumah tangga kelas atas.
4.2.5 Jumlah Pembelian Beras Perubahan jumlah beras yang dibeli setiap kali melakukan pembelian dapat dilihat pada Tabel 17. Berdasarkan data yang diperoleh, terjadi perubahan jumlah pembelian pada responden di setiap kelas sosial. Peningkatan jumlah pembelian beras secara eceran terjadi pada respoden kelas bawah. Hal ini diduga disebabkan ketidakmampuan dan keterbatasan sumberdaya ekonomi responden kelas bawah dalam membeli beras jumlah besar karena tingginya harga beras tersebut. Responden lebih memilih untuk membeli beras setiap hari karena pendapatan yang diperoleh rumah tangga kelas bawah tidak menentu dan bersifat harian. Sehingga responden melakukan pembelian sesuai dengan ketersediaan uang dan kebutuhan untuk hari itu saja.
Tabel 17. Perubahan Jumlah Pembelian setiap kali membeli beras Jumlah Pembelian
Kelas Bawah Sebelum
< 1 kg 1-5 kg 5-20 kg > 20 kg
Kelas Sosial Kelas Menengah
4 17 14 5
Setelah
Sebelum
10 21 8 1
1 3 18 18
Setelah
Total
Kelas Atas Sebelum
1 6 10 23
Setelah
0 0 11 9
0 0 10 10
Sebelum
Setelah
5 20 43 32
11 27 28 34
Pada responden kelas menengah dan kelas atas terjadi peningkatan jumlah pembelian beras dalam jumlah besar per frekuensi pembelian. Hal ini diakibatkan meningkatnya frekuensi pembelian pada kedua kelas ini. Frekuensi pembelian yang lebih jarang mengakibatkan responden membeli beras dalam jumlah besar. Dengan sumberdaya ekonomi yang ada, responden pada kelas ini memilih membeli beras dalam jumlah besar untuk mencukupi kebutuhan selama satu bulan. Disamping itu, harga beras yang semakin tinggi menyebabkan responden khawatir apabila di kemudian hari harga beras terus mengalami kenaikan. Sehingga untuk berjaga-jaga
apabila
harga
beras
semakin
tinggi
dan
ketersediaannya di pasar semakin berkurang, responden melakukan pembelian beras dalam jumlah besar. Secara keseluruhan, jumlah pembelian beras kurang dari satu kilogram, 1 5 kilogram dan lebih dari 20 kg mengalami peningkatan yaitu sebesar enam persen, tujuh persen dan dua persen. Penurunan jumlah pembelian 5 - 20 kg yaitu sebesar 15 persen. Pembelian beras lebih dari 20 kg paling banyak dilakukan oleh responden kelas menengah dan atas, hal ini diduga dilakukan responden karena merasa khawatir apabila harga beras terus melambung tinggi. Perubahan jumlah pembelian beras setelah harga beras mengalami kenaikan tidak tampak secara nyata, hal ini ditunjukkan melalui uji Chi-Square.
Hasil uji diperoleh bahwa nilai ?-value lebih besar dari nilai a (0,05). Dapat disimpulkan bahwa kenaikan harga beras tidak berdampak signifikan terhadap penentuan jumlah beras yang yang dibeli tiap frekuensi pembelian beras.
4.2.6 Tempat Pembelian Beras Perubahan tempat pembelian beras dapat dilihat pada Tabel 18. Pada responden kelas bawah terjadi penurunan jumlah responden yang membeli beras di pasar sebesar 10 persen sedangkan responden kelas bawah yang membeli beras di pasar mengalami penurunan sebesar 10 persen. Warung merupakan salah satu tempat pembelian beras yang banyak diminati oleh responden kelas bawah sebelum dan setelah harga beras mengalami kenaikan. Lokasinya yang dekat memudahkan responden kelas bawah untuk melakukan pembelian, baik dalam jumlah besar maupun eceran. Membeli beras di warung juga dinilai lebih praktis karena responden tidak harus mengeluarkan biaya, sehingga akan menghemat pengeluaran untuk transportasi. Kenaikan harga beras yang tinggi menyebabkan responden kelas bawah khususnya hanya mampu membeli beras secara eceran karena menurunnya daya beli. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan jumlah responden yang membeli beras di warung sebesar 10 persen. Peningkatan pembelian beras di warung juga terjadi pada responden kelas menengah sebesar lima persen. Tabel 18. Perubahan Tempat Pembelian Beras Frekuensi Pembelian Pasar Warung Supermarket
Kelas Bawah
Kelas Sosial Kelas Menengah
Total
Kelas Atas
Sebelum
Setelah
Sebelum
Setelah
Sebelum
Setelah
Sebelum
Setelah
17 23 0
13 27 0
17 14 9
17 18 5
9 0 11
8 0 12
43 37 20
38 45 17
Responden kelas atas lebih memilih untuk membeli beras di supermarket dan di pasar daripada di warung, karena sebagian besar responden membeli beras sekaligus belanja bulanan. Secara keseluruhan terjadi penurunan pembelian beras di pasar (5%) dan supermarket (3%), diikuti dengan peningkatan pembelian beras di warung (8%). Perubahan tempat pembelian beras setelah kenaikan harga beras tidak terlihat secara nyata, hal ini dibuktikan melalui uji Chi-Square yang menunjukkan nilai ?-value lebih besar dari nilai a (0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa kenaikan harga beras tidak berdampak signifikan pada penentuan tempat pembelian beras. Secara keseluruhan perubahan pola konsumsi beras pada rumah tangga di Jakarta Timur setelah kenaikan harga beras terlihat pada jenis beras yang dikonsumsi dan frekuensi pembelian beras per bulan. Perubahan jenis beras dan frekuensi pembelian pada setiap kelas sosial dapat dilihat pada Tabel 19 dan Tabel120. Tabel 19. Perubahan Jenis Beras di Setiap Kelas Sosial Kelas Sosial
Kelas Bawah
Kelas Menengah
Kelas Atas
Bentuk Perubahan Jenis Beras Kenaikan harga beras menyebabkan rumah tangga pada kelas bawah menurunkan kualitas dari beras yang dikonsumsinya karena keterbatasan sumberdaya ekonomi. Mereka lebih memilih jenis beras dengan kualitas rendah dan harga murah. Rumah tangga pada kelas ini mengkonsumsi beras dengan kualitas rendah yaitu jenis IR-64. Rumah tangga pada kelas menengah juga mengalami hal yang sama seperti rumah tangga pada kelas bawah. Mereka menurunkan kualitas berasnya agar pengeluaran untuk makanan khususnya untuk beras tetap sama seperti sebelum harga beras naik. Sebagian responden mengkonsumsi beras dengan kualitas sedang yaitu jenis Setra Ramos, Rojolele dan Cianjur. Perubahan jenis beras tidak terjadi pada rumah tangga kelas atas.
Tabel 20. Perubahan Frekuensi Pembelian per Bulan di Setiap Kelas Sosial Kelas Sosial
Kelas Bawah
Kelas Menengah
Kelas Atas
Bentuk Perubahan Frekuensi Pembelian Responden pada kelas ini mengalami perubahan pada frekuensi pembelian beras. Setelah harga beras naik, responden lebih sering melakukan pembelian beras dalam sebulan. Sebagian dari responden melakukan pembelian beras setiap hari karena dengan pendapatan yang rendah dan tidak menentu mereka hanya mampu untuk mencukupi kebutuhan beras untuk satu hari saja. Berbeda dengan kelas bawah, responden kelas menengah cenderung untuk mengurangi frekuensi pembelian beras. Mereka lebih jarang melakukan pembelian karena mereka khawatir harga beras akan semakin meningkat. Sehingga mereka memutuskan untuk membeli beras dalam jumlah besar agar dapat mencukupi kebutuhannya dalam sebulan. Tidak terjadi perubahan yang signifikan pada responden kelas atas.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil uji Chi-Square dapat disimpulkan terdapat perubahan pola konsumsi beras pada rumah tangga di Jakarta Timur. Perubahan pola konsumsi setelah kenaikan harga beras terlihat nyata hanya pada perubahan jenis beras yang dikonsumsi dan frekuensi pembelian beras. Penurunan kualitas beras yang dikonsumsi setelah kenaikan harga beras banyak dilakukan oleh rumah tangga kelas bawah dan menengah. Rumah tangga kelas atas tidak mengalami perubahan jenis beras karena tingginya daya beli yang mereka miliki. Perubahan jenis beras tersebut dipengaruhi oleh pendapatan rumah tangga dan jumlah konsumsi beras. Hasil uji dengan model regresi logit diperoleh bahwa semakin tinggi pendapatan yang diperoleh rumah tangga maka peluang rumah tangga untuk mengubah jenis beras yang dikonsumsi cenderung kecil. Perubahan frekuensi pembelian beras per bulan setelah harga beras naik terlihat nyata melalui uji chi-square. Rumah tangga kelas bawah cenderung lebih sering melakukan pembelian beras karena keterbatasan sumberdaya yang mereka miliki. Rumah tangga kelas menengah cenderung mengurangi frekuensi pembelian beras, mereka akan membeli beras dalam jumlah yang lebih besar setiap melakukan pembelian karena khawatir harga beras akan terus meningkat. Pengujian dengan metode regresi logistik menunjukkan semakin tinggi harga beras maka rumah tangga akan mengubah frekuensi pembelian. Besarnya jumlah pembelian beras berpengaruh negatif terhadap perubahan frekuensi pembelian. Semakin banyak jumlah beras yang dibeli maka perubahan frekuensi pembelian
cenderung kecil. Kelas sosial berpengaruh nyata terhadap perubahan frekuensi pembelian beras. Rumah tangga kelas bawah dan menengah berpeluang lebih besar untuk mengubah frekuensi pembeliannya dibandingkan dengan rumah tangga kelas atas. Perubahan pada frekuensi dan jumlah konsumsi beras, jumlah pembelian serta tempat melakukan pembelian beras setelah kenaikan harga beras tidak tampak nyata berdasarkan hasil uji Chi-Square. Beras merupakan makanan pokok penduduk
Indonesia
dan
belum
ada
bahan
pangan
lain
yang
dapat
menggantikannya, sehingga setinggi apapun harga beras, rumah tangga akan tetap berusaha untuk memenuhi kebutuhannya terhadap beras.
5.2 Saran 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan pola konsumsi beras yang tercermin dari frekuensi pembelian beras banyak terjadi pada rumah tangga kelas bawah dan cenderung lebih sering dilakukan sehingga ketersediaan beras di warung sebagai tempat pembelian beras yang paling sering dikunjungi oleh responden harus dijaga dengan baik. 2. Adanya keterbatasan penelitian dalam menggolongkan jenis beras yang berbeda kualitasnya sebagai barang substitusi dapat dijadikan acuan untuk melakukan penelitian di masa yang akan datang dengan lebih baik dan mencakup wilayah penelitian yang lebih luas. Dengan demikian, pengetahuan terhadap perubahan pola konsumsi beras menjadi lebih sempurna dan menyeluruh.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Bustanul. 1994. Pangan dalam Orde Baru. Cetakan Kedua. Koperasi Jasa Informasi (Kopinfo). Jakarta
Badan Ketahanan Pangan. 2005. Kamus Istilah Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2005. Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS). 2005. BPS. Jakarta
_________________. 2006. Jakarta Timur Dalam Angka. 2006. BPS. Jakarta.
_________________. 2006. Survei Sosial Ekonomi Nasional : Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia. BPS. Jakarta.
Departemen Pertanian. 1993. Laporan Pemantauan Kebiasaan Makan. Deptan. Jakarta.
Engel, Blackwell and Miniard. 1994. Perilaku Konsumen. Edisi Keenam. Jilid I. Binarupa Aksara. Jakarta.
Hosmer, David W. and Stanley Lemeshow. 1989. Applied Logistic Regression. John Wiley & Sons. New York, USA.
Lastry, Yenny. 2006. Analisis Pola Konsumsi Beras Rumah Tangga Di Kota Bogor. Skripsi Sarjana Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Lipsey, Courant, Purvis and Steiner. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Jilid I. Binarupa Aksara. Jakarta.
Nachrowi, Nachrowi D. dan Hardius Usman. 2005. Penggunaan Teknik Ekonometri. Edisi Revisi. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Nazir, Mohammad. 1988. Metode Penelitian. Cetakan Ketiga. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Nurmansyah, Mardian. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Rumah Tangga dalam Mengkonsumsi Daging Ayam Pasca Isu Flu Burung. Skripsi Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Pradesha, Angga. 2004. Analisis Perubahan Pola Konsumsi Beras Rumah Tangga Setelah Dihapuskannya Tunjangan Beras Secara Natura. Skripsi Sarjana Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bo gor.
Pratiwi. 2002. Pola Konsumsi Daging dan Telur Rumah Tangga di Kabupaten Rembang Jawa Tengah. Skripsi Sarjana Sosial Ekonomi Industri Peternakan, Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Sumarwan, Ujang. 2002. Perilaku Konsumen Teori dan Penerapannya dalam Riset Pemasaran. MMA IPB-Ghalia Indonesia. Bogor.
Suryana, Anggita Tresliyana. 2003. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen dalam Proses Keputusan Pembelian Beras Domestik dan Impor (Kasus di Kelurahan Babakan, Kecamatan Bogor Tengah). Skripsi Sarjana Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Umar, Husein. 2002. Riset Pemasaran dan Perilaku Konsumen. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Walpole, R. E. 1993. Pengantar Statistika. Edisi Ketiga. Terjemahan B. Sumantri. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Lampiran 1. Kuisioner Assalamualaikum wr.wb./Selamat Pagi/Siang/Sore. Nama saya Nina Tama Sari, NRPiA14103129, mahasiswa Institut Pertanian Bogor, program studi Manajemen Agribisnis, jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian sedang melakukan penelitian skripsi dengan judul “Analisis Dampak Kenaikan Harga Beras Terhadap Pola Konsumsi Beras Pada Rumah Tangga di Cipinang, Jakarta Timur”. Saya mohon kesediaan Ibu untuk menjawab hal-hal yang berhubungan dengan pembelian dan konsumsi beras di bawah ini. Saya akan menjaga kerahasiaan pendapat Ibu. Terima kasih atas kesediaannya. Petunjuk Pengisian : i. Untuk pertanyaaan terbuka (tanpa pilihan), isilah langsung pada titik yang tersedia ii. Untuk pertanyaan yang memiliki pilihan jawaban, pilihlah yang paling sesuai menurut keadaan yang sebenarnya iii. Pada pertanyaan yang memperbolehkan lebih dari satu jawaban, jawablah lebih dari satu jawaban bila ada dengan memberi tanda (X) pada kotak yang tersedia 1. Nama : ...................................................................... 2. Usia : ...................................................................... 3. Alamat : ...................................................................... Telp : ...................................................................... 4. Suku bangsa: a. Sunda e. Batak b. Jawa f. WNI keturunan c. Madura g. Lainnya, sebutkan ...... d. Minang 5. Pendidikan terakhir Anda: a. Tidak tamat SD d. SLTA (Aliyah) g. S1 b. SD e. D1 h. S2 c. SLTP (Tsanawiyah) f. D3 i. S3 6. Pekerjaan Anda : a. Tidak bekerja d. Jasa/Profesional (dokter, psikolog, dll.) b. Wiraswasta/Pengusaha e. Karyawan swasta c. Pagawai Negeri f. Lainnya, sebutkan................................................ 7. Jumlah anggota rumah tangga yang mengkonsumsi nasi (termasuk keluarga, saudara, pembantu yang menetap dan orang-orang yang tinggal satu atap) : ................... orang. 8. Berapakah kira-kira pengeluaran rutin rumah tangga Anda per bulan? (tidak termasuk pembelian barang-barang berharga seperti TV, kulkas, cicilan rumah atau pembelian barang untuk usaha Anda, dll) ............................................................................ 9. Berapakah kira-kira pendapatan rumah tangga Anda? (jumlah penghasilan suami, Anda dan anggota rumah tangga yang telah berpenghasilan dalam kurun waktu sebulan) ............................................................................ 10. Apakah keluarga anda mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok? a. ya b. Tidak 11. Alasan utama keluarga anda dalam mengkonsumsi beras? a. untuk kesehatan/ sumber karbohidrat b. gaya hidup/gengsi c. sebagai makanan pokok d. alasan lain, sebutkan ..................................................... 12. Di keluarga, siapakah yang menentukan keputusan dalam pembelian beras? a. Ayah b. Ibu c. Anak d. Lainnya, sebutkan ....................... 13. Apakah jenis pangan lain tersebut dikonsumsi sebagai : a. pangan substitusi (pengganti dari beras) b. pangan komplementer (pelengkap dari beras) 14. Apakah setelah kenaikan harga beras, pola konsumsi beras keluarga anda mengalami perubahan? a. ya b. Tidak 15. Jika jawaban ya, dalam bentuk apa perubahan konsumsi tersebut dan berikan alasannya?
a. mengurangi konsumsi beras alasannya .......................................................................... b. menurunkan kualitas beras yang dikonsumsi alasannya .......................................................................... c. mengganti pangan pokok menjadi jagung, ubi-ubian, sagu alasannya .......................................................................... d. lainnya, sebutkan ............................................................... alasannya ........................................................................... 16. Apakah terdapat penurunan pengeluaran untuk makanan selain beras seperti pengeluaran untuk sayuran, lauk pauk, buah-buahan dan makanan diluar makanan pokok setelah harga beras mengalami kenaikan? a. ya b. tidak 17. Apakah terdapat penurunan untuk pengeluaran bukan makanan (seperti pengeluaran untuk perumahan, pakaian, hiburan, pendidikan dll) ? a. ya b. tidak 18. Jika iya, seberapa besar penurunan pengeluaran bukan makanan tersebut? a. sangat besar b. tidak terlalu besar 19. Apakah sebagian pendapatan keluarga yang diperoleh dalam sebulan disimpan dalam bentuk tabungan? a. ya b. tidak 20. Jika iya, apakah setelah harga beras naik anda menurunkan proporsi pendapatan untuk tabungan? a. ya b. Tidak 21. Seberapa besar penurunan tabungan tersebut? a. sangat besar b. tidak terlalu besar Sebelum harga beras naik 22. Seberapa sering anda membeli beras dalam sebulan (frekuensi pembelian)? a. satu kali sebulan c. 3 x sebulan b. 2 x sebulan d. Lainnya, sebutkan .................... 23. Sebutkan jenis beras yang biasa dikonsumsi ? a. IR-64 d. Rojolele/Pandan Wangi b. Cisadane e. Lainnya, sebutkan .................... c. Cianjur 24. Sebutkan mutu/kualitas beras yang biasa anda beli? a. rendah/jelek b. sedang a. tinggi/baik 25. Berapa harga beras yang biasa anda beli (dalam Rp/kg)? ..................................... 26. Alasan utama mengkonsumsi jenis beras tersebut? a. harga terjangkau d. Mudah mendapatkannya b. kualitas baik e. Lainnya, sebutkan .............................. c. rasa enak 27. Dimanakah anda biasa membeli beras? a. pasar tradisional c. supermarket b. warung d. Lainnya, sebutkan ..................................... 28. Berapa kilogram rata-rata setiap anda membeli beras? ......................................... a. kurang dari 1 kg b. 1 - 5 kg c. 5 – 20 kg d. Lebih dari 20 kg 29. Seberapa sering anda mengkonsumsi beras setiap harinya (frekuensi konsumsi)? a. satu kali sehari c. 3 x sehari b. 2 x sehari d. 4 x sehari 30. Berapa kilogram rata-rata keluarga anda mengkonsumsi beras setiap harinya? a. kurang dari 1 kg b. 1 – 2 kg c. Lebih dari 2 kg 31. Apakah anda mengkonsumsi jenis pangan lain? (jawaban boleh lebih dari 1) mie instan roti sereal
kentang lainnya, sebutkan ............................ Setelah harga beras naik 32. Seberapa sering anda membeli beras dalam sebulan (frekuensi pembelian)? a. satu kali sebulan c. 3 x sebulan b. 2 x sebulan d. Lainnya, sebutkan .................... 33. Sebutkan jenis beras yang biasa dikonsumsi ? a. IR-64 d. Rojolele/Pandan Wangi b. Cisadane e. Lainnya, sebutkan .................... c. Cianjur 34. Sebutkan mutu/kualitas beras yang biasa anda beli? a. rendah/jelek b. sedang b. tinggi/baik 35. Berapa harga beras yang biasa anda beli (dalam Rp/kg)? ..................................... 36. Alasan utama mengkonsumsi jenis beras tersebut? a. harga terjangkau d. Mudah mendapatkannya b. kualitas baik e. Lainnya, sebutkan .............................. c. rasa enak 37. Dimanakah anda biasa membeli beras? a. pasar tradisional c. supermarket b. warung d. Lainnya, sebutkan ..................................... 38. Berapa kilogram rata-rata setiap anda membeli beras? ................................... a. kurang dari 1 kg b. 1 - 5 kg c. 5 – 20 kg d. Lebih dari 20 kg 39. Seberapa sering anda mengkonsumsi beras setiap harinya (frekuensi konsumsi)? a. satu kali sehari c. 3 x sehari b. 2 x sehari d. 4 x sehari 40. Berapa kilogram rata-rata keluarga anda mengkonsumsi beras setiap harinya? a. kurang dari 1 kg b. 1 – 2 kg c. Lebih dari 2 kg 41. Apakah setelah harga beras naik anda tidak lagi mengkonsumsi jenis pangan tersebut? (jawaban boleh lebih dari 1) mie instan (Ya / Tidak) roti (Ya / Tidak) sereal (Ya / Tidak) kentang (Ya / Tidak) lainnya, sebutkan ............................ 42.Apakah anda akan mengganti beras dengan jenis pangan lain? a. Ya, jenis pangan lain? b. Tidak ------------------------------------------------Terima Kasih-----------------------------------------------------
Lampiran 2. Data Mentah untuk Perubahan Jenis Beras No. Resp 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49
Y
Yrt
1 1 0 0 1 0 0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 1 0 1 0 1 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
800000 750000 800000 900000 900000 850000 650000 700000 850000 1000000 900000 750000 1200000 1000000 1200000 1100000 750000 800000 650000 1200000 3500000 3000000 2500000 3500000 2500000 4000000 3500000 3000000 2500000 3000000 2500000 3000000 2500000 2500000 3000000 2500000 2500000 2500000 4000000 4500000 6000000 6000000 6000000 7500000 7000000 10000000 6000000 9000000 7500000
Jmlh Kons 72 72 30 48 20 24 15 40 15 20 24 24 20 32 60 32 20 36 48 20 50 25 30 25 40 50 50 32 40 20 20 25 15 24 25 24 25 40 25 50 20 50 20 50 20 50 40 50 25
50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100
0 1 1 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 1 1 0 1 0 0 0 0 1 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
7500000 850000 700000 850000 800000 1200000 900000 750000 1000000 900000 800000 1200000 900000 1100000 1000000 600000 900000 750000 600000 800000 1000000 5000000 2500000 2500000 3500000 3000000 3000000 3000000 2500000 4000000 2500000 2500000 3500000 4000000 3000000 3500000 4500000 3000000 3000000 4500000 3000000 6000000 5500000 7500000 6000000 8000000 8000000 6000000 10000000 8000000 7500000
20 20 24 20 20 20 20 24 36 72 24 24 48 20 36 24 36 24 72 24 48 36 40 48 30 25 24 25 25 36 20 40 25 25 25 15 20 40 40 40 40 25 40 20 40 20 40 40 50 50 40
Lampiran 3. Data Mentah untuk Perubahan Frekuensi Pembelian No. Resp 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49
Y
Pberas
Jmlh Pemb
D1
D2
0 0 1 1 0 0 1 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
4500 4500 4500 5000 4500 4000 6000 5000 6000 6000 4500 4000 4500 5000 4000 5000 5000 4500 5000 5000 6500 6200 6500 6200 6400 6500 7500 6200 5500 6000 7000 6000 6200 6000 6000 6500 6000 6500 7000 5000 8000 9000 8000 7000 7500 8000 7500 7000 8000
2,4 2,4 10 1,6 10 0,8 5 40 5 20 0,8 0,8 20 8 2 16 5 1,2 1,6 20 50 25 10 25 40 50 50 16 20 5 20 25 5 8 25 8 25 10 25 50 20 50 20 50 20 25 20 25 25
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100
0 0 1 1 1 0 0 1 0 0 1 0 1 1 0 1 0 0 0 0 1 0 1 0 0 1 0 1 1 0 0 1 0 0 1 1 0 1 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0
9000 5000 5000 5500 5000 5000 5500 4000 4500 4500 5000 5000 5500 5000 4500 5000 4500 4500 4500 4500 5000 6500 6200 5500 6000 6500 5500 5500 6000 7000 6000 6500 6500 7500 6500 7000 7500 6000 6500 8000 7000 8000 7500 9000 7500 9000 8500 8000 7500 7000 9000
20 5 0,8 5 5 5 20 0,8 1,2 2,4 0,8 0,8 1,6 5 1,2 0,8 1,2 0,8 2,4 0,8 1,6 1,2 40 1,6 10 25 0,8 25 25 1,2 20 40 25 25 25 5 20 40 40 40 40 25 20 20 40 20 20 20 50 50 40
0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Lampiran 4. Hasil Uji Chi Square Chi-Square Test: 1 kali; 2 kali; 3 kali (Frekuensi Konsumsi) Sebelum
Setelah
Total
1 kali 10 10,00 0,000
2 kali 51 52,50 0,043
3 kali 39 37,50 0,060
Total 100
10 10,00 0,000
54 52,50 0,043
36 37,50 0,060
100
20
105
75
200
Chi-Sq = 0,206; DF = 2; P-Value = 0,902
Chi-Square Test: mie instan; roti; sereal; kentang (Jenis Pangan Lain)
Sebelum
Setelah
Total
mie instan 75 82,35 0,657
roti 64 57,65 0,700
sereal 14 12,35 0,220
kentang 22 22,65 0,018
Total 175
85 77,65 0,696
48 54,35 0,743
10 11,65 0,233
22 21,35 0,020
165
160
112
24
44
340
Chi-Sq = 3,286; DF = 3; P-Value = 0,350
Chi-Square Test: < 1 kg; 1-2 kg; > 2kg (Jumlah Konsumsi) Sebelum
Setelah
Total
< 1 kg 47 49,00 0,082
1-2 kg 44 43,00 0,023
> 2kg 9 8,00 0,125
Total 100
51 49,00 0,082
42 43,00 0,023
7 8,00 0,125
100
98
86
16
200
Chi-Sq = 0,460; DF = 2; P-Value = 0,795
Chi-Square Test: IR64; Cisadane; Setra Ramos; Cianjur; Rojolele; Pandan Wangi (Jenis Beras) Setra Ramos 15 18,00 0,500
Cianjur 5 7,00 0,571
Rojolele 31 23,50 2,394
Pandan Wangi 23 20,00 0,450
37 31,50 0,960
21 18,00 0,500
9 7,00 0,571
16 23,50 2,394
17 20,00 0,450
100
63
36
14
47
40
200
IR64 Sebelum 26 31,50 0,960 Setelah
Total
Total 100
Chi-Sq = 9,751; DF = 4; P-Value = 0,045
Chi-Square Test: 1 kali; 2 kali; 3 kali; 4 kali; 30 kali (Frekuensi Pembelian) Sebelum
Setelah
Total
1 kali 46 45,50 0,005
2 kali 25 17,50 3,214
3 kali 4 6,50 0,962
4 kali 5 7,00 0,571
30 kali 20 23,50 0,521
Total 100
45 45,50 0,005
10 17,50 3,214
9 6,50 0,962
9 7,00 0,571
27 23,50 0,521
100
91
35
13
14
47
200
Chi-Sq = 10,548; DF = 4; P-Value = 0,032
Chi-Square Test: < 1 kg; 1-5 kg; 5-20 kg; > 20 kg (Juml ah Pembelian per Frekuensi Pembelian) Sebelum
Setelah
Total
<1 kg 5 8,00 1,125
1-5 kg 20 23,50 0,521
5-20 kg 43 35,50 1,585
>20 kg 32 33,00 0,030
Total 100
11 8,00 1,125
27 23,50 0,521
28 35,50 1,585
34 33,00 0,030
100
16
47
71
66
200
Chi-Sq = 6,522; DF = 3; P-Value = 0,089
Chi-Square Test: Pasar; Warung; Supermarket (Tempat Pembelian Beras) Sebelum
Setelah
Total
Pasar 43 40,50 0,154
Warung 37 41,00 0,390
Supermarket 20 18,50 0,122
Total 100
38 40,50 0,154
45 41,00 0,390
17 18,50 0,122
100
81
82
37
200
Chi-Sq = 1,332; DF = 2; P-Value = 0,514
Lampiran 5. Hasil Uji Model Regresi Logistik Binary Logistic Regression: Y versus Yrt; Jmlh Kons (Jenis Beras) Link Function: Logit
Response Information Variable Value Count Y 1 35 0 65 Total 100
(Event)
Logistic Regression Table Predictor Constant Yrt Jmlh Kons
Coef 0,742036 -0,0000003 -0,0148480
SE Coef 0,627336 0,0000001 0,0162922
Z 1,18 -2,75 -0,91
P 0,237 0,006 0,362
Odds Ratio 1,00 0,99
95% CI Lower Upper 1,00 0,95
1,00 1,02
Log-Likelihood = -59,226 Test that all slopes are zero: G = 11,037, DF = 2, P-Value = 0,004
Goodness-of-Fit Tests Method Chi-Square Pearson 64,5245 Deviance 81,5362 Hosmer-Lemeshow 11,0241
DF 66 66 8
P 0,528 0,094 0,200
Binary Logistic Regression: Y versus P; JmlhPemb; D1; D2 (Frekuensi Pembelian) Link Function: Logit Response Information Variable Y
Value 1 0 Total
Count 30 70 100
(Event)
Logistic Regression Table Predictor Constant Pberas JmlhPemb D1 D2
Coef -6,59576 0,0005187 -0,0205208 3,57767 3,23507
SE Coef 3,52004 0,0004182 0,0203152 1,75302 1,31532
Z -1,87 1,24 -1,01 2,04 2,46
P 0,061 0,215 0,312 0,041 0,014
Odds Ratio
95% Lower
CI Upper
1,00 0,98 35,79 25,41
1,00 0,94 1,15 1,93
1,00 1,02 1111,64 334,66
Log-Likelihood = -55,220 Test that all slopes are zero: G = 11,732, DF = 4, P-Value = 0,019 Goodness-of-Fit Tests Method Chi-Square Pearson 90,0924 Deviance 80,4834 Hosmer-Lemeshow 13,6139
DF 56 56 8
P 0,013 0,018 0,092