Analisis Kebijakan
1
Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Ada dua pendapat mengenai faktor penyebab kenaikan harga beras akhirakhir ini yaitu : (1) stok beras berkurang; dan (2) kenaikan harga-harga umum yang dipicu antara lain oleh kenaikan harga BBM. Proyeksi kondisi stok dilakukan dengan pendekatan tidak langsung yaitu melalui produksi dan konsumsi, sedangkan analisis dampak kenaikan harga BBM terhadap harga beras dilakukan melalui asumsi bahwa kenaikan harga BBM akan berdampak terhadap harga semua komoditas secara merata. Proyeksi Stok Beras tahun 2006 Produksi padi tahun 2005 berdasarkana Angka Tetap (ATAP) BPS sebesar 54,15 juta ton GKG meningkat sebesar 0,11% dibanding produksi tahun 2004 yang mencapai 54.09 juta ton GKG. Produksi padi tahun 2006 berdasarkan Angka Ramalan II (ARAM-II) sebesar 54.75 juta ton GKG meningkat sebesar 1,11% dibanding produksi tahun 2005. Peningkatan produksi tersebut masih lebih kecil dibanding pertumbuhan penduduk yang diperkirakan mencapai 1,30%. Dengan ditutupnya kran impor beras pada tahun 2005, maka kebutuhan konsumsi penduduk jelas mengambil iron stock beras di masyarakat (petani, pedagang, penggilingan, BULOG,dll), sehingga iron stock beras di masyarakat pada tahun 2005 diperkirakan berkurang. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya harga beras di pasar yang terjadi sejak pertengahan tahun 2005 sampai awal panen raya bulan Maret tahun 2006. Hasil proyeksi dengan menggunakan model ekonometrik, menunjukkan bahwa produksi padi tahun 2006 diperkirakan mencapai 54,98 juta ton (Gambar 1) masih lebih tinggi dari ARAM-II sebesar 54,75 juta ton. (Hasil proyeksi ini cukup layak karena produksi padi menurut ATAP umumnya lebih tinggi dari ARAM. Dari data 32 tahun terakhir hanya 5 tahun yang menunjukkan bahwa produksi ATAP lebih kecil dari ARAM). Dengan menggunakan hasil proyeksi tersebut, maka pertumbuhan produksi padi tahun 2006 diperkirakan sebesar 1,53% masih lebih tinggi dibanding pertumbuhan penduduk sebesar 1,30%. Namun demikian, proyeksi produksi padi sebesar 54,98 juta ton merupakan angka optimis kalau tidak terjadi fenomena alam (kekeringan, banjir,gangguan OPT) yang lebih serius dari kondisi normal. Apabila kita mengambil kisaran pertumbuhan produksi padi tahun 2006 antara 1,11 – 1,53%, maka tambahan produksi padi tahun 2006 diperkirakan hanya mampu memenuhi kebutuhan akibat pertumbuhan penduduk, bahkan mungkin masih tidak mencukupi. Hal ini berarti tidak ada penambahan stok dari produksi tahun 2006 sehingga stok beras tahun 2006 akan lebih kecil dibanding tahun 2005. Kondisi tersebut perlu dihindari karena akan mengakselarasi kenaikan harga beras di pasar dengan berbagai konsekuensinya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah menambah stok dengan beras impor. Pengaruh Stok dan Impor terhadap Harga beras
2
Bab V I. Analisis Kebijakan Pengembangan Komoditas dan Agribisnis
Analisis pengaruh impor dan stok terhadap perubahan harga beras dilakukan secara bertahap, yaitu: a. Melihat pengaruh surplus domestik (pemasukan dikurangi pengeluaran beras produksi domestik di pasar Cipinang) dan beras Ex -impor terhadap perubahan harga beras (Tabel 1). Dari Tabel tersebut ternyata pemasukan beras impor (Ex-impor) berpengaruh negatif terhadap perubahan harga, sedangkan surplus pasok tidak berpengaruh. Ini berarti bahwa bila pemasukan beras impor semakin besar, maka kenaikan harga makin rendah. b. Melihat pengaruh surplus pasok tahun 2004 dan tahun 2005 serta Ex-impor terhadap perubahan harga beras (Tabel 1). Dari tabel tersebut ternyata beras Ex-impor dan surplus pasok tahun 2005 berpengaruh negatif terhadap perubahan harga, sedangkan surplus pasok tahun 2004 tidak berpengaruh. c. Melihat pengaruh surplus pasok tahun 2005 serta beras Ex-impor terhadap perubahan harga beras (Tabel 1). Dari tabel tersebut ternyata beras Eximpor dan surplus pasok tahun 2005 berpengaruh negatif terhadap perubahan harga. Surplus pasok tahun 2005 berpengaruh terhadap perubahan harga karena pada tahun 2005 tidak ada beras ex-impor yang masuk ke pasar Cipinang, sehingga surplus domestik yang berpengaruh. Dengan demikian, pada saat tidak ada impor, maka surplus pasok sangat besar peranannya dalam perubahan harga beras. Apabila terjadi defisit, maka akan terjadi lonjakan harga dan sebaliknya. Dengan kata lain, jumlah stok sangat penting dalam pengendalian harga. Dampak Kenaikan Harga BBM terhadap Kenaikan Harga beras Salah satu dampak kenaikan harga BBM adalah meningkatkan harga-harga umum termasuk harga beras. Secara teoritis, dampak kenaikan harga BBM terhadap kenaikan harga-harga komoditas bersifat menyeluruh dengan persentase yang sama apabila tidak ada pengaruh lain yang mengikutinya. Dengan kata lain, rasio harga antar komoditas akan tetap atau tidak mengalami perubahan yang signifikan. Harga-harga komoditas pertanian pasca kenaikan harga BBM mengalami peningkatan yang cukup signifikan khususnya beras (Gambar 2.). Dari Gambar 2 juga terlihat bahwa kenaikan harga beras terjadi secara berlanjut sejak akhir panen raya tahun 2005. Rasio harga komoditas pertanian lainnya terhadap harga beras juga mengalami penurunan (Gambar 3 s/d Gambar 6) sejak akhir panen raya tahun 2005, yang berarti bahwa harga beras meningkat lebih besar dari peningkatan harga komoditas lainnya. Dengan kebijakan pelarangan impor beras secara konsisten sejak akhir tahun 2004, maka harga beras sepenuhnya ditentukan oleh pasokan produksi dan permintaan beras dalam negeri. Harga akan meningkat apabila terjadi kekurangan pasokan produksi dalam negeri atau peningkatan permintaan. Penurunan rasio harga komoditas lain terhadap harga beras menunjukkan bahwa kenaikan harga beras yang terjadi selama ini bukan semata-mata
Analisis Kebijakan
3
disebabkan oleh kenaikan harga BBM, tetapi disebabkan oleh menurunnya pasokan beras yang disebabkan berkurangnya stok di masyarakat. Menurunnya pasokan beras bukan disebabkan oleh penurunan produksi, tetapi disebabkan oleh kenaikan produksi yang tidak sebanding dengan kenaikan permintaan. Analisis di atas menunjukkan bahwa stok berpengaruh terhadap harga beras, sehingga untuk mengendalikan kenaikan harga beras diperlukan upaya penambahan stok. Kenaikan produksi beras dalam negeri tidak mampu menambah stok, sehingga penambahan stok tersebut hanya dapat dilakukan melalui impor beras. Dengan kata lain impor beras hanya dilakukan untuk memperkuat stok beras nasional. Diperkirakan stok beras di Bulog hanya sekitar 532.000 ton, lebih rendah dibanding batas psikologis stok sebesar 1 juta ton (iron stock). Dengan jumlah stok tersebut maka impor beras tahun 2006 perlu dibatasi hanya sekitar 500.000 ton saja.
Gambar 1. Proyeksi Produksi Padi Tahun 2006 60000000
Actual
Proyeksi = 54.98
Smoothed Forecast
50000000
Actual Smoothed Forecast
Padi
ARAM-2 = 54.75 40000000
30000000
Smoothing Constants Alpha (level): 1.161 Gamma (trend): 0.010
20000000
MAPE: MAD: MSD:
1973
1983
1993
Time
2003
4 1414817 3.19E+12
Bab V I. Analisis Kebijakan Pengembangan Komoditas dan Agribisnis
4
Tabel 1. Dugaan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Harga Beras Koefisien
Skenario I Nilai
Intersep
Skenario II
Peluang
52.81317
Nilai
0.047363
69.220123
Skenario III
Peluang
Nilai
0.015958
67.1029
0.01311
0.00497
0.146746
0.01669
0.062749
Ex-Impor
-0.00738
0.171149
-0.002168
0.724521
Surplus Domestik
-0.00431
0.412684
0.003907
0.584512
DSurplus05Dom
-0.020796
0.085217
DSurplus04Dom
-0.005768
0.691514
Peluang
Gambar 2. Harga Beras Eceran Medium, 2003 – 2006 (Rp/kg).
5000
4500
Rp / kg
4000
3500
3000
2004
Harga Beras
2006
Jul
Jun
Apr
Mei
Jan
Mar
Feb
Des
Okt
Nop
Agt
Jul
2005 Bulan
Sep
Jun
Apr
Mei
Mar
Feb
Des Jan
Okt
Nop
Sep
Jul
Agt
Apr
Jun
Mei
Mar
Jan
Feb
Okt
Des
Sep
Nop
Jul
2003
Agt
Jun
Apr
Mei
Mar
Jan
Feb
2500
Analisis Kebijakan
5
Gambar 3. Rasio Harga Gula Pasir dan Minyak Goreng Terhadap Harga Beras 2003 – 2006 (%).
205
185
(%)
165
145
125
2003
2005
Jul
Apr
Jun
Mei
Jan
Mar
Feb
Des
Okt
Nop
Jul
Agt
Sep
Apr
2004
Jun
Mei
Mar
Jan
Feb
Okt
Des
Nop
Jul
Agt
Sep
Jun
Apr
Mei
Jan
Mar
Feb
Okt
Des
Sep
Nop
Jul
Agt
Apr
Jun
Mei
Jan
Mar
Feb
105
2006
Bulan Gula Pasir
Minyak Goreng
Gambar 4. Rasio Harga Jagung dan Kedele Terhadap Harga Beras 2003 – 2006 (%).
155
70
145
65
135
60
125
55
115
50
105
45
95
40
2003
2004
Jagung
2006
Jul
Jun
Mei
Apr
Mar
Feb
Jan
Des
Okt
Sep
Nop
Jul
Agt
Jun
Mei
Apr
2005 Bulan
Kedele
Mar
Feb
Jan
Des
Nop
Okt
Agt
Sep
Jul
Jun
Mei
Apr
Mar
Feb
Jan
Des
Nop
Agt
Okt
Sep
Jul
Jun
Mei
Apr
Jan
Mar
Feb
(%)
75
(%)
165
Bab V I. Analisis Kebijakan Pengembangan Komoditas dan Agribisnis
6
Gambar 5. Rasio Daging Ayam dan Telur Terhadap Harga Beras, 2003 – 2006 (%). 310
290
475
270
425
230
(%)
(%)
250
375 210
190 325 170
2003
2005
Jul
Apr
Jun
Mei
Mar
Jan
Feb
Des
Okt
Sep
Nop
Jul
Agt
Apr
2004
Jun
Mei
Jan
Mar
Feb
Okt
Des
Nop
Jul
Agt
Sep
Jun
Apr
Mei
Mar
Jan
Feb
Des
Okt
Nop
Jul
Agt
Sep
Apr
Jun
Mei
Jan
Mar
150 Feb
275
2006
Bulan Daging Ayam
Telur
Gambar 6. Rasio Harga Daging Sapi Terhadap Harga Beras, 2003 – 2006 (%). 1330
1280
1230
1130
1080
1030
980
2003
Daging Sapi
2006
Jul
Jun
Apr
Mei
Mar
Feb
Jan
Des
Nop
Okt
Sep
Jul
2005 Bulan
Agt
Apr
Jun
Mei
Mar
Jan
2004
Feb
Okt
Des
Nop
Agt
Sep
Jul
Apr
Jun
Mei
Mar
Feb
Jan
Des
Nop
Agt
Okt
Sep
Jul
Jun
Apr
Mei
Mar
Jan
930 Feb
(%)
1180
Analisis Kebijakan
7
Perkembangan Impor Beras Tahun 1980-2005 Secara umum produksi padi sawah di dalam negeri terus menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu, namun laju pertumbuhannya cenderung menurun, baik luas areal maupun produktivitas (Tabel 2). Akibat perlambatan dalam laju pertumbuhan produksi ini, sementara laju pertumbuhan penduduk relatif tetap, maka produksi padi di dalam negeri belum mampu mencukupi kebutuhan konsumsi secara berkelanjutan. Dalam kondisi seperti ini, maka impor beras merupakan suatu pilihan yang terpaksa diambil. Secara historis kesenjangan antara tingkat produksi dalam negeri dan kebutuhan konsumsi telah berlangsung sejak zaman orde lama , dan Indonesia pernah mengalami sebagai salah satu importir beras terbesar didunia pada akhir tahun 70-an. Seperti terlihat pada Gambar 7, selama kurun waktu 1994-2002 impor beras yang dilakukan Indonesia mencapai puncaknya, dengan jumlah impor berkisar 1,88 - 11,71% dari total produksi beras di dalam negeri. Jumlah impor beras mencapai puncaknya sebesar 5,77 juta ton pada tahun 1998, akibat krisis ekonomi akut yang melanda Indonesia pada akhir tahun 1997. Program peningkatan produksi padi yang dilakukan secara berkelanjutan telah mampu menstabilkan produksi padi di dalam negeri, dan sejak tahun 2003 jumlah impor terus menunjukkan penurunan. Selama tahun 2004-2005 jumlah impor beras Indonesia kurang dari 1% dari total produksi di dalam negeri. Keberhasilan program peningkatan produksi padi disertai dengan kebijakan pelarangan impor beras telah menurunkan impor beras yang hanya mencapai 236 ribu ton (0,44%) tahun 2004 dan 115 ribu ton (0,35) tahun 2005. Makin transparannya proses pengambilan keputusan dalam kebijakan impor beras, nampaknya juga telah berdampak pada penurunan jumlah impor tersebut. Jumlah impor tersebut adalah yang resmi tercatat di Dirjen Bea dan Cukai. Dalam prakteknya ialah impor ilegal diperkirakan masih berlanjut. Data impor dari The Rice Report menunjukkan angka yang lebih tinggi sekitar 125 – 1309 ribu ton dibanding data resmi dari BPS. Selisih tersebut antara lain menunjukkan volume beras ilegal.
Bab V I. Analisis Kebijakan Pengembangan Komoditas dan Agribisnis
8
Gambar 1. Persentase Besaran Impor Beras Indonesia Terhadap Total Produksi Dalam Negeri, Tahun 1980-2006 20
PersentaseImpor
15
10
5
0 1975
1980
1985
1990
1995
-5 Tahun
2000
2005
2010
Analisis Kebijakan
9
Tabel 2. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Impor Beras Indonesia Tahun 1980-2005.
Tahun
% Impor Thd
Luas Panen
Produktivitas
Produksi
Beras
Impor
(000 ha)
(ton/ha)
(000 ton)
(000 ton)
(000 ton)
1980
9.005
3,293
29.652
18.437
2.027
6,84
1981
9.382
3,493
32.774
20.369
525
1,60
1982
8.988
3,736
33.584
20.912
311
0,93
1983
9.162
3,853
35.303
21.903
1.172
3,32
1984
9.764
3,906
38.136
23.736
414
1,09
1985
9.902
3,942
39.033
24.316
34
0,09
1986
9.988
3,977
39.727
24.744
28
0,07
1987
9.923
4,039
40.078
24.970
55
0,14
1988
10.138
4,111
41.676
25.949
33
0,08
1989
10.521
4,251
44.726
26.437
41
0,09
1990
10.502
4,302
45.179
26.925
29
0,06
1991
10.282
4,346
44.688
26.615
178
0,40
1992
10.959
4,402
48.240
28.738
634
1,31
1993
11.013
4,375
48.181
28.750
-
-
1994
10.734
4,345
46.642
27.789
876
1,88
1995
11.439
4,349
49.744
29.626
3.014
6,06
1996
11.570
4,417
51.102
30.458
1.090
2,13
1997
11.141
4,432
49.377
29.466
406
0,82
1998
11.730
4,197
49.237
28.419
5.765
11,71
1999
11.963
4,252
50.866
29.420
4.183
8,22
2000
11.793
4,340
51.179
30.045
1.513
2,96
2001
11.494
4,390
50.461
29.229
1.400
2,77
2002
11.521
4,469
51.490
29.431
3.100
6,02
2003
11.488
4,538
52.138
29.794
1.428
2,74
2004
11.923
4,536
54.088
30.909
236
0,44
2005
11.839
4,575
54.151
30.945
189
0,35
Sumber Data : BPS
Produksi
Bab V I. Analisis Kebijakan Pengembangan Komoditas dan Agribisnis
10
Tabel 3. Perbandingan Volume Impor Beras Versi BPS dan The Rice Report Tahun
Impor Beras Versi BPS
Impor Beras Versi
Selisih
(000 ton)
The Rice Report (000 ton)
1998
5.765
6.079
314
1999
4.183
4.183
0
2000
1.513
1.512
1
2001
1.400
1.385
-15
2002
3.100
3.740
640
2003
1.428
2.737
1.309
2004
236
634
398
2005
189
314
125
Konsumsi dan Sumber Perolehan Beras Untuk Rumah Tangga Berdasarkan data Susenas, konsumsi beras secara langsung tingkat rumahtangga menunjukkan trend penurunan, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Hal ini terjadi sebagai dampak peningkatan pendapatan masyarakat dan terjadinya diversifikasi konsumsi pangan yang lebih luas. Penurunan konsumsi beras di wilayah kota sekitar 5,3 persen per tahun, lebih besar daripada di wilayah desa sebesar 2,3 persen per tahun (Tabel 4). Data ini belum termasuk kebutuhan beras untuk industri, bibit dan kebutuhan lainnya. Apabila memasukkan kebutuhan lainnya, maka secara total kebutuhan beras mencapai 139,15 kg/kapita/tahun. Beras merupakan bahan pangan pokok di sebagian besar wilayah indonesia yang ditunjukkan dengan tingkat partisipasi konsumsi yang mencapai hampir 100 persen. Untuk rumahtangga dengan mata pencaharian utama di sektor pertanian, tingkat partisipasi konsumsi lebih besar daripada rumahtangga yang bekerja di sektor non pertanian. Beras yang dikonsumsi tersebut, dapat berasal dari hasil produksi sendiri atau dari pembelian. Dengan demikian, sebagian rumahtangga pedesaan berperan sebagai produsen padi dan sekaligus sebagai konsumen beras. Data SUSENAS menunjukan bahwa beras yang dikonsumsi rumahtangga sebagian besar berasal dari pembelian (Tabel 5). Hal ini berlaku juga untuk rumahtangga yang pekerjaan utamanya sektor pertanian, dengan persentase beras yang dibeli 74,1 persen di kota dan 66,5 persen di desa. Rumahtangga pertanian tersebut dapat dipastikan sebagian besar adalah rumahtangga yang menanam padi karena menurut data Sensus Pertanian 2003, jumlah rumahtangga yang menanam padi/palawija sekitar 70,8 persen. Tingginya persentase beras yang dikonsumsi rumahtangga berasal dari pembelian tidak secara otomatis menunjukkan bahwa rumahtangga tersebut adalah net consumer beras. Data PATANAS dari tiga propinsi sentra produksi padi
Analisis Kebijakan
11
tahun 2004 menunjukkan bahwa bagi petani padi dengan basis agroekosistem lahan sawah produksi padi yang dihasilkannya menunjukkan surplus sekitar 294,2 kg/kap/tahun (Tabel 6). Namun demikian, bagi rumahtangga tersebut sekitar 90,1 persen dari beras yang dikonsumsinya berasal dari pembelian. Apalagi bagi petani di wilayah lahan kering yang memang tidak menanam padi, seluruh kebutuhan berasnya harus dibeli. Data-data diatas menunjukkan bahwa segera setelah panen petani menjual sebagian besar atau seluruh padinya untuk memenuhi kebutuhan uang tunai keluarga. Kemudian mereka membeli kebutuhan beras sehari-hari secara bertahap sesuai dengan arus kas yang diperoleh dari pendapatan usahatani non pasdi atau usaha non pertanian. Hal ini terutama sangat menonjol di daerah yang berkembang sistem tebasan dimana petani menjual seluruh hasil panen padinya yang masih berdiri di sawah. Faktor lain yang turut mendorong kebiasaan tersebut adalah keterbatasan tenaga dan tempat penyimpanan padi, disamping semakin mudahnya memperoleh beras di pasaran. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa petani padi di pedesaan umumnya masih net produser padi. Namun sebagian besar kebutuhan berasnya tetap harus dibeli karena sebagian besar atau seluruh hasil panennya langsung dijual. Berdasarkan kesimpulan tersebut maka tingkat dan stabilitas harga beras perlu terus dikendalikan untuk menjamin akses masyarakat termasuk petani padi terhadap beras. Tabel 4. Perkembangan Konsumsi Beras Rumahtangga (Kg/kap/tahun) Tahun
Kota
Desa
2002
111,4
118,8
2003
113,1
119,5
2004
100,2
112,1
2005
97,0
112,4
Laju (%/th)
-5,3
-2,3
Sumber : Susenas diolah oleh BKP, Jakarta
Bab V I. Analisis Kebijakan Pengembangan Komoditas dan Agribisnis
12
Tabel 5. Sumber Perolehan Beras Rumahtangga (%). Wilayah/
Produksi Sendiri
Pembelian/pemberian
Kota
25,9
74,1
Desa
33,5
66,5
Kota
21,0
79,0
Desa
27,1
73,9
Rumah Tangga Pertanian
Non Pertanian
Sumber : Susenas, 2002
Tabel 6. Neraca Produksi-Konsumsi Beras pada Rumahtangga Pertanian di Pedesaan Uraian
Lahan Sawah
Lahan kering
Konsumsi (kg/kap/th)
112,8
95,4
Produksi (kg/kap/th)
407,0
70,2
Surplus/Defisit (kg/kap/th)
294,2
(25,2)
90,1
96,0
Beras yang dibeli (%) Sumber : PATANAS, 2004 (diolah)
Dampak Kenaikan Harga Beras Terhadap Kemiskinan Jumlah penduduk miskin, dihitung oleh BPS dengan menggunakan data SUSENAS modul konsumsi. Penetapan garis kemiskinan dengan menggunakan data tersebut didasarkan pada nilai pengeluaran minimum rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan sebesar 2100 kalori/kapita/hari dan kebutuhan dasar non pangan seperti papan, sandang pendidikan transportasi dan lainnya. Berkaitan dengan kebutuhan pangan, beras masih menyumbang ratarata sekitar 27 persen dari pemenuhan kalori tersebut, walaupun persentasenya terus menurun dari waktu ke waktu. Konsep diatas sejalan dengan konsep garis kemiskinan yang disusun Prof. Sajogyo, yaitu pendapatan setara dengan 240 kg beras/kapita/tahun di desa dan 360 kg/kapita/tahun di kota. Dengan peran beras seperti itu maka fluktuasi harga beras secara otomatis akan menentukan variasi jumlah penduduk dibawah garis kemiskinan (penduduk miskin). Bila harga beras naik, maka kemampuan rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan kalori tersebut menurun, yang berarti bahwa jumlah
Analisis Kebijakan
13
penduduk dibawah garis kemiskinan bertambah. Perhitungan kuantitatif menunjukkan bahwa setiap kenaikan harga beras sebesar 10 persen akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 1 persen atau sekitar 2 juta orang. Dengan demikian, hal ini menekankan kembali tentang pentingnya mempertahankan tingkat dan stabilitas harga beras, bukan hanya untuk menjamin akses masyarakat terhadap konsumsi beras tetapi juga dalam rangka penanggulangan kemiskinan. Data BPS juga menunjukkan bahwa sekitar 55 persen dari penduduk yang tergolong miskin di Indonesia memiliki mata pencaharian utama di sektor pertanian. Dalam sektor pertanian, sekitar 75 persen dari jumlah rumahtangga miskin bekerja di sub sektor tanaman pangan. Selanjutnya di sub sektor tanaman pangan, 84 persen penduduk miskin merupakan buruh tani atau petani gurem dengan luas pemilikan/penguasaan lahan kurang dari 1 hektar. Selain itu, sebagian besar petani di sub sektor tanaman pangan adalah rumahtangga yang bekerja pada usahatani padi. Berdasarkan fakta tersebut, maka sektor pertanian pangan khususnya petani padi termasuk sebagai sasaran prioritas dalam kebijakan penanggulangan kemiskinan. Dengan mempertimbangkan peran beras tersebut, maka kebijakan menaikan HPP gabah dan beras akan memberikan dampak ganda. Kenaikan HPP gabah jelas berdampak positif tehadap peningkatan petani dari usahatani padi. Namun demikian, dengan luas pemilikan lahan rumahtangga yang rata-rata hanya 0,3 hektar maka kenaikan harga gabah tersebut relatif kecil pengaruhnya terhadap pendapatan total rumah tangga. Data PATANAS juga menunjukkan bahwa pendapatan dari usahatani padi hanya menyumbang sekitar 20-30 persen terhadap pendapatan total rumahtangga. Dengan demikian, peningkatan pendapatan petani perlu dilakukan secara lebih luas meliputi usahatani non padi maupun pengembangan kegiatan non pertanian. Di pihak lain, kenaikan harga beras memiliki dampak yang kurang menguntungkan bagi berbagai komponen masyarakat, yaitu: (a) rumahtangga yang berstatus net consumer beras; (b) petani dengan status net producer, namun sebagian besar kebutuhan berasnya dibeli; (c) dampaknya terhadap peningkatan insiden kemiskinan. Selain berdasarkan nilai pengeluaran, kriteria garis kemiskinan bisa juga menggunakan nilai pendapatan. Bank Dunia menetapkan bahwa penduduk disebut miskin bila pendapatan keluarga kurang dari US$ 2 per hari, dan sangat miskin bila pendapatannya kurang dari US$ 1 per hari.