ANALISA SISTEM Metodologi sistem didasari oleh tiga pola pikir dasar keilmuan tentang sistem, yaitu (1) sibernetik, atau berorientasi pada tujuan. Pendekatan sistem dimulai dengan penetapan tujuan melalui analisa kebutuhan, (2) holistik, yaitu cara pandang yang utuh terhadap keseluruhan sistem, dan (3) efektif, yaitu mendahulukan hasil guna yang operasional baru dipikirkan efisiensi keputusan. Berdasarkan pola pikir ini metodologi sistem bertujuan untuk mendapatkan gugus alternatif sistem yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang telah diidentifikasi dan diseleksi (Eriyatno, 1999). Metodologi ini terdiri dari dua tahapan yaitu tahapan analisa (analisa sistem) dan tahapan sintesa (rekayasa sistem) atau pemodelan sistem. Analisa sistem dimulai dengan tahap analisa kebutuhan, yaitu kebutuhan yang hendak dipenuhi dengan pembentukan sistem. Analisa kebutuhan dapat merupakan hasil survey, pendapat para ahli, hasil diskusi, observasi lapang dan lainnya.
Dari hasil analisa kebutuhan para pelaku dalam sistem akan dapat
diformulasikan permasalahan dalam sistem untuk mencapai tujuan. Setelah tahap analisa kebutuhan maka dilakukan identifikasi sistem yaitu mencari mata rantai hubungan antara kebutuhan dengan masalah yang harus dipecahkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Identifikasi ini digambarkan dalam diagram
lingkar sebab-akibat (causal loops) dan diagram input output dari berbagai komponen yang dianggap mempengaruhi tujuan sistem.
Analisa Situasional Agroindustri akarwangi di Kabupaten Garut tersebar mendekati lokasi pertanaman akarwangi di empat kecamatan yaitu Kecamatan Samarang, Kecamatan Leles, Kecamatan Cilawu dan Kecamatan Bayongbong. Jumlah total pengusaha agroindustri akarwangi di keempat kecamatan tersebut 33 pengusaha dengan 43 unit ketel penyulingan. Kapasitas rata-rata ketel penyulingan sekitar 1400 kg bahan terna akarwangi kering angin dengan bonggol per kali suling.
60
Usaha agroindustri akarwangi rata-rata merupakan usaha kecil dengan asset kurang dari Rp 200 juta dan jumlah pekerja sekitar 3 orang. Rata-rata investasi tetap yang ditanamkan pada usaha ini sebesar Rp 165 juta yang terdiri dari investasi alat suling sebesar Rp 110 juta dan investasi tanah dan bangunan sebesar Rp 55 juta. Sedangkan modal kerja yang dibutuhkan rata-rata sebesar Rp 22 juta. Sumber permodalan umumnya berasal dari pengusaha sendiri. Kapasitas berjalan usaha berfluktuatif antar bulan karena dipengaruhi ketersediaan bahan baku. Pada Mei dan Juni rata-rata dapat dilakukan 25 kali suling per bulan, bulan Juli – Oktober rata-rata 20 kali suling per bulan, bulan November – Januari rata-rata 15 kali suling per bulan dan bulan Februari – April rata-rata 10 kali suling per bulan. Dengan demikian rata-rata per bulan kapasitas berjalan alat suling sepanjang tahun sebanyak 16 kali suling. Penyulingan dilakukan selama 14 jam dengan sistem uap air pada tekanan 4 - 5 atm. Rendemen minyak akarwangi yang didapat rata-rata sebesar 0,30% dari bobot terna bahan baku akarwangi kering angin dengan bonggol. Dengan demikian setiap kali suling dengan bobot terna bahan baku akarwangi seberat 1400 kg maka akan didapat sekitar 4,2 kg minyak akarwangi. Minyak akarwangi yang ditampung dipisahkan secara manual dari air uap penyulingan. Sedangkan terna akarwangi sisa penyulingan hanya dibakar dan dibuang. Jumlah pekerja penyulingan rata-rata sebanyak 3 orang yang terdiri dari satu orang tenaga tetap sebagai teknisi dan digaji per bulan dengan besar gaji sebesar Rp 500.000 per bulan dan dua orang tenaga tidak tetap yang dibayar sebesar Rp 60 000 per kali suling untuk kedua orang tersebut. Biaya operasional lain yang cukup besar adalah biaya bahan baku akarwangi dan biaya bahan bakar minyak untuk pembakaran. Dengan harga bahan baku sekitar Rp 450 per kg akarwangi maka dengan kapasitas per kali suling seberat 1400 kg diperlukan biaya bahan baku sebesar Rp 630.000. Sedangkan untuk pembakaran diperlukan sekitar 230 liter minyak tanah per kali suling, sehingga jika harga minyak tanah sebesar Rp 2.600 per liter maka diperlukan sekitar Rp 598.000 untuk biaya bahan bakar per kali suling. Pendapatan usaha akarwangi sangat ditentukan oleh penerimaan usahanya dan biaya operasional yang dikeluarkan. Besarnya penerimaan ditentukan oleh
61
kapasitas berjalan usaha, tingkat rendemen yang didapat dan harga minyak akarwangi. Sedangkan biaya operasional yang terbesar adalah biaya bahan baku terna akarwangi dengan kontribusi terhadap total biaya sekitar 48%, dan biaya bahan bakar minyak tanah dengan kontribusi sekitar 39%, kontribusi biaya tenaga kerja sekitar 6% dan biaya lainnya sekitar 7%. Akarwangi
Pembersihan
Air Destilasi
Ampas
Pemotongan Bonggol Evaporasi Pengeringan
Akarwangi Kering
Separasi
Minyak Akarwangi
Gambar 13. Diagram Alir Proses Pengolahan Minyak Akarwangi
Pada umumnya pengusaha minyak akarwangi menjual hasil minyaknya ke pengumpul di Ibukota Kabupaten . Selain PT Jasulawangi sebagai pengumpul juga ada pengumpul perorangan di Ibukota Kabupaten tersebut. Harga terna bahan baku akarwangi selalu fluktuatif setiap tahun (Gambar 14.). Harga ini selain dipengaruhi oleh ketersediaan akarwangi juga dipengaruhi oleh harga minyak akarwangi yang terjadi. Rata-rata harga terna bahan baku akarwangi dalam lima tahun terakhir sekitar Rp 450 per kg. Demikian pula dengan harga minyak atsiri selalu fluktuatif setiap tahun (Gambar 15.). Harga minyak akarwangi ini dipengaruhi oleh harga yang terjadi dipasar internasional. Rata-rata harga minyak akarwangi dalam lima tahun terakhir sekitar Rp 375 000 per kg.
62
(Rp/kg) 1000
800
600
400
200
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8
0 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Bulan Sumber: Sub Dinas Perkebunan Kabupaten Garut, 2006.
Gambar 14. Grafik perkembangan harga akarwangi di Kabupaten Garut
(Rp. Ribu/kg) 600 500 400 300 200 100
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8
0 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Bulan
Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Garut, 2006
Gambar 15. Grafik perkembangan harga minyak akarwangi di Kabupaten Garut Lembaga keuangan syariah dapat berbentuk Bank seperti Bank syariah dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) atau bukan Bank seperti Koperasi Jasa dan Keuangan Syariah (KJKS) dan Baitul Maal Wat Tamwi (BMT). Hasil
63
pengamatan di Kabupaten Garut menunjukkan pola pembiayaan yang sering diberikan oleh LKS sebagian besar (+ 90%) murabahah, diikuti pola mudarabah, musyarakah dan gadai dengan sektor pembiayaan utama yang telah dilayani adalah perdagangan umum, diikuti perdagangan hasil pertanian, industri rumah tangga dan jasa dan lainnya. Jangka waktu pembiayaan umumnya antara 12 – 24 bulan, bahkan untuk perdagangan umum dengan pola murabahah dapat antara 1 – 5 bulan. Tingkat keuntungan pembiayaan yang didapat antara 1,5% - 2,5% per bulan dengan rata-rata 2% per bulan. Syarat yang ditentukan bagi pembiayaan dengan pola bagi hasil dan bagi resiko adalah: (1) Usaha yang akan dibiayai sesuai dengan syariah. (2) Sistem pembukuan atau pengelolaan keuangan harus benar dan transparansi sehingga dapat terlihat porsi keuntungan. (3) Dari sisi karakter harus benar-benar nasabah yang amanah dan dapat dipercaya. Kendala yang dihadapi LKS untuk membiayai bidang agroindustri saat ini adalah tingginya fluktuasi harga bahan baku agroindustri dan harga produk sehingga margin yang didapat tidak besar, resiko yang harus ditanggung besar karena fluktuatif harga tersebut, pembukuan keuangan agroindustri khususnya UK agroindustri yang tidak sesuai kaidah akuntansi sehingga sulit menentukan keuntungan usaha untuk menetapkan bagi hasil dan kurangnya permodalan LKS khususnya pada KJKS dan BMT untuk membiayai agroindustri.
Analisa Kebutuhan Model evaluasi kelayakan pembiayaan usaha agroindustri minyak atsiri dengan pola syariah yang dibuat harus dapat mengidentifikasi kebutuhan setiap pelakunya yang dapat mempengaruhi jalannya sistem.
Untuk itu perlu
diidentifikasi pelaku dan kebutuhan dari masing-masing pelaku tersebut didalam sistem sebagai langkah pertama pendekatan sistem. Hasil identifikasi pelaku dalam sistem pembiayaan usaha agroindustri minyak atsiri akarwangi dengan pola syariah adalah: (1) Pengusaha penyulingan minyak atsiri; (2) Lembaga keuangan syariah; (3) Petani tanaman atsiri; (4) Eksportir minyak atsiri; (5) Pedagang perantara minyak atsiri; (6) Pemerintah.
Kebutuhan dari masing-
masing pelaku dalam sistem ini dapat dilihat pada Tabel 7 dibawah ini.
64
Tabel 7. Pelaku dan kebutuhan pelaku Pelaku Pengusaha Penyulingan Minyak Atsiri Akarwangi
Kebutuhan Pelaku
1. Ketersediaan modal usaha dengan biaya modal dan resiko yang rendah. 2. Ketersediaan bahan baku terna akarwangi terjamin 3. Harga bahan baku terna akarwangi rendah 4. Rendemen minyak atsiri tinggi 5. Biaya operasional rendah 6. Pemasaran terjamin 7. Harga minyak akarwangi tinggi
Lembaga Keuangan
1. Tingkat resiko pembiayaan rendah
Syariah
2. Tingkat keuntungan pembiayaan yang tinggi 3. Peningkatan jumlah nasabah LKS
Petani akarwangi
1. Produksi terna tinggi 2. Harga jual terna tinggi 3. Biaya usahatani rendah 4. Pasar terna terjamin
Eksportir Minyak Atsiri
1. Margin keuntungan tinggi
Akarwangi
2. Mutu minyak atsiri tinggi 3. Ketersediaan pasokan minyak atsiri tinggi 4. Kepastian pasar ekspor tinggi
Pedagang Perantara
1. Margin keuntungan tinggi
Minyak Atsiri akarwangi 2. Mutu minyak atsiri tinggi 3. Ketersediaan pasokan minyak atsiri tinggi 4. Kepastian pasar tinggi Pemerintah
1. Meningkatnya lapangan pekerjaan 2. Meningkatnya pendapatan masyarakat 3. Meningkatnya pendapatan devisa 4. Meningkatnya pendapatan daerah 5. Terjaganya kelestarian lingkungan
65
Formulasi Permasalahan Berdasarkan kebutuhan para pelaku diatas, permasalahan yang dihadapi pelaku agroindustri minyak atsiri dalam kaitannya dengan kelayakan pembiayaan agroindustri dengan pola syariah adalah: 1. Harga minyak atsiri yang selalu fluktuatif dan tidak pasti menyebabkan keuntungan usaha agroindustri minyak akarwangi menjadi sangat tidak pasti. Ketidakpastian pendapatan ini akan mengakibatkan ketidakpastian tingkat keuntungan yang akan didapat oleh LKS atas pembiayaan yang dilakukannya dan yang didapat oleh pengusaha minyak akarwangi atas investasi dan usaha yang dilakukannya. 2. Harga bahan baku terna akarwangi yang selalu fluktuatif dan tidak pasti menyebabkan biaya produksi minyak akarwangi menjadi tidak pasti sehingga menambah tingkat ketidakpastian pendapatan usaha agroindustri minyak akarwangi. 3. Tidak adanya kepastian tingkat kapasitas berjalan usaha minimal yang harus dilaksanakan oleh pengusaha pengolahan minyak akarwangi.
Kapasitas
berjalan usaha yang rendah yang ditandai dengan jumlah penyulingan per bulan yang rendah akan mengakibatkan tingkat pendapatan usaha yang rendah. 4. Tidak adanya kepastian nisbah bagi hasil dan bagi resiko yang memuaskan kedua belah pihak antara pengusaha agroindustri akarwangi dengan lembaga keuangan syariah yang akan turut membiayai usaha tersebut.
Lembaga
keuangan syariah dalam ikut serta melakukan pembiayaan suatu usaha memiliki target keuntungan minimal yang harus didapat dari pembiayaannya agar dapat memberi bagi hasil yang layak pada deposan yang telah menitipkan uangnya, dapat menutupi biaya over head yang dikeluarkannya dan mendapat keuntungan yang layak dari pembiayaan yang dilakukan. Dipihak lain pengusaha juga ingin mendapatkan imbalan yang layak atas usahanya terlebih jika usaha yang diberikan melebihi target kapasitas berjalan usaha minimal yang telah ditetapkan.
66
Identifikasi Sistem Identifikasi sistem dimaksudkan untuk menentukan batasan sistem dan ruang lingkup penelaahan sistem.
Disamping itu identifikasi sistem juga
merupakan mata rantai hubungan antara kebutuhan dengan masalah yang harus dipecahkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Identifikasi sistem dapat
digambarkan dalam bentuk diagram input-ouput. Diagram Input-Output menggambarkan model yang dikembangkan.
masukan dan keluaran dari
Masukan dalam model terdiri dari masukan
terkontrol dari dalam sistem, masukan tak terkontrol dari dalam sistem dan masukan dari luar sistem atau masukan lingkungan. Sedangkan keluaran dalam model terdiri dari keluaran yang dikehendaki dan keluaran yang tidak dikehendaki. Masukan terkontrol merupakan peubah variabel yang dapat divariasikan dengan tujuan agar keluaran yang tidak dikehendaki tidak terjadi. Apabila terjadi keluaran yang tidak dikehendaki maka masukan terkontrol harus dirubah besarannya. Masukan terkontrol ini bersama dengan masukan tidak terkontrol dan masukan lingkungan diproses dalam kotak hitam sistem pembiayaan agroindustri minyak atsiri dengan pola syariah sehingga menghasilkan keluaran yang dikehendaki. Input terkontrol dalam model evaluasi kelayakan pembiayaan agroindustri minyak atsiri dengan pola syariah meliputi skema pembiayaan , nisbah bagi hasil dan bagi resiko, kapasitas berjalan produksi, teknologi pengolahan, sistem pengadaan bahan baku dan target LKS atas hasil pembiayaan. Pengendalian input terkontrol merupakan langkah kritis untuk mencapai output yang dikehendaki yaitu tingkat pengembalian pembiayaan usaha yang tinggi, tingkat resiko pembiayaan yang rendah serta pengusaha mampu mengembalikan pembiayaan yang diterimanya. Dengan pengendalian input terkontrol diharapkan juga dapat sekaligus mencegah timbulnya output yang tidak dikehendaki yaitu biaya produksi yang meningkat, efisiensi usaha yang menurun, kelebihan produksi minyak atsiri serta menurunnya laba operasional usaha.
67
Input Lingkungan • •
Kondisi ekonomi nasional Kondisi pasar minyak atsiri internasional
Input Tak Terkontrol
Output yang Dikehendaki
• Harga minyak atsiri • Harga bahan baku • Rendemen • Persaingan industri
• Tingkat keuntungan pembiayaan usaha yang tinggi • Tingkat resiko pembiayaan yang rendah. • Pengusaha mampu mengembalikan pembiayaan
Sistem Pembiayaan Agroindustri Minyak Atsiri dengan Pola Syariah
Input Terkontrol
Output Tidak Dikehendaki
• • • • • •
• Biaya produksi meningkat • Efisiensi usaha menurun
Skema pembiayaan
Nisbah bagi hasil dan bagi resiko Kapasitas berjalan produksi Teknologi pengolahan Sistem Pengadaan Bahan Baku Target LKS atas hasil pembiayaan
• Laba operasional usaha menurun
MANAJEMEN PENGENDALIAN Gambar 16. Diagram input output sistem pembiayaan agroindustri minyak atsiri dengan pola syariah
68
Input tak terkontrol dalam model meliputi harga minyak atsiri, harga bahan baku dan rendemen serta persaingan industri. Input tak terkontrol ini akan mempengaruhi sistem dan menentukan pula apakah yang akan didapat output yang dikehendaki atau output yang tidak dikehendaki. Prakiraan nilai input tak terkontrol dimasa depan dapat mengantisipasi hal tersebut.