IV. ANALISA SITUASIONAL
4.1.
Profil Umum Daerah Irigasi (DI) Penelitian lapangan untuk pendalaman variabel-variabel yang diteliti
dilakukan pada 10 (sepuluh) daerah irigasi yang terpilih sebagai sampel dari seluruh daerah irigasi (22 DI) yang ada di Kabupaten Cianjur.
Penjelasan
Gambaran umum dari setiap daerah irigasi tersebut diuraikan sebagai berikut. (1)
Daerah Irigasi (DI) Cihea DI Cihea mempunyai luas areal sebesar 5,495 ha yang termasuk kedalam
daerah irigasi cabang dinas Ciranjang yang pengelolaannya langsung oleh Pemerintah Pusat. DI Cihea yang bersumber dari sungai Cisokan merupakan peninggalan Belanda yang didirikan pada tahun 1816. Bagian hulu sungai Cisokan terdapat di DI Cilikin sedangkan DI Cihea terdapat di bagian hilir sungai yang bendungnya berada di desa Sukarama. Lokasi pelayanan DI berada di desa Sukarama seluas 45.05 ha, Sukajaya seluas 43.9 ha, Cikondang 48 ha, dan Jatisari 42 ha. Keadaan sungai tidak baik dengan debit dan kualitas air yang semakin berkurang pada setiap musim tanam hal ini diakibatkan gundulnya hutan di bagian hulu sungai, sehingga tidak mampu menyerap dan menampung air pada waktu musim penghujan. Daerah Irigasi Cihea mempunyai 65 unit P3A tersebar di 25 desa yang tergabung dalam GP3A/IP3A Tirta Mulya Rezeki. Bangunan tetap pada DI Cihea dalam keadaan rusak, empat buah pintu air dapat berfungsi dengan baik, tiga buah pintu air rusak dan satu pintu air rusak berat.
Gambar 10 Pintu tersier pada DI Cihea
77
(2)
Daerah Irigasi (DI) Cipadang/Cibeleng DI Cipadang/Cibeleng yang dikelola oleh Pemerintah Propinsi ini
mempunyai luas areal sebasar 1,797 ha didirikan tahun 1996 yang termasuk kedalam DI cabang dinas Cibeber, mempunyai 12 P3A tersebar di 12 desa yang tergabung dalam GP3A/IP3A Assalam. DI ini berada di bagian tengah, hilir di Bojong Nangka dan hulu di Leuwi Luwur dengan bendung berada di kecamatan Warung Kondang. Lokasi pelayanan DI berada di desa Sukamulya seluas 161 ha, Cikaroya seluas 222 ha, Cisarandi seluas 222 ha, Warung Kondang 4 ha, dan Clender 161 ha. Bangunan tetap pada DI ini mempunyai kondisi rusak dengan dua buah pintu air dalam keadaan sedang dan penguras dalam keadaan baik sedangkan dua pintu airnya dalam kondisi sedang.
Gambar 11 Kondisi Bendung Cibeleng pada DI Cipadang Cibeleng (3)
Daerah Irigasi (DI) Susukan Gede DI Susukan Gede termasuk kedalam DI cabang dinas Cibeber yang
dikelola oleh Pemerintah Propinsi dengan luas areal sebesar 1,010 ha mempunyai 10 P3A tersebar di 9 desa dan tergabung dalam GP3A/IP3A Mahi Cai. DI ini didirikan tahun 1913 yang berada di bagian hilir sungai Cikondang dan bagian hulu berada di Leuwi Pehit. Pelayanan DI berada di Cihideung seluas 17.1 ha, Cipetir seluas 22.4 ha, Cisalak 82.2 ha, Wayak seluas 20.4 ha, Sukamaju seluas 101 ha, dan Sukaharja seluas 136.6 ha. Bangunan tetap
78
berada dalam kondisi rusak dan dua buah dari tiga pintu airnya rusak berat, penguras air juga dalam keadaan rusak dan bangunan ukur dalam keadaan baik.
Gambar 12 Areal persawahan siap panen pada DI Susukan Gede (4)
Daerah Irigasi (DI) Ciheulang DI Ciheulang ini dikelola oleh Pemerintah Propinsi dengan luas areal
sebesar 1,511 ha yang termasuk dalam DI cabang dinas Cianjur Kota, terdapat 9 P3A tersebar di 9 desa dan tergabung dalam GP3A/IP3A Karang Luyu. DI ini berada di bagian tengah susukan Cianjur dengan Bandung di desa Langen Sari, bagian hulu berada di Cianjur Lesik dan hilir di Cibalagung, Cipayunsa dan Cihea. Pelayanan DI berada di desa Langan Sari seluas 109 ha, Sukasari seluas 190 ha, Babakan Caringin seluas 241, Ciherang seluas 160 ha, Sukasirna 194, dan Sukasaran seluas 109 ha. Bangunan tetap dan tiga pintu air dalam keadaan baik dan bangunan ukur dengan panjang saluran 20 meter dalam keadaan baik juga. (5)
Daerah Irigasi (DI) Cikawung DI Cikawung berada dalam DI cabang dinas Sukanaga yang dikelola oleh
Pemerintah Propinsi dengan luas areal sebesar 947 ha dan mencakup Kecamatan Kadupandak. DI ini mempunyai 3 P3A tersebar di 3 desa yang tergabung dalam GP3A/IP3A Sauyunan, berada di bagian hulu sungai Cikawung
79
dan bendungnya berada di Kecamatan Kadupandak. Pelayanan DI berada di desa Pasir Dalem seluas 512 ha, Sukaraja seluas 793, dan Kadupandak seluas 198. Bangunan tetap dan 3 buah pintu airnya dalam keadaan rusak, bangunan ukur dalam kondisi sedang, sedangkan 6 buah suplisi dan 2 buah penguras dalam keadaan baik. Berikut contoh gambar kerusakan pintu pembagi pada DI Cikawung (Gambar 13)
Gambar 13 Kerusakan pintu pembagi pada DI Cikawung (6)
Daerah Irigasi (DI) Cilumut/Pasir Kerud DI yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten ini mempunyai luas areal
sebesar 863 ha, berada dalam DI cabang dinas Sukajadi dan mencakup Kecamatan Tanggeung dan Kecamatan Pegelaran. DI Cilumut/Pasir Kerud mempunyai 7 P3A tersebar di 3 desa yang tergabung pada GP3A/IP3A Tirta Mukti. Berada di daerah tengah sungai Cilumut dan lokasi Bandung berada di desa Pagelaran. Pelayanan DI berada di desa Pagelaran seluas 314 ha, Tanggeng seluas 172 ha, dan Bojong Pete seluas 377 ha. DI ini mempunyai bangunan tetap dalam kondisi rusak dan kurang berfungsi, dan mempunyai 3 buah pintu air yang masing-masing dalam kondisi sedang, rusak dan rusak berat. Penguras yang mempunyai panjang 75 meter dan 1 pintu air dalam keadaan fisik sedang dan berfungsi dengan baik. Sedangkan untuk bangunan ukur yang mempunyai panjang 50 meter dalam keadaan baik dan berfungsi baik juga.
80
Gambar 14 Saluran pembawa tanah rawan longsor pada DI Cilumut/Pasir Kerud (7)
Daerah Irigasi (DI) Nagrog DI Nagrog termasuk dalam cabang dinas Sukajadi yang dikelola oleh
Pemerintah Kabupaten mempunyai luas areal sebesar 942 ha meliputi Kecamatan Tanggeung dan Kecamatan Pagelaran, berada di bagian hulu sungai Cilumut dengan bendung berada di desa Simpang Kecamatan Pagelaran. Mempunyai 2 P3A tersebar di 4 desa yang tergabung dalam GP3A/IP3A Sauyunan. Pelayanan DI berada di desa Simpang seluas 72 ha, Mekar Mulya seluas 349 ha, Kubang seluas 425 ha, dan Cilongkong seluas 95 ha. Bangunan tetap DI Nagrog berada dalam kondisi sedang, 2 buah pintu air dalam keadaan rusak, bangunan ukur dan penguras dalam kondisi sedang. (8)
Daerah Irigasi (DI) Ciraden/Leuwi Leungsir DI
Ciraden/Leuwi
Leungsir
dikelola
oleh
Pemerintah
Kabupaten
mempunyai luas areal sebesar 814 ha termasuk dalam cabang dinas Pacet, didirikan tahun 1942 yang berada di bagian tengah sungai Ciraden dan meliputi Kecamatan Cikalongkulon. Bagian hulu sungai Ciraden berada di DI Cinangka dan hilir di DI Leuwi Bokor dan Cimande. DI ini Mempunyai 8 P3A tersebar di 8 desa yang tergabung dalam GP3A/IP3A Kayungyun. Pelayanan DI berada di desa Padajaya seluas 26 ha, Cinangsi seluas 35 ha, Mekargalih 100 ha, Sukagalih seluas 158 ha, Neglasari seluas 188 ha, dan Lembah Sari seluas 73
81
ha. Bangunan tetap DI dalam kondisi rusak, 3 buah dari 4 buah pintu air bangunan tetap , penguras dan bangunan ukur sepanjang 100 dengan sebuah pintu airnya dalam keadaan rusak berat.
Gambar 15 Sedimentasi di saluran pada DI Ciraden/Leuwi Leungsir (9)
Daerah Irigasi (DI) Leuwi Bokor DI Leuwi Bokor berada dalam DI cabang dinas Pacet yang dikelola
Pemerintah Kabupaten mempunyai luas areal sebasar 587 ha meliputi Kecamatan Cikalongkulon. Didirikan tahun 1980 yang berada bagian tengah sungai
Cikundul
dan
bendung
berada
di
desa
Majalaya
Kecamatan
Cikalongkulon. DI ini mempunyai 3 P3A tersebar di 4 desa yang tergabung dalam GP3A/IP3A Mitra Cikundul. Pelayanan DI berada di desa Majalaya seluas 250 ha, Cijagang seluas 57 ha, dan Sukamulya seluas 280 ha.
Bangunan tetap
dalam kondisi rusak berat dan ketiga pintu air dalam keadaan sedang. Bangunan ukur sepanjang 110 meter dan penguras sepanjang 150 meter. (10) Daerah Irigasi (DI) Cisalak/Batusahulu DI Cisalak/Batusahulu termasuk dalam DI cabang dinas Pacet yang didirikan tahun 1920, dikeloa oleh Pemerintah Kabupaten mempunyai luas areal sebesar 957 ha. DI ini meliputi Kecamatan Sukaresmi dan Cikalongkulon yang
82
bendungnya berada di desa Cikancana Kecamatan Sukaresmi, mempunyai 7 P3A tersebar di 3 desa yang tergabung dalam GP3A/IP3A Sukatani. Pelayanan DI berada di desa Cikancana seluas 194 ha, Sukamahi seluas 687 dan Majalaya seluas 267 ha. Bangunan tetap DI dalam keadaan baik dan dua buah pintu air dalam kondisi sedang, bangunan ukur sepanjang 80 meter kondisinya baik, bangunan bagi sepanjang 130 meter keadaannya rusak dan sebuah pintu airnya dalam kondisi sedang.
Gambar 16 Kerusakan pada saluran tersier pada DI Cisalak/Batusahulu
4.2.
Aspek Lingkungan Lingkungan pada hakekatnya merupakan tempat hidup dimana manusia,
benda hidup dan tak hidup lainnya berinteraksi dan saling mempengaruhi. Fungsi dan peranan lingkungan yang utama adalah sebagai sumber bahan mentah untuk diolah menjadi barang jadi atau untuk langsung dikonsumsi sebagai asimilator yaitu pengolah limbah secara alamiah. perkembangan kesejahteraan
kegiatan manusia
pembangunan yang
tidak
dan
Sejalan dengan
upaya-upaya
mengindahkan
pencapaian
kelestarian
telah
menyebabkan perubahan fungsi dan peranan lingkungan telah menurun dari waktu ke waktu. Kondisi demikian tidak terlepas dari eksploitasi manusia yang berlebihan
terhadap
lingkungan
alami
sehingga
akibatnya
tidak
hanya
83
menurunkan fungsi lingkungan tersebut, melainkan juga memicu timbulnya “scarcity”. Kerusakan lingkungan di Kabupaten Cianjur antara lain dapat dilihat dari kondisi hutan, khususnya yang berada di kawasan Cipanas sudah banyak mengalami kerusakan. Secara umum pembagian hutan yang ada di Kabupaten Cianjur terdiri atas hutan produksi, hutan lindung, dan hutan wisata/suaka alam. Berdasarkan data statistik tahun 2005, kondisi lingkungan hutan mengalami penurunan selama kurun waktu tahun 2001 – 2005 sebagaimana yang terlihat pada Tabel 15. Tabel 15 Luas kawasan hutan menurut fungsinya di Kabupaten Cianjur Kondisi Hutan a. Hutan Produksi b. Hutan Lindung c. Suaka Alam/ Hutan Wisata Jumlah
2001 63,440.91
2002 63,440.91
2003 42,351.58
2004 2005 43,351.58 43,351.58
5,215.05
5,215.05
24,259.79
24,305.66 24,305.66
206.54
206.54
45.87
68,862.50
68,862.50
66,657.24
-
-
66,657.24 66,657.24
Sumber: Kabupaten Cianjur Dalam Angka, BPS: 2005
Berdasarkan informasi yang tersaji pada Tabel 13 di atas terlihat bahwa luas kawasan hutan mengalami penurunan dari tahun 2001 seluas 68,862.50 ha menjadi 66,657.24 hektar pada tahun 2005 atau kehilangan seluas 2,205.26 dari total luas kawasan hutan. Kondisi kerusakan lingkungan tersebut ditunjukkan pula oleh adanya lahan kritis yang cukup besar, yaitu mencapai sebesar 35% dari total luas kawasan hutan.
Pengertian lahan kritis menurut pandangan
Sitorus (2004) adalah lahan yang pada saat ini tidak atau kurang produkstif ditinjau dari penggunaan pertanian, karena pengelolaan dan penggunaannya tidak atau kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah. Pada lahan kritis terdapat satu atau lebih faktor penghambat yang kurang mendukung dalam usaha-usaha pemanfaatannya untuk kegiatan pertanian. Kerusakan lingkungan pada lahan kritis di Kabupaten Cianjur cukup memprihatinkan. Pada tahun 2001 lahan kritis di Kabupaten Cianjur mencapai sebesar 30,995.62 ha, kemudian mengalami penurunan sampai tahun 2005 menjadi 22,916.52 ha, dan setahun kemudian bertambah lagi menjadi 23,332.60 ha pada tahun 2006, sebagaimana tersaji pada Gambar 17.
84
35000
30995.62
29540.02
30000
27911.12 24848.28
L u a s (h a )
25000
22916.52
23332.6
2005
2006
20000 15000 10000 5000 0 2001
2002
2003
2004
Tahun Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Cianjur tahun 2006 – 2011.
Gambar 17 Luas lahan kritis di Kabupaten Cianjur Penurunan luas lahan kritis di Kabupaten Cianjur terjadi karena adanya penanganan melalui kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan, antara lain adalah kegiatan pembuatan hutan dan kebun rakyat, kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, kegiatan pengembangan pengelolaan hutan rakyat, , serta kegiatan gerakan rehabilitasi lahan kritis lainnya. Upaya penanganan kondisi kerusakan hutan baik pada luas kawasan hutan dan luas lahan kritis perlu diupayakan terus untuk menjaga kelestarian fungsinya antara lain sebagai sumber air bagi kehidupan warga Kabupaten Cianjur. Kondisi kerusakan lingkungan kawasan hutan dan lahan kritis di Kabupaten Cianjur tentunya memberikan implikasi salah satunya terhadap ketersediaan air di musim kemarau pada setiap sumber air yang semakin menurun. Hal ini dikarenakan daya tampung dan kemampuan meresapkan air pada wilayah tersebut akan menurun. Menurunnya debit air tersebut antara lain terlihat dari data debit sungai yang mengalir pada 10 (sepuluh) daerah irigasi sampel lokasi penelitian, yaitu (1) DI Ciheulang; (2) DI Cipadang/Cibeleng; (3) DI Susukan Gede; (4) DI Cihea; (5) DI Cisalak/Batusahulu; (6) DI Leuwi Bokor; (7) DI Ciraden/Leuwi Leungsir; (8) DI Cikawung; (9) DI Nagrog; (10) DI Cilumut/Pasir
85
Kerud. Pada pengukuran tahun 2007 debit sungai pada beberapa daerah irigasi tersebut selama bulan Januari – Juni mencapai sebesar 124.140 liter/detik, kemudian menurun cukup drastis pada musim kemarau (Juli – Desember) yang mencapai sebesar 44.028 liter/detik. Penurunan debit air cukup tajam baik pada hitungan pertama (B-I) maupun kedua (B-II) setiap bulan, khususnya mulai pada bulan mei sampai september, kemudian naik perlahan pada bulan oktober sampai desember. Kondisi tersebut dapat dilihat pada Gambar 18. 140.000 Debit Air (ltr/det)
120.000 100.000 80.000
B-I
60.000
B-II
40.000 20.000 0.000 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Bulan
Gambar 18. Debit air sungai bulanan (B-I dan B-II) pada daerah irigasi lokasi sampel di Kabupaten Cianjur, 2007 Secara umum sumber daya air yang terdapat di Kabupaten Cianjur meliputi air permukaan (berupa sungai-sungai), mata air, dan air tanah. Sumber air tersebut dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pertanian, domestik, industri, dan lain-lain. (1) Air Permukaan Air permukaan di kabupaten Cianjur meliputi sungai dan curah hujan sepanjang tahun. Di beberapa daerah, air mengalir sepanjang tahun karena curah hujan cukup tinggi, sehingga pada musim kemarau tidak terlihat adanya kekeringan. Sungai-sungai yang mengalir mempunyai pola dendritik. Sungai Citarum merupakan sungai utama yang mengalir ke bagian utara dengan beberapa bagian anak sungainya di Kabupaten Cianjur antara lain Sungai Cibeet, Sungai Cikundul, Sungai Cialagung dan Sungai Cisokan. Sungai-sungai tersebut membentk sub-DAS yang merupakan bagian dari DAS Citarum yang bermuara di Laur Jawa. Di bagian selatan terdapat Sungai Cibuni, Sungai Cisokan, Sungai Cisadea, Sungai Ciujung, dan Sungai Cilaki
86
yang merupakan sub-DAS Cibuni – Cilaki yang bermuara di Samudera Indonesia. Terdapat 3 buah waduk yang memanfaatkan aliran sungai Citarum yaitu Jatiluhur Cirata dan Saguling. Waduk Cirata mempunyai luas genangan 6.400 ha, dimana + 3.400 ha menggenangi wilayah kabupaten Cianjur. Genangan tersebut merupakan sumber air permukaan / penampung air yang dapat dimanfaatkan sebagi pengairan persawahan, pembangkit tenaga listrik dengan kapasitas 550 MW jam/tahun serta pengembangan budidaya perikanan darat dan pariwisata. Selain sungai, potensi air permukaan di Kabupaten Cianjur adalah situ/rawa yang terdapat di Kecamatan Pagelaran, Kecamatan Tanggeung, Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Kadupandak. Terdapat sekitar 16 situ/rawa mencakup luas + 33.50 ha dengan perkiraan volume air 594.300 m3 dan mampu menagiri sawah + 1,431 ha. Kabupaten Cianjur pun memiliki daerah resapan air yang merupakan resapan utama atau primer, meliputi bagian lereng pada ketinggian tertentu sampai puncak gunung yang terutama dibentuk oleh batuan muda. Selain itu, zona resapan utama meliputi bagian daerah pegunungan dan perbukitan yang punggungnya merupakan pemisah air utama bagi sungai-sungai yang mengalir ke utara dan selatan. (2) Mata Air Zona mata air yang sangat vital atau berpotensi di Kabupaten Cianjur terutama berada pada kawasan lereng bagian timur Gunung Gede. Air yang berasal dari mata air dalam zona ini terutama ditampung oleh Sungai Cilaki, Sungai Cisarua, Sungai Cicaringin dan Sungai Cikundul. Sumber air bersih ini terutama dimanfaatkan untu kepentingan domestik (rumah tangga), pertanian dan waduk Cirata. Zona mata air yang berada pada lereng bukit di dataran tinggi Sukanegara-Campaka bagian utara selain untuk kepentingan domestik dan pertanian juga dimanfaatkan untuk waduk Cirata yang disalurkan melalui Sungai Cikondang dan Sungai Cisokan. Sebagian besar resapan air hujan yang ditampung oleh Gunung Wayang bagian barat, Gunung Sembul dan Gunung Simpang bagian selatan, Gunung Kuda bagian selatan dan lereng-lereng bukit bagian selatan dataran tinggi Sukanagara-Campaka menimbulkan sejumlah zona mata air yang sebagian bersifat permanen dan semi permanen mata air musiman. Keadaan ini antara
87
lain disebabkan oleh sebagian besar susunan pelapisan batuannya bersifat lempungan. Zona mata air sekunder terdapat di bagian kaki bukit (foot hill), tepi depresi Kadupandak dan tempat-tempat tertentu zona pantai. (3) Air Tanah Potensi air tanah di Kabupaten Cianjur meliputi air tanah bebas dangkal, air tanah bebas dalam, dan air tanah pantai. Air tanah bebas dangkal umumnya merupakan daerah pedataran lembah dan pantai serta daerah depresi (Depresi Cianjur, Depresi Paglaran, Depresi Kadupandak, dan lain-lain). Air tanah bebas dangkal tersebut terdapat hampir di semua pedataran dan sudah banyak dimanfaatkan unuk kebutuhan domestik. Air tanah bebas dalam (TMA lebih dari 10 m) terutama pada daerah perbukitan yang berada diantara wilayah mata air. Air tanah dangkal pantai meliputi pedataran sekitar pantai laut Samudera Indonesia dan Waduk Cirata. Pada zona ini bermuara sejumlah sungai yang senantiasa mengendapkan partikel-partikel hasil erosi dalam berbagai ukuran dan mengandung air. Air dangkal pantai ini tersebar di sepanjang pantai selatan Cianjur. Secara umum kemanfaatan sumber daya air irigasi dalam skala makro berdampak cukup luas. Hal ini perlu didukung oleh kondisi lingkungan hutan yang menunjang dan luasan lahan kritis yang ditekan pada tingkat yang minimal di daerah hulu. Kondisi lingkungan yang mendukung di daerah hulu akan memberikan manfaat pada ketersediaan air yang lestari, yang pada gilirannya memberikan kontribusi positif terhadap ketersediaan air irigasi untuk memenuhi kebutuhan air tanaman.
Hasil akhir yang dapat dicapai
adalah produktivitas hasil pertanian, yang kemudian akan memberikan manfaat terhadap ketahanan pangan serta kesejahteraan masyarakat. Keberadaan hutan lestari di daerah hulu sebagai catchment area yang semakin memprihatinkan berakibat buruk terhadap stabilitas debit air yang mengalir disepanjang daerah irigasi. Fluktuasi debit air yang tidak terkendali sering terjadi yaitu debit air yang sangat tinggi saat musim hujan dan kekurangan debit air yang mengakibatkan kekeringan saat musim kemarau. Hal ini sangat mempengaruhi produktivitas usaha tani di sepanjang aliran sungai irigasi. Kegiatan konservasi hutan di daerah hulu sampai sekarang masih belum dilaksanakan dengan optimal, hal ini disebabkan belum adanya kejelasan mengenai kebijakan yang mengatur kelestarian lingkungan dan konservasi tanah
88
dan air. Hal ini menyebabkan potensi sumberdaya air dari hulu-hilir belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Upaya untuk meningkatkan daya dukung lingkungan diperlukan melalui penataan dan rencana pola pemanfaatan ruang kawasan lindung secara tepat. Arah kebijakan yang ditetapkan oleh Kabupaten Cianjur adalah: (1) menetapkan kawasan lindung sebesar 173,207 ha (49.47%) yang meliputi rencana pemanfaatan ruang kawasan lindung (hutan) dengan luas 79,818 ha (22.79%) dan
kawasan
lindung
(nonhutan)
sebesar
93,399
ha
(26.67%);
(2)
mempertahankan kawasan-kawasan resapan air atau kawasan yang berfungsi hidrologis untuk menjamin ketersediaan sumber daya air; dan (3) mengendalikan pemanfataan ruang di luar kawasanhutan sehingga tetap berfungsi sebagai lindung. Kondisi rencana tersebut belum dapat tercapai mengingat kawasan hutan lindung yang ada masih seluas 5,215.05 ha (1.49%), serta kawasan potensi resapan air hanya terdapat di sekitar Kecamatan Cugenang seluas 1,000.53 ha. Permasalahan tersebut menunjukkan indikasi bahwa di Kabupaten Cianjur belum terwujud kawasan lindung seluas 49.47% dari luas wilayah kabupaten sesuai yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Cianjur. Belum tercapainya kesesuaian penggunaan lahan untuk kawasan lindung antara lain terlihat dari indikasi bahwa kawasan hutan primer belum tercapai kesesuaian penggunaannya di 23 kecamatan, kawasan hutan sekunder belum tercapai kesesuaian penggunaannya di 26 kecamatan, kawasan perkebunan belum tercapai kesesuaian penggunaannya di 26 kecamatan, kawasan padang rumput belum tercapai kesesuaian penggunaannya di 10 kecamatan dan masih luasnya lahan kritis yang belum dioptimalkan sebagai daya dukung lingkungan. Bertambah luasnya areal lahan kritis di Kabupaten Cianjur belum dapat ditangani secara optimal. Berdasarkan catatan Dinas PKT, luas lahan kritis di Kabupaten Cianjur diperkirakan sudah lebih dari 33,000 ha. Bahkan lebih dari itu dilaporkan berdasarkan pengamatan satelit bahwa lahan kritis di Kabupaten Cianjur diperkirakan sudah mencapai 65,000 ha.
Beberapa upaya telah
dilakukan oleh pemerintah daerah, namun kenyatannya masih belum mampu mengatasi rusaknya hutan dan luasnya areal kritis secara optimal.
89
4.3.
Aspek Ekonomi Pertanian
4.3.1. Usaha Tani Air merupakan sumber daya alam yang memegang peranan sangat penting dalam kehidupan manusia, termasuk untuk peningkatan pendapatan dalam suatu usaha di sektor pertanian. Debit dan kualitas air yang baik sangat diperlukan dalam memenuhi kebutuhan air tanaman untuk peningkatan produktivitas hasil pertanian. Sumber air yang digunakan untuk budidaya pertanian umumnya berasal dari air hujan atau yang dikenal dengan sawah tadah hujan dan air irigasi atau yang lebih dikenal dengan sawah beririgasi. Kondisi yang dterjadi di kabupaten Cianjur menunjukkan bahwa sawah tadah hujan hanya berada di daerah dataran tinggi yang sulit dijangkau oleh aliran air irigasi, sedangkan lainnya merupakan sawah yang sebagian besar dapat dialiri oleh air irigasi. Kondisi geografis kabupaten Cianjur menunjukkan karakteristik yang sangat mendukung usaha kegiatan di sektor pertanian, termasuk usahatani padi tadah hujan dan sawah beririgasi. Namun demikian, status masyarakatnya mayoritas mempunyai status petani sebagai penggarap yang mengolah lahan pertanian kurang dari 0.5 ha, sebagaimana yang terlihat pada Tabel 16 dan Gambar 19. Tabel 16 Status dan luas kepemilikan lahan pertanian irigiasi petani Cianjur Status kepemilikan lahan Status Jumlah (%) Pemilik 27 Pemilik Penggarap 29 Penggarap 38 Sewa 6 Lainnya 1 1.5-2 Ha 13%
Luas kepemilikan lahan Luas (ha) Jumlah (%) >2 4 1.5-2 13 1-1.5 8 0.5-1 25 <0.5 50
>2 Ha 4%
1-1.5 Ha 8% <0.5 Ha 50%
0.5-1 Ha 25%
Gambar 19 Luas areal kepemilikan lahan pertanian irigasi petani Cianjur
90
Secara umum, mata pencaharian masyarakat di Kabupaten Cianjur sebagian besar adalah di sektor pertanian dengan status petani sebanyak 78%, sedangkan pedagang sebesar 14%, dan lainnya sebesar 8%. Sebanyak 65% petani menyatakan telah mempunyai pengalaman bertani lebih dari 10 tahun, hal ini dikarenakan pada umumnya usaha pertanian ini telah dilakukan secara turun temurun dengan usia produktif sebanyak 62% adalah 18-52 tahun. Pada sisi lain, mata pencaharian penduduk di Kabupaten Cianjur menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan dari sektor pertanian umumnya lebih kecil bila di bandingkan dengan sektor non pertanian. Perbandingan pendapatan dari pertanian mencapai rata-rata sebesar Rp 426,098 setiap bulannya, sedangkan pendapatan dari sektor non pertanian mencapai sebesar 675,000 setiap bulannya. Struktur
perekonomian
Kabupaten
Cianjur
berdasarkan
analisis
situasional masih berbasis pada sektor pertanian. Beberapa permasalahan yang ditemukan dalam usaha pertanian tersebut adalah usaha tani yang dilakukan masyarakat umumnya masih konvensional dengan adopsi teknologi belum optimal, struktur kepemilikan lahan pertanian beririgasi rata-rata sekitar 0.2 Ha dengan sebagian besar dikuasai oleh penduduk luar Cianjur, produktivitas hasil usaha tani nonirigasi lebih rendah dibandingkan dengan usaha tani beririgasi. umumnya petani menjual hasil panennya langsung ke tengkulak dengan sistem borongan dan “ijon” dan iuran untuk irigasi sebagian besar masih belum optimal dengan tingkat pembayaran mencapai sebesar 20-50%. Permasalahan ekonomi pertanian juga tidak terlepas dari permasalaan areal lahan pertanian beirigasi. Kondisi lahan yang ada umumnya masih dalam keadaan baik, namun dibeberapa lokasi terdapat perubahan fungsi menjadi daerah pemukiman penduduk terutama dipusat Kota Cianjur dan jalur jalan Ciranjang – Cianjur. Perubahan fungsi areal sawah irigasi ini berakibat pada berkurangnya
lahan
pertanian
terutama
pada
Daerah
Irigasi
Cianjur
Leutik,Ciheulang dan Daerah Irigasi lainnya. Melihat potensi areal lahan daerah irigasi pedesaan yang mempunyai luas hampir sebanding dengan luas lahan irigasi pemerintahan merupakan potensi yang perlu dikembangkan/ditingkatkan dengan cara intensifikasi. Hasil pengamatan di lapangan dan wawancara singkat dengan penduduk setempat ternyata lahan irigasi pedesaan di Kabupaten Cianjur sangat potensial untuk
91
ditingkatkan. Sumber air yang ada baik kuantitas maupun kontinuitasnya dirasa cukup memadai. Namun karena banyak saluran air yang masih berupa saluran sederhana tanpa pasangan banyak saluran yang bocor dan airnya terbuang. Kondisi bentang alam di Kabupaten Cianjurmemiliki karakteristik berbukit dan bergunung, dengan kondisi tanah yang relatif rawan terhadap bencana alam seperti longsor terutama di wilayah Cianjur Bagian Selatan dan Cianjur Bagian Tengah. Kondisi ini memerlukan rencana dan penanganan serta pengelolaan yang memperhatikan ambang batas ekologi terutama pada bentang alam yang ekstrim. Apabila melihat kondisi topografi wilayah Kabupaten Cianjur sebelah selatan umumnya merupakan daerah perbukitan, sehingga hal ini menyulitkan dalam pengembangan daerah irigasi terutama ekstensifikasinya. Apabila dipaksakan akan menyerap biaya investasi yang cukup besar terutama dalam penyediaan infrastrukturnya.
4.3.2. Pembiayaan Jaringan Irigasi Pembiayaan Daerah Irigasi (DI) berdasarkan luasannya terbagi menjadi 3 yaitu
DI>3000
ha
pembiayaan
dilakukan
oleh
pemerintah
pusat,
1000 ha
kecilnya
dana
yang
dapat
dikumpulkan
dari
petani
ini
menyebabkan kebutuhan untuk operasionalisasi kelembagaan irigasi lebih dari 50% tidak dapat terpenuhi, 66% kegiatan kelembagaan irigasi dilakukan seadanya dan 21% kegiatan bahkan tidak dilakukan sama sakali. Sekitar 70% dana untuk mengatasi kekurangan dana operasional kelembagaan diharapkan di berikan oleh pemerintah, 15% dari usaha lembaga sendiri dan 8% sisanya dapat dipenuhi dari pihak lain yang secara sukarela membantu. Namun lebih dari 50% menyatakan bahwa belum adanya usaha yang signifikan untuk mengatasi semua
92
kekurangan tersebut.
Gambaran persentase pengumpulan iuran pengelolaan
irigasi di jaringan tersier dapat dilihat pada Gambar 20.
4% 26%
<25%
0%
25-50%
51-75% 70%
76-100%
Gambar 20. Persentase pengumpulan iuran pengelolaan irigasi jaringan tersier pada P3A unit 4.4. Aspek Kelembagaan Perkembangan kebijakan sumber daya air dan irigasi mengalami proses perubahan yang signifikan sejalan dengan pelaksanaan kegiatan pembangunan dan tututan kebutuhan masyarakat akan sumber daya air. Reformasi dan desentralisasi kebijakan sumber daya air dan irigasi di Indonesia membutuhkan peningkatan kemampuan pada semua lembaga dan institusi yang baru dibentuk atau yang baru direorganisasi yang memungkinkan mereka memikul tanggung jawab dan tugas dalam paradigma baru pengelolaan sumber daya air dan irigasi sesuai amanat reformasi. Selain itu dengan telah ditetapkannya Undang-Undang No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air sebagai pengganti Undang-undang No. 11 tahun 1974 tentang pengairan, memberikan konsekuensi logis terhadap revisi beberapa produk peraturan perundangan turunan yang tidak sesuai dengan UndangUndang No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Produk peraturan perundangan dan peraturan turunan antara lain mengatur irigasi, sungai dan rawa dalam bentuk peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri., seperti Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi. Selama ini pengelolaan irigasi – yang meliputi operasi dan pemeliharaan, pengamanan, rehabilitasi, dan peningkatan jaringan irigasi – belum terlaksana secara optimal, sehingga mempercepat kemunduran kinerja sistem irigasi, yang
93
berimplikasi pada pelaksanaan rehabilitasi dan peningkatan yang lebih cepat dari waktu yang semestinya. Berbagai permasalahan dan tantangan pembangunan yang dihadapi pemerintah saat ini seperti kualitas sumber daya manusia yang pada umumnya masih rendah mempengaruhi kemampuan pengelolaan irigasi. Demikian pula halnya dengan kondisi pelayanan dan penyediaan infrastruktur mengalami penurunan kuantitas dan kualitas yang akhirnya mempengaruhi pelayanan kepada masyarakat pengguna air irigasi. Dalam kondisi demikian, Pemerintah melakukan reorientasi pembaharuan kebijakan pengelolaan irigasi melalui format Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif (PPSIP). PPSIP sebagai kerangka dasar pelaksanaan kegiatan program reformasi pengelolaan irigasi secara partisipatif dikembangkan dalam mewujudkan pencapaian tujuan reformasi kebijakan sumber daya air dan irigasi sebagaimana yang diamanatkan publik dalam peraturan perundang-undangan. Tujuannya adalah agar kelembagaan pengelolaan irigasi, petani pemakai air dan penerima manfaat irigasi lainnya, mampu melaksanakan pengelolaan irigasi secara efektif dan efisien serta berkelanjutan dengan melibatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan sistem irigasi baik pengembangan maupun pengelolaan jaringan irigasi. Perjalanan kelembagaan pengelolaan irigasi itu sendiri sudah mengalami pergeseran makna dari pengertian sebelumnya sebagaimana yang ditetapkan dalam UU No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan yang menegaskan bahwa kelembagaan pengelolaan irigasi terdiri dari Dinas Pengairan dan organisasi Perkumpulan Petani Pemakai Air. Kemudian 25 (duapuluh lima) tahun kemudian pengertian tersebut diperluas dalam Instruksi Presiden No. 3 tahun 1999 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Pengelolaan Irigasi (PKPI) yang mengembangan organisasi P3A pada tingkat sekunder dengan membentuk organisasi Gabungan P3A (GP3A). Peraturan
Selanjutnya ketentuan tersebut diperkuat hukumnya melalui
Pemerintah
(PP)
No.
77
tahun
2001
tentang
Irigasi
yang
mengamanatkan pembentukan dan pengembangan organisasi pada tingkat jaringan utama melalui Gabungan P3A (GP3A) dan Induk P3A (IP3A). Perkembangan kebijakan lainnya menutun perubahan kelembagaan pengelolaan irigasi menjadi luas, yaitu mencakup instansi Pemerintah, Komisi Irigasi dan P3A/GP3A/IP3A sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan PP No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi.
94
Berbagai perubahan tersebut pada dasarnya mengingatkan bahwa sistem irigasi yang optimal tidak bisa terlepas dari peranan kelembagaan petani irigasi yang berfungsi dengan baik. Kelembagaan petani irigasi ini akan sangat mendukung dalam rangka peningkatan produktivitas dan pendapatan petani. Secara umum, Kelembagaan Pengelolaan Irigasi (KPI) meliputi instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, perkumpulan peani pemakai air (P3A) atau pihak lain yang kegiatannya berkaitan dengan pengelolaan irigasi sesuai dengan kewenangannya
baik
dalam
perencanaan,
pembangunan,
operasi
dan
pemeliharaan, rehabilitasi peningkatan dan pembiayaan jaringan irigasi. Salah satu kelembagaan Pengelolaan irigasi di Kabupaten Cianjur pada tingkat daerah irigasi adalah perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A), yang terdiri dari tingkat P3A unit, Gabungan P3A, dan Induk P3A. Perkembangan P3A di Kabupaten Cianjur dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu P3A yang sudah berkembang, yang sedang berkembang dan yang belum berkembang. Berdasarkan data yang ada terlihat bahwa perkembangan P3A di kabupaten Cianjur didominasi oleh P3A yang sudah berkembang, yaitu sebesar
55%.
Untuk
lebih
jelasnya
mengenai
pembagian
klasifikasi
perkembangan organisasi P3A di Kabupaten Cianjur dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Perkembangan P3A di Kabupaten Cianjur tahun 2005 No.
Klasifikasi Organisasi P3A
Jumlah
%
1
Sudah Berkembang
318
55
2
Sedang Berkembang
147
25
3
Belum Berkembang
106
20
Jumlah
571
100
Walaupun perkembangan organisasi P3A didominasi oleh klasifikasi sudah berkembang, tetapi terlihat juga bahwa klasifikasi sedang berkembang dan belum berkembang mempunyai jumlah cukup besar yaitu sebesar 45%. Perkembangan gabungan P3A Mitra Cai di Kabupaten Cianjur didominasi oleh GP3A Tirta Mulya Rezeki (Daerah Irigasi Cihea) dengan wilayah pelayanan kecamatan Ciranjang (27 unit) mencapai seluas 2.203 ha dan Kecamatan Bojong Picung (51 mencapai seluas 3.258 ha. Perkembangan organisasi P3A tersebut mencerminkan bahwa masih banyak tugas yang perlu dilakukan oleh segenap Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur untuk meningkatkan kinerja kelembagaan pengelolaan irigasi secara lebih luas, baik pada tingkat Komisi Irigasi, Satuan
95
Kerja Perangkat Dinas (SKPD) terkait irigasi dan organisasi P3A/GP3A/IP3A di tingkat daerah irigasi. Peranan kelembagaan irigasi sangat diperlukan dalam kelancaran aktivitas keirigasian, namun masih banyak ditemukan ketertiban administrasi yang masih rendah dan kepengurusan yang merangkap sehingga fungsi kelembagaan belum terlaksana secara optimal. Keterbatasan sumber pendanaan untuk kegiatan kelembagaan irigasi baik dari pemerintah maupun dari iuran masyarakat menyebabkan banyaknya program kegiatan yang tidak terlaksana dengan baik bahkan tidak dapat dilaksanakan sama sekali. Hal tersebut mengakibatkan kegiatan pengaturan irigasi yang menjadi tugas lembaga irigasi tidak dapat dilaksanakan dengan baik, ini terlihat dengan masih terjadinya distribusi air yang belum merata di sepanjang aliran sungai irigasi. Kelembagaan irigasi dan kelompok tani masih belum dapat bekerjasama dengan sinergis dalam penanganan kegiatan irigasi dan pertanian untuk meningkatkan produktifitas dan kesejahteraan masyarakat petani setempat. Sistem irigasi di Kabupaten Cianjur dikelompokkan menjadi 2 jenis yaitu: Daerah Irigasi Pemerintah, dan Daerah Irigasi Pedesaan. Umumnya irigasi pedesaan adalah irigasi semi tekhnis dan sederhana. Beberapa permasalahan yang ada menyangkut manajemen dan kelembagaan pengelolaan sistem Jaringan Irigasi di Kabupaten Cianjur secara umum diidentifikasi antara lain sebagai berikut : (1) Sungai Citarum berada di perbatasan dan merupakan perbatasan antara Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bandung. Luas DAS 70% berada di Kabupaten Bandung. Pada saat ini di hulu bendung Citarum di wilayah Kabupaten Bandung terdapat bendung permanen untuk mengairi sawah yang berada di Kabupaten Bandung sehingga hal ini dapat berdampak pada berkurangnya pasokan air untuk Kabupaten Cianjur terutama pada saat musim kemarau. (2) Mengingat Waduk Cirata pengelolaannya berada dibawah pengawasan langsung Pemerintah Pusat dalam hal ini PJT II dan PLN, sehingga sampai saat ini belum dapat dimanfaatkan secara penuh oleh Pemerintah Kabupaten Cianjur. Untuk itu diperlukan peran aktif dari Pemerintah Kabupaten Cianjur untuk menindaklanjuti berbagai kemungkinan dan
96
kesepakatan dengan Pemerintah Pusat mengenai pemanfaatan sumber air dari Waduk Cirata. (3) Sehubungan
dengan
adanya
Undang
–
Undang
No.
32
tentang
Pemerintahan Daerah, sehingga menimbulkan kurang adanya kejelasan dalam hal penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi di Kabupaten Cianjur khususnya di wilayah PJT II Seksi Cianjur kepada Pemerintah Kabupaten Cianjur. (4) Belum terkoordinasinya antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten, sehubungan dengan terbitnya UU No 7 tahun 2004 tentang sumber daya air. Terutama dalam hal pengaturan kewenangan terhadap pengelolaan daerah irigasi. Perlu dipertegas mengenai hak dan kewajiban yang diemban baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam hal manajemen dan pengelolaan Daerah Irigasi yang terdapat di Kabupaten Cianjur,sehingga seluruh daerah Irigasi dapat dikelola dan direncanakan dengan matang dan memperoleh hasil yang berdaya guna dalam mendukung sektor pertanian di Kabupaten Cianjur. (5) Dalam skala provinsi dan lokal, terdapat beberapa kelengkapan dan institusi yang mengelola irigasi yang belum terintegrasi sehingga mengakibatkan adanya tumpang tindih antar berbagai peraturan yang mengatur tentang penanganan
irigasi,baik
antara
dinas/instansi
terkait
pada
tingkat
Kabupaten, juga pada tingkat masyarakat pengguna dan pengelola air. Di satu sisi, tingkat pemahaman dan pengetahuan petani pemakai air masih relatif rendah. Salah satu indikator yang berpengaruh adalahkurang maksimalnya pembinaan kepada para petani pemakai air. (6) Keberadaan P3A pada petak tersier di DI Teknis Pemerintah sangat diperlukan dengan tujuan agar pembagian air dapat diatur dengan tertib dan merata. Selain itu operasi pemeliharaannya oleh gabungan P3A Mitra Cai pada berbagai tingkatan (tersier, sekunder dan primer) diharapkan dapat meminimalisasi beban pemerintah dalam pengelolaan jaringan irigasi. Namun dalam kenyataannya kondisi kemampuan tekhnis dan pendanaan P3A Mitra Cai dan Gabungannya belum mampu untuk mengelola semua kegiatan organisasi secara keseluruhan sehingga dalam prakteknya bisa menjadi beban untuk pemerintah, dan pemerintah harus membantu memberdayakannya.
97
4.5. Aspek Teknis Keberadaan prasarana irigasi sangat berpengaruh besar terhadap daerah pertanian khususnya daerah pertanian tanaman pangan. Pengaruh ini terutama akan berdampak terhadap produksi yang dihasilkan. Pemanfaatan sungai-sungai besar di Kabupaten Cianjur (khususnya untuk irigasi) masih belum maksimal. Berdasarkan data Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air dan Pertambangan (Dinas PSDAP) dalam laporan tahunan kegiatan tahun anggaran 2006, daerah irigasi yang terdapat di Kabupaten Cianjur dikelompokan menjadi 6 cabang, yaitu Cabang Cianjur, Cabang Cibebet, Cabang Ciranjang, Cabang Pacet, Cabang Sukanagara dan Cabang Sindangbarang. Berdasarkan data areal daerah irigasi pemerintah yang mengacu pada klasifikasi tingkat jaringan irigasi Provinsi Jawa Barat, sistem prasarana irigasi di Kabupaten Cianjur meliputi 7 wilayah daerah irigasi dengan cakupan areal potensial yang bersifat teknis seluas 23,800 ha areal fungsional seluas 23,469 ha. Daerah irigasi dibawah pembinaan Dinas Pengelola Sumber Daya Air dan Pertambangan (Dinas PSDAP) Kabupaten Cianjur merupakan daerah irigasi yang memiliki wilayah pelayanan terbesar (baik area potensial maupun area fungsional) yang mencapai 31% (area potensial) dan 30 % (area fungsional). Pada daerah irigasi Cianjur wilayah pelayanan terbesar untuk areal potensial terdapat di daerah Cimentang dan Ciheulang, masing-masing mampu melayani areal seluas 1,636 ha dan 1,512 ha (area potensial) serta 1,519 ha dan 1,511 ha area fungsional. Daerah irigasi dibawah koordinasi Dinas Pengelola Sumber Daya Air dan Pertambangan Cabang Sukanagara merupakan cabang yang memiliki daerah irigasi paling sedikit, yaitu memiliki cakupan wilayah seluas 2,102 ha (9%). Daerah irigasi Sukanagara ini terbagi menjadi 3 daerah irigasi, yaitu Leuwi Sodong, Cikawung dan Cimanggu Kanan.
Pada cabang dinas lain masing-
masing memiliki 2 - 4 daerah irigasi dengan luas areal yang bervariatif. Dari seluruh cabang dinas daerah irigasi yang terdapat di Kabupaten Cianjur tidak ada yang melayani areal semi teknis dan sederhana baik untuk areal potensial maupun fungsional. Daerah irigasi yang terdapat di Kabupaten Cianjur dapat dikelompokan menjadi 3 kategori, yaitu :
98
(1) Daerah irigasi yang dikelola oleh Pusat; terdiri dari 1 daerah irigasi, yaitu daerah irigasi Cihea. (2) Daerah irigasi yang dikelola oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat; terdiri dari 6 daerah irigasi, yaitu Cipadang/cibeleng, Susukan Gede, Ciheulang, Cibalagung dan Cimenteng. (3) Daerah irigasi Pemerintah Kabupaten Cianjur; terdiri dari 15 daerah irigasi, yaitu Cilimut/Pasir Kerud, Cimanggu, Cikawung, Leuwi Sodong, Ciraden Cibalu, Cinangka, Nagrog, Ciraden/Leuwi Lengsir, Leuwi Bokor, Leuwi Jubleg,
Cianjur
Leutik,
Cijampang,
Gunung
Nanjung/Rawa
Peuti,
Cipanyusahan/Citalib serta Cisalak/Batusahulu. Apabila dilihat dari jumlah sarana dan prasarana irigasi menunjukkan bahwa dari jenis dan jumlah bangunan irigasi pada daerah Irigasi di Kabupaten Cianjur, maka DI Ciraden/Cibalu merupakan daerah irigasi yang mempunyai jumlah bangunan irigasi terbanyak, yaitu sekitar 13%, sedangkan DI Cimanggu Kanan merupakan daerah irigasi yang mempunyai jumlah bangunan irigasi paling sedikit, yaitu sekitar 2%. Secara umum klasifikasi kondisi fisik sarana dan prasarana jaringan irigasi tersebut dibedakan menjadi 4 kategori yaitu baik, sedang, rusak dan rusak berat. Kondisi fisik dibedakan menjadi 2 bagian yaitu kondisi fisik saluran atau bangunan dan kondisi fisik pintu air (dengan 20 jenis/item bangunan). Menurut
pola
induk
perencanaan
dan
penyusunan
program
pembangunan pengairan Kabupaten Cianjur, kondisi baik dan sedang tergolong dalam jaringan pengairan mantap. Kondisi ini hanya memerlukan pekerjaan perbaikan ringan serta kegiatan operasi dan pemeliharan yang bersifat rutin. Sedangkan tingkat teknis kefungsian pelayanan jaringan (berfungsi baik, kurang berfungsi dan tidak berfungsi) digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan urutan prioritas pekerjaan. Selanjutnya kondisi rusak/rusak berat tergolong jaringan pengairan tidak mantap. Kondisi fisik jaringan pengairan ini sangat memerlukan pekerjaan perbaikan berat (rehabilitasi/perbaikan berat, peningkatan konstruksi) dan kegiatan operasi dan pemeliharan yang bersifat rutin. Secara prinsip jaringan pengairan yang tidak mantap (rusak/rusak berat) dengan kefungsiannya yang rendah merupakan masalah prioritas perlu mendapat perhatian khusus untuk
99
diperbaiki. Dari daerah irigasi yang ada, kondisi fisik dan kefungsian jaringan irigasi wewenang Kabupaten Cianjur adalah sebagai berikut : (1) Bangunan tetap dengan kondisi baik terdapat 6 buah, 21 buah dengan kondisi rusak ringan serta 3 buah berada pada kondisi rusak berat. Pintu air yang berada pada bangunan tetap berjumlah 43 buah, dengan rincian 10 buah dalam kondisi baik, 16 buah dalam kondisi sedang, 7 buah dalam kondisi rusak serta 19 buah dalam kondisi rusak berat, sebagaimana yang terlihat pada Tabel 18. Tabel 18 Kondisi saluran irigasi dan bangunan utama jaringan irigasi
Daerah Irigasi Pusat Provinsi Kabupaten
Luas (ha) 5,484 7,852 10,732
Saluran Induk (km) Baik RR RB 15,506 12,250 4,750 29,043 21,900 15,599 28,503 33,791 26,850
Saluran Sekunder (km) Bangunan Utama (buah) Baik RR RB Baik RR RB 13,531 20,500 7,500 2 8,500 8,800 5,100 3 4 42,072 51,292 23,560 3 15 3
(2) Bangunan bagi terdiri dari 15 buah dengan rincian 9 buah berada dalam kondisi baik, 4 buah dalam kondisi sedang, serta 2 buah dalam kondisi rusak. Sedangkan pintu air yang ada pada bangunan bagi terdapat 44 buah, dengan rincian 13 buah berada dalam kondisi baik, 4 buah dalam kondisi sedang, 2 buah dalam kondisi rusak, serta 25 buah dalam kondisi rusak berat. (3) Bangunan ukur yang ada berjumlah 26 buah dengan rincian 16 buah berada dalam kondisi yang baik, 9 buah berada dalam kondisi yang sedang, serta 1 buah berada dalam kondisi yang rusak. Secara umum kondisi bangunan ukur masih relatif baik dan berfungsi untuk mengukur debit air yang masuk dari sumbernya ke jaringan irigasi yang ada di Kabupaten Cianjur. (4) Bangunan sadap yang ada berjumlah 272 buah, dengan rincian 112 buah berada dalam kondisi baik, 83 buah buah dalam kondisi sedang, 52 buah berada dalam kondisi rusak serta 25 buah dalam kondisi rusak berat. Sedangkan pintu air yang terdapat pada daerah irigasi yang ada berjumlah 226 buah, dengan rincian 114 buah berada dalam kondisi baik, 71 buah berada dalam kondisi sedang, 42 buah berada dalam kondisi rusak, serta 39 buah berada dalam kondisi rusak berat. Gambaran tingkat kondisi fisik dan kefungsian jaringan irigasi, khususnya pada lokasi DI sampel di Kabupaten Cianjur menunjukkan indikasi cukup banyak
100
jaringan irigasi berada dalam kondisi yang rusak, yaitu mencapai diantara sebesar 25 – 90% dengan rata-rata kerusakan mencapai sebesar 60%. Namun demikian tingkat kefungsiannya masih berjalan, walaupun kurang optimal kapasitasnya sebagai media dalam mengalirkan air yang dibutuhkan oleh tanaman pada setiap petak tersier. Kondisi kerusakan paling tinggi ditemukan pada
DI Leuwi
Bokor
(90%), sedangkan
terendah terdapat pada
DI
Cisalak/Batusahulu. Gambaran lebih jelas mengenai tingkat kerusakan jaringan irigasi pada 10 (sepuluh) lokasi jaringan irigasi sampel di Kabupaten Cianjur dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kondisi jaringan irigasi pada lokasi daerah irigasi (DI ) sampel di Kabupaten Cianjur
Daerah Irigasi Cihea Susukan Gede Ciheulang Cipadang Cibeleng Leuwi Bokor Ciraden Leuwi Leungsir Cilumut Pasir Kerud Nagrog Cikawung Cisalak/Batusahulu Jumlah
Luas (ha) 5,461 1,050 1,320 1,290 263 401 676 409 386 393 11,649
Tingkat Kerusakan (%) 70 70 30 70 90 40 80 50 70 25 60 (rata-rata)
Sumber: Hasil olahan data primer tahun 2007
Fungsi jaringan irigasi menjadi sedemikian vital dalam mengamankan jalannya air dari sumber air menuju petakan areal pertanian. Semakin baik dan berfungsinya jaringan irigasi, maka dapat memberikan kontribusi positif terhadap pemanfaatan air untuk tanaman secara optimal. Beberapa permasalahan yang ditemukan terkait dengan aspek teknik irigasi adalah kondisi jaringan irigasi baik bangunan maupun saluran irigasi mempunyai tingkat kerusakan yang cukup serius (25%-90%) dengan rata-rata kerusakan jaringan irigasi mencapai sebesar 60%. Beberapa penyebab kerusakan antara lain karena banjir, pendangkalan atau sedimentasi yang cukup tinggi baik di saluran irigasi maupun sumber air sehingga terjadi penyempitan badan sungai, sampah hasil limbah rumah tangga menghambat aliran air menuju petak, penggunaan badan saluran irigasi (lining) untuk pemanfaatan bangunan dan pemanfaatan lainnya masih ada disetiap jaringan irigasi serta pengamanan bangunan dan saluran irigasi yang masih
101
belum optimal dengan indikasi terjadinya kehilangan bagian bangunan irigasi dan kerusakan lining. Kerusakan
jaringan
irigasi
tersebut
secara
keseluruhan
dapat
mempengaruhi aliran air dari sumbernya menuju petak tersier. Apabila kondisi jaringan irigasi mengalami kerusakan tentunya akan terjadi kehilangan air di jaringan irigasi yang pada gilirannya akan menimbulkan kekurangan air bagi pertumbuhan tanaman. Hal ini terutama terjadi pada musim tanam ke-2 dan musim tanam ke-3 sepanjang tahun.
Kerusakan jaringan irigasi antara lain
disebabkan sebagian besar oleh rendahnya aktivitas kegiatan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi.
Variasi kegiatan operasi, pemeliharaan, dan
rehabilitasi jaringan irigasi sangat ditentukan oleh pembiayaan irigasi. Kondisi tersebut terjadi di Kabupaten Cianjur yang memperlihatkan kondisi kerusukan jaringan irigasi antara lain disebabkan rendahnya pendanaan operasi dan pemeliharaan irigasi, sebagaimana terlihat pada Gambar 21.
1,900,000
2,000,000
1,800,000
1,800,000 1,550,000
1,500,000
Rupiah
1,500,000 1,000,000 500,000 0 2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
Gambar 21 Pendanaan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi Berdasarkan data yang tersaji pada Gambar 21 tersebut terlihat bahwa sejak tahun 2003 alokasi dana untuk kegiatan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi hanya mencapai sebesar 1,500,000,000.00. Sedangkan pada tahun 2007 tersedia
dana
operasi
dan
pemeliharaan
jaringan
irigasi
1,550,000,000.00 untuk areal pertanian seluas 23,998 ha.
sebesar
Rp
Dengan demikian
dana rata-rata untuk kegiatan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi hanya mencapai sebesar Rp 65,000 per hektar. Jumlah anggaran tersebut masih jauh lebih sedikit dari kebutuhan kegiatan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi
102
yang rata-ratanya sebesar Rp 160,000 per hektar. Relatif terbatasnya anggaran kegiatan untuk operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi menyebabkan banyak jaringan irigasi berada dalam kondisi yang rusak. Kondisi demikian juga terlihat dari terbatasnya anggaran untuk rehabilitasi jaringan irigasi. Kebutuhan anggaran untuk kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi seluas 23,998 ha seyogyanya adalah sebesar Rp 35.997.000.000 atau Rp. 1,500,000 per hektar. Namun demikian yang terjadi adalah untuk penganggaran tahun 2007 saja dialokasikan sebesar Rp 1.104.613.000 atau hanya sebesar Rp 46,000 per hektar. Pada sisi lain juga anggaran tersebut hanya mampu diserap sebanyak 80.89%.
Kondisi demikian tentunya sangat ironis dengan kondisi
kabupaten Cianjur sebagai daerah agraris yang cukup didukung potensi sumber daya air yang memadai. Keterbatasan anggaran kegiatan baik pada tingkat operasi, pemeliharaan maupun rehabilitasi jaringan irigasi tentunya akan sejalan dengan terbatasnya program kegiatan yang dikembangkan. Dalam keadaan seperti ini maka kondisi jaringan irigasi di Kabupaten Cianjur cukup memprihatinkan dengan tingkat kerusakan rata-rata mencapai 60%.
Apabila hal ini dibiarkan tanpa ada
mekanisme pengelolaan jaringan irigasi yang jelas, maka kerusakan pada masa mendatang akan lebih parah lagi, serta dikhawatirkan jaringan irigasi yang ada tersebut sudah tidak optimal lagi dalam menampung air dan memasukan air dari sumbernya ke jaringan irigasi dan mengalirkannya melalui saluran irigasi kepada petak tersier sesuai dengan kebutuhan air tanaman di sektor pertanian.