An – Nafs, Vol. 08, No.01,Th 2013 ============================================================== PENGARUH KEMATANGAN EMOSI PADA REMAJA DITINJAU DARI POLA ASUH ORANG TUA DAN JENIS KELAMIN Dilla Zahara T. Nila Fadhlia, M.Psi., Psikolog Fakultas Psikologi Universitas Islam Riau Jl. Kaharudin Nasution No, 113 Perhentian Marpoyan Pekanbaru
ABSTRACT The purpose of this research was to investigate the difference emotional maturity in adolescents with various parenting style and gender. This research based on parenting style theory from Baumrind who assumed there were four parenting style, authoritarian, authoritative, neglectful, and indulgent. Emotional maturity theory used in this research based on emotional maturity from Murray theory. The sample consisted of 86 participants aged from 15 to 18 years (middle adolescents), and lived with their parents. The subjects were selected using purposive sampling method. Data collected through scales of parenting style and scales of emotional maturity. Data in this research obtained by twoway analysis of variance used software Computerized system Statistical Product and Service Solution (SPSS) 17.0 Windows Program. The result indicated that were no significant differences in adolescents emotional maturation with various parenting style and gender (F= 0,510, p= 0,677: p>0,05). Key words : Emotional Maturity, Parenting, Gender, Adolescenc
Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Masa remaja merupakan masa yang sulit dan penuh gejolak sehingga sering disebut sebagai masa badai dan topan, masa pancaroba, dan berbagai sebutan lainnya yang mengambarkan banyaknya kesulitan yang dialami anak pada masa perubahan tersebut (Hartinah, 2011). Hal senada dengan yang diungkapkan Papalia, Olds, dan Feldman (2009) bahwa masa remaja (adolescence) adalah peralihan masa perkembangan antara masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi perubahan besar pada aspek fisik, kognitif, dan psikososial. Pada masa ini, remaja mengalami perkembangan mencapai kematangan fisik, mental, sosial, dan emosional. Selain itu, masa remaja biasanya memiliki energi yang besar, emosi berkobar-kobar, sedangkan pengendalian diri belum sempurna. Masa ini biasanya dirasakan sebagai masa sulit, baik bagi remaja sendiri, maupun bagi keluarga atau lingkungan (Desmita, 2011). Perkembangan emosi seseorang khususnya remaja pada umunya tampak
5
An – Nafs, Vol. 08, No.01,Th 2013 ============================================================== jelas pada perubahan tingkah lakunya. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan emosi remaja, salah satunya adalah pola asuh orangtua (Desmita, 2011). Sejalan dengan yang dikemukankan Santrock (2007) mengatakan salah satu pihak yang dapat membantu anak-anak dalam mengatur emosi mereka adalah orangtua, seperti yang diungkapkan dalam satu penelitian yang menemukan bahwa orangtua yang mengekspresikan emosi positif memiliki anak yang mempunyai kompetensi sosial yang tinggi. Peneliti juga menemukan bahwa penerimaan dan dukungan orangtua terhadap emosi anak berhubungan dengan kamampuan anak untuk mengelolah emosi dengan cara yang positif. Menurut Haris (2011) apabila orangtua dapat mengarahkan agar selalu berada dijalan yang benar, berpikiran positif, dan selalu diliputi kebahagiaan, hal ini akan berdampak besar bagi perkembangan anak. Hal ini didukung oleh Santrock (2007) yang mengatakan bahwa keluarga mempunyai pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan remaja karena keluarga merupakan lingkungan sosial pertama, yang meletakkan dasar-dasar kepribadian remaja. Baumrind (Yusuf, 2011) mengklasifikasikan pola asuh orangtua dalam empat jenis pola asuh, yaitu pola asuh otoriter (authoritarian), pola asuh otoritatif (authoritative), pola asuh yang memanjakan (indulgent), pola asuh yang mengabaikan (neglectful). Orangtua dengan pola asuh otoriter (authoritarian) menyuruh remaja untuk tidak mendebat atau mempertanyakan orang dewasa, cenderung untuk memberi hukuman kepada anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2009), hal ini akan memberi dampak negatif pada anak seperti sering merasa takut, tidak ceria, memiliki kemampuan komunikasi yang lemah, dan mungkin berperilaku agresif. Tentang hubungan pola asuh otoriter dengan agresifitas pada anak laki-laki dan perempuan menunjukan adanya perbedaan. Tingkah laku agresif pada anak laki-laki tetap stabil pada setiap masa perkembangannya, tetapi untuk anak perempuan tingkah laku agresif ini akan semakin berkurang. Berkurangnya perilaku agresif pada anak perempuan ini bisa saja disebabkan karena norma yang ada dalam masyarakat mencela perbuatan agresif bagi anak perempuan atau juga faktor budaya. Perempuan lebih sering menampilkan perilaku yang lembut, sedangkan laki-laki dianggap biasa untuk bertindak agresif. Anak perempuan secara psikologis lebih dapat menahan emosi, artinya semakin ditekan orangtua akan semakin menurut atau hanya menangis dan mengurung diri dalam kamar (Aisyah, 2010). Faktor jenis kelamin juga dapat mempengaruhi kematangan emosi. Laki-laki dikenal lebih berkuasa jika dibandingkan dengan perempuan, mereka memiliki pendapat tentang kemaskulinan terhadap dirinya sehingga tidak mampu mengekspresikan emosi seperti yang dilakukan oleh perempuan. Hal ini menunjukkan laki-laki cenderung memiliki ketidakmatangan emosi jika dibandingkan dengan perempuan (Santrock, 2007). Perbedaan jenis kelamin pada kematangan emosi dijelaskan sebagai pengaruh sosialisasi awal emosi. Anak laki-laki diharapkan mandiri, aktif, dan percaya diri, sementara anak perempuan diharapkan lebih ekspresif, hangat
6
An – Nafs, Vol. 08, No.01,Th 2013 ============================================================== secara emosional, suka menolong dan sensitif (Davis dalam Astuti, 2003). Dalam perbandingan antar gender, perempuan menunjukkan ekspresi emosional yang lebih besar dibandingkan pria. Perempuan mengalami emosi secara lebih intens dan menunjukkan ekspresi emosi, baik positif maupun negatif yang lebih sering, kecuali kemarahan. Tidak seperti laki-laki, perempuan juga menyatakan lebih nyaman dalam mengekspresikan emosi dan mampu membaca petunjuk nonverbal dan peran linguistik secara lebih baik. Sedangkan pada anak laki-laki, ketika mereka mengalami stres, mereka cenderung untuk bertindak terlebih dahulu, lalu berfikir kemudian. Selain itu, anak laki-laki memiliki respon agresif terhadap risiko, dan cenderung untuk berkompetisi (Muhammad, 2011). Dalam mengatasi masalah, laki-laki cenderung memikirkan diri sendiri suatu masalah pada suatu waktu dan berbicara secara langsung. Hal ini dikarenakan otak laki-laki sangat sistematis dan memiliki kemampuan tinggi dalam mengelompokkan sesuatu, mengontrol emosi dan orientasi kerja. Pada perempuan, dalam mengelompokkan sesuatu, mengontrol emosi dan orientasi kerjanya rendah. Apabila perempuan merasa stres ia cenderung terlebih dahulu merasa sebelum bertindak, dan responnya juga hati-hati. Hal ini dikarenakan otak perempuan mempunyai tingkat empati yang tinggi dan memiliki hubungan relasional (Muhammad, 2011). Keterangan diatas menunjukkan bahwa kematangan emosi setiap individu khususnya remaja tidaklah sama, karena setiap remaja berada di lingkungan dan keluarga dengan pola asuh yang berbeda. Perbedaan ini juga dapat dilihat dari perbedaan jenis kelamin remaja, sehingga diperlukan penelitian yang lebih mendalam. Oleh karena itu, peneliti sangat tertarik untuk membahas secara ilmiah tentang kematangan emosi yang terjadi pada remaja. Untuk itu penulis dapat memberikan judul penelitian ini, yaitu: “Kematangan Emosi pada Remaja Ditinjau dari Pola Asuh Orangtua dan Jenis Kelamin”. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka masalah utama dalam penelitian ini yaitu: “apakah ada perbedaan kematangan emosi pada remaja ditinjau dari pola asuh orangtua dan jenis kelamin?”. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kematangan emosi pada remaja ditinjau dari pola asuh orangtua dan jenis kelamin. Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi penelitian selanjutnya dalam bidang psikologi perkembangan, terutama mengenai kematangan emosi pada remaja ditinjau dari pola asuh orangtua dan jenis kelamin.
7
An – Nafs, Vol. 08, No.01,Th 2013 ============================================================== Manfaat Praktis a. Manfaat bagi pembaca dan orangtua, penelitian ini akan berguna sebagai media informasi yang ditunjukkan kepada orangtua akan arti gaya pengasuhan yang baik dalam mengasuh, mendidik dan membina perilaku anak-anak remajanya, agar kelak dapat menjadi anak yang berguna dalam lingkungan keluarga, agama dan masyarakat dilingkungan sekitar. b. Manfaat bagi remaja, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi remaja dalam pembinaan pribadi yang sehat yang berhubungan dengan pengendalian emosi dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat mencapai suatu kematangan emosi. TINJAUAN PUSTAKA Kematangan Emosi Menurut Yusuf (2011) kematangan emosi adalah kemampuan individu untuk dapat bersikap toleran, merasa nyaman, mempunyai kontrol diri sendiri, perasaan mau menerima dirinya sendiri dan orang lain, serta mampu menyatakan emosinya secara konstriktif dan kreatif. Perkembangan emosi dalam diri seseorang akan mengalami peningkatan menuju kematangan emosi seiring dengan tahap-tahap perkembangan yang dialami. Namun demikian, kematangan emosi dapat dicapai pada periode remaja awal, yaitu usia 13 atau 14 - 17 tahun. Mencapai kematangan emosi merupakan tugas perkembangan yang sangat sulit bagi remaja. Proses pencapaiannya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosioemosional lingkungannya, terutama lingkungan keluarga dan kelompok teman sebaya. Apabila lingkungan tersebut cukup kondusif, dalam arti kondisinya diwarnai oleh hubungan yang harmonis, saling mempercayai, saling menghargai, dan penuh tanggung jawab, maka remaja cenderung dapat mencapai kematangan emosinya. Sebaliknya apabila kurang untuk memahami peran-perannya dan kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orangtua dan pengakuan dari teman sebaya, mereka cenderung akan mengalami kecemasan, perasaan tertekan atau ketidaknyamanan emosional (Yusuf, 2011). Remaja Papalia, Olds, dan Feldman (2009) juga mengatakan bahwa masa remaja (adolescence) adalah peralihan masa perkembangan antara masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi perubahan besar pada aspek fisik, kognitif, dan psikososial. Menurut Salzman (Yusuf, 2011) mengemukakan bahwa remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependence) terhadap orangtua ke arah kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral. Masa perkembangan remaja yang panjang ini dikenal sebagai masa yang penuh kesukaran dan persoalan, bukan saja bagi remaja sendiri melainkan juga bagi 8
An – Nafs, Vol. 08, No.01,Th 2013 ============================================================== para orangtua, guru, dan masyarakat sekitar (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Menurut Soetjiningsih (2004) mengungkapkan masa remaja adalah periode kehidupan yang penuh dengan dinamika, dimana pada masa ini terjadi perubahan dan perkembangan yang sangat pesat, yang merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa. Kematangan Emosi pada Remaja Ditinjau dari Pola Asuh Orangtua dan Jenis Kelamin Setiap individu memiliki tugas perkembangan yang harus dicapai sesuai dengan tingkat usia. Masa remaja dikatakan sebagai masa peralihan antara masa kanak-kanak ke masa dewasa. Salah satu tugas perkembangan remaja harus dicapai adalah kematangan emosi (Yusuf, 2011). Hal ini juga sejalan dengan Hurlock (dalam Desmita, 2011) yang mengemukakan bahwa kematangan remaja mencakup pada kematangan seksual, emosional, sosial dan fisik. Desmita (2011) mengatakan bahwa pola asuh orangtua terhadap anak, termasuk remaja sangat bervariasi. Ada orangtua yang menerapkan pola asuh yang menurutnya dianggap terbaik oleh dirinya sendiri saja sehingga bersifat otoriter, ada juga dengan memanjakan anak yaitu pola asuh permisif, ada juga sifat yang acuh tak acuh atau cenderung mengabaikan anak yaitu pola asuh mengabaikan, tetapi ada juga orangtua dengan pola asuh yang penuh dengan cinta dan kasih yang merupakan pola asuh otoritatif. Hasil penelitian Aisyah (2010) mengatakan bahwa setiap pola asuh memberikan kontribusi terhadap perilaku agresif. Kontribusi yang diberikan dapat negatif atau positif. Pola asuh permisif dapat menyebabkan perilaku agresi pada anak, demikian juga dengan pola asuh otoriter memiliki peluang untuk munculnya perilaku agresif, sedangkan pada pola asuh demokratis prakondisi agresifitas tidak muncul. Dalam studi baru-baru ini, orangtua yang memainkan peran aktif dalam memantau dan membimbing perkembangan anak remaja mereka lebih cenderung untuk memiliki anak remaja dengan hubungan sebaya yang positif dan penggunaan obat-obatan lebih rendah dibandingkan orangtua yang kurang berperan aktif (Santrock, 2007). Dalam penelitian Mc Kinney, Milone dan Renk (2011) menunjukkan bahwa pola asuh otoritatif berhubungan dengan munculnya penyesuaian emosi yang baik pada remaja, sedangkan pola asuh otoriter dan disiplin yang keras berhubungan dengan penyesuaian emosi yang buruk pada remaja. Selain itu, cara orangtua menerapkan disiplin kepada remaja dapat mengubah hubungan antara pola asuh dan penyesuaian emosi pada remaja akhir, khususnya pada remaja laki-laki. Secara biologis dan psikologis terdapat perbedaan antara kematangan emosi remaja laki-laki dan perempuan. Dengan adanya perbedaan tersebut, maka akan terjadi perbedaan dalam cara berfikir, berperasaan dan berperilaku. Hasil penelitian Wesley (2011) menunjukkan adanya perbedaan fungsi sosio-emosional pada remaja laki-laki dan remaja perempuan, dimana remaja perempuan memiliki kemampuan sosio-emosional yang lebih tinggi dari pada remaja laki-laki, khususnya pada regulasi
9
An – Nafs, Vol. 08, No.01,Th 2013 ============================================================== diri dan kompetensi sosial. Hal ini tidak terlepas dari adanya peran pola asuh orangtua, yang sering kali memperlakukan anak laki-laki dan perempuan dengan cara yang berbeda. Anak laki-laki biasanya diperbolehkan lebih bebas dibandingkan dengan anak perempuan, laki-laki dituntut untuk mencoba menahan perasaan sedangkan perempuan diperkenankan untuk mengekspresikan perasaannya (Syam, 2010). Hipotesis Berdasarkan uraian diatas maka dalam penelitian ini dapat diajukan hipotesis sebagai berikut: a. Ada perbedaan kematangan emosi remaja ditinjau dari pola asuh orangtua. b. Ada perbedaan kematangan emosi pada remaja ditinjau dari jenis kelamin. c. Remaja dengan pola asuh orangtua yang otoritatif memiliki kematangan emosi yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja dengan pola asuh otoriter, pola asuh yang memanjakan dan pola asuh yang mengabaikan. d. Remaja perempuan memiliki kematangan emosi yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja laki-laki. METODE PENELITIAN Identifikasi Variabel Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: Variabel bebas (X) : a. Pola asuh orangtua (X1) b. Jenis kelamin (X2) Variabel terikat (Y) : Kematangan emosi (Y) Definisi Operasional 1. Pola asuh orangtua Pola asuh orangtua adalah suatu hubungan interaksi antara orangtua yaitu ayah dan ibu dengan anaknya yang melibatkan aspek sikap, nilai, dan kepercayaan orangtua sebagai bentuk dari upaya pengasuhan, pemeliharaan, menunjukan kekuasaannya terhadap anak dan salah satu tanggung jawab orangtua dalam mengantarkan anaknya menuju kedewasaan. 2. Jenis kelamin Jenis kelamin adalah identitas responden sesuai biologis atau fisiknya yaitu lakilaki dan perempuan. 3. Kematangan emosi Kematangan emosi adalah kemampuan individu untuk menggunakan emosinya secara baik, yang ditandai dengan pengontrolan diri, pemahaman seberapa jauh baik buruk, tidak mementingkan diri sendiri tetapi mempertimbangkan perasaan orang lain dan apakah bermanfaat bagi dirinya dalam setiap tindakan maupun perbuatan.
10
An – Nafs, Vol. 08, No.01,Th 2013 ============================================================== Subjek Penelitian Populasi Penelitian Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas subjek atau objek dengan kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk mempelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2012). Populasi dalam penelitian ini adalah siswa dan siswi MAN 2 Model Pekanbaru, dengan jumlah populasi 634 orang siswa. Sampel Penelitian Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2012). Untuk menentukan ukuran sampel dalam penelitian ini, peneliti menggunakan rumus perhitungan besaran sampel (Bungin, 2010):
η= N N (d)2 + 1
η = 634______ _ 634 (0,1)2 + 1 η = 86, 3 Keterangan: η : jumlah sampel yang dicari N : Jumlah populasi d : nilai presisi (ditentukan a= 0,1) Jadi, sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 86 orang remaja MAN 2 Model Pekanbaru. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Adapun karakteristik dari sampel penelitian ini adalah: 1. Remaja di MAN 2 Model Pekanbaru 2. Usia 15-18 tahun 3. Tinggal bersama orangtua Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan skala yaitu skala kematangan emosi dan skala pola asuh, sedangkan untuk jenis kelamin, peneliti menggunakan data identitas dari skala yang diberikan. Skala Pola Asuh Skala pola asuh orangtua berjumlah 40 item pernyataan, yang disusun berdasarkan teori Baumrind. Skala ini disusun mengacu pada model skala likert
11
An – Nafs, Vol. 08, No.01,Th 2013 ============================================================== dengan memodifikasi respon menjadi empat alternatif jawaban dengan menghilangkan jawaban netral (N) untuk menghindari jawaban responden yang mengelompok. Aitem-aitem pada skala pola asuh berarah pada satu arah yaitu berarah favourable, dimana favourable berarti mendukung langsung atribut yang diukur (Azwar, 2012). Penilaian untuk penyataan favourable diberikan dengan ketentuan sebagai berikut: sangat sesuai (SS) diberi skor 4, sesuai (S) diberi skor 3, tidak sesuai (TS) diberi skor 2, dan sangat tidak sesuai (STS) diberi skor 1. Skala Kematangan Emosi Skala kematangan emosi dalam penelitian ini dijabarkan dalam bentuk itemitem yang terdiri dari pernyataan yaitu favourable dan unfavourable. Skala ini disusun mengacu pada model skala likert dengan memodifikasi respon menjadi empat alternatif jawaban dengan menghilangkan jawaban netral (N) untuk menghindari jawaban responden yang mengelompok. Penilaian untuk penyataan favourable diberikan dengan ketentuan sebagai berikut: sangat sesuai (SS) diberi skor 4, sesuai (S) diberi skor 3, tidak sesuai (TS) diberi skor 2, dan sangat tidak sesuai (STS) diberi skor 1. Sedangkan, penilaian untuk pernyataan unfavourable diberikan nilai sebagai berikut: sangat sesuai (SS) diberi skor 1, sesuai (S) diberi skor 2, tidak sesuai (TS) diberi skor 3, dan sangat tidak sesuai (STS) diberi skor 4. Hasil Uji Coba Skala pola asuh Uji diskriminasi skala pola asuh menghasilkan koefisiensi yang antara -0,026 sampai 0,667 sebelum seleksi butir. Dengan pengujian sebanyak 14 butir aitem gugur Skala kematangan emosi Uji diskriminasi skala pola asuh menghasilkan koefisiensi yang antara 0,044 sampai 0,487 sebelum seleksi butir. Dengan pengujian sebanyak 18 butir aitem gugur.
bergerak tersebut
bergerak tersebut
Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Validitas Menurut Azwar (2012) validitas adalah sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu instrumen pengukuran dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila tes tersebut menjalankan fungsi ukurannya atau memberikan hasil ukur yang tepat dan akurat sesuai dengan maksud pengukuran. Pengolahan data dibantu dengan menggunakan sistem komputerisasi Statistical Product and Service Solusion (SPSS) 17.0. Semakin tinggi koefisien korelasi positif antara skor item dengan skor skala berarti semakin konsisten antara item
12
An – Nafs, Vol. 08, No.01,Th 2013 ============================================================== dengan skala keseluruhan yang berarti semakin tinggi daya bedanya atau validitasnya (Azwar, 2012). Penentuan kesahihan item menggunakan kriteria Azwar (2012) yang menyatakan bahwa skala psikologi sebaiknya menggunakan koefisien korelasi minimal 0,30 akan tetapi apabila jumlah item yang lolos ternyata masih tidak mencukupi jumlah yang diinginkan, maka dapat menurunkan sedikit batas kriteria 0,30 menjadi 0,25. Reliabilitas Menurut Azwar (2012) reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya guna mengetahui koefisien. Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui sejauh mana alat ukur mempunyai konsistensi relatif tetap jika dilakukan pengukuran ulang terhadap subjek yang sama. Semakin tinggi koefisien korelasi berarti menunjukkan reliabilitas makin baik (Azwar, 2012). Dalam penelitian ini, realiabilitas dengan menggunakan rumus koefisien reliabilitas alpha (α). Koefisien reabilitas alpha diperoleh lewat penyajian suatu bentuk skala yang dikenakan hanya sekali saja pada sekelompok responden (Azwar, 2012). Reliabilitas dalam aplikasi dinyatakan oleh koefisien reliabilitas yang angkanya berada dalam rentang 0 sampai 1,00. Koefisien reliabilitas yang mendekati 1,0 maka semakin tinggi reliabilitasnya, sebaliknya koefisien reliabilitas yang mendekati 0, maka semakin rendah tingkat reliabilitasnya (Azwar, 2012). Teknik Analisis Data Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis ragam dua arah (Twoway Analysis of Variance) digunakan untuk membandingkan purata (mean) lebih dari dua sampel yang diklasifikasikan menjadi dua faktor atau dua klasifikasi (Uyanto, 2009). Analisa data menggunakan bantuan komputer program SPSS 17.0 for windows. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Uji Hipotesis Setelah data yang diperoleh sudah memenuhi syarat uji asumsi, selanjutnya dilakukan analisis hipotesis untuk mengetahui kematangan emosi remaja ditinjau dari pola asuh orangtua dan jenis kelamin. Hasil hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tidak ada perbedaan kematangan emosi remaja ditinjau dari pola asuh orangtua, dengan nilai p = 0,295 (p > 0,05). 2. Kematangan emosi remaja dengan pola asuh orangtua yang otoritatif tidak lebih tinggi dibandingkan dengan kematangan emosi remaja dengan keempat pola asuh lainnya, hal ini dapat dilihat dari nilai p=0,295 yang artinya hipotesis ini ditolak.
13
An – Nafs, Vol. 08, No.01,Th 2013 ============================================================== 3.
Tidak ada perbedaan kematangan emosi pada remaja ditinjau dari jenis kelamin, dengan nilai p = 0,461 (p > 0,05). 4. Kematangan emosi remaja perempuan tidak lebih tinggi dibandingkan dengan remaja laki-laki dengan nilai p=0,461. Berdasarkan hasil analisis ragam dua arah (twoway analysis of variance) dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan kematangan emosi remaja ditinjau dari pola asuh orangtua dan jenis kelamin dengan nilai F= 0,510, p= 0,677, dengan demikian hipotesis penelitian ini ditolak. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian ini rata-rata empiris untuk variabel kematangan emosi sebesar M= 68,14 yang termasuk dalam kategori sedang. Adapun rincian kategorinya sebagai berikut, kategori sangat tinggi sebanyak lima orang dengan presentase 6,0%, dengan kategori tinggi sebanyak 14 orang dengan presentase 16,9%, untuk kategori sedang sebanyak 50 orang dengan presentase 56,6%, serta kategori rendah sebanyak 13 orang dengan presentase 15,7% dan kategori sangat rendah sebanyak empat orang dengan presentase 4,8%. Hasil analisis data yang dilakukan peneliti dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kematangan emosi pada remaja ditinjau dari pola asuh orangtua dengan nilai F= 1,259 dan p= 0,295, artinya kematangan emosi remaja dengan pola asuh otoritatif tidak lebih matang dibandingkan dengan keempat pola asuh lainnya. Hasil selanjutnya menunjukkan tidak ada perbedaan kematangan emosi pada remaja ditinjau dari jenis kelamin dengan nilai F= 0,548 dan p= 0,461, artinya kematangan emosi pada remaja perempuan tidak lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan data yang telah terkumpul diketahui bahwa tidak ada satupun sampel atau responden yang memiliki orangtua dengan pola asuh tertentu secara mutlak. Artinya data yang terlampir tidak satupun sampel yang memilih jawaban otoriter seluruhnya, otoritatif seluruhnya, mengabaikan seluruhnya, serta memanjakan seluruhnya. Ini menandakan tidak adanya pola asuh murni yang diterapkan oleh orangtua kepada anak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola asuh orangtua dan jenis kelamin tidak bisa digunakan untuk membedakan tingkat kematangan emosi remaja. Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Jayanti (2012) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pola asuh orangtua dengan kematangan emosi pada siswa SMA Theresiana Salatiga. Hal ini sejalan dengan pendapat Desmita (2011) bahwa munculnya emosi seseorang sangat tergantung atau dipengaruhi lingkungan, pengalaman, dan kebudayaan. Perkembangan emosional individu merupakan perkembangan yang paling sulit untuk diklasifikasikan, hal ini ditunjukkan pada gejala kehidupan sehari-hari bahwa tidak jarang orang dewasa juga mengalami kesulitan untuk menyatakan perasaannya. Artinya tidak hanya jenis pola asuh orangtua dan jenis kelamin saja yang menjadi faktor tercapainya kematangan emosi
14
An – Nafs, Vol. 08, No.01,Th 2013 ============================================================== pada usia remaja, tetapi masih ada faktor lainnya seperti lingkungan teman sebaya, pengalaman, pengaruh dunia luar dan kebudayaan. Astuti (2003) mengungkapkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi kematangan emosi selain pola asuh orangtua dan jenis kelamin, seperti pengalaman traumatik, temperamen, dan usia. Kejadian-kejadian traumatis masa lalu dapat mempengaruhi perkembangan emosi seseorang. Kejadian-kejadian traumatis dapat bersumber dari lingkungan keluarga ataupun lingkungan di luar keluarga seperti lingkungan sekolah dan lingkungan teman sebaya. Faktor lainnya adalah tempramen. tempramen dapat didefinisikan sebagai suasana hati yang mencirikan kehidupan emosional seseorang. Pada tahap tertentu masing-masing individu memiliki kisaran emosi sendiri-sendiri, dimana tempramen merupakan bawaan sejak lahir, dan merupakan bagian dari genetik yang mempunyai kekuatan hebat dalam rentang kehidupan manusia. Perkembangan kematangan emosi yang dimiliki sesorang sejalan dengan pertambahan usia, hal ini dikarenakan kematangan emosi dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan dan kematangan fisiologis seseorang (Astuti, 2003). Khairani dan Putri (2008) menyatakan kematangan emosi seseorang perkembangannya seiring dengan pertambahan usia, akan tetapi faktor fisik-fisiologis juga belum tentu mutlak sepenuhnya mempengaruhi perkembangan emosi, karena kematangan emosi merupakan salah satu fenomena psikis, baik faktor pola asuh keluarga, lingkungan sosial, pendidikan dan sebagainya. Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa terjadinya perbedaan kematangan emosi pada remaja tidak hanya disebabkan oleh perbedaan pola asuh yang diterapkan orangtua kepada remaja tersebut dan juga bukan karena perbedaan jenis kelamin, tetapi bisa saja faktor lain juga dapat mempengaruhinya, seperti pengalaman traumatis, usia, temperamen, dan pendapat lain juga mengatakan dapat dilihat dari kondisi sosio-emosional lingkungannya teman sebaya, lingkungan sekolah, pengaruh dari luar dan kebudayaan. Keberhasilan dan akurasi temuan data sebuah penelitian tergantung pada banyak faktor dan aspek, maka penelitian ini masih ada terdapat kelemahankelemahan dalam prosesnya, diantaranya adalah sedikitnya jumlah aitem yang digunakan pada penelitian ini, situasi ruangan pada saat pengambilan data subjek berada dalam kondisi yang relatif tidak kondusif seperti adanya kebisingan dan adanya gangguan dari teman-teman sekelas. Kondisi subjek saat penyajian skala secara fisik dan psikologis kurang memadai seperti lelah, tergesa-gesa sehingga ada keterbatasan waktu, tidak berminat dan merasa terpaksa, karena pengambilan data dilaksanakankan saat jam istirahat berlangsung. Kelemahan lainnya adalah pengelompokkan pola asuh pada subjek berdasarkan jumlah skor terbesar dari aitem yang telah dijawab, sehingga ada beberapa subjek yang berada pada dua pola asuh yang memiliki selisih jumlah skornya yang tidak terlalu jauh. Artinya hampir tidak ada orangtua yang
15
An – Nafs, Vol. 08, No.01,Th 2013 ============================================================== mempraktikkan pola asuh secara murni pada salah satu tipe. Kecenderungankecenderungan pada tipe pola asuh tertentu nampaknya lebih banyak digunakan oleh orangtua atau bahkan orangtua melakukan pengasuhan kepada anak secara situasional (Aisyah, 2010). PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa: a. Tidak ada perbedaan kematangan emosi remaja ditinjau dari pola asuh orangtua. b. Kematangan emosi remaja dengan pola asuh orangtua otoritatif tidak lebih matang dibandingkan dengan pola asuh otoriter, mengabaikan dan memanjakan. c. Tidak ada perbedaan kematangan emosi remaja ditinjau dari jenis kelamin. d. Remaja perempuan tidak memiliki kematangan emosi yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja laki-laki. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan dalam penelitian ini, maka terdapat beberapa hal yang disarankan peneliti untuk peneliti selanjutnya adalah : a. Peneliti selanjutnya mencari waktu yang tepat dalam proses penelitian agar subjek tidak tergesah-gesah dalam menjawab skala penelitian karena keterbatasan waktu, . b. Peneliti selanjutnya juga diharapkan dapat menggunakan lebih banyak aitem agar lebih jelas dalam mengklasifikasikan pola asuh pada subjek yang akan diteliti. c. Diharapkan peneliti selanjutnya juga dapat menggunakan variabel lain dalam membedakan kematangan emosi remaja, seperti teman sebaya, lingkungan sekolah, dan faktor lainnya. DAFTAR PUSTAKA Aisyah, S. (2010). Pengaruh pola asuh orangtua terhadap tingkat agresivitas anak. Jurnal MEDTEK, 2, Diunduh pada 16 Juni 2013 dari http://ftunm.net/medtek/Jurnal_Medtek_Vol.2_No.1_April_2010/ARTIKEL%20IBU%2 0ICHA%20PKK.pdf. Azwar, S. (2012). Penysusnan skala psikologi edisi 2. Yogyakarta: Pustaka pelajar. Astuti, B. (2003). Buku ajar bimbingan dan konseling perkembangan. Yogyakarta: Pustaka pelajar. Desmita. (2011). Psikologi perkembangan peserta didik. Bandung: PT Remaja rosdakarya. Haris, I. J. (2011, september 24). Perilaku positif saat remaja, lebih sehat ketika dewasa. Kompas.com. Diunduh pada 16 Juni 2013 dari http://female.kompas.com/read/2011/09/22/08520866/Perilaku.Positif.Saat.Re maja..Lebih.Sehat.Ketika.Dewasa.
16
An – Nafs, Vol. 08, No.01,Th 2013 ============================================================== Hartinah, S. (2011). Pengembangan peserta didik. Bandung: PT Refika aditama. Jayanti, R. D. (2012). Hubungan pola asuh orangtua dengan kematangan emosi pada siswa SMA Theresiana Salatiga. Skripsi (tidak diterbitkan). Fakultas keguruan dan ilmu pendidikan universitas kristen satya wacana Salatiga. Khairani, R., & Putri, D. E. (2008). Kematangan emosi pada pria dan wanita yang menikah muda. Jurnal Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. Vol. 1, No. 2. McKinney, C., Milone, M.C., & Renk, K. (2011). Parenting and late adolescent emotional adjustment: mediating effects of discipline and gender. Journal of child psychiatry hum dev, 42, 463-481. Muhammad, A. (2011). Cara kerja emosi dan pikiran manusia. Jogjakarta: Diva press. Papalia, D, E., Olds, S, W., & Feldman, R, D. (2009). Human developmant, edisi 10 perkembangan manusia. Jakarta: Salemba humanika. Priatini, W. Latifah, M. Guhardja, S. (2008). Pengaruh tipe pengasuhan, lingkungan sekolah dan peran teman sebaya terhadap kecerdasan emosional remaja. Jurnal. Volume I No. 1/Januari 2008 (43-53) Santrock, J. W. (2007). Perkembangan anak edisi kesebelas jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga. Santrock, J. W. (2009). Psikologi pendidikan. Jakarta: Salemba humanika. Sears, D. O., Freedman, J. L., & Peplau, L. A. (2005). Psikologi sosial edisi kelima jilid 2. Jakarta: Erlangga. Soetjiningsih. (2004). Tumbuh kembang ramaja dan permasalahannya. Jakarta: Sagung seto. Syam, S. S. (2010). Strategi coping mahasiswa kos ditinjau dari tipe kepribadian dan jenis kelamin. Skripsi (tidak diterbitkan). Fakultas psikologi universitas islam sultan syarif kasim Pekanbaru. Uyanto, S. S. (2009). Pedoman analisis data dengan SPSS. Yogyakarta: Graha ilmu. Wesley, K. I. (2011). Gender differences in positive social-emotional functioning. Journal of psychology in the schools, 48 (10), 958-970. Yusuf, S. (2011). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Remaja Resdakarya.
17