Amira Permatasari Tarigan Departemen Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Tembakau Deli Medan
Abstrak: Ketidakmampuan beraktivitas pada pasien PPOK terjadi bukan hanya akibat sesak napas yang dialaminya bertahun-tahun, tetapi diperburuk kondisinya oleh penurunan fungsi otot skeletal akibat berkurangnya aktivitas sehari-hari pasien (Deconditioning syndrome). Oleh sebab itu melakukan kegiatan berolahraga harus dipertimbangkan bagi semua pasien-pasien PPOK. Manfaat yang dapat diperoleh adalah dari efek fisiologis dan psikologis. Dalam melakukan berolahraga bagi penderita PPOK membutuhkan langkah-langkah yang terarah sehingga mencapai keberhasilan sesuai dengan yang diharapkan. Pasien PPOK yang melakukan olahraga secara terprogram umumnya dapat meningkatkan kapasitas kerja mereka 70–80% dalam waktu 6 minggu dan mengalami perbaikan keluhan sesak napasnya. Kata kunci: PPOK, penurunan aktivitas, olahraga
Abstract: The disability to do activities for the patients of Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) occurs not only because of the shortness of breath problem that they suffer for years but the condition is also worsened by the decreasing function of skeletal muscles resulted from the lessened daily activities of the patients (Deconditioning syndrome). That’s why physical exercise activities should be considered by the patients of COPD. The benefits which can be gained are both physiological and psychological effect. In doing exercises or sports for the sufferers of chronic obstructive pulmonary disease, requires aimed steps so the expected achievement can be reached. The patients of COPD who perform programmed exercise/sports generally increase their working capacity as much as 70%-80% in 6 weeks and they gain improvement in the shortness of breath complaints. Keywords: COPD, decreasing activities, exercise
PENDAHULUAN Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah penyakit paru kronis ditandai dengan hambatan aliran udara disaluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya. Keluhan utamanya antara lain sesak napas, batuk kronis dengan sputum dan keterbatasan 1 aktivitas. Ketidakmampuan beraktivitas pada pasien-pasien PPOK terjadi bukan hanya akibat dari adanya kelainan obstruksi saluran napas pada parunya saja, tetapi juga akibat pengaruh beberapa faktor, salah satunya yaitu penurunan fungsi otot skeletal. Penurunan 223
aktivitas pada kehidupan sehari-hari akibat sesak napas yang dialami pasien-pasien PPOK, akan mengakibatkan makin memperburuk 2 kondisi tubuhnya (deconditioning syndrome). Dari hasil penelitian Isabel dkk. (1998) melaporkan bahwa skor limit time dan aktivitas fisik sangat signifikan menurun pada pasien-pasien PPOK. Hal ini mengindikasikan kerusakan daya tahan otot skeletal pada pasien PPOK berhubungan dengan kerusakan fungsi paru yang bergabung dengan pengaruh 2 kurangnya pasien melakukan aktivitas fisik. Yang dimaksud olahraga atau latihan adalah semua aktivitas jasmani yang dapat dilakukan setiap hari dengan mudah oleh siapa saja tanpa harus menggunakan alat dan perlengkapan yang mahal. Penderita PPOK
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 y No. 3 y September 2007 Universitas Sumatera Utara
Amira Permatasari Tarigan
perlu berolahraga untuk mempertahankan dan atau memulihkan kesehatannya. Yang penting dan perlu diingat adalah pengertian olahraga seperti yang disebutkan di atas. Berolahraga tidak harus berarti main sepakbola, bersepeda, 3 berlari dan sebagainya. Ada pernyataan yang perlu kita cermati yaitu “ Tiada orang yang terlalu sehat untuk tidak perlu berolahraga dan tak ada orang yang terlalu sakit untuk tidak boleh berolahraga”. Namun hal yang perlu dibahas selanjutnya adalah bagaimana caranya dan apa bentuk olahraganya, seperti untuk seorang penderita penyakit paru kronis yang mengalami keluhan sesak napas bertahun-tahun misalnya. Dalam tulisan ini akan menjelaskan mengapa seorang penderita PPOK perlu berolahraga dan bagaimana bentuk olahraga yang sesuai untuk penderita PPOK. PATOFISIOLOGI SESAK NAPAS KETIKA BERAKTIVITAS PADA PPOK Sesak napas adalah suatu gejala kompleks yang merupakan keluhan utama dari pasien PPOK, dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: fisiologi, psikologi, social, dan juga 4 lingkungan. Faktor patofisiologi yang diperkirakan mengkontribusi terhadap kualitas dan intensitas sesak napas saat melakukan aktivitas pada PPOK antara lain: 1. Kemampuan mekanis (elastisitas dan reaktif) dari otot-otot inspirasi 2. Meningkatnya mekanis (volume) restriksi selama beraktivitas 3. Lemahnya fungsi otot-otot inspirasi 4. Meningkatnya kebutuhan ventilasi relatif terhadap kemampuannya 5. Kelainan/gangguan pertukaran gas 6. Kompresi jalan napas dinamis 7. Faktor kardiovaskuler 8. Kombinasi dari faktor-faktor di atas Faktor-faktor di atas sangat saling terkait terhadap intensitas sesak napas pada pasien PPOK. Sesak napas secara kualitatif berbeda pada setiap individu penderita PPOK dan sangat tergantung dari bentuk patofisiologi yang terjadi yang tentunya bervariasi pada 4 penyakit yang heterogen dan kompleks ini.
Olahraga pada Penderita Penyakit Paru...
PERUBAHAN FAAL TUBUH AKIBAT OLAHRAGA 1. Perubahan pada Otot Dengan latihan otot dapat mengalami hipertropi, mungkin tambahan sebanyak 30 sampai 60%. Perubahan yang terjadi di dalam serat otot yang hipertropi itu sendiri meliputi antara lain: (1) Peningkatan jumlah miofibril, sebanding dengan derajat hipertropi (2) Peningkatan enzim-enzim mitokondria sampai 120% (3) Peningkatan komponen sistem metabolisme fosfogen termasuk ATP dan fosfokreatin sebanyak 60% sampai 80% (4) Peningkatan cadangan glikogen sebanyak 50% dan (5) Peningkatan cadangan trigliserida (lemak) sebanyak 75% sampai 100%. Akibat semua perubahan ini, kemampuan sistem aerob dan anaerob meningkat, terutama meningkatkan kecepatan oksidasi maksimun dan efisiensi sistem metabolisme oksidatif 5 sebanyak 45%. 2. Perubahan pada Sistem Kardiovaskuler Pada sistem kardiovaskuler terjadi peningkatan jumlah kapiler sehingga distribusi darah ke serat otot menjadi lebih baik. Efek akhirnya adalah ekstraksi O2 yang lebih sempurna dan akibatnya untuk beban kerja yang sama peningkatan pembentukan laktat menjadi lebih rendah. Peningkatan aliran darah ke otot juga menjadi lebih rendah dan karena hal ini kecepatan denyut jantung ketika berolahraga kurang peningkatannya dibanding orang yang tidak terlatih. Hal ini merupakan alasan mengapa latihan berguna bagi pasien 5 penyakit jantung. 3. Perubahan pada Pernapasan Selama latihan fisik, jumlah O2 yang memasuki aliran darah di paru-paru meningkat, karena adanya peningkatan jumlah O2 yang ditambahkan pada tiap satuan darah serta bertambahnya aliran darah pulmonal permenit. PO2 darah yang mengalir ke dalam kapoiler pulmonal akan menurun dari 40 menjadi 25 mmHg atau kurang, sehingga perbedaan PO2 alveoli kapiler meningkat dan lebih banyak O2 akan masuk kedalam darah. Aliran darah permenit dari sekitar 5,5 L/menit menjadi 20–35 L/menit. Dengan demikian jumlah O2 total yang memasuki darah juga bertambah, dari 250 ml/menit saat istirahat
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 y No. 3 y September 2007
224 Universitas Sumatera Utara
Tinjauan Pustaka
mencapai 400 ml/menit. Jumlah CO2 yang dikeluarkan dari tiap satuan darah meningkat dan ekskresi CO2 meningkat dari 200 5 ml/menit mencapai 8000 ml/menit. Angka-angka ini terjadi pada keadaan normal, namun dapat kita jadikan acuan pada keadaan Penyakit Paru Obstruksi Kronis 5 (PPOK). Efek latihan pada sistem pernapasan sangat progresif. Dalam waktu 4–6 minggu latihan terus menerus, efisiensi pernapasan maksimum telah tercapai. Hal ini disebabkan karena meningkatnya fungsi neuromuskular, difusi gas O2 dan CO2 menjadi lebih baik. Begitu pula untuk volume (isi) semenit jantung yang sama, O2 yang diambil dan CO2 yang dikeluarkan (difusi gas) meningkat. Dengan latihan teratur terus menerus, efisiensi otot-otot pernapasan meningkat, terbukti dengan ventilasi paru yang menurun frekuensinya tetapi amplitudonya (dalamnya) bertambah, hingga mencapai frekuensi pernapasan 8 kali permenit waktu istirahat 3 pada orang yang terlatih. 4. Perubahan pada Susunan Darah Efek latihan terlihat pula pada susunan kimia darah dan sel-sel darah. Pada pekerjaan atau latihan yang berat dan lama (misalnya lari maraton), glukosa darah akan menurun karena habisnya cadangan glikogen dalam hati sedangkan tidak ada penambahan selama latihan. Asam laktat baru timbul apabila telah 3 terjadi proses anaerobik atau pekerjaan berat. Sel darah sering mengalami perubahan pada latihan, misalnya eritrosit banyak yang pecah walaupun praktis jumlahnya (tiap cc darah) tetap akibat pengeluaran sel-sel darah (eritrosit) dari limpa yang mengadakan 5 kontraksi waktu latihan berlangsung. 5. Perubahan pada Aktivitas Aerobik dan Anaerobik Selama latihan, oleh karena adanya perubahan-perubahan pada otot, sistem pernapasan metabolisme sel-sel tubuh terjadi pula perubahan-perubahan pada aktivitas 3 aerobik dan anaerobik. Aktivitas aerobik: besarnya kerja otot yang dapat dikerjakan dengan persediaan O2 yang sama menjadi lebih besar. Oleh karenanya proses kontraksi otot aerobik sudah cukup untuk menghasilkan kerja pada tingkat yang 225
lebih tinggi dengan akumulasi asam laktat 3 cukup kecil dalam darah. Proses anaerobik baru diperlukan kalau sifat pekerjaan yang dihadapi lebih berat. Dengan demikian akat terdapat steady state pada level yang lebih tinggi dan akumulasi asam laktat baru tejadi pada kerja yang lebih berat dan tidak terjadi dalam waktu yang cepat. Karenanya kapasitas anaerobik dalam 3 tingkat yang lebih tinggi lebih bisa dicapai. 6. Perubahan pada Tulang Selain ada hipertrofi otot, efek latihan juga menyebabkan penambahan kekuatan tulang, tebalnya tulang rawan sendi, penambahan kekuatan ligamen dan 3 sebagainya. Di samping itu juga ada kaitan antara depresi dan kelelahan pada pasien PPOK, sehingga manfaat yang dapat diperoleh dari berolahraga yang dilakukan penderita PPOK adalah selain dari segi fisiologi juga efek 6 psikologi. MANFAAT BEROLAHRAGA PADA PENDERITA PPOK Olahraga merupakan kebiasaan yang sehat dan baik. Tak seorang dokter atau orang awam pun meragukan hal ini. Juga tidak ada kontroversi tentang latihan berolahraga pada suatu program rehabilitasi paru. Di awal tahun 1960-an, para dokter mulai memberikan resep latihan berolahraga sebagaimana mereka memberikan resep obat, pertama-tama untuk mencegah penyakit dan kemudian untuk memulihkan pasien yang menderita penyakit kronis. Penyakit paru berada pada daftar tertinggi dari kondisikondisi di mana latihan dianggap terapi yang 7 cocok dan bermanfaat. Mengingat bahwa pada penderitapenderita PPOK umumnya terdapat deconditioning syndrome, sehingga dapat mengakibatkan: a. Kemampuan bekerja berkurang, selanjutnya akan mempengaruhi keadaan sosio ekonominya. b. Biaya pengobatan yang dikeluarkan makin lama makin besar, akibatnya mengurangi dana untuk kebutuhan yang lain. c. Timbul masalah lain seperti masalah 3 psikologi, sosial, seksual, dan sebagainya.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 y No. 3 y September 2007 Universitas Sumatera Utara
Amira Permatasari Tarigan
Biaya perawatan kesehatan untuk PPOK setiap tahun sangatlah mengejutkan, di Amerika sendiri $36 miliar. Beberapa kajian mengenai aspek keuangan dari program rehabilitasi latihan paru-paru memperlihatkan bahwa pasien PPOK yang mengikuti program komprehensif tidak begitu banyak menghabiskan waktu dirumah sakit, dan membayar pelayanan medis lebih murah. Dalam kajian terhadap 80 pasien PPOK, terdapat pengurangan 68% masa opname pada tahun setelah mengikuti program rehabilitasi berjalan dibandingkan dengan tahun sebelum program rehabilitasi berjalan. Kajian ini terus memonitor pasien yang sama selama 8 tahun, dan para peneliti menghitung total rata-rata penghematan sebesar $416.000 atau $5000 perpasien setiap tahun. Bukti ini menunjukkan bahwa program rehabilitasi paru-paru yang komprehensif merupakan 7 suatu investasi biaya yang efektif. Beberapa kajian memperlihatkan bahwa pasien penyakit kronis yang berlatih dengan tekun, jarang sekali terkena stress, kecemasan dan depresi, tidur lebih nyenyak, dan percaya diri bertambah. Panel consensus pada Lembaga Kesehatan Mental di Amerika Serikat tetap menekankan bahwa olahraga dan kebugaran fisik memiliki pengaruh positif pada pandangan mental seseorang, berapapun usianya. Untuk orang terkena depresi, para spesialis medis menganggap latihan yang teratur sebagai penghubung yang berguna terhadap meditasi atau psikoterapi, atau 7 keduanya. Walaupun olahraga tidak dapat mengembalikan defisit fisiologi dan struktur yang ada pada PPOK, namun ia dapat mengurangi ketidaksanggupan pasien melalui perbaikan daya tahan tubuh, pernapasan yang efisien, dan toleransi dari sesak napas, terutama pada pasien-pasien yang kerusakan 8 parunya berat. Beberapa penelitian yang berkaitan dengan manfaat olahraga pada PPOK: Paitiel dkk. Melaporkan bahwa pasienpasien dengan PPOK derajat sedang sampai berat, yang mengikuti beberapa lama periode terapi dengan menggunakan bronchodilator masa kerja lama (LABD = long acting bronchodilator), olahraga ditambah penggunaan LABD, dan olahraga ditambah latihan otot-otot
Olahraga pada Penderita Penyakit Paru...
inspirasi (IMT = Inspiratory Muscle Training) ditambah LABD, ada penigkatan perbaikan secara kumulatif 9 dari sesak napas. James I dkk. melaporkan bahwa program rehabilitasi paru yang menyertakan latihan ekstremitas atas akan mengarahkan suatu penurunan penggunaan ventilasi untuk mengangkat tangan. Program ini dapat membuat sesak yang berkurang pada pasien obstruksi saluran napas kronis ketika melakukan aktivitas ekstremitas 10 atas. R. Coppoolse (1999) menyatakan bahwa ada perbedaan fisiologi yang terjadi pada latihan yang berinteval atau yang terus menerus pada PPOK, kemungkinan merupakan suatu efek spesifik latihan terhadap oksidasi atau proses metabolisme 11 glikosis otot. Dan dari Ohio University, Charles Emery menyatakan dari hasil penelitiannya tentang pasien-pasien PPOK yang melakukan olahraga secara teratur dapat menurunkan ansietas dan depresinya dan peningkatan daya tahan dan beberapa 12 bentuk dari fungsi intelektualnya. Dari hasil laporan Casaburi (1993) yang mengevaluasi efek dari berolahraga terhadap 900 orang pasien PPOK, terjadi peningkatan ketahanan beraktivitas akibat 13 latihan. PEDOMAN KEAMANAN SEBELUM MELAKUKAN OLAHRAGA PADA PASIEN PPOK Dalam rangka mengutamakan keselamatan dan keamanan, sebaiknya sebelum melakukan kegiatan olahraga, pasien-pasien PPOK penting melaksanakan pedoman-pedoman tertentu untuk memastikan program latihan tersebut akan efektif dan aman. Pedoman-pedoman keamanan berikut ini ditujukan untuk mengurangi kemungkinan dimana latihan dapat memperburuk kondisi pasien. Pedoman ini juga dirancang untuk membantu mencegah komplikasi jantung yang berkaitan dengan olahraga dan cedera otot 7 serta urat darah. 1. Jangan memulai latihan sebelum masalah pernapasan pasien belum distabilkan melalui perawatan medis yang tepat.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 y No. 3 y September 2007
226 Universitas Sumatera Utara
Tinjauan Pustaka
2. Melakukan evaluasi medis menyeluruh sebelum memulai program latihan, dan setelahnya tetap dilakukan evaluasi berkala. 3. Menentukan pasien-pasien mana yang membutuhkan pengawasan medis secara langsung pada saat melakukan latihan, dan apakah pengawan itu pada mingguminggu awal program atau bersifat permanen. 4. Menentukan apakah pasien membutuhkan tambahan oksigen dalam latihan dan apakah terdapat tanda-tanda hipoksemia pada pasien. 5. Pasien harus mengetahui tanda-tanda bahaya dari komplikasi jantung yang dapat terjadi. 6. Berhati-hatilah dengan beberapa obat yang dapat mengubah respons pasien terhadap latihan. 7. Pasien sebaiknya mengetahui teknik pernafasan khusus yang membantu meredakan sesak napas saat latihan. 8. Mengetahui cara untuk mencegah, atau setidaknya memperkecil, asma yang disebabkan oleh olahraga. TIPS MELAKUKAN OLAHRAGA BAGI PASIEN PPOK Olahraga yang boleh dan perlu dilakukan oleh penderita PPOK adalah olahraga yang bersifat rehabilitatif yang sudah tentu juga nonkompetitif. Olahraga penderita PPOK harus bersifat rehabilitatif mengandung arti bahwa olahraga tersebut harus terprogram dan di bawah pengawasan pembimbing dan kalau memungkinkan lebih baik lagi jika ditangani 3 oleh tim. Oleh karena itu diperlukan kemampuan khusus untuk menyusun program latihan yang 3 sesuai dengan kondisi penderita. Di bawah ini beberapa tips umum untuk melakukan olahraga bagi penderita PPOK: 1. Menggunakan inhalasi bronkodilatasi 30–60 menit sebelum melakukan olahraga sebaiknya menggunakan inhalasi bronkhodilatasi, terutama untuk mencegah terjadinya serangan pada pasien yang menderita exercise induced asthma 14 (EIA). 2. Melakukan pemanasan sebelum latihan Lamanya berkisar 5–10 menit. Tujuan latihan pemanasan untuk menambah 227
3.
4.
5.
6.
7.
aliran darah ke jantung, mengurangi tahanan paru, menambah aliran darah ke organ vital lainnya, melenturkan sendi, menaikkan temperatur tubuh (meninggikan 3 kesiapan metabolisme tubuh). Buat target yang ingin dicapai Memulai olahraga dengan membuat target yang diperkirakan dapat dicapai. Kemudian secara bertahap tingkatkan target seiring dengan kemajuan yang dicapai. Sebaiknya latihan diawali dengan berjalan selama 12 menit (jalan mendatar) dan dapat disertai dengan senam ringan. Apabila penderita tidak dapat jalan karena sesak, maka dianjurkan untuk melakukan latihan otot pernapasan inspirasi. Sangat baik jika aktivitas fisik dilakukan selama 30–45 menit dalam waktu tiga sampai lima kali 15 seminggu. Aktivitas yang dilakukan variasikan Jenis olahraga yang dilakukan divariasikan, antara lain berenang, jalan, latihan tubuh 7 bagian atas dan aerobik ringan, bersepeda. Jenis latihan harus sesuai dengan kemampuan, kebiasaan dan fasilitas yang 3 ada. Kini yayasan asma di Indonesia juga telah memberikan tambahan pilihan jenis olahraga penderita penyakit paru yaitu senam asma. Pada senam ini terdiri dari pemanasan, latihan tubuh bagian atas, latihan pernapasan, peregangan, aerobik ringan dan pendinginan, yang diiringi oleh musik sehingga memberikan semangat bagi siapapun yang melakukannya. Pilih aktivitas yang disukai Olahraga jangan menjadi sesuatu beban, tetapi justru ia menikmatinya. Sebelumnya ia harus mencoba dahulu beberapa jenis aktivitas, agar menemukan yang paling sesuai dengan seleranya. Berolahraga dengan teman Bukan hanya untuk saling memberikan semangat, selain itu juga agar ia dapat selalu melakukan percakapan yang santai sewaktu berolahraga. Jangan banyak alasan untuk mengerjakannya Kita sebaiknya menyarankan pasien untuk melakukan aktivitas ringan, pasien dapat melakukan aktivitas sambil menggunakan peralatan oksigen. Sedikit aktivitas lebih
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 y No. 3 y September 2007 Universitas Sumatera Utara
Amira Permatasari Tarigan
baik daripada tidak sama sekali. Mulai dengan perlahan dan jika ia telah mulai merasakan keuntungan dan berolahraga, ia akan segera berkeinginan untuk melakukan lebih. 8. Ambil waktu pendinginan Aktivitas pendinginan seperti halnya peregangan, berjalan atau berenang dengan perlahan-lahan akan menutup kegiatan olahraga dan mengembalikan denyut jantung ke normal. 9. Lakukan sesuai kemampuan Melakukan latihan sebaiknya dalam kondisi yang nyaman, karena kegiatan ini bukan suatu pertandingan dengan lawan main atau orang lain tapi dengan diri sendiri. Intensitas latihan disesuaikan dengan kemampuan penderita. Dasar perhitungan intensitas latihan adalah menggunakan frekuensi denyut nadi. Denyut nadi maksimal dihitung dengan rumus 200 umur. Untuk penderita PPOK, taget denyut nadi dapat dimulai dari 50% dari denyut nadi maksimal dan dapat ditingkatkan sampai pada 75% dari denyut nadi maksimal, dan tidak dibolehkan 3,7 mencapai 85% atau bahkan melebihinya. 10. Hentikan jika mengalami masalah Jika ia menjadi mual atau pusing, merasa lemas, jantung terasa berdebar-debar, napas menjadi pendek, atau perasaan nyeri, hentikan segera olahraganya walaupun mungkin target denyut nadi belum tercapai. Melakukan konsultasi ke dokter sangat dibutuhkan untuk melaporkan 3 dan mengetahui setiap perkembangannya. 11. Berikan penghargaan kepada si pasien jika berhasil Jika berhasil mencapai tujuan atau target, berikan penghargaan atas prestasi itu. Karena ia memang berhak mendapatkannya. PENUTUP Melakukan kegiatan berolahraga harus dipertimbangkan bagi semua pasien-pasien PPOK. Manfaat yang dapat diperoleh adalah dari efek fisiologis dan psikologis. Perubahan faal tubuh akibat olahraga meliputi perubahan pada otot, sistem kardiovaskuler, sistem pernapasan, susunan darah, aktivitas aerobik dan anaerobik dan pada tulang.
Olahraga pada Penderita Penyakit Paru...
Walaupun olahraga tidak dapat mengembalikan defisit fisiologi dan struktur yang ada pada PPOK, namun ia dapat mengurangi ketidaksanggupan pasien melalui perbaikan daya tahan tubuh, efisiensi pernapasan dan toleransi terhadap sesak napasnya. Dalam melakukan berolahraga bagi penderita PPOK membutuhkan langkahlangkah yang terarah sehingga mencapai keberhasilan sesuai dengan yang diharapkan. Pasien-pasien yang melakukan olahraga secara terprogram umumnya dapat meningkatkan kapasitas kerja mereka 70–80% dalam waktu 6 minggu. Namun perlu kita sadari bahwa penatalaksanaan pasien PPOK sangatlah kompleks dalam rangka mengoptimalkan fungsi paru dan kualitas hidupnya. Dan akhirnya kita sebagai dokter yang mengerti kondisi pasien PPOK, tidak hanya menganjurkan untuk berolahraga saja tetapi ia juga membutuhkan suatu program Rehabilitasi Paru yang merupakan suatu metode manajemen dan evaluasi dari beberapa disiplin ilmu yang terkait dan terintegrasi. DAFTAR PUSTAKA 1. PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik), Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, PDPI, Jakarta, 2003:1. 2. Serres I, et al. Impaired Skeletal Muscle Endurance Related to Physical Inactivity and Altered Lung Function in COPD Patients. Chest 1998; 113: 900–05. 3. Rachmatullah P, Poeger Tj. Olahraga Pada Penderita PPOM. Dalam: Patogenesis dan Pengelolaan Menyeluruh Penyakit Paru Obstruksi Menahun. Darmono S. Universitas Diponegoro, 1990: 144–58. 4. O’Donnell DE, Webb K. The Etiology of Dyspnea During Exercise in COPD. Available at http:www.aarc.org/patient education/tips/exercise.html. 5. Guyton AC. Fisiologi Olahraga. Dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC, 1997.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 y No. 3 y September 2007
228 Universitas Sumatera Utara
Tinjauan Pustaka
6. Ries AL. Pulmonary Rehabilitation. Pulmonary Diseases and Disorders, McGraw Hill Inc, 1988: 1325–1331. 7. Gordon NF. Gangguan Pernapasan, Panduan Latihan Lengkap (Terjemahan). The Cooper Clinic and Research Institute Fitness Series, PT Rajagrafindo, 1997. 8. Mink BD. Exercise and Chronic Obstructive Pulmonary Disease: Modest Fitness Gains Pay Big Dividends. The Physician and Sportsmedicine. Available at http:www.physsportmed.com/issues/ 1997/11nov/mink.htm: 1–8. 9. Weiner P, Magadle R, et al. The Cumulative Effect of Long Acting Bronchodilators, Exercise, and Inspiratory Muscle Training on the Perception of Dyspnea in Patients with Advanced COPD. Chest 2000; 118: 672–78.
229
10. Couser JI, Celli BR, Martinez FJ. Pulmonary Rehabilitation That Includes Arm Exercise Reduces Metabolic and Ventilatory Requirements for Simple Arm Elevation. Chest 1993; 103: 37–41. 11. Coppoolse R, et al. Interval Versus Continuous Training in Patients with Severe COPD: a randomized clinical trial. Eur Respir J 1999; 14: 258–63. 12. Emery C., et al. Regular Exercise Helps Patients with COPD. In: Doctor’s Guide to Medical & Other News. Available at http://www.docguide.com. 13. Celli BR. Pulmonary Rehabilitation for COPD. Postgraduate Medicine 1998; 103(4): 1–9. 14. Saito S. Effects of Inhaled Bronchodilator on Pulmonary Hemodynamic at Restand During Exercise in Patients With COPD. Chest 1999; 115: 376–82.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 y No. 3 y September 2007 Universitas Sumatera Utara