PERBEDAAN TEKANAN INTRAOKULER PRIA DAN WANITA EMMETROPIA BERUSIA 40 TAHUN ATAU LEBIH PADA RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK DAN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. PIRNGADI MEDAN ZALDI Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Dari hasil penelitian di Amerika Serikat diperkirakan 2,25 juta penduduk yang berusia lebih dari 40 tahun menderita glaukoma sudut terbuka primer dimana setengahnya cenderung telah terjadi gangguan lapang pandangan (1,2,3 ). Diperkirakan lebih dari 3 juta kebutaan didunia disebabkan oleh glaukoma sudut terbuka primer dan lebih dari 100 juta penduduk di dunia cenderung terjadi peningkatan tekanan intraokuler dimana sekitar 2,4 juta dari populasi tersebut berkembang menjadi glaukoma sudut terbuka primer setiap tahun (1,3 ). Menurut Survei Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1996, glaukoma merupakan penyebab kebutaan kedua (0,16 %) dari penduduk Indonesia setelah katarak (1,04 %). Biasanya dari mereka mengalami kebutaan mulai pada usia 40, 50 dan 60 tahun (4) Di Indonesia penyakit glaukoma kurang dikenal masyarakat , padahal cukup banyak yang menjadi buta karenanya. Pada glaukoma sudut terbuka primer terjadi kerusakan pada saraf optik secara perlahan-lahan, sehingga penderitanya hampir tanpa keluhan subjektif sehingga penderita sering datang terlambat untuk pemeriksaan (5). Glaukoma merupakan penyakit yang dapat dicegah, bila diketahui dini dan diobati maka glaukoma dapat diatasi untuk mencegah kerusakan lebih lanjut (4). Untuk mendeteksi sedini mungkin adanya peningkatan tekanan intraokuler, maka sangat diperlukan pendidikan kesehatan mata bagi masyarakat untuk memberikan pengertian tentang pentingnya pemeriksaan mata secara rutin serta melatih tenaga kesehatan profesional untuk mengetahui gejala dan tanda-tanda dari glaukoma (2). Tekanan intraokuler ditentukan oleh keseimbangan antara jumlah produksi akuos humor oleh badan siliar, resistensi dari pengaliran akuos humor pada sudut bilik mata depan menuju sistem“trabecular meshwork”-kanalis Schlemm dan level dari tekanan vena episklera (1,2,6,7,8 ) Tekanan intraokuler normal pada manusia dari data penelitian Becker dengan menggunakan tonometer Shiotz pada 909 populasi adalah 16,1 mmHg dengan SD 2,8 mmHg (2) dan dari penelitian Leydecker dkk (1958) pada 10.000 populasi mendapatkan nilai tekanan intraokuler 15,8 mmHg dengan SD 2,6 mmHg serta dari penelitian Goldmann pada 400 populasi dengan menggunakan tonometer aplanasi mendapatkan nilai tekanan intraokuler rata-rata 15,4 mmHg dengan SD 2,5 mmHg (2,9) . Nilai tekanan intraokuler pada setiap individu dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: usia, jenis kelamin, musim, variasi diurnal, ras, kelainan refraksi, latihan, obat-obat anastesi, alkohol (1,2,9) . Pada beberapa penelitian dijumpai korelasi antara tekanan intraokuler dengan usia, dimana dengan bertambahnya usia
cenderung terjadi peningkatan tekanan intraokuler (2,10), yang mungkin disebabkan oleh faktor-faktor kardiovaskular (2), demikian juga yang berhubungan dengan jenis kelamin dimana dari penelitian Armalys (1965) dengan menggunakan tonometer applanasi mendapatkan tekanan intraokuler pada wanita berusia lebih dari 40 tahun lebih tinggi dari pria yang mungkin disebabkan oleh faktor-faktor hormonal (menstruasi) (9). Emmetropia adalah keadaan dimana antara sistem refraksi mata dan panjang sumbu bola mata terdapat hubungan atau korelasi yang tepat; pancaran cahaya yang memasuki mata sejajar dengan sumbu optik jatuh pada titik (fokus) tepat diretina (11). Mata dengan sifat emmetropia adalah mata tanpa adanya kelainan refraksi pembiasan sinar dan berfungsi normal. Pada mata emmetropia daya bias mata adalah normal, dimana sinar jauh tidak terhingga difokuskan sempurna didaerah makula lutea tanpa akomodasi dan mata akan mempunyai penglihatan normal 6/6 atau 100 % (12 ). Pada manusia dengan bertambahnya usia terutama setelah berusia 40 tahun telah terjadi proses penuaan dimana berjuta-juta sel didalam tubuh sudah mulai menurun fungsinya dan sebagian lagi telah mengalami degenerasi bahkan telah mulai tidak berfungsi lagi. Pada wanita mulai terjadi proses menopause sehingga juga dapat mempengaruhi sistem organ tubuh demikian juga pada pria telah terjadi penurunan produksi sperma yang juga disebabkan oleh faktor-faktor hormonal (13,14 ). Pola diet dan aktifitas yang dilakukan manusia selama hidupnya juga mempengaruhi sistem metabolisme tubuh sehingga dapat mengakibatkan gangguan pada sistem organ tubuhnya seperti kelainan kardiovaskular dan obesitas yang semua ini dapat mengganggu sistem dinamika tekanan intraokuler (2). Dari paparan diatas dan masih sedikitnya penelitian yang dilakukan tentang hubungan tekanan intraokuler dengan usia, maka penulis ingin meneliti hal tersebut terutama pada pria dan wanita emmetropia berusia 40 tahun atau lebih. 1.2 IDENTIFIKASI MASALAH 1.2.1. Berapa nilai tekanan intraokuler antara pria dan wanita emmetropia berusia ≥ 40 tahun 1.2.2. Apakah terdapat perbedaan yang bermakna tekanan intraokuler antara pria dan wanita emmetropia berusia ≥ 40 tahun 1.3. TUJUAN PENELITIAN 1. Untuk mengetahui gambaran karakteristik subjek penelitian. 2. Untuk mengetahui perbedaan tekanan intraokuler antara pria dan wanita emmetropia berusia ≥ 40 tahun 1.4. MANFAAT PENELITIAN Dari penelitian ini diharapkan dapat diketahui perbedaan nilai tekanan intraokuler rata-rata pada pria dan wanita emmetropia berusia ≥ 40 tahun 1.5. HIPOTESA: Terdapat perbedaan tekanan intraokuler antara pria dan wanita emmetropia berusia 40 tahun atau lebih.
©2003 Digitized by USU digital library
1
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN A. KERANGKA TEORI 1. FISIOLOGI AKUOS HUMOR Akuos humor adalah suatu cairan jernih yang mengisi ruang bilik mata depan dan belakang. Tekanan osmotik sedikit lebih tinggi dari plasma. Komposisi akuos humor serupa dengan plasma kecuali bahwa cairan ini memiliki konsentrasi askorbat, piruvat dan laktat yang lebih tinggi dan protein, urea dan glukosa yang lebih rendah. Akuos humor mempunyai fungsi sebagai media refraksi dengan kekuatan rendah, mengisi volume bola mata dan mempertahankan tekanan intraokuler serta memberi nutrisi untuk jaringan avaskular mata seperti bagian belakang kornea, jalinan trabekular, lensa dan bagian depan badan vitreus (7,15). 2. DINAMIKA AKUOS HUMOR Tekanan intraokuler ditentukan oleh keseimbangan antara jumlah produksi akuos humor oleh badan siliar, resistensi dari pengaliran akuos humor pada sudut bilik mata depan menuju sistem jalinan trabekular–kanal Schlemm dan level dari tekanan vena episklera (1,2,6,7,8 ) serta mengalir melalui jalur uveosklera (6,16). 2.1 Produksi akuos humor Cairan akuos humor diproduksi oleh korpus siliaris melalui tiga mekanisme yaitu: sekresi , ultrafiltrasi dan diffusi . Dimana 80% dari produksi akuos humor disekresi oleh epitel siliaris yang tidak berpigmen melalui metabolisme aktif dan tergantung pada jumlah sistem enzim , serta 20% dari produksi akuos humor melalui proses ultrafiltrasi dan diffusi melalui mekanisme pasif dari plasma kapiler yang dihasilkan di stroma prosesus sekretorius serta kemampuan plasma melewati sawar epitel dan aliran komponen plasma karena adanya perbedaan tekanan osmotik dan tingkat tekanan intraokuler ( 1,6,7,17) . Tingkat produksi akuos humor rata-rata adalah 2,6–2,8 µl/menit atau 1% dari volume akuos humor permenit dan angkanya menjadi 2,4 ± 0,6 µl/menit jika dilakukan pengukuran dengan alat fluorofotometer (1,2). Tingkat produksi akuos humor pada setiap individu dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: usia, jenis kelamin, musim, variasi diurnal, ras, kelainan refraksi, latihan, obat-obat anastes, alkohol (1,2,9)
©2003 Digitized by USU digital library
2
2.2 Aliran akuos humor Bagan Aliran akuos humor (18)
Prosesus siliar ↓ akuos humor masuk kedalam bilik mata belakang ( melalui pupil ) ↓ bilik mata depan
jalinan badan siliar trabekula ~ ~ kanal Schlemm sirkulasi vena badan siliar, vena-vena episklera koroid dan sklera Æ Æ Jalur Trabekular (90 %)
Æ Æ Jalur Uveoskleral (10 %)
Aliran akuos humor dari bilik mata belakang melalui pupil menuju bilik mata depan kemudian mengalir melalui dua jalur: trabekular (konvensional/kanalikular) melalui kanal Schlemm, kanalis intrasklera, vena episklera untuk selanjutnya masuk kedalam sirkulasi; jalur ini meliputi ± 90% dari seluruh aliran akuos humor. Jalinan trabekula terdiri dari berkas-berkas jaringan kollagen dan elastik yang dibungkus oleh sel-sel trabekular yang membentuk suatu saringan dengan ukuran pori-pori semakin mengecil sewaktu mendekati kanalis Schlemm. Kontraksi otot siliaris melalui insersinya kedalam jalinan trabekula memperbesar ukuran pori-pori di jalinan tersebut sehingga kecepatan drainase akuos humor juga meningkat. Aliran akuos humor kedalam kanalis Schlemm bergantung pada pembentukan saluran-saluran transelular siklik dilapisan endotel. Saluran eferen dari kanalis Schlemm (sekitar 30 saluran pengumpul dan 12 vena akuos) menyalurkan cairan kedalam sistem vena. Sejumlah kecil ± 10 % akuos humor keluar melalui jalur uveosklera (unkonvensional/ekstrakanalikular). Jalur ini terdiri dari uveal meshwork dan korneosklera meshwork, uvea pada trabekula ini menghadap kebilik depan dan meluas dari skleral-spur, permukaan anterior badan siliar serta akar iris yang kemudian berakhir di membran Descemet (garis Schwalbe) (1,2,6,15,18,19). Resistensi utama terhadap aliran keluar akuos humor dari ruang bilik mata depan adalah lapisan endotel saluran Schlemm dan bagian-bagian jalinan trabekular didekatnya, bukan dari sistem pengumpul. Tetapi tekanan di jaringan vena episklera menentukan besar minimum tekanan intraokuler yang dicapai oleh terapi medis (15) . Pengaliran akuos humor dalam jumlah yang sangat kecil mengalir melalui venavena pada iris dan retina serta melalui endotel kornea (7) . 2.3 Tekanan Vena Episklera Hubungan antara tekanan vena episklera dan dinamika akuos humor sangat rumit karena baru sebagian yang bisa diketahui. Tekanan vena episklera normal diperkirakan 8–12 mmHg. Peningkatan tekanan vena episklera sebesar 1 mmHg biasanya akan diikuti peningkatan tekanan intraokuler dalam besar yang sama (1) .
©2003 Digitized by USU digital library
3
3. HUBUNGAN TEKANAN INTRAOKULER DAN ALIRAN AKUOS HUMOR Berdasarkan dinamika pengaliran akuos humor melalui jalur trabekular ditemukan tiga faktor saling berhubungan yang dirumuskan oleh Goldmann dengan (1,2,6,7) : Po = (F/C) + Pv Po = Tekanan intraokuler (mmHg) F = Kecepatan pembentukan akuos humor (µl/mnt) C = Kemudahan aliran akuos humor (µl/mnt/mmHg) Pv = Tekanan vena episklera (mmHg) Tetapi dengan adanya faktor dari pengaliran melalui jalur uveosklera maka hubungan keempat faktor ini dapat dirumuskan dengan (19) : IOP = F- U + Pev C IOP = Tekanan intraokuler (mmHg) F = Kecepatan pembentukan akuos humor (µl/mnt) U = Pengaliran melalui uveosklera (µl/mnt) C = Kemudahan aliran akuos humor (µl/mnt/mmHg) Pev = Tekanan vena episklera (mmHg) 4. PEMERIKSAAN TEKANAN INTRAOKULER Bola mata dapat dipersamakan dengan suatu kompartemen tertutup dengan sirkulasi akuos humor yang konstan. Cairan ini mempertahankan bentuk dan tekanan relatif didalam bola mata. Tonometri adalah cara pengukuran tekanan intraokuler dengan memakai alat-alat terkalibrasi yang melekukkan atau meratakan kornea. Makin tegang mata, makin besar gaya yang diperlukan untuk mengakibatkan lekukan (15) . Ada dua jenis tonometri yaitu tonometer indentasi dan tonometer aplanasi. Tonometer indentasi yang dipakai adalah tonometer Schiotz yang digunakan untuk mengukur besarnya indentasi kornea yang dihasilkan oleh beban atau gaya yang telah ditentukan. Makin lunak mata, makin besar lekukan yang diakibatkan pada kornea. Dengan makin kencangnya mata, makin kurang lekukan kornea terjadi dengan gaya yang sama. Berbeda dari tonometer Schiotz, tonometer aplanasi dapat mengubah dan mengukur beban yang diberikan. Tekanan mata ditentukan oleh beban yang diperlukan untuk meratakan kornea dengan beban standar yang telah ditetapkan sebelumnya. Pada tekanan intraokuler yang lebih rendah, lebih sedikit beban tonometer yang dibutuhkan untuk mencapai derajat standar perataan kornea, dibanding dengan tekanan intraokuler yang lebih tinggi. Karena kedua cara ini mempergunakan alat yang menempel pada kornea pasien, maka diperlukan anastesi lokal dan ujung alat harus didesinfeksi sebelum dipakai dan sewaktu menarik palpebra saat melakukan pemeriksaan, harus hati-hati agar jangan menekan bola mata sehingga meningkatkan tekanannya (2,15,20). 4.1 Tonometer Schiotz Keuntungan cara ini adalah kesederhanaannya, alatnya mudah dibawa. Alat ini dapat dipakai di semua klinik atau bagian gawat darurat, di ruangan rawat rumah sakit, atau di kamar bedah. Tonometer Schiotz adalah alat yang praktis bagi bukan spesialis mata, untuk mengukur tekanan bola mata pada pasien yang disangkakan glaukoma dalam keadaan darurat (15). Ketiga komponen terpisah tonometer harus dibersihkan, dirakit, dan dibongkar kembali setelah pemakaian. Badan tonometer terdiri atas tabung penampung “plunger” yang dihubungkan denagan skala pengukur dan jarum penunjuk. Gagang terpasang, yang dapat meluncur di luar laras silinder, menunjang beban
©2003 Digitized by USU digital library
4
tonometer bila tidak menekan pada mata. “Pluger” adalah batang berujung tumpul yang dimasukkan ke dalam selongsong tabung, yang dapat mundur maju. Satu ujungnya menyentuh kornea, sedangkan ujung lainnya mengeser jarum skala pengukur. Beban 5,5 g yang dipasang di ujung atas pluger (paling jauh dari pasien) agar tidak jauh dari bagian batang. Pasien tidur telentang, dan diberi anestesi lokal pada kedua mata. Dengan pasien menatap lurus ke depan, kelopak mata ditahan agar tetap terbuka dengan menarik kulit palpebra dengan hati-hati pada pinggir orbita. Tonometer diturunkan oleh tangan lainnya sampai ujung cekung laras menyentuh kornea. Dengan gaya yang ditetapkan dengan beban terpasang, tonjolan pluger berujung tumpul menekan pada kornea dan sedikit melekukkan pusat kornea. Tahanan kornea, yang sebanding dengan tekanan intraokuler, akan mendesak pluger ke atas. Sewaktu bergeser keatas didalam selongsong, pluger menggeser jarum penunjuk skala. Makin tinggi tekanan intraokuler, makin besar tahanan kornea terhadap indentasi, makin tinggi pula geseran pluger ke atas, sehingga makin jauh mengeser jarum penunjuk skala. Dipakai sebuah kartu konversi untuk menerjemahkan nilai pada skala ke dalam milimeter air raksa. Jika mata kencang, diberikan tambahan beban (7,5 dan 10 gr) pada pluger untuk menaikkan gaya pada kornea. Kalibrasi dilakukan dengan meletakkan tonometer pada blok metal “berbentuk-kornea” yang akan mendefleksi jarum itu maksimal sehingga sesuai dengan “O” pada skala (2,15,20). 4.2 Tonometer Applanasi Tonometer applanasi Goldmann adalah tonometer yang dipasang pada slitlamp, untuk mengukur besarnya beban yang diperlukan untuk meratakan apeks kornea dengan beban standar. Pemeriksaan ini untuk mendapatkan tekanan intraokuler dengan menghilangkan pengaruh kekakuan sklera (scleral rigidity). Makin tinggi tekanan intraokuler, makin besar beban yang dibutuhkan. Tonometer applanasi Goldmann lebih teliti dari pada tonometri Schiotz, jenis ini lebih disukai para oftalmolog. Dengan alat ini tidak diperhatikan kekakuan sklera, karena pada tonometer applanasi, prisma yang dipakai hanya menggeser cairan dalam bola mata sebesar 0,5 mm kubik sehingga tidak terjadi pengembangan sklera yang berarti seperti pada tonometer Shiotz yang terjadi pergerakan cairan dalam bola mata sebesar 7–14 mm kubik sehingga kekakuan sklera memegang peranan dalam perhitungan tekanan intraokuler (2,15,18,20) . Setelah anastesi lokal dan pemberian fluoresein, pasien duduk didepan slitlamp dan tonometer disiapkan. Agar dapat melihat fluoresein, dipakai filter biru cobalt dengan penyinaran paling terang. Setelah memasang tonometer di depan kornea, pemeriksa melihat melalui slitlamp okuler saat ujungnya berkontak dengan kornea. Sebuah per counterbalance yang dikendalikan dengan tangan mengubah-ubah beban yang diberikan pada ujung tonometer. Setelah berkontak, ujung tonometer meratakan bagian tengah kornea dan menghasilkan garis fluorescein melingkar tipis. Sebuah prisma di ujung visual memecah lingkaran ini menjadi dua setengah–lingkaran yang tampak hijau melalui okuler slitlamp. Beban tonometer diatur secara manual sampai kedua setengahlingkaran tersebut tepat bertindih. Titik akhir visual ini menunjukan bahwa kornea telah didatarkan oleh beban standar yang terpasang. Jumlah beban yang dibutuhkan untuk ini diterjemahkan skala menjadi bacaan tekanan dalam milimeter air raksa (15,20). Sebuah tonometer applanasi listrik portable, Tonopen, telah diciptakan. Meskipun teliti, alat ini memerlukan kalibrasi setiap hari. Tono-pen lebih mahal daripada tonometer Schhiotz sehingga sedikit dijumpai dalam klinik dan bagian gawat darurat. Tonometer Perkins adalah sebuah tonometer applanasi mekanik
©2003 Digitized by USU digital library
5
portabel dengan mekanisme yang mirip dengan tonometer Goldmann. Pneumotonometer adalah tonometer applanasi lain, terutama berguna untuk kornea yang tidak rata (15). 4.3 Tonometri Non-kontak Tonometer non-kontak (“hembusan-udara“) tidak seteliti tonometer applanasi. Dihembuskan sedikit udara pada kornea. Udara yang terpantul dari permukaan kornea mengenai membran penerima-tekanan pada alat ini. Metoda ini tidak memerlukan anestesi, karena tidak ada bagian alat yang mengenai mata. Jadi dengan mudah dipakai oleh teknisi dan berguna dalam program penyaringan (2,15) 5. FREKUENSI DISTRIBUSI TEKANAN INTRAOKULER Penelitian yang telah dilakukan Armaly (1965) dengan menggunakan tonometer aplanasi pada populasi normal dari 2394 subjek penelitian mendapatkan distribusi Gaussian untuk usia diatas 40 tahun. Dengan peningkatan usia terdapat peningkatan tekanan intraokuler rata-rata dan simpangan bakunya.
Tabel:
Usia (thn) 20 - 29 30 - 39 40 - 49 50 - 59 60 - 69 70 - 79
Perbedaan Tekanan Intraokuler rata-rata dan Simpangan Baku (SD) antara Pria dan Wanita berdasarkan Kelompok Umur dari Penelitian Armaly (9) Perbedaan Pria-Wanita Pria SD Wanita SD Rata-rata SD 14,93 15,17 15,55 15,89 16,33 16,14
2,476 2,97 2,96 3,21 3,80 4,15
14,97 15.13 15,71 16,47 16,79 17,15
2,51 2,82 3,04 2,89 3,79 3,83
0,04 0,04 0,16 0,58 0,46 1,01
0,04 0,15 0,08 0,32 0,01 0,32
6. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TEKANAN INTRAOKULER Beberapa faktor yang mempengaruhi tekanan intraokuler antara lain: 6.1 Usia Masih banyak pertentangan mengenai pengaruh usia terhadap perubahan tekanan intraokuler. Umumnya usia muda mempunyai tekanan yang lebih rendah di banding populasi umum, sedangkan pada orang tua peninggian tekanan intraokuler mempunyai hubungan dengan tekanan darah yang meninggi, frekuensi nadi dan obesitas. Dengan peningkatan usia pengeluaran aliran akuos humor menurun. Studi Histologi menghubungkannya dengan perubahan pada jaringan trabekula, termasuk penebalan dan penggabungan lapisan trabekula, degenerasi kollagen dan fibril elastik, akumulasi kollagen, hilangnya sel-sel endotel, hiperpigmentasi sel-sel endotel, akumulasi organel intraselluler, akumulasi dan perubahan matriks ekstraselluler dan berkurangnya jumlah vakuola raksasa. (1,2,9,12) . 6.2 Jenis kelamin Tidak banyak ditemui perbedaan tekanan intraokuler antara pria dan wanita. Umumnya wanita usia menopause mempunyai tekanan intraokuler yang relatif lebih tinggi di bandingkan pria dengan umur yang sama, dalam hal ini mungkin disebabkan oleh faktor- faktor hormonal (1,2,9,12)
©2003 Digitized by USU digital library
6
6.3 Musim Adanya pengaruh musim berhubungan dengan tekanan intraokuler pernah dilaporkan dimana pada bulan–bulan musim dingin tekanan intraokuler manusia lebih tinggi yang mungkin disebabkan oleh perubahan tekanan atmosfer ( 2). 6.4 Variasi diurnal Variasi diurnal merupakan perubahan keadaan tekanan intraokuler setiap hari. Pada orang normal mempunyai variasi 3–6 mmHg antara tekanan intraokuler terendah dan tertinggi, sedang pada penderita glaukoma dapat lebih tinggi lagi. Umumnya tekanan intraokuler meninggi pada tengah hari dan lebih rendah pada malam hari. Ini di hubungkan dengan variasi diurnal kadar kortisol plasma, dimana puncak tekanan intraokuler sekitar tiga sampai empat jam setelah puncak kadar kortisol plasma (1,2,9,12). 6.5 Ras Adanya keterkaitan antara ras tertentu dengan tekanan intraokuler telah diperkuat dengan adanya laporan yang menyatakan bahwa orang kulit hitam mempunyai tekaan intraokuler lebih tinggi di bandingkan kulit putih (1,2). 6.6 Genetik Tekanan intraokuler pada populasi umum ada kaitannya dengan keturunan, keadaan ini di buktikan dengan terdapatnya kecenderungan tekanan intraokuler yang lebih tinggi pada sejumlah keluarga penderita glaukoma (2). 6.7 Kelainan refraksi Terdapat hubungan antara miopia aksial dengan peninggian tekanan intraokuler. Dimana dengan bertambahnya panjang sumbu bola mata akan menyebabkan meningkatnya tekanan intraokuler (2). 7.
EMMETROPIA 7.1 Sistem Optik Euclid (300 SM) berpendapat bahwa beberapa macam sinar sensorik yang keluar dari mata dan objek-objek yang dideteksi dengan cara yang sama dengan sentuhan sensasi. Di kemudian hari , sebelum era Johannes Kepler (1571–1630), mata digambarkan sebagai miniatur kamera obskura yaitu berupa sebuah ruangan gelap atau sebuah kotak dengan lubang kecil tanpa lensa pada salah satu dindingnya. Akan tampak suatu bayangan pemandangan yang terbalik pada dinding yang letaknya berseberangan dengan lubang. Kepler berpendapat bahwa kornea dan lensa bersama-sama membiaskan sinar dan membentuk bayangan di retina. Christoper Scheiner (1579–1650) mengukur kelengkungan kornea untuk pertama kalinya. Dia juga memperlihatkan bayangan kecil dari suatu objek yang terbentuk pada permukaan posterior mata binatang yang telah di enukleasi ( 15 ). Telah banyak dilakukan usaha untuk mensederhanakan sistem optik mata manusia , terutama dengan menggunakan persamaan lensa tebal dari metode aljabar untuk kalkulasi optik . Skema mata Gullstrand dan bentuk tereduksinya adalah model yang merupakan sumber bagi besaran-besaran matematik untuk sifat optik mata. Indeks refraksi kornea sekitar 1,376 dan indeks refraksi akuos humor sekitar 1,3337 (untuk garis natrium D pada 37oC)( 15,21,23,27 ). 7.2 Lensa mata Konsep bahwa bayangan diretina difokuskan oleh 2 elemen lensa, yaitu kornea yang memiliki 43 dioptri dan lensa dengan 20 dioptri, masih dianut secara luas sampai saat ini tetapi hal ini terlalu menyederhanakan masalah(15,19,21). Trigonometric ray tracing membuktikan bahwa sistem optis mata manusia lebih tepat dikonseptualisasikan sebagai suatu sistem tiga lensa yaitu lensa akuos, lensa kristalina dan lensa badan kaca. Berbeda dengan anggapan umum, kornea itu sendiri hampir tidak memiliki kekuatan refraksi dalam sistem optis tetapi penting hanya dalam membentuk kurva anterior lensa akuos. Lensa kristalina
©2003 Digitized by USU digital library
7
adalah komponen optis yang menarik karena indeks refraksinya bervariasi disepanjang ketebalannya dan tidak konstan, seperti yang diperkirakan oleh sebagian besar kalkulasi optis. Lensa badan kaca sangat penting karena efeknya yang kuat pada pembesaran (15). 7.3 Status Refraksi Status refraksi pada mata ditentukan oleh empat faktor yang saling berhubungan(28,29): 1. Kekuatan refraksi kornea 2. Kedalaman bilik mata depan 3. Kekuatan refraksi lensa 4. Panjang aksis bola mata Keempat faktor diatas telah dilakukan penelitian oleh beberapa peneliti antara lain : Tron , Stenstrom dan Sorsby dkk, mereka mendapatkan nilai dari masing-masing faktor sebagai berikut (2): Sorsby al Tron Stenstrom et Range Mean Range Mean Range Mean Corneal Power 37 - 49 43,41 39,2-48,5 42,84 39 - 47 43,14 (D) Anterior Chamber 2,163,27 2,8 – 4,55 3,68 2,6 – 4,4 3,47 Depth(mm) 5,05 Lens Power (D) 15 - 29 20,44 12,5 - 22 17,35 17 - 26 20,71 Axial Diameter 21 - 38 25,15 20 – 29,5 24,00 21 - 27 23,94 (mm) 8. PEMERIKSAAN KETAJAMAN PENGLIHATAN Sebagaimana halnya tanda-tanda vital merupakan bagian dari setiap pemeriksaan fisik, maka setiap pemeriksaan mata harus mencakup penilaian ketajaman penglihatan . Penglihatan yang baik adalah hasil kombinasi jalur visual neurologik yang utuh, mata yang secara struktural sehat, dan dapat memfokuskan sinar secara tepat. Sebagai analogi, sebuah kamera video, agar dapat berfungsi dengan baik, memerlukan kabel yang utuh, dan fokus yang tepat. Penilaian ketajaman penglihatan lebih bersifat subjektif daripada objektif, karena memerlukan respon dari pasien (15). 8.1 Pemeriksaan Refraksi Titik fokus jauh mata tanpa bantuan bervariasi pada orang normal, tergantung pada bentuk bola mata dan kornea. Mata emmetrop secara alami berfokus optimal bagi penglihatan jauh. Mata ametrop (yakni mata myopia, hiperopia, atau astigmatisma) memerlukan lensa koreksi agar terfokus dengan baik untuk jarak jauh. Gangguan optik ini disebut kelainan refraksi. Pemeriksaan refraksi merupakan prosedur untuk menetapkan dan menghitung kesalahan optik alami ini dan juga diperlukan untuk membedakan apakah pandangan kabur disebabkan oleh kesalahan refraksi atau oleh kelainan medis pada sistem visual. Jadi, selain menjadi dasar untuk penulisan resep kaca mata atau lensa kontak, refraksi juga berfungsi diagnostik (15,20,21) . 8.2 Pemeriksaan Penglihatan Sentral Penglihatan dapat dibagi dalam penglihatan sentral dan perifer. Ketajaman penglihatan sentral diukur dengan memperhatikan sasaran dengan berbagai ©2003 Digitized by USU digital library
8
ukuran yang terpisah pada jarak standar dari mata. Mata hanya dapat membedakan dua titik terpisah bila titik tersebut membentuk sudut 1 menit. Satu huruf hanya dapat dilihat bila seluruh huruf membentuk sudut 5 menit dan setiap bagian dipisahkan dengan sudut 1 menit. Makin jauh huruf terlihat, maka makin besar huruf tersebut dibuat karena sudut yang dibentuk harus tetap 5 menit. Pemeriksaan tajam penglihatan sebaiknya dilakukan pada jarak 5 atau 6 meter , karena pada jarak ini mata akan melihat benda dalam keadaan beristirahat atau tanpa akomodasi. Pada pemeriksaan tajam penglihatan dipakai kartu baku atau standar, misalnya kartu baca Snellen, yang setiap hurufnya membentuk sudut 5 menit pada jarak tertentu sehingga huruf pada baris tanda 60, berarti huruf tersebut membentuk sudut 5 menit pada jarak 60 meter; dan pada baris tanda 6 adalah huruf yang membentuk sudut 5 menit pada jarak 6 meter, sehingga huruf ini pada orang normal akan dapat dilihat dengan jelas (15,20,21) . Kartu yang berisi angka-angka dan kartu “E” dapat dipakai bagi pasien yang tidak terbiasa oleh abjad Latin dan untuk menguji anak-anak kecil atau yang ada hambatan bahasa (15,21) . 8.3 Pemeriksaan Penglihatan Perifer Karena jauh lebih kasar dari ketajaman sentral maka penglihatan perifer lebih sulit diperiksa secara kuantitatif. Pemeriksaan-pemeriksaan khusus yang akan dibahas berikut ini dipakai bila pengukuran penglihatan perifer diperlukan, seperti untuk mendiagnosis dini dari glaukoma (15) . Pemeriksaan lapangan penglihatan perifer secara kasar dengan cepat dapat dilakukan dengan tes konfrontasi. Karena lapangan penglihatan kedua mata saling bertindih, masing-masing mata harus diperiksa secara terpisah. Pasien duduk menghadap pemeriksa beberapa kaki jauhnya. Pemeriksa dimulai dengan menutup mata sebelah kiri, sedangkan mata kanan menatap mata kiri pemeriksa. Pemeriksa memperhatikan beberapa jarinya (biasanya satu, dua atau empat jari) sebentar diperifer salah satu dari empat kuadran. Pasien diminta untuk menyebut jumlah jari yang digerakkan sesaat tersebut sambil tetap menatap kedepan. Karena pasien dan pemeriksa saling menatap, setiap kali pasien tidak menatap akan diketahui. Kuadran temporal atas dan bawah serta nasal atas bawah semuanya harus diperiksa dengan cara ini. Jika pemeriksa menutup mata kanan dan pasien menutup mata kirinya dan jika sasaran (jari-jari) digerakkan pada jarak yang sama antara pasien dan pemeriksa lapangan pandangan perifer masing-masing harus sama. Ini memungkinkan perbandingan lapangan pandang pasien dengan lapangan pandang pemeriksa. Kesalahan yang konsisten menunjukan defisiensi dalam kuadran yang diperiksa , seperti pada ablasio retina, kelainan saraf optik, cedera atau iskemia pada jalur visual intrakranial. Karena kelainan lapangan pandang sering tanpa gejala , pemeriksaan konfrontasi harus dimasukan pada pemeriksaan oftalmologik lengkap. Selain dengan pemeriksaan konfrontasi , pemeriksaan lapangan pandang dapat digunakan perimetri. Pemeriksaan ini dilakukan terpisah untuk masing-masing mata yang berfungsi untuk mengukur fungsi retina, saraf optik dan jalur penglihatan intrakranial secara bersamaan. Lapangan penglihatan diukur dan dipetakan menurut derajat kelengkungan. Pengukuran derajat kelengkungan itu tetap konstan dan tidak bergantung jarak dari mata yang diperiksa. Sensitifitas penglihatan paling besar pada daerah fovea dan paling kecil diperifer. Pemeriksaan perimetri tergantung pada respons pasien secara subjektif, dan hasilnya akan tergantung pada status psikomotor dan status penglihatan pasien (15,20) .
©2003 Digitized by USU digital library
9
8.4. Metode Perimetri 1. Layar Tangent adalah alat paling sederhana untuk perimetri standar. Pemeriksaan ini memakai jarum putih dengan berbagai ukuran pada tongkat hitam dengan latar belakang layar hitam dan dipakai terutama untuk menguji 30 derajat penglihatan sentral. Keuntungan metode ini adalah sederhana dan kecepatannya, kemungkinan mengubah jarak subjek ke layar, dan bebas memilih jenis fiksasi dan objek tes, termasuk warna berbeda (15,23) . 2. Perimetri Goldman adalah alat perimetri yang lebih canggih berupa sebuah mangkuk bulat putih dengan jarak tetap di muka pasien. Cahaya dengan berbagai ukuran dan intensitas disajikan oleh pemeriksa (duduk dibelakang perimetri). Metode ini dapat menguji seluruh lapangan pandangan perifer dan selama bertahun-tahun menjadi metode utama untuk menetapkan lapangan pandang pada pasien glaukoma (2,9,15,20,21,) 3. Perimetri Automatis Komputer merupakan alat yang paling sensitif dan paling canggih yang ada untuk pengujian lapangan pandang. Dengan memakai mangkuk mirip dengan perimetri Goldman, alat ini menampilkan titik-titik cahaya penguji dengan berbagai intensitas dan ukuran, namun memakai format penguji ambang statik kuantitatif yang lebih tepat dan komprehensif dari pada metode lain. Skor-skor numerik sesuai dengan ambang sensitifitas untuk setiap lokasi tes dan dapat disimpan dalam memori komputer dan secara statistik dibandingkan dengan hasil pemeriksaan terdahulu atau dari pasien normal lain. Makin tinggi skor numerik, makin baik sensitifitas visual untuk lokasi itu. Keuntungan lain adalah bahwa presentasi tes itu terprogram dan otomatis, mencegah adanya variasi dari pihak pemeriksa (2,15,23) . 9. TEORI PROSES MENUA Menua (aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita (14). Dengan begitu manusia secara progresif akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi dan akan menumpuk semakin banyak distorsi metabolik dan struktural yang disebut sebagai penyakit degeneratif (14,30). Proses menua pada seseorang, sebenarnya berlangsung sejak pembuahan sampai saat kematian. Tanda-tanda proses itu menjadi semakin jelas sejak usia 30 tahun dan diatas 60 tahun mulai menunjukkan masalah antara lain dengan gangguan fisik yang berlanjut dengan gangguan pergaulan maupun kejiwaan. Berat dan ringannya gejala itu ditentukan oleh berbagai faktor. Pertama, faktor gizi, baik yang dialami ketika masa pertumbuhan maupun pada masa tua. Kedua, faktor lingkungan, baik dalam arti lingkungan fisik, keluarga, pekerjaan dan pergaulan yang dapat menekan pikiran yang mengakibatkan stress. Ketiga , faktor gen yang ada dalam tubuh seseorang. Proses menua merupakan kombinasi dari bermacam-macam faktor yang saling berkaitan ( 14,30,31,32). Terdapat berbagai teori mengenai proses menua. Hal ini menggambarkan adanya upaya dari ilmuwan untuk memahami dan menerangkan mekanisme proses menua. Berbagai teori ini dapat saling menunjang . Ada teori yang memfokuskan pada fenomena selular, ada pada jaringan interstitial (misalnya kollagen) dan ada pada bangunan intrasellular (misalnya mitokondria). Berbagai interaksi antar aktivitas intraselular dan intersellular dapat terjadi bersamaan dan hampir tidak mungkin kita dapat menentukan aksi, reaksi atau interaksi mana yang lebih berperan pada proses menua (14,30).
©2003 Digitized by USU digital library
10
9.1 Teori Genetik Teori ini didasarkan atas asumsi bahwa lama hidup ditentukan oleh informasi yang ada pada molekul DNA pada gen. Informasi di transfer dari molekul DNA melalui berbagai langkah kepada pembentukan protein yang diperlukan untuk berfungsi normalnya sel. Diketahui bahwa terdapat perbedaan lamanya hidup bagi berbagai jenis hewan. Ini menggambarkan adanya pengaruh program genetik terhadap usia maksimal sesuatu jenis hewan. Diketahui pula bahwa wanita mempunyai harapan hidup yang lebih lama dari pria yang mungkin hal ini dipengaruhi oleh lebih banyaknya kromatin X. Panjang usia maksimal sudah terprogram. Sel-sel tertentu hanya dapat membagi diri sampai jumlah tertentu, setelah itu akan mati. Sel hewan tua dapat membagi diri sampai 20-25 kali dan sel hewan muda sampai 40–50 kali. Jadi disatu sisi batas usia ditentukan oleh faktor genetik, namun faktor lain seperti nutrisi, lingkungan , stress, keadaan sosioekonomi mempunyai peranan penting dalam menentukan usia yang dapat dicapai secara aktual (14,30). 9.2. Teori Mutasi Somatik Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan dalam menganalisa faktor-faktor penyebab terjadinya proses menua adalah lingkungan yang menyebabkan terjadinya mutasi somatik. Sekarang sudah umum diketahui bahwa radiasi dan zat kimia dapat memperpendek usia, sebaliknya menghindari terkena radiasi dan tercemar zat kimia yang bersifat karsinogenik atau toksik, dapat memperpanjang usia. Menurut teori ini terjadinya mutasi yang progresif pada DNA sel somatik, akan menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan fungsional sel tersebut (14) . 9.3 . Teori Auto-Immun Teori ini mengemukakan bahwa menua diakibatkan oleh antibodi yang bereaksi terhadap sel normal dan merusaknya. Ini terjadi karena kegagalan mengenal sel normal dan pembentukan antibodi yang salah, sehingga bereaksi terhadap sel normal disamping sel abnormal yang menstimulasi pembentukannya. Teori ini mendapat sokongan dari kenyataan bahwa jumlah antibodi autoimmun meningkat pada usia lanjut dan terdapat hubungan antara penyakit immun (misalnya rematoid, arteritis, diabetes, amiloidosis) dengan fenomena menua (14,30) . 9.4. Teori radikal Bebas Radikal bebas dapat terbentuk dialam bebas , dan didalam tubuh jika fagosit pecah, dan sebagai produk sampingan pada rantai pernafasan didalam mitokondria. Untuk organisme aerobik, radikal bebas terutama terbentuk pada waktu respirasi (aerob) didalam mitokondria, karena 90% oksigen yang diambil tubuh, masuk kedalam mitokondria. Waktu terjadi proses respirasi tersebut oksigen dilibatkan dalam mengubah bahan bakar menjadi ATP, melalui enzimenzim respirasi didalam mitokondria, maka radikal bebas akan dihasilkan sebagai zat antara. Radikal bebas yang terbentuk adalah : superoksida, radikal hidroksil dan hydrogen peroksida. Radikal bebas ini bersifat merusak, karena sangat reaktif, sehingga dapat bereaksi dengan DNA, protein, asam lemak tidak jenuh, seperti dalam membran sel. Tubuh sendiri sebenarnya mempunyai kemampuan untuk menangkal radikal bebas , dalam bentuk reaksi enzimatik seperti: Superoxide dismutase yang berunsur Zn, Cu dan Mn , enzim katalase yang berunsur Fe dan enzim glutation peroksidase yang berunsur Se. Disamping itu radikal bebas dapat juga dinetralkan menggunakan senyawa nonenzimatik, seperti: vitamin C, beta karotein dan tokoferol. Walaupun telah ada sistem penangkal, namun sebagian radikal bebas tetap lolos, bahkan makin lanjut usia makin banyak radikal bebas terbentuk sehingga proses
©2003 Digitized by USU digital library
11
pengrusakan terus terjadi, kerusakan organel sel makin lama makin banyak akhirnya sel mati (14,30). 10. HUBUNGAN KONDISI MATA DENGAN USIA Pada manusia dengan bertambahnya usia terutama setelah berusia 40 tahun telah terjadi proses penuaan dimana berjuta-juta sel didalam tubuh sudah mulai menurun fungsinya dan sebagian lagi telah mengalami degenerasi bahkan telah mulai tidak berfungsi lagi. Pada wanita mulai terjadi proses menopause sehingga juga dapat mempengaruhi sistem organ tubuh demikian juga pada pria telah terjadi penurunan produksi sperma yang juga disebabkan oleh faktor-faktor hormonal (13,14 ). Pola diet dan aktifitas yang dilakukan manusia selama hidupnya juga mempengaruhi sistem metabolisme tubuh sehingga dapat mengakibatkan gangguan pada sistem organ tubuhnya seperti kelainan kardiovaskular dan obesitas yang semua ini dapat mengganggu sistem dinamika tekanan intraokuler (2) . Pada mata sehat dengan pemeriksaan fluorofotometer diperkirakan produksi akuos humor 2,4 ± 0,06 µl/menit. Beberapa faktor berpengaruh pada produksi akuos humor. Dengan pemeriksaan fluorometer menunjukkan bahwa dengan bertambahnya usia terjadi penurunan produksi cairan akuos 2 % untuk setiap dekade. Namun penurunan ini tidak sebanyak yang diperkirakan, oleh karena dengan bertambahnya usia sebenarnya produksi akuos humor lebih stabil dibanding perubahan tekanan intraokuler atau volume bilik mata depan (14). B.
KERANGKA KONSEPSIONAL
PRIA ≥ 40 TAHUN
WANITA ≥ 40 TAHUN
TONOMETER APLANASI
PEMERIKSAAN TEKANAN INTRAOKULER
TIO ????
TIO ????
Analisa Statistik
PERBEDAAN +/©2003 Digitized by USU digital library
12
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN 3.1. BENTUK PENELITIAN Penelitian yang dilaksanakan bersifat deskriptif analitik dengan metode observasi klinik non randomise. 3.2. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di SMF Penyakit Mata RSUP.H.Adam Malik dan RSUD. Dr.Pirngadi Medan pada setiap hari kerja dari pukul 09.00–12.00 WIB dan dilaksanakan pada bulan April dan Mei 2003. 3.3. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN Populasi adalah semua pasien pria dan wanita emmetropia yang berusia ≥ 40 tahun yang berkunjung ke SMF Penyakit Mata RSUP.H.Adam Malik dan RSUD.Dr Pirngadi Medan selama masa penelitian Sampel penelitian ditentukan dengan metode konsekutif yaitu semua subjek yang datang sesuai kriteria populasi diatas dan memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi yang ditentukan pada penelitian ini selama masa penelitian. Kriteria inklusi : - semua pasien pria dan wanita emmetropia yang berusia ≥ 40 tahun - bersedia diikutsertakan dalam penelitian Kriteria ekslusi : * pasien dengan riwayat glaukoma sebelumnya * pasien dengan riwayat hipertensi dan hipotensi * pasien dengan riwayat diabetes mellitus 3.4. BAHAN DAN ALAT YANG DIGUNAKAN - Senter - Loupe binokular - Snellen chart - Oftalmoskop direk - Slitlamp - Perimetri Goldman - Tonometer Aplanasi “Perkins” - Tetes mata Tetrakain 0,5 % - Tetes mata Fluoresein 2 % - Tetes mata Khloramfenikol 0,5 % - Kapas alkohol 3.5 BESAR SAMPEL (2,33) Jumlah sample yang diambil ditentukan berdasarkan rumus: n ≥ Z (0,5 – α/2 ).S 2 d . µo dimana Z (0,5 – α/2 ) adalah nilai baku normal yang besarnya tergantung pada α yang ditentukan , untuk α = 0,05 maka Z (0,5 – α/2 ) = 1,96 S = Standart deviasi ( simpangan bebas ) tekanan bola mata normal yaitu 2,5 mmHg d = Tingkat ketepatan ( presisi ) dimana peneliti menetapkan 5 % atau 0,05 µo = Rata- rata Tekanan bola mata normal yaitu 15,4 mmHg Maka jumlah sampel minimal adalah n ≥ 1,96 x 2,5 2 = 40,496 dibulatkan 0,05x15,4 41 Maka jumlah sampel yang diambil ≥ 41 mata untuk kelompok pria dan wanita.
©2003 Digitized by USU digital library
13
3.6 ANALISA DATA Setelah data dikumpulkan lalu ditabulasi. Untuk mengetahui perbedaan tekanan intraokuler pria dan wanita berusia ≥ 40 tahun dilakukan dengan uji t- test jika data dari kedua kelompok ini berdistribusi normal . 3.7 DEFINISI OPERASIONAL ¨ Tekanan intraokuler adalah suatu keseimbangan antara jumlah produksi akuos humor oleh badan siliar, resistensi dari pengaliran akuos humor pada sudut bilik mata depan menuju sistem “trabecular meshwork”- kanalis Schlem dan level dari tekanan vena episklera ¨ Emmetropia adalah keadaan dimana antara sistem refraksi mata dan panjang sumbu bola mata terdapat hubungan atau korelasi yang tepat; pancaran cahaya yang memasuki mata sejajar dengan sumbu optik jatuh pada titik (fokus) tepat diretina sehingga tajam penglihatan 6/6 (100%). ¨ Pada manusia dengan bertambahnya usia terutama setelah berumur 40 tahun telah terjadi proses penuaan dimana berjuta-juta sel didalam tubuh sudah mulai menurun efisiensinya dan sebagian lagi telah mengalami degenerasi bahkan telah mulai tidak berfungsi lagi. BAB IV HASIL PENELITIAN Penelitian ini telah dilaksanakan mulai tanggal 1 April 2003 sampai dengan 8 Mei 2003 di SMF Penyakit Mata RSUP Haji Adam Malik dan RSUD. Dr. Pirngadi Medan. Didapatkan 44 orang subjek penelitian yang terdiri dari 21 pria (42 mata) dan 23 wanita (46 mata) yang telah memenuhi kriteria inklusi yang telah ditetapkan . Dari data-data subjek penelitian didapatkan gambaran karakteristik subjek penelitian sebagai berikut: 4.1 .Umur Tabel 4.1. Distribusi Umur dari Subjek Penelitian Jenis Kelamin Umur (tahun) Pria Wanita n % n 41 - 45 9 20,45 9 46 - 50 3 6,81 5 51 - 55 3 6,81 6 > 55 6 13,65 3 Jumlah 21 47,72 23
% 20,45 11,37 13,65 6,81 52,28
Jumlah n 18 8 9 9 44
% 40,90 18,18 20,46 20,46 100,00
Pada table 4.1. diatas berdasarkan distribusi umur dari subjek penelitian diperoleh kelompok umur terbanyak pada pria dan wanita berusia 41–45 tahun masing-masing 20,45 % dan paling sedikit pada pria berusia 46–50 tahun dan 51–55 tahun masing-masing 6,81 % dan pada wanita berusia > 55 tahun sebanyak 6,81 %
©2003 Digitized by USU digital library
14
4.2. Suku Tabel 4.2. Distribusi Suku dari Subjek Penelitian Jenis Kelamin Suku Pria Wanita n % n Mandailing 3 6,81 2 Karo 4 9,10 3 Batak Toba 7 15,90 11 Minang 2 4,55 6 Jawa 5 11,36 Melayu 1 Jumlah 21 47,72 23
% 4,55 6,81 25,00 13,65 2,27 52,28
Jumlah n 5 7 18 8 5 1 44
% 11,36 15,91 40,90 18,20 11,36 2,27 100,00
Pada table 4.2. diatas berdasarkan distribusi suku dari subjek penelitian diperoleh kelompok suku terbanyak pada pria dan wanita bersuku Batak Toba masing-masing 15,92 % dan 25,00 % dan paling sedikit pada pria bersuku Minang (4,55 %) dan wanita bersuku Melayu (2,27 %). 4.3. Tingkat Pendidikan Tabel 4.3 . Distribusi Tingkat Pendidikan dari Subjek Penelitian Jenis Kelamin Tingkat Pria Wanita Jumlah Pendidikan n % n % n SD 2 4,55 1 2,27 3 SLTP 1 2,27 4 9,09 5 SLTA 13 29,55 16 36,37 29 Akad./Sarjana 5 11,35 2 4,55 7 Jumlah 21 47,72 23 52,28 44
% 6,82 11,36 65,92 15,90 100,00
Pada tabel 4.3. diatas berdasarkan distribusi tingkat pendidikan dari subjek penelitian diperoleh tingkat pendidikan terbanyak pada pria dan wanita adalah SLTA masing-masing 29,55 % dan 36,37 % dan tingkat pendidikan paling sedikit pada pria SLTP (2,27 %) dan wanita SD (2,27 %). 4.4 Pekerjaan Tabel 4.4. Distribusi Pekerjaan dari Subjek Penelitian Jenis Kelamin Pekerjaan Pria Wanita n % n % IRT 0 0 8 18,20 PNS 10 22,71 14 31,81 Wiraswasta 8 18,20 1 2,27 Supir 1 2,27 0 0 Petani 1 2,27 0 0 Pensiunan 1 2,27 0 0 Jumlah 21 47,72 23 52,28
Jumlah n 8 24 9 1 1 1 44
% 18,20 54,52 20,47 2,27 2,27 2,27 100,00
Pada tabel 4.4 diatas berdasarkan distribusi pekerjaan dari subjek penelitian diperoleh pekerjaan terbanyak pada pria dan wanita adalah Pegawai Negeri Sipil masing-masing 22,71 % dan 31,81 % dan pekerjaan paling sedikit pada pria adalah supir, petani dan pensiunan masing-masing 2,27 % dan wanita wiraswasta 2,27 % . ©2003 Digitized by USU digital library
15
4.5. Hasil Uji Beda Rata – Rata Umur dari Subjek Penelitian UMUR ( tahun ) -
Pria Wanita
n
21 23
X
± SD
49,62 ± 7,44 49,13 ± 5,99
Probabilitas
0,811
Pada tabel 4.5 diatas , hasil uji t–test dari perbedaan rata-rata umur dari subjek penelitian pada pria adalah 49,62 ± 7,44 tahun dan wanita adalah 49,13 ± 5,99 tahun dengan p = 0,811 atau p > 0,05 menunjukkan tidak ada perbedaan usia yang bermakna antara pria dan wanita dari subjek penelitian. 4.6. Hasil Uji Beda Rata–Rata Tekanan Intraokuler Mata Kanan dari Subjek Penelitian berdasarkan kelompok umur 41–55 tahun Tekanan Intraokular -
Pria Wanita
n
X ± SD ( mmHg )
Probabilitas
9 9
14,83 ± 0,25 15,11 ± 0,74
0,302
Pada tabel 4.6 diatas , hasil uji t – test dari perbedaan rata-rata tekanan intraokuler mata kanan dari subjek penelitian berdasarkan kelompok umur 41– 55 tahun pada pria adalah 14,83 ± 0,25 mmHg dan wanita adalah 15,11 ± 0,74 mmHg dengan p = 0,302 atau p > 0,05 menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna rata-rata tekanan intraokuler mata kanan pria dan wanita dari subjek penelitian pada kelompok umur 41–55 tahun. 4.7. Hasil Uji Beda Rata–Rata Tekanan Intraokuler Mata Kanan dari Subjek Penelitian berdasarkan kelompok umur 46–50 tahun Tekanan Intraokuler -
Pria Wanita
n
3 5
X ± SD ( mmHg )
Probabilitas
15,17 ± 0,58 15,80 ± 0,27
0,074
Pada tabel 4.7 diatas, hasil uji t–test dari perbedaan rata-rata tekanan intraokuler mata kanan dari subjek penelitian berdasarkan kelompok umur 46– 50 tahun pada pria adalah 15,17 ± 0,58 mmHg dan wanita adalah 15,80 ± 0,27 mmHg dengan p = 0,074 atau p > 0,05 menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna rata-rata tekanan intraokuler mata kanan antara pria dan wanita dari subjek penelitian kelompok umur 46–50 tahun.
©2003 Digitized by USU digital library
16
4.8. Hasil Uji Beda Rata–Rata Tekanan Intraokuler Mata Kanan dari Subjek Penelitian berdasarkan kelompok umur 51–55 tahun Tekanan Intraokuler -
Pria Wanita
n
X ± SD ( mmHg )
Probabilitas
3 6
16,17 ± 0,29 16,00 ± 0,32
0,470
Pada tabel 4.9 diatas, hasil uji t–test dari perbedaan rata-rata tekanan intraokuler mata kanan dari subjek penelitian berdasarkan kelompok umur 51– 55 tahun pada pria adalah 16,17 ± 0,29 mmHg dan wanita adalah 16,00 ± 0,32 mmHg dengan p = 0,470 atau p > 0,05 menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna rata-rata tekanan intraokuler mata kanan antara pria dan wanita dari subjek penelitian pada kelompok umur 51–55 tahun. 4.9. Hasil Uji Beda Rata–Rata Tekanan Intraokuler Mata Kanan dari Subjek Penelitian berdasarkan kelompok umur > 55 tahun Tekanan Intraokuler -
Pria Wanita
n
6 3
X ± SD ( mmHg )
Probabilitas
16,42 ± 0,80 16,00 ± 0,50
0,445
Pada tabel 4.10 diatas , hasil uji t–test dari perbedaan rata-rata tekanan intraokuler mata kanan dari subjek penelitian berdasarkan kelompok umur > 55 tahun pada pria adalah 16,42 ± 0,80 mmHg dan wanita adalah 16,00 ± 0,50 mmHg dengan p = 0,445 atau p > 0,05 menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna rata-rata tekanan intraokuler mata kanan antara pria dan wanita dari subjek penelitian pada kelompok umur > 55 tahun. 4.10. Hasil Uji Beda Rata–Rata Tekanan Intraokuler Mata Kiri dari Subjek Penelitian berdasarkan kelompok umur 41–55 tahun Tekanan Intraokular -
Pria Wanita
n
X ± SD ( mmHg )
Probabilitas
9 9
15,22 ± 0,71 15,11 ± 0,55
0,715
Pada tabel 4.6 diatas, hasil uji t–test dari perbedaan rata-rata tekanan intraokuler mata kiri dari subjek penelitian berdasarkan kelompok umur 41–55 tahun pada pria adalah 15,22 ± 0,71 mmHg dan wanita adalah 15,11 ± 0,55 mmHg dengan p = 0,715 atau p > 0,05 menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna rata-rata tekanan intraokuler mata kiri pria dan wanita dari subjek penelitian pada kelompok umur 41–55 tahun.
©2003 Digitized by USU digital library
17
4.11. Hasil Uji Beda Rata–Rata Tekanan Intraokuler Mata Kiri dari Subjek Penelitian berdasarkan kelompok umur 46–50 tahun Tekanan Intraokuler -
Pria Wanita
n
3 5
X ± SD ( mmHg )
Probabilitas
15,00 ± 0,87 15,60 ± 0,74
0,336
Pada tabel 4.7 diatas , hasil uji t–test dari perbedaan rata-rata tekanan intraokuler mata kiri dari subjek penelitian berdasarkan kelompok umur 46–50 tahun pada pria adalah 15,00 ± 0,87 mmHg dan wanita adalah 15,60 ± 0,74 mmHg dengan p = 0,336 atau p > 0,05 menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna rata-rata tekanan intraokuler mata kiri antara pria dan wanita dari subjek penelitian pada kelompok umur 46–50 tahun 4.12. Hasil Uji Beda Rata–Rata Tekanan Intraokuler Mata Kiri dari Subjek Penelitian berdasarkan kelompok umur 51–55 tahun Tekanan Intraokuler -
Pria Wanita
n
X ± SD ( mmHg )
Probabilitas
3 6
16,00 ± 0,50 15,83 ± 0,98
0,795
Pada tabel 4.9 diatas , hasil uji t–test dari perbedaan rata-rata tekanan intraokuler mata kiri dari subjek penelitian berdasarkan kelompok umur 51–55 tahun pada pria adalah 16,00 ± 0,50 mmHg dan wanita adalah 15,83 ± 0,98 mmHg dengan p = 0,795 atau p > 0,05 menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna rata-rata tekanan intraokuler mata kiri antara pria dan wanita dari subjek penelitian kelompok umur 51–55 tahun. 4.13. Hasil Uji Beda Rata–Rata Tekanan Intraokuler Mata Kiri dari Subjek Penelitian berdasarkan kelompok umur > 55 tahun Tekanan Intraokuler -
Pria Wanita
n
6 3
X ± SD ( mmHg )
Probabilitas
15,83 ± 0,61 16,00 ± 0,00
0,108
Pada tabel 4.10 diatas, hasil uji t–test dari perbedaan rata-rata tekanan intraokuler mata kiri dari subjek penelitian berdasarkan kelompok umur > 55 tahun pada pria adalah 15,83 ± 0,61 mmHg dan wanita adalah 16,00 ± 0,00 mmHg dengan p = 0,108 atau p > 0,05 menunjukkan tidak ada
©2003 Digitized by USU digital library
18
perbedaan yang bermakna rata-rata tekanan intraokuler mata kiri antara pria dan wanita dari subjek penelitian pada kelompok umur > 55 tahun. 4.14. Hasil Uji Beda Rata–Rata Tekanan Intraokuler Mata Kanan dari Subjek Penelitian pada semua kelompok umur. Tekanan Intraokuler -
Pria Wanita
n
21 23
X ± SD ( mmHg )
Probabilitas
15,52 ± 0,87 15,61 ± 0,66
0,716
Pada tabel 4.12 diatas, hasil uji t–test dari perbedaan rata-rata tekanan intraokuler mata kanan dari subjek penelitian pada pria adalah 15,52 ± 0,87 mmHg dan wanita adalah 15,61 ± 0,66 mmHg dengan p = 0,716 atau p > 0,05 menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna rata-rata tekanan intraokuler mata kanan antara pria dan wanita dari subjek penelitian pada semua kelompok umur. 4.15. Hasil Uji Beda Rata–Rata Tekanan Intraokuler Mata Kiri dari Subjek Penelitian pada semua kelompok umur Tekanan Intraokuler -
Pria Wanita
n
X ± SD ( mmHg )
Probabilitas
21 23
15,48 ± 0,73 15,59 ± 0,81
0,637
Pada tabel 4.13 diatas , hasil uji t–test dari perbedaan rata-rata tekanan intraokuler mata kiri dari subjek penelitian pada pria adalah 15,48 ± 0,73 mmHg dan wanita adalah 15,59 ± 0,81 mmHg dengan p = 0,637 atau p > 0,05 menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna rata-rata tekanan intraokuler mata kiri antara pria dan wanita dari subjek penelitian. BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran karakteristik dari subjek penelitian serta untuk mengetahui perbedaan tekanan intraokuler antara pria dan wanita emmetropia berusia 40 tahun atau lebih. Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan metode observasi klinik non randomise. Penelitian ini telah dilaksanakan mulai tanggal 1 April 2003 sampai dengan 8 Mei 2003 di SMF Penyakit Mata RSUP H. Adam Malik dan RSUD. Dr. Pirngadi Medan. Didapatkan 44 orang subjek penelitian yang terdiri dari 21 pria (42 mata) dan 23 wanita (46 mata) yang sesuai dengan kriteria populasi dan memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi yang telah ditentukan pada penelitian ini. Dari gambaran karakteristik dari subjek penelitian ini didapatkan umur yang terbanyak pada pria dan wanita adalah antara yang berusia 41 – 45 tahun (40,90 %) hal ini disebabkan banyaknya subjek penelitian yang mulai mengeluh jika melakukan kegiatan pekerjaan sehari-hari terutama membaca dan pekerjaan yang memerlukan penglihatan jarak dekat sudah mulai kabur yang hal ini dapat terjadi akibat
©2003 Digitized by USU digital library
19
kelemahan otot akomodasi dan berkurangnya elastisitas dari lensa kristalin . Suku yang terbanyak dari subjek penelitian adalah bersuku Batak Toba (40,90 %) hal ini disebabkan kesadaran masyarakatnya cukup tinggi untuk memeriksakan diri berkunjung ke rumah sakit dan banyaknya mereka berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil. Tingkat pendidikan yang terbanyak dari subjek penelitian adalah SLTA (65,92 %) hal ini mungkin berhubungan dengan pekerjaan dari subjek penelitian yang terbanyak adalah Pegawai Negeri Sipil (54,52 %) dimana SLTA merupakan tingkat pendidikan yang terbanyak pada PNS dan penderita yang paling banyak berkunjung ke SMF Penyakit Mata RSUP.H.Adam Malik dan RSUD.Dr.Pirngadi Medan dengan menggunakan fasilitas pelayanan Askes. Pada beberapa penelitian sebelumnya dijumpai korelasi positif antara tekanan intraokuler dengan usia, dimana dengan bertambahnya usia cenderung terjadi peningkatan tekanan intraokuler yang hal ini mungkin disebabkan dengan peningkatan tekanan darah , peningkatan denyut nadi dan obesitas, demikian juga yang berhubungan dengan jenis kelamin dimana dari penelitian Armalys (1965) dengan menggunakan tonometer applanasi mendapatkan tekanan intraokuler pada wanita berusia lebih dari 40 tahun lebih tinggi dari pria namun hasil penelitian ini belum ada konfirmasi dari penelitian yang lain (2). Pada penelitian ini rata-rata umur dari subjek penelitian pria adalah 49,62 ± 7,44 tahun dan wanita adalah 49,13 ± 5,99 tahun dan hasil Uji t-test perbedaan rata-rata umur antara pria dan wanita adalah p = 0,811 atau p > 0,05 maka disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna perbedaan rata-rata umur antara pria dan wanita pada penelitian ini. Berdasarkan hasil uji t-test dari perbedaan rata-rata tekanan intraokuler mata kanan pada pria 15,52 ± 0,87 mmHg dan pada wanita 15,61 ± 0,66 mmHg adalah p = 0,719 atau p > 0,05 maka disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna rata-rata tekanan intraokuler mata kanan antara pria dan wanita pada penelitian ini , demikian juga dari hasil uji t-test dari perbedaan rata-rata tekanan intraokuler mata kiri pada pria 15,48 ± 0,73 mmHg dan pada wanita 15,59 ± 0,81 mmHg adalah p = 0,637 atau p > 0,05 maka disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna rata-rata tekanan intraokuler mata kiri antara pria dan wanita pada penelitian ini . Dari hasil penelitian ini dimana tidak terdapat perbedaan yang bermakna tekanan intraokuler antara pria dan wanita emmetropia berusia 40 tahun atau lebih yang berkunjung ke SMF Penyakit Mata RSUP.H.Adam Malik dan RSUD.Dr.Pirngadi Medan , hal ini disebabkan banyaknya faktor-faktor lain yang saling berpengaruh terhadap tekanan intraokuler antara lain suku , pekerjaan dan kegiatan-kegiatan lain dari subjek penelitian. BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Setelah dilakukan penelitian ini maka diambil kesimpulan bahwa: 1. Gambaran karakteristik dari subjek penelitian ini yang terbanyak berusia 41–45 tahun (40,90 %), bersuku Batak Toba (40,90 %) dan tingkat pendidikan SLTA (65,92 %) serta mempunyai pekerjaan sebagai Pegawai Negeri Sipil (54,52 %). 2. Rata-rata umur dari subjek penelitian pria adalah 49,62 ± 7,44 tahun dan wanita adalah 49,13 ± 5,99 tahun 3. Tekanan intraokuler rata–rata pada pria adalah 15,52 ± 0,87 mmHg (mata kanan) dan 15,48 ± 0,73 mmHg (mata kiri) dan pada wanita adalah 15,61 ± 0,66 mmHg (mata kanan) dan 15,59 ± 0,81 mmHg (mata kiri).
©2003 Digitized by USU digital library
20
4. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada umur dan tekanan intraokuler rata-rata antara pria dan wanita Emmetropia berusia 40 tahun atau lebih dari subjek penelitian yang berkunjung ke Poliklinik SMF Mata RSUP.H.Adam Malik dan RSUD.Dr Pirngadi Medan selama masa penelitian. B.
SARAN Agar dilakukan penelitian selanjutnya untuk menentukan tekanan intraokuler yang normal pada masyarakat yang lebih luas sehingga dapat menentukan magic number yang sebenarnya .
DAFTAR
PUSTAKA
A. Bell Jerald , MD ; file : //A:\eMedicine – Glaucoma , Primary Open Angle Article , May 29 , 2002 p. 1 – 4 A. Bell Jerald , MD ; file : //A:\eMedicine – Ocular Hypertension , April 19 , 2002 p. 4–5 Adlers: Physiology of the eye clinical application, eight edition, C.V.Mosby Company, St.Louis Wasington D.C .Toronto, 1987, pp 224–231 Albert Alm: Aspect on Uveoscleral Flow, http://www.glaucomaworld.net/index2.html, May 1997 American Academy of Ophthalmology; Fundamentals and Principles of Ophthalmology, section 2, Basic and Clinical Science Course, 1991–1992, p.158 American Academy of Ophthalmology; Glaucoma, section 10, Basic and Clinical Science Course, 2000–2001, pp. 5–21 American Academy of Ophthalmology; Optics, Refraction and Contact Lenses, section 3, Basic and Clinical Science Course ,1997–1998, pp. 98–99, 110–13 Brown F.G, Fletcher R.: Intraocular pressure in Glaucoma in Optometric Practice. Blackwell Scientific Publication. London, Edinburgh, Boston, Melbourne, Paris, Berlin, Vienna, 1990; 2–4; 34-39 Curtin BJ: The Component of Refraction and Their Correlation in The Myopia Basic Sciense and Clinical Management, Harper & Row Publishers, Philadelphia, 1985, pp. 17–27 Darmojo R.B, Martono H.H, Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), edisi II, BP FKUI, Jakarta, 2000, hal. 3–11 Edition, Little Brown Company, USA, 1996, pp 378–379 Fincham WHA, Freeman MH: The Eye as an Optical Instrument in Optics, ninth edition, Butterworths, London, 1980, pp 444–447 Harmani B.: Refractive State of Cornea in Understanding Optics, Refraction and Wafefront Technology, Continuing Ophthalmology Education, FKUI-Perdami Jaya, 2003. Hollwich Fritz: Optik dan Refraksi (Oftalmologi) terjemahan, edisi kedua, Binarupa Aksara, 1993, hal 318–324 http://www.Glaucoma-Comprehensive Review (Web Review of Ophthalmology) @WebEyeMD-co 01/01/98 pp 1–7 Kamus Kedokteran Dorland (terjemahan), Penerbit EGC, edisi 26, cetakan II, Jakarta, 1996, hal 611 Kanski, Clinical Ophthalmology, fourth edition, Butterworth-Heinemann, International editions, 2000, pp. 183–9
©2003 Digitized by USU digital library
21
Khurana A.K: Ophthalmology, New Age International,(P) Limited, Publishers, New Delhi, 1998, pp.10-39 Klinis, Bagian Ilmu Kes.Anak FK UI Jakarta, edisi I, Jakarta, 1995, hal. 193-4 Langston – Deborah Pavan; Manual of Ocular Diagnosis and Therapy, fourth Lumbantobing SM: Kecerdasan pada Usia Lanjut dan Demensia, FKUI, Jakarta, 2001, hal 4–5 Mason Elliot B: Focusing of Images on the Retina in Human Physiology, The Benjamin Kumings Publishing Company, Inc, California, 1983, pp. 188–190 Meyer B.J, Meij H.S, Meyer A.C: The Special Senses (chapter 8) in Human Physiology, Chemical, Physical and Physiological principles, First Indian Edition, New Delhi, 1999, pp 1–10 Nema H.V, Nema Nitin; Textbook of Ophthalmology, fourth edition, Jaypee Brothers, Medical Publishers (P) Ltd, New Delhi, 2002, p. 25 PERDAMI, Ilmu Penyakit Mata, edisi ke-2, cet.I, Sagung Seto, Jakarta, 2002, 239– 245 Sastroasmoro Sudigdo, Ismael Sofyan; Dasar-dasar Metodologi Penelitian Shaffers – Becker, Diagnosis and Therapy of the Glaucoma, seventh edition, Mosby Inc, 1999, pp 4–21, 75–78 Sidarta Ilyas: Dasar Tekhnik Pemeriksaan dalam Ilmu Penyakit Mata, FKUI, Jakarta, 2000, hal. 3, 117-119 Sidarta Ilyas, Glaukoma (Tekanan Bola Mata Tinggi), Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Balai Penerbit FKUI Jakarta, 1997, hal. 7 Sidarta Ilyas, Ilmu Penyakit Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Balai Penerbit FKUI Jakarta, 1997; hal 72–73. Takasihaeng J: Hidup Sehat di Usia Lanjut, PT Kompas Media Nusantara, cetakan kedua, Jakarta, 2001, hal 34–36 Vaughan G. Daniel, Asbury Taylor, Eva Paul Riordan;General Ophthalmology, fifteenth edition, Appleton & Lange, 1999, pp. 34-43, 200–201, 354–365 Wagman, Richard J: The later Years in Medical and Health Encyclopedia, volume one, J.G. Ferguson Publishing Company, Chicago, 1996, pp. 311, 327 Walker Richard, Making Life Under the Microscope, Grolier, Danbury, Connecticut, Belgium, 2001, pp.44–45 Wong Tien Yin, The Ophthalmology Examinations Review, World Scientific, Singapore, 2001, pp. 41–46
©2003 Digitized by USU digital library
22