P W=P W=P W=P
2.2
ANEMIA Anemia sebenarnya bukanlah merupahkan diagnosa akhir dari sesuatu penyakit akan tetapi merupakan hasil dari berbagai gangguan dan hampir selalu membutuhkan evaluasi lanjutan atau boleh juga dikatakan bahwa anemia merupakan salah satu gejala dari sesuatu penyakit dasar.14-17 Ada juga yang mengatakan bahwa anemia merupakan ekspresi kompleks gejala klinis suatu penyakit yang mempengaruhi mekanisme patogenesis gangguan eritropoesis (produksi eritrosit), perdarahan, atau penghancuran eritrosit.18 Insidensi anemia bervariasi tetapi diperkirakan sekitar 30% penduduk dunia menderita anemia, dimana prevalensi tertinggi berada di negara– negara sedang berkembang.19
2.2.1
Defenisi anemia Seseorang dikatakan menderita anemia apabila konsentrasi hemoglobin pada orang tersebut lebih rendah dari nilai normal hemoglobin yang sesuai dengan jenis kelamin dan umur dari orang tersebut. Oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO: World Health Organization) telah ditetapkan batasan anemia yaitu untuk wanita apabilah konsentrasi hemoglobinnya di bawah 12 gr/dL (7,5 mmol/L) dan untuk pria apabilah konsentrasi hemoglobinnya di bawah 13 gr / dL (8,1 mmol / L).6,14,16,17,20-23
2.2.2 Klasifikasi anemia 2.2.2.1 Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi eritrosit Anemia berdasarkan morfologi eritrosit dibagi atas: mikrositik– hipokromik (MCV < 80 fl, MCHC < 30 g/l), normositik–normokromik (MCV 80–100 fl, MCHC 30 – 35 g/l) dan makrositik–normokromik (MCV > 100 fl, MCHC > 35 g/l). (Tabel 2) 17,23
©2003 Digitized by USU digital library
4
Tabel 2 Anemia berdasarkan morfologi eritrosit Mikrositik Hipokromik MCV < 80 fl MCHC < 30 g/l
Normositik Normokromik MCV 80 – 100 fl MCHC 30-35 g/l
Defisiensi besi
Hemolitik
2
Sideroblastik
3 4
Talasemia Atransferinemia
Kegagalan sumsum tulang (penyakit kronik, aplastik, gagal ginjal, mielodisplastik, mieloptisis) Perdarahan
No
1
17,23
Makrositik Normokromik MCV > 100 fl MCHC > 35 g/l Megaloblastik (defisiensi B12, asam folat) Bukan megaloblastik (gangguan hati, peminum berat, hemolitik, aplastik)
Ket: MCV : Volume korpuskuler rata–rata MCHC : Konsentrasi hemoglobin korpuskuler rata–rata 2.2.2.2
Klasifikasi anemia berdasarkan berat–ringan . Anemia berdasarkan berat ringannya dibagi atas 3 tingkatan yaitu ringan, sedang, dan berat. (tabel 3) 24 Tabel 3 Anemia berdasarkan berat – ringan
HEMO GLOBIN (gr/dL)
24
Anemia ringan
Anemia sedang
Anemia berat
> 10 – 12
8 – 10
<8
2.2.3 Mekanisme terjadinya anemia Ada beberapa mekanisme untuk terjadinya anemia, yaitu: 15 1. Kehilangan darah, misalnya perdarahan 2. Menurunnya umur hidup sel darah merah (eritrosit), misalnya anemia hemolitik 3. Kelainan pada pembentukan sel darah merah (eritrosit), misalnya kelainan sintesis hemoglobin 4. Berkumpul dan dihancurkannya eritrosit di dalam limpa yang membesar 5. Meningkatnya volume plasma, misalnya kehamilan, splenomegali 2.2.4 Tanda dan gejala anemia berdasarkan berat–ringannya anemia Manifestasi gejala dan keluhan anemia tergantung dari beberapa faktor antara lain: 17 1. Penurunan kapasitas daya angkut oksigen dari darah serta kecepatan dari penurunannya 2. Derajat serta kecepatan perubahan dari volume darah 3. Penyakit dasar penyebab anemianya 4. Kapasitas kompensasi sistem kardiopulmonal
©2003 Digitized by USU digital library
5
Adapun tanda dan gejala anemia yang dijumpai berdasarkan berat–ringannya anemia adalah sebagai berikut: (Tabel 4) 24 Tabel 4 Tanda dan gejala anemia berdasarkan berat–ringan 24 No 1 2 3 4 5
Anemia ringan Kelelahan Peningkatan detak jantung Penurunan perfusi jaringan Dilatasi sistem vaskular Ekstraksi O2 jaringan naik
6
Anemia sedang Kelelahan Sulit konsentrasi
Anemia berat Overwhelming Kelelahan
Detak jantung > 100 x / menit Berdebar–debar Dispnea saat aktivasi
Pening Pusing Depresi– Gangguan tidur Dispnea saat istirahat
2.2.5 Hubungan anemia dengan lansia Anemia merupakan salah satu gejala sekunder dari sesuatu penyakit pada lansia.24 Anemia sering dijumpai pada lansia 25,26 dan meningkatnya insidensi anemia dihubungkan dengan bertambahnya usia telah menimbulkan spekulasi bahwa penurunan hemoglobin kemungkinan merupakan konsekuensi dari pertambahan usia. Tetapi ada 2 alasan untuk mempertimbangkan bahwa anemia pada lansia merupakan tanda dari adanya penyakit, yaitu: 1. Kebanyakan orang–orang lansia mempunyai jumlah sel darah merah normal, demikian juga dengan hemoglobin dan hematokritnya, 2. Kebanyakan pasien – pasien lansia yang menderita anemia dengan hemoglobin < 12 gr / dL, penyakit dasarnya telah diketahui. 5 Prevalensi anemia pada lansia adalah sekitar 8–44%, dengan prevalensi tertinggi pada laki–laki usia 85 tahun atau lebih. Dari beberapa hasil studi lainnya dilaporkan bahwa prevalensi anemia pada laki–laki lansia adalah 27–40% dan wanita lansia sekitar 16–21%. 5,27 Sebagai penyebab tersering anemia pada orang–orang lansia adalah anemia penyakit kronik dengan prevalensinya sekitar 35%, diikuti oleh anemia defisiensi besi sekitar 15%. Penyebab lainnya yaitu defisiensi vitamin B12, defisiensi asam folat, perdarahan saluran cerna dan sindroma mielodisplastik.5,22 Meningkatnya perasaan lemah, lelah dan adanya anemia ringan janganlah dianggap hanya sebagai manifestasi dari pertambahan usia.26 Oleh karena keluhan-keluhan tersebut di atas merupakan gejala telah terjadinya anemia pada lansia. Selain gejala–gejala tersebut di atas, palpitasi, angina dan klaudikasio intermiten juga akan muncul oleh karena biasanya pada lansia telah terjadi kelainan arterial degeneratif.15 Muka pucat dan konjungtiva pucat merupakan tanda yang dapat dipercayai bahwa seorang lansia itu sebenarnya telah menderita anemia. 5,28 Pada lansia penderita anemia berbagai penyakit lebih mudah timbul dan penyembuhan penyakit akan semakin lama. Yang mana ini nantinya akan membawa dampak yang buruk kepada orang–orang lansia.21 Dari suatu hasil studi dilaporkan bahwa laki–laki lansia yang menderita anemia, resiko kematiannya lebih besar dibandingkan wanita lansia yang menderita anemia. Juga dilaporkan bahwa lansia yang menderita anemia oleh karena penyakit infeksi mempunyai resiko kematian lebih tinggi.27 Penelusuran diagnosis
©2003 Digitized by USU digital library
6
anemia pada lansia memerlukan pertimbangan klinis tersendiri. Dari evaluasi epidemiologis menunjukkan walaupun telah dilakukan pemeriksaan yang mendalam, ternyata masih tetap ada sekitar 15–25% pasien anemia pada lansia yang tidak terdeteksi penyebab anemianya. 21 2.3
ANEMIA PENYAKIT KRONIK Anemia penyakit kronik dikenal juga dengan nama anemia gangguan kronik, anemia sekunder, atau anemia sideropenik dengan siderosis retikuloendotelial. 5,6,29-32 Pengenalan akan adanya anemia penyakit kronik dimulai pada awal abad ke 19, dimana pada waktu itu pada pasien–pasien tuberkulosis sering ditemukan muka pucat. Lalu Cartwright dan Wintrobe pada tahun 1842 memperlihatkan adanya benda – benda kecil di sampel darah pasien demam tifoid dan cacar air. Juga pada penyakit infeksi lainnya seperti siphilis dan pneumonia. Nama yang dipergunakan waktu itu adalah Anemia penyakit infeksi. Pada tahun 1962 setelah dilakukannya suatu studi tentang infeksi dan ditemukannya gambaran yang sama pada penyakit–penyakit kronik bukan infeksi seperti artritis reumatoid, nama anemia penyakit kronik diperkenalkan. 32,33
Anemia penyakit kronik merupakan anemia terumum ke-dua yang sering dijumpai di dunia, tetapi mungkin merupakan yang paling umum dijumpai pada pasien–pasien yang sedang dirawat di rumah sakit. Anemia penyakit kronik bukanlah diagnosis primer tetapi merupakan respons sekunder normal terhadap berbagai penyakit di bagian tubuh manapun. 34 2.3.1 Defenisi anemia penyakit kronik Anemia penyakit kronik adalah anemia yang timbul setelah terjadinya proses infeksi atau inflamasi kronik.35 Biasanya anemia akan muncul setelah penderita mengalami penyakit tersebut selama 1–2 bulan. 15,32,36 Tumor dulunya memang merupakan salah satu penyebab anemia penyakit kronik, namun dari hasil studi yang terakhir tumor tidak lagi dimasukkan sebagai penyebab anemia penyakit kronik. 37-39 2.3.2 Etiologi anemia penyakit kronik Anemia penyakit kronik dapat disebabkan oleh beberapa penyakit/kondisi seperti infeksi kronik misalnya infeksi paru, endokarditis bakterial; inflamasi kronik misalnya artritis reumatoid, demam reumatik; lain–lain misalnya penyakit hati alkaholik, gagal jantung kongestif dan idiopatik: ( Tabel 5 ) 5,29,31,32,36,37,40-43
©2003 Digitized by USU digital library
7
Tabel 5
Etiologi anemia penyakit kronik
No
Infeksi kronik
01
Infeksi paru: abses,emfisema, tuberkulosis, bronkiektasis Endokarditis bakterial Infeksi saluran kemih kronik Infeksi jamur kronik Human immunodeficiency virus (HIV) Meningitis Osteomielitis Infeksi sistem reproduksi wanita Penyakit inflamasi pelvik (PID: pelvic inflamatory disease)
02 03 04 05 06 07 08 09
5,29,31,32,36,37,40-43
Inflamasi kronik
Lain–lain
Artritis reumatoid
Penyakit hati alkaholik
Demam reumatik Lupus eritematosus sistemik (LES) Trauma berat
Idio pa tik
Gagal jantung kongestif Tromboplebitis Penyakit jantung iskemik
Abses steril Vaskulitis Luka bakar Osteoartritis (OA) Penyakit vaskular kolagen (Collagen vascular disease)
10 11 12 13
Polimialgia Trauma panas Ulkus dekubitus Penyakit chron
2.3.3 Patogenesis anemia penyakit kronik Mekanisme bagaimana terjadinya anemia pada penyakit kronik sampai dengan sekarang masih banyak yang belum bisa dijelaskan walaupun telah dilakukan banyak penelitian.43 Ada pendapat yang mengatakan bahwa sitokin–sitokin proses inflamasi seperti tumor nekrosis faktor alfa (TNF α), interleukin 1 dan interferon gama (γ) yang diproduksi oleh sumsum tulang penderita anemia penyakit kronik akan menghambat terjadinya proses eritropoesis.30,44 Pada pasien artritis reumatoid interleukin 6 juga meningkat tetapi sitokin ini bukan menghambat proses eritropoesis melainkan meningkatkan volume plasma. Pada pasien anemia penyakit kronik eritropoetin memang lebih rendah dari pasien anemia defisiensi besi, tetapi tetap lebih tinggi dari orang – orang bukan penderita anemia.26 Dari sejumlah penelitian disampaikan beberapa faktor yang kemungkinan memainkan peranan penting terjadinya anemia pada penyakit kronik, antara lain : 5,15,17,26,27,29,31,37,39,40,43,45-47
1. Menurunnya umur hidup sel darah merah (eritrosit) sekitar 20–30% atau menjadi sekitar 80 hari. Hal ini dibuktikan oleh Karl tahun 1969 pada percobaan binatang yang menemukan pemendekan masa hidup eritrosit
©2003 Digitized by USU digital library
8
2.
3.
4.
5. 6.
segera setelah timbul panas. Juga pada pasien artritis reumatoid dijumpai hal yang sama. Tidak adanya reaksi sumsum tulang terhadap adanya anemia pada penyakit kronik. Reaksi ini merupakan penyebab utama terjadinya anemia pada penyakit kronik. Kejadian ini telah dibuktikan pada binatang percobaan yang menderita infeksi kronik, dimana proses eritropoesisnya dapat ditingkatkan dengan merangsang binatang tersebut dengan pemberian eritropoetin. Sering ditemukannya sideroblast berkurang dalam sumsum tulang disertai deposit besi bertambah dalam retikuloendotelial sistem, yang mana ini menunjukkan terjadinya gangguan pembebasan besi dari sel retikuloendotelial yang mengakibatkan berkurangnya penyedian untuk eritroblast. Terjadinya metabolisme besi yang abnormal. Gambaran ini terlihat dari adanya hipoferemia yang disebabkan oleh iron binding protein lactoferin yang berasal dari makrofag dan mediator leukosit endogen yang berasal dari leukosit dan makrofag. Hipoferemia dapat menyebabkan kegagalan sumsum tulang berespons terhadap pemendekan masa hidup eritrosit dan juga menyebabkan berkurangnya produksi eritropoetin yang aktif secara biologis. Adanya hambatan terhadap proliferasi sel progenitor eritroid yang dilakukan oleh suatu faktor dalam serum atau suatu hasil dari makrofag sumsum tulang. Kegagalan produksi transferin.
2.3.4 Gambaran klinis anemia penyakit kronik Anemia pada penyakit kronik biasanya ringan sampai dengan sedang dan munculnya setelah 1–2 bulan menderita sakit. Biasanya anemianya tidak bertambah progresif atau stabil,29,32,48,49 dan mengenai berat ringannya anemia pada seorang penderita tergantung kepada berat dan lamanya menderita penyakit tersebut.19,29 Gambaran klinis dari anemianya sering tertutupi oleh gejala klinis dari penyakit yang mendasari (asimptomatik).29,32,48,49 Tetapi pada pasien–pasien dengan gangguan paru yang berat, demam, atau fisik dalam keadaan lemah akan menimbulkan berkurangnya kapasitas daya angkut oksigen dalam jumlah sedang, yang mana ini nantinya akan mencetuskan gejala.32 Pada pasien–pasien lansia, oleh karena adanya penyakit vaskular degeneratif kemungkinan akan ditemukan gejala–gejala kelelahan, lemah, klaudikasio intermiten, muka pucat dan pada jantung keluhannya dapat berupa palpitasi dan angina pektoris serta dapat terjadi gangguan serebral.5,15,50 Tanda fisik yang mungkin dapat dijumpai antara lain muka pucat, konjungtiva pucat dan takikardi.50 2.3.5 Diagnosa anemia penyakit kronik Diagnosis anemia penyakit kronik dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan, antara lain dari: 5,26,29,32,33,39,41,45,52 1. Tanda dan gejala klinis anemia yang mungkin dapat dijumpai, misalnya muka pucat, konjungtiva pucat, cepat lelah, lemah, dan lain–lain. 2. Pemeriksaan laboratorium, antara lain: a. Anemianya ringan sampai dengan sedang, dimana hemoglobinnya sekitar 7–11 gr/dL. b. Gambaran morfologi darah tepi: biasanya normositik-normokromik atau mikrositik ringan. Gambaran mikrositik ringan dapat dijumpai pada sepertiga pasien anemia penyakit kronik.
©2003 Digitized by USU digital library
9
c.
Volume korpuskuler rata–rata (MCV: Mean Corpuscular Volume): normal atau menurun sedikit (≤ 80 fl). d. Besi serum (Serum Iron): menurun (< 60 mug / dL). e. Mampu ikat besi (MIB = TIBC: Total Iron Binding Capacity): menurun (< 250 mug / dL). f. Jenuh transferin (Saturasi transferin): menurun (< 20%). g. Feritin serum: normal atau meninggi (> 100 ng/mL). Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan sumsum tulang dan konsentrasi protoporfirin eritrosit bebas (FEP: Free Erytrocyte Protophorphyrin), namun pemeriksaannya jarang dilakukan. Menginterpretasi hasil pemeriksaan sumsum tulang kemungkinannya sulit, oleh karena bentuk dan struktur sel–sel sumsum tulang dipengaruhi oleh penyakit dasarnya. Sedangkan konsentrasi protoporfirin eritrosit bebas memang cenderung meninggi pada pasien anemia penyakit kronik tetapi peninggiannya berjalan lambat dan tidak setinggi pada pasien anemia defisiensi besi. Peninggiannya juga sejalan dengan bertambah beratnya anemia. Oleh karena itu pemeriksaan konsentrasi protoporfirin eritrosit bebas lebih sering dilakukan pada pasien – pasien anemia defisiensi besi.5,29,32 2.3.6
Penatalaksanaan anemia penyakit kronik Tidak ada terapi spesifik yang dapat kita berikan untuk anemia penyakit kronik, kecuali pemberian terapi untuk penyakit yang Biasanya apabila penyakit yang mendasarinya.5,19,20,26,29,31–33,37,50 mendasarinya telah diberikan pengobatan dengan baik, maka anemianya juga akan membaik.31,43,53 Pemberian obat–obat hematinik seperti besi, asam folat, atau vitamin B12 pada pasien anemia penyakit kronik, tidak ada manfaatnya.27 Belakangan ini telah dicoba untuk memberikan beberapa pengobatan yang mungkin dapat membantu pasien anemia penyakit kronik, antara lain: 1. Rekombinan eritropoetin (Epo), dapat diberikan pada pasien–pasien anemia penyakit kronik yang penyakit dasarnya artritis reumatoid, Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), dan inflamatory bowel disease. Dosisnya dapat dimulai dari 50–100 Unit/Kg, 3x seminggu, pemberiannya secara intra venous (IV) atau subcutan (SC). Bila dalam 2–3 minggu konsentrasi hemoglobin meningkat dan/atau feritin serum menurun, maka kita boleh menduga bahwa eritroit respons. Bila dengan dosis rendah responsnya belum adekuat, maka dosisnya dapat ditingkatkan sampai 150 Unit/Kg, 3x seminggu. Bila juga tidak ada respons, maka pemberian eritropoetin dihentikan dan dicari kemungkinan penyebab yang lain, seperti anemia defisiensi besi.5,31,37,45 Namun ada pula yang menganjurkan dosis eritropoetin dapat diberikan hingga 10.000–20.000 Unit, 3x seminggu.32 2. Transfusi darah berupa packed red cell (PRC) dapat diberikan, bila anemianya telah memberikan keluhan atau gejala. Tetapi ini jarang diberikan oleh karena anemianya jarang sampai berat.14,31,51,54 3. Prednisolon dosis rendah yang diberikan dalam jangka panjang. Diberikan pada pasien anemia penyakit kronik dengan penyakit dasarnya artritis temporal, reumatik dan polimialgia. Hemoglobin akan segera kembali normal demikian juga dengan gejala–gejala polimialgia akan segera hilang dengan cepat. Tetapi bila dalam beberapa hari tidak ada perbaikan, maka pemberian kortikosteroid tersebut segera dihentikan.19,33,43,47
©2003 Digitized by USU digital library
10
4. Kobalt klorida, juga bermanfaat untuk memperbaiki anemia pada penyakit kronik dengan cara kerjanya yaitu menstimulasi pelepasan eritropoetin, tetapi oleh karena efek toksiknya obat ini tidak dianjurkan untuk diberikan. 30–32,35 BAB III PENELITIAN SENDIRI 3.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Salah satu tujuan hidup manusia adalah menjadi tua tetapi tetap sehat.Dikutip dari 13 Oleh karena itu proses menua memang tidak identik menjadi sakit atau proses menua bukanlah akumulasi penyakit, walaupun proses menua dan penyakit yang terkait usia sering saling berkaitan dalam bentuk yang samar dan rumit sehingga sulit untuk membedakan ke duanya.Dikutip dari 1 Secara fisiologis proses menua merupakan erosi bertahap dan teratur dari organ atau sistem organ serta penurunan kendali homeostasis, keduanya menyebabkan berkurangnya daya cadangan faali. Penurunan tersebut dapat hanya terlihat pada waktu aktivitas fisik maksimal. Manifestasi berbagai penyakit atau masalah pada pasien lansia seringkali berbeda dengan orang muda. Prevalensi dan akumulasi penyakit kronik yang meningkat pada lansia sering memberikan gejala yang mengaburkan atau menutupi gejala penyakit atau masalah akut yang baru dialami karena adanya tumpang tindih antara gejala dan tanda penyakit kronik dan akut. 1,13 Berbagai kelainan hematologi dapat terjadi pada lansia, misalnya anemia oleh karena kekurangan zat besi, penyakit kronik, keganasan dan lain– lain. Dalam beberapa hal memang ada perbedaan dengan usia muda, misalnya dalam hal penyebab, pengelolaan, maupun prognosis.55 Anemia sering dijumpai pada lansia dan terjadinya anemia pada orang–orang lansia bukanlah konsekuensi normal dari pertambahan usia tetapi oleh karena telah adanya penyakit.7,27 Maka sebaiknya dilakukan evaluasi lanjutan walaupun gejala klinis tidak ada.21 Dari suatu studi dilaporkan bahwa insidensi anemia pada lansia berumur 65–74 tahun adalah sekitar 1–2% per tahun, dan pada lansia berumur di atas 84 tahun meningkat menjadi 13% per tahun,21 sedangkan bila dilihat dari perbandingan jenis kelamin, maka pada usia 71–74 tahun baik laki–laki maupun wanita insidensinya adalah sama, yaitu sekitar 8,6%, tetapi pada usia sama atau lebih dari 90 tahun prevalensinya pada laki–laki lebih tinggi yaitu 41% sedangkan wanita 21%.56 Sedangkan di Indonesia seperti yang dilaporkan dari RSUP Cipto Mangunkusumo, dimana selama tahun 2000 di ruang rawat akut geriatri tercatat sekitar 10,3% pasien lansia yang dirawat oleh karena menderita anemia karena berbagai penyebab dan di unit rawat jalan sekitar 12,3% pasien lansia juga menderita anemia.7,21 Dari ruang rawat inap RSUP H.Adam Malik Medan dilaporkan bahwa selama 3 tahun (Januari 2000– Desember 2002) ditemukan 591 (31,74%) pasien lansia menderita anemia dari 1881 pasien penderita anemia oleh karena berbagai penyebab.57 Penyebab anemia tersering pada orang–orang lansia adalah anemia penyakit kronik dengan prevalensinya 30–45%.5 Ada sekitar 16% pasien anemia pada lansia yang tidak ditemukan penyebabnya walaupun telah dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh, oleh karena itu pendekatan diagnostik anemia pada pasien lansia memerlukan waktu dan teknologi penunjang yang lebih. Pertimbangan klinis sangat menentukan langkah selanjutnya.21
©2003 Digitized by USU digital library
11
Pada tahun 2000 jumlah populasi lansia di negara–negara Eropa diperkirakan sekitar 20%, sedangkan di Amerika Serikat jumlah lansianya sekitar 11% dari seluruh populasi.14 Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dengan keberhasilan pembangunannya, usia harapan hidup penduduknya meningkat dan ini dampaknya adalah bertambahnya jumlah lansia.11 Menurut laporan dari data demografi penduduk internasional yang dikeluarkan oleh Bureau Of The Cencus USA pada tahun 1993, bahwa Indonesia pada tahun 1990 sampai tahun 2025 akan mempunyai kenaikan lansia sekitar 414%. Angka ini merupakan yang paling tinggi di seluruh dunia.2,14 Laporan lain mengatakan bahwa pertambahan penduduk lansia di Indonesia diproyeksikan melebihi 20 juta orang dan ini sama dengan pertambahan lansia di Brazil. Bahkan pada tahun 2000 Indonesia merupakan negara urutan ke–4 dengan jumlah lansia paling banyak sesudah Cina, India, dan Amerika Serikat. Keadaan ini akan mengakibatkan terjadinya perubahan struktur masyarakat Indonesia, dari masyarakat/populasi “ muda “ pada tahun 1971 menjadi populasi yang “ lebih tua “ pada tahun 2020. Piramida penduduk Indonesia berubah dari bentuk dengan basis lebar (fertilitas tinggi) menjadi piramida berbentuk kubah mesjid atau bawang (fertilitas dan mortalitas rendah). Pergeseran ini mengakibatkan perubahan dalam strategi pelayanan kesehatan, dengan lain perkataan lebih minta perhatian dan prioritas untuk penyakit–penyakit usia dewasa dan lansia. Untuk masalah lansia ini pemerintah dan masyarakat Indonesia memang telah memberikan perhatian tetapi masih berjalan lambat. Sedangkan Amerika Serikat telah memberikan perhatian yang cukup besar, ini terlihat dari penggunaan anggaran kesehatannya melebihi 30% hanya untuk orang–orang lansia. 14 3.2
Perumusan Masalah Adakah hubungan anemia dengan penyakit kronik pada lansia ?
3.3
Hipotesa Proses infeksi kronik dan inflamasi kronik merupakan etiologi tersering dari anemia penyakit kronik
3.4 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui etiologi anemia penyakit kronik pada lansia 3.5
Manfaat Penelitian Dengan mengetahui etiologi anemia penyakit kronik pada lansia, maka kita sebagai klinisi dapat lebih waspada dan mempertimbangkan apakah penderita lansia yang datang kepada kita telah menderita anemia penyakit kronik, sekaligus dapat memberikan terapi terbaik yang dapat kita berikan
3.6
Bahan dan Cara Penelitian
3.6.1 Desain Penelitian Penelitian dilakukan dengan metode cross - sectional yang bersifat deskriptif analitik 3.6.2 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dimulai bulan September 2002 s/d Januari 2003 Tempat penelitian RSUP H. Adam Malik Medan
©2003 Digitized by USU digital library
12
3.6.3 Subjek Penelitian Orang–orang lansia (Usia ≥ 60 tahun) dengan penyakit penyerta infeksi kronik (Infeksi paru: TB paru, Emfisema, Abses, Bronkiektasis; Infeksi saluran kemih kronik; Endokarditis bakterial; Infeksi jamur kronik, HIV), Inflamasi kronik (Artritis reumatoid, Osteoartritis, Lupus eritematosus sistemik/LES, Penyakit vaskular kolagen, Polimialgia, Penyakit chron), Penyakit jantung (kongestif dan iskemik), dan Penyakit hati kronik yang berobat jalan ke Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP H. Adam Malik Medan 3.6.4 Kriteria Inklusi Semua lansia (Usia ≥ 60 tahun) dengan penyakit infeksi kronik (Infeksi Paru: TB paru, Emfisema, Abses, Bronkiektasis; Infeksi saluran kemih kronik; Endokarditis bakterial; Infeksi jamur kronik, HIV), Inflamasi kronik (Artritis reumatoid, Osteoartritis, Lupus eritematosus sistemik/LES, Penyakit vaskular kolagen, Polimialgia, Penyakit chron), Penyakit jantung (kongestif dan iskemik), dan Penyakit hati kronik. 3.6.5 Kriteria eksklusi a. Lansia yang menderita penyakit infeksi kronik, inflamasi kronik, penyakit jantung dan penyakit hati kronik tetapi sedang dalam keadaan eksaserbasi akut b. Lansia yang menderita penyakit gagal ginjal dan tumor c. Tidak bersedia diikutkan dalam penelitian 3.6.6 Prosedur Penelitian Seluruh peserta dilakukan pemeriksaan : a. Fisik diagnostik : anamnesis dan pemeriksaan fisik b. Laboratorium : hemoglobin, morfologi darah tepi, volume korpuskuler rata–rata (MCV), besi serum (SI), mampu ikat besi (MIB = TIBC), jenuh transferin dan feritin serum 3.6.7 Perkiraan besar sampel Rumus yang digunakan : n
1
= n
2
= (z α √ 2 PQ
+ zβ√P
1
Q1 + P2 Q2)
2
( P1 - P2 ) 2 Dimana, z α = 1,960 ; z β = 0,842 ; P1 = 0,40; Q1 = (1 – P1) = 0,60 P2 = 0,16 ; Q2 = (1 – P2) = 0,84 ; P = ½ (P1 + P2) = 0,28 Q = ( 1 – P ) = 0,72 Maka: n
1
= n
2
= (1,960√ 2 x 0,28 x 0,72 + 0,842√ 0,40 x 0,60 + 0,16 x 0,84) ( 0,40 – 0,16 )
2
= ( 1,960 x 0,6349 + 0,842 √ 0,24 + 0,1344 ) 0,0576 = ( 1,2444 + 0,5151 ) =
0.0576 3,0958 = 53,7465
2
2
2
~
54
0,0576
©2003 Digitized by USU digital library
13
3.6.8 Analisa data Pengelolaan data secara analitik. Uji kai kwadrat menguji antara masing – masing variabel. Data diolah dengan memakai perangkat lunak komputer SPSS 10, dianggap bermakna bila nilai p < 0,05. 3.7 HASIL PENELITIAN Pasien lansia penderita penyakit kronik yang ikut dalam penelitian ini sebanyak 60 orang, terdiri dari 43 orang (71,7 %) laki–laki dan 17 orang (28,3 %) wanita dengan usia rata–rata 66,28 ± 4,95 tahun, dimana usia termuda 61 tahun dan tertua 79 tahun. 3.7.1
Distribusi lansia menurut umur. Usia rata–rata laki–laki adalah 66,58 ± 5,22 tahun dan wanita 65,53 ± 4,26 tahun. Secara uji statistik tidak ada perbedaan bermakna antara usia dengan jenis kelamin lansia (p : 0,463). (Tabel 1) Tabel
1
Distribusi lansia menurut usia
Jenis Kelamin
n
Laki-laki
43
Wanita
17
Uji T 3.7.2
X
SD
66,58
5,22
( usia )
p
0,463 65,53
4,26
p : 0,463
Distribusi penyakit kronik pada lansia. Pasien lansia yang ikut dalam penelitian ini, sebagian besar menderita Penyakit Reumatik yaitu 58,3 %, diikuti oleh Penyakit Jantung 48,4 %, Hipertensi 33,4%, Diabetes melitus 18,4 %, Penyakit Paru 15,0 %, dan Hepatitis kronis 11,6 %. (Tabel 2)
©2003 Digitized by USU digital library
14
Tabel 2
Distribusi penyakit kronik pada lansia Jenis Kelamin
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
3.7.3
Jumlah
Penyakit
Penyakit Reumatik (Osteoartritis,Artritis reumatoid, Spondiloartrosis, Spondilitis lumbalis) Penyakit Jantung (Gagal jantung kongestif, PJK) Hipertensi Diabetes melitus Penyakit Paru (Emfisema paru, TB paru, Bronkitis kronis, Bronkiektasis) Hepatitis kronis Dislipidemia Pembesaran kelenjar prostat (BPH= Benign Prostate Hypertrophy) Osteoporosis Struma nodular non-toknik (SNNT)
Laki-laki n %
Wanita n %
n
%
24
40,0
11
18,3
35
58,3
22
36,7
7
11,7
29
48,4
13 4
21,7 6,7
7 7
11,7 11,7
20 11
33,4 18,4
8
13,3
1
1,7
9
15,0
5 5
8,3 8,3
2 2
3,3 3,3
7 7
11,6 11,6
1
1,7
0
0,0
1
2,3
0
0,0
1
1,7
1
1,7
1
1,7
0
0,0
1
1,7
Distribusi berat–ringannya anemia menurut jenis kelamin.
Dari 26 orang pasien lansia penderita penyakit kronik yang juga menderita anemia, ternyata 24 orang menderita anemia ringan (92,3%) terdiri dari 19 orang laki–laki (73,1%) dan 5 orang wanita (19,2%), 1 orang laki–laki menderita anemia sedang (3,9%) dan 1 orang wanita menderita anemia berat (3,9%). (Tabel 3) Tabel 3
Distribusi berat–ringannnya anemia menurut jenis kelamin . A N E M I A (Hb)
Jenis Kelamin
Laki-laki Wanita Ju m l a h
Ringan 10 – 12 gr/dL n 19 5 24
% 73,1 19,2 92,3
©2003 Digitized by USU digital library
Sedang 8 – 10 gr/dL n % 1 3,9 0 0,0 1 3,9
Jumlah Berat < 8 gr/dL n 0 1 1
% 0,0 3,9 3,9
n 20 6 26
% 77,0 23,1 100
15
3.7.4
Hubungan antara terjadinya anemia pada lansia dengan jenis kelamin. Dari 60 orang pasien lansia penderita penyakir kronik yang ikut dalam penelitian ini, 25 orang menderita anemia penyakit kronik (41,7%) terdiri dari 20 orang laki–laki (33,3%) dan 5 orang wanita (8,3%) serta 1 orang wanita menderita anemia defisiensi besi (1,7%). Secara uji statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara terjadinya anemia pada lansia yang menderita penyakit kronik dengan jenis kelamin lansia tersebut (p : 0,161). (Tabel 4) Tabel 4 Hubungan antara terjadinya anemia pada lansia dengan jenis kelamin LANSIA Jenis Kelamin
Laki-laki Wanita Jumlah
Dengan Anemia peny.kronik n 20 5 25
Dengan Anemia def. besi
% 33,3 8,3 41,7
n 0 1 1
X2 : 3,655
Uji Chi – Square
% 0,0 1,7 1,7 df : 2
Dengan Penyakit kronik Non-anemia n % 23 38,3 11 18,3 34 56,7
Jumlah
n 43 17 60
% 71,1 28,3 100, 0
p : 0,161
3.7.5 Hubungan antara terjadinya anemia pada lansia dengan usia. Dari 25 orang lansia penderita anemia penyakit kronik, 12 orang (20,0%) berusia 65–69 tahun , 8 orang (13,3%) berusia 60–64 tahun, 3 orang (5,0%) berusia > 75 tahun, dan 2 orang (3,3%) berusia 70–74 tahun. Sedangkan penderita anemia defisiensi besi ada 1 orang (1,7%) berusia 70–74 tahun. Secara uji statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara terjadinya anemia pada lansia penderita penyakit kronik dengan usia lansia tersebut (p : 0,103). (Tabel 5) Tabel 5
Hubungan antara terjadinya anemia pada lansia dengan umur LANSIA
Usia ( tahun )
Dengan Anemia peny.kronik
Dengan Anemia def. besi
60-64 65-69 70-74 ≥ 75
n 8 12 2 3
% 13,3 20,0 3,3 5,0
n 0 0 1 0
% 0,0 0,0 1,7 0,0
Jumlah
25
41,7
1
1,7
Uji Chi – Square
X 2 : 10,562
©2003 Digitized by USU digital library
df : 6
Dengan Penyakit kronik Non-anemia n % 17 28,3 11 18,3 4 6,7 2 3,3 24
56,7
Jumlah
n 25 23 7 5 60
% 41,7 38,3 11,7 8,3 100, 0
p : 0, 103
16
3.7.6
Hubungan antara terjadinya anemia pada lansia dengan pekerjaan. Dari 25 orang lansia penderita anemia penyakit kronik, 19 orang (31,7%) mempunyai pekerjaan sebelumnya (pensiunan) sebagai pegawai, 4 orang (6,7%) sebagai ibu rumah tangga, sedangkan petani dan wiraswasta masing–masing 1 orang (3,4%). Lansia yang menderita anemia defisiensi besi (1,7%) pekerjaannya hanya sebagai ibu rumah tangga. Secara uji statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara terjadinya anemia pada lansia penderita penyakit kronik dengan pekerjaan lansia tersebut (p : 0,555). (Tabel 6) Tabel 6
Hubungan antara terjadinya anemia pada lansia dengan pekerjaan LANSIA Dengan Anemia Peny.kroni k
No
Pekerjaan
1
Pensiunan Ibu Rumah Tangga ( IRT ) Petani Wiraswasta Jumlah
2 3 4
Uji Chi – Square
X
2
Dengan Anemia Def. Besi
Dengan Penyakit Kronik NonAnemia n % 23 38,3
n 19
% 31,7
n 0
% 0,0
4
6,7
1
1,7
7
1 1 25
1,7 1,7 41,7
0 0 1
0,0 0,0 1,7
1 3 34
: 4,914
df : 6
Jumlah
n 42
% 70,0
11,7
12
20,0
11,7 5,0 56,7
2 4 60
3,3 6,7 100
p: 0,555
3.7.7 Penyebab anemia penyakit kronik pada lansia. Penyebab anemia penyakit kronik pada lansia yang ikut dalam penelitian ini adalah proses infeksi kronik (infeksi paru), inflamasi kronik (Osteoartritis, Artritis reumatoid), Penyakit jantung kongestif, Penyakit jantung koroner (PJK), dan Hepatitis kronik. (Tabel 7) Tabel 7 No 1
Penyebab anemia penyakit kronik pada lansia
Infeksi Kronik Infeksi paru: Emfisema paru, TB paru, Bronkitis kronis, Bronkiektasis
2 3
Inflamasi Kronik
Lain-lain
Osteoartritis (OA)
Penyakit jantung kongestif
Artritis reumatoid (AR)
Penyakit jantung koroner (PJK) Hepatitis kronik
3.7.8 Hubungan antara anemia pada lansia dengan gambaran klinis Dari 25 orang lansia penderita anemia penyakit kronik, ternyata 24 orang (92,3 %) tidak mempunyai keluhan, dan hanya 1 orang (3,9 %) yang mempunyai keluhan dan ini sama dengan lansia penderita anemia defisiensi besi (3,9 %) yang juga menunjukkan adanya keluhan dengan anemianya. Secara uji statistik tidak ada
©2003 Digitized by USU digital library
17
perbedaan yang bermakna gejala klinis anemia antara anemia penyakit kronik dengan anemia defisiensi besi (p : 0,77). (Tabel 8) Tabel 8
Gejala
Hubungan antara anemia pada lansia dengan gejala klinis
Klinis
Tanpa gejala ( asimptomatik ) Dengan gejala Jumlah Uji Fisher Exact
LANSIA Dengan Dengan Anemia Anemia peny.kroni def. besi k N % N % 24 92,3 0 0,0 1 3,9 1 3,9 25
96,2
1
3,9
Jumlah
n 24 2 26
% 92,3 7,7 100, 0
p : 0,77
3.7.9 Hubungan antara gambaran morfologi darah tepi dengan anemia pada lansia. Gambaran morfologi darah tepi dari 25 orang lansia yang menderita anemia penyakit kronik adalah normositik–normokromik, dan seorang lansia penderita anemia defisiensi besi gambaran morfologi darah tepinya adalah mikrositik–hipokromik. (Tabel 9) Tabel 9
Gambaran morfologi darah tepi pada lansia penderita anemia LANSIA
Gambaran Morfologi Darah Tepi
Normositik – Normokromik Mikrositik - Hipokromik Makrositik – Normokromik Jumlah
Dengan Anemia peny.kroni k N % 25 96,2 0 0,0 0 0,0 25
96,2
Dengan Anemia def. besi
Jumlah
n 0 1 0
% 0,0 3,9 0,0
n 25 1 0
1
3,9
26
% 96,2 3,9 0,0 100, 0
3.7.10
Hubungan antara nilai laboratorium–diagnostik untuk anemia penyakit kronik dengan jenis kelamin lansia. Hemoglobin rata–rata pada laki–laki lansia adalah 12,15 ± 0,915 gr/dL dan wanita 11,40 ± 0,485 gr/dL. Secara uji statistik, tidak ada perbedaan bermakna antara hemoglobin laki–laki dan wanita pada lansia yang menderita anemia penyakit kronik (p : 0,093). Volume korpuskuler rata–rata (MCV) pada laki–laki lansia adalah 81,40 ± 18,21 fl dan wanita 85,20 ± 3,96 fl. Secara uji statistik, tidak ada perbedaan bermakna antara volume korpuskuler rata–rata laki–laki dan wanita pada lansia yang menderita anemia penyakit kronik (p : 0,767).
©2003 Digitized by USU digital library
18
Mampu ikat besi ( MIB = TIBC ) pada laki–laki lansia adalah 244,10 ± 5,94 mug/dL dan wanita 232,60 ± 11,78 mug/dL. Secara uji statistik, tidak ada perbedaan bermakna antara laki–laki dan wanita pada lansia yang menderita anemia penyakit kronik (p : 0,094). Feritin serum pada laki–laki lansia adalah 230,35 ± 147,41 ng/mL dan wanita 223,00 ± 112,84 ng/mL. Secara uji statistik, tidak ada perbedaan bermakna antara laki–laki dan wanita pada lansia yang menderita anemia penyakit kronik (p : 0,918). Besi serum (SI) pada laki–laki lansia adalah 42,75 ± 3,46 mug/dL dan wanita 35,00 ± 1,73 mug / dL. Secara uji statistik, ada perbedaan bermakna antara laki– laki dan wanita pada lansia yang menderita anemia penyakit kronik (p : 0,000). Jenuh transferin pada laki–laki lansia adalah 17,55 ± 1,19 % dan wanita 15,20 ± 1,30 %. Secara uji statistik, ada perbedaan bermakna antara laki–laki dan wanita pada lansia yang menderita anemia penyakit kronik (p : 0,001). (Tabel 10) Tabel 10 Hubungan antara nilai laboratorium diagnostik penyakit kronik pada lansia dengan jenis kelamin Nilai Lab. Diagnostik 1
2
3
4
5
6
n
X
SD
Hemoglobin ( gr / dL ) Laki-laki 20 12,15 0,915 Wanita 5 11,40 0,485 Volume korpuskuler rata-rata ( MCV ) ( fl ) Laki-laki 20 81,40 18,21 Wanita 5 85,20 3,96 Mampu ikat besi ( MIB = TIBC ) ( mug / dL ) Laki-laki 20 244,10 5,94 Wanita 5 232,60 11,78 Feritin serum ( ng/mL ) Laki-laki 20 230,35 147,41 Wanita 5 223,00 112,84 Besi serum ( SI ) ( mug/dL ) Laki-laki 20 42,75 3,46 Wanita 5 35,00 1,73 Jenuh transferin ( % ) Laki-laki 20 17,55 1,19 Wanita 5 15,20 1,30
Keterangan :
anemia
p
0,093
a)
0,767
b)
0,094
a)
0,918
a)
0,000
a)*
0,001
a)*
a) Uji T b) Uji Mann – Whitney a)* Signifikan BAB IV PEMBAHASAN
Proses menua merupakan fenomena biologis universal yang ditandai dengan evolusi dan maturasi organisme secara progresif, dapat diperkirakan tetapi tidak dapat dielakkan hingga meninggal.13 Namun proses menua bukanlah sebuah proses biologis sederhana melainkan sebuah perubahan kompleks yang terjadi seiring
©2003 Digitized by USU digital library
19
dengan waktu pada setiap individu. Sejumlah perubahan yang terjadi selama proses menua berlangsung pada berbagai tingkat organisasi biologi, dari tingkat molekul, sel, organ sampai pada organisme. Perubahan pada satu tingkat tertentu mungkin mempengaruhi fungsi yang lain. Namun sampai dengan sekarang belum diketahui secara pasti pada tingkat organisasi biologi mana proses menua bermula, apakah pada tingkat molekul, sel, organ, atau organisme. Oleh karena itu proses menua masih merupakan suatu misteri kehidupan yang masih belum dapat diungkap dan mungkin merupakan suatu masalah yang paling sulit untuk dipecahkan. Menurut The Baltimore Longitudinal Study of Aging, proses menua dibedakan atas 2 bagian yaitu proses menua normal (primary aging) dan proses menua patologis (secondary aging). Proses menua normal merupakan suatu proses yang ringan (benign), ditandai dengan turunnya fungsi secara bertahap tetapi tidak ada penyakit sama sekali sehingga kesehatan tetap terjaga baik. Sedangkan proses menua patologis ditandai dengan kemunduran fungsi organ sejalan dengan umur tetapi bukan akibat umur bertambah tua, melainkan akibat penyakit yang muncul pada umur tua.1 Secara kronologis proses menua seseorang berbeda dari orang lain dan juga berbeda untuk masing–masing organ/sistem organ pada individu yang sama.Dikutip dari 13 Manusia berupaya dengan segala macam cara agar sedapat mungkin dapat menunda atau melambatkan jalannya proses menua, sehingga akan mengakibatkan menurunnya angka mortalitas.14 Di negara–negara maju usia harapan hidup penduduknya pada tahun 1995-2000 sudah mencapai 63,9 tahun, dan diperkirakan pada tahun 2020-2025 mencapai 75,4 tahun. Sedangkan di negara–negara sedang berkembang usia harapan hidup penduduknya pada tahun 1995–2000 mencapai 62,5 tahun, dan pada tahun 2020–2025 diharapkan sudah mencapai 69,6 tahun.14 Jepang merupakan negara yang mempunyai usia harapan hidup yang tertinggi di dunia, dimana pria dapat mencapai 76 tahun dan wanita 82 tahun.2 Di negara– negara sedang berkembang, usia harapan hidup seseorang yang dapat mencapai usia 60 tahun, rata–rata 15 tahun. Ini artinya orang tersebut dapat mencapai usia rata – rata 75 tahun.14 Pada penelitian kami ini, lansia yang ikut dalam penelitian berusia rata – rata 66,28 ± 4,95 tahun, dimana usia termuda 61 tahun dan tertua 79 tahun. Usia rata–rata laki–laki adalah 66,58 ± 5,22 tahun, sedangkan wanitanya 65,53 ± 4,26 tahun. Secara uji statistik yang kami lakukan memang tidak ada perbedaan usia yang bermakna antara lansia laki–laki dan wanita, tetapi kami melihat usia harapan hidup penduduk kita sebagai salah satu negara berkembang menunjukkan peningkatan. Menurut Agate, kaum lansia merupakan tenaga kerja yang handal dan berpengalaman, lebih dapat dipercaya (reliable), lebih teliti (more accurate) dan jarang mangkir kerja. Bahkan menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) tenaga kerja lansia merupakan tenaga yang setara dengan tenaga muda, malahan dinyatakan merupakan gudang kebijaksanaan dan contoh dalam sikap etika. Namun di Indonesia saat ini golongan lansia masih berkualitas rendah, dimana 71,2% belum pernah mengalami pendidikan formal (tidak pernah sekolah) terutama kaum wanitanya, khususnya di daerah pedesaan. Penyebabnya adalah sisa–sisa penjajahan jaman dulu. Banyak diantara mereka merupakan tenaga kerja tidak terlatih (unskilled worker) Di daerah perkotaan pekerja profesional pada laki–laki lansia 21,2% dan wanitanya 7,5%, sedangkan di pedesaan pekerja profesional laki–laki lansia hanya 4,2% dan wanita 0,7%.12 Keadaan ini didukung dari suatu hasil studi mengenai komunitas lansia di Jawa Tengah pada tahun 1991 mengenai pekerjaan lansia, ditemukan sebagian besar lansia mempunyai pekerjaan sebagai tenaga tidak terlatih dan hanya sedikit yang bekerja sebagai tenaga profesional.14 Padahal menurut penelitian Boedhi–Darmojo tentang lansia di Kodya Semarang, bahwa tingkat pendidikan seorang lansia berbanding positif langsung dengan tingkat kesehatan
©2003 Digitized by USU digital library
20
lansia.14 Pada penelitian kami ini sebagian besar lansia (70,0%) mempunyai pekerjaan sebelumnya sebagai pegawai (pensiunan), berwiraswasta 6,7%, petani 3,3%, sedangkan 20% hanya sebagai ibu rumah tangga. Kami juga mencoba menghubungkan apakah seorang lansia yang mempunyai pekerjaan lebih baik mempunyai kecenderungan lebih kecil untuk menderita anemia, ternyata hasilnya adalah tidak. Artinya setiap lansia yang menderita penyakit kronik mempunyai kesempatan yang sama besar untuk menderita anemia dan tidak ada hubungannya dengan pekerjaan lansia tersebut. Perubahan yang berhubungan dengan proses menua normal sebagian besar merupakan akibat kehilangan atau penurunan secara bertahap. Kehilangan tersebut sebenarnya sudah dimulai sejak awal usia muda, tetapi pada sebagian besar sistem organ kehilangan tersebut baru bermakna secara fungsional setelah terjadi kehilangan yang besar. Secara umum digunakan “ hukum 1% “ artinya sebagian sistem organ mengalami kehilangan atau penurunan fungsi 1% setiap tahun, dimulai sejak usia 30 tahun.1 Penyakit–penyakit yang diderita lansia kebanyakan bersifat endogenik, multipel, kronik, bersifat/bergejala atipik, tanpa menyebabkan imunitas malahan menjadi lebih rentan terhadap penyakit/komplikasi yang lain.14 Abnormalitas sistem imun memberikan konstribusi pada sebagian besar penyakit akut dan kronik pada lansia.60 Oleh karena itu diagnosis haruslah ditegakkan dengan sangat cermat dan hati–hati. Dari suatu hasil penelitian mengenai lansia (usia 60 tahun ke atas) yang dilakukan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) bersama dengan 4 negara Asia Tenggara termasuk Indonesia pada tahun 1990, penyakit artritis/reumatik menempati peringkat pertama yaitu 49,0%.11 Pada penelitian ini, ternyata penyakit yang paling banyak diderita lansia adalah juga penyakit reumatik/artritis yaitu 58,3%, diikuti oleh penyakit jantung 48,4%, hipertensi 33,4%, diabetes melitus 18,4%, penyakit paru 15,0%, hepatitis kronik dan dislipidemia masing–masing 11,6%, pembesaran kelenjar prostat (BPH) 2,3%, sedangkan osteoporosis dan struma nodular non–toksik (SNNT) masing–masing 1,7%. Anemia merupakan ekspresi kompleks gejala klinis dari suatu penyakit yang mempengaruhi mekanisme eritopoesis (produksi eritrosit), perdarahan, atau penghancuran eritrosit.18 Anemia sering dijumpai pada lansia, namun tingginya prevalensi anemia pada lansia bukanlah disebabkan karena usia yang bertambah tua.25 Dari hasil penelitian Gerbrand Izaks dkk, prevalensi anemia pada laki–laki lansia adalah 27–40%, sedangkan wanita 16–20%.26 Sebagai penyebab tersering anemia pada orang – orang lansia adalah anemia penyakit kronik yaitu sekitar 30– 45%, diikuti oleh anemia defisiensi besi 15–30%.5,22 Pada penelitian ini, dari 60 orang lansia yang ikut dalam penelitian 26 orang (43,3%) menderita anemia, terdiri dari 20 orang laki–laki (33,3%) dan 6 orang wanita (10,0%). Pada laki–laki penyebab anemia kebanyakan adalah anemia penyakit kronik (33,3%), sedangkan yang menderita anemia defisiensi besi tidak ada dijumpai. Pada wanita penyebab anemianya adalah anemia penyakit kronik (8,3%) dan anemia defisiensi besi (1,7%). Namun pada penelitian ini, kami tidak melihat adanya hubungan bahwa lansia laki–laki penderita penyakit kronik mempunyai kecenderungan untuk menderita anemia dibandingkan wanitanya yang juga penderita penyakit kronik. Prevalensi anemia pada lansia meningkat secara signifikan setelah usia 75 tahun.7 Dari suatu studi juga dilaporkan bahwa insidensi anemia pada lansia yang berusia 65–74 tahun adalah 1–2%, dan yang berusia di atas 84 tahun meningkat menjadi 13% per tahun.21 Pada penelitian ini, lansia yang paling banyak menderita anemia berusia antara 65–69 tahun (20%), diikuti oleh lansia yang berusia antara 60–64 tahun (13,3%), kemudian usia antara 70–74 dan berusia ≥ 75 tahun masing– masing 5,0%. Namun pada penelitian ini, kami juga tidak melihat adanya hubungan bahwa lansia yang lebih tua penderita penyakit kronik, mempunyai resiko yang lebih
©2003 Digitized by USU digital library
21
besar untuk menderita anemia dibandingkan dengan lansia yang lebih muda penderita penyakit kronik. Anemia penyakit kronik merupakan anemia yang paling sering dijumpai pada lansia dan juga sering dijumpai di praktek kita sehari–hari.5,44 Di Amerika Serikat, anemia penyakit kronik ini merupakan jenis anemia terbanyak ke dua pada orang dewasa.29 Anemia penyakit kronik dapat disebabkan oleh beberapa penyakit/kondisi, antara lain infeksi kronik (infeksi paru, endokarditis bakterial, dll), inflamasi kronik (osteoartritis, artritis reumatoid, lupus eritematosus sistemik, dll), lain–lain (penyakit hati alkaholik, gagal jantung kongestif, dan penyakit jantung iskemik), dan idiopatik.5,29,31,32,36,37,40-43 Pada penelitian ini, penyebab anemia penyakit kronik pada lansia adalah infeksi kronik (infeksi paru antara lain emfisema paru, TB paru, bronkitis kronis, dan bronkiektasis), inflamasi kronik antara lain osteoartritis dan artritis reumatoid, dan lain–lain yaitu penyakit jantung kongestif, penyakit jantung koroner serta hepatitis kronik. Pada anemia penyakit kronik, berat–ringannya anemia berbanding lurus dengan aktivitas penyakit, tetapi anemianya jarang bertambah berat atau hemoglobinnya jarang di bawah 10 g/dL.5,51 Kita harus lebih waspada bila seorang lansia datang dengan penyakit kronik, oleh karena kemungkinan lansia tersebut juga telah menderita anemia. Gejala klinis dari anemia penyakit kronik sering tertutupi oleh gejala klinis dari penyakit yang mendasari (asimptomatik),29,32,49 tetapi pada pasien–pasien lansia oleh karena adanya penyakit vaskular degeneratif kemungkinan akan dapat ditemukan gejala–gejala lekas lelah, lemah, klaudikasio intermiten, muka pucat, palpitasi, angina pektoris dan gangguan serebral.5,15,50 Pada penelitian ini, sebagian besar (92,3%) lansia yang menderita anemia penyakit kronik tidak mempunyai keluhan (asimptomatik) dan hanya 3,9% yang mempunyai gejala klinis. Keluhannya yaitu lekas lelah dan muka pucat. Sedangkan pada lansia yang menderita anemia defisiensi besi mempunyai gejala klinis berupa vertigo, lekas lelah, muka pucat, takikardi dan konjungtiva pucat. Munculnya gejala klinis pada pasien lansia yang menderita anemia penyakit kronik dan anemia defisiensi besi kemungkinan ada hubungannya dengan berat–ringannya anemia yang dialami oleh lansia tersebut atau dengan perkataan lain tidak ada perbedaan gambaran klinis antara anemia penyakit kronik dengan anemia defisiensi besi pada derajat anemia (berat–ringan) yang sama. Untuk mengetahui seorang lansia penderita penyakit kronik telah menderita anemia, pemeriksaan laboratorium diagnostik untuk anemia penyakit kronik memang sangat membantu. Oleh karena selain dari pada penderita anemia penyakit kronik umumnya tidak mempunyai keluhan (asimptomatik) dan secara pemeriksaan fisik diagnostik juga tidak ada ditemukan gambaran yang karakteristik dari anemianya, pasien–pasien lansia pada umumnya juga keluhan–keluhannya tidak khas dan jelas, atipik dan tidak jarang keluhannya tidak ada (asimptomatik). Pada penelitian ini, dari beberapa pemeriksaan laboratorium yang dilakukan kami mendapatkan hasil sebagai berikut: 1. Gambaran morfologi darah tepi anemia penyakit kronik biasanya adalah normositik–normokromik atau mikrositik ringan, sedangkan anemia defisiensi besi adalah mikrositik–hipokromik.5,32,58,59 Pada penelitian ini, semua lansia yang menderita anemia penyakit kronik gambaran morfologi darah tepinya juga adalah normositik–normokromik dan pada lansia yang menderita defisiensi besi mikrositik–hipokromik. 2. Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan batasan anemia, dimana untuk wanita hemoglobin di bawah 12 gr/dL dan pria di bawah 13 gr/dL.26 Pada anemia penyakit kronik hemoglobinnya berkisar 7–11 gr/dL.32 Pada penelitian ini, hemoglobin rata–rata laki–laki lansia penderita anemia penyakit kronik adalah 12,15 ± 0,915 gr/dL dan wanita 11,40 ± 0,485 gr/dL.
©2003 Digitized by USU digital library
22
3.
4.
5.
6.
7.
Volume korpuskuler rata–rata (MCV) pada anemia penyakit kronik adalah normal atau menurun sedikit (≤ 80 fl).29,32 Pada penelitian ini volume korpuskuler rata– rata laki–laki lansia penderita anemia penyakit kronik adalah 81,40 ± 18,21 fl dan wanita 85,20 ± 3,96 fl. Mampu ikat besi (MIB = TIBC) pada anemia penyakit kronik adalah < 250 mug/dL.5 Pada penelitian ini, mampu ikat besi rata–rata laki–laki lansia penderita anemia penyakit kronik adalah 244,10 ± 5,94 mug/dL dan wanita 232,60 ± 11,78 mug/dL. Feritin serum pada anemia penyakit kronik adalah normal atau meninggi (> 100 ng/mL).5,32 Pada penelitian ini, feritin serum laki–laki lansia penderita anemia penyakit kronik adalah 230,35 ± 147,41 ng/mL dan wanita 223,00 ± 112,84 ng/mL. Besi serum (SI) pada anemia penyakit kronik adalah menurun (< 60 mug/dL).5,32 Pada penelitian ini, besi serum rata–rata laki–laki lansia penderita anemia penyakit kronik adalah 42,75 ± 3,46 mug/dL dan wanita 35,00 ± 1,73 mug/dL. Jenuh transferin pada anemia penyakit kronik adalah menurun (< 20%).5,32 Pada penelitian ini, jenuh transferin rata–rata laki–laki lansia penderita anemia penyakit kronik adalah 17,55 ± 1,19% dan wanita 15,20 ± 1,30%.
Dari seluruh pemeriksaan laboratorium diagnostik untuk anemia penyakit kronik yang kami lakukan, pada umumnya tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara laki laki dan wanita lansia penderita penyakit kronik, kecuali besi serum dan jenuh transferin pada laki–laki lansia menunjukkan perbedaan yang signifikan dibandingkan wanita lansia. Namun secara keseluruhan, pemeriksaan laboratorium diagnostik untuk anemia penyakit kronik yang tersebut di atas memang sangat membantu kami didalam menegakkan diagnosis anemia penyakit kronik pada lansia. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN 5.1.1 Anemia penyakit kronik sering ditemukan pada orang–orang lansia yang menderita penyakit kronik, dimana pada penelitian ini mencapai 41,7%. 5.1.2 Munculnya anemia penyakit kronik pada seorang lansia penderita penyakit kronik tidak ada hubungannya dengan umur, jenis kelamin, ataupun pekerjaan dari lansia tersebut. 5.1.3 Sebagian besar (92,3%) lansia yang menderita anemia penyakit kronik tidak mempunyai gejala klinis (asimptomatik). 5.1.4 Pemeriksaan laboratorium diagnostik, seperti morfologi darah tepi, volume korpuskuler rata rata (MCV), besi serum (SI), mampu ikat besi (MIB = TIBC), jenuh transferin dan feritin serum sangat membantu di dalam menegakkan diagnosis anemia penyakit kronik pada lansia. 5.1.5 Besi serum dan jenuh transferin mempunyai perbedaan yang bermakna antara laki–laki dan wanita lansia penderita anemia penyakit kronik. 5.1.6 Penyakit reumatik merupakan penyakit yang paling banyak diderita orang–orang lansia (58,3%), diikuti oleh penyakit jantung (48,4%), dan hipertensi (33,4%). 5.2 SARAN 5.2.1 Perhatian kita sebagai klinisi terhadap lansia, khususnya pada lansia penderita penyakit kronik perlulah lebih kita tingkatkan.
©2003 Digitized by USU digital library
23
5.2.2 Perlu penelitian lanjutan untuk mencari penyebab terjadinya perbedaan yang signifikan dari besi serum dan jenuh transferin pada laki–laki lansia dibandingkan wanita lansia penderita anemia penyakit kronik.
Kepustakaan Abdulmuthalib, Atmakusuma Dj. Penatalaksanaan Anemia Pada Pasien Dengan Kemoterapi. Dalam: Setiati S, Alwi I, Kasjmir YI, Atmakusuma D, Lydia A, Syam AF, editor. Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK–UI. 2001. p. 127–32 Anemia Chronic Disease. Available from: Medical Encyclopedia http : // www. nlm. nih . gov / medlineplus / ency / article / 000565. htm Anemia in Elderly Indicates Underlying Disease. Available from : Doctor’s Guide. 1999 May 11. http : // www. psl group. Com / dg / FD07 . htm Ania BJ, Suman VJ, Fairbanks VF, Melton LJ. Prevalence of Anemia in Medical Practice: Community versus referal patients. Mayo Clin Proc 1994 Aug; 69 (8): 808–9 Bit–Shawish H, Mosley JE. Anemia of Chronic Disease. In: Anemia in The Elderly. Available from: Anemia in The Elderly, www. cyberounds . com Boedhi–Darmojo R, Pranarka K. Geriatri dan Gerontologi di Indonesia. Dalam: Suyono HS, Waspadji S, Lesmana L, Alwi I, Setiati S, Sundaru H et al, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. ed 3. Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FK–UI. 2001. p. 249–52 Boedhi–Darmojo R. Demografi dan Epidemiologi Populasi Lanjut Usia. Dalam: Boedhi-Darmojo R, Martono HH, editor. Buku Ajar Geriatri. Jakarta: Balai Penerbit FK–UI.1999. p. 35–55 Boedhi–Darmojo R. Gerontologi Sosial. Masalah Sosial dan Psikologik Golongan Lanjut Usia. Dalam: Boedhi–Darmojo R, Martono HH, editor. Buku Ajar Geriatri. Jakarta: Balai Penerbit FK–UI. 1999. p. 14–34 Boedhi–Darmojo R. Teori Proses Menua. Dalam: Boedhi–Darmojo R, Martono HH. Buku Ajar Geriatri. Jakarta: Balai Penerbit FK–UI. 1999. p. 3–13 Bunch C. The Blood in Systemic Disease. In: Lim KJ, Mustaffa BE, Karim MS, Wang F, Deva MP, Zainal N, editors. Medicine International. far east ed. The Medicine Publishing Company Ltd 2000; 00 (2): 86–8 Cohen HJ, Crawford J. Hematologic Problems. In: Calkins E, Davis PJ, Ford AB, editors. The Practice of Geriatrics. Philadelphia: WB Saunders Company. 1986. p. 519–31 Cuthbert RJG, Ludlam CA. Haematological Changes in Systemic Disease. In: Ludlam CA, editor. Clinical Haematology. low priced ed. ELBS. 1992. p . 301–21 Effendy S, Abdulmuthalib. Pendekatan Diagnosis dan Pengobatan Anemia. Dalam: Alwi I, Setiati S, Sudoyo AW, Bawazier LA, Kasjmir YI, Mansjoer A, editor. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK – UI. 2001. p . 63–74 Parker–Williams. Investigation and Management of Anaemia. In: Lim KJ, Mustaffa BE, Kasim MS, Wang F, Deva MP, Zainal N, editors. Medicine International. far east ed. The Medicine Publishing Company Ltd. 2000; 00 (2): 14–20 Ersley AJ. Anemia of Chronic Disease. In: Beutler E, Lichtman AM, Coller SB, Kipps JT, Seligsohn U, editors. Williams Hematology. 6 th ed. vol 1. New York: Mc Graw Hill. 2001. p. 481–7
©2003 Digitized by USU digital library
24
Fairbanks VF, Beutler E. Iron Deficiency. In: Beutler E, Lichtman AM, Coller SB, Kipps JT, Seligsohn U, editors. Wlliams Hematology. 6 th ed. vol 1. New York: Mc Graw Hill. 2001. p. 447–70 Firkin F, Penington D, Chesterman C, Rush B. Anaemia in Systemic Disorders, Diagnosis in Normochromic Normocytic Anaemias. In: de Gruchy’s Clinical Haematology in Medical Practice. 5 th ed. Blackwell Scientific Publication. 1989. p. 38–45 Fitzsimons EJ, Brock JH. The Anaemia of Chronic Disease. BMJ 2001 April 7; 322: 811–2 Goldstein ML. Hematologic Disorders in The Elderly. In: Rossman I, editor. Clinical Geriatrics. third ed. London: JB Lippincott Company. 1986. p . 388–91 Goodnough, Skikne B, Brugnara C. Erythropoetin, Iron and Erythropoiesis. Blood 2000 August 1; 96 (3): 823–33 Haen PJ. Iron Deficiency Anemia. In: Principles of Hematology. Wm C Brown Publishers. 1995. p. 117–25 Haen PJ. Other Microcytic–Hypochromic Anemias. In: Principles of Hematology. Wm C Brown Publishers. 1995. p . 126–39 Hillman RS. Iron Deficiency and Other Hypoproliferatife Anemias. In: Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper DL et al, editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 14 th ed. vol 1. New York: Mc Graw Hill. 1998. p . 638–45 Hoffbrand AV, Pettit JE. Anaemia Defisiensi Besi dan Anaemia Hipokrom Lain. Dalam: Kapita Selekta Haematologi. ed 2. EGC. 1996. p . 29–45 Hughes–Jones NC, Wickramasinghe. Anemia dan Polisitemia: Pengertian Umum. Dalam: Santoso K, editor. Catatan Kuliah Hematologi. ed 5. Jakarta: EGC. 1994. p .15–24 Hutton RD. Assesment of Patient With Anaemia. In: Ludlam CA, editor. Clinical Haematology. low priced ed. ELBS. 1992. p. 3–10 Intragumtornchai T, Rojnukkarin P, Swasdikul D, Vajanamarhutue C, Israsena S. Anemias in Thai Patients with Cirrhosis. International Journal of Hematology 1997; 65: 365 - 73 Isbagio H, Setiati S. Proses Menua, Teori dan Implikasi Klinisnya. Dalam: Suyono HS, Waspadji S, Lesmana L, Alwi I, Setiati S, Sundaru H et al, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. ed 3. Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FK–UI. 2001. p . 257–63 Isbister JP, Pittglio DH. Anemia. Dalam: Hematologi Klinik. Jakarta: Hipokrates. 1999. p. 38–45 Joosten E, Pelemans W, Hiele, et al. Prevalence and Causes of Anaemia in Geriatric Hospitalized Population. Gerontology 1992; 38 (1–2): 111–7 Kane RL, Ouslander JG, Abrass IB. Anemia. In: Essentiale of Clinical Geriatrics. New York: Mc Graw Hill. 1984. p . 209–11 Koury MJ. The Anemia of Chronic Disease: TNF α involvement in erythroid apoptosis. Blood 2002 July 15; 100 (2): 1–2 Kumar P, Clark M. Anaemia of Chronic Disease. In: Clinical Medicine. third ed. ELBS. 1994. p . 303 Leonardo Sa, Papelbaum M. Anemia of Chronic Disease. Available from : Hematology http : // www . medstudents . com . br / hemat / hemat 5 . htm Linch DC, Yates AP, Watts MJ. Classification of Anaemia. In: Haematology. New York: Churchil-Livingstone. 1996. p . 3 Linker CA. Anemia of Chronic Disease. In: Tierney LM, Mc Phee SJ, Papadokis MA, editors. Current Medical Diagnosis & Treatment. 38 th ed. Appleton & Lange. 1999. p . 487 – 8
©2003 Digitized by USU digital library
25
Lorig K, Holman H. Self Management Education. Context, Defenition, Outcomes and Mechanisme. Available from: http : // www. stanford . edu / group / perc lorig @ leland . stanford . edu Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W. Anemia Pada Penyakit Kronik. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran. ed 3. Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius FK–UI. 2001. p. 548–9 Means RT. The Anemia of Chronic Disorders. In: Lee Gr, Foerster J, Lukens J, Paraskevas F, Greer J, Rodgers GM, editors. Wintrobe’s Clinical Hematology. 10 th ed. vol 2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 1999. p . 1011 – 21 Miller KB. Hematologic Disease and Cancer. In: Harrington JT, editor. Consultation in Internal Medicine. St Louis: Mosby. 1997. p . 429–48 Mori M. Anemia in The Elderly. Asian Med Journal 1992; 35 (4): 209–13 Moya CE, Shah S, Sodeman TM. Eritrosit. Dalam: Suyono J, editor. Sodeman Patofisiologi. ed 7. Jilid II. Jakarta: Hipokrates. 1995. p . 304–44 Provan D, O’Shaughnessy DF. Recent Advances in Haematology. BMJ 1999 April 10; 318: 991–3 S Kar A. Anaemia Pada Penyakit Kronis. Dalam: Pedoman Kuliah Mata Pelajaran Hematologi Klinik. 1995. p . 41 S Kar A. Diagnosis dan Manajemen Anemia. Dalam: Zain LH, Siregar GA, Isnanta R, Zulkhairi, Anam I, Lardo S, editor. Buku Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) IV Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK–USU. Medan: 2003. p. 45-54 S Kar A. Profil pasien anemia di ruang rawat inap RSUP H.Adam Malik Medan. MKI. In press 2003. Saba HI. Anemia in Cancer Patients: Introduction and Overview. Available from: File : // C : \ My Documents \ CRA 1. htm Salive ME, Cornoni–Huntley J, Gurdlnik JM, et al. Anemia and Hemoglobin Levels in Older Persons: Relationship With Age, Gender, and Health Status. J Am Geriatr Soc 1992 May; 40 (5): 489–96 Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar–Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Binarupa Aksara. 1995. Sears DA. Anemia of Chronic Disease. Available from: PMID 1578957 (PubMed –indexed for Medline) Sheth TN, Choudhry NK, Bowes M, Detsky A. The Relation of Conjunctival Pallor to The Presence of Anemia. J Gen Intern Med 1997 Feb; 12 (2): 102–6 Smith DL. Anemia of Chronic Disease. In: Anemia in Elderly. American Family Physician 2000 October 1; 62 (7): 1–10 Soejono CH, Setiati S, Hakim L, Bahar A. Kekhususan Manifestasi Penyakit Pada Geriatri. Dalam: Suyono HS, Waspadji S, Lesmana L, Alwi I, Setiati S, Sundaru H et al, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. ed 3. Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FK–UI. 2001. p . 270–85 Soejono CH. Anemia Pada Pasien Geriatri. Dalam: Alwi I, Setiati S, Sudoyo AW, Bawazier LA, Kasjmir YI, Mansjoer A, editor. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK–UI. 2001. p. 75–80 Spivak JL. Anemia Associated With Systemic Disease. In: Stabo JD, Hellmann DB, Ladenson PW, Petty BG, Traill TA, editors. The Principles and Practice of Medicine. 23 th ed. Stamford–Connecticut: Appleton & Lange. 1996. p. 730–3 Suharti CP, Soenarto. Kelainan Hematologi Pada Usia Lanjut. Dalam: Boedhi– Darmojo R, Martono HH, editor. Buku Ajar Geriatri. Jakarta: Balai Penerbit FK–UI. 1999. p. 229–41 Supandiman I. Anemia Pada Penyakit Kronik. Dalam: Suyono HS, Waspadji S, Lesmana L, Alwi I, Setiati S, Sundaru H et al, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. ed 3. Jilid II Jakarta: Balai Penerbit FK–UI. 2001. p. 515–6
©2003 Digitized by USU digital library
26
Supandiman I. Anemia. Dalam: Hematologi Klinik. Bandung: Penerbit Alumni. 1997. p . 1–7 Supartondo, Soejono CH. Pendekatan Klinis Pada Pasien Geriatri. Dalam: Suyono HS, Waspadji S, Lesmana L, Alwi I, Setiati S, Sundaru H et al, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. ed 3. Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FK – UI. 2001. p. 264–9 Urabe A. Establishing Diagnosis of Anemia. Asian Med Journal 1999; 42 (2): 51–55 Waterbury L. Anemia dengan MCV Normal dengan Indeks Retikulosit Rendah yang tidak sesuai. Dalam: Buku Saku Hematologi. ed 3. Jakarta: EGC. 1998. p. 64– 77 Wibisono BH, Hadisaputro S. Aspek Imunologik Pada Usia Lanjut. Dalam: Boedhi– Darmojo R, Martono HH. Buku Ajar Geriatri. Jakarta: Balai Penerbit FK–UI. 1999. p. 56-72
©2003 Digitized by USU digital library
27