Ambiguitas Pengaturan Politik Uang Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Rapat Paripurna DPR telah mengesahkan perubahan kedua atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) dan UU tersebut telah diundangkan menjadi UU No. 10 Tahun 2016. Pengesahan UU ini memberikan kepastian hukum persiapan penyelenggaraan pilkada serentak 15 Februari 2017 mendatang. Respon optimis banyak dilontarkan menyikapi pengaturan baru dalam UU ini. Antara lain soal penguatan penegakan hukum politik uang. Pengaturan baru tersebut bisa diklasifikasi dalam tiga isu. Pertama, penguatan kewenangan Bawaslu Provinsi untuk memutus sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon (paslon) bagi calon yang melanggar larangan menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih. Keputusan Bawaslu Provinsi bisa dibanding ke Bawaslu RI dan bila masih tidak puas bisa menempuh upaya hukum terakhir kasasi ke Mahkamah Agung. Kedua, penegakan sanksi administrasi politik uang tidak menggugurkan sanksi pidana. Dua sanksi ini bisa diterapkan bersamaan tanpa ketergantungan proses satu sama lain. Ketiga, pengaturan sanksi pidana yang tegas atas politik uang berupa jual beli kursi pencalonan (mahar politik/sewa perahu); jual beli suara pemilih (vote buying); dan suap kepada penyelenggara pemilihan. Dalam pengaturan sebelum dilakukan perubahan kedua bukan tidak ada sanksi administrasi atas praktik politik uang. Pasal 47 ayat (5) UU No. 1 Tahun 2015 menyatakan setiap orang atau lembaga yang terbukti memberi imbalan pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota maka penetapan sebagai calon, pasangan calon terpilih, atau sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota atau Wakil Walikota dibatalkan. Calon dan/atau tim kampanye yang terbukti menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Namun ketentuan tersebut tidak pernah efektif dan berhasil ditegakkan. Sebab pelaksanaannya baru bisa dilakukan setelah adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht). Bawaslu sebagai pengawas dan juga penerima laporan pelanggaran pemilu/pilkada tidak otonom dalam menegakkan ketentuan di atas. Alih-alih mencapai kesepahaman soal proses pidana atas laporan politik uang, Bawaslu seringkali berbeda pendapat dengan pihak kepolisian dan kejaksaan yang tergabung dalam Sentra Penegakkan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu). Jika tidak tercapai kesepahaman otomatis laporan tidak bisa dilimpahkan ke pengadilan, artinya sanksi adminstrasi politik uang juga tidak mungkin untuk diterapkan. Banyak pihak berharap dengan penguatan Bawaslu dan sanksi yang lebih tegas maka politik uang bisa dieliminir dan calon yang melanggar bisa dibatalkan kepesertaannya. Harapan ini wajar sebab selama ini tidak satupun kasus politik uang yang berujung diskualifikasi calon,
1
akibat ketentuan penegakan hukum yang menyaratkan adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap tersebut. Dengan sanksi administrasi pembatalan paslon tanpa menunggu proses pidana dianggap bisa membuat calon jera. Benarkah demikian? Ternyata tak semudah itu. Aturan yang baru tetap mengandung celah yang bisa berakibat mandulnya implementasi di lapangan. Syarat Kumulatif UU Pilkada memang mengatur sanksi administrasi pembatalan paslon bagi yang terbukti melakukan politik uang (menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya) untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih. Namun ketentuan tersebut mengandung pemberatan syarat sebab sanksi administrasi pembatalan paslon hanya bisa dilakukan atas pelanggaran politik uang yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif (vide Pasal 135A ayat (1)). Frasa “dan” menunjukkan sifat kumulatif dalam pelanggaran dimaksud. Penjelasan Pasal 135A ayat (1) menerjemahkan “terstruktur” sebagai kecurangan yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelenggara pemilihan secara kolektif atau secara bersama-sama. “Sistematis” adalah pelanggaran yang direncanakan secara matang, tersusun, bahkan sangat rapi. Dan “masif” adalah dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil pemilihan bukan hanya sebagian-sebagian. Jika merujuk definisi pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif itu, bisa disimpulkan sepanjang politik uang tidak dilakukan aparat struktural, tidak direncanakan matang, atau tidak luas pengaruhnya maka calon yang melakukan politik uang tidak bisa dibatalkan kepesertaannya. Alias ada ruang toleransi, bahkan bisa disebut legalisasi politik uang sepanjang tidak terstruktur, sistematis, dan masif. Ambiguitas dan kekacauan pengaturan tidak berhenti di situ. Legalisasi politik uang berlanjut dengan kehadiran Penjelasan Pasal 73 ayat (1) yang mengatur bahwa tidak termasuk “memberikan uang atau materi lainnya” meliputi pemberian biaya makan minum peserta kampanye, biaya transpor peserta kampanye, biaya pengadaan bahan kampanye pada pertemuan terbatas dan/atau pertemuan tatap muka dan dialog, dan hadiah lainnya berdasarkan nilai kewajaran dan kemahalan suatu daerah yang ditetapkan dengan Peraturan KPU. Pengaturan ini merupakan selimut praktik politik uang dengan dalih sulit menghadirkan pemilih apabila tidak disediakan biaya makan minum dan transpor. Pendekatan yang mengkhianati konsep kampanye sebagai bagian pendidikan politik untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program calon. Pemberian biaya makan minum dan traspor sebagai pengecualian politik uang menunjukkan ketidakpercayaan diri politisi dalam berkampanye. Pengecualian biaya makan minum, transpor, dan hadiah dari definisi politik uang membuat kampanye hanya dimaknai kehadiran fisik pemilih entah bagaimanapun caranya. Sehingga ketika pemilih sulit dihadirkan, biaya makan minum, transpor, dan hadiah menjadi iming-iming. Padahal kampanye bukanlah kerja politik instan yang dilakukan sebatas masa kampanye. Kampanye merupakan kerja panjang politik yang menyaratkan konsistensi dan perilaku humanis untuk meninggikan derajat politik pemilih. Pemilih bukan sekedar lumbung suara tapi subyek pemilihan sebagai mitra setara calon. Kampanye bukan cuma kebutuhan calon, tapi sebagai ruang agregasi kepentingan pemilih atas calon. Medium bertemunya dua kepentingan dalam membangun tawar menawar arah kebijakan 2
politik dan pelayanan publik kedepan. Kehadiran Penjelasan Pasal 73 ayat (1) merupakan kegagalan pembuat UU dalam menggunakan instrumen kampanye sebagai sarana mewujudkan integritas pilkada. Alih-alih menjadikan pemilih sebagai subyek, UU ini malah memosisikan pemilih sebagai obyek yang didekati dengan makan minum, transpor, dan hadiah. Padahal tanpa membuat pengaturan seperti itupun, pembiayaan pertemuan tata muka dan pertemuan terbatas antara calon dan pemilih telah diatur sangat baik dalam Peraturan KPU dengan mendasarkan pada standar biaya daerah. Bahkan KPU telah mengatur bahwa setiap bahan kampanye yang dibuat calon apabila dikonversikan dalam bentuk uang nilainya tidak boleh melebihi Rp25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah). Pendekatan Nontunai Bagaimana berikutnya? Harapan tinggal pada KPU dan Bawaslu untuk mengatur lebih lanjut dan menutup ruang-ruang kecurangan yang mungkin terjadi. Sebagai turunan UU, Peraturan KPU harusmenerjemahkan Penjelasan Pasal 73 ayat (1) dengan pendekatan nontunai. Bahwa segala hal berupa biaya makan minum peserta kampanye, biaya transpor peserta kampanye, biaya pengadaan bahan kampanye pada pertemuan terbatas dan/atau pertemuan tatap muka dan dialog, dan hadiah; tidak boleh diberikan secara tunai kepada pemilih. Segala biaya tersebut harus berupa sarana dan prasana yang diatur pembatasan jumlahnya oleh KPU. Sehingga tidak ada keterlibatan uang tunai antara pemilih dan calon. Jika ada pemberian uang tunai maka dikategorikan politik uang. Selain itu, uang makan minum atau transpor biayanya tidak boleh melampaui Rp25.000,00 perpemilih sebagaimana pengaturan KPU untuk bahan kampanye. Melalui pengaturan ini, diharapkan calon dan timnya bisa fokus melakukan kampanye yang menempatkan pemilih sebagai insan mulia. Bukan cuma dinilai dari sejumlah biaya makan minum, transpor, dan hadiah. Kompetensi dan Sumberdaya Menjadi keinsyafan bahwa efek jera atas praktik politik uang tak cukup hanya dengan menghukum si pemberi dan penerima (sebagaimana pengaturan dalam perubahan kedua UU Pilkada vide Pasal 187A, 187B, dan 187C). Pasal 187A (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi Pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (2) Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 187B
3
Anggota Partai Politik atau anggota gabungan Partai Politik yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Pasal 187C Setiap orang atau lembaga yang terbukti dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum memberi imbalan pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota maka penetapan sebagai calon, pasangan calon terpilih, atau sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota atau Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (5), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan pidana penjara paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Sanksi pidana badan (kurungan/penjara) atau denda tak akan pernah memberi dampak jera pada para pelaku. Mengutip pernyataan yang sering dilontarkan Ramlan Surbakti, guru besar ilmu politik Universitas Airlangga, peserta pemilihan hanya takut pada dua hal, yaitu tidak bisa menjadi peserta pemilu (entah tidak lolos atau dibatalkan) dan ditinggalkan oleh pemilih. Peserta pemilihan, calon, juga tim kampanye akan jera kalau hukum secara tegas bisa mengeliminir mereka dari proses kompetisi dan melarang mereka menjadi/mengusung calon di pemilu/pilkada berikutnya. Kewenangan eksekutorial ini merupakan penguatan paling kongkrit atas eksistensi Bawaslu sebagai badan pemutus yang sejak lama diminta. Namun penguatan kewenangan saja tidak cukup. Kewenangan baru ini harus diperkuat dengan kemampuan pengusutan dan pengkajian perkara oleh Bawaslu dan akses pada lembaga lain yang mampu menelusuri aliran uang dan transaksi ilegal pilkada. Untuk optimalisasi, kewenangan baru Bawaslu harus diikuti dengan pembenahan kompetensi dan sumberdaya. Kompetensi berkaitan antara lain dengan seberapa besar kewenangan Bawaslu bisa memaksa kepatuhan pihak lain. Seberapa besar aksesnya pada data perbankan dan transaksi keuangan. Lalu seberapa mampu dia melakukan kegiatan-kegiatan pencegahan seperti pendidikan, penyuluhan, ataupun penyitaan. Tak kalah pentingnya, seberapa banyak staf dan dana yang tersedia. Berkaitan dengan kemampuan memaksa kepatuhan dan dimensi pencegahan, India bisa jadi contoh. KPU India misalnya boleh menyita uang tunai lebih dari USD1.000 yang dipegang seseorang tanpa alasan yang jelas selama masa kampanye pemilu. Sejauh ini (sejak 4 Maret), lebih dari USD. 100 juta telah disita di lima negara bagian yang sedang menyelenggarakan pemilu (Adhy Aman, 2016). Indonesia memang belum memiliki pengaturan itu, namun Bawaslu bisa mengoptimalkan keberadaan Pasal 146 dan Pasal 152 UU No. 10 Tahun 2016 yang menyebutkan:
4
Pasal 146 (1) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia yang tergabung dalam sentra penegakan hukum terpadu dapat melakukan penyelidikan setelah adanya laporan pelanggaran Pemilihan yang diterima oleh Bawaslu Provinsi maupun Panwas Kabupaten/Kota. (2) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam menjalankan tugas dapat melakukan penggeledahan, penyitaan, dan pengumpulan alat bukti untuk kepentingan penyelidikan maupun penyidikan tanpa surat izin ketua pengadilan negeri setempat. Pasal 152 (1) Untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana Pemilihan, Bawaslu Provinsi, dan/atau Panwas Kabupaten/Kota, Kepolisian Daerah dan/atau Kepolisian Resor, dan Kejaksaan Tinggi dan/atau Kejaksaan Negeri membentuk sentra penegakan hukum terpadu. (2) Sentra penegakan hukum terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melekat pada Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Panwas Kabupaten/Kota. (3) Anggaran operasional sentra penegakan hukum terpadu dibebankan pada Anggaran Bawaslu. (4) Ketentuan mengenai sentra penegakan hukum terpadu diatur dengan peraturan bersama antara Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Ketua Bawaslu. (5) Peraturan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat. Keberadaan Bawaslu/Panwas sebagai leading sector keberadaan Sentra Gakkumdu harusnya bisa dioptimalkan untuk melakukan penegakan hukum. Ini dikarenakan terjadi perubahan “mekanisme dan pola kerja Sentra Gakkumdu, yang semula sebatas forum koordinasi, kini menjadi rumah untuk menghubungkan fungsi penegakan hukum pidana pilkada. Mestinya kedepan tidak ada lagi hambatan berarti dalam melakukan penegakan hukum pidana pilkada atas praktik politik uang yang terjadi. Meski juga harus dihindari banyaknya pemilih yang terjebak pidana hanya karena minimnya sosialisasi dan pendidikan pilkada menyangkut ketentuan baru dalam Pasal 187A UU No. 10 Tahun 2016. Penjara kita sudah over load dengan pelaku narkoba, jangan sampai semakin penuh dengan tambahan isi pelaku dan penerima politik uang. Karenanya konsistensi peserta pilkada, partai politik, penyelenggara, seluruh pemangku kepentingan untuk melakukan kerja kolaboratif mewujudkan pilkada berintegritas menjadi tantangan tersendiri.
5