Socio-Economic Infrastructure Journal R E S E A R C H I N S T I T U T E O F P O L I C Y S T U D I E S A N D T E C H N O L O G Y I M P L E M E N TAT I O N
Pengembangan Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-3241-1994 Untuk Standarisasi Pemilihan Lokasi Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPAS) Regional Fitijani Anggraini dan Sri Darwati
Alternatif Dasar Perhitungan Pemberian Tunjangan Kehilangan Pendapatan Warga Terkena Dampak Pembangunan M. Andri Hakim dan Andi Suriadi
Penataan Kawasan Permukiman Kumuh Untuk Mendukung Permukiman Yang Layak Ditinjau Dari Aspek Sosial dan Budaya, Ekonomi dan Lingkungan (Studi Kasus : Kelurahan Pusong Lama Kabupaten Kota Lhoksemawe Propinsi NAD dan Kelurahan Kijang Kota dan Tembeling Tanjung Kabupaten Bintan Propinsi Kepulauan Riau ) Irwan Kusdariyanto Analisis Kesediaan Membayar Biaya Operasional-Pemeliharaan Infrastruktur Permukiman Pada Masyarakat di Kawasan Kumuh (Studi Kasus : Permukiman Pampang dan Lette, Makassar) Arvian Zanuardi dan Reinita A�if Aulia
Analisa Keberhasilan Program Kampung Deret Petogogan Menggunakan Pendekatan Evaluasi Pasca Huni Harri A Setiadi dan Arip Pauzi Rachman
Peran Masyarakat Dalam Pengawasan Terhadap Fungsi dan Pengendalian Pemanfaatan Lingkungan Jalan Dica Erly Andjarwati
INDEKS
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum
Vol. 8
No. 1
Hal. 1 - 78
Jakarta April 2016
ISSN 2085-384X
Terakreditasi No:690/AU2/P2MI-LIPI/07/2015 i
Volume 8 Nomor 1 April 2016
ISSN : 2085-384X
Jurnal Sosial Ekonomi PEKERJAAN UMUM Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum (Jurnal Sosek PU) adalah media publikasi ilmiah hasil - hasil penelitian dan pengembangan (litbang) kebijakan dan kajian penerapan teknologi bidang infrastruktur pekerjaan umum dan perumahan rakyat (PUPR). Pada tahun 2009, jurnal ini terbit perdana dengan nama “Komunitas”. Pada tahun 2012, karena adanya perubahan tugas pokok dan fungsi unit eselon 2, nama Jurnal berubah menjadi Jurnal Sosial Ekonomi PU yang diterbitkan secara berkala 2 (dua) edisi setiap volumenya yaitu April dan November. Penanggung Jawab Ir. Bobby Prabowo, CES Dewan Editor Ketua : Ir. Agus Bari Sailendra, M.T, bidang kepakaran : teknik transportasi Anggota : Prof (R). Dr. Ir. Arif Sabarudin, CES bidang kepakaran : struktur dan kontruksi Dr. Ir Achmad Helmi, M.Sc, M.Si, bidang kepakaran : ekonomi tranportasi Dra. Heni Rengganis, bidang kepakaran : teknik hidrologi Ir. Joyce Martha Widjaya, M.Sc, bidang kepakaran : drainase Mitra Bestari Prof. Dr. Ir. Effendi Pasandaran, bidang kepakaran : ekonomi pertanian Prof. Dr. Paulus Wirotomo, M.Sc, bidang kepakaran : sosiologi Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc, bidang kepakaran : ekonomi lingkungan Ir. Hastu Prabatmodjo, MS, Ph.D, bidang kepakaran : pengembangan wilayah dan kota Prof. Dr. Sunyoto Usman, MA, bidang kepakaran : sosiologi Prof. Dr. Dody Prayogo, MPSt, bidang kepakaran : sosiologi Prof (R). Ir. R. Pamekas, M.Eng, bidang kepakaran : lingkungan ASSOC. Prof. DR. Eng. Ir. Budi Prayitno : bidang kepakaran : perumahan dan perkotaan I Wayan Susi Dharmawan, S. Hut, M.Si : bidang kepakaran : kehutanan Prof. (R).Dr.-Ing. Andreas Wibowo, ST,MT : bidang kepakaran : manajemen konstruksi Redaksi Pelaksana Ketua : M. Isa Iskandar Sabana, SE, M.Si Anggota : Appun Ubawaty, ST, MA Widiani Purnomosari, ST, MA, MSE Dwi Rini Hartati, ST Dicky Fransisco Simanjuntak, SIP RR. Sandi Previadiati, SE, ME Noordama, A. Md Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum diterbitkan oleh Puslitbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Alamat Redaksi/Penerbit: Puslitbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Gedung Heritage lantai 3, Wing Barat Jl. Patimura No. 20, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp. (021) 72784641 Fax. (021) 72784644, Email:
[email protected]
ii
Volume 8 Nomor 1 April 2016
ISSN : 2085-384X
JURNAL SOSIAL EKONOMI PEKERJAAN UMUM Vol.8 No.1 April 2016 PENGEMBANGAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) 03-3241-1994 UNTUK STANDARISASI PEMILIHAN LOKASI TEMPAT PEMROSESAN AKHIR SAMPAH (TPAS) REGIONAL Fitrijani Anggraini dan Sri Darwati Community resitance to determine the Final of Solid Waste Processing Site (FSWPS) exists along the hard and expensive investment on waste management in Indonesia. Therefore, one of proposed solution is regional FSWPS and it also indicates that the National Standard (NS) of Regional FSWPS no 03-3241-1994 which regulate the procedure of FSWPS selection should be improved. Within this study, the exponential comparative methode (ECM) on screening parameters and sustainibility aspect among 10 (ten) FSWPS is used to formulate particular index. Furtermore, the NS sustainable index is compared with the FSWPS’s sustainable index. The result comes up with the conclusion that if the existing SNI being used to for the development of Regional FSWPS, the average of sustainable index of existing SNI need to be increase to 419,1 indexs of scale. The indexs scale of each sustainable aspect 125,2 of the technical and financial aspect, 255,9 for environmental aspect, 517,0 for economic aspect, 386,7 for social aspect and 810,80 for institutional aspect. Keywords: policy, standard, Final Solid Waste of Processing Site (FSWPS), regional, sustainability.
\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\
ALTERNATIF DASAR PERHITUNGAN PEMBERIAN TUNJANGAN KEHILANGAN PENDAPATAN WARGA TERKENA DAMPAK PEMBANGUNAN WADUK M. Andri Hakim dan Andi Suriadi The regulations related to the handling of social problems of impacted residents by infrastructure development imply the necessity to provide compensations as consequence of the loss of allowance income. The problem is what basic is used to calculate the appropriate financial compensation so that permanent residents can live well in the new location. This article offers a basic calculation of the cost of living for residents affected at the construction site Jatigede (West Java) and analysis of farming at the construction site Jabung Ring Dike (East Java). The research used random sampling survey multistratified proportionally. Data were analyzed using descriptive statistics with SPPS. The results show that the amount needed by household is Rp 1.382.483,00 – Rp 2.202.614,00 per mounth and analysis of farming is Rp 4.487.892,00 - Rp 16.006.790,00 per harvest. This data may be worthwhile to be used as references in determining the amount of compensation It is expected that on one hand the level of life of impacted residents is not getting worse, and on the other hand the use of government finances becomes more effective. Keywords: compensation, the necessities of life, farming, Jatigede, Jabung Ring Dike, impacted residents
\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\
PENATAAN KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH UNTUK MENDUKUNG PERMUKIMAN YANG LAYAK DITINJAU DARI ASPEK SOSIAL DAN BUDAYA, EKONOMI DAN LINGKUNGAN (STUDI KASUS : Kelurahan Pusong Lama Kabupaten Kota Lhoksemawe Propinsi NAD dan Kelurahan Kijang Kota dan Tembeling Tanjung Kabupaten Bintan Propinsi Kepulauan Riau) Irwan Kusdariyanto Structuring slum settlement is a need to anticipate the demands of the increasing competitiveness of city. Several studies on the restructuring of the slum area more technical aspects of the program but non-physical aspects play an important role in the implementation of the settlement technology. The study aims to describe the typology of slums, mapping the major issues in the slum. This study included research multiple case study, mixed method research approach. Results of the analysis of regional typology picture in the Aceh province, the environmental aspect has a higher value to the characteristics of most of the coastal areas causing the frequency of occurrence of disasters, the existence of epidemics and diseases that often occur. This is to the density and condition of the building of settlements less habitable for it requires a source of capital to repair the building by empowering the community economic potential. Riau Islands Province, environmental aspects need attention like any disasters that occur each year as a tornado that causes the condition of the building to be damaged. The community have not taken advantage of the economic infrastructure such as co-operatives to make this source of capital in developing the economic potential of the community. Problems and potential handling in Province Aceh, the main problem of waste, namely waste management, residential buildings, drainage. Potential handling is done by trying to see the level of preparedness of the public and residential areas where the level of squalor condition of readiness levels of society need to be prepared before making the arrangement slum for handling problems and potential in Riau Islands main problems of drainage, solid waste management. Potential treatment by trying to see the level of preparedness of the community and the neighborhood slum settlements, the condition of untidiness level still needs attention because the supporting infrastructure of settlements is not available. Keywords: structuring Regions, Development and Settlement Development, Sustainable
iii
ISSN : 2085-384X
Volume 8 Nomor 1 April 2016
Analisis Kesediaan Membayar Biaya Operasional-Pemeliharaan Infrastruktur Permukiman pada Masyarakat di Kawasan Kumuh (Studi Kasus : Permukiman Pampang dan Lette, Makassar) Arvian Zanuardi dan Reinita Afif Aulia Indonesian effort on slum-free realization is still constrained by many cases of unsustainable slum treatment programs. Slum area that has been handled can be potentially back to slum because of the infrastructures that are not optimally functionate or damaged. Community participation on supporting the operational-maintenance (OM) cost is necessary to ensure the sustainability of the infrastructure services. This study aimed to analyze the communities willingness to participate on the infrastructure OM cost and its influencing factors. The case study are conducted in Pampang and Lette slum areas, in the city of Makassar. The method used is descriptive statistics and regression analysis. The results showed that the Willingness To Pay (WTP) value is still lacking with average of Rp. 9.404,75/KK (Pampang) and Rp. 6.634,62/KK (Lette). Factors that affecting the WTP are the income (koef. +924,127), the ownership of capital and economic support (koef, -2.377,269), and the awareness of living in slum area (koef. +1.754,219). Even though ten predictor variables were analyzed and only three of them have significant influence, the level of colinearity in the analysis model is tolerated. Keywords : slum treatment, sustainability, Willingness To Pay (WTP), operational-maintenance cost, regression analysis, predictor variables \\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\
TERITORIANALISA KEBERHASILAN PROGRAM KAMPUNG DERET PETOGOGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN EVALUASI PASCA HUNI Harri A Setiadi dan Arip Pauzi Rahman Petogogan area (RW 05) into non slum housing. Personally, the PRH Program according to the then Governor of Jakarta Province, considered as the most good-looking when it compared with other similar row housing, and as a housing model to built above slum housing, and would be replicated in other slum area within Jakarta Province. Research conducted to quantify the beneficiaries total satisfaction to the PRH Program and to find out the main contributor of the satisfactory to the PRH Program, all analyze within Post Occupancy Evaluation (POE) perspective and using Multivariable Regression Analysis (MRA) analytical tool. Conceptually a relationship exist between successfulness of a program and satisfaction of beneficiaries, therefore 25 indicators were used for the purpose of measuring successful level of PRH program based upon the satisfactory level of beneficiaries. In general, research revealed that variability of total satisfaction to the PRH Program can be explained by 69% regression formula using 25 indicators, and predicted, assuming all of the indicator value are constant, that Housing design is the main predictor-variable with significant contribution of total satisfaction to the PRH Program. Some improvement were needed for the betterment of the future program as all of those are reduction factor of total satisfaction to the PRH Program, such as construction process exceed the time limit, some part of construction below the required standard, some low quality building material are used in construction. Keywords :Petogogan Row Housing, slum housing, Post Occupancy Evaluation, succes and satisfactory level, Multivariable Regression Analysis \\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\
Peran Masyarakat dalam Pengawasan Terhadap Fungsi dan Pengendalian Pemanfaatan Lingkungan Jalan Dica Erly Andjarwati One of the challenges the sector of Indonesia is the road infrastructure services in improving the effectiveness of the benefits and functions of the street. Many roads are stil less than optimal which is still having traffic and the economic level of the community around the road is still stagnant. It caused budget wasted if the operationalization is not effective. Already provided the criminal provisions if road management is not effective for the benefit, service of traffic and boost economic growth (public welfare). One way to overcome these problems by providing opportunities for people to participate in the process and stages of road management. Monitoring stage is the stage of implementation of the road which opens the greatest opportunities for the inclusion of the role of society. This study aims to determine the level of the community’s role in the monitoring of the functions and control benefit road, the causes, and the solutions This study uses a quantitative method with questionnaires in two (2) locations, Semarang and Bali. The results showed that t he community’s role in the oversight of the functions and control the use of the road is still low due to lack of knowledge about the complaints procedure and is still a lack of “trust” the people against the government.. Keywords: Road, role of civil society, monitoring
iv
Volume 8 Nomor 1 April 2016
ISSN : 2085-384X
Jurnal Sosial Ekonomi PEKERJAAN UMUM DAFTAR ISI
Pengembangan Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-3241-1994 Untuk Standarisasi Pemilihan Lokasi Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPAS) Regional Fitijani Anggraini dan Sri Darwati
1- 14
Alternatif Dasar Perhitungan Pemberian Tunjangan Kehilangan Pendapatan Pendapatan Warga Terkena Dampak Pembangunan Waduk M. Andri Hakim dan Andi Suriadi
15-23
Penataan Kawasan Permukiman Kumuh Untuk Mendukung Permukiman Yang layak Ditinjau Dari Aspek Sosial dan Budaya, Ekonomi dan Lingkungan (Studi Kasus : Kelurahan Pusong Lama Kabupaten Kota Lhoksemawe Propinsi NAD dan Kelurahan Kijang Kota dan Tembeling Tanjung Kabupaten Bintan Propinsi Kepulauan Riau) Irwan Kusdariyanto
25-36
Analisis Kesediaan Membayar Biaya Operasional-Pemeliharaan Infrastruktur Permukiman Pada Masyarakat di Kawasan Kumuh (Studi Kasus : Permukiman Pampang dan Lette, Makassar) Arvian Zanuardi dan Reinita Afif Aulia
37-49
Analisa Keberhasilan Program Kampung Deret Petogogan Menggunakan Pendekatan Evaluasi Pasca Huni Harri A Setiadi dan Arip Pauzi Rahman
51-61
Peran Masyarakat Dalam Pengawasan Terhadapa Fungsi dan Pengendalian Pemanfaatan Lingkungan Jalan Dica Erly Andjarwati
63-75
INDEKS
77
v
Volume 8 Nomor 1 April 2016
ISSN : 2085-384X PENGANTAR REDAKSI
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum Vol.8 No.1 April 2016. Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum adalah jurnal ilmiah terakreditasi (berdasarkan Keputusan Kepala LIPI No.818/E/2015 tanggal 15 Juli 2015) yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan dan Penerapan Teknologi (PKPT) - Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). PKPT merupakan metamorfosa dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi dan Lingkungan. Meskipun telah berubah nama institusi, namun jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum masih dipandang relevan dengan tugas pokok dan fungsi PKPT sehingga keberadaannya tetap dipertahankan. Mulai tahun 2016 Jurnal ini akan terbit 2 kali dalam setahun, yaitu bulan April dan November.
Edisi pertama tahun 2016 ini memuat isu-isu yang berkaitan dengan Pengembangan Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-3241-1994 untuk Standarisasi Pemilihan Lokasi Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPAS) Regional, Alternatif Dasar Perhitungan Pemberian Tunjangan Kehilangan Pendapatan Warga Terkena Dampak Pembangunan, Penanganan Penataan Kawasan Permukiman Kumuh untuk mendukung dari aspek Sosial dan Budaya Ekonomi dan Lingkungan, Analisis Kesediaan Membayar Biaya Operasional-Pemeliharaan Infrastruktur Permukiman Pada Masyarakat di Kawasan Kumuh, Analisa Keberhasilan Program Kampung Deret Petogogan Menggunakan Pendekatan Evaluasi Pasca Huni, Peran Masyarakat Dalam Pengawasan Terhadapa Fungsi dan Pengendalian Pemanfaatan Lingkungan Jalan.
Tulisan pertama mengulas tentang sulit dan mahalnya pemilihan lokasi Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPAS), munculnya penolakan masyarakat terhadap keberadaan TPAS juga menjadi persoalan serius. Tulisan ini ditujukan untuk mengembangkan SNI 03-3294-1994 sebagai bahan acuan pemilihan TPAS Regional. Dengan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) terhadap parameter penyisih maupun aspek keberlanjutan pada SNI 03-3241-1994 dan pada 10 (sepuluh) TPAS Regional. Selanjutnya, tulisan kedua mengulas tentang Terbitnya berbagai peraturan yang terkait dengan penanganan masalah sosial warga yang terkena dampak pembangunan infrastruktur membawa implikasi terhadap perlunya pemberian uang santunan, khususnya tunjangan kehilangan pendapatan. Permasalahannya adalah dasar apa yang digunakan dan bagaimana cara menghitung jumlah tunjangan kehilangan pendapatan agar warga tetap dapat hidup layak di lokasi yang baru. Untuk itu, tulisan ini menawarkan dasar perhitungan berupa biaya kebutuhan hidup terhadap warga terkena dampak di lokasi pembangunan Waduk Jatigede (Jawa Barat) dan analisis usaha tani di lokasi pembangunan Jabung Ring Dike (Jawa Timur). Untuk mendapatkan hasil perhitungan, dilakukan survei multistratified random sampling secara proporsional. Data dianalisis menggunakan statistik deskriptif dengan bantuan SPPS. Isu ketiga menjelaskan tentang tipologi kawasan kumuh, melakukan pemetaan permasalahan utama/prioritas pada kawasan kumuh. Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian multiple case study, Pendekatan penelitianmixed method. Hasil analisis gambaran tipologi kawasan di Propinsi Nanggro Aceh Darussalam, aspek lingkungan memiliki nilai lebih tinggi dikarenakan karakteristik sebagian wilayah pantai menyebabkanfrekuensi terjadinya bencana, keberadaan wabah penyakit, dan penyakit yang sering terjadi. Hal ini disebabkan kepadatan dan kondisi bangunan permukiman yang kurang layak dihuni untuk itu membutuhkan sumber modal untuk memperbaiki bangunan dengan memberdayakan
vi
Volume 8 Nomor 1 April 2016
ISSN : 2085-384X
potensi ekonomi masyarakat.SedangkanPropinsi Kepulauan Riau, memerlukan perhatian aspek lingkungan seperti adanya bencana yang terjadi setiap tahunnya seperti angin puting beliung yang menyebabkan kondisi bangunan menjadi rusak.
Tulisan keempat menguraikan mengenai upaya merealisasikan Indonesia bebas kumuh masih terkendala oleh banyak tidak terpenuhinya keberlangsungan program penanganan. Kawasan yang telah ditata berpotensi kumuh kembali akibat infrastruktur yang tidak berfungsi optimal atau rusak. Partisipasi masyarakat dalam mendukung biaya operasional-pemeliharaan (OP) dirasakan perlu guna menjamin keberlanjutan pelayanan sarana prasarana permukiman yang ada. Penelitian ini bertujuan menganalisis kesediaan masyarakat dan faktor prediktor yang mempengaruhinya dalam partisipasi iuran bulanan biaya OP infrastruktur permukiman. Sementara itu, tulisan kelima yang membahas tentang Program Kampung Deret Petogogan (KDP) berhasil mengubah sebagian kawasan perumahan kumuh RW 05 Petogogan menjadi perumahan yang tidak kumuh. Secara personal, KDP dinilai Gubernur DKI saat itu sebagai kampung deret yang paling bagus dibandingkan model kampung deret lainnya, dianggap sebagai model ideal permukiman yang dibangun diatas lokasi permukiman kumuh dan rencananya akan direplikasi di lokasi Jakarta lainnya yang ada kawasan kumuhnya. Penelitian ini hendak mengungkapkan besarnya tingkat kepuasan warga penerima manfaat terhadap program KDP dan mengetahui faktor-faktor yang menjadi kontributor utama kepuasan terhadap program KDP, analisa dilakukan menggunakan perspektif Evaluasi Pasca Huni (EPH) dan menggunakan Analisa Regresi Multivariabel (ARM).
Isu terakhir membahas tentang pembangunan jalan yang masih kurang optimal yaitu masih terjadi kemacetan dan tingkat perekonomian masyarakat di sekitar jalan tersebut masih stagnan. Hal tersebut mengakibatkan pemborosan anggaran jika tidak efektif operasionalisasiannya. Salah satu cara mengatasi permasalahan tersebut dengan memberikan peluang bagi masyarakat untuk ikut berperan serta dalam proses dan tahapan penyelenggaraan jalan. Tahap pengawasan merupakan tahap penyelenggaraan jalan yang membuka peluang terbesar bagi masuknya peran masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat peran masyarakat dalam pengawasan terhadap fungsi dan pengendalian manfaat jalan, faktor penyebab dan solusinya. Keenam karya ilmiah yang dimuat dalam edisi ini merupakan representasi dari variasi persoalan dan tantangan dalam penyelenggaraan infrastruktur pekerjaan umum dan perumahan rakyat. Dengan diterbitkannya jurnal ini diharapkan memberi motivasi para peneliti di lingkungan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan dan Penerapan Teknologi maupun peneliti di instansi lain untuk melakukan penelitian-penelitian yang memberikan rekomendasi kebijakan terkait bidang Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Akhir kata, pengelola jurnal mengucapkan terima kasih baik kepada seluruh pihak atas kontribusi dalam penerbitan Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum. Selamat membaca semoga dapat menikmati berbagai informasi dan ilmu pengetahuan yang termuat didalamnya .
Jakarta, April 2016
Redaksi Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum vii
Volume 8 Nomor 1 April 2016
ISSN : 2085-384X UCAPAN TERIMA KASIH
Redaksi Pelaksana Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum mengucapkan terimakasih kepada para mitra bestari (peer-reviewer) Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum Volume 8 Nomor 1 April 2016 Prof. Dr. Effendi Pasandaran
Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Prof. Dr. Dody Prayogo, MPSt
Prof (R). Dr. Ir. R. Pamekas, M.Eng
ASSOC. Prof. Dr. Eng. Ir. Budi Prayitno Ir. Hastu Prabatmodjo, MS, Ph.D
Prof. (R).Dr.-Ing. Andreas Wibowo, ST,MT
viii
PENGEMBANGAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) 03-3241-1994 UNTUK STANDARISASI PEMILIHAN LOKASI TEMPAT PEMROSESAN AKHIR SAMPAH (TPAS) REGIONAL The Development of Indonesian National Standard SNI 03-3241-1994 for Standardization Selection in Regional Final Solid Waste Processing Site Location Fitrijani Anggraini1, Sri Darwati2 Puslitbang Perumahan dan Permukiman, Balitbang, Kementerian PUPR Jalan Panyaungan, Cileunyi Wetan, Kabupaten Bandung 1 Email:
[email protected] 2 Email:
[email protected] Tanggal diterima: 15 januari 2016; Tanggal disetujui: 31 maret 2016
ABSTRACT Community resitance to determine the Final of Solid Waste Processing Site (FSWPS) exists along the hard and expensive investment on waste management in Indonesia. Therefore, one of proposed solution is regional FSWPS and it also indicates that the National Standard (NS) of Regional FSWPS no 03-3241-1994 which regulate the procedure of FSWPS selection should be improved. Within this study, the exponential comparative methode (ECM) on screening parameters and sustainibility aspect among 10 (ten) FSWPS is used to formulate particular index. Furtermore, the NS sustainable index is compared with the FSWPS’s sustainable index. The result comes up with the conclusion that if the existing SNI being used to for the development of Regional FSWPS, the average of sustainable index of existing SNI need to be increase to 419,1 indexs of scale. The indexs scale of each sustainable aspect 125,2 of the technical and financial aspect, 255,9 for environmental aspect, 517,0 for economic aspect, 386,7 for social aspect and 810,80 for institutional aspect. Keywords: policy, standard, Final Solid Waste of Processing Site (FSWPS), regional, sustainability.
ABSTRAK Disamping semakin sulit dan mahalnya pemilihan lokasi Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPAS), munculnya penolakan masyarakat terhadap keberadaan TPAS juga menjadi persoalan serius. Salah satu solusinya adalah dengan menerapkan konsep TPAS Regional. Guna mendukung kebijakan tersebut, diperlukan standar nasional Tata Cara Pemilihan TPAS Regional. Standar tersebut dikembangkan dari SNI 03-3241-1994 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah. Kajian ini ditujukan untuk mengembangkan SNI 03-3294-1994 sebagai bahan acuan pemilihan TPAS Regional. Kajian dilakukan dengan metode perbandingan eksponensial (MPE) terhadap parameter penyisih maupun aspek keberlanjutan pada SNI 03-3241-1994 dan pada 10 (sepuluh) TPAS Regional. Kebutuhan kebijakan pengembangan standardisasi dikaji dengan membandingkan indeks keberlanjutan SNI yang ada dengan TPAS Regional. Hasil kajian menyimpulkan bahwa apabila SNI 03-3241-1994 digunakan acuan pengembangan TPAS Regional, maka nilai keberlanjutan SNI rata-rata perlu ditingkatkan menjadi 419,1 skala indeks. Nilai skala indeks untuk masing-masing aspek adalah 125,5 untuk aspek teknis finansial, 255,9 aspek lingkungan, 517 aspek ekonomi, 386,7 aspek sosial dan 810,8 aspek kelembagaan. Kata Kunci : kebijakan, standar, Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPAS), regional, keberlanjutan.
PENDAHULUAN Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah serta peraturan peraturan turunannya, TPAS sampah didefinisikan sebagai Tempat Pemrosesan Akhir sampah. Sistem penimbunan yang diamanatkan adalah sanitary
landfill untuk kota besar metropolitan dan control landfill untuk kota kecil dan sedang. UU No 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, mengamanatkan penutupan TPAS open dumping paling lambat tahun 2013 (pasal 44).
1
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 1 - 14
Permasalahan dalam pengelolaan persampahan adalah mengenai pemilihan lokasi TPAS yang layak secara teknis, ekonomis dan lingkungan. Hal lain berkaitan dengan semakin sulit dan mahalnya untuk mendapatkan lokasi Tempat Pemrosesan Akhir (TPAS) sampah juga letaknya yang semakin jauh telah memperpanjang transportasi dan meningkatkan biaya pengangkutannya. Menurut Safitri (2012), Jangkauan pelayanan lokasi tidak terlalu jauh dari sumber sampah < 20 Km, bila lebih pengumpulan menjadi mahal dan umumnya harus sudah menggunakan transfer station. Menyangkut jarak aman antara TPAS dengan permukiman yang dalam SNI 03-3241-1994 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi TPAS tidak disebutkan. Kajian yang dilakukan menemukan jarak tertentu di sekitar TPAS yang harus dibebaskan dari kegiatan huni menghuni.
Kesulitan mendapatkan lahan TPAS di perkotaan, terutama di kota metro / besar antara lain disebabkan munculnya penolakan dan atau keberatan masyarakat terhadap calon lokasi TPAS. Apabila hal ini tidak ditangani dengan tepat tepat akan menimbulkan konflik sosial.
Salah satu solusinya adalah dengan menerapkan konsep TPAS regional untuk pembuangan sampah dua kota atau lebih pada lintas batas administrasi kota atau bahkan lintas propinsi. Penyelenggara TPAS dilaksanakan secara bersama-sama melalui koordinasi antar pemerintah daerah dan atau propinsi. Hal ini dimungkinkan karena adanya wewenang pemerintah provinsi dalam pengelolaan sampah telah diatur dalam UU Republik Indonesia nomor 18 Tahun 2008 pada pasal 8. Kewenangan tersebut diantaranya menetapkan kebijakan strategi dalam pengolahan sampah sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat; memfasilitasi kerjasama antar daerah dalam satu provinsi, kemitraan, dan jejaring dalam pengelolaan sampah. Wewenang pemerintah provinsi yang lain adalah menyelenggarakan koordinasi, pembinaan, dan pengawasan kinerja kabupaten / kota dalam pengelolaan sampah; dan memfasilitasi penyelesaian perselisihan pengelolaan sampah antar kabupaten / kota dalam propinsi. Sementara itu, Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum (2013), menyebutkan bahwa tujuan pengembangan TPAS Regional adalah untuk (a) Mengakomodasi kota-kota yang memiliki kendala lokasi TPAS yang memenuhi syarat dalam wilayah administrasinya (b) Meningkatkan sinergi antar daerah dalam pengelolaan persampahan (c) Meningkatkan
2
kualitas TPAS dan efisiensi pelayanan persampahan (d) Meningkatkan kemampuan manajemen dan kelembagaan dalam pengelolaan sampah secara regional (e) Memobilisasi dana dari berbagai sumber untuk pengembangan sistem pengelolaan persampahan.
Di dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 21/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan telah ditetapkan satu sasaran yang akan dicapai adalah peningkatan kualitas pengelolaan TPAS, baik sanitary landfill maupun controlled landfill. Salah satu strategi yang ditempuh adalah melalui pengelolaan TPAS regional. Hal ini didasari kenyataan bahwa kota-kota besar pada umumnya mengalami masalah dengan lokasi TPAS yang semakin terbatas dan sulit diperoleh. Melalui kerjasama pengelolaan TPAS antar kota / kabupaten akan sangat membantu penyelesaian masalah dengan mempertimbangkan solusi yang saling menguntungkan. Dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum menggariskan kebijakan dalam pengolahan sampah (bagian ketiga pasal 19-22), bahwa penanganan sampah yang memadai perlu dilakukan untuk perlindungan air baku air minum dan secara tegas dinyatakan bahwa TPAS sampah wajib dilengkapi dengan zona penyangga dan metoda pembuangan akhirnya dilakukan secara sanitary landfill untuk kota besar dan metropolitan dan controlled landfill untuk kota kecil dan sedang. Selain itu perlu pula dilakukan pemantauan kualitas hasil pengolahan leachate secara berkala. Pasal 20 ayat (2), menyebutkan bahwa; pengolahan sampah dilakukan dengan metode yang ramah lingkungan, terpadu, dengan mempertimbangkan karakteristik sampah, keselamatan kerja dan kondisi sosial masyarakat setempat. Sebagai instrumen dalam pencegahan pencemaran lingkungan oleh TPAS didasarkan pada Baku mutu lingkungan hidup antara lain baku mutu air limbah sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pasal 20.
Berdasarkan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka Pemerintah Daerah dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah menurut azas otonomi. Dalam azas otonomi pemerintah daerah memiliki hak, wewenang dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat, sesuai
Pengembangan Standar Nasional (SNI) 03-3241-1994 Untuk Standarisasi Pemilihan Lokasi Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPAS) Regional Fitrijani Anggraini dan Sri Darwati kebutuhan masing-masing daerah.
Permasalahannya adalah bagaimana standardisasi pengembangan TPAS Regional dapat dilakukan? Bagaimana mengembangkan SNI 033241-1994 agar dapat digunakan acuan untk pengembangan TPAS regional tersebut? Bagaimana memilih dan menetapkan parameter penyisih yang diperlukan untuk penapisan? Bagaimana meningkatkan standar keberlanjutan SNI yang ada? Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tulisan ini ditujukan untuk mengembangkan SNI 03-3241-1994 dalam standarisasi Pemilihan Lokasi TPAS Regional dan memanfaatkan hasilnya untuk evaluasi TPAS Regional yang telah beroperasi. Hasil kajian ini ditujukan pula untuk memberi masukan kebijakan penyusunan standar tata cara pengembangan TPAS regional.
KAJIAN PUSTAKA
Standar dan Standarisasi Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan. Oleh karena itu, tata cara dan metode serta spesifikasi teknis termasuk kedalam kategori standar. Standar disusun berdasarkan konsensus dari berbagai pihak yang terkait. Penyusunan standar dilakukan dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesarbesarnya (Undang-undang Nomor 20 Tahun 2014). Standardisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan dan merevisi standar, yang dilaksanakan secara tertib dan bekerjasama dengan semua pihak. Standar Nasional Indonesia (SNI), adalah standar yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional dan berlaku secara nasional.
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa ditinjau dari sudut pandang tujuan, standarisasi ditujukan untuk memperoleh manfaat yang sebesar besarnya bagi kepentingan umum karena menyangkut aspek keamanan, kesehatan, lingkungan hidup dan pengembangan IPTEK. Ditinjau dari sudut pandang kegiatan, standarisasi adalah proses untuk menghasilkan standar yang diperoleh dari hasil kajian atau penelitian untuk menjawab fenomena alam dan masyarakat tertentu atau dengan mengkaji penerapan standar yang ada dalam praktek.
Faktor-faktor Penentu Pemilihan Lokasi TPAS Faktor teknis, finansial dan lingkungan Faktor teknis, pada umumnya menjadi faktor penentu utama pemilihan lokasi TPAS karena berhubungan dengan aspek desain dan biaya investasi. Faktor teknis berhubungan erat dengan kondisi lingkungan fisik seperti jarak ke penduduk yang dilayani, hidrogeologi, morphologi dan topografi. Oleh karena itu, faktor teknis sangat erat kaitannya dengan proteksi dampak lingkungan. Upaya desain untuk mengantisipasi timbulnya dampak lingkungan tersebut adalah dengan menyediakan prasarana penunjang TPAS termasuk peralatan seperti jembatan timbang, bulldozer dan dozer.
Adrian Hadi (2014), menegaskan bahwa landasan pemilihan lokasi TPAS Sampah teoriteori lokasi berdasarkan teori lokasi optimum, teori Cristaller dan teori Loch yang menghasilkan parameter jarak (aksesibilitas) penduduk dilayani, treshold, serta hirarki. SNI 03-3241-1994 juga dikembangkan berdasarkan teori-teori tersebut dan menempatkan faktor teknis, aksesibilitas dan sosio demografi sebagai faktor penentu pemilihan lokasi TPAS.
Dalam pemilihan lokasi TPAS Regional, Elis Hastuti dan Nurhasanah, 2011, Agus Bambang Irawan dan Andi Renata Ade Yudono (2014) menegaskan bahwa penataan ruang beserta zonasinya seperti kawasan penyangga dan kawasan budidaya perlu dimasukkan kedalam faktor penentunya. Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan seperti pencemaran lintas daerah, kelangkaan sumber air. Dalam praktek, buffer zone dan free zone diaplikasikan pada zona proteksi perumahan maupun zona proteksi kawasan. Zonazona tersebut berfungsi pula mencegah terjadinya genangan/ banjir dan longsor. Jarak terluar minimum terhadap titik pengambilan air sebesar 50 hari pengaliran mampu memperlemah daya tahan bakteri. Zonasi tersebut juga dibatasi kepadatan penduduk yaitu maksimum 30 orang/ha. Irawan, A.B. dkk (2014) menegaskan perlunya memperhatikan parameter kedudukan muka air tanah dan kelulusan tanah karena berhubungan pula dengan pencemaran air tanah. Semakin rendah atau dangkal Muka Air Tanahnya dan semakin tinggi kelulusan tanah, maka semakin mudah pencemaran tersebut terjadi. Kelulusan tanah tidak boleh > 10–6 cm/detik.
Lebih lanjut, Wibowo (2008), yang dikutip dari Irawan, A.B. dkk, 2014, menegaskan bahwa
3
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 1 - 14
jenis batuan sangat berperan dalam mencegah atau mengurangi pencemaran air tanah dan air permukaan secara alami yang berasal dari lindi. Tingkat peredaman sangat tergantung pada attenuation capacity (kemampuan peredaman) dari batuan. Attenuation capacity mencakup permeabilitas, daya filtrasi, pertukaran ion, aborbs dan lain-lain. Oleh karena itu, apabila wilayah ini akan dijadikan TPAS, maka perlu adanya perlapisan yang dapat mencegah / menahan air (kedap air) seperti halnya dengan melapisi wilayah tersebut dengan tanah lempung (Elis Hastuti, 2011).
Selain zona proteksi, kondisi lingkungan fisik seperti daerah pantai, daerah pasang surut, dataran serta perbukitan juga perlu diperhatikan. Tipologi lokasi ini berhubungan erat pula dengan potensi pencemaran air tanah maupun air permukaan.
Dalam hal kebutuhan lahan dan penyediaan lahan TPAS, adanya ruang atau tempat yang luas dan jauh dari permukiman penduduk menjadi syarat pemilihan lokasi TPAS. Dengan adanya keterbatasan lahan di berbagai kota besar, maka tempat penampungan sampah akhir lambat laun menjadi masalah. Lahan untuk TPAS harus memiliki kesesuaian dengan sifat lahan tersebut, sehingga dapat meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkannya. Menurut Hifdziyah (2011), ada beberapa sifat lahan yang sesuai sebagai TPAS sampah yaitu kesesuaian lahan kategori baik apabila terletak di lokasi yang bebas banjir dan longsor, kedalamam air sampai hamparan batuan dan padas keras serta muka air tanah > 150 Cm, permeabilitas > 5 cm/jam kemiringan lereng < 8%. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi, erat kaitannya dengan kondisi kemampuan ekonomi pemerintah daerah setempat dan masyarakat. Kemampuan ekonomi pemda ini berhubungan dengan penentuan teknologi sarana dan prasarana TPAS yang layak secara ekonomis, teknis dan lingkungan. Investasi TPAS harus memenuhi skala ekonomis termasuk tingkat pengelolaan TPAS, dan pengangkutan dari Tempat Pembuangan Sementara (TPS) ke TPAS. Pengelolaan dan pengangkutan berhubungan erat dengan jaringan jalan dan akses jalan ke lokasi TPAS. Kedua aspek ini juga berhubungan dengan arah pengembangan kota dan pencemaran udara seperti bau dan kebisingan serta estetika. Kesesuaian lokasi TPAS dengan arah perkembangan kota berpengaruh terhadap biaya transportasi. Sementara itu, pencemaran bau dan lalat serta bising dapat berdampak pada ilai ekonomi properti milik masyarakat.
4
Faktor Sosial Dalam perkembangan terakhir, pemilihan TPAS banyak mendapatkan resistensi / penolakan tantangan sosial masyarakat, faktor partisipasi masyarakat telah menjadi salah satu faktor penyisih pada SNI 03-3241-1994. Namun faktor penerimaan masyakarat belum secara spesifik ditetapkan sebagai faktor penyisih pada SNI yang ada. Pengadaan lahan TPAS perlu memperhatikan dampak sosial yang mungkin timbul seperti kurang memadainya ganti rugi bagi masyarakat yang tanahnya terkena proyek. Luas lahan yang dibebaskan minimal dapat digunakan untuk menampung sampah selama 10 tahun. Untuk menghindari terjadinya protes sosial atas keberadaan suatu TPAS, perlu diadakan sosialisasi dan advokasi publik mengenai apa itu TPAS, bagaimana mengoperasikan suatu TPAS dan kemungkinan dampak negatif yang dapat terjadi, harus disertai dengan rencana atau upaya pihak pengelola untuk menanggulangi masalah yang mungkin timbul dan tanggapan masyarakat terhadap rencana pembangunan TPAS. Sosialisasi dilakukan secara bertahap dan sebelum dilakukan perencanaan. Faktor kelembagaan
Faktor kelembagaan berhubungan erat dengan kondisi organisasi dan pengelolaan TPAS. Dalam hal ini instansi yang bertanggung jawab atas pengelolaan persampahan di beberapa kota di Indonesia cukup beragam bentuknya. Hal tersebut sesuai dengan kebijakan daerah masing-masing yang kemudian dituangkan dalam bentuk peraturan daerah. Adanya perbedaan bentuk institusi pengelola persampahan ini juga berakibat pada perbedaannya fungsi dan wewenang masing-masing tersebut.
Alternatif Badan Pengelola (operator) TPA regional dapat sebagai berikut (a) Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Propinsi atau UPTD Kabupaten (b) Perusahaan Daerah (Perusda) (c) Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Unit Pengelola Teknis Daerah (UPTD) adalah bentuk baku lembaga pengelola dari instansi pemerintah. Keberadaan UPTD kebersihan yang ada dapat digunakan untuk menangani TPA Regional sebagai langkah awal yang lebih mudah bila dibandingkan dengan membentuk badan usaha baru. Keberadaan UPTD tetap dalam kendali Dinas terkait dan mudah dalam mengontrol pelaksanaannya di lapangan. Lembaga pengelola TPAS Regional meskipun dikelola UPTD tetapi diperkuat dengan Sekretariat Bersama. Harmen dan Arinal Hamni (2011), menyatakan
Pengembangan Standar Nasional (SNI) 03-3241-1994 Untuk Standarisasi Pemilihan Lokasi Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPAS) Regional Fitrijani Anggraini dan Sri Darwati bahwa manajemen pengelolaan yang independen terhadap kepentingan dari setiap kabupaten / kota akan dapat memberikan daya tarik bagi investor dalam mendapatkan nilai tambah dari pengelolaan sampah yang baik, benar dan efisien. Menurut Retta (2014), apabila sebuah lokasi yang telah memenuhi kriteria lama untuk calon lokasi TPAS, kini harus pula menyesuaikan dengan regulasi daerah terkait pemilihan lokasi Tempat Pemrosesan Akhir Sampah di lokasi calon.
Menurut R Pamekas (2013), SNI 03-3241-1994 selain dipakai acuan memlilih dan menetapkan usulan calon TPA, dapat dipakai pula untuk acuan evaluasi resiko lingkungan dari TPA yang telah dibangun.
METODE PENELITIAN
Penelitian tentang TPAS Regional telah dilakukan selama 2 (dua) tahun yaitu dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2009. Kegiatan Litbang ini menghasilkan konsep standar, naskah R-0.
Lokasi TPAS Regional yang dikaji ada 10 (sepuluh), adalah (1) TPA Blang Bintang (Kota Banda Aceh dan Aceh Besar) (2) TPA Payakumbuh (Kota Payakumbuh, Kota Bukit Tinggi, Kota Padang Panjang, Kota Lima Puluh Kota, Kabupaten Agam, Kabupaten Tanah Datar) (3) TPA Sarimukti (Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat) (4) TPA Pekalongan (Kabupaten / Kota Pekalongan dan Batang) (5) TPA Suwung (Kartamantul: Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman dan Bantul) (6) Mamminasata (Kota Makassar, Kabupaten Maros, Sungguminasa / Gowa dan Takalar) (7) TPA Gorontalo (Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango) (8) TPA Suwung, Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan) (9) TPA Bangklet (Kabupaten Bangli, Klungkung dan Karang Asem) (10) TPA Legok Nangka (Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut). Untuk keperluan tersebut perlu dikaji dengan mempertimbangkan penerapan pedoman dan standar dalam praktek. Faktor faktor penyisih yang digunakan dalam pengembangan TPAS Regional dipelajari untuk mengkaji persamaan maupun perbedaannya dengan standar SNI 03-3241-1994.
Data yang digunakan dalam pengembangan SNI 03-3241-1994 ini adalah data parameter penyisih pada SNI 03-3241-1994 maupun pada perencanaan TPAS Regional. Data tersebut dikumpulkan melalui survey instansional, wawancara dan observasi lapangan serta telaah terhadap gambar desain.
Proses pengembangan SNI 03-3241-1994 dilakukan secara bertahap. Pertama, mempelajari parameter penyisih SNI 03-3241-1994 yang terdiri dari kategori umum dan kategori khusus (spesifik). Kedua, melakukan analisis tingkat penting parameter penyisih dengan mengalikan bobot dengan rating maksimum dan rating minimum yang telah ditetapkan dalam SNI tersebut. Indeks penting parameter dihitung dengan formula:
n IPPj (awal) = ∑ ((Bt x Rmaks)j2 + (B x Rmin)j2)/2 ........(1) i=1
IPPj (akhir) = IPPj (awal)/IPPij (maks) ........................... (2)
Dimana:
IPPj : Indeks Penting Parameter ke j (j=1 .....n) B
R
: Bobot parameter ke j yaitu = 1/standar deviasi : Rating parameter ke j yaitu = urutan penting parameter yang diberi angka 1 sampai 10 atau 1 sampai 5
Ketiga, melakukan kategorisasi aspek keberlanjutan TPAS yang meliputi aspek teknis dan finansial (TF), aspek lingkungan (L), aspek ekonomi (E), aspek sosial (S) dan aspek kelembagaan (K) untuk setiap parameter penyisih diberi angka = 1 bila sesuai. Keempat, menghitung Indeks Keberlanjutan TPAS dengan menggunakan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) yaitu: IKTPAS = ∑ Aji x IPPji2 .................................................. (3)
Dimana:
IKjTPAS : Indeks Keberlanjutan TPAS ke j (j=1 .....n)
Aij
: Angka aspek keberlanjutan ke j untuk aspek ke i (i=1 s/d 5)
Kelima, menetapkan peringkat keberlanjutan TPAS berdasarkan nilai IK-TPAS terbesar. Keenam, mengulang tahapan proses analisis ke-1 sampai dengan k-4 untuk TPAS Regional berdasarkan disain maupun pembangunan yang ada. Ketujuh, membandingkan hasil analisis keberlanjutan TPAS berdasarkan SNI 03-3241-1994 dengan hasil analisis keberlanjutan TPAS Regional berdasarkan desain dan pembangunan yang ada untuk setiap aspek. Kedelapan, melakukan sintesa dan penyimpulan dengan menggunakan peryimbangan bahwa selisih antara indeks keberlanjutan TPB berdasarkan SNI 03-3241-1994 dengan desain TPAS Regional menjadi rumusan kebijakan pengembangan SNI 03-3241-1994 untuk acuan perumusan kebijakan standarisasi pengembangan TPAS Regional ke depan. Peringkat parameter penyisih yang
5
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 1 - 14
digunakan analisis pengembangan TPAS Regional yang dibagi menjadi kategori penting, cukup penting dan kurang penting, menjadi pertimbangan dalam proses pemilihan usulan calon TPAS Regional.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tipologi SNI 03-3241-1994
Analisis parameter penyisih SNI 03-32411994 ditujukan untuk mengkaji landasan pertimbangan penetapan parameter penyisih dan isu-isu (permasalahan) yang berhubungan dengan pertimbangan penetapan parameter penyisih. Hasil analisis terhadap 5 (lima) parameter penyisih kategori umum dam 17 (tujuh belas) parameter penyisin kategori khusus, dirangkum pada tabel 1. Berdasarkan hasil analisis tersebut, isu-isu lingkungan fisik yaitu pencemaran air dan tanah serta pencemaran udara (kebisingan, bau, asap) dan estetika serta gangguan habitat maupun potensi perambahan hutan menjadi isu sentral dalam penetapan faktor penyisih. Isu lingkungan tersebut harus ditangani sejak dini yaitu pada saat desain TPAS. Rekayasa desain perlindungan dampak lingkungan tersebut dikenal dengan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dalam praktek AMDAL dan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL)
dalam praktek UKL-UPL (Upaya Pemantauan Lingkungan). Desain TPAS yang bertumpu pada RKL tersebut, pada dasarnya menambah nilai biasa investasi maupun biaya operasi dan pemeliharaan. Pengadaan geotextile pada dasar TPAS, pengadaan Instalasi Pengolahan Air Lindi dan air permukaan yang telah terkontaminasi oleh sampah, pengadaan tanah penutup beserta peralatan pemadatan tanah penutup dan pengadaan sumur pengamat adalah beberapa contoh pelaksanaan RKL. Pengambilan contoh air lindi yang dilanjutkan dengan laboratorium, observasi lapangan yang disertai dengan wawancara kepada masyarakat sekitar TPAS adalah beberapa contoh praktek pelaksanaan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) atau Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL). Kedua kegiatan pemantauan tersebut tentunya memerlukan biaya dan perlu ditambahkan kedalam anggaran biaya operasi dan pemeliharaan TPAS.
Isu-isu sosial seperti keberterimaan dan dukungan masyarakat pada pembangunan TPAS pada SNI 03-3241-1994 belum cukup intensif dibahas, tetapi telah termasuk kedalam parameter penyisih kategori umum, khusunya variabel sosio demografi dan isu pengadaan lahan. Demikian pula halnya dengan isu-isu yang berhubungan dengan aspek kelembagaan maupun isu ekonomi juga belum termasuk kedalam kriteria parameter penyisih SNI-03-3241-1994.
Tabel 1. Analisis Tipologi SNI 03-3241-1994
No
Variabel
Dasar Perimbangan
Isu (permasalahan) Investasi dan lingkungan
5
Wilayah pelayanan, status kepemilikan lahan, umur pakai lahan, jumlah KK yang harus pindah, dukungan masyarakat
Pengadaan dan pemanfaatan lahan serta potensi konflik dengan masyarakat
Hidrogeologi dan pemanfaatan air
5
Volume, daya resap dan kecepatan aliran air serta potensi pemanfaatannya
Pencemaran air, biaya investasi dan Operasi serta pemeliharaan
3
Prasarana Penunjang
2
Ketersediaan tanah dan akses truk ke TPAS
Pencemaran udara, gangguan truk sampah dan biaya social
4
Aksesibilitas jalan ke TPAS
3
Aksesibilitas, rute truk dan kepadatan lalu lintas
biaya investasi, O+P biaya social
5
Produktifitas & Peruntukan lahan
2
Nilai lahan dan perubahan Tata Guna Lahan Sekitar TPAS
Biaya Investasi dan Operasi serta pemeliharaan
6
Kondisi Lingkungan fisik dan biologi
5
Kondisi keamanan, keberadaan kawasan linndung, habitat dilindungi, bising dan bau serta estetika lingkungan
Perlindungan TPAS dan gangguan lingkungan, Biaya perbaikan kerusakan lingkungan
1
Sosio demografi dan isu pengadaan Lahan
2
Total Parameter
Sumber : Hasil analisis, 2016
6
Jumlah Parameter Penyisih
22
Pengembangan Standar Nasional (SNI) 03-3241-1994 Untuk Standarisasi Pemilihan Lokasi Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPAS) Regional Fitrijani Anggraini dan Sri Darwati
TINGKAT KEBERLANJUTAN TPAS Tingkat keberlanjutan TPAS pada SNI tentang tata cara pemllihan lokasi TPAS yang ada, dikaji dari 2 (dua) sisi yaitu pertama: masing-masing aspek-aspek yang terdiri dari teknis finansial, aspek lingkungan, aspek ekonomi, aspek sosial dan aspek kelembagaan. Kedua dari sisi variabel penyisih yang terdiri dari variabel sosio demografi dan isu pengadaan lahan, hidrogeologi dan pemanfaatan air, prasarana penunjang, aksesibilitas jalan ke TPAS, produktifitas dan peruntukan lahan, kondisi lingkungan fisik dan biologi. Sebagaimana tertera pada tabel 2, tingkat keberlanjutan TPAS yang dikaji berdasarkan SNI 03-3241-1994 dan konsep pengembangannya untuk pengembangan standarisasi TPAS Regional, menempatkan variabel aksesibilitas jalan ke TPAS sebagai variabel dengan indeks penting rata-rata (IPP) tertinggi diantara keenam variabel penyisih.
Variabel penting kedua adalah produktivitas dan peruntukan lahan dan variabel penting ketiga adalah prasarana penunjang.
Hasil analisis tersebut membuktikan bahwa pertimbangan biaya investasi dan operasi serta pemeliharaan TPAS mejadi isu paling penting dalam pemilihan lokasi TPAS. Aksesibilitas tidak hanya mencakup penyediaan prasarana jalan saja, melainkan memperhitungkan pilihan rute pengangkutan sampah dan kondisi lalu lintas pada rute yang dipilih. Idealnya, rute pengangkutan sampah dari konsumen ke TPAS dipilih jalur terpendek. Tetapi apabila jalur terpendek memiliki tingkat kemacetan yang tinggi, maka waktu pengangkutan sampah menjadi panjang sehingga tidak ekonomis dan berdampak pada para pengguna jalan karena bau dan estetika. Tingkat ritasi pengangkutan sampah yang seharusnya bisa dua kali atau tiga kali bahkan sampai enam kali dalam satu hari menjadi lebih kecil.
Tabel 2. Rangkuman Hasil Analisis Tingkat Keberlanjutan TPAS
Kode
Variabel
V-1
Sosio demografi dan isu pengadaan Lahan
V-2
Hidrogeologi dan pemanfaatan air
V-3 V-4 V-5 V-6 V-7
Prasarana Penunjang Aksesibilitas jalan ke TPA Produktifitas & Peruntukan lahan Kondisi Lingkungan fisik dan biologi Kemampuan Daerah Total Pengembangan
Indeks Penting Parameter rata rata (IPP-R) 4,98 4,29 4,98 4,29 5,18 4,46 6,36 5,48 5,50 4,74 1,94 1,67 0,00 6,96 4,83 4,83 0,00
Indeks Keberlanjutan Variabel
Aspek Keberlanjutan TF 49,7 49,5 621,0 619,0 268,1 267,3 607,6 605,7 0,0 0,0 75,4 75,2 0,0 130,5 1621,8 1747,2 125,5
L 273,2 272,4 496,8 495,2 214,5 213,8 364,6 363,4 211,9 211,2 94,3 94,0 0,0 261,0 1655,2 1911,1 255,9
E 471,9 470,5 198,7 198,1 107,2 106,9 486,1 484,6 302,7 301,7 56,6 56,4 0,0 522,0 1623,2 2140,2 517,0
S 596,1 594,3 298,1 297,1 160,9 160,4 243,1 242,3 211,9 211,2 45,2 45,1 0,0 391,5 1555,2 1941,9 386,7
K 39,9 198,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 652,5 39,9 850,6 810,8
(IK-V) 1430,8 1584,7 1614,5 1609,5 750,7 748,4 1701,4 1696,0 726,4 724,2 271,5 270,6 0,0 1957,6 6495,3 8591,0 2095,7
Catatan : Teknis finansial (TF), Lingkungan (L), Ekonomi (E), Sosial (S), Kelembagaan (K) Sumber : Hasil Analisis 2016
Lahan TPAS seharusnya bukan lahan produktif untuk pertanian atau sumber usaha lainnya serta peruntukannya bukan untuk lahan permukiman
penduduk. Meskipun peruntukan lahan pertanian di daerah perkotaan semakin berkurang, peruntukan lahan permukiman semakin bertambah sehingga
7
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 1 - 14
mempersulit mendapatkan lokasi ideal bagi calon TPAS. Akibatnya, jarak ke lokasi TPAS menjadi lebih panjang.
Teknologi Intermediate Transfer Station (ITF) atau Sarana Pemrosesan Awal (SPA) menjadi alternatif solusi untuk memperpendek jarak pengangkutan ke lokasi TPAS. Namun, biaya investasi dan operasi serta pemeliharaan teknologi ini relatif cukup mahal. Variabel prasarana penunjang ditempatkan pada peringkat penting ketiga dari enam variabel penyisih TPAS. Ketersediaan tanah penutup menjadi prasyarat utama bagi penerapan teknologi sanitary landfill (SLF). Sementara itu, sesuai dengan undang undang persampahan, semua TPAS yang tidak menerapkan teknologi SLF harus ditutup. Variabel hidrogeologi dan sosio demografi serta pembebasan lahan, keduanya menempati urutan penting keempat. Variabel hidrogeologi adalah persyaratan lokasi terkait dengan potensi pencemaran maupun pemanfaatan sumber daya air di lokasi TPAS. Calon lahan TPAS yang tidak memiliki sumber air atau lahan lahan kritis, sangat ideal untuk lokasi TPAS. Sementara itu, variabel sosio demografi dan pembebasan lahan berhubungan dengan kepemilikan lahan itu. Lahan kritis dan sulit air, tentunya tidak terlalu bermanfaat bagi pemiliknya karena bersifat membebani pemiliknya. Lahan kritis dan sulit air tetap terkena kewajiban membayar pajak. Oleh karena itu, lahan kritis dan sulit air umumnya dimiliki oleh pemerintah sehngga pembebasannya relatif mudah.
Urutan penting kelima adalah kondisi lingkungan fisik calon lokasi seperti kebisingan bau, estetika dan keberadaan habitat dilindungi serta kedekatan dengan kawasan lindung. Kondisi yang dipersyaratkan ini disebut rona lingkungan. Lahan lahan kritis dan sulit air umumnya memiliki tingkat kebisingan dan tingkat kebauan yang rendah, tetapi seringkali memiliki nilai estetika yang tinggi untuk wisata. Dalam banyak hal, seringkali terdapat satwa dan tumbuhan langka yang dilindungi serta berdekatan dengan kawasan yang dilindungi. Penanganan TPAS pada kondisi lingkungan demikian juga memerlukan biaya meskipun tidak berhubungan langsung dengan perekonomian masyarakat.
Potensi dan Implikasi Pengembangan TPAS Regional Tingkat penting variabel penyisih berubungan erat dengan biaya investasi dan operasi serta pemeliharaan. Oleh karena itu, kemampuan kelembagaan dan keuangan daerah menjadi variabel
8
penyisih yang harus diperhitungkan. SNI 03-32411994 belum menempatkan variabel ini kedalam variabel penyisih. Sementara itu, investasi dan pengoperasian serta pemeliharaan TPAS Regional memerlukan persyaratan tersebut. Memasukkan variabel kemampuan kelembagaan dan keuangan daerah berimplikasi pada keberlanjutan pelayanan TPAS Regional. Variabel ini termasuk kategori variabel kelembagaan dan variabel ini menjadi variabel utama (core variable) karena sangat menentukan keberlanjutan pelayanan TPAS Regional. Variabel kelembagaan ini tidak mungkin dapat terlepas dari variabelvariabel lainnya karena berpengaruh pada aspek keberlanjutan lainnya. Kemampuan kelembagaan pengelola TPAS berimplikasi pada aspek ekonomi.
Efisiensi pengelolaan terkait dengan pendayagunaan kekayaan (asset) TPAS menjadi unsur primer yang menjadi persyaratan pengelola. Kualitas dan keberlanjutan layanan pengangkutan sampah adalah unsur sekunder yang disyaratkan bagi lembaga pengelola. Kemampuan lembaga pengelola berimplikasi pula pada aspek lingkungan dan akhirnya pada aspek teknis finansial. Dengan mempertimbangkan aspek-aspek tersebut, maka pengembangan SNI 03-3241-1994 untuk standarisasi pemilihan lokasi TPAS Regional berimplikasi pada nilai keberlanjutan.
Berdasarkan hasil analisis keberlanjutan, terdapat beberapa perubahan nilai indeks keberlanjutan pada variabel-variabel penyisih. Sebagaimana tertera pada tabel 3 indeks keberlanjutan variabel sosial demografi dan variabel kelembagaan meningkat. Hal itu berarti bahwa terdapat penyesuaian atau penurunan nilai indeks penting rata-rata parameter maupun variabel penyisih serta tingkat keberlanjutannya. Meskipun perubahan tingkat keberlanjutan variabel kemampuan daerah cukup tajam, penurunan pada variabel penyisih lainnya relatif kecil. Hal ini membuktikan bahwa pengembangan SNI 03-3241-1994 untuk pemilihan lokasi TPA Regional tidak memerlukan perombakan pada sistem penilaian yang berlaku. Penetapan bobot parameter penyisih dan rating yang digunakan pada SNI 03-3241-1994 tetap sama seperti semula. Perbedaan dengan pemilihan lokasi TPAS Regional terletak pada variable kemampuan daerah. Oleh karena itu, pola penetapan bobot dan parameter penyisih variable kemampuan daerah untuk TPAS Regional dapat mengikuti pola SNI 033241-1994. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga keselarasan penggunaan SNI 03-3241-1994 yang
Pengembangan Standar Nasional (SNI) 03-3241-1994 Untuk Standarisasi Pemilihan Lokasi Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPAS) Regional Fitrijani Anggraini dan Sri Darwati Tabel 3. Perubahan Indeks Keberlanjutan No
Variabel Penyisih
TPAS-SNI
TPAS-Reg
Implikasi Kebijakan
1
Sosio demografi dan isu pengadaan Lahan
1430,8
1584,7
153,9
Naik
2
Hidrogeologi dan pemanfaatan air
1614,5
1609,5
-5,0
Turun
3
Prasarana Penunjang
750,7
748,4
-2,3
Turun
4
Aksesibilitas jalan ke TPAS
1701,4
1696,0
-5,3
Turun
5
Produktifitas & Peruntukan lahan
726,4
724,2
-2,3
Turun
6
Kondisi Lingkungan fisik dan biologi
271,5
270,6
-0,8
Turun
7
Kemampuan Daerah
0,0 6495,3
1957,6 8591,0
1957,6 2095,7
Naik 1,32 x
Total Sumber : Hasil analisis, 2016
1967.6
KEMAMPUAN DAERAH
0.0 270.6 271.5
KONDISI LINGKUNGAN FISIK DAN BIOLOGI PRODUKTIFITAS & PERUNTUKAN LAHAN
724.2 726.4 1696.0 1701.4
AKSESIBILITAS JALAN KE TPA
748.4 750.7
PRASARANA PENUNJANG HIDROLOGI DAN PEMANFAATAN AIR
1609.5 1614.5
SOSIO DEMOGRAFI DAN ISU PENGADAAN
1584.7 1430.8 0.0
500.0
TPA-Reg
Sumber : Hasil analisis, 2016
1000.0
1500.0
2000.0
TPA-SNI
Gambar 1. Grafik Perbandingan Tingkat Keberlanjutan SNI 03-3241-1994 dan TPA Regional
dikembangkan untuk TPAS Regional dengan SNI yang telah ada. Perubahan indeks keberlanjutan tersebut juga berimplikasi pada perubahan peringkat variabel penyisih.
Pada gambar 1 tersebut, tampak peningkatan tingkat keberlanjutan pada aspek sosial ekonomi dan isu pengadaan tanah serta pada aspek kelembagaan. Sementara itu, perubahan pada aspek-aspek teknis
dan lingkungan relatif kecil.
Selanjutnya, analisis perubahan tingkat keberlanjutan yang ditinjau dari peringkatnya, dirangkum pada tabel 4. Dengan memasukkan variabel kemampuan daerah yang meliputi kemampuan keuangan dan kemampuan kelembagaan daerah, maka terjadi pergeseran peringkat diantara variabel-variabelnya.
9
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 1 - 14
Tabel 4. Perubahan Peringkat Variabel Penyisih No 1
Variabel Penyisih
TPAS-SNI
Peringkat
TPAS Regional
Peringkat
1701,4
1
1696,0
2
Aksesibilitas jalan ke TPAS Hidrogeologi dan pemanfaatan air Sosio demografi dan isu pengadaan Lahan
1614,5
2
1609,5
3
1430,8
3
1584,7
4
4
Prasarana Penunjang
750,7
4
748,4
5
5
Produktifitas & Peruntukan lahan Kondisi Lingkungan fisik dan biologi
726,4
5
724,2
6
271,5
6
270,6
7
0,0
7
1957,6
1
2 3
6 7
Kemampuan Daerah
Sumber : Hasil analisis, 2016
Variabel kemampuan daerah yang semua tidak termasuk dalam variabel penyisih SNI 03-32411994 menempati urutan pertama karena dinilai menjadi faktor penentu keberhasilan pengoperasian dan pemeliharaan TPAS Regional. Mengelola TPAS untuk kepentingan bersama bukan hal yang mudah karena berhubungan dengan integritas, kemampuan bekerjasama dan komitmen lembaga untuk mengatasi hal-hal yang tidak diinginkan.
aspek aksesibilitas, hidrologi dan pemanfaatan air, prasarana penunjang, produktifitas dan peruntukan lahan serta persyaratan lingkungan.
Saat ini telah ada beberapa TPAS Regional yang dioperasikan. SNI 03-3241-1994 yang telah dikembangkan selain dapat dipergunakan untuk memilih calon TPAS Regional. Evaluasi dilakukan terhadap 10 (sepuluh) TPAS Regional terpilih.
Pencemaran air lindi, pencemaran bau dan kebisingan serta asap menjadi indikator keberhasilan pengelolaan TPAS. Semakin besar by product yang dihasilkan, maka semakin kecil dampak yang ditimbulkan oleh pengorasian TPAS.
Aplikasi Kebijakan Standarisasi TPAS Regional
Parameter dan variabel input yang digunakan analisis adalah wilayah administrasi pelayanan, luas TPAS yang dioperasikan, bentuk organisasi pengelola dan teknologi yang diaplikasikan. Sementara itu parameter yang digunakan untuk analisis output adalah by product yang dihasilkan dari TPAS Regional.
Wilayah administrasi menjelaskan banyaknya kota atau kabupaten yang sampahnya dikelola oleh satu lembaga pengelola. Luas lahan TPAS menjelaskan kapasitas sampah yang dikelola atau banyaknya penduduk yang dilayani. Bentuk organisasi pengelola menjelaskan tingkat kemampuan lembaga pengelola dalam menjalankan amanah bersama dan profesionalisme lembaga pengelola. Teknologi yang diaplikasikan pada TPAS menjelaskan pemenuhan terhadap persyaratan untuk TPAS yang dalam hal ini mencakup aspek-
10
Produk samping (by product) TPAS menjelaskan pencapaian tujuan pengelolaan TPAS yaitu beroperasinya TPAS sesuai yang diharapkan atau kinerja TPAS. Produk samping ini juga menjelaskan tingkat pencapaian upaya pengelolaan dampak dampak lingkungan yang ditimbulkan dari pengoperasian TPAS.
Apabila pencemaran-pencemaran tersebut masih dapat diamati secara visual dan hasil pemeriksaan contoh juga membuktikan bahwa kualitasnya tidak memenuhi standar baku mutu efluen, maka kinerja TPAS belum sesuai harapan atau kriteria yang berlaku. Apabila sebaliknya, maka kinerja TPAS sudah sesuai harapan dan penerapan teknologi berjalan sesuai dengan yang diharapkan pula. Kemampuan dalam mengoperasikan dan memelihara komponen teknologi TPAS Regional dan variasi by produk yang dihasilkan mencerminkan kemampuan daerah yang bekerjasama dalam aspek pengelolaan keuangan. Sebagaimana tertera pada tabel 5, nilai kinerja input rata rata TPAS lebih besar dari nilai kinerja output yang dihasilkan. Hal tersebut menjelaskan tingkat efisiensi rata rata dari pengelolaan ke-10
Pengembangan Standar Nasional (SNI) 03-3241-1994 Untuk Standarisasi Pemilihan Lokasi Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPAS) Regional Fitrijani Anggraini dan Sri Darwati (sepuluh) TPAS Regional yang dikaji. Secara ideal, nilai kinerja output harus lebih besar dari nilai kinerja inputnya. Nilai efisiensi pengelolaan TPAS Regional berhubungan erat dengan pengelolaan sumberdaya teknis finansial dan berhubungan erat dengan kemampuan daerah dalam mengelola sumber daya TPAS tersebut.
Pada kajian ini, variabel input yang diperhitungkan adalah luas lahan TPA, banyaknya wilayah administratif yang dilayani, bentuk lembaga pengelola dan aplikasi teknologi pengelolaan TPAS Regional. Dari ke-10 (sepuluh) TPAS Regional yang dikaji, terdapat perbedaan urutan peringkat input dan output maupun efisiensinya, lihat tabel 6.
Idealnya, input sumber daya yang dialokasikan untuk TPAS Regional adalah seminimum mungkin tetapi menghasilkan output sebesar besarnya dan seefisien mungkin. Hal tersebut sulit terjadi karena dari kesepuluh TPAS Regional yang dikaji, minimnya alokasi sumber daya input menghasilkan output yang minimal pula.
Input TPAS Kartamantul termasuk kategori paling kecil, demikian pula outputnya. Meskipun demikian efisiensinya berada pada urutan keempat. Komponen input TPAS Kartamantul yang paling berpengaruh adalah luas lahan yang hanya 13 Ha, dan teknologi yang diaplikasikan hanya 1 teknologi yaitu gas-landfill.
Tabel 5. Analisis Input dan Output TPAS Regional
No
Nama TPAS Regional
Nilai Input
Nilai Output
Indeks Kinerja Input
Indeks KInerja Output
1
TPA Suwung, SARBAGITA
8,00
4,00
2015,31
1333,18
2
Mamminasata
9,00
6,00
2267,23
1999,77
3
TPA Piyungan, Kartamantul
5,00
3,00
1259,57
999,89
4
TPA Bangklet, Bangli
6,00
4,00
1511,49
1333,18
5
TPA Talumelito, Gorontalo
7,00
3,00
1763,40
999,89
6
TPA Sarimukti
6,00
3,00
1511,49
999,89
7
TPA Legok Nangka
11,00
5,00
2771,06
1666,48
8
Pekalongan
7,00
4,00
1763,40
1333,18
9
TPA Blang Bintang
7,00
4,00
1763,40
1333,18
10 TPA Payakumbuh
6,00
4,00
1511,49
1333,18
Bobot Awal
15,87
18,26
XR
7,20
4,00
1813,78
1333,18
Stadev
1,75
0,94
441,15
314,23
XR-stadev
5,45
3,06
1372,63
1018,95
XR+stadev
8,95
4,94
2254,93
1647,42
Sumber : Hasil analisis, 2016
Sebaliknya, alokasi sumber daya input yang relatif besar (kasus TPAS Mamminasata), menghasilkan output yang besar. Namun efisiensi yang diperoleh termasuk paling besar atau menempati peringkat pertama. Keadaan ini tentunya yang paling diharapkan karena outputnya lebih besar dari input sehingga rasio output dengan input mendekati 100%. Komponen input TPAS Mamminasata yang berpengaruh adalah luas lahan TPAS yang cukup
besar yaitu 14 Ha, jangkauan wilayah pelayanan yang meliputi kota Makasar, kota kabupaten Maros, kota Sangguminata dan kota Takalar. Teknologi yang diaplikasikan pada TPAS ini juga ada 3 (tiga) teknologi yaitu Sanitary Landfill (SLF), Daur ulang dan gas Landfill. Adanya hubungan fungsional tersebut dijelaskan pada gambar 2 yaitu bahwa peningkatan input sumber daya TPAS Regional cenderung menurunkan efisiensi pengelolaan TPAS Regional.
11
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 1 - 14
Tabel 6. Urutan Peringkat Input, Output dan Efisiensi TPAS Regional No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
TPAS Regional Mamminasata Legok Nangka SARBAGITA Bangli Pekalongan Blang Bintang Payakumbuh Kartamantul Gorontalo Sarimukti
MPE Input 2267,2 2771,1 2015,3 1511,5 1763,4 1763,4 1511,5 1259,6 1763,4 1511,5
Urutan 9 10 8 2 5 6 3 1 7 4
MPE Output 1999,8 1666,5 1333,2 1333,2 1333,2 1333,2 1333,2 999,9 999,9 999,9
Urutan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Efisiensi 88,2% 60,1% 66,2% 88,2% 75,6% 75,6% 88,2% 79,4% 56,7% 66,2%
Urutan 1 9 7 2 5 6 3 4 10 8
Sumber : Hasil analisis, 2016
Banyaknya wilayah yang bergabung untuk dikelola sampahnya secara bersama sama tidak otomatis mampu menaikkan efisiensi pengelolaan. Banyaknya wilayah, secara teoritis menambah jumlah pelanggan dan penerimaan tarif, namun jangkauan operasional semakin luas dan jarak transportasi sampah ke TPAS semakin panjang. Jangkauan operasional yang semakin luas berimplikasi pada biaya operasi dan pemeliharaan apalagi apabila kondisi topografi daerah pelayanan berbukit atau kondisi tingkat kemacetan lalu lintas yang dilalui truk pengangkut sampah cukup tinggi. Kepadatan lalu lintas berpengaruh besar pada transportasi sampah ke tempat pemrosesan akhir.
Semakin padat lalu lintas yang dilalui, semakin lama perjalanan yang harus ditempuh dan semakin kecil peluangnya untuk mengulang pengangkutan dalam satu hari atau ritasinya semakin kecil.
ITF atau SPA memang dapat menjadi alternatif untuk mengatasi besarnya biaya pengangkutan sampah. Lokasi ITF atau SPA ini, idealnya berada di dalam wilayah administratif masing-masing daerah yang bekerja sama mengelola TPAS Regional. Hal ini berhubungan dengan penetapan ukuran truk sampah pengangkut yang disesuaikan dengan lebar jalan yang dilalui.
95.0%
EFISIENSI TPA REGIONAL (%)
90.0% 85.0% 80.0%
Efisiensi = -0,0002 x Input + 1,0889 R 2 = 0,7282
75.0% 70.0% 65.0% 60.0% 55.0% 50.0% 1100
1300
1500
1700
1900
2100
2300
2500
2700
2900
INDEKS INPUT
Gambar 2. Hubungan antara Input dan Efisiensi TPAS Regional Catatan: Gafik ini hasil ploting analisis variabel input dan efisiensi n = 10, setelah outliernya dikeluarkan. Grafik hanya untuk menjelaskan kecenderungan, tidak untuk keperluan proyeksi Sumber : Hasil analisis, 2016
12
Pengembangan Standar Nasional (SNI) 03-3241-1994 Untuk Standarisasi Pemilihan Lokasi Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPAS) Regional Fitrijani Anggraini dan Sri Darwati Sebagaimana halnya dengan TPAS, lokasi ITF atau SPA, harus dipilih dan memenuhi persyaratan teknis dan lingkungan serta sosial dan ekonomi. Proses dan kriteria pemilihannya dapat menggunakan SNI 03-3241-1994. Oleh karena itu, mendapatkan lokasi yang ideal juga tidak mudah. Investasi SPA relatif cukup besar dan memerlukan pengelolaan yang lebih profesional
terutama dalam menjaga dampak yang timbul karena lokasinya lebih dekat dengan kegiatan permukiman perkotaan. Dari kajian terhadap 10 (sepuluh) TPAS Regional didapat hubungan antara input sumber daya TPAS yang harus dialokasikan dan output dari pengelolaan TPAS. Pada gambar 3 penambahan input sumber daya cenderung memperbesar output pengelolaan TPAS.
2200.00
OUTPUT TPAS
2000.00 1800.00 1600.00 1400.00 1200.00
OUTPUT = 0,527Input + 376,77 R 2 = 0,548
1000.00 800.00 1100
1300
1500
1700
1900
2100
2300
2500
2700
2900
INPUT PAS
Gambar 3. Hubungan antara Output dan Input TPAS Regional Catatan: Gafik ini hasil ploting analisis variabel input dan efisiensi n = 10, setelah outliernya dikeluarkan. Grafik hanya untuk menjelaskan kecenderungan, tidak untuk keperluan proyeksi Sumber : Hasil analisis, 2016
Keadaan tersebut sesuai dengan logika teori seperti yang dikemukakan oleh Rachael E. Marshall, Khosrow Farahbakhs (2013) dan M. Materazzi, P. Lettieri, R. Taylor, C. Chapman (2016).
Namun akan lebih baik lagi apabila disertai dengan peningkatan efisiensi pengelolaan TPAS Regional. Efisiensi tersebut diperoleh dengan memperbesar nilai output misalnya melalui penjualan produk-produk TPAS seperti energi, kompos, tanah urug yang sudah lebih sehat dan produk daur ulang lainnya. Hal tersebut hanya dapat dicapai apabila pengelola TPAS Regional mampu mengelola teknologi yang diaplikasikan dan juga mampu menguasai pasar untuk menjual produk samping yang dihasilkan. KESIMPULAN
SNI 03-3241-1994 tentang Tata cara pemilihan lokasi TPAS sampah dapat dikembangluaskan untuk pedoman Tata cara pemilihan lokasi TPAS sampah
regional dengan beberapa kriteria penetapan yang dikembangkan. Untuk tujuan tersebut, kemampuan daerah perlu dimasukkan ke dalam variabel penyisih. Selain itu, diperlukan penyesuaian urutan prioritas variabel penyisih dengan cara menurunkan indeks keberlanjutan variabel teknis dan ekonomis, tetapi menaikkan tingkat keberlanjutan variabel sosio demografis dan pengadaan lahan. Aplikasi pengembangan SNI untuk tujuan evaluasi TPAS Regional yang ada membuktikan bahwa peningkatan input sumber daya TPAS Regional cenderung menurunkan efisiensi. Namun, peningkatan input cenderung meningkatkan kualitas output TPAS Regional sehingga meningkatkan kemampuan mencegah timbulnya dampak dampak lingkungan akibat operasionalisasi TPAS Regional. UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Puslitbang Perumahan dan Permukiman,
13
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 1 - 14
Kementerian PUPR yang telah memberi kesempatan dan dukungan pendanaan untuk melaksanakan penelitian ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Ir. Sudrajat, M.Eng (alm), kepala Balai AMPLP, Puslitbang Perumahan dan Permukiman, Kementerian PUPR atas arahan dan dukungan dalam menyelesaikan KTI ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada para peneliti senior yang telah memberi tanggapan konstruktif dan arahan serta bimbingan sehingga selesainya tulisan ini. DAFTAR PUSTAKA
Adrian Hadi, dkk. 2014. Penentuan Alternatif Lokasi Tempat Pembuangan Akhir, studi kasus kota Surabaya. Skripsi. Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Agus Bambang Irawan, Andi Renata Ade Yudono. 2014. Studi Kelayakan Penentuan Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPAS) di pulau Bintan propinsi Kepulauan Riau. Jurnal Ilmu Lingkungan 12 (1): 1-11. Elis Hastuti dan Nurhasanah Sutjahyo. 2011. Kajian penentuan kriteria lokasi TPAS sampah regional di kota metropolitan. Lingkungan Tropis 5 (1): 63-72. Hifdziyah, Lisanatul. 2011. Analisis Penurunan Kualitas Lingkungan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Kabupaten Bogor Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Harmen, Arinal Hamni. 2011. Studi Kelayakan Tempat Pengelolaan Akhir (TPAS) Sampah Regional Kota. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Lembaga Penelitian Universitas Lampung : II-367 – II-376. Ira Safitri D. 2012. Minimasi Dampak Lingkungan dan Peningkatan Nilai Ekonomis Sampah Melalui Penentuan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah. Jurnal PS PWK Unisba 6 (1): 31-39. Irawan, A.B., Yudono, A.R.A. 2014. Studi PA di Pulau Bintan Propinsi Kepulauan Riau. Jurnal Ilmu Lingkungan 12 (1): 1-11. ISSN: 1829-8907. M. Materazzi, P. Lettieri, R. Taylor, C. Chapman, 2016, Performance analysis of RDF gasification in a two stage fluidized bed–plasma process, Waste Management 47 : 256–266. Pamekas R, 2013, Pembangunan dan Pengelolaan Infrastruktur Kawasan Permukiman. PT Pustaka Jaya Bandung: 227-239. Rachael E. Marshall, Khosrow Farahbakhsh, 2013, Systems approaches to integrated solid waste management in developing countries, Waste Management 33 (2013): 988–1003.
14
Retta Ida Lumongga. 2014. Tinjauan Kebijakan Lingkungan Hidup Terhadap Standar Baku Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah. Jurnal Sosek Pekerjaan Umum 6 (2): 78-139.
ALTERNATIF DASAR PERHITUNGAN PEMBERIAN TUNJANGAN KEHILANGAN PENDAPATAN WARGA TERKENA DAMPAK PEMBANGUNAN WADUK Allowance Income Substitution on Impacted Residents of Dam Construction M. Andri Hakim1, Andi Suriadi2 Puslitbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi, Balitbang, Kementerian PUPR Jl. Pattimura No. 20 Gedung Heritage, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 1
[email protected],
[email protected] ABSTRACT
Tanggal diterima: 19 November 2015; Tanggal disetujui: 15 januari 2016
The regulations related to the handling of social problems of impacted residents by infrastructure development imply the necessity to provide compensations as consequence of the loss of allowance income. The problem is what basic is used to calculate the appropriate financial compensation so that permanent residents can live well in the new location. This article offers a basic calculation of the cost of living for residents affected at the construction site Jatigede (West Java) and analysis of farming at the construction site Jabung Ring Dike (East Java). The research used random sampling survey multistratified proportionally. Data were analyzed using descriptive statistics with SPPS. The results show that the amount needed by household is Rp 1.382.483,00 – Rp 2.202.614,00 per mounth and analysis of farming is Rp 4.487.892,00 - Rp 16.006.790,00 per harvest. This data may be worthwhile to be used as references in determining the amount of compensation It is expected that on one hand the level of life of impacted residents is not getting worse, and on the other hand the use of government finances becomes more effective. Keywords: compensation, the necessities of life, farming, Jatigede, Jabung Ring Dike, impacted residents
ABSTRAK Terbitnya berbagai peraturan yang terkait dengan penanganan masalah sosial warga yang terkena dampak pembangunan infrastruktur membawa implikasi terhadap perlunya pemberian uang santunan, khususnya tunjangan kehilangan pendapatan. Permasalahannya adalah dasar apa yang digunakan dan bagaimana cara menghitung jumlah tunjangan kehilangan pendapatan agar warga tetap dapat hidup layak di lokasi yang baru. Untuk itu, tulisan ini menawarkan dasar perhitungan berupa biaya kebutuhan hidup terhadap warga terkena dampak di lokasi pembangunan Waduk Jatigede (Jawa Barat) dan analisis usaha tani di lokasi pembangunan Jabung Ring Dike (Jawa Timur). Untuk mendapatkan hasil perhitungan, dilakukan survei multistratified random sampling secara proporsional. Data dianalisis menggunakan statistik deskriptif dengan bantuan SPPS. Hasilnya menunjukkan bahwa jumlah kebutuhan hidup per kepala keluarga Rp 1.382.483,00 – Rp 2.202.614,00 per bulan serta analisis usaha tani Rp 4.487.892,00 - Rp 16.006.790,00 per ha sekali panen. Oleh karena itu, dibutuhkan kecermatan dan kearifan dalam menentukan jumlah santunan yang mengacu pada kebutuhan dan kondisi usaha tani secara empiris dengan metode yang objektif. Dengan demikian, diharapkan di satu sisi warga yang terkena dampak tingkat kehidupannya tidak semakin terpuruk, tetapi di sisi lain penggunaan keuangan negara juga menjadi lebih efektif. Kata Kunci : santunan, kebutuhan hidup, usaha tani, Waduk Jatigede, Jabung Ring Dike, warga terkena dampak
PENDAHULUAN Pembangunan infrastruktur pada dasarnya dilaksanakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, seringkali sulit dihindari adanya masalah sosial yang menyertai
terutama pada tahap prakonstruksi khususnya terhadap kelompok masyarakat yang berada dan/atau terkait dengan lokasi pembangunan infrastruktur. Untuk meminimalkan kerugian warga yang terkena dampak, selain skema pemberian ganti kerugian (tanah dan benda di atasnya), permukiman
) Sebagian gagasan dalam tulisan ini pernah dipresentasikan pada Seminar Bendungan Besar, 28 Mei 2015 di Kupang, NTT
1
15
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 15 - 23
kembali, juga telah diupayakan pemberian santunan untuk menjamin agar kehidupan warga terkena dampak tetap normal dan kondisinya tidak semakin terpuruk.
Dalam hal pemberian kompensasi pengadaan tanah di Indonesia, telah dilakukan berbagai kajian, baik komponen, dasar perhitungan, maupun faktor-faktor penghambat. Okada dan Arvian (2015) meneliti tentang penentuan komponen kerugian nonfisik dalam pengadaan tanah untuk pembangunan jalan. Mereka menemukan 48 komponen kerugian nonfisik yang secara garis besar ke dalam 4 kategori, yakni biaya transaksi dan administrasi, biaya pindah, kerugian perubahan lokasi, dan kerugian perubahan aset. Suriadi dan Andri (2013) meneliti tentang alternatif dasar perhitungan nilai tanah dalam pembangunan waduk. Mereka menemukan tiga alternatif dasar perhitungan yang berdimensi sosial kultural, yakni religius-magis, cara memperoleh tanah, dan durasi memiliki tanah. Bambang dan Andi (2010) meneliti tentang faktor-faktor penghambat pengadaan tanah jalan tol untuk penggantian tanah kawasan hutan ruas Unggaran – Bawen Kab. Semarang. Mereka menemukan bahwa terdapat tiga faktor penghambat, yakni eksistensi makelar tanah, senjangnya nilai ganti rugi, dan proses pembayaran yang bermasalah.
Di negara lain pun masalah kompensasi pengadaan tanah juga mendapat banyak perhatian. Omar dan Mazlam (2009) meneliti tentang unsurunsur ketidakpuasan dalam pengadaan tanah di Kedah Malaysia. Hasilnya, dia menawarkan model Kotaka yang dapat memahami unsurunsur kompensasi. Famuyiwa dan Modupe (2011) meneliti tentang pengadaan tanah di Nigeria yang temuannya mengatakan pemerintah Nigeria dapat menggunakan kekuatan paksa untuk mengambil tanah demi kepentingan umum yang dinilainya kurang bijaksana. Shan dan Fangzhou (2015) melakukan penelitian komparatif dalam hal konsolidasi lahan dengan Jerman, Jepang, Cina-Taiwan, dan Korea Selatan. Berdasarkan studi komparatif tersebut, mereka berusaha menyediakan referensi bagi negara Cina sebagai instrumen penyesuaian kembali konsolidasi lahan. Zhang dan Ruiping (2011) meneliti nilai nonpasar lahan budidaya yang kurang diperhatikan dalam pengambilalihan tanah di Cina. Mereka menemukan bahwa tidak adanya nilai nonpasar pada lahan budidaya bukan hanya merugikan hak-hak petani, tetapi juga kesejahteraan sosial secara keseluruhan. Berdasarkan beberapa penelitian tersebut, tampak bahwa selama ini belum banyak yang mengkaji tentang pemberian santunan bagi
16
yang terkena dampak pembangunan. Meskipun demikian, untuk mendukung upaya tersebut, sudah ada beberapa peraturan yang mendorong agar dilakukan pemberian santunan, baik oleh lembaga donor maupun pemerintah termasuk pemerintah daerah. World Bank 2007 dalam kerangka kebijakan permukiman kembali penduduk berusaha meminimalkan dampak bagi penduduk yang terkena pembebasan lahan dengan menerapkan kebijakan melalui pemberian tunjangan pendapatan minimal selama 1 tahun (12 bulan). Demikian pula ADB 2012 tentang perlindungan permukiman kembali penduduk yang terkena pengadaan tanah menetapkan bahwa periode pemberian tunjangan pendapatan transisi minimal 3 bulan. Sementara itu, di tingkat pemerintah daerah, sudah ada Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No 614/Kep.1427Bappeda/2013 tentang Standar Harga Satuan Untuk Pengosongan Lahan dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Rehabilitasi Saluran Tarum Barat yang menyebutkan bahwa tunjangan masa transisi diberikan tunai setara dengan 12 kg (6.000/kg) beras per anggota keluarga selama 3 bulan. Terakhir, Perpres No. 1 Tahun 2015 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Pembangunan Waduk Jatigede. Dalam Perpres tersebut, ada dua kategori penduduk yang terkena dampak sebagaimana pada Pasal 2 ayat (1) Masyarakat yang terkena dampak pembangunan Waduk Jatigede sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat 2 adalah: (a) penduduk yang berada di area Waduk Jatigede yang telah dibebaskan tanah dan/atau bangunannya untuk pembangunan Waduk Jatigede namun belum memperoleh tempat penampungan permukiman baru berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang KetentuanKetentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah; dan (b) penduduk lainnya yang berada di area Waduk Jatigede yang tidak termasuk huruf a. Kedua kategori penduduk tersebut akan diberikan santuan uang tunai untuk tunjangan kehilangan pendapatan (Puslitbang Sosekling, 2014a dan 2014b). Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana model perhitungan yang objektif sebagai dasar pemberian santunan. Hal ini sangat penting karena dalam berbagai kasus hal tersebut menimbulkan kontroversi karena model perhitungannya cenderung bersifat subjektif tanpa melalui suatu riset yang mengedepankan nilai-nilai ilmiah, instrumen dan metodologi yang digunakan kurang valid dan kurang reliabel sehingga hasilnya kurang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Untuk itu, tulisan ini berusaha menawarkan model perhitungan sebagai alternatif pemberian
Alternatif Dasar Perhitungan Pemberian Tunjangan Kehilangan Pendapatan Warga Terkena Dampak Pembangunan Waduk Jatigede M. Andri Hakim dan Andi Suriadi santunan dengan mengedepankan nilai-nilai scientific dan metode yang objektif yang diujicoba pada dua lokasi yang tingkat permasalahan sosialnya relatif cukup tinggi, yakni lokasi pembangunan Waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat dan Jabung Ring Dike di Kab. Tuban dan Kab. Lamongan, Provinsi Jawa Barat. Sehubungan dengan hal tersebut, permasalahan yang hendak dijawab dalam tulisan ini adalah:
(a) Bagaimana model perhitungan biaya kebutuhan hidup di lokasi pembangunan Waduk Jatigede dan analisis usaha tani di lokasi Jabung Ring Dike? (b) Bagaimana model perhitungan tersebut dapat menjadi alternatif dasar pemberian santunan untuk tunjangan kehilangan pendapatan warga yang terkena dampak?
Dengan demikian, diharapkan dapat memberikan alternatif kepada pengambil kebijakan tentang perhitungan biaya hidup masyarakat dalam rangka pemindahan penduduk keluar areal genangan Waduk Jatigede dan perhitungan hasil usaha tani di lokasi pembangunan Jabung Ring Dike. Di samping itu, dapat memberi gambaran range perhitungan kebutuhan biaya hidup dan usaha tani yang hilang berdasarkan kondisi empiris di lapangan sekaligus dapat menjadi alternatif dasar pemberian santunan berupa tunjangan kehilangan pendapatan sehingga kebutuhan hidup di lokasi yang baru dapat terpenuhi.
LANDASAN KONSEPTUAL
Dalam konteks pembangunan infrastruktur menurut Yanti, dkk. (2013) dampak sosial ekonomi, dapat dibagi ke dalam dua kategori: positif dan negatif. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak positif pembangunan infrastruktur di lokasi permukiman kembali telah meningkatkan kualitas prasarana dan sarana, seperti kualitas rumah meningkat serta prasarana jalan menjadi lebih baik di lokasi yang baru. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri terdapat kelompok masyarakat yang paling besar merasakan dampak negatif terutama dari sisi penurunan pendapatan (Puslitbang Sosekling, 2014a dan 2014b). Secara konseptual, biaya kebutuhan hidup sering mengacu pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Dalam Permen Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak, dijelaskan bahwa KHL adalah standar kebutuhan seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik untuk kebutuhan 1 (satu) bulan.
Namun demikian, dalam tulisan ini biaya kebutuhan hidup bukan diukur pada kebutuhan seorang saja, melainkan dalam satu unit rumah tangga untuk satu bulan. Sementara itu, usaha tani pada dasarnya merupakan salah satu jenis yang diusahakan oleh petani untuk memperoleh hasil atau pendapatan dengan cara memanfaatkan berbagai sumber daya, tenaga, dan modal dalam suatu usaha di bidang pertanian.
Menurut Adiwilaga dalam Isyanto (2012), usaha tani adalah kegiatan manusia mengusahakan lahan dengan maksud memperoleh hasil tanaman atau hewan tanpa mengakibatkan berkurangnya kemampuan tanah yang bersangkutan untuk mendatangkan hasil selanjutnya. Sementara itu, tipologi usahatani dapat dilihat, baik dari sisi pola jenisnya. Dilihat dari sisi polanya, usahatani dapat dibagi dua, yakni usahatani di lahan basah dan usahatani di lahan kering. Sedangkan berdasarkan jenisnya, usahatani dapat dibagi ke dalam beberapa jenis, yakni usahatani padi, usahatani palawija, usahatani khusus, usahatani campuran, dan usahatani tanaman ganda (Isyanto, 2012).
METODOLOGI PENELITIAN
Kajian perhitungan biaya hidup menggunakan metode kuantitatif. Untuk mengumpulkan data, digunakan teknik survei dengan instrumen kuesioner. Data dianalisis dengan menggunakan SPSS versi 22. Selain itu, data dipilah ke dalam dua ukuran kategori, yakni data mengelompok dan data menyebar. Agar informasi dapat menggambarkan populasi yang ada, maka sampel dipilih secara random dengan multistratified random sampling, namun dengan pertimbangan yang dapat menggambarkan heterogenitas sosial ekonomi masyarakat. Untuk lokasi di Waduk Jatigede sampel dipilih secara acak di desa-desa sekitar genangan Waduk Jatigede. Mengingat jumlah desa di sekitar genangan cukup banyak (19 desa yang sebagian tergenang dan 33 desa berbatasan dengan desa yang tergenang), maka dilakukan pemilihan terhadap 9 desa yang dipandang dapat mewakili desa-desa yang mengelilingi Waduk Jatigede (sektor utara, timur, selatan, dan barat). Teknik pemilihan 9 desa dilakukan dengan pola menyebar. Dari populasi dari 9 desa tersebut sebesar 7.316 KK, berdasarkan Rumus Slovin kemudian diperoleh jumlah sampel 102 responden (lebih dari jumlah yang dipersyaratkan Slovin). Untuk lokasi di Jabung Ring Dike sampel dipilih secara acak di 8 (delapan) desa (Mlangi, Mrutuk, Kujung, Simorejo, Sumberejo, Jabung, Dateng,
17
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 15 - 23
dan Gelap) yang dianggap sebagai populasi yang mencakup 2 kecamatan (Widang dan Laren) dan 2 kabupaten (Tuban dan Lamongan). Dari jumlah populasi 8 desa tersebut sebanyak 6.365 kemudian diambil sampel/responden sebanyak 147 orang (lebih dari jumlah yang dipersyaratkan Slovin). Jumlah tersebut didasari oleh pengambilan sampel menggunakan rumus Slovin (Puslitbang Sosekling 2014d dan 2014b), dengan menggunakan nilai kritis 10% atau dengan kata lain tingkat kepercayaan (level of confidience) 90 %, yakni:
dengan jumlah total pengeluaran seluruh responden sebesar Rp 184.009.956. Artinya, setiap responden mengeluarkan biaya secara rata-rata dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sebesar Rp 1.804.019 per KK/bulan.
Rumus Slovin:
Di mana:
n : besaran sampel
Gambar 1. Pola Data Jumlah Pengeluaran Responden
e : nilai kritis (batas ketelitian) yang diinginkan
b. Rata-rata Kebutuhan Kebutuhan
N : besaran populasi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Model Perhitungan Biaya Kebutuhan Hidup di Lokasi Waduk Jatigede
Bila dilihat besaran biaya hidup yang dibutuhkan oleh setiap Kepala Keluarga (KK) di sekitar pembangunan Waduk Jatigede, maka dapat dicermati berdasarkan tiga basis. Ketiga basis tersebut dapat dicermati berdasarkan kecenderungan data mengelompok dengan menggunakan rata-rata (mean). Ketiga basis tersebut adalah (a) rata-rata kebutuhan responden, (b) rata-rata kebutuhan responden per desa, (c) rata-rata kebutuhan berdasarkan 6 kategori dengan 25 subkategori.
a. Rata-rata Kebutuhan Berdasarkan Responden Berdasarkan jumlah pengeluaran untuk pemenuhan biaya hidup responden tampaknya cukup bervariasi. Dari 102 responden terdapat rentang pengeluaran yang sangat lebar yakni Rp 376.000 – Rp 6.666.500. Artinya, responden yang pengeluarannya paling rendah sebesar Rp 376.000 per KK/bulan dan pengeluaran paling tinggi sebesar Rp 6.666.500. Adapun pola persebaran jumlah pengeluaran responden dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini. Akan tetapi, bila dilihat kecenderungan data mengelompok, hasil perhitungan menunjukkan bahwa pengeluaran responden diperoleh rata-rata sebesar Rp 1.804.019 dan median Rp 1.618.625
18
Sumber : Puslitbang Sosekling, 2014a
Berdasarkan
Item
Jika dilihat berdasarkan item sebanyak 6 kategori dengan 25 subkategori, terlihat bahwa subkategori kebutuhan yang rendah adalah biaya cukur rambut sebesar Rp 7.893, sedangkan subkategori kebutuhan yang paling tinggi adalah pembelian beras sebesar Rp 277.382 per KK/bulan. Hal ini menunjukkan kebutuhan pembelian beras merupakan salah satu jenis subkategori kebutuhan yang paling besar “menyedot” anggaran belanja rumah tangga penduduk di sekitar pembangunan Waduk Jatigede. Namun demikian, jika dilihat secara keseluruhan, diperoleh rata-rata (mean) setiap subkategori sebesar Rp 1.804.019. Adapun rinciannya dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Rata-rata Kebutuhan Berdasarkan Item Kebutuhan Tiap KK per Bulan
No. Uraian Kategori dan Subkategori Kebutuhan I Kebutuhan Sandang 1. Pembelian Pakaian II. Kebutuhan Pokok Sehari-hari 2. Beras 3. Gula Putih/Pasir 4. Kopi, Teh, dan Susu 5. Gula Merah 6. Minyak Goreng 7. Bumbu Dapur 8. Sayur-mayur 9. Lauk-pauk
Rata-rata (Rp) 64.727,88
277.382,35 23.303,92 54.970,59 23.848,04 60.232,84 63.480.39 148.950,98 224.387,25
Alternatif Dasar Perhitungan Pemberian Tunjangan Kehilangan Pendapatan Warga Terkena Dampak Pembangunan Waduk Jatigede M. Andri Hakim dan Andi Suriadi No.
III.
IV.
V. VI.
Uraian Kategori dan Subkategori Kebutuhan 10. Gas Elpiji 11. Biaya Listrik Kebutuhan Pendidikan 12. Biaya Transportasi 13. Biaya kosan/sewa 14. Biaya Alat Tulis dan Pendidikan Kebutuhan Kesehatan 15. Pemeriksaan dan Obat-obatan 16. Sabun Mandi 17. Sabun Cuci 18. Pasta Gigi 19. Kosmetik 20. Cukur Rambut Kebutuhan Dapur 21. Piring, Gelas, Sendok, Garpu, dll. Kebutuhan Sosial 22. Sumbangan Hajatan 23. Biaya Komunikasi 24. Iuran Kemasyarakatan 25. Kerohanian Total
Rata-rata (Rp) 57.553,92 73.995,10
Sumber : Puslitbang Sosekling, 2014a
168.382,35 41.250,00 150.413,37 66.183,00 14.053,92 26.289,22 14.026,96 33.704,73 7.550,17 13.973,18
64.650,47 110.176,47 7.893,36 12.638,69 1.804.019,15
c. Rata-rata Kebutuhan Setiap Desa Jika dilihat berdasarkan kebutuhan per desa, terlihat Desa Sirnasari merupakan desa yang paling rendah dengan rata-rata kebutuhan hidup sebesar Rp 1.382.483, sedangkan yang paling tinggi adalah Desa Cisitu sebesar Rp 2.202.614. Namun demikian, secara umum dari 9 desa diperoleh rata-rata biaya kebutuhan hidup sebesar Rp 1.813.540 per KK/ bulan. Secara visual, variasi rata-rata pengeluaran responden per desa dari yang terkecil sampai terbesar secara berurutan, dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini. Rata-Rata Kebutuhan Hidup
Rp.2.500.000.00
Rp. 1,813,540,07
Rp.2.500.000.00 Rp.2.500.000.00 Rp.2.500.000.00 Rp.2.500.000.00
i a n a n h sar ema ujay rasih Des jaga pura eung ggo Ciutu r d J Pa Suka eunt Ran Ke Meka ta Pe i C a r taRa
na Sir
Gambar 2. Grafik Rata-Rata Kebutuhan Hidup Tiap KK per Desa Sumber : Puslitbang Sosekling, 2014a
Secara spasial, variasi rata-rata pengeluaran responden berdasarkan desa dapat dilihat pada peta berikut ini.
Gambar 3. Peta Rata-Rata Kebutuhan Hidup Per KK per Bulan di Desa-desa Wilayah Studi
Sumber : Puslitbang Sosekling, 2014a
Jika dilihat secara spasial, ada kecenderungan bahwa desa-desa yang berdekatan dengan jalan raya lebih tinggi rata-rata kebutuhan hidupnya dibanding dengan desa-desa yang berada di pelosok. Keberadaan jalan poros dari ibukota Sumedang yang melewati Cisitu, Cienteung, Ranggon, dan Sukapura tampaknya menjadi salah faktor penyebabnya.
Model Perhitungan Analisis Usaha Tani di Jabung Ring Dike Sebenarnya ada berbagai jenis usaha tani yang dikembangkan oleh masyarakat di sekitar pembangunan Jabung Ring Dike. Namun demikian, secara garis besar yang dominan digeluti sebagai mata pencaharian dan sumber pendapatan keluarga adalah usaha padi dan usaha tambak. Sementara itu, untuk mata pencaharian pendukung (yang bersifat musiman) adalah usaha tanaman rosella, usaha tanaman semangka, dan usaha tananam jagung. a. Usaha Budidaya Padi
Pada umumnya, warga di sekitar pembangunan Jabung Ring Dike mengandalkan mata pencaharian pada usaha tani khususnya jenis budidaya tanaman padi. Dari 147 responden, ternyata 95 % (petani pemilik, petani penggarap, dan buruh tani) yang mengandalkan sumber mata pencahariannya dari
19
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 15 - 23
usaha budidaya padi. Perolehan panen (gabah) rata-rata setiap desa dari para petani pemilik dan penggarap memiliki variasi, yakni 5,6 – 7,9 ton/ ha dengan rata-rata keseluruhan 6,59 ton/ha. Berdasarkan data lapangan, terlihat bahwa Desa Dateng (5,6 ton/ha) merupakan yang paling rendah, sedangkan Desa Mrutuk (7,9 ton/ha) merupakan desa yang paling tinggi hasil panennya. Hasil panen tersebut, bila dihitung secara keseluruhan, dapat diketahui bahwa rata-rata petani di 8 desa tersebut memperoleh keuntungan sebesar Rp 16.006.790 per ha sekali panen. Adapun rincian usaha tani padi secara rata-rata dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Rincian Rata-rata Hasil Usaha Tani Padi Satu Kali Panen per Hektar (dalam Rupiah) No.
Uraian
I.
Pengeluaran Rata-rata per ha (dalam rupiah)
a. b. c. d. e. f. g. h. i. II.
Biaya benih/ha Pupuk/ha Pestisida/ha Pengolahan tanah/ha Penanaman/ha Pemupukan/ha Penyiangan/ha Pemberian air/ha Panen/perontokan/ha Penghasilan Rata-rata per ha (dalam rupiah) Hasil panen kotor/ha III. Keuntungan Rata-rata ( II – I) Keuntungan bersih/ha
Sumber : Puslitbang Sosekling, 2014a
Jumlah
1.311.595 1.345.363 2.125.419
Keuntungan rata-rata per desa (4 desa) di atas, bila dilihat secara keseluruhan tentang uraian yang lebih dirinci berupa biaya yang dikeluarkan dan hasil yang diperoleh, dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Rincian Rata-rata Hasil Usaha Tambak Satu Kali Panen per Hektar (dalam Rupiah) No. I.
Uraian Pengeluaran Rata-rata per ha (dalam rupiah)
a. Biaya benih/ha b. Biaya OP/ha II. Penghasilan Rata-rata per ha (dalam rupiah) Hasil panen kotor/ha III. Keuntungan Rata-rata (Rata-rata II – I) keuntungan bersih (Rupiah/ha)
Jumlah
1.427.407 2.439.312 11.051.081 7.184.362
Sumber : Puslitbang Sosekling, 2014b
16.006.790
b. Usaha Budidaya Tambak Ikan Selain usaha tani padi, warga di sekitar pembangunan Jabung Ring Dike mengandalkan mata pencaharian sebagai petani tambak. Umumnya pola tanam yang diterapkan adalah Padi + Ikan. Artinya, setelah menggunakan sawah untuk padi, pada periode yang kedua mereka mengisi sawah mereka dengan ikan atau sebaliknya. Yang unik di lokasi tersebut adalah lahan mereka tidak dikhususkan untuk tambak seperti halnya daerah pada umumnya, melainkan multifungsi, yakni setelah ditanami padi kemudian diisi ikan atau sebaliknya tergantung ketersediaan air. Dari 147 responden 21 responden yang menjawab melakukan usaha tambak ikan, namun hanya 4 desa, yakni Desa Dateng, Jabung, Mlangi, dan Simorejo.
20
Mengingat jenis ikan dalam satu tambak bervariasi, misalnya bandeng, mas, mujair, dan bader, maka tentu hasil panen pada setiap jenis ikan yang diperoleh tidak sama. Namun demikian, secara umum, berdasarkan data yang ada, dapat dideksripsikan bahwa rata-rata keuntungan bersih dalam usaha tambak sebesar Rp 7.184.362 per ha. Dari keempat desa tersebut, terlihat bahwa Desa Dateng merupakan desa yang terendah rata-rata keuntungannya, (Rp 2.580.000 per ha) sedangkan Desa Mlangi merupakan yang tertinggi keuntungannya (Rp 8.766.305 per ha).
c. Usaha Budidaya Semangka Usaha tani untuk jenis tanaman semangka umumnya ditanam oleh petani pada saat musim kemarau. Jenis tanaman ini kurang produktif atau tidak cocok ditanam pada musim hujan. Dari 147 responden, terdapat 17 orang yang menjawab pernah menanam semangka. Dari usaha tanam semangka, petani mengeluarkan biaya dan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 8.496.563 per ha sekali tanam. Akan tetapi, dari data yang ada, hanya petani dari Desa Mlangi yang menjawab menanam semangka.Untuk melihat detail pengeluaran dan hasil panen, dapat dilihat sebagaimana pada Tabel 4. d. Usaha Budidaya Rosela
Usaha tani rosella merupakan salah satu jenis tanaman yang juga diminati oleh beberapa warga sekitar pembangunan Jabung Ring Dike. Tanaman ini digunakan sebagai bahan dasar
Alternatif Dasar Perhitungan Pemberian Tunjangan Kehilangan Pendapatan Warga Terkena Dampak Pembangunan Waduk Jatigede M. Andri Hakim dan Andi Suriadi Tabel 4. Rincian Rata-rata Hasil Usaha Budidaya Semangka Satu Kali Panen per Hektar (dalam Rupiah) No. Uraian I. Pengeluaran Rata-rata per Ha (dalam Rupiah) a. Biaya benih/ha b. Biaya OP/ha II. Penghasilan Rata-rata per Ha (dalam Rupiah) Hasil panen kotor/ha III. Keuntungan Rata-rata ( II – I) Keuntungan bersih/ha
Sumber : Puslitbang Sosekling, 2014b
Jumlah
814,898 1,384,671
10,696,132 8,496,563
untuk pembuatan tas. Sebenarnya, tidak banyak petani yang membudidayakan rosella karena dari 147 responden, ternyata hanya 9 responden yang menanam rosella. Dari usaha tanaman rosella ini, rata-rata keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 4.487.892 per ha sekali panen. Adapun rincian pengeluaran dan hasil panen dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini. Tabel 5. Rincian Rata-rata Hasil Usaha Rosela Satu Kali Panen per Hektar (dalam Rupiah) No. I.
Uraian Pengeluaran Rata-rata per ha (dalam rupiah)
Jumlah
a. Biaya benih/ha b. Biaya OP/ha II. Penghasilan Rata-rata per ha (dalam Hasil panenrupiah) kotor/ha III. Keuntungan Rata-rata ( II – I)
1,239,057 2,944,750
Keuntungan bersih/ha
4,487,892
Sumber : Puslitbang Sosekling, 2014b
8,671,699
e. Usaha Budidaya Jagung Usaha budidaya jagung juga menjadi salah satu alternatif bagi warga di sekitar pembangunan Jabung Ring Dike sebagai sumber mata pencaharian. Tidak banyak responden yang menanam jagung karena dari 147, hanya 7 orang yang menjawab melakukan usaha budidaya jagung. Dari usaha budidaya tanaman jagung ini, rata-rata keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 6.517.500 per ha sekali panen. Rincian mengenai usaha budidaya jagung dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini.
Tabel 6. Rincian Rata-rata Hasil Usaha Budidaya Jagung Satu Kali Panen per Hektar (dalam Rupiah) No. Uraian I. Pengeluaran Rata-rata per ha (dalam Rupiah) a. Biaya benih/ha b. Biaya OP/ha II. Penghasilan Rata-rata per ha (dalam Rupiah) Hasil panen kotor/ha III. Keuntungan Rata-rata ( II – I) Keuntungan bersih/ha
Sumber : Puslitbang Sosekling, 2014b
Jumlah
750 1,570.36 8.837.857 6.517.500
Dari kelima usaha tani yang digeluti oleh warga di lokasi pembangunan Jabung Ring Dike dapat dikatakan bahwa hasil usaha tani yang paling besar adalah budidaya padi, sedangkan yang paling kecil adalah budidaya rosella. Biaya Kebutuhan Hidup dan Analisis Usaha Tani sebagai Alternatif Dasar Pemberian Santunan sebagai Tunjangan Kehilangan Pendapatan
Berdasarkan data dan hasil analisis di atas, kedua model perhitungan di atas menunjukkan bahwa baik di lokasi Waduk Jatigede maupun di lokasi Jabung Ring Dike menunjukkan adanya variasi dalam suatu range. Hal ini menunjukkan bahwa penentuan pemberian santunan untuk tunjangan kehilangan pendapatan bukanlah hal yang mudah. Bahkan, jika tidak hati-hati akan menimbulkan masalah sosial baru yang justru akan kontraproduktif terhadap upaya percepatan penggenangan Waduk Jatigede dan pembangunan Jabung Ring Dike.
Pada kasus Jabung Ring Dike, dasar pemberian santuan dapat diperoleh dengan melihat seberapa besar pendapatan mereka yang hilang akibat lahan yang selama ini mereka garap digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Dalam konteks ini, analisis usaha tani dapat diterapkan sebagai dasar perhitungan untuk pemberian santuan untuk tunjangan kehilangan pendapatan sebagaimana yang dapat diterapkan di lokasi pembangunan Jabung Ring Dike. Hal ini disebabkan lokasi pembangunan Jabung Ring Dike (yang diklaim warga sebagai tanah turun-temurun walaupun sebenarnya merupakan tanah yang dikuasai oleh negara) hanya digunakan untuk budidaya tani. Dengan demikian, santunan untuk tunjangan kehilangan pendapatan akibat digunakannya lahan yang selama ini digarap dapat dihitung berdasarkan usaha tani yang mereka geluti selama ini dengan berbagai jenis budidaya usaha tani (Isyanto, 2012).
21
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 15 - 23
Akan tetapi, menjadi masalah ketika kelompok sosial lainnya yang tidak mengandalkan mata pencaharian yang berkaitan dengan tanah, misalnya pedagang, karyawan, atau PNS/TNI/Polri (dengan asumsi hanya mengandalkan gaji), maka pendapatan mereka tidak terganggu atau hilang dengan keluarnya dari area genangan. Namun demikian, mereka tetap berhak mendapatkan santunan berupa tunjangan kehilangan pendapatan berdasarkan Perpres No. 1 Tahun 2015. Untuk itu, salah satu jalan keluar adalah melihat bagaimana kebutuhan hidup mereka setelah pindah ke lokasi yang baru. Dalam konteks ini, sebagaimana yang terjadi di Waduk Jatigede, maka tampaknya perhitungan biaya kebutuhan hidup dapat menjadi alternatif pilihan. Hal ini dikarenakan jumlah penduduk yang harus diberi santuan sangat besar jumlahnya yang meliputi 28 desa dan 5 kecamatan yang diperkirakan masih ada 10.447 KK di areal genangan. Selain itu, meskipun masih dominan pola mata pencaharian sebagai petani, tetapi ada beberapa KK yang tidak menggantungkan hidupnya di sektor pertanian, misalnya menjadi pekerja atau buruh di kota dan karyawan/ pegawai. Masalah selanjutnya yang muncul adalah kira-kira berapa lama mereka dapat diberikan tunjangan. Mengacu beberapa hasil riset dan fenomena kehidupan sosial ekonomi terutama di kawasan perdesaan, maka pemberian tunjungan perlindungan pendapatan dapat mengikuti siklus masa tanam untuk jenis tanaman pangan dan palawija dengan pertimbangan sosial ekonomi sebagai berikut:
(a) K elompok yang paling rentan (vurnerable) dalam pengadaan tanah adalah petani, maka sebaiknya dasar rentang waktu pemberian tersebut mengikuti siklus aktivitas yang dilakukan oleh petani dalam memperoleh pendapatan. (b) S iklus aktivitas yang dapat dijadikan acuan adalah siklus waktu yang paling singkat, dalam hal ini petani yang menanam jenis tanaman pangan dan palawija dengan kategori tanaman semusim (bukan jenis tanaman tahunan).
(c) M engingat dominan petani semusim di Jatigede adalah petani padi, maka aktivitas usahatani yang dilakukan selama ± 4 bulan. (d) Karena lahan pertanian pengadaan tanah, maka:
22
mereka
terkena
(1) O tomatis para petani membutuhkan waktu untuk mencari lahan pengganti yang sesuai. Pada umumnya pencarian lahan pengganti sulit dapat dilakukan dalam waktu hitungan hari, maka tentu diperlukan beberapa waktu
lamanya, termasuk mengecek status dan legalitas tanah yang akan dibelinya.
(2) Jika petani belum sempat membeli lahan pengganti, maka pilihan yang dapat ditempuh adalah menjadi penyewa lahan. Secara otomatis juga, waktu untuk mencari lahan yang dapat disewa tidak singkat. Tidak semua orang dengan begitu saja mau menyewakan lahannya kepada pihak lain sehingga diperlukan alokasi waktu mencari lahan, termasuk melakukan negosiasi.
(3) Bila mencari lahan pengganti untuk dibeli sulit, mencari lahan untuk disewa juga sulit, maka peluang yang dapat digunakan adalah menjadi petani penggarap. Artinya, petani mencari lahan dari pemilik lahan untuk dikerjakan dengan sistem bagi hasil. Mencari lahan untuk garapan ini pun tidak mudah karena waktu untuk meyakinkan dan membangun kepercayaan yang tinggi kepada pemilik lahan.
Jika dibandingkan dengan pemberian tunjangan dari World Bank tahun 2007 selama 12 bulan, maka dapat dikatakan pemberian dengan mengikuti siklus tanam lebih singkat, tetapi dibandingkan dengan ADB tahun 2012, maka hal tersebut dapat dikatakan relatif lebih lama. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Merujuk pada data dan analisis di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
(a) Besaran kebutuhan biaya hidup masyarakat di sekitar pembangunan Waduk Jatigede, berdasarkan rata-rata kebutuhan per responden diperoleh angka dengan rentang Rp 1.382.483 – Rp 2.202.614 per KK per bulan.
(b) Berdasarkan hasil analisis usaha tani di lokasi pembangunan Jabung Ring Dike terdapat 5 jenis tanaman budidaya yang digeluti oleh warga di sekitar pembangunan Jabung Ring Dike. Hasil keuntungan budidaya terhadap kelima jenis tanaman budidaya tersebut, memiliki perbedaan. Dengan demikian, dapat dibuat rentang (range) keuntungan penggarapan lahan 1 hektar di sekitar pembangunan Jabung Ring Dike dengan menanam berbagai jenis usaha budidaya adalah antara Rp. 4.487.892 - Rp. 16.006.790 per hektar per sekali panen. Jenis budidaya paling rendah rosela dan tertinggi adalah padi. Tinggi nilai budidaya padi terkait dengan kesesuaian tingkat kesuburan tanah
Alternatif Dasar Perhitungan Pemberian Tunjangan Kehilangan Pendapatan Warga Terkena Dampak Pembangunan Waduk Jatigede M. Andri Hakim dan Andi Suriadi dan harga beras yang relatif stabil.
(c) Kebutuhan biaya hidup cukup potensial menjadi dasar alternatif pemberian santunan untuk tunjangan kehilangan pendapatan bagi warga terkena dampak pembangunan Waduk Jatigede karena selain jumlah KK cukup banyak juga pola mata pencaharian warga cukup heterogen (meskipun tetap dominan petani). Sementara itu, analisis usaha tani cukup potensial menjadi dasar alternatif pemberian santunan khususnya di lokasi pembangunan Jabung Ring Dike karena pola pemanfaatan lahan homogen, yakni hanya untuk bertani.
Berdasarkan kesimpulan di atas, dapat disarankan bahwa penggunaan model perhitungan biaya kebutuhan hidup seperti di Waduk Jatigede dengan tetap mempertimbangkan bahwa masih dominan masyarakat bekerja sebagai petani, maka lamanya pemberian tunjangan kehilangan pendapatan paling tidak, dapat mengikuti siklus tanam. Sementara itu, penggunaan model perhitungan analisis usaha tani seperti di Jabung Ring Dike dapat diterapkan pada kasus yang pola pemanfaatan lahan yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur cenderung homogen.
Besaran range biaya kebutuhan hidup dan hasil analisis usaha tani hanya merupakan gambaran sebagai dasar pemberian terutama pada level yang minimal. Dengan kata lain, dalam rangka menjaga agar kehidupan warga tidak terpuruk, maka pemberian kebutuhan biaya hidup sebaiknya tidak di bawah dari rentang tersebut. Namun demikian, mengingat meningkatnya harga berbagai jenis kebutuhan pokok, maka rentang tersebut dapat berubah seiring dengan tingkat inflasi. Untuk meningkatkan validitas dan reliabilitas dasar perhitungan tersebut, perlu dilakukan ujicoba dengan mengambil sampel lokasi lain mengingat pembangunan waduk masih terus, bahkan target pembangunan periode 2014-2019 sebanyak 65 waduk. DAFTAR PUSTAKA
Asian Development Bank (ADB). 2012. Involuntary Resettlement Safeguards: A Planning and Implementation Good Practice Sourcebook – Draft Working Document. Famuyiwa, Funlalo dan Modupe M. Omirin. 2011. Infrastructure Provision and Private Land Acquisition Grievances: Social Benefits and Private Costs. Dalam Journal of Sustainable Development 4. (6) 6: 169 – 180.
Isyanto, Agus Yuniawan. 2012. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Produksi pada Usahatani Padi di Kabupaten Ciamis. Cakrawala Galuh I. (8). Okada, Heniko dan Arvian Zanuardi. 2015. Model Penentuan Komponen Kerugian Non Fisik dalam Pengadaan Tanah Pembangunan Jalan. Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum 7 (1) : 1 -13. Omar, Ismail dan Mazlam Ismail. 2009. Kotaka’s Model in Land Acquisition for Infrastructure Provision in Malaysia. Journal of Financial Management of Property and Construction 14. (3) : 194 - 207. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak. Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2015 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Pembangunan Waduk Jatigede Puslitbang Sosekling, Balitbang Kementerian PU. 2014a. Laporan Advis Validasi Kebutuhan Biaya Hidup Warga di Sekitar Waduk Jatigede. Puslitbang Sosekling, Balitbang Kementerian PU. 2014b. Laporan Advis Validasi Kebutuhan Biaya Hidup Warga di Sekitar Waduk Jatigede Perhitungan Biaya Konversi Garapan di Tanah Negara Pembangunan Jabung Ring Dike (Tuban – Lamongan, Jawa Timur). Shan, Yusia dan Fangzhou Xia. 2015. The Experience of Foreign Land Readjusment for China’s Construction Land Consolidation. Asian Agriculture Research 7 (7) : 68 – 70. Sudjatmiko, Bambang dan Andi Suriadi. 2010. Faktor-faktor Penghambat Proses Pengadaan Tanah Jalan Tol: Studi Kasus pada Penggantian Tanah Kawasan Hutan Ruas Ungaran – Bawen Kab. Semarang, jawa Tengah. Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum 2(3) : 177 -185. Suriadi, Andi dan Andri Hakim. 2013. Alternatif Dasar Perhitungan Nilai Tanah untuk Pembangunan Waduk. Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum 5 (2) : 97 -109. Yanti, dkk. 2013. Dampak Kebijakan Pembangunan Jembatan Suramadu terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat dalam Pengembangan Wilayah Jembatan Suramadu: Studi di Desa Sukolilo Barat Kecamatan Labang Kabupaten Bangkalan. Jurnal Administrasi Publik (JAP)1 (2) . Zhang, Yangjing dan Ruiping Ran. 2011. The Analysis of Land Expropriation Compensation Based on Non-Market Value of Cultivated Land Resources. Journal of Agricultural Science 3 (1) : 233 – 238.
23
24
PENATAAN KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH UNTUK MENDUKUNG PERMUKIMAN YANG LAYAK DITINJAU DARI ASPEK SOSIAL DAN BUDAYA, EKONOMI DAN LINGKUNGAN (STUDI KASUS : Kelurahan Pusong Lama Kabupaten Kota Lhoksemawe Propinsi NAD dan Kelurahan Kijang Kota dan Tembeling Tanjung Kabupaten Bintan Propinsi Kepulauan Riau) Reforming For Supporting Area Slum Settlement Viewed From Living Social And Cultura, Economic And Environmental Aspects (Case Study : Village of Pusong City District Lhokseumawe Nanggroe Aceh Darussalam and Village of Kijang Kota and Tanjung Tembeling Bintan regency, Riau Islands Province) Irwan Kusdariyanto Balai Litbang Sosekling Bidang Sumber Daya Air Pusat Kebijakan Penerapan Teknologi Gedung Balai Bendungan Lt.4. Jl.Sapta Taruna Raya, Komplek PU Pasar Jumat-Jakarta Selatan Email:
[email protected]
Tanggal diterima: 04 Februari 2016; Tanggal disetujui: 28 Maret 2016 ABSTRACT Structuring slum settlement is a need to anticipate the demands of the increasing competitiveness of city. Several studies on the restructuring of the slum area more technical aspects of the program but non-physical aspects play an important role in the implementation of the settlement technology. The study aims to describe the typology of slums, mapping the major issues in the slum. This study included research multiple case study, mixed method research approach. Results of the analysis of regional typology picture in the Aceh province, the environmental aspect has a higher value to the characteristics of most of the coastal areas causing the frequency of occurrence of disasters, the existence of epidemics and diseases that often occur. This is to the density and condition of the building of settlements less habitable for it requires a source of capital to repair the building by empowering the community economic potential. Riau Islands Province, environmental aspects need attention like any disasters that occur each year as a tornado that causes the condition of the building to be damaged. The community have not taken advantage of the economic infrastructure such as co-operatives to make this source of capital in developing the economic potential of the community. Problems and potential handling in Province Aceh, the main problem of waste, namely waste management, residential buildings, drainage. Potential handling is done by trying to see the level of preparedness of the public and residential areas where the level of squalor condition of readiness levels of society need to be prepared before making the arrangement slum for handling problems and potential in Riau Islands main problems of drainage, solid waste management. Potential treatment by trying to see the level of preparedness of the community and the neighborhood slum settlements, the condition of untidiness level still needs attention because the supporting infrastructure of settlements is not available. Keywords: structuring Regions, Development and Settlement Development, Sustainable
ABSTRAK Penataan kawasan kumuh permukimanmerupakan kebutuhan mengantisipasi tuntutan dalam meningkatkan daya saing suatu kota.Beberapa penelitian mengenai penataan kawasan kumuh lebih mengarah pada aspek teknis secara program namun aspek non fisik memegang peranan penting dalam penerapan teknologi permukiman.Penelitian bertujuan menggambarkan tipologi kawasan kumuh, melakukan pemetaan permasalahan utama/prioritas pada kawasan kumuh. Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian multiple case study, Pendekatan penelitianmixed method.
25
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 25 - 36
Hasil analisis gambaran tipologi kawasan di Propinsi Nanggro Aceh Darussalam, aspek lingkungan memiliki nilai lebih tinggi dikarenakan karakteristik sebagian wilayah pantai menyebabkanfrekuensi terjadinya bencana, keberadaan wabah penyakit, dan penyakit yang sering terjadi. Hal ini disebabkan kepadatan dan kondisi bangunan permukiman yang kurang layak dihuni untuk itu membutuhkan sumber modal untuk memperbaiki bangunan dengan memberdayakan potensi ekonomi masyarakat.SedangkanPropinsi Kepulauan Riau, memerlukan perhatian aspek lingkungan seperti adanya bencana yang terjadi setiap tahunnyaseperti angin puting beliung yang menyebabkan kondisi bangunan menjadi rusak. Hal ini disebabkan masyarakat belum memanfaatkan prasarana ekonomi seperti koperasi untuk menjadikan sumber modal dalam mengembangkan potensi ekonomi masyarakat. Untuk permasalahan dan potensi penanganannya di Propinsi Nanggro Aceh,permasalahan utama persampahan, yaitu pengelolaan sampah, bangunan hunian, drainase. Potensi penanganannya dilakukan dengan mencoba melihat tingkat kesiapan masyarakat dan tingkat kekumuhan kawasan permukiman dimana kondisinya tingkat kesiapan masyarakat perlu disiapkan dulu sebelum melakukan penataan kawasan kumuh Untuk permasalahan dan potensi penanganannya di Kepulauan Riau permasalahan utama drainase, pengelolaan sampah. Potensi penanganannyadengan mencoba melihat tingkat kesiapan masyarakat dan tingkat kekumuhan kawasan permukiman, untuk kondisinya tingkat kekumuhan masih perlu perhatian dikarenakan sarana prasarana pendukung permukiman belum tersedia. Kata Kunci : Penataan Kawasan, Pembangunan dan Pengembangan Permukiman, Berkelanjutan
PENDAHULUAN Permukiman kumuh semestinya disikapi bukan sekedar sebagai perusak estetika suatu kota atau pelanggar peraturan perundangan, tetapi harus dilihat juga dari sisi sosial,sepertikesejahteraan masyarakat khususnya yang berpenghasilan rendah. Kompleksitas permasalahan tersebut mengisyaratkan bahwa penanganan permukiman kumuh tidak bisa hanya oleh satu-dua sektor atau menjadi beban utuh dari pemerintah, namun beberapa stakeholder terkait. Program- program keterpaduan dan berbagi peran serta berkoordinasi yang baik untuk mendapatkan solusi penanganan permukiman kumuh tanpa melukai hati masyarakat, tidak juga membiarkan terjadinya pelanggaran hukum, ataupun tidak merugikan pihak-pihak tertentu.(Sarasehan dalam Rangka Hari Habitat Dunia 2012). Dalam rangka mencapai visi kota tanpa kawasan kumuh 0% pada tahun 2019, pemerintah memiliki beberapa kebijakan kunci dalam menangani kawasan permukiman kumuh. Setidaknya Bappenas menyebut tiga kebijakan utama yang akan didorong pelaksanaanya hingga tahun 2019, yaitu menciptakan lingkungan yang memampukan (enabling environment), meningkatkan kualitas lingkungan permukiman kumuh, dan mencegah pembentukan kumuh baru. (Buletin Cipta Karya 2014). Untuk mengantisipasi hal tersebut, berbagai kajian pun telah dilakukan, baik dari sisi fisik teknis maupun sisi sosial,ekonomi, budaya dan lingkungan. Secara fisik teknis beberapa hasil penelitian telah dilakukan dalam rangka penataan kawasan kumuh seperti menggambarkan tipologi kawasan kumuh sudah pernah dilakukan. Leny dkk (2014), kajian penelitian ini untuk merumuskan tipologi permukiman kumuh dengan tiga tahapan analisis yaitu pertama mengidentifikasi kondisi eksisting permukiman kumuh menggunakan metode statistik
26
deskripsi, kedua untuk menentukan kriteria tipologi permukiman kumuh menggunakan analisa triangulasi dan delphi dan merumuskan tipologi permukiman kumuh dengan skoring, analisis cluster dan deskriptif kualitatif.Marina Ayu dan, Sunarti (2013).penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi tipologi kerentanan permukiman kumuh di kawasan pesisir Kota Tegal. Tujuan kajian ini untuk merumuskan bentuk-bentuk kerentanan permukiman kumuh di kawasan pesisir, berdasarkan aspek fisik dengan keterkatitan respon sosial masyarakat.Sunarti dkk (2013),kajian inimengidentifikasi penyebab terbentuknya tipologi kumuh wilayah pesisir di Wolomarang Kabupaten Kota Maumere,seperti mengidentifikasi penilaian aspek fisik dan non fisik, aspek sosial, karakteristik regiona, dan aspek kebijakan budaya ekonomi perencanaan tata ruang pesisir sehingga wilayah pesisir juga menjadi salah satu pusat pengembangan wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur. Sementara kajian dari sisi sosial,ekonomi,budaya dan lingkungan sudah pernah dilakukan. Sulestianson dan Indrajati (2014)mengkaji karakteristik, faktor penyebab dan model penanganan permukiman kumuh yang sesuai untuk diterapkan. Hasil kajian didapat faktor – faktor yang menjadi penyebab utama kekumuhan tersebut adalah adanya kepadatan penduduk pada lokasi perumahan, rendahnya tingkat pendapatan, kurangnya kepedulian masyarakat terhadap lingkungan permukiman, padatnya bangunan yang terdapat pada kelurahan ini, kepemilikan lahan yang dimiliki oleh pemerintah Kota Bandung, kondisi prasarana perumahan yang buruk serta adanya kegagalan kebijakan. Sedangkan faktor yang menjadi alasan penduduk memilih untuk tinggal di lokasi pemukiman kumuh adalah daerah asal penduduk yang mayoritas berasal dari luar kawasan perumahan tersebut, penduduk telah lama tinggal
Penataan Kawasan Pemukiman Kumuh Untuk Mendukung Permukiman Yang Layak Ditinjau Dari Aspek Sosial Dan Budaya, Ekonomi Dan Lingkungan Irwan Kusdariyanto di lokasi perumahan tersebut, fasilitas perumahan yang lengkap, ketersediaan lahan yang tidak harus dibeli oleh masyarakat, kawasan merupakan lokasi tempat bekerja dan beraktifitas serta terdapat pada kawasan strategis.Hassanudin (2014), hasil kajian untuk mengetahui implementasi revitaliasasi permukiman kumuh di wilayah kotaMakassar dan untuk mengetahui kendala – kendala yang dihadapi dalam revitalisasi permukiman kumuh di wilayah kota makassar.Amri, Nurmaida (2013), melakukan kajian mengenai kondisi sosial ekonomi penduduk yang umumnya berpenghasilan sangat rendah, belum tersedianya sarana dan prasarana umum, serta status tanah yang tidak resmi, menyebabkan semakin kumuhnya permukiman. Jika kondisi tersebut tidak dikendalikan pertumbuhannya, maka kualitas lingkungan dan derajat kesehatan masyarakat akan terus menurun. Suweda (2011),Pembangunan perkotaan harus mengedepankan rasa keadilan dankeberlanjutan ekonomi lokal dengan meningkatkan keberadaan sektor informal sebagai jaring sosial, serta pelestarian kawasan lama untuk menyediakan memori kolektif bagi masyarakat. Untuk penciptaan kotaberkelanjutan, berdaya saing dan berotonomi melalui perencanaan dan pengelolaan baru akan efektif jika terintegrasi dengan strategi pengelolaan penggunaan lahan dan lingkungan.
Sesotyaningtyas dkk (2015),hasil penelitian menyatakan bahwa transformasi hunian dapat diamati melalui konsep perubahan tatanan budaya (cultural order). Terdapat indikasi bahwa fenomena transformasi hunian yang terjadi di Bang Bua dan Kampung Naga mempunyai persamaan dan perbedaan dalam beberapa hal, sebagai penyebabnya. Salah satu pemicu timbulnya fenomena transformasi hunian pada kedua kawasan tersebut adalah terdapatnya perubahan tatanan budaya pada masyarakat setempat, seperti perubahan pola pikir, cara pandang, perilaku masyarakat, hingga timbulnya kesepakatan-kesepakatan di antara masyarakat. Putro (2011),penelitian ini untuk mengidentifikasi kawasan kumuh, hasil identifikasi tersebut dijadikan pedoman dalam penataan kawasan kumuh. Identifikasi kawasan kumuh memiliki kriteria yaitu vitalitas nonekonomi, vitalitas ekonomi, status tanah, kondisi prasarana, komitmen pemerintah daerah dan prioritas penanganan. Bani dkk (2015). Penanganan masalah lingkungan permukiman kumuh tidak dapat dilakukan secara sepihak, melainkan harus merupakan upaya terpadu yang saling mendukung dan saling bersinergi dalam mencapai sasaran manfaat yang optimal. Mayolania dkk (2013), penelitian ini dilakukan untuk menyusun strategi penanganan pada kawasan yang teridentifikasi
sebagai kawasan permukiman kumuh. Noegi Noegroho (2011), kajianini memberikan gambaran permasalahan dalam penataan kawasan kumuh di Payakumbuh, sekaligus memberi konsep bagaimana solusi penanganannya terkait dengan status kepemilikannya sebagai tanah ulayat. Amos Setiadi. (2014) kajian penelitian melihat beberapa aspek seperti fisik, sosial, budaya dan ekonomi dalam penanganan kawasan permukiman kumuh di Kota Bontang menjadi strategis ketika kawasan itu terintegrasi dengan bagian-bagian kota seperti kawasan pusat kota, kawasan pusat pertumbuhan kota, maupun kawasan-kawasan lain di sekitarnya, misalnya kawasan industri, perdagangan, pergudangan, dan perkantoran. Evans Oktaviansyah (2012), kajian ini mengidentifikasi karakteristik permukiman kumuh di Kelurahan Lingkas Ujung Kota Tarakan beserta kerawanan kebakaran permukiman dan rencana penanganannya. Erlangga (2014), pembangunan perkotaan yang tidak terencana dengan baik berdampak pada munculnya perumahan dan pemukiman kumuh dan kesan bahwa pemerintah kota tidak mampu mengelola perumahan dan pemukiman yang berkualitas. Oleh karena itu pemerintah kota dituntut untuk meningkatkan kualitas perumahan dan pemukiman kumuh sehingga menjadi pemukiman yang layak huni. Nizar dkk (2015), hasil kajian menjelaskan terdapat 8 faktor penyebab kekumuhan diwilayah squatter area, yaitu tingkat pendidikan, aksesibilitas ke lokasi kerja, tingkat pendidikan, tingkat migrasi masuk, kualitas sarana dan prasarana, tingkat kesadaran masyarakat, kepadatan bangunan tinggi, dan peran serta pemerintah. Sedangkan wilayah slum area terdapat 5 faktor yang menyebabkan kekumuhan, yaitu aksesibilitas ke lokasi kerja, tingkat migrasi masuk, tingkat kesadaran masyarakat, kepadatan bangunan tinggi, dan peran serta pemerintah. Veronica dkk(2016), penelitian ini untuk mengkalkulasi kesenjangan sumber daya dalam hal kuantitas maupun kualitas air dan tanah, bagi masyarakat yang tinggal di daerah kumuh di Kota Bandung yang didasari pada standar pelayanan minimum dan standar kualitas lingkungan serta menentukan bentuk dari infrastruktur dasar seperti penyedia pengganti dari sumber daya alam air dan tanah yang paling tepat.Muhammad Basir (2012), kajian penelitian ini menjelaskan bahwa perilaku orang di pemukiman kumuh di Kelurahan Pampang dalam kaitannya dengan kondisi sosial, budaya dan ekonomi dapat digambarkan dalam pola hubungan antara kekerabatan, teman-teman hubungan, hubungan bertetangga, saling kerjasama, saling membantu dalam hal suka dan duka, pola hubungan persaingan dan konflik, dan solidaritas di libur keagamaan Islam dan Nasional, serta pola adaptasi mereka dalam kaitannya dengan kebutuhan
27
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 25 - 36
ekonomi.Anindya, Reza (2010), hasilkajianuntuk mengetahui aspek hukum dari perencanaan tata ruang kota terhadap pemukiman kumuh di bantaran sungai Kalianyar sebagai upaya mewujudkan program kali bersih di Surakarta dan mengetahui penataan pemukiman kumuh di bantaran sungai kalianyar sebagai upaya mewujudkan program kali bersih. Demikian pula dalam hal kajian dalam bentuk program-program penataan kawasan kumuh sudah pernah dilakukan. Setiyowati dkk (2011), adanya masalah kemiskinan yang berada di Kota Pekalongan, mendorong Pemerintah Kota membentuk suatu kebijakan yang digunakan sebagai landasan dalam pembentukan program untuk mengatasi permasalahan kemiskinan tersebut, yaitu dengan program Sapu Lidi. Wahyudi, Imam, Asnawi (2013),keberadaan kawasan kumuh sebagai bentuk kemiskinan dalam dimensi keruangan sudah menjadi permasalahan utama kawasan-kawasan perkotaan di Indonesia. Banyak pihak mulai menyadari bahwa penyelesaian permasalahan kekumuhan tidak bisa diselesaikan oleh Pemerintah Daerah atau masyarakat saja namun perlu adanya kolaborasi dari keduanya. Program PLPBK lahir sebagai salah satu bentuk intervensi yang berupaya membangun kolaborasi antara Pemda dengan masyarakat dalam menata lingkungan tempat tinggal yang kumuh.
Selain dengan program penataan kumuh, beberapa kajian mengenai peran kelompok masyarakat sudah dilaksanakan.Indah dkk (2013), kajian ini meneliti tentang peran kelompok BKM dalam penanganan permukiman kumuh dalam mendorong perubahan sikap dari masyarakat yang menjadi peduli terhadap lingkungan. Kepedulian tumbuh karena ada pelibatan masyarakat dari penyusunan program hingga pelaksanaan untuk mengatasi masalah lingkungan permukiman kumuh yang ada, BKM tidak melakukan peningkatan kemampuan dalam bidang teknis pengelolaan lingkungan seperti pembuatan peta atau pelatihan software lainnya, melainkan pelatihan peningkatan ekonomi dan kohesi sosial masyarakat. Keberhasilan kinerja Badan Keswadayaan Masyarakat(BKM) hendaknya menjadi contoh yang dapat ditiru oleh daerah lain.Fika (2015), kajian ini merupakan bentuk lanjutanprogram penanggulangan kemiskinan perkotaan (P2KP) yang fokusnya pelaksanaan pada penanganan kawasan permukiman miskin, kumuh dan padat berbasis masyarakat dengan menggalakkan peran aktif dan partispasi masyarakat. Budi (2012), kajian ini secara umum parapemangku kepentingan (pemerintah daerah, Developer, PLN, PDAM, Masyarakat) memiliki kesiapan untuk meremajakan daerah kumuh melaluipembangunan rumah susun. Dalam
28
rangka untuk meremajakan, diperlukan kerjasama dan insentif. Selain itu, beberapa rekomendasi yang perlu ditindaklanjuti yaitu sosialisasi dan koordinasi perencanaan dan pelaksanaan peremajaan daerah melalui flat sehingga setiap pemangku kepentingan memahami dan mendukung langkah-langkah yang dapat diimplementasikan dalam aman, damai dan konstitusional. Jauhari (2012), kajian ini melihat Ketidaksesuaian antara kondisi prasyarat kampung sasaran dengan kondisi nyata kampung terapan, mengindikasikan bahwa pola penanganan/ perbaikan permukiman kumuh atau kampung perkotaan serta penetapan permukiman kumuh atau kampung yang ditergetkan untuk diperbaiki pada setiap pola penanganan pembangunan rumah susun dan bagaimanapun bentuk program penanganan kawasan permukiman kumuh di perkotaan dilaksanakan.Mardiantono (2003), kajian ini membahas seberapa besar partisipasi masyarakat dalam pembangunan jalan dan saluran lingkungan di permukiman kumuh serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat partisipasi tersebut. Maka ditemukan identifikasi karakteristik masyarakat seperti bentuk partisipasi masyarakat, tingkat partisipasi masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat terhadap kegiatan pembangunan jalan dan saluran lingkungan. Noegi (2011),kajian ini membahas hunian kumuh masih kerap dijumpai di banyak Kota di Indonesia meski pemerintah melalui Kementerian Negara Perumahan Rakyat telah menggulirkan beberapa program untuk mengentaskan keberadaannya. Keberadaan tanahnya dimiliki oleh masyarakat adat atau yang dikenal dengan tanah ulayat. Banyak hunian tidak layak berdiri di atas tanah ulayat sewaan. Mengingat status tanah tersebut, penataan rumah di Kota ini mengalami kesulitan. Oleh karena penelitian ini dibuat untuk memberikan gambaran permasalahan dalam penataan kawasan kumuh di Payakumbuh, sekaligus memberi konsep bagaimana solusi penanganannya terkait dengan status kepemilikannya sebagai tanah ulayat. Wiwik (2013), kajian ini melakukan penelitian mengenai keberadaan setiap kota besar biasanya mempunyai suatu kawasan yang masih mempertahankan kebudayaannya sebelumnya, baik fisik berupa bentuk bangunan yang masih tradisional maupun non fisik yaitu kegiatankegiatan yang sejak zaman dahulu dilakukan masih dilakukan. Oleh karena itu, kampung memiliki masalah yang lebih pelik daripada desa. Secara keseluruhan, permasalahan yang dihadapi oleh Kawasan Perkampungan Pedamaran Semarang ialah banjir, drainase yang buruk, padat akan bangunan, kumuh dan tingginya angka kemiskinan. Bani (2013),kajian ini untuk melihat bagaimana preferensi masyarakat untuk tetap tinggal atau
Penataan Kawasan Pemukiman Kumuh Untuk Mendukung Permukiman Yang Layak Ditinjau Dari Aspek Sosial Dan Budaya, Ekonomi Dan Lingkungan Irwan Kusdariyanto pindah terhadap penataan kawasan permukiman nelayan kumuh di Desa Kurau, Kecamatan Koba, Kabupaten Bangka Tengah. Dimana masyarakat ditawarkan dengan dua pilihan yaitu pindah dengan kata lain relokasi atau tetap tinggal sehingga dilaksanakan konsolidasi lahan.Karim, Tony (2010), kajian ini untuk melihat pengaruh penataan ini terhadap pola hunian masyarakat disekitar kawasan bantaran sungai tersebut. Sedangkan sasaran dari penelitian ini adalah; mengidentifikasi karakteristik masyarakat yang tinggal dikawasan bantaran sungai, menganalisis fisik rumah masyarakat setelah adanya penataan dan melihat aktivitas masyarakat setelah adanya penataan ini. Yudha, Aljunaid (2013)melakukan kajian untuk mengetahui faktor kunci keberhasilan perencanaan partisipatif lokal dan penataan ulang perkotaan di daerah kumuh. Kenyataan bahwa penyelesaian merupakan kebutuhan dasar manusia dan dapat menjadi faktor penting dalam menentukan kualitas hidup. Namun, tidak mudah untuk mencapai seperti permukiman yang ideal, terutama di daerah perkotaan yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara permintaan dan ketersediaan lahan, seiring dengan pertumbuhan penduduk
Hasil-hasil penelitian dan kajian di atas terutama pada gambaran tipologi kawasan permukiman kumuh lebih cenderung menekankan pada tipologi kerentanan pada suatu kawasan permukiman kumuh dengan melihat aspek fisik dan respon sosial masyarakat serta mengidentifikasi penilaian aspek fisik dan non fisik (sosial, karakteristik regional, kebijakan budaya ekonomi dan perencanaan tata ruang). Selain itu kajian di atas sebagian mengkaji perubahan tatanan budaya masyarakat dalam penataan kawasan kumuh dan melakukan identifikasi kawasan kumuh seperti vitalitas non ekonomi dan ekonomi, status tanah, kondisi prasarana, komitmen Pemda dan prioritas penanganannya. Namun demikian, dari sejumlah penelitian dan kajian tersebut belum ada yang mengkaji aspek sosial dilihat dari sisi kesiapan masyarakat dan tingkat kekumuhan secara menyeluruh. Hal ini sangat penting karena terkait dengan penerapan teknologi permukiman pada suatu kawasan sehingga kita dapat menggali permasalahan dan potensi kebutuhan infrastruktur yang dibutuhkan pada suatu kawasan permukiman. Berdasarkan hal di atas, penelitian ini mengkaji lebih jauh terkait dengan penanganan kawasan kumuh khususnya pada wilayah kawasan kumuh berdasarkan SK Bupati/Kota tentang penetapan lokasi kawasan kumuh. Untuk itu, pertanyaan yang diajukan adalah Bagaimana gambaran tipologi serta permasalahan dan potensi penerapan teknologi
permukiman pada kawasan kumuh.
Dengan diketahuinya gambaran tipologi kawasan serta permasalahan dan potensi, diperoleh langkahlangkah terencana dan sistematis dalam penerapan teknologi permukiman sehingga meminimalisasi permasalahan dan memaksimalisasi dampak positif dalam rangka mendukung penataan kawasan kumuh.
KAJIAN PUSTAKA
Perumahan dan Permukiman Perumahan dan pemukiman merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan sangat erat hubungannya yang pada hakikatnya dapat saling melengkapi (Kurniasih, 2007). Perumahan lebih sering diibaratkan sebagai bentuk fisik dari rumah tersebut sedangkan pemukiman adalah lingkungan yang berada di daerah perumahan tersebut. Secara lebih rinci, UU no 4 pasal 1 tahun 1992 menerangkan bahwa perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan. Sedangkan pemukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Permukiman Kumuh
Menurut UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. Perumahan kumuh adalah perumahan yang mengalami penurunan kualitas fungsi sebagai tempat hunian
Kumuh adalah kesan atau gambaran secara umum tentang sikap dan tingkah laku yang rendah dilihat dari standar hidup dan penghasilan kelas menengah. Dengan kata lain, kumuh dapat diartikan sebagai tanda atau cap yang diberikan golongan atas yang sudah mapan kepada golongan bawah yang belum mapan. Kumuh dapat ditempatkan sebagai sebab dan dapat pula ditempatkan sebagai akibat (Kurniasih, 2007). Menurut Masrun (2009) permukiman kumuh merupakan permasalahan yang mengacu pada aspek lingkungan hunian atau komunitas. Permukiman kumuh diartikan sebagai suatu
29
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 25 - 36
lingkungan permukiman yang telah mengalami penurunan kualitas atau memburuknya baik secara fisik,sosial,ekonomi maupun sosial budaya, yang tidak mungkin dicapainya kehidupan yang layak bagi penghuninya, bahkan dapat pula dikatakan bahwa para penghuninya benar-benar dalam lingkungan yang sangat membahayakan kehidupannya. Pada umumnya permukiman kumuh memiliki ciri-ciri tingkat kepadatan penduduk yang sangat rendah, tidak memadainya kondisi sarana dan prasarana dasar, seperti halnya air bersih, jalan, drainase, sanitasi, listrik, fasilitas pendidikan,ruang terbuka/rekreasi,fasilitasi pelayanan kesehatan dan perbelanjaan. Konsep Penanganan Kawasan Kumuh
Berdasarkan UU No. 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, terdapat 2 (dua) pola penanganan kawasan kumuh, yaitu: a. Pencegahan
1. Pengawasan dan pengendalian
Kesesuaian terhadap perizinan, standar teknis dan pemeriksaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Pemberdayaan masyarakat Pelaksanaan melalui pelayanan informasi
b. Peningkatan Kualitas
pendampingan
dan
1. Pemugaran
Perbaikan, pembangunan kembali menjadi permukiman layak huni
2. Peremajaan
Mewujudkan permukiman yang lebih baik guna melindungi keselamatan dan keamanan masyarakat sekitar dengan terlebih dahulu menyediakan tempat tinggal bagi masyarakat
3. Pemukiman kembali
Pemindahan masyarakat dari lokasi yang tidak mungkin dibangun kembali /tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan/atau rawan bencana serta menimbulkan bahaya bagi barang ataupun manusia.
Berdasarkan beberapa pandangan di atas dapat dikatakan bahwa dalam pola penataan kawasan kumuh diperlukan 2 pola penataan kawasan kumuh yaitu pencegahan dan peningkatan kualitas. Pencegahan kawasan kumuh memerlukan ketentuan yang baik dilihat perizinan, standar teknis dan pemeriksaan suatu kawasan dan yang tidak
30
kalah penting adalah pemberdayaan masyarakat. Penelitian ini mencoba memetakan aspek tanah dan bangunan, sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan sehingga diperoleh gambaran tipologi kawasan yang akurat dalam rangka mendukung pemberdayaan masyarakat dengan cara melihat kesiapan masyarakat dan tingkat kekumuhan kawasan permukiman. Pada akhirnya ketika gambaran tipologi dan permasalahan sudah dapat dipetakan maka strategi penanganan kawasan kumuh bisa berupa pemugaran, peremajaan atau permukiman kembali.
METODOLOGI.
Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian multiple case study. Multi case study (studi multikasus) adalah penelitian studi kasus yang menggunakan banyak isu atau kasus di dalam satu penelitian. Sampel diambil berdasarkan lokasi penataan kawasan kumuh yang dikeluarkan oleh Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR yang dianggap dapat mewakili lokasi penataan kawasan kumuh. Jumlah keseluruhan responden diKota Lhokseumawe dan Bintan menggunakan sampel sebanyak 273 dan 220 responden berdasarkan jumlah keseluruhan KK di 3 Kecamatan dengan menggunakan rumus slovin. Penelitian ini dilakukan pada bulan September dan Oktober Tahun 2015. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada gambar 1 dan 2. Untuk analisis dilakukan beberapa tahap, yakni setelah hasil jawaban kuesioner dari responden diambil kemudian diolah. Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Metode pengolahan kualitatif dilakukan secara deskriptif dan interpretatif. Metode ini digunakan untuk memberikan alternatif kebijakan di kawasan kumuh. Metode ini dianilisis berdasarkan hasil wawancara kepada masyarakat dan juga studi literatur. Pengolahan dan analisis data kuantitatif digunakan untuk mengidentifikasi tipologi kawasan kumuh dan mengidentifikasi permasalahan infrastrukturdengan metode indeks menggunakan program SPSS 21 dan Microsoft Office Excel 2010. Tahapan untuk memperoleh nilai indeks yaitu hasil olah data, dihitung dengan menggunakan skala yang ditentukan, dengan asumsi bahwa semakin besar skala yang digunakan maka semakin buruk kondisinya. Setelah perhitungan skala kemudian dilakukan standarisasi satuan (normalisasi).Hal ini dilakukan agar satuan untuk setiap parameter sama.Selanjutnya, menentukan angka ideal untuk masing-masing parameter dan menghitung jarak ke kondisi ideal. Setelah itu, indeks dihitung melalui akar jumlah kuadrat semua dusun atau RT (per kabupaten) untuk setiap parameter.Untuk menguatkan dalam interpretasi hasil perhitungan
Penataan Kawasan Pemukiman Kumuh Untuk Mendukung Permukiman Yang Layak Ditinjau Dari Aspek Sosial Dan Budaya, Ekonomi Dan Lingkungan Irwan Kusdariyanto dilakukan juga analisis korelasi antar parameter baik untuk hasil wawancara maupun observasi.
Tata Bangunan 5,000 4,000 3,000
Lingkungan
2,000
Sosial
1,000 0,000
Ekonomi Darusalam
Budaya Nelayan
Pancasila
Pasi
Rawa Jaya
Gambar 3. Tipologi Kawasan Kumuh Kota Lhokseumawe Aceh Sumber : Sumber: Balai Litbang Sosekling Bidang SDA 2015
Gambar 1. Peta Kabupaten Lhoksemawe
Sumber : http://www.lhokseumawekota.go.id/older/images/peta.jpg
Tata Bangunan 6,000 5,000 4,000 Lingkungan
3,000 2,000
Sosial
1,000 0,000
Ekonomi
Budaya
RT 01 Kijang Kota
RT 2 Kijang Kota
RT 3 Kijang Kota
RT 5 Kijang Kota
RT 01 Kijang Kota
RT 02 Tembeling
RT 4 Kijang Kota
Gambar 4. Tipologi Kawasan Kumuh Kabupaten Gambar 2. Peta Kabupaten Bintan
Sumber : https://petatematikindo.files.wordpress.com/2015/01/ administrasi-bintan-a1.jpg
HASIL DAN PEMBAHASAN Tipologi Kawasan Permukiman Dalam mendukung penataan kawasan permukiman yang berkelanjutan, kita memerlukan gambaran dari aspek sosial, ekonomi, budaya, lingkungan dan tata bangunan agar dapat pembangunan infrastruktur dapat dilihat kondisi masyarakat secara menyeluruh. Berikut ini adalah hasil gambaran tipologi kawasan permukiman untuk kedua lokasi di Kota Lhoksemawe dan Kabupaten Bintan (Gambar 3 dan 4).
Sumber : Sumber: Balai Litbang Sosekling Bidang SDA 2015
Berdasarkan hasil di atas dapat dijelaskan untuk Kota Lhoksemawe, aspek lingkungan yang perlu memiliki nilai yang tinggi adalah frekuensi terjadinya bencana, keberadaan wabah penyakit, dan penyakit yang sering terjangkit. Lingkungan permukiman masyarakat yang kurang baik sehingga menyebabkan berkembangnya wabah penyakit. Setelah aspek lingkungan, aspek ekonomi memerlukan perhatian seperti total pengeluaran, potensi ekonomi, dan sumber modal yang dapat digunakan oleh masyarakat. Total pengeluaran masyarakat belum dapat membantu potensi ekonomi yang akan dikembangkan keluarga dikarenakan sumber modal belum didapatkan. Aspek tata bangunan selama ini bentuk perumahan semi permanen dan status lahan dari permukiman masyarakat yang belum sertifikat. Aspek budaya
31
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 25 - 36
32
Permasalahan dan Permukiman Kumuh
Potensi
Kawasan
68% 43%
60%
60% 69%
80%
75%
100%
59%
120%
87%
Setelah mendapat gambaran tipologi kawasan permukiman, maka yang perlu diperhatikan dalam melihat permasalahan kawasan permukiman kumuh adalah kesiapan masyarakat dan tingkat kekumuhan suatu kawasan permukiman sehingga dapat melihat potensi kawasan permukiman kumuh dengan identifikasi permasalahan infrastruktur di kedua lokasi penelitian.Untuk melihat permasalahan kawasan permukiman kumuh yang harus dilihat lebih dalam adalah kesiapan masyarakat dan seberapa besar tingkat kekumuhan suatu kawasan permukiman dalam rangka menunjang program penataan kawasan kumuh. Untuk melihat kesiapan masyarakat dan tingkat kekumuhan lokasi penelitian dapat dilihat pada gambar 5 dan 6.
56%
Hasil analisis tipologi kawasan permukiman Kabupaten Bintan, untuk aspek lingkungan memiliki nilai yang lebih tinggi dikarenakan frekuensi dan jenis bencana setiap tahun, pengelolaan limbah,dankepemilikan lahan untuk pengembangan rumah. Frekuensi bencana sering terjadi setiap tahun seperti angin rebut yang menyebakan kerusakan lingkungan permukiman dan pengelolaan limbah masyarakat baik limbah padat maupun limbah rumah tangga yang disebabkan lahan pengembangan permukiman sudah tidak ada. Aspek yang perlu diperhatikan setelah aspek lingkungan adalah Ekonomi seperti pendapatan rata-rata per bulan di masyarakat permukiman kumuh di Kabupaten Bintan sebesar Rp 2.900.000 yang memiliki nilai di bawah standar UMR yang ditetapkan (UMR yang digunakan adalah UMR DKI Jakarta). Sehingga masyarakat belum dapat melihat potensi ekonomi untuk dapat meningkatkan kesejateraan masyarakat dikarenakan belum didukung prasarana ekonomi yang dimiliki oleh masyarakat masih sedikit. Masyarakat banyak yang mengandalkan prasarana ekonomi berupa koperasi. Sumber modal untuk usaha masyarakat permukiman kumuh di Kabupaten Bintan adalah modal sendiri yang memiliki keterbatasan jumlahnya. Sedangkan, jenis tabungan yang dimiliki oleh masyarakat dikaji adalah emas, arisan, ternak, kos-kosan, kendaraan dan tanah yang diasumsikan digunakan masyarakat. Aspek Budaya belum dapat menerapkan nilainilai kearifan lokal dan budaya setempat dalam pelestarian lingkungan permukiman dikarenakan masih banyak masyarakat mencampur hewan peliharaan dengan rumah sehingga lingkungan menjadi kurang baik. Banyaknya budaya luar yang masuk kedalam lingkungan permukiman sehingga keberadaan budaya setempat sudah ditinggalkan. Aspek sosial seharusnya memegang peranan penting dalam penataan kawasan permukiman dimana masyarakat memegang peranan dalam menjaga lingkungan sekitarnya. Kalau dilihat dari
aspek sosial manfaat program penataan kawasan permukiman dirasakan belum optimum dan frekuensi kegiatan yang dilakukan oleh lembaga masih dapat dibilang sedikit. Masyarakat memiliki kemauan yang rendah untuk berpartisipasi terhadap program dan mempunyai pendapat tentang program permukiman yang kurang baik. Hal itu juga mempengaruhi pengetahuan tentang kenyamanan dari masyarakat tersebut.Permasalahan aspek tanah bangunanseperti status lahan dan tawaran/ harga tanah. Status lahan di Kabupaten Bintan pada umumnya merupakan hak milik yang digunakan sendiri untuk tempat tinggal. Adanya kepadatan yang terjadi dikarenakan tawaran tanah yang tinggi dengan harga yang rendah.
100% 100%
diharapkan menjadi benteng dalam kelesatarian lingkungan sekitarnya namun belum ada bentuk khas bangunan dan norma yang dapat dijadikan budaya dan aturan dalam rangka pelestrian lingkungan kawasan permukiman tersebut.Aspek Sosial yang perlu diperhatikan seperti kemampuan untuk terlibat dalam lembaga atau kelompok masyarakat di lingkungan, frekuensi kegiatan yang dilakukan oleh lembaga atau kelompok masyarakat, dan pendapat tentang program peningkatan kualitas permukiman. Keterlibatan masyarakat dalam perencanaan atau pelaksanaan pembangunan infrastruktur belum dilibatkan secara penuh, hal ini juga didukung keberadaan kelompok masyarakat/ lembaga belum terbentuk.
kekumuhan
40%
Kesiapan
20% 0% Pasi
Rawa Jaya
kekumuhan
100%
56%
75%
80%
43%
Kesiapan
100%
87%
59%
69%
68%
Nelayan Pancasila
Daru salam
Gambar 5. Tipologi Kawasan Kumuh Kabupaten Sumber : Balai Litbang Sosekling Bidang Sumber Daya Air 2015
Penataan Kawasan Pemukiman Kumuh Untuk Mendukung Permukiman Yang Layak Ditinjau Dari Aspek Sosial Dan Budaya, Ekonomi Dan Lingkungan Irwan Kusdariyanto
69% 32%
54% 56%
56%
60%
66% 52%
92%
89%
53%
80%
68%
100%
100% 100%
120%
40%
kekumuhan
20% 0%
Kesiapan Tem Tem Kijang Kijang Kijang Kijang Kijang beling beling 05 02 04 03 01 01 02
kekumuhan
100% 89%
Kesiapan
92%
100% 68% 53% 52%
66% 56% 54% 69% 59% 56% 32%
Gambar 6. Tingkat Kekumuhan dan Kesiapan di Kabupaten Bintan Sumber : Balai Litbang Sosekling Bidang Sumber Daya Air 2015
Berdasarkan gambar 5, Kota Lhoksemawe tingkat kesiapan dan kekumuhan Dusun Pasi disebabkan kondisi kawasan permukiman yang tidak layak dikarenakan kurang didukung dengan sarana dan prasarana infrastruktur yang baik. Dusun Pasi berada pada wilayah pesisir pantai dengan karakteristik masyarakatnya adalah nelayan. Masyarakat sekitarnya mengandalkan penghasilan sebagai nelayan sehingga untuk memperbaiki sarana permukiman sendiri masih
terjadinya bencana alam seperti tsunami dan angin ribut. Berikut ini hasil analisis perhitungan tingkat kekumuhan dan kesiapan masyarakat untuk Kabupaten Bintan. Berdasarkan hasil perhitungan analisis untuk kesiapan masyarakat dan tingkat kekumuhan untuk lokasi Kabupaten Bintan berada di Kelurahan Tembeling Tanjung untuk RT O1 RW 02, tingkat kekumuhan memerlukan perhatian dikarena sarana prasarana pendukung permukiman belum tersedia, ada sarana permukiman seperti MCK sudah rusak dan tidak digunakan dikarenakan masyarakat belum mengerti cara memperbaikinya. Tingkat kesiapan masyarakat cukup baik dengan ingin terlibat dalam program-program penataan kawasan kumuh. Dalam menangani permasalan kumuh, tidak saja diperlukan aspek penanganan berupa fisik dan pembangunan. Hal lain yang lebih penting adalah kondisi sosial ekonomi lingkungan (sosekling) yang mengacu pada aspek kesiapan masyarakat (community readiness). Aspek tersebut sangat penting mengingat masyarakat adalah pihak yang akan mendapatkan manfaat dari infrastruktur dan juga sekaligus memeliharanya. Oleh karena itu perlu disusun suatu matriks yang membahasa tentang aspek non fisik untuk mendukung aspek fisik tersebut. Berikut ini tabel1 identifikasi permasalahan infrastruktur di Kota Lhoksemawe:
Tabel 1. Identifikasi Permasalahan Infrastruktur di gampong Pusong Lama Dusun
No
Kebutuhan Infrastruktur
Darussalam
Pancasila
Rawa Jaya
Nelayan
Pasi
1
Bangunan hunian
2,82
3,59
2,28
3,53
3,63
2
Akses Jalan
2,45
2,76
2,59
3,00
2,39
3
Drainase
2,96
3,22
3,13
3,18
3,61
4
Pelayanan Air Minum /Air Baku
2,23
2,63
2,25
2,25
2,69
5
Pengelolaan Limbah
2,47
3,09
2,46
2,47
2,29
6
Pengelolaan Sampah
2,99
2,92
2,91
3,26
3,47
7
Proteksi Kebakaran
2,25
2,39
1,81
2,30
2,05
Sumber : Balai Litbang Sosekling Bidang Sumber Daya Air 2015
belum terpikirkan. Minimnya program-program penataan kawasan permukiman di lingkungan sekitarnya membuat masyarakat membutuhkan bantuan pemerintah dalam menyediakan prasarana dan sarana pendukung sarana permukiman seperti MCK, air bersih, bangunan permukiman permanen hal ini karena wilayah pesisir memang rentang
Ditinjau tabel 1, permasalahan utama untuk setiap wilayah berbeda-beda. Dusun Darussalam mengalami permasalahan infrastruktur utama terkait persampahan, yaitu pengelolaan sampah. Dusun Pancasila, Nelayan, dan Pasi mengalami permasalahan infrastruktur utama terkait dengan bangunan hunian, sedangkan Dusun Rawa Jaya
33
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 25 - 36
mengalami permasalahan terkait dengan drainase.
infrastruktur
utama
bencana yang terjadi setiap tahunnya (20102015) seperti angin puting beliung yang menyebabkan kondisi bangunan menjadi rusak. Hal tersebut disebabkan masyarakat belum memanfaatkan prasarana ekonomi
Berdasarkan hasil identifikasi permasalahan utama di Kelurahan Tembeling Tanjung dan Kijang Kota dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Identifikasi Permasalahan Utama Infrastruktur di Kabupaten Bintan
No
Kebutuhan Infrastruktur
Kelurahan Tembeling Tanjung RT 01
1 2
Kelurahan Kijang Kota
RT 02
RT 01
RT 02
RT 03
RT 04
RT 05
Bangunan hunian
2,75
3,02
2,82
2,77
2,58
2,48
2,50
Akses Jalan
2,09
2,72
3,44
2,34
2,46
2,57
3,17
3
Drainase
3,90
3,89
2,40
3,33
2,96
3,24
3,46
4
Pelayanan Air Minum /Air Baku
2,22
2,94
2,48
2,14
2,31
2,44
2,39
2,66
2,32
2,43
1,77
2,32
1,77
5
Pengelolaan Limbah
2,51
6
Pengelolaan Sampah
3,67
3,88
3,48
3,43
3,07
3,25
3,62
7
Proteksi Kebakaran
2,06
2,33
2,27
2,41
2,10
2,12
2,17
Sumber : Balai Litbang Bidang Sumber Daya Air 2015
Ditinjau tabel 2, permasalahan utama untuk Kelurahan Tembeling Tanjung dan Kijang Kota berbeda. Kelurahana Tembeling Tanjung memiliki permasalahan utama mengenai drainase untuk setiap RT, sedangkan untuk Kelurahan Kijang Kota memiliki permasalahan utama mengenai pengelolaan sampah untuk setiap RT. Penataan kawasan kumuh tidak berupa aspek teknis namun dari aspek non fisik dimaksudkan agar investasi pembangunan infrastruktur permukiman yang dilakukan menjadi lebih optimal dan sustainable (berkelanjutan) sehingga menjadi lebih efektif dan efisien. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan beberapa hal terkait dengan penataan kawasan permukiman kumuh sebagai berikut:
a. Secara Umum gambaran tipologi kawasan permukiman dan perumahan kumuh:
1. Propinsi Nanggro Aceh Darusalam memerlukan perhatian seperti frekuensi terjadinya bencana, keberadaan wabah penyakit, dan penyakit yang sering terjangkit. Hal tersebut disebabkan kepadatan dan kondisi bangunan permukiman yang kurang layak dihuni oleh karena itu membutuhkan sumber modal untuk memperbaiki bangunan dengan memberdayakan potensi ekonomi masyarakat.
34
2. Propinsi Kepulauan Riau, memerlukan perhatian aspek lingkungan seperti adanya
seperti koperasi untuk menjadikan sumber modal dalam mengembangkan potensi ekonomi masyarakat
b. Indentifikasi permasalahan utama dan potensi penanganan: - Untuk permasalahan dan potensi penanganannya di Propinsi Nanggro Aceh, dimana permasalahan utama persampahan, yaitu pengelolaan sampah, bangunan hunian, drainase. Potensi penanganannya dilakukan dengan mencoba melihat tingkat kesiapan masyarakat dan tingkat kekumuhan kawasan permukiman dimana kondisinya tingkat kesiapan masyarakat perlu disiapkan dulu sebelum melakukan penataan kawasan kumuh
- Untuk permasalahan dan potensi penanganannya di Kepulauan Riau dimana permasalahan utama drainase, pengelolaan sampah. Potensi penanganannya dilakukan dengan mencoba melihat tingkat kesiapan masyarakat dan tingkat kekumuhan kawasan permukiman, untuk kondisinya tingkat kekumuhan masih perlu dapat perhatian dikarenakan sarana prasarana pendukung permukiman belum tersedia.
Untuk itu, agar kondisi penataan kawasan permukiman kumuh sesuai dengan kesesuaiaan dan kebutuhan rakyat dapat diajukan saran sebagai berikut: a. Diperlukan Peraturan Daerah (Perda) terutama untuk mendukung penataan kawasan
Penataan Kawasan Pemukiman Kumuh Untuk Mendukung Permukiman Yang Layak Ditinjau Dari Aspek Sosial Dan Budaya, Ekonomi Dan Lingkungan Irwan Kusdariyanto permukiman kumuh dengan jalan melakukan pembatasan dan proteksi kepemilikan lahan oleh pendatang secara massif dan pengusaha dalam rangka mendukung peruntukan lahan sesuai tata ruang sehingga dapat membatasi alih fungsi lahan yang dikwatirkan tidak terkendali.
b. Dalam rangka mempersiapkan masyarakat diperlukan sosialisasi yang terus menerus terutama untuk program-program penataan kawasan kumuh dengan melibatkan tokohtokoh masyarakat agar secara perlahan mengikis dampak negative yang timbul melalui kebijakan, program dan kegaiatan penanganan penataan kawasan kumuh.
c. Pelaksanaan strategi komunikasi yang lebih persuatif dan diusahakan langsung (antar personal ataupun kelompok kecil) serta melalui media Massa atau booklet,brosur atau sejenisnya.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kami sampaikan kepada Kepala Pusat Kebijakan dan Penerapan Teknologi (PKPT) dan Prof.Dr.R.Pamekas dan rekanrekan Tim penelitian yang telah membantu atas terlaksanakannya penelitian ini DAFTAR PUSTAKA
Anindya, Reza. 2010. Kajian Yuridis Perencanaan Tata Ruang Kota Dalam Kaitanya Dengan Penataan Permukiman Kumuh di Bantaran Sungai Kalianyar Sebagai Upaya Mewujudkan Program Kali Bersih di Surakarta. Thesis Universitas Sebelas Maret. Amri, Nurmaida. 2013. Karakteristik Lingkungan Permukiman Kumuh Tepian Sungai Kecamatan Kolaka, Sulawesi Tenggara. UPT Perpustakaan UNHAS Volume 12. Amos Setiadi. 2014. Tipologi dan Pola Penanganan Permukiman Kumuh di Kota Bontang. Jurnal Tata Loka Universitas Diponegoro 16 (4). Budi Santosa . 2012.Kesiapan dan Kesediaan Pemangku Kepentingan Untuk Peremajaan Kawasan Kumuh Melalui Pembangunan Rumah Susun: Studi Kasus di Kota Semarang. Jurnal Perkotaan Unika Atmajaya 4 (2). Bani Dipra Ramdani, Ragil Haryanto. 2013. Preferensi Masyarakat Terhadap Penataan Kawasan Permukiman Nelayan Kumuh di Desa Kurau, Kecamatan Koba, Kabupaten Bangka Tengah. E-Journal Universitas Diponogoro 2 (3). Bani Putri Yulianti . 2015. Evaluasi Penataan Kawasan Permukiman Kumuh: Studi Kasus: Program Peremajaan Kawasan Tegal panggung di Kota
Yogyakarta.Thesis Universitas Gadjah Mada. Damandiri .2015. Aspek dan Kriteria yang Menjadi Dasar Penentuan Teknologi Pengolahan Sampah yang Sebaiknya Diterapkan di Jakarta Timur Melalui Studi AHP. http://www.damandiri. or.id/file/indrapermanaipblampiran1. pdf#page=3&zoom=auto,-73,360 (diakses 20/12/2015). Ditjen Cipta Karya . 2014. Lembar Baru Penuntasan Kawasan Permukiman Kumuh. Buletin Cipta Karya: Edisi 12 Evans Oktaviansyah. 2012. Penataan Permukiman Kumuh Rawan Bencana Kebakaran di Kelurahan Lingkas Ujung Kota Tarakan. Jurnal Tata Kota dan Daerah Universitas Brawijaya 2. Febrian Erlangga. 2014. Peran Dinas Tata Kota Dalam Meningkatkan Kualitas Perumahan dan Permukiman Kumuh di Kota Bandar. Skripsi Fakultas Hukum Universitas Lampung. Fika Valensia Yusikaningtyas . 2015. Upaya Penataan Kawasan Kumuh Desa Berbasis Masyarakat (Studi Pada Program Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas (PLPBK) Desa Jatimulyo, Kecamatan Kauman, Kabupaten Tulungagung. Jurnal Elektronik Mahasiswa Jurusan Administrasi Publik 3 (10). Hasanuddin, Bani Perdatawati. 2014. Implementasi Revitalisasi Permukiman Kumuh di Kota Makassar. Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Indah Dwi Lestari, Agung Sugiri. 2013. Peran Badan Keswadayaan Masyarakat Dalam Penanganan Permukiman Kumuh di Podosugih, Kota Pekalongan. E-Journal Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Diponogoro 2 (1). Jawas Dwijo Putro. (2011).Penataan Kawasan Kumuh Pinggiran Sungai di Kecamatan Sungai Raya. Jurnal Teknik Sipil Universitas Tanjungpura 11 (1). Jauhari Effendi dan Sudirman S .2012. Analisis Kesesuaian Prasyarat Kampung Sasaran Dengan Kampung Terapan Terhadap Program Pola Penanganan Permukiman Kumuh Perkotaan di Indonesia. Jurnal Bumi Lestari Universitas Udayana 12 (2). Karim, Tony .2010. Pengaruh Penataan Bantaran Sungai Bau-Bau Terhadap Pola Hunian Masyarakat di Kelurahan Tomba dan Bataraguru Kota Bau-Bau. Tesis Universitas Diponegoro. Leny Agustin Maharani, Ema Umilia. 2014. Tipologi Permukiman Kumuh di Pinggiran Selatan Kota Surabaya. Jurnal Teknis Institut Teknologi Sepuluh Nopember 3 (2).
35
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 25 - 36
Balai Litbang Sosekling Bidang Sumber Daya Air. 2015. Laporan Kegiatan Penelitian Litbang Penerapan Teknologi Perumahan dan Permukiman, SPAM dan Sanitasi Mendukung Penanganan Kawasan Kumuh. Masrun Laode. 2009. Permukiman Kumuh. http:// odexyundo.blogspot.com/2009/08/ permukiman-kumuh.html (diakses 12/04/2016). Mardiantono, Toni, dkk. 2003. Identifikasi Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Jalan dan Saluran Lingkungan Permukiman Kumuh di Kota Semarang. Skripsi Universitas Diponegoro. Muhammad Basir. 2012. Hubungan Sosial dan Akses Sosial Masyarakat Pada Lingkungan Pemukiman Kumuh di Kota Makasar. Jurnal Perkotaan Unika Atmajaya 4 (1). Marina Ayu Wulandari, Sunarti. 2013. Tipologi Kerentanan Permukiman Kumuh Kawasan Pesisir Terhadap Perubahan Iklim di Kota Tegal. E-Journal Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota 2 (1). Mayolania Lantang.Windy Mononimbar. Sangkertadi.Suryono. 2013. Analisis Faktor Kekumuhan Permukiman di Kelurahan Calaca Kota Manado. E-Journal Universitas Sam Ratulangi 5 (1). Mega Sesotyaningtyas, Wiwik Dwi Pratiwi dan Jawoto Sih Setyono. 2015. Transformasi Hunian Dengan Perspektif Spasial dan Tatanan Budaya: Komparasi Permukiman Kumuh Bang Bua,Thailand dan Kampung Naga,Indonesia. Journal of Geomatics and Planing Universitas Diponegoro 2 (2). Noegi Noegroho. 2011. Penataan Hunian Kumuh Perkotaan di Atas Tanah Ulayat: Studi Kasus Pada Kota Payakumbuh, Sumatera Barat. Jurnal ComTech Universitas Bina Nusantara 2 (2). Nevi Vilianty Hamid, Sunarti .2013. Tipologi Permukiman Kumuh Kawasan Pesisir di Kelurahan Wolomarang Kota Maumere (Slum Typology in Coastal Zone of The Wolomarang District Maumere City). Jurnal Pengembangan Kota 1 (1). Nizar Harsya Wardhana, Haryo Sulistyarso. 2015. Faktor-Faktor Penyebab Kekumuhan di Kelurahan Kapasari Kecamatan Genteng, Kota Surabaya. Jurnal Teknis Institut Teknologi Surabaya 4 (2). Sri Kurniasih. 2007. Penelitian: Usaha Perbaikan Pemukiman Kumuh di Petukangan Utara – Jakarta Selatan. Suweda.I.W. 2011. Penataan Ruang Perkotaan Yang Berkelanjutan Berdaya Saing dan Berotonomi (Suatu Tinjauan Pustaka). Jurnal Ilmiah Teknik
36
Sipil 15 (2). Setiyowati, Aryani and Astuti, Winny and Galing, Yudana. 2011. Tingkat Keberhasilan Program Sapu Lidi Sebagai Program Penataan Perumahan Permukiman Masyarakat Miskin Kota Pekalongan. Jurnal Region Universitas Sebelas Maret 4 (1). Cipta Karya. 2012. Serasehan dalam Rangka Hari Habitat Dunia 2012 Penanganan Permukiman Kumuh Secara Terpadu. Sulentianson, Erick dan Petrus Natalivan Indrajati. 2014. Penanganan Permukiman Kumuh dengan Pendekatan Karakteristik dan Faktor Penyebab Kekumuhan (Studi Kasus: Permukiman Kumuh di Kelurahan Tamansari dan Kelurahan Braga). Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK: 261-270. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman Veronica Kusumawardhani, Surjono Hadi Sutjahjo dan Indarti Komala Dewi. 2016. Penyediaan Perumahan dan Infrastruktur Dasar di Lingkungan Permukiman Kumuh Perkotaan (Studi Kasus di Kota Bandung). Jurnal Arsitektur Nalars 15 (1). Wiwik Widyo .2013. Studi Potensi Lingkungan Pemukiman Kumuh di Kampung Kota. Jurnal. 04 Wahyudi, Imam, Asnawi. 2013. Kolaborasi Pemerintah Daerah Dengan Masyarakat Dalam Program Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas (Studi Kasus: Kelurahan Podosugih, Kota Pekalongan dan Kelurahan Kebondalem, Kabupaten Kendal). Skripsi Universitas Diponegoro. Yudha P. Heston, Ahmad Yusuf Aljunaid. 2013. Sinergisitas masyarakat pemerintah swasta dalam program penataan kawasan kumuh perkotaan. Sosiologi Reflektif 7 (2).
Analisis Kesediaan Membayar Biaya Operasional-Pemeliharaan Infrastruktur Permukiman pada Masyarakat di Kawasan Kumuh (Studi Kasus : Permukiman Pampang dan Lette, Makassar) Willingness To Pay (WTP) Analysis for the Settlement Infrastructure Operation-Maintenance Cost of Communities in Slum Area (Case Study : Pampang and Lette Settlements, Makassar) Arvian Zanuardi1 dan Reinita Afif Aulia2 Satuan Kerja Balai Penelitian dan Pengembangan Penerapan Teknologi III Jl. Raya Waru No.20 Sidoarjo, Jawa Timur 61256 1 Email :
[email protected] 2 Email :
[email protected] Tanggal diterima: 2 Februari 2016; Tanggal disetujui: 30 Maret 2016 ABSTRACT Indonesian effort on slum-free realization is still constrained by many cases of unsustainable slum treatment programs. Slum area that has been handled can be potentially back to slum because of the infrastructures that are not optimally functionate or damaged. Community participation on supporting the operational-maintenance (OM) cost is necessary to ensure the sustainability of the infrastructure services. This study aimed to analyze the communities willingness to participate on the infrastructure OM cost and its influencing factors. The case study are conducted in Pampang and Lette slum areas, in the city of Makassar. The method used is descriptive statistics and regression analysis. The results showed that the Willingness To Pay (WTP) value is still lacking with average of Rp. 9.404,75/KK (Pampang) and Rp. 6.634,62/KK (Lette). Factors that affecting the WTP are the income (koef. +924,127), the ownership of capital and economic support (koef, -2.377,269), and the awareness of living in slum area (koef. +1.754,219). Even though ten predictor variables were analyzed and only three of them have significant influence, the level of colinearity in the analysis model is tolerated. Keywords: slum treatment, sustainability, Willingness To Pay (WTP), operational-maintenance cost, regression analysis, predictor variables
ABSTRAK Upaya merealisasikan Indonesia bebas kumuh masih terkendala oleh banyak tidak terpenuhinya keberlangsungan program penanganan. Kawasan yang telah ditata berpotensi kumuh kembali akibat infrastruktur yang tidak berfungsi optimal atau rusak. Partisipasi masyarakat dalam mendukung biaya operasional-pemeliharaan (OP) dirasakan perlu guna menjamin keberlanjutan pelayanan sarana prasarana permukiman yang ada. Penelitian ini bertujuan menganalisis kesediaan masyarakat dan faktor prediktor yang mempengaruhinya dalam partisipasi iuran bulanan biaya OP infrastruktur permukiman. Studi kasus dilakukan di kawasan kumuh Pampang dan Lette yang ada di kota Makassar. Metode yang digunakan adalah statistik deskriptif dan analisis regresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesediaan membayar (WTP) masyarakat masih kurang dengan rata-rata nilai WTP hanya sebesar Rp. 9.404,75/KK (Pampang) dan Rp. 6.634,62/KK (Lette). Faktor yang mempengaruhi tingkat kesediaan membayar tersebut adalah pendapatan (koef. +924,127), kepemilikan modal dan penunjang ekonomi (koef, -2.377,269), serta kesadaran masyarakat tinggal di permukiman kumuh (koef. +1.754,219). Meski dari sepuluh variabel pediktor yang dianalisis hanya tiga yang signifikan pengaruhnya, tingkat kolinearitas dalam model analisis masih ditoleransi. Kata Kunci : penanganan kumuh, keberlanjutan, kesediaan membayar (WTP), biaya operasional-pemeliharaan, analisis regresi, variabel prediktor
37
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 37 - 49
PENDAHULUAN Derasnya pengaruh perkembangan urban berdampak pada sulitnya penanganan permukiman kumuh di wilayah perkotaan. Target Indonesia bebas kumuh (cities without slum) di tahun 2020 pun menjadi tugas yang berat bagi pemerintah. Kondisi ini diperparah dengan banyaknya kasus penanganan permukiman kumuh yang tidak optimal. Hasil program peningkatan kualitas permukiman hanya dirasakan dalam jangka waktu singkat, dan kawasan berpotensi menuju kumuh kembali. Salah satu faktor penyebab tidak terjadinya keberlanjutan (sustainability) dalam penanganan kumuh adalah penentuan penanganan yang tidak didasari pada keterjangkauan (affordability) dari masyarakat maupun pemerintah daerah dalam menjamin keberlangsungan program (Hadriyanto, 1996). Hal ini menyebabkan seringnya ditemuinya program penanganan yang tidak memiliki kemampuan cost recovery. Idealnya penanganan kumuh di suatu kawasan permukiman tidaklah menjadi proyek berkala. Pembangunan infrastruktur guna peningkatan kualitas permukiman harus dilanjutkan ke kawasan lainnya secara bergilir. Oleh karena itu, penting adanya penyiapan masyarakat dalam menjaga keberlanjutan program, khususnya dengan partisipasi menjaga, merawat atau pun mengembangkan infrastruktur yang telah dibangun.
Partisipasi masyarakat merupakan hal penting dalam kegiatan pembangunan agar hasilnya lebih terarah dan bermanfaat optimal bagi warga (Noegroho, 2012). Diperlukan keterlibatan aktif masyarakat dalam proses operasional dan pemeliharaan (OP) agar mampu menjamin keberlangsungan fungsi dan pelayanan saranaprasarana permukiman yang telah diinvestasikan pemerintah. Hutagalung (2013) menyatakan bahwa bentuk partisipasi pada tahap pelaksanaan didominasi oleh tenaga sedangkan dalam tahap pelestarian yaitu berupa uang (iuran). Selain luasan kawasan permukiman kumuh yang besar, kawasan permukiman kumuh ini pun rata-rata dihuni oleh warga miskin (Hasanuddin, 2014), yang tidak mampu mengakses perumahan yang layak (Musthofa, 2011). Meminta masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk uang iuran bulanan adalah masalah yang cukup sulit, meskipun sudah dilakukan penyadaran bahwa kontribusi tersebut adalah untuk keberlangsungan fasilitas yang mereka pakai sendiri.
38
Dari dasar tersebut, peneliti mencoba mengkaji
partisipasi masyarakat dalam mendukung biaya OP infrastruktur di kawasan permukiman kumuh. Permukiman Pampang dan Lette sebagai dua kawasan prioritas penanganan kumuh di Kota Makassar dipilih sebagai lokasi studi kasus. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis kesediaan masyarakat dalam mendukung biaya OP infrastruktur dengan model iuran bulanan. Analisis dikaitkan dengan faktor prediktor yang dimungkinkan mempengaruhi tingkat Willingness To Pay (WTP). Topik studi tersebut dipilih karena masih sangat terbatas studi WTP tentang operasional pemeliharaan infrastruktur permukiman dalam rangka penanganan kawasan kumuh. Selain untuk mengidentifikasi tingkat partisipasi masyarakat secara finansial, studi WTP ini juga ingin menggambarkan preferensi masyarakat terhadap jenis infrastruktur permukiman yang diprioritaskan serta tingkat layanan sesuai dengan kebutuhannya. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi pertimbangan kebijakan khususnya dalam hal perencanaan program penanganan kumuh yang lebih optimal serta menjadi dasar dalam penyiapan masyarakat pra pelaksanaan program penanganan kumuh agar didapatkan dukungan tingkat kesediaan membayar (WTP) masyarakat yang lebih baik. KAJIAN PUSTAKA
Kesediaan Membayar (Willingness To Pay) Kemauan untuk membayar (Willingness To Pay) merupakan sebuah konsep ekonomi yang mempunyai fungsi untuk menentukan jumlah uang yang akan dibayarkan konsumen untuk penyediaan suatu barang dan jasa. WTP mempunyai peranan pada berbagai riset untuk menemukenali kemauan membayar paling tinggi masyarakat terhadap suatu barang dan jasa (Randy, 2013). Selain itu, pendekatan WTP juga dapat digunakan untuk menentukan harga dari suatu produk/jasa (Tania dkk, 2011). Metode penilaian WTP dikategorisasikan menjadi 2 pendekatan utama. Pertama, dengan observasi yang dilakukan terhadap data pasar atau eksperimen. Kedua, pendekatan berbasis survei yang dilakukan secara langsung (direct methods) ataupun tidak langsung (indirect methods) (Gil, 2014). Model Stated Preference dinyatakan Sunarjito dan Wibowo (2014) sebagai teknik valuasi yang didasarkan pada survei di mana keinginan membayar diperoleh langsung dari responden, yang diungkapkan secara lisan maupun tulisan. Metode
Analisis Kesediaan membayar Biaya Operasional - Pemeliharaan Infrastruktur Permukiman Pada Masyarakat di Kawasan kumuh Arvian Zanuardi dan Reinita Afif Aulia pertanyaan terbuka (open-ended) adalah metode paling sederhana untuk elisitasi WTP dengan menanyakan langsung kepada responden berapa jumlah maksimal uang yang ingin dibayarkan akibat perubahan kualitas lingkungan. Faktor yang mempengaruhi WTP
Dalam konteks kesediaan membayar (WTP) masyarakat untuk mendapatkan pelayanan suatu sarana prasarana atau lingkungan, terdapat beberapa faktor yang ditemukan mempengaruhi tingkat kesediaan membayar (WTP) : - pendapatan, pengetahuan mengenai tarif dan persepsi serta penilaian tentang pelayanan yang diterima (Rianti dkk, 2012); - tingkat pendidikan, pekerjaan, jumlah anggota keluarga, tarif air bulanan, status kepemilikan pipa, kuantitas, dan kualitas air (Apriliyana, 2013);
- pendapatan total keluarga, pendidikan responden, pekerjaan responden, dan akses terhadap tempat kerja (Randy, 2013); - usia, pendidikan, pendapatan, jumlah tanggungan keluarga (Prasetyo, 2012); - luas lahan usaha, produktivitas lahan, pendapatan, tingkat pendidikan, jumlah tenaga kerja, pengetahuan tentang manfaat, dan jarak rumah (Prasmatiwi dkk, 2011); - pendapatan, persepsi pentingnya konservasi dan gender responden (Afifah, 2013);
- karakteristik sosial ekonomi (usia, gender, jumlah keluarga, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, pengeluaran, kesehatan), karakteristik permukiman (kepemilikan rumah, lama tinggal, jarak tempat tinggal), karakteristik prasarana (jenis dan tingkat kepuasan), karakteristik pemahaman (fungsi, tarif, pencemaran lingkungan), dan karakteristik pelayanan (dimensi dan frekuensi pengecekan) (Hidayat dan Maryati, 2015).
METODE PENELITIAN
Untuk kebutuhan analisis dipilih 2 (dua) lokasi studi kasus yang merupakan kawasan kumuh perkotaan, yakni Pampang dan Lette. Keduanya merupakan kawasan permukiman dengan kategori kumuh berat yang terletak di pusat kota Makassar. Berdasarkan asumsi karakteristik tipologi kumuh yang hampir sama, maka dilakukan penyatuan data dari kedua lokasi untuk analisis faktor prediktor yang mempengaruhi WTP.
Penelitian ini dilakukan dalam waktu 6 (enam) bulan, yaitu Juli s.d Desember 2015. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dengan metode deskriptif statistik dan analisis regresi. Pengukuran Kesediaan Membayar (WTP)
Nilai kesediaan membayar (WTP) adalah besaran iuran bulanan dalam rupiah (Rp) yang mau dibayarkan oleh responden (mewakili setiap satu KK) untuk mendukung biaya OP infrastruktur permukiman di wilayahnya. Pengukuran kesediaan membayar masyarakat menggunakan metode direct survey (survei langsung), dimana responden diberikan model kuesioner bersifat close-ended yang berisi pertanyaan pilihan dikotomi. Desain kuesioner WTP memuat pilihan jawaban untuk tidak mau membayar dan empat pilihan besaran iuran bulanan. Penyajian kuesioner diberi gambar konkrit infrastruktur untuk setiap tingkat iuran tertentu. Besarnya nilai iuran sebanding dengan peningkatan kualitas infrastruktur yang akan dibangun (lihat Tabel 1). Peningkatan kualitas layanan dimaksudkan agar dapat merekam preferensi masyarakat terkait tingkatan kualitas prasarana yang sebenarnya mereka butuhkan dan kesanggupan mereka mendukung biaya OP-nya. Diharapkan dengan begitu, pemerintah mendapatan informasi mengenai pilihan teknologi permukiman yang sesuai dengan affordability masyarakat di kawasan kumuh. Nilai kesediaan membayar merupakan jumlah uang yang mau dibayarkan oleh setiap KK dalam satu bulan sebagai iuran bulanan penunjang OP infrastruktur. Nilai kesediaan membayar per-KK ini (WTPi) diperoleh dengan penjumlahan nilai WTP seluruh jenis pelayanan infrastruktur permukiman (WTP1 s.d WTP7). Nilai WTPi digunakan untuk analisis prediktor, guna melihat faktor yang mempengaruhi besarnya tingkat kesediaan membayar dan besar signifikansinya.
Sedangkan nilai kesediaan membayar masyarakat di kawasan permukiman (WTPa) didapat dari jumlah nilai WTPi di kawasan permukiman dibagi dengan jumlah sampel/responden yang diambil. Nilai WTPa ini juga dapat diartikan sebagai ratarata besaran nilai iuran yang sanggup dibayar perKK per-bulan untuk keseluruhan jenis layanan. 7
WTPi
∑ WTP 1
WTPa
1 n
n
∑ WTPi
n=1
39
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 37 - 49
Tabel 1. Desain kuesioner WTP untuk iuran bulanan OP infrastruktur permukiman kode
Jenis pelayanan
WTP1
Drainase
WTP4 WTP5
Jalan lingkungan Proteksi kebakaran
WTP2 WTP3 WTP6 WTP7
Rp.0
Sanitasi
Persampahan
Masyarakat tidak mau membayar. WTP = 0
MCK umum
Rp.1.000
Rp.2.000
Rp.2.500
Analisis dari model Kuesioner WTP ini :
Air Minum (SPAM)
Identifikasi lebih lanjut mengenai variabelvariabel yang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan masyarakat untuk bersedia atau tidak bersedia membayar dilakukan dengan analisis prediktor WTP. Metode yang digunakan adalah
Rp.1.500
Peningkatan besaran iuran sebanding peningkatan teknologi infrastruktur permukiman/kualitas layanan
Sumber : Hasil Analisis, 2016
Analisis Prediktor WTP
besaran iuran bulanan per-KK
- Besar iuran yang bersedia dikeluarkan masyarakat setiap bulan masyarakat akan tingkat pelayanan - Preferensi infrastruktur sesuai kebutuhan dan kemampuan
analisis regresi yang dilakukan dengan bantuan aplikasi pengolah data statistik SPSS versi 22.
Berdasarkan teori yang dikemukakan, berikut beberapa variabel yang akan dikaji sebagai prediktor yang mempengaruhi tingkat WTP masyarakat (lihat Tabel 2) :
Tabel 2. Variabel yang akan dianalisis sebagai prediktor
Faktor
kode X1 X2
X3 Umum dan sosial
40
Jenis kelamin Usia
Pendidikan terakhir
X4
Pekerjaan
X5
Lama tinggal di permukiman
X6
Ekonomi
Variabel
X7
Pendapatan bulanan diterima
Modal dan sarpras penunjang ekonomi
Pilihan data kuesioner 1. Laki-laki
2. Perempuan
1. 0 s.d 25 thn
2. diatas 25 thn s.d 40 thn 3. diatas 40 thn s.d 55 thn 4. diatas 55 thn
1. Tidak sekolah 2. SD
3. SMP
4. SMA dan diatasnya
1. PNS / Karyawan swasta 2. Pedagang
3. Buruh/Petani/Nelayan 4. Wirausaha lainnya 1. 0 s.d 10 thn
2. diatas 10 thn s.d 20 thn 3. diatas 20 thn s.d 30 thn 4. diatas 30 thn
1. ≤ Rp. 2.200.000
2. Rp. 2.200.000 s.d Rp. 2.700.000
3. > Rp. 2.700.000 s.d Rp. 3.100.000 4. > Rp. 3.100.000 s.d Rp. 3.600.000 5. > Rp. 3.600.000
1. Tidak ada modal dan tidak ada penunjang ekonomi 2. Tidak ada modal, tetapi ada penunjang ekonomi 3. Ada modal, tetapi tidak ada penunjang ekonomi 4. Ada modal dan ada penunjang ekonomi
Analisis Kesediaan membayar Biaya Operasional - Pemeliharaan Infrastruktur Permukiman Pada Masyarakat di Kawasan kumuh Arvian Zanuardi dan Reinita Afif Aulia Faktor
Pengetahuan dan persepsi
kode
Variabel
X8
Kesadaran (opini tinggal di kawasan kumuh)
X9
Persepsi terhadap program*
X10
Persepsi manfaat program*
*) Program penanganan kumuh (peningkatan kualitas permukiman) Sumber : Hasil Analisis, 2016
Penarikan Sampel Responden Responden yang diambil pada proses pengumpulan data merupakan masyarakat Pampang dan Lette yang menempati wilayah kumuh. Justifikasi sebaran target responden pada RW tertentu dilakukan karena tidak seluruh area di Kelurahan Pampang dan Lette termasuk dalam kategori kumuh. Tabel 3 menunjukkan rincian informasi yang berkaitan dengan penarikan sampel responden untuk kajian ini. Metode pemilihan responden dilakukan secara acak (random). Tabel 3. Sampel responden kajian
Kriteria
Pampang
Lette
Kelurahan Lokasi Penarikan Sampel Responden Kelurahan Lette Pampang Responden yang diambil pada proses Distrik/Kec. Panakkukang Mariso pengumpulan data merupakan masyarakat Pampang dan Lette yang menempati Populasi kumuh 166 KK 315wilayah KK kumuh. Justifikasi sebaran target responden RW 01, 02, 06, 07, tidak Target pada sebaranRW tertentu dilakukan karena RW 01 dan 05 dan 08 Pampang dan Lette seluruh area di Kelurahan kumuh. Tabel 3 Sampeltermasuk Minimal * dalam kategori 104 147 rincian 130 informasi yang berkaitan Sampelmenunjukkan diambil 160 dengan penarikan sampel responden untuk Sampelkajian valid (untuk ini. Metode pemilihan responden 126 156 dilakukan secara acak (random). analisis)
Tabel 3. Sampel responden *) untuk memenuhi : - Confidence levelkajian : 90% Kriteria- Confidence interval : 5 Pampang Lette Sumber : Hasil Analisis, 2016 Kelurahan Kelurahan Lokasi Pampang Lette Distrik/Kec. Panakkukang Mariso Unit analisis yang digunakan adalah KK, sehingga Populasi kumuh 166 KK responden 315 KK yang kuesioner disebarkan pada RW 01, 02, 06, RW 01 dan merupakan Targetindividu sebaran yang dapat mewakili suara 07, dan 08 05 dalam suatu KK, misalnya bapak, ibu, paman, bibi, Sampel Minimal * 104 147 kakek, nenek atau anak yang dewasa. Apabila dalam Sampel diambil 130 160 satu rumah sudah Sampel valid diambil salah satu anggotanya 126 156 analisis) maka tidak boleh ada lagi sebagai (untuk responden, *) untuk memenuhi : - Confidence level : 90% - Confidence interval : 5 Sumber : Penulis. Unit analisis yang digunakan adalah KK, sehingga kuesioner disebarkan pada responden yang merupakan individu yang dapat mewakili
Pilihan data kuesioner 1. Nyaman dan tidak mau ditata/dipindah 2. Nyaman tetapi mau ditata/dipindah
3. Tidak nyaman tetapi tidak mau ditata/dipindah 4. Tidak nyaman dan mau ditata/dipindah 1. Tidak setuju dan menolak
2. Kurang setuju tetapi tidak menolak
3. Setuju tetapi tidak mau terlibat langsung 4. Setuju dan mau berpartisipasi
1. Tidak bermanfaat dan hanya pemborosan dana 2. Masyarakat tidak memanfaatkannya
3. Bermanfaat untuk masyarakat, tetapi saya tidak 4. Bermanfaat untuk masyarakat termasuk saya
anggota serumah yang dijadikan responden. Lingkup dan Tahapan Analisis
Pengumpulan data yang dilakukan meliputi data WTP dan data faktor-faktor Prediktor WTP. Hasil pemetaan terhadap faktor prediktor sekaligus akan digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik dari kedua lokasi studi kasus (Pampang dan Lette).
Untuk analisis pengukuran nilai WTP, data dari kedua lokasi digabungkan, begitu pula dengan data faktor prediktornya. Analisis regresi digunakan untuk melihat signifikansi pengaruh dari masingmasing prediktor. Secara berurutan lingkup dan tahan analisis digambarkan oleh Gambar 1.
Gambar1.1.Tahapan Tahapananalisis analisis dalam kajian Gambar dalam kajian
Sumber : Hasil Analisis, 2016 Sumber : Penulis.
HASIL DAN PEMBAHASAN Perhitungan Nilai WTP Tabel 4 menunjukkan nilai kesediaan membayar (WTP) masyarakat terhadap iuran bulanan untuk OP infrastruktur permukiman di
41
15 KK W 01 dan 05 147 160
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 37 - 49 Gambar 1. Tahapan analisis dalam kajian Sumber : Penulis.
156
0% l:5
HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Perhitungan NilaiWTP WTP Perhitungan Nilai Tabel 4 menunjukkan nilai kesediaan Tabel 4 menunjukkan nilai kesediaan membayar membayar (WTP) masyarakat terhadap iuran (WTP) terhadap iuran bulanan bulananmasyarakat untuk OP infrastruktur permukiman di untuk OP infrastruktur permukiman kawasan Pampang kawasan Pampang dan Lette. diKedua lokasi dan Lette. Kedua lokasi permukiman permukiman menghasilkan nilai WTPmenghasilkan yang nilai yang cukup Rata-rata nilai cukupWTP berbeda. Rata-rataberbeda. nilai kesediaan kesediaan membayar individu individu setiap (mewakili membayar (WTP a) setiap(WTPa) (mewakili untuk jenis layanan di KK) untuk KK) seluruh jenis seluruh layanan di kawasan kawasan adalah sebesar Rp. 9.404,76 PampangPampang adalah sebesar Rp. 9.404,76 per- perbulan. Sedangkan Sedangkan nilai bulan. nilai WTP WTPa dikawasan kawasanLette Lette lebih a di lebih rendah 6.634,62 per-bulan.Dengan rendah pada pada nilainilai Rp. Rp. 6.634,62 per-bulan. Denganbahwa dasarnilai bahwa nilaiterendah WTPa terendah dasar WTPa adalah Rp. 0,adalah Rp. 0,dan tertinggi Rp. 17.500,per-KK maka dan tertinggi Rp. 17.500,- per-KK per-bulan, di Pampang dan Lette per-bulan, maka WTP a WTPa di Pampang dan Lette berada pada kategori berada pada kategori pilihan kualitas layanan pilihan kualitas layanan bawah (Gambar 2). bawah (Gambar 2).
dalah KK, esponden mewakili pak, ibu, ak yang h sudah sebagai anggota
ilakukan or-faktor ap faktor n untuk kedua . ai WTP, gitu pula Analisis nifikansi r. Secara analisis
Pampang dan Lette Gambar 2. Grafik WTPaWTPa Gambar 2. Grafik Pampang dan Lette
sumber analisis. Sumber :: analisis.
5
Apabila nilai WTP dianalisis secara parsial pada masing-masing jenis pelayanan (lihat Gambar 3), maka diketahui terdapat perbedaan cukup signifikan pada WTP aspek MCK Umum dan pelayanan Air Minum (SPAM). Di permukiman Pampang, kedua aspek tersebut memiliki nilai ratarata WTP yang cenderung lebih tinggi dibandingkan aspek lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat Pampang lebih memprioritaskan tersedianya pelayanan air bersih. Kondisi sebaliknya ditunjukkan masyarakat Lette yang menunjukkan penurunan nilai WTP pada kedua aspek tersebut. Padahal air merupakan salah satu komponen yang paling dekat dengan manusia yang menjadi kebutuhan dasar bagi kualitas dan keberlanjutan kehidupan manusia, sehingga harus tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai (Tambunan, 2014). Ketersediaan MCK umum juga memberikan proteksi dari perilaku masyarakat membuang limbah rumah tangga ke sungai atau saluran drainase yang berakibat kepada kekumuhan. Perbedaan nilai dari WTPa Pampang dengan WTPa Lette ini dimungkinkan terjadi akibat perbedaan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di kawasan permukiman tersebut. Oleh karena itu karakteristik faktor sosial, ekonomi, serta pengetahuan dan persepsi di kedua lokasi akan dibahas pada materi selanjutnya.
Tabel 4. Hasil nilai WTP di Kawasan dan Lette Tabel 4. Hasil perhitungan nilaiperhitungan WTP di Kawasan Pampang dan Pampang Lette
Sumber : analisis. Sumber : Hasil Analisis, 2016
Apabila nilai WTP dianalisis secara
42 parsial pada masing-masing jenis pelayanan
(lihat Gambar 3), maka diketahui terdapat perbedaan cukup signifikan pada WTP aspek MCK Umum dan pelayanan Air Minum (SPAM). Di permukiman Pampang, kedua aspek tersebut
yang menjadi kebutuhan dasar bagi kualitas dan keberlanjutan kehidupan manusia, sehingga harus tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai (Tambunan, 2014). Ketersediaan MCK umum juga memberikan proteksi dari perilaku masyarakat membuang
mengindikasikan bahwa masyarakat Pampang Perbedaan nilai dari WTPa Pampang lebih memprioritaskan tersedianya pelayanan dengan WTPa Lette ini dimungkinkan terjadi air bersih. Kondisi sebaliknya ditunjukkan akibat perbedaan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Lette yang menunjukkan masyarakat di kawasan permukiman tersebut. Operasional - Pemeliharaan Infrastruktur penurunan nilai WTP pada Analisis keduaKesediaan aspek membayar Oleh Biaya karena itu karakteristik faktor sosial, Permukiman Masyarakatdan di Kawasan tersebut. ekonomi, serta Pada pengetahuan persepsikumuh di Reinita materi Afif Aulia kedua lokasi Arvian akan Zanuardi dibahasdanpada Padahal air merupakan salah satu komponen yang paling dekat dengan manusia selanjutnya.
Gambar 3. Grafik rata-rata kesediaan membayar (WTP) danLette Lette Gambar 3. Grafik rata-rata kesediaan membayar (WTP)masyarakat masyarakat Pampang Pampang dan sumber : analisis. Sumber : Hasil Analisis, 2016
Pada karakteristik faktor sosial dan umum (Gambar 3) diketahui bahwa komposisi jenis Data variabel prediktor yang secara hipotesis 6 kelamin responden cukup seimbang di Pampang dianggap mempengaruhi tingkat kesediaan maupun Lette dengan prosentase kedua kawasan membayar, pada dasarnya dapat dianalisis untuk mendekati nilai 50% (lima puluh persen). menunjukkan karakteristik kawasan Pampang dan Karakteristik Variabel Prediktor WTP
Tabel 5. Karakteristik data prediktor WTP di Kawasan Pampang dan Lette
Sumber : Hasil Analisis, 2016
Lette. Analisis karakteristik ini dilihat dari faktor sosial dan umum, ekonomi, serta pengetahuan dan persepsi. Secara statistik, sebaran dan karakteristik data prediktor WTP terlihat pada tabel 5.
Ê Dalam hal usia, pendidikan dan pekerjaan, terdapat kecenderungan data yang serupa antara Pampang dan Lette. Mayoritas responden berada pada kategori usia 25 s.d 55 tahun. Tingkat pendidikan responden didominasi tamatan SMA
43
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 37 - 49
atau pendidikan diatasnya (Pampang 48,4% dan Lette 42,8%). Dengan tingkat pendidikan tersebut, sudah seharusnya masyarakat di Pampang dan Lette mengetahui akan pentingnya kualitas sarana prasarana lingkungan dalam menunjang kehidupan dan kesehatan. Sekitar tujuh puluh persen responden di kedua lokasi bekerja sebagai wirausaha mandiri. Ini menyiratkan bahwa penghasilan masyarakat bersifat tidak tetap dan sangat bergantung pada kondisi bisnis usaha mandiri yang mereka jalankan. Pendapatan yang tidak tetap tentu akan mempengaruhi kesediaan membayar iuran bulanan yang bersifat rutin.
Gambar 4. Karakteristik sosial dan umum.
Sumber : Hasil Analisis, 2016
Untuk variabel lama tinggal, masyarakat Lette cenderung menempati lokasi permukiman lebih lama daripada Pampang. Sebagian besar masyarakat Lette telah bermukim diatas 30 tahun. Hal ini dikarenakan permukiman Lette termasuk salah satu kampung lama di Kota Makassar. Sebagian wilayah Lette yang berimpit langsung dengan pesisir laut, telah dihuni oleh masyarakat nelayan tradisional sejak dari dulu. Karakteristik ekonomi masyarakat Pampang dan Lette (Gambar 4) didominasi masyarakat yang berpenghasilan di bawah UMK (Upah Minimum Kota). Kondisi ini dipastikan akan mengurangi kesediaan membayar masyarakat karena untuk membiayai hidup sehari-hari pun mereka sering merasa belum cukup.
Namun, meskipun bertempat tinggal di kawasan permukiman kumuh, sebagian besar dari masyarakat (Pampang 66,7% dan Lette 69,1%) masih memiliki modal dan usaha penunjang ekonomi. Ini berarti bahwa ekonomi masyarakat tidak bergantung pada pihak luar. Oleh karena itu, kondisi ekonomi masyarakat ditentukan oleh kerja keras dan kesuksesan usaha mandirinya. Bila kondisi ekonomi sedang baik, maka tentu kesediaan membayar akan cenderung tinggi dan begitu pun sebaliknya.
44
Analisis Kesediaan membayar Biaya Operasional - Pemeliharaan Infrastruktur Permukiman Pada Masyarakat di Kawasan kumuh Arvian Zanuardi dan Reinita Afif Aulia
Gambar 5. Karakteristik ekonomi.
Sumber : Hasil Analisis, 2016
Data faktor pengetahuan dan persepsi (Gambar 5) menunjukkan masyarakat Pampang maupun Lette belum memiliki kesadaran bahwa mereka tinggal di kawasan yang berkategori kumuh. Terdapat 77% (Pampang) dan 80,9% (Lette) masyarakat yang sudah merasa nyaman dengan tempat tinggal saat ini, dan tidak mau menerima program penataan maupun relokasi. Masyarakat merasa sudah puas dengan kondisi prasarana permukiman yang ada dan akan cenderung menolak pembangunan infrastruktur baru, apalagi bila kemudian mereka diharuskan membayar biaya lagi untuk operasional dan pemeliharaannya. Di sisi lain, persepsi positif masyarakat cukup tinggi terhadap program peningkatan kualitas permukiman. Sebagian besar (66,9% Pampang dan 75,7% Lette) memberikan respon setuju dan mau ikut berpartisipasi dalam program. Kondisi ini bertentangan dengan tingkat WTP masyarakat yang menunjukkan nilai yang masih kurang. Temuan ini dapat mengindikasikan bahwa masyarakat memiliki kemauan untuk berpartisipasi dalam program, namun bukan dalam hal pendanaan, melainkan sumbangan pikiran atau tenaga misalnya.
Gambar 6. Karakteristik pengetahuan & persepsi
Sumber : Hasil Analisis, 2016
Persepsi akan manfaat program juga mendapat respon positif di mata masyarakat. Sebesar 66,9% (Pampang) dan 75% (Lette) setuju bahwasanya program peningkatan kualitas permukiman akan memberikan manfaat kepada seluruh masyarakat yang tinggal di kawasan permukiman kumuh. Persepsi baik ini dapat mendukung kesediaan membayar karena ada kesadaran timbal balik manfaat yang akan diterima masyarakat dengan terpeliharanya kelangsungan infrastruktur permukiman di lingkungan tempat tinggal mereka. Analisis Variabel Prediktor WTP
Berdasarkan teori dan kajian lain terkait, terdapat beberapa faktor prediktor yang ditengarai berpengaruh terhadap tingkat kesediaan membayar (WTP) masyarakat. Oleh karena itu pada kajian ini dihipotesiskan bahwa variabel prediktor (X1 s.d X10) berpengaruh terhadap besarnya tingkat kesediaan membayar (WTPi) masyarakat di kawasan Pampang dan Lette. Data variabel prediktor dan WTPi dari Pampang dan Lette digabungkan dalam proses analisis prediktor ini sehingga jumlah data yang dianalisis sebanyak 282 sampel/responden. Analisis prediktor dilakukan dengan metode regresi yang hasilnya ditunjukkan pada Tabel 6
Nilai R pada hasil analisis sebesar 0,454a menunjukkan adanya korelasi ganda antara variabel prediktor (X1 s.d X10) dengan variabel dependent yakni nilai WTPi. Nilai Adjusted R Square pada 0.177 mengandung pengertian bahwa peran atau kontribusi variabel prediktor mampu menjelaskan variabel nilai WTPi sebesar 17,7%. Nilai Adjusted R Square dipilih karena telah mempertimbangkan varian dari variabel prediktor serta jumlah sampel sehingga hasil analisis lebih akurat. Pada hasil ANOVA, nilai probabilitas F (F-hitung) dalam analisis regresi menunjukkan nilai 0,000b (Sig. < 0,005) yang mengartikan bahwa hipotesis diterima. Hal ini sesuai dengan teori dan kajian WTP lain yang telah dilakukan, bahwa terdapat variabel
45
regresi regresiyang yanghasilnya hasilnyaditunjukkan ditunjukkanpada padaTabel Tabel6.6.
Gambar Gambar5.5.Karakteristik Karakteristikpengetahuan pengetahuan&& persepsi persepsi Sumber : analisis. Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 37 - 49 Sumber : analisis.
Tabel regresi antara nilai (Y) variabel prediktor (X1 s.d X10) Tabel6.6.Hasil Hasilanalisis regresiregresi antaraantara nilaiWTP WTP (Y)dengan dengan variabel prediktor (X1 Tabel 6.analisis Hasil analisis nilai WTP (Y) dengan variabel prediktor (X1s.d s.dX10) X10)
99
Sumber analisis Sumber : Hasil :Analisis, 2016
Nilai R pada hasil analisis sebesar 0,454a menunjukkan adanya korelasi ganda antara prediktor yang ditemukan akan mempengaruhi variabel (X1demikian, s.d X10) dengan nilai WTP.prediktor Meskipun hasil variabel analisis Adjusted R dependent yakni WTPi. 3Nilai menyatakan hanya nilai terdapat (tiga) variabel Square yang pada secara 0.177 signifikan mengandung pengertian prediktor mempengaruhi bahwa atauSig. kontribusi variabel prediktor nilai WTPiperan (dengan < 005), yaitu : mampu menjelaskan variabel nilai WTPi • sebesar X6 (Pendapatan) : Adjusted R Square dipilih 17,7%. Nilai karena telah mempertimbangkan varian dari koefisien prediktor +924,127 dengan 0.00354sampel variabel serta Sig. jumlah hasil analisis lebih ekonomi) akurat. : • sehingga X7 (Modal dan penunjang Pada hasil ANOVA, nilai probabilitas F (Fhitung) dalam analisis regresi menunjukkan koefisien -2377,269 dengan Sig. 0.00001 nilai 0,000b (Sig. < 0,005) yang mengartikan • bahwa X8 (Kesadaran) : hipotesis diterima. Hal ini sesuai dengan teori dan kajian WTP lain yang telah dilakukan, koefisien +1754,219 dengan Sig. 0.00004 bahwa terdapat variabel prediktor yang ditemukan akan mempengaruhi nilai bahwa WTP. Dari nilai koefisien tersebut, terlihat Meskipun demikian, hasil analisis menyatakan variabel pendapatan dan kesadaran masyarakat hanya terdapat 3 (tiga) prediktor yang berpengaruh terhadap nilaivariabel WTPi secara berbanding secara signifikan mempengaruhi nilai WTP lurus. Semakin tinggi pendapatan masyarakat, makai (dengan Sig. < 005), yaitu kesediaan membayar akan: semakin tinggi. Hal X6 (Pendapatan) : koefisien +924,127 dengan Sig. 0.00354 46 X7 (Modal dan penunjang ekonomi) : koefisien -2377,269 dengan Sig. 0.00001 X8 (Kesadaran) : koefisien +1754,219 dengan Sig. 0.00004
rendah dan mayoritas berada di bawah UMK, maka tidak salah bila tingkat WTPa kecil. pada umumnya alokasi inimasyarkatnya dimungkinkanpun karena Aspek kesadaran tinggal kawasan dana yang bersedia diberikan dalamdiWTP selalu permukiman kumuh Todan dipengaruhi ATP (Ability Pay).kesediaan untuk ditata/dipindahkan juga berbanding lurus Dengannilai kondisi masyarakat Pampang dan Lette dengan WTP i. Sebagian masyarakat yang yang pendapatannya dapat dibilang masih rendah sadar dengan kekumuhan memiliki semangat dan mayoritas berada di bawah UMK, maka tidak yang lebih besar untuk meningkatkan kualitas salah bila tingkat WTPa masyarkatnya pun kecil. kehidupannya, sehingga iuran bulanan dianggap sebagai bentuk investasi yang Aspek kesadaran tinggal dinikmati kawasan manfaatnya. permukiman nantinya akan mereka kumuh dan kesediaan untuk ditata/dipindahkan Kurangnya nilai WTPa di Pampang dan Lette juga berbanding lurusoleh dengan nilai WTPi. Sebagian dapat diakibatkan keengganan masyarakat masyarakat yang sadar dengankarena kekumuhan untuk ditata/dipindahkan sudahmemiliki merasa semangat lebih besar untuk meningkatkan nyaman yang dengan kondisi sekarang. kualitas Di kehidupannya, sehingga iuran bulanan sisi lain, kepemilikan masyarakat dianggap sebagai yang nantinya terhadap modalbentuk usaha investasi dan sarana penunjang akan mereka nikmati manfaatnya. Kurangnya nilai ekonomi ditemukan berbanding terbalik WTPa di Pampang dan Lette dapat diakibatkan oleh dengan nilai kesediaan membayar. Berbeda keengganan masyarakat untuk ditata/dipindahkan dengan masyarakat yang bekerja dan digaji oleh karena sudah masyarakat merasa nyaman kondisi perusahaan, dengandengan usaha sendiri sekarang. cenderung lebih susah mengeluarkan uang iuran. Hal ini disebabkan adanya persepsi bahwa semakin banyak uang keluar untuk kebutuhan di luar neraca usaha, maka akan berkurang anggaran untuk kelangsungan usaha atau pun untuk membiaya hidup keluarga. Hasil analisis di atas menunjukkan nilai R2 (R square) yang tinggi pada estimasi model
Analisis Kesediaan membayar Biaya Operasional - Pemeliharaan Infrastruktur Permukiman Pada Masyarakat di Kawasan kumuh Arvian Zanuardi dan Reinita Afif Aulia Di sisi lain, kepemilikan masyarakat terhadap modal usaha dan sarana penunjang ekonomi ditemukan berbanding terbalik dengan nilai kesediaan membayar. Berbeda dengan masyarakat yang bekerja dan digaji oleh perusahaan, masyarakat dengan usaha sendiri cenderung lebih susah mengeluarkan uang iuran. Hal ini disebabkan adanya persepsi bahwa semakin banyak uang keluar untuk kebutuhan di luar neraca usaha, maka akan berkurang anggaran untuk kelangsungan usaha atau pun untuk membiaya hidup keluarga. Hasil analisis di atas menunjukkan nilai R2 (R square) yang tinggi pada estimasi model regresi empiris. Namun, secara individual banyak variabel prediktor yang tidak signifikan mempengaruhi variabel terikat. Untuk memvalidasi hasil analisis ini, maka perlu dilakukan uji multikolinearitas dengan melihat Statistic Collinearity menggunakan nilai VIF. Cara ini dilakukan guna melihat kemungkinan terjadinya multikolinearitas (korelasi antar sesama variabel prediktor). Hasil pengujian multikolinearitas dapat dilihat pada Tabel 7.
Berdasarkan hasil uji multikolinearitas, ditemukan nilai VIF pada semua variabel prediktor masih memenuhi VIF < 10, sehingga kolinearitas masih dapat ditoleransi. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas meskipun terdapat korelasi sesama variabel bebas. Nilai eigenvalue pada model 1 bernilai 9.998 (berada jauh di atas 0) menunjukkan bahwa tidak ada pengeluaran variabel prediktor. KESIMPULAN
Kesediaan membayar (WTP) pada masyarakat Pampang dan Lette tergolong masih kurang. Besar iuran yang bersedia dibayar masyarakat untuk mendukung OP infrastruktur permukiman senilai Rp. 9.404,76 (Pampang) dan Rp. 6.634,62 (Lette) per-KK per-bulan. Hasil analisis regresi menunjukkan terdapat 3 (tiga) prediktor yang signifikan mempengaruhi nilai WTP tersebut. Variabel pendapatan responden dan variabel kesadaran masyarakat berbanding lurus terhadap WTP. Sedangkan variabel kepemilikan modal dan penunjang ekonomi berbanding terbalik.
Tabel 7. 7. Hasil Hasil uji uji multikolinearitas multikolinearitas variabel prediktor (X1 s.d s.dprediktor X10) (X1 s.d X10) Tabel 7. Hasil uji variabel multikolinearitas variabel Tabel prediktor (X1 X10)
Sumber analisis Sumber :: analisis Sumber : Hasil Analisis, 2016
Berdasarkan hasil hasil uji uji multikolinearitas, multikolinearitas, Berdasarkan ditemukan nilai VIF pada semua variabel variabel ditemukan nilai VIF pada semua prediktor masih memenuhi VIF < 10, sehingga prediktor masih memenuhi VIF < 10, sehingga kolinearitas masih masih dapat dapat ditoleransi. ditoleransi. Oleh Oleh kolinearitas karena itu, disimpulkan bahwa tidak terjadi karena itu, disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas meskipun meskipun terdapat terdapat korelasi korelasi multikolinearitas
sebagian besar besar darinya darinya tidak tidak signifikan signifikan sebagian berpengaruh terhadap WTP, hasil uji47 berpengaruh terhadap WTP, hasil uji multikolinearitas menunjukkan bahwa tingkat multikolinearitas menunjukkan bahwa tingkat kolinearitas dalam dalam model model yang yang dianalisis dianalisis masih masih kolinearitas dapat ditoleransi. dapat ditoleransi. Temuan hasil hasil kajian kajian mensiratkan mensiratkan bahwa bahwa Temuan
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 37 - 49
Meskipun tidak terdapat pengeluaran variabel prediktor, dan sebagian besar darinya tidak signifikan berpengaruh terhadap WTP, hasil uji multikolinearitas menunjukkan bahwa tingkat kolinearitas dalam model yang dianalisis masih dapat ditoleransi. Temuan hasil kajian mensiratkan bahwa perencanaan program penanganan kumuh perlu memperhatikan kesiapan masyarakat. Pilihan teknologi infrastruktur permukiman yang memerlukan dukungan masyarakat dalam proses operasional dan pemeliharaannya, selayaknya dapat disesuaikan dengan tingkat pendapatan masyarakat setempat. Kesadaran masyarakat akan masalah kekumuhan dan keinginannya untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman perlu ditumbuhkan agar peran aktif masyarakat tersebut menjadi semakin tinggi. UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada para pakar dan narasumber yang telah membagikan pengetahuan dan arahan sehingga peneliti dapat melaksanakan kajian ini dengan baik. Terima kasih juga disampaikan kepada Pemda Kota Makassar beserta seluruh jajarannya, serta segenap masyarakat di kawasan permukiman Pampang dan Lette yang ikut terlibat dalam proses pengumpulan data penelitian. DAFTAR PUSTAKA
Afifah, Kurniasih Nur. 2013. Analisis Willingness To Pay Jasa Lingkungan Air untuk Konservasi di Taman Wisata Alam Kerandangan Kabupaten Lombok Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat. Tesis untuk Gelar di Magister Ilmu Lingkungan. Semarang : Universitas Diponegoro. Apriliana, M. Iqbal dan Heru Purboyo HP. 2013. Analisis Pembiayaan Air Minum Masyarakat yang memanfaatkan Sumber Mata Air dalam Pemenuhan Kebutuhan Air Domestik di Desa Wangunsari, Kecamatan Lembang, kabupaten Bandung Barat. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK Vol. 2 No. 1 : 65-72. Gil, Jose M. 2014. The Role Experimental Economics in Food Consumer Analysis. Preprint to appear in Smart AgriMatic International Conference. Barcelona, Spain : The Center for Agro-food Economy and Development. Hadriyanto, Dicky. 1996. Peremajaan Permukiman dengan Pendekatan Pembangunan yang Bertumpu pada Masyarakat sebagai Alternatif Penanganan Permukiman Kumuh. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota 22 : 58-75.
48
Hasanuddin, Bani P. 2014. Implementasi Revitalisasi Permukiman Kumuh di Kota Makassar. Skripsi untuk Sarjana Fakultas Hukum. Makassar : Universitas Hasanuddin. Hidayat, Dedi dan Sri Maryati. 2015. Willingness To Pay (WTP) Masyarakat terhadap Sistem Pengelolaan Limbah Domestik Terpusat di Kawasan Permukiman Kota Banjarmasin. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK 4 (2) : 273-283. Hutagalung, Suparjo dan Teti Armiati A. 2013. Efektivitas Program Perbaikan Infrastruktur Lingkungan PNPM Mandiri dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat. Studi Kasus : RW 15 Kelurahan Tamansari. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK 1 (2) : 229-237. Musthofa, Zaini. 2011. Evaluasi Pelaksanaan Program Relokasi Permukiman Kumuh, Studi Kasus Program Relokasi Permukiman di Kelurahan Pucangsawit Kecamatan Jebres Kota Surakarta. Skripsi untuk Gelar Sarjana Perencanaan Wilayah dan Kota. Surakarta : Universitas Sebelas Maret. Noegroho, Noegi. 2012. Partisipasi Masyarakat dalam Penataan Permukiman Kumuh di Kawasan Perkotaan : Studi Kasus Kegiatan PLP2K-BK di Kota Medan dan Kota Payakumbuh. Prosiding ComTech 3 (1) : 2333. Prasetyo, Nugroho Joko. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Willingness To Pay Perbaikan Kualitas Lingkungan Desa-Desa Wisata di Kabupaten Sleman Paska Erupsi Merapi. Skripsi untuk Gelar Sarjana Ekonomi. Yogyakarta : Universitas Muhammadiyah Yogayakarta. Prasmatiwi, Fembriarti Erry, Irham, Any Suryantini dan Jamhari. 2011. Kesediaan Membayar Petani Kopi untuk Perbaikan Lingkungan. Jurnal Ekonomi Pembangunan 12 (2): 187199. Randy, Muhammad. 2013. Identifikasi Kemampuan dan Kemauan Membayar Sewa Masyarakat Berpenghasilan Rendah terhadap Rumah Susun Sederhana Sewa dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota 24 (2): 95-108. Rianti, Afni, Kodrat Wibowo dan Ferry Hadiyanto. 2012. Kemampuan dan Kemauan Membayar Pasien terhadap Pelayanan Rawat Inap RSUD dr. Rasidin Padang. E-jurnal koleksi pustaka Unpad. Bandung : Universitas Padjajaran. Sunarjito dan Wibowo, Andreas. 2014. Estimasi Willingness To Pay Pekerja Konstruksi Gedung Membayar Asuransi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dan Faktor yang
Analisis Kesediaan membayar Biaya Operasional - Pemeliharaan Infrastruktur Permukiman Pada Masyarakat di Kawasan kumuh Arvian Zanuardi dan Reinita Afif Aulia Mempengaruhinya. Jurnal Teknik Sipil 21 (1): 45-56. Tambunan, Ridho Adiputra. 2014. Peran PDAM dalam Pengelolaan Bahan Air Baku Air Minum sebagai Perlindungan Kualitas Air Minum di Kota Yogyakarta. Jurnal Ilmiah di Repositori Universitas Atma Jaya. Tania, Casandra, Marthen Welly, dan Andreas Hari Mulyadi. 2011. Willingness To Pay Study : Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida Kabupaten Klungkung, Bali. Bali : Pemda Kab. Klungkung dan Coral Triangle Center (CTC).
49
50
ANALISA KEBERHASILAN PROGRAM KAMPUNG DERET PETOGOGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN EVALUASI PASCA HUNI Post Occupancy Evaluation Toward Petogogan Row Housing Program Harri A Setiadi1 dan Arip Pauzi Rahman2 Pusat Litbang Perumahan dan Permukiman, Badan Litbang Kementerian PUPR Jalan Panyawungan, Cileunyi Wetan, Kabupaten Bandung 1 Email :
[email protected] 2 Email :
[email protected] Tanggal diterima: 07 Januari 2016; Tanggal disetujui: 22 Maret 2016
ABSTRACT Visually, the Petogogan Row Housing (PRH) Program are succeeded in transforming slum housing in some part of Petogogan area (RW 05) into non slum housing. Personally, the PRH Program according to the then Governor of Jakarta Province, considered as the most good-looking when it compared with other similar row housing, and as a housing model to built above slum housing, and would be replicated in other slum area within Jakarta Province. Research conducted to quantify the beneficiaries total satisfaction to the PRH Program and to find out the main contributor of the satisfactory to the PRH Program, all analyze within Post Occupancy Evaluation (POE) perspective and using Multivariable Regression Analysis (MRA) analytical tool. Conceptually a relationship exist between successfulness of a program and satisfaction of beneficiaries, therefore 25 indicators were used for the purpose of measuring successful level of PRH program based upon the satisfactory level of beneficiaries. In general, research revealed that variability of total satisfaction to the PRH Program can be explained by 69% regression formula using 25 indicators, and predicted, assuming all of the indicator value are constant, that Housing design is the main predictor-variable with significant contribution of total satisfaction to the PRH Program. Some improvement were needed for the betterment of the future program as all of those are reduction factor of total satisfaction to the PRH Program, such as construction process exceed the time limit, some part of construction below the required standard, some low quality building material are used in construction. Keywords: Petogogan Row Housing, slum housing, Post Occupancy Evaluation, succes and satisfactory level, Multivariable Regression Analysis
ABSTRAK Secara visual, Program Kampung Deret Petogogan (KDP) berhasil mengubah sebagian kawasan perumahan kumuh RW 05 Petogogan menjadi perumahan yang tidak kumuh. Secara personal, KDP dinilai Gubernur DKI saat itu sebagai kampung deret yang paling bagus dibandingkan model kampung deret lainnya, dianggap sebagai model ideal permukiman yang dibangun diatas lokasi permukiman kumuh dan rencananya akan direplikasi di lokasi Jakarta lainnya yang ada kawasan kumuhnya. Penelitian ini hendak mengungkapkan besarnya tingkat kepuasan warga penerima manfaat terhadap program KDP dan mengetahui faktor-faktor yang menjadi kontributor utama kepuasan terhadap program KDP, analisa dilakukan menggunakan perspektif Evaluasi Pasca Huni (EPH) dan menggunakan Analisa Regresi Multivariabel (ARM). Secara konseptual terdapat hubungan antara keberhasilan suatu program dengan tingkat kepuasan penerima program dan untuk kepentingan pengukuran maka digunakan 25 indikator untuk menilai tingkat keberhasilan program KDP berdasarkan tingkat kepuasan penerima program. Hasil penelitian mengungkakan secara umum variasi tingkat kepuasan total warga penerima manfaat terhadap program KDP, 69% nya bisa dijelaskan dengan persamaan regresi menggunakan 25 indikator tersebut dan secara prediktif, dengan asumsi seluruh variabel prediktor bernilai konstan, maka indikator Desain rumah yang indah dan menarik, merupakan variabel prediktor dengan kontribusi yang sangat signifikan terhadap kepuasan total program KDP. Beberapa hal perlu dilakukan perbaikan untuk program yang akan datang karena dinilai menjadi faktor pengurang kepuasan total terhadap Program KDP, beberapa diantaranya adalah lama pengerjaan yang melebihi waktu yang ditetapkan, hasil pengerjaan ada yang dibawah standar dan penggunaan bahan bangunan ada yang tidak berkualitas. Kata Kunci : Kampung Deret Petogogan, Perumahan kumuh, Evaluasi Pasca Huni, Tingkat keberhasilan dan Tingkat kepuasan, Analisa Regresi Multivariabel
51
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 51 - 61
PENDAHULUAN Latar belakang Lima belas bulan pasca diresmikan oleh Gubernur Jakarta Joko Widodo – sekarang Presiden RI (3 April 2014), berita-berita mengenai Kampung Deret Petogogan (KDP) oleh media masa sebagian besar memberitakan mengenai keberhasilan Pemprov DKI Jakarta mengubah kawasan perumahan kumuh di RW 5 (di RT 008, 010, 011 dan 012) kelurahan Petogogan, menjadi perumahan baru yang sama sekali tidak kumuh pasca implementasi Program peremajaan Kampung Deret Petogogan. Secara umum keberhasilan implementasi program ini bila dinilai dari antusiasme dan tanggapan warga penerima manfaat (beneficaries) yang diberitakan oleh media masa, maka Program KDP dinilai berhasil dan sukses. Secara visual perubahan yang terjadi antara sebelum dan sesudah inisiasi Program KDP sangat kontras. Wilayah yang sekarang dikenal sebagai KDP ini pada awalnya (tahun 1950 –an) adalah lokasi bedeng karyawan yang dilibatkan Kementerian PU untuk membangun Proyek Pembangunan Kota Kebayoran Baru (1956) dan Kompleks Olah Raga Senayan (1960). Pasca berakhirnya kedua proyek besar tersebut, kawasan yang kemudian dikenal sebagai kawasan PCK berubah menjadi lokasi permukiman, Status terakhir wilayah permukiman tersebut sebelum program peremajaan dan pembangunan kembali dikenal sebagai Kampung Petogogan (Gambar 1, atas).
Sebelum inisiasi Program KDP, deskripsi wilayah ini adalah sebagai berikut: (1) posisi rumah yang berdesakkan dan bersinggungan satu sama lain tanpa batas yang jelas, sehingga kurang sekali mendapatkan pencahayaan alami dan sirkulasi udara, (2) satu atap rumah ada yang dihuni lebih dari satu Kepala Keluarga (KK), dimana jumlah KK yang selalu dinamis, karena ada KK yang berstatus sebagai penyewa atau pengontrak, (3) konstruksi rumah yang tidak standar, baik kualitas bahan bangunan maupun konstruksi/struktur bangunannya, (4) tidak adanya drainase, baik drainase air kotor seperti air buangan rumah tangga sampai drainase air hujan, (5) jamban komunal hampir seluruhnya terkonsentrasi di Sungai Krukut. Tidak ada upaya pengolahan air buangan sehingga tingkat pencemaran lingkungan menjadi tidak terkendali. Kali krukut sebagai badan air adalah anak sungai kali Pesanggrahan yang setiap tahunnya selalu banjir akibat sampah dan sedimentasinya yang tinggi, (6) sebagian area di wilayah RT 011 dan RT 012 berada di bawah peil banjir kali Krukut serta tidak memiliki pengelolaan dan pengolahan
52
sampah, akibatnya sungai yang sudah sempit dipenuhi sampah. Sumber sampah bisa kiriman dari hulu sungai, maupun timbulan sampah masyarakat setempat.
Gambar 1. Kawasan perumahan di RW 05 Kelurahan Petogogan, sebelum inisiasi Program KDP (gambar atas) dan sesudah inisiasi Program KDP (gambar bawah) Sumber : Harri A Setiadi
Sesudah inisiasi program, KDP dinilai berhasil karena seluruh indikator pencapaian program seluruhnya terbangun semua, yaitu (1) tata ruang KDP sesuai dengan rencana kota, (2) rumah-rumah yang dibangun memiliki sirkulasi udara sehat, (3) seluruh bangunan KDP menggunakan konstruksi bangunan standar, (4) memiliki cukup cahaya matahari, (5) dilengkapi dengan jamban standar, (6) memiliki saluran drainase yang berfungsi, dan (7) yang paling penting dari semuanya adalah KDP menjadi kawasan bebas kumuh, sehat dan nyaman. Lebih-lebih lagi KDP dianggap sebagai model ideal permukiman yang dibangun diatas lokasi permukiman kumuh dan rencananya akan direplikasi di lokasi Jakarta lainnya yang ada kawasan kumuhnya. Bahkan secara personal, KDP dinilai Gubernur Joko Widodo sebagai kampung deret yang paling bagus dibandingkan model kampung deret lainnya. Namun demikian, walaupun program KDP ramai diberitakan oleh media masa dan sebagian besar dinilai “Berhasil”, media massa tidak memberitakan secara eksplisit maupun implisit indikator apa yang digunakan untuk menilai status “Berhasil” Program
Analisa Keberhasilan Program Kampung Deret Petogogan Menggunakan Pendekatan Evaluasi Pasca Huni Harri A Setiadi dan Arip Pauzi Rahman KDP tersebut. Pendekatan konvensional yang biasa digunakan untuk menilai keberhasilan tingkat keberhasilan suatu program adalah bila unsur SIDCOM (survey, investigation, design, construction, operation, maintenance) telah dipenuhi. Berbeda dengan pendekatan konvensional, penelitian ini menilai tingkat keberhasilan Program KDP menggunakan pendekatan Evaluasi Pasca Huni (EPH). Dalam pandangan peneliti, pendekatan ini bisa jadi alternatif atau pelengkap terhadap pendekatan konvensional yang sudah ada. Penelitian ini hendak mengungkapkan besarnya tingkat kepuasan warga penerima manfaat terhadap program KDP dan mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi kontributor utama kepuasan terhadap program KDP. Penelitian dilakukan secara kuantitatif dengan mengukur tingkat kerberhasilan program dari perspektif kepuasan penerima manfaat dan menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan program tersebut. Dari perspektif Manajemen Pembangunan penelitian ini adalah penting karena mengetahui apa yang disampaikan oleh penerima manfaat, dalam bentuk umpan balik, mengenai kepuasan terhadap progam yang mereka terima, sangat menentukan keberhasilan suatu program secara holistik.
Kajian Pustaka
Penanganan wilayah kumah dan program KDP Umumnya, penanganan wilayah kumuh (slum upgrading) secara mendasar dilakukan dengan cara, pertama perbaikan fisik lingkungan wilayah kumuh melalui perbaikan atau pemasangan layanan jasa infrastruktur mendasar seperti air, sanitasi, pengumpulan sampah. Cara kedua adalah melalui intervensi perbaikan rumah dan pemberian jaminan keamanan tinggal (securing land tenure). Ketiga, Metode penanganan wilayah kumuh lainnya meliputi integrasi sosial, ekonomi dan organisasi (Andavarapu and Edelman 2013) (Patel 2013) (Galiani, et al. 2013).
Sedikit berbeda dengan ketiga pendekatan tersebut, kebijakan penanganan wilayah kumuh di kawasan Petogogan yang diinisiasi oleh Gubernur DKI Jakarta pada masa Bapak Joko Widodo walaupun cenderung masuk kategori pendekatan ke tiga, namun dalam implementasinya melibatkan instansi non-pemerintah melalui pemanfaatan dana corporate social responsibility (CSR) dari perusahaan swasta. Pendekatan ini dilaksanakan dengan memperluas cakupan intervensi, tidak hanya secara parsial pada sub infrastruktur suatu kawasan melainkan secara menyeluruh untuk kawasan itu sendiri. Bentuk intervensinya meliputi penataan
kawasan (land settlement), pembangunan kembali permukiman lengkap dengan infrastrukturnya (housing and infrastructure redevelopment), dan legalisasi status kepemilikan (tenancy legalization). Secara normatif pemanfaatan dana CSR dilakukan dalam bentuk pemberian langsung dari perusahaan kepada warga yang membutuhkan, namun dalam implementasinya warga tidak menerima dana tersebut dalam bentuk tunai melainkan bantuan pembangunan rumah yang diterima dalam tiga tahap sebesar 40%, 40% dan 20%. Evaluasi pasca huni – Post Occupancy Evaluation (POE)
Evaluasi Pasca Huni (EPH) pada awalnya didefinisikan oleh Friedman “An appraisal of the degree to which a designed setting satisfies and supports explicit and implicit human needs and values .. of those whom a building is designed for (Stevenson 2009). Dalam perkembangnnya terdapat berbagai definisi POE yang dikembangkan akademisi sesuai kebutuhan, namun masih tetap mengacu pada adanya keterkaitan antara bangunan dan penghuni (Cleveland and Fisher 2013) (Pati and Pati 2013).
Dalam penelitian ini definisi EPH yang digunakan mengacu pada definisi dari Jacqueline Vischer yaitu “Study or analysis of how occupants perceive, use and judge their build environment, using social research to gather systematic feedbacks from user and, in some cases, instruments to measure building performance”. Menurutnya tiga indikator utama yang dievaluasi dan berkaitan POE ditekankan pada tingkat kesejahteraan (quality of life), kesehatan (health), kenyamanan termal (thermal comfort), dan kebisingan (noise). Metoda pengambilan data dilakukan dengan cara wawancara terhadap penghuni dan FGD (Focus Group Discussion) serta survey kepada penghuni tentang berbagai aspek kepenghunian, seperti tingkat kepuasan tinggal di bangunan baru, persoalan yang dihadapi tinggal di bangunan baru. Tiga variabel yang sering digunakan EPH untuk mendapatkan feedback dari penghuni sekaligus untuk menilai keberhasilan suatu program adalah kenyamanan fisik, atribut bangunan dan infrastruktur permukiman (Dodson 2011). Secara operasional, berbagai indikator yang pernah digunakan EPH untuk menilai keberhasilan suatu program atau kepuasan terhadap rumah diantaranya menggunakan variabel kenyamanan fisik (Dekker, et al. 2011) (Torbica and Stroh 2001), yaitu (1) desain rumah, (2) lingkungan rumah, (3) kebutuhan terhadap cahaya alami, (4) sirkulasi udara, dan (5) kenyamanan termal, serta (6) tingkat kebisingan. Sedangkan pengukuran terhadap variabel atribut rumah meliputi indikator
53
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 51 - 61
(1) jaminan kepastian tinggal, (2) kualitas material bangunan yang menjadi komponen bangunan dan (3) kelengkapan infrastruktur permukiman (air bersih, listrik, pengelolaan sampah dan limbah dan jaringan) (Torbica and Stroh 2001). Secara rinci indikator infrastruktur permukiman memiliki sub indikator kualitas layanan air bersih, kualitas layanan energi (listrik) (Torbica and Stroh 2001) (Singh 2011), kualitas pengelolaan sampah dan air kotor, serta kualitas jaringan jalan lingkungan permukiman (Torbica and Stroh 2001).
Mewakili variabel kualitas teknologi, secara spesifik penelitian ini dilakukan untuk menilai kualitas teknologi yang digunakan pada program KDP yaitu teknologi struktur modular RISHA (teknologi ini dikembangkan oleh peneliti dari Puslitbang Perumahan dan Permukiman). Sebagai gambaran, teknologi struktur modular RISHA digunakan untuk pembangunan seluruh rumah baru tipe 36 (3 x 6 meter, dua lantai) sebanyak 139 unit) dan sebagian kecil digunakan untuk pembangunan tipe 18 (3 x 3 meter, dua lantai, sebanyak 20 unit, teknologi RISHA hanya digunakan untuk pilar rumah bagian depan), sedangkan untuk rumah-rumah yang mendapatkan bantuan perbaikan (13 unit rumah), hampir seluruhnya tidak menggunakan teknologi RISHA karena pada dasarnya adalah perbaikan rumah yang sudah terbangun (159 dari 172 unit rumah 92,4% - di KDP menggunakan teknologi RISHA).
METODOLOGI
atau jasa memiliki performa yang bagus dan sesuai dengan harapan maka tingkat kepuasannya tinggi, demikian juga berlaku sebaliknya (Torbica and Stroh 2001).
Mengacu pada konseptualisasi mengenai kepuasan tersebut diatas maka kerberhasilan Program KDP pada penelitian ini diukur dengan cara menilai tingkat kepuasan penerima manfaat. Semakin tinggi tingkat kepuasan maka semakin tinggi keberhasilan implementasi program, demikian pula berlaku kebalikannya. Dari hasil penulusuran literatur dan deduksi terhadap penafsirannya maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah “Prediksi kepuasan total Program KDP (K) ditentukan oleh kontribusi kepuasan terhadap dimensi kenyamanan fisik rumah (D1), kepuasan terhadap dimensi atribut rumah (D2), kepuasan terhadap dimensi kualitas infrastruktur (D3) dan kepuasan terhadap dimensi teknologi yang digunakan untuk membangun rumah (D4) secara bersamaan”. Batasan. Mengacu pada hasil kajian literatur maka variabel independen yang menjadi elemen dari suatu dimensi penentu kepuasan dan digunakan sebagai variabel prediktor tingkat kepuasan adalah sebagai berikut: Tabel 1. 25 Variabel Prediktor tingkat kepuasan Program KDP
Desain Penelitian, Hipotesis, dan Batasan
No
Notasi
Keterangan
Var. prediktor
Desain penelitian. Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan EPH dan survei digunakan sebagai metoda utama pengambilan data. Analisa terhadap data-data tersebut dimanfaatkan untuk mengukur tingkat kepuasan warga KDP dan memprediksi besarnya faktor-faktor yang diduga memberi kontribusi terhadap tingkat kepuasan tersebut menggunakan metoda statistik untuk penelitian ilmu sosial, yaitu metoda Analisa Regresi Multivariabel (ARM) dari Vogt (Vogt 2007).
1
D1
Dimensi kenyamanan �isik rumah
x1 - x6
3
D3
Dimensi kualitas infrastruktur
Hipotesis dan asumsi. Secara konseptual terdapat hubungan antara keberhasilan dari penerapan suatu program dengan tingkat kepuasan penerima program tersebut. Dalam pendekatan EPH, secara kuantitatif tingkat keberhasilan (successful level) suatu program diukur dari tingkat kepuasan (satisfactory level) penerima program (Shepley 2011) (Poblete 2013) (Stevenson 2009). Secara konseptual, kepuasan terhadap suatu barang atau jasa pencetusnya adalah performa dari barang atau jasa tersebut dan ekspektasi seseorang terhadap performa dari barang atau jasa tersebut. Jika barang
54
2
4
D2
D4
Dimensi atribut rumah
Dimensi kualitas teknologi
Sumber : interpretasi peneliti dari literatur
x7 – x9
x10 – x17 x18 – x27
Penelitian ini tidak disertai dengan pengukuran kualitas fisik bangunan rumah (kenyamanan termal, kenyamanan audial, kenyamanan spasial). Seluruh variabel prediktor yang digunakan dalam penelitian ini dianggap satu kesatuan paket dan dianggap mewakili variabel independen keberhasilan “Program KDP”.
Sumber Data, Metoda Pengambilan Data dan Sampel Metoda pengambilan data. Data primer penelitian ini berasal dari penyebaran kuesioner,
Analisa Keberhasilan Program Kampung Deret Petogogan Menggunakan Pendekatan Evaluasi Pasca Huni Harri A Setiadi dan Arip Pauzi Rahman desain kuesioner yang digunakan dan analisa terhadap data hasil survey mereplikasi penelitian yang telah dilakukan oleh Torbica dan kawankawan (Torbica and Stroh 2001). Data tambahan lain yang digunakan untuk elaborasi hasil survey berasal dari kegiatan FGD, wawancara terstruktur dengan penghuni dan data tertulis lainnya yang berisi tentang Petogogan dan Program KDP. Survei dilaksanakan selama dua minggu (11 – 25 November 2014). Kuesioner yang digunakan dan disebarkan ke responden dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama, berisi isian data demografi responden, kedua berisi satu pertanyaan inti untuk menilai tingkat kepuasan warga KDP terhadap Program KDP secara keseluruhan (Tabel 4) dengan lima pilihan jawaban (Tabel 2). Ketiga, berisi 6 pertanyaan untuk menilai sub variabel dimensi kenyamanan fisik rumah, 3 pertanyaan untuk menilai sub variabel dimensi atribut rumah, 7 pertanyaan untuk menilai sub variabel dimensi kualitas infrastruktur permukiman, dan 9 pertanyaan untuk menilai sub variabel dimensi kualitas teknologi yang digunakan untuk membangun rumah KDP (Tabel 5), terdiri lima pilihan jawaban (Tabel 3). Penentuan Responden dan Desain Sampel
Penentuan responden. Penentuan sampel menggunakan kategori probability samples berdasarkan fakta-fakta berikut (1) seluruh rumah yang menjadi outcome dari Program KDP dihuni oleh satu atau lebih kepala keluarga, sehingga kepala keluarga dijadikan unit terkecil dari populasi (2) seluruh populasi walaupun berada di RW yang sama namun terbagi kedalam RT – RT berbeda, dan (3) seluruh populasi tinggal di lokasi yang secara fisik berdekatan antara satu dengan yang lainnya. Responden pada penelitian ini adalah kepala keluarga atau individu yang mewakili keluarganya dan dianggap sebagai unit terkecil dari populasi. Responden adalah sebagian kepala keluarga yang menghuni rumah bantuan peremajaan di KDP yang menggunakan teknologi struktur modular RISHA (Penghuni rumah KDP tipe 36 dan 18) dengan status sebagai pemilik dan atau penyewa (atau individu lain yang mewakili atas sepengetahuannya), dipilih secara acak dan bersedia dijadikan sampel (Grafik 1). Populasi adalah seluruh kepala keluarga yang menghuni rumah bantuan peremajaan yang menggunakan teknologi RISHA di KDP dengan status sebagai pemilik dan atau penyewa. Desain sampel. Pada awalnya sensus (survei penarikan sampel untuk seluruh populasi) digunakan sebagai metode pengambilan data), namun karena tidak seluruh kepala keluarga
sekaligus juga pemilik rumah dan tinggal di KDP serta bersedia dijadikan sampel, maka dengan mempertimbangkan fakta-fakta yang digunakan untuk menentukan responden, desain sampel yang dipilih dan digunakan untuk penelitian ini menggunakan prinsip (1) setiap individu kepala keluarga, sebagai elemen populasi terkecil, memiliki kemungkinan yang sama pula bila dipilih sebagai sampel (equal likelyhood of being selected), (2) ukuran sampel walaupun mengacu pada prinsip “bigger is always better”, namun dengan jumlah populasi kurang dari 500 maka jumlah sampel ditentukan sekurang-kurangnya 30% dari populasi (Neuman 2011). Berdasarkan fakta-fakta dan prinsip statistik yang digunakan maka desain sampel menggunakan metode stratified random sampling (Davies and Smith 2005). Secara operasional peneliti memilih individu kepala keluarga dengan jumlah sekurangkurangnya 30% dari populasi kepala keluarga pemilik rumah yang ada di setiap RT untuk dijadikan sampel, namun tidak membatasi bila ada individu KK lainnya (pemilik rumah dan atau penyewa) yang bersedia juga dijadikan sampel. Penyebaran kuesioner dilakukan pada periode waktu yang sama (one shoot survey). Metode Penilaian dan Analisa
Metoda penilaian. Metoda analisa regresi yang digunakan sebagai analisa pada penelitian ini mengacu pada tulisan Paul Vogt. Karena variabel indepeden yang digunakan dalam penelitian ini lebih dari satu maka digunakan Metoda Analisa Regresi Multivariabel (ARM) (Vogt 2007). Formula umum yang dirumuskan untuk analisa regresi multivariabel yang digunakan pada penelitian sosial menurut Vogt adalah berikut: y=a+b_1 x_1+b_2 x_2+b_n x_n
(1)
K=D_1+D_2+D_3+D_4
(2)
K=a+b_1 x_1+b_2 x_2+b_n x_n
(3)
Karena secara hipotetis
Maka persamaan regresi diatas adalah
K adalah total kepuasan terhadap program KDP (y), sedangkan x1 – xn merupakan variabel operasional mewakili setiap dimensi yang mempengaruhi kepuasan terhadap program KDP. Secara operasional dimensi D1 diwakili oleh variabel prediktor x1 – x6, D2 diwakili oleh variabel prediktor x7 – x9, D3 diwakili oleh variabel prediktor x10 – x17 , dan D4 diwakili oleh variabel prediktor x18 – x27 (Tabel 6). Program SPSS (v.22) digunakan
55
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 51 - 61
untuk menghitung besarnya nilai Koefisien Regresi (R2), bilangan intercept atau derajat kemiringan garis regresi (a), koefisien regresi setiap variabel independen (bn), dan serta signifikansi koefisien regresi (α).
Analisa. Pada penggunaan Metoda Analisa Regresi Multivariabel, besarnya nilai Koefisien regresi (R2) digunakan untuk memprediksi dugaan besarnya kontribusi seluruh variabel independen terhadap variabel dependen. Sedangkan nilai derajat kemiringan garis regresi (bn) memprediksi besarnya kontribusi masing-masing variabel independen relatif dengan masing-masing variabel independen lainnya. Nilai koefisien regresi memprediksi kontribusi seluruh variabel independen relatif bila seluruh variabel tersebut dianggap tidak ada dan nilai α untuk menilai signifikansi hasil penelitian berdasarkan sampel yang diperoleh relatif terhadap populasi yang diteliti (Leary, 2012) (Vogt, 2007).
Tabel 2. Pilihan jawaban dan skor setiap jawaban untuk pertanyaan inti pada Tabel 4 Sangat tidak memuaskan
Tidak memuaskan
Agak memuaskan
Memuaskan
Sangat memuaskan
1
2
3
4
5
Sumber : Survei Tingkat Kepuasan & Penerimaan terhadap KDP 2014, desain kuesioner mengacu pada (Torbica and Stroh 2001)
Tabel 3. Pilihan jawaban dan skor setiap jawaban untuk seluruh dimensi (D1 – D4) Sangat tidak Tidak setuju Agak setuju setuju 1
2
3
Setuju
Sangat setuju
4
5
Sumber : Survei Tingkat Kepuasan & Penerimaan terhadap KDP 2014, desain kuesioner mengacu pada (Torbica and Stroh 2001)
Tabel 4. Pertanyaan inti dan tabulasi tingkat kepuasan warga KDP terhadap Program KDP secara keseluruhan N
135
Variabel dependen (y)
Menurut penilaian anda seberapa memuaskan keberhasilan program “Kampung Deret Petogogan” dalam mengubah permukiman RT 008, 010, 011, 012 menjadi lebih baik
Min
Max
1
5
Kalkulasi Nilai y ∑y (∑y)2
∑y2
510
2030
Sumber : Tabulasi hasil survei Tingkat Kepuasan & Penerimaan Warga terhadap Program KDP 2014
56
260.1
3,64
Analisa Keberhasilan Program Kampung Deret Petogogan Menggunakan Pendekatan Evaluasi Pasca Huni Harri A Setiadi dan Arip Pauzi Rahman Tabel 5. Dimensi dan variabel operasional yang digunakan pada kuesioner EPH Dimensi kepuasan terhadap kenyamanan fisik rumah (D1) Var. Apakah anda menerima hal-hal berikut tentang hunian anda yang baru dibandingkan hunian sebelumnya x1 Desain rumah nampak lebih indah dan menarik x2
b x1-x6
n 135
3.91
0.55
135
4.10
-0.00
x3
Desain antar rumah yang berderet lebih menciptakan kebersamaan / keguyuban diantara para warga Cahaya alami lebih banyak yang masuk ke rumah
136
4.07
0.12
x4
Udara luar lebih bersirkulasi dan masuk kedalam rumah
136
4.06
-0.05
x5
Temperatur ruangan dalam rumah lebih sejuk dari temperatur luar
134
3.72
0.05
x6
Kebisingan dari luar lebih sedikit yang masuk kedalam rumah
135
3.54
0.08
3.90
Dimensi kepuasan terhadap atribut rumah (D2) Var. Apakah anda menerima hal-hal berikut tentang hunian anda yang baru dibandingkan hunian sebelumnya x7 Dilengkapi dengan surat jaminan kepemilikan yang pasti x8
Secara fisik rumah lebih kokoh dan lebih tahan lama karena menggunakan komponen bangunan yang berkualias
bx7 - x9
n 129
3.50
-0.02
136
4.00
-0.02
3.90
0.12
3.80
Dimensi kepuasan terhadap atribut rumah (D2) x9
Bisa langsung ditempati karena telah dilengkapi dengan berbagai layanan 136 infrastruktur (air bersih, listrik, pengelolaan sampah dan limbah dan jaringan) Dimensi kepuasan terhadap kualitas infrastruktur (D3) Apakah anda menerima hasil akhir penanganan kampung Petogogan Var. n untuk hal-hal berikut x10 Kualitas layanan air bersih dari PDAM Jakarta sudah bagus dan memadai 137 x11
Kualitas layanan listrik dari PLN sudah bagus dan mencukupi
Kualitas layanan pembuangan sampah oleh Dinas Kebersihan telah dilakukan optimal x13 Kualitas saluran pembuangan WC & kapasitas Septic-tank sudah memadai untuk keb. keluarga x14 Kualitas dan kapasitas saluran pembuangan air limbah sudah memadai untuk keb. keluarga x15 Kualitas jaringan jalan depan pintu rumah yang diperkeras semen sangat memuaskan x16 Kualitas jaringan jalan depan teras rumah yang diperkeras paving sangat memuaskan Dimensi kepuasan terhadap kualitas teknologi (D4) Var. Apakah anda menerima hasil akhir penanganan kampung Petogogan untuk hal-hal berikut x17 Teknologi struktur (RISHA) sederhana dan mudah dipahami x12
x18 x19
Teknologi struktur (RISHA) mudah diaplikasikan sehingga tidak memerlukan keahlian atau tukang tertentu Secara struktural rumah dengan teknologi RISHA lebih aman karena kokoh terhadap guncangan dan kuat terhadap pembebanan
b x10 – x16 2.75
-0.03
137
4.11
0.17
137
3.18
-0.15
136
3.94
0.03
136
3.85
0.10
134
3.93
-0.04
134
3.92
0.06
135
3.88
-0.14
134
3.64
0.17
134
3.82
0.05
Bila ada satu atau dua komponen struktur (panel) yang rusak maka bisa diperbaiki tanpa merusak keutuhan rumah
132
3.60
-0.03
x21
Penggantian setiap komponen struktur RISHA yang rusak mudah dilakukan dan komponen penggantinya mudah diperoleh
133
3.27
0.04
x22
Teknologi struktur (RISHA) lebih efisien untuk ruang terbatas, sehingga lebih banyak ruang yang bisa dinikmati Menggunakan teknologi struktur (RISHA) rumah bisa lebih tahan lama
132
3.51
0.01
134
3.76
0.03
133
3.86
0.10
131
3.92
0.10
x24 x25
Secara visual rumah yang memanfaatkan teknologi struktur (RISHA) bisa memiliki tampilan indah Pemanfaatan teknologi struktur (RISHA) digabung dengan teknologi lainnya (lantai - keraton, panel pintu & jendela, atap metal) membuat kualitas rumah deret Petogogan tidak kalah dengan rumah biasa (konvensional)
3.67
bx17 – x25
n
x20
x23
3.80
3.70
Sumber : Tabulasi hasil survei Tingkat Kepuasan & Penerimaan Warga terhadap Program KDP 2014 , (D_x ) ̅ = (∑▒D_x )/(Jum.Var.), lihat Tabel
57
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 51 - 61
Tabel 6. Dimensi dan penentuan nilai rata-rata dimensi No
Dimensi
Jumlah sub Var. prediktor
1
D1
6
2
D2
3
3
D3
7
4
D4
9
Sumber : Interpretasi peneliti terhadap literatur
Populasi dan distribusi responden 100
87
81
80
69
60 40 20
47
47 35
20
15
57 38 21
20
0 008
010
011
KK (Pemilik rumah + Penyewa)
KK (Pemilik rumah)
012 KK (Responden)
Grafik 1. Jumlah populasi pemilik rumah dan penyewa serta responden Sumber : Data RW & Dinas Perumahan dan Bangunan Pemerintah Pemprov DKI Jakarta, wawancara dengan ketua RT & RW dan hasil Survei Tingkat Kepuasan & Penerimaan Warga terhadap Program KDP 2014
HASIL DAN PEMBAHASAN Signifikansi data hasil survei Signifikansi besarnya sampel. Signifikansi terhadap sampel dipengaruhi oleh (1) ukuran sampel atau akurasi (Neuman 2011) dan (2) keterwakilan populasi dari sampel yang diambil (Vogt 2007). Pertama, untuk menilai ukuran sampel, sebesar minimal 30% sampel dari seluruh populasi, maka digunakan prinsip rasio sampel-populasi. Secara deskriptif prinsip rasio sampel-populasi adalah semakin kecil populasi maka semakin besar rasio sampel dengan populasi yang digunakan. Secara praktis, untuk populasi yang kecil (dibawah 500) dibutuhkan sampel minimal 30% dari populasi atau kurang lebih 150 sampel. Sedangkan untuk populasi yang besar (150.000), maka untuk mendapatkan akurasi sama dengan ukuran sampel sebelumnya, maka dibutuhkan sampel sebanyak 1% atau 1500 sampel (Neuman 2011, 263).
58
Kedua, untuk menilai keterwakilan sampel secara deskriptif telah dijelaskan pada bagian “Penentuan Responden dan Desain Sampel”.
Grafik 1 memperlihatkan, jumlah sampel lebih dari 30% seluruh populasi, namun demikian hanya 3 dari 4 RT (RT 010, 011 dan 012) yang memenuhi syarat, secara statistik jumlah sampel pada penelitian ini signifikan untuk satu prinsip, yaitu akurasi.
Signifikansi nilai Cronbach’s alpha dan uji collinearity. Dalam analisa regresi multivariabel, nilai Cronbach’s alpha merupakan ukuran penilaian reliability (kehandalan) atau konsistensi variabel yang dinilai, dengan rentang nilai ⍺ berkisar dari 0 hingga 1,00. Secara statistik nilai Cronbach’s alpha yang dianggap reliabel atau konsisten adalah minimum 0,70 atau bila nilainya lebih maka itu akan lebih baik lagi (Vogt 2007, 90).
Analisa Keberhasilan Program Kampung Deret Petogogan Menggunakan Pendekatan Evaluasi Pasca Huni Harri A Setiadi dan Arip Pauzi Rahman Uji collinearity dibutuhkan untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya pengulangan siklus penghitungan (redundancy) akibat beberapa variabel prediktor memiliki korelasi yang sangat kuat dengan variabel dependen. Apabila korelasi bivariat terhadap variabel prediktor dengan variabel dependen memiliki nilai 0,7 atau lebih maka untuk kepentingan analisa variabel prediktor tersebut harus dihilangkan sebagai komponen prediktor pada metoda ARM.
Analisa dengan bantuan program SPSS versi 22 untuk menilai dua puluh lima variabel xn (x1 – x25) dan satu variabel y memperlihatkan nilai α untuk seluruh variabel yang dianalisa adalah 0,94, sehingga dapat disimpulkan bahwa data yang diperoleh dari hasil survei untuk ARM adalah reliabel atau konsisten menurut kaidah statistik. Demikian pula nilai korelasi bivariat antara seluruh variabel prediktor dengan variabel dependen memiliki nilai dibawah 0,7 sehingga untuk kepentingan analisa penelitian ini tidak ada variabel prediktor yang dihilangkan karena tidak ada multicollinearity. Lokasi Penelitian, Demografi Responden, dan tingkat kepuasan terhadap Program KDP
Lokasi penelitian. KDP merupakan nama yang diberikan pada kompleks perumahan yang warganya menerima bantuan peremajaan dari pemerintah DKI Jakarta. Lokasinya terletak di RT 008, 010, 011, 012, RW 05 Kelurahan Petogogan, Kebayoran Baru (Gambar 2). Bantuan peremajaan terdiri dua, pertama bantuan untuk pembangunan rumah baru masing-masing dengan tipe 36 (3 x 6 meter, dua lantai) sebanyak 139 unit dan tipe 18 (3 x 3 meter, dua lantai) sebanyak 20 unit. Kedua bantuan perbaikan untuk 13 unit rumah.
Gambar 2. Deretan rumah dan ruang terbuka terdapat di KDP Sumber : Harri A Setiadi
Demografi responden. Jumlah responden yang berpartisipasi sebanyak 140, berdasarkan hasil tabulasi data hasil survei rata-rata umur responden adalah 48,24 tahun (umur terendah 18 tahun dan tertinggi 79 tahun). Mayoritas responden memiliki
pekerjaan utama sebagai pelaku usaha informal (seperti pedagang kecil, Pedagang Kaki Lima, sopir angkot), dengan perkiraan pendapatan perbulannya lebih kecil dibandingkan pengeluarannya, atau memiliki pendapatan yang tidak menentu sehingga anggota keluarganya (istri atau anak) memiliki pekerjaan tambahan lain (33,6% memiliki pekerjaan tambahan formal dan 41,4% pekerjaan tambahan informal).
Secara kualitatif, seperti dituturkan oleh Ketua RW 05 dan Ketua RT 008, 010, 011 dan 012 Petogogan, pendidikan terendah yang dimiliki mayoritas warga KDP adalah SMA atau setara, bahkan untuk sebagian besar kelompok muda mereka memiliki pendidikan yang lebih tinggi (perguruan tinggi atau akademi). Selain itu rumahrumah yang ada di wilayah Kelurahan Petogogan oleh pemiliknya banyak yang dijadikan usaha kontrakan, termasuk rumah-rumah di lokasi KDP. Hal ini menjadi penjelasan karakteristik demografis penduduk KDP memiliki jumlah KK lebih banyak dibandingkan dengan jumlah unit rumah yang ada (Grafik 1). Verifikasi terhadap kedua data kualitatif ini berasal dari wawancara dengan ketua RW 05 dan catatan monografi kelurahan Petogogan serta observasi visual oleh tim peneliti.
Tingkat kepuasan terhadap program KDP. Pada tahun-tahun awal Bapak Joko Widodo menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta (2013 – 2014, sekarang presiden RI), diinisiasi sembilan program unggulan untuk membangun “Jakarta Baru”. Satu diantara sembilan program tersebut adalah Program perumahan Rakyat dan Penataan Kampung yang berisi empat kegiatan, salah satunya adalah Program Penataan Kampung dan Lingkungan Kumuh. Kegiatan tersebut bertujuan menata permukiman kumuh yang terdapat di sepanjang bantaran sungai, jaringan rel kereta api, dan wilayah yang sering dilanda bencana banjir. Implementasi program tersebut adalah bantuan pembangunan rumah baru atau bantuan perbaikan rumah atau keduanya sekaligus.
Diantara berbagai lokasi permukiman kumuh yang mendapat program tersebut adalah lokasi permukiman di RT 08, 10, 11 dan 12 RW 05 Kelurahan Petogogan. Secara visual bila dilihat dari posisi Jalan Wijaya I (Gambar 3), permukiman di 4 RT tersebut berlokasi dekat dengan Sungai Nipah dan Krukut, tersembunyi, dan nampak kontras dengan permukiman Kebayoran Baru lainnya (RT 01 – 07 dan 09) yang sangat asri, ideal, tertata baik, mewah & sangat mewah, bergaya modern, lengkap dengan sarana & prasarana permukiman yang sangat berkualitas serta dihuni oleh penduduk dengan strata sosial ekonomi yang sangat mapan.
59
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 51 - 61
Secara operasional salah satu indikasi keberhasilan suatu program dinilai berhasil bila tingkat kepuasan penerima manfaat adalah
Persamaan regresi dengan 25 variabel prediktor memiliki koefisien regresi 0,69 sehingga variasi tingkat kepuasan total warga penerima manfaat terhadap program KDP 69% nya bisa dijelaskan dengan persamaan regresi tersebut.
Secara khusus, prediksi terhadap kepuasan total program KDP, dengan asumsi seluruh variabel prediktor bernilai konstan, maka variabel prediktor x1 yang mewakili dimensi kenyamanan fisik rumah (Desain rumah yang indah dan menarik), merupakan variabel dengan kontribusi yang sangat signifikan terhadap kepuasan total program KDP. Variabel prediktor x1 (Desain rumah yang indah dan menarik) yang mewakili Dimensi kenyamanan fisik rumah memiliki koefisien regresi (b1) dengan nilai lebih tinggi dibandingkan variabel prediktor lainnya (Tabel 5), bahkan dengan gap yang relatif lebih besar dibanding variabel prediktor lainnya.
Gambar 3. Lokasi relatif KDP dibandingkan dengan kawasan permukiman di wilayah Kebayoran Baru Sumber : Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah DKI Jakarta
“Cukup memuaskan” (posisi 3 dari lima tingkatan) atau lebih (Poblete , 2013). Hasil tabulasi terhadap data survei EPH mengungkapkan tingkat kepuasan terhadap Program KDP secara keseluruhan ada pada kategori “Memuaskan” (Tabel 4), satu orde diatas batas minimal tingkat keberhasilan. Dengan demikian secara eksplisit, maka dapat disimpulkan bahwa Program KDP sebagai outcome dari Program Penataan Kampung Kumuh dengan Pola Peremajaan dinilai berhasil dari persepsi penerima manfaat. Elaborasi terhadap variabel prediktor kepuasan terhadap program KDP Secara umum, hipotetis yang digunakan untuk memprediksi kepuasan total program KDP terbukti dengan adanya kontribusi dari satu atau lebih variabel operasional yang mewakili masing-masing dimensi walaupun dengan kontribusi yang beragam.
60
Elaborasi terhadap variabel prediktor x1 dengan membandingkan kondisi sebelum dan sesudah implementasi program KDP menguatkan hasil analisa tersebut. Sebelum implementasi program KDP wilayah Petogogan sebagai wilayah kumuh kondisinya adalah sebagai berikut: (1) posisi rumah yang berdesakkan dan bersinggungan satu sama lain tanpa batas yang jelas, sehingga kurang sekali mendapatkan pencahayaan alami dan sirkulasi udara, (2) konstruksi rumah yang tidak standar, baik kualitas bahan bangunan maupun konstruksi/ struktur bangunannya (3) Lokasi berada dibawah titik peil banjir, tidak dilengkapi drainase, jamban standar (4) Tidak ada kawasan hijau, tempat bermain anak (5) Tidak ada akses terhadap air bersih dari PDAM. Desain rumah yang digunakan pada program KDP dalam implementasinya mampu mengubah deskripsi kondisi kumuh Petogogan menjadi sebaliknya.
KESIMPULAN
Secara umum, berdasarkan analisa terhadap tingkat kepuasan responden terhadap program KDP maka program KDP tergolong sukses. Analisa terhadap keberhasilan program KDP secara parsial mendukung hal tersebut. Secara parsial, rata-rata tingkat kepuasan responden terhadap empat dimensi berada pada tingkat “Memuaskan”. Bahkan 23 dari 25 variabel yang dinilai responden tergolong “Memuaskan”, dua lainnya dinilai “Cukup memuaskan”. Sedangkan secara prediktif, variabel prediktor x1 yang menjadi komponen dimensi kenyamanan fisik rumah, merupakan variabel prediktor dengan kontribusi yang sangat signifikan terhadap kepuasan total program KDP. Berdasarkan hasil elaborasi, terdapat berbagai
Analisa Keberhasilan Program Kampung Deret Petogogan Menggunakan Pendekatan Evaluasi Pasca Huni Harri A Setiadi dan Arip Pauzi Rahman aspek yang dinilai responden disarankan agar perlu dilakukan perbaikan atau upaya lebih karena dinilai menjadi faktor pengurang kepuasan total terhadap program KDP. Diantaranya kelengkapan dan kualitas infrastruktur perumahan (pada saat survei dilaksanakan) masih belum memadai dan sempurna, durasi proses pengerjaan melebihi tenggat waktu yang ditetapkan, komponen bangunan yang berkualitas namun pengerjaannya cenderung dilakukan tidak sesuai standar. Belajar dari pengalaman Program KDP tersebut, bila halhal yang di sarankan responden tersebut diperbaiki maka bukan tidak mungkin penelitian untuk memprediksi kepuasan total replikasi program KDP di tempat lain di Jakarta akan memberi hasil yang lebih baik lagi. UCAPAN TERIMAKASIH
Tulisan ini tersusun karena bantuan dari berbagai pihak, untuk itu ucapan terima kasih disampaikan kepada: 1. K epala Pusat Litbang Perumahan dan Permukiman, dan Kepala Balai Perumahan & Lingkungan, yang memberi izin, dan masukan terhadap penyelenggaraan penelitian. 2. K etua RT 008, 010, 011 dan 012 serta Ketua RW 05 Petogogan yang membantu tim peneliti mendapatkan data primer (kuesioner dan wawancara) di KDP.
3. W arga RT 008, 010, 011 dan 012 RW 05 Petogogan penghuni KDP yang bersedia menjadi responden, memberi data, melaksanakan FGD dan memberi bantuan operasional selama penelitian dilaksanakan. DAFTAR PUSTAKA
Andavarapu, Deepika and David J. Edelman. 2013. Evolution of Slum Redevelopment Policy. Current Urban Studies Scientific Research 1 (4): 185-192. Cleveland, Benjamin and Kenn Fisher. 2013.The evaluation of physical learning environments: a critical review of the literature. SPRINGER Learning Environ Res. Davies, Stephen F and Randolph A Smith. 2005. An Introduction to Statistic and Research Method Becoming Psychological Detectives. Pearson & Prentice Hall. Dekker, Karien, Sjoerd De Vos, Sako Musterd, and Ronald Van Kempen. 2011. Residential Satisfaction in Housing Estate in European Cities. Housing Studies from Science Direct EBSCO.
Dodson, Melínda . 2011. Post Post Occupancy. Architecture Australia (Architecture Media Pty Ltd). Galiani, Sebastian , Paul Gertler, Ryan Cooper, Sebastian Martinez, Adam Ross, and Raimundo Undurraga. 2013. Shelter From The Storm: Upgrading Housing Infrastructure In Latin Americans Slums. Working Paper 19322. National Bureau Of Economic Research. Leary, Mark A. 2012. Introduction to Behavioral Research Methods. Pearson. Neuman, W. Lawrence. 2011. Social Research Methods Qualitative and Quantitative Approaches. Pearson Patel, Kamna . 2013. A successful slum upgrade in Durban: A case of formal change and informal continuity. Habitat International. Pati, Debajyoti and Sipra Pati. 2013. Methodological Issues in Conducting Post-Occupancy Evaluations to Support Design Decisions. Health Environments Research & Design Journal. Poblete , Nina Amor Hormazabal . 2013. Post Occupancy Evaluation of Homes in United Kingdom to Develop an Affordable PO Methodology for Homes in Chile. Thesis for the degree of Doctor of Philosophy. Universty of Notingham . Shepley, Mardelle McCuskey . 2011. Research Methods for Design Practitioners To Evaluate Facilities. Health Environments Research & Design Journal (HERD) 4 (3). Singh, Vipul . 2011. Analysis Methods for Post Occupancy Evaluation of Energy-Use in High Performance Buildings Using Short-Term Monitoring. Thesis Arizona State University . Stevenson, F. 2009. Post-occupancy evaluation and sustainability: a review. Urban Design and Planning ICE. Torbica, Zˇeljko M. and Robert C. Stroh. 2001. Customer Satisfaction In Home Building. Journal Of Construction Engineering And Management ASCE. Voght, Paul. 2007. Quantitative Research Methods for Professional. Pearson.
61
62
Peran Masyarakat dalam Pengawasan Terhadap Fungsi dan Pengendalian Pemanfaatan Lingkungan Jalan Role of Civil Society in Monitoring of Road’s Function and Utilization Dica Erly Andjarwati Satu Bidang Kajian Kebijakan dan Kerjasama Puslitbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi, Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Jl. Pattimura No. 20, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Email:
[email protected] Tanggal diterima: 03 Februari 2016; Tanggal disetujui: 28 Maret 2016 ABSTRACT One of the challenges the sector of Indonesia is the road infrastructure services in improving the effectiveness of the benefits and functions of the street. Many roads are stil less than optimal which is still having traffic and the economic level of the community around the road is still stagnant. It caused budget wasted if the operationalization is not effective. Already provided the criminal provisions if road management is not effective for the benefit, service of traffic and boost economic growth (public welfare). One way to overcome these problems by providing opportunities for people to participate in the process and stages of road management. Monitoring stage is the stage of implementation of the road which opens the greatest opportunities for the inclusion of the role of society. This study aims to determine the level of the community’s role in the monitoring of the functions and control benefit road, the causes, and the solutions This study uses a quantitative method with questionnaires in two (2) locations, Semarang and Bali. The results showed that t he community’s role in the oversight of the functions and control the use of the road is still low due to lack of knowledge about the complaints procedure and is still a lack of “trust” the people against the government. Keywords: Road, role of civil society, monitoring
ABSTRAK Salah satu tantangan sektor jalan Indonesia adalah pelayanan infrastruktur jalan dalam peningkatan keefektifan manfaat dan fungsi jalan. Banyak pembangunan jalan yang masih kurang optimal yaitu masih terjadi kemacetan dan tingkat perekonomian masyarakat di sekitar jalan tersebut masih stagnan. Hal tersebut mengakibatkan pemborosan anggaran jika tidak efektif operasionalisasiannya. Untuk penggunaan anggaran tersebut sudah tersedia ketentuan pidana jika penyelenggaraan jalan tidak efektif untuk kepentingan dan pelayanan lalu lintas serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi (kesejahteraan masyarakat). Salah satu cara mengatasi permasalahan tersebut dengan memberikan peluang bagi masyarakat untuk ikut berperan serta dalam proses dan tahapan penyelenggaraan jalan. Tahap pengawasan merupakan tahap penyelenggaraan jalan yang membuka peluang terbesar bagi masuknya peran masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat peran masyarakat dalam pengawasan terhadap fungsi dan pengendalian manfaat jalan, faktor penyebab dan solusinya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan penyebaran kuesioner di 2 (dua) lokasi yaitu Semarang dan Bali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran masyarakat dalam pengawasan terhadap fungsi dan pengendalian pemanfaatan jalan masih rendah karena kurangnya pengetahuan mengenai prosedur pengaduan dan masih kurangnya “trust” masyarakat terhadap pemerintah. Kata Kunci : Jalan, peran masyarakat, pengawasan
PENDAHULUAN Infrastruktur jalan merupakan bagian prasarana transportasi yang mempunyai peran penting dalam bidang ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup, politik, pertahanan dan keamanan, serta
dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Salah satu tantangan sektor jalan Indonesia adalah pelayanan infrastruktur jalan dalam peningkatan keefektifan manfaat dan fungsi jalan. Banyak pembangunan jalan yang masih kurang optimal yaitu masih terjadi
63
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 63 - 75
kemacetan dan tingkat perekonomian masyarakat di sekitar jalan tersebut masih stagnan. Hal tersebut mengakibatkan pemborosan anggaran jika tidak efektif operasionalisasiannya. Salah satu cara mengatasi permasalahan tersebut dengan memberikan peluang bagi masyarakat untuk ikut berperan serta dalam proses dan tahapan penyelenggaraan jalan. Permen Hal ini tertuang dalam PP termuat dalam PU Nomor No. 36 Tahun 2006 tentang Jalan bahwa masyarakat 01/PRT/M/2012 untuk mewadahi peran dapat ikut serta dalam jalan pengaturan, masyarakat dalamberperan penyelenggaraan ini. pembinaan, dan pengawasan jalan. Tahap pembangunan, pengawasan merupakan tahap penyelenggaraan jalan yang membuka peluang Pemerintah menerbitkan Pedoman terbesar bagi telah masuknya peran masyarakat ini.Peran Masyarakat dalam Penyelenggaraan Jalan Hal ini dikarenakan masyarakat merupakan yang termuat dalam Nomor subyek yangPermen berada PU pada lokasi01/PRT/M/2012 keberadaan untuk mewadahi peran masyarakat jalan dan berkaitan langsung dalam masadalam penyelenggaraan jalan pengguna ini. Tahap pengawasan operasionalnya sebagai jalan maupun merupakan penyelenggaraan jalan yang pemanfaat tahap jalan. Masyarakat berhak melaporkan penyimpangan jalan sertaperan membuka peluangterhadap terbesarfungsi bagi masuknya pengendalian terhadap pemanfaatan masyarakat jalan masyarakat ini. Hal ini dikarenakan kepada penyelenggara jalan. berada pada lokasi merupakan subyek yang keberadaan jalan berkaitan Berdasarkan hal dan tersebut, peran langsung masyarakatdalam masa operasionalnya sebagai pengguna dalam pengawasan terhadap fungsi dan jalan maupun pemanfaat jalan.jalan Masyarakat berhak pengendalian pemanfaatan sangat penting. melaporkan terhadap Rumusan penyimpangan masalah dari penelitian ini fungsi adalah jalan sertabagaimana pengendalian pemanfaatan tingkat terhadap peran masyarakat dalam jalan pengawasan terhadapjalan. fungsi dan pengendalian kepada penyelenggara pemanfaatan jalan dan apa faktor penyebabnya. Berdasarkan hal untuk tersebut, peran tingkat masyarakat Tujuan penelitian mengetahui dalam fungsi dan peran pengawasan masyarakat dalamterhadap pengawasan terhadap pengendalian jalan sangatjalan penting. fungsi dan pemanfaatan pengendalian pemanfaatan serta faktor penyebabnya. Penelitian ini ini dapatadalah Rumusan masalah dari penelitian dimanfaatkan sebagai peran dasar penyelenggara bagaimana tingkat masyarakatjalandalam untuk memperbaiki infrastruktur pengawasan terhadap pelayanan fungsi dan pengendalian jalan. pemanfaatan jalan dan apa faktor penyebabnya. Tujuan penelitian untuk mengetahui tingkat peran Secara garis besar, kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Konsep peran masyarakat - Permen PU No.1/PRT/M/2012 - Penelitian terdahulu Manfaat dan fungsi jalan Konsep AIDA Peningkatan pelayanan infrastruktur jalan yang efektif dan penggunaan anggaran yang efisien
Solusi peningkatan peran masyarakat dalam pengawasan fungsi dan pengendalian manfaat jalan
Operasionalisasi konsep: 1. Peran masyarakat 2. Pengawasan fungsi dan pengendalian manfaat jalan
Penyusunan kerangka sampel Sampel: 1. Masyarakat pemanfaat jalan 2. Masyarakat pengguna jalan
Instrumen peran masyarakat dalam pengawasan fungsi dan pengendalian manfaat jalan Pengumpulan data: 1. Bali 2. Semarang FGD
Tingkat peran masyarakat dalam pengawasan fungsi dan pengendalian manfaat jalan dan faktor penyebabnya
Analisis data: 1. Uji validitas dan reabilitas 2. Skoring 3. Analisis deskriptif Tingkat peran masyarakat dalam pengawasan fungsi dan pengendalian manfaat jalan
GambarGambar 1. Rancangan penelitianpenelitian 1. Rancangan
Sumber : Hasil Analisis, 2015
Sumber : Hasil Analisis, 2015
64
KAJIAN PUSTAKA Luasnya pengertian dan pemahaman peran serta masyarakat, sehingga menimbulkan banyak penafsiran Definisi partisipasi selalu dikaitkan
masyarakat dalam pengawasan terhadap fungsi dan pengendalian pemanfaatan jalan serta faktor penyebabnya. Penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai dasar penyelenggara jalan untuk 2 memperbaiki pelayanan infrastruktur jalan. Secara garis besar, kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
atau bersinonim dengan peran serta. Beberapa KAJIAN PUSTAKA definisi peran masyarakat yang berkaitan dengan penelitianpengertian dapat dilihat pada 1. Luasnya dan Tabel pemahaman peran serta masyarakat, sehingga menimbulkan banyak Tabel 1. DefinisiDefinisi peran masyarakat penafsiran partisipasi selalu dikaitkan atau No Sumber Pengertian Peran bersinonim dengan peran serta. Beberapa definisi Masyarakat peran masyarakat yang berkaitan dengan penelitian 1 Juraidah Partisipasi masyarakat dapat(2015) dilihat padaadalah Tabel 1. sejauh mana masyarakat berperan aktif
atau dilibatkan dalam Tabel 1. Definisi peran masyarakat
proses menyumbangkan Masyarakat pikiran Pengertian dalam Peran kegiatan 1 Juraidah (2015) pembangunan Partisipasi masyarakat adalah sejauh mana 2 Sadono Kegiatan pemberdayaan masyarakat berperan aktif atau dilibatkan dalam (2012) masyarakat yang memiliki proses menyumbangkan pikiran dalam kegiatan tujuan pembangunan meningkatkan kesejahteraan masyarakat 3 Winata dan Partisipasi adalah suatu 2 Yuliana Sadono (2012) (2012) proses Kegiatan pemberdayaan masyarakat yang yang melibatkan memilikipihak tujuanterkait meningkatkan seluruh secarakesejahteraan masyarakat aktif dalam rangkaian kegiatan 3 Winata dan Yuliana Partisipasi adalah suatu proses yang melibatkan 4 Mursitama Peran masyarakat dapat (2012) seluruh pihak terkait secara aktif dalam (2012) berupa sumber keahlian rangkaian kegiatan dan pengetahuan, ide-ide 4 Mursitama (2012) atau Perangagasan, masyarakatdan dapat dapat berupa sumber keahlian dan pengetahuan, ide-ide atau gagasan, dan melakukan riset tentang dapat melakukan riset tentang pengalaman terbaikpengalaman diberbagai negara tentang terbaik diberbagai negara tentang suatu hal. suatu hal. Sumber: Hasil inventarisir literatur, 2015
No
Sumber
Sumber : Hasil inventarisir literatur, 2015
Pelibatan masyarakat dalam penyelenggaraan jalan sudah ada tata caranya di Permen No. Pelibatan masyarakat dalam PU penyelenggaraan 1/PRT/M/2012 Pedoman Peran PU No. 1/ jalan sudah adatentang tata caranya di Permen Masyarakat dalam Penyelenggaraan Jalan.Masyarakat PRT/M/2012 tentang Pedoman Peran Pedoman ini berisi tentangJalan. klasifikasi dalam Penyelenggaraan Pedoman ini masyarakat, peran masyarakat, prosedur berisi tentang klasifikasidanmasyarakat, peran peran masyarakat dalam penyelenggaraan jalan. masyarakat, dan prosedur peran masyarakat dalam Pedoman ini merupakan juklak dari UU No. 38 penyelenggaraan jalan. Pedoman ini merupakan Tahun 2004 dan PP No. 34 Tahun 2006 yang juklak tentang dari UU No.masyarakat. 38 Tahun 2004 dan PP No. mengatur peran 34 Tahun 2006 yang mengatur tentang peran Masyarakat dapat berperan pada setiap tahapan masyarakat. penyelenggaraan jalan yaitu tahap pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan. Masyarakat dapat berperan pada setiap tahapan Pelaksanaan peran masyarakat saat pengawasan penyelenggaraan jalan yaitu tahap pengaturan, dapat dilakukan sebagaimana tertera pada pembinaan, pembangunan, danTabel pengawasan. 2 berikut. Pelaksanaan peran masyarakat saat pengawasan dapat dilakukan sebagaimana tertera pada Tabel 2 berikut.
Peran Masyarakat Dalam Pengawasan Terhadap Fungsi Dan Pengendalian Pemanfaatan Lingkungan Jalan Dica Erly Andjarwati Tabel 2. Pelaksanaan peran masyarakat dalam pengawasan fungsi dan manfaat jalan Penyampaian Pengawasan Langsung • Informasi
Media • Tatap muka
• Usulan
• Forum dialog
• Saran
• Konsultasi publik,
• Kritik
• Langsung di lokasi melalui unit yang melayani peran masyarakat
Jaringan Jalan Primer Jaringan Jalan Sekunder Klasifikasi Jalan Kolektor • Menghubungkan antara pusat kegiatan • Menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder nasional dengan pusat kegiatan lokal, kedua atau kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga antar pusat kegiatan wilayah atau antara pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lokal
• Laporan Tidak langsung
• Informasi
• Media komunikasi
• Usulan
• Media cetak
• Saran
• Media elektronik
Lokal
• Kritik Sumber : Permen PU Nomor 01/PRT/M/2012
Bentuk peran masyarakat dalam pengawasan fungsi dan manfaat jalan dapat berupa:
1. Pelaporan penyimpangan pemanfaatan ruang manfaat jalan, ruang milik jalan dan ruang pengawasan jalan kepada penyelenggara jalan;
2. Saran, usulan, informasi atas penggunaan dan pemanfaatan jalan; 3. Pengaturan lalu lintas oleh masyarakat harus mendapat izin dari penyelenggara jalan, pembina lalu lintas dan angkutan jalan; dan 4. Mematuhi peraturan pemanfaatan jalan.
penggunaan
dan
Lingkup dari pengawasan fungsi dan pengendalian manfaat jalan adalah pengawasan terhadap segala hal ataupun kegiatan yang mengganggu fungsi dan manfaat dari jalan tersebut. Gangguan yang ditemui harus dilaporkan kepada pelaksana penyelenggara jalan yang bersangkutan untuk segera ditindaklanjuti. Adapun fungsi jalan berdasarkan sifat, pergerakan pada lalu lintas dan angkutan jalan dapat dilihat pada Tabel 3. berikut: Tabel 3. Fungsi jalan
Jaringan Jalan Primer
Jaringan Jalan Sekunder
Klasifikasi Jalan Arteri • Menghubungkan antar pusat kegiatan • Menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu, nasional atau antara pusat kegiatan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kesatu, atau kawasan nasional dengan pusat kegiatan wilayah sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua • Kecepatan minimal 60 km/jam,
• Kecepatan minimal 30 km/jam
• Lebar badan jalan minimal 11 m
• Lebar badan jalan minimal 11 m
• Tidak boleh terganggu ulang alik, lalu lintas lokal, dan kegiatan lokal
Lingkungan
• Kecepatan minimal 40 km/jam
• Kecepatan minimal 20 km/jam
• Lebar badan jalan minimal 9 m
• Lebar badan jalan minimal 7,5 m
• Menghubungkan pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lingkungan, antar pusat kegiatan lokal, atau pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan lingkungan, serta antar pusat kegiatan lingkungan
• Menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan
• Kecepatan minimal 20 km/jam
• Kecepatan minimal 10 km/jam
• Lebar badan jalan minimal 7,5 m
• Lebar badan jalan 7,5 m
• Menghubungkan antar pusat kegiatan • Menghubungkan antar persil dalam kawasan perkotaan di dalam kawasan perdesaan dan jalan di dalam lingkungan kawasan perdesaan • Kecepatan minimal 15 km/jam
• Kecepatan minimal 10 km/jam
• Lebar badan jalan minimal 6,5 m
• Lebar badan jalan minimal 6,5 m
Sumber : PP Nomor 36 Tahun 2006
Contoh gangguan fungsi jalan antara lain sebagai berikut:
1. Adanya pasar tumpah yang mengakibatkan kemacetan
2. Lebar jalan yang tidak sesuai dengan klasifikasi dan jaringan jalan (seharusnya lebih lebar, tetapi di lapangan ternyata lebar jalan lebih sempit sehingga mengganggu kelancaran laju kendaraan) 3. Kendaraan angkutan umum yang berhenti (ngetem) tidak pada tempatnya 4. Pohon tumbang yang menghalangi kendaraan yang melaju, dan lain-lain
Pemanfaatan bagian-bagian jalan diatur di PP Nomor 36 Tahun 2006. Bagian-bagian jalan yang dimaksud meliputi ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan. Berikut penjelasan tentang pemanfaatan bagian-bagian jalan: 1. Bangunan utilitas
Penempatan, pembuatan, dan pemasangan
65
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 63 - 75
bangunan utilitas sesuai dengan persyaratan teknis jalan yang ditetapkan oleh Menteri. Jika bangunan utilitas tidak berada pad area yang ditentukan maka dianggap gangguan. 2. Penanaman pohon
Pohon ditanam di luar ruang manfaat jalan (dibatas ruang manfaat jalan, median, atau di jalur pemisah). Jika pohon ditanam tidak pada area yang diijinkan maka dianggap sebuah gangguan. 3. Prasarana moda transportasi lain
Prasarana moda transportasi berada di ruang milik jalan, selain moda trasportasi yang diijinkan maka dianggap sebuah gangguan. Berdasarkan penjelasan di atas maka jelas apa yang dimaksud dengan pengawasan fungsi dan pengendalian manfaat jalan. Gangguan-gangguan yang ditemui harus dilaporkan kepada pelaksana penyelenggara jalan yang bersangkutan.
Penyelenggara jalan adalah pihak yang melakukan pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan sesuai dengan kewenangannya. Sedangkan pelaksana penyelenggara jalan adalah instansi yang berwenang atas penyelenggaraan jalan sesuai status jalan. Berikut adalah penyelenggara dan pelaksana penyelenggara jalan dibagi berdasarkan status jalan menurut UU Nomor 38 Tahun 2004. Berikut uraian penyelenggara dan pelaksana penyelenggara jalan pada Tabel 4. Tabel 4. Pelaksana penyelenggara jalan
Status jalan Jalan Nasional
Penyelenggara jalan Menteri PU
Pelaksana Penyelenggara Jalan Kepala Balai Besar/ Balai Pelaksana Jalan Nasional atas nama Direktur Jendral Bina Marga Kepala Dinas yang berwenang dalam penyelenggaraan jalan Provinsi
Jalan Provinsi
Gubernur
Jalan Kabupaten
Bupati
Kepala Dinas yang berwenang dalam penyelenggaraan jalan Kabupaten
Jalan Kota
Walikota
Kepala Dinas yang berwenang dalam penyelenggaraan jalan Kota
Jalan Desa
Bupati
Kepala Desa
Sumber : Permen PU Nomor 01/PRT/M/2012
Pelaksana penyelenggara jalan bertanggung jawab atas penyelenggaraan jalan, termasuk pengawasan jalan. Berdasarkan hal tersebut, Kementerian PU mengatur adanya tenaga lapangan khusus untuk malakukan pengawasan jalan yaitu penilik jalan yang diatur di Permen PU Nomor 13/PRT/M/2011. Penilik jalan yang diangkat oleh penyelenggara jalan atau instansi berwenang yang ditunjuk oleh penyelenggara jalan. Apabila terdapat
66
hal atau kegiatan yang mengakibatkan gangguan terhadap keselamatan pengguna jalan dan keamanan konstruksi jalan, paling lambat dalam waktu 1 (satu) hari sejak terjadinya gangguan tersebut, penilik jalan harus melakukan hal-hal sebagai berikut: 1. M elaporkan kepada penyelenggara jalan atau instansi yang berwenang;
2. M emasang rambu peringatan sementara sesuai pedoman yang berlaku di lokasi adanya gangguan tersebut sebelum penanganan perambuan selengkapnya dilakukan oleh satuan kerja penanganan jalan atau satuan kerja lain yang ditetapkan oleh penyelenggara jalan sesuai wilayah kerjanya; dan 3. M engusulkan tindakan yang perlu diambil atas pelaporan dari hasil pengamatan kepada penyelenggara jalan atau instansi yang berwenang. Gangguan keselamatan pengguna jalan dan keamanan konstruksi jalan meliputi:
1. K erusakan jalan, bangunan pelengkap dan perlengkapan jalan; 2. K ejadian alam seperti longsoran, pohon tumbang, kebakaran; dan/atau
3. K egiatan manusia seperti pendirian bangunan dan atribut, antara lain tugu, gapura, gardu, rumah, pasar, tiang, papan reklame, bendera dan umbul-umbul. Hal-hal yang menjadi tugas penilik jalan juga dapat dilakukan oleh masyarakat dalam rangka mendukung peningkatan pelayanan infrastruktur jalan.. Kewajiban penyelenggara jalan untuk memberikan fasilitas dan pelayanan kepada masyarakat. Fasilitas yang diberikan antara lain: 1. P enyediaan fungsi pelayanan masyarakat dalam Penyelenggaraan Jalan; 2. P enyediaan media komunikasi baik cetak maupun elektronik;
3. P enetapan standar operasi dan prosedur mekanisme pelaksanaan peran masyarakat dalam Penyelenggaraan Jalan; 4. P enetapan dan publikasi minimal di bidang jalan;
standar pelayanan
5. P elaksanaan konsultasi publik sebagai bagian dari tahapan Penyelenggaraan Jalan; dan 6. P elaksanaan sosialisasi Penyelenggaraan Jalan.
Peran Masyarakat Dalam Pengawasan Terhadap Fungsi Dan Pengendalian Pemanfaatan Lingkungan Jalan Dica Erly Andjarwati Pelayanan yang disediakan Penyelenggara Jalan untuk masyarakat meliputi:
Tahapan
1. Penyediaan sistem informasi;
2. Penyampaian data dan informasi;
Pelaksanaan konstruksi, pengoperasian, dan pemeliharaan
3. Penerimaan usulan, saran, dan kritik; 4. Pelayanan kajian;
5. Pelayanan pengujian;
Pengawasan
6. Pelaksanaan penelitian dan pengembangan;
7. Pemberian izin/rekomendasi/dispensasi pemanfaatan dan/atau penggunaan bagianbagian jalan; dan 8. Penyediaan bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat dalam hal keterlibatkan langsung masyarakat dalam penyelenggaraan jalan
Pelibatan masyarakat dalam penyelenggaraan jalan dapat bersifat: 1. Perorangan;
2. Kelompok; dan 3. Badan usaha
Tiap sifat tersebut dapat digolongkan sebagai: 1. Masyarakat pengguna jalan; dan 2. Masyarakat pemanfaat jalan.
Peran masyarakat dalam penyelenggaraan jalan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Peran masyarakat dalam penyelenggaraan jalan Tahapan Pengaturan
Pembinaan
Kegiatan Perumusan kebijakan perencanaan dan penyusunan perencanaan umum Pelayanan dan pemberdayaan Penelitian dan pengembangan
Pembangunan
Kegiatan Perencanaan teknis
Peran Pemberi usulan, saran, informasi
Pemberi usulan, saran, informasi Pemberi usulan, saran, informasi, pendanaan, pelaksanaan penelitian sendiri
Penyusunan program
Pemberi usulan, saran, informasi
Penganggaran
Pemberi usulan, saran, informasi
Pengawasan fungsi dan manfaat jalan, serta pengendalian fungsi dan manfaat
Peran Pemberi usulan, saran, informasi, dan pendanaan Pemberi usulan, saran, informasi, pendanaan, dan pelaksana pekerjaan langsung Pemberi usulan, saran, laporan, dan informasi
Sumber : Permen PU Nomor 01/PRT/M/2012
Pada penelitian ini, untuk mengetahui tingkat peran masyarakat dalam pengawasan fungsi dan pengendalian manfaat jalan menggunakan konsep AIDA (Attention, Interest, Desire, Action). Konsep ini pertama kali dikemukakan oleh E. K. Strong pada tahun 1925 yang merupakan 4 (empat) tahapan proses penjualan (sales). Konsep ini digunakan dalam komunikasi pemasaran untuk merumuskan tujuan yang ingin dicapai dari proses komunikasi pemasaran yang akan dilakukan. Setelah menentukan sasaran pemasaran, pemasar harus memutuskan respon yang terjadi. Respon tersebut terdiri dari beberapa tahap, yaitu tahap kesadaran (cognitive), tahap pengaruh (affective), dan tahap tindakan pembelian (behavioral/conative). Tahapan konsep AIDA (Gambar 2) adalah sebagai berikut: 1. Attention (Perhatian)
Perhatian masyarakat sangat tergantung pada proses sosialisasi atau pengenalan mengenai suatu hal. Kunci keberhasilan dari suatu hal berada pada kemasan sosialisasi atau pengenalannya, menarik perhatian atau tidak. 2. Interest (Minat)
Jika perhatian masyarakat sudah didapat, selanjutnya mendapatkan minat masyarakat. Dampak baik yang didapatkan masyarakat jika target terpenuhi dapat menarik minat masyarakat akan suatu hal. Semakin banyak dampak baik yang didapatkan, maka semakin besar minat masyarakat akan hal tersebut. 3. Desire (Kemauan)
Kemauan merupakan tahap lanjut jika minat masyarakat sudah didapatkan. 4. Action (Aksi)
Tahap ini adalah tahap akhir yang diharapkan
67
masyarakat akan suatu hal. Semakin banyak variabel iklan televisi memiliki pengaruh yang dampak baik yang didapatkan, maka semakin positif dan signifikan terhadap brand awareness besar minat masyarakat akan hal tersebut. (Gunawan dan Dharmayanti, 2014) 3. Desire (Kemauan) Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 63Partisipasi - 75 Kemauan merupakan tahap lanjut jika minat merupakan peningkatan dalam masyarakat sudah didapatkan. mengangkatkan moral masyarakat agar 4. Action (Aksi) tertanam rasa kepedulian dari kondisi Tahap ini adalah tahap akhir yang keterbelakangan dan ketidakmampuan dalam sebuah partisipasi merupakan salah satu elemen setelah proses sosialisasi atau pengenalan diharapkan setelah proses sosialisasi atau pemenuhan berbagai hal dalam kehidupan. terpenting terutama menyangkut pembangunan berakhir. Aksi yang dimaksudkan aksi yang pengenalan berakhir. Aksi yangadalah dimaksudkan Dalam berbagai hal sebuah partisipasi yang melibatkan masyarakat. Partisipasi juga mendukung tujuan darimendukung sosialisasi atau pengenalan adalah aksi yang tujuan dari merupakan salah satu elemen terpenting menjadi tonggak awal dari sebuah perubahan yang yang telah dilakukan. sosialisasi atau pengenalan yang telah terutama menyangkut pembangunan yang mana dari awal yang ketidakberdayaan dilakukan. melibatkan masyarakat. Partisipasi juga menjadi menjadi Model klasik AIDA (Attention – Interest – pemberdayaan (Asariansyah dkk, 2013) yang mana tonggak awal dari sebuah perubahan Desire – Action) sampai saat ini sangat membantu Model klasik AIDAbisnis (Attention � Interest � Desire � dari menjadi Pada awal tahunyang 2006,ketidakberdayaan Darmawanto melakukan di lingkungan karena mudah dalam Action) sampai saat ini sangat membantu di pemberdayaan (Asariansyah dkk, 2013) penelitian mengenai peran serta masyarakat dalam pelaksanaannya. Model ini memperlihatkan lingkungan bisnis karena mudah dalam pengelolaan pemeliharaan jalan pada Perumahan tentang keseluruhan proses bagaimana periklanan Pada tahun 2006, Darmawanto melakukan pelaksanaannya. Model ini memperlihatkan Korpri Sambak Indah, Purwodadi. dan mempengaruhi perilaku konsumen. Perlu dicatat, penelitian mengenai peran sertaVariabel masyarakat tentang keseluruhan proses bagaimana indikatornya dapat dilihat pada Tabel 6 berikut. dalam periklanan yang diperlukan adalah menarik dalam pengelolaan pemeliharaan jalan pada periklanan mempengaruhi perilaku konsumen. perhatian (attention), memelihara minat (interest), Perumahan Korpri Sambak Indah, Purwodadi. Perlu dicatat, dalam periklanan yang diperlukan 6. Variabel indikator peran sertadilihat masyarakat Variabel dandan indikatornya dapat pada membuat hasrat keinginan (desire), dan melakukan Tabel adalah menarik perhatian (attention), dalam pemeliharaan jalan lingkungan Tabel 6 berikut. aksi (action). memelihara minat (interest), membuat hasrat Sasaran Variabel keinginan (desire), dan melakukan aksi (action). Identifikasi Sumber Daya 1. indikator Tabel 6. Variabel dan peranManusia serta dan Pengelolaan Sumber Daya Alatjalan lingkungan masyarakat dalam pemeliharaan
Gambar 2.Gambar Tahapan2.konsep AIDA Tahapan konsep AIDA
Sumber 2013 Sumber :: Rawal, Rawal, 2013
Jurnal dikemukakan oleh Bambang Jurnal yang yang dikemukakan oleh Bambang Sukma Sukma Wijayamenjelaskan (2012) menjelaskan ada Wijaya (2012) bahwa ada bahwa beberapa beberapa yang berubah terkaitcara cara pandanganpandangan yang berubah terkait komunikasi masyarakat masyarakat dan danbersosialisasi, bersosialisasi,hasil hasil menunjukkan perkembangan teknologiteknologi informasi perkembangan ditandai dengan dengan meningkatnya mediamedia sosial. informasi ditandai meningkatnya Selain perkembangan media periklanan dan sosial. itu, Selain itu, perkembangan media periklanan dan strategi komunikasi pemasaran strategi komunikasi pemasaran mempunyai efek mempunyai efekoleh danperilaku disebabkan oleh perilaku dan disebabkan konsumen terhadap produk periklanan, sehingga hirarki efek model sebelumnya memerlukan peningkatan berdasarkan perkembangan terbaru pada ulasan kekuatan masyarakat. Faktor promosi (iklan) sebagai media promosi terbukti memiliki peran penting dalam pengenalan suatu merek. Hal ini dapat terlihat dari hasil penelitian yang menunjukan bahwa variabel iklan televisi memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap brand awareness (Gunawan dan Dharmayanti, 2014) Partisipasi merupakan peningkatan dalam mengangkatkan moral masyarakat agar tertanam rasa kepedulian dari kondisi keterbelakangan dan ketidakmampuan dalam pemenuhan berbagai hal dalam kehidupan. Dalam berbagai hal
68
Pemeliharaan Jalan Sasaran Lingkungan Identifikasi Pengelolaan Pemeliharaan Jalan Lingkungan Identifikasi Karakteristik Identifikasi Masyarakat di Karakteristik Masyarakat di Lingkungan Lingkungan Perumahan Perumahan Identifikasi faktorIdentifikasi faktor yang faktor-faktor mempengaruhi peran yang serta masyarakat mempengaruhi dalam pemeliharaan peran serta jalan masyarakat dalam pemeliharaan Identifikasi Peran jalan Serta Masyarakat Identifikasi Dalam Pengelolaan, Peran SertaJalan Pemeliharaan Masyarakat Lingkungan
Variabel Pembiayaan Sumber Daya Manusia dan Kelembagaan Sumber Daya Alat 2. Pembiayaan 4. Kebijakan Pemerintah 3. Kelembagaan 1. Kebijakan Karakteristik Sosial 4. Pemerintah 1. Sosial Karakteristik Ekonomi 2. Karakteristik 2. Karakteristik Ekonomi Karakteristik mobilitas 3. Karakteristik 3. mobilitas penduduk penduduk 2. 1. 3.
1. Tingkat Tingkat Pendidikan 1. Pendidikan 2. Tingkat Pendapatan Pendapatan
1. 1. 2.
Bentuk Peran serta Masyarakat Bentuk Peran serta Tipologi Partisipasi Masyarakat 2. Tipologi Partisipasi
Sumber : Darmawanto, 2006
Berdasarkan hasil penelitian Widjajanti (2011), membuktikan bahwa modal manusia berperan memainkan perubahan sumber daya masyarakat untuk meraih kesuksesan proses pemberdayaan. Modal manusia ditandai adanya tingkat pendidikan yang memadai yang diperoleh dari dukungan pengembangan sarana dan prasarana pendidikan sehingga dapat mengembangkan pemberdayaannya dan akan berdampak secara signifikan pada kemandirian masyarakat. KEBARUAN TEMUAN (NOVELTY)
Pendekatan AIDA lebih banyak digunakan dalam bisnis periklanan seperti yang dilakukan Johar dkk
Peran Masyarakat Dalam Pengawasan Terhadap Fungsi Dan Pengendalian Pemanfaatan Lingkungan Jalan Dica Erly Andjarwati (2015) dan belum pernah dilakukan penelitian penilaian tingkat peran masyarakat dalam pengawasan terhadap fungsi dan pengendalian pemanfaatan jalan dengan pendekatan AIDA. Kebaruan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. M enilai tingkat peran masyarakat dalam pengawasan terhadap fungsi dan pengendalian pemanfaatan jalan dengan konsep AIDA 2. M enggali informasi dari masyarakat dalam menilai kondisi jalan. 3. M engambil dua lokasi penelitian yang berbeda karakter baik penilik jalan maupun masyarakatnya. METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk penelitian terapan yang rumusan masalah dan tujuan penelitian dijadikan dasar pengumpulan, pengolahan, dan analisa data serta dasar pembuatan sistematika hasil penelitian terapan. Pendekatan penelitian dengan kuesioner yang diisi oleh masyarakat pengguna dan pemanfaat jalan serta menjaring masukan dari para pelaksana penyelenggara jalan. Metode penelitian menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kuantitatif untuk mengetahui peran masyarakat terhadap fungsi dan pengendalian pemanfaatan jalan. Metode kualitatif untuk mengetahui faktor penyebabnya. Pada Tabel 7 dapat dilihat variabel dan indikator peran masyarakat dalam pengawasan lingkungan jalan. Tabel 7. Variabel dan indikator peran masyarakat dalam pengawasan lingkungan jalan Konsep Peran masyarakat
Penyebab
Variabel
Indikator
Masyarakat • Pengaduan fungsi pengguna dan dan manfaat jalan pemanfaat jalan
Sumber • Balai Litbang Sosekling Bidang Jalan dan Jembatan, 2013
• Bentuk peran masyarakat
• Darmawanto, 2006
• Media peran masyarakat
• Permen PU No. 1/PRT/M/2012
• Konsep AIDA
• Strong, 1925
Tugas, wewenang, Peran dan tanggung masyarakat jawab: dalam pengawasan • Penilik jalan fungsi dan manfaat jalan • PPK/Manajer ruas jalan • Satuan kerja • Bagian TU
Sumber : Hasil inventarisir literature, 2016
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2006 Tentang Jalan.
Unit analisis dalam penelitian ini adalah interaksi antara masyarakat yang melakukan pengawasan fungsi dan manfaat jalan dengan instansi yang menerima laporan pengawasan (pasangan/dyad) karena adanya pengaruh saling-silang/crossover. Temuan Juariyah dan Harsono, 2011, menguatkan teori crossover effect konflik antar peran, sehingga penting untuk memasukkan pasangan sebagai unit analisis untuk mengeksplorasi lebih jauh konsep konflik antar peran. Lokasi penelitian di Semarang dan Bali. Alasan pemilihan lokasi ini karena kedua lokasi ini memiliki karakteristik penilik jalan dan kearifan lokal yang berbeda:
1. Bali karena penilik jalannya sudah aktif dan terkoordinir dengan baik, namun karakteristik masyarakatnya cenderung acuh.
2. Semarang karena penilik jalan sangat terbatas dan belum terkoordinir dengan baik, namun masyarakat sangat peduli akan infrastruktur jalan.
Populasi penelitian adalah masyarakat dan instansi yang berwenang masing-masing terbagi sebagai berikut: 1. Masyarakat • •
Masyarakat pengguna jalan
Masyarakat pemanfaat jalan
2. Instansi terkait • •
Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional V Balai Pelaksanaan Jalan Nasional VIII
• Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional (PJN) Metropolitan Denpasar
• Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan nasional (PJN) Bawen-Secang dan Lingkar Ambarawa Semarang •
PPK dan penilik jalan Satker PJN terkait
n
N 1 NE 2
Penelitian ini menggunakan teknik sampling dengan simple random sampling karena analisis penelitiannya cenderung deskriptif dan bersifat umum. Rumus penentuan sample dengan menggunakan rumus Slovin dan dianalisis dengan SPSS (Santoso, 2011). Berikut rumus Slovin yang digunakan: ............................(1)
69
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 63 - 75
• Cara menindaklanjuti keluhan masyarakat: untuk mengetahui respon pemerintah terhadap pengaduan masyarakat.
dimana: n
= Jumlah sampel
E
= Margin of Error, batas toleransi
N
= Jumlah populasi
kesalahan (15%)
Penentuan nilai E sebesar 15% karena banyaknya faktor penghambat di lapangan sehingga mempengaruhi kualitas jawaban. Beberapa contoh faktor penghambat yang ditemui di lapangan: a. Responden dalam keadaan lelah, mengantuk, dan lapar karena sedang melakukan perjalanan jauh. b. Responden terburu-buru dalam menjawab kuesioner karena ada pekerjaan yang harus dilakukan.
Cuaca di lokasi yang panas dan terik sehingga responden kurang fokus dalam menjawab pertanyaan. Pengumpulan data dalam penelitian dilakukan dengan cara sebagai berikut:
ini
1. Studi literatur: untuk mendapatkan gambaran awal mengenai konsep peran masyarakat. 2. Studi kasus: untuk mempelajari mekanisme peran masyarakat dalam pengawasan fungsi dan manfaat jalan di suatu lokasi. 3. Observasi: pengamatan langsung untuk mendapatkan gambaran peran masyarakat dalam pengawasan fungsi dan manfaat jalan di suatu lokasi.
4. Wawancara: untuk menggali data dan informasi dari informan.
5. Focus Group Discussion : untuk menggali masukan dari pelaksana penyelenggara jalan, penilik jalan, dan perwakilan masyarakat pengguna dan pemanfaat jalan secara langsung. Peserta FGD yang diundang yaitu Kepala Bagian/Sub Bagian Tata Usaha BPJN, Kasatker, PPK, dan penilik jalan. Adapun hal – hal yang ditanyakan pada saat FGD yaitu: • Jenis keluhan masyarakat yang paling banyak dilaporkan: untuk mengetahui kondisi jalan yang seperti apa yang paling mendapat perhatian masyarakat. • Cara menerima keluhan masyarakat: untuk mengetahui sistem yang ada masih dipersulit atau sudah dipermudah.
70
• Cara menjelaskan proses penanganan keluhan masyarakat: untuk mengetahui efektivitas pengaduan masyarakat
• Waktu yang diperlukan untuk memenuhi keluhan masyarakat: untuk mengetahui kecepatan respon pemerintah.
Penelitian ini menggunakan teknik analisis data kualitatif dan kuantitatif. Teknik analisis data kualitatif berbentuk deskriptif (Taylor dan Bogdan, 2015) dengan data kualitatif sebagai berikut: 1. Hasil pengamatan di lapangan
2. Hasil wawancara dengan informan
3. Bahan tertulis berupa dokumen, rekaman, dan literatur.
Teknik analisis data kuantitatif dengan metode scoring melalui kuesioner. Penelitian ini menggunakan Skala Likert sebagai pedoman penafsiran. Skala Likert merupakan jenis skala yang mempunyai realibilitas tinggi dalam mengurutkan manusia berdasarkan intensitas sikap tertentu. Pengukuran yang memiliki reliabilitas tinggi, yaitu pengukuran yang mampu memberikan hasil ukur yang terpercaya (reliable). Reliabilitas merupakan salah satu ciri atau karakter utama instrumen pengukuran yang baik.
Suatu test dapat dikatakan mempunyai validitas tinggi apabila test tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur sesuai dengan makna dan tujuan diadakan test tersebut. Jika peneliti menggunakan kuesioner di dalam pengumpulan data penelitian, maka item-item yang disusun pada kuesioner tersebut merupakan alat test yang harus mengukur apa yang menjadi tujuan penelitian.
Uji validitas bertujuan untuk mengetahui konsistensi dari suatu instrumen. Salah satu caranya dengan melihat daya pembeda item (item discriminality). Daya pembeda item adalah metode yang paling tepat digunakan untuk setiap jenis tes. Daya pembeda item dalam penelitian ini dilakukan dengan cara ”korelasi item-total”. Korelasi item– total yaitu konsistensi antar skor item dengan skor secara keseluruhan yang dapat dilihat dari besarnya koefisien korelasi antara setiap item dengan skor keseluruhan, yang dalam penelitian ini menggunakan koefisien korelasi pearson.
Peran Masyarakat Dalam Pengawasan Terhadap Fungsi Dan Pengendalian Pemanfaatan Lingkungan Jalan Dica Erly Andjarwati Skala likert mempunyai empat atau lebih butir-butir pertanyaan yang dikombinasikan sehingga membentuk sebuah skor/nilai yang merepresentasikan sifat individu, misalkan pengetahuan, sikap, dan perilaku. Dalam proses analisis data, jumlah dari semua butir pertanyaan digunakan. Penggunaan jumlah dari semua butir pertanyaan valid karena setiap butir pertanyaan adalah indikator dari variabel yang direpresentasikannya (Budiaji, 2013). Pada kuesioner, terdapat 4 pertanyaan bertingkat yang dijawab dengan “Ya/Tidak”. Untuk jawaban “Ya” akan ditambahkan skor 1 dan untuk jawaban “Tidak” maka bernilai 0. Jawaban dari keempat pertanyaan tersebut ditotal. Total skor kemudian dikategorisasikan ke dalam konsep AIDA, semakin besar skor maka semakin tinggi tingkat peran serta masyarakat. Dari total skor tersebut terlihat peran masyarakat berada di tingkat Attention, Interest, Desire, atau sudah sampai ke tingkat Action. Penjabaran arti AIDA dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Attention : Responden tahu adanya kerusakan jalan, namun tidak mau mengadukan. 2. Interest : Rensponden tahu adanya kerusakan jalan, mau mengadukan, namun tidak tahu harus mengadukan kemana. 3. Desire
4. Action
: Responden tahu adanya kerusakan jalan, mau mengadukan, tahu harus mengadukan kemana, namun belum pernah mengadukan.
: Responden tahu adanya kerusakan jalan, mau mengadukan, tahu harus mengadukan kemana, namun belum pernah mengadukan.
Tabel 8. Total skor untuk tingkatan AIDA No 1
Tingkat peran masyarakat Attention
Skor 1
2
Interest
2
3
Desire
3
4
Action
4
HASIL DAN PEMBAHASAN a. Uji reabilitas dan validitas Reliabilitas adalah tingkat kepercayaan hasil suatu pengukuran, atau sejauh mana skor hasil pengukuran terbebas dari kekeliruan pengukuran (measurement error). Skor hasil uji reliabilitas instrumen dapat dilihat pada Tabel 9. berikut. Tabel 9. Skor hasil uji reliabilitas instrumen No 1
2
3 4
Pemanfaat jalan Semarang Pengguna jalan Semarang Pemanfaat jalan Bali Pengguna jalan Bali
Skor
Ket.
0,83
Reliable
0,83
Reliable
0,77
Reliable
0,74
Reliable
Sumber : Skor berdasarkan nilai Cronbach’s Alpha SPSS, 2016
Berdasarkan Tabel 9 menunjukkan bahwa instrumen yang digunakan mampu memberikan hasil ukur yang terpercaya. Selanjutnya dilakukan uji validitas terhadap instrumen yang sama. Uji validitas bertujuan untuk mengetahui konsistensi dari suatu instrumen. Berikut dapat dilihat Tabel 10 – 13 hasil uji validitas instrumen. Tabel 10. Uji instrumen pemanfaat jalan Semarang Pertanyaan
Corrected Item-Total Correlation (Valid if > 0.3)
Ket.
Cronbach's Alpha if Item Deleted
Attention
0,688
Valid
0,772
Interest
0,688
Valid
0,772
Desire
0,678
Valid
0,776
Action
0,592
Valid
0,814
Sumber : Hasil perhitungan, 2016
Tabel 11. Uji instrumen pemanfaat jalan Semarang Pertanyaan
Corrected Item-Total Correlation (Valid if > 0.3)
Ket.
Cronbach's Alpha if Item Deleted
Attention
Sumber : Hasil perhitungan, 2016
Data yang diperoleh sebanyak 100 responden terbagi menjadi 50 responden untuk pemanfaat jalan dan 50 responden untuk pengguna jalan. Data yang telah diperoleh selanjutnya diolah dengan Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) menggunakan analisa desprictive statistics yaitu frequencies dan deskriptif.
Instrumen
0,691
Valid
0,768
Interest
0,716
Valid
0,756
Desire
0,699
Valid
0,76
Action
0,538
Valid
0,835
Sumber : Hasil perhitungan, 2016
71
Sumber: Hasil perhitungan, 2016
Tabel 12. Uji instrumen pemanfaat jalan Bali
Gambar 3. Perbandingan AIDA masyarakat pengguna dan pemanfaat di Semarang 10 Sumber: Hasil perhitungan, 2016
Corrected
RESPONDEN
RESPONDEN
RESPONDEN
RESPONDEN
Cronbach's Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 63 - 75 Item-Total Alpha if Pertanyaan Correlation 2016 Ket. Untuk lokasi penyebaranAIDA kuesioner sama Sumber: Hasil perhitungan, Gambar 3. Bali, Perbandingan masyarakat Item (Valid if > seperti di Semarang yaitu 50 responden pengguna dan pemanfaat di Semarang Deleted 0.3) pemanfaat dan 50 responden pengguna jalan. Sumber: perhitungan, 2016 Tabel Tabel12. 12.Uji U jiinstrumen instrumenpemanfaat pemanfaatjalan jalanBali Bali UntukHasil lokasi Bali, penyebaran kuesioner sama Attention 0,563 Valid 0,725 jalan di wilayah satker metro bali. Terlihat pada Corrected seperti di Semarang yaitu 50 responden pemanfaat Cronbach's Cronbach's Interest Corrected 0,608 0,698 Gambar 4 bahwapengguna gap/selisih antara pengguna Item-Total Valid Item-Total dan 50 responden jalan. jalan di wilayah Alpha Pertanyaan Ket. 0,699 Alphaifif Item Desire 0,612 Valid dan pemanfaat jalan sangat jauh. Ini Pertanyaan Correlation Untuk lokasi Bali, penyebaran kuesioner Correlation (Valid if > 0.3) Ket. satker metro bali. Terlihat pada Gambar 4sama bahwa Item Action 0,526 0,741Deleted menandakan tingkat kesadaran masyarakat di (Valid if > Valid seperti di Semarang yaitu 50 responden gap/selisih antara pengguna dan pemanfaat jalan Deleted Sumber: Hasil perhitungan, 2016 0.3) Bali tidak sama. Gap/selisih 5 sampai dengan 10 pemanfaat dan 50 responden pengguna jalan. Attention Valid 0,725 0,563 sangat jauh. Ini menandakan tingkat kesadaran Attention 0,563 Valid 0,725 jalan diDapat wilayah satker metro bali. Terlihat pada orang. terjadinya penurunan masyarakat didijelaskan Bali tidak sama. Gap/selisih Interest Valid 0,698 0,608 Interest 0,608 pengguna Valid jalan 0,698 Tabel 13. Data instrumen Bali Gambar 4 bahwa gap/selisih antara pengguna nilai dari attention ke action dikarenakan usaha 5 sampai dengan 10 orang. Dapat dijelaskan Desire 0,699 0,612 Desire 0,612 ValidValid 0,699 Corrected dan pemanfaat sangat jauh. Ini pemerintah hanya jalan dapat menarik perhatian terjadinya penurunan nilai dari attention ke action Cronbach's Action 0,526 ValidValid 0,741 Item-Total Action 0,741 0,526 menandakan tingkat kesadaran masyarakat di (attention) namun belum cukup untuk Alpha if dikarenakan usaha pemerintah hanya dapat Sumber: Hasil perhitungan, Pertanyaan Correlation Ket. Sumber : Hasil perhitungan, 20162016 Bali tidak sama. Gap/selisih 5 sampai dengan 10 mendapatkan kepercayaan masyarakat (believe). Item menarik perhatian (attention) namun belum cukup (Valid if > orang. Dapat terjadinya penurunan Oleh karena itu dijelaskan selain penyebarluasan informasi Tabel 13. Uji instrumen pemanfaatDeleted jalan Bali untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat 0.3) Tabel 13. Data instrumen pengguna jalan Bali nilai dari attention kepengaduan action dikarenakan usaha mengenai kontak masyarakat, (believe). Oleh karena itu selain penyebarluasan Attention 0,436 Valid 0,75Cronbach's Corrected pemerintah hanya dapat menarik perhatian pemerintah juga wajib meningkatkan integritas Corrected Item-Total Cronbach's informasi mengenai kontak pengaduan masyarakat, Item-Total Interest 0,527 Valid Ket. 0,698 Pertanyaan Alpha if Item (attention) namun belumsehingga cukup dapat untuk Alpha if Correlation (Valid if > 0.3) di mata masyarakat pemerintah juga wajib meningkatkan integritas di Pertanyaan Correlation Ket. Desire 0,582 Valid 0,699 Deleted mendapatkan kepercayaan masyarakat (believe). Item meningkatkan kepercayaan mata masyarakat sehingga masyarakat. dapat meningkatkan (Valid if > Valid Action 0,602 0,655 Oleh karena itu selain penyebarluasan informasi Deleted Attention Valid 0,75 0,436 kepercayaan masyarakat. 0.3) Sumber: Hasil perhitungan, 2016 mengenai kontak pengaduan masyarakat, Selain itu terjadi perbedaan hasil survey antara Attention 0,436 Valid Valid 0,750,698 Interest 0,527 pemerintah juga wajib meningkatkan integritas Selain itu terjadi perbedaan hasil survey antara pengguna dan pemanfaat jalan, dimana Interest 0,527 Valid Valid 0,6980,699 Desire Berdasarkan Tabel 0,582 10 – 13menunjukkan bahwa di mata masyarakatjalan,sehingga dapat pengguna dan pemanfaat dimana pengguna pengguna jalan lebih aware terhadap pemanfaat Desire 0,582 Valid 0,699 instrumen yang digunakan dalam meningkatkan kepercayaan masyarakat. Action Valid penelitian 0,655 0,602 jalan aware terhadappengguna pemanfaat jalan. Action 0,602 Valid 0,655 jalan.lebih Hal ini dikarenakan jalan yangHal sudah konsisten. Sumber : Hasil 2016 ini dikarenakan penggunamelalui jalan yang Sumber: Hasilperhitungan, perhitungan, 2016 melakukan mobilitas ruasmelakukan jalan Selain itumelalui terjadi perbedaan survey antara mobilitas ruas langsung jalan hasil (berinteraksi secara (berinteraksi secara dengan jalan) pengguna dan pemanfaat jalan, dimana b. Berdasarkan Tingkat peran dalam BerdasarkanTabel Tabel1010–masyarakat –13menunjukkan 13menunjukkan bahwa langsung dengan jalan) sangat peduli akan bahwa sangat peduli akan keselamatannya, sedangkan pengguna jalan lebih aware pemanfaat terhadap pemanfaat terhadap fungsi dan pengendalian instrumen yang digunakan dalam penelitian sudah keselamatannya, sedangkan jalan tidak instrumen yang digunakan dalam penelitian pemanfaat jalan tidak melakukan mobilitas di jalan. Hal ini dikarenakan pengguna jalan yang pemanfaatan konsisten. melakukan mobilitas di ruas jalansecara (tidak langsung berinterasi sudah konsisten.jalan di Semarang dan Bali ruas jalan (tidak berinterasi melakukan mobilitas melalui ruas jalan secara langsung dengan acuh jalan)terhadap cenderung acuh Pada Gambar 3, terlihat dari 50 responden dengan jalan) cenderung b. Tingkat peran masyarakat dalam terhadap (berinteraksi secara langsung dengankondisi jalan) b. Tingkat peran masyarakat dalam terhadap kondisi jalan. jalan. pemanfaat dan pengendalian 50 responden pengguna jalan jalan di fungsi dan pemanfaatan sangat peduli akan keselamatannya, sedangkan terhadap fungsi– Secang dan pengendalian wilayah ruas Bawen dan Lingkar pemanfaat jalan tidak melakukan mobilitas di di Semarang dan Bali pemanfaatan jalan masyarakat di Semarangmasih dan Bali Ambarawa tingkat peran kecil ruas jalan (tidak berinterasi secara langsung Pada Gambar 3,terlihat terlihat dari responden untuk sampai ke 3, action. Namun, pengguna dan Pada Gambar dari 5050responden dengan jalan) cenderung acuh terhadap kondisi pemanfaat dan 50 responden pengguna pemanfaat memiliki tingkat kesadaran jalan. pemanfaatjalan dan 50 responden pengguna jalanjalan di diwilayah wilayah ruas Bawen Secang danLingkar Lingkar yang hampir sama kecuali saat dipertanyaan ruas Bawen – –Secang dan Ambarawa tingkat peran masyarakat masih kecil desire. Ditemukan responden yang Ambarawa tingkatgap/selisih peran masyarakat masih kecil untuk ke Namun, penggunadan dan menjawab hingga orang.Namun, Hal ini pengguna dikarenakan untuksampai sampai ke 5action. pemanfaat jalan tingkat kesadaran yang masih banyak (khususnya masyarakat pemanfaat jalanmemiliki memiliki tingkat kesadaran hampir sama kecuali saatbelum dipertanyaan desire. yang hampir samayang kecuali saat dipertanyaan pemanfaat jalan) mengetahui Ditemukan gap/selisih responden yang menjawab desire.harus Ditemukan gap/selisih responden yang kemana mengadukan kerusakan jalan. hingga 5 orang. Hal 5iniorang. dikarenakan masih banyak menjawab hingga Hal ini dikarenakan (khususnya masyarakat pemanfaat masyarakat jalan) yang masih banyak (khususnya belum mengetahui harus mengetahui mengadukan pemanfaat jalan) kemana yang belum Gambar4. 4. Perbandingan AIDA masyarakat Gambar Perbandingan AIDA masyarakat pengguna kemana harus kerusakan jalan.mengadukan kerusakan jalan. penggunadan danpemanfaat pemanfaat di di BaliBali
Gambar 3. Perbandingan AIDA masyarakat pengguna dan pemanfaat di Semarang Sumber : Hasil perhitungan, 2016
72
Sumber : Hasil Hasil perhitungan, Sumber: perhitungan,2016 2016
Gambar 4. Perbandingan AIDAdengan masyarakat Darihasi hasi pengujian Chi-Square dengan SPSS Dari pengujian Chi-Square SPSS pengguna dan pemanfaat di Bali menyatakan bahwa: menyatakan bahwa: Sumber: Hasil perhitungan, 2016 1. Tidak ada ketergantungan antara tingkat 1. Tidak ada ketergantungan antara tingkat keterkaitan faktor tingkat umur untuk keterkaitan faktor tingkat umur untuk melakukan Dari hasi pengujian Chi-Square dengan SPSS melakukan tindakan Action. tindakan Action. menyatakan bahwa: 1. Tidak ada ketergantungan antara tingkat 2. Tidak ada ketergantungan tingkat keterkaitan faktor tingkat antara umur untuk keterkaitan faktor tingkat pendidikan untuk melakukan tindakan Action. melakukan tindakan Action
3. Tidak ada ketergantungan antara tingkat keterkaitan faktor jenis kelamin untuk melakukan tindakan Action
2. Tidak ada ketergantungan antara tingkat Gambar 6. Media langsung pilihan masyarakat 3. keterkaitan Tidak ada ketergantungan antara tingkat c. Pemilihan media pengaduan yang paling Jika koran, masyarakat jauh dari penilik jalan email, dan berada surat.2016 Dapat dilihat pada Sumber: Hasil perhitungan, faktor tingkat pendidikan keterkaitan faktor jenis kelamin untuk diminati atau unit pengaduan, maka solusi yang diberikan Gambar 7, terjadi perbedaan preferensi. untuk melakukan tindakan Action melakukan Action antara tingkat adalah pengaduan melalui media Masyarakat di Baliberada memilih media SMSlangsung dan Tidak ada tindakan ketergantungan Dari3.hasil perhitungan kusioner Gambar 5, dapat Jika masyarakat jauh dari tak penilik jalan yaitu telepon, SMS, faksimili, radio, website, masyarakat di Semarang memilih media telepon. keterkaitan faktor jenis kelamin untuk dilihat bahwa masyarakat lebih memilih untuk atau unit pengaduan, maka solusi yang diberikan Peran Masyarakat Dalam Pengawasan Terhadap Fungsi Dan Pengendalian c. Pemilihan media pengaduan yang paling email, dan melalui surat. Dapat dilihat pada Haladalah ini koran, dikarenakan lokasimedia penelitian di melakukan Action mengadukan hasil tindakan pengawasan terhadap fungsi pengaduan tak langsung Pemanfaatan Lingkungan Jalan diminati Gambar 7, terjadi perbedaan preferensi. Semarang masih tergolong jauh dari kota dan dan pengendalian pemanfaatan jalan secara yaitu telepon, SMS, faksimili, website, Dica radio, Erly Andjarwati Masyarakat Bali surat. memilih media SMS pada dan tingkat pendidikannya rata-rata masih rendah c. media pengaduan yangingin DariPemilihan hasil kusioner Gambar 5,paling dapat langsung. Halperhitungan ini dikarenakan masyarakat email, koran,di dan Dapat dilihat masyarakat di Semarang memilih media telepon. sehingga masyarakatnya belum familiar dengan c. P emilihan media pengaduan yang paling sehingga masyarakatnya belum familiar dengan diminati dilihat bahwa memilih untuk pengaduan yangmasyarakat dilakukan lebih sampai secara Gambar 7, terjadi perbedaan preferensi. Hal inimelalui dikarenakan lokasi penelitian di komunikasi melalui sehingga berbicara diminati komunikasi sehingga berbicara melalui mengadukan hasil pengawasan terhadap fungsi langsung tanpa perantara sehingga dapat Masyarakat di SMS BaliSMS memilih media SMS dan Dari hasil perhitungan kusioner Gambar 5, dapat Semarang masih tergolong jauh dari kota dan melalui telepon menjadi alternatif terbaik, telepon menjadidi alternatif terbaik, sebaliknya untuk dan pengendalian pemanfaatan jalan secara langsung direspon. masyarakat Semarang memilih media telepon. dilihat bahwa masyarakat lebih memilih untuk Dari hasil perhitungan kusioner Gambar 5, dapat masyarakat tingkat pendidikannya rata-rata masih rendah sebaliknya untuk distudinya Bali penelitian yang lokasi di dikarenakan Balimasyarakat yang lokasi berada didi langsung. Hal ini dikarenakan masyarakat ingin Hal ini lokasi mengadukan pengawasan dilihat bahwa hasil masyarakat lebihterhadap memilihfungsi untuk tengah sehingga masyarakatnya belum familiar dengan studinya berada di tengah kota dan lebih aktif kota dan lebihtergolong aktif dalam aktivitas seharipengaduan yang dilakukan sampai secara Semarang masih jauh dari kota dan dan pengendalian pemanfaatan jalanfungsi secara mengadukan hasil pengawasan terhadap dan hari komunikasi melalui SMS sehingga berbicara dalam aktivitas sehari-hari cenderung lebih cenderung lebih efektif melalukan pengaduan langsung Hal tanpa perantara masyarakat sehingga dapat tingkat pendidikannya rata-rata masih rendah langsung. ini dikarenakan ingin pengendalian pemanfaatan jalan secara langsung. melalui telepon menjadi alternatif efektif melalukan pengaduan melalui SMS. melalui SMS. masyarakatnya belum familiar terbaik, langsung direspon. sehingga dengan pengaduan yang dilakukan secara Hal ini dikarenakan masyarakat sampai ingin pengaduan sebaliknya untuk masyarakat di Bali yang lokasi komunikasi melalui SMS sehingga berbicara langsung tanpa perantara sehingga yang dilakukan sampai secara langsung dapat tanpa studinya berada di tengah kota dan lebih aktif melalui telepon menjadi alternatif terbaik, langsung sehingga direspon.dapat langsung direspon. dalam aktivitas sehari-hari cenderung lebih perantara sebaliknya untuk masyarakat di Bali yang lokasi efektif melalukan pengaduan melalui studinya berada di tengah kota dan SMS. lebih aktif dalam aktivitas sehari-hari cenderung lebih efektif melalukan pengaduan melalui SMS. Gambar 5. Perbandingan media langsung dan tak langsung pilihan masyarakat Sumber: Hasil perhitungan, 2016
Gambar 5. Perbandingan media langsung dan tak Adapun media langsung pilihanpengaduan masyarakat secara langsung Sumber: Hasil perhitungan, antara lain tatap muka 2016 dengan penilik jalan, Gambar 5.5.PPerbandingan media langsung dan Gambar erbandingan publik, media langsung dantak tak forum dialog/konsultasi dan datang langsung pilihan masyarakat langsung pilihan masyarakat langsung ke perhitungan, unit pengaduan masyarakat. Sumber: 2016 Sumber : Hasil Hasil perhitungan, 2016 Adapun media pengaduan secara Gmabar langsung Berdasarkan hasil pengisian kuesioner antara lain media tatap memilih muka dengan penilik jalan, 6, masyarakat lebih untuksecara tatap muka Adapun pengaduan langsung forum dialog/konsultasi publik, dan datang dengan penilik jalan. Hal ini dikarenakan antara lain tatap muka dengan penilik jalan, forum Adapun media pengaduan secara langsung langsung ke unit pengaduan masyarakat. masyarakat lebih suka menjelaskan secara dialog/konsultasi publik, dan datang langsung antara lain tatap muka dengan penilik jalan,ke Berdasarkan hasil pengisian kuesioner Gmabar langsung kepada yang bertugas supaya unit pengaduan masyarakat. Berdasarkan hasil forum dialog/konsultasi publik, dan tidak datang 6, masyarakat lebih memilih untuk tatap muka terjadi kesalahpahaman. pengisian kuesioner Gambar 6, masyarakat lebih langsung ke unit pengaduan masyarakat. dengan untuk penilik Hal kuesioner inipenilik dikarenakan memilih tatapjalan. muka dengan jalan. Hal Berdasarkan hasil pengisian Gmabar masyarakat lebih suka menjelaskan ini dikarenakan masyarakat lebih suka menjelaskan 6, masyarakat lebih memilih untuk tatap secara muka langsung kepada yangyang bertugas secara langsung kepada supayatidak tidak dengan penilik jalan. Halbertugas ini supaya dikarenakan terjadi kesalahpahaman. terjadi kesalah pahaman. masyarakat lebih suka menjelaskan secara langsung kepada yang bertugas supaya tidak terjadi kesalahpahaman.
Gambar 6. Media langsung pilihan masyarakat Sumber : Hasil perhitungan, 2016
Jika masyarakat berada jauh dari penilik jalan atau unit pengaduan, maka solusi yang diberikan adalah pengaduan melalui media tak langsung yaitu telepon, SMS, faksimili, radio, website, email, koran, dan surat. Dapat dilihat pada Gambar 7, terjadi perbedaan preferensi. Masyarakat di Bali memilih media SMS dan masyarakat di Semarang memilih media telepon. Hal ini dikarenakan lokasi penelitian di Semarang masih tergolong jauh dari kota dan tingkat pendidikannya rata-rata masih rendah
Gambar7. 7.M Media taklangsung langsungpilihan pilihanmasyarakat masyarakat Gambar edia tak Sumber: Hasilperhitungan, perhitungan, 2016 Sumber : Hasil 2016
d.d.Kondisi yangtak diperhatikan masyarakat Kondisijalan jalan yang pilihan diperhatikan Gambar 7. Media langsung masyarakat Sumber: Hasil perhitungan, 2016 masyarakat Kondisi jalan dibagi menjadi yaitu berdasarkan Gambar 7. Media tak langsung pilihan masyarakat Kondisi jalan dibagijalan. menjadi berdasarkan fungsi dan manfaat Dariyaitu Gambar 8, kondisi Sumber: perhitungan, 2016Gambar fungsi dan Hasil manfaat jalan. Dari 8,dua kondisi fungsi jalan yang menjadi perhatian di lokasi d. Kondisi jalan yang diperhatikan fungsi jalan Untuk yang menjadi perhatian di dua lokasi ini berbeda. masyarakat di Semarang urutan masyarakat ini berbeda. Untuk masyarakat di Semarang kondisi fungsi jalan yang menjadi perhatian: d. Kondisi jalan menjadi yangyaitu Kondisi jalan dibagi berdasarkan urutan kondisi fungsi jalan yangdiperhatikan menjadi masyarakat 1.perhatian: Jalan bergelombang fungsi dan manfaat jalan. Dari Gambar 8, kondisi fungsi jalan yang menjadi perhatian di dua lokasi Kondisi jalan dibagi menjadi yaitu berdasarkan 1. berlubang Jalan bergelombang 2. Jalan ini berbeda. Untuk masyarakat di fungsi dan manfaat jalan. Dari Gambar Semarang 8, kondisi 2. Jalan berlubang urutan kondisi fungsi jalan yang menjadi fungsi jalanbalik yangkendaraan menjadi perhatian di dua lokasi 3. Akses 3. putar Akses putar balik kendaraan perhatian: ini berbeda. Untuk masyarakat di Semarang Jalan bergelombang menjadi isu utama karena Jalan menjadi isu utama karena urutan kondisi fungsi jalan yangBawenmenjadi Jalan bergelombang ruas ini1.bergelombang merupakan penghubung antara ruas ini merupakan penghubung antara Bawenperhatian: 2. Jalan berlubang Secang-Ambarawa (Jawa Tengah) dan DI Secang-Ambarawa (Jawakendaraan Tengah) dan DI Yogyakarta 3. Akses putar balik kendaraan Yogyakarta sehingga besar seperti 1.kendaraan Jalan bergelombang sehingga besar seperti truk dan tronton Jalan bergelombang menjadi isu utama karena truk dan tronton banyak melewati ruas ini. 2.melewati Jalan berlubang banyak ruas ini. Karena kapasitas ruas ini merupakan penghubung antara BawenKarena3.kapasitas kendaraan yang lewat sangat Akses putar balik besar kendaraan kendaraan yang lewat sangat sehinggajalan. seringDI Secang-Ambarawa (Jawa Tengah) besar sehingga sering terjadi perbaikan Jalan bergelombang menjadi isu utamadan karena terjadi perbaikan jalan. Patut diduga, perbaikan Yogyakarta sehingga kendaraan besar seperti Patut diduga, perbaikan jalan yang tidak sesuai ruas ini merupakan penghubung antara Bawenjalantruk yang tidak sesuaibanyak SOP menyebabkan jalan dan tronton melewati ruas Secang-Ambarawa (Jawa Tengah) dan ini. DI bergelombang sehingga sering terjadi kecelakaan Karena kapasitas kendaraan yang lewat sangat Yogyakarta sehingga kendaraan besar seperti di lokasi tersebut (ruas jalan Bawen-Secang dan besardan sehingga sering terjadi perbaikan truk tronton banyak melewati ruasjalan. ini. Lingkar Ambarawa). Patut diduga, perbaikan jalan yang tidak sesuai Karena kapasitas kendaraan yang lewat sangat besar sehingga terjadi di perbaikan jalan. Sedangkan untuksering masyarakat Bali, kondisi Patut diduga, perbaikan jalan yang tidak sesuai fungsi jalan yang menjadi perhatian yaitu:
1. Trotoar yang rusak/tidak tersedia 2. Jalan retak
3. Jalan bergelombang
Trotoar menjadi kondisi fungsi jalan yang paling utama untuk diperhatikan karena di Bali banyak turis yang lebih suka berjalan kaki dibandingkan
73
Angkutan umum di Semarang jumlahnya Sedangkan masyarakat di Bali, kondisi kemacetan. 3. Jalanuntuk bergelombang banyak sehingga banyak ditemui angkutan fungsi jalan yang menjadi perhatian yaitu: Trotoar menjadi kondisi fungsi jalan yang paling Sedangkan Bali, urutan manfaat umum yangdiberhenti untukpengendalian mencari penumpang 1. Trotoar yang rusak/tidak tersedia utama untuk diperhatikan karena di Bali banyak tidak pada tempatnya sehingga menimbulkan jalan yang menjadi prioritas yaitu: 2. Jalan retak turis3.Sosek yang lebih suka Umum, berjalanVol.8 kakiNo.1, dibandingkan Jurnal Pekerjaan April 2016, hal 63 kemacetan. - 75Parkir liar 1. Jalan bergelombang mengendarai kendaraan sehingga sebagai lokasi Trotoar menjadi kondisi fungsi jalan yang paling 2. Papan di Bali, reklame yang mengganggu Sedangkan urutan pengendalian manfaat pariwisata banyak karena menghasilkan devisa utama untukyang diperhatikan di Bali banyak keselamatan pengguna jalan jalan yang menjadi prioritas yaitu: makayang harus memperhatikan kenyamanan turis turis lebih suka berjalan kaki dibandingkan 3. Tidak ada 1. Parkir liar Sedangkan di rambu Bali, urutan pengendalian manfaat mengendarai kendaraan sehingga sebagai lokasi lokal maupun asing. mengendarai kendaraan sehingga sebagai lokasi 2. Papan reklame yang utama mengganggu Parkir liar menjadi perhatian di Bali yang menjadi prioritas yaitu: pariwisata yang banyak menghasilkan devisa maka jalan pariwisata yang banyakkenyamanan menghasilkan devisa keselamatan pengguna jalanmobil rental atau harus memperhatikan turis lokal karena banyak taksi ataupun maka harus memperhatikan kenyamanan turis 1. Parkir liar ada rambu 3. maupun asing. bis Tidak pariwisata yang berhenti/parkir tidak pada lokal maupun asing. Parkir liar hanya menjadiuntuk perhatian utama di para Bali tempatnya mempermudah 2. Papan reklame yang mengganggu keselamatan karena banyak taksi ataupun mobil rental atau turis mencapai pengguna jalan lokasi yang diinginkan. Hal ini bis pariwisata yang berhenti/parkir tidak pada dapat mengganggu pengguna jalan yang lainnya tempatnya hanya untuk mempermudah para 3. Tidak ada rambu sehingga Dinas Perhubungan perlu turis mencapai lokasi yang diinginkan. Hal ini menempatkan tenaganya untuk mengawasi hal dapat jalan yangdilainnya Parkirmengganggu liar menjadipengguna perhatian utama Bali tersebut. sehingga Dinasataupun Perhubungan perlu karena banyak taksi mobil rental atau tenaganya untuk mengawasi hal bis menempatkan pariwisata yang berhenti/parkir tidak pada KESIMPULAN tersebut. tempatnya hanya untuk mempermudah para turis 1. Tingkat masyarakat mencapai lokasi peran yang diinginkan. Hal initerhadap dapat KESIMPULAN pengawasan fungsi jalan rendah, jika mengganggu pengguna jalan yangmasih lainnya sehingga Gambar 8. Kondisi fungsi jalan yang menjadi 1. Perhubungan Tingkat peran masyarakat terhadap dilihat dari pendekatan AIDA peran Dinas perlu menempatkan tenaganya perhatian masyarakat pengawasan fungsi jalanditingkat masih rendah, jika untuk mengawasi tersebut. masyarakathal berada attention. Gambar 8. Kondisi fungsi jalanmenjadi yang perhatian menjadi Gambar K ondisi fungsi jalan Sumber: 8. Hasil perhitungan, 2016yang dilihat dari pendekatan AIDA peran Mereka tahu bahwa harus mengadukan perhatian masyarakat masyarakat masyarakat berada ditingkat attention. KESIMPULAN namun tidak dilakukan. Sumber : Hasil 2016 Sumber: Hasilperhitungan, perhitungan, 2016 Mereka tahu bahwa harus mengadukan Untuk pengendalian manfaat jalan yang menjadi Tingkat peran masyarakat terhadap 1. T2. ingkat peran masyarakat terhadap pengawasan namun tidak dilakukan. perhatian dapat dilihat pada Gambar 9 dibawah pengendalian pemanfaatan jalan juga masih Untuk pengendalian manfaat jalan yang menjadi fungsi jalan masih jika dilihat dari Untuk pengendalian manfaat jalan yang menjadi 2. Tingkat peran rendah, masyarakat terhadap ini. rendah, jika dilihat dari pendekatan AIDA perhatian dapat dilihat pada Gambar 9 dibawah pendekatan AIDApemanfaatan peran masyarakat perhatian dapat dilihat pada Gambar 9 dibawah ini. pengendalian jalan jugaberada masih ini. peran masyarakat berada ditingkat ditingkat attention. Mereka bahwa harus rendah, jika dilihat daritahu pendekatan AIDA attention.masyarakat Mereka tahu harus mengadukan namun tidak dilakukan. peran beradabahwaditingkat mengadukanMereka namun tidak attention. tahudilakukan. bahwa harus 2. T3. ingkat peran masyarakat terhadap pengendalian mengadukan namun dilakukan. Faktor yang paling tidak berpengaruh terhadap pemanfaatan jalan juga masih rendah, dilihat 3. Faktor yang paling terhadap kesimpulan di atasberpengaruh adalah jika kurangnya dari kesimpulan pendekatan AIDA peran masyarakat berada di atas adalah masyarakat kurangnya informasi mengenai pengaduan ditingkat attention. Mereka tahu bahwa harus informasi mengenai pengaduan masyarakat baik di media cetak maupun elektronik dan mengadukan namun tidak dilakukan. baik di media cetak maupun elektronik dan kurangnya kepercayaan (trust) masyarakat kurangnya kepercayaan (trust) masyarakat terhadap 3. Faktor yang pemerintah. paling berpengaruh terhadap terhadap pemerintah. kesimpulan di atas adalah kurangnya informasi mengenai pengaduan UCAPAN TERIMA TERIMA KASIHmasyarakat baik di UCAPAN KASIH media cetak maupun elektronik kurangnya Penulis mengucapkan mengucapkan terima dan kasih kepada Penulis terima kasih kepada kepercayaan (trust) masyarakat terhadap pihak-pihak yang telah membantu dalam Gambar 9. Kondisi manfaat jalan yang menjadi pihak-pihak yang telah membantu dalam Gambar 9. Kondisi manfaat jalan yang menjadi Gambar 9. manfaat jalan yang menjadi pemerintah. penyusunan karya tulis ilmiah ini. perhatian masyarakat perhatian masyarakat Kepala Pusat Litbang Sumber : Hasil 2016 Kepala Pusat Litbang Kebijakan Kebijakan dan dan Sumber: Hasilperhitungan, perhitungan, 2016 UCAPAN TERIMA KASIH Penerapan Penerapan Teknologi Teknologi Kepala Bidang dan Untukdi Semarang, urutan urutan pengendalian pengendalian Penulis mengucapkan terima Kebijakan kasih kepada Kepala Bidang Kajian Kajian Kebijakan dan Untuk Untuk di diSemarang, Semarang, urutan pengendalian Kerjasama manfaat jalan yang menjadi prioritas antara lain pihak-pihak yang telah membantu dalam manfaat yang menjadi prioritas antara lain Kerjasama manfaat jalan yang menjadi prioritas antara lain Rekan-rekan peneliti sebagai berikut: penyusunan karya tulis ilmiah ini. Balai sebagai Rekan-rekan peneliti Balai Litbang Litbang sebagai berikut: berikut: Sosekling Bidang Jalan dan Jembatan 1. Angkutan umum yang ngetem di sembarang Sosekling Bidang Jalan dan Jembatan Angkutan umum yang ngetem di sembarang 1.1.Angkutan • Para Kepalainforman Pusat dan Litbang Kebijakan dan responden di lokasi tempat umum yang ngetem di sembarang Para informan dan responden di lokasi tempat tempat Penerapan Teknologi studi 2. Parkir liar 2. Parkir liar
studi
2. Parkir liar
• Kepala Bidang Kajian Kebijakan dan Kerjasama
Angkutan umum di Semarang jumlahnya banyak sehingga banyak ditemui angkutan umum yang berhenti untuk mencari penumpang tidak pada tempatnya sehingga menimbulkan kemacetan.
• Para informan dan responden di lokasi studi
3. Kendaraan yang melewati jalan beban sumbunya melebihi batas atau kecepatannya melebihi yang dibolehkan
74
• Rekan-rekan peneliti Balai Litbang Sosekling Bidang Jalan dan Jembatan
Peran Masyarakat Dalam Pengawasan Terhadap Fungsi Dan Pengendalian Pemanfaatan Lingkungan Jalan Dica Erly Andjarwati
DAFTAR PUSTAKA Asariansyah, M. F., dkk. 2013. Partisipasi Masyarakat dalam Pemerataan Pembangunan Infrastruktur Jalan (Studi Kasus di Kecamatan Lawang Kabupaten Malang). Jurnal Administrasi Publik (JAP). 1 (6): 1141 – 1150. Budiaji, W. 2013. Skala Pengukuran dan Jumlah Respon Skala Likert. Jurnal Ilmu Pertanian dan Perikanan 2 (2). Darmawanto, Wahju Tri. 2006. Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Pemeliharaan Jalan Pada Perumahan Korpri Sambak Indah, Purwodadi. Thesis. Program Studi Magister Teknik Pembangunan Wilayah Dan Kota Konsentrasi Manajemen Prasarana Perkotaan UNDIP Semarang. Gunawan, F. A dan Dharmayanti, D. 2014. Analisis Pengaruh Iklan Televesi dan Endorser Terhadap Purchase Intention Pond’s Men dengan Brand Awareness Sebagai Variabel Intervening. Jurnal Manajemen Pemasaran Petra 2 (1): 1-14. Johar, D.S., dkk. 2015. Pengaruh AIDA (Attention, Interest, Desire, Action) Terhadap Efektivitas Iklan Online. Jurnal Administrasi Bisnis (JAB) 26 (1): 1-10. Juariyah, L. Dan Harsono. 2011. Pengaruh Konflik Pekerjaan-Keluarga terhadap Perilaku Withdrawal Pasangan Suami Istri yang Bekerja. Jurnal Ekonomi Bisnis 16 (1): 53-62. Mursitama, T. N. 2012. Peran Serta Masyarakat dan Dunia Usaha dalam Mewudujkan Sistem Transparansi Nasional Pelayanan Publik. Jurnal Rechtsvinding Media Pembinaan Hukum Nasional 1(1) : 75-91. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 01/ PRT/M/2012 Tentang Peran Masyarakat dalam Penyelenggaraan Jalan. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2006 Tentang Jalan. Rawal, Priyanka. 2013. AIDA Marketing Communication Model: Stimulating a purchase decision in the minds of the consumers through a linear progression of steps. Ircjournal 1: 37-44. Sadono, Y. 2013. Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Taman Nasional Gunung Merbabu di Desa Jeruk Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota 9 (1) : 53-64. Santoso, Singgih. 2011. SPSS Versi 10 Mengolah Data Statistik Secara Profesional. PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia Jakarta. Juraidah. 2015. Peran Pemerintah Desa dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan di desa Mendik Karya
Kecamatan Long Kali Kabuoaten Paser. E-Journal Administrasi Negara 3 (4) : 11451157. Strong, Edward Kellogg. 1925. Theories of Selling. Journal of Applied Psychology 9 : 75-86. Taylor, S. J. & Bogdan, R. 2015. Introduction to Qualitative Research Methods: A guidebook and resource. New York: John Willey & Sons. Widjajanti, K. Model Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 12 (1): 15-27. Wijaya, Bambang Sukma. 2012. The Development of Hierarchy of Effects Model in Advertising. International Reseacrh Journal of Business Studies. Universitas Bakrie Jakarta. Winata, A. dan Yuliana, E. 2012. Tingkat Partisipasi Petani Hutan dalam Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Perhutani. Jurnal Sosial dan Pembangunan 28 (1).
75
76
INDEKS Kebijakan 1, 2, 3, 9, 10, 14, 15, 16, 17, 23, 26, 29,
Analisa Regresi Multivariabel 51, 58,
Standar 1, 3, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 13, 14, 16, 17,
74, 75,
30, 35, 38, 53, 63, 67, 68,
27, 29, 30, 32, 51, 52, 60, 61, 66,
Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPAS) 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14
Regional 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 29,
Jalan 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, peran masyarakat 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75,
pengawasan 2, 30, 63, 64, 65, 66, 67, 69, 70, 74, 75
Keberlanjutan 1, 3, 5, 7, 8, 9, 13, 27, 38, 42, Santunan 15, 16, 17, 21, 22, 23,
kebutuhan hidup 15, 17, 18, 19, 22, 23, usaha tani 15, 17, 19, 20, 21, 22, 23 Waduk Jatigede 15, 16, 17, 18, 21
Jabung Ring Dike 15, 17,19, 20, 21, 22, 23, warga terkena dampak 15, 17, 19, 21, 23,
Penataan Kawasan 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 53,
Pembangunan dan Pengembangan Permukiman 26
Berkelanjutan 26, 27, 31, 34, 36
penanganan kumuh 37, 38, 41, 48,
kesediaan membayar (WTP) 37, 39, 43, 47, biaya operasional-pemeliharaan 37
analisis regresi 37, 39, 40, 41, 45, 46, 47,
variabel prediktor 37, 43, 45, 46, 51, 54, 55, 59, 60,
Kampung Deret Petogogan 51, 52, 53, 56, 61, Perumahan kumuh 29, 34, 51, 52, Evaluasi Pasca Huni 51, 53,
Tingkat keberhasilan dan Tingkat kepuasan 51
77
78