Hubungan Lingkungan Dengan Sistem Kebudayaan Dalam Pemanfaatan Air 1)
Andi Suriadi, 2) Bastin Yungga
HUBUNGAN LINGKUNGAN DENGAN SISTEM KEBUDAYAAN DALAM PEMANFAATAN AIR (Studi Komparatif Etnis Dayak Kapuas dan Sasak Lombok) THE ENVIRONMENTAL AND CULTURE SYSTEM RELATIONSHIP OF WATER UTILIZATION (A Comparative Study in Dayak Kapuas and Sasak Lombok Ethnics)
1)
Andi Suriadi, 2) Bastin Yungga
Abstract This research focussed on the relationship different environmental conditions of water resources (the swamps and mountains) with culture system of water utilization in the Dayak Kapuas and Sasak Lombok ethnics. By using qualitative method, revealed that there are some differences in the shape of the culture in cultural systems (as ideas), behavioral, and artifacts in the use of water, both for domestic and agricultural needs. Environmental changes of water resources in upstream areas was caused also in the both culture system ethnics. Therefore, it is needed to encourage conservation in the upstream to ensure the availability of water resources (in Lombok) and the purposes of drink water technology and the mobility mode of transport stream (in Kapuas). Keywords: environmental, culture system, behavioral, artifacts, and water utilization Abstrak Penelitian ini mengangkat hubungan perbedaan kondisi lingkungan sumber daya air (wilayah rawa dan pegunungan) dengan sistem kebudayaan pemanfaatan air pada etnis Dayak Kapuas dan etnis Sasak Lombok. Dengan menggunakan metode kualitatif, terungkap bahwa terdapat beberapa perbedaan pada wujud kebudayaan yakni sistem budaya, perilaku, dan karya budaya dalam pemanfaatan air, baik untuk kebutuhan domestik maupun untuk kebutuhan pertanian. Perubahan lingkungan sumber daya air di daerah hulu ternyata menyebabkan pula perubahan pada sistem kebudayaan kedua etnis tersebut. Untuk itu, perlu mendorong upaya konservasi di bagian hulu untuk menjamin ketersediaan sumber daya air (di Lombok) dan keperluan teknologi pengolahan air serta mobilitas moda transportasi sungai (di Kapuas). Kata kunci: lingkungan, sistem budaya, perilaku, karya budaya, dan pemanfaatan air
I. PENDAHULUAN Lingkungan dan sistem kebudayaan merupakan dua entitas yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Lingkungan yang merupakan tempat manusia berpijak memiliki kaitan dengan sistem kebudayaan suatu kelompok masyarakat. Karena masyarakat hidup dan memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada di lingkungan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, maka terdapat keterkaitan hubungan antara masyarakat dan wilayah tempat mereka hidup (Suparlan, 2005: 11). Demikian halnya dengan lingkungan yang terkait
dengan kondisi sumber daya air suatu wilayah memiliki kaitan dengan dinamika pembentukan sistem kebudayaan suatu kelompok masyarakat dalam memanfaatkan air, termasuk pada kelompokkelompok etnis yang tersebar di berbagai wilayah. Etnis yang berdiam di wilayah rawa dan wilayah pegunungan memiliki perbedaan sistem kebudayaan dalam pemanfaatan air. Etnis yang berada di wilayah rawa (pantai) akan mengembangkan sistem kebudayaannya dengan melakukan adaptasi dengan karakteristik wilayahnya dengan siklus air pasang. Demikian
9
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal
pula etnis yang berada di wilayah pegunungan akan mengembangkan sistem kebudayaannya dengan melakukan penyesuaian dengan ciri khas wilayahnya yang mengandalkan siklus hujan dan keberadaan sumber-sumber mata air.
Oleh karena itu, sistem kebudayaan yang menurut J.J. Honingmann termanifestasi dalam tiga wujud kebudayaan: (a) ideas, (b) activities, dan (c) artifacts (Koentjaraningrat, 1996: 74) dapat diketahui perbedaannya berdasarkan wilayah di kelompok masyarakat tersebut berada. Ketiga wujud kebudayaan tersebut oleh Koentjaraningrat diperjelas bahwa ideas tersebut sebagai sistem budaya, activities yang merupakan perilaku/ tindakan berpola sebagai sistem sosial, dan artifacts sebagai kebudayaan fisik. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa sistem kebudayaan etnis yang berada di wilayah rawa dan pegunungan memiliki perbedaan dalam ketiga wujud kebudayaan tersebut. Di Indonesia, salah satu pulau yang memiliki wilayah rawa yang cukup luas adalah pulau Kalimantan dengan etnis asli yakni Dayak. Etnis Dayak yang berdiam di daerah rawa mengembangkan sistem kebudayaan pemanfaatan air dengan menerapkan beberapa pola agar kebutuhan air, baik untuk kebutuhan sehari-hari (minum, mandi, dan mencuci) maupun untuk kebutuhan bidang pertanian (air irigasi). Demikian pula di wilayah pulau Lombok dengan etnis asli Sasak memiliki karakteristik dominan wilayah pegunungan. Etnis Sasak yang bermukim di daerah pegunungan juga mengembangkan sistem kebudayaan pemanfaatan air dengan menggunakan beberapa teknik dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dalam kaitan itu, menarik dikaji lebih jauh tentang hubungan lingkungan dengan sistem kebudayaan pemanfaatan air dengan melakukan komparasi pada kedua etnis tersebut. Pertama, selama ini kajian tentang air lebih banyak membahas mengenai nilai manfaat air bagi suatu kelompok masyarakat. Kedua, kajian sebelumnya lebih terfokus pada pemanfaatan air oleh kelompok petani pemakai air. Ketiga, selama ini belum banyak orang yang melihat masalah lingkungan sumber daya air dengan fokus pada sistem kebudayaan pada kelompok etnis yang berbeda. II. PERMASALAHAN Dengan berpijak pada karakteristik lingkungan yang berbeda yakni rawa dan pegunungan, maka dapat diajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut: Bagaimana hubungan lingkungan dengan sistem kebudayaan dalam wujud sistem budaya, perilaku, dan karya budaya
10
pemanfaatan air pada etnis Dayak Kapuas di wilayah rawa dan etnis Sasak Lombok di wilayah pegunungan? III. TUJUAN Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari perbedaan sistem kebudayaan yang termanifestasi ke dalam tiga wujud kebudayaan: sistem budaya, perilaku, dan karya budaya pemanfaatan air pada kedua etnis tersebut. Dengan mengetahui perbedaan pola pemanfaatan air tersebut, dapat menjadi acuan kebijakan untuk mendukung dan memfasilitasi kedua etnis tersebut dalam memanfaatkan air dengan lebih mudah dan efisien. IV. TINJAUAN TEORETIS Hubungan antara lingkungan (alam) dengan manusia dapat dijelaskan dengan teori dominasi lingkungan, teori kemungkinan, dan teori ekologi budaya. Dalam teori dominasi lingkungan dikatakan bahwa seluruh aspek budaya, bahkan “nasib” manusia dipengaruhi, ditentukan, dan tunduk pada alam. Sedangkan dalam teori kemungkinan dijelaskan bahwa lingkungan memiliki sifat yang relatif. Lingkungan tidak mendominasi dan membentuk budaya manusia secara langsung, melainkan hanya membatasi pengembangan budaya dan teknologi. Sementara itu, dalam teori ekologi budaya dijelaskan bahwa lingkungan dan budaya merupakan hasil campuran yang bersifat dialektika (Dwi Susilo, 2008: 30-47). Di antara ketiga teori di atas, tampaknya teori ekologi budaya yang memiliki relevansi yang cukup kuat untuk menjelaskan fenomena hubungan lingkungan dengan sistem kebudayaan pemanfaatan air. Inti teori yang diperkenalkan oleh Julian H. Steward pada awal dasawarsa 1930-an ini adalah lingkungan dan budaya tidak bisa dilihat secara terpisah. Lingkungan dan budaya bukan entitas yang masing-masing berdiri sendiri, melainkan saling mempengaruhi (Dwi Susilo, 2008: 47).
Menurut Steward (dalam Poerwanto, 2006: 68-69), ada bagian inti dalam sistem kebudayaan yang sangat responsif terhadap adaptasi ekologis. Jika ada perubahan kebudayaan yang diakibatkan oleh faktor ekologis, maka harus ada pengaturan kembali. Konsekuensinya menimbulkan tiga hal: (a) ada beberapa teknologi yang dapat digunakan dengan keadaan suatu lingkungan tertentu, (b) ada pola-pola perilaku dalam rangka mengeksploitasi suatu wilayah yang memiliki kaitan dengan suatu teknologi yang diciptakan, dan (c) ada pola perilaku yang akan berpengaruh terhadap berbagai
Hubungan Lingkungan Dengan Sistem Kebudayaan Dalam Pemanfaatan Air 1)
aspek dari kebudayaannya. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Kaplan dan Albert (2000: 102) bahwa ada hubungan yang sangat erat antara kondisi fisik (lingkungan/ekologi) dengan budaya. Menurutnya, dalam hal ekologi budaya, terdapat: (a) cara sistem budaya yang beradaptasi terhadap lingkungan totalnya dan (b) cara-cara institusiinstitusi dalam suatu budaya beradaptasi dan saling menyesuaikan diri.
Sejalan dengan pendapat tersebut, JJ Honingmann memperjelas pemahaman kebudayaan yang sering mengalami perubahan akibat faktor ekologis tersebut. Menurut JJ. Honingmann, untuk melihat secara jelas suatu sistem kebudayaan dapat dicermati pada manifestasi kebudayaan itu sendiri melalui tiga wujud, yakni ideas, activities, dan artifacts (Koentjaraningrat, 1996: 74). Ideas atau sistem gagasan yang dikemukakan oleh JJ. Honingmann disebut oleh Bluth (1982: 38) sebagai sistem budaya (cultural system). Menurut Bluth, sistem budaya pada dasarnya terbangun dan bersumber dari sistem nilai, sistem kepercayaan, dan sistem simbol yang kemudian mempengaruhi persepsi dan perilaku manusia. Selanjutnya, dia mengatakan bahwa proses sistem budaya tersebut dibangun melalui empat tahap, yakni (a) tahap simbolisasi kognitif, (b) tahap simbolisasi ekspresif, (c) tahap kategorisasi evaluasi moral, dan (d) interpretasi eksistensial. Activities dieksplanasi lebih jauh oleh Koentjaraningrat (1996: 75) sebagai tingkah laku manusia dalam melakukan suatu pekerjaan yang sifatnya konkret dan merupakan pola-pola kelakukan berdasarkan sistem. Sedangkan artifacts menurut Koentjaraningrat adalah karyakarya budaya yang meliputi semua benda hasil karya manusia yang dapat diamati secara empiris dan dapat pula disebut sebagai kebudayaan fisik.
Dengan demikian, dapat dibangun suatu kerangka konseptual bahwa lingkungan sumber daya air yang berbeda (rawa dan pegunungan) memiliki hubungan dengan sistem kebudayaan setiap kelompok-kelompok etnis yang ada. Selanjutnya, sistem kebudayaan mewujudkan diri dalam rangka merespons lingkungan sumber daya air dalam wujud kebudayaan yakni sistem budaya, perilaku, dan karya budaya pemanfaatan air. Secara ringkas, kerangka konseptual dapat dilihat pada bagan 1. Lingkungan Sumber Daya Air: 1. Rawa 2. Pegunungan
Kelompok Suku
Pemanfaatan Air: 1. Sistem Budaya (gagasan) 2. Perilaku 3. Karya Budaya
Sistem Kebudayaan: 1. Sistem Budaya (gagasan) 2. Perilaku 3. Karya Budaya
Bagan 1 Kerangka Konseptual
Andi Suriadi, 2) Bastin Yungga
V. METODE PENELITAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Alasannya adalah melalui metode kualitatif, dapat diungkap mengenai sistem kebudayaaan pemanfaatan air oleh kelompok etnis yang diteliti secara lebih komprehensif. Di samping itu, melalui metode kualitatif, dapat pula diketahui bagaimana masyarakat melihat dunia sekitarnya dengan mengacu pada cara pandang kebudayaan yang mereka miliki (Suparlan, 1994: 4).
Untuk mengumpulkan data digunakan tiga teknik. Pertama, wawancara mendalam kepada instansi yang membidangi masalah sumber daya air, tokoh masyarakat, dan anggota masyarakat (petani). Untuk memperoleh informan, dilakukan teknik snow ball berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya (Bailey, 1994: 98). Cara yang digunakan dalam teknik snow ball adalah pertama-tama mencari informan kunci yang merupakan tokoh adat (tetua adat) Dayak Kapuas dan Sasak Lombok. Dari informan kunci tersebut, kemudian diperoleh nama-nama informan yang dapat diwawancara sesuai dengan tujuan penelitian ini yakni mengetahui wujud sistem kebudayaan pemanfaatan air. Kedua, observasi lapangan dilakukan dengan mengamati kondisi dan aktivitas sehari-hari. Ketiga, penelusuran literatur termasuk data sekunder seperti dari hasil kajian instansi terkait dan BPS. Data dianalisis melalui tiga tahap, yakni (a) identifikasi data dilakukan dengan cara memilah data yang terkait langsung dengan kondisi lingkungan dan sistem kebudayaan kedua etnis yang diteliti, (b) kategorisasi dilakukan dengan cara melakukan klasifikasi atau tipologi terhadap tiga wujud kebudayaan secara rinci, dan (c) interpretasi atau pembahasan terhadap temuan empiris secara naratif. Penelitian ini dilakukan di dua lokasi dengan karakteristik lingkungan dan etnis yang berbeda, yakni (a) Desa Anjir Mambulau Tengah, Kecamatan Kapuas Timur, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah dengan subjek etnis Dayak Kapuas dan (b) Desa Bantek, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan subjek etnis Sasak Lombok. Dipilihnya kedua lokasi tersebut dengan alasan (a) Desa Mambulau Tengah berada pada wilayah rawa, masih dominan suku asli Dayak Kapuas (sudah ada pendatang), dan serta memiliki jaringan sistem irigasi rawa; dan (b) Desa Bantek berada pada wilayah pegunungan, masih dominan suku asli Sasak, dan memiliki jaringan irigasi teknis. Selain itu, kedua lokasi tersebut menerima dampak akibat kerusakan hutan di daerah hulu. Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2007.
11
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal
VI. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Kapuas merupakan salah satu dari 14 kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Tengah. Luas wilayahnya 14.999 km² yang terbagi dua kawasan besar, yakni (a) kawasan pasang surut di bagian selatan yang merupakan daerah potensi pertanian tanaman pangan dan (b) kawasan nonpasang surut di bagian utara yang merupakan potensi lahan perkebunan karet.
Di bagian selatan, terdiri atas pantai dan rawa-rawa dengan ketinggian 0-5 meter dari permukaan laut yang mempunyai elevasi 0-8 %. Wilayah ini sangat dipengaruhi pasang surut dan mempunyai potensi banjir yang cukup besar. Selain itu, kabupaten ini juga memiliki sungai besar yakni sungai Kapuas Murung dengan panjang 66,38 km dan sungai Kapuas dengan panjang 600 km. Selain sungai besar, Kabupaten Kapuas juga memiliki 4 buah anjir/kanal, yakni: (a) Anjir Serapat sepanjang ± 28 km (yang menghubungkan Kapuas menuju Banjarmasin). (b) Anjir Kalampan sepanjang ± 14,5 km (yang menghubungkan Kota Mandomai ke wilayah Pulang Pisau dan Palangkaraya). (c) Anjir Basaran ± 24 km (yang menghubungkan Kapuas ke wilayah Pulang Pisau). (d) Anjir Tamban ± 25 km (yang menghubungkan Kapuas ke Banjarmasin). Desa Anjir Mambulau Tengah merupakan salah satu desa di Kecamatan Kapuas Timur, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah. Secara keseluruhan, luas wilayahnya ±1.775 hektar yang dihuni oleh 2.270 jiwa. Kondisi geografis desa ini berada pada ketinggian 2 meter dari permukaan laut dengan topografis yang termasuk dataran rendah (rawa-rawa). Sedangkan Kabupaten Lombok Barat merupakan salah satu kabupaten dari tujuh kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Luas wilayahnya 1.647,15 km² dengan jumlah penduduk 670.918 berdasarkan hasil Susenas 2001.
Secara topografis, wilayah Kabupaten Lombok Barat dibagi ke dalam empat kategori ketinggian tanah, yakni (a) ketinggian 0-100 meter seluas 55.163 hektar (32,99 %), (b) ketinggian 100-500 meter seluas 69.297 hektar (41,44 %), (c) ketinggian 500-1.000 meter seluas 29.531 hektar (17,66 %), dan (d) ketinggian > 1.000 meter seluas 13.244 hektar (8,1 %). Dari kategori pembagian ketinggian tanah dapat dikatakan bahwa kabupaten ini sebagian wilayah merupakan dataran tinggi dengan karakteristik pegunungan.
12
Desa Bantek merupakan salah satu desa di
Kecamatan Gangga. Di wilayah Kecamatan Gangga, terdapat empat sungai, yakni sungai Lok, sungai Penggolong, sungai Lekok Piko, dan sungai Lekok Sedutan. Sungai-sungai tersebut dimanfaatkan oleh penduduk untuk irigasi pertanian. Sedangkan untuk kebutuhan air bersih penduduk mendapatkan dari mata air dan pengeboran air tanah. VII. HASIL PENELITIAN 7.1. Sistem Budaya Pemanfaatan Air Sistem kebudayaan dalam wujud sistem budaya (gagasan) ini bersifat abstrak dan hanya dapat dipahami setelah dipelajari secara mendalam. Kebudayaan dalam wujud ini juga berpola dan berdasarkan sistem-sistem tertentu. Dengan mengacu pada pandangan Bluth (1982: 38) berikut adalah empat fase/dinamika bagaimana sistem budaya tentang air tersebut dibangun. 7.1.1 Simbolisasi Kognitif Air sebagai sebuah benda bagi masyarakat Dayak Kapuas dan Sasak Lombok adalah sesuatu yang berbeda dengan benda lainnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kedua kelompok etnis tersebut kemudian memberi nama secara berbeda terhadap air tersebut. Dalam bahasa Dayak Kapuas, air dinamai sebagai danum. Sedangkan dalam bahasa Sasak Lombok, air disebut sebagai aik. Danum bagi masyarakat Dayak Kapuas dan aik bagi Sasak Lombok merupakan suatu manifestasi simbolisasi kognitif dari suatu benda cair yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup mereka. Bahkan, dalam bahasa Dayak Kapuas sangat terkenal salah satu ungkapan yang terkait dengan air, yakni danum pembalum ‘air adalah kehidupan’.
Selain itu, air tidak hanya dinamai sebagai suatu benda cair yang memberi manfaat bagi kehidupan, bagi kedua etnis tersebut, sumber air juga dinamai secara tidak sama. Misalnya, jika air tersebut berasal dari langit, etnis Dayak Kapuas menyebutnya sebagai danum ujan ‘air hujan’. Sedangkan bagi etnis Sasak Lombok, disebut sebagai aik hujan ‘air hujan’. Hal yang sama juga terjadi pada sarana air tersebut mengalir. Etnis Dayak Kapuas menyebut sarana air mengalir tersebut sebagai danum sei ‘air sungai’, sementara etnis Sasak Lombok menyebutnya sebagai aik loko ‘air sungai’. Demikian pula wadah tempat tampungan air beserta fungsinya. Pada etnis Dayak Kapuas dibedakan antara air wadah untuk air minum dan wadah untuk air mandi. Sementara itu, etnis Sasak Lombok juga mengenal tempat penampungan air untuk minum dan untuk mandi.
Hubungan Lingkungan Dengan Sistem Kebudayaan Dalam Pemanfaatan Air 1)
7.1.2 Simbolisasi Ekpresif Oleh karena air disimbolisasikan sebagai suatu benda yang vital dan sangat dipengaruhi oleh sumber dan sarananya, maka muncullah konsep-konsep danum atau aik yang dikategorikan berdasarkan fungsinya. Misalnya, ada air yang baik dan tidak baik untuk minum, mandi, mencuci, dan untuk pertanian.
Bagi masyarakat Dayak Kapuas, danum yang baik adalah danum yang berasal dari atas, yakni air hujan. Dikatakan baik karena belum tercemar oleh air laut yang rasanya agak masam. Oleh karena itu, air hujan bermakna air baik (bersih) bagi masyarakat Dayak Kapuas. Sebaliknya, air yang tidak baik dikonsumsi adalah air yang berasal dari sungai (terutama kalau bukan saat pasang besar). Air sungai bermakna air yang sudah bercampur dengan air laut sehingga ia bermakna bahwa air sungai tersebut agak kotor dan tidak baik untuk dijadikan sebagai air minum. Namun, untuk mandi dan mencuci, air sungai masih dikategorikan air yang baik karena tidak masuk ke dalam tubuh sehingga tidak mengotori bagian dalam tumbuh yang dapat membawa penyakit. Untuk kebutuhan pertanian, air yang baik adalah selain air hujan juga air yang berasal dari sungai atau anjir/ kanal (sungai kecil). Sedangkan untuk kebutuhan transportasi, saat ini (terutama musim kemarau) warga sering mengalami hambatan akibat semakin berkurangnya debit air akibat penebangan hutan oleh sejumlah perusahaan di daerah hulu yang sangat berbeda dengan keadaan beberapa puluh tahun lalu (sebelum tahun 1980-an). Sebaliknya, bagi masyarakat Sasak Lombok, air yang baik untuk diminum adalah air yang bersumber dari mata air (kendatipun debit yang keluar dari mata air akhir-akhir ini semakin berkurang akibat pembabatan hutan). Dikatakan baik karena belum bercampur dengan kotoran yang dibuang oleh binatang dan manusia. Oleh karena itu, air yang bersumber dari mata air bermakna bersih bagi etnis Sasak Lombok. Namun demikian, air yang tidak baik untuk dikonsumsi justru adalah air hujan karena umumnya sudah bercampur dengan debu yang menempel di atap rumah. Namun, untuk kebutuhan mandi, air yang baik adalah air dari mata air dan air sungai. Sebaliknya, air yang tidak baik untuk mandi adalah air hujan karena sering menimbulkan gatal-gatal. Sedangkan untuk kebutuhan mencuci, air yang berasal dari mata air, air hujan, dan air sungai semuanya baik digunakan. Sementara itu, untuk kebutuhan tanaman pertanian, air yang baik adalah air hujan dan air sungai. 7.1.3 Kategori Evaluasi Moral
Berdasarkan fenomena penilaian tentang air tersebut, kemudian mendorong etnis Dayak
Andi Suriadi, 2) Bastin Yungga
Kapuas dan etnis Sasak Lombok mengatakan dalam konteks dan salah-benar. Oleh karena itu, segala tindakan yang menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan sumber daya air menjadi keadaan yang lebih buruk, berupa semakin kotornya air sungai ataupun semakin berkurangnya debit air sungai merupakan tindakan yang secara moral salah.
Bagi etnis Dayak Kapuas, pembabatan hutan di daerah hulu oleh perusahaan telah membawa dampak pada berkurangnya debit air sungai sehingga menghambat mobilitas moda transportasi air. Pada saat musim kemarau, jumlah debit air pada sungai menjadi berkurang karena daerah tangkapan air di hulu sudah rusak sehingga untuk melakukan perjalanan terutama ke daerah-daerah pedalaman menjadi tidak dapat dilaksanakan melalui moda transportasi air. Oleh karena itu, tindakan penebangan hutan merupakan tindakan yang salah karena telah mendatangkan kerugian bagi masyarakat. Demikian pula, membabat hutan hulu yang merusak sumber mata air bagi etnis Sasak di pegunungan Rinjani adalah perbuatan yang salah. Pemerintah yang memberikan izin kepada perusahaan untuk mengelolaan hutan adalah suatu tindakan yang salah. Tindakan yang benar adalah tindakan yang menjaga kelestarian sumber mata air yang telah memberi kehidupan pada masyarakat etnis Sasak. Rusaknya pegunungan Rinjani tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pemerintah memberikan Hak Penguasaan Hutan kepada swasta. Kompas menjelaskan bahwa pemerintah telah memberikan Hak Penguasaan Hutan seluas 10.000 hektar kepada PT Angkawijaya Raya Timber. Pemberian konsesi HPH ini sebenarnya baru berjalan tujuh tahun dari 25 tahun izin yang diberikan melakukan eksploitasi. Dari 10.000 hektar yang diberikan baru termanfaatkan 4.000 ha dengan 71.453 m³ kayu (Kompas, 27 Oktober 2000). Rusaknya daerah pulau Lombok dalam rentang waktu beberapa tahun juga dapat dilihat pada hasil foto citra satelit sebagaimana pada gambar 1.
Gambar 1 Gambaran Perbedaan Kondisi Pulau Lombok Antara Tahun 1996 dan Tahun 2002 (Sumber: Humaidi-Konsepsi NTB, Tanpa Tahun)
13
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal
7.1.4 Interpretasi Eksistensial Perubahan kondisi alam akibat tindakan penebangan hutan mengakibatkan pengetahuan masyarakat tentang air mulai mengalami perubahan. Pada etnis Dayak Kapuas, jika dahulu sekitar sebelum tahun 1980-an, air dipahami sebagai prasarana utama untuk melakukan mobilitas dari suatu tempat ke tempat lain, kini mulai mengalami pergeseran ke prasarana jalan (moda transportasi darat). Rusaknya hutan di bagian hulu menyebabkan debit air semakin berkurang terutama pada musim kemarau kemudian berdampak pada terganggunya mobilitas masyarakat melalui moda transportasi sungai. Selain itu, kehadiran para pendatang seperti dari Banjarmasin (etnis Banjar) dan pulau Jawa (etnis Jawa), dan pulau Madura (etnis Madura) dengan pola kebiasaan menggunakan prasarana jalan dan moda transportasi darat juga telah menyebabkan semakin cepatnya pergeseran moda transportasi masyarakat etnis Dayak Kapuas. Meskipun sebagian masyarakat sudah menggunakan moda transportasi darat, hingga
saat ini umumnya masyarakat Dayak Kapuas masih menggunakan moda transportasi air. Terbatasnya prasarana jalan dan jembatan menyebabkan sebagian masyarakat tetap menggunakan moda transportasi air. Banyaknya sungai, baik sungai besar maupun sungai-sungai kecil mendorong masyarakat untuk tetap menggunakan sungai sebagai prasarana melakukan mobilitas (jika debit air sungai memadai). Demikian pula, etnis Sasak Lombok, pada musim kemarau, debit air yang mengalir, dari tahun ke tahun relatif semakin berkurang. Sebaliknya, pada musim hujan air justru mengalir dengan derasnya dari pengunungan Rinjani yang terbentang dari timur ke barat. Besarnya debit air yang mengalir pada saat musim hujan menurut masyarakat sangat terkait dengan semakin rusaknya DAS di bagian hulu yang diakibatkan oleh perambahan hutan perusahaan dan masyarakat secara tidak terkendali, baik di kawasan lindung di luar kawasan hutan maupun di kawasan hutan lindung. Semakin kritisnya sejumlah lahan di pulau Lombok dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1
Data Lahan Kritis pada Satuan Wilayah Sungai (SWS) Daerah Aliran Sungai (DAS) di Pulau Lombok Kawasan Hutan Lindung (ha) No I.
DAS/ Kabupaten
Dodokan 1. Lombok Barat 2. Lombok Tengah 3. Lombok Timur II. Menganga 1. Lombok Tengah 2. Lombok Timur III. Putih 1. Lombok Barat 2. Lombok Tengah 3. Lombok Timur IV. Jelateng 1. Lombok Barat 2. Lombok Tengah Jumlah
Sangat
Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan (ha) Sangat Agak Kritis Jumlah Kritis Kritis
Kritis
A g a k Kritis
Jumlah
2.279,20 2.716,00 1.587,10
1.139,60 1.356,00 793,60
651,20 776,00 453,50
4.070,00 4.450,00 2.834,20
275,10 u 273,00
137,55 136,50
78,60 78,00
491,25 487,50
280,00
140,00
80,00
500,00
293,00
146,75
83,75
523,25
3.080,00 1.960,00
1.540,00 980,00
5.500,00 560,00
173,30 3.500,00
86,65 37,25
49,55 19,60
49,55 10,65
309,50 66,50
2.345,00 43,75 14.291,05
1.172,50 21,88 7.145,58
670,00 12,50 4.083,20
4.187,50 78,13 25.519,83
523,90 567,00 2.142,55
261,90 283,50 1.021,20
149,70 162,00 612,25
935,50 1.012,50 3.826,00
Kritis
(Sumber: Dinas Kehutanan Prov. NTB 2004 dalam Bappeda Prov. NTB, 2005)
Tabel 1 di atas menunjukkan betapa kerusakan lahan di pulau Lombok sudah berada pada taraf yang sangat memprihatinkan. Ternyata, baik di kawasan di luar hutan lindung maupun dalam kawasan hutan lindung sendiri sudah sangat parah. Dari tiga tipe tingkat kekritisan, proporsi terbesar semuanya pada kategori sangat sangat kritis. Pada kawasan hutan lindung, luas lahan yang sangat kritis mencapai 14.291,05 hektar (56 %) dan pada kawasan hutan di luar hutan lindung mencapai 2.142,55 hektar (55 %). Oleh karena itu, baik etnis Dayak Kapuas maupun etnis Sasak Lombok melakukan
14
interpretasi eksistensial pada sumber daya air dan perubahannya saat ini bahwa upaya pemberian HPH kepada swasta dan pembiaran aksi pembabatan hutan di daerah hulu adalah perbuatan yang sesungguhnya tidak legitimate. Sebaliknya, upayaupaya konservasi untuk mengembalikan keadaan hutan mendekati keadaan semula adalah perbuatan yang perlu didukung dan merupakan upaya yang legitimate.
Berdasarkan temuan dan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa dari empat tahapan proses pembentukan sistem budaya (gagasan), yakni simbolisasi kognitif, simbolisasi ekspresif,
Hubungan Lingkungan Dengan Sistem Kebudayaan Dalam Pemanfaatan Air 1)
kategori evaluasi moral, dan interpretasi eksistensial terhadap pemanfaatan air memiliki beberapa perbedaan. Perbedaan tersebut terutama pada tahap simbolisasi kognitif dan simbolisasi ekpresif, sedangkan pada tahap kategorisasi evaluasi moral dan interpretasi eksistensial
Andi Suriadi, 2) Bastin Yungga
relatif memiliki persamaan. Untuk memudahkan melakukan komparasi terhadap empat tahapan proses pembentukan sistem budaya (gagasan) tersebut antara etnis Dayak Kapuas dan etnis Sasak Lombok, dapat dilihat pada matriks 1.
Matriks 1 Komparasi Sistem Budaya Pemanfaatan Air Etnis Dayak Kapuas dan Sasak Lombok
No. 1.
2.
Tahapan Sistem Budaya (Gagasan) Simbolisasi kognitif Nama air Sumber air (hujan) Sarana air (sungai) Simbolisasi ekspresif Air minum: - Baik - Tidak baik Air mandi: - Baik - Tidak baik Air mencuci: - Baik - Tidak baik Air pertanian: - Baik
3.
- Tidak baik Kategori evaluasi moral - Perbuatan benar - Perbuatan salah Interpretasi eksistensial - Perbuatan legitimate
4. - Perbuatan tidak legitimate
Etnis Dayak Kapuas
Etnis Sasak Lombok
Danum Danum ujan Danum sei
Ket.
Aik Aik hujan Aik loko
Berbeda Berbeda Berbeda
- Air hujan - Air sungai (kotor, masam)
- Dari mata air - Air hujan dan air sungai (saat pasang besar)
Berbeda
- Air hujan - Tidak ada
- Dari mata air - Air hujan (gatal-gatal)
Berbeda
- Air hujan
- Dari mata air, air hujan, dan air sungai - Tidak ada
Relatif sama
- Air hujan dan air sungai - Tidak ada
Relatif sama
- Menjaga hutan di pegunungan Rinjani - Memberi izin HPH
Relatif sama
- Melakukan penghijauan kembali - Perlu dibatasi pemberian HPH - Membiarkan penebangan terus-menerus
Relatif sama
- Tidak ada - Air hujan dan air sungai/anjir - Tidak ada -
Menjaga hutan di hulu
-
Memberi izin HPH
- Melakukan penghijauan kembali - Perusak hutan perlu diberi sanksi - Membiarkan penebangan terusmenerus
(Sumber: Diolah dari data lapangan, 2007) 7.2 Perilaku Pemanfaatan Air Dalam menjalankan aktivitas keseharian etnis Dayak Kapuas dan Sasak Lombok, air memegang fungsi yang sangat penting. Begitu pentingnya air, terlukiskan dalam bahasa Dayak Kapuas, Danum Pembalun ’air adalah kehidupan’. Artinya, tanpa air tidak akan ada kehidupan. Dengan kata lain, masyarakat Dayak Kapuas tidak dapat hidup tanpa air. Sebagai salah satu sumber kehidupan, air dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dalam memenuhi berbagai jenis kebutuhan. Namun, perbedaan lingkungan dan sistem kebudayaan menyebabkan
adanya perbedaan tentang perilaku pemanfaatan air.
Seperti halnya pada kelompok etnis lainnya, etnis Dayak Kapuas dan Sasak Lombok, juga memiliki perilaku dalam memanfaatkan air. Perilaku budaya pemanfaatan air dalam kehidupan bermasyarakat tergambar pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari, baik dalam lingkup di ranah domestik atau rumah tangga (minum, mandi, dan mencuci) maupun lingkup ranah kebutuhan pertanian (irigasi). Berikut ini adalah penjelasan mengenai bentukbentuk pemanfaatan air tersebut.
15
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal
7.2.1 Perilaku Pemanfaatan Air untuk Kebutuhan Domestik (Rumah Tangga) Dalam menjalani memenuhi kebutuhan sehari-hari, etnis Dayak Kapuas dan Sasak Lombok tidak bisa terlepas dari kebutuhan air untuk domestik (rumah tangga). Adapun perilaku masyarakat Dayak Kapuas dan Sasak Lombok dalam memanfaatkan air untuk kebutuhan rumah tangga dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, sebagai makhluk hidup, masyarakat etnis Dayak Kapuas dan Sasak Lombok membutuhkan air. Hanya saja yang berbeda adalah cara memperoleh air. Pada masyarakat etnis Dayak Kapuas, umumnya menggunakan air minum dari dua sumber, yaitu dari air hujan dan air pasang besar. Sedangkan masyarakat Sasak Lombok, umumnya menggunakan air dari mata air yang dialirkan melalui pipa dan air yang mengalir melalui sungai (loko) pada saat tidak banjir.
Kedua, air dimanfaatkan sebagai sarana untuk membersihkan badan (mandi) atau mensucikan tubuh (wudlu). Masyarakat Dayak Kapuas menggunakan air untuk mandi berasal dari sungei (sei) yang ada di sepanjang kampung mereka. Yang unik di permukiman Dayak Kapuas adalah pola permukimannya mengikuti pola aliran sungai. Rumah-rumah umumnya menghadap ke sungai. Di pinggir sungai itu, mereka membuat tempat (yang bertangga-tangga menuju sungai) untuk mandi sekaligus buang air besar (WC). Tempat yang bertangga-tangga tersebut juga sekaligus sebagai menambatkan perahu. Demikian pula untuk mensucikan badan (wudlu), masyarakat juga menggunakan air yang berasal dari sungai. Namun demikian, jika tampungan air hujan masih banyak, kadang-kadang masyarakat menggunakannya juga untuk wudlu. Di Desa Anjir Mambulau Tengah, umumnya rumah-rumah masyarakat menghadap ke sungai Kapuas Murung. Masyarakat menggunakan aliran sungai Kapuas Murung untuk mandi. Di sepanjang sungai Kapuas Murung, hampir setiap rumah memiliki tangga tempat mandi dan wudlu yang terhubung ke sungai. Sedangkan pada masyarakat etnis Sasak Lombok di Desa Bantek, air yang digunakan untuk mandi berasal dari dua sumber, yakni yang dialirkan melalui pipa dari mata air Jomplangka dan air yang berasal dari sungai Segara. 7.2.2 Perilaku Pemanfaatan Air untuk Kebutuhan Pertanian Pada masyarakat Dayak Kapuas, air juga dibutuhkan untuk mengairi lahan pertanian. Sistem pengaliran air menuju lahan pertanian masyarakat
16
Dayak juga menggunakan sistem irigasi. Hanya saja yang berbeda dengan sistem irigasi di tempat lain pada umumnya adalah adanya sistem irigasi yang bukan mengandalkan sistem gravitasi yang menggunakan bendung, embung, atau bendungan, melainkan mengandalkan air pasang dari laut.
Jika pada sistem irigasi umumnya mengandalkan air yang berasal dari hulu, sistem irigasi dalam masyarakat Dayak Kapuas mengandalkan air yang berasal dari hilir. Oleh karena itu, dalam hal pertanian, perhatian masyarakat berorientasi pada pasang-surutnya air laut. Bangunan irigasi yang ada dalam masyarakat Dayak Kapuas relatif lebih sederhana dan sangat alami. Tidak ada bangunan fisik yang menonjol yang menunjukkan sebagai penampung air. Jika dilihat secara sepintas, berbagai prasarana yang disebutnya sebagai saluran primer, tersier seakanakan bukan hasil buatan manusia, melainkan kondisi alam Kalimantan yang memang demikian. Ketika mendapat penjelasan pertama kali dari pihak Dinas Pengairan Kabupaten Kuala Kapuas sebelum ke lokasi, terbayang betapa sistem irigasi yang ada tersebut cukup tertata dengan sentuhan sistem teknologi modern. Namun ketika observasi lapangan, ternyata istilah-istilah teknis yang digunakan oleh pihak Dinas Pengairan agak berbeda dengan bayangan awal. Prasarana yang ada sebenarnya lebih merupakan sikap memahami alam Kalimantan.
Hal ini sangat berbeda jika dilihat apa yang ada pada masyarakat Sasak Lombok di Desa Bentek, Lombok Barat. Penggunaan air untuk kebutuhan irigasi sudah menerapkan sistem modern seperti bangunan irigasi yang baik. Di Desa Bantek, terdapat saluran irigasi primer, sekunder, tersier yang relatif terbuat dari pasangan batu kali. Petani di desa tersebut dan beberapa warga sekitarnya juga memanfaatkan air pertanian melalui prasarana bangunan irigasi tersebut. Berdasarkan temuan dan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa perilaku pemanfaatan air antara etnis Dayak Kapuas dan Sasak Lombok dalam dua ranah kehidupan, yakni domestik dan pertanian memiliki perbedaan. Dari tiga subkegiatan pada pemenuhan kebutuhan domestik hanya satu yang memiliki perbedaan, sedangkan dua lainnya cenderung sama. Sementara itu, pada pemenuhan kebutuhan pertanian ternyata memiliki perbedaan. Untuk memudahkan melakukan komparasi, pemanfaatan air kedua etnis tersebut pada ranah domestik dan pertanian dapat dilihat pada matriks 2.
Hubungan Lingkungan Dengan Sistem Kebudayaan Dalam Pemanfaatan Air 1)
Andi Suriadi, 2) Bastin Yungga
Matriks 2 Komparasi Perilaku Pemanfaatan Air Etnis Dayak Kapuas dan Sasak Lombok No.
1.
Perilaku Pemanfaatan Air Kebutuhan Domestik Perilaku memperoleh air minum Perilaku memperoleh air mandi Perilaku memperoleh air mencuci
2.
Kebutuhan Pertanian
Etnis Dayak Kapuas
Etnis Sasak Lombok
Menggambil air hujan
Mengambil dari mata air dan air sungai saat musim kemarau Mengambil dari mata air dan sungai Mengambil dari mata air dan sungai
dan dari sungai pada saat air pasang besar Mengambil air sungai Mengambil air sungai Menggunakan air pasang dari hilir
(Sumber: Diolah dari data lapangan, 2007)
1.3 Bentuk-bentuk Karya Budaya (Teknologi) Pemanfaatan Air Kondisi lingkungan, sistem budaya, dan perilaku etnis Dayak Kapuas dan Sasak Lombok terhadap air yang memiliki perbedaan, kemudian melahirkan berbagai bentuk karya budaya (teknologi). Karya budaya tersebut berupa inovasi maupun sebagai adaptasi dari lingkungan (kearifan lokal) serta dari sistem kebudayaan etnis lain.
Pertama, sistem penyaluran air minum. Pada masyarakat Dayak Kapuas, sistem yang digunakan untuk memperoleh air bersih (minum) adalah dengan menggunakan media penampungan air. Metode untuk menampung air hujan digunakan dengan membuat tempat di sepanjang ujung atap rumah di mana air akan mengalir ke tempat itu (talang). Lalu, dengan menggunakan slang air dialirkan masuk ke tempat penampungan air (lihat gambar 2). Sedangkan pada masyarakat Sasak Lombok, sebagian masyarakat mengambil air dari sumber air umumnya masyarakat dari mata air
Menggunakan air secara gravitasi dari hulu
Ket.
Berbeda Relatif sama Relatif sama Berbeda
melalui pipa plastik ukuran ¾ inc. Sumber mata air yang digunakan oleh masyarakat Desa Bentek adalah Jomplangka. Jarak antara sumber mata air dengan lokasi perkampungan sekitar 4 kilometer. Masyarakat ketika itu membangun jaringan pipa air bersih berkait program PMDKE yang diluncurkan pemerintah pada saat krisis moneter. Kedua, wadah penyimpanan air. Pada masyarakat Dayak Kapuas, wadah penampungan air (untuk air minum) menggunakan bahanbahan seperti baskom besar, drum bekas, dan jeriken. Sedangkan untuk kebutuhan mandi, selain langsung mandi di sungai, sebagian juga ada yang menggunakan kolam-kolam penampungan air. Keterbatasan air bersih di wilayah etnis Dayak Kapuas menyebabkan masyarakatnya harus mandi di kolam tampungan air yang mirip kubangan. Pada masyarakat Sasak, khusus untuk air bersih menggunakan wadah yang terbuat dari tanah yakni bejana tanah (dalam bahasa disebut ploncor) (lihat gambar 2).
(Sumber: Foto Balai Litbang Sosek SDA, 2007)
Gambar 2
Model Penampungan Air dengan Slang Etnis Dayak Kapuas dan Pipa pada Etnis Sasak Lombok
17
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal
Ketiga, berbeda dengan model irigasi pada umumnya yang menggunakan bendung atau bendungan, pada masyarakat Dayak Kapuas model irigasi yang digunakan mengikuti siklus pasang air laut. Bangunan irigasinya pun sangat sederhana dan alami. Uniknya, sungai-sungai kecil (seperti sungai Kapuas Murung) dianggap sebagai saluran primer (dalam bahasa Dayak Kapuas disebut anjir), sedangkan saluran sekunder adalah saluran yang dibuat sendiri yang menghubungkan dengan areal persawahan dan perkebunan. Selanjutnya, di antara areal persawahan dan perkebunan tersebut saluran tersier.
proses peresapan. Peresapan ini berguna untuk mengurangi tingkat keasaman air yang masuk ke sawah. (b) Pada pertemuan antara saluran primer dan sekunder, masyarakat etnis Dayak tidak menggali secara dalam, padahal ini untuk memperlancar masuknya menambah debit air yang masuk ke saluran sekunder dan selanjutnya ke saluran tersier. Masyarakat Dayak menganggap bahwa jika pertemuan saluran tersebut digali secara dalam, misalnya menggunakan eskavator, maka akan membawa dampak pada kekeringan air di sawah. Jika digali secara dalam, air yang masuk memang akan cepat dan banyak, tetapi jika air sudah surut, maka juga air akan cepat surut sehingga sawah akan cepat mengering. (c) Rumput-rumput jenis tertentu yang ada di sawah bukanlah menjadi halangan tumbuhnya padi. Akan tetapi, rumput-rumput dengan diberi sedikit herbisida akan menjadi kompos (pupuk) bagi tanaman padi. (d) Dalam hal penggemburan tanah, masyarakat Dayak Kapuas tidak menggunakan traktor. Mereka menganggap bahwa jika menggunakan traktor atau alat bajak lainnya lapisan bawa bisa ke atas sehingga bisa amblas.
Penyaluran air ke areal persawahan dan perkebunan terjadi ketika pasang air laut datang. Pada saat pasang, air dibiarkan masuk melalui saluran alami (tanpa pintu) ke saluran sekunder. Selanjutnya, dari saluran sekunder alir dibiarkan mengalir ke saluran tersier. Dari saluran tersier tersebut, air tidak dialirkan langsung masuk ke petak-petak sawah, tetapi dibiarkan masuk melalui perembesan. Namun, pada areal yang dekat dengan saluran sekunder, umumnya tidak perlu menggunakan saluran tersier karena air dapat masuk melalui sistem perembesan langsung dari saluran sekunder. Dalam konteks keadaan lingkungan seperti ini, kemudian lahir pola-pola kearifan lokal dalam pemanfaatan air di bidang pertanian pada etnis Dayak Kapuas. Sistem irigasi rawa pasang surut dan tingkat keasaman yang tinggi menyebabkan masyarakat Dayak Kapuas memiliki kearifan lokal dalam memanfaatkan air: (a) Terdapat sistem pengaliran dari saluran tersier ke dalam sawah bukan melalui “pintu” pada pematang sawah, melainkan dengan melalui
Sementara itu, pada masyarakat Sasak Lombok, pemanfaatan air melalui irigasi mirip dengan yang terjadi di pulau Jawa. Air yang berasal dari sungai dibendung, kemudian, dialirkan melalui saluran pembagi. Di Desa Bentek, air yang berasal dari sungai Segara dibendung di Dusun Samboran. Dari dusun ini, terdapat saluran pembagi, yakni ada saluran yang ke Tanjung dan ada yang ke Gonang. Saluran-saluran tersebut semuanya merupakan bangunan irigasi yang baik.
(Sumber: Foto Balai Litbang Sosek SDA, 2007)
Gambar 3
Karya Budaya Saluran Sekunder Irigasi Rawa Gambut Etnis Dayak Kapuas dan Etnis Sasak Lombok
18
Hubungan Lingkungan Dengan Sistem Kebudayaan Dalam Pemanfaatan Air 1)
Keempat, prasarana transportasi sungai. Bagi masyarakat Dayak Kapuas, sungai merupakan prasarana utama dalam melakukan mobilitas. Hal ini agak berbeda dengan Etnis Sasak yang relatif tidak menggunakan moda transportasi ini (kecuali di laut). Banyaknya sungai besar dan sungai kecil mendorong masyarakat Dayak Kapuas masih mengandalkan moda transportasi sungai. Ada dua jenis sarana transportasi sungai, yakni perahu kecil dan perahu besar. Perahu kecil umumnya digunakan oleh masyarakat Dayak Kapuas untuk melintasi sungai-sungai kecil dan masih menggunakan dayung. Perahu kecil biasanya digunakan oleh para petani menuju sawah dan ladangnya. Sedangkan perahu besar yang menggunakan mesin (dalam bahasa Dayak Kapuas kelotok) umumnya beroperasi di sungai besar seperti sungai Kapuas dan sungai Kahayan. Sementara itu, sungai bagi etnis Sasak
Andi Suriadi, 2) Bastin Yungga
Lombok sungai tidak digunakan sebagai sarana transportasi. Kondisi wilayah yang curam tidak memungkinkan mereka melakukan mobilitas menggunakan prasarana sungai. Hanya sesekali sungai Segara digunakan untuk olah raga arum jeram yang mulai diperkenalkan oleh orang-orang dari Kota Mataram dengan menggunakan perahu karet.
Merujuk pada temuan dan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa karya budaya (teknologi) pada empat dimensi karya budaya yang diamati yakni sistem penyaluran air minum, wadah penyimpanan air, jaringan irigasi, dan sarana transportasi sungai semuanya memiliki perbedaan. Untuk lebih memudahkan melakukan komparasi karya budaya pada etnis Dayak Kapuas dan Sasak Lombok dapat dilihat pada matriks 3.
Matriks 3 Komparasi Karya Budaya Pemanfaatan Air Etnis Dayak Kapuas dan Sasak Lombok
No. 1.
Karya Budaya Sistem penyaluran air minum
Etnis Dayak Kapuas Membuat penampung di ujung atap, disalurkan melaui slang (talang)
2.
Wadah penyimpanan air Jaringan irigasi
Drum bekas, baskom besar
3.
4.
Sarana sungai
transportasi
Kolam penampungan air - Membuat saluran irigasi secara tidak teknis (mengandalkan perembesan) - Muncul beberapa kearifan lokal Menggunakan perahu kelotok
Etnis Sasak Lombok Membuat saluran pipa dari sumber mata air kemudian disalurkan ke rumah-rumah penduduk Bejana tanah (ploncor) Membuat saluran secara teknis
Ket. Berbeda
Berbeda
irigasi
Berbeda
Tidak ada di sungai karena sungai curam
Berbeda
Sesekali digunakan untuk arum jeram (Sumber: Diolah dari data lapangan, 2007) VIII. PEMBAHASAN Adanya beberapa perbedaan pada tiga wujud kebudayaan antara etnis Dayak Kapuas dan etnis Sasak Lombok menunjukkan bahwa aspek lingkungan memiliki keterkaitan yang erat dengan sistem kebudayaan khususnya dalam hal pemanfaatan air. Dengan kondisi lingkungan yang berbeda, yakni satu di wilayah rawa dan yang lainnya di wilayah pegunungan, ternyata menunjukkan beberapa ketidaksamaan pada sistem kebudayaan dalam wujud sistem budaya (gagasan), perilaku, dan karya budaya pemanfaatan air. Perubahan kondisi lingkungan sumber
daya air di Kapuas dan di Lombok akibat terjadinya pembabatan hutan di daerah hulu ternyata berdampak pada sistem kebudayaan pada kedua etnis tersebut. Perubahan kondisi lingkungan sekitarnya mengharuskan adanya strategi inovasi dan adaptasi oleh kedua etnis tersebut agar tetap dapat bertahan hidup dan membangun kebudayaannya. Kondisi ini semakin memperjelas teori ekologi budaya yang mengatakan hubungan lingkungan dan sistem kebudayaan merupakan hal yang bersifat dialektika mendapat konfirmasi empiris dalam penelitian ini Sementara itu, tipologi wujud kebudayaan
19
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal
yang dibuat oleh JJ Honingmann (dalam Koentjaraningrat, 1996: 74) yakni ideas, activities, dan artifacts semuanya terjelaskan secara rinci dalam penelitian ini. Sistem gagasan (ideas) yang disebut oleh Bluth (1982: 38) sebagai cultural system yang terbangun melalui empat tahap juga dapat dijelaskan dalam penelitian ini. Adanya penamaan air secara berbeda dengan bendabenda lainnya, apalagi dibedakan dengan sumber (air hujan) dan sarana air (air sungai) tersebut menunjukkan bahwa terjadi proses simbolisasi kognitif pada diri kelompok etnis Dayak Kapuas dan Sasak Lombok. Penilaian mengenai tentang hal yang baik dan tidak baik terhadap air, seperti air hujan bagi etnis Dayak Kapuas baik, tetapi bagi etnis Sasak Lombok justru tidak baik juga menunjukkan bahwa proses simbolisasi ekpresif tetap berlangsung. Namun demikian, ada hal unik ditemukan dalam penelitian, yakni kendatipun simbolisasi kognitif dan simbolisasi ekspresif mengalami perbedaan, ternyata dalam dua tahap selanjutnya, yakni kategori evaluasi moral dan interpretasi eksistensial justru memiliki kesamaan. Adanya kesamaan pada dua tahap terakhir dalam pembentukan sistem budaya tersebut menunjukkan dari sisi moral, yakni tindakan benar atau salah menunjukkan adanya kesamaan pada penyebab terganggunya lingkungan sumber daya air pada kedua wilayah etnis tersebut. Tindakan yang benar dan tidak benar bagi etnis Dayak Kapuas dan Sasak Lombok tidak lain dari proses pembentukan sistem budaya (gagasan) melalui beberapa tahap dalam melihat perkembangan kondisi lingkungan sumber daya air yang semakin hari semakin rusak. Bagi mereka ada air yang baik untuk digunakan mandi, tetapi tidak baik untuk minum karena sudah tercemar. Oleh karena itu, tindakan pihak yang melakukan pencemaran atau menyebabkan debit air berkurang dianggapnya sebagai perbuatan yang salah. Segala tindakan yang berakibat pada rusaknya hutan di hulu dianggap sebagai perbuatan yang tidak benar, termasuk pihak yang telah memberikan izin penguasaan hutan. Demikian pula, pada tahap terakhir yakni interpretasi eksistensial yang juga memiliki kesamaan menunjukkan bahwa tindakan berbagai pihak seperti swasta yang melakukan pembabatan hutan di daerah hulu dan pemerintah yang telah memberikan izin HPH tanpa pengawasan yang ketat merupakan suatu tindakan yang tidak sah (tidak legitimate). Sebaliknya, berbagai upaya untuk melakukan konservasi di hulu dipandang sebagai tindakan yang sah (legitimate) dan patut terus didukung. Interpretasi eksistensial seperti itu sudah semakin terinternalisasi dalam diri setiap anggota kelompok etnis Dayak Kapuas dan etnis Sasak Lombok. Demikian pula, pendapat Steward (dalam Poerwanto, 2006: 68-69) bahwa ada bagian dari
20
budaya yang sangat reponsif terhadap adaptasi ekologis sebagian diperkuat melalui penelitian ini. Dari tiga konsekuensi yang dikemukakan Steward, dua di antaranya sangat jelas terbukti, yakni (a) ada beberapa teknologi yang dapat digunakan sesuai dengan keadaan lingkungan, (b) adanya pola-pola perilaku dalam rangka mengeksploitasi suatu wilayah yang memiliki kaitan dengan teknologi yang diciptakan. Munculnya alat-alat penampungan air seperti air minum sebenarnya merupakan manifestasi bagaimana teknologi yang diciptakan tersebut disesuaikan dengan keadaan lingkungan sekitarnya. Adanya pola-pola perilaku dalam rangka memanfaatkan air seperti pada jaringan irigasi semakin memperjelas konsekuensi yang dikatakan Steward tersebut.
Hal yang sama juga terjadi pada pendapat yang dikemukakan oleh Kaplan dan Albert (2000: 102) bahwa ada hubungan yang sangat erat antara kondisi fisik (lingkungan/ekologi) dengan budaya mendapat validasi empiris dalam penelitian ini. Perubahan kondisi lingkungan terutama di daerah hulu menyebabkan terjadinya perubahan pada sistem kebudayaan etnis Dayak dan Sasak. Seperti yang dikatakan oleh Kaplan dan Albert bahwa dalam hal ekologi budaya terdapat cara sistem budaya yang beradaptasi terhadap lingkungan totalnya dan cara-cara institusi-institusi dalam suatu budaya beradaptasi dan saling menyesuaikan diri juga mendapat konfirmasi objektif dalam penelitian ini. Etnis Dayak Kapuas dan Sasak Lombok mempunyai kemampuan beradaptasi sesuai perubahan yang terjadi pada lingkungan. Misalnya, adanya perubahan moda transportasi yang sebelumnya hanya mengandalkan sungai, namun ketika debit air sudah mulai berkurang terutama pada musim kemarau, etnis Dayak Kapuas sebagian sudah beralih menggunakan moda transportasi darat. Demikian pula pada etnis Sasak Lombok yang sebelumnya mengandalkan air sungai (loko), ketika sudah mulai keruh, dilakukan adaptasi dengan menggunakan sumber mata air yang dialirkan melalui pipa ke permukiman mereka.
IX. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan data hasil peneltian dan pembahasan di atas dapat ditarik simpulan bahwa ada hubungan resiprokal antara perbedaan lingkungan sumber daya air dan sistem kebudayaan pemanfaatan air pada etnis Dayak Kapus di wilayah rawa dan etnis Sasak Lombok di wilayah pegunungan. Perbedaan sistem kebudayaan pada kedua etnis tersebut terlihat pada tiga wujud kebudayaan, yakni wujud sebagai sistem budaya, perilaku, dan karya budaya pemanfaatan air. Meskipun demikian, tidak semua wujud
Hubungan Lingkungan Dengan Sistem Kebudayaan Dalam Pemanfaatan Air 1)
sistem kebudayaan pada kedua etnis tersebut berbeda. Pada wujud sistem budaya, khususnya dalam tahap simbolisasi ekspresif (subbagian air mencuci dan air pertanian), kategori evaluasi moral, dan interpretasi eksistensial ternyata memiliki kesamaan. Demikian pula, pada wujud perilaku, untuk pemanfaatan air kebutuhan domestik (rumah tangga), dua subbagian ternyata memiliki kesamaan yakni perilaku memperoleh air mandi dan mencuci. Sedangkan pada wujud karya budaya, baik pada sistem penyaluran air, wadah penyimpanan air, jaringan irigasi, dan sarana transportasi sungai semuanya memiliki perbedaan.
Mengacu pada data, analisis dan kesimpulan di atas, maka dapat disusun suatu rekomendasi sebagai berikut: (a) Perlunya mendorong upaya konservasi di bagian hulu untuk menyelamatkan sumber air pada wilayah etnis Dayak Kapuas dan Sasak Lombok. Selain itu, untuk menjamin ketersediaan air untuk keperluan mobilitas dengan menggunakan moda transportasi sungai/air (khususnya di Kuala Kapuas). (b) Keterbatasan dan kesulitan etnis Dayak Kapuas mendapatkan air bersih dapat diatasi dengan memperkenalkan pengolahan air gambut menjadi air bersih melalui sistem pengolahan air gambut.
(c) Perlunya melakukan pembatasan izin penguasaan hutan agar lingkungan sumber daya air bagi masyarakat dapat lebih terjamin sehingga lebih memudahkan mereka dalam menjalani kehidupan dan membangun kebudayaannya.
Andi Suriadi, 2) Bastin Yungga
Daftar Pustaka
Bailey, Kenneth D. 1994. Methods of Social Research. New York: The Free Press.
Balai Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Bidang Sumber Daya Air, Puslitbang SEBRANMAS, Balitbang PU. 2007. Kajian Persepsi Budaya dalam Pendayagunaan Sumber Daya Air. Bappeda Provinsi Nusa Tenggara Barat. 2005. Sumber Daya Alam Spasial Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat 2005. Bluth, B. J. 1982. Parson’s General Theory of Action: A Summary of The Basic Theory. California: Granada Hills. Dwi Susilo, Rachmad K. 2008. Sosiologi Lingkungan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Kaplan, David dan Albert A. Memes. 2000. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Koentjaraningrat. 1996. Pengantar Antropologi I. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Catatan:
Kompas 27 Oktober 2000. “Perusakan Rinjani Tak Pernah Berhenti”.
Tulisan ini diangkat dari pengalaman penulis melakukan penelitian tentang Kajian Persepsi Budaya dalam Pendayagunaan Air oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Bidang Sumber Daya Air, Pustlitbang Sosial Ekonomi Budaya dan Peran Masyarakat, Badan Litbang PU tahun 2007.
Suparlan, Parsudi. 1994. Metode Penelitian Kwalitatif. Jakarta: Program Kajian Wilayah Amerika Universitas Indonesia.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Ir. Eddy Sudaryono, Dipl. H.E. sebagai Kepala Balai, Bapak Iim Abdul Karim, M.Si. sebagai Ketua Tim, dan rekan Tim Peneliti lainnya yang terlibat dalam penelitian ini atas segala bantuannya mendorong penyusunan tulisan ini.
Poerwanto, Hari. 2006. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
______________. 2005. Sukubangsa dan Hubungan Antar-Sukubangsa. Edisi Revisi Cetakan Kedua. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.
21