“Andi… bangun… cepat mandi sana…” sahut mama Andi. Andi tetap cuek dan malah memasang headset dan mulai memutar lagu kesukaannya. Andi adalah pribadi yang kaku tapi orangnya asyik. Andi adalah salah satu murid di sekolah negeri di kotanya. Prestasi disekolahnya terbilang cukup lumayan. Ia sering mendapatkan ranking 10 besar walaupun tidak pernah mendapatkan ranking 1. Andi juga pernah meraih juara 2 lomba melukis dan juara 1 lomba menggambar tingkat Provinsi. Andi juga pernah meraih juara 1 dalam lomba bahasa Inggris tingkat Provinsi pula. Andi adalah murid yang sederhana disekolahnya. Tetapi tidak dengan cerita cintanya. Andi adalah anak tunggal. Ia hanya tinggal berdua dengan ibunya disebuah rumah kontrakan kecil. Ayahnya meninggal saat ia berusia 5 tahun. Ayah Andi meninggal karena kecelakaan kapal laut ketika ia hendak pulang ke kotanya setelah Ayah Andi bekerja di luar pulau. Sejak saat itu, Andi tidak pernah mengenal sosok Ayah lagi. Satu – satunya peninggalan ayahnya adalah sebuah spidol hitam yang selalu Andi bawa di dalam saku celana, jaket atau di dalam tasnya. Ibu Andi bekerja sebagai cleaning service di perusahaan bank swasta sekaligus menjadi sosok seorang ayah untuk Andi. Terkadang ia juga membuka usaha kecil – kecilan seperti menjual kue dan nasi uduk. Dengan itu, ibunya berusaha menghidupi keluarga mereka. Ibu Andi juga sangat mencintai suaminya hingga sejak kejadian meninggalnya sang suami, ia memutuskan untuk tidak menikah lagi. Sehari – hari Andi berangkat ke sekolah dengan menggunakan sepeda motor kesayangannya. Untuk menuju sekolahnya Andi membutuhkan waktu kurang lebih 15 menit. Andi suka membantu ibunya mencari uang dengan cara bekerja menjadi operator warnet, hingga kerja sampingan menjadi tukang cuci-piring di restoran ataupun sesekali menjadi seorang musisi jalanan. “Kriiiingg….. Kriiiiingggg…. Kriiinggg” bunyi dering nada hp. Tiga kali nada itu berdering cukup keras dari HP Andi yang sempat menghentikan sejenak lagu yang diputarnya itu tetap membuat Andi terdiam di kasurnya. Ia merasa malas menjawab telepon itu. Maklum saja, ia sedang dalam masa menuju liburan setelah mengikuti ujian kenaikan kelas kemarin. Tak lama seseorang tersebut kembali menghubunginya. “Ahhh ini Nadira…” sahut Andi dalam hati setelah melihat kontak telepon tersebut. “Halo?” sahut Andi dengan nada sedikit datar. “Andi, kamu dimana? Sekarang ada rapat loh…” kata Nadira “Ah… rapat apa?” sahut Andi.
“Rapat mengenai tour kita ke Puncak itu… kamu datang kesini dong, tempat biasa kita ngumpul…” “Baiklah, aku menyusul nanti…” sahut Andi lalu kemudian menutup teleponnya. Nadira, ialah gadis cantik yang disukai oleh Andi sejak pertama jumpa di kelas satu SMA. Matanya bulat, alisnya melengkung indah, bulu mata lentik nan cantik, hidung yang tidak terlalu mancung dan tidak terlalu pesek, dan bibir yang selalu meluncurkan senyumans manis. Maka tak jarang para pria jatuh hati ingin mendekatinya atau bahkan mengambil hatinya. “Ahhh… bidadari cantik….” Sahutnya dengan pelan. “Bidadari? Bidadari apa? Sudah sana cepat angkat jemuran sebentar lagi hujan…” sahut mama dari pintu yang sejak tadi agak terbuka sedikit. Setelah ia mengangkat jemuran, ia bergegas mengambil handuk yang biasa ia pakai. Handuk itu berwarna kuning dengan motif bunga-bunga berwarna pink. Tidak, ini bukan kemauan Andi, ini adalah pemberian mama walaupun Andi tak menyukainya. Ia tetap cuek dan tak peduli. Toh cuma handuk biasa. Ketika Andi hendak menuju kamar mandi, ia bertemu mamanya didapur. “Andi, jemuran sudah diangkat?” sahut mama. “Sudah ma…” jawabnya. “Tumben kamu mandi, mau kemana?” tanya mama. “Mau ngumpul ama temen - temen ma, katanya ada rapat” jawabnya dengan datar. “Rapat apa? Sudah seperti pejabat saja kamu pakai rapat segala” “Rapat itu ma yang tentang tour kelas Andi” jawab Andi sambil masuk ke kamar mandi. “Ohh… bagaimana dengan yang tadi?” tanya mama lagi. “Yang mana?” “Yang bidadari cantik barusan…” ledek mama. “Ah bukan kok, tadi itu hanya nyanyi…”
“Ah masa? Habis ditelepon siapa tuh sampai mukanya terlihat nge-fly…” “Habis terima telepon dari teman ma, dia yang mengajak rapat” jawab Andi dari dalam kamar mandi. “Serius? Perempuan ya?” “Iya si Nadira” sahutnya. “Ohhh… jadi bidadari cantik itu yang namanya Nadira. Mama belum kenal dengannya.” kata mama dengan nada sedikit meledek. “Bidadari tidak selalu harus berupa orang yang tidak kita kenal, bidadari bisa saja berupa seperti mama” ungkap Andi. “Ah, mama ini sudah terlalu tua untuk dipanggil bidadari.” Andi tak menjawab, ia bergegas mandi dan langsung menuju kamarnya. Ketika selesai mandi dan hendak menuju kamar, mama sedikit meledek Andi. “Cieee.. Nadira yaaa… kalau ada waktu kenalin mama dong….” Ledek mama. “Brakk…” Andi sedikit membanting pintu. “Ahh kacau ini kalau mama tahu” ucapnya dalam hati. Andi merasa sedikit malu jika diledek seperti itu. Wajahnya sempat memerah. Kemudian ia membuka HP dan melihat ada sebuah pesan singkat masuk ke HP-nya.
“Andi, cepat kesini sudah ada beberapa yang datang kesini”
Begitulah kata-kata yang terangkai dalam pesan singkat tersebut. Pesan itu berasal dari Rani, teman dekat Nadira.
Tak lama andi segera memakai baju dan mengambil jaket kesayanganya lalu mengambil kunci motor yang tergantung di dinding kamarnya. Kemudian berangkat ketempat rapat. Suara ia melarikan langkah dengan sepatu terdengar dengan jelas. Sebelum Andi melewati dapur, Mama sudah menoleh ke belakang. “Maa Andi pergi dulu…” katanya sambil mengeluarkan motor dari halaman rumahnya. “Kamu nggak sarapan dulu?” “Nanti aja, aku sarapan disana.” “Yasudah, hati-hati ya.. oh ya salam buat Nadira…” jawab mama dengan nada meledek. “Iyaa nanti disalamin.” Jawab Andi pelan.
Sepanjang perjalanan, ia tetap memikirkan Nadira. “Aduh gadis cantik ini tak mau lari dari pikiranku” sahutnya dalam hati. Andi memang menyukai Nadira, tapi ia tak punya cukup keberanian untuk mendekati Nadira atau bahkan sekedar ngobrol biasa. Andi selalu salting didepan Nadira sehingga apapun yang ia lakukan terlihat aneh dalam benak Nadira. Sesampainya disana, ia disambut hangat oleh teman-temannya. “Heyy… kemana saja kau? Lama sekali…” kata Farhan. “Tadi sempat nabrak gerobak abang otak-otak” kata Andi beserta alibinya garingnya. “Yasudah, sini join kita lagi bahas dana dan konsumsi nih…” Ya, Farhan adalah pria yang berkharisma, tampan, juga ideal. Ia seperti sebilah pedang yang dihunuskan tepat di dada para wantia yang membuatnya jadi tergila-gila. Farhan adalah teman baik Andi. Bisa dibilang sahabat yang amat sangat dekat dengan Andi. Farhan dan Andi sudah bersahabat sejak duduk dibangku kelas 2 Sekolah Dasar. Saat itu, Farhan adalah seorang murid pindahan dari Jerman. Ayahnya bekerja disalah satu perusahaan pesawat terkemuka di Jerman. Akan tetapi, Ayah dan ibunya adalah asli WNI. Mereka hanya menetap sementara di Jerman hingga Farhan lahir. Setelah lahir, Farhan dan ibunya pulang ke tanah air dan tinggal di
rumah mertua ibunya. Sedangkan Ayahnya masih tinggal di Jerman untuk melanjutkan pekerjaannya. Selain itu, Farhan juga anak tunggal sama seperti Andi. Farhan dan Andi sering sekali menghabiskan waktu mereka di pantai sewaktu kecil. Pantai itu terletak tidak terlalu jauh dari rumah keduanya. Jarak antara rumah Andi dengan Farhan pun tidak jauh. Hanya dipisahkan oleh beberapa blok rumah. Farhan dan Andi memang berteman baik hingga akihrnya sekarang mereka menduduki tingkat SMA. Tetapi, Farhan tidak tahu sama sekali bahwa Andi sangat menyukai Nadira. “Nadira, gimana soal konsumsi? Baiknya kita makan apa disana?” sahut Farhan yang menjabat sebagai ketua pelaksana acara kelas ini. “Ya gampang, aku sudah buat list makanan nih untuk kita makan disana selama 3 hari 2 malam.” Jawab Nadira. Nadira dipilih menjadi seksi konsumsi beserta Rani yang teman dekatnya itu. Rani memang terkenal jago memasak. Cita-citanya pun sebagai koki internasional. “Ya apa saja listnya? Sini duduk sampingku saja supaya lebih mudah kita mengatur konsumsi.” Kata Farhan seraya Nadira duduk disampingnya. Bisa dibaca dengan mudah oleh Andi, Farhan memang suka dengan Nadira. Tempat rapat itu adalah sebuah kedai makanan kecil, tempatnya memang nyaman apalagi Wi-Fi nya kenceng. Tapi ya begitu, kopinya mahal. Rapat sudah berjalan setengah, Andi yang duduk sebagai wakil ketua pelaksana yang seharusnya duduk disamping ketua malah duduk berhadapan dengan ketua yang disampingnya duduk bidadari cantik. Perlahan cemburu menjalar keseluruh hatinya. Ia tetap terduduk sambil bengong menghadap meja yang diatasnya terdapat segelas kecil teh hangat. Sesekali memperhatikan mereka berdua. Mereka berdua dan teman-teman lainnya bersenda gurau disamping membicarakan soal rapat hari ini. Andi seperti benda mati yang tak bergeming sedikitpun. Seperti aliran sungai, ia hanya terbawa suasana. Temannya tertawa, ia pun ikut tertawa tanpa mengetahui apa yang ditertawakan. Memang menyedihkan.
Lima belas menit kemudian, rapat selesai dan ditutup oleh ketua pelaksana dan disambut oleh rintik hujan. Semua teman yang berpartisipasi dalam rapat itu pulang satu persatu hingga tinggal menyisakan Rani, Andi, Farhan dan Nadira. “Andi, kenapa gak pulang?” tanya Rani. “Nanti saja nanggung, minumannya belum habis. Lagi pula hujan, duluan aja palingan sebentar lagi hujannya berhenti.” “Ohh… yaudah pulang duluan ya, pacar kesayangan udah jemput nih hehe…” “Ya sip! Hati-hati ya…!” sahut Andi. “Nadira, kamu pulang sama siapa?” Tanya Farhan yang masih duduk tepat didepan Andi. “Nggak tahu nih, tadi kesini kan aku di antar sepupu” jawab Nadira. “Yaudah, aku antar pulang ya? Mumpung hujannya udah agak reda.” tanya Farhan. “Yaiyalah anterin pulang masa cewek cantik gini di tinggalin!” sahut Andi dalam hati dengan ketus. “Nggak usah, gak apa-apa aku bisa pulang sendiri kok. Takut ngerepotin, lagian aku bawa payung nih” “Nggak ngerepotin kok, masa pulang jalan sendirian? Mending naik motor denganku.” “Bener nih nggak ngerepotin? Nanti kepergok pacarmu repot nanti han” jawab Nadira. “Iyaa bener daripada kepergok mending sama aku saja pulangnya!” sahut Andi yang lagilagi dalam hati. “Nggak apa-apa lah, kan cuma nganterin doang” jawab Farhan. “Yaudah deh, tapi jangan ngebut-ngebut ya…” kata Nadira seraya bangkit dari duduknya dan mengambil tas lalu mengeluarkan payungnya dan segera menuju parkiran yang tak jauh dari pintu masuk.
“Ehhh Andi, pulang duluan yaaa” kata Nadira dari depan meja yang tak jauh dari posisi duduk Andi. Andi hanya melambaikan tangan dan tersenyum dalam diam. Tersenyum yang pahit. Tak lama hujan kembali deras, Andi khawatir dengan Nadira takut terjadi apa-apa dijalan. Andi masih duduk disana menunggu hujan reda, tetapi hujan tak kunjung reda seperti hatinya yang terbakar api cemburu tak kunjung padam. Tiba-tiba ia merasakan sakit diperutnya. Sakit yang teramat sangat menyakitkan. Seperti ditikam ribuan belati tajam. “Ohhh tidak… kambuh lagi!” pikir Andi sambil berusaha mengambil obat di kantung celananya. Belum sempat obatnya itu diminum, akhirnya ia pingsan ditempat tersebut. Beberapa orang yang melihatnya langsung mendekatinya. Andi tergeletak lemah dilantai sambil meringkuk memegangi bagian perutnya yang sakit. Ia dilarikan ke rumah sakit.