ANALISIS PENGARUH TATA KELOLA EKONOMI DAERAH DAN KEUANGAN DAERAH TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAERAH KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SULAWESI TENGAH
ANDI DARMAWATI TOMBOLOTUTU
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Analisis Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah dan Kinerja Keuangan Daerah Terhadap Perekonomian Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Tengah dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2013 Andi Darmawati Tombolotutu NIM H 162080031
RINGKASAN ANDI DARMAWATI TOMBOLOTUTU, Analisis pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah dan Keuangan Daerah terhadap Kinerja Perekonomian Daerah kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah. Dibawah bimbingan BAMBANG JUANDA, HIMAWAN HARIYOGA dan YUSMAN SYAUKAT. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah dan Keuangan Daerah terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Tengah, dan menganalisis proses perencanaan dan pengganggaran APBD di Kabupaten Donggala dan Kota Palu dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Data primer bersumber dari hasil kuesioner dan interview SKPD, anggota DPRD dan Akademisi di Kabupaten Donggala dan Kota Palu. Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perekonomian daerah kabupaten/kota di Sulawesi Tengah, dengan metode regresi dan untuk menganalisis adanya perbedaan proses perencanaan dan penganggaran diantara Kabupaten Donggala dengan Kota Palu digunakan uji Chi-Square. Hasil analisis menunjukkan bahwa untuk dapat meningkatkan kinerja perekonomian daerah (peningkatan PDRB perkapita, pengurangan pengangguran, pengurangan penduduk miskin) dapat dilakukan melalui Tata Kelola Ekonomi Daerah yang baik, yaitu: dengan kondisi lampu jalan yang lebih baik di sekitar tempat usaha, lama perbaikan listrik yang lebih cepat, lama perbaikan PDAM yang lebih cepat, Program Pengembangan Usaha Swasta (pelatihan pengajuan kredit yang dilakukan oleh Program Pengembangan Usaha Swasta, dan tingkat manfaat bagi dunia usaha). Pertumbuhan Ekonomi dan juga PDRB perkapita di Kota Palu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Pertumbuhan Ekonomi dan PDRB perkapita di Kabupaten Donggala. Akan tetapi pengaruh peningkatan Belanja Modal di Kabupaten Donggala terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan juga PDRB perkapita lebih tinggi dibandingkan Kota Palu. Meskipun Kabupaten Donggala pertumbuhannya dan PDRB perkapitanya lebih rendah dari Kota Palu, tetapi sangat besar dalam menurunkan pengangguran dan kemiskinan serta persentase alokasi belanja modalnya yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh Tata Kelola Ekonomi Daerah yang baik, juga ditunjang oleh faktor lain yaitu proses perencanaan dan penganggaran APBD terutama dalam indikator prioritas anggaran yang relatif baik di Kabupaten Donggala. Pengangguran di Kabupaten Donggala lebih rendah dibandingkan di Kota Palu. Hal ini dikarenakan tata kelola ekonomi daerah di Kabupaten Donggala lebih baik dan dalam prioritas anggaran juga lebih baik walaupun investasi di Kabupaten Donggala masih kurang dibandingkan investasi di Kota Palu. Kemiskinan di Kabupaten Donggala lebih tinggi dibandingkan di Kota Palu. Akan tetapi karena alokasi Belanja Modal di Kabupaten Donggala relatif lebih besar serta tata kelola ekonomi daerah juga lebih baik daripada di Kota Palu, maka penurunan kemiskinan di Kabupaten Donggala lebih tinggi dibanding di Kota Palu. Dalam proses perencanaan dan penganggaran Kabupaten Donggala lebih baik dibandingkan di Kota Palu, Terutama dalam penentuan prioritas anggaran, yaitu tidak adanya alokasi baru diluar prioritas. Kabupaten Donggala lebih baik dalam proses perencanaan dan penganggaran tidak hanya ditunjukkan dalam indikator prioritas anggaran, tetapi juga dalam indikator lain walaupun secara statistik tidak signifikan. Kata kunci: Tata Kelola Ekonomi Daerah, Kinerja Perekonomian Daerah.
SUMMARY ANDI DARMAWATI TOMBOLOTUTU, The analyses of the influence of regional economic governance and regional finance to the regional economic performance in the district/municipality in Central Sulawesi Province. Under the supervision of BAMBANG JUANDA, HIMAWAN HARIYOGA and YUSMAN SYAUKAT. The purpose of this study is to analyze the effect of Local Economic Governance and regional finance on the district/municipality economic performance in Central Sulawesi, and to analyze the process of planning and budgeting of APBD in Donggala and Palu using secondary data obtained from Central Bureau of Statistics of Central Sulawesi and the Directorate General of Fiscal Balance. Primary data comes from questionnaire and interview on SKPD, legislators and academics in Donggala and Palu. The regression method is used to analyze the factors that affect the economic performance of districts /municipality in Central Sulawesi, and to analyze the differences in the process of planning and budgeting of APBD in Donggala and Palu, Chi-Square test is used. Results of the analysis showed that in order to improve the performance of the regional economy (increase in GDP per capita, unemployment decreasing, poverty reduction) can be done through the best Local Economic Governance, such as the better condition of street lights around the place of business, faster electrical repairs, faster of improvement fresh water supply, Private Sector Development Program (PSDP) and credit application training undertaken by the PSDP to be increased to provide benefits for businesses. Economic growth and GDP per capita in Palu relatively high compared with the Economic Growth and GDP per capita in Donggala. However, the influence of an increase in capital expenditures in Donggala on Economic Growth and GDP per capita is higher than Palu. Although Donggala growth and GDP per capita is lower than Palu, but very large in decreasing on unemployment and poverty, and the percentage of high capital expenditure. This is caused by the better Local Economic Governance, which also supported by other factors, namely the planning and budgeting process, especially in the budget priorities indicators are relatively good in Donggala. Donggala unemployment is lower than Palu. This is because economic governance and budget priorities are better in Donggala although the investment still remain less than in Palu. Donggala poverty is higher than Palu. However, because the allocation of capital expenditures in Donggala relatively larger as well as local economic governance is also better than in Palu, the poverty reduction in Donggala is higher than in Palu. In the process of planning and budgeting, Donggala is better than Palu, especially in budget priorities determining, namely the lack of new extra allocation priorities. Donggala better in planning and budgeting process is not only shown in the budget priority indicators, but also in other indicators, although there is no statistically significant. Keywords: Local Economic Governance, Regional Economic Performance.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS PENGARUH TATA KELOLA EKONOMI DAERAH DAN KEUANGAN DAERAH TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAERAH KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SULAWESI TENGAH
ANDI DARMAWATI TOMBOLOTUTU
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji pada Ujian Tertutup: Prof Dr Ir Akhmad Fauzi, MSc Dr Ir Setia Hadi, MSi
Penguji pada Ujian Terbuka: Prof Dr Ir Hermanto Siregar, MEc Dr Kodrat Wibowo, SE
Judul Disertasi: Analisis Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah dan Keuangan Daerah Terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Kabupaten/Kota Di Provinsi Sulawesi Tengah Nama : Andi Darmawati Tombolotutu NIM : H162080031
Disetujui oleh Komisi Pembimbing Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS Ketua
Dr Ir Himawan Hariyoga, MSc Anggota
Dr Ir Yusman Syaukat, MSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS
Tanggal Ujian : 10 Juli 2013
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Lulus : 26 Juli 2013
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam disertasi ini adalah Tata Kelola Ekonomi Daerah dengan judul ANALISIS PENGARUH TATA KELOLA EKONOMI DAERAH DAN KINERJA KEUANGAN DAERAH TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SULAWESI TENGAH. Proses penelitian dan penulisan disertasi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS, selaku Ketua Komisi Pembimbing serta Dr. Ir.Himawan Hariyoga, M.Sc dan Dr. Ir.Yusman Syaukat, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan saran dan masukan. Disamping itu penghargaan dan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar selaku komisi penguji pada ujian prakualifikasi dan sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka, yang telah memberikan masukan dan saran yang berarti. Kepada Dr.Ir.Eka Intan Kumala Puteri, M.Si selaku komisi penguji pada ujian prakualifikasi yang telah memberikan masukan dan saran yang berarti. Kepada Prof. Dr. Ir Akhmad Fauzy M.Sc dan Dr. Ir Setiahadi Msi sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup yang telah banyak memberikan masukan dan saran. Selanjutnya ucapan terima kasih kepada Dr. Kodrat Wibowo sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka yang telah banyak memberikan masukan dan saran. Terima kasih kepada Ucapan terima kasih atas dukungan, doa dan kasih sayang dari orangtua tercinta Hj Z Tombolotutu, Drs MD.Tombolotutu (Alm), bapak dan ibu Drs. H. Hamadi Djirimu dan Hj.Andi Putri Bandhi. Alhamdulillah selama penulis dalam studi diberikan kesehatan serta selalu memberikan semangat dan doa yang tulus. Kepada suami tercinta Mohammad Ahlis Djirimu PhD, anak-anak tersayang Salman Rhonalfani. Alfaridzy, Salwa Lidya Magfirah terima kasih atas pengertian dan dukungan yang tiada hentinya serta pengorbanannya selama ini. Ucapan terima kasih juga penulis berikan kepada kakak tercinta Andi Zuraida Tombolotutu, Siti Nur Aisyah Djirimu, kepada adik penulis Andi Murniati Tombolotutu, Dr. Ujang Suwarna terima kasih atas pengertian dan perhatiannya khususnya kepada anak-anak penulis selama penulis dalam proses penyelesaian studi. Ucapan terima kasih kepada teman-teman PWD pak Tajerin, pak Steven Thenu, pak Asep Agus Handaka, pak Rudi, pak Aditya khususnya kepada Rika Azmi teman penulis dalam suka dan duka selama kurang lebih 5 tahun bersama. Teman-teman adik angkatan pak Alex, ibu Luh Putu Suciati, pak Untung, pak Enirawan, pak Riswan, pak Michael, pak ebed, ibu yusniar, ibu sherly, ibu rofiqoh, ibu Dwi yunita, terima kasih atas kebersamaan selama ini. Ucapan terima kasih juga kepada Mbak Elva, Mbak Puput, Mbak Nisa, Lisa. Terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya. Akhir kata, meskipun jauh dari sempurna, tetapi penulis berharap semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang terkait. Bogor, Juni 2013 Andi Darmawati Tombolotutu
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
1.PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
5
Tujuan Penelitian
5
Manfaat Penelitian
6
Ruang Lingkup
6
2 TINJAUAN PUSTAKA
7
Teori Pertumbuhan Ekonomi
7
Investasi
8
Investasi dan Pertumbuhan
9
Hubungan Desentralisasi Fiskal & Pertumbuhan Ekonomi 12 Pengertian Tata Kelola
13
Hubungan Tata Kelola & Pertumbuhan Ekonomi
15
Tata Kelola Ekonomi Daerah
16
Perencanaan Pembangunan Daerah
17
Konsep Keuangan Daerah
18
Prosedur Penyusunan APBD
19
Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah
21
Studi studi Terdahulu
22
Kebaruan
25
3 KERANGKA PEMIKIRAN
26
Kerangka Pemikiran Penelitian
26
Hipotesis
32
4 METODE PENELITIAN
33
Lokasi dan Waktu Penelitian
33
Jenis, Sumber Data dan Metode Analisis
33
Model Analisis
38
5. GAMBARAN UMUM TATA KELOLA EKONOMI DAERAH
44
6 HASIL DAN PEMBAHASAN Tata Kelola Ekonomi Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Tengah
54 54
Keterkaitan Variabel Tata Kelola Ekonomi Daerah Dengan PDRB per kapita, Pengangguran, Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Tengah
57
Hubungan Total Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah dengan PDRB per kapita, pengangguran dan kemiskinan Kabupaten/kota di Sulawesi Tengah
64
Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB per kapita,Pengangguran dan kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Tengah 66 7 Proses Perencanaan dan Penganggaran APBD di Kota Palu dan Kabupaten Donggala
77
8 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA
99 99 99 101
LAMPIRAN
108
RIWAYAT HIDUP
DAFTAR TABEL 1
2 3 4 5 6 7
Indeks TKED, PDRB Perkapita, Pertumbuhan Ekonomi, ᴧ Pengangguran, ᴧ Kemiskinan Kabupaten/Kota di Sulawesi Tengah tahun 2009 – 2010 (%) Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah di Kabupaten/Kota di Sulawesi Tengah Tahun 2011 dalam (%) Korelasi Pearson dan korelasi Spearman PDRB perkapita, perubahan pengangguran, perubahan kemiskinan terhadap sub indikator TKED Hasil estimasi parameter persamaan PDRBKap kabupaten/kota di Sulawesi Tengah tahun 2010-2011 Hasil estimasi parameter persamaan perubahan pengangguran kabupaten/kota di Sulawesi Tengah tahun 2010-2011 Hasil estimasi parameter persamaan perubahan kemiskinan kabupaten/kota di Sulawesi Tengah tahun 2010-2011 Hasil Chi-Square prioritas anggaran di Kabupaten Donggala dan Kota Palu
4 55 58 67 69 69 82
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
16 17 18
Hubungan Pendapatan, Investasi dan Konsumsi Investasi Perpotongan Keynesian dan Kurva IS Grafik hubungan Output (Y) dengan Investasi (I) Pola Interaksi Tiga Pilar Good Governance Faktor Penggerak Produktivitas Perekonomian Daerah Alur Perencanaan dan Penganggaran Kerangka Pikir Penelitian Tahapan Model Empiris Scatterplot lama perbaikan infrastruktur listrik dengan PDRB per kapita Scatterplot kondisi lampu penerangan jalan di sekitar usaha responden pada tahun 2009 dengan Pengangguran Scatterplot waktu yang diperlukan untuk memperbaiki PDAM dengan Kemiskinan Scatterplot manfaat PPUS bisa menghubungkan pelaku usaha kecil-sedang dan besar dengan Pengangguran Scatterplot pelatihan pengajuan kredit bagi UKM dengan Pengangguran Hubungan sub-indeks dan indeks tata kelola ekonomi daerah dengan PDRB per kapita Hubungan sub-indeks dan indeks tata kelola ekonomi daerah dengan Pengangguran Hubungan sub-indeks dan indeks tata kelola ekonomi daerah dengan kemiskinan Alur Perencanaan dan Penganggaran di Kabupaten Donggala dan Kota Palu Sumber Penerimaan Kabupaten Donggala dan Kota Palu tahun 2010 (juta Rp)
10 11 11 14 16 20 31 36 59 60 61 63 63 65 65
66 77 90
19 20 .
21
22 23
Kontribusi PAD terhadap total penerimaan Kabupaten Donggala dan Kota Palu tahun 2001-2010 (%) Perkembangan Alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) Kabupaten/Kota Tahun 2003 – 2011 (jt Rp) Perkembangan Alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kabupaten Donggala dan Kota Palu Tahun 2001 – 2010 (jt Rp) Prosentase Belanja Pegawai terhadap total Belanja di Kab Donggala dan Kota Palu tahun 2001-2009 (%) Prosentase Belanja Modal terhadap total Belanja di Kab Donggala dan Kota Palu tahun 2001-2009 (%)
91 92
93 95
97
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Modus dan median persepsi perusahaan kabupaten/kota Provinsi Sulawesi Tengah mengenai indikator akses lahan dan kepastian hukum. 108 Modus dan median persepsi perusahaan kabupaten/kota Provinsi Sulawesi Tengah mengenai indikator Izin Usaha. 109 Modus dan median persepsi perusahaan kabupaten/kota Provinsi Sulawesi Tengah mengenai indikator interaksi PEMDA dengan pelaku usaha. 110 Modus dan median persepsi perusahaan kabupaten/kota Provinsi Sulawesi Tengah mengenai indikator program PEMDA untuk pengembangan usaha sektor swasta. 111 Modus dan median persepsi perusahaan kabupaten/kota Provinsi Sulawesi Tengah mengenai indikator kapasitas dan integritas bupati/walikota 112 Modus dan median persepsi perusahaan kabupaten/kota Provinsi Sulawesi Tengah mengenai indikator keamanan dan penyelesaian sengketa 113 Modus dan median persepsi perusahaan kabupaten/kota Provinsi Sulawesi Tengah mengenai indikator Biaya Transaksi 114 Modus dan median persepsi perusahaan kabupaten/kota Provinsi Sulawesi Tengah mengenai indikator infrastruktur daerah 115 Hasil Uji Korelasi Spearman sub variabel semua indikator TKED terhadap indikator kinerja perekonomian 116 Hasil Korelasi Pearson (data interval) Antara PDRB perkapita dengan masing-masing Sub Indikator 126 Hasil korelasi spearman (data nominal,ordinal) 128 Hasil Korelasi Pearson In PDRB, In Kemiskinan, In Pengangguran VS Sub Indikator yang berskala Interval 131 Kontribusi konsumsi,pengeluaran pemerintah dan investasi terhadap PDRB tahun 2011 (%) 133 Hasil Chi-Square data proses perencanaan dan penganggaran indikator disiplin anggaran di kabupaten donggala dan kota palu 134 Hasil Chi-Square data proses perencanaan dan penganggaran indikator prioritas anggaran di kabupaten donggala dan kota palu 136 Hasil Chi-Square data proses perencanaan dan penganggaran indikator efisiensi anggaran di kabupaten donggala dan kota palu 138 Hasil Chi-Square data proses perencanaan dan penganggaran indikator efektifitas pengelolaan anggaran di kabupaten donggala dan kota palu 140
18
19
20 21
Hasil Chi-Square data proses perencanaan dan penganggaran indikator akuntabilitas anggaran di kabupaten donggala dan kota palu Hasil Chi-Square data proses perencanaan dan penganggaran indikator transparansi anggaran di kabupaten donggala dan kota palu Hasil regresi data panel 11 kabupaten/kota Tahun 2005-2011 Korelasi sub indeks infrastruktur dan PPUS dengan total indeks TKED
142
143 146 173
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palu pada tanggal 22 November 1970 dari ayah Drs. MD.Tombolotutu (Alm) dan ibu Hj.Z.Tombolotutu. penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara. Pada tahun 1989 penulis lulus dari SMA 4 Palu., lulus dari Akademi Perbankan 1994 dan Fakultas Ekonomi UNTAD tahun 2005. Kesempatan melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi diperoleh di tahun 2005 pada Magister Perencanaan Wilayah dan Perdesaan UNTAD dan lulus tahun 2007. Selanjutnya atas biaya dari BPPS DIKTI dapat melanjutkan studi ke PS Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan IPB pada tahun 2008. Penulis menikah dengan Mohammad Ahlis Djirimu Ph.D pada Tahun 1997 dan telah dikaruniai sepasang putra dan putri. Putra pertama Salman R Alfaridzy yang lahir tahun 1999 dan Salwa L Magfirah yang lahir tahun 2001. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Ekonomi di UNISMUH. Sebelumnya penulis pernah bekerja pada PT BANK DANAMON bagian Data Kontrol dan Keuangan dari tahun 1995-2001, kemudian selama setahun pernah bekerja sebagai Sekretaris pada Dinas Transmigrasi di PEMDA Sulawesi Tengah sampai tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis bekerja sebagai asisten pada fakultas Ekonomi UNTAD, kemudian tahun 2005 menjadi Dosen tetap.
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia. Otonomi daerah sudah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 5 Tahun 1975 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Pelaksanaan desentralisasi fiskal dimulai pada 1 Januari 2001 berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 22 Tahun 1999 yang disempurnakan dengan Undang-Undang Republik Indonesia 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU RI No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, terdapat prinsip (rules) money follows function yang artinya setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut (Bahl,2000:19). Kebijakan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal didasarkan pada pertimbangan bahwa daerahlah yang lebih mengetahui kebutuhan dan standar pelayanan bagi masyarakat di daerahnya. Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memacu peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi. Ketika satu daerah dapat memiliki perbedaan struktur anggaran dibandingkan dengan daerah lain, maka hal itu akan berimplikasi kepada kinerja daerah yang bersangkutan. Bahkan, dua daerah yang memiliki jumlah anggaran yang sama, dapat memiliki kinerja yang berbeda akibat perbedaan struktur anggaran yang dijalankan (Nazara, 2010). Dengan adanya desentralisasi fiskal, kemampuan daerah khususnya dalam mengelola dana secara mandiri menjadi tuntutan yang nyata, sehingga seluruh potensi dapat dioptimalkan melalui mekanisme perencanaan secara tepat. Ukuran agregat yang memperlihatkan peningkatan kesejahteraan masyarakat merupakan indikasi dampak peningkatan jumlah dana yang dibelanjakan di daerah, baik melalui mekanisme dana desentralisasi maupun dana-dana lain di daerah, sebagaimana dikemukakan oleh Keynes (Todaro dan Smith, 2006). Pemerintah Daerah harus mampu berperan dalam mengelola keuangannya secara mandiri agar dapat mengoptimalkan seluruh potensi melalui mekanisme perencanaan yang efektif dan efisien dengan melihat hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai pada tahun sebelumnya. Hal ini menjadi tantangan bagi seluruh daerah otonom, agar dapat dikatakan proses perencanaan keuangan yang baik berdampak pada membaiknya kinerja perekonomian dan keuangan daerah. Faktor-faktor yang mempengaruhi membaiknya perekonomian daerah dapat diukur melalui indikator-indikator seperti pertumbuhan ekonomi yang meningkat, serta tingkat penggangguran dan kemiskinan yang menurun di mana hal tersebut tidak terlepas dari pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED). tata kelola ekonomi daerah ditinjau dari sisi kebijakan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Peran investasi swasta amat penting dalam perekonomian suatu negara. Secara agregat, investasi swasta, pemerintah dan masyarakat menggerakkan dinamika perekonomian dalam pembentukan produk domestik bruto negara yang bersangkutan. Hal tersebut juga berlaku untuk perekonomian suatu daerah dalam pembentukan produk domestik regional bruto (PDRB). Prestasi ekonomi suatu negara dapat dinilai dengan berbagai ukuran agregat. Secara umum, prestasi tersebut diukur melalui sebuah besaran dengan istilah Pendapatan Nasional. Meskipun bukan merupakan satu-
satunya ukuran untuk menilai prestasi ekonomi suatu negara, itu cukup representatif dan sangat lazim digunakan. Pendapatan Nasional bukan hanya berguna untuk menilai perkembangan ekonomi suatu negara dari waktu ke waktu, tetapi juga membandingkannya dengan negara lain. Rinciannya secara sektoral dapat menerangkan struktur perekonomian negara yang bersangkutan. Di samping itu, dari angka pendapatan nasional selanjutnya dapat pula diperoleh ukuran turunannya, sepeti pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita (Dumairy,1996). Berhasil atau tidaknya proses pembangunan yang dilakukan oleh suatu negara atau wilayah dapat dilihat dari perkembangan indikator-indikator perekonomian tersebut, apakah mengalami peningkatan atau penurunan. Satu dari indikator tersebut yang dapat dilihat adalah produk domestik bruto, untuk daerah disebut produk domestik regional bruto. Selain PDRB, pendapatan per kapita merupakan juga satu konsep penting dalam perekonomian suatu negara. Menurut Todaro (2003), produk nasional bruto per kapita merupakan konsep yang paling sering dipakai sebagai tolok ukur tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk di suatu negara. Ada dua pihak yang secara garis besar berinteraksi dalam menentukan kinerja perekonomian daerah yaitu Pemerintah Daerah (PEMDA) dan pelaku usaha. Pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan publik yang terkait dunia usaha memiliki peran yang besar dalam penentuan bentuk kompetisi pasar di daerah. Sedangkan pelaku usaha sebagai pencipta nilai tambah ekonomi turut menentukan kinerja perekonomian daerah melalui peranan investasi yang berasal dari pemodalan swasta. Kebijakan Pemerintah Daerah terutama tercermin pada berbagai Peraturan Daerah (PERDA), diantaranya perda tentang Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Melalui APBD yang merupakan alat kebijakan utama, Pemda membuat kebijakan pengeluaran untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik. Setelah fungsi pelayanan publik mendapatkan perbaikan kualitas, maka tahapan berikutnya pada proses pembangunan berkelanjutan adalah penciptaan keadaan berusaha yang mendukung pergerakan ekonomi daerah. Pengembangan usaha swasta harus menjadi motor penggerak ekonomi lokal karena APBD memiliki banyak keterbatasan dalam hal jumlah dan cakupan program pembangunan yang dapat dibiayainya (KPPOD, 2007). Peran investasi swasta dalam menggerakkan perekonomian suatu negara/daerah sangatlah penting. Iklim investasi itu sendiri dimaknai sebagai iklim investasi dalam konteks kompetisi antar wilayah (negara/daerah) untuk menarik aktivitas bisnis ke wilayah yang bersangkutan. Secara teoritis, indikator yang digunakan dapat diklasifikasikan dalam kategori regulasi/kebijakan, kelembagaan, dan daya dukung suatu wilayah. Dalam penelitian ini, tata kelola ekonomi daerah merupakan satu dari beberapa indikator yang mempengaruhi kinerja perekonomian daerah selain proses perencanaan dan penganggaran. Namun, hasil penelitian McCulloch dan Malesky (2010) mengenai dampak tata kelola pemerintahan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia tidak menemukan hubungan yang signifikan antara tata kelola pemerintahan daerah dengan pertumbuhan ekonomi daerah. Hal ini diduga karena hubungan antara tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi bersifat sedemikian kompleks sehingga analisis yang dilakukan oleh Mc Culloch dan Malesky dengan menggunakan data agregat tersebut tidak mampu menangkap hubungan tersebut. Dengan demikian dimungkinkan terjadinya perbedaan hasil dari penggunaan data agregat dan dengan data disagregat. Hal ini dikarenakan hubungan setiap variabel penyusun indeks dapat mempunyai arah hubungan yang berbeda dengan pertumbuhan ekonomi, sehingga pengagregatan berupa indeks justru akan menghilangkan hubungan tersebut. Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan analisis secara parsial dengan menganalisis variabel-variabel yang ditanyakan kepada responden untuk mengetahui
keterkaitan setiap indikator tata kelola ekonomi daerah terhadap kinerja perekonomian daerah. Kompleksitas hubungan tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi juga dikemukan oleh De Mello (2010) yang menyatakan bahwa hubungan antara tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita dapat bersifat langsung dan tidak langsung. Secara tidak langsung, tata kelola dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi melalui jalur infrastruktur, perdagangan, dan atau investasi. Menurut Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, terdapat beberapa faktorfaktor yang menentukan daya tarik investor untuk masuk ke suatu daerah. Diduga Faktorfaktor tersebut terjadi di Kabupaten/Kota yang ada di Sulawesi Tengah. Hasil penelitian KPPOD menunjukkan bahwa faktor kelembagaan memiliki bobot tertinggi di antara faktorfaktor yang lain. Hal inilah yang mendorong komite pemantauan pelaksanaan otonomi daerah untuk melakukan survei yang isinya mengakomodir persepsi para pelaku usaha terhadap tata kelola ekonomi daerah kabupaten/kotanya. Hasil survey KPPOD menunjukkan dari 11 kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Tengah hanya 3 Kabupaten yang mempunyai indeks tata kelola ekonomi daerah yang kondusif (di atas 70) yaitu kabupaten Banggai, Kabupaten Parigi Moutong serta Kabupaten Sigi dengan indeks TKED masing-masing pada peringkat 19, 22 dan 25 dari peringkat Nasional. Penelitian ini memilih Kabupaten Donggala dan Kota Palu sebagai daerah penelitian. Pemilihan dan alasan pengambilan daerah penelitian Kabupaten Donggala dan Kota Palu adalah karena meskipun kedua daerah tersebut sama-sama tergolong sebagai daerah yang indeks TKED nya tidak tinggi namun memiliki karakteristik daerah yang berbeda, dengan kinerja perekonomian yang sangat berbeda, sehingga menarik untuk diperbandingkan. Pada tahun 2010 Kabupaten Donggala yang merupakan Kabupaten tertua di Propinsi Sulawesi Tengah hanya memiliki PDRB per kapita Rp. 13.145.543 sementara itu Kota Palu memiliki PDRB per kapita Rp.18.133.245. Namun demikian dari sisi indeks tata kelola ekonomi daerah Kota Palu berada di bawah peringkat Kabupaten Donggala. Indeks TKED Kota Palu 66,7% sedangkan Kabupaten Donggala 68,3%. Pengangguran di Kabupaten Donggala turun sebesar 39,1% dari tahun sebelumnya demikian pula dengan kemiskinan yang turun sebesar 42,9%. Sementara itu pengangguran di Kota Palu turun 8,1% tetapi kemiskinan meningkat sebesar 11,3%. (tabel 1). Perbandingan antar data indeks TKED hasil survei KPPOD dengan data pertumbuhan, kemiskinan dan pengangguran di kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Tengah khususnya di Kabupaten Donggala dan Kota Palu menimbulkan pertanyaan dan diduga hal ini disebabkan karena adanya perbedaan dalam proses perencanaan dan pengganggaran APBD yang terdapat di kedua daerah tersebut. Selanjutnya, kontribusi konsumsi rumah tangga dalam pembentukan PDRB sangatlah dominan, untuk Kota Palu mencapai 60,29% dan Kabupaten Donggala mencapai 53,91%. Investasi swasta di Kabupaten Donggala maupun Kota Palu masih relatif kecil. Hal ini dilihat dari kontribusi Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) terhadap PDRB untuk Kabupaten Donggala sebesar 19,45% dan Kota Palu hanya 14,85% (lampiran 13).
Tabel 1
Indeks TKED, PDRB per kapita, Pertumbuhan, Perubahan Pengangguran, Perubahan Kemiskinan Kabupaten/Kota di Sulawesi Tengah tahun 2009 – 2010 (dalam %) Daerah
Bangga i Parigi Moutong
Indeks TKED (persen)
72.1 71.3
Sigi
71.2
Toli-toli Tojo Unauna
69.1
Donggala
68.3
Buol
66.8
Kota Palu Banggai Kepulaua n
66.7
Poso
62.9
Morowali
62.0
Sulteng
68.8
63.5
PDRB Perkapita (rupiah)
12.841.10 1 15.344.36 5 14.657.36 0 12.658.98 4
Pertumbuhan Ekonomi (persen)
9.7 7.8 7.8 7.5
8.691.160 13.145.54 3
7.8
9.838.867 18.133.24 5
7.4
8.600.562 10.515.54 8 17.974.33 7
8.3
13.709.436
7.8
7.0
7.9
7.8 8.6
Perubahan Pengangguran (persen)
Perubahan Kemiskinan (persen)
(25.5)
(13.5)
(39.6)
7.1
-
-
(28.3)
(8.6)
(37.7)
(36.5)
(39.1)
(42.9)
(33.0)
(3.7)
(8.1)
11.3
(22.6)
(14.3)
(10.9)
8.9
6.5 (14.8)
(1.0) (5.7)
Sumber: KPPOD 2011, BPS Sulawesi Tengah 2011.
Perumusan Masalah Otonomi daerah adalah reformasi kepemerintahan yang mempunyai dampak ekonomi. Dengan adanya penyerahan wewenang kepada pemerintah daerah, maka pengusaha akan lebih banyak berhubungan langsung dengan pemerintah daerah, bukan lagi dengan pemerintah pusat. Perubahan ini juga membawa berbagai masalah, seperti adanya peningkatan jumlah dan besarnya pungutan, berbagai kasus korupsi, dan munculnya peraturan daerah yang menghambat dunia usaha. Pada saat bersamaan, desentralisasi juga membuka banyak kesempatan emas bagi pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerahnya secara mandiri dan transparan agar dana yang ada benar-benar dapat digunakan secara efesien dan efektif melalui proses perencanaan dan penganggaran yang tepat. Penyerahan urusan kepemerintahan membuka peluang bagi pemerintah daerah meningkatkan kemakmuran masyarakat melalui inovasi, peningkatan transparansi dan akuntabilitas, serta pembangunan ekonomi daerah untuk penciptaan lapangan kerja.
Kinerja perekonomian daerah bukan hanya di pengaruhi oleh TKED yang baik, akan tetapi juga dipengaruhi oleh proses perencanaan dan penganggaran APBD. Bagaimana tata kelola ekonomi daerah mempengaruhi Kinerja Perekonomian Daerah serta bagaimana Proses Perencanaan dan Penganggaran APBD mempengaruhi Kinerja Perekonomian Daerah? Kedua pertanyaan inilah yang dicoba dijawab melalui penelitian ini. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian berjudul “ Analisis Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah dan Keuangan Daerah Terhadap Kinerja Perekonomian Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Tengah”, untuk menjawab pertanyaan: 1. Bagaimana Tata Kelola Ekonomi Daerah dan keuangan daerah mempengaruhi Kinerja Perekonomian Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Tengah? 2. Bagaimana proses penyelenggaraan perencanaan dan penganggaran APBD mempengaruhi kinerja perekonomian & keuangan daerah di Kabupaten Donggala & Kota Palu?
Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Menganalisis pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah dan keuangan daerah terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Tengah. 2. Mengdeskripsikan proses perencanaan dan pengganggaran APBD di Kabupaten Donggala dan Kota Palu.
Manfaat penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi: untuk 1. Bahan evaluasi dan pemantauan pemerintah masing-masing kabupaten/kota memperbaiki kinerjanya TKED. 2. Bahan pertimbangan untuk rekomendasi kebijakan dalam rangka menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif di masing-masing kabupaten/kota. Bagi peneliti lain dan masyarakat, hasil penelitian ini juga diharapkan menjadi dasar penelitian lanjutan, serta menjadi bahan kajian mengenai kondisi keuangan dan perekonomian daerah kabupaten dan kota di provinsi Sulawesi Tengah.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian untuk menganalisis permasalahan proses perencanaan dan penganggaran mencakup 1 kabupaten dan 1 kota, sedangkan untuk menganalisis permasalahan pengaruh tata kelola ekonomi daerah mencakup 11 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Tengah pada periode 2011. Berdasarkan PP No 58 tahun 2005, proses perencanaan dan penganggaran adalah proses pelaksanaan terbentuknya APBD di Kabupaten Donggala dan Kota Palu yang lingkupnya meliputi disiplin anggaran, prioritas anggaran, efisiensi anggaran, efektifitas pengelolaan anggaran, akuntabilitas dan transparansi anggaran. Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah.
Beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai berikut: Investasi adalah pembentukan modal tetap bruto ditambah perubahan stock. Belanja modal adalah realisasi dalam APBD tahun 2010. Kinerja Perekonomian Daerah dilihat melalui 3 indikator yaitu pertumbuhan Pendapatan Perkapita, di mana pertumbuhan pendapatan per kapita yang digunakan adalah pada tahun 2010 (dalam %); penggangguran adalah nilai absolut tingkat pengangguran tahun 2009-2010 (dalam %) dan kemiskinan adalah nilai absolut tingkat kemiskinan tahun 2009-2010 (dalam %). Tata Kelola Ekonomi Daerah diukur dengan menggunakan indikator yang digunakan oleh KPPOD dalam survei tahun 2011 yang terdiri dari delapan unsur indikator utama dan 44 sub indikator.
2. TINJAUAN PUSTAKA Teori Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat (Sukirno, 2000). Jadi pertumbuhan ekonomi digunakan untuk mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian serta meningkatkan kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan oleh pertambahan faktor-faktor produksi baik dalam jumlah dan kualitasnya. Investasi juga semakin berkembang dan akan menambah barang modal dan teknologi yang digunakan. Di samping itu, tenaga kerja bertambah sebagai akibat perkembangan penduduk seiring dengan meningkatnya pendidikan dan keterampilan mereka. Menurut Arsyad (1999) pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB)/Pendapatan Nasional Bruto (PNB) tanpa memandang apakah kenaikan tersebut lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak. Sasaran pembangunan ekonomi daerah adalah meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah. Pertumbuhan ekonomi daerah diukur dengan pertumbuhan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut harga konstan. Laju pertumbuhan PDRB akan memperlihatkan proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Penekanan pada ”proses”, karena mengandung unsur dinamis, perubahan atau perkembangan. Oleh karena itu, pemahaman indikator pertumbuhan ekonomi biasanya akan dilihat dalam kurun waktu tertentu, misalnya tahunan. Aspek tersebut relevan untuk dianalisis sehingga kebijakankebijakan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah untuk mendorong aktivitas perekonomian domestik dapat dinilai efektifitasnya (Rustiono, 2008). Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik Menurut ekonom Klasik, Smith, pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh dua faktor utama yakni pertumbuhan output total dan pertumbuhan penduduk (Arsyad,1999). Unsur pokok dari sistem produksi suatu negara ada tiga, yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan stok modal. Menurut Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik, pertumbuhan ekonomi bergantung pada faktor-faktor produksi (Sukirno, 1994). Persamaannya adalah : Δ Y = f (ΔK, ΔL) Δ Y = tingkat pertumbuhan ekonomi Δ K = tingkat pertambahan barang modal Δ L = tingkat pertambahan tenaga kerja Model Pertumbuhan Harrod-Domar Model pertumbuhan yang paling terkenal dalam teori neo-keynesian adalah model pertumbuhan Harrod-Domar. Model pertumbuhan ini menjelaskan mekanisme perekonomian yang mengandalkan peningkatan investasi demi mempercepat pertumbuhan ekonomi. Model pertumbuhan Harrod-Domar adalah sebagai berikut: ΔY s = 𝑌 𝑘 ΔY = tingkat perubahan atau tingkat pertumbuhan PNB (yaitu, angka 𝑌 persentase perubahan PNB) s = rasio tabungan nasional k = rasio modal-output nasional
Agar dapat tumbuh dengan pesat, maka setiap perekonomian haruslah menabung dan menginvestasikan sebanyak mungkin bagian dari PNB-nya. Semakin banyak yang ditabung kemudian diinvestasikan, maka laju pertumbuhan perekonomian itu akan semakin cepat (Todaro, 2003). Model Pertumbuhan Solow Dalam model pertumbuhan ekonomi Neo Klasik Solow (Solow Neo Classical Growth Model) ini merupakan pengembangan dari formulasi Harrod-Domar dengan menambahkan faktor kedua yaitu tenaga kerja serta memperkenalkan variabel independen ketiga yakni teknologi ke dalam persamaan pertumbuhan. Y = Kα . (AL)1-α Y = Produk Domestik Bruto K = stok modal fisik dan modal manusia L = tenaga kerja non terampil A = konstanta yang merefleksikan tingkat teknologi dasar α = melambangkan elastisitas output terhadap model, yakni persentase kenaikan PDB yang bersumber dari 1% penambahan modal fisik dan modal manusia. Menurut teori pertumbuhan Neo Klasik Tradisional, pertumbuhan output selalu bersumber dari satu atau lebih dari 3 (tiga) faktor yakni kenaikan kualitas dan kuantitas tenaga kerja, penambahan modal (tabungan dan investasi) dan penyempurnaan teknologi (Todaro, 2003).
Investasi Investasi sering disebut juga sebagai penanaman modal atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB). Investasi menghubungkan pasar uang dengan pasar barang, masa kini dan masa datang. Selain itu, fluktuasi investasi berpengaruh besar pada proses bisnis. Poin yang menonjol adalah investasi dalam jangka panjang, menentukan jumlah stok modal dan berperan dalam pertumbuhan ekonomi jangka panjang (Blanchard, 2006). Sukirno (2000) mendefinisikan investasi sebagai pengeluaran-pengeluaran untuk membeli barang-barang produksi dengan tujuan untuk mengganti dan menambah barang-barang modal dalam perekonomian yang akan digunakan untuk memproduksi barang dan jasa di masa depan. Tujuan investasi ini adalah untuk meningkatkan kapasitas memproduksi suatu perekonomian. Ada 3 jenis investasi menurut Dornbusch and Fischer (1997), Mankiw (2003), Sukirno (2000) yaitu: (1) Investasi tetap bisnis (Business Fixed Investment) yaitu pengeluaran perusahaan untuk pembelian pabrik dan peralatan baru, (2) Investasi residensi (residential investment, yaitu pembelian perumahan baru oleh rumah tangga dan tuan tanah, (3) Investasi dalam persediaan (inventory investment) yaitu bahan baku, barang setengah jadi, dan barang jadi yang disimpan oleh perusahaan untuk kemudian dijual. Menurut Dornbusch and Fischer (1992) ada dua sudut pandang investasi yaitu: 1. Investasi dalam arti sempit yaitu penambahan persediaan fisik modal, atau disebut juga investasi riil, 2. Investasi dalam arti luas, yang mencakup investasi finansial dan sumber daya manusia. Investasi dan pertumbuhan mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan, besarnya investasi di daerah akan mempengaruhi tingkat pertumbuhan daerah tersebut. Untuk itu perlu di uraikan lebih lanjut hubungan antara investasi dan pertumbuhan.
Investasi dan Pertumbuhan Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, penanaman modal (investasi) adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia. Secara garis besar, penanaman modal dalam rangka investasi ditinjau dari sumbernya dibagi 2 (dua), yaitu investasi pemerintah seta investasi swasta. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2008, Investasi Pemerintah adalah penempatan sejumlah dana dan/atau barang oleh pemerintah dalam jangka panjang untuk investasi pembelian surat berharga dan Investasi Langsung untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya. Investasi swasta dikelompokan menjadi dua yaitu penanaman modal dengan modal berasal dari dalam negeri dan penanaman modal dengan modal dari pihak asing / luar negeri. Penanaman modal dalam negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri. Penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri (Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007). Di negara berkembang seperti Indonesia, investasi sangat dibutuhkan untuk memutuskan lingkaran setan kemiskinan yang ada. Hal ini dikarenakan investasi dapat meningkatkan pendapatan nasional suatu negara. Sesuai dengan teori yang dicetuskan oleh Mankiw (2000) yaitu setiap kenaikan jumlah pendapatan sebagai akibat dari pertambahan investasi akan menaikkan pendapatan dengan jumlah yang berlipat ganda (multiplied effect). Peningkatan pendapatan khususnya dalam bentuk uang akan meningkatkan permintaan barang secara keseluruhan (Aggregate Demand). Dengan demikian, terdapat sebuah tuntutan untuk memenuhi permintaan sehingga mempengaruhi kebutuhan peralatan maupun uang dalam bentuk modal sebagai akibat kenaikan produksi, sehingga secara tidak langsung akan meningkatkan investasi. Kenaikan tabungan masyarakat karena peningkatan pendapatan merupakan investasi secara langsung melalui lembaga keuangan dan secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut : Y=C+S Di mana : Y = Pendapatan masyarakat C = Konsumsi I = Investasi dengan asumsi keseimbangan yaitu S=I, maka akan didapatkan : Y=C+I Secara keseluruhan gambaran mengenai peningkatan pendapatan masyarakat yang disebabkan oleh kenaikan investasi dan tingkat konsumsi dapat dilihat pada Gambar 1 berikut :
Harga (P)
AD2 AD1 Pendapatan Nasional (Y) Y1 Y2
Gambar 1. Hubungan Pendapatan, Investasi dan Konsumsi Sumber: Mankiw (2000)
Gambar 1 dapat menjelaskan bahwa adanya investasi mampu mendorong peningkatan Aggregate Demand (AD). Dengan demikian, peningkatan investasi menggeser kurva AD ke kanan atas, dari AD1 ke AD2. Dengan meningkatnya AD, maka pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan perkapita di suatu wilayah pun akan meningkat (Y1 ke Y2). Menurut Mankiw (2000) faktor yang mempengaruhi peningkatan investasi adalah tingkat suku bunga. Persamaan yang mengaitkan investasi dan suku bunga riil adalah sebagai berikut: I = I (r) Investasi bergantung pada suku bunga riil r karena suku bunga merupakan biaya peminjaman. Ketika biaya peminjaman (r) meningkat, maka keuntungan yang didapat investor dapat menurun dengan asumsi ceteris paribus sehingga hal tersebut dapat menurunkan investasi yang ditanamkan. Sebaliknya, jika biaya peminjaman turun, maka investor akan meningkatkan jumlah investasinya mengingat keuntungan yang didapat juga akan meningkat. Hal ini dapat dijelaskan melalui Gambar 2.
b) Perpotongan Keynessian Pengeluaran (E) AE 2
AE 1Pendapatan, Output, Y
a) Fungsi Investasi Tingkat bunga, r
Tingkat bunga,r
r1 r2 Ivestasi, I Y Y I1 I2 Gambar 2. Investasi Perpotongan Keynesian dan Kurva IS1 2
c) Kurva IS Pendapatan, Output, Y
Sumber: Mankiw (2000)
Gambar 2 merupakan kombinasi antara fungsi investasi dengan diagram perpotongan Keynessian dan grafik kurva IS. Bagian (a) menjelaskan hubungan terbalik antar investasi dan tingkat bunga. Penurunan tingkat bunga dari r1 ke r2 akan mengakibatkan jumlah investasi yang ditanamkan meningkat dari I (r1) ke I (r2). Peningkatan investasi yang direncanakan akan menggeser fungsi pengeluaran yang direncanakan ke atas dari AE1 ke AE2, sebagaimana yang terlihat dalam bagian (b). Peningkatan pengeluaran yang
direncanakan ini akan mengakibatkan tingkat pendapatan nasional meningkat dari Y1 ke Y2. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa satu dari berbagai upaya meningkatan pendapatan wilayah dengan meningkatkan jumlah investasi pada wilayah tersebut sehingga akan terjadi pertumbuhan ekonomi. Secara ringkas, grafik hubungan investasi dan pendapatan nasional dapat dijelaskan oleh gambar 3 Ivestasi
Pendapatan, Output, Y
Gambar 3. Grafik hubungan Output (Y) dengan Investasi (I) Sumber: Mankiw (2000)
Dalam konteks pembangunan nasional dewasa ini, kepentingan peningkatan investasi sesungguhnya memiliki tujuan yang lebih luas daripada hanya sekedar penciptaan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. Menurut Mankiw (2000) berkaitan dengan isu dan permasalahan yang dihadapi, misi peningkatan investasi pada dasarnya mencakup tiga tujuan yang saling berkaitan, yaitu: (1) penciptaan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan lapangan kerja; (2) berkurangnya jumlah penduduk miskin, dan pada gilirannya (3) terwujudnya kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan. Berkenaan dengan tujuan tersebut, upaya peningkatan investasi sangat terkait erat dengan upaya peningkatan kualitas pelayanan terhadap masyarakat. Dalam kaitan inilah, diperlukan kepemimpinan yang visioner untuk mengintegrasikan berbagai kepentingan dan upaya memobilisasi para pelaku, organisasi dan sumberdaya. Dengan adanya desentralisasi diharapkan pertumbuhan ekonomi di daerah lebih baik, untuk itu akan dibahsa lebih lanjut keterkaitan desentralisasi dan pertumbuhan ekonomi
Hubungan Desentralisasi Fiskal dan Pertumbuhan Ekonomi Pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh perubahanperubahan dalam corak dan struktur aktivitas ekonomi yang bertujuan untuk mengurangi atau menghapuskan kemiskinan, ketimpangan dalam distribusi pendapatan, dan ketimpangan dalam penggangguran di suatu daerah. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan bahwa pembangunan ekonomi adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara dalam rangka mewujudkan tujuan negara. Dalam berbagai teori dinyatakan bahwa nilai inti pembangunan adalah : Terciptanya keperluan hidup yang berkelanjutan Terciptanya harga diri masyarakat suatu negara Terciptanya kemerdekaan Pembangunan ekonomi itu sendiri bertujuan untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tangguh. Pertumbuhan ekonomi juga adalah mengukur prestasi dari perkembangan perekonomian suatu negara (perkembangan jumlah produksi barang, pertambahan jumlah perkantoran, sekolah, pusat-pusat pariwisata dll). Pertumbuhan ekonomi dapat diukur melalui persentase tambahan dari pendapatan nasional riil, yakni pendapatan nasional riil dapat dihitung baik dengan cara pengeluaran, produk bruto maupun dengan cara pendapatan.
Dalam mengkaji hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi beberapa pengujian telah dilakukan seperti (Chema dan Rondinelli, 1983, Mankiw, Romer, and Weil, 1992). Hasilnya diperoleh sebagai berikut: Untuk negara-negara dengan tiga perangkat/level pemerintahan, hubungan antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi cukup kuat. Untuk negara-negara industri, desentralisasi fiskal mempengaruhi pertumbuhan ekonomi apabila peran pemerintah pusat yang lebih kecil muncul akibat peran pemerintah pusat lebih luas dibandingkan dengan peranan propinsi. Untuk negara-negara sedang berkembang desentralisasi fiskal akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi apabila peranan pemerintah pusat yang lebih kecil muncul akibat peranan pemerintah propinsi yang lebih besar dibanding pemerintah di bawahnya. Otonomi daerah merupakan saat yang tepat bagi pemerintah daerah untuk berbenah diri, dengan adanya otonomi daerah semua kewenangan dan urusan anggaran menjadi tanggungjawab daerah otonom. Pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan kemiskinan yang merupakan indikator dari perekonomian daerah juga ditentukan bagaimana tata kelola ekonomi daerah tersebut. tata kelola ekonomi daerah yang baik diharapkan akan meningkatkan Perekonomian Daerah. Otonomi daerah membawa konsekwensi pada pelimpahan wewenang dan urusan pusat ke daerah, Tata Kelola sebagai satu dari berbagai hal yang menjadi urusan pusat yang kemudian dalam era otonomi daerah menjadi urusan daerah.
Pengertian Tata Kelola Dixit (2001) mendefinisikan tata kelola secara luas menyangkut interaksi interaksi antara para pelaku pasar dengan kelembagaan-kelembagaan yang dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan beberapa peneliti lain memisahkan tata kelola menjadi konsep yang berbeda dan lebih sederhana, seperti korupsi (Wei 2000), transparansi (Kaufmann et al. 2003), dan peraturan (Djankov et al. 2002). Busse et al (2007) menggunakan tata kelola pemerintahan (governance) sebagai proxy kualitas institusi. North (1990) memasukkan birokrasi sebagai salah satu unsur dari institusi, sehingga tata kelola pemerintahan merupakan gambaran kualitas desentralisasi birokrasi. Menurut Asian Development Bank (2009), terdapat empat prinsip pokok tata kelola pemerintahan yang baik, antara lain: 1. Accountability, yaitu pejabat dapat mempertanggung-jawabkan kebijakannya, kebijakan dilakukan berdasarkan hukum dan aturan yang berlaku, dan setiap pekerjaan dilaporkan secara benar dan akurat. 2. Participation, yaitu pegawai diberikan peran dalam pembuatan keputusan, adanya pemberdayaan masyarakat, khususnya penduduk miskin, melalui pemenuhan hak akan akses untuk memperoleh kehidupan yang layak. 3. Predictability, yaitu adanya kepastian hukum melalui penegakan hukum, aturan, dan kebijakan secara adil dan konsisten. 4. Transparency, yaitu ketersediaan informasi yang murah dan mudah dipahami masyarakat guna mendukung akuntabilitas yang efektif, dan adanya kejelasan hukum, aturan, dan kebijakan. World Bank Institute (2008) mengukur tata kelola pemerintahan menggunakan enam indikator. Keenam indikator tersebut antara lain: (1) keterbukaan dan akuntabilitas, (2) stabilitas politik dan ketiadaan kekerasan/terorisme, (3) efektifitas pemerintahan, kualitas peraturan, (5) penegakan hukum, dan (6) kontrol terhadap korupsi.
Menurut dokumen United Nations Development Program (UNDP), tata kelola pemerintahan adalah penggunaan wewenang ekonomi politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga di mana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan di antara mereka. Good Governance menurut Bank Dunia adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha. Masyarakat Transparansi mendefinisikan Good Governance sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik. Kata „baik‟ disini dimaksudkan sebagai mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Good Governance. Tata kepemerintahan yang baik (good governance) menurut Buku Pegangan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (2007) merupakan suatu konsepsi tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, demokratis dan efektif, serta di dalamnya mengatur pola hubungan yang sinergis dan konstruktif antara pemerintah, dunia usaha swasta dan masyarakat. Tata kepemerintahan yang baik meliputi tata kepemerintahan untuk sektor publik (good public governance) yang merujuk pada lembaga penyelenggara negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dan tata kepemerintahan untuk dunia usaha swasta (good corporate governance), serta adanya partisipasi aktif dari masyarakat (civil society). Para pihak inilah yang sering disebut sebagai 3 (tiga) pilar penyangga penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Gambar 4. Pola Interaksi Tiga Pilar Good Governance Sumber: KPPOD (2007)
good governance adalah masalah perimbangan antara negara, pasar dan masyarakat. Memang sampai saat ini, sejumlah karakteristik kebaikan dari suatu governance lebih banyak berkaitan dengan kinerja pemerintah. Pemerintah berkewajiban melakukan investasi untuk mempromosikan tujuan ekonomi jangka panjang seperti pendidikan kesehatan dan infrastuktur. Tetapi untuk mengimbangi negara, suatu masyarakat warga yang kompeten dibutuhkan melalui diterapkannya sistem demokrasi, rule of law, hak asasi manusia, dan dihargainya pluralisme. Good governance sangat terkait dengan dua hal yaitu (1) good governance tidak dapat dibatasi hanya pada tujuan ekonomi dan (2) tujuan ekonomi pun tidak dapat dicapai tanpa prasyarat politik tertentu.
Prinsip Good Governance UNDP merekomendasikan beberapa karakteristik governance, yaitu legitimasi politik, kerjasama dengan institusi masyarakat sipil, kebebasan berasosiasi dan berpartisipasi, akuntabilitas birokratis dan keuangan (financial), manajemen sektor publik yang efisien, kebebasan informasi dan ekspresi, sistem yudisial yang adil dan dapat dipercaya. Sedangkan World Bank mengungkapkan sejumlah karakteristik good governance adalah masyarakat sipil yang kuat dan partisipatoris, terbuka, pembuatan kebijakan yang dapat diprediksi, eksekutif yang bertanggung jawab, birokrasi yang profesional dan aturan hukum. Masyarakat Transparansi Indonesia menyebutkan sejumlah indikator seperti : transparansi, akuntabilitas, kewajaran dan kesetaraan, kesinambungan, partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum serta efektivitas dan efisiensi. Jelas bahwa terdapat berbagai prinsip yang melandasi tata pemerintahan yang baik dari satu institusi ke institusi lain, dari satu pakar ke pakar lainnya. Namun ada tiga prinsip utama yang melandasi good governance, yaitu Akuntabilitas, Transparansi, dan Partisipasi Masyarakat. Tata Kelola Ekonomi yang baik merupakan salah satu faktor untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sehingga perlu di uraikan hubungan antara keduanya.
Hubungan Tata Kelola dan Pertumbuhan Ekonomi Hubungan tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi hingga kini masih menjadi dilema. Namun, beberapa penelitian membuktikan bahwa ada hubungan kuat antara tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi. Rodrik et all (2004) meneliti hubungan institusi, integrasi ekonomi (perdagangan internasional) dan geografi terhadap pembangunan ekonomi di beberapa negara dengan menggunakan data cross section. Kualitas institusi ditemukan memiliki dampak yang lebih besar terhadap tingkat akumulasi modal fisik dibandingkan modal manusia. Semakin pentingnya peranan institusi mampu memberikan insentif yang lebih kuat bagi para pelaku ekonomi untuk berinvestasi sehingga akumulasi modal fisik meningkat yang akhirnya akan meningkatkan perekonomian. Studi empiris lainnya dilakukan oleh Abdellatif (2003) menyimpulkan bahwa tata kelola pemerintahan berhubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi. Fakta menunjukkan ada hubungan yang signifikan secara statistik antara kebebasan politik (tata kelola pemerintahan yang demokratis) terhadap petumbuhan. Dalam model yang digunakan, tata kelola pemerintahan yang demokratis mempengaruhi pertumbuhan dengan menghambat tindakan korupsi dan meghendaki keterbukaan keuangan pemerintah kepada publik sehingga keuangan publik dapat dipertanggungjawabkan. Tetapi, tata kelola pemerintahan yang demokratis berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi hanya jika kualitas institusi meningkat. Jika tidak, tata kelola pemerintahan yang demokratis hanya memberikan dampak yang kecil terhadap pertumbuhan. Kaufmann dan Kraay (2002) memperkuat pemikiran bahwa hubungan antara tata kelola pemerintahan dan pertumbuhan ekonomi dapat bersifat dua arah. Hasil penelitian tesebut ditemukan hubungan sebab akibat yang positif yang kuat dari tata kelola pemerintahan terhadap pertumbuhan. Tata Kelola Ekonomi Daerah Ada dua pihak yang secara garis besar berinteraksi dalam menentukan kinerja perekonomian daerah yaitu pemerintah daerah dan pelaku usaha. Pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan publik yang terkait dunia usaha memiliki peran yang besar dalam penentuan bentuk kompetisi pasar di daerah. Sedangkan pelaku usaha sebagai pencipta nilai tambah ekonomi turut menentukan kinerja perekonomian daerah melalui peranan investasi yang berasal dari pemodalan swasta. Faktor Penggerak Produktivitas Daerah terbentuk pada
suatu daerah merupakan sebuah mekanisme dinamika yang terjadi pada sektor swasta. Hal ini terlihat pada Gambar 5 di bawah. Kompetisi dan inovasi dari adanya kehadiran perusahaan dan tenaga kerja yang berkualitas baik diharapkan dapat menciptakan tingkat investasi tertentu. Peranan sektor swasta di daerah dapat menjadi faktor penggerak produktivitas daerah yang mencerminkan keadaan berusaha yang baik. Berdasarkan hipotesis ini, keberadaan perusahaan di kabupaten/kota tertentu menjadi sangat penting (KPPOD, 2007). Keahlian manajemen meningkatkan kinerja kewirausahaan dan bisnis daerah
Keahlian tingkat keahlian mendorong perusahaan menggunakan dan mengembangkan teknologi baru
Perusahaan
perusahaan baru meningkat permintaan terhadap tenaga kerja ahli
PEMDA
Inovasi investasi dimodal fisik meningkat kan tingkat inovasi perusahaan
perusahaan baru meningkatkan kompetisi pasar
Kompetisi meningkatkan kompetisi pasar mendorong tingkat inovasi
PEMDA
peningkatkan kompetisi mendorong insentif positif bagi keadaan berusaha
Investasi Gambar 5 Faktor Penggerak Produktivitas Perekonomian Daerah Sumber: KPPOD 2007
Kebijakan Pemerintah Daerah terutama tercermin pada berbagai Peraturan Daerah (PERDA), di antaranya perda tentang APBD. Melalui APBD yang merupakan alat kebijakan utama, Pemda membuat kebijakan pengeluaran untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik. Di samping itu, melalui kebijakan pendapatannya, Pemda diharapkan mampu mendorong kegiatan berusaha ekonomi sehingga diharapkan tercipta sejumlah pemasukan yang berasal dari pajak dan retribusi daerah yang cukup memadai. Setelah fungsi pelayanan publik mendapatkan perbaikan kualitas, maka tahapan berikutnya pada proses pembangunan berkelanjutan adalah penciptaan keadaan berusaha yang mendukung pergerakan ekonomi daerah. Pengembangan usaha swasta harus menjadi motor penggerak ekonomi lokal karena APBD memiliki banyak keterbatasan dalam hal jumlah dan cakupan program pembangunan yang dapat dibiayainya. Dengan berbagai bentuk kewenangan yang telah didesentralisasikan, Pemda berperan besar dalam hal meningkatkan kompetisi antar perusahaan di daerah bersangkutan dan mendorong berbagai inovasi yang berasal dari perkembangan praktek berusaha yang mendorong kepada penggunaan teknologi. Dalam penelitian ini selain melihat pengaruh TKED terhadap kinerja perekonomian daerah, juga melihat bagaimana pengaruh proses perencanaan dan penganggaran APBD sehingga perlu dibahas lebih lanjut perencanaan pembangunan daerah.
Perencanaan Pembangunan Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), “Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia”. Sedangkan “Pembangunan Nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara”. Perencanaan secara umum dapat diartikan sebagai usaha menentukan cara terbaik guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. SPPN 2004 menetapkan ada lima dokumen perencanaan pembangunan yang perlu disusun oleh badan perencana, baik pada tingkat nasional maupun tingkat daerah, yaitu : a. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional/Daerah adalah dokumen perencanaan jangka panjang untuk periode selama 20 tahun. Bersifat umum dan menyeluruh seperti visi dan misi daerah serta arah pembangunan jangka panjang. RPJP ini selanjutnya dijadikan dasar dalam penyusunan RPJM dan dokumen perencanaan lainnya yang terkait. b. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional/Daerah adalah dokumen perencanaan jangka menengah untuk periode 5 tahun ke depan yang berisikan jabaran lebih kongkrit dari visi dan misi presiden (pada tingkat nasional) atau visi dan misi kepala daerah (untuk tingkat propinsi, kabupaten, dan kota). c. Rencana Strategis, lazim disebut sebagai Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah yang berisikan jabaran dari visi dan misi kepala SKPD yang diturunkan dari visi dan misi Kepala Daerah. Renstra SKPD lebih rinci sampai ke kegiatan karena ruang lingkupnya lebih kecil, yaitu sesuai dengan Tugas Pokok dan Fungsi (TUPOKSI) dari institusi bersangkutan. Renstra SKPD merupakan dokumen perencanaan SKPD untuk periode 5 tahun. d. Rencana Kerja Pemerinta/Rencana Kerja Pemerintah Daerah merupakan rencana jabaran dari RPJM yang berisikan kebijakan, program, dan kegiatan untuk 1 tahun (annual planning) sesuai dengan sumber daya yang tersedia pada tahun bersangkutan, khususnya dana. RKPD selanjutnya dijadikan dasar untuk penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD). e. Rencana Kerja Institusi (Renja) atau Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD) juga merupakan rencana tahunan bersifat operasional yang isinya merupakan jabaran dari Renstra yang dibuat oleh masing-masing SKPD sesuai dengan tupoksinya. Musrenbang dan Forum SKPD Untuk menyusun Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang berfungsi sebagai dokumen perencanaan tahunan, Pemerintah Daerah menyelenggarakan forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) secara berjenjang, mulai dari tingkat desa/kelurahan, kecamatan, hingga kabupaten/kota, termasuk penyelenggaraan Forum Satuan Kerja Perangkat Daerah (Forum SKPD) di tingkat kabupaten. Musrenbang adalah forum multi-pihak terbuka yang secara bersama mengindentifikasi dan menentukan prioritas kebijakan pembangunan masyarakat. Kegiatan ini berfungsi sebagai proses negosiasi, rekonsiliasi, dan harmonisasi perbedaan antara pemerintah dan pemangku kepentingan non pemerintah, sekaligus mencapai konsensus bersama mengenai prioritas kegiatan pembangunan berikut anggarannya. Selain itu, pada tingkat kecamatan dan kabupaten/kota terdapat pula kegiatan serupa yang disebut Forum SKPD, yang membahas sektor-sektor spesifik seperti kesehatan, dan pendidikan. Kegiatan ini memungkinkan setiap SKPD memadukan program-program mereka dengan perspektif dan prioritas masyarakat.
Hasil dari Musrenbang kecamatan menjadi bahan diskusi pada Forum SKPD, dan hasilnya kemudian dibawa ke Musrenbang kabupaten/kota untuk dibahas lebih lanjut. Keterkaitan Antar Dokumen Perencanaan Pembangunan Keterkaitan antara perencanaan pembangunan nasional dan daerah terdapat pada setiap tingkatan perencanaan. Adanya otonomi dengan memberi kewenangan luas kepada Kepala Daerah memerlukan koordinasi dan pengaturan untuk lebih mengharmoniskan dan menyelaraskan pembangunan, baik pembangunan nasional, pembangunan daerah maupun pembangunan antar daerah.
Konsep Keuangan Daerah Menurut Mardiasmo (2002), anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial, sedangkan penganggaran adalah proses atau metode untuk mempersiapkan suatu anggaran. Sistem anggaran kinerja pada dasarnya merupakan sistem yang mencakup kegiatan penyusunan program dan tolok ukur kinerja sebagai instrumen untuk mencapai tujuan dan sasaran program. Penetapan sistem anggaran kinerja dalam penyusunan anggaran dimulai dengan perumusan program dan penyusunan struktur organisasi pemerintah yang sesuai dengan program tersebut. Kegiatan tersebut mencakup pula penentuan unit kerja yang bertanggung jawab atas pelaksanaan program, serta penentuan indikator kinerja yang digunakan sebagai tolok ukur dalam mencapai tujuan program yang telah ditetapkan. Anggaran menurut Freeman (2003) adalah sebuah proses yang dilakukan oleh organisasi sektor publik untuk mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya ke dalam kebutuhan-kebutuhan yang tidak terbatas. Pengertian tersebut mengungkap peran strategis anggaran selain pengelolaan kekayaan dalam organisasi sektor publik, organisasi sektor publik tentunya berkeinginan memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat, tetapi sering kali keinginan tersebut terkendala oleh terbatasnya sumber daya yang dimiliki (Nordiawan, 2006). Perencanaan dan penganggaran merupakan proses yang terintegrasi, oleh karenanya output dari perencanaan adalah penganggaran. Perumusan program di dalam perencanaan pada akhirnya berimplikasi pada besarnya kebutuhan anggaran yang harus disediakan, sehingga keberhasilan penggunaan anggaran dimulai dari perencanaannya. Prosedur Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Penyusunan APBD dimulai dari penentuan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal oleh Pemerintah. Dokumen ini disampaikan kepada DPR untuk dibahas sebagai pembicaraan pendahuluan penyusunan Rancangan APBN. Sedangkan di tingkat daerah, penyusunan APBD diawali oleh Pemerintah Daerah dengan menyusun Kebijakan Umum APBD (KUA) sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). KUA disampaikan kepada DPRD untuk dibahas sebagi pembicaraan pendahuluan Rancangan APBD. Setelah kesepakatan antara Pemerintah dengan DPR atau Pemerintah Daerah dengan DPRD pada pembicaraan pendahuluan, Pemerintah bersama Wakil Rakyat menyusun Kebijakan Umum dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) sebagai dasar bagi tiap unit kerja untuk penyusunan Rencana Kerja Anggaran (RKA). Adapun sinkronisasi penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 (Gambar 7).
UU No 25/2004 Gambar 6 Alur Perencanaan dan Penganggaran
UU No 17/2003
Sumber: UU No 25/2004, UU No 17/2003(BAPPENAS)
Konsep Konsistensi Perencanaan dan penyusunan APBD tidak terlepas dari sistem perencanaan pembangunan secara keseluruhan, penjelasan tentang perencanaan pembangunan dimuat dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang sistem Perencanaan Pembangunan Nasional sedangkan pengaturan bagaimana penyusunan APBD terdapat dalam UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dari kedua peraturan perundangan tersebut yang harus benar-benar dipahami adalah bagaimana menterjemahkan dokumen perencanaan pembangunan ke dalam dokumen penganggaran, pengalaman empiris selama ini kesulitan terbesar dalam penyusunan APBD adalah menjaga tujuan perencanaan pembangunan secara konsisten agar dapat diwujudkan melalui penganggaran yang tepat. Konsistensi adalah terjemahan dari kata consistency yang berasal dari kata consistent yang mengandung pengertian dalam hal ini konsisten adalah terhadap rencana dan anggaran yang telah disepakati dalam dokumen perencanaan dan penganggaran. Bahkan pengertian konsisten tidak sebatas itu, konsistensi antara aturan main dengan pelaksanaan, janji dengan implementasi, peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan yang lebih rendah, dan tidak ada perlakuan diskriminatif dalam berbagai bidang. Namun dalam hal ini perencanaan yang konsisten terjadi apabila terdapat kesinambungan program dan kegiatan dan sinkronisasi dan sinergitas setiap program dan kegiatan.
Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah Penilaian Kinerja Solihin (2007) menyampaikan bahwa pengertian indikator kinerja adalah uraian ringkas dengan menggunakan ukuran kuantitatif atau kualitatif yang mengindikasikan pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah disepakati dan ditetapkan. Kegunaan/manfaat indikator kinerja adalah sebagai dasar penilaian kinerja, baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan maupun setelahnya. Jenis-jenis indikator kinerja dapat dikelompokkan sesuai proses pengelolaan anggaran (Solihin 2007) yang meliputi: Indikator inputs, menggambarkan segala sesuatu yang dibutuhkan, baik berupa sumber dana, sumber daya alam, sumber daya manusia maupun yang berupa teknologi dan informasi, agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran. Indikator process, menggambarkan upaya yang dilakukan di dalam mengolah masukan menjadi keluaran. Indikator ini umumnya dikaitkan dengan keterlibatan stakeholders termasuk penerima manfaat serta dikaitkan dengan mekanisme pelaksanaannya, termasuk koordinasi dan hubungan kerja antar organisasi. Indikator output, indikator yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan, baik berupa fisik maupun berupa non-fisik. Indikator outcome, menunjukkan telah dicapainya maksud dan tujuan dari kegiatankegiatan yang telah selesai dilaksanakan atau indikator yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah Indikator benefit adalah indikator yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan. Indikator impacts, menunjukkan pengaruh baik positif maupun negatif yang ditimbulkan pada setiap pelaksanaan kebijakan/program/kegiatan dan asumsi yang telah ditetapkan. Persyaratan Indikator Kinerja disebut baik apabila memenuhi kriteria SMART (Spesific, Measureable, Acceptable, Realistic,Timely) (Solihin 2007): a. Spesific (spesifik dan jelas) indikator kinerja yang disusun harus jelas, tepat dan sesuai kebutuhan agar tidak ada kemungkinan kesalahan interpretasi. b. Measureable (dapat diukur secara objektif) indikator kinerja yang disusun harus menggambarkan sesuatu yang jelas ukurannya, menunjukkan tempat dan cara untuk pencapaian indikator sesuai data dasar yang jelas. c. Acceptable (dapat diterima), indikator kinerja yang ditetapkan maknanya harus dipahami dan diterima oleh stakeholder pelaksana karena dinilai bermanfaat untuk kepentingan pengambilan keputusan. d. Realistic (realistis), indikator kinerja harus dapat dilaksanakan sesuai dengan kemampuan dan ruang linkup kewenangan stakeholder pelaksana. e. Time-dependent (rentang waktu), pencapaian indiktor kinerja yang disusun harus didukung oleh ketersediaan waktu, jadwal pentahapan data yang dapat tersedia.
Penganggaran Berbasis Kinerja Pendekatan kinerja disusun untuk mengatasi berbagai kekurangan yang terdapat dalam pendekatan tradisional karena tidak adanya tolak ukur yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja dalam pencapaian tujuan dan sasaran pelayanan publik (Nordiawan, 2006). Penggunaan anggaran berbasis kinerja secara teori dapat memberikan kelebihan dibandingkan dengan pendekatan lain. Hasil pendekatan ini pengalokasian sumber daya yang terbatas dimaksimalkan pada program yang bersifat prioritas dengan ukuran yang jelas untuk
kinerja yang ingin dicapai sehingga dapat dikatakan pendekatan kinerja dapat memberikan pengaruh terhadap efisiensi alokasi anggaran. Penganggaran berbasis kinerja adalah pendekatan penganggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input. Mahmudi (2005) mengatakan bahwa proses perencanaan dan pengendalian anggaran didahului dengan tujuan oleh manajemen puncak dan penetapan strategi untuk mencapainya. Tujuan merupakan hasil yang diinginkan sedangkan strategi adalah cara untuk mencapai tujuan tersebut. Proses pengelolaan keuangan daerah terdiri dari beberapa tahap yaitu: a. Perumusan strategi b. Perencanaan strategik c. Pembuatan program d. Penganggaran Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) menurut Salvatore Schiavo-Campo dalam Managing Government Expenditure (1999) adalah seluruh kebijakan strategik pemerintah di antara para pengguna anggaran dan tanggung jawab terbesar adalah mengalokasikan sumber daya. Kunci keberhasilan KPJM adalah adanya mekanisme institusi yang dapat memfasilitasi keseimbangan secara agregat untuk disandingkan prioritas dari pemerintah. Pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah merupakan pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan, pengambilan keputusan berdasarkan kebijakan tersebut dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran dengan mempertimbangkan implikasi biaya keputusan yang bersangkutan pada tahun berikutnya yang dituangkan dalam prakiraan maju. Prakiraan maju merupakan perhitungan kebutuhan dana untuk tahun anggaran berikutnya dari tahun yang direncanakan guna memastikan kesinambungan program dan kegiatan yang telah disetujui dan menjadi dasar penyusunan anggaran tahun berikutnya (Bappenas, 2009).
Studi-studi Terdahulu Istiandari (2009) menganalisis tata kelola ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat di Indonesia dengan mengunakan metode OLS. Data yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah data sekunder. Data sekunder tersebut merupakan data cross section dari 205 kabupaten dan kota di Indonesia. Data mengenai tata kelola ekonomi daerah tahun 2007 yang diperoleh dari KPPOD, data Pendapatan Asli Daerah tahun 2006 diperoleh dari Departemen Keuangan RI serta Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2005 dari Badan Pusat Statistik. Dari pengujian secara ekonometri terlihat bahwa terdapat indikasi suatu daerah harus mencapai tingkat pelaksanaan tata kelola ekonomi daerah tertentu agar tata kelola ekonomi mampu berdampak positif terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah yang bersangkutan. Selain itu juga, ditemukan indikasi bahwa tata kelola ekonomi daerah lebih cepat dirasakan dampaknya terhadap laju pertumbuhan pendapatan regional di wilayah kota dibandingkan dengan wilayah kabupaten. Namun demikian, tata kelola ekonomi daerah kurang lebih memiliki efek yang sama terhadap proporsi penduduk miskin baik di wilayah kota maupun kabupaten. Mengingat masih terdapat kesenjangan dalam pelaksanaan tata kelola ekonomi daerah yang ditunjukkan oleh masih cukup banyak daerah yang belum mencapai nilai indeks tata kelola ekonomi tertentu, maka khususnya bagi daerah yang masih memiliki tingkat pelaksanaan tata kelola ekonomi yang kurang, agar perlu ditingkatkan kualitas tata kelola ekonomi di daerah tersebut supaya dampak positif dari tata kelola
ekonomi daerah terhadap kesejahteraan masyarakat dapat dirasakan di daerah-daerah yang bersangkutan. Januar (2009) yang menganalisis keterkaitan iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha dan realisasi investasi pada kasus provinsi Jawa Barat dengan mengunakan metode OLS. Data yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah data sekunder. Data sekunder tersebut merupakan data cross section dari data sembilan indikator iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha di 25 kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2007 yang diperoleh dari KPPOD serta data realisasi investasi Provinsi Jawa Barat tahun 2007 yang diperoleh dari Badan Koordinasi Promosi dan Penanaman Modal Daerah (BKPPMD) Provinsi Jawa Barat. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa secara keseluruhan pelaku usaha menilai iklim usaha di Provinsi Jawa Barat sudah cukup kondusif yang terlihat dari nilai indeks TKED yang berada di atas nilai 50 persen. Lima kabupaten dan kota yang memiliki iklim investasi paling kondusif di Provinsi Jawa Barat, yaitu Kabupaten Ciamis, Kota Banjar, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Sumedang. Namun pada kenyataannya, iklim investasi tersebut kurang mampu mendorong realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat. Hal ini terlihat dari menurunnya jumlah investasi tahun 2007 jika dibandingkan dengan jumlah investasi tahun 2006. Jika dilihat berdasarkan distribusi penyebaran investasi di Provinsi Jawa Barat, hanya ada 16 kabupaten dan kota yang mendapatkan realisasi investasi tersebut. Ada lima kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang mendapatkan realisasi investasi terbesar, yaitu Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten Purwakarta. Ada lima indikator iklim investasi berdasarkan pelaku usaha dalam penelitian ini yang berpengaruh signifikan terhadap realisasi investasi di Jawa Barat. Kelima indikator tersebut adalah indikator interaksi pemda dan pelaku usaha, indikator program pengembangan usaha swasta, dan indikator pajak daerah, retribusi daerah dan biaya transaksi lain berpengaruh negatif terhadap realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat. Sedangkan indikator kapasitas dan integritas kepala daerah dan indikator kualitas peraturan daerah berpengaruh positif terhadap realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat. McCulloch dan Malesky (2010) berusaha menjawab apakah Tata Kelola Pemerintahan Daerah yang lebih baik meningkatkan Kinerja Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Indonesia? Data yang digunakan dalam penelitian tersebut merupakan data sekunder yang berasal dari dua sumber utama, yaitu data survei resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan data Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengenai kualitas tata kelola ekonomi daerah. Pengukuran utama terhadap kinerja perekonomian adalah Produk Domestik Bruto (PDB) di tingkat daerah, baik termasuk minyak dan gas maupun tidak termasuk minyak dan gas. Metode analisis yang digunakan adalah model regresi berganda dan model panel dengan menggunakan Indeks TKED tahun 2007. Hasil analisis menunjukkan bahwa hubungan antara tata kelola pemerintahan daerah dan pertumbuhan daerah lebih rumit dari pandangan sekilas. Secara mengejutkan penelitian ini mengemukakan bahwa hanya sedikit atau bahkan tidak ada hubungan statistik yang signifikan antara berbagai pengukuran tipikal tata kelola perekonomian daerah dengan kinerja pertumbuhan daerah. Hasil tersebut didorong oleh beberapa kemungkinan, yakni rendahnya kualitas data, hasil penelitian tersebut ditutupi karena beberapa variabel struktural yang mempengaruhi pertumbuhan, juga berpengaruh terhadap kualitas tata kelola pemerintahan daerah, tetapi tidak harus ke arah yang sama. Irawan (2009) meneliti pengaruh penganggaran berbasis kinerja dan efektivitas pengendalian keuangan terhadap kinerja keuangan pada pemerintah daerah di propinsi Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penganggaran berbasis kinerja dan efektivitas pengendalian keuangan mempunyai pengaruh cukup kuat terhadap kinerja keuangan di kabupaten/kota di Jawa Barat.
Rosmana (2010) meneliti tentang pengaruh implementasi kerangka pengeluaran jangka menengah, penganggaran terpadu dan penganggaran kinerja terhadap implementasi anggaran dan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik serta implementasinya terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah di propinsi jawa tengah. Penelitian ini dilakukan dengan metode sensus pada 36 kabupaten/kota di Jawa Tengah. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer diperoleh melalui quesioner, data sekunder dengan menggunakan hasil laporan audit laporan keuangan pemerintah daerah oleh badan pemeriksa keuangan (BPK). Responden penelitian adalah pejabat pengelola keuangan daerah. Hasil dari penelitian tersebut adalah: terdapat hubungan yang tinggi antara implementasi pendekatan KPJM, penganggaran terpadu, dan penganggaran berbasis kinerja. implementasi KPJM penganggaran terpadu dan penganggaran berbasis kinerja berpengaruh secara simultan maupun parsial terhadap implementasi anggaran pemerintah daerah. Implementasi KPJM, penganggaran terpadu, penganggaran berbasis kinerja dan implementasi anggaran pemerintah daerah secara simultan maupun parsial terhadap prinsip-prinsip tata kelola pemerintah daerah yang baik. Agus dan Rasida (2011) meneliti masalah pengaruh penganggaran berbasis kinerja dan kerangka pengeluaran jangka menengah terhadap efisiensi operasional. Hasil yang didapat adalah : implementasi penganggaran berbasis kinerja dan kerangka pengeluaran jangka menengah pada satuan kerja secara rata-rata kurang/rendah, implementasi penganggaran berbasis kinerja berpengaruh terhadap operasional efisiensi. Jadi semakin baik penganggaran berbasis kinerja, maka akan meningkatkan efisiensi operasional. Implementasi kerangka pengeluaran jangka menengah berpengaruh terhadap efisiensi operasional. Hal ini mengandung makna bahwa kerangka pengeluaran jangka menengah cukup kuat untuk meningkatkan operasional efisiensi. Sutarsono (2012) meneliti masalah hubungan tatakelola pemerintahan, infrastruktur dan pertumbuhan di Indonesia. Hasil yang didapatkan adalah Kualitas institusi daerah dan penyediaan infrastruktur baik jalan, air bersih, maupun listrik di Indonesia belum merata, baik antar wilayah administrasi maupun geografis. Kualitas institusi dan penyediaan infrastruktur di kota lebih baik dibandingkan kabupaten, dan kabupaten/kota di Jawa lebih baik dibandingkan kabupaten/kota di luar Jawa. Tata kelola pemerintahan daerah secara disagregat mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui penyediaan infrastruktur jalan dan listrik. Hal ini menjawab mengapa hubungan secara agregat dan langsung penelitian sebelumnya tidak diketemukan hubungan yang signifikan. Santi (2012) meneliti masalah keterkaitan antara tata kelola pemerintahan dengan realisasi investasi di kabupaten/kota Jawa Timur. Hasil yang didapatkan adalah variabelvariabel yang berhubungan positif terhadap PMDN maupun PMA antara lain tingkat kebijakan non diskriminatif Pemda, interaksi Pemda yang kecil hambatannya terhadap pelaku usaha, pelayanan izin usaha yang bebas pungli, izin usaha yang kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan, dampak PPUS terhadap kinerja perusahaan, kapasitas integritas bupati/walikota yang kecil hambatannya terhadap dunia usaha, biaya transaksi yang kecil hambatannya terhadap dunia usaha, kualitas infrastruktur jalan dan infrastruktur yang kecil hambatannya terhadap dunia usaha. Variabel tata kelola yang berhubungan negatif terhadap PMA maupun PMDN antara lain: penggusuran lahan oleh Pemda, tingkat pemecahan masalah oleh Pemda, pengaruh kebijakan pemda terhadap pengeluaran usaha, tingkat kepastian hukum terkait dunia usaha, tingkat dukungan Pemda terhadap pelaku usaha daerah, tingkat kebijakan Pemda yang mendorong iklim investasi, pelayanan izin usaha belum bebas KKN, ketegasan kepala daerah terhadap korupsi birokratnya, tindakan kepala daerah yang menguntungkan dirinya sendiri, kualitas penanganan masalah kriminal oleh polisi, kualitas penanganan kasus demonstrasi buruh oleh polisi.
Kebaruan Penelitian (Novelty) I.
II.
Tidak menggunakan indeks komposit TKED seperti yag dilakukan oleh Mc Culloch dan Malesky (2010) tetapi menggunakan variabel indikator TKED, sehingga secara metodologi berbeda. Dalam menganalisis kinerja perekonomian daerah memasukkan pengaruh proses perencanaan dan penganggaran sehingga dimensinya lebih luas.
3. KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka pemikiran Penelitian Pemerintah pusat memberikan wewenang yang besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola pemerintahannya sendiri dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia. Dilandasi oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 dan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004. Indonesia secara resmi pada tahun 2001 memasuki era desentralisasi yang penekanannya pada pemerintah daerah kabupaten dan kota. Sebagai tahap awal penerapan desentralisasi banyak dihadapi berbagai permasalahan karena belum siapnya daerah baik dalam hal keuangan, kelembagaan maupun SDM yang memadai. Keuangan pemerintah daerah tidak saja mencerminkan arah dan pencapaian kebijakan fiskal dalam mendorong pembangunan di daerah secara umum, tetapi juga menggambarkan sejauh mana tugas dan kewajiban yang diembankan pada pemerintah daerah dalam konteks desentralisasi itu dilaksanakan. Oleh karena itu, kinerja keuangan daerah yang tidak saja merefleksikan kinerja keuangan dari sisi keuangan pemerintah daerah secara mikro tetapi juga secara makro, sehingga indikator-indikator untuk mengukur kinerja keuangan daerah tersebut terukur, berimbang, dan komprehensif. PDRB sebagai salah satu ukuran kesejahteraan, dari sisi demand salah satu pendukungnya adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Meningkatnya APBD berdampak pada peningkatan kualitas pelayanan publik. Dalam teori ekonomi pembangunan tingkat pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah mempunyai hubungan timbal balik yang positif (Mankiw 2007 dan Dornbusch et al 1987). Dengan adanya perubahan mendasar pada peraturan perundangan mengenai pelaksanaan pemerintahan di daerah tentu harus diiringi dengan perubahan dan ketentuan tentang tata cara pengelolaan keuangan daerah. Hal ini dilakukan dengan harapan dapat mengharmonisasikan pengelolaan keuangan daerah baik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, pemerintah daerah dengan DPRD dan pemerintah daerah dengan masyarakat (Halim, 2007). Dengan demikian, daerah dapat mewujudkan pengelolaan keuangan secara efektif dan efisien. Bank Dunia (1998) dalam public expenditure management mengungkapkan bahwa kelemahan pada alokasi sumber daya adalah lemahnya perencanaan, tidak ada kaitan antara membuat kebijakan, perencanaan dan penganggaran serta tidak cukupnya pelaporan atas kinerja keuangan. Agar pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah dapat berjalan, maka diperlukan adanya kesesuaian, sinkronisasi, koordinasi, dan sinergi yang baik, adanya alokasi anggaran yang optimal serta perilaku pemerintah yang transparan dalam pengelolaan keuangan dengan memperhatikan asas-asas umum dalam kebijakan keuangan daerah. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal mempunyai tujuan utama untuk mendukung pendanaan atas urusan-urusan yang telah diserahkan ke daerah, agar dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik sehingga diharapkan dapat memberikan kesempatan bagi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga pada gilirannya akan mendorong perekonomian daerah melalui pembangunan ekonomi. Hal ini dapat ditunjukkan dengan semakin membaiknya nilai
indikator-indikator kinerja perekonomian daerah dan kinerja keuangan daerah yang menunjukkan keberhasilan pembangunan ekonomi dan keuangan daerah. Peningkatan kinerja perekonomian daerah selain dapat dilihat dari pengelolaan keuangan daerah, dapat pula dilihat dari kondisi tata kelola ekonomi daerah, dikarenakan tata kelola ekonomi daerah yang baik akan meningkatkan kinerja perekonomian deerah. Menurut Mc Culloch dan Malesky (2010) adanya hubungan sebab akibat antara tata kelola ekonomi daerah dengan pertumbuhan ekonomi daerah, namun bagi negara-negara berkembang, tata kelola ekonomi daerah terkadang tidak dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi akibat kualitas tata kelola ekonomi daerah yang jauh dibawah standar terutama kualitas infrastruktur. Tata kelola ekonomi daerah dapat berjalan dengan baik, maka akan mempengaruhi peningkatan investasi yang dapat mendorong terhadap peningkatan PDRB di daerah, sehingga kegiatan perekonomian daerah akan berkembang positif. Avinash Dixit (2001) telah mendefinisikan konsep tata kelola ekonomi sebagai berikut: Tata kelola ekonomi terdiri atas proses-proses yang mendukung aktivitas ekonomi dan transaksi ekonomi dengan cara melindungi hak-hak kepemilikan, menegakkan kontrak, dan mengambil langkah bersama dalam menyiapkan infrastruktur fisik dan organisasi yang sesuai. Proses-proses tersebut dilaksanakan pada kelembagaankelembagaan formal dan informal. Bidang tata kelola ekonomi mempelajari dan membandingkan kinerja berbagai kelembagaan yang berbeda pada berbagai kondisi yang berbeda, evolusi kelembagaan-kelembagaan tersebut, dan transisi dari satu set kelembagaan ke set kelembagaan yang lain. Berkaitan dengan tata kelola ekonomi tidak terlepas dari kebijakan PEMDA yang diharapkan mampu mendorong kegiatan berusaha ekonomi sehingga diharapkan tercipta sejumlah pemasukan ke daerah, selanjutnya tahap berikutnya adalah dalam proses pembangunan berkelanjutan diharapkan adanya penciptaan keadaan berusaha yang mendukung pergerakan ekonomi daerah melalui investasi. Investasi pada hakekatnya merupakan langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi, karena adanya investasi merupakan langkah awal kegiatan produksi. Dinamika investasi akan mempengaruhi tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi, sehingga setiap negara berlomba untuk menciptakan iklim yang dapat menggairahkan investasi (Dumairy, 1996). Sasaran yang dituju oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, bukan hanya penanaman modal dalam negeri, tetapi juga penanaman modal asing. Dengan adanya investasi, maka output yang dihasilkan suatu negara akan semakin meningkat. Peningkatan output akan meningkatkan pendapatan nasional sehingga kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan pembangunan dapat tercapai. Jumlah nominal investasi setiap tahunnya sangat berfluktuasi, dan berkontribusi pada gejolak produk domestik regional bruto yang besar (Blanchard, 2006). Investasi diartikan sebagai pengeluaran atau penanaman modal bagi perusahaan untuk membeli barang modal dan perlengkapan untuk menambah kemampuan produksi barang dan jasa dalam perekonomian. Dengan adanya investasi diharapkan output, baik barang dan jasa, akan bertambah dan memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi. Investasi merupakan salah satu kunci utama dalam mencapai peningkatan pertumbuhan ekonomi, yang tercermin dari kemampuannya untuk meningkatkan laju pertumbuhan dan tingkat pendapatan. Semakin besar investasi suatu negara, akan semakin besar pula tingkat pertumbuhan ekonomi yang dapat dicapai. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi merupakan fungsi dari investasi (Haryanto, 2005). Desentralisasi sendiri diyakini sebagai cara untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Hayek (1948), Tiebout (1956), dan Oates (1999) berpendapat bahwa desentralisasi akan mendorong penyediaan pelayanan publik melalui teori efisiensi alokasi, persaingan, dan preferensi. Oates (1999) berpendapat bahwa pemerintah daerah adalah yang
lebih dekat dan langsung berhadapan dengan rakyat, memiliki kemampuan yang lebih baik dalam melayani kebutuhan rakyatnya, sehingga akan meningkatkan efisiensi secara ekonomi. Aspirasi rakyat akan mudah dan cepat terekam, dan kemudian akan diterjemahkan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk memenuhi aspirasi rakyat tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Joko Waluyo tentang “Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan Antar daerah di Indonesia Tahun 2000 – 2005”. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal berdampak meningkatkan pertumbuhan ekonomi relatif lebih tinggi di daerah pusat bisnis dan daerah yang kaya sumber daya alam daripada daerah bukan pusat bisnis dan miskin sumber daya alam. Mekanisme transfer selama ini lebih menguntungkan bagi daerah yang kaya sumber daya alam melalui mekanisme bagi hasil SDA. Alokasi dana bagi hasil SDA untuk investasi sektor kunci dalam perekonomian akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Mekanisme DBHP lebih menguntungkan daerah kota yang merupakan pusat bisnis dan industri, karena basis pajak daerahnya lebih tinggi. Sedangkan daerah-daerah yang miskin SDA dan bukan pusat bisnis dan industri mengandalkan penerimaan daerahnya dari DAU, dan DAK. Di samping itu, desentralisasi fiskal akan berdampak mengurangi ketimpangan pendapatan antar daerah terutama antara daerah-daerah di Pulau Jawa dengan Luar Pulau Jawa dan Antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dengan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Tidak banyaknya SDA (Minyak, gas, dan kehutanan) yang terdapat di Pulau Jawa berdampak terhadap penerimaan dana bagi hasil SDA Pulau Jawa relatif lebih kecil daripada daerah kaya SDA di luar Pulau Jawa. Salah satu indikator keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah adalah kemandirian keuangan daerah dalam membiayai pengeluaran daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, pembiayaan pemerintah dibagi menjadi dua yaitu pembiayaan rutin dan pembiayaan pembangunan. Semua pembiayaan tersebut dibiayai dari APBD yang bersumber dari PAD, APBN, bantuan luar negeri. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, pengeluaran rutin dan pembangunan diubah menjadi belanja langsung dan belanja tidak langsung. belanja langsung terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja modal. Sedangkan belanja tidak langsung (belanja pegawai, belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil kepada provinsi/kab/kota dan pemerintahan desa, belanja bantuan keuangan kepada provinsi/kab/kota dan pemerintahan desa), belanja tidak terduga. Perbedaan terpenting konsep penganggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004, adalah lebih ditekankannya kemandirian daerah dalam UU terbaru. Kemandirian daerah ditunjukkan dengan kontribusi PAD terhadap APBD. Konsekuensi fiskal atas pelaksanaan otonomi daerah yang terjadi di Indonesia ialah otonomi juga mengakibatkan setiap daerah yang terdesentralisasi memiliki tanggung jawab yang besar tidak diiringi dengan kapasitas fiskal yang memadai. Banyak pakar ekonomi menyatakan bahwa daerah memperoleh dana perimbangan yang lebih besar, namun hal ini dibarengi dengan merosotnya jumlah pendapatan asli daerah. Hal tersebut juga tidak menutup kemungkinan bahwa pemerintah daerah memiliki respon belanja daerah yang lebih banyak terhadap transfer dari pemerintah pusat terutama yang berasal dari dana alokasi umum daripada pendapatan asli daerahnya sendiri yang memberikan indikasi anomali atau keganjilan karena terus bergantung pada suntikan dana alokasi umum dari pemerintah pusat sehingga pada prakteknya, transfer dari pemerintah pusat merupakan sumber dana utama pemerintah daerah untuk membiayai operasi utamanya sehari-hari, yang oleh pemerintah daerah “dilaporkan” di perhitungan APBD (Febrian, 2011). Permasalahan yang terjadi saat ini adalah pemerintah daerah terlalu menggantungkan alokasi DAU untuk membiayai belanja modal dan pembangunan tanpa mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh daerah. Hal ini berarti pemerintah daerah akan lebih berhati-hati
dalam menggunakan dana yang digali dari masyarakat sendiri dibandingkan dengan dana transfer dari pemerintah pusat (Kuncoro, 2007:3). Di saat transfer DAU yang diperoleh besar, maka pemerintah daerah berusaha agar pada periode berikutnya DAU yang diperoleh tetap. Hal ini menyebabkan PAD tidak signifikan berpengaruh terhadap belanja daerah yang menyebabkan terjadinya flypaper effect atau dapat dikatakan bahwa pengaruh DAU terhadap belanja daerah lebih besar daripada pengaruh PAD terhadap belanja daerah. Dengan arti lain pemberian DAU yang seharusnya menjadi stimulus peningkatan kemandirian daerah, justru direspon berbeda oleh daerah. Daerah tidak menjadi lebih mandiri, malah semakin bergantung pada pemerintah pusat (Ndadari dan Adi. 2008:3). Dalam Kesit 2004, Studi Aaberge & Langorgen (1997) menganalisis perilaku fiskal dan Belanja Pemda dan menemukan adanya flypaper-effect dalam respon daerah terhadap perubahan pendapatan. Bagi PEMDA yang menjadi masalah dalam pembuatan keputusan alokasi sumberdaya adalah pemilihan kombinasi terbaik antara pajak daerah, surplus dan defisit anggaran, dan output dalam pelayanan publik, yang dibatasi oleh “aturan” bahwa pengeluaran daerah ditambah surplus anggaran tidak melebihi grants dari Pemerintah pusat, ditambah pajak daerah. Permasalahan yang perlu dipecahkan agar tidak terjadi flypaper effect yang tidak lain gambaran sikap ketergantungan pemerintah kabupaten/kota terhadap pemerintah pusat. Di sisi lain, efektifitas APBD juga perlu menjadi perhatian, karena bukan rahasia umum lagi setiap akhir tahun anggaran terjadi penghabisan anggaran. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah “menunggu” beberapa alokasi DAU yang diperolehnya sebelum menentukan berapa belanja yang akan dihabiskannya, seperti yang ditenggarai oleh Simanjuntak (dalam Sidik et al, 2002). Temuan empiris Martinez and Robert Mc.Nab (2001), Mahi (2000), Brodjonegoro (2002), Dartanto dan Brodjonegoro (2003). Desentralisasi mempunyai dampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi yang tinggi apabila desentralisasi fiskal dipusatkan pada pengeluaran/pembelanjaan publik. Desentralisasi fiskal yang diukur dengan pengeluaran pemerintah daerah menyebabkan pertumbuhan ekonom secara signifikan di daerah-daerah. Dalam era desentralisasi fiskal dengan transfer dana dari pemerintah pusat dan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengelola dan mengoptimalkan potensi-potensi ekonomi yang ada memberi efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Temuan studi ini juga mendukung hasil studi Mursinto di Jawa Timur (2004). Hasil studi disimpulkan bahwa, pengeluaran pembangunan mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap produk domestik regional bruto kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. Dari hasil itu diketahui bahwa pengeluaran pemerintah daerah yang semakin besar akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Untuk meningkatkan produk domestik regional bruto tidak hanya peran pemerintah saja, tetapi diperlukan peran serta swasta dan masyarakat yang semakin besar. Dalam hitungan statistik peran swasta dan masyarakat dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur mencapai 46,20 persen. Hasil studi ini sesuai dengan teori desentralisasi fiskal Oates (1993). Menurut Oates desentralisasi fiskal akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat karena pemerintah sub nasional/pemerintah daerah akan lebih efisien dalam produksi dan penyediaan barang-barang publik. Pengambilan keputusan pada level pemerintah lokal akan lebih didengarkan untuk menganekaragamkan pilihan lokal dan lebih berguna bagi efisensi alokasi. Desentralisasi fiskal di negara-negara berkembang apabila tidak berpegang pada standar teori desentralisasi, hasilnya mungkin akan merugikan pertumbuhan ekonomi dan efisiensi. Oates juga menyatakan bahwa desentralisasi fiskal meningkatkan efisiensi ekonomi yang kemudian berkaitan dengan dinamika pertumbuhan ekonomi. Perbelanjaan infrastruktur dan sektor sosial oleh pemerintah daerah lebih memacu pertumbuhan ekonomi daripada kebijakan pemerintah pusat. Menurutnya, daerah memiliki kelebihan dalam membuat anggaran
pembelanjaan sehingga lebih efisien dengan memuaskan kebutuhan masyarakat karena lebih mengetahui keadaannya. Menurut Halim (2002:73), belanja modal merupakan pengeluaran pemerintah daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset dan kekayaan daerah. Belanja modal dibagi menjadi belanja publik yaitu belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat umum misalnya pembangunan jembatan dan jalan raya, pembelian alat transportasi massa, dan pembelian mobil ambulans. Belanja aparatur yaitu belanja yang manfaatnya tidak dirasakan secara langsung oleh masyarakat, tetapi dirasakan secara langsung oleh aparatur. Misalnya pembelian kendaraan dinas, pembangunan gedung pamerintahan, dan pembangunan rumah dinas. Penambahan aset atau kekayaan daerah akibat dan adanya belanja modal akan menambah biaya yang bersifat rutin seperti biaya operasi dan pemeliharaan. Belanja pemeliharaan merupakan pengeluaran pamerintah daerah untuk pemeliharaan barang daerah yang tidak berhubungan secara langsung dengan pelayanan publik. Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka dapat disusun kerangka pemikiran dari Analisis Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah dan Keuangan Daerah terhadap Kinerja Perekonomian Daerah kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah pada Gambar 7 berikut.
Hubungan langsung Hubungan tidak langsung Ada hubungan tapi tidak dimasukan dalam model karena keterbatasan data
Gambar 7 Kerangka Pemikiran
Hipotesis Tata kelola ekonomi daerah(TKED) yang baik berpengaruh positif terhadap kinerja perekonomian daerah. Indikator akses lahan, infrastruktur, kapasitas dan integritas bupati, interaksi PEMDA dan pelaku usaha, PPUS, keamanan berpengaruh positif terhadap kinerja perekonomian daerah. Perizinan usaha, biaya transaksi berpengaruh negatif terhadap kinerja perekonomian daerah. Alokasi Belanja Modal diduga meningkatkan kinerja perekonomian Proses perencanaan dan penganggaran di Kabupaten Donggala lebih baik dari proses perencanaan dan penganggaran di Kota Palu.
4. METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah. Untuk menganalisis pengaruh tata kelola ekonomi daerah terhadap kinerja perekonomian daerah, unit analisisnya adalah 11 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah. Untuk menganalisis proses perencanaan dan pengganggaran unit analisisnya adalah Kota Palu dan Kabupaten Donggala. Penentuan lokasi dilakukan dengan mempertimbangkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh KPPOD tahun 2010 yang melakukan pemeringkatan secara nasional untuk semua kabupaten/kota, kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Tengah, 8 kabupaten/kota berada pada peringkat di atas 50 selain 3 kabupaten yang menduduki peringkat di atas 20. Selain itu, dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Donggala merupakan kabupaten tertua dan hanya memiliki pertumbuhan 7%, sedangkan Kota Palu walaupun memiliki pertumbuhan di atas pertumbuhan Provinsi, tetapi memiliki Indeks TKED yang lebih rendah dari Kabupaten Donggala. Alasan lain dipilihnya Kabupaten Donggala dan Kota Palu disebabkan oleh perbedaan dalam pengelolaan keuangan daerah. Menurut PP No 58 Tahun 2005 yang dimaksud dengan pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Mardiasmo (2002) Anggaran sebagai alat penilaian kinerja (Performance Measurement Tools), kinerja eksekutif akan dinilai berdasarkan pencapaian target anggaran dan efesiensi pelaksanaan anggaran. Waktu penelitian dilaksanakan mulai Juni 2012 sampai dengan Agustus 2012.
Jenis, Sumber Data dan Metode Analisis Untuk menjawab tujuan penelitian melihat pengaruh tata kelola ekonomi daerah terhadap kinerja perekonomian daerah dengan mempergunakan Analisis Regresi Berganda. Penelitian untuk melihat hubungan antara tata kelola ekonomi daerah dengan pertumbuhan, yang dilakukan oleh KPPOD dengan menggunakan korelasi antara indeks total TKED yang terdiri dari 9 indikator dengan pertumbuhan ekonomi daerah. Penelitian ini berbeda dengan yang dilakukan sebelumnya oleh KPPOD, perbedaan tersebut pada metode yang digunakan. Dalam penelitian ini untuk melihat pola hubungan antara TKED dengan kinerja perekonomian daerah (PDRB per kapita, perubahan pengangguran, perubahan kemiskinan) dieksplorasi dengan korelasi Pearson dan Spearman dan dianalisis secara deskriptif baik dengan tabel maupun grafik. Metode deskriptif merupakan metode yang berkaitan dengan pengumpulan data dan penyajian suatu data sehingga memberikan informasi yang berguna. Proses deskripsi data pada dasarnya meliputi upaya penelusuran dan mengungkap informasi yang relevan yang terkandung dalam data dan penyajian hasilnya dalam bentuk yang lebih ringkas dan sederhana, sehingga pada akhirnya mengarah pada keperluan adanya penjelasan dan penafsiran. Analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menginterpretasikan data-data kuantitatif secara ringkas dan sederhana. Analisis deskriptif yang dilakukan adalah untuk mengetahui keterkaitan delapan indikator tata kelola ekonomi daerah terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan & pengangguran kabupaten dan kota di Propinsi Sulawesi Tengah. Dalam setiap indikator,
terdapat variabel yang berbeda dengan skala pengukuran yang berbeda pula. Analisis deskriptif ini dilakukan dalam menganalisis variabel-variabel dengan skala pengukuran ordinal dan nominal dengan menggunakan tabulasi silang, boxplot serta scatter plot. Selanjutnya dari variabel TKED bersama-sama dengan variabel lain dianalisis menggunakan regresi berganda dengan metode ordinary least square (OLS) untuk mengetahui berapa pengaruh masing-masing variabel TKED terpilih tersebut terhadap kinerja perekonomian daerah. Pembentukan model dengan menggunakan data 2 tahun yaitu data tahun 2010 dan tahun 2011, penggunaan data tahun 2010 dan 2011 di sesuaikan dengan data TKED. Indikator TKED yang digunakan dalam penelitian ini hanya 8 indikator karena indikator PERDA tidak dianalisis dalam penelitian ini. Estimasi koefisien regresi dilakukan melalui metode Ordinary Least Square(OLS). Asumsi model OLS menurut Juanda (2009), yaitu: a) Komponen sisaan εi mempunyai nilai harapan sama dengan nol dan ragam konstan untuk semua pengamatan i. E(εi)=0 danVar(εi)=σ² b) Tidak ada hubungan atau tidak ada korelasi antar sisaan εi sehingga Cov(εi, εj)=0, untuki≠j. c) Komponen sisaan menyebar normal. Dalam terminologi statistika, asumsi (iii) ini biasa diringkas dengan simbol εi ~ N(0, σ²) yang artinya komponen εi menyebar Normal, Bebas Stokastik, dan Identik, dengan nilai tengah sama dengan nol dan ragam konstan untuk i=1,2,...,n. Semua asumsi di atas jika terpenuhi, maka penaksir OLS dari koefisien regresi adalah penaksir tak bias linear terbaik atau Best Linear Unbiased Estimator (BLUE). Untuk mencari model terbaik, terlebih dahulu dilakukan berbagai tahapan. Pertamatama model yang dikaji diasumsikan terspesifikasi dengan benar. Model yang diasumsikan terspesifikasi dengan benar membuat pendugaan dan pengujian model relatif jadi jelas. Dalam realitas tidak pernah tahu bahwa spesifikasi yang dikaji pasti benar. Peneliti mengkaji lebih dari satu kemungkinan spesifikasi model dan mencari model yang terbaik. Dalam membuat model diharapkan unsur-unsur ketidakteraturan Y akan tercakup dalam dugaan atau dapat dijelaskan oleh nilai-nilai dari variabel (X1,X2…..,Xn). Oleh karena itu, komponen sisaan diusahakan menjadi relatif kecil dibandingkan komponen dugaannya. Menurut Juanda (2009), komponen error, paling sedikit terdiri dari 4 komponen yaitu : 1. Kesalahan pengukuran dan proksi dari peubah respons Y maupun peubah penjelas X1, X2,...., dan Xp. 2. Asumsi bentuk fungsi f yang salah. Mungkin ada bentuk fungsi lainnya yang lebih cocok, linear maupun non-linear. 3. Omitted variabels. Peubah (variable) yang seharusnya dimasukkan ke dalam model, dikeluarkan karena alasan-alasan tertentu (misalnya penyederhanaan, atau data sulit diperoleh dan lain-lain). 4. Pengaruh faktor-faktor lain yang belum terpikirkan atau tidak dapat diramalkan. Tahapan untuk menguji hipotesis dapat dijelaskan pada Gambar 7. Hipotesishipotesis utama yang akan diuji (H) dan diformulasikan ke dalam koefisien-koefisien parameter (β) sehingga dapat diuji secara statistik. Setiap penyusunan model ekonomi terdapat beberapa asumsi yang dapat mendasarinya. Asumsi-asumsi tentang error diperlakukan sebagai auxiliary hipotheses (Juanda, 2009). Sebelum melakukan pengujian hipotesis utama (H) terlebih dahulu menguji asumsiasumsi tentang error yang mendasari model ekonometrik tersebut (Ai). Dalam melakukan pengujian asumsi dapat melalui pengkajian pola ε. Jika ε berpola sistematik terhadap Y tidak dimodelkan secara eksplisit melalui fungsi f dan pemilihan variabel penjelas (X1, X2…Xn).
Paling sedikit terdapat satu komponen sistematik dalam komponen ε yang belum diungkapkan dalam f(X1, X2…Xn). Prosedur pemodelan memerlukan pertimbangan statistik yang digunakan untuk mengidentifikasi perlunya spesifikasi ulang dalam model. Sedangkan teori ekonomi digunakan untuk membantu arah re-spesifikasi model. Hal yang harus dipahami yaitu hasil statistik –uji menunjukkan hipotesis utama ditolak maka hal ini belum cukup bukti untuk menyimpulkan bahwa hipotesis ini benar-benar ditolak, karena kerangka pengujian tersebut tergantung dari cara bagaimana dapat menformulasikan hipotesis tersebut ke dalam koefisien parameter. Jadi kurang layak kalau menyimpulkan penolakan hipotesis pada pengujian pertama terhadap hipotesis tersebut. Akan tetapi jika hipotesis tetap juga ditolak, paling tidak pada pengujian kedua terhadap hipotesis tersebut, maka barangkali tidak ada alternatif lain untuk menolak hipotesis tersebut. Demikian tahapan pemodelan ekonomi secara umum dengan menggunakan analisis regresi. Tahapan melakukan atau mencari model terbaik dapat dilihat pada Gambar 7 untuk mendapatkan model yang terbaik (Juanda, 2009). Tahapan mencari model terbaik menggunakan tahapan dalam flowchart berikut (Juanda, 2009) Main Hypotheses (H)
Auxiliary Hypotheses (Ai)
Deduction Prediction
Data on Silent Variables
Modify the treatment of the auxiliary hypotheses
Modify the treatment of the auxiliary hypotheses
Testable form of the Theory Y = Xβ + error Residual consistent With White Noise Errors
Residual consistent With White Noise Errors
Test Main Hypotheses
Main Hypotheses Rejected
Gambar 8
Main Hypotheses Not Rejected
Can’t Test This Particular Spesification of The Main Hypotheses
Tahapan Model Empiris (Juanda,2009)
Data yang digunakan dalam menganalisis pengaruh TKED terhadap kinerja perekonomian adalah data sekunder dari survei tata kelola ekonomi daerah oleh KPPOD di kabupaten/kota di provinsi Sulawesi Tengah yang dilakukan tahun 2011. Selain itu juga, digunakan data yang diperlukan untuk pembentukan model data-data tersebut adalah pertumbuhan PDRB perkapita tahun 2010-2011, jumlah pengangguran tahun 2010-2011, jumlah orang miskin tahun 2010-2011 di kabupaten/kota di Sulawesi Tengah, Belanja Modal (BM), Investasi yang diproksi dengan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) ditambah perubahan stok 2010-2011. Periode 2010-2011 digunakan karena data tersebut menyesuaikan dengan data yang digunakan oleh KPPOD yaitu data tahun 2010. Data tersebut diperoleh dari BPS Sulawesi Tengah 2010-2011 dan realisasi APBD Kabupaten/Kota se Sulawesi Tengah tahun 2010-2011. Indikator TKED yang dikorelasikan dengan kinerja perekonomian daerah masing-masing mempunyai sub indikator yaitu: akses lahan terdiri dari 5 variabel, perizinan usaha 6 variabel, integritas PEMDA dan pelaku usaha 8 variabel, PPUS 4 variabel, integritas dan kapasitas bupati/walikota 6 variabel, keamanan dan penyelesaian konflik 4 variabel, biaya transaksi 5 variabel, infrastruktur 5 variabel. Untuk menjawab Tujuan penelitian menganalisis adanya perbedaan proses perencanaan dan penganggaran diantara Kabupaten Donggala dengan Kota Palu digunakan uji Chi-Square dengan memakai data primer. Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara yaitu melalui kuesioner terhadap seluruh responden. Teknik wawancara langsung digunakan terhadap beberapa responden utama (kunci) untuk memperoleh data yang lebih rinci yang berkaitan dengan proses perencanaan & pengganggaran APBD. Responden dipilih secara sengaja (purposive non random sampling) yaitu pejabat dan staf pemerintah daerah (eksekutif) dan legislatif yang terkait dalam penyusunan dan pengambilan keputusan penyusunan APBD. Dari pejabat dan staf pemerintah daerah (eksekutif) akan dipilih dari SKPD terkait dalam proses perencanaan & penganggaran masing-masing kepala dan sekretaris SKPD. Dari legislatif akan diambil masing-masing setiap fraksi yang ada yaitu 1 orang dalam 1 fraksi sehingga dapat terwakili dari anggota DPRD di Kabupaten Donggala dan di Kota Palu. Selain itu, perwakilan dari akademisi yang mengetahui dan telah banyak terlibat langsung dalam proses perencanaan dan penganggaran APBD. Adapun responden tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Responden untuk kuesioner = 1 orang/fraksi (legislatif), setiap SKPD (eksekutif) serta dari Akademisi. Keseluruhan Responden untuk quesioner disimbolkan dengan n1. Kesulitan terbesar dalam penyusunan APBD adalah menjaga tujuan perencanaan pembangunan secara konsisten agar dapat diwujudkan melalui penganggaran yang tepat, keterkaitan antara perencanaan dan penganggaran, melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003- pasal 17 ayat (2) disebutkan bahwa RKPD sebagai pedoman penyusunan RAPBD. Atas dasar inilah seharusnya setiap APBD merupakan operasionalisasi dari dokumen perencanaan dan penganggaran untuk itu dalam wawancara lebih mendalam (interview) pada responden tentang perencanaan dan penganggaran. Untuk interview akan dipilih responden dari legislatif dan eksekutif yang jumlahnya lebih sedikit dari responden saat kuesioner dan mewakili baik dari legislatif maupun eksekutif terkait proses penganggaran dan perencanaan dan ditanyakan apakah ada kesesuaian, sinkronisasi, koordinasi, dan sinergi antara berbagai kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan dalam RPJMD dengan RPJMN. Lebih lanjut ditanyakan kepada responden apakah selama ini telah menerapkan anggaran berbasis kinerja dan Medium Term Expenditure Framework (MTEF) yang dapat menjamin kejelasan hubungan antara program/kegiatan untuk jangka lebih dari 1 tahun serta perencanaan atau prioritas pencapaian sektor dengan anggaran atau resource constraint. Keseluruhan responden untuk interview disimbolkan dengan n2., sehingga responden untuk quesioner lebih banyak dari responden saat interview, n1>n2.
Pengolahan data primer dilakukan berdasarkan hasil tabel kontingensi (uji Chi-Square). Dari hasil uji Chi-Square akan terlihat dari masing-masing kriteria dari pertanyaan yang diajukan berkorelasi atau tidak antara kriteria tertentu dengan jawaban dari responden.
Model Analisis Regresi Berganda Model utama yang digunakan untuk menganalisis keterkaitan antara tata kelola ekonomi daerah dan PDRBKap, pengangguran dan kemiskinan di kabupaten dan kota Provinsi Sulawesi Tengah adalah sebagai berikut: LnYit = f(Dkab, LnBMit, Dkab*LnBM, lama perbaikan listrik, manfaat PPUS, pelatihan pengajuan kredit, perbaikan PDAM)............................... (1) LnUit = f(Dkab, LnBM, LnI, Dkab*Lninvestasi, kondisi lampu jalan, lama perbaikan listrik, manfaat PPUS, pelatihan pengajuan kredit, perbaikan PDAM) ........................................................................ (2) LnPit = f (Dkab, LnBM, LnI, kondisi lampu jalan, lama perbaikan listrik, manfaat PPUS, pelatihan pengajuan kredit, perbaikan PDAM)).....................................................................................(3) Yit = PDRBKap pada tahun ke t untuk kab/kota i ( juta Rupiah) Uit = jumlah pengangguran pada tahun ke t untuk kab/kota i (orang) Pit = jumlah orang miskin pada tahun ke t untuk kab/kota i (orang) Dkab = 1 untuk kabupaten dan Dkab =0 untuk kota BM = Realisasi Belanja Modal pada tahun ke t untuk kab/kota i ( juta Rupiah) Investasi = PMTB + perubahan stock pada tahun ke t untuk kab/kota i (juta Rupiah) Dkab* BM = perkalian Dummy kab dengan nilai BM Dkab*Investasi = perkalian Dummy kab/kota dengan nilai Investasi X1= Indikator TKED akses lahan ( X11-X15 = variabel dari X1) pada tahun ke t untuk kab/kota i dalam % X11= Waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan status tanah X12=Persepsi tentang kemudahan perolehan lahan X13= Persepsi tentang penggusuran lahan oleh Pemda X14= Frekuensi konflik X15= Persepsi tentang keseluruhan permasalahan lahan usaha X2= Indikator TKED perizinan usaha (X21-X26 = variabel dari X2) pada tahun ke t untuk kab/kota i dalam % X21= Persentase perusahaan yang memiliki TDP X22= Persepsi kemudahan perolehan TDP dan rata2 waktu perolehan TDP X23= Persepsi tingkat biaya yang memberatkan usaha X24= Persepsi bahwa pelayanan izin usaha adalah bebas KKN, efisien, dan bebas pungli X25= Persentase keberadaan mekanisme pengaduan X26=Persepsi tingkat hambatan izin usaha terhadap usahanya X3= Indikator TKED interaksi PEMDA dan pelaku usaha (X31-X38 = variabel dari X3 pada tahun ke t untuk kab/kota i dalam % X31= Keberadaan forum komunikasi pemda dengan pelaku usaha
X32= Tingkat pemecahan permasalahan dunia usaha oleh pemda X33=Tingkat dukungan pemda terhadap pelaku usaha daerah X34=Tingkat kebijakan pemda yang berorientasi untuk mendorong iklim investasi X35= Tingkat kebijakan non-diskriminatif pemda X36=Pengaruh kebijakan pemda terhadap pengeluaran dunia usaha X37=Tingkat kepastian hukum pemda terkait dunia usaha X38=Tingkat hambatan interaksi pemda dengan pelaku usaha X4= Indikator TKED program pemda untuk pengembangan usaha swasta (X41-X44 = sub variabel dari X4 pada tahun ke t untuk kab/kota i dalam % X41= Tingkat pengetahuan akan keberadaan PPUS X42= Tingkat partisipasi dalam PPUS X43= Tingkat manfaat PPUS terhadap pelaku usaha X44= Dampak PPUS terhadap kinerja perusahaan X5= Indikator TKED kapasitas & integritas bupati/walikota (X51-X56 = sub variabel dari X5 pada tahun ke t untuk kab/kota i dalam % X51= Pemahaman kepala daerah terhadap masalah dunia usaha X52= Profesionalisme birokrat daerah X53= Tindakan kepala daerah yang menguntungkan diri sendiri X54= Ketegasan kepala daerah terhadap korupsi birokratnya X55= Karakter kepemimpinan kepala daerah X56 = Hambatan kapasitas dan integritas kepala daerah terhadap dunia usaha. X6= Indikator TKED keamanan & penyelesaian sengketa (X61-X64 = sub variabel dari X6 pada tahun ke t untuk kab/kota i dalam % X61= Tingkat kejadian pencurian di tempat usaha X62= Kualitas penanganan masalah kriminal oleh polisi X63= Kualitas penanganan masalah demonstrasi buruh oleh polisi X64=Tingkat hambatan keamanan dan penyelesaian masalah terhadap kinerja perusahaan X7= Indikator TKED biaya transaksi (X71-X74 = variabel dari X7 pada tahun ke t untuk kab/kota i dalam % X71= Tingkat hambatan pajak dan retribusi daerah terhadap kinerja perusahaan X72= Tingkat pembayaran donasi terhadap Pemda X73= Tingkat hambatan donasi terhadap Pemda X74= Tingkat pembayaran biaya informal pelaku usaha terhadap polisi X75= Tingkat hambatan biaya transaksi terhadap kinerja perusahaan X8= Indikator TKED infrastruktur (X81-X85 = variabel dari X8 pada tahun ke t untuk kab/kota i dalam % X81= Kualitas infrastuktur X82= Lama perbaikan X83= Pemakaian genset X84= Lama pemadaman listrik X85= Tingkat hambatan infrastruktur terhadap kinerja perusahaan t = tahun pengamatan i = kabupaten/kota di provinsi sulawesi tengah Setelah itu, model tersebut dianalisis menggunakan kriteria-kriteria uji statistik dan uji ekonometrika agar memenuhi persyaratan metode analisis OLS dan terbebas dari masalahmasalah autokorelasi, heteroskedastisitas, dan multikolinearitas.
Metode Pengujian Uji t-statistik Pengujian ini dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh masing-masing variabel independen dalam mempengaruhi variabel dependen pada tingkat signifikansi tertentu. Pengujian ini dilakukan dengan asumsi bahwa variabel- variabel lain tidak berubah. Menurut Gujarati (2003), dalam uji t-statistik ada 2 jenis kriteria pengujian, diantaranya: 1. Pengujian dua arah (two tail test) Pengujian dua arah digunakan ketika kita tidak memiliki dasar teori yang kuat mengenai bagaimana pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. 2. Pengujian satu arah (one tail test) Pengujian satu arah digunakan ketika kita memiliki dasar teori yang kuat mengenai bagaimana pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Kriteria yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengujian satu arah (one tail test) dalam tingkat signifikansi, , dan derajat kebebasan (degree of freedom, df), n-k, di mana n menunjukkan jumlah observasi dan k menunjukkan jumlah parameter termasuk konstanta. Pengujian satu arah digunakan karena penulis telah memiliki ekspektasi mengenai pengaruh dari variabel independen terhadap variabel dependen berdasarkan pada teori dan studi empiris yang telah ada. Pada penelitian ini dilakukan uji t dua arah (two tail test) dengan hipotesis sebagai berikut : Hipotesis dari uji ini adalah : H0 : = 0, Variabel independen tidak mempengaruhi variabel dependennya. H1 : 0, Variabel independen mempengaruhi variabel dependennya. Langkah selanjutnya adalah membandingkan nilai t-stat dengan nilai t-tabelnya pada tingkat signifikansi tertentu. Nilai t-stat didapat dengan formula sebagai berikut:
t
*
2 2 *
se(
2
)
dimana:
2
: nilai estimasi parameter β2
*
2
: nilai β2 dalam hipotesis H0 *
se( 2 ) : standard error β2 Kriteria Pengujian : Jika: (t-tabel) (t-stat) (t-tabel), maka hipotesis nol tidak dapat ditolak Jika: t-stat < -(t-tabel) atau t-stat > t-tabel, maka hipotesis nol ditolak Uji F-statistik Uji F-statistik digunakan untuk menguji signifikansi pengaruh variabel-variabel independen terhadap variabel dependen dalam model. Hipotesis dari uji ini adalah : H0 : β0 = β1 =β2 =β3 =0, variabel-variabel independen tidak berpengaruh terhadap variabel dependennya. H1 : Minimal ada satu βi 0, atau minimal ada satu variabel independen yang mempengaruhi variabel dependennya.
Pengujian ini dilakukan dengan cara membandingkan nilai F-hitung dengan nilai Ftabel dengan tingkat signifikansi tertentu. Hasil pengujian akan menunjukkan kesimpulan sebagai berikut : Kriteria Pengujian : H0 diterima jika F-stat < F tabel H0 ditolak jika F-stat > F-tabel Dengan demikian hasil uji F yang signifikan akan menunjukkan bahwa minimal satu dari variabel independen memiliki pengaruh terhadap variabel dependennya. Uji F-stat ini merupakan uji signifikansi satu arah (one tail significance). Uji Koefisien Determinasi (R2) Merupakan suatu bilangan yang dinyatakan dalam bentuk persen, yang menunjukkan besarnya persentase variasi variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh variasi pada variabel independennya. R2 diperoleh dengan rumus: 2
RSS R 1 1 TSS 2
u
i
(Yi Y )
2
Di mana RSS (residual sum of squares) adalah nilai total penjumlahan kuadrat dari variasi Y yang dijelaskan oleh variabel residual. Sedangkan TSS (total sum of squares) adalah total penjumlahan kuadrat dari variasi Y yang dijelaskan oleh nilai rata-ratanya. Besarnya nilai R2 adalah 0 < R2< 1, di mana semakin mendekati 1 berarti model tersebut dapat dikatakan baik karena semakin dekat hubungan antar variabel independen dengan variabel dependen, demikian sebaliknya. Pada penelitian ini juga akan digunakan koefisien determinasi yang telah disesuaikan dengan jumlah variabel dan jumlah observasinya (adjusted R2), karena lebih menggambarkan tentang kemampuan yang sebenarnya dari variabel-variabel independennya untuk menjelaskan variabel tak bebasnya. Uji Multikolinearitas Masalah multikolinier ialah situasi di mana terjadinya korelasi antara satu atau lebih variabel independen dengan variabel independen lainnya. Bila terjadi multikonlinier sempurna dalam model, maka dapat mengakibatkan koefisien regresi menjadi tidak dapat ditaksir dan nilai standar error koefisien regresi menjadi tidak terhingga. Jika berdasarkan hasil uji t-statistik ternyata variabel-variabel independen yang digunakan semuanya signifikan secara parsial dengan R2 yang tinggi, maka dapat dikatakan bahwa model dalam penelitian ini tidak terdapat masalah multikolinear atau bebas dari multikolinieritas. Selain dengan cara sederhana seperti telah diterangkan sebelumnya, cara lain untuk mendekteksi adanya multikolinier adalah dengan melihat apakah nilai koefisien korelasi antar variabel independennya lebih besar dari 0,80, maka dapat dikatakan terjadi masalah multikolinieritas pada taraf yang serius. Hasil matriks korelasi parsial antar regresor (Coefficient Correlation Matrix). Jika model mengandung masalah multikolinieritas ada 2 pilihan yang dapat kita lakukan yaitu membiarkan model tetap mengandung multikolinieritas atau akan memperbaiki model. Jika pilihan pertama, maka dapat dikatakan bahwa model yang mengandung masalah multikolinieritas tetap menghasilkan estimator yang BLUE karena masalah estimator yang BLUE tidak memerlukan asumsi tidak adanya korelasi antar variabel independen. Multikolinieritas hanya menyebabkan kesulitan dalam memperoleh estimator dengan standard error yang kecil. Masalah multikolinieritas juga timbul karena hanya memiliki
jumlah observasi yang sedikit. Adapun cara kedua yaitu melakukan perbaikan model dengan cara : 1. Menghilangkan variabel independen 2. Transformasi variabel 3. Penambahan data Untuk penelitian ini karena kabupaten/kota yang diobservasi hanya sedikit sehingga dimasukan variabel lain selain variabel-variabel dalam TKED jika nantinya setelah diregresikan masih mengandung multikolinieritas, maka tidak mempunyai pilihan lain selain tetap membiarkan model mengandung multikolinieritas. Uji Autokorelasi Uji Autokorelasi dilakukan dengan tujuan untuk mendeteksi ada atau tidaknya serial korelasi dari error term yang terdapat dalam suatu model regresi. Gejala serial korelasi dalam konteks time series terjadi bila error term pada suatu periode tertentu berpengaruh kepada error term periode waktu berikutnya, atau dengan kata lain jika error term dari periode waktu berlainan saling berkorelasi. Ada dua metode yang biasanya digunakan untuk menguji serial korelasi ini yaitu dengan menggunakan uji Durbin-Watson atau dengan uji Breusch Godfrey LM Test. Beberapa uji stasistik yang sering dipergunakan adalah uji Durbin-Watson (DW) atau uji dengan Run Test. Uji DW hanya digunakan untuk autokorelasi tingkat satu (first order autocorrelation), dan mensyaratkan adanya intercept (konstanta) dalam model regresi dan tidak ada variabel lag di antara variabel independen. Uji Durbin-Watson Pengujian ini dilakukan dengan melakukan pengujian Durbin-Watson. Hipotesis dalam uji Durbin-Watson adalah sebagai berikut: H0 : tidak ada korelasi orde pertama H1 : ada autokorelasi Batas Kritis pada Pengujian Durbin-Watson Nilai DW berdasarkan estimasi model regresi 4 – dL< DW-stat< 4 4 – dU< DW-stat< 4 – dL
Kesimpulan H0 ditolak, terdapat serial korelasi negatif Tidak ada kesimpulan
DU < DW-stat< 4 – dU
H0 diterima, tidak ada serial korelasi
DL< DW-stat< dU
Tidak ada kesimpulan
0 < DW-stat< dL
H0 ditolak, terdapat serial korelasi positif
Sumber : Damodar Gujarati, Basic Econometrics, McGraw Hill-Inc
Uji Heteroskedasticity Pengujian White Heteroskedasticity bertujuan untuk mendeteksi apakah varians dari setiap unsur error term memiliki nilai yang konstan. Apabila terdapat heteroskedastisitas antara setiap observasi, berarti varians dari error terms tersebut tidak sama. Akibat dari adanya heteroskedastisitas ini adalah parameter yang dihasilkan dari regresi meskipun tetap tak bias dan konsisten tetapi parameter tadi tidak lagi efisien baik dalam sampel kecil ataupun sampel besar.
5. Gambaran Umum Tata Kelola Ekonomi Daerah Seiring dengan tuntutan pemangku kepentingan terutama dari pemerintah daerah dalam hal efektifitas reformasi kebijakan yang harus dilakukan yang memiliki dampak perubahan rill terhadap kinerja ekonomi daerah, maka langkah perubahan terhadap tujuan dasar studi yang dilakukan oleh KPPOD tahun 2007 adalah mengubah daya tarik investasi (studi yang telah dilakukan sebelumnya) menjadi tata kelola ekonomi daerah. Studi tahun 2001-2005 menilai daya tarik investasi berdasarkan 6 faktor utama, yaitu : Kelembagaan, Sosial Politik Budaya, Perekonomian daerah, Tenaga kerja, Produktivitas. Kelembagaan memiliki bobot terkecil dibandingkan dengan keempat faktor lainnya yang mengindikasikan bahwa kondisi kelembagaan daerah di Indonesia dalam kurun waktu tahun 2001 – tahun 2005 memfokuskan indikator pelaksanaan otonomi daerah sudah mulai membaik dan tidak lagi dipandang sebagai faktor yang terlalu penting oleh pelaku usaha dalam mempengaruhi daya saing investasi daerah. Konsep tata kelola ekonomi daerah menyoroti sejumlah kebijakan daerah terkait dunia usaha di kabupaten/kota Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh KPPOD tahun 2007 dan 2010 lebih difokuskan untuk menilai kebijakan Pemda saja (indikator kebijakan) hingga lahirlah indeks tata kelola ekonomi daerah, yaitu: Akses lahan (AL), Izin Usaha (IU), Infrastruktur, Program Pengembangan Usaha Swasta (PPUS), Perizinan Usaha (PU), Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah (KIP), Biaya Transaksi (BT), Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha (IPPU), Keamanan dan Penyelesaian Konflik Dunia Usaha (KPK). Survei tata kelola ekonomi daerah ini menyajikan suatu gambaran yang sangat menarik mengenai dinamika pemerintahan daerah dan pengembangan iklim investasi di Indonesia setelah pelaksanaan otonomi daerah yang telah berlangsung sejak tahun 2001. Survei yang sudah dilaksanakan ketujuh kalinya ini merupakan suatu program yang dilakukan KPPOD sejak tahun 2001 dengan dukungan The Asia Foundation. Cakupan wilayah survei bertambah dari tahun ke tahun, diawali dengan 90 kabupaten dan kota di tahun 2001, kemudian 134 kabupaten dan kota tahun 2002, dilanjutkan tahun 2003 meliputi 200 kabupaten dan kota, disusul 214 kabupaten dan kota di tahun 2004 dan 228 kabupaten dan kota tahun 2005, kemudian di 243 kabupaten dan kota 2007 dan yang tahun 2011 di 260 kabupaten dan kota di Indonesia. Survei ini merupakan survei terbesar untuk survei sejenis di Indonesia, dan merupakan satu dari berbagai survei tata kelola ekonomi terbesar di dunia. Tujuan dari survei ini adalah untuk mendorong kompetisi antar daerah dan untuk menekankan pentingnya iklim investasi daerah di era desentralisasi. Survei ini diharapkan dapat menjadi basis bagi pemerintah daerah kabupaten/kota untuk memrioritaskan reformasi dan perbaikan kinerja atas berbagai aspek tata kelola ekonomi daerahnya. Selain itu, survei ini juga diharapkan dapat menciptakan iklim kompetisi antar kabupaten/kota yang sehat. Survei ini lebih memfokuskan pada tata kelola ekonomi daerah yang menitikberatkan indikator penelitian yang bersifat kebijakan dan implementasinya, berbeda dengan survei tahun-tahun sebelumnya yang menggabungkan faktor anugerah dengan faktor kebijakan. Survei ini juga fokus pada aspek-aspek tata kelola ekonomi yang merupakan kewenangan pemerintah daerah kabupaten dan kota. Survei ini menggunakan sembilan indikator iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha, yaitu: akses lahan usaha dan kepastian usaha, perizinan usaha, interaksi antara Pemerintah daerah dan pelaku usaha, program pengembangan usaha swasta, kapasitas dan integritas Kepala Daerah, pajak daerah, retribusi daerah dan biaya transaksi lain, kebijakan infrastruktur daerah, keamanan dan penyelesaian konflik, dan kualitas peraturan daerah.
Instrumen Penelitian KPPOD Survei ini menggunakan dua jenis instrumen penelitian, yaitu kuesioner terhadap pelaku usaha dan asosiasi usaha daerah serta lembar penilaian melalui analisa kualitatif terhadap peraturan daerah di mana berbagai peraturan yang dikeluarkan pemerintahan daerah, mulai dari peraturan daerah, peraturan, surat keputusan, dan surat edaran kepala daerah, yang terkait dengan dunia usaha dikumpulkan dan dikaji. Pelaku usaha yang menjadi responden survei adalah yang melakukan aktivitas usaha pada sektor usaha non-primer, yaitu jasa, industri pengolahan, dan pedagangan. Ketiga bidang ini merupakan sektor utama yang banyak bersinggungan dengan pemerintah. Pelaku usaha primer yang bergerak di bidang pertanian, kehutanan dan perikanan tidak dijadikan responden dalam survei ini dengan pertimbangan bahwa intervensi pemerintah yang dibutuhkan sektor tersebut sedikit berbeda dengan ketiga sektor yang dipilih. Acuan indeks TKED adalah kabupaten/kota yang terbaik dan terburuk di wilayah survei. Sumber data utama TKED adalah survei perusahaan untuk memastikan bahwa hasilnya adalah kenyataan atau praktik yang dihadapi oleh pelaku usaha, bukan pandangan para ahli maupun peraturan yang berlaku. Sedangkan sebagai acuan kinerja TKED suatu daerah, digunakan kabupaten/kota yang terbaik dan terburuk di wilayah survei untuk setiap variabel. Dengan demikian, kinerja TKED suatu daerah dibandingkan dengan daerah acuan yang dapat dicapai oleh daerah di provinsi lainnya yang disurvei. Karakteristik Responden dan Perusahaan Secara umum dilihat dari sisi ukuran perusahaan, sampel perusahaan terdiri dari 51 persen perusahaan kecil, 43 persen perusahaan menengah (sedang) dan 6 persen merupakan perusahaan besar. Sementara dilihat dari sektor usaha, sampel perusahaan terdiri dari 43 persen sektor usaha produksi, 21 persen sektor perdagangan, dan 36 persen sektor jasa. Survei KPPOD ini mewawancarai responden yang mengambil keputusan penting dalam perusahaan. Dari 12.391 perusahaan yang disurvei, 59 persen posisi mereka yang diwawancarai adalah pemilik usaha, disusul manajer (21 persen). Data ini menunjukkan bahwa informasi yang diperoleh dalam survei ini merupakan cerminan pendapat pelaku usaha. Hal ini ditunjukkan oleh 80 persen perusahaan yang disurvei, posisi respondennya adalah mereka yang paham betul mengenai seluk beluk perusahaan, karena mereka adalah pemilik (owners) dan manajer. Sementara itu, dilihat dari tingkat pendidikan responden 20 persen responden berpendidikan minimal sarjana dan 6,9 persen berpendidikan akademi dan 39,1 persen berpendidikan SLTA. Data ini menunjukkan bahwa secara umum, informasi yang diperoleh dari responden cukup baik, karena tingkat pendidikan mereka sebagaian besar adalah SLTA ke atas (66 persen). Hanya sekitar 5,2 persen responden yang tidak tamat SD. Responden di kabupaten/kota di Sulawesi Tengah sebanyak 458 responden dengan sektor usaha produksi, perdagangan dan jasa. Jumlah tenaga kerja dari semua responden tersebut minimal 5 orang dan maksimal 210 orang. Responden adalah mereka yang mempunyai usaha formal, jadi minimal harus mempunyai izin usaha dan pernah berhubungan dengan pemerintah daerah untuk pengurusan usahanya. Akses Lahan Lahan merupakan tempat yang digunakan untuk memulai aktivitas usaha yang dibutuhkan setiap jenis kegiatan usaha. Walaupun perkembangan teknologi dan jenis usaha tertentu (misalnya jasa dokter) tidak membutuhkan kehadiran lahan, namun sebagian besar aktivitas ekonomi di Indonesia masih sangat bergantung pada lahan. Tingkat permintaan terhadap lahan semakin tinggi, sedangkan ketersediaan lahan yang terbatas telah menjadi permasalahan tersendiri. Permasalahan lahan tersebut dapat dikatakan sebagai masalah alami
akses lahan. Sedangkan masalah administrasi pertanahan yang sering muncul seperti sengketa lahan karena adanya kepemilikan sertifikat ganda ataupun perubahan tanah ulayat. Prinsipprinsip dasar yang dikembangkan pada indikator akses lahan dan kepastian usaha adalah tingkat kepastian hukum terhadap kepemilikan lahan, tingkat resiko penggusuran, lama pengurusan surat kepemilikan tanah, dan tingkat kemudahan perolehan lahan serta frekuensi terjadinya konflik mengenai kepemilikan atau perjanjian kerjasama penggunaan lahan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Ketentuan PokokPokok Agraria (UUPA). Pasal 2 UUPA ayat (2) dijabarkan mengenai hak negara yang merupakan penjabaran dari pasal 33 ayat (3) UUD. Atas dasar tersebut, negara memiliki hak atas permukaan bumi (tanah) yang di antaranya adalah: 1. Hak milik (HM) adalah hak turun-temurun, kuat, dan penuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, tetapi tidak berarti bahwa hak milik tersebut merupakan hak yang mutlak, tidak terbatas, dan tidak dapat diganggu gugat langsung dalam bidang sosial atau keagamaan. 2. Hak Guna Usaha (HGU) adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu, misalnya digunakan untuk perusahaan pertanian atau perkebunan, perikanan dan peternakan. 3. Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan bangunan di atas tanah yang bukan miliknya dengan jangka waktu tertentu. 4. Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang, dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikan atau dalam perjanjian dengan pemilik. Dalam implementasinya, hak atas tanah dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat. Sertifikat tanah diperoleh melalui pendaftaran tanah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pendaftaran tanah sendiri meliputi dua hal, yaitu pendaftaran untuk tanah yang belum bersertifikat dan pendaftaran untuk pengalihan atau peningkatan hak. Pendaftaran tanah dimulai dari pengumpulan dan pengolahan data fisik, pembuktian hak dan pembukuannya, penerbitan sertifikat, penyajian data fisik dan data yuridis, dan penyimpanan daftar umum dan dokumen. Gambaran Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah, Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten dan Kota. Berikut adalah penjabaran detil mengenai pembagian urusan pemerintahan bidang pertanahan pemerintah kabupaten dan kota: 1. Izin Lokasi 2. Pengadaan tanah 3. Penyelesaian sengketa tanah garapan 4. Penyelesaian masalah ganti kerugian 5. Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah 6. Penetapan tanah ulayat 7. Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong 8. Izin membuka tanah 9. Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten dan kota Untuk mendapatkan nilai persentase dari indikator akses lahan usaha dan kepastian berusaha ada empat variabel penilaian yang digunakan, yaitu: 1) Waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan status tanah. 2) Persepsi tentang kemudahan perolehan lahan. 3) Persepsi tentang penggusuran lahan oleh Pemda. 4) Persepsi tentang keseluruhan permasalahan lahan usaha.
Perizinan Usaha Saat ini masalah perizinan usaha adalah salah satu masalah utama yang dihadapi seseorang ketika akan memulai usaha. Izin usaha merupakan bentuk pendaftaran perusahaan kepada pemerintah untuk mendapatkan formalitas status usaha. Formalitas usaha diperlukan agar perusahaan bersangkutan bisa mengakses modal dari lembaga keuangan formal dengan lebih mudah. Menurut laporan Doing Business dalam Bank Dunia (2010), untuk memulai sebuah usaha baru di Jakarta seorang pengusaha harus melewati sembilan prosedur, memerlukan 47 hari kerja, dan membutuhkan biaya sampai 22 persen dari pendapatan per kapita. Masalah-masalah ini dapat menghambat aktivitas komersial, mempersulit perkembangan perusahaan-perusahaan kecil, menghambat pendirian usaha-usaha baru, dan membuat para usahawan menghindari formalisasi. Kewenangan pemerintah pusat dan daerah di perizinan usaha pada survei ini terdapat lima jenis indikator yang dijadikan dasar pengumpulan informasi seputar izin usaha seperti kemudahan pengurusan izin, biaya total pengurusan, dan waktu pengurusan. Berikut ini akan dijabarkan berbagai peraturan pusat yang mengatur secara detil kualitas pelayanan publik beberapa aturan izin yang menjadi kewenangan daerah yaitu: 1. Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Perusahaan “perdagangan” adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan kegiatan usaha di sektor Perdagangan yang bersifat tetap, berkelanjutan, didirikan, bekerja dan berkedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba (Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 36/MDag/Per/9/2007). 2. Tanda Daftar Perusahaan (TDP) Pada tahapan selanjutnya, setelah mendapatkan SIUP. Dalam kurun waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah perusahaan beroperasi, perusahaan tersebut wajib segera mendaftarkan perusahannya. 3. Tanda Daftar Industri (TDI) Tanda Daftar Industri (TDI) adalah izin yang harus dimiliki oleh perusahaan yang melakukan kegiatan industri dengan nilai investasi seluruhnya antara Rp 5.000.000,00-Rp. 200.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan. Proses pengurusan ini membutuhkan waktu kurang lebih selama 14 hari kerja. 4. Izin Gangguan (UUG/HO) Setiap kegiatan usaha yang berpotensi menimbulkan bahaya atau ancaman bagi masyarakat luas diwajibkan memiliki izin gangguan (HO). Untuk perusahaan yang wajib memiliki amdal atau berada dalam kawasan industri yang telah memiliki AMDAL dikecualikan untuk memiliki HO. Sebagai syarat untuk memperoleh HO, terlebih dahulu harus memiliki IMB. 5. Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Undang-undang Bangunan mempertegas kewajiban atas izin terhadap setiap aktifitas pembangunan (konstruksi) dengan berbagai fungsinya. Sedangkan untuk dasar hukum HO yang masih menggunakan peraturan pada masa penjajahan hingga saat ini belum ada pembaharuan lagi. Untuk mendapatkan nilai persentase dari indikator perizinan usaha ada enam variabel penilaian yang digunakan, yaitu: 1) Persentase perusahaan yang memiliki TDP. 2) Persepsi kemudahan perolehan TDP dan rata-rata waktu perolehan TDP. 3) Persepsi tingkat biaya yang memberatkan usaha. 4) Persepsi bahwa pelayanan izin usaha adalah bebas KKN, efisien, dan bebas pungutan liar. 5) Persentase keberadaan mekanisme pengaduan. 6) Persepsi tingkat hambatan izin usaha terhadap usahanya.
Interaksi Pemerintah Daerah dengan Pelaku Usaha Interaksi Pemda dengan pelaku usaha merupakan hal yang dapat dianggap membingungkan tingkatannya sampai sejauh mana tingkat intervensi kebijakan Pemda sebaiknya diberlakukan. Bentuk nyata konflik tingkat intervensi pemerintah ke dalam dunia swasta misalnya ditandai dengan perlu tidaknya Pemda mendirikan perusahaan daerah. Pemda yang mendirikan perusahaan daerah menilai bahwa peranan sektor swasta di daerahnya belum cukup besar sehingga diperlukan intervensi kebijakan pemerintah untuk menggerakkan roda perekonomian daerahnya. Di samping itu, seringkali yang menjadi fakta di lapangan adalah adanya ketidakprofesionalan pengelolaan perusahaan daerah tersebut sehingga menjadi sarat kolusi dan korupsi. Untuk mendapatkan nilai persentase dari indikator interaksi Pemda dan pelaku usaha ada tujuh variabel penilaian yang digunakan, yaitu: 1) Keberadaan forum komunikasi. 2) Tingkat pemecahan permasalahan dunia usaha oleh Pemda. 3) Tingkat dukungan Pemda terhadap pelaku usaha daerah. 4) Tingkat kebijakan non-diskriminatif Pemda. 5) Tingkat kebijakan Pemda yang tidak merugikan pelaku usaha. 6) Tingkat konsistensi kebijakan Pemda terkait dunia usaha. 7) Tingkat hambatan interaksi Pemda dan pelaku usaha. Program Pengembangan Usaha Swasta Program pengembangan usaha swasta terutama ditujukan kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Permasalahan utama yang dihadapi kelompok usaha ini adalah keterbatasan modal, akses modal yang minim ke lembaga keuangan formal, dan kurangnya keahlian dalam bidang manajemen usaha. Bentuk usaha kecil ini merupakan bentuk usaha yang paling dominan yang terdapat di kabupaten dan kota di Indonesia. Program pengembangan usaha swasta oleh Pemda adalah pelayanan pengembangan bisnis yang disediakan Pemda dengan dukungan dana anggaran pendapatan belanja daerah. Kegiatan tersebut diadakan tanpa adanya pungutan dari Pemda kepada pelaku usaha. Meskipun demikian, pada prakteknya ada beberapa daerah yang melakukan kegiatan tersebut dengan melibatkan keikutsertaan pendanaan aktif dari pihak swasta. Ada lima kegiatan pengembangan bisnis yang diperlukan untuk pelaku usaha kecil dan menengah yang dijadikan acuan pada pertanyaan survei ini yaitu: 1) Pelatihan manajemen bisnis untuk meningkatkan kemampuan perusahaan dalam hal administrasi keuangan, manajemen pemasaran, dan manajemen produksi yang baik. 2) Pelatihan peningkatan kualitas tenaga kerja untuk tenaga kerja yang telah lulus sekolah namun belum bekerja berupa pelatihan administrasi kantor, pengenalan dunia kerja, etika bekerja, kemampuan bahasa asing. 3) Promosi produk lokal kepada investor (melalui exhibition, trade fair) promosi perdagangan/investasi/potensi ekonomi yang dilakukan di tingkat nasional, di kabupaten dan kota lain, dan di kabupaten dan kota sendiri. 4) Menghubungkan pelaku usaha kecil, sedang, besar untuk mempertemukan mata rantai kegiatan bisnis perusahaan daerah dengan perusahaan besar yang ada di daerah kabupaten dan kota, di daerah kabupaten dan kota lain, dan di tingkat nasional. 5) Pelatihan pengajuan aplikasi kredit bagi Usaha Kecil Menengah (UKM) untuk mengatasi satu dari beberapa hambatan besar bagi pelaku bisnis kecil dan menengah terhadap kredit formal yang disediakan bank umum yang ada di kabupaten dan kota. Pelatihan ini meliputi pelatihan pengenalan jenis-jenis kredit, pengenalan jenis lembaga keuangan formal yang
ada, pengenalan dan pelatihan prosedur pengajuan aplikasi kredit (syarat-syarat yang harus dipenuhi, hak dan kewajiban kreditur dan debitur). Terlihat di sini bahwa Pemda memegang peranan kunci untuk mengembangkan UKM di daerahnya. Dengan mengidentifikasi dengan tepat permasalahan UKM, beberapa Pemda telah melakukan program penjaminan kredit bagi UKM dengan menempatkan jaminan pada bank nasional seperti di Kota Balikpapan. Pemohon aplikasi kredit dari pihak UKM tetap melalui prosedur formal sesuai ketentuan perbankan yang ditetapkan bank tersebut. Tanpa Pemerintah daerah campur tangan secara langsung menyalurkan kredit kepada UKM, namun dengan memberikan jaminan kredit sekaligus memberi pelatihan keprofesionalan pengaksesan modal formal oleh UKM merupakan suatu langkah yang inovatif. Untuk mendapatkan nilai persentase dari indikator program pengembangan usaha swasta ada lima variabel penilaian yang digunakan, yaitu: 1) Tingkat kesadaran akan kehadiran program pengembangan usaha. 2) Tingkat partisipasi program pengembangan usaha. 3) Tingkat kepuasan terhadap program pengembangan usaha. 4) Tingkat manfaat program pengembangan usaha terhadap pelaku usaha. 5) Tingkat hambatan program pengembangan usaha terhadap kinerja perusahaan. Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah Kinerja suatu pemerintahan, selain karena terlembaganya suatu sistem, dipengaruhi oleh pejabat pemerintah yang menjalankannya. Dalam suatu sistem yang sudah terlembaga dengan baik sangat mungkin memberikan batas rambu-rambu yang kuat untuk meminimalisir penyimpangan para pejabat pelaksananya. Namun dalam suatu sistem yang lemah, peran para pejabat yang melaksanakannya dapat sangat dominan mengabaikan sistem yang ada. Beberapa studi menunjukkan temuan tentang pentingnya peran Kepala Daerah (Bupati/Walikota) dalam tata kelola pemerintahan. KPPOD (2005), menunjukkan bahwa integritas Kepala Daerah cukup penting pengaruhnya terhadap daya tarik investasi daerah. Meskipun belum sepenuhnya berjalan, namun kepatuhan para penyelenggara pemerintahan atas ketentuan tersebut dari tahun ke tahun semakin membaik yang memberikan harapan positif bagi berkurangnya praktek korupsi. Namun di sisi lain, publik mencatat banyaknya pejabat negara maupun pemerintah yang berurusan dengan aparat penegak hukum, utamanya Komisi Pemberantasan Korupsi, yang berujung pada dijebloskannya para pejabat publik ke penjara. Pemilihan Kepala Daerah langsung dengan disertai keberimbangan informasi menjadi salah satu mekanisme kontrol masyarakat untuk menilai secara langsung kinerja pemimpin tertinggi di daerahnya masing-masing. Dalam hal Kapasitas Kepala Daerah juga diyakini mempengaruhi kemampuannya untuk memberikan pelayanan kepada dunia usaha. Mengenai hal ini terdapat peraturan perundangan yang mensyaratkan pendidikan minimal SMA bagi Kepala Daerah. Untuk mendapatkan nilai persentase dari indikator kapasitas dan integritas Kepala Daerah ada enam variabel penilaian yang digunakan, yaitu: 1) Tingkat pemahaman Kepala Daerah terhadap masalah dunia usaha. 2) Tingkat profesionalisme birokrat daerah. 3) Tingkat korupsi Kepala Daerah. 4) Tingkat ketegasan Kepala Daerah terhadap korupsi birokratnya. 5) Tingkat kewibawaan Kepala Daerah. 6) Tingkat hambatan kapasitas dan integritas Kepala Daerah terhadap dunia usaha.
Biaya Transaksi Biaya transaksi adalah pembayaran yang harus dikeluarkan oleh pelaku usaha yang dianggapnya sebagai beban biaya dalam menjalankan operasional perusahaannya baik yang resmi maupun tidak resmi. Biaya resmi meliputi pembayaran sejumlah nilai nominal tertentu dalam satuan rupiah oleh perusahaan kepada Pemda dengan disertai bukti tertulis yang jumlahnya sesuai antara yang tertera di bukti pembayaran tersebut dengan peraturan resmi yang ada. Pungutan resmi daerah meliputi pajak, retribusi, dan sumbangan pihak ketiga (SP3) dengan definisi dan contoh sebagai berikut: 1. Pajak Daerah Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh pribadi atau badan (dalam hal ini perusahaan) kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah (Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 Tahun 2001). Contoh pajak daerah yaitu pajak penerangan jalan, pajak reklame, dan pajak restoran dan hotel. 2. Retribusi daerah Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan (Peraturan Pemerintah RI Nomor 66 Tahun 2001). Contoh retribusi daerah yaitu retribusi sewa tempat di pasar milik Pemda, retribusi kebersihan di pasar milik Pemda, retribusi parkir di tepi jalan umum yang disediakan oleh Pemda, dan retribusi sejenis lainnya. 3. Sumbangan Pihak Ketiga Sumbangan Pihak Ketiga yang resmi adalah sejumlah pembayaran yang diberikan oleh perusahaan kepada Pemda atas dasar adanya Peraturan Daerah atau Surat Keputusan Bupati/Walikota. Contoh sumbangan pihak ketiga yaitu sumbangan wajib pengusaha sektor perkebunan, sumbangan wajib pengusaha sektor industri (seperti nilai tertentu pada setiap unit hasil produksi: Rp 5,00 per kg buah sawit segar) dan sumbangan wajib pengusaha sektor jasa. Keluhan yang sering dikemukakan oleh kalangan bisnis adalah tingginya pajak dan retribusi pengguna di daerah yang harus mereka bayar. Bentuknya bermacam-macam. Pemerintah daerah biasanya membebankan pajak listrik daerah, juga pajak hotel dan restoran. Di samping itu, mereka berhak menarik retribusi pengguna untuk sejumlah besar layanan peraturan daerah, bahkan ketika kadangkala tidak ada layanan yang sungguh-sungguh diberikan. Untuk mendapatkan nilai persentase dari indikator biaya transaksi ada empat variabel penilaian yang digunakan, yaitu: 1) Tingkat hambatan pajak dan retribusi daerah terhadap kinerja perusahaan. 2) Tingkat hambatan biaya transaksi terhadap kinerja perusahaan. 3) Tingkat pembayaran donasi terhadap Pemda. 4) Tingkat pembayaran biaya informal pelaku usaha terhadap polisi. Infrastruktur Daerah Ketersediaan dan kualitas infrastruktur merupakan faktor penentu bagi keputusan bisnis pelaku usaha karena sangat menentukan biaya distribusi faktor input dan faktor output produksinya. Kehadirannya dapat menjadi faktor pendorong tingkat produktivitas di suatu daerah. Fasilitas transportasi memungkinkan orang, barang dan jasa diangkut dari satu tempat ke tempat lain, tentunya juga dari satu daerah ke daerah lain. Apabila akses transportasi yang baik tidak ada tentunya akan sulit bagi suatu perusahaan untuk melakukan aktivitas usahanya.
Oleh karena itu, tak pelak lagi ketersediaan infrastruktur, terutama kualitas jalan yang baik, sangat diperlukan untuk kelancaran proses produksi. Infrastruktur yang dinilai pada survei ini mencakup penilaian persepsi terhadap sejumlah fasilitas infrastruktur seperti jalan kabupaten dan kota, kualitas lampu penerangan jalan, kualitas air Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), kualitas listrik, dan kualitas telepon. Selain itu, dihitung pula lama waktu yang dibutuhkan di setiap kabupaten dan kota untuk memperbaiki kerusakan terhadap berbagai infrastruktur tersebut. Jenis-jenis infrastruktur tersebut dipilih berdasarkan yang paling memengaruhi keputusan berbisnis pelaku usaha dan atau dalam kewenangan Pemda. Misalnya lampu penerangan jalan sebenarnya tidak terdapat peraturan yang menyebutkan aktivitas perawatannya kepada Pemda, namun karena pajaknya dimasukkan sebagai pajak daerah, maka selayaknya Pemda memberikan perhatian terhadap kualitasnya. Di samping itu, tingkat kepemilikan genset oleh pelaku usaha juga digunakan sebagai salah satu indikator. Hal tersebut mencerminkan tingkat kewaspadaan akan padamnya aliran listrik di mana semakin tinggi tingkatan tersebut menggambarkan keadaan listrik yang tidak baik. Untuk mendapatkan nilai persentase dari indikator kebijakan infrastruktur daerah ada lima variabel penilaian yang digunakan, yaitu: 1) Tingkat kualitas infrastruktur. 2) Lama perbaikan infrastruktur bila mengalami kerusakan. 3) Tingkat pemakaian generator. 4) Lamanya pemadaman listrik. 5) Tingkat hambatan infrastruktur terhadap kinerja perusahaan. Keamanan dan Penyelesaian Konflik Keamanan usaha merupakan hal utama yang menjadi pertimbangan pelaku usaha ketika akan memulai usaha dan menjalankan usahanya. Pelaku usaha terkadang membayar biaya keamanan yang tinggi asalkan ia tetap dapat beroperasi di suatu daerah. Survei ini melakukan penilaian terutama terhadap tindakan aparat keamanan ketika menghadapi kejadian seperti demonstrasi buruh dan kejadian kriminalitas di tempat usaha. Struktur lembaga kepolisian Indonesia dipisahkan dari tentara nasional sejak tahun 1999. Hal ini berkaitan dengan sejumlah tuntutan pelayanan dari masyarakat akan keprofesionalan polisi dalam penanganan masalah keamanan dalam negeri. Pemda secara langsung tidak memiliki kewenangan untuk menangani masalah keamanan yang terjadi di daerahnya. Namun keterbatasan kewenangan ini bukan berarti adanya pembatasan usaha yang dapat dilakukan untuk menciptakan keadaan yang aman. Bentuk koordinasi antara aparat Dinas Ketertiban Umum Pemda dan pihak kepolisian dapat menjadi bentuk sinergi koordinasi yang dapat meningkatkan rasa aman bagi pelaku usaha. Tidak dapat dipungkiri bahwa koordinasi antara lembaga negara dari berbagai tingkatan lebih penting untuk diimplementasikan dari pada sekedar mempersoalkan cakupan kewenangan. Untuk mendapatkan nilai persentase dari indikator keamanan dan penyelesaian sengketa ada empat variabel penilaian yang digunakan, yaitu: 1) Tingkat kejadian pencurian di tempat usaha. 2) Kualitas penanganan masalah kriminal oleh polisi. 3) Kualitas penanganan masalah demonstrasi buruh oleh polisi. 4) Tingkat hambatan keamanan dan penyelesaian masalah terhadap kinerja perusahaan. Sembilan indikator tata kelola ekonomi daerah ini memiliki tiga karakteristik. Karakteristik pertama, merupakan indikator yang terkait dengan kebijakan daerah dan kelembagaan untuk implementasinya. Jadi faktor anugerah (endowment) tidak termasuk dalam kriteria ini. Karakteristik kedua, indikator-indikator ini merupakan kewenangan Pemda kabupaten/kota. Sedangkan karakteristik ketiga adalah indikator yang sifatnya
operasional/praktis yang langsung berkaitan dengan aktivitas suatu usaha. Tujuan survei Tata kelola Ekonomi Daerah yang dilakukan oleh KPPOD ini adalah reformasi dan perbaikan kinerja atas berbagai aspek tata kelola ekonomi daerah, dan menciptakan iklim investasi antar kabupaten/kota yang sehat. Manfaat yang dapat dipetik bagi Pemerintah Daerah adalah sebagai alat pemantauan kinerja kabupaten/kota, dan juga berguna dalam menentukan prioritas fasilitas dan dukungan bagi kabupaten/kota dalam memperbaiki kinerjanya.
6.Tata Kelola Ekonomi Daerah
Tata Kelola Ekonomi Daerah Kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi Tengah merupakan wilayah yang disurvei oleh komite pemantauan pelaksanaan otonomi daerah di tahun 2010. Dalam pemeringkatan tersebut, KPPOD menetapkan delapan indikator yang digunakan untuk menggambarkan tata kelola ekonomi daerah di 11 kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tengah. Ada sembilan indikator dalam TKED tetapi indikator peraturan daerah tidak dimasukan dalam penelitian ini sehingga hanya ada Delapan indikator yaitu Akses Terhadap Lahan Usaha dan Kepastian Berusaha, Perizinan Usaha, Interaksi Pemerintah Daerah dengan Pelaku Usaha, Program Pengembangan Usaha Swasta, Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah, Biaya Transakasi, Infrastruktur Daerah, Keamanan dan Penyelesaian Konflik. Berdasarkan Tabel 2 pemerintah daerah kabupaten dan kota di Sulawesi Tengah yang memiliki pelayanan akses lahan usaha yang terbaik adalah Kabupaten Buol dan Poso dengan skor yang sama yaitu 88,8 disusul pada peringkat kedua dan ketiga yaitu Kabupaten Banggai Kepulauan dengan skor 86,3 dan Kabupaten Donggala dengan skor 86. Sedangkan yang terburuk ditempati Kota Palu dengan skor 69. Waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan status tanah di Kabupaten Buol dan Kabupaten Poso jauh lebih cepat dibanding Kota Palu. Lama pengurusan rata-rata status tanah di Kabupaten Buol dan Kabupaten Poso adalah 3 minggu, sedangkan di Kota Palu 4 minggu. Di samping itu, frekuensi konflik lebih sering terjadi di Kota Palu daripada di Kabupaten Poso. Sebesar 11% para pelaku usaha di Kota Palu menilai sering terjadi persoalan/konflik mengenai kepemilikan lahan di daerahnya. Sementara di Kabupaten Poso, pelaku usaha yang menilai sering terjadi konflik kepemilikan lahan di daerahnya hanya 2%. Kabupaten/kota yang memiliki indikator infrastruktur daerah terbaik adalah Kabupaten Sigi (skor 81), Kabupaten Parigi Moutong (skor 77,4), dan Kabupaten Buol (skor 76,2). Sedangkan Kabupaten Poso merupakan kabupaten terburuk di SulawesiTengah dalam indikator ini dengan (skor 63,5). Di Kabupaten Sigi, lama perbaikan infrastruktur baik jalan maupun lampu penerangan relatif lebih singkat daripada kabupaten lainnya. Lama perbaikan jalan di Kabupaten Sigi rata-rata hanya 28 hari, sedangkan di Kabupaten Poso lebih dari satu bulan. Untuk pemadaman listrik di tempat berlangsungnya usaha, di Kabupaten Sigi hanya satu kali dalam seminggu, sedangkan di Kabupaten Poso mencapai sembilan kali dalam seminggu. Penempatan Kabupaten Poso sebagai kabupaten terburuk di bidang infrastruktur selain dilihat dari lama perbaikan, juga dapat dilihat dari tingkat hambatan infrastruktur terhadap kinerja perusahaan. relatif lebih buruk dibanding yang lain. Hal ini ditunjukkan oleh 16% dari total responden menilai tingkat hambatan infrastruktur terhadap kinerja perusahaan adalah besar.
Banggai 83,4 76,1 Parigi 78,6 77,4 Moutong Sigi 82,5 81 Toli-toli 82,6 74 Tojo Una84,2 72,6 una Donggala 86 74,9 Buol 88,8 76,2 Kota Palu 69 71 Banggai 86,3 73 Kepulauan Poso 88,8 63,5 Morowali 84 64,1 Sumber: KPPOD, (2011)
Tengah
TOTAL INDEKS PERINGKAT DI SULAWESI TENGAH
Keamanan & Penyelesaian Konflik
PPUS
Integritas/Kapasitas Bupati/Walikota Interaksi PEMDA & Pelaku Usaha
Biaya Transaksi
PERDA
Perizinan Usaha
Infrastruktur
Daerah
Akses Lahan
Tabel 2. Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah di Kabupaten/Kota di Sulawesi Tahun 2011 (dalam %)
65,9 78,4 80,5 69,4 55,7 68,3 68,7 72,1
1
58,3 87,7 72,2 67,3
66,6 67,5 71,3
2
56,9 91,5 79,4 69.6 53,1 52,3 76,1 71,2 65,3 82,7 80,3 69,8 58,1 50,2 67,7 69,1
3 4
61,3 88,9
64,9 53,8 60,5 68,9 68,8
5
61,6 86,9 80 59,7 61,3 40,9 71,3 68,3 68,2 87,9 87,1 50,1 66,4 14,9 73,2 66,8 65,5 82,8 70,2 58,6 58,9 59 63,5 66,7
6 7 8
62,8
88,7 42,4 54,3 18,2 71,6 63,5
9
65 84,9 82,1 51,9 54,6 37,2 72,4 62,9 61,7 90,6 82 52,9 56,5 29,3 79,5 62
10 11
86
73
59
Masih berkaitan dengan tabel 2, indikator pelayanan terbaik perizinan usaha peringkat satu, dua dan tiga ditempati oleh Kabupaten Buol (skor 68,2), Kabupaten Banggai (skor 65,9), dan Kota Palu (skor 65,5). Sedangkan peringkat terburuk ditempati oleh Kabupaten Sigi dengan skor 56,9. Tiga daerah terbaik tersebut telah menjalankan sistem pelayanan perizinan usaha yang sudah cukup baik bagi para pelaku usaha. Hal ini dapat dilihat dari lebih dari 86% para pelaku usaha di ketiga daerah tersebut menilai bahwa tingkat kesulitan yang dihadapi pada saat mengurus tanda daftar industri adalah sangat mudah. Di Kabupaten Buol 92% dari total perusahaan yang disurvei di daerah tersebut menilai bahwa biaya tertentu yang dikeluarkan untuk mendapatkan tanda daftar industri tidak memberatkan. Kabupaten Sigi yang merupakan kabupaten dengan nilai skor terendah untuk indikator perizinan usaha 92% responden mengatakan bahwa tidak ada cara pengaduan tentang pelayanan pengaduan di kantor pelayanan perijinan di kabupatenSigi. Kabupaten/kota yang memiliki biaya transaksi termurah dan tidak membebankan pelaku usaha adalah Kabupaten Banggai Kepulauan (skor 88,7), Kabupaten Buol (skor 87,1) dan Kabupaten Poso (skor 82,1). Sedangkan Kota Palu dengan biaya transaksi termahal di Sulawesi Tengah dengan hanya memiliki skor sebesar 70,2. Total biaya yang dibayarkan oleh perusahaan, termasuk pajak dan retribusi, di Kabupaten Banggai Kepulauan pada tahun 2009 relatif lebih rendah dibanding kota Palu yakni sebesar Rp 2.173.913 tiap perusahaan. Sedangkan Kota Palu tertinggi di Sulawesi Tengah yakni sebesar Rp 6.451.613per perusahaan. Hal inilah yang merupakan salah satu penghambat utama bagi kinerja perusahaan di Kota Palu.
Menurut laporan TKED, banyak pengusaha yang terpaksa memberikan biaya tambahan untuk keamanan. Pembayaran biaya informal oleh pelaku usaha kepada kepolisian di Kota Palu lebih tinggi daripada yang dibayarkan kepada Ormas dan preman untuk mendapat jaminan perlindungan usaha. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di Kabupaten Banggai Kepulauan. Pelaku usaha lebih banyak menyerahkan uang keamanan kepada aparat pemda dan preman daripada kepada kepolisian. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Kabupaten Banggai Kepulauan memiliki biaya transaksi termurah dan tidak membebankan pelaku usaha daripada Kota Palu. Indikator kapasitas dan integritas kepala daerah peringkat tiga terbaik ditempati oleh Kabupaten Toli-toli (skor 69,8), Kabupaten Sigi (skor 69,6), Kabupaten Banggai (skor 69,4). Sedangkan untuk peringkat terburuk ditempati oleh Kabupaten Buol dengan skor 50,1. Rendahnya skor di Kabupaten Buol tersebut karena kepala daerah (Bupati) dinilai tidak memahami masalah dunia usaha yang sedang dihadapi oleh pelaku usaha lokal di daerah tersebut. Lebih dari 24% para pelaku usaha menilai tidak setuju jika Bupati mereka dinyatakan memahami permasalahan dunia usaha, bertindak profesional dan tegas dalam kasus korupsi birokratnya dan 77% responden menyatakan setuju dengan pernyataan bahwa tindakan kepala daerah yang menguntungkan diri sendiri. 10% menyatakan tidak setuju jika kepala daerah dinyatakan figur disegani dan layak diteladani. Tiga besar kabupaten dan kota terbaik dalam indikator interaksi Pemda dan pelaku usaha, yaitu Kabupaten Buol (skor 66,4), Kabupaten Donggala (skor 61,3) dan Kabupaten Parigi Moutong (59%). Sedangkan yang terburuk dalam indikator ini adalah Kabupaten Sigi dengan skor 53,1. Seluruh perusahaan yang menjadi responden sepakat menilai bahwa halhal yang berkaitan dengan interaksi Pemda dengan pelaku usaha menjadi hambatan kecil bagi kinerja perusahaan. Mereka menilai bahwa kebijakan pemerintah Kabupaten Buol berpengaruh besar terhadap kinerja perusahaan. Kabupaten Buol telah memiliki forum komunikasi antara Pemda dan pelaku usaha walaupun masih belum sempurna, namun sudah cukup memberikan solusi kepada pelaku usaha dalam menghadapi permasalahan dunia usaha. Pemerintah daerah yang memiliki program pengembangan usaha swasta terbaik adalah Kabupaten Banggai (skor 68,3), Kabupaten Parigi Moutong (skor 66,6), Kabupaten Tojo Una-una (60,5). Untuk Indikator program pengembangan usaha swasta, Kabupaten Buol menempati peringkat terakhir dengan skor 14,9. Pada dasarnya, seluruh pelaku usaha mengetahui bahwa terdapat program yang disediakan oleh pemda dalam rangka mengembangkan bisnis. Pelaku usaha di Kabupaten Banggai menilai bahwa programprogram tersebut memberikan manfaat yang relatif besar bagi perusahaan. Hal ini dilihat dari hanya 22% pelaku usaha di Kabupaten Banggai mengatakan program pengembangan usaha yang dilaksanakan pemda memiliki manfaat kecil bagi kinerja perusahaan mereka. Hal ini terjadi karena pemda telah dapat menyelenggarakan program pengembangan bisnis yang tepat dan sesuai bagi pengembangan usaha-usaha di kabupaten tersebut. Indikator jaminan keamanan dan penyelesaian sengketa terbaik adalah Kabupaten Morowali (skor 79,5), peringkat kedua Kabupaten Sigi (skor 76,1), dan peringkat ketiga Kabupaten Buol (skor 73,2). Daerah yang terburuk dalam indikator ini adalah Kota Palu dengan nilai 63,5. Perbedaan antara kabupaten yang terbaik dan terburuk dapat disebabkan oleh banyaknya kasus pencurian yang terjadi, kualitas penanganan masalah kriminal dan demostrasi buruh oleh polisi. Pelaku usaha mengatakan bahwa selama tahun 2009 rata-rata hanya satu kali kejadian pencurian di Kabupaten Morowali. Sementara di Kota Palu, pelaku usaha rata-rata mengatakan bahwa dalam kurun waktu tersebut terdapat dua kali kejadian pencurian. Lebih dari 88% pelaku usaha di Kabupaten Morowali, menilai polisi telah mengambil tindakan tepat waktu dalam menangani kasus kriminal yang berhubungan dengan kegiatan usaha.Sedangkan pelaku usaha di Kota Palu yang menilai hal tersebut hanya 65%.
Tidak hanya itu, kualitas polisi dalam menangani kasus demonstrasi buruh pun jauh lebih baik di Kabupaten Morowali daripada di Kota Palu, sehingga pelaku usaha lokal Kabupaten Morowali merasa aman dan nyaman berusaha karena kualitas jaminan keamanan usaha yang sangat baik. Setelah mendapatkan nilai-nilai dari delapan indikator tersebut, selanjutnya adalah melihat nilai Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah secara keseluruhan untuk menilai kabupaten dan kota yang memiliki tata kelola ekonomi daerah terbaik di Provinsi Sulawesi Tengah. Berdasarkan Tabel 1, dari 11 kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Tengah hanya 3 Kabupaten yang mempunyai indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah yang kondusif (di atas 70) yaitu kabupaten Banggai skor 72,1 Kabupaten Parigi Moutong skor 71,3 serta Kabupaten Sigi dengan skor 71,2. Adapun Kabupaten Donggala dan Kota Palu memperoleh skor masing-masing 68,3 dan 66,7.
Keterkaitan Variabel Tata Kelola Ekonomi Daerah dengan Kinerja Perekonomian Daerah Untuk mengetahui hubungan antara variabel tata kelola ekonomi daerah terhadap PDRB perkapita, pengangguran dan kemiskinan kabupaten dan kota di Sulawesi Tengah dilakukan uji korelasi Pearson untuk data interval, uji korelasi Spearman untuk data ordinal dilengkapi dengan scatter plot. Hasil yang diperoleh setelah melakukan korelasi antara masing-masing sub indikator dalam TKED dengan kinerja perekonomian daerah (PDRB perkapita, pengangguran, kemiskinan), diperoleh adanya hubungan sederhana antara variabel-variabel TKED dengan kinerja perekonomian daerah. Indikator dalam TKED yang mempunyai hubungan adalah indikator infrastruktur dan indikator program pengembangan usaha swasta. Indikator infrastruktur sub indikator yang mempunyai hubungan sederhana adalah lama perbaikan listrik, kondisi lampu jalan, waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki PDAM. Indikator PPUS sub indikator yang mempunyai hubungan sederhana dengan kinerja perekonomian daerah adalah manfaat PPUS terhadap pelaku usaha kecil, menengah dan besar, pelatihan pengajuan aplikasi kredit bagi UKM. Hubungan sederhana masing-masing sub indikator tersebut dapat dijelaskan pada tabel 3.
Tabel 3 Korelasi PDRBKap, Perubahan Pengangguran dan Perubahan Kemiskinan terhadap sub indikator TKED Indikator Kinerja Sub Indikator TKED Perekonomian Daerah PDRBKap(pearson) Lama perbaikan listrik Perubahan Kondisi lampu penerangan Pengangguran(spearman) jalan Manfaat PPUS Pelatihan Pengkredit Perubahan Waktu Perbaikan PDAM Kemiskinan(pearson) *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). Sumber: Data Olahan
Coeff
Sig
-0,744 -0,751
0,009* 0,008*
-0,775 -0,657 0,748
0,005* 0,028** 0,008*
Variabel dalam indikator Infrastruktur yang mempunyai hubungan dengan indikator kinerja perekonomian daerah adalah lama perbaikan listrik di sekitar usaha responden. Data yang digunakan pada variabel lama perbaikan infrastruktur bila mengalami kerusakan sun indikator lama perbaikan listrik di sekitar usaha responden adalah data dengan skala interval sehingga untuk melihat hubungan sederhana dilakukan uji Pearson. Hasilnya menunjukkan bahwa lama perbaikan listrik berkorelasi negatif terhadap PDRB per kapita secara signifikan pada taraf 5% (Gambar 9). Responden yang di survey oleh KPPOD adalah 51% perusahaan kecil, Data perusahaan kecil (jumlah TK 1-10 orang) di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah sebanyak 97.329 perusahaan ( BPS Sulawesi Tengah, hasil pendaftaran perusahaan sensus ekonomi 2006). Perusahaan dengan skala kecil akan mengalami hambatan dalam melaksanakan aktifitasnya jika lama perbaikan listrik lebih lama dan hal ini akan menganggu aktifitas perusahaan. Jika aktifitas perusahaan terganggu akan berakibat pada pendapatan dari perusahaan tersebut. Di era otonomi daerah, daerah otonom diberikan kewenangan untuk mengelola masalah tata kelola ekonomi daerah menjadi lebih baik dengan respon yang lebih cepat dari pihak PEMDA terutama dengan kebijakan-kebijakan dalam perbaikan infrastruktur. Dengan tata kelola ekonomi daerah yang baik, maka investasi ke daerah diharapkan akan lebih meningkat. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi di daerah juga membaik dan pendapatan masyarakatnya meningkat. Karena waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki listrik adalah salah satu sub variabel dalam variabel TKED, untuk melihat hubungannya dengan PDRB per kapita adalah dengan melalui variabel investasi, setelah dilakukan korelasi sederhana antara sub indikator lama perbaikan listrik dengan nilai indeks total dari TKED diperoleh hasil adanya hubungan keduanya (lampiran 21). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lama perbaikan listrik merupakan proksi dari TKED. Kondisi lampu jalan yang baik berarti mencerminkan TKED yang baik, TKED yang baik akan membuat daya tarik bagi investor.
Scatterplot of PDRB HB vs Q114bR4 Scatterplot lama perbaikan infrastruktur listrik dengan PDRB perkap
HB PDRBPDRB Per Kapita (Juta)
18000000
16000000
14000000
12000000
10000000
1.0
1.2
1.4
1.6
1.8
2.0
Q114bR4
Lama perbaikan infrastruktur listrik (hari)
Gambar 9 Hubungan lama perbaikan infrastruktur listrik dengan PDRB perkapita. Sumber: Data olahan Variabel lain dalam indikator infrastruktur yang mempunyai hubungan dengan indikator kinerja perekonomian daerah adalah kondisi lampu penerangan jalan. Data yang
digunakan pada variabel kualitas infrastruktur sub indikator kondisi lampu penerangan jalan di sekitar usaha responden adalah data dengan skala ordinal sehingga untuk melihat hubungan sederhana dilakukan uji Spearman. Hasilnya menunjukkan bahwa kondisi lampu jalan berkorelasi negatif terhadap perubahan pengangguran secara signifikan pada taraf 5% (Gambar 10). Responden yang menjawab buruk tersebar di 5 (Banggai Kepulauan, Morowali, Poso, Toli-Toli, Palu) daerah penelitian dan responden yang menjawab baik berada di 6 daerah lainnya (Banggai, Buol, Parigi Moutong, Tojo Una-Una, Sigi, Donggala). Sebanyak 23% responden di Kabupaten Banggai dan Kabupaten Morowali menyatakan kondisi penerangan jalan di sekitar lokasi usaha mereka sangat buruk, sedangkan di Kota Palu, 10% responden menyatakan hal yang sama dengan responden di Banggai dan Morowali. Responden yang di survey oleh KPPOD di kabupaten/kota di Sulawesi Tengah berjumlah 458 responden. Dari jumlah itu, 21% bekerja di sektor usaha perdagangan dan 36% di sektor usaha jasa, termasuk warung makan dan salon, yang beraktifitas sampai malam hari. Kondisi lampu penerangan jalan yang baik memungkinkan kegiatan usaha seperti ini untuk beraktifitas sampai malam hari karena pelanggan yang datang di malam hari akan lebih merasa aman. Kegiatan usaha seperti ini juga merangsang tumbuhnya kegiatan usaha jasa lainnya seperti ojek sepeda motor yang umumnya beroperasi disekitarnya. Peningkatan aktifitas tersebut akan berakibat pada meningkatnya volume penjualan dan selanjutnya memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak dan pada gilirannya akan mengurangi pengangguran.
Perubahan_pengangguran(%)
Uji Spearman P-Value= 0,008
Buruk Baik Kondisi lampu penerangan (2) (3) jalan jalan Gambar 10 Scatterplot kondisi lampu penerangan jalan di sekitar usaha responden pada tahun 2009 dengan Pengangguran Sumber: Data olahan
Variabel lainnya dalam indikator infrastruktur yang mempunyai hubungan dengan indikator perekonomian daerah adalah waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki PDAM. Data yang digunakan pada variabel kualitas infrastruktur sub indikator waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki PDAM adalah data dengan skala interval sehingga untuk melihat hubungan sederhana dilakukan uji Pearson. Hasilnya menunjukkan bahwa waktu yang diperlukan untuk memperbaiki PDAM berkorelasi positif terhadap perubahan kemiskinan secara signifikan pada taraf 5% (Gambar 11).
Air bersih merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, sehingga pemenuhannya memerlukan perhatian dan campur tangan pemerintah sebagaimana tertuang dalam UndangUndang Dasar 1945 pasal 33. Penyediaan infrastruktur air bersih berkaitan dengan aspekaspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Dalam aspek ekonomi, sektor air bersih dituntut menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah ekonomi dalam rangka memandu alokasi sumber daya air dan mendorong terselenggaranya sektor usaha selayaknya corporate yang profesional, berperilaku efisien, dan menghasilkan manfaat bagi sektor ekonomi lainnya. Dalam aspek sosial, sektor air bersih berhubungan dengan nilai-nilai sosial yang harus diaspirasikan dalam pembangunan serta kedudukannya sebagai sektor publik yang paling mendasar. Sedangkan dalam aspek lingkungan, sektor air bersih berhadapan dengan implikasi yang bernuansa sosial dan mempengaruhi alokasi sumber daya air. Sinergi antara aspek lingkungan dan sosial dapat menentukan perilaku pengelolaan sumber daya air dan permintaan air bersih (Nugroho 2003). Indonesia memasukkan akses air minum layak bagi rumah tangga sebagai salah satu indikator MDGs, yang ditargetkan pada tahun 2015 mencapai 68,87%. Sumber air minum yang layak meliputi air minum perpipaan dan air minum non-perpipaan terlindung yang berasal dari sumber air berkualitas dan berjarak sama dengan atau lebih dari 10 meter dari tempat pembuangan kotoran dan/atau terlindung dari kontaminasi lainnya. Sumber air minum layak meliputi air leding, keran umum, sumur bor atau pompa, sumur terlindung dan mata air terlindung, serta air hujan. Sumber air minum tak layak didefinisikan sebagai sumber air yang jarak antara sumber air dan tempat pembuangan kotoran kurang dari 10 meter dan atau tidak terlindung dari kontaminasi lainnya. Sumber tersebut antara lain mencakup sumur galian yang tak terlindung, mata air tak terlindung, air yang diangkut dengan tangki/drum kecil, dan air permukaan dari sungai, danau, kolam, dan saluran irigasi/drainase. Air kemasan dianggap sebagai sumber air minum layak hanya jika rumah tangga yang bersangkutan menggunakannya untuk memasak dan menjaga kebersihan tubuh, dan di Indonesia penggunaan air kemasan tidak dikategorikan sebagai sumber air minum layak terkait aspek keberlanjutannya (Bappenas, 2010). Responden dengan jenis usaha produksi misalnya tempat pembuatan tempe, keripik memerlukan air bersih untuk menjamin mutu dari produknya. Infrastruktur yang baik akan membuat kinerja perusahaan lebih efisien, pendapatan perusahaan akan meningkat dan selanjutnya perusahaan dapat merekrut tenaga kerja baru dan mengakibatkan akan berkurangnya kemiskinan.
Scatterplot Kemiskinan dengan Waktu yang diperlukan untuk memperbaiki Scatterplot of kemiskinan (%) vs Q114bR3
PDAM
10
Perubahankemiskinan Kemiskinan (%) (%)
0 -10 -20 -30 -40 -50 1.0
1.5
2.0 Q114bR3
2.5
3.0
Waktu yang diperlukan untuk memperbaiki PDAM (hari)
Gambar 11 Hubungan waktu yang diperlukan untuk memperbaiki PDAM dengan Kemiskinan Sumber: Data olahan Selain indikator infrastruktur dalam TKED masih terdapat indikator lain yang mempunyai hubungan dengan kinerja perekonomian daerah indikator tersebut adalah program pengembangan usaha swasta. Pada variabel tingkat manfaat PPUS terhadap pelaku usaha yang dapat menghubungkan pelaku usaha kecil-sedang dan besar. Data yang digunakan pada variabel manfaat PPUS terhadap pelaku usaha yang dapat menghubungkan pelaku usaha kecil-sedang dan besar adalah data dengan skala ordinal sehingga untuk melihat hubungan sederhana dilakukan uji Spearman. Hasilnya menunjukkan bahwa manfaat PPUS berkorelasi negatif terhadap perubahan pengangguran secara signifikan pada taraf 5% (Gambar 12). Responden yang menjawab bermanfaat tersebar di 8 (Banggai kepulauan, Banggai, Morowali, Poso, Toli-Toli, Buol, Palu, Sigi) daerah penelitian dan responden yang menjawab sangat bermanfaat berada di 3 daerah lainnya (Donggala, Parigi Moutong, Tojo Una-una). Semakin besar manfaat yang diperoleh dari program-program yang dilakukan oleh PPUS yang dapat menghubungkan antara pelaku usaha kecil-menengah dan besar, maka semakin kecil tingkat pengangguran di daerah tersebut. Sub indikator lain dalam PPUS yang mempunyai hubungan dengan kinerja perekonomian daerah adalah pelatihan pengajuan kredit bagi UKM. Data yang digunakan pada variabel pelatihan pengajuan kredit bagi UKM adalah data dengan skala ordinal sehingga untuk melihat hubungan sederhana dilakukan uji Spearman. Hasilnya menunjukkan bahwa pelatihan pengajuan kredit berkorelasi negatif terhadap perubahan pengangguran secara signifikan pada taraf 5% (gambar 13). Responden yang menjawab bermanfaat tersebar di 7 (Banggai kepulauan, Banggai, Morowali, Poso, Toli-Toli, Buol, Palu) daerah penelitian dan responden yang menjawab sangat bermanfaat berada di 4(Donggala,Parigi Moutong, Tojo Una-una,Sigi) daerah lainnya. Semakin sering pelatihan pengajuan kredit bagi UKM dilakukan oleh PPUS dapat memberikan manfaat bagi pelaku usaha sehingga diharapkan tingkat pengangguran di daerah tersebut berkurang. Semakin banyak manfaat yang dapat menghubungkan antara pelaku usaha kecil sedang dan besar dengan adanya PPUS akan semakin banyak pelaku usaha yang dapat mempertemukan mata rantai kegiatan antara pelaku usaha kecil sedang dengan pelaku usaha yang lebih besar. Pelaku usaha dengan skala kecil akan dapat meningkatkan usahanya
ke tingkat yang lebih besar. Dengan demikian akan menambah skala usahanya dan dapat meningkatkan penjualan sehingga akan menambah pendapatan dan selanjutnya akan mengurangi pengangguran. Untuk sub indikator pelatihan pengajuan kredit bagi UKM yang merupakan sub indikator dari PPUS yang juga mempunyai hubungan nyata dengan perubahan pengangguran. Sektor permodalan yang merupakan “jantung” kegiatan UKM merupakan hal yang krusial. Hal ini terlihat dari persepsi pelaku usaha yang menganggap bahwa PPUS berupa pelatihan pengajuan aplikasi kredit sangatlah penting dan bermanfaat. Dengan adanya pelatihan pengajuan kredit untuk UKM, maka pelaku usaha yang awalnya sangat sulit untuk mendapatkan tambahan permodalan, dengan adanya pelatihan pengajuan kredit bagi UKM yang difasilitasi oleh PPUS, maka pelaku usaha dapat meningkatkan skala usahanya karena telah mendapatkan tambahan modal. Dengan demikian, akan menambah hasil produksi dari usahanya dan selanjutnya akan menambah pendapatan dan pada akhirnya akan mengurangi pengangguran. Seluruh pelaku usaha mengetahui adanya PPUS yang diselenggarakan oleh PEMDA di kabupaten mereka minimal satu program dan mereka pun telah mengikuti minimal satu program yang diselenggarakan oleh PEMDA. Pelatihan ini meliputi pelatihan pengenalan jenis-jenis kredit, pengenalan jenis lembaga keuangan formal yang ada, pengenalan dan pelatihan prosedur pengajuan aplikasi kredit (syarat-syarat yang harus dipenuhi, hak dan kewajiban kreditur dan debitur). Dalam era otonomi daerah, diharapkan akan lebih banyak lagi kegiatan yang difasilitasi oleh PPUS sehingga pengangguran di kabupaten/kota diharapkan akan berkurang.
Perubahan_pengangguran
(%)
Uji Spearman P-Value= 0,005
Bermanfaat(3)
Sangat Bermanfaat(4)
Gambar 12 Scatterplot manfaat PPUS dapat menghubungkan pelaku usaha kecil-sedang dan besar dengan Pengangguran Sumber: Data olahan
Perubahan_pengangguran(%)
Uji Spearman P-Value= 0,028
Bermanfaat(3)
Sangat Bermanfaat (4)
Pelatihan pengajuan kredit Gambar 13 Scatterplot pelatihan pengajuan kredit bagi UKM dengan Pengangguran Sumber: Data olahan Indikator-indikator dalam tata kelola ekonomi daerah yang signifikan baik negatif maupun positif dengan indikator kinerja perekonomian daerah di atas mengambarkan korelasi antara variabel-variabel dan merupakan indikasi awal dari suatu fenomena. Indikator dalam tata kelola ekonomi daerah di suatu daerah boleh saja buruk tetapi indikator yang baik yang merupakan daya tarik bagi daerah tersebut. Hubungan Total Indeks TKED dengan PDRB per Kapita, Pengangguran dan Kemiskinan Tata Kelola Ekonomi Daerah kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tengah telah dibuat indeks oleh KPPOD pada tahun 2011. Seluruh variabel tata kelola ekonomi daerah diagregasi menjadi sebuah indeks tata kelola ekonomi daerah. Pembuatan indeks ini melalui beberapa cara, yakni tahap normalisasi, perhitungan sub indeks dan perhitungan indeks melalui pembobotan tiap variabel. Selain itu, ada sembilan indikator yang dibuat sub-indeks, yaitu indikator akses lahan, izin usaha, interaksi pemda dengan pelaku usaha, program pengembangan usaha swasta, kapasitas dan integritas pemimpin daerah, Biaya Transaksi, infrastruktur daerah, keamanan dan penyelesaian konflik dan peraturan daeah. Untuk analisis hubungan antara nilai total indeks dari 9 indikator TKED, indikator PERDA dimasukkan dalam analisis ini karena yang dipakai adalah nilai total indeks yang telah ada dalam hasil laporan KPPOD tahun 2010. Penelitian ini tidak hanya melihat korelasi dari masing-masing sub indikator dalam TKED tetapi juga perlu dilihat korelasi secara keseluran antara nilai total indeks TKED dengan kinerja perekonomian daerah, hasil dari korelasi tersebut terlihat pada Gambar 14,15 dan 16. Dari ketiga gambara tersebut menunjukkan bahwa indeks TKED tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan PDRB perkapita, Pengangguran dan Kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah. Dari sembilan indikator, tidak satupun indikator yang berhubungan signifikan dengan PDRB Perkapita. Demikian juga dengan Pengangguran dan Kemiskinan tidak berhubungan signifikan. Scatterplot PDRB Perkapita dengan 9 indeks TKED menunjukkan untuk PDRB Perkapita ada 2 indikator yang memiliki kemiringan (slope) yang cenderung landai yaitu indikator integritas dan kapasitas bupati/walikota dan PPUS, untuk Pengangguran indikator TKED yang memiliki kemiringan
landai yaitu akses lahan, infrastruktur, biaya transaksi dan PPUS. Adapun untuk kemiskinan indikator TKED yang memiliki kemiringan landai adalah perizinan usaha, biaya transaksi, integritas/kapasitas bupati/walikota, PPUS dan keamanan dan penyelesaian konflik. Hal ini dapat terjadi karena seluruh variabel yang berupa lebih dari 90 pertanyaan dengan skala yang berbeda-beda diagregasikan menjadi sebuah indeks. Pertanyaan yang menjadi variabel memiliki berbagai skala, baik nominal, ordinal maupun interval. Oleh karena itu, dalam melakukan analisisnya lebih tepat menggunakan analisis atau uji yang berbeda-beda, disesuaikan dengan skala masing-masing. Dengan demikian, akan terlihat variabel-variabel yang berpengaruh secara signifikan sehingga diperoleh rekomendasi kebijakan yang tepat. PDRB perkapita vs TKED A kses Lahan
Infrastruktur
P erizinan U saha
16000 12000 8000 70
80
90 64
PDRBperka
P E RD A
72
80
60
Biay a Transaksi
64
68
Integritas/Kapasitas Bupati/Wal 16000 12000 8000
80
85
90
70
80
Interaksi P E M D A & P elaku U saha
90
PPUS
50
60
70
Keamanan & P eny elesaian Konflik
16000 12000 8000 55
60
65
20
40
60
64
72
80
Gambar 14 Hubungan sub-indeks dan indeks tata kelola ekonomi daerah dengan PDRB per kapita.
Pengangguran vs TKED A kses Lahan
Infrastruktur
P erizinan U saha
0
pengangguran (%)
-20 -40 70
80
9064
72
P E RDA
80
60
Biay a Transaksi
64
68
Integritas/Kapasitas Bupati/Wal 0 -20 -40
80
85
90
70
80
Interaksi P E M DA & P elaku U saha
90
PPUS
50
60
70
Keamanan & P eny elesaian Konflik
0 -20 -40 55
60
65
20
40
60
64
72
80
Gambar 15 Hubungan sub-indeks dan indeks tata kelola ekonomi daerah dengan Pengangguran. Kemiskinan vs TKED A kses Lahan
Infrastruktur
P erizinan U saha
0 -20 -40
kemiskinan (%)
70
80
9064
72
P E RDA
80
60
Biay a Transaksi
64
68
Integritas/Kapasitas Bupati/Wal 0 -20 -40
80
85
90
70
80
Interaksi P E M DA & P elaku U saha
90
PPUS
50
60
70
Keamanan & P eny elesaian Konflik
0 -20 -40 55
60
65
20
40
60
64
72
80
Gambar 16 Hubungan sub-indeks dan indeks tata kelola ekonomi daerah dengan kemiskinan. Sumber: Data olahan
Analisis Terhadap Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Kemiskinan Data hasil regresi antara Pertumbuhan, pengangguran dan kemiskinan terhadap belanja belanja modal dan investasi serta indikator TKED merupakan hasil model yang terbaik setelah dilakukan berbagai macam uji dan memenuhi asumsi klasik (lampiran 20). Dari hasil output untuk regresi antara Pertumbuhan terhadap belanja modal dan investasi, serta indikator TKED. Untuk mendapatkan model yang terbaik, maka dilakukan regresi dengan peubah bebas kualitatif dengan 2 kategori (yang berinteraksi dengan peubah bebas lainnya). Metodenya adalah dengan menambahkan suatu peubah bebas baru yang merupakan perkalian antara 2 peubah bebas yang berinteraksi. Dalam model ini peubah bebas yang berinteraksi adalah belanja modal yang berinteraksi dengan dummy kabupaten dan investasi yang berinteraksi dengan dummy kabupaten. Tabel 4
Hasil estimasi parameter persamaan LnPDRBKap kabupaten/kota di Sulawesi Tengah tahun 2010-2011 PEUBAH Dugaan Parameter Probability t-Statistik Intersept 3.432486 0.0007 -0.248664 Dkab 0.0004 LnBelanja Modal 0.194372 0.2359 0.022140 Dkab*LnBelanja 0.0000 Modal -0.191878 Lama perbaikan 0.0001 listrik Manfaat PPUS 0.013075 0.6682 Pelatihan pengkredit -0.006126 0.8674 Perbaikan PDAM 0.012392 0.6561 2 R = 0.743 F-Hitung= 4.712 DW= 2.058 Sumber: Data olahan dari berbagai sumber: KPPOD, APBD 2010-2011 Dari hasil estimasi output, variabel bebas yang berpengaruh signifikan terhadap PDRB perkapita kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah adalah Dkabupaten, Dkab*BM, serta varibel tata kelola ekonomi daerah yaitu lama perbaikan listrik. Dari hasil output regresi PDRB perkapita, koefisien variabel Dkabupaten sebesar 0,248 yang berarti bahwa terdapat perbedaan PDRB perkapita antara di kabupaten dan kota. PDRB perkapita di kabupaten lebih kecil daripada di kota, jika faktor lain dalam model tersebut sama. Pengaruh belanja modal terhadap PDRB perkapita di kabupaten sebesar 0,022 (Tabel 4). Hasil pendugaan model ini sesuai fakta bahwa PDRBKap di Kabupaten Donggala lebih rendah dibandingkan PDRBKap di Kota Palu, tetapi persentase alokasi belanja modal di Kabupaten Donggala lebih tinggi dibandingkan di Kota Palu. Hal ini dikarenakan tata kelola ekonomi daerah di Kabupaten Donggala lebih baik daripada di Kota Palu dan hal ini juga ditunjang oleh proses perencanaan dan penganggaran Kabupaten Donggala yang lebih baik dibandingkan Kota Palu terutama dalam prioritas anggaran. Dalam hal ini, belanja modal merupakan pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap. Belanja modal yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menambah aset tetap misalnya membuat gedung, perbaikan jalan maupun belanja tanah terbukti dapat memberikan efek yang besar dalam perekonomian. Semakin banyak belanja modal yang dilakukan pemerintah, semakin cepat perekonomian
tumbuh sehingga kesejahteraan masyarakat yang ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi dapat meningkat. Syarat fundamental untuk pembangunan ekonomi adalah tingkat pengadaan modal pembangunan yang seimbang dengan pertambahan penduduk. Bertambahnya infrastruktur dan perbaikannya oleh pemerintah daerah diharapkan akan memacu pertumbuhan ekonomi daerah dan selanjutnya akan meningkatkan pendapatan perkapita masyarakatnya. Kecilnya pengaruh belanja modal terhadap PDRB perkapita mengindikasikan kurangnya perhatian pemerintah kabupaten/kota akan pentingnya alokasi belanja modal. Lebih disayangkan lagi dalam wawancara dengan beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah masih banyak pemangku kepentingan yang salah menafsirkan arti dari belanja modal dalam hal ini banyak anggaran yang dikeluarkan untuk alokasi belanja ini yang tidak tepat sasaran karena bukan dibelanjakan untuk objek pembangunan, tetapi masih banyak yang dialokasikan ke subjek dalam hal ini untuk aparat SKPD sendiri contohnya pembelian perangkat elektronik untuk penunjang misalnya pembelian laptop dan perangkat ini akan berpindah tangan jika pemangku kepentingan akan dimutasi ke tempat lain. Selanjutnya, variabel TKED lama perbaikan listrik berpengaruh signifikan terhadap PDRB perkapita. Variabel ini juga signifikan terhadap pengangguran dan kemiskinan. Waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki infrastruktur termasuk perbaikan listrik dalam indikator yang ditetapkan oleh KPPOD, pelaku usaha yang menjadi responden survei adalah yang melakukan aktivitas usaha pada sektor usaha jasa, industri pengolahan, dan pedagangan. Untuk sektor perdagangan yang banyak adalah sektor perdagangan informal yang sangat membutuhkan listrik untuk menjalankan usahanya pada malam hari. Kondisi di Kota Palu, pelaku usaha jarang membuka usahanya baik formal maupun informal di malam hari dalam jangka waktu yang lama karena buruknya infrastruktur listrik berdampak pada kurangnya jaminan keamanan baik pada pelaku usaha maupun pada konsumen. Akibatnya banyak pelaku usaha hanya membuka sampai pada pukul 17.00. Di kabupaten Banggai, pelaku usaha hanya membuka usahanya sampai pada jarak 5 km dari pusat Kota. Akibatnya, pekerja termasuk penjaga toko yang mendapat shift waktu bekerja pada pukul 17.00 hingga 21.00 mengganggur bahkan ada pekerja yang harus kehilangan pekerjaan karena ketatnya persaingan, di bidang jasa perdagangan ini. Hal ini diperburuk oleh situasi di Sulawesi Tengah, kecenderungan lulusan perguruan tinggi menjadi PNS sangat besar karena tidak adanya alternatif lain seperti industri. Waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki instalasi listrik di sekitar tempat usaha responden selama di tahun 2009 paling lama di Kabupaten Parigi Moutong yaitu 34 hari, di Kota Palu selama 14 hari dan di Kabupaten Donggala hanya 8 hari. Kota Palu sebagai ibukota Provinsi seharusnya sudah tidak lagi mengalami masalah listrik karena ketersediaan fasilitas listrik yang memadai. Namun, adanya Pembangkit Listrik Tenaga Uap di Kelurahan Mpanau bukan merupakan solusi akhir karena PLTU membutuhkan input batubara yang berasal dari Kalimantan. Ini memerlukan perencanaan matang dalam pembelian batubara bagi penggunaan pada bulan mendatang. Ditambah perjalanan transportasi batubara via laut sering mengalami gangguan cuaca seperti gelombang tinggi di perairan Selat Makassar dan Laut Sulawesi. Dari tabel 5 dan 6 dapat dilihat hasil output faktor-faktor yang mempengaruhi pengangguran dan kemiskinan
Tabel 5
Hasil estimasi parameter persamaan pengangguran kabupaten/kota di Sulawesi Tengah tahun 2010-2011 PEUBAH Dugaan Parameter Probability t-Statistik Intersept 2.598600 0.0203 -0.216567 Dkab 0.0043 0.289217 LnBelanja Modal 0.0862 0.109321 LnInvestasi 0.0000 -0.159635 Dkab*LnInvestasi 0.0004 Kondisi lampu jalan 0.029510 0.3747 -0.348119 Lama perbaikan 0.0002 listrik Manfaat PPUS 0.056566 0.5311 Pelatihan pengkredit 0.018655 0.8101 Perbaikan PDAM -0.036247 0.2243 R2 = 0.898 F-Hitung= 11.748 DW= 1.936 Sumber: Data olahan dari berbagai sumber: KPPOD, APBD 2010-2011 Tabel 6 Hasil estimasi parameter persamaan perubahan kemiskinan kabupaten/kota di Sulawesi Tengah tahun 2010-2011 PEUBAH Dugaan Parameter Probability t-Statistik Intersept 2.391691 0.0001 0.103239 Dkab 0.0876 0.342563 LnBelanja Modal 0.0026 -0.030545 LnInvestasi 0.0186 -0.072008 Kondisi lampu jalan 0.0934 -0.223304 Lama perbaikan 0.0000 listrik 0.269648 Manfaat PPUS 0.0000 Pelatihan pengkredit -0.018751 0.6935 0.030439 Perbaikan PDAM 0.0816 2 R = 0.910 F-Hitung= 16.486 DW= 2.001 Sumber: Data olahan dari berbagai sumber: KPPOD, APBD 2010-2011 Dari hasil estimasi output, variabel bebas yang berpengaruh signifikan terhadap pengangguran adalah Dkab, belanja modal, investasi, Dkab*lninvestasi serta indikator tata kelola ekonomi daerah yaitu lama perbaikan listrik. Faktor yang mempengaruhi kemiskinan adalah Dkab, belanja modal, investasi, dan indikator TKED yaitu kondisilampu_jalan, lama perbaikan listrik, manfaat PPUS , lama perbaikan PDAM. Koefisien variabel Dkab yang negatif signifikan mengindikasikan bahwa pengangguran di kabupaten lebih rendah daripada di kota, jika faktor lain dalam model tersebut sama. Pengaruh investasi di kabupaten terhadap pengangguran sebesar -0,050 (-0,159 + 0,109) yang berarti bahwa pengaruh investasi di kabupaten lebih besar dibandingkan di kota sehingga pengaruhnya dalam menurunkan pengangguran di kabupaten lebih tinggi dibanding di kota, penurunan pengangguran di Kabupaten Donggala lebih rendah dibandingkan di Kota Palu, hal ini dikarenakan tata kelola ekonomi daerah di Kabupaten Donggala lebih baik dan dalam prioritas anggaran juga lebih baik walaupun investasi di
Kabupaten Donggala masih kurang dibandingkan investasi di Kota Palu. (Tabel 5). Pengangguran di kota lebih tinggi dibanding di kabupaten, hal ini disebabkan oleh adanya migrasi penduduk yang mencari kerja di kota. Dalam model pengangguran di atas variabel investasi, peningkatan investasi juga meningkatkan pengangguran hal ini disebabkan investasi yang ada adalah investasi padat modal. Variabel Dkabupaten yang signifikan terhadap kemiskinan sebesar 0,103 yang berarti bahwa terdapat perbedaan antara kemiskinan di kabupaten dan kota. Kemiskinan di kabupaten lebih tinggi daripada di kota, jika faktor lain dalam model tersebut sama (tabel 6). Kemiskinan di Kabupaten Donggala lebih tinggi dibandingkan di Kota Palu tetapi karena alokasi Belanja Modal di Kabupaten Donggala lebih baik serta tata kelola ekonomi daerah juga lebih baik daripada di Kota Palu sehingga penurunan kemiskinan di Kabupaten Donggala lebih tinggi dibanding di Kota Palu. Untuk variabel tata kelola ekonomi daerah yang mempunyai pengaruh signifikan dengan pengangguran dan kemiskinan. TKED yang signifikan terhadap pengangguran adalah lama perbaikan listrik, variabel TKED lainnya yang signifikan terhadap kemiskinan adalah manfaat PPUS yang menghubungkan pelaku usaha skala kecil-sedang dan besar. Variabel manfaat PPUS berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan. Semakin banyak interaksi antara pelaku usaha kecil sedang dan besar semakin banyak informasi dan hal-hal lain yang dapat diperoleh dari pelaku usaha yang telah sukses dan memberikan atau menyebarluaskan keberhasilannya kepada pelaku usaha lain yang masih membutuhkan dan memerlukan informasi guna kemajuan usahanya, maka akan semakin banyak hal-hal yang berguna yang dapat didapatkan sehingga dapat meningkatkan usahanya dan dapat meningkatkan pendapatannya. Kabupaten Banggai telah memiliki PPUS yang dapat menghubungkan antara pelaku usaha kecil-menengah dan pengusaha besar. Dengan demikian, antara pelaku usaha tersebut telah terjalin komunikasi horizontal dan saling bertukar informasi pengalaman dalam usaha. Di samping itu, antara UMKM dan pengusaha mapan dapat menekan biaya transaksi dan biaya informasi walaupun tidak dilakukan secara resmi dalam kawasan ekonomi khusus seperti pada zona industri. Konsekuensinya, daya serap tenaga kerja semakin besar sehingga meningkatkan pendapatan masyarakat di Kabupaten Banggai. Data aktual Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa masih ada 9.98% penduduk miskin dari total penduduk Kota Palu. Pada tahun 2012, sesuai data yang bersumber dari Unit Penetapan Sasaran Penanggulangan Kemiskinan Tim Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, penduduk miskin di Kota Palu berjumlah 74.165 jiwa tercakup dalam 15.196 kepala keluarga. Dari jumlah tersebut, proporsi terbesar berada di Kecamatan Palu Barat yang mencapai 23.192 jiwa (31.27%) disusul oleh Kecamatan Palu Selatan mencapai 20.440 jiwa (27.56%), Palu Utara mencapai 17.793 jiwa serta Palu Timur mencapai 12.740 jiwa. Sampai tahun 2012, penduduk miskin yang tidak bekerja mencapai 51.542 jiwa yang proporsinyamencapai 69.50% dari penduduk miskin. Penganggur inilah dapat menjadi masalah utama Kota Palu seperti rawan konflik horizontal, rawan terjerumus dalam kejahatan, dan masalah sosial lainnya. Penduduk miskin yang bekerja di sektor bangunan/konstruksi menempati posisi kedua setelah penduduk miskin penganggur yang mencapai 5.368 jiwa. Sedangkan penduduk miskin yang bekerja di sektor pertambangan/penggalian hanya mencapai 753 jiwa atau 1.02% dari penduduk miskin. Jadi tidak beralasan bagi Pemerintah Kota Palu untuk tidak segera menutup area pertambangan Poboya apalagi dipenuhi oleh pendatang dari luar Kota Palu. Masih ada 2.514 jiwa anak penduduk miskin yang tidak bersekolah dari 19.239 anak penduduk miskin. Ini seharus menjadi program utama bagi Dinas Pendidikan Kota Palu mendatanya dan menyekolahnya melalui Sistem Pendidikan Berbasis Partisipasi Masyarakat. Jumlah orang cacat pada masyarakat miskin mencapai 659 jiwa dengan proporsi terbanyak di Kecamatan Palu Barat yang mencapai 191 jiwa. Terdapat 6.770 rumah tangga atau 44.55% rumah tangga miskin
menggunakan sumber air yang tidak terlindungi. Sisanya menggunakan air kemasan, air ledeng, sumber air terlindungi. Hambatan peningkatan mutu sumber daya manusia di Kabupaten/Kota, terutama di daerah perdesaan dan pedalaman, adalah terbatasnya tenaga pendidik dan tenaga kesehatan yang berkualitas, belum meratanya penyebaran tenaga pendidik dan tenaga kesehatan, dan terbatasnya prasarana dan sarana transportasi. Akibatnya, Indeks Pembangunan Manusia Sulawesi Tengah tidak pernah berada di bawah peringkat 22 dari 33 provinsi di Indonesia. Variabel TKED lainnya yang berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan adalah ratarata hari yang diperlukan untuk memperbaiki infrastruktur (yang berada di sekitar wilayah usaha responden) yang mengalami kerusakan atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya di tahun 2009 (air PDAM). Dari seluruh Kabupaten/Kota yang ada di Sulawesi Tengah Kota Palu merupakan lokasi yang paling lama waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki kerusakan PDAM di sekitar lokasi usaha responden, selama 23 hari waktu dibutuhkan untuk hal ini, banyak masalah yang ada di Kota Palu terkait infrastruktur khususnya PDAM, sumber PDAM yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Kota Palu yaitu yang bersumber dari PDAM uwe lino dan PDAM Poboya. Mata air yang ada di PDAM uwe lino sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat kota karena debitnya yang berkurang. Untuk itu, banyak masyarakat yang sampai membutuhkan PDAM poboya. Di lain pihak, PDAM Poboya itu sendiri mempunyai masalah yang sangat krusial bagi kesehatan karena mata airnya telah terkontaminasi oleh merkuri yang diakibatkan oleh adanya penambangan liar di sekitar mata air PDAM Poboya. Sedangkan PDAM uwe lino masih bermasalah dengan manajemen kepemilikan. Di masa lalu, PDAM uwe lino dimiliki oleh PDAM Kabupaten Donggala karena saat itu, ibukota Kabupaten Donggala berada di Palu. Setelah desentralisasi, ibukota Kabupaten Donggala pindah ke Banawa sekitar 37 km dari Kota Palu. Adanya kerusakan infrastruktur PDAM menyebabkan daya beli masyarakat semakin berkurang karena harus membeli air lainnya baik melalui truck PDAM Donggala maupun Kota Palu atau pada depot isi ulang bagi kebutuhan air minum. Saat ini, karena sumber PDAM di Poboya telah tercemar merkuri, kebutuhan masyarakat pada air minum semakin besar yang otomatis menambah pengeluaran rumah tangga. Ada kecenderungan penduduk Kota Palu tidak lagi mengkonsumsi air tanah kecuali melalui depot air isi ulang karena ketakutan pada publikasi hasil penelitian para ahli asing (Jepang) dan Universitas Tadulako yang menyatakan kadar merkuri di udara Kota Palu dan dalam tanah telah berada di atas ambang batas toleransi. Dari model pengangguran dan kemiskinan, dapat dikatakan bahwa kemiskinan di kabupaten lebih tinggi dibanding di kota, tetapi pengangguran lebih tinggi di kota dibanding di kabupaten. Walaupun kemiskinan lebih tinggi di kabupaten, tetapi karena tata kelola ekonomi daerah yang lebih baik sehingga penurunan kemiskinan lebih tinggi di kabupaten dibanding di kota, walaupun investasi di kota lebih banyak dibanding di kabupaten. Selain itu, pengangguran di Kabupaten/Kota di Sulawesi Tengah diharapkan akan menurun melalui program-program yang bersentuhan langsung pada masyarakat miskin. Adapun program-program penanggulangan kemiskinan yang pernah dan sedang berjalan di kabupaten/kota yaitu Inpres Daerah Tertinggal, Kredit Usaha Tani, Sulawesi Agriculture Area and Development Project, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Program Pengembangan Kecamatan, Jaringan Pengaman Sosial, Marine Coastal Resource Management Project, Central Sulawesi Integrated Agriculture and Developement Conservation Project , Community Action Plan, Program Pengurangan Subsidi dan terakhir adalah program PNPM-Perkotaan yang peluncurannya dilakukan di Kota Palu oleh Presiden Soesilo Bambang Yudoyono pada 30 April 2007. Program-program tersebut telah banyak sumbangsihnya dalam masalah pengentasan kemiskinan perkotaan maupun lebih ke kecamatan-kecamatan.
Data BPS menunjukkan bahwa nilai ICOR Kota Palu tahun 2010 sebesar 0,35. Hal ini berarti bahwa untuk menambah PDRB rill sebanyak 1 unit, maka perlu penambahan barang modal baru sebesar 0,35 unit. Kecilnya nilai ICOR ini menunjukkan bahwa investasi yang ada di Kota Palu sangat kecil. Di lain pihak, kecilnya nilai ekspor terhadap total PDRB. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan Kota Palu yang nilainya sebesar 7,79% di tahun 2010 bukan merupakan pencapaian dari sumbangan investasi maupun ekspor yang besar, tetapi hanyalah dorongan konsumsi masyarakat semata yang nihil produktif, tak berkualitas dan tanpa dampak berganda kepada penduduk miskin, dengan meletakkan skala prioritas utama pada ekonomi sebagai pilar pembangunan. Laju pertumbuhan yang tinggi selama ini seharusnya diikuti oleh distribusi dan pemerataan. Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Kota Palu belum dapat dikatakan berjalan baik karena terjadi anomali pertumbuhan di Kota Palu karena didorong oleh tinggi permintaan yang selanjut mendorong peningkatan konsumsi sehingga sewaktu-waktu mendorong harga barang-barang tertentu khususnya menjelang idul fitri dan natal. Di sisi lain, hasil-hasil pertanian di daerah belakang Kota Palu tidak dipasarkan di kota ini melainkan langsung diantardaerahkan atau diantarpulaukan ke wilayah lain seperti Makassar dan Kalimantan Timur. Pengalaman ini terjadi pada Agustus 2012 sehingga tingkat inflasi di Kota Palu tertinggi di Indonesia yang mencapai 2.81% yang didorong oleh peningkatan besar pada harga ikan segar dan sayur-mayur (Palu Ekspres: Senin, 24 September 2012). Konsekuensinya, hal ini akan mengurangi daya beli masyarakat dan mendorong peningkatan penduduk yang nyaris miskin. Tata kelola pemerintahan daerah sebagai salah satu bentuk intervensi Pemerintah Daerah di era desentralisasi fiskal, pada dasarnya merupakan support system yang menjamin penyelenggaraan administrasi dan perumusan kebijakan dilakukan dengan transparan dan akuntabel. PEMDA seyogyanya menggunakan kesempatan ini untuk menciptakan tata kelola pemerintahan daerah yang lebih baik, seperti berinteraksi secara intensif dengan para pelaku usaha dan stakeholders lainnya untuk dapat mengakomodir kebutuhan para pelaku usaha, serta mengambil kebijakan yang mendukung pengembangan sektor swasta. Kinerja Perekonomian Daerah dipengaruhi oleh indikator TKED melalui variabel investasi, hal ini dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi masuknya investasi di daerah selain TKED sangatlah banyak dan jika dihubungkan dengan indikator TKED hanyalah bahagian kecil dari faktor-faktor yang mempengaruhi investasi di suatu daerah secara keseluruhan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Santi (2012) yaitu keterkaitan antara TKED dengan investasi kabupaten/kota di Jawa Timur. Hasil yang diperoleh adalah dengan banyaknya variabel yang berhubungan negatif secara nyata, tidak langsung dapat disimpulkan bahwa tata kelola yang buruk justru meningkatkan investasi, karena faktor penentu investor dalam menanamkan modal bukan hanya dari 1 unsur tata kelola saja, akan tetapi banyak unsur tata kelola yang lain. Korelasi antara variabel tata kelola dengan realisasi PMA dan PMDN pada dasarnya hanya hubungan sederhana dan merupakan deteksi awal fenomena. Pada kenyataannya, di satu kabupaten dapat saja terjadi satu unsur tata kelola memang buruk, namun tata kelola lainnya sangat baik. Unsur tata kelola yang baik ini yang lebih menarik investor. Data yang diperoleh dari financial times Ltd. 2013 yang mempengaruhi investasi antara lain: Potensi pertumbuhan pasar domestik; Kedekatan dengan pasar atau pelangan; Peraturan atau iklim usaha; Ketersediaan tenaga kerja terampil; Infrastruktur; Klaster industri; Kualitas hidup; Biaya yang murah; Sumberdaya alam. Selain itu investor cenderung melihat faktorfaktor yang berkaitan dengan bagaimana mereka akan dapat beroperasi di negara asing antara lain: Peraturan yang berkaitan dengan investor asing, standar pengobatan bagi investor asing, fungsi dan efisiensi pasar lokal, kebijakan perdagangan dan privatisasi, langkah-langkah dan fasilitasi bisnis seperti promosi investasi; insentif; perbaikan fasilitas dan langkah lainnya untuk mengurangi biaya dalam melakukan bisnis, pembatasan dalam hal laba atau
keuntungan dalam bentuk deviden; royalty; bunga atau lainnya (United Nations Conference on Trade and Development. World Investment Prospects Survey 2012–2014). Selanjutnya faktor-faktor yang mempengaruhi investasi baik pada skala nasional maupun regional di Indonesia: pertama, faktor suku bunga. Baik suku bunga simpanan dan terutama suku bunga pinjaman sampai saat ini masih tinggi. Masih tingginya suku bunga pinjaman saat ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain inefisiensi perbankan di mana biaya overhead perbankan yang masih tinggi, masih tingginya resiko dalam pemberian kredit/pinjaman dan lain-lain. Faktor kedua, pendapatan per kapita juga masih rendah. Sementara, untuk provinsi dan kabupaten/kota saat ini juga rata-rata masih belum pulih dari krisis kecuali untuk kota kota besar. Faktor ketiga, tentang sarana dan prasarana serta utilitas harus diakui baik yang menjadi tanggungjawab pemerintah pusat maupun propinsi atau Kabupaten/Kota kondisinya masih buruk. Banyak jalan yang berlubang karena kualitas yang jelek. Pasokan listrik yang terbatas. Hal tersebut merupakan contoh masih buruknya kondisi sarana dan prasarana serta utilitas. Faktor keempat, birokrasi dan perijinan juga belum memuaskan. Tentang birokrasi perijinan ini bisa kita simak dari laporan hasil penelitian yang dikeluarkan International Finance Corporation (IFC) dan Bank Dunia serta Bank Pembangunan Asia yang tertuang dalam laporan IFC dan Bank Dunia mengenai ”Doing Business 2012”, Indonesia menduduki peringkat 135 dari 175 negara dalam hal kemudahan memulai usaha baru. Kemudahan untuk memulai usaha baru merosot sehingga investasi tidak meningkat secara signifikan. Sementara kinerja pertumbuhan ekspornya juga turun dibandingkan negara-negara kawasan ASEAN. Penurunan peringkat tersebut bukan berarti negatif bagi Indonesia, tetapi perbaikan yang terjadi di negara negara lain sangat signifikan, sementara Indonesia tidak. Sementara itu, negara tetangga terdekat kita, Singapura, menempati posisi pertama negara yang paling mudah untuk memulai usaha. Indonesia telah mengalami reformasi dalam hal kemudahan memulai usaha. Waktu yang diperlukan tadinya sangat panjang, yakni 151 hari. Namun, telah dipangkas menjadi 97 hari saat ini. Indonesia juga akan menerapkan pengarsipan secara elektronik untuk perpajakan. Untuk indikator kemudahan memulai usaha lainnya, Indonesia tidak mengalami perbaikan. Dalam hal mengurus izin, masih harus ditempuh 19 prosedur yang membutuhkan 224 hari. Perpajakan misalnya, ada 52 jenis pajak dengan waktu yang dibutuhkan576 jam. Kinerja pertumbuhan ekspor Indonesiapun telah mengalami penurunan yang cukup besar, yang secara tradisional sudah menjadi keunggulan komparatif Indonesia seperti mebel, kelapa sawit, karet, tekstil dan alas kaki. Faktor birokrasi dan perijinan ini bertambah buruk dengan pelaksanaan otonomi daerah. Dalam pelaksanaan otonomi daerah tersebut banyak daerah yang untuk kepentingan mencari Pendapatan Asli Daerah telah menciptakan peraturan daerah yang intinya memungut pajak dan retribusi daerah serta memperumit ijin investasi. Namun demikian, di tengah masih buruknya birokrasi perijinan ini, ada kabar baik dengan diterapkannya Kantor Pelayanan Satu Atap atau ”One Stop Service” (OSS) di berbagai daerah untuk melayani investasi. Hanya masalahnya sampai saat ini interpretasi dari apa yang disebut sebagai OSS tersebut masih beragam di berbagai daerah. Ada yang sekedar semacam humas, ada yang memang satu atap tetapi meja yang dilalui masih cukup banyak. Tetapi ada daerah yang memang telah menerapkan OSS secara benar yaitu memang ijin investasi hanya lewat kantor OSS. Kelima, faktor kualitas sumberdaya manusia. Hal yang menarik dari kualitas sumberdaya manusia ini adalah sebenarnya tingkat pendidikan angkatan kerja Indonesia makin membaik tetapi ternyata tidak terserap oleh lapangan kerja. Hal ini dapat dilihat dari makin meningkatnya tingkat pendidikan dari para penganggur terbuka (yaitu mereka yang sama sekali tidak bekerja) di Indonesia. Tidak terserapnya angkatan kerja ini mengindikasikan ”mismatch” antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Keenam, UU dan peraturan ketenagakerjaan. Ada anggapan dari kalangan dunia usaha bahwa UU dan peraturan ketenagakerjaan ini terlalu membela tenaga kerja. Misalnya saja ada peraturan yang
membuat PHK sangat sulit dilakukan. Demikian juga dalam hal kebijakan upah minimun ternyata telah banyak memberatkan dunia usaha. Akibat dari kondisi demikian, maka tampaknya hal ini menjadi bumerang bagi tenaga kerja sendiri. Ini mengindikasikan pengusaha atau investor memilih teknologi yang lebih padat modal karena berurusan dengan tenaga kerja semakin rumit dan tidak mengenakkan. Ketujuh, dalam hal stabilitas politik dan keamanan, tampaknya kondisi sekarang ini rata-rata pada skala nasional maupun daerah sudah lumayan. Hal ini terbukti, misalnya, pada pelaksanaan pemilihan kepala daerah di berbagai daerah meskipun masih ada keributan di sana-sini tetapi tidak sampai membesar menjadi konflik dan kerusuhan yang cukup membahayakan stabilitas politik dan keamanan. Tampaknya masyarakat Indonesia sudah dewasa dalam berpolitik. Ini merupakan faktor yang penting dalam mendukung terealisasikannya investasi. Kedelapan, faktor sosial budaya. Dalam hal faktor sosial budaya tampaknya ada sebagian besar pengusaha Indonesia yang telah memanfaatkan dengan baik tetapi tampaknya banyak pengusaha pengusaha asing yang justru lebih jeli. McDonald misalnya sekarang mulai membuat berbagai masakan maupun rasa masakan yang mengadopsi budaya lokal. Rasa softdrinknya misalnya dibuat manis. Padahal di Amerika Serikat tempat asal perusahaan tersebut rasa softdrinknya tidak manis. McDonald juga telah membuat berbagai masakan tradisional misalnya McRendang (Riptek, Vol.2, No.1, Tahun 2008). Kemudian Secara umum, iklim investasi khususnya di Sulawesi selatan dipengaruhi oleh faktor-faktor non ekonomi,seperti kestabilan politik, penegakan hukum, pertanahan, kriminalitas, aksi buruh dan mahasiswa, komitmen pemerintah, layanan perbankan, dukungan infrastruktur dan layanan birokrasi pemerintah. Kriminalitas dan penegakan hukum mendukung iklim investasi masih sangat lemah, khususnya ketegasan aparat dalam menindak kejahatan ekonomi seperti korupsi dan illegal logging. Intensitas demonstrasi buruh dan mahasiswa di Sulsel cukup mengganggu iklim investasi, namun masih dalam batas yang dapat ditoleransi. Birokrasi pengurusan pertanahan masih menjadi salah satu penghambat investasi. Layanan perbankan khususnya pengurusan kredit dinilai sangat birokratis dan prosedur berbelit. Layanan birokrasi dan komitmen pemerintah dinilai belum sesuai dengan harapan para pengusaha, khususnya dalam pengurusan perijinan dan penyediaan data/informasi yang diperlukan (survey iklim investasi di Sulawesi Selatan, dalam Kajian Ekonomi Sulsel triwulan II 2007). Investasi di kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Tengah walaupun sudah mencapai 19% dalam komposisi Produk Domestik Regional Bruto Sulteng, tetapi investasi bukanlah yang berasal dari luar dan tidak bersifat jangka panjang. Investasi ini hanyalah merupakan alokasi anggaran pemerintahan pusat yang menjadi dana-dana atas nama publik yang dimanfaatkan oleh para pengusaha daerah. Ini tentu saja berbeda dengan penanaman modal dalam negeri dan penanaman asing langsung yang bersifat jangka panjang dan menyerap banyak lapangan kerja. Data PMA dan PMDN pun selama periode 2005-2012 sama sekali tidak tersedia baik dalam publikasi BPS Sulteng dan Bank Indonesia yang berasal dari BKPPMD Sulteng. Itulah sebabnya, BKPPMD Sulteng maupun urusan penanaman modal di Kabupaten/kota yang masih tercantol pada Bappeda, belum terkualifikasi menurut penilaian BKPM Pusat (Keputusan Kepala BKPMD Pusat Nomor 103/2012). Jangankan terkualifikasi, Kabupaten Sigi dan Morowali malahan belum berbentuk dalam pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) bidang penanaman modal. Rendahnya kontribusi investasi dalam PDRB kabupaten/kota di Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa masih rendahnya sektor riil dan modal yang digunakan oleh investor atau pengusaha di daerah ini masih sangat tergantung oleh modal dari pemerintah melalui dana anggaran pendapatan dan belanja daerah. Untuk itu, dalam menjawab tujuan kedua dari penelitian ini akan dibahas lebih mendalam bagaimana proses perencanaan dan penganggaran APBD khususnya di Kabupaten Donggala dan Kota Palu.
Implikasi kebijakan untuk menciptakan iklim investasi yang baik di daerah, khususnya PEMDA Kota Palu lebih memperhatikan kebijakan-kebijakan PEMDA untuk menciptakan iklim investasi yang baik. Iklim investasi yang baik dapat dicerminkan dengan mempermudah dan mempercepat proses pengurusan administrasi bagi para pelaku usaha, waktu perbaikan infrastruktur penunjang dipercepat yaitu waktu perbaikan kerusakan listrik, waktu perbaikan PDAM, kondisi lampu jalan harus dalam keadaan baik. Jika infrastruktur ini semakin baik diharapkan akan lebih banyak lagi para pelaku usaha yang tertarik untuk berusaha di daerah. Kebijakan PEMDA dalam hal program pengembangan usaha swasta lebih ditingkatkan pada kegiatan-kegiatan yang lebih bermanfaat bagi pelaku usaha khususnya yang dapat memberi informasi yang dapat menghubungkan antara pelaku usaha baik kecil dan menengah dengan pelaku usaha yang lebih besar.
7. Proses Perencanaan Dan Penganggaran APBD Kota Palu dan Kabupaten Donggala
Ada dua landasan normatif yang menjadi acuan proses perencanaan dan penganggaran APBD secara nasional yaitu Uundang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Implementasi kedua undang-undang tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan di Kabupaten Donggala maupun di Kota Palu. Gambaran pelaksanaannya dapat dilihat pada gambar 17
Musrenbang Kelurahan
Pengajuan RAPBD kepada DPRD
Musrenbang Kecamatan
Musrenbang Kota/Kabupaten
Penyusunan dan Penetapan KUA dan PPAS
Penetapan RKPD
Penajaman Usulan kegiatan setiap dinas Rencana Anggaran SKPD
Pembahasan Rencana Anggaran oleh Tim Asistensi
proses Output
Gambar 17 Alur Perencanaan dan Penganggaran di Kabupaten Donggala dan Kota Palu. Sejak rezim di negara ini berubah, paradigma pembangunan juga ikut berubah. Kini masyarakat diposisikan sebagai pelaku utama pembangunan. Sementara peran pemerintah tidak lagi sebagai pelaksana melainkan sebagai fasilitator dalam pembangunan. Dengan peran dan posisi yang sangat sentral tersebut, rakyat berhak untuk terlibat, memberi masukan dan keputusan khususnya di perencanaan sampai pelaksanaan. Pemenuhan hak-hak dasar itu terimplementasi dalam forum publik yang disebut Musyawarah Perencanaan Pembangunan (MUSRENBANG), yang juga merupakan forum pendidikan warga agar menjadi bagian aktif dari tata pemerintahan dan pembangunan.
Tahun fiskal dimulai 1 Januari sampai dengan 31 Desember dengan formulasi anggaran yang terdiri dari dua komponen yaitu proses perencanaan yang bersifat bottom up dan proses penganggaran yang bersifat top down. Dengan demikian, musrenbang dapat pula disebut sebagai model pembangunan yang partisipatif, karena secara konseptual pembangunan partisipatif itu sering disebut sebagai model pembangunan yang menerapkan konsep partisipatif dengan melibatkan semua pihak dalam proses pembangunan. Pelaksanaan musrenbang difasilitasi oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah yang targetnya adalah memberi ruang kepada rakyat untuk menyalurkan aspirasi, memaparkan masalah dan kebutuhannya dimulai dari tingkat kelurahan/desa sampai pada tingkat provinsi. Dalam pelaksanaan musrenbang, ada tiga masalah yang dihadapi yaitu masalah input, proses dan output. Berdasarkan temuan di lapangan yaitu di Kabupaten Donggala dan di Kota Palu, masalah input di Kota Palu adalah masih sangat minimnya keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan musrenbang khususnya di tingkat kelurahan/desa. Masalah ini diakibatkan minimnya sosialisasi akan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam proses pelaksanaan musrenbang karena kurang dipahaminya peran sentral masyarakat dalam proses pengambilan keputusan di tingkat kelurahan/desa. Selain itu, di masyarakat sendiri juga dihadapkan pada masalah kurangnya peran tokoh masyarakat khususnya di tingkat kelurahan. Jikapun pada kelurahan terdapat banyak potensi generasi mudanya, namun kesempatan berkiprah dalam musrenbang jarang memberikan kesempatan pada mereka. Bappeda hanya mengundang para wakil masyarakat yang telah mereka kenal. Akibatnya terjadi marginalisasi anggota masyarakat. Sosialisasi pra musrenbang pada setiap tingkat Rukun Warga dapat menemukan anggota masyarakat yang dapat dipercaya dan amanah dalam mewakili masyarakat dalam musrenbang. Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri dapat direplikasi agar pelaksanaan musrenbang benarbenar berjalan sebagaimana mestinya. Masalah lainnya adalah keterbatasan kemampuan untuk menggali akar masalah, merumuskan masalah prioritas, menyusun strategi pemecahan masalah dan rencana aksi, serta rencana jangka menengah yang masih banyak di masyarakat. Bappeda Kota Palu seharusnya tidak mengalami kesulitan, karena sejak 2003 semua kelurahan di Kecamatan yang ada di Kota Palu telah mempunyai Badan Keswadayaan Masyarakat melalui PNPM Perkotaan di mana para anggotanya terpilih langsung oleh masyarakat sesuai kriteria jujur, amanah, dapat dipercaya dan mereka menjadi relawan tanpa pamrih. Masalahnya terletak pada minimnya peran pegawai Bappeda dan pegawai Kelurahan untuk menjadi fasilitator pada musrenbang. Hal ini dapat diatasi melalui penggunaan aktivis Civil Society Organization dan Non Government Organization. Namun, aparat Bappeda ini juga harus mampu melakukan fasilitasi setelah melalui pelatihan. Temuan yang berbeda didapatkan di lapangan, dari sisi input proses Musrenbang yang dilakukan di Kabupaten Donggala sudah berjalan sesuai dengan standard operational prosedure yang diharapkan dalam menggali aspirasi dan kebutuhan masyarakat pada tingkat desa/kelurahan. Saat musrenbang kecamatan, semua unsur perencana yang ada di Bappeda bertindak sebagai fasilitator di kelurahan/desa yang menampung aspirasi masyarakat sehingga saat musrenbang kabupaten yang ada hanyalah penajaman dari program/kegiatan yang telah disinkronkan dengan program kegiatan SKPD. Sebelum dilakukan musrenbang kabupaten, pihak Bappeda telah memperlihatkan draft hasil musrenbang kecamatan yang menjadi kebutuhan dan menjadi prioritas untuk mendukung visi misi bupati. Saat pengajuan kebutuhan masyarakat telah berpedoman pada draft yang telah ada sehingga masukan dari masyarakat sudah terarah. Hal ini ditunjang juga oleh peran DPRD daerah pemilihan yang pada musrenbang kecamatan, mereka menghadirinya. Pada saat reses, mereka juga telah menjaring aspirasi masyarakat sehingga semua dapat sinkron dan apa yang menjadi kemauan masyarakat tetap dikawal anggota DPRD tersebut sampai pada saat musrenbang kabupaten. Tetapi, masih ada kekurangan dari proses musrenbang di Kabupaten Donggala yang masih
diusahakan untuk dimaksimalkan yaitu keterwakilan tokoh di masyarakat. Para tokoh masyarakat ini diharapkan dapat menyampaikan aspirasi masyarakat yang masih sangat minim. Hal ini disebabkan oleh kriteria pilihan tokoh masyarakat hanya bersifat subyektif hanya karena ditokohkan sesuai usia. Masalah proses dalam musrenbang di Kota Palu, karena dibatasi oleh waktu pelaksanaan yang sangat singkat terkadang waktu pelaksanaan musrenbang ditempuh dengan cara-cara di luar jalur atau koridor yang semestinya dilakukan. Misalnya mengadopsi secara utuh model perencanaan secara top down. Masyarakat hanya mendengarkan sejumlah program yang telah didesain sebelumnya dari pihak SKPD terkait sehingga mengakibatkan model-model pembangunan yang partisipatif yang sesungguhnya menjadi substansi musrenbang itu terabaikan. Pelaksanaan musrenbang sendiri terkesan hanya sekedar untuk memenuhi kepentingan pihak tertentu sehingga proses pelaksanaannya hanya formalitas saja. Di sinilah mind set aparat harus diubah karena sebelum melakukan fasilitasi pra musrenbang, para aparat Bappeda ini harus terlatih memfasilitasi. Waktu pelaksanaan yang sangat singkat mengakibatkan tidak terekamnya secara utuh akar permasalahan yang ada di masyarakat sehingga usulan warga dalam proses musrenbang semakin mengecil saat sudah sampai di tingkat yang lebih tinggi, karena pada tingkat yang lebih tinggi akan berhadapan dengan sejumlah daftar belanja dari tiap SKPD yang urgensinya terkadang masih dipertanyakan dan tidak mempunyai hubungan dengan kepentingan masyarakat. Jika semua masalah dalam pelaksanaan musrenbang itu masih ada, tidak akan melahirkan sejumlah program dan kegiatan yang dapat menjawab kebutuhan masyarakat. Dari akar permasalahan inilah sehingga musrenbang yang ada di Kota Palu sulit bersinergi dengan pelaksanaan musrenbang di tingkat yang lebih tinggi yaitu di Provinsi Sulawesi Tengah, sehingga pemerintah provinsi sulit menghadapi Pemerintah Kabupaten/Kota yang masih banyak menghadapi persoalan-persoalan dasar dan sulit disinergikan akibat pertarungan kepentingan. Hasil musrenbang desa/kelurahan, kecamatan tidak dimanfaatkan oleh SKPD terkait karena mereka telah memiliki program/kegiatan sendiri. Kecenderungan lainnya adalah masalah yang ada di masyarakat umumnya tidak terdokumentasi dengan baik sehingga tidak terdistribusi dengan baik ke instansi tekhnis dan menjadi alasan dari SKPD mengapa usulanusulan masyarakat tersebut tidak dapat dilaksanakan. Masalah lainnya adalah kurangnya umpan balik kepada masyarakat tentang hasil musrenbang. Hal ini dikarenakan minimnya sistem transparansi sehingga banyak usulan masyarakat tidak terpenuhi. Akibatnya, hal ini menjadikan rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap urgensi pelaksanaan musrenbang itu sendiri. Musrenbang terkesan hanya sebagai alat untuk melegitimasi bahwa penyusunan dokumen perencanaan telah dilaksanakan secara partisipatif dengan segenap sistematika urutannya. Dalam proses perencanaan di Kota Palu, yang memfasilitasi proses perencanaan di tingkat kelurahan dan kecamatan didominasi personil yang berasal dari lembaga swadaya masyarakat. Personil BAPPEDA Kota Palu hanya menjalankan tugas-tugas administratif tanpa mempunyai kemampuan memfasilitasi. Bappeda Kota Palu memfasilitasi proses perencanaan hanya pada tingkat Musrenbang Kota. Sebaliknya, di Kabupaten Donggala, proses fasilitasi perecanaan dilakukan oleh personil Bappeda Kabupaten Donggala sejak dari musrenbang kelurahan, musrenbang kecamatan dan kabupaten. Dalam proses perencanaan di Kota Palu, dokumen musrenbang tahun lalu seringkali terpisah dan belum dijadikan acuan bagi musrenbang berikutnya, utamanya usulan-usulan yang belum terealisir. Di Kabupaten Donggala, dokumen musrenbang tahun sebelumnya dijadikan acuan bagi musrenbang berikutnya utamanya usulan-usulan yang belum terealisir dikonfirmasikan ke tingkat kelurahan dan kecamatan lalu direalisasikan dalam rencana kerja satuan kerja pemerintah daerah. Dalam penyusunan Renja SKPD, di Kota Palu ada SKPD
tertentu yang tidak mempunyai dokumen renstra. Bilapun ada, renstra SKPD hanya disusun apa adanya berdasarkan daftar keinginan SKPD. Bahkan dalam penyusunan Renja SKPD, RPJMD Kota Palu dan Renstra SKPD belum dijadikan acuan. Sebaliknya, di Kabupaten Donggala, ada rangkaian yang jelas dalam penyusunan dokumen perencanaan sejak dari RPJMD Kabupaten Donggala, Renstra SKPD dan Renja SKPD. Masalah output dalam musrenbang di Kota Palu, dari semua jenjang musrenbang masih sulit menghilangkan paradigma lama dari para penentu kebijakan. Musrenbang itu sendiri masih sering disebut sebagai arena untuk berlomba menyusun daftar belanja dari tiap SKPD. Daftar belanja dari tiap SKPD tersebut disusun sebanyak mungkin tanpa mempertimbangkan skala kebutuhan dari masyarakat. Akibatnya dapat diduga, program-program yang terlahir bukannya program yang berasal dari masyarakat, tetapi hanyalah program SKPD itu sendiri yang setiap tahunnya tidak berubah termasuk besaran anggarannya. Hal ini menjadi temuan anggota DPRD dalam setiap pembahasan baik di tingkat sidang Komisi bersama SKPD maupun di tingkat paripurna. Hal yang berbeda di dapatkan di Kabupaten Donggala dalam penajaman usulan kegiatan SKPD, rencana anggaran SKPD, sampai pada pembahasan rencana anggaraan oleh tim asistensi telah berjalan dengan baik. Tim Asistensi Pembangunan Daerah yang terdiri dari Bappeda, Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Aset Daerah, serta SKPD lainnya telah berfungsi baik, walaupun masih didominasi oleh peran Bappeda dan Dispenda dan Aset Daerah. Berjalan baiknya mekanisme perencanaan bottom up di Kabupaten Donggala ditunjang oleh staf yang handal dari segi kemampuan administratif dan koordinatif serta fasilitasi dalam menjalankan visi misi bupati. Di samping itu, team work yang sangat solid mencakup para pemangku kepentingan karena social capital yang ada antar SKPD berjalan dengan baik. Namun, masih ada juga aparat SKPD yang terkendala kesehatan dan sikap mental yang masih berorientasi proyek sesaat. Adanya kontrak kerja antara bupati dan kepala SKPD bagi pencapaian kinerja yang efisien dan maksimal, walaupun sebagian kecil Kepala SKPD masih lemah di sisi akademik, tetapi karena solidnya team work dan kuatnya peran Bappeda, maka hal ini dapat teratasi. Satu hal yang menjadi masalah dalam melakukan monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh Bappeda yaitu sering terjadi dalam kegiatan SKPD masih dibiayai oleh dana APBD serta dibiayai juga oleh dana dekonsentrasi. SKPD di Kabupaten Donggala dalam membuat rencana kerja SKPD telah berpedoman pada RENSTRA masing-masing SKPD yang merupakan penjabaran detail dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Donggala. Renstra tersebut disusun oleh masing-masing SKPD dengan alasan mereka yang paling mengetahui kondisi kabupatennya. Hal ini menunjukkan pula bahwa pemangku kepentingan di masing-masing SKPD telah menjadikan RPJMD Kabupaten Donggala sebagai rujukan awal dalam penyusunan program kegiatan SKPD sehingga Rencana Kerja SKPD tidak menyimpang dari RPJMD. Hal ini beralasan karena Bappeda selalu mensosialisasikan semangat perencanaan pada pemangku kepentingan SKPD hingga di tingkat bawah. Karena adanya sosialisasi yang tiada henti, maka walaupun terjadi perpindahan vertikal berupa promosi jabatan maupun perpindahan horizontal, pemerintah Kabupaten Donggala tidak akan kesulitan memulai dari awal. Di samping itu, Bappeda sebagai muara semua kegiatan perencanaan, pelaporan, administratif dan monitoring dan evaluasi, maka semua dokumen perencanaan dengan mudah dapat diperoleh di Bappeda. Adapun pekerjaan yang tersisa di Bappeda Donggala saat ini hanyalah mengupdate data-data tersebut dalam website Bappeda sendiri dan website Kabupaten Donggala sebagai wujud semangat transparansi dan akuntabilitas pemda. Hal ini terlihat konkrit pada Kantor Pelayanan Terpadu. Walaupun secara struktural KPT hanya setingkat Kantor, namun Kantor Pelayanan Terpadu telah diberikan wewenang sepenuhnya oleh Bupati untuk melaksanakan semua yang menjadi tupoksinya. Semua kewenangan adminstratif pelayanan dalam memungut pendapatan/restribusi daerah yang tadinya berada pada SKPD tehnis telah berada di KPT. Hal ini karena pertama, adanya kepercayaan dan niat baik SKPD
tehnis untuk ikhlas menyerahkan tupoksi adminsitratif ini. Kedua, Bupati Donggala berkomitmen dan memerintah semua Kepala SKPD untuk menyerahkan kewenangan adminstratif tadi. Ketiga, hubungan antara pemangku kepentingan di tiap SKPD dapatlah dikatakan berjalan harmonis karena kuatnya modal sosial dan seringnya mereka bertemu dalam rapat-rapat koordinasi dalam gedung perkantoran pemerintah Donggala termasuk DPRD berada dalam satu lokasi yang sama serta forum SKPD telah berjalan rutin. Konsekuensinya, SKPD tehnis tidak lagi menjadi lembaga pengumpul pendapatan dan retribusi daerah. SKPD tehnis justru lebih berkonsentrasi pada dua kewenangan utamanya yaitu pengendalian dan pengawasan di lapangan. Namun, masih ada juga kekurangannya yaitu belum semua kewenangan tersebut dapat dilaksanakan oleh KPT, tetapi pada dasarnya sudah dapat berjalan sebagaimana mestinya. Salah satu kelebihan lainnya yang dimiliki oleh pemangku kepentingan di kantor ini adalah semua staf sudah diharuskan memperoleh sertifikat pelayanan dasar terpadu yang diikuti oleh staf melalui pelatihan dan adanya ketentuan bahwa staf ini tidak akan dipindahkan dari KPT terkecuali karena alasan adanya promosi jabatan. Pada penelitian ini, selain mengamati proses pelaksanaan musrenbang, juga diamati dan dilakukan analisis terhadap prinsip-prinsip penyusunan anggaran. Dalam penyusunan anggaran terdapat sejumlah prinsip yang harus diperhatikan agar anggaran yang disusun sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan dalam pengelolaannya memperhatikan prinsipprinsip manajemen anggaran yang baik. Sesuai dengan PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, maka prinsip-prinsip yang harus dipenuhi meliputi: a. Disiplin anggaran b. Prioritas anggaran c. Efisiensi anggaran d. Efektifitas pengelolaan anggaran e. Akuntabilitas anggaran f. Transparansi anggaran Dari semua prinsip-prinsip tersebut setelah dilakukan pengolahan data dengan Chi-Square diperoleh hasil sebagai berikut : Tabel 7 Prioritas anggaran di Kabupaten Donggala dan Kota Palu Daerah
Jawaban responden Ya Tidak Donggala 14 26 Palu 21 17 Pearson Chi-Square 0,072 (Asymp sig α= 5% 2-sided) Sumber: Data olahan
Total Responden 40 38
Pada Tabel 7, dari indikator prioritas anggaran. Pertanyaan yang diajukan adalah dalam mengalokasikan anggaran, apakah muncul alokasi baru di luar prioritas sehingga dapat mengurangi alokasi pos anggaran lain yang telah direncanakan. Hasilnya dengan uji ChiSquare nilainya 0,072 yang berarti bahwa ada hubungan antara alokasi anggaran baru dengan pos anggaran lainnya. Kabupaten Donggala 26 responden atau sekitar 65 persen responden menjawab tidak ada alokasi baru di luar prioritas, dibandingkan Kota Palu responden yang menjawab tidak ada alokasi anggaran baru di luar prioritas hanya sebanyak 17 responden atau sekitar 44,7 persen. Di lain pihak, setelah dilakukan wawancara yang lebih mendalam terhadap responden dari kalangan akademisi, diperoleh fakta bahwa di Kota Palu, dalam pelaksanaan pengurangan pos anggaran memang dapat ditolerir hanya saja pengurangan itu untuk
kepentingan SKPD dan bukan untuk masyarakat. Inilah konsekuensi dari Kota Palu dengan beberapa aparat pemerintah Kota Palu khususnya kepala SKPD yang cenderung menghabishabiskan anggaran bagi perjalanan dinas terutama ke Jakarta dan keluar negeri, dll. Di tingkat bawahnya, beberapa staf SKPD cenderung memanfaatkan alokasi anggaran SKPD bagi kebutuhan Bimbingan Teknis yang mengada-ada sebagai perjalanan dinas. Bila semua SKPD berbuat demikian, maka alokasi anggaran SKPD cenderung hanya digunakan untuk mensejahterakan aparat Kota Palu daripada masyarakatnya. Selanjutnya, responden di Kota Palu menjelaskan bahwa dalam tahun anggaran, masih ada Sisa Lebih Penggunaan Anggaran. Hal ini menunjukkan bahwa belum semua program dan kegiatan dapat terlaksana tepat pada waktunya sehingga masih menyisahkan anggaran lebih yang nantinya akan dikembalikan ke kas daerah. SILPA masih dapat dihindari jika dalam penetapan alokasi anggaran menggunakan analisis manfaat biaya melalui studi kelayakan yang difasilitasi oleh para akademisi yang kredibel. Tetapi, kenyataannya di Kota Palu dalam penetapan alokasi anggaran, prosedur yang dijalankan adalah SKPD menyusun rencana program kegiatan beserta estimasi anggarannya yang dibingkai dengan pagu anggaran berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah daerah yang telah ditetapkan oleh Bappeda, selanjutnya dituangkan dalan KUA dan PPAS kemudian dibahas di DPRD. Dalam pembahasan anggaran, masih banyak kepala SKPD hanya diwakilkan saja oleh staf atau sekretaris. Bappeda Kota Palu belum melaksanakan tupoksinya dengan efektif, karena selama ini fungsi koordinatif kurang berjalan baik. Bappeda tidak lebih menjalankan tugas-tugas administratif layaknya Satuan Kerja Perangkat Daerah tekhnis lainnya. Di Kota Palu, Bappeda harus diberikan penyadaran kritis bahwa mereka harus menangani perencanaan dan koordinasi. Selama ini Bappeda sama dengan SKPD lain yaitu sebagai pelaksana kegiatan. Dari perspektif perencanaan, Bappeda Kota Palu menjadi titik kritis dalam reformasi birokrasi. Alasannya, Bappeda merupakan hulu segala macam program kegiatan SKPD tehnis. Bappeda inilah yang berperan dalam proses musrenbang, monitoring dan evaluasi maupun fasilitator di lapangan. Selama ini, proses fasilitasi di lapangan termasuk pelaksanaan musrenbang dominan difasilitasi oleh para aktivis lembaga swadaya masyarakat. Bappeda Kota Palu seharusnya lebih berkonsentrasi pada fungsi koordinatifnya melalui fasilitasi lintas SKPD. Bappeda Kota Palu sebagai critical point dalam pelaksanaan reformasi birokrasi di bidang perencanaan. Bila ingin membumikan kembali perencanaan, saatnya sekarang mengaktualisasinya dengan memanfaatkan potensi yang ada di setiap aparat SKPD yang dapat berkiprah dalam pembangunan Kota Palu dengan memberikan keleluasaan dan ruang bagi mereka berkiprah dan berkarya. Ketidakmampuan Bappeda dalam koordinasi dengan SKPD serta tim kerja yang ada di Bappeda tidak berjalan maksimal sehingga sulit diharapkan adanya kesinambungan program antar SKPD. Selain itu, banyak ditemui SKPD yang mengsubkontrakan pembuatan dokumen-dokumen perencanaan pada pihak tertentu akibat pertarungan kepentingan dan lebih disayangkan lagi pihak SKPD tidak ikut dalam tim penyusunan tersebut sehingga dalam menjalankan tugasnya anggota SKPD tidak mengerti apa esensi dan tupoksinya. Dari pengamatan dan diskusi di tingkat SKPD, sebenarnya Pemerintah Kota Palu mempunyai begitu banyak aparat di tingkat bawah khususnya staf bagian perencanaan dan program yang potensial baik dari sisi kapasitas akademik, kemampuan analisis sekarang dan akan datang, usia muda, serta ide melimpah. Mereka inilah yang dapat difasilitasi oleh Bappeda dalam penyusunan program terpadu sesuai misi visi Walikota. Di samping itu, sekretaris di setiap SKPD dapat dioptimalkan agar mereka tidak saja bertindak sebagai administrator lembaga. Sementara, Kepala SKPD dapat lebih fokus kepada implementasi kebijakan. Masih terdapat kelemahan internal yaitu adanya Kepala SKPD yang hanya mewakilkan kepada sekretaris dalam setiap rapat koordinasi, Rapat Dengar Pendapat dengan
DPRD Kota Palu. Sementara mereka hanya menghadiri acara seremonial dan sebagainya. Akibatnya, ketika berhadapan dalam pengambilan keputusan, mekanismenya menjadi lambat. Kepala SKPD lebih berkonsentrasi pada tataran kebijakan bahkan termasuk sosialisasi/update setiap informasi yang datangnya dari pusat. Di Kota Palu, SKPD yang juga mempunyai masalah adalah Badan Perizinan dan Pelayanan Terpadu. Pemerintah Kota Palu harus bercermin dari kabupaten lain yang melalui kekuasaan tunggal Walikota, perizinan terpadu terpusat pada BP2T sebagai layanan satu pintu. Selain komitmen Walikota, BP2T harus didukung oleh aparat yang cakap. Sayangnya, bila aparatnya sudah cakap, justru pelayanannya terganggu karena mutasi horizontal. Jika promosi vertikal, tentu masyarakat awam akan paham karena aparat pemangku kepentingan butuh juga promosi dan kenaikan pangkat sebagai reward. Di samping itu, anggaran bagi dukungan infrastruktur BP2T harus cukup dan peralatannya sesering mungkin harus menjalani kalibrasi. Karena bukan tidak mungkin, kecamatan dan kelurahan dapat menjadi ujung tombak BP2T dengan menempatkan aparatnya di sana untuk mendekatkan layanan dengan masyarakat di masa datang. Penguatan BP2T harus ada dan itu ditunjukkan oleh komitmen Walikota membackup sepenuhnya dari tindakan maupun regulasi yang tidak tumpang tindih utamanya antar perwali. Keluhan masyarakat atas lambatnya pengurusan izin mendirikan bangunan seperti termuat pada salah satu media lokal (Radar Sulteng, rabu, 8 agustus 2012) harus ditanggapi baik oleh pemerintah Kota Palu. Selama ini, untuk mengurus IMB, BP2T hanya pintu masuk pendaftaran, lalu menuju ke Dinas Penataan Ruang dan Perumahan, Sekot dan Walikota untuk mendapat pengesahan. Kelemahannya, tidak ada skema pelayanan yang jelas serta transparansi pembiayaan yang harus dipenuhi warga karena BP2T hanya menerima kwitansi pembayarannya saja dari instansi tehnis. Inilah buah pelimpahan yang tidak ikhlas dari pucuk pimpinan Kota Palu ke SKPDnya dan inilah merupakan cerminan reformasi birokrasi di Kota Palu. Sebahagian anggota DPRD telah melakukan evaluasi melalui prosedur kunjungan kerja lapangan yang biasa dilakukan saat reses, rapat mitra kerja SKPD, hearing SKPD dan rapat kerja komisi sebagai langkah evaluasi. Dalam kunjungan kerja lapangan tersebut, anggota DPRD bertemu dengan konstituennya dan mengevaluasi sudah sejauhmana kebutuhan dari masyarakat di daerah itu mendapat respon dari pemerintah. Dari hasil-hasil kunjungan dan rapat dengar pendapat tersebut, perlu ditindaklanjuti guna penguatan operasional dan kinerja SKPD yang ada, baik dari aspek anggaran, struktur kelembagaan, SDM SKPD dan unsurunsur pendukung dalam SKPD. Tetapi masih banyak SKPD yang belum melakukan tindak lanjut secara konsisten atas temuan-temuan tersebut. untuk mempertanggungjawabkan kinerja keuangan daerah melalui publikasi laporan keuangan secara benar sesuai kriteria akuntabilitas dan terbuka, tetapi keterbukaan itu dalam arti saat proses sidang DPRD yang diliput oleh media dan kadang-kadang diikuti oleh para peneliti yang mengambil topik masalah penganggaran serta oleh masyarakat umum. Selain itu, terbuka dalam arti klarifikasi langsung pada SKPD pengelola. Selanjutnya, tindak lanjut atas pertanggungjawaban kinerja keuangan tersebut dengan memberikan pernyataan sikap dan catatan-catatan dari anggota DPRD dan selanjutnya ditindaklanjuti oleh masing-masing SKPD. Interaksi antara pemerintah Kota Palu dan masyarakat di tingkat akar rumput sangat minim atau bahkan tidak ada sama sekali. Akibatnya yang terjadi tidak ada transparansi, tidak ada pengakuan terhadap peran masing-masing pihak. Tidak ada pengakuan atas hak dan kebutuhan masyarakat, atas pelanggaran terhadap aturan-aturan pemerintah maupun atas ketidakpercayaan dan apatisme masyarakat. Pemerintah Kota Palu terkadang hanya bertindak ketika terjadi insiden di tengah masyarakat. Akibatnya, bukan tidak mungkin di masa datang kota ini menjadi kota tanpa norma yang jelas karena buruknya layanan publik. Masyarakat sipil tidak memiliki mandat yang memadai dan tidak efektif dalam menuntut hak-hak kaum miskin dan masyarakat yang terpinggirkan. Masyarakat sipil juga
tidak terbiasa untuk menyuarakan kepedulian secara bersama-sama. Warga tidak menyadari tentang hak-hak mereka dan tidak tahu bagaimana caranya berinteraksi dengan wakil-wakil mereka (baik yang ada di DPRD maupun di kalangan masyarakat sipil) atau dengan pemerintah Kota Palu. Padahal di tingkat grass root, ada Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, Karang taruna, LSM, dan lain-lain sangat memadai. Diluncurkannya Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan oleh Presiden SBY pada akhir April 2007 merupakan salah satu keberhasilannya. Namun, keberhasilan pelaksanaan PNPM Perkotaan tidak diikuti oleh reformasi birokrasi di Kota Palu. Sampai Maret 2013, SKPD pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan kelurahaan hanya setingkat kantor. Akibatnya koordinasi lintas SKPD dalam penanganan pemberdayaan masyarakat terpadu harus melalui Walikota atau Sekretaris Kota, prosesnya menjadi panjang. Banyak ide terlahir dari SKPD ini, contohnya penanganan sampah organik bagi kompos di beberapa kelurahan melalui optimalisasi kenderaan sampah jenis ”kaisar” atau ”viar” patut mendapat jempolan. Namun, karena, karena kantor ini hanya menyemai/pembuka jalan satu kegiatan yang dapat menghasil revenue generating bagi Kota Palu, dinas lain belum/tanpa mendukungnya seperti penetapan harga kompos organik utamanya dari Dinas Perdagangan, Perindustrian dan UMKM Kota Palu. Demikian pula standar uji labnya belum dilakukan karena kantor ini hanya mencari sendiri lembaga uji lab seperti ke Universitas Tadulako atau Balai POM dan lembaga yang dapat memberikan ecolabeling. Media tidak memiliki profesionalisme yang memadai dan tidak efektif dalam memanfaatkan peran independen mereka untuk mempengaruhi dan mengawasi kebijakankebijakan pemerintah Kota Palu. Media juga memiliki akses informasi yang terbatas. Akses informasi diperoleh baik secara formal maupun informal. Bila website masing-masing SKPD berjalan baik dan setiap saat diupdate, maka website ini dapat menjadi sumber utama setiap saat. Kata kunci reformasi birokrasi di Kota Palu terpulang pada pucuk pimpinan. Terlepas dari kekurangan-kekurangan ini masih ada SKPD yang dapat dijadikan contoh bagi SKPD lain, yaitu SKPD Rumah Sakit Anutapura. Dari hasil wawancara di Rumah Sakit Anutapura memiliki kinerja yang baik dalam hal manajemen keuangan Rumah Sakit. Sejak lama RS. Anutapura merupakan sumber pendapatan bagi Kota Palu. RS ini diberikan kewenangan untuk dapat menggunakan pendapatan internal RS tersebut untuk menerima, mengelola dan membiayai kebutuhannya sehingga dana extra budget selalu tersedia di lingkungan SKPD ini. Bahkan SKPD lain yang memerlukan dana dapat menggunakan kelebihan dana tersebut, karena keterbatasan dana APBD. Hal ini ditunjang oleh team work dan leadership yang baik dari Direktris Rumah Sakit ini. Sebagai RS yang telah mengalami uji gugus kendali mutu, akuntabilitas dan visi misi RS ini sangat baik. Sebagai contoh, bila ada bimbingan teknis di luar Kota Palu, RS lebih memilih mendatang penatar/tenaga ahli yang dapat melatih lebih banyak staf RS daripada mengirim beberapa saja staf. Namun, di sisi lain, karena RS berbasis pada modal sosial, RS ini harus terproteksi dari sikap mental oknum tertentu yang hanya akan menggunakannya sebagai komoditas politik. Perwali itulah yang menjadi pegangan SKPD ini. Dari hasil wawancara, penulis tidak dapat melakukan analisis yang lebih mendalam tentang kerangka pengeluaran jangka menengah di Kota Palu. Hal ini disebabkan karena SKPD yang ada di lingkungan pemerintah Kota Palu sebagian besar tidak mempunyai rencana strategis SKPD. SKPD yang dapat menunjukkan bukti RENSTRA adalah SKPD Pekerjaan Umum, SKPD Kesehatan. Hal ini menunjukkan betapa rendahnya penghargaan atas dokumen-dokumen perencanaan di daerah ini dan berakibat fatal pada program/kegiatan yang selama ini dilakukan karena tidak adanya pedoman dalam tiap program/kegiatan tersebut. Di samping itu, Renstra SKPD belum dijadikan acuan bagi penyusunan rencana kerja SKPD. Padahal, kesinambungan acuan dari RPJMD Kota Palu sebagai acuan
penyusunan Renstra SKPD, yang selanjutnya Renstra SKPD sebagai acuan bagi penyusunan Renja SKPD mutlak dilakukan. Berbeda dengan Kota Palu, umumnya Kabupaten Donggala dalam penilaian kinerja anggaran yang dilakukan oleh Pemda selama ini dengan melakukan evaluasi tahunan dan evaluasi 3-5 tahunan. Evaluasi tahunan dilakukan untuk menilai capaian kinerja kegiatan tahunan dan untuk mengetahui permasalahan tekhnis yang dialami. Evaluasi 3-5 tahunan dilakukan untuk menilai keberhasilan program dan permasalahannya serta merevisi target apabila terjadi kendala-kendala yang dapat menghambat pencapaian target 5 tahunan. Evaluasi dilakukan langsung ke masyarakat untuk mengetahui apakah pemda sudah optimal dalam mengalokasikan pengeluaran untuk penyediaan dan pelayanan jasa publik. Tim yang melaksanakan survei adalah tim monev kabupaten yang dilaporkan pada saat evaluasi setiap tiga bulan sekali melalui rapat dengan semua SKPD. Selanjutnya, bila ada temuan ditindaklanjuti oleh SKPD teknis terkait dengan melakukan instruksi kepada pelaksana teknis di lapangan (kecamatan/desa). Evaluasi yang dilakukan oleh DPRD saat masa reses di daerah pemilihan masing-masing anggota DPRD dan dilaporkan ke Bupati. Untuk meningkatkan efektifitas anggaran, maka penetapan anggaran harus melalui pengkajian kebutuhan objektif dan berorientasi output. Responden juga mengemukakan pendapatnya bahwa selain berorientasi output juga harus berorientasi outcome. Peran DPRD di Kabupaten Donggala sudah berjalan baik sebagai salah satu saluran aspirasi masyarakat baik sebagai pelaksana fungsi legislasi maupun pengawasan pelaksanaan pembangunan. Namun, individu anggota DPRD harus mutlak diberdayakan agar kemampuan mereka minimal sama dengan kemampuan para pemangku kepentingan di SKPD. Hal ini beralasan agar para anggota DPRD ini memahami esensi program-program yang dibahas bersama SKPD baik di tingkat Rapat Paripurna, Rapat Dengar Pendapat, maupun pembahasan di tingkat Komisi. Alasan lain adalah karena tingkat pendidikan anggota DPRD beragam dan mereka berasal dari anggota masyarakat dan partai berbeda, maka kemampuan daya nalar, tata cara berdiskusi pasti berbeda pula. Akibatnya dalam setiap pembahasan KUA/PPAS, program SKPD, kemampuan mereka membaca secara detail masih lemah. Fenomena lain adalah masih adanya beberapa oknum anggota DPRD yang masih sering bernegosiasi dengan Kepala SKPD agar dapat memasukan rekanannya dalam pengerjaan proyek di dinas tertentu ataupun perusahaannya dalam proyek. Akibatnya, program SKPD hanya fokus untuk menggolkan program yang akan dijalankan oleh rekanan SKPD tertentu. Hal ini dapat teratasi dengan melihat kembali rujukan hasil musrenbang Kabupaten, Renstra dan Renja SKPD agar tidak menyimpang dari dokumen itu. Proses perencanaan dan penganggaran yang baik adalah adanya sinkronisasi antara keduanya untuk itu di dalam renstra masing-masing SKPD harusnya mencerminkan program dan kegiatan pertahun yang saling berkesinambungan. Alasannya, bukan hanya output yang dapat diharapkan,tetapi juga outcome atau manfaat dari program tersebut. Untuk melihat kesinambungan program dari tiap-tiap SKPD di Kabupaten Donggala dengan menerapkan anggaran berbasis kinerja dan Medium Term Expenditure Framework yang dapat menjamin kejelasan hubungan antara program/kegiatan untuk jangka lebih dari 1 tahun, maka dilakukan analisis laporan RENSTRA Kabupaten 2009-2013 serta Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerinta Kabupaten. Kantor Pelayanan Terpadu Kabupaten Donggala dalam laporan rencana strategis SKPD ini memuat 2 tujuan dan 8 sasaran yang dijabarkan dalam program/kegiatan selama 5 tahun dengan target pertahun yang terus meningkat dalam pencapaiannya. Di tahun 2010 dan 2011, dalam pelaporan pencapaian kinerjanya mencapai 100%. Dari kewenangan yang diberikan ke SKPD ini, sudah 10 kewenangan perizinan yang menjadi tupoksi SKPD ini yaitu izin lokasi, HO/SITU, TDP, TDI, SIUP, IUI, pendaftaran usaha jasa makanan dan minuman, reklame, izin trayek dan masih ada 3 kewenangan non perizinan.
Analisis secara keseluruhan masalah terhadap proses perencanaan dan penganggaran APBD di Kota Palu: pertama, dominasi struktural, meskipun ruang partisipasi untuk masyarakat mulai terbuka sering kali hal ini ditafsirkan berbeda oleh birokrat. Jika didasarkan pada tangga-tangga partisipasi, maka persepsi birokrat masih berkisar pada tangga awal partisipasi. Partisipasi masyarakat masih didudukkan dalam kerangka kepentingan pemerintah. Tujuan dan esensi sesungguhnya dari proses bottom up belum terlaksana. Masyarakat diperlukan kehadirannya sebagai legitimasi bahwa partisipasi masyarakat telah terjadi. Pada forum perencanaan tingkat kelurahan dipimpin langsung oleh lurah dan dihadirkan perwakilan RT/RW. Materi usulan kegiatan telah disiapkan pihak kelurahan berdasarkan hasil usulan para Ketua RT/RW baik secara formal maupun informal, sedangkan peserta hanya membahas usulan-usulan tersebut. dari sisi peserta mayoritas berasal dari struktural dan dapat dikatakan bahwa peserta tidak representatif. Kedua, Sosialisasi minim. Minimnya sosialisasi tentang adanya kegiatan perencanaan. Banyak warga yang tidak mengetahui waktu pelaksanaan musrenbang kelurahan. Ketiga, lemahnya infrastruktur politik. Keberadaan partai politik di tingkat grass root hanya terasa menjelang pemilihan umum. Keberadaan partai politik dapat menjadi suatu media untuk menyampaikan aspirasi masyarakat, karena partai politik menjadi perpanjangan tangan di parlemen. Selanjutnya masalah dalam proses penganggaraan: pertama, masalah struktural. Lemahnya implementasi terhadap ketentuan yang ada. Masalah ini dapat dilihat dari tiga hal yaitu ketidaktaatan pada prinsip money follows function, tahapan yang tidak terstruktur, inkonsistensi terhadap siklus anggaran. Money follows function mengandung arti bahwa seharusnya penganggaran dilakukan setelah perencanaan selesai dilakukan. Artinya RAPBD disusun berdasarkan dokumen KUA yang dibuat berdasarkan kesepakatan antara legislatif dan eksekutif. Di Kota Palu KUA ditetapkan pada saat RAPBD selesai disusun, pembagian pagu anggaran antardinas berdasarkan kontribusinya terhadap penerimaan daerah. Kedua, adalah masih menggunakan indikator besaran anggaran dinas berbanding lurus dengan kontribusinya bagi PAD. Hal ini akan merugikan dinas-dinas seperti dinas sosial karena dinas ini mengemban misi untuk membantu masyarakat. Jika alokasi anggarannya kecil, maka sesungguhnya hal ini bukanlah kebijakan yang tepat. Ketiga, lemahnya kapasitas SKPD dalam menyusun rencana anggaran SKPD. Seringkali rencana anggaran SKPD tidak diisi secara lengkap atau tidak tepat dalam mengisi input, output, outcome, benefit dan impact. Dalam kaitannya dengan kapasitas lemahnya pemahaman anggota dewan akan fungsi budgeting, anggota dewan juga lemah dalam mengkritisi RAPBD yang diajukan eksekutif. Perencanaan dan penganggaran merupakan dua hal yang erat kaitannya. Agar perencanaan dan penganggaran bersifat realistik dan tepat sasaran, maka perlu didukung oleh Peraturan Pemerintah yang menjabarkan konsep dan ketentuan lebih rinci mengenai kerangka rencana dan anggaran. Hal yang terjadi selama ini menunjukkan bahwa perencana cenderung mengabaikan dokumen-dokumen dalam perencanaan dan penganggaran serta tidak adanya keterkaitan antar dokumen. Permasalahan berikutnya adalah masih sangat dirasakan “ego sektoral” antara para aparat pemerintah dalam melaksanakan kegiatan pembangunan. Masing-masing dinas dan instansi cenderung mengatakan tugas dan fungsinyalah yang terpenting dalam kegiatan pembangunan. Permasalahan tersebut menyebabkan koordinasi dalam penyusunan rencana dan pelaksanaan pembangunan menjadi sulit dilakukan. Akibat selanjutnya adalah kurang optimalnya pelaksanaan proses pembangunan dan bahkan sasaran yang dituju dapat tidak terlaksana sama sekali. pentingnya proses perencanaan dan penganggaran yang baik sangat mempengaruhi kondisi perekonomian daerah. Kabupaten Donggala telah menerapkan Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah (SIPKD). Sistem ini dibangun dengan harapan dapat meningkatkan efektifitas implementasi dari berbagai regulasi bidang pengelolaan keuangan, dibandingkan dengan Kota Palu yang belum menerapkan SIPKD. Kabupaten Donggala dari sisi TKED lebih baik,
dari sisi pengelolaan keuangan daerah juga lebih baik sehingga kedua hal ini sangat mempengaruhi kondisi perekonomian di Donggala. Baiknya proses perencanaan dan penganggaran juga dapat dilihat bagaimana daerah mengalokasikan anggarannya. Untuk itu, perlu dibahas lebih lanjut bagaimana Kabupaten Donggala dan Kota Palu dalam pengelolaan keuangannya baik dari sisi penerimaan maupun sisi pengeluaran. Analisis Keuangan Daerah Kabupaten Donggala dan Kota Palu Untuk menganalisis lebih dalam perbedaan antara Kabupaten Donggala dan Kota Palu, maka dilakukan pula analisis potensi daerah antara kedua daerah tersebut. Proses pembangunan ekonomi bertujuan untuk meningkatkan kemajuan suatu bangsa melalui peningkatan kesejahteraan rumah tangga atau penduduk. Kemajuan suatu bangsa tidak hanya diukur dari tingginya pertumbuhan ekonomi tetapi juga diukur dari tingkat kemakmuran penduduknya. Tingkat kemakmuran yang dicapai tercermin dari tingginya rata-rata pendapatan penduduk dan meratanya pembagian hasil pembangunan ekonomi. Semakin tinggi rata-rata pendapatan penduduk yang diimbangi dengan semakin meratanya distribusi pendapatan antar berbagai kelompok penduduk menunjukkan semakin tingginya kemajuan suatu bangsa. Seiring dengan pelaksanaan desentralisasi, pemerintah daerah mempunyai peran yang besar dalam proses pembangunan. Desentralisasi fiskal diwujudkan dalam bentuk pemberian wewenang kepada pemerintah daerah untuk mencari sumber pendapatan dan menentukan alokasi pengeluarannya sendiri, walaupun dalam pelaksanaanya masih menitikberatkan pada desentralisasi dari sisi pengeluaran. Adapun desentralisasi administrasi diwujudkan dengan diberikannya wewenang pemerintah daerah untuk mengatur urusan tata pemerintahannya sendiri. Pada Gambar 18 memperlihatkan bahwa walaupun diimbangi dengan lebih baiknya penerimaan dana bagi hasil pajak, sumber penerimaan Kabupaten Donggala dan Kota Palu tahun 2010 masih didominasi oleh sumber-sumber penerimaan dana alokasi umum dari total penerimaan di tahun 2010. Dominannya dana alokasi umum di kedua daerah ini disebabkan oleh belum mandirinya kedua daerah tersebut dari sisi pendapatan asli daerah. Selain itu, belum maksimalnya usaha daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dengan memanfaatkan pengelolaan sumber daya alam. Dari hasil penelitian, mekanisme dana bagi hasil pajak akan menguntungkan daerah perkotaan yang berbasis sumber daya alam dan industri. Baik Kota Palu maupun Kabupaten Donggala tidak dapat dikatakan sebagai daerah yang berbasis pada industri. Belum maksimalnya pendapatan daerah dari dana bagi hasil selain belum berkembangnya kawasan industri juga dikarenakan belum optimalnya pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pendapatan Asli Daerah yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatn asli daerah yang sah. Peningkatan pendapatan asli daerah diharapkan meningkatkan investasi belanja modal pemerintah daerah sehingga kualitas pelayanan publik semakin baik. Namun, yang terjadi adalah pendapatan asli daerah yang belum maksimal dan peningkatan dana alokasi umum tidak diikuti dengan kenaikan anggaran belanja modal yang signifikan. Hal ini disebabkan karena dana alokasi umum tersebut banyak terpakai untuk membiayai belanja pegawai terutama untuk perjalanan dinas yang lebih dominan.
400000 350000
dalam juta Rp
300000 250000 200000 Kota Palu
150000
Kab Donggala 100000 50000 0 PAD
DBHSDA
DAK
DBHP
DAU
26930
Dana lainnya 40113
Kota Palu
49146
1662
20000
380493
Kab Donggala
13170
1407
51916
6901
17000
351935
Gambar 18 Sumber Penerimaan Kabupaten Donggala dan Kota Palu tahun 2010 (juta Rp) Sumber: Data Olahan Pada gambar 19 memperlihatkan PAD Kabupaten Donggala hanya berkisar antara 1% sampai dengan 3% dan Kota Palu 7% sampai dengan 9%. Perbedaan antara besarnya pendapatan asli daerah antara daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota tidak terlepas dari adanya batasan antara sumber penerimaan pajak di kabupaten serta sumber penerimaan pajak di kota. Kondisi ironis inilah yang membuktikan selama ini pelaksanaan otonomi daerah sangat menimbulkan ketergantungan daerah kepada pusat. Rendahnya peranan PAD dalam APBD di daerah-daerah tersebut juga menunjukkan rendahnya kemampuan daerah dalam membiayai pengeluaran pembangunan.
14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00
PAD Kota Palu PAD Kab Donggala
2.00 0.00
Gambar 19
Kontribusi PAD terhadap total penerimaan Kabupaten Donggala dan Kota Palu tahun 2001-2010 (%) Sumber: Data Olahan Pada gambar 20 memperlihatkan perbedaan pendapatan asli daerah donggala dan Kota Palu. Setiap daerah mempunyai kemampuan keuangan yang tidak sama dalam mendanai kegiatan-kegiatannya. Hal ini menimbulkan ketimpangan fiskal antara satu daerah dengan daerah lainnya. Oleh karena itu, untuk mengatasi ketimpangan fiskal ini, Pemerintah mengalokasikan dana yang bersumber dari APBN untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi. Salah satu dana perimbangan dari pemerintah ini adalah dana alokasi umum yang pengalokasiannya menekankan pada aspek pemerataan dan keadilan yang selaras dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan. Dengan adanya transfer dana dari pusat ini, diharapkan pemerintah daerah dapat lebih mengalokasikan pendapatan asli daerah yang didapatnya untuk membiayai belanja modal di daerahnya. Sebelas kabupaten/kota di Sulawesi Tengah, pendapatan asli daerah sangat kecil yang mencapai di bawah 10% dengan proporsi tertinggi dicapai Kota Palu yang mencapai 9.48% terhadap total pendapatan dan proporsi terendah dicapai oleh Kabupaten Sigi sebesar 0.65% terhadap pendapatan total. Rendahnya pendapatan asli daerah ini menunjukkan bahwa semua Kabupaten/Kota di Sulawesi Tengah sangat tergantung pada dana perimbangan pusat. Rendahnya pendapatan asli daerah dan begitu besarnya ketergantungan pada pemerintah pusat dan masih besarnya belanja pegawai di Kota Palu yang pada tahun 2010 mencapai 17.15% dan belanja barang dan jasa yang mencapai 43.30% dari total belanja langsung. Hal ini menunjukkan bahwa Kota Palu pendapatan asli daerahnya minim, ketergantungan besar pada pemerintah pusat, lalu alokasi peruntukkannya hanya terfokus pada kegiatan yang memberikan efek ganda pada aparatur, bukan pada kegiatan yang bersentuhan langsung pada masyarakat banyak dan belanja modal. Padahal, belanja modal mencakup belanja tanah, belanja peralatan dan mesin, belanja gedung dan bangunan, belanja jalan, irigasi, dan jaringan, belanja aset tetap lainnya, serta belanja aset lainnya. Saat ini SKPD Badan Lingkungan Hidup dan Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Pemberdayaan Pemerintah Kelurahan Kota Palu masih menyewa perumahan penduduk dalam setiap aktivitasnya. Pemerintah Kota Palu dapat mengalokasikan belanja modalnya dalam mata anggaran belanja gedung dan tanah agar tidak lagi membiayai sewa gedung sehingga dapat mengalokasikan pembiayaan bagi pemeliharaan gedung.
Desentralisasi fiskal akan memberikan manfaat yang optimal jika diikuti oleh kemampuan finansial yang memadai oleh daerah otonom. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 sumber penerimaan yang digunakan untuk pendanaan pemerintah daerah dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah: pendapatan asli daerah, dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana bagi hasil, pinjaman daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah. 600,000 500,000 400,000
2003 2004
300,000
2005
200,000
2006
100,000
2007
-
2008 2009 2010 2011
Gambar 20
Perkembangan Alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) Kabupaten/Kota Tahun 2003 – 2011 (jt Rp) Sumber: Data Olahan Daerah yang mempunyai kemampuan fiskal rendah akan mendapatkan dana alokasi umum dalam jumlah yang relatif besar, sebaliknya daerah yang mempunyai kemampuan fiskal tinggi akan mendapatkan dana alokasi umum dalam jumlah yang kecil. Pemberian dana alokasi umum ini diharapkan dapat mengurangi disparitas fiskal horizontal, sehingga daerah mempunyai tingkat kesiapan fiskal yang relatif sama dalam mengimplementasikan otonomi daerah. Daerah diharapkan mampu mengalokasikan sumber dana ini pada sektor-sektor produktif sehingga dapat mendorong peningkatan investasi di daerah dan juga pada sektor yang berdampak pada peningkatan pelayanan publik serta dapat meningkatkan kontribusi publik terhadap pendapatan asli daerah. Hal ini diharapkan agar kemandirian daerah menjadi semakin tinggi seiring dengan meningkatnya kapasitas fiskal daerah, yang menyebabkan tanggungan pemerintah untuk memberikan dana alokasi umum dapat lebih dikurangi. Gambar 21 memperlihatkan alokasi dana alokasi umum di kabupaten/kota tahun 2003 sampai dengan 2011 semua kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Tengah. Dari tahun ke tahun selalu mengalami kenaikan kecuali untuk Kabupaten Donggala di tahun 2009 mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Penurunan dana alokasi umum di Kabupaten Donggala disebabkan karena pada tahun 2009 ada pemekaran daerah otonom baru yaitu pemekaran Kabupaten Sigi. Kabupaten Sigi merupakan pemekaran dari Kabupaten Donggala. Dalam perhitungan dana alokasi umum memperhitungkan faktor banyaknya pegawai negeri sipil. Alokasi dana alokasi umum baik di Kabupaten Donggala maupun Kota Palu, dari gambar tersebut terlihat masih mendominasi APBD dari tahun ke tahun. Naiknya DAU di tiap kabupaten/kota memperlihatkan selain pendapatan asli daerah yang belum dapat diharapkan untuk membiayai kebutuhan daerah. Hal ini juga disebabkan oleh minimnya penerimaan dari sumber pajak daerah dan pengelolaan sumberdaya alam yang belum
maksimal. Dana perimbangan dari pemerintah pusat berupa dana alokasi umum serta dana alokasi khusus. Dana alokasi umum adalah “block grant” yang diberikan kepada semua pemerintah kabupaten/kota untuk menutup kesenjangan antara kapasitas fiskal (fiscal capacity) dengan kebutuhan fiskal (fiscal needs). Pemerintah pusat diwajibkan mengalokasikan sekurang kurangnya 25% dari penerimaan domestik netto untuk dana alokasi umum. Sedangkan dana alokasi khusus didesain untuk tujuan yang spesifik dan dialokasikan untuk pemerintah daerah secara spesifik pula. Baik Kabupaten Donggala maupun Kota Palu, dana perimbangan dari pemerintah pusat masih dominan dalam struktur APBD di kedua daerah tersebut yang mencapai 80-90 persen dari penerimaan daerah. 600000 500000 400000 Juta Rp
Donggala DAU Donggala DAK
300000
Palu DAU
200000
Palu DAK
100000 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Gambar 21 Perkembangan Alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kabupaten Donggala dan Kota Palu Tahun 2001 – 2010 (jt Rp) Sumber: Data Olahan Dana alokasi umum yang banyak tidak diikuti oleh peningkatan alokasi belanja modal dalam bentuk aset tetap seperti infrastruktur, dan peralatan sangat penting untuk meningkatkan produktivitas perekonomian karena semakin tinggi belanja modal semakin tinggi pula produktivitas perekonomian. Belanja modal merupakan jenis belanja langsung yang berhubungan dengan program dan kegiatan selain belanja pegawai dan belanja barang dan jasa. Pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap. Belanja modal yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menambah aset tetap misalnya membuat gedung, tanah, peralatan dan mesin maupun irigasi dan jaringan, terbukti dapat memberikan efek yang besar dalam perekonomian. Semakin banyak belanja modal yang dilakukan pemerintah, semakin cepat perekonomian tumbuh sehingga kesejahteraan masyarakat yang ditunjukkan oleh PDRB per kapita dapat meningkat. Syarat fundamental bagi pembangunan ekonomi adalah tingkat pengadaan modal pembangunan yang seimbang dengan pertambahan penduduk. Bertambahnya infrastruktur dan perbaikannya oleh pemerintah daerah diharapkan akan memacu pertumbuhan ekonomi daerah dan selanjutnya akan meningkatkan pendapatan perkapita masyarakatnya. Lebih disayangkan lagi dalam wawancara dengan beberapa SKPD, masih banyak pemangku kepentingan yang salah menafsirkan arti dari belanja modal dalam hal ini banyak anggaran yang dikeluarkan bagi alokasi belanja ini yang tidak tepat sasaran karena bukan dibelanjakan untuk objek pembangunan tetapi masih banyak yang dialokasikan ke subjek dalam hal ini untuk aparat SKPD sendiri contohnya pembelian perangkat elektronik untuk penunjang
misalnya pembelian laptop bagi oknum-oknum tertentu. Perangkat ini akan berpindah tangan jika pemangku kepentingan akan dimutasi ke tempat lain. Dana alokasi khusus penggunaannya diatur oleh Pemerintah Pusat dan hanya digunakan untuk kegiatan pendidikan, kesehatan, keluarga berencana, infrastruktur jalan dan jembatan, infrastruktur irigasi, infrastruktur air minum dan sanitasi, prasarana pemerintah daerah, lingkungan hidup, kehutanan, sarana prasarana pedesaan, perdagangan, pertanian serta perikanan dan kelautan yang semuanya itu termasuk dalam komponen belanja modal dan Pemerintah Daerah diwajibkan untuk mengalokasikan dana pendamping sebesar 10% dari nilai dana alokasi khusus yang diterimanya untuk mendanai kegiatan fisik. Kegiatan yang dibiayai oleh dana alokasi khusus hanya merupakan kegiatan lanjutan dari yang sudah ada. Kecilnya pengaruh dana alokasi khusus terhadap PDRB disebabkan oleh kecil sumbangsih dana alokasi khusus dalam pembentukan APBD. Di samping itu, dana alokasi khusus turun menjelang triwulan keempat tahun berjalan akan tutup sehingga pemangku kepentingan tidak ingin direpotkan lagi dengan laporan pertanggung jawaban yang seringkali menumpuk di akhir tahun. Di samping itu, pada petunjuk tehnis pelaksanaan dana alokasi khusus pada SKPD tertentu sering mengalami keterlambatan sehingga berpengaruh pada pencairan dana pada termin berikut di SKPD lain. Studi INDEF (2011) menunjukkan jika belanja daerah dinaikkan 10 persen, maka hanya akan menyumbang sebesar 0,06 persen. Jika dana alokasi umum dan dana alokasi khusus ditingkatkan 10 persen, maka donasi terhadap kenaikan pertumbuhan ekonomi daerah lebih kecil lagi yaitu hanya 0,03 persen dan 0,02 persen. Koefisien dana alokasi khusus yang sangat kecil tersebut dikarenakan dalam APDB kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Tengah masih didominasi oleh hampir 80% belanja rutin dan sisanya untuk belanja modal. menurut Lewis (2001), hal ini terjadi karena dana alokasi umum yang menjadi sumber utama pendapatan daerah pada umumnya sebagian besar akan digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin, sehingga anggaran untuk pembangunan menjadi kecil. Berdasarkan Permendagri No 13 Tahun 2006 yang diubah menjadi Permendagri No 59 Tahun 2007 pasal 53 ayat (1) Belanja modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pengadaan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dan 12 (duabelas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan. (2) Nilai aset tetap berwujud yang dianggarkan dalam belanja modal sebesar harga beli/bangun aset ditambah seluruh belanja yang terkait dengan pengadaan/pembangunan aset sampai aset tersebut siap digunakan. (3) Kepala daerah menetapkan batas minimal kapitalisasi (capitalization threshold) sebagai dasar pembebanan belanja modal. Sejak dilaksanakannya kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal pada tahun 2001, anggaran Belanja Daerah dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dari sisi besaran alokasi dana yang dibelanjakan. Belanja Daerah digunakan untuk pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan. Anggaran Belanja Daerah akan mempunyai peran riil dalam peningkatan kualitas layanan publik dan sekaligus menjadi stimulus bagi perekonomian daerah apabila terealisasi dengan baik. Dengan demikian, secara ideal seharusnya Belanja Daerah dapat menjadi komponen yang cukup berperan dalam peningkatan akses masyarakat terhadap sumbersumber daya ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Pada gilirannya, apabila kesejahteraan masyarakat telah meningkat, maka diharapkan akan berdampak kepada perekonomian daerah secara luas.
Data kab.donggala tahun 2005 tidak tersedia
70
Dalam persen
60 50
Belanja Pegawai Kab Donggala Belanja Pegawai Kota Palu
40 30 20 10 0
tahun
Gambar 22 Prosentase Belanja Pegawai terhadap total Belanja di Kab Donggala dan Kota Palu tahun 2001-2009 (%) Sumber: Data Olahan Kota Palu dengan PDRB perkapita Rp.18.133.245 dan pertumbuhan ekonomi 7,99% di atas pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah yang hanya 7,79%. Pengangguran di Kota Palu berkurang 8,1% pada tahun 2010, tetapi kemiskinan bertambah menjadi 11,3% di tahun yang sama. Dalam pengelolaan keuangan daerah, dari sisi pengeluaran Kabupaten Donggala masih lebih baik dibandingkan dengan Kota Palu. Kabupaten Donggala dengan PDRB perkapita Rp.13.145.543 dan pertumbuhan ekonomi yang hanya 7% pada tahun 2010, pengangguran berkurang 39,1% dan kemiskinan juga turun sebesar 42,9% di tahun yang sama. Komposisi pengeluaran di Kabupaten Donggala walaupun masih didominasi oleh besarnya belanja pegawai, tetapi masih diimbangi oleh besaran belanja modal dan belanja barang dan jasa. Pada Gambar 22 memperlihatkan belanja pegawai sepanjang tahun 2001 sampai dengan tahun 2009 paling tinggi terjadi di tahun 2002 yang mencapai 70% dari total belanja, kemudian berangsur-angsur turun di tahun berikutnya dan mengalami kenaikan kembali sejak tahun 2007 sampai 2009. Namun, kenaikan tersebut hanya mencapai 50% dari total belanja di tahun 2009. Dibandingkan dengan total belanja pegawai terhadap total belanja di Kota Palu, mengalami fluktuasi sejak tahun 2001 sampai dengan tahun 2007, tetapi di tahun 2008 ke tahun 2009 kenaikan cukup tinggi yang pada tahun 2009 total belanja pegawai mencapai 70% dari total belanja. Proporsi belanja barang dan jasa terhadap total belanja di Kabupaten Donggala dan Kota Palu hanya mencapai 17% dari total belanja untuk Kabupaten Donggala dan 15% dari total belanja untuk Kota Palu. Proporsi belanja modal di Kabupaten Donggala di tahun 2001 mencapai 35% dari total belanja dibandingkan dengan Kota Palu yang hanya mencapai 20% dari total belanja. Selanjutnya belanja modal di Kabupaten Donggala turun menjadi 24% di tahun 2002 dan belanja modal di Kota Palu di tahun yang sama mencapai 15% dari total belanja. Selanjutnya di tahun 2005 Kabupaten Donggala mengalami pergantian pejabat bupati yang pada tahun tersebut mengalami skandal korupsi dana APBD yang mengakibatkan kerugian besar di kabupaten tersebut. tahun 2006 belanja modal di Kabupaten Donggala mengalami penurunan tetapi naik kembali sebesar 30% di tahun 2007. Dibandingkan dengan Kota Palu, proporsi belanja modal terhadap belanja total di tahun 2007 hanya mencapai 29% dan terendah terjadi di tahun 2009 yang hanya mencapai 15% dari total belanja. Dengan mengaitkan antara teori belanja modal dan potensi daerah dari sisi pengeluaran Kabupaten Donggala lebih baik dari Kota Palu.
Banyak pihak menyampaikan bahwa berkurangnya proporsi belanja modal diakibatkan oleh banyaknya alokasi APBD untuk membiayai belanja pegawai, terutama untuk alokasi belanja PNSD bagi tenaga pendidik yang dipandang lebih mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pemenuhan pelayanan publik kepada masyarakat. Namun demikian, apabila ditinjau dari sisi kewajiban pemda dalam peraturan perundangan bahwa Belanja Daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya dengan prioritas kepada pelaksanaan urusan daerah yang sifatnya wajib, maka sebenarnya belanja untuk guru sebenarnya mendukung pencapaian tujuan tersebut. Pembebanan gaji guru bersifat wajib dalam rangka menjamin kelangsungan pemenuhan pendanaan pelayanan dasar masyarakat dalam bidang pendidikan. Jika melihat hal ini, seharusnya belanja modal dari kabupaten/kota di Sulawesi Tengah khususnya di Kabupaten Donggala dan Kota Palu dapat lebih besar dari 30% (gambar 23).
Data kab.donggala tahun 2005 tidak tersedia
40
Dalam persen
35 30 25 20 15
Belanja Modal Kab Donggala
10
Belanja Modal Kota Palu
5 0
tahun
Gambar 23
Prosentase Belanja Modal terhadap total Belanja di Kab Donggala dan Kota Palu tahun 2001-2009 (%) Sumber: Data Olahan Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa antara permasalahan pertama dalam penelitian ini yaitu masalah tata kelola ekonomi daerah yang mempengaruhi kinerja perekonomian daerah kabupaten/kota di provinsi Sulawesi Tengah berhubungan erat dengan masalah kedua dalam penelitian ini yaitu proses perencanaan dan penganggaran APBD khususnya di Kabupaten Donggala dan Kota Palu. Keterkaitan kedua permasalahan ini dapat dilihat dari hasil penelitian KPPOD Kabupaten Donggala berada pada urutan keenam serta Kota Palu urutan ke delapan dari 11 kabupaten/kota di Sulawesi Tengah. Peringkat Kabupaten Donggala yang masih lebih baik dari Kota Palu tersebut tidak terlepas dari Tata Kelola Ekonomi Daerah yang baik di daerah tersebut serta perilaku pemerintah dalam penerapan dan pelaksanaan proses perencanaan dan penganggaran sampai terbentuknya APBD serta bagaimana proses di tiap SKPD dalam merencanakan sampai dengan pengalokasian anggaran dalam bentuk program dan kegiatan SKPD, khususnya dalam prioritas anggaran. Dari hasil yang diuraikan dapat dikatakan Kabupaten Donggala lebih baik dibanding Kota Palu sehingga hal ini mempengaruhi hasil yang didapatkan oleh KPPOD. Dari uraian ini, dapatlah dikatakan bahwa hipotesis pertama yaitu Tata kelola ekonomi daerah yang baik berpengaruh positif terhadap kinerja perekonomian daerah. Hal ini dapat dibuktikan Kabupaten Donggala yang mempunyai nilai indeks TKED yang lebih baik dari
Kota Palu juga memiliki indikator perekonomian yang lebih baik dibanding Kota Palu. Hipotesis kedua yaitu tata kelola ekonomi daerah diduga mempengaruhi kinerja perekonomian daerah. Variabel tata kelola ekonomi daerah yang mempengaruhi perekonomian daerah yaitu indikator kebijakan infrastruktur daerah sub indikator lama perbaikan infrastruktur listrik yang mempengaruhi PDRB, sub indikator lain dalam infrastruktur yang mempengaruhi kinerja perekonomian yaitu kondisi lampu penerangan jalan di sekitar usaha responden pada tahun 2009 mempengaruhi pengangguran. Dalam indikator infrastruktur lainnya yang mempengaruhi kinerja perekonomian yaitu rata-rata hari yang diperlukan untuk memperbaiki infrastruktur (yang berada di sekitar wilayah usaha responden) yang mengalami kerusakan atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya di tahun 2009 (air PDAM) mempengaruhi kemiskinan. Indikator program pengembangan usaha swasta sub indikator manfaat PPUS dapat menghubungkan pelaku usaha kecil-sedang dan besar mempengaruhi pengangguran, sub indikator lain dalam PPUS yang berpengaruh terhadap pengangguran adalah pelatihan pengajuan kredit bagi UKM. Hipotesis ketiga yaitu indikator akses lahan, infrastruktur, kapasitas dan integritas bupati, interaksi PEMDA dan pelaku usaha, PPUS, keamanan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan Perizinan usaha, biaya transaksi berpengaruh negatif terhadap kinerja perekonomian daerah. Dari hasil yang didapatkan ternyata hanya indikator infrastruktur dan PPUS yang berpengaruh terhadap kinerja perekonomian. Indikator infrastruktur berpengaruh negatif terhadap PDRB dan pengangguran serta berpengaruh positif terhadap kemiskinan. Adapun indikator PPUS berpengaruh negatif terhadap pengangguran. Hipotesis keempat yaitu alokasi belanja modal diduga meningkatkan kinerja perekonomian. Peningkatan belanja modal diharapkan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Hipotesis kelima proses perencanaan dan penganggaran di Kabupaten Donggala lebih baik daripada di Kota Palu. Kabupaten Donggala yang menjalankan proses perencanaan dan penganggaran yang lebih baik dari Kota Palu memiliki indikator perekonomian yang lebih baik dari Kota Palu. Implikasi kebijakan dalam proses perencanaan dan penganggaran yang dapat dilakukan bagi PEMDA Kota Palu dalam pengalokasian APBD harus lebih memperhatikan alokasi belanja modal agar lebih ditingkatkan dari alokasi belanja modal sebelumnya. Peningkatan alokasi belanja modal tersebut diharapkan akan lebih memperhatikan pada program-program yang berhubungan dengan masyarakat miskin agar penurunan kemiskinan dan pengangguran lebih tinggi.
8. Simpulan dan Saran Simpulan Temuan-temuan dalam studi ini yang terkait dengan tujuan pertama adalah sebagai berikut. Untuk dapat meningkatkan kinerja perekonomian daerah (peningkatan PDRB perkapita, pengurangan pengangguran, pengurangan penduduk miskin) dapat dilakukan melalui tata kelola ekonomi daerah yang baik, yaitu: dengan kondisi lampu jalan yang lebih baik di sekitar tempat usaha, lama perbaikan listrik yang lebih cepat, lama perbaikan PDAM yang lebih cepat, program pengembangan usaha swasta (pelatihan pengajuan kredit yang dilakukan oleh program pengembangan usaha swasta, dan tingkat manfaat bagi dunia usaha). Pertumbuhan Ekonomi dan juga PDRB perkapita di Kota Palu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita di Kabupaten Donggala. Akan tetapi pengaruh peningkatan Belanja Modal di Kabupaten Donggala terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan juga PDRB perkapita lebih tinggi dibandingkan Kota Palu. Meskipun Kabupaten Donggala pertumbuhannya dan PDRB perkapitanya lebih rendah dari Kota Palu, tetapi sangat besar dalam menurunkan pengangguran dan kemiskinan serta persentase alokasi belanja modalnya yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh tata kelola ekonomi daerah yang baik, juga ditunjang oleh faktor lain yaitu proses perencanaan dan penganggaran APBD terutama dalam indikator prioritas anggaran yang relatif baik di Kabupaten Donggala. Pengangguran di Kabupaten Donggala lebih rendah dibandingkan di Kota Palu. Hal ini dikarenakan tata kelola ekonomi daerah di Kabupaten Donggala lebih baik dan dalam prioritas anggaran juga lebih baik walaupun investasi di Kabupaten Donggala masih kurang dibandingkan investasi di Kota Palu. Kemiskinan di Kabupaten Donggala lebih tinggi dibandingkan di Kota Palu. Akan tetapi karena alokasi Belanja Modal di Kabupaten Donggala relatif lebih besar serta tata kelola ekonomi daerah juga lebih baik daripada di Kota Palu, maka penurunan kemiskinan di Kabupaten Donggala lebih tinggi dibanding di Kota Palu. Peningkatan investasi di Kabupaten Donggala akan lebih berpengaruh terhadap pengurangan kemiskinan dibandingkan di Kota Palu. Temuan-temuan terkait dengan tujuan kedua adalah sebagai berikut. Dalam proses perencanaan dan penganggaran Kabupaten Donggala lebih baik dibandingkan Kota Palu, terutama dalam penentuan prioritas anggaran, yaitu tidak adanya alokasi baru diluar prioritas. Kabupaten Donggala lebih baik dalam proses perencanaan dan penganggaran tidak hanya ditunjukkan dalam indikator prioritas anggaran, tetapi juga dalam indikator lain walaupun secara statistik tidak signifikan. Saran 1. Perlunya peningkatan Belanja Modal di Kabupaten Donggala dan Kabupaten lainnya karena pengaruh belanja modal terhadap pertumbuhan PDRB perkapita di Kabupaten lebih tinggi dibandingkan di Kota Palu. Peningkatan belanja modal di Kabupaten Donggala akan meningkatkan pertumbuhan PDRB perkapita. Kota Palu perlu mengurangi belanja pegawai dan meningkatkan belanja modal dalam APBDnya. 2. Perlunya kebijakan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah yang dapat menjadikan dunia usaha lebih berkembang antara lain kebijakan perbaikan kualitas infrastruktur dan kebijakan program pengembangan usaha swasta
3. Perlunya peran BAPPEDA Kota Palu yang lebih dominan dari proses perencanaan sampai terbentuknya APBD. Wujudnya, Bappeda Kota Palu perlu tenaga perencana yang lebih banyak dibandingkan tenaga administrasi. 4. Perlunya peningkatan investasi di Kabupaten Donggala dan Kota Palu, karena peningkatan investasi akan berpengaruh terhadap pengurangan kemiskinan. 5. Perlunya penelitian lanjutan untuk melihat pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah terhadap peningkatan investasi.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, S. dan M.P.Admin. 2005. Desentralisasi : Konsep, Teori dan Perdebatannya. Ahmad, E and A Mansoer. 2002 Indonesia : Managing Decentralization. IMF Working paper Fiscal Affairs Evaluation Office. International monetary fund, Washington, D.C. Ahmad, E, et.al. 2007. Desentralisasi Ekonomi di Indonesia. Edisi Pertama. Bayumedia, Malang. Agosin, R. dan Machado,R. 2005. Foreign Investment in Developing Countries: Does it crowd in Domestic Investment? Oxford Development Studies, 33(2); 149-162. Aysan, A dan Varoudakis,M. 2007. How Do Political and Governance Institutions Affect Private Investment Decisions? An Application to the Middle East and North Africa. Working Paper. Tukey. Agustino, E Landiyanto. Kinerja Keuangan dan Strategi Pembangunan Kota di Era Otonomi Daerah. Working paper No 05/01 Januari 2005. Akhmad, dan Achsani N. Azam. Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Perekonomian Daerah : studi kasus Provinsi Sulawesi Selatan Antara, M. 1999. Dampak Pengeluaran Pemerintah dan Wisatawan Terhadap Kinerja Perekonomian Bali : Pendekatan Sosial Accounting Matrix. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Analisis Pengeluaran Publik Papua. 2005. Sebuah Tinjauan Umum Keuangan Daerah dan Pelayanan Publik pada Wilayah Tertinggal Di Indonesia. 2005. Work Bank, SOFEI. Armida S Alisjahbana.Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan. Tanggal 4 April 2000. Bahan kuliah pada Fakultas Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi UNPAD. Arsyad, L. 1999. Pengantar dan Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah. Edisi Pertama. Balai Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Bahl, Roy W. 2000. China: Evaluating theImpact of Intergovernmental Fiscal Reform dalam Fiscal Decentralizatioin Developing Countries. Edited byRichard M. Bird and Francois Vaillancourt,United Kingdom: Cambridge University Press. Bashir A., Syamsulrijal. Potret Perekonomian Daerah Setelah Desentralisasi Fiskal di Provinsi Sumatera Selatan Baltagi, B. 2005. Econometric Analysis of Panel Data: Third Edition. John Wiley and Sons.Ltd. England. Blanchard, O. 2006. Macroeconomics. Pearson Education International. Singapore. Bert Hofman, Kadjatmiko K.K dan Bambang S.S, 2006, Evaluating Fiscal Equalization in Indonesia World Bank Policy Research Working Paper 3911
Bratakusuma, D.S, dan Solihin, D. 2004. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. BRIDGE, Kerjasama dan Partisipasi Para Pihak: Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik. 2009 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan United Nasions Development Programme (UNDP). 2008. “Dampak Pemekaran Daerah: Tahun 2001-2007”, Building and Reinventing Decentralised Governance (BRIDGE), Jakarta. [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2010. Peta Jalan Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia. Jakarta: Bappenas. Brodjonegoro, B.P.S, A. Hendranata dan R.M. Qiuna. 2001. Model Ekonometrika Desentralisasi : Analisa Dampak Alokasi SDA dan DAU Terhadap Pemerataan dan Pertumbuhan Ekonomi Antar Daerah. Brodjonegoro, B. and Shinji A. Sanuma. 2000, ”The Regional Autonomy and Fiscal Decentralization In Democratic Indonesia”, Hitotsubashi Journal of Economics, Vol 41 No 2 Tokyo. Busse M, Borrmann A, Fischer S, Gröning S. 2007. Institutions, Governance and Trade: An Empirical Investigation of the Linkages in View of the Proposed ACP/EU Economic Partnership Agreements. Hamburg: Hamburg Institute of International Economics. Darumurti, Khrisna D.Umbu Rauta dan Daniel D. Kameo. 2003. Otonomi Daerah Perkembangan pemikiran, Pengaturan dan Pelaksanaan, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta. Davey, K.J. 1988. Pembiayaan Pemerintah Daerah : Praktek-Praktek Internasional dan Relevansinya. Terjemahan. Universitas Indonesia Press, Jakarta. De Mello L. 2010. Fiscal Decentralisation and Public Investment: The Experience of Latin America. OECD Economics Department Working Papers 824. Dilinger, W. 1994. Decentralization and Its Implication for Service Delivery. Washington, D.C. World Bank. Dixit, A. 2001. On Modes of Economic Governance. CESifo Working Paper 589. Djankov S., Porta R.L., de Silanes FL, dan Shleifer A. 2002. The Regulation of Entry. Quarterly Journal of Economics 117: 1-37. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Deskripsi dan Analisis APBD 2010. Jakarta: Direktorat Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah.Website : www.djpk.depkeu.go.id (15 Maret 2012). Dornbusch, R. dan S. Fisher. 1992. Makroekonomi. Terjemahan. Erlangga, Jakarta.
Ehtisham Ahmad and Ali Mansoor. Indonesia: Managing Decentralization IMF Working Paper WP/02/136 August 2002. Febrian, R.A. 2011. Flypaper Effect di Indonesia. http://accounting1st.wordpress. com/2011/06/26 flypaper-effect-di- Indonesia.html.(20 Mei 2012). http://www.slideshare.net/DadangSolihin/anggaran-berbasis-kinerja-dalam-perencanaan-dan penganggaran-pembangunan http://uripsantoso.wordpress.com/2009/03/11/penganggaran-berbasis-kinerja/ Halim, A. 2001, Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan (UPP)AMP YKPN.Halim, Abdul, 2001, Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta:Unit Penerbit dan Percetakan (UPP) AMP YKPN. Halim, A. 2002. Akuntansi Sektor Publik : Akuntansi Keuangan Daerah. Salemba Empat, Jakarta. Hanani, N. 2000. Model Mikro-Makroekonomi Indonesia : Analisis Simulasi Kebijakan Menghadapi Era Liberalisasi Perdagangan. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Harjowiryono, M. 2001. Implikasi Ekonomi Dana Bagi Hasil Sumberdaya Alam dari sudut Pandang Kebijakan Fiskal. Makalah Seminar Implikasi Ekonomi Dana Bagi Hasil Sumbedaya Alam. Kerjasam Lembaga penelitian Ekonomi dan Managemen – Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dengan Natural Resources Management. Jakarta. Richard S. dan Sarah T., ”Otonomi Daerah: Indonesia‟s Decentralization Experiment. New Zealand Journal of Asian Studies 4 (2 Desember,2002): 33-51. Robinson, M., & Brumby. J. 2005 Does Performance Budgeting Work An Analytical Review of the Empirical Literature. IMF Working Paper. :210. Sasana, H. 2006 Analisis Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Kabupaten/Kota Propinsi Jawa Tengah. Jurnal Dinamika Pembangunan Vol No 2/ Desember. Sasana, H. 2009 Peran Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Ekonomi di Kabupaten/Kota Propinsi Jawa Tengah. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol 10 No 1 Juni. Saragih, J.P. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah Dalam Otonomi. Ghalia Indonesia, Jakarta. Shah, A. The reform of intergovernmental fiscal relations in developing and market economies. Policy and Research Series 23. Washington D.C. World Bank. Shah, A. 2005 Public Sector Governance and Accountability Series: Public Services Deliveries. World Bank Report.
Siregar, H. 2005 Metode Analisis Kebijakan Pembangunan Daerah. Managemen Pembangunan Daerah. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Ikhwanuddin Mawardi M. 2009. Membangun Daerah yang Berkemajuan, Berkeadilan, dan Berkelanjutan. IPB Press. Bogor. Isdijoso, B. Dan T. Wibowo. 2002. Analisis Kebijakan Fiskal pada Era Otonomi Daerah (Studi Kasus : Sektor Pendidikan di Kota Surabaya) Kajian Ekonomi dan Keuangan. Iman Widhiyanto. 2008. Fiscal Decentralization and Indonesia Regional Income Disparity (1994-2004). Jurnal Keuangan Publik Vol 5 No 1 Oktober Hal 19-53. Juanda, B. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. IPB Press, Bogor. Juanda, B. 2009. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. IPB Press, Bogor Juanda, B. 2008. Kebijakan Pendanaan Daerah Otonomi Baru. Workshop Banjarmasin 12 Desember 2008. Departemen Keuangan RI, Jakarta. Juanda, B. 2007. Pemekaran Daerah Serta Implikasinya Terhadap APBD. Jurnal Ekonomi, Volume XXV:157-171. Juanda, B. 2007.Dampak Pemekaran Daerah Terhadap APBD, Perkembangan Kinerja Daerah Otonomi Baru dan Strategi Pendanaannya. Workshop Kebijakan Pendanaan Daerah Otonomi Baru Departemen Keuangan RI. Bandar Lampung. Junaidi., 2006 Analisis Kausalitas Belanja Daerah dengan Pendapatan Pajak Daerah: Bukti Empiris Pemerintah Daerah di Indonesia Kaufmann D, Kraay A, Mastruzzi M. 2003. Governance Matters III: Governance Indicators for 1996–2002. World Bank Economic Review 12(12):253-287 Kesit, B.P. 2004. “Analisis Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Prediksi Belanja Daerah, (Studi Empirik di Wilayah Provinsi Jawa Tengah dan DIY)”. Yogyakarta. Koromath J.P. Analisis Dampak Belanja Modal dan Tenaga Kerja Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat 2007-2010. Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). 2007 Laporan Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah. Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). 2011 Laporan Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah tahun. Kuncoro, Haryo. 2004.“Pengaruh Transfer antar Pemerintah pada Kinerja Fiskal Pemerintah Daerah Kota dan Kabupaten di Indonesia”. Dalam Jurnal Ekonomi Pembangunan, Volume 9 No.1. Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Kuncoro, Haryo. 2007. Fenomena Flypaper Effect pada Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kota dan Kabupaten di Indonesia. Makalah disampaikan dalam Simposium Nasional Akuntansi X. Makasar. 26–28 Juli 2007. Kusumadewi, Diah Ayu dan Arief Rahman. 2007. “Flypaper Effect pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Daerah pada Kabupaten/Kota di Indonesia”. Dalam JAAI Volume 11 No.1. Hal 67-80. Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Indonesia. LPEM-FEUI dan MPKP FEUI. 2002 Dana Alokasi Umum. Jakarta. LIPI, Partnership for Governance Reform, AIPI. 2007. Desentralisasi & Otonomi Daerah. LIPI Press. Mahi, Raksaka, 2001. Prospek Desentralisasi di Indonesia Ditinjau dari Segi Pemerataan Antar daerah dan Peningkatan Efisiensi. Analisa CSIS XXIX, Hal. 54-66, Jakarta: Indonesia Project, Jakarta. Martinez-Vasquez, Jorge and Robert M. McNab.2001. Fiscal Decentralization and Economic Growth. International Studies Program Working Paper. Atlanta: Andre Young School of Policy Studies, Georgia State University. McCulloch, N. dan Malesky E. 2010.Apakah Tata Kelola pemerintahan Daerah yang Lebih Baik Meningkatkan Kinerja Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Indonesia? Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah: 1-81. McMulloch N, Malesky E. 2011. Does better local governance improve district growth performance in Indonesia?. Economics Department Working Paper Series 17-2011. Makhfatih A dan Agus Saptono C. 2010 Pajak Daerah & Retribusi Daerah berdasarkan UU No 28 tahun 2009 Jakarta. Mankiw, N.G. 2000. Teori Makroekonomi. Edisi Keenam. Terjemahan. Erlangga, Jakarta Mansim N., dan Kuncoro M. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten/Kota: Tinjauan Empiris di Papua Barat 2004-2009 Mardiasmo, 2002. Otonomi dan Managemen Keuangan Daerah. ANDI Offset. Yogyakarta Ndadari, L.W, dan Priyo H.A. 2008. Perilaku Asimetris Pemerintah Daerah terhadap Transfer Pemerintah Pusat. Makalah disampaikan dalam The 2nd National Conference UKWMS. Surabaya. 6 September 2008. Nugroho SBM. 2003, Menyibak Wajah Otonomi Daerah, Penerbit MM dan Lembaga Studi Kebijakan Ekonomi (LSKE) Undip, Semarang Nugroho I. 2003. Strategi Pengembangan Sektor Air Bersih. Artikel Majalah Perencanaan Edisi 30 Tahun 2003. Jakarta: Bappenas. http://www.bappenas.go.id.
Oates, W. 1993. Fiscal Decentralization and Economic Development, National Tax Journal, XLVI.237-243. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian, Dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah Pemerintah Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, Tentang Keuangan Negara. Jakarta. Pemerintah Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004, Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta. Pemerintah Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Tentang Pemerintah Daerah. Jakarta. Pemerintah Republik Indonesia, 2004, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Jakarta. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Jakarta. Pedoman Praktis untuk Menganalisis Pengeluaran Publik di Tingkat Daerah. 2010 Edisi Lokakarya. World Bank, Bakti. Pemerintah Republik Indonesia. 2007. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2000 Tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Jakarta. Pemerintah Republik Indonesia, 2007, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Jakarta. Priyarsono, DS.dkk., (2010), “Desentralisasi Fiskal, Tax Effort, dan Pertumbuhan Ekonomi: Studi Empirik Kabupaten/Kota di Indonesia 2001-2008”, Jurnal Ekonomi Pembangunan Indonesia, Vol. XI, No 1. Riyadi dan Bratakusumah, D.S. 2005. Perencanaan Pembangunan Daerah. Strategi Menggali Potensi dalam Mewujudkan Otonomi Daerah. Gramedia Pustaka Utama Jakarta. Rukmo, E, J. Rosdianasari, S,E. 2007. Penggabungan Kembali Daerah Otonom. http://www.yipd.or.id/punlikasi/index.php?act=ndetail&sub=article&p_id=47.html(31 januari 2010). ______Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi. 2009 Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD).
Service Delivery and Financial Management In New Province Gorontalo Public Expenditure Analysis. Sidik, Machfud, B. Raksaka Mahi, Robert Simanjuntak, dan Bambang Brodjonegoro. 2002. Dana Alokasi Umum – Konsep, Hambatan dan prospek di Era Otonomi Daerah. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Solihin, H Dadang,Drs., MA. 2007 Semiloka DPRD Kabupaten Bekasi. Bandung, 24 Mei 2007 Suahasil Nazara, Depok, 2010, “Pemerataan Antar Daerah Sebagai Tantangan Utama Transformasi Struktural Pembangunan Ekonomi Indonesia Masa Depan”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tasri E Susanti. Model Evaluasi Pelaksanaan Pembangunan Ekonomi Era Otonomi Daerah di Sumatera Barat. Tubagus R.F, 2000. Menyoal Desentralisasi Fiskal yang Adil. Jurnal Ekonomi Pembangunan No 2 Vol 5 FE UII Yogyakarta United Nations Conference on Trade and Development. World Investment Prospects Survey 2012–2014 Wei SJ. 2000. Local Corruption and Global Capital Flows. Brookings Papers on Economic Activity 2:303-354. World Bank. 2009. Doing Business in Indonesia 2010. Washington DC: The World Bank. World Bank Institute. 2008. Worldwide Governance Indicators 1996–2008. Washington DC: WBI. World Economic Forum. 2010. The Global Competitiveness Report 2010–2011. Geneva: World Economic forum. World Bank Office Jakarta, 2007, Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru, World Bank Institute, 2000. Decentralization Briefing Notes World Bank, 2007. Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah: Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007. http://siteresources.worldbank.org/ INTINDONESIA/Resources/226271-1168333550999. Yenny S. Pemekaran Anggaran Daerah. Kompas, Rabu 4 Agustus 2010. Zilal Hamzah M. 2008 Kajian Teori Desentralisasi Fiskal. The Institute of Publishing, Indonesia Business School, Jakarta.
Lampiran 1. Modus dan median persepsi perusahaan kabupaten/kota Provinsi Sulawesi Tengah mengenai indikator akses lahan dan kepastian hukum.
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kabupaten/ Kota
Banggai Kepulauan Banggai Morowali Poso Donggala Toli-toli Buol Parigi Moutong Tojo Unauna Sigi Kota Palu
Q.31 : Persepsi Waktu yg dibutuhkan untuk pengurusan status tanah1)
Q.34 : Persepsi kemudahan perolehan Lahan2)
Q.36 : Persepsi Penggus uran Lahan3)
Q.38 : Persepsi Frekwensi penggusur an Lahan4)
Q.40 : Persepsi Frekwensi konflik kepemilik an Lahan4)
Q 42 : Keselur uhan permasa lahan lahan usaha 5)
3
3
3
4
4
8
2 4 4 3 4 4
2 3 3 3 2 3
4 3 3 3 4 3
4 4 4 4 4 4
4 4 4 4 4 4
8 8 8 8 8 8
4
3
4
4
4
8
2
3
4
4
4
8
6 2
3 3
3 3
4 4
4 4
8 8
1) dalam satuan minggu 2) 1 = Sangat sulit, 2 = sulit, 3 = mudah, 4 = Sangat mudah 3) 1 = Sangat Mungkin, 2 = Mungkin, 3 = Tidak Mungkin, 4 = Sangat Tidak Mungkin 4) 1 = Sangat Sering, 2 = Sering, 3 = Jarang, 4 = Tidak Pernah 5) 1 = Sangat besar, 2 = besar, 3 = kecil, 4 = sangat kecil, 6= tidak ada, 9= menolak untuk menjawab
Lampiran 2. Modus dan median persepsi perusahaan kabupaten/kota Provinsi Sulawesi Tengah mengenai indikator Izin Usaha. No Kabupaten Q50aR1: Q51cR1: Q52cR1:pers Q54R1Q57: /Kota persepsi kemudah epsi tingkat R3:pelaya keberadaan perusaha an biaya yang nan izin mekanisme an yg peroleha memberatkanusaha pengaduan5) memiliki n TDP & usaha3) bebas TDP 1) rata2 wkt KKN,efisi peroleha en,bebas n TDP2) pungli4) 1 Banggai 1 3 4 3 2 Kepulauan 2 Banggai 1 3 4 3 2 3 Morowali 1 3 4 3 2 4 Poso 1 3 4 3 2 5 Donggala 1 3 4 3 2 6 Toli-toli 1 3 4 3 2 7 Buol 1 3 4 3 2
8 9 10 11
Parigi 1 3 4 3 2 Moutong Tojo Una1 3 4 3 2 una Sigi 2 3 4 3 2 Kota Palu 1 3 4 3 2 1) 1= ya, 2= tidak 2) 1=sangat suli,2=sulit,3=mudah,4=sangat mudah 3) 1=sangat buruk, 2=cukup buruk, 3=tidak buruk, 4=tidak buruk sama sekali 4) 1=sangat tidak setuju, 2=tidak setuju, 3=setuju, 4=sangat setuju 5) 1=ya, 2=tidak
Lampiran 3. Modus dan median persepsi perusahaan kabupaten/kota Provinsi Sulawesi Tengah mengenai indikator interaksi PEMDA dengan pelaku usaha. No Kabupaten Q61: Q62: Q64: Q66: Q67: Q68: Q71:pers /Kota persepsi persepsi persepsi persepsi perseps persepsi epsi keberadaa tingkat tingkat tingkat i pengaruh tingkat n forum pemecah dukunga kebijaka tingkat kebijakan hambata komunikas an n n kebijak PEMD A n i PEMDA permasal PEMDA PEMDA an non thd interaksi dgn pelaku ahan thd yg diskrim pengeluar PEMD usaha1) dunia pelaku berorient inasi an dunia dgn 2) usaha usaha asi unk PEMD usaha6) pelaku daerah3) mendoro A5) usaha7) ng iklim investasi 4)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Banggai Kepulauan Banggai Morowali Poso Donggala Toli-toli Buol Pearigi Moutong Tojo Unauna
8
3
3
4
3
3
8
8 8 8 8 8 8 8
3 3 3 3 3 3 3
3 3 3 3 3 3 3
3 4 3 4 2 4 3
2 3 3 1 2 3 3
3 3 3 3 3 3 3
8 8 8 8 8 8 8
8
3
3
1
2
3
8
10 11
Sigi Kota Palu 1) 2) 3) 4)
5)
6) 7)
8 3 3 3 3 3 8 8 3 3 3 1 3 8 1= sangat besar,2=besar,3=kecil,4=sangat kecil,5=tidak ada 1=sangat tidak setuju, 2=tidak setuju, 3=setuju, 4=sangat setuju 1=sangat tidak setuju, 2=tidak setuju, 3=setuju, 4=sangat setuju 1=sama sekali tidak melakukan promosi investasi,2=sedikit sekali tertarik untuk melakukan promosi investasi,3=Pemda lebih tertarik untuk mempromosikan investasi & melakukan pengumpulan uang dari sektor swasta,4=Pemda hanya tertarik untuk melakukan promosi investasi 1=Pemda menciptakan kesempatan yang sama kepada seluruh pelaku usaha,2=Pemda menciptakan kesempatan yang sama kepada seluruh pelaku usaha namun terkadang masih membuat kebijakan yang hanya berpihak kepada pelaku usaha tertentu,3=Pemda hanya berpihak kepada pelaku usaha tertentu meskipun ada beberapakebijakan yang ditujukan untuk menciptakan kesempatan yang sama bagi seluruhpelaku usaha 1=sangat tidak setuju,2=tidak setuju,3=setuju,4=sangat setuju 1= sangat besar,2=besar,3=kecil,4=sangat kecil,5=tidak ada
Lampiran 4. Modus dan median persepsi perusahaan kabupaten/kota Provinsi Sulawesi Tengah mengenai indikator program PEMDA untuk pengembangan usaha sektor swasta.
N o
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kabupaten/K ota
Banggai Kepulauan Banggai Morowali Poso Donggala Toli-toli Buol Parigi Moutong Tojo Unauna Sigi Kota Palu
Q.73a : Persepsi tingkat pengetahuan akan keberadaan PPUS1)
Q.73b : persepsi tingkat partisipasi dalam PPUS2)
Q.74aR4 : persepsi tingkat manfaat PPUS thd pelaku usaha3)
Q.74aR5 : Persepsi tingkat manfaat pelatihan pengajuan kredit3)
1
1
3
3
1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1
3 3 3 4 3 3
3 3 3 4 3 -
1
1
4
4
1
1
4
4
1 1
1 1
3 3
4 3
1) 1= ya, 2= tidak 2) 1= ya, 2= tidak 3) 1 = Sangat tidak bermanfaat, 2= tidak bermanfaat, 3= bermanfaat, 4= sangat bermanfaat
Lampiran 5. Modus dan median persepsi perusahaan kabupaten/kota Provinsi Sulawesi Tengah mengenai indikator kapasitas dan integritas bupati/walikota. No Kabupaten Q79R1: Q79R2: Q79R3: Q79R4: Q79R5: Q82: /Kota persepsi persepsi persepsi persepsi persepsi persepsi pemahama profesion tindakan ketegasa karakter hambatan n kepala alisme kepala n kepala kepemim kapasitas daerah thd birokrat daerah daerah pinan & 2) masalah daerah yg thd kepala integritas dunia mengunt korupsi daerah5) kepala 1) usaha ungkan birokratn daerah thd diri ya4) dunia sendiri3) usaha6) 1 Banggai 3 3 4 1 3 8 Kepulauan 2 Banggai 3 3 3 2 3 8 3 Morowali 3 3 3 2 3 8 4 Poso 2 2 2 2 3 8 5 Donggala 3 3 3 2 3 8 6 Toli-toli 3 3 3 2 3 8 7 Buol 3 3 3 2 3 8 8 Pearigi 3 3 4 1 3 8 Moutong 9 Tojo Una3 3 2 3 2 8 una 10 Sigi 2 3 3 3 3 8 11 Kota Palu 3 3 3 3 3 8 1) 1=sangat tidak setuju, 2=tidak setuju, 3=setuju, 4=sangat setuju 2) 1=sangat tidak setuju, 2=tidak setuju, 3=setuju, 4=sangat setuju 3) 1=sangat tidak setuju, 2=tidak setuju, 3=setuju, 4=sangat setuju 4) 1=sangat tidak setuju, 2=tidak setuju, 3=setuju, 4=sangat setuju 5) 1=sangat tidak setuju, 2=tidak setuju, 3=setuju, 4=sangat setuju 6) 1 = Sangat besar, 2 = besar, 3 = kecil, 4 = sangat kecil, 6= tidak ada, 9= menolak untuk menjawab
Lampiran 6. Modus dan median persepsi perusahaan kabupaten/kota Provinsi Sulawesi Tengah mengenai indikator keamanan dan penyelesaian sengketa
N o
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kabupaten/K ota
Banggai Kepulauan Banggai Morowali Poso Donggala Toli-toli Buol Parigi Moutong Tojo Unauna Sigi Kota Palu
1) 2) 3) 4)
Q.118bR1 : Persepsi tingkat kejadian pencurian di tempat usaha1)
Q.120R1: persepsi kualitas penanganan masalah kriminal oleh polisi2)
Q.121 : persepsi kualitas penanganan masalah demontrasi buruh oleh polisi3)
Q122 : Persepsi tingkat hambatan keamanan & penyelesaian masalah thd kinerja perusahaan4)
2
3
3
8
2 1 1,5 2 1 1
3 3 3 3 3 3
3 3 3 3 3 3
8 8 8 8 8 8
2
3
3
8
2
3
3
8
2 2
3 3
3 3
8 8
Nilai median 1=sangat tidak setuju, 2=tidak setuju, 3=setuju, 4=sangat setuju 1=sangat tidak setuju, 2=tidak setuju, 3=setuju, 4=sangat setuju 1 = Sangat besar, 2 = besar, 3 = kecil, 4 = sangat kecil, 6= tidak ada, 9= menolak untuk menjawab
Lampiran 7. Modus dan median persepsi perusahaan kabupaten/kota Provinsi Sulawesi Tengah mengenai indikator Biaya Transaksi No Kabupaten Q84cR1Q86a: Q86cR1- Q90bR1: Q92: /Kota R2: persepsi R2: persepsi persepsi persepsi tingkat persepsi tingkat tingkat tingkat pembaya tingkat pembaya hambata hambatan ran hambata ran biaya n biaya pajak & donasi n donasi informal transaksi retribusi thd thd pelaku thd 2) thd kinerja PEMD PEMDA usaha thd kinerja 3) perusahaa polisi4) perusaha 1) n an5) 1 Banggai 4 50.000 4 3 8 Kepulauan 2 Banggai 4 0 4 4 8 3 Morowali 4 112.500 4 3 8 4 Poso 4 576.000 4 3 8
5 6 7 8
1) 2) 3) 4) 5)
Donggala 4 3400.000 4 4 8 Toli-toli 4 0 4 4 8 Buol 4 500.000 4 4 8 Pearigi 4 80.000 4 3 8 Moutong 9 Tojo Una4 0 4 1 8 una 10 Sigi 4 300.000 4 3 8 11 Kota Palu 4 500.000 4 4 8 1 = Sangat Memberatkan, 2 = Cukup Memberatkan, 3 = Sedikit Memberatkan, 4 = Tidak Memberatkan Nilai rata-rata dalam rupiah 1 = Sangat Memberatkan, 2 = Cukup Memberatkan, 3 = Sedikit Memberatkan, 4 = Tidak Memberatkan 1 = Sangat Memberatkan, 2 = Cukup Memberatkan, 3 = Sedikit Memberatkan, 4 = Tidak Memberatkan 1 = Sangat besar, 2 = besar, 3 = kecil, 4 = sangat kecil, 6= tidak ada, 9= menolak untuk menjawab
Lampiran 8. Modus dan median persepsi perusahaan kabupaten/kota Provinsi Sulawesi Tengah mengenai indikator infrastruktur daerah No Kabupaten Q114aR2: Q114bR4: Q114bR Q108: Q116: /Kota kondisi persepsi 3: persepsi persepsi lampu lama persepsi lama tingkat peneranga perbaikan lama pemada hambatan 1) n jalan infrastrukt perbaika man infrastrukt listrik2) n listrik2) ur thd infrastru kinerja ktur air perusahaa 2) PDAM n3) 1 Banggai 2 2 1 2 8 Kepulauan 2 Banggai 3 1 1 1 8 3 Morowali 2 1 2,5 4 8 4 Poso 2 1 3 7 8 5 Donggala 3 1 1 3 8
6 7 8 9 10 11
Toli-toli Buol Pearigi Moutong Tojo Unauna Sigi Kota Palu
2 3 3
1 2 1
1 3 2
2 2 1
8 8 8
3
2
1
3
8
3 2
1 1
2 2
1 1
8 8
1) 1 = Sangat Buruk, 2 = Buruk, 3 = Baik, 4 = Sangat Baik 2) Lama perbaikan (hari)
3) 1 = Sangat besar, 2 = besar, 3 = kecil, 4 = sangat kecil, 6= tidak ada, 9= menolak untuk menjawab
Lampiran 9 Hasil Uji Korelasi Spearman sub variabel indikator TKED terhadap indikator kinerja perekonomian(PDRB,Pengangguran,Kemiskinan) Sub indikator
Hasil korelasi
PDRB
pengangguran
Kemiskinan
Correlation Coefficient
-0.149
0.075
0.149
Sig. (2-tailed)
0.662
0.828
0.662
N
11
11
11
Correlation Coefficient
-0.06
-0.538
-0.179
Sig. (2-tailed)
0.861
0.088
0.598
N
11
11
11
34
36
Correlation Coefficient
.
.
.
Sig. (2-tailed)
.
.
.
N
11
11
11
Correlation Coefficient
.
.
.
Sig. (2-tailed)
.
.
.
N
11
11
11
Correlation Coefficient
.
.
.
Sig. (2-tailed)
.
.
.
N
11
11
11
Correlation Coefficient
.
.
.
Sig. (2-tailed)
.
.
.
N
11
11
11
.
.
.
Sig. (2-tailed)
.
.
.
N
11
11
11
Correlation Coefficient
.
.
.
Sig. (2-tailed)
.
.
.
N
11
11
11
Correlation Coefficient
.
.
.
Sig. (2-tailed)
.
.
.
N
11
11
11
Correlation Coefficient
.
.
.
Sig. (2-tailed)
.
.
.
N
11
11
11
38
40
42
Q51cr1
Lanjutan Lampiran Correlation 9 Coefficient Q52cr1
Q54r1
Q54r3
Q62R1
Correlation Coefficient
0.1
0.3
0.4
Sig. (2-tailed)
0.77
0.37
0.223
N
11
11
11
Correlation Coefficient
.
.
.
Sig. (2-tailed)
.
.
N
11
11
11
Correlation Coefficient
.
.
.
Sig. (2-tailed)
.
.
.
N
11
11
11
Correlation Coefficient
-0.179
-0.179
0.299
0.598
0.598
0.372
N
11
11
11
Correlation Coefficient
0.149
0.149
-0.522
Sig. (2-tailed)
0.662
0.662
0.1
N
11
11
11
Correlation Coefficient
.
.
.
Sig. (2-tailed)
.
.
.
N
11
11
11
Correlation Coefficient
-0.3
-0.2
0.3
Sig. (2-tailed)
0.37
0.555
0.37
N
11
11
11
Correlation Coefficient
0.039
0.191
-0.064
Q62R2
Q62R3
Q64R1
Q64R2 Sig. Lanjutan Lampiran 9 (2-tailed)
Q64R3
Q64R4
Q64R5
Q66
Sig. (2-tailed)
0.909
0.574
0.853
N
11
11
11
Correlation Coefficient
0.166
0.181
0.271
Sig. (2-tailed)
0.626
0.595
0.42
N
11
11
11
Correlation Coefficient
.
.
.
Sig. (2-tailed)
.
.
.
N
11
11
11
Correlation Coefficient
.
.
.
.
.
.
N
11
11
11
Correlation Coefficient
.
.
.
Sig. (2-tailed)
.
.
.
N
11
11
11
Correlation Coefficient
-0.161
-0.322
-0.101
Sig. (2-tailed)
0.637
0.335
0.769
N
11
11
11
Correlation Coefficient
0.115
-0.231
0.058
Sig. (2-tailed)
0.735
0.494
0.866
N
11
11
11
Correlation Coefficient
-0.422
-0.176
0.528
Sig. (2-tailed)
0.196
0.605
0.095
N
11
11
11
Q67
Q68R1
Q68R2 Sig.9(2-tailed) Lanjutan Lampiran
Q71
Q74aR1
Q74aR2
Q74aR3
Correlation Coefficient
-0.516
-.775
**
-0.387
Sig. (2-tailed)
0.104
0.005
0.239
N
11
11
11
Correlation Coefficient
-0.418
-.657
Sig. (2-tailed)
0.2
0.028
0.2
N
11
11
11
Correlation Coefficient
0.191
-0.25
0.015
0.573
0.458
0.966
N
11
11
11
Correlation Coefficient
.
.
.
Sig. (2-tailed)
.
.
.
N
11
11
11
Correlation Coefficient
-0.075
-0.298
-0.224
Sig. (2-tailed)
0.828
0.373
0.509
N
11
11
11
Correlation Coefficient
0
-0.3
-0.4
Sig. (2-tailed)
1
0.37
0.223
N
11
11
11
Correlation Coefficient
0.095
-0.143
0
Sig. (2-tailed)
0.78
0.675
1
N
11
11
11
Correlation Coefficient
0.05
0.211
0
Q74arR4
*
-0.418
Q74aR5
Q74aR6
Lanjutan LampiranSig. 9 (2-tailed)
Q75
Q79R1
Q79R2
Q79R3
Q79R4
Sig. (2-tailed)
0.883
0.533
1
N
11
11
11
Correlation Coefficient
0.1
0.3
0.4
Sig. (2-tailed)
0.77
0.37
0.223
N
11
11
11
Correlation Coefficient
.
.
.
.
.
.
N
11
11
11
Correlation Coefficient
.
.
.
Sig. (2-tailed)
.
.
.
N
11
11
11
Correlation Coefficient
.
.
.
Sig. (2-tailed)
.
.
.
N
11
11
11
Correlation Coefficient
.
.
.
Sig. (2-tailed)
.
.
.
N
11
11
11
Correlation Coefficient
.
.
.
Sig. (2-tailed)
.
.
.
N
11
11
11
Correlation Coefficient
.
.
.
Sig. (2-tailed)
.
.
.
N
11
11
11
Q79R5
Q82 Sig. Lanjutan Lampiran 9 (2-tailed)
Q120R1
Q120R2
Q120R3
Q121R1
Q121r2
Correlation Coefficient
.
.
.
Sig. (2-tailed)
.
.
.
N
11
11
11
Correlation Coefficient
.
.
.
.
.
.
N
11
11
11
Correlation Coefficient
.
.
.
Sig. (2-tailed)
.
.
.
N
11
11
11
Correlation Coefficient
.
.
.
Sig. (2-tailed)
.
.
.
N
11
11
11
Correlation Coefficient
.
.
.
Sig. (2-tailed)
.
.
.
N
11
11
11
Correlation Coefficient
-0.221
-0.06
0.07
Sig. (2-tailed)
0.514
0.86
0.837
N
11
11
11
Correlation Coefficient
.
.
.
Sig. (2-tailed)
.
.
.
N
11
11
11
Correlation Coefficient
0.298
-0.075
-0.373
Q122
Q84CR1 Sig. Lanjutan Lampiran 9 (2-tailed)
Q84CR2
Q86CR1
Q86CR2
Q90BR1
Q92
Q114aR1
Sig. (2-tailed)
0.373
0.828
0.259
N
11
11
11
Correlation Coefficient
-0.346
-.751
**
-0.462
0.297
0.008
0.153
N
11
11
11
Correlation Coefficient
0.065
0.065
-0.387
Sig. (2-tailed)
0.85
0.85
0.239
N
11
11
11
Correlation Coefficient
0
-0.3
-0.4
Sig. (2-tailed)
1
0.37
0.223
N
11
11
11
Correlation Coefficient
.
.
.
Sig. (2-tailed)
.
.
.
N
11
11
11
Correlation Coefficient
.
.
.
Sig. (2-tailed)
.
.
.
N
11
11
11
Correlation Coefficient
-0.251
0.039
0.299
Sig. (2-tailed)
0.456
0.91
0.371
N
11
11
11
Correlation Coefficient
0.06
-0.214
0.144
Sig. (2-tailed)
0.862
0.528
0.672
N
11
11
11
Correlation Coefficient
0.192
-0.256
-0.362
Q114aR2
Lanjutan Lampiran Sig.9 (2-tailed)
Q114aR3
Q114aR4
Q114aR5
Q116
31a
Q51dr1
Q118BR1
Sig. (2-tailed)
0.572
0.448
0.273
N
11
11
11
0.1
0.3
0.4
Sig. (2-tailed)
0.77
0.37
0.223
N
11
11
11
Correlation Coefficient
-0.343
-0.517
-0.104
Sig. (2-tailed)
0.302
0.103
0.76
N
11
11
11
Correlation Coefficient
-0.34
0.138
0.294
Sig. (2-tailed)
0.306
0.686
0.38
N
11
11
11
Correlation Coefficient
-0.095
0.221
-0.179
Sig. (2-tailed)
0.782
0.514
0.598
N
11
11
11
Correlation Coefficient
-0.093
0.209
0.13
Sig. (2-tailed)
0.786
0.537
0.703
N
11
11
11
Correlation Coefficient
-0.019
0.362
.748
Sig. (2-tailed)
0.955
0.274
0.008
N
11
11
11
Correlation Coefficient
-0.129
-0.194
-0.387
Sig. (2-tailed)
0.705
0.568
0.239
N
11
11
11
Lanjutan LampiranCorrelation 9 Coefficient Q118bR2
Q118bR4
Q86AR1
Q114bR1
Q114bR2
**
Q114bR3
Q114bR4
Correlation Coefficient
.
.
.
.
.
.
N
11
11
11
Correlation Coefficient
-0.188
0.165
-0.113
Sig. (2-tailed)
0.579
0.628
0.741
11
11
11
0.1
0.1
-0.1
Q50ar1
N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
0.77
0.77
0.77
11
11
11
.
.
.
Q50br1
N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
.
.
.
11
11
11
.
.
.
Q57
N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
.
.
.
11
11
11
0.149
-0.149
-0.447
Q61
N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
0.662
0.662
0.168
11
11
11
.
.
.
Q73a
N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
.
.
.
11
11
11
.
.
.
q73b
N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
.
.
.
11
11
11
.
.
.
Q106
N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
.
.
.
N
11
11
11
Q114bR5 Sig. Lampiran (2-tailed) 9 Lanjutan
Q108
Keterangan : Data ordinal Data Interval Data Nominal Sub indikator yg berpengaruh
nyata Nilai yang tidak keluar disebabkan seluruh data pada subindikator tersebut nilainya sama, karena semua sub indikator TKED tidak ada satupun yang sig terhadap pertumbuhan maka selanjutnya melakukan korelasi dengan pertumbuhan Lampiran 10. Hasil Korelasi Pearson (data interval) Antara PDRB perkapita dengan masingmasing Sub Indikator N
Correlations Q114bR1 31a
Pearson Correlation
PDRB_HB .145
11
Pearson Correlation
-.048
Sig. (2tailed) Sig. (2tailed) N Q51dr1
Pearson Correlation
Sig. (2tailed) N Q118BR1
Pearson Correlation
Sig. (2tailed) N Q118bR2
Pearson Correlation
.889
N
.672 Q114bR2 11
11
Pearson Correlation
.137
Sig. (2tailed)
.688
.507
N
.112 Q114bR3 11
11
Pearson Correlation
.209
Sig. (2tailed)
.537
-.027
N
.937 Q114bR4 11
11
Pearson Correlation
-.744
.419 Sig. (2tailed)
Sig. (2tailed) N Q118bR4
Pearson Correlation
N Q86AR1
Pearson Correlation
Q114bR5 11
Pearson Correlation
11 .
a
-.150
N
.660 Q108 11
Pearson Correlation
. 11 -.252
.041 Sig. (2tailed)
Sig. (2tailed)
.009
N
.200
Sig. (2tailed) Sig. (2tailed)
**
.904
N
.455 11
Hasil korelasi pearson antara In(PDRB HB) vs data interval N
Correlations Q114bR1 31a
Pearson Correlation
IN_PDRBHB .184
11
Pearson Correlation
-.035
Sig. (2tailed) Sig. (2tailed) Q51dr1
Q114bR2 11
Pearson Correlation
Sig. (2tailed)
Q114bR3
Sig. (2tailed) Q118bR2
Sig. (2tailed)
.675 11
Pearson Correlation
.196
Sig. (2tailed)
.564
N Q114bR4
11
Pearson Correlation
.143
-.024
.944
N
Pearson Correlation
N
11
Pearson Correlation
11
.473
.142
N Q118BR1
N
.588
N
.919
11
Pearson Correlation
-.800
.459 Sig. (2tailed)
Sig. (2tailed) Q118bR4
Q114bR5 11
Pearson Correlation
.003
N
.155
N
11
Pearson Correlation
.
a
-.125 Sig. (2tailed)
Sig. (2tailed) Q86AR1
Q108
11
Pearson Correlation
11
Pearson Correlation
.
N
.715
N
-.259
.077 Sig. (2tailed)
Sig. (2tailed)
**
.442
N
.823
11
Lampiran 11.Hasil korelasi spearman (data nominal,ordinal) Sig. (2tailed)
Correlations
34
Correlation Coefficient
PDRB_HB .075
N 36
Correlation Coefficient
.828
Sig. (2tailed)
11 -.120
N 38
Correlation Coefficient
.726 11 .
Sig. (2tailed) N 40
Correlation Coefficient
.
Q62 R2
Correlation Coefficient
.400
Sig. (2tailed)
.223
11
N 42
Correlation Coefficient
.
Q62 R3
N Q51 cr1
Correlation Coefficient
.
Sig. (2tailed)
.
N Q52 cr1
Correlation Coefficient
N Q54 r1
Correlation Coefficient
.
Q64 R1
N Q54 r3
Correlation Coefficient
.
N Q62 R1
Correlation Coefficient
N
11 .
Sig. (2tailed)
.
Sig. (2tailed)
.
11
Correlation Coefficient
.
Sig. (2tailed)
.
.
.
Q64 R2
11
Correlation Coefficient
.359
Sig. (2tailed)
.279
N Q71
11
11
Correlation Coefficient
.
Sig. (2tailed)
.
.
.
Q64 R3
Correlation Coefficient
11 -.075
N Q74 aR1
11
11
Correlation Coefficient
.382
Sig. (2tailed)
.246
. Sig. (2tailed) .
Q64 R4
.828 11
Correlation Coefficient
.
Sig. (2tailed)
.
N Q74 aR2
11
11
Correlation Coefficient
.289
Sig. (2tailed)
.389
.
.
Q64 R5
11
Correlation Coefficient
.500
Sig. (2tailed)
.117
N Q74 aR3
11
11
Correlation Coefficient
.146
Sig. (2tailed)
.669
.
N Sig. (2tailed)
.564
Correlation Coefficient
N Q68 R2
11
N Sig. (2tailed)
11
Correlation Coefficient
N Sig. (2tailed)
11 -.196
.
N Sig. (2tailed)
N Q68 R1
11
N Sig. (2tailed)
Sig. (2tailed)
11
Correlation Coefficient
N Sig. (2tailed)
Correlation Coefficient
.
N Sig. (2tailed)
N Q67
.
Q66
11
Correlation Coefficient
.054
Sig. (2tailed)
.875
N Q74 arR 4
11
Correlation Coefficient
11 .000
Sig. (2tailed) N Q74 aR5
Correlation Coefficient
1.000
Q79 R5
Correlation Coefficient
.400
Sig. (2tailed)
.223
11
N Q74 aR6
Correlation Coefficient
.726
Q82
N Q75
Correlation Coefficient
.
N Q79 R1
Correlation Coefficient
N Q79 R2
Correlation Coefficient
Sig. (2tailed)
.
.796
Q12 0R1
N Q79 R3
Correlation Coefficient
.
N Q79 R4
Correlation Coefficient
N
11
Correlation Coefficient
.
Sig. (2tailed)
.
Sig. (2tailed)
.
11
Correlation Coefficient
.
Sig. (2tailed)
.
.
.
Q12 0R2
11
Correlation Coefficient
.
Sig. (2tailed)
.
N Q86 CR2
11
11
Correlation Coefficient
.
Sig. (2tailed)
.
.000
1.000
Q12 0R3
11
Correlation Coefficient
.
Sig. (2tailed)
.
N Q90 BR1
11
11
Correlation Coefficient
.221
Sig. (2tailed)
.514
.200
.555
Q12 1R1
11
Correlation Coefficient
.
Sig. (2tailed)
.
N Q92
11
11
Correlation Coefficient
.
Sig. (2tailed)
.
.191
.574
Q12 1r2
11
Correlation Coefficient
.
Sig. (2tailed)
.
.216
.523
Q12 2
N Q11 4aR 1
11
N Sig. (2tailed)
.
N Q86 CR1
11
N Sig. (2tailed)
11
Correlation Coefficient
N Sig. (2tailed)
Sig. (2tailed)
-.088
N Sig. (2tailed)
.
N Q84 CR2
11
N Sig. (2tailed)
11
Correlation Coefficient
N Sig. (2tailed)
11
Correlation Coefficient
.120
N Sig. (2tailed)
N Q84 CR1
11
Correlation Coefficient
.
Sig. (2tailed)
.
11
Correlation Coefficient
.373
Sig. (2tailed)
.259
N Q11 4aR 2
11
Correlation Coefficient
11 -.058
Sig. (2tailed) N Q11 4aR 3
Correlation Coefficient
.866
Q61
Correlation Coefficient
11 -.194 Sig. (2tailed) N
Sig. (2tailed) N Q11 4aR 4
Correlation Coefficient
.568
Q73 A
N Q11 4aR 5
Correlation Coefficient
N Q11 6
Correlation Coefficient
Sig. (2tailed)
.
11 .200
.555
Q73 B
N Q50 AR1
.
Sig. (2tailed)
.
11 .
.
Q10 6
Q50 BR1
Correlation Coefficient
.
Sig. (2tailed)
.
.
Q57
. 11 .200
Sig. (2tailed)
.555 11
Correlation Coefficient
.
Sig. (2tailed)
.
N
11
Correlation Coefficient
.
Sig. (2tailed)
.
N
11
11
Correlation Coefficient
N
11
Correlation Coefficient
N Sig. (2tailed)
11 .
N Sig. (2tailed)
.662
Correlation Coefficient
N Sig. (2tailed)
-.149
11
11
Lampiran 12. Hasil Korelasi Pearson In PDRB, In Kemiskinan, In Pengangguran VS Sub Indikator yang berskala Interval PDRB PENGANGGURAN KEMISKINAN Pearson Correlation -0.302 0.002 -0.454 A31 Sig. (2-tailed) 0.366 0.995 0.161 N 11 11 11 Pearson Correlation 0.021 -0.021 -0.012 Q51dr1 Sig. (2-tailed) 0.952 0.95 0.972 N 11 11 11 Pearson Correlation 0.169 0.272 .712* Q118BR1 Sig. (2-tailed) 0.62 0.418 0.014 N 11 11 11 Pearson Correlation 0.058 -0.29 -0.433 Q118bR2 Sig. (2-tailed) 0.866 0.387 0.183 N 11 11 11 Pearson Correlation -0.279 0.347 -0.255 Q118bR4 Sig. (2-tailed) 0.406 0.296 0.449 N 11 11 11 Pearson Correlation -0.554 0.21 0.434 Q86AR1 Sig. (2-tailed) 0.077 0.535 0.182 N 11 11 11 Pearson Correlation -0.237 -0.075 0.221 Q114bR1 Sig. (2-tailed) 0.483 0.827 0.513 N 11 11 11 Pearson Correlation -0.174 -0.412 -0.181 Q114bR2 Sig. (2-tailed) 0.609 0.208 0.595 N 11 11 11 Pearson Correlation -0.123 -0.475 -.672* Q114bR3 Sig. (2-tailed) 0.72 0.139 0.023 N 11 11 11 Pearson Correlation -0.121 0.349 0.163 Q114bR4 Sig. (2-tailed) 0.722 0.293 0.632 N 11 11 11 Pearson Correlation .a .a .a Q114bR5 Sig. (2-tailed) . . . N 11 11 11 Pearson Correlation -0.146 -0.385 -0.121 Q108 Sig. (2-tailed) 0.668 0.242 0.722 N 11 11 11
Lampiran 13:Kontribusi konsumsi,pengeluaran pemerintah dan investasi terhadap PDRB tahun 2011 (%) Nominal Kota Palu Konsumsi RT KONSUMSI LEMBAGA SWASTA YG TIDAK MENCARI UNTUNG KONSUMSI PEMERINTAH PEMBENTUK MODAL TETAP DOMESTIK BRUTO PERUBAHAN STOK EKSPOR BARANG DAN JASA IMPOR BARANG DAN JASA
Persentasi Kota Palu
Nominal Kab Dgl
Persentasi Kab Dgl
4.286.841
60,29
2.377.156
53,91
109.781
1,54
82.258
1,87
1.472.695
20,71
809.724
18,36
1.056.186
14,85
857.846
19,45
117.213
1,65
94.751
2,15
1.897.820
26,69
602.364
13,66
1.829.820
25,73
414.947
9,41
Lampiran 14 : Hasil Chi-Square data proses perencanaan dan penganggaran indikator disiplin anggaran di kabupaten donggala dan kota palu Pertanyaan no 1 dan 2. Anggaran harus disusun berdasarkan kebutuhan riil dan prioritas
sesuai dengan tugas pokok dan fungsi unit kerja masing-masing. Oleh karena itu disiplin anggaran harus tertuju kepada arah dan kebijakan anggaran yang ditetapkan. Pertanyaannya adalah: 1. Menurut B/I/S, bagaimana alokasi belanja dengan tujuan kebijakan anggaran a. Semua alokasi telah sesuai b. Sebagian besar alokasi telah sesuai c. Sebagian besar alokasi belum sesuai
HIPOTESIS H0 : Pertanyaan tidak ada hubungan dengan Kota H1 : Pertanyaan ada hubungan dengan Kota Uji Statistik Tolak H0 jika nilai sig. < 0.05 atau Pertanyaan ada hubungan dengan kota Kota * 1 Crosstabulation Count
Kota
Donggala Palu
Total
1 Tidak Sesuai 5 6 11
Sesuai 35 32 67
Total 40 38 78
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test N of Valid Cases
Value ,174b ,008 ,174
df 1 1 1
Asy mp. Sig. (2-sided) ,677 ,927 ,676
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
,752
,463
78
a. Computed only f or a 2x2 table b. 0 cells (,0%) hav e expected count less than 5. The minimum expected count is 5,36.
sig. 0.677> 0.05
Crosstabs 2. Dalam aturan penyusunan alokasi anggaran tidak diperbolehkan terjadi duplikasi anggaran. Sepengetahuan B/I/S dalam pelaksanaan alokasi anggaran selama ini di kabupaten/kota B/I/S, dupilikasi anggaran: a. Dapat dihindarkan sepenuhnya b. Sebagian besar dapat dihindarkan c. Sulit untuk dihindari
Kota * 2 Crosstabul ation Count 2
Kota
Tidak Dapat Dihindarkan 4 3 7
Donggala Palu
Total
Dapat Dihindarkan 34 34 68
Total 38 37 75
Chi-Square Tests Value ,130b ,000 ,130
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test N of Valid Cases
df 1 1 1
Asy mp. Sig. (2-sided) ,719 1,000 ,718
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
1,000
,515
75
a. Computed only f or a 2x2 table b. 2 cells (50,0%) hav e expect ed count less than 5. The minimum expected count is 3,45.
sig. 0.719> 0.05
Crosstabs 3. Disiplin anggaran dapat dilihat dari ada tidaknya extra budgetbaik dalam anggaran penerimaan maupun anggaran pengeluaran daerah. Menurut B/I/S anggaran extra budget a. Tidak dapat ditolerir sama sekali b. Dapat ditolerir untuk derajat tertentu c. Lainnya sebutkan..... Kota * 3 Crosstabul ation Count 3
Kota
Donggala Palu
Total
Tidak dapat ditolerir sama sekali 17 15 32
dapat ditolerir untuk derajat tertentu 17 17 34
Total 34 32 66
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test N of Valid Cases
Value ,064b ,000 ,064
df 1 1 1
Asy mp. Sig. (2-sided) ,800 ,994 ,800
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
,811
,497
66
a. Computed only f or a 2x2 table b. 0 cells (,0%) hav e expected count less than 5. The minimum expected count is 15,52.
0.800>0.05
Lampiran 15: Hasil Chi-Square data proses perencanaan dan penganggaran indikator prioritas anggaran di kabupaten donggala dan kota palu Penyusunan prioritas dilakukan melalui proses pembahasan yang diawali dengan perencanaan dari tingkat desa hingga musrembang sebagai bahan pertimbangan dalam menghasilkan penerimaan. Pertanyaannya adalah: 4. Menurut B/I/S proses pembahasan alokasi anggaran: a. Telah sesuai dengan mekanisme yang sudah ada b. Menyimpang dari mekanisme Kota * 4 Crosstabulation Count 4
Kota
Donggala Palu
Total
Telah sesuai dengan mekanisme y ang ada 38 36 74
Meny impang dari mekanisme 2 2 4
Total 40 38 78
Chi-Square Tests Value ,003b ,000 ,003
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test N of Valid Cases
df 1 1 1
Asy mp. Sig. (2-sided) ,958 1,000 ,958
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
1,000
,673
78
a. Computed only f or a 2x2 table b. 2 cells (50,0%) hav e expect ed count less than 5. The minimum expected count is 1,95.
sig. 0.958> 0.05
Crosstabs 5. Dalam mengalokasikan anggaran, apakah muncul alokasi baru diluar prioritas sehingga dapat mengurangi alokasi pos anggaran lain yang telah direncanakan? a. Ya b. Tidak Kota * 5 Crosstabulation Count 5 Ya Kota Total
Donggala Palu
14 21 35
Tidak 26 17 43
Total 40 38 78
Chi-Square Tests Value 3,235b 2,467 3,256
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test N of Valid Cases
Asy mp. Sig. (2-sided) ,072 ,116 ,071
df 1 1 1
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
,110
,058
78
a. Computed only f or a 2x2 table b. 0 cells (,0%) hav e expected count less than 5. The minimum expected count is 17,05.
sig. 0.072> 0.05 6.Menurut B/I/S munculnya alokasi baru dan terjadinya pengurangan pos anggaran lain yang telah diprioritaskan tersebut : a. Dapat ditolerir b. Dapat ditolerir pada derajat tertentu
Crosstabs Kota * 6 Crosstabulation Count 6
Kota Total
Donggala Palu
Dapat ditolerir 5 7 12
Dapat ditolerir derajat tertent u 16 23 39
Total 21 30 51
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test N of Valid Cases
Value ,002b ,000 ,002
df 1 1 1
Asy mp. Sig. (2-sided) ,969 1,000 ,969
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
1,000
,612
51
a. Computed only f or a 2x2 table b. 1 cells (25,0%) hav e expect ed count less than 5. The minimum expected count is 4,94.
sig. 0.969> 0.05
Lampiran 16: Hasil Chi-Square data proses perencanaan dan penganggaran indikator efisiensi anggaran di kabupaten donggala dan kota palu Untuk dapat mengalokasikan anggaran secara efisien, diperlukan pertimbangan biayamanfaat. Oleh karena itu, PEMDA memerlukan pengkajian kebutuhan dan penetapan standar nilai ekonomi untuk mendukung penajaman prioritas pengeluaran. Pertanyaannya adalah:
9.Menurut B/I/S pembahasan APBD a. Telah melalui pengkajian standar nilai ekonomi untuk mendukung penajaman prioritas b. Belum melalui pengkajian nilai standar ekonomi
Crosstabs Kota * 9 Crosstabul ation Count 9
Kota
Donggala Palu
Total
Telah melalui pengkajian standar nilai ekonomi untuk menduku 33 28 61
Belum melalui pengkajian nilai st andar ekonomi 7 10 17
Total 40 38 78
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test N of Valid Cases
Value ,889b ,447 ,891
df 1 1 1
Asy mp. Sig. (2-sided) ,346 ,504 ,345
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
,416
,252
78
a. Computed only f or a 2x2 table
sig. 0.346> 0.05
b. 0 cells (,0%) hav e expected count less than 5. The minimum expected count is 8,28.
Crosstabs 12.Dalam penetapan alokasi anggaran, menurut B/I/S a. Telah menggunakan analisis manfaat-biaya b. Cukup dengan negosiasi saja antara PEMDA dan DPRD Kota * 12 Crosstabul ation Count 12
Kota Total
Donggala Palu
Telah menggunaka n analisis manf aat -biay a 32 27 59
Cukup dengan negosiasi saja antara PEMDA dan DPRD 5 8 13
Total 37 35 72
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test N of Valid Cases
Value 1,061b ,524 1,067
df 1 1 1
Asy mp. Sig. (2-sided) ,303 ,469 ,302
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
,367
,235
72
a. Computed only f or a 2x2 table b. 0 cells (,0%) hav e expected count less than 5. The minimum expected count is 6,32.
sig. 0.303> 0.05
Crosstabs 15.Apakah menurut B/I/S, apakah penerapan kendala anggaran ketat diperlukan dalam penetapan alokasi anggaran? a. Mutlak diperlukan b. Melihat situasi Kota * 15 Crosstabulation Count
Kota
Donggala Palu
Total
15 Mutlak diperlukan 32 30 62
Melihat Situasi
Total
4 7 11
36 37 73
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test N of Valid Cases
Value ,869b ,366 ,879
df 1 1 1
Asy mp. Sig. (2-sided) ,351 ,545 ,348
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
,515
,274
73
a. Computed only f or a 2x2 table b. 0 cells (,0%) hav e expected count less than 5. The minimum expected count is 5,42.
sig. 0.351>0.05
Lampiran 17: Hasil Chi-Square data proses perencanaan dan penganggaran indikator efektifitas pengelolaan anggaran di kabupaten donggala dan kota palu 18.Menurut B/I/S penilaian kinerja anggaran yang telah dilaksanakan oleh PEMDA selama ini adalah: a. Evaluasi 3-5 tahunan b. Evaluasi tahunan saja c. Kedua-duanya dilakukan
Crosstabs Kota * 18 Crosstabulation Count
Kota
Donggala Palu
Total
18 Ev aluasi tahunan saja 8 7 15
Ev aluasi 3-5 tahunan 1 2 3
Kedua-duan y a dilakukan 26 26 52
Total 35 35 70
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Likelihood Ratio N of Valid Cases
Value ,400a ,407 70
df 2 2
Asy mp. Sig. (2-sided) ,819 ,816
a. 2 cells (33,3%) hav e expected count less t han 5. The minimum expected count is 1,50.
sig. 0.819> 0.05
Crosstabs 21.Untuk mengetahui apakah pemda sudah optimal dalam mengalokasikan pengeluaran untuk penyediaan dan pelayanan jasa publik sesuai dengan preferensi masyarakat, penilaian kinerja sebaiknya: a. Melakukan evaluasi langsung melalui survei ke masyarakat b. Cukup dievaluasi oleh DPRD saja Kota * 21 Crosstabulation Count
Kota Total
Donggala Palu
21 Melakukan ev aluasi langsung Cukup melalui diev aluasi surv ei ke oleh DPRD masy arakat saja 29 11 25 13 54 24
Total 40 38 78
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test N of Valid Cases
Value ,412b ,157 ,412
df 1 1 1
Asy mp. Sig. (2-sided) ,521 ,692 ,521
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
,626
,346
78
a. Computed only f or a 2x2 table b. 0 cells (,0%) hav e expected count less than 5. The minimum expected count is 11,69.
sig. 0.521> 0.05
Crosstabs 25.Untuk meningkatkan efektifitas anggaran, maka penetapan alokasi anggaran harus melalui pengkajian kebutuhan objektif dan berorientasi output. Terhadap pendapat tersebut B/I/S a. Setuju b. Tidak setuju Kota * 25 Crosstabul ation Count
Kota
Donggala Palu
Total
sig. 0.529> 0.05
Setuju 34 33 67
25 Tidak Setuju 5 3 8
Total 39 36 75
Lampiran 18: Hasil Chi-Square data proses perencanaan dan penganggaran indikator akuntabilitas anggaran di kabupaten donggala dan kota palu Dalam era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, akuntabilitas menjadi kata kunci dan pemda sebagai pengemban amanat publik bertanggung jawab atas kinerja yang dihasilkannya, sehingga diperlukan pengalokasian anggaran daerah yang berorientasi kepada kinerja. Informasi keuangan yang dihasilkan PEMDA diperuntukkan kepada masyarakat secara keseluruhan sebagai perwujudan akuntabilitas publik dan merupakan alat mencegah penyelewengan. Pertanyaannya adalah: 28.UU No 32 dan No 33 tahun 2004 telah melahirkan paradigma baru dalam pengelolaan keuangan dan anggaran daerah yang berorientasi kepada kepentingan publik. Hal ini menuntut PEMDA untuk membuat laporan keuangan dan transparansi informasi anggaran kepada publik. Untuk itu, menurut B/I/S sebaiknya siapakah yang mengevaluasi pelaksanaan pengawasan keuangan pemerintah daerah? a. Diperiksa oleh akuntan publik b. Diperiksa secara internal oleh Badan Pengawasan Daerah.
Crosstabs Kota * 28 Crosstabulation Count 28
Kota
Donggala Palu
Total
Diperiksa oleh akuntan publik 14 17 31
Diperiksa secara internal oleh Badan Pengawasan Daerah 20 17 37
Total 34 34 68 Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test N of Valid Cases
Value ,534b ,237 ,534
df 1 1 1
Asy mp. Sig. (2-sided) ,465 ,626 ,465
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
,627
,313
68
a. Computed only f or a 2x2 table
sig. 0.465> 0.05
b. 0 cells (,0%) hav e expected count less than 5. The minimum expected count is 15,50.
Lampiran 19: Hasil Chi-Square data proses perencanaan dan penganggaran indikator transparansi anggaran di kabupaten donggala dan kota palu 31.Dalam era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal menurut B/I/S sudah seharusnya PEMDA dapat mempertanggungjawabkan kinerja keuangan daerah melalui: a. Publikasi laporan keuangan secara benar sesuai kriteria akuntabilitas dan terbuka. b. Cukup dilaporkan kepada DPRD saja
Crosstabs Kota * 31 Crosstabul ation Count
Kota
31 Publikasi laporan keuangan Cukup secara benar dilaporkan sesuai kriteria kepada akun DPRD saja 29 9 24 11 53 20
Donggala Palu
Total
Total 38 35 73
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test N of Valid Cases
Value ,549b ,229 ,549
Asy mp. Sig. (2-sided) ,459 ,632 ,459
df 1 1 1
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
,600
,316
73
a. Computed only f or a 2x2 table b. 0 cells (,0%) hav e expected count less than 5. The minimum expected count is 9,59.
sig. 0.459 > 0.05
Crosstabs 34.Dalam rangka transparansi PEMDA harus selalu siap menerima kritik dari masyarakat dengan membuka dialog terbuka a. Setuju b. Tidak setuju Kota * 34 Crosstabul ation Count
Kota
Donggala Palu
Total
Setuju 37 36 73
34 Tidak Setuju 1 1 2
Total 38 37 75
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test N of Valid Cases
Value ,000b ,000 ,000
df 1 1 1
Asy mp. Sig. (2-sided) ,985 1,000 ,985
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
1,000
,747
75
a. Computed only f or a 2x2 table b. 2 cells (50,0%) hav e expect ed count less than 5. The minimum expected count is ,99.
sig. 0.985> 0.05
Perencanaan dan Penganggaran 35.Menurut B/I/S waktu pelaksanaan Musrembang mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten telah sesuai dengan jadwal pelaksanaan yang telah ditentukan a. Telah sesuai jadwal b. Belum sepenuhnya sesuai jadwal
Crosstabs Kota * 35 Crosstabulation Count 35
Kota
Belum sepenuhny a sesuai jadwal 4 6 10
Telah sesuai jadwal 33 30 63
Donggala Palu
Total
Total 37 36 73
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test N of Valid Cases
Value ,529b ,150 ,532
df 1 1 1
Asy mp. Sig. (2-sided) ,467 ,699 ,466
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
,515
,350
73
a. Computed only f or a 2x2 table b. 1 cells (25,0%) hav e expect ed count less than 5. The minimum expected count is 4,93.
sig. 0.467> 0.05
Crosstabs 37.Apakah dalam konsultasi program/kegiatan antara pemerintah dan pihak legislatif dilakukan prioritas kegiatan a. iya, dilakukan prioritas kegiatan b. tidak dilakukan prioritas kegiatan Kota * 37 Crosstabulation Count
Kota
Donggala Palu
Total
ada y ang mewakili 34 31 65
37 tidak ada y ang mewakili 4 5 9
Total 38 36 74
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test N of Valid Cases
Value ,196b ,007 ,196
df 1 1 1
Asy mp. Sig. (2-sided) ,658 ,931 ,658
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
,732
,465
74
a. Computed only f or a 2x2 table b. 2 cells (50,0%) hav e expect ed count less than 5. The minimum expected count is 4,38.
sig. 0.658> 0.05
Crosstabs
37.Apakah dalam konsultasi program/kegiatan antara pemerintah dan pihak legislatif dilakukan prioritas kegiatan a. iya, dilakukan prioritas kegiatan b. tidk dilakukan prioritas kegiatan Kota * 38 Crosstabulation Count 38
Kota
Donggala Palu
Total
iy a, dilakukan prioritas kegiatan 37 35 72
tidak dilakukan prioritas kegiatan 2 2 4
Total 39 37 76
Chi-Square Tests Value ,003b ,000 ,003
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test N of Valid Cases
df 1 1 1
Asy mp. Sig. (2-sided) ,957 1,000 ,957
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
1,000
,672
76
a. Computed only f or a 2x2 table b. 2 cells (50,0%) hav e expect ed count less than 5. The minimum expected count is 1,95.
sig. 0.957> 0.05
Crosstabs 39. Menurut B/I/S apakah dalam 1 tahun anggaran terjadi perubahan anggaran a. 1 kali perubahan b. lebih dari 1 kali perubahan Kota * 40 Crosstabulation Count 40
Kota
Donggala Palu
Total
lebih dari 1 kali perubahan 1 3 4
1 kali perubahan 37 33 70
Total 38 36 74
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test N of Valid Cases
Value 1,175b ,325 1,221
df 1 1 1
Asy mp. Sig. (2-sided) ,278 ,569 ,269
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
,351
,287
74
a. Computed only f or a 2x2 table b. 2 cells (50,0%) hav e expect ed count less than 5. The minimum expected count is 1,95.
sig. 0.278> 0.05
Lampiran 20 Hasil regresi data panel 11 kabupaten/kota Tahun 2005-2011 Dependent Variable: LNPDRBKAP Method: Least Squares Date: 03/09/13 Time: 09:02 Sample: 1 77 Included observations: 77 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA LNI LNG KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM
4.033848 0.142753 0.068390 0.015915 0.025067 -0.187412 0.323240 -0.345462 0.030591
0.197268 0.072725 0.016207 0.007642 0.056976 0.046475 0.082319 0.087389 0.026655
20.44857 1.962913 4.219875 2.082582 0.439952 -4.032577 3.926660 -3.953177 1.147646
0.0000 0.0537 0.0001 0.0411 0.6614 0.0001 0.0002 0.0002 0.2551
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.519912 0.463431 0.169642 1.956925 32.13033 9.205084 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
3.945761 0.231590 -0.600788 -0.326836 -0.491210 1.061782
Terindikasi ada heteroskedasitis dan otokorelas untuk itu dilakukan uji perk untuk mengidentifikasi adanya heteroskedastis Dependent Variable: LOG(RESID2) Method: Least Squares Date: 03/09/13 Time: 10:13 Sample: 1 77 Included observations: 77 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA LNI LNG KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM
-7.907534 0.325826 0.707502 0.011227 -0.291559 0.052619 -3.688530 4.964522 0.027030
1.795264 0.661843 0.147491 0.069548 0.518520 0.422949 0.749158 0.795291 0.242581
-4.404663 0.492302 4.796927 0.161425 -0.562292 0.124410 -4.923569 6.242395 0.111428
0.0000 0.6241 0.0000 0.8722 0.5758 0.9014 0.0000 0.0000 0.9116
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.559488 0.507663 1.543848 162.0757 -137.9122 10.79573 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-3.414822 2.200257 3.815901 4.089853 3.925479 1.248457
untuk mengatasi heteroskedasitas dilakukan uji white dan diperoleh hasil sbb:
Dependent Variable: LNPDRBKAP Method: Least Squares Date: 03/09/13 Time: 10:31 Sample: 1 77 Included observations: 77 White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA LNI LNG KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM
4.033848 0.142753 0.068390 0.015915 0.025067 -0.187412 0.323240 -0.345462 0.030591
0.169179 0.052458 0.018418 0.007404 0.046281 0.041143 0.148038 0.150935 0.021757
23.84366 2.721294 3.713173 2.149487 0.541622 -4.555093 2.183498 -2.288819 1.406004
0.0000 0.0083 0.0004 0.0352 0.5898 0.0000 0.0325 0.0252 0.1643
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.519912 0.463431 0.169642 1.956925 32.13033 9.205084 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
3.945761 0.231590 -0.600788 -0.326836 -0.491210 1.061782
Masalah otokorelasi masih ada dengan nilai DW yang masih sangat rendah untuk itu dilakukan uji BG untuk mengidentifikasi otokorelasi tsb...
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
14.65855 23.68323
Prob. F(2,66) Prob. Chi-Square(2)
0.0000 0.0000
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 03/09/13 Time: 11:05 Sample: 1 77 Included observations: 77 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA LNI LNG KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM RESID(-1) RESID(-2)
0.158217 -0.001923 -0.026260 0.005981 -0.031977 -0.018754 -0.055060 0.043906 -0.018914 0.401434 0.336694
0.172966 0.061623 0.014633 0.006564 0.048486 0.039442 0.070666 0.076386 0.022836 0.122429 0.136765
0.914733 -0.031205 -1.794507 0.911157 -0.659500 -0.475476 -0.779161 0.574797 -0.828232 3.278896 2.461837
0.3637 0.9752 0.0773 0.3655 0.5119 0.6360 0.4387 0.5674 0.4105 0.0017 0.0164
R-squared
0.307574
Mean dependent var
-5.85E-16
Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.202661 0.143285 1.355025 46.28118 2.931710 0.004221
S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.160465 -0.916394 -0.581565 -0.782465 1.949910
Menghilangkan otokoresi dengan melakukan differensial tingkat pertama Dependent Variable: D(LNPDRBKAP) Method: Least Squares Date: 03/10/13 Time: 07:38 Sample (adjusted): 2 77 Included observations: 76 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA D(LNI) D(LNG) KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM
0.221880 0.359844 0.011639 0.036223 0.162151 -0.330398 0.047763 -0.125695 0.012001
0.165596 0.067709 0.013136 0.007647 0.048742 0.040134 0.068738 0.075206 0.022639
1.339893 5.314538 0.886036 4.736815 3.326743 -8.232378 0.694865 -1.671353 0.530120
0.1848 0.0000 0.3788 0.0000 0.0014 0.0000 0.4895 0.0993 0.5978
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.736022 0.704502 0.143145 1.372870 44.68620 23.35108 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.008475 0.263330 -0.939111 -0.663103 -0.828804 2.689652
Untuk mengidentifikasi bahwa masalah otokorelasi sudah tidak ada lagi dilakukan kembali uji BG Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
8.589778 15.88773
Prob. F(2,65) Prob. Chi-Square(2)
0.0005 0.0004
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 03/10/13 Time: 08:33 Sample: 2 77 Included observations: 76 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA D(LNI) D(LNG) KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT
-0.038501 -0.016470 0.005701 -0.000439 0.009509 0.019711 0.026733 -0.031947
0.153341 0.061326 0.012022 0.006950 0.044664 0.036577 0.062455 0.068658
-0.251084 -0.268559 0.474191 -0.063131 0.212893 0.538904 0.428037 -0.465302
0.8025 0.7891 0.6370 0.9499 0.8321 0.5918 0.6700 0.6433
PERBAIKANPDAM RESID(-1) RESID(-2) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.007071 -0.515772 -0.256537 0.209049 0.087364 0.129251 1.085873 53.59793 1.717956 0.095421
0.020568 0.125828 0.132043
0.343776 -4.099029 -1.942832
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.7321 0.0001 0.0564 7.49E-17 0.135296 -1.120998 -0.783655 -0.986180 2.074773
Dilakukan kembali diff tingkat pertama dengan mendifferensialkan semua variabel independent termasuk variabel TKED Dependent Variable: D(LNPDRBKAP) Method: Least Squares Date: 03/10/13 Time: 08:39 Sample (adjusted): 2 77 Included observations: 76 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA D(LNI) D(LNG) D(KONLAMPU_JALAN) D(LAMAPERBAIKANLISTRIK ) D(MANFAATPPUS) D(PELATIHANPENKREDIT) D(PERBAIKANPDAM)
-0.023498 0.289593 0.003692 0.034408 -0.018477
0.018851 0.102766 0.013201 0.007608 0.028728
-1.246501 2.817983 0.279662 4.522889 -0.643172
0.2169 0.0063 0.7806 0.0000 0.5223
-0.191122 0.168643 -0.085016 0.038828
0.026305 0.072209 0.087234 0.016939
-7.265733 2.335492 -0.974578 2.292233
0.0000 0.0225 0.3333 0.0250
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.737473 0.706127 0.142751 1.365322 44.89571 23.52648 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.008475 0.263330 -0.944624 -0.668616 -0.834318 2.557324
Dilakukan kembali uji BG Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
7.138290 13.68651
Prob. F(2,65) Prob. Chi-Square(2)
0.0016 0.0011
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 03/10/13 Time: 08:42 Sample: 2 77 Included observations: 76 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA D(LNI)
0.010864 -0.099981 0.001692
0.017590 0.098603 0.012372
0.617651 -1.013973 0.136785
0.5390 0.3144 0.8916
D(LNG) D(KONLAMPU_JALAN) D(LAMAPERBAIKANLISTRIK ) D(MANFAATPPUS) D(PELATIHANPENKREDIT) D(PERBAIKANPDAM) RESID(-1) RESID(-2) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
5.90E-05 0.008829
0.007041 0.027024
0.008374 0.326709
0.9933 0.7449
0.000911 0.071890 -0.073461 0.013348 -0.465425 -0.303516
0.024275 0.069079 0.083264 0.016107 0.130359 0.141119
0.037542 1.040693 -0.882259 0.828665 -3.570327 -2.150785
0.9702 0.3019 0.3809 0.4103 0.0007 0.0352
0.180086 0.053945 0.131234 1.119447 52.44082 1.427658 0.188306
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-5.84E-18 0.134923 -1.090548 -0.753205 -0.955729 2.055284
Dependent Variable: D(LNPDRBKAP) Method: Least Squares Date: 03/10/13 Time: 08:53 Sample (adjusted): 2 77 Included observations: 76 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C D(DKOTA) D(LNI) D(LNG) D(KONLAMPU_JALAN) D(LAMAPERBAIKANLISTRIK ) D(MANFAATPPUS) D(PELATIHANPENKREDIT) D(PERBAIKANPDAM)
0.001722 0.116214 0.006828 0.035657 -0.024516
0.016896 0.061616 0.013587 0.007864 0.029582
0.101897 1.886103 0.502554 4.534289 -0.828736
0.9191 0.0636 0.6169 0.0000 0.4102
-0.189160 0.227182 -0.174816 0.028745
0.030049 0.068947 0.077688 0.018289
-6.295119 3.295017 -2.250231 1.571720
0.0000 0.0016 0.0277 0.1207
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.721163 0.687869 0.147119 1.450148 42.60525 21.66042 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.008475 0.263330 -0.884349 -0.608341 -0.774043 2.615589
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
8.564667 15.85097
Prob. F(2,65) Prob. Chi-Square(2)
0.0005 0.0004
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 03/10/13 Time: 08:56 Sample: 2 77 Included observations: 76 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C D(DKOTA) D(LNI) D(LNG) D(KONLAMPU_JALAN) D(LAMAPERBAIKANLISTRIK ) D(MANFAATPPUS) D(PELATIHANPENKREDIT) D(PERBAIKANPDAM) RESID(-1) RESID(-2) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.002134 -0.106590 0.003308 -0.000688 0.018412
0.015269 0.061326 0.012464 0.007153 0.027519
0.139757 -1.738087 0.265369 -0.096172 0.669083
0.8893 0.0869 0.7916 0.9237 0.5058
-0.024154 0.109707 -0.129679 0.016946 -0.545208 -0.303131
0.027947 0.067788 0.077293 0.017421 0.135594 0.140137
-0.864259 1.618383 -1.677754 0.972769 -4.020879 -2.163097
0.3906 0.1104 0.0982 0.3343 0.0002 0.0342
0.208565 0.086806 0.132879 1.147697 51.49376 1.712933 0.096586
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
5.11E-18 0.139051 -1.065625 -0.728282 -0.930807 2.058604
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
11.79298 11.52117
Prob. F(1,66) Prob. Chi-Square(1)
0.0010 0.0007
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 03/10/13 Time: 08:59 Sample: 2 77 Included observations: 76 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C D(DKOTA) D(LNI) D(LNG) D(KONLAMPU_JALAN) D(LAMAPERBAIKANLISTRIK ) D(MANFAATPPUS) D(PELATIHANPENKREDIT) D(PERBAIKANPDAM) RESID(-1)
0.001692 -0.076286 0.006144 0.001033 0.004424
0.015688 0.061346 0.012736 0.007304 0.027484
0.107882 -1.243549 0.482390 0.141486 0.160964
0.9144 0.2181 0.6311 0.8879 0.8726
-0.023506 0.072699 -0.109563 0.005453 -0.455536
0.028714 0.067397 0.078841 0.017047 0.132651
-0.818624 1.078670 -1.389670 0.319856 -3.434090
0.4159 0.2847 0.1693 0.7501 0.0010
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.151594 0.035903 0.136532 1.230313 48.85232 1.310331 0.248644
Dependent Variable: D(LNPDRBKAP)
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
5.11E-18 0.139051 -1.022429 -0.715754 -0.899867 2.140262
Method: Least Squares Date: 03/10/13 Time: 09:26 Sample (adjusted): 2 77 Included observations: 76 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C D(DKOTA) D(LNG) D(KONLAMPU_JALAN) D(LAMAPERBAIKANLISTRIK ) D(MANFAATPPUS) D(PELATIHANPENKREDIT) D(PERBAIKANPDAM)
0.001719 0.115166 0.035983 -0.024777
0.016803 0.061241 0.007794 0.029415
0.102302 1.880519 4.616828 -0.842342
0.9188 0.0643 0.0000 0.4025
-0.188678 0.226101 -0.170621 0.028842
0.029868 0.068534 0.076813 0.018187
-6.317099 3.299112 -2.221267 1.585836
0.0000 0.0015 0.0297 0.1174
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.720111 0.691299 0.146308 1.455614 42.46228 24.99341 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.008475 0.263330 -0.906902 -0.661562 -0.808852 2.593033
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
8.211911 15.14381
Prob. F(2,66) Prob. Chi-Square(2)
0.0007 0.0005
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 03/10/13 Time: 09:18 Sample: 2 77 Included observations: 76 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C D(DKOTA) D(LNG) D(KONLAMPU_JALAN) D(LAMAPERBAIKANLISTRIK ) D(MANFAATPPUS) D(PELATIHANPENKREDIT) D(PERBAIKANPDAM) RESID(-1) RESID(-2)
0.002220 -0.105570 -0.000440 0.018104
0.015272 0.061423 0.007141 0.027527
0.145369 -1.718736 -0.061604 0.657676
0.8849 0.0904 0.9511 0.5130
-0.023742 0.106465 -0.124638 0.016475 -0.527661 -0.302138
0.027918 0.067674 0.076575 0.017387 0.134606 0.138514
-0.850415 1.573199 -1.627647 0.947501 -3.920047 -2.181290
0.3982 0.1205 0.1084 0.3468 0.0002 0.0327
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.199261 0.090069 0.132891 1.165568 50.90663 1.824869 0.080036
Dependent Variable: D(LNPDRBKAP)
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
3.65E-18 0.139313 -1.076490 -0.769815 -0.953928 2.061697
Method: Least Squares Date: 03/10/13 Time: 12:28 Sample (adjusted): 2 77 Included observations: 76 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C D(DKOTA) D(LNG) D(LAMAPERBAIKANLISTRIK ) D(MANFAATPPUS) D(PERBAIKANPDAM)
0.000338 0.227997 0.045461
0.017569 0.047745 0.007247
0.019234 4.775356 6.273403
0.9847 0.0000 0.0000
-0.146866 0.065962 0.015172
0.025424 0.034665 0.018386
-5.776697 1.902818 0.825217
0.0000 0.0612 0.4121
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.684726 0.662206 0.153047 1.639644 37.93834 30.40579 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.008475 0.263330 -0.840483 -0.656477 -0.766945 2.432792
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
4.043525 8.077797
Prob. F(2,68) Prob. Chi-Square(2)
0.0219 0.0176
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 03/10/13 Time: 12:31 Sample: 2 77 Included observations: 76 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C D(DKOTA) D(LNG) D(LAMAPERBAIKANLISTRIK ) D(MANFAATPPUS) D(PERBAIKANPDAM) RESID(-1) RESID(-2)
0.000822 -0.056343 0.003235
0.016854 0.050028 0.007328
0.048765 -1.126231 0.441415
0.9612 0.2640 0.6603
-0.003242 0.027749 0.014540 -0.341025 -0.244737
0.024817 0.037138 0.018799 0.129901 0.139624
-0.130653 0.747186 0.773454 -2.625270 -1.752826
0.8964 0.4575 0.4419 0.0107 0.0841
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.106287 0.014287 0.146798 1.465371 42.20841 1.155293 0.340015
Dependent Variable: D(LNPDRBKAP)
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
1.64E-18 0.147858 -0.900221 -0.654881 -0.802171 1.998962
Method: Least Squares Date: 03/10/13 Time: 12:54 Sample (adjusted): 2 77 Included observations: 76 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C D(DKOTA) D(LNG) D(LAMAPERBAIKANLISTRIK ) D(MANFAATPPUS)
0.000448 0.235272 0.045643
0.017529 0.046818 0.007227
0.025542 5.025220 6.315567
0.9797 0.0000 0.0000
-0.145508 0.050672
0.025313 0.029233
-5.748234 1.733418
0.0000 0.0874
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.681659 0.663724 0.152703 1.655595 37.57045 38.00777 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.008475 0.263330 -0.857117 -0.703779 -0.795836 2.449144
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
4.172636 8.200121
Prob. F(2,69) Prob. Chi-Square(2)
0.0195 0.0166
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 03/10/13 Time: 12:56 Sample: 2 77 Included observations: 76 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C D(DKOTA) D(LNG) D(LAMAPERBAIKANLISTRIK ) D(MANFAATPPUS) RESID(-1) RESID(-2)
0.000990 -0.048446 0.003241
0.016798 0.047946 0.007307
0.058958 -1.010429 0.443514
0.9532 0.3158 0.6588
-0.001300 0.017774 -0.343065 -0.228504
0.024452 0.029836 0.127541 0.132532
-0.053159 0.595720 -2.689835 -1.724143
0.9578 0.5533 0.0090 0.0892
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.107896 0.030322 0.146305 1.476962 41.90902 1.390879 0.230728
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
1.13E-17 0.148575 -0.918658 -0.703986 -0.832865 2.007451
model dengan menambahkan variabel bebas interaksi dummy dan lnbm Dependent Variable: LNPDRBKAP Method: Least Squares Date: 03/12/13 Time: 11:43 Sample: 1 77
Included observations: 77 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA LNINVESTASI LNBM KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM INTERAKSI_LNBM
4.075214 0.142598 0.067920 0.018856 0.026599 -0.191479 0.305948 -0.336950 0.029722 -0.033773
0.215164 0.073132 0.016325 0.009703 0.057378 0.047447 0.089811 0.089534 0.026861 0.068038
18.94005 1.949871 4.160573 1.943260 0.463575 -4.035648 3.406590 -3.763361 1.106499 -0.496382
0.0000 0.0554 0.0001 0.0562 0.6445 0.0001 0.0011 0.0004 0.2725 0.6212
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.521671 0.457418 0.170590 1.949755 32.27165 8.118995 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
3.945761 0.231590 -0.578485 -0.274094 -0.456731 1.071254
model dengan mengeluarkan lninvestasi Dependent Variable: LNPDRBKAP Method: Least Squares Date: 03/12/13 Time: 11:58 Sample: 1 77 Included observations: 77 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA LNBM KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM INTERAKSI_LNBM
4.132651 0.130572 0.020236 0.016557 -0.199636 0.286343 -0.308458 0.025169 -0.050191
0.239089 0.081368 0.010798 0.063833 0.052786 0.099865 0.099403 0.029885 0.075632
17.28499 1.604709 1.873980 0.259377 -3.781963 2.867286 -3.103086 0.842188 -0.663623
0.0000 0.1132 0.0652 0.7961 0.0003 0.0055 0.0028 0.4026 0.5092
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.398088 0.327275 0.189950 2.453500 23.42388 5.621669 0.000018
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
3.945761 0.231590 -0.374646 -0.100695 -0.265068 0.698233
reg dengan menambah variabel interaksi dummy dan lninvestasi Dependent Variable: LNPDRBKAP Method: Least Squares Date: 03/12/13 Time: 12:27 Sample: 1 77 Included observations: 77 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
4.093054
0.215106
19.02811
0.0000
DKOTA LNINVESTASI LNBM KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM INTERAKSI_LNBM INTERAKSI_LNINVESTAI R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.150813 -27.13133 0.018294 0.036628 -0.194088 0.311755 -0.354059 0.030604 -0.033540 190.5054 0.531424 0.460427 0.170116 1.910002 33.06473 7.485214 0.000000
0.073265 23.20686 0.009688 0.057855 0.047367 0.089698 0.090471 0.026797 0.067849 162.5424
2.058457 -1.169108 1.888300 0.633104 -4.097498 3.475599 -3.913503 1.142050 -0.494331 1.172035
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.0435 0.2466 0.0634 0.5289 0.0001 0.0009 0.0002 0.2576 0.6227 0.2454 3.945761 0.231590 -0.573110 -0.238281 -0.439181 0.987651
Dengan melakukan diff tingkat pertama Dependent Variable: D(LNPDRBKAP) Method: Least Squares Date: 03/12/13 Time: 13:15 Sample (adjusted): 2 77 Included observations: 76 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA D(LNINVESTASI) D(LNBM) KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM INTERAKSI_LNBM INTERAKSI_LNINVESTAI
0.128076 0.360852 0.012193 0.035717 0.157818 -0.322809 0.059659 -0.121410 0.011875 0.056771 -0.019981
0.186673 0.067917 0.015690 0.007679 0.049071 0.040943 0.069825 0.075558 0.022798 0.045651 0.114661
0.686097 5.313150 0.777137 4.651479 3.216141 -7.884437 0.854398 -1.606846 0.520881 1.243590 -0.174259
0.4951 0.0000 0.4399 0.0000 0.0020 0.0000 0.3960 0.1129 0.6042 0.2181 0.8622
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.742492 0.702875 0.143539 1.339222 45.62916 18.74189 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.008475 0.263330 -0.911294 -0.573951 -0.776475 2.641231
Dependent Variable: D(LNPDRBKAP) Method: Least Squares Date: 03/12/13 Time: 13:21 Sample (adjusted): 2 77 Included observations: 76 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA D(LNINVESTASI) D(LNBM) D(KONLAMPU_JALAN)
-0.063844 0.289944 0.003110 0.033848 -0.020115
0.040557 0.103250 0.015577 0.007656 0.028894
-1.574195 2.808174 0.199656 4.420794 -0.696149
0.1203 0.0066 0.8424 0.0000 0.4888
D(LAMAPERBAIKANLISTRIK ) D(MANFAATPPUS) D(PELATIHANPENKREDIT) D(PERBAIKANPDAM) INTERAKSI_LNBM INTERAKSI_LNINVESTAI R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
-0.186070 0.165906 -0.080021 0.035997 0.052421 0.001453 0.743014 0.703477 0.143393 1.336507 45.70627 18.79317 0.000000
0.026796 0.072629 0.087743 0.017223 0.044359 0.113468
-6.943941 2.284278 -0.911992 2.090064 1.181754 0.012805
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.0000 0.0256 0.3651 0.0405 0.2416 0.9898 0.008475 0.263330 -0.913323 -0.575980 -0.778504 2.548817
Dependent Variable: D(LNPDRBKAP) Method: Least Squares Date: 03/12/13 Time: 13:25 Sample (adjusted): 2 77 Included observations: 76 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA D(LNINVESTASI) D(LNBM) D(KONLAMPU_JALAN) D(LAMAPERBAIKANLISTRIK ) D(MANFAATPPUS) D(PELATIHANPENKREDIT) D(PERBAIKANPDAM) D(INTERAKSI_LNBM) D(INTERAKSI_LNINVESTAI)
-0.015541 0.201076 -35.69873 0.035088 -0.003874
0.017637 0.099477 11.02594 0.007680 0.027388
-0.881181 2.021324 -3.237703 4.568524 -0.141448
0.3815 0.0474 0.0019 0.0000 0.8880
-0.200934 0.240321 -0.190952 0.035262 0.077839 250.0284
0.025551 0.069850 0.086031 0.015832 0.051191 77.21831
-7.864057 3.440534 -2.219567 2.227234 1.520553 3.237942
0.0000 0.0010 0.0299 0.0294 0.1332 0.0019
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.781817 0.748250 0.132125 1.134705 51.92637 23.29144 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.008475 0.263330 -1.077010 -0.739667 -0.942191 2.477845
Dependent Variable: LNPDRBKAP Method: Least Squares Date: 03/12/13 Time: 15:01 Sample: 1 77 Included observations: 77 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNINVESTASI LNBM INTERAKSI_LNBM INTERAKSI_LNINVESTAI
3.770111 -6.579334 0.032135 -0.040979 46.53191
0.060301 27.75925 0.010247 0.073610 194.4250
62.52129 -0.237014 3.135967 -0.556711 0.239331
0.0000 0.8133 0.0025 0.5795 0.8115
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression
0.231575 0.188885 0.208574
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion
3.945761 0.231590 -0.234310
Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
3.132239 14.02095 5.424533 0.000711
Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-0.082115 -0.173434 1.471172
Dependent Variable: LNPDRBKAP Method: Least Squares Date: 03/12/13 Time: 15:45 Sample (adjusted): 56 77 Included observations: 22 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA LNBM LNINVESTASI KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM INTERAKSI_LNBM INTERAKSI_LNINVESTAI
3.155797 0.158040 0.142240 -30.93391 0.011926 -0.187026 0.008570 0.004168 0.021870 0.523162 216.6148
1.226164 0.051436 0.153270 19.58970 0.042589 0.034872 0.072697 0.062607 0.019968 1.929884 137.2742
2.573715 3.072579 0.928036 -1.579091 0.280027 -5.363244 0.117888 0.066571 1.095273 0.271085 1.577971
0.0259 0.0106 0.3733 0.1426 0.7847 0.0002 0.9083 0.9481 0.2968 0.7913 0.1429
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.855850 0.724804 0.062298 0.042691 37.47628 6.530927 0.002310
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
4.127907 0.118755 -2.406935 -1.861414 -2.278426 1.468972
Dependent Variable: LNPDRBKAP Method: Least Squares Date: 03/12/13 Time: 17:56 Sample (adjusted): 56 77 Included observations: 22 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA LNBM LNINVESTASI KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM
2.889924 0.137205 0.274429 -0.018739 0.001495 -0.208063 -0.021738 0.049180 0.016228
0.666427 0.057589 0.131398 0.013456 0.045816 0.038902 0.061984 0.069047 0.021245
4.336441 2.382473 2.088534 -1.392629 0.032629 -5.348382 -0.350713 0.712271 0.763853
0.0008 0.0332 0.0570 0.1871 0.9745 0.0001 0.7314 0.4889 0.4586
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.773984 0.634897 0.071756 0.066936 32.52904 5.564756 0.003337
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
4.127907 0.118755 -2.139003 -1.692668 -2.033860 2.190406
Reg terhadap pengangguran (unemploy) Dependent Variable: LNEMPLOY Method: Least Squares Date: 03/09/13 Time: 09:23 Sample: 1 77 Included observations: 77 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA LNI LNG KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM
3.433785 0.412347 0.082433 0.051682 0.114537 -0.237737 2.694827 -2.632768 -0.116857
0.614493 0.226539 0.050484 0.023805 0.177482 0.144769 0.256426 0.272217 0.083032
5.587997 1.820201 1.632852 2.171030 0.645346 -1.642177 10.50918 -9.671591 -1.407367
0.0000 0.0731 0.1071 0.0334 0.5209 0.1052 0.0000 0.0000 0.1639
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.736723 0.705749 0.528437 18.98868 -55.35972 23.78535 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
3.538457 0.974168 1.671681 1.945632 1.781259 2.085465
Dilakukan uji metode white untuk menghilangkan heteroskedastis Dependent Variable: LNEMPLOY Method: Least Squares Date: 03/10/13 Time: 09:57 Sample: 1 77 Included observations: 77 White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA LNI LNG KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM
3.433785 0.412347 0.082433 0.051682 0.114537 -0.237737 2.694827 -2.632768 -0.116857
0.353343 0.071981 0.073163 0.027202 0.087611 0.087353 0.637848 0.632419 0.036338
9.717989 5.728587 1.126707 1.899969 1.307338 -2.721561 4.224872 -4.163014 -3.215853
0.0000 0.0000 0.2638 0.0617 0.1955 0.0082 0.0001 0.0001 0.0020
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.736723 0.705749 0.528437 18.98868 -55.35972 23.78535 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
3.538457 0.974168 1.671681 1.945632 1.781259 2.085465
untuk mendeteksi adanya otokorelasi dilakukan uji BG Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic
0.212262
Prob. F(2,66)
0.8093
Obs*R-squared
0.492113
Prob. Chi-Square(2)
0.7819
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 03/10/13 Time: 10:12 Sample: 1 77 Included observations: 77 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA LNI LNG KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM RESID(-1) RESID(-2)
0.021437 0.006666 0.004163 7.63E-05 -0.005811 0.006263 0.008587 -0.009928 -0.006099 -0.055517 0.067066
0.623646 0.229732 0.052045 0.025017 0.180580 0.147475 0.261761 0.278716 0.084620 0.126016 0.151152
0.034373 0.029018 0.079995 0.003048 -0.032180 0.042467 0.032806 -0.035621 -0.072077 -0.440552 0.443702
0.9727 0.9769 0.9365 0.9976 0.9744 0.9663 0.9739 0.9717 0.9428 0.6610 0.6587
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.006391 -0.144156 0.534667 18.86733 -55.11288 0.042452 0.999996
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
2.80E-15 0.499851 1.717218 2.052047 1.851146 1.985355
dengan N = 22 Dependent Variable: LNPENGANGGURAN Method: Least Squares Date: 03/13/13 Time: 08:11 Sample (adjusted): 56 77 Included observations: 22 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA LNINVESTASI LNBM KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM
2.765225 0.452415 -0.025862 0.213675 0.043905 -0.326996 0.073084 -0.024544 -0.041246
1.155929 0.099890 0.023339 0.227911 0.079468 0.067476 0.107512 0.119763 0.036850
2.392209 4.529132 -1.108080 0.937534 0.552483 -4.846100 0.679777 -0.204937 -1.119307
0.0326 0.0006 0.2879 0.3656 0.5900 0.0003 0.5086 0.8408 0.2833
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.808951 0.691383 0.124462 0.201380 20.41300 6.880675 0.001249
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
3.630289 0.224040 -1.037546 -0.591210 -0.932403 1.509639
Dependent Variable: LNPENGANGGURAN Method: Least Squares Date: 03/13/13 Time: 08:20 Sample (adjusted): 56 77 Included observations: 22 after adjustments White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA LNBM LNINVESTASI KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM
2.765225 0.452415 0.213675 -0.025862 0.043905 -0.326996 0.073084 -0.024544 -0.041246
0.921125 0.184885 0.154428 0.034419 0.036118 0.065113 0.091772 0.080619 0.028907
3.002009 2.447008 1.383653 -0.751376 1.215597 -5.021970 0.796363 -0.304443 -1.426867
0.0102 0.0294 0.1898 0.4658 0.2458 0.0002 0.4401 0.7656 0.1772
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.808951 0.691383 0.124462 0.201380 20.41300 6.880675 0.001249
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
3.630289 0.224040 -1.037546 -0.591210 -0.932403 1.509639
Regresi untuk lnpov Dependent Variable: LNPOV Method: Least Squares Date: 03/09/13 Time: 09:26 Sample: 1 77 Included observations: 77 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA LNI LNG KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM
3.758335 -0.140116 0.145286 0.058744 -0.011036 -0.145008 3.412246 -3.181394 -0.022634
0.710480 0.261926 0.058370 0.027524 0.205205 0.167383 0.296481 0.314738 0.096002
5.289852 -0.534945 2.489068 2.134299 -0.053779 -0.866327 11.50915 -10.10806 -0.235769
0.0000 0.5944 0.0153 0.0364 0.9573 0.3894 0.0000 0.0000 0.8143
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.754337 0.725436 0.610982 25.38429 -66.53578 26.10028 0.000000
Dependent Variable: LNPOV Method: Least Squares Date: 03/10/13 Time: 10:29 Sample: 1 77 Included observations: 77
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
4.354092 1.166020 1.961968 2.235920 2.071547 2.150284
White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA LNI LNG KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM
3.758335 -0.140116 0.145286 0.058744 -0.011036 -0.145008 3.412246 -3.181394 -0.022634
0.358437 0.084969 0.088792 0.030567 0.078946 0.082649 0.767997 0.761975 0.034695
10.48534 -1.649016 1.636262 1.921820 -0.139789 -1.754520 4.443044 -4.175195 -0.652378
0.0000 0.1038 0.1064 0.0588 0.8892 0.0838 0.0000 0.0001 0.5164
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.754337 0.725436 0.610982 25.38429 -66.53578 26.10028 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
4.354092 1.166020 1.961968 2.235920 2.071547 2.150284
Dilakukan uji BG untuk mendeteksi otokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
0.749916 1.710924
Prob. F(2,66) Prob. Chi-Square(2)
0.4764 0.4251
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 03/10/13 Time: 10:36 Sample: 1 77 Included observations: 77 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA LNI LNG KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM RESID(-1) RESID(-2)
0.048518 0.005096 0.010006 0.003037 -0.017365 0.020706 -0.010029 0.001927 -0.011780 -0.064306 0.158198
0.714218 0.262933 0.059243 0.028993 0.207401 0.169166 0.300960 0.319247 0.097081 0.126104 0.154971
0.067931 0.019382 0.168895 0.104745 -0.083728 0.122398 -0.033324 0.006035 -0.121339 -0.509945 1.020820
0.9460 0.9846 0.8664 0.9169 0.9335 0.9030 0.9735 0.9952 0.9038 0.6118 0.3111
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.022220 -0.125929 0.613241 24.82026 -65.67068 0.149983 0.998695
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
7.78E-16 0.577931 1.991446 2.326275 2.125375 2.010399
Melakukan diff tingkat pertama Dependent Variable: D(LNPOV) Method: Least Squares Date: 03/10/13 Time: 10:48 Sample (adjusted): 2 77 Included observations: 76 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C D(DKOTA) D(LNI) D(LNG) D(KONLAMPU_JALAN) D(LAMAPERBAIKANLISTRIK ) D(MANFAATPPUS) D(PELATIHANPENKREDIT) D(PERBAIKANPDAM)
-0.013354 -0.051076 0.059471 0.177297 -0.064959
0.098247 0.358286 0.079007 0.045727 0.172015
-0.135919 -0.142555 0.752731 3.877248 -0.377638
0.8923 0.8871 0.4542 0.0002 0.7069
-0.103016 2.888678 -2.552946 -0.049729
0.174727 0.400916 0.451741 0.106346
-0.589579 7.205199 -5.651353 -0.467615
0.5575 0.0000 0.0000 0.6416
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.773307 0.746239 0.855470 49.03253 -91.18585 28.56920 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-0.001606 1.698213 2.636470 2.912478 2.746776 2.967529
deteksi dengan uji BG Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
22.15558 30.80791
Prob. F(2,65) Prob. Chi-Square(2)
0.0000 0.0000
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 03/10/13 Time: 10:53 Sample: 2 77 Included observations: 76 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C D(DKOTA) D(LNI) D(LNG) D(KONLAMPU_JALAN) D(LAMAPERBAIKANLISTRIK ) D(MANFAATPPUS) D(PELATIHANPENKREDIT) D(PERBAIKANPDAM) RESID(-1) RESID(-2)
0.026542 -0.223404 0.032508 -0.026008 0.064046
0.077022 0.282606 0.062641 0.036015 0.136072
0.344602 -0.790515 0.518953 -0.722144 0.470682
0.7315 0.4321 0.6056 0.4728 0.6394
-0.064082 0.257839 -0.361159 -5.95E-05 -0.791354 -0.318980
0.137765 0.316360 0.358026 0.083355 0.120474 0.133932
-0.465155 0.815017 -1.008751 -0.000714 -6.568681 -2.381652
0.6434 0.4180 0.3168 0.9994 0.0000 0.0202
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression
0.405367 0.313885 0.669746
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion
-4.09E-17 0.808559 2.169290
Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
29.15635 -71.43303 4.431116 0.000093
Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
2.506633 2.304109 2.096306
Dengan N=22 Dependent Variable: LNKEMISKINAN Method: Least Squares Date: 03/13/13 Time: 08:24 Sample (adjusted): 56 77 Included observations: 22 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA LNBM LNINVESTASI KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM
2.494930 -0.103239 0.342563 -0.030545 -0.072008 -0.223304 0.269648 -0.018751 0.030439
0.484350 0.041855 0.095498 0.009779 0.033298 0.028273 0.045049 0.050182 0.015440
5.151092 -2.466575 3.587123 -3.123436 -2.162528 -7.898019 5.985689 -0.373649 1.971409
0.0002 0.0283 0.0033 0.0081 0.0498 0.0000 0.0000 0.7147 0.0703
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.910276 0.855061 0.052151 0.035357 39.54977 16.48609 0.000012
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
4.582757 0.136985 -2.777252 -2.330916 -2.672108 2.001228
Dependent Variable: LNKEMISKINAN Method: Least Squares Date: 03/13/13 Time: 08:28 Sample (adjusted): 56 77 Included observations: 22 after adjustments White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA LNBM LNINVESTASI KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM
2.494930 -0.103239 0.342563 -0.030545 -0.072008 -0.223304 0.269648 -0.018751 0.030439
0.439091 0.055884 0.092186 0.011358 0.039777 0.025635 0.025725 0.046530 0.016128
5.682040 -1.847392 3.715984 -2.689228 -1.810305 -8.711065 10.48215 -0.402976 1.887392
0.0001 0.0876 0.0026 0.0186 0.0934 0.0000 0.0000 0.6935 0.0816
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.910276 0.855061 0.052151 0.035357 39.54977 16.48609 0.000012
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
4.582757 0.136985 -2.777252 -2.330916 -2.672108 2.001228
dengan perubahan dummy antara kota dan kabupaten d=1 kabupaten d=0 kota Dependent Variable: LNPDRBKAP Method: Least Squares Date: 03/13/13 Time: 14:35 Sample (adjusted): 56 77 Included observations: 22 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA LNINVESTASI LNBM KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM INTERAKSI_LNBM INTERAKSI_LNINVESTAI
3.145103 -0.253046 -0.019786 0.251295 0.001569 -0.207939 0.001052 0.026243 0.016199 0.022717 0.001178
0.780904 0.287857 0.037094 0.152981 0.049553 0.042300 0.086422 0.092906 0.022951 0.054732 0.040312
4.027513 -0.879068 -0.533395 1.642651 0.031662 -4.915858 0.012174 0.282467 0.705833 0.415059 0.029226
0.0020 0.3982 0.6044 0.1287 0.9753 0.0005 0.9905 0.7828 0.4950 0.6861 0.9772
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.777488 0.575204 0.077400 0.065898 32.70090 3.843550 0.018470
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
4.127907 0.118755 -1.972809 -1.427288 -1.844301 2.232013
Dependent Variable: LNPDRBKAP Method: Least Squares Date: 03/13/13 Time: 14:43 Sample (adjusted): 56 77 Included observations: 22 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA LNINVESTASI LNBM KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM
3.027129 -0.137205 -0.018739 0.274429 0.001495 -0.208063 -0.021738 0.049180 0.016228
0.662730 0.057589 0.013456 0.131398 0.045816 0.038902 0.061984 0.069047 0.021245
4.567667 -2.382473 -1.392629 2.088534 0.032629 -5.348382 -0.350713 0.712271 0.763853
0.0005 0.0332 0.1871 0.0570 0.9745 0.0001 0.7314 0.4889 0.4586
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.773984 0.634897 0.071756 0.066936 32.52904 5.564756 0.003337
Dependent Variable: LNPDRBKAP Method: Least Squares Date: 03/13/13 Time: 15:00 Sample (adjusted): 56 77 Included observations: 22 after adjustments
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
4.127907 0.118755 -2.139003 -1.692668 -2.033860 2.190406
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA LNBM KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM INTERAKSI_LNBM
3.432486 -0.248664 0.194372 0.012545 -0.191878 0.013075 -0.006126 0.012392 0.022140
0.722151 0.278293 0.143355 0.048063 0.039547 0.084745 0.087653 0.022438 0.054045
4.753143 -0.893532 1.355877 0.261009 -4.851944 0.154292 -0.069887 0.552260 0.409669
0.0004 0.3878 0.1982 0.7982 0.0003 0.8797 0.9453 0.5901 0.6887
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.743576 0.585777 0.076431 0.075941 31.14055 4.712161 0.006867
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
4.127907 0.118755 -2.012777 -1.566441 -1.907634 2.058699
Dependent Variable: LNPDRBKAP Method: Least Squares Date: 03/13/13 Time: 15:04 Sample (adjusted): 56 77 Included observations: 22 after adjustments White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKAB LNBM DKAB*LNBM LAMAPERBAIKAN LISTRIK(hari) MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM(hari)
3.432486 -0.248664 0.194372 0.022140
0.775943 0.052325 0.156389 5.57E-05
4.423631 -4.752260 1.242869 397.3037
0.0007 0.0004 0.2359 0.0000
-0.191878 0.013075 -0.006126 0.012392
0.032401 0.029814 0.035980 0.027189
-5.922054 0.438569 -0.170255 0.455761
0.0001 0.6682 0.8674 0.6561
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.743576 0.585777 0.076431 0.075941 31.14055 4.712161 0.006867
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
4.127907 0.118755 -2.012777 -1.566441 -1.907634 2.058699
Dengan N=22 Dependent Variable: LNKEMISKINAN Method: Least Squares Date: 03/13/13 Time: 18:36 Sample (adjusted): 56 77 Included observations: 22 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA LNBM
2.165491 0.221334 0.374099
0.505546 0.186354 0.099038
4.283472 1.187703 3.777335
0.0013 0.2600 0.0031
LNINVESTASI KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM INTERAKSI_LNBM INTERAKSI_LNINVESTAI R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.007725 -0.076066 -0.229266 0.254770 0.003654 0.031850 -0.010227 -0.045166 0.929913 0.866198 0.050108 0.027618 42.26682 14.59483 0.000058
0.024014 0.032080 0.027384 0.055948 0.060146 0.014858 0.035433 0.026098
0.321662 -2.371161 -8.372212 4.553651 0.060756 2.143647 -0.288625 -1.730663
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.7537 0.0371 0.0000 0.0008 0.9526 0.0553 0.7782 0.1114 4.582757 0.136985 -2.842438 -2.296917 -2.713929 2.242242
Dependent Variable: LNKEMISKINAN Method: Least Squares Date: 03/13/13 Time: 18:47 Sample (adjusted): 56 77 Included observations: 22 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA LNBM LNINVESTASI KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM
2.391691 0.103239 0.342563 -0.030545 -0.072008 -0.223304 0.269648 -0.018751 0.030439
0.481662 0.041855 0.095498 0.009779 0.033298 0.028273 0.045049 0.050182 0.015440
4.965494 2.466575 3.587123 -3.123436 -2.162528 -7.898019 5.985689 -0.373649 1.971409
0.0003 0.0283 0.0033 0.0081 0.0498 0.0000 0.0000 0.7147 0.0703
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.910276 0.855061 0.052151 0.035357 39.54977 16.48609 0.000012
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
4.582757 0.136985 -2.777252 -2.330916 -2.672108 2.001228
Dependent Variable: LNKEMISKINAN Method: Least Squares Date: 03/13/13 Time: 18:52 Sample (adjusted): 56 77 Included observations: 22 after adjustments White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA LNBM LNINVESTASI KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM
2.391691 0.103239 0.342563 -0.030545 -0.072008 -0.223304 0.269648 -0.018751 0.030439
0.449370 0.055884 0.092186 0.011358 0.039777 0.025635 0.025725 0.046530 0.016128
5.322325 1.847392 3.715984 -2.689228 -1.810305 -8.711065 10.48215 -0.402976 1.887392
0.0001 0.0876 0.0026 0.0186 0.0934 0.0000 0.0000 0.6935 0.0816
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.910276 0.855061 0.052151 0.035357 39.54977 16.48609 0.000012
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
4.582757 0.136985 -2.777252 -2.330916 -2.672108 2.001228
Dengan data N= 22 Dependent Variable: LNPENGANGGURAN Method: Least Squares Date: 03/13/13 Time: 17:53 Sample (adjusted): 56 77 Included observations: 22 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA LNBM LNINVESTASI KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM INTERAKSI_LNBM INTERAKSI_LNINVESTAI
2.298252 0.085997 0.349054 0.109321 0.029610 -0.348014 -0.003576 0.078637 -0.036274 -0.060286 -0.159480
0.962776 0.354898 0.188611 0.045734 0.061094 0.052151 0.106550 0.114543 0.028296 0.067479 0.049701
2.387110 0.242314 1.850661 2.390375 0.484662 -6.673173 -0.033557 0.686527 -1.281951 -0.893396 -3.208789
0.0360 0.8130 0.0912 0.0358 0.6374 0.0000 0.9738 0.5066 0.2262 0.3908 0.0083
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.904971 0.818581 0.095426 0.100168 28.09481 10.47540 0.000281
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
3.630289 0.224040 -1.554073 -1.008552 -1.425565 2.085712
Dependent Variable: LNPENGANGGURAN Method: Least Squares Date: 03/13/13 Time: 18:04 Sample (adjusted): 56 77 Included observations: 22 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA LNBM LNINVESTASI KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM INTERAKSI_LNINVESTAI
2.598600 -0.216567 0.289217 0.109321 0.029510 -0.348119 0.056566 0.018655 -0.036247 -0.159635
0.894553 0.105204 0.174829 0.045347 0.060578 0.051711 0.081893 0.092020 0.028057 0.049281
2.904914 -2.058542 1.654287 2.410737 0.487148 -6.732073 0.690726 0.202729 -1.291916 -3.239291
0.0132 0.0619 0.1240 0.0329 0.6349 0.0000 0.5029 0.8427 0.2207 0.0071
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic
0.898076 0.821632 0.094620 0.107436 27.32428 11.74825
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
3.630289 0.224040 -1.574935 -1.079006 -1.458109 1.936798
Prob(F-statistic)
0.000110
Dependent Variable: LNPENGANGGURAN Method: Least Squares Date: 03/13/13 Time: 18:09 Sample (adjusted): 56 77 Included observations: 22 after adjustments White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA LNBM LNINVESTASI KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM INTERAKSI_LNINVESTAI
2.598600 -0.216567 0.289217 0.109321 0.029510 -0.348119 0.056566 0.018655 -0.036247 -0.159635
0.971963 0.061800 0.154713 9.80E-06 0.032010 0.067777 0.087709 0.075923 0.028288 0.033016
2.673559 -3.504301 1.869380 11150.56 0.921921 -5.136266 0.644926 0.245709 -1.281373 -4.835110
0.0203 0.0043 0.0862 0.0000 0.3747 0.0002 0.5311 0.8101 0.2243 0.0004
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.898076 0.821632 0.094620 0.107436 27.32428 11.74825 0.000110
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
3.630289 0.224040 -1.574935 -1.079006 -1.458109 1.936798
Dependent Variable: PERTUMBUHAN Method: Least Squares Date: 04/04/13 Time: 15:51 Sample (adjusted): 56 77 Included observations: 22 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA LNBM LNINVESTASI INTERAKSI_LNBM INTERAKSI_LNINVESTAI KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK MANFAATPPUS PERBAIKANPDAM
-13.04746 0.945789 5.068789 -0.491073 -0.405176 0.657700 -0.385628 -0.395808 -0.549862 -0.078877
10.54708 3.394638 2.095460 0.535354 0.639984 0.577909 0.647381 0.607264 0.729776 0.330748
-1.237068 0.278613 2.418938 -0.917287 -0.633103 1.138067 -0.595673 -0.651789 -0.753466 -0.238480
0.2397 0.7853 0.0324 0.3771 0.5385 0.2773 0.5625 0.5268 0.4657 0.8155
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.474928 0.081123 1.117050 14.97360 -26.98435 1.205999 0.372815
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
8.340000 1.165316 3.362214 3.858142 3.479040 2.052629
Dependent Variable: PERTUMBUHAN Method: Least Squares Date: 04/04/13 Time: 16:03 Sample (adjusted): 56 77 Included observations: 22 after adjustments White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKAB LNBM LNINVESTASI INTERAKSI_LNBM INTERAKSI_LNINVESTASI KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM
-9.802594 -1.010765 4.500612 -0.491001 -0.026917 0.712535 -0.137364 -0.446902 0.276486 -1.095422 -0.093441
11.97780 0.532988 2.577911 0.000524 0.004966 0.152385 0.614114 0.443926 0.529427 0.435643 0.251374
-0.818397 -1.896413 1.745837 -936.1573 -5.420081 4.675895 -0.223678 -1.006704 0.522236 -2.514495 -0.371721
0.4305 0.0845 0.1087 0.0000 0.0002 0.0007 0.8271 0.3357 0.6119 0.0288 0.7172
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.504132 0.053343 1.133810 14.14076 -26.35486 1.118333 0.425917
LNBM LNINVESTASI KONLAMPU_J ALAN LAMAPERBAIK ANLISTRIK MANFAATPPU S PELATIHANPE NKREDIT PERBAIKANP DAM
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
8.340000 1.165316 3.395896 3.941418 3.524405 2.017403
KONLAMPU_J LAMAPERBAIK MANFAATPPU PELATIHANPE PERBAIKANPD ALAN ANLISTRIK S NKREDIT AM 0.135014 0.180520 0.066706 0.057040 0.037249 0.072021 -0.313798 0.120027 0.293393 0.093969
LNBM 1.000000 0.231079
LNINVESTASI 0.231079 1.000000
0.135014
0.072021
1.000000
0.149071
0.559017
0.690066
-0.149071
0.180520
-0.313798
0.149071
1.000000
0.083333
-0.038576
-0.083333
0.066706
0.120027
0.559017
0.083333
1.000000
0.810093
-0.345238
0.057040
0.293393
0.690066
-0.038576
0.810093
1.000000
-0.264520
0.037249
0.093969
-0.149071
-0.083333
-0.345238
-0.264520
1.000000
Dependent Variable: PERTUMBUHAN Method: Least Squares Date: 04/15/13 Time: 18:48 Sample (adjusted): 56 77 Included observations: 22 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA LNBM LNINVESTASI
-12.43132 -0.093249 4.811046 0.112330
10.25062 0.890752 2.032363 0.208123
-1.212739 -0.104686 2.367218 0.539731
0.2468 0.9182 0.0341 0.5985
KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM
-0.201652 -0.541223 0.229615 -0.929403 -0.071118
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.438462 0.092900 1.109868 16.01350 -27.72293 1.268837 0.337324
0.708642 0.601708 0.958718 1.067970 0.328600
-0.284561 -0.899478 0.239502 -0.870252 -0.216428
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.7805 0.3848 0.8145 0.3999 0.8320 8.340000 1.165316 3.338448 3.784784 3.443592 2.025405
Dependent Variable: PERTUMBUHAN Method: Least Squares Date: 04/15/13 Time: 18:53 Sample (adjusted): 56 77 Included observations: 22 after adjustments White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKAB LNBM LNINVESTASI KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK (hari) MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM(hari)
-12.43132 -0.093249 4.811046 0.112330 -0.201652
11.38734 1.001048 2.439411 0.149438 0.607893
-1.091679 -0.093152 1.972216 0.751685 -0.331723
0.2948 0.9272 0.0702 0.4656 0.7454
-0.541223 0.229615 -0.929403 -0.071118
0.460574 0.476378 0.453848 0.235145
-1.175105 0.482002 -2.047830 -0.302445
0.2610 0.6378 0.0613 0.7671
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.438462 0.092900 1.109868 16.01350 -27.72293 1.268837 0.337324
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
8.340000 1.165316 3.338448 3.784784 3.443592 2.025405
memakai ln pdrb Dependent Variable: PDRB Method: Least Squares Date: 04/16/13 Time: 08:42 Sample (adjusted): 56 77 Included observations: 18 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKOTA LNBM LNINVESTASI KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM
27.67781 -1.194644 -2.938838 0.593561 -0.853932 -4.165602 1.626561 0.837106 -0.217214
15.59587 1.201574 3.187619 0.344991 1.245091 1.014712 1.360263 1.596220 0.540365
1.774688 -0.994233 -0.921954 1.720513 -0.685839 -4.105206 1.195770 0.524430 -0.401977
0.1097 0.3461 0.3806 0.1194 0.5101 0.0027 0.2623 0.6126 0.6971
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.821313 0.662480 1.487229 19.90664 -26.44703 5.170925 0.012022
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
13.38932 2.559930 3.938559 4.383745 3.999944 1.998176
Dependent Variable: LNPDRB Method: Least Squares Date: 04/16/13 Time: 09:10 Sample (adjusted): 56 77 Included observations: 18 after adjustments White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DKAB LNBM LNINVESTASI KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK (hari) MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM(hari)
27.67781 -1.194644 -2.938838 0.593561 -0.853932
13.86255 1.007866 3.201948 0.328065 1.381138
1.996589 -1.185321 -0.917828 1.809277 -0.618282
0.0770 0.2662 0.3826 0.1039 0.5517
-4.165602 1.626561 0.837106 -0.217214
1.257488 1.157415 1.349838 0.530257
-3.312637 1.405340 0.620153 -0.409640
0.0090 0.1935 0.5505 0.6916
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.821313 0.662480 1.487229 19.90664 -26.44703 5.170925 0.012022
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
13.38932 2.559930 3.938559 4.383745 3.999944 1.998176
Dependent Variable:LN PDRB Method: Least Squares Date: 04/16/13 Time: 11:43 Sample (adjusted): 56 77 Included observations: 18 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNINVESTASI INTERAKSI_LNINVESTAI KONLAMPU_JALAN LAMAPERBAIKANLISTRIK MANFAATPPUS PELATIHANPENKREDIT PERBAIKANPDAM
13.25119 0.510224 -0.092595 -1.156081 -4.547764 1.536097 0.984299 -0.314220
3.852463 0.580541 0.581710 1.279045 1.003568 1.406236 1.652587 0.550308
3.439666 0.878876 -0.159177 -0.903863 -4.531594 1.092346 0.595611 -0.570989
0.0063 0.4001 0.8767 0.3873 0.0011 0.3003 0.5647 0.5806
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid
0.785791 0.635845 1.544796 23.86393
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion
13.38932 2.559930 4.008762 4.404483
Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
-28.07886 5.240495 0.009733
Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
4.063327 1.983527
Lampiran..21: Korelasi sub indeks unfrastruktur dan PPUS dengan total indeks TKED INDEKS_TOTA KONLAMPU_J LAMAPERBAIK MANFAATPPU PELATIHANPE PERBAIKANPD L ALAN ANLISTRIK S NKREDIT AM INDEKS_TOTA L KONLAMPU_J ALAN LAMAPERBAIK ANLISTRIK MANFAATPPU S PELATIHANPE NKREDIT PERBAIKANPD AM
1.000000
-0.279272
-0.009445
-0.217232
-0.462416
-0.129371
-0.279272
1.000000
0.149071
0.559017
0.690066
-0.149071
-0.009445
0.149071
1.000000
0.083333
-0.038576
-0.083333
-0.217232
0.559017
0.083333
1.000000
0.810093
-0.345238
-0.462416
0.690066
-0.038576
0.810093
1.000000
-0.264520
-0.129371
-0.149071
-0.083333
-0.345238
-0.264520
1.000000
Dependent Variable: PDRBDGL
Method: Least Squares Date: 05/28/13 Time: 21:29 Sample (adjusted): 1 8 Included observations: 7 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C BMDGL
1901.593 0.045463
886.2109 0.007610
2.145757 5.973888
0.0847 0.0019
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.877112 0.852534 785.5947 3085795. -55.42000 35.68733 0.001883
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
6889.714 2045.750 16.40572 16.39026 16.21470 1.633077
Dependent Variable: PDRBPLW Method: Least Squares Date: 05/28/13 Time: 21:37 Sample (adjusted): 1 8 Included observations: 8 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C BMPLW
4165.300 0.073390
1344.234 0.016650
3.098641 4.407765
0.0212 0.0045
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.764043 0.724717 1725.884 17872049 -69.82874 19.42839 0.004530
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
9444.750 3289.440 17.95718 17.97704 17.82323 2.182026
Lampiran..21: Rasio Ketergantungan Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi *)
Lampiran 22: Rasio Jumlah Guru terhadap Total PNSD Kabupaten dan Kota se propinsi *)
Sumber :DJPK, tidak termasuk DKI *)
Lampiran 23: Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
Sumber data APBD 2012 tidak termasuk DKI *)