KONFIGURASI HEROIK DALAM SASTRA BUGIS: SUATU PENDEKATAN SOSIOLOGI TERHADAP ELONG OSONG Heroic Configuration in Buginese Literature: A Sosiology Approach to “Elong Osong”
Besse Darmawati
Balai Bahasa Ujung Pandang, Jalan Sultan Alauddin Km. 7 Tala Salopang, Makasar, Telepon 0411‐882401, Faksimile 0411‐882403 Pos‐el:
[email protected]
(Makalah diterima tanggal 15 Februari 2012—Disetujui tanggal 16 April 2012)
Abstrak: Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan bentukbentuk kepahlawanan dalam elong osong beserta relevansinya dengan kondisi masyarakat Bugis dewasa ini. Penulis menerapkan metode penelitian deskriptif kualitatif dan teknik penelitian inventarisasi, identifikasi, pencatatan, dan observasi. Elong osong yang dianalisis adalah osong Besse Langelo, Mata Essona BuloBulo yang bersumber dari buku Elong Ugi (Kajian Naskah Bugis) terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1990. Berdasarkan hasil analisis diperoleh temuan bahwa osong Besse Langelo, Mata Essona BuloBulo mewariskan konfigurasi heroik kepada generasi muda, yaitu berperang melawan musuh demi keutuhan negeri tercinta dan mengutamakan keberanian pribadi dalam membela tanah air. Kedua konfigurasi heroik tersebut patut kita teladani. Hal ini sangat relevan dengan kondisi masyarakat Bugis dewasa ini yang menghendaki lahirnya pemimpinpemimpin yang memiliki jiwa kepahlawanan tanpa mengedepankan kepentingan pribadi. KataKata Kunci: konfigurasi heroik, sastra, elong osong Abstract: This research aims to describe the heroic styles of elong osong and its relevance to the condition of Buginese society today. Based on the aim, the writer applies the qualitative descriptive method and research techniques of inventarization, identification, noting, and observation. The elong osong analyzed is osong Besse Langelo, Mata Essona BuloBulo, which is taken from Elong Ugi (Kajian Naskah Bugis) published by the Indonesian Education and Culture Department in 1990. From the analysis, it is found that osong Besse Langelo, Mata Essona BuloBulo, has bequeathed some heroic configuration styles to the young generation; those are (1) fighting the enemies for sake of the wholeness of the beloved country and (2) prioritizing the selfbravery in defending the motherland. The two heroic configurations are exemplary. They are so relevant to the condition of Buginese society today who wish for the emergence of leaders who have heroic spirit and do not prioritize their own interests. Key Words: heroic configuration, literature, elong osong
PENDAHULUAN Masyarakat Bugis cukup banyak jumlah‐ nya dan menempati ruang yang sangat luas. Mereka tidak hanya tinggal di tanah Bugis, melainkan telah berpencar ke se‐ luruh wilayah Nusantara. Boleh dikata bahwa masyarakat Bugis telah menelu‐ suri wilayah Indonesia secara menyelu‐ ruh, dari Sabang sampai Merauke. Dalam
perkembangan masyarakat Bugis dewa‐ sa ini, masyarakat Bugis berkembang pe‐ sat dari zaman ke zaman. Akan tetapi, mereka kurang memperhatikan aspek‐ aspek budaya Bugis yang sangat tinggi nilainya sebagai sebuah identitas yang hakiki. Dengan demikian, eksistensi bu‐ daya Bugis sebagai warisan leluhur ter‐ ancam punah tanpa bekas. 85
Salah satu warisan budaya Bugis yang terancam punah adalah elong, salah satu bentuk karya sastra yang menye‐ rupai puisi (Sikki, 1994). Elong sudah di‐ kenal sejak beberapa tahun yang silam, namun eksistensinya sebagai karya sas‐ tra yang bernilai tinggi belum disadari sepenuhnya oleh sebagian besar masya‐ rakat Bugis. Hal ini disebabkan kurang‐ nya minat masyarakat Bugis untuk mengkaji dan meneliti elong sebagai kaji‐ an sastra yang memuat aspek‐aspek bu‐ daya Bugis secara universal. Bahkan, se‐ bagian masyarakat Bugis menganggap bahwa elong itu hanyalah nyanyian biasa saja. Padahal, elong adalah salah satu bentuk kesusastraan Bugis yang menem‐ pati posisi yang sama dengan ungkapan atau pepatah yang harus dijaga keaslian‐ nya. Elong Bugis kemudian disebut elong ugi, salah satu bentuk karya sastra milik masyarakat Bugis yang harus dibina dan dikembangkan melalui pengkajian atau penelitian secara berkesinambungan agar terhindar dari kepunahan. Apabila elong ugi ingin dikaji lebih mendalam, tentu saja memerlukan per‐ hatian yang sangat serius karena elong ugi ini banyak dan beraneka ragam. Se‐ mentara itu, hasil analisis yang optimal memerlukan ruang dan waktu yang lu‐ ang. Oleh sebab itu, penulis membatasi pembahasan dalam penelitian ini de‐ ngan memilih elong osong. Elong osong merupakan salah satu bentuk elong ugi yang menganut aliran patriotisme dan heroisme. Adanya spesifikasi analisis terhadap elong osong ini semakin me‐ nguatkan pandangan penulis untuk me‐ nemukan hakikat sebuah elong, teruta‐ ma elong osong. Universalitas pemahaman terhadap elong osong tidaklah semudah memba‐ likkan telapak tangan. Memahami elong osong secara struktural semata tidak cu‐ kup untuk memahaminya secara menda‐ lam. Sebaliknya, menerapkan elong osong dalam interaksi sosial
kemasyarakatan secara sosiologi tidak cukup pula. Dalam proses interaksi sosi‐ al kemasyarakatan, terdapat beberapa aktivitas sosial yang dilakukan oleh ke‐ lompok masyarakat yang membawa konsekuensi lahirnya perpaduan pan‐ dangan dalam masyarakat. Hal ini seja‐ lan dengan kondisi masyarakat Bugis de‐ wasa ini sehingga peneliti memandang perlu untuk melakukan kajian ekstra de‐ ngan memadukan beberapa pendekatan. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, pemahaman elong osong secara lu‐ as menitikberatkan kajian secara objek‐ tif yang tidak lepas dari kegiatan analisis serta pemahaman sosiologi dalam pro‐ ses interaksi sosial. Dalam hal ini, kajian sosiologi lebih mengarahkan penulis un‐ tuk menjelaskan fenomena sosial dalam elong osong melalui konteksnya. Dengan demikian, posisi elong osong semakin meningkat dan menyimpan makna yang sangat menarik untuk ditelaah. Salah sa‐ tu objek kajian yang penulis paparkan dalam tulisan ini adalah elong osong me‐ lalui konfigurasi heroiknya. Berkenaan dengan latar belakang tersebut, penulis beranggapan bahwa keberadaan elong ugi sangatlah penting sebagai sebuah identitas masyarakat Bu‐ gis. Adapun masalah yang menjadi prio‐ ritas analisis dalam penelitian ini adalah bagaimanakah bentuk kepahlawanan yang terdapat dalam elong osong dan ba‐ gaimanakah relevansi antara bentuk ke‐ pahlawanan yang terdapat dalam elong osong dengan kondisi sosial masyarakat Bugis? Tujuan penelitian ini adalah men‐ deskripsikan bentuk kepahlawanan yang terdapat dalam elong osong dan mendeskripsikan relevansi antara ben‐ tuk kepahlawanan yang terdapat dalam elong osong dengan kondisi sosial ma‐ syarakat Bugis. TEORI Konsep Elong dan Elong Osong
86
Elong, jika ditinjau dari sudut pandang sastra, merupakan karya sastra sejenis puisi yang mempunyai persamaan pan‐ tun dan syair sehingga sifat‐sifat elong Bugis ini hampir sama dengan puisi. Elong merupakan medium yang paling efektif untuk menyatakan pikiran dan perasaan. Dengan demikian, elong dapat dipahami sebagai puisi agar pikiran kita lebih terarah pada aspek sastranya dan tidak melenceng pada elong sebagai nya‐ nyian. (Sikki, 1994) Elong ugi adalah suatu karya sastra orang Bugis yang sudah memasyarakat di tengah‐tengah masyarakat Bugis dari zaman dahulu (Salim, et al, 1990). Elong dapat tampil dalam berbagai segi kehi‐ dupan. Melalui elong, anak muda kita da‐ pat saling mengajuk perasaan; orang tua dapat menasihati anak‐anaknya; ulama dapat memberikan tuntunan agama ke‐ pada para pengikutnya; panglima perang dapat memberikan semangat kepada prajuritnya; dan sebagainya. Isi elong berhubungan erat dengan suasana hati, pikiran, dan perasaan orang yang melahirkannya. Ruang ling‐ kup elong sangat penting untuk meman‐ faatkan elong sebagai alat curahan hati, rasa, dan pikiran yang efektif. Elong sa‐ ngat bermanfaat untuk diketahui oleh penutur Bugis karena di dalam elong ter‐ simpan sejuta makna yang tidak dapat kita temui pada karya sastra lain. Adapun pemahaman kita terhadap Elong Osong yang sejalan dengan pema‐ paran Salim, et al (1990) adalah elong sumpah setia prajurit kepada rajanya atau merupakan pembakar semangat bagi prajurit yang akan berangkat ke medan laga. Elong osong diungkapkan oleh para prajurit untuk membangkitkan semangat mereka dalam menghadapi peperangan. Elong osong biasa juga di‐ nyanyikan untuk membangkitkan semangat pada waktu menghadapi suatu pekerjaan berat yang dilaksanakan seca‐ ra bersama‐sama.
Konsep Sosiologi Sastra Damono (2002) mengemukakan bahwa sosiologi merupakan disiplin ilmu yang menelaah sesuatu secara objektif dan il‐ miah dalam suatu masyarakat. Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana ma‐ syarakat dimungkinkan, bagaimana ma‐ syarakat berlangsung, dan bagaimana masyarakat tetap ada. Sosiologi merupa‐ kan kajian objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam masyarakat dan pro‐ ses sosial yang ada di dalam masyarakat tersebut. Sementara itu, sastra juga ber‐ urusan dengan manusia dalam masyara‐ kat, yakni usaha manusia menyesuaikan diri dan untuk mengubah masyarakat itu. Dengan demikian, sosiologi dan sas‐ tra berada pada bidang yang sama, yaitu masyarakat dan perkembangannya. So‐ siologi dan sastra dipandang sebagai bi‐ dang ilmu yang membahas tentang ma‐ nusia dan perkembangannya dalam inte‐ raksi sosial di dalam kehidupan berma‐ syarakat. Dalam mengungkapkan nilai dan konfigurasi heroik sebuah karya sastra, dibutuhkan sebuah pendekatan terha‐ dap sastra yang mempertimbangkan se‐ gi‐segi kemasyarakatan yang disebut so‐ siologi sastra. Pendekatan sosiologis ter‐ hadap sastra melibatkan dua hal utama. Pertama, pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial‐ekonomis. Pende‐ katan ini bergerak dari faktor‐faktor di luar sastra untuk membicarakan sastra; sastra dipandang berharga jika dihu‐ bungkan dengan faktor‐faktor di luar sastra itu sendiri. Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Pendekatan ini meru‐ pakan analisis teks untuk mengetahui strukturnya, kemudian dipergunakan untuk memahami lebih dalam mengenai gejala sosial di luar sastra itu. Hakim (2002) menjelaskan bahwa pendekatan sosiologis terhadap sastra
87
menitikberatkan pandangannya pada faktor‐faktor luar di dalam membicara‐ kan sastra. Faktor‐faktor di luar karya sastra itu dapat berupa sosial budaya, tingkah laku, dan adat‐istiadat yang mendorong penciptaan sebuah karya sastra. Hal ini dimungkinkan karena sas‐ tra merupakan media pengarang untuk merespon berbagai kondisi sosial yang ada dan berkembang di lingkungannya. Berdasarkan pada pandangan so‐ siologi sastra yang dijelaskan tersebut, penulis memandang perlu untuk mela‐ kukan analisis terhadap elong mulai dari struktur elong osong lalu menghubung‐ kannya dengan masyarakat sesuai de‐ ngan kondisi sosial dan perkembangan dalam masyarakat Bugis. Ada beberapa hal yang harus diingat dalam analisis sastra melalui pendekatan sosiologi sas‐ tra menurut Grebstein dalam Pateda (1987), antara lain. a. Karya sastra tidak dapat dipahami se‐ cara selengkap‐lengkapnya apabila di‐ pisahkan dari lingkungan, kebudaya‐ an, atau peradaban yang telah meng‐ hasilkannya. Karya sastra harus dipe‐ lajari dalam konteks seluas‐luasnya dan tidak berdiri sendiri. Setiap karya sastra merupakan hasil dari pengaruh timbal‐balik yang rumit dari faktor‐ faktor sosial dan kultural, dan karya sastra itu sendiri adalah objek kultural yang rumit. b. Gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik penulisannya. Tak ada karya sastra yang bernilai besar diciptakan berdasarkan gagasan yang sepele dan dangkal. Dengan demikian, sastra di‐ pandang sebagai kegiatan yang sung‐ guh‐sungguh. c. Setiap karya sastra yang bisa bertahan lama pada hakikatnya adalah suatu moral, baik dalam hubungannya de‐ ngan kebudayaan sumbernya maupun dalam hubungannya dengan individu. Karya sastra merupakan moral dalam
kehidupan dan menampilkan tanggap‐ an evaluatif. Dengan demikian, sastra adalah eksperimen moral. d. Masyarakat dapat mendalami karya sastra dari dua arah, yakni karya sas‐ tra sebagai suatu kekuatan istimewa dan sebagai tradisi. Dengan demikian, bentuk dan isi karya sastra dapat men‐ cerminkan perkembangan sosiologis atau menunjukkan perubahan yang halus dalam watak kultural. e. Kritik sastra seharusnya lebih dari pe‐ renungan estetis. Kritikus harus meli‐ batkan diri dalam suatu tujuan terten‐ tu. Kritik sastra merupakan kegiatan penting yang harus memengaruhi penciptaan sastra dengan mencipta‐ kan iklim tertentu yang bermanfaat bagi penciptaan sebuah karya. f. Kritikus bertanggung jawab baik kepa‐ da sastra masa silam maupun sastra masa mendatang. Konsep Heroik dalam Sastra Diserapnya kata hero ‘hero’ ke dalam ba‐ hasa Indonesia membuat kata tersebut menjadi lebih populer dibandingkan de‐ ngan kata pahlawan atau sifat kepahla‐ wanan. Lalu, apa yang kita pikirkan ten‐ tang pahlawan? Dalam pikiran segelintir orang, pahlawan adalah orang yang ber‐ jasa. Akan tetapi, bagaimana kita meng‐ klarifikasi bahwa seseorang itu berjasa atau tidak. Hal ini sejalan dengan pen‐ dapat seorang peneliti yang menyatakan bahwa pengertian pahlawan itu berbeda pada setiap periode kehidupan. Ketika kita masih belum sekolah, pahlawan mungkin tertuju kepada orang tua yang sangat berjasa. Ketika memasuki dunia sekolah, pengertian pahlawan bergeser ke guru‐guru di sekolah atau kita memi‐ kirkan bahwa pahlawan itu adalah sese‐ orang yang berjuang melawan penjajah Belanda atau Jepang. Ketika kita mema‐ suki masa SMA pengertian pahlawan bergeser lagi kepada seseorang yang memberikan kontribusi dalam
88
pengertian besar (Julian dalam Darmawati, 2010) Dalam kamus disebutkan bahwa pahlawan adalah pejuang yang gagah be‐ rani, orang yang menonjol karena kebe‐ ranian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Jelasnya terdapat tiga unsur yang membentuk suatu mak‐ na heroik yaitu berani, korban, benar (Koran Kompor, 2012) Dalam Kamus Besar Bahasa Indone‐ sia (KBBI) edisi IV tahun 2008, disebut‐ kan bahwa pahlawan atau hero adalah orang yang dihormati karena keberanian (pribadi yang mulia, dan sebagainya). Pahlawan adalah orang yang dikagumi karena kecakapan, prestasi, atau karena idola. Sementara dalam pandangan sas‐ tra, pahlawan atau hero adalah tokoh utama dalam novel, puisi, dan sebagai‐ nya yang mampu menimbulkan rasa simpati pembaca. Berkenaan dengan pemahaman tersebut, konfigurasi heroik merupakan gambaran sikap dan tindak kepahlawan‐ an yang dimiliki seseorang dalam ber‐ juang dan memimpin. Dalam kaitannya dengan pemahaman tentang pahlawan dalam sebuah karya sastra, konfigurasi heroik tokoh‐tokoh cerita dipandang penting sebagai suri teladan dalam membela kebenaran dan keadilan. METODE Berdasarkan tujuan dan hasil penelitian yang diharapkan, penelitian ini menggu‐ nakan metode penelitian deskriptif kua‐ litatif melalui kajian sosiologi sastra. Kirk dan Miller dalam Maleong (2000) menjelaskan bahwa penelitian deskriptif kualitatif merupakan tradisi tertentu da‐ lam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan terhadap manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang‐orang tersebut dalam ba‐ hasa dan peristilahannya.
Untuk memperoleh data yang aku‐ rat berdasarkan tujuan yang hendak dicapai, penulis melakukan inventarisasi, yaitu mengumpulkan beberapa jenis elong ugi; identifikasi, yaitu memilih elong ugi yang tergolong dalam kategori elong osong untuk dianalisis; pencatatan, yaitu mencatat unsur‐unsur heroik yang terdapat dalam elong osong sebagai ba‐ han untuk melakukan analisis berdasar‐ kan masalah yang dikemukakan; dan ob‐ servasi, yaitu melakukan pengamatan langsung terhadap kondisi sosial masya‐ rakat Bugis yang berkenaan dengan un‐ sur‐unsur kepahlawanan dalam elong osong. Dalam penelitian ini, elong osong merupakan data inti yang dianalisis oleh penulis. Elong osong yang dianalisis ada‐ lah Osong Besse Langelo, Mata Essona BuloBulo, sebuah elong ugi yang ber‐ sumber dari buku Elong Ugi (Kajian Nas kah Bugis) oleh tim peneliti yang terdiri atas Muh. Salim, A. Gani, Andi Mansur Hamid, Makmum Badaruddin, dan Sukirman AR. Buku ini telah diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sulawesi Selatan pada tahun 1990. Data inti tersebut didukung oleh da‐ ta sekunder berupa buku‐buku bahasa dan sastra yang relevan dengan masalah yang dibahas. Ditambah lagi dengan ha‐ sil‐hasil penelitian terdahulu yang mem‐ bahas tentang elong ugi. Di samping itu, sumber lain yang dapat melengkapi data adalah hasil observasi di lapangan. HASIL DAN PEMBAHASAN Elong osong merupakan salah satu ben‐ tuk karya sastra dari tanah Bugis. Pada bagian pembahasan ini, penulis memfo‐ kuskan kajian pada bentuk heroik atau kepahlawanan yang terdapat dalam elong osong sebagai salah satu bentuk elong ugi yang menganut aliran patriotis‐ me dan heroisme. Penulis menekankan
89
pemaparan pada bentuk kepahlawanan yang terdapat dalam elong osong sejalan dengan masalah yang telah dikemuka‐ kan melalui pandangan sosiologi sastra disertai dengan relevansi antara bentuk kepahlawanan yang terdapat dalam elong osong dengan kondisi sosial masyarakat Bugis dewasa ini. Berikut adalah analisis elong “Osong Besse Langelo, Mata Essona BuloBulo” berda‐ sarkan kedua hal tersebut. Bentuk Kepahlawanan yang Terdapat dalam Osong Besse Langelo, Mata Es sona BuloBulo Osong Besse Langelo, Mata Essona Bulo Bulo merupakan osong perjuangan yang diungkapkan untuk membangkitkan se‐ mangat para pemimpin kerajaan dan pa‐ ra pemberani pada saat itu. Osong ini melahirkan beberapa bentuk kepahla‐ wanan yang patut kita teladani, antara lain sebagai berikut. a) Berani melawan musuh demi ke‐ utuhan negeri tercinta Berperang melawan musuh demi ke‐ utuhan negeri Tellu Limpo e adalah cita‐ cita mulia sang penutur dengan kebera‐ nian yang dimilikinya. Penutur memiliki semangat yang tinggi untuk melawan dan menaklukkan pasukan perang Be‐ landa yang hendak menjajah di negeri Tellu Limpo e. Mengingat keberadaan kapal perang Belanda semakin mende‐ kat, maka penutur berkeyakinan bahwa musuh harus dilawan. Tanpa perlawan‐ an, pihak musuh lebih mudah menguasai negeri Tellu Limpo e. Dengan demikian, musuh tidak boleh diberikan jalan sedi‐ kit pun untuk masuk berkuasa di negeri tersebut. Sebagai seorang pejuang, penutur harus melawan pasukan perang Belanda agar tidak mudah masuk berkuasa di ne‐ geri Tellu Limpo e. Hal ini dapat dilihat pada kutipan osong sebagai berikut.
Gilissako alauk, mitai caronakkonang kappalak pitubbatu e, kappalak passiunona Balanda pute mata e. Rekkuwasia labela tettinulukko mewai mappasiduppang palek lima temmareso Balanda pute mata e, ‘Tengoklah ke arah timur Lihatlah terapung‐apung Kapal yang berjumlah tujuh buah Kapal perang Belanda si putih mata Jika engkau tidak rajin bertemu tangan (melawan) dengan mereka maka Belanda si putih mata tidak bersusah payah’
Dengan keberanian yang dimiliki, penutur bertekad melakukan perlawan‐ an terhadap pasukan perang Belanda agar keutuhan negeri Tellu Limpo e te‐ tap terjaga. Hal ini menunjukkan sikap kepahlawanan penutur yang sangat menjunjung tinggi keutuhan negeri ter‐ cinta. b) Mengutamakan Keberanian Pribadi dalam Membela Tanah Air Penutur melakukan perlawanan terha‐ dap musuh dengan mengandalkan keku‐ atan dan keberanian pribadinya. Ia tidak sepenuhnya mengandalkan bantuan dari pihak lain untuk melawan musuh, tetapi mengandalkan keberanian diri sendiri untuk melakukan peperangan manakala pihak musuh hendak memasuki negeri Tellu Limpo e. Dengan keberanian yang diandalkannya, penutur menyerukan agar orang lain hanya sebagai penonton saja, sementara ia sendiri berperang melawan musuh. Hal ini dapat kita lihat pada kutipan osong sebagai berikut. Pada soroko labela ri langkanamu mutudang siwiduwidu awiseng rilebbiremmu
90
muwassuro timpak i panimpakmu mukuwa ttellong Nawatakku masaliweng pasang lingkajo pammusu mupomagga sulangali makkunrai samanna ilek buaja botogagareng, mabbitte manuk to Saddek. ‘mundurlah kalian semua pulanglah ke istanamu engkau duduk bercengkrama dengan istri kesayanganmu engkau suruh membuka jendelamu kemudian di situlah menjenguk dan aku sendiri keluar memakai pakaian perang engkau perhatikan perempuan menyerang bak buaya menganga bertarung bagaikan ayam to Saddek.’
Selain memberi semangat kepada diri sendiri, ia juga ingin membuktikan keberanian dan kekuatannya dalam membela tanah air. Sikap seperti ini se‐ cara jelas membuktikan bahwa penutur adalah seorang pejuang perempuan yang tidak tinggal diam jika ada pihak lain yang ingin berkuasa di negeri Tellu Limpo e. Relevansi antara Bentuk Kepahlawan yang Terdapat dalam Osong Besse Langelo, Mata Essona BuloBulo dengan Kondisi Sosial Masyarakat Bugis Dalam pandangan sosiologi, osong Besse Langelo, Mata Essona BuloBulo merupa‐ kan elong pemberi semangat agar dapat memotivasi masyarakat Bulo‐Bulo, Sinjai dan Tellu Limpo e. Pada saat itu, keha‐ diran seorang pemberani yang bernama Besse Langelo, sangat mencintai keutuh‐ an negeri, bertekad ingin bertarung da‐ lam peperangan. Hal ini menunjukkan si‐ kap pribadi bahwa Besse Langelo adalah seorang pejuang perempuan yang tak gentar melawan musuh atau penjajah.
Menurut hemat penutur dalam wu‐ jud emansipasi perempuan dinyatakan bahwa tidak selamanya laki‐laki yang berperang, sementara perempuan hanya berada di dapur dan mengurus rumah tangga. Perempuan juga memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan laki‐ laki dalam mempertahankan tanah air. Kehadiran Besse Langelo membangkit‐ kan semangat kaum perempuan untuk terus maju dan berjuang. Keberaniannya dalam berperang telah mengangkat de‐ rajat kaum perempuan dalam berjuang mempertahanakan negeri Tellu Limpo e. Dengan demikian, ia diberi gelar Mata Essona BuloBulo ‘matahari negeri Bulo‐ Bulo’, artinya bahwa Besse Langelo telah menjadi sumber cahaya di negeri Bulo‐ Bulo, khususnya bagi kaum perempuan. Sikap pemberani yang dimilikinya telah menjadi suri teladan bagi masyarakat Bulo‐bulo. Keberanian Besse Langelo menunjukkan kedewasaannya dalam berpikir dan bertindak. Tekad yang bulat dan semangat yang tinggi untuk mem‐ pertahankan negerinya telah membakar jiwanya untuk terus berjuang meskipun nyawa taruhannya. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, jelas bagi kita bahwa Besse Langelo adalah seorang pejuang ulung yang tidak kenal lelah demi keutuhan negerinya. Keberaniannya dalam membela tanah air sangat tinggi. Selain itu, ia juga me‐ rupakan pemimpin yang dapat ditela‐ dani karena berperang dengan menge‐ depankan kemampuan dan keberanian‐ nya. Ia hanya menyerukan kepada para kerabatnya untuk menjadi penonton, se‐ mentara ia sendiri yang berperang me‐ lawan musuh. Keberaniannya sebagai pejuang perempuan telah menjadikannya sebagai panutan masya‐ rakat sekitar. Hal ini sejalan dengan kon‐ disi masyarakat Bugis yang mengede‐ pankan keberanian dalam membela ta‐ nah air. Keberanian seorang pejuang pe‐ rempuan seperti ini dapat dipakai
91
sebagai pedoman hidup dalam berjuang dan memimpin serta dalam memper‐ tahankan tanah air. SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis terhadap elong osong yang mengetengahkan ber‐ bagai bentuk konfigurasi heroik yang pa‐ tut kita teladani, penulis menyimpulkan bahwa elong osong merupakan salah sa‐ tu bentuk kesusastraan dari tanah Bugis yang menganut aliran patriotisme dan heroisme. Untuk memperoleh nilai hero‐ ik dari osong tersebut, penulis memapar‐ kannya melalui bentuk‐bentuk konfigu‐ rasi heroik yang terdapat dalam elong osong, kemudian menemukan relevansi antara bentuk konfigurasi heroik terse‐ but dengan kondisi sosial masyarakat Bugis. Adapun bentuk konfigurasi heroik yang terkandung dalam osong Besse Langelo, Mata Essona BuloBulo adalah: (1) berperang melawan musuh demi keutuhan negeri tercinta, dan (2) meng‐ utamakan keberanian pribadi dalam membela tanah air. Bentuk‐bentuk kon‐ figurasi heroik tersebut patut diteladani. Hal ini sangat relevan dengan kondisi masyarakat Bugis dewasa ini yang menghendaki lahirnya pemimpin‐pe‐ mimpin yang memiliki jiwa kepahlawan‐ an tanpa mengedepankan kepentingan pribadi. Konfiguasi heroik dalam elong osong, terfokus pada elong osong yang terungkap dalam penelitian ini masih sangat terbatas. Oleh sebab itu, untuk memperoleh nilai kepahlawanan yang lebih sempurna dalam rangka meman‐ dang elong osong sebagai karya sastra Bugis bernilai tinggi dan patut kita tela‐ dani dalam kehidupan bermasyarakat, masih perlu dilakukan penelitian lanjut‐ an. Meskipun elong osong ini menganut aliran patriotisme dan heroisme, tetapi tidak menutup kemungkinan ditemu‐ kannya nilai‐nilai lain yang bermanfaat bagi masyarakat Bugis dan sekitarnya.
Dengan demikian, hal yang sama dapat dilakukan agar tampak bahwa elong osong merupakan mahakarya yang patut dikaji bersama dan dilestarikan agar ter‐ hindar dari kepunahan. DAFTAR PUSTAKA Damono, Sapardi Djoko. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembang‐ an Bahasa. Darmawati, Besse. 2007. Nilai Patriotik dalam Cerita I Randeng. Makassar: Balai Bahasa Ujung Pandang. ‐‐‐‐‐‐‐‐.2008. Heroik dalam Elong Osong: Suatu Kajian Sosiolinguistik. Makas‐ sar: Balai Bahasa Ujung Pandang. Hakim, Zainuddin. 2002. Bunga Rampai: Nilai Kepahlawanan dalam Sinrilik Makassar. Makassar: Balai Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Maleong, Lexy J. 2000. Metodologi Pene litian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Pateda, Mansoer.1987. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa. Salim, Muhammad, et al. 1990. Transli terasi dan Terjemahan Elong Ugi (Kajian Naskah Bugis). Ujung Pan‐ dang: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sulawesi Selatan, Depdiknas. Sikki, Muhammad. 1994. Eksistensi Elong sebagai Cipta Sastra. Ujung Pandang: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdiknas. Sugono, Dendy. 2008. Kamus Besar Ba hasa Indonesia (KBBI) Edisi IV. http://pusatbahasa.diknas.go.id/kb bi/ Internet. Arti sebuah Kata Heroik. Koran Kompor. http://www.erepublik.com/es/arti cle/‐arti‐sebuah‐kata‐heroik‐ 814915/1/20. diunduh tanggal 15 Maret 2012
92
Lampiran
Osong Besse Langelo, Mata Essona BuloBulo Engkanamenno timummung sining pattuppu batunna tana e tellu limpoe sininna pabbaraninna lipu e ri Sinjai mupada takkappo tona anaure malebbiku, sappo siseng malebbiku. Gilissako alauk, mitai caronakkonang kappalak pitubbatu e, kappalak passiunona Balanda pute mata e. Rekkuwasia labela tettinulukko mewai mappasiduppang palek lima temmareso Balanda pute mata e, Pada soroko labela ri langkanamu mutudang siwiduwidu awiseng rilebbiremmu muwassuro timpak i panimpakmu mukuwa ttellong Nawatakku masaliweng pasang lingkajo pammusu mupomagga sulangali makkunrai samanna ilek buaja botogagareng, mabbitte manuk to Saddek.
Terjemahan: Engkau sekalian telah berkumpul semua aparat tanah tiga negeri semua pemberani negeri Sinjai demikian juga telah datang para kemanakanku, sepupu sekaliku. Tengoklah ke arah timur lihatlah terapung‐apung kapal yang berjumlah tujuh buah kapal perang Belanda si putih mata Jika engkau tidak rajin bertemu tangan (melawan) dengan mereka maka Belanda si putih mata tidak bersusah payah Mundurlah kalian semua pulanglah ke istanamu engkau duduk bercengkrama dengan istri kesayanganmu engkau suruh membuka jendelamu kemudian di situlah menjenguk Dan aku sendiri keluar memakai pakaian perang engkau perhatikan perempuan menyerang bak buaya menganga bertarung bagaikan ayam to Saddek.
93
94