Eksepsi Andi Mallarangeng Nota Keberatan terhadap Dakwaan Jaksa Penuntut Umum KPK dalam Kasus Hambalang Pengadilan Tipikor, Kuningan, Jakarta 17 Maret 2014
Yang saya muliakan Ketua dan Anggota Majelis Hakim Yang saya hormati Bapak dan Ibu Jaksa Penuntut Umum Yang saya hormati Bapak dan Ibu Tim Advokat Hadirin sidang yang saya muliakan Assalamualaikum Wr. Wb. Salam sejahtera bagi kita semua Pertama-‐tama, saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-‐besarnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk menyampaikan eksepsi atau nota keberatan atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Saya juga ingin menghaturkan terima kasih kepada Jaksa Penuntut Umum serta kepada semua jajaran KPK. Dalam soal materi dakwaan, saya menyampaikan nota keberatan atau eksepsi, namun semua ini tidak mengurangi apresiasi saya terhadap peran KPK dalam pemberantasan korupsi di negeri kita. Dengan prestasinya yang membesarkan hati, KPK telah meniupkan harapan bahwa cita-‐cita mulia penegakan pemerintahan yang bersih bukanlah mimpi belaka. Kalau memang KPK telah melakukan kesalahan, ketidaktelitian, atau spekulasi yang tak semestinya, sebagaimana yang dapat dilihat dalam dakwaan Jaksa KPK terhadap saya, semua itu saya pahami sebagai sebuah proses pembelajaran bagi institusi KPK untuk tumbuh dan berkembang lebih baik lagi di masa-‐masa mendatang. Tidak ada orang maupun lembaga yang sempurna. Tidak ada pihak yang tidak pernah melakukan kekeliruan. KPK demikian pula. Adalah harapan kita bersama agar lembaga anti-‐ rasuah ini bergerak lebih efektif lagi, bahkan lebih agresif, namun tanpa menghilangkan keharusan untuk menjunjung tinggi kaidah hukum dan prinsip keadilan.
1
Secara pribadi, kepada Yang Mulia Majelis Hakim, saya kini menyerahkan diri saya. Sama dengan jaksa dan jajaran KPK lainnya, saya juga ingin mencari kebenaran dan keadilan. Saat pencekalan terhadap diri saya diumumkan pada awal Desember 2012, keesokan harinya saya langsung menulis surat resmi kepada Bapak Presiden Republik Indonesia agar diizinkan mengundurkan diri dari jabatan Menpora. Pengunduran diri ini juga saya lakukan dari jabatan politik sebagai Sekertaris Dewan Pembina Partai Demokrat. Dengan lapang dada, serta dengan sikap yang sepenuhnya kooperatif, saya menerima berjalannya proses hukum, termasuk penahanan terhadap diri saya sejak awal Oktober 2013. Demikian pula, saya menjalani semua konsekuensi yang mengiringi proses hukum ini, termasuk penelusuran dan pembekuan aset serta pemblokiran rekening saya, istri, dan kedua anak saya yang tidak ada kaitannya dengan perkara Hambalang. Semua itu tentu tidak mudah, terutama terhadap istri dan anak-‐anak saya. Tetapi saya dan keluarga rela menjalaninya, sebab kami sepenuhnya percaya bahwa pada akhirnya kebenaran bisa terungkap lewat proses peradilan yang adil dan terbuka. Majelis Hakim yang saya muliakan Hadirin yang saya hormati Sebelum menjelaskan eksepsi saya terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum, saya memohon izin kepada Yang Mulia Majelis Hakim agar diperkenankan mengatakan satu hal tentang Proyek Hambalang, agar konteks perkara yang tengah disidangkan sekarang menjadi lebih jelas. Sebagai sebuah kebijakan, Proyek Hambalang sangat dibutuhkan. Indonesia adalah sebuah bangsa besar yang, dalam dunia olahraga, seringkali kalah bersaing bahkan dengan negara-‐negara sahabat yang potensinya jauh berada di bawah potensi kita. Agar kekurangan ini teratasi, Indonesia butuh fasilitas bertaraf internasional bagi remaja dan kaum muda kita untuk belajar dan berlatih. Inilah alasan utama mengapa saya mendukung sepenuhnya Proyek Hambalang. Ia adalah sebuah kebijakan yang memang baik dan perlu. Sayangnya, setelah berjalan kurang lebih setahun, karena merebaknya berbagai penyimpangan dalam pelaksanaannya, pembangunan di Hambalang terhenti, sampai hari ini. Adalah kewenangan Yang Mulia Mejelis Hakim untuk menentukan pihak-‐pihak yang terbukti bersalah atau terkait secara pidana dalam penyimpangan tersebut. Namun demikian, di luar masalah hukum, pada kesempatan ini, dari hati yang terdalam, saya ingin meminta maaf kepada semua pihak, khususnya kepada rakyat Indonesia, sebab 2
bagaimanapun waktu itu saya adalah pimpinan tertinggi dari kementerian yang bertanggung jawab terhadap proyek tersebut. Saya telah berusaha berbuat sebaik-‐baiknya, namun ternyata hasil akhirnya jauh berbeda dari harapan saya. Tentu saja, sejauh apapun penyesalan yang ada pada saya sekarang, saya tidak dapat memutar kembali jarum jam. Saya hanya dapat berharap, semoga kekurangan saya sebagai manusia, sekaligus sebagai pimpinan sebuah lembaga pemerintah, dapat menjadi pelajaran yang berharga bagi kita semua dalam memberi kontribusi bagi pembangunan yang lebih baik lagi di negeri yang kita cintai ini. Selain itu, saya juga berharap, setelah semua proses peradilan selesai dan setelah pihak-‐ pihak yang terbukti bersalah menerima hukuman yang adil, Proyek Hambalang dapat dilanjutkan kembali, tentu dengan pengelolaan yang lebih baik dan lebih profesional, serta dengan memenuhi persyaratan teknis yang dibutuhkan. Kesalahan yang ada kita jadikan bahan pelajaran, tetapi fasillitas belajar dan berlatih bagi kaum remaja dan pemuda kita tetap perlu diwujudkan. Majelis Hakim yang saya muliakan Hadirin yang saya hormati Selanjutnya, perkenankanlah saya untuk menyampaikan materi nota keberatan atas Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Setelah membaca dengan seksama Surat Dakwaan tersebut, terus terang saya terkesima dengan begitu banyaknya kandungan asumsi dan spekulasi di dalamnya. Tampaknya Jaksa Penuntut Umum begitu memaksakan sebuah cerita bahwa saya, sebagai Menpora, telah melakukan pelanggaran hukum, atau menyalahgunakan kewenangan saya, untuk memperkaya diri sendiri, serta memperkaya orang lain dan korporasi. Spekulasi yang satu melahirkan spekulasi yang lain lagi, sehingga akhirnya membentuk rangkaian cerita yang seolah-‐olah benar. Selain itu, saya didakwa bukan karena perbuatan yang saya lakukan, tetapi karena perbuatan orang lain yang sama sekali tidak pernah saya ketahui. Saya siap bertanggung jawab terhadap semua perbuatan dan kesalahan saya. Tapi bagaimana saya bisa dimintai pertanggung-‐jawaban jika saya tidak melakukan, atau tidak pernah tahu ada perbuatan yang ternyata dikaitkan dengan saya. Itulah kira-‐kira kesimpulan yang muncul di benak saya setelah membaca Surat Dakwaan Jaksa. Saya akan menguraikan satu demi satu mengapa saya sampai pada kesimpulan seperti ini. 3
Adapun mengenai sistematikanya, Surat Dakwaan tersebut terbagi ke dalam dua tahap yang berhubungan, yang satu mendahului yang lain. Pada tahap pertama, yaitu tahap perencanaan Proyek Hambalang, saya dianggap terlibat dalam berbagai pertemuan yang merupakan asal-‐usul terjadinya tahap berikutnya, yaitu tahap penyimpangan dalam pelaksanaan proyek. Dengan dua tahap yang berurutan ini, Jaksa Penuntut Umum ingin membuat sebuah cerita yang seolah-‐olah koheren dari ujung ke ujung, bahwa sejak awal saya sudah terindikasi merekayasa terjadinya penyimpangan, dan pada akhirnya memang memetik keuntungan pribadi darinya. Kondisi dan pra-‐kondisi, eksekusi dan perencanaan: dalam semua tahap inilah Jaksa Penuntut Umum merangkai spekulasi terhadap saya. Karena itu, mengikuti sistematika dakwaan demikian, saya mohon izin kepada Yang Mulia Majelis Hakim untuk menyampaikan nota keberatan ini secara berurutan. Dalam menulisnya, saya menggunakan bahasa yang saya kenal sehari-‐hari, sementara penjelasan yuridis-‐teknisnya akan diberikan oleh para advokat yang membela saya, sehingga penjelasan kami merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. 1. TAHAP PERENCANAAN PROYEK HAMBALANG: PERTEMUAN, RAPAT, DAN PERKENALAN 1.1. Pertemuan awal, sebelum menjadi menteri, Oktober 2009 Tidak tanggung-‐tanggung, Jaksa Penuntut Umum mengawali penjelasan dalam dakwaannya dengan sebuah pertemuan di rumah pribadi saya di Cilangkap, bahkan sebelum saya dilantik menjadi menteri, sebelum saya tahu dan mendengar sedikit pun mengenai adanya Proyek Hambalang. Saya ingin menguraikan dengan agak lengkap teks dan konteks dari peristiwa ini, sebab ia menjadi contoh bagaimana Jaksa KPK memasukkan unsur spekulasi yang berlebihan dari suatu peristiwa yang sebenarnya sederhana. Dikatakan dalam uraian dakwaan ini bahwa saya menerima kunjungan pejabat kontraktor PT. Adhi Karya (yaitu Teuku Bagus dan M. Arief Taufiqurrahman) menjelang akhir Oktober 2009. Dijelaskan di sini bahwa Teuku Bagus, yang tidak pernah saya kenal sebelumnya, menyampaikan keinginan PT. Adhi Karya untuk berpartisipasi dalam proyek-‐ proyek di Kemenpora, sementara saya… 4
“…menyambut baik keinginan tersebut dan menjelaskan rencananya (maksudnya, rencana saya – AM) untuk… membangun pusat olahraga bertaraf internasional... di Hambalang.” Dari pertemuan dan percakapan seperti itulah, Jaksa KPK melihat asal-‐usul keterlibatan saya dalam rekayasa Proyek Hambalang. Terus terang, saya tidak ingat bagaimana persisnya pertemuan tersebut. Menjelang pelantikan saya menjadi menteri pada 20 Oktober 2009, rumah saya memang ramai dikunjungi oleh keluarga, sahabat, bahkan orang-‐orang yang tidak pernah saya kenal, untuk memberikan ucapan selamat. Jumlah yang datang mencapai ratusan orang, jadi pembicaraan saya pasti lebih banyak bersifat obrolan ringan, ramah tamah kepada para tamu dan simpatisan. Saya tidak tahu dari mana Jaksa Penuntut Umum memperoleh fakta ini, tetapi yang jelas, karena belum dilantik menjadi menteri, saya saat itu belum tahu bahwa ada sebuah proyek yang bernama Proyek Hambalang. Bagaimana mungkin perkataan saya ditafsirkan sebagai awal dan lampu hijau bagi PT. Adhi Karya untuk menjadi calon pemenang dalam tender proyek tersebut setahun kemudian? Kalau ditelusuri, ternyata cerita yang ada dalam awal dakwaan tersebut berasal dari M. Arief Taufiqurrahman, yang juga tidak pernah saya kenal sebelumnya. Ia hadir di rumah saya mendampingi atasannya, yaitu Teuku Bagus. Dalam kesaksian tertulisnya di KPK (BAP, 14 Desember 2012, poin h), M. Arief Taufiqurrahman menjelaskan sebagai berikut: “Setelah pertemuan tersebut, Teuku Bagus meminta saya (M. Arief Taufiqurrahman – AM) untuk memonitor… dan meminta saya agar proyek tersebut harus didapat oleh PT. Adhi Karya, karena sudah bertemu dengan orang nomor satunya. Terus terang, sewaktu membaca kesaksian resmi semacam ini, saya agak sedikit terkesima. Apakah mereka salah mengerti terhadap keramahan saya? Apakah saya terlihat terlalu permissive, terlalu gampang termakan omongan orang lain? Sengaja saya menggaris-‐ bawahi anak kalimat “karena sudah bertemu dengan orang nomor satunya” untuk menekankan bahwa setidaknya, kalau kesaksian di atas benar adanya, itulah yang ada di benak Teuku Bagus. Dengan dasar seperti itulah Jaksa KPK menyimpulkan dalam Surat Dakwaan bahwa pertemuan tersebut termasuk dalam rangkaian “perbuatan bersama” yang pada ujungnya merugikan negara. Artinya, saya harus ikut menanggung beban dari sebuah pertemuan 5
yang tidak pernah saya rencanakan, dengan orang-‐orang yang tidak saya kenal, serta dengan interpretasi mereka sendiri terhadap hasil pertemuan tersebut yang sama sekali berada di luar kontrol saya. Apakah Jaksa KPK tidak mau menimbang-‐nimbang secara adil dan masuk akal apa yang sesungguhnya terjadi dalam sebuah pertemuan sosial semacam itu? Kenapa pertemuan sesederhana itu harus dimasukkan bagian dalam Surat Dakwaan? Itulah salah satu contoh dari banyak contoh lainnya bagaimana Jaksa Penuntut Umum menyusun tahapan cerita dalam dakwaannya terhadap saya secara tidak cermat. 1.2. Pembentukan Tim Asistensi, perencanaan konsep dan perhitungan anggaran Proyek Hambalang sejumlah Rp 2,5 triliun Contoh berikutnya adalah menyangkut uraian fakta yang tidak akurat, dengan implikasi yang memojokkan saya. Sebagaimana yang dapat dibaca pada halaman 5, awal paragraf ke-‐2 dan ke-‐3 dalam dakwaan ini, Jaksa Penuntut Umum menjelaskan bahwa… “Dalam rangka menindak lanjuti perintah Terdakwa (maksudnya, perintah saya – AM) terkait dengan penyusunan design masterplan proyek …. “Selanjutnya Wafid Muharam membentuk tim persiapan pembangunan yang kemudian dikukuhkan menjadi Tim Asistensi… Dengan kalimat-‐kalimat seperti ini pada halaman awal dakwaan, Jaksa KPK ingin menanamkan kesan secara sengaja bahwa sayalah yang memulai segalanya, termasuk pembentukan Tim Asistensi yang kemudian berperan besar dalam mengelola teknis proyek tersebut, setidaknya di tahap awal. Sengaja kata “selanjutnya” seperti terlihat di atas saya garis-‐bawahi untuk memberi penekanan dari cara Jaksa KPK dalam menyusun dakwaannya. Yang satu mendahului yang lain: karena saya memerintahkan, maka bawahan saya, yaitu Wafid Muharam, kemudian membentuk tim tersebut. Saya tentu tidak ingin melepaskan tanggung jawab saya sebagai pimpinan tertinggi di Kemenpora. Tetapi fakta adalah fakta. Tim Asistensi ini, berikut rencana dan pembiayaan Proyek Hambalang, sudah ada sebelum saya menjadi Menpora, dan sampai sekarang sebenarnya saya tidak begitu mengenal siapa saja yang tergabung di dalamnya, karena 6
memang bukan porsi saya sebagai menteri, serta memang saya sebagai pribadi tidak begitu tertarik, sekaligus tidak memiliki kompetensi yang memadai untuk ikut terlibat dalam urusan teknis perencanaan dan eksekusi proyek. Seingat saya, beberapa saat setelah saya dilantik menjadi menteri, Wafid Muharam, sebagai Sesmenpora, beserta timnya menjelaskan kepada saya berbagai hal tentang Kemenpora, termasuk salah satu rencana besar yang masih tersendat, yaitu Proyek Hambalang. Seingat saya juga, baik konsep, desain, maupun rencana anggaran Proyek Hambalang ini yang sebesar Rp 2,5 triliun telah selesai, setidaknya di atas kertas. Hal ini juga sesuai dengan fakta yang dijelaskan dalam dokumen resmi Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif (Tahap 1) mengenai Proyek Hambalang, yang diterbitkan BPK RI pada 30 Oktober 2012. Di halaman 37 dalam dokumen penting ini, dijelaskan dengan terinci oleh BPK bahwa pada Agustus 2009, yaitu dua bulan sebelum pelantikan saya sebagai Menpora, Tim Asistensi bentukan Sesmenpora Wafid Muharam telah menelurkan rencana, lengkap dengan perhitungan biaya Proyek Hambalang sebesar Rp 2,5 triliun, yang terbagi dalam dua jenis pembiayaan, yaitu Rp 1,2 trilun untuk pekerjaan fisik, dan Rp 1,3 triliun untuk peralatan pendukung. Praktis jumlah dan komposisi biaya semacam ini tidak berubah sampai pada tahap eksekusi proyeknya setahun kemudian. Itulah faktanya, yang jelas berbeda dengan uraian dalam Surat Dakwaan Jaksa KPK. Saya tahu bahwa sebagai penuntut umum, Jaksa KPK dalam waktu yang relatif singkat harus membuat dakwaan yang terkait secara utuh. Tapi semua itu tentu tidak boleh mengorbankan akurasi fakta dan peristiwa sebenarnya. Kalau tidak, korbannya bukan saja nasib dan kehidupan seseorang yang kebetulan duduk dalam posisi terdakwa seperti saya -‐-‐ korbannya adalah juga konsep kebenaran dan keadilan yang kita junjung tinggi. Semboyan resmi KPK adalah “Untuk Keadilan.” Adalah harapan kita semua bahwa dalam merumuskan dakwaan bahkan terhadap seorang tertuduh, semboyan mulia ini terus dijunjung tinggi oleh jaksa dan para petinggi di KPK. Sekali lagi, dengan mengatakan semua ini, saya tidak ingin melepaskan tanggung jawab saya sebagai pimpinan di Kemenpora yang memang setuju dan mendukung kebijakan Proyek Hambalang, lengkap dengan konsep pendanaannya.
7
1.3. Pertemuan di rumah saya dan potongan kalimat: “sudahlah… di Komisi X itukan teman-‐teman saya” serta implikasinya pada dugaan pemberian uang pada seorang anggota DPR RI Kembali ke masalah asumsi dan spekulasi berlebihan yang ada dalam Surat Dakwaan terhadap saya, contoh lainnya adalah juga sebuah peristiwa dan ungkapan yang sederhana. Sama dengan sebelumnya, peristiwa dan ungkapan yang (katanya) saya ucapkan diuraikan sebagai berikut di halaman 7: Dalam pertemuan di rumah saya, Januari 2010, yang kebetulan bertepatan dengan hari libur, Wafid Muharam dan timnya memaparkan kebutuhan anggaran Proyek Hambalang sebesar Rp 2,5 triliun. Rupanya, Wafid Muharam mencium gejala hambatan persetujuan anggaran di Komisi X DPR RI. Terhadap kemungkinan ini, teks dalam Surat Dakwaan adalah sebagai berikut: “… namun Terdakwa (maksudnya, saya – AM) mengatakan, ‘sudahlah… di Komisi X itukan teman-‐teman saya’. Selanjutnya Terdakwa meminta Wafid Muharam untuk berkordinasi dengan Komisi X DPR RI sebagai mitra kerja Kemenpora…” Dengan potongan kalimat semacam itu, saya dikesankan dalam Surat Dakwaan ini sebagai seorang pimpinan yang mendorong bawahan saya untuk menggampangkan dan mengatur urusan di Komisi X DPR RI atas dasar perkawanan. Saya tentu tidak mungkin mengingat kembali satu per satu kalimat yang saya ucapkan dalam pertemuan tersebut. Yang saya ingat cukup jelas adalah suasananya dan kesan yang ada pada saya saat itu sewaktu baru beberapa bulan menjabat sebagai menteri. Saya berusaha membesarkan hati staf-‐staf saya di Kemenpora, termasuk Wafid Muharam, sebab nampaknya mereka begitu ragu dan cemas jika berbicara tentang pengurusan anggaran di DPR RI. Hal ini mungkin merupakan gejala umum yang dialami oleh kaum birokrat Indonesia dalam zaman demokrasi ini, suatu hal yang berbanding terbalik dengan zaman Orde Baru dulu ketika birokrasi berada di posisi menentukan, sementara kaum politisi di DPR hanya memberi cap stempel saja. Jadi konteks perkataan saya, kalau memang saya persisnya mengungkapkan seperti itu, lebih berkaitan dengan upaya untuk menambah rasa percaya diri dari staf di Kemenpora dalam memperjuangkan penambahan anggaran di DPR RI, sesuatu yang memang sudah semestinya dilakukan oleh setiap departemen pemerintah. Saya ingin membesarkan hati, bukannya ingin mendorong persekongkolan yang tidak benar antara kaum birokrat dan kaum politisi. 8
Itulah konteksnya. Jaksa KPK rupanya tidak peduli dengan konteks semacam itu, dan potongan kalimat saya dilihat dengan makna yang sama sekali berbeda serta, sama dengan sebelumnya, digunakan untuk memojokkan saya. Bahaya yang ada pada cara semacam ini adalah karena dia memberi justifikasi pada ketidakbenaran lainnya. Seperti yang telah saya singgung di atas tadi, spekulasi yang satu cenderung melahirkan spekulasi lainnya lagi. Saya sebenarnya akan menjelaskan soal dugaan aliran uang selengkapnya di bagian lain dalam nota keberatan ini. Namun satu contoh instruktif yang langsung berhubungan dengan logika di balik rangkaian spekulasi tersebut jelas-‐jelas terlihat pada dua halaman berikutnya dalam Surat Dakwaan, yaitu pada halaman 9, paragraf ke-‐3. Dikatakan di sini bahwa setelah Pokja Anggaran Komisi X menyetujui penambahan anggaran bagi Proyek Hambalang, maka… “…Wafid Muharam atas persetujuan Terdakwa (maksudnya, saya – AM), memberi imbalan uang kepada Mahyuddin sebesar Rp 600 juta yang dimintakan dari PT. Adhi Karya.” Apa, kapan, dan di mana persisnya terjadinya persetujuan saya terhadap Wafid Muharam? Tidak pernah sekalipun Wafid Muharam meminta persetujuan saya, baik tertulis atau penyampaian secara verbal, bahwa ia akan memberi imbalan uang kepada Prof. Mahyuddin. Jangankan meminta izin langsung, mengindikasikan kepada saya pun tidak pernah Wafid lakukan. Demikian pula, Prof. Mahyuddin tidak sekalipun pernah menjelaskan pada saya bahwa dia meminta atau membutuhkan uang tersebut. Lalu dari mana datangnya dakwaan yang saya garis-‐bawahi di atas, bahwa saya memberi persetujuan pada Wafid untuk memberi uang kepada Prof. Mahyudin? Apakah Wafid Muharam secara tidak sengaja salah menafsirkan perkataan saya tanpa meminta klarifikasi lebih lanjut dari saya sebagai atasan langsungnya? Apakah Jaksa KPK hanya mendengarkan keterangan sepihak Wafid Muharam? Apakah memang demikian cara kerja KPK dalam menyusun dakwaan, cukup dengan omongan seorang saksi, yang barangkali memiliki motifnya sendiri, namun dipastikan sebagai fakta hukum? Dalam ketidakjelasan seperti itulah maka spekulasi tadi, yang menggunakan dasar potongan kalimat saya yang dicabut di luar konteksnya (“sudahlah… di Komisi X itukan teman-‐teman saya”), menjadi penting. Ia merupakan alat penjelas yang cukup menarik, walaupun keliru, dalam upaya untuk menghubung-‐hubungkan dua kejadian yang berbeda. 9
1.4. Perkenalan Choel Mallarangeng dan Wafid Muharam, setelah pelantikan saya sebagai Menpora, akhir 2009 Spekulasi berikutnya di awal naskah Surat Dakwaan yang memojokkan saya secara tidak adil adalah menyangkut perkenalan adik kandung saya, Choel Mallarangeng, dengan Wafid Muharam. Dalam uraian Surat Dakwaan dikatakan bahwa beberapa hari setelah saya dilantik sebagai Menpora, saya… “…memperkenalkan adiknya, yakni Choel Mallarangeng, kepada Wafid Muharam di ruangan Terdakwa (ruang kerja saya – AM), dan mengatakan kalau adiknya akan banyak membantu urusan Kemenpora sehingga jika ada yang perlu dikonsultasikan maka Wafid Muharam dipersilakan langsung menghubungi Choel Mallarangeng…” Potongan uraian fakta ini berasal dari BAP Wafid Muharam dalam penyidikan di KPK (4 Desember 2012, poin 1, halaman 5-‐6). Tapi Jaksa KPK sengaja menghilangkan sebuah potongan keterangan Wafid dalam BAP ini yang menjelaskan konteks pertemuan tersebut: “…saya masuk ke ruangan Menteri (maksudnya, ruang kerja saya – AM), saat itu Choel sedang ikut mengatur ruangan.” Konteks yang juga dihilangkan oleh Jaksa KPK adalah bahwa bukan hanya Wafid dan Choel yang berada dalam ruangan tersebut, tetapi ada beberapa orang lainnya yang tidak lagi saya ingat satu per satu. Konteksnya yang lengkap adalah bahwa pada saat itu saya minta bantuan Choel untuk memasukkan beberapa program baru ke dalam desktop komputer di meja kerja saya. Choel jauh lebih mengerti komputer ketimbang saya dan saat itu saya baru menjadi menteri, belum mengenal akrab staf yang ada di Kemenpora. Di sela-‐sela pengerjaan program komputer itu, dengan dibantu beberapa orang lainnya, saya dan Choel juga mengatur-‐atur ruang kerja baru saya, memindahkan meja dan kursi, serta memasang foto-‐foto keluarga. Dalam konteks seperti itulah Wafid Muharam masuk ke ruangan saya. Saya tidak ingat lagi apakah saya waktu itu memanggilnya secara khusus ke ruangan saya. Yang jelas, karena Wafid Muharam berada di sana, maka tentu saja saya memperkenalkannya dengan Choel. Ini adalah sebuah sopan santun, ramah tamah yang akrab dalam sebuah situasi informal, karena itu saya tidak ingat lagi persisnya kalimat per kalimat yang ada dalam percakapan perkenalan tersebut. 10
Yang pasti, tidak ada niat dalam diri saya untuk menyalahgunakan kewenangan saya sebagai Menpora serta mengarahkan Wafid Muharam agar berkordinasi atau menyalurkan proyek apapun yang ada di Kemenpora kepada Choel (kalau mau, saya sebenarnya tidak perlu berpura-‐pura mengenalkan Choel kepada Wafid dalam situasi seperti itu). Namun rupanya, bagi Jaksa Penuntut Umum, pertemuan semacam itu bukan saja ditarik di luar konteksnya, tetapi dijadikan dasar untuk meloncat ke uraian berikutnya yang lebih fantastis di halaman 11, paragraf pertama: “Menindaklanjuti perintah Terdakwa (maksudnya, perintah saya – AM) untuk berkordinasi dengan adik Terdakwa… terkait dengan program-‐program di Kemenpora termasuk proyek Hambalang, Wafid Muharam… melakukan pertemuan dengan Choel Mallarangeng… di ruangan Terdakwa.” Sengaja kata “perintah” dalam uraian tersebut saya garis bawahi, sebab ia menjadi contoh yang sangat jelas bagaimana Jaksa KPK mendesakkan dakwaannya. Ucapan ramah-‐ tamah dalam sebuah perkenalan dianggap sebagai sebuah perintah yang spesifik, sebuah arahan yang mengandung konotasi formal dan bersifat resmi. Apakah Jaksa KPK secara sadar memasukkan kata “perintah” ini dalam uraian dakwaannya, tanpa sedikit pun fakta dalam bentuk surat perintah, disposisi, rekaman pembicaraan, atau bukti lainnya? Atau, apakah Jaksa KPK hanya bersandarkan pada keterangan sepihak dari satu orang, yaitu keterangan Wafid Muharam, yang mungkin saja salah mengerti tentang maksud saya memperkenalkan Choel kepadanya saat itu? Yang lebih aneh lagi, kalau disimak rentang waktunya, kedua pertemuan tersebut sebenarnya berjarak sangat jauh, yaitu kurang lebih 8 bulan. Pertemuan perkenalan di atas terjadi sekitar akhir Oktober atau awal November 2009, sementara pertemuan berikutnya yang dikatakan untuk “menindaklanjuti perintah” saya terjadi sekitar Juli 2010 saat saya sedang berada di luar kantor. Kalau memang benar, kenapa Wafid Muharam harus menunggu begitu lama untuk “menindaklanjuti perintah” saya? Sebagai Sesmenpora dan bawahan langsung saya, Wafid Muharam dapat bertemu dengan saya setiap hari, atau setidaknya menelpon, mengirim sms, menulis memo, mengklarifikasi, atau sekadar menanyakan hal apapun yang menyangkut tugas dan pekerjaannya di Kemenpora. Namun dalam rentang waktu 8 bulan tersebut, tidak sekalipun dia menyinggung maksud atau rencananya bertemu dengan Choel, dan saya juga tidak sekalipun berbicara atau mengingatkan dia tentang pertemuan perkenalan tersebut, sebab memang tidak ada maksud apapun yang tersembunyi di baliknya. 11
Setelah pertemuan tersebut, dan pertemuan mereka kemudian setelah Juli 2010, baik Wafid Muharam maupun Choel tidak sekalipun pernah menyinggung atau mengatakan kepada saya bahwa mereka berdua pernah bertemu. Sampai sekarang saya masih tidak mengerti bagaimana mungkin Jaksa Penuntut Umum berasumsi serta berspekulasi begitu jauh sehingga memasukkan perkenalan Wafid dan Choel yang begitu biasa dan tidak berlangsung di luar kewajaran sosial sebagai fondasi untuk menjerat saya dalam dakwaan yang memojokkan. 1.5. Pertemuan Choel dan Wafid di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, akhir Agustus 2010, dan kalimat Choel serta keterangan Wafid yang diubah maknanya Cara Jaksa KPK dalam mendesakkan dakwaannya seperti di atas berulang lagi, dalam bentuk lebih ekstrem, dalam uraian berikutnya mengenai pertemuan selanjutnya antara Wafid Muharam dan Choel di sebuah restoran, Hotel Grand Hyatt, Jakarta, sekitar Agustus 2010. Pada halaman 11 dalam Surat Dakwaan ini dijelaskan bahwa… “Selanjutnya Choel Mallarangeng melakukan pertemuan dengan Wafid Muharam dan Deddy Kusdinar di Restoran Jepang, Hotel Grand Hyatt, Jakarta. Pada pertemuan itu Choel Mallarangeng menyampaikan bahwa kakaknya atau Terdakwa (maksudnya, saya – AM) sudah satu tahun menjabat Menpora namun belum mendapat apa-‐apa…” Apa yang terjadi di sini? Saya tidak pernah mengutus Choel atau mendorongnya untuk mencari uang buat saya kepada siapa pun. Apa yang sebenarnya Choel katakan dalam pertemuan itu? Kata dan kalimat yang ada dalam uraian dakwaan di atas sebenarnya berasal dari kesaksian Wafid dalam penyidikan di KPK (BAP 5 November 2012, poin 30, halaman ke-‐3) tetapi oleh Jaksa KPK ditelikung maknanya. Uraian asli pengakuan Wafid adalah sebagai berikut: “(Choel berkata kepada Wafid bahwa) …kakak saya kan sudah setahun jadi Menteri, masak belum ada apa-‐apa ke saya .”
12
Jadi terlihat jelas bahwa dalam naskah dakwaannya, Jaksa KPK dengan sengaja menghilangkan dua kata yang sangat penting, dan berkaitan dengan dasar keseluruhan dakwaan terhadap saya. Dua kata tersebut adalah : “ke saya.” Dalam kalimat Wafid yang asli, kalau pengakuan Wafid memang dapat dipercaya, maka pengertian yang ada menjadi sangat jelas, yaitu bahwa Choel bukan meminta buat saya, kakak kandungnya, tetapi buat dirinya sendiri. Betapapun saya menyesali bahwa Choel, menurut Wafid, telah mengatakan hal tersebut, dan betapapun perasaan saya yang terluka sebagai seorang kakak, serta betapapun rasa sayang serta tanggung jawab saya sebagai kakak terhadap Choel, namun fakta adalah fakta, dan kesalahan adalah kesalahan, yang secara hukum harus dipertanggung-‐jawabkan sebagai seorang individu (selanjutnya, tentang Choel dan aliran uang yang diterimanya, akan saya jelaskan pada bagian tersendiri nanti). Pertanyaan saya adalah, kenapa Jaksa KPK dengan sengaja menelikung kesaksian Wafid, yang merupakan tokoh kunci dalam kasus Hambalang ini? Perbedaan ungkapan “ke saya” dan “buat kakak saya” bukan sekadar perbedaan semantik. Dalam kasus pidana, perbedaan tersebut seperti perbedaan bumi dan langit, apalagi kalau dipahami dalam konteks dakwaan Jaksa KPK yang selalu membuat spekulasi untuk memojokkan saya. Sebenarnya, mudah ditebak mengapa Jaksa KPK melakukan penghilangan dua kata penting tersebut. Kalau dihilangkan, maka terbuka interpretasi terhadap kalimat dalam Surat Dakwaan di atas bahwa memang Choel mencarikan dana buat saya sebagai kakaknya. Interpretasi seperti ini kemudian dapat digunakan untuk mendukung dakwaan lainnya dalam soal aliran dana, yaitu saya menerima dana Hambalang melalui Choel, seperti yang terbaca dalam halaman-‐halaman akhir Surat Dakwaan. Saya tidak pernah tahu dan tidak pernah sedikit pun menerima dana yang dimaksud, tetapi soal aliran dana tersebut akan saya uraikan di bagian lain nota keberatan ini. Jadi singkatnya, saya ingin bertanya: apakah etis dan adil untuk melakukan dakwaan seperti itu? From one false charge to another false charge. Apakah Surat Dakwaan seperti itu memenuhi syarat hukum? Menelikung makna kesaksian seorang saksi kunci, mengubah kalimat dalam BAP resmi, menopang dakwaan hanya pada penjelasan seorang saksi, yaitu Wafid Muharam, yang mungkin memiliki motif tersendiri: Apakah semua ini memang sesuai dengan kaidah akurasi, prinsip keadilan, dan cara kerja yang menjunjung tinggi kejujuran dan kehormatan? Apakah Surat Dakwaan seperti ini bisa diterima? Saya serahkan jawaban semua ini kepada Yang Mulia Majelis Hakim. 13
1.6. Pertemuan antara M. Fakhruddin, Staf Khusus Menpora, dengan Wafid Muharam, tentang permintaan fee proyek 18% Tidak cukup dengan semua itu, Jaksa KPK membuat lagi spekulasi lainnya yang melanjutkan cerita di atas, dan langsung berhubungan dengan soal aliran dana yang terjadi beberapa waktu setelahnya, yaitu soal fee 18% yang kontroversial itu. Masih di halaman 11 Surat Dakwaan, dalam paragraf yang sama, menyambung kalimat-‐ kalimat yang telah saya kutip di atas tentang pertemuan Choel dan Wafid Muharam, Jaksa KPK menjelaskan… “…untuk itu, dalam kesempatan lain, Muhammad Fakhruddin selaku staf khusus Terdakwa memintakan untuk Terdakwa (maksudnya, saya – AM) bagian fee 18% …kepada Wafid Muharam...” Kapan dan di mana persisnya “dalam kesempatan lain” yang dimaksud dalam penjelasan tersebut? Tapi yang lebih penting lagi: Apa dasarnya bagi Jaksa KPK untuk berkata bahwa Muhammad Fakhruddin memang meminta fee proyek buat saya? Dia memang staf khusus saya, mantan Ketua HMI dan Sekjen KNPI, dan karenanya saya percaya untuk membantu saya mengelola masalah organisasi kepemudaan di Kemenpora. Tapi meminta fee proyek buat saya? Kapan, di mana, bagaimana dia meminta izin saya untuk melakukan hal tersebut? Apakah ini spekulasi Jaksa KPK lainnya yang betul-‐betul mirip cerita fiksi yang ditujukan untuk sekadar memojokkan saya? Anehnya, beberapa saat lalu, dalam uraian Surat Dakwaan Jaksa KPK terhadap Terdakwa Deddy Kusdinar (halaman 23, paragraf ke-‐2), kita temukan penjelasan yang berbeda tentang peristiwa yang sama: “(Setelah pertemuan Choel dan Wafid di Hotel Grand Hyatt) …Maksud ucapan Choel Mallarangeng diperjelas oleh Mohammad Fakhruddin… yang menanyakan kepada Wafid Muharam tentang kesiapan memberikan fee sebesar 18% kepada Choel Mallarangeng untuk pekerjaan pembangunan… Hambalang.” Mana yang benar? Apakah M. Fakhruddin meminta fee buat saya atau buat Choel? Dua penjelasan yang jelas berbeda dari satu lembaga yang sama, yaitu KPK . Apakah bagi para jaksa di lembaga terhormat ini saya dan Choel adalah dua individu berbeda dalam tubuh yang sama? Kalau betul, barangkali dasar dakwaan Jaksa KPK tidak lagi tepat disebut sebagai cerita spekulatif, namun lebih merupakan cerita misteri, atau lebih tepat lagi, science fiction. 14
Kalau memang yang dimaksudkan adalah Choel, maka atas tuntutan keadilan, pertanyaan yang sama juga harus ditanyakan: kapan, bagaimana, di mana persisnya Choel memberikan otorisasi kepada M. Fakhruddin untuk melakukan hal tersebut? Jangan-‐jangan Choel sebenarnya tidak pernah melakukannya. Namun tentu saja pembahasan persoalan ini tidak pada tempatnya saya uraikan di sini. Selanjutnya, kepada Yang Mulia Majelis Hakim saya memohon izin untuk sedikit menjelaskan mengenai masalah fee 18% yang kontroversial ini, sebab ia berkaitan erat dengan rendahnya tingkat akurasi data dalam dakwaan Jaksa KPK terhadap saya serta betapa selektifnya bahan kesaksian yang digunakan dalam surat dakwaan tersebut . Penelusuran yang agak teliti terhadap konsep fee ini akan membantu kita semua dalam menyingkap misteri Skandal Hambalang. Dari bacaan saya tentang kesaksian dalam BAP orang-‐orang yang diduga terlibat dalam Skandal Hambalang, asal-‐usul fee 18% tersebut sebenarnya tidak sederhana. Ia berevolusi dan menggelinding dari sini ke sana, dengan interpretasi yang berbeda-‐beda, dengan angka yang sebenarnya juga berbeda-‐beda. Wafid Muharam sendiri, pelaku yang menjadi sumber utama penjelasan dalam dakwaan Jaksa KPK, memberikan kesaksian yang berbeda-‐beda dan terus berubah. Coba kita simak beberapa penjelasannya: “…saya mengetahui Choel Mallarangeng meminta fee pada proyek Kemenpora sebesar 15% dari Sdr. Deddy Kusdinar.” (BAP 4 Desember 2012, halaman 3, poin 38, paragraf ke-‐2) “Terkait (fee) 18% tersebut, saya tidak mengetahui dari mana ide itu muncul dan untuk siapa, yang saya ketahui konteks 18% tersebut disampaikan oleh Teuku Bagus M. Noor, Lisa L. Isa, Arifin dan Paul Nelwan…” (BAP 12 April 2013, halaman 23, poin 105, paragraf ke-‐3) “…saya mengetahui adanya permintaan fee 15% dari Choel Mallarangeng untuk proyek di Kemenpora termasuk Proyek Hambalang. Informasi tersebut saya peroleh pertama kali dari Sdr. Deddy Kusdinar di ruangan saya di Kemenpora Lantai 3…” (BAP 12 April 2013, halaman 23-‐24, poin 105, paragraf terakhir) Walaupun penjelasan Wafid Muharam berubah-‐ubah, namun satu hal segera menjadi terang benderang: Ternyata Wafid tidak mendengar langsung dari Choel tentang permintaan fee 18% tersebut, serta tidak pula dari Muhammad Fakhruddin, sebagaimana yang ada dalam Surat Dakwaan Jaksa KPK terhadap saya. 15
Kembali ke penjelasan Wafid di atas, siapa pun pasti akan bingung menebak, angka fee yang sebenarnya berapa? 18% atau 15%? Dari siapa persisnya angka dan konsep fee tersebut? Dari penjelasannya di atas, dua kali Wafid Muharam mengatakan bahwa ia mendengar atau tahu pertama kalinya soal fee tersebut dari Deddy Kusdinar. Katakanlah itu benar. Pertanyaan berikutnya, lalu dari mana Deddy Kusdinar mendengar permintaan fee tersebut? Dari Choel Mallarangeng? Dari Muhammad Fakhruddin? Eh, tidak juga. Ternyata bukan dari keduanya. Dalam kesaksian resmi Deddy Kusdinar di KPK (BAP 1 Agustus 2013, poin 62, paragraf terakhir), konsep tentang fee tersebut didengarnya dari Sdr. Ilham, yang merupakan staf dari Muhammad Fakhruddin. Jadi bayangkan apa yang terjadi di sini: Wafid katanya mendengarkan dari Deddy Kusdinar, yang katanya mendengarkan dari Sdr. Ilham, yang merupakan staf dari Muhammad Fakhruddin. Rangkaian katanya dan katanya? Selain itu, keterangan lainnya yang barangkali lebih instruktif dapat ditemui pada kesaksian para pejabat di kontraktor PT. Adhi Karya yang merupakan sumber pemberian fee tersebut. M. Arief Taufiqurrahman, Manajer Pemasaran PT. Adhi Karya, Divisi Konstruksi 1 , menjelaskan bahwa konsep fee tersebut sebenarnya telah muncul jauh sebelumnya, yaitu pada September 2009 (BAP 20 Desember 2012, halaman 5-‐6). Jadi, sebelum saya menjadi Menpora, konsep fee tersebut sebenarnya sudah beredar. Hanya, menurut M. Arief Taufiqurrahman dalam BAP yang sama, jumlahnya masih berkisar pada angka 7-‐8%. Angka ini kemudian berkembang hampir setahun kemudian, dan pada keterangan Wafid Muharam yang telah kita lihat di atas, angka tersebut berbeda-‐beda, yaitu 15% dan 18%. Bagaimana semua ini dijelaskan? Terus terang, saya juga masih terus mencari tahu dengan rasa penasaran. Tapi titik terang bisa kita dapatkan kalau kita mengikuti beberapa penjelasan tokoh-‐tokoh kunci di PT. Adhi Karya, yaitu Teuku Bagus, pimpinan tertinggi dalam hierarki kontraktor Proyek Hambalang, serta M. Arief Taufiqurrahman sendiri. Dari penjelasan mereka, terlihat cukup jelas bahwa PT. Adhi Karya keberatan dengan permintaan fee 18% yang disampaikan oleh Wafid Muharam lewat Deddy Kusdinar (BAP Teuku Bagus, 6 September 2013, halaman ke-‐3, paragraf pertama). Selanjutnya… “…karena ada beberapa proyek yang rugi, yang bersangkutan (maksudnya, Teuku Bagus – AM) menemui Wafid Muharam untuk meminta penurunan beban 16
proyek. Dari hasil pertemuan tersebut, Wafid Muharam menyetujui besarnya beban proyek/fee sebesar 15%.” (BAP M. Arief Taufiqurrahman, 20 Desember 2012, poin 31, paragraf ke-‐3) Jadi, dari berbagai penjelasan di atas terlihat berbagai dinamika dan kompleksitas baik dalam angka maupun dalam asal-‐usul fee tersebut. Saya tidak ingin terburu-‐buru mengatakan bahwa Wafid Muharam atau tokoh lainnya yang pasti bersalah atau menjadi pihak yang paling bertanggung jawab dalam hal fee tersebut. Barangkali penelusuran lebih lanjut masih perlu dilakukan. Yang tidak kunjung saya mengerti adalah bahwa Jaksa KPK, dengan begitu banyak dokumen hasil penyidikannya, dengan begitu besarnya kewenangan dalam melakukan penyidikan, termasuk dalam menyadap pembicaraan seseorang, meloncat begitu saja pada sebuah kesimpulan spekulatif bahwa fee 18% tersebut adalah berasal dari pemintaan saya. Tidak ada satu pun saksi atau bukti yang mengindikasikan bahwa saya pernah meminta atau berbicara tentang fee Proyek Hambalang: Apakah lembaga KPK memang harus mendakwa seseorang, tanpa menghargai bukti, fakta, dan penelusuran keterangan yang benar? Mengapa Jaksa KPK melakukan kesalahan faktual sampai dua kali pada dua Surat Dakwaan yang berbeda? Jelas bahwa ini adalah dakwaan yang kabur. Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Demikianlah nota keberatan saya menyangkut fee yang kontroversial tersebut sebagaimana yang ada dalam Surat Dakwaan. 1.7. Berbagai pertemuan lainnya Selanjutnya, saya sebenarnya masih ingin membahas berbagai pertemuan dan tahap “pra-‐kondisi” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surat Dakwaan terhadap saya. Pertemuan dengan beberapa anggota DPR RI di ruangan saya di Kemenpora; pertemuan di Restoran Jepang, Gedung Arcadia Plaza; atau pertemuan dan rapat-‐rapat di Komisi X di Gedung DPR RI, Senayan, dan sebagainya, yang kesemuanya menurut saya adalah pertemuan dan rapat yang tidak berada di luar kewajaran, bahkan memang menjadi tugas saya sebagai Menpora. Tapi saya kira, poin yang ingin saya utarakan telah cukup jelas bahwa dakwaan Jaksa KPK terhadap saya berisi begitu banyak fakta yang tidak akurat serta spekulasi yang terlalu jauh dalam memaksakan sebuah kesimpulan bahwa sejak awal saya merekayasa, atau turut serta merekayasa berbagai penyimpangan di Proyek Hambalang yang menguntungkan diri 17
saya atau orang lain dan korporasi. Semua hal itu, pada hemat saya, merupakan dakwaan yang tidak dapat diterima karena merupakan ketidakadilan yang dilakukan oleh Jaksa KPK terhadap saya. 2. TAHAP EKSEKUSI: ALIRAN UANG YANG DITUDUHKAN PADA SAYA Tahap berikutnya dalam sistematika Surat Dakwaan Jaksa KPK adalah tahap pelaksanaan yang berhubungan dengan aliran dana. Di dalamnya ada begitu banyak individu dan korporasi yang menerima aliran dana tidak sah yang sebenarnya tidak pernah saya kenal dan tidak pernah saya tahu. Saya tidak akan membahasnya satu per satu secara panjang lebar dalam eksepsi ini, sebab memang ia umumnya tidak langsung berhubungan dengan saya. Kepada Yang Mulia Majelis Hakim saya mohon izin untuk menjelaskan keberatan saya dalam beberapa hal yang esensial. Dalam Surat Dakwaan, sama seperti sebelumnya, Jaksa KPK memakai asumsi dan spekulasi, bukan penjelasan faktual yang akurat, dalam mengatakan bahwa saya telah memperkaya diri sendiri, atau memperkaya orang lain dan korporasi. Dalam hal dakwaan bahwa saya memperkaya diri sendiri, kata kunci yang selalu digunakan oleh Jaksa KPK adalah kata “melalui.” Kalau dijumlah, total dana yang saya terima menurut Jaksa KPK adalah sekitar Rp 9 miliar, yang terbagi dalam dua mata uang, yaitu Dollar AS dan Rupiah. Dijelaskan dalam Surat Dakwaan (halaman 21-‐22) bahwa saya tidak menerima langsung dana tersebut, tetapi melalui adik kandung saya, Choel Mallarangeng. Walaupun kata penting tersebut selalu digunakan, tetapi Jaksa KPK tidak pernah menjelaskan secara rinci bagaimana persisnya uang tersebut sampai pada saya, kapan, di mana, dan berapa. Seolah-‐olah bagi Jaksa KPK, dakwaan bahwa saya memperkaya diri sendiri cukup didukung dengan kata “melalui”, dan setelah itu tidak perlu lagi ada penjelasan dan perincian apapun. Di situlah masalah terbesar yang ada dalam Surat Dakwaan ini. Saya tidak pernah menerima satu rupiah pun dana yang tidak sah, dari proyek apapun, termasuk Proyek Hambalang. Sejak awal menjadi menteri, pada hari-‐hari pertama, saya telah mengatakan langsung kepada orang nomor dua di Kemenpora, yaitu Wafid Muharam, bahwa staf Kemenpora tidak perlu mencarikan dana buat saya dan keluarga. Saya merasa bahwa apa yang kami miliki sudah cukup untuk hidup dengan baik. Selama menjadi Menpora, saya berusaha sebaik mungkin memegang teguh prinsip ini. 18
Kalau Jaksa KPK ternyata berkeyakinan lain, maka harus dibuktikan, bukan sekadar diandaikan, bahwa saya menerima aliran dana yang dimaksudkan di atas. Saya kuatir bahwa dalam hal ini cara Jaksa KPK berulang lagi, sebagaimana yang sudah saya uraikan sebelumnya, yaitu memaksakan sebuah dakwaan tanpa mengajukan fakta lewat penyidikan yang seksama. One false charge leads to another false charge. Selanjutnya, saya memohon izin kepada Yang Mulia Majelis Hakim untuk menjelaskan fakta menyangkut adik saya, Choel Mallarangeng, agar persoalan yang didakwakan pada saya menjadi lebih terang. 2.1. Choel Mallarangeng dan dua penerimaan dana (USD 550 ribu dan Rp 2 miliar) Dalam pemeriksaan pertamanya di KPK pada 25 Januari 2013, Choel langsung mengakui bahwa betul dia menerima dua bentuk aliran dana, yaitu dari Wafid Muharam (sebanyak USD 550 ribu) dan dari Herman Prananto, pemilik PT. Global Daya Manunggal (sebanyak Rp 2 miliar). Dalam penjelasannya ke publik, lewat konferensi pers terbuka di teras Gedung KPK hari itu juga, Choel tidak berusaha menutupi fakta apapun. Dia mengakui kesalahannya dan menegaskan bahwa dia siap menanggung konsekuensi hukum dari kesalahan tersebut. Beberapa hari setelah itu, Choel langsung mengembalikan dana-‐dana yang diterimanya. Dana dari Wafid dikirimkan ke rekening KPK, sementara dana dari Herman Prananto dikembalikan langsung ke pemberinya, yaitu Herman Prananto sendiri, di sebuah kantor pengacara di Jakarta. Dana yang berasal dari Herman tidak dikembalikan ke KPK sebab menurut Choel dan Herman, hubungan mereka berdua adalah hubungan antar-‐pebisnis swasta dalam transaksi yang sepenuhnya bersifat pribadi. Dengan menjelaskan semua itu, saya tidak ingin menutupi kesalahan Choel. Pengembalian dana-‐dana tadi tentu tidak menghapuskan kesalahan bahwa dana tersebut telah dia terima. Fakta adalah fakta, dan kesalahan adalah kesalahan. Sebagai kakak, tentu saya merasa sedih dan terluka. Pertama kali saya mengetahui bahwa Choel menerima dana tersebut adalah ketika saya menulis surat pengunduran diri sebagai menteri kepada Bapak Presiden RI, begitu pencekalan terhadap diri saya diumumkan oleh KPK pada awal Desember 2012. Choel sendiri yang mengatakannya di depan saya dan istri saya, serta menjelaskan apa yang dilakukannya, dan meminta maaf terhadap kesalahannya. 19
Saya tidak ingin menceritakan sebuah drama keluarga. Saya hanya ingin menjelaskan sebuah fakta. Betapapun rasa sayang yang ada pada diri saya sebagai seorang kakak, serta betapapun kuatnya perasaan saya untuk melindungi Choel sebagai adik yang saya cintai, saya tetap harus menegaskan sebuah prinsip hukum bahwa pertanggung-‐jawaban terhadap sebuah perbuatan harus ditanggung oleh individu pelakunya. Hukum dan tanggung jawab sebagai seorang subyek hukum tidak mengenal hubungan darah, tetapi bersifat perseorangan. Siapa yang berbuat, dia yang harus bertanggung jawab. Kalau saya mengingkari prinsip hukum ini, sebagai kakak, saya justru menjerumuskan Choel dalam kesalahan yang lebih jauh lagi. Prinsip hukum seperti itulah yang tidak terlihat dalam Surat Dakwaan Jaksa KPK kepada saya. Bagi Jaksa KPK, kesalahan yang dilakukan Choel adalah otomatis kesalahan saya juga, karena saya adalah kakak kandungnya yang juga pimpinan tertinggi di Kemenpora. Choel menerima dana, maka tujuannya pasti buat saya. Dengan cara semacam itu, yang dilakukan oleh Jaksa KPK bukanlah pengajuan fakta yang cermat, tetapi sekadar pengandaian, yang tentu saja merupakan wilayah yang bersifat spekulatif, penuh dengan berbagai asumsi yang belum tentu benar. Saya sudah berusaha memahaminya dengan baik, tetapi setelah membaca berbagai uraian di dalamnya, tidak satu pun yang ada dalam Surat Dakwaan Jaksa KPK yang dapat dianggap sebagai fakta dan penjelasan bahwa saya memang menerima dana melalui Choel yang berasal dari berbagai pihak, atau bahwa saya mengetahuinya. Barangkali karena ketiadaan fakta pendukung ini (bahkan setelah KPK memeriksa semua harta, rekening bank, transaksi pribadi, serta rekaman pembicaraan saya dan keluarga selama lebih setahun), maka Jaksa KPK terpaksa menggunakan begitu banyak spekulasi dalam Surat Dakwaan terhadap saya. Dan barangkali karena itu pula, Jaksa KPK hanya berhenti pada kata “melalui,” tanpa memberikan perincian sedikit pun tentang di mana, kapan, bagaimana, serta berapa dana persisnya yang sampai kepada saya. Sebagai nota penutup untuk bagian ini, saya ingin menjelaskan sedikit tentang Wafid Muharam, sebab ia berkaitan erat dengan aliran uang yang didakwakan kepada saya. Terus terang, tidak pernah terlintas di benak saya bahwa Wafid Muharam sampai bertindak sejauh itu, mengirimkan dana yang begitu besar kepada adik saya. Kesan awal saya terhadap Wafid adalah bahwa ia seorang pekerja keras, selalu mencari solusi, dan berdedikasi tinggi, dan karena itu saya memberikan kepercayaan besar padanya untuk mengelola segala hal yang berkaitan dengan urusan teknis administrasi yang memang sesuai dengan posisinya sebagai Sesmenpora. 20
Kalau adik saya, Choel, memang mencari peluang atau meminta sesuatu kepadanya di belakang saya yang menyalahi aturan, maka seharusnya Wafid melaporkannya pada saya sebagai atasan, atau bahkan langsung menolak permintaan tersebut. Tapi sampai sekarang masih menjadi teka-‐teki di benak saya, mengapa Wafid Muharam tidak pernah melapor, menyinggung, atau mengindikasikan hal tersebut kepada saya. Apakah ada salah pengertian di antara kami berdua? Apakah masih banyak hal yang belum sepenuhnya saya pahami? Mudah-‐mudahan, jawabannya bisa terungkap dalam persidangan yang terhormat ini. 2.2. Choel Mallarangeng, Wafid Muharam, Muhammad Fakhruddin, dan dana lainnya (Rp 1,5 miliar dan Rp 500 juta) Saya sebenarnya tidak perlu lagi menjelaskan soal ini, sebab esensi keberatan saya sama saja dengan uraian di atas. Saya hanya ingin melakukan klarifikasi faktual, bukan untuk membela Choel yang memang tidak pada tempatnya saya lakukan dalam nota keberatan ini. Klarifikasi ini diperlukan untuk mendudukkan soal yang sebenarnya. Berbeda dengan kedua aliran di atas tadi yang diakui oleh Choel, aliran dana selanjutnya rupanya agak kompleks. Choel bukannya tidak mau mengakui, tetapi dari penjelasannya kepada saya, dia merasa tidak pernah menerimanya. Dari mana Jaksa KPK memasukkan dua aliran ini ke dalam Surat Dakwaan terhadap saya? Perantara pemberinya sekali lagi adalah Wafid Muharam (Rp 1,2 miliar), serta Muhammad Fakhruddin (Rp 500 juta). Di mana, kapan, dan bagaimana persisnya Wafid dan Fakhruddin memberikan dana tersebut kepada Choel. Betulkah bahwa Wafid dan Fakhruddin memang menerima dana tersebut? Dalam Surat Dakwaan, penjelasan tentang hal ini juga tidak pernah diuraikan secara jelas oleh Jaksa KPK. Semua masalah aliran uang ini, yang berimplikasi terhadap saya, hanya dikunci dengan kata “melalui,” dan selanjutnya adalah kegelapan. Bayangkanlah absurdnya posisi yang saya hadapi sekarang. Pengiriman dana yang bertingkat tiga, di mana setiap tingkatnya tidak dijelaskan secara rinci, yang kemudian katanya berakhir di tangan Choel, yang merasa tidak pernah mendapatkannya. Lalu, apa yang Jaksa KPK inginkan dari saya sekarang? Bagaimana persisnya cara seorang terdakwa membela diri melawan kegelapan? Karena itu, saya serahkan kepada Yang Mulia Majelis Hakim untuk menelusurinya lebih jauh. Barangkali ada fakta-‐fakta menarik yang juga bisa terungkap di sini. 21
2.3. Dana bagi kegiatan operasional Menpora Persoalan terakhir yang ingin saya tanggapi dalam soal aliran uang ini sebenarnya esensinya sama juga. Pada halaman 19-‐20 dalam Surat Dakwaan, Jaksa KPK mengatakan bahwa berbagai bentuk pengeluaran operasional saya sebagai Menpora juga dibiayai oleh aliran dana Proyek Hambalang. Pengeluaran ini antara lain adalah: dana untuk acara-‐acara protokoler, tunjangan Hari Raya Lebaran buat pegawai di rumah saya, hingga tiket pertandingan sepakbola dan semacamnya. Saya tidak merasa pernah menggunakan dana-‐dana seperti itu. Sebagai Menpora, selain gaji dan tunjangan resmi, setiap bulan saya mendapat DOM (Dana Operasional Menteri) sejumlah Rp 100 juta yang dikelola oleh beberapa staf saya. Pengeluaran dana DOM ini berada dalam diskresi saya sebagai Menpora. Selain dana ini, masih ada dana lain yang memang sudah dianggarkan secara resmi, seperti dana protokoler dan perjalanan dinas, yang tidak terkait dengan proyek apapun, termasuk Proyek Hambalang. Saya tidak membutuhkan tambahan lagi di luar dana yang memang sudah tersedia. Kalau dilihat kalimat dalam materi dakwaan, sekali lagi Jaksa KPK menggunakan cara yang sama, yaitu kata “melalui” (halaman 19, paragraf terakhir). Kali ini, pihak yang “dilalui” oleh dana tersebut adalah Wafid Muharam dan Deddy Kusdinar, secara bertingkat melewati beberapa staf lagi, untuk kemudian digunakan dalam item pengeluaran yang telah saya sebut di atas. Oleh karena itu, esensi keberatan saya juga sama dengan keberatan sebelumnya. Saya didakwa untuk sesuatu yang tidak pernah saya ketahui dan tidak pernah saya lakukan. Dalam semua hal ini, saya mohon pertimbangan Yang Mulia Majelis Hakim untuk mempertanyakan kecermatan dan kejelasan Surat Dakwaan kepada saya. 3. PENDANAAN DAN LELANG: PERMENKEU, DANA MULTIYEARS, DAN PENGESAHAN PEMENANG TENDER Pada bagian terakhir nota keberatan ini, kepada Yang Mulia Majelis Hakim saya mohon diperkenankan untuk menyampaikan beberapa keberatan mengenai hal-‐hal lainnya yang masih terkait dengan materi dakwaan terhadap saya. Persoalan yang ada di sini bukan mengenai konteks pertemuan, perkenalan, atau aliran uang, tetapi lebih menyangkut masalah penerapan peraturan, tata administrasi, dan konsep pengelolaan proyek pemerintah. Izinkanlah saya untuk secara singkat menguraikannya di bawah ini. 22
3.1. Permohonan dana tahun jamak (multiyears) Pada halaman 3 dan 10 dalam Surat Dakwaan diuraikan bahwa saya, sebagai Menpora, tidak menandatangani dokumen pengajuan anggaran tahun jamak Proyek Hambalang kepada Menteri Keuangan RI. Implikasinya, menurut Jaksa KPK, adalah bahwa saya melakukan pelanggaran hukum atau penyalahgunaan kewenangan. Surat dakwaan ini merujuk pada regulasi Menteri Keuangan, yaitu Permenkeu No. 56/PMK 02/2010. Di dalamnnya, yaitu pada Pasal 5 ayat 1, dikatakan bahwa, agar permohonan dana anggaran tahun jamak disetujui, dua menteri harus menandatangani permohonannya, yaitu menteri pemohon (Menpora) dan menteri pemberi rekomendasi teknis (Menteri PU). Kalau tanda tangan kedua menteri ini belum atau tidak ada, dana proyek tidak boleh dicairkan oleh Departemen Keuangan. Permohonan dana tahun jamak memang ketat, sebab ia menyangkut anggaran negara yang dipatok selama beberapa tahun. Singkat kata, Jaksa KPK benar bahwa saya tidak menandatangani dokumen permohonan dana Proyek Hambalang. Tapi Jaksa KPK hanya mengatakan setengah dari fakta yang ada. Selain saya, sebenarnya Menteri PU juga tidak menandatangani dokumen tersebut. Jadi bukan satu, tetapi tanda tangan dua menteri tidak tertera dalam dokumen tersebut. Itulah fakta lengkapnya. Karenanya, permohonan dana tersebut seharusnya ditolak Menteri Keuangan. Peraturan di atas tadi bukanlah peraturan Kemenpora, tetapi peraturan Menteri Keuangan sendiri. Ada ribuan aturan yang telah dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan, termasuk Permenkeu yang terus berubah hampir setiap tahun. Departemen pemerintah lainnya, termasuk Kemenpora, tidak otomatis tahu dan memahami semua peraturan tersebut (terus terang, tidak ada satu pun menteri, termasuk saya, yang memahaminya secara terinci). Karena itu, dari segi tata administrasi, penjaga gawang terakhir dari penerapan peraturan yang menyangkut pencairan anggaran proyek pemerintah berada di pihak Kementerian Keuangan, bukan di Kemenpora atau kementerian lainnya. Singkatnya, kalau Kementerian Keuangan saat itu melakukan “fungsi penjaga gawang” ini dengan baik, maka seharusnya permohonan dana Proyek Hambalang distop atau diblokir. Tapi apa yang terjadi? Ternyata, pada 6 Desember 2010, Dirjen Anggaran (mewakili Menteri Keuangan) tetap menyetujui permohonan tersebut dan mencairkan dana kurang lebih Rp 1,2 trilun buat Proyek Hambalang. 23
Jadi sekali lagi, faktanya adalah: Menpora dan Menteri PU tidak tanda tangan, namun Menteri Keuangan tetap mencairkan dananya. Dengan demikian, atas nama kebenaran, kita harus bertanya, siapa sebenarnya yang melanggar peraturan atau menyalahgunakan kewenangannya? Sebagai catatan pelengkap, perlu diketahui bahwa di pihak Kemenpora, Wafid Muharam adalah penandatangan dokumen permohonan dana tersebut. Tapi bagi saya, dalam soal itu Wafid tidak bersalah. Seperti yang saya singgung tadi, kalau saja Kementerian Keuangan menerapkan peraturannya dengan baik, dengan mudah dokumen permohonan tersebut ditolak. Kita bisa berdebat mengapa hal itu tidak terjadi. Tapi tentu tidak adil jika beban dari kesalahan yang ada ditimpakan ke pundak Wafid sebagai Sesmenpora atau sebagai KPA (Kuasa Pengguna Anggaran) di Kemenpora. Karena semua itulah, saya keberatan jika Permenkeu di atas tadi dijadikan sebagai salah satu dasar pertimbangan hukum dalam Surat Dakwaan untuk menjerat saya dalam posisi sebagai Menpora. Hal ini bukan saja tidak akurat serta tidak cermat dalam melihat persoalan, tetapi juga tidak adil dalam melihat konsekuensi penerapan sebuah peraturan pemerintah. Dengan kata lain, dakwaan Jaksa KPK semacam itu bertentangan langsung dengan Pasal 143 ayat 2 (b) dalam KUHAP yang mengatur tentang kriteria dakwaan yang layak dipertimbangkan dalam sebuah persidangan. 3.2. Penetapan dokumen pemenang tender Proyek Hambalang Selanjutnya, kepada Yang Mulia Majelis Hakim saya mohon agar diizinkan untuk menjelaskan satu soal lagi yang juga menyangkut penerapan regulasi serta tata adminstrasi pemerintahan, kali ini menyangkut dokumen penetapan pemenang tender Proyek Hambalang. Biasanya seseorang mendapat masalah pelik jika menandatangani sebuah keputusan yang keliru. Tapi rupanya, dalam hidup saya, masalah selalu datang karena soal yang sebaliknya. Saya tidak tanda tangan dokumen, maka saya dianggap melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan saya. Itulah materi dakwaan selanjutnya yang ada dalam Surat Dakwaan Jaksa KPK (halaman 15). Tetapi satu hal yang perlu ditegaskan lebih dahulu: dokumen yang tidak saya tanda tangani bukanlah dokumen untuk memutuskan pemenang atau dokumen untuk mengatur 24
teknis pelelangan atau tender proyek. Dalam Kepres 80/2003 dan berbagai perubahannya, seperti Perpres 54/2010, posisi saya sebagai menteri atau PA (Pengguna Anggaran) berada empat tingkat di atas Panitia Pengadaan yang memilih, menyeleksi, dan memutuskan siapa yang pada akhirnya menjadi pemenang tender proyek pemerintah. Oleh regulasi yang ada, panitia ini diharuskan bersifat independen, tidak boleh dicampuri siapa pun dalam mengambil keputusan, termasuk oleh saya sebagai PA. Di atas Panitia Pengadaan ini, masih ada lagi dua tingkat hierarkhi lainnya sebelum sampai pada saya, yaitu PPK (Pejabat Pembuat Komitmen, yang dulu disebut Pimpro atau Pimpinan Proyek) dan KPA (Kuasa Pengguna Anggaran). Masing-‐masing memiliki kewenangannya sendiri yang diatur oleh regulasi yang telah saya singgung di atas. Kelebihan utama dari semangat yang ada di balik regulasi ini adalah bahwa titik terpenting dalam tingkatan hierakhi yang diaturnya, khususnya dalam soal eksekusi dan tender proyek, bukanlah berada pada posisi paling atas (PA), tetapi justru berada pada pada tingkatan paling bawah, yaitu Panitia Pengadaan atau Panitia Lelang. Dengan supervisi dari lembaga yang setingkat di atasnya (yaitu PPK), panitia inilah yang mengurus segala administrasi dan, yang terpenting, menentukan pihak atau perusahaan mana yang menjadi pemenang tender pemerintah. Tugas saya sebagai PA lebih bersifat sebagai pihak yang memberi pengesahan atau penetapan, khususnya bagi proyek pemerintah yang nilainya di atas Rp 50 miliar. Dalam dinamika dan kompleksitas hubungan itulah masalah dokumen penetapan pemenang lelang harus dimengerti. Ia adalah konteks yang menjelaskan secara utuh dari persoalan yang ada, suatu pengertian yang sayangnya tidak dijelaskan dalam Surat Dakwaan terhadap saya. Singkatnya, dokumen yang tidak saya tanda tangani bukanlah untuk menentukan atau memutuskan pemenang tender Proyek Hambalang, jadi ia tidak memiliki konsekuensi praktis dari kompetisi yang terjadi di tingkat peserta lelang. Pemenangnya sudah ditentukan terlebih dahulu oleh Panitia Pengadaan, dan saya, sebagai PA, tidak berhak sedikit pun mengubahnya. Panitia ini telah memilih PT. Adhi Karya dan PT. Widjaya Karya, keduanya adalah BUMN konstruksi yang memiliki reputasi baik, dalam sebuah kerjasama operasional atau KSO. Karena memang di luar kewenangan saya, dan karena memang secara pribadi saya tidak pernah tertarik dengan seluk-‐beluk teknis proyek, tidak sekalipun saya mencampuri pelaksanaan persiapan lelang, seleksi, serta penentuan pemenang tender Proyek Hambalang. Tidak satu pun dari ratusan saksi yang memberikan keterangan resmi di KPK 25
mengenai Proyek Hambalang, sejauh yang dapat saya baca di BAP-‐BAP yang ada, yang mengindikasikan bahwa saya pernah melakukannya. Karena semua itulah, sewaktu Wafid Muharam melaporkan kepada saya, di kamar kerja saya pada akhir November 2010, bahwa proses tender Proyek Hambalang telah selesai dan semuanya telah berjalan sesuai prosedur yang ada, maka, seingat saya, saya tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang khusus. Dalam pertemuan kami saat itu, tidak pernah saya berkata bahwa saya menolak menandatangani dokumen penetapan pemenang tender, sebagaimana yang ada dalam materi dakwaan Jaksa KPK, sebab memang saat itu Wafid tidak menyodorkan dokumen apapun untuk saya tanda tangani (biasanya, kalau saya harus menandatangani sebuah dokumen, Wafid, sebagai Sesmenpora, akan menyodorkannya, setelah diberi paraf, kepada saya dalam susunan yang teratur). Bisa saya pahami mengapa saat itu Wafid tidak ingin membebani saya dengan pemeriksaan berbagai dokumen. Selain jadwal saya yang begitu padat karena harus mewakili Pemerintah Indonesia di pembukaan dan penutupan Asian Games 2010 di Guangzhou, China, saat itu saya baru saja dioperasi dan dirawat di RSPAD Gatot Subroto karena mengalami patah tulang dan putus ligamen di pundak kanan. Singkatnya, situasi pertemuan kami yang singkat itu tidak berisi sesuatu yang khusus. Karena itu, uraian yang ada dalam Surat Dakwaan, bahwa saya menolak secara sengaja untuk menandatangani dokumen pemenang tender Proyek Hambalang, pada dasarnya adalah uraian yang tidak berdasarkan pada fakta sebenarnya. 4. PENUTUP Berdasarkan berbagai hal yang telah saya uraikan dalam nota keberatan ini, kepada Yang Mulia Majelis Hakim saya mohon agar mempertimbangkan kembali Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap saya. Kalau Majelis Hakim dalam Keputusan Sela bisa menolaknya dan menyatakan bahwa dakwaan tersebut tidak dapat diterima, atau batal demi hukum, maka tentu saya akan sangat berterima kasih. Tetapi tanpa keputusan penolakan itu pun, rasa terima kasih saya tidak akan berkurang seandainya nota keberatan ini dapat menjadi sebuah pembanding, atau sekadar bahan bacaan bagi Yang Mulia Majelis Hakim. Siapa tahu di dalamnya ada beberapa penjelasan yang bisa digunakan dalam sidang pengadilan yang terhormat ini untuk lebih menyingkap misteri 26
Hambalang. Saya tahu bahwa posisi saya sekarang tidak mudah. Selama ini KPK dan jajarannya selalu menang di pengadilan. Mereka selalu membanggakan bahwa pencapaian KPK sekarang adalah 100 persen. Artinya, di ujung setiap sidang pengadilan, mereka selalu merasa sebagai pihak yang terbukti benar. Terhadap semua itu, hati saya mendua. Di satu pihak, saya tentu senang sebab dengan begitu langkah-‐langkah untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih bergerak semakin maju. Namun di pihak lain, setelah mempelajari isi Surat Dakwaan Jaksa KPK, setelah melihat rendahnya akurasi data dan begitu banyaknya spekulasi yang ada di dalamnya, serta dengan merasakan sendiri begitu mudahnya Jaksa KPK memaksakan sebuah penjelasan yang tidak berimbang, maka saya kemudian jadi bertanya sendiri. Barangkali sudah tiba saatnya sekarang ini untuk mengingatkan KPK agar mawas diri serta untuk terus berada di koridor hukum yang menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kebenaran. Akhirnya, sekali lagi saya mengucapkan apresiasi yang sebesar-‐besarnya kepada semua pihak, khususnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim, kepada rekan-‐rekan Jaksa Penuntut Umum, kepada para pembela saya, serta kepada semua hadirin pada persidangan hari ini yang telah cukup sabar mendengarkan uraian dalam nota keberatan saya. Semoga kita semua diberkati oleh Tuhan Yang Maha Pengasih. Wabillahitaufiq walhidayah Wassalamualaikum Wr. Wb.
27