PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM UPAYA PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT BERKELANJUTAN (Studi kasus di Desa Kalampangan, Kecamatan Sebangau, Palangkaraya, Kalimantan Tengah) M. Andri Hakim A. 1, Dica Erly Andjarwati2 1. Puslitbang Sosial, Ekonomi dan Lingkungan, Kementerian Pekerjaan Umum Komplek PU Pasar Jumat, Jl. Sapta Taruna Raya No. 26, Jakarta Selatan Email :
[email protected] 2. Puslitbang Sosial, Ekonomi dan Lingkungan, Kementerian Pekerjaan Umum Komplek PU Pasar Jumat, Jl. Sapta Taruna Raya No. 26, Jakarta Selatan Email :
[email protected] ABSTRACT Community participation in peatlands should be able to enhance society’s ability to optimize the utilization of natural resources in peatlands without damaging the environment. This study aimed to answer the question how the efforts of the community in an effort to manage peatland environment. This research uses descriptive method with qualitative approach. Data analysis in this research using descriptive method the results of the identification, categorization, interpretation, and conclusion. Peatland Management Participation Formed by farmers in the Village Community Kalampangan is an example of community participation in the management of peat lands in an environmental friendly. The participation of peatland management by farmers at the village of Kalampangan such as; making the trenches surrounding the cultivation of land in avoiding the occurrence of peat fires and prevent drought, implementation of governance arrangements peat water, the use of ash and manure in improving soil fertility peat, and transfer of knowledge of farming, cropping patterns and agricultural equipment to the surrounding community. Keywords : Community Participation, Peatland Management, Kalampangan Village ABSTRAK Partisipasi masyarakat dalam lahan gambut seharusnya dapat mendorong kemampuan masyarakat untuk mengoptimalkan penggunaan sumberdaya alam di lahan gambut tanpa merusak lingkungan. Studi ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan bagaimana upaya masyarakat dalam mengelola lingkungan lahan gambut. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Analisis data dalam penelitian ini dengan menggunakan metode deskriptif adalah hasil dari identifikasi, kategorisasi, interpretasi, dan penyimpulan. Pengelolaan lahan gambut partisipatif yang dibentuk oleh petani di desa Kalampangan adalah sebuah contoh partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lahan gambut yang ramah lingkungan. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lahan gambut oleh petani di desa Kalampangan antara lain; pembuatan parit di sekeliling lahan penanaman untuk mencegah timbulnya kebakaran gambut dan mencegah kekeringan, implementasi pengelolaan air gambut oleh pemerintah, penggunaan abu dan pupuk dalam meningkatkan kesuburan lahan gambut, dan transfer pengetahuan mengenai pertanian, pola tanam dan peralatan pertanian kepada masyarakat setempat. Kata Kunci: Partisipasi Masyarakat, Manajemen Lahan Gambut, Desa Kalampangan
1
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010
PENDAHULUAN
METODE PENELITIAN
Luas lahan gambut di Kalimantan Tengah mencapai 3.01 juta ha atau 52.2% dari seluruh luasan gambut di Kalimantan. Mengingat pentingnya lahan gambut di Kalimantan Tengah secara ekonomis maupun secara ekologis, maka pengelolaan dan pemanafaatannya harus dilakukan secara hati-hati dengan berupaya mendapatkan manfaat secara optimal namun dengan tetap mempertahankan fungsi ekologisnya.
Penelitian ini menggunakan metoda deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metoda deskriptif hasil identifikasi, kategorisasi, interpretasi, dan penarikan kesimpulan (lewrence,2000). Adapun data yang diambil untuk analisis adalah bentuk partisipasi masyarakat dan pengelolaan lahan gambut yang dikumpulkan melalui; 1) Studi Pustaka/Literatur; 2) Indepth Interview (Wawancara Mendalam); dan 3) Pengamatan (Observation).
Hal ini karena pengelolaan lahan gambut berkelanjutan akan menentukan banyak hal yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat di Kalimantan Tengah dan kepentingan nasional maupun dunia internasional akan pembangunan berkelanjutan. Partisipasi masyarakat di lahan gambut harus dapat meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam tanpa merusak lingkungan. Sebagian besar masyarakat yang hidup di kawasan (pedesaan) lahan gambut bermata pencaharian sebagai petani dengan mengusahakan budi daya tanaman, memelihara ternak, dan membudidayakan atau mencari ikan. Namun, Berbagai kendala yang dihadapi dalam pertanian di lahan gambut meliputi kesuburan yang relatif rendah; kondisi air yang sulit dikendalikan; kematangan dan ketebalan gambut yang bervariasi; penurunan permukaan gambut; rendahnya daya tumpu, yang pada akhirnya mengakibatkan pengelolaan di lahan gambut relatif lebih mahal dan produksinya relatif rendah. Keterbatasan daya dukung sosial dan ekonomi lahan gambut harus menjadi tantangan kedepan dalam mencari potensi-potensi lain agar masyarakat memiliki pilihan sumber penghidupan yang layak dan ramah lingkungan
Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lahan gambut di sebuah wilayah tertentu sebaiknya perlu diimplementasikan di tempat lain agar masyarakat memiliki rasa self of belonging dan self of responsibility dalam pengelolaan lahan gambut yang bertanggung jawab dan memenuhi kaidah-kaidah ekologis. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan bagaimana upaya-upaya masyarakat dalam pengelolaan lahan gambut yang berwawasan lingkungan sebagai bentuk partisipasi terhadap pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. Adapun Tujuan penelitian adalah untuk memahami kegiatan pengelolaan lahan gambut yang dilakukan masyarakat di kawasan lahan gambut sebagai bentuk partisipasi dalam pengelolaan lahan gambut yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan
2
Lokus pengambilan data pada penelitian ini adalah Desa Kalampangan, Sebangau, Palangkaraya, Kalimantan Tengah.Metode kuantitatif digunakan untuk menganalisis aspek ekonomi. Peneliti menggunakan statistik deskriptif untuk memberikan gambaran ekonomi secara umum dan statistik regresi untuk mendapatkan besarnya pengaruh produksi asbuton terhadap perekonomian daerah dan masyarakat.
Kajian pustaka Partisipasi masyarakat Menurut Suparjan dan Suyatno (2003), partisipasi masyarakat hendaknya perlu dilibatkan dalam tiap proses pembangunan, yaitu : 1. Identifikasi permasalahan, dimana masyarakat bersama perencana ataupun pemegang otoritas kebijakan tersebut mengidentifikasi persoalan dalam diskusi kelompok, identifikasi peluang, potensi dan hambatan, 2. Proses perencanaan, dimana masyarakat dilibatkan dalam penyusunan rencana dan strategi dengan berdasar pada hasil identifikasi, 3. Pelaksanaan proyek pembangunan, 4. Evaluasi, yaitu masyarakat dilibatkan untuk menilai hasil pembangunan yang telah dilaksanakan, apakah pembangunan memberikan hasil guna bagi masyarakat ataukah justru masyarakat dirugikan dengan proses yang telah dilakukan, 5. Mitigasi, yakni kelompok masyarakat dapat terlibat dalam mengukur sekaligus mengurangi dampak negatif pembangunan, 6. Monitoring, tahap yang dilakukan agar proses pembangunan yang dilakukan dapat berkelanjutan. Dalam tahap ini juga dimungkinkan adanya penyesuaianpenyesuaian berkaitan dengan situasi dan informasi terakhir dari program pembangunan yang telah dilaksanakan.
Partisipasi Masyarakat dalam Upaya Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan (Studi Kasus di Desa Kalampangan, Kecamatan Sebangau, Palangkaraya, Kalimantan Tengah) M. Andri Hakim A. dan Dica Erly Andjarwati Pendekatan partisipatif memberikan perhatian pada proses pengembangan pola pikir dan pola sikap, pengkayaan pengalaman dan pengetahuan serta proses pembelajaaran yang bertujuan untuk memperkuat asosiasi masyarakat dan mekanisme baru sehingga dengan mekanisme ini lembaga pemerintah dapat mempertanggung jawabkan aksinya.
unsur hara dari tanah mineral dibawah gambut selanjutnya gambut terbentuk diperkaya dengan unsur hara dari luapan air sungai. Tumbuhan yang tumbuh cukup subur dan kaya mineral sehingga gambut yang terbentuk juga subur (gambut topogen). Dalam perkembangan selanjutya gambut semakin tebal dan akar tumbuhan yang hidup digambut tidak mampu mencapai tanah mineral di bawahnya, air sungai tidak mampu lagi menggenangi permukaan gambut. Sumber hara utama pada gambut ini hanyalah dari air hujan sehingga vegetasi yang tumbuh menjadi kurang subur dan menyebabkan gambut yang terbentuk menjadi gambut miskin hara. Gambut ini disebut sebagai gambut ombrogen (Saeri sagiman, 2001)
Pendekatan partisipatif dapat digunakan sebagai strategi untuk meminimalkan terjadinya kegagalan/ hambatan dalam pelaksanaaan program-program pemerintah. Hal ini disebabkan pendekatan partisipatif mendorong munculnya partisipasi yang lebih besar dalam masyarakat mulai dari perencanaan sampai implementasi. Selain tentunya, partisipasi juga dapat mengembangkan kemandirian, mengurangi ketergantungan serta mewujudkan partsisipasi dan pemberdayaan masyarakat (Glaser & Joseph, 1997 dalam Budiarti, 2006).
Pengelolaan Lahan Gambut
Pendekatan partisipastif memungkinkan terjadinya pertukaran gagasan (sharing idea), jalin kepentingan (knitting interest) dan pemaduan karya (synergy of action) diantara stakeholders, terutama pemberian kesempatan kepada masyarakat lokal untuk terlibat dalam pelaksanaan program pembangunan (Thompson, 1999 dalam Budiarti 2006).
Lahan Gambut Gambut merupakan tanah yang terbentuk dari bahan organik pada fisiografi cekungan atau rawa, akumulasi bahan organik pada kondisi jenuh air, anaerob, menyebabkan proses perombakan bahan organik berjalan sangat lambat, sehingga terjadi akumulasi bahan organik yang membentuk tanah gambut. Di Kalimantan Proses pembentukan gambut terjadi baik pada daerah pantai maupun di daerah pedalaman dengan fisiografi yang memungkinkan terbentuknya gambut, oleh sebab itu kesuburan gambut sangat bervariasi, gambut pantai yang tipis umumnya cukup subur, sedang gambut pedalaman seperti di Bereng Bengkel Kalimantan Tengah kurang subur (Harjowigeno, 1996)
Kondisi anaerob yang tercipta karena penggenangan dataran pantai merupakan kondisi penting dalam pembentukan gambut pantai. Gambut pantai mulai terbentuk dari akumulasi bahan organik didaerah belakang tanggul sungai (levee) yaitu daerah back swamp (Harjowigeno, 1996) Pada saat gambut masih tipis akar tumbuhtumbuhan yang tumbuh di gambut dapat mengambil
Lahan gambut di Indonesia diperkirakan seluas 25.6 juta ha, tersebar di Pulau Sumatera 8.9 juta ha (34.8%), Pulau Kalimantan 5.8 juta ha (22.7%) dan Pulau Irian 10.9 juta ha (42.6%). Di wilayah Sumatera, sebagian besar gambut berada di pantai Timur, sedangkan di Kalimantan ada di Provinsi Kalimantan Barat, Tengah dan Selatan (Driessen et al, 1974, dalam Setiadi, 1995). Hasil studi Puslitanak (2005), menunjukkan bahwa luas lahan gambut di Kalimantan Tengah mencapai 3.01 juta ha atau 52.2% dari seluruh luasan gambut di Kalimantan. Gambut di Kalimantan Tengah tersebut 1/3 nya merupakan gambut tebal (ketebalan ≥3 meter). Berdasarkan tipe kedalaman, estimasi distribusi lahan gambut di Kalimantan Tengah meliputi: 1. Sangat dangkal/sangat tipis mencapai 75,990 ha (3%); 2. Dangkal/tipis mencapai 958,486 ha (32%); 3. Sedang mencapai 462,399 ha (15%);
4. Dalam/tebal mencapai 574,978 ha (19%);
5. Sangat dalam/sangat tebal mencapai 661,093 ha (22%) dan
6. Dalam sekali/tebal sekali mencapai 277,694 ha (9%). Mengingat pentingnya lahan gambut di Kalimantan Tengah secara ekonomis maupun secara ekologis, maka pengelolaan dan pemanfaatannya harus dilakukan secara hati-hati dengan berupaya mendapatkan manfaat secara optimal namun dengan tetap mempertahankan fungsi ekologisnya. Hal ini karena pengelolaan lahan gambut berkelanjutan akan menentukan banyak hal yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat di Kalimantan Tengah dan kepentingan nasional maupun dunia internasional akan pembangunan berkelanjutan.
3
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010
Berdasarkan pengelompokkan wilayah pengelolaan lahan gambut, maka kawasan bergambut di Kalimantan Tengah dapat dikelompokkan menjadi 5 (lima) kelompok utama, yakni : 1. Kawasan Bergambut yang Belum Digarap
Kawasan bergambut pada kelompok ini umumnya masih berhutan atau merupakan Kawasan Hutan, terdiri dari Kawasan Hutan Produksi, Kawasan Lindung dan Kawasan Konservasi lainnya. Mengingat arealnya masih berhutan, maka cukup mudah membedakan ciri-ciri penyusun vegetasi di kawasan ini, yang umumnya didominasi oleh jenis-jenis Meranti Rawa, Ramin, Jelutung, Agathis, Nibung dan Rengas. Sebagian besar dari kawasan bergambut yang termasuk pada kelompok ini dibebani Hak Pengusahaan Hutan (HPH) mengingat vegetasi penyusun arealnya yang masih potensial untuk dimanfaatkan.
Kawasan bergambut pada kelompok ini terletak pada tiga kawasan utama yakni :
a. Kawasan hutan yang terletak diantara Areal Eks PLG di sebelah Timur (dibatasi oleh sungai Sebangau) hingga areal Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) di sebelah Barat, dengan batas Utara adalah Jalan Trans Kalimantan dan di sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Jawa. b. Kawasan hutan yang terletak pada Blok E di sebelah Utara areal Eks PLG. c. Kawasan hutan yang terletak diantara kawasan TNTP hingga ke batas propinsi dengan Propinsi Kalimantan Barat.
2. Kawasan Bergambut Areal Eks PLG Sebagaimana diketahui bahwa Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Satu Juta Hektar adalah merupakan mega proyek nasional yang bermasalah karena tanpa didahului oleh kajian-kajian secara matang dan mendalam serta perencanaan yang tepat, mantap dan tidak terintegrasi secara lintas sektoral.
Terlebih lagi areal PLG yang sedemikian luas tersebut merupakan kawasan hutan bergambut dengan berbagai karakteristik khusus dan khas, yang tentu saja semestinya memerlukan penanganan secara khusus pula.
4
Total luasan areal Eks PLG adalah seluas 1.119.493 Ha, yang terdiri atas 4 (empat) Blok, sebagai berikut :
• Blok A seluas 227.100 Ha, • Blok B seluas 161.480 Ha,
• Blok C seluas 568.635 Ha dan • Blok D seluas 162.278 Ha. 3. Kawasan Bergambut TNTP Kelompok ketiga kawasan bergambut di Kalimantan Tengah adalah pada Kawasan Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) dengan luas areal mencapai 415.040 Ha, yang secara khusus diperuntukkan sebagai habitat bagi satwa langka yang dilindungi yakni orangutan (Pongo pygmaeus). 4. Kawasan Bergambut Terlantar Kawasan bergambut yang diklasifikasikan sebagai kawasan yang terlantar umumnya merupakan salah satu dampak dari kegiatan pembangunan akses jalan yang menghubungkan daerah-daerah di Kalimantan Tengah.
Oleh karena itu, sebaran dari kawasan bergambut pada kelompok ini terletak di sepanjang kiri kanan Jalan Negara, seperti : • Jalan Trans Kalimantan yang menghubungkan Palangka Raya – Kuala Kapuas – Banjarmasin;
• Jalan Negara yang menghubungkan Sampit – Ujung Pandaran, Sampit – Kuala Pembuang, Palangka Raya – Tumbang Talaken – Tumbang Jutuh, Kotawaringin – Sukamara, dan lain-lain. Menjadi terlantar karena pada umumnya kawasan bergambut pada kelompok ini berdasarkan sistem Tata Ruang Propinsi Kalimantan Tengah (RTRWP) sudah tidak lagi merupakan Kawasan Hutan Tetap di satu sisi, sedangkan di sisi lain di claim oleh masyarakat sebagai areal tanah milik mereka, tetapi tidak digarap atau diolah sebagaimana mestinya. Kelompok ini lebih tepat disebut sebagai lahan gambut terlantar atau lahan tidur yang bergambut. 5. Kawasan Bergambut yang Diolah Masyarakat Kelompok terakhir dari kawasan bergambut yang terdapat di wilayah Propinsi Kalimantan Tengah adalah kawasan bergambut yang telah diolah oleh masyarakat, atau dengan kata lain dapat disebut sebagai lahan gambut produktif. Kawasan bergambut pada kelompok ini (lahan gambut produktif) umumnya terdiri dari :
Partisipasi Masyarakat dalam Upaya Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan (Studi Kasus di Desa Kalampangan, Kecamatan Sebangau, Palangkaraya, Kalimantan Tengah) M. Andri Hakim A. dan Dica Erly Andjarwati a. Kawasan bergambut yang dijadikan sebagai kawasan pemukiman melalui program transmigrasi, dan b. Kawasan bergambut yang dikelola menjadi lahan-lahan perkebunan besar swasta (kelapa sawit), serta c. Kawasan bergambut yang dikelola masyarakat setempat baik sebagai lahan perkebunan maupun hasil hutan ikutan lainnya (seperti kebun kelapa, kebun karet, budidaya jelutung, kebun rotan, dan lain-lain). HASIL DAN PEMBAHASAN Partisipasi Masyarakat Kalimatan Tengah
di
Lahan
Gambut
Dalam partisipasi masyarakat di lahan gambut, khususnya kawasan lahan gambut yang dikelola oleh masyarakat maka kemampuan masyarakat dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam tanpa merusak lingkungan merupakan bentuk partisipasi masyarakat lahan gambut yang perlu ditingkatkan.
Berbagai bentuk peran masyarakat yang dapat diterapkan di lahan gambut seyogianya dapat menciptakan kesempatan kerja, peluang usaha dan hal-hal yang dapat meningkatkan kesejahteraan sekaligus menjaga lingkungan lahan gambut tetap lestari dan sesuai dengan kaidah-kaidah ekologis antara lain : 1. Mencegah dan Menanggulangi Kebakaran Lahan Gambut. Kebakaran lahan gambut merupakan permasalahan nasional yang memiliki implikasi secara sosial, ekonomi dan lingkungan sekitarnya. Lebih baik mencegah daripada menanggulangi sebaiknya dapat dimulai dengan meningkatkan partisipasi masyarakat di lahan gambut, selain itu dalam mempersiapkan adanya kebakaran tersebut, pemerintah dapat membentuk, melatih dan memperkuat satuan pemadam kebakaran lahan dan hutan yang anggotanya adalah masyarakat yang berlokasi di sekitar lahan gambut. 2. Mendukung Gambut.
Kegiatan
Pemerhati
Lahan
Karakteristik gambut yang memiliki berbagai keanekaragaman hayati maupun fauna yang khas, menyebabkan sumber daya alam di lahan gambut banyak memperoleh perhatian dari berbagai kalangan. Para pemerhati lingkungan,
peneliti, wisatawan baik ditingkat nasional maupun internasional seringkali melakukan kunjungan maupun observasi. Masyarakat dapat berpartisipasi dalam mendukung kegiatan pemerhati lingkungan lahan gambut antara lain sebagai pemandu, informan, maupun membantu dalam penyediaan sarana transportasi dan akomodasi.
3. Mendukung Kegiatan Rehabilitasi Lahan Gambut Upaya rehabilitasi lahan gambut memerlukan dukungan tenaga kerja yang cukup banyak terutama di bidang pembibitan tanaman, penanaman, dan pemeliharaan. Seringkali program rehabilitasi lahan gambut dengan penanaman pohon mengalami kegagalan karena tidak dilibatkannya unsur masyarakat dalam melakukan pemeliharaan tanaman tumbus pasca penanaman.
Partisipasi masyarakat di lahan gambut sangat diperlukan dalam mendukung kegiatankegiatan rehabilitasi. Untuk mendukung partisipasi tersebut, peningkatan keterampilan teknis, manajemen, permodalan, serta mediasi dengan sektor-sektor tekait dengan mitra kerja lainnya, sangat diperlukan oleh masyarakat agar mereka dapat mengisi kesempatan kerja tersebut. 4. Penerapan Sistem Agroforestry
Sistem agroforestry dapat memberikan sebuah solusi dalam membuka kesempatan kerja untuk meningkatkan optimalisasi pemanfaatan lahan gambut bagi komoditas pertanian yang lebih produktif. Masyarakat lahan gambut dapat berperan sebagai bagian dari sistem agroforestry. Perkebunan Hutan Tanaman Industri (HTI) oleh swasta di lahan gambut dangkal, merupakan contoh peluang lapangan kerja bagi masyarakat terutama petani di sekitar perkebunan.
5. Penerapkan Sistem Usaha Tani Terpadu Di Indonesia, budidaya pertanian di lahan gambut secara tradisional sudah dimulai sejak ratusan tahun lalu oleh Suku Dayak, Bugis, Banjar, dan Melayu dalam skala kecil. Mereka memilih lokasi dengan cara yang cermat, memilih komoditas yang telah teruji, dan dalam skala yang masih terdukung oleh alam (Sri Najiyati, dkk, 2005).
5
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010
Peluang usaha tani terpadu sebenarnya berpeluang untuk diterapkan di lahan gambut dangkal seperti tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan, dan peternakan secara berkelanjutan. Konsep usaha tani terpadu yang diterapkan di lahan gambut dapat meningkatkan partisipasi masyarakat sekaligus sebagai potensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di lahan gambut.
Komposisi sistem tanam tumbuh yang telah direncanakan secara tepat perlu diperhatikan seperti tanaman kehutanan dan perkebunan dapat dipanen dalam jangka panjang. Sementara tanaman pangan dan hortikultura dapat dipanen dalam jangka pendek. Di sisi lain, perairan di lahan gambut memberikan potensi yang dapat mendukung dimanfaatkan untuk budidaya perikanan. Komoditas ternak seperti ayam, itik, kerbau, dan sapi dapat dipelihara sebagai keterpaduan masyarakat lahan gambut, adapun kotorannya dapat digunakan sebagai pupuk atau bahan pembuat kompos.
Sistem usaha tani terpadu yang dikembangkan masyarakat dapat meningkatkan partisipasi masyarakat yang didukung oleh jaringan tata air yang menekankan kaidahkaidah ekologis seperti: • Tidak menyebabkan kekeringan lahan, • Penataan lahan yang sesuai,
• Pemilihan komoditas yang sesuai, dan
• Penggunaan teknologi budi daya yang tepat
6. Pemanfaatan Saluran Air di Lahan Gambut Penabatan terhadap saluran-saluran/ parit di lahan gambut yang ditinggalkan pemilik/ pengelolanya berpotensi sebagai sarana budi daya perikanan. Di beberapa lokasi dalam kawasan hutan gambut, banyak dibuat parit/saluran yang berfungsi sebagai sarana transportasi kayu hasil tebangan.
Beberapa kasus kanal-kanal ilegal yang digunakan dalam pendistribusikan kayu oleh oknum, telah ditinggalkan oleh para pemiliknya pada saat kawasan tersebut sudah habis produksi. Dampak kanal atau saluran yang ditinggalkan tersebut, berpotensi menguras air gambut dan menyebabkan lahan gambut mengalami kekeringan di musim kemarau dan pemicu terbakarnya gambut. Pembuatan tabat atau bendungan pada saluran-saluran semacam itu, akan menciptakan genangan air semacam kolam memanjang yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana budidaya ikan dan akhirnya meningkatkan pendapatan/ perekonomian masyarakat di sekitarnya (Najiyati, dkk, 2005) Masyarakat Lahan Kalampangan
Gambut
di
Desa
Desa Kalampangan terletak 18 km bagian utara kota palangkaraya, provinsi Kalimantan Tengah. Desa ini terdiri dari 3.183 jiwa menempati areal seluas 46,25 Km2, yang merupakan profil pedesaan yang berhasil di lahan gambut. Keberhasilan desa Kalampangan ditunjang oleh sektor hortikultura dan ternak..
Desa Kalampangan termasuk desa eks trans yang mulai dibuka sejak tahun 1979 dan ditempati mulai tahun 1980-81. Walaupun kegiatan pemanfaatan lahan gambut dibangun diatas tanah gambut yang bervariasi termasuk tanah gambut dalam yaitu kurang lebih 4 meter yang merupakan tanah yang bermasalah dan marjinal, namun desa ini mampu memanfaatkan lahan gambut secara maksimal dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Gambar 1. Peta Desa Kalampangan
6
Dalam pemanfaatan lahan gambut untuk usaha pertanian di Desa kalampangan, terlihat belum begitu banyak pengetahuan lokal yang berkembang sebagai kearifan dari masyarakatnya dalam mendayagunakan sumberdaya lahan gambut. Upaya mempertahankan kelangsungan hidupnya petani di lahan gambut tetap berupaya memahami dan memanfaatkan lingkungan lahan gambut yang mereka geluti. Petani suku Jawa eks transmigrasi di
Partisipasi Masyarakat dalam Upaya Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan (Studi Kasus di Desa Kalampangan, Kecamatan Sebangau, Palangkaraya, Kalimantan Tengah) M. Andri Hakim A. dan Dica Erly Andjarwati Desa Kalampangan cukup dinamis dalam memahami lahan gambut karena mereka telah memperoleh informasi yang memadai mengenai karakteristik lahan gambut dari aparat pembinanya.
Bentuk Partisipasi Pengelolaan Lahan Gambut Oleh Masyarakat Seiring dengan perjalanan waktu, lahan gambut yang dikelola oleh masyarakat setempat, yang pada awalnya merupakan sebuah hal kebiasaan yang berbasis pada pengetahuan lokal ini terus berkembang, diperbaiki dan diperkaya oleh para pendukungnya sehingga menjadi sistem pengetahuan yang mantap, adaptif dan efektif. Interaksi mereka yang cukup lama dan intens dengan jenis tanah ini, melalui pengamatan serta trial and error telah berkembang berbagai pengetahuan yang menjadi kearifan lokal petani pada masing-masing komunitas penggarap lahan gambut. Beberapa kegiatan pengelolaan lahan gambut yang telah dikembangkan oleh petani di Desa kalampangan, Kalimantan Tengah di antaranya :
1. Usaha-usaha Masyarakat Dalam Meningkatkan Kesuburan Lahan Gambut Untuk meningkatkan kesuburan lahan gambut, umumnya petani di Kalimantan menggunakan abu. Abu ini mereka peroleh secara beragam. Petani di Desa Kalampangan memanfaatkan abu sisa kebakaran lahan gambut pada musim kemarau atau memang membuat abu tersebut dari pembakaran gulma dan sisasisa tanaman. Pemberian abu pada lahan bukaan baru juga memperhitungkan kondisi lapisan gambutnya, meskipun umumnya diberikan dengan takaran sebanyak 6 kg/m2. Lahan siap ditanami apabila lapisan gambut yang berwarna merah berubah warnanya menjadi abu-abu kekuningan setelah diberikan abu. Untuk tanah bukaan baru yang agak bagus, biasanya cukup dengan memberikan abu sebanyak 4 kg/m2 warnanya sudah akan berubah menjadi abuabu kekuningan dan siap ditanami. Petani sayur di Kalampangan memberikan abu dan pupuk kandang untuk sayur-sayuran daun sebanyak 2 kali. Untuk sayur-sayuran mereka memberikannya sedikit demi sedikit tetapi dilakukan setiap 1- 2 kali panen. Pupuk kandang dan abu ini langsung ditaburkan di bidang pertanaman pada musim hujan, tetapi pada musim kemarau biasanya dicairkan terlebih dahulu. Pupuk kandang umumnya digunakan di
sentra-sentra sayur-sayuran lahan gambut yang juga menjadi sentra pengembangan ternak sapi (Noorginayuwati, 2006)
2. Usaha-usaha masyarakat dalam Menghindari Terjadinya Kebakaran Kebakaran lahan merupakan salah satu masalah yang selalu menghantui petani yang mengelola lahan gambut untuk usahatani. Pada tahun 2006 terjadi kebakaran lahan yang mengakibatkan ratusan hektar tanaman karet usia muda dan produktif yang hangus terbakar. Warga tidak bersikap siaga untuk mengatasinya, bahkan ketika kebakaran lahan menghanguskan pemakaman umum, jalan dan jembatan di pemukiman mereka. Daerah-daerah yang telah memanfaatkan lahan gambut secara intensif, mengupayakan penanggulangan kebakaran lebih banyak dilakukan secara individual oleh masing-masing pemilik lahan. Petani membuat tempat khusus (pondok) untuk membakar gulma dan sisa-sisa tanaman. Selain itu mereka juga membuat paritparit di sekeliling lahan usahataninya agar lahan selalu berair sehingga tetap basah dan dapat terhindar dari kebakaran. Begitu pula ketika mereka membuka lahan baru untuk memperluas lahan usahataninya, mereka tidak melakukan pembakaran tetapi menumpuk sisa-sisa tumbuhan untuk dibakar pada suatu tempat tertentu di sudut lahannya. Semua ini dilakukan dengan kehati-hatian dan siaga dalam menghadapi segala kemungkinan.
3. Kebiasaan Masyarakat dalam Mengatur Pengelolaan Air Lahan Gambut Petani di Desa Kalampangan membuat parit dan pintu air untuk mempertahankan ketebalan lapisan gambut di lahan usahataninya. Parit dibuat berupa saluran (dalam 50 cm dan lebar 40 cm) di sekeliling lahan dengan ukuran panjang 175 m dan lebar 100 m, dimana di tengahtengah lahan dibuat lagi satu saluran cacing (dalam 20 cm dan lebar 20 cm) yang membelah lahan menjadi empat bagian (Noorginayuwati, 2006) Saluran yang memanjang bermuara pada satu parit yang lebih besar di depan atau di depan rumah mereka. Parit keliling ini tidak pernah ditutup agar pada saat terjadi hujan lebat secara tiba-tiba lahan tidak tergenang. Penutupan hanya dilakukan pada saluran cacing supaya lahan tidak terlalu kering.
7
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010
4. Teknologi Budidaya, Pola Tanam dan Peralatan Pertanian. Menurut petani di Desa Kalampangan tidak semua tanaman cocok ditanam di lahan gambut. Untuk itu petani melakukan pemilihan jenis tanaman yang disesuaikan dengan kondisi ketebalan gambut. Penentuan jenis-jenis tanaman yang dianggap cocok dengan kondisi lahan pada awalnya dilakukan secara coba-coba (trial and error). Kemudian dikembangkan sebagai suatu pola tanam yang bertujuan untuk mencegah berkurangnya kesuburan tanah, strategi untuk diversifikasi dalam rangka mengurangi resiko, dan jaminan kontinuitas pendapatan sepanjang tahun. Pada awal lahan gambut dibuka atau pada lahan gambut yang masih tebal petani umumnya menanam sayur-sayuran dan palawija. Petani di Desa kalampangan menanam sayurannya dengan sistem pergiliran. Mereka umumnya melakukan penanaman secara intensif di lahan pekarangannya dengan menanam sawi, kangkung, dan bayam. Ketiga tanaman ini paling dominan ditanam petani karena dianggap mudah penanganannya, biayanya murah dan panennya cepat, meskipun bila terjadi over supply harganya menjadi sangat murah. Penanaman selain sawi, kangkung dan bayam, petani juga melakukan penanaman secara tumpang sari antara jagung + sawi atau jagung + kangkung serta sayur manis + tomat. Dalam hal ini jagung dan tomat dianggap sebagai penyapu sisa pupuk yang diberikan. Selain itu petani juga menanam lombok, seledri, kemangi dan kacang panjang. Petani beranggapan sumber air merupakan hal penting dalam usahatani di lahan gambut. Oleh karena itu petani di Desa Kalampangan telah membuat sumur yang dalam di lahan usahataninya, sehingga terlihat hampir semua rumah tangga petani di Desa Kalampangan telah memiliki mesin pompa air sebagai kelengkapan usahataninya di lahan gambut. Untuk usaha taninya, para petani di Desa Kalampangan telah menciptakan cangkul garpu dalam pengolahan tanah. Cangkul ini dimodifikasi dari cangkul biasa yang kemudian dibelah sehingga menyerupai garpu. Cangkul ini sangat cocok untuk mengolah lahan gambut karena tanah tidak lengket dan dapat langsung mencacah lapisan gambut yang dicangkul. 5. Pengembangan Teknologi Kearifan Lokal dan Transfer Pengetahuan Teknologi kearifan lokal yang dikembangkan oleh suatu komunitas pada umumnya akan
8
berkembang secara luas dalam komunitas tersebut. Apabila komunitas tersebut cukup terbuka dengan komunitas lainnya maka teknologi kearifan lokal itu juga dapat berkembang dengan cepat pada komunitas lainnya. Kearifan lokal yang mudah berkembang biasanya berupa teknologi yang dianggap berdaya guna dan berhasil guna tinggi. Cangkul garpu yang dikembangkan oleh petani suku Jawa di Kalampangan berkembang dan digunakan secara luas di seluruh wilayah itu. Dalam hal ini transfer pengetahuan berlangsung dari mengamati, mencoba dan merasakan manfaatnya. Berkembangnya peralatan ini didukung pula oleh adanya pengrajin (pandai) besi yang mampu memodifikasi cangkul biasa menjadi cangkul garpu. KESIMPULAN & SARAN Kesimpulan • Kegiatan pengelolaan kawasan bergambut yang dilakukan oleh masyarakat di desa Kalampangan merupakan bentuk pemanfaatan lahan gambut yang dikelola secara arif dan mematuhi kaidahkaidah ekologis. • Bentuk partisipasi pengelolaan lahan gambut oleh masyarakat petani di Desa Kalampangan merupakan contoh partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lahan gambut yang berwawasan lingkungan antara lain : • Pembuatan parit-parit di sekeliling lahan budidayanya dalam menghindari terjadinya kebakaran dan mencegah gambut mengalami kekeringan; • Penerapan pengaturan tata kelola air lahan gambut; • Penggunaan abu dan pupuk dalam meningkatkan kesuburan lahan gambut, dan • Alih pengetahuan budidaya, pola tanam dan peralatan pertanian kepada masyarakat sekitarnya. Saran
Penelitian ini terbatas hanya pada contoh wilayah lahan gambut yang memang telah dikelola oleh masyarakat, dengan luasan yang terbatas (desa kalampangan) oleh karenanya diperlukan pengkajian khusus terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan bergambut yang masih berupa hutan (Kawasan Hutan) serta partisipasi masyarakat di kawasan konservasi seperti kawasan gambut yang diperuntukkan untuk Taman Nasional, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Cagar Budaya, Taman Wisata, Hutan Lindung, termasuk Kawasan Konservasi Air Hitam.
Partisipasi Masyarakat dalam Upaya Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan (Studi Kasus di Desa Kalampangan, Kecamatan Sebangau, Palangkaraya, Kalimantan Tengah) M. Andri Hakim A. dan Dica Erly Andjarwati DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik Kota Palangkaraya, Kota Palangkaraya Dalam Angka 2010. Budiarti, L. Penerapan Co-Management dalam Pengelolaan Lingkungan Menuju Pembangunan Berkelanjutan di Jawa Tengah. Disertasi. Sekolah Pasca sarjana UGM. Yogyakarta. 2006. Harjowigeno. Tim Fakultas Pertanian IPB. 1996 Hikmat, H. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora Utama Press: Bandung. 2004. Kasryno, F dan C. A. Rasahan. Peranan Penelitian Sosial Ekonomi Dalam Perumusan Kebijaksanaan Pertanian. Prosiding Teknis Penelitian Sosial Ekonomi dalam Perakitan Paket Teknologi Pertanian. Pusat Penelitian Agronomi Badan Litbangtan: Bogor. 1989. Komarudin. Pengkajian Potensi dan Sistem Pemanfaatan Lahan Gambut Di Kalimantan Tengah dalam Prosiding Seminar Hasil Penelitian/Pengkajian untuk Mendukung Pengembangan Lahan Rawa/Gambut Sejuta Hektar Di Kalimantan Tengah. Badan Penelitian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian: Palangka Raya. 1998. Limin, Suwido H. 2006. Pemanfaatan Lahan Gambut dan Permasalahannya. Makalah Workshop Gambut dengan Tema: Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Pertanian, Tepatkah? Jakarta 22 November 2006. Maas, A. Lahan Rawa sebagai Lahan Pertanian Kini dan Masa Depan dalam Prosiding Seminar Nasional Pertanian Lahan Kering dan Lahan Rawa. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan: Banjarbaru. 2002. Mitchell, B., Setiawan B., dan Rahmi D. H. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. 2007. Moleong, Lexi, J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya: Bandung. 2002. Noor, M., Agus Supriyo, Sudirman Umar dan Isdijanto Ar-Riza. Budidaya Padi Di Lahan Gambut dalam Prosising Seminar Penelitian Sistem Usahatani Lahan gambut Kalimantan Selatan. 1991. Noorginayuwati dan M. Noor. “Karakteristik Agrofisik Lahan dan Sosial Ekonomi Penyebab dan Dampak Kebakaran Gambut”. Kalimantan Agrikultural Vol. 6(3). Jurnal
Fakultas Pertanian UNLAM Banjarmasin. 1999. Noorginayuwati, A. Rafieq, Y. Rina, M. Noor dan Achmadi, 2006. Penggalian Kearifan Lokal Petani untuk Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan. Laporan Hasil Penelitian Balittra. BBSDL. Noorginayuwati, A. Rapieq, M. Noor, dan Achmadi, Kearifan Budaya Lokal dalam Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Pertanian di Kalimantan, Balai penelitian pertanian lahan rawa. 2007. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2001 Tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan. Pemanfaatan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah, http://kalimantankita.blogspot.com, diakses 10 September 2010 Suparjan dan Suyatno H, 2003. Pengembangan Masyarakat : Dari Pembangunan Sampai Pemberdayaan. Aditya Media. Yogyakarta. Sri Najiyati, Agus Asmana, I Nyoman N.Suryadiputra, 2005. Pemberdayaan masyarakat di lahan gambut, Westland International. Syam, H. Nur, 2005. Model-model Pemberdayaan Masyarakat, Pustaka Pesantren, Yogyakarta. Suparjan dan Suyatno H, 2003. Pengembangan Masyarakat : Dari Pembangunan Sampai Pemberdayaan. Aditya Media. Yogyakarta. Sri Najiti, Pemberdayaan Masyarakat di Lahan Gambut, Wetlands International – Indonesia Programme, 2005 Saeri sagiman, pemanfaatan lahan gambut dalam perspektif pertanian berkelanjutan
9