V. PERHITUNGAN DAMPAK DAN ANALISA HASIL Seperti yang telah dijelaskan dalam bagian metodologi, studi ini menganalisa dampak Program KUR baik dari sisi makroekonomi maupun mikroekonomi. Analisa dampak makroekonomi dari Program KUR dilakukan dengan menggunakan model SAM/SNSE Financial (data tahun 2005) dan dukungan data sekunder (untuk shock-nya dan tenaga kerja), sedangkan dampak mikroekonomi dianalisa dengan menggunakan analisa crosstabs dan model ekonometrika dengan dukungan data primer. 5.1. Dampak Makroekonomi Analisa dampak makroekonomi dengan menggunakan model SAM Financial dilakukan dengan mengasumsikan bahwa shock yang terjadi dalam perekonomian nasional adalah shock berupa kredit modal kerja (KMK) dan kredit investasi (KI) melalui neraca Kapital dengan skema Program KUR. Hal ini dilakukan karena selain tidak munculnya Program KUR sebagai sektor tersendiri dalam data SAM Financial Indonesia yang ada, data SAM Financial yang ada juga tidak membedakan shock antara KMK dan KI yang berasal dari Program KUR dan program selain KUR untuk suatu nilai shock yang besarnya sama. Selain itu, karena ketersediaan data SAM Financial yang ada sampai saat studi ini dilakukan adalah data SAM Financial Indonesia tahun 2005, yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Indonesia (BI) pada tahun 2008 melalui pengembangan data SAM Indonesia tahun 2005, maka hubungan antar sektor yang terjadi dalam perekonomian nasional diasumsikan tetap antara tahun 2005 sampai dengan tahun 2009. Sebelum dilakukan analisa lebih jauh mengenai dampak dari KMK dan KI melalui skema Program KUR tersebut, terlebih dahulu dilakukan analisa terhadap berbagai nilai pengganda yang terdapat dalam model SAM Financial dengan data tahun 2005 sebagai gambaran hubungan antar berbagai sektor yang terjadi dalam perekonomian Indonesia.
101
5.1.1. Analisa Pengganda SNSE Financial 2005 Analisis awal yang umumnya dilakukan dari pengganda SNSE, baik yang biasa maupun yang finansial, adalah menganalisa nilai pengganda output (dalam sektor produksi) dari adanya perubahan sektor eksogen yang terjadi. Dalam studi ini yang menggunakan SNSE Financial 2005, sektor eksogen yang dimaksud adalah berupa KMK dan KI yang diinjeksikan ke dalam matriks invers Leontief melalui neraca kapital, yaitu kapital dalam lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, perusahaan bukan keuangan, dan rumah tangga. Hasil perhitungan nilai pengganda output akibat dari perubahan kapital untuk setiap nilai satu satuan (yaitu Rp. Milyar) KMK dan/atau KI yang diinjeksi secara rinci dapat dilihat dalam Tabel 5.1. Tabel 5.1 Nilai Pengganda Output/Sektor Produksi Akibat Perubahan Kapital No.
Sektor Produksi
1 2 3 4 5
Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan,Hotel & Restoran Pengangkutan & Komunikasi Keuangan Sektor Lainnya Total
6 7 8 9
Lembaga Keuangan Bank 0.1331 0.0670 0.5200 0.0177 0.4484
Lembaga Keuangan Bukan Bank 0.2411 0.1226 0.9371 0.0320 0.8181
Perusahaan Bukan Keuangan 0.4901 0.2502 1.9034 0.0651 1.6603
0.1880
0.3399
0.6906
0.4544
0.0883
0.1599
0.3249
0.2140
0.0843 0.0872 1.6341
0.1532 0.1593 2.9632
0.3115 0.3253 6.0213
0.2054 0.2113 3.9772
Rumah Tangga 0.3226 0.1630 1.2492 0.0429 1.1144
Sumber: Hasil Pengolahan, 2010
Dari Tabel 5.1, ditunjukkan bahwa secara umum, dalam analisa SNSE Financial, nilai-nilai pengganda yang diperoleh lebih besar dibandingkan dengan hasil dari analisa SNSE biasa. Hal tersebut menunjukkan bahwa peranan dari sektor keuangan dan moneter dalam perekonomian cukup signfikan besarnya. Selain itu, output yang tercipta dari sistem keuangan umumnya lebih besar dibandingkan dengan investasi biasa dikarenakan terdapatnya seleksi dan 102
pengawasan yang cukup ketat dan efisiensi dalam alokasi dari nilai uang yang ada (Jia Li, 2008). Bila membandingkan nilai pengganda output/sektor produksi diantara pemilik kapital (institusi), maka nilai pengganda output terbesar tercipta dalam perusahaan bukan lembaga keuangan yang sebesar 6,0213, yang disusul oleh rumah tangga dengan nilai sebear 3,9772. Nilai pengganda output/sektor produksi akibat perubahan kapital pada perusahaan bukan lembaga keuangan yang sebesar 6,0213 berarti bahwa apabila ada shock di neraca kapital perusahaan bukan lembaga keuangan berupa peningkatan (penurunan) sebesar satu satuan (misalkan Rp 1 milyar) dengan asumsi yang lain tetap (ceteris paribus), maka output dalam perekonomian secara keseluruhan akan mengalami peningkatan (penurunan) sebesar 6,0213 satuan (atau sebesar Rp. 6,0213 milyar). Dari
nilai-nilai
pengganda
output/sektor
produksi
tersebut
juga
menunjukkan bahwa apabila Pemerintah ingin lebih menstimulasi output dalam perekonomian, maka alokasi penambahan kapital (misalnya melalui kredit) diprioritaskan pada perusahaan bukan lembaga keuangan. Sementara itu, rumah tangga mendapatkan prioritas kedua, lembaga keuangan bukan bank mendapatkan prioritas ketiga, dan prioritas terakhirnya adalah lembaga keuangan bank. Sedangkan bila dilihat dari sisi sektor produksinya, baik nilai pengganda output akibat perubahan kapital dalam lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, perusahaan bukan keuangan maupun akibat perubahan kapital dalam ruma tangga, nilai pengganda output terbesar secara umum terjadi di sektor industri pengolahan, yang disusul oleh sektor bangunan dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Pengganda faktor produksi dan pengganda pendapatan dari SNSE Financial Indonesia tahun 2005 ternyata memiliki pola yang sama dengan pengganda output/sektor produksi, dimana nilai-nilai pengganda tersebut diantara pemilik kapital, nilai pengganda faktor produksi dan pengganda pendapatan terbesar tercipta dalam perusahaan bukan lembaga keuangan yang sebesar dan disusul oleh rumah tangga. Hasil perhitungan nilai pengganda faktor produksi dan
103
pengganda pendapatan tersebut masing-masing terinci dalam Tabel 5.2 dan Tabel 5.3 berikut ini: Tabel 5.2 Nilai Pengganda Faktor Produksi Akibat Perubahan Kapital Deskripsi Tenaga Kerja Bukan Tenaga Kerja Total
Lembaga Keuangan Bank 0.1832 0.1693 0.3525
Lembaga Keuangan Bukan Bank 0.3323 0.3072 0.6395
Perusahaan Bukan Keuangan 0.6756 0.6244 1.3000
Rumah Tangga 0.4456 0.4118 0.8575
Sumber: Hasil Pengolahan, 2010
Tabel 5.3 Nilai Pengganda Pendapatan Akibat Perubahan Kapital Institusi PerusaHaan Rumah Tangga
Lembaga Bank Keuangan Bukan Bank Perusahaan Bukan Keuangan Miskin Desa Tidak Miskin Miskin Kota Tidak Miskin Total
Lembaga Keuangan Bank 0.0134 0.0047 0.0967 0.0045 0.0886 0.0025 0.1491 0.3596
Lembaga Keuangan Bukan Bank 0.0242 0.0086 0.1755 0.0082 0.1607 0.0045 0.2706 0.6524
Perusahaan Bukan Keuangan 0.0493 0.0175 0.3567 0.0166 0.3268 0.0092 0.5500 1.3261
Rumah Tangga 0.0325 0.0115 0.2353 0.0109 0.2155 0.0061 0.3628 0.8747
Sumber: Hasil Pengolahan, 2010
Sesuai hasil perhitungan nilai pengganda faktor produksi akibat perubahan kapital seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 5.2, nilai pengganda tertinggi secara umum terdapat dalam tenaga kerja. Walaupun tidak terlalu jauh perbedaannya dengan nilai pengganda faktor produksi bukan tenaga kerja, namun dari nilai pengganda yang lebih tinggi dalam faktor produksi tenaga kerja dapat dinyatakan bahwa shock yang terdapat dalam neraca kapital, secara umum menciptakan faktor produksi berupa tenaga kerja yang lebih banyak dibandingkan dengan jenis faktor produksi yang lain, atau dengan kata lain lebih bersifat padat tenaga kerja. Nilai pengganda faktor produksi akibat perubahan kapital dalam perusahaan bukan keuangan yang sebesar 1,3000 artinya adalah apabila terdapat shock pada neraca kapital untuk perusahaan bukan keuangan berupa peningkatan 104
(penurunan) sebesar Rp. 1 milyar, ceteris paribus, maka faktor produksi secara keseluruhan akan mengalami peningkatan (penurunan) sebesar Rp. 1,3 milyar, yang terdiri dari faktor produksi tenaga kerja senilai Rp.675,6 juta dan faktor produksi bukan tenaga kerja senilai Rp. 624,4 juta. Sedangkan untuk nilai pengganda pendapatan akibat perubahan kapital dalam perusahaan bukan keuangan yang sebesar 1,3261 berarti bahwa apabila terdapat shock pada neraca kapital untuk perusahaan bukan keuangan berupa peningkatan (penurunan) sebesar Rp. 1 milyar, ceteris paribus, maka pendapatan secara keseluruhan akan mengalami peningkatan (penurunan) sebesar Rp. 1,3261 milyar. Dalam nilai pengganda pendapatan, apabila dilihat dari institusi penerimanya, nilai pengganda tertinggi terjadi di rumah tangga kota dengan kategori tidak miskin dan disusul secara berurutan masing-masing oleh perusahaan bukan keuangan dan rumah tangga desa tidak miskin. Sementara itu, rumah tangga miskin baik di kota maupun desa memiliki nilai pengganda pendapatan yang terkesil dibandingkan dengan yang lain. Hal ini terjadi baik untuk nilai pengganda pendapatan akibat perubahan kapital pada lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, perusahaan keuangan bukan bank, maupun pada rumah tangga. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa apabila terjadi shock berupa peningkatan dalam neraca kapital, baik melalui lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, perusahaan keuangan bukan bank, maupun pada rumah tangga yang besarnya sama, maka peningkatan ketimpangan pendapatan menjadi suatu hal yang tidak terelakkan karena dampak pendapatannya yang cukup besar untuk kelompok yang tidak miskin dan cukup kecil dampaknya untuk kelompok miskin. Nilai pengganda pendapatan untuk kelompok/rumah tangga miskin terbesar terjadi pada perusahaan bukan keuangan, namun hal ini juga diringi dengan semakin besarnya nilai pengganda untuk kelompok/rumah tangga yang tidak miskin. Sehingga, bila Pemerintah ingin lebih menstimulasi pendapatan masyarakat miskin (baik di perkotaan maupun perdesaan,
namun
dengan
asumsi
mengacuhkan/membiarkan
terjadinya
ketimpangan) melalui neraca kapital, maka hal tersebut dapat dilakukan dengan memprioritaskan alokasi shock melalui neraca kapital pada perusahaan bukan keuangan. 105
Berbeda dengan pola nilai pengganda untuk output/sektor produksi, faktor produksi, dan pendapatan, nilai pengganda kapital akibat perubahan kapital (pengganda transfer) terbesar terjadi dalam rumah tangga, yang disusul secara berurutan oleh lembaga keuangan bukan bank, perusahaan bukan keuangan, dan lembaga keuangan bank. Hasil perhitungan untuk nilai pengganda kapital akibat perubahan kapital (pengganda transfer) secara rinci dapat dilihat dalam Tabel 5.4.
Tabel 5.4. Nilai Pengganda Kapital Akibat Perubahan Kapital (Pengganda Transfer) Institusi Lembaga Keuangan Bank Lembaga Keuangan Bukan Bank Perusahaan Bukan Keuangan Rumah Tangga Total
Lembaga Keuangan Bank 0.9926 0.0346 0.3574 0.3249 1.7095
Lembaga Keuangan Bukan Bank 0.2141 1.1333 0.7241 0.1695 2.2410
Perusahaan Bukan Keuangan 0.1116 0.0246 1.5578 0.1270 1.8210
Rumah Tangga 0.4271 0.0924 0.8181 1.2020 2.5396
Sumber: Hasil Pengolahan, 2010
Bila dilihat dari nilai pengganda transfernya menurut institusi, nilai pengganda transfer akibat perubahan kapital yang terbesar adalah perusahaan bukan keuangan, yaitu sebesar 1,5578, yang disusul oleh pengganda transfer rumah tangga yang sebesar 1,2020. Nilai pengganda trasfer akibat perubahan kapital pada rumah tangga yang memeiliki nilai terbesar, yaitu sebesar 2,5396 artinya adalah bahwa apabila terdapat shock dalam neraca kapital rumah tangga berupa peningkatan (penurunan) sebesar Rp. 1 milyar, ceteris paribus, maka kapital yang terbentuk dalam perekonomian adalah sebesar Rp. 2,5396 milyar. Nilai pengganda kapital yang terbesar tersebut juga menunjukkan bahwa apabila Pemerintah bertujuan untuk lebih menstimulasi pembentukan kapital dalam perekonomian, maka alokasi anggaran yang ada lebih diprioritaskan untuk rumah tangga, dibandingkan dengan yang lain. Pola pengganda finansial juga ternyata berbeda dari pengganda output, pengganda faktor produksi, pengganda pendapatan, dan pengganda kapital. Hasil perhitungan nilai pengganda pendapatan akibat dari perubahan kapital secara rinci ditunjukkan dalam Tabel 5.5. Dari nilainya, terlihat bahwa nilai pengganda 106
finansial akibat perubahan kapital terbesar terjadi dalam rumah tangga, yaitu sebesar 1,6509. Nilai pengganda yang sebesar 1,6509 artinya adalah bahwa apabila terdapat shock berupa peningkatan (penurunan) pada neraca kapital rumah tangga sebesar Rp. 1 milyar, ceteris paribus, maka output dalam sektor finansial akan mengalami peningkatan (penurunan) sebesar Rp. 1,6509 milyar. Sementara itu, bila dilihat lebih rinci menurut instrumen finansialnya, nilai pengganda finansial akibat perubahan kapital terbesar secara umum terjadi dalam instrumen finansial lainnya, kecuali lembaga keuangan bukan bank dimana yang terbesar adalah kredit dagang. Untuk yang terbesar keduanya di setiap neraca kapital, pada neraca kapital lembaga keuangan bank adalah kredit konsumsi, pada lembaga keuangan bukan bank adalah lainnya, pada nerca kapital perusahaan bukan bank adalah modal saham dan penyertaan, dan pada neraca kapital rumah tangga adalah deposito. Sebagai contoh untuk neraca kapital rumah tangga, apabila terjadi shock dalam neraca kapital rumah tangga berupa peningkatan (penurunan) sebesar Rp. 1 milyar, maka dampaknya terhadap instrumen finansial secara keseluruhan adalah peningkatan (penurunan) sebesar Rp. 1,6509 milyar, dimana instrumen finansial terbesar kedua yang terkena dampak adalah deposito yang mengalami peningkatan (penurunan) sebesar Rp. 464,4 juta. Tabel 5.5. Nilai Pengganda Finansial Akibat Perubahan Kapital Instrumen Finansial Giro Tabungan Deposito Surat Berharga Jangka Panjang Lainnya Surat Berharga Jangka Pendek Kredit Konsumsi Kredit Non Bank Kredit Dagang Modal Saham dan Penyertaan Cadangan Asuransi dan Pensiun Lainnya Total
Lembaga Keuangan Bank 0.0249 0.1923 0.1397
Lembaga Keuangan Bukan Bank 0.0040 0.0416 0.2257
Perusahaan Bukan Keuangan 0.0315 0.0187 0.1120
0.0291
0.1664
0.0508
0.0946
0.0272 0.2745 0.0007 0.0245 0.0907 0.0191 0.3059 1.1285
0.0172 0.0592 0.0352 0.3002 0.1704 0.0383 0.2458 1.3041
0.0095 0.0309 -0.0014 0.0471 0.1659 0.0085 0.2072 0.6806
0.0157 0.1181 0.0021 0.0696 0.2883 0.0693 0.4658 1.6509
Rumah Tangga 0.0359 0.0272 0.4644
Sumber: Hasil Pengolahan, 2010
107
5.1.2. Analisa Dampak Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi Melalui Skema KUR Seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, skema Program KUR yang ada merupakan jenis Kredit Modal Kerja (KMK) dan Kredit Investasi (KI). Hal tersebut sesuai dengan pengertian dari KUR itu sendiri yang merupakan kredit/pembiayaan modal kerja dan atau investasi kepada Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi (UMKMK) di bidang usaha yang produktif dan layak namun belum bankable dengan plafon kredit sampai dengan Rp. 500.000.000,(lima ratus juta rupiah) yang sebagian dijamin oleh Perusahaan Penjamin. Semenara itu, dana penyaluran KUR secara keseluruhan (seratus persen) bersumber dari dana Bank Pelaksana yang dihimpun dari dana masyarakat (tabungan, giro, dan deposito) (Menko Perekonomian, 2010).. Dalam SAM Financial, KMK dan KI merupakan jenis-jenis dari instrumen finansial. Karena instumen finansial KMK dan KI yang mengikuti skema Program KUR nantinya merupakan shock-nya, maka kedua jenis instrumen finansial tersebut diasumsikan sebagai eksogen dalam analisa model SAM Financial. Dalam kerangka SAM Financial, shock yang terjadi dalam instrumen financial dapat dianalisa dampaknya melalui transaksi antara neraca kapital (yang pemiliknya terdiri dari beberapa institusi) dan neraca finansial (yang isinya terdiri dari berbagai instrumen finansial), yaitu yang berupa kewajiban karena nantinya dampak yang ada terhadap neraca kapital, dihitung oleh pemilik dari kapital yang ada sebagai kewajiban yang harus dibayarkan kembali oleh pihak penerima (yaitu pemilik kapital itu sendiri), seperti misalnya adalah kredit. Berdasarkan konsep dan pengaturannya, sasaran debitur KUR adalah usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah, koperasi, kelompok usaha, dan lembaga linkage. Kelompok usaha yang dimaksudkan adalah kumpulan orang perorang atau badan usaha (UMKM) yang melakukan kegiatan usaha produktif dan dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan atau kesamaan kondisi lingkungan untuk meningkatkan usaha anggotanya. Sementara itu, yang dimaksud dengan lembaga linkage adalah lembaga yang meneruspinjamkan KUR dari Bank kepada Calon Debitur KUR, yaitu Koperasi Sekunder, Koperasi Primer (Koperasi Simpan Pinjam, Unit Simpan Pinjam Koperasi), Badan Kredit Desa (BKD), Baitul Mal Wa Tanwil (BMT), Bank Perkreditan Rakyat/Syariah (BPR/BPRS), Lembaga 108
Keuangan Non Bank, Kelompok Usaha, dan Lembaga Keuangan Mikro Dari sasaran debitur KUR tersebut, maka terdapat tiga jenis mekanisme penyaluran KUR, yaitu langsung dari Bank Pelaksana ke UMKMK, tidak langsung melalui lembaga linkage dengan pola executing (dimana lembaga linkage secara inisiatif dan sendiri mengajukan kredit ke Bank Pelaksana), dan tidak langsung melalui lembaga linkage dengan pola chanelling (dimana lembaga linkage mewakili UMKMK mengajukan kredit ke Bank Pelaksana) (Menko Perekonomian, 2010). Dengan melihat ketentuan tersebut dan realisasinya oleh Bank Pelaksana, maka apabila disesuaikan dengan sektoral dalam SAM Finansial, dari keempat jenis insitusi yang terdapat dalam neraca kapital, hanya lembaga keuangan bank saja yang tidak mendapatkan alokasi kredit dari Program KUR. Oleh karena itu, dalam analisa dampak dari KMK dan KI yang melalui skema KUR, untuk neraca kapital lembaga keuangan bank diasumsikan tetap/tidak berubah atau sebesar nol. Sementara itu, karena juga tidak tersedia data secara rinci dan lengkap mengenai realisasi penyaluran KMK dan KI menurut institusi penerimanya di setiap perbankan (yang menjadi Bank Pelaksana), maka dengan berdasarkan hasil wawancara terhadap pihak Bank Pelaksana, dibuatlah perkiraan yang umum mengenai alokasi penyaluran KMK dan KI menurut skema Program KUR, yang terinci dalam Tabel 5.6 berikut ini: Tabel 5.6. Asumsi Shock Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi Melalui Skema KUR Asumsi Shock pada Neraca Kapital Lembaga Keuangan Bank Lembaga Keuangan Bukan Bank Perusahaan Bukan Keuangan Rumah Tangga Total Dana KUR (Rp Milyar)
Persentase 0% 10% 20% 70% 100%
Nilai (Rp. Milyar) 0.00 1,698.78 3,397.55 11,891.44 16,987.77
Sumber: Menko Perekonomian RI, 2010
Sejak digulirkannya Program KUR, realisasi penyaluran KMK dan KI sampai dengan Desember 2009 mencapai Rp. 16.99 trilyun, dimana sebagian besar dialokasikan untuk debitur rumah tangga, yang diperkirakan mencapai 70 109
persen dari total penyaluran KUR. Sementara itu, perusahaan bukan keuangan diperkirakan mencapai 20 persen dan lembaga keuangan bukan bank (baik melalui linkage maupun chanelling) hanya sekitar 10 persen dari total penyaluran kredit KMK dan KI melalui skema KUR. Dengan menggunakan asumsi shock seperti yang terinci dalam Tabel 5.6, maka dapat dihitung nilai dampak dari KMK dan KI melalui skema KUR masingmasing terhadap sektor produksi (output dan PDB), faktor produksi, pendapatan, kapital, dan instrumen finansial. Hasil perhitungan dampak dari KMK dan KI melalui skema KUR terhadap sektor produksi, output dan PDB secara rinci dtunjukkan dalam Tabel 5.7 dan Tabel 5.8 berikut ini: Tabel 5.7 Dampak Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi Melalui Skema KUR terhadap Sektor Produksi No.
Sektor Produksi
Nilai Awal (Rp. Milyar)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan,Hotel & Restoran Pengangkutan & Komunikasi Keuangan Sektor Lainnya Total
1,183,169.91 773,018.88 4,567,781.99 185,134.40 1,149,399.08 1,952,908.99 907,427.06 699,370.97 961,004.54 12,379,215.82
Nilai Perubahan (Rp. Milyar) 5,910.72 2,996.79 22,914.11 785.31 20,282.88 8,326.73 3,920.12 3,760.86 3,888.90 72,786.42
Persentase Perubahan (%) 0.50 0.39 0.50 0.42 1.76 0.43 0.43 0.54 0.40 0.59
Sumber: Hasil Pengolahan, 2010
Tabel 5.8 Dampak Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi Melalui Skema KUR terhadap Output dan PDB Deskripsi Output Produk Domestik Bruto (PDB)
Nilai Awal (Rp. Milyar) 5,637,655.81 2,896,944.65
Nilai Perubahan (Rp. Milyar) 33,147.88 17,033.25
Persentase Perubahan (%) 0.59 0.59
Sumber: Hasil Pengolahan, 2010
110
Dari Tabel 5.7, terlihat bahwa alokasi penyaluran KMK dan KI melalui skema KUR berdampak terhadap sektor produksi (transaksi antara) dalam perekonomian sebesar Rp. 72,79 trilyun, atau sekitar 0,59 persen terhadap nilai sektor produksi awal. Dengan persentase yang sama, alokasi KMK dan KI melalui skema KUR mampu menciptakan output dalam perekonomian senilai Rp. 33,15 trilyun dan PDB sebesar Rp. 17,03 trilyun. Bila dilihat lebih lanjut menuurut sektornya (dalam sektor produksi), sektor yang secara nilai (nominal) memiliki dampak terbesar adalah sektor industri pengolahan, dan disusul oleh sektor bangunan. Hal tersebut dikarenakan sektor industri pengolahan dan sektor bangunan merupakan dua sektor yang memiliki nilai pengganda output/sektor produksi tertinggi, baik akibat perubahan kapital dalam rumah tangga, perusahaan bukan keuangan, maupun lembaga keuangan bukan bank. Walaupun demikian, secara persentase perubahannya dari kondisi semula, sektor bangunan merupakan sektor produksi yang terkena dampaknya terbesar, yaitu sekitar 1,76 persen dan disusul oleh sektor keuangan yang sebesar 0,54 persen terhadap nilai sektor produksi awal. Sementara itu, terhadap pendapatan faktor produksi, dampak alokasi KMK dan KI melalui skema KUR mencapai Rp. 15,70 trilyun, dimana Rp. 8,16 trilyun untuk pendapatan tenaga kerja dan sisanya adalah pendapatan bukan tenaga kerja. Bila dilihat dari persentase perubahannya, alokasi KMK dan KI melalui skema KUR berdampak sekitar 0,55 persen, baik secara keseluruhan maupun dalam pendapatan setiap faktor produksi. Dampak yang sebesar Rp 8,16 trilyun terhadap pendapatan faktor produksi tersebut bila dikonversikan terhadap penciptaan lapangan kerja, maka tenaga kerja yang dapat diserap dalam perekonomian mencapai 533 ribu orang tenaga kerja, atau sekitar 0,55 persen dari kondisi tenaga kerja nasional. Secara lebih rinci, dampak terhadap pendapatan faktor produksi tersebut ditunjukkan dalam Tabel 5.9 berikut ini:
111
Tabel 5.9 Dampak Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi Melalui Skema KUR terhadap Faktor Produksi Deskripsi Tenaga Kerja (Rp. Milyar) Bukan Tenaga Kerja Total Faktor Produksi (Rp. Milyar) Tenaga Kerja (Orang)
1,487,377.64 1,346,454.26
8,159.14 7,540.45
Persentase Perubahan (%) 0.55 0.56
2,833,831.90
15,699.59
0.55
97,159,285
532,976
0.55
Nilai Awal
Nilai Perubahan
Sumber: Hasil Pengolahan, 2010
Hasil perhitungan dampak alokasi KMK dan KI melalui skema KUR terhadap pendapatan institusi, khususnya rumah tangga secara rinci ditunjukkan dalam Tabel 5.10. Dari tabel tersebut, terlihat bahwa pendapatan institusi mengalami peningkatan sebesar Rp. 16,01 trilyun atau sekitar 0,5 persen dari kondisi awal. Bila dirinci menurut institusinya, dampak alokasi penyaluran KMK dan KI melalui skema KUR terbesar terjadi pada rumah tangga perkotaan yang tidak miskin (yaitu sebesar Rp. 6,64 trilyun), yang disusul oleh pendapatan perusahaan bukan keuangan (yaitu sebesar Rp. 4,31 trilyun), dan pendapatan rumah tangga tidak miskin di desa (yaitu sebesar Rp. 3,95 trilyun). Hal tersebut disebabkan karena besarnya nilai pengganda pendapatan akibat perubahan kapital yang sinergi dengan besarnya dampak tersebut. Bila ditinjau dari persentase perubahannya, walaupun alokasi terbesar dari KMK dan KI melalui skema KUR terbesar dilakukan dalam rumah tangga, namun dampak terbesar terhadap peningkatan pendapatan terjadi dalam perusahaan bukan keuangan (yaitu sebesar 0,54 persen), yang disusul oleh rumah tangga tidak miskin di desa (sekitar 0,52 persen) dan rumah tangga tidak miskin di kota (sekitar 0,0,49 persen).
112
Tabel 5.10 Dampak Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi Melalui Skema KUR terhadap Distribusi Pendapatan Institusi Nilai Awal (Rp. Milyar)
Institusi PerusaHaan Rumah Tangga
Bank Lembaga Keuangan Bukan Bank Perusahaan Bukan Keuangan Miskin Desa Tidak Miskin Miskin Kota Tidak Miskin Total
159,938.19 47,813.18 796,319.09 46,730.99 755,579.39 25,720.23 1,363,278.09 3,195,379.16
Nilai Perubahan (Rp. Milyar) 595.21 211.46 4,307.89 200.37 3,946.33 111.04 6,642.68 16,014.98
Persentase Perubahan (%) 0.37 0.44 0.54 0.43 0.52 0.43 0.49 0.50
Sumber: Hasil Pengolahan, 2010
Biila dilihat dari distribusinya, kondisi ketimpangan pendapatan di Indonesia memang masih cukup tinggi, baik sebelum maupun sesudah adanya alokasi KMK dan KI melalui skema Program KUR (secara rinci ditunjukkan dalam Tabel 5.11).
Secara umum, alokasi KMK dan KI melalui skema KUR
tidak memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap pola distribusi pendapatan. Hal tersebut ditunjukkan oleh nilai standar deviasi antara sebelum dan sesudah adanya alokasi KMK dan KI melalui skema KUR yang tidak jauh berbeda. Walaupun tidak jauh berbeda, namun bila dilihat dari nilainya, terdapat kecenderungan bahwa alokasi KMK dan KI melalui skema KUR tersebut masih berpotensi meningkatkan ketimpangan, yang ditunjukkan oleh nilai standar deviasi yang lebih besar untuk sesudah adanya alokasi kredit dibandingkan dengan sebelum adanya alokasi kredit. Hal tersebut menunjukkan bahwa alokasi KMK dan KI melalui skema KUR sampai saat ini belum dapat secara efektif menurunkan tingkat ketimpangan pendapatan dalam perekonomian Indonesia. Ketimpangan masih terjadi dikarenakan selain karena memang kondisi awalnya sebagian besar pendapatan dari institusi didominasi oleh rumah tangga tidak miskin di kota (yang mencapai 42,66 persen), perusahaan bukan keuangan (yang mencapai 24,92 persen), dan rumah tangga tidak miskin di desa (sekitar 23,65 persen), juga oleh karena dampak dari alokasi KMK dan KI melalui skema KUR yang sebagian besar dinikmati oleh rumah tangga tidak miskin di kota (yang 113
mencapai 41,48 persen), perusahaan bukan keuangan (yang mencapai 26,90 persen), dan rumah tangga tidak miskin di desa (yang mencapai ekitar 24,64 persen).
Tabel 5.10 Dampak Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi Melalui Skema KUR terhadap Distribusi Pendapatan Institusi Institusi PerusaHaan Rumah Tangga
Bank Lembaga Keuangan Bukan Bank Perusahaan Bukan Keuangan Miskin Desa Tidak Miskin Miskin Kota Tidak Miskin Total Standar Deviasi
Nilai Awal (Persen)
5.01 1.50 24.92 1.46 23.65 0.80 42.66 100.00 16.3397
Nilai Perubahan (Persen)
Nilai Akhir (Persen)
3.72 1.32 26.90 1.25 24.64 0.69 41.48 100.00 16.5339
5.00 1.50 24.93 1.46 23.65 0.80 42.66 100.00 16.3405
Sumber: Hasil Pengolahan, 2010
Selain dapat dihitung dampak dari alokasi kredit KMK dan KI melalui skema KUR terhadap sektor produksi, faktor produksi, pendapatan, dan distribusi pendapatan menurut institusi, dalam SNSE Finansial juga dapat dilihat dampak dari adanya shock tersebut terhadap penciptaan kapital/permodalan dan berbagai instrumen finansial yang ada dalam perekonomian Indonesia. Hasil perhitungan dampak alokasi kredit KMK dan KI melalui skema KUR terhadap pembentukan kapital permodalan secara rinci ditunjukan dalam Tabel 5.11 dan terhadap instrumen finansial ditunjukan dalam Tabel 5.12.
114
Tabel 5.11 Dampak Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi Melalui Skema KUR terhadap Kapital Kapital Lembaga Keuangan Bank Lembaga Keuangan Bukan Bank Perusahaan Rumah Tangga Total
Nilai Awal (Rp. Milyar) 201,099.70 54,869.80 825,539.73 290,838.97 1,372,348.20
Nilai Perubahan (Rp. Milyar) 5,821.46 3,107.13 16,251.70 15,012.81 40,193.10
Persentase Perubahan (%) 2.89 5.66 1.97 5.16 2.93
Sumber: Hasil Pengolahan, 2010
Tabel 5.12 Dampak Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi Melalui Skema KUR terhadap Instrumen Finansial Instrumen Finansial Giro Tabungan Deposito Surat Berharga Jangka Panjang Lainnya Surat Berharga Jangka Pendek Kredit Konsumsi Kredit Non Bank Kredit Dagang Modal Saham dan Penyertaan Cadangan Asuransi dan Pensiun Lainnya Total
Nilai Awal (Rp. Milyar) 48,722.48 25,253.62 152,146.03 55,366.08 17,542.13 55,734.19 2,968.60 41,626.59 162,535.70 17,918.60 184,520.62 764,334.64
Nilai Perubahan (Rp. Milyar) 540.54 457.32 6,286.16 1,579.91 248.06 1,609.84 79.46 1,497.33 4,281.09 918.15 6,661.25 24,159.10
Persentase Perubahan (%) 1.11 1.81 4.13 2.85 1.41 2.89 2.68 3.60 2.63 5.12 3.61 3.16
Sumber: Hasil Pengolahan, 2010
Dari berbagai dampak yang dianalisa sebelumnya, maka dapat dirangkum dan dibuat analisis elastisitasnya seperti yang disajikan dalam Tabel 5.13. Dengan mengasumsikan terjadinya perubahan 1 (satu) persen dari nilai KUR pada akhir tahun 2009 (yaitu berjumlah Rp. 16,987.77 milyar), maka dapat dihitung pula perubahan baik dalam nilai nominal maupun persentase-nya.
115
Tabel 5.13 Rekapitulasi Dampak Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi Melalui Skema KUR terhadap Berbagai Indikator Makroekonomi dan Elastisitasnya No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Indikator Kredit Produktif (KUR) (Rp. Milyar) Sektor Produksi (Rp. Milyar) Output (Rp. Milyar) Produk Domestik Bruto (PDB) (Rp. Milyar) Tenaga Kerja (Rp. Milyar) Bukan Tenaga Kerja (Rp. Milyar) Total Faktor Produksi (Rp. Milyar) Tenaga Kerja (Orang) Pendapatan Institusi (Rp. Milyar) Kapital (Rp. Milyar) Instrumen Finansial (Rp. Milyar)
Analisa Dampak Awal 0.00
Analisa Elastisitas
Perubahan
Persentase
Perubahan
Persentase
16,987.77
-
169.88
1.0000%
12,379,215.82
72,786.42
0.59%
727.86
0.0059%
5,637,655.81
33,147.88
0.59%
331.48
0.0059%
2,896,944.65
17,033.25
0.59%
170.33
0.0059%
1,487,377.64
8,159.14
0.55%
81.59
0.0055%
1,346,454.26
7,540.45
0.56%
75.40
0.0056%
2,833,831.90
15,699.59
0.55%
157.00
0.0055%
97,159,285
532,976
0.55%
5,329.76
0.0055%
3,195,379.16
16,014.98
0.50%
160.15
0.0050%
1,372,348.20
40,193.10
2.93%
401.93
0.0293%
764,334.64
24,159.10
3.16%
241.59
0.0316%
Sumber: Hasil Pengolahan, 2010
5.1.3. Simulasi Dampak Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi Melalui Skema KUR Dalam bab sebelumnya dijelaskan bahwa Program KUR dilaksanakan untuk membantu Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi (UMKMK) yang produktif dan layak namun belum bankable (belum memenuhi persyaratan kredit/pembiayaan Bank) untuk dapat mengakses kredit/pembiayaan dari bank. Tujuan akhir dari pelaksanaan Program KUR tersebut adalah mengurangi tingkat kemiskinan dan pengangguran. Dikarenakan pemerintah menargetkan tingkat kemiskinan menjadi sekitar 8-10 persen dari sekitar 14,5 persen (2009) dan tingkat pengangguran menjadi 5-6 persen dari sekitar 8,4 persen (2009) dalam lima tahun mendatang maka pemerintah akan berencana akan terus meneruskan Program KUR guna membiayai UMKMK dengan target minimal penyaluran sebesar Rp. 20 trilyun per tehun selama lima tahun ke depan. Walupun demikian, perlu dilakukan evaluasi terhadap kinerja penyaluran program tersebut, baik dari segi jumlah penyalurannya maupun dari segi kualitas dan kefektifitasan dampaknya terhadap masayarakat. Dari sisi penyalurannya, kredit usaha rakyat (berupa KMK dan KI) yang diberikan dirasa belum mampu 116
memberi keringanan bagi pelaku usaha. Dari sisi perbankan, ada dua aspek yang diperhitungkan penawaran dan permintaan. Dari sisi permintaan, perbankan masih melihat UMKMK berisiko tinggi. Sementara di sisi lain penawaran, bank harus memperhitungkan ketersediaan dana yang bisa disalurkan dan peluang dana tersebut akan kembali. Pihak perbankan juga masih selalu melihat apakah permintaan kredit tersebut memiliki penjaminan kredit atau tidak. Untuk melihat efektifitas dari dampak penyaluran KUR yang ada saat ini, maka dilakukan simulasi dampak dari KMK dan KI melalui skema Program KUR dengan beberapa skenario shock pada kapital dan mengasumsikan bahwa jumlah yang disalurkan tetap seperti yang ada saat ini yaitu sebesar Rp. 16,987.77 milyar. Terdapat 6 jenis skenario (yaitu dari S0 sampai dengan S5) dengan asumsi shock pada kapital yang berbeda-beda pada distribusi institusinya dan S0 merupakan skenario basis (yang ada saat ini) sebagai pembandingnya. Tabel 5.14 berikut ini menunjukkan perbandingan skenario simulasi dan hasil dampak KMK dan KI melalui skema Program KUR terhadap perekonomian Indonesia.
117
Tabel 5.14 Perbandingan Hasil Simulasi Dampak KMK dan KI Melalui Skema KUR terhadap Perekonomian Indonesia dengan Beberapa Skenario (%) ASUMSI SHOCK PADA KAPITAL FAKTOR PRODUKSI
INSTITUSI
SEKTOR PRODUKSI
KAPITAL
INSTRUMEN FINANSIAL
Deskripsi Bank Lembaga Keuangan Bukan Bank Perusahaan Perusahaan Bukan Keuangan Rumah Tangga
S0 0 10
Tenaga Kerja Bukan Tenaga Kerja Bank Lembaga Keuangan Bukan Bank Perusahaan Perusahaan Bukan Keuangan Miskin Desa Tidak Miskin Rumah Tangga Miskin Kota Tidak Miskin Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan,Hotel & Restoran Pengangkutan & Komunikasi Keuangan Sektor Lainnya Bank Lembaga Keuangan Bukan Bank Perusahaan Perusahaan Bukan Keuangan Rumah Tangga Giro Tabungan Deposito Surat Berharga Jangka Panjang Lainnya Surat Berharga Jangka Pendek Kredit Konsumsi Kredit Non Bank Kredit Dagang Modal Saham dan Penyertaan Cadangan Asuransi dan Pensiun Lainnya
S1 0 10
S2 0 0
S3 0 0
S4 0 100
S5 100 0
20 70
10 80
0 100
100 0
0 0
0 0
0.55 0.56 0.37 0.44
0.52 0.53 0.35 0.42
0.51 0.52 0.35 0.41
0.77 0.79 0.52 0.62
0.38 0.39 0.26 0.31
0.21 0.21 0.14 0.17
0.54 0.43 0.52 0.43 0.49 0.50 0.39 0.50 0.42 1.76 0.43 0.43 0.54 0.40 2.89 5.66
0.52 0.41 0.50 0.41 0.46 0.48 0.37 0.48 0.40 1.68 0.41 0.41 0.51 0.38 3.16 5.87
0.50 0.40 0.48 0.40 0.45 0.46 0.36 0.46 0.39 1.65 0.40 0.40 0.50 0.37 3.61 2.86
0.76 0.60 0.73 0.61 0.69 0.70 0.55 0.71 0.60 2.45 0.60 0.61 0.76 0.57 0.94 0.76
0.37 0.30 0.36 0.30 0.34 0.35 0.27 0.35 0.29 1.21 0.30 0.30 0.37 0.28 1.81 35.09
0.21 0.16 0.20 0.16 0.19 0.19 0.15 0.19 0.16 0.66 0.16 0.17 0.20 0.15 8.38 1.07
1.97 5.16 1.11 1.81 4.13
1.82 5.79 1.12 1.87 4.53
1.68 7.02 1.25 1.83 5.19
3.21 0.74 1.10 1.26 1.25
1.49 0.99 0.14 2.80 2.52
0.74 1.90 0.87 12.94 1.56
2.85 1.41 2.89 2.68 3.60 2.63 5.12 3.61
2.99 1.47 3.15 2.88 3.69 2.76 5.70 3.85
2.90 1.52 3.60 1.18 2.84 3.01 6.57 4.29
1.56 0.92 0.94 -0.81 1.92 1.73 0.80 1.91
5.11 1.67 1.80 20.14 12.25 1.78 3.63 2.26
0.89 2.63 8.37 0.38 1.00 0.95 1.81 2.82
Sumber: Hasil Pengolahan, 2010
118
Dari Tabel 5.14 tersebut, terlihat bahwa apabila Pemerintah bermaksud ingin mengoptimalkan penyerapan tenaga kerja (mengatasi pengangguran), peningkatan pertumbuhan sektor produksi (pertumbuhan ekonomi), dan peningkatan pendapatan masyarakat miskin (pengentasan kemiskinan di perkotaan dan perdesaan), maka penyaluran KMK dan KI melalui skema Program KUR yang paling efektif adalah penyaluran berdasarkan skenario S3, dimana sebagian besar atau seluruh KMK dan KI disalurkan ke perusahaan bukan keuangan. Hal tersebut terlihat dari nilai persentase perubahan dari faktor produksi tenaga kerja, persentase perubahan dari output sektor produksi, dan pendapatan rumah tangga miskin di perkotaan dan perdesaan yang terbesar akibat dari alokasi penyaluran dengan menggunakan skenario S3 dibandingkan dengan skenario yang lainnya, termasuk skenario S0 yang merupakan besarnya distribusi alokasi penyaluran kredit melalui skema KUR saat ini. Dampak dari adanya penyaluran KMK dan KI paling besar terjadi apabila dialokasikan melalui perusahaan bukan lembaga keuangan karena memang kapital perusahaan bukan keuangan memiliki multiplier (nilai pengganda) yang terbesar dibandingkan dengan kapital institusi lain dalam perekonomian Indonesia, baik terhadap faktor produksi tenaga (khususnya tenaga kerja), output sektor produksi, maupun pendapatan institusi (khususnya rumah tangga miskin di perkotaan dan perdesaan).
5.2. Dampak Mikroekonomi Untuk mendukung dan/atau meng-crossceck hasil dari analisa dampak secara makroekonomi dari adanya penyaluran KMK dan KI melalui skema Program KUR, maka dilakukan pula analisa dampak dari sisi mikroekonomi yaitu pelaku usaha yang merupakan nasabah penerima dari kredit, baik kredit yang berasal dari Program KUR maupun kredit yang lainnya. Apabila dari sisi makroekonomi dampak penyaluran KMK dan KI dilihat dari dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi, pendapatan rumah tangga (terutama rumah tangga miskin), perubahan kapital, dan faktor produksi khususnya tenaga kerja maka dari
119
sisi mikroekonomi dapat dilihat dampaknya terhadap nilai tambah/keuntungan, pendapatan usaha, permodalan usaha, dan penyerapan tenaga kerja baru. Sebelum dilakukan analisa dampak dari sisi mikroekonomi, untuk lebih dapat menggambarkan dari kondisi data mikroekonomi usaha yang diperoleh dari hasil survei di 6 wilayah (yaitu Kota Jakarta Selatan, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bogor, Kabupaten Kudus, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Sidorjo), maka terlebih dahulu dilakukan analisa secara deskriptif terhadap pelaku usaha yang disurvei. Analisa deskriptif dilakukan dengan menggunakan metode analisa tabulasi silang (cross-tabs) yang dapat digunakan untuk melihat hubungan antara dua faktor (yaitu faktor di baris dan di kolom) yang datanya bersifat kategori (kualitatif). 5.2.1. Analisa Tabulasi Silang (Cross-Tabs) 5.2.1.1. Profil Responden Penerima Kredit Dari survei yang dilaksanakan dengan target masing-masing wilayah berjumlah 32 responden penerima kredit dengan jumlah 16 responden penerima kredit KUR dan 16 responden penerima kredit non KUR ternyata hanya bisa dicapai di 2 wilayah, yaitu Kudus dan Sidoarjo, sementara yang lain mengalami kesulitan untuk memenuhinya sehingga dilakukan penyesuaian dengan upaya terbaik. Hasilnya, secara keseluruhan jumlah responden penerima kredit KUR berjumlah 111 responden (sekitar 58 persen dari keseluruhan responden) dan penerima non KUR sebesar 81 responden (sekitar 42 persen dari keseluruhan responden). Bila dilihat dari penerima kreditnya, sebagian besar responden merupakan rumah tangga, yaitu sebanyak 149 responden (77,6 persen) dan perusahaan sebanyak 43 responden (22,4 persen). Sedangkan bila dilihat dari jenis banknya, sebagian besar berasal dari Bank Rakyat Indonesi (BRI), yaitu sebanyak 162 responden atau sebesar 84,4 persen dari total keseluruhan responden yang sebanyak 192 responden.
120
Tabel 5.15 Responden Menurut Wilayah dan Jenis Kredit yang Diterima No.
Wilayah
Responden Penerima Kredit KUR
Non KUR
Total
Persentase KUR
Non KUR
Total
1
Bogor
13
19
32
6.77
9.90
16.67
2
Kudus
16
16
32
8.33
8.33
16.67
3
Sidoarjo
16
16
32
8.33
8.33
16.67
4
Yogyakarta
14
18
32
7.29
9.38
16.67
5
Jakarta Selatan
20
12
32
10.42
6.25
16.67
6
Tangerang
32
0
32
16.67
0.00
16.67
Total
111
81
192
57.81
42.19
100.00
Sumber: Hasil Pengolahan, 2010
Tabel 5.16 Responden Menurut Wilayah dan Jenis Institusi Penerima Kredit No.
Wilayah
1
Responden Penerima Kredit Rumah PerusaTotal Tangga haan
Bogor
26
6
Rumah Tangga
32
13.54
Persentase Perusahaan
Total
3.13
16.67
2
Kudus
25
7
32
13.02
3.65
16.67
3
Sidoarjo
16
16
32
8.33
8.33
16.67
4
Yogyakarta
18
14
32
9.38
7.29
16.67
5
Jakarta Selatan
32
0
32
16.67
0.00
16.67
6
Tangerang
32
0
32
16.67
0.00
16.67
Total
149
43
192
77.60
22.40
100.00
Sumber: Hasil Pengolahan, 2010
Tabel 5.17 Responden Menurut Wilayah dan Jenis Bank Pemberi Kredit No.
Wilayah
BRI
Bukopin
BNI
BSM
BTN
Total
1
Bogor
23
0
0
0
9
32
2
Kudus
24
0
8
0
0
32
3
Sidoarjo
32
0
0
0
0
32
4
Yogyakarta
27
0
0
5
0
32
5
Jakarta Selatan
24
8
0
0
0
32
6
Tangerang
32
0
0
0
0
32
Total
162
8
8
5
9
192
Sumber: Hasil Pengolahan, 2010
121
Analisa tabulasi silang terhadap profil responden (penerima kredit) dilakukan terhadap beberapa hal yang terkait, antara lain hubuangan antara penerima kredit dengan area/kawasan, waktu tunggu pencairan, besaran penerimaan kredit, nilai agunan yang diagunkan, bentuk lembaga usaha, dan sektor usahanya. Hubungan antara profil responden (penerima kredit) dengan berbagai hal tersebut akan dijelaskan secara rinci dan masing-masing. Secara ringkas, hasil dari analisa tabulasi silang terhadap profil responden dapat dilihat dalam Tabel 5.18 berikut ini: Tabel 5.18 Rekapitulasi Hasil Tabulasi Silang Profil Responden (Penerima Kredit) dengan Beberapa Variabel yang Relevan Nilai
Asymp. Sig. (2-sided)
Hasil Pengujian
Kesim-
Hipotesa
pulan
Keterangan
No.
Tabulasi Silang
1
Penerima Kredit – Area/Kawasan
0.014404
0.904471
Tidak Menolak Ho
Tidak Ada Hubungan
Tidak ada hubungan antara penerima kredit dan wilayah
2
Penerima Kredit – Waktu Tunggu Pencairan
20.83383
0.001965
Tolak Ho
Ada Hubungan
KUR lebih cepat pencairannya, dan vice-versa
3
Penerima Kredit – Besaran Penerimaan Kredit
33.44132
8.62E-06
Tolak Ho
Ada Hubungan
KUR lebih kecil menerima kreditnya, dan viceversa
4
Penerima Kredit – Nilai Agunan yang Diagunkan
16.8164
0.009982
Tolak Ho
Ada Hubungan
Non KUR memiliki agunan yang lebih besar, dan viceversa
5
Penerima Kredit – Bentuk Lembaga Usaha
17.70344
0.003342
Tolak Ho
Ada Hubungan
KUR lebih dominan untuk usaha dagang dan perorangan dan untuk Non KUR lebih banyak berbentuk Badan Hukum
6
Penerima Kredit – Sektor Usaha
3.567411
0.828035
Tidak Menolak Ho
Tidak Ada Hubungan
Tidak ada hubungan antara penerima kredit dan sektor usaha
χ
2
Sumber: Hasil Pengolahan, 2010
Dilihat dari area/kawasannya, sebagian besar responden (sekitar 57,3 persen)
berada
di
wilayah
perkotaan
(kelurahan/kecamatan/ibukota 122
kabupaten/kota), baik penerima kredit KUR maupun kredit non KUR. Hal tersebut menunjukkan bahwa penerima kredit (debitur) selama ini masih bias di wilayah perkotaan dibandingkan di wilaya perdesaan. Hal tersebut dapat disebabkan oleh karena akses terhadap kredit yang lebih mudah di perkotaan dan/atau juga karena memang kebutuhan akan kredit di perkotaan yang lebih besar. Walaupun demikian, dengan adanya Program KUR terlihat bahwa penerima kredit (debitur) KUR di perdesaan cukup banyak, lebih banyak dibandingkan dengan yang non KUR. Hal ini menandakan bahwa Program KUR dapat mengurangi bias dari penerima kredit yang selama ini masih didominasi oleh wilaya perkotaan. Tabel 5.19 berikut ini menunjukan jumlah dan persentase responden menut area dan jenis kredit yang diterima secara lebih rinci:
Tabel 5.19 Responden Menurut Area dan Jenis Kredit Penerima Kredit
Area
Persentase
Perdesaan
Perkotaan
KUR
47
64
111
24.48
33.33
57.81
Non KUR
35
46
81
18.23
23.96
42.19
Total
82
110
Total
192
Perdesaan
42.71
Perkotaan
57.29
Total
100.00
Sumber: Hasil Pengolahan, 2010
Dari keseluruhan responden, sebagian besar responden yaitu sekitar 57,3 persen respoenden menerima pencairan kredit dengan menunggu waktu kurang dari 3 minggu. Bila dibandingkan antara responden penerima KUR dan non KUR, ternyata reposnden penerima KUR lebih banyak yang menerima kredit dengan jangka waktu kurang dari 3 minggu (yaitu sebesar 38,5 persen dari keluruhan responden) bila dibandingkan dengan yang non KUR (yaitu sekitar 18,8 persen dari keseluruhan responden). Hal ini tentunya menjadi temuan yang menarik dalam studi ini, yaitu bahwa pencairan kredit dalam Program KUR lebih cepat dibandingkan dengan kredit yang non KUR. Secara lebih rinci mengenai persentase responden menurut jangka waktu menunggu pencairan kredit dapat dilihat dalam Tabel 5.20 berikut ini: 123
Tabel 5.20 Persentase Responden Menurut Jangka Waktu Menunggu Pencairan Kredit Penerima Kredit
Minggu ≤1
KUR Non KUR Total
>1–≤2
Total
>2-≤3
> 3 - ≤ 4
> 5 - ≤ 6
>6
13.54
15.10
9.90
2.60
3.65
13.02
57.81
7.81
4.69
6.25
9.38
1.56
12.50
42.19
21.35
19.79
16.15
11.98
5.21
25.52
100.00
Sumber: Hasil Pengolahan, 2010
Bila dilihat dari besarnya penerimaan kredit, sebagian besar responden merupakan debitur kelas mikro dan kecil karena hampir sekitar 73 persen menerima kredit sebesar Rp. 50 juta ke bawah. Dari 73 persen tersebut, hampir sebanyak 49 persen merupakan responden penerima KUR, dan 24 persen adalah penerima non KUR. Bila dilihat lebih rinci lagi, dari 49 persen penerima KUR, sekitar 25,5 persennya merupakan penerima kredit sebesar Rp. 5 juta ke bawah. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar responden (dari keseluruhan responden) merupakan penerima kredit untuk usaha kelas mikro. Sementara itu, untuk penerima kredit KUR sendiri ternyata tidak ada yang menerima kredit di atas nilai Rp. 500 juta, yang menunjukkan bahwa pemberian KUR dari sampel yang digunakan telah sesuai dengan aturan yang diberlakukan, yaitu jumlah plafon kredit maksimum yang dapat diberikan adalah Rp, 500 juta pada setiap debitur. Rincian mengenai distribusi responden menurut besarnya kredit yang diterima oleh debitur dapat dilihat dalam Tabel 5.21
Tabel 5.21 Persentase Responden Menurut Besarnya Penerimaan Kredit Penerima Kredit KUR Non KUR Total
≤ 5 25.52 5.73 31.25
>5 – ≤ 10 5.73 5.73 11.46
> 10 – ≤ 20 6.25 2.08 8.33
Rp. Juta > 20 > 50 – – ≤ 50 ≤ 100 11.46 10.42 21.88
4.17 6.77 10.94
> 100 – ≤ 500 4.69 8.33 13.02
Total > 500 0.00 3.13 3.13
57.81 42.19 100.00
Sumber: Hasil Pengolahan, 2010
124
Sesuai dengan konsepnya, Program KUR dilaksanakan untuk membantu Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi (UMKMK) yang produktif dan layak namun belum bankable (belum memenuhi persyaratan kredit/pembiayaan Bank) untuk dapat mengakses kredit/pembiayaan dari bank. Oleh karena itu, agunan yang diwajibkan dalam Program KUR sebenarnya adalah usaha yang dibiayai, sedangkan agunan tambahan disesuaikan dengan ketentuan dari Bank Pelaksana. Dari hasil survei diperoleh bahwa seluruh penerima kredit, baik KUR maupun non KUR, menjaminkan sejumlah agunan untuk mendapatkan kredit. Jadi, dalam Program KUR, ternyata pihak perbankan (semua Bank Pelaksana) masih menerapkan sistem agunan untuk menjamin kredit yang diberikan kepada debitur. Secara umum, jenis harta yang diagunkan adalah berupa sertifikat tanah/rumah dan bukti kepemilikan kendaraan bermotor. Karena penerima kredit KUR sebagian besar adalah usaha mikro, maka yang diagunkan juga sebagian besar bernilai relatif lebih kecil dibandingkan dengan agunan yang diagunkan oleh penerima kredit non KUR. Hal tersebut secara rinci dapat dilihat dalam Tabel 5.22 berikut ini: Tabel 5.22 Persentase Responden Menurut Besarnya Nilai Agunan yang Diagunkan Penerima Kredit KUR
≤ 5 1.04
Non KUR Total
0.00 1.04
>5 – ≤ 10 9.38 2.08 11.46
> 10 – ≤ 20 2.60 1.04 3.65
Rp. Juta > 20 > 50 – – ≤ 50 ≤ 100 4.17 4.17 8.33
21.35 12.50 33.85
> 100 – ≤ 500 15.63 13.54 29.17
Total > 500 3.65 8.85 12.50
57.81 42.19 100.00
Sumber: Hasil Pengolahan, 2010
Bila dilihat dari bentuk lembaga usahanya, sebagian besar penerima kredit (KUR dan Non KUR) adalah usaha dagang (UD) dan usaha perorangan/individu. Usaha dagang (UD)
menjadi bentuk lembaga usaha yang paling banyak
menerima kredit, yaitu hampir mencapai 55 persen dari sluruh responden dimana hampir 37 persennya merupakan penerima KUR dan hampir 18 persennya adalah penerima non KUR. Sementara itu, usaha perorangan/individu merupakan bentuk 125
lembaga usaha terbanyak kedua dimana hampir sebanyak 33 persen responden berusaha dalam bentuk lembaga perorangan/individu, yang terdiri dari 18 persen adalah penerima KUR dan sekitar 16 persen sisanya adalah penerima non KUR. Secara rinci, persentase responden menurut bentuk lembaga usaha yang disurvei dalam studi ini dapat dilihat dalam Tabel 5.23 berikut ini: Tabel 5.23 Persentase Responden Menurut Bentuk Lembaga Usaha Penerima Kredit KUR Non KUR Total
PT
CV
Koperasi
Usaha Perorangan/ Dagang Individu 36.98 17.70
Total
0.00
0.52
2.60
57.81
1.04
4.17
3.65
17.71
15.63
1.04
4.69
6.25
54.69
33.33 100.00
42.19
Sumber: Hasil Pengolahan, 2010
Sedangkan bila dilihat dari sektor usahanya, sebagian besar responden bergerak di sektor perdagangan, hotel, dan restoran baik pelaku usaha penerima KUR maupun non KUR, dimana sekitar 65 persen responden bergerak di sektor tersebut. Bahkan, secara keseluruan, responden terbanyak dari keseluruhan responden yang ada dalam studi ini adalah responden penerima KUR yang bergerak di sektor usaha perdagangan, hotel, dan restoran yaitu sebanyak 39 persen. Sektor kedua yang juga cukup banyak adalah sektor jasa-jasa, yang mencapai sekitar 15 persen. Hal tersebut kemungkinan berkorelasi dengan karakteristik dari perekonomian daerah yang menjadi sampel survei dimana sebagain besar merupakan wilaya perkotaan.
Tabel 5.24 berikut ini merinci
persentase responden menurut sektor usaha di 6 wilayah yang menjadi sampel survei.
126
Tabel 5.24 Persentase Responden Menurut Sektor Usaha Pertanian
IndusTri
Listrik, Gas, dan Air Minum
KUR
2.08
3.13
0.52
2.08
39.06
1.56
2.08
7.29
57.81
Non KUR
3.13
2.08
0.52
1.04
26.04
0.52
1.04
7.81
42.19
Total
5.21
5.21
1.04
3.13
65.10
2.08
3.13
15.10
100.00
Penerima Kredit
BanguNan
Perdagangan, Hotel, dan Restoran
Transportasi Dan Komunikasi
Keuangan
Jasajasa
Total
Sumber: Hasil Pengolahan, 2010
5.2.1.2. Dampak Kredit terhadap Kegiatan Usaha Pemberian kredit tentunya diharapkan membawa dampak positif terhadap usaha yang dijalankan oleh penerima kredit (debitur). Dampak positif tersebut dapat terlihat dari adanya peningkatan pendapatan usaha, peningkatan keuntungan usaha, penambahan modal usaha, peningkatan tabungan yang dimiliki, dan peningkatan aset usaha yang secara langsung dapat terlihat. Dampak tersebut juga secara tidak langsung nantinya memberikan dampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan individu atau rumah tangga yang menerima kredit. Hal yang tidak terelakan dari adanya peningkatan modal usaha (berupa uang atau modal) adalah kebutuhan sumber daya yang lain sebagai komplementarnya yaitu tenaga kerja dan juga inputnya. Sehingga, selain terdapat pengaruh-pengaruh yang bersifat positif untuk pelaku usaha, terdapat juga pengaruh lanjutan yaitu dengan adanya tambahan kebutuhan tenaga kerja dan jumlah input yang diperlukan sehingga pada akhirnya juga meningkatkan pengeluaran usahanya. Untuk melihat dampak dari kredit terhadap berbagai indikator kemajuan para pelaku usaha yang menjadi responden survei dalam studi ini memang masih belum secara jelas tergambarkan apabila menggunakan statistika deskriptif, khususnya dengan menggunakan analisa tabulasi silang (cross-tabs). Walaupun demikian, dengan menggunakan statistika deskriptif, khususnya analisa tabulasi silang dapat ditunjukkan secara sederhana adanya indikasi dampak positif dari kredit yang diterima oleh pelaku usaha. Dampak positif tersebut dapat ditunjukkan dengan mengecilnya persentase jumlah responden yang bernilai rendah dan/atau 127
membesarnya persentase jumlah responden yang bernilai tinggi antara sebelum dan sesudah menerima kredit untuk suatu indikator kemajuan usaha dari pelaku usaha. Secara ringkas, rekapitulasi hasil analisa tabulasi silang untuk dampak kredit terhadap kegiatan usaha dapat dilihat dalam Tabel 5.25 berikut ini: Tabel 5.25 Rekapitulasi Hasil Tabulasi Silang Dampak Kredit terhadap Kegiatan Usaha Nilai
Asymp. Sig. (2-sided)
Hasil Pengujian Hipotesa
No.
Tabulasi Silang
1
Jenis Kredit dan Pendapatan Usaha
5.693603
0.337183
Tidak Menolak Ho
Tidak Ada Hubungan
Tidak ada hubungan antara jenis kredit dan pendapatan usaha
2
Jenis Kredit dan Keuntungan Usaha
22.21791
0.000476
Tolak Ho
Ada Hubungan
Penerima KUR memiliki keuntungan nominal yang relatif rendah (karena dominan UMKM)
3
Jenis Kredit dan Pengeluaran Usaha
7.98075
0.1573
Tidak Menolak Ho
Tidak Ada Hubungan
Tidak ada hubungan antara jenis kredit dan pengeluaran usaha
4
Jenis Kredit dan Nilai Modal Modal
6.35928
0.272812
Tidak Menolak Ho
Tidak Ada Hubungan
Tidak ada hubungan antara jenis kredit dan nilai modal usaha
5
Jenis Kredit dan Nilai Aset Usaha
2.285088
0.808455
Tidak Menolak Ho
Tidak Ada Hubungan
Tidak ada hubungan antara jenis kredit dan nilai aset usaha
6
Jenis Kredit dan Tenaga Kerja
19.81469
0.001354
Tolak Ho
Ada Hubungan
Penerima KUR memiliki jumlah tenaga kerja yang relatif sedikit (karena dominan UMKM)
χ
2
Kesim-pulan
Keterangan
Sumber: Hasil Pengolahan, 2010
128
Indikator yang pertama untuk melihat dampak positif dari adanya kredit adalah pendapatan usaha. Dari hasil survei terhadap responden penerima kredit KUR dan non KUR, pendapatan usaha para pelaku usaha (debitur) mengalami peningkatan antara sebelum dan sesudah menerima kredit yang dapat dilihat pada Tabel 5.26. Persentase jumlah responden yang berpendapatan usaha relatif rendah sebelum menerima kredit mengalami penurunan setelah menerima kredit dan persentase jumlah responden yang berpendapatan relatif tinggi pada waktu sebelum menerima kredit mengalami peningkatan setelah adanya penerimaan kredit yang dapat dilihat pada Tabel 5.27. Secara umum, apabila dilihat pada nilai pendapatannya, pendapatan debitur yang besarnya di atas Rp. 10 juta per bulan mengalami peningkatan proporsinya dari sekitar 50 persen menjadi sekitar 55 persen terhadap keseluruhan jumlah responden. Kondisi sebaliknya untuk pendapatan usaha debitur yang besarnya di bawah Rp. 10 juta per bulan. Tabel 5.26 Jumlah Responden yang Mengalami Peningkatan/Penurunan Nilai Pendapatan Usaha per Bulan Setelah Menerima Kredit Kredit KUR Non KUR Total
Meningkat 52 53 105
Tetap
Turun 58 28 86
1 0 1
Total Orang 111 81 192
129
Tabel 5.27 Persentase Responden Menurut Nilai Pendapatan Usaha per Bulan Sebelum dan Sesudah Menerima Kredit Menurut Kelompok (dalam Persen) Jenis Kredit ≤ 1
>1 – ≤5
Rp. Juta >5 > 10 – – ≤ 10 ≤ 20
> 20 – ≤ 50
Total > 50
Sebelum Menerima Kredit KUR
1.56
16.15
13.54
13.54
7.81
5.21
57.81
Non KUR
2.08
7.29
9.38
9.38
8.33
5.73
42.19
Total
3.65
23.44
22.92
22.92
16.15
10.94
100.00
Setelah Menerima Kredit KUR
0.52
11.98
16.15
14.58
8.33
6.25
57.81
Non KUR
1.04
5.21
9.90
9.90
8.85
7.29
42.19
Total
1.56
17.19
26.04
24.48
17.19
13.54
100.00
Sumber: Hasil Pengolahan, 2010
Dari Tabel 5.27 juga ditunjukkan bahwa sebagaian besar responden penerima KUR memiliki pendapatan usaha Rp. 10 juta ke bawah sebelum menerima KUR, yaitu mencapai sekitar 31,3 persen dari keseluruhan responden. Sedangkan penerima kredit non KUR yang jumlah pendapatan per bulannya di bawah Rp. 10 juta ke bawah hanya sekitar 19 persen. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa penerima KUR memang sebagian besar adalah pelaku usaa skala mikro dan kecil. Setelah menerima kredit, jumlah pelaku usaha penerima kredit KUR yang berpendapatan di atas Rp. 10 juta mengalami peningkatan dari 26,6 persen menjadi 29,2 persen dari keseluruhan responden. Sedangkan jumlah pelaku usaha yang menerima kredit non KUR dengan pendapatan usaha di atas Rp. 10 juta juga mengalami peningkatan dari 23,4 persen menjadi 26 persen responden.
Kedua
hal
tersebut
menunjukkan
bahwa
persentase
nilai
peningkatannya sama besar baik untuk penerima KUR maupun non KUR, yaitu sama-sama sebesar 2,6 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kredit memang berpengaruh positif terhadap pendapatan usaha para debitur, namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan dampak positifnya antara penerima kredit KUR dan non KUR dalam pendapatan usahanya. 130
Dengan cara yang sama seperti dalam indikator pendapatan usaha, indikator keuntungan antara sebelum dan sesudah menerima kredit dapat dianalisis untuk melihat dampak dari adanya pemberian kredit yang diterima oleh pelaku usaha. Secara umum, dengan meningkatnya pendapatan usaha para pelaku usaha yang menjadi responden dalam studi ini, terjadi pula peningkatan keuntungan usaha mereka yang dapat dilihat pada Tabel 5.28. Peningkatan keuntungan usaha antara sebelum dan sesudah menerima kredit terlihat dari peningkatan persentase jumlah responden yang usahanya memperoleh keuntungan di atas Rp. 10 juta per bulan, yaitu dari 11 persen responden menjadi 14 persen responden. Kondisi sebaliknya untuk persentase jumlah responden yang memperoleh keuntungan Rp. 10 juta ke bawah, yaitu mengalami penurunan dari sekitar 89 persen responden menjadi 86 persen responden yang dapat dilihat pada Tabel 5.29.
Tabel 5.28 Jumlah Responden yang Mengalami Peningkatan/Penurunan Nilai Keuntungan Usaha per Bulan Setelah Menerima Kredit Kredit KUR Non KUR Total
Meningkat 50 53 103
Tetap
Turun 61 28 89
0 0 0
Total Orang 111 81 192
131
Tabel 5.29 Persentase Responden Menurut Nilai Keuntungan Usaha per Bulan Sebelum dan Sesudah Menerima Kredit Menurut Kelompok (dalam Persen) Jenis Kredit
>1 – ≤5
≤ 1
Rp. Juta >5 > 10 – – ≤ 10 ≤ 20
> 20 – ≤ 50
Total > 50
Sebelum Menerima Kredit KUR Non KUR Total
24.48
21.88
8.85
1.04
1.56
0.00
57.81
7.29
19.27
7.29
5.21
3.13
0.00
42.19
31.77
41.15
16.15
6.25
4.69
0.00
100.00
Setelah Menerima Kredit KUR Non KUR Total
17.71
27.08
9.38
2.08
1.56
0.00
57.81
4.17
21.35
6.25
5.73
2.60
2.08
42.19
21.88
48.44
15.63
7.81
4.17
2.08
100.00
Sumber: Hasil Pengolahan, 2010
Bila dilihat secara lebih rinci lagi, dengan membandingkan nilai persentase jumlah responden menurut keuntungan usaha per bulan yang nilainya di atas Rp. 10 juta per bulan antara penerima kredit KUR dan non KUR, maka terlihat bahwa peningkatan terbesar terjadi pada penerima kredit non KUR dimana nilai persentase respondennya meningkat dari 8,3 persen menjadi 10,4 persen dari keseluruhan responden. Sementara itu, untuk penerima kredit KUR hanya mengalami peningkatan yang relatif lebih kecil yaitu dari 2,6 persen menjadi 3,6 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa selain pada awalnya memang jumlah responden dengan keuntungan di atas Rp. 10 juta yang menerima kredit non KUR lebih banyak jumlahnya, juga meunjukkan bahwa peningkatan keuntungan akibat dari adanya kredit lebih besar terjadi pada pelaku usaha penerima kredit non KUR. Dengan kata lain, peningkatan nilai keuntungan usaha per bulan pelaku usaha penerima kredit KUR masih lebih rendah secara rata-rata dibandingkan dengan pelaku usaha penerima kredit non KUR. Selain karena pendapatan usaha yang besar, besarnya keuntungan usaha juga dipengaruhi oleh besarnya nilai pengeluaran usaha. Secara umum, dengan adanya pemberian kredit yang ditujukan untuk memajukan usaha, maka pengeluaran untuk usaha juga semakin membesar. Dari hasil survei (dalam Tabel 132
5.29), ditunjukkan bahwa pengeluaran usaha per bulan yang besarnya di atas Rp. 10 juta per bulan mengalami peningkatan dari sekitar 23,4 persen responden menjadi 27,1 persen responden. Bila dilihat lebih rinci lagi, maka dapat ditemukan jawaban mengapa keuntungan penerima KUR secara rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan penerima non KUR, yaitu dikarenakan pengeluaran usaha per bulannya untuk penerima KUR lebih besar secara rata-rata dibandingkan dengan penerima non KUR, dimana baik sebelum menerima kredit maupun setelah menerima kredit pengeluaran usahanya yang lebih besar dari Rp. 10 juta hampir mencapai 16,1 persen responden. Sedangkan yang penerima non KUR, jumlah responden yang pengeluaran usahanya lebih dari Rp. 10 juta per bulan hanya sekitar 7,29 persen pada waktu sebelum menerima kredit dan meningkat menjadi sekitar 11 persen setelah menerima kredit. Jumlah responden yang mengalami perubahan pengeluaran usaha setelah mendapat kredit dapat dilihat pada Tabel 5.30, sedangkan perbandingan pengeluaran usahanya ditunjukkan pada Tabel 5.31.
Tabel 5.30 Jumlah Responden yang Mengalami Peningkatan/Penurunan Nilai Pengeluaran Usaha per Bulan Setelah Menerima Kredit Kredit KUR Non KUR Total
Meningkat
Tetap 40 49 89
69 32 101
Turun 2 0 2
Total Orang 111 81 192
133
Tabel 5.31 Persentase Responden Menurut Nilai Pengeluaran Usaha per Bulan Sebelum dan Sesudah Menerima Kredit Menurut Kelompok (dalam Persen) Jenis Kredit
>1 – ≤5
≤ 1
Rp. Juta >5 > 10 – – ≤ 10 ≤ 20
> 20 – ≤ 50
Total > 50
Sebelum Menerima Kredit KUR
8.85
20.31
12.50
10.42
3.13
2.60
57.81
Non KUR
6.25
16.15
12.50
2.08
0.52
4.69
42.19
Total
15.10
36.46
25.00
12.50
3.65
7.29
100.00
Setelah Menerima Kredit KUR
6.77
18.23
16.67
10.42
3.65
2.08
57.81
Non KUR
3.65
14.58
13.02
5.73
0.52
4.69
42.19
Total
10.42
32.81
29.69
16.15
4.17
6.77
100.00
Sumber: Hasil Pengolahan, 2010
Selain terhadap pendapatan dan keuntungan usaha, dampak positif lain dari adanya kredit yang dikucurkan adalah adanya peningkatan dari sisi permodalan usaha. Tabel 5.32 menunjukkan bahwa responden tidak mengalami penurunan nilai modal setelah mendapatkan kredit. Kredit yang diberikan bagi para pelaku usaha berperan sangat signifikan, yang dapat dilihat dari peningkatan proporsi jumlah responden yang jumlah modal usahanya lebih dari Rp. 1 juta setelah menerima kredit dan penurunan yang cukup drastis proporsi jumlah responden yang modal usahanya Rp. 1 juta ke bawah. Hal tersebut juga terlihat dari nilai peningkatan persentase jumlah responden yang modal usahanya lebih besar dari Rp. 10 juta, dimana jumlah respondennya meningkat dari sekitar 14 persen menjadi 38 persen yang dapat dilihat pada Tabel 5.33. Hal ini menunjukkan bahwa indikator permodalan usaha merupakan indikator yang paling signifikan terkena dampaknya dari adanya kredit yang diberikan oleh perbankan kepada para pelaku usaha.
134
Tabel 5.32 Jumlah Responden yang Mengalami Peningkatan/Penurunan Nilai Modal Usaha per Bulan Setelah Menerima Kredit Kredit KUR Non KUR Total
Meningkat
Tetap 44 49 93
Turun 67 32 99
0 0 0
Total Orang 111 81 192
Tabel 5.33 Persentase Responden Menurut Nilai Modal Usaha Sebelum dan Sesudah Menerima Kredit Menurut Kelompok (dalam Persen) Jenis Kredit
≤ 1
>1 – ≤5
Rp. Juta >5 > 10 – – ≤ 10 ≤ 20
> 20 – ≤ 50
Total > 50
Sebelum Menerima Kredit KUR
43.23
5.21
3.13
1.04
4.17
1.04
57.81
Non KUR
22.40
10.42
1.56
1.04
2.08
4.69
42.19
Total
65.63
15.63
4.69
2.08
6.25
5.73
100.00
Setelah Menerima Kredit KUR
2.08
23.44
14.58
4.69
4.17
8.85
57.81
Non KUR
1.04
13.54
7.29
5.21
4.17
10.94
42.19
Total
3.13
36.98
21.88
9.90
8.33
19.79
100.00
Sumber: Hasil Pengolahan, 2010
Dari Tabel 5.33, terlihat bahwa penerima kredit KUR dan kredit non KUR yang permodalannya di atas Rp. 10 juta per bulan mengalami peningkatan yang hampir sama permodalan usahanya antara sebelum dan sesudah menerima kredit, namun relatif lebih kecil peningkatannya untuk penerima kredit KUR. Jumlah responden penerima KUR yang permodalannya di atas Rp. 10 juta meningkat dari 6,3 persen menjadi 17,7 persen atau mengalami peningkatan 11,4 persen, dan jumlah responden penerima non KUR juga meningkat dari 7,8 persen menjadi 20,3 persen atau mengalami peningkatan sebesar 12,5 persen. Hal ini menunjukan bahwa peningkatan permodalan usaha yang terjadi akibat adanya kredit cenderung tidak signifikan berbeda, walaupun peningkatan permodalan usaha untuk penerima kredit KUR secara rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan penerima kredit non KUR. 135
Peningkatan permodalan, pendapatan, dan keuntungan usaha ternyata juga diikuti dengan peningkatan nilai aset usaha dari para pelaku usaha penerima kredit yang dapat dilihat pada Tabel 5.34. Peningkatan nilai aset usaha salah satunya terlihat dari peresentase responden yang nilai aset usahanya di atas Rp. 10 juta yang mengalami peningkatan dari 71,4 persen menjadi 76 persen antara sebelum dan sesudah menerima kredit. Bila dilihat secara lebih rinci, nilai aset para pelaku usaha penerima KUR mengalami peningkatan yang hampir sama dengan penerima non KUR, walaupun secara nilainya jumlah responden KUR yang memiliki nilai aset usaha di atas Rp. 10 juta lebih banyak dibandingkan dengan responden penerima kredit non KUR yang dapat dilihat pada Tabel 5.35. . Tabel 5.34 Jumlah Responden yang Mengalami Peningkatan/Penurunan Nilai Aset Usaha per Bulan Setelah Menerima Kredit Kredit KUR Non KUR Total
Meningkat
Tetap 36 47 83
Turun
74 34 108
Total Orang 111 81 192
1 0 1
Tabel 5.35 Persentase Responden Menurut Nilai Aset Usaha Sebelum dan Sesudah Menerima Kredit Menurut Kelompok (dalam Persen) Jenis Kredit
≤ 1
>1 – ≤5
Rp. Juta >5 > 10 – – ≤ 10 ≤ 20
> 20 – ≤ 50
Total > 50
Sebelum Menerima Kredit KUR
1.04
8.33
8.33
2.60
3.13
34.38
57.81
Non KUR
0.52
7.29
3.13
3.13
1.56
26.56
42.19
Total
1.56
15.63
11.46
5.73
4.69
60.94
100.00
Setelah Menerima Kredit KUR
0.52
4.17
10.42
3.65
3.65
35.42
57.81
Non KUR
0.00
3.13
5.73
4.17
2.08
27.08
42.19
Total
0.52
7.29
16.15
7.81
5.73
62.50
100.00
Sumber: Hasil Pengolahan, 2010
136
Selain pada peningkatan aset, peningkatan yang terjadi pada pendapatan, permodalan, keuntungan, dan pengeluaran usaha juga diikuti dengan penambahan faktor produksi tenaga kerja yang dapat dilihat pada Tabel 5.36. Peningkatan tenaga kerja terlihat dari persentase jumlah responden yang memiliki tenaga kerja sebanyak 7 orang ke atas, dimana persentasenya mengalami peningkatan dari 14,6 persen sebelum menerima kredit menjadi 22,4 persen setelah menerima kredit. Bila dirinci menurut penerima kredit, peningkatan tenaga kerja terbanyak terjadi pada penerima kredit non KUR, dimana persentase jumlah responden yang tenaga kerjanya 7 orang ke atas meningkat dari 8,9 persen menjadi 14,1 persen. Sedangkan peningkatan tenaga kerja pada penerima KUR ditunjukan oleh persentase jumlah responden yang tenaga kerjanya 7 orang ke atas meningkat dari 5,7 persen menjadi 8,3 persen yang dapat dilihat pada Tabel 5.37.
Tabel 5.36 Jumlah Responden yang Mengalami Peningkatan/Penurunan Jumlah Tenaga Kerja Setelah Menerima Kredit Kredit KUR Non KUR Total
Meningkat
Tetap 28 36 64
Turun
83 45 128
0 0 0
Total Orang 111 81 192
Tabel 5.37 Persentase Responden Menurut Jumlah Tenaga Kerja Sebelum dan Sesudah Menerima Kredit Menurut Kelompok (dalam Persen) Jenis Kredit
1-2 Orang
3-4 Orang
5-6 Orang
7-8 Orang
9-10 Orang
> 10 Orang
Total
Sebelum Menerima Kredit KUR
31.25
18.75
2.08
2.08
1.56
2.08
57.81
Non KUR
13.02
13.02
7.29
2.60
1.04
5.21
42.19
Total
44.27
31.77
9.38
4.69
2.60
7.29
100.00
20.31
4.17
3.65
2.08
2.60
57.81
Setelah Menerima Kredit KUR Non KUR Total
25.00 9.90
11.46
6.77
6.25
1.04
6.77
42.19
34.90
31.77
10.94
9.90
3.13
9.38
100.00
Sumber: Hasil Pengolahan, 2010
137
Dari analisis tabulasi silang tersebut, dapat ditunjukkan bahwa baik nilai pendapatan usaha, permodalan usaha, keuntungan usaha, aset usaha, pengeluaran usaha, maupun jumlah tenaga kerja dari kegiatan usaha para pelaku usaha penerima kredit (debitur) secara umum mengalami peningkatan antara sebelum dan sesudah menerima kredit, baik penerima kredit KUR maupun non KUR. Namun, dengan menggunakan analisis tabulasi silang tersebut, tidak dapat dipastikan secara benar bahwa peningkatan nilai-nilai tersebut dikarenakan oleh adanya pemberian kredit oleh perbankan kepada para pelaku usaha yang menjadi responden dalam studi ini. Lebih lanjut lagi, dengan menggunakan analisis tabulasi silang juga tidak dapat menangkap secara pasti jenis kredit manakah yang lebih efektif dampak positifnya terhadap indikator kegiatan usaha, apakah kredit KUR atau kredit non KUR. Hal-hal yang disampaikan sebelumnya tersebut adalah baru sekedar indikasi bahwa salah satu penyebab peningkatan nilai-nilai indikator kegiatan usaha tersebut dimungkinkan adalah adanya pemberian kredit, baik KUR maupun non KUR.
5.2.2. Analisa Model Ekonometrika Cross Section Apabila dengan menggunakan analisa tabulasi silang (cross-tabs) baru dapat dilihat adanya indikasi dampak dari adanya kredit, baik KUR maupun non KUR, maka dengan menggunakan analisa model ekonometrika nantinya dapat dilihat faktor-faktor apa sajakah yang sebenarnya mempengaruhi pendapatan usaha, keuntungan, permodalan, dan jumlah tenaga kerja yang dimiliki oleh para pelaku usaha penerima kredit (debitur), termasuk salah satunya adalah variabel jumlah kredit. Bahkan, selain variabel jumlah kredit yang diterima, jenis kreditnya sendiri (KUR atau non KUR) juga dapat dilihat perbedaan dampaknya tehadap berbagai indikator kegiatan usaha. Karena data hasil surveinya hanya tersedia dalam suatu waktu dan observasi individunya banyak, maka model ekonometrika yang tepat digunakan dalam studi ini adalah model ekonometrika cross-section (kerat lintang). Dari Outcome Equation Model (OEM) yang dikembangkan dalam bagian metodologi, maka hasil pengolahan untuk faktor-faktor yang berpengaruh 138
terhadap omset usaha para penerima kredit per bulannya secara lengkap dapat dilihat dalam Tabel 5.38 berikut ini: Tabel 5.38 Faktor-Faktor Penentu Omset Usaha Penerima Kredit Ln (Omset Usaha Setelah Terima Kredit) Variabel Bebas Koefisien 4.2402*** Konstanta 0.3555*** Ln (Modal Sebelum Terima Kredit) 0.2612** Ln (Tenaga Kerja Setelah Terima Kredit) 0.3408*** Ln (Kredit) 0.0026 Ln (Lama Usaha) 0.1536 Dummy Pendidikan (PT=1, Lainnya=0) 0.2889** Dummy Jenis Usaha (Dagang=1, Lainnya=0) 0.1473 Dummy Jenis Kredit (KUR=1, Lainnya=0) -0.2742 Dummy P. Keuangan (P. Keuangan=1, Lainnya=0) 0.1198 Dummy P. Non Keuangan (P. Non Keu.=1, Lainnya=0) 0.1439 Dummy Rumah Tangga (Kota:1, Lainnya: 0) Adjusted R-squared Durbin Watson (DW) Statistic F-Statistic Jumlah Observasi
t-Statistic 4.54 8.15 2.13 5.84 0.02 1.02 2.13 1.10 -1.12 0.57 1.03 0.6422 1.4428 31.6898 192
Sumber: Hasil Pengolahan, 2010 Keterangan: *) : Signifikan dalam tingkat kesalahan (α) sebesar 10 persen **) : Signifikan dalam tingkat kesalahan (α) sebesar 5 persen ***) : Signifikan dalam tingkat kesalahan (α) sebesar 1 persen
Secara umum, pengolahan dari data hasil survei yang diperoleh dalam Tabel 5.32 sudah menunjukkan hasil yang cukup baik. Hal tersebut terlihat salah satunya dari nilai Adjusted R-square yang besarnya adalah 0,6422, dimana artinya adalah bahwa variasi nilai dari variabel terikat (omset usaha per bulan) yang mampu dijelaskan oleh variasi dari nilai-nilai variabel bebas adalah sebesar 64,22 persen, yang nilainya sudah cukup baik untuk hasil pengolahan model data cross-section. Selain itu, dari nilai F-statistic yang diperoleh, menunjukkan bahwa variabelvariabel bebas tersebut secara bersama-sama signifikan dalam mempengaruhi variabel terikatnya. Pengujian terhadap asumsi ordinary least square (OLS) yang lain, seperti no mulcolinierity, no heteroscedasticity, dan no autocorrelation, juga dilakukan dan semuanya telah terpenuhi. 139
Dari Tabel 5.38, terlihat bahwa variabel yang signifikan mempengaruhi besarnya omset atau pendapatan usaha para penerima kredit (baik KUR maupun non KUR) adalah besarnya modal awal (modal sebelum menerima kredit) yang dimiliki, jumlah tenaga kerja, jumlah kredit yang diterima, dan dummy untuk variabel jenis usaha (usaha selain dagang sebagai basis). Keempat variabel bebas (independent) tersebut masing-masing signifikan berpengaruh positif terhadap omset usaha per bulan para penerima kredit. Variabel-variabel bebas yang lain seperti lamanya usaha, dummy untuk tingkat pendidikan, jenis kredit (KUR atau non KUR), dummy perusahaan keuangan, dummy perusahaan bukan keuangan, dan dummy rumah tangga perkotaan tidak signifikan berpengaruh terhadap nilai omset usaha per bulan para penerima kredit. Hal tersebut, secara umum menunjukkan bahwa kredit memang berpangaruh positif, namun tidak ada perbedaan yang signifikan dalam omset usaha antara para penerima kredit KUR dan penerima kredit non KUR. Selain itu, pendapatan usaha per bulan para pelaku usaha penerima kredit yang pemiliknya lulusan perguruan tinggi atau tidak, perusahaan keuangan atau bukan dan rumah tangga perkotaan atau perdesaan, tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Nilai-nilai dari koefisien yang diperoleh dari hasil pengolahan yang terdapat dalam Tabel 5.38 menunjukkan bahwa setiap peningkatan sebesar 1 persen dari modal awal (sebelum menerima kredit), dengan asumsi ceteris paribus (yang lain diasumsikan tetap atau tidak berubah), maka omset usaha per bulan para penerima kredit akan mengalami peningkatan sebesar 0,36 persen. Peningkatan jumlah tenaga kerja sebesar 1 persen, asumsi ceteris paribus, jumlah omset per bulan meningkat sebesar 0,26 persen. Sementara itu, peningkatan 1 persen jumlah kredit yang diterima, asumsi ceteris paribus, akan meningkatkan omset usaha per bulan sebesar 0,34 persen. Sedangkan dummy variabel jenis usaha yang signfikan secara positif (dengan basis adalah jenis usaha selain dagang) menunjukkan bahwa secara rata-rata penerima kredit yang jenis usahanya adalah dagang lebih tinggi omset usahanya per bulan sebesar 0,29 persen dibandingkan dengan penerima kredit yang jenis usahanya selain dagang. Hal yang cukup menarik dari hal-hal tersebut adalah bahwa tidak terdapat perbedaan yng cukup signifikan antara modal awal usaha dengan jumlah kredit yang diterima 140
oleh penerima usaha. Tentunya hal ini menunjukkan bahwa kredit berperan cukup penting terhadap omset atau pendapatan usaha per bulan penerima kredit. Selanjutnya, hasil pengolahan untuk faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kuntungan usaha para penerima kredit per bulannya secara rinci dapat dilihat dalam Tabel 5.39 berikut ini: Tabel 5.39 Faktor-Faktor Penentu Keuntungan Usaha Penerima Kredit Ln (Keuntungan Usaha Setelah Terima Kredit) Variabel Bebas Koefisien 5.4160*** Konstanta 0.1767*** Ln (Modal Sebelum Terima Kredit) 0.2664** Ln (Tenaga Kerja Setelah Terima Kredit) 0.3472*** Ln (Kredit) 0.1828 Ln (Lama Usaha) 0.0762 Dummy Pendidikan (PT=1, Lainnya=0) 0.3102** Dummy Jenis Usaha (Dagang=1, Lainnya=0) -0.2904** Dummy Jenis Kredit (KUR=1, Lainnya=0) -1.0253*** Dummy P. Keuangan (P. Keuangan=1, Lainnya=0) 0.1047 Dummy P. Non Keuangan (P. Non Keu.=1, Lainnya=0) 0.1629 Dummy Rumah Tangga (Kota:1, Lainnya: 0) Adjusted R-squared Durbin Watson (DW) Statistic F-Statistic Jumlah Observasi
t-Statistic 5.50 3.93 2.01 5.05 1.42 0.50 2.06 -2.24 -3.41 0.46 1.17 0.5571 1.733 22.5120 192
Sumber: Hasil Pengolahan, 2010 Keterangan: *) : Signifikan dalam tingkat kesalahan (α) sebesar 10 persen **) : Signifikan dalam tingkat kesalahan (α) sebesar 5 persen ***) : Signifikan dalam tingkat kesalahan (α) sebesar 1 persen
Hasil pengolahan untuk faktor-faktor yang menentukan besarnya keuntungan usaha per bulan penerima kredit juga cukup baik yang terlihat dari nilai Adjusted R-squared yang sebesar 0,5571, DW statistic-nya yang mendekati nilai 2, dan F-statistic-nya yang cukup besar dan menunjukkan kesignifikansiannya. Selain itu, hasil pengujian asumsi ekonometrikanya juga telah terpenuhi seperti dalam persamaan omset usaha per bulan sebelumnya. Walaupun belum secara pasti bahwa dengan meningkatnya pendapatan akan meningkatkan keuntungan (karena tentunya juga tergantung pada pengeluarannya), namun secara umum, hasil pengolahan untuk faktor141
faktor yang signifikan berpengaruh terhadap keuntungan per bulan tersebut hampir sama dengan hasil pengolahan sebelumnya untuk faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan/omset usaha per bulan bagi penerima kredit. Dari Tabel 5.39 tersebut, dapat dilihat bahwa variabel yang signifikan
mempengaruhi besarnya keuntungan usaha para penerima kredit (baik KUR maupun non KUR) per bulan adalah besarnya modal awal (modal sebelum menerima kredit) yang dimiliki, jumlah tenaga kerja, jumlah kredit yang diterima, dummy untuk variabel jenis usaha (usaha selain dagang sebagai basis), dummy untuk variabel jenis kredit (selain KUR manjadi basis), dan dummy untuk variabel perusahaan keuangan (dimana basisnya adalah rumah tangga di perdesaan). Walaupun relatif sama terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan usaha dan keuntungan usaha para penerima kredit per bulan, namun bila dilihat dari nilai-nilai koefisien yang diperoleh menunjukkan adanya perbedaan dalam besarnya pengaruh hubungan antara variabel bebas dan variabel terikatnya. Peningkatan modal awal (sebelum menerima kredit) sebesar 1 persen, dengan asumsi ceteris paribus, akan meningkatkan keuntungan usaha para penerima kredit per bulan sebesar 0,18 persen. Bila terjadi peningkatan pada jumlah tenaga kerja sebesar 1 persen, ceteris paribus, maka keuntungan juga akan naik sebesar 0,27 persen. Pengaruh yang cukup besar terlihat dari adanya peningkatan jumlah kredit yang diterima, dimana apabila jumlah kredit yang diterima meningkat 1 persen, ceteris paribus, maka keuntungan akan naik sebesar 0,35 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kredit berperan sangat penting dalam meningkatkan nilai keuntungan atau nilai tambah ekonomi bagi para pelaku usaha, baik kredit KUR maupun non KUR. Variabel dummy untuk jenis usaha yang signfikan berpengaruh positif menunjukkan bahwa keuntungan usaha per bulan para penerima kredit yang jenis usahanya dagang secara rata-rata lebih besar dibandingkan dengan para penerima kredit yang jenis usahanya selain dagang, dengan perbedaan sebesar 0,31 persen. Sementara itu, variabel dummy untuk jenis kredit yang signifikan secara negatif menunjukkan bahwa keuntungan usaha per bulan para pelaku usaha penerima kredit KUR secara rata-rata lebih rendah sebesar 0,29 persen bila dibandingkan 142
dengan keuntungan usaha per bulan para pelaku usaha penerima kredit non KUR. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum, KUR belum dapat menunjukkan pengaruh yang lebih efektif bila dibandingkan dengan jenis kredit yang lain bila ditinjau dari pengaruhnya terhadap keuntungan kegiatan usaha. Sedangkan untuk variabel dummy untuk perusahaan keuangan, yang terlihat pengaruhnya secara negatif terhadap keuntungan usaha per bulan menunjukkan bahwa keuntungan usaha per bulan perusahaan penerima kredit yang bergerak di bidang keuangan lebih rendah sebesar 1,03 persen dibandingkan dengan keuntungan usaha per bulan rumah tangga penerima kredit di perdesaan. Karena variabel dummy untuk perusahaan non keuangan dan rumah tangga perkotaan tidak signifikan berpengaruh terhadap keuntungan usaha per bulan, maka hal tersebut menunjukan bahwa secara rata-rata keuntungan usaha per bulan antara penerima kredit yang berupa perusahaan non keuangan, rumah tangga perdesaan dan rumah tangga perkotaan tidak terdapat perbedaan yang berarti. Sementara itu, hasil pengolahan untuk faktor-faktor yang berpengaruh terhadap permodalan usaha para penerima kredit dapat dilihat dalam Tabel 5.40 berikut ini: Tabel 5.40 Faktor-Faktor Penentu Permodalan Usaha Penerima Kredit Ln (Permodalan Usaha Setelah Terima Kredit) Variabel Bebas Koefisien 0.7953** Konstanta 0.8857*** Ln (Modal Sebelum Terima Kredit) 0.0844*** Ln (Tenaga Kerja Setelah Terima Kredit) 0.1081** Ln (Kredit) -0.0867* Ln (Lama Usaha) -0.1330*** Dummy Pendidikan (PT=1, Lainnya=0) -0.0355 Dummy Jenis Usaha (Dagang=1, Lainnya=0) -0.0367 Dummy Jenis Kredit (KUR=1, Lainnya=0) 0.1024 Dummy P. Keuangan (P. Keuangan=1, Lainnya=0) -0.0114 Dummy P. Non Keuangan (P. Non Keu.=1, Lainnya=0) -0.0569 Dummy Rumah Tangga (Kota:1, Lainnya: 0) Adjusted R-squared Durbin Watson (DW) Statistic F-Statistic Jumlah Observasi
t-Statistic 2.25 55.65 3.54 2.19 -1.68 -2.86 -0.62 -0.75 1.04 -0.13 -1.00 0.9683 1.1698 520.0927 192 143
Sumber: Hasil Pengolahan, 2010 Keterangan: *) : Signifikan dalam tingkat kesalahan (α) sebesar 10 persen **) : Signifikan dalam tingkat kesalahan (α) sebesar 5 persen ***) : Signifikan dalam tingkat kesalahan (α) sebesar 1 persen
Selain berpengaruh positif terhadap pendapatan dan keuntungan usaha para pelaku usaha penerima kredit, kredit juga berpengaruh positif terhadap penambahan permodalan usaha, baik secara langsung (melalui adanya penerimaan kredit) maupun tidak langsung (yaitu melalui peningkatan pendapatan dan keuntungan usaha yang diperoleh setelah menerima kredit). Hal tersebut dapat terlihat dari hasil pengolahan faktor-faktor yang menentukan besarnya permodalan usaha seperti yang telah disajikan dalam Tabel 5.40. Permodalan usaha setelah menerima kredit signifikan dipengaruhi oleh besarnya modal awal usaha, jumlah kredit yang diterima, jumlah tenaga kerja, lamanya usaha, dan tingkat pendidikan dari pelaku usaha penerima kredit kredit. Modal awal usaha merupakan faktor yang paling signifikan berpengaruh terhadap besarnya jumlah permodalan awal yang dimiliki oleh pelaku usaha penerima kredit, dimana peningkatan sebesar 1 persen modal awal, asumsi ceteris paribus, akan meningkatkan permodalan usaha setelah menerima kredit sebesar 0,89 persen. Hal ini menunjukkan bahwa apabila permodalan usaha setelah menerima kredit cukup besar, maka umumnya dikarenakan permodalan usaha sebelum menerima kredit memang sudah cukup besar. Peningkatan tenaga kerja sebesar 1 persen, ceteris paribus, akan meningkatkan permodalan usaha sebesar 0, 08 persen. Sedangkan, peningkatan kredit sebesar 1 persen, ceteris paribus, akan meningkatkan permodalan sebesar 0,11 persen. Sementara itu, variabel lamanya usaha (dari awal berdirinya usaha sampai dengan akhir tahun 2009) yang berpengaruh negatif permodalan usaha, menunjukkan bahwa semakin tua umur dari usaha, maka permodalan yang dimiliki semakin sedikit. Hal tersebut dikarenakan usaha-usaha yang dimiliki oleh para pelaku usaha penerima kredit yang sudah lama berdirinya memang merupakan usaha-usaha yang tidak memiliki modal cukup besar, atau dengan kata lain, usaha-usaha yang sudah cukup lama berdiri umumnya merupakam usahausaha yang skala mikro dan kecil. Sebaliknya, usaha-usaha yang relatif muda 144
usianya atau relatif baru berdirinya memiliki modal yang cukup besar atau dengan kata lain lebih bersifat padat modal. Usaha-usaha yang cukup lama berdiri tersebut juga didirikan dan dimiliki oleh para pelaku usaha dengan tingkat pendidikan akhir adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat ke bawah, sedangkan usaha usaha yang relatif muda usianya, umumnya didirikan dan dimiliki oleh para pelaku usaha dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, yaitu lulusan perguruan tinggi (PT). Hal tersebut ditunjukkan oleh adanya pengaruh negatif dari variabel dummy untuk tingkat pendidikan pemilik usaha, yang menunjukkan bahwa secara rata-rata permodalan usaha penerima kredit yang pemilik usahanya adalah lulusan perguruan tinggi lebih rendah sekitar 0,13 persen dibandingkan dengan permodalan usaha penerima kredit yang pemilik usahanya adalah lulusan SMA atau sederajat ke bawah. Variabel-variabel lain yang berupa dummy terlihat tidak signifikan dalam mepengaruhi permodalan usaha setelah menerima kredit. Hal tersebut menunjukkan bahwa permodalan usaha setelah menerima kredit tidak berbeda antara penerima kredit yang jenis usahanya dagang atau tidak, antara jenis kredit KUR atau bukan, antara perusahaan keuangan atau non keuangan, dan antara rumah tangga perkotaan atau rumah tangga perdesaan. Sedangkan hasil pengolahan yang terakhir untuk faktor-faktor yang berpengaruh terhadap jumlah tenaga kerja usaha para penerima kredit dapat dilihat dalam Tabel 5.41 berikut ini:
145
Tabel 5.41 Faktor-Faktor Penentu Tenaga Kerja Usaha Penerima Kredit Ln (Tenaga Kerja Usaha Setelah Terima Kredit) Variabel Bebas Koefisien -0.0103 Konstanta -0.0736*** Ln (Modal Sebelum Terima Kredit) 0.0948*** Ln (Tenaga Kerja Sebelum Terima Kredit) 0.9196*** Ln (Kredit) -0.0504 Ln (Lama Usaha) -0.1274*** Dummy Pendidikan (PT=1, Lainnya=0) -0.1094*** Dummy Jenis Usaha (Dagang=1, Lainnya=0) 0.0220 Dummy Jenis Kredit (KUR=1, Lainnya=0) 0.1808** Dummy P. Keuangan (P. Keuangan=1, Lainnya=0) 0.1035 Dummy P. Non Keuangan (P. Non Keu.=1, Lainnya=0) 0.0006 Dummy Rumah Tangga (Kota:1, Lainnya: 0) Adjusted R-squared Durbin Watson (DW) Statistic F-Statistic Jumlah Observasi
t-Statistic -0.04 -5.87 4.50 22.13 -1.35 -4.11 -2.62 0.50 2.32 1.59 0.02 0,9158 1,4274 182.6883 192
Sumber: Hasil Pengolahan, 2010 Keterangan: *) : Signifikan dalam tingkat kesalahan (α) sebesar 10 persen **) : Signifikan dalam tingkat kesalahan (α) sebesar 5 persen ***) : Signifikan dalam tingkat kesalahan (α) sebesar 1 persen
Dari Tabel 5.41, terinci bahwa jumlah tenaga kerja yang dimiliki oleh para pelaku usaha setelah menerima kredit dipengaruhi oleh modal awal usaha (sebelum menerima kredit), jumlah tenaga kerja sebelumnya, jumlah kredit yang diterima, jenis usaha, dan jenis perusahaan lembaga keuangan atau bukan lembaga keuangan. Modal awal usaha ternyata berpengaruh negatif terhadap jumlah tenaga kerja setelah menerima kredit, dimana peningkatan modal awal sebesar 1 persen, ceteris paribus, menurunkan jumlah tenaga kerja sebesar 0,07 persen. Hal tersebut dikarenakan kebanyakan usaha yang memiliki modal awal cukup besar menggunakan tenaga kerja yang lebih sedikit, seperti misalnya adalah usaha dagang. Hal tersebut juga ditunjukkan oleh variabel dummy untuk jenis usaha, dimana jenis usaha dagang signifikan secara negatif berpengaruh terhadap jumlah tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja untuk usaha dagang ternyata secara rata-rata
146
lebih rendah sebesar 0,11 persen dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja untuk jenis usaha yang lain dari para pelaku usaha penerima kredit. Jumlah tenaga kerja sebelum menerima kredit signifikan berpengaruh terhadap jumlah tenaga kerja setelah menerima kredit, dimana peningkatan jumlah tenaga kerja sebelum menerima kredit sebesar 1 persen, ceterus paribus, akan meningkatkan jumlah tenaga kerja setelah menerima kredit sebesar 0,09 persen. Dalam halnya pengaruh kredit, ternyata kredit berpengaruh paling signifikan secara positif terhadap peningkatan jumlah tenaga kerja, dimana peningkatan kredit sebesar 1 persen, ceteris paribus, akan meningkatkan jumlah tanaga kerja sebesar 0,92 persen. Seperti halnya dalam permodalan, jumlah tenaga kerja yang digunakan oleh pemilik usaha yang berlatar belakang pendidikan terakhir adalah lulusan perguruan tinggi ternyata secara rata-rata juga lebih rendah dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang digunakan oleh pemilik usaha yang berlatar belakang pendidikan SMA atau sederajat ke bawah, dimana secara rata-rata berbeda 0,13 persen. Penerima kredit berupa perusahaan lembaga keuangan ternyata menggunakan tenaga kerja yang secara rata-rata lebih banyak dibandingkan dengan penerima kredit yang lain (perusahaan bukan lembaga keuangan, rumah tangga perkotaan, dan rumah tangga perdesaan), dimana jumlah tenaga kerjanya lebih besar 0,18 persen. Hal inilah yang diduga menjadi penyebab keuntungan usaha per bulan penerima kredit perusahaan lembaga keuangan secara rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan penerima kredit yang lain.
147