ṢALᾹT TASBĪH DALAM PERSPEKTIF HADIS (Studi Analisis Sanad dan Matan) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh: M. Afwan Al-Mutaali NIM: 1110034000097
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M
ṢALᾹT TASBĪH DALAM PERSPEKTIF HADIS (Studi Analisis Sanad dan Matan)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh:
M. Afwan Al-Mutaali NIM: 1110034000097
Pembimbing,
Dr. Masykur Hakim, MA NIP. 19570223 199203 1 001
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H./2014 M.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketetuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 09 Oktober 2014
M Afwan Al-Mutaali
ABSTRAK
M Afwan Al-Mutaali ṢALĀT TASBĪH DALAM PERSPEKTIF HADIS (STUDI ANALISIS SANAD DAN MATAN) Kedudukan Hadis Nabi Saw. Sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an mempunyai peranan penting dalam kehidupan karena ia merupakan sentral figur umat manusia. Maka hadis sebagai pedoman hidup seyogianya terjamin keotentikannya. Sementara dalam perjalanan sejarah telah terjadi pergeseran, baik secara internal maupun eksternal, akibatnya status hadis bias berkualitas shahih, hasan, dha’if dan bahkan maudu’. Dalam hal ini penulis mencoba mengungkap kualitas hadis tentang Ṣalāt tasbīh yang merupakan bagian dari ibadah Ṣalāt sunnah yang tidak asing ditelinga umat muslim pada umumnya. Penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui dan menjaga keotentikan sumber, dengan mengkaji bagaimana kualitas hadis dari segi sanad dan matan hadis. Juga melihat kedudukan hadis tersebut. Dengan tujuan dalam rangka menjelaskan pemahaman kepada masyarakat. Sehingga dapat atau tidaknya diamalkan. Dengan demikian, ajaran atau hujjah yang disandarkan atas Nabi Saw. tersebut dapat dipertanggung jawabkan. Pada penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan library Reseach sepenuhnya. Yaitu Dengan menelaah beberapa literatur yang relevan dengan pokok pembahasan skripsi. Setelah
melakukan
penelitian
sanad
dan
matan
hadis
penulis
berkesimpulan bahwa hadis tentang salat tasbih berkualitas daif. Kendati demikian salat tasbīh tersebut dapat dijadikan sebagai fadāil al-a’māl.
iv
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang pantas untuk diucap selain“Alḥamdulillāh” sebagai rasa syukur yang begitu dalam, atas segala nikmat yang tak terhingga kepada Tuhan seluruh alam, Allah swt., atas segala limpahan rahmat, nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang amat sederhana ini, yang masih jauh dari kata sempurna. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan atas junjungan kita sang revolusioner yakni Baginda Nabi Besar Muhammad Saw. Beserta keluarga, sahabat dan kita sebagai pengikutnya. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini, tidak akan bisa tuntas tanpa bantuan, bimbingan, arahan, dukungan, dan kontribusi dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1. Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A. selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin. Jauhar Azizi. M.A. selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin. 3. Dr. Maskur Hakim, M.Ag. selaku Dosen Pembimbing yang dengan sabar telah membimbing penulis dan memberikan banyak masukan dalam penulisan skripsi ini. 4. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya Jurusan Tafsir Hadits yang telah berbagi ilmu pengetahuan serta pengalaman berharganya kepada para mahasiswa. Semoga amal kebaikan Bapak dan Ibu Dosen dibalas dengan pahala yang tidak terhingga.
v
5. Pimpinan dan seluruh staf perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, sehingga membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Untuk kedua orang tuaku yang tercinta, ayahanda H.A Musyaffa dan Ibunda tercinta Hj. Yayah Siti Sarah yang tidak henti-hentinya memberikan do’a, semangat, nasihat kepada penulis. Juga Kepada kakakakaku yang sangat penulis banggakan (Qurrotul Millah, bang Rahmat, Farhan Amrullah, Yasri Aulawi, Syauqi, Silvia Rahmah) yang senantiasa mendo’akan dan memotivasi penulis untuk terus semangat dalam mencari ilmu. 7. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Pimpinan Pondok Pesantren Dar el-Hikam Pondok Ranji-Ciputat. KH. Bahruddin, S.Ag dan keluarga. Selaku Guru dan orang tua yang banyak memberikan ilmu, nasihat dan doa selama tinggal di Ciputat. 8. Seluruh teman-teman Tafsir Hadis angkatan 2010 (Januri, Gojali, Ryan, Abdul Rizal, Muchtar, uki, Aceng Aum, Lail….), juga seluruh temanteman perjuangan Ikatan Santri Dar el-Hikam (ISDAH) Ciputat terutama untuk semua di Kobong wali. kalian luar biasa.
Akhirnya penulis pun menyadari dengan wawasan keilmuan penulis yang masih sedikit, referensi, dan rujukan-rujukan lain yang belum terbaca, menjadikan penulisan skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, mohon saran dan kritik yang membangun dari pembaca sebagai bahan perbaikan penulisan ini. Dengan segala kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan harapan yang begitu besar, semoga skripsi ini bermanfaat untuk para pembaca.
Ciputat, 09 Oktober 2014
M. Afwan Al-Mutaali
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Konsonan ’═ء
═رr
═ غgh
═بb
═زz
═فf
═تt
═سs
═قq
═ ثth
═ شsh
═كk
═جj
═صṢ
═لl
═حḥ
═ضḍ
═مm
═ خkh
═طṭ
═نn
═دd
═ظẓ
═وw
═ ذdh
( ‘ ═ عnya)
/ ═ ةهh
Vokal Panjang
Diftong
َ═a
═ َ—اā
═َىī
َ═i
═َ—ىá
═ َ وaw
َ═u
═ َ—وū
═ َ يya
═يy
B. Vokal dan Diftong Vokal Pendek
vii
C. Keterangan Tambahan 1. Kata sandang ( الalif lam ma’rifah) ditransliterasi dengan al-, misalnya ( )ال جزي ةal-jizyah, ( )االث ارal-āthār dan ( )الذمةal-dhimmah. Kata sandang ini menggunakan huruf kecil, kecuali bila berada pada awal kalimat. 2. Tashdīd atau shaddah dilambangkan dengan huruf ganda, misalnya almuwaṭṭa’. 3. Kata-kata yang sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia, ditulis sesuai dengan ejaan yang berlaku, seperti al-Qur’an, hadis dan lainnya.
D. Singkatan SWT
= Subḥānahu wa ta’ālā
As
= ‘Alaihi al-Salām
M
= Masehi
QS
= al-Qur’an Surah
SAW
= Ṣalla Allāh ‘alaihi wa sallam
H
= Hijriyah
r.a
= Raḍiya Allāh ‘anhu
w
= Wafat
h
= Halaman
viii
DAFTAR ISI ABSTRAK …………………………………………………………………... iv KATA PENGANTAR …….…………………………………………………v PEDOMAN TRANSLITERASI …………………………………………….vii DAFTAR ISI ………………………………………………………………….ix BAB I: PENDAHULUAN …………...……………………………………… 1 A. Latar Belakang Masalah ……………………………………….......1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……………………….……..7 C. Tinjauan Pustaka ……………………………………...…...………8 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...………………………………….10 E. Metodologi Penelitian ……….…………………………………….10 F. Sistematika Penulisan ……………………………………………..12 BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG ṢALᾹT TASBῙH ………………13 A. Pengertian Ṣalāt Tasbīh ………………………………….……..….13 B. Tujuan Ṣalāt Tasbīh ……………………………………………..….17 C. Tata Cara Ṣalāt Tasbīh ………………………………………….….19 BAB III: KAJIAN TERHADAP SANAD DAN MATAN ………………….24 A. Kritik Sanad Hadis….. ……………………………………………..24 B. Kritik Matan Hadis………………… ……………………………....70 BAB IV: PENUTUP ……..…………………..……………...………………...77 A. Kesimpulan …….…………………………………………………..77 B. Saran-saran ...….……………………………………….…………..78 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………… 79
ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang al-Sunnah dalam Islam memiliki kedudukan sebagai penafsir atas alQur‟an dalam praktik atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa pribadi Nabi Saw. merupakan perwujudan dari al-Qur‟an yang ditafsirkan untuk kebutuhan manusia, serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.1 Oleh karena itu, umat Islam pada masa Nabi Muhammad Saw. (al-sahābaṯ ) dan pengikut jejaknya, menggunakan hadis sebagai hujjah diikuti dengan mengamalkan isinya dengan penuh semangat, kepatuhan, dan ketulusan. Dalam prakteknya, di samping menjadikan al-Qur‟an sebagai hujjah, mereka juga menjadikan hadis sebagai hujjah yang serupa secara seimbang, karena keduanya sama diyakini berasal dari wahyu Allah Swt.
Terdapat perbedaan mendasar antara keduanya, yakni kedudukan alQur‟an bersifat qat’i al-wurūd,2 sedangkan hadis kebanyakan yang bersifat zhanny al-wurūd.3 Juga karena dilihat dari periwayatannya hadis berbeda dengan al-Qur‟an. Al-Qur‟an diriwayatkan tanpa keterputusan antara sumber pertama dengan sumber berikutnya. Artinya, periwayatan al-Qur‟an selalu mutawatir sedangkan hadis tidak demikian, bahkan bila dikalkulasi jumlah hadis yang mutawatir lebih sedikit dibanding keseluruhan hadis yang kebanyakan bersifat 1
Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, Penerjemah Muhammad alBaqīr (Bandung : Karisma, 1993), h. 17. 2 Qat’i al-wurūd adalah absolute (mutlak) kebenaran beritanya. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Cet.I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 4. 3 Zhanni al- wurūd adalah nisbi atau relatif (tidak mutlak) tingkat kebenaran beritanya. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h.4.
1
2
ahad.4 Dalam proses periwayatan tersebut umumnya terjadi periwayatan secara makna, sehingga kemurniannya tidak mendapat jaminan dari Allah Swt. Sifatnya yang tipikal itu tidak menjamin hadis dapat terhindar dari intervensi luar yang sifatnya destruktif, terutama adanya usaha-usaha untuk memalsukannya dalam rentang waktu pengkodifikasian hadis yang cukup lama, sehingga hadis-hadis palsu muncul dengan berbagai motivasi dan kepentingan pribadi dan golongan.5 Oleh sebab itu hadis tersebut perlu diteliti kembali kemurniannya agar ajaran yang disandarkan kepada Nabi Saw. dapat dipertanggung jawabkan hal ini agar terhindar dari pernyataan Nabi Saw. “Barang siapa yang secara sengaja berbohong atas namaku maka hendaknya ia bersiap-siap menempati tempat duduknya di neraka”.6 Sebab di dalam tubuh hadis tak terlepas dari permasalahan-permasalahan yang mengakibatkan kualitas hadis menjadi Ṣahīh, hasan, dhaif, dan bahkan maudu‟. Pokok permasalahan hadis secara umum adalah menyangkut kualitas hadis, pemahaman hadis sampai pada aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Sentralnya adalah sanad dan matan hadis, keduanya merupakan unsur penting yang saling berkaitan erat menentukan keberadaan dan kualitas suatu hadis. Sehingga kekosongan salah satunya akan berpegaruh, dan bahkan merusak eksistensi dan kualitas suatu hadis. Selain itu, dalam perjalanan sejarah telah terjadi pemalsuan hadis pada peristiwa pergolakan politik antara kubu Muawiyah bin Abi Sufyan (w. 60 H/680 M) dan kubu Ali bin Abi Thalib (memerintah 35-40 H/656-661 M). Masingmasing ingin meligitimasi pendapatnya dengan al-Qur‟an dan al-Sunnah sampai 4
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi. h. 3. Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia Press, 1992), h. 1-10. 6 Shahih Bukhari, Kitab „Ilm Bab dosa seorang yang berbohong atas Nabi SAW. Juz I. h. 31 5
3
melakukan pemalsuan hadis.7 Sesunggguhnya Pemalsuan ini bukan saja dilakukan oleh umat muslim tetapi juga oleh non muslim. Motivasi orang-orang melakukan pemalsuan hadis ialah untuk : Pertama, membela kepentingan politik. Kedua, menyesatkan umat Islam ; ketiga, membela ras, suku, negara dan imam ; keempat, memikat hati orang yang mendengarkan kisah yang dikemukakannya ; kelima, menjadikan orang lain lebih zahid ; keenam, perbedaan Mazhab dan Teologi ; ketujuh, memperoleh perhatian dari penguasa.8 Dalam pemalsuan hadis tersebut ada yang bersifat sengaja dan ada yang bersifat tidak sengaja, meski demikian, pemalsuan tetap merupakan perbuatan tercela.9 Berdasarkan fenomena di atas, dalam rangka menetapkan hujjah yang benar-benar murni bersumber dari Nabi Muhammad Saw. maka melakukan penelitian kemurnian hadis adalah suatu keniscayaan. Dari gambaran tentang perjalanan panjang hadis Nabi tersebut, maka dituntut adanya penelitian hadis selanjutnya secara seksama sebagai kehati-hatian untuk
menghindarkan
diri
dari
penggunaan
hadis
yang
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan validitas dan orisinalitasnya serta untuk menjaga keutuhan dan kelestariannya sebagai sumber ajaran Islam. Demikian juga halnya dengan hadis yang dipahami oleh masyarakat sebagai dalil yang mengajarkan tentang suatu ṣalāt Sunnah yang disebut dengan ṣalāt tasbīh, istilah ṣalāt tasbīh merupakan ibadah ṣalāt sunnah yang tidak asing ditelinga umat muslim pada umumnya. Ṣalāt ini secara umum sama dengan tata
7
Muhammad „Ajaj al-Khathib, Ushūl al-Hadis, Penerjemah Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007), Cet. IV. h. 353. 8 Muhammad „Ajaj al-Khathib, Ushūl al-Hadis, h. 354-362. 9 M.Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), Cet. 3. h. 111.
4
cara ṣalāt yang lain, hanya saja ada tambahan bacaan tasbīh di dalamnya. banyak buku pedoman ṣalāt sunnah yang beredar di masyarakat yang didalamnya menjelaskan mengenai ṣalāt tersebut diantaranya mengenai keistimewaan atau fadilah, tata cara mengerjakanya dan sebagainya. Dari alasan itulah ṣalāt tasbīh ini menjadi suatu rangkaian Ibadah ṣalāt yang tidak asing ditelinga sebagian besar umat Islam khususnya di Indonesia yang meyakini akan kebenaran dan kebolehanya. Mereka mengerjakanya secara rutin dengan beragam waktu, ada yang mengerjakan setiap minggu sekali, sebulan sekali, setahun sekali dan juga waktu-waktu khusus seperti Menjelang Ramadhan (Nisyfu Sya’ban) dan sebagainya. Bahkan di beberapa daerah Ṣalāt Tasbīh ini dikerjakan secara berjamaah di masjid. Kekhusyu‟an umat Islam yang menjalankan ibadah tersebut merasa terganggu dengan munculnya buku yang menjadi gerakan provokatif dan bersifat menyudutkan yang menyatakan bahwa ṣalāt tasbīh ini hadisnya termasuk ke dalam hadis mawdu’ (palsu).10 Serta ada juga yang menjelaskan tentang hukumnya yang diperselisihkan oleh para ulama. Ada yang berpendapat bahwa Ṣalāt tasbīh hukumnya Sunnah karena didasarkan atas banyaknya hadis dari berbagai jalur periwayatan yang menjelaskan Ṣalāt tasbīh dan ada pula yang menyatakan hadisnya ḍa‟if. Diantara ulama yang mengatakan bahwa hadis tentang Ṣalāt tasbīh adalah hadis palsu antara lain Ibn al-Jawzi. Beliau memiliki kitab khusus yang berisi
10
Karena di dalam hadis-hadis tersebut disebutkan bahwa pahala melaksanakannya tidak terhingga banyaknya, yaitu: segala dosa, baik yang besar maupun yang kecil, yang disengaja maupun yang tidak, baik yang lalu maupun yang akan datang semuanya diampuni oleh Allah swt. Penyebutan pahala yang begitu besar merupakan salah satu dari ciri-ciri hadis palsu.
5
hadis palsu yang bernama al-Mawdū‟āt, dan di dalamnya terdapat hadis tentang Ṣalāt tasbīh.11 Kemudian diantara contoh buku yang beredar di Masyarakat ditemukan dalam buku “Menyingkap Perbedaan Ulama” buah karya Syaikh Mohammad bin Saleh Utsaimin di dalamnya menjelaskan bahwa Ṣalāt Tasbīh adalah bid'ah dan hadits yang berkaitan dengannya tidak tsabit atau tidak dapat dipertanggung jawabkan keṢahīhan sumbernya dari Nabi Saw. 12 Kemudian hal serupa pula di dalam buku Pedoman Ṣalāt karya Hasbi Ash shiddeqy
dikatakan
bahwa
ṣalāt
tasbīh
merupakan
suatu
Ṣalāt
yang
diperselisihkan ulama. Ada yang menganggapnya sunnah dan ada pula yang membid‟ahkan.
Riwayat
yang
menerangkan
kesunnatannya
dicela
oleh
sebahagian ahli hadis, oleh sebab itu menurutnya lebih utama meninggalkannya.13 Tetapi sebaliknya banyak juga dari para ulama, baik klasik maupun kontemporer yang menegaskan bahwa hadis Ṣalāt tasbīh ini Ṣahīh. Diantara para ulama klasik yang bependapat seperti itu adalah Ibn shalah, al-Mundzirī, alKhātīb al-Baghdadi, al-Zarkasyī, al-Suyutī, dan lain-lain.14 Sementara diantara ahli-ahli hadis masa kini yang menyatakan bahwa Hadis Ṣalāt tasbīh itu Ṣahīh, atau minimal hasan, adalah al-hafīdh Muhammad „Abd al-rahman al-Mubarakfūri (w.1353 H), Mustafa Azami, Muhammad Fuad
11
Muhammad bin „Alī al-Syawkānī, Al-Fawāid al-Majmū’at fī al-Ahādīs al-Mawdū’ah (Bayrūt: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1995), h. 37-38. 12 Atoillah Wijayanto, Shalat Tasbih, Sunnah Rasul Yang Dianggap Bid’ah (Malang: Pustaka Basma, 2009), h. xii 13 Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Shalat (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 302. 14 Ali Mustafa Yaqub, Hadis hadis bermasalah (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2012), h. 131
6
abd al-Baqi, Nashir al-Dīn al-Albāni, dan lain-lain. Bahkan Nashir al-Dīn alAlbāni menegaskan bahwa Hadis Ṣalāt tasbīh itu Ṣahīh. Karenanya, beliau kemudian memasukkan Hadis tersebut dalam kitabnya Ṣahīh Sunan Abi daud, sebuah kitab yang berisi hadis-hadis Ṣahīh.15 Adapun hadis yang dimaksudkan dalam menjelaskan tentang Ṣalāt tasbīh adalah sebagai berikut:
ِ حدثَنَا احلَ َك ُم بن. ِ ِْ الل َّ َحدَّثَنَا َعْب َ حدثَنَا ُ ْو َ بْن َعْبد.دالر ْْحن بْن ب ْش ِر بْ ِن احلَ َك ِم الن َّْي َسابُ ْوْري ِوا اهلل :صلَّ اهللُ َعلَْي ِو َو َ لَّ َمِ ل ْل َلبَّاا بن َعْبد املطلِب ُ ُ اا َر َ :اا َ َ َع ْن ِع ْك ِرَ َع ْن ابن َعبَّاا،اَبَا َن َ ُ ِ ِ ٍل ِ ت ل ل ْ َ َ اعبَّاا ََ" َ ََ ت َ ْ ا َذا اَن, اَ اَْ َل ُ بِ َ َع ْشَر َاا, َ اَ اَ ْحبُ ْو, َ ُ َ اَ اَْ ن, َ اَ اُ ْعطْي,اع َّماه ِ ِ ِ ِ َو ِِ ِ َّرهُ َو َعال,ُص ِْي َرهُ َوَ بِْي َره َ َو َ طَاَهُ َو َع ْم َدهُ َو,ُ َوَد َْوُ َو َحد ْ َو,َُذل َ َ َ َر اهللُ لَ َ َذنْبَ َ اََّولَوُ َواَ َره ِ اَ ْن ُ لِّل اَرب رَ ل ٍل: ع ْشر ِ ٍلاا.نِي و ِ َاا َ ْ راُ ِ ُ ِّل رْ ل ٍل بَِ ِااَ ِ الِك ت ِ َن َ ْ َا َذا َ َر.اا َو ُ ْوَرٍل ََ َ َ َ َْ َ َ َ َ َ ُ ََ َ ِ ِ ِ ِ ِ ْالِ راا ِ ِ اََّوِا رْ ل ٍلَ ُ واَن س َ َْ ََ ََ َ َْ َواهللُ اَ ْ بَ ُر َخ,َُ و الوَ ا اهلل, واحلَ ْم ُد هلل, ُ ْب َ ا َن اهلل:ت َاا ٌمم ِ ِ ُُثّ َ ْه ِوي, ََ ُوُُلَا َع ْشًةرا. ِالرُ ْو ُُثّ َ ْرَ ُ َراْ َ َ َن ُّر,ت َرا ٌم َع ْشًةرا َ ْ ُُثَّ َ ْرَ ُ ََ ُ ْو ُا َواَن,َع ْشَرَ َّ رًة ِ وا واَنت ِ ُُثّ َ ْس ُج ُد ََ ُوُُلَا,الس ُج ْوِد ََ ُ ْوُُلَا َع ْشًةرا ُُثّ َ ْرَ ُ َراْ َ َ ِ َن ُّر,اج ٌمد َع ْشًةرا َ َ َ ُ ُ ََ َ اج ًةدا ِ َ ِ َ ْ َل َذل, َ َ لِ َ َخَْس و َ ْب لُ ْو َن ِ ُ ِّل رْ َل ٍل.الس ُج ْوِد ََ ُوُُلَا َع ْشرا َع ْشًةرا ُُثّ َ ْرَ ُ َراْ َ َِ َن ُّر َ ٌم ًة ُ َ ِ ِ ٍل َاِ ْن,ت اَ ْن ُ َ لِّلْي َها ِ ُ ِّل َ ْوٍلَ َّ رًة َا ْ َل ْ َاِ ْن َْ َ ْسطَِ َِ ُ ِّل ُُ َل ٍل َ َّرًة َ َوان اْ َطَ ْل,اَْربَ ِ َرَ َلاا 16 " َاِ ْن َْ َ ْ َل ْ َِ عُ ُم ِرََ َّرًة, َاِ ْن َْ َ ْ َل ْ َِ ُ ِّل َ نَ ٍل َ َّرٍل,َْ َ ْ َل ْ َِ ُ َ ْه ٍلر َ َّرًة “Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Bisyr bin Hakam An Naisabury telah menceritakan kepada kami Musa bin Abdul Aziz telah menceritakan kepada kami Al Hakam bin Aban dari Ikrimah dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada Abbas bin Abdul Mutthalib: "Wahai Abbas, wahai pamanku, sukakah paman, aku beri, aku karuniai, aku beri hadiah istimewa, aku ajari sepuluh macam kebaikan yang dapat menghapus sepuluh macam dosa? Jika paman mengerjakan ha itu, maka Allah akan mengampuni dosa-dosa paman, baik yang awal dan yang akhir, baik yang telah lalu atau yang akan datang, yang di sengaja ataupun tidak, yang kecil maupun yang besar, yang samar-samar maupun yang terang-terangan. Sepuluh macam 15
Ali Mustafa Yaqub, Hadis hadis bermasalah, h.131. Abi Dawud Sulayman bin al-As'as al-Sijistany, Sunan Abi Dāwud, kitab al-Salat bāb ṣalāt al-Tasbīh, juz I (Bayrūt: Dar al-Fikr, 1994), h. 483-484. 16
7
kebaikan itu ialah; "Paman mengerjakan Ṣalāt empat raka'at, dan setiap raka'at membaca AL Fatihah dan surat, apabila selesai membaca itu, dalam raka'at pertama dan masih berdiri, bacalah; "Subhanallah wal hamdulillah walaa ilaaha illallah wallahu akbar (Maha suci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada ilah selain Allah dan Allah Maha besar) " sebanyak lima belas kali, lalu ruku', dan dalam ruku' membaca bacaan seperti itu sebanyak sepuluh kali, kemudian mengangkat kepala dari ruku' (i'tidal) juga membaca seperti itu sebanyak sepuluh kali, lalu sujud juga membaca sepuluh kali, setelah itu mengangkat kepala dari sujud (duduk di antara dua sujud) juga membaca sepuluh kali, lalu sujud juga membaca sepuluh kali, kemudian mengangkat kepala dan membaca sepuluh kali, Salim bin Abul Ja'd jumlahnya ada tujuh puluh lama kali dalam setiap raka'at, paman dapat melakukannya dalam empat raka'at. jika paman sanggup mengerjakannya sekali dalam sehari, kerjakanlah. Jika tidak mampu, kerjakanlah setiap jum'at, jika tidak mampu, kerjakanlah setiap bulan, jika tidak mampu, kerjakanlah setiap tahun sekali. Dan jika masih tidak mampu, kerjakanlah sekali dalam seumur hidup." Berangkat dari adanya kontroversi mengenai hadis tentang Ṣalāt tasbīh tersebut, maka untuk itu perlu adanya penelitian dalam rangka menjelaskan pemahaman kepada masyarakat tentang berbagai ibadah, dengan melihat kualitas tersebut, sehingga dapat atau tidaknya diamalkan. penulis tertarik untuk meneliti hadis tentang Ṣalāt tasbīh tersebut karena betapa pentingnya melakukan penelitian hadis baik sanad maupun matan dengan tujuan untuk mengetahui otentisitas dan validitas hadis tersebut juga bagaimana memahami kandungannya. oleh karena itu, Maka penulis menetapkan judul : ṢALĀT TASBĪH DALAM PERSPEKTIF HADIS (STUDI ANALISIS SANAD DAN MATAN)
B. Rumusan dan Batasan Masalah
Dari uraian di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam Skripsi ini adalah bagaimana kualitas hadis tentang Ṣalāt tasbīh, Ruang lingkup penulisan ini hanya mencakup hadis-hadis yang dipedomani oleh masyarakat dalam melakukan Ṣalāt tasbīh, dan hadis-hadis yang akan diadakan penelitian terbatas pada hadis-hadis yang dirujuk dalam kitab al-Mu’jām al-Mufahras li al-Fāz al-
8
Hadīs al-Nabawī. Untuk lebih terarahnya pembahasan, maka dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kualitas hadis tentang Ṣalāt tasbīh ? 2. Bagaimana kedudukan Ṣalāt tasbīh ?
C. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan hasil pengamatan dan studi di Perpustakaan telah ditemukan beberapa penelitian sebelumnya. Adapun review studi terdahulu yang penulis telah kaji adalah:
1. Kritik Hadis Tentang Keistimewaan Salat Sunnah Tobat : Studi analisis Sanad Dan Matan, ditulis oleh Nuraini, Eni Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2009. Tema tentang salat banyak sudah banyak dibahas, namun dalam judul berbeda-beda diantaranya tentang salat sunnah taubat, dalam skripsi ini adalah meneliti hadis baik sanad maupun matan dengan tujuan untuk mengetahui otentisitas dan validitas hadis tersebut. Skripsi tersebut didapat dari perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dahsyatnya Ṣalāt Tasbīh yang ditulis oleh Misbahus Surur, Jakarta : Qultum Media, 2009. Buku ini menjelaskan Tinjauan umum mengenai Ṣalāt tasbīh diantaranya Pengertian, keajaiban dan hikmah, tata cara pelaksanaanya dan juga penjelasan para ulama mengenai dasar hukum yang di dalamnya dijelaskan pro kontra terhadap penilaian kedudukan hadis tersebut.
9
3. Buku “Ṣalāt Tasbīh, Sunnah Rasul Yang Dianggap Bid‟ah” yang ditulis oleh Atoillah Wijayanto, Malang, Pustaka Basma, 2009.
Di
dalam buku ini, penulis menjelaskan dan menunjukkan dalil atau hujjah tentang kesunahan Ṣalāt Tasbīh dengan menampilkan hadishadis sebagai bukti otentik dan pendapat ulama ahlussunnah yang kredibel serta mumpuni dalam ilmu mereka. Juga membahas para perawi hadis yang meriwayatkan Ṣalāt Tasbīh dengan menukil pendapat para ulama ahli hadis yang mereka juga telah membahasa masalah ini sebelumnya. 4. Buku “Hadis hadis bermasalah” yang ditulis oleh Ali Mustafa Yaqub, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2012. Di dalam buku ini, penulis memasukan Ṣalāt Tasbīh dalam bagian pembahasan buku tersebut. Di dalamnya dijelaskan secara singkat atau berupa kesimpulan penulis dan dijelaskan pula mengenai Ulama yang pro dan kontra dalam menilai Hadis tersebut.
Setelah meninjau pustaka mengenai literature yang membahas tentang Ṣalāt tasbīh, penulis belum mendapatkan adanya pembahasan khusus mengenai kualitas hadis-hadis tentang ṣalāt tasbīh yang terfokus pada satu buku, khususnya juga yang mengkritik kualitas hadis yang dipahami oleh masyarakat sebagai Ṣalāt tasbīh. Jadi, rancangan penelitian ini merupakan pengembangan dari peneliti sebelumnya, atau pelengkap dari karya-karya yang sudah ada.
10
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kualitas sanad dan matan hadis. 2. Untuk menggali kandungan hadis tentang Ṣalāt tasbīh.
3. Untuk menambah khazanah keilmuan bagi penulis dan kaum muslimin pada umumnya.
4. Untuk memenuhi tugas dan syarat dalam menyelesaikan gelar sarjana setrata satu (S1) pada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Metodologi Penelitian
Adapun metode dalam kegiatan penelitian hadis ini, yaitu:
1. Melakukan takhrij hadis dari matan hadis yang telah disebut pada judul, langkah pertama penelitian hadis ini merujuk melalui lafal hadis dari kitab alMu’jām al-Mufahras li al-Fāz al-Hadīs al-Nabawī karya A.J Wensinck.
2. Mencari data yang telah diperoleh dari kitab kamus dengan merujuk pada kitab asli yang ditunjukkan oleh kitab kamus.
3. Menguraikan skema jalur-jalur sanad agar terlihat ada tidaknya pendukung yang berstatus muttabi‟ dan syawahid.
11
4. Melakukan penelitian sanad (kritik sanad) dari data yang diambil dari kitabkitab Rijal al-Hadis seperti Tahdzīb al-Kamal, Tahdzīb al-Tahdzīb, al-Jarh atTa‟dīl, dan lain-lain. Dan penelitian sanad ini yaitu menelesuri data setiap periwayat dengan menilai keadaannya, hubungan guru dan murid, tahun kelahiran dan tahun wafat, hingga penilaian para ulama tentang kredibilitas perawi tersebut. Untuk kemudian menentukan kedudukan hadis dari semua jalur. 5. Jika terdapat kontradiktif antara jarh dan ta’dīl, maka dalam hal ini Mendahulukan jarh atas ta’dīl secara mutlak (
(اجلرح د عل ال لد
6. Melakukan penelitian matan dari hasil penelitian sanad di atas.
7. Memberikan kesimpulan dari hasil penelitian di atas dan pesan penting dari hadis tersebut. Sedang dalam pembahasan skripsi ini menggunakan metode deskriptif analisis, yakni melalui pengumpulan data dan pendapat para ulama dan pakar untuk kemudian diteliti dan dianalisa sehingga menjadi sebuah kesimpulan yang ilmiah.
Penulis memakai metode penelitian dalam skripsi ini adalah metode penelitian pustakaan (library research) artinya data-datanya berasal dari sumber keperpustakaan, baik berupa buku-buku, ensiklopedi, dan sebagainya, termasuk juga data primer seperti kitab-kitab hadis, maupun data sekunder, seperti data-data yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini.
12
Selain itu juga metode penulisan ini penulis juga mengacu pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, Disertasi) yang disusun oleh tim CEQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2010.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis mengklasifikasi menjadi lima bab dan setiap bab dibagi menjadi beberapa sub-sub yang setiap sub saling berkaitan. Sistematika penulisan tersebut berikut ini : bab I (pertama) sebagai pendahuluan
yang terdiri atas latar
belakang, rumusan dan batasan masalah, metode penelitian, tinjauan pustaka, tujuan penelitian dan sistematika penulisan. Bab II (kedua), merupakan tinjauan umum mengenai ṣalāt tasbīh yang berisi pengertian ṣalāt tasbīh, tujuan ṣalāt tasbīh, tata cara atau praktek pelaksanaan ṣalāt tasbīh.
Bab III (ketiga). berisi kegiatan takhrij, Yang terdiri dari Kegiatan Takhrij Hadis, Klasifikasi hadis tentang Ṣalāt tasbīh, Kegiatan I‟tibar.
bab IV (keempat), kegiatan Penelitian Kritik Sanad dan Matan.
Bab V (kelima), yang merupakan bagian penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ṢALᾹT TASBῙH A. Pengertian Ṣalāt Tasbīh Istilah ṣalāt tasbīh terdiri atas dua kata, yakni “ṣalāt” dan “tasbīh”. Kata “ṣalāt” pada dasarnya berakar dari kata
صالةberasal dari kata kerja صلي – يصلي.
Kata “Ṣalāt” menurut bahasa mengandung dua pengertian, yaitu “berdoa”1 dan “bersalawat”. Ini berarti bahwa ungkapan “saya ṣalāt” dapat berarti “saya berdoa” atau “saya bersalawat”. Berdoa yang dimaksud dalam pengertian ialah berdoa atau memohon hal-hal yang baik, nikmat dan rezeki. Sedangkan “bersalawat” berarti meminta keselamatan, kedamaian, keamanan, dan pelimpahan rahmat Allah swt.2 Ṣalāt dalam pengertian di atas adalah doa yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Untuk meminta pengampunan dari segala dosa, untuk mensyukuri nikmat dan karunia Allah swt. Untuk
menolak
kezaliman, dan untuk menegakkan suatu kewajiban ibadah dalam agama. Secara istilah “ṣalāt” diartikan sebagai suatu ibadah kepada Allah swt. Dengan gerakan-gerakan tertentu dan perkataan-perkataan tertentu yang diawali
1
Ṣalāt dalam pengertian “doa” antara lain terdapat dalam QS. al-Tawbah (9): 103. Abī Husayn Ahmad bin Fāris bin Zakariyyah, Mu‟jām Maqayis al-Lugah, juz III (Mesir: Maktabah Matbāh Mustafa al-Bābi al-Halabi wa Awlāduh, 1972), h. 300-301. 2
13
14
dengan takbir dan diakhiri dengan salam dilakukan pada waktu-waktu tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu.3 Sedangkan kata “tasbīh” merupakan bentuk dasar (masdar) dari kata kerja
يسبح-سبح
yang artinya mensucikan dengan mengucapkan lafal tasbīh, atau
menafikan Allah dari keserupaan dengan semua makhluk dari segala bentuk kekurangan, dengan ucapan subhānallāh (Maha Suci Allah).4 Lafal tasbīh seringkali diucapkan atau digandengkan dengan lafal-lafal tahmīd ()احلمدهلل, tahlīl (اهلل
)الاله اال, dan takbīr ()اهلل اكرب. Jadi ṣalāt tasbīh adalah suatu ṣalāt yang dalam setiap perpindahan dari satu
hay‟ah (gerakan) kepada hay‟ah lainnya mengandung pujian (tasbīh, zikir) kepada Allah swt yang berbunyi
سبحاَ َن اهلل َو اَحلَ ْمدُ هلل َوالَ اِله اِال اهلل َو اهللَ أَ ْك َرب ْ
(Maha Suci
Allah, segala puji bagi Allah, tiada Tuhan selain Allah, dan Allah Maha Besar). Adapun perintah-perintah untuk bertasbīh terdapat dalam Al-Qur‟an dan Hadis Nabi saw, diantaranya:
1. Qs al-Fath (48): 9:
3
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid V (Cet. VI; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), h. 1536. 4 Ahmad Warson al-Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Cet. XIV; Surabaya: Pustaka Progresif, 19970, h. 209.
15
“Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. dan bertasbīh kepada-Nya di waktu pagi dan petang.”5 2. Qs. al-Hijr (15): 98:
“Maka bertasbīhlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (Ṣalāt).”6 3. Hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh „Uqbah bin „Amr:
7
ح ّدثنا الربيع بن نافع أبوتوبة و موسي بن امساعيل ادلعين قاال أخربنا ابن ادلبارك عن موسي قال
، "دلا نزلت "فسبح باسم ربك العظيم:ابوسلمة موسي بن ايوب عن عمه عن عقبة بن عامر قال 8 ، "فلمانزلت" فسبح باسم ربك االعلي. اجعلواها يف ركوعكم: صلَّلي اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّل َم َ قال رسول اهلل 9 . اجعلوها يف سجودكم:قال “Al-Rabi‟ bin Nāfi‟ Abū Tawbah dan Mūsā bin „Ismaīl menceritakan kepada kami, Ibnu al-Mubārak memberitakan kepada kami, dari Mūsā Abū Salamah Mūsā bin Ayyūb berkata, dari pamannya dari „Uqbah bin „āmr berkata Fasabbih bismi rabbika al-„Azīm” (Maka bertasbīhlah kamu dengan nama Tuhanmu yang Maha Besar) Rasulullah saw besabda: “Jadikanlah tasbīh itu dalam sujudmu.” Dan ketika turun firman Allah “sabbihisma Rabbika al-a‟lā” (Tasbīhkanlah nama Tuhanmu yang Maha Tinggi), Rasulullah bersabda: Jadikanlah tasbīh itu dalam sujudmu.” 4. Qs. al-Wāqi‟ah (56): 74 dan 96:
5
Al-Qur‟an Al-Hadi Al-Qur‟an Al-Hadi 7 Qs. Al-Wāqi‟ah (56): 74. 8 QS. Al-A‟lā (87): 1. 9 Abī Dāwud Sulayman bin al-Asy'as al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwud, kitab al-Azān bāb mā Yaqūlu al-Rajūl fī Rukū‟ihī wa Sujūdihī, juz I (Bayrūt: Dār al-Fikr, 1994), h. 239. 6
16
“Maka bertasbīhlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Maha besar.”10 5. Qs. al-A‟lā (87): 1:
“Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tinggi.”11 6. Qs. al-Nasr (110): 3:
“Maka bertasbīhlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya dia adalah Maha Penerima taubat.”12 7. Hadis yang diriwayatkan oleh „Aisyah:
ص ْور َع ْن ُم ْسلِم َع ْن َم ْس ُرْوق َع ْن عا ُ َح َّلدثَثين َمْن: َح َّلدثَنا ََْيي َع ْن ُس ْفيان قَال:َح َّلدثَنا ُم َسدَّلدٌ ضال ِ ِ ِ :ِ ول يف ُرُك ْو ِع ِه َو ُس ُج ِد َ صلَّلي اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّل َم يُكْثُِر اّ ّن يَيَ ُق ْ ََ ة َرضي اهلل َعْن ا أَ َّل ا ق َ النِب ّ َكان:الت 13 " اَللَّل َّلم ا ْغ ِف ْريل،ِ ك الل ُ َم َربَّلنا َوِِبَ ْم ِد َ َ" ُسْبحان “Musaddad telah menceritakan kepada kami, Yahya telah menceritakan kepada kami dari Sufyan dia berkata: Mansūr telah menceritakan kepadaku, dari Muslim, dari Masrūq, dari „A RA. Dia berkata: Bahwasanya Nabi saw. memperbanyak membaca dalam rukuk dan sujudnya; Maha suci engkau Ya Allah Tuhan kami dan segala puji bagiNya, Ya Allah ampunilah aku.”
10
Al-Qur‟an Al-Hadi Al-Qur‟an Al-Hadi 12 Al-Qur‟an Al-Hadi 13 Al-Imām Abī 'Abdillāh Muhammad ibn Ismāīl ibn Ibrāhīm ibn Mughīrah ibn Bardizbah al-Bukhārī al-Jā'fī, Sahīh al-Bukhārī, juz I (Bayrūt: Dār al-Kutūb al-Ilmiyyah, 1992), h. 246. 11
17
C. Tujuan Ṣalāt Tasbīh Tujuan dari ṣalāt adalah pengakuan hati bahwa Allah Swt. Sebagai pencipta yang Maha besar dan pernyataan patuh terhadap-Nya serta tunduk atas kebesaran serta kemuliaan-Nya yang kekal dan abadi. Bagi seseorang yang telah melaksanakan ṣalāt dengan penuh rasa takwa dan keimanan kepada penciptanya, hubungannya dengan Allah swt. akan kuat, istiqamah (teguh) dalam beribadah kepada-Nya, dan menjaga ketentuan-ketentuan yang digariskan oleh-Nya.14 Ṣalāt yang dilaksanakan dengan hati yang penuh takwa dan mengharap keridaan Allah swt. akan mempunyai pengaruh yang mendalam dalam jiwa dan menopang manusia untuk berakhlak mulia. Dengan demikian Ṣalāt dapat berperan sebagai alat penangkal yang dapat mencegah seseorang dari perbuatan keji dan mungkar sebagaimana yang telah disebutkan dalam Qs. al-Ankabūt (29): 45:
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (alQur‟an) dan dirikanlah Ṣalāt. Sesungguhnya Ṣalātitu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (Ṣalāt) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain) dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.15 Ṣalāt tidak hanya merupakan perwujudan dan rasa terima kasih terhadap nikmat yang dianugerahkan Allah swt. tetapi juga mempunyai dampak positif bagi yang melaksanakannya. Dampak tersebut antara lain adalah selalu terjadinya 14
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, jilid IV (Cet. IV; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 208. 15 Al-Qur‟an Al-Hadi
18
hubungan yang kuat antara seorang hamba dan pencipta yang membawa kenikmatan, keamanan, ketenangan, dan keselamatan yang diwujudkan dalam bentuk pernyataan diri dan penghambaan diri kepada Allah swt. ṣalāt juga merupakan sarana untuk mencapai kemenangan, keberuntungan,16 dan ṣalāt yang dilakukan lima kali sehari semalam dapat menghapus dosa seperti air dipakai mandi dapat menghapus daki yang ada di badan sebagaimana yang dijelaskan dalam Hadis:
ٍ ٍ ِ اهي َم عن أيب ُّ ابن أَيب حا ِزم والدر َاوْر َ دي َع ْن يَِز ْ عن حممد ب ِن ابْر ْ يد ُ َح َّلد ثَين:بن َحََْزةَ قَال ُ يم ُ حدَّلثنا ابْراه ِ أ ََرايتُ ْم ْلو أَ ّن:ول ُ صلَّلي اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّل َم يَيَ ُق َسلَمةَ بن َعْبد َّل َ الرَح ِن عن ايب ُهَريرةَ أَنّه َمس َع َرسول اهلل ٍ ِِ ِ ِ ِنَيَ ْ را ب اليَيُْبقي من َد َرنِِه:ت ذلك يَيُْبقي من َد َرنِِه؟ قالوا ُ باب اَ َحد ُكم يَيَ ْغتَس ُل فيه ُك َّلل يَيَ ْوم َخَْسا ماتََي ْق ً 17 ِ ِ َالصلوات اخل ." مس ميحواهلل به اخلَطايا َ َ "ف: قال.ًَ ْي ا َ ذلك َمثَ ُل “Seandainya ada sebuah sungai di depan rumah salah seorang dari kamu dan ia mandi di sana lima kali sehari, apakah menurutmu masih akan ada daki (kotoran) yang tersisa ditubuhnya? Mereka berkata: “Tidak akan ada sedikitpun kotoran yang tersisa ditubuhnya.” Nabi saw. menambahkan, ini adalah ibarat (mengerjakan) Ṣalāt lima waktu menghapus perbuatan jahat (dosa).” Dengan ṣalāt akan tercipta hubungan yang amat dekat antara pelaku dan Allah swt. Sehingga terasa adanya pengawasan dari Allah swt. Terhadap segala tindakan yang pada akhirnya akan memberikan ketenangan yang besar dalam jiwa dan menjauhkan dari kelalaian yang dapat memalingkan seseorang dari ketentuannya kepada Allah swt. (Qs. al-Zāriyat (51): 56). Adapun tujuan atau manfaat melaksanakan Ṣalāt tasbīh, bagi para ulama yang tidak menerima kehujjahan Hadis tentang Ṣalāt tasbīh tentu saja Ṣalāt tasbīh 16
Lihat Qs. al-Mukminūn (23): 1, QS. al-Ma‟ārij (70): 19 Al-Bukhārī al-Ja'fī, juz I kitāb Mawāqīt al-Shalat Bāb al-Shalāwat al-Khamsu Kaffārat, h. 167. 17
19
bagi mereka tidak ada manfaatnya. Karena itu mereka tidak mengerjakannya. Tapi bagi para ulama yang mensahihkan Hadis tersebut, nyata disebutkan bahwa Allah akan mengampuni dosa, baik yang pertama dan terakhir, yang terdahulu dan yang baru, yang tidak disengaja maupun yang disengaja, yang kecil maupun yang besar, yang tersembunyi maupun yang terang-terangan.
D. Tata Cara Ṣalāt Tasbīh Ṣalāt tasbīh semua riwayat sepakat dengan empat rokaat18, jika pada siang hari dengan satu kali salam (langsung niat empat rakaat), sedang di malam hari dua rokaat-dua rokaat dengan dua kali salam (dua kali shalat dengan masingmasing 2 rakaat) dengan tasbih sebanyak 75 kali tiap raka‟atnya, jadi keseluruhan bacaan tasbih dalam shalat tasbih 4 rokaat tersebut 300 kali tasbih.19
Secara umum, shalat tasbih sama dengan tata cara shalat yang lain, hanya saja ada tambahan bacaan tasbih yaitu: 20
احلَ ْم ُد لِلَّل ِه َوالَ ِلَهَ ِالَّل اهللُ َواهللُ أَ ْكبََي ُر ْ ُسْب َحا َن اهللِ َو
Adapun cara mengerjakan ṣalāt tasbīh adalah sebagai berikut:
1. Berdiri tegak menghadap kiblat, lalu mengucapkan niatnya. Lafaz niat Ṣalāt tasbīh (bila dikerjakan dua rakaat-dua rakaat): 18
Abī Dāwud Sulayman bin al-Asy'as al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwud, kitab al-Shalāt bāb Shalāt al-Tasbīh, juz I (Bayrūt: Dār al-Fikr, 1994), h. 484. Al-Hafiz Abī 'Abdullāh Muhammad ibn Yazīd al-Qaswinī. Sunan ibn Mājah, Kitāb Iqāmat al-Shalāt wa al-Sunnat Fī hā Bāb Mā Ja‟a fī Shalāt al-Tasbīh juz I (Bayrūt: Dār al-Fikr, 1995), h. 442. Abī Muhammad bin „Isā bin Sawrah, Sunan al-Tirmizī, Kitāb al-Shalāt Bāb Mā Ja‟a fī Shalāt al-Tasbīh, juz II (Bayrūt: Dār al-Kutub alIlmiyyah, 1987), h. 347. 19 Abī „Isā Muhammad bin „Isā bin Sawrah, h. 350. 20 Abū Dāwud, kitab al-Shalāt bāb Salāt at-Tasbīh, h. 483-484.
20
.التَّلسبِْيح َرْك َعتََي ْ ِ لِلّ ِه تََي َع َايل َ ُا ْ َصلِّليُ َّلسنة Lafaz niat Ṣalāt tasbīh dikerjakan empat rakaat : “Saya niat Ṣalāt tasbīh dua rakaat karena Allah ta‟alā”.
ٍ أُصلِّل سنَّلةَ التَّلسبِي ِح أَربع رَكع ات لِلَّل ِه تََي َع َاا َ َ َ َْ ْ ْ ُ َ “Saya niat Ṣalāt tasbīh empat rakaat karena Allah ta‟alā”. 2. Setelah niat, lalu membaca do‟a iftitah yaitu:
ِ ِ ِ السمو ِ ِ ِ ات ت َو ْج ِ َي لِلَّل ِذي فَطََر َّل ُ ْ اهلل أَ ْك َرب َكبِ ْْيا َواحلَ ْم ُد هلل َكثْيَيَرا َو ُسْب َحا َن اهلل بُكَْرًة َوأَصْيال أ ِّلِّن َو َّلج ِ ِ َ أِ َن. َ االر َ َحنِْيَي ًفا ُمسلِما وَما أنا ِمن ادل ْ ِرك العادلِْ َ ال اي َوَمََ ِاِت هللِ َر ِّل َ ب ْ َو َ ً ْ َ َصالِت َونُ ُسكي َوَْحمي َ ُ 21 ِ ِ َ ِيكَ له وبِذل . َ ْ سلِ ِم ُ ك أُم ْر ْ ُت َوأنا م َن ادل َ ُ َ َ ِر “Allah Maha Besar lagi sempurna Kebesaran-Nya, segala puji bagi-Nya dan Maha Suci Allah sepanjang pagi dan sore. Kuhadapkan muka hatiku kepada Zat yang menciptakan langit dan bumi dengan keadaan lurus dan menyerahkan diri dan aku bukanlah dari golongan kaum musyrikin. Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku semata hanya untuk Allah Seru sekalian alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya dan dengan aku diperintahkan untuk tidak menyekutukan bagi-Nya. Dan aku dari golongan orang muslimin. Atau boleh juga membaca doa iftitah sebagai berikut:
ِ ِ ِ ِ اي َكما َ َاي َك َما ب َ اع ْد َ َ اَلل ُ َّلم نَيَق ِِّلين م ْن َخط.ت بَيَ ْ َ الَم ْ ِرق َوالَ ْمغ ِرب َ َأَللّ ُ َّلم بَاع ْد بَيَْي ِين َوبَيَ ْ َ َخطَاي 22 ِ ِ يي ِم َن الَّل َد .لل َوالََربد الل ُ َّلم ا ْغ ِس ْل ِين ِم ْن َخطَاي.نس ِ ْاي بِادل ِااَ والَّلث ُ َب االْب ُ يَيُنََيقَّلي الثَي َّْلو َ َ َ “Ya Allah, jauhkanlah daripada kesalahan dan dosa sejauh antara timur dan barat. Ya Allah bersihkanlah aku dari segala kesalahan dan dosa bagaikan bersihnya kain putih dari kotoran. Ya Allah, sucikanlah kesalahanku dengan air, dan air salju yang sejuk”.
21
Al-Imām Abū Muhammad 'Abdullah ibn 'Abdū al-Rahman ibn al-Fadhl ibn Bahrām alDārimī, Sunan al-Darimī, Kitāb al-Shalat bāb Mā Yuqālu ba‟da Iftitāh, juz II; Indonesia: Maktabah wahlan, t.th., h. 282. 22 Al-Bukharī al-Ja'fī, Kitāb al-Azān bāb Mā Yuqālu ba‟da al-Takbīr, h. 224.
21
Setelah selesai membaca doa iftitah, kemudian dilanjutkan dengan membaca surah al-Fatihah dan surah yang lain.23 Setelah itu bacalah tasbīh sebanyak lima belas kali, yaitu: 24
.بحا َن اهللَِ واحلَ ْم ُدهلل َوال اِلَهَ اِالاهلل َو اهللُ اَ ْك َرب َ ْس
Bacaan tersebut dapat pula ditambah dengan:
ِوالَ حو َل والَ قُ َّلَيوةَ اِالَّل باِهلل َ َْ َ 3. Kemudian rukuk dengan membaca tasbīh sebanyak sepuluh kali, yaitu:
بحا َن اهللَِ واحلَ ْم ُدهلل َوال اِلَهَ اِالاهلل َو اهللُ اَ ْك َرب َوالَ َح ْو َل َوالَ قُ َّلَيوةَ اِالَّل باِهلل َ ْس
25 ِ
4. Kemudian iktidal dengan membaca tahmid iktidal yaitu: 26
َِ َِمسع اهلل لِمن َح َد َْ َ
Setelah berdiri tegak lalu membaca membaca tasbīh sepuluh kali: 27
23
بحا َن اهللَِ واحلَ ْم ُدهلل َوال اِلَهَ اِالاهلل َو اهللُ اَ ْك َرب َوالَ َح ْو َل َوالَ قُ َّلَيوَة اِالَّل باِهلل َ ْس
Ibnu „Abidin (W. 1252 H.), ahli fikih Mazhab Hanafi, di dalam kitab fikihnya yang berjudul Hasyiyah Rad al-Muhtār „alā al-Dur al-Mukhtār –sebagaimana yang dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam- menjelaskan bahwa berdasarkan hadis dari Ibnu Abbas, pada setiap rakaat dibaca surah al-Fatihah. Setelah membaca surah al-Fatihah pada setiap rakaat secara berturut-turut dibaca surah al-Takasur, al-„Asr, al-Kafirun, dan al-Ikhlas. Selanjutnya Ibnu Abidin menjelaskan bahwa sebagian ulama berpendapat bahwa surah yang terbaik dibaca pada masing-masing rakaat adalah surah al-Hadid, al-Hasyr, al-Saff, dan al-Tagabun. Karena terdapat kesesuaian antara makna yang terkandung di dalam surah-surah ini dengan bacaan-bacaan tasbih yang terdapat di dalam salat tasbih. Lihat Abdul Azis Dahlan (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam (Cet. VI; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), h. 1603. 24 Abū Dāwud, kitab al-Shalāt bab Shalāt at-Tasbīh, h. 483-484. 25 Abū Dāwud, kitab al-Shalāt bab Shalāt at-Tasbīh, h. 483-484. 26 Al-Bukhāri, Kitāb al-Azān bāb al-Takbīr izā Qāma min al-Sujūdi, h. 293-294. Al-Imām Abī Husaīn Muslim ibn al-Hajjāj al-Qushairī, al-Naisabūrī, Shahīh Muslīm, Kitāb al-Shalāt bāb Isbāt al-Takbīr, juz I (Bayrūt: Dar al- Kutub al-Ilmiyyah, 1992), h. 293-294.
22
5. Kemudian sujud dengan membaca tasbīh sebanyak sepuluh kali:
بحا َن اهللَِ واحلَ ْم ُدهلل َوال اِلَهَ اِالاهلل َو اهللُ اَ ْك َرب َوالَ َح ْو َل َوالَ قُ َّلَيوةَ اِالَّل باِهلل َ ْس
28 ِ
6. Kemudian duduk diantara dua sujud dengan membaca membaca tasbīh sebanyak sepuluh kali:
بحا َن اهللَِ واحلَ ْم ُدهلل َوال اِلَهَ اِالاهلل َو اهللُ اَ ْك َرب َوالَ َح ْو َل َوالَ قُ َّلَيوَة اِالَّل باِهلل َ ْس
29 ِ
7. Kemudian sujud kedua dengan membaca tasbīh sebanyak sepuluh kali:
بحا َن اهللَِ واحلَ ْم ُدهلل َوال اِلَهَ اِالاهلل َو اهللُ اَ ْك َرب َوالَ َح ْو َل َوالَ قُ َّلَيوَة اِالَّل باِهلل َ ْس
30 ِ
Sebelum berdiri untuk rakaat kedua hendaknya “duduk istirahat” sambil membaca tasbīh seperti tersebut di atas sepuluh kali. Sedangkan pada rakaat terakhir, setelah sujud kedua dan membaca tasbīh sebanyak sepuluh kali, maka selanjutnya adalah membaca tahiyat yaitu:
ِ الم َعلَْيَينَا ات َّل َّل.ُالنَّلِب َوَر َْحَةُ اهللِ َوبَيََركاَتَه َّل.ِات هلل َ الم َعلَْي ُّ ِ ك أَيَيُّ َ ا ُ َات الطّيِّلب ُ الصلَ َو ُ ات ادلُبَارَك ُ االتَّلحيَّل ُ الس ُ الس أَ ْ َ ُد أَ ْن ال أِلهَ أال اهلل َوأَ ْ َ ُد أ َّل. َ ِِالصاحل ص ِل علي َوعلي ِعباَ ِد اهللِ َّل َ أللّ ُ َّلم.َن ُحمَ َّلمداً َر ُس ْو ُل اهلل ٍ ِ ٍ ِ . ت علي َسيِّل ِدنا أِبْراَ ِهْي َم َوعلي ِأل َسيِّل ِدنا أِبْر ِاهْي َم َ صلَّلْي َ كما.َسيِّلدنا ُحمَ َّلمد َو َعلي أل َسيِّلدنا ُحمَ َّلمد ٍ ٍ ِ ت علي َسيِّل ِدنا أبْر ِاهْي َم و علي ال َسيِّل ِدنا َ كما بَارْك.َوبا ِرْك علي سيِّلدنا ُحمَ َّلمد َوعلي ال َسيِّلد نا َحمَ َّلمد 31 ِ ِ َِ َّلك .َحْي ٌد َِ ْي ٌد َ أبراهْي َم يف العادل أن “Segala kehormatan, keberkahan, kebahagiaan dan kebaikan bagi Allah. Salam, rahmat dan berkah-Nya kupanjatkan kepadamu wahai Nabi Muhammad. Salam (keselamatan) semoga tetap untuk kami seluruh hamba yang saleh. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Ya Allah, 27
Abū Dāwud, kitab al-Shalāt bab Shalāt at-Tasbīh, h. 483-484. Abū Dāwud, kitab al-Shalāt bab Shalāt at-Tasbīh, h. 483-484. 29 Abū Dāwud, h 483-484. 30 Abū Dāwud, h. 483-484. 31 Bukhāri, Kitāb al-Azān bāb al-Tasyahhud fī al-ākhirah, h. 250. Muslim,,Kitāb alShalāt bāb al-Tasyahhud fī al-Shalāt, h. 301-305. 28
23
limpahkanlah rahmat kepada Nabi Muh}ammad beserta seluruh keluarganya. Sebagaimana pernah Engkau beri rahmat kepada Nabi Ibrāhīm dan keluarganya. Dan limpahkanlah berkah atas Nabi Muhammad beserta para keluarganya. Sebagaimana Engkau memberi berkah kepada Nabi Ibrāhīm dan keluarganya. Di seluruh alam semesta Engkaulah yang terpuji, dan Maha Mulia”. 9. Terakhir adalah salam.
Demikian dikerjakan pada rakaat pertama, yang bila dihitung seluruh bacaan tasbīhnya berjumlah tujuh puluh lima kali tasbīh. Jadi apabila dikerjakan dalam empat rakaat berarti bacaan tasbīhnya berjumlah tiga ratus tasbīh.32 Apabila seseorang lupa melaksanakan salah satu gerakan di dalam Ṣalāt tasbīh, lalu ia melaksanakan sujud sahwi (sujud karena lupa), maka ia tidak dianjurkan untuk membaca tasbīh di atas pada sujud sahwi tersebut. Akan tetapi, jika lupa membaca tasbīh di dalam salah satu gerakan Ṣalātnya, maka ia menyempurnakannya pada gerakan yang lain selain pada waktu iktidal (karena iktidal adalah rukun Ṣalāt yang singkat waktunya), sehingga jumlah bacaan tasbīhnya secara keseluruhan tetap berjumlah tiga ratus kali.33 Demikian tata cara pelaksanaan Ṣalāt tasbīh yang dipahami oleh masyarakat.
32
Abī Dāwud Sulayman bin al-Asy'as al-Sijistānī, h. 483-484. Sebagaimana yang ditakhrij oleh Tirmizī dari „Abd al-„Azīz dari Abū Rizmah, dia berkata: “Aku bertanya kepada Ibnu al-Mubārak, bagaimana jika dia lupa di dalam salat tasbih, apakah dia bertasbih sepuluh kali di dalam sujud sahwi?” Dia menjawab: “Tidak perlu. Sesungguhnya tasbihnya tiga ratus kali”. Abī „Isā Muhammad bin „Isā. bin Sawrah, h. 350. 33
BAB III KAJIAN TERHADAP SANAD DAN MATAN HADIS
A. Kritik Sanad Hadis Untuk menentukan suatu hadis, maka terlebih dahulu haruslah melakukan penelitian lebih lanjut baik dalam meneliti dari segi sanadnya ataupun dari matannya. 1. Teks dan terjemahannya
ِ ،حدثَنَا احلَ َك ُم بن اَبَا َن. ِ ِْ الل َّ َحدَّثَنَا َعْب َ حدثَنَا ُ ْو َ بْن َعْبد.دالر ْْحن بْن ب ْش ِر بْ ِن احلَ َك ِم الن َّْي َسابُ ْوْري ِ ِ ِ ُ اا ر اعبَّاس َ َ َع ْن ِع ْك ِرَ َع ْن ابن َعبَّاس َ َ " :صلَّ اهللُ َعلَْيو َو َ لَّ َمِ ل ْل َلبَّاس بن َعْبد املُطلب َ وا اهلل ُ َ َ :اا ِ اِ َذا اَنْت َل ْل, اَ اَْ ل بِ ع ْشر ِ ٍلاا, َ اَ اَحب و, اَ اَ ن, اَ اُع ِطي,اع َّماه َ ُ َْ َ ْ ْ ََ َ َ َ َ َ َ َ َُ ُت َذل َ َغ َفَر اهلل ُْْ ِ ِ ِ : َع ْشَر ِ َ ٍلاا.ُ َو ِ ِ َّرهُ َو َع نِيََو,ُص ِْي َرهُ َوَ بِْي َره َ َو َ طَاَهُ َو َع ْم َدهُ َو,ُ َوَد َْوُ َو َحد ْ َو,ُلَ َ َذنْبَ َ اََّولَوُ َواَ َره ٍل َاِ َذا َر ْغ ِ ِ ِ ِ ِ ٍل.اا و ورٍل ِ ِ ِ ِ ِ ٍل ِ َ َ َ ْ ُ َ َاَ ْن ُ َ لِّل َ اَْربَ َ َرَ َلاا َ ْ َراُ ُ ِّل َرْ َل ب َفااَ الك ْ ُ َ ت َن ال َراءَ اََّوا َرْ َل ِ ِ ِ ِ ِ ْواَن ت َ ْ ُُثَّ َ ْرَ ُ ََ ُ ْو ُا َواَن, َواهللُ اَ ْ بَ ُر َْ َ َع ْشَرَ َّ رًة,َُ و الوَ ا اهلل, واحلَ ْم ُد هلل, ُ ْب َ ا َن اهلل:ت َاا ٌمم َ َ ِ ِ ُُث َه ِوي, َ ُوُُلا ع ْشرا. ِ ُُث َرَ راْ ِ ن الرُ و,را ِ ع ْشرا ُ ُ ََ اج ًةدا ّ ُُث,نت َ اج ٌمد َع ْشًةرا َ َوا َوا َ ْ ّ َ ٌم َ ًة ّ ْ ُ َ َ َ َ ُّر ْ َ َ َ ًة الس ُج ْوِد ََ ُوُُلَا ُُثّ َ ْس ُج ُد ََ ُوُُلَا َع ْشًةرا ُُثّ َ ْرَ ُ َراْ َ َِ َن ُّر,الس ُج ْوِد ََ ُ ْوُُلَا َع ْشًةرا َ ْرَ ُ َراْ َ َ ِ َن ُّر ِ ِ ٍل ِ ِ ٍل ت اَ ْن ُ َ لِّلْي َها ِ ُ ِّل َ َوان اْ َطَ ْل, َ ْف َل ُ ذَل َ ِ اَْربَ ِ َرَ َلاا, َ َ ل َ َْ ٌم َو َ ْب لُ ْو َن ِ ُ ِّل َرْ َل.َع ْشًةرا َاِ ْن َْ َ ْف َل ْ َِف, َاِ ْن َْ َ ْف َل ْ َِف ُ َ ْه ٍلر َ َّرًة,َ ْوٍلَ َّ رًة َا ْ َل ْ َاِ ْن َْ َ ْسطَِ َِف ُ ِّل ُُ َل ٍل َ َّرًة 1 " َاِ ْن َْ َ ْف َل ْ َِف عُ ُم ِرََ َّرًة,ُ ِّل َ نَ ٍل َ َّرٍل “Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Bisyr bin Hakam An Naisabury telah menceritakan kepada kami Musa bin Abdul Aziz telah menceritakan kepada kami Al Hakam bin Aban dari Ikrimah dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada Abbas bin
1
Abi Dawud Sulayman bin al-As'as al-Sijistany, Sunan Abi Dāwud, kitab al-Salat bāb ṣalāt al-Tasbīh, juz I (Bayrūt: Dar al-Fikr, 1994), h. 483-484.
24
25
Abdul Mutthalib: "Wahai Abbas, wahai pamanku, sukakah paman, aku beri, aku karuniai, aku beri hadiah istimewa, aku ajari sepuluh macam kebaikan yang dapat menghapus sepuluh macam dosa? Jika paman mengerjakan ha itu, maka Allah akan mengampuni dosa-dosa paman, baik yang awal dan yang akhir, baik yang telah lalu atau yang akan datang, yang di sengaja ataupun tidak, yang kecil maupun yang besar, yang samar-samar maupun yang terang-terangan. Sepuluh macam kebaikan itu ialah; "Paman mengerjakan Ṣalāt empat raka'at, dan setiap raka'at membaca AL Fatihah dan surat, apabila selesai membaca itu, dalam raka'at pertama dan masih berdiri, bacalah; "Subhanallah wal hamdulillah walaa ilaaha illallah wallahu akbar (Maha suci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada ilah selain Allah dan Allah Maha besar) " sebanyak lima belas kali, lalu ruku', dan dalam ruku' membaca bacaan seperti itu sebanyak sepuluh kali, kemudian mengangkat kepala dari ruku' (i'tidal) juga membaca seperti itu sebanyak sepuluh kali, lalu sujud juga membaca sepuluh kali, setelah itu mengangkat kepala dari sujud (duduk di antara dua sujud) juga membaca sepuluh kali, lalu sujud juga membaca sepuluh kali, kemudian mengangkat kepala dan membaca sepuluh kali, Salim bin Abul Ja'd jumlahnya ada tujuh puluh lama kali dalam setiap raka'at, paman dapat melakukannya dalam empat raka'at. jika paman sanggup mengerjakannya sekali dalam sehari, kerjakanlah. Jika tidak mampu, kerjakanlah setiap jum'at, jika tidak mampu, kerjakanlah setiap bulan, jika tidak mampu, kerjakanlah setiap tahun sekali. Dan jika masih tidak mampu, kerjakanlah sekali dalam seumur hidup."
2. Kegiatan Takhrîj Dalam men-takhrîj hadis, seorang peneliti haruslah mengetahui terlebih dahulu metode apa saja yang digunakan dalam melakukan takhrîj hadis, karena seorang peneliti tidak akan bisa menentukan kualitas hadis tanpa mengetahui metodenya. Dalam berbagai metode takhrīj al-hadis yang ada, para ulama berbeda pendapat. Syuhudi Ismail misalnya, membagi dua macam yaitu: 1. Takhrīj al-hadis bi al-lafz dan
26
2. Takhrīj al-hadis bi al-mawdū‟i.2 Mayoritas ulama hadis membagi dalam lima bagian metode takhrīj al-hadis yaitu: 1. Metode takhrīj melalui lafal pertama matan hadis. Di samping itu metode ini juga mengkodifikasikan hadis-hadis yang lafal pertamanya sesuai dengan huruf-huruf hijaiyah. 2. Metode takhrīj melalui kata-kata dalam matan hadis. Metode ini digunakan berdasarkan kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, baik itu berupa isim (kata benda) atau fi‟il (kata kerja). Huruf-huruf tidak digunakan dalam matan hadis. Hadis-hadis yang dicantumkan hanyalah bagian hadis, diutamakan kata-kata yang asing. Adapun ulama yang meriwayatkannya dan nama-nama kitab induknya dicantumkan di bawah potongan hadis-hadisnya. 3. Metode takhrīj melalui periwayat hadis pertama. Metode ini digunakan berdasarkan periwayat hadis pertama yang didahului dengan meneliti sahabat (bila sanad hadisnya bersambung kepada Nabi saw. (muttasīl) atau tabi‟i bila hadis itu (mursal) yang diriwayatkan hadis yang hendak ditakhrīj ). 4. Metode takhrīj menurut tema hadis. Metode ini digunakan berdasarkan tema atau topik masalah sebuah hadis.
2
Takhrīj al-hadīs bi al-lāfz ialah penelusuran hadis melalui lafal, sedangkan takhrīj al-hadis bi al-mawdu‟i ialah penelusuran hadis melalui tema atau topik pembahasan. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 46-49.
27
5. Metode takhrīj berdasarkan status hadis, yakni bila akan mentakhrij suatu hadis, maka dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu metode dari yang telah disebutkan. Namun metode kelima ini mengetengahkan suatu hal yang baru berkenaan dengan upaya para ulama yang telah menyusun kumpulan hadis-hadis berdasarkan status hadis.3 Dalam menelusuri hadis-hadis tentang Ṣalāt tasbīh, penulis menggunakan metode kedua dari lima metode yang di atas, yakni takhrīj al-hadis melalui kata-kata dalam matan hadis atau metode takhrīj bi al-lafz dengan upaya penelusuran hadishadis pada kitab-kitab hadis dengan menelusuri matan hadis yang bersangkutan berdasarkan hal-hal yang terdapat dalam matan hadis tersebut.
Sengaja penulis memilih metode ini, karena kemudahan dan cepatnya pencarian hadis yang ditakhrīj khususnya hadis tentang Ṣalāt tasbīh, dengan merujuk pada kitab (kamus) yang terkenal dalam metode ini yaitu kamus al-Mu‟jam alMufahras li Alfāz al-Hadis al-Nabawī yang disusun oleh A.J. Wensinck. Hadis yang mengemukakan tentang Ṣalāt tasbīh, setelah ditelusuri dengan menggunakan kata kunci
3
سبيح ص
melalui kata dasarnya yaitu
4
بح
maka matan
Abū Muhammad Mahdi bin „Abd al-Qadīr bin „Abd al-Hadī, Turūq Takhrīj al-Hadīs Rasūlullah saw, diterjemahkan oleh H.S. Aqil Husain al-Munawwar dan H. Ahmad Rifqi Mukhtar dengan judul Metode Takhrij Hadis (Cet. I; Semarang: Dina Utama, 1994), h. 16-195. 4 A. J. Wensinck, Mu‟jam al-Mufahras li al-Fāz al-Hadīs al-Nabawī, juz II (Leiden: E. J. Brill, 1943), h. 392.
28
hadis tersebut secara lengkap beserta sanadnya dapat ditemukan dalam kamus alMu‟jam al-Mufahras li al-Fāz al-Hadis al-Nabawī sebagai berikut:
باب صالة التسبيح ١٤ طو ّ :د١٩ و ر: ا١٨٩ ا ا: جوSetelah ditelusuri, ternyata data yang diperoleh menunjukkan bahwa hadishadis tentang Ṣalāt tasbīh berada pada kitab dan bab yang berbeda dengan yang ditunjukkan di dalam al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Fāz al-Hadis al-Nabawī. Adapun hadis-hadis tersebut berada pada: 1. Sunan Abī Dāwud, Kitāb taṭowu‟, Nomor Hadis 14. 2. Sunan al-Tirmizī, Kitāb witr, Nomor Hadis 19. 3. Sunan Ibnu Mājah, Kitāb Iqāmat, Nomor Hadis 189. Dengan demikian, hadis-hadis tentang Ṣalāt tasbīh yang berhasil dikumpulkan sesuai petunjuk kamus al-Mu‟jam tersebut adalah berjumlah enam riwayat, yang termuat dalam tiga kitab hadis.
29
. Adapun hadis-hadisnya akan penulis sebutkan dibawah ini, yakni sebagai berikut: 1. Riwayat Abū Dāwud
َحدَّثَنَا َحبَّا ُن بن ِى ِا اَبُو َحبِْي ٍل، َحدَّثَنَا ُُم َّمد بن ُ ْفيَان ا ُ بِل ُّر َحدَّثَنَا،ي بن َ ْي ُم ْو ٍلن َحدَّثَنَا َ ْه ِد ُّر،ب ُ ِ ص ْ بَ ٌم َرْو َن اَنَّوُ َعْب ُداهلل ُ ٍل ِ ِل ْ َ َح َّدثَين َر ُج ٌم َ ا،بن َ اِ ل ٍل عن ايب اْجلَ ْوَزاء ُ ُنت لَو ُ َع ْم ُرو َ َ بن َع ْمرو اا اا ِ ِ ِ ِ ُ النَِِّب (ر ِ نت اَنَّوُ ُ ْل ِطْي ِ ْين ُّر ُ "ااْ ِ ْين َغ ًةدا اَ ْحبُ ْو َ َواُثْيبَ َ واُ ْعطْي َ َح ََّّتَ ظَْن: صلَّ اهللُ َعلَْيو َو َ لَّ َم َ )وا اهلل ِ السج َد ٍل ِ ِ َ اذا َز َاا الن: اا.َعطيَّ ًة َ َّ اا َُثَّ َ ْرَ ُ َرأْ َ َ َ ْل ِ ْين َن.َُّه ُار َ ُ ْم َ َ ِّل اَْربَ َ َرَ َلاا َ َ َ َر َْ َوه ِ ِ ِ ِِ َ ُُثَّ َ ْ نَ ُ ذَل، َوُ َهلِّل َ َع ْشًةرا، َوُ َكبِّل َر َع ْشًةرا، َوَْا َم َد َع ْشًةرا،لسا َو َ ُ ْم حَّت ُ َسبِّل َح َع ْشًةرا ال َّانَي َاْ َو َجا ًة ِ ُ ْل: اا. ِ َِنَّ لَوُ ْنت أَع َم أَى ا ر ِ ذَنْبا غُ ِفر لَ بِ َ ل: اا.اا ِ اْ رب ِ رَ ل ٍل َ َ َ ًة ُ َْ ت َ ْن َ َ َْ ْ َْ َ ْ َ ْ َ 5 ِ ِ ِ َّأَ َ ِط أَ ْن أَصلِّلي ها ِْل َ ال . "َّهار َ ْ َّصلِّل َها َن ا ْ ْ َ للي ِ َوالن َ :ساع اا َْ َ “Muhammad bin Sufyān al-Ubullī menceritakan kepada kami, Habbān bin Hilāl Abū Habībi menceritakan kepada kami, Mahdī bin Maymūn menceritakan kepada kami, „Amr bin Mālik menceritakan kepada kami, dari Abī al-Jawzāi, rajulun lahū Suhbah menceritakan kepadaku, dia meriwayatkan bahwasanya „Abdullāh bin „Amr berkata: Rasulullah saw. berkata: “Kembalilah besok, aku akan memberi suatu hadiah kepadamu. Apabila siang telah hilang, maka berdirilah untuk mengerjakan Ṣalāt empat rakaat berzikirlah dan sebagainya, kemudian angkat kepalamu yakni dari sujud kedua dilanjutkan dengan duduk, dan jangan berdiri sebelum bertasbīh sepuluh kali, bertahmid sepuluh kali, bertakbir sepuluh kali, dan bertahlil sepuluh kali, kemudian lakukan yang demikian sebanyak empat rakaat. Kemudian beliau bersabda meskipun dosamu sebanyak penduduk bumi niscaya akan diampuni. Apabila engkau tidak dapat mengerjakannya setiap saat, maka Ṣalāt lah malam atau siang.”
5
Abī Dāwud Sulayman bin al-Asy'as al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwud, kitab al-Shalāt bāb Shalāt at-Tasbīh, juz I (Bayrūt: Dār al-Fikr, 1994), h. 484.
30
ِ حدَّثَنا ُُم َّمد بن ه، ِالربِي بن نَا وا َ ُ ي أ ّن َر َح َّدثَِين ا نْ َا ِر ُّر،اج ٍلر َعن عُ ْرَوَ اب ِن ُرَوٍْلْي َُ ُ ُ َ َ َ ُ ُ ْ َّ ََحدَّثَنَا أَبُو َ ْوب ِ اا ِجلل َف ِر ِِب َ ا ِ الرَ ل ِ ا وِل َ َ َ َ َر َْ َوُى ْم.احلد ث َّ ِ اا َّ الس َج َد ِ الَّ انِيَ ِ ِ َن َ ْ َ َ صلَّ اهللُ َعلَْيو َو َ لَّ َم َ اهلل 6 ٍل ِ ِ اا ِ حد .ي ب ِن َ ْي ُمون َ َ َما ث َ ْه ِد ُّر “Abū Tawbah al-Rabi‟ bin Nāfi‟ menceritakan kepada kami, Muhammad bin Muhājir menceritakan kepada kami, dari „Urwah bin Ruwaym, al-Ansārī menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah saw. berkata kepada Jafar dengan hadis ini, maka ia menyebut hadis seperti ini. Dia berkata pada sujud kedua dari rukuk pertama, sebagaimana pada hadis Mahdī bin Maymūn”.
ِ ،حدثَنَا احلَ َك ُم بن اَبَا َن. ِ ِْ الل َّ َحدَّثَنَا َعْب َ حدثَنَا ُ ْو َ بْن َعْبد.دالر ْْحن بْن ب ْش ِر بْ ِن احلَ َك ِم الن َّْي َسابُ ْوْري ِ ِصلَّ اهللُ َعلَْي ِو و َ لَّم لِ َللبَّاس بْن َعْبداملطَّل ب " اعباس اا َر ُ ْوا اهلل َ : َع ْن ابْ ِن عبَّاس؛ َاا، ََع ْن ِع ْك ِر َ َ َ ُ ِ ِ ٍل ِ ِ اهلل ر ف غ ل ذ ت ََ َ ْ ا َذا اَن. اَ اَْ َل ُ ب َ َع ْشَر َاا، َ اَ اَ ْحبُ ْو، َ ُ َ اَ اَْ ن، َ اَ اُ ْعطْي،ُاع َّماه ُ َ َ َ َ َ َ ت َ َل ْل ِ ِ ِ اَ ْن: َع ْشَر ِ َ ٍلاا.َُ ِ َّرهُ َو َع نِيََو،ُص ِْي َرهُ َوَ بِْي َره َ ،َُ و َ طَاَهُ َو َع ْم َده،ُ َوَد َْوُ َو َحد ْ َو،ُلَ َ َذنْبَ ََ َّاولَوُ َواَ َره ُ لِّل اَرب َ ر ل ٍل ِ ٍل ِ رأُ ِّل رْ ل ٍلِ اا َ الك.اا انت َ ت ن ال راء اَّوا َرْ ل و َ اذا َ َر ْغ.اا و ُ ْوَرًة َ َ َ َْ َ َ ِ َ و،ُ ُث ر ُ وُلا. ْ َ ع ْشَرَ َ َّرًة. ب ان اهلل واحلمد هلل و الو ا اهلل واهلل ا رب:ت َ اام ْل انتَ را ٌم ٌم ُث ر. ُث هتوي اجدا وُلا وانت اجدا عشرا.ن الر و وُلا عشرا ُث ر را.ع ْشًةرا ل.وُلاعشرا ُث ر رأ. ُث سجد وُلا عشرا.ن السجود وُلاعشرا رأ ان. و ا ل ان فل، ن ر
ان ا طلت ان ليها.ارب ر لاا فل ذل. ر ل و بلون ان فل ف. هر ر ان فل ف. ل ر فل ف 7 ." ف عمر ر
“Abd al-Rahmān bin Bisyri bin al-Hakam al-Naysabūrī menceritakan kepada kami, Mūsā bin „Abd al-„Azīz menceritakan kepada kami, al-Hakam bin Abān menceritakan kepada kami, dari „Ikrimah dari Ibnu „Abbās, dia berkata: Rasulullah saw berkata kepada „Abbās bin „Abd Muttalib: “Wahai pamanku Abbās, maukah menerima sekiranya aku memberi suatu hadiah kepadamu? Aku telah mengerjakan sepuluh perkara yang apabila engkau mengerjakannya pula, maka Allah akan mengampuni dosa-dosamu, baik yang
6
Abī Dāwud Sulayman bin al-Asy'as al-Sijistanī, Sunan Abī Dāwud, kitab al-Shalāt bab Shalāt at-Tasbīh, juz I, h. 485. 7 Abī Dāwud Sulayman bin al-Asy'as al-Sijistanī, h. 483-484.
31
terdahulu maupun yang akan datang, yang lama maupun yang baru, yang tidak disengaja maupun yang disengaja, yang kecil maupun yang besar, dan yang rahasia maupun yang terang-terangan. Sepuluh perkara itu adalah: Hendaklah engkau mengerjakan Ṣalāt empat rakaat, yang setiap rakaatnya membaca Surah al-Fatihah dan disertai surah yang lain. Ketika selesai membaca surah pada rakaat pertama, sedangkan engkau masih dalam keadaan berdiri, bacalah tasbīh: Subhānallāhi walhamdu lillāhi wa lā ilāha illallāhu wallāhu akbar sebanyak lima belas kali. Ketika rukuk, bacalah tasbīh sepuluh kali. Kemudian bangkit dari rukuk (iktidal), lantas bacalah tasbīh sepuluh kali, lalu sujud. Ketika dalam keadaan sujud, bacalah tasbīh sepuluh kali. Lalu duduk, dan ketika duduk di antara dua sujud, bacalah tasbīh sepuluh kali. (Ketika sujud yang kedua, bacalah tasbīh sepuluh kali). Dan ketika bangkit dari sujud (ketika berdiri pada rakaat berikutnya sebelum membaca surah al-Fatihah), bacalah tasbīh sepuluh kali. Demikianlah engkau lakukan, hingga setiap rakaatnya membaca tujuh puluh lima kali bacaan tasbīh, dan engkau lakukan dalam empat rakaat. Apabila engkau mampu mengerjakannya setiap hari, maka lakukanlah. Tetapi bila tidak mampu, maka kerjakanlah satu kali dalam seminggu, pada setiap hari jum‟at. Apabila tidak mampu, maka setiap bulan sekali. Bila tidak mampu, maka setiap tahun sekali. Dan apabila masih belum mampu melaksanakan setahun sekali, maka lakukanlah satu kali selama hidupmu.” 2. Riwayat Tirmizī
اا اللكْلِ حدثنا و بن عب يد َ حدثين ليد بن ايب ٍل ِ َْحدَّثَنَا أَبُو ُ ر ليد وِل ُ َ ْ َُ ُ ب حدثنا ز د بن ُحبَ ٍل ُ ُّر َ ٍل ِ ِ صلَّ اهللُ َعلَْيو َو َ لَّ َم لللباس َ اا ر وا اهلل: عن ايب را ؛ اا، أَيب بكر بن ُممد بن عمرو بن ح ُ رأ،َ ص ِّل ارب َ ر لاا،اعم َ ار. َ بل: اا، َ ُ أ أَنْ َفل، َ َحبُْو َّ " اا،وا اهلل َ " ْ اع َّم !أ أ ْ َصلُ َ أَ أ ِ َِ َذا اْنَ َ ض، اا و ورٍل ِ ِ ِ ِ ٍل ، و ب ان اهلل، واحلمد هلل، اهلل ا رب: ُ َت ال ِ ِراء َ َ ْ ُ َ َُ ِّل َرْ َل ب َفااَ الك . ُث ا جد لها عشرا. ُُثَّ ارَ َرأ َ َ لها َع ْشًةرا. ُُثَّ ار ْ لها َع ْشًةرا، َ َْ َ َع ْشَرَ َ َّرًة ب ان ر ل.َلها عشرا َ ْب َ ا ْن َ ُ ْو ُث ار رأ. ُث ا جد لها عشرا.لها عشرا ٌم وى ث الاا أرب ر ٍل.ِّل ر ل ٍل " لَ َ َفَرَىا اهللُ ل، لو انت ذنوب ِ ْ َ َرْ ٍل َعاِجلٍل.لاا
ُث ار رأ و بلو َن
32
لها.ل ٍل
وا اهلل! و ن س ط ُ وُلا و ؟ اا " ن َ ْسَ ِط ْ أَ ْن وُلا َ ار:اا 8 ٍل ٍل ." َهر" َلَ ْم ََ ْا َ ُوا لو َح ََّّت اا " لها َ ن
“Abū Kurayb menceritakan kepada kami, Zayd bin Hubāb al-Uklī menceritakan kepada kami, Mūsā bin „Ubaydah menceritakan kepada kami, Sa‟īd bin Abī Sa‟īb mawlā Abī Bakr bin Muhammad bin „Amr bin Hazm menceritakan kepadaku, dari Abī Rāfi‟, dia berkata: Rasulullah saw berkata kepada „Abbās: Wahai paman, maukah sekiranya aku memberi hadiah kepadamu? Dia berkata: tentu Ya Rasulullah, Rasulullah berkata: Wahai pamanku, Ṣalāt lah empat rakaat, bacalah pada tiap rakaat fātihat al-kitāb dan surah yang lain. Maka setelah selesai membaca, maka ucapkan allāhu akbar, al-hamdulillāh, dan subhānallāh lima belas kali sebelum rukuk, kemudian rukuk bacalah sepuluh kali, kemudian bangkit dari rukuk bacalah sepuluh kali, kemudian sujud bacalah sepuluh kali, kemudian bangkit dari sujud bacalah sepuluh kali, kemudian sujud bacalah sepuluh kali, kemudian bangkit bacalah sepuluh kali sebelum berdiri, demikian berjumlah tujuh puluh lima kali tiap rakaat, dan tiga ratus kali dalam empat rakaat. Seandainya dosamu bagaikan gunung pasir, niscaya akan diampuninya. Kemudian dia (Abbās) berkata: “Ya Rasulullah, jika tidak dapat dikerjakan setiap hari”, Rasulullah berkata: “Jika tidak dapat dikerjakan, maka lakukan pada waktu jum‟at, jika tidak dapat lakukan sebulan sekali, hingga dikatakan kepadanya: lakukan sekali setahun.” 3. Riwayat Ibn Mājah
ِ ِ َح َّدثَين َ لِْي ُد،َ بن عُبَ ْي َد َّ َحدَّثَنَا ُو َ بْ ِن َعْب ُ َ ثنا ُو،بن احلَبَاا ُ ثَنَا َزْد، أَبُوُو َ املَ ْس ُرو،دالر ْْحن ِوا اهلل وِل أَِيب بَك ٍل صلَّ اهللُ َعلَْي ِو ُ ُ اا َر َ : َع ْن أَِيب َرا ِ ٍل ؛ َاا، ْر ب ِن َع ْم ٍلرو ب ِن َح ٍْل َ َ ،بن أَِيب َ لِْي ٍلد َ ُ ِ َ ار. َ ب ل:اا ِ ِ ََّو َ لَّ َم لِللب َ َ " اس ْ اع ِّلم أ أ َ َوا اهلل! اا " َ َ ِّل أ َْرب ُ َ َ َ َ " َ ُ أ أصل، َ ُ أ أنْفل، َ َحبُو ٍل ِ ب ا َن اهللِ واحلم ُد هلل: ُ َ ُ ت ال ِ راء ِ َاِ ذَا انْ َ ض، اا و ورٍل ِ ِ ِ ِ ٍل ِ َ َْ َ ُْ ْ َ َ َ ْ ُ َ َ َ ْ َرأُ ُ ِّل َرْ َل ب َفاا الك، َر َلاا . ُُثَّ ْارَ ْ َرأ َ ََ ُ ْل َها َع ْشًةرا. ُُثَّ ْارَ ْ َ ُ ْل َها َع ْشًةرا، َ َ َْ َ َع ْشَرَ َ َّرًة َ ْب َ اَ ْن َ ْر،و الوَ ا اهلل واهللُ ا ْ َرب ُُثَّ ْارَ َْ ْرأ َ َ َ ُ ْل َها َع ْشًةرا. ُُثَّ ا ْ ُج ْد َ ُ ْل َها َع ْشًةرا. ُُثَّ ْارَ ْ َرأْ َ َ َ ُ ْل َها َع ْشًةرا.ُُثَّ ا ْ ُج ْد َ ُ ْل َها َع ْشًةرا ِ ٍل ٍل ِ ِ ٍل ِ ْ َ َلَ ْو َ ان. َوى َ ثَ ُالااَ ِ أ َْربَ ِ َرَ َلاا. َ ْل َ َْ ٌم َو َ ْب لُ ْو َن ِ ُ ِّل َرْ َل.ََ ْب َ أَ ْن َ ُ ْو َ ْ َ ُت ذُنُ ْوب 8
Abī „I Muhammad bin „Isā. bin Sawrah,. Sunan al-Tirmizī, Kitāb al-Shalāt Bāb Mā Ja‟a fī Shalāt al-Tasbīh, juz II (Bayrūt: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1987), h. 347.
33
َاِ ْن.اا " ُ ْل َها ِ ُُ َل ٍل َ َ وا اهللِ! َوَ ْن َْ َ ْسَ ِط ْ َ ُوُُلَا ِ َ ْوٍل ؟ َ ُ َ َار:اا َ " َ َ َغ َفَرَىا اهللُ ل، َرْ ٍل َعالِ ٍل 9 ٍل ." ََْ َ ْسَ ِط ْ َ ُ َلها ِ َ ْه ٍلر" َح ََّّت َاَا " َ ُ ْل َها ِ َ ن “Mūsā bin „Abd al-Rahmān menceritakan kepada kami, Zayd bin al-Hubbāb menceritakan kepada kami, Mūsā bin „Ubaydah menceritakan kepada kami, Sa‟īd bin Abī Sa‟īd menceritakan kepadaku, dari Abī Rāfi, dia berkata: Rasulullah saw berkata kepada „Abbās: Wahai paman, maukah sekiranya aku memberi hadiah kepadamu? Dia berkata: tentu Ya Rasulullah, Rasulullah berkata: Wahai pamanku, Ṣalātlah empat rakaat, bacalah pada tiap rakaat fātihat al-kitāb dan surah yang lain. Apabila telah selesai membaca, maka ucapkanlah Subhānallāh walhamdu lillāhi wa lā ilāha illallāhu, dan allāhu akbar sebanyak lima belas kali sebelum rukuk, kemudian rukuk bacalah sepuluh kali, kemudian bangkit dari rukuk, lantas bacalah sepuluh kali, lalu sujud bacalah sepuluh kali, bangkit dari sujud bacalah sepuluh kali sebelum berdiri, demikian berjumlah tujuh puluh lima kali pada tiap rakaat dan tiga ratus tasbīh dalam empat rakaat. Meskipun dosamu bagaikan gunung pasir, niscaya akan diampuninya. Kemudian dia („Abbās) berkata: “Ya Rasulullah, jika tidak dapat dikerjakan setiap hari”, Rasulullah berkata: “Jika tidak dapat dikerjakan, maka lakukan pada waktu jum‟at, jika tidak dapat lakukan sebulan sekali, hingga dikatakan kepadanya: lakukan sekali setahun.”
ِ ، حدثَنَا احلَ َك ُم بن اَبَا َن، ِ ِْ الل َّ َحدَّثَنَا َعْب َ حدثَنَا ُ ْو َ بْن َعْبد،دالر ْْحن بْن ب ْش ِر بْ ِن احلَ َك ِم الن َّْي َسابُ ْوْري ِ ِصلَّ اهللُ َعلَْي ِو و َ لَّم لِ َللبَّاس بْن َعْبداملطَّل ب " اعباس اا َر ُ ْوا اهلل َ : َع ْن ابْ ِن عبَّاس؛ َاا، ََع ْن ِع ْك ِر َ َ َ ُ ِ ِ ٍل ِت ذَل ِ اهلل ر ف غ َ َ ََ َ ْ اذَا اَن. اَ اَْ َل ُ ب َ َع ْشَر َاا، َ اَ اَ ْحبُ ْو، َ ُ َ اَ اَْ ن، َ اَ اُ ْعطْي،ُاع َّماه ُ َ َ َ ت َ َل ْل ِ ِ ِ اَ ْن: َع ْشَر ِ َ ٍلاا.َُ ِ َّرهُ َو َع نِيََو،ُص ِْي َرهُ َوَ بِْي َره َ ،َُ و َ طَاَهُ َو َع ْم َده،ُ َوَد َْوُ َو َحد ْ َو،ُلَ َ ذَنْبَ ََ َّاولَوُ َواَ َره ُ لِّل اَرب َ ر ل ٍل ِ ٍل ِ رأُ ِّل رْ ل ٍلِ اا َ الك.اا انت َ ت ن ال راء اََّوا َرْ ل و َ اذا َ َر ْغ.اا و ُ ْوَرًة َ َ َ َْ َ َ ِ وانتَ را،ُ ُث ر وُلا. ْ ع ْشرَ َّرًة. ب ان اهلل واحلمد هلل و الو ا اهلل واهلل ا رب:اامُ ْلت َ ٌم َ ٌم َ َ َ ُ ُث ر. ُث هتوي اجدا وُلا وانت اجدا عشرا.ن الر و وُلا عشرا ُث ر را.ع ْشًةرا ل.وُلاعشرا ُث ر رأ. ُث سجد وُلا عشرا.ن السجود وُلاعشرا رأ ان. و ا ل ان ا طلت ان ليها.ارب ر لاا فل ذل. ر ل و بلون
9
Al-Hafiz Abī 'Abdullāh Muhammad ibn Yazīd al-Qaswinī, Sunan ibn Mājah, Kitāb Iqāmat al-Shalāt wa al-Sunnat Fī hā Bāb Mā Ja‟a fī Shalāt al-Tasbīh juz I (Bayrūt: Dār al-Fikr, 1995), h. 442.
34
فل
ان، ن ر
فل ف
ان. هر ر
فل ف
ان. ل ر
فل ف 10 ." ف عمر ر
“Abd al-Rahmān bin Bisyr bin al-Hakam al-Naysabūrī menceritakan kepada kami, Mūsā bin „Abd al-„Azīz menceritakan kepada kami, al-Hakam bin Abān menceritakan kepada kami, dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, dia berkata: Rasulullah saw berkata kepada Abbas bin „Abd al-Muttalib: “Wahai pamanku Abbās, maukah menerima sekiranya aku memberi suatu hadiah kepadamu? Aku telah mengerjakan sepuluh perkara yang apabila engkau mengerjakannya pula, maka Allah akan mengampuni dosa-dosamu, baik yang terdahulu maupun yang akan datang, yang lama maupun yang baru, yang tidak disengaja maupun yang disengaja, yang kecil maupun yang besar, dan yang rahasia maupun yang terang-terangan. Sepuluh perkara itu adalah: Hendaklah engkau mengerjakan Ṣalāt empat rakaat, yang setiap rakaatnya membaca Surah al-Fatihah dan disertai surah yang lain. Ketika selesai membaca surah pada rakaat pertama, sedangkan engkau masih dalam keadaan berdiri, bacalah tasbīh: Subhānallāh walhamdu lillāhi wa lā ilāha illallāhu wallāhu akbar sebanyak lima belas kali. Ketika rukuk, bacalah tasbīh sepuluh kali. Kemudian bangkit dari rukuk (iktidal), lantas bacalah tasbīh sepuluh kali, lalu sujud. Ketika dalam keadaan sujud, bacalah tasbīh sepuluh kali. Lalu duduk, dan ketika duduk di antara dua sujud, bacalah tasbīh sepuluh kali. (Ketika sujud yang kedua, bacalah tasbīh sepuluh kali). Dan ketika bangkit dari sujud (ketika berdiri pada rakaat berikutnya sebelum membaca surah al-Fatihah), bacalah tasbīh sepuluh kali. Demikianlah engkau lakukan, hingga setiap rakaatnya membaca tujuh puluh lima kali bacaan tasbīh, dan engkau lakukan dalam empat rakaat. Apabila engkau mampu mengerjakannya setiap hari, maka lakukanlah. Tetapi bila tidak mampu, maka kerjakanlah satu kali dalam seminggu, pada setiap hari jum‟at. Apabila tidak mampu, maka setiap bulan sekali. Bila tidak mampu, maka setiap tahun sekali. Dan apabila masih belum mampu melaksanakan setahun sekali, maka lakukanlah satu kali selama hidupmu.”
10
Al-Hafiz Abī 'Abdullāh Muhammad ibn Yazīd al-Qaswinī. Sunan ibn Mājah, Kitāb Iqāmat al-Shalāt wa al-Sunnat Fī hā Bāb Mā Ja‟a fī Shalāt al-Tasbīh juz I (Bayrūt: Dār al-Fikr, 1995), h. 442.
35
3. I’tibār Hadis ْ )االmerupakan masdar dari kata َ َاِ ْعتَب. Menurut bahasa, Kata al-i‟tibār (عتِبَار arti al-i‟tibār adalah “peninjauan terhadap berbagai hal dengan maksud untuk dapat diketahui sesuatunya yang sejenis.”11
Menurut istilah ilmu hadis, al-i‟tibār berarti menyertakan sanad-sanad yang lain untuk sesuatu hadis tertentu, yang hadis itu pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja, dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadis dimaksud.12
Dengan dilakukannya al-i‟tibār, maka akan terlihat dengan jelas seluruh jalur sanad hadis-hadis tentang Ṣalāt tasbīh, demikian pula dengan nama-nama periwayatnya, dan metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan. Jadi kegunaan al-i‟tibār adalah untuk mengetahui keadaan sanad hadis seluruhnya dilihat dari ada atau tidak adanya pendukung berupa periwayat yang berstatus syāhid dan mutabi‟.
Untuk memperjelas dan mempermudah proses kegiatan al-i‟tibār, maka dibuatkan skema sebagai berikut:
1992), h. 51.
11
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang,
12
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h.51.
36
37
4. Kritik Sanad Berikut ini dikemukakan kualitas sanad hadīs-hadīs tentang Ṣalāt tasbīh berdasarkan klasifikasi riwayat yang ada yang terkait dengan masalah tersebut yaitu terdapat dalam enam riwayat dari tiga mukharrij, yaitu Abū Dāwud, al-Tirmizī dan Ibnu Mājah. Pada skema sanad hadīs tercantum ada lima nama sahabat Nabi yang meriwayatkan hadīs tersebut, yakni al-Ansārī, „Abdullāh bin „Amr, Ibnu „Abbās, , Abī Rāfi‟ dan Anas bin Mālik. Itu berarti bahwa sanad yang dikritik mendapat dukungan berupa syāhid, begitu pula pada periwayat-periwayat sesudahnya ditemukan dukungan berupa muttabi‟.13
Lambang periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat dalam beberapa sanad tersebut meliputi haddasanā, akhbaranā,„an, haddasanī, anna, dan qāla.
Sanad yang dipilih utuk diteliti langsung dalam penelitian sanad terhadap hadīs-hadīs yang termasuk klasifikasi pertama adalah salah satu sanad Abū Dāwud, yakni melalui Muhammad bin Sufyān al-Ubullī. Akan tetapi jika ditemukan bahwa
13
Menurut istilah ulama hadis, syāhid ialah hadis yang diriwayatkan oleh seseorang sahabat sama dengan hadis yang diriwayatkan oleh sahabat yang lain, secara lafal atau secara makna. Sedangkan mutabi‟ ialah berserikatnya seorang periwayat dengan yang lain tentang suatu riwayat (hadis) dari seorang guru yang terdekat tetapi tidak sampai pada tingkat sahabat (periwayat pertama). Muhammad „Ajjaj al-Khatīb, Ushūl al-Hadīs „Ulūmuhū wa Musthalahuhū (Bayrūt: Dār al-Fikr, 1989), h. 366-367.
38
sanad dari jalur tersebut berkualitas dhaīf, maka penelitian sanad akan dipindahkan ke jalur yang lain untuk mencari kemungkinan terdapatnya sanad hadīs yang yang kualitasnya lebih kuat. Adapun kualitas pribadi dan kapasitas intelektual para periwayat hadīs dimaksud adalah: a. „Abdullāh bin „Amr (Periwayat I, sanad VII); b. Rajulun (Periwayat II, sanad VI); c. Abī al-Jawzāi (Periwayat III, sanad V); d. „Amr bin Mālik (Periwayat IV, sanad IV); e. Mahdī bin Maymūn (Periwayat V, sanad III); f. Hubbāb bin Hilāl (periwayat VI, sanad II); g. Muhammad bin Sufyān al-Ubullī (Periwayat VII , sanad I); h. Abū Dāwud (Periwayat VIII, mukharrij). 1. Abū Dāwud. Nama lengkapnya, menurut Ibnu Hātim adalah Sulaymān bin al-Asy‟as bin Syidad bin „Amr bin „Amir.14 Sedangkan menurut al-Khatīb al-Bagdadi, namanya adalah Sulaymān bin al-Asy‟as bin Syidad bin „Amr bin „Imrān. Dikatakan bahwa kakek kedua Imam Abū Dāwud yang bernama „Imrān adalah salah seorang yang berjuang bersama „Alī bin Abī Thālib dalam perang shiffin. Kelahirannya: Al-Zahabī berkata, “Ia lahir pada tahun 202 H.” Abū „Ubaīd al-Ajari berkata: Aku telah mendengar Abū Dāwud berkata, “Aku dilahirkan pada
14
Abū Muhammad„Abd al-Rahmān bin Abī Hātim Muhammadbin Idrīs bin al-Munzir alRāzī, Kitāb al-Jarh wa al-Ta‟dīl, juz IV (Cet. I; Hayderabat: Majlis Da‟irat al-Ma‟arif, 1987), h. 102.
39
tahun 202 H. dan aku turut menyalati „Affān yang meninggal pada tahun 220 H.”15 Abū Dāwud meninggal pada tanggal 16 Syawal tahun 275 H. 16 Abū Dāwud meriwayatkan hadīs antara lain dari Abū Salamah al-Tabuzaki, Abū al-Walid al-Tayalisi, Muhammad bin Kasir al-„Abdi, Muslim bin Ibrāhīm, Abū „Umar al-Haudi, Abū Tawbah al-Halabī, Sulaymān bin Abd al-Rahmān al-Dimasyqi dan masih banyak lagi, baik dari Iran, Khurasan, Syam, Mesir, Jazirah maupun dari daerah lain. Sedangkan murid-muridnya antara lain: Abū Abd al-Rahmān al-Nasāī, Abū „Isā al-Tirmizi, anak Abū Dāwud yang bernama Abū Bakr, Abū Bakr „Abdullah bin Muhammad bin Abī Dunyā, juga Ibrāhīm bin Humayd bin Ibrāhīm bin Yūnus alAquli, Abū Hāmid Ahmad bin Ja‟far al-Asfahayānī, Ahmad bin Ma‟lā bin Yazīd adDimasyqi, Ahmad bin Muhammad Yasin al-Harawī, Al-Hasan bin Sahib al-Syasyi, Al-Husayn bin Idrīs al-Ansāri, dan masih banyak lagi lainnya.17 Abū Dāwud adalah periwayat hadīs yang terpuji kualitas pribadi dan intelektualnya. Terbukti dari pernyataan para kritikus hadīs tentang dirinya. Misalnya, Mūsa bin Hārūn mengatakan bahwa Abū Dāwud diciptakan di dunia untuk hadīs dan di akhirat untuk surga. Ibrāhīm al-Harbī mengatakan bahwa hadīs telah dilembutkan bagi Abū Dāwud, sebagaimana besi dilunakkan bagi Nabi Daud. Abū Bakr al-Khilāli
15
Abū „Abdullāh Muhammad bin Ahmad bin „Usmān al-Zahābī, Siyar A‟lam al-Nubalā, juz XIII (Cet.VII; Bayrūt: Mu‟assasat al-Risālah, 1990), h. 204. 16 Abū „Abdullāh Muhammad bin Ahmad bin „Usmān al-Zahābī, Siyar A‟lam al-Nubalā, juz XIII., h. 221. Lihat pula Syaikh Ahmad Farid, Min A‟lam As-Salaf, yang diterjemahkan oleh Masturi Ilham dan Asmu‟i Tamam dengan judul 60 Biografi Ulama Salaf (Cet. I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), h. 537-538. 17 Ahmad ibn 'Alī ibn Hajar al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, juz IV (Bayrūt: Dār al-Fikr, 1994), h. 149-150.
40
mengatakan Abū Dāwud adalah imam terkemuka pada zamannya, penggali berbagai disiplin ilmu, dan tidak seorang pun yang dapat menandinginya. Ibnu Hibbān mengatakan Abū Dāwud adalah seorang pemimpin dunia yang berilmu, hafiz, banyak beribadah, wara‟, dan pembela al-sunnah. Sedangkan Muslim bin Qāsim mengatakan Abū Dāwud itu siqah, zuhud, ahli hadīs, dan imam pada zamannya.18 Tidak seorangpun yang mencela pribadi Abū Dāwud. Sebaliknya, puji-pujian yang diberikan kepadanya adalah berperingkat tinggi. Antara Abū Dāwud dan Muhammad bin Sufyān al-Ubullī telah terjadi pertemuan dalam hubungan sebagai murid dan guru. Dengan demikian, pernyataannya bahwa dia menerima hadīs di atas dari Muhammad bin Sufyān al-Ubullī dengan lambang haddasana dapat dipercaya dan sanad keduanya dalam keadaan bersambung. 2. Muhammad bin Sufyān al-Ubullī. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Sufyān bin Abī al-Zardi al-Ubullī. Beliau meriwayatkan hadīs dari Habbān bin Hilāl, Sa‟īd bin „A, Bukayr bin Bakār, „Usmān bin „Umar bin Fāris, Yahyā bin Abī Bukayr al-Kirmānī, Ya‟qūb bin Muhammad al-Zuhrī, Abī„A19Sedangkan orang yang meriwayatkan hadīs darinya adalah Abū Dāwud, Sahl bin Mūsā Bisyrān al-Rāmahurmuzī, al-„Iyās bin Hamdān al-
18 19
Ahmad ibn 'Alī ibn Hajar al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, juz IV, h. 151-152. Ahmad ibn 'Alī ibn Hajar al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, Juz IX, h. 164.
41
Asbahānī, „Abdān bin Ahmad al-Ahwāzī, Ibnu Huzaymah, Muhammad bin alMusayyab al-Argiyānī, Ibnu Abī Dāwud, dan yang lainnya.20 Adapun penilaian terhadapnya, Al-Ajarī berkata: saya mendengar Abū Dāwud memujinya, Ibnu Hibbān menyebutnya di dalam al-Siqah.21 Dan Ibnu Hajar mengatakan shadūq.22
Meskipun tidak banyak ditemukan yang memberikan penilaian terhadap Muhammad bin Sufyān al-Ubullī, akan tetapi itu sudah cukup mengungkapkan keterpujiannya. Dengan demikian, pengakuannya bahwa dia menerima riwayat tersebut dari Habbān bin Hilāl Abū Habib dengan lambang haddasanā dapat dipercaya, dan sanad antara keduanya bersambung. 3. Habbān bin Hilāl Abū Habib. Nama lengkapnya adalah Habbān bin Hilāl al-Bāhilī, Abū Habīb al-Basrī.23 Beliau meriwayatkan hadīs dari Abi „Awānah, Mubārak bin Fadālah, Mu‟ammar, Mahdī bin Maymūn, Wuhayb, dan yang lainnya. Sedangkan orang yang meriwayatkan hadīs darinya antara lain Ahmad bin Sa‟īd al-Rabātī, Ahmad bin Sa‟īd
20
Ahmad ibn 'Alī ibn Hajar al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, Juz IX, h. 165. Ahmad ibn 'Alī ibn Hajar al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, Juz IX, h. 165. 22 Jamāl al-Dīn Abī al-Hajjāj Yūsuf al-Mizzī, Tahzīb al-Kamāl fī Asmā‟ al-Rijāl, jilid XXV, 21
h. 283.
23
Ahmad ibn 'Alī ibn Hajar al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb,juz II, h. 157.
42
al-Dārimī, Abū al-Jawzāi al-Nawfalī, Ishāq bin Mansūr, Ya‟qūb bin Sufyān, dan Ya‟qūb bin Syaybah, dan Muhammad bin Sufyān al-Ubullī.24 Adapun penilaian terhadapnya Ibnu Ma‟īn, Tirmizī, dan al-Nasāī mengatakan siqah. Ibnu Sa‟d mengatakan siqah sabit dan dapat dijadikan hujjah, dan dia meninggal di Basrah pada tahun 216 H. Al-Bazzār mengatakan siqah dan dapat diikuti. Ibnu Qāni‟ mengatakan bahwa dia orang Basrah yang saleh, al-Khatīb mengatakan siqah sabit. Al-„Ajalī, Ibnu Hibbān, al-Zahābi, dan Ibnu Hajar mengatakan siqah. 25 Penilaian para kritikus di atas menunjukkan bahwa Habbān bin Hilāl adalah periwayat yang memiliki integritas pribadi dan kemampuan intelektual yang tidak diragukan. Oleh karena itu, pernyataannya bahwa dia menerima riwayat tersebut dari Mahdī bin Maymūn dengan lambang haddasanā, dapat dipercaya. Jadi, sanad antara Habbān bin Hilāl dan Mahdī bin Maymūn benar-benar bersambung. 4. Mahdī bin Maymūn. Nama lengkapnya adalah Mahdī bin Maymūn al-Azdī al-Ma‟walī, budak dari Abū Yahyā al-Basrī. Dia meninggal pada tahun 171 H.26
24
Ahmad ibn 'Alī ibn Hajar al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb,juz II, h. 157. Jamāl al-Dīn Abī alHajjāj Yūsuf al-Mizzī, Tahzīb al-Kamāl fī Asmā‟ al-Rijāl, jilid V h. 330. 25 Ahmad ibn 'Alī ibn Hajar al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, juz II, h. 157. 26 Ahmad ibn 'Alī ibn Hajar al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, juz X h. 291.
43
Dia meriwayatkan hadīs dari Wāsil budak dari Abī „Uyaynah, Gaylān bin Jarīr, Muhammad bin Sīrīn, Hisyām bin „Urwah, „Imrān al-Qusayr, Abī „Usmān alAnsārī, Matar al-Warrāq, ‘Amr bin Mālik, dan yang lainnya. Sedangkan orang yang meriwayatkan hadīs darinya adalah Hisyām bin Hassān (usianya lebih tua dari Mahdī bin Maymūn), Ibnu Mahdī, Waki‟, „Abdullāh bin Bakr, al-Qattān, Habbān bin Hilāl, dan yang lainnya.27 Adapun penilaian para kritikus terhadapnya, Abū Sa‟īd berkata dari „Abdullāh bin Idrīs dia bertanya kepada Syu‟bah mengenai Mahdī bin Maymūn, dan dia menjawab siqah. Demikian pula dengan „Abdullāh bin Ahmad (dari ayahnya), alNasāī, Ibnu Ma‟īn, Ibnu Sa‟d mengatakan siqah. Dan Ibnu Hibbān menyebutnya di dalam al-Siqah.28 Penilaian para kritikus di atas menunjukkan bahwa Mahdī bin Maymūn adalah periwayat yang memiliki integritas pribadi dan kemampuan intelektual yang tidak diragukan. Pada sisi lain, antara Mahdī bin Maymūn dan ‘Amr bin Mālik terjadi pertemuan dalam hubungan sebagai murid dan guru. Dengan menggunakan lambang haddasanā dapat dipercaya bahwa sanad antara keduanya bersambung. 5. ‘Amr bin Mālik.
27
Ahmad ibn 'Alī ibn Hajar al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, juz X h. 291. ibn Hajar al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, juz X, h. 292. Al-Rāzī, Kitāb al-Jarh wa alTa‟dīl.,jilid VIII h. 335-336. Al-Zahābī, Siyar A‟lam al-Nubalā, juz VIII, h. 10-11. 28
44
Nama lengkapnya adalah „Amr bin Mālik al-Nukrī, Abū Yahyā. Ada yang mengatakan Abū Mālik al-Basrī, dan meninggal pada tahun 129 H.29 Beliau meriwayatkah hadīs dari ayahnya dan Abī al-Jawzāi. Sedangkan orang yang meriwayatkan hadīs darinya adalah anaknya yakni Yahyā, Nūh bin Qays, Mahdī bin Maymūn, Sa‟īd, Hammād, „Ibād bin „Ibād, dan yang lainnya.30 Tidak banyak ditemukan kritikus yang memberikan penilaian terhadap „Amr bin Mālik. Ibnu Hibbān menyebutnya di dalam al-Siqah, hadīsnya yang diriwayatkannya mu‟tabar selain riwayat anaknya darinya (dari „Amr bin Mālik), dan dikatakan pula bahwa ia sering melakukan kesalahan. Sedangkan Ibnu Hajar mengatakan bahwa ia shadūq lahū awhām. Berdasarkan penilaian terhadap „Amr bin Mālik, dapat dinyatakan bahwa dia adalah periwayat yang kontroversial. Akan tetapi pujian yang ditujukan kepadanya sangat rendah yakni shadūq. Lagi pula dia mengakui bahwa riwayat tersebut diterima dari Abī al-Jawzāi,31 sedangkan dalam biografi Abī al-Jawzāi ditemukan bahwa riwayat „Amr bin Mālik dari Abī al-Jawzāi tidak sah, karena „Amr bin Marajulun, yakni seorang yang tidak diketahui identitasnya (majhūl).32
29
Ahmad ibn 'Alī ibn Hajar al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, juz X, h. 292. Ibn Hajar al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, juz VIII, h. 80. 31 Nama lengkap Abī al-Jawzāi adalah Aus bin „Abdullāh al-Raba‟ī, Abū al-Jawzāi al-Bashrī. Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb,juz I h. 349. 32 Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb,juz I, h. 349. 30
45
Karena kualitas sanad yang diteliti adalah ḍa‟īf, maka penelitian sanad dipindahkan ke jalur yang lain untuk mencari kemungkinan terdapatnya sanad yang lebih kuat (sahih). Adapun kualitas pribadi dan kapasitas intelektual para periwayat hadīs dimaksud adalah: a. Al-Ansārī (Periwayat I, sanad IV); b. „Urwah bin Ruwaym (Periwayat II, sanad III); c. Muhammad bin Muhājir (Periwayat III, sanad II); d. Abū Tawbah bin al-Rabi‟ bin Nāfi‟ (Periwayat IV, sanad I); e. Abū Dāwud (Periwayat V, mukharrij).
1.
Abū Dāwud. Telah disebutkan pada halaman 46.
2.
Abū Tawbah al-Rabī’ bin Nāfi’. Nama lengkapnya adalah al-Rabi‟ bin Nāfi‟, Abū Tawbah al-Halabī. Dia
meninggal pada tahun 241 H. Dia meriwayatkan hadīs antara lain dari Abī Ishāq al-Fazārī, Abī al-Hasan bin „Umar al-Raqī, Mu‟awiyah bin Salām, dan Muhammad bin Muhājir. Sedangkan orang yang meriwayatkan hadīs darinya antara lain dari Abū Dāwud.33 Adapun penilaian terhadapnya, al-Nasaī mengatakan tidak apa-apa, Abū „Abdullāh mengatakan saya tidak mengetahuinya kecuali kebaikan, Abu Hātim
33
Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, juz III, h. 225.
46
mengatakan siqah, shadūq, hujjah. Demikian pula dengan Ya‟qūb bin Syaybah mengatakan siqah, shadūq. Ya‟qūb bin Sufyān mengatakan lā ba‟sa bih, Ibnu Hibbān menyebutnya di dalam al-Siqah,34 Ibnu „Asākir, al-Zahābī, Ibnu Hajar mengatakan siqah, dan al-Fasawī mengatakan lā ba‟sa bih.35 Berdasarkan penilaian terhadap Abū Tawbah dapat dipahami bahwa dia tidak diragukan keadilan dan kedabitannya. Dengan begitu, pernyataannya bahwa dia menerima riwayat tersebut dari Muhammad bin Muhājir dengan lambang haddasanā dapat dipercaya, dan sanad antara keduanya bersambung. 3. Muhammad bin Muhājir. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhājir bin Abī Muslim Dīnār alAnsārī al-Syāmī, saudara dari „Amr bin Muhājir mawlā Asmā binti Yazīd alAsyhaliyyah. Dia meninggal pada tahun 170 H.36 Dia meriwayatkan hadīs antara lain dari saudaranya yakni „Amr, ayahnya Muhājir, dan „Urwah bin Ruwaym al-Lakhmī. Sedangkan salah seorang yang meriwayatkan hadīs darinya adalah Abū Tawbah al-Rabi’ bin Nāfi’ al-Halabī.37 Adapun penilaian terhadapnya, Ahmad, Ibnu Ma‟īn, Duhaym, Abū Zur‟ah alDimasyqī, dan Abū Dāwud mengatakan siqah, demikian pula dengan al-Bazzār dan 34
Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, h. 226. Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, jilid XXII, h. 22. Al-Rāzī, Kitāb al-Jarh wa al-Ta‟dīl. juz III, h. 471. Al-Zahābī, Siyar A‟lam al-Nubalā, jilid X h. 653-655. 36 Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, juz IX, h. 411. 37 Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, juz IX, h. 411. 35
47
Ibnu Hajar mengatakan siqah. Ya‟qūb bin Sufyān dan al-„Ajalī mengatakan Muhammad bin Muhajir dan saudaranya „Amr siqah, al-Zahābī mengatakan siqah masyhūr, al-Nasāī mengatakan laysa bih ba‟s, dan Ibnu Hibbān menyebutnya di dalam al-Siqah.38 Tidak seorangpun kritikus yang mencela Muhammad bin Muhājir. Dengan demikian, pengakuannya bahwa dia menerima riwayat tersebut dari Abū Tawbah dengan lambang haddasanā dapat dipercaya, dan sanad antara keduanya bersambung. 3. ‘Urwah bin Ruwaym. Nama lengkapnya adalah „Urwah bin Ruwaym al-Lakhmī, Abū Qāsim alUrdunī.39 Dia meriwayatkan hadīs antara lain dari „Abdullāh al-Daylamī, Abī Idrīs alKhawlānī, dan al-Ansārī40 (ada yang mengatakan bahwa beliau adalah Jābir bin „Abdullāh), dan salah seorang yang meriwayatkan hadīs darinya adalah Muhammad bin Muhājir.41 Ibnu Ma‟īn, Duhaym, dan al-Nasāī menilainya siqat, Al-Dāruqutnī mengatakan lā ba‟sa bih, dan Ibnu Hibbān menyebutnya di dalam al-Siqah. Riwayat „Urwah bin Ruwaym dari Jābir bin „Abdullāh, Sawbān, „Abd al-Rahmān bin al-
38
Al-Rāzī, Kitāb al-Jarh wa al-Ta‟dīl, jilid VIII, h. 91. Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, juz VII h. 158. Al-Zahābī, Siyar A‟lam al-Nubalā, juz VII, h. 137-138. 40 Orang yang mempunyai gelar al-Anshārī ada beberapa orang, diantaranya adalah Muhammad bin „Abdullāh, Abū Ishāq, dan Jābir. Setelah ditelusuri di dalam kitab Tahzīb al-Tahzīb, yang ditemukan bersambung sanadnya dengan Rasulullah saw adalah Jabir bin „Abdullāh. 41 Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, juz VII h. 158. Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, jilid XX, h. 10-11. Al-Zahābī, Siyar A‟lam al-Nubalā,juz VII, h. 137-138. 39
48
Asy‟arī, dan Abī Sa‟labah adalah mursal. Abī Hātim berkata dari ayahnya bahwa secara umum hadīs-hadīsnya adalah mursal, demikian pula dengan penilaian Ibrāhīm bin Mahdī dan Abū Hātim.42 Berdasarkan penilaian terhadap „Urwah bin Ruwaym terjadi perbedaan pendapat. Akan tetapi karena „Urwah menerima riwayat dari Jābir bin „Abdullāh, maka dinyatakan bahwa sanad „Urwah bin Ruwaym dinyatakan ḍa‟īf. Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat ditegaskan bahwa „Urwah bin Ruwaym adalah periwayat yang ḍa‟īf karena tidak memenuhi kaidah kesahihan sanad hadīs. Oleh karena „Urwah bin Ruwaym dikatakan sebagai periwayat yang berpredikat ḍa‟īf, maka menjadikan pula sanad yang diteliti berkualitas ḍa‟īf. Dengan demikian penelitian ini dipindahkan ke jalur yang lain.
Urutan periwayat, sanad, dan hasil penelitian mengenai kualitas dan kapasitasnya masing-masing adalah: a. Ibnu „Abbās (periwayat I, sanad V); b. „Ikrimah (periwayat II, sanad IV); c. al-Hakam bin Abān (periwayat III, sanad III); d. Mūsā bin „Abd al-„Azīz (periwayat IV, sanad II); e. „Abd al-Rahmān bin Bisyr (periwayat V, sanad I); f. Abū Dāwud (periwayat I, mukharrij). 1. Abū Dāwud.
Telah disebutkan pada halaman 46.
42
Al-Zahābī, Siyar A‟lam al-Nubalā, juz VII, h. 137-138.
49
2. ‘Abd al-Rahmān bin Bisyri. Nama lengkapnpya adalah „Abd al-Rahmān bin Bisyri bin al-Hakam bin Habīb bin Mihrān al-„Abdī, Abū Muhammad al-Naysabūrī.43 Dia menerima hadīs dari Sufyān bin Uyainah, Mālik bin Sa‟īr bin al-Khams, „Abd al-Razzāq bin Hamām, Bahz bin Asad, „Alī bin Husayn bin Wāqid, Yahyā bin Sa‟īd al-Qattān, Mūsā bin ‘Abd al-‘Azīz al-Qinbārī, dan yang lainnya. Adapun yang menerima hadīs darinya antara lain adalah al-Bukhārī, Abū Dāwud bin Muhammad al-Asadī, Ibrāhīm al-Harbī Ahmad bin „Alī al-Abāri, Abū Bakr bin Abī Dāwud, Abū Hāmid Ahmad bin Muhammad bin Yahyā bin Bilāl al-Bazzār, dan yang lainnya.44 Adapun penilaian kritikus hadīs terhadap „Abd al-Rahmān bin Bisyr, Salih bin Muhammad mengatakan bahwa ia sadūq, Ibnu Hibbān menyebutnya di dalam “alSiqah”,45 Ibnu Hajar mengatakan siqah, Abī Hātim mengatakan shadūqan siqah.46 Meskipun tidak banyak ditemukan penilaian terhadap „Abd al-Rahmān bin Bisyrī, akan tetapi hal tersebut sudah cukup sebagai alasan bahwa ia adalah siqah. Pada sisi lain, pengakuan „Abd al-Rahmān bin Bisyri bahwa dia menerima hadīs dari
43
Al-Rāzī, Kitāb al-Jarh wa al-Ta‟dīl, h. 215. Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, h. 131. 45 Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, h. 132. 46 Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb,, jilid XVI h. 547-548. Al-Zahābī, Siyar A‟lam al-Nubalā, juz XII h. 340. 44
50
Mūsā bin „Abd al-„Azīz al-Qinbārī dengan lambang sanā tidak diragukan bahkan keduanya terjadi persambungan sanad. Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat ditegaskan bahwa „Abd alRahmān bin Bisyri adalah periwayat yang sahih karena telah memenuhi kaidah kesahihan sanad hadīs. 3. Mūsā bin ‘Abd al-‘Azīz. Nama lengkapnya adalah Mūsā bin „Abd al-„Azīz al-Yamānī al-„Adanī, Abū Syu‟ayb al-Qinbārī.47 Dia meriwayatkan hadīs dari al-Hakam bin Abān, dan yang meriwayatkan hadīs darinya adalah Muhammad bin Asad al-Khasyanī, Bisyri bin al-Hakam alNaysabūrī, dan „Abd al-Rahman bin Bisyri. Adapun penilaian kritikus hadīs terhadapnya, al-Qinbāri mengatakan bahwa beliau sering melakukan kesalahan, Ibnu al-Madīnī mengatakan ḍa‟īf, al-Sulaymānī mengatakan munkar al-hadīs, dan Ibnu al-Jawzi mengatakan Mūsā bin „Abd al-„Azīz adalah majhūl. Berbeda dengan pernyataan ulama yang lain, „Abdullāh bin Ahmad dari Ibnu Ma‟īn berkata bahwa saya tidak melihat apa-apa, dan al-Nasāī berkata “laisa bih ba‟sin”, juga Bisyr bin Hakam, „Abd al-Rahmān bin Bisyr, Ishāq bin Abū Isrāīl, dan Zayd bin al-Mubārak mengatakan lā ba‟sa bih, di dalam Bazl al-Majhūd fī
47
Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, juz X, h. 318.
51
Halli Abī Dāwūd dikatakan shadūq jelek hafalannya,48 Ibnu Hibbān menyebutnya di dalam al-Siqah, dan Abū Bakr bin Abī Dāwud mengatakan riwayat Mūsa bin „Abd al-„Azīz mengenai hadīs tentang Ṣalāt tasbīh adalah sah.49 Berdasarkan penilaian tersebut maka Mūsā bin „Abd al-„Azīz adalah orang yang dipermasalahkan kualitasnya. Yakni, di samping dinilai positif, dia juga dinilai negatif. Akan tetapi lebih banyak kritikus yang menilai Mūsā bin „Abd al-„Azīz sebagai orang yang tidak ada masalah dibandingkan dengan yang mencelanya. Seperti Ibnu Ma‟īn, al-Nasāī, Bisyr bin Hakam, „Abd al-Rahmān bin Bisyr, Ishāq bin Abū Isrāīl, Zayd bin al-Mubārak, Ibnu Hibbān dan Abū Bakr bin Abī Dāwud mengatakan lā ba‟sa bih, bahkan Abū Bakr bin Abū Dāwud menganggap bahwa riwayat Mūsa bin „Abd al-„Azīz mengenai hadīs tentang salat tasbīh adalah sah. Akan tetapi al-Rāzī, al-Amidī, Ibnu Shalah dan Jumhur Ushūliyyīn mengatakan bahwa secara mutlak, jarh didahulukan dari ta‟dīl. Seandainya jumlah orang yang mena‟dilkan lebih banyak dari yang menjarah dan orang yang menjarah itu lebih banyak meneliti keadaan rawi maka akan tampak masalah yang tidak diketahui oleh orang yang mena‟dilnya. Sementara orang-orang yang mena‟dilnya hanya faktor luar keadaan seseorang. Dengan demikian orang yang memberi jarh
48
Lihat pernyataan al-Mubarakfūri dalam Syekh Khalīl Ahmad al-Sahārnufūrī, Bazl alMajhūd fī Halli Abī Dāwud juz VII (Bayrūt: Dār al-Fikr, t. th.), h. 43. 49 Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, jiliz XXIX h. 101-102. Al-Rāzī, Kitāb al-Jarh wa al-Ta‟dīl. jilid VIII h. 151. Al-Imam Abī 'Abdillah Muhammad ibn Ismāil ibn Ibrāhīm ibn Mugirah ibn Bardizbah Al-Bukharī al-Ja'fī, Al-Tārīkh al-Kabīr, juz VII (Cet. I; Bayrūt: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2001), h. 169-170.
52
mempunyai nilai tambah bisa dijadikan dasar pendapatnya atas pendapat orang yang mena‟dil.50 Hal ini pula yang terjadi pada penilaian terhadap Mūsa bin „Abd al-„Azīz. Yakni meskipun lebih banyak jumlah orang mena‟dilnya akan tetapi tingkatan ta‟dilnya rendah yakni lā ba‟sa bih dan shadūq itupun ditambah dengan kata siu alhifzi. Sedangkan pendapat Ibnu Hibbān yang mengatakan siqah tidak dapat dijadikan patokan karena beliau termasuk orang yang tasahul. Sedangkan jarh terhadap Mūsā bin „Abd al-„Azīz meskipun lebih sedikit daripada orang yang mena‟dilnya, akan tetapi tingkat jarh yang dikemukakannya tinggi yakni munkar al-hadīs dan ḍa‟īf. Maka pendapat yang menjarah lebih didahulukan dari pendapat yang menta‟dil. Itu berarti bahwa Mūsā bin „Abd al-„Azīz berkualitas ḍa‟īf. 4. Al-Hakam bin Abān. Nama lengkapnya adalah al-Hakam bin Abān al-Madanī, Abū „Isā.51 Dia meriwayatkan hadīs diantaranya dari „Ikrimah, Tāwus, Idrīs bin Sinān, dan yang lainnya. Adapun yang meriwayatkan hadīs darinya antara lain adalah Yazid bin Abī Hakam, Mūsā bin „Abd al-„Azīz al-Qinbārī, dan yang lainnya.52
50
Mahmud Ali Fayyad, Manhāj al-Muhaddisīn fī Dhabt al-Sunnah, diterjemahkan oleh A. Zarkasyi Chumaidy dengan judul Metodologi Penetapan Kesahihan Hadis (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 78. 51 Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, juz II, h. 380. 52 Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, juz II, h. 380.
53
Mengenai penilaian kritikus hadīs terhadapnya, Ibnu Hibbān menyebutnya di dalam al-Siqah, dan dikatakan bahwa ia sering melakukan kesalahan dan riwayatnya dari Ibrāhīm adalah mungkar, karena Ibrāhīm adalah ḍa‟īf. Ibnu „A mengatakan bahwa al-Hakam bin „Abān adalah ḍa‟īf.53 Ishāq bin Mansūr dari Yahyā bin Ma‟īn mengatakan siqah, demikian pula dengan al-Nasāi. Abū Zur‟ah mengatakan Shālih, dan Ahmad bin „Abdullāh al-„Ajlī mengatakan siqah sāhib al-sunnah.54 Berdasarkan penilaian terhadap al-Hakam bin „Abān, maka dapat dinyatakan bahwa dia adalah periwayat yang kontroversial. Akan tetapi sebagian besar kritikus menilainya sebagai orang yang siqah. Adapun penilaian yang mengatakan bahwa hadīsnya dari Ibrāhīm adalah mungkar karena Ibrāhīm adalah ḍa‟īf tidak dapat dijadikan sandaran karena hadīs yang sedang diteliti ini tidak melalui jalur Ibrāhim. Oleh karena itu, maka dapat dinyatakan bahwa Hakam bin Abān adalah siqah. Dengan demikian pernyataan bahwa dia menerima hadīs dari Ikrimah dengan lambang „an dapat dipercaya, dan keduanya dalam keadaan bersambung.
5. Ikrimah. Nama lengkapnya adalah Ikrimah al-Barbarī, Abū „Abdullāh al-Madanī maula Ibn „Abbās. Dia berasal dari Barbar, pada mulanya dia adalah budak dari Husain bin
53 54
Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, juz II, h. 380. Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, jilid VII, h. 87.
54
Abī al-Hur al-„Anbarī kemudian diserahkan pada Ibnu „Abbās yang pada saat itu menjadi pemimpin Basrah.55 Dia meriwayatkan hadīs antara lain dari tuannya (Ibnu ‘Abbās), „Alī bin Abī Thālib, Hasan bin „Alī, Abī Hurayrah, Mu‟āwiyah bin Abī Sufyān, „A bin Ya‟mar. Sedangkan orang yang meriwayatkan darinya adalah Ibrāhīm al-Nakhāī, Abū alSya‟sāi, Jābir bin Zayd dan al-Sya‟bi (keduanya adalah sahabat Ikrimah), Abū Ishāq al-Sabī‟ī, Abū Zubayr, al-Hakam bin Abān, dan masih banyak lagi yang lainnya.56 Adapun penilaian kritikus hadīs terhadapnya, Ibnu Luhay‟ah mengatakan dari al-Aswad bahwa „Ikrimah qalīl al-„aql, Ibnu „Umar mengatakan bahwa Ikrimah alkazzāb. Ahmad mengatakan bahwa hadīs „Ikrimah dapat dijadikan hujjah, demikian pula dengan al-Bukhāri mengatakan bahwa tidak satupun sahabatku yang tidak berhujjah kepada Ikrimah. Ikrimah bin Khālid mengatakan sah hadīsnya dan dia siqah, al-„Ajalī mengatakan beliau tabi‟i siqah, Ibnu Ma‟īn, al-Nasāī, Abū Hātim dan Maymūn bin Mihrān mengatakan siqah, dan Ibnu Hibbān menyebutnya di dalam alSiqah.57 Berdasarkan penilaian terhadap Ikrimah al-Barbarī, maka dapat dinyatakan bahwa beliau adalah periwayat yang kontroversial. Ada yang mengatakan siqah, adapula yang mengatakan al-kazzāb. Akan tetapi „Umar bin Fudayl menyatakan dari
55
Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb,juz VII, h. 228-234. Al-Rāzī, Kitāb al-Jarh wa al-Ta‟dīl.jilid VIII h. 7-9. Al-Zahābī, Siyar A‟lam al-Nubalā, juz V h. 31. 56 Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb,juz VII, h. 228-234. 57 Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb,juz VII, h. 228-234.
55
„Usmān bin Hakīm bahwa dia mendengar Ibnu „Abbās mengatakan kepada Umāmah bin Sahl bahwa Apapun yang dikatakan Ikrimah itu benar dan dia tidak berbohong. Jadi, tuduhan Ibnu „Umar terhadap „Ikrimah tidak beralasan. Jadi pengakuan Ikrimah al-Barbarī bahwa dia menerima riwayat dari al-Hakam bin Abān dengan lambang „an tidak diragukan, bahkan diyakini pula bahwa keduanya dalam keadaan bersambung. 6. Ibnu ‘Abbās. Nama lengkapnya adalah „Abdullāh bin „Abbās bin „Abd al-Mutthalib alHāsyimī, salah seorang sepupu Rasulullah saw.58 Dia meriwayatkan hadīs dari Rasulullah saw., ayahnya („Abbās), Ibunya (Ummu al-Fadhl Lubābah al-Qubrā binti al-Hars al-Hilāliyah), bibinya Maymūnah (istri Rasulullah saw.), para tokoh sahabat seperti Abū Bakr, „Umar, „Usmān, „Alī, dan masih banyak lagi yang lain. Sedangkan yang meriwayatkan hadīs darinya antara lain „Atha‟, Thāwus, ‘Ikrimah, serta masih banyak kelompok yang lain.59
Dia mendapat julukan hibr al-ummah (tinta umat) dan pernah didoakan oleh Rasulullah: “Ya, Allāh pintarkanlah „Abdullāh dalam masalah al-Qur‟an dan mahirkanlah dalam agama”. Atha‟ mengatakan: “Saya tidak melihat suatu majelis yang lebih mulia daripada majelis Ibnu „Abbās, yang banyak menguasai ilmu dan paling besar rasa ketakwaannya kepada Allah swt. Ia menguasai fiqh, al-Qur‟an dan
58 59
Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, juz V, h. 245. Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, juz V, h. 246.
56
sunnah”. Thāwus mengatakan: “Saya menjumpai lima puluh atau tujuh puluh orang sahabat yang jika mereka berselisih pendapat, maka mereka merujuk kepada pendapat Ibnu „Abbās”. Dan Asir mengatakan: “Tidak seorangpun yang lebih alim daripada Ibnu „Abbās tentang hadīs Rasulullah saw. dan yang lebih tahu tentang keputusan Abū Bakr, „Umar, dan „Usmān dari pada Ibnu „Abbās”.60 Tidak seorangpun yang mencela pribadi Ibnu „Abbās. Dia adalah sahabat Nabi saw. yang tidak diragukan kejujuran dan kesahihannya dalam menyanpaikan hadīs Nabi. Itu berarti bahwa antara Nabi saw. dengan Ibnu „Abbās telah terjadi persambungan sanad.
Memperhatikan rangkaian sanad yang diteliti, tampak bahwa tidak semua sanad dalam keadaan muttasīl mulai dari mukharrij sampai kepada Nabi saw. karena salah satu periwayat yang tergabung di dalamnya, yakni Mūsa bin „Abd al-„Azīz dinilai mursal, maka sanad hadīs tersebut berkualitas ḍa‟īf. Dengan demikian penilitian sanad dipindahkan ke jalur yang lain. Kualitas pribadi dan kapasitas intelektual para periwayat hadīs dimaksud adalah: a. Abū Rāfi‟ (Periwayat I, sanad V); b. Sa‟īd bin Abī Sa‟īd (Periwayat II, sanad IV); c. Mūsā bin „Ubaydah (Periwayat III, sanad III); d. Zayd bin al-Hubbāb (Periwayat IV, sanad II); e. Abū Kurayb (Periwayat V, sanad I); f. Tirmizī (Periwayat VI, mukharrij).
60
Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, h. 247-248.
57
1. Tirmīzī Nama lengkapnya adalah Abū „I Muhammad bin „I bin Sawrah bin al-Dahhāk al-Sulamī al-Būgī al-Tirmīzī.61 Imam Tirmizī lahir pada tahun 208 H. ada pula yang mengatakan 209 H. Mengenai tahun wafat Imam Tirmizī, ada yang mengatakan bahwa dia wafat pada tahun 277 H. dalam usia 68 tahun, ada yang mengatakan 279 H. yakni dalam usia 70 tahun, adapula yang mengatakan bahwa Imam Tirmizī wafat pada bulan Rajab tanggal 13 tahun 279 H.62 Pada masa Imam Tirmizī, perkembangan hadīs ditandai dengan penulisan, penyampaian, penerimaan, penghafalan dan majelis taklim pengkajian hadīs, periwayatan dan pembukuannya. Kajian pengembangan hadīs itu, oleh Imam Tirmizī sebagian besar telah dilakukannya dan berperan serta aktif, mulai dari menulis, menghafal, menyampaikan, menerima, menghadiri dan mengadakan majelis taklim, meriwayatkan dan sampai dengan pembukuannya. Imam Tirmizī sejak remajanya telah belajar dengan guru-guru di kampungnya. Di Khurasan ia berguru dengan Ishāq bin Rahawayh, di Naysabūr dengan Muhammad bin „Amr al-Sawaq, kemudian menuju ke „Irāq untuk belajar
61
Ahmad Sutarmadi, Al-Imām al-Tirmizī Peranannya dalam pengembangan Hadis dan Fiqh (Cet. I; Jakarta: Logos, 1998), h. 49. 62 Ahmad Sutarmadi, Al-Imām al-Tirmizī Peranannya dalam pengembangan Hadis dan Fiqh, h. 53.
58
pada ulama hadīs dan para hafiz di sana, kemudian ke Hijaz untuk belajar lagi dengan ulama Hijaz, serta masih banyak lagi yang lain.63 Diantara murid-murid Imam Tirmizī yang termashur ialah: Abū Bakr Ahmad bin „Ismā‟īl bin „Amīr al-Samarkandī, Abū Hāmid Ahmad bin „Abdullāh bin Dāwud al-Marwazī al-Tājir, Ahmad bin „Alī al-Maqārī, Ahmad bin Yūsūf al-Nasāfī, dan lain-lain.64 Penilaian para ahli kritik hadīs terhadap diri Tirmizī adalah Ibnu Hibbān menyebut Tirmizī dalam al-Siqah. Dia itu seorang penghimpun hadīs, penyusun kitab, penghafal hadīs, dan senantiasa berdiskusi dengan para ulama. Ibnu Hazm mengatakan bahwa Muhammad bin „I bin Sawrah adalah seorang yang majhūl.65 AlIdrisī mengatakan Tirmizī itu seorang pemimpin yang menguasai ilmu hadīs, penyusun kitab-kitab al-Jāmi‟, al-Tārikh, dan al-Ilāl. „Umar bin „Allāk mengatakan bahwa al-Bukhārī wafat dan tidak meninggalkan pengganti di Khurasan seperti Abū „I, baik di bidang keilmuan, hafalan, wara‟ maupun kezuhudannya. Sedangkan al-
63
Al-Zahābī, juz XIII, h. 271. Tidak ditemukan data secara tersurat bahwa Ahmad bin Muhammad bin Mūsā adalah gurunya, Akan tetapi, karena Tirmizī telah melawat ke berbagai kota dan mendengar riwayat hadis dari sejumlah guru, baik dari ulama-ulama Khurasan, Irak, Hijaz, ataupun selainnya, maka diperkirakan bahwa Tirmizī pun telah berguru kepada Abū Kurayb. 64 Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, h. 344. Al-Zahabi, Siyār, h. 271-272. 65 Majhūl ialah periwayat yang tidak diketahui diri atau kepribadiannya. Atau diketahui kepribadiannya, tetapi tidak diketahui sama sekali tentang sifat keadilan dan kecermatannya.
59
Mubārakfūrī mengatakan bahwa Tirmizī adalah seorang imam yang terkenal siqah, hāfiz, muttaqīn, muttafaq „alayh.66 Hampir seluruh ahli kritik hadīs memuji kualitas pribadi dan kemampuan intelektual Tirmizī. Satu-satunya kritikus yang mencela Tirmizī adalah Ibnu Hazm. Kritikan orang yang mencela seharusnya menjelaskan sebab-sebab alasan ketercelaannya. Akan tetapi Ibnu Hazm tidak melakukan hal itu. Justru para ulama membela Tirmizī.67 Oleh karena itu, celaan Ibnu Hazm tidak mempengaruhi kedudukan Tirmizī sebagai seorang periwayat yang siqah. Imam Tirmizī sejak remajanya telah belajar dengan guru-guru di kampungnya. Di Khurasan ia berguru dengan Ishāq bin Rahawayh, di Naysabūr dengan Muhammad bin „Amr al-Sawaq, kemudian menuju ke „Irāq untuk belajar pada ulama hadīs dan para hafiz di sana, kemudian ke Hijaz untuk belajar lagi dengan ulama Hijaz, serta masih banyak lagi yang lain.68
66
Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, h. 344-345. lihat juga al-Mubārakfurī, Tuhfat al-Ahwazī bi Syarh Jami‟ al-Tirmizī, (Bayrūt: Dār al-Fikr, 1979), h. 341-342. 67 Al-Asqalānī mengecam Ibnu Hazm dan menilai pernyataannya itu sebagai kesombongan belaka, sebab dia menilai negatif terhadap ulama yang ternama dan terpercaya. Al-Khalīlī mengatakan Ibnu Hazm itu tidak mengenal pribadi Tirmizī, kekuatan hafalannya, dan kitab-kitab yang disusunnya. Abū Syuhbah mengatakan bahwa ia belum pernah melihat orang yang merendahkan Tirmizī selain Ibnu Hazm. Akan tetapi, tidak seorang pun ulama yang menyetujui pendapatnya, bahkan Abū Syuhbah sendiri menilai negatif terhadap Ibnu Hazm. Demikian pula Ibnu Kasīr mengatakan bahwa sikap Ibnu Hazm tidak akan mengurangi kemuliaan Tirmizī. Sebaliknya, dapat merendahkan Ibnu Hazm sendiri di mata para ulama hadis. Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, h. 355. 68 Al-Zahabī, Siyar, h. 271. Tidak ditemukan data secara tersurat bahwa Ahmad bin Muhammad bin Mūsā adalah gurunya, Akan tetapi, karena Tirmizī telah melawat ke berbagai kota dan mendengar riwayat hadis dari sejumlah guru, baik dari ulama-ulama Khurasan, Irak, Hijaz, ataupun selainnya, maka diperkirakan bahwa Tirmizī pun telah berguru kepada Ahmad bin Muhammadbin Mūsā.
60
Hampir seluruh kritik hadīs memuji kualitas pribadi dan kemampuan intelektual Tirmizī. Jadi, walaupun nama Abū Kurayb tidak disebutkan secara tegas sebagai gurunya, tetapi penggunaan shīgat al-tahammul “haddasanā, semakin menambah kepercayaan bahwa Tirmizī benar-benar telah menerima riwayat dari Abū Kurayb. Itu berarti bahwa antara keduanya telah terjadi persambungan sanad. 2. Abū Kurayb. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin al-„Alāī bin Kurayb al-Mahdānī, Abū Kurayb al-Kūfī al-Hāfiz.69 Dia meninggal pada bulan Jumadil Akhir 248 H. dalam usia 87 tahun.70 Dia menerima hadīs dari „Abdullāh bin Idrīs, Hafs bin Giyās, Abī Bakr bin „Iyās, Ibnu Mubārak, Zayd bin Hubāb, „Abdullāh bin Numayr, Ibnu Fudayl, Muhammad bin Abī „Ubaydah, „Abdah bin Sulaymān, dan yang lainnya. Sedangkan orang yang menerima hadīs darinya antara lain jamāah,71 Abū Hātim, Abū Zur‟ah, „Usmān bin Kharzād, serta masih banyak yang lain.72 Abū Kurayb adalah periwayat hadīs yang terpuji kualitas pribadi (sifat adil) dan kapasitas intelektualnya (sifat dhābit)nya. Terbukti dari pernyataan para kritikus hadīs tentang dirinya: Husayn bin Sufyān mengatakan bahwa ia mendengar Ibnu 69
Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, h. 333. Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, h. 334. 71 Menurut al-Syawkānī, bahwa yang termasuk jamaah adalah Ahmad, Bukhārī, Tirmīzī, Nasāī, dan Ibnu Mājah. Lihat Muhammad bin „Alī bin Muhammad al-Syawkānī, Nayl al-Awtār Syarh Muntaqā al-Akhbār min Ahādīs Sayyid al-Akhbār, juz I (Bayrūt: Dār al-Fikr, 1992), h. (أalif). 72 Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb h. 334. 70
61
Numayr berkata tidak ada di Irak yang lebih banyak hadīsnya dari Abū Kurayb, Ibnu Abī Hātim bertanya pada ayahnya perihal Abū Kurayb dan ia mengatakan shadūq. Mūsā bin Ishāq mendengar dari Abū Kurayb 1100 hadīs. Al-Nasāī mengatakan lā ba‟sa bih dan sekali lagi ia mengatakan siqah. Ibnu Hibbān menyebutnya di dalam al-Siqah. Ibrāhīm bin Abī Thālib mengatakan bahwa tidak ada yang lebih hafiz setelah Ahmad bin Hanbal di Irak selain Abū Kurayb.73 Tidak seorang pun yang mencela Abū Kurayb. Sebaliknya, hanya pujian yang diberikan kepadanya. Dengan demikian, pernyataan Abū Kurayb bahwa dia menerima hadīs dari Zayd bin Hubbāb dengan lambang haddasanā dipercaya kebenarannya. Itu berarti, sanad antara Abū Kurayb dan Zayd al-Hubbāb dalam keadaan bersambung. Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat ditegaskan bahwa Abū Kurayb adalah periwayat yang sahih karena telah memenuhi kaidah kesahihan sanad hadīs. 3. Zayd bin Hubāb al-‘Uklī. Nama lengkapnya adalah Zayd bin al-Hubāb bin al-Rayyān. Ada yang mengatakan Rūman al-Tamīmī, Abū Husayn al‟Uklī al-Kūfī. Dia wafat pada tahun 203 H.
73
Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb h. 334.
62
Dia menerima hadīs dari Aymān bin Nābil, „Ikrimah bin „Ammār al-Yamāmī, Ubay bin „Abbās bin Sahl bin Sa‟d al-Sā‟idī, Mālik bin Anas, dan masih banyak yang lain.74 Sedangkan orang yang menerima hadīs darinya adalah Ahmad, Abū Haysamah, Abū Kurayb, „Alī bin al-Madīnī, dan yang lainnya. Mengenai penilaian ulama terhadapnya, Abū Hātim mengatakan shadūq shālih. Abū Dāwud mengatakan bahwa saya mendengar Ahmad berkata bahwa Zayd bin al-Hubbāb shadūq, akan tetapi banyak kesalahan (kasīr al-khata‟). „Ubayd alQawārīrī mengatakan bahwa Abū al-Husayn al-„Uklī zakiyyan, hāfizan, „āliman. Ibnu Hibban menyebutnya di dalam al-Siqāṯ, dan dikatakan bahwa hadīsnya dapat diambil sebagai pelajaran jika ia meriwayatkan dari orang-orang yang masyhūr. Akan tetapi jika ia meriwayatkan dari orang-orang yang majhūl maka di dalamnya terdapat hadīs yang mungkar. Ibnu Khalafūn mengatakan siqah, shadūq dan dikenal hadīsnya. Ibnu Qāni‟ mengatakan dia adalah orang Kufah yang sālīh. Ibnu Yūnus mengatakan hadīsnya baik, dia adalah salah seorang syekh Kufah yang sabit dan tidak ada yang menyangkal bahwa dia sadūq. Sedangkan Ibnu Mākūlā, Ibnu Syāhayn, „Alī alMadīnī dan al-„Ajalī mengatakan siqah.75 Umumnya ahli kritik hadīs memuji kualitas pribadi dan kemampuan intelektual Zayd. Mengenai penilaian Ahmad termasuk lafal ketercelaan, akan tetapi
74
Zayd tidak menyebutkan Mūsa bin „Ubaydah sebagai salah seorang gurunya, akan tetapi di akhir penyebutan nama-nama gurunya di katakan wa khuliqa kasīr, maka diperkirakan Mūsa bin „Ubaydah termasuk di dalamnya. 75 Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, juz IX h. 393-395.
63
peringkat ketercelaannya rendah. Jadi bila dihadapkan dengan penilaian kritikus lainnya, maka Zayd tetap dinyatakan bersifat siqah. Itu berarti pengakuannya bahwa dia menerima riwayat di atas dari Mūsa bin „Ubaydah dengan lambang haddasanā tidak diragukan, bahkan diyakini pula bahwa keduanya dalam keadaan bersambung.
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat ditegaskan bahwa Zayd bin Hubāb al-„Uklī adalah periwayat yang sahih karena telah memenuhi kaidah kesahihan sanad hadīs. 4. Mūsā bin ‘Ubaydah. Nama lengkapnya adalah mūsā bin „Ubaydah bin Nasyīt bin „Amr bin alHāris al-Rabazī, Abū Abd al-„Azīz al-Madanī. Dia meriwayatkan hadīs antara lain dari saudaranya „Abdullāh dan Muhammad, „Abdullāh bin Dīnār, Iyās bin Salamah al-Akwa‟, Sa’īd bin Abī Sa’īd mawla Abī Bakr bin Hazm, dan Mus‟ab bin Muhammad bin Syurahbil. Sedangkan orang yang meriwayatkan hadīs darinya, antara lain anak saudaranya yakni Bakar bin „Abdullāh, al-Sawrī, Ibnu Mubārak, „īsā bin Yūnus, Zayd bin al-Hubāb, dan „Abdullāh bin Mūsā.
Adapun penilaian para ahli kritik terhadapnya, Ahmad mengatakan munkar al-hadīs, laysa bi syai‟, dan bukan penghafal hadīs. Ahmad mengatakan dari Ibnu Ma‟īn bahwa Mūsa bin „Ubaydah bukan pembohong, akan tetapi beliau meriwayatkan hadīs dari „Abdullāh bin Dīnar hadīs-hadīs yang mungkar. Ibnu Ma‟īn
64
mengatakan hadīsnya tidak dapat dijadikan hujjah, daīf, laysa bi syai‟. Abū Zur‟ah mengatakan hadīsnya tidak kuat. Ibnu Abī Hātim mengatakan munkar al-hadīs. AlNasāī mengatakan ḍa‟īf, laysa bi siqah, Ibnu Sa‟d mengatakan siqah banyak hadīsnya, akan tetapi tidak dapat dijadikan hujjah. Ya‟qūb bin Syaybah mengatakan shadūq hadīsnya lemah sekali, Ibnu Qāni‟ dan Ibnu Hibbān mengatakan ḍa‟īf. Dari keterangan di atas dapat dinyatakan bahwa Mūsā bin „Ubaydah adalah periwayat hadīs yang dipermasalahkan kualitasnya. Pujian yang diberikan kepadanya sangat rendah. Sebaliknya celaan yang dilontarkan terhadap dirinya berperingkat tinggi, bahkan Ibnu Hibbān yang terkenal tasahul (longgar) dalam memberikan penilaian, menilainya sebagai orang yang ḍa‟īf. Maka cukup kuat alasan untuk memenangkan ketercelaan yang bersangkutan dari pada keterpujiannya. Itu berimplikasi bahwa Mūsā bin „Ubaydah berkualitas ḍa‟īf.76 Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat ditegaskan bahwa Mūsā bin „Ubaydah adalah periwayat yang ḍa‟īf karena tidak memenuhi kaidah kesahihan sanad hadīs.
76
Demikian pula dengan Sa‟īd bin Abī Sa‟īd mawlā Abī Bakr bin Muhammad bin „Amr bin Hazm (Sa‟īd bin Abī Sa‟īd al-Ansārī al-Madīni) yang diakui sebagai gurunya dinilai sebagai orang yang majhūl oleh Al-Zahābī dan Ibnu Hājar. Hanya Ibn Hibbān yang menilainya siqah. Akan tetapi penilaian Ibnu Hibbān tidak dapat dijadikan ukuran karena beliau terkenal tasahul.
65
Oleh karena Mūsā bin „Ubaydah dikatakan sebagai periwayat yang berpredikat ḍa‟īf, maka menjadikan pula sanad yang diteliti berkualitas ḍa‟īf. Dengan demikan, kegiatan penelitian sanad dipindahkan ke jalur yang lain.
Urutan periwayat, sanad, dan hasil penelitian mengenai kualitas dan kapasitasnya masing-msing adalah: a. Abū Rāfi‟ (Periwayat I, sanad V); b. Sa‟īd bin Abī Sa‟īd (Periwayat II, sanad IV); c. Mūsābin „Ubaydah (Periwayat III, sanad III); d. Zayd bin al-Hubbāb (Periwayat IV, sanad II); e. Mūsā bin „Abd al-Rahmān (Periwayat V, sanad I); f. Ibnu Mājah (Periwayat VI, mukharrij). 1. Ibnu Mājah. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Yazīd al-Rabā‟ī, Abū „Abdullāh ibn Mājah al-Qazwinī.77 Dia meriwayatkan hadīs dari „Alī bin Muhammad al-Tanāfisī, Ibrāhīm bin Munzir, Muhammad bin „Abdullāh bin Numayr, dan yang lainnya. 78 Di sini tidak dicantumkan bahwa Mūsābin „Abd al-Rahmān adalah gurunya. Akan tetapi dikatakan bahwa untuk mengumpulkan hadīs beliau merantau ke beberapa negeri, antara lain Irak, Hijaz, Syam, Mesir, Kufah, Basrah, dan kota-kota lain untuk mendapatkan hadīs dari ulama setempat.79 Dengan demikian dapat diyakini bahwa Ibnu Mājah telah
77
Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, jilid IX h 457. Al-Zahābī, Siyar A‟lam al-Nubalā juz XIII, h. 277-278. 78 Al-Zahābī, juz XIII, h. 277-278. 79 „Ajjāj al-Khatīb, Ushūl al-Hadīs, h. 326.
66
berguru kepada Mūsābin „Abd al-Rahmān. Sedangkan murid yang menerima hadīsnya antara lain Abū Ya‟lā al-Khalīlī, Abū al-Hasan al-Qattān, dan Abū alThayyib al-Bagdadī.80 Ibnu Mājah
adalah periwayat hadīs yang terpuji integritas pribadi dan
kemampuan intelektualnya, terbukti dari pernyataan para kritikus hadīs tentang dirinya. Abū Ya‟lā al-Khalīlī mengatakan bahwa Ibnu Mājah shiqah kAbīr, muttafaq „alayh, dan pendapatnya menjadi hujjah. Dia memiliki pengetahuan luas dan penghafal hadīs.81 Al-Zahabī mengatakan bahwa Ibnu Mājah itu ahli hadīs dan ahli tafsir, penyusun kitab al-Sunan, al-Tafsīr, dan al-Tārīkh. Sedangkan Ibnu Kasīr mengatakan bahwa Ibnu Mājah adalah penyusun kitab sunan yang termashur, dan kitab itu merupakan bukti amal dan ilmunya yang luas.82 Tidak seorangpun yang mencela pribadi Ibnu Mājah. Puji-pujian yang ditujukan kepadanya
berperingkat
tinggi
dan tertinggi.
Oleh
karena
itu,
pernyataannya bahwa dia menerima riwayat tersebut dari Mūsa bin „Abd al-Rahmān dengan lambang haddasanā dapat dipercaya, dan keduanya terjadi persambungan sanad. Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat ditegaskan bahwa Ibnu Mājah adalah periwayat yang sahih karena telah memenuhi kaidah kesahihan sanad hadīs.
80
Al-Zahābī, juz XIII, h. 277-278. Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, juz XVII h. 355. 82 Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, juz XVII h. 355. 81
67
2. Mūsā bin ‘Abd al-Rahmān. Nama lengkapnya Mūsābin „Abd al-Rahmān bin Sa‟īd bin Masrūq bin Ma‟dān bin al-Marzubāni al-Masrūqī, Abū „I al-Kūfī.83 Dia meriwayatkan hadīs antara lain dari Zayd al-Hubāb, sedangkan yang meriwayatkan hadīs darinya antara lain Tirmizī, al-Nasāī, dan Ibnu Mājah.84 Al-Nasāi mengatakan bahwa Mūsa bin „Abd al-Rahman siqah, dan di tempat lain al-Nasāī mengatakan lā ba‟sa bih. Ibnu Abī Hātim mengatakan shaduq shiqaṯ, dan Ibnu Hibbān menyebutnya di dalam al-Shiqāṯ. Sedangkan menurut Abū al-Qāsim bin „Asākir, Mūsā meninggal pada tahun 258 H.85 Tidak seorang pun yang mencela pribadi Mūsā bin Abd al-Rahmān, oleh karena itu pernyataan bahwa dia menerima riwayat Zayd al-Hubbāb dengan lambang haddasanā dapat dipercaya, dan keduanya terjadi persambungan sanad. Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat ditegaskan bahwa Mūsā bin „Abd al-Rahmān adalah periwayat yang sahih karena telah memenuhi kaidah kesahihan sanad hadīs.
83
Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, juz X h. 317. Al-Rāzī, Kitāb al-Jarh wa al-Ta‟dīl jilid VIII
84
Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, juz X h. 317. Al-Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb, juz X h. 318.
h. 91. 85
68
Jalur yang dilewati oleh Ibnu Mājah
melalui sanad Mūsa bin „Abd al-
Rahmān, juga melewati sanad Zayd bin al-Hubbāb, Mūsa bin „Ubaydah, Sa‟īd bin Abī Sa‟īd, dan Abū Rāfi. Sedangkan pada penelitian sebelumnya ditemukan bahwa Mūsā bin „Ubaydah dikatakan sebagai periwayat yang berpredikat ḍa‟īf, maka menjadikan pula sanad yang diteliti berkualitas ḍa‟īf. Dengan begitu, kegiatan penelitian sanad dipindahkan ke jalur yang lain. Kualitas dan kapasitas intelektual para periwayat hadīs yang dimaksud adalah: a. Ibnu „Abbās (periwayat I, sanad V); b. „Ikrimah (periwayat II, sanad IV); c. alHakam bin Abān (periwayat III, sanad III); d. Mūsa bin „Abd al-„Azīz (periwayat IV, sanad II); e. „Abd al-Rahmān bin Bisyr (periwayat V, sanad I); f. Ibnu Mājah (periwayat VI, mukharrij). 1. Ibnu Mājah.
Telah disebutkan pada halaman 64. 2. ‘Abd al-Rahmān bin Bisyrī.
Telah disebutkan pada halaman 56. Akan tetapi, karena hadīs tersebut diterima dari Mūsa bin „Abd al-„Azīz, sedangkan pada penelitian sanad terdahulu yakni pada sanad Abū Dāwud ditemukan bahwa Mūsa bin „Abd al-„Azīz berkualitas ḍa‟īf sehingga menjadikan sanad yang diteliti berkualitas ḍa‟īf. Dan karena sanad Ibnu Mājah merupakan sanad dan jalur
69
terakhir yang diteliti dan ditemukan berkualitas ḍa‟īf, sehingga seluruh sanad hadīs tentang Ṣalāt tasbīh juga berkualitas ḍa‟īf.
B. KRITIK MATAN HADIS Dilihat dari segi obyek penelitian, matan dan sanad hadīs memiliki kedudukan yang sama, yakni sama-sama penting untuk diteliti dalam hubungannya dengan kualitas hadīs. Oleh karena itu, menurut ulama hadīs bahwa suatu hadīs barulah dinyatakan berkualitas sahih, dalam hal ini shahīh lizātih, apabila sanad dan matan hadīs itu sama-sama berkualitas sahih. Jadi, hadīs yang sanadnya sahih tetapi matannya tidak sahih, tidak dapat dinyatakan sebagai hadīs sahih. Meski begitu, dalam prakteknya, kegiatan penelitian sanad didahulukan atas penelitian matan. Itu berarti bahwa penelitian matan dianggap penting setelah sanad bagi matan tersebut diketahui kualitasnya, dalam hal ini memiliki kualitas sahih, atau minimal tidak termasuk parah (berat) keḍa‟īfannya. Bagi sanad yang berat keḍa‟īfannya maka matan yang sahih tidak akan menjadikan hadīs yang bersangkutan berkualitas sahih. Terhindar dari syāz. dan „illat merupakan dua unsur yang harus dipenuhi untuk kesahihan matan. Meski begitu, dalam melakukan penelitian matan tidak secara ketat ditempuh langkah-langkah dengan membagi kegiatan penelitian menurut kedua unsur tersebut. Maksudnya, tidak menekankan bahwa langkah pertama harus meneliti syāz. dan langkah berikutnya meneliti „illat. Akan tetapi,
70
lebih mengacu pada tolok ukur penelitian matan yang telah dirumuskan oleh ulama hadīs. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Shalahuddīn al-Adabī bahwa matan hadīs yang maqbūl (diterima sebagai hujjah) haruslah: 1) tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur‟an; 2) tidak bertentangan dengan hadīs yang lebih kuat; 3) tidak bertentangan dengan akal yang sehat, indera, dan sejarah; 4) susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.86 Berikut ini ditelaah kualitas matan hadīs-hadīs tentang Ṣalāt tasbīh seperti yang ditempuh pada kajian kualitas sanad, yakni berdasarkan klasifikasi hadīs yang ada.
1. Meneliti Matan dengan Melihat Kualitas Sanad Suatu matan hadis tidak dianggap sahîh apabila sanadnya diragukan. Dari hasil penelitian sanad yang telah dilakukan, bahwa penulis telah mendapati pada hadis di atas beserta mukharrij-nya telah diriwayatkan dalam keadaan bersambung, akan tetapi ada periwayat hadīs yang dipermasalahkan kualitasnya. Pujian yang diberikan kepadanya sangat rendah. Sebaliknya celaan yang dilontarkan terhadap dirinya berperingkat tinggi. Maka cukup kuat alasan untuk memenangkan ketercelaan yang bersangkutan dari pada keterpujiannya. Sebagaimana Ibnu Shalah dan Jumhur Ushūliyyīn mengatakan bahwa jarh didahulukan dari ta‟dīl. Seandainya jumlah orang yang mena‟dilkan lebih banyak
86
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 128-129.
71
dari yang menjarah dan orang yang menjarah itu lebih banyak meneliti keadaan rawi maka akan tampak masalah yang tidak diketahui oleh orang yang mena‟dilnya. Sementara orang-orang yang mena‟dilnya hanya faktor luar keadaan seseorang. Dengan demikian orang yang memberi jarh mempunyai nilai tambah bisa dijadikan dasar pendapatnya atas pendapat orang yang mena‟dil.87 Hal ini pula yang terjadi pada penilaian terhadap Mūsa bin „Abd al„Azīz. Yakni meskipun lebih banyak jumlah orang mena‟dilnya akan tetapi tingkatan ta‟dilnya rendah yakni lā ba‟sa bih dan shadūq itupun ditambah dengan kata siu al-hifzi. Sedangkan pendapat Ibnu Hibbān yang mengatakan siqah tidak dapat dijadikan patokan karena beliau termasuk orang yang tasahul. Sedangkan jarh terhadap Mūsā bin „Abd al-„Azīz meskipun lebih sedikit daripada orang yang mena‟dilnya, akan tetapi tingkat jarh yang dikemukakannya tinggi yakni munkar al-hadīs dan ḍa‟īf. Maka pendapat yang menjarah lebih didahulukan dari pendapat yang menta‟dil. Itu berarti bahwa Mūsā bin „Abd al-„Azīz berkualitas ḍa‟īf. sehingga seluruh sanad hadīs tentang Ṣalāt tasbīh berkualitas ḍa‟īf. maka hal ini dapat mempengaruhi ke-sahîh-an hadis tersebut. 2.
Meneliti Matan yang Semakna Mencermati susunan matan hadīs tersebut sebagaimana telah disajikan pada bab kedua, tampak bahwa dari enam riwayat yang ada ditemukan mengandung
87
Mahmud Ali Fayyad, Manhāj al-Muhaddisīn fī Dhabt al-Sunnah, diterjemahkan oleh A. Zarkasyi Chumaidy dengan judul Metodologi Penetapan Kesahihan Hadis (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 78.
72
beberapa hal, yakni perkataan tasbīh yang dimaksud untuk diucapkan pada tiap gerakan di dalam Ṣalāt adalah tasbīh dalam arti zikir. Karena lafal yang diucapkan bukan hanya lafal tasbīh „subhanallāh”, tetapi juga lafal hamdalah “al-hamdulillāh”, lafal tauhid “lā ilāha illāllāh”, dan lafal takbir “Allāhu akbar”.
ُ ْب َ ا َن اهللِ واحلَ ْم ُد هللِ و الوَ ا اهلل واهللُ ا ْ َرب “Maka ucapkanlah subhānallāh, al-hamdulillāh, lā ilāha illallāh, dan allāhu akbar “ Di dalam hadīs yang sahih, dikatakan bahwa tasbīh yang dianjurkan untuk diucapkan di dalam Ṣalāt adalah ketika rukuk dan sujud, yakni hadīs Nabi saw. yang diriwayatkan oleh „Uqbah bin „Amr:
ح ّدثنا الربي بن نا أبو وب و و بن امساعي امللين ا أ ربنا ابن املبار عن و اا ابو لم اا88 ، "ملا ن لت " سبح با م رب الل يم:و بن ا وا عن عمو عن ع ب بن عا ر اا : اا89 ، " لمان لت" سبح با م رب ا عل. اجللواىا ر وعكم:صلَّ اهللُ َعلَْي ِو َو َ لَّ َم َ ر و هلل 90 .جود م اجللوىا “Al-Rabi‟ bin Nāfi‟ Abū Tawbah dan Mūsābin „Ismāil menceritakan kepada kami, Ibnu al-Mubārak memberitakan kepada kami, dari Mūsā, Abū Salamah Mūsābin Ayyūb berkata, dari pamannya dari „Uqbah bin „AFasabbih bismi rabbika al-„Azīm” (Maka bertasbīhlah kamu dengan nama Tuhanmu yang Maha Besar) Rasulullah saw besabda: “Jadikanlah tasbīh itu dalam sujudmu.” Dan ketika turun firman Allah “sabbihisma Rabbika al-a‟lā”
88
Qs. Al-Wāqi’ah (56): 74. QS. Al-A’lā (87): 1. 90 Abī Dāwud Sulayman bin al-Asy'as al-Sijistanī,. Sunan Abī Dāwud, kitab al-Azān bab mā Yaqūlu al-Rajul fī Rukū‟ihī wa Sujū dihī, juz I (Bayrūt: Dar al-Fikr, 1994), .h. 239. 89
73
(Tasbīhkanlah nama Tuhanmu yang Maha Tinggi), Rasulullah bersabda: Jadikanlah tasbīh itu dalam sujudmu.” Hadīs yang senada juga terdapat dalam Shahīh Muslim dan Al-Musnad Ahmad ibn Hanbal:
ِح ّدثنا عبد اهلل ح ّدثَين أَيب ثَنا وِي ثَين ِع ْك ِر بن ع َّمار عن اِ ق بن أَيب طَْل عن أَنَ بن ال َ َ ْ َ ْ َْ َ ْ َ َْ َْ َ َ ْ َ ِ صلَّ اهللُ َعلَْي ِو َو َ لَّ َم َ َ الَت َ َار ُ وا اهلل َعلِّل ْمين َ لِ َماا أ ُْدعُ ِوِِب َّن َاا ََ ْ َ َجاء:اا َ ا أُ ُ لَْيم اِل النَِّب ِ ِ ِ لت َ ْد َ ْ َ ْسبِْي َ اجَ َ َانّو َ َ ْوا َد َ َل َ وج َع ْشًةرا َو َْام ْد ْنو َع ْشًةرا و َ ْكبِري نو َع ْشًةرا ُُثَّ َ ل َح َ َّْي اهلل َع 91 .َ َل ْلت “‟Abdullāh menceritakan kepada kami, ayahku menceritakan kepadaku, Waki‟ mencertitakan kepada kami, „Ikrimah menceritakan kepadaku, dari Ishāq bin Abī Thalhaṯ, dari Anas bin Mālik, ia berkata: Ummu Sulaym datang kepada Nabi saw dan berkata Ya Rasulullah ajarilah aku beberapa kalimat yang dapat aku baca dalam doaku. Kemudian Rasulullah mengatakan bertasbīhlah kepada Allah sepuluh kali, bertahmidlah sepuluh kali, dan bertakbirlah sepuluh kali kemudian bermohonlah kepada Allah apa saja yang engkau kehendaki. Lantas Rasulullah mengatakan kerjakanlah.” Adapun mengenai matan hadīs tersebut terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Imām Tirmizi menganggap bahwa hadīs tersebut membahas tentang Ṣalāt tasbīh sehingga beliau meletakkannya dalam bab Ṣalāt tasbīh. Akan tetapi, dalam syarh Tirmīzī, al-Irāqī mengatakan bahwa hadīs tersebut hanya membicarakan
91
Muslim al-Naisabūrī, Al-Imām Abī Husaīn Muslim ibn al-Hajjāj al-Qushairi. Shahih Muslim,, juz I (Bayrūt: Dar al- Kutub al-Ilmiyyah, 1992), h. 418. Al-Imām Ahmad ibn Ibn Hanbal,. AlMusnad Ahmad ibn Hanbal, jilid III (Bayrūt: Dār al-Fikr, 1994), h. 120.
74
tentang tasbīh sesudah Ṣalāt, bukan tentang Ṣalāt tasbīh. Juga karena lafaz-lafaz dalam hadīs tersebut tidak sesuai dengan lafaz-lafaz Ṣalāt tasbīh.92 Setelah membandingkan redaksi kedua matan hadīs di atas, maka dapat dinyatakan bahwa kandungan keduanya sama, yakni sama-sama berbicara tentang permintaan Ummu Sulaym kepada Rasulullah saw. Untuk diajari kalimat yang dapat ia baca dalam Ṣalāt, kemudian Rasulullah saw menyuruh untuk bertasbīh, bertahmid, dan bertakbir masing-masing sebanyak sepuluh kali baru kemudian mengucapkan doa. Dengan kenyataan tersebut, dengan didukung oleh asbāb wurūd93 dapat ditegaskan bahwa hadīs Ummu Sulaym berbicara tentang tasbīh sesudah Ṣalāt, bukan tentang Ṣalāt tasbīh. Hal tersebut juga sesuai dengan kebiasaan masyarakat ketika selesai Ṣalāt, yakni duduk bertasbīh baru kemudian dilanjutkan dengan berdoa.
Sehingga meskipun hadis yang kedua sahih tetapi tidak dapat mendukung hadis yang pertama. Dengan demikian hadis yang pertama tidak mendapat pendukung. Dengan begitu, hadis tersebut tetap berkualitas daif dan juga tidak memenuhi kaidah kesahihan matan hadis,
92
Al-Imām al-Hāfiz Abā al-‘Ulā Muhammad‘Abd al-Rahmān ibn ‘Abd al-Rahīm alMubarakfūrī, Tuhfat al-Ahwaz bi Syarh Jāmi’ al-Tirmīzī juz II (Bayrūt: Dār al-Fikr, t.th.), h. 509. 93 Menurut asbāb wurūdnya, hadis tersebut berbicara tentang tasbih sesudah salat. Lihat AlSyarīf Ibrāhīm Muhammad bin Kamāl al-Dīn al-Syahīr bin Hamzah al-Husayn al-Hanafī al-Dimasyqī, AlBayān wa al-Ta’rīf fī Asbāb Wurūd al-Hadīs al-Syarīf, juz I (Cet. I; Bayrūt: Al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1982), h. 167.
75
Berdasarkan kajian tersebut di atas, maka dapat ditegaskan bahwa hadis-hadis yang dipahami oleh masyarakat sebagai dalil untuk melaksanakan salat tasbih berkualitas daif, baik dari segi sanad ataupun matannya.
Kendati demikian hadis daif tersebut memenuhi syarat dijadikan sebagai fadāil al-a‟māl yang cukup berlandaskan hadis daif. Oleh karena itu, Ibn Qudamah berkata bahwa jika ada orang yang melakukannya maka hal tersebut tidak mengapa, karena salat nawāfil dan fadāil al-a‟māl tidak disyaratkan harus dengan berlandaskan hadis sahih.
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Setelah penulis meneliti otentitas dan kritik hadis tentang salat tasbih, setelah ditelusuri, ternyata data yang diperoleh menunjukkan bahwa hadishadis tentang Ṣalāt tasbīh berada pada kitab dan bab yang berbeda dengan yang ditunjukkan di dalam kitab al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fāz al-Hadis alNabawī berdasarkan klasifikasi riwayat yang ada yang terkait dengan masalah tersebut yaitu terdapat dalam enam riwayat dari tiga mukharrij, yaitu Abū Dāwud, al-Tirmizī dan Ibnu Mājah. Tercantum ada nama sahabat Nabi yang meriwayatkan hadīs tersebut, yakni al-Ansārī, ‘Abdullāh bin ‘Amr, Ibnu ‘Abbās dan Abī Rāfi’. Itu berarti bahwa sanad yang dikritik mendapat dukungan berupa syāhid, begitu pula pada periwayat-periwayat sesudahnya ditemukan dukungan berupa muttabi’.
Adapun Setelah melakukan penelitian sanad penulis berkesimpulan bahwa hadis tentang salat tasbih berkualitas daif demikian pula dengan matannya. Kendati demikian salat tasbīh tersebut memenuhi syarat dapat dijadikan sebagai fadāil al-a’māl karena cukup berlandaskan hadis daif.
76
77
B. Saran-Saran Kedudukan Hadis Nabi Saw. Sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an mempunyai peranan penting dalam kehidupan. Untuk itu penulis menghimbau sebagai berikut : Agar pembaca dapat menindak lanjuti penelitian kualitas sanad dan matan terhadap hadis-hadis yang beredar di masyarakat yang hal itu sudah menjadi amaliyah kaum muslimin. Dengan tujuan memberikan perhatian yang penuh terhadap hadis, agar pengetahuan, pemahaman dan pengamalan hadis di masyarakat dapat tersebar dengan baik. Akhirnya kepada Allah Swt. Penulis berharap agar skripsi ini menjadi titik sumber pengetahuan dan inspirasi yang bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Bāqi, M. Fuad. Mu’jam al-Mufaḥras alfāẓ al-Qur’ān al-Karīm. Beirut: Dār al Fikr, 1987. Ajaj al-Khathib, Muhammad. Ushūl al-Hadis. Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007. al-Asqalānī, ibn Hajar. Tahzīb al-Tahzīb.Bayrūt: Dār al-Fikr, 1994. Bustamin dan Salam Isa. Metodologi Kritik Sanad. Jakarta: Raja Grafindo Persada,2004. Chumaidy, A. Zarkasyi. Ilmu Jarh wa Ta’dil. Bandung: Gema Media Pusakatama, 2003. Chumaidy, A. Zarkasyi. Metodologi Penetapan Kesahihan Hadis. Bandung: Pustaka Setia, 1998. al-Dārimī, al-Fadhl ibn Bahram. Sunan al-Darimī. Indonesia: Maktabah wahlan, t.th al-Dimasyqī, Husayn al-Hanafī. Al-Bayān wa al-Ta’rīf fī Asbāb Wurūd al-Hadīs al-Syarīf. Bayrūt: Al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1982. Fathullah, Ahmad Lutfi. Al-Qur’an Al-Hadi. Jakarta : Pusat Kajian Hadis. Husain al-Munawwar, Said Aqil. Metode Takhrij Hadis. Semarang: Dina Utama, 1994. Ilham, Masturi dan Tamam, Asmu’i. 60 Biografi Ulama Salaf . Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2006. Ismail, Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992. ---------------------, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 2005. ----------------------, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi. Jakarta: Intimedia dan Insan Cemerlang, t.th. --------------------, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: Bulan Bintang, 1994. Itr, Nuruddin. Manhāj al-Naqd fī‘Ulūm al-Hadīs. Damaskus: Dār al-Fikr, 1979. al-Ja'fī, Bukhārī. Sahīh al-Bukhār. Bayrūt: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992.
78
79
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif 1997. Manzūr, Ibn. Lisān al-‘Arab. Bayrūt: Dār al-Shadr, 1968. Mujieb, M. Abdul. Ensiklopedi Fiqh ‘Umar bin Khatab. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999. Mujiyo. ‘Ulum al-Hadits. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997. Ma’luf, Louis. Al-Munjid al-Lugah wa A’lam. Bayrūt: Dar al-Fikr, 1986. al-Mizzī, Jamāl al-Dīn Abī al-Hajjāj Yūsuf. Tahzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl. al-Mubārakfurī. Tuhfat al-Ahwazī bi Syarh Jami’ al-Tirmizī. Bayrūt: Dār al-Fikr, 1979. Nasution, Harun. Teologi Islam. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia Press, 1992. al-Naisabūrī, Muslim ibn al-Hajjāj al-Qushairī. Shahīh Muslīm. Bayrūt: Dar alKutub al-Ilmiyyah, 1992. Noor,
Muhibbin. Kritik Kesahihan Hadis Imam Bukhari; Kritik atas Kitab al-Jami’ al-Sahīh. Jogjakarta: Waqtu, 2003.
al-Naysabūrī, Abū ‘Abdullāh al-Hakim. Ma’rifat ‘Ulūm al-Hadīs. Haydrabat: Dār al-Ma’rifat al-Usmāniyyah al-Ka’inah, t. th. Qardhawi, Yusuf. Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW. Bandung : Karisma, 1993. al-Rāzī, al-Munzir. Kitāb al-Jarh wa al-Ta’dīl. Hayderabat: Majlis Da’irat al-Ma’arif, 1987. Shalih, Subhī. ‘Ulūm al-Hadīs. Bayrūt: Dār al-‘Ilm al-Malāyin, 1977. al-Sijistany, Abi Dawud. Sunan Abi Dawud. Bayrut: Dar al-Fikr, 1994. ash-Shiddieqy, Hasbi. Pedoman Shalat. Jakarta: Bulan Bintang, 1994. al-Sahāranfūrī, Khalīl Ahmad. Bazl al-Majhūd fī Halli Abī Dāwud. Bayrūt: Dār al-Fikr, t. th. Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Dār al-Fath al-I’lām al-‘Arabi, 1990.
80
al-Syawkānī, Alī. Al-Fawāid al-Majmū’at fī al-Ahādīs al-Mawdū’ah. Bayrūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995. al-Syawkānī, Muhammad. Nayl al-Awtār Syarh Muntaqā al-Akhbār min Ahādīs Sayyid al-Akhbār. Bayrūt: Dār al-Fikr, 1992. Shalāh, ibn. ‘Ulūm al-Hadīs. Madīnah al-Munawwarah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1972. al-Suyūtī, Jalāl al-Dīn. Tadrīb al-Rāwī fī Syarh Taqrīb al-Nawāwī. Bayrūt: Dār al Fikr, 1988. al-Tahhan, Mahmūd. Ushūl al-Takhrīj wa Dirāsat al-Asānid. Halb: Matba’ah al -Arabiyah, 1978. Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2000. ‘Usmān, Abd al-Rahman. Awn al-Ma’būd. Bayrūt: Dār al-Fikr, t.th. Wensinck, A. J. Mu’jam al-Mufahras li al-Fāz al-Hadīs al-Nabawī. Leiden: E. J. Brill, 1943. Wijayanto, Atoillah. Shalat Tasbih, Sunnah Rasul Yang Dianggap Bid’ah. Malang: Pustaka Basma, 2009. Yaqub, Ali Mustafa. Hadis hadis bermasalah. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2012.
Lidwa Pustaka i-Software – Kitab 9 Imam Hadis.
36
التَّبِ ُّي ( رس ُلو َع ْب ُل
بُل َع ْ ٍر
َ ُل ٌل
صلَّي ِ) َ
اا ْة َ ِ ُّ
ا ْ ِب عبَّ س
ُلع ْ َوةَ ا ِب ُل َويْم
ِع ْك ِ َ ت
ُل َعلَ ْي ِه َو َرلَّم ا ي افع
رلي ُل ب ا ي رلي ٍر
ا ي ْال َجسْ زَاء
ل َع ْ ُلو بُل َ ِل ٍر w. 129 H َ ْ ِ ُّ ب َ ْي ُل سْ ٍرا w. 171 H
ُل َ َّ ُل بُل ُل َ ِ w. 170 H
أَ ُلس تَسْ َت ال َّ ِ ْي ُلع بُل ةَ ِفع
ال َ َك ُلم ب اَ َ اَ
سري بُل ُلعبَ ْي َ ةَ w. 253 H
ُل سْ َري ْب َع ْب ال َل ِ ْي ِ
ا زي ب ُل بَ ٍر w. 203 H
W. 241 H
َ بَّ اُل بُل ِ ِو w. 216 H
ُل س َري ْ ِب َع ْب ال َّ ْ ب w. 258 H
َع ْب ال َّ ْ ب ْب ِ ْش
أَ ُلس ُل َ ْي ِ w. 248 H
لي ُل َّ ب ُلر ْيَ ا ااُل ُل ِ ُّ
ابوا داود
ابن ماجه
الترمذى