“PEMAHAMAN ASYHUR AL-HURUM DALAM HIJRIAH MENURUT PERSPEKTIF HADIS ; (Studi Kualitas Sanad dan Matan Hadis)”
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana (S-1) Theologi Islam
Oleh : Achmad Alviennoer NIM : 105034001199 PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M
“PEMAHAMAN ASYHUR AL-HURUM DALAM HIJRIAH MENURUT PERSPEKTIF HADIS ; (Studi Kualitas Sanad dan Matan Hadis)”
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana (S-1) Theologi Islam
Oleh :
Achmad Alviennoer NIM : 105034001199
Dosen Pembimbing :
DR. Muhammad Zain, MA NIP : 150299520
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul “Pemahaman Asyhur al-Hurum dalam Hijriah Menurut Perspektif Hadis (Studi Kualitas Sanad dan Matan Hadis)” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 7 September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S-1) pada Jurusan Tafsir Hadis. Jakarta, 14 September 2010 Sidang Munaqasyah,
Ketua Merangkap Anggota
Sekretaris Merangkap Anggota
Dr. Bustamin, M.Si NIP : 19630701 199803 1 003
Rifki Muhammad Fathi, MA. NIP : 19770120 200312 1 003
Anggota,
Rifki Muhammad Fathi, MA. NIP : 19770120 200312 1 003
Dr. Bustamin, M.Si NIP : 19630701 199803 1 003
Pembimbing,
Dr. Muhammad Zain, MA NIP : 150299520
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur senantiasa tercurahkan kepada Allah Swt. ‘Azza Wajalla yang senantiasa memberikan rahmat, taufik inayah-Nya dan selalu mengiringi langkah-langkah penulisan ini. Dengan segala kemuliaan-Nya dijadikan alam semesta ini hanya untuk hamba. Jika seandainya lautan dijadikan tinta dan pepohonan dijadikan penanya, maka tidak akan mungkin cukup menghitung segala nikmat yang telah Allah Swt. berikan. Atas segala nikmat dan karunia-Nya itu pula melewati jalan panjang dan berliku, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini Shalawat serta salam dihaturkan selalu kepada baginda besar Nabi Muhammad Rasulullah Saw. semoga dengan syafaatnya kita memperoleh ampunan dan rahmat-Nya, selamat dunia dan akhirat. Penulis selalu menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tentu saja didukung dan didorong oleh pihak-pihak luar yang berperan dalam membantu penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, sebagai wujud syukur dan hormat penulis, kiranya sangat perlu untuk memaparkan nama-nama tersebut dan tentu saja penulis tidak mampu untuk menulis semuanya secara lengkap namun pada hakikatnya penulis berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada siapapun yang telah banyak membantu penulisan skripsi ini. Terlebih dahulu sembah bakti dan do’a penulis haturkan kepada ayahanda Hanafi dan ibunda Hidayah tercinta, yang telah mendidik dan mengarahkan penulis dengan penuh kesabaran kasih sayang dan keikhlasan serta tak bosanbosannya mendo’akan penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan i
ii
skripsi ini. Semoga Allas Swt mengampuni dan memaafkan segala kesalahan mereka serta menempatkan derajat keduanya pada derajat yang tinggi. Amîn. Demikian kepada Habib Abdurrahman Assegaf dan Habib Abu Bakar al-Habsyi (Alm) Pemimpin dan pembimbing majlis ta’lim Azzamzami, serta seluruh keluarga besar yang penulis cintai. Selanjutnya ucapan syukur dan hormat penulis haturkan dan tujukan kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, M.A. selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya. 2. Bapak Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Fakih, M.A. selaku dekan Fakultas Ushuluddin beserta para Pembantu Dekan I, II, dan III. 3. Bapak Dr. Bustamin, M.Si. selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis beserta jajarannya. 4. Bapak Dr. Muhammad Zain, MA. selaku Dosen Pembimbing dalam skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kerelaannya rela meluangkan waktu, bimbingan dan saran-sarannya mengarahkan penulis dengan penuh kesabaran dalam menyelesaikan skripsi ini. Lalu Bapak Rifqi Muhammad Fathi, M.A. selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis, yang selalu memfasilitasi penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan. 5. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu. Terima kasih atas ketulusan dan keikhlasannya dalam memberikan ilmu yang telah diberikan kepada penulis. semoga ilmu dan pengalaman yang telah diajarkan menjadi amal jariah bagi mereka semua dan senantiasa membawa berkah dan manfaat bagi masa depan penulis.
iii
6. Pimpinan dan seluruh staf Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Umum Islam Iman Jama’, yang telah membantu pengadaan sumber bacaan dari awal perkuliahan hingga selesainya skripsi ini. 7. Keluarga Besar H. Zaini bin H. Abdul Somad dan H. Abdul Qodir bin Dahlan, Bapak-Ibu Yang tercinta, Hanafi dan Hidayah, sebagai motivasi penulis untuk menggali lebih dalam tema penelitian ini, terkhusus untuk “The Spesial One” Adinda Maniah (Mia), yang selalu menjadi cahaya bagi penulis dan menjadi obat disaat duka, menenangkan disaat langkah ini terasa berat. Terima kasih atas dorongan semangat dan kesabaran dalam menemani penulis dari detikdetik awal pembuatan skripsi ini hingga selesai. Tak lupa kepada Bapak Eva Nugraha, MA. yang sudah memberikan masukannya dan kepada Ustaz Isma’il H. Bahruddin, MA. yang juga sudah membantu dalam menerjemahkan dan membimbing pada detik-detik menjelang sidang. 8. Kawan-kawan seperjuangan di Tafsir Hadis : Fitroh “cokins” Fuadi –Thanks for you- yang selalu bersadaqoh sama teman-temanmu “banyak jasa lo yang ga bise di sebutin atu-atu” “yang juga udah ngerawat kelinci qu dengan penuh kasih sayang” “Alhamdulillah kite bise lulus bareng”, Sahid “yang udah bantu nyorakin wat cepet2 lulus & ngebantu sebisenye”, Doel Hadi alias kojek, Doel Manaf alias mamen, Bangkit alias udhay, Amar, MD “ga indah ga bisa bareng lo semua” “Ayo saatnye kite bangkit dan semangat jangan mudah putus asa, semua pasti ada jalan keluarnye”, Haris “yang udah duluan dapet gelar S.Thi.”, (Sahabat bersama kita tumbuh dan berkembang dalam suka dan duka bahkan sebuah luka). Kemudian buat anak-anak tongkrongan
iv
IRMAWAR yang selalu menyibukkan dan merepotkan, Yadin Dinosaurus, Temi Lhenon, Aulia Kompor, Ozan Anduk, dan lain sebagainya. Tak lupa pula buat Kawan-kawan dikelas Tafsir Hadis B angkatan 2005, semoga Allah Swt. selalu melindungi kalian. Ingat, tuntutlah ilmu sampai ke negri Cina dan masih banyak jalan menuju Roma. “Yakin Usaha Sampai” dan Jangan berputus asa dari rahmatnya Allah. 9. Semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Mengakhiri rangkaian pengantar ini, Penulis hanya bisa memohon kepada Yang Maha Kuasa untuk membalas segala kebaikan mereka. Mudah-mudahan Allah Swt. memberikan balasan yang setimpal atas segala amal kebaikannya. Hanya kepada Allah Swt. penulis berserah diri dan bertawakkal serta memohon ampunan-Nya atas segala kesalahan dan kekhilafan dalam penulisan skripsi ini. Dan penulis berharap karya tulis kecil ini dapat bermanfaat sebagai sumbangsih sederhana dalam khazanah keilmuan hadis di Fakultas Ushuluddin tercinta.
ﺟﺰاهﻢ اﷲ أﺣﺴﻦ اﻟﺠﺰاء Jakarta, September 2010 Penulis, Achmad Alviennoer
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR…………….…………………………………………...…i PEDOMAN TRANSLITERASI…………………………………………….…..v DAFTAR ISI…………………………………………...……………………..….vi
BAB I
PENDAHULUAN…………………………………………….…. 1 A. Latar Belakang Masalah……………………………………… 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.……………………….. 6 C. Kajian Pustaka ……………………………………………..... 7 D. Tujuan Penelitian ……………………………………….…... 8 E. Metodologi Penelitian…………………………………….…. 9 F. Sistematika Penulisan………………………………………. 10
BAB II
TINJAUAN TEORITIS HIJRIAH………..…………………. 11 A. Pengertian Hijriah………………………………………….. 11 B. Sejarah Penamaan Hijriah………………………………….. 13 C. Makna Bulan-Bulan dalam Hijriah……………………..….. 17 D. Bulan-Bulan Hijriah Yang Memiliki Keutamaan……….…. 20
BAB III
ASYHUR AL-HURÛM DALAM HADIS..…………………… 29 A. Pengertian Asyhur al-Hurum…………………….…………. 29 B. Kualitas Sanad Tentang Asyhur al-Hurum ………………... 34 1. Pengertian dan Metodologi Kritik Sanad…………...…. 34 2. Kualitas Sanad Hadis Tentang Asyhur al-Hurum……… 38 C. Kualitas Matan Tentang Asyhur al-Hurum …………….….. 53
vi
vii
1. Pengertian dan Metodologi Kritik Matan…………..…. 53 2. Kualitas Matan Hadis Tentang Asyhur al-Hurum…….. 56 D. Analisa…………………………………………………….. 61
BAB IV
PENUTUP……………………………………………………. 63 A. Kesimpulan…………………………………………….….. 63 B. Saran…………………………………………………….… 64
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………… 66
PEDOMAN TRANSLITERASI
ا
= Tidak dilambangkan
ط
= t
Untuk Vokal Pendek /
ب
= b
ظ
= z
harokat dan tanwin
ت
= t
ع
= ‘
= a
pendek
ث
= ts
غ
= g
= i
pendek
ج
= j
ف
= f
= u
pendek
ح
= h
ق
= q
konsonan
خ
= kh
ك
= k
= an
د
= d
ل
= l
= in
ذ
= dz
م
= m
= un
ر
= r
ن
= n
rangkap / double
ز
= z
و
= w
س
= s
ه
= h
ش
= sy
ﻻ
= lâ
ص
= s
ء
= ٰ
ض
= d
ي
= y
Untuk Vokal Panjang
Untuk Madd dan Diftong
ا
َْاو
= aw
ُْاو
= û
َْاي
= ay
ِْاي
= î
و ي
= â = û = î
Panjang Panjang Panjang
v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Ada dua hal yang dijadikan pedoman dan pegangan hidup manusia khususnya umat Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadis. Al-Qur’an adalah mu’jizat Nabi Muhammad Saw. dan sumber hukum Islam yang pertama dan merupakan Kalam atau Firman Allah Swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. melalui perantaraan malaikat Jibril. Bagi yang membaca al-Qur’an dinilai dengan ibadah. 1 Sedangkan Hadis adalah suatu narasi yang biasanya singkat dan bertujuan memberikan suatu informasi tentang perkataan Nabi, perbuatan Nabi, dan diamnya Nabi. 2 Lebih jelasnya hadis Nabi merupakan penampung sunnah Nabi Muhammad Saw. yang memuat kebutuhan dasar hukum kaum muslimin, baik itu individu maupun suatu kelompok (komunitas). 3 Ibnu al-Subki mengungkapkan bahwasanya hadis adalah segala sabda dan perbuatan Nabi Muhammad Saw. Beliau tidak memasukan taqrîr Nabi Muhammad Saw. sebagai bagian dari rumusan atau definisi hadis. Perhatian ulama terhadap sanad dan matan hadis begitu besar, begitu juga dalam mengetahui kualitas dan tingkat kesahihan suatu hadis. Menurut Muhammad al-
1
Manna’ Khalîl al-Qattân,“Studi Ilmu-Ilmu Qur’an”, Penterjemah: Mudzakir AS, (Jakarta: PT. Pustaka Litera Antarnusa, 2004), h.17 2
Fachtur Rahman, “Ikhtisar Musthalah Hadits”, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1991), h.27
3
Muhammad Mustafa Azami, “Memahami Ilmu Hadis”, Penterjemah: Meth Kiraha, (Jakarta: Lentera, 1995), h.27
1
2
Gazali tingkat kesahihan matan cukup terhindar dari syâdz dan ‘illat, beliau tidak mensyaratkan ketersambungan sanad sebagai salah satu syarat kesahihan sanad hadis. 4 Model perilaku dan pola hidup Nabi Muhammad Saw. telah menjadi teladan bagi masyarakat muslim pada umumnya, baik itu perkataan Nabi maupun perbuatannya yang menjadi inspirasi dan panutan untuk orang-orang muslim. Hadis Nabi yang disampaikan oleh Nabi sangatlah banyak, namun dari banyaknya hadis yang terhimpun dalam berbagai kitab hadis sepertinya sangat kontradiktif, tidak sedikit telah terjadi pertentangan atau perbedaan pendapat baik dikalangan ulama maupun di masyarakat muslim sendiri, terutama dalam menentukan sebuah hukum, padahal dalîl untuk menguatkan pendapatnya belum diteliti kualitas kesahihannya baik dari segi sanad ataupun matan. Untuk itulah, penulis belum menemukan ada yang mengkritik kualitas dan kekuatan dari hadis tersebut secara keseluruhan mengenai sahih dan tidaknya. Keotentikan hadis di masa Nabi sangat terjaga, karena keputusan tentang keotentikan sebuah hadis berada ditangan Nabi sendiri. Misalnya pada saat sahabat
menyampaikan
hadis
kepada
sahabatnya
yang
lain,
dan
ia
mendengarkannya dengan penuh keraguan, apakah hal tersebut adalah benar berasal dari perkataan Nabi, maka kemudian sahabat yang mendengar dengan penuh keraguan itupun langsung menanyakannya kepada Nabi. Namun setelah Nabi wafat, hal tersebut tidak bisa lagi ditanyakan kepada Nabi, melainkan
4
Bustamin dan Isa H.A.Salam, Metodologi Kritik Hadis [Jakarta:Raja Grafindo Persada,2004], h.102
3
kepada orang yang ikut mendengar dan melihat hadis Nabi tersebut yakni para sahabat. 5 Setelah masa sahabat para ulama memberikan perhatian penuh terhadap pengumpulan hadis. Karena hadis berangsur-angsur hilang bahkan banyak terjadi pemalsuan hadis yang mengatasnamakan pribadi dan golongan tertentu. Untuk itulah pada masa selanjutnya ketika banyak terjadi pemalsuan hadis, para ulama hadis bersikeras mengumpulkan hadis dan memilah-milah hadis agar tidak terjadi penyimpangan terhadap hadis Nabi. Oleh karena itu, berkembanglah ilmu-ilmu hadis yang bertujuan untuk meneliti sebuah hadis apakah hadis tersebut sahih atau tidak. Mengenai bulan haram (Ashur al-Hurum), al-Qur’an menyebutkan :
☺ ☺ ☺
⌧ ⌧
☺ ☺
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.”(Q.S. at-Taubah: 36) Di dalam hadis-hadis Nabi ada beberapa hadis yang membahas tentang masalah bulan-bulan Hijriah atau bulan-bulan Islam. Dimana setelah penulis
5
‘Ali Mustafa Ya’qub, “Kritik Hadis”, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h.2
4
meneliti tidak semua nama-nama bulan Hijriah disebutkan di dalam hadis Nabi tersebut. Nabi pernah menyebutkan didalam hadisnya di bawah ini:
ﻦ ِ ْﻋﻦْ اﺑ َ ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ َ ﻋﻦْ ُﻣ َ ب َ ﻋﻦْ َأﻳﱡﻮ َ ﻦ َزﻳْ ٍﺪ ُ ْﺣﻤﱠﺎ ُد ﺑ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ ب ِ ﻋﺒْ ِﺪ ا ْﻟ َﻮهﱠﺎ َ ﻦ ُ ْﻋﺒْ ُﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ﺑ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ ن َﻗﺪْ اﺳْ َﺘﺪَا َر َ ن اﻟ ﱠﺰﻣَﺎ ل ِإ ﱠ َ ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ﻲ ﻋﻦْ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ َ ﻋﻦْ َأﺑِﻲ َﺑﻜْ َﺮ َة َ َأﺑِﻲ َﺑﻜْ َﺮ َة ٌﺣ ُﺮم ُ ﺸ َﺮ ﺷَﻬْﺮًا ﻣِﻨْﻬَﺎ َأرْ َﺑ َﻌ ٌﺔ َﻋ َ ض اﻟﺴﱠ َﻨ ُﺔ اﺛْﻨَﺎ َ ْت وَاﻟْ َﺄر ِ ﺴ َﻤﻮَا ﻖ اﻟﻠﱠ ُﻪ اﻟ ﱠ َ ﺧَﻠ َ َآ َﻬﻴْ َﺌ ِﺘ ِﻪ َﻳﻮْ َم ﺟﻤَﺎدَى ُ ﻦ َ ْﻀ َﺮ اﱠﻟﺬِي َﺑﻴ َ ﺐ ُﻣ ُ ﺟ َ ﺤﺮﱠ ُم َو َر َ ﺠ ِﺔ وَا ْﻟ ُﻤ ﺤﱠ ِ ْت ذُو اﻟْ َﻘﻌْ َﺪ ِة وَذُو اﻟ ٌ ﺛَﻠَﺎثٌ ُﻣ َﺘﻮَاِﻟﻴَﺎ 6 .ن َ ﺷﻌْﺒَﺎ َ َو “Dari Ibnu Abi Bakrah Ra., dari Nabi Saw. bersabda : Zaman (tahun) itu berputar sebagaimana keadaanya pada hari diciptakan langit-langit dan bumi oleh Allah. Satu tahun adalah dua belas bulan, diantaranya adalah empat bulan mulia, yaitu tiga berurutan Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram, dan Rajab (yang diagungkan) Mudhar : yang (jatuh) antara bulan Jumada dan Sya’ban.” (HR. al-Bukhârî). Pada konteks hadis di atas Nabi memang menyebutkan bahwasanya satu tahun itu ada dua belas bulan, tetapi dalam hadis di atas Nabi hanya menyebutkan beberapa nama bulan Islam dan tidak menyebutkan namanya secara keseluruhan. Mengapa tidak ada hadis yang menyebutkan nama-nama bulan Islam tersebut secara keseluruhan dalam satu hadis. Kemudian juga mengenai masalah penetapan Tahun Hijriah yang pada saat itu telah disahkan di masa kepemimpinan ‘Umar bin Khattâb dan bukan disaat Nabi, yang dimulai 17-18 tahun kemudian sesudah Nabi Hijrah. 7 Mengapa di dalam bulan-bulan hijriah tersebut terdapat beberapa bulan haram, dan mengapa hanya empat bulan yang diharamkan, serta mengapa bulan tersebut diharamkan atau dinamakan bulan haram. Kemudian yang paling terpenting adalah mengapa bulan-bulan dalam bulan hijriah tersebut berbeda penamaannya dan keutamaannya terutama pada bulan haram, apakah 6
Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhari, al-Jamî’al-Sahîh (Sahîh Bukhârî), (Beirut: Dar al-Fikr, 1994) Juz II, No. 3197, hal. 987 7
‘Ali Audah, ”Dari Khazanah Dunia Islam”, (Jakarta: Pustaka Firdaus), 1999, h.468
5
bulan haram itu lebih utama dan lebih suci daripada bulan-bulan hijriah yang lainnya, serta apakah pengharaman kepada keempat bulan tersebut sudah terjadi pada masa sebelum Nabi atau pada saat masa Nabi saja. Hal inilah yang mendorong penulis untuk meneliti akan kebenaran hal tersebut. Dan di dalam hal ini dapat dikatakan bahwa apakah bulan-bulan Islam itu semua telah disebutkan dalam hadis ataukah hanya kesepakatan Nabi dan sahabat, atau sudah ada sebelum masa Nabi, dan apakah dimasa sahabat sudah terbentuk bulan-bulan Islam yang mana telah terorganisir hingga sekarang. Kemudian mengenai pengharaman keempat bulan tersebut, serta kenapa diharamkan dan dinamakan bulan haram, dan apakah pengharaman tersebut berlangsung terus-menerus atau tidak, dan apakah bulan haram itu lebih utama dan lebih suci diantara bulan-bulan hijriah yang lainnya. Hal tersebut harus dijelaskan kembali agar setiap orang dapat mamahami bahwasanya apa yang dilakukan Nabi sama sekali tidak bertentangan dengan alQur’an, bahkan penjelasan-penjelasan mengenai waktu bilangan hari ataupun bulan, terutama mengenai keutamaan bulan haram dibandingkan dengan bulan yang lainnya yang mana Nabi telah menyebutkannya sedemikian rupa sehingga muncullah bulan-bulan Islam berdasarkan nama dan keutamaannya masingmasing, yang juga harus dijelaskan kebenarannya agar seseorang tidak salah dalam menanggapinya. Hadis-hadis ini secara sahih dan tidaknya, pasti akan memicu terjadinya pengkotakan sosial di antara ulama fiqih dan hadis maupun umat Islam yang mempertentangkan pemahaman mengenai bulan haram ini. Seperti pernyataan di atas tadi apakah bulan haram yang termasuk di dalam bulan hijriyah itu lebih utama dan lebih suci dibandingkan dengan bulan-
6
bulan hijriyah lainnya, dan apakah pengharaman kepada keempat bulan itu merupakan ijtihad Nabi sendiri atau sahabat, atau Nabi dan sahabat, atau telah ada sebelum masa Nabi, ataukah memang wahyu langsung dari Allah Swt., maka dengan pernyataan ini penulis akan mengangkatnya sebagai sebuah judul skripsi ini yaitu: “PEMAHAMAN ASYHUR AL-HURUM DALAM HIJRIAH MENURUT PERSPEKTIF HADIS ; (Studi Kualitas Sanad dan Matan Hadis)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Permasalahan seputar Hijriyah merupakan masalah yang cukup luas. Penulis mengidentifikasi seputar Asyhur al-Hurum. Dengan demikian, Untuk menghindari pembahasan yang berbelit-belit dan tidak mengarah kepada maksud. Maka dari itu, penulis memberikan batasan pada hadis yang mengindikasikan Asyhur al-Hurum dan dianggap representatif, kemudian menelusuri hadis dengan menggunakan kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâz al-Hadîts al-Nabawi dengan pertimbangan : Kesamaan jalur sanad (sumber) dan isi atau kandungan mayoritas matan dari beberapa hadis, dan menganalisa secara komprehensif dari tema tersebut. Kemudian setelah didapati hadis tersebut, maka dilakukanlah penelitian sanad dan matan dari semua hadis yang berkaitan dan hanya satu yang akan diteliti. Untuk menghindari pembiasan dalam memahami, penulisan skripsi ini akan lebih difokuskan untuk meneliti pemahaman para ulama tentang Asyhur alHurum yang bersumber dari hadis, serta meneliti kualitas sanad dan matan hadis yang akan diteliti, yakni melalui satu jalur dari delapan jalur sanad hadis yang
7
ada, yaitu jalur sanad Ahmad bin Hanbal dalam satu hadis saja dan kebolehannya untuk dijadikan hujjah, serta menggali subtansi matan hadis tersebut dan muatanmuatan yang terkandung didalamnya. Dari pembatasan masalah ini dapat dirumuskan permasalahan yang akan dikaji sebagai berikut : Bagaimana kualitas sanad dan matan hadis tentang Asyhur al-Hurum melalui satu jalur sanad hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal?
C.
Kajian pustaka Sampai sejauh ini, menurut pengamatan penulis setelah melakukan
penelitian di berbagai perpustakaan yang ada di sekitar lingkungan Universitas, penulis belum menemukan karya-karya yang secara khusus membahas tentang masalah Bulan Haram (Asyhur al-Hurum) dalam hadis. Akan tetapi kebanyakan dalam kitab-kitab atau buku-buku hadis hanya sedikit menyinggung masalah ini, Berdasarkan pengamatan dan pencarian didalam beberapa katalog, bahwa penulis disini belum menemukan skripsi yang membahas tentang judul ini secara menyeluruh, hanya saja ada sedikit yang menyinggung masalah ini yang menyangkut kepada bulan hijriah. Yakni seperti skripsi yang berjudul “Pemahaman Hadis Tentang Umrah di Bulan Ramadan”, 8 “ Takhrij Hadis Tentang Keutamaan Bulan Ramadan”, 9 “Studi Kualitas Sanad Dan Matan Hadis
8
Lihat skripsi yang ditulis oleh Purwantoro, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, nomor 660, tahun 2008. 9
Lihat skripsi yang ditulis oleh Iman Fathurrahman, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, nomor 55, tahun 2004.
8
Tentang Penentuan Awal Dan Akhir Ramadan”, 10 “ Hijrah Menurut Penafsiran Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim”, 11 Hijrah Menurut Penafsiran Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah”, 12 dan Hijrah dalam Perspektif Hadis”. 13 Yang mana judul-judul itu semua membahas mengenai satu pengertian dan pemahaman tentang suatu bulan, dan tidak pada keempat bulan yang diharamkan yang ada pada bulan Hijriah (Asyhur al-Hurum), serta hanya terpacu kepada satu permasalahan saja. Dan hal ini disajikan secara umum (keseluruhan) dalam bukubuku atau kitab-kitab yang membahas tentang hadis.
D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini terdapat dua macam, di antaranya adalah: 1.
Untuk mengetahui otentisitas hadis-hadis yang terdapat dalam hadis yang diteliti.
2.
Memenuhi syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata satu [S1] pada jurusan Tafsir –Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Manfaat penelitian ini diantaranya adalah:
1. Memberikan sumbangsih kepada perpustakaan fakultas maupun umum dalam bentuk karya ilmiah.
10
Lihat skripsi yang ditulis oleh Muhammad Nasir, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, nomor 339, tahun 2004. 11
Lihat skripsi yang ditulis oleh Badru Salam, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, nomor 1159, tahun 2003. 12
Lihat skripsi yang ditulis oleh M. Sukron, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, nomor 1298, tahun 2004. 13
Lihat skripsi yang ditulis oleh Asroriyah Novianti, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, nomor 1422, tahun 2004.
9
2. Menambah khazanah keilmuan, baik bagi penulis sendiri maupun bagi orang lain yang membacanya.
E. Metodologi Penelitian Metodologi yang saya gunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Meneliti judul tersebut dengan penelitian yang bersifat kepustakaan (Library research), yakni dengan mencari kata-kata yang terkait dengan bulan-bulan hijriah, terutama bulan haram melalui kosakata-kosakata tertentu dengan menggunakan kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâz al-Hadîts al-Nabawi. 2. Mencari langsung kepada kitab inti dari masing-masing hadis yang telah didapat, seperti kitab Sahîh Bukhâri, Sahîh Muslim, Musnad Ahmad bin Hanbal, Sunan Abû Daud, , Sunan al-Kubra, dan kitab-kitab lain yang berkaitan dengan hadis tersebut. 3. Mengadakan sharing dengan dosen praktikum bimbingan skripsi mengenai masalah-masalah yang ada dan meminta nasehat mengenai kekurangankekurangan yang perlu ditambahkan dalam pembuatan skripsi ini. 4. Melacak hadis, mengumpulkan dan mengurutkannya secara tematis dari bulanbulan haram yang ada. 5. Kemudian data yang telah dikumpulkan diolah dengan mengambil kesimpulan secara komprehensif (keseluruhan). 6. Metode penulisan yang dijadikan sebagai pedoman dalam penelitian ini adalah buku rujukan yang dijadikan sebagai standar pedoman penulisan karya ilmiah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2006 dan 2007.
10
F. Sistematika Penulisan Secara sistematis penulis membagi penulisan skripsi ini dalam empat bab; Bab I Membahas tentang materi yang terdapat pada latar belakang masalah, kemudian berurutan dibicarakan tentang pembatasan dan perumusan masalah, kajian pustaka, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan yang semuanya tercakup dalam pendahuluan. Bab II Membahas tentang kajian teori yang terdiri dari pandangan Islam mengenai pengertian hijriah, sejarah penamaan hijriah, makna bulan-bulan dalam bulan hijriah, bulan-bulan hijriah yang memiliki keutamaan dan perbedaannya. Penulis memasukkan dalam bab ini dikarenakan penulis merasa perlu adanya penjelasan umum mengenai pengertian hijriah ini sebelum masuk pada penjelasan inti dari permasalahan yang akan dibahas. Bab III membahas mengenai pengertian Asyhur al-Hurum dalam hadis yang meliputi teks hadis, asbâbul wurûd, mirasantika dalam pandangan ulama, kemudian dilanjutkan dengan kualitas sanad hadis tentang Asyhur al-Hurum, kualitas matan hadis tentang Asyhur al-Hurum, dan analisa dari hadis tersebut. Di dalam bab ini penulis memasukkan judul tersebut dikarenakan inti dari semua permasalahan yang akan dibahas semua ada pada bab ini, sehingga penulis menempatkan semua pembahasan tersebut pada bab III ini.
11
Dan pada bab empat merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan yang didasarkan pada keseluruhan uraian dan pembahasan yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, juga memuat saran-saran yang diperlukan.
BAB II TINJAUAN TEORITIS HIJRIAH
A. Pengertian Hijriah Kata hijriah sebagai kata sifat yang berasal dari kata hijrah, yang secara bahasa kata al-Hijrah adalah pindah. Ha-ja-ra-hu, yah-ju-ru-hu, hij-ran, dan hijra-nan yang artinya memutuskannya, mereka berdua yah-ta-ji-ran atau ya-ta-haja-ran yaitu saling meninggalkan. 1 Bentuk isim-nya adalah al-hijrah. Atau berasal dari kata hajara-yuhajiru-hijratun ( هﺠﺮة- ﻳﻬﺠﺮ- )هﺠﺮyang berarti pindah, 2 dan meninggalkan tempat. Peristiwa besar yang menandai hijrah adalah peristiwa di tahun 622 Masehi ketika Rasulullah Saw. mendapat wahyu dari Allah untuk meninggalkan kota suci Mekkah bersama seluruh umat Islam menuju ke kota Yasrib atau yang belakangan diubah oleh Nabi menjadi Madinah (kota peradaban). 3 Peristiwa hijrah yang amat penting bagi perkembangan sejarah umat Islam adalah hijrahnya (pindahnya) Rasulullah Saw., Muhammad bersama para pengikutnya dari Mekkah ke Yasrib (Madinah). Mereka yang berhijrah disebut Muhajirin, sedangkan penduduk yasrib yang menjadi penolong mereka disebut kaum Anshar. 4
1
Atabik ‘Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer (al-‘Asri) ArabIndonesia, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1998), Cet. Ke-9, hal. 1966. Lihat, Ahzami Sami’un Jazuli, Hijrah dalam Pandangan Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), Cet.ke-1, h. 15 2 Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 1590 3 Miracles, “Tahun Baru Hijriyah”, artikel diakses tanggal 01 Januari 2010 dari http://evys-reflection.blogspot.com/2010/01/tahun-baru-hijriyah.html
4
Harun Nasution, dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia. (Jakarta: Djambatan, tth), h.319
11
12
Sedangkan secara istilah hijrah bermakna perpindahan dari negeri kaum
kafir atau kondisi peperangan (dârul kufri wal harbi) ke negeri muslim (dârul Islam). 5 Pengertian tersebut diambil berdasarkan Firman Allah surat an-Nisa’ ayat 97 yang berbunyi: ☺
☺
☺ “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya : "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?". mereka menjawab: "Adalah Kami orangorang yang tertindas di negeri (Mekkah)". Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". orang-orang itu tempatnya neraka jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS: an-Nisa’: 97). 6
Menurut M. Quraish Shihab, hijrah adalah meninggalkan apa-apa yang
menurut Nabi dilarang Allah dan Rasulnya. 7 Atau bisa juga diartikan sebagai keberangkatan Nabi Muhammad Saw. dari Mekkah al-Mukarramah, tempat kelahiran dan kota beliau ke Yasrib yang sejak saat ini dikenal sebagai Madinah al-Munawwarah. 8 Dari beberapa uraian di atas yang mengetengahkan tentang pengertian hijrah menurut beberapa pakar bahasa dan tafsir, baik secara etimologis maupun 5
Ahzami Sami’un Jazuli, Hijrah dalam Pandangan Al-Qur’an, h. 17.
6
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Proyek Pengadaan Kitab Suci AlQur’an, Jakarta, 1984, h.137. 7 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah;Pesan,Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati,2000), Cet. ke-1, Vol.2, h.540. 8 Isma’il Razi al-Faruqi, Hijrah di Abad Modern, terj. Badri Saleh, (Jakarta: Hikmah, 2000), Cet. ke-1, h.1.
13
terminologis walaupun mereka berbeda dalam merumuskan makna hijrah, namun pada dasarnya mempunyai kesamaan pandangan dalam memberikan pengertian hijrah tersebut, yakni perpindahan dari suatu tempat kepada tempat yang lain yang bertujuan untuk mencari ridha Allah Swt.
B. Sejarah Penamaan Hijriah Pada tanggal 6 bulan Agustus 610 M. Rasulullah Muhammad Saw. diangkat oleh Allah menjadi Rasul. 9 Kemudian pada tanggal 28 Juni 623 M. beliau hijrah dari kota Mekkah ke kota Madinah. Tepat pada tanggal 9 Juni 633 Masehi Rasulullah wafat. 10 Setelah Rasulullah wafat kemudian kepala Negara diganti oleh sahabat Abû Bakar Shiddiq r.a. selama 2 tahun dan pada tahun 635 M. setelah Sahabat Abû Bakar wafat. Selanjutnya Kepala Negara diganti oleh Sahabat ‘Umar bin Khattâb selama 10 tahun. Jadi Rasulullah Saw. menjabat sebagai Rasul selama 13 tahun dan kemudian menjadi Rasul dan Kepala Negara di Madinah selama 10 tahun. Sahabat Abû Bakar Shiddiq r.a. menjadi Kepala Negara di Madinah selama 2 tahun (633-635M). Sahabat ‘Umar Bin Khattâb r.a. menjadi kepala Negara di Madinah selama 10 tahun (635-646M). 11 Pada waktu sahabat ‘Umar bin Khattâb menjadi Kepala Negara di Madinah, banyak Negara-negara yang takluk dengan Madinah seperti : Negara Mesir, Negara Irak atau Mesopotamia, Negara Yaman, Negara Bahrain, Negara 9
Mengenai tanggal pengangkatan Nabi menjadi Rasul terdapat perbedaan, ada yang mengatakan tanggal 10 Agustus 610 M. Lihat, Syaikh Shafiyyur Rahman al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyyah, Penterjemah: Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997), hal. 90 10 Mengenai tahun wafat beliau juga terdapat perbedaan pendapat, ada yang mengatakan tahun 622 M. Lihat, M. Hamidullah, Pengantar Studi Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, tth), hal. 25 11 Her Budiarto, “Informasi Adanya Tahun Hijriyah dalam Al-Qur’an,” artikel diakses tanggal 29 Agustus 2010 dari http://herbudiarto.multiply.com/journal/item/559/Informasi_Adanya_Tahun_Hijriyah_Dalam_AlQuran
14
Persi atau Iran. Negara Palestina, Negara Syiria, Negara Turki. Sebelum Negaranegara seperti Syiria, Turki, Mesir dan Palestina masuk wilayah Madinah, Negara-negara tersebut masuk wilayah Negara Romawi yang Kristen. NegaraNegara seperti Kuffah, Baghdad, Basrah di Irak masuk wilayah Negara Persi. Setelah Sahabat ‘Umar bin Khattâb r.a. menjadi kepala Negara Madinah selama 10 tahun (635-646M) beberapa Negara tersebut di atas dikuasai dan pusat pemerintahannya berada di Madinah al-Munawwarah. Selama Sahabat ‘Umar menjadi Kepala Negara, kemudian mengangkat beberapa Gubernur yaitu antara lain : 1. Sahabat Mu’awiyyah diangkat menjadi Gubernur di Syiria, termasuk wilayahnya adalah Yordania. 2. Sahabat ‘Amru bin ‘Ash diangkat menjadi Gubernur Mesir. 3. Sahabat Musa Al ‘As’ari diangkat menjadi Gubernur Kuffah. 4. Sahabat Mu’adz bin Jabal diangkat menjadi Gubernur Yaman. 5. Sahabat Abû Hurairah diangkat menjadi Gubernur Bahrain. Ibu Kota Negara sebagai pusat kendali pemerintahan dibawah seorang Kepala Negara yang disebut Amîrul Mu’minîn adalah di Madinah dibawah pimpinan Sahabat ‘Umar Bin Khattâb. Ketika Sayyidina ‘Umar bin Khattâb menjabat Kepala Negara mencapai tahun ke 5 beliau mendapat surat dari Sahabat Abu Musa Al-As’ari Gubernur Kuffah, adapun isi suratnya adalah sebagai berikut:
آﺘﺐ ﻣﻮﺳﻰ اﻷﺷﻌﺮي اﻟﻰ ﻋﻤﺮﺑﻦ اﻟﺨﻄﺎب اﻧﻪ ﺗﺄﺗﻴﻦ ﻣﻨﻚ آﺘﺐ ﻟﻴﺲ ﻟﻬﺎ ﺗﺎرﻳﺦ
15
“Telah menulis surat Gubernur Musa Al As’ari kepada Kepala Negara Umar bin Khattâb. Sesungguhnya telah sampai kepadaku dari kamu beberapa surat-surat tetapi surat-surat itu tidak ada tanggalnya.” 12 Kemudian Khalifah ‘Umar bin Khattâb mengumpulkan para tokoh-tokoh dan sahabat-sahabat yang ada di Madinah untuk mengadakan musyawarah. Khalifah ‘Umar r.a. lalu mengumpulkan beberapa sahabat senior waktu itu. Mereka adalah ‘Utsman bin ‘Affan r.a., ‘Ali bin Abî Tâlib r.a., ‘Abdurrahmân bin ‘Auf r.a., Sa’ad bin Abî Waqas r.a., Zubair bin Awwâm r.a., dan Talhah bin ‘Ubaidillâh r.a. Di dalam musyawarah itu membicarakan rencana akan membuat Tarikh atau kalender Islam. Di dalam musyawarah muncul bermacam-macam perbedaan pendapat. Di antara pendapat tersebut adalah sebagai berikut: •
Ada yang berpendapat sebaiknya tarikh Islam dimulai dari tahun lahirnya Nabi Muhammad Saw.
•
Ada yang berpendapat sebaiknya kalender Islam dimulai dari Nabi Muhammad Saw. diangkat menjadi Rasulullah.
•
Ada yang berpendapat sebaiknya kalender Islam dimulai dari Rasulullah di Isra’ Mi’raj kan.
•
Ada yang berpendapat sebaiknya kalender Islam dimulai dari wafatnya Nabi Muhammad Saw.
•
Sayyidina Ali ra. Berpendapat, sebaiknya kalender Islam dimulai dari tahun Hijrahnya Nabi Muhammad Saw. dari Mekkah ke Madinah atau pisahnya negeri syirik ke negeri mukmin. Pada waktu itu Mekkah dinamakan Negeri Syirik, bumi syirik.
12
Abû Ja’far Muhammad bin Jarîr al-Tabari, Târikh al-Umam wa al-Mulûk, Beirut: Dar al-Fikr, Cet. 1, Juz III, 1987, h. 3. Lihat. Ais, “Sejarah Singkat Tahun Hijriah,” artikel diakses tanggal 19 Januari 2010 dari http://ais.blogsome.com/2010/01/19/Sejarah-Singkat-Tahun-Hijriah
16
Akhirnya musyawarah yang dipimpin oleh Amirul Mukminin ‘Umar Bin Khattab sepakat dengan usulan ‘Ali bin Abî Tâlib, dan memilih awal yang dijadikan kalender Islam adalah dimulai dari tahun Hijrahnya Nabi Muhammad Saw. dari Mekkah ke Madinah. Sedangkan nama-nama bulan dalam kalender hijriah ini diambil dari nama-nama bulan yang telah ada dan berlaku di masa itu di bangsa Arab. Kemudian kalender Islam tersebut dinamakan Tahun Hijriah. 13 Jadi adanya ditetapkan tahun Hijriah itu dimulai dari Sayyidina ‘Umar bin Khattâb menjabat Kepala Negara setelah 5 tahun. Sebelum itu belum ada tahun Hijriah baikpun zaman Rasulullah hidup maupun zaman sahabat. Dan tahun Hijriah mulai diberlakukan bertepatan dengan tahun 640 M. Setelah tahun Hijriah berjalan 5 tahun kemudian Sahabat ‘Umar Bin Khattâb wafat. Kepentingan
utama
ini,
yang
telah
mengilhami
‘Umar
dengan
terbentuknya persatuan Arab dibawah naungan Islam. Itulah yang mengilhaminya untuk menjadikan hijrah Rasulullah sebagai permulaan kalender Arab. Selama itu yang mereka gunakan adalah tahun gajah dan terkadang peristiwa-peristiwa besar lainnya dalam sejarah peperangan orang-orang Arab. 14 Kalau tahun itu semua mengacu kepada tahun jahiliyah, Islam sudah menghapus segala yang sebelumnya. ‘Umar berpendapat bahwa hijrahnya Nabi ke Yasrib (Madinah) itu merupakan suatu peristiwa besar dalam sejarah ummat Islam masa Rasulullah
13
Abû Ja’far Muhammad bin Jarîr al-Tabari, Târikh al-Umam wa al-Mulûk, h. 4-5. Lihat. Her Budiarto, “Informasi Adanya Tahun Hijriyah dalam Al-Qur’an,” artikel diakses tanggal 29 Agustus 2010 dari http://herbudiarto.multiply.com/journal/item/559/Informasi_Adanya_Tahun_Hijriyah_Dalam_AlQuran 14 Abû Ja’far Muhammad bin Jarîr al-Tabari, Târikh al-Umam wa al-Mulûk, h. 7
17
Saw. Sebab dengan hijrah inilah permulaan pertolongan Allah kepada Rasul-Nya dan agama-Nya diperkuat. 15 Jadi melihat penjelasan sejarah diatas dapat dikatakan bahwasanya penamaan Hijriah tersebut pada mulanya sudah ada sejak zaman Rasul hijrah dari Mekkah ke Madinah, yang disebabkan oleh kejahatan para kafir quraisy mekkah, namun pengesahan terhadap penamaan hijriah, tahun dan bulan hijriah telah dibentuk dimasa kepemimpinan para sahabat, yakni di masa Khalifah ‘Umar bin Khattâb atas inisiatif dari para sahabat yang lainnya. C. Makna Bulan-bulan dalam Bulan Hijriah Pada dasarnya penamaan tentang bulan-bulan hijriah ini sudah ada sebelum Islam datang. Orang-orang Arab memberi nama bulan-bulan mereka dengan melihat keadaan alam dan masyarakat pada masa-masa tertentu sepanjang tahun. Sebagaimana yang akan dijelaskan mengenai makna bulan dari Muharram sampai Dzulhijjah dibawah ini: 1. Muharram artinya yang diharamkan atau yang menjadi pantangan. 16 Penamaan Muharram, sebab pada bulan itu dilarang menumpahkan darah atau berperang. Larangan tesebut berlaku sampai masa awal Islam. 2. Saffar yang berarti kosong. 17
15
Muhammad Husein Haekal, ‘Umar bin Khattâb, PT. Pustaka Litera Antarnusa, Jakarta, Cet. III, hal. 643. tth 16 Luwis Ma’luf, Munjid, Beirut: Dar al-Masyrik, Cet. 17, 1986, hal. 130. Lihat, Atabik ‘Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer (al-‘Asri) Arab-Indonesia, hal. 1645. 17 Luwis Ma’luf, Munjid, hal. 427.
18
Penamaan Saffar, karena pada bulan itu semua orang laki-laki Arab dahulu pergi meninggalkan rumah untuk merantau, berniaga dan berperang, sehingga pemukiman mereka kosong dari orang laki-laki. 3. Rabi’ul Awwal yakni rabi’ artinya menetap 18 dan awwal artinya pertama. 19 Maksudnya masa kembalinya kaum laki-laki yang telah meninggalkan rumah atau merantau. Jadi awal menetapnya kaum laki-laki di rumah. Pada bulan ini banyak peristiwa bersejarah bagi umat Islam, antara lain: Nabi Muhammad Saw. lahir, diangkat menjadi Rasul, melakukan hijrah, dan wafat pada bulan ini juga. 4. Rabi’ul Akhir yang berarti masa menetapnya kaum laki-laki untuk terakhir atau penghabisan. 5. Jumâdil Awwal yakni jumâdi yang artinya kering 20 dan awwal artinya pertama. 21 Penamaan Jumâdil Awwal, karena bulan ini merupakan awal musim kemarau, di mana mulai terjadi kekeringan. 6. Jumâdil Akhir yang artinya musim kemarau yang penghabisan. 22 Dinamakan demikian dikarenakan bulan ini merupakan akhir dari penghabisan musim kemarau. 7. Rajab yang berarti mulia. 23 18
Luwis Ma’luf, Munjid, hal. 246.
19 20
Luwis Ma’luf, Munjid, hal. 21. Luwis Ma’luf, Munjid, hal. 100.
21
Luwis Ma’luf, Munjid, hal. 21.
22
Luwis Ma’luf, Munjid, hal. 100.
23
Luwis Ma’luf, Munjid, hal. 249.
19
Rajab terdiri dari tiga huruf akronim yaitu : Ra dari kalimah rahmatullah (rahmat Allah), Jim dari kalimah jinayatul 'abd (kesalahan hamba Allah), dan Ba dari kalimah birrullah (kebajikan Allah). Bulan Rajab disebut juga dengan nama Al-Summun artinya tuli. Tuli disini bermakna tidak dapat mendengar bunyi senjata karena peperangan diharamkan sepanjang bulan Rajab. Rajab juga berarti yang berarti mulia. Penamaan Rajab, karena bangsa Arab tempo dulu sangat memuliakan bulan ini, antara lain dengan melarang berperang. Bulan ini juga dinisbatkan kepada suku Mudhar, karena suku ini sangat komitmen dalam mengagungkan bulan Rajab, berbeda dengan sukusuku lainnya. 24 8. Sya’ban yang artinya berkelompok. 25 Penamaan Sya’ban karena orang-orang Arab pada bulan ini lazimnya berkelompok mencari nafkah. Peristiwa penting bagi umat Islam yang terjadi pada bulan ini adalah perpindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah (Baitullah). 9. Ramadân yang berarti sangat panas. 26 Bulan Ramadhan merupakan satu-satunya bulan yang tersebut dalam AlQuran, Satu bulan yang memiliki keutamaan, kesucian, dan aneka keistimewaan. Hal itu dikarenakan peristiwa-peristiwa penting seperti: Allah 24
Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al- Asqalânî, Fathul Bâri, (Beirut: Dar al-Kutub ‘Alamiyah, tth), juz II, h. 751. Lihat Fathul Bâri (Penjelasan Kitab Sahih al-Bukhâri), Penterjemah: Amiruddin, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007, Cet.II, Buku ke-22, hal. 617. 25 Luwis Ma’luf, Munjid, hal. 390. 26 Luwis Ma’luf, Munjid, hal. 280.
20
menurunkan ayat-ayat Al-Quran pertama kali, ada malam Lailatul Qadar, yakni malam yang sangat tinggi nilainya, karena para malaikat turun untuk memberkati orang-orang beriman yang sedang beribadah, bulan ini ditetapkan sebagai waktu ibadah puasa wajib, pada bulan ini kaurn muslimin dapat rnenaklukan kaum musyrik dalarn perang Badar Kubra dan pada bulan ini juga Nabi Muhammad Saw. berhasil mengambil alih kota Mekkah dan mengakhiri penyembahan berhala yang dilakukan oleh kaum musyrik. 10. Syawwâl yang artinya kebahagiaan. 27 Maksudnya kembalinya manusia ke dalam fitrah (kesucian) karena usai menunaikan ibadah puasa dan membayar zakat serta saling bermaaf-maafan. Itulah yang mernbahagiakan. 11. Dzulqa’dah yakni dzul artinya pemilik 28 dan qa’dah artinya duduk. 29 Penamaan Dzulqaidah, karena bulan itu merupakan waktu istirahat bagi kaum laki-laki Arab dahulu. Mereka menikmatinya dengan duduk-duduk di rumah. 12. Dzulhijjah yang berarti yang menunaikan haji. 30 Penamaan Dzulhijjah, dikarenakan pada bulan ini umat Islam sejak Nabi Adam as. menunaikan ibadah haji. 31
27
Luwis Ma’luf, Munjid, hal. 409.
28
Luwis Ma’luf, Munjid, hal. 237. Lihat, Atabik ‘Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer (al-‘Asri) Arab-Indonesia, hal. 936. 29 Luwis Ma’luf, Munjid, hal. 643. 30 Luwis Ma’luf, Munjid, hal. 118. 31 Chibikuro, “Arti Nama Bulan,” artikel diakses tanggal 02 Juli 2009 dari http://azharsmp13.wordpress.com
21
D. Bulan-bulan Hijriah yang Memiliki Keutamaan Pada dasarnya semua bulan memiliki keutamaan, yang mana satu daripada bulan yang lainnya memiliki keunggulan masing-masing. Seperti keutamaan pada bulan ramadhan. Bulan ini adalah bulan yang suci yang mana bulan ini mempunyai banyak keutamaan dan keberkahan di dalamnya. Terutama dalam melaksanakan ibadah-ibadah. Di dalam bulan tersebut kita dianjurkan untuk berpuasa dan melaksanakan banyak amalan-amalan sunnah lainnya, dan akan mendapat ganjaran yang berlimpah. Kemudian keutamaan bulan lainnya terdapat pada keempat bulan, yang mana Allah dan Rasul-Nya telah menyebutnya sebagai bulan Haram (asyhur al-hurum). Dimana bulan-bulan ini mempunyai beberapa keutamaan yang besar. Yang mana bulan-bulan haram ini terdiri atas bulan muharram, rajab, dzulqa’dah dan dzulhijjah. Bulan haram merupakan bulan yang mulia dan yang di agungkan oleh Allah Swt., yang mana telah dijelaskan dalam firman Allah: ⌧ …….. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan Haram…” (QS. Al Maidah:2) 32 Kemudian di dalam hadis Nabi Saw. bersabda :
ﻦ ِ ْﻋﻦْ اﺑ َ ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ َ ﻋﻦْ ُﻣ َ ب َ ﻋﻦْ َأﻳﱡﻮ َ ﻦ َزﻳْ ٍﺪ ُ ْﺣﻤﱠﺎ ُد ﺑ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ ب ِ ﻋﺒْ ِﺪ ا ْﻟ َﻮهﱠﺎ َ ﻦ ُ ْﻋﺒْ ُﺪ اﻟﻠﱠﻪِ ﺑ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ ن َﻗﺪْ اﺳْ َﺘﺪَا َر َ ن اﻟ ﱠﺰﻣَﺎ ل ِإ ﱠ َ ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ﻲ ﻋﻦْ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ َ ﻋﻦْ َأﺑِﻲ َﺑﻜْ َﺮ َة َ َأﺑِﻲ َﺑﻜْ َﺮ َة ٌﺣ ُﺮم ُ ﺸ َﺮ ﺷَﻬْﺮًا ﻣِﻨْﻬَﺎ َأرْ َﺑ َﻌ ٌﺔ َﻋ َ ض اﻟﺴﱠ َﻨ ُﺔ اﺛْﻨَﺎ َ ْت وَاﻟَْﺄر ِ ﺴ َﻤﻮَا ﻖ اﻟﻠﱠ ُﻪ اﻟ ﱠ َ ﺧَﻠ َ َآ َﻬﻴْ َﺌ ِﺘ ِﻪ َﻳﻮْ َم
32
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 156
22
“Sesungguhnya zaman telah berputar seperti keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi, dalam setahun itu terdapat dua belas bulan. Empat diantaranya adalah bulan haram (disucikan). Tiga dari empat bulan itu, (jatuh secara) berurutan yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram. Sedangkan Rajab (yang disebut juga sebagai) syahru Mudhar, terletak diantara Jumâda (al-Tsaniyah) dan Sya’ban.” (HR. al-Bukhârî). Dan diantara keutamaan yang ada pada bulan-bulan haram ini adalah: 1. Bulan Dzulqa’dah Dia merupakan salah satu bulan Haji (asyhur al-hajji) yang dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya: ……. ⌦ “(Musim) Haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi…” (QS.Al Baqarah:197) 34 Asyhurun ma’lûmât (bulan-bulan yang dikenal) merupakan bulan yang tidak sah ihram haji kecuali pada bulan-bulan ini (asyhurun ma’lûmât) menurut pendapat yang sahih. 35 Dan yang dimaksud dengan bulan-bulan Haji (asyhur alhajji) adalah bulan Syawwâl, Dzulqa’dah dan sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Diantara keistimewaan bulan ini, bahwa empat kali ‘Umrah Rasulullah Saw. terjadi pada bulan ini, hal ini tidak termasuk ‘Umrah beliau yang dibarengi dengan Haji, walaupun ketika itu beliau Saw. berihram pada bulan Dzulqa’dah
33
Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhari, al-Jami’ al-Sâhih (Sâhih Bukhâri), (Beirut: Dar al-Fikr, 1994) Juz II, No. 3197, h. 987 34 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 48. 35 Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani, 1999, Jilid 1, h. 322.
23
dan mengerjakan ‘Umrah tersebut di bulan Dzulhijjah bersamaan dengan hajinya. 36 Karena itu terdapat riwayat dari beberapa ulama Salaf bahwa disukai melakukan ‘Umrah pada bulan Dzulqa’dah. 37 Akan tetapi ini tidak menunjukkan bahwa ‘Umrah di bulan Dzulqa’dah lebih utama daripada ‘Umrah di bulan Ramadhan. Keistimewaan lain yang dimiliki bulan ini, bahwa masa tiga puluh malam yang Allah janjikan kepada Musa untuk berbicara pada-Nya jatuh pada malam-malam
bulan
Dzulqa’dah.
Sedangkan
al-‘asyr
(sepuluh
malam)
tambahannya jatuh pada periode sepuluh malam dari bulan Dzulhijjah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: …….. ☺ ☺ “Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi)…”(QS. Al A’raaf:142) 38 2. Bulan Dzulhijjah Diantara beberapa keutamaan dan keberkahan bulan ini, bahwa seluruh manasik haji dilakukan pada bulan ini. Kesemuanya itu merupakan syi’ar-syi’ar yang besar dari berbagai syi’ar Islam. Terdapat di dalamnya sepuluh hari pertama yang penuh dengan keberkahan dan keutamaan, lalu tiga hari berikutnya merupakan hari-hari tasyriq yang agung. 39 36
Ibnu Rajab al-Hanbali, Latâ’if al-Ma’arif, Beirut: Darul Kutub ‘Alamiyah, Cet. ke1, 1989, h. 301. 37 Ibnu Rajab al-Hanbali, Latâ’if al-Ma’arif , h. 301. 38 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 243. 39 Ibnu Rajab al-Hanbali, Latâ’if al-Ma’arif , h. 302.
24
3. Bulan Muharram Di antara keutamaan dan keberkahan bulan ini, sebagaimana yang tercantum dalam Sahîh Muslim dari Abû Hurairah ra, ia berkata, “Rasulullah Saw. bersabda:”
ﻦ ِ ﻋﺒْ ِﺪ اﻟ ﱠﺮﺣْ َﻤ َ ﻦ ِ ْﺣ َﻤﻴْ ِﺪ ﺑ ُ ْﻋﻦ َ ﻋﻦْ َأﺑِﻲ ِﺑﺸْ ٍﺮ َ ﻋﻮَا َﻧ َﺔ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َأﺑُﻮ َ ﺳﻌِﻴ ٍﺪ َ ﻦ ُ ْﺣ ﱠﺪ َﺛﻨِﻲ ُﻗ َﺘﻴْ َﺒ ُﺔ ﺑ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ِل اﻟﻠﱠﻪ ُ ل َرﺳُﻮ َ ل ﻗَﺎ َ ﻋﻨْ ُﻪ ﻗَﺎ َ ﻲ اﻟﻠﱠ ُﻪ َﺿ ِ ﻋﻦْ َأﺑِﻲ ُه َﺮﻳْ َﺮ َة َر َ ي ﺤﻤْ َﻴ ِﺮ ﱢ ِ ْاﻟ ﻀ ِﺔ ﺻَﻠَﺎ ُة َ ﺼﻠَﺎةِ َﺑﻌْ َﺪ اﻟْ َﻔﺮِﻳ ﻞ اﻟ ﱠ ُﻀ َ ْﺤﺮﱠ ُم َوَأﻓ َ ﺷﻬْ ُﺮ اﻟﻠﱠﻪِ ا ْﻟ ُﻤ َ ن َ ﺼﻴَﺎ ِم َﺑﻌْ َﺪ َر َﻣﻀَﺎ ﻞ اﻟ ﱢ ُﻀ َ َْأﻓ 40 .ِاﻟﻠﱠﻴْﻞ “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah (puasa yang jatuh pada) bulan Allah, (yaitu) Muharram, dan salat yang paling utama setelah salat fardu adalah salat malam (qiyâmul laîl)” (HR. Muslim) Ibnu Rajab rahimahullâh mengatakan, “Nabi Saw. menamakan Muharram dengan bulan Allah (syahru Allâh). Penisbatan nama bulan ini dengan lafaz ‘Allah’ menunjukkan kemuliaan dan keutamaan bulan ini, karena sesungguhnya Allah tidak menyandarkan (menisbatkan) lafaz tersebut kepada-Nya kecuali karena keistimewaan dan kekhususan yang dimiliki oleh makhluk-Nya tersebut dan seterusnya. 41 Sebagian ulama memberikan alasan yang mengaitkan tentang keutamaan puasa pada bulan ini. Maksudnya, bahwa sebaik-baik bulan untuk melakukan puasa sunat secara penuh setelah bulan Ramadhan, adalah Muharram. Karena berpuasa sunnat pada sebagian hari, seperti hari ‘Arafah, sepuluh hari bulan
40
Abû Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, al-Jami’ al-Sahîh (Sahîh Muslim). Darul Kutub ‘Alamiyah, (Beirut). Juz I, h.474 41 Ibnu Rajab al-Hanbali, Latâ’if al-Ma’arif, h. 41.
25
Zulhijjah atau enam hari di bulan Syawâl lebih utama (afdal) daripada berpuasa pada sebagian hari-hari bulan Muharram. 42
Diantara keberkahan bulan Muharram berikutnya, jatuh pada hari
kesepuluh, yaitu hari ‘Asyûrâ’. Hari ‘Asyûrâ’ ini merupakan hari yang mulia dan penuh berkah. Hari ‘Asyûrâ’ ini memiliki kesucian dan kemuliaan sejak dahulu. Dimana pada hari ‘Asyûrâ’ ini Allah ta’ala menyelamatkan seorang hamba sekaligus Nabi-Nya, Musa ‘Alaihis Salâm dan kaumnya serta menenggelamkan musuhnya, Fir’aun dan bala tentaranya. Sesungguhnya Nabi Musa ‘Alaihis Salâm berpuasa pada hari ini sebagai bentuk syukurnya kepada Allah. Sedangkan orangorang Quraisy di zaman Jahiliyah juga berpuasa pada hari ini, begitu juga Yahudi. Mereka dulu berpuasa pada hari ‘Asyûrâ’. Berdasarkan pendapat kebanyakan ulama, puasa ini pada mulanya wajib bagi kaum muslimin sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan, kemudian (berubah) menjadi sunnah. Sebagaimana yang tedapat dalam Sahîh Bukhâri dari ‘Aisyah ra, ia berkata:
ﺸ َﺔ َ ﻋﻦْ ﻋَﺎ ِﺋ َ ل َأﺧْ َﺒ َﺮﻧِﻲ َأﺑِﻲ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ هِﺸَﺎمٌ ﻗَﺎ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ﻳَﺤْﻴَﻰ َ ﻦ اﻟْ ُﻤ َﺜﻨﱠﻰ ُ ْﺤﻤﱠ ُﺪ ﺑ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨِﻲ ُﻣ َ ﻲ ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ َ ن َﻳﻮْ ُم ﻋَﺎﺷُﻮرَا َء َﺗﺼُﻮ ُﻣ ُﻪ ُﻗﺮَﻳْﺶٌ ﻓِﻲ اﻟْﺠَﺎ ِهِﻠ ﱠﻴ ِﺔ َوآَﺎ َ ﻲ اﻟﻠﱠ ُﻪ ﻋَﻨْﻬَﺎ ﻗَﺎﻟَﺖْ آَﺎ َﺿ ِ َر ل َ ﺼﻴَﺎ ِﻣ ِﻪ ﻓَﻠَﻤﱠﺎ َﻧ َﺰ ِ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻳﺼُﻮ ُﻣ ُﻪ ﻓَﻠَﻤﱠﺎ َﻗ ِﺪ َم اﻟْ َﻤﺪِﻳ َﻨ َﺔ ﺻَﺎ َﻣ ُﻪ َوَأ َﻣ َﺮ ِﺑ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ْن َﻣﻦْ ﺷَﺎ َء ﺻَﺎ َﻣ ُﻪ َو َﻣﻦْ ﺷَﺎ َء َﻟﻢ َ ك ﻋَﺎﺷُﻮرَا ُء َﻓﻜَﺎ َ ﻀ َﺔ َو ُﺗ ِﺮ َ ن اﻟْ َﻔﺮِﻳ ُ ن َر َﻣﻀَﺎ َ ن آَﺎ ُ َر َﻣﻀَﺎ 43 .ﺼﻤْ ُﻪ ُ َﻳ “Dahulu orang-orang Quraisy berpuasa ‘Asyura pada zaman Jahilliyah. Dan Rasulullah Salallâhu ‘Alahi Wassalam sendiri juga berpuasa ‘Asyura. Ketika beliau hijrah ke Madinah, beliau terus melaksanakan puasa ‘Asyûrâ’, dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa. Lalu ketika diwajibkan berpuasa pada bulan Ramadhan, beliau bersabda:’Barangsiapa yang mau berpuasa ‘Asyûrâ’, berpuasalah dan barangsiapa yang ingin meninggalkannya, tinggalkanlah.” (HR. al-Bukhârî) 42
Ibnu Rajab al-Hanbali, Latâ’if al-Ma’arif, h. 38.
43
al- Bukhârî, al-Jami’ al-Sahîh (Sahîh Bukhârî), Juz II, hal: 284
26
Dan juga tertera dalam Sahîh Bukhârî dari Ibnu ‘Abbâs ra, bahwa Rasulullah Saw. datang ke Madinah dan beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyûrâ’. Maka Rasulullah Saw. bertanya pada mereka, “Hari apakah ini, yang kalian berpuasa di dalamnya?” Mereka menjawab: “Ini adalah hari yang agung, pada hari inilah Allah menyelamatkan Musa ‘as. dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun dan bala tentaranya. Maka Musa berpuasa pada hari ‘Asyûrâ’ ini sebagai tanda syukurnya.” Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: “Maka, kami lebih berhak terhadap Musa ‘As. dan lebih diutamakan daripada kamu sekalian.” Lalu Rasulullah Saw. berpuasa ‘Asyûrâ’ dan memerintahkan kaum muslimin agar berpuasa. 44 Berpuasa pada hari ini memiliki keutamaan yang besar, dimana puasa ini dapat meleburkan dosa-dosa setahun yang lalu, sebagaimana tertera dalam Sahîh Muslim, dari Abû Qatadah al-Ansari ra. Sesungguhnya Rasulullah Saw. ditanya tentang puasa pada hari ‘Asyûrâ’, maka beliau bersabda, “Dia akan menggugurkan (dosa-dosa) setahun yang lalu.” 45 Sebagian ulama berpendapat sunnah berpuasa pada hari kesembilan bersamaan dengan hari kesepuluh karena Nabi Saw. berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat akan berpuasa pada hari kesembilan. Imam Nawawi rahimahullâh
44
al-Bukhari, al-Jami’ al-Sahîh (Sahîh Bukhârî), hal: 284
45
Abû Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, al-Jami’ al-Sahîh (Sahîh Muslim), Juz IV, hal: 305
27
menyatakan, “Barangkali sebab dari puasa dua hari ini agar tidak tasyabbuh (serupa) dengan Yahudi yang berpuasa hanya di hari kesepuluh.” 46 4. Bulan Rajab Adapun tentang keutamaan bulan Rajab, kebanyakan ulama mengatakan bahwa dasarnya sangat lemah, bahkan boleh dikatakan tidak ada keterangan yang kuat yang mendasarinya dari sabda Rasulullah Saw. Bahkan sebahagian kaum muslimin berpendapat bahwa bulan Rajab memiliki berbagai keutamaan, sehingga umat Islam dianjurkan untuk melakukan ibadah-ibadah tertentu agar mereka dapat meraih fadilah atau keutamaan tersebut. Di antara contoh-contoh amalan-amalan yang sering dipercaya umat Islam untuk dilakukan pada bulan Rajab adalah: 1. Mengadakan salat khusus pada malam pertama bulan Rajab. 2. Mengadakan salat khusus pada malam Jum’at minggu pertama bulan. 3. Salat khusus pada malam Nisfu Rajab (pertengahan atau tanggal 15 Rajab). 4. Shalat khusus pada malam 27 Rajab (malam Isra’ dan Mi’raj). 5. Puasa khusus pada tanggal 1 Rajab. 6. Puasa khusus hari Kamis minggu pertama bulan Rajab. 7. Puasa khusus pada hari Nisfu Rajab. 8. Puasa khusus pada tanggal 27 Rajab. 9. Puasa pada awal, pertengahan dan akhir bulan Rajab. 10. Berpuasa khusus sekurang-kurangnya sehari pada bulan Rajab. 11. Mengeluarkan zakat khusus pada bulan Rajab. 46
Abû Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, al-Jami’ al- Sahîh (Sahîh Muslim), Juz IV, hal: 267
28
12. Umrah khusus di bulan Rajab. 13. Memperbanyakkan Istighfar khusus pada bulan Rajab. Akan tetapi, semua pendapat tersebut tidak dapat dipegang, karena kalau kita jujur terhadap sumber-sumber asli agama ini, nyaris tidak satu pun amalanamalan di atas yang berdasarkan kepada hadis-hadis yang sahih. 47 Kemudian diriwayatkan bahwa apabila Rasulullah Saw. memasuki bulan Rajab beliau berdo’a:
ي ﻋﻦْ ِزﻳَﺎ ٍد اﻟ ﱡﻨ َﻤﻴْ ِﺮ ﱢ َ ﻦ َأﺑِﻲ اﻟ ﱡﺮﻗَﺎ ِد ِ ْﻋﻦْ زَا ِﺋ َﺪ َة ﺑ َ ﻋ َﻤ َﺮ ُ ﻦ ُ ْﻋ َﺒﻴْ ُﺪ اﻟﻠﱠﻪِ ﺑ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ ِﻋﺒْﺪ اﻟﻠﱠﻪ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ ل اﻟﻠﱠ ُﻬﻢﱠ َ ﺐ ﻗَﺎ ٌ ﺟ َ ﻞ َر َﺧ َ ﺳﱠﻠ َﻢ ِإذَا َد َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ﻲ ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ َ ل آَﺎ َ ﻚ ﻗَﺎ ٍ ﻦ ﻣَﺎِﻟ ِ ْﺲ ﺑ ِ ﻋﻦْ َأ َﻧ َ 48 ن َ ن َوﺑَﺎ ِركْ ﻟَﻨَﺎ ﻓِﻲ َر َﻣﻀَﺎ َ ﺷﻌْﺒَﺎ َ ﺐ َو ٍ ﺟ َ ﺑَﺎ ِركْ ﻟَﻨَﺎ ﻓِﻲ َر “Apabila masuk bulan rajab dahulu Nabi Saw. berdo’a: Ya, Allah berkahilah kami di bulan Rajab (ini) dan (juga) Sya’ban, dan sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan.” (HR. Imam Ahmad, dari Anas bin Malik). Adapun ‘Umrah di bulan Rajab telah disebutkan oleh Ibnu Rajab bahwa “umrah dibulan Rajab itu adalah hukumnya sunnah menurut pendapat mayoritas generasi Salaf. Diantaranya ‘umar bin Khattâb ra. dan ‘Aisyah ra. 49
Dari berbagai penjelasan dan keterangan di atas, dapat dipahami bahwa
bulan rajab adalah bulan yang memiliki keistimewaan sendiri. Didalamnya juga banyak terdapat anjuran-anjuran untuk beribadah di bulan rajab.
47
Subki Albughury, “Hikmah Bulan Rajab” artikel diakses tanggal 18 Juni 2010 dari http://www.subkialbughury.com 48 Abû ‘Abdullah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz V, (Bairut : alMaktabah Islami, 1978), h. 260 49 Ibnu Rajab al-Hanbali, Latâ’iful Ma’arif, h. 142.
BAB III ASYHUR AL-HURUM DALAM HADIS
A. Pengertian Asyhur al-Hurum Kata Asyhur al-Hurum pada dasarnya terdiri dari dua kata, yakni Asyhur yang berarti bulan-bulan, berasal dari kata Syahrun, 1 dan al-Hurum yang berarti haram (yang dilarang), berasal dari kata harama. 2 Secara bahasa atau maknawiah bulan haram adalah bulan yang disucikan dimana orang dilarang berperang, kecuali kalau diserang, juga dilarang membunuh binatang darat buruan untuk menjamin kelangsungan hidup. Bulan haram adalah bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Bulan-bulan ini di istimewakan oleh Allah Ta’ala dengan kesuciannya dan Dia menjadikan bulan-bulan ini sebagai bulan-bulan pilihan di antara bulan yang ada. Allah Ta’ala berfirman:
☺ ……. “Sesungguhnya bilangan bulan disisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram…”(QS. At Taubah:36) 3
1
Atabik ‘Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer (al-‘Asri) ArabIndonesia, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1998), Cet. Ke-9, h. 1150. 2 Atabik ‘Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer (al-‘Asri) ArabIndonesia, h. 758. 3 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Proyek Pengadaan Kitab Suci AlQur’an, Jakarta, 1984, h. 284.
29
30
Adapun dalil yang terdapat dalam al Qur’an tentang bulan-bulan Haram ini adalah firman Allah Ta’ala:
…….. ⌧ “Mereka bertanya tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:’ Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar…’” (QS. Al Baqarah:217). 4 Juga firman Allah: ⌧ ……. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan Haram…” (QS. Al Maidah:2) 5 Al-Hafiz Ibnu Katsir menyatakan,”Yang dimaksudkan oleh ayat ini adalah pemuliaan dan pensucian bulan tersebut dan pengakuan terhadap kemuliaannya serta meninggalkan semua yang dilarang oleh Allah, seperti memulai peperangan dan penegasan terhadap perintah menjauhi hal yang diharamkan…” 6 Allah Ta’ala berfirman: ☺ ……. “Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram…”(QS. Al Ma’idah: 97) 7 Al-Baghawi rahimahullâh menuturkan, “Maksudnya bahwa Allah menjadikan bulan-bulan Haram ini sebagai penunaikan kewajiban kepada 4
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 52.
5
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 156.
6
Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2, Jakarta: Gema Insani, 1999, h.12. 7 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.178.
31
manusia untuk menstabilkan keadaan pada bulan-bulan ini dari peperangan.” 8 Di dalam Sahih al-Bukhâri terdapat hadis dari Abû Bakrah rahimahullâh dari Nabi Saw. bahwa beliau bersabda:
ﻦ ِ ْﻋﻦْ اﺑ َ ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ َ ﻋﻦْ ُﻣ َ ب َ ﻋﻦْ َأﻳﱡﻮ َ ﻦ َزﻳْ ٍﺪ ُ ْﺣﻤﱠﺎ ُد ﺑ َ ﺣ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ َ ب ِ ﻋﺒْ ِﺪ ا ْﻟ َﻮهﱠﺎ َ ﻦ ُ ْﻋﺒْ ُﺪ اﻟﻠﱠﻪِ ﺑ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ ن َﻗﺪْ اﺳْ َﺘﺪَا َر َ ن اﻟ ﱠﺰﻣَﺎ ل ِإ ﱠ َ ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ﻲ ﻋﻦْ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ َ ﻋﻦْ َأﺑِﻲ َﺑﻜْ َﺮ َة َ َأﺑِﻲ َﺑﻜْ َﺮ َة ٌﺣ ُﺮم ُ ﺸ َﺮ ﺷَﻬْﺮًا ﻣِﻨْﻬَﺎ َأرْ َﺑ َﻌ ٌﺔ َﻋ َ ﺴ َﻨ ُﺔ اﺛْﻨَﺎ ض اﻟ ﱠ َ ْت وَاﻟَْﺄر ِ ﺴ َﻤﻮَا ﻖ اﻟﻠﱠ ُﻪ اﻟ ﱠ َ ﺧَﻠ َ َآ َﻬﻴْ َﺌ ِﺘ ِﻪ َﻳﻮْ َم ﺟﻤَﺎدَى ُ ﻦ َ ْﻀ َﺮ اﱠﻟﺬِي َﺑﻴ َ ﺐ ُﻣ ُ ﺟ َ ﺤﺮﱠ ُم َو َر َ ﺠ ِﺔ وَا ْﻟ ُﻤ ﺤﱠ ِ ْﺛَﻠَﺎثٌ ُﻣﺘَﻮَاﻟِﻴَﺎتٌ ذُو اﻟْ َﻘﻌْ َﺪ ِة وَذُو اﻟ 9 .ن َ ﺷﻌْﺒَﺎ َ َو “Sesungguhnya zaman telah berputar seperti keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi, dalam setahun itu terdapat dua belas bulan. Empat diantaranya adalah bulan haram (disucikan). Tiga dari empat bulan itu, (jatuh secara) berurutan yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijah, Muharram. Sedangkan Rajab (yang disebut juga sebagai) syahru Mudhar, terletak diantara Jumada (al-Tsaniyah) dan Sya’ban.” (HR. al-Bukhârî). Sekelompok orang dari generasi salaf berpandangan bahwa hukum diharamkannya peperangan pada bulan-bulan haram ini, adalah tetap dan berlangsung terus-menerus hingga saat ini, karena dalil-dalil terdahulu. Sedangkan yang lainnya berpendapat bahwa sesungguhnya larangan memerangi kaum musyrikin pada bulan-bulan haram ini telah terhapus (mansukh) dengan firman Allah Ta’ala :
☺ ☺ ☺
⌧ ⌧
☺
... 8
Imâm Abû Muhammad Husein bin Mas’ud al-Farra’ al-Baghawi al-Syafi’i, Tafsir alBaghawi, Juz 2, (Beirut : Darul Kutub ‘Alamiyah), h. 56. 9 Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhari, al-Jami’ al-Sahîh (Sahîh Bukhârî), (Beirut: Dar al-Fikr, 1994) Juz II, h. 987
32
“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah menganiaya diri sendiri dalam bulan yang empat itu, dan perangilah musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi semuanya…” (QS. At Taubah:36). 10 Asbabul Wurud
ﻦ ِ ْﻋﻦْ اﺑ َ ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ َ ﻋﻦْ ُﻣ َ ب َ ﻋﻦْ َأﻳﱡﻮ َ ﻦ َزﻳْ ٍﺪ ُ ْﺣﻤﱠﺎ ُد ﺑ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ ب ِ ﻋﺒْ ِﺪ ا ْﻟ َﻮهﱠﺎ َ ﻦ ُ ْﻋﺒْ ُﺪ اﻟﻠﱠﻪِ ﺑ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ ن َﻗﺪْ اﺳْ َﺘﺪَا َر َ ن اﻟ ﱠﺰﻣَﺎ ل ِإ ﱠ َ ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ﻲ ﻋﻦْ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ َ ﻋﻦْ َأﺑِﻲ َﺑﻜْ َﺮ َة َ َأﺑِﻲ َﺑﻜْ َﺮ َة ٌﺣ ُﺮم ُ ﺸ َﺮ ﺷَﻬْﺮًا ﻣِﻨْﻬَﺎ َأرْ َﺑ َﻌ ٌﺔ َﻋ َ ض اﻟﺴﱠ َﻨ ُﺔ اﺛْﻨَﺎ َ ْت وَاﻟَْﺄر ِ ﺴ َﻤﻮَا ﻖ اﻟﻠﱠ ُﻪ اﻟ ﱠ َ ﺧَﻠ َ َآ َﻬﻴْ َﺌ ِﺘ ِﻪ َﻳﻮْ َم ﺟﻤَﺎدَى ُ ﻦ َ ْﻀ َﺮ اﱠﻟﺬِي َﺑﻴ َ ﺐ ُﻣ ُ ﺟ َ ﺤﺮﱠ ُم َو َر َ ﺠ ِﺔ وَا ْﻟ ُﻤ ﺤﱠ ِ ْﺛَﻠَﺎثٌ ُﻣﺘَﻮَاﻟِﻴَﺎتٌ ذُو اﻟْ َﻘﻌْ َﺪ ِة وَذُو اﻟ 11 .ن َ ﺷﻌْﺒَﺎ َ َو “Sesungguhnya zaman telah berputar seperti keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi, dalam setahun itu terdapat dua belas bulan. Empat diantaranya adalah bulan haram (disucikan). Tiga dari empat bulan itu, (jatuh secara) berurutan yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram. Sedangkan Rajab (yang disebut juga sebagai) syahru Mudhar, terletak diantara Jumâda (at-Tsaniyah) dan Sya’ban.” (HR. al-Bukhârî). Asbabul wurud dari hadis mengenai bulan haram ini adalah dikarenakan bahwasanya perbuatan mereka pada masa jahiliyah tidak konsisten, selalu memutar balikkan bulan haram ini. Ada yang berpendapat bahwa mereka mengganti Muharram dengan Safar, dan sebaliknya, agar tidak datang kepada mereka tiga bulan berturut-turut yang tidak diperbolehkan untuk berperang. Oleh karena itu dikatakan, “berturut-turut”. Sementara mereka pada masa jahiliyah memilki pandangan yang beragam. di antara mereka ada yang menamai Muharram sebagai Safar, sehingga halal berperang, dan haram berperang pada bulan Safar karena mereka menamainya dengan bulan Muharram. Di antara mereka ada yang mengadakan pergantian nama bulan dalam satu tahun, dan satu 10
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 284.
11
al-Bukhari, al-Jami’ al-Sahîh (Sahîh Bukhârî), Juz II, No. 3197, h. 987
33
tahun lagi tetap seperti biasanya. Ada juga yang mengadakan pergantian nama bulan dalam dua tahun dan satu tahun lagi tetap seperti biasa. Diantara mereka ada yang mengakhirkan bulan Safar kepada Rabi’ul Awwal dan bulan Rabi’ul Awwal kepada bulan sesudahnya dan seterusnya hingga Syawwal menempati posisi Dzulqa’dah dan Dzulqa’dah menempati Dzulhijjah. 12 Pengharaman keempat bulan haram ini secara mutlak berasal dari Sunnah. Maka makna hadis tersebut bahwa bulan-bulan telah kembali kepada keadaannya dan semua pengakhiran seperti di atas dinyatakan batil. Al-Khattabi berkata, “Mereka biasa menghalalkan dan mengharamkan, memajukan dan mengakhirkan bulan-bulan dalam setahun, karena sebab-sebab tertentu , diantaranya adalah keinginan melakukan peperangan secepatnya. Oleh karena itu, mereka menghalalkan bulan Haram dan mengharamkan bulan lain sebagai penggantinya, akibatnya terjadi pertukaran dan perpindahan bulan-bulan dalam setahun. Apabila berlalu beberapa tahun, maka zaman berputar dan kembali kepada keadaaan semula. 13 Sebagian ulama mengungkapkan satu kesesuaian sehubungan dengan penyebutan bulan-bulan haram tersebut secara berurutan. Ringkasnya, bulanbulan haram memiliki kelebihan atas bulan-bulan lainnya, maka sangat sesuai bila awal tahun adalah bulan haram, di tengahnya bulan haram, dan di akhirnya juga bulan haram. Hanya saja pada akhir tahun terdapat dua bulan haram, dikarenakan 12
Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al- Asqalânî, Fathul Bâri, (Beirut: Dar al-Kutub ‘Alamiyah, tth), juz II, h. 751. Lihat Fathul Bâri (Penjelasan Kitab Sahîh al-Bukhâri), Penterjemah: Amiruddin, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007, Cet.II, Buku ke-22, hal. 617
13
Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al- Asqalânî, Fathul Bâri, h. 751. Lihat Fathul Bâri (Penjelasan Kitab Sahîh al-Bukhâri), Penterjemah: Amiruddin, hal. 617
34
ibadah haji merupakan penutup rukun-rukun yang empat. Rukun-rukun Islam ini mencakup amal harta secara murni yaitu zakat, dan amal badan secara murni. Baian kedua ini terkadang dilakukan dengan anggota badan, yaitu shalat, dan terkadang dengan hati yaitu puasa, karena ia menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkan, terkadang pula dengan harta dan badan, yaitu haji. Oleh karena haji adalah ibadah yang mengumpulkan keduanya, maka sangat cocok jika ia mendapatkan kelipatan dari yang diperoleh salah satu di antara amalan lainnya. Untuk itu, ia mendapatkan dua bulan dari empat bulan haram.
B. Kualitas Sanad Tentang Asyhur al-Hurum Sebelum masuk kepada kritik sanad, maka penulis akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai pengertian dan metodologi dari kritik sanad ini, agar seseorang mudah dalam memahaminya sebelum masuk ke dalam pembahasan kritik ini. 1. Pengertian dan Metodologi Kritik Sanad Kata ( ﻧﻘﺪnaqd) dalam bahasa Arab biasa diterjemahkan dengan kritik 14 yang berasal dari bahasa latin. Naqd dalam bahasa Arab berarti penelitian, analisis, pengecekan, dan pembedaan. 15 Salinan arti Naqd dengan pembedaan, kiranya sesuai dengan judul karya Imâm Muslim bin Hajjaj (W. 261 H) yang membahas kritik hadis, yakni kitab al-Tamyîz. Selanjutnya, dalam pembicaraan umum orang Indonesia, kata kritik berkonotasi dengan pengertian tidak lekas 14
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Yogyakarta : Unit PBIK PP al-Munawwir, 1984), h. 1551. 15 Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, (London : George Allen & Unwa Ltd., 1970), h. 990.
35
percaya, tajam dalam penganalisaan, ada uraian pertimbangan baik buruk terhadap suatu karya. 16 Dari tebaran arti kebahasaan tersebut, kata kritik biasa diartikan dengan upaya membedakan antara yang benar (asli) dan yang salah (tiruan/palsu). Tradisi pemakaian kata naqd di kalangan ulama hadis, menurut Ibn Abî Hâtim al-Râzi (W. 327 H) sebagaimana dikutip oleh Muhamad Mustafâ Azami adalah : 17
.ﻋﻠَﻰ اﻟ ﱡﺮوَا ِة ﺗَﻮْﺛِﻴْﻘًﺎ َو َﺗﺠْ ِﺮﻳْﺤًﺎ َ ِﺤﻜْﻢ ُ ﻀ ِﻌﻴْ َﻔ ِﺔ وَاﻟ ﻦ اﻟ ﱠ َ ﺤ ِﺔ ِﻣ َ ْﺤﻴ ِﺼ ﺚ اﻟ ﱠ ِ ْﻷﺣَﺎ ِدﻳ َ َﺗﻤْ ِﻴﻴْ ُﺰ ا “Upaya menyeleksi (membedakan) antara hadis sahîh dan da’îf dan menetapkan status periwayat-periwayatnya dari segi kepercayaan atau cacat”. Sedangkan menurut istilah, kritik berarti berusaha menemukan kekeliruan
dan kesalahan dalam rangka menemukan kebenaran. Kritik yang dimaksud di sini adalah sebagai upaya mengkaji hadis Rasulullah Saw. untuk menentukan hadis yang benar-benar datang dari Nabi Muhammad Saw. 18 Kemudian makna kata ( ﺳﻨﺪSanad) mengandung kesamaan arti dengan kata ( ﻃﺮﻳﻖtarîq) yaitu jalan atau sandaran. Sedangkan menurut istilah hadis, sanad ialah jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadis. 19 Kata hadis berasal dari bahasa Arab ( اﻟﺤﺪﻳﺚal-hadîts). Dari segi bahasa, kata ini memiliki banyak arti, diantaranya ( اﻟﺠﺪﻳﺪal-jadîd) yang berarti baru, lawan dari kata ( اﻟﻘﺪﻳﻢal-Qadîm) berarti lama. Dalam hal ini semua yang disandarkan 16
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1988), h. 466. 17 Muhammad Mustafâ Azami, Manhaj al-Naqd ‘Inda al-Muhaditsîn, (Riyâd : alUmmariyah, 1982), h. 5. 18 Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 5. 19 Bustamin dan M. Isa, Metodologi Kritik Hadis, h. 5.
36
Jadi, kritik sanad hadis ialah penelitian, penilaian, dan penelusuran sanad hadis tentang individu perawi dan proses penerimaan hadis dari guru mereka masing-masing dengan berusaha menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam rangkaian sanad untuk menemukan kebenaran, yaitu kualitas hadis (sahîh, hasan, dan da’îf). Kegiatan kritik atau penelitian hadis bertujuan untuk mengetahui kualitas hadis yang terdapat dalam rangkaian sanad hadis yang diteliti. Apabila hadis yang diteliti memenuhi kriteria ke-sahîh-an sanad, hadis tersebut digolongkan sebagai hadis sahîh dari segi sanad. 21 Melihat perumusan pendefinisian kritik hadis di atas, maka pada hakikatnya kritik hadis bukanlah berfungsi untuk menilai salah atau membuktikan ketidak-benaran sabda Rasulullah Saw. tetapi sekadar penganalisaan (penelitian) orang-orang yang memuat informasi tentang beliau, termasuk uji kejujuran informatornya (periwayatnya). Kritik hadis pada dasarnya bertujuan untuk menguji dan menganalisa secara kritis apakah fakta sejarah kehadisan itu dapat dibuktikan, termasuk komposisi kalimat yang terekspos dalam ungkapan matan lebih jauh lagi, kritik hadis bergerak pada level menguji apakah kandungan ungkapan matan amat berhubungan dengan taraf intelektualitas periwayat hadis dan bayang-bayang bias informasi sebagai implikasi daya berfantasi dan kreasi 20
Bustamin dan M. Isa, Metodologi Kritik Hadis, h. 6. Lihat ; Muhammad Subhi al-Salih, ‘Ulûm al-Hadîts wa Mustalahuh, (Beirut : Dâr al-Fikr, 1989), h. 4-5. 21 Bustamin dan M. Isa, Metodologi Kritik Hadis, h. 7.
37
berfikir saat mengamati dan melaporkan kesaksian itu kepada orang lain. Sangat mungkin terjadi, periwayat tidak hadir pada saat fakta kehadisan berlangsung. 22 Ada beberapa faktor yang menyebabkan kajian (penelitian) sanad hadis menjadi penting: pertama, pada zaman Nabi Muhammad Saw. tidak seluruh hadis tertulis; kedua, sesudah zaman Nabi Muhammad Saw. banyak terjadi pemalsuan hadis; ketiga, penghimpunan hadis secara resmi dan massal terjadi setelah berkembangnya pemalsuan-pemalsuan hadis. Padahal hadis adalah salah satu sumber ajaran Islam. Hadis sebagai Sumber ajaran Islam maka meniscayakan adanya kepastian validitas bersumber dari Nabi Muhammad Saw. 23 Kegiatan kritik sanad (naqd al-sanad) merupakan langkah awal kritik matan bertujuan untuk mengetahui kualitas periwayat hadis yang terdapat dalam rangkaian sanad hadis yang diteliti. Apabila periwayat hadis yang diteliti memenuhi kriteria kesahihan sanad, maka hadis yang diteliti dapat dikategorikan hadis sahîh. Untuk meneliti keorsinilan hadis Nabi Saw., sehingga dapat dibenarkan keasliannya, maka ulama hadis telah menetapkan syarat-syarat kesahihan hadis, seperti yang pernah dijelaskan oleh Ibn al-Salâh (W. 643 H = 1245 M) :
ﻂ ِ ل اﻟﻀﱠﺎ ِﺑ ِ ﻞ اﻟﻌَﺪ ِ ْﺼﻞْ ِإﺳْﻨَﺎ ُد ُﻩ ِﺑ َﻨﻘ ِ ﺚ اﻟ ُﻤﺴْ َﻨ ُﺪ اﱠﻟﺬِي َﻳ َﺘ ُ ْﺤ ِﺪﻳ َ ﺢ َﻓ ُﻬ َﻮ اﻟ ُ ْﺤﻴ ِﺼ َ ﺚ اﻟ ُ ْﺤ ِﺪﻳ َ أَﻣﱠﺎ اﻟ 24 .ﻼ ً ﻻ ُﻣ َﻌﱠﻠ َ ﻂ ِإﻟَﻰ ُﻣﻨْﺘَﻬَﺎ ُﻩ َو ِ ل اﻟﻀﱠﺎ ِﺑ ِ ﻋﻦْ اﻟﻌَﺎ ِد َ “Hadis sahîh adalah hadis yang bersambung sanad-nya, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil 25 dan dâbit 26 sampai akhir sanad-nya, tidak terdapat kejanggalan (syâdz) 27 dan cacat (‘illat) 28 ”. 22
Hasyim Abbas, Kritik Matan Hadis “Versi Muhadditsin dan Fuqaha”, (Yogyakarta : Teras, 2004), h. 10 23 Bustamin dan M. Isa, Metodologi Kritik Hadis, h. 11. 24 Abû ‘Amr ‘Utsmân bin ‘Abd al-Rahmân bin Salâh, ‘Ulûm al-Hadîts, (Beirut : Dâr alKutub al-‘Ilmiyah, 1987) h. 7.
38
Dari definisi mengenai syarat-syarat hadis sahîh di atas, nampak jelas bahwa hadis sahîh harus memenuhi lima syarat: pertama, bersambung sanad-nya; kedua, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil; ketiga, diriwayatkan oleh periwayat yang dâbit; keempat, terhindar dari syadz; dan kelima, terhindar dari ‘illat. Untuk itu dalam penelitian sanad, penulis akan mengambil langkahlangkah kegiatan penelitian sanad hadis dengan melalui tiga cara, yaitu: 1) Melakukan i’tibar 2) Meneliti pribadi periwayat 3) Mengabil natîjah (kesimpulan)
2. Kritik Sanad Hadis Asyhur al-Hurum Hadis yang akan diteliti adalah hadis yang berisi tentang “Asyhur alHurum”. Hadis tersebut yang diterima dari sahabat Abû Bakrah :
ﺻﻠﱠﻰ َ ﻲ ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ ﻋﻦْ َأﺑِﻲ َﺑﻜْ َﺮ َة َأ ﱠ َ ﻦ َ ﻦ ﺳِﻴﺮِﻳ ِ ْﺤ ﱠﻤ ِﺪ ﺑ َ ﻋﻦْ ُﻣ َ ب ُ ﻞ َأﺧْ َﺒ َﺮﻧَﺎ َأﻳﱡﻮ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ِإﺳْﻤَﺎﻋِﻴ َ ﻖ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ﺧَﻠ َ ن َﻗﺪْ اﺳْ َﺘﺪَا َر َآ َﻬﻴْ َﺌ ِﺘ ِﻪ َﻳﻮْ َم َ ن اﻟ ﱠﺰﻣَﺎ ل أَﻟَﺎ ِإ ﱠ َ ﺠ ِﺘ ِﻪ َﻓﻘَﺎ ﺣﱠ َ ﺐ ﻓِﻲ َ ﻄ َﺧ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ اﻟﻠﱠ ُﻪ 25
‘Adil menurut bahasa adalah pertengahan, lurus, condong kepada kebenaran, tidak memihak. Menurut istilah ulama hadis ‘adil itu adalah (1) beragama Islam; (2) mukallaf; (3) melaksanakan ketentuan agama; (4) memelihara muru’ah. Lihat Muhammad Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 67-68. 26 Dâbit ialah orang yang kuat ingatannya, artinya ingatannya lebih banyak daripada lupanya, dan kebenarannya lebih banyak daripada kesalahannya. Lihat Fathurrahman, Ikhtisar Musthalahul Hadis, h. 121. 27 Menurut bahasa, kata syâdz berarti: kejanggalan, yang jarang, yang menyendiri, yang asing, yang menyalahi aturan dan menyalahi orang banyak. 28 Kata ‘Illat, jamaknya ‘illal yang menurut bahasa, kata illat’ berarti: cacat, kesalahan baca, penyakit dan keburukan.
39
“Sesungguhnya zaman telah berputar seperti keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi, dalam setahun itu terdapat dua belas bulan. Empat diantaranya adalah bulan haram (disucikan). Tiga dari empat bulan itu, (jatuh secara) berurutan yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijah, Muharram. Sedangkan Rajab (yang disebut juga sebagai) syahru Mudhar, terletak diantara Jumada (ats-Tsaniyah) dan Sya’ban.” (HR. Ahmad). Takhrij Hadis Karena objek penelitian adalah hadis-hadis yang tercantum dalam kitabkitab hadis, maka dalam proses pengumpulan data dilakukan kegiatan Takhrij alHadîts, yaitu pencarian teks hadis pada berbagai kitab hadis yang merupakan sumber asli dari hadis yang bersangkutan, yang didalamnya disebutkan secara lengkap sanad dan matan hadisnya. Dalam pelacakan hadis, metode takhrij yang digunakan dalam kegiatan penelitian hadis ini yaitu metode takhrij dengan melalui penelusuran kata yang terdapat dalam hadis yang akan di bahas, dengan menggunakan kitab al-Mu’jâm al-Mufahrâs li Alfâz al-Hadîts al-Nabawi dari penelusuran lafaz ﺷﻬﺮ
30
adalah
sebagai berikut :
ﺷﻬْﺮًا َ ﺸ َﺮ َ ﻋ َ اﻟﺴﱠ َﻨ ُﺔ اﺛْﻨَﺎ 24 ﺗﻮﺣﻴﺪ,5 اﺿﺎﺣﻰ,8,9 ﺗﻔﺴﻴﺮ ﺳﻮرة,2 ﺑﺪءاﻟﺨﻠﻖ خ 29 ﻗﺴﺎﻣﺔ م 67 ﻣﻨﺎﺳﻚ د 29
Abû ‘Abdullah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz VII, (Bairut : alMaktabah Islami, 1978), , h. 307 30 A. J. Wensinck, al-Mu’jam al-Mufahrâs li Alfâz al-Hadîts al-Nabawi, Jilid 3., (Leiden : Breeil, 1943), h. 204.
40
ﺣﻢ هﻖ
37 ,5 165 : 5
Berikut ini penulis menyajikan riwayat-riwayat hadis tersebut dari setiap mukharrij berdasarkan naskah aslinya. Susunan riwayat hadis yang mukharrij-nya al-Bukhâri:
ﻋﻦْ ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ َ ﻋﻦْ ُﻣ َ ب َ ﻋﻦْ َأﻳﱡﻮ َ ﻦ َزﻳْ ٍﺪ َ ﺣﻤﱠﺎ ُد ﺑْ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ ب َ ﻋﺒْ ِﺪ ا ْﻟ َﻮهﱠﺎ ِ ﻦ َ ﻋﺒْ ُﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ﺑْ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ • َ ن َﻗﺪْ ن اﻟ ﱠﺰﻣَﺎ َ ل ِإ ﱠ ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ﻲ َ ﻋﻦْ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ ﻋﻦْ َأﺑِﻲ َﺑﻜْ َﺮ َة َ ﻦ َأﺑِﻲ َﺑﻜْ َﺮ َة َ اﺑْ ِ ﺸ َﺮ ﺷَﻬْﺮًا ﻣِﻨْﻬَﺎ ﻋَ ض اﻟﺴﱠ َﻨ ُﺔ اﺛْﻨَﺎ َ ت وَاﻟَْﺄرْ َ ﺴ َﻤﻮَا ِ ﻖ اﻟﻠﱠ ُﻪ اﻟ ﱠ ﺧَﻠ َ اﺳْ َﺘﺪَا َر َآ َﻬﻴْ َﺌ ِﺘ ِﻪ َﻳﻮْ َم َ ﻀ َﺮ اﱠﻟﺬِي ﺐ ُﻣ َ ﺟ ُ ﺤﺮﱠ ُم َو َر َ ﺠ ِﺔ وَا ْﻟ ُﻤ َ ﺤﱠ ت ذُو اﻟْ َﻘﻌْ َﺪ ِة وَذُو اﻟْ ِ ﺣ ُﺮمٌ ﺛَﻠَﺎثٌ ُﻣ َﺘﻮَاِﻟﻴَﺎ ٌ َأرْ َﺑ َﻌ ٌﺔ ُ 31 ن. ﺷﻌْﺒَﺎ َ ﺟﻤَﺎدَى َو َ ﻦ ُ َﺑﻴْ َ “Sesungguhnya zaman telah berputar seperti keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi, dalam setahun itu terdapat dua belas bulan. Empat diantaranya adalah bulan haram (disucikan). Tiga dari empat bulan itu, (jatuh secara) berurutan yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijah, Muharram. Sedangkan Rajab (yang disebut juga sebagai) syahru Mudhar, terletak diantara Jumada (al-Tsaniyah) dan Sya’ban.” (HR. al-Bukhârî). Adapun redaksi lain berbunyi:
ﻦ َأﺑِﻲ ﻋﻦْ اﺑْ ِ ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ َ ﻋﻦْ ُﻣ َ ب َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َأﻳﱡﻮ ُ ب َ ﻋﺒْ ُﺪ ا ْﻟ َﻮهﱠﺎ ِ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ ﻦ اﻟْ ُﻤ َﺜﻨﱠﻰ َ ﺤﻤﱠ ُﺪ ﺑْ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨِﻲ ُﻣ َ • َ ن َﻗﺪْ اﺳْ َﺘﺪَا َر ل اﻟ ﱠﺰﻣَﺎ ُ ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ﻲ َ ﻋﻦْ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ ﻋﻦْ َأﺑِﻲ َﺑﻜْ َﺮ َة َ َﺑﻜْ َﺮ َة َ ﺣ ُﺮمٌ ﺛَﻠَﺎﺛَﺔٌ ﺷﻬْﺮًا ِﻣ ْﻨﻬَﺎ َأرْ َﺑ َﻌ ٌﺔ ُ ﺸ َﺮ َ ﻋَ ض اﻟﺴﱠ َﻨ ُﺔ اﺛْﻨَﺎ َ ت وَاﻟَْﺄرْ َ ﺴ َﻤﻮَا ِ ﻖ اﻟ ﱠ ﺧَﻠ َ َآ َﻬﻴْ َﺌ ِﺔ َﻳﻮْ َم َ ﺟﻤَﺎدَى ﻦ ُ ﻀ َﺮ اﱠﻟﺬِي َﺑﻴْ َ ﺐ ُﻣ َ ﺟ ُ ﺤﺮﱠ ُم َو َر َ ﺠ ِﺔ وَا ْﻟ ُﻤ َ ﺤﱠ ُﻣﺘَﻮَاﻟِﻴَﺎتٌ ذُو اﻟْ َﻘﻌْ َﺪ ِة وَذُو اﻟْ ِ 32 ن. ﺷﻌْﺒَﺎ َ َو َ ﻦ َأﺑِﻲ ﻋﻦْ اﺑْ ِ ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ َ ﻋﻦْ ُﻣ َ ب َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َأﻳﱡﻮ ُ ب َ ﻋﺒْ ُﺪ ا ْﻟ َﻮهﱠﺎ ِ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ ﻦ ﺳَﻠَﺎمٍ َ ﺤﻤﱠ ُﺪ ﺑْ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ُﻣ َ • َ ن ل ِإ ﱠ ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ﻲ َ ﻋﻦْ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ ﻋﻨْ ُﻪ َ ﻲ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ﺿَ ﻋﻦْ َأﺑِﻲ َﺑﻜْ َﺮ َة َر ِ َﺑﻜْ َﺮ َة َ ﺸ َﺮ ﻋَ ض اﻟﺴﱠ َﻨ ُﺔ اﺛْﻨَﺎ َ ت وَاﻟَْﺄرْ َ ﺴ َﻤﻮَا ِ ﻖ اﻟﻠﱠ ُﻪ اﻟ ﱠ ﺧَﻠ َ ن َﻗﺪْ اﺳْ َﺘﺪَا َر َآ َﻬﻴْ َﺌ ِﺘ ِﻪ َﻳﻮْ َم َ اﻟ ﱠﺰﻣَﺎ َ ﺐ ﺟ ُ ﺤﺮﱠ ُم َو َر َ ﺠ ِﺔ وَا ْﻟ ُﻤ َ ﺤﱠ ﺣ ُﺮمٌ ﺛَﻠَﺎثٌ ُﻣﺘَﻮَاﻟِﻴَﺎتٌ ذُو اﻟْ َﻘﻌْ َﺪ ِة وَذُو اﻟْ ِ ﺷَﻬْﺮًا ﻣِﻨْﻬَﺎ َأرْ َﺑ َﻌ ٌﺔ ُ 33 ن. ﺷﻌْﺒَﺎ َ ﺟﻤَﺎدَى َو َ ﻦ ُ ﻀ َﺮ اﱠﻟﺬِي َﺑﻴْ َ ُﻣ َ al-Bukhari, al-Jamî’al-Sahîh (Sahîh Bukhârî), Juz II, h. 987
31
Al-Bukhari, al-Jamî’ al-Sahîh (Sahîh Bukhârî), Juz V, h. 243
32
Al-Bukhari, al-Jami’ al-Sahîh (Sahîh Bukharî), Juz VI, h. 293
33
41
ﻦ َأﺑِﻲ ﻋﻦْ اﺑْ ِ ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ َ ﻋﻦْ ُﻣ َ ب َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َأﻳﱡﻮ ُ ب َ ﻋﺒْ ُﺪ ا ْﻟ َﻮهﱠﺎ ِ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ ﻦ اﻟْ ُﻤ َﺜﻨﱠﻰ َ ﺤﻤﱠ ُﺪ ﺑْ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ُﻣ َ • َ ن َﻗﺪْ اﺳْ َﺘﺪَا َر ل اﻟ ﱠﺰﻣَﺎ ُ ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ﻲ َ ﻋﻦْ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ ﻋﻦْ َأﺑِﻲ َﺑﻜْ َﺮ َة َ َﺑﻜْ َﺮ َة َ ﺣ ُﺮمٌ ﺷﻬْﺮًا ﻣِﻨْﻬَﺎ َأرْ َﺑ َﻌ ٌﺔ ُ ﺸ َﺮ َ ﻋَ ض اﻟﺴﱠ َﻨ ُﺔ اﺛْﻨَﺎ َ ت وَاﻟَْﺄرْ َ ﺴ َﻤﻮَا ِ ﻖ اﻟﻠﱠ ُﻪ اﻟ ﱠ ﺧَﻠ َ َآ َﻬﻴْ َﺌ ِﺘ ِﻪ َﻳﻮْ َم َ ﺟﻤَﺎدَى ﻦ ُ ﻀ َﺮ اﱠﻟﺬِي َﺑﻴْ َ ﺐ ُﻣ َ ﺟ ُ ﺤﺮﱠ ُم َو َر َ ﺠ ِﺔ وَا ْﻟ ُﻤ َ ﺤﱠ ت ذُو اﻟْ َﻘﻌْ َﺪ ِة وَذُو اﻟْ َ ﺛَﻠَﺎثٌ ُﻣ َﺘﻮَاِﻟﻴَﺎ ٌ 34 ن. ﺷﻌْﺒَﺎ َ َو َ Susunan riwayat hadis yang mukharrij-nya Muslim:
ﻲ َو َﺗﻘَﺎ َرﺑَﺎ ﻓِﻲ اﻟﻠﱠﻔْﻆِ ﻗَﺎﻟَﺎ ﺐ اﻟْﺤَﺎ ِر ِﺛ ﱡ ﺣﺒِﻴ ٍ ﻦ َ ﺷﻴْ َﺒ َﺔ وَﻳَﺤْﻴَﻰ ﺑْ ُ ﻦ َأﺑِﻲ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َأﺑُﻮ َﺑﻜْ ِﺮ ﺑْ ُ • َ ﻋﻦْ َأﺑِﻲ ﻦ َأﺑِﻲ َﺑﻜْ َﺮ َة َ ﻋﻦْ اﺑْ ِ ﻦ َ ﻦ ﺳِﻴﺮِﻳ َ ﻋﻦْ اﺑْ ِ ب َ ﻋﻦْ َأﻳﱡﻮ َ ﻲ َ ب اﻟ ﱠﺜ َﻘ ِﻔ ﱡ ﻋﺒْ ُﺪ ا ْﻟ َﻮهﱠﺎ ِ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ َ ن َﻗﺪْ اﺳْ َﺘﺪَا َر َآ َﻬﻴْ َﺌ ِﺘ ِﻪ َﻳﻮْ َم ن اﻟ ﱠﺰﻣَﺎ َ ل ِإ ﱠ ﺳﱠﻠ َﻢ َأﻧﱠ ُﻪ ﻗَﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ﻲ َ ﻋﻦْ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ َﺑﻜْ َﺮ َة َ ﺣ ُﺮمٌ ﺛَﻠَﺎﺛَﺔٌ ﺸ َﺮ ﺷَﻬْﺮًا ﻣِﻨْﻬَﺎ َأرْ َﺑ َﻌ ٌﺔ ُ ﻋَ ض اﻟﺴﱠ َﻨ ُﺔ اﺛْﻨَﺎ َ ت وَاﻟَْﺄرْ َ ﺴﻤَﺎوَا ِ ﻖ اﻟﻠﱠ ُﻪ اﻟ ﱠ ﺧَﻠ َ َ ﺟﻤَﺎدَى ﻦ ُ ﻀ َﺮ اﱠﻟﺬِي َﺑﻴْ َ ﺷﻬْ ُﺮ ُﻣ َ ﺐ َ ﺟ ٌ ﺤﺮﱠ ُم َو َر َ ﺠ ِﺔ وَا ْﻟ ُﻤ َ ﺤﱠ ُﻣﺘَﻮَاﻟِﻴَﺎتٌ ذُو اﻟْ َﻘﻌْ َﺪ ِة وَذُو اﻟْ ِ 35 ن. ﺷﻌْﺒَﺎ َ َو َ Susunan riwayat hadis yang mukharrij-nya Abû Daud:
ﺻﻠﱠﻰ ﻲ َ ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ ﻋﻦْ َأﺑِﻲ َﺑﻜْ َﺮ َة َأ ﱠ ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ َ ﻋﻦْ ُﻣ َ ب َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َأﻳﱡﻮ ُ ﻞ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ِإﺳْ َﻤﻌِﻴ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ُﻣﺴَ ﱠﺪدٌ َ • َ ﻖ اﻟﻠﱠ ُﻪ ﺧَﻠ َ ن َﻗﺪْ اﺳْ َﺘﺪَا َر َآ َﻬﻴْ َﺌ ِﺘ ِﻪ َﻳﻮْ َم َ ن اﻟ ﱠﺰﻣَﺎ َ ل ِإ ﱠ ﺠ ِﺘ ِﻪ َﻓﻘَﺎ َ ﺣﱠ ﺐ ِﻓﻲ َ ﻄ َ ﺧَ ﺳﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ت ذُو ﺣ ُﺮمٌ ﺛَﻠَﺎثٌ ُﻣ َﺘﻮَاِﻟﻴَﺎ ٌ ﺸ َﺮ ﺷَﻬْﺮًا ﻣِﻨْﻬَﺎ َأرْ َﺑ َﻌ ٌﺔ ُ ﻋَ ض اﻟﺴﱠ َﻨ ُﺔ اﺛْﻨَﺎ َ ت وَاﻟَْﺄرْ َ ﺴ َﻤﻮَا ِ اﻟ ﱠ 36 ن. ﺷﻌْﺒَﺎ َ ﺟﻤَﺎدَى َو َ ﻦ ُ ﻀ َﺮ اﱠﻟﺬِي َﺑﻴْ َ ﺐ ُﻣ َ ﺟ ُ ﺤﺮﱠ ُم َو َر َ ﺠ ِﺔ وَا ْﻟ ُﻤ َ ﺤﱠ اﻟْ ِﻘﻌْ َﺪ ِة وَذُو اﻟْ ِ Susunan riwayat hadis yang mukharrij-nya Ahmad bin Hanbal:
ﻲ ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ ﻋﻦْ َأﺑِﻲ َﺑﻜْ َﺮ َة َأ ﱠ ﻦ َ ﻦ ﺳِﻴﺮِﻳ َ ﺤ ﱠﻤ ِﺪ ﺑْ ِ ﻋﻦْ ُﻣ َ ب َ ﻞ َأﺧْ َﺒ َﺮﻧَﺎ َأﻳﱡﻮ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ِإﺳْﻤَﺎﻋِﻴ ُ • َ ن َﻗﺪْ اﺳْ َﺘﺪَا َر َآ َﻬﻴْ َﺌ ِﺘ ِﻪ َﻳﻮْ َم ن اﻟ ﱠﺰﻣَﺎ َ ل أَﻟَﺎ ِإ ﱠ ﺠ ِﺘ ِﻪ َﻓﻘَﺎ َ ﺣﱠ ﺐ ﻓِﻲ َ ﻄ َ ﺧَ ﺳﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ َ ﺣ ُﺮمٌ ﺛَﻠَﺎثٌ ﺷﻬْﺮًا ﻣِﻨْﻬَﺎ َأرْ َﺑ َﻌ ٌﺔ ُ ﺸ َﺮ َ ﻋَ ض اﻟﺴﱠ َﻨ ُﺔ اﺛْﻨَﺎ َ ت وَاﻟْ َﺄرْ َ ﺴ َﻤﻮَا ِ ﻖ اﻟﻠﱠ ُﻪ اﻟ ﱠ ﺧَﻠ َ َ Al-Bukhari, al-Jami’ al-Sahîh (Sahîh Bukhari), Juz VIII, h. 234
34 35
Abû Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî, al-Jami’ al-Sahîh (Sahîh Muslim), Juz VI, Maktabat Dahlan, Indonesia, h.183
36
Abû Daud Sulaimân bin al-‘Asy’as al-Sijistâni, Sunan Abi Daud, Juz II (Bairut : Dar al-Fikr, tth), h. 146
42
Susunan riwayat hadis yang mukharrij-nya al-Baihaqî:
• وأﺧﺒﺮﻧﺎ أﺑﻮ ﻋﺒﺪ اﷲ اﻟﺤﺎﻓﻆ واﻟﻠﻔﻆ ﻟﻪ اﺧﺒﺮﻧﻲ أﺑﻮ ﻋﻤﺮو ﺑﻦ أﺑﻰ ﺟﻌﻔﺮ أﻧﺒﺄ ب َ ﻋﻦْ َأﻳﱡﻮ َ ﻲ ب اﻟ ﱠﺜ َﻘ ِﻔ ﱡ ِ ﻋﺒْ ُﺪ ا ْﻟ َﻮهﱠﺎ َ ﺷﻴْ َﺒ َﺔ ﺛَﻨَﺎ َ ﻦ َأﺑِﻲ ُ ْاﻟﺤﺴﻦ ﺑﻦ ﺳﻔﻴﺎن أﻧﺒﺄ َأﺑُﻮ َﺑﻜْ ِﺮ ﺑ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ﻲ ﻋﻦْ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ َ ﻋﻦْ َأﺑِﻲ َﺑﻜْ َﺮ َة َ ﻦ َأﺑِﻲ َﺑﻜْ َﺮ َة ِ ْﻋﻦْ اﺑ َ ﻦ َ ﻦ ﺳِﻴﺮِﻳ ِ ْﻋﻦْ اﺑ َ ض اﻟﺴﱠ َﻨ ُﺔ َ ْت وَاﻟَْﺄر ِ ﺴﻤَﺎوَا ﻖ اﻟﻠﱠ ُﻪ اﻟ ﱠ َ ﺧَﻠ َ ن َﻗﺪْ اﺳْ َﺘﺪَا َر َآ َﻬﻴْ َﺌ ِﺘ ِﻪ َﻳﻮْ َم َ ن اﻟ ﱠﺰﻣَﺎ ل ِإ ﱠ َ ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ َ َو ﺤﺮﱠ ُم َ ﺠ ِﺔ وَا ْﻟ ُﻤ ﺤﱠ ِ ْﺣ ُﺮمٌ ﺛَﻠَﺎﺛَﺔٌ ُﻣﺘَﻮَاﻟِﻴَﺎتٌ ذُو اﻟْ َﻘﻌْ َﺪ ِة وَذُو اﻟ ُ ﺸ َﺮ ﺷَﻬْﺮًا ﻣِﻨْﻬَﺎ َأرْ َﺑ َﻌ ٌﺔ َﻋ َ اﺛْﻨَﺎ 38 .ن َ ﺷﻌْﺒَﺎ َ ﺟﻤَﺎدَى َو ُ ﻦ َ ْﻀ َﺮ اﱠﻟﺬِي َﺑﻴ َ ﺷﻬْ ُﺮ ُﻣ َ ﺐ ٌ ﺟ َ َو َر Dari riwayat-riwayat hadis yang dikutip di atas, terlihat adanya perbedaan susunan redaksi (tekstual) dari hadis yang bersangkutan. Misalnya, matan-matan hadis yang diriwayatkan oleh semua mukharrij di atas seperti al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ahmad bin Hanbal dan al-Baihaqi. Hal itu memberi petunjuk bahwa hadis yang menjadi objek penelitian telah diriwayatkan secara makna. Kemudian kegiatan i’tibar dilakukan untuk memperlihatkan seluruh jalur sanad yang diteliti dengan jelas begitu juga dengan periwayatnya, dan metode periwayatannya. Karena itu untuk mempermudah proses kegiatan i’tibar, penulis akan membuatkan skema untuk seluruh sanad bagi hadis yang menjadi objek penelitian. Namun sebelum disusun dan dikemukakan skema sanadnya, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan terlebih dahulu, agar skema mudah disusun dan dipahami. 37
Abû ‘Abdullah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz VII, (Bairut : alMaktabah Islami, 1978), , h. 307 38 Imâm al-Muhadditsîn al-Hâfiz al-Jalîl Abû Bakar Ahmad bin al-Husain bin ‘Ali alBaihaqî, al-Sunan al-Kubra, Juz V, (Beirut : Dar al-Fikr, tth), h. 165
43
1.
Pada kedelapan sanad tertulis nama Ayyûb, namun maksudnya sama yaitu: Ayyûb al-Sakhtiyanî.
2.
Di dalam semua riwayat tersebut nama Ibnu Sirrîn ditulis secara berbeda dengan nama Muhammad namun maksudnya sama, yaitu Muhammad bin Sirrîn. Oleh karena itu nama Ibnu sirrîn akan ditulis lengkap di dalam skema. Selanjutnya perhatikan skema berikut:
3.
Di dalam mukharrij bukhari terdapat empat riwayat hadis, tetapi dikarenakan terdapat dua riwayat sanad hadis yang sama, oleh karena itu di dalam skema ditulis menjadi tiga riwayat dari sanad hadis yang diteliti.
Gambar ﺷﻬْﺮًا ِﻣﻨْﻬَﺎ َأرْ َﺑ َﻌ ٌﺔ َ ﺸ َﺮ َ ﻋ َ ض اﻟﺴﱠ َﻨ ُﺔ اﺛْﻨَﺎ َ ْت وَاﻟْ َﺄر ِ ﺴ َﻤﻮَا ﻖ اﻟﱠﻠ ُﻪ اﻟ ﱠ َ ﺧ َﻠ َ ن َﻗﺪْ اﺳْ َﺘ َﺪا َر َآ َﻬﻴْ َﺌ ِﺘ ِﻪ َﻳﻮْ َم َ ن اﻟ ﱠﺰﻣَﺎ ِإ ﱠ ن َ ﺷﻌْ َﺒﺎ َ ﺟﻤَﺎدَى َو ُ ﻦ َ ْﻀ َﺮ اﱠﻟﺬِي َﺑﻴ َ ﺐ ُﻣ ُ ﺟ َ ﺤﺮﱠ ُم َو َر َ ﺠ ِﺔ وَا ْﻟ ُﻤ ﺤﱠ ِ ْت ذُو اﻟْ َﻘﻌْ َﺪ ِة وَذُو اﻟ ٌ ﺣ ُﺮمٌ َﺛﻠَﺎثٌ ُﻣ َﺘﻮَا ِﻟﻴَﺎ ُ
اﺑﻲ ﺑﻜﺮة
44
ﻋﻦ اﺑﻦ اﺑﻲ ﺑﻜﺮة ﻋﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺳﻴﺮﻳﻦ ﻋﻦ اﻳﻮب اﻟﺴﺨﺘﻴﺎﻧﻲ ﺣﺪﺛﻨﺎ
ﻋﻦ
اﺧﺒﺮﻧﺎ ﺣﺪﺛﻨﺎ
ﻋﻦ
ﻋﺒﺪاﻟﻮهﺎب
ﺣﻤﺎد ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻟ ﺜ
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪاﷲ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﻮهﺎب
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻼ
اﺳﻤﺎﻋﻴﻞ ﺣﺪﺛﻨﺎ
ﺛﻨﺎ
ﻳﺤﻲ اﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﺑﻦ اﺑﻲ ﺷ ﺔ اﻧﺒﺄ
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺴﺪد ﺣﺪﺛﻨﺎ اﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﻞ
اﻟﺤﺴﻦ ﺑﻦ ﺳﻔﻴﺎﻧﺎ ﺣﺪﺛﻨﺎ اﻟﺒﺨﺎري
ﺣﺪﺛﻨﺎ
ﺣﺪﺛﻨﺎ اﻧﺒﺄ
ﻣﺴﻠﻢ
اﺑﻮﻋﻤﺮو ﺑﻦ ﻔ اﻧﺒﺄ اﺑﻮﻋﺒﺪاﷲ اﻟﺤﺎﻓﻆ اﺧﺒﺮﻧﻲ اﻟﺒﻴﻬﻘﻲ
اﺑﻮ داود
45
Penelitian sanad Memperhatikan skema seluruh sanad, terdapat lima mukharrij yang mencantumkan hadis yang dimaksud dalam kitab mereka melalui delapan jalur sanad. Walaupun sanad milik semua mukharrij yakni, al-Bukhâri, Muslim, Abû Daud, Ahmad bin Hanbal dan al-Baihaqi memiliki kesamaan, yakni berakhir pada Abû Bakrah namun berbeda pada tingkatan guru mereka berlima. Dari kedelapan jalur sanad yang ada, sanad yang dipilih untuk diteliti dalam kegiatan ini adalah satu sanad, yaitu sanad Imam Ahmad bin Hanbal yang melalui Ismail. Pilihan tersebut dikarenakan atas alasan-alasan: 1. Musnad Ahmad bin Hanbal dipandang oleh jumhur ulama hadis sebagai kitab yang berada dibawah standar kitab-kitab hadis lainnya, terutama Lima Kitab Hadis yang berstatus standar (al-Kutub al-Khamsah). 2. Penulis sengaja melakukan penelitian terhadap sanad-sanad yang ada di dalam sanad Ahmad bin Hanbal agar dapat terhindar dari anggapan-anggapan bahwa seluruh sanad Ahmad bin Hanbal untuk hadis yang menjadi objek penelitian ini berkualitas da’if. 3. Sanad yang ada pada Ahmad bin Hanbal jauh lebih sedikit dibandingkan dengan sanad yang ada pada mukharrij yang lainnya. Urutan nama periwayat hadis riwayat Ahmad bin Hanbal di atas adalah sebagai berikut : 1. Periwayat I
: Abû Bakrah
2. Periwayat II
: Ibnu Sirrîn
3. Periwayat III : Ayyûb al-Sakhtiyanî 4. Periwayat IV : Ismâ’il
46
5. Periwayat V
: Ahmad bin Hanbal
Dalam kegiatan ini, kritik sanad (naqd al-Sanad) dimulai pada periwayat kelima yakni Ahmad bin Hanbal diikuti pada periwayat sebelum Ahmad dan seterusnya sampai periwayat pertama. 1.
Ahmad bin Hanbal a. Nama lengkapnya: Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad al-Syaibanî Abû ‘Abdullah al-Marwazî al-Baghdadî. 39 b. Guru dan muridnya di bidang periwayatan hadis: Guru dari Ahmad bin Hanbal cukup banyak, antara lain Ismâ’il, Sufyan bin ‘Uyainah, Waki’, Yahya bin Sa’id al-Qattan, Yazid bin Harun, ‘Abdurrahman bin Mahdi, ‘Abdurrazzaq, Yahya bin Sa’id al-Amawî. Murid Ahmad bin Hanbal juga banyak, diantaranya adalah al-Bukhari, Muslim, Abû Daud, asy-Syafi’i, dan dua putranya, ‘Abdullah dan Salih. 40 c. Pernyataan kritikus hadis tentang dirinya: 1) Ibnu
Ma’in:
Saya
tidak
melihat
orang
yang
lebih
baik
(pengetahuannya di bidang hadis) melebihi Ahmad.
39
Lihat Syihab ad-Din Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-Asqalânî (selanjutnya disebut sebagai al-Asqalani), Tahzîb at-Tahzîb, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), juz I, h. 62-63. Jamal ad-Din Abî Hajar Yusuf al-Mizzi, Tahzib al-Kamal fi Asma’i ar-Rijâl, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), Juz I, h. 226 dan 249; Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Usman al-Zahabi, Beirut: Dar al-Fikr, tth. Juz XI, h. 177; Abu al-Hasa ‘Ali bin ‘Umar bin Ahmad al-Daruqutni, Zikr Asma al-Tabiin wa man Ba’dahum mimman Shahhat Riwayatuh ‘an al-Siqat ‘Ind al-Bukhari wa Muslim, Mu’assasat alKutub al-Saqafiyat, Bairut, 1406 H = 1986 M, Juz I, h. 66 40 Jamal ad-Din Abî Hajar Yusuf al-Mizzi, Tahzib al-Kamal fi Asma’i ar-Rijâl, juz I, h. 226-235; al-Asqalani, Tahzîb at-Tahzîb, juz I, h. 62-63: Abû Muhammad ‘Abdurrahman bin Abî Hâtim Muhammad bin Idrîs bin Munzir at-Tamimî ar-Razi (selanjutnya disebut ar-Razi), Kitab alJarh wa at-Ta’dil, (Beirut: Dar al-Fikr, 1952), juz II, h. 68-69.
47
2) Al-Qattan: Tak ada orang yang datang kepada saya yang kebaikannya melebihi Ahmad. Dia itu hiasan ummat (di bidang pengetahuan Islam, khususnya hadis Nabi). 3) Asy-Syafi’i: Saya keluar dari Baghdad dan di belakang saya tidak ada orang yang lebih paham tentang Islam, lebih zuhud, lebih wara’, dan lebih berilmu yang melebihi Ahmad bin Hanbal. 4) Ibnu Madini: Tidak seorang pun di antara sahabatku yang lebih hafiz dari Ahmad. Sesungguhnya Allah telah menguatkan Islam dengan Abû Bakar as-Siddîq pada peristiwa ar-Riddah dan dengan Ahmad bin Hanbal pada peristiwa al-Mihnah. 5) An-Nasa’i: Ahmad itu salah seorang ulama yang tsiqât ma’mûn. 6) Ibnu Hibban: Ahmad itu hafiz, mutqin, faqîh. 7) Ibnu Sa’ad: Ahmad itu tsiqât, sabt, sadûq. 41 Tidak ada seorang kritikus pun yang mencela Ahmad bin Hanbal. Pujian yang diberikan orang kepadanya adalah pujian yang berperingkat tinggi dan tertinggi. Dengan demikian, pernyataan Ahmad yang mengatakan bahwa dia menerima riwayat hadis di atas dari Ismâ’il dengan metode al-sama’ (dengan lambang sana), dapat dipercaya kebenarannya. Itu berarti, sanad antara Ahmad bin Hanbal dan Ismâ’il dalam keadaan muttasil (bersambung).
41
Lihat, al-Asqalânî, Tahzîb at-Tahzîb, juz I, hal. 65
48
2.
Ismâ’il a. Nama lengkapnya: Ismâ’il bin Ibrahim bin Miqsam al-Asadi Abu Bisr alBasri, yang dikenal dengan nama Ibnu ‘Ulayyah. 42 b. Guru dan muridnya di bidang periwayatan hadis: Guru dari Ismâ’il cukup banyak, antara lain Ayyûb, Ibnu ‘Aun, Abdul ‘Aziz bin Suhaib, ‘Asim al-Ahwal, Sulaiman at-Taimi, Humaid, Ma’mar, Auf al-‘Arabi, Yunus bin ‘Ubaid. Murid Ismâ’il juga banyak, diantaranya adalah Ahmad bin Hanbal, Syu’bah, Ibnu Juraij, Himad bin zaid, Ibnu Wahab, Syafi’i, Yahya, ‘Ali, Ishaq, dan Ibnu Abî syaibah. 43 c. Pernyataan kritikus hadis tentang dirinya: 1) ‘Ali bin al-Ju’di : Ismâ’il bin ‘Ulayyah rihânatul fuqahâ. 2) Yunus bin Bakîr : Ibnu ‘Ulayyah sayyidul Muhadditsîn. 3) Ibnu Mahdi : Ibnu ‘Ulayyah lebih terpercaya dibandingkan dengan Hasyim. 4) Al-Qattân : Ibnu ‘Ulayyah lebih terpercaya dibandingkan dengan Wuhaib. 5) Ibnu Mahrûz : Ismâ’il itu tsiqah ma’ mûn, shadûq, wara’. 6) Qutaibah : Huffaz itu ada empat orang yakni Ismâ’il bin ‘Ulayyah, ‘Abdul Waras, Yazid bin Zurai’ dan Wuhaib. 7) Abû Daud : Tidak ada dari seorang muhadditsin kecuali sungguh dia telah salah kecuali Ismâ’il bin ‘Ulayyah.
42
Lihat, al-Asqalânî, Tahzîb at-Tahzîb, juz I, hal. 290
43
Lihat, al-Asqalânî, Tahzîb at-Tahzîb, juz I, h. 290-291
49
8) An-Nasa’i : Ismâ’il itu tsiqah, tsabt. 44 Melihat pernyataan-pernyataan para kritikus hadis di atas dapat disimpulkan bahwasanya Ismâ’il bin ‘Ulayyah itu Tabi’in yang tsiqât dan dapat dipercaya. Tidak ada dari seorang kritik hadispun yang mencelanya. Banyak pujipujian yang diberikan kepadanya. Dengan demikian, pernyataannya yang mengatakan bahwa dia menerima riwayat hadis di atas dari Ayyûb, dapat dipercaya kebenarannya. Itu berarti sanad antara Ismâ’il bin ‘Ulayyah dan Ayyûb dalam keadaan bersambung. 3.
Ayyûb as-Sakhtiyanî a. Nama lengkapnya : Ayyûb bin Abî Tamîmah Kisan as-Syakhtiyanî Abû Bakar al-Bisrî. 45 b. Guru dan muridnya di bidang periwayatan hadis: Guru dari Ayyûb cukup banyak, diantaranya adalah Muhammad bin Sirrîn, A’raj, ‘Ukrimah, ‘Amr bin Salmah, Humaid bin Hilal, Abî Qilabah, Qasim bin Muhammad, Nafi’ bin ‘Asim, Hafsah binti Sirrîn. Murid Ayyûb juga banyak, diantaranya adalah Ibnu ‘Ulayyah, al-‘Amasy, Qatadah, Sufyan, Syu’bah, Abdul Waras, Malik, Ibnu Ishaq dan Sa’id bin Abû ‘Urubah. 46 c. Pernyataan kritikus hadis tentang dirinya: 1) ‘Ali bin al-Madinî : Ayyûb mempunyai 800 hadis. 2) Ibnu ‘Ulayyah : Padanya terdapat 1000 hadis.
44
Lihat, al-Asqalânî, Tahzîb at-Tahzîb, juz I, h. 291
45
Lihat, al-Asqalânî, Tahzîb at-Tahzîb, juz I, h. 413
46
Lihat, al-Asqalânî, Tahzîb at-Tahzîb), juz I, h. 413
50
3) Abû al-Walid : Ayyûb adalah sayyidul fuqahâ. 4) Ibnu Khaisamah : Ayyûb tsiqah, dan dia lebih terpercaya dibanding dengan Ibnu ‘Aun. 5) Ibnu Sa’ad : Ayyûb itu tsiqah, tsabit di dalam hadis, mempunyai banyak ilmu, banyak dijadikan tempat berhujjah dan adil. 6) Abu Hâtim : Dia lebih aku sukai dalam segala sesuatu hal dibanding dengan Khalid. Dan dia itu tsiqah. 7) An-Nasa’i : Ayyûb tsiqah, tsabt. 47 Dari penelitian kritikus hadis ini, penulis berkesimpulan bahwa Ayyûb asSakhtiyanî itu seorang yang tsiqah, tsabt. Karena tidak ada dari seorang kritikus hadispun yang mencelanya, justru menyanjungnya dan memberikan pujian kepadanya. Dengan demikian, pernyataan yang mengatakan bahwa dia telah menerima hadis dari Muhammad bin Sirrîn itu dapat dipercaya kebenarannya. Itu berarti sanad antara Ayyûb dan Muhammad bin Sirrîn dalam keadaan bersambung. 4.
Ibnu Sirrîn a. Nama lengkapnya : Muhammad bin Sirrîn al-ansharî Abû Bakar bin Abî ‘Amrah al-Basrî . 48 b. Guru dan muridnya dibidang periwayatan hadis: Guru dari Muhammad bin Sirrîn cukup banyak, diantaranya adalah Abû Bakrah, ‘Abdurrahman bin Abî Bakrah, Anas bin Malik, Zaid bin Tsabit, Hasan bin ‘Ali, Jundub bin ‘Abdullah, Huzaifah bin al-Yamanî, Ibnu
47
Lihat, al-Asqalânî, Tahzîb at-Tahzîb, juz I, h. 414
48
Lihat, al-Asqalânî, Tahzîb at-Tahzîb, juz VII, h. 200.
51
Umar, Abû Qatadah, Abû Hurairah, ‘Aisyah, Mu’awiyah. Murid Muhammad bin Sirrîn juga banyak diantaranya adalah Ayyûb, as-Sya’bi, Tsabit, Khalid al-Haza’, Ibnu ‘Aun, Yunus bin ‘Ubaid, Qatadah, Malik bin Dinar dan Hisyam bin Hasan. 49 c. Pernyataan kritikus hadis tentang dirinya: 1) Ibnu Ma’in : Ibnu Sirrîn itu tsiqah. 2) Al-‘Ajli : Bisri, Tabi’in, tsiqah. 3) Ibnu Sa’ad : Ibnu Sirrin itu tsiqah, ma’mûn, mempunyai banyak ilmu, seorang ahli fikih dan wara’. 4) Himad bin Zaid dari ‘Asim al-Ahwal : Saya tidak melihat seorangpun yang lebih faqih didalam kewara’annya dan yang lebih wara’ didalam kefaqihannya dari Muhammad bin Sirrîn. 5) Ibnu Hibban : Muhammad bin Sirrîn adalah seorang penduduk Basrah yang wara’, seorang yang faqîh dan hâfiz. 50 Melihat pernyataan-pernyataan kritikus hadis di atas dapat disimpulkan bahwasnya Muhammad bin Sirrîn itu adalah seorang yang tsiqah dan juga wara’. Tidak ada satupun para kritikus hadis yang mencelanya, dan mereka semua memujinya. Dengan demikian, pernyataan yang menyatakan bahwa Muhammad bin Sirrîn menerima hadis dari Abî Bakrah itu dapat dipercaya kebenarannya. Dan itu berarti sanad antara Muhammad bin Sirrîn dan Abî Bakrah dalam keadaan bersambung.
49
Lihat, al-Asqalânî, Tahzîb at-Tahzîb, juz VII, h. 200-201.
50
Lihat, al-Asqalânî, Tahzîb at-Tahzîb, juz VII, h. 201.
52
5.
Abû Bakrah a. Nama lengkapnya: Nufa’i bin Masruh, ia juga disebut dengan Nufa’i bin al-Haris bin Kaladah bin ‘Amr bin ‘Alaj bin Abî Salmah bin Abdul ‘Uzza bin ‘Abdah bin Qais dari Bani Saqif. 51 b. Guru dan muridnya dalam periwayatan hadis: Abî Bakrah banyak meriwayatkan hadis yang secara langsung didengarnya dari Rasulullah Saw., sedangkan murid-muridnya antara lain: anaknya Ibnu Abî Bakrah, Ibnu Sirrîn, Hasan al-Basrî, ‘Abdurrahmân bin Jausyan dan lain-lain. 52 c. Pernyataan kritikus hadis tentang dirinya: • Hasan al-Basrî berkata: Tidak ada seorang sahabat dari penduduk Basrah yang lebih utama daripada Imran bin Husain bin Abî Bakrah. 53 Dalam meriwayatkan hadis ini Abî Bakrah menyandarkan pada
pendengarannya langsung (as-sama’) dari Nabi Muhammad saw. Sedangkan lambang periwayatan yang mengindikasikan sima’ adalah kata anna. Setelah sanad hadis yang disebut kedua ini diteliti dengan mukharrijnya Ahmad bin Hanbal yang melalui Ismâ’il, ternyata seluruh periwayatnya bersifat tsiqah (adil dan dabt), dan sanadnya bersambung. Dengan demikian sanad hadis tersebut berkualitas sahih.
51
Lihat, al-Asqalânî, Tahzîb at-Tahzîb, juz VIII, h. 537
52
Lihat, al-Asqalânî, Tahzîb at-Tahzîb, juz VII, h. 537
53
Lihat, al-Asqalânî, Tahzîb at-Tahzîb, juz VII, h. 538
53
C. Kualitas Matan Tentang Asyhur al-Hurum 1. Pengertian dan Metodologi Kritik Matan Menurut bahasa, kata matan berasal dari bahasa Arab ﻣﺘﻦartinya punggung jalanan (muka jalan) 54 , tanah yang keras dan tinggi. Matan menurut ilmu hadis adalah penghujung sanad, yakni sabda Nabi Muhammad Saw., yang di sebut sesudah habis disebutkan sanad. 55 Matan hadis adalah isi hadis. Matan hadis materi berita yang disandarkan oleh Nabi Muhammad Saw. baik perkataan, perbuatan, maupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh Nabi. 56 Kritik matan hadis termasuk kajian yang jarang dilakukan oleh muhadditsîn, jika dibandingkan dengan kegiatan mereka terhadap kritik sanad hadis. Menurut mereka bagaimana mungkin dapat dikatakan hadis Nabi Saw. kalau tidak ada silsilah yang menghubungkan kita sampai kepada sumber hadis (Nabi Muhammad Saw.). Belum dapat dikatakan sebagai hadis, apabila tidak ditemukan rangkaian perawi sampai kepada Rasulullah Saw. Sebaliknya, tidaklah bernilai
sanad
hadis
yang
baik,
kalau
matan-nya
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan keabsahannya. 57 Jadi, Untuk mengetahui sahîh atau tidaknya suatu matan diperlukan suatu penelitian matan yang bisa disebut kritik matan (naqd al-matan). Kritik matan ini adalah upaya mengkritisi materi atau pembicaraan yang disampaikan oleh sanad yang terakhir untuk diketahui kesahihan matan tersebut. 54
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta : Hidakarya Agung, 1990), h. 410.
55
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 168 70 56 Fathurrahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, h. 23. 57 Bustamin dan M. Isa, Metodologi Kritik Hadis, h. 5.
54
Perlunya kritik matan hadis tidak hanya karena keadaan matan itu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh keadaan sanad saja, tetapi juga karena ada permasalahan di dalam metode periwayatannya. Adanya periwayatan secara makna menyebabkan penelitian matan tersebut terlebih dahulu telah beredar pada sejumlah periwayat yang berbeda generasi dan tidak jarang juga berbeda latar belakang budaya dan kecerdasan, sehingga menyebabkan timbulnya perbedaan penggunaan dan pemahaman dalam suatu kata ataupun istilah. Penggunaan pendekatan bahasa dalam penelitian matan sangatlah diperlukan. Karena sangat membantu kegiatan penelitian yang berhubungan dengan kandungan petunjuk dari matan hadis yang bersangkutan. Untuk meneliti matan hadis dari segi kandungannya, seringkali diperlukan penggunaan pendekatan rasio, sejarah dan prinsip pokok ajaran Islam. Penelitian matan dengan beberapa macam pendekatan tersebut ternyata memang masih tidak mudah dilakukan, apalagi terhadap kandungan matan hadis yang berhubungan dengan masalah keyakinan tentang hal-hal yang gaib dan petunjuk agama yang bersifat ta’abudi. Dengan begitu, penelitian matan hadis memang membutuhkan kecerdasan si peneliti dalam menggunakan cara pendekatan yang relevan dengan masalah yang diteliti. Kesulitan penelitian matan juga disebabkan masih sangat sedikitnya kitab-kitab yang secara khusus membahas kritik matan. 58 Dalam memahami matan sebuah hadis diperlukan juga sebuah penafsiran situasional/kontekstual. Menurut Fazlul Rahman, bahwa pemahaman beberapa doktrin pokok harus dimodifikasi dan ditegaskan kembali. Harus ditafsirkan 58
Muhammad Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992, h. 27-28.
55
menurut presfektif historisnya yang tepat dan menurut fungsinya yang tepat dalam konteks kesejarahan. Harus dikemukakan secara tegas bahwa suatu relevansi terhadap aneka ragam unsur dalam hadis dan reinterpretasi yang sempurna selaras dengan perubahan dengan perubahan-perubahan kondisi sosial moral dewasa ini mesti dilakukan. 59 Sementara itu, kesahihan matan hadis menurut ulama hadis tampaknya beragam, seperti yang dikemukakan oleh Khatîb al-Bagdâdî (W. 463 H/1072 M) bahwa suatu matan hadis dapat dinyatakan maqbul (diterima) sebagai matan hadis yang sahîh apabila memenuhi beberapa syarat, yaitu: 1) Tidak bertentangan dengan akal sehat. 2) Tidak bertentangan dengan al-Qur'an. 3) Tidak bertentangan dengan hadis mutawâtir. 4) Tidak bertentangan dengan kesepakatan ulama masa lalu (salaf). 5) Tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti. 6) Tidak bertentangan dengan hadis ahâd yang kualitasnya lebih kuat. 60 Tolak ukur yang dikemukakan di atas, hendaknya tidak satupun matan hadis yang bertentangan dengannya. Sekiranya ada, maka matan hadis tersebut tidak dapat dikatakan matan hadis yang sahih. Ibn al-Jauzî (W. 597 H) memberikan kaedah kesahihan matan secara singkat, yaitu setiap hadis yang bertentangan dengan akal sehat ataupun berlawanan dengan ketentuan pokok agama, pasti hadis tersebut tergolong hadis
59
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas Studi Atas Pemikiran Fazlul Rahman, (Bandung: Mizan, 1995), h. 73. 60 Salah al-Dîn bin Ahmad al-Adlabî, Manhaj Naqd al-Matan, (Beirut: Dâr al-Afaq alJadidah, 1403 H/1983 M), h. 126.
56
maudû', 61 karena Nabi Saw., tidak mungkin menetapkan sesuatu yang bertentangan dengan akal sehat, demikian pula terhadap ketentuan pokok agama, seperti menyangkut aqidah dan ibadah. Kemudian Salah al-Dîn al-Adlabî di dalam kitabnya Manhaj Naqd alMatan, beliau mengambil jalan tengah dari dua pendapat di atas, ia mengatakan bahwa kriteria kesahihan matan ada empat : 1) Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur'an. 2) Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat. 3) Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera, sejarah. 4) Susunan pernyataannya menunjukan ciri-ciri sabda kenabian.62 Dalam melakukan penelitian terhadap matan ini, penulis menggunakan beberapa pendekatan, seperti pendekatan dengan membandingkan hadis lain yang masyhur dan juga dengan pendekatan al-Qur’an.
2. Kritik Matan Hadis Tentang Asyhur al-Hurum Untuk mengetahui status kehujjahan hadis, penelitian sanad dan matan memiliki kedudukan yang sama penting, meskipun dalam prakteknya penelitian sanad didahulukan atas penelitian matan. Karena menurut ulama hadis, sebuah hadis barulah dinyatakan berkualitas sahih (sahîh li zatih) apabila sanad dan matannya sama-sama berkualitas sahih. 63 Sedangkan yang menjadi unsur utama yang harus dipenuhi oleh suatu matan yang berkualitas sahih adalah terhindar dari 61
Abû Fajr 'Abd al-Rahmân bin 'Alî bin al-Jauzî, al-Maudû'at, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1403 H/1983 M), h. 106. 62 Salah al-Dîn bin Ahmad al-Adlabî, Manhaj Naqd al-Matan, h. 126. 63 Lebih lanjut lihat M. Syhuhudi Ismail, kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1995, h. 122-123.
57
syuzûz (kejanggalan) dan terhindar dari ‘illat (cacat). Untuk itu penulis akan melakukan penelitian ini dengan mengunakan metode penelitian matan hadis dari metode-metode matan hadis yang ada. 64 Adapun langkah-langkah kegiatan penelitian matan hadis yang penulis gunakan yakni: (1) meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya, (2) meneliti susunan lafal matan yang semakna, dan (3) meneliti kandungan matan hadis. 1.
Meneliti Matan Hadis dengan Melihat Kualitas Sanad Suatu matan hadis tidaklah berarti apabila sanadnya diragukan dan bahkan tidak dipercaya. Dan dari hasil penelitian sanad hadis yang telah dilakukan, jalur yang difokuskan dan diutamakan penulis yakni Ahmad bin Hanbal melalui Ismâ’il bin Ibrahim dan seluruh periwayatnya dalam keadaan bersambung antara guru dan murid dan mereka semua bersifat tsiqah. Keshahihan sanad Ahmad bin Hanbal tersebut dapat mewakili sanad-sanad dari para mukharrij lainnya. Dan dari kualitas sanad Ahmad bin Hanbal, telah memenuhi langkah pertama kritik matan untuk hadis yang bersangkutan yang telah diteliti.
2.
Meneliti Susunan Lafal Matan yang Semakna Pada dasarnya perbedaan yang ada dalam redaksi matan dengan hadis yang sejalur dengannya karena periwayatan secara makna yang menurut ulama hadis masih dapat ditoleransi kesahihannya, sepanjang tidak bertentangan dan menyalahi kandungan makna hadis dari Rasulullah saw. Apakah karena pergantian lafal, perbedaan struktur, baik pengungkapannya
64
M. Syuhudi Ismail, kaedah Kesahihan Sanad Hadis, h. 121-122.
58
sempurna atau tidak, semuanya itu masih dapat diterima sebagai hadis atau sabda yang berasal dari Rasulullah. Untuk memperjelas adanya perbedaan lafal yang dimaksud, berikut akan dikemukakan contoh perbedaan dari lafal hadis tersebut.
ض اﻟﺴﱠ َﻨ ُﺔ اﺛْﻨَﺎ َ ْت وَاﻟَْﺄر ِ ﺴ َﻤﻮَا ﻖ اﻟﻠﱠ ُﻪ اﻟ ﱠ َ ﺧَﻠ َ ن َﻗﺪْ اﺳْ َﺘﺪَا َر َآ َﻬﻴْ َﺌ ِﺘ ِﻪ َﻳﻮْ َم َ ن اﻟ ﱠﺰﻣَﺎ أَﻟَﺎ ِإ ﱠ.1 ﺤﺮﱠ ُم َ ﺠ ِﺔ وَا ْﻟ ُﻤ ﺤﱠ ِ ْﺣ ُﺮمٌ ﺛَﻠَﺎثٌ ُﻣﺘَﻮَاﻟِﻴَﺎتٌ ذُو اﻟْ َﻘﻌْ َﺪ ِة وَذُو اﻟ ُ ٌﺷﻬْﺮًا ﻣِﻨْﻬَﺎ َأرْ َﺑﻌَﺔ َ ﺸ َﺮ َﻋ َ 65 ن َ ﺷﻌْﺒَﺎ َ ﺟﻤَﺎدَى َو ُ ﻦ َ ْﻀ َﺮ اﱠﻟﺬِي َﺑﻴ َ ﺐ ُﻣ ُ ﺟ َ َو َر ﺸ َﺮ َﻋ َ ض اﻟﺴﱠ َﻨ ُﺔ اﺛْﻨَﺎ َ ْت وَاﻟَْﺄر ِ ﺴﻤَﺎوَا ﻖ اﻟﻠﱠ ُﻪ اﻟ ﱠ َ ﺧَﻠ َ ن َﻗﺪْ اﺳْ َﺘﺪَا َر َآ َﻬﻴْ َﺌ ِﺘ ِﻪ َﻳﻮْ َم َ ن اﻟ ﱠﺰﻣَﺎ ِإ ﱠ.2 ﺐ ٌ ﺟ َ ﺤﺮﱠ ُم َو َر َ ﺠ ِﺔ وَا ْﻟ ُﻤ ﺤﱠ ِ ْت ذُو اﻟْ َﻘﻌْ َﺪ ِة وَذُو اﻟ ٌ ﺣ ُﺮمٌ ﺛَﻠَﺎﺛَﺔٌ ُﻣ َﺘﻮَاِﻟﻴَﺎ ُ ﺷَﻬْﺮًا ﻣِﻨْﻬَﺎ َأرْ َﺑ َﻌ ٌﺔ 66 ن َ ﺷﻌْﺒَﺎ َ ﺟﻤَﺎدَى َو ُ ﻦ َ ْﻀ َﺮ اﱠﻟﺬِي َﺑﻴ َ ﺷﻬْ ُﺮ ُﻣ َ ﺸ َﺮ ﺷَﻬْﺮًا َﻋ َ ض اﻟﺴﱠ َﻨ ُﺔ اﺛْﻨَﺎ َ ْت وَاﻟْ َﺄر ِ ﺴ َﻤﻮَا ﻖ اﻟ ﱠ َ ﺧَﻠ َ ن َﻗﺪْ اﺳْ َﺘﺪَا َر َآ َﻬﻴْ َﺌ ِﺔ َﻳﻮْ َم ُ اﻟ ﱠﺰﻣَﺎ.3 ﻀ َﺮ َ ﺐ ُﻣ ُ ﺟ َ ﺤﺮﱠ ُم َو َر َ ﺠ ِﺔ وَا ْﻟ ُﻤ ﺤﱠ ِ ْﺣ ُﺮمٌ ﺛَﻠَﺎﺛَﺔٌ ُﻣﺘَﻮَاﻟِﻴَﺎتٌ ذُو اﻟْ َﻘﻌْ َﺪ ِة وَذُو اﻟ ُ ﻣِﻨْﻬَﺎ َأرْ َﺑ َﻌ ٌﺔ 67 ن َ ﺷﻌْﺒَﺎ َ ﺟﻤَﺎدَى َو ُ ﻦ َ ْاﱠﻟﺬِي َﺑﻴ Pada ketiga matan di atas tampak adanya perbedaan lafal, tetapi perbedaan lafal itu tidak begitu menonjol, misalnya pada awal matan ada yang di awali dengan kata اﻻdan ن ّ اbahkan langsung dengan kata اﻟﺰّﻣﺎن. Kemudian di tengahtengah kalimat seperti pengunaan kata ﺛﻼث ﻣﺘﻮاﻟﻴﺎتdan ﺛﻼﺛﺔ ﻣﺘﻮاﻟﻴﺎت. Dan di akhir kalimat ada yang memakai kata ﺷﻬﺮdan tidak, yakni ورﺟﺐ ﻣﻀﺮاﻟﺬى ﺑﻴﻦ ﺟﻤﺎد وﺷﻌﺒﺎن dan ورﺟﺐ ﺷﻬﺮ ﻣﻀﺮاﻟﺬى ﺑﻴﻦ ﺟﻤﺎد وﺷﻌﺒﺎن. Dengan demikian, apabila ditempuh metode muqaranat terhadap perbedaan lafal pada berbagai matan yang semakna, maka dapat dinyatakan bahwa perbedaaan lafal tersebut masih dapat ditoleransi. Pernyataan dapat ditoleransi didasarkan atas alasan bahwa di antara sanad-sanad dari hadis di atas sama-sama sahih. 65
Matan hadis seperti ini diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal
66
Matan hadis seperti ini diriwayatkan oleh Muslim dan al-Baihaqî
67
Matan hadis seperti ini diriwayatkan oleh al-Bukhârî dan Abû Daud
59
3.
Meneliti Kandungan Matan Hadis Adapun yang dianggap penting diperhatikan terhadap kandungan matan hadis adalah matan hadis yang sejalan atau tidak bertentangan dan yang bertentangan. Namun dalam hadis di atas, setelah diteliti, kandungan matannya dapat dipertanggung jawabkan, karena hadis-hadis yang serupa juga banyak terdapat didalam kitab hadis. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari:
ﻦ ِ ْﻋﻦْ اﺑ َ ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ َ ﻋﻦْ ُﻣ َ ب َ ﻋﻦْ َأﻳﱡﻮ َ ﻦ َزﻳْ ٍﺪ ُ ْﺣﻤﱠﺎ ُد ﺑ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ ب ِ ﻋﺒْ ِﺪ اﻟْ َﻮهﱠﺎ َ ﻦ ُ ْﻋﺒْ ُﺪ اﻟﻠﱠﻪِ ﺑ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ .1 ْن َﻗﺪ َ ن اﻟ ﱠﺰﻣَﺎ ل ِإ ﱠ َ ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ﻲ ﻋﻦْ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ َ ﻋﻦْ َأﺑِﻲ َﺑﻜْ َﺮ َة َ َأ ِﺑﻲ َﺑﻜْ َﺮ َة ﺷﻬْﺮًا ِﻣﻨْﻬَﺎ َ ﺸ َﺮ َﻋ َ ض اﻟﺴﱠ َﻨ ُﺔ اﺛْﻨَﺎ َ ْت وَاﻟَْﺄر ِ ﺴ َﻤﻮَا ﻖ اﻟﻠﱠ ُﻪ اﻟ ﱠ َ ﺧَﻠ َ اﺳْ َﺘﺪَا َر َآ َﻬﻴْ َﺌ ِﺘ ِﻪ َﻳﻮْ َم ﻀ َﺮ اﱠﻟﺬِي َ ﺐ ُﻣ ُ ﺟ َ ﺤﺮﱠ ُم َو َر َ ﺠ ِﺔ وَا ْﻟ ُﻤ ﺤﱠ ِ ْﺣ ُﺮمٌ ﺛَﻠَﺎثٌ ُﻣ َﺘﻮَاِﻟ َﻴﺎتٌ ذُو اﻟْ َﻘﻌْ َﺪ ِة وَذُو اﻟ ُ َأرْ َﺑ َﻌ ٌﺔ 68 .ن َ ﺷﻌْﺒَﺎ َ ﺟﻤَﺎدَى َو ُ ﻦ َ َْﺑﻴ Hadis dari al-Bukhari ini tidak diragukan lagi kesahihannya dan telah memenuhi syarat untuk dilakukukan kegiatan muqaranat (perbandingan) dengan kandungan matan hadis riwayat Ahmad bin Hanbal yang diteliti. Hadis riwayat Ahmad bin Hanbal mengandung petunjuk tentang keharaman empat bulan yang mana telah dijelaskan di dalam hadis. Dengan demikian, kandungan pernyataan kedua matan hadis tersebut sejalan, karena tidak ada perbedaan yang mencolok pada kedua matan hadis tersebut. Jadi, dengan menggunakan metode muqaranat (perbandingan), telah dapat diketahui dan dipertanggung jawabkan kesahihan matan hadis yang diteliti. Adapun muqaranat hadis tersebut dengan al-Qur’an, pada dasarnya tidak ada yang bertentangan dengan al-Qur’an, hanya saja di dalam al-Qur’an tidak 68
987
al-Bukhârî, al-Jami’ as- Sahîh (Sahîh Bukhârî), (Beirut: Dar al-Fikr, 1994) Juz II, h.
60
disebutkan nama bulan dari keempat bulan tersebut yakni berdasarkan surat atTaubah: 36 yang berbunyi :
ن ﻋﺪّة اﻟﺸﻬﻮر ﻋﻨﺪاﷲ اﺛﻨﺎ ﻋﺸﺮ ﺷﻬﺮا ﻓﻲ آﺘﺎب اﷲ ّا
.....ﻳﻮم ﺧﻠﻖ اﻟﺴﻤﻮات واﻷرض ﻣﻨﻬﺎ ارﺑﻌﺔ ﺣﺮم ذاﻟﻚ اﻟﺪّﻳﻦ اﻟﻘﻴّﻢ . 69 dalam hal ini, menurut al-Bukhari, sebab dari turunnya ayat ini adalah karena orang-orang jahiliyah dimasa dahulu banyak yang memutar balikan bulan haram tersebut yang mana telah ditetapkan pada masa itu, untuk itu turunlah ayat ini. Ayat di atas menerangkan bahwa Allah menegaskan kembali kepada mereka yang telah menghalalkan bulan haram ini untuk berperang, supaya tidak berperang pada bulan haram ini. Dan itu sudah merupakan ketetapan Allah yang kekal. Dan hal itu merupakan dosa yang amat besar di sisi Allah. Kemudian ayat tersebut dipertegas dengan Firman Allah surat al-Baqarah: 217 yang berbunyi :
……. ⌧ “Mereka bertanya tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:’ Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar…’” (QS. Al Baqarah:217). 70
Ayat di atas menerangkan bahwa kita tidak boleh berperang di dalam bulan haram tersebut (muharram, rajab, zulqa’dah dan zulhijjah). Karena hal itu merupakan perbuatan dosa besar dan dilarang oleh Allah. Dengan alasan-alasan di atas, maka telah memenuhi syarat apabila matan hadis riwayat Ahmad bin Hanbal dinyatakan terhindar dari syuzûz (kejanggalan) 69
Artinya: ”Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus……” 70 Al-Qur’an dan Terjemahnya, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, h. 52.
61
dan ‘illat (cacat). Itu berarti pula bahwa kaidah kesahîhan matan telah terpenuhi. Jadi kesimpulannya, matan hadis riwayat Ahmad bin Hanbal yang diteliti berkualitas sahih. Mengingat sanad hadis yang bersangkutan juga berkualitas sahih, maka dengan demikian, hadis tersebut berkualitas sahih.
D. Analisa Setelah penulis mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan bulan haram, baik itu dari persepektif al-Qur’an dan hadis yang berkaitan dengan tema yang dibahas, selanjutnya penulis akan mencocokkan lebih lanjut kaitan data-data yang telah disebutkan pada bab terdahulu. Pada dasarnya syariah telah menetapkan bulan-bulan yang terdapat dibulan hijriah, yakni yang sesuai dengan petunjuk Rasulullah Saw., baik secara qauliyah maupun fi’liyah. Dengan demikian, kedua belas bulan yang ada pada hadis terdahulu, yakni dari muharram sampai dengan zulhijjah sebenarnya sudah ada sebelum ajaran Rasulullah Saw. berkembang, yaitu sudah ada sejak zaman jahiliyah. Sehingga didalam pemaparannya tidak dijelaskan secara menyeluruh. Begitu juga dengan bulan haram, yakni bulan dimana ummat Islam dilarang untuk melakukan peperangan terhadap kafir Quraisy ini sudah diperintahkan sejak zaman sebelum Islam berkembang atau jahiliyah. Namun kenyataannya banyak terjadi penyimpangan yang dilakukan mereka pada masa itu, sehingga Allah dan Rasulnya menegaskan kembali didalam al-Qur’an dan hadisnya mengenai keharaman melakukan peperangan dibulan haram ini. Contohnya pada saat ini banyak terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh orang-orang non Islam yang inin menghancurkan Islam. Seperti zionis Israel
62
yang mana telah melanggar dan menghancurkan hak-hak manusia untuk hidup dan merdeka. Namun kenyataannya malah sebaliknya, mereka memerangi manusia, terutama ummat Islam di Palestina dengan membabibuta tanpa belas kasih dalam setiap bulannya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwasanya mereka orang-orang non Islam telah melanggar aturan yang dibuat oleh Allah dan Rasulnya mengenai keharaman berperang ini. Namun sebenarnya dalam hal ini kita ummat Islam seharusnya harus bangkit dan melawannya. Dikarenakan hal itu merupakan dosa besar dan harus segera dituntaskan demi kamslahatan ummat. Berkaitan dengan persoalan semacam ini, hukum Islam telah memberikan pedoman tersendiri yang menjamin terciptanya kesatuan dan menghindari keterpurukan.
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan dan penelitian yang dilakukan pada bab-bab terdahulu, maka penulis berkesimpulan bahwasanya hadis tentang empat bulan haram ini berkualitas sahih, sanadnya bersambung dan matannya tidak memiliki syaz atau cacat, dan dapat dipertanggungjawabkan ke-hujjah-annya. Walaupun terdapat perbedaaan dalam lafaz, namun hal itu tak begitu mempengaruhi dan mengurangi kesahihannya, karena maknanya sama. Kemudian berkaitan dengan penamaan Hijriah tersebut pada mulanya sudah ada sejak zaman Rasul melakukan hijrah dari Mekkah ke Madinah. Hijrah tersebut disebabkan oleh kejahatan para kafir quraisy Mekkah, namun pengesahan terhadap penamaan hijriah, tahun dan bulan hijriah dibentuk dimasa kepemimpinan sahabat, yakni di masa Khalifah ‘Umar bin Khattâb atas inisiatif dari para sahabat yang lainnya. Kemudian penamaan tentang bulan-bulan hijriah ini, seperti syawal dan lain-lain sudah ada sebelum Islam datang. Orang-orang Arab memberi nama bulan-bulan mereka dengan melihat keadaan alam dan masyarakat pada masamasa tertentu sepanjang tahun. Pemahaman Asyhur al-Hurum merupakan bulan haram yang empat yakni, muharram, rajab, zulqa’dah dan zulhijjah. Dimana bulan ini merupakan bulan yang mulia dan dimuliakan, dan bulan yang mengharamkan (melarang) bagi seseorang untuk berperang pada bulan haram ini terkecuali bila diserang oleh
63
64
musuh. Pelarangan ini disebabkan oleh zaman jahiliyah dahulu, yakni ketika orang-orang Yahudi tidak mentaati perintah Allah, justru mereka melakukannya, yakni memutarbalikan bulan yang sebenarnya dilarang oleh Allah dengan menghalalkannya. Hal inilah yang mendorong turunnya ayat al-Qur’an yang melarangnya dengan tegas. Agar mereka tidak melakukan perang, dan bagi yang melakukannya, maka dia akan mendapat dosa yang besar. Pada dasarnya Allah memilih bulan haram ini agar orang-orang Islam bisa hidup tenang dari peperangan yang telah dilakukan pada masa itu. Hal ini sudah terjadi sebelum masa Nabi. Dan pengharaman keempat bulan haram ini secara mutlak berasal dari hadis. Kemudian pengharaman terhadap bulan haram ini berlangsung terus-menerus dan tidak berhenti terkecuali bila ada uzur, yakni bila kita diperangi, maka kita harus melawannya. Dan melawan itu merupakan suatu kewajiban bilamana untuk mempertahankan jiwa dan raga serta bangsa.
B. Saran-saran Di zaman sekarang banyak sekali timbul konflik antara umat yang satu dengan umat yang lainnya, terutama umat Islam sendiri. Dalam hal ini hendaknya kita harus menghindari hal tersebut agar tidak terjadi konflik yang lebih luas, terutama dibulan haram yang penuh kemuliaan ini. Perselisihan dan perseteruan yang terjadi didalam masyarakat berkaitan dengan masalah bulan haram serta pelarangan berperang pada bulan tersebut, hendaknya dikembalikan kepada al-Qur’an dan al-Hadits. Pada dasarnya semua masyarakat, khususnya ummat Islam seharusnya dapat bersatu demi terwujudnya masyarakat Islam yang damai dan bersatu.
65
Dalam konteks sekarang kaum Yahudi sedang memerangi Islam, khususnya di Palestina, seharusnya kita hentikan. Karena mereka juga telah melanggar kehormatan bulan haram ini. Akhirnya penulis menyarankan kepada masyarakat khususnya umat Islam untuk senantiasa menghormati bulan-bulan haram yang mulia ini. Dan seharusnya kita menyebarkan perdamaian mulia tersebut.
dan menjaga perdamaian di bulan-bulan yang
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Hasyim, Kritik Matan Hadis “Versi Muhadditsin dan Fuqaha”, Yogyakarta: Teras, 2004. Adlabî, Salah al-Dîn bin Ahmad, al-, Manhaj Naqd al-Matan, Beirut: Dâr al-Afaq al-Jadidah, 1403 H/1983 M. Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas Studi Atas Pemikiran Fazlul Rahman, Bandung: Mizan, 1995. Amiruddin, Fathul Bâri (Penjelasan Kitab sahîh al-Bukhârî), Jakarta: Pustaka Azzam, 2007. Ais, “Sejarah Singkat Tahun Hijriah,” http://ais.blogsome.com/2007/01/19/Sejarah-Singkat-Tahun-Hijriah/ Asqalânî, Syihab ad-Din Ahmad bin ‘Ali bin Hajar, al-, Tahzîb at-Tahzîb, Beirut: Dâr al-Fikr, 1995. Asqalânî, Ahmad bin ‘Ali bin Hajar, al-, Fathul Bâri, Beirut: Dâr al-Kutub ‘Alamiyah, tth. Atabik ‘Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer (al-‘Asri) ArabIndonesia, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1998. Audah, ‘Ali, ”Dari Khazanah Dunia Islam”, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999. Azami, Muhammad Mustafâ, Manhaj al-Naqd ‘Inda al-Muhaditsîn, Riyâd : alUmmariyah, 1982. Azami, Muhammad Mustafa, “Memahami Ilmu Hadis”, Penterjemah: Meth Kiraha, Jakarta: Lentera, 1995. Baihaqî, Imâm al-Muhadditsîn al-Hâfiz al-Jalîl Abû Bakar Ahmad bin al-Husain bin ‘Alî, al-, al-Sunan al-Kubra, Beirut : Dâr al-Fikr, tth. Budiarto, Her, “Informasi Adanya Tahun Hijriyah Dalam Al-Qur’an,” http://herbudiarto.multiply.com/journal/item/559/Informasi_Adanya Tahun Hijrah_Dalam_Al-Quran Bughury, Subki, al-, “Hikmah Bulan Rajab” http://www.subkialbughury.com Bukhârî, Abu ‘Abdullâh Muhammad bin Ismâ’îl bin Ibrahîm, al-, al-Jami’ alSahîh (Sahîh Bukhârî), Bairut: Dâr al-Fikr, 1401H=1981M.
66
67
Bustamin, dan M. Isa H.A.Salam, metodologi kritik hadis, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. Chibikuro, “Arti Nama Bulan,” http://azharsmp13.wordpress.com Daruqutni, Abu al-Hasa ‘Ali bin ‘Umar bin Ahmad al-, Zikr Asma al-Tabiin wa man Ba’dahum mimman Shahhat Riwayatuh ‘an al-Siqat ‘Ind al-Bukhari wa Muslim, Beirut: Mu’assasat al-Kutub al-Saqafiyat, 1406 H = 1986 M. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, Jakarta, 1984. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1988. Faruqi, Ismâ’îl Razi, al-, Hijrah di Abad Modern, Penterjemah: Badri Saleh, Jakarta: Hikmah, 2000. Haekal, Muhammad Husein, Umar bin Khattab, Jakarta: PT. Pustaka Litera Antarnusa, tth. Hamidullah, Muhammad, Pengantar Studi Islam, Jakarta: Bulan Bintang, tth. Hanbal, Abû ‘Abdullâh Ahmad bin, Musnad Ahmad bin Hanbal, Beirut : alMaktabah Islami, 1978. Hanbali, Ibnu Rajab, al-, Latha’if al-Ma’arif, Beirut: Dâr al-Kutub ‘Alamiyah, 1989. Ibnu Salâh, Abû ‘Amr ‘Utsmân bin ‘Abd al-Rahmân, ‘Ulûm al-Hadîts, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1987. Ismail, Muhammad Syuhudi, Kaedah Kesahihan Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1995. _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _, Metodologi Penelitian Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1992. Jazuli, Ahzami Sami’un, Hijrah dalam Pandangan Al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani Press, 2006. Jauzî, Abû Fajr 'Abd al-Rahmân bin 'Alî bin, al-, al-Maudû'at, Beirut: Dâr al-Fikr, 1403 H/1983 M. Ma’luf, Luwis, Munjid, Beirut: Dar al-Masyrik, 1986.
68
Miracles, “Tahun Baru Hijriyah”, http://evys-reflection.blogspot.com/2006/01/tahun-baru-hijriyah.html Mizzî, Jamal ad-Din Abî Hajar Yusuf, al-, Tahzîb al-Kamal fi Asma’i ar-Rijal, Beirut: Dâr al-Fikr, 1994. Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997. Nasution, Harun, dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan, tth. Qattân, Manna Khalil, al-,“Studi Ilmu-Ilmu Qur’an”, Jakarta: PT. Pustaka Litera Antarnusa, 2004. Qusyairî, Abû Husain Muslim bin al-Hajjaj, al-, al-Jami’ al-Sahîh Muslim), Beirut: Dâr al-Kutub ‘Alamiyah, tth.
(Sahîh
Rahman, Fachtur, “Ikhtisar Musthalah Hadits”, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1991. Razi, Abû Muhammad ‘Abdurrahmân bin Abî Hâtim Muhammad bin Idris bin Munzir at-Tamimi ar-, Kitab al-Jarh wa at-Ta’dîl, Beirut: Dâr al-Fikr, 1952. Rifa’i, Muhammad Nasib, al-, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani, 1999. Salih, Muhammad Subhi, al-, ‘Ulûm al-Hadîts wa Mustalahuh, Beirut : Dâr alFikr, 1989. Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi Ash, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1997. Shihab, M.Quraish, Tafsir al-Misbah;Pesan,Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2000. Sijistânî, Abû Daud Sulaimân bin al-‘Asy’as, al-, Sunan Abi Daud, Beirut : Dâr al-Fikr, tth. Suhardi, Kathur, Sirah Nabawiyyah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997. Syafi’i, Imam Abû Muhammad Husein bin Mas’ud al-Farra’ al-Baghawi, al-, Tafsir al-Baghawi, Beirut : Dâr al-Kutub ‘Alamiyah, tth. Tabari, Abû Ja’far Muhammad bin Jarîr al-, Târikh al-Umam wa al-Mulûk, Beirut: Dâr al-Fikr, 1987. Wehr, Hans, A Dictionary of Modern Written Arabic, London : George Allen & Unwa Ltd., 1970.
69
Wensinck, A. J., al-Mu’jâm al-Mufahrâs li Alfâz al-Hadîts an-Nabawi, Leiden: Breeil, 1943. Wikipedia, “Kalender Hijriyah,” http://id.wikipedia.org/wiki/Kalender_Hijriyah Ya’kub, ‘Ali Mustafa, “Kritik Hadis”, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000. Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta : Hidakarya Agung, 1990. Zahabî, Imam Syamsuddîn Muhammad bin Ahmad bin ‘Usman, al-, Tazkirah alHuffaz, Beirut: Dâr al-Fikr, tth.