ANALISIS TERHADAP MATAN DAN SANAD HADIS TENTANG KETIDAKMUTLAKAN LAKI-LAKI DALAM PERWALIAN NIKAH
Nasaiy Aziz Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh Email:
[email protected]
ABSTRACT Guardian of marriage controversy among the scholars is due not described explicitly in the texts of the guardian of marriage, hence the differences in interpretation. A substantive difference in the harmonious marriage, some scholars are part of the guardian pillars of marriage which gave birth to a law of marriage without a guardian is not valid. While most other scholars, trustees are not part of the pillars of marriage, but as a complement alone, of this opinion later gave birth to a legal marriage without legal guardians remain valid. By knowing the statements, it is rational chances for women to be guardians of marriage can take place as well as in the case of a history of the practice of the prophet's wife Aishah, in the custody of wedlock. The hadith told that Aisha ever to marry his nephew with munzir Hafsah Abdurrahman bint Zubair, which is contrary to the hadith which states "whoever among women who married without the permission of her guardian, the illegitimate off”. Kata Kunci: Ketidakmutlakan laki-laki, Perwalian, Hadis Pendahuluan Hukum pernikahan mempunyai kedudukan yang amat penting dalam Islam, sebab hukum pernikahan mengatur tatacara kehidupan berkeluarga yang merupakan inti kehidupan masyarakat sejalan dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang melebihi makhluk-makhluk lainnya. Di antara ketentuan dalam hukum pernikahan Islam yang penting dikaji kembali adalah masalah perwalian dalam pernikahan. Hal ini karena keberadaan wali bagi perempuan merupakan rukun dalam pernikahan, sehingga jika tidak ada wali, maka perkawinan tidak sah. Ada beberapa hadis berkenaan dengan wali dalam pernikahan dan menjadi perbedaan pendapat ulama hadis dalam memahami matan dan sanad hadis. Perbedaan pendapat tersebut sekaligus berimplikasi kepada penentuan kriteria wali nikah. Sebagian mereka berpendapat laki-laki merupakan syarat mutlak dalam perwalian nikah, sementara lainnya berpendirian sebaliknya yaitu lak-laki bukan syarat mutlak dalam perwalian nikah. Berdasarkan uraian di atas, ditemukan dua perbedaan prinsipil yang saling berlawanan antara satu dengan lainnya. Di satu pihak mengatakan perempuan sama sekali tidak punya hak untuk menjadi wali dalam pernikahan, sementara dipihak lain mengatakan sebaliknya, bahwa perempuan bukanlah hal yang mustahil menjadi wali dalam pernikahan. Kedua pendapat tersebut masing-masing 194
Nasaiy Aziz : Analisis Sanad dan Matan Hadits tentang Ketidakmutlakan...
berdasarkan kepada dalil-dalil. Melihat penjelasan di atas, permasalahan yang ingin dibahas di sini adalah mengapa ulama hadis berbeda pendapat dalam memahami matan dan sanad hadis tentang wali dalam pernikahan. Penalaran Ulama Hadis Terhadap Hadis-Hadis Nikah Dalam pembahasan ini, akan dikaji hadis-hadis yang dianggap sebagai dalil oleh ulama fikih dalam perwalian nikah berdasarkan pemahaman sahabat dan ulama pensyarah hadis. Kajian ini lebih memberi penekanan pada segi pemahaman terhadap matan (teks) hadis, terutama dalam kedudukannya sebagai dalil kedua setelah al-Qur’an. Namun begitu, sanad akan dicantumkan sebanyak yang bisa diperoleh dan penilaian para rawi tentang hadis yang diriwayatkan. Kritik sanad akan diberikan terhadap tokoh yang diperselisihkan, sekiranya hal tersebut akan mempengaruhi nilai hadis. Hadis-hadis tersebut adalah : 1
ﻻ ﻧﻜﺎح إﻻ ﺑﻮﱃ: ﻗﺎل رﺳﻮ ل ﷲ ﷺ: ﻋﻦ اﰉ ﻣﻮ س ﻗﺎل
“Dari Abu Musa ra, ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: tidak sah nikah tanpa wali. (HR. al-Tirmidzi) Menurut al-Tirmidzi hadis ini masuk dalam ketegori hasan shahih. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat tentang keshahihan hadis tersebut disebabkan beberapa segi; (1) al-Tirmidzi menganggap shahih semua riwayat yang berdasarkan kepada Abu Ishaq, kecuali riwayat Syu’bah dan al-Tsauri. Keberatan terhadap dua orang tersebut menurut al-Tirmidzi, karena keduanya bersamaan waktu dan tempat ketika mendengar hadis dari Abu Ishaq, 2 di sini berarti semua riwayat yang berdasarkan Abu Ishaq tersebut shahih. Dengan demikian, keshahihan hadis tersebut masih dapat diragukan;3 (2) al-Tirmidzi juga mengakui lemahnya riwayat yang tidak berdasarkan kepada Abu Ishaq (langsung kepada Abu Burdah) dalam arti sanadnya terputus; (3) dalam riwayat Abu Dawud terjadi kekeliruan sanad pada Yunus, Ismail dan Abu Burdah dari satu riwayat Yunus dan Ismail bersama-sama meriwayatkan hadis pada Abu Ishaq. Seakan-akan dalam sanad tersebut ada dua Burdah.4 Padahal bila dilihat dalam sanad al-Tirmidzi tidak dijumpai dua orang Abu Burdah. Percabangan sanad dapat dilihat dalam skema berikut:
_____________ 1
Al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwazi bi Syarh Jami’ al-Tirmidzi, juz. IV, 227. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad, dan al-Hakim. 2 Menurut keterangan al-Tirmidzi, Syu’bah mengakui pernah mendengar pertanyaan dari al-Tsauri pada Abu Ishaq tentang kebenaran hadis ini yang diterima dari Abu Burdah, dan Abu Ishaq mengiyakannya; al-Mubarakfury, Tuhfah al-Ahwazi.., 230 3 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, jil. IV (Beirut: Dar al-Fikr, t. th), 102 4 Hal ini terjadi karena dalam satu riwayat, Abu Dawud menyatakan Yunus pernah berjumpa dengan Abu Burdah. Bahkan di tempat lain secara tegas beliau mengakui kelemahan hadis tersebut. Ahmad al-Sahar Nafuri, Bazl al-Juhud fi hil Abi Dawud, juz. IX (Beirut: Dar alKutub al-Ilmiyah, t. th), 82 Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 2, Juli 2012
195
Taswir 1: Sanad hadis tentang persyaratan wali nikah.5 Abu Musa Abu Burdah Abu Ishaq
Abu Burdah Yunus dan Ismail dan Ismail
Ubaidah Al Haddad
Syarik Ismail bin Abdullah
Ali Ibnu Hujri
Yunus bin Abi Ishaq
Zaid bin Ubaidah Hubbab
Abd Rahman bin Mahdy Muhammad bin Qudamah Abu Dawud
Bundar al-Tirmidzi
Yunus bin Abi Ishaq
al-Tirmidzi
Al-Haddad
Abdullah bin Ziyad Syu’bah dan al-Tsauri al-Tirmidzi al-Tirmidzial-Tirmidzi
Berdasarkan penilaian di atas, sanad hadis tersebut lemah. Dengan demikian, kualitas hasan shahih yang diberikan al-Tirmidzi dianggap terlalu tinggi. Selayaknya diturunkan ke tingkat yang lebih rendah. Di samping hadis Abu Musa tersebut di atas, ada hadis lain dari Aisyah:6
أﳝﺎ اﻣﺮأة ﻧﻜﺤﺖ ﺑﻐﲑ إذن ﻣﻮاﻟﻴﻬﺎ ﻓﻨﻜﺎﺣﻬﺎ ﻃﻞ ﺛﻼث ﻣﺮات ﻓﺈن دﺧﻞ: ﻗﺎل رﺳﻮل ﷲ ﷺ: ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻗﺎﻟﺖ .ﺎ ﻓﺎﳌﻬﺮ ﳍﺎ ﲟﺎ أﺻﺎب ﻣﻨﻬﺎ ﻓﺈن اﺷﺘﺠﺮوا ﻓﺎﻟﺴﻠﻄﺎن وﱃ ﻣﻦ ﻻ وﱃ ﻟﻪ “Dari Aisyah, Rasulullah Saw. bersabda: Siapapun di antara perempuan yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal. Jika lak-laki telah menyenggamainya, maka perempuan itu berhak atas maharnya, karena ia telah menghalalkan kehormatannya. Jika pihak wali enggan menikahkannya, maka penguasalah (hakim) yang bertindak menjadi wali terhadap orang yang tidak ada walinya. (HR. Abu Daud) Mengenai percabangan sanadnya dapat dilihat dalam taswir nomor 2, di mana al-Tirmidzi menilai hadis ini sebagai hadis hasan, bahkan Ibnu Hibban dan Hakim menilainya shahih. Akan tetapi ulama-ulama hadis lainnya masih meragukan keshahihan hadis tersebut. Keraguan itu terjadi pada Zuhri. Pernyataan tersebut sangat berkembang di kalangan ulama hadis. Untuk jelasnya dapat dilihat pada skema berikut:
_____________ 5
Ibnu Qayyim, Aun al-Ma’bud..., 101-102; al-Mubarakfuri, Tuhfah al Ahwazi..., 228; Ahmad al-Sahar, Bazl al-Juhud..., 80 6 Ahmad al-Sahar, Bazl al-Juhud..., 79. Selain Abu Daud, hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ahmad. 196
Nasaiy Aziz : Analisis Sanad dan Matan Hadits tentang Ketidakmutlakan...
Taswir 3: Sanad hadis tentang perwalian nikah.7 Aisyah
Urwah
Ibn Syihab
Jakfar(Ibn Rabi’ah)
Zuhri
Sulaiman Ibn Musa
Ibn Lahi’ah
Ibn Juraij
Al-Qa’nabi
Sufyan bin Abi Uyainah Muhammad bin Kasir
Abu Dawud
Abu Dawud
Ibn Abi Umar
al-Turmizi
Menurut riwayat, Ibnu Juraij pernah berjumpa dengan Zuhri dan menanyakan hadis tersebut, beliau menjawab; “Saya tidak tahu”. Jawaban tersebut, - menurut ilmu hadis - dapat melemahkan kebenaran riwayatnya.8 Akan tetapi al-Tirmidzi, Ibnu Hiban dan Hakim - untuk membantah keraguan tersebut masih menganggap kejadian itu tidak mempengaruhi nilai keshahihan hadis. Karena tidak seorangpun dari ulama lain yang mengatakan demikian dari Ibnu Juraij kecuali Ibnu Uyainah sendiri. Padahal hadis ini diriwayatkan oleh segolongan ahli hadis dari Zuhri, tetapi mereka tidak menyebutkan keterangan tersebut darinya. Andai kata keterangan dari Zuhri itu benar, juga masih belum dapat dijadikan alasan untuk melemahkan hadis ini, karena orang yang meriwayatkan dari Zuhri itu termasuk pribadi-pribadi yang jujur, di antaranya Sulaiman bin Musa. Begitu juga mencacatkan nilai hadis andai kata Zuhri lupa terhadap dirinya, sebab tak ada orang yang dapat terpelihara dari kelupaan, demikian tambahan penjelasan mereka.9 Berdasarkan keterangan tentang pembenaran hadis ini yang diberikan oleh ulama-ulama tersebut kurang beralasan, karena pada hakikatnya mereka mengakui adanya kejadian tersebut, dan dengan demikian keshahihan hadis dimaksud pantas diragukannya. Di pihak lain juga ditemukan sorotan ulama tentang kebenaran hadis tersebut. Ibnu Qayyim al-Jauziyah salah seorang pensyarah Sunan Abi Dawud melalui riwayatnya dari al Qa’naby - mengatakan bahwa Jakfar (Ibnu Rabi’ah) _____________ 7
Ahmad al-Sahar, Bazl al-Juhud..., 79; Ibnu Qayyim, Aun al-Ma’bud..., 98; AlMubarafuri, Tuhfah al-Ahwazi..., 226 8 Al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwazi..., 227-228; al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, juz. VII (Beirut: Dar al-Fikr, t. th) 106; Ibnu Qayyim, Aun al-Ma’bud..., 99; al-Shan’ani, Subul al-Salam, juz. II, 118 9 Al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwazi…, 229; Al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, 106; Ibnu Qayyim, Aun al-Ma’bud ..., 99 Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 2, Juli 2012
197
tidak pernah mendengar hadis ini dari Zuhri. Hal ini didukung oleh penjelasan alBaihaqi dari Ibnu Mu’in, bahwa riwayat yang berdasarkan Ibnu Rabi’ah lemah, karena diragukan keadaan pribadinya. Bahkan menurutnya, Zuhri dianggap mengingkari riwayatnya dengan ucapan “idza zawwajat al-mar’ah bi ghairi idzni waliyyi hajaza”.10 Pendapat ini dipegang oleh al-Sya’bi, Abu Hanifah dan Zufar. Ahmad al-Sahar Nafuri salah seorang pensyarah Sunan Abi Dawud, juga menjelaskan kelemahan hadis ini di samping disebabkan ada keraguan riwayat yang terjadi pada Zuhri seperti tersebut di atas, termasuk juga karena hadis ini berlawanan dengan prakteknya sendiri, yaitu hadis tentang perkawinan anak saudaranya (Hafsah bint Abd al-Rahman dengan Munzir bin Zubair).11 Dari semua uraian di atas dapat dinyatakan nilai shahih yang diberikan Ibnu Hibban dan Hakim serta nilai hasan yang diberikan oleh al-Tirmidzi masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Kedua hadis tersebut di atas, sangat populer dan sering dikutip jumhur ulama sebagai dalil bahwa lak-laki sebagai syarat mutlak dalam perwalian nikah dibandingkan dengan hadis-hadis nikah lainnya. Kelihatannya jumhur ulama merasa mantap dengan isi hadis ini, karena persyaratan lak-laki sebagai wali untuk sahnya nikah tegas sekali disebutkan. Menyangkut dengan hadis Ibnu Abbas yang dijadikan sebagai dasar adanya wali (lak-laki) dalam pernikahan dapat dijelaskan sebagai berikut.
اﻷ ﱘ أﺣﻖ ﺑﻨﻔﺴﻬﺎ ﻣﻦ وﻟﻴﻬﺎ واﻟﺒﻜﺮ ﺗﺴﺘﺄﻣﺮوا ﰱ ﻧﻔﺴﻬﺎ وإذ ﺎﺻﻤﺎ: ﻗﺎل رﺳﻮل ﷲ ﷺ:ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس ﻗﺎل 12 .ﺎ “Dari Ibnu Abbas ra, Rasulullah Saw. bersabda: “Janda lebih berhak atas dirinya dari pada wali (dalam urusan perkawinan), bikr (perawan) diminta izin, izinnya adalah diam”. (HR. Abu Dawud) Al-Turmizi menilainya hasan shahih, sedang yang lainnya tidak memberi komentar. Mengenai percabangan sanad dapat dilihat dalam taswir nomor tiga. Taswir 3: Sanad hadis tentang persyaratan wali nikah.13 Ibnu Abbas
Nafi’ bin Jubir
Abdullah bin Fadhal
Malik bin Anas
Qutaibah
Al-Turmizi
Ahmad Ibn Yunus
Abu Dawud
_____________ 10
Ibnu Qayyim, Aun al-Ma’bud..., 101; Al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, 108 Ahmad al-Sahar, Bazl al-Juhud..., 85 12 Ahmad al-Sahar, Bazl al-Juhud...,105 13 Ibnu Qayyim, Aun al-Ma’bud..., 124; Al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwazi..., 244; Ahmad al-Sahar, Bazl al-Juhud..., 105 11
198
Nasaiy Aziz : Analisis Sanad dan Matan Hadits tentang Ketidakmutlakan...
Dalam riwayat Ahmad Ibnu Banbal, kata “al-ayyimu” tertulis “al-sayyibu”. Sedangkan dalam riwayat al-Tumuzi kata “tusta’maru” tertulis dengan “tusta’ dzanu”.14 Di tempat lain ada riwayat Abu Dawud yang berdasarkan Ibnu Abbas yang maksudnya sama seperti hadis berikut ini, yaitu:15
. . . ﻟﻴﺲ ﻟﻠﻮ ﱃ ﻣﻊ اﻟﺜﻴﺐ أﻣﺮ “Wali tidak punya hak campur tangan terhadap perkawinan janda . . .”. Dari beberapa kitab hadis yang dibaca, tidak ada komentar ulama hadis tentang sanad hadis ini. Oleh karena itu, jika dilihat dari segi sanadnya, hadis ini lebih kuat dibandingkan dengan hadis-hadis yang sebelumnya berkaitan dengan perwalian nikah. Bahkan dalam Shahih Muslim ditemukan hadis seperti ini yang matannya sedikit berbeda.16
: ﻗﺎﻟﻮا, ﻻ ﺗﻨﻜﺢ اﻷ ﱘ ﺣﱴ ﺗﺴﺘﺄﻣﺮ وﻻ ﺗﻨﻜﺢ اﻟﺒﻜﺮ ﺣﱴ ﺗﺴﺘﺄذن: ﻗﺎل رﺳﻮل ﷲ ﷺ: ﻋﻦ أﰉ ﻫﺮ ﻳﺮة ﻗﺎل أن ﺗﺴﻜﺖ: رﺳﻮل ﷲ وﻛﻴﻒ إذ ﺎ ؟ ﻗﺎل “Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Jangan nikahi (perempuan) janda sebelum diminta persetujuannya, dan jangan pula dinikahi (perempuan) bikr sebelum diminta izin. Mereka (para sahabat) bertanya kepada Rasulullah bagaimana izinnya? Rasulullah menjawab (izinnya) adalah diam”. Mengenai hadits tersebut, ulama-ulama hadis berkomentar bahwa terdapat perbedaan pendapat pada pemahaman matan hadis, ulama Hijaz - kata beberapa pensyarah hadis - kata “al-ayyimu” dipahami secara lahir yang artinya sama dengan arti kata “al-sayyibu” yaitu perempuan yang sudah tidak punya suami lagi baik karena meninggal atau karena cerai. Menurut mereka pengertian semacam ini didukung oleh hadis “al-sayyibu ahaqqu bi nafsiha” seperti telah disebutkan di depan kata al-sayyibu tidak mungkin dipahami selain dari itu.17 Dari pengertian tersebut, satu segi dapat dipahami hak ijbar wali masih berlalu terhadap perempuan dewasa yang masih bikr, dan sebaliknya di segi lain wali tidak punya hak ijbar terhadap perempuan janda yang masih kecil (belum dewasa). Di sini berarti janda atau tidaknya seseorang perempuan yang lebih dipentingkan dalam menentukan dewasa seseorang perempuan. Kesulitan yang timbul bagaimana cara membuktikan janda tidaknya seseorang dan bagaimana cara menentukan hak wali terhadapnya kalau perawannya hilang bukan karena alasan kawin seperti berzina atau hal-hal lain yang dapat hilangnya perawan tersebut. Pendapat ini berkembang di kalangan jumhur ulama fukaha. Terhadap pengertian tersebut di atas dibantah oleh ulama-ulama Kufah. Menurut mereka kata tersebut lebih tepat diartikan kepada “perempuan yang tidak punya suami baik sudah pernah kawin atau belum bikr ataupun janda”. Bahkan Ibnu Jarir mengatakan termasuk kedalam pengertian ini orang laki-laki ataupun _____________ 14
Ahmad al-Sahar, Bazl al-Juhud..., 108; Al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwazi..., 224 Ibnu Qayyim, Aun al-Ma’bud..., 127 16 Al-Nawawy, Syarh Shahih Muslim, juz. IX (Mesir, Musthafa al-Babi al-Halabi, t. th), 15
203 17
Abd Rahman al-Sayuthi, Faidh al-Qadir fi Syarh Jami’ al-Shaghir, juz. III (Beirut: Dar al-Fikr, 1937), 198; al-Nawawy, 204; al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwazi..., 244; Ibnu Qayyim, Aun al-Ma’bud..., 124 Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 2, Juli 2012
199
perempuan yang tidak punya pasangan.18 Pengertian semacam ini menunjukkan hak ijbar wali berlaku hanya terhadap perempuan yang masih kecil (belum dewasa) baik sudah kawin ataupun belum, di sini berarti perawan tidaknya seseorang perempuan tidak dipentingkan dalam menentukan kedewasaannya, tetapi yang lebih penting adalah sampai umur wanita tersebut. Pendapat ini lebih banyak berkembang di kalangan ulama-ulama Mazhab Hanafi. Terhadap pendapat Ibnu Jarir di atas bila di kaitkan dengan perwalian nikah kurang beralasan, karena semua ulama sepakat menetapkan terhadap lak-laki tidak diperlukan wali akad nikah. Selanjutnya para ahli hadis juga berbeda pendapat dalam memahami kalimat “ahaqqu bi nafsiha min waliyyiha”. Secara umum ulama hadis sepakat menetapkan bahwa antara wali dan perempuan sama-sama punya hak dalam pelaksanaan akad nikah. Suatu perkawinan dianggap tidak sempurna apabila kedua hak tersebut tidak dipenuhi. Perbedaan mereka terjadi di sekitar apakah hak di sini dimaksudkan dengan izin atau izin dan akad sekaligus.19 Ulama yang mengartikan hak tersebut dengan “izin” berarti yang berhak melaksanakan akad nikah adalah wali, sedang hak perempuan di sini adalah memberi izin atau menyetujuinya. Dengan demikian pelaksanaan perkawinan tanpa wali (lak-laki) dan tanpa izin dari perempuan tidak sah.20 Pendapat inilah yang berkembang di kalangan jumhur ulama yang menganggap lak-laki sebagai syarat mutlak dalam perwalian naikah. Hal ini menurut mereka sesuai dengan hadis-hadis lain tentang persyaratan wali dalam pernikahan, begitu juga sabaliknya perempuan punya hak untuk melangsungkan akad nikah tanpa sepengatahuan wali bila hak tersebut dipahami “dengan” izin dan akad sekaligus. Hak wali di sini hanya mengajukan pembatalan nikah melalui hakim jika perkawinan yang dilaksanakan perempuan dengan lak-laki yang tidak sejodoh dan bukan mahar misil.21 Pendapat seperti ini berkembang di kalangan mazhab Hanafi. Di sisi lain ada sebuah riwayat tentang praktek Aisyah dalam perwalian nikah. Hadis yang menceritakan Aisyah pernah mengawinkan anak saudaranya Habsah bint Abd al-Rahman dengan Munzir bin Zubair, lengkapnya sebagai berikut :
زوﺟﺖ ﺣﻔﺼﺔ ﺑﻨﺖ ﻋﺒﺪ اﻟﺮﲪﻦ اﳌﻨﺬرﺑﻦ. م. ﻋﻦ ﷴاﺑﻦ أﰉ ﺑﻜﺮ اﻟﺼﺪﻳﻖ رﺿﻰ ﷲ ﻋﻨﻪ أن ﻋﺎﺋﺸﺔ زوج اﻟﻨﱮ ص وﻣﺜﻠﻰ ﻳﺼﻨﺢ ﺑﻪ ﻫﺬا وﻣﺜﻠﻰ ﻳﻔﺘﺎت ﻋﻠﻴﻪ ﻓﻜﻠﻤﺖ: اﻟﺰﺑﲑ وﻋﺒﺪ اﻟﺮﲪﻦ ﻏﺎﺋﺐ اﻟﺸﺎم ﻓﻠﻢ ﻗﺪم ﻋﺒﺪ اﻟﺮﲪﻦ ﻗﺎل ﻣﺎ ﻛﻨﺖ ﻷرد أﻣﺮا ﻗﻀﻴﺘﻪ ﻓﻘﺮت: ﻓﺈن ذﻟﻚ ﺑﻴﺪ ﻋﺒﺪ اﻟﺮﲪﻦ ﻓﻘﺎل ﻋﺒﺪ اﻟﺮﲪﻦ: ﻋﺎﺋﺸﺔ اﳌﻨﺬرﺑﻦ زﺑﲑ ﻓﻘﺎل اﳌﺬر 22 .ﺣﻔﺼﺔ ﻋﻨﺪ اﳌﻨﺬر وﱂ ﻳﻜﻦ ذﻟﻚ ﻃﻼ ﻗﺎ “Dari Muhammad bin Abubakar al-Shiddiq bahwa Aisyah isteri Nabi Saw, telah mengawinkan Hafsah binti Abdul Rahman dengan Munzir Ibnu Zubair, pada hal ia (abd Rahman) berada di Negeri syam. Tatkala ia datang merasa kesal _____________ 18
Ibnu Qayyim, Aun al-Ma’bud..., 124; Ahmad al-Sahar, Bazl al-Juhud..., 169; dan alBaihaqi, 203 19 Al-Nawawy, Syarh Shahih..., 203 20 Al-Nawawy, Syarh Shahih..., 204; al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwazi…, 254; Ibnu Qayyim, Aun al-Ma’bud..., 125 21 Al-Nawawy, Syarh Shahih..., 204; Ibnu Qayyim, Aun al-Ma’bud..., 125 22 Muhammad Zakaria, Aujaz al-Malik ila Muwatta Imam Malik, 40 200
Nasaiy Aziz : Analisis Sanad dan Matan Hadits tentang Ketidakmutlakan...
terhadap perbuatan (Aisyah) tersebut lantas Aisyah memberitahukan (masalah tersebut) kepada Munzir bin Zubain. Masalah tersebut biar Abd Rahman yang menyelesaikannya, jawab Munzir, setelah itu Abd Rahman berkata: aku tidak pernah menolak kebijaksanaan Aisyah tersebut. Berdasarkan itu Hafsah (mengambil sikap untuk) tetap bersama Munzir, dan tidak pernah terjadi talak, hadis ini diriwayatkan oleh Malik dari Abd Rahman bin Qasim. Mengenai sanad hadis ini tidak ditemukan penjelasan secara lebih terperinci perbedaan mereka (ulama-ulama hadis) ditemukan di sekitar pemahaman hadis menurut al-Bakhy ada dua kemungkinan pemahaman isi yang terkandung dalam hadis tersebut yaitu : (1) Aisyah sendiri yang melaksanakan perkawinan tersebut. Riwayat ini di bantah oleh Ibnu Muzayyan dengan alasan yang demikian itu berlawanan dengan praktek ulama Madinah (amal ahlu al-Madinah), karena Imam Malik sendiri dan sejumlah fukaha lainnya tidak membolehkan wanita jadi wali nikah: (2) Sikap Aisyah terhadap perkawinan tersebut hanya menetapkan mahar dan kepentingan lainnya bukan bertindak sendiri sebagai wali. Ada kemungkinan yang menjadi wali dalam perkawinan tersebut salah seorang dari keluarga dekat (ashabah) Hafsah. Tetapi dalam riwayat tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut orang yang menjadi wali dalam pernikahan tersebut. Dari uraian di atas dapat dinyatakan dikarenakan kedua riwayat tersebut tidak disebutkan bukti secara konkrit secara ilmiah sulit dipertahankan kebenarannya namun menurut al-Mubarakfuri banyak ahli Hadis termasuk ke dalamnya muslim mengatakan bahwa Abd Rahman dan Ibn Munzer termasuk perawi yang kuat, masing-masing dikalangan sahabat dan tabi’in. Lebih lanjut al-Bakhy. Menjelaskan perkawinan antara Hafsah Abd Rahman dengan Munzir bin Zubair yang bapaknya Abd Rahman jauh di negeri Syam menurut mazhab Malik sama sekali tidak sah (tidak di bolehkan). Karena disamping Hafsah saat perkawinan masih dalam keadaan perawan juga termasuk kedalamnya dikarenakan bapak masih dalam keadaan hidup. Berbeda dari keterangan al-Bakhy diatas al-Zarqany juga termasuk salah seorang pensyarah kitab Muwaththa menjelaskan tindakan Aisyah tersebut dianggap sah dan tidak ada orang yang mewakilkan kepadanya, karena yang demikian itu merupakan keistimewaan Aisyah sebagai Isteri Rasulullah Saw. Perwalian dalam perkawinan dikarenakan walinya jauh (ghaib) tetap diperlukan andai kata yang melaksanakannya bukan isteri Rasulullah. Apabila mau dipertahankan kebenaran terhadap kesimpulan yang menyatakan bahwa Aisyah tersebut benar telah terjadi dan bahkan merupakan suatu contoh perkawinan yang diwalikan perempuan baik karena alasan bahwa itu merupakan keistimewaan ‘Aisyah sebagai Isteri Rasulullah Saw. Ataupun karena di setiap penjelasan menyangkut dengan perwalian nikah tidak pernah ada yang menafikannya pesoalan yanmg muncul kenapa sebagian ulama tidak pernah mempertimbangkan wali nikah dan bagaimana menghadapi hadis-hadis yang kebanyakannya berdasarkan wali dalam perkawinan yang juga kebanyakan berdasarkan dari ‘Aisyah sendiri. Kesimpulan semacam ini secara zhahir dapat dinyatakan ada dua hal yang saling berlawanan yang dilakukan oleh satu orang, di situ pihak ‘Aisyah mensyaratkan lak-laki sebagai wali dalam perkawinan dan di pihak lain dia sendiri melalui prakteknya menyatakan perempuan dibolehkan menjadi wali dalam pernikahan (mengawinkan Hafsah dengan Munzir).
Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 2, Juli 2012
201
Dari semua uraian di atas dapat dinyatakan perbedaan pendapat mereka dalam memahami matan hadis tersebut disebabkan lafazhnya terlalu umum. Keterkaitan jumhur ulama terhadap jalan pikiran pertama tersebut di atas - besar dugaan - dikarenakan hadis-hadis yang berkenaan dengan nikah yang disebutkan di depan dianggap sebagai pentakhsis keumuman hadis ini. Sebaliknya Mazhab Hanafi, disebabkan hadis-hadis tersebut di depan tidak dianggap sebagai penafsiran hadis ini - karena keshahihan sanad-sanadnya masih diragukan kebenarannya - maka kecondongan mereka lebih terfokus kepada jalan pikiran kedua. Menurut mareka adanya praktek ‘Aisyah yang diakui oleh semua ulama dalam hal ini jumhur ulama seperti yang telah disebutkan di depan merupakan salah satu sebab lemahnya hadis-hadis yang mensyaratkan lak-laki dalam perwalian nikah untuk dijadikan sebagai sumber hukum. 23 Di samping kedudukan sanad-sanad hadis tersebut diperselisihkan ulama tentang keshahihannya. Mereka tidak menjadikan hadis-hadis tersebut sebagai pengkhusus terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah nikah yang sifatnya umum. Berpegang kepada dalil-dalil yang sifatnya umum dalam menetapkan hukum lebih baik di bandingkan dengan dalil khusus yang bersifatnya lemah.24 Dari uraian di atas dapat dinyatakan ketidakmutlakan laki-laki dalam perwalian nikah terhadap perempuan dewasa dan berakal sehat menurut Mazhab Hanafi, bukan semata-mata didasarkan kepada praktek ‘Aisyah tersebut tetapi juga disebabkan oleh kesenangan mareka berpegang kepada dalil yang sifatnya umum dalam hal ini al-Qur’an di saat terjadi ta’arudh antara dua dalil dalam masalah yang sama. Perbedaan mareka dalam penetapan hukum pada dalil-dalil yang sama lebih banyak didasarkan berbeda dalam penalaran nas-nas tersebut. Kesimpulan Ulama hadis berbeda pendapat dalam memposisikan hadis yang berkenaan dengan wali nikah terhadap keumumam ayat-ayat nikah. Ulama hadis yang menganggap hadis yang berkenaan dengan wali nikah dimaksud sebagai penjelas keumuman ayat-ayat nikah, maka lak-laki menjadi syarat mutlak dalam perwalian nikah. Sementara ulama hadis lain berpendirian sebaliknya, maka lak-laki bukan syarat mutlak dalam perwalian hikah. Ulama hadis - dilihat dari segi sanad - tidak sepakat menetapkan keshahihan hadis. Ketidakshahihan suatu hadis dapat menyebabkan kurang dipercaya dalam menjadikannya sebagai sebuah hukum dalam pentakhshishan keumuman ayat-ayat nikah. Uraian tersebut menggambarkan bahwa perbedaan pendapat tentang kemutlakan laki-laki dan ketidakmutlakan laki-laki dalam perwalian nikah merupakan suatu hal yang wajar dan antara keduanya punya kebenaran tersendiri, jika dihubungkan dalil-dalil dan cara-cara mereka memahaminya
_____________ 23
Bahkan Hanafi beranggapan hadis Aisyah yang berhubungan dengan perkawinan hafsah dengan munzir sebagai nasikh terhadap hadis Aisyah yang mensyaratkan lak-laki dalam perwalian nikah atau sekurang-kurangnya dapat di anggap sebagai inkar rawi dalam Ilmu Mushthalah Hadits. Ibnu Al-Humam, Al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwazi..., 229 24 Al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwazi..., 232; Ahmad al-Sahar, Bazl al-Juhud..., 85 202
Nasaiy Aziz : Analisis Sanad dan Matan Hadits tentang Ketidakmutlakan...
DAFTAR PUSTAKA
Al-Baihaqi. Sunan al-Kubra, juz. VII. Beirut: Dar al-Fikr, t. th Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, jil. IV. Beirut: Dar al-Fikr, t. th Al-Mubarakfuri. Tuhfah al-Ahwazi bi Syarh Jami’ al-Tirmidzi, juz. IV Nafuri, Ahmad al-Sahar. Bazl al-Juhud fi hil Abi Dawud, juz. IX. Beirut: Dar alKutub al-Ilmiyah, t. th Al-Nawawy. Syarh Shahih Muslim, juz. IX. Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi, t. th al-Sayuthi, Abd Rahman. Faidh al-Qadir fi Syarh Jami’ al-Shaghir, juz. III. Beirut: Dar al-Fikr, 1937
Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 2, Juli 2012
203