PUSAT KAJIAN WANITA DAN GENDER UNIVERSITAS INDONESIA 2015
PROSIDING PKWG SEMINAR SERIES: Kebijakan Kesehatan dan Pelibatan Komunitas Dalam Menurunkan AKI/AKB di Indonesia
Editor : Khaerul Umam Noer Desain : Tim PKWG UI Sampul : “Mamalia Betina” oleh Dewi Candraningrum ISBN 978-602-72924-0-6
Hak cipta seluruh konten Prosiding ini ada di bawah Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia. Meskipun demikian, atas nama kepentingan pendidikan publik dan advokasi kebijakan untuk memajukan hak asasi perempuan, silahkan mengunduh di laman resmi kami dan/atau menggandakan konten Prosiding ini dengan tetap menyebutkan sumbernya. Terima kasih.
Cetakan pertama, Agustus 2015 Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia Ruang Kajian Gender, Gedung Rektorat UI Lt. 4, Kampus UI Salemba, Jakarta. Tlp/Fax. 021.3907407
[email protected]/
[email protected] http://www.pkwg.ui.ac.id FB. PKWG UI / T. @pkwg_UI
KATA PENGANTAR Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals [MDGs]) yang mulai dilaksanakan sejak tahun 2000 akan berakhir pada tahun ini. Terdapat delapan poin Tujuan Pembangunan Millenium, yaitu (1) memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrim, (2) mewujudkan pendidikan dasar untuk semua, (3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, (4) menurunkan angka kematian anak, (5) meningkatkan kesehatan ibu hamil, (6) memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya, (7) memastikan kelestarian lingkungan, dan (8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. Kedelapan tujuan tersebut masing-masing memiliki target, ada yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Dari segi waktu, perhitungan perbandingan mulai tahun 1990 dan pencapaian diharapkan terjadi pada tahun 2015. Di titik inilah penting untuk dilihat, apakah Indonesia sudah mencapai tujuan MDGs, khususnya untuk poin empat dan lima, yakni pada persoalan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Persoalan AKI dan AKB di Indonesia menjadi sangat krusial, sebab AKI/AKB di Indonesia memiliki kecenderungan untuk meningkat di setiap tahunnya. Hingga tahun 2012, AKI/AKB di Indonesia mencapai 359 kasus per 100.000 kelahiran, meningkat tajam dari 228 kasus per 100.000 kelahiran pada 2007. Banyak faktor yang mendorong laju AKI/AKB di Indonesia antara lain: perkawinan di usia terlalu muda atau terlalu tua, terlalu sering melahirkan, keterlambatan dalam mencapai fasilitas melahirkan, keterlambatan dalam asistensi proses kelahiran, ketidaktahuan atas kelahiran yang berisiko, dan lain-lain. Adalah penting untuk melihat sejauhmana pemerintah, baik pusat maupun daerah memahami betapa krusialnya Prosiding PKWG Seminar Series | i
persoalan AKI/AKB, bagaimana program-program yang secara khusus dirancang untuk menurunkan AKI/AKB, dan bagaimana pemerintah memberikan jaminan akses kesehatan bagi seluruh penduduk. Pemerintah sendiri sudah mencoba menekan AKI/AKB melalui sejumlah kebijakan strategis, misalnya dengan menambah fasilitas kesehatan dasar maupun penyebaran tenaga kesehatan/tenaga terlatih untuk menolong persalinan hingga ke desa, berbagai program seperti pembentukan Crisis Center Mother and Child Health, hingga membuka akses yang lebih luas bagi ibu hamil atas berbagai fasilitas kesehatan. Persoalannya adalah, bahkan dengan sejumlah program dan kebijakan, ternyata belum mampu menekan laju AKI/AKB di Indonesia. Salah satu akar masalah dari tingginya AKI/AKB di Indonesia adalah upaya untuk menekan AKI/AKB selalu bersifat parsial. Persoalan AKI/AKB hanya dilihat dari sisi pengambil kebijakan, dengan membuat program maupun membangun infrastruktur kesehatan. Untuk menekan laju AKI/AKB, sebagai salah satu prasyarat keberhasilan MDGs dibutuhkan sinergi antara pemerintah dan komunitas. Di sisi lain, untuk menurunkan AKI/AKB, sangat penting untuk melibatkan komunitas – termasuk keluarga ibu hamil. Adalah penting pula untuk melihat bagaimana implementasi kebijakan di tingkat lokal, apakah terdapat resistensi dari komunitas, bagaimana merangkul komunitas agar mau terlibat dan bekerja sama, serta bagaimana respon komunitas atas kebijakan pemerintah di bidang kesehatan. Termasuk dalam upaya pelibatan komunitas adalah pemahaman atas konteks kultural masyarakat. Keberadaan dukun beranak misalnya, acapkali disalahkan karena dukun bukan bidan, dan karena ketidakcakapannya dalam membantu persalinan menjadikan tingginya AKI/AKB di desa-desa. Padahal keberadaan para dukun beranak boleh jadi adalah satu-satunya orang yang bisa diminta membantu proses persalinan di desa yang tidak memiliki bidan. ii | Prosiding PKWG Seminar Series
Penting pula untuk melihat bagaimana pelibatan suami dan keluarga ibu hamil dalam membantu menurunkan AKI/AKB di tingkat lokal. Hal inilah yang paling sering terlupakan, bahwa diujung kebijakan dan upaya komunitas dalam menurunkan AKI/AKB, terdapat ibu hamil yang menjadi sasaran dari kebijakan tersebut. Posisi suami menjadi sangat penting, sebab orang pertama yang mengetahui dan sangat berkepentingan atas keselamatan ibu hamil dan anak yang dilahirkan adalah suami, dengan demikian keberadaan suami yang “siaga” dan tahu betul mengenai kehamilan dan persalinan adalah salah cara untuk menekan AKI/AKB. Organisasi non pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil juga merupakan stakeholder yang perlu dirangkul dalam upaya menurunkan AKI/AKB. Keberadaan mereka menjadi penting sebab NGO dan CSO, yang bergerak langsung di tingkat akar rumput, mengetahui betul bagaimana persoalan AKI/AKB di masyarakat. Hanya saja, seringkali pengetahuan yang dimiliki NGO dan CSO kurang didengar dalam proses pengambilan kebijakan untuk menurunkan AKI/AKB. Berbagai persoalan di atas menjadi sangat krusial ketika kita bicara mengenai pelibatan komunitas dalam menurunkan AKI/AKB di Indonesia, dan untuk menjawab hal itulah Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia, bekerja sama dengan Program Studi Kajian Gender (PSKG UI) dan Pusat Riset Gender (PRG-PSKG UI) mengadakan PKWG Seminar Series #1 dengan topik “KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PELIBATAN KOMUNITAS DALAM MENURUNKAN AKI/AKB DI INDONESIA”. Buku yang anda pegang saat ini adalah Prosiding dari kegiatan PKWG Seminar Series #1 yang diselenggarakan di Pascasarjana Multidisiplin Universitas Indonesia pada 11-12 Juni 2015. Prosiding ini dibuat dalam dua versi: versi cetak dan versi digital. Prosiding ini dibagi dalam tiga bagian utama: Bagian Pertama memuat Executive Summary dari PKWG Seminar Series, Bagian Kedua memuat seluruh makalah yang Prosiding PKWG Seminar Series | iii
dipresentasikan oleh narasumber, sedangkan Bagian Ketiga memuat rangkuman diskusi dalam kegiatan PKWG Seminar Series. Khusus untuk makalah, terdapat tiga narasumber yang tidak membuat makalah khusus, yaitu Prof. Sulistyowati Irianto (UI), Dr. Budi Wahyuni (Komnas Perempuan), dan Rinaldi Ridwan (Rutgers WPF Indonesia). Meskipun demikian, saya memasukkan presentasi ketiganya, bersama dengan narasumber lain dalam Prosiding versi digital. Silahkan mengunduh Prosiding dalam laman resmi saya. Dalam prosesnya, PKWG Seminar Series tidak akan berhasil tanpa bantuan banyak pihak. Saya mengucapkan terima kasih kepada Prof. Sulistyowati Irianto (Dekan Pascasarjana Multidisiplin UI) yang telah berkenan menjadi tuan rumah, M. Alie Berawi, Ph.D. (Direktur Riset dan Pengabdian Masyarakat UI), Mia Siscawati, Ph.D (Ketua Prodi Kajian Gender), Tim PKWG UI, panitia, para narasumber, sahabat dan undangan yang telah meluangkan waktunya. Secara khusus saya mengucapkan terima kasih kepada MAMPU yang telah memungkinkan terlaksananya PKWG Seminar Series. Saya mohon maaf atas seluruh kekurangan dalam penyelenggarakan PKWG Seminar Series. Semoga Prosiding ini memberikan manfaat yang seluas-luasnya. Terima kasih. Salam kesetaraan dan keadilan,
Khaerul Umam Noer Ketua Pusat Kajian Wanita dan Gender UI
iv | Prosiding PKWG Seminar Series
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
i
Daftar Isi
v
Catatan Pengantar: Hentikan Kematian Ibu Indonesia Sulistyowati Irianto
ix
BAGIAN 1: EXECUTIVE SUMMARY Executive Summary PKWG Seminar Series #1
1
BAGIAN 2: PENGALAMAN LAPANGAN Strategi peningkatan kesehatan ibu dan anak keluarga migran miskin melalui perspektif multidimensi Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita dan Eniarti Djohan
13
Peran perempuan komunitas lokal dalam peningkatan kualitas kesehatan dan kesejahteraan keluarga di Kota Surabaya (Studi keterlibatan perempuan dalam Institusi Masyarakat Perkotaan di Kota Surabaya) Wahyu Krisnanto
29
Menurunkan AKI dan AKN dengan PERMATA Fitria Sari
47
Prosiding PKWG Seminar Series | v
Puskesdes dan apotik desa dalam harapan di tengah AKI nol: Desa Teling & Desa Pinasungkulan-Kec Tombariri-Kab Minahasa, Desa Arakan-Kec Tatapaan-Kab Minahasa Selatan Shelly Adelina dan Danielle Johanna Samsoeri
63
Suara dari ladang bawang: kesehatan perempuan, Musrembangdes, dan AKI yang (katanya) menurun. (Pengalaman Brebes) Khaerul Umam Noer dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
93
Desa siaga, perkawinan dini, dan kerentanan AKI: Pengalaman Sukabumi Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra
107
Medikalisasi tubuh perempuan dalam kebijakan kesehatan reproduksi dan upaya penurunan Angka Kematian Ibu Pinky Saptandari
133
Program laki-laki peduli sebagai upaya pelibatan laki-laki dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo
165
Ambigu posisi suami dalam masa reproduksi perempuan dan strategi tokoh pesantren dalam upaya pelibatan laki-laki Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
187
Membangun forum komunikasi melalui Badan Permusyawaratan Desa sebagai upaya mendukung pembangunan keluarga mewujudkan kesetaraan gender, pemberdayaan vi | Prosiding PKWG Seminar Series
perempuan, perlindungan dan tumbuh kembang anak Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari
205
Mengajukan pengetahuan lokal Toraja untuk menghadapi kematian ibu dan bayi Dina Gasong dan Ikma Citra Ranteallo
237
Sinergitas bidan dan dukun beranak: paradoks kearifan lokal dan kebijakan pemerintah dalam menurunkan Angka Kematian Ibu dan Bayi Varinia Pura Damaiyanti
259
BAGIAN 3: DISKUSI Catatan diskusi PKWG Seminar Series #1
273
NARASUMBER
329
Prosiding PKWG Seminar Series | vii
CATATAN PENGANTAR Hentikan Kematian Ibu Indonesia
Sulistyowati Irianto
Bila ada 359 orang meninggal bersama karena kecelakan pesawat, bisa dipastikan kehebohan akan melanda dunia. Namun bila 359 orang itu adalah perempuan yang meninggal karena proses kehamilan dan persalinan, tidak banyak orang mempersoalkannya. Di Indonesia, setiap ada 100.000 kelahiran, maka 359 di antaranya berakhir dengan kematian ibu. Penjelasan terhadap tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) sangat kompleks, harus dilakukan secara multidisiplin dan interdisiplin. Persoalan kesehatan berkelindan dengan persoalan ekonomi, kultural, agama dan politik. Penjelasan dari salah satu perspektif saja tidak akan menjelaskan secara mendasar. Kita harus memeriksanya secara seksama misalnya, siapa perempuan yang mengalami kematian yang tidak perlu itu, utamanya dari kelas sosial yang mana?, terjadi dalam konteks kultural yang seperti apa?, dan bagaimanakah hukum dan kebijakan merespon tingginya angka kematian ibu? Fenomena crash plane ini nampak menunjukkan kurang berhasilnya Indonesia dalam melakukan pembangunan sosial. Sementara, hal itu akan menentukan apakah Indonesia bisa ikut dalam pengalaman menuju kemakmuran bersama
Catatan Pengantar | ix
bangsa-bangsa lain di Asia. Beberapa lembaga dunia menempatkan Indonesia pada urutan 16 di antara 180-190-an negara, berdasarkan Gross Domestic Product (GDP). Pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 6,3% tahun 2013 cukup tinggi, berkat konsumsi dalam negeri, pertumbuhan investasi dan kemitraan dagang. Investasi mencapai sepertiga dari seluruh belanja barang dan jasa, dan memberi dorongan hampir 40% terhadap pertumbuhan. Indonesia berpotensi menjadi kekuatan ekonomi dunia baru bersama negara Selatan lain – sungguhpun dalam tahun 2015 yang sedang berjalan ini ekonomi Indonesia terkoreksi secara signifikan. Meski Indonesia memiliki segala potensinya, terdapat sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi untuk realisasinya. Diantaranya adalah mendekatkan jarak antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia, termasuk akses keadilan. Di balik capaian pembangunan ekonomi Indonesia yang nampak hebat, terdapat agenda pembangunan manusia yang tertinggal. Ini terindikasi dari Human Development Index kita yaitu nomor 121 di antara 186 negara, dan tidak maksimalnya capaian Millenium Development Goals (MDG’s), yang menjadi paramater kemajuan bangsa di mata dunia. Kita masih harus berjuang lagi dengan program berikutnya Sustainability Development Goals (SDG’s). Dalam kedua program itu prioritas juga diletakkan untuk pemajuan perempuan dan anak perempuan. Negara seharusnya berinvestasi pada pembangunan manusia (perempuan), pemampuan warga negara, pemberdayaan hukum dan sosial, agar orang miskin (terutama di pedesaan) bisa berpartisiapsi dalam pertumbuhan.
x | Prosiding PKWG Seminar Series
Dalam paradigma pembangunan hukum yang “baru” dinyatakan oleh para ahli bahwa kemiskinan bukanlah persoalan ekonomi semata, tetapi persoalan ketiadaan akses keadilan terutama bagi kelompok yang tidak beruntung dalam masyarakat. Mereka adalah para perempuan, orang miskin dan kelompok minoritas. Pemberantasan kemiskinan adalah juga persoalan bagaimana memberikan akses keadilan. Dalam hal ini menurut saya, akses keadilan adalah persoalan ketiadaan akses bagi kelompok tersebut untuk mendapatkan: (1) hukum dan kebijakan yang memastikan keadilan bagi kelompok rentan dan perempuan; (2) pengetahuan hukum (melek hukum); (3) identitas hukum yang menjadi kunci akses bagi berbagai program kesejahteraan; (4) bantuan dan konsultasi hukum ketika mereka menghadapi kasus hukum yang meminggirkan mereka. Hari ini ketika kita sudah memasuki usia kemerdekaan ke 70 tahun, kita masih berhadapan dengan ketimpangan ekonomi, kerentanan ketahanan pangan dan enerji, kerusakan lingkungan, belum memadainya akses layanan kesehatan, pendidikan, bantuan hukum dan pemberdayaan organisasi sosial. Meskipun kita adalah negara demokrasi nomor tiga di dunia, tetapi kita masih (potensial) menghadapi pertikaian antar kelompok agama dan etnis, dan faksi-faksi di kalangan elite. Penyesatan terhadap rakyat atas nama demokrasi, khususnya melalui Pilkada, sangat bisa terjadi mengingat 70% penduduk Indonesia hanya tamatan Sekolah Dasar. Salah satu pembangunan manusia yang paling kelihatan kegagalannya adalah fenomena tingginya angka kematian ibu. Hal itu berkelindan dengan berbagai persoalan lain, diantaranya adalah perkawinan anak. Oleh karena itu Program Pascasarjana Kajian Gender UI, Pusat Kajian Wanita Catatan Pengantar | xi
dan Gender (PKWG) UI, dan Pusat Riset Gender (PRG) Pascasarjana UI bekerjasama dengan Van Vollenhoven Institute for Law, Governance, and Law, Faculty of Law Universiteit Leiden dan The Department of Cultural Anthropology and Development Studies Universiteit Leiden menyelenggarakan Gender Studies Forum pada 9-12 Juni 2015 di Pascasarjana Multidisiplin Universitas Indonesia. Acara ini dibagi dalam dua agenda: lokakarya dengan tema “Perkawinan Anak, Moralitas Seksual dan Politik Desentralisasi di Indonesia” dan PKWG Seminar Series #1 dengan tema “Kebijakan kesehatan dan pelibatan komunitas dalam menurunkan AKI/AKB diIndonesia” yang prosidingnya sedang anda baca saat ini. Banyak hal menarik dalam kegiatan Gender Studies Forum yang dilaksanakan, terutama dengan adanya kaitan yang amat jelas antara perkawinan anak dan tingginya Angka Kematian Ibu. Terdapat fenomena anak-anak perempuan berumur 1518 yang dikawinkan karena faktor kemiskinan, dan diperkuat oleh tafsir agama dan budaya filial piety (hormat dan patuh kepada orang tua), ketiadaan pengetahuan soal kesehatan reproduksi. Perkawinan anak potensial menyumbang kepada AKI karena kehamilan usia dini. Selanjutnya perkawinan anak berpotensi menyumbang kepada angka kematian bayi (32/1000 kelahiran); atau melahirkan bayi malnutrisi (4,5 juta/tahun) yang menyebabkan “generasi hilang” bagi bangsa di masa depan. Selanjutnya bagaimana hukum menempatkan persoalan perempuan dan anak? Sebenarnya terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan yang menjamin perlindungan bagi perempuan dan anak. Diantaranya adalah Konvensi Hak Anak (ratifikasi melalui Kepres no 36/1990), UU no 35/2014 xii | Prosiding PKWG Seminar Series
tentang perubahan atas UU no 23/2002 tentang Perlindungan Anak, Konvensi CEDAW (ratifikasi melalui UU no 7/1984), International Convention on Civil and Political Rights (ratifikasi melalui UU no 12/2005), International Convention on Economic, Social and Cultural Rights (rafikasi melalui UU no 11/2005), UU P KDRT no 23/2004. Namun terdapat inkonsistensi dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang lain, seperti UU Perkawinan no 1/1974 dalam beberapa pasalnya terkait soal umur perkawinan, poligami dan status kepala keluarga. Beberapa waktu yang lalu kita dikejutkan oleh lahirnya putusan MK 18/6/2015 yang menolak peninjauan terhadap usia perkawinan anak perempuan 16 tahun untuk dimintakan kenaikan menjadi 18 tahun. Putusan ini tentu saja sangat berimplikasi terhadap adanya legalisasi perkawinan anak; di tengah seruan dunia: “end child marriage”. Putusan ini juga dapat dibaca sebagai terjadinya pengabaian terhadap hak-hak anak perempuan untuk menikmati hak-hak dasarnya terutama untuk bersekolah, dan berkontribusi maksimal terhadap pembangunan bangsa. Di samping itu, hakim tidak mempertimbangkan realitas bahwa Indonesia adalah negara nomor 37 di dunia dan nomor dua di ASEAN setelah Kamboja (BKKBN, 2012), dengan angka perkawinan anak yang tinggi. Satu dari lima anak perempuan telah kawin di bawah umur, atau 11,13 % anak perempuan menikah umur10-15 tahun (Susesnas 2012); dan 32,10 % menikah umur 16-18 tahun (BPS, 2013). Membangun kesadaran untuk menghentikan lajunya angka kematian ibu yang tinggi, sekaligus juga perkawinan anak, demi masa depan Indonesia yang lebih baik, membutuhkan kesegeraan dan kerja besar dari semua kalangan. Para Catatan Pengantar | xiii
akademisi, peneliti, pemerhati dan praktisi hukum, pegiat perempuan dan anak, dan warga masyarakat luas perlu bahu membahu untuk mewujudkannya. Berterimakasih kepada para pendiri bangsa kita yang telah memberi jalan kepada kemerdekaan bangsa, adalah meneruskan perjuangan mereka: membangun kemanusiaan Indonesia. Dirgahayu 70 tahun Indonesia ! Jakarta, 17 Agustus 2015
Sulistyowati Irianto
xiv | Prosiding PKWG Seminar Series
EXECUTIVE SUMMARY PKWG SEMINAR SERIES #1
Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia menempati urutan tertinggi di Asia Tenggara yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup. Penurunan AKI dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu target dari Tujuan Pembangunan Millenium atau yang lebih populer dikenal dengan istilah Millenium Development Goals (MDGs). Terdapat delapan tujuan MDGs, dua diantaranya terkait dengan peningkatan kesehatan ibu dan penurunan angka kematian anak. Dalam bidang kesehatan ibu, tujuan lebih dititikberatkan kepada kematian ibu akibat persalinan, dalam hal ini target MDGs untuk angka kematian ibu adalah 120 per 100.000 per kelahiran hidup. Indonesia belum mampu mencapai target MDGs dalam hal kesehatan ibu. Berdasarkan hasil Survey Demografi dan Kependudukan Indonesia (SDKI) tahun 2012, tercatat kenaikan AKI yang cukup signifikan. Secara nasional, jumlah kematian ibu terus bertambah setiap tahunnya. Pada tahun 2011 tercatat 5.118 jiwa, tahun 2012 berjumlah 4.985 jiwa, dan tahun 2013 mencapai 5.019 jiwa. Angka tersebut masih cukup jauh dari target yang harus dicapai pada tahun 2015. Artinya, terdapat kenaikan AKI dari 228 per 100.000 kelahiran hidup menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup. Di Indonesia Pelaksanaan Pembangunan Keluarga seperti yang diusung dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) No. 06/2013 dilakukan sebagai upaya pengendalian angka kelahiran dan penurunan angka kematian ibu dan anak, meningkatkan gizi Executive Summary | 1
dan tingkat pendidikan, pengembangan kualitas penduduk pada seluruh dimensinya, peningkatan ketahanan dan kesejahteraan keluarga, penyiapan dan pengaturan perkawinan serta kehamilan sehingga penduduk menjadi sumber daya manusia yang tangguh bagi pembangunan dan ketahanan sosial, serta mampu bersaing dengan bangsa lain, dan dapat menikmati hasil pembangunan secara adil dan merata. Data Kementerian Kesehatan tahun 2010 menyebutkan tiga faktor utama penyebab AKI: pendarahan, tekanan darah tinggi (eklamsia), dan infeksi. Pendarahan menempati persentase tertinggi penyebab kematian ibu (28%), anemia dan kekurangan energi kronis (KEK) pada ibu hamil menjadi penyebab utama terjadinya pendarahan dan infeksi yang merupakan faktor kematian utama ibu. Walaupun seorang perempuan bertahan hidup setelah mengalami pendarahan pasca persalinan, namun ia akan menderita akibat kekurangan darah yang berat (anemia berat) dan akan mengalami masalah kesehatan yang berkepanjangan. Persentase tertinggi kedua penyebab kematian ibu yang adalah eklamsia (24%), kejang bisa terjadi pada pasien dengan tekanan darah tinggi (hipertensi) yang tidak terkontrol saat persalinan. Hipertensi dapat terjadi karena kehamilan dan akan kembali normal bila kehamilan sudah berakhir. Namun ada juga yang tidak kembali normal setelah bayi lahir. Kondisi ini akan menjadi lebih berat bila hipertensi sudah diderita ibu sebelum hamil. Persentase tertinggi ketiga penyebab kematian ibu melahirkan adalah infeksi 11%. Ketiga penyebab tersebut sesungguhnya bisa dicegah jika diketahui sejak dini dengan gejala bengkak, pertambahan berat badan ibu yang berlebihan, hipertensi, dan bercak pendarahan pada trisemester terakhir. Persoalan AKI terletak pada kualitas hidup perempuan yang rendah. Dalam hal ini adalah rata-rata pendidikan yang rendah, derajat kesehatan dan gizi yang rendah, penderita anemia pada penduduk usia 15-24 tahun masih tinggi 2 | Prosiding PKWG Seminar Series
mencapai 18,4%, kurang zat besi dan stunting (pertumbuhan anak yang terhambat karena kekurangan gizi sehingga tidak mencapai tinggi badan pada umumnya pada usia tertentu). Tingginya AKI di beberapa daerah di Indonesia juga disebabkan karena keterbatasan fasilitas dan pelayanan kesehatan bagi para ibu dalam proses kehamilan mereka, kurangnya pengetahuan para perempuan terkait kondisi kehamilan, dan kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Tingginya AKI di Indonesia disebabkan oleh beberapa hal. Antara lain: komplikasi yang terjadi pada saat persalinan dan setelah persalinan, kehamilan yang tidak diinginkan di kalangan remaja, nilai-nilai kultural pernikahan anak yang menyebabkan perempuan mengandung dalam usia yang masih belia, minimnya pengetahuan ibu hamil tentang sistem dan kesehatan reproduksi dan proses kehamilan, masih kuatnya pantangan maupun pengetahuan lokal mengenai kehamilan yang berdampak pada ibu hamil, aturan kultural yang “membolehkan” ibu hamil tua maupun ibu yang baru melahirkan untuk mengerjakan tugas domestik maupun ekonomi, keterbatasan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan, masih kuatnya posisi dukun beranak, serta minimnya pelibatan laki-laki dalam proses kehamilan dan kelahiran. Sementara itu, tingginya Angka Kematian Bayi (AKB) disebabkan oleh asfiksia, berat badan lahir rendah (BBLR), premature, pneumonia, dan kelainan congenital. Tingginya AKB jelas tidak dapat dilepaskan dari kondisi ibu hamil. Remaja perempuan sangat rawan terhadap persoalah Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD). Remaja perempuan seringkali menjadi target dari kekerasan berbasis gender ketika berpacaran, dalam hal ini adalah ajakan untuk melakukan seks pra nikah yang seringkali tidak dapat ditolak oleh perempuan. Kondisi ini menggiring remaja menjadi kelompok yang rawan mengalami KTD bahkan rentan Executive Summary | 3
terjangkit HIV/AIDS. Hal ini diperparah dengan kurangnya pemahaman kesehatan reproduksi di kalangan remaja menjadikan usia awal kehamilan dianggap sebagai keterlambatan siklus haid saja. Akibatnya, mereka biasanya melakukan upaya pengembalian siklus haid dengan mengkonsumsi obat-obatan, jamu tradisional atau upaya lainnya. Jika upaya pengembalian siklus haid gagal, biasanya mereka akan melakukan upaya aborsi yang dapat mengakibatkan kematian. Faktor kultural terkait dengan perkawinan anak yang mendorong usia kehamilan pertama yang sangat muda masih menjadi faktor determinan yang menjadi penyebab tingginya angka kematian ibu. Kawin muda seringkali diawali dengn kehamilan di waktu pacaran, yang menyebabkan banyak orangtua akhirnya dengan segera menikahkan anaknya. Dalam banyak kasus, perkawinan anak dilaksanakan dengan menggunakan pemalsuan, terutama dengan menambah usia anak sehingga dapat dinikahkan. Bahkan dalam banyak kasus, perkawinan anak dilakukan di bawah tangan sehingga mereka tidak memiliki surat nikah yang menutup akses terhadap kesehatan maupun hak sipil lainnya. Di sisi lain, perkawinan anak menjadi faktor pendorong tingginya angka putus sekolah bagi perempuan, sebab anak perempuan yang menikah umumnya akan keluar dari sekolah. Dengan demikian, terjadi persoalan ganda bagi anak perempuan, bahwa perkawinan anak berimplikasi banyak hal, utamanya mendorong terciptanya pemiskinan bagi perempuan. Peran suami dalam ikut serta mengelola aktivitas rumah tangga dan membantu ibu hamil masih amat minim. Suami tidak banyak berperan dalam proses kehamilan, melahirkan, maupun pascamelahirkan. Peran suami hanya sebatas mengantar isteri ke tenaga kesehatan atau fasilitas kesehatan. Suami tidak mengetahui hal-hal terkait dengan kehamilan, suami tidak banyak terlibat dalam aktivitas domestik. Tidak dianggapnya perempuan sebagai partner yang setara dalam 4 | Prosiding PKWG Seminar Series
hubungan rumah tangga membuat perempuan berada pada posisi subordinat terhadap laki-laki. Laki-laki yang merasa stress dan cemas karena terancam “kelelakiannya” seringkali melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Perempuan sebagai pihak yang subordinat menjadi rentan menjadi objek pelampiasan perasaan stress dan cemas dari laki-laki, sehingga terjadilah kekerasan terhadap perempuan. Tingginya AKI juga terkait dengan jumlah fasilitas kesehatan yang masih sangat sedikit dan akses terhadap fasilitas kesehatan. Dirjen Gizi Kesehatan ibu dan Anak (KIA) mencatat bahwa permasalahan ibu hamil saat mencapai fasilitas kesehatan saat persalinan disebabkan 22,8% karena tidak mau pergi sendiri ke faskes, 10,5% disebabkan jarak tempuh fasilitas kesehatan yang jauh. Pemberian gizi seimbang untuk ibu dan bayinya masih kurang, ditambah lagi pengetahuan ibu atas bahaya persalinan juga masih minim. Infrastruktur dipastikan sebagai penyebab utama sulitnya ibu mencari pelayanan kesehatan. Dari hasil Riskesdas 2010 mencatat, bahwa 84% ibu meninggal di Rumah dan Rumah Sakit Rujukan pada jam-jam pertama. Persoalan krusial lain terkait dengan faktor kultural adalah masih kuatnya kepercayaan terhadap dukun beranak maupun jamu tradisional. Berdasarkan data Riskesdas 2013, Penolong saat persalinan dengan kualifikasi tertinggi dilakukan oleh bidan (68,6%), kemudian oleh dokter (18,5%), lalu non tenaga kesehatan (11,8%). Namun sebanyak 0,8% kelahiran dilakukan tanpa ada penolong, dan hanya 0,3% kelahiran saja yang ditolong oleh perawat. Hal ini ditunjang pula dengan kondisi sosial ekonomi sebagian masyarakat yang masih berada digaris kemiskinan. Selain itu, tidak meratanya fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia turut menjadi salah satu penyebab masalah kesehatan ibu. Untuk menurunkan AKI dan AKB di Indonesia mutlak dibutuhkan sinergi antara pemerintah - melalui berbagai Executive Summary | 5
kebijakan di bidang kesehatan, dengan komunitas. Selain itu, pemahaman bahwa AKI dan AKB juga terkait erat dengan persoalan kultural juga perlu ditingkatkan lagi. Dari sisi kebijakan kesehatan, peninjauan ulang atas UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan mutlak diperlukan. Walaupun perihal kesehatan reproduksi perempuan sudah diakomodasikan dan bahkan banyak diatur UU tersebut, namun pengaturan dalam UU tersebut belum sepenuhnya mengakomodasikan 12 hak kesehatan reproduksi perempuan secara utuh sebab ditemukan adanya perbedaan yang sangat mendasar antara pengaturan kesehatan repoduksi dengan 12 hak kesehatan reproduksi perempuan yang dimuat dalam RAN Pemenuhan Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan. Selain persoalan UU yang belum mengakomodasi hak kesehatan reproduksi perempuan, kebijakan kesehatan juga harus didorong untuk mengakomodir kebutuhan dasar perempuan di bidang kesehatan. Dalam hal ini perlu dilakukan intervensi terhadap pembentukan peraturan dan kebijakan pemerintah daerah dalam kerangka memperkuat upaya mewujudkan peningkatan kesehatan dan akses terhadap kesehatan yang akan bermuara pada menurunan AKI dan AKB. Perlu ada kemauan (political will) penyelenggara pemerintahan, terutama pemerintah daerah dan DPRD untuk membuat kebijakan (bisa dalam bentuk Peraturan Daerah atau Peraturan Bupati dan program/kegiatan SKPD) yang sadar gender. Menjadi sangat penting untuk mempertajam pemahaman atas kompleksitas masalah terkait gender kepada semua instansi Pemerintah Daerah. Perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan program serta kebijakan pemerintah hendaknya berjalan secara transparan, akuntabel dan partisipatif sehingga fungsi dan peran masyarakat berjalan secara efektif. Desa memainkan peran signifikan dalam membantu upaya penurunan AKI dan AKB. Semangat UU No.6/2014 adalah menempatkan kepala desa bukan sebagai kepanjangan 6 | Prosiding PKWG Seminar Series
tangan pemerintah, melainkan sebagai pemimpin masyarakat. Artinya kepala desa harus mengakar dekat dengan masyarakat, sekaligus melindungi, mengayomi dan melayani warga masyarakat. Untuk menjaga akuntabilitas maka dibentuklah Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai forum komunikasi dalam membangun dan mengembangkan potensi daerahnya terutama terkait dengan pembangunan keluarga mewujudkan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan & tumbuh kembang anak. Peningkatan peran BPD sebagai forum komunikasi dan mediasi dalam mewujudkan ketahanan keluarga, yang memiliki dua keuntungan, yaitu: Pertama, BPD sebagai tempat komunikasi dan informasi dalam perumusan kebijakan di tingkat desa sehingga melalui BPD lah desa dapat membuat berbagai program yang bertujuan untuk menurunkan AKI dan AKB. Kedua, BPD sebagai wadah untuk pengembangan kapasitas kelembagaan berbasis komunitas untuk mewujudkan ketahanan keluarga di desa.. Pentingnya upaya membangun kesadaran kritis perempuan di desa terkait hak-hak kesehatan reproduksi, hak seksual, dan hak-hak berpolitik. Selain itu, penting pula membentuk dan memperkuat basis kelompok perempuan di berbagai wilayah untuk mendorong peningkatan fungsi dan peran perempuan serta terpenuhinya hak-hak perempuan. Dalam konteks UU desa, penguatan posisi perempuan dalam BPD mutlak diperlukan, terutama karena UU mempersyaratkan adanya partisipasi perempuan dalam BPD. Dalam hal ini, keterlibatan perempuan dalam BPD maupun dalam agenda Musrenbangdes (Musyawarah Rencana Pembangunan Desa) menjadi sangat krusial untuk membawa aspirasi dan kebutuhan perempuan dalam perencanaan pembangunan desa. Selama ini posisi perempuan dalam Musrenbangdes hanya sebagai “penggembira” sehingga suara perempuan tidak pernah didengarkan.
Executive Summary | 7
Kemitraan menjadi kata kunci penting dalam menurunkan AKI dan AKB. Kemitraan ini dapat berupa upaya kerja sama antara komunitas, lembaga pemerintah, lembaga non pemerintah, maupun organisasi masyarakat sipil untuk mencapai tujuan bersama. Beberapa kerja sama kemitraan antarpihak ini cukup berhasil di berbagai wilayah. Di Pasuruan misalnya, muncul gerakan PERMATA (Penyelamatan maternal dan neonatal) sebagai satu kekuatan dari sinergi antara lembaga pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan komunitas. PERMATA di Kabupaten Pasuruan berusaha menjawab tantangang implementasi kebijakan pemerintah untuk menurunkan AKI dan AKB. PERMATA memahami bahwa tidak perlu menggalang kekuatan lain dengan mencari orang-orang baru untuk terjun dalam isu Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Dengan memaksimalkan basis organisasi agama seperti Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah serta organisasi kesehatan lain. Kekuatan basis massa NU dan Muhammadiyahmemiliki pembagian hingga desa bahkan dusun. Selain beranggotakan NU dan Muhammadiyah, ada pula organisasi interfaith seperti Persatuan Wanita Katholik, Persatuan Wanita Kristen dan Wanita Hindu Dharma Indonesia Kab. Pasuruan. PERMATA juga melibatkan institusi lain yang fokus pada isu KIA seperti Ikatan Bidan Indonesia (IBI), TP PKK, BKKBN, PKBI hingga media massa sebagai pusat informasi publik seperti Radio Warna dan Suara Pasuruan. Contoh lain kelembagaan di tingkat komunitas adalah Institusi Masyarakat Perkotaan (IMP) di Surabaya yang diinisiasikan BKKBN dan bertujuan untuk menahan laju pertumbuhan penduduk dan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Kader IMP adalah seorang pekerja sosial di tingkat komunitas dan bersifat sukarela dan menjadi pelaksana dan pengelola program KB di lapangan. Kader IMP berperan menggantikan tugas Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB), di mana kader IMP menjadi mitra PLKB di tingkat komunitas. Dalam konteks penyelenggaraan KB/KS, kader IMP (PPKBK dan Sub PPKBK) bertugas dan bertanggungjawab 8 | Prosiding PKWG Seminar Series
dalam : (1) memotivasi peserta KB baru; (2) pembinaan peserta KB aktif; (3) identifikasi sasaran program; (4) melakukan konseling dan (5) melakukan rujukan. Dalam rangka melakukan penurunan AKI dan AKB, maka tugas dan tanggungjawab kader IMP tidak saja memotivasi Pasangan Usia Subur (PUS) untuk mengikuti program KB, namun para kader juga memotivasi para ibu untuk melakukan pemeriksaan kesehatan reproduksi termasuk pula pemeriksaan dini resiko kehamilan. Kader IMP membuktikan bahwa keterlibatan komunitas menjadi sangat penting, sebab komunitas menjadi tulang punggung bagi terlaksananya target penurunan AKI dan AKB. Pelibatan laki-laki adalah hal lain yang juga krusial untuk dilakukan. Persoalan keadilan gender, terutama menghentikan siklus kekerasan berbasis gender tidak cukup hanya dilakukan terhadap kelompok perempuan sebagai pihak korban saja, namun juga tenyata penting untuk menjangkau kelompok lakilaki. Untuk memutus siklus kekerasan tersebut, laki-laki dan perempuan harus secara bersama-sama terlibat dalam gerakan perjuangan kesetaraan dan keadilan gender. Khususnya untuk melibatkan laki-laki dalam gerakan kesetaraan dan keadilan gender. Terkait dengan hal ini, penting untuk melihat kemunculan Aliansi Laki-laki Baru maupun kampanye Laki-laki Peduli yang mendorong bagaimana pelibatan laki-laki dalam mencapai kesetaraan dan keadilan. Dalam konteks AKI dan AKB, keterlibatan para suami menjadi sangat penting, terutama untuk melibatkan suami sebagai partner dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak, program Keluarga Berencana (KB), dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Tujuan utamanya adalah untuk merekonstruksi nilai-nilai kelelakian dan perilaku negatif yang berdampak pada kesehatan reproduksi perempuan, melibatkan remaja laki-laki dalam penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, melibatkan laki-laki dalam pengasuhan sebagai cara efektif dalam meningkatkan kesehatan ibu dan anak, serta melibatkan laki-laki dalam Executive Summary | 9
program KB. Pelibatan laki-laki membutuhkan strategi yang spesifik, terutama jika dikaitkan dengan sosio-kultural masyarakat. Dibutuhkan intervensi khusus dari organisasi masyarakat sipil maupun elite agama untuk mendorong pelibatan laki-laki. Hal terakhir adalah pemahaman atas konteks-konteks kultural yang ada di masyarakat. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang multikultural, sehingga tidak aneh jika setiap wilayah di Indonesia memiliki kebudayaannya sendiri, khususnya dalam persoalan AKI dan AKB. Dalam hal ini, persoalan kultural dapat menjadi pisau bermata ganda. Di satu sisi, banyak nilai-nilai kultural yang akomodatif terhadap kebutuhan ibu hamil hingga pascapersalinan. Sesungguhnya ada konteks-konteks kultural yang melarang ibu hamil maupun ibu yang baru melahirkan untuk mengerjakan tugas domestik maupun aktivitas ekonomi. Di Manado misalnya, seorang istri yang akan melahirkan, maka sang suami akan cuti melaut selama tujuh hari, bahkan dapat diperpanjang, dan sepanjang waktu itulah sang suami akan mengerjakan berbagai tugas domestik untuk menjamin keselamatan istri yang akan melahirkan. Dibutuhkan penelitian yang lebih luas yang difokuskan untuk menggali nilai-nilai kultural yang mengakomodasi kebutuhan ibu hamil maupun kesehatan reproduksi secara umum. Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri, ada pula konteks kultural yang dapat membahayakan kesehatan ibu hamil hingga tahap persalinan. Jamu misalnya, jika diracik dengan baik dapat membantu meningkatkan kesehatan ibu hamil maupun membantu proses persalinan dan pascapersalinan. Namun banyak ibu hamil yang mengkonsumsi jamu yang tidak diracik dengan baik, atau pengetahuannya mengenai jamu hanya berdasarkan tuturan masyarakat, yang justru meningkatkan potensi risiko kehamilan. Dukun beranak juga menjadi faktor yang perlu diperhatikan dengan seksama. Keberadaan dukun erat 10 | Prosiding PKWG Seminar Series
kaitannya dengan konteks kutural masyarakat, selain karena minimnya sebaran tenaga kesehatan terlatih di desa-desa. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pilihan untuk menggunakan dukun seringkali terjadi karena ibu hamil merasa lebih aman untuk memilih dukun, atau karena faktor biaya melahirkan di dukun yang lebih murah. Meskipun terdapat peraturan yang melarang ibu hamil untuk melahirkan di rumah, namun karena sebaran fasilitas kesehatan maupun tenaga kesehatan yang tidak merata mendorong masih banyaknya ibu hamil yang melahirkan melalui non tenaga kesehatan, dalam hal ini dukun. Selain itu, kuatnya keberadaan dukun juga disebabkan karena sifat layanan dukun yang bersedia membantu ibu hamil sebelum melahirkan, saat melahirkan, pascamelahirkan (bahkan hingga 40 hari pascamelahirkan). Berbeda dengan bidan ataupun tenaga kesehatan yang umumnya hanya membantu sebelum melahirkan dan saat melahirkan. Di banyak wilayah, bidan umumnya hanya mengecek satu kali pascamelahirkan setelah itu ibu melahirkan tidak lagi mendapatkan pelayanan kesehatan. Untuk mencapai target penurunan AKI dan AKB, maka pendekatan multidisiplin dan multistakeholder harus menjadi fokus perhatian. Kebijakan kesehatan sercara parsial tidak lagi mencukupi, sebab tanpa pelibatan komunitas dan pemahaman atas konteks kultural masyarakat maka target penurunan AKI dan AKB tidak akan tercapai, terlebih Indonesia akan segera menyongsong Sustainable Development Goals (SDGs). Harapannya dengan melibatkan komunitas dan memahami bagaimana konteks kultural bekerja, Indonesia dapat menurunkan AKI dan AKB secara signifikan.
Executive Summary | 11
Strategi Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak Keluarga Migran Miskin melalui Perspektif Multidimensi Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita dan Eniarti Djohan1 Abstrak Isu kesehatan ibu dan anak (KIA) merupakan isu penting untuk diangkat kepermukaan karena untuk kasus Indonesia, angka kematian ibu (AKI) masih tinggi. Persoalan KIA ini semakin berat dihadapi oleh keluarga migran miskin di perkotaan karena mereka menghadapi keterbatasan akses pada beragam hal, yang pada gilirannya dapat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup. Salah satu permasalahan AKI ditengerai terkait dengan aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan yang belum secara menyeluruh dan adil dapat dinikmati oleh berbagai pihak, meskipun berbagai program pemerintah sudah banyak diimplementasikan untuk mengatasi permasalahan tersebut, antara lain Askeskin, Jamkesmas, Jamkesda, dan Jampersal maupun program jaminan kesehatan atau yang biasa disebut SJSN. Hasil penelitian P2K-LIPI yang dilakukan di Kota Bandung dan Makassar terhadap penduduk migran miskin (2009-2011, 2014) menunjukkan bahwa masih banyak penduduk migran miskin di perkotaan terkendala dalam mengakses layanan kesehatan yang pada akhirnya akan berdampak pada status kesehatan ibu dan anak yang relative rendah. Berdasarkan hasil kajian tersebut, tulisan ini mengangkat persoalan KIA dengan memfokuskan pada kelompok marjinal perkotaan, yaitu keluarga migran miskin. 1
Peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan LIPI
Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita, Eniarti Djohan | 13
Mengingat kompleksitas dari permasalahan yang ada, tim P2K LIPI menganggap perlunya kebijakan integratif dalam penanganan dan kerjasama lintas sektoral. Oleh karena itu, tulisan ini juga memaparkan model kebijakan komprehensif terkait dengan upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak. Kata kunci: kesehatan ibu dan anak, model kebijakan komprehensif, migran, kemiskinan, perkotaan Pendahuluan Tema kesehatan ibu dan anak pada keluarga miskin di perkotaan merupakan isu penting untuk terus diangkat, karena angka kematian ibu (AKI) yang merupakan salah satu indikator kesehatan ibu dan anak masih tetap tinggi meskipun sudah banyak intervensi yang dilakukan oleh pemerintah. Masih tingginya AKI di Indonesia, di satu sisi menunjukkan status kesehatan ibu dan anak yang kurang baik dan di sisi lain menunjukkan modal manusia yang rendah untuk mempersiapkan SDM yang berkualitas. Dengan kondisi tersebut tentunya tidak mudah memenuhi target MDGs terkait dengan tujuan ke 5 tentang penurunan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Berbagai program pemerintah pada dasarnya sudah banyak diimplementasikan, antara lain melalui pemberlakuan Askeskin, Jamkesmas, Jamkesda, dan Jampersal. Bahkan payung hukum untuk pelaksanaannya sudah ada, yakni UU No 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang di dalamnya termasuk jaminan kesehatan. Namun demikian, program-program tersebut nampaknya belum sepenuhnya menjangkau seluruh segmen penduduk miskin di perkotaan. Hasil penelitian P2K-LIPI (2009-2011) di Kota Bandung dan Makassar menunjukkan bahwa pemanfaatan layanan kesehatan di tingkat Puskesmas dan jaringan nya oleh 14 | Prosiding PKWG Seminar Series
penduduk miskin di perkotaan, khususnya kelompok migran masih rendah (istilah yang digunakan dalam penelitian ini untuk menyebutkan kelompok penduduk tersebut adalah ‘the unreached’). Ditengarai salah satu faktor penghambat adalah persoalan aksesibilitas pada pelayanan kesehatan. Kemampuan finansial menjadi faktor dominan yang mempengaruhi persoalan aksesibilitas penduduk migran miskin tersebut. Kelompok migran miskin belum mendapatkan manfaat dari program-program tersebut. Adanya persoalan administrasi kependudukan menyebabkan mereka luput menjadi target sasaran program jaminan kesehatan yang ditujukan untuk orang miskin. Padahal, sebagian besar dari migran miskin di perkotaan tersebut harus membiayai pengobatan dari sumber penghasilan mereka sendiri (out-of pocket) yang juga terbatas. Beberapa kasus menunjukkan adanya penghentian pengobatan karena ketidakmampuan dalam membiayai pengobatan mereka. Kemungkinan hal ini juga membawa implikasi pada kondisi kesehatan ibu dan anak dari keluarga migran miskin di perkotaan. Tulisan ini dimaksudkan untuk memaparkan model kebijakan komprehensif terkait dengan upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak. Dengan kompleksnya persoalan yang muncul maka perlu ada kebijakan integratif dalam penanganannya dan kerjasama lintas sektoral. Tulisan ini berdasarkan hasil penelitian tim kompetitif kesehatan P2K LIPI, yang melakukan penelitian pada kurun waktu 20092011, 2014 di dua wilayah perkotaan, yaitu Kota Makassar (Provinsi Sulawesi Selatan) dan Kota Bandung (Provinsi Jawa Barat). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah kuantitatif dan kualitatif. Sebelum masuk kepemaparan model kebijakan, beberapa isu yang dianggap menonjol akan dikemukakan terlebih dulu untuk memberikan gambaran mengapa kondisi kesehatan ibu dan anak belum menunjukkan gambaran yang menggembirakan. Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita, Eniarti Djohan | 15
Rendahnya pemanfaatan (puskesmas & jejaringnya)
layanan
kesehatan
dasar
Relatif rendahnya kondisi kesehatan ibu dan anak dari keluarga miskin terekam dari hasil penelitian P2K LIPI di Kota Bandung dan Makassar tersebut yang diindikasikan dengan rendahnya cakupan pemeriksaan kehamilan di tingkat puskesmas. Kasus kota Bandung memperlihatkan bahwa pada tahun 2010 cakupan pemeriksaan kehamilan di puskesmas hanya mencapai angka 79.55 % dari target 100 %, merosot dari tahun 2009 yang mencapai angka 92.47 %; demikian pula dengan rendahnya nilai prosentase kumulatif persalinan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan (Linakes) di tingkat dasar. Berdasarkan laporan bulanan puskesmas tahun 2010, Linakes baru mencapai 38.18 % dari target 100 % (PPK LIPI, 2009). Fenomena yang sama juga ditemukan pada kasus di Makassar dimana pemanfaatan atas layanan kesehatan dasar masih relative rendah di kalangan migran miskin. Hasil kajian di Makassar misalnya menunjukkan bahwa pemanfaatan puskesmas oleh migran baru sekitar 40 %. Kasus kota Bandung dan Makassar juga memperlihatkan masih tingginya penolong persalinan dengan dukun (Dinkes Kota Bandung 2011). Beberapa faktor yang kemungkinan membuat rendah dan menurunnya angka cakupan pemeriksaan ibu hamil di puskesmas tahun 2010 tersebut, antara lain seperti yang ditemukan dari hasil FGD dengan para ibu-ibu di Makassar, ketika ditanyakan pengalaman mereka sewaktu hamil, ternyata tidak semua ibu rajin memeriksakan kehamilannya ke tenaga kesehatan (dokter maupun perawat/bidan). Ada beberapa ibu (tidak banyak) yang bahkan tidak pernah memeriksakan kehamilannya.Alasan yang dikemukakan terkait dengan keputusannya tidak memeriksakan kehamilannya, sangat ‘sepele’ yaitu malas. Alasan lain lagi “malu” karena merasa sudah tua namun masih mengandung lagi. Kasus yang sama juga ditemukan di Bandung. Meskipun 16 | Prosiding PKWG Seminar Series
tidak banyak, namun masih ada ibu hamil yang lalai memeriksakan kandungannya dengan petugas kesehatan.Padahal menurut beberapa kader posyandu setiap saat sudah diinformasikan tentang waktu pemeriksaan kehamilan di Posyandu. Faktor lain penyebab terjadinya hal tersebut terkait dengan sistem pendeteksian dan pencatatan di puskesmas yang kurang terkoordinasi. Pihak Puskesmas cenderung hanya mencatat pasien-pasien yang datang ke puskesmasnya saja, sementara ada kemungkinan klien/user memanfaatkan puskesmas di luar wilayah sehingga tidak terdeteksi. Adanya jaminan kesehatan ternyata tidak secara langsung meningkatkan pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh masyarakat miskin. Data menunjukkan masih rendahnya pemanfaatan pelayanan kesehatan terutama pelayanan kesehatan rawat jalan tingkat pertama (RJTP) di Puskesmas terjadi di Kota Bandung. Berdasarkan data Laporan Tahunan Kegiatan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin Kota Bandung tahun 2010 diketahui bahwa rata-rata kunjungan masyarakat miskin terhadap pelayanan kesehatan tahun 2010 masih jauh dari target (utilisasi rate) yang harus dicapai tiap bulannya yaitu 15 persen. Hasil analisa Dinas Kesehatan Kota Bandung terhadap kurangnya tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan tersebut menunjukkan bahwa hal ini disebabkan oleh keterbatasan sumberdaya manusia dan sarana yang ada di Puskesmas terutama dari segi pencatatan dan pelaporan. Selain itu, kegiatan Puskesmas masih terfokus pada pelayanan dalam gedung serta kekurangmampuan petugas kesehatan untuk mengakses langsung masyarakat miskin misalnya dengan melakukan kegiatan perawatan individu, keluarga, dan masyarakat lainnya yang harus dilaksanakan di luar gedung. Beban biaya kesehatan pada pemerintah Pembebasan biaya kesehatan bagi seluruh penduduk di suatu wilayah bukanlah suatu kebijakan yang efektif karena akan membebani negara terutama bagi negara-negara Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita, Eniarti Djohan | 17
berkembang. Hasil penelitian P2K LIPI tahun 2011 menunjukkan telah terjadi peningkatan anggaran kesehatan yang harus disediakan oleh pemerintah Kota Makassar untuk membiayai kesehatan seluruh penduduk. Hasil studi di lapangan menunjukkan bahwa meskipun program kesehatan gratis dari program Makassar Bebas dimaksudkan untuk penduduk tidak/kurang mampu karena hanya membiayai pelayanan kesehatan dasar dan kelas tiga, namun pada kenyataannya masih terdapat penduduk yang berasal dari golongan mampu yang menggunakan program tersebut. Apabila kondisi ini terus berlangsung, kemungkinan besar pemerintah daerah setempat tidak akan mampu menjamin keberlangsungan program kesehatan gratis tersebut. Program pelayanan kesehatan yang serba gratis akan membuat masyarakat kurang peduli terhadap aspek promotif dan preventif karena asumsinya kalau sakit semua biaya pengobatan akan ditanggung pemerintah.Terkait dengan pembiayaan kesehatan, sebaiknya pembiayaan kesehatan tidak sepenuhnya dibebankan pada pemerintah. Sesuai dengan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Naional (SJSN) No 40 tahun 2004, penduduk dapat berkontribusi dalam pembiayaan kesehatan tergantung pada kemampuan masingmasing. Pengikutsertaan penduduk dalam pembiayaan kesehatan dapat membantu pemerintah untuk mengalihkan biaya yang selama ini digunakan untuk pembiayaan kesehatan pada kegiatan pembangunan di bidang lainnya. Selain dari diri pribadi dan pemerintah, pembiayaan kesehatan juga dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga atau paguyuban-paguyuban yang telah ada di masyarakat. Hasil studi di Kota Makassar menunjukkan bahwa migran yang berasal dari berbagai daerah mempunyai kelompok-kelompok atau perkumpulanperkumpulan menurut daerah asalnya. Biasanya, setiap perkumpulan tersebut menarik iuran dari anggotanya. Salah satu kegunaan dari iuran tersebut adalah memberikan bantuan biaya pengobatan pada anggotanya apabila menderita sakit. Selain itu, kelembagaan sosial masyarakat lainnya 18 | Prosiding PKWG Seminar Series
seperti kumpulan pengajian juga dapat digunakan sebagai salah satu wadah untuk membantu anggotanya dalam meringankan biaya pengobatan pada saat sakit. Kelembagaan sosial tersebut dapat menjadi salah satu cikal bakal untuk asuransi kesehatan. Untuk mewujudkan hal ini diperlukan suatu ‘sosial marketing’ untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan perlunya jaminan pemeliharaan kesehatan bagi diri dan keluarganya. Belum tercakupnya migran miskin dalam kepesertaan program jaminan kesehatan Sebagian rumah tangga miskin tidak dapat terdata ke dalam BPJS Kota Bandung, karena tidak memiliki identitas kependudukan Kota Bandung. hasil penelitian menunjukkan bahwa masih terdapat sedikitnya 200 anggota rumah tangga migran miskin dan hampir miskin di Kota Bandung dan 400 rumah tangga di Kota Makassar yang tidak tercakup dalam jaminan kesehatan yang diberikan oleh kedua kota tersebut. Fenomena ini antara lain juga disebabkan masih banyak warga yang tergolong berada ‘ditengah- tengah’ yaitu untuk dikatakan mampu mereka tidak termasuk tapi untuk dikatakan miskin juga tidak tepat, tapi mereka sangat butuh bantuan keringanan dalam pembiayaan kesehatan. Namun mereka luput dalam pendataan kemiskinan karena apabila berdasarkan indikator kemiskinan yang 14 indikator, mereka luput dalam pendataan karena factor kepemilikan kendaraan bermotor. Padahal kepemilikan kendaraan bermotor tersebutpun ‘sangat dipaksakan untuk kebutuhan berusaha. Ada juga kasus warga yang tidak terdata sebagai warga miskin karena berdasarkan rumah/tempat tinggal termasuk layak huni, padahal warga tersebut hanya penunggu rumah saja. Sehingga dalam pendataan perlu melibatkan warga setempat/local yang memahami kondisi wilayah. Selain itu, permasalahan yang dapat membuat warga masyarakat tidak antusias dengan skema BPJS ini adalah belum semua orang paham dengan skema BPJS Kesehatan. Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita, Eniarti Djohan | 19
Sosialisasi tentang BPJS Kesehatan pada dasarnya sudah dilaksanakan namun kendalanya adalah tidak semua sosialisasi bisa dilaksanakan karena tidak terjadwal. Kerangka Analisa Kebijakan Dari hasil analisa dapat disimpulkan adanya keterkaitan yang erat antara permasalahan akses terhadap layanan kesehatan, kemiskinan dan migrasi. Urbanisasi yang antara lain memunculkan adanya kelompok marjinal perkotaan tidak hanya menyebabkan yang bersangkutan tidak bisa memperoleh akses terhadap layanan dasar sebagai akibat stateless dan kemiskinan, tetapi juga menambah beban terhadap lingkungan pemukiman mereka yang memang sudah terbatas dengan sarana dan prasarana layanan dasar. Kondisi demikian akan menyulitkan upaya dalam memutus matarantai kemiskinan dan kejadian sakit karena selalu terjerat dengan kondisi kesehatan yang rentan terhadap penularan penyakit. Untuk meningkatkan derajat kesehatan penduduk migran miskin (termasuk ibu dan anak) yang memiliki karakteristik khusus tidak cukup hanya meningkatkan akses mereka terhadap layanan kesehatan saja, tetapi diperlukan pendekatan yang bersifat multi-dimensional dan kerjasama lintas sektoral. Ada 4 domain pokok yang perlu dibenahi dalam kaitannya dengan peningkatan akses kelompok tersebut terhadap layanan kesehatan yang berkualitas, yaitu: (a) perbaikan sistem layanan kesehatan dasar dan rujukan; (b) penataan lingkungan permukiman (c) peningkatan ekonomi keluarga untuk mendapatkan atau menopang layanan kesehatan rujukan/lanjutan dan gizi yang baik; dan (d) identitas kependudukan.
20 | Prosiding PKWG Seminar Series
Bagan 1. Strategi Peningkatan Derajat Kesehatan Ibu dan Anak melalui Program Lintas Sektor
Penyusunan model kebijakan dalam rangka peningkatan kesehatan ibu dan anak digunakan alur berpikir berdasarkan kerangka analisa kebijakan. Dalam hal ini proses pertama yang harus dilakukan adalah dengan melakukan analisa masalah untuk dapat mengetahui secara jelas masalah yang dihadapi, siapa yang terkena atau terkait dengan masalah yang dihadapi, Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita, Eniarti Djohan | 21
seberapa seriusnya masalah, penyebab masalah, serta prioritas masalah dari berbagai masalah yang dihadapi. Pemahaman yang jelas atas permasalahan yang dihadapi sangat berguna dalam menentukan strategi dan prioritas dalam pemecahan atau penuntasan masalah yang dihadapi. Hasil dari analisa masalah ini juga merupakan alat justifikasi dalam penentuan strategi kebijakan dan design proyek untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi. Beberapa hal yang dilakukan dalam analisa masalah ini, yaitu: (a) identifikasi semua masalah yang terkait dengan akses ibu dan anak terhadap layanan kesehatan yang memadai. Identifikasi masalah ini dilakukan berdasarkan hasil wawancara dengan responden kunci, FGD, serta workshop dengan para pemangku kepentingan di tingkat kabupaten yang dikoordinor oleh Bappeda setempat; (b) menentukan hierarki hubungan sebab-akibat dari berbagai masalah yang dihadapi; (c) visualisasi hubungan sebab akibat dalam sebuah diagram dalam bentuk pohon masalah (problem tree analysis). Setelah proses analisa masalah selesai maka dilanjutkan dengan analisa tujuan (objective tree analysis) yang merupakan transformasi dari analisa pohon masalah menjadi analisa tujuan, yaitu dengan menjadikan masalah sebagai tujuan dari kebijakan yang akan diambil untuk mengatasi masalah. Analisa tujuan ini menjadikan aspek negatif dari masalah menjadi tujuan yang positip. Misalnya, masalah “kurangnya akses terhadap layanan kesehatan ibu dan anak” di-transformasi menjadi “meningkatnya akses terhadap layanan kesehatan ibu dan anak yang memadai”. Sebagaimana halnya dengan analisa masalah, sebuah analisa tujuan dituangkan dalam bentuk diagram pohon tujuan (objective tree), yang berisi tujuan yang dikehendaki dan cara untuk mencapai tujuan (ends and means diagram). Dalam analisa tujuan ini akan terlihat bahwa banyak tujuan yang tidak bisa dicapai sekaligus sehingga perlu 22 | Prosiding PKWG Seminar Series
prioritas. Bisa juga kelihatan bahwa mungkin ada beberapa tujuan yang tidak realistis, terlalu ambisius dalam konteks sumberdaya yang tersedia serta mekanisme pelaksanaannya. Namun demikian dalam tahapan analisa tujuan ini semua kemungkinan tujuan atau cara untuk mencapai tujuan diidentifikasi saja atau belum ada proses pemilihan tujuan serta cara untuk mencapai tujuan. Setelah proses analisa masalah dan tujuan pemecahan masalah selesai maka dilanjutkan dengan kajian pemecahan masalah termasuk pemilihan dari tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Selanjutnya, tindakan yang terpilih untuk memecahkan masalah guna mencapai tujuan perlu dipantau dan di-evaluasi untuk memastikan bahwa tindakan tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan petunjuk pelaksanaan serta membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Hasil dari evaluasi tersebut dipakai sebagai bahan perbaikan guna mencapai tujuan dengan cara yang efisien dan efektif. Bagan berikut menampilkan Kerangka Kerja Analisa Kebijakan.
Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita, Eniarti Djohan | 23
Pohon masalah
24 | Prosiding PKWG Seminar Series
Pohon tujuan
Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita, Eniarti Djohan | 25
Penutup Harus diakui bahwa mencari strategi untuk peningkatan kesehatan ibu dan anak khususnya dari rumah tangga migran miskin perkotaan bukan sesuatu yang mudah karena permasalahan yang dihadapi penduduk migran miskin di perkotaan kompleks. Pada umumnya, migran miskin di perkotaan cenderung termarjinalisasikan sehingga menyebabkan kualitas hidup penduduk semakin rendah. Hasil studi ini misalnya, mengidentifikasi adanya keterbatasan akses penduduk migran miskin untuk mendapatkan layanan kesehatan dan jaminan sosial. Pembebasan biaya pelayanan di puskesmas bagi penduduk miskin nampaknya belum memperbesar akses mereka terhadap pelayanan kesehatan. Beberapa kasus yang ditemukan dari studi ini menunjukkan kehidupan penduduk miskin menjadi lebih terpuruk karena tanpa adanya jaminan sosial atau kesehatan mereka harus mengeluarkan biaya pengobatan dari kantong sendiri (out of pocket) yang bisa saja melebihi pendapatan rumah tangga (kondisi katastropik). Penduduk migran miskin sebagai kelompok marjinal perkotaan ini seringkali luput dari perhatian penyelenggara layanan kesehatan karena ketiadaan identitas serta lemahnya ‘voice’ mereka dalam penyusunan kebijakan kesehatan. Oleh karena itu model kebijakan yang diperlukan adalah kebijakan yang disusun dengan menggunakan pendekatan partisipatif. Dalam hal ini kelompok marjinal perkotaan diikutsertakan dalam proses perencanaan, paling tidak didengar ‘suara’ mereka terkait dengan kebutuhan layanan kesehatan yang diperlukan, bagaimana sebaiknya model layanan yang sesuai dengan kondisi mereka, bagaimana persepsi mereka tentang kualitas layanan yang diharapkan dan kualitas layanan yang tersedia, dan sebagainya. Kebijakan yang diusulkan adalah kebijakan yang sinergis dengan kebijakan yang sudah ada.
26 | Prosiding PKWG Seminar Series
Apabila tetap tidak ada intervensi untuk memperbaiki sistem layanan kesehatan dasar maka masalah kesehatan yang akan dihadapi oleh ibu dan anak akan semakin memburuk. Demikian halnya dengan permasalahan yang menyangkut keterlambatan mendapatkan pelayanan kesehatan, apabila dibiarkan tentunya berdampak negatif pada kondisi kesehatan ibu dan anak. Dengan semakin parahnya penyakit yang diderita tentunya akan membutuhkan biaya yang cenderung besar dan apabila tanpa campur tangan pihak lain, maka kemungkinan besar akan terjadi kasus katastropik karena sebagian besar penghasilan akan digunakan untuk biaya pengobatan. Penduduk yang mampu dan sehat dihimbau agar mereka membayar iuran sehingga data yang terkumpul dapat digunakan untuk melayani penduduk yang tidak mampu ketika mereka sakit. Demikian halnya dengan tabungan persalinan, Tabulin yang pernah populer di Indonesia di bawah BKKB dua dekade yang lalu dapat direvitalisasi. Dengan demikian penduduk miskin baik yang mempunyai identitas kependudukan setempat (KTP) maupun pendatang musiman dapat mengunakan tabungan tersebut ketika mereka membutuhkannya misalnya pada saat bersalin, ’social marketing’ untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan perlunya jaminan kesehatan bagi diri dan keluarganya sudah tidak dapat ditawar lagi Referensi The Partnership for Maternal, Newborn & Child Health. 2011. A Global Review of the Key Interventions Related to Reproductive, Maternal, Newborn and Child Health (Rmnch). Geneva, Switzerland: PMNCH. Purwaningsih, Sri Sunarti, Ade Latifa, Zainal Fathoni. 2010. Akses Penduduk Miskin Terhadap Layanan Kesehatan: Kasus Kota Bandung. Yogyakarta: Penerbit Elmatera
Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita, Eniarti Djohan | 27
Purwaningsih, Sri Sunarti, Ade Latifa, Fitranita, Dina Bisara Lolong. 2011. Penduduk Migran Miskin The Unreach dan Akses Terhadap Layanan Kesehatan: Kasus Kota Makassar. Jakarta: Penerbit LIPI Press (dalam proses penerbitan) Romdiati, Haning, dkk. 2005. Mobilitas Penduduk Temporer di Permukiman Kumuh Kota Surabaya: Pengelolaan dan konteknya terhadap penataan lingkungan. Jakarta: PPK-LIPI Thabrany, Hasbullah, dkk. 2009. Sakit, Pemiskinan dan MDGs. Penerbit: Kompas.
28 | Prosiding PKWG Seminar Series
Peran Perempuan Komunitas Lokal Dalam Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga Di Kota Surabaya (Studi Keterlibatan Perempuan Dalam Institusi Masyarakat Perkotaan di Kota Surabaya) Wahyu Krisnanto1 Abstrak Penurunan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) merupakan salah satu target dari Tujuan Pembangunan Millenium atau yang lebih dikenal dengan Millennium Development Goals (MDGs). Seluruh target MDGs ini diharapkan tercapai pada awal tahun 2015, dengan mendasarkan baseline data tahun 1990. Ditetapkan target dalam MDGs untuk pengurangan angka kematian ibu di Indonesia adalah terjadinya penurunan rasio hingga tiga perempatnya dari angka di tahun 1990, yaitu 120 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan target penurunan angka kematian bayi adalah dua pertiga berdasar data tahun 1990, yaitu sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup. Untuk mendukung pencapaian target penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi diperlukan keterlibatan berbagai pihak, dimana salah satunya adalah kelembagaan Institusi Masyarakat Perkotaan (IMP) yang merupakan kelembagaan di tingkat komunitas. Dalam paper ini akan diuraikan bagaimana peran serta kader Institusi Masyarakat Perkotaan (IMP) mendukung akselerasi penurunan angka 1
Fakultas Hukum Universitas Katolik Darma Cendika, Surabaya
Wahyu Krisnanto | 29
kematian ibu dan angka kematian bayi di kota Surabaya dan bagaimana pencapaiannya. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis diketahui bahwa kelompok perempuan adalah kelompok yang dominan berperan sebagai kader IMP. Keberadaan kelembagaan ini cukup signifikan dalam mendukung akselerasi penurunan angka kematian bayi di kota Surabaya, namun belum cukup signifikan menurunkan angka kematian ibu. Kata kunci : Perempuan, Komunitas Lokal, Kesehatan, Keluarga Pendahuluan Pada September 2000 di New York diselenggarakan Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) yang dihadiri oleh 189 negara anggota PBB yang sebagian besar diwakili oleh Kepala Negara. Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) ini bertujuan untuk membahas permasalahan pembangunan yang dialami oleh para anggota PBB yang kemudian menghasilkan sebuah kesepakatan mengenai arah pembangunan global dengan pendekatan inklusif dan berpihak pada pemenuhan hak-hak dasar manusia. Kesepakatan arah pembangunan global ini kemudian dideklarasikan oleh seluruh negara anggota PBB menjadi Deklarasi Tujuan Pembangunan Millenium atau yang lebih dikenal dengan Millennium Development Goals (MDGs). Arah pembangunan global tersebut memiliki beberapa tujuan pembangunan, dimana tujuan pembangunan global tersebut diwajibkan untuk diadopsi oleh seluruh negara pendeklarasi ke dalam program pembangunannya. Terdapat 8 (delapan) Tujuan Pembangunan Millennium, dimana terdapat 2 (dua) tujuan pembangunan yang terkait dengan Peningkatan Kesehatan Ibu dan Penurunan Angka Kematian Anak. Seluruh Tujuan Pembangunan Millennium tersebut diharapkan tercapai pada awal tahun 2015, dengan baseline data (terkait
30 | Prosiding PKWG Seminar Series
dengan tujuan pembangunan tersebut) tahun 1990 di setiap negara. Dalam bidang kesehatan ibu, tujuan lebih difokuskan pada pengurangan kematian ibu akibat persalinan. Ditetapkan target dalam MDGs untuk tujuan pengurangan angka kematian ibu (AKI) di Indonesia adalah terjadinya penurunan rasio hingga tiga perempatnya dari angka di tahun 1990. Dengan asumsi angka kematian ibu pada tahun 1990 sekitar 450 per 100.000 kelahiran, maka target MDGs untuk angka kematian ibu pada tengat tahun MDGs adalah 120 per 100.000 kelahiran hidup2. Untuk penurunan kematian anak, terdapat 2 (dua) obyek dalam penurunan kematian anak, yaitu Angka Kematian Balita (AKBa), yaitu angka kematian anak Balita (anak usia 1 – 5 tahun) per 1.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi (AKB), yaitu angka kematian bayi (anak usia 0 – 1 tahun) per 1.000 kelahiran hidup. Mendasarkan pada asumsi angka kematian anak pada tahun 1991, MDGs menetapkan target Indonesia mampu mengurangi angka kematian anak hingga dua pertiga berdasar data tahun 1990. Dengan target MDGs tersebut, maka target pencapaian penurunan Angka Kematian Balita (AKBa) sebesar 32 per 1.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi (AKB) sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup 3. Pencapaian target Tujuan Pembangunan Millennium bukan merupakan hal yang mudah dilakukan. Karena beberapa tujuan pembangunan tersebut berkait dengan banyak yang bersifat multidimensional. Tidak saja masalah rekayasa teknologi dan medis untuk meningkatkan kualitas kesehatan 2
3
Millennium Development Goals, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2008, Hal. 20. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Millennium di Indonesia 2011, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2012, Hal. 47. Wahyu Krisnanto | 31
ibu dan anak, namun juga memiliki dimensi non teknis yang bersifat sosial dan kultural. Dengan kondisi tersebut, maka pencapaian Tujuan Pembangunan Millennium bukan lagi semata menjadi tugas dari Pemerintah, namun juga menjadi tugas dan tanggungjawab bersama seluruh stakeholder termasuk juga masyarakat. Sebagai wujud komitmen nasional dalam mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Millennium, maka Pemerintah Indonesia telah memasukkan tujuan pembangunan global itu ke dalam kebijakan pembangunannya. Terdapat beberapa kebijakan pembangunan di Indonesia yang telah mengarusutamakan pada pencapaian Tujuan Pembangunan Millennium antara lain Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 = 2025 (RPJPN 2005 - 2025); Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004 – 2009 dan 2009 – 2014 (RPJMN 2004 – 2009 dan RPJMN 2009 – 2014)4. Selain beberapa kebijakan pembangunannya, sebagai wujud komitmennya dalam mendukung pembangunan keluarga termasuk juga kesehatan ibu dan anak, Pemerintah Indonesia juga telah menerbitkan Undang-undang No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Dalam Undang-undang tersebut, juga diamanatkan tentang peran serta masyarakat dalam pengelolaan kependudukan dan pembangunan keluarga, termasuk pula pada aspek kesehatan ibu dan anak. Pelibatan peran serta aktif masyarakat dalam upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak tidak saja agar strategi yang diterapkan mampu bersifat kontekstual sesuai dengan kondisi sosial kultural masyarakat, namun pelibatan 4
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Millennium di Indonesia 2010, , Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2012, Hal. 1.
32 | Prosiding PKWG Seminar Series
masyarakat dimaksudkan untuk membangun sikap berbela rasa secara kolektif (compasionate collective) di tingkat komunitas. Membangun sikap berbela rasa di tingkat komunitas dapat merupakan sebuah modal sosial yang cukup efektif dalam upayanya untuk meningkatkan kualitas kesehatan ibu dan anak. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Bourdieu dalam John Field (2011) yang mengatakan bahwa modal sosial adalah sumberdaya aktual dan maya yang berkumpul pada seorang individu atau kelompok karena memiliki jaringan menerus berupa hubungan timbal balik yang telah terinstitusionalisasikan. Salah satu upaya pelibatan peran serta aktif masyarakat di tingkat komunitas terkait dengan kesehatan dan kesejahteraan keluarga adalah Institusi Masyarakat Perdesaan/Perkotaan yang kemudian disingkat menjadi IMP. Namun dalam konteks paper ini akan dibahas bagaimana peran Institusi Masyarakat Perdesaan/Perkotaan di wilayah Kota Surabaya dalam upayanya mendukung pencapaian penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) serta hasil yang telah dicapainya. Mengingat bahwa lokasi penelitian berada di wilayah perkotaan, maka untuk selanjutnya istilah yang dipergunakan untuk institusi ini adalah Institusi Masyarakat Perkotaan (IMP). Paper ini ditulis dengan mendasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis pada tahun 2013 lalu. Penelitian dilakukan bersifat deskriptif kualitatif, dimana peneliti akan mengidentifikasi bagaimana peran serta kader Institusi Masyarakat Perkotaan (IMP) dalam mendukung akselerasi penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi di kota Surabaya dan bagaimana pencapaiannya. Hasil dari penelitian ini dipergunakan untuk memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Kota Surabaya terkait dengan strategi revitalisasi peran serta IMP dalam meningkatkan kesehatan keluarga, khususnya terkait dengan penurunan Angka
Wahyu Krisnanto | 33
Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di wilayah Kota Surabaya. Tentang Institusi Masyarakat Perkotaan (IMP) Seiring dengan terjadinya perubahan paradigma pembangunan di Indonesia juga berpengaruh terjadinya perubahan pada paradigma dan kebijakan di segala bidang pembangunan termasuk pula pada bidang keluarga berencana. Kebijakan program Keluarga Berencana dilandasi oleh tuntutan masyarakat yang mengarah pada demokratisasi, hak asasi manusia dan good governance. Sebagai konsekuensinya, program Keluarga Berencana Nasional yang merupakan bagian integral dari pembangunan, harus mampu memenuhi tuntutan tersebut. Oleh karena itu, kebijakan dan strategi program Keluarga Berencana Nasional memberikan kesempatan yang lebih luas kepada masyarakat untuk berperan aktif dalam pengelolaan dan pelaksana kegiatan program. Dengan kondisi tersebut, terjadi pula reposisi peran pemerintah dalam pelaksanakan program Keluarga Berencana Nasional, yang semula menjadi manajer dan pelaksana program (yang direpresentasikan dengan peran Petugas Lapangan Keluarga Berencana/PLKB) berubah menjadi petugas lapangan yang hanya berperan sebagai manajer dan penggerak program di lapangan. Dengan terjadinya pergeseran peran tersebut, mengandung maksud untuk lebih memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk lebih memiliki tanggungjawab sebagai pengelola dan pelaksana berbagai kegiatan program Keluarga Berencana di Lapangan. Sebagai wujud dari perubahan paradigma tersebut di atas, BKKBN selaku lembaga non kementerian menginiasikan terbentuknya kelembagaan di tingkat komunitas yang bertanggungjawab dalam mengelola dan melaksanakan berbagai kegiatan program keluarga berencana5 sekaligus 5
Berdasarkan UU No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, yang dimaksud dengan
34 | Prosiding PKWG Seminar Series
sebagai mitra kerja PLKB. Kelembagaan di tingkat komunitas ini selanjutnya disebut dengan istilah Institusi Masyarakat Perkotaan (IMP). Sebagai sebuah lembaga di tingkat komunitas, IMP memiliki struktur kelembagaan meliputi Pembantu Pembina Keluarga Berencana Kelurahan (PPKBK), Sub Pembantu Pembina Keluarga Berencana (Sub PPKBK); Kelompok Keluarga Berencana dan Sejahtera (KKBS) dan Kelompok Kegiatan (Poktan). Pembantu Pembina Keluarga Berencana Kelurahan (PPKBK) adalah seorang atau beberapa orang kader masyarakat yang secara sukarela berperan aktif melaksanakan dan mengelola program Keluarga Berencana Nasional di tingkat Kelurahan. PPKBK ini bertugas untuk melakukan perencanaan dan evaluasi pelaksanaan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera, menyelenggarakan kegiatan KIE dan Konseling, melakukan pencatatan dan monitoring. Sama seperti PPKBK, di tingkat RW dikenal adanya Sub PPBKB. Sub PPKBK ini adalah seorang atau beberapa orang kader masyarakat yang sukarela berperan aktif dalam melaksanakan dan mengelola program Keluaraga Berencana di tingkat RW. Tugas dan tanggunjawab Sub PPKBK ini persis sama dengan PPKBK namun dalam lingkup wilayah yang lebih kecil setingkat RW. Sedangkan KKBS adalah organisasi seluruh keluarga yang berada di lingkungan RT yang secara sukarela mau melaksanakan dan mengelola program Keluarga Berencana Nasional di tingkat RT. Kelompok Kegiatan (Poktan) adalah wadah peran serta keluarga dalam kegiatan tertentu sebagai bagian dari kegiatan program Keluarga Berencana Nasional.
Keluarga Berencana (KB) adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi, perlindungan, dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas. Wahyu Krisnanto | 35
Saat ini di wilayah Kota Surabaya telah memiliki Institusi Masyarakat Perkotaan (IMP) di setiap wilayah Kelurahan hingga di tingkat RT. Keberadaan kelembagaan komunitas ini sudah terintegrasi dengan PLKB sebagai koordinator dan pembina bagi para kader IMP. Terdapat kurang lebih 34 orang PLKB dan 1.577 orang kader IMP, dengan rincian 160 orang kader PPBKB di tingkat Kelurahan (PPKBK) dan 1.417 orang kader Sub PPKBK di tingkat RW. Jumlah ini belum termasuk kader KKBS yang berada di tingkat RT. Tidak ada persyaratan untuk menjadi seorang kader IMP harus berjenis kelamin perempuan, namun dalam kenyataan sebagian besar kader IMP ini adalah para perempuan. Hanya terdapat 3 orang kader IMP di Kota Surabaya yang berjenis kelamin laki-laki, yaitu kader 1 orang kader PPKBK dari Kelurahan Ngagel Rejo; 1 orang kader Sub PPKBK yang berasal dari wilayah Kelurahan Semampir dan 1 orang kader Sub PPKBK dari wilayah Kelurahan Krembangan. Para kader PPKBK di tingkat Kelurahan dan Sub PPKBK di tingkat RW ini sebagian besar berlatar pendidikan setingkat SLTA dengan usia berkisar antara 45 tahun – 65 tahun. Sebagian besar dari mereka telah bertugas sebagai kader PPKBK dan Sub PPKBK lebih dari 9 tahun. Dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang kader IMP bersifat sukarela. Namun sejak sekitar tahun 2010 mereka mendapatkan tunjangan transportasi penugasan dari Pemerintah Kota Surabaya sebesar Rp. 25.000/bulan. Besarnya nilai tunjangan tersebut dalam kenyataannya tidak mampu menutupi pengorbanan mereka dalam mensukseskan penyelenggaraan program KB/KS serta akselerasi penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi. Bahkan tidak jarang mereka secara sukarela harus mengeluarkan dana pribadinya untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat, khususnya terkait kesehatan reproduksi, kesehatan ibu dan anak. Pada tahun 2015 ada wacana dari Pemerintah Kota Surabaya untuk meningkatkan tunjangan transportasinya menjadi Rp. 50.000/bln. 36 | Prosiding PKWG Seminar Series
Keberadaan para kader KB yang tergabung dalam kelembagaan IMP ini memiliki kontribusi yang cukup signifikan dalam menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di wilayah kota Surabaya. Hal ini karena Pemerintah Kota Surabaya melalui Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga Berencana (Bapemas KB) mensinergikan pelaksanaan program Keluarga Berencana dengan program penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi (AKI dan AKB). Sebagai hasilnya, berdasar data statistik yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Surabaya, diketahui terjadi trend penurunan Angka Kematian Bayi (AKB) di Kota Surabaya sejak tahun 2010 hingga 2013. Namun demikian Angka Kematian Ibu (AKI) di Kota Surabaya sejak tahun 2010 hingga 2013 masih terhitung cukup tinggi (lihat tabel 1). Tabel 1 Angka Kematian Bayi (AKB) per 1.000 kelahiran Hidup Tahun 2010 - 2013 Indikator AKI / AKB
2010
2011
2012
2013
AKI per 100.000 kelahiran hidup
7,84
10,28
7,67
6,17
AKB per 1.000 kelahiran hidup
71,07
103,90
144,64
119,14
Sumber: Dinas Kesehatan Kota Surabaya Tidak dipungkiri rendahnya AKB di wilayah Kota Surabaya tidak dapat dilepaskan dengan kedudukan kota Surabaya sebagai ibukota Provinsi Jawa Timur, dimana tingkat ketersediaan fasilitas kesehatan dan jumlah petugas kesehatan yang cukup memadai dibanding dengan wilayah Kabupaten/Kota di wilayah lainnya. Namun demikian, keberadaan IMP sebagai kelembagaan di tingkat komunitas juga memiliki andil yang cukup signifikan dalam penurunan AKI dan AKB di wilayah Kota Surabaya. Hal ini tidak terlepas Wahyu Krisnanto | 37
dari peran IMP dalam program Keluarga Berencana Nasional, dimana terdapat 6 (enam) jenis peran dari IMP yaitu: Kepengurusan; Pertemuan; KIE dan Konseling; Pencatatan dan Pendataan; Pelayanan Kegiatan dan Kemandirian. Dari keenam peran tersebut, terdapat beberapa peran IMP yang cukup signifikan berkontribusi dalam penurunan angka kematian ibu dan bayi (AKI dan AKB), antara lain peran KIE dan Konseling; peran Pencatatan dan Pendataan; peran Pelayanan Kegiatan dan peran kemandirian. Peran Kader IMP Dalam KIE dan Konseling Untuk Mendukung Penurunan AKI dan AKB Dalam menjalankan peran KIE dan Konseling, seorang kader IMP (baik PPKBK dan Sub PPKBK) melakukan promosi kesehatan kehamilan, kondisi kesehatan ibu dan anak serta kesehatan reproduksi. Memperhatikan masih cukup tingginya AKI di wilayah Kota Surabaya, maka KIE dan Konseling merupakan peran IMP yang cukup penting. Tingginya AKI tidak saja disebabkan karena keterbatasan fasilitas dan pelayanan kesehatan bagi para ibu, namun juga disebabkan karena kurangnya pengetahuan para perempuan terkait kesehatan kondisi kehamilan dan pengetahuan tentang kesehatan reproduksinya. Dalam upaya penurunan AKI dan AKB, kegiatan KIE yang dilakukan oleh kader IMP biasanya terkait dengan informasi deteksi dini resiko kehamilan. Dari hasil wawancara dengan para kader IMP, diketahui bahwa informasi yang disampaikan ke masyarakat antara lain perencanaan kehamilan (usia ideal hamil, jarak kehamilan dan jumlah anak) serta jadwal pemeriksaan kandungan atau yang sering dikenal dengan 4 Terlalu dan 3 Terlambat6. Kegiatan promosi tentang kesehatan 6
4 Terlalu (Terlalu Muda Untuk Hamil, Terlalu Tua Untuk Hamil, Terlalu Dekat Jarak Kehamilan dan Terlalu Banyak Anak) dan 3 Terlambat (Terlambat Memutuskan Untuk Merujuk, Terlambat Sampai di Tempat Rujukan, Terlambat Dikelola Di Tempat Rujukan ).
38 | Prosiding PKWG Seminar Series
maternal ini biasanya dilakukan oleh para kader dengan melakukan kunjungan rumah, kegiatan posyandu atau kegiatan-kegiatan sosial lainnya (melalui kegiatan arisan, pengajian dan sebagainya). Selain para ibu, kelompok remaja juga dijadikan jangkauan kegiatan KIE & Konseling yang dilakukan oleh para kader IMP. Materi informasi yang diberikan pada kelompok sasaran remaja ini biasanya seputar kesehatan reproduksi. Promosi dan informasi kesehatan reproduksi di kalangan kelompok remaja, dilakukan oleh para kader IMP dengan pertimbangan bahwa remaja adalah kelompok yang rawan mengalami kasus Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD). Seiring dengan makin maraknya nilai materialisme dan hedonisme di kalangan remaja, berdampak pada terjadinya sikap permisif pada nilainilai keperawanan. Kondisi ini menjadikan remaja menjadi kelompok yang rawan mengalami kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) bahkan terpaparnya HIV/AIDS. Kurangnya pemahaman kesehatan reproduksi di kalangan remaja menjadikan usia awal kehamilan dianggap sebagai keterlambatan siklus haid saja. Akibatnya, mereka biasanya melakukan upaya pengembalian siklus haid dengan mengkonsumsi obat-obatan, jamu tradisional atau upaya lainnya. Jika upaya pengembalian siklus haid gagal, biasanya mereka akan melakukan upaya aborsi yang dapat mengakibatkan kematian pada ibu. Dugaan awal, masih tingginya angka kematian ibu (AKI) di wilayah kota Surabaya salah satunya disebabkan karena faktor tingginya KTD di kalangan kelompok remaja yang berakhir dengan dilakukannya aborsi dan berakibat pada kematian. Selain daripada itu, faktor budaya (paradigma tentang usia kawin muda, usia kehamilan dan banyak anak), juga masih mendominasi menjadi penyebab tingginya angka kematian ibu. Kegiatan promosi tentang kesehatan reproduksi bagi kelompok remaja ini biasanya dilakukan oleh kader IMP Wahyu Krisnanto | 39
melalui kunjungan per rumah dan saat dilakukan kegiatan karang taruna. Pada beberapa kasus yang ditemui oleh penulis, terdapat kader IMP yang juga menjadi pembina karang taruna. Dengan keterlibatannya dalam kepengurusan karang taruna, kader tersebut dapat lebih intensif dalam melakukan promosi kesehatan reproduksi. Selain kegiatan KIE, para kader IMP terkadang juga melakukan kegiatan konseling terhadap para perempuan yang mengalami KTD. Terjadinya KTD bukan pasangan suami isteri, hingga saat ini masih dianggap melanggar norma sosial yang berlaku. Dalam kasus KTD bukan pasangan suami isteri, perempuan adalah pihak yang biasanya mendapatkan stigma negatif dari masyarakat. Stigma negatif tersebut tidak jarang juga dilakukan oleh petugas kesehatan. Akibatnya, para perempuan yang mengalami KTD mereka semakin enggan untuk memeriksakan kondisi kehamilannya. Bahkan tidak jarang menjadikan perempuan tersebut mengalami depresi yang akan berakibat pada kondisi kesehatan janin dan ibu. Kader IMP yang juga merupakan anggota komunitas, menjadikan kader IMP berperan cukup efektif dalam melakukan pendampingan dan memberikan konseling bagi perempuan yang mengalami KTD. Pendampingan dan konseling bagi perempuan yang mengalami KTD ini juga dimaksudkan untuk mempersiapkan kondisi psikologis menghadapi proses kelahiran dan pasca kelahiran. Pada beberapa kasus, karena keterbatasan dana yang dimilikinya, perempuan yang mengalami KTD tidak mampu meminta bantuan petugas medis untuk menolong proses kelahirannya7. Menghadapi kasus ini, biasanya kader IMP memberikan bantuan rujukan ke rumah sakit yang menerima program BPJS. 7
Hasil wawancara dengan Ibu Yuli Astuti seorang kader PPKBK Kecamatan Semampir dan Ibu Retno Suryandari seorang kader Sub PPKBK RW 5 Kel. Karang Poh – Kec. Tandes.
40 | Prosiding PKWG Seminar Series
Dalam hal kader IMP tidak mampu memberikan pendampingan dam konseling dari aspek psikologis, biasanya kader akan merujuk kepada pihak yang memiliki komitmen dalam pendampingan dan advokasi bagi kelompok perempuan. Dalam beberapa kasus yang pernah terjadi, biasanya kader merujuk pada kelompok studi psikologi yang dimiliki oleh sebuah perguruan tinggi negeri di Surabaya.8 Peran Kader IMP Dalam Pencatatan dan Pendataan Untuk Mendukung Penurunan AKI dan AKB Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia dalam melakukan intervensi pembangunan adalah kurangnya data yang mampu dipergunakan dalam mempertimbangkan strategi dan program pembangunan yang harus dilakukan. Kondisi ini juga menjadi permasalahan utama dalam bidang penurunan AKI dan AKB di Indonesia. Informasi yang dipergunakan untuk mengukur indikator AKI dan AKB masih sulit tersedia karena keterbatasan pengumpulan data yang masih mengandalkan sensus atau survei terkait masalah demografi seperti Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)9. Permasalahan yang terjadi SDKI yang dilakukan di Indonesia terakhir diselenggarakan pada tahun 2012 lalu. Keberadaan IMP sebagai kelembagaan komunitas dengan seluruh kadernya merupakan salah satu solusi yang dapat dipergunakan untuk mengatasi permasalahan keterbatasan pasokan data AKI dan AKB yang dipergunakan sebagai bahan kajian penyusunan strategi dan intervensi program. Hal ini tidak terlepas dengan salah satu peran IMP di masyarakat, yaitu peran dalam melakukan pencatatan dan pendataan. Dalam tugasnya tersebut, kader IMP (baik PPKBK dan Sub PPKBK) bertugas melakukan (1) pencatatan data dan 8
9
Hasil wawancara dengan Ibu Endang Juliati seorang kader Sub PPKBK Kel. Manukan Kulon – Kec. Tandes. Evaluasi Pencapaian MDGs Provinsi Jawa Timur Tahun 2013, Hal. 89
Wahyu Krisnanto | 41
pelaporan hasil kegiatan program di lapangan; (2) pendataan kondisi kesehatan dan sosial ekonomi keluarga setiap satu tahun sekali dan (3) membuat peta pasangan usia subur (PUS) dan kondisi keluarga di bawah bimbingan PLKB. Peran pencatatan dan pendataan ini dapat menjadi peluang untuk mengatasi minimnya pasokan data guna penyusunan strategi dan intervensi program penurunan AKI dan AKB. Namun dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, tidak seluruh kader IMP mampu memberikan pasokan data hasil pencatatan dan pelaporan secara rutin kepada PLKB. Dari total 1.577 kader IMP, hanya terdapat kurang lebih 22 kader IMP yang mampu memberikan pasokan data secara rutin. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhinya, yaitu: usia para kader IMP yang sebagian besar di atas usia 50 tahun yang berpengaruh terhadap kemampuan ketrampilan dalam penyusunan pelaporan dan banyaknya formulir pelaporan yang harus dibuat oleh para kader IMP. Mengatasi permasalahan tersebut, Bapemas KB Kota Surabaya telah beberapa kali memberikan pelatihan ketrampilan monitoring dan evaluasi kepada para kader IMP. Namun hasil yang diharapkan dari pelatihan tersebut masih belum cukup memuaskan. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, jenis data yang seharusnya diperlukan dalam melakukan intervensi penurunan AKI dan AKB lebih bersifat pada data hasil analisis sosial seperti kondisi sosial kultural, aktor dan kelembagaan di lapangan yang berpengaruh dalam mendukung upaya penurunan AKI dan AKB. Pentingnya data hasil pemetaan ini tidak berarti memarginalkan pentingnya data yang bersifat kuantitatif (statistik), namun data hasil pemetaan sosial ini adalah data yang mampu memberikan gambaran tentang faktor pendorong (driver factor) dan faktor sasaran (goals factor) intervensi program. Untuk dapat melakukan analisis sosial ini, maka diperlukan adanya ketrampilan tidak saja kader IMP namun juga ketrampilan dari PLKB untuk mampu 42 | Prosiding PKWG Seminar Series
memfasilitasi para kader dalam melakukan analisis sosial di wilayahnya. Peran Kader IMP Dalam Pelayanan Kegiatan Untuk Mendukung Penurunan AKI dan AKB Dalam konteks penyelenggaraan KB/KS, kader IMP (PPKBK dan Sub PPKBK) bertugas dan bertanggungjawab dalam : (1) memotivasi peserta KB baru; (2) pembinaan peserta KB aktif; (3) identifikasi sasaran program; (4) melakukan konseling dan (5) melakukan rujukan. Dalam rangka melakukan penurunan AKI dan AKB, maka tugas dan tanggungjawab kader IMP tidak saja memotivasi Pasangan Usia Subur (PUS) untuk mengikuti program KB, namun para kader juga memotivasi para ibu untuk melakukan pemeriksaan kesehatan reproduksi termasuk pula pemeriksaan dini resiko kehamilan. Motivasi biasanya dilakukan di kegiatan sosial yang banyak diikuti oleh para ibu rumah tangga, seperti pertemuan arisan PKK, pengajian dan kegiatan Posyandu yang diselenggarakan secara periodik. Pada kader Sub PPKBK, biasanya kegiatan motivasi pemeriksaan dini resiko kehamilan dilakukan melalui cara kunjungan rumah. Hal ini cukup dimungkinkan karena lingkup wilayah kerja Sub PPKBK yang setingkat RW. Selain melakukan kunjungan rumah, biasanya kader Sub PPKBK memotivasi para ibu rumah tangga untuk melakukan pemeriksaan kesehatan reproduksi dan pemeriksaan dini resiko kehamilan melalui kunjungan saat dilakukannya pertemuan Kelompok Keluarga Berencana dan Sejahtera (KKBS) yang berada di tingkat RT. Di wilayah Kota Surabaya, pemeriksaan dini resiko kehamilan dapat dilakukan di Posyandu, Klinik KB dan Puskesmas yang tersebar di setiap wilayah kecamatan. Selain melakukan motivasi kepada para ibu agar mau melakukan pemeriksaan kesehatan reproduksi dan pemeriksaan dini resiko kehamilan, para kader IMP juga Wahyu Krisnanto | 43
diberikan tanggungjawab untuk melakukan rujukan bagi para ibu yang mengalami permasalahan baik sebelum proses persalinan (antenatal) maupun saat proses persalinan. Rujukan biasanya dilakukan di kantor Puskesmas, RSUD Dr. Soetomo dan atau RSUD Dr. Soewandi. Dari hasil wawancara mendalam dengan beberapa orang kader IMP, penulis juga mendapatkan informasi bahwa tidak jarang biaya transportasi menuju dan dari tempat rujukan ditanggung oleh kader IMP. Rujukan tidak hanya dilakukan terkait dengan permasalahan antenatal maupun saat proses persalinan, namun rujukan juga dilakukan pada kelompok remaja, ibu rumah tangga atau perempuan yang mengalami kasus KTD. Seperti telah diuraikan di atas, rujukan juga dilakukan terhadap mereka yang mengalami permasalahan psikologis akibat KTD yang dialaminya. Peran Kader IMP Dalam Kemandirian Untuk Mendukung Penurunan AKI dan AKB. Peran kemandirian ini diwujudkan dengan adanya inisiatif kader IMP untuk membuat kemitraan dengan berbagai stakeholder dalam rangka penyelenggaraan program KB/KS. Peran ini dalam penyelenggaraannya telah dikembangkan oleh beberapa kader IMP di wilayah Kota Surabaya tidak lagi hanya terkait dengan program KB/KS namun juga terkait dengan upaya penurunan AKI dan AKB. Dari hasil penelitian, belum seluruh kelembagaan IMP di wilayah kota Surabaya telah mampu menyelenggarakan kemitraan dengan berbagai stakeholder. Hanya terdapat 22 kelembagaan IMP yang masuk dalam kategori Mandiri di wilayah kota Surabaya yang telah melakukan kemitraan dengan stakeholder. Namun dari 22 kelembagaan IMP tersebut hanya sekitar 2 (dua) kelembagaan yang sudah melakukan kemitraan dalam rangka penurunan AKI dan AKB, khususnya terkait dengan rujukan pendampingan psikologis KTD. Kemitraan tersebut tidak bersifat permanen, namun masih bersifat kasus per kasus. Selebihnya kemitraan lebih di fokuskan untuk pelayanan 44 | Prosiding PKWG Seminar Series
KB/KS seperti kerjasama dengan pabrikan terkait dengan pengadaan alat kontrasepsi dan obat-obatan. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, dapat disimpulkan : 1)
Keberadaan kelembagaan di tingkat komunitas cukup signifikan dalam mendukung dan mencapai akselerasi penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi. Hal ini disebabkan kelembagaan di tingkat komunitas dapat secara intensif melakukan promosi dan pendampingan kesehatan ibu serta pelayanan pasca persalinan melalui penyelenggaraan Posyandu.
2)
Kelembagaan di tingkat komunitas berpotensi memberikan kontribusi tenaga, dana maupun prasarana dalam upaya penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi.
3)
Dengan memperhatikan pada kontribusinya dalam mendukung akselerasi penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi serta usia dan masa penugasan para kader, maka diperlukan adanya kaderisasi terhadap para kader.
4)
Dalam menunjang pencapaian akselerasi penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi dibutuhkan ketepatan data yang dapat dipergunakan dalam menyusun rencana strategi dan intervensi dalam bentuk kegiatan program. Kelembagaan IMP sebagai representasi kelembagaan di tingkat komunitas masih belum cukup maksimal dalam berkontribusi memberikan pasokan data hasil pelaksanaan dan atau kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat. Diperlukan upaya peningkatan kapasitas komunitas dalam melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan program.
Wahyu Krisnanto | 45
5)
Masih diperlukan perluasan keterlibatan peran serta para kader IMP sebagai representasi keterlibatan masyarakat dalam proses identifikasi masalah, perencanaan kegiatan dan evaluasi hasil penyelenggaraan program penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi.
6)
Masih diperlukannya fasilitasi perluasan akses kemitraan dengan berbagai stakeholder untuk menunjang akselerasi penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi.
7)
Dalam perspektif gender, masih belum cukup terjadinya kesetaraan gender dalam upaya penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi, dimana kelompok laki-laki masih belum cukup optimal dalam keterlibatannya mendukung kegiatan program. Diperlukan promosi dan edukasi di kalangan kelompok laki-laki untuk mau secara aktif dalam pelaksanaan kegiatan program.
46 | Prosiding PKWG Seminar Series
Menurunkan AKI dan AKN dengan PERMATA Fitria Sari1 Abstrak Kebijakan Pemerintah dalam mengawal penurunan AKI dan AKN cukup membanggakan. Adanya Peraturan Daerah (PERDA) No 2 tahun 2009 tentang KIBBLA, Peraturan Bupati No.6 tahun 2010 tentang KIBBLA, hingga pembentukkan PERDES KIBBLA di Kecamatan tertentu. Komitmennya juga ditunjang dengan menyediakan 10% anggaran untuk KIA dari total APBD. Namun kelengkapan kebijakan tersebut belum sejalan dengan fakta AKI dan AKN. Buktinya, pada 2014, Kab. Pasuruan menempati ranking 4 untuk AKI dan ranking 1 untuk AKN. Oleh sebab itu penulis memilih Kabupaten Pasuruan sebagai lokasi penelitian (purposive). Peneliti mengambil sample di 6 Kecamatan di Kab. Pasuruan yaitu Purwodadi, Lekok, Kraton (Ngempit), Gempol, Gondang Wetan dan Grati karena tingginya AKI dan AKN serta kondisi topografi yang beragam di area tersebut. Tujuan penelitian yaitu memahami proses implementasi, tantangan, dan peran serta Civil Society Organization (CSO) dalam pelaksanaan kebijakan serta mengetahui lesson learned pelaksanaan program. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan studi kasus dan pengelolaan Most Significant Change (MSC). Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu Indepth Interview dan Focus Group Discussion bersama penyusun kebijakan, tenaga kesehatan, OMS dan ibu hamil/keluarga. 1
EMAS Indonesia dan Komunitas Kajian Gender Malang
Fitria Sari | 47
Heterogenitas topografi di Kecamatan terpilih menyebabkan konteks sosial kultur berperan dalam munculnya mitos tentang KIA. Misalnya, wilayah pesisir memiliki mitos larangan untuk mengonsumsi sayur dan buah serta memberikan pisang bagi bayi berusia lebih dari 10 hari merupakan kenyataan di wilayah Lekok. Sementara, di wilayah Pegunungan seperti Purwodadi, mitos larangan mengonsumsi ikan laut juga masih berkembang agar janin tidak berbau anyir saat dilahirkan. Selain mitos, faktor kebiasaan masyarakat seperti pernikahan/kehamilan muda, terlalu tua, terlalu jauh jarak, terlalu dekat kehamilan, patrialkal (pengambilan keputusan oleh garis suami), kepercayaan persalinan di dukun, orang tua yang terlalu dominan juga menjadi penyebab AKI dan AKN. Proses implementasi tersebut bukan hanya dilakukan oleh tenaga kesehatan maupun penyusun kebijakan, melainkan juga kontribusi dari Civil Society Organization atau dikenal dengan Forum PERMATA (Gerakan Penyelamatan Maternal dan Neonatal) yang merupakan gabungan seluruh OMS di Kabupaten Pasuruan. PERMATA terlibat sebagai mitra Dinas Kesehatan yang berkontribusi menekan AKI dan AKN dari sisi kemasyarakatan. PERMATA melakukan empoweing, bridging dan voicing (kampanye pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif, melalui pengajian, arisan dan perkumpulan di desa, pendampingan ibu hamil, pemberian nutrisi dengan pemanfaatan daun kelor dan katuk, jimpitan sosial besarannya Rp 2000 setiap bulan atau 2 butir telur, 1 genggam beras). PERMATA telah melakukan gerakan yang berujung dengan adanya perubahan perilaku masyarakat sekitar dalam KIA. Hal ini menunjukkan bahwa seberapapun sempurnanya kebijakan pemerintah apabila tidak ditunjang oleh partisipasi dan rasa memiliki warga maka program tidak akan maksimal. Kata Kunci: PERDA KIBBLA, Mitos, PERMATA, Persalinan Aman, Perubahan Perilaku
48 | Prosiding PKWG Seminar Series
Pendahuluan Penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Neonatus (AKN) menjadi salah satu gagasan MDG’s yang seharusnya sudah tercapai pada tahun 2015 di Indonesia. Target MDG’s untuk menurunkan AKI menjadi 102/100.000 kelahiran hidup dan AKB menjadi 23/100.0000. Pada kenyataannya, tahun 2012 terdapat fakta bahwa AKI dan AKN Indonesia kembali pada masa 15 tahun silam tepatnya 1997. Data dari Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), tahun 2012 menunjukkan AKI dan sebesar 359.000/100.000 setara dengan tahun 1997 dengan AKI sebesar 334/100.000. Padahal, jika angka tersebut dibandingkan dengan setiap 5 tahun sebelumnya jumlahnya cenderung menurun, misalnya pada 2003 sebanyak 307/100.000 dan 2007 sebanyak 228/100.000 (SDKI tahun 2012). Kondisi demikian memposisikan Indonesia sebagai negara yang harus berjuang keras untuk dapat menurunkan AKI dan AKN setidaknya pada level negara-negara di Asia. Pada kasus ini, kontestasi penurunan AKI dan AKN terjadi antar negara berkembang di Asia. Apabila dibandingkan antara Indonesia dengan negara lain seperti India, Nepal, Myanmar, Bangladesh dan Cambodia, mereka justru menunjukkan keberhasilannya dalam menurunkan AKI dan AKN. Sebut saja India yang mampu mencapai 150/100.000 dan Myanmar 130/100.000 bahkan Bangladesh mencapai angka sebesar 200/100.000 di tahun 2012 (Journal IPPF India 2013-MMR in South East Asia: A Challenges?). Data AKI dan AKN tersebut jelas menimbulkan pertanyaan bagi kalangan yang concern dalam Kesehatan Ibu dan Anak. Keberadaan pemerintah Indonesia sebagai pemegang kebijakan atas inisiatif program-Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) juga terus dipertanyakan. Meskipun beragam akselerasi dan kreasi program agar isu KIA dan persalinan aman menjadi fokus bersama sudah dilakukan namun angka AKI dan AKN belum juga turun. Tidak sedikit kebijakan yang telah disusun Fitria Sari | 49
dan diimplementasikan, misalnya UU 36 tahun 2009 tentang kesehatan, pembentukkan Polindes, Puskesmas PONED dan PONEK, DTPS MPS, Desa Siaga, Bidan Delima, Buku KIA, P4K hingga jaminan pembiayaan persalinan (Jampersal). Ibarat menggelindingkan bola, Pemerintah Pusat telah menginstruksikan Pemerintah Daerah untuk melaksanakan target KIA. Tentunya, dengan desentralisasi kebijakan akan lebih mengembangkan kreatifitas dan menyesuakian dengan kondisi lokal masing-masing wilayah. Salah satu area yang memiliki kontribusi kematian maternal dan neonatal tinggi adalah Jawa Timur (sebanyak kurang lebih 50%). Data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 menunjukkan AKI sebesar 108/100.000, tahun 2011 sebanyak 104/100.000 dan lebih menurun pada 2012 menjadi 97,4/100.000 (Data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur 2012). Meskipun MDG’s sebagai acuan dengan indikator angka, namun MDG’s juga memandatkan pencapaian KIA secara kualitatif yakni akses menyeluruh kepada kesehatan reproduksi yang komprehensif bagi perempuan. Mengacu kepada target MDGs untuk akses kesehatan reproduksi yang komprehensif, muncul satu nama Kabupaten di Jawa Timur yang patut mendapat perhatian bersama dalam peran sertanya menurunkan AKI dan AKN, yaitu Kabupaten Pasuruan. Kabupaten yang terkenal dengan kebijakan Pemerintah yang Pro terhadap isu KIA dari level Kabupaten hingga Desa tentu menggambarkan kepedulian Pemerintah Daerah yang tinggi. Namun, lagi-lagi fakta justru menunjukkan pada tahun 2015, Kab. Pasuruan menempati ranking 4 untuk kategori AKI tertinggi (28) dan ranking 1 (298 bayi) sebagai penyumbang AKN tertinggi se-Jawa Timur (AMP KIA Dinas Kesehatan Kab. Pasuruan; 2014) Kedua peringkat tersebut jelas membingungkan aktor bidang KIA yang pada akhirnya memunculkan pertanyaan seperti “Apakah harus melarang kehamilan seorang perempuan untuk menurunkan AKI dan AKN”? 50 | Prosiding PKWG Seminar Series
Makalah hasil penelitian ini akan menjawab pertanyaan dan kebingungan tentang kontradiksi antara kebijakan dan fakta AKI dan AKN di Kabupaten Pasuruan. Oleh karena itu, makalah terlebih dahulu membahas tentang kondisi sosial dan budaya masyarakat, lalu penyebab tertinggi kematian Ibu dan Neonatus, hingga praktik kolaborasi peran serta masyarakat dalam kebijakan KIA yang diwakili oleh PERMATA. Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana proses implementasi, tantangan dan peran serta CSO dalam upaya pelaksanaan Kebijakan Daerah (Peraturan Daerah hingga Peraturan Desa tentang Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir) sebagai upaya penurunan AKI dan AKN di Kabupaten Pasuruan? 2. Bagaimana lesson learned dan best practice dari peran serta masayarakat dalam upaya persalinan aman di Kabupaten Pasuruan? Tujuan Penelitian 1. Memahami proses implementasi, tantangan, dan peran serta CSO dalam pelaksanaan Kebijakan Daerah KIBBLA (Peraturan Daerah hingga Peraturan Desa tentang Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir) sebagai upaya penurunan AKI dan AKN di Kabupaten Pasuruan. 2. Mengetahui lesson learned dan best practice dari peran serta masyarakat dalam upaya persalinan aman di Kabupaten Pasuruan. Metodologi Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan study kasus. Selain menggunakan study kasus di 6 wilayah Kecamatan terpilih, peneliti juga mengkombinasikan hasil temuan dengan pendekatan Most Siginifacant Change (MSC). Tujuan spesifik peneliti menggunakan MSC terletak pada munculnya informasi tentang perubahan sikap dalam isu Fitria Sari | 51
KIA yang dilakukan baik oleh pelaksana Perda maupun masyarakat dalam melaksanakan persalinan aman. Pendekatan MSC dilakukan oleh peneliti dengan mengumpulkan cerita-cerita pengalaman dari para aktor KIA yang selama ini melakukan pendampingan kepada ibu hamil. Cerita-cerita yang sudah terkumpul akan dipilih sesuai tingkat perubahan (perbaikan) perilaku/kebiasaan yang paling significant. Hal tersebut akan bermanfaat untuk menemukan gap antara upaya pembuat kebijakan dengan fakta AKI dan AKN serta diketahuinya perubahan perilaku masyarakat menuju persalinan aman melalui pendampingan ibu hamil yang sudah dilakukan. Peneiliti menggunakan observasi, Focus Group Discussion (FGD) dan Wawancara sebagai teknik pengumpulan data. Informan yang terlibat dalam penelitian ini pembuat kebijakan Perartuan Daerah KIBBLA (Sekertaris Daerah, Asissten Sekda I, Kepala Dinas Kesehatan dan 3 staf Kasi Dinas Kesehatan Kab. Pasuruan), kader kesehatan (12 orang) serta anggota OMS yang tergabung dalam PERMATA (12 orang) dan petugas faskes (12 orang). Pembahasan Kabupaten Pasuruan terletak di bagian utara Provinsi Jawa Timur, dan berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo dan Selat Madura di sebelah utara, Kabupaten Probolinggo di sebelah timur, Kabupaten Malang di sebelah selatan dan Kabupaten Mojokerto di sebelah barat. Luas wilayah Kabupaten Pasuruan adalah 1.471,3 km2 dan terbagi menjadi 24 kecamatan dan 365 desa/ kelurahan dan 33 Puskesmas (www.kabupatenpasuruan.go.id). Kawasan ini memiliki landscape topografi beragam. Bagian utara sebagian besar didominasi dataran rendah. Bagian Barat Daya merupakan pegunungan, dengan puncak Gunung Arjuno dan Gunung Welirang. Bagian tenggara adalah bagian dari Pegunungan Tengger (Puncak Gunung Bromo) serta area selatan yang didominasi area pesisir.
52 | Prosiding PKWG Seminar Series
Secara keseluruhan, IPM Kabupaten Pasuruan menempati urutan ke-10 (67,61-2010) dari bawah dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur, sesudah Kabupaten Sampang, Bondowoso, Situbondo, Bangkalan, Pamekasan, Jember, Sumenep dan Bojonegoro, Namun, pada tahun 2011 IPM Kabupaten Pasuruan meningkat menjadi 68,24 (BPS & Kemenneg PP, 2012). Kondisi topografi yang beragam membuat penelitian ini tersebar ke lokasi yang masing-masing mewakili kondisi tersebut. Lokasi penelitian terletak di 6 kecamatan yaitu Purwodadi, Gondang Wetan, Grati, Lekok, Ngempit dan Gempol. Pemilihan topografi yang beragam tentu bukan tanpa sebab, karena perbedaan topografi tersebut dapat menggambarkan karaketristik, kebiasaan, tipologi hingga mitos yang berkembang di masing-masing Kecamatan yang dapat menjadi penyebab besar kecilnya AKI dan AKN. Kecamatan Purwodadi merupakan representasi di wilayah dataran tinggi. Bagi sebagian warga Purwodadi mitos yang berkiatan dengan pantangan bagi ibu hamil cukup banyak, seperti larangan memakan seluruh jenis ikan laut karena dapat berakibat janin lahir dengan bau anyir seperti ikan, larangan konsumsi kepiting karena berakibat membuat bayi lahir berjalan menyamping seperti kepiting saat beranjak balita. Larangan memakan jenis kerang-kerangan juga berlaku bagi ibu hamil karena membuat keracunan. Selain larangan konsumsi sumber protein, larangan juga berlaku pada mata pencaharian seperti dilarang membongkar mesin mobil atau sepeda motor dengan alasan akan membuat ibu hamil susah melahirkan. Larangan irrasional tersebut menjadi lengkap dengan legitimamsi sosial dari warga sekitar yang masih mempercayai dukun dan menyegerakan anaknya yang baru lulus SMP atau SMA untuk menikah. Berbeda dengan Purwodadi, Kec. Lekok di pesisir utara Kabupaten Pasuruan memunculkan mitos yang untuk tidak mengonsumsi sayur dan buah secara berlebih karena manusia bukan diciptakan seperti Sapi atau kambing yang Fitria Sari | 53
mengonsumsi sayur dan buah. Selain itu, ibu hamil juga dianjurkan untuk minum jamu (rumput fatimah baik yang berbentuk akar atau dalam sachet) untuk membuat kontraksi perut lebih cepat, sehingga persalinan lebih mudah. Proses perawatan bayi baru lahir bagi sebagian warga Lekok bahwa bayi diberi ramuan akar yang diletakkan di tali pusar agar luka lekas kering (re:bobokan). Bahkan beberapa waktu lalu, juga muncul kasus nenek dari bayi yang memberikan makan pisang pada bayi berusia 10 hari disebabkan bayi terus menangis. (AMP Sosial (Perinatal) Dinas Kesehatan Kab. Pasuruan 2014) Dua lokasi dengan topografi berbeda sepintas menunjukkan adanya mitos dan konteks sosial-kultural masyarakat yang berdampak langsung dengan kenaikan AKI dan AKN. Selain gambaran tentang mitos, peneliti juga menemukan penyebab hulu tingginya AKI dan AKN di Kabupaten Pasuruan, antara lain: 1. Pernikahan usia muda yang dilegitimasi secara sosial. Di wilayah Grati dan Gondang Wetan, pernikahan muda merupakan tren bagi gadis berusia antara 16-19 untuk menikah dan proses reproduksi terjadi. Berkembangnya pendidikan di sistem pondok pesantren sebagian besar di kedua wilayah memungkinkan santriwati (gadis) untuk menurut perkataan pemimpin pondok atau bahkan orang tua. Berikut petikan wawancara peneliti dengan santriwati (AY-14 tahun di PP Gondang Wetan) “...kulo badhe sekolah maleh, ngantos kuliah, angsal pendamelan nggeh, tapi nawi tiang sepah nedi kulo rabi nggeh nurut mawon, mboten wantun mbantah” (saya ingin sekolah lagi setelah ini, sampai kuliah dan dapat pekerjaa, tapi apabila orang tua meminta saya untuk menikah, saya akan menurutinya karena tidak berani membantah) (22 Januari 2015; 07.30 WIB)
54 | Prosiding PKWG Seminar Series
2. Orang tua sebagai sosok yang masih memiliki pengaruh pada penentuan usia pernikahan, kehamilan hingga persalinan putrinya. Akibatnya, anak tidak memiliki posisi bargaining yang cukup kuat ketika melakukan penolakan desakan orang tua untuk segera menikah dan memiliki anak. Akibatnya, anak secara psikis, fisik dan alat kesehatan reproduksi belum benar-benar siap. Sehingga, keputusan yang menyangkut hak manusiawi diri sang anak tergantung atas pilihan dan keputusan dari orang tua. Seandainya sang anak memiliki keyakinan dan pilihan sendiri namun karena kurangnya komunikasi dengan orang tua, maka anak akan menurut dengan perintah orang tua. Kasus yang menimpa bayi yang terkena asfeksia di wilayah Lekok beberapa waktu lalu menunjukkan betapa kuat peran orang tua. (SH42 tahun Petugas Puskesmas Lekok) “ diokremma, lok e ketaohe petugas Puskesmas embanah bayinah a duleng bayinah omor peto belok taon kelaben gedeng kepok alasnah polanah bayinah nanges. Ibuneh bayi oneng tapeh neng eneng polanah takok” (Ya bagaimana tanpa sepengetahuan petugas, neneknya memberi makan pisang kepok kepada bayi yang usianya masih sekitar 7-8 hari, alasannya bayi menangis, dia fikir karena lapar. Ibu bayi tahu yang dilakukan neneknya, tapi diam saja karena takut) (17 Oktober 2014; 08.35 WIB) 3. Kultur konservatif tentang pemahaman nilai-nilai kesetaraan dalam gender dan pengetahuan seksualitas (kesehatan reproduksi) yang bersifat patriarkal. Hal ini merupakan salah satu penyebab munculnya 3 T yakni terlambat mengetahui tanda bahaya kehamilan, terlambat mengambil keputusan (berembug dengan keluarga dan tetangga) serta terlambat merujuk ke fasilitas kesehatan (karena keterbatasan alat transportasi). Kondisi kegawatdaruratan dan keterlambatan di atas masih terjadi di masyarakat Kab. Pasuruan. Meski demikian, kesadaran Fitria Sari | 55
untuk mempersiapkan persalinan dalam gawat darurat juga masih belum maksimal. Dalam hal ini, suami juga belum menjalankan perannya sebagai pengambil keputusan dalam keluarga. Contohnya saja kasus yang terjadi di Purwodadi. Petikan wawancara dengan Anggota PERMATA (SU-47 tahun) “kemarin ada kasus ibu hamil resiko tinggi, usianya sudah 40 tahun, tekanan darah 220/120, tidak memiliki BPJS, kategori miskin namun tidak memiliki SPM. Lho, sudah begitu ibu hamil tidak mau dirujuk sama sekali suaminya diajak berembug juga bingung, tidak ambil keputusan. Akhirnya dengan ibu-ibu dari PERMATA dan ibu bidan, jam 1 malam saya mengunjungi rumah ibu hamil dan membujuknya untuk mau dirujuk. Baru saat itu, ibu hamil dan suaminya baru memikirkan keselamatan bayi” (20 Desember 2015; 15.44 WIB) Hal di atas merupakan permasalahan yang nyata muncul dari masyarakat di Kab. Pasuruan. Untuk meminimalisir penyebab hulu AKI dan AKN, Kabupaten Pasuruan mengesahkan dan mengimplementasikan Peraturan tentang KIA, antara lain Peraturan Daerah (PERDA) No 2 tahun 2009 tentang KIBBLA, Peraturan Bupati No.6 tahun 2010 tentang KIBBLA, SK BUPATI 441.8/26/hk/424.013/2010 tentang Pembentukan Tim Penyelenggara KIBBLA TERPADU hingga Perdes KIBBLA di Kabupaten Pasuruan. Komitmennya juga ditunjang dengan menyediakan 10% anggaran untuk KIA dari total APBD. Sehingga, Kabupaten Pasuruan mendapatkan Millenium Development Goals (MDGs) Award tahun 2012 dari Kantor Utusan Khusus Presiden RI karena kebijakan tersebut. Para pembuat kebijakan KIBBLA menyadari tidak akan berhasil tanpa adanya peran masyarakat sebagai sukarelawan kemanusiaan yang mampu mengimplementasi dan mentransferkan konsep kebijakan kepada masyarakat. Munculnya gerakan PERMATA (Penyelamatan maternal dan neonatal) sebagai satu kekuatan dari gabungan Organisasi 56 | Prosiding PKWG Seminar Series
Masyarakat Sipil di Kabupaten Pasuruan berusaha menjawab tantangang implementasi kebijakan pemerintah. PERMATA memahami bahwa tidak perlu menggalang kekuatan lain dengan mencari orang-orang baru untuk terjun dalam isu KIA. Dengan memaksimalkan basis organisasi agama seperti Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah serta organisasi kesehatan lain. Kekuatan basis massa NU dan Muhammadiyah memiliki pembagian hingga desa bahkan dusun. Selain beranggotakan NU dan Muhammadiyah, ada pula organisasi interfaith seperti Persatuan Wanita Katholik, Persatuan Wanita Kristen dan Wanita Hindu Dharma Indonesia Kab. Pasuruan. PERMATA juga melibatkan institusi lain yang fokus pada isu KIA seperti Ikatan Bidan Indonesia (IBI), TP PKK, BKKBN, PKBI hingga media massa sebagai pusat informasi publik seperti Radio Warna dan Suara Pasuruan. PERMATA sebagai gabungan dari OMS menyadari bahwa dasar dari gerakan ini adalah organisasi tanpa bentuk (tanpa struktur), lentur dan cair. Sehingga, koordinasi bukan dipimpin oleh ketua melainkan oleh koordinator bersama. Kesadaran akan potensi dan kekuatan massa juga terlihat pada optimalisasi peran serta Kader Asuh, Kader Kesehatan, Motivator Kesehatan Ibu dan Anak, Coordinator Fase Desa KIBBLA. Semua kader tersebut merupakan bentukan dari program-program Dinas Kesehatan serta lembaga donor yang pernah ada di Kab. Pasuruan. Sehingga PERMATA tidak perlu mencari sumber daya baru untuk melakukan kontribusi penurunan AKI dan AKN. Hal tersebut juga bermanfaat dengan kemudahan oleh kader-kader kesehatan untuk intensif mendekati ibu hamil karena berasal dari lingkungan sekitar. Sejak awal tercetus, PERMATA menyadari banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dalam penurunan AKI dan AKN. Sehinggam PERMATA fokus dalam menjalankan 3 pendekatan utama sebagai OMS yang mendukung upaya penurunan AKI dan AKN yaitu empowering, bridging dan voicing. Empowering (pemberdayaan) merupakan agenda awal Fitria Sari | 57
yang disusun oleh PERMATA. Masyarakat sipil sebagai kader kesehatan tidak mungkin menjadi seorang sukarelawan KIA tanpa mengetahui dasar-dasar pengetahuan yang harus disampaikan kepada ibu hamil dan keluarganya. Oleh sebab itu, peningkatan kapasitas terus dilakukan oleh PERMATA dengan bekerja bersama Dinas Kesehatan maupun Instansi lain. Misalnya, pelatihan tentang dasar P4K, Penggunaan buku KIA, Pengetahuan Kesehatan Reproduksi Komprehensif, Deteksi dini Resiko, perawatan nifas, ASI ekslusif hingga strategi pendekatan kepada ibu hamil dan keluarga serta pemanfaatan jimpitan sosial misal dengan bahan pokok yang dapat dijual kembali berapapun jumlahnya. Selanjutnya, bridging merupakan pendekatan yang dilakukan oleh PERMATA dan kader kesehatan untuk menghubungkan atau menjembatani institusi yang satu dengan yang lain. Misalnya, sebelum kemunculan PERMATA sinkronisasi antara kinerja institusi satu dan lainnya masih tumpang tindih. Misalnya saja yang terjadi di Desa Gajah Rejo, Purwodadi. Sebelumnya, aparat desa terutama Ibu Kepala Desa sebagai ketua TP-PKK belum memiliki concern penuh terhadap KIA. Namun, setelah PERMATA melakukan pertemuan di Balai Desa Gajahrejo dengan melibatkan aparat desa, kader kesehatan sekitar, bidan desa dan dukun melahirkan (sekitar 3 kali pertemuan), muncul kepedulian dari aparat desa untuk turut berpartispasi dalam memantau kondisi kehamilan dan pertumbuhan laju penduduk di Gajah Rejo Purwodadi. Hingga voicing merupakan upaya yang dilakuakn PERMATA untuk menyampaikan keluhan, saran dan perbaikan dari masyarakat sebagai pengguna layanan kepada penyedia layanan. Hal tersebut mengacu kepada kolaboratif bersama dan janji pelayanan fasilitas serta tenaga kesehatan. Misalnya saja kegiatan voicing yang sudah dilakukan terdapat di Puskesmas Gempol. PERMATA, beserta kader kesehatan sebagai perwakilan pengguna layanan melakukan diskusi 58 | Prosiding PKWG Seminar Series
terkait pelayanan KIA yang selama ini diberikan kepada masyarakat. Dari pertemuan tersebut memunculkan perbaikan tentang ruangan, pengobatan hingga tata cara perawatan bagi masyarakat dalam isu KIA. Kegiatan ini bukan upaya melakukan evaluasi kepada penyedia layanan karena fungsi evaluasi merupakan kewenangan dari Dinas Kesehatan Kab. Pasuruan. Aspek empowering, bridging dan voicing secara keseluruhan merupakan bagian dari persiapan bagi keluarga sejak proses pra pernikahan hingga pasca persalinan merupakan persiapan. Salah satu pendekatan yang dapat diljalankan adalah penguatan forum masyarakat sipil, organisasi masyarakat sipil. Namun masih banyak program pemerintah yang belum diketahui oleh masyarakat secara luas. Oleh karena itu penting adanya tokoh sebagai ujung tombak dalam memberikan informasi dan komunikasi langsung dengan ibu hamil dan masyarakat di lingkungannya. Tokoh tersebut memiliki pemahaman baik terhadap budaya sekitarnya, sehingga mampu melakukan pendekatan kepada penerima manfaat (ibu hamil dan keluarga) dengan lebih mudah. Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, tugas dari PERMATA bukan hanya fokus pada titik emergency seorang ibu yang akan melahirkan, melainkan ada hal lain yang lebih besar yaitu menyiapkan generasi Indonesia yang lebih berkualitas. Tujuan utama tersebut sangat membutuhkan persiapan sejak dini. Ibarat treadmill yang selalu berputar isu KIA bukan hanya berdiri sendiri melainkan ada banyak hal yang mengiringinya. Oleh sebab itu, upaya untuk memotong rantai AKI dan AKN di Kab. Pasuruan dilakukan oleh PERMATA yaitu mengimplementasikan CSE (Comprehensif Sexual Education) dalam kebijakan bagi remaja dan pendidikan (Review Policies and strategic to implement and scale up sexuality education in Asia and Pacific. Bangkok: UNESCO; 2012). CSE bukan hanya tentang reproduktif Fitria Sari | 59
kesehatan serta Continum of care dari sisi dukungan OMS masyarakat sipil. Kesadaran PERMATA untuk mendukung implementasi CSE dan COC merupakan pembelajaran penting bahwa selama ini program yang dicetuskan pemerintah tidak akan maksimal tanpa kepemilikan (belongness) dari masyarakat. Pelaksanaan CSE dan COC yang hanya dilakukan oleh tenaga kesehatan hanya kana membuat mereka terengah dalam menjalankan peran utama. Penyebaran informasi kesehatan reproduksi remaja, persiapan pernikahan, perencanaan kehamilan, proses kehamilan, post partum hingga perkembangan/pertumbuhan anak merupakan satu rantai yang tidak bisa bisa diputus. Oleh sebab itu, dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa langkah awal yang perlu diperhatikan ditemukan bahwa rasa memiliki dan empati dalam satu isu (penurunan AKI dan AKN) oleh satu masyarakat lokal perlu menjadi langkah dasar. Akibatnya, keterlibatan PERMATA bersama Pemerintah Daerah dalam upaya penurunan AKI dan AKN mulai menjukkan beberapa perubahan perilaku di masyarakat. Antara lain Keterbukaan sekolah SMP dan SMA hingga Pondok Pesantren tentang isu kesehatan reproduksi bagi remaja mulai dimaknai sebagai kebutuhan bagi siswa dan siswi. Selanjutnya, perubahan perilaku juga terjadi pada keluarga dan ibu hamil yang mulai menyadari pentingnya proses persalinan di fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan. Selama ini, pr,3eoses persalinan lebih banyak dilakukan di dukun, namun karena PERMATA dan Dinas Kesehatan selalu menekankan pelarangan persalinan di rumah atau di dukun. Upaya tersebut juga ditunjang dengan mengadakan kemitraan bersama dukun. Sehingga, dukun yang notabene telah ada sejak beberapa waktu lalu tidak tersingkirkan dengan kehadiran tenaga dan fasilitas kesehatan. Oleh sebab itu, angka rujukan ke fasilitas kesehatan mengalami peningkatan sebanyak 60%, jika pada tahun 2012 angka rujukan masih sekitar 25% dari total kehamilan, pada tahun 2015 telah meningkat tajam (PWS 60 | Prosiding PKWG Seminar Series
KIA Dinas Kesehatan Kab. Pasuruan 2015). Kondisi demikian merupakan perubahan perilaku yang significant atas upaya penurunan AKI dan AKN yang dilakukan dalam Gerakan PERMATA. Kesimpulan Akhirnya, penelitian ini menunjukkan bahwa sejak tahun 2009 pencetusan Perda KIBBLA telah muncul beragam gerakan kepedulian dari masyarakat untuk menurunkan AKI dan AKN. Pembahasan mengenai AKI dan AKN sebaiknya tidak hanya dimaknai sebagai satu hal yang berkaitan dengan angak dan target MDGS’s semata, melainkan lebih kepada perubahan sikap yang telah dilakukan oleh PERMATA (OMS) hingga ibu hamil sebagai penerima manfaat. Hal ini juga sebagai bukti bahwa Isu KIA yang pada tahun 1900 dan 2000 awal masih bersifat ekslusif, artinya pelibatan dan peran dari masyarakat masih terbatas. Akibatnya, program-program yang dicetuskan pemerintah baik level Internasional dan Nasional belum maksimal menyentuh grass root. Selain itu, pengabaian tradisi atau budaya lokal sering dilakukan berulang-ulang misalnya pengabaian mitos di Kab. Pasuruan karena hal itu justru dibantah secara tegas tanpa memberikan penjelasan rasional dan pendekatan kepada orang-orang yang selama ini mempercayai mitos yang berkembang. Tugas demikian bukan hanya merupakan tanggung jawab pemerintah dan tenaga kesehatan melainkan juga peran masyarakat sipil yang sukarela mengabdi dalam isu KIA. DAFTAR PUSTAKA AMP KIA Dinas Kesehatan Kab. Pasuruan. 2014 AMP Sosial (Perinatal) Dinas Kesehatan Kab. Pasuruan. 2014 BPS & Kemenneg PP. 2012 Fitria Sari | 61
PWS KIA Dinas Kesehatan Kab. Pasuruan tahun 2015 Journal IPPF India 2013-MMR in South East Asia: A Challenges. 2014 Review Policies and strategic to implement and scale up sexuality education in Asia and Pacific. Bangkok: UNESCO; 2012)
62 | Prosiding PKWG Seminar Series
Puskesdes dan apotek desa dalam harapan di tengah AKI nol Desa Teling & Desa Pinasungkulan, Kec. Tombariri, Kab. Minahasa dan Desa Arakan, Kec. Tatapaan, Kab Minahasa Selatan Shelly Adelina dan Danielle Johanna Samsoeri1 Pendahuluan Tiada sehari pun keluarga-keluarga di Manado tanpa menu ikan di saat makan, seperti ucapan seorang ibu muda asli Minahasa di Desa Teling, “Nyanda apa-apa nyanda makang daging ayam, yang penting torang bole makang ikang deng sayor papaya deng daong gedi.” Maka tidak pernah ada dalam catatan warga desa hidup kekurangan gizi. Begitu pula dengan kondisi ibu mengandung dan pasca melahirkan, dijamin oleh keluarga masing-masing bahwa mereka terpenuhi gizi yang seimbang. Kami memang menemukan Angka Kematian Ibu (AKI) nol di tiga desa, namun kami belum bisa yakin bahwa kebiasaan mengonsumsi ikan laut segar setiap hari adalah satu-satunya faktor yang mendukung AKI nol di sana. Bagaimana dengan relasi suami-istri pada umumnya di keluarga-keluarga mereka, bagaimana budaya atau adat memposisikan dan memperlakukan perempuan hamil atau perempuan yang sedang melaksanakan fungsi reproduksinya ? Bagaimana peran serta suami-suami mereka terkait kepedulian pada pembagian peran dan perawatan kesehatan reproduksi termasuk pemilihan alat kontrasespi ? Bagaimana pula peran serta masyarakat, dan kondisi infrastruktur berikut
1
Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia Shelly Adelina dan Danielle Johanna Samsoeri | 63
fasilitas kesehatan di desa ? Tentu butuh waktu yang tidak singkat dan penerapan metodologi riset yang kuat. Sejujurnya kami mengakui bahwa tulisan di bawah ini baru sampai pada taraf pengumpulan data awal melalui metode observasi, pengumpulan data sekunder, wawancara terfokus, dan focus group discussion (FGD).Namun kami meyakini pula, data-data awal tersebut dapat dianalisis dan bisa menjadi best practice dalam konteks yang serupa di daerah lain. Keseluruhan data yang dipaparkan dalam tulisan ini mencakup infrastruktur bidang kesehatan di desa, kondisi AKI nol pada 3 desa, mitos dan tradisi di desa, peran serta suami, vasektomi (KB laki-laki) yang telah menjadi pilihan favorit di desa, program dan anggaran desa untuk KIA, partisipasi perempuan dan potensi desa, serta kebutuhan perempuan desa. Proses Pengumpulan Data Proses pengumpulan data dilakukan pada November 2014 di Desa Teling dan Desa Pinasungkulan (keduanya merupakan bagian dari Kecamatan Tombariri-Kabupaten Minahasa), serta Desa Arakan (Kecamatan Tatapaan-Kabupaten Minahasa Selatan), Provinsi Sulawesi Utara. Sebelum kami tiba di ibu kota provinsi Sulawesi Utara, Manado dan di lokasi penelitian, hubungan atau kontak secara personal kepada calon-calon informan telah dilakukan oleh aktivis SP. Begitu pula sebagian data sekunder telah disiapkan (meski terbatas adanya). Tidak ada kendala untuk menuju lokasi penelitian karena akses jalan dari kota Manado menuju desa di Kabupaten Minahasa dan Kabupaten Minahasa Selatan sudah tergolong baik. Kami menggunakan mobil menuju desa dan hanya membutuhkan waktu sekitar 1 jam untuk tiba di 3 desa yang saling bertetangga. Adapun 3 desa tersebut semuanya terletak di wilayah pesisir. Kami batal memilih desa di Tomohon karena akses jalan tertutup setelah terjadi gempa pada 13 Desember 2014.
64 | Prosiding PKWG Seminar Series
Teknik Pengambilan Data dilaksanakan sama pada semua desa dan kami mendapatkan data primer dengan cara menggunakan teknik Focus Group Discussion (FGD) atau Diskusi Kelompok Terfokus (topik : isu AKI dan Kesehatan Reproduksi) dan wawancara terfokus. Seluruh proses FGD kami rekam dan kami catat secara langsung, serta kami foto. Begitu pula semua proses wawancara dengan informan. Kami mendapatkan data sekunder dari data yang tertera di kantor/balai desa, kantor Puskesmas, dan searching melalui internet. Kami melakukan FGD pada 2 kelompok di Desa Teling, 1 kelompok di Desa Arakan, 1 kelompok di Desa Pinasungkulan. Dua kelompok FGD di Desa Teling terbagi atas kelompok pertama terdiri dari warga biasa (pasangan suami istri yang memiliki anak), perempuan kepala keluarga, perempuan sedang hamil. Kelompok kedua terdiri dari kader PKK, guru, tokoh masyarakat, tokoh agama, dukun/peraji (bahasa Minahasa : biang), aparat desa/kepala desa (bahasa Minahasa : Hukum Tua). Sedangkan FGD yang dilakukan di Desa Arakan dan Desa Pinasungkulan dilakukan masing-masing pada satu kelompok yang dicampur/kombinasi antara kelompok pertama dan kelompok kedua FGD yang dilakukan di Desa Teling. Seorang aktivis LSM Suara Parangpuang (SP) Manado adalah penghubung kami dengan warga desa selama berada di 3 desa pesisir yaitu Desa Teling dan Desa Pinasungkulan yang termasuk dalam Kabupaten Minahasa, serta Desa Arakan yang posisinya persis di bibir pantai di Kabupaten Minahasa Selatan. Setiap kami makan bersama usai melaksanakan FGD, menu ikan laut dan sayur daun gedi memang mendominasi meja prasmanan.
Shelly Adelina dan Danielle Johanna Samsoeri | 65
Informan FGD Desa Teling, Kecamatan Tombariri No.
NAMA
UMUR
JENIS KELAMIN
KETERANGAN
1.
Kartini
61
Perempuan
Anak 3, perempuan kepala keluarga, suami sakit sejak 2013
2.
Norce
48
Perempuan
Anak 2
3.
Rose
52
Perempuan
Anak 3
4.
Jorge
55
Laki-laki
Suami Rose
5.
Olvanda
44
Perempuan
Anak 1
6.
Salmon
45
Laki-laki
Suami Olvanda
7.
Jemi
45
Laki-laki
Anak 3
8.
Adolfina
44
Perempuan
Istri Jemi
9.
Yuli
20
Perempuan
Sedang hamil 9 bulan (usai FGD, jam 2 dini hari melahirkan bayi laki-laki)
10.
Siska
22
Perempuan
Anak 2
11.
Yulita
26
Perempuan
Anak 2
Informan FGD Desa Teling, Kecamatan Tombariri NO.
NAMA
UMUR
JENIS KELAMIN
KETERANGAN
1.
Ruth
45
perempuan
Anak 2
2.
Vemy
46
perempuan
Anak 3
3.
Ruth Tamalero
61
perempuan
Anak 4, cucu 7
66 | Prosiding PKWG Seminar Series
4.
Marlince
29
perempuan
Anak 1
5.
Israel
51
Laki-laki
Anak 2, cucu 2
6.
Orpa
48
perempuan
Istri Israel
7.
Veki
49
Laki-laki
Anak 2, cucu 1
8.
Nelce
45
perempuan
Anak 2, cucu 1
9
Wiesye
43
perempuan
Anak 3, cucu 1
10.
Dience
37
perempuan
Anak 3
11.
Besti
36
perempuan
Anak 2
12.
Marthin
59
perempuan
Anak 1
Informan FGD Desa Arakan, Kecamatan Tatapaan NO.
NAMA
UMUR
JENIS KELAMIN
KETERANGAN
1.
Ismail
48
Laki-laki
Anak 5
2.
Debi
30
perempuan
Belum punya anak
3.
Arifin
46
Laki-laki
Anak 1
4.
Indra
30
Laki-laki
Anak 3
5.
Ramlan
38
perempuan
Istri Indra
6.
Surahman
48
Laki-laki
Anak 6
7.
Hayati
23
perempuan
Anak 1
8.
Rusni
40
perempuan
Anak 4
9.
Sarmin
42
perempuan
Anak 3 (janda)
10.
Resmi
40
perempuan
Istri Ramlan
11.
Nurpa
39
perempuan
Anak 3
Shelly Adelina dan Danielle Johanna Samsoeri | 67
Informan FGD Desa Pinasungkulan, Kecamatan Tombariri NO.
NAMA
UMUR
JENIS KELAMIN
KETERANGAN
1.
Nelce
37
perempuan
Anak 2
2.
Paulina
62
perempuan
Anak 3, cucu 8
3.
Mariska
14
perempuan
Remaja kelas 3 SMP
4.
Dolfi
45
laki-laki
Anak 3
5.
Yuliana
53
perempuan
Anak 2
6.
Katrince
42
perempuan
Anak 3
7.
Matius
46
laki-laki
Suami Katrince
8.
Mei
51
perempuan
Anak 2, cucu 2
9.
Yul
48
perempuan
Anak 3, cucu 3
10.
Andris
48
laki-laki
Suami Yul
11.
Viene
42
perempuan
Anak 3
12.
Yenni
41
perempuan
Anak 3
Adapun informan dari wawancara terfokus terdiri dari (a) Kepala Desa (Hukum Tua) Desa Teling. Hukum Tua biasanya dibantu oleh beberapa Kepala Urusan Pemerintahan Desa atau yang sering disingkat Ka-Ur, serta dibantu oleh beberapa Kepala-Kepala Jaga (setingkat RT), dan Meweteng sebagai pembantu Kepala Jaga. Nama Kepala Desa : Israel Bawalang, 51 tahun,menjabat untuk masa bakti 2008-2014; (b) Sekretaris Desa Teling Ibu Marthin, 59 tahun, menjabat untuk masa bakti 2008-2014; (c) Kepala Desa (Hukum Tua) Arakan, Mochtar Otay, menjabat untuk masa bakti 2009-2014; (d) Kepala Desa (Hukum Tua) Pinasungkulan, Ibu Mieke Wenas. Sebelumnya menjabat sekretaris desa sejak 2009, lalu pada 2 Juli 2014 dilantik oleh Bupati Minahasa menjadi Kepala Desa 68 | Prosiding PKWG Seminar Series
(Hukum Tua) melanjutkan kepemimpinan kepala desa sebelumnya yang habis masa jabatan, dan belum bisa dilakukan pemilihan baru atau tertunda pemilihan akibat kondisi politik (kesibukan pilkada dan pilpres). Setelah pemilihan gubernur pada 2015, direncanakan pemilihan kepala desa baru ; (e) Bidan desa : Deby Defny, 34 tahun, bertugas di Desa Teling namun hanya datang sebulan sekali setiap tanggal 20. Berdinas di Desa Teling sejak tahun 2000. Selebihnya ia berkeliling desa lain dan melakukan tugas-tugas di Puskesmas Tanawangko, di Kecamatan Tombariri. Selama berada di tiga desa, kami dibantu oleh pendamping lapangan atau mitra lokal di lokasi penelitian berasal dari LSM Swara Parangpuang (SP) SulaSwesi Utara yang berkantor di kota Manado. LSM ini didirikan pada 8 Juni 1998, didorong oleh komitmen untuk menumbuhkan kesadaran kritis perempuan Sulut atas hak-haknya sebagai manusia dan warga negara Indonesia. Swara Parangpuan bersama dengan kelompok yang didampinginya berusaha mendapatkan datadata dan kecenderungan ketidakadilan terhadap perempuan dan anak baik politik, ekonomi, sosial dan budaya, juga perempuan yang terpinggirkan ataupun dalam posisi rentan, misalnya perempuan miskin, korban kekerasan dan anak. Selain itu SP juga melakukan pendampingan hukum, psikologis, pemberdayaan dan penguatan perempuan level akar rumput (perempuan korban), hingga perempuan yang berada di level kebijakan, serta usaha-usaha lain yang secara langsung berpengaruh terhadap terpenuhinya hak-hak dasar perempuan. Bersama dengan jaringan maupun masyarakat akar rumput, Swara Parangpuan terus berperan sebagai laboratorium sosial yang digunakan untuk mencari strategi yang tepat dalam mendorong para perempuan untuk bisa tampil di sektor public (sektor yang jarang digeluti) dan berupaya untuk mendapatkan pemberdayaan hak-hak dasar dan keadilan. Dalam ranah publik, aspirasi perempuan belum Shelly Adelina dan Danielle Johanna Samsoeri | 69
sampai pada pemangku dan pengimplementasi kebijakan. Perempuan hanya sekedar memenuhi kuota jumlah, bukan kualitas dan bukan pada jabatan pemegang keputusan. Fokus kegiatan SP sejak periode tahun 1998 – 2009 pada dasarnya terdiri atas 4 kegiatan besar yaitu pendidikan kritis, advokasi, pemberdayaan ekonomi, survei dan kajian. Tentu saja kami mengalami juga kendala pengambilan data. Kesulitan utama dalam pengambilan data adalah tidak tersedianya data kuantitatif secara lengkap dan komprehensif di desa yang dapat menjadi data eye opener. Desa tidak menyimpan data atau tidak memiliki data base tentang kondisi perempuan dan permasalahannya terkait kesehatan reproduksi dan angka kematian ibu. Hal tersebut terjadi di tiga desa. Ketika kami mencoba mencarinya ke tingkat kecamatan, juga demikian masalahnya. Dengan demikian, data yang dapat kami kumpulkan adalah hasil wawancara mendalam dengan bidan desa yang bertugas di puskesmas kecamatan. Lokasi Penelitian Geografis Desa Teling berada di bawah Kecamatan Tombariri, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara. Kecamatan Tombarisi beribukota di Tanawangko, berbatasan di sebelah utara dengan Laut Sulawesi, di sebelah Timur dengan Kecamatan Pineleng, di sebelah Selatan dengan Kota Tomohon dan Kabupaten Minahasa Selatan, dan di sebelah Barat dengan Laut Sulawesi. Desa Teling merupakan satu desa di antara 14 desa yang ada di Kecamatan Tombariri. Adapun Kabupaten Minahasa beribukota di Tondano. Luas wilayah Desa Teling mencapai 4000 hektar, berbatasan sebelah Utara dengan Laut Sulawesi, sebelah Timut dengan Desa Poopoh, sebelah Selatan dengan hutan lindung, dan sebelah Barat dengan Desa Kumu. Jarak dari Desa Teling ke ibukota kecamatan (ke Tanawangko) lebih kurang 9 km. Sebelum tahun 2009 desa ini masih tergolong desa tertinggal. Jalan aspal di desa baru dibangun 70 | Prosiding PKWG Seminar Series
pada tahun 2010 (merupakan jalan provinsi), yang juga menjadi jalan alternatif atau lingkar pesisir menuju dan dari kota Manado. Desa Arakan merupakan salah satu desa di pesisir Kabupaten Minahasa Selatan yang terletak berbatasan dengan pesisir Kabupaten Minahasa Induk. Desa Arakan merupakan bagian dari kecamatan Tatapaan, kabupaten Minahasa Selatan. Batas desa sebelah Utara adalah laut Sulawesi, sebelah Timur adalah Desa Rap-Rap, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sondaken, serta sebalah Barat berbatasan dengan hutan bakau. Jika berkunjung ke desa ini, aroma ikan asin yang sedang dijemur memperkuat citra desa sebagai desa nelayan. Hampir seluruh pantai dan area terbuka di belakang permukiman yang berbatasan dengan hutan bakau dipenuhi dengan tempat penjemuran hasil perikanan laut. Aktifitas perikanan seperti perikanan tangkap dan pengolahan ikan asin serta budidaya rumput laut yang cukup hidup di desa pesisir ini, menjadi alasan mengapa Desa Arakan terpilih sebagai Minapolis pada “Kawasan Minapolitan Tatapaan” dengan lahan budidaya rumput laut mencapai luas 450 ha. Desa Pinasungkulan terletak di Kecamatan Tombariri, Kabupaten Minahasa merupakan pecahan atau pemekaran dari desa Kumu sejak tahun 1997. Pantai yang ada di desa Pinasungkulan merupakan pantai bakau besar yang merupakan habitat kepiting bakau. Secara geografis letak desa Pinasungkulan cukup mudah dijangkau karena jalan telah beraspal, meski berjarak jauh dari letak ibu kota kabupaten Tombariri di Tondano. Demografi Desa Teling berpenduduk 815 jiwa terdiri atas 233 KK (terdiri atas 50 % KK miskin), dengan komposisi jenis kelamin perempuan dan laki-laki berimbang (masing-masing 50 %). Sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani ladang (kelapa, jagung) dan nelayan. Mayoritas penduduk Shelly Adelina dan Danielle Johanna Samsoeri | 71
beragama kristen protestan dan 99,9 persen merupakan suku Siau. Penduduk berpendidikan sarjana (S1) berjumlah 4 orang, mahasiswa 3 orang, dan banyak berpendidikan akhir SLTA. Hanya ada 1 pendeta, 3 orang guru yang mengajar di SD Teling. Desa Arakan dihuni oleh 350 KK dengan 1200 jiwa yang terdiri dari beberapa suku yaitu suku Bajo yang menjadi mayoritas, suku Minahasa, suku Jawa, suku Bolaanmongondow, Gorontalo, dan Ternate. Penduduk mayoritas memeluk agama Islam dan bermatapencaharian nelayan tradisional yang juga memproduksi ikan asin (teri khususnya) serta rumput laut. Jumlah anak pada kebanyakan rumah tangga rata-rata 3 orang. Desa Arakan merupakan pecahan dari Desa Rap-Rap Arakan. Tingkat pendidikan penduduk rata-rata hanya tamat SD dan penduduk lansia banyak yang buta huruf. Angka Harapan hidup perempuan 80 sampai 100 tahun, sementara yang laki-laki antara 7- sampai 80 tahun. Desa Pinasungkulan terdiri dari 111 KK dengan 410 jiwa. Lebih kurang 60 KK di antaranya tergolong keluarga miskin. Mata pencaharian mayoritas penduduk adalah nelayan tradisional (menggunakan jaring manual), nelayan buruh, dan pencari kepiting bakau yang menjualnya dalam skala kecilkecilan. Angka harapa hidup desa Pinasungkulang untuk perempuan di atas 80 tahun dan laki-laki 70 sampai 80 tahun. Suku mayoritas di desa tersebut adalah Sangir dan Siau, kemudian dilengkapi oleh suku Talaud dan Gorontalo. Klasifikasi Desa Desa Teling termasuk dalam klasifikasi desa nelayan dan agraris dengan mata pencaharian utama penduduk di laut, pertanian dan perkebunan. Berdasarkan tingkat perkembangannya, desa Teling tergolong desa swakarya karena adat istiadat tidak lagi mengikat secara penuh meski masih ada beberapa aktivitas yang dilakukan berdasarkan 72 | Prosiding PKWG Seminar Series
adat dan tradisi, masyarakatnya tidak lagi asing dengan berbagai peralatan kerja dan teknologi, letak desa tidak terisolasi walau letaknya jauh dari pusat perekonomian. Jalur lalu lintas antara desa dan kota sudah lancar, jalanan beraspal (dapat dilalui kendaraan roda empat). Begitu pula kondisi jalan yang menghubungkan desa Teling dengan desa-desa tetangga. Persoalannya hanyalah tidak tersedia angkutan umum. Masyarakat atau penduduknya mengandalkan sepeda motor dan sepeda kayuh. Pernah sekali waktu ada penduduk yang sakit terpaksa diangkut ke Puskesmas kecamatan hanya menggunakan motor. Desa tetangga terdekat yaitu desa Arakan merupakan desa nelayan karena mata pencaharian utama penduduknya dilakukan di bidang perikanan yang dilakukan secara tradisional. Para nelayan di desa tersebut menangkap ikan di laut masih dengan cara menggunakan jaring yang diarahkan ke sekitar karang-karang laut (ikan baronang dan kepiting), selain menggunakan panah. Mereka menangkap ikan tidak di laut lepas dan tidak di laut dalam. Perahu yang digunakan masih jenis “perahu katinting” bermotor kecil, sebagian masih menggunakan dayung saja. Jenis tangkapan yang didapat sangat tergantung situasi alam. Saat ini hasil tangkapan sering kali berkurang karena terjadi perubahan iklim. Jika sebelumnya ikan teri bisa ditangkap secara musiman pada sekitar bulan Maret dan April, kini menjadi tidak menentu. Desa Pinasungkulan tergolong ke dalam desa nelayan yang belum tersentuh pemberdayaan ekonomi dan masih sangat membutuhkan campur tangan untuk budidaya kepiting bakau yang banyak hidup di perairan bakau (pantai berlumpur) di kawasan desa Pinasungkulan. Kepiting bakau di daerah tersebut sangat besar dengan daging tebal. Satu kilogram kepiting bakau dihargai Rp120.000,-. Dan seekor kepiting besar bisa mencapai berat 1,3 kg.
Shelly Adelina dan Danielle Johanna Samsoeri | 73
Tiada Infrastruktur Bidang Kesehatan Pada 3 desa lokasi penelitian ini tidak tersedia fasilitas kesehatan berupa Pusat Kesehatan Desa (Puskesdes). Di desa Teling pernah ada Polindes (sekarang disebut Puskesdes) yang dirangkap juga sebagai rumah bidan, terletak di sebelah SD Inpres Teling. Bidan Desa bernama Debi Delfny, 34 thn, sempat menetap dan bertugas di situ selama tahun 2000 hingga tahun 2007. Namun tahun 2006 ketika didirikan bangunan untuk Taman Kanak-Kanak di sampingnya, Puskesdes pun tergusur, dan bidan desa (Debi) pindah ke Puskesmas Tanawangko. Begitu pula di Desa Arakan dan Desa Pinasungkulan tidak kami temukan bangunan Puskesdes dan tidak pula terdapat bidan desa yang menetap. Kunjungan ke desa oleh bidan hanya dilakukan sebulan sekali pada tanggal yang sudah ditentukan (tanggal 20 setiap bulan), dan kegiatan lebih banyak untuk pemeriksaan kesehatan balita, penimbangan bayi, mengontrol kehamilan, dan pelayanan/konsultasi kontrasepsi, pemeriksaan tekanan darah (tensi), pemberian kelambu anti nyamuk, serta pemberian makanan tambahan bergizi seperti susu dan bubur kacang hijau. Aktivitas pelayanan kesehatan dilakukan di Balai Desa. Adapun pelayanan persalinan di ketiga desa tersebut masih sangat mengandalkan tenaga peraji (dukun beranak) yang di Minahasa di sebut “Biang”. Sulit bagi penduduk desa Pinasungkulan untuk mengandalkan pelayanan Puskesmas karena berjarak 17 km dari desa mereka. Sementara di desa mereka tidak ada Puskesdes. Menurut informasi bidan Debi, para Biang itu telah ditingkatkan kemampuannya secara medis dalam hal strilisasi. Kepada mereka diberikan alat-alat berupa gunting dan perlengkapan lainnya satu set, agar mereka tidak lagi mengunakan “bulu” untuk memotong ari-ari. Jika ada kasus persalinan yang tidak dapat ditangani Biang/dukun beranak, barulah mereka menyerahkan pasien ke bidan dengan cara memanggil bidan dari Puskesmas (menelepon) atau 74 | Prosiding PKWG Seminar Series
membawa pasien ke Puskesmas di kota Tanawangko yang berjarak 9 km dari Desa Teling. Namun, karena desa tidak memiliki fasilitas apapun termasuk ambulans, biasanya pasien dibawa menggunakan mobil pickup terbuka yang disewa secara gotong royong. Adapun Rumah Sakit Rujukan adalah RSU Prof. Kandouw di Malalayang, Manado. Hal serupa juga dilakukan di Desa Arakan dan Desa Pinasungkulan yang bersebelahan dengan Desa Teling. Di Desa Pinasungkulan bidan akan datang setiap tanggal 10 setiap bulan. Jarak desa ke Puskemas Tanawangko menjadi lebih jauh yaitu 17 km. Sementara di Desa Arakan, menurut keterangan Kepala Desa, bidan datang setiap 2 bulan sekali, itu pun di Puskesdes desa tetangga terdekat yaitu di Desa Rap Rap. Jadi, bidan datang menyatukan kerjanya di 2 desa yaitu Desa Arakan dan Desa Rap-Rap, sehingga sering terjadi tidak semua dapat diatasi. Jika ada kondisi darurat, pasien akan di bawa langsung ke Puskesmas Tatapaan atau ke RS di kota Manado. Pasien akan dibawa menumpang satu-satunya mobil yang ada di Desa Arakan yaitu mobil milik Kepala Desa. Sebelum akses jalan tersedia seperti sekarang, dulu masyarakat Desa Arakan mengandalkan jalur pantai dan menggunakan perahu menuju ke Puskesamas. Perjalanan membutuhkan waktu tempuh 2 jam. Kondisi ketersediaan fasilitas kesehatan yang minim di desa tidak lepas dari kondisi terbatasnya SDM di level kecamatan dan kabupaten. Persoalan terbatasnya SDM bidan atau tenaga medis untuk satu kecamatan, menjadi kendala dan penyebab tidak tersedianya bidan desa yang menetap di desa, selain ketiadaan infrastruktur bidang kesehatan. Sebagai contoh, Puskesmas Tanawangko hanya memiliki 8 bidan (2 PTT dan 6 PNS : golongan 3 ada 2 orang dan golongan 2 ada 4 orang) yang harus melayani 10 desa, yaitu desa Teling, Pinasungkulan, Mokupa, Serani, Tambala, Poopoh, Kumu, Senduk, Borgo, dan Ranawangko.
Shelly Adelina dan Danielle Johanna Samsoeri | 75
Bidan Debi misalnya harus melayani 2 desa yaitu Desa Teling dan Desa Borgo. Kunjungan ke desa sebulan sekali biasanya dilaksanakan untuk melakukan antenatal care, pengukuran tensi, penimbangan balita, imunisasi, suntik TT, pemberian tablet (KB), dan pengisian buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Menurut bidan Debi, untuk pemasangan implan biasanya dilakukan menunggu program dari BKKBN, kemudian dilakukan secara Saat kami melakukan FGD di serempak untuk proses desa Teling, ada seorang pasang dan cabut. Adapun penggunaan implan paling peserta perempuan bernama lama 3 tahun, dan diberikan Yuli, 24, yang sedang hamil 9 secara gratis. Namun bulan dan mengaku berada bukannya tidak ada efek dalam kondisi baik. Ketika samping. Sebagian keesokan pagi kami kembali perempuan pengguna implan ke desa tersebut untuk mengalami lengan nyeri, melakukan FGD pada lebam, dan lama haid kelompok yang lain, kami (menstruasi) menjadi mendapat kabar bahwa Yuli panjang. Di ketiga desa, tidak telah melahirkan dengan muncul kasus aborsi, namun selamat pada pukul 2 dini hari menurut catatan bidan Debi melalui jasa dukun (biang). ada seorang yang mengalami Ketika kami mengkonfirmasi KTD saat usia 14 tahun peristiwa tersebut dengan (sesuai dengan pengakuan bidan desa Teling (Deby) di Kades Teling). puskesmas Tanawangko, dia mengatakan bahwa dalam Selain kunjungan ke desa dan bertanggungjawab catatan medisnya Yuli terhadap kesehatan ibu dan memiliki hipertensi (tekanan anak di desa, bidan juga harus darah 160), suatu kondisi melaksanakan dinas di Rawat yang tergolong risiko tinggi. Inap Puskesmas, sambil merangkap bertanggung jawab melaksanakan 2 program yaitu Jamkesmas yang terkait juga Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) dan KIA plus kesehatan lansia. Para bidan mengaku sering kewalahan. 76 | Prosiding PKWG Seminar Series
Mereka yang sudah berstatus PNS pun belum menerima remunerasi dan hanya memperoleh tambahan dana makanminum Rp350 ribu per blan. PNS golongan 2 menerima gaji pokok sebesar Rp2,3 juta dengan tunjangan anak 2 orang. Mereka mendapat penghasilan total Rp3 juta per bulan. Sementara golongan 4 menerima total Rp4 juta per bulan. Maka dengan beban kerja yang tidak seimbang, Bidan Debi mengaku lebih memilih berdinas di desa asalkan tersedia Puskesdes lengkap berikut rumah tinggal untuk bidan Meski pelayanan kesehatan di desa. sangat minim di ketiga desa, masyarakat beruntung karena Adapun wabah penyakit masih dapat menikmati hasil yang sering terjadi di ketiga ladang yang tumbuh tanpa desa adalah pestisida, melakukan pola muntaber/diare, asam urat, makan sehat (setiap hari mereka asma/paru-paru. Jika pasti makan ikan segar dan sayur penyakit ini mewabah, mayur), serta senantiasa maka tindakan yang dilakukan adalah menghirup udara bersih. Selain menggunakan obat-obatan itu lingkungan tempa tinggal tradisional yang berasal mereka tampak relatif bersih dari daun bakau dan daun tanpa tumpukan sampah dan jambu. genangan air kotor. Pembuangan sampah AKI Nol Namun Tak Ada masyarakat desa dikelola dengan Puskesmas cara tiap rumah memiliki lubang Sekretaris Desa Teling, untuk pembuangan sampah dan Kepala Desa Arakan, dan membakarnya sendiri-sendiri. Kepala Desa Pinasungkulan, Saluran air kotor hanya sebatas serta Bidan Desa sama ukuran got. Desa tertata rapi menyebutkan bahwa dalam dan bebas polusi. 5 tahun terakhir Angka Kematian Ibu (AKI) saat melahirkan adalah nol. Sedangkan Angka Kematian Balita (AKB) di Desa Arakan dalam 5 tahun terakhir tercatat 3 balita meninggal. Di Desa Pinasungkulan AKB nol, hanya ada seorang Shelly Adelina dan Danielle Johanna Samsoeri | 77
bayi cacat saat dilahirkan yang sekarang sudah berusia 6 tahun. Hal yang sama di Desa Teling yaitu AKI dan AKB dalam 5 tahun terakhir adalah nol. Adapun pemeriksaan ibu hamil hanya dilakukan sebulan sekali saat bidan berkunjung ke desa. Meski AKI nol bukan berarti situasi penanganan kesehatan ibu hamil dan balita berada dalam kondisi pelayanan yang memadai. Menurut bidan desa Teling, kasus-kasus hipertensi saat hamil dan menjelang persalinan, kaki dan tangan membengkak, virus torso, dan bayi lahir prematur masih terjadi. Jika ada kasuskasus seperti di atas maka harus ditangani di Puskesmas Tanawangko yang berjarak lebih kurang 9 km dari desa Teling. Di desa Arakan hanya pernah terjadi bayi meninggal dalam kandungan pada tahun 2011, pasien langsung dibawa ke RSU Manado. Dan pada tahun 2014 hanya ada seorang ibu hamil yang mengalami pendarahan hingga keguguran dan si ibu selamat. Mitos dan Tradisi : Ikat Sangkinan dan Ikan Tulang Biru Ketiga desa yang berjarak tidak terlalu jauh jika ditempuh dengan kendaraan bermotor ini memiliki mitos dan tradisi yang nyaris sama terkait kondisi remaja perempuan, perempuan hamil, perempuan melahirkan dan pascamelahirkan. Pada umumnya mitos yang berlaku adalah tidak boleh melilitkan kain di leher saat hamil, dan pada malam hari saat keluar rumah harus mengenakan penutup kepala. Mereka meyakini, agar tali pusar dari bayi tidak melilit di leher, yaitu pada saat dilahirkan. Di desa Arakan yang banyak dihuni suku asal Bajo, budaya-budaya tersebut harus dilakukan, salah satunya adalah budaya “ikat sangkinan” (mereka yakini sebagai penangkal pengaruh jahat pada saat masa mengandung/hamil). Ada juga kebiasaan yang terkait dengan menggunakan kain, dimana ada larangan agar pinggir kain tidak boleh diinjak, karena jika sampai terinjak maka diykini akan menyebabkan kematian pada ibu maupun bayi.
78 | Prosiding PKWG Seminar Series
Pantangan pada makanan saat hamil adalah larangan untuk memakan suntung/cumi. Mereka meyakini, bayi tidak akan lahir secara normal jika si ibu mengkonsumsi makanan itu. Selain itu, pada saat menjelang melahirkan ibu tidak dibolehkan makan ikan bertulang biru (sejenis ikan karang, seperti ikan Kakatua), tidak boleh makan buah-buah dingin (semangka, nenas, melon, dll), karena mereka meyakini bahwa makanan-makanan jenis itu akan menyebabkan sakit perut. Ibu juga dilarang minum susu dan telur karena akan menimbulkan bisul-bisul di kepala bayi. Larangan tersebut dikenakan selama 1 bulan. Masa remaja yaitu pada masa menstruasi, perempuan tidak boleh berkunjung ke kuburan, juga dipantangkan meremas parutan kelapa untuk menghasilkan santan. Untuk makanan bisa makan semuanya (termasuk nanas dan ketimun), termasuk juga makan ikan. Peran Serta Suami : Siapkan Baraho dan Tidak Melaut Pada masyarakat desa Arakan, usai istri melahirkan, suami sangat berperan membantu segala aktivitas di rumah. Untuk itu mereka sengaja tidak melaut selama 3 sampai 7 hari. Selama di rumah, mereka akan membantu mencuci, mengambil air, membuat bubur untuk istri, membersihkan rumah, juga memasak. Sebelum istri melahirkan, pihak suami telah menyimpan biaya untuk mengantisipasi kondisi ekonomi keluarga akibat tidak melaut tersebut. Sementara itu di Desa Pinasungkulan, ayah akan menyiapkan tempat ‘baraho’ (tradisi di desa ini), yaitu upaya menghangatkan tubuh bayi dan ibu menggunakan kayu bakar. Lalu ayah akan selalu siap membuatkan bubur untuk istrinya, juga mencuci pakaian dan popok bayi. Intinya, ayah tidak akan melaut sebelum tali pusat bayi pupus, karena mereka menyadari istri belum boleh melakukan pekerjaan berat di tengah masa itu. Di desa Teling, pasca ibu melahirkan suami akan menyiapkan tempurung kayu bakar untuk “Baraho”, karena Shelly Adelina dan Danielle Johanna Samsoeri | 79
bayi dan ibu harus selalu Desa Arakan menjadi satudihangatkan. Selain itu, ibu satunya desa pengguna KB lakiyang usai melahirkan, laki dengan jumlah tertinggi di harus meminum rebusan Sulawesi Utara, yaitu 91 orang rempah-rempah yang dari 350 KK. Upaya awal yang terdiri dari campuran daun digalakkan oleh pemerintah turi, daun labu kuning, dan desa atau aparat desa adalah daun lidah kucing. Semua bekerja sama dengan BKKBN daun tersebut direbus dan memotivasi para ayah/suami airnya diminum oleh ibu yang keluarganya telah memiliki yang usai melahirkan. lebih dari 3 anak, dengan cara Mereka berkeyakinan memberikan 150 ribu rupiah upaya meminum rempahrempah atau olahan herbal usai proses vasektomi. Peserta itu dapat menghangatkan pun berbondong-bondong tubuh ibu dan melakukan vasektomi. Urutan mengembalika kondisi usai kedua setelah pilihan vasektomi melahirkan. Dan cara-cara di desa Arakan adalah implan ini sampai sekarang masih karena dianggap praktis dan dilakukan perempuan desa relatif tidak menimbulkan Teling. Selain itu, kepada keluhan berarti. Implan telah ibu hamil menjelang dilakukan selama 15 tahun di melahirkan selalu desa tersebut. Pilihan berikut dianjurkan meminum air adalah pil KB, dan pada rebusan daun gedi, umumnya menolak jenis sebanyak 2 kali sehari. suntikan. Rebusan air daun gedi diyakini dapat melancarkan persalinan karena daun tersebut saat digodok dapat mengeluarkan lendir daun yang jika diminum bisa melicinkan dan melancarkan proses melahirkan. Tahap ini dilakukan pada saat kehamilan telah berumur sembilan bulan. Para suami ikut menyiapkan air rebusan tersebut karena daunnya mudah di dapat, tumbuh di banyak pekarangan rumah.
80 | Prosiding PKWG Seminar Series
Vasektomi Pilihan Favorit Di desa Arakan, semua pasangan suami istri adalah akseptor KB atau telah menggunakan alat kontrasepsi. Jenisjenis yang menjadi pilihan mereka antara lain vasektomi (KB laki-laki), implan, pil, dan suntik. Telah ada 91 laki-laki penduduk desa Arakan (dari 350 KK) yang memilih kontrasepsi vasektomi. Alasan banyak laki-laki di desa Arakan memilih kontrasepsi vasektomi karena istri-istri mereka mengeluh tidak cocok dengan alat kontrasepsi yang ada selama ini seperti pil (tubuh menjadi kurus), suntik (mengalami mens satu bulan sebanyak 3 kali/berlebihan). Kisah tentang pemilihan vasektomi di desa Arakan berawal dari seorang penduduk desa Arakan yang juga aktivis Suara Parangpuan, bernama Ismail, yang telah menjadi icon/tokoh penggerak KB laki-laki di desanya, bahkan juga ke beberapa desa tetangga. Ismail aktif mempromosikan kontrasepsi vasektomi berdasarkan contoh dirinya. Pelaksanaan pertama kali vasektomi bagi penduduk desa Arakan berlangsung pada tahun 2007. Di desa Pinasungkulan, penentuan alat kontrasepsi dilakukan berdasarkan kesepakatan suami-istri. Mayoritas kontrasepsi yang digunakan di desa Pinasungkulan adalah implan dan pil. Urutan terakhir adalah suntik. Semua fasilitas KB mereka dapatkan saat bidan datang ke desa. Sementara pemasangan implan biasanya dilakukan di Puskesmas. Mereka mengakui, informasi tentang semua alat kontrasepsi memang diberikan oleh petugas kesehatan saat berkunjung ke desa namun penjelasan yang diberikan tidak rinci dan tidak menyeluruh. Berbeda dengan desa Arakan yang kesadaran laki-lakinya untuk berKB vasektomi sudah tergolong tinggi, maka di desa Pinasungkulan belum ada satu pun laki-laki yang berani melakukan vasektomi karena sepengetahuan mereka akan ada efek samping yaitu membuat pihak laki-laki menjadi tidak berdaya/impoten.
Shelly Adelina dan Danielle Johanna Samsoeri | 81
Di desa Teling pun keputusan berKB ditentukan oleh pasangan suami istri berdasarkan kesepakatan. Sementara ini hanya ada satu orang yang melakukan vasektomi yaitu Kepala Desa (Hukum Tua). Kepala desa tersebut mendapatkan informasi dari pak Ismail di desa Arakan yang telah menjadi penggerak KB laki-laki. Namun belum seorang pun warganya di desa Teling yang yakin untuk mengikuti langkah pak Kepala Desa untuk bervasektomi. Menurut pak Israel, nama kepala desa tersebut, warganya masih butuh informasi yang tepat dan jelas tentang KB laki-laki untuk menghindari kealahpahaman tentang kontrasepsi tersebut. Menurut kepala desa Teling, selama ini bidan desa tidak terlalu mampu dalam memberikan informasi dan sosialisasi tentang kontrasepsi. Dengan demikian, alat kontrasepsi terbanyak digunakan di desa Teling adalah implan dan suntik. Terkait perkawinan anak (pernikahan dini), menurut sekretaris desa Teling, selama tahun 2014 di desa mereka hanya ada satu pernikahan dini yang disebabkan kehamilan tidak diinginkan (KTD). Anak perempuan tersebut masih berusia 14 tahun. Karena pernikahan tidak bisa dilakukan di catatan sipil, maka pasangan dinikahkan secara gereja. Selebihnya tidak pernah terjadi lagi pernikahan dini. Sementara itu di desa Pinasungkulan juga hanya terjadi satu pernikahan dini, berlangsung pada tahun 2013, pada remaja berusia 16 tahun. Setelah itu tidak pernah terjadi lagi. Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Desa (Hukum Tua) desa Pinasungkulan. Program dan Anggaran Desa untuk KIA Desa Teling mendapatkan ADD sebesar 51 juta setiap tahun yang digunakan untuk pembangunan fisik sebesar 70 persen dan dana operasionalisasi perangkat desa, termasuk insentif untuk perangkat desa sebesar 30 persen (untuk rapat desa, ATK, konsumsi, transport, dll). PKK mendapat bagian 2 juta per tahun. Tidak terdapat anggaran khusus untuk kesehatan ibu dan anak (anggaran untuk perempuan) selain Jamkesmas 82 | Prosiding PKWG Seminar Series
yang terkait layanan umum dan persalinan. Di desa pun tidak tersedia fasilitas Tempat Penitipan Anak (TPA). Pada Program Keluarga Harapan (PKH) yang dicanangkan oleh pemerintahan SBY lalu, hanya 30 KK yang dapat menerimanya. Dengan demikian, di desa Teling tidak ada program dan anggaran desa yang disediakan khusus untuk kesehatan ibu dan anak. Dengan tidak adanya dana-dana atau anggaran dan program khusus untuk perempuan baik untuk kesehatan maupun penguatan ekonomi, para ibu di desa yang tidak tersentuh program pemberdayaan itu sering terjebak pada tengkulak atau rentenir. Desa Pinasungkulan menerima Alokasi Dana Desa (ADD) sebesar 50 juta per tahun dengan pembagian sebesar 70 persen untuk pembangunan fisik (membangun jalan setapak desa yang menghubungkan jalan desa dengan jalan raya). Pada tahun 2014 telah dibangun 6 jalan setapak –jenis jalan yang hanya boleh dilewati kendaraan beroda dua (motor). Selebihnya 30 persen anggaran digunakan untuk opersional desa sehari-hari. Selain itu desa mendapatkan Program Pembangunan Infrastruktur Pedesaan (PPIP) dari APBN (dari pemerintah kabupaten ke desa). Ada kelompok Simpan Pinjam Perempuan (SPP) yang dibentuk oleh Tim Pengelola Keuangan (TPK) Tingkat Desa, disediakan bagi 3 kelompok perempuan yang disarankan mengajukan proposal. Simpan pinjam tersebut telah digunakan oleh kelompok perempuan untuk pengembangan usaha kecil seperti makanan ringan (kue) dan berdagang pulsa HP dengan pinjaman sebesar Rp1 juta untuk setiap perempuan. Namun dana pinjaman tersebut tidak bergulir dengan baik, dan berhenti karena mengalami macet dalam pengembaliannya. Dari penjelasan Kepala Desa Pinasungkulan jelas bahwa dari ADD tidak ada anggaran untuk perempuan yang dikhususkan untuk kesehatan ibu dan anak. Hanya tersedia Rp2 juta per tahun untuk PKK yang harus mengalokasikannya untuk sepuluh program pokoknya.
Shelly Adelina dan Danielle Johanna Samsoeri | 83
Sementara itu, Desa Arakan mendapat ADD 49 juta/tahun yang terbagi 70 persen untuk pembangunan fisik dan pemberdayaan serta penguatan kelembagaan. Dana untuk PKK 6 juta/tahun masuk dalam alokasi ini dan biasanya digunakan untuk mengikuti kegiatan di tingkat kecamatan dan kabupaten. Adapun di tingkat desa, biasanya PKK melaksanakan acara lomba pada hari-hari peringatan tertentu setiap tahun. Sementara itu, menurut penjelasan Kepala Desa Arakan, 3 tahun yang lalu pernah masuk dana Simpan Pinjam Perempuan (SPP) namun macet atau tidak bergulir sebagaimana harusnya. Ia menyesalkan, karena yang menerima simpan pinjam pada umumnya adalah keluarga miskin yang secara keuangan keluarga se hari-hari pun mereka berada dalam kondisi ‘morat-marit’, sehingga mereka kesulitan mengelola dana simpan pinjam yang diberikan dan gagal mengembalikan. Padahal dana yang dipinjamkan hanya berkisar Rp500 ribu sampai Rp5 juta saja. Sehingga akhirnya terhitung dana tidak bergulir di desa Arakan mencapai Rp27 juta. Adapun permohonan para perempuan desa itu diajukan untuk usaha budidaya rumput laut, produksi ikan asin/teri, menjual tibo-tibo (kelontong ikan basah yang mereka bawa hingga ke pasar Tomohon). Terkadang mereka menjual juga ikan kering/ikan asap. Kepala Desa menyesalkan bahwa upaya pemberian dana simpan pinjam ke pada warga perempuan miskin menjadi tidak bergulir karena tidak disertai dengan pengetahuan mengelola dana secara baik. Sebagaimana kondisi warga desa Arakan yang sebagian besar hanya tamatan SD dan masih banyak yang buta huruf (para lansia), maka pemberdayaan ekonomi harus diberikan bukan sekadar memberikan pinjaman uang pada mereka. Dengan demikian, pada ke 3 desa tidak ditemukan adanya program dan anggaran khusus untuk kesehatan ibu dan anak.
84 | Prosiding PKWG Seminar Series
Partisipasi Perempuan dan Potensi Desa Di desa Arakan, organisasi perempuan yang ada hanyalah PKK, itu pun diaku sekda berada dalam kondisi “mati suri” karena tidak ada kegiatan dan tidak ada dana yang memadai. Begitu pula dengan kondisi di desa Pinasungkulan dan desa Arakan. Namun pada dua desa tersebut, PKK masih ada kegiatan meski terbatas pada lomba saja dan undangan menghadiri kegiatan di tingkat kecamatan, atau kabupaten. Di desa Arakan, kepala desa mengaku kesulitan menggerakan perempuan karena SDM perempuan lemah. Yang ada hanyalah Majelis Taklim dan PKK yang setiap minggu melakukan kegiatan sosial (kumpul beras lalu dibagikan ke orang jompo). Karena organisasi perempuan di desa Teling tidak hidup maka yang lebih berperan di desa adalah “Arisan Satu Rumpun Keluarga” untuk mengatasi saat sulit menghadapi peristiwa kematian, mempersiapkan acara perkawinan, juga membangun rumah. Mereka menyebutnya “Arisan Simpan Pinjam”. Di desa tersebut tidak ada koperasi. Namun para perempuan aktif dalam budaya “mapalus” atau bergotong royong ala masyarakat Minahasa. Sebagai contoh, jika ada keluarga yang akan membangun rumah, maka para perempuan ikut aktif membentuk “Arisan Seng”. Arisan tersebut menyepakati setiap keluarga menyumbangkan 5 lembar seng dan uang konsumsi sebesar Rp5000,-. setiap 3 bulan. Arisan mapalus ini beranggotakan 20 KK. Arisan pun disesuaikan dengan kebutuhan. Bisa juga “Arisan Semen” yang menyepakati tiap KK menyumbang 2 sak semen setiap 3 bulan. Jenis arisan disesuaikan dengan kebutuhan, bisa pasir, ubin, batako, dan sebagainya. Kegiatan kerja dilakukan 3 hari setiap KK. Arisan dibentuk dengan struktur yang disepakati yaitu ada ketua, sekretaris, dan bendahara. Maka hampir semua rumah yang ada di desa Teling dibangun berdasarkan budaya mapalus (gotong royong) menggunakan mekanisme arisan. Perempuan desa sangat berperan dan kerap menjadi motor dalam kegiatan seperti ini. Keluhan para perempuan Shelly Adelina dan Danielle Johanna Samsoeri | 85
adalah justru pada sikap laki-laki yang suka mabuk-mabukan dan berkecenderungan melakukan tindak kekerasan terhadap istri saat mabuk. Di desa Pinasungkulan, menurut Kepala Desa Mieke Wenas, ada kecenderungan masyarakat malas bekerja dan tidak kreatif mengembangkan usaha. Namun dia akui, desanya memiliki potensi untuk mengembankan budidaya kepiting sehingga bisa menyumbang pada Penghasilan Asli Daerah (PAD). Pihaknya sudah mencoba mengajukan permohonan dukungan ke Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Minahasa. Di Pinasungkulan sampai saat ini belum ada home industry. Sebagian besar perempuan bekerja juga di ladang dan menjual ikan. Sedangkan di desa Arakan, meski sebagian KK di desa digolongkan ke dalam kategori KK miskin namun tidak satu pun penduduk desa Arakan, juga Pinasungkulan yang tergiur bekerja menjadi TKI atau TKW. Para perempuan di ketiga desa mengaku selalu diundang atau dilibatkan dalam rapat-rapat desa, khususnya di desa Arakan karena para bapak lebih banyak melaut. Di desa Teling, kegiatan-kegiatan rapat/musrenbangdes banyak dihadiri justru oleh para ibu. Namun para ibu yang hadir itu jarang menyampaikan pendapat atau gagasan mereka. Jadi kehadiran mereka hanya bersifat fisik, tidak dimanfaatkan untuk terlibat secara substansi. Jadwal rapat/musrembangdes biasanya dilangsungkan pada malam hari (setelah pukul 19.00). Suara dan Kebutuhan Perempuan Desa Pada awalnya, kami kesulitan mendapatkan jawaban akan kebutuhan para perempuan di desa terkait kesehatan reproduksi mereka. Mereka tidak mampu mendeskripsikan hal-hal yang penting untuk dipenuhi di desa. Diperlukan cara khusus dan kesabaran untuk memancing keberanian mereka mengungkapkan keinginan dan ide-ide untuk meningkatkan kesejahteraan kondisi kesehatan reproduksi mereka, hingga 86 | Prosiding PKWG Seminar Series
akhirnya kami dapat menyimpulkan bahwa kebutuhan perempuan di desa Arakan, juga di desa Pinasungkulan, dan desa Teling yang paling utama saat ini terbagi dua. Pertama, adalah kebutuhan akan keberadaan puskesdes dengan bidan desa yang bertugas menetap di desa dan ada apotik desa. Menurut mereka, penting ada penanganan yang cepat terhadap perempuan-perempuan yang akan melahirkan di desa Arakan. Sekarang ini ada satu kasus, yaitu seorang ibu yang harus dibawa ke RS di Manado karena ada kista di dalam perutnya (di luar rahim). Sehingga harus dilakukan tindakan medis (operasi). Kami menyaksikan siang itu, ibu tersebut diangkut menggunakan mobil pickup terbuka menuju ke rumah sakit di kota Manado. Kedua, bantuan modal untuk membangun usaha-usaha kecil yang mereka pilih untuk memperkuat perekonomian dari masyarakat pesisir. Mereka juga membutuhkan dukungan mengurus perijinan karena produk yang bersaing harus didaftarkan di BPOM, agar bisa mengikuti harga pasar untuk penjualannya. Kesimpulan Ketiga desa yang dijadikan lokasi dalam penelitian awal ini tidak memiliki fasilitas pelayanan kesehatan secara memadai, baik dari segi infrastruktur kesehatan maupun SDM tenaga medis. Tak satupun desa memiliki puskesdes, dan pelayanan kesehatan hanya dilakukan saat kunjungan bidan sebulan sekali. Pelayanan kesehatan dilaksanakan di balai desa saja mencakup penimbangan bayi, konsultasi KB –suntik dan pemberian pil-, penambahan bahan makanan bergizi, imunisasi, antenatal care, pengukuran tekanan darah/tensi, pengisian buku KIA. Jika terjadi kondisi darurat, pasien akan dibawa ke puskesmas kecamatan, atau ke RS di tingkat kabupaten bahkan provinsi.
Shelly Adelina dan Danielle Johanna Samsoeri | 87
Pelayanan proses persalinan di ketiga desa (Teling, Pinasungkulan, dan Arakan) dilakukan hampir seratus persen oleh dukun beranak (biang –dalam bahasa Minahasa) yang sudah ditingkatkan keterampilannya dalam hal sterilisasi. Dan dukun beranak adalah pilihan utama para perempuan desa yang akan melahirkan. Masih banyak perempuan hamil dan melahirkan di desa yang berada dalam kondisi umur risiko tinggi yaitu diatas 36 tahun hingga 42 tahun, dan di bawah 20 tahun (14, 16, 17, 19 tahun). Meski buruk dalam pelayanan kesehatan (tidak ada puskesdes dan jarak puskemas jauh), AKI dan AKB di ketiga desa dalam 5 tahun terakhir adalah nol. Dan upaya menjaga kesehatan reproduksi perempuan lebih banyak dilakukan secara tradisional dengan cara mengkonsumsi air rebusan daun-daun yang tumbuh di sekitar lingkungan di desa (herbal) dan cara-cara tradisional dalam menghangatkan tubuh bayi yang baru lahir. Masyarakat masih percaya pada mitos tentang ibu hamil dan usai melahirkan. Mitos-mitos itu mereka tetap lakukan sebagai upaya menghindari kejadian yang akan merugikan atau fatal bagi kondisi ibu hamil dan melahirkan. Para perempuan di ketiga desa sama dalam hal pola makan yang mereka yakini dapat menjaga kesehatan dan stamina mereka, yaitu tidak pernah absen mengkonsumsi ikan segar dan sayur mayur yang sering dipetik dari kebun sendiri (bebas pestisida). Ketiadaan tenaga medis atau bidan yang menetap di desa disebabkan karena minimnya SDM di level kecamatan dan kabupaten dan standar penghasilan serta jaminan kesejahteraan yang belum memadai bagi bidan/tenaga medis. Kondisi puskesmas pun tidak memadai. Di Puskesmas Tanawangko, inkubator dalam kondisi rusak (tidak berfungsi), satu buah ambulans tua, satu labolatorium, apotik puskesmas, dan hanya 3 ruangan (kamar bersalin 2, dan kamar inap 3 bed). Selain itu, penghargaan atas PNS belum terpenuhi
88 | Prosiding PKWG Seminar Series
(belum menerima remunerasi) dan minim peningkatan kapasitas. Di ketiga desa, peran serta suami dalam menyambut kelahiran bayi dan menggantikan peran domestik istri seharihari saat menjelang kelahiran, tergolong baik, seperti berhenti melaut, menyiapkan kebutuhan rumah tangga sehari-hari, mencuci, bahkan menyiapkan bubur/memasak. Pada desa Arakan, kesadaran menggunakan alat KB laki-laki (vasektomi) paling baik di antara 3 desa penelitian. Desa Arakan merupakan desa terbesar jumlah laki-laki pengguna KB vasektomi se provinsi Sulawesi Utara. Isu pernikahan dini, trafiking, TKW tidak muncul di ketiga desa. Namun dalam program dan anggaran desa tidak pernah ada alokasi khusus untuk KIA dan pemberdayaan ekonomi perempuan desa. Dana yang tersedia lebih diarahkan ke PKK sebesar 2 – 6 juta per tahun yang diambil dari ADD. Namun dana itu lebih banyak dipergunakan untuk aktivitas lomba atau undangan menghadiri kegiatan di tingkat kecamatan dan kabupaten. Partisipasi perempuan di ketiga desa tidak terorganisasi dengan baik. Kehadiran mereka dalam musrembangdes atau rapat-rapat desa umumnya lebih pada kehadiran fisik, belum menampilka kehadiran secara substansial. Padahal mereka memiliki banyak kebutuhan, namun mereka tidak pernah menggunakan kesempatan dalam musrembangdes untuk menyalurkan aspirasi mereka. Kebutuhan-kebutuhan yang mereka punyai namun tidak pernah mereka sampaikan adalah pertama, kebutuhan akan keberadaan puskesdes dengan bidan desa yang bertugas menetap di desa dan ada apotik desa. Menurut mereka, penting ada penanganan yang cepat terhadap perempuanperempuan yang akan melahirkan di desa Arakan. Sekarang ini ada satu kasus, yaitu seorang ibu yang harus dibawa ke RS
Shelly Adelina dan Danielle Johanna Samsoeri | 89
di Manado karena ada kista di dalam perutnya (di luar rahim). Sehingga harus dilakukan tindakan medis (operasi). Kedua, bantuan modal untuk membangun usaha-usaha kecil yang mereka pilih untuk memperkuat perekonomian dari masyarakat pesisir. Mereka juga membutuhkan dukungan mengurus perijinan karena produk yang bersaing harus didaftarkan di BPOM, agar bisa mengikuti harga pasar untuk penjualannya. Saran-Saran Mengingat ada alokasi anggaran untuk desa yang diatur dalam Undang-Undang Desa, maka sosialisasi tentang UndangUndang Desa (UU No.6 tahun 2014) harus dilakukan secara gencar, tidak saja terhadap para kepala desa dan aparatnya, melainkan juga kepada semua warga desa termasuk perempuan sebagai pemangku kepentingan. Saat ini, aparat desa dapat dikatakan setingkat dengan SKPD (Satuan Kerja Perangkat daerah). Program pemberdayaan perempuan selayaknya menjadi bagian penting dari pemberdayaan masyarakat desa dengan cara menyertakan alokasi dana khusus untuk perempuan di desa, khususnya pada program pelayanan kesehatan reproduksi. Dan sebelum seluruh dana dikucurkan, harus dilakukan pelatihan dan pendampingan terlebih dahulu dalam upaya mengelola program dan anggaran yang akan diterapkan. Pembangunan infrastruktur kesehatan dan SDM/tenaga medis sebaiknya segera dilakukan dan menjadi bagian penting dari penerapan Undang-Undang Desa. Lebih spesifik lagi harus ada pusat kesehatan desa (puskesdes lengkap dengan peralatan dan tenaga medis dalam jumlah memadai) dan apotik desa.
90 | Prosiding PKWG Seminar Series
Sangat penting membangun kesadaran kritis perempuan desa terkait hak-hak kesehatan reproduksi, hak seksual, dan hak-hak berpolitik. Hal tersebut penting mengingat Angka Kematian Ibu (AKI) akan sulit diatasi selama para perempuan tidak menyadari otoritas yang seharusnya mereka miliki akan tubuh mereka sendiri, yang secara biologis lebih berat menopang fungsi reproduksi.
Shelly Adelina dan Danielle Johanna Samsoeri | 91
Suara dari ladang bawang: kesehatan perempuan, Musrembangdes, dan AKI yang (katanya) menurun. (pengalaman Brebes) Khaerul Umam Noer dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah1 Pendahuluan Apa yang kita ketahui tentang musyawarah rencana pembangunan desa (Musrenbangdes)? Apa hubungan antara Musrenbangdes dengan persoalan kesehatan dan AKI/AKB? UU Desa mempersyaratkan terlaksananya Musrenbangdes sebagai wahana bagi seluruh pemangku kepentingan desa untuk menyusun rencana pembangunan desa yang akan berdampak bagi seluruh masyarakat dalam desa tersebut. Pertanyaannya, apakah Musrenbangdes sudah mencapai apa yang diharapkan oleh UU tersebut? Selain pemahaman bahwa kegiatan Musrenbangdes adalah kegiatan rutin tahunan yang mempertemukan seluruh pemangku kepentingan di masyarakat desa, sesungguhnya Musrenbangdes adalah titik krusial memahami kelindan persoalan kesehatan dan AKI/AKB. Tulisan ini akan memfokuskan pada dua hal utama: Pertama, bagaimana keterlibatan perempuan dalam kegiatan Musrenbangdes? Kedua, bagaimana kepentingan perempuan disuarakan dalam Musrenbangdes dan bagaimana hasilnya? Kedua pertanyaan ini amat krusial terutama ketika kita melihat bahwa potensi Musrenbangdes dalam menyelesaikan persoalan kesehatan dan AKI/AKB di tingkat mikro acapkali tidak tercapai. Tulisan ini merupakan ringkasan dari penelitian tim Pusat Kajian Wanita dan Gender UI di dua desa,
1
Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia Khaerul Umam Noer dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah | 93
yakni Desa Larangan dan Desa Karang Bale, Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Metodologi Penelitian kualitatif dilakukan di desa Larangan dan Karangbale Kecamatan Larangan Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Fokus penelitian ini ingin melihat bagaimana kondisi kesehatan perempuan desa dan fasilitas yang tersedia, serta mempelajari pemahaman dan pandangan masyarakat terhadap konsep dan praktik partisipasi dalam pembangunan desa. Selain itu, penelitian juga melihat bagaimana pemerintah desa melalui program-programnya merespon status kesehatan reproduksi perempuan dan problematikanya sebagai salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah dalam upaya menurunkan Angka Kematian Ibu. Pengambilan data dilakukan pada bulan November, yang diawali dengan penelusuran data literatur, termasuk menelusuri data BPS, Riskesdes, monografi, pemberitaan, dan lainnya. Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti PKWG UI dengan mengumpulkan berbagai informasi dan data statistik terkait dua desa lokasi penelitian. Di saat bersamaan, peneliti pendamping yang tinggal di lokasi penelitian juga mengumpulkan data-data terkait topik melalui berbagai sumber, termasuk ke kantor desa setempat. Metode pengambilan data yang digunakan adalah observasi, Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara. Wawancara dilakukan pada 2 orang, yaitu pada bidan desa Karangbale dan kepala desa Karangbale. Sedangkan FGD dilakukan sebanyak 4 (empat) kali yang dilakukan di 2 desa, dengan komponen peserta FGD sebagaimana berikut: FGD 1, melibatkan para stake holders yang terdiri dari aparat pemerintah desa, tokoh masyarakat laki-laki, tokoh masyarakat perempuan, LSM lokal, Anggota PNPM, PKK. FGD 2, melibatkan perempuan dari berbagai kategori, di antaranya
94 | Prosiding PKWG Seminar Series
adalah dari kalangan petani, pedagang, penjahit, ibu rumah tangga, wiraswasta, guru, dan remaja perempuan. Informan yang terlibat dalam proses pengambilan data ini berjumlah 41 orang yang terdiri dari 5 laki-laki dan 36 perempuan. Secara detail para informan penelitian ini dapat dilihat dalam tabel berikut: No.
Desa
Metode
Laki2
Prmp
Keterangan
1
Karangbale
wawancara
1
1
Kepala Desa dan Bidan Desa
2
Karangbale
FGD 1
2
7
Ketua Penggerak PKK, Kader Posyandu, Kader Pekka, tokoh agama perempuan, Kelompok PNPM, kepala dusun, pamong, Ketua Ranting NU, Pengurus jamiyyah Karangbale, Kaur Kesra/P3N.
3
Karangbale
FGD 2
0
10
Wiraswasta, tutop PAUD, buruh tani, peternak kelinci, petani, pedagang.
4
Larangan
FGD 1
3
9
Tokoh masyarakat lakilaki, PL Pekka, Pengurus Provinsi Pekka, Serikat Dagang Brebes, Kade Posyandi,
Khaerul Umam Noer dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah | 95
Aisyiyah, Muslimat, Ketua RW, BPD, PKK, Perangkat desa, muballigh. 5
Larangan
FGD 2
JUMLAH
0
9
5
36
Penjahit, petani, pedagang, buruh tani, ibu rumah tangga, Pendidik PAUD, Muslimat.
Sumber: Catatan Peneliti Selain wawancara dan FGD, penelitian ini juga memperoleh sejumlah data literatur, di antaranya adalah data statistik desa, catatan usia ibu hamil dari 2 posyandu, peta ibu hamil beresiko, peta bayi dan balita, kantong persalinan, Perhitungan Sasaran menurut CBR Puskesmas Larangan, grafik pelayanan Nifas, Grafik K1 & K4 Ibu Hamil, grafik resti masyarakat, grafik persalinan Nakes, POA desa Karangbale, dan beberapa sumber literatur lainnya. Selayang pandang Kecamatan Larangan Kecamatan Larangan adalah kecamatan kedua terbesar di Kabupaten Brebes setelah Kecamatan Bantarkawung. Terletak di sebelah tenggara Kabupaten Brebes, Kecamatan Larangan berbatasan langsung dengan Bula Kamba dan Wanasari di sebelah utara, Bantarkawung di sebelah selatan, Ketanggungan di sebelah barat, dan Songgom dan Jatibarang di sebelah timur. Kecamatan Larangan terdiri atas sebelas desa, dengan Desa Pamulihan sebagai desa terbesar. Pada tahun 2012, jumlah penduduk di Kecamatan Larangan berjumlah 139.364 jiwa, dengan sex ratio 103, dalam artian laki-laki lebih banyak 3% ketimbang perempuan. Sebanyak 79.23% penduduk Kecamatan Larangan bekerja di sektor pertanian dan peternakan, dengan bawang merah dan sapi potong sebagai andalan. Kecamatan Larangan memiliki 1 96 | Prosiding PKWG Seminar Series
rumah sakit, 1 rumah bersalin, 6 puskesmas, dan 14 klinik. Pada tahun 2011, PDRB Kecamatan Larangan sebesar 309.93 miliar, pada tahun 2012 324,27 miliar dengan pertumbuhan ekonomi sebanyak 4,63%, lebih rendah dari laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Brebes sebesar 5,21%. Desa Larangan terletak di pusat Kecamatan Larangan. Jumlah penduduk Desa Larangan pada tahun 2011 berjumlah 21.565 jiwa (10.960 laki-laki dan 10.605 perempuan). Jumlah tersebut meningkat pada tahun 2013 menjadi 21.757 jiwa (11.070 laki-laki dan 10.687 perempuan). Berdasarkan rentang usia, mayoritas penduduk Desa Larangan berada pada usia produktif (antara 15-39 tahun). Angka pernikahan pada tahun 2011 berjumlah 272, meningkat pada tahun 2013 menjadi 320. Kami menduga, bahwa angka tersebut belum mencakup pernikahan yang tidak dilaporkan di Kantor Urusan Agama atau menikah di tempat lain. Angka perceraian meningkat dari 19 di tahun 2011 menjadi 34 di tahun 2013. Angka kelahiran menurun dari 255 jiwa di tahun 2011, menjadi 162 jiwa di tahun 2013, sedangkan angka kematian bertambah dari 102 jiwa pada 2011 menjadi 109 jiwa pada tahun 2013. Pada tahun 2011, sarana kesehatan di Desa Larangan terdiri atas: 1 puskesmas, 3 klinik, 1 orang dokter praktek, 1 oang bidan praktek, dan 8 orang dukun bayi. Pada tahun 2013, jumlah dokter praktek bertambah menjadi 2 orang, dan bidan praktek bertambah menjadi 4 orang. Bertambahnya jumlah tenaga kesehatan berbanding lurus dengan semakin meningkatnya jumlah akseptor KB. Jika dibandingkan dengan Desa Larangan, Desa Karangbale hanya seperempatnya, baik secara ukuran maupun jumlah penduduk. Jumlah penduduk Desa Karangbale pada tahun 2011 berjumlah 5.897 jiwa (3.004 laki-laki dan 2.894 perempuan), menurun pada tahun 2013 menjadi 5.808 jiwa (2.963 laki-laki dan 2.845 perempuan). Berdasarkan rentang usia, mayoritas penduduk Desa Larangan berada pada usia produktif (antara 15-39 tahun). Angka pernikahan pada tahun Khaerul Umam Noer dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah | 97
2011 berjumlah 78, meningkat pada tahun 2013 menjadi 84. Sebagaimana Desa Larangan, kuat dugaan bahwa angka tersebut belum mencakup pernikahan yang tidak dilaporkan di Kantor Urusan Agama atau menikah di tempat lain. Angka perceraian meningkat dari 8 di tahun 2011 menjadi 9 di tahun 2013. Angka kelahiran menurun dari 112 jiwa di tahun 2011, menjadi 78 jiwa di tahun 2013, sedangkan angka kematian menurun dari 56 jiwa pada 2011 menjadi 43 jiwa pada tahun 2013. Pada tahun 2011, sarana kesehatan di Desa Karangbale terdiri atas: 1 klinik, 1 orang dokter praktek, 1 orang bidan praktek, 7 orang dukun bayi, dan 1 jamban umum, jumlah ini tidak bertambah hingga tahun 2013. Sedangkan data akseptor KB menunjukkan gejala yang sama dengan Desa Larangan, yakni semakin bertambah Kesehatan Ibu dan Anak Kabupaten Brebes menempati urutan pertama AKI/AKB se Provinsi Jawa Tengah. Menurut data Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes, AKI/AKB di Kabupaten Brebes mengalami fluktuasi. Hingga Nopember 2014, tercatat 63 kasus AKI dan 268 kasus AKB di Kabupaten Brebes. Sebagian besar kasus AKI adalah komplikasi yang terjadi saat persalinan dan setelah persalinan. Di Kabupaten Brebes, faktor penyebab AKI antara lain PEB/eklamsia (29,3%), pendarahan (25,86%), dan decomp cordis (18,9%). Ibu hamil menderita anemia sebesar 50% dan kurang gizi kronis (KEK) sebesar 11,6%. Sedangkan untuk kasus AKB, penyebab utamanya adalah asfiksia, berat badan lahir rendah (BBLR), prematur, pnemonia, dan kelainan kongenital. Secara umum, situasi kesehatan ibu dan anak berdasarkan laporan yang diterima dianggap tidak masalah. Data tersebut perlu dibuktikan melalui berbagai data pendukung lainnya. Kondisi kesehatan keluarga yang dinilai tidak masalah menurut perspektif warga ini, salah satu argumentasi yang dibangun adalah karena infrasruktur desa yang digunakan masyarakat kampus dan luar kampus mudah diakses. Kondisi 98 | Prosiding PKWG Seminar Series
jalan cukup baik, meskipun ternyata angkutan umum masih sangat terbatas (setiap satu jam sekali lewat). Intervensi dan kontrol poskesdes terkait kesehatan ibu (khususnya kesehatan reproduksinya) cukup memberikan hasil. Dampak psikologis atau bentk ketidakadilan lainnya tdak mengemuka. Keberhasilan ini terlihat di poskesdes Desa Karangbale yang menyediakan layanan kesehatan dan beberapa peta kehamilan dan persalinan. Menurut pengalaman bidan, masyarakat yang mengakses poskesdes dalam sehari bisa mencapai 20 orang, baik untuk kepentingan memeriksakan kehamilan, melawak, MC, maupun untuk kepentingan alat kontrasepsi. Berikut Data Perhitungan Sasaran Menurut CBR untuk tahun 2014 di Desa Karangbale, adalah:
sasaran bumil 120 dan bulin 114.
Sasaran bayi usia 0-12 bulan, Laki-laki 45 bayi, perempuan 58 bayi
Sasaran bayi usia 13-59 bulan: laki-laki 208 anak dan perempuan 204 anak balita
Jumlah bayi lahir hidup tahun 2013 : laki-laki 48 bayi, dan perempuan 61 bayi. Namun tidak ada data bayi lahir mati.
Pada tahun 2011, sarana kesehatan di Desa Larangan terdiri atas: 1 puskesmas, 3 klinik, 1 orang dokter praktek, 1 oang bidan praktek, dan 8 orang dukun bayi. Pada tahun 2013, jumlah dokter praktek bertambah menjadi 2 orang, dan bidan praktek bertambah menjadi 4 orang. Sedangkan sarana kesehatan di Desa Karangbale tahun 2011 terdiri atas: 1 klinik, 1 orang dokter praktek, 1 orang bidan praktek, 7 orang dukun bayi, dan 1 jamban umum, jumlah ini tidak bertambah hingga tahun 2013. Di desa Karangbale, beberapa informasi terkait fasilitas kesehatan tahun 2014 adalah sebagaimana berikut: Khaerul Umam Noer dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah | 99
Puskesmas tidak ada, adanya di kecamatan Larangan yang terletak di desa Larangan
Jumlah klinik tidak ada
Jarak RSUD dari desa sekitar 1 jam dengan menggunakan mobil pribadi. (informan tidak tahu pasti berapa kilometer jaraknya)
Jumlah poskesdes 1 unit
Jumlah posyandu di desa ada 5 unit
Jumlah bidan desa 1 orang
Jumlah layanan pengobatan alternative sekitar 20 unit
Jumlah tenaga medis dokter (tidak ada), dukun beranak/paraji (5 orang)
Untuk wilayah Desa Larangan dan Desa Karangbale, tidak ada resmi mengenai AKI/AKB. Meski pihak desa membantah ada kasus AKI/AKB, namun dari FGD dengan masyarakat, untuk Desa Larangan terdapat 4 kasus AKI dan 2 kasus AKB, sedangkan untuk Desa Karangbale tidak terdapat laporan. Setidaknya termasalahan 3 pokok yang dihadapi di Desa Larangan dan Karangbale: (1) minimnya tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan, (2) masih adanya kepercayaan terhadap dukun bayi, dan (3) masih banyaknya kasus menikah di usia muda (bahkan banyak kasus kehamilan di luar nikah bagi anak di bawah umur). Untuk poin pertama dan kedua, dapat dilihat bahwa tenaga kesehatan masih jauh lebih sedikit ketimbang dukun bayi. Selain itu, banyak masyarakat yang terlambat ke tenaga kesehatan (bidan) maupun fasilitas kesehatan seperti puskesmas dan klinik, menyebabkan banyak masalah dalam persalinan bagi ibu hamil. Meskipun jarak antara rumah dan fasilitas kesehatan tidak terlalu jauh, ditambah pula sarana jalan yang relatif baik, namun masalahnya ada pada kebiasaan masyarakat dan biaya persalinan di tenaga kesehatan yang 100 | Prosiding PKWG Seminar Series
dianggap mahal. Dukun bayi menjadi alternatif, selain lebih murah (biaya dukun bayi sekitar Rp. 500.000, bandingkan dengan bidan atau dokter yang biayanya mencapai satu juta rupiah), juga karena dukun bayi dianggap lebih telaten mengurus, pada saat jelang kelahiran, saat lahiran, dan setelah lahiran. Dukun bayi seringkali memberikan layanan mulai dari 7 hari pasca kelahiran hingga 40 hari pasca kelahiran. Khusus untuk biaya, memang ada Jampersal (jaminan persalinan), namun dalam FGD dengan masyarakat Desa Larangan dan Karangbale, diketahui bahwa proses pelayanan Jampersal seringkali dipersulit. Tidak sedikit warga Larangan dan Karangbale memilih untuk melakukan persalinan di RSUD Kabupaten Tegal, bukan di RSUD Kabupaten Brebes karena berbelitnya urusan Jampersal. Selain itu, masalahnya juga terletak pada kebiasaan masyarakat yang tidak rutin memeriksakan kehamilannya, sehingga banyak kasus ibu hamil yang kurang gizi atau anemia. Untuk poin ketiga, hal ini berkaitan erat dengan kebiasaan masyarakat yang menikahkan anaknya ketika SMP, baik ketika lulus maupun belum lulus SMP. Kawin muda seringkali diawali dengan kehamilan di waktu pacaran, yang menyebabkan banyak orangtua akhirnya dengan segera menikahkan anaknya. Dalam beberapa kasus, perkawinan di bawah usia akhirnya dilaksanakan dengan melakukan pemalsuan, terutama dengan menambah usia anak sehingga dapat dinikahkan. Persoalan lain terkait dengan AKI/AKB adalah posisi suami. Peran suami dalam ikutserta mengelola aktivitas rumah tangga dan membantu ibu hamil masih amat minim. Peran suuami hanya sebatas sekedar mengantarkan istri ke tenaga kesehatan atau fasilitas kesehatan. Ia tidak mengetahui hal-hal terkait dengan kehamilan, sebab biasanya hal-hal tersebut hanya untuk diketahui oleh istri dan tenaga kesehatan. Selain itu, suami juga tidak banyak terlibat dalam aktivitas domestik, sehingga kegiatan domestik menjadi tanggungjawab istri Khaerul Umam Noer dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah | 101
meskipun si istri dalam keadaan hamil tua. Selain itu, kebiasaan masyarakat yang memperbolehkan istri yang baru tujuh hari melahirkan untuk langsung mengerjakan tugastugas rumah tangga maupun bekerja di sawah juga menjadi faktior yang mendorong terjadinya komplikasi bagi ibu yang baru melahirkan. Menyoal peran desa Pemerintah desa, baik Desa Larangan maupun Karangbale tidak proaktif terkait masalah AKI/AKB. Mereka hanya sebatas menjalankan kebijakan Pemerintah Kabupaten Brebes terkait “Program Emas”, yakni program yang memprioritaskan kesehatan bagi ibu hamil. Program ini hadir melalui Surat Edaran Bupati Brebes Nomor 300.1/01761/VIII/TAHUN 2013 Tentang Upaya Percepatan Penurunan Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi di Kabupaten Brebes. Dalam FGD dengan masyarakat, peran desa dalam mensosialisasikan kebijakan tersebut sangat minim. Seringkali informasi tidak sampai ke masyarakat luas, hanya di tingkat desa. Dalam edaran tersebut misalnya, diwajibkan bagi setiap fasilitas kesehatan untuk memberikan pelayanan dan pemeriksaan kehamilan, namun kebijakan tersebut tidak pernah disosialisasikan dengan baik. Kebijakan yang sering disosialisasikan oleh pemerintah desa adalah larangan bagi ibu hamil untuk melahirkan di rumah, namun larangan tersebut seringkali tidak disertai dengan tindakan nyata dari pihak pemerintah desa, misalnya dengan mengadakan kendaraan khusus untuk membawa ibu hamil ke fasilitas kesehatan terdekat. Di sisi lain, adanya program Jampersal memberikan banyak bantuan bagi ibu hamil, terutama bagi ibu hamil yang tidak mampu membayar biaya persalinan. Meskipun ada pula catatan mengenai sulitnya mengurus Jampersal atau adanya penerima Jampersal yang salah sasaran.
102 | Prosiding PKWG Seminar Series
Masalah lainnya adalah pada pemeriksaan ibu hamil. Meskipun ada kewajiban bagi pemerintah desa untuk menginformasikan, terutama bagi ibu hamil dengan risiko komplikasi tinggi, namun belum ada upaya untuk mendorong masyarakat agar secara rutin memeriksakan kehamilannya. Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) belum dimanfaatkan secara penuh untuk memeriksakan kehamilan. Catatan menarik, bahwa ada program SMS BUNDA, yakni layanan untuk pendataan ibu hamil melaui SMS Center di nomor 08118469468. Hanya saja, layanan SMS BUNDA hanya terbatas pada pendataan ibu hamil, perkiraan kelahiran, dan waktu melahirkan. Persoalannya, tidak jelas apakah program ini berada di bawah Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kecamatan, dan belum diketahui dengan pasti apakah program SMS BUNDA ini telah berjalan atau tidak. Satu hal yang dapat dipastikan, bahwa program ini hampir tidak diketahui oleh masyarakat umum yang diundang dalam FGD. Musrenbangdes dan suara perempuan Partisipasi perempuan dalam terlaksanannya program pemerintahan desa amat terbatas, terutama dalam keterwakilan perempuan pada acara musyawarah pembangunan desa (musbangdes) yang dilaksanakan setiap tahunnya. Menurut pemerintah desa, pelaksanaan Musbangdes selalu mengundang setiap stakeholder, termasuk organisasi perempuan, hanya saja tidak setiap organisasi mengirimkan utusannya ke acara tersebut. Bahkan acara tersebut sejatinya terbuka untuk umum karena dilaksanakan di balai desa. Dalam FGD diketahui bahwa acara Musbangdes tidak diumumkan secara terbuka, baik di balai desa maupun di masjid. Undangan Musbangdes seringkali tidak tersampaikan, sehingga banyak organisasi perempuan atau masyarakat umum tidak mengetahui adanya acara tersebut. Di sisi lain, setiap keputusan Musbangdes tidak pernah dibicarakan secara terbuka. Usulan dari organisasi perempuan seringkali tidak diakomodir, karena Musbangdes selalu Khaerul Umam Noer dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah | 103
terfokus pada masalah infrastruktur, sedangkan masalah yang menyangkut perempuan – seperti kesehatan – sangat jarang diakomodir. Umumnya, setiap keputusan Musbangdes hanya diinformasikan secara umum saja ke berbagai organisasi, dengan harapan agar pimpinan organisasi mau menyampaikan kepada seluruh anggotanya. Dengan demikian, potensi untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan di desa menjadi tantangan tersendiri. Partisipasi masyarakat pada umumnya hanya di tingkat partisipasi pasif. Hadir dan menjadi salah satu peserta dalam suatu pertemuan rencana pembangunan. Namun partisipasi dalam arti keterlibatannya hingga sampai pada pengambilan keputusan tidak terjadi, apalagi secara khusus untuk perempuan. Pada umumnya, pandangan masyarakat terhadap peran publik perempuan tampak bukan dianggap sebagai masalah. Dalam praktik keseharian, adalah hal yang biasa bagi perempuan Desa Larangan dan Karangbale untuk turut serta di sektor pertanian bawang. Peran perempuan dalam pertanian bawang ini sangat signifikan. Ada banyak aktifitas yang dilakukan perempuan, seperti mengambil ulat di daun bawang, menanam, merawat tanah samping agar tidak longsong, dan lainnya. Selain peran perempuan di dalam sektor pertanian, perempuan dari dua desa ini banyak yang mencoba peruntungan menjadi Tenaga Kerja Perempuan di luar negeri (buruh migran). Menurut informasi, ada cukup banyak perempuan yang menjadi buruh migran meskipun data di kantor desa tidak diperoleh angka pasti warganya yang melakukan migrasi. Realitas mengenai buruh migran perempuan di daerah-daerah Timur Tengah ini menunjukkan bagaimana masyarakat secara umum tidak terlalu mempersoalkan peran perempuan di ruang publik, bahkan perannya sebagai tulang punggung keluarga atau sebagai kepala keluarga.
104 | Prosiding PKWG Seminar Series
Berdasarkan data FGD, diperoleh informasi bahwa alokasi anggaran desa pada dasarnya sudah dirancang pihak desa sebelum mengundang Stake hoklders dalam pertemuan rapat tingkat desa (musrenbangdes). Pertemuan musrenbangdes lebih mengarah pada pertemuan formalitas yang dilakukan pemerintah desa sebagai pemenuhan syarat saja. Oleh karena itu, tidak ada anggaran khusus terkait isu perempuan, kecuali rutinitas untuk makanan sehat di setiap posyandu. Rekomendasi Salah satu rekomendasi untuk meningkatkan partisipasi perempuan maupun untuk memberikan pengetahuan kepada perempuan adalah melewati kegiatan organisasi, baik yang berbasis keagamaan maupun umum. Hampir setiap hari, di Desa Larangan maupun Karangbale selalu dilaksanakan pengajian yang diikuti oleh masyarakat. Mereka yang berafiliasi dengan Muhammadiyah akan ikut pengajian yang dilaksanakan oleh Muhammadiyah, demikian pula mereka yang berafiliasi dengan NU. Memang ada kegiatan pengajian akbar, semisal maulid Nabi, yang diikuti oleh seluruh warga masyarakat tanpa melihat latar belakang afiliasinya. Organisasi lain yang juga dapat dipakai adalah PKK, meski di Desa Larangan, PKK dapat dikatakan mati suri. PKK menjadi penting karena jaringannya di tingkat RT dapat memberikan akses yang lebih luas. Catatan kami, untuk wilayah Desa Larangan, agaknya perlu dipertimbangkan ulang mengingat hubungan antara masyarakat dengan Kepala Desa – yang notabene perempuan – tidak berjalan harmonis. Tentu saja Pekka juga dapat sangat membantu, terutama karena jaringan Pekka sudah ada di dua kecamatan, yakni Kecamatan Larangan dan Kecamatan Ketanggungan.
Khaerul Umam Noer dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah | 105
Desa Siaga, perkawinan dini, dan kerentanan AKI (Pengalaman Sukabumi) Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra1 Tulisan ini pada mulanya adalah penelitian yang dilaksanakan oleh Tim Pusat Kajian Wanita dan Gender UI di tiga wilayah: Sukabumi, Brebes, dan Manado. Tulisan ini mencoba menggambarkan pengalaman masyarakat desa Pamuruyan dan Warnajati, Sukabumi. Teknik Pengambilan Data dan Gambaran Informan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah FGD, wawancara mendalam, mapping desa dan observasi lapangan. Peneliti juga mengumpulkan data sekunder yang sebagian besar pengumpulannya dibantu oleh kader PEKKA, sebagai pendamping lapangan dalam penelitian ini. Di setiap desa dilakukan dua FGD yaitu: FGD 1: terdiri dari warga biasa/masyarakat akar rumput (perempuan dan suaminya, serta perempuan kepala keluarga, perempuan yang sedang hamil dan suaminya, orangtua yang sedang memiliki bayi/balita atau cucu berusia balita. Di desa Warnajati, FGD ini dihadiri oleh 10 peserta, dan di desa Pamuruyan dihadiri oleh 10 peserta. FGD 2: terdiri dari berbagai komponen (laki-laki dan perempuan), yaitu: kader PEKKA, PKK, kader Posyandu, tokoh lingkungan (RT/RW), Karang Taruna (remaja/pemuda lakilaki dan perempuan), tokoh masyarakat dan bidan desa. Di
1
Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra | 107
desa Warnajati, FGD ini dihadiri oleh 13 peserta, dan didesa Pamuruyan dihadiri oleh 10 peserta. Wawancara mendalam dilakukan dengan dua Bidan Desa di Warnajati dan satu bidan desa di Pamuruyan. Kepala Desa Warnajati dan Sekretaris Desa Pamuruyan ikut terlibat dalam FGD sehingga tidak dilakukan wawancara mendalam dengan mereka. Kepala Desa Pamuruyan sedang bertugas di luar kantor saat FGD berlangsung, jadi tidak bisa diwawancara. Dalam FGD dengan tokoh masyarakat di desa Warnajati dan Pamuruyan, peneliti memfasilitasi penyusunan peta desa secara sederhana untuk memetakan jumlah, lokasi dan kualitas dari fasilitas desa, seperti posyandu, sekolah, PAUD, Puskesmas, jalanan, dan lain-lain. Setelah itu, dengan berkendara mobil dan berjalan kaki, dilakukan penelusuran wilayah (RW) yang medannya sulit ditempuh karena letak area yang jauh dari pusat desa, dengan kondisi jalan yang buruk (tanah merah dan berbatuan), serta kontur tanah yang terlalu tinggi atau terlalu rendah. Gambaran Umum Geografi dan Demografi Sukabumi Geografi dan Topografi Desa Warnajati dan Desa Pamuruyan terletak bersebelahan. Kedua desa memiliki topografi dataran berbukit, dengan ketinggian tanah dari permukaan laut sekitar 550 meter. Lahan pertanian di kedua desa sangat luas, namun belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh pemiliknya. Ketika menyusuri kedua desa, wilayah desa Warnajati terasa jauh lebih kecil daripada desa Pamuruyan. Ini disebabkan kaerna wilayah desa Warnajati ‘terpotong’ cukup luas dengan kebun sawit yang dimiliki oleh perusahaan swasta. Desa Warnajati dan Desa Pamuruyan memiliki kemiripan yaitu terdiri dari dua situasi fisik: pedesaan dan perkotaan. Wilayah pedesaan memiliki lahan pertanian yang lebih luas 108 | Prosiding PKWG Seminar Series
dan cukup jauh dari pusat desa, sedangkan wilayah perkotaan lebih dekat dengan jalan raya beraspal, hilir mudik kendaraan dan pusat kota (Kelurahan Cibadak). Beberapa RW dengan situasi pedesaan di Warnajati dan Pamuruyan cukup sulit untuk ditempuh karena lokasinya yang cukup jauh, dengan kontur tanah yang naik turun dan berbelok, jalanan yang terjal dan dengan kondisi buruk (berbatuan, bertanah merah dan licin). Wilayah rentan di desa Warnajati adalah RW 05, 06 dan 07, sedangkan wilayah rentan di desa Pamuruyan adalah RW 05, 10, 9 dan 13. Mata Pencaharian dan Migrasi Kedua desa masuk di dalam wilayah administratif Kecamatan Cibadak dengan jarak dari pusat kecamatan hanya 2 (dua) km. Kecamatan Cibadak dikelilingi oleh banyak perusahaan industri, seperti pabrik garmen dan pabrik pakan ayam. Industri membuka banyak kesempatan kerja bagi lakilaki dan perempuan dengan syarat pendidikan hanya lulus SLTP. Menurut salah satu narasumber FGD, perusahaan industri sekitar mulai mengutamakan perekrutan perempuan daripada laki-laki karena dianggap mudah diatur, dapat dibayar lebih rendah dari upah laki-laki, serta tidak akan ribut atau demo meminta kenaikan gaji. Banyaknya kesempatan kerja di Kelurahan/Kecamatan kemungkinan besar menyebabkan hanya sedikit masyarakat desa yang bermigrasi di dalam atau ke luar negeri. Tidak tersedia cukup data mengenai jumlah penduduk Warnajati dan Pamuruyan yang bekerja di perusahaan swasta yang berlokasi di sekitar, namun hasil diskusi di kedua desa menunjukkan bahwa tingkat migrasi cukup rendah dan kedua desa ini bukanlah kantung TKI. Menurut kader PEKKA, penelitian Kornas PEKKA menunjukkan hanya sekitar 5% warga yang bermigrasi dan bekerja di Jakarta, Bogor dan Bandung. Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra | 109
Selain menjadi buruh pabrik, penduduk memperoleh pendapatan dari pertanian. Sebagian besar penduduk Pamuruyan bermata pencaharian petani, yaitu berjumlah sekitar 24 % dari penduduk usia dewasa. Di Warnajati, persentasi masyarakat yang menjadi petani tidak dapat dihitung, karena tidak semua mata pencaharian penduduk usia produktif teridentifikasi dalam data yang diperoleh dari Kantor Desa. Tingkat Sosial Ekonomi Dilihat dari tingkat pendidikan, sebagian besar penduduk adalah lulusan Sekolah Dasar, yaitu sebesar 48.49% di desa Warnajati dan 48.63 % di desa Pamuruyan. Sebagian besar lainnya adalah lulusan SLTP yaitu sebanyak 31.03 % penduduk di desa Warnajati dan 19.45% di desa Pamuruyan. Hanya sebesar 13.37 % penduduk di Warnajati dan 11.1 % penduduk di Pamuruyan yang melanjutkan pendidikan hingga SLTA. Hal ini menunjukkan rendahnya tingkat pendidikan penduduk di kedua desa. Di desa Pamuruyan, anak putus sekolah berjumlah 237 orang. Tidak tersedia data anak putus sekolah di desa Warnajati. Namun hasil diskusi FGD menunjukkan bahwa banyak anak yang putus sekolah dan juga banyak anak tidak melanjutkan sekolah setelah lulus SD dan SMP. Kebanyakan anak langsung ingin dan/atau ‘tertuntut’ bekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Putus sekolah berkaitan dengan pernikahan dini yang cukup banyak terjadi di kedua desa. Dari desa Pamuruyan, diperoleh data mengenai kondisi ekonomi rumah tangga. Sebanyak 4.233 adalah penduduk miskin, yang berasal dari 867 keluarga Pra Sejahtera dan 843 Keluarga Sejahtera 1. Ini berarti bahwa sekitar 79.57 % KK tergolong dalam tingkat ekonomi rendah.
110 | Prosiding PKWG Seminar Series
Kepala Keluarga Perempuan Dari pengolahan data dari Kantor Desa dan PEKKA, maka diketahui bahwa di desa Warnajati, ada sebanyak 19 % kepala keluarga adalah perempuan, yaitu berjumlah 347 perempuan. Sedangkan di desa Pamuruyan, sebanyak 16.9 % kepala keluarga adalah perempuan yaitu sebanyak 363 perempuan. Ini berarti bahwa di kedua desa, sekitar 10 % dari total jumlah penduduk perempuan adalah kepala keluarga. Jumlah ini merupakan angka yang signifikan. Kasus Kekerasan Hasil FGD tidak dapat menggambarkan situasi kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di kedua desa. Beberapa peserta FGD menyebutkan bahwa mereka pernah melihat adanya kekerasan psikis dan fisik di rumah tetangga, namun mereka tidak memahami situasi yang terjadi dalam rumahtangga tersebut. PEKKA mencatat kasus kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri yaitu sebanyak 6 kasus di desa Warnajati dan 17 kasus di desa Pamuruyan. Ini berarti bahwa presentasi rumah tangga di mana kekerasan tidak signifikan, yaitu hanya sebesar 0.3% dari jumlah KK di desa Warnajati dan sebesar 0.79% dari jumlah KK di desa Pamuruyan. Data mengenai jenis kekerasan dan kasus kekerasan domestik lainnya seperti kekerasan terhadap anak belum dapat diperoleh dalam kesempatan ini. Situasi Kesehatan Ibu dan Anak Kematian Ibu Angka kematian ibu di desa Warnajati dapat dikatakan kecil. Di desa Warnajati, pernah terjadi kasus kematian ibu saat melahirkan pada tahun 2008. Penyebab kematian ibu adalah terlambat ditolong dan terlambat mengambil
Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra | 111
keputusan. Ibu hamil ini tinggal di RW 07 dengan kondisi jalan yang buruk dan posisi yang jauh dari fasilitas kesehatan. Setelah kejadian tersebut, tidak ada lagi kasus kematian ibu hingga pengumpulan data oleh tim peneliti dilakukan (November 2014). Desa Warnajati bukan daerah penyumbang angka kematian bayi di Kecamatan Cibadak dan di Kabupaten Sukabumi. Dengan sistem kesiagaannya, desa Warnajati mendapatkan juara Desa Siaga se-Kabupaten. Di desa Pamuruyan, angka kematian ibu juga kecil, namun desa ini menyumbang angka kematian ibu di Kecamatan Cibadak setidaknya 1-2 kasus per tahun. Kasus kematian ibu yang terjadi pada tahun 2014 menimpa seorang warga Desa Pamuruyan yang bekerja di sebuah perusahaan. Perempuan ini mendapatkan jaminan kesehatan yang cukup baik dari perusahaan tempat ia bekerja sehingga ia pun rutin memeriksakan kandungannya ke dokter di Rumah Sakit Kecamatan Cibadak. Perempuan ini merasa sudah cukup memeriksakan kandungannya ke Rumah Sakit dan menyebabkan ia tidak pernah memeriksakan kandungannya ke Bidan di Posyandu Desa. Saat tiba waktunya melahirkan, perempuan ini mengalami pendarahan selama 6 (enam) jam setelah melahirkan bayi kembar. Bayi kembar ini selamat, namun sang ibu tidak dapat diselamatkan. Bidan desa yang hadir dalam FGD meyakini bahwa prosedur rumah sakit sudah benar dan penyebab kematian bayi adalah komplikasi persalinan. Tabel 1. Kematian Ibu dan Bayi Desa Warnajati
Desa Pamuruyan
Kasus Kematian Ibu
1 kasus kematian ibu di tahun 2008
1 kasus kematian ibu di tahun 2014
Kasus Kematian Bayi (Neonatal) dan Balita
1 kasus kematian bayi neonatal prematur pada tahun 2014
1 kematian bayi neonatal pada tahun 2014
112 | Prosiding PKWG Seminar Series
1 kasus kematian bayi neonatal dan 1 kasus kematian bayi dalam kandungan (IUFD)
Sumber: Data primer peneliti (Hasil diskusi FGD dan wawancara mendalam), serta data sekunder yaitu pencatatan oleh Posyandu dan Bidan Kematian Bayi dan Balita Di Warnajati, kasus kematian bayi neonatal terjadi satu kali pada tahun 2013 dan satu kali pada tahun 2014. Terjadi pula satu kasus bayi meninggal dalam kandungan (IUFD). Kematian bayi neonatal adalah kematian bayi dalam usia 0—28 hari. Penyebab kematian bayi yang biasa terjadi adalah karena berat badan kurang (BBLR) dan asfiksia (gagal nafas dan lahir biru).2 Menurut bidan desa dalam diskusi FGD, hal ini bisa disebabkan karena sang ibu kurang higienis (jamur dari keputihan tidak diobati), mengalami ketuban pecah, memiliki kandungan yang terlalu besar, memiliki struktur selaput ketuban yang lemah, serta kurang mengkonsumsi zat besi. Penyebab kematian bayi dari sisi sosial adalah karena sang ibu bekerja dan mengalami keletihan. Selain itu, ibu terlalu muda (berusia 17 tahun) dan pernah mengalami keguguran pada kehamilan pertama. Bidan desa menyampaikan bahwa ibu hamil kadang enggan mengikuti program ‘30 tablet 1 hari’ untuk menambah zat besi dalam darah, karena merasa lebih mual. Selain kematian bayi neonatal di desa Warnajati, ada satu kasus kematian anak lima tahun pada tahun 2013 yang disebabkan oleh suhu badan tinggi dan dehidrasi. Kematian 2
Skala asfiksia dilihat dari pernafasan, detak jantung, warna kulit, tonus otot. Skala asfiksia: berat (1-3), sedang (4-7) dan ringan (8-10). Sumber: wawancara dengan Bidan Desy dan Bidan Afri di desa Warnajati, 21 November 2014
Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra | 113
disebabkan karena kurang penanganan dari keluarga yang broken home dan kurang komunikasi dengan kader. Kader kesehatan yang ikut dalam diskusi FGD menyampaikan bahwa mereka sulit mengetahui kondisi kesehatan anak, jika anggota keluarga tidak bekerjasama dengan kader kesehatan, yaitu membagikan informasi tentang kondisi anak dan melaporkan bila terjadi kondisi darurat dan kebutuhan pertolongan. Di desa Pamuruyan, terhadi satu kasus kematian bayi neonatal dengan kondisi darurat dan komplikasi persalinan yang serius, seperti ditulis dalam kotak khusus berikut ini: Kotak 1. Kasus Kematian Bayi (Neonatal) di Desa Pamuruyan, 2014 Seorang perempuan hamil bernama ibu Ningsih (bukan nama sebenarnya) tinggal di RW 05 Desa Pamuruyan dengan lokasi berada di lembah yang curam dan sulit ditempuh dari jalan raya. Kondisi jalan buruk yaitu curam, tidak beraspal, serta licin karena bertanah merah. Bidan desa sebelumnya telah menyampaikan kepada Bu Ningsih bahwa posisi bayinya sungsang dan berpesan jika bu NIngsih merasakan kontraksi ingin melahirkan, dirinya harus segera memberitahu tetangga sekitar dan kader kesehatan agar dibawa ke rumah sakit. Namun Ibu Ningsih baru memberitahu kader kesehatan (istri kepala RW 05) ketika kaki bayi telah keluar dari lubang vagina. Kader segera memberitahu kepada bidan desa. Kirakira pada pukul 02.00 dini hari, bidan beserta dengan kepala RW mencari pertolongan. Kondisi tempat tinggal bu Ningsih yang sangat sulit dengan jalanan setapak yang licin dan curam di samping sungai, akhirnya membuat warga harus membawa bu Ningsih dengan tandu hingga mencapai jalanan desa yang cukup lebar dan dapat dilalui mobil. Dalam perjalanan, bidan sudah memberitahu agar bu Ningsih tidak boleh “ngeden” dan merapatkan kaki agar si bayi tidak keluar. Namun ketika tandu diturunkan di rumah sakit, bu NIngsih tidak kuat lagi menahan ‘ngeden’. Bayi segera dibawa ke ruang persalinan. Namun
114 | Prosiding PKWG Seminar Series
ternyata kondisi sungsang disertai dengan komplikasi lain yaitu bayi terlilit tali pusar di leher dan kepala. Bayi tidak dapat tertolong lagi karena kehabisan oksigen Bidan desa yang hadir dalam FGD menganalisa faktor penyebab dari kematian bayi ini yaitu: a) kurangnya kesadaran perempuan hamil untuk melapor bahwa dirinya dalam kondisi darurat, karena pernah mengalami keberhasilan persalinan dengan kondisi sungsang sebelumnya dan merasa bahwa persoalannya dapat diatasi sendiri, b) ketakutan akan biaya persalinan yang mahal apalagi suami bu Ningsih sedang tidak berada di rumah karena mencari pekerjaan di Jakarta, dan saat itu Ia hanya memiliki uang sebesar seribu rupiah, c) komplikasi persalinan yang secara medis sulit ditangani, meski setiap prosedur medis sudah dijalani dengan benar. Bidan desa menyatakan bahwa sekiranya tidak terjadi komplikasi, dengan kondisi bayi sungsang dan kondisi genting mencapai rumah sakit, mungkin bayi masih dapat diselamatkan. Namun bidan desa mempercayai bahwa prosedur yang dijalankan oleh pihak rumah sakit sudah benar. Sumber: Data primer tim peneliti
Peran suami Dalam persepsi masyarakat, suami berperan sebagai kepala keluarga, bekerja di luar rumah dan memenuhi kebutuhan keluarga, berarti termasuk juga memberi makan bagi istri dan anak-anaknya. Para suami yang ikut dalam FGD menyatakan bahwa mereka: a) menemani istrinya ketika melakukan cek kehamilan secara rutin ke bidan, b) menemani istri sepanjang proses persalinan, c) bersama dengan istri ikut berkonsultasi dengan bidan saat menentukan jenis kontrasepsi yang digunakan.
Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra | 115
Namun tidak semua suami dapat menjalankan perannya secara optimal. Dalam pernikahan usia muda, para suami sulit mencari pekerjaan, akhirnya bekerja secara musiman atau menganggur. Ketiadaan dana membuat suami gagal memberikan gizi yang baik bagi istrinya saat hamil dan gagal mempersiapkan persalinan yang aman, seperti yang terjadi pada bu Ningsih di desa Pamuruyan. Selain itu, menurut para kader kesehatan, dalam kondisi gawat darurat terutama menjelang persalinan, kader kesehatan-lah yang lebih berperan daripada suami karena tidak sedang berada di samping istrinya. Mitos & Tradisi tentang Kehamilan dan Kelahiran Bayi Masyarakat di desa Warnajati dan desa Pamuruyan masih mempercayai mitos mengenai kehamilan ibu, yaitu hal-hal yang harus dilakukan oleh ibu hamil dan yang dilarang, misalnya: -
-
Harus banyak minum air Harus memanjangkan rambut agar ketika ‘mengedan’ saat melahirkan, ibu bisa bertahan dengan menggigit rambutnya sendiri. Makan dengan piring kecil, agar plasentanya juga kecil dan memperlancar jalan lahir. Tidak boleh makan timun, nanas dan pisang, karena nanti ‘becek’ (keputihan) Tidak boleh makan salak, karena nanti susah melahirkan Bawa bawang putih dan/atau gunting di dada untuk menolak bala Tidak boleh berdiri di depan pintu. Istilah pantang yaitu ‘pamali’. Nanti bisa menghalangi jalan lahir bayi Harus rajin bersih-bersih rumah, supaya anaknya lahir putih bersih Tidak boleh tidur siang
116 | Prosiding PKWG Seminar Series
Mitos biasanya disampaikan oleh dukun beranak (paraji) atau orangtua perempuan yang sedang hamil dan masih diikuti hingga sekarang. Contohnya ibu Erni (22 tahun) yang sedang hamil ketika mengikuti FGD. Ia sedang membawa gunting di dadanya, yang dianggapnya akan melindungi dia dan bayinya dari kejahatan. Erni menyampaikan bahwa ia masih menuruti mitos tersebut karena khawatir hal buruk malah benar-benar kejadian padanya. Meski mitos-mitos masih diikuti oleh perempuan hamil sampai sekarang, perlahan-lahan banyak perempuan muda yang meninggalkan tradisi tersebut, dengan menentang dan tidak mengikuti anjuran orangtua/paraji. Diskusi mengenai tradisi penyambutan bayi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara penyambutan untuk bayi laki-laki dan bayi perempuan. Desa Warnajati siaga untuk menyambut kelahiran bayi laki-laki dan perempuan. Kader siap 24 jam, khususnya ketika tanggal melahirkan semakin dekat. Setelah kelahiran bayi, biasanya dilangsungkan tradisi Aqiqah, yaitu penyampaian rasa syukur yang ditandai dengan pencukuran rambut bayi. Aqiqah dilakukan untuk bayi perempuan dan laki-laki. Perbedaan hanya pada jumlah kambing yang dipotong yaitu 2 ekor untuk laki-laki dan 1 ekor untuk perempuan. Ini didasari pada perintah dalam Al-Quran. Namun hal ini bukan kewajiban yang mengikat dan disesuaikan dengan kemampuan ekonomi keluarga. Keluarga Berencana Penyuluhan KB di kedua desa biasanya diberikan oleh Bidan Desa kepada pasutri. Pemasangan alat KB biasanya disertai dengan informed consent dari keduanya. Menurut bidan desa di Warnajati, keputusan menggunakan jenis kontrasepsi tertentu diambil secara bersama antara laki-laki dan perempuan. Tidak terjadi adanya paksaan dari suami Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra | 117
mengenai pemilihan alat KB. Meski demikian, pemasangan IUD sering tidak terlalu disetujui oleh suami. Sebagian besar pasutri di kedua desa memakai kontrasepsi suntik karena dianggap mudah dan ekonomis. Namun jenis kontrasepsi ini beresiko untuk menciptakan kehamilan lagi jika tidak secara rutin digunakan. Jarak pakai kontrasepsi suntik yang singkat (dengan interval satu bulan) kerap membuat istri kelupaan melanjutkan suntik dan akhirnya hamil lagi. Contoh kasus adalah Ibu Eem di desa Pamuruyan yang menikah di usia 15 tahun dan pada usia saat mengikuti FGD (37 tahun) sedang hamil anaknya yang ke-enam. Ia telah menggunakan alat kontrasepsi suntik, namun sering tidak rutin datang ke Bidan Desa untuk memakai alat suntik dengan alasan lupa dan malas. Saat diskusi terjadi, seorang kader kesehatan memberikan saran agar Ibu Eem melakukan steril rahim, namun ia bersikukuh tidak akan melakukan sterilisasi karena takut ada efek sakit berkepanjangan paska operasi. Banyak istri masih takut akan pemakaian kontrasepsi selain suntik, padahal jenis lainnya sebenarnya paling minim resiko, misalnya spiral atau IUD. Ada kepercayaan dan asumsi mengenai IUD yaitu bahwa pemasangannya menakutkan, memalukan (harus dengan posisi mengangkang) dan dengan alat speculum, serta menimbulkan pendarahan dan kesakitan. Para suami dikatakan mengeluh karena penisnya menyentuh bagian spiral ketika berhubungan seksual, padahal menurut Bidan Desa bagian tersebut hanyalah benang. Masyarakatpun membuat dan menyebarkan gambaran tentang IUD yang menyakitkan, yang membuat mereka sendiri terngiang dengan gambaran tersebut dan sedapat mungkin tidak menggunakan IUD. Saat diskusi, seorang peserta FGD (Ibu Merni) menyampaikan bahwa seharusnya laki-laki perlu berperan dalam memakai kontrasepsi, tidak hanya perempuan. Sebenarnya ada upaya suami menggunakan kondom, seperti diceritakan oleh Pak Jamaludin (38 tahun) dari Desa Warnajati 118 | Prosiding PKWG Seminar Series
saat diskusi FGD. Ia beberapa kali gagal menggunakan kondom, sampai akhirnya ia dan istrinya memiliki empat anak. Sekarang istri pak Jamaludin (Ibu Ai Suningsih, 37 tahun) nya memakai alat suntik. Ada pula seorang laki-laki di desa Warnajati yang melakukan vasektomi, seperti diceritakan oleh Bu Ain (kader Pekka), namun setelah vasektomi, laki-laki ini mengalami kurang gairah dalam berhubungan seksual. Kasus ini mempengaruhi pilihan warga lain untuk tidak melakukan vasektomi. Semua peserta FGD menyampaikan bahwa penentuan jumlah anak di dalam keluarga disepakati oleh suami-istri. Namun menurut Bidan Desy di desa Warnajati, meski penentuan jumlah anak di dalam keluarga dipengaruhi bersama-sama antara suami dan istri, sesungguhnya laki-laki masih mendominasi keputusan. Laki-laki yang dimaksud adalah termasuk suami, ayah dan paman. Rencana jumlah anak biasanya dibuyarkan dengan pemakaian kontrasepsi yang salah atau tidak cocok seperti yang dijelaskan sebelumnya. Kader kesehatan dalam diskusi FGD menyampaikan bahwa perlu kecocokan dengan jenis kontrasepsi yang digunakan, dan masyarakat perlu juga menyadari mitos yang salah mengenai kontrasepsi. Kotak 2. Pengalaman KB dari Perempuan yang Menikah di Usia Muda Salah seorang warga di desa Pamuruyan yakni Ibu Kokom menceritakan bahwa Ia baru mengenal KB belum lama ini. Melalui kesepakatan dengan suaminya, Ibu Kokom menggunakan kontrasepsi berjenis pil. Bu Kokom menikah di usia muda (17 tahun) dan mengikuti program KB karena telah memiliki 5 orang anak. Memiliki lima anak diakuinya sebagai perwujudan anggapan masyarakat setempat, yang mempercayai konsep “banyak anak banyak rejeki”. Ibu Kokom mengatakan bahwa dahulu sebelum dikenalnya program KB, jumlah kasus aborsi di wilayahnya setempat Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra | 119
cukup tinggi. Namun sekarang, setelah program KB berjalan, tindakan aborsi sudah jauh berkurang. Tindakan aborsi disebabkan karena pertimbangan bahwa biaya pendidikan cukup tinggi dan menyulitkan keluarga. Saat ini Ibu Kokom dan suaminya sudah memiliki pemikiran yang cukup baik dengan tidak mengizinkan anak mereka untuk menikah di usia yang masih muda. Sumber: Data primer tim peneliti Kebijakan dan Program Kesehatan Ibu dan Anak Kebijakan dan Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang ada di desa Warnajati dan desa Pamuruyan memiliki kemiripan yaitu terdiri dari: 1) Desa Siaga dan RW Siaga 24 jam, dengan mekanisme yang akan dijelaskan selanjutnya. 2) Kemitraan antara Kader, Paraji dan Bidan, sesuai dengan Perda Kabupaten Sukabumi No.03/2013 tentang Kemitraan Bidan, Paraji dan Kader Kesehatan. Perda ini dikeluarkan untuk meminimalkan AKI. 3) Program kesehatan ibu dan anak yang terintegrasi di Posyandu. Posyandu di setiap RW. Misalnya: desa Warnajati memiliki 12 posyandu aktif dengan total jumlah kader sebanyak 60 orang. Posyandu memperoleh dana operasional dari APBD 1 (Pemerintah Propinsi), yaitu insentif kader sebesar Rp.200.000 per kader per tahun, serta dana revitalisasi Posyandu dari APBD 2 (Pemerintah Kabupaten) sebesar Rp. 750.000,- setahun. 4) Tabulin (Tabungan Ibu Bersalin) yang bertujuan agar keluarga menabung untuk meringankan biaya melahirkan nantinya. Namun tabulin ini kurang berjalan karena kesadaran masyarakat dalam menabung masih rendah, dan karena mengandalkan jaminan kesehatan dari pemerintah.
120 | Prosiding PKWG Seminar Series
5) Jamkesda dan Jamkesmas, mengikuti aturan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Kader membantu mengurus jamkesda dan jamkesmas selama surat administrasi memadai (KTP, KK, dan lain-lain), jadi warga cukup mendapatkan kemudahan. 6) Jampersal (jaminan persalinan), namun pada tahun 2014 ini tidak ada lagi di desa Warnajati dan desa Pamuruyan 7) Pos kesehatan desa (Poskesdes) yang melakukan tindakan preventif, promotif dan kuratif. Di Warnajati, Poskesdes belum berjalan secara rutin karena kekurangan tenaga kesehatan, khususnya perawat. Namun di desa Pamuruyan, Poskesdes sudah berjalan secara rutin. 8) Program Desa Sehat yang merupakan realisasi program dari pemerintah Kabupaten, yang akan dijelaskan selanjutnya. Mekanisme Desa Siaga dan RW Siaga 24 Jam Kader-kader Posyandu melakukan sweeping ke rumahrumah di Desa Pamuruyan untuk mendata perempuan yang sedang hamil. Mereka juga berusaha untuk menghubungi para ibu hamil melalui telepon untuk memastikan bahwa perempuan-perempuan yang tengah hamil tidak lupa memeriksakan kandungannya ke Posyandu atau bidan desa. Tiap ibu bersalin, termasuk yang beresiko tinggi, didampingi oleh petugas kesehatan. Ada home visit oleh bidan untuk setiap ibu hamil setiap sebulan sekali. Perkiraan tanggal kelahiran bayi biasanya ditetapkan oleh bidan dan diketahui oleh berbagai pihak (ibu hamil, suami, kader, tetangga). Ibu hamil dan suami melaporkan ke kader jika terdapat tanda-tanda kelahiran dan kedaruratan. Kader dan bidan siap 24 jam.
Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra | 121
Desa juga mendata kendaraan-kendaraan milik warga yang dapat dijadikan transportasi untuk membantu para perempuan yang hendak melahirkan pergi ke Rumah Sakit. Ada kerjasama dengan pemilik kendaraan agar kendaraan dapat dipinjam secara darurat dan siaga 24 jam. Di Desa Warnajati, ada kontrak tertulis dengan pemilik kendaraan. Di desa Pamuruyan, masyarakat juga menjalin kerjasama dengan polisi agar pihak Polsek dapat meminjamkan kendaraan ambulance untuk dijadikan kendaraan darurat dalam program desa dan RW siaga ini. Setelah 5 tahun berjalannya program ini, telah terjadi lima perubahan yang cukup baik dalam kaitannya dengan fasilitas kesehatan seperti Posyandu menjadi lebih baik, ada pelatihan bagi kader Posyandu dan para perempuan, sanitasi dasar dan pelayanan kesehatan bayi dan ibu hamil yang terpadu di Posyandu. Jika ada tanda kedaruratan atau komplikasi, ibu hamil dapat langsung dibawa ke rumah sakit, tidak harus mendapat rujukan dulu dari Puskesmas. Pengurusan administrasi rujukan dapat menyusul dalam kurun waktu 1 x 24 jam. Kotak 3. Kesiagaan membantu Kehamilan Perempuan Schizophrenia Di RW 10 desa Pamuruyan, pernah terjadi kehamilan perempuan yang mengidap gangguan Schizophrenia yang prosesnya cukup membekas di memori para kader kesehatan. Perempuan ini (berinisial R) diperkosa oleh pemuda setempat yang sudah memiliki istri. R berasal dari keluarga miskin dengan letak rumah yang terpencil. Ibunda dari R juga mengidap schizophrenia, sehingga masyarakat menyimpulkan gangguan mental ini bersifat genetik. Hal menarik dari kasus ini adalah kesiagaan dan kekompakkan seluruh petugas kesehatan dan masyarakat dalam mempersiapkan kelahiran bayi. Masyarakat menyumbang dana sosial agar R dapat diperiksa secara rutin dengan USG.
122 | Prosiding PKWG Seminar Series
Bahkan Direktur RSUD saat itu siap siaga menerima R melahirkan kapan saja jika terjadi gawat darurat. Saat malam Jumat Kliwon menjelang kelahiran bayi, hujan lebat datang. R merasakan ingin melahirkan dan dia berlarilarian hingga jatuh. Kader kesehatan telah siap membantu dan mengontak bidan Desa untuk datang. Tidak terjadi komplikasi saat persalinan dan R dapat melahirkan secara lancar di desa. Semua orang saat itu sorak bergembira atas keberhasilan kesiagaan mereka. Anak R lalu diadopsi oleh keluarga yang berasal dari Jakarta. Tidak ada tindakan hukum bagi pelaku perkosaan. R malah dikawinkan dengan pelaku, yang oleh masyarakat dianggap menyelesaikan permasalahan. R lalu diceraikan. Pelaku kemudian diusir oleh istri pertamanya keluar dari desa karena tidak kuat menanggung malu. Sumber: Data primer tim peneliti
Program Desa Sehat Program Desa Sehat diprakarsai oleh pemerintah Kabupaten Sukabumi untuk merespon tingginya AKI dan AKB. Di setiap desa, dibentuk Forum Desa Sehat sebagai pelaksana program Desa Sehat. Desa Warnajati dan desa Pamuruyan termasuk desa yang memiliki Forum Desa Sehat, yang perwakilannya hadir dalam diskusi FGD di kedua desa. Program Desa Sehat memiliki tiga unsur program yaitu: 1. Sanitasi Dasar (Sandas). Sanitasi Dasar berjalan di awal program Desa Sehat, yaitu pada tahun anggaran pertama. Cakupan program adalah penyediaan air bersih dan jamban. Sanitasi Dasar di desa Pamuruyan didasari atas temuan pada tahun 2003 yaitu bahwa hanya sekitar 45 % masyarakat memiliki kesadaran mengenai sanitasi dasar. Pada tahun pertama, setelah
Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra | 123
ada akses air bersih dan jamban, terjadi peningkatan kesadaran masyarakat menjadi sekitar 47%. 2. Kontak Ibu. Unsur ini menitikberatkan pada permasalahan kesehatan ibu dan anak, termasuk persoalan kehamilan. 3. Masyarakat Mandiri Kesehatan (MMK), merupakan gabungan dari dua unsur yaitu Sanitasi Dasar dan Kontak Ibu. Di desa Pamuruyan, melalui penggabungan kedua unsur tersebut dan ditopang dengan kerjasama bersama seluruh lapisan masyarakat, maka tingkat kesadaran akan kebersihan dan kesehatan masyarakat naik dari 47% menjadi 60%. Fasilitas Umum Desa Di desa Warnajati, masyarakat dan kader kesehatan merasa bahwa fasilitas (alat, perlengkapan dan pelayanan) posyandu, puskesmas dan rumah sakit selama ini sudah cukup memadai. Hal yang kurang adalah jumlah tenaga kesehatan (perawat) di Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) sehingga tidak dapat berjalan dengan rutin. Fasilitas yang kurang lainnya adalah mobil ambulance yang siap membawa pasien. Di desa Warnajati, banyak jalanan berbatuan dan rusak dengan kontur di dataran tinggi (menanjak), khususnya jalanan yang melewati RW 07 dan 09. Jalanan sulit ditempuh dengan motor. Pada kondisi hujan, jalanan menjadi licin dan berbahaya. Karena ketidaksediaan mobil, seorang pasien sakit pernah harus dibawa turun ke kota dengan tandu. Di sisi lain, masyarakat Desa Pamuruyan merasakan bahwa pelayanan kesehatan masih sangat kurang. Desa Pamuruyan hanya memiliki 1 orang Bidan Desa yang harus melayani masyarakat yang berjumlah banyak dengan medan lokasi yang sulit ditempuh saat gawat darurat. Selain itu, bidan desa yang biasa melayani tidak tinggal di dalam desa. Masyarakat 124 | Prosiding PKWG Seminar Series
berharap agar disediakan tempat tinggal khusus untuk bidan yang melayani di desa tersebut. Tabel 2. Fasilitas Kesehatan Fasilitas Desa Posyandu
Jumlah bidan
Poskesdes (Pos kesehatan desa)
Desa Warnajati
Desa Pamuruyan
12 posyandu
15 Posyandu
Ket: Ada RW yang memiliki 2 posyandu, ada yang di rumah dan ada yang punya bangunan sendiri. Tidak semua memiliki administrasi yang rapi.
Ket : Semua RW di Desa Pamuruyan memiliki fasilitas Posyandu
2 bidan, dibagi berdasarkan wilayah kerja
1 bidan dan masih kurang.
1 poskesdes. Tidak berjalan rutin
Poskesdes (Pos kesehatan desa). Berjalan rutin, setiap hari
Sedang menunggu kedatangan 1 (satu) bidan lagi yang akan ditetapkan oleh Dinas Kesehatan setempat. Namun prosesnya cukup lama.
Sumber: Data primer tim peneliti (hasil diskusi dalam FGD dan wawancara) Anggaran Desa Di desa Warnajati, pemerintah desa mengajukan anggaran desa sebesar Rp.7 milyar untuk tahun 2014, namun dana yang
Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra | 125
diturunkan kurang dari 1 milyar. Menurut Kades Warnajati, anggaran kesehatan biasanya 10% dari total anggaran desa. Pada umumnya, program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) terintegrasi di Posyandu. Karena itu, menurut peserta FGD, anggaran yang perlu dilihat adalah anggaran Posyandu yang biasanya berjumlah hanya sedikit, yaitu terdiri dari: -
-
Anggaran dari APBD 1 (Pemerintah Provinsi): Anggaran untuk Posyandu biasanya berupa insentif atau honor bagi kader Posyandu, sebesar Rp.200.000.per tahun per kader. Anggaran dari APBD 2 (Pemerintah Kabupaten): Anggaran revitalisasi posyandu sebesar Rp.750 ribu per tahun. Revitalisasi biasanya digunakan untuk memberbaiki tempat dan membeli alat-alat. Terkadang anggaran revitalisasi juga digunakan untuk pemberian MPASI bayi dan makanan tambahan (PMT) untuk ibu hamil yang kekurangan energi (KEK = LILA di bawah 23.5 cm).
Menurut Bidan Desa Warnajati, dana operasional untuk kunjungan ke Posyandu hanya sebesar Rp.12,500.- untuk setiap kali perjalanan. Untuk 12 posyandu di desa, berarti dana yang diperoleh sebesar Rp.165ribu. Sedangkan perjalanan ke posyandu ditempuh dengan ojek dan secara aktual membutuhkan dana sebesar Rp.20-25 ribu per perjalanan. Jadi menurut bidan, pekerjaan ini merupakan aksi sosial dari para bidan. Di desa Warnajati, tidak ada ada anggaran khusus untuk Desa Siaga. Dana dikumpulkan dari masyarakat (yang disebut sebagai dasolkes = dana sosial kesehatan), dengan iuran sebesar Rp.1000.- atau 2000.- atau dengan menyumbang beras. Kades Warnajati sedang berupaya meminta anggaran untuk mobil siaga, sebesar kurang dari Rp.200 juta. Advokasi ini diperkuat oleh Apdesi, yaitu Asosiasi Kepala Desa se-
126 | Prosiding PKWG Seminar Series
Propinsi yang mendorong Gubernur untuk menurunkan dana ini. Desa Pamuruyan memperoleh dana Program Desa Sehat dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi, yaitu sebesar Rp. 8 juta pada tahun pertama, Rp.8 juta pada tahun kedua, dan Rp.14 juta pada tahun ketiga. Selain itu, ada pula simpanan dana abadi sebesar 25 juta yang hanya dapat dicairkan bunganya untuk operasionalisasi Program Desa Sehat, yang biasanya digunakan untuk membeli keperluan bayi dan kegiatan penyuluhan. Perkawinan Dini (Anak) Tiga dari delapan perempuan yang hadir di FGD masyarakat akar rumput di Desa Warnajati menikah pada usia di bawah usia 18 tahun. Selebihnya menikah pada usia 20—21 tahun. Empat dari tujuh perempuan yang terlibat dalam FGD masyarakat akar rumput di Desa Pamuruyan menikah di bawah usia 18 tahun, sedangkan selebihnya menikah di usia 19—20 tahun. Ini berarti, dalam sampel ini, sebanyak 37.5 % dan 57% perempuan menikah pada usia di bawah 18 tahun di desa Warnajati dan desa Pamuruyan. Namun semua perempuan yang yang menikah muda ini menyatakan bahwa mereka tidak mengalami kesulitan dalam persalinan di usia muda. Pernikahan dini menjadi bagian yang wajar dari kebiasaan masyarakat di kedua desa. Pada tahun 1990-2000an, usia pernikahan di desa bagi perempuan adalah 15—17 tahun. Sedangkan usia pernikahan bagi laki-laki biasanya 20 tahun. Dalam lima tahun belakangan ini, pernikahan dini sudah berkurang, namun masih banyak terjadi. Menurut peserta FGD, pernikahan dini umumnya disebabkan oleh dua hal: Pertama, putus sekolah karena tidak dibiayai oleh orangtua. Kesulitan ekonomi menyebabkan Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra | 127
orangtua cepat-cepat mendorong anaknya menikah agar mengurangi beban untuk memenuhi kebutuhan makanan dan biaya sekolah. Di sisi lain, pernikahan muda juga memutus kesempatan pendidikan (pendidikan terhenti karena perempuan menikah dan hamil). Jadi keduanya sama-sama menjadi sebab akibat. Karena kesulitan ekonomi, banyak orangtua juga mendorong anaknya (perempuan dan laki-laki) untuk bekerja di pabrik setelah lulus SMP. Kedua, hubungan seksual dini oleh remaja, yang didorong oleh pergaulan di luar rumah, disertai dengan informasi yang minim mengenai kesehatan reproduksi. Pernikahan muda di jaman sekarang (tahun 2000-an dengan makin maraknya informasi teknologi yang canggih), lebih disebabkan oleh hubungan seks bebas sebelum menikah, bukan disebabkan oleh paksaan orangtua. Kades dan kader posyandu mengetahui bahwa Undangundang Perkawinan memperbolehkan anak perempuan menikah di usia 16 tahun, tetapi tidak menyetujui pernikahan dini. Usia pernikahan yang ideal bagi peserta FGD adalah perempuan seharusnya minimal 20 tahun dan usia untuk lakilaki setidaknya 25 tahun. Peserta FGD menyadari bahwa pernikahan terlalu muda beresiko bagi anak perempuan karena: -
Mental tidak siap menjadi orangtua
-
Fungsi alat reproduksi belum sempurna sehingga kehamilan di usia muda beresiko tinggi
-
Memutus kesempatan pendidikan. Seharusnya perempuan bisa menyelesaikan sekolah dengan tingkat yang lebih tinggi.
Dalam kasus kehamilan yang tidak direncanakan pada remaja, biasanya dilakukan sidang KUA agar dapat memperbolehkan pernikahan di usia tersebut. Biasanya kader memberikan penyuluhan bagi pasangan suami istri di usia 128 | Prosiding PKWG Seminar Series
muda untuk melakukan PAP (penundaan anak pertama). Ini ditujukan untuk mempersiapkan kesehatan reproduksi perempuan. Semua peserta FGD menganggap bahwa peran orangtua yang paling harus banyak berperan dalam mencegah pernikahan usia muda. Orangtua perlu menerapkan program Gubernur Propinsi Jawa Barat yaitu ’15 menit bersama anak’. Walaupun pandangan masyarakat sudah berubah mengenai usia minimal dalam pernikahan, namun faktor budaya masih sangat berpengaruh dalam mendorong pernikahan dini. Misalnya pernikahan dini diperbolehkan dengan tujuan agar menghindari pergaulan bebas yang menjadi kekhawatiran para orang tua. Selain itu, masyarakat desa masih menganggap bahwa menikahkan anak merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial, ekonomi, bahkan tindakan criminal perkosaan. Keterlibatan Perempuan Perempuan cukup aktif terlibat dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, politik dan pembangunan desa. Organisasi perempuan di desa yang menonjol adalah PKK, PEKKA dan Majelis Taqlim. Tokoh perempuan desa dengan demikian berkaitan dengan organisasi yang ada yaitu kader kesehatan (Posyandu), kader PKK, tutor PAUD dan tokoh agama (Ustazah). Di bidang politik, ada satu perempuan menjadi wakil BPD yang masih didominasi oleh laki-laki (perbandingan 9 : 1), yaitu ibu Enti yang hadir dalam FGD ini. Di Desa Warnajati, kader PKK dan Posyandu juga aktif terlibat dalam penyusunan anggaran musrembang, yang biasanya dipimpin oleh Ibu Euis yang merupakan aktivis Pekka dan pendamping utama penelitian ini. Di bidang kesehatan, salah seorang kader kesehatan perempuan di desa Pamuruyan, yang juga bernama Ibu Enti, Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra | 129
pernah mengikuti Musrembang sampai tingkat Kabupaten. Ibu Enti, yang juga adalah kader PEKKA Sukabumi, bercerita mengenai pengalamannya dalam mempertahankan prioritas pembangunan yang berkaitan dengan isu-isu perempuan, dalam debat Musrenbang di tingkat Kecamatan. Ia menyatakan bahwa jika tidak ada perempuan dalam debat itu, maka isu-isu perempuan tidak akan terpilih menjadi prioritas. Menurut peserta FGD, keterlibatan perempuan dan laki-laki dalam pembangunan desa sudah setara. Mereka mencontohkan keterlibatan perempuan dalam pembangunan desa dalam PNPM, yang memiliki SOP keterlibatan perempuan : laki-laki yaitu 1 : 3. Jadi jika komite pembangunan jalan/gang terdiri dari 9 orang, maka minimal 3 orang adalah perempuan. Menurut Kades Warnajati, ada perempuan yang menjadi Ketua komite. Namun jika dikaji lebih lanjut, ternyata sebagian besar perempuan terlibat dalam urusan konsumsi pertemuan. Menurut peserta FGD di kedua desa, pembangunan desa Warnajati terutama di bidang kesehatan dan pendidikan bertumbuh karena adanya keterlibatan perempuan. Perempuan adalah faktor pendorong adanya anggaran pendidikan dan kesehatan di desa. Anggaran kesehatan disusun oleh Pokja 4 dan anggaran pendidikan disusun oleh Pokja 2. Dengan kata lain, kesuksesan pembangunan desa disebabkan oleh faktor keterlibatan perempuan. Meski demikian, secara umum, pengambilan keputusan dalam penyusunan rencana dan anggaran pembangunan desa masih didominasi oleh laki-laki. Keterlibatan perempuan kepala keluarga di ranah publik juga telah dipandang wajar oleh masyarakat. Awalnya, perempuan kepala keluarga yang aktif di ranah sosial/publik mendapatkan stigma negatif, karena sering bepergian dalam waktu lama (misalnya menghadiri pelatihan). Namun dengan hadirnya jaringan PEKKA dan hasilnya, maka stigma atas janda sudah berkurang.
130 | Prosiding PKWG Seminar Series
Kesimpulan Kedua desa yang dikunjungi oleh tim peneliti bukan merupakan desa yang AKI dan AKB nya tidak tinggi. Desa Warnajati pernah menjadi juara Desa Siaga pada tingkat Kabupaten. Desa Pamuruyan juga tidak memiliki AKI dan AKB yang tinggi, namun secara konsisten menyumbang angka dengan 1-2 kasus per tahun. Untuk mempertahankan rendahnya AKI dan AKB, desa Warnajati sedang membutuhkan satu tenaga perawat untuk Poskesdes dan satu mobil siaga (ambulance desa), sedangkan desa Pamuruyan membutuhkan tambahan satu bidan desa. Menurut pengamatan peneliti, desa Pamuruyan juga membutuhkan penambahan satu poskesdes di desa yang berada di lembah dan sulit dijangkau. Diperlukan upaya mendekatkan pos kesehatan desa ke rumah tinggal yang terpencil. Kader kesehatan di kedua desa pro-aktif dan rajin, sehingga dibanggakan oleh para bidan di kedua desa. Kader dilengkapi dengan pelatihan dan pengalaman, sehingga memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang cukup dalam merespon permasalahan kesehatan (termasuk kehamilan dan persalinan), serta faktor yang menyertainya yaitu sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, bahkan politik. Kebijakan dan program kesehatan Ibu dan Anak cukup integratif di setiap level, yaitu Kabupaten, Kecamatan dan Kelurahan/Desa. Anggaran dari pemerintah Propinsi & Kabupaten untuk kesehatan Ibu dan Anak memang relatif kecil dibandingkan anggaran lain yaitu pembangunan fisik/insfrastruktur, namun kedua desa cukup aktif dalam menggalang dana masyarakat secara mandiri melalui iuran sosial. Meski AKI rendah di kedua desa, masih banyak perilaku masyarakat yang beresiko merentankan kehamilan dan persalinan, misalnya:
Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra | 131
-
-
-
Ibu hamil masih menjalankan mitos yang menghindarkan mereka dari asupan nutrisi yang layak. Keluarga dan ibu hamil masih mengandalkan Paraji karena biaya yang lebih murah, meski keamanan bagi ibu dan calon bayi tidak terjamin. Pernikahan usia muda masih banyak terjadi di kedua desa. Kehamilan usia muda merentankan anak perempuan karena ketidaksiapan organ reproduksi. Karena pendidikannya yang rendah, anak perempuan juga kurang menyadari mengenai pentingnya nutrisi yang baik bagi dirinya saat menjalani kehamilan. Perilaku pasutri lainnya, misalnya peran suami yang kurang aktif secara ekonomi, ketakutan orangtua atas biaya persalinan yang mahal, kurang kerjasama dengan kader dalam mengurus jaminan kesehatan, sehingga membuat orangtua gagal dalam mempersiapkan kelahiran bayi secara tepat dan aman.
Persoalan gender yang cukup serius di kedua desa adalah pernikahan di kalangan anak usia 15—18 tahun. Pernikahan dini merupakan bagian yang wajar di masyarakat, karena adanya budaya untuk menghindari pergaulan bebas atau untuk menyelesaikan persoalan sosial ekonomi. Pernikahan dini di jaman sekarang juga disebabkan oleh hubungan seks di luar pernikahan yang memaksa pasangan muda untuk menikah. Akibat pernikahan di usia muda, banyak anak perempuan harus putus sekolah. Tingkat pendidikan di kedua desa secara umum cukup rendah, yaitu penduduk rata-rata merupakan lulusan SD dan SMP. Namun, kedua desa bukan wilayah pengiriman TKI, karena terdapat banyak kesempatan kerja di industri untuk lulusan SLTP. Tingkat kasus kekerasan di kedua desa juga tidak parah, namun perlu kajian yang lebih mendalam untuk membuka kasus yang mungkin tersembunyi.
132 | Prosiding PKWG Seminar Series
Medikalisasi Tubuh Perempuan dalam Kebijakan Kesehatan Reproduksi dan Upaya Penurunan Angka Kematian Ibu Pinky Saptandari1 Abstrak Makalah ini menjelaskan tentang wacana tubuh perempuan dalam kebijakan kesehatan reproduksi dikaitkan dengan fungsi biologis perempuan sebagai akar permasalahan kerentanan kesehatan reproduksi perempuan serta kegagalan penurunan Angka Kematian Ibu (AKI). Makalah dikembangkan dari penelitian yang berjudul “Wacana Tubuh Perempuan dalam Kebijakan Kesehatan Reproduksi” (2011). Indikasi kegagalan penurunan AKI sebagai salah satu target Pembangunan Milenium (MDGs) sudah ditengarahi sejak lama. Hal ini, antara lain dipicu oleh adanya bias gender pada pembuatan kebijakan. Kebijakan kesehatan reproduksi dalam Undang Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan ditemukan adanya tekanan yang berlebihan pada wacana tubuh perempuan sebagai tubuh medis. Perempuan dimaknai sebagai tubuh, itupun hanya sebatas tubuh biologis, dan secara lebih spesifik adalah kandungan. Mengacu pada pemikiran Simone de Beauvoir, hal ini menunjukkan bahwa perempuan diposisikan sebagai liyan (the Other) dalam kebijakan kesehatan reproduksi. Ke-liyan-an perempuan terkait dengan tubuh biologis sebagai produk pemusatan dari pengetahuan dan kebenaran yang dibangun oleh dominasi ideologi medis dan 1
Wakil Ketua Bidang Kerja Sama Asosiasi Antropologi Indonesia, Pengajar di Departemen Antropologi FISIP Universitas Airlangga Pinky Saptandari | 133
patriarki yang sangat maskulin, tidak memberi ruang dan peluang bagi perempuan untuk melakukan proses transendensi bagi tubuh dan seksualitas mereka. Selama terjadi dominasi ideologi patriarki maka ketidak setaraan dan ketidak adilan gender terus berlangsung dan membuat perempuan tidak memiliki akses dan posisi tawar dalam pengambilan keputusan. Selama kondisi tersebut terjadi, maka hak kesehatan reproduksi perempuan akan sulit terpenuhi untuk mencapai kualitas kesehatan yang prima. Kondisi tersebut dapat diamati dari data-data tentang kerentanan kesehatan perempuan dan masih relatif tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia. Perempuan sebagai tubuh medis bagi Ivan Illich merupakan bagian dari medikalisasi tubuh, dalam hal ini adalah medikalisasi tubuh perempuan, di mana perempuan tidak memiliki otonomi, kontrol dan kendali atas tubuh, seksualitas dan kesehatan reproduksinya. Sebaliknya, perempuan dikondisikan untuk tergantung, ditentukan serta dikontrol pihak lain yang dianggap berwenang. Pencantuman “ijin suami”, atau dengan “pasangan yang sah” dalam Pasal-Pasal yang mengatur kesehatan reproduksi dalam UU Kesehatan merupakan “tacit knowledge”yang berlatar belakang kuatnya dominasi ideologi patriarki Pemikiran Simone de Beauvoir dan Ivan Illich serta beberapa pemikir lainnya, digunakan untuk menganalisis secara kritis sekaligus mendekonstruksi pola pikir (mindset), paradigma dan perspektif kebijakan pembangunan kesehatan reproduksi yang mempengaruhi upaya peningkatan kualitas kesehatan reproduksi perempuan serta penurunan Angka Kematian Ibu (AKI). Kata Kunci: tacit knowledge, perempuan sebagai liyan (the other), medikalisasi tubuh
134 | Prosiding PKWG Seminar Series
Pendahuluan Dari berbagai penelitian ditemukan bahwa penerapan kebijakan kesehatan reproduksi yang bertujuan untuk pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan belum optimal dan efektif. Banyak faktor yang mempengaruhi, antara lain: relatif rendahnya komitmen politik dalam pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan; relatif rendahnya implementasi kebijakan pembangunan responsif gender dalam situasi dominasi atau hegemoni ideologis medis dan patriarki; masih relatif rendahnya pengetahuan dan peran masyarakat, khususnya laki-laki dalam penegakan hak reproduksi perempuan. Dominasi ideologi patriarki merupakan salah satu faktor yang menyebabkan belum optimal serta belum efektifnya kebijakan yang bertujuan untuk pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pandangan, pemahaman serta kepercayaan masyarakat tentang tubuh, seksualitas dan kesehatan perempuan berkontribusi terhadap wacana tubuh perempuan dalam kebijakan kesehatan reproduksi. Cara pandang, pemaknaan, kepercayaan serta perilaku yang berhubungan dengan tubuh, seksualitas dan kesehatan perempuan dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, budaya, ekonomi dan politik yang bekerja dalam kekuatan simbolik. Hasil beberapa penelitian tentang kesehatan reproduksi mengarahkan pada kesimpulan tentang pentingnya memperdalam dan mengevaluasi kebijakan kesehatan reproduksi di Indonesia, untuk mengungkap wacana tubuh perempuan dalam kebijakan kesehatan reproduksi sekaligus menguak dominasi ideologi medis dan patriarki. Dominasi ideologi medis dan patriarki sebagaimana tertuang dalam kebijakan kesehatan reproduksi perempuan merupakan bagian dari konstruksi budaya yang cenderung menempatkan tubuh, seksualitas dan kesehatan reproduksi Pinky Saptandari | 135
perempuan dalam belenggu mitos dan tabu. Dijelaskan pula tentang posisi dasar perempuan yang lemah telah menjadikan perempuan sebagai objek dalam proses pertukaran sosial dan negosiasi kekuasaan, di mana tubuh serta seksualitas perempuan menjadi ajang perebutan pertempuran dan sarana untuk melegitimasi mitos kejantanan laki-laki. Menguatnya wacana tubuh perempuan dalam kebijakan kesehatan reproduksi akibat ketidaksetaraan dan keadilan gender merupakan suatu hal yang penting dan mendesak untuk diungkapkan, disingkap dan bahkan untuk dibongkar. Sebagaimana dikemukakan dalam RAN Pemenuhan Hak Kesehatan Reproduksi (2007: 13-16), bahwa:”ketidak setaraan dan ketidak adilan gender, rendahnya kemampuan dan kesempatan perempuan dalam pengambilan keputusan, pemahaman akan hak reproduksi serta kondisi ekonomi mengakibatkan kurang terpenuhinya hak reproduksi perempuan”. Ketika ketidak setaraan dan ketidak adilan gender terus terjadi, selama perempuan tidak memiliki akses dan posisi tawar dalam pengambilan keputusan, maka selama itulah hak kesehatan reproduksi perempuan sulit dapat terpenuhi. Makalah ini dikembangkan dari penelitian yang berjudul “Wacana Tubuh Perempuan dalam Kebijakan Kesehatan Reproduksi” (2011). Dalam makalah ini diuraikan tentang wacana tubuh perempuan dalam kebijakan kesehatan reproduksi dikaitkan dengan fungsi biologis perempuan sebagai akar permasalahan kerentanan kesehatan reproduksi perempuan serta kegagalan penurunan Angka Kematian Ibu (AKI).. Indikasi kegagalan penurunan AKI sebagai salah satu target Pembangunan Milenium (MDGs) sudah ditengarahi sejak lama, antara lain dipicu oleh bias gender pada pembuatan kebijakan. Pada kebijakan kesehatan reproduksi dalam Undang Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan ditemukan adanya tekanan yang berlebihan pada wacana 136 | Prosiding PKWG Seminar Series
tubuh perempuan sebagai tubuh medis. Perempuan dimaknai sebagai tubuh, itupun hanya sebatas tubuh biologis, dan secara lebih spesifik adalah kandungan. Mengacu pada pemikiran Simone de Beauvoir, hal ini menunjukkan bahwa perempuan diposisikan sebagai liyan (the Other) dalam kebijakan kesehatan reproduksi. Ke-liyan-an perempuan terkait dengan tubuh biologis sebagai produk pemusatan dari pengetahuan dan kebenaran yang dibangun oleh dominasi ideologi medis dan patriarki yang sangat maskulin, tidak memberi ruang dan peluang bagi perempuan untuk melakukan proses transendensi bagi tubuh dan seksualitas mereka. Di mana tubuh dan seksualitas menjadi Melalui etika ambiguitas dan etika sosial Simone de Beauvoir, dapat menjelaskan bahwa keliyanan perempuan berada dalam hubungan dominasi tidak memunculkan peluang hubungan yang bersifat secara timbal balik (resiprositas). Selain pemikiran Simone de Beauvoir tentang perempuan sebagai sang liyan (the Other), digunakan juga pemikiran Ivan Illich tentang medikalisasi, serta konsep tubuh patuh dari pemikiran Foucault untuk menjelaskan menguatnya dominasi ideologi medis dan patriarki. Kebijakan kesehatan reproduksi yang menekankan pada wacana tubuh perempuan sebagai tubuh medis merupakan medikalisasi kehidupan yang memerlukan perubahan secara mendasar dari akar permasalahannya. Dalam hal inilah pemikiran filsafat Simone de Beauvoir dan Ivan Illich dibutuhkan sebagai tempat berpijak untuk membongkar atau membuat perubahan yang mendasar. Upaya untuk mengungkapkan kecenderungan wacana tubuh perempuan sebagai tubuh biologis maupun sebagai tubuh medis dalam kebijakan kesehatan melalui pemikiran Ivan Illich tentang iatrogenesis yang mengarah pada medikalisasi tubuh hingga medikalisasi kehidupan. Terkait dengan adanya kecenderungan yang mengarah pada objektifikasi tubuh perempuan dalam kebijakan dan sistem Pinky Saptandari | 137
layanan kesehatan dapat dihubungkan dengan pemikiran Ivan Illich yang menyoroti perkembangan dunia kedokteran yang semakin mengalami penurunan sisi kemanusiaan dan mengarah pada paternalistik. Pemikiran filsafat sebagai pembacaan wacana tubuh perempuan sebagai tubuh medis dalam kebijakan kesehatan reproduksi perempuan, memberikan gambaran yang utuh tentang eksistensi, makna dan cara pandang tentang tubuh, seksualitas dan kesehatan reproduksi perempuan. Suatu upaya mengurai dan menyingkap tentang tubuh perempuan yang selama ini dilihat sebagai biologis patologis dan dikonstruksikan dan dikendalikan melalui sudut pandang pemikiran patriarki. Untuk tujuan tersebut, digunakan metode penelitian yang dapat menganalisis dan menyingkap wacana tubuh perempuan dalam kebijakan kesehatan reproduksi perempuan. Disinilah dirasakan pentingnya menggunakan metode dan pendekatan filsafat yang dapat melakukan telaah terhadap pokok-pokok pikiran filosofis arus utama yang banyak dipengaruhi pemikiran patriarki, dengan filsafat yang mampu mengangkat pengalaman dan kebutuhan perempuan. Antara lain melalui filsafat perspektif feminis yang dikembangkan oleh Simone de Beauvoir. Melalui perspektif feminis dapat menjangkau semua disiplin dan menggunakan semua metode, kadang secara tunggal dan kadang dalam kombinasi. Penekanan pada inklusivitas dalam metode dan perspektif penelitian feminis terbukti produktif dan memberikan sumbangan pada apa yang disebut Jessie Bernard sebagai Renaissance Perempuan atau Pencerahan Feminis, sebagaimana dijelaskan Shulamit (2005: 337-341). Telaah terhadap Kebijakan Nasional tentang Kesehatan Reproduksi Untuk mengungkapkan adanya kecenderungan wacana tubuh perempuan dalam kebijakan kesehatan reproduksi, 138 | Prosiding PKWG Seminar Series
diambil dari data kebijakan kesehatan nasional yang dianggap relevan. Data-data tentang kebijakan kesehatan reproduksi diambil dari: Undang-Undang Nomor 36/2009 tentang Kesehatan melalui Pasal-Pasal yang mengatur kesehatan reproduksi (Pasal 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, dan 136) yang disandingkan dengan Rencana Aksi Nasional (RAN) Pemenuhan Hak Kesehatan Reproduksi (2007). Berikut matriks-matrik Pasal-Pasal yang mengatur kesehatan reproduksi dalam UU Kesehatan disandingkan dan dibandingkan dengan RAN pemenuhan Hak Kesehatan Reproduksi.
Pinky Saptandari | 139
MATRIKS I PERSANDINGAN PASAL 72 UU KSEHATAN DAN 12 HAK KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN DALAM RAN PEMENUHAN HAK KESPRO PEREMPUAN Pasal 72 (a,b,c,d)
12 Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan
Setiap orang berhak
1.
a. Menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah.
2. Hak untuk mendapatkan pelayanan dengan standar tertinggi & perlindungan yang berkaitan dengan fungsi reproduksinya.
b. Menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama.
Hak Untuk menentukan kapan ia akan melahirkan, berapa jumlah anak & berapa lama jarak tiap anak yang dilahirkan.
3. Hak Untuk mendapatkan komunikasi, informasi & edukasi yang berkaitan dengan fungsi reproduksinya tersebut. 4. Hak Untuk mendapatkan kebebasan & keamanan dalam melakukan kegiatan seksual tanpa paksaan, diskriminasi dan kekerasan. 5.
Hak Untuk mendapatkan kebebasan dari penganiayaan & perlakukan buruk termasuk perlindungan dari perkosaan, kekerasan, penyiksaan & pelecehan seksual.
6. Hak Untuk mendapatkan
140 | Prosiding PKWG Seminar Series
Telaah Ada perbedaan prinsip antara UU Kesehatan dan RAN Pemenuhan Hak Kesehatan Reproduksi dalam pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan. Dalam UU Kesehatan tekanan pada norma agama, sedangkan pada RAN Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan tekanan pada standar layanan tertinggi & perlindungan yg berkaitan dengan fungsi reproduksinya. Pada UU Kesehatan pemenuhan hak KIE mengenai Kesehatan Reproduksi ada tambahan kalimat
c. Menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin bereproduksi sehat secara medis serta tidak bertentangan dengan norma agama. d. Memperoleh informasi, edukasi & konseling mengenai Kesehatan Reproduksi yang benar dan dapat dipertanggungja wabkan.
kebebasan dalam berpikir tentang fungsi reproduksinya. 7.
Hak Untuk dilindungi dari kematian karena kehamilan.
8. Hak Mendapat manfaat kemajuan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan fungsi reproduksinya. 9. Hak Atas kerahasiaan pribadi berkaitan dengan pilihan atas pelayanan & kehidupan reproduksinya.
“yang benar & dapat dipertanggungjawa bkan”, Sebaliknya dalam 12 hak Kespro perempuan, KIE berhubungan dengan hak mendapat manfaat kemajuan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan fungsi reproduksinya.
10. Hak Untuk membangun & merencanakan keluarga. 11. Hak Untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan berkeluarga & kehidupan reproduksinya. 12. Hak Atas kebebasan berkumpul & berpartisipasi dalam politik yang berkaitan dengan kehidupan reproduksinya.
Hasil pengamatan terhadap Matriks I menghasilkan beberapa catatan sebagai berikut:
tersebut
1. Walaupun perihal kesehatan reproduksi perempuan sudah diakomodasikan dan bahkan banyak diatur dalam UndangUndang Nomor 36/2009 tentang Kesehatan. Namun, pengaturan dalam Undang-Undang Kesehatan belum sepenuhnya mengakomodasikan 12 hak kesehatan reproduksi perempuan secara utuh.
Pinky Saptandari | 141
2. Ditemukan ada perbedaan yang sangat mendasar/prinsip antara pengaturan kesehatan repoduksi pada UndangUndang Kesehatan dengan 12 hak kesehatan reproduksi perempuan yang dimuat dalam RAN Pemenuhan Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan. 3. Beberapa perbedaan prinsip yang ditemukan dalam dua produk kebijakan yang mengatur kesehatan reproduksi yaitu UU Kesehatan dan RAN Pemenuhan Hak Kesehatan Reproduksi: a. Pada Undang-Undang Kesehatan pengaturan kesehatan reproduksi penekanan pada norma agama. Sedangkan pada 12 Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan penekanan pada standar layanan tertinggi & perlindungan yang berkaitan dengan fungsi reproduksinya; b. Pada Undang-Undang Kesehatan diatur tentang hak memperoleh komunikasi informasi dan edukasi (KIE) mengenai Kesehatan Reproduksi yang “benar & dapat dipertanggungjawabkan”. Sedangkan dalam 12 Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan, KIE tersebut berhubungan dengan hak untuk mendapat manfaat kemajuan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan fungsi reproduksinya; c. Pengaturan tentang kesehatan reproduksi perempuan dalam Undang-Undang Kesehatan belum memasukkan tiga prinsip dasar dalam pemenuhan Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan. Pengaturan kebijakan kesehatan reproduksi belum secara tegas dan jelas memasukkan aturan yang menjamin pemenuhan (to fullfil) hak reproduksi bagi setiap perempuan tanpa melihat umur, asal, etnis, agama, kemampuan fisik dan mental, status warga, status HIV, dan status sosialekonomi; menjamin penghargaan (to respect) atas hak
142 | Prosiding PKWG Seminar Series
reproduksi perempuan; serta menjamin perlindungan (to protect) atas hak reproduksi perempuan; d. Pengaturan kesehatan reproduksi pada Undang-Undang Kesehatan terfokus pada upaya melakukan kontrol dan pembatasan terhadap tubuh perempuan. Bentuk kontrol dan pembatasan antara lain dapat dilihat dari pencantuman kata-kata “pasangan yang sah”, serta “ijin dari suami”, serta perumusan kalimat “sesuai dengan norma agama” dan rumusan kalimat yang “benar dan dapat dipertanggungjawabkan”. e. Pada bagian Penjelasan UU Kesehatan, dicantumkan: asas norma agama berarti pembangunan kesehatan harus memperhatikan dan menghormati serta tidak membedakan agama yang dianut masyarakat. Terdapat kesan yang kuat bahwa penggunaan asas norma agama tersebut merupakan asas yang melakukan kontrol dan pembatasan atas nama agama, dan tidak ditujukan untuk mencapai standar layanan tertinggi dan perlindungan yg berkaitan dengan fungsi reproduksinya sebagaimana tertuang dalam 12 Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan; Terdapat perkecualian-perkecualian serta ketidak jelasan peraturan yang dapat dimaknai secara beragam. Sebagaimana dapat dilihat pada: 1. Pasal 72 (a) UU Kesehatan disebutkan bahwa setiap orang berhak menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah. Dikatakan setiap orang berhak, namun ada perkecualian berupa pembatasan yaitu harus dengan “pasangan yang sah”. Rumusan tersebut juga menimbulkan pertanyaan tentang hak perempuan lajang atau yang tak bersuami untuk menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual Pinky Saptandari | 143
yang sehat, aman serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan, kalau aturan tersebut dibatasi dengan “pasangan yang sah”. Apakah hak kesehatan reproduksi dan hak kesehatan seksual tidak akan dipenuhi bila yang bersangkutan tidak memiliki status suami sah?; 2. Tidak jelas apa yang dimaksud dengan pengertian: menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah? Aturan tersebut mengasumsikan bahwa masalahan kesehatan reproduksi adalah permasalahan bagi perempuan yang memiliki suami, bukan permasalahan bagi perempuan lajang atau yang tidak berstatus memiliki suami. Bila asumsi tersebut yang dibangun dan dikonstruksikan dalam sebuah aturan, maka akan terjadi diskriminasi di mana hak mendapat layanan menjadi tidak terbuka bagi siapa saja tanpa kecuali. Karena hanya mereka yang memiliki pasangan sah saja yang mempunyai akses untuk menerima layanan kesehatan reproduksi. Terdapat kecenderungan pendekatan normatif pada Undang-Undang Kesehatan khusus ditujukan pada pengaturan kesehatan reproduksi: 1. Rambu-rambu norma agama ditemukan pada hampir semua pengaturan kesehatan reproduksi. Menarik untuk ditelaah mengapa rumusan kalimat “tidak bertentangan dengan norma agama” tidak dijumpai pada Pasal-Pasal lain, misalnya pada Pasal 152 yang mengatur “Penyakit Menular”. Asas norma agama lebih banyak diterapkan pada pengaturan kebijakan kesehatan reproduksi dan tidak pada Pasal-pasal yang lain. 2. Dirasakan kurang relevan dan akan menyulitkan bila urusan tubuh dan kesehatan yang tertuang pada suatu kebijakan kesehatan selalu dihubung-hubungkan dan diberi rambu-rambu norma agama. Patut diduga akan 144 | Prosiding PKWG Seminar Series
terjadi kesulitan untuk melaksanakan secara konsisten upaya pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan apabila selalu dibungkus dengan terminologi “sesuai dengan norma agama”. Terlebih-lebih bila karena tekanan pada norma agama tersebut cenderung mengabaikan pada asas-asas lain yang tidak kalah pentingnya dan lebih komprehensif seperti asas perikemanusiaan, asas perlindungan, ataupun asas gender dan non-diskriminasi. MATRIKS II PERSANDINGAN PASAL 75 (1), (2), (3) UU KESEHATAN & 3 PRINSIP PEMENUHAN HAK KESEHATAN REPROODUKSI PEREMPUAN DALAM RAN PEMENUHAN HAK KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN Pasal 75 Tentang Aborsi (1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan: a. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga
3 Prinsip Dasar Pemenuhan Hak Kespro Perempuan (1) Menjamin pemenuhan (to fullfil) hak reproduksi bagi setiap perempuan tanpa melihat umur, asal, etnis, agama, kemampuan fisik dan mental, status warga, status HIV, dan status sosialekonomi.
Telaah
Perihal aborsi dilarang dengan perkecualian, diatur dalam Pasal 75. .
(2) Menjamin penghargaan (to respect) atas hak reproduksi
Pinky Saptandari | 145
menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
perempuan. (3) Menjamin perlindungan (to protect) atas hak reproduksi perempuan
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melakukan konseling dan/atau penasehatan pratindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
MATRIKS III PERSANDINGAN TIGA PRINSIP PEMENUHAN HAK KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN DALAM RAN KESPRO & PASAL 76 (a,b,c,d) UNDANG-UNDANG KESEHATAN 3 Prinsip Dasar Pemenuhan Hak Kespro Perempuan 1. Menjamin pemenuhan (to fullfil) hak reproduksi bagi setiap perempuan
Pasal 76
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan : a. sebelum kehamilan berumur 6 minggu dihitung dari hari
146 | Prosiding PKWG Seminar Series
Telaah
Perihal aborsi dilarang dengan perkecualian, diatur dalam Pasal 76.
tanpa melihat umur, asal, etnis, agama, kemampuan fisik dan mental, status warga, status HIV, dan status sosialekonomi. 2. Menjamin penghargaan (to respect) atas hak reproduksi perempuan. 3. Menjamin perlindungan (to protect) atas hak reproduksi perempuan.
pertama haid terakhir, kecuali dlm hal kedaruratan medis;
.
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki ketrampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri; c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.
Berdasarkan pengamatan pada Matriks II dan III, beberapa catatan yang dapat dikumpulkan, adalah sebagai berikut: 1. Adanya rumusan kalimat “Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan”. Rumusan kalimat tersebut merupakan cermin ketidak-pekaan serta sikap tidak ber-empati pada kondisi korban perkosaan. Apakah ada korban perkosaan yang tidak mengalami trauma psikologis?; 2. Seseorang boleh menjalani aborsi apabila merupakan korban perkosaan. Bagaimana mekanisme untuk menentukan seseorang korban perkosaan atau bukan? Siapa yang berwenang menentukan atau memutuskan Pinky Saptandari | 147
bahwa seseorang dinyatakan sebagai korban perkosaan? Pasal ini mengandung kerancuan tentang pengertian siapa yang dimaksud dengan korban perkosaan, yang dapat menimbulkan peluang multi-tafsir tentang pengertian korban perkosaan antara korban dan masyarakat, termasuk petugas kesehatan dan hukum yang menangani; 3. Walaupun pengaturan yang dicantumkan sebagai perkecualian dimaksudkan sebagai peluang/celah bagi upaya untuk menjalankan aborsi secara aman. Namun, kalimat perkecualian harus disikapi secara hati-hati karena dapat menimbulkan multi-tafsir, terutama pada pengaturan tentang keharusan koseling pada konselor. Disebutkan bahwa yang dapat menjadi konselor adalah: dokter, psikolog, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan setiap orang yang mempunyai minat dan memiliki ketrampilan untuk itu. Kalau pengertian konselor yang digunakan adalah seperti yang tertuang dalam bagian penjelasan Undang-Undang tersebut, dalam praktiknya akan berpeluang menimbulkan permasalahan baru. Kecuali, ada aturan yang jelas dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) yang dan tegas dan jelas lembaga dan profesi apa saja yang dapat melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta boleh mengeluarkan sertifikat; 4. Memasukkan tokoh masyarakat, tokoh agama dan setiap orang yang berminat dan memiliki ketrampilan untuk itu sebagai konselor sebagaimana halnya dokter atau psikolog, membutuhkan suatu studi kelayakan yang mendalam disertai pertimbangan yang bijak. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa memasukkan tokoh masyarakat dan tokoh agama (yang sebagian besar adalah laki-laki) sebagai konselor juga merupakan suatu indikasi bahwa kewenangan untuk mengatur tubuh dan kesehatan perempuan diberikan kepada pihak lain, dalam hal ini
148 | Prosiding PKWG Seminar Series
adalah tokoh laki-laki yang memiliki atau bahkan diberi kewenangan untuk bertindak sebagai konselor; 5. Adanya pencantuman perihal ijin suami dalam aborsi. Tidak jelas apa relevansi ijin suami dalam aborsi. Selain dinilai tidak relevan dan tidak jelas tujuannya, dalam praktiknya tidak mudah bagi mereka yang mau melakukan aborsi untuk mendapatkan ijin suami karena berbagai alasan; 6. Apakah pengaturan tentang aborsi pada Undang-Undang Kesehatan yang diatur melalui Pasal 75 dan Pasal 76 tersebut dapat memenuhi tiga prinsip dasar pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan, yakni menjamin pemenuhan, menjamin penghargaan serta menjamin perlindungan terhadap pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan?; 7. Pengaturan aborsi patut dipikirkan secara bijak, agar tidak sekedar melarang yang dapat menimbulkan permasalahan baru dengan maraknya aborsi yang tidak aman. Diperkirakan aborsi tidak aman berkontribusi sebanyak 11-30% terhadap angka kematian ibu. Berdasarkan telaah pada data-data kebijakan kesehatan reproduksi termasuk catatan pada tiga matriks, terdapat 9 temuan yang menunjukkan adanya ketidak-konsistenan dalam kebijakan kesehatan reproduksi, sebagaimana dapat dibaca dalam uraian-uraian berikut: Pertama, pada Pasal 2 UU Kesehatan telah memuat asasasas dalam pembangunan kesehatan, yakni: asas perikemanusiaan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak-hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif, serta norma-norma agama. Namun, terdapat ketidak-konsistenan pada penjabaran Asas-Asas tersebut dalam Pasal demi Pasal Undang-Undang Kesehatan, di mana asas yang digunakan hanya asas norma agama sebagaimana dapat dilihat pada Pasal-Pasal dalam UU Pinky Saptandari | 149
Kesehatan. Sedangkan asas-asas lain seperti: perikemanusiaan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak-hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif, tidak digunakan dalam penjabaran pada PasalPasal, khususnya pada Pasal yang mengatur Kesehatan Reproduksi. Kedua, pada UU Kesehatan masih terdapat beberapa pengaturan yang tumpang-tindih. Ada masalah kontrasepsi diatur dalam Pasal Kesehatan Reproduksi, tetapi juga ada pengaturan perihal “Upaya Kehamilan Diluar Cara yang Alamiah” yang diatur dalam Pasal Kesehatan Ibu. Ketiga, pada UU Kesehatan dapat dilihat beberapa kerancuan pengertian tentang: “kesehatan reproduksi perempuan”, “keluarga berencana”, “kesehatan ibu”, dan “kesehatan seksual”. Dapat dilihat dari ketidakjelasan apa yang dimaksud dengan pengertian-pengertian tentang kesehatan reproduksi, keluarga berencana dan kesehatan ibu. Selain itu juga dalam kebijakan kesehatan reproduksi diwarnai ketidak-konsistenan karena tidak diaturnya kesehatan seksual. Keempat, pada Undang-Undang Kesehatan, terdapat permasalahan tentang kewajiban Pemerintah dalam memberikan informasi dan sarana pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu dan terjangkau, terkait dengan tidak ada penjelasan yang cukup sebagaimana prasyarat untuk memberikan informasi dan sarana pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau. Dapat disebutkan bahwa dalam UU Kesehatan terdapat suatu pengaturan yang bersifat kontradiktif dengan realitas yang ada pada masyarakat yang menunjukkan keterbatasan akses perempuan terhadap informasi dan pelayanan kesehatan karena kendala sosial, budaya, ekonomi dan politik. Kelima, walaupun pengaturan kesehatan reproduksi pada UU Kesehatan tidak secara eksplisit menyatakan bahwa yang 150 | Prosiding PKWG Seminar Series
diatur adalah kesehatan reproduksi perempuan, namun fokus pengaturan kesehatan reproduksi cenderung pada kesehatan reproduksi perempuan. Dalam UU Kesehatan pengaturan kesehatan reproduksi dimaknai hanya sebagai urusan perempuan di mana pengaturan hanya dibatasi pada seputar kehamilan dan aborsi, sedangkan perihal haid dan menopause tidak diatur. Keenam, pengaturan kesehatan reproduksi perempuan hanya dibatasi pada kesehatan fisik yang berkaitan dengan fungsi biologis reproduksi semata. Dalam UU Kesehatan tidak ditemukan pengaturan kesehatan reproduksi perempuan secara utuh (holistik) yang meliputi kesehatan secara fisik, psikis, mental dan sosial. Pada Bagian Penjelasan UU Kesehatan: hanya tertulis meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Ketujuh, pengaturan kesehatan reproduksi dalam UU Kesehatan tidak diatur secara eksplisit perihal kesehatan reproduksi laki-laki. Tidak diaturnya kesehatan reproduksi laki-laki dapat dilihat sebagai: ketidak-konsistenan, pengingkaran serta diskriminasi dalam pengaturan kesehatan reproduksi pada Undang-Undang Kesehatan. Padahal pada Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan dijelaskan pengertian kesehatan reproduksi yang merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan. Selain tidak mengatur kesehatan reproduksi laki-laki, dalam UU Kesehatan tersebut juga tidak mengatur peranserta laki-laki dalam menegakkan pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan. Kedelapan, tidak diaturnya kesehatan reproduksi maupun peranserta laki-laki juga merupakan petunjuk tentang ketidak-konsistenan dan pengabaian terhadap kebijakan serta dokumen-dokumen yang sudah ada sebelumnya, antara lain: (i) UU No.7 /1984 tentang ratifikasi CEDAW; (ii) Pinky Saptandari | 151
Inpres No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam semua bidang pembangunan; (iii) Buku Pintar Gender “Panduan Pelayanan Sensitif Gender Bagi Petugas Kesehatan”, yang dihasilkan oleh Departemen Kesehatan RI tahun 2006; (iv) Pedoman Umum Pelaksanaan Revitalisasi Gerakan Sayang Ibu (GSI) yang dikeluarkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan pada tahun 2007. Kesembilan, dalam UU Kesehatan, perihal kesehatan reproduksi maupun kesehatan seksual remaja belum mendapat perhatian serius sebagaimana dapat dilihat pada Pasal 136 dan Pasal 137. Padahal dalam “Kebijaksanaan Program Pencegahan & Pemberantasan IMS Termasuk AIDS di Indonesia”, yang dikeluarkan oleh Subdirektorat Pencegahan & Pemberantasan IMS/AIDS dan Frambusia Direktorat Jenderal PPM&PLP, Departemen Kesehatan RI (2007), disebutkan bahwa sasaran kebijaksanaan tentang IMS dan AIDS adalah kelompok masyarakat dalam usia seksual aktif, yaitu mereka yang berusia 14 sampai 45 tahun, yang dibagi menjadi kelompok resiko tinggi dan rendah tertular IMS termasuk AIDS. Remaja usia 14 tahun yang umumnya duduk dibangku sekolah tingkat SMP merupakan kelompok usia yang sudah waktunya untuk mendapat pelayanan KIE dan sarana pelayanan kesehatan reproduksi yang memuat juga materi tentang kesehatan seksual. Kebijakan Kesehatan Reproduksi dalam Wacana Tubuh Perempuan: Perspektif Filsafat Ketika terjadi monopoli medis dengan dominasi kekuasaan politik patriarki pada kebijakan kesehatan reproduksi di mana diproduksi oleh sebentuk transformasi sosio-politik oleh lembaga-lembaga yang berwenang, maka dapat dipergunakan terminologi “iatrogenesis sosial”. Suatu terminologi yang menunjuk pada desain menyeluruh yang mengarah pada pergeseran paradigma kesehatan, yang sepenuhnya
152 | Prosiding PKWG Seminar Series
disebabkan oleh transformasi sosio-ekonomi oleh lembagalembaga yang berwenang. Social iatrogenesis terlihat bekerja pada saat kebijakan dan pelayanan kesehatan berganti menjadi item-item yang terstandardisasikan, diseragamkan secara kaku, dengan tekanan kuat pada paternalisasi medis. Ditengarahi menguatnya paternalisasi dalam dunia kedokteran dan kebijakan kesehatan yang memiliki kecenderungan menempatkan tubuh dan kesehatan perempuan sebagai objek, diperkuat oleh model mekanistik dan pendekatan biomedis non-holistik yang selama ini dianut dalam ilmu kedokteran. Kecenderungan iatrogenesis klinis hingga iatrogenesis budaya yang merupakan pertanda menguatnya ideologi medis dan budaya patriarki yang mendorong medikalisasi tubuh perempuan patut dicermati, khususnya pada kebijakan kesehatan reproduksi yang ada pada Undang-Undang Kesehatan. Melalui pemikiran Ivan Illich dan Winkelman tentang hubungan iatrogenesis, medikalisasi dan kesehatan reproduksi semakin menyakinkan adanya kecenderungan tubuh dan kesehatan reproduksi perempuan ditempatkan sebagai objek yang diperkuat oleh model mekanis dan pendekatan biomedis. Hal tersebut semakin diperkuat oleh masuknya prasangka sosial budaya dalam teks-teks rumusan kebijakan kesehatan reproduksi, yang menunjukkan bahwa: (a) Tubuh perempuan dianggap tidak normal karena kekhususan yang dimiliki karena fungsi biologis reproduksi sehingga membutuhkan treatment medis; (b) Perempuan bukan makhluk bebas, bukan makhluk otonom, ia tergantung dan ditentukan oleh pihak lain; (c) Tubuh dan seksualitas perempuan dianggap sebagai ancaman moral, karenanya harus dikontrol dan dibatasi secara ketat. Hal ini terutama nampak pada pengaturan tentang aborsi. Eksistensi perempuan dalam kebijakan kesehatan reproduksi dimaknai sebatas kandungan. Pengaturan kesehatan reproduksi pada Undang-Undang Kesehatan Pinky Saptandari | 153
membakukan anggapan bahwa perempuan adalah kandungan; suatu konsep atau kerangka berpikir yang menempatkan perempuan sebatas tubuh biologis, itupun hanya dalam kaitan dengan rahim atau kandungan, yang semakin menegaskan keliyanan perempuan. Perempuan adalah liyan dalam kebijakan kesehatan reproduksi, di mana penekanan pada tubuh biologis yang dipersempit pada rahim. Prinsip resiprositas timbal balik dalam etika Simone de Beauvoir tidak dapat terwujud khususnya berhubungan objektifikasi tubuh dan seksualitas perempuan. Melalui pemikiran Simone de Beauvoir dan Ivan Illich dapat disimpulkan bahwa dominasi penggunaan asas norma agama dan moralitas dalam pengaturan kesehatan reproduksi mengindikasikan bahwa tubuh dan kesehatan reproduksi perempuan menjadi ajang “perebutan kekuasaan”, di mana asas norma agama menjadi sarana legitimasi kontrol terhadap tubuh dan kesehatan reproduksi perempuan. Suatu bentuk kontrol yang berangkat dari pandangan bahwa tubuh dan seksualitas perempuan adalah ancaman moral yang dapat membahayakan masyarakat. Bahwa tubuh dan seksualitas menjadi hambatan bagi perempuan untuk dapat bertransedensi untuk diakui eksistensinya. Dominasi ideologi medis dan patriarki membuat over medikalisasi terhadap tubuh perempuan terus berlangsung. Etika sosial dan etika ambiguitas Simone de Beauvoir menjadi pemikiran penting untuk mengkritisi dominasi patriarki pada tubuh dan seksualitas perempuan. Dominasi patriarki tidak memberi ruang pada relasi yang bersifat timbal-balik, yang digambarkan Simone de Beauvoir sebagai etika resiprositas dalam intensionalitas sosial. Digunakan pemikiran Ivan Illich tentang kecenderungan kontrol bio-medis dan pengembangan industri yang mengarah pada medikalisasi kehidupan. Bahwa kontrol bio-medis dalam ‘tradisi medis’ berlangsung secara sistemik dan hegemonik, dan dominasi kekuasaan patriarki telah menjadi bagian dari 154 | Prosiding PKWG Seminar Series
tradisi medis, yang masuk ke dalam kebijakan, aturan-aturan maupun pada praktik-praktik layanan kesehatan reproduksi. Kebijakan dan praktik Keluarga Berencana merupakan contoh nyata betapa kuatnya kontrol biomedis terhadap tubuh, seksualitas dan kesehatan reproduksi perempuan. Dominasi ideologi medis dan patriarki dalam kebijakan kesehatan reproduksi perempuan tersebut menjadi ruang persemaian subur bagi medikalisasi tubuh perempuan yang mengarah pada medikalisasi kehidupan. Melalui perspektif filsafat dapat ditelaah secara kritis perihal wacana dominan, yakni wacana yang terbentuk dari ideologi medis dan ideologi patriarki yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak kesehatan reproduksi perempuan serta timbulnya berbagai permasalahan kesehatan reproduksi perempuan, termasuk terjadinya berbagai bentuk kontrol yang ketat serta pemaksaan yang mengarah pada kekerasan pada tubuh perempuan. Pengaturan bagi kesehatan reproduksi perempuan yang ditujukan sebagai bentuk kontrol, pembatasan dan bahkan “pemaksaan” tersebut, berjalan sedemikian rupa sehingga medikalisasi pada tubuh perempuan seolah hal yang wajar, seolah menjadi kesepakatan antara yang mengatur dan diatur. Dalam hal ini konsep tubuh patuh dari pemikiran Foucault dapat menjelaskan menguatnya dominasi ideologi medis dan patriarki. Asas gender dan non-diskriminasi yang merupakan komitmen Pemerintah hasil perjuangan dan telah diratifikasi dalam berbagai bentuk kebijakan, dan dicantumkan dalam UU Kesehatan, belum diterapkan secara sungguh-sungguh. Padahal Indonesia telah memiliki Undang-Undang No.7/1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Disrikriminasi Terhadap Perempuan. Apabila hal yang sangat mendasar dan prinsip tersebut tidak dilaksanakan secara sungguh-sungguh pada pembuatan kebijakan kesehatan reproduksi, maka akan sulit tercapai pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan. Pinky Saptandari | 155
Kesimpulan Kebijakan Kesehatan Reproduksi yang tertuang pada Undang-Undang Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan adanya tekanan yang sangat kuat pada wacana tubuh perempuan sebagai tubuh medis yang mengarah pada medikalisasi tubuh perempuan. Melalui 9 temuan tentang ketidak-konsistenan kebijakan kesehatan reproduksi, dapat dilihat bahwa komitmen Pemerintah dalam pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan masih sangat kuat diwarnai ambiguitas atau kemenduaan, ketidak-konsistenan dan juga pertentangan antar Pasal-Pasal yang mengatur kesehatan reproduksi perempuan. Ditemukan adanya bentuk-bentuk pengingkaran, pengabaian, penolakan, serta diskriminasi terhadap perempuan dalam penyusunan kebijakan. Dapat disimpulkan bahwa kebijakan kesehatan reproduksi dalam wacana tubuh perempuan dengan penjelasan bahwa: (i) dalam kebijakan kesehatan reproduksi terdapat kecenderungan monopoli medis yang menyebabkan terjadinya proses medikalisasi tubuh yang mengarah pada iatrogenisis sosial dan budaya yang akan mempengaruhi upaya pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan; (ii) adanya kecenderungan pengabaian sisi personal perempuan, di mana perempuan ditempatkan sebagai sang Liyan; (iii) adanya kecenderungan untuk penyeragaman dengan menguatnya asas norma agama, patut menjadi catatan penting yang dapat menjadi efek samping yang tidak diharapkan yang melalui konsep iatrogenesis. Rekomendasi Telaah kritis melalui perspektif filsafat pada kebijakan kesehatan reproduksi dalam wacana tubuh perempuan yang mengarah pada over medikalisasi, diharapkan dapat mendorong suatu perubahan yang mendasar pada kebijakan kesehatan reproduksi, untuk: (i) membangun alternatif 156 | Prosiding PKWG Seminar Series
wacana dalam kebijakan kesehatan reproduksi, yakni wacana yang memberi ruang bagi pemberdayaan holistik dalam pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan; (ii) mendorong perubahan mendasar dalam kebijakan, sikap dan perilaku pembuat kebijakan dan provider kesehatan; (iii) mendorong terwujudnya perbaikan dalam etika sosial dan profesi dalam sistem layanan kesehatan, khususnya dalam layanan kesehatan reproduksi. Berikut ini adalah beberapa rekomendasi: 1. Pentingnya melakukan perubahan mendasar pada pola pikir & kebijakan, yang membuat perempuan memiliki akses dan terlibat dalam proses penciptaan realitas kultural dan politik yang menjadi dasar pembuatan kebijakan kesehatan reproduksi. Perubahan mendasar perlu dilakukan agar: perempuan lebih paham serta memiliki hak untuk memaknai tubuh, seksualitas dan kesehatan reproduksinya sendiri tanpa harus dikontrol, didikte oleh kekuasaan yang didominasi patriarki; mendesak untuk membongkar dominasi ideologi medis dan budaya patriarki; menggugah kesadaran laki-laki bahwa wacana kekuasaan atas tubuh perempuan sebagai tubuh medis merupakan peliyanan dan medikalisasi tubuh perempuan. Disinilah pemikiran filsafat diperlukan sebagai tempat berpijak dalam mengkritis serta menelaah perihal eksistensi perempuan dalam kebijakan kesehatan, khususnya dalam kesehatan reproduksi terkait dengan upaya menekan angka kematian ibu (AKI). 2. Dekonstruksi terhadap paradigma biomedis nonholistik yang dianut dunia kedokteran yang merasa bahwa mereka hanya berurusan dengan tubuh dan penyakit dianggap sebagai ketidakberfungsian mekanisme biologis yang dipelajari dari sudut pandang biologi sel dan molekul. Perlu perubahan mendasar dalam Ilmu Kedokteran, khususnya dengan lebih memberi perhatian pada materi pendidikan tentang etika dan filsafat kedokteran. Pinky Saptandari | 157
3. Pendekatan holistik yang melibatkan lintas disiplin ilmu, di mana diharapkan agar ilmu pengetahuan, termasuk ilmu filsafat, tidak tersekat-sekat namun saling menyapa dan mengisi ruang-ruang “kebenaran” ilmu pengetahuan dan kebijakan kesehatan dan berorientasi pada pemenuhan hak asasi manusia. Melalui pendekatan holistik, paradigma Ilmu Kedokteran dan kebijakan kesehatan yang cenderung menggunakan pendekatan political-economy, dengan kontrol biomedisin dan pengembangan industri, didorong untuk “kembali ke jalan yang benar”, dengan memperhatikan aspek nilai-nilai kemanusiaan. Pendekatan holistik merupakan sumbangan ilmu antropologi, yang tidak hanya melihat penyakit sebagai disease, sebagaimana pandangan medis tetapi juga melihatnya sebagai keadaan sakit (illness) sebagaimana dianut oleh masyarakat. 4. Membuat perubahan melalui pendekatan holistik dengan mendorong “Wawasan Kesehatan Baru” pada Sistem Kesehatan Nasional, yang menurut Farid Afansa Moeloek (2004) dapat dilaksanakan dengan pendekatan multi disiplin ilmu dan multi sektor, di mana perlu ada revisi pada mindset dan paradigma lama. Bahwa kesehatan adalah hak asasi manusia dan investasi masa depan bangsa dan negara. Dengan permasalahan baru, kesehatan tidak dapat diselesaikan dengan ‘Mindset dan Paradigma Lama’, namun hanya dapat diselesaikan dengan ‘Mindset dan Paradigma Baru’ dengan pendekatan holistik. Melalui pendekatan holistik diharapkan dapat mendorong perubahan mendasar pada paternalisme dalam ilmu kedokteran dan kebijakan kesehatan yang didukung ideologi medis dan politik patriarki. 5. Mengkaji secara mendalam kontribusi Ilmu Pengetahuan seperti Ilmu Kedokteran terhadap perumusan kebijakan kesehatan reproduksi yang memiliki kecenderungan menempatkan wacana tubuh 158 | Prosiding PKWG Seminar Series
perempuan sebagai tubuh medis. Hal ini dapat diperdalam melalui pemikiran Thomas Kuhn tentang pengetahuan diam-diam (tacit knowledge) yang terdapat dalam teksteks ilmu kedokteran. Pengetahuan diam-diam berupa dominasi politik patriarki dalam tradisi medis yang ditengarahi ikut mendorong kecenderungan wacana tubuh perempuan sebagai tubuh medis dalam kebijakan kesehatan reproduksi yang sangat kuat menekankan pada pendekatan biomedis. Perlu penelitian lanjutan, untuk memahami bagaimana politik patriarki dalam tradisi medis berlaku sebagai tacit knowledge yang mempengaruhi paradigma Ilmu Kedokteran dan produk-produk kebijakan kesehatan. DAFTAR PUSTAKA Abdullah Irwan (2006), Konstruksi dan Kebudayaan, Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Reproduksi
Anonim (2006), Panduan Pelayanan Sensitif Gender bagi Petugas Kesehatan, Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Anonim, (2007) Rencana Aksi Nasional Pemenuhan Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan, diterbitkan oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI Arif Mudayat Aris, Edriana Noerdin dkk (2010), Target MDGs Menurunkan Angka Kematian Ibu Tahun 2015 Sulit Dicapai, Jakarta: Penerbit WRI. Arivia, Gadis (2003), Filsafat Berperspektif Feminis, Jakarta: Penerbit Yayasan Jurnal Perempuan (YJP). Burns A. August, Ronnie Lovich, Jane Maxwell & Khatarine Shapiro (1997), Where Women Have No Doctor.
Pinky Saptandari | 159
Courtenay, W.H. (2000), “Construction of masculinity and their influence on men`s well-being: a theory of gender and health”, Journal Social Science & Medicine 50 (2000), 1385-1401. de Beauvoir, Simone (1988), The Second Sex, London: Pan books Ltd. Fashri Fauzi (2007), Penyingkapan Kuasa Simbol: Apropnasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu, Yogyakarta: Penerbit Juxtapose. Fullbrook Edward dan Kate Fullbrook (1988), Simone de Beauvoir A Critical Introduction, Cambridge UK: Polity Press in assosiation with Blackwell Publishers LTD. Gerung Rocky, (2008), ”Feminisme Versus Kearifan Lokal”, Jurnal Perempuan Edisi ke-57. Ghozali Abdul Moqsit, Badriyah Fayumi, Marzuki Wahid, Syafiq Hasyim (2002), Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan, Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda, Jakarta: Penerbit Rahima. Haryatmoko (2010), Dominasi Penuh Muslimat, Akar Kekerasan dan Diskriminasi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Humm, Maggie (2007), Ensiklopedia Feminisme, Penterjemah Mundi Rahayu, Cetakan ke-2, Yogyakarta: Penerbit Fajar Pustaka Baru. Hungu, Frederika Tadu, Sifon, Pedang Bermata Dua Bagi Perempuan (2005), Editor: M. Syahbudin Latif; Wenty Marina Minza, Yogyakarta: Kerjasama Ford Foundation dengan Pusat Studi Kependudukan & Kebijakan UGM. Illich Ivan (1977), Limit to Medicine, Medical Nemesis: The Expropriation of Health, London: The Marion Boyars Book.
160 | Prosiding PKWG Seminar Series
Indriyati Dewi, Alexandra (2008), Etika dan Hukum Kesehatan, Jogjakarta: Pustaka Book Publisher Kelompok Penerbit Pinus. Kessler Suzane J. & Wendy Mc. Kenna (1978), Gender An Ethnomethodological Approach, Chicago & London: the University of Chicago Press. Lubis, Akhyar Yusuf (2006), Dekonstruksi Epistemologi Modern, Jakarta: Pustaka Indonesa Satu (PIS). Martin, Emily (1989), The Women in The Body: A Cultural Analysis of Reproduction, Stony Stratford: Open University Press. Mills, Sara (2007), Diskursus: Sebuah Piranti Analisis dalam Kajian Ilmu Sosial, terjemahan dari “Discourse”, Jakarta: Penerbit Qalam. Mitra Inti Peneliti (2005), Fundamentalisme Agama dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas, Jakarta: Penerbit Yayasan Mitra Inti. Moeloek, Farid Afansa (2004), “Wawasan Kesehatan”, Kumpulan Makalah dan Tanggapan Fraksi -Fraksi DPR RI Mengenai Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992, Jakarta: Yayasan Kesehatan Perempuan, DPR RI, & Forum Parlemen Indonesia dan Kependudukan Pembangunan. Moore, Henrietta L (1991), Feminisme and Anthropology, UK: Polity Press in association with basil Blackwell. Noerhadi, Toety Heraty (2000), ‘Kekerasan Negara Terhadap Perempuan’, dalam Nur Iman, Subono (ed), Negara dan Kekerasan Tehadap Perempuan, Jakarta: Penerbit Yayasan Jurnal Perempuan. Northrup, Christiane (2002), Women`s Bodies, Women`s Wisdom: Creating Physical and Emotional Health and Healing, New York: Bantam Book, New Edition. Pinky Saptandari | 161
Payer Lynn (1988), Medicine and Culture, New York USA: Penguin Books. Reinharz Shulamit (2005), Metode-metode Feminis dalam Penelitian Sosial, terjemahan, diterbitkan di Jakarta oleh Women Research Insititute. Sadli Saparinah, Ninuk Widyantoro & Rita Serena Kolibonso (2008), Ringkasan Studi Pemantauaan Status Kesehatan Seksual dan Kesehatan Reproduksi di 6 Daerah di Indonesia, Jakarta: Yayasan Kesehatan Perempuan. Simone de Beauvoir (1996), The Ethics of Ambiguity, translated from the French by Bernard Frechtman, New York USA: Carol Publishing Group. Snijders, Adelbert (2004), Antropologi Filsafat, Manusia Paradoks dan Seruan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Sukri, Sri Suhandjati & Ridin Sofjan (2001), Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi Jawa, Yogyakarta: Penerbit Gama Media. Suryakusuma, Julia (2011), Ibuisme Negara, Konstruksi Keperempuanan Orde Baru, Depok: Penerbit Komunitas Bambu. Suzie Handayani (2006), “Female Sexuality in Indonesian Girls` Magazines: Modern Appearance, Traditional Attitude”, Antropologi Indonesia, Indonesian Jurnal of Social and Cultural Anthropology, Vol. 30 No.1. Syarifah (2006), Kebertubuhan Perempuan Pornografi, Jakarta: Penerbit Yayasan Kota Kita.
dalam
Synnott, Anthony (1993), The Body Social: Symbolism, Self and Society, London & New York: Routledge.
162 | Prosiding PKWG Seminar Series
Tong, Putnam Rosemarie (1998), Feminist Thought, Pengantar Arus Utama Pemikiran Feminis, Yogyakarta: Penerbit Jalasutra. Turner, Bryan (1987), Medical Power and Social Knowledge, London: Sage Publications. Undang-Undang RI Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Wieringa Saskia E, Nursyahbani Katjasungkana, Irwan M. Hidayana (2007), Membongkar Seksualitas Perempuan Yang Terbungkam, Editor: Endah Sulistyowati, Jakarta: Kartini Network. Winkelman (2009), Michael, Culture and Health: Applying Medical Anthropology, San Fransisco, USA: Jossey Bass. Wulf, Henrik R., Stig Andur Pedersen, Raben Rosenberg (2007), Filsafat Kedokteran, Suatu Pengantar, Penerjemah Saut Pasaribu, Yogyakarta: Pallmal.
Pinky Saptandari | 163
Program Laki-Laki Peduli sebagai Upaya Pelibatan Laki-Laki dalam Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo1 Abstrak Pelibatan laki-laki yang khususnya dilakukan di komunitas dituangkan dalam sebuah program supaya dapat diketahui apakah target program tercapai dan apakah program tersebut berdampak signifikan terhadap perubahan perilaku laki-laki. Kabupaten Gunungkidul dipilih sebagai daerah untuk Pilot Project Program Laki-Laki Peduli karena Kabupaten Gunungkidul memiliki Peraturan Daerah Kabupaten Gunungkidul No. 16 Tahun 2012 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Di Kabupaten Gunungkidul, Kecamatan Gedangsari adalah kecamatan dengan AKB paling tinggi. Khususnya di Desa Ngalang yang terletak di Kecamatan Gedangsari, ditemukan permasalahan pernikahan usia anak dan kekerasan dalam rumah tangga yang masih cukup tabu untuk diperbincangkan dalam masyarakat. Pasca pelaksanaan Program Laki-Laki Peduli, ada perubahan perilaku yang ditunjukkan oleh para peserta Program Laki-Laki Peduli. Pasca program tersebut, laki-laki lebih peduli pada istri dan anaknya. Laki-laki akhirnya dapat mengajak perempuan berdiskusi untuk mengambil suatu keputusan dan ikut serta dalam pengasuhan anak, sehingga muncul kedekatan antara ayah-anak dan ayah-istri. Hal tersebut tentunya berdampak positif terhadap peningkatan kesehatan ibu dan anak. Ibu dan 1
Konselor Rifka Annisa Women Crisis Center, Yogyakarta
Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo | 165
anak dapat hidup dengan nyaman dalam lingkungan rumah tangga tanpa adanya kekhawatiran kekerasan yang dilakukan oleh suami, dibandingkan dengan ibu dan anak yang hidup dalam lingkungan rumah tangga yang penuh dengan kekerasan karena laki-laki/ suami tidak paham tentang peran dan tanggung jawabnya. Kata Kunci: Program Laki-Laki Peduli, Kesehatan Ibu dan Anak Latar belakang Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Hakimi, et.al, salah satu alasan tingginya kematian ibu adalah kepercayaan tradisional mengenai status perempuan (Mohammad Hakimi, et.al., Cetakan Ke-II 2011). Salah satu kepercayaan tradisional berkenaan dengan status perempuan adalah bahwa begitu menikah, perempuan diharapkan untuk mengikuti aturan sosial yang ada, yaitu mengurus suami dan anak (Djohan E., 1994). Di sisi lain, norma sosial juga memberikan hak-hak istimewa kepada para laki-laki dan menempatkan mereka di atas perempuan. Hal ini membuat laki-laki merasa berhak mengatur dan meminta apa saja dari perempuan, khususnya dalam konteks rumah tangga. Dalam rumah tangga, perempuan menjadi satu-satunya figur yang bertanggung jawab terhadap pekerjaan domestik sehingga banyak dari mereka mengalami keletihan fisik dan psikis. Keletihan fisik dan psikis perempuan berpengaruh terhadap kualitas kesehatan reproduksi mereka. Situasi tersebut diperparah dengan tuntutan suami terhadap istri untuk senantiasa siap berhubungan seksual. Meskipun tidak berkeinginan untuk berhubungan seksual, Mohammad Hakimi dalam penelitiannya menemukan bahwa perempuan/istri enggan menolak keinginan seksual suaminya karena mereka percaya bahwa sesuai dengan firman Tuhan, melayani 166 | Prosiding PKWG Seminar Series
kehendak seksual suami adalah kewajiban perempuan (Muhammad Hakimi, et.al., 2011) Sementara itu, Nur Hasyim dkk. menemukan bahwa norma sosial yang menempatkan laki-laki diatas perempuan tidak selalu menguntungkan laki-laki sendiri karena laki-laki dituntut untuk menjadi tulang punggung keluarga yang harus bertanggung jawab seutuhnya terhadap kehidupan anggota keluarga yang lain. (Nur Hasyim, et. al., 2011). Kondisi tersebut membuat laki-laki seolah-olah berjuang sendirian dalam menopang kehidupan rumah tangga dan menganggap istri hanyalah sebagai pelengkap dan bukan partner yang dapat diajak bekerja sama dalam suatu relasi yang setara dan seimbang (Nur Hasyim, et. al., 2011). Tidak dianggapnya perempuan sebagai partner yang setara dalam hubungan rumah tangga, membuat perempuan berada pada posisi subordinat terhadap laki-laki. Laki-laki yang merasa stress dan cemas karena terancam “kelelakiannya” terkadang bertindak di luar akal sehat, seperti melakukan kekerasan untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Perempuan sebagai pihak yang subordinat, rentan menjadi objek pelampiasan perasaan stress dan cemas dari laki-laki, sehingga terjadilah kekerasan terhadap perempuan. Kabupaten Gunungkidul adalah salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) tertinggi. Pada tahun 2012, tercatat ada 11 (sebelas) AKI dan 95 (sembilan puluh lima) AKB. Dari seluruh perempuan di Kabupaten Gunungkidul yang hamil pada tahun 2012, 11% (sebelas persen) diantaranya, 828 (delapan ratus dua puluh delapan) perempuan, berusia di bawah 20 (dua puluh) tahun. Tingginya AKI dan AKB di Kabupaten Gunungkidul disebabkan oleh beberapa hal, antara lain kehamilan yang terlalu muda (di bawah 16 (enam belas) tahun), terlalu tua (di atas 35 (tiga puluh lima) tahun), terlalu sering atau terlalu banyak.
Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo | 167
Berdasarkan pengalaman lapangan yang telah disebutkan di atas, Rifka Annisa Women’s Crisis Centre (Rifka Annisa WCC), Lembaga Swadaya Masyarakat yang fokus pada isu penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang berbasis gender, berpendapat bahwa penguatan/ pendampingan pada sisi perempuan saja tidak mampu untuk menghentikan siklus kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan. Itulah mengapa penting untuk melibatkan laki-laki dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender secara umum, dan untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak secara khusus. Meskipun demikian, Rifka Annisa WCC sadar bahwa tidak mudah untuk melibatkan laki-laki dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak karena upaya tersebut akan mendekonstruksi hak-hak istimewa laki-laki yang telah terbentuk di dalam masyarakat dan dilanggengkan melalui pola asuh sejak kecil hingga dewasa. Untuk menjangkau kelompok laki-laki tersebut, Rifka Annisa WCC memperkenalkan Program Laki-Laki Peduli pada masyarakat luas, dan secara khusus telah diimplementasikan di beberapa desa di Kabupaten Gunungkidul. Sebagai program baru di masyarakat yang salah satu tujuannya untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak, tentunya menarik untuk mengetahui bagaimana Program Laki-Laki Peduli sebagai upaya pelibatan laki-laki dapat meningkatkan kesehatan ibu dan anak, khususnya di Desa Ngalang, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul sebagai salah satu komunitas yang dipilih untuk melaksanakan program ini. Pembahasan Pembahasan tentang Program Laki-Laki Peduli sebagai upaya pelibatan laki-laki yang dapat meningkatkan kesehatan ibu dan anak, khususnya di Desa Ngalang, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul sebagai salah satu komunitas yang dipilih untuk melaksanakan Program Laki168 | Prosiding PKWG Seminar Series
Laki Peduli dibagi dalam 3 (tiga) sub-pembahasan, yaitu tentang pentingnya mewadahi keterlibatan laki-laki dalam sebuah program, proses pemilihan komunitas sebagai pilot project Program Laki-Laki Peduli, dan pelaksanaan Program Laki-Laki Peduli di Komunitas. Pentingnya Mewadahi Keterlibatan Laki-Laki dalam Sebuah Program Berangkat dari pengalaman Rifka Annisa WCC dalam mendampingi perempuan dan anak selama hampir 22 (dua puluh dua) tahun ini, penyadaran terhadap keadilan gender untuk menghentikan siklus kekerasan perempuan dan anak ternyata tidak hanya cukup dilakukan terhadap kelompok perempuan sebagai pihak korban saja, namun juga tenyata penting untuk menjangkau kelompok laki-laki. Laki-laki penting untuk dilibatkan dalam perjuangan penghentian kekerasan terhadap perempuan karena Rifka Annisa WCC menemukan bahwa kekerasan terhadap istri (KTI) adalah jenis kekerasan yang pengaduannya paling tinggi. Akan tetapi, solusi yang dipilih oleh 80% (delapan puluh persen) perempuan korban adalah kembali pada pasangan. Padahal, pilihan untuk kembali pada pasangan (suami), meskipun mereka menyadari bahwa kekersan tetap akan terjadi lagi pada mereka di kemudian hari. Pilihan untuk kembali pada pasangan, tidak membebaskan perempuan tersebut dari siklus kekerasan yang ia alami, malah semakin membuat perempuan tersebut tenggelam dalam relasi yang tidak sehat. Untuk memutus siklus kekerasan tersebut, laki-laki dan perempuan harus secara bersama-sama terlibat dalam gerakan perjuangan kesetaraan gender. Khususnya untuk melibatkan laki-laki dalam gerakan kesetaraan gender, Rifka Annisa WCC sejak tahun 2005 telah menginisiasi antara lain: program konseling re-edukasi untuk laki-laki pelaku kekerasan, penelitian tentang maskulinitas, peluncuran Mens’s Program pada tahun 2007, dan memperkenalkan program Men Care (Laki-Laki Peduli) pada tahun 2013. Selain itu, Rifka Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo | 169
Annisa WCC juga berjejaring dengan jaringan nasional Aliansi Laki-Laki Baru untuk mempromosikan nilai-nilai maskulinitas yang positif, supaya tercipta kondisi yang setara antara lakilaki dan perempuan dimana tidak ada kekerasan di dalamnya. Salah satu strategi jaringan nasional Aliansi Laki-Laki Baru adalah melakukan kampanye tentang pelibatan laki-laki dan maskulinitas positif melalui web dan media sosial, pengorganisasian komunitas/kelompok laki-laki untuk keadilan dan kesetaraan gender serta penghapusan kekerasan. Pengorganisasian komunitas/kelompok laki-laki tersebut perlu untuk diwadahi dalam suatu program supaya pembahasan isu-isu gender yang melibatkan laki-laki dapat disampaikan secara sistematis, komprehensif, dan evaluatif. Berdasarkan pengalaman, pelibatan laki-laki yang telah dilakukan oleh Rifka Annisa WCC dipromosikan baik melalui media cetak maupun elektronik. Rifka Annisa WCC mengalami kesulitan untuk menggali dan menemukan fakta di lapangan tentang efektivitas promosi pelibatan laki-laki terhadap perubahan perilaku laki-laki. Kesulitan tersebut muncul karena promosi pelibatan laki-laki dilakukan secara umum pada masyarakat luas, sehingga sangat sulit untuk memfollowup ada atau tidak adanya perubahan perilaku laki-laki pasca dilakukan promosi tersebut. Berbeda halnya dengan pelibatan laki-laki melalui program. Pelibatan laki-laki yang dikemas dalam suatu program memilki subjek yang terbatas dan spsesifik, timeline yang telah ditentukan, dan materi yang berkesinambungan satu sama lain, sehingga hasilnya dapat terukur dan dapat dievaluasi apakah dengan pokok bahasan tertentu, tujuan telah dapat dicapai. Itulah mengapa pelibatan laki-laki yang khususnya dilakukan di komunitas harus dituangkan dalam sebuah program, sehingga dapat diketahui apakah target program tercapai dan apakah program tersebut berdampak signifikan terhadap perubahan perilaku laki-laki.
170 | Prosiding PKWG Seminar Series
Proses Pemilihan Komunitas sebagai Pilot Project Program Laki-Laki Peduli Tujuan umum dari program laki-laki peduli adalah untuk melibatkan laki-laki sebagai partner dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak, program Keluarga Berencana (KB), dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Tujuan khusus dari program ini adalah untuk merekonstruksi nilainilai kelelakian dan perilaku negatif yang berdampak pada kesehatan reproduksi perempuan, melibatkan remaja laki-laki dalam penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, melibatkan laki-laki dalam pengasuhan sebagai cara efektif dalam meningkatkan kesehatan ibu dan anak, serta melibatkan laki-laki dalam program KB. Kelompok sasaran Program Laki-Laki Peduli adalah remaja laki-laki yang belum menikah atau menjelang menikah [usia 15 (lima belas) tahun sampai 21 (dua puluh satu) tahun] dan laki-laki yang sudah menikah dan memiliki anak [maksimal usia 35 (tiga puluh lima) tahun]. Dalam tulisan ini, fokus pengorganisasian komunitas/ kelompok laki-laki adalah pada kelompok laki-laki yang sudah menikah dan sudah memiliki anak (Kelas Ayah). Kriteria wilayah untuk menentukan pengorganisasian Program Laki-Laki Peduli di komunitas adalah, antara lain, berdasarkan AKI dan AKB, angka kekerasan dalam rumah tangga, angka perceraian, dan angka pernikahan usia anak. Untuk mendapatkan data tersebut, Rifka Annisa WCC melakukan advokasi dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul. Advokasi Program Laki-Laki Peduli pada pemerintah daerah tempat dimana pengorganisasian akan dilakukan sangat penting supaya program ini dapat sinergis dalam pelaksanaannya dengan kebijakan dan regulasi yang telah dibuat oleh pemerintah daerah setempat. Selain itu, adanya koordinasi dengan pemerintah daerah, membuat pelaksanaan Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo | 171
Program Laki-Laki Peduli di masyarakat mendapatkan legitimasi yang sah dan dukungan dari pemerintah daerah sebagai pihak yang memiliki kewenangan di daerah. Kabupaten Gunungkidul dipilih sebagai daerah untuk Pilot Project Program Laki-Laki Peduli karena Kabupaten Gunungkidul memiliki Peraturan Daerah Kabupaten Gunungkidul No. 16 Tahun 2012 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Pasal 1 ayat (14) Peraturan Daerah Kabupaten Gunungkidul No. 16 Tahun 2012 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan menyebut tentang Konseling Perubahan Perilaku sebagai konseling psikologis yang diberikan kepada laki-laki pelaku kekerasan dalam rumah tangga untuk membantu menghentikan kekerasan dan menjadi orang yang dapat menghargai pasangan, sehingga dapat menjadi hubungan yang lebih baik dengan pasangan dan anak. Pelaksanaan konseling tersebut dalam dilakukan oleh P2TP2A Berjejaring. P2TP2A Berjejaring adalah Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Berjejaring yang menjadi Pusat Pelayanan Terpadu di Kabupaten Gunungkidul yang menyelenggarakan pelayanan terpadu perempuan dan anak korban kekerasan serta berjejaring yang dibentuk dengan Keputusan Bupati Gunungkidul. Rifka Annisa WCC sebagai bagian dari P2TP2A Berjejaring setelah melakukan advokasi dengan Bupati Kabupaten Gunungkidul dan mendapatkan data gambaran secara umum tentang wilayah Kabupaten Gunungkidul, menyelenggarakan konsultasi meeting (audiensi) dengan para stakeholder di Kabupaten Gunungkidul. Audiensi tersebut bertujuan untuk memperkenalkan Program Laki-Laki Peduli pada para stakeholder di Kabupaten Gunungkidul, untuk mendengar masukan dari para stakeholder tentang program tersebut dan untuk mendapatkan rekomendasi desa manakah yang sebaiknya dijadikan pilot project Program Laki-Laki Peduli. Sekaligus 172 | Prosiding PKWG Seminar Series
sebagai upaya penjajakan kondisi masayarakat di daerah dan kemungkinan respon masyarakat apabila program ini dilaksanakan di komunitas mereka. Stakeholder yang hadir dalam audiensi Program Laki-Laki Peduli tersebut adalah perwakilan dari kecamatan-kecamatan di Kabupaten Gunungkidul, antara lain Kecamatan Saptosari, Kecamatan Panggang, Kecamatan Semin, Kecamatan Gedangsari, Kecamatan Ngawen, dan Kecamatan Semanu. Dari instansi pemerintah daerah, hadir perwakilan dari Kementerian Agama Gunungkidul, Dinas Kesehatan Gunung Kidul, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah, dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Gunung Kidul. Beberapa perwakilan dari Kantor Urusan Agama (KUA) di berbagai kecamatan di Kabupaten Gunungkidul juga hadir, antara lain KUA Semin, KUA Purwosari, KUA Ngawen, KUA Saptosari, dan KUA Semanu. Selain itu, hadir juga perwakilan dari Kelompok Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan KB. Audiensi tersebut diawali dengan penjelasan dari Direktur Rifka Annisa tentang latar belakang program pelibatan lakilaki, penyediaan layanan konseling perubahan perilaku bagi laki-laki, tujuan konseling perubahan perilaku bagi laki-laki, kelompok sasaran program, intervensi yang dilakukan dengan program tersebut, kriteria wilayah untuk menentukan pelaksanaan pilot project, dan strategi implementasi. Para peserta audiensi menyambut baik program yang diperkenalkan oleh Rifka Annisa WCC dan memberikan banyak masukan tentang informasi-informasi yang ada di daerah mereka masing-masing. Profil Singkat Desa Ngalang, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul Untuk pilot project Program Laki-Laki Peduli di Kabupaten Gunungkidul, Rifka Annisa WCC memilih 2 (dua) kecamatan di Kabupaten Gunungkidul dan dari masing-masing kecamatan tersebut dipilih 2 (dua) desa. Dari audiensi yang dilakukan Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo | 173
oleh Rifka Annisa WCC, Kecamatan Gedangsari adalah kecamatan yang telah menyampaikan kesiapannya untuk menjadikan desa di wilayah kecamatan tersebut sebagai pilot project Program Laki-Laki Peduli. Dari seluruh kecamatan di Kabupaten Gunungkidul, Kecamatan Gedangsari adalah kecamatan dengan AKB paling tinggi. Selain AKB yang tinggi, di Kecamatan Gedangsari juga ditemukan permasalahan pernikahan usia anak dan kekerasan dalam rumah tangga. Dalam sebulan (sekitar bulan Maret 2013), ada 11 (sebelas) pasangan di Kecamatan Gedangsari yang dinikahkan. Dari kesebelas pasangan tersebut, 5 (lima) orang masih di bawah usia 16 (enam belas) tahun dan 6 (enam) orang masih di bawah usia 18 (delapan belas tahun), sehingga membutuhkan dispensasi nikah. Pernikahan usia anak ini dilatarbelakangi oleh kehamilan yang tidak diinginkan dimana mempelai perempuan sedang hamil kurang lebih 3 (tiga) bulan saat dilangsungkan pernikahan. Latar belakang permasalahan kehamilan yang tidak diinginkan yang kemudian berujung pada pernikahan anak adalah hubungan pacaran yang tidak sehat diantara para remaja dan tidak pahamnya remaja tentang kesehatan reproduksi. Selain itu, permasalahan kehamilan yang tidak diinginkan juga disebabkan oleh persepsi para remaja tentang laki-laki ideal. Remaja laki-laki pada khususnya berpikir bahwa apabila belum pernah berhubungan seksual, maka belum merasa menjadi seorang laki-laki. Kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di Kecamatan Gedangsari beragam latar belakangnya. Ada beberapa faktor yang ditemukan menjadi penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, antara lain tidak lancarnya komunikasi antar pasangan, pembagian peran ketika suami dan istri samasama bekerja, perselingkuhan, dan pernikahan usia anak karena suami dan istri belum saling memahami tanggung jawab dan perannya masing-masing dalam rumah tangga.
174 | Prosiding PKWG Seminar Series
Desa Ngalang adalah suatu desa di Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul yang terdiri dari 14 (empat belas) dusun dan mayoritas penduduknya adalah petani dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah. Sebagaimana di Kecamatan Gedangsari pada umumnya, Desa Ngalang juga menghadapi kasus pernikahan usia anak yang disebabkan oleh kehamilan yang tidak diinginkan dan tidak pahamnya remaja terhadap kesehatan reproduksi. Kasus pernikahan usia anak di Desa Ngalang, diikuti dengan kasus perceraian pada pasangan yang menikah pada usia anak karena masing-masing pihak belum paham tentang tugas dan fungsinya sebagai suami-istri. Dalam kasus kehamilan tidak diinginkan, khususnya kehamilan pada usia anak diikuti dengan kasus pendarahan karena belum adanya pemahaman tentang kesehatan reproduksi baik itu perempuan yang hamil, pasangannya, maupun orangtuanya. Bahkan pernah ditemukan kejadian dimana orangtua baru mengetahui anak perempuannya hamil ketika usia kehamilan anak tersebut telah mencapai 6 (enam) bulan. Sekitar usia 7 (tujuh) bulan kehamilan, anak perempuan tersebut mengalami pendarahan karena kehamilannya tidak pernah diperiksakan, sehingga tidak diketahui apakah kehamilan tersebut beresiko. Berkat dukungan dari orangtuanya, pendarahan yang dialami oleh anak perempuan tersebut berhasil ditangai dan akhirnya ia berhasil menjalani kehamilan hingga 9 (sembilan) bulan dan melahirkan dengan selamat. Meskipun masih usia anak, anak perempuan tersebut akhirnya menikah dengan pacarnya karena kehamilan yang tidak diinginkan itu. Kasus kekerasan dalam rumah tangga yang kemudian berakhir dengan perceraian di Desa Ngalang pada dasarnya disebabkan oleh permasalahan kecil, seperti ketika suami pulang ke rumah setelah bekerja istri tidak melayani, faktor kebutuhan ekonomi, dan faktor pengasuhan anak. Beberapa anak di Desa Ngalang juga megeluhkan orangtua mereka yang jarang ada di rumah, sering pulang malam, sering memarahi Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo | 175
mereka tanpa sebab, dan juga sering bertengkar di depan mereka karena permasalahan rumah tangga yang sepele. Meskipun permasalahan pernikahan usia anak dan kekerasan dalam rumah tangga adalah permasalahan yang dianggap umum dalam masyarakat Desa Ngalang, hal-hal tentang kesehatan reproduksi, bahaya pernikahan usia anak, kekerasan dalam rumah tangga, maskulinitas, pembagian peran dalam rumah tangga, dan keadilan gender adalah isu-isu yang tidak pernah diperbincangkan di desa tersebut. Itulah mengapa Desa Ngalang akhirnya dipilih sebagai salah satu Pilot Project Program Laki-Laki Peduli. Pelaksanaan Program Laki-Laki Peduli di Komunitas Pelibatan Laki-Laki dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak sangat erat kaitannya dengan tanggung jawab dan peran laki-laki dalam rumah tangga, khususnya dalam penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, penggunaan alat kontrasepsi untuk mempromosikan kesehatan reproduksi, dan partisipasi secara lebih setara dalam pengasuhan. Kekerasan selama kehamilan dapat berdampak serius pada kesehatan perempuan dan anaknya (Heise, et. al., 1999). Dampak kekerasan terhadap perempuan hamil antara lain termasuk kunjungan antenatal yang tertunda, pertambahan berat badan selama kehamilan yang tidak mencukupi, penyakit menular seksual, infeksi vagina dan leher rahim, keguguran dan aborsi, kelahiran premature, gawat janin, dan pendarahan dalam kehamilan (Mohammad Hakimi, 2011). Meskipun perempuan yang sedang hamil kondisi kesehatannya sangat rentan, bukan berarti laki-laki berperan aktif dalam menjaga kesehatan ibu dan anak khususnya selama proses kehamilan. Data lapangan yang dicatat oleh kader PKK menunjukkan bahwa tidak ada laki-laki yang terlibat dalam Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Dinas Kesehatan Kabupaten Gunung Kidul berpendapat bahwa enggannya suami mengantar pasangannya ke layanan 176 | Prosiding PKWG Seminar Series
kesehatan untuk memeriksakan kesehatan kehamilan atau kesehatan anak karena mereka tidak mempunyai pemahaman terhadap kesehatan atau suami tidak memiliki waktu karena harus berangkat bekerja pagi-pagi sekali. Padahal sangat penting bagi suami untuk mengetahui bagaimana perkembangan kesehatan kehamilan istrinya, supaya beban istri dapat dibagi dengan suami. Selain itu, perhatian suami terhadap istri pada saat hamil dapat mengurangi rasa sakit yang diderita oleh istri. Untuk melibatkan laki-laki dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak di Desa Ngalang, Rifka Annisa WCC menggunakan metode diskusi komunitas untuk Kelas Ayah. Untuk mengenal komunitas di Desa Ngalang secara lebih dekat, Rifka Annisa WCC juga melakukan live in di dalam komunitas tersebut. Pendekatan yang digunakan oleh Rifka Annisa WCC untuk melaksanakan Program Laki-Laku Peduli dalam diskusi Kelas Ayah adalah pendekatan reflektif, yaitu pendekatan yang memberi ruang kepada peserta untuk merefleksikan pengalaman-pengalaman kehidupan mereka tanpa merasa dihakimi. Pendekatan reflektif dilakukan dengan cara membagikan pengalaman masing-masing peserta kepada peserta yang lain baik dalam kelompok kecil, maupun kelompok besar; menggunakan beberapa metode kreatif, seperti bermain peran; dan fasilitator banyak melakukan probing (memancing dengan pernyataan yang lebih detail) untuk menggali pengalaman dan pemahaman peserta. Secara teknis, Program Laki-Laki Peduli yang dilaksanakan dalam diskusi komunitas Kelas Ayah dilakukan dalam kelompok dengan jumlah maksimal 20 (dua puluh) laki-laki dewasa yang sudah menikah dengan usia maksimal 35 (tiga puluh lima) tahun. Ada 14 (empat belas) sesi diskusi. Pelaksanaan diskusi tiap sesinya dibedakan antara ruangan bagi Kelas Ayah dan Kelas Ibu, namun pada sesi-sesi tertentu dimungkinkan untung menggabung peserta laki-laki dengan Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo | 177
peserta perempuan di dalam satu kelas. Setting ruangan adalah ruangan dimana obrolan di dalam ruangan tersebut tidak mudah didengar oleh orang, dapat menggunakan kursi maupun lesehan, yang penting peserta merasa nyaman dan diskusi berlangsung kondusif. Fasilitator dalam setiap sesi ada 2 (dua) orang. Tiap sesi diskusi dilakukan (1) satu bulan sekali selama 120 (seratus dua puluh) menit; maka Program Laki-Laki Peduli dalam Komunitas Kelas Ayah belangsung lebih dari 1 (satu) tahun. Di luar 14 (empat belas) sesi diskusi, pada pertengahan tahun diadakan aktivitas outdoor untuk keluarga yang di dalamnya ada kegiatan couple meeting untuk melihat sejauh mana hubungan/relasi diantara suami dan istri setelah beberapa kali (6-7 kali sesi) dilakukan sesi diskusi. Keempat belas sesi diskusi tersebut terdiri dari Pengantar (Perkenalan Program); Menjadi Laki-Laki; Laki-Laki dan Budaya Patriarki; Gender dan Mainan; Komunikasi Sehat; Berbagi Peran; Relasi Sehat Tanpa Kekerasan; Menjadi Ayah dan Pengasuhan; Pengasuhan Anak; Kesehatan Reproduksi; Merencanakan Keluarga & Negosiasi Kondom; Kesehatan Ibu dan Anak; Mengelola Keuangan; dan Penutup. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa evaluasi adalah salah satu hal yang penting dalam Program Laki-Laki Peduli. Pentingnya evaluasi atas pelaksanaan Program Laki-Laki Peduli disebabkan oleh keterkaitan program ini dengan perubahan perilaku, sehingga sangat penting untuk dilakukan monitoring dan evaluasi di sepanjang program. Tujuan dari dilakukannya monitoring dan evaluasi adalah untuk mengetahui sejauh mana perkembangan program dan strategi, menganalisis berjalannya program dan strategi (mengikuti siklus implementasi, refleksi, analisis, dan proyeksi ke depan), mengubah strategi jika diperlukan, serta mendokumentasikan praktik-praktik terbaik dan pembelajaran. Monitoring dan evaluasi dilakukan dengan metode observasi di setiap sesi, pre-test dan post-test, 178 | Prosiding PKWG Seminar Series
permainan “where do you stand”, jurnal fasilitator, dan melalui metode ORID (Objective-Reflective-Interpretative-Decision). Pre-test diberikan pada sesi pertama, yaitu Pengantar (Perkenalan Program) dan post-test diberikan pada sesi terakhir, yaitu Penutup. Pre-test dan post-test diberikan dalam bentuk kuesioner untuk para peserta dengan pertanyaan seputar informasi demografis; sikap setara gender; perilaku (resiko) seksual, penggunaan kondom, dan tes HIV; sikap terhadap kontrasepsi; kepuasan seksual dan kepuasan hubungan; penggunaan layanan SRH; dan tentang alkohol dan narkoba. Tiap-tiap sesi memiliki tujuan, capaian, dan pokok bahasan masing-masing dengan metode, alat bantu, langkah-langkah, tips untuk fasilitator, lembar kerja, dan handout yang telah ditentukan dalam Modul Diskusi Komunitas untuk Kelas Ayah yang disusun oleh Saeroni dan Muhammad Thonthowi, diterbitkan oleh Rifka Annisa WCC pada Oktober 2014. Tulisan ini tidak akan membahas secara detail bagaimana masingmasing sesi dilakukan, namun fokus membahas tentang sesi Kesehatan Ibu dan Anak. Sesi Kesehatan Ibu dan Anak dilakukan setelah peserta memiliki kesadaran atas identitasnya sebagai laki-laki, mampu untuk berkomunikasi dengan pasangan secara sehat, ikut bertanggung jawab dalam pekerjaan rumah tangga, berhubungan dengan pasangan tanpa kekerasan, paham tentang kesehatan reproduksi dan hak seksual pasangan, serta sadar untuk terlibat secara aktif dan pengasuhan anak. Kesadaran untuk terlibat secara aktif dalam pengasuhan anak yang telah ditumbuhkan dalam sesi Manjadi Ayah dan Pengasuhan; serta Pengasuhan Anak diimplementasikan dalam sesi Kesehatan Ibu dan Anak. Sesi ini merupakan titik masuk utama untuk melibatkan laki-laki secara langsung dalam pengasuhan anaknya yang dimulai dari pendampingan laki-laki selama masa kehamilan, Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo | 179
persalinan, dan konsultasi pasca kehamilan hingga anak berusia 4 (empat) tahun. Melalui sesi ini, peserta mendapatkan informasi tentang pentingnya keterlibatan suami dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak; serta tumbuhnya kesadaran di kalangan peserta akan pentingnya hubungan ayah-anak terbentuk sejak sebelum anak lahir. Dalam sesi Kesehatan Ibu dan Anak, ada 4 (empat) aktivitas; pertama, Pembukaan dimana fasilitastor membuka sesi Kesehatan Ibu dan Anak dengan mereview materi sebelumnya dan menanyakan serta membahas Pekerjaan Rumah dari pertemuan sebelumnya. Kedua, aktivitas Menemani Istriku, fasilitator melemparkan pertanyaan kepada peserta tentang pengalaman peserta dalam menemani/menunggui istri yang melahirkan. Fasilitator meminta beberapa peserta yang memiliki pengalaman untuk menjadi relawan menceritakan pengalamannya menemani/ menunggui istrinya yang melahirkan. Jika tidak ada peserta yang pernah punya pengalaman menemani/ menunggui istrinya melahirkan, minta peserta yang pernah punya pengalaman menemani istrinya sampai rumah sakit. Fasilitator bertanya kepada peserta, siapa di antara peserta yang memiliki pengalaman memeriksakan kehamilan istrinya. Fasilitator meminta beberapa peserta yang memiliki pengalaman untuk menceritakan pengalamannya memeriksakan kehamilan istrinya; apa saja yang dilakukan; informasi apa saja yang didapat; apakah dia sampai masuk ke dalam ruangan atau tidak; dan bagaimana peraasaan peserta ketika melakukan itu. Kemudian dilakukan diskusi refkelsi dengan pertanyaan kunci antara lain tentang perasaan peserta saat menemani/menunggu istri yang melahirkan atau ketika menemani/ menunggui istri memeriksaan kehamilannya; yang dilakukan peserta ketika menemani/menunggui istri saat melahirkan atau saat memeriksakan kehamilannya; dukungan yang bisa diberikan peserta kepada istri ketika melahirkan
180 | Prosiding PKWG Seminar Series
atau memeriksakan kehamilannya; dan perasaan peserta saat menyaksikan istri melahirkan. Ketiga, aktivitas Proses Kelahiran, yang dilakukan untuk memberikan gambaran yang nyata tentang proses persalinan. Fasilitator membagi peserta menjadi 3-4 kelompok yang masing-masing peran memainkan proses persalinan; ada yang menjadi ibu, ayah, bidan, dan petugas kesehatan lainnya. Fasilitator meminta peserta untuk memainkan peran apa yang terjadi di ruang persalinan ketika seorang perempuan melahirkan bayi dengan skenario sebagai berikut “Sekarang pukul 22.00, pasangan Anda berada di ruang persalinan dan sedang kesakitan karena hendak melahirkan. Dokter dann bidan sedang mempersiapkan kelahiran bayi Anda. Sebagai seorang Ayah, Anda juga berada di dalam ruang persalinan.” Hitung sampai “tiga” dan minta peserta untuk memainkan perannya masing-masing. Beri waktu 5 (lima) menit untuk masing-masing grup bermain peran. Diskusi reflektif dilakukan setelah aktivitas ini dengan pertanyaan kunci antara lain: bagaimana perasaan peserta saat memainkan peran masing-masing dan apabila peserta diberikan kesempatan untuk mengulang kejadian tersebut, apakah yang akan peserta lakukan/ tidak lakukan. Keempat, aktivitas Selamat Datang Anakku. Fasilitator membagikan kertas metaplan kepada peserta dan meminta peserta untuk menuliskan pengalamannya ketika pertama kali menggendong/ mengadzani/ melihat/ menyentuh anaknya yang baru lahir. Pastikan peserta menuliskan bagaimana perasaan mereka ketika megalami hal tersebut. Fasilitator menyiapkan tali jemuran dan jepitan gantungan di ruangan. Fasilitator meminta peserta yang bersedia untuk membacakan/menceritakan apa yang ditulisnya di metaplan dan setelah itu menggantungkannya di tali jemuran. Peserta yang lain boleh menanggapi atau menyampaikan pertanyaan kepada peserta yang bercerita.
Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo | 181
Kemudian, fasilitator memandu diskusi reflektf dengan pertanyaan kunci antara lain sebagai berikut: perasaan peserta ketika pertama kali menggendong/ mengadzani/ melihat/ menyentuh anak yang baru lahir; reaksi istri peserta ketika peserta pertama kali menggendong/ mengadzani/ melihat/ menyentuh anak yang baru lahir; dan apa saja yang bisa/ tidak bisa dilakukan oleh peserta untuk anak yang baru lahir dan pasangan. Refleksi Perorangan Setelah mengikuti Program Laki-Laki Peduli, salah satu peserta menyampaikan bahwa ada beberapa perubahan perilaku yang ia rasakan. Perubahan perilaku paling mengesankan yang ia alami adalah hubungan antara dia dan anaknya semakin dekat. Selain itu dalam menghadapi permasalahan dalam rumah tangga yang sebelum mengikuti Program Laki-Laki Peduli diselesaikan dengan menendang pintu, saat ini sudah tidak lagi dilakukan. Sebelum mengikuti Program Laki-Laki Peduli, peserta ini merasa bahwa laki-laki adalah segala-galanya dalam rumah tangga. Pasca mengikuti Program Laki-Laki Peduli, ia menyadari bahwa laki-laki yang sejati adalah laki-laki yang peduli pada istri dan anak. Ia akhirnya menyadari bahwa meskipun ia hidup sederhana di kampung, ia merasa bahagia karena kebahagiaan yang ia rasakan berasal dari keluarganya, dari istri dan anaknya. Kelompok Dalam konteks yang lebih luas, dari wawancara dengan salah satu kepala dukuh di Desa Ngalang, kesehatan reproduksi, bahaya pernikahan usia anak, kekerasan dalam rumah tangga, maskulinitas, pembagian peran dalam rumah tangga, dan keadilan gender bukan lagi menjadi isu yang tabu untuk didiskusikan oleh masyarakat Desa Ngalang. Meskipun 182 | Prosiding PKWG Seminar Series
Program Laki-Laki Peduli telah selesai, sesama peserta masih saling berhubungan untuk berdiskusi jika ada permasalahanpermasalahan di dusun mereka. Permasalahan tersebut kemudian dimusyawarahkan bagaimana solusi yang terbaik, bukan hanya diantara sesama peserta, namun juga melibatkan pasangan dari masing-masing peserta. Misalnya ketika ada permasalahan kekerasan seksual di tempat mereka tinggal, peserta akan bermusyawarah untuk mencari solusi terbaik dan saling berbagi peran siapa yang akan mendekati korban dan keluarganya, siapa yang akan mendekati pelaku dan keluarganya, termasuk di dalamnya memberikan informasi tentang gambaran-gambaran alternatif yang dapat diambil oleh korban maupun pelaku. Ke depan, untuk mempererat alumni Program Laki-Laki Peduli Kelas Ayah dan Kelas Ibu akan diadakan arisan tiap bulan. Selain itu, alumni peserta Program Laki-Laki Peduli di Desa Ngalang juga berencana untuk melakukan sosialisasi sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rifka Annisa WCC kepada warga Desa Ngalang melalui kegiatan kesenian, jalan sehat, dan kesehatan positif lainnya. Isu-isu tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga juga mendapatkan perhatian yang serius dari Pemerintah Desa. Ngalang. Rencananya isu tersebut akan dibahas untuk dianggarkan secara khusus dalam Musyawarah Dusun dan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa. Apabila permasalahan tiap-tiap rumah tangga di Desa Ngalang berjalan rukun dan tentram, maka warga Desa Ngalang dapat secara fokus membangun desanya. Kesimpulan Program Laki-Laki Peduli sebagai upaya pelibatan laki-laki dapat meningkatkan kesehatan ibu dan anak, khususnya di Desa Ngalang, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul melalui perubahan perilaku yang ditunjukkan oleh para peserta Program Laki-Laki Peduli. Pasca program tersebut, laki-laki lebih peduli pada istri dan anaknya. Laki-laki Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo | 183
akhirnya dapat mengajak perempuan berdiskusi untuk mengambil suatu keputusan dan ikut serta dalam pengasuhan anak, sehingga muncul kedekatan antara ayah-anak dan ayahistri. Hal tersebut tentunya berdampak positif terhadap peningkatan kesehatan ibu dan anak. Ibu dan anak dapat hidup dengan nyaman dalam lingkungan rumah tangga tanpa adanya kekhawatiran kekerasan yang dilakukan oleh suami, dibandingkan dengan ibu dan anak yang hidup dalam lingkungan rumah tangga yang penuh dengan kekerasan karena laki-laki/ suami tidak paham tentang peran dan tanggung jawabnya. DAFTAR PUSTAKA Peraturan Peraturan Daerah Kabupaten Gunungkidul No. 16 Tahun 2012 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan (Lembaran Daerah Kabupaten Gunungkidul Tahun 2012 Nomor 16 Seri E) Buku dan Penelitian Djohan E., 1994, Women’s Live in Javanese Family (ideology and reality), Indonesian Institute of Sciences, Center for Population and Manpower Studies: Working Paper No. 9. Heise, et. al., 1999, Ending Violence against Women, Population Reports, Baltimore John’s Hopkins University. Mohammad Hakimi, et.al., Cetakan Ke-II, 2011, Membisu Demi Harmoni Kekerasan Terhadap Istri dan Kesehatan Perempuan di Jawa Tengah, Indonesia, Rifka Annisa, Yogyakarta. Nur Hasyim, et. al., Cetakan Ke-II, 2011, Menjadi Laki-Laki Pandangan Laki-Laki Jawa terhadap Maskulinitas dan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Rifka Annisa, Yogyakarta. 184 | Prosiding PKWG Seminar Series
Saeroni dan Muhammad Thonthowi, 2014, Modul Diskusi Komunitas untuk Kelas Ayah, Rifka Annisa Women’s Crisis Center, 2014.
Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo | 185
Ambigu Posisi Suami dalam Masa Reproduksi Perempuan dan Strategi Tokoh Pesantren dalam Upaya Pelibatan Laki-laki1 Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah 2 Abstrak Artikel yang didasarkan pada data penelitian tahun 2013 di Situbondo ini akan mendeskripsikan tentang strategi kultural dalam upaya pelibatan laki-laki dalam proses reproduksi yang dijalani perempuan, khususnya di masa persalinan. Upaya ini secara khusus dilakukan oleh seorang tokoh agama berbasis pesantren di Desa Tegalampel Bondowoso. Peran laki-laki (baca: suami) pada masa reproduksi yang dijalani perempuan pada umumnya berada dalam peran yang ambigu. Di satu sisi, pengambilan keputusan terkait berbagai hal yang mempengaruhi status kesehatan perempuan dalam menjalani peran kodratinya ditempatkan sebagai hal yang utama. Perempuan bukan pengambil keputusan untuk kesehatan reproduksi dan bayinya. Namun di sisi lain, laki-laki kerapkali menganggap/dianggap tidak penting turut serta dalam setiap tahap masa reproduksi yang dijalani pasangannya. Proses reproduksi dianggap sebagai tanggung jawab perempuan, sebagai pemilik atas rahim, dan dianggap berada di luar diri laki-laki. 1
2
Proses penelitian dan pengambilan data penelitian ini dilakukan bersama dengan Kartini Tilawati, Peneliti dan Pengajar Program Studi Kajian Gender Program Pascasarjana Universitas Indonesia dalam Penelitian tentang Men Care kerjasama PSKG PPs UI dengan RutgersWPF. Pusat Riset Gender Pascasarjana Universitas Indonesia Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah | 187
Dalam konteks ini, laki-laki yang mengharapkan janin yang berada di kandungan istrinya tumbuh sehat melakukan berbagai hal positif. Namun pada sebagian laki-laki lain yang mengamini posisi di atas, tidak menyadari akan keharusan keterlibatan dirinya dalam proses penting tersebut. Hal ini terefleksi dari sebagian masyarakat Bondowoso yang masih mempertahankan situasi tersebut. Melihat situasi ini, seorang tokoh agama pesantren bekerja sama dengan bidan dalam upaya memastikan laki-laki hadir dan siaga saat istrinya melakukan persalinan. Melalui kekuatan kultural sang kiai, strategi yang dilakukan menjadi proses penting yang dapat direfleksikan dalam upaya memastikan Angka Kematian Ibu menurun, bahkan sampai pada angka nol. Kata kunci : Strategi kultural, tokoh agama, AKI, pelibatan laki-laki Prolog Artikel yang didasarkan pada data penelitian tentang Men Care tahun 2013 di Situbondo ini akan mendeskripsikan strategi kultural yang dibangun oleh seorang tokoh agama berbasis pesantren pada masyarakat Desa Tegalampel Bondowoso dalam upaya pelibatan laki-laki untuk melakukan pendampingan di masa persalinan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode pengambilan data dalam bentuk observasi dan wawancara. Wawancara dilakukan dalam dua bentuk, yaitu wawancara mendalam pada tiga kategori informan, yaitu tokoh agama, petugas kesehatan, dan media, sedangkan wawancara kelompok (focus group discussion) dilakukan pada dua kategori informan, yaitu kategori laki-laki muda yang belum dan sudah menikah; dan kategori perempuan muda yang belum dan sudah menikah.
188 | Prosiding PKWG Seminar Series
Meneropong Kondisi Kesehatan Reproduksi dan AKI Kabupaten Bondowoso merupakan daerah dengan capaian kesehatan reproduksi yang masih membutuhkan perhatian khusus. Berdasarkan profil kesehatan provinsi Jawa Timur tahun 2011 yang dipublikasi melalui website resmi provinsi, angka kematian Ibu di kedua kabupaten ini masih terbilang tinggi, yaitu 147,98 per 100.000 kelahiran hidup di Bondowoso. Angka ini masih jauh diatas target RPJMN tahun 2014 sebesar 118 per 100.000 kelahiran hidup, dan dari target MDG’s sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup di tahun 2015. Dalam perbandingan di tingkat provinsi, jumlah AKI di kabupaten ini juga masih di atas rata-rata jumlah AKI Provinsi Jawa Timur tahun 2011, yaitu 104,30 per 100.000 kelahiran hidup1. Tingginya angka kematian ibu ini, menurut Laporan Kematian Ibu (LKI) Kabupaten/Kota se Jawa Timur Tahun 2011, penyebab terbesar karena perdarahan (29,35 %). Sedangkan penyebab AKI yang lain adalah pre/eklamsia (27,27%), jantung (15,47 %) infeksi (6,06%) dan lain-lain (21,85%)2. Angka lahir mati pada bayi di Bondowoso adalah 16,82 per 1000 kelahiran, atau 185 kasus kematian dari 10.997 kelahiran3. Angka kematian bayi lahir ini masih belum menggambarkan jumlah yang sesungguhnya, mengingat masih adanya persalinan di luar tenaga kesehatan terlatih. Dukun bayi masih membantu persalinan, khususnya di daerah pedesaan dimana akses pada tenaga medis masih sulit. Hal ini terlihat juga dalam profil kesehatan Provinsi Jawa Timur, disebutkan bahwa kelahiran dengan bantuan dukun masih terjadi di Jawa timur, yaitu sebesar 2,4 %, sedangkan kelahiran dengan dibantu bidan yang masih belum terlatih APN (Asuhan Persalinan Normal) sebesar 45,04 %, beberapa kabupaten masih tidak memiliki bidan KIT dari alokasi pemerintah (43,05 %), serta persoalan rasio tenaga kesehatan dan penduduk yang masih cukup besar.4
Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah | 189
Selain persoalan tenaga “Daerah Depak [nama desa di medis yang membantu Bondowoso] Depak itu jalannya persalinan, persoalan jalan sulit, nah seharusnya kan disitu yang mempermudah akses karena apa, akses, manfaat di perempuan menuju layanan situ. Kalau kota rata-rata kesehatan masih belum jalannya enak mas, apalagi ke seluruhnya baik. Di Tamanan. Tamanan itu desa tapi Bondowoso, untuk daerah jalannya enak, bapak bisa perkotaan kondisi jalan langsung ke Taman Sempol sudah dapat dibilang bagus, misalkan, di sana juga namun di beberapa daerah di fasilitasnya minim” pedesaan, akses jalan masih (FGD, Laki-laki, Bndw) sangat sulit. Bahkan, untuk mencapai rumah bidan harus ditempuh selama dua jam perjalanan atau empat jam perjalanan PP dengan kondisi jalan yang tidak baik. Hal ini menjadi salah satu alasan perempuan terpaksa bersalin dengan bantuan dukun terdekat5. Di Kabupaten yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan beretnis Madura dan sebagian Jawa ini masih banyak yang menikahkan anak-anaknya di usia kurang dari 20 tahun. Adalah hal biasa seorang anak yang masih sekolah dijodohkan. Menurut bidan Sri, perkawinan di bawah umur ini banyak dialami anak-anak usia sekolah SMP, bahkan di usia Sekolah Dasar (SD). Banyak diantaranya dijodohkan di kalangan antara keluarga. Salah satu faktornya adalah karena pertimbangan ekonomi “Karena kita sebagai kaum wanita, (wwcr, Nakes, Sri). kan istilahnya menghargai, masa’ Praktik budaya ini perlu seorang laki-laki sudah mencari ditelisik lebih dalam nafkah, sudah mencukupi keluarga saya, masa’ masih harus masak, karena dapat menjadi nyapu, tidak seperti itu. Istilahnya, penyumbang angka perempuan itu hanya melengkapi. kematian ibu di Seperti itu, yang ada di lingkungan Bondowoso. saya.” (FGD, Perempuan, Bndw)
190 | Prosiding PKWG Seminar Series
Peran Gender dan Dilema Keterlibatan Laki-laki Secara umum pembagian peran gender di Bondowoso masih memisahkan peran produksi dan reproduksi secara jenis kelamin. Kerja produksi di ruang public menjadi ranah laki-laki, sedangkan perempuan di ranah domestic. Meskipun demikian, segregasi peran gender sudah tampak dinegosiasikan dengan terlibatnya perempuan di ranah public dan kontribusinya secara ekonomi dalam keluarga. Pencari nafkah tidak lagi didominasi oleh laki-laki. Perempuan telah turut terlibat. Situasi ini berimplikasi pada perubahan peran gender yang terjadi dalam keluarga-keluarga yang ada. Setidaknya, terdapat empat farian pembagian peran gender yang dipraktikkan dalam realitas kehidupan masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan, yaitu (1) secara kaku menjalani peran masing-masing jenis kelamin, (2) mulai berbagi peran dalam pengasuhan anak, (3) berbagi peran produksi dan reproduksi, dan (4) perempuan menjalani beban ganda.
“Di masyarakat itu kerja perempuan itu biasa ya di dapur, mencuci, menyapu sama tugas-tugas rumahlah.. (anakanak) lebih banyak ibunya, mungkin kalau saya presentasikan 70 lawan 30, 70 seorang ibu, 30 bapak. Yang biasanya yang sering saya lakukan seperti itu, bagi tugas dengan ibu, misalnya mengantar ke madrasah, bermain di lingkungan rumah.. PR nya itu.” (FGD, Laki-laki, Bndw).
Meskipun telah mulai terlihat adanya pola-pola pembagian peran reproduksi, namun pemisahan peran gender tersebut tampak masih dipertahankan. Hal ini bukan hanya karena lakilaki telah memposisikan dirinya bertugas sebagai pencari nafkah utama, namun juga karena perempuan menghargai peran laki-laki tersebut. Perempuan (juga laki-laki) masih menilai pekerjaan publik sebagai pekerjaan yang memiliki beban lebih berat ketimbang pekerjaan domestik, meskipun praktiknya pekerjaan domestik menuntut waktu dan tenaga yang lebih panjang dan terus menerus. Perempuan merasa Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah | 191
enggan menarik laki-laki untuk terlibat dalam aktifitas terkait peran-peran reproduksi, meskipun pada dasarnya perempuan mengharapkannya. Dalam masyarakat pedesaan, fenomena ini terjadi cukup ketat pada keluarga petani kelas menengah ke atas. Perempuan sama sekali tidak terlibat dalam aktifitas di lahan sawah. Ketika perempuan mencoba keluar dari batas peran gendernya, misalnya ikut bekerja di sawah, memanam bibit, memupuk, atau memanen (sebagaimana kebanyakan buruh tani perempuan lakukan), maka suami akan marah dan menyatakan bahwa itu bukan tugasnya.6 Itu artinya, keluarnya perempuan dari batas pakem peran gender dapat memicu konflik dalam relasinya dengan suaminya. Dalam pengakuan sebagian laki-laki Bondowoso, sebenarnya mereka tidak keberatan ikut terlibat dalam kerja reproduski di ranah domestik, apalagi jika istri adalah perempuan yang “Gini bu ya, di keluarga saya itu ya, saya bekerja di luar rumah. sama suami kan tinggal satu rumah, Selain karena laki-laki beda dari mertua, beda dari orang tua. merasakan beban Kalau pagi tuh sama-sama kerja, ngajar nafkah yang di SMP Tlogosari, nanti kalo sudah diembannya menjadi pulang dari kerja, ya dibantu. Saya lebih ringan karena dibantu meskipun saya masak, suami itu ada sharing income kadang ngepel, kadang suami itu nyapu, tapi masalah nyuci itu suami memang dengan istri, juga ndak pernah, kecuali nyuci selimut, karena laki-laki seperti yang tebel-tebel, ya gitu” (FGD, melihat tugas dan Perempuan, Bndw) peran istri yang bertambah. Namun keinginan laki-laki terlibat dalam ranah reproduksi mengalami hambatan. Hambatan tersebut muncul dari dalam diri laki-laki dan dari luar diri laki-laki. Hambatan dari dalam diri laki-laki yang kerap mengurungkan niat lakilaki terlibat dalam kerja reproduksi adalah anggapan tugastugas domestik tidak pantas dilakukan laki-laki. Selain itu, harga diri laki-laki kerap dipertaruhkan dan diusik jika harus 192 | Prosiding PKWG Seminar Series
mengerjakan pekerjaan ‘perempuan’. Terkait harga diri tersebut, pada dasarnya berhubungan dengan respon masyarakat di luar diri laki-laki, diantaranya stigma ‘laki-laki budak istri’, merusak nama baik istri, dan menjadi bahan gunjingan tetangga/perendahan harga diri laki-laki. Pertama, persoalan yang memberatkan “sebenarnya bukan keberatan seorang suami membantu tugas istri itu, tapi keterlibatan laki-laki dengan tuntutan itu kita akan merusak berkontribusi di ranah nama baik istri, seperti yang domestik adalah disampaikan oleh mas tadi, kalau ada adanya anggapan sebagian...ini Jawa Timur ya...khususnya negatif bagi laki-laki Bondowoso, kalau kita mengerjakan itu yang melakukan kerjapas ada tetangga itu ya pasti (bilang), kerja reproduksi. Di istrinya yo opo.. suaminya disuruh. Nah Bondowoso dikenal itu yang kami pikirkan, yang akan jadi istilah ‘budak istri’ omongan tetangga, bukan kami keberatan melakukannya, dengan yang biasanya membantu kita kadang-kadang dilekatkan pada lakimencemarkan nama baik seorang istri” laki yang membantu (FGD, Laki-laki, Bndw) istrinya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga seperti mencuci, menjemur, memasak, atau menjaga anak7. Stigma negatif ini menjadi pertimbangan berat laki-laki yang ingin membantu beban istri. Apalagi dalam budaya Madura di Bondowoso, laki-laki memiliki kedudukan yang cukup dimuliakan dalam keluarga, terkait posisinya sebagai kepala rumah tangga, sekaligus sebagai pemimpin bagi keluarga. Karena itulah, bagi sebagian lak-laki yang memiliki kepedulian dalam urusan rumah tangga memilih melakukan hal-hal yang ‘tidak terlihat’ oleh masyarakat sekitarnya, seperti memasak, menyetrika, atau membersihkan kamar. Sedangkan menjemur pakaian, menyapu, dan mencuci (masih banyak masyarakat yang mencuci di sungai) adalah aktifitas yang dihindari karena mudah dilihat oleh masyarakat sekitarnya.
Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah | 193
Kedua, keterlibatan laki-laki dalam peran domestik menimbulkan kekhawatiran laki-laki dapat merusak nama baik istri sebagai istri yang ideal dimata masyarakat. Dalam konsepsi masyarakat Bondowoso yang kuat tradisi pesantren, istri yang baik adalah istri yang taat dan patuh pada suami. Tidak memerintah suami dan tidak mendominasi suaminya. Keterlibatan suami dalam kerja reproduksi dilihat sebagai sebuah kesalahan dan arogansi istri, bukan dilihat sebaliknya, sebagai bentuk kepedulian laki-laki dalam keluarga. Alasan ketiga yang diungkapkan laki-laki Bondowoso terkait ikut berkontribusinya laki-laki dalam kerja domestik adalah munculnya gosip dan pergunjingan di kalangan masyarakat sekitar tentang keluarganya. Relasi gender yang tidak semestinya menjadi salah satu bahan pergunjingan dan terkadang memicu konflik di antara keluarga itu sendiri. Terkadang pergunjingan semacam ini memicu persoalan ke ranah keluarga yang lebih luas, menghubungkannya dengan hubungan-hubungan kekeluargaan dan status keluarga. Perubahan peran gender ini juga dapat mengakibatkan keperkasaan laki-laki dipersoalkan, laki-laki dianggap tidak mampu atau lemah. Pergunjingan ini akan semakin merendahkan laki-laki ketika laki-laki tidak hanya berkontribusi dalam kerja reproduksi, namun bertukar peran dalam rumah tangga. Sebagai pihak yang diharapkan mampu mencari nafkah dan menghidupi ekonomi keluarga, laki-laki diposisikan harus memiliki akses terhadap sumber-sumber ekonomi. Apabila bertukar peran dan laki-laki tidak bekerja mencari nafkah dan tidak memiliki penghasilan ekonomi, stigma negatif akan dilekatkan kepada dirinya, tidak hanya mempertaruhkan harga dirinya, namun juga keluarganya. Kesehatan Reproduksi Perempuan yang Terpasung Pembagian peran gender semacam ini secara langsung dan tidak langsung berdampak pada status kesehatan reproduksi perempuan. Dalam pemahaman masyarakat secara umum, perempuan merupakan pihak yang bertanggung jawab 194 | Prosiding PKWG Seminar Series
terhadap tubuh dan rahimnya. Apa yang terjadi dalam rahim perempuan dan konsekuensi dari proses tersebut adalah tanggung jawab perempuan. Kehamilan yang dinanti namun tidak kunjung terjadi menjadi bagian dari kesalahan perempuan. Kehamilan yang bermasalah adalah karena perempuan. Kelahiran dengan bayi yang tidak sehat akan dihubungkan dengan perilaku dan sikap perempuan di masa pra kehamilan atau saat kehamilan, bahkan saat perempuan masih belum menikah. Dalam pemahaman ini, laki-laki seakan-akan menempatkan tubuh perempuan sebagai ‘milik’ perempuan. Laki-laki cenderung memilih untuk tidak terlibat banyak dalam hal-hal terkait tubuh perempuan, khususnya terkait organ reproduksinya perempuan. Secara umum, tidak banyak laki-laki yang memperhatikan persoalan perencanaan kehamilan dan alat kontrasepsi. Dalam mengambil keputusan untuk pengaturan kehamilan, baik pilihan alat kontrasepsi yang digunakan maupun pilihan kapan kehamilan direncanakan. Setidaknya terdapat tiga cara yang umum terjadi di masyarakat Bondowoso, yaitu pertama, ditentukan suami, alasan yang diungkapkan lebih mengedepankan alasan tentang tanggung jawab laki-laki dalam keluarga. Dari perspektif perempuan, izin penggunaan alat kontrasepsi haruslah di tangan suami, bukan atas kehendak istri. Cara kedua adalah ditentukan istri. Alasan mengapa ditentukan istri, menurut laki-laki karena istrilah yang akan menjalani kehamilan tersebut dan merasakan suka duka (repotnya) memiliki bayi. Keputusan ada di tangan istri ini juga dikarenakan beberapa laki-laki tidak mempedulikannya sementara itu perempuan cukup khawatir jika mengalami kehamilan dengan jarak yang terlalu dekat atau kehamilan yang tidak diharapkan. Dalam praktiknya, meskipun menjadi keputusan perempuan, namun seringkali harus melalui persetujuan suami. Cara ketiga adalah dengan cara diputuskan bersama antara suami dan istri. Dalam praktiknya, cara ini kebanyakan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah | 195
berangkat dari inisiatif perempuan, kemudian dibicarakan bersama dengan suami. Suami akan memberikan masukan dan pertimbangan, meskipun pada umumnya, akhir dari proses ini terkadang diserahkan kepada perempuan karena alat kontrasepsi yang dipertimbangkan bukan untuk laki-laki. Dari ketiga cara tersebut, cara kedua adalah cara yang paling banyak terjadi di masyarakat. Akan tetapi keputusan di tangan perempuan kebanyakan bukan karena memposisikan perempuan sebagai subyek atas kontrol tubuhnya, namun pada umumnya lebih didasarkan pada ketidakpedulian lakilaki dalam persoalan ini. Dalam menghadapi masalah menstruasi dan resiko yang timbul dari penggunaan alat kontrasepsi, pada umumnya perempuan menangani sendiri. Dalam masyarakat Bondowoso, para suami melihat alat kontrasepsi adalah urusan perempuan karena terkait dengan apa yang akan terjadi pada rahim perempuan. Terlalu sedikit laki-laki yang menggunakan alat kontrasepsi. Dalam data Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Jawa Timur, kondom dan vasektomi tidak menjadi pilihan utama, bahkan tidak sebagai pertimbangan8. Salah satu alasan tidak digunakannya kondom karena sebagian laki-laki mengaku pernah mencobanya namun kemudian menganggapnya dapat mengurangi kualitas dari hubungan seksualnya dengan istrinya9. Karena itulah dapat dipahami mengapa pilihan alat kontrasepsi perempuanlah yang lebih digunakan. Dari pengalaman yang ada, alat kontrasepsi yang paling diminati adalah suntik dan pil. Informasi ini tampak sejalan dengan data kesehatan yang ada, dimana di tahun 2011, akseptor KB terbanyak adalah perempuan dan pilihan alat kontrasepsi yang paling banyak dipilih adalah suntik (38%), baru kemudian pil (26,28%) sementara akseptor kondom hanya sebanyak 1% dan vasektomi hanya 1,88% saja.10 Tanggung jawab menjarakkan kehamilan, pada umumnya dianggap sebagai tanggung jawab bersama, namun secara 196 | Prosiding PKWG Seminar Series
khusus, perempuan sendiri merasa lebih bertanggung jawab atas persoalan penjarakan kehamilan. Alasan utama yang diungkapkan adalah karena perempuan lebih mempertimbangkan dan mengkhawatirkan berbagai permasalahan yang dihadapinya sebagai konsekuensi atas kehamilan yang terjadi, seperti masa kehamilan yang tidak selalu nyaman, persalinan, dan perawatan pada bayi. Pertimbangan-pertimbangan yang ada tersebut lebih mempertimbangkan pada hubungannya dengan peran gender yang menjadi beban perempuan. Tidak ada satupun yang menjelaskan alasan tanggung jawab penjarakan kehamilan dengan persoalan hak perempuan atas tubuhnya dan pertimbangan kesehatan organ reproduksi perempuan. Dalam hal persalinan, pihak yang memutuskan kelahiran akan dibantu pihak tenaga kesehatan atau bukan; atau merujuk tenaga medis yang mana, kerap kali bukan di tangan perempuan sendiri. Keputusannya kadangkala di tangan suami, kadangkala di tangan orang tua, atau bahkan diputuskan keluarga besar. Namun jika diurutkan, maka pengambilan keputusan melahirkan lebih dominan ditentukan oleh orang tua pihak perempuan. Suami seringkali berada di urutan berikutnya, “waktu saya masih di desa dulu sedangkan perempuan itu, ya…meskipun gak di desa justru jarang ditanya. disini juga gitu sih yang lahir 1 Keterlibatan orang tua dan yang nganter 2 pic up, nanti keluarga besar dalam satunya bilang gini, satunya budaya masyarakat bilang gitu, satunya gini dan Bondowoso ini terlihat dari sebagainya. Saya suruh pulang, banyaknya keluarga atau yang nunggu sedikit saja saya kerabat yang ikut pusing, gak usah banyak-banyak, sampeyan doain saja dari rumah, mengantarkan perempuan pernah ada yang nungguin disini untuk melahirkan. 50, 60 datang semua 1 desa Terkadang pihak yang kalau saudaranya banyak” mengantar sampai puluhan (wwcr, nakes, Sri) orang yang beramai-ramai menaiki mobil pick up atau Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah | 197
bahkan sampai satu desa11. Situasi ini merefleksikan bagaimana posisi perempuan dan hak perempuan atas tubuhnya. Perempuan bertanggung jawab atas tubuhnya namun ia tidak memiliki hak dalam pengambilan keputusan untuk tubuhnya sendiri. Kondisi ini menjadi salah satu sumber persoalan untuk kesehatan reproduksi perempuan. Tidak hanya karena perempuan tidak dapat memilih atau mengusulkan pilihannya, “ya memperhatikan obat-obatan yang namun bahaya sekiranya membahayakan kepada keselamatan kesehatan istri, dan memperhatikan untuk memeriksa ke bidan, mengantar, dan reproduksi perempuan tanya, takut nanti istrinya lupa minum dipertaruhkan oleh obat. Suami harus selalu orang di luar diri perempuan. Orang yang mengingatkan, itu yang namanya suami jaga. Bukan tidak peduli, mungkin saja didasarkan periksa ya iya, ndak periksa ya iya, itu pada pengetahuan yang banyak yang gitu, mayoritas kayak tepat mengenai gitu. Periksa sendiri, berangkat kesehatan reproduksi sendiri, padahal kan harus ada apa itu, perempuan, namun juga dukungan suami, agar si istri punya semangat untuk memperbaiki sangat mungkin di tangan orang-orang yang kandungannya dan semacamnya itu, dan ketika akan melahirkan, suami mendasarkan betul-betul memperhatikan sungguh keputusannya pada pada istri, dari apa yang istri ada pertimbangan mitos, reaksi, gejala-gejala itu sudah mulai, kepercayaan, ekonomi, segera suami merujuk kepada bidan, atau hal lain di luar mengantar ke bidan.” (wwcr, toma, pertimbangan kesehatan Nursalim) reproduksi perempuan. Peran laki-laki yang Ambigu Dalam situasi dimana perempuan tidak dilibatkan dan diperhitungkan dalam pengambilan keputusan bagi kesehatan dirinya, posisi laki-laki dalam masyarakat Bondowoso juga berada dalam situasi yang ambigu. Dalam peran gender yang umum terjadi pada masyarakat, laki-laki memiliki posisi yang 198 | Prosiding PKWG Seminar Series
sangat dominan. Ia menjadi pemimpin bagi keluarganya, bertanggung jawab atas nafkah istri dan anak-anaknya, dan pengambil keputusan dalam banyak hal. Diri laki-lakilah yang memegang kendali atas roda rumah tangga dan keluarga. Sementara itu, dalam beberapa hal terkait kesehatan reproduksi perempuan, laki-laki seringkali dianggap lian. Aggapan laki-laki tidak cakap, tidak memiliki pengetahuan, dan tidak memahami menyelimuti posisi laki-laki di dalamnya. Peran seks perempuan dianggap hanya semata dunia perempuan. Apa yang terjadi pada organ reproduksi perempuan merupakan bagian dari tanggung jawab perempuan. Demikian halnya dengan apa yang terjadi dalam rahim perempuan adalah di luar diri laki-laki. Situasi ini menempatkan laki-laki tidak terlibat banyak atau bahkan tidak terlibat sama sekali dalam proses-proses reproduksi perempuan yang penting dalam kehidupan kemanusiaan. Padahal, keterlibatan laki-laki merupakan hal penting karena perannya dapat mendorong adanya harapan atas keselamatan dan kesehatan perempuan. Pada saat masyarakat masih menempatkan laki-laki sebagai pemimpin tertinggi, keterlibatan laki-laki dalam menjamin kesehatan reproduksi menjadi niscaya. Akan tetapi situasi laki-laki yang ingin turut terlibat menjadi gamang karena posisinya yang disubordinasi. Sementara dalam imaji perempuan, suami yang ideal adalah suami yang memberikan perhatian penuh proses reproduksi itu terjadi, baik saat kehamilan, persalinan, maupun pasca persalinan. “saya kira ndak banyak, kadangkadang istrinya mau lahir saja, masih dicari suaminya ada di mana, kadang malah ndak mau pulang kadang-kadang. (kenapa?) ya sudah biasa itu orang mau melahirkan, dianggap biasa gitu. Ada barusan ya murid kami-kami juga, istrinya sudah mulai mual-mual, pergi mancing itu suaminya. (wwcr, toma, Nursalim)
Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah | 199
Dalam persalinan, suami tidak selalu mendampingi istri saat melahirkan. Alasan yang muncul, bisa jadi karena alasan pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan, suami takut darah, suami sedang di luar kota, atau karena ketidak-pedulian suami. Dalam konteks ketidak-pedulian suami, diceritakan bahwa di desa Tegalampel pernah ada suami yang justru pergi memancing ketika diberitahu istrinya akan melahirkan. Lakilaki meninggalkan istrinya ke sungai untuk memancing, karena baginya, adalah hal biasa seorang perempuan melahirkan. Melibatkan Laki-laki, Memperkuat Strategi Kultural Acuh tak acuh yang dilakukan laki-laki dalam proses persalinan pada dasarnya merefleksikan dilema dan ambigu laki-laki masuk dan terlibat dalam dunia reproduksi perempuan. Padahal keterlibatan laki-laki harus “kalau secara syari’ahnya, segala diperhitungkan sebagai beban itu menjadi kewajiban si salah satu upaya dalam suami, namun secara moral itu tidak ada pembedaan antara lakimemastikan proses laki dan perempuan. Namun reproduksi berjalan dengan secara syar’i itu kewajiban baik dan dalam pengawasan sepenuhnya adalah ada pada si yang menjamin keselamatan suami. Itu kalau memang si istri dan kesehatannya. itu juga memakai secara Keterlibatan laki-laki ini syar’iyyah. Kalau si istri tidak menjadi salah satu factor memakai secara syar’iyah, maka si penting dalam upaya suami juga tidak berkewajiban sepenuhnya untuk melakukan menurunkan angka beban yang menjadi beban oleh si kematian ibu. suami. (beban sepenuhnya apa?) Dalam kesadaran akan seperti nafkah, ya pekerjaan pentingnya laki-laki turut rumah, dapur, seperti masak dan mencuci, momong anak, ngurus berkontribusi dalam bentuk anak, itu semuanya kewajiban pendampingan, pengawasan suami. Istri tidak berkewajiban, dan memastikan menurut ajaran syar’i.” keselamatan proses (wwcr, toma, Nursalim, 7 Mei reproduksi pada 2013)
200 | Prosiding PKWG Seminar Series
perempuan, seorang tokoh agama/kiai di Desa Tegalampel, Kiai Nursalim, mencoba melakukan perubahan peran gender yang berlaku di masyarakat. Kesadaran sang kiai ini direfleksikan dari nilai-nilai agama dan budaya masyarakat Bondowoso yang mayoritas Madura. Meskipun tidak mudah pada awalnya, namun upayanya telah memberikan satu hasil nyata yang berdampak pada turut sertanya laki-laki di dalam peran-peran reproduksi. Sang kiai memulainya dari dirinya sendiri. Dengan pemahaman keagamaan yang menempatkan laki-laki dalam keluarga sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab penuh atas roda kehidupan rumah tangganya, sang kiai sepenuhnya terlibat dalam peran-peran reproduksi. Sang kiai sadar bahwa apa yang dilakukannya bertentangan dengan kultur budaya yang sedang berlaku, dimana laki-laki tidak terlibat dalam peran-peran reproduksi. Keterlibatan laki-laki dalam peran reproduksi menjadi aib, stigma buruk, dan perendahan harga diri laki-laki di mata masyarakat sekitarnya. Dalam keyakinan yang penuh, sang kiai menegaskan bahwa laki-laki di mata hokum fikih Islam memiliki tanggung jawab yang besar. Bukan hanya dalam memberikan nafkah bagi anak dan istrinya, namun juga menyediakan sandang, papan, dan pangan dalam bentuk siap saji, siap pakai, dan siap huni serta pendidikan dan pengasuhan anak yang sepenuhnya ditangani laki-laki. Dalam konsepsi ini, perempuan tidak memiliki kewajiban dalam kerja-kerja reproduksi. Pun ketika laki-laki tidak mampu mengatur waktu yang ada atau memiliki tenaga yang terbatas melakukan hal tersebut sendiri, maka semestinya ia melibatkan assistant rumah tangga untuk mengerjakannya. Bukan memberikan peran dan beban tersebut di pundak perempuan, sebagaimana kebanyakan yang terjadi dalam realitas yang ada. Sang kiai menerapkan dalam kehidupan nyata. Ia memasak, mencuci, dan menjemur pakaian. Ia menggendong anaknya, mengajaknya berjalan-jalan di sekitar rumah, menyuapinya, Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah | 201
dan memandikannya. Apa yang dilakukan sang kiai menjadi perhatian masyarakat sekitar dan menjadi legitimasi pada setiap perempuan yang mencoba melibatkan laki-laki dalam peran-peran reproduksi. Kekuatan kultural sang kiai di masyarakat Madura yang dapat melampaui posisi pemerintah menjadikan apa yang dilakukan sang Kiai menjadi kekuatan kultural bagi upaya perubahan peran gender. Dalam konteks kesehatan reproduksi, sang Kiai memanfaatkan kekuatan kultural yang dimilikinya dan bekerjasama dengan bidan yang ada di desa tersebut. Keprihatinan atas ketidakpedulian laki-laki dalam memastikan keselamatan persalinan istrinya mendorong sang Kiai melakukan upaya nyata. Ia bekerjasama dengan bidan. Setiap kali persalinan yang dibantu oleh sang Bidan, selalu saja sang bidan meminta pihak keluarga perempuan untuk menghadap kepada Kiai Nursalim dan meminta doa agar Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan kemudahan dan keselamatan bagi perempuan dan calon bayinya dalam persalinan yang akan terjadi. Dan setiap kali seseorang yang menghadap sang Kiai, ia selalu memberikan segelas air putih dan selembar kertas berisi tulisan doa dalam Bahasa Arab. Sang Kiai menyebutnya sebagai satu ijazah yang harus dilakukan oleh suami dari perempuan yang akan melahirkan. Dalam konsep ijazah ini, air putih diminum oleh perempuan yang akan melahirkan dan selama masa persalinan, sang suami harus membaca doa yang tertera dalam selembar kertas tersebut sambil terus menggenggam tangan istrinya12. Ijazah ini secara tidak langsung mengikat laki-laki untuk tetap ada dan hadir dalam proses persalinan yang akan dijalani perempuan. Dengan demikian, laki-laki yang masih dalam konteks kultural menjadi pengambil keputusan dapat segera melakukan tindakan atau memberikan izin suatu tindakan demi keselamatan perempuan dan bayinya. Persalinan lebih terjamin dari resiko 4T, khususnya dalam hal 202 | Prosiding PKWG Seminar Series
Terlambat Mengambil Keputusan, dan Terlambat dalam Penanganan Persalinan aman. Dalam pengakuannya, Kiai Nursalim menyatakan bahwa di awal melakukannya dan menerapkan keyakinannya, ia harus melakukan negosiasi dengan dirinya sendiri. Bukan hanya karena ia adalah seorang laki-laki yang nota bene secara kultural mendapat tempat yang istimewa, namun juga karena ia adalah seorang etnis Madura yang juga tokoh terpandang dengan kedudukan social tinggi. Cukup berat konflik batin yang harus dilaluinya, namun tekadnya telah membuahkan hasil. Saat ini, dirinya dijuluki sebagai pembela perempuan dan di desanya kini, laki-laki selalu ada dan hadir dalam proses persalinan yang dijalani perempuan. Laki-laki dan perempuan telah terbiasa mengerjakan pekerjaan-pekerjaan reproduksi secara bersama atau berbagi. Epilog Menekan angka kematian ibu tidak saja menjadi tanggung jawab pemerintah melalui program-programnya, namun merupakan tanggung jawab kemanusiaan bagi seluruh makhluk di muka bumi ini. Peran pemerintah saja tidak akan cukup kuat jika tidak diimbangi dengan peran aktif dari seluruh bangsa, khususnya laki-laki yang memiliki posisi sangat diperhitungkan dalam kultur dan praktik kehidupan masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam proses reproduksi tidak akan mampu memastikan keselamatan persalinan jika tidak difasilitasi dengan layanan kesehatan dan tenaga medis yang memadai, terjangkau, dan mencukupi. Kematian perempuan karena persalinan merupakan bencana kemanusiaan yang sesungguhnya dapat diintervensi melalui berbagai cara. Perubahan peran gender yang lebih berkeadilan menjadi sebuah keniscayaan. Oleh karenanya, Negara, agama, dan budaya harus menjadi sinergi kekuatan yang diperhitungkan dalam upaya pembangunan kemanusiaan dan –secara khusus-- penurunan angka Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah | 203
kematian ibu. Program-program yang berorintasi pada pembangunan kesadaran masyarakat menjadi satu langkah penting yang harus terus dilakukan dan diinternalisasikan pada masyarakat luas. Penyediaan layanan kesehatan dan tenaga medis yang diprioritaskan dan diperhitungkan dengan dukungan anggaran Negara yang memadai harus tetap dipertahankan dan diawasi penggunaannya. Namun memperhitungkan kekuatan kultural dan nilai-nilai lokal merupakan bagian yang tidak dapat diabaikan, karena kekuatan di luar kekuatan Negara seringkali menjadi lebih ampuh dari program-program pembangunan yang terkadang berjarak dengan masyarakat itu sendiri. 1
2
3
4
5 6 7 8
9 10
11 12
Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur, tabel 8. http://dinkes.jatimprov.go.id/dokumen/dokumen_publikasi.html, diakses 29 Juni 2013 Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2011, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2012, hlm. 8-9. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur, tabel 6, http://dinkes.jatimprov.go.id/dokumen/dokumen_publikasi.html, diakses 29 Juni 2013. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2011, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2012, hlm. 10. FGD, Kategori Laki-laki, Bondowoso, Mei 2013 FGD, Kategori Perempuan, Bondowoso, Mei 2013. Wawancara, tokoh agama, Nursalim, Mei 2013 Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Jawa Timur, http://jatim.bps.go.id/tables/2012/kesehatan/tabel_5.2.6.pdf, diakses 29 juni 2013. FGD, Kategori Laki-laki, Bondowoso, Mei 2013 Persentase Peserta KB Aktif dan Alat Kontrasepsi yang Digunakan tahun 2011, Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Jawa Timur, http://jatim.bps.go.id/tables/2012/kesehatan/tabel_5.2.6.pdf, diakses 29 juni 2013. Wawancara, tenaga kesehatan, Sri, Mei 2013. Wawancara, tokoh agama, Nursalim, Mei 2013.
204 | Prosiding PKWG Seminar Series
Membangun Forum Komunikasi Melalui Badan Permusyawaratan Desa Sebagai Upaya Mendukung Pembangunan Keluarga Mewujudkan Kesetaraan Gender, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan dan Tumbuh Kembang Anak Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari1 Abstrak Pelaksanaan Pembangunan Keluarga seperti pada Permen PPPA No.06/2013 dilakukan sebagai upaya pengendalian angka kelahiran dan penurunan angka kematian baik ibu dan anak, meningkatkan gizi dan tingkat pendidikan, pengembangan kualitas penduduk pada seluruh dimensinya, peningkatan ketahanan dan kesejahteraan keluarga, penyiapan dan pengaturan perkawinan serta kehamilan sehingga penduduk menjadi sumber daya manusia yang tangguh bagi pembangunan dan ketahanan nasional, serta mampu bersaing dengan bangsa lain, dan dapat menikmati hasil pembangunan secara adil dan merata. Suku Tengger kecamatan Sukapura kabupaten Probolinggo menunjukkan upaya mendukung pembangunan keluarga mewujudkan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan & tumbuh kembang anak dengan membangun forum komunikasi melalui Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sesuai amanah UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
1
FISIP Universitas Airlangga Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari | 205
Kajian ini bertujuan untuk menggali kekuatan sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat suku Tengger, dari sisi keluarga, kelembagaan desa, serta SDM yang ada untuk bisa berperan aktif dan menjalankan amanah UU Desa. Termasuk menggali peran adat setempat dalam pembangunan masyarakat, keluarga serta kelembagaan di desa. Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa BPD sebagai forum komunikasi dalam melaksanakan program pemerintahan, disesuaikan dengan nilai-nilai sosial budaya lokal. Dinas kabupaten Probolinggo memberikan bantuan teknis, administratif, dana stimulan dan lain-lain dalam mewujudkan program pembangunan keluarga. Supaya berjalan sesuai dengan entry point sehingga perlu melakukan komunikasi melalui BPD sebagai faktor pendukung agar kegiatan tersebut lebih berkembang. Di sisi lain BPD juga melakukan kemitraan membangun ketahanan keluarga dengan PT, LSM, organisasi keagamaan dan organisasi kemasyarakatan untuk meningkatkan program berkelanjutan (kontiunitas). Kemitraan sangat efektif dalam membangkitkan kesadaran masyarakat melalui PT, LSM, organisasi keagamaan dan organisasi kemasyarakatan dalam mewujudkan ketahanan keluarga. Kemitraan meningkatkan efektifitasnya melalui keterlibatan mendalam dengan semua pemangku kepentingan baik dinas pemerintahan dengan PT, LSM, organisasi keagamaan dan organisasi kemasyarakatan. Kata Kunci : Forum Komunikasi, Pembangunan Keluarga Latar Belakang Angka kematian ibu di Indonesia paling tinggi di Asia Tenggara 307/100.000 kelahiran. Sementara Indonesia menetapkan target AKI 125/100.000 pada 2015 (target MDGs). Seperti tabel di bawah ini :
206 | Prosiding PKWG Seminar Series
Indonesia belum mampu mencapai Target MDGs dalam hal Kesehatan Ibu. Berdasarkan hasil Survei Demogafi dan Kependudukan Indonesia (SDKI) 2012, terdapat kenaikan angka kematian ibu (AKI) yang cukup drastis. Jumlah kematian ibu secara nasional setiap tahun terus bertambah, sebelumnya pada 2012 berjumlah 4.985 sedangkan pada 2011 mencapai 5.118. Meskipun sudah mengalami penurunan sejumlah 133 jiwa, namun meningkat lagi pada tahun 2013 mencapai 5.019 jiwa . Angka ini masih cukup jauh dari target yang harus dicapai pada tahun 2015. Artinya, terdapat kenaikan angka kematian ibu yang cukup drastis dari 228/100.000 kelahiran menjadi 359/100.00 kelahiran. Mampukah Indonesia mengejar target AKI di Indonesia pada tahun 2015 diwaktu yang tersisa ini? Data Kemenkes tahun 2010 menyebutkan, penyebab AKI antara lain perdarahan, tekanan darah tinggi (eklamsia) dan infeksi. Ketiga penyebab tersebut, sesungguhnya bisa dicegah jika diketahui sejak dini dengan gejala bengkak, pertambahan berat badan ibu yang berlebihan, hipertensi dan bercak
Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari | 207
perdarahan pada trisemester terakhir. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat grafik di bawah ini :
Grafik di atas menunjukkan distribusi persentase penyebab kematian ibu melahirkan, berdasarkan data tersebut bahwa tiga faktor utama penyebab kematian ibu melahirkan yakni, pendarahan, hipertensi saat hamil atau pre eklamasi dan infeksi. Pendarahan menempati persentase tertinggi penyebab kematian ibu (28%), anemia dan kekurangan energi kronis (KEK) pada ibu hamil menjadi penyebab utama terjadinya pendarahan dan infeksi yang merupakan faktor kematian utama ibu. Di berbagai negara paling sedikit seperempat dari seluruh kematian ibu disebabkan oleh pendarahan; proporsinya berkisar antara kurang dari 10% sampai hampir 60%. Walaupun seorang perempuan bertahan hidup setelah mengalami pendarahan pasca persalinan, namun ia akan menderita akibat kekurangan darah yang berat (anemia
208 | Prosiding PKWG Seminar Series
berat) dan akan mengalami masalah kesehatan yang berkepanjangan.(WHO). Persentase tertinggi kedua penyebab kematian ibu yang adalah eklamsia (24%), kejang bisa terjadi pada pasien dengan tekanan darah tinggi (hipertensi) yang tidak terkontrol saat persalinan. Hipertensi dapat terjadi karena kehamilan dan akan kembali normal bila kehamilan sudah berakhir. Namun ada juga yang tidak kembali normal setelah bayi lahir. Kondisi ini akan menjadi lebih berat bila hipertensi sudah diderita ibu sebelum hamil. Persentase tertinggi ketiga penyebab kematian ibu melahirkan adalah infeksi 11%. Penyebab lain tingginya AKI adalah kualitas hidup perempuan yang rendah, rata-rata pendidikan rendah, derajat kesehatan dan gizi yang rendah, penderita anemia pada penduduk usia 15-24 tahun masih tinggi mencapai 18,4%, kurang zat besi dan stunting (pertumbuhan anak yang terhambat karena kekurangan gizi sehingga tidak mencapai tinggi badan pada umumnya pada usia tertentu). Sementara itu, menurut Dirjen Gizi Kesehatan ibu dan Anak (KIA) permasalahan ibu hamil saat mencapai fasilitas kesehatan (faskes) saat persalinan disebabkan 22,8% karena tidak mau pergi sendiri ke faskes, 10,5 . Pemberian gizi seimbang untuk ibu dan bayinya masih kurang, ditambah lagi pengetahuan ibu atas bahaya persalinan juga masih minim. Infrastruktur dipastikan sebagai penyebab utama sulitnya ibu mencari pelayanan kesehatan. Dari hasil Riskesdas 2010 mencatat, bahwa 84% ibu meninggal di Rumah dan Rumah Sakit Rujukan pada jam-jam pertama. Kondisi sosial budaya di masing-masing daerah turut memberikan konstribusi, masih banyak daerah yang masih menggunakan dukun sebagai penolong persalinan, khususnya didesa-desa. Berdasarkan data Riskesdas 2013, Penolong saat persalinan dengan kualifikasi tertinggi dilakukan oleh bidan (68,6%), kemudian oleh dokter (18,5%), lalu non tenaga Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari | 209
kesehatan (11,8%). Namun sebanyak 0,8% kelahiran dilakukan tanpa ada penolong, dan hanya 0,3% kelahiran saja yang ditolong oleh perawat. Hal ini ditunjang pula dengan kondisi sosial ekonomi sebagian masyarakat yang masih berada digaris kemiskinan. Selain itu, tidak meratanya fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia turut menjadi salah satu penyebab masalah kesehatan ibu. Laporan Save The Children tentang kematian bayi untuk tahun 2013 yang mengungkapkan kematian saat kelahiran di Indonesia turun dari 390 per 100.000. Penurunan sekitar 48% tersebut menempatkan Indonesia masuk dalam 10 besar dengan peringkat pertama Peru yang berhasil mengalami penurunan hingga 65%. Salah satu penyebab penurunan kematian bayi di tersebut adalah kehadiran tenaga kesehatan yang terlatih saat kelahiran yang mencapai 73% di Indonesia. Selain itu prakarsa untuk menempatkan bidan di kawasan pedesaan yang diikuti dengan pelatihan bidan juga mendorong penurunan kematian bayi. Dalam kelangsungan hidup ibu dan bayi, paling berperan sebenarnya adalah program imunisasi dan gizi. Namun yang belum turun atau masih menghambat penurunan anak adalah pada neonatus (bayi lahir sampai 28 hari) karena masih tetap pada 19 di angka 1.000 kelahiran ibu. Menurut Save The Children menegaskan sebagian besar kematian tersebut sebenarnya bisa dicegah jika tenaga kesehatan yang terlatih hadir saat kelahiran tersebut. Saat ini kehadiran tenaga kesehatan terlatih di Indonesia saat kelahiran mencapai 73%. Target MDGs untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) pada tahun 2015 masih sulit dicapai karena kecenderungan naiknya AKI di Indonesia. Kemiskinan juga dianggap berwajah perempuan dan berdampak pada buruknya kesehatan reproduksi perempuan. Hal tersebut disampaikan Women Research Institute (WRI), berdasarkan penelitian di 7 wilayah. Melalui penelitian tersebut, WRI menyimpulkan bahwa 210 | Prosiding PKWG Seminar Series
perempuan adalah sosok yang menanggung kemiskinan. Perempuan di wilayah pedesaan sesungguhnya merupakan penggerak roda ekonomi pasar tradisional, selain juga sebagai sosok yang memikul berbagai beban nilai sosial dan budaya, dan cenderung terbatas akses mereka ke dunia publik. Perempuan juga cenderung diposisikan lebih tidak bermakna jika dibandingkan dengan laki-laki. Nilai-nilai sosial budaya telah membentuk cara pikir masyarakat dalam memaknai perempuan. Pemaknaan ini dalam prakteknya ikut memberi pengaruh terhadap pemaknaan arti kesehatan bagi perempuan. Kondisi ini memiliki kecenderungan yang merugikan kaum perempuan, terutama mengenai nilai kesehatan reproduksi mereka (2010:223-332). Target dari MDGs tahun 2015 untuk angka kematian bayi harus mencapai 23/1.000 kelahiran hidup. Lima provinsi ini menyumbang hampir 50 persen dari total angka kematian ibu dan bayi, karena provinsi ini memiliki jumlah penduduk yang besar. Untuk angka kematian bayi provinsi yang paling banyak menyumbang adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Banten. Untuk penyumbang angka kematian ibu yang paling banyak adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara dan NTT. Secara statistik maka prevalensinya memang kecil, tapi karena penduduk di daerah tersebut banyak maka jumlahnya menjadi terlihat besar. Dari hasil survei yang dilakukan SDKI, presentase angka kematian ibu telah menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun. Hanya saja, dari beberapa kota yang ada di Indonesia, Jawa Barat masih menjadi salah satu daerah dengan angka kematian ibu yang paling tinggi. Namun yang paling mengejutkan adalah Jawa Timur justru mengalami peningkatan dalam jumlah kematian ibu. Untuk 2010, angka kematian ibu di Jawa Barat sebesar 2280, Jawa Tengah sebesar 1766, Nusa Tenggara Timur sebesar 642, Banten sebesar 538, dan Jawa Timur sebesar 500. Tahun 2011, angka kematian ibu Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari | 211
di Jawa Barat sebesar 837, Jawa Tengah sebesar 668, Jawa Timur sebesar 627, Banten sebesar 250, dan Nusa Tenggara Timur sebesar 208. Angka kematian ibu yang baru melahirkan di Provinsi Jawa Timur relatif tinggi akibat proses persalinan tidak ditangani bidan atau dokter. Berdasarkan hasil penelitian Dinkes Jatim ditemukan masih banyaknya proses persalinan ditangani oleh dukun. Selain itu, selama masa kehamilan, banyak ibu yang tidak pernah memeriksakan kesehatan kandungannya secara teratur kepada bidan atau dokter. Untuk menangani hal ini sudah dimulai dengan melakukan terjun langsung ke daerah-daerah dengan menempatkan tenaga kesehatan di desa-desa, adanya Jampersal, BOK (Bantuan Operasional Kesehatan) serta mengirim dokter spesialis untuk rujukan. Sementara Angka kematian bayi (AKB), menurut data dari Dinas Kesehatan Propinsi Jatim, di Kabupaten Probolinggo mencapai 64,19% tercatat paling tinggi di Jatim. Setelah Kabupaten Probolinggo, AKB tertinggi diduduki Jember 56,45%, Sampang 55,11%, Situbondo 4,60%, Bondowoso 54,35%, Bangkalan,22%, Pamekasan 51,66%, dan Kabupaten Pasuruan 51,62%. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan, untuk angka kematian bayi di tahun 2013 kemarin, diketemukan ada 21 bayi yang meninggal saat persalinan dan setelah lakukan persalinan. Terhitung pada tahun 2014 ini saja, semenjak bulan januari hingga april kemarin. Sudah diketemukan ada 2 bayi yang meninggal saat persalinan, dan 1 meninggal setelah lakukan persalinan. Pada tahun 2012, Indonesia Negara kekurangan gizi nomor 5 di dunia. Peringkat kelima karena jumlah penduduk Indonesia juga di urutan empat terbesar dunia, Jumlah balita yang kekurangan gizi di Indonesia saat ini sekitar 900 ribu
212 | Prosiding PKWG Seminar Series
jiwa. Jumlah tersebut merupakan 4,5% dari jumlah balita Indonesia, yakni 23 juta jiwa. Orang Miskin Jawa Timur terbanyak di Indonesia. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan Jawa Timur sebagai provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbanyak di Indonesia. Laporan terbaru BPS, pada September 2013 menyebutkan jumlah penduduk miskin Jawa Timur mencapai angka 4,86 juta. Sebanyak 1,62 juta dari angka itu merupakan penduduk miskin perkotaan, sisanya penduduk di pedesaan. Setelah Jawa Timur, peringkat kedua dan ketiga jumlah penduduk miskin terbanyak ada di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat. AKI, AKB, gizi buruk dan penduduk miskin banyak ditemukan di beberapa daerah di Jawa Timur. Perkecualian ditemukan pada suku Tengger Bromo. Menarik untuk dikaji mengapa perkecualian tersebut terjadi pada Suku Tengger yang sering melaksanakan upacara adat seperti Upacara Kasada, Upacara Karo, Upacara Unan-Unan, Upacara EntasEntas, Upacara Pujan Mubeng, Upacara Kelahiran, Upacara Tugel Kuncung atau tugel Gombak, Upacara Perkawinan, Upacara Kematian, Upacara Barikan dan Upacara Liliwet, beberapa upacara adat lainnya yang masih berlaku di Suku Tengger. Patut ditelaah, sejauhmana nilai-nilai kearifan lokal budaya bangsa dapat digali dan dikembangkan sebagai suatu peluang untuk mengungkap kearifan lokal tentang nilai-nilai keluarga yang kerapkali terpendam atau terpinggirkan karena kecenderungan pragmatisme dan materialisme. Penanaman dan revitalisasi nilai-nilai keluarga untuk mewujudkan ketahanan dan kesejahteraan keluarga dapat dilaksanakan melalui berbagai sumber budaya seperti dongeng/cerita rakyat, pepatah, wewarah, pantun, norma. Apa yang dimiliki masyarakat Tengger merupakan modal budaya yang dapat dikembangkan untuk pembangunan ketahanan keluarga
Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari | 213
melalui optimalisasi Permusyawaratan Desa.
fungsi
dan
peran
Badan
Tradisi dan Upacara Adat yang ada pada suku Tengger menunjukkan pengetahuan dan kearifan budaya lokal yang patut dikaji secara mendalam sejauhmana kontribusi nya dalam pemberdayaan masyarakat. Lahirnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, pasal 4 butir c menjelaskan bahwa desa punya kewajiban untuk melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa. Namun di sisi lain Permen PPPA No.06/2013 tentang Pelaksanaan Pembangunan Keluarga. Pembangunan keluarga ditujukan antara lain agar upaya pengendalian angka kelahiran dan penurunan angka kematian baik ibu dan anak, meningkatkan gizi dan tingkat pendidikan, pengembangan kualitas penduduk pada seluruh dimensinya, peningkatan ketahanan dan kesejahteraan keluarga, penyiapan dan pengaturan perkawinan serta kehamilan sehingga penduduk menjadi sumber daya manusia yang tangguh bagi pembangunan dan ketahanan nasional, serta mampu bersaing dengan bangsa lain, dan dapat menikmati hasil pembangunan secara adil dan merata. Pengintegrasian antara UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, dengan Permen PPPA No.06/2013 tentang Pelaksanaan Pembangunan Ketahanan Keluarga membutuhkan pembentukan Forum Komunikasi. Forum komunikasi merupakan proses mediasi sebagai bentuk-bentuk dialog dalam mengatasi pandangan, paham, kepentingan dan kebijakan yang berbeda. Meskipun mengakui adanya kontradiksi pandangan, paham, kepentingan dan kebijakan yang berbeda antara UU No. 6 Tahun 2014 dengan Permen PPPA No.06/2013. Di dalam UU No. 6 Tahun 2014 dari Pasal 56 s/d 65 telah mengatur tentang Badan Permusyawaratan Desa sebagai lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan. Dengan adanya pengakuan tersebut, maka pembentukan forum komunikasi melalui Badan Permusyawaratan Desa dapat diwujudkan. 214 | Prosiding PKWG Seminar Series
Pembentukan forum komunikasi melalui Badan Permusyawaratan Desa memberi peluang untuk perempuan dan organisasi perempuan ditingkat lokal untuk berkiprah dalam bidang politik, sosial budaya, dan ekonomi. Peningkatan peran dalam politik melalui pemilihan kepala Desa, perangkat desa, dan Badan Permusyawarahan Desa. Sosial budaya melalui lembaga adat. Ekonomi melalui Badan Usaha Milik Desa sehingga melalui kiprah perempuan suku Tengger maka dapat menjadi sarana melakukan pengembangan nilai-nilai kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan dan tumbuh kembang anak dalam mewujudkan pembangunan ketahanan keluarga. Keluarga memainkan peran penting, terutama untuk mengantarkan anak-anak Indonesia menjadi generasi yang berkualitas. Memperkuat ketahanan dan kesejahteraan keluarga untuk dapat menjalankan fungsi perlindungan dan pengasuhan dalam keluarga membutuhkan perubahan pola pikir, perubahan nilai-nilai budaya, norma, sikap dan perilaku dalam keluarga dan masyarakat agar dapat mendukung citacita mulia tersebut. Ketika proses kesadaran manusia menjadi pusat, di sanalah kunci perubahan masyarakat diletakkan pada transformasi kebudayaan. Menurut Mudji Sutrisno (2005:71-72), transformasi kultural membutuhkan transformasi struktural baik politik maupun ekonomi. Menurutnya, tidaklah cukup transformasi nilai tanpa adanya transformasi struktural. Pengabaian tentang pentingnya transformasi struktural untuk menyertai transformasi kultural akan membuat sulit terwujudnya perubahan mendasar dalam pembangunan keluarga. Pengintegrasian antara produk kebijakan hukum yang satu (dalam hal ini UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa), dengan produk kebijakan yang lain (Permen PPPA No.06/2013 tentang Pelaksanaan Pembangunan Keluarga) akan menciptakan pluralisme hukum, di mana pengintegrasian antara dua produk hukum ini dapat diartikan sebagai integrasi Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari | 215
yang saling mendukung. Selanjutnya, Woodman (1991) menyatakan bila memperhatikan pada tataran individu (masyarakat suku Tengger) yang menjadi subyek dari pluralisme hukum yang dikaitkan dengan pembangunan ketahanan keluarga, maka bagaimana pandangan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dengan Permen PPPA No.06/2013 tentang Pelaksanaan Pembangun K l “ grasi” menempatkan perempuan sebagai subyek pembangunan dalam mewujudkan kesetaraan gender, pemberdayaan dan perlindungan perempuan, serta pemenuhan hak tumbuh kembang dan perlindungan anak dalam berusaha untuk mewujudkan Target MDGs dalam hal kesehatan ibu, bayi, gizi dan mengurangi kemiskinan. Permen PPPA No.06/2013 dimaksudkan agar pembangunan keluarga dapat benar-benar menjadi komitmen bersama Pemerintah dan masyarakat, serta dilaksanakan secara terpadu. Secara khusus Permen No. 06/2013 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pembangunan Keluarga, bertujuan untuk: (i) mendorong penerapan konsep ketahanan dan kesejahteraan keluarga dengan perspektif gender pada semua kegiatan pembangunan yang sasarannya untuk keluarga; (ii) mendorong peningkatan pelaksanaan kebijakan pembangunan keluarga pada masing-masing Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota dan Desa; (iii) mengembangkan kebijakan baru untuk melengkapi pemenuhan kebutuhan keluarga dalam rangka peningkatan ketahanan dan kesejahteraan. Dalam pengembangan kebijakan pelaksanaan pembangunan ketahanan keluarga diharapkan berpedoman pada konsep ketahanan dan kesejahteraan yang didalamnya mencakup: landasan legalitas dan keutuhan keluarga; ketahanan fisik; ketahanan ekonomi; ketahanan sosial psikologi; dan ketahanan sosial budaya (dalam Pasal 3 dan 4 Peraturan Menteri PPPA No.6/2013 tentang Pelaksanaan Pembangunan Keluarga).
216 | Prosiding PKWG Seminar Series
Kondisi Kesehatan Ibu dan Anak di Kabupaten Probolinggo Angka kematian bayi (AKB) di Kabupaten Probolinggo tahun 2013 mencapai 64,19% tercatat paling tinggi di Jatim. Setelah Kabupaten Probolinggo, AKB tertinggi diduduki Jember 56,45%, Sampang 55,11%, Situbondo 4,60%, Bondowoso 54,35%, Bangkalan,22%, Pamekasan 51,66%, dan Kabupaten Pasuruan 51,62%. Tabel 1 Data Kesehatan Ibu & Anak Dinas Kesehatan Kab. Probolinggo NO
INDIKATOR
TH. 2011
TH. 2012
TH.2013
1.
Angka Kematian Ibu (AKI)
80,58/10 0.000 KH
81,07 /100.000 KH
65,92 /100.000 KH
2.
Jumlah Kematian Ibu
15 kasus
15 kasus
12 kasus
3.
Angka Kematian Bayi
11,75/ 1000 KH
12,43 / 1000 KH
11,04 / 1000 KH
4.
Jumlah Kematian Bayi
218 kasus
230 kasus
201 kasus
5.
Jumlah Dukun bayi
642 orang
639 orang
641 orang
6.
Jumlah Bidan
365 orang
366 orang
405 orang
7.
Balita Gizi Buruk
2,3 %
2,8 %
2,26 %
TH. 2014 Jan-Agst
17 kasus
152 kasus
1,9 %
Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari | 217
8.
Balita Gizi Kurang
9,7 %
14,81 %
9,83 %
9,13 %
9.
Ibu Hamil Kurang Energi Kronis (KEK)
4,85 %
6,41 %
8,9 %
10,4 %
10.
Angka Perkawinan
40,67 %
44,78 %
41,92 %
( < usia 20 th ) 11.
Jumlah perkawinan usia < 20 tahun
3.655
9.768
9.646
12.
Persalinan ditolong dukun
777
659
483
13.
Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan
17.914
17.884
17.729
269
Sumber : Dinas kesehatan kabupaten Probolinggo, Juni 2014 AKB dihitung per 1.000 kelahiran dan AKI per 100.000 kelahiran. Pada tahun 2011 AKB mencapai 11,75 per 1.000 kelahiran, meningkat pada tahun 2012 12,43 per 1.000 kelahiran, dan menurun kembali pada tahun 2013 AKB mencapai 11,04 per 1.000 kelahiran.
218 | Prosiding PKWG Seminar Series
Tabel 2 Penyebab Langsung Kematian Bayi ( 0-11 Bulan ) TH. 2014 (Jan-Juni)
TH. 2012
TH. 2013
(Jumlah kasus)
( Jumlah kasus)
Trauma lahir
0
1
0
Kelainan konginetal
32
41
33
Asfiksia
22
26
15
BBLR komplikasi
86
67
48
Infeksi
15
22
6
Tetanus Neonatorum
3
0
0
Diare
10
4
2
ISPA
8
0
0
Aspirasi
18
7
3
Pneumonia
11
18
7
Meningitis
5
5
1
Febris konvulsi
5
0
0
Bronchopneumoni
3
0
0
Illeus
4
3
0
Lain-lain (dukun)
8
7
4
PENYEBAB
( Jumlah Kasus )
Sumber : Dinas kesehatan kabupaten Probolinggo, Juni 2014 AKB di Kabupaten Probolinggo terjadi karena banyaknya masyarakat yang masih bergantung dan percaya pada dukun untuk membantu proses persalinan. AKB pada tahun 2011 mencapai 218 kasus dan
Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari | 219
pada tahun 2012 hingga Oktober menurun menjadi 192 kasus. Sementara AKI pada tahun 2011 ini mencapai 80,58 per 100.000 kelahiran dan meningkat pada tahun 2012 mencapai 81,07 per 100.000 kelahiran. Kembali menurun tajam pada tahun 2013 mencapai 65,92 per 100.000 kelahiran. Jika acuannya adanya Millenium Development Goals (MDGs), AKB dan AKI di Kabupaten Probolinggo tergolong masih rendah (di bawahnya). Tabel 3 Penyebab Langsung Kematian Ibu TH. 2011
TH. 2012
TH. 2013
TH. 2014
Perdarahan = 33,3 %
Perdarahan = 43 %
Perdarahan = 33 %
Perdarahan = 24 %
Preeklamsi/ Eklamsi = 13,3 %
Pre eklamsi/ Eklamsi = 29 %
Pre eklamsi/ Eklamsi = 50 %
Pre eklamsi/ Eklamsi = 24 %
Infeksi = 20 %
Infeksi = 7 %
Penyakit = 33 %
Penyakit = 46 %
Penyakit = 33,3 %
Penyakit = 14 %
Emboli = 6 %
Emboli = 7 %
Sumber : Dinas kesehatan kabupaten Probolinggo, Juni 2014 Tingginya AKB dan AKI diantaranya dipicu masih ada sebagian masyarakat yang bergantung dan percaya pada dukun untuk membantu proses persalinan. Di Kabupaten Probolinggo masih banyak dukun bayi, jumlahnya tercatat 641 orang. Masih ada dukun yang tidak mengerti soal sterilisasi dan higienitas. Ada dukun yang memotong tali pusar dengan bambu yang sudah ditajamkan. Setelah itu pusar, diisi ramuan rempah-rempah. Hal ini memicu infeksi pada bayi.
220 | Prosiding PKWG Seminar Series
Pokok permasalahan tingginya AKI di Pasuruan, di antaranya disebabkan oleh: 1. Rendahnya akses penduduk miskin pada layanan kesehatan yang berkualitas sehingga status kesehatan mereka tertinggal dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang lebih mampu. 2. Sulitnya mendapatkan/memanfaatkan fasilitas dan tenaga kesehatan yang berkualitas dan terjangkau bagi perempuan miskin. Motivasi bidan tinggal di desa rendah karena kurangnya insentif bagi bidan khususnya untuk penempatan di daerah terpencil dan miskin. Jumlah bidan desa yang sangat kurang dibandingkan dengan jumlah penduduk. 3. Fasilitas umum kesehatan masyarakat untuk melayani kesehatan reproduksi perempuan dalam banyak hal masih sangat terbatas. 4. Tingginya AKB dan AKI di antaranya dipicu masih ada sebagian masyarakat yang bergantung dan percaya pada dukun untuk membantu proses persalinan. Di Kabupaten Probolinggo masih banyak dukun bayi jumlahnya 641orang. Gizi buruk di Jawa Timur tertinggi juga di kabupaten Probolinggo. Balita penderita gizi buruk di kabupaten Probolinggo pada tahun 2011 sebanyak 2,3%, meningkat pada tahun 2012 menjadi 2,8%. Dua tahun berikutnya terus mengalami penurunan pada tahun 2013 sebanyak 2,26% dan tahun 2014 hanya 1,9%. Berdasarkan hasil pemantauan program gizi masyarakat di Jawa Timur pada tahun 2014 telah diketahui, ada kesalahan pada pola asuh yang memberikan kontribusi 40,7% terhadap kejadian gizi buruk, penyakit penyerta memberikan kontribusi 28,8%, kemiskinan memberikan kontribusi 25,1% dan faktor lain memberikan kontribusi 5,4%. Pola asuh yang tidak sesuai
Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari | 221
menggambarkan rendahnya pengetahuan individu terutama orang tua balita. Rendahnya pengetahuan tersebut berkaitan dengan perilaku gizi yang tidak sesuai. Berbagai cara pun ditempuh Dinas Kesehatan untuk menekan AKB dan AKI. Untuk menekan AKB dan AKI, dukun tidak boleh lagi menolong persalinan. Kuncinya sejak hamil, ibu diminta rutin memeriksakan kehamilannya di bidan atau dokter, sedangkan dukun byi diperankan untuk perawatan ibu dan bayi pasca persalinan. Membangun Forum Permusyawaratan Desa Pembangunan Keluarga
Komunikasi Melalui Badan Sebagai Upaya Mendukung
Masyarakat suku Tengger terdiri atas kelompok-kelompok desa. Masyarakat suku Tengger tidak mengenal dualisme kepemimpinan, walaupun ada yang namanya Dukun adat dan kepala desa. Tetapi secara formal pemerintahan dan adat, suku Tengger dipimpin oleh seorang Kepala Desa (Petinggi) yang sekaligus adalah Kepala Adat. Kepala desa di Tengger yang sekaligus Kepala Adat menempati posisi paling penting dalam kehidupan desa. Semangat UU No.6/2014 adalah menempatkan kepala desa bukan sebagai kepanjangan tangan pemerintah, melainkan sebagai pemimpin masyarakat. Artinya kepala desa harus mengakar dekat dengan masyarakat, sekaligus melindungi, mengayomi dan melayani warga masyarakat. Kepala desa/kepala adat di Tengger harus bersinergi dengan dukun dalam melindungi, mengayomi dan melayani warga masyarakat. Dukun diposisikan sebagai pemimpin Ritual/Upacara Adat. Dukun merupakan pimpinan yang berperan dalam memimpin berbagai macam upacara keagamaan. Dalam menjalankan aktivitasnya dukun Tengger mengucapkan mantra sesuai dengan bentuk dan tujuan upacara. Mantra-mantra dukun tengger hanya berfungsi untuk dua hal, yaitu untuk memperoleh atau menghasilkan sesuatu, 222 | Prosiding PKWG Seminar Series
dan memohon perlindungan dan keselamatan bagi seseorang, keluarga dan Masyarakat Tengger. Kepala desa juga merupakan kepala adat yang paham tentang ketaatan terhadap nilai-nilai yang harus dianut, menghargai keseimbangan alam seperti mengolah tanah atau lahan yang dimiliki, menghargai warisan leluhur dan anugerah yang harus diolah, dirawat, serta dijaga dalam mendatangkan hasil untuk kebutuhan hidup sehari-hari dalam mengambil dan memanfaatkan apa yang ada di alam, seperti air, tanah, hewan, dan pohon. Sebagai kepala desa juga merupakan kepala adat yang harus mempertahankan nilai-nilai tersebut di atas, maka kepala desa/kepala adat harus bersinergi dengan dukun dalam bentuk upacara adat. Upacara adat ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan alam yang dibangun dari sistem yang disepakati oleh masyarakat melalui mantra-mantra. Jadi dukun dapat menjembatani atau menghubungkan orang kebanyakan dengan roh-roh leluhur serta dewa-dewa yang berada di kayangan. Orang kebanyakan hanya dapat berkomunikasi dengan sing cikal bakal (penghuni pertama), sing mbau rekso (penjaga desa), dan roh-roh biasa. Kepemimpinan kepala desa di Tengger bersinergi dengan dukun merupakan kepemimpinan yang inovatifprogresif yang pro perubahan menampilkan karakter inovatif-progresif. Mereka tidak antidemokrasi, sebaliknya memberikan semangat transparansi, akuntabilitas dan partisipasi. Mereka mempunyai kesadaran baru bahwa komitmen Kepala Desa terhadap nilai-nilai baru itu menjadi sumber legitimasi bagi kekuasaan yang dipegangnya. Pembelajaran dan jaringan mereka dengan dinas-dinas pemerintahan terkait program-program pusat maupun daerah, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi keagamaan maupun organisasi kemasyarakatan, mereka terima dalam membangun dan mengembangkan potensi daerahnya terutama terkait dengan pembangunan keluarga mewujudkan kesetaraan Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari | 223
gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan & tumbuh kembang anak selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh suku Tengger. Kepala desa mempunyai komitmen dalam menggerakkan elemen-elemen masyarakat untuk membangkitkan emansipasi lokal dan membangun desa dengan mengoptimalkan aset-aset lokal. Untuk menjaga akuntabilitas, masyarakat Tengger telah mem bentuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai forum komunikasi dalam membangun dan mengembangkan potensi daerahnya terutama terkait dengan pembangunan keluarga mewujudkan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan & tumbuh kembang anak. Ada pergeseran (perubahan) kedudukan BPD dari UU No. 32/2004 ke UU No. 6/2014. Menurut UU No. 32/2004 BPD merupakan unsur penyelenggara pemerintahan desa bersama pemerintah desa, yang berarti BPD ikut mengatur dan mengambil keputusan desa. Namun UU No. 6/2014, BPD menjadi lembaga desa yang melaksanakan fungsi pemerintahan, sekaligus juga menjalankan fungsi menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa; melakukan pengawasan kinerja kepala desa serta menyelenggarakan musyawarah desa. Ini berarti bahwa eksklusi BPD a d a n y a penguatan fungsi politik (representasi, kontrol dan deliberasi). Pada UU No. 6/2014 tentang Desa, dalam Pasal 1 (ayat 5) disebutkan bahwa Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk menyepakati hal yang bersifat strategis. Pengertian tersebut memberi makna betapa pentingnya kedudukan BPD untuk melaksanakan fungsi pemerintahan, terutama mengawal 224 | Prosiding PKWG Seminar Series
berlangsungnya forum komunikasi permusyawaratan dalam musyawarah desa. Kondisi ini yang kemudian dipertegas dalam Undang-Undang Desa di Bagian Keenam, Pasal 54 (ayat 2), hal yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud meliputi: a) Penataan Desa; b) Perencanaan Desa; c) Kerja sama Desa; d) Rencana investasi yang masuk ke Desa; e) Pembentukan BUM Desa; f) Penambahan dan pelepasan Aset Desa; dan g) Kejadian luar biasa. Dalam hal ini Badan Permusyawaratan Desa sebagai forum komunikasi memiliki posisi yang strategis dalam hal pembangunan keluarga untuk mewujudkan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan & tumbuh kembang anak. Pelaksanaan kegiatan pembangunan ketahanan keluarga yang dikoordinasikan oleh dinas dengan melakukan kemitraan dengan Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi keagamaan dan organisasi. Badan Permusyawaratan Desa di suku Tengger sangatnya berorientasi pada proses, program dan target. Badan Permusyawaratan Desa di suku Tengger memiliki empat bidang dalam pembangunan keluarga mewujudkan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan & tumbuh kembang anak yaitu bidang kemasyarakatan, bidang ekonomi, bidang sosial budaya dan agama, serta bidang lingkungan hidup. Cukup menarik anggota BPD di suku Tengger terdiri dari perwakilan satu orang dari tiap dusun dan ada satu kader posyandu yang merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis. Keanggotaan BPD mengutamakan kesetaraan gender dan melibatkan kaum miskin. Keterlibatan ini diharapkan membangkitkan rasa percaya diri pada warga dan pada akhirnya menimbulkan rasa memiliki terhadap apa yang mereka hasilkan. BPD sebagai forum komunikasi dalam melaksanakan program pemerintahan, juga harus disesuaikan dengan Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari | 225
nilai-nilai sosial budaya lokal. Dinas kabupaten Probolinggo memberikan bantuan teknis, administratif, dana stimulan dan lain-lain dalam mewujudkan program pembangunan ketahanan keluarga. Supaya berjalan berjalan sesuai dengan entry point sehingga perlu melakukan komunikasi melalui BPD sebagai faktor pendukung agar kegiatan tersebut lebih berkembang. Disisi lain, BPD juga melakukan kemitraan membangun ketahanan keluarga dengan Perguruan Tinggi (PT), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi keagamaan dan organisasi kemasyarakatan untuk meningkatkan program berkelanjutan (kontiunitas). Kemitraan sangat efektif dalam membangkitkan kesadaran masyarakat melalui peran PT, LSM, organisasi keagamaan dan organisasi kemasyarakatan dalam mewujudkan ketahanan keluarga. Kemitraan meningkatkan efektifitasnya melalui keterlibatan mendalam dengan semua pemangku kepentingan baik dinas pemerintahan dengan PT, LSM, organisasi keagamaan dan organisasi kemasyarakatan, seperti pada model di bawah ini :
226 | Prosiding PKWG Seminar Series
MEMBANGUN FORUM KOMUNIKASI MELALUI BADAN PERMUSYAWARATAN DESA SEBAGAI UPAYA MENDUKUNG PEMBANGUNAN KELUARGA •Program-program Dinas Nasional, Propinsi dan Daerah
Kemitraan
•PT, LSM, organisasi keagamaan dan organisasi kemasyarakatan
BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (Perwakilan satu orang dari setiap Dusun)
PEMBANGUNAN KELUARGA MEWUJUDKAN KESETARAAN GENDER, PEMBERDAYAAN PEREMPUAN, PERLINDUNGAN & TUMBUH KEMBANG ANAK
•Lestarikan & majukan adat, tradisi, budaya masyarakat desa; •Prakarsa, gerakan, partisipasi Dengan model di atas, diharapkan wacana pengambil kebijakan pembangunan ketahanan keluarga di tingkat kabupaten Probolinggo menjadi terbuka lebar dan untuk memulainya tidak sesulit yang diduga tetapi memiliki dampak yang cukup besar sehingga harapan model membentuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai forum komunikasi dalam membangun dan mengembangkan potensi daerahnya terutama terkait dengan pembangunan keluarga mewujudkan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan & tumbuh kembang anak bisa diadopsi oleh Kabupaten/Kota yang ada. Program-program yang berhasil di suku Tengger bisa diadopsi oleh kabupaten/kota baik ditingkat lokal, regional maupun nasional karena program pembangunan keluarga mewujudkan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan & tumbuh kembang anak sering mendapatkan penghargaan baik ditingkat daerah, propinsi, nasional maupun internasional. Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari | 227
Program-program yang berhasil adalah: Program keragaman pangan dan ketahanan pangan (Program ini berhasil dan sebagai program percontohan di kabupaten Probolinggo dan program nasional); Pemberdayaan dan Pengembangan Peternakan; Jumlah Anak hanya satu (Pemenang ditingkat propinsi juara 1 maupun ditingkat nasional juara 1); Pengembangan Usaha Agrobisnis Perdesaan, mendapatkan Pinjaman Rp 100.000.000 (Usaha ini berhasil dan pinjaman Rp 100.000.000 sudah dikembalikan dengan lunas); Usaha cacing merah untuk kosmetik (Program ini berhasil dan sebagai program percontohan di kabupaten Probolinggo dan program nasional); Adanya Bina Keluarga Balita; Pendewasaan usia perkawinan; Penyuluhan tentang kesehatan reproduksi dan bahaya pergaulan bebas, narkotika, dan HIV/AIDS; Program Pendidikan Satu Atap (Program ini berhasil dan sebagai program percontohan di kabupaten Probolinggo dan program nasional); pelatihan dan pemberdayaan menjahit dan membordir; PAUD disinergikan dengan Dinas Kesehatan dalam rangka pemberdayaan orang tua untuk perlindungan & tumbuh kembang anak; Pembinaan tenaga bidan untuk membantu dukun bayi, Ante Natal Care Terpadu (pemeriksaan saat ibu hamil) (Program ini berhasil dan sebagai program percontohan di kabupaten Probolinggo dan program nasional; Pelayanan tentang penyakit kanker, HIV AIDS, dan yang berhubungan dengan penyakit kesehatan reproduksi; Deteksi Dini Tumbuh Kembang bagi Balita dan pemantauan status gizi; Deteksi Dini dan Monitoring Penggunaan Garam Beryodium bagi Balita; Program Bebas Buang Air Besar Sembarangan (satu-satunya satu-satunya kecamatan yang paling berhasil dalam program Bebas Buang Air Besar Sembarangan dan mendapat penghargaan dari World Bank.); Pembentuk Kelompok Pendukung ASI hal inilah yang menyebabkan AKB sangat rendah); Program UPPKS (Hal inilah menyebabkan tingkat pendapatan ekonomi keluarga penduduk Sukapura meningkat), Mengenal Bulan Bakti Gotong Royong (Terbaik pada bulan Bhakti Gotong Royong di tingkat 228 | Prosiding PKWG Seminar Series
propinsi Jawa Timur 2013). Beberapa keberhasilan tersebut menyebabkan AKI dan AKB di kecamatan Sukapura sangat kecil dibandingan seluruh kecamatan di kabupaten Probolinggo Mengenai sistem pemerintahan di desa Sukapura, telah ada sistem khusus yang menyatukan sistem administrasi negara dan sistem adat. Pemerintah desa terbagi atas dua: pemerintah desa yang mengurusi administratif dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Pemerintah desa berisi kepala desa, ketua RT dan ketua RW. Sedangkan BPD berisi perwakilan satu orang dari setiap dusun berdasarkan hasil musyawarah desa. BPD bertugas menjalankan fungsi legislasi. Sedangkan kepala desa adalah orang yang menjalankan fungsi eksekutif. Kepala desa yang telah menjadi kepala desa definitif, ia secara otomatis menjadi kepala adat. Kepala adat memiliki fungsi mengepalai dan memberikan keputusan mengenai halhal yang berurusan dengan adat. Musyawarah dilakukan di balai desa untuk menyelesaikan perkara yang berhubungan dengan masyarakat. Posisi BPD mempunyai fungsi yang dapat memperkuat kontrol dan legitimasi kekuasaan kepala desa. Forum komunikasi akan menciptakan kebersamaan (kolektivitas) antara pemerintah desa, BPD dan unsur-unsur masyarakat untuk membangun dan melaksanakan visi-misi perubahan desa. Musyawarah desa juga menghindarkan relasi konfliktual head to head antara kepala desa dan BPD. Keberhasilan program pembangunan keluarga mewujudkan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan & tumbuh kembang anak sangat tergantung pada bekerjanya fungsi politik BPD dan kepala desa. Kemitraan antara BPD dengan Kepala Desa adalah merupakan prinsip check and balances. Ada saling pengertian dan menghormati aspirasi warga untuk melakukan check and balances. Kondisi seperti ini akan Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari | 229
menciptakan kebijakan desa yang demokratis dan berpihak warga. Keberhasilan Desa yang dihuni Suku Tengger ini dapat dijadikan model pengembangan pembangunan keluarga yang berbasis komunitas dan kearifan lokal. Sebagaimana dikutip dari hasil penelitian “M Mo l K P K Keluarga Menuju K K l ” (2013), pengembangan model kebijakan (Policy Model) pembangunan keluarga menggunakan model yang dikembangkan Gass dan Sisson (1974). Dalam buku tersebut, Gass dan Sisson menjelaskan model kebijakan sebagai representasi sederhana mengenai aspek-aspek yang terpilih dari suatu kondisi masalah yang disusun untuk tujuan-tujuan tertentu. Model kebijakan dapat digunakan tidak hanya untuk menjelaskan dan memprediksi elemen-elemen suatu kondisi masalah, melainkan juga untuk memperbaikinya dengan merekomendasikan serangkaian tindakan untuk memecahkan masalah-masalah tertentu. Dikatakan bahwa model kebijakan dapat membantu membedakan hal-hal yang esensial dan tidak esensial dari situasi masalah, mempertegas hubungan diantara faktor-faktor atau variabel-variabel penting dan membantu menjelaskan serta mempredikdikan konsekuensi-konsekuensi dari pilihan kebijakan. Kesimpulan Masyarakat Suku Tengger memiliki kelebihan yang tidak ditemukan di wilayah lain di Jawa Timur, atau bahkan mungkin di tempat lain di Indonesia. Kearifan lokal budaya pada Suku Tengger merupakan modal budaya untuk mewujudkan ketahanan dan kesejahteraan keluarga melalui berbagai sumber budaya seperti dongeng/cerita rakyat, pepatah, wewarah, pantun, norma, serta berbagai upacara yang masih dilakukan hingga kini. Berbagai modal budaya yang dimiliki masyarakat Suku Tengger terbukti membuat mereka memiliki keberhasilan dalam berbagai program pembangunan, antara lain: Program keragaman 230 | Prosiding PKWG Seminar Series
pangan dan ketahanan pangan (Program ini dinilai berhasil dan sebagai program percontohan di kabupaten Probolinggo dan program nasional); Program Jumlah Anak Hanya Satu (sebagai Juara 1 ditingkat Propinsi maupun Juara 1 tingkat Nasional); Beberapa keberhasilan tersebut menyebabkan AKI dan AKB di kecamatan Sukapura sangat kecil dibandingkan seluruh kecamatan di Kabupaten Probolinggo Badan Permusyawaratan Desa di suku Tengger memiliki empat bidang dalam pembangunan keluarga mewujudkan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan & tumbuh kembang anak yaitu bidang kemasyarakatan, bidang ekonomi, bidang sosial budaya dan agama, serta bidang lingkungan hidup. Anggota BPD di suku Tengger terdiri dari perwakilan satu orang dari tiap dusun dan ada satu kader posyandu yang merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis. Keanggotaan BPD juga mengutamakan kesetaraan gender dan melibatkan kaum miskin. Keterlibatan ini diharapkan membangkitkan rasa percaya diri pada warga dan pada akhirnya menimbulkan rasa memiliki terhadap apa yang mereka hasilkan. Berbagai kekuatan sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat Desa, khususnya dari sisi Keluarga, Kelembagaan Desa, serta Sumber Daya Insani yang ada merupakan modal untuk berperan aktif serta menjalankan berbagai program pembangunan termasuk untuk menjalankan amanah Undang Undang Desa. Disinlah pentingnya nilai-nilai dan praktek adat berikut peran Kepala Desa yang sekaligus juga merupakan Kepala Adat yang paham tentang ketaatan terhadap nilai-nilai yang harus dianut serta menghargai keseimbangan alam untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. Kepala Desa/Kepala Adat dalam hal ini berperan sebagai aktor pendorong perubahan dalam mewujudkan kesetaraan Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari | 231
gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan dan tumbuh kembang anak. Hal ini menunjukkan sekaligus membuktikan bahwa masyarakat Suku Tengger memiliki kemampuan melakukan transformasi kultural dan sekaligus transformasi struktural di mana proses kesadaran manusia menjadi pusat sekaligus kunci dalam melaksanakan perubahan. Dalam hal ini dirasakan pentingnya membangun Forum Komunikasi melalui pengembangan Badan Permusyawaratan Desa (BPD), yang merupakan upaya mendukung pembangunan keluarga dalam mewujudkan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan & tumbuh kembang anak. Suatu upaya strategis yang akan membuka peluang percepatan menekan angka kematian ibu (AKI), angka kematian bayi (AKB) dan gizi buruk. Rekomendasi Penurunan AKI, AKB, maupun gizi buruk di daerah miskin menjadi point yang terpenting dalam pembangunan ketahanan keluarga yang dilaksanakan dengan memasukkan perspektif gender, di mana Kepala Desa/Kepala Adat dan BPD dapat memainkan peran penting. Dalam hal ini, BPD berperan penting untuk mewujudkan pembangunan ketahanan keluarga dengan pendekatan berbasis komunitas untuk membangun model forum komunikasi dan mediasi yang bermanfaat bagi masyarakat. Berikut ini disampaikan beberapa rekomendasi: 1. Agar kearifan lokal sebagaimana yang dimiliki masyarakat Suku Tengger dan telah terbukti memiliki keberhasilan dalam program-program pemberdayaan masyarakat, dapat dikaji secara mendalam untuk mengembangkan model kebijakan pembangunan keluarga berbasis komunitas dan kearifan lokal. 2. Untuk meningkatkan peran dan fungsi BPD, khususnya dalam peran mewujudkan pembangunan ketahanan
232 | Prosiding PKWG Seminar Series
keluarga. Maka, disetiap Desa perlu ditingkatkan peran dan fungsi BPD dengan rumusan yang jelas, sebagai pintu masuk mewujudkan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan & tumbuh kembang anak. Sebagai suatu upaya strategis yang akan membuka peluang percepatan menekan angka kematian ibu (AKI), angka kematian bayi (AKB) dan gizi buruk. 3. Agar ada upaya penciptaan mekanisme yang jelas dalam kelembagaan BPD yang dapat mendorong kearifan lokal untuk: (a) melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat desa yang kondusif bagi kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan & tumbuh kembang anak; (b) menyepakati hal-hal yang strategis yang mendukung ketahanan keluarga dengan pendekatan berbasis komunitas. 4. Pentingnya peningkatan peran BPD sebagai forum komunikasi dan mediasi dalam mewujudkan ketahanan keluarga, yang memiliki beberapa keuntungan: (a) BPD sebagai tempat komunikasi & informasi yang dapat diandalkan dalam meningkatkan gizi bayi, pertolongan pertama saat melahirkan, serta mendorong meningkatan kesempatan perempuan dalam ikut musyawarah dalam keutuhan keluarga; (b) BPD sebagai wadah untuk pengembangan kapasitas kelembagaan berbasis komunitas (nilai2, visi & misi) untuk mewujudkan ketahanan keluarga untuk kedepan. Daftar Pustaka Anonim, (2007) Rencana Aksi Nasional Pemenuhan Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan, diterbitkan oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI Arif Aris Mundayat, 2010, Edriana Noerdin, Erni Agustini, Sita Aripurnami & Sri Wahyuni, Target MDGs Menurunkan
Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari | 233
AKI tahun 2015 Sulit Dicapai, Jakarta: Penerbit Women Research Institute. Atnike Nova Sigiro, Perempuan dan kesejahteraan Keluarga di Indonesia: Kritik Atas Model Keluarga ‘Lelaki Sebagai Pencari Nafkah Utama’, dalam Jurnal Perempuan Edisi ke-73, Jakarta: Penerbit Yayasan Jurnal Perempuan, April 2012. Dinas Kesehatan Kabupaten Probolinggo, 2014, Kesehatan Ibu dan Anak. Gass, Saul I dan Roger L Sisson (ed)., 1974. A Guide to Models In Governmental Planning and Operations, Washington DC: Office of Research and Development Environmental Protection Agency. Gerung Rocky, (2008), ”Feminisme Versus Kearifan Lokal”, Jurnal Perempuan Edisi ke-57. Kementerian Kesehatan RI, 2010. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014. Jakarta. Ko
P (2008), Terhadap Kekerasan Ekonomi Rumah, Institusi Pendidikan, C K T Komnas Perempuan: Jakarta.
“K P dan Kekerasan Seksual: Di dan Lembaga Negara – P T 2008”.
Laporan Akhir Penelitian (belum dipublikasikan), “Membangun Model Kebijakan Pembangunan Ketahanan Keluarga Menuju Kesejahteraan Keluarga (Studi Kasus di Jawa Timur). Lembaga Kajian Pembangunan Masyarakat bekerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, tahun 2013. Otto, Herbet A, 1970, The Family in Search of A Future Alternate Models for Moderns, New York: AppletonCentury-Crofts Educational Division Meredith Corporation.
234 | Prosiding PKWG Seminar Series
S
N , 2006, “M K l I o M D Y Mo D B ”, l Y Ernawan (eds), Bunga Rampai Masalah Anak, Gender & Multikuturalisme. Yogyakarta: Penerbit Ar-Ruzz Media.
Survei Demogafi dan Kependudukan Indonesia (SDKI), 2012, Kesehatan Reproduksi Remaja, Badan Pusat Statistik Jakarta, Indonesia Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Jakarta, Indonesia Kementerian Kesehatan Jakarta, Indonesia MEASURE DHS ICF International Calverton, Maryland USA Sutrisno Mudji & Hendar Putranto (ed), 2005, Teori-Teori Kebudayaan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Peraturan Permen PPPA No.06/2013 tentang Pelaksanaan Pembangunan Keluarga Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan Nomor 06 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Pembangunan Keluarga, diterbitkan pada tahun 2013. Undang-Undang RI Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari | 235
Mengajukan Pengetahuan Lokal Toraja untuk Menghadapi Kematian Ibu dan Bayi Dina Gasong1 dan Ikma Citra Ranteallo2 Abstrak Angka kematian ibu dan bayi di Indonesia merupakan salah satu ancaman bagi ketahanan nasional. Hampir semua kebijakan kesehatan mengikuti standar-standar internasional dan nasional sehingga dapat mengurangi partisipasi aktif masyarakat dan mengabaikan pengetahuan-pengetahuan lokal yang telah dipraktikkan oleh para leluhur di masa lalu. Tulisan ini mengajukan pengetahuan lokal Toraja yang penting dipertimbangkan untuk menghadapi kematian ibu dan anak. Pengetahuan-pengetahuan lokal dapat menfasilitasi kemandirian dan tanggungjawab perempuan pada fungsi reproduksi; meningkatkan hak dan tanggung jawab sosial perempuan dalam menentukan masa kehamilan, jumlah anak dan jarak kehamilan; serta meningkatkan peran dan tanggung jawab sosial laki-laki terhadap dampak perilaku seksual dan fertilitas demi kesehatan dan kesejahteraan pasangan dan anak-anaknya. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, dengan beberapa pendekatan gender untuk mengevaluasi program-program kesehatan global terkait kematian ibu dan bayi. Peran aktif Kombongan sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat Kombongan telah mengelaborasi pengetahuan lokal, menyediakan informasi dan pelayanan untuk mencapai kesehatan reproduksi secara
1 2
Univeristas Kristen Indonesia Toraja Universitas Udayana Dina Gasong dan Ikma Citra Ranteallo | 237
optimal, serta memberdayakan dan mendampingi masyarakat dalam bidang kesehatan secara menyeluruh. Kata kunci: pengetahuan lokal, Toraja, kematian ibu dan bayi, gender, reproduksi Pendahuluan Pada tahun 2012, Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mempublikasi Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012: Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan. Angka Kematian Bayi (AKB) menurun dari 46 per 1.000 kelahiran hidup (KH) pada tahun 1997 menjadi 34 per 1.000 KH pada tahun 2007. Selain itu, tidak ada atau nihil kasus kematian bayi (0-11 bulan) di Kabupaten Toraja Utara tahun 2009, sedangkan pada tahun 2010 sebanyak 12 kematian bayi. Penyebab kematian meliputi asfiksia, berat badan lahir rendah (BBLR), dan lain-lain (Dinas Kesehatan Toraja Utara 2010-2011, di dalam Roosihermiatie et al. 2012). Secara sentralistik, setiap tahun data dikumpulkan dari berbagai daerah di Indonesia untuk dianalisis dan dirumuskan di pusat untuk menghasilkan berbagai kebijakan publik, demi meningkatkan taraf hidup penduduk. AKB dan Angka Kematian Ibu (AKI) juga termasuk di dalam kontrol pemerintah pusat. Meskipun pemerintah pusat telah menjalankan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, namun sebagian wilayah belum sepenuhnya dapat mencapai target-target pemerintah pusat. Rao, Vlassoff dan Sarode (2014) menyatakan pembangunan ekonomi belum cukup menghasilkan perubahan dalam kesehatan reproduksi di pedesaan India, melainkan pengaruh pemberdayaan sosial dan ekonomi berpengaruh besar pada perempuan dalam tingkat nasional dan mikro. Tingkat kelahiran rendah di 238 | Prosiding PKWG Seminar Series
pedesaan Maharashtra dapat memberi peluang bagi perempuan untuk bekerja di luar rumah dan berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat yang lebih luas. Relasi perempuan dan laki-laki sering dianggap timpang. Namun, generalisasi perlakuan diskriminasi dan kejam sebagai akibat praktik adat, khususnya pada perempuan, tidak selalu dapat dibenarkan. Hak asasi perempuan dan laki-laki justru berasal dari peraturan-peraturan adat tertentu, seperti halnya di Toraja. Kosmologi Toraja warisan Aluk To Dolo telah menempatkan perempuan setara dengan laki-laki. Aluk To Dolo adalah sistem kepercayaan yang dianut leluhur Toraja, sebelum generasi saat ini menganut keyakinan lain. Adat Toraja hingga saat ini masih mengakar dari Aluk To Dolo, meskipun sebagian adat telah mengalami akulturasi. Studi ini dapat berfungsi sebagai tinjauan awal terhadap kebijakan kesehatan, terutama bagaimana pengetahuan lokal Toraja dapat diajukan untuk menghadapi kematian ibu dan bayi. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Kombongan sebagai patner pemerintah telah menjembatani kebutuhankebutuhan pelayanan reproduksi di Toraja. Selain itu, kami mengajukan beberapa tradisi Toraja terkait isu tersebut, yang selama ini ditutupi oleh citra Toraja sebagai pelaksana upacara pemakaman yang konsumtif. Metode Penelitian Studi ini dilakukan dengan metode deskriptif-kualitatif untuk meninjau kembali beberapa pengetahuan lokal Toraja untuk dihadapkan pada standar-standar nasional dan internasional terkait AKI/AKB. Kami menggunakan pendekatan gender untuk menghubungkan persoalan reproduksi dengan pengetahuan lokal Toraja, yang dapat diajukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Dina Gasong dan Ikma Citra Ranteallo | 239
Sekilas Relasi Gender Toraja Sistem kekerabatan bilateral dalam adat Toraja berdasarkan prinsip sang rara sang buku (sang: satu, rara: darah, buku: tulang = satu darah satu tulang; ada hubungan biologis) sebagai pengikat persaudaraan. Jejak rara buku seseorang atau sebuah keluarga dimulai dari sepasang suami istri yang paling awal menempati atau mendirikan sebuah tongkonan (rumah). Tongkonan tidak hanya berfungsi sebagai rumah tempat tinggal, tetapi sumber kehidupan dan tempat “berpulang” saat mati. Oleh karena itu, hampir semua siklus hidup manusia– lahir, menikah dan meninggal –masih dilakukan di tongkonan oleh sebagian Orang Toraja. Pada proses kelahiran, seorang ayah diharapkan mendampingi istrinya dan bertugas menguburkan ari-ari bayi di sisi timur rumah, dan tidak boleh dipindahkan (Waterson 2006; 2009). Rumah (banua tongkonan) lambang perempuan atau istri di sisi selatan, dan alang (lumbung padi) di sebelah utara, melambangkan suami (muanena). Iatu banua, indo’na dakkaran kande sia dadian bati‘ (rumah adalah ibu atau sumber kehidupan dan kelahiran anak) (Waterson 1995; 2009). Lumbung padi (alang) dan rumah (tongkonan) merepresentasikan laki-laki dan perempuan. Tongkonan simbol perempuan, rahim dan mengandung janin (Hollan 2012). Silsilah keluarga Toraja diurut dari tongkonan buyut dan orang tua, dari garis perempuan dan laki-laki (de Jong, 2013), sehingga hak waris diterima seimbang oleh keduanya. Teknonimi (nama panggilan ayah dan ibu diambil dari nama anak) Toraja berasal dari nama anak pertama, tanpa dibedakan laki-laki atau perempuan. Dalam suatu ritual, publik dapat mengetahui siapa pendiri tongkonan saat berlangsung ritual atau upacara besar di tempat itu, siapa yang berasal dari pihak ibu (tanda indo’) dan pihak ayah (tanda ambe’). Bahkan salah satu pendiri tongkonan Nonongan, Kesu’, adalah seorang perempuan 240 | Prosiding PKWG Seminar Series
bernama Manaek, karena rumah didirikan di atas tanah leluhurnya (Waterson 1996). Pemberian nama laki-laki mengandung kata ‘matahari’ (allo) atau ‘langit’ (langi’). Misalnya, Ta’dung Allo dan Kambuno Langi’. Perempuan diberi nama Datu Manurun (putri dari langit), Datu Memonto (putri terkenal), dan namanama yang mengandung kata laut (tasik), seperti Liku Tasik (tempat terdalam di laut) (Nooy-Palm 1975; van der Veen 1966). Teologi Aluk To Dolo tidak banyak berbeda dengan hagiografi Kristen dalam konteks perempuan dan kekuasaan. Perkawinan langi’ (langit) kawin dengan tana (bumi) melahirkan Tulakpadang (Penyangga Bumi), Banggairante (Dewa Bumi; daratan luas), serta Gauntikembong (Dewa Dunia Atas). Sang bungsu menciptakan anak dari rusuknya, yaitu Usuk Sangbamban, yang menikah dengan Simbolong Manik, lalu melahirkan Puang Matua atau Tau Kaubanan. Indo’ Ongon-ongon adalah dewi penting di beberapa daerah; Indo’ Pare’-pare’ atau Indo’ Pare adalah Dewi Padi; Lokkon Loerara’ atau Simbolong Manik menikah dengan Usuk Sangbamban, mereka melakukan ritual pembersihan paling awal dalam sejarah Toraja; dan Indo’ Belo Tumbang tinggal di bumi dan menjadi perempuan pertama yang diperintahkan Puang Matua menyembuhkan Banno Bulaan (Nooy-Palm 1979). Indo’ Belo Tumbang atau Indo’ Bunga Sampa’ sebagai pelindung roh dari obat untuk menyembuhkan orang sakit dalam ritual maro (Volkman, dalam Zerner 1981). Sanda Bilik adalah istri Tamboro Langi’, dikenal sebagai leluhur to manurun (leluhur yang turun dari langit untuk tinggal di bumi). Pasangan ini mendirikan tongkonan di Ullin. Tongkonan Ullin selalu menjadi urutan pertama saat to mantaa (pembagi daging kerbau dalam upacara pemakaman tertentu) menyebut dan membagi daging (Waterson 2009). Indo’ Lobo’ atau Indo’ Memba’ka’ atau Indo’ Paranganan (‘Ibu Pertumbuhan’, ‘Ibu yang Membiakkan’) bertanggung jawab pada kesuburan di bumi. Ampu Padang (pemilik tanah) Dina Gasong dan Ikma Citra Ranteallo | 241
atau Puang Ruru’ (dewa perusak dan menyeramkan) yang membawa wabah cacar pada ternak dan manusia. Ritual penghormatan Puang Ruru’ adalah ma’bugi’ dan ma’pakorrong, agar dia tidak kembali ke bumi selama tujuh tahun (Waterson 1995). Kekuasaan dan otoritas perempuan Toraja pada seorang to burake tattiku’ (pendeta perempuan) dalam ma’bua’ (ritual panen hasil bumi). Dalam Aluk To Dolo, Orang Toraja mengenal istilah pendeta perempuan, yang disebut tadoe mboerake (mowoerake: guru; pemimpin) (Adriani dan Kruijt 1912). Dalam ritual ini, terdapat lima gadis bangsawan yang disebut to tumbang (di beberapa tempat perempuan yang belum menikah). Mereka dipingit oleh tongkonan untuk memimpin ma’bua’, khususnya di Kesu’, Pangala’, dan Riu (Nooy-Palm 1986). Mereka didampingi oleh pendeta perempuan banaa dan to burake (Waterson 2009). Perempuan sebagai representasi kelahiran dan kesuburan diasosiasikan dengan ritual-ritual terkait kehidupan dan dilaksanakan di sebelah timur tongkonan atau aluk rambu tuka’, seperti ma’bua’. Burake dianggap dari dunia atas sebagai representasi langit dan bumi (Nooy-Palm 1986). Dalam ritual eksorsis maro, to tumbang (seorang perempuan) mengalami trans atau tidak sadar diri. Maro adalah ritual transformasi hantu leluhur menjadi roh (deata), sehingga dapat memberkati dan memberikan kemakmuran bagi keluarganya. Dalam proses ini, to tumbang sedang berhubungan dengan dunia atas atau surga. Tumba' adalah perempuan yang melakukan aturan-aturan tertentu dalam ma’bua’. Tumba’ dapat pula berarti nama kehormatan kepada perempuan yang menjadi to tumbang. Mereka bertugas memulai ma’bua’ (Van deer Veen 1965). Laki-laki dan perempuan dapat menjadi to ma’dampi (pengobat paranormal). Dua diantara informan dalam penelitian ini tidak meneruskan menjadi to ma’dampi, dengan
242 | Prosiding PKWG Seminar Series
alasan banyak urusan rumah yang harus dikerjakan bila harus bepergian dan mengunjungi orang sakit (Waterson 2009). Kekuatan perempuan banyak ditampilkan dalam kapasitasnya sebagai santa (orang suci dalam Katolik) dan penghubung internal dengan kekuatan suci atau dunia lain. Misalnya, peran utama perempuan menghasilkan keajaiban dalam eksorsis dan pengobatan fisik dalam literatur hagiografi awal abad pertengahan. Kekuatan spiritual perempuan yang dianggap mengalami hubungan personal dengan Tuhan dibuktikan melalui tanda-tanda suci pada tubuh atau stigmata (Coakley 2006). Secara khusus, sistem matrilokal berlaku di Sa’dan. Daerah ini dikenal sebagai salah satu pusat tenun Toraja. Para penenun didominasi perempuan. Kelompok bersaudara perempuan tinggal di satu tempat. Meskipun demikian, setiap orang tua adalah bagian dari dua silsilah yang berbeda atau bilateral. Wujud kekuasaan diantara mereka adalah perempuan dari strata sosial atas, saudara perempuan tertua – dari lima kelompok bersaudara dalam silsilah To’ Barana’ – yang membiayai aktivitas menenun. Para penenun terlibat dalam kompetesi, misalnya pengetahuan tentang teknik dan keterampilan tenun, kemampuan, kecerdasan berbahasa, dan memperoleh bahan-bahan tenun, serta keuntungan dan distribusinya. Status ekonomi berpengaruh pada distribusi atau pembatasan menenun, bahkan perempuan dari lapisan sosial tinggi tidak dapat membeli benang tenun. Penyebabnya adalah pengetahuan dan keterampilan yang kurang. Perempuan dari lapisan sosial bawah tidak dapat berkembang karena status sosialnya, sehingga perempuan lapisan sosial atas sebagai patron tidak dapat menjual hasil tenun (Christou 2012). Menenun sebagai tradisi leluhur identik dengan pekerjaan perempuan. Beberapa perempuan berusia di atas 70 tahun masih dapat ditemukan, khususnya di Sa’dan. Hasil tenun dijual ke pengumpul yang memiliki toko-toko kerajinan di Dina Gasong dan Ikma Citra Ranteallo | 243
pusat kota, seperti Rantepao (Roosihermiatie et al. 2012). Hasil tenun juga banyak digunakan dalam upacara pemakaman untuk membungkus jenazah, sebagai dekorasi rumah dan keperluan upacara (LaDuke 1981). Menenun adalah kebanggaan bagi perempuan Sa’dan dari lapisan sosial atas. Sedangkan perempuan berpendidikan tinggi tidak menenun karena pengaruh pengetahuan baru di sekolah, berbeda dengan generasi sebelumnya. Para perempuan muda di Barana’ melakukan tugas-tugas rumah tangga sejak usia 5 dan 6 tahun, termasuk merawat bayi dari saudaranya dan, mulai menenun. Penenun didominasi perempuan, yang diwariskan dari pengetahuan dan keterampilan para ibu dan buyut perempuan. Perempuan sebagai penenun, bertanggungjawab memberi makan ternak babi sebagai miliknya. Mereka bahkan menabung untuk membeli ternak ini. Babi dan tenun adalah simbol femaleness, tanda kemakmuran dan status sosial perempuan. Babi dan kerbau adalah hewan penting dalam ritual Toraja, selain alasan ekonomi. Status dan kehormatan keluarga bernilai penting di Sa’dan (Christou 1997). Lamaran tradisional diajukan keluarga pihak laki-laki, didampingi perwakilan (to messua) untuk menemui keluarga (besar) perempuan. Mereka membawa pangngan (buah pinang, daun sirih, kapur sirih dan tembakau) untuk melamar perempuan. Pangngan diterima dan dikunyah, khususnya oleh keluarga perempuan, dilanjutkan dengan beberapa kesepakatan terkait pernikahan. Orang tua perempuan tidak segera menerima lamaran laki-laki sebelum semua proses alukna rampanan kapa’ selesai. Rampanan kapa’ berarti “melepaskan kapas”: kapas lepas dari tangkainya. Ungkapan ini mengacu pada pasangan menikah akan lepas dari orang tuanya lalu mendirikan keluarga baru. Kapa’ dapat berarti denda yang disetujui dalam proses lamaran, harus dibayar saat salah satu dari pasangan mengajukan cerai. Kapa’ adalah denda berupa kerbau yang harus dibayar bila bercerai dan 244 | Prosiding PKWG Seminar Series
melalui negosiasi dengan kombongan ada’ (para pemimpin kampung), sebagai mediator di antara dua keluarga (NooyPalm 1986). Menurut Waterson, perempuan Toraja tidak pernah dihambat untuk mengakses pendidikan, meskipun beberapa kasus perempuan dipaksa menikah pada usia relatif muda. Pada masa lalu, laki-laki biasanya menikah menjelang usia 30 tahun, sedangkan perempuan 25 tahun. Pasangan diharapkan lebih siap dewasa dan siang menikah. Laki-laki mampu mendukung istri dan menjadi pahlawan ketika terjadi perang antardesa di masa lampau. Kondisi sekarang memperlihatkan kenyataan bahwa perkawinan usia muda lebih sering terjadi. Bahkan perempuan yang menikah saat berusia 25 tahun dianggap sudah terlalu tua mendapatkan pasangan. Terdapat tiga dari empat perempuan yang berada dalam masalah ini. Perkawinan antar bangsawan dan bukan bangsawan relatif jarang ditemukan hingga kini. Namun, pada masa lalu banyak laki-laki aristokrat berhubungan dengan perempuan dari orang awam dan budak. Dalam beberapa kasus pada masa lalu, bangsawan perempuan menikah beberapa kali. Orang akan menyebutnya pia baine tongan to’o! (itu adalah perempuan sesungguhnya!) karena mempunyai banyak suami. Perempuan ini juga suka berjudi seperti laki-laki, kadang-kadang ikut dalam sabung ayam (Waterson 1995; 2009). Para perempuan dari tiga strata sosial teratas (tana’ bulaan, tana’ bassi dan tana’ karurung) dilarang menikah dengan orang di bawah strata sosialnya, kecuali oleh laki-laki dari strata sosial atas, meskipun status sosial anak akan diturunkan dari garis ayah dan ibu. Pada masa lampau, perempuan dari strata sosial atas dikenai sanksi mati bila menikah dengan laki-laki dari strata sosial di bawahnya (Crystal 1974). Orang tua kadangkala turut campur dalam perjodohan. Salah satunya dalam lagu pop daerah Toraja “Pa’poraianna Tomatuammu” (Kehendak Orang Tuamu), diciptakan Abraham Pala’biran. Liriknya mengenai Dina Gasong dan Ikma Citra Ranteallo | 245
penolakan cinta seorang perempuan pada seorang laki-laki. Hubungan mereka terlarang dan tidak direstui orang tua dari perempuan, karena status sosial laki-laki dari lebih rendah (Hicken 2010). Suami istri petani saling berbagi pekerjaan. Laki-laki mengerjakan tugas-tugas yang lebih berat, seperti mencangkul tanah, sementara istri menyiapkan kayu bakar untuk memasak. Saat musim panen, perempuan mengatur isi lumbung dan pangan keluarga. Suami yang campur tangan dalam tugas tersebut akan diejek “muane daru’” (laki-laki pelit). Pelit karena dianggap tidak ingin berbagi. Pasangan yang telah menikah, perempuan menjadi pemilik rumah apabila dibangun di atas tanah milik keluarganya. Suami harus pergi bila mereka bercerai, dan dia dapat memiliki lumbung sebagai pengganti (Waterson 1995; 2009). Bahkan, beberapa perempuan melakukan hal-hal identik dengan laki-laki. Misalnya, merokok, minum tuak dan duduk di tengah ritual pembagian daging kerbau dalam upacara kematian (Hollan dan Wellenkamp 1994; Waterson di dalam González-Ruibal 2006). Laki-laki identik dengan kepiawaian dan otoritas berbicara, diungkapkan dengan ma’kada muane (berbicara seperti lakilaki). Namun perempuan pun dapat digambarkan dalam ungkapan yang sama, yaitu tegas dan berpendirian teguh. Kemampuan berbicara juga dianggap bagian dari kepribadian bangsawan. Salah satu informan perempuan Waterson adalah Bine’ Tombang di Menduruk, keturunan bangsawan yang dikenal tegas dalam menyelesaikan perselisihan di kampungnya. Waterson menemukan beberapa perempuan menjadi pemimpin di beberapa kampung selama masa prakolonial atau kolonial. Modal menyandang status sosial tinggi dan ketiadaan peran laki-laki adalah peluang bagi para perempuan tersebut. Perempuan yang beperan dominan di keluarga aristokrat berpengaruh di Nanggala, dikenal dengan sindo’ (ibu). Perempuan sebagai ibu lebih dihormati dalam 246 | Prosiding PKWG Seminar Series
upacara pemakaman. Jumlah kerbau yang di kurbankan lebih banyak daripada suaminya. Dadi ki’ lan lino, baine umpodadiki’ (kita lahir di dunia dari rahim perempuan). Kekerasan domestik sangat jarang ditemukan, karena bila suami tinggal di kampung istri, orang tua dari istri atau keluarganya akan turut campur, bahkan mungkin akan dipaksa untuk bercerai (Waterson 1995; 2009). Perempuan bekerja juga menjadi catatan dalam beberapa penelitian. Menurut Departemen Kesejahteraan Sosial, sejumlah 60% perempuan dari Toraja menjadi wanita tuna susila (WTS) di Makassar, dari total 800-1000 orang. Alasan ekonomi yang menjadi alasan prostitusi dibantah oleh Wijker, yang lebih menyebut hal ini sebagai penyimpangan moral. Pada akhir 1960-an, banyak laki-laki dan perempuan dari Toraja menjadi buruh pabrik di Malaysia bagian timur, di antara mereka adalah migran para gadis dan perempuan dewasa menjadi WTS di area pabrik. Berbeda dengan Malaysia bagian timur, di daerah Tawau, Sabah, banyak pekerja ilegal dari Toraja tinggal di sini. Mereka menanam sayur-sayuran untuk dijual di pasar, atau bekerja di perkebunan coklat. Tidak ada satupun perempuan Toraja di daerah ini menjadi WTS karena beberapa tahun sebelumnya kelompok orang tua telah berupaya melawan industri seks ini (Mangoting 1975, dalam de Jong 2013). Bahkan pada masa lalu, prostitusi di Toraja telah dilakukan oleh wanita yang belum dan sudah menikah, sehingga banyak penyakit menular seksual yang mengerikan (Bieshaar, 1926). Falsafah Tallu Lolona dalam Budaya Toraja Kebudayaan Toraja dikenal falsafah tallu lolona, a’pa’ oto’na. Tallu lolona berarti tiga pucuk kehidupan yaitu manusia, tanaman, dan hewan. Dari ketiga hal ini lolo tau (manusia) yang paling kudus. Menurut Sandarupa (2014), dalam teks mitos penciptaan dunia terdiri atas dua bagian, yaitu perjalanan dewa-dewa dan ajaran agama di langit (lalanna sukaran aluk), serta perjalanan leluhur di bumi (lalan Dina Gasong dan Ikma Citra Ranteallo | 247
ada’). Teks penciptaan mengonstruksi bahwa baik nenek manusia maupun nenek binatang dan tanaman berasal dari sumber yang sama (sauan sibarrung), dan mereka bersaudara (sangserekan). Namun setelah turun ke bumi mereka melaksanakan fungsi secara berbeda-beda. Pada mulanya Puang Matua menciptakan satu kelompok moyang yang genap delapan (to sanda karua), yaitu nenek manusia (Datu Laukku’), nenek pohon ipo atau ipuh (Allo Tiranda), nenek kapas (laungku’), nenek hujan (pong pirikpirik), nenek burung (Menturini), nenek kerbau (Manturini), nenek besi (riako), dan nenek padi (takkebuku). Sisa-sisa penciptaan-Nya dituangkan ke lembah-lembah yang kemudian tumbuh sebagai hutan-hutan. Inti ajaran dalam teks ini, kata tua-tua adat, ialah manusia tidak boleh serakah dan memperlakukan alam secara semena-mena karena mereka bersaudara. Sebelum masuk hutan (pangngala’ tamman), upacara harus dilakukan untuk meminta izin kepada nenek moyang yang bersangkutan agar tidak mengakibatkan kematian. Pengelolaan relasi berbagai elemen kosmos ini yang diatur Aluk bersumber dari ajaran agama (sukaran aluk) yang meliputi upacara aluk, larangan (pemali), kebenaran umum (sangka’), dan kejadian sesuai dengan alurnya (salunna). Dalam mitos turunnya manusia pertama (Pong Mula Tau) di Rura (sekarang Enrekang) Tangdilino menyuruh Pong Bulu Kuse dan Pong Sabannnangna masuk ke dalam hutan menebang pohon tanpa melakukan upacara, maka semua pohon menyebutkan namanya yang menyebabkan kematian (kada beko) pada manusia kalau mereka menebangnya. Keserakahan terhadap alam adalah pertanda hubungan nonsaudara. Reproduksi relasi anak dara-anak muane, relasi persaudaraan tampak dalam kata-kata yang mematikan (kada beko), dan kata-kata yang menghidupkan (kada tuo). Apabila manusia menggunakan pohon yang ada dalam hutan tanpa melakukan mediasi (ritual likaran biang) yaitu upacara 248 | Prosiding PKWG Seminar Series
kehidupan dengan mengorbankan ayam di hutan, maka berakibat kesulitan bagi manusia. Sebaliknya apabila akan menggunakan kayu dari hutan untuk kebutuhan manusia dengan melakukan ritual likaran biang, maka pohon-pohon itu akan memberikan rezeki. Kebudayaan Toraja Menyangkut Kelahiran Bayi Kehidupan manusia Toraja selalu berkaitan dengan tongkonan. Proses manusia dalam tongkonan, diawali dari proses melihat kelahiran yang bisa diharapkan dapat meneruskan generasi dalam tongkonan. Memmata diriai suru’ menjadi manusia seutuhnya. “Begitu besar penghormatan kepada aluk sola pemali, maka dalam upacara ma’bua’ (ritus tertinggi dalam rambu tuka’) aluk dipandang sebagai sebagai oknum yang diberi makan dan disapa” (Manta’ 2011:27). Perkembangan taraf hidup adalah berkat yang berjalan sesuai aturan. Apabila lahir seorang bayi sesuai aturan kegembiraan, maka orang akan berteriak dalam bahasa Toraja untuk anak perempuan melale’, untuk anak laki-laki dalam bahasa Toraja disebut sumappuko. Pada proses ini, dapat diperkirakan apakah kehidupan bayi akan sejahtera (lama’matasiaraka lalanna). Apabila bayi tersebut sehat, maka setelah tiga atau empat malam dilakukanlah ma’kuku’ sesuai aturan untuk kehidupan manusia (surusanna lolo tau). Dalam acara tersebut, keluarga dapat menyembelih ayam atau babi. Apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam rumah tangga, misalnya ada yang sakit atau mengalami bencana, maka perlu diadakan refleksi diri yang disebut ma’biangbiang, mangngaku kumba’, mangure tanda tinoran. Dalam kondisi seperti ini, dilakukan beberapa ritus, meskipun saat ini hanya dijumpai pada daerah tertentu misalnya Tikala : 1. Berobat kepada orang yang menjadi penyembuh yaitu Datu Mengkamma’ dan Indo Belo Tumbang;
Dina Gasong dan Ikma Citra Ranteallo | 249
2. Menemui pemangku adat (Ma’biang-biangngi lako to minaa), dan bila hal itu berkelanjutan (menahun) maka perlu diadakan penyembuhan melalui ritus ma’bugi’. Dengan demikian harmoni tallu lolona dapat terwujud dan sekaligus sebagai kelayakan dan kebebasan dari hal-hal yang menghambat kesejahteraan keluarga (to ma’ rapu); dan 3. Menyangkut pemali (larangan). Dalam budaya Toraja, disebutkan bahwa anak-anak tidak boleh di pintu, karena nanti kena penyakit paru-paru (balombongan). Jika membawa anak keluar rumah (jalan) harus bersama dengan daun-daun dalam bahasa Toraja disebut (sualang, kunyit, atau karingo), dengan maksud supaya tidak tammutammuan (roh-roh jahat tidak menggangu). Bayi kalau baru lahir harus dibungkus rapat (dibi’bi) supaya tidak terserang mata tinggi (sittaran). Bayi dimandikan dengan cara diletakkan di kaki, sementara sang Ibu duduk dengan kaki diluruskan ke depan. Bayi yang mengalami demam sebaiknya diberi minyak kelapa yang dicampur dengan bawang merah, agar panasnya turun. Zaman dulu ibu sering memberi makan bayinya dengan mengunyah (ditamman) terlebih dahulu kemudian memasukkan ke dalam mulut bayinya dengan maksud supaya tetap ada hubungan emosional dengan bayinya. Ibu hamil tidak boleh makan jantung pisang (puso) karena nanti anaknya semakin mengecil (passa puso). Ibu hamil harus kerja misalnya menumbuk padi (ma’lambuk) untuk melancarkan persalinan. LSM Kombongan dan Kesehatan Reproduksi Kombongan adalah LSM yang didirikan pada tanggal 17 Mei 1998, dikukuhkan dengan Akte Notaris No. 06, dan telah terdaftar pada kantor pengadilan negeri Makale Tana Toraja Nomor 02/BHK/III/2003, Kesbang No. 220/150/KKL/VI/2003, dan Dinas Kesejahteraan Sosial No. 250 | Prosiding PKWG Seminar Series
133/460/VII/DKS/2004. Kombongan sebagai salah satu lembaga swadaya masyarakat telah memberikan peran yang positif dalam mendukung kondisi-kondisi perempuan. Ada lima isu yang menjadi perhatian Kombongan, salah satunya adalah kesehatan reproduksi perempuan. Progam Kombongan menyangkut kesehatan reproduksi perempuan dimaksudkan agar perempuan dapat memahami bagaimana memiliki bayi yang sehat, dan dapat melahirkan dengan selamat. Dengan “Semangat Kemitraan”, Kombongan sebagai LSM berperan aktif dalam kegiatan pembangunan melalui pendekatan serta strategi pendampingan yang efektif dan berkesinambungan, khususnya menguatkan masyarakat dalam memerangi kemiskinan, ketertinggalan dan ketidakdilan. Kombongan juga merupakan “lembaga konsultasi” yang memiliki tatanan berkarya dan berpartisipasi dalam mengatasi kemiskinan dan ketertinggalan. Cara yang ditempuh yakni menumbuh-kembangkan hak masyarakat dan penguatan sumber daya masyarakat itu sendiri secara arif dan berkesinambungan. Masyarakat didampingi, dikuatkan dan digerakkan untuk memecahkan masalahnya sendiri dalam upaya menggapai kemandirian yang mengarah pada suatu tatanan kehidupan masyarakat sipil yang demokratis. Kombongan adalah “lembaga independen” yang berkarya di masyarakat tanpa membedakan suku, agama dan ras serta tidak berafiliasi dengan salah satu partai politik. Dengan Visi mewujudkan masyarakat sipil yang mandiri, demokratis dan berkeadilan gender. Persoalan kesehatan reproduksi bagi perempuan Toraja sangat erat kaitannya dengan pengetahuan-pengetahuan lokal dalam budaya Toraja, khususnya dalam falsafah Toraja keharmonisan hubungan antara tiga komponen, yaitu kehidupan manusia, kehidupan hewan, dan kehidupan tanaman dalam budaya Toraja dikenal Tallu Lolona. Agar Dina Gasong dan Ikma Citra Ranteallo | 251
manusia selamat menjalani kehidupan, termasuk dalam melahirkan bayi, maka manusia perlu menjalin hubungan yang harmonis dengan hewan, dan tanaman. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di Makale (Kab. Tana Toraja) dan Rantepao (Kab. Toraja Utara) pada Desember 2014, disimpulkan bahwa kondisi umum yang tampak di Toraja adalah bahwa hampir semua rumah tangga di Toraja memiliki anak di atas lima orang bahkan ada yang sampai 14 orang se-ibu, se-bapa. Di samping ada yang bersaudara se-ibu atau se-bapa saja. Kondisi ini terutama dijumpai pada era 50-60—an. Yang lebih menarik lagi adalah dari keluarga-keluarga tersebut, justru umumnya sukses mendidik anak-anak mereka. Kondisi ini menarik untuk dikaji karena saat itu, belum dikenal penanganan kelahiran secara medis, kalaupun ada tenaga medis masih sangat langkah dan biaya tidak terjangkau. Apa yang menyebabkan ibu-ibu dapat melahirkan dengan sehat? Bayi yang dilahirkan sehat, dan cerdas. Dari observasi tersebut diketahui bahwa pada sekitar tahun 50-60-an sekitar 90% ibu yang melahirkan sehat. Dengan demikian diduga bahwa mungkin ada pengetahuanpengetahuan lokal yang diterapkan sehingga kondisi seperti yang telah diuraikan di atas dapat terjadi. Kombongan telah melakukan beberapa kegiatan terkait kesehatan reproduksi: 1. Pendidikan sex dan pengetahuan tentang fungsi alat reproduksi; 2. Layanan kesehatan yang belum dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat, termasuk layanan kesehatan reproduksi Layanan kesehatan reproduksi bertujuan meningkatkan kemandirian perempuan dalam memutuskan peran dan fungsi reproduksi; meningkatnya hak dan tanggungjawab sosial perempuan dalam menentukan kapan hamil, jumlah dan jarak kehamilan; serta meningkatnya peran dan 252 | Prosiding PKWG Seminar Series
tanggungjawab sosial laki-laki terhadap akibat dari perilaku seksual dan fertilitasnya kepada kesehatan dan kesejahteraan pasangan dan anaknya. Dukungan yang menunjang perempuan untuk membuat keputusan yang bekaitan dengan proses reproduksi, berupa pengadaan informasi proses dan pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan untuk mencapai kesehatan reproduksi secara optimal. Persoalan kesehatan reproduksi membutuhkan Intervensi pemerintah dan negara, bisa melalui peraturan perundangundangan, kebijakan yang terimplemantasi dalam bentuk program/kegiatan. Misalnya program KB, undang-undang yang berkaitan dengan masalah genetik, dan lain sebagainya; Tersedianya pelayanan kesehatan reproduksi dan keluarga berencana, serta terjangkaunya secara ekonomi oleh kelompok perempuan dan anak-anak; Kesehatan bayi dan anak-anak terutama bayi dibawah umur lima tahun; Dampak pembangunan ekonomi, industrialisasi dan perubahan lingkungan turut mempengaruhi kesehatan reproduksi. Selain dari itu, Faktor sosial-ekonomi dan demografi, terutama kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah dan ketidaktahuan tentang perkembangan seksual dan proses reproduksi, serta lokasi tempat tinggal yang terpencil adalah persoalan yang dialami masyarakat terkait dengan kesehatan reproduksi. Kesimpulan dan Rekomendasi Sehubungan dengan fakta bahwa fungsi dan proses reproduksi harus didahului oleh hubungan biologis, maka hal yang perlu dicapai dari program kesehatan reproduksi adalah meningkatkan kesadaran kemandiriaan perempuan dalam mengatur fungsi dan proses reproduksinya, termasuk kehidupan seksualitasnya, sehingga hak-hak reproduksinya dapat terpenuhi, yang pada akhirnya menuju peningkatan kualitas hidupnya. Untuk mencapai hal tersebut maka perlu dijabarkan beberapa hal yang hendak dicapai terlebih dahulu, Dina Gasong dan Ikma Citra Ranteallo | 253
yaitu: Meningkatnya kemandirian perempuan dalam memutuskan peran dan fungsi reproduksinya; meningkatnya hak dan tanggung jawab sosial perempuan dalam menentukan kapan hamil, jumlah dan jarak kehamilan; meningkatnya peran dan tanggung jawab sosial pria terhadap akibat dari perilaku seksual dan fertilitasnya kepada kesehatan dan kesejahteraan pasangan dan anak-anaknya; dukungan yang menunjang wanita untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan proses reproduksi, berupa pengadaan informasi dan pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan untuk mencapai kesehatan reproduksi secara optimal. Tujuan di atas ditunjang oleh undang-undang No. 23/1992, bab II pasal 3 yang menyatakan: “Penyelenggaraan upaya kesehatan bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat”, dalam bab III pasal 4 “Setiap orang menpunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal”. Sesuai dengan undang-undang Nomor 23/1992 dan undang-undang Nomor10/1992, Strategi kesehatan reproduksi nasional diarahkan pada rencana intervensi untuk mengubah perilaku didalam setiap keluarga. Tujuannya adalah menjadikan keluarga sebagai utama dan pintu masuk upaya promosi pelayanan kesehatan reproduksi. Beberapa rekomendasi penting meliputi: a. Perlu dilakukan intervensi terhadap pembentukan peraturan dan kebijakan pemerintah daerah dalam kerangka memperkuat upaya mewujudkan kondisi yang diharapkan. b. Membentuk dan memperkuat basis kelompok perempuan dan Kader perempuan (meningkatkan kapasitas) di semua wilayah untuk mendorong peningkatan fungsi dan peran perempuan serta terpenuhinya hak-hak perempuan. c. Perlu ada kemauan (political will) Penyelenggara Pemerintahan (Pemerintah Daerah dan DPRD) untuk 254 | Prosiding PKWG Seminar Series
membuat kebijakan (bisa dalam bentuk Peraturan Daerah atau Peraturan Bupati dan program/kegiatan SKPD) dan memberlakukan secara konsisten untuk mengatasi hambatan dalam penanggulangan kemiskinan. Perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan program serta kebijakan pemerintah hendaknya berjalan secara transparan, akuntabel dan partisipatif sehingga fungsi dan peran masyarakat berjalan secara efektif. d. Mempertajam pemahaman gender kepada semua instansi Pemerintah Daerah, termasuk instansi vertikal yang ada di Kabupaten Tana Toraja. e. Mengembangkan program/kegiatan responsif gender f. Membangun kemitraan yang efektif dengan lembaga – lembaga keswadayaan (LSM) dan media massa untuk menciptakan pola pikir yang responsif gender. DAFTAR PUSTAKA Adriani, N. dan ALB. C. Kruijt, De Bare’e-Sprekende Toradja’s van Midden-Celebes, Batavia, Landsdrukkerij, 1912. Bieshaar, W. 1901-1926, De Gereformeerde Zendingsbond Na 25 Jaren, Den Haag, Gedenboek, 1926. Christou, Maria “Sisters and Others: The Power and Politics of Weaving Supplementary Weft Textiles in a Sa'dan Toraja Village”, Textile Society of America Symposium Proceedings, 2012, Paper 667. Christou, Maria An Ethnographic Study of the Loom and Weaving of the Sa’dan Toraja of To’ Barana’ (MA. Thesis, tidak dipublikasikan), Clothing and Textiles, Department of Human Ecology, University of Alberta, 1997.
Dina Gasong dan Ikma Citra Ranteallo | 255
Coakley, John W. Women, Men, and Spiritual Power: Female Saints and Their Male Collaborators, New York, Columbia University Press, 2006. Crystal, Eric “Cooking Pot Politics: A Toraja Village Study”, Indonesia, 1974, No. 18, hal. 118-151. de Jong, Edwin Making a Living between Crises and Ceremonies in Tana Toraja: The Practice of Everyday Life of a South Sulawesi Highland Community in Indonesia, Leiden dan Boston, Brill, 2013. Gasong, Dina. “Sejarah Daya Tarik Tana Toraja. Yogyakarta: Gunung Sopai, 2013. González-Ruibal, Alfredo “House societies vs. Kinship-based societies: An Archaeological Case from Iron Age Europe”, Journal of Anthropological Archaeology, 2006, 25, hal. 144– 173, doi:10.1016/j.jaa.2005.09.002. Hicken, Andy “The Wishes of Your Parents”: Power Ballads in Tana Toraja, Indonesia”, Journal of Popular Music Studies, Vol. 22, Issue 2, 2010, hal. 198–218. Hollan, Douglas W. dan Jane C. Wellenkamp, Contentment and Suffering: Culture and Experience in Toraja. New York, Columbia University Press, 1994. Hollan, Douglas “Cultures and Their Discontents: On the Cultural Mediation of Shame and Guilt”, Psychoanalytic Inquiry, 2012, No. 32, hal. 570–581. DOI: 10.1080/07351690.2012.703898. LaDuke, Betty “Traditional Women Artists in Borneo, Indonesia and India”, Woman's Art Journal, 1981, Vol. 2, No. 1, hal. 17-20. Manta’, Yohanis R. “Sastra Toraja Kumpulan Kada-kada To minaa dalam Rambu Tuka’ Rambu Solo’, Rantepao:Sulo, 2011.
256 | Prosiding PKWG Seminar Series
Nooy-Palm, H.M. “Introduction to the Sa'dan Toraja People and Their Country”, Archipel, Vol. 10, 1975, hal. 53-91. doi : 10.3406/arch.1975.1241. Nooy-Palm, Hetty, The Sa’dan Toraja; A study of their social life and religion. Vol. I: Organization, Symbols and, Beliefs, The Hague, Marthinus Nijhoff. [KITLV, Verhandelingen 87.] 1979. Nooy-Palm, Hetty, The Sa’dan Toraja; A study of their social life and religion. Vol. II: Rituals of the East and West, Dordrecht: Foris. [KITLV, Verhandelingen 118.] 1986. Roosihermiatie, Betty et al. (Ed.), Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012: Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan, Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, 2012. Sandarupa, Stanislaus. “Pembangunan Pariwisata Berbasis Tallu Lolona” disampaikan dalam Seminar Pariwisata Berbasis Tallu Lolona dalam rangkaian Toraja International Festival yang diselenggarakan oleh PEMDA Toraja di Ulu Salu Toraja pada tanggal 12 – 13 Agustus 2014. Veen, H. van der, “The Sa’dan Toradja Chant for the Deceased”, Springer-Science+Business Media, 1966. Veen, H. van der, “The Merok Feast of the Sa’dan Toradja”, Springer-Science+Business Media, B.V. , 1965. Waterson, R. “Houses, Graves and the Limits of Kinship Groupings among the Sadan Toraja”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 1995a, 151, no. 2, Leiden, hal.194217. Waterson, Roxana “Entertaining a Dangerous Guest: Sacrifice and Play in the Ma'pakorong Ritual of the Sa'danToraja”, Oceania, 1995b, Vol. 66, No. 2, hal. 81-102. Dina Gasong dan Ikma Citra Ranteallo | 257
Waterson, Roxana “The Contested Landscapes of Myth and History in Tana Toraja” dalam James J. Fox (ed.), The Poetic Power of Place: Comparative Perspectives on Austronesian Ideas of Locality, Canberra, ANU E Press, 2006. Waterson, Roxana, Paths and Rivers: Sa’dan Toraja Society in Transformation, Leiden, KITLV, 2009. Zerner, Charles “Signs of the Spirits, Signature of the Smith: Iron Forging in Tana Toraja”, Indonesia, Vol. 31, 1981, hal. 89-112.
258 | Prosiding PKWG Seminar Series
Sinergisitas Bidan dan Dukun Beranak: Paradoks Kearifan Lokal dan Kebijakan Pemerintah dalam Menurunkan Angka Kematian Ibu dan Bayi Varinia Pura Damaiyanti1 Abstrak Millenium Development Goals atau yang disingkat MDGs memiliki delapan tujuan antara lain tentang: 1)menghapus kemiskinan dan kelaparan; 2) pencapaian pendidikan untuk semua masyarakat; 3) mendorong kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan; 4) mengurangi angka kematian anak; 5) meningkatkan kesehatan ibu; 6) memerangi HIV/AIDs dan penyakit lainnya; 7) kelestarian lingkungan; 8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. Berdasarkan delapan MDGs tersebut dapat kita cermati bahwa persoalan gender dan persoalan kesehatan baik ibu dan anak menjadi persoalan penting. Tentunya persoalan tersebut tidak hanya berada di tingkat makro, tetapi juga pada tingkat mikro. Persoalan kesehatan khususnya pada ibu dan anak telah menjadi agenda penting yang perlu dikaji. Sekalipun angka kematian pada ibu dan anak telah menurun tetapi masih perlu perhatian khusus, tidak hanya oleh pemerintah, tenaga medis, tapi juga oleh masyarakat. Hal inilah yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu bagaimana peran dan sinergisitas bidan dan dukun beranak dalam menjaga kesehatan ibu hamil, khususnya ketika terjadi 1
FISIP Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin Varinia Pura Damaiyanti | 259
persinggungan antara ilmu kesehatan ilmiah bidan dengan ilmu kesehatan supranatural dukun. Keterkaitan kesemuanya ini dengan budaya masyarakat Banjar yang cenderung merupakan masyarakat transisi, yaitu masyarakat modern yang masih kuat memegang nilai-nilai luhur atau kearifan lokal sebagai warisan budaya tak pelak menjadi menarik untuk dicermati. Penelitian ini mendapati bahwa terjadi persinggungan antara ilmu yang dimiliki oleh bidan dengan ilmu yang dimiliki oleh dukun beranak. Di kalangan perempuan Banjar masih terdapat kekhawatiran mengenai pengalaman dan kemampuan bidan dalam merawat kehamilan, khususnya dalam hal pemberian ramuan dimana dukun beranak memberikan ramuan alami yang diracik sendiri sedangkan bidan memberikan ramuan (obat dan vitamin) yang diproses dengan cara modern. Ramuan tradisional sangat dipercaya oleh perempuan Banjar, padahal bisa jadi ramuan tersebut bertentangan dengan ilmu kesehatan ilmiah seorang bidan. Selain itu, dukun beranak dianggap lebih jitu dalam memprediksi waktu kelahiran, sedangkan bidan dan dokter bisa salah memperkirakan waktu kelahiran. Kemudian dukun beranak dipandang memiliki pengetahuan agama yang lebih ketimbang bidan, oleh karenanya meminta doa dari dukun beranak juga menjadi agenda rutin para ibu hamil. Menyikapi hal tersebut para bidan pada dasarnya tidak mempersoalkan keberadaan dukun beranak, selama treatment yang mereka berikan kepada ibu hamil tidak bertentangan dengan ilmu kesehatan ilmiah. Ketika menjumpai treatment yang melenceng, para bidan berusaha membangun kedekatan emosional dengan pasien guna memberikan kesadaran apa yang benar sesuai ilmu kesehatan ilmiah, hal ini dilakukan untuk meminimalisir kelainan atau kejadian di luar dugaan yang dapat berakibat buruk pada kesehatan ibu dan janin. Kata Kunci: Bidan, Dukun Beranak, Kearifan Lokal, AKI/AKB
260 | Prosiding PKWG Seminar Series
Pendahuluan Pada tahun 2000, 189 negara anggota Perserikatan BangsaBangsa telah menyepakati Deklarasi Millenium, dimana deklarasi tersebut menyepakati penanganan berbagai isu seperti kemiskinan, pendidikan, kelestarian lingkungan, kesetaraan gender, dan kesehatan. Deklarasi millenium tersebut menyepakati delapan tujuan pembangunan millenium yang disebut Millenium Development Goals atau yang disingkat MDGs. Delapan tujuan tersebut antara lain tentang: 1)menghapus kemiskinan dan kelaparan; 2) pencapaian pendidikan untuk semua masyarakat; 3) mendorong kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan; 4) mengurangi angka kematian anak; 5) meningkatkan kesehatan ibu; 6) memerangi HIV/AIDs dan penyakit lainnya; 7) kelestarian lingkungan; 8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. Berdasarkan delapan MDGs tersebut dapat kita cermati bahwa persoalan gender dan persoalan kesehatan baik ibu dan anak menjadi persoalan penting. Tentunya persoalan tersebut tidak hanya berada di tingkat makro, tetapi juga pada tingkat mikro. Persoalan kesehatan khususnya pada ibu dan anak telah menjadi agenda penting yang perlu dikaji. Sekalipun angka kematian pada ibu dan anak telah menurun tetapi masih perlu perhatian khusus, tidak hanya oleh pemerintah, tenaga medis, tapi juga oleh masyarakat. Hal inilah yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu bagaimana peran dan sinergisitas bidan dan dukun beranak dalam menjaga kesehatan ibu hamil, khususnya ketika terjadi persinggungan antara ilmu kesehatan ilmiah bidan dengan ilmu kesehatan supranatural dukun. Keterkaitan kesemuanya ini dengan budaya masyarakat Banjar yang cenderung merupakan masyarakat transisi, yaitu masyarakat modern yang masih kuat memegang nilai-nilai luhur atau kearifan lokal sebagai warisan budaya tak pelak menjadi menarik untuk dicermati. Varinia Pura Damaiyanti | 261
Beberapa fenomena tentang perawatan kehamilan dan proses melahirkan yang terkait dengan usaha menjaga keselamatan menjadi catatan-catatan penting dalam penelitian ini. Beberapa subjek penelitian seperti bidan, dukun beranak, dan ibu hamil menceritakan pengalaman mereka secara mendalam dimana pengalaman-pengalaman tersebut menjadi data penting dalam penelitian ini. Fenomena dukun beranak menjadi fenomena yang menarik, karena nilai-nilai kearifan lokal yang mereka jaga, mereka ini dianggap memiliki “ilmu”, kekuatan supranatural yang pada umumnya mereka dapatkan dari warisan. Dukun beranak biasanya adalah profesi yang diturunkan dari nenek moyang mereka, merupakan kemampuan yang diwariskan, garis tangan seseorang sebagai penerus profesi ini. Bidan, sebaliknya merupakan tenaga medis yang menempuh jalur pendidikan formal guna memiliki ilmu kesehatan perbidanan. Ilmu yang mereka miliki adalah hasil dari belajar, mengkaji, dan diajarkan bukan turun-temurun garis keluarga, melainkan oleh para ahli macam dokter kandungan. Kedua profesi ini memiliki kesamaan, yaitu mengurusi ibu hamil, memberi mereka treatment, obat, vitamin atau ramuan, memeriksa kehamilan dan kondisi janin. Tujuannya sama, ingin agar ibu dan bayi selamat serta sehat. Hanya saja berbagai kontradiksi muncul seiring dengan metode yang berbeda pula. Melahirkan di Rumah Sebagian perempuan Banjar lebih suka melahirkan di rumah. Mereka merasa bahwa kenyamanan dan keamanan lebih mereka rasakan jika melahirkan di rumah ketimbang di rumah sakit atau klinik bidan praktek. Hal ini berkaitan dengan perasaan nyaman ketika mereka harus mengejan, membuka kaki lebar-lebar, berdarah-darah, dimana semua hal dalam proses melahirkan mereka lalui di kamar tidur mereka sendiri, nilai pivacy menjadi hal yang utama dalam hal ini. Persoalan ekonomi bukan menjadi faktor dalam masalah ini, tetapi yang lebih mengemuka adalah rasa nyaman dan aman 262 | Prosiding PKWG Seminar Series
tersebut. Melahirkan di dalam kamar sendiri mereka rasakan nyaman karena ada keleluasaan mengenai pendamping persalinan, mereka bisa didampingi beberapa orang, misalnya suami, ibu, mertua, atau bahkan perempuan tetua kampung yang dianggap mampu memberi bantuan berupa doa-doa dimana doa tersebut dibisikkan di telinga mereka yang akan melahirkan. Apabila mereka melahirkan di ruang bersalin rumah sakit, pendamping persalinan hanya dimungkinkan satu atau dua orang saja. Dikelilingi oleh beberapa orang yang dianggap mampu memberikan semangat, kekuatan, dan keselamatan menjadi salah satu alasan mereka memilih melahirkan di rumah, inilah nilai privasi yang tidak bisa didapatkan jika mereka melahirkan di rmah sakit atau klinik bidan praktek, sekalipun mereka memilih kamar VIP. Selain nilai privacy yang hadir, para perempuan Banjar yang lebih menyukai melahirkan di rumah juga mengaitkan dengan persoalan mitos. Mereka mempercayai kelancaran dan keselamatan dalam melahirkan terkait dengan mitos. Misalnya mereka percaya dengan menaburkan garam di sekeliling kamar dapat menangkal datangnya makhluk halus yang bisa mengganggu kelancaran serta keselamatan persalinan. Menaburkan garam di sekeliling kamar bagi mereka akan sulit dilakukan jika melahirkan di rumah sakit (ruang bersalin) atau di klinik bidan praktek. Tidak hanya menaburkan garam, mitos lain yang dipercaya adalah menyediakan kopi pahit dan kopi manis serta rokok di bawah ranjang yang digunakan untuk proses bersalin. Mitos ini juga dipercaya untuk menangkal masuknya roh halus ke dalam tubuh ibu yang akan melahirkan. Pada dasarnya rasa nyaman yang ditimbulkan ketika melahirkan di rumah dan dikelilingi orang-orang dekat dapat menimbulkan kepercayaan diri pasien sekalipun sedikit menyimpang dari “aturan” tentang melahirkan di klinik bidan praktek atau rumah sakit (Bradby dan Hundt [ed], 2010). Melahirkan di rumah tentunya menjadi pilihan yang utama bagi mereka yang mempercayai hal tersebut, selain persoalan Varinia Pura Damaiyanti | 263
ruang privat yang lebih nyaman dirasa ketika mereka harus melahirkan. Memanggil bidan ke rumah sudah lajim dilakukan oleh para perempuan Banjar, hanya saja menjadi persoalan ketika sekarang sulit untuk mendapati bidan yang bersedia membantu proses kelahiran di rumah pasien. Selain hal tersebut sekarang sudah dilarang, para bidan ini juga merasa lebih “leluasa” jika membantu proses kelahiran di klinik praktek mereka. Tidak perlu repot membawa peralatan, perlengkapan, dan obat-obatan ke rumah pasien. Apabila melahirkan di klinik, dengan mudah bidan bisa memberikan penanganan ataupun obat yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan pasien. Apabila melahirkan di rumah, peralatan, perlengkapan dan obat-obatan yang dibawa tentunya tidak selengkap yang tersedia di klinik praktek. Persoalan larangan bidan membantu persalinan di rumah menjadi salah satu faktor yang menimbulkan keinginan persalinan dibantu oleh dukun beranak. Para calon ibu merasa lebih nyaman dibantu persalinan oleh dukun beranak karena memungkinkan mereka untuk melahirkan di rumah. Hanya saja, hal ini menjadi sulit ketika harus berhadapan dengan sistem dan hukum. Persoalan sulitnya mengurus akta kelahiran menjadi pertimbangan dalam hal ini. Apabila melahirkan di rumah dengan dibantu dukun beranak, mereka takut kesulitan mengurus akta kelahiran. Pada akhirnya, mereka “terpaksa” memilih bidan dan melahirkan di klinik bidan praktek. Karena jika diperbandingkan, klinik bidan praktek mereka rasa sedikit lebih privacy ketimbang ruang bersalin di rumah sakit. Bidan vs Dukun dalam Merawat Kehamilan Selama kehamilan, seorang ibu hamil biasanya mencari sebanyak-banyaknya info yang berguna untuk merawat kehamilannya. Sayangnya, info yang didapat seringkali seputar mitos tentang kehamilan. Para perempuan Banjar percaya sekali dengan mitos seputar kehamilan, khususnya apabila yang ngucapkan adalah orang tua, baik itu ibu, ibu mertua, 264 | Prosiding PKWG Seminar Series
keluarga jauh, dan yang utama dukun beranak. Pada dasarnya sebuah mitos bukanlah masalah jika memang tidak menimbulkan dampak negatif terutama bagi kesehatan ibu hamil dan janin, sayangnya di Banjarmasin masih ada dukun beranak yang mempercayai mitos tentang perawatan kehamilan dan bertentangan dengan ilmu kesehatan para bidan. Salah satunya adalah meminum ramuan-ramuan atau jamu. Masih ada dukun beranak yang memberikan “resep” bahkan meracikkan jamu tersebut bagi para ibu hamil. Padahal dalam ilmu kesehatan yang diyakini para bidan, meminum jamu dapat mengakibatkan air ketuban keruh dan ari-ari lengket sehingga sulit dikeluarkan/dibersihkan. Tidak sedikit para bidan yang mempunyai pengalaman membantu persalinan dimana air ketuban pasien keruh dan ari-arinya lengket. Setelah ditelusuri ternyata benar si pasien selama kehamilan rutin meminum jamu berdasarkan resep bahkan racikan dari dukun beranak. Padahal para bidan selalu mengingatkan pasien ketika mereka memmeriksakan kandungan (pemeriksaan rutin berkala) agar tidak minum jamu. Tetapi ada saja pasien yang melanggar karena mereka lebih percaya apa yang disampaikan oleh dukun beranak ketimbang apa yang disampaikan bidan. Alasan mereka adalah adanya anggapan para dukun beranak ini sudah tua dan berpengalaman, kemudian apa yang mereka resepkan adalah resep racikan jamu turun-temurun dimana sudah ratusan tahun dipercaya membantu merawat kehamilan, misalnya menjaga stamina selama kehamilan, mengharumkan tubuh, dan membantu memancarkan kecantikan selama kehamilan. Resep racikan jamu ini dipercaya manjur dan tidak punya dampak negatif terhadap kehamilan mereka, apalagi jika diberi ember-embel “jamu dayak”. Kepercayaan bahwa orang dayak ahli dalam perjamuan menguatkan mitos tentang minum jamu tersebut. Pada akhirnya para bidan menjadi kesulitan dalam membantu proses kelahiran, bahkan dapat berakibat negatif pada janin, karena janin bisa keracunan air ketuban yang keruh tersebut. Varinia Pura Damaiyanti | 265
Treatment selain jamu adalah pemijatan perut. Banyak perempuan Banjar yang masih mempercayakan pemijatan perut selama hamil kepada dukun beranak. Hal ini mereka lakukan untuk mengetahui posisi bayi mereka apakah sungsang atau tidak, kemudian jika sungsang dengan dipijat dapat diatur atau dirubah posisi bayi mereka. Sebagian bidan tidak menganjurkan pemijatan ini, karena dikhawatirkan justru terjadi kesalahan ketika proses pemijatan yang mungkin dapat berakibat buruk pada janin. Akan tetapi kepercayaan kepada dukun beranak sangat kuat dengan alasan dukun ini sudah tua dan berpengalaman bahkan punya “ilmu” sehingga sekalipun bidan tidak menganjurkan mereka tetapi memijatkan perut pada dukun beranak menjadi agenda rutin para ibu hamil ini. Menurut mereka selama ini para orangtua, keluarga, nenek, buyut, dan para tetua mempraktekkan kebiasaan pijat ini, justru dengan perut mereka dipijat mereka merasa lebih tenang. Artinya, para dukun beranak dipandang mampu mengetahui apa yang terjadi dalam perut mereka, apa yang terjadi dengan janin mereka, yaitu dengan cara dipijat. Hal ini memberikan ketenangan pada ibu hamil, karena dengan mengetahui kondisi janin mereka tahu apa yang selanjutnya harus dilakukan. Misalnya setelah diketahui posisi janin sungsang, mereka bisa merubah atau menambah frekuensi konsultasi dengan dokter atau bidan dan dukun beranak tentunya. Pada satu sisi ada pula ibu hamil yang mendatangi dukun beranak bukan untuk pijat, tetapi hanya untuk meminta gara dukun tersebut memegang perut mereka, hal ini dilakukan untuk memperkirakan waktu melahirkan, biasanya dilakukan di usia kehamilan tua. Mereka yang meminta dipegang perutnya merupakan perempuan Banjar yang bersedia mengikuti saran bidan agar tidak memijatkan perut, hanya saja masih ada keinginan dan kepercayaan kepada dukun beranak. Sehingga istilah “tidak pijat tapi minta dipegang” banyak pula diyakini para ibu hamil. Pada umumnya prediksi kelahiran para dukun ini tepat, tidak seperti perkiraan dokter 266 | Prosiding PKWG Seminar Series
yang bisa meleset. Inilah yang diyakini sebagai “ilmu” dari para dukun beranak, perkiraan mereka tepat mengenai prediksi kelahiran. Selain minta pegang biasanya para ibu hamil ini minta agar perut mereka ditiup. Dukun beranak biasa meniup perut ibu hamil disertai dengan doa-doa agar proses melahirkan lancar dan baik ibu maupun bayinya selamat. Sinergisitas Bidan dan Dukun Beranak Apa yang sudah diuraikan diatas merupakan beberapa contoh dari paradoksitas ilmu kesehatan berbasis ilmiah dengan ilmu kesehatan berbasis “kearifan lokal”. Mengapa dikatakan kearifan lokal? Karena profesi dukun beranak ini mengangkat nilai-nilai kultur dan mempertahankan sebagian mitos turun-temurun dalam persoalan perawatan kehamilan dan melahirkan. Menjadi masalah ketika nilai-nilai kearifan lokal tersebut bersinggungan dengan nilai-nilai kesehatan berbasis ilmiah. Masyarakat ketika berhadapan dengan hal ini, cenderung ersikap absurd, khususnya masyarakat Banjar. Menyikapi masalah kesehatan dalam hal ini tentunya tidak bisa meninggalkan unsur-unsur budaya, dimana kepercayaan akan mitos punya andil besar (Albrecht, 2011). Banjarmasin sekalipun merupakan ibukota propinsi, akan tetapi kebudayaan sungai yang merupakan identitas masyarakatnya tidak bisa lepas dengan persoalan kesehatan. Banjarmasin belum bisa melepaskan diri dari cultural embodiment sebagai masyarakat dengan cara hidup yang sekalipun “kekota-kotaan” tetapi masih memegang nilai-nilai kearifan lokal, khususnya dalam hal kesehatan ibu hamil dan bayi. Tidak peduli setinggi apapun pendidikannya, sehebat apapun pekerjaannya, semodern apapun gaya hidupnya, tetap saja peran dukun beranak sangat kuat pada perempuan Banjar. Ungkapan “tidak ada salahnya mengikuti apa yang sudah biasa dilakukan orangtua kita” adalah ungkapan yang umum ditemui di masyarakat Banjar. Mereka merasa bahwa sebagai orang yang minim pengalaman tentunya akan leih Varinia Pura Damaiyanti | 267
baik mengikuti apa yang disarankan oleh para orangtua dan tentunya dukun beranak. Walaupun pada akhirnya misalkan mereka terpaksa melahirkan di rumah sakit ataupun klinik bidan praktek karena persoalan akta kehiran, akan tetapi treatment-treatment yang dijalankan tidak bisa lepas dari peran dukun beranak dengan segala mitos kearifan lokal mereka. Di lain pihak, ada pula perempuan Banjar yang melakukan treatment ala dukun beranak disebabkan oleh mereka hanya sekedar mengikuti apa yang disuruh oleh ibu atau ibu mertua mereka. Pada dasarnya mereka tidak setuju karena tidak meyakini dukun beranak ini, akan tetapi mereka enggan berdebat dengan orangtua ataupun mertua sehingga mereka bersedia mengikuti treatment dari dukun beranak. Inilah yang menjadi dilema para ibu hamil. Terkadang, peran bidan bukan hanya sebagai tenaga kesehatan yang memeriksa kehamilan dan memberi nasehat medis, tetapi peran bidan juga bisa menjadi tempat bercerita, tempat berkeluh kesah para ibu hamil. Disinilah pentingnya peran bidan, ketika para ibu hamil membutuhkan tidak hanya pemeriksaan dan nasehat bagaimana menjaga kehamilan, melainkan juga memerlukan “orang ketiga” dalam menjalani kehamilan. Khususnya ketika tempat bercerita dan berkeluh kesah itu tidak bisa didapatkan dari dokter kandungan, bidanlah yang dicari. Bidan yang sabar, bidan yang lucu, bidan yang bidan yang ramah, adalah bidan yang dicari. Istilahnya “bidan top”, hanya sedikit bidan top di Banjarmasin, tidak sampai 10 orang, tentunya mereka adalah bidan yang punya klinik praktek dimana klinik ini tidak hanya melayani pemeriksaan tetapi juga melayani persalinan. Berbeda dengan bidan di puskesmas ataupun di rumah sakit, bidan-bidan yang memiliki klinik praktek dan masuk jajaran bidan top di kota Banjarmasin ini dikenal ramah, lucu, dan sabar. Tidak jarang jika ada ibu hamil yang mencari referensi bidan, yang ditanyakan adalah “galak gak bidannya?” 268 | Prosiding PKWG Seminar Series
atau “sinis dan suka ngatain gak bidannya?” Bidan-bidan top ini punya nilai jual, selain klinik mereka yang bersih, obat dan peralatan cenderung lengkap, tetapi karakter atau pembawaan para bidan yang menyenangkan inilah yang membuat mereka menjadi bidan top. Para bidan menganggap bahwa di satu pihak dukun beranak punya andil pula dalam menjaga kesehatan para ibu hamil dan janin, khususnya dalam hal memberikan doa-doa keselamatan dan memberikan nasehat-nasehat khususnya mengenai asupan gizi selama tidak bertentangan dengan ilmu kesehatan ilmiah. Inilah yang perlu dipertahankan dari keberadaan dukun beranak, bahkan tidak jarang para bidan dan dukun beranak ini saling mengenal baik. Akan tetapi nilai positif dari keberadaan dukun beranak menjadi paradoks ketika berkaitan dengan kearifan lokal berupa mitos yang bertentangan dengan ilmu kesehatan ilmiah. Para bidan di satu sisi tidak punya kekuasaan untuk menentang hal tersebut, terlebih tidak ada aturan mengenainya, satu-satunya yang bisa diandalkan adalah tentang larangan melahirkan di rumah. Hal inipun masih ada yang melanggar, dimana urusan birokrasi akta kelahiran menjadi diabaikan dan dianggap sebagai “urusan belakangan”. Hal ini tidak terlepas dari rasa percaya yang sangat kuat terhadap dukun beranak dimana mereka dianggap punya kekuatan supranatural. Dalam masyarakat Barat maupun nonBarat, unsur-unsur supranatural sering memainkan peranan dalam menentukan siapa yang akan menjadi penyembuh (Foster dan Anderson, 2006: 127). Bagaimana sinergisitas bidan dan dukun beranak? Pada dasarnya para bidan tetap mengupayakan agar para pasien mengikuti saran medis dari bidan, dengan cara mengobrol secara intensif dan berusaha meluangkan waktu dengan para pasien para bidan ini berusaha membuka pikiran perempuan Banjar mengenai apa saja yang berbahaya dari mitos-mitos atau treatment para dukun beranak. Bahkan ada juga bidan Varinia Pura Damaiyanti | 269
yang 24 jam memberikan layanan telepon jika ada pasien yang ingin berkonsultasi ataupun sekedar ingin mengobrol. Sedangkan para dukun beranak melihat bahwa tidak ada persoalan dalam hal ini, treatment ataupun mitos yang mereka yakini semata adalah ilmu dan pengalaman yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pasien, jikapun treatment ataupun mitos tersebut bertentangan dengan ilmu kesehatan yang dimiliki bidan maka bagi para dukun beranak itu adalah hal yang lumrah, bagi mereka setiap orang memiliki ilmu masingmasing, dimana tidak ada yang mempunyai tujuan buruk, semuanya memiliki tujuan bagi untuk kesehatan dan keselamatan pasien. Kekhawatiran para dukun beranak adalah akan menghilangnya profesi ini. Apalagi dengan adanya larangan melahirkan di rumah, maka dukun beranak bukan lagi menjadi dukun beranak, hanya sebagai tukang urut saja. Inilah yang mereka khawatirkan, dimana nilai-nilai kearifan lokal sedikit demi sedikit akan hilang, digantikan oleh ilmu kesehatan modern. Mereka khawatir tidak ada lagi yang bisa memutar bayi sungsang, tidak ada lagi yang bisa meracik jamu dayak, tidak ada lagi yang bisa membacakan doa selamat, kesemuanya itu digantikan oleh operasi cesar, obat kimia yang mahal, dan konsultasi dengan para motivator kehamilan (termasuk senam hamil) yang membutuhkan biaya lebih ketimbang berkonsultasi dengan dukun beranak. Dukun beranak tidak menentukan tarif, terserah pasien saja membayarkan biayanya, bahkan dipercaya jika para dukun beranak ini menentukan tarif maka “kesaktian” mereka akan berkurang. Pada dasarnya kesehatan selama kehamilan tetap menjadi faktor yang perlu diperhatikan dalam menurunkan Angka Kematian Ibu dan Bayi, yang perlu menjadi perhatian pemerintah dan selanjutnya sebagai agenda kebijakan adalah menentukan formulasi kebijakan yang tepat guna menyikapi berbagai fenomena terkait persinggungan dua ilmu atau dua 270 | Prosiding PKWG Seminar Series
profesi ini. Sekalipun keduanya punya tujuan yang sama, yaitu ibu dan bayi selamat serta sehat, tetapi ada nilai-nilai serta metode yang berbeda di dalamnya. Ironisnya, sekolah-sekolah perbidanan menjamur, sedangkan praktek perdukunan meredup. Ini mungkin menjadi awal meledaknya modernitas di bidang kesehatan, sekaligus melunturkan kelestarian nilainilai kearifan lokal di masyarakat kita. Apapun itu, salah satu yang menjadi agenda utama dalam MDGs tetap mengedepankan persoalan gender, juga menurunkan angka kematian ibu dan anak. Daftar Pustaka Albrecht, Gary L, 2011, “The Sociology of Health and Illness” dalam The Sage Handbook of Sociology, London: Sage Bradby, Hannah dan Gillian Lewando Hundt [ed], 2010, Global Perspectives on War, Gender, and Health: the Sociology and Anthropology of Suffering, UK: MPG Groups Books Foster, George M dan Barbara Gallatin Anderson, 2006, Antropologi Kesehatan, Jakarta: UI-Press
Varinia Pura Damaiyanti | 271
CATATAN DISKUSI PKWG SEMINAR SERIES #1 KAMPUS UI SALEMBA – JAKARTA, 11-12 JUNI 2015 HARI PERTAMA PEMBUKAAN Sambutan oleh Dekan Pascasarjana Multidisplin UI (Prof. Dr. Sulistyowati Irianto) Saya menyampaikan terimakasih kepada Dr. Umam karena bersedia menggantikan saya menjadi Ketua PKWG. Anak-anak muda terkadang banyak yang bertanya berapa gaji yang diperoleh di PKWG, hal tersebut menjadi sulit untuk menemukan pengganti dan itu membuat saya masih terus menjadi Ketua PKWG. Karena dinamika di Universitas Indonesia maka saya merangkap-rangkap menjadi program pasca antropologi, fakultas hukum dan Ketua PKWG. Saya terus berjuang untuk tetap meyakini para professor yang hebat-hebat untuk mempertahankan PKWG harus terus dipertahankan tidak boleh dibuang, dibuang artinya dilebur ke fakultas, jadi itu sebuah perjuangan berat dan saya tidak kuat lagi menjadi Ketua PKWG. Beruntung ada Umam dari kalangan muda yang bisa menggantikan saya, saya sangat berterimakasih untuk itu semua. Kemudian, ada Ketua Pusat Riset Iklilah. Orang-orang yang bersedia untuk mengurus PKWG memang tidak banyak. Ilmu Pengetahuan tidak perlu menyebar di Universitas, namun juga dimiliki oleh Komunitas. Jika kita bicara tentang AKI, Kartini meninggal karena melahirkan. Jadi sudah satu abad kita masih menghadapi masalah yang sama dan ini merupakan PR bagi kita semua. Semoga bisa kita kembangkan dalam waktu dua hari ini. Saya berterimakasih juga kepada teman-teman NGO, CSO, Timor
Catatan Diskusi | 273
Leste, teman-teman peneliti dari berbagai kampus yang bersedia meluangkan waktu. Semoga hasilnya bermanfaat bagi semua. Sambutan oleh Ketua PKWG UI (Dr. Khaerul Umam Noer) Assallamualaikum. Wr. Wb. Atas nama PKWG saya mengucapkan terimakasih kepada Ibu Sulistyowati Irianto yang telah menjadi tuan rumah selama kegiatan berlangsung. Seminar dilaksanakan selama empat hari, pertama dua hari membahas tentang Perkawinan Anak, Seksual Moralitas dan Desentralisasi Politik di Indonesia (9 dan 10 Juni 2015) dan dua hari ini (11 dan 12 Juni 2015) akan membahas tentang AKI/ AKB. Kami pernah melakukan penelitian namun tidak terlalu lama. PKWG juga mewakili Pusat Riset UI mengucapkan terimakasih kepada yang hadir, Idayyanah, Rika Annisa dan rekan-rekan PKWG lain yang hadir. Isu krusialnya adalah AKI, AKI adalah fakta, persoalannya bagaimana fakta itu dapat di atasi dengan solusi yang baik. Berikutnya Kami mengundang 40 orang untuk membuat Working Paper dan Policy Brief yang akan diserahkan kepada Kementerian terkait seperti Kementeriaan Kesehatan yang nanti akan hadir. Kami berharap rekan-rekan juga bersedia untuk mengikuti seminar series 2 yang akan dilaksanakan di bulan agustus dengan tema perempuan, alam dan pemiskinan. Sekian terima kasih. PEMAPARAN SESI 1. Moderator: Khaerul Umam Noer Sri S. Purwaningsih, Fitranita, Ade Latifa, dan Eniarti Djohan (LIPI) Diwakili oleh Ade Latifa. Memaparkan makalah terkait strategi peningkatan kesehatan ibu dan anak keluarga migran 274 | Prosiding PKWG Seminar Series
miskin melalui perspektif multidimensi. Penelitian tahun 2009-2011 bertempat di kota Makassar dan Bandung. Penelitian berfokus kepada kesehatan ibu dan anak dikarenakan masih rendahnya mutu kesehatan ibu dan anak (KIA) di kedua kota tersebut. Berangkat dari persoalan KIA penelitian dimulai dengan mengkaji dan memfokuskan kondisi KIA pada masyarakat migran miskin yang tinggal di perkotaan. Penelitian ini berangkat dari kondisi kesehatan ibu dan anak di Indonesia. Masih rendahnya kualitas kesehatan ibu dan anak, sebagaimana sejak zaman Kartini masalah KIA masih menjadi masalah yang memprihatinkan. Kami mencoba memfokuskan bagaimana KIA pada kelompok migrant miskin. Berangkat dari Rendahnya derajat kesehatan ibu dan anak (WHO, 2003). Angka kematian Balita masih terkendala (hasil SDKI 2021). Masih buruk lagi migrant miskin. Kondisi ini kemungkinan akan lebih buruk ditemukan pada penduduk di perkotaan. Program Pemerintah: Askeskin, Jamkesmas. Di Kota Bandung dan Makassar belum tercankum dalam program pemerintah, akses kesehatan di tingkat dasar juga masih belum optimal. Kita juga menemukan beberapa kasus di mana ada penghentian pengobatan karena kendala biaya. Kerangka analisis kebijakan komprehensif upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak. Penelitian bertempat di Kota Makassar dan Kota Bandung. Berdasarkan hasil penelitian di Makassar dan Bandung, dapat dibuktikan bahwa para migran miskin masih belum mendapatkan akses untuk program-program kesehatan dari pemerintah. Beberapa dari mereka tidak melanjutkan pengobatan dan secara otomatis keadaan ini berdampak pada kesehatan ibu dan anak. Rendahnya pemanfaatan pelayanan kesehatan dasar (Bandung, pemeriksaan kehamilan di puskesmas belum mencapai target hanya mencapai angka 79, 55%), Makassar, baru sekitar 40%. Bandung dan Makssar memperlihatkan masih adanya penolong dari non tenaga Catatan Diskusi | 275
kesehatan (dukun). Faktor yang kemungkinan membuat rendah dan menurunnya angka cakupan pemeriksaan ibu hamil di puskesmas tahun 2010: tidak semua ibu memiliki kesadaran yang tinggi untuk memeriksakan kehamilannya, sistem pendektesian dan pencatatan di puskesmas yang tidak terkoordinasi, malu karena merasa sudah tua namun masih mengandung lagi (termasuk di Bandung), Bumil tidak terdeteksi oleh kader Posyandu, hal ini sampai lolos bahkan ada juga kematian karena ibu dari kelompok migrant tidak melaporkan sehingga tidak diketahui. Jadi tidak terlacak, hal ini bergantung dari si ibu itu sendiri. Beban Biaya kesehatan pada Pemerintah, Pemda kadang hanya memberikan janji politik dengan memberikan layanan gratis kepada warganya (seperti di Makassar, ditawarkan layanan gratis dari lahir hingga meninggal), namun hal tersebut hanya dimanfaatkan oleh Pemda tersebut dan akibatnya beban pemerintah menjadi berat. Kemudian, juga ada yang bersifat mereka merasa semua serba gratis, sekarang malah tidak ada. Jikapun ada iuran hanya bersifat insidentil, kegotongroyongan di masyarakat justru mati. Sebaiknya pembiayaan kesehatan tidak sepenuhnya dibebankan pada pemerintah. Belum tercakupnya migran miskin dalam kepesertaan program jaminan kesehatan. Mereka migrant tersebut berada di tengah-tengah, mereka bukan pemulung atau yang tidak memiliki penghasilan sama sekali namun berada di bawah garis kemiskinan. Namun, sayangnya mereka tidak mendapat jaminan kesehatan. Mereka juga belum menganggap BPJS itu penting. Kerangka Analisis Kebijakan, yakni membuat semacam pokok masalah dan memetakan masalah yang lebih detail lagi (Preventif – Kuratif). Permasalahan pokok yaitu keterbatasan akses dan minimnya antusias migrant miskin untuk mengakses pelayanan kesehatan. Masalah lain yaitu kepemilikan identitas kependudukan. Banyak migrant miskin yang tidak memiliki identitas kependudukan.Banyak 276 | Prosiding PKWG Seminar Series
penduduk migrant miskin yang tidak memiliki identitas kependudukan sehingga tidak memenuhi berbagai syarat administrasi pelayanan kesehatan. Di Bandung, pada tingkat kelurahan jika tidak memiliki identitas kependudukan maka mereka tidak mendapatkan layanan, dan mereka akhirnya kembali ke kampung mereka untuk mendapatkan pengobatan. Namun, untuk di Makassar, di tingkat Kelurahan dan Kecamatan masih bisa diberikan layanan kesehatan meskipun tidak ada KTP. Berbagai solusi yang ditawarkan di antaranya meningkatkan akses terhadap kesehatan (sistem layanan puskesmas dapat menjangkau desa dan kota), keprihatinan dan perhatian untuk menata permukiman kumuh, membut model partisipatif dalam masyarakat, meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berswadaya (iuran masyarakat seperti tabungan persalinan). Harus ditingkatkan layanan kesehatan dan fasilitas kesehatan harus digunakan secara maksimal. Jika harus berobat ke rumah sakit masih menjadi persoalan bagi warga migrant. Kami mecoba untuk melihat bagaimana persoalan KIA warga buruh migran miskin dapat di atasi dengan perubahan model kebijakan, yakni di mana diperlukan model kebijakan partisipasif yang melibatkan mereka dalam pembuatan kebijakan dan mereka dapat menyampaikan kebutuhan apa yang mereka inginkan. Wahyu Krisnanto (Universitas Katolik Darma Cendika) Wahyu memaparkan makalah dengan judul “Peran Perempuan Komunitas Lokal Dalam Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga di Surabaya”. Dari hasil penelitian menemukan identifikasi data baru yang ternyata komunitas lembaga cukup signifikan dalam menurunkan angka AKI di Surabaya. AKI relatif masih cukup tinggi di Kota Surabaya. Penurunan AKI/AKB tidak terlepas dari kesediaan fasilitas di Kota Surabaya yang menjadi Ibukota Catatan Diskusi | 277
Jawa Timur. Berbeda jika dibandingkan dengan wilayahwilayah lain yang AKI/AKBnya masih cukup tinggi. Komunitas berpotensi dalam akselerasi penurunan AKI/AKB di Kota Surabaya. Penurunan AKI dan AKB adalah salah satu target dari MDGs. Namun demikian, untuk pencapaian target untuk menurunkn AKI masih jauh dari target. Di Surabaya, tingginya AKI disebabkan oleh keterbatasan fasilitas kesehatan. Peran komunitas lokal di Surabaya (Institusi Masyarakat Perkotaan) turut berperan dalam penurunan AKI dan AKB di Surabaya. Institusi Masyarakat Perkotaan (IMP) sendiri berfungsi dalam hal KB. Institusi masyarakat perkotaan, sebenarnya bukan diinisiasi dalam rangka penuruan AKI/AKB namun dalam rangka untuk KB, namun akhirnya digabungkan kerjanya dengan penurunan AKI/ AKB di Kota Surabaya. Tingginya AKI di Surabaya banyak faktor, salah satunya dugaan saya itu banyaknya ibu yang berasal dari luar Surabaya dan melahirkan di Surabaya kemudian meninggal, tentu saja belum dilakukan penelitian mendalam terkait ini. Institusi Masyarakat Perkotaan sebagaian besar diisi oleh perempuan, hanya 3 saja yang laki-laki dari keseluruhan jumlah anggota. Institusi Masyarakat Perkotaan (IMP) adalah kelembagaan tingkat komunitas yang diinisiasikan oleh BKKBN dan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Kader IMP berperan menggantikan tugas PLKB yang semula menjadi manajer sekaligus pelaksana program KB berubah menjadi manajer dan fasilitator program. Kader IMP menjadi mitra PLKB di tingkat Komunitas. Saat ini terdapat 1.577 Kader IMP. Terdapat sembilan peran yang dimainkan kader, namun ada beberapa peran yang cukup signifikan, yakni Pertama, Peran KIE dan Konseling, yang unik IMP melakukan pendampingan juga untuk perempuan (formal dan informal). Dilakukan tidak hanya pada Ibu namun juga remaja, yakni lebih pada kesehatan seksualitas dan reproduksinya. Ada satu kasus KTD, kemudian mereka menjadi stress dan harus melakukan 278 | Prosiding PKWG Seminar Series
rujukan. Kemudian mereka melakukan kerjasama dengan lembaga Psikologi. Kedua, Peran pencatatan dan pendataan. Hanya 22 yang rutin dari seluruh kader, karena usia, tingkat pendidikan kader, data hanya bersiat output tanpa outcome. Ketiga, Peran Pelayanan Kegiatan. Kader dapat mendapatkan rekomendasi untuk rujukan. Keempat, Peran kemandirian, hanya 22 kelembagaan IMP yang masuk kategori mandiri. Kesimpulan, IMP cukup signifikan, masih ada kendala terkait dengan kaderisasi dan penguatan kapasitas SDM, belum maksimalnya pencatatan dan pendataan, memperluas akses kemitraan dan pelibatan laki-laki. Fitria Sari (EMAS Indonesia/Komunitas Kajian Gender Malang) Makalah yang dipaparkan terkait bagaimana menurunkan AKI dan AKN dengan PERMATA”. Kenyataannya secara global AKI/ AKN di Indonesia sebesar 359/ 100.000 (2012). Permasalahan AKI dan AKN dapat digolongkon menjadi dua bagian, permasalahan hulu (permasalahan di masyarakat) dan hilir. Tingginya AKI juga dipengaruhi oleh tingginya perkawinan anak. Tingginya AKI mengeluarkan pernyataan, apakah kita harus mencegah adanya perkawinan/ kelahiran. Tujuan Penelitian: mengetahui proses, tantangan dan peran serta CSO – PERMATA dalam PERDA KIBBLA dan mengetahui Best Practice peran serta CSO dalam menurunkan AKI dan AKN. Penyebab AKI/ AKN umumnya ada 2, yakni hulu: yang muncul di masyarakat, dan hilir: kondisi emergency di mana ibu hamil sudah berada di layanan kesehatan. Penyebab lain: mitos (seperti tidak boleh makan ikan karena nanti bayinya akan bau amis, dilarang mengonsumsi kepiting karena nantinya anaknya akan seperti kepiting kakinya, padahal kedua makanan tersebut sangat sehat bagi ibu hamil), Konstruksi Sosial (Pernikahan Anak), Orang Tua (Pengambil Catatan Diskusi | 279
Keputusan dari Proses Perkawinan hingga Persalinan. Ada kasus anak dikasih pisang kapok hingga menyebabkan anak meninggal, hal ini karena orang tua tidak paham tentang pengetahuan kesehatan bayi), Patriarki: (Pengambilan Keputusan dari Pihak Suami yang mengakibatkan 3T, di mana isteri kerapkali menunggu suami untuk membuat keputusan terkait dengan kesehatannya, padahal ia memiliki hak penuh atas tubuhnya sendiri). Tingginya angka kematian bayi juga dipengaruhi oleh minimnya pengetahuan ibu tentang mengasuh bayi. Pengalaman di Pasuruan, di sebuah rumh sakit ada seorang ibu yang memiliki bayi berumur 7 hari kala itu ibu tersebut memberikan makan pisng kepok kepada bayi berumur tujuh hari di puskesmas. Ibu tersebut memberikan pisang kepok kepada bayi tersebut di puskesmas dan beberapa hari setelah itu bayi tersebut mati. PERMATA (Gerakan Penyelamatan Maternal dan Neonatal) yang terdiri dari gabungan OMS, Organisasi Profesi, dan lainlain. PERMATA memberikan penyuluhan tentang neonatal. Komunitas lagi-lagi turut berperan dalam mencegah dan menanggulangi penurunan AKI dan AKN. Korelasi pemahaman tentang kesehatan antara pemerintah dengan grass root. Perlu adanya jembatan yang terus menjembatani kondisi atau mentransfer pemahaman dan kebijakan dari pemerintah ke masyarakat. Masih banyak lembaga yang muncul tetapi masih bias dan tumpang tindih tugasnya. Kesimpulan: Pembahasan AKI/AKN tidak hanya dari angka, tetapi pencegahan dan penanggulangan AKI/AKN adalah kualitasnya/substantif, transformasi kebijakan oleh pemerintah sangat perlu dijembatani oleh warga, minimnya pembahasan dan penjelasan tentang mitos-mitos yang berseberangan dengan kebijakan daerah secara tegas dan rasional.
280 | Prosiding PKWG Seminar Series
DISKUSI SESI 1 Sulistyowati Irianto Saya sangat menghargai yang sudah dilakukan oleh kawankawan, penelitian yang telah dipaparkan semuanya sangat hebat. Saya membayangkan bagaimana jika hari kedua kita melahirkan suatu inovasi, sebuah penelitian-penelitian itu harus melahirkan inovasi, artinya hasil dari pertemuan ini harus ada barang yang dapat dilihat, menciptakan suatu program yang benar-benar bisa dikerjakan oleh daerahdaerah yang sudah punya perdesnya. Misalnya saya, Umam, kawan-kawan, dan juga Nanen belajar dari Sulawesi Utara di mana ada program yang terintegrasi. Jadi kader posyandu, kesehatan, pemerintah daerah dan lain-lain itu membuahkan suatu deteksi kartu-kartu yang si ibu dia sudah berapa kali periksa kandungannya kalau dia sudah waktunya belum datang jadi ada orang mendatangi bumil. Saya membayangkan juga bagaimana bisa menyatukan dengan perkawinan anak, AKI dan AKB menjadi program yang terintegrasi dan nanti ada vocal pointnya, mungkin Jawa Timur, Jawa Barat, Kalimantan. Kita belum memiliki data statistik yang memiliki pemetaan paling tinggi, mungkin Papua, NTT. Vocal Point di Papua dan NTT harus kencang dengan melakukan komunikasi yang bagus. Atas Hendartini Habsjah Kebetulan saya juga seorang Peneliti untuk kesehatan ibu dan anak ini. Dulu saya di Atmajaya Surabaya, daerah slum daerah di sekeliling rumah sakit Atmajaya mungkin tahu programnya Charles Jayadi, saya menjadi penelitinya saat itu. Saat itu dari tahun 1988 sampai dengan tahun 1992. Saya ikut mendirikan YKP tahun 2001 tujuan utamanya adalah menurunkan AKI. Artinya saya merujuk kembali studi yang Catatan Diskusi | 281
sudah dilakukan, keadaanya pada saat itu buruk sekali. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, di Surabaya sebetulnya tidak boleh ada AKI dan AKB. Women Research Institute meneliti bagaimana BPJS memfasilitasi ibu-ibu yang bersalin di Jaktim dan Bandung Selatan salah satu daerah yang AKI tinggi. Dari 100% persalinan pasti ada 15% komplikasi. Tantangan di kota adalah zero toleransi untuk AKI. Studi yang perlu dilakukan sekarang salah apakah BPJS mengcover persalinan. Selain itu perlu pencatatan tentang karakteristik maternal atau audit maternal serta melihat sebab kematian tersebut. BPJS dimulai Januari 2014. Satu-satunya program emas dilakukan dalam program BPJS. Ada suatu studi rujukan sekarang, saya juga reviewnya, dari riset institut justru melihat bagaimana BPJS memfasilitasi ibu-ibu bersalin di Jakarta Timur karena yang paling tinggi kematian ibunya dan Bandung Selatan. Dulu soal KTP di penjaringan masih terjadi, dan ini masih sangat disayangkan. Padahal dia area BPJS tidak perlu KTP namun masih terjadi. Dua minggu lalu saya baru membantu orang yang tidak bisa menggunakan BPJS karena tidak adanya KTP. Akhirnya ibu yang sangat miskin tersebut harus membayar untuk sisanya sebesar tujuh juta. Dari 100 persalinan selalu ada 15% komplikasi. Walaupun sudah empat kali atenantal, pada hari H nya bisa terjadi komplikasi. 15% tersebut tidak diketahui siapa, jadi sangat penting diberitahu oleh si ibu, keluarga dan suami. Sekali lagi, rujukan yang di Surabaya harus jelas sehingga tidak ada kematian ibu lagi. Pernah berhasil di Pontianak, di mana Ikatan Bidan Indonesianya berhasil dan dapat award dari WHO. Saya usulkan buatlah angka absolutnya saja, jadi dari wilayah kerjanya saja. Di Pontianak,Ikatan Bidan Indonesianya langsung rujukan. Dalam dua jam jika ibu dirujuk maka akan berhasil. Oleh karena itu, harus ada ahli kandungan, anaktesi dan kantong darah. Tantangannya di Kota besar tidak boleh ada kematian ibu lagi, dalam dua jam sudah harus ditangani. Karakteristik dari yang meninggal yang harus dipelajari karena ada audit maternal, dan dilihat kenapa kematiannya 282 | Prosiding PKWG Seminar Series
itu. Jadi audit meternal tersebut harus dihidupkan kembali dan kita sebagai masyarakat harus menuntut. Mulyaningrum. Untuk Wahyu, menyarankan untuk mengajak rekan lakilaki lainnya untuk ikut andil dalam program supaya lebih hebat. Saya saat ini sedang terlibat dalam IKKB, salah satunya adalah tentang kesehatan reproduksi. Saya menemukan istilah bagus “illegal Pregnancy”, apakah dalam studi ini ada perbedaan akses terhadap fasilitas kesehatan reproduksi antara legal dan tidak legal. Dwiana Ocviyanti. Bahwa kita fokusnya sekarang pada remaja, mungkin ada satu hal yang belum dipahami bahwa AKI tidak terlalu besar. Yang dimaksud tidak terlalu besar dari 1000 ibu melahirkan hanya 3-4 ibu yang meninggal. Namun, hal ini dibandingkan Negara lain angka ini cukup tinggi. Soal kerjasama dengan para kader, ketika saya ditempatkan di Sumatera Selatan pada tahun 1987 kita sudah bekerjasama dengan PLKB, PKK dan angka kematian sudah cukup rendah. Kalau kita mau menyelamatkan ibu adalah kita lihat dari empat pilar, atapnya adalah keselamatan ibu, kemudian perencanaan keluarga, yang membutuhkan rumaha sakit pilarnya hanya di ujung, landasannya adalah kesetaraan gender. Tadi pagi saya masih melihat ada kasus kematian ibu dengan usia 15 tahun, dan itu terjadi di Jakarta. 60% mereka yang baru menikah di Singapura tidak memiliki anak dahulu karena tidak siap. Di Singapura ideal menikah 25-35 tahun. Jika meninggal, ibu akan meninggal dalam waktu 20 menit saja jika terjadi pendarahan. 50% di Indonesia menikah di bawah usia 19 tahun dan 5% di bawah usia 15 tahun. Jadi, beban kita berat dihulunya. Indonesia memiliki rumah persalinan paling Catatan Diskusi | 283
besar di dunia. Saya ingin perempuan-perempuan Indonesia lebih cerdas dan dapat menentukan sikapnya sendiri. 90% Perempuan Indonesia ingin segera memiliki anak. 90% Perempuan Indonesia pernah melakukan USG. Bagaimana menanamkan pemahaman remaja tentang kesehatan reproduksi secara luas. Jangan hamil kalau tidak memiliki rencana atas kehamilannya. Saparinah Sadli Kita perlu berpikir revolusi mental tentang kesehatan perempuan. Mengusulkan, di Perguruan Tinggi ada Tri Dharma, dan penelitian sudah cukup banyak. Bagaimana pelayanan masyarakatnya dan ini yang perlu dikembangkan, yang diperlukan adalah change agent untuk perubahan, maka jika menurunkan mahasiswa sebagai kewajiban dan umpanya meminta fokus pada tahun ini untuk kesehatan reproduksi dan tahun berikutnya dengan program yang lain, tetapi yang perlu dipikirkan bersama apa yang bisa dilakukan oleh universitas. Sejauh mana kita mengerahkan untuk masyarakat ini bisa menjadi program dari setiap universitas. Jadi, hal ini menjadi salah satu rekomendasinya, sekaligus melibatkan anak muda dan mereka yang hamil atau sebelum hamil yang sebetulnya akan memanfaatkan hasil dari penelitian itu sendiri. Hilmi Yumni Sebagaimana diketahui Surabaya memberikan kontribusi terhadap tingginya AKI di Jawa Timur. Oleh karena itu Universitas Airlangga melakukan salah satu kegiatan yaitu Gerakan Peduli Ibu dan Bayi Sehat. Bekerjasama dengan UNICEF dan volunteer adalah seluruh mahasiswa Universitas Airlangga, yang terjun langsung adalah mahasiswa S1 didampingi oleh mahasiswa S2 dan S3 dan mengikuti 284 | Prosiding PKWG Seminar Series
beberapa pelatihan. Surabaya yang diujicobakan adalah dari enam Puskesmas di Surabaya, yaitu Puskesmas kalijodan, rulyorejo, tenggilis, kali rungkut, gunung anyar dan udoan ayu, bekerjsama dengan tim penakit Jawa Timur, yaitu tim penaanggulangan angka AKI dan AKB di mana didalamnya ada beberapa organisasi juga dinas terkait. Tgl 15 ada pelepasan rector Universitas Airlangga. Fatimah Sekedar berbagi pengalaman dan menyampaikan kondisi yang ada di Lebak Banten. Lebak itu adalah kota pinggiran ada di DKI, namun masih merupakan daerah tertinggal. Ada program desa binaan, yaitu bagaimana membina ibu-ibu konsultasi dan bahkan ada lembaga bantuan hukum AKI cukup tinggi. Saya berharap disosialisasikan Perda tentang Dukun, karena masih banyak persalinan dengan dukun karena akses ke puskesmas dan ke kota sangat sangat jauh, menuju ke rumah sakit juga sangat jauh (3-4 jam). Mereka selalu meminta bantuan dari dukun beranak dan kadangkala masin menerima tentang aborsi, dan berharap forum dapat menjembatani antara kami dengan masyarakat tentang memfungsikan BKKBK. Ada talkshow tentang gender di mana AKI/AKB cukup tinggi. Kemudian, tentang kader di BKKBK berharap ditingkat RT dan RW sangat tetinggal, yang dijalankan hanya posyandu saja tetapi tidak ada pendampingan secara khusus. Kami menunggu actionnya dari forum ini. Saya sepakat dengan Ibu Sulis, program yang kita tunggu adalah yang nyata, bukan hanya berbicara presentasi, harus ada output atau actionnya. Bagaimana memberikan kesadaran, minimal remajanya dahulu. Di daerah saya, Orang tuanya selalu berbicara untuk apa bersekolah nanti juga akan ke dapur, sumur dan kasur.
Catatan Diskusi | 285
Sri Endah Setuju dengan pernyataan ibu sulis, untuk memberikan solusi dalam kegiatan ini. Untuk Mas Wahyu, memang kota Surabaya urutan keempat penyumbang AKI dan AKB. Pernah melakukan penelitian, pengalaman pribadi tentang posyandu. Posyandu dari tahun ke tahun, hanya menimbang dan dikasih kacang hijau dan pulang. Perlu disampaikan di posyandu bukan hanya sekedar menimbang dan mendapat kacang hijau. Perlu adanya program-program kesehatan yang dibentuk di posyandu, terutama untuk kalangan kelas bawah. TANGGAPAN Ade Latifa Ada beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti: Pertama, perubahan persepsi di kalangan individu dan masyarakat tentang pelayanan kesehatan masyarakat. Kedua, menaikan kesadaran warga untuk memantau keberadaan ibu hamil, mungkin perlu juga dibuat sticker atau kartu yang dapat ditempel di rumah-rumah warga karena penting sekali bagi para kader untuk memantau kehamilan ibu-ibu. Ketiga, kader dan bidan untuk melakukan door-to-door untuk kunjungan ke masyarkat khususnya ibu-ibu yang hamil. Persoalannya adalah lokasi jangkauan hanya sebatas pengetahuan kader. Keempat, memikirkan insentif dari pemerintah untuk kader ke depannya. Selama ini insentif untuk kader adalah 25 ribu per orang. Untuk itu harus dipikirkan ke depannya untuk insentif bagi kader. Kelima, tingginya angka perkawinan muda (perkawinan anak), dalam hal ini penting untuk memikirkan usaha-usaha penyadaran kepada masyarakat (anak) untuk menunda perkawinan sebelum dewasa. Jika melihat persoalan di tingkat individu, ada pebedaan setiap individu. Mereka tidak memiliki kepercayaan yang tinggi dengan kesehatan. 286 | Prosiding PKWG Seminar Series
Mereka cenderung menunda jika anak sakit atau mengalami sakit lainnya. Perlu kita mendorong program yang nyata. Seseungguhnya pada setiap ibu hamil sudah mekiliki kartu miskin yang sudah ditempel di jendela rumah, namun tetap tidak mereka perhatikan. Sayangnya banyak informasi yang tidak diberikan informasi tentang KB, untuk menempelkan stiker tersebut di rumah hanya disimpan saja. Jika ada mahasiswa yang turun ke masyarakat untuk mendampingi ibu hamil. Persoalannya, hanya dapat dilakukan jika ibu hamil ada. Migrant tidak semua melaporkan di mana mereka berada, sehingga tidak terdeteksi. Hal ini menyebabkan ibu tidak akan tertolong. Seringkali kadernya hilang. Jadi, si Ibu tersebut tidak melaporkan keberadaannya. Kemudian, kader 25ribu, juga harus dipikirkan. Mereka menjadi ujung tombak dari semua posyandu dan puskesmas. Kami mendapat award kader teladan, mereka mengeluhkan sangat sedikit sekali kaderisasi. Intensi sangat kecil dan mereka harus mendampingi ibu-ibu melahirkan (kendala secara ekonomi). Keperluan rumah tangga paling tinggi untuk rokok. Bagaimana masyarakat dapat melakukan iuran untuk membantu ibu-ibu melahirkan. Program BPJS, menjamin persalinan. Persalinan ke berapapun dibiayai oleh BPJS. Ada ibu dengan Sembilan anak tidak masalah karena di biayai oleh pemerintah. Pemberian bantuan sekolah. Selain pendidikan rendah, anak-anak cenderung selesai sekolah cepat juga untuk menikah. Bagaimana untuk mengatasi hal ini. Wahyu Krisnanto Untuk wilayah Surabaya, tidak ada perbedaan. Orang gila yang datang ke Surabaya juga dirawat. Saya juga curiga AKI sepertinya, akibat karena dialami oleh ibu-ibu yang sudah melakukan pernikahan secara sah atau tidak. Atau janganjangan mereka tidak melaporkan.
Catatan Diskusi | 287
Fitria Sari. Setelah ini ada vocal point untuk aksi nyata. Memang benar 15% itu ada yang emergency. Perlu ada persiapan, apakah sudah memiliki BPJS. Memahami karakter tentang kematian ibu, sangat perlu dilakukan dengan melibatkan kader kesehatan, apa penyebab yang dapat disport masyarakat. Kita harus melihat 359 itu adalah nyawa, tidak ada suami yang ingin keluarganya meninggal, bagaimana membuat remaja menyadari untuk tidak melakukan pernikahan dini. Perlu adanya pemahaman makna tentang pernikahan itu dan memiliki anak untuk menruskan keturunan. Perempuan harus memiliki kontribusi dan hal itu harus ditingkatkan. Realitanya, mahasiswa banyak yang hanya focus pada akaemisnya. Harusnya mereka dapat lebih empati dan kontribusi di masyarakat (action). Perda tentang Dukun, namun mau tidak mau sudah menjadi sejarah. Kita bisa menggandeng dukun itu sendiri, dukun hanya memandikan dan merawat. Mereka perlu melakukan pembinaan di puskesmas itu sendiri. Moon Cahyani Kita prihatin dengan tingginya angka AKI/ AKB, namun permasalahannya adalah tidak adanya pemahaman. Faktanya, kita sebagai birokrat agak jauh dari masyarakat padahal mereka adalah sasaran kita. Persoalan AKI/ AKB bukan hanya menjadi beban Negara tetapi juga semacam resiko besar untuk masa depan bangsa. Harapan, ada masukan dan rekomendasi. KPPPA seharusnya sangat berperan, melihat kebanyakan program tidak melibatkan komunitas. PEMAPARAN SESI 2. Moderator: Iklilah MD. Fajriyah
288 | Prosiding PKWG Seminar Series
Shelly Adelina dan Danielle Samsoeri (PKWG UI) Makalah yang disampaikan terkait puskesdes dan apotik desa dalam harapan di tengah AKI nol: pengalaman Manado. Penelitian masih bersifat awal dan masih dilanjutkan dengan penelitian berikutnya. Penelitian dilakukan desa teling, pinangsungklan, arakan, Sulawesi utara. Belum menggunakan analisis teori. Tujuan juga memetakan masalah. Penelitian kualitatif dengan perspektif gender dengan metode pengumpulan data awal dan wawancara terfokus, focus group discussion (FGD), observasi. Desa telling -233 KK/ 815 jiwa (50% KK miskin< desa pinangsungkulan -111 KK. FGD di Desa Telling ada dua kelompok, FGD di desa Arakan dan Pinangsungkulan masing-masing satu kelompok. Kendala, desa tidak memiliki data kuantitatif secara lengkap tentang AKI dan kesehatan reproduksi. Temuan: AKI Nol, tidak ada kematian ibu. Namun, dibalik angka nol ada beberapa pertanyaan. Ternyata angka AKI Nol Puskesdes tidak ada. Tidak ada juga apotik desa, obat-obatan harus dibeli ditingkat kecamatan. Mitos juga masih terjadi di lingkungan mereka. Tidak ada sosialisasi terkait dengan kesehatan reproduksi. Anggaran desa tidak ada alokasi apapun untuk kesehatan reproduksi. Partispasi perempuan hanya kuantitas dalam forum, seperti musrenmbang. Mengapa AKI bisa nol. Kondisi yang mendukung, ternyata para suami memiliki sikap yang posti disaat ister-isteri mereka menjalankan fungsi reproduksi. Jika ada isteri yang akan melahirkan, maka ia akan cuti melaut, mulai dari mencuci, menyiapkan popok, memasak, bahkan menyiapkan tabulin sehingga ada cadangan uang selama tidak melaut. Tidak tabu bagi laki-laki minahasa untuk menggantikan tugas isteri. Di Manado makan ikan harus setiap hari, tidak ada larangan makan ikan. Keseimbangan gizi tidak ada masalah. Vasektomi marak di desa. Di tiga desa tidak terjadi 3 T. Pelayanan kesehatan hanya mencakup penimbangan bayi, konsultasi kb, tentang makanan gizi.
Catatan Diskusi | 289
Kondisi darurat akan di bawa ke puskesmas atau RS kota madya, dan dibawa memakai motor jika tidak ada ambulans. Persalinan dilakukan oleh Biang, mengingat bidan hanya datang sebulan sekali sekali. Ketidakadaan bidan karena minimnya SDM yang ada di kecamatan dan kabupaten. Standar penghasilan jaminan kesejateraan belum memadai bagi bidan/tenaga medis. Kondisi puskesmas tidak memadai, incubator tidak berfungsi/rusak, satu buah ambulans tua, sat labolatorium. Kebutuhan perempuan ketiga desa terkait kesehatan dan kesehatan reproduksi: Puskesdes, Bidan Desa yang bertugas menetap di desa, apotik desa, dan sosialisasi informasi tentang kesehatan reproduksi secara lengkap. Ketika bidan menyampaikan tentang alat-alat kontrasepsi, banyak yang menunjukkan lengannya biru karena implant. Khaerul Umam Noer dan Iklilah MD. Fajriyyah (PKWG UI) Penelitian juga belum selesai. Makalah yang disampaikan terkait Musrenbangdes, suara perempuan, dan AKI yang (katanya) menurun: pengalaman Brebes. Dua pertanyaan, bagaimana kondisi kesehatan perempuan di kabupaten Brebes dan bagaimana keterlibatan perempuan dalam kegiatan musrenbangdes dan bagaimana kepentingan perempuan terkait AKI/AKN disuarakan di Musrenbangdes. Brebes menempati urutan pertama AKI/ AKB di Jawa Tengah. Hingga Nopember 2014, tercatat 63 kasus AKI dan 268 kasus AKB di Kabupaten Brebes. AKB puncaknya terjadi tahun 2012. Persoalan ibu tidak dianggap sebagai AKI/ AKB. Kesimpulan versi pemerintah: masyarakat, bumil anemia tinggi, masih banyak yang bersalin tidak dengan Nakes (1321 tidak ditolong nakes), pemberian MPASI sejak sangat dini. Pelayanan Kesehatan Dasar, mencukupi dan terus bertambah, persalinan belum sepenuhnya diakses, cakupan ASI ekslusif masih rendah, pelayanan rujukan. Tahun 2011, sarana kesehatan di desa larangan terdiri atas: 1 puskesmas, 3 klinik, 290 | Prosiding PKWG Seminar Series
1 orang dokter prkatek, 1 orang bidan prkatek, dan 8 orang dukun bayi. Tiga pokok permasalahan yang dihadapi di desa Larangan dan Karangbale: minimnya tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan, masih adanya kepercayaan terhadap dukun bayi, masih banyakknya kasus menikah diusia muda (bahkan banyak kasus kehamilan di luar nikah bagi anak di bawah umur). Persoalan “tambahan” yang juga krusial: peran suami yang hanya sebatas “tukang ojek” (hanya mengantar isteri ke Puskesmas dan tidak menanyakan hasilnya), dan persoalan cultural yang membolehkan perempuan yang baru melahirkan untuk mengerjakan tugas domestik atau ke ladang. Desa sebagai apparatus hanya melaksanakan “Program Emas” program ini hadir melalui Surat Edaran Bupati Brebes. Yang disosialisasikan larangan melahirkan di rumah, larangan untuk tidak menggunakan non nakes, jampersal dan kemudahan aksesnya, program SMS Bunda terbatas pada pendataan ibu hamil, perkiraan kelahiran, dan waktu melahirkan. Urusan perempuan kalah penting dari jalan dan irigasi. Suara dari ladang bawang: di Brebes partisipasi perempuan dalam musrenbangdes sangat terbatas, akibatnya kepentingan perempuan belum terakomodir, anggaran responsif gender dan responsif terhadap persoalan AKI/ AKB. Perlu penguatan posisi organisasi perempuan dan pelibatan organisasi massa berbasis keagamaan (termasuk elite agama perempuan didalammnya), PKK bisa dipergunakan, persoalannya banyak PKK mati suri, jadi mungkin tidak terlalu bermanfaat. Penguatan perspekti di level desa. Kepala Desa perempuan tidak menjamin kepentingan perempuan diutamakan. Kepala Desa perempuan tidak menjamin ia akan melakukan penguatan terhadap program-program perlindungan perempuan.
Catatan Diskusi | 291
DISKUSI SESI 2 Wahyu Krisnanto Memang jika kita menggunakan analisis seperti itu akan banyak anggaran yang ditujukan untuk perempuan. secara kuantitaif memang nilainya untuk perempuan. namun, malah mendomestasi perempuan. permasalahan kedua terkait musrenbang, kita terjebak pada aturan-aturan kompnen project yang bisa masuk dalam program itu. Tidak semua musrenbamg bisa masuk dalam program. Tidak bisa kita serta merta menyalahkan komunitas, namun tidak juga bisa membenarkan. Karena perpspekti perempuan diienteikkan dengan kerajinan, cara memasak yang baik, dsb, namun yang terkait dengan kesehatan perempuan tidak pernah dibahas. Perlu juga melibatkan laki-laki Sri Endah Apakah tidak ditarik lebih ke atas lagi melihat peran dari pemerintah setempat, seberapa jauh mereka melakukan kemitraan dan koordinasi di tingkat daerah. Kemudian bagaimana di NGO sendiri, di tingkat organisasi, keagamaan atau kemasyarakatan. Akses dan informasi seberapa jauh dapat diakses oleh masyarakat di daerah itu. Jadi, kita harus melihat program yang lebih besar dari pemerintah. Sipin Putra Apakah infrastruktur sudah 24 jam, untuk angka AKI nol. Apakah bidannya sudah cukup berpengalaman dalam persoalan persalinan, padahal kita semua mengetahui bahwa sebaran bidan di Indonesia itu tidak merata. Belum lagi persoalan skill si bidang itu sendiri.
292 | Prosiding PKWG Seminar Series
Moon Cahyani Apa yang menjadi temuan sangat terkait dengan pelibatan komunitas. Apa yang harus kita lakukan, karena desa akan menjadi ujung tombak, bahwa uang ini harus digunakan secara bijaksana. Terimakasih masukannya dan semoga tetap saling berkomunikasi untuk penelitian-penelitian seperti ini. Kajian di Minahasa, lokal sistemnya bagus sekali dan bisa juga diangkat, kajian-kajian antropologi yang tidak hanya mempersaolkan angka. Bagaimana keterlibatan majelis taklim, pure yang juga harus dikembangkan. Penelitian harus dengan dasar teori yang kuat. Bagaimana laki-laki bisa diberikan hak cuti bagi isterinya yang sedang melahirkan. Dewi Yuni Kami senang sekali mendengarkan pemaparannya. Kami sedang berporses menyusun semacam pedoman bagi organisasi perempuan terkait dengan percepatan penurunan AKI, masih proses FGD. Hasil penelitian dapat jadi acuan kami dalam proses perumusan kebijakan di KPP&PA. Herna Lestari Tidak pernah terpapar data dari NGO hanya dari pemerintah. Bagaimana menekan angka AKI/ AKB dengan mengkampanyekan menunda perkawinan. Saya ingin tahu bagaimana cara pemilihan daerah penelitian yang dilakukan oleh PKWG, apakah dengan daerah yang memang AKInya rendah. Apakah defenisi kematian ibu pada saat persalinan atau kehamilan. Bidan sangat jarang di desa itu, kenapa bisa tidak ada AKI. Kemudian, hasil dari penelitian akan dibawa kemana. Apakah musrenmbang dapat menjamin penurunan AKI, dan apa kaitannya dengan Surat Edaran.
Catatan Diskusi | 293
TANGGAPAN Shelly Adelina Yang saya temui adalah bidan yang sudah berpengalaman dan sudah PNS, PLN juga sudah 24 jam. KTD ada satu kasus namun tidak terjadi kematian saat melahirkan. Saya juga tertarik bagaimana peran suami yang sangat berbeda dengan daerah lain. Saya menemukan di Sulawesi selatan, Minahasa ketika suami sudah mau mengerjakan pekerjaan domestik, justru takut dihujat oleh lingkungan. Penelitian selanjutnya menggali hal yang muncul dan spesifik agar lebih menggerucut karena penelitian kualitatif sehingga menjadi contoh baik bagi daerah lain yang memiliki karaktersitik sama. Daerah dipilih terkait dengan kebijakan menentukan daerah pertama kali dengan permintaan Funding, memilih daerah yang sudah memiliki organisasi dan binaan. Pemilihan salah satunya berdasarkan hubungan kerja atau lembaga yang akan menjadi mitra selama melakukan penelitian. Pada saat akan menentukan lokasi penelitian, hasil penelitian juga belum diketahui, apakah AKI rendah atau tinggi. Penelitian dikaji dulu dari masyarakatnya sendiri, apa kebutuhan mereka dan persoalan yang mereka hadapi. Khaerul Umam Noer Awalnya datang untuk melihat AKI dan peran desa. Partisipasi perempuan di tingkat desa masih rendah. Riset yang dapat dilakukan selanjutnya bagaimana suara perempuan didengar dan bagaimana kemampuan untuk bernegosiasi? Untuk melihat cara baik partisipasi adalah ruang apa yang perempuan bisa masuk, yakni yang paling berpeluang adalah musrenbangdes. Kemudian, juga anggaran habis untuk membangun jalan. Edaran bupati dengan keadaan di bawahnya ada lowong yang besar. Perempuan juga hadir 294 | Prosiding PKWG Seminar Series
hanya 1-2 orang dan itupun jika mereka diundang. Ke depan, riset ini dapat dilanjutkan sehingga dapat melihat sejauh mana suara perempuan didengar. Catatan: SESI 3 yang sedianya mendengarkan pemaparan dari Prof. Dr. Akmal Taher dibatalkan karena beliau masih mengikuti rapat konsultasi dengan DPR RI. PEMAPARAN SESI 4. Moderator Mia Siscawati Sulistyowati Irianto (Dekan Pascasarjana Multidisiplin UI) Materi yang disampaikan adalah prospek kemajuan Indonesia di abad Asia dan investasi pembangunan manusia yang berkeadilan. Helicopter view tentang AKI dan AKB di Asia. Eropa belum keluar dari krisis ekonomi yang sangat berat. Mereka yang tinggal selama tiga puluh tahun harus membayar hipotik. Kalau dilihat pertumbuhan ekonomi dunia, Indonesia menempati posisi 16. Pertumbuhan ekonomi perlu dikaitkan dengan pembangunan manusia. Pembangunan manusia perlu dikaitkan dengan visioner. Jika AKI tinggi angka perkawinan anak tinggi apa artinya bagi Indonesia. Menuju Abad Asia: setelah 150 tahun, Negara Selatan berhasil keluar dari jebakan kemiskinan karena Negaranegara dunia bergeser dari utara ke selatan. Motor: China (The Giant of the South), India dan Brazil. Perkiraan 2020: kekuatan ekonomi ketiganya bila digabungkan, akan lebih besar. Asia menghasilkan separuh dari output global. Perdagangan dan kemitraan dalam bidang teknologi dan perdagangan di antara Negara Selatan sendiri, menjadi motor utama bagi kemajuan
Catatan Diskusi | 295
ekonomi. Gerak lambat Pertumbuhan ekonomi kepemimpinan Jokowi. Pertumbuhan ekonomi tidak mencerminkan pertumbuhan pembangunan sesungguhnya. ada syarat: mendekatkan jarak antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia, termasuk akses keadilan, pimpinan yang visioner dan tatakelola (good governance), kemampuan menjadikan penduduk usia produktif (197-200 juta), pintar, kreatif. Pembangunan Manusia, Indonesia nomor 108 dari 187 sesudah Negara Maldives, Mongolia, Palestina. Gambaran AKI di Indonesia, mengalami kemunduran dari tahun 1997. Kemiskinan tidak bisa dilihat dari sisi ekonomi saja. Persoalan miskin tidak hanya soal ekonomi tetapi soal akses keadilan, tidak ada ruang bagi orang miskin untuk menyuarakan suara mereka. Kemiskinan adalah buatan tangan manusia menurut dokumen UNDP. Kemiskinan justru diciptakan. Badan dunia sedang membicarakan programprogram akses keadilan. Sayangnya tidak ada desain tentang pengetahuan tentang kemiskinan. Kegagalan mereka bukan karena ketidakadanya akses tetapi karena minimnya pengetahuan. Akses kepada keadilan dan kemiskinan: 4 miliyar orang di seluruh dunia hidup dalam kemiskinan karena ketiadaan akses keadilan (CLEP, 2008), dekonstruksi terhadap kemiskinan dalam perpspekti ekonomi sentries, ketiadaan akses kepada keadilan. Saat ini, badan dunia sedang melakukan akses keadilan, program ini sudah melalui proses penjajakan yang panjang, pertama tahun 1960an. Hukum suatu bangsa tidak bisa dipindahkan ke suatu bangsa lain karena berbeda sosial dan kulturnya. Kegagalan rule of law orthodoxy. Gelombang III: memampukan orang-orang miskin agar dapat didengar suaranya. “Rule of law movement” didesain dari atas dan tidak pernah dikomunikasikan ke bawah. Berdasarkan pengalaman, lahirlah access to justice (orang-orang miskin diberikan akses). Pembangunan ekonomi tidak akan berhasil tanpa pembangunan hukum yang terintegrasi. Pertama, harus 296 | Prosiding PKWG Seminar Series
tersedia hukum yang memadai. Kedua, harus melek hukum. Sarjana hukum dan hakim sekalipun seharusnya melek hukum, artinya mengikuti perkembangan terbaru tentang hukum. Keempat tentang akses terhadap bantuan hukum. Orang miskin perlu ada bantuan untuk mengakses bantuan hukum. Empat pilar akses keadilan: tersedianya hukum yang mengakomodir kepentingan keadilan bagi kelompok rentan, akses terhadap pengetahuan hukum (melek hukum, melek hukum sangat penting terutama bagi orang miskin), akses terhadap identitas hukum (orang miskin tidak mampu untuk membuat KTP, dan akses terhadap bantuan hukum. Belajar dari tiga Negara raksasa: mampu mengintegrasikan kemajuan ekonomi, investasi pada manusia, isntitudi dan inrastruktur, memiliki pemerintahan yang efekti, memiliki effektivitas pemerintahan yang tinggi. Indonesia ke depan, prioritas pembangunan harus diletakkan pada pembangunan manusia (people-friendly development states). Budi Wahyuni (Komisoner Komnas Perempuan) Materi yang disampaikan adalah kebijakan kesehatan dan pelibatan komunitas dalam menurunkan AKI/AKB di Indonesia. AKI adalah bukti bahwa penelantaran perempuan yang Berujung pada Kematian. AKI adalah bukti bahwa penelantaran perempuan ternyata berujung pada kematian. Banyak hal bisa dilihat, misalnya minimnya informasi mengenai kesehatan reproduksi, dapat pula dianggap sebagai wujud penelantaran yang sistematis. dibutuhkan pendampingan untuk memeroleh penjelasan yang sangat detil tentang tubuh perempuan. Mendekatkan informasi kesehatan reproduksi dengan persoalan seksualitas. Dengan demikian, layanan kesehatan reproduksi harus berpihak kepada perempuan. Temuantemuan selama ini, selama ada otonomi daerah maka akan melahirkan Perda diskriminatif. Memang sudah ada Kebijakan Catatan Diskusi | 297
tentang Kesehatan reproduksi, namun persoalannya bagaimana posisi perempuan dalam menentukan aborsi banyak sekali ketergantungannya. AKI sebuah kondisi ketidakadilan gender, relasi power dalam berbagai level. Mengajukan Judicial Review terkait dengan pendidikan tentang kesehatan reproduksi. Faktor sosial juga lebih banyak. AKI jangan sampai lepas dari seksualitas, layanan reproduksi harus berpihak pada perempuan. bagaimana kedekatan sosial, budaya dan persoalan medis memang tidak bisa dipisahkan. Proses pengambilan keputusan: proses penggunaan kontrasepsi, proses menggunakan kondom untuk proteksi IMS, PMS, HIV/ AIDS, keputusan HUS atau tidak disaat masa subur tidak menggunakan kontrasepsi, proses pemilihanan makanan sehat, proses pemilihan tempat layanan kesehatan, proses pemberian ASI ekslusif, proses melanjutkan atau tidak melanjutkan kehamilan, proses melakukan berbagai aktivitas domestik dan publik. Pernahkah perempuan ditanya ketika berhubungan seks. Perempuan tidak ada lagi ruang untuk berbicara. Melibatkan komunitas adalah bagian dari aspirasi. Sosialisasi-sosialisasi kebijakan pun turut didukung oleh pelibatan masyarakat. Pelibatan masyarakat pun didukung oleh pelibatan Negara. Pinky Saptandari (Asosiasi Antropologi Indonesia) Materi yang disampaikan adalah medikalisasi tubuh perempuan dalam kebijakan kesehatan reproduksi dan upaya penurunan angka kematian ibu. Latar belakang bahwa indikasi kegagalan AKI merupakan isu lama. Dalam RAN pemenuhan hak kesehatan reproduksi, penting mengkaji kebijakan kesehatan reproduksi di Indonesia. Terdapat 12 hak kesehatan reproduksi (pasal 71-78 dan 136). UU kesehatan belum mengakomodasikan 12 hak kesehatan reproduksi perempuan. 12 hak kesehatan reproduksi penkanan pada standar layanan tertinggi dan Perlindungan 298 | Prosiding PKWG Seminar Series
yang berkaitan dengan fungsi reproduksinya. Pengaturan kesehatan reproduksi dalam UU kesehatan lebih okus pada upaya melakukan kontrol dan pembatasan pada tubuh perempuan. pada bagian penjelasan terkait dengan asas norma agama, penggunaan asas norma agama ini tidak masuk dalam pasal-pasal, justru menjadi kontrol dan pembatasan. Jika perempuan dengan pasangan yang sah saja dapat diberikan layanan kesehatan reproduksinya bagaimana dengan perempuan yang lajang. Berbicara tentang reproduksi lebih bicara kepada perempuan, padahal kesehatan reproduksi berkaitan dengan perempuan dan laki-laki. RAN pemenuhan Hak Kesehatan reproduksi tentang ketidaksetaraan gender mengakibatkan kurang terealisasinya hak perempuan. UU kesehatan belum mengakomodasikan 12 hak kesehatan perempuan. Prasangka sosial budaya yang mengatakan bahwa tubuh perempuan tidak normal. Konsep Thomas Kunn dengan “pengetahuan diam-diam” memunculkan patriarkhi menjadi menjamur. Kesehatan reproduksi hanya berbicara tentang fisik, psikis dan sosial tidak dicantumkan dalam UU Kesehatan. Sebenarnya di dalam benak perumus UU Kesehatan adalah berdasarkan prasangkan sosial budaya dalam teks-teks rumusan kebijakan kesehatan reproduksi, yang menunjukkan tubuh perempuan tidak normal. Kesehatan reproduksi membakukan anggapan bahwa perempuan adalah kandungan. UU kesehatan lebih kepada pengaturan dan pemaksaan. Selama ini hanya diatur saja, namun sisi permasalahan pada perempuan tidak pernah diakomodir. Bahan diskusi: mengkritisi, yakni mendorong perubahan mendasar pada kebijakan kesehatan reproduksi. Harus dilihat apakah ilmu kedokteran juga berkontribusi pada perumusan kebijakan kesehatan.
Catatan Diskusi | 299
DISKUSI SESI 4 Iklilah MD. Fajriyyah Merespon mbak Budi, persoalan mengambil keputusan adalah proses sesungguhnya. Tadi dibahas tentang keputusan untuk melakukan HUS dengan masa subur dengan kondom atau tidak. Namun yang pernah diketahui bagaimana keputusan melakukan hubungan seksual ketika sedang haid, terkait dengan hukum fikih. Di mana perempuan diajak berhubungan seksual ketika sedang haid dengan alasan lebih seksi dengan berdarah-darah. Ada kasus sebutlah seorang nyai sedang mengajukan gugatan cerai dengan berbagai pertimbangan. Ia adalah korban kekerasan seksual dari suaminya. Suaminya memaksanya melakukan hubungan seksual dengan tiga lubang. Suaminya dengan menggunakan landasan lain membenarkan tindakannya untuk melakukan hubungan seksual lewat dubur. Melihat tidak ada alasan lain, seringkali pandangan agama menjadikan perempuan sebagai objek seksual. Kemudian, tentang kesehatan reproduksi selain dikaitkan dengan AKI, di mana pesantren terdapat penyuka sesama jenis. Mereka banyak yang bercerita bahwa sperma pertamanya bukan melalui mimpi tetapi dimainkan oleh senior-seniornya. Danielle Samsoeri Terkait dengan persoalan kesehatan reproduksi dan seksualitas dan puncaknya adalah AKI, apa rencana dari Komnas Perempuan terkait dengan MDGs, September akan disahkan dan dilaksanakan januari 2016. Defenisi dari pasangan sah dan izin suami, tidak ada penjelasan tentang pasangan yang sah ini. PP Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi juga memaparkan pasangan sah yang
300 | Prosiding PKWG Seminar Series
tidak jelas defenisinya. Perlu adanya revisi kembali defenisi pasangan yang sah. Asti Dilihat dari data 70% perempuan terkena kanker payudara. Terjadi karena perempuan seringkali merasa takut kehilangan bagian dari anggota tubuhnya sehingga ia tidak berani mengungkapkan penyakitnya tersebut. Satu hal yang salah bagaimana perempuan tahu dan sadar akan tubuhnya. Banyak memiliki kasus di mana teman dekat terkena kanker payudara. Mereka menunggu sampai pada akhirnya tidak bisa diselamatkan lagi Atashendartini Habsjah Berupaya untuk merubah UU Kesehatan Tahun 1992. Dulu untuk mendapatkan aborsi sama dengan Bangladesh, dengan waktu 3-4 minggu kehamilan. Untuk merubah UU Kesehatan Tahun 1992, ke Kairo Tahun 1994, justru ada komponen aborsi yang aman, sedangkan Indonesia masih melarang aborsi. Baru Tahun 2009 UU Kesehatan keluar dengan banyak kompromi. Berencana akan membuat jurnal agar generasi berikutnya juga memhami. Wahyu Krisnanto Akar permasalahan adalah kontruksi sosial. Jika dilihat kontruksi sosial yang paling kuat adalah bagian dari penyiaran (KPI), bagaimana mengkontruksikan kepatuhan anak pada orang tua, suami dengan isteri. Media televisi begitu kuat dapat mengontruksikan pola pikir masyarakat, termasuk fashionnya.
Catatan Diskusi | 301
TANGGAPAN Budi Wahyuni Relasi kekuasaan akan berujung pada ketimpangan relasi antara senior dan junior dan berujung juga pada relasi kuasa yang keliru. Laki-laki cenderung untuk memilih perempuanperempuan yang berkerudung dan kemudian berujung (pasti) kepada KDRT. Tidak hanya terjadi di pesantren. Ada seorang ibu yang bercerita tentang anaknya yang berusia 12 tahun. Diajak membandingkan alat kelaminnya (penis). Melalui perbandingan itu seringkali tumbuh pemahaman tentang relasi kuasa (dengan membandingkan penis siapa yang lebih besar). Kontrukusinya harus diubah. Kembali pada perkawinan dan AKI tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan seksualitas. Komnas Perempuan belum memikirkan seberapa jauh dengan MDGs, baru melakukan kajian dan untuk saat ini masih fokus dengan RUU Kekerasan Seksual dan masih seputar kajian pada SDGs yang akan menggantikan MDGs. Konsep tentang pengambilan kebijakan tidak hanya pada pengambilan kebijakan formal. Yang dipahami dalam persoalan agama perempuan itu kerapkali dikontruksikan, seperti polisi dengan melakukan tes keperawanan. Namun, dalam masalah tes keperawanan tidak pernah menguak para dokter yang melakukan tes keperawanan. Kerapkali menumbuhkan Kontruksi bahwa perempuan yang masih perawan itu “membanggakan”, sehingga perempuan kerapkali menipu/berbohong terkait dengan “keperawanan”. Pemicu terjadinya kekerasan seksual adalah “dorongan seksual” Pinky Saptandari Bagaimana agama dijadikan sebagai legitimasi untuk membenarkan tindakan-tindakan. Di dalam UU kesehatan 302 | Prosiding PKWG Seminar Series
seolah-olah merupakan kesepakatan dan yang terjadi merupakan keinginan dari kedua belah pihak. Masih adanya pandangan bahwa menceritakan persoalan dalam rumah tangga (seksualitas) merupakan aib, maka dengan ia berani bercerita merupakan suatu kemajuan. Kebijakan juga bagaimana perempuan juga dapat mengambil keputusan atas tubuhnya sendiri. Ketika perempuan meminta dukungan justru blaming dari keluarga yang akan dialami oleh perempuan. Selain itu, kerancuan undang-undang membuat perempuan menjadi sah disebut perempuan kalau mempunyai pasangan. Dengan demikian, perkawinan siri menjadi alat untuk mengakses layanan-layanan kesehatan. Ketika di ranah masyarakat terjadi demikian dan dijadikan dasar bagi Negara maka tidak ada tindakan yang dapat dilakukan. AKI tidak dapat turun ketika hal-hal dalam rumah tangga dan seksualitas tidak dibicarakan. Mengenai pasangan yang sah dan izin suami memang tidak ada penjelasan, disebutkan cukup jelas. Perkawinan Sirri juga dapat dijadikan alat. Perlu disampaikan bagaimana merevisi kembali tentang defenisi pasangan yang sah. Tentang Kanker payudara yang meningkat memang benar. Kaitannya dengan body image. Ketika seseorang sudah dioperasi, ketika seseorang menatap brosnya maka ia mengira memandang payudaranya. Ketika perempuan sebagai tubuh politik, maka muncul Perda tentang jam malam. Tubuh perempuan selalu dikaitkan dengan moral, maka jika tidak perawan maka tidak bermoral. Menjadi satu lingkaran yang harusnya diputus dengan terobosan-terobosan untuk merubah pola pikir tersebut. Ada kemajuan yang luar biasa dalam UU Kesehatan di mana sudah diakomodir tentang kesehatan reproduksi. Pengertian sudah sangat utuh, namun kesehatan laki-laki tidak disentuh, masih sangat alergi dengan seksual. Perda DKI pernah mendefenisikan perempuan adalah yang memiliki “pungki/vagina”, yang lebih para lagi konsultan Perda tersebut berasal dari UI. Selama ini, paradigma KPI yang disebut dengan pelanggaran berbeda dengan konsep kita. Catatan Diskusi | 303
Banyak judul sinetron yang mengacu pada ajakan/ ejekan, seperti kecil-kecil jadi manten, pernikahan dini. Perkawinan anak memicu perceraian dan AKI. Sulistyowati Irianto Persoalannya bukan laki-laki yang brengsek namun perempuan juga ada, apalagi ketika perempuan bermain peran di tingkat tinggi. Relasi power pun berperan ketika perempuan atau laki-laki melakukan harrashment. Penelitian di Abudabi, ada seorang perempuan dengan suhu yang panas dan mau berlari ke shelter. Majikannya yang cantik mengikuti dia sampai membawa polisi dan perempuan dimarah-marahi oleh majikan dan harus dikatakan menurut dengan majikan. Diketahui bahwa ia harus memberikan layanan seksual pada madamnya/ majikannya tersebut. HARI KEDUA PEMAPARAN SESI 5. Moderator: Khaerul Umam Noer Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo (Rifka Annisa) Makalah yang disampaikan terkait program laki-laki peduli sebagai upaya pelibatan laki-laki dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak. Latar belakang, ada kepercayaan tradisional mengenai status perempuan laki-laki selalu di atas perempuan. Relasi yang timpang/setara antara lak-laki dan perempuan. Pentingnya mewadahi keterlibatan laki-laki dalam sebuah program, KTI adalah jenis kekerasan yang pengaduannya paling tinggi: 80% perempuan korban memilih 304 | Prosiding PKWG Seminar Series
kembali pada pasangan (tidak membebaskan dari kekerasan). Memutus siklus kekerasan: laki-laki dan perempuan harus secara bersama-sama terlibat dalam gerakan perjuangan kesetaraan dan keadilan gender. Atas dasar hal tersebut maka dicanangkan program konseling re-edukasi untuk laki-laki pelaku kekerasan. Komunitas yang dipilih untuk program, pertama tentang kriteria wilayahnya (berdasarkan AKI, AKB, angka KDRT, angka perceraian dan angka pernikahan usia anak). Untuk mendapatkan data tersebut Rifka Annisa WCC melakukan advokasi dengan Pemda Gunung Kidul. Tahun 2012, ada 11 angka kematian ibu dan 95 angka kematian bayi. Di Gunungkidul disebabkan oleh beberapa hal, yakni kehamilan yang terlalu muda (di bawah 16 tahun), terlalu tua (di bawah 35 tahun), terlalu sering atau terlalu banyak. Proses pemilihan komunitas sebagai pilot project laki-laki peduli. Pertama, criteria wilayah (AKI/AKB, KDRT, angka perceraian). Cara memeroleh informasi, advokasi dengan pemda gunung kidul. Perda No. 16 tahun 2012 ada konseling perubahan perilaku. AKI di gunung kidul melibatkan perempun yang berumur di bawah 20 tahun. Sebab yang paling dominan adalah kehamilan di usia muda. Tabu membahas isu tentang kdrt, ktp, kesehatan reproduksi yang masih berlaku di kalangan masyarakat. Pelaksanaan program laki-laki peduli komunitas, metode diskusi komunitas untuk Kelas Ayah dan live in di komunitas tersebut. Sesi kesehatan ibu dan anak merupakan pertemuan diakhir-akhir. Dibagi menjadi sub empat sesi, pertama, pembukaan dan mereview materi sebelumnya, kedua menemani istriku, ketiga, proses kelahiran, bermain role play, keempat, selamat datang anakku, menulis pengalaman pertama kali berinetraksi dengan anak, kelima diskusi reflectif seperti dengan pertanyaan kunci. Refeksi: perubahan perilaku dan perubahan konsep. Kelompok: secara inisiatif mereka sendiri melakukan diskusi untuk membahas isu-isu gender dengan melibatkan perempuan. isteri/ perempuan dilibatkan Catatan Diskusi | 305
secara aktif dalam proses pengambilan keputusan dalam rumah tangga dan kebijaksanaan desa. Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah (Pusat Riset Gender PSKG UI) Makalah yang disampaikan terkait Ambigu posisi suami dalam masa reproduksi perempuan: refleksi atas strategi tokoh pesantren dalam upaya pelibatan laki-laki sebagai suami rumah tangga. Penelitian yang dilakukan oleh PRG UI tentang konsepsi gender dalam masyarakat dan bagaimana laki-laki terlibat dalam pascareproduksi. Penelitian di enam titik, bondowoso, jombang, Bandar lampung, dll. AKI di Bondowoso, tertinggi ke dua untuk propinsi di Jawa Timur. Faktor penyumbang AKI, masih banyak yang melahirkan dibantu oleh Dukun. Mereka bercerita bahwa kesadaran untuk melahirkan ke bidan tinggi, namun persoalan akses jalan yang rusak untuk sampai ke polindes sampai dengan empat jam. Kemudian, juga soal perkawinan anak, sangat mudah ditemui anak SD yang sudah memiliki tunangan dan menikah di usia SMP. Sesungguhnya sudah ada perubahan peran terutama di wilayah kota antara laki-laki dan perempuan. seringkali dalam mengkaji gender menggunakan perspektif perempuan, maka mencoba mengkaji dari perspektif laki-laki. Di wilayah perkotaan di Bondowoso ada perubahan dalam sharing role antara perempuan dan laki-laki. Laki-laki tidak dilibatkan justru oleh perempuan dalam hal-hal yang terkait dengan reproduksi perempuan, sehingga laki-laki “didorong” untuk tidak terlibat. Keterlibatan laki-laki tidak maksimal tetapi ada pandangan inferior tehadap laki-laki. Ada laki-laki yang ingin terlibat lebih jauh, justru tidak didorong/ dilarang. Proyeksi budaya atas tubuh perempuan menjadi perempuan, semua menjadi tanggungjawab perempuan, disatu sisi ia tidak diberikan kewenangan untuk membuat keputusan atas tubuhnya sendiri. Perlu diingat bahwa kultur Bondowoso 306 | Prosiding PKWG Seminar Series
dipengaruhi kultur masyarakat Madura yang cukup kental. Pengambilan keputusan persalinan, keputusan diambil oleh orang-orang di luar tubuh perempuan yang sedang hamil itu. Perempuan tidak diberikan kesempatan untuk menentukan keputusan yang terbik bgi dirinya saat dia melakukan persalinan. Pengambilan keputusan untuk kehamilan dan alat kontrasepsi, pertama laki-laki, perempuan dan bersama. Kadang juga atas izin perempuan jika laki-laki tidak peduli, apakah mau hamil atau tidak. Untuk keputusan bersama inisiatif seringkali muncul dari perempuan, laki-laki hanya memberikan masukan/nasehat, dan perempuan yang menentukan namun tetap saja interaksi tidak terlibat secara langsung. Yang memikirkan kebutuhan perempuan kerapkali pilihan tindakan ditentukan oleh perempuannya sendiri. Pengambilan keputusan dalam persalinan, ditangan laki-laki, namun dominan ditangan orang tua/ mertua dan keluarga. Kemudian laki-laki banyak yang tidak mendampingi persalinan, tetap bekerja, memancing, ke sawah, dll. Selain itu, dianggap sebagai bagian dari siklus hidup. Strategi Kiai dalam pelibatan laki-laki dalam persalinan (film), dapat diunduh di website: surgakecildibondowoso. Mengubah perspektif masyarakat. Dalam konsep fiqih, laki-laki seharusnya menyedikan makanan kepada isteri bukan memberikan beban tambahan kepda perempuan, misalnya dikasih kain untuk dijahit, dikasih uang untuk belanja. Hampir di satu desa tidak memiliki akta nikah, untuk urusan perceraian beliau (Kiai) yang akan mengurusnya. Laki-laki menjadi kunci bagaimana AKI bisa diturunkan di Indonesia. Siska Dewi Noya dan Rinaldi Ridwan (RutgersWPF) Diwakili oleh Rinaldi Ridwan, memaparkan makalah terkait pelibatan laki-laki sebagai pasangan, penganyom/ pelibatan laki-laki dalam mempromosikan kesehatan ibu dan anak. Catatan Diskusi | 307
Meninjau keterlibatan atau peran laki-laki dalam mewujudkan kesetaraan gender. Peran laki-laki masih sangat minim dalam keterlibatan laki-laki ketik perempuan bersalin. Sementara itu, ketika laki-laki mendampingi perempuan ketika perempuan bersalin, maka perempuan akan lebih tenang dan dampk pendampingan laki-laki dirasakan dalam jangka panjang. Langkah awal, terdapat riset IMAGES. Data IMAGES: 78.92% laki-laki setidaknya sesekali menengok ibu hamil. Siapa yang mengasuh anak? Perempuan mewakili 40% tenaga kerja upahan. Menemukan dari hasil riset bahwa 30% perempuan Indonesia bahwa suami memukul ketika isteri melakukan kesalahan. Bukan hanya kesehatan ibu dilihat, namun juga tindakan tersebut merupakan kekerasan. Maka kami memperkenalkan konsep maskulinitas positif. Konsep maskulinitas positif yang dijabarkan kepada remaja laki-laki dengan kosep “generasi jagoan tanpa kekerasan”. Konsep tersebut memberi makna, teman itu melindungi bukan menyakiti juga teman melindungi bukan mencelakakan. Konsep-konsep dsar yang ditawarkan kepada remaja-remaja laki-laki. Iklan-iklan yang ditawarkan, iklan yang berupa kampanye disebar di komunitas-komunitas yang banyak menjangkau laki-laki. Pendekatan program diadakan lebih dari 24 daerah. Harapannya, bukan program bukan hanya menghasilkan output tetapi juga outcome. Target populasi, kelompok ayah dan remaja laki-laki yang belum menikah. Membuat modul untuk tenaga kesehatan dan melatih konselor laki-laki untuk memanggulangi KDRT. Selain itu, juga melakukan kampanye pada tahun 2013 untuk pengenalan program pelibatan lakilaki, melibatkan Lukman Sardi dan Ersa Mayori. Kampanye tahun 2014 terkait dengan defenisi ulang maskulinitas melalui #generasijagoan. Kita menyasar maskulinitas namun tetap dengan menggunakan perspektif dari remaja laki-laki, contoh konsep, teman itu menyelamatkan bukan mencelakakan.
308 | Prosiding PKWG Seminar Series
Kampanye untuk remaja memang lebih efektif untuk sosial media.
DISKUSI SESI 5 Pinky Saptandari Harus lebih banyak upaya dari banyak tokoh, tetapi kita harus mengajak semua pihak untuk mengkritisi semua prodak yang tertulis seperti kebijakan. Kebijakan-kebijakan di tingkat lokal juga perlu dikritisi. Misalnya definisi tentang perempuan dan laki-laki di KBBI masih sangat bias gender. Perempuan dikaitakn dengan kehormatan yang dilawankan dengan lakilaki dengan keberanian dan kegagahan. Perlu melakukan advokasi kebijakan dengan bahan-bahan yang ada, terutama memang untuk melakukan sosialisasi dapat menggunakan media visual karena lebih mudah dan dapat dibawa kemanapun. Kita harus lebih banyak menjangkau laki-laki baik yang sudah maupun belum paham tentang gender. Bondowoso memiliki pengaruh yang kuat, dan juga pernah melaunching tentang KB terbesar dari Bondowoso. Tokoh memang memiliki pengaruh, jika positif maka akan memicu hal yang positif pula. Kita harus mengkritisi semua produkproduk yang digunakan untuk kampanye, produk-produk yang digunakan kadang berjalan sesuai dengan kemauan mereka sendiri (tidak berdasarkan kriteria gender). Berharap selain bekerja dengan kelompok kecil, remaja dan sebagainya jangan lupa juga menyentuh kebijakan di tingkat lokal, ditakutkan adanya ketidaksenimbangunan sehingga akan terbuang. Ade Latifa
Catatan Diskusi | 309
Topik yang diangkat memang sangat penting dan generasi muda memang harus berperan aktif. Klarifikasi, tadi dikatakan ada kekerasan dengan KIA, apakah bisa diketahui mereka yang mengalami kekerasan juga memiliki persoalan dengan KIA, korelasinya apakah bisa kelihatan. Mengenai peran Kyai bagaimana dengan imunisasi karena berdasarkan penelitian yang saat ini masih dalam proses di Madura yang mana lakilaki melarang imunisasi. Bagaimana jika para Kyai dapat mendorong laki-laki untuk mengimunisasi anaknya. Sangat memberikan apresiasi mengenai kegiatan yang dilakukan untuk mendorong upaya pencegahan kekerasan dalam pacaran, kasusnya tinggi dan kemungkinan ada kaitannya dengan seks di luar nikah. Kerapkali, perempuan bersedia melakukan hubungan seks karena dipaksa oleh pacarnya. Yohanna Pertanyaan klarifikasi melihat kekerasan dengan kesehatan ibu dan anak, apakah mereka yang memiliki persoalan tentang kekerasan berkaitan atau tidak dengan persoalan KIA. Untuk mbak Iklilah, bagaimana korelasi dengan laki-laki yang melarang anak untuk melakukan imunisasi. Mengapresiasi konsep mencegah KDP yang angkanya sangat tinggi, dan kecenderungan untuk melakukan hubungan seks sebelum menikah, walaupun ini belum ada penelitian. Pembinaan kelompok remaja adalah salah satu upaya yang dapat dilakukan. Hilmi Yumni Setuju laki-laki harus dilibatkan dalam setiap ruang siklus reproduksi perempuan, dari kehamilan, nifas, melahirkan, menyusui, hingga monopause. Kedua, tentang kelas ayah ada beberapa sesi, apakah tidak dieksplorasi, terdapat proses antenatal, pos natal, persalinan, dan melahirkan apakah tidak 310 | Prosiding PKWG Seminar Series
dituangkan dalam sesi. Masa pos natal merupakan upaya untuk mencegah AKI. Dan juga apakah tidak merekomendasi atau follow up dengan pelayanan kesehatan terkait karena dapat digunakan sebagai bahan evaluasi ketika isteri akan melahirkan. Ketika suami mendampingi isteri melahirkan seringkali suaminya yang “semaput/teler” karena tidak ada persiapan. Kemudian, tentang pengambilan keputusan tadi dipaparkan terdapat tiga kotak, yakni suami, laki-laki, perempuan dan bersama. Apakah ada kotak pengambilan keputusan yang didegradasikan. Asteria Mengenai dua sesi tentang fasilitator dari Rifka Annisa, apakah dari kotak laki-laki, perempuan, bersama ada bagian kotak juga untuk kombinasi. Kemudian terkait dengan konseling apakah semua sesi harus diikuti, jika tidak diikuti apa konsekuensinya. Apakah jika dia tidak datang akan didatangi ke rumahnya. Apa peran perangkat desa untuk menindakalnjuti. Sejauh mana sinergi dengan pemerintah baik di daerah maupun tingkat pusat sehingga dapat diadopsi dengan dukungan dana dari pemerintah. Bagaimana jika kelas ayah yang akan menjadi program pemerintah ada keterkaitan dengan kelas ibu melahirkan. Madewanti Outcomenya harus sampai pada praktek dan internalisasi nilai-nilai. Logikanya in class, ketika di dalam kelas kemudian ada satu keluarga mengalami kekerasan, dan ada praktekpraktek di mana keluarga lain melakukan semacam rujukan dari keluarga lain, bagaimana kemudian hal tersebut bisa bersinergi. Penting untuk menggunakan perspektif laki-laki. Bagaimana kemudian menjadi non mainstraiming untuk melihat perubahan cara pandang atau bagaimana perubahan Catatan Diskusi | 311
cara pandang tersebut dapat dilihat dari sebuah perkawinan (rumah tangga). Wawan Djunaedi Terkait dengan laki-laki baru, sebetulnya mendefenisikan laki-laki baru seperti apa. Saya setuju bahwa laki-laki harus terlibat aktif dalam semua hal yang terkait dengan rumah tangga mauun kesehatan reproduksi, namun apakah istilah itu tepat? Bagaimana dengan laki-laki yang memang, kita sebut saja emansipatoris, namun menolak disebut laki-laki baru, apakah tidak mungkin jika istilah itu justru memunculkan persoalan lain. TANGGAPAN Haryo Widodo Memang ketika kita mengadakan kegiatan tentang laki-laki peduli banyak hal dan tantangan. Masih terus mengawal ditingkat para penyusun kebijakan namun prakteknya belum konkrit, karena jika ada kasus masih dilakukan rujukan konseling oleh pemerintah ke LSM. Korelasi kekerasan dengan KIA, baru beberapa bulan yang lalu menggodok lebih dalam lagi sejauh mana program pelibatan laki-laki. Meski memang belum tampak korelasinya, namun selalu mendapatkan kasus di mana ibu hamil mengalami kekerasan dari suaminya, disuruh melakukan hubungan seksual disaat hamil dan melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik. Anak yang lebih banyak kena dampak dari kekerasan tersebut, anak tidak dekat dengan ayah, ibu menjadi banyak pekerjaan dan secara psikologis menjadi beban ganda dan menyebabkan emosinya menjadi tidak stabil dan akhirnya melakukan kekerasan pada anaknya.
312 | Prosiding PKWG Seminar Series
Dalam hal ini ada relasi kekuasaan yang timpang. Jika diletakkan dalam hireraki kekuasaan mereka tetap terletak di bawah karena ekonomi dan pendidikan. Ini yang menjadi landasan terkait KIA. Pos natal, dalam program ketika berdiskusi dengan para ayah memang proses pengasuhan ditekankan tentang bagaimana proses mengasuh dan pendekatan pada anak. Tidak diajarkan secara riil, namun mengkaji dan menggali dari mereka, bagaimana pengalaman mereka ketika bersama ayah. Momen berkesannya, Bapakbapak tidak bisa bercerita. Terus dilakukan bagaimana untuk mengajak para ayah ini. Follow up dengan tenaga kesehatan masih terus dilakukan dan bahkan ada pelatihan untuk tenaga kesehatan, termasuk juga dengan para pengambil keputusan, kepolisian, kamtibnas. Proses pengambilan keputusan, ini juga menjadi sasaran dalam kelas ayah, bagaimana ayah siap berbagai kuasanya dalam tataran rumah tangga, memang tidak akan rela karena pemimpin, ketika diterapkan memang resistensinya tinggi, namun dikembalikan apa pengaruh, dampak dan mereka rasakan. Untuk fasilitator cenderung memilih fasilitator lakilaki, namun juga ada fasilitator perempuan yang siap mendengar. Jika peserta tidak hadir, dilakukan review kembali. Terkait dengan pemerintah desa dan dukun, mereka sangat koorporatif saat dilibatkan. Muncul inisiatif dari mereka sendiri, bukan lagi masalah individu namun juga sosial. Mencoba menggali apa yang menjadi permasalahan mereka, ada juga dari mereka yang ternyata dibentuk dari keluarga yang patriarki. Iklilah MD Fajriyah Lembaga-lembaga yang konsentrasi dengan isu ini tidak bersinergi atau berjalan sendiri-sendiri. Lembaga riset dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) pun berjalan sendirisendiri. Kultur masyarakat Madura sampai saat ini cukup Catatan Diskusi | 313
mengkhawatirkan karena mengabaikan soal imunisasi. Penelitian memang tidak sampai menggali tentang imunisasi, namun dikhawatirkan juga masalah imunisasi saat ini belum menjadi masalah prioritas. Perempuan dillibatkan untuk mengambil keputusan, berjalan sendiri dengan laki-laki. Suami tidak berperan dalam menolong perempuan mengambil keputusan atau laki-laki kadang tidak menghormati keputusan yang diambil sendiri oleh perempuan berdasarkan permintan laki-laki. Jika kita berbicara tentang perspektif gender harus dilibatkan perspektif laki-laki dan juga perspektif perempuan. Maka, kunci utama memang pada tokoh masyarakat, seperti Kyai yang lebih dipercaya oleh masyarakat. Ada statement, perempuan itu tidak berhak mencintai, namun untuk dicintai. Ada statement juga, guru posisinya lebih tinggi dari orang tua. Pengambilan keputusan, tidak bisa mendagradasi, namun dari tiga tahap pengambilan keputusan, yang dominan adalah pola laki-laki yang mengambil keputusan, yang kedua adalah bersama namun sesungguhnya memang menyerahkan kepada perempuan tetapi laki-laki juga ikut di dalamnya (perempuan hanya bagian kecil/ sedikit). Mengenai fasilitator penting melibatkan laki-laki, pengalaman ketika mensosialisasikan isu gender di pesantren, kalau dua-duanya perempuan maka tidak akan masuk. Saat melibatkan laki-laki malah lebih cepat dan mudah diterima oleh laki-laki. Dalam membahas relasi gender, kita tidak harus mengkaji dari laki-laki saja untuk mengatasi permasalahan kekerasan terhadap perempuan, namun harus dikaji penyebabnya sehingga dapat dicari tahu akar masalahnya. Jadi, dari perspektif gender memang harus dari kedua belah pihak. Definisi laki-laki harus bertanya pada laki-lakinya karena mereka yang lebih memahami defenisi itu sendiri. Rinaldi Ridwan
314 | Prosiding PKWG Seminar Series
Program yang dilakukan oleh RutgersWPF umumnya tidak besar, hanya tingkat propinsi yang bisa bekerjasama dengan pemerintah. Misalnya dengan melibatkan posyandu, bekerjasama juga dengan KMP2K, Polres. Kemudian, ada juga secara spesifik melakukan advokasi anggaran, memasukkan isu pelibatan laki-laki dalam anggaran tersebut, misalnya sebesar 1 Milyar. Terdapat outcome dari pelaksanaan kegiatan, yakni sudah ada MOU dengan Kabupaten antara Rifka Annisa WCC dengan Polres dan MOU terkait dengan Perkawinan Anak. Di Lampung bekerjasama dengan Universitas terkait dengan pelibatan laki-laki. Harapannya, implementasi program pada Tahun 2015 selesai. Defenisi lakilaki baru, pertama laki-laki peduli, permasalahan laki-laki memang sangat kompleks. Di Indonesia sendiri memang baru namun penting. Riset di lapangan, sudah bisa ditanyakan kepada laki-laki tentang pelaku kekerasan. Hal yang dilakukan adalah mendefenisikan ulang dan membuat refleksi yang mudah dicerna, misalnya laki-laki yang aktif memilih kontrasepsi, laki-laki tanpa kekerasan. Masih dalam tahap pengembangan. PEMAPARAN SESI 6. Moderator: Iklilah MD Fajriyah Sri Endah dan Pinky Saptandari (Univ. Airlangga) Materi yang disampaikan terkait membangun forum komunikasi melalui badan permusyawaratan desa sebagai upaya mendukung pembangunan keluarga mewujudkan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, Perlindungan dan tumbuh kembang. Diwakili oleh Sri Endah. Terkait dengan geografis penelitian, di daerah pasuruan probolinggo, dibagi dua wilayah, yakni dataran rendah (pertanian dan nelayan, biasanya kultur yang berkaitan dengan kelompok berbasis NU, Catatan Diskusi | 315
dataran tinggi, adalah tengger). Penelitian lebih ke arah wilayah-wilayah Tengger. Penyebab AKI, diantaranya terkait dengan kualtias hidup perempuan rendah, pendidikan, dan ekonomi. Tahun 2011 meningkat 127 AKI dibandingkan Jabar, Jateng, NTT yang mulai menurun. Untuk AKB di Jawa Timur salah satu dari lima propinsi yang angka kematiannya cukup tinggi. Indoensia merupakan Negara kurang gizi nomor lima di Indonesia. Kemiskinan, Jawa Timur menduduki peringkat tertinggi. Tingginya AKI di Probolinggo. Geografis penelitian kabupaten probolinggo, daerah rendah yang dominsi nelayan berbasis NU dan daerah Tengger. Penelitian ini mencakup AKI, AKB, dan gizi buruk. Penyebabnya pun beragam. Persalinan yang belum ditangani oleh dokter. Puskesmas tidak buka setiap jam. Gizi buruk di Probolinggo setiap tahun masih ada. Gizi buruk di Probolinggo: penyebabnya yakni pola asuh (diberi pisang), penyakit penyerta, dll. Di Tengger banyak upacara-upacara yang mehabiskan biaya, namun ada program-program yang cukup berhasil. Ada dua pimpinan, yakni kepala adat/ kepala desa, menakankan kepada sistem pemerintahan, dan juga dukun. Dina Gasong dan Ikma Citra Ranteallo (UKI Toraja – Univ. Udayana) Materi yang disampaikan adalah mengajukan pengetahuan lokal Toraja untuk menghadapi kematian ibu dan bayi. Relasi gender di Toraja. Hubungan bilateral. Beberapa adat yang dilakukan kepada perempuan, misalnya panen hasil bumi dipimpin oleh perempuan. Sa’dan “matrilokal”, perempuan berperan besar di Toraja. Ada sistem “kappa” yang dipakai dalam sistem ketika menikah. Falsafah di budaya toraja:manusia, tanaman, dan hewan. Keharmonisan tiga aspek kehidupan harus dijaga. Jika tidak harmonis, maka akan
316 | Prosiding PKWG Seminar Series
terjadi malapetaka di antara masyarakat Toraja. Masyarakat Toraja menjaga betul kesehtan manusia (bayi dan ibu). Pada umumnya orang Toraja bahwa mayat itu harus dikuburkan di dalam tanah kafrena tanah dianggap produktif, jika semua dipakai untuk kuburan maka tidak akan bisa menanam. Pengetahuan lokal penting karena menurut kajian psikolonial dan riset ilmiah justru menghasilkan kontruksi sosial yang tidak berimbang/timpang. Toraja selalu dikaitkan dengan boros dan sadis. Sistem kekerabatan Toraja bilateral, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama. Silsilah keluarga dihitung dari garis perempuan dan laki-laki. Peran penting dalam adat, misalnya ritual untuk mengusir roh jahat, dan hasil bumi dipimpin oleh perempuan. ada satu daerah do Toraja, sakdan yang mana kecenderungan yang dianut adalah lokal di mana perempuan cukup berpengaruh. Perkawinan di Toraja sistem yang dipakai capak, denda yang disetujui pada saat proses lamaran, seperti dengan kerbau. Suami isteri saling berbagi pekerjaan di Toraja, dari segi maskulinitas yang berbicara adalah laki-laki, perempuan juga mengumpulkan rumpun keluarga. Budaya Toraja, lolo tau (manusia), lolo tananan (tanaman), lolo patuoan (hewan). Zaman dahulu tiga aspek tersebut kehidupan harus dijaga, orang menabang pohon harus meminta izin, memelihara hewan untuk kebutuhan manusia itu sendiri. Jika tidak harmonis maka dengan hewan dan tanaman maka akan terjadi malapetaka. Ditemukan juga bayi, jika ada bayi yang meninggal tidak dikubur di tanah tetapi dikubur di pohon. Varinia Pura Damaiyanti (Univ. Lambung Mangkurat) Materi yang disampaikan adalah sinergitas bidan, dukun beranak, dan keluarga dalam menurunkan angka kematian ibu dan bayi, penelitian belum selesai masih dalam proses. Fenomena di Bajarmasin, bidan memegang peran dalam hal AKI dan AKI. Mereka masih lebih suka datang ke bidan Catatan Diskusi | 317
daripada dokter, karena dokternya laki-laki. Ada dokter perempuan, sekitar tiga orang. Mereka mengatakan bahwa dokter perempuan galak. Dukun beranak juga memegang peran. Memeriksa kandungan ke bidan dan ke dukun. Perempuan Banjarmasin masih kuat untuk melahirkan di rumah karena lebih nyaman. Melahirkan di rumah juga menjadi pilihan yang nyaman dan dapat bebas. Melahirkan di rumah, menjadi pilihan yang banyak diminati oleh ibu-ibu hamil. Sementara itu, perspektif bidan dan perspektif ibu-ibu hamil atau masyarakat masih sangat berbeda. Ketakutan ibu-ibu di Banjarmasin membuat perempuan menaruh kepercayaan mereka pada dukun beranak. Sementara itu, menurut bidan dukun tidak memenuhi syarat untuk membantu proses melahirkan. Selain itu, karena melahirkan berkaitan dengan organ reproduksi, maka mereka malu. Di rumah juga bisa didampingi siapa saja. Jika mau melahirkan diberi garam, fungsinya supaya mahluk halus tidak masuk . Kopi manis, kopi pahit dan garam diletakkan di bawah ranjang juga agar tidak terganggu. Kemudian juga melahirkan di rumah (perspektif bidan), tidak leluasa, obat dan peralatan terbatas dan akte kelahiran. Melahirkan di rumah dukun juga didatangkan. Bidan biasanya memberikan vitamin sedangkan dukun memberikan ramuan. Menurut bidan orang hamil tidak bisa diberi jamu karena akan lengket dan air ketuban dapat berbahaya bagi bayi. Jika terjadi bayi sungsang maka mereka akan pergi ke dukun. Dukun yang dipercaya do’anya manjur. Ada sugesti jika dukun hadir maka bayi pasti akan selamat. DISKUSI SESI 6 Asteria
318 | Prosiding PKWG Seminar Series
Masih sangat kurang sinergitas antara akademisi, NGO dan project dari donor. Kita akan mengadakan simposium praktek cerdas untuk kesehatan ibu dan anak serta gizi. Abstrak yang disampaikan dua hari ini akan dijadikan bahan untuk pertemuan. Tentang budaya Toraja, bisa dipetakan dan akan dibuat kesimpulan dari budaya yang dapat memberikan kontribusi yang dapat dikampanyekan. Terkait dengan bidan dan dukun, bisa dijadikan studi perbandingan bentuk sinergitas apa yang tepat untuk masing-masing wilayah juga bagaimana kebijakan dari Pemda setempat. Tentang forum komunikasi, bagaimana keterlibatan perempuan dalam forum komunikasi apakah ada dengan sengaja peran perempuan untuk menjadi kepala desa atau kepala dusun. Apa affirmative Actionnya. Nyssa Janice Pertama, karena forum ini adalah forum kajian gender, masyarakat sendiri masih belum paham tentang gender dan seksualitas. Saya baru saja pulang dari Manado seminggu yang lalu dan kebetulan memiliki kesempatan untuk bertemu dengan kepala biro perempuan dan perlindungan anak di sana. Salah satu hal yang menarik perhatian saya yaitu ternyata salah satu kantung trafficking ada di Manado. Banyak gadis Manado yang dijual jasa seks mereka ke salah satu daerah di Maluku Utara (Ternate). Ide yang tiba-tiba muncul mungkin dapat dilakukan penelitian tentang AKI dan AKB di kalangan sex worker, yang mungkin tidak kalah tinggi menyumbang presentase AKI di Indonesia, yang sebabnya macam-macam, salah satunya mungkin karena HIV/AIDS, misalnya di Papua. Berikutnya tentang kematian ibu yang disebabkan oleh faktor ekonomi. Misalnya di pedalaman papua barat yang keadaan wilayah sangat memprihatinkan. Mengapa? Karena kondisi jalan yang buruk, kalau dari pedalaman mau melahirkan ke kota tetapi harus menggunakan pesawat dan harga tiket pesawat mahal, jumlah Catatan Diskusi | 319
pesawat yang minim jadi tidak bisa setiap waktu bisa diakses. Ini adalah faktor-faktor yang membelit perempuan yang berada di margin. Wahyu Krisnanto Kita tetap dapat mengambil kearifan lokal setempat, misalnya dukun. Bahwa kemudian dukun harus hadir dalam proses persalinan semakin memberikan pengaruh psikologis bagi si ibu dan ada taburan garam di kamar atau meletakkan kopi di bawah tempat tidur akan menjadi sesuatu hal yang juga memberikan dampak psikologis. Jadi, tinggal mengemas saja bagaimana kemudian cara atau obat modern dikombinasikan dengan obat-obat herbal karena kalau dilihat tidak terlalu berbeda jauh. Kemudian, keterlibatan forum desa, jika dilihat, saya pernah melakukan penelitian tentang peningkatan Perlindungan perempuan di Pasuruan. Banyaknya SKPD statusnya itu kantor atau badan, tidak ada dinas, padahal memiliki tupoksi yang hampir sama. Apakah keterlibatan pada perempuan memang terjadi pada masyarakat Tengger di seluruh kabupaten atau di Probolinggo saja. Dan apakah kepedulian pada perempuan memiliki korelasi atau relevansi nilai-nilai magis. TANGGAPAN Dina Gasong Tertarik dengan yang terkait dengan Seks Worker. Kita sudah tahu bahwa HIV/ AIDS bisa menyebar di Seks Worker. Indonesia merupakan salah satu tujuan dari wisata seks. Kearifan lokal bisa disinergikan untuk ditingkat nasional dan internasional, di WHO ASI dan Imunisasi menjadi standar. Bagaimana agar usaha kita ini bisa dianggap menjadi sebuah
320 | Prosiding PKWG Seminar Series
kesimpulan. Sebagaimana dijelaskan AKI/ AKB di Toraja tidak ada. Nanti akan diberikan buku tentang Toraja yang lebih dalam. Sri Endah Kinasih Kami sedang melakukan pemetaan terhadap titik-titik penyebaran di Surabaya setelah penutupan tempat Seks Worker. Telah meminta data di Dinas kesehatan (propinsi dan Surabaya) yang mengejutkan tingkat penyebaran HIV/AIDS banyak terjadi pada usia-usia produktif dan Ibu Rumah Tangga, kemudian HIV/ AIDS juga karena menggunakan narkoba. Banyak Bayi yang terkena infeksi HIV/ AIDS dari ibunya. Pertanyaannya, antar dinas yang bertanggungjawab tentang AKI/ AKB belum ada. Kab/ Kota tidak memiliki SOP, di mana jika ada korban yang mengalami AKI/ AKB siapa yang akan bertanggungjawab. Keterlibatan perempuan, BPD terbuka bagi siapa saja yang masuk karena sudah adanya penyadaran di tingkat mereka. Perempuan/ remaja jika di dataran rendah ada tradisi untuk melihat apakah mereka hamil/ tidak karena ditakutkan ada musibah. Ada sedikit perbedaan, kalau di Probolinggo memang sudah sadar BPD, BPD memang sangat jalan bekerjasama dengan SKPD, bagaimana mengatasi masalah. Berbeda dengan Pasuruan. Di Pasuruan sulit menemukan NGO yang fokus tentang perempuan. Kalau di Kabupaten Larangan ada pendampingan. Di Kabupaten Malang, belum sama sekali tersentuh, tetapi kalau di Sukapure sudah. Varinia Pura Damaiyanti Bicara soal lokalisasi, di Banjarmasin di bagi dua tipe, lokalisasi lengkap (puskesmas dan klinik ada) dan ada lokalisasi yang tidak lengkap. Pernah membawa mahasiswa KKN, namun bingung mau membuat program apa karena Catatan Diskusi | 321
sudah baik. Kemudian terkait dengan kearifan lokal, dari perspektif pasien, si ibu hamil mereka lebih nyaman jika di rumah atau kamar mereka, seperti ketika ingin menaburkan garam atau meletakkan kopi di bawah tempat tidur. Kemudian untuk kehadiran Dukun, di Klinik bidan tidak mungkin melakukan itu, tidak semua bidan mengizinkan. Terkadang Dukun diizinkan masuk untuk mendampingi persalinan agar doanya dianggap manjur. Namun, tergantung pada Bidannya tersebut. Maka, mereka terkadang lebih nyaman melahirkan di rumah karena untuk didampingi Dukun tidak perlu izin dari bidan. SESI 7 PENYUSUNAN KERTAS KERJA Penyusunan Kertas Kerja PKWG Seminar Series dibagi dalam dua kelompok: satu kelompok berfokus pada persoalan kebijakan kesehatan dan pendukungnya, baik di tingkat nasional maupun tingkat lokal. Kelompok lainnya berfokus pada bagaimana pelibatan komunitas dan keluarga dalam persoalan AKI/AKB. A. Kelompok Kebijakan No 1
Strategi Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pengetahuan lokal tentang kesehatan ibu dan anak dengan
Kebijakan Rekomendasi penelitian akademik, indigenous knowledge sebagai bahan pengambilan kebijakan daerah dan nasional
322 | Prosiding PKWG Seminar Series
Stakeholder
kebijakan di tingkat lokal. 2
Pelibatan akademisi melalui tri dharma perguruan tinggi
- Kebijakan Pemda mendorong kegiatan tri dharma perguruan tinggi dalam rangka kesehatan ibu dan anak - Memperluas lingkup studi di lingkungan Pemda untuk mendukung peningkatan KIA dan peningktan anggaran KIA - Mendorong pemerintah untuk membentuk dan memperkuat forum komunikasi antarstakeholder di bidang KIA (termasuk akademis) - Mendorong dilakukannya legal reform terhadap berbagai perundangan
- Pemerintah (legislative, eksekutif, yudikatif) - NGO - Akademisi - Toga, Tomas, Todat - Pers - Professiona l
Catatan Diskusi | 323
yang bias gender. - Mendorong dan memperluas keterlibatan kelompok komunits lokal dalam kegiatan proses perencanaan, monitoring, dan evaluasi pembangunan 3
Pelibatan tokoh agama dan tokoh adat, tokoh masyarakat dalam peningkatan kualitas kesehatan ibu dan anak
4
Pelibatan pers, media dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak, kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual
5
Mendorong peningkatan
324 | Prosiding PKWG Seminar Series
komitmen Pemda (political will) untuk peningkatan KI dan pencegahan perkawinan anak
B. Kelompok Komunitas Hal Positif Forum komunikasi antar Fasilitator di 10 lokasi/ kabupaten. Contohnya: Kekerasan, AKI, Kesehatan Reproduksi Majalah/ hasil kesenian (setiap bulan) dan Buletin Kader asuh dan pendampingan oleh mahasiswi > penurunan AKI
Hal Negatif Tantangan: Kejenuhan Penyebaran ke masyarakat tidak mudah diterima
Apa Yang Harus Dilakukan/ Strategi 1. Undang-Undang Desa: BPD untuk mengangkat derajat perempuan ->keterlibatan perempuan dan kelompok miskin (partisipasi) + RPKMDES dan ADD melalui pengkaderan dan pelatihan “juklis” serta gender mainstreaming 2. Komunitas Catatan Diskusi | 325
(Fisip) MOU Dukun dengan Puskesmas Promosi Kesehatan -> MOU (Dukun, Bidan, dan Tokoh Adat saling berkalaborasi melalui pelatihan) Penyuluhan kesehatan reproduksi ke sekolah Catatan: Tokoh agama, Tokoh Adat menjadi satu kesatuan. Bidan disukai karena “Plusplus” karena bisa dicicil, dipijat, kenyamanan psikologi Adanya kelas ayah yang dapat membangun kedekatan komunikasi antara suami dan isteri program
Tantangan: Melahirkan di rumah Tupoksi bidan dengan dukun yang tertukar
membangun jejaring dan komunikasi (koordinasi) antara bidan desa, dukun, tokoh masyarakat, tokoh agama, pendampingan NGO, aparat desa, KUA -> kontinuitas program (sustain) , P2TP2A, BPM , OP 3. Meningkatkan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni memasukkan kurikulum. (volunteer pendampingan oleh mahasiwa dan KIA)
Tantangan: Bidan belum tahu culture/ kebiasaan atau kalah pengalaman
326 | Prosiding PKWG Seminar Series
4. Komunitas mendesak MOU/ Perda untuk pemberian sanksi bagi dukun dan ibu hamil/ mendesak turunan dukun
pelibatan lakilaki Suara dan aksi warga “UKBM, standar kesehatan Monitoring bersama -> skoring 2 Laki-laki dan 2 perempuan terlibat. Modifikasi adat (penggantian dengan uang)
Bidan memahami situasi dan pendekatan culture/ budaya masyarakat sekitar (mau dibayar dengan hasil bumi). -> karakter , adaptasi, kemauan
Tantangan:
untuk disekolahkan/ beasiswa
Dituduh sebagai 5. Komunitas menjadi provokator Takut penjembatan aktif program mendapatkan ancaman pemerintah/ melakukan (daerah konflik) -> (sungkan/ sosialisasi tidak sopan) Volunteer tidak 6. NGO, masyarakat digaji sehingga dan tenaga susah untuk menanamkan kesehatan memperkuat komitmen ADD , Musrenbangdes, penyadaran tentang relasi dan BOK kuasa dan kesetaraan gender (melalui pelatihan dan kurikulum tentang gender). Diawali dengan refleksi ketidaksetaraan gender Pendekatan multiopsional, contohnya: ekonomi. Akses pemanfaatan kesehatan Catatan Diskusi | 327
kepada perempuan dan laki-laki 7. Pelatihan/ penyadaran kritis tentang anggaran dan kepentingan perempuan bagi perwakilan perempuan di wilayah masingmasing 8. Komunitas memberi kesadaran kritis tentang aturanaturan yang pro perempuan
Seluruh hasil diskusi ini terangkum dalam EXECUTIVE SUMMARY PKWG SEMINAR SERIES #1, dan akan disusun menjadi POLICY BRIEF yang akan disampaikan kepada kementerian terkait.
328 | Prosiding PKWG Seminar Series
NARASUMBER PKWG SEMINAR SERIES
Ade Latifa Peneliti di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI ini menyelesaikan pendidikan S1 Arkeologi Universitas Indonesia dan S2 Kajian Gender Universitas Indonesia. Fokus utama penelitiannya pada isu perubahan iklim, migrasi, dan kemiskinan. Berbagai tulisannya tersebar di jurnal maupun terbitan LIPI lainnya. Dapat dihubungi di
[email protected]. Budi Wahyuni Lahir di Yogyakarta, 23 Mei 1958. Menyelesaikan studi di S1 Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta, S2 Manajemen Universitas Gajah Mada, S2 Medical Antropology UVA Amsterdam, dan S3 Public Health Universitas Gajah Mada. Aktif sebagai konselor di PKBI dan LBH APIK Yogyakarta. Saat ini beliau adalah Wakil Ketua Komnas Perempuan Periode 2015-2019. Dapat dihubungi melalui
[email protected]. Danielle Johanna Samsoeri Lahir di Tomohon, 6 Februari 1979. Menyelesaikan pendidikan S1 Ilmu Hukum Unika Atma Jaya dan S2 Kajian Gender Universitas Indonesia. Pernah menjadi Badan Pekerja Komnas Perempuan (2002-2015) di Gugus Kerja Perempuan Dalam Kebijakan dan Hukum Nasional dan associate di Pusat Kajian Wanita dan Gender UI. Saat ini
Narasumber | 329
beraktivitas di RutgersWPF Indonesia. Dapat dihubungi di
[email protected]. Dina Gasong Lahir di Seriti, 2 September 1964. Menyelesaikan pendidikan S1 Kesusateraan Indonesia Universitas Hasanuddin, S2 Pendidikan Bahasa Universitas Negeri Makassar, dan S3 Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Jakarta. Penelitiannya difokuskan pada masyarakat Toraja. Saat ini tercatat sebagai pengajar di Universitas Kristen Indonesia Toraja. Dapat dihubungi melalui
[email protected]. Eniarti Djohan Lahir pada 4 Juni 1951, saat ini merupakan salah satu peneliti senior di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI. Menyelesaikan pendidikan S1 Antropologi Universitas Gadjah Mada dan S2 Sosiologi Ryukoku University, Kyoto. Fokus utama penelitiannya pada kesehatan, keluarga, dan kelanjutusiaan. Berbagai tulisannya tersebar di media massa, jurnal, maupun terbitan LIPI. Dapat dihubungi di
[email protected]. Fitranita Lahir di Padang, 18 Februari 1975. Menyelesaikan pendidikan S1 Statistik di Institut Pertanian Bogor dan S2 Kajian Kependudukan Universitas Indonesia. Sebagai peneliti di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, banyak melakukan penelitian di berbagai wilayah dengan isu bencana, perubahan iklim dan kemiskinan. Berbagai tulisannya tersebar di jurnal maupun terbitan LIPI Press.
330 | Prosiding PKWG Seminar Series
Fitria Sari Lahir di Pasuruan, 4 Juli 1991. Setelah menyelesaikan pendidikan S1 Sosiologi Universitas Brawijaya, aktif di berbagai NGO dengan wilayah kerja Jawa Timur, seperti EMAS (Expanding Maternal and Neonatal Survival). Merupakan pendiri dan advisor dari Community Gender Institute in Malang (Kojigema Institute). Dapat dihubungi di
[email protected]. Gratianus Prikasetya Putra Lahir di Surabaya, 19 November 1991. Menyelesaikan pendidikan S1 Ilmu Hukum Universitas Indonesia, dan saat ini sedang menyelesaikan S2 Ilmu Hukum Universitas Indonesia. Aktivitasnya sebagai associate lawyer di salah satu firma hukum di Jakarta. Saat ini merupakan associate researcher Pusat Kajian Wanita dan Gender UI dan bergabung dalam INCLE (Indonesia Network for Clinical Legal Education). Dapat dihubungi di
[email protected]. Haryo Widodo Lahir di Lombok Tengah, 25 Juli 1988. Menyelesaikan pendidikan S1 Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta. Aktivitas lebih banyak dilakukan untuk kerja sosial sebagai konselor dari Rifka Annisa Yogyakarta. Dapat dihubungi di
[email protected]. Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah Lahir di Jember, 1 Januari 1977. Menyelesaikan pendidikan S1 Ushuluddin Insitut Ilmu Al Quran Jakarta, S2 Kajian Gender Universitas Indonesia, dan saat ini adalah kandidat
Narasumber | 331
doktor Antropologi Universitas Indonesia. Selain kesibukannya sebagai dosen di Kajian Gender, juga merupakan peneliti di Pusat Kajian Wanita dan Gender UI. Banyak menulis mengenai hukum waris dan perkawinan. Saat ini merupakan Ketua Pusat Riset Gender Program Pascasarjana Kajian Gender UI. Dapat dihubungi di
[email protected]. Ikma Citra Ranteallo Lahir di Makale, 27 Oktober 1982. Menyelesaikan S1 dan S2 Sosiologi dari Universitas Gadjah Mada. Penerima Scholarship Short-term Study Program (AIEJ) di Faculty of Policy Studies, Chuo University, Tokyo, Japan pada 2009. Banyak melakukan penelitian mengenai masyarakat Toraja. Saat ini tercatat sebagai pengajar di FISIP Universitas Udayana. Dapat dihubungi melalui
[email protected]. Khaerul Umam Noer Lahir di Bekasi, 23 Maret 1986. Menyelesaikan S1 Antropologi dari Universitas Airlangga, S2 Ilmu-Ilmu Sosial juga dari Universitas Airlangga, dan S3 Antropologi dari Universitas Indonesia. Peneliti dengan bidang kajian migrasi dan perubahan sosial di wilayah urban. Selain menjadi pengajar di program pascasarjana Kajian Gender UI dan Ilmu Administrasi UMJ, juga menjadi pengajar tamu di Universitas Paramadina dan UIN Jakarta. Saat ini menjabat sebagai Ketua Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia. Dapat dihubungi di surel
[email protected].
332 | Prosiding PKWG Seminar Series
Pinky Saptandari Lahir di Surabaya, 26 Mei 1958. Menyelesaikan pendidikan S1 Sosiologi di Universitas Airlangga, S2 Antropologi Universitas Indonesia, dan S3 Filsafat Universitas Indonesia. Staf ahli Menteri Pemberdayaan Perempuan periode 2005-2009 ini aktif sebagai peneliti dan merupakan pengajar tetap di Departemen Antropologi FISIP Unair. Saat ini menjabat sebagai wakil ketua bidang kerja sama di Asosiasi Antropologi Indonesia. Dapat dihubungi di
[email protected]. Rinaldi Ridwan Sarjana ilmu komunikasi Universitas Indonesia ini terlibat dalam banyak kegiatan yang berhubungan dengan remaja dan laki-laki, antara lain associate di B-Change Foundation di Manilla, social media manager di RED Communication, dan koordinator program remaja di Jurnal Perempuan. Saat ini merupakan communication officer di RutgersWPF Indonesia. Dapat dihubungi di
[email protected]. Ruth Eveline Lahir di Jakarta, 19 Mei 1975. Menyelesaikan pendidikan S1 Agrikultur di Institut Pertanian Bogor dan S2 Kajian Gender UI. Bidang utama kajian pada pengembangan komunitas, isu HAM, dan seksualitas. Banyak melakukan penelitian dan advokasi di bidang Hak Asasi Perempuan, dan terlibat sebagai konsultan di berbagai NGO internasional. Tulisannya mengenai HAM dan HAP tersebar di berbagai media dan jurnal. Saat ini tercatat sebagai pengajar di Prodi Kajian Gender dan peneliti di Pusat Kajian Wanita dan Gender UI. Dapat dihubungi di
[email protected].
Narasumber | 333
Sartika Intaning Pradhani Lahir di Surabaya, 6 Maret 1992. Menyelesaikan pendidikan S1 Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada, dan saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada. Banyak melakukan penelitian di bidang hukum, dan saat ini tercatat sebagai konselor hukum Rifka Annisa Yogyakarta. Dapat dihubungi di
[email protected]. Shelly Adelina Alumnus dari Kajian Gender UI ini pernah menjadi redaktur senior tabloid Wanita Indonesia dan menjadi kontributor di berbagai majalah dan jurnal khususnya dalam topik perempuan dan politik. Selain menulis, juga sangat aktif sebagai pembicara atau fasilitator terkait pengarusutamaan gender. Saat ini menjadi Sekretaris Program Studi Kajian Gender UI dan peneliti di Pusat Kajian Wanita dan Gender UI. Dapat dihubungi di email
[email protected]. Sri Endah Kinasih Lahir di Surabaya, 23 Juni 1969. Menyelesaikan pendidikan S1 Antropologi Universitas Airlangga dan S2 Antropologi Universitas Indonesia. Fokus utama penelitian pada kawin kontrak dan kesehatan reproduksi. Berbagai tulisannya tersebar di media massa dan jurnal, termasuk dalam Encyclopedia of Women and Islamic Cultures: Family, Body, Sexuallity and Health. Saat ini tercatat sebagai anggota PusHAM Universitas Airlangga dan Ketua Departemen Antropologi Universitas Airlangga. Dapat dihubungi di
[email protected].
334 | Prosiding PKWG Seminar Series
Sri Surnarti Purwaningsih Lahir pada 21 Mei 1961, merupakan salah satu peneliti senior di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI. Menyelesaikan pendidikan S1 dan S2 Antropologi Universitas Gadjah Mada, S2 dan S3 Demografi Australian National University. Penelitiannya banyak dilakukan dengan fokus migrasi, kemiskinan, dan kesehatan. Tulisannya dapat ditemukan di berbagai terbitan LIPI dan jurnal kependudukan lainnya. Saat ini tercatat sebagai ketua divisi kependudukan di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI. Dapat dihubungi di
[email protected]. Sulistyowati Irianto Lahir di Jakarta, 1 Desember 1960. Menyelesaikan pendidikan S1 Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada, S2 Antropologi Universitas Universiteit Leiden dan Universitas Indonesia, S3 Antropologi Universitas Indonesia, dan Profesor dalam bidang antropologi hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Berbagai penelitiannya dalam topik gender dan akses keadilan telah banyak dipublikasikan di media atapun YOI. Saat ini menjabat sebagai Dekan Pascasarjana Multidisiplin Universitas Indonesia dan ketua badan penasehat Pusat Kajian Wanita dan Gender UI. Dapat dihubungi di
[email protected]. Wahyu Krisnanto Lahir di Surabaya, 24 Desember 1967. Lulusan S1 Antropologi Universitas Airlangga dan S2 Administrasi Publik Universitas 17 Agustus 1945 ini tercatat sebagai pengajar di Universitas Katolik Darma Cendika Surabaya. Kajian utamanya pada kemiskinan, masalah perkotaan, dan Narasumber | 335
kearifan lokal. Saat ini tercatat sebagai Ketua LPPM Universitas Darma Cendika Surabaya. Dapat dihubungi di
[email protected] Varinia Pura Damaiyanti Lahir di Banjarmasin, 1 September 1982. Menyelesaikan pendidikan S1 Sosiologi Universitas Airlangga dan S2 IlmuIlmu Sosial Universitas Airlangga. Penelitiannya difokuskan pada kehidupan sosial masyarakat Banjar. Selain aktif sebagai dosen di FISIP Universitas Lambung Mangkurat, juga tercatat sebagai Sekretaris Center for Election and Political Party Unlam dan Panwaslih Kota Banjarmasin. Dapat dihubungi di
[email protected].
336 | Prosiding PKWG Seminar Series