AIR MENGALIR SAMPAI JAUH (Sebuah Tinjauan Terhadap Dampak Sosial Akibat Pengembangan Ekowisata di Desa Bengkelang, Kecamatan Bandar Pusaka, Kabupaten Aceh Tamiang)
Disusun Oleh : Joko Guntoro
[email protected] +6281578743882
SATUCITA INSTITUTE OKTOBER 2007
KATA PENGANTAR
Karya tulis ini lahir dari kegelisahan peneliti tehadap fenomena pembangunan, terutama pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan yang memiliki sejarah panjang telah menjadi wacana pembangunan kontemporer, bahkan menjadi mainstream dalam arus teoritis dan praksis pembangunan. Di tengah semakin meningkatnya degradasi lingkungan yang ditandai dengan fenomena pemanasan global, kenaikan permukaan air laut, deforestisasi, penipisan sumberdaya udara dan air bersih maka tantangan pembangunan semakin meningkat.
Pembangunan
yang
memiliki
visi
membebaskan
manusia
dari
ketergantungan dan penghambaan seperti yang diungkapkan Todaro atau pun kegiatan yang berorientasi membebaskan (freedom) manusia sebagaimana diungkapkan oleh Amartya Sen, jika tidak dilakukan secara bijak memperhatikan aspek relasi manusia-lingkungannya, dipastikan akan menjadi “senjata makan tuan” bagi manusia yang menjadi subyeknya. Kecenderungan yang terjadi sejak revolusi industri sampai sekarang – mengejar pertumbuhan tanpa mempertimbangkan aspek keberlanjutan ekologis – harus segera diakhiri dan ditata ulang. Bahaya kerusakan telah menjadi kenyataan!
Oleh karena itu, aktivitas pembangunan harus diarahkan pada sektor yang ramah lingkungan dan mendukung terciptanya green economics. Penebangan hutan secara berlebihan demi perladangan, perkebunan, tetapi membahayakan kelangsungan sumberdaya air dan berpotensi menimbulkan bencana, misalnya banjir, harus segera ditansformasikan ke arah memanfaatkan hutan sekaligus menjaga eksosistemnya.
1
Pariwisata berbasiskan ekologi (eco-tourism) dapat dan telah menjadi alternatif.
Keberhasilan
menginspirasikan
berbagai
proyek pihak
CAMPFIRE akan
di
Afrika
telah
itu.
Tetapi,
kemungkinan
pengembangan sektor wisata, sebagaima halnya dengan hairnya institusi baru akan memberikan dampak sosial ekonomi bagi masyarakat sekitar. Studi mengenai dampak ini harus dilakukan sejak awal sehingga dapat memberikan arah bagi pengembangan selanjutnya.
Studi ini juga penting dilakukan guna meminalisir dampak negatif yang tercipta bagi komunitas bersangkutan. Komunitas tetap penting menjadi perhatian
karena
mereka
lah
subyek
pembangunan.
Hancurnya
komunitas demi menciptakan pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan ekosistem juga tidak dapat dibenarkan karena ini akan menciptakan “guncangan besar” seperti yang diutarakan Fukuyama atau meningkatnya “kerawanan sosial” seperti yang diungkapkan Drucker.
Atas selesainya penelitian ini, penulis mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan dan kemudahan dalam pelaksanaan penelitian ini. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam melaksanakan penelitian ini yaitu warga Desa Bengkelang, Kelompok Pemuda Desa Bengkelang, Kelompok Tani Maju Bersama dan berbagai pihak lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini jauh dari sempurna dan mungkin para pembaca ingin memberikan masukan dan berdiskusi. Oleh karena itu, demi pengembangan diri peneliti untuk karya-karya selanjutnya, penulis sangat mengharapkan masukan, kritik dan saran dari khalayak pembaca. Terima kasih.
2
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
1 3
BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Rumusan Masalah I.3. Tujuan dan Manfaat I.3.1. Tujuan I.3.2. Manfaat
4 4 7 8 8 8
BAB II. METODE PENELITIAN II.1. Tinjauan Pustaka II.2. Metode Penelitian II.2.1. Jenis Penelitian II.2.2. Kerja Teknis Pengumpulan Data II.2.3. Penentuan Informan dan Waktu Penelitian II.2.4. Interpretasi Data
9 9 12 12 13 14 15
BAB III. PEMBAHASAN III.1. Latar Awal Kajian III.1.1. Desa Bengkelang III.1.2. Pengembangan Ekowisata Air Terjun Alur Biak III.2. Diskusi : Masyarakat pun Berubah III.2.1. Moral dan Etika Sosial III.2.2. Kohesi Sosial (Sistem Tolong Menolong) III.2.3. Peningkatan Kesejahteraan Ekonomi III.2.4. Tatanan Sosial
16 16 16 19 22 22 24 25 26
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN IV.1. Kesimpulan IV.2. Saran
28 28 29
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
31
3
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Membaca judul makalah ini akan segera mengingatkan kita pada sebuah lagu ciptaan salah satu maestro musik nasional, Gesang. Lagu tersebut yang berjudul “Bengawan Solo” mencoba, kira-kira, mendeskripsikan aktivitas masyarakat dalam memanfaatkan sungai Bengawan Solo. Seperti air Bengawan Solo yang terus mengalir dan memberikan kontribusi ekonomi, menciptakan relasi sosial bagi masyarakat sekitarnya, dalam semangat kontinyuitas itulah syair lagu tersebut dikutip dan dijadikan judul makalah ini.
“Air mengalir sampai jauh” diharapkan dapat merepresentasikan apa yang hendak dibahas makalah ini yaitu dampak sosial yang diproduksi oleh pengembangan ekowisata Air Terjun Alur Biak di Kabupaten Aceh Tamiang. Wilayah perairan, terutam sungai, laut telah membentuk dan mewarnai peradaban manusia. Dari sisi ekonomis, walaupun tidak terdapat data yang akurat, perairan telah memberikan sumbangan yang sangat signifikan mulai dari jasa penyeberangan barang atau orang, sumberdaya perikanan, sumberdaya air bersih.
Secara sosiologis-kultural, relasi antara manusia beserta aktivitasnya dan ekosistem perairan telah memproduksi nilai, norma, moral dan tata aturan tertentu yang berfungsi sebagai dasar filosofis pemanfaatan wilayah perairan. Ritual seperti “sedekah laut” di wilayah Pantai Selatan Jawa, tradisi “lubuk larangan” di wilayah Mandailing, upacara “Sassi Laut” di Maluku merepresentasikan dasar filosofis tersebut. Tradisi tersebut juga telah menjadi sistem social security bagi komunitas bersangkutan.
4
Tidak disangsikan lagi bahwa eksistensi aturan-atuan informal tersebut yang lebih dikenal sebagai local/indigenous knowledge telah menjadi basis bagi terciptanya kondisi keberlanjutan ketersediaan sumberdaya walaupun terkadang sering memiliki keterkaitan dengan aspek mistis (gaib) (Lubis, 2005:239).
Namun, seiring dengan tekanan modernisasi dan kapitalisme yang membawa gejala moneterisasi segala sesuatu dan nilai-nilai yang sedang berkembang (Turner, 2000) maka segala sesuatu, dalam hal ini sumberdaya alam (air, kayu hutan) hanya dipandang dari segi ekonomis jangka pendek. Ditambah dengan adanya tekanan pertumbuhan populasi, kepentingan
praktis
pemenuhan
kebutuhan
ekonomi
(menghindari
kemiskinan dan mengakumulasikan kekayaan) maka pemanfaatan hutan tanpa mengkalkukasikan aspek keberlanjutan sering menjadi pilihan. Mereka yang paling bertanggungjawab terhadap kerusakan lingkugan hidup global adalah satu milyar orang paling miskin dan satu milyar orang paling kaya (Todaro, 1998 :410-411).
Hutan yang menjadi penyangga bagi mata air, Daerah Aliran Sungai (DAS) hanya dilihat dari sisi nilai pasar kayu semata. Sementara aspek manfaat di luar kayu belum termanfaatkan dengan baik. Adanya permintaan yang besar terhadap kayu menyebabkan kayu menjai komoditas yang memiliki harga pasar cukup tinggi sehingga penebangan semakin marak dilakukan karena menjanjikan secara ekonomis. Manusia selalu mencari insentif. Sebelum dilakukannya omoratorium penebangan hutan, Indonesia telah mengalami kelebihan kapasitas kayu sebesar 70 % atau 56,5 juta meter kubik per tahun. Artinya, 7 dari 10 kayu yang ada merupakan kayu ilegal (Zaenal, 2007 :1). Akibatnya, kerusakan lingkungan menjadi sebuah keniscayaan. Hutan menjadi gundul sehingga tidak mampu menangkap dan menyimpan air, DAS menjadi rusak, debit air sungai berkurang.
5
Segala degradasi lingkungan ini pada akhirnya akan menyebabkan bencana yang lebih besar seperti banjir ataupun kelangkaan air yang berotensi menimbulkan situasi “perang air” (Shiva, 2003). Banjir bandang yang terjadi di Bahorok pada tahun 2003 dan banjir yang melanda Aceh Tamiang pada tahun 2006 disinyalir disebabkan oleh semakin gundulnya hutan lindung yang ada di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).
Sesungguhnya kekhawatiran akan bencana terjadinya bencana ini telah disampaikan oleh salah satu LSM, Forum Peduli Pemuda Aceh Timur (Forppat), pada tahun 2001 lalu (Harian Analisa, 2001). Meski demikian, sampai saat ini, aksi penggundulan hutan tetap terjadi walaupun tidak dalam skala besar seperti pada era HPH. Ketika banjir tahun 2006 terjadi, air yang mengalir dari hulu turut pula membawa sejumlah gelondongan kayu yang diduga hasil pembalakan liar. Bahkan, pada saat acara Sosialisasi Konseervasi Orang Utan yang diselenggarakan pada tanggal 1 Juli 2007 di Karang Baru, ibu kota Kabupaten Aceh Tamiang, Pejabat Bupati menyatakan terdapat 1000 hektar area kawasan hutan sudah jadi perkebunan kelapa sawit dan izin perusahaan tersbut tidak akan diproses.
Setelah era penggundulan hutan oleh HPH industri perkayuan, kini ancaman degradasi hutan dari fenomena “demam persawitan”, baik yang dilakukan oleh perusahaan maupun rakyat. Padahal, sampai dengan tahun 2005, sudah 41 % dari luas wilayah Kabupaten Aceh Tamiang yang difungsikan untuk perkebunan. Dengan perincian 54 % perkebunan kelapa sawit besar, 17 % perkebunan kelapa sawit rakyat dan 29 % perkebunan lain-lain (Pemkab Aceh Tamiang, 2005). Dapat dipastikan angka
tersebut
kini
(2007)
mengalami
kenaikan.
Fenomena
pengalihfungsian hutan untuk perladangan dan “sawitisasi” ini, terlebih di daerah Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang merupakan dataran tinggi
6
dan area penangkapan air, jika terus berlanjut akan membahayakan kelangsungan hidup komunitas sekitar.
Namun, tidak selamanya arah kehidupan bernada pesimis. Di tengah kondisi
demikian,
terdapat
sedikit
harapan
bagi
terciptanya
pembangunan berkelanjutan. Sekelompok masyarakat, terutama pemuda, kini berusaha untuk menata kembali ekosistemnya. Kelompok pemuda yang tergabung dalam Kelompok Tani Maju Bersama telah kurang lebih 45 bulan ini mengembangkan wisata berbasis ekosistem (ecotourism). Melihat potensi desa yang belum termanfaatkan secara optimal mereka tergerak untuk mengembangkannya. Potensi tersebut adalah aliran air sungai
yang
berundak-undak
memperhitungkan
undakan
sepuluh
kecil.
tingkatan
Masyarakat
sekitar
besar,
tanpa
lebih
sering
menyebutnya dengan Air Terjun Alur Biak. Untuk selanjutnya, dalam makalah ini program pengelolaan ekowisata tersebut akan disebut “Pengembangan Ekowisata Air Terjun Alur Biak”.
Walaupun “proyek” tersebut masih berusia muda karena memang baru diintroduksi, dikembangkan dan dikelola sekitar 5 bulan belakangan ini, tetapi dipastikan telah membawa dampak bagi komunitas setempat, masyarakat Desa Bengkelang khususnya dan dalam skala yang lebih luas bagi masyarakat Aceh Tamiang walaupun dalam intensitas yang berbedabeda.
I.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan seperti yang telah diuraikan, maka rumusan permasalahan (main question) makalah ini yaitu “Apa dan bagaimana
dampak
sosial
yang
diakibatkan
oleh
Pengembangan
Ekowisata Air Terjun Alur Biak?”. Kemudian guna menjawab main
7
question disusun pertanyaan-pertanyaan lanjutan (sub questions) sebagai berikut : 1. Bagaimana program tersebut sebagai institusi sosial terbentuk dan dikelola? 2. Bagaimana keterlibatan komunitas? 3. Aspek apa saja yang terkena dampak baik secara langsung maupun tidak langsung? 4. Bagaimana mekanisme perubahan itu berlangsung? Walaupun sub questions ini sepertinya terpisah, tetapi sesungguhnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena memiliki keterkaitan yang sangat erat.
I.3. Tujuan dan Manfaat I.3.1. Tujuan 1.
Mengetahui
dampak
sosial
yang
terjadi
akibat
Pengembangan
Ekowisata Air Terjun Alur Biak. 2.
Mengetahui mekanisme terjadinya dampak (perubahan) sosial akibat Pengembangan Ekowisata Air Terjun Alur Biak.
I.3.2. Manfaat 1. Dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam pengembangan ekowisata dan pembangunan berkelanjutan di Kabupaten Aceh Tamiang. 2. Dapat
menjadi
sumber
referensi/wacana
bagi
pengembangan
program-program community empowerment dalam tingkatan praktis dan teoritis.
8
BAB II METODE PENELITIAN
II.1. Tinjauan Pusataka Istilah pembangunan berkelanjutan memiliki sejarah yang panjang. Bahkan sebelum konferensi Rio De Jeneiro, Brazil, 1992 yang telah membawa tema pembangunan berkelanjutan menjadi konsep penting dalam wacana teoritis dan praksis pembangunan.
Konsep pembangunan berkelanjutan sebdiri tidak memiliki definis tunggal yang dapat disepakati oleh berbagai kalangan. Paling sedikit terdapat dua puluh lima defini yang ditawarkan sejak 1979 hingga 1988 (Osofsky). Lebih lanjut Osofsky menyatakan bahwa perbedaan dalam penafsiran
(ambiguitas)
itu
disebabkan
oleh
beberapa
faktor
:
ketegangan inheren yang terdapat di dalam konsep, dinamika kekuasaan pada
level
internasional,
kelangsungan
ranah
(nature)
masalah
pembangunan berkelanjutan pada aras lokal dan global, kelanjutan evolusi komunitas dunia. Semua ini memberikan dampak terhadap ambiguitas tersebut dan peranan yang harus dimainkan oleh pihakpihak yang terlibat.
Walaupun demikian, secara implisit, terdapat dua pemahaman penting dalam
memaknai
pembangunan
berkelanjutan
yaitu
“memenuhi
kebutuhan saat ini” sekaligus “menjamin ketersediaan sumberdaya bagi pemenuhan kebutuhan generas selanjutnya” sebagaimana tercantum dalam prinsip ke 3 deklarasi Rio yang mengutip dari Laporan Bruntland : Development that meets the needs of the present without compromising the ability of the future generations to meet their own needs. Istilah “keberlanjutan”
sendiri
kelangsungan sepanjang
secara
implisit
maupun
eksplisit,
berarti
waktu. Dengan demikian ia berkembang
9
seiringan
dengan
konteks
masyarakat,
ekosistem
dan
ekonomi
(Cornelissen et all, 2000).
Dengan demikian aktivitas pembangunan yang berkelanjutan sangat tergantung konteks masyarakat setempat. Istilah “pembangunan” tidaklah selalu
berarti
developmentalism.
Politik
pembangunan
sebagai
developmentalisme bersifat terfokus kepada pengejaran pertumbuhan ekonomi yang harus didukung dengan melakukan pemekaran industri yang berbasis pada jaringan kapitalisme internasional dengan didukung oleh kekuatan penuh negara (Arif, 2000:xx).
Kesuksesan pembangunan yang selalu dimaknai secara ekonomis dan diukur oleh indikator kuantitatif : tingkat pertumbuhan dan pendapatan. Sehingga sering mengabaikan aspek kualitas kesejahteraan manusia, misalnya lingkungan, moral, kohesi sosial. Menurut Winarni, community development adalah proses yang sadar di dalam masyarakat-masyarakat kecil (terbelakang) yang berbatasan secara geografis dibantu oleh masyarakat yang lebih luas dan lebih maju untuk mencapai tingkat kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik (Winarni, 2000:40).
Berdasarkan definisi ini, dapat ditafsirkan terdapat dua hal penting yang patut menjadi perhatian. Pertama, community development mengandung hubungan struktural : bantuan yang lebih maju kepada terbelakang. Ia melahirkan relasi pemberi dan penerima. Dengan menerima asumsi bahwa
setiap
tindakan
adalah
fungsi
kepentingan
pihak
yang
bersangkutan, maka bantuan akan bias kepentingan. Kedua adalah proses.
Sedangan Frank dan Smith mengartikan community development sebagai : It is a process whereby community members come together to take
10
collective action and generate solutions to common problem… It is a “grassroots” process by which communities : become more responsible ; organize and plan together ; develop healthy themselves
;
reduce
ignorance,
poverty
and
options, empower suffering
;
create
employment and economic opportunities ; and social, economi, cultural and environment goals (Frank and Smith, 1999)
Dengan pengertian tersebut, di luar peningkatan kekayaan ekonomi atau kemampuan
konsumsi,
aktivitas
community devlopment
dikatakan
berhasil jika meningkatkan kemandirian dan kemampuan masyarakat (empower), menjadikan komunitas lebih bertanggungjawab dan semakin meningkatkan
kebersamaan.
Fokusnya
adalah
komunitas
sebagai
keseluruhan, bukan individu. Tetapi, komunitas sendiri dalam dataran realitas bukanlah sesuatu unit sosial yang tunggal, tetapi kompleks. One must always make due and thorough allowance for specific local realities such as power dynamics and differences in access to resources among men
and
women,
ethnic
groups,
age
groups
and
individuals….
Communities may, as Murray-Li (1993:3) states, have culturally based practice relating to resource use and management, but it is not imply that all individuals and groups within the community have equal access (Persoon, 2005:230-231).
Sebuah program atau proyek dipastikan akan melahirkan sebuah dampak. Kehadiran sebuah entitas, baik sektor privat (bisnis), sosial maupun negara (politik) akan melahirkan rentetan perubahan (dampak) sosial, ekonomi, kultural, bio-fisik. Hal ini dikarenakan hadirnya sebuah program / proyek / entitas / organisasi pada hakikatnya adalah sebuah institusi yang membawa karakter yang melekat padanya.
11
Institusi memiliki dua pengertian. Pertama, sebagai sebuah organisasi. Kedua,
sebagai
aturan
formal/informal
yang
mengatur
tata
cara
berperilaku masyarakatnya. Dampak yang diakibatkan oleh hadirnya sebuah institusi baru misalnya dapat melalui proses asimilasi, akulturasi dan lainnya. Eksistensi “marginal man” juga memainkan peranan penting.
II.2. Metode Penelitian II.2.1. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian jenis ini sering pula dipertukarkan dengan penelitian naturalistik (Anderson dan Meyer dalam Mulyana, 1988:157). Alihalih merancang skema atau cara yang terlalu menyederhanakan
kehidupan
sehari-hari,
penelitian
naturalistik
mengasumsikan bahwa perilaku dan makna yang dianut sekelompok manusia hanya dapat dipahami melaui analisa atas lingkungan alamiah mereka (Mulyana, 1988 :157).
Oleh karena itu, situasi yang alamiah, bukan situasi buatan seperti eksperimen atau wawancara formal harus menjadi sumber data. Realitas eksis di dunia empiris dalam arti dialami dan bukan pada metode yang digunakan untuk menelaah dunia. Realitas harus ditemukan dengan memeriksa dunia tersebut, tetapi metode adalah sekedar instrumen yang dirancang untuk mengidentifikasi dan menganalisis kareakter dunia empiris.
Berbeda
dengan
metode
yang
bersifat
kuantitatif
yang
memproduksi berupa data statistik dan kemudian menggunakan analisa statistik dalam proses penarikan kesimpulan.
Sementara itu metode kualitatif diartikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 2001:3). Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi. Metode
12
penelitian
kualitatif
dengan
pendekatan
fenomenologi
berusaha
memahami arti peristiwa dan kaitankaitannya terhadap orang-orang yang biasa dalam situasi tertentu. Pendekatan ini tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti segala sesuatu bagi orang orang yang sedang diteliti. Pendekatan ini memulainya dengan diam. Diam adalah tindakan untuk menangkap pengertian sesuatu yang sedang diteliti. Penekanannya adalah aspek subjektif dari perilaku orang. Peneliti hanya dapat melakukan verstehen yaitu pengertia interpretatif terhadap pemahaman manusia (Moleong, 2001:9).
Salah satu metode penelitian lapangan (field research) yang cukup sering dilakukan adalah studi kasus. Dengan menggunakan metode studi kasus, penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan sejumlah perubahan (dampak) sosial akibat pengembangan ekowisata. Sebagaimana diketahui bahwa dalam metode studi kasus memiliki tujuan ganda (Becker dalam Mulyana, 1988:237-238). Pada satu sisi berusaha memahami kelompok yang diteliti seperti siap anggotanya, corak kegiatan dan interaksi mereka yang berulang dan stabil, hubungan di dalam dan keluar kelompok. Sementara di saat yang bersamaan metode ini juga berusaha untuk mengembangkan pernyataanpernyataan umum mengenai regularitas atau keteraturan di dalam struktur dan proses sosial.
Berdasarkan tipologi
yang dikemukakan oleh Yin
(dalam Bungin,
2003:27), penenlitian ini merupakan perpaduan antara metode studi kasus yang bertipe deskriptif dan eksplanatoris yang berorientasi menjawab klasifikasi pertanyaan penelitian “apa” dan “bagaimana”. Selain itu,
alih-alih
melakukan
penelitian
verifikatif,
penelitian
ini
lebih
bernuansa “grounded” karena tidak berusaha untuk menguji suatu teori tertentu dan tidak apriori terhadap relaitas (Bungin, 2003:hal 127).
13
II.2.2. Kerja Teknis Pengumpulan Data Data di dalam paper ini dikelompokkan menjai dua bagian yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari pihak pertama. Di dalam hal ini adalah kata-kata lisan yang diperoleh dari interview dengan informan dan hasil observasi. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari pihak/sumber kedua (tidak langsung). Dalam hal ini adalah buku, koran, paper/makalah yang diperoleh
dari
jurnal
dan
internet,
laporan
dari
instansi
pemerintah/lainnya.
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara tidak terstruktur atan perbincangan informal. Peneliti menanyakan hal yang sama kepada informan berbeda. Peneliti kemudian mencatat kata-kata informasi kunci. Terkadang karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk mencatat maka peneliti hanya mengingat apa yang diucapkan informan. Baru kemudian setelah waktu dan tempat memungkinkan, peneliti membuat field note.
Peneliti juga melakukan in-depth interview terhadap informan kunci. Selain itu, dalam memperoleh data digunakan juga teknik obeservasi non partisipan, dokumentasi dan penelusuran literatur. Teknik observasi digunakan untuk melihat kondisi air terjun dan ekosistemnya secara langsung,
kondisi
topografis
daerah
setempat,
potensi
desa
bersangkutan, kehidupan sosial masyarakat setempat.
II.2.3. Penentuan informan, Lokasi dan Waktu Penelitian Informan dalam hal ini diartikan sebagai pihak-pihak yang dapat memberikan keterangan ghuna menjawab rumusan masalah penelitian. Informan kunci dalam penelitian adalah Azhari Kasim (Ketua Kelompok Tani Maju Bersama), Zulfikar (Pramuka Kwarcab Gudep 011/012 Aceh
14
Tamiang), Mukti (Dinas Perikanan), Idris Suwandi (Tokoh Pemuda Desa Bengkelang/Anggota Kelompok Tani Maju Bersama), Atim (Kaur Umum Desa Bengkelang), Ade (aktivis Kelompok Tani) dan beberapa informan masyarakat lainnya. Penelitian ini dilaksanakan sejak tanggal 18 Juli 2007 hingga diselesaikannya penulisan laporan ini.
II.2.4. Interpretasi Data Sebelum dilakukan interpretasi data, penting bagi suatu penelitian untuk melihat apakah data yang digunakan itu absah atau tidak. Berkaitan dengan hal tersebut, salah satu teknik yang dapat digunakan adalah triangulasi (Moleong, 2001:178). Melalui triangulasi pemeriksaaan data dilakukan dengan memanfaatkan sesuatu dari luar data yang digunakan untuk mengecek data yang digunakan, misalnya dapat bersumber dari berbagai dokumentasi, orang-orang yang berkompeten dan mengetahui masalah
dimaksud.
Sebagaimana
layaknya
penelitian
kualitatif,
penafsiran data dilakukan terus menerus (berulang) sesuai dengan temuan data baru yang peneliti peroleh.
15
BAB III PEMBAHASAN
III.1. Latar Awal Kajian III.1.1. Desa Bengkelang Desa Bengkelang terletak di Kecamatan Bandar Pusaka, Kabupaten Aceh Tamiang. Jarak dari Desa Bengkelang ke ibu kota kabupaten, Karang Baru, kurang lebih sepanjang 30 km. Lokasinya terletak di arah barat Karang Baru. Tetapi, karena jalannya yang relatif belum cukp baik – masih berupa campuan material batu kerikil dan tanah - untuk mencapai pusat desa ini harus ditempuh selama kurang lebih 1,5 jam perjalanan darat dari Karang Baru. Itu pun kita harus menyeberangi Sungai Tamiang dengan perahu getek. Besar badan perahu ini cukup untuk membawa 1 unit mobil truk sedang dalam sekali penyeberangan. Ketika banjir tahun 2006 melanda, perahu ini sempat hanyut karena katrolnya putus. Kemudian masyarakat membetulkannya kembali.
Selain dari jalur ini, dapat pula ditempuh jalur lainnya melalui jalan ke arah Pulo Tiga. Tetapi karena jaraknya yang lebih jauh membuat jalur melalui penyeberangan getek menjadi jalur utama. Selama perjalanan dari Karang Baru ke penyeberangan, kanan kiri jalan dihiasi pepohonan. Tetapi, setelah penyeberangan hingga sampai lokasi air terjun, kanan kiri jalan
hanya
ditumbuhi
pohon
sawit
milik
berbagai
perusahaan
perkebunan dan terdapat pula milik rakyat dalam porsi sangat kecil. Sepanjang perjalanan, jika musim kemarau, akan diliputi debu jalanan. Namun, memasuki musim hujan, beberapa bagian jalan menjadi besek, berlubang terendam air dan menjadi sulit dilewati.
Desa Bengkelang, secara adminitratif terbagi ke dalam dua dusun. Sampai dengan tahun 2007, jumlah penduduk tercatat kurang lebih 645
16
jiwa yang terdiri atas 142 Kepala Keluarga. Komposisi penduduk, menurut
informasi Kepala Urusan (Kaur Umum), Atim, mayoritas
didominasi kalangan pemuda – taksiran sekitar 40 %. Sementara sisanya diikuti oleh anak-anak dan orang tua. Angka akurat mengenai komposisi desa tidak dapat didapatkan karena dokumen banyak yang hilang terkena banjir. Golongan pemuda lebih banyak terserap ke sektor pertanian. Dengan tidak adanya lahan baru, kalaupun ada membuka lahan baru terpaksa harus menebang hutan yang ada, maka produktifitas marginal pertanian per hektar akan mengalami penurunan. Fenomena ini seperti digambarkan oleh Clifford Gertz dengan konsepnya “involusi pertanian”. Penyebaran kemiskinan menjadi suatu kemungkinan yang sulit terhindari.
Mayoritas penduduk desa, lebih dari 90 %, bekerja sebagai petani pemilik. Ada yang berladang, memiliki kebun sawit. Terdapat pula pedagang, tetapi mereka ini pun masih memiliki lahan garapan. Komoditas yang dihasilkan dari desa ini antara lain jagung, kakao, sawit. Dengan demikian dapat dikatakan desa ini adalah desa agraris. Sebagaimana fenomena umum yang terjadi di Indonesia, desa-desa agraris sering mengalami keterbelakangan, bahkan terisolasi, baik dari sisi infrastruktur fisik dan layanan sosial negara. Hal ini sedikit banyak dialami oleh Desa Bengkelang. Masalah kemiskinan misalnya, dari 142 KK yang ada sebanyak 122 KK termasuk ke dalam keluarga penerima beras miskin (raskin). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa desa ini adalah desa miskin karena lebih dari 80 % penduduknya termasuk ke dalam kategori miskin.
Dari segi pendidikan, mayoritas hanya tamatan SLTP. Hanya sekitar kurang lebih 5 orang saja yang menamatkan sampai tingkat SLTA. Hal ini mungkin disebabkan oleh belum tersedianya sekolah SLTA yang relatif dekat, selain alasan ekonomis tentunya. Sampai saat ini Desa Bengkelang
17
hanya memiliki satu sekolah SD. Sementara jika ingin melanjutkan ke tingkat SLTP harus ke ibu kota kecamatan yang berjarak kurang lebih 8 km. Bangunan untuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sendiri – Taman Pendidikan Kanak-kanak (TK) - masih swadaya masyarakat dan baru berumur setahun ini. Bangunan tersebut tersebut berdindingkan kayu seadanya dan hanya ada satu lokal saja.
Penduduk desa ini didominasi oleh suku Gayo. Masyarakat desa setempat masih menjunjung tinggi adat setempat, termasuk syariat islam. Terlebih bagi golongan penduduk usia tua. Misalnya saja, masih diberlakukannya adat “hukum sumbang” bagi masyarakat. Hukum ini melarang para remaja berpacaran dengan melakukan tindakan yang dianggap dapat menjerumuskan moral, misalnya berpacaran di luar jam normal atau berpacaran di tempat sepi jauh dari keramaian. Bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi adat. Bagi pihak laki-laki akan dikenakan denda yaitu memberikan 1 ekor kambing. Sementara dari pihak perempuan dikenakan denda memberi beras sebanyak 8 bambu (kurang lebih 15 kg) kepada masyarakat.
Lokasi air terjun termasuk ke dalam Dusun Sriwijaya dimana mayoritas penduduk desa bermukim. Pemukiman penduduk saat ini terkonsentrasi di pusat desa. Di luar pemukiman, tersebar area ladang milik penduduk. Dari pusat pemukiman ke lokasi parkiran air terjun berjarak kurang lebih 2 km atau 10 menit naik sepeda motor. Area parkiran ini pun, sampai saat ini baru hanya sebatas lahan tanah ditumbuhi rerumputan kecil, kira kira luasnya berukuran 20 x 30 meter di antara pohon-pohon sawit yang diberi pembatas tali rafia. Untuk sampai ke air terjun terbawah yang memiliki kolam kecil berukuran kira-kira 10 x 15 yang biasanya dimanfaatkan untuk mandi bagi pengunjung, diperlukan waktu kurang lebih 15 menit berjalan kaki melewati kebun-kebun milik penduduk.
18
Jalannya pun baru jalan tanah setapak. Selama kurang lebih 5 menit pertama, para pengunjung akan melewati kebun coklat (kakao). Setelah itu akan berganti kebun jagung.
Dalam perjalanan menunju air terjun, pengunjung akan menyeberangi jembatan sebatang kayu di atas parit selebar 3 meter dan kedalaman kurang lebih 0,5 meter. Parit kecil ini adalah tempat mengalirnya air terjun hingga bermuara ke Sungai Tamiang. Parit ini memiliki air yang cukup jernih. Air terjun dan Desa Bengkelang termasuk ke dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Malahan merupakan desa yang tidak jauh berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
III.1.2. Pengembangan Ekowisata Air Terjun Alur Biak Air Terjun Alur Biak terdiri atas sepuluh tingkatan besar air terjun. Tiap tingkatan
besar
memiliki
ketinggian
sekitar
5-10
meter
dengan
kemiringan aliran air sekitar 50º - 70º. Tiap tingkatan besar ini pun memiliki undak-undakan kecil, bisa 2 sampai 3. Pada tingkat ke-6 terdiri atas 3 aliran air terjun. Sementara pada tingkat ke-7 memiliki 2 aliran air terjun. Pada tiap tempat jatuhnya air terjun memiliki kolam alami, luas dan kedalamannya bervariasi, tempat para pengunjung mandi. Arus dan debit air yang mengalir di air terjun tidak terlalu besar.
Sampai dengan saat ini, para pengunjung yang datang, selain mandi, melakukan perjalanan menuju puncak air terjun (tingkat ke 10) mengikuti jalur sungai dengan melawan arus sungai adalah kepuasan tersendiri. Hanya dengan jalan di atas bebatuan besar di dalam sungai dan melawan arus air pengunjung dapat sampai ke puncak karena akses jalan lain belum ada. Selain merupakan tantangan bagi pengunjung, sesungguhnya hal ini mengandung resiko jika pengunjung terpeleset.
19
Pengembangan Air Terjun Alur Biak, walaupun pada masa pra konflik bersenjata tahun 1998 hingga Perjanjian Damai Helsinki sempat juga dikunjungi beberapa wisatawan lokal dalam jumlah relatif sedikit, bermula ketika pasca banjir. Pada saat itu, sekelompok pemuda terdiri dari Ashari Kasim, Zulfikar, Mukti dan beberapa lainnya melakukan kunjungan ke lokasi. Mereka melihat bahwa air terjun ini memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi salah satu tujuan tempat wisata di Kabupaten Aceh Tamiang. Selain sekedar menawarkan air terjun, guna melengkapi
fasilitas
sebagai
area
wisata,
mereka
melihat
pula
kemungkinan dikembangkannya aliran air di parit menjadi tempat peternakan ikan dan pengembangan budidaya jagung di daerah bawah serta pengadaan air bersih bagi masyarakat Desa Bengekelang.
Dengan demikian selain menikmati pemandangan dan pengalaman di air terjun, pengunjung dapat dimanja dengan menikmati hasi pertanian dan peternakan
masyarakat
desa.
Selain
air
terjun,
kita
ingin
pula
mengembangkan agrowisata dan budidaya ikan air tawar. Itu sangat potensial di sana. Kalau wisata air terjun itu dikembangkan terus, selain menikmati air terjun pengunjung dan pemandangan, pengunjung kan dapat bersantai menikmati ikan dan jagung bakar, misalnya. Itu kan menciptakan mata rantai ekonomi bagi masyarakat (wawancara dengan Ashari Kasim, Ketua Kelompok Tani Maju Bersama sekaligus salah satu perintis pengembangan wisata Air Terjun Alur Biak, tanggal 20 Juli 2007).
Tetapi, sampai saat ini, rencana budidaya ikan tawar dan agrowisata belum terealisasi karena adanya keterbatasan dana dan masih menunggu kemungkinan bantuan (tindak lanjut) dari pemerintah. Selama ini untuk mendanai pengembangan air terjun ini masih dilakukan swadana, terutama oleh orang-orang yang disebutkan pada awal paragraf ini.
20
Sampai saat ini air terjun masih dikelola oleh Kelompok Tani Maju Bersama secara swadaya. Lebih lanjut, Ade – salah seorang aktivis pengembangan wisata ini – juga menuturkan : “Bagus itu di sana (air terjun-pen). Punya potensi untuk dikembangkan. Kita sudah menghadap dan menyampaikan proposal kepada dinas pariwisata, tetapi belum ada responnya. Kita masih menunggu… Mereka juga sudah meninjau lokasinya” (wawancara tanggal 20 Juli 2007)
Sebelumnya, kira-kira pada akhir bulan Juni 2007, masyarakat setempat mengadakan
musyawarah
untuk
menyepakati
apakah
masyarakat
mendukung atau menolak jika air terjun dikembangkan menjadi obyek wisata.
Dalam
kesepakatan
musyawarah
diantaranya
:
tersebut 1)
diperoleh
masyarakat
beberapa
mendukung
poin
kegiatan
pengembangan air terjun untuk dijadikan lokasi wisata, 2) melarang dilakukannya penebangan lebih lanjut terhadap hutan disekitar air terjun - kira-kira 300-an hektar - karena dikhawatirkan akan mengurangi debit air, 3) belum mengizinkan kemungkinan dilakukan pembangunan pemondokan karena dkhawatirkan akan menimbulkan tindakan asusila yang melanggar syari’at islam dan adat, 4) tetap menghargai adat, misalnya mematuhi larangan untuk berkunjung ke lokasi-lokasi tertentu yang dianggap keramat atau “terlarang”. Dua tuntutan terakhir ini terutama dikemukakan oleh masyarakat golongan tua, walaupun tetap mendapat dukungan golongan yang lebih mudah, di dalam musyawarah tersebut.
Para pemuda Desa Bengkelang juga dilibatkan secara aktif dalam pengelolaan dan pengembangan air terjun ini. Sampai saat ini, para pemuda sering melakukan gotong royong guna membersihkan akses ke air terjun dan pembersihan sungai dari sisa-sisa kayu penebangan liar yang dilakukan sebagian masyarakat pada masa pra konflik. Pada
21
kegiatan tersebut, partisipasi dari pihak luar komunitas desa juga aktif dilakukan seperti yang ditunjukkan oleh anggota pramuka Kabupaten Aceh Tamiang. Tetapi belum seluruh anggota pramuka dilibatkan dalam kegiatan ini.
III.2. Diskusi : Masyarakat pun Berubah III.2.1. Moral dan Etika Sosial Pada masa pra-konflik 1998 hingga perjanjian helsinki, terdapat anggota masyarakat desa yang melakukan penebangan hutan. Penebangan ini dilakukan
untuk
membangun
rumah,
mendapatkan
tambahan
pendapatan. Sampai saat ini sisa-sisa kayu gelondongan juga masih dapat dilihat. Bahkan potensi terjadinya penebangan hutan tetap ada mengingat masyarakat setempat saat ini membutuhkan kayu untuk membangun rumah pasca banjir dan memperluas areal lahan untuk dijadikan ladang atau sawit. Tetapi, hasil musyawarah masih efektif sampai saat ini. Paling tidak, pasca musyawarah akhir juni 2007, belum ada masyarakat yang melanggar kesepakatan larangan penebangan hutan di sekitar area air terjun.
Eksistensi
pengembangan
air
terjun
beserta
institusinya
telah
mengajarkan etika dan moral baru atau merasionalkan moral lama. Mengajarkan etika dan moral baru kepada anggota masyarakat desa maupun luar desa tentang pentingnya kelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan (pembangunan yang mempertimbangkan aspek keberlanjutan ekosistem). Kepada anggota pramuka misalnya, seperti yang diungkapkan oleh Zulfikar. “Semua ini (menunjuk aliran air sungai) yang membersihkan pemuda dan anggota pramuka. Kegiatan itu kan bagus untuk mereka. Mereka dapat pengalaman dan pengetahuan tentang kelestarian lingkungan. Mereka juga senang melakukannya.
22
Kita jadi cinta sama lingkungan. Tetapi sayang, kegiatan seperti belum jadi kegiatan rutin pramuka sini” (Zulfikar, anggota pramuka kwarcab gudep 011/012 Aceh Tamiang).
Bagi penduduk lokal sendiri, adanya pengembangan wisata air terjun ini secara tidak langsung telah memberikan moral baru demi memenuhi kebutuhan ekonomis. Jika masyarakat sebelumnya cukup mengetahui bahwa
memanfaatkan
hutan
hanya
dengan
menebang
kayu
dan
menjualnya, kini masyarakat dapat memahami bahwa dengan menjaga kelestarian hutan pun mereka dapat meningkatkan pendapatan. Seperti yang diutarakan oleh Ashari Kasim :
Sekarang masyarakat di sana kan tahu kalau menjaga kelestarian hutan dapat meningkatkan penghasilan. Kalau dulu mereka tahunya cuma dengan menebang hutan. Sekarang kan udah beda. (wawancara tanggal 20 Juli 2007). Keberadaan penjaga kebersihan yang ditempatkan pada beberapa
lokasi
guna
mencegah
pengunjung
membuang
sampah
sembarangan, bertindak asusila di lokasi turut mengkreasikan moral dan etika bagi pengunjung agar turut melestarikan lingkungan.
Selain itu, hal ini disokong pula oleh adanya aturan di pintu masuk bahwa setiap pengunjung harus membawa keluar kembali setiap sampah yang dihasilkannya, misalnya bungkus sisa makanan. Pengunjung tidak diperkenankan membuang sampah di sepanjang air terjun. Aturan ini dapat diistilahkan “apa yang dibawa masuk oleh pengunjung, itu lah yang dibawa keluar”.
Dengan demikian, terciptanya struktur insentif ekonomis bagi komunitas lokal memainkan peran dalam memproduksi moral dan etika sosial baru atau memperbahurui moral dan etika sosial yang telah ada. Masyarakat
23
yang sebelumnya menghindari larangan karena kepercayaan mistis tertentu, misalnya karena takut terkena ganjaran yang besifat gaib, kini menghindarinya karena terdapat insentif. Masyarakat di luar komunitas Desa Bengkelang juga diintroduksi dengan moral dan etika baru. Insentif bagi mereka ini adalah kepuasan emosional dengan mengunjungi air terjun.
III.2.2. Kohesi Sosial (Sistem Tolong Menolong) Pada bagian sebelumnya telah disebutkan bahwa sebelum dilakukan pengembangan, komunitas desa telah melakukan musyawarah untuk menyepakati atau menolak rencana pengembangan air terjun. Dengan adanya kesepakatan tersebut, ditambah lagi dengan dilibatkannya komunitas pemuda maka kohesi sosial tetap dapat dijaga. Malahan dapat dikatakan meningkat. Hal ini dibuktikan ketika dilakukan gotong royong membersihkan
aliran
sungai,
masyarakat
desa berpartisipasi
aktif
melakukannya.
Walaupun setiap manusia selalu mengejar insentif terutama ekonomis, jika mekanisme akses dapat dijalankan secara adil maka perebutan kue ekonomis
dapat
dilakukan
tanpa
menghancurkan
kohesi
sosial.
Sepanjang pengamatan peneliti belum pernah terjadi konflik yang bersumber dari pengembangan wisata air terjun. Hal yang sama – peningkatan kohesi sosial (sistem tolong menolong) – juga berlaku untuk pihak di luar komunitas desa. Dalam hal ini terutama bagi pramuka. Dengan berpartisipasinya mereka dalam kegiatan membersihkan sungai dengan penduduk desa, secara tidak langsung mereka diajarkan untuk bekerjasama dan menolong terhadap sesama. Prinsip resiprositas dan simbiosis mutualisme dapat dilatih, dikembangkan dan terbentuk. Jika hal ini dapat ditularkan kepada pengunjung, kohesi sosial dalam unit sosial yang lebih luas dapat diciptakan.
24
III.2.3. Peningkatan Kesejahteraan Ekonomi Selain dilibatkan dalam kegiatan gotong royong bersih membersihkan sungai, para pemuda juga dilibatkan secara bergilir untuk menjadi penjaga parkir, penjaga kebersihan sungai yang ditempatkan pada beberapa titik lokasi sepanjang aliran air terjun tiap hari minggu. Jika seorang pemuda telah dijadikan penjaga parkir minggu ini maka pada minggu selanjutnya ia digantikan oleh pemuda lainnya. Setiap minggunya tidak kurang 15 – 20 pemuda yang dilibatkan. Selain aturan tersebut, pemuda yang dilibatkan juga terdiri dari pemuda yang belum menikah.
Dari kegiatan menjadi penjaga parkir tiap hari minggu seorang pemuda dapat memperoleh pemasukan Rp 20.000 – Rp 30.000. Jika ia dapat terlibat dua kali saja dalam sebulan maka ia telah mendapatkan tambahan pendapatan sebesar Rp 40.000 – Rp 60.000. jumlah ini tentu melebihi jumlah pemasukan yang ia dapatkan dari bertani atau Upah Minimum Provinsi per harinya. Jumlah ini selain untuk kebutuhan pribadi juga
digunakan
untuk
membantu
ekonomi
keluarga
pemuda
bersangkutan. Besar kecilnya pemasukan sangat tergantung kepada jumlah sepeda motor pengunjung. Rata-rata setiap minggunya diperoleh pemasukan Rp 400.000 – Rp 750.000 dari parkiran sepeda motor ini.
Dari total jumlah pemasukan uang parkir yang diperoleh, selain digunakan untuk “menggaji” para pemuda, juga diambil sebagian untuk kas desa dan kas Kelompok Tani Maju Bersama. Namun, ketika peneliti bertanya apakah sudah ada berapa besar (persen) bagian yang harus dimasukkan ke kas desa dan kas kelompok tani, informan menjawab belum ada. Selain itu, ketika peneliti bertanya sudah berapa jumlah pemasukan kas desa dan kelompok tani yang bersumber dari wisata air terjun, informan yang sama mengatakan tidak dapat mengingatnya secara persis.
25
“Kita memang belum ada…yang penting kita kasih (gaji-pen) dulu pemuda. Habis itu baru kita masukkan kas desa dan kas kelompok tani…Tidak ingat saya berapa jumlahnya, tapi ada” (wawancara dengan Idris, tokoh pemuda Desa Bengkelang, tanggal 23 Juli 2007).
Pengembangan wisata air terjun ini juga memberikan kontribusi ekonomi bagi masyarakat sekitarnya yang lainnya. Dari pengamatan penulis, terdapat pula pengunjung yang singgah ke warung untuk minum kopi atau sekedar jajanan sepulang dari air terjun. Walaupun peneliti tidak dapat mengetahui secara akurat jumlahnya, tetapi hasil “persinggahan” tersebut secara kasat mata telah membawa peningkatan kesejahteraan ekonomi yang cukup signifikan.
Permasalahan yang belum tuntas adalah bagaimana “kue ekonomi” yang dihasilkan dari pengembangan wisata air terjun itu dapat diakses oleh seluruh anggota komunitas. Sampai sejauh ini, disebabkan karena skala wisata yang masih terbatas, “kue ekonomi” tersebut belum dapat dirasakan seluruh anggota komunitas. Akses secara langsung masih sangat terbatas pada pemuda dan pemilik entitas bisnis yang telah ada sebelumnya, dalam hal ini pemilik warung. Sisanya mendapatkan “kue ekonomi” tersebut secara tidak langsung, dalam hal
ini melalui
meningkatnya kas desa dan kas kelompok tani.
III.2.4. Tatanan Sosial Keberadaan wisata air terjun sedikit banyak telah mempengaruhi tatanan sosial masyarakat. Menjadi penjaga parkir atau penjaga kebersihan sungai, dengan insentif yang melekat padanya, telah menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat, terutama pemuda. Masyarakat, walaupun belum terlalu mencolok karena usia pengembangan wisata yang baru
26
sekitar 5 bulan, akan terus berupaya mengakses “kue ekonomi” yang diciptakan air terjun.
Dalam jangka panjang, aktivitas-aktivitas tersebut akan menggeser tatanan sosial yang ada. Pekerjaan di sektor ini cukup menjanjikan dan menguntungkan dibandingkan menjadi petani yang memang selalu termarginalkan dalam kebijakan ekonomi nasional dan bagian distribusi pendapatan. Keterbatasan lahan dan meningkatnya pendidikan akan cukup mempengruhi seseorang untuk bekerja menjadi petani.
Dari 10 informan yang peneliti ajukan pertanyaan “ Manakah yang lebih menguntungkan
menjadi
petani
atau
terlibat
dalam
kegiatan
ini
(pengelolaan wisata)” semuanya menyatakan bahwa terlibat dalam pengelolaan wisata lebih menguntungkan.
Selain itu, atas pertanyaan “Dalam jangka panjang, jika wisata air terjun ini dikembangkan lebih baik, manakah pekerjaan yang anda inginkan. Ikut mengelola wisata atau tetap menjadi petani?”, sebanyak 5 orang langsung
menyatakan
mengelola
wisata.
Sedangkan
sisanya
pada
awalnya menyatakan pekerjaan mana yang mendatangkan hasil yang lebih banyak. Tetapi ketika peneliti memilih meminta mereka memilih salah satu alternatif saja seperti yang termasuk di dalam pertanyaan, mereka juga menjawab lebih memilih terlibat dalam sektor wisata air terjun.
Kesemua ini menunjukkan kemungkinan terjadinya pergeseran tatanan sosial
masyarakat
Desa
Bengkelang
dari
masyarakat
agraris
ke
masyarakat industri, dalam hal ini adalah industri jasa. Dan masyarakat Desa Bengkelang sedang pada tahapan transisi ke sana.
27
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
IV.1. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan pada bab 3, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. Pertama, Pengembangan Wisata Air Terjun terbentuk karena konteks lokal. Musibah banjir, kemiskinan dan potensi yang belum termanfaatkan secara optimal memainkan peranan yang saling berkaitan. Peranan “marginal man” atau “intelektual organik” yang terdiri dari para perintis program memainkan peranan yang sangat signifikan. Peranan mereka juga cukup dominan dalam mempengaruhi arah beralangsungnya program ini.
Kedua, Pengembangan wisata air terjun dikelola oleh komunitas lokal (communitybased management). Pengelolaan dan arah berkembangnya program ini sangat dipengaruhi oleh kultur komunitas setempat. Hal ini dibuktikan dengan diintroduksinya beberapa aturan yang dihasilkan dalam musyawarah masyarakat Desa Bengkelang yang masih berusaha mempertahankan adat dan tradisi lokal.
Ketiga, keterlibatan komunitas dalam pengelolaan mulai dilakukan sejak tahapan awal. Hal ini berfungsi dapat mencegah munculnya konflik yang tidak perlu dan berkembang di kemudian hari. Partisipasi komunitas dalam menikmati “kue ekonomi” yang diproduksi oleh wisata air terjun sangat ditentukan aksesibilitasnya. Dalam hal ini, kelompok pemuda dan pemilik warung memiliki akses langsung yang lebih besar. Sementara sisa komunitas menikmati “kue ekonomi” dengan tidak langsung yaitu melalui kas desa dan kas kelompok tani.
28
Keempat, sejauh pengamatan dilakukan, banyak aspek yang terkena pengaruh
akibat
hadirnya
wisata
air
terjun.
Selain
peningkatan
pendapatan, aspek moral dan etika sosial, kohesi sosial, pengembangan wisata juga memberikan kemungkinan bagi tranformasi tatanan sosial masyarakat. Dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri jasa. Ini disebabkan oleh struktur insentif yang diciptakan oleh wisata. Desa Bengkelang sedang berada pada tahapan transisi. Akselerasi ini sangat bergantung kepada akselerasi pengembangan wisata Air Terjun Alur Biak.
Kelima, Segala perubahan itu berlangsung melalui diciptakannya berbagai institusi sosial yang hadir akibat program pengembangan wisata air terjun. Institusi tersebut adalah munculnya organisasi baru dan aturan baru yang membatasi perilaku warga desa. Organisasi dimaksud adalah Kelompok Tani Maju Bersama. Sedangkan aturan tersebut adalah hasil kepakatan
musyawarah
desa,
aturan
dalam
lokasi
wisata
bagi
pengunjung, aturan mengenai mekanisme partisipasi pemuda, partisipasi organisasi luar dalam pengambangan wisata ini.
Seperti syair lagu “Bengawan Solo” yang dijadikan judul bagi makalah ini “Air Mengalir Sampai Jauh”, demikian pula halnya Air Terjun Alur Biak bagi masyarakat Desa Bengkelang. Eksistensi wisata air terjun mengalir membawa dampak / arus perubahan bagi anggota komunitas maupun luar komunitas. Ini tidak lain karena karakter dari pengembangan wisata air terjun adalah hadirnya institusi sosial.
IV.2. Saran Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang ada, dapat dirumuskan saran
sebagai
pemerintah
berikut.
dan
atau
Pertama, swasta
perlu guna
peningkatan mempercepat
keterlibatan akselerasi
Pengembangan Wisata Air Terjun Alur Biak. Kedua, pembagian peranan
29
diantaranya harus dirumuskan dengan cermat sehingga komunitas setempat tetap menjadi subyek pembangunan. Siapapun yang terlibat (pemerintah / swasta) pada prinsipnya harus menjadi mitra masyarakat. Peranan yang dapat dimainkan oleh pemerintah atau swasta yang tertarik untuk mengelola antara lain : 1) melakukan promosi, 2) perbaikan dan penataan kawasan serta infrastruktur yang memang masih sangat minim, 3)
penggunaan
teknologi
ramah
lingkungan
untuk
kemungkinan
penyediaan air bersih yang bersumber dari air terjun bagi warga Desa Bengkelang, 4) pemberian bantuan modal bagi akselerasi budidaya ikan air tawar dan agrowisata, misalnya saja bibit ikan.
30
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Saiful, 2000, Menolak Pembangunanisme, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Bungin, Burhan, 2003, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Jakarta : RajaGrafindo Persada Cornelissen, Development,
ERIM
AMG
et
Report
all,
2000,
Series
Assessment
Reference
No.
of
Sustainable
ERS-2000-23-LIS,
didownload dari http://ssrn.com/abstract=370824 tanggal 27 Juli 2007 Frank, Flo and Smith, Anne, 1999, The Community Development Handbook, Quebec : Misinister of Public Works and Government Services Canada,
didownload
dari
tanggal
12
November
2006
http://www.hrsdc.ge.ca/en/epb/sid/cia/comm_deve/edhbooke.pdf Harian Analisa, 21 Agustus 2001 Keraf, A Sony, 2002, Etika Lingkungan, Jakarta : Penerbit Buku Kompas Lubis, Zulkifli B, 2005, Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam di Tapanuli Selatan, Jurnal Antropologi Indonesia, volume 29 No 3, hal 239-254 Moleong, Lexy J, 2001, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosda Karya Mulyana, Deddy, 1988, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosda Karya Narayan,
Deepa,
Designing
Community-Based
Development,
didownload dari http://www.worldbank.org/wbi/sourcebook/sba211.htm tanggal akses 20 April 2005 Osofsky, Hari M, Sustainable Development after Earth Summit 2002, didownload dar http://ssrn.com/abstract=976543 tanggal 27 Juli 2007
31
Pemkab
Aceh
Tamiang,
2005,
Selayang
Pandang
Usaha
Perkebunan di Kabupaten Aceh Tamiang, Laporan dipresentasikan pada acara pertemuan dengan Gaperda Provinsi NAD, Medan, 5 Agustus 2005 Persoon, Gerard A, Diny M.E. van Est and Tessa Minter, 2005, Decentralisation of Natural RESOURCES Management : Some Themes and Unresolved Issues, Jurnal Antropologi Indonesia, volume 29 No 3, hal 225-238 Shiva, Vandana, 2003, Water Wars Privatisasi, Profit, dan Polusi, Yogyakarta : Insist – Walhi Todaro, Michael P, 1998, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Bandung : Erlangga Turner,
Bryan,
2000,
Sosiologi
Modernitas
Posmodernitas,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar Winarni,
Tri,
2000,
Sosiatri
Sebagai
Ilmu,
dalam
Agnes
Sunartiningsih (ed), Sosiatri, Ilmu dan Metode, Yogyakarta : Aditya Media Zaenal, Sayed, 2007, Pentingnya Pelestarian Alam dan Lingkungan Hidup Sebagai Penyangga Kehidupan, paper dipresentasikan pada acara Sosialisasi Konservasi Orang Utan, Kuala Simpang, 3 Juli 2007
32
LAMPIRAN
Di salah satu pojok lokasi wisata air terjun
Tampak beberapa warga bergotong royong membawa perlatan menuju lokasi air terjun di Kaki Bukit
Kayu bekas pembalakan liar di hulu aliran sungai air terjun
33