Persepsi Ahli dan Pelajar terhadap Tayangan Kekerasan di Televisi dalam Proses Pengembangan Instrumen Pengukuran Derajat Kekerasan pada Tayangan Televisi
Latar Belakang Perilaku agresif yang terjadi di seluruh dunia diperkirakan telah menyebabkan 1,43 juta kematian per tahunnya. Banyak faktor yang memengaruhi agresivitas pada seseorang. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah kerentanan biologis, gangguan psikiatrik, penyalahgunaan zat,
kondisi sosial seperti kemiskinan, pendidikan rendah,
psikopatologi dalam keluarga, perlakuan buruk pada anak, dan pengaruh media. Pada era globalisasi seperti sekarang ini, masyarakat semakin sering terpapar oleh berbagai media dan yang paling banyak diakses adalah televisi. Oleh karena itu, perlu dikembangkan suatu alat ukur untuk menilai derajat kekerasan pada tayangan televisi yang dapat dipergunakan untuk menentukan tayangan yang layak ditayangkan. Metodologi Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang digunakan sebagai dasar untuk pembuatan alat ukur tayangan televisi dengan 9 ahli yang mengambil bagian dalam studi kualitatif mendalam melalui Expert review dan melibatkan 3 wawancara semi terstruktur dan satu diskusi kelompok . Peserta penelitian yang terlibat merupakan para ahli dalam bidang masing-masing yang terkait dan tertarik dengan berbagai masalah di masyarakat terhadap tindakan maupun tayangan kekerasan yaitu dari bidang Psikiatri anak dan remaja, Psikologi sosial, Ilmu Komunikasi, Kriminologi, Komisi Penyiaran Indonesia, Sinematografi, Antropologi dan Sosiologi serta remaja sebagai kelompok yang paling terdampak oleh tayangan kekerasan. Hasil : Terdapatnya definisi dan konsep kekerasan, definisi dan konsep agresivitas, jenisjenis tayangan di televisi, pengaruh tayangan kekerasan di televisi pada penontonnya dalam konteks budaya Indonesia dari berbagai disiplin ilmu yang terkait dengan permasalahan tindakan ataupun tayangan kekerasan di masyarakat.
Pendahuluan Perilaku agresif yang terjadi di seluruh dunia diperkirakan telah menyebabkan 1,43 juta kematian per tahunnya. Perilaku agresif ini dapat terjadi dalam berbagai konteks, baik yang ditujukkan pada orang lain seperti pada kasus tawuran, kekerasan pada rumah tangga, dan aksi bullying atau yang ditujukkan pada diri sendiri seperti dalam upaya bunuh diri. Akhir-akhir ini berita mengenai perkelahian, tawuran, pembunuhan atau bentuk agresivitas lain semakin marak. Seolah – olah tiada hari tanpa kekerasan, baik itu dilakukan oleh pribadi maupun massa. Sulit dipercaya bahwa perilaku tersebut semakin berani dan tidak terkendali baik oleh aparat keamanan maupun masyarakat umum. Terkesan bahwa masyarakat yang dulu dikenal sabar dan santun, telah kehilangan kontrol untuk menguasai tindakan yang dapat digolongkan pada perilaku agresif.1,2,3 Banyak faktor yang memengaruhi mengapa seorang individu berperilaku secara agresif, termasuk diantaranya adalah kerentanan biologis; gangguan psikiatrik; penyalahgunaan zat; dan kondisi sosial seperti kemiskinan, pendidikan rendah, psikopatologi dalam keluarga, perlakuan buruk pada anak, dan salah satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah paparan terhadap tayangan kekerasan di televisi. 4,5 Berdasarkan survei yang dilakukan oleh lembaga survei Nielsen Indonesia menyebutkan bahwa sekitar 95% masyarakat kelas menengah memiliki televisi dan akan menghabiskan waktu 4,5 jam untuk menonton televisi. Dan diantara semua jenis tayangan media, ternyata tayangan media yang mengandung aksi kekerasan dalam porsi yang cukup besar merupakan tayangan paling populer di kalangan masyarakat. Lalu, apa hubungan antara tayangan kekerasan dan perilaku agresif? 4,6 Paparan terhadap kekerasan pada media dapat memengaruhi perilaku seseorang melalui berbagai mekanisme, diantaranya adalah modeling, desensitisasi, membangkitkan perasaan agresif, dan mendorong perilaku agresif. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa paparan terhadap kekerasan pada media dapat menyebabkan aktivasi area-area tertentu di otak, menumpulkan reaksi emosi dan membatasi fungsi kognisi, sehingga seseorang akan mengalami kesulitan untuk menyadari konsekuensi dari perilaku kekerasan dan menjadi lebih agresif serta lebih rentan untuk melakukan aksi kekerasan. 7,8,9 Halaman | 2
Sesuai dengan regulasi yang ada, Lembaga Penyiaran wajib tunduk pada ketentuan pelarangan dan/atau pembatasan program siaran bermuatan kekerasan. Oleh karena itu, perlu dikembangkan suatu alat ukur untuk menilai derajat kekerasan pada tayangan televisi yang dapat dipergunakan untuk mengambil suatu kebijakan sehingga dampak buruk dari tayangan kekerasan pada perilaku agresif di masyarakat dapat diminimalisir. Definisi Kekerasan WHO mendefinisikan kekerasan sebagai “Penggunaan kekuasaan atau kekuatan fisik, melalui ancaman atau tindakan nyata, terhadap diri sendiri, orang lain, atau terhadap suatu kelompok atau komunitas, yang bertujuan mengakibatkan atau memiliki kemungkinan besar untuk menyebabkan cedera, kematian, tekanan psikologis, gangguan perkembangan atau deprivasi.”10 Faktor Risiko Agresivitas dan Kekerasan Terdapat berbagai faktor yang memengaruhi risiko seseorang untuk berperilaku agresif, diantaranya adalah : 1.
Kerentanan Biologis a.
Genetik Faktor keturunan memiliki peran penting terhadap perilaku agresif. Terdapat beberapa gen, baik yang berfungsi sendiri maupun saling berinteraksi, yang ekspresinya bergantung pada faktor lingkungan dan sangat berpengaruh terhadap karakter agresif dari suatu individu. Salah satu contohnya adalah variasi gen MAOA. Pengasuhan yang buruk dan pengalaman
sebagai
korban
kekerasan
dimasa
kanak-kanak
akan
menyebabkan ekspresi gen MAOA menurun. Pada individu dengan ekspresi gen MAOA yang rendah ditemukan volume limbik yang lebih kecil, reaktivitas amigdala terhadap memori yang tidak menyenangkan meningkat, dan reaktivitas prefontal yang menurun. Hal ini dapat menyebabkan suatu stimulus yang netral dapat dianggap sebagai ancaman dan karena proses inhibisi aturan sosial mengalami penurunan, maka respon agresif pun akan meningkat. 11,12 b.
Neurotransmitter Halaman | 3
Agresi diperantarai oleh hampir semua neurotransmiter amine, sebagian besar neurotransmiter peptida dan berbagai hormon steroid. Neurotransmiter yang berperan diantaranya adalah serotonin, norepinefrin, dopamin, dan GABA. Penelitian menunjukkan bahwa serotonin memiliki peran dalam menghambat impuls dan perilaku agresif, sehingga fungsi serotonin yang menurun
dihubungkan dengan perilaku agresif yang
meningkat. Tidak seperti serotonin, dopamin memiliki peran tidak langsung terhadap munculnya perilaku agresif, yaitu dengan memengaruhi motivasi untuk berperilaku agresif. Aktivitas dopamin yang menurun di daerah mesolimbik dikaitkan dengan motivasi berperilaku agresif yang menurun. 12,13 c.Hormon Hormon testosteron telah dihubungkan dengan perilaku agresif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengaruh testosteron terhadap perilaku agresif bergantung pada paparan hormon ini terhadap otak selama individu masih berada dalam kandungan dan pada masa pubertal. Penelitian lain menunjukkan bahwa testosteron memang memiliki korelasi dengan agresi, namun kadar testosteron yang tinggi lebih prediktif untuk memunculkan
perilaku
mendominasi
dibandingkan
dengan
perilaku
kekerasan. 12 2.
Gangguan Psikiatrik a.
Gangguan Psikiatrik Berat Gangguan psikiatrik dapat meningkatkan risiko seseorang untuk berperilaku agresif. Sebagai contohnya, pasien dengan skizofrenia dapat mengalami waham (keyakinan yang salah, tidak dapat dikoreksi, menetap dan tidak sesuai dengan budaya) dan halusinasi (persepsi yang salah tanpa adanya stimulus), yang membuatnya berperilaku secara agresif untuk melindungi dirinya. Selain itu pasien skizofrenia dapat menggalami gangguan dalam menilai ancaman, sehingga walaupun tidak ada waham dan halusinasi, pasien-pasien ini menganggap suatu stimulus yang netral bagi orang kebanyakan sebagai suatu ancaman. Pasien dengan gangguan depresi memiliki risiko lebih besar untuk melakukan agresivitas terhadap dirinya sendiri dalam bentuk bunuh diri. 12 Halaman | 4
b.
Gangguan Kepribadian Individu yang mengalami gangguan kepribadian antisosial/psikopat dan ambang memiliki risiko yang lebih besar untuk berperilaku agresif. 12
c.Penyalahgunaan Zat Penyalahgunaan zat, seperti alkohol, akan meningkatkan risiko perilaku agresif. Sebuah simpulan dari 26 penelitian di 11 negara menunjukkan bahwa intoksiskasi alkohol memiliki asosiasi dengan 61,5% kejahatan dengan kekerasan. 12 3.
Kondisi Sosial Faktor risiko psikososial dari perilaku agresif diantaranya adalah kemiskinan, ibu dengan kehamilan pertama saat masih remaja, orang tua tunggal, rumah tangga yang tidak harmonis, dan kecerdasan ibu yang kurang, adanya provokasi, dan paparan terhadap kekerasan pada televisi. 4,5,7,12
Tayangan Kekerasan pada Televisi Penelitian-penelitian telah mengungkapkan bahwa paparan terhadap kekerasan dalam media dapat meningkatkan dan mencetuskan munculnya pikiran agresif, emosi yang mendukung terjadinya perilaku agresif, serta kecenderungan untuk berperilaku agresif. Sebuah penelitian yang membandingkan angka pembunuhan di Amerika Serikat, Kanada dan Afrika Selatan sebelum dan sesudah terpapar oleh media televisi. Afrika Selatan belum memberikan izin untuk penyiaran hingga tahun 1975, dengan alasan yang tidak ada hubungannya dengan tayangan kekerasan di televisi. Ditemukan bahwa angka pembunuhan di Kanada dan Amerika Serikat antara tahun 1945 dan 1974 meningkat hingga 92% dan 93%, sedangkan angka pembunuhan di Afrika Selatan menurun sebesar 7%, dimana masyarakatnya belum terpapar tayangan televisi. Kemudian, setelah Afrika Selatan mulai memberikan izin untuk penyiaran tayangan televisi, angka pembunuhan meningkat hingga 130%. Pada hampir semua negara, terdapat jarak waktu sekitar 10 hingga 15 tahun antara mulai diperkenalkannya tayangan di televisi dan angka pembunuhan yang naik hingga dua kali lipat. Peningkatan ini telah dihipotesiskan merefleksikan telah dimulainya generasi televisi awal. Sesuai dengan yang diprediksikan, angka kekerasan yang serius pertama kali naik pada kelompok anak, kemudian remaja dan akhirnya pada dewasa muda. 5 Halaman | 5
Terdapat beberapa teori dan mekanisme yang dapat menjelaskan hubungan antara kekerasan dalam media dan peningkatan agresivitas, diantaranya adalah teori pembelajaran dan mekanisme desensitisasi : 1.
Teori Pembelajaran Salah satu teori mengenai pembelajaran agresi adalah teori pembelajaran sosial yang dikembangkan oleh Albert Bandura. Teori ini menyatakan bahwa individu mempelajari perilakunya dengan dua cara, secara langsung melalui pengalamannya atau secara tidak langsung melalui observasi dari contoh dari orang-orang di lingkungan sekitar. Anak-anak akan meniru perilaku dari orang dewasa disekitarnya sebagai metode untuk mempelajari tentang bagaimana kehidupan di dunia orang dewasa. Selain dari orang disekitarnya, anak-anak juga akan meniru apa yang mereka lihat di televisi. 5,7,9,12 Sayangnya, anak-anak meniru apa yang mereka lihat tanpa memiliki pengertian apakah yang mereka tiru baik atau tidak. Sebuah penelitian klasik yang dilakukan oleh Bedura menunjukkan bahwa anak-anak yang menonton tayangan kekerasan di televisi akan mempelajari perilaku tersebut dan melakukannya. Tiga kelompok anak-anak dipaparkan dengan sebuah tayangan yang menunjukkan seorang dewasa berperilaku agresif terhadap sebuah boneka. Untuk kelompok pertama, orang dewasa dalam tayangan tersebut diberi penghargaan, pada kelompok ke dua orang dewasa dalam tayangan tidak diberikan apapun, dan pada kelompok ke tiga orang dewasa dalam tayangan diberi hukuman. Setelah terpapar, anak-anak dari kelompok pertama dan kedua berperilaku lebih agresif bila dibandingkan dengan anak-anak pada grup ke tiga. 5,9 Ketika seseorang menonton sebuah tayangan dengan kekerasan, orang tersebut mendapat kesempatan untuk mempelajari berbagai macam hal : apa yang dapat dipergunakan sebagai senjata dan bagaimana cara menggunakannya, sebesar apa kerusakan yang dapat disebabkannya, kata-kata apa yang dapat diucapkan, dan lain sebagainya. Namun hal ini tidak berhenti disini, ketika seseorang terpapar secara berulang terhadap tayangan kekerasan, orang tersebut akan mempelajari suatu script. Script atau pola perilaku adalah struktur kognitif yang didalamnya mencakup 1) kejadian apa saja yang akan terjadi di lingkungan, 2) bagaimana sebaiknya seseorang bersikap dan 3) apa yang akan terjadi apabila ia berperilaku Halaman | 6
demikian. Ketika script sudah disimpan dalam ingatan, maka sewaktu-waktu script tersebut dapat aktif secara otomatis. Salah satu script yang paling umum ditemukan pada tayangan kekerasan adalah : ketika ada yang memprovokasi, sudah sewajarnya untuk membalas. 5,9 2.
Desensitisasi Salah satu efek buruk dari paparan terhadap tayangan kekerasan adalah desensitisasi. Desensitisasi adalah proses dimana paparan berulang terhadap suatu stimulus akan mengurangi respon emosional terhadap stimulus tersebut. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa setelah terpapar dengan tayangan kekerasan secara berulang, aktivitas korteks orbitofrontal kiri yang berfungsi untuk mengendalikan dan menginhibisi perilaku agresif akan mengalami penurunan. Hal ini akan membuat seseorang menjadi tidak sensitif, tidak terangsang, atau secara emosional tidak terpengaruh saat melihat perilaku kekerasan. Kekerasan menjadi suatu hal yang wajar dan orang tersebut menjadi lebih rentan untuk bereaksi dengan kekerasan. 5,8,9 Tayangan di televisi rata-rata menampilkan 8 – 12 aksi kekerasan per jamnya.
Sedangkan pada tayangan untuk anak, angka ini meningkat menjadi 20 aksi kekerasan per jamnya. Peningkatan ini terutama karena tayangan kartun, yang lebih sering ditayangkan pada pagi hari dan akhir pekan. Saat seorang anak berusia 8 tahun, diperkirakan ia telah menonton sekitar 20.000 aksi kekerasan di televisi. Sege yang telah melakukan
penelitian
mengenai
kekerasan
di
televisi
selama
tiga
dekade
mengemukakan bahwa kekerasan di televisi seringkali tidak memiliki konsekuensi, efektif dan mendapatkan penghargaan. Tokoh jahat dan tokoh baik sama-sama menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan konflik dengan segera. Ide bahwa kekerasan mengakibatkan rasa sakit dan memiliki konsekuensi, baik yang bersifat fisik atau psikologis seringkali tidak diperkenalkan. 5 Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Mediascope mengungkapkan bahwa pada 66% tayangan untuk anak-anak ternyata terdapat aksi kekerasan, 46% aksi kekerasan terjadi pada film kartun untuk anak, dan 67% tayangan untuk anak-anak memperlihatkan kekerasan dengan cara yang penuh humor. Jepang adalah satu-satunya negara dengan jumlah tayangan dengan kekerasan yang sama, namun angka Halaman | 7
kekerasannya jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan Amerika Serikat. Satu penelitian mengungkap bahwa ternyata penggambaran kekerasan pada tayangan televisi di Jepang sangatlah berbeda dengan di Amerika Serikat. Di jepang, kekerasan digambarkan dengan lebih realistik, ditekankan bahwa rasa sakit dan penderitaan diasosiasikan dengan aksi kekerasan. Selain itu, kekerasan lebih banyak dilakukan oleh tokoh jahat kepada tokoh baik, sehingga aksi kekerasan diasosiasikan dengan orang jahat dan dilihat sebagai sesuatu yang tidak pantas dan tidak bermoral. 5 Tidak semua kekerasan yang digambarkan memiliki pengaruh negatif yang sama terhadap penontonnya, karena konteks dalam kekerasan yang ditayangkan dapat memengaruhi arti dari agresi tersebut serta reaksi afektif dan perilaku dari penontonnya. Beberapa penelitian telah mengungkap bahwa terdapat setidaknya sembilan aspek penting yang dapat memengaruhi potensi sebuah tayangan untuk mendukung terbentuknya perilaku agresif, dan/atau desensitisasi emosional.5,9 1.
Karakter dari pelaku kekerasan Aspek penting yang pertama adalah karakter dari pelaku kekerasan. Pelaku kekerasan dapat sangat bervariasi, dari pahlawan super seperti Superman hingga hewan yang dibentuk menyerupai manusia seperti Doraemon. Beberapa pelaku kekerasan dalam tayangan televisi dapat digambarkan sebagai tokoh yang “baik” dan menggunakan kekerasan untuk melindungi masyarakat sedangkan tokoh yang lain adalah tokoh “jahat” yang menggunakan kekerasan untuk mendapatkan kepuasan pribadi. Jenis pelaku kekerasan yang mana yang memiliki pengaruh buruk dalam mempelajari perilaku agresif? Penelitian mengindikasikan bahwa baik anakanak maupun orang dewasa cenderung untuk beridentifikasi dan belajar dari contoh yang menarik dibandingkan dengan yang tidak menarik. Oleh karena itu, pelaku kekerasan yang menarik memiliki potensi yang lebih besar untuk menjadi role model dari perilaku agresif.5,9 Terdapat dua karakteristik spesifik yang dapat meningkatkan tingkat kemenarikan dari pelaku kekerasan yaitu 1) orientasi prososial atau baik ; dan 2) kesamaan tokoh dengan penonton. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penonton lebih menyukai tokoh yang prososial atau tokoh baik dibandingkan tokoh yang kejam dan jahat. Salah satu tipe tokoh prososial atau baik adalah pahlawan super (Batman, Superman) yang menggunakan kekerasan untuk melawan Halaman | 8
kejahatan. Penelitian mengungkap bawha paparan terhadap pelaku kekerasan yang “baik” akan meningkatkan risiko perilaku agresif baik pada penonton anak-anak maupun dewasa.5,9 Kesamaan yang dipersepsikan antara tokoh dengan penonton dapat meningkatkan tingkat kemenarikan karakter pelaku kekerasan. Kesamaan yang ditangkap dapat berupa data demografik yang serupa (jenis kelamin dan usia) antara tokoh pelaku kekerasan dan penonton. Sebagai contoh, anak laki-laki akan cenderung meniru tokoh laki-laki dan anak perempuan akan cenderung meniru tokoh perempuan. Penelitian juga mengungkap bahwa anak-anak akan lebih cenderung menunjukkan perilaku kekerasan setelah melihat tokoh pelaku kekerasan anak-anak jika dibandingkan setelah melihat tokoh pelaku kekerasan dewasa. Sifat dan karakteristik pelaku kekerasan nampaknya merupakan faktor penting dalam pembelajaran perilaku agresif, dengan risiko terbesar pada pelaku kekerasan yang menarik atau pelaku kekerasan yang memiliki banyak kesamaan dengan penonton. 5,9 2.
Karakteristik dari target kekerasan Aspek penting yang kedua adalah karakteristik dari target atau korban kekerasan. Target kekerasan, seperti pelaku kekerasan, sangat bervariasi baik dari sisi demografik, motif dan kualitas atributif. Mirip dengan tingkat kemenarikan pelaku kekerasan, tingkat kemenarikan dari target juga merupakan penanda penting yang memengaruhi respon penonton terhadap kekerasan. Ketika karakter menarik menjadi korban kekerasan, maka hal tersebut akan memunculkan ketakutan atau kecemasan pada penontonnya. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa penonton seringkali merasakan perasaan dan keadaan afektif yang dirasakan oleh tokoh korban kekerasan yang menarik tersebut. Ketika tokoh yang menarik menjadi korban kekerasan, penonton dapat secara empatik ikut merasakan kecemasan dan ikut merasakan ketakutan dan/atau tekanan. 5,9
3.
Pembenaran tindakan kekerasan Aspek penting yang ketiga adalah apakah tindakan kekerasan yang dilakukan dapat dibenarkan atau tidak. Kekerasan dapat digunakan untuk berbagai alasan. Alasan tersebut ada yang dapat dibenarkan atau diterima secara sosial, dan ada yang tidak. Penelitian telah mendokumentasikan secara konsisten bahwa kekerasan Halaman | 9
yang dapat dibenarkan akan meningkatkan respon agresif pada penontonnya. Dengan menonton kekerasan yang dapat dibenarkan, maka inhibisi seseorang terhadap perilaku agresif akan menurun sehingga kecenderungan untuk menunjukkan perilaku agresif akan meningkat. 5,9 Apakah dengan menonton aksi agresif yang tidak dapat dibenarkan memiliki pengaruh terhadap penontonnya? Tindak kekerasan yang tidak dapat dibenarkan ditemukan dapat memengaruhi baik proses pembelajaran perilaku agresif dan rasa takut pada penontonnya. Dari sisi pembelajaran perilaku agresif, penelitian menunjukkan bahwa paparan terhadap kekerasan yang tidak dapat dibenarkan akan menurunkan kecenderungan berperilaku agresif pada penontonnya. Bukti lain juga menunjukkan bahwa tindak kekerasan yang tidak dibenarkan dapat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap munculnya rasa kecemasan dan ketakutan akan menjadi korban pada penontonnya. 9 4.
Keberadaan senjata Aspek penting yang keempat adalah keberadaan senjata. Penelitian menunjukan bahwa adanya persenjataan konvensional seperti pistol dan pisau secara signifikan akan meningkatkan respon agresif para penontonnya. Menurut Berkowitz dkk, melihat senjata akan memunculkan pikiran dan memori agresif serta akan membuat kecenderungan berperilaku agresif meningkat. Sebuah meta analisis dari 56 penelitian menunjukkan bahwa adanya senjata pada sebuah gambar akan meningkatkan perilaku agresif secara signifikan baik pada dewasa yang sedang marah dan yang tidak sedang marah. 9
5.
Penggambaran kekerasan Aspek penting yang kelima adalah bagaimana kekerasan digambarkan dalam tayangan. Kekerasan dalam tayangan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga variabel yaitu 1) fisik atau verbal; 2) langsung atau tidak langsung; dan 3) aktif atau pasif. Kombinasi dari ketiga variabel kekerasan ini akan memengaruhi efek tayangan tersebut kepada pemirsanya. Misalnya, kekerasan fisik langsung yang dilakukan secara aktif akan memiliki dampak negatif yang relatif lebih berat dibandingkan kekerasan verbal langsung yang dilakukan secara pasif. 9 Aspek penggambaran kekerasan dalam tayangan mencakup durasi kejadian kekerasan, jarak antara peristiwa kekerasan dengan kamera, pemilihan kata, Halaman | 10
intonasi serta intensitas suara dalam agresivitas verbal, serta visualisasi kekerasan dalam agresivitas fisik, seperti jumlah darah dan tingkat kesadisannya. Peraturan KPI tentang Standar Program Siaran Bab XIII pasal 23 dan 24 telah mengatur variabel agresivitas verbal dan agresivitas fisik yang tidak dapat ditayangkan di media, seperti menampilkan tawuran, pengeroyokan, manusia atau bagian tubuh yang berdarah-darah,serta penggunaan ungkapan kasar dan makian. 9 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa paparan jangka pendek maupun jangka panjang terhadap aksi kekerasan dapat membuat penontonnya mengalami desensitisasi terhadap kekerasan di dunia nyata serta terhadap efek fisik, emosi dan psikologisnya yang berbahaya. 9 6.
Derajat realisme dari kekerasan Aspek penting yang keenam adalah derajat realisme dari kekerasan yang ditunjukkan. Realisme merujuk pada tingkat nyata atau tidaknya karakter, setting, dan/atau peristiwa kekerasan yang digambarkan. Beberapa aksi kekerasan digambarkan dengan sangat realistik seperti pada berita malam atau dalam bentuk kartun seperti Tom and Jerry. Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa penggambaran yang lebih realistik akan meningkatkan respon agresif secara signifikan apabila dibandingkan dengan penggambaran yang lebih bersifat fisksional. Selain itu penggambaran aksi kekerasan yang realistik juga akan memberikan efek kecemasan dan ketakutan yang lebih bila dibandingkan dengan aksi kekerasan yang fiksional.9
7. Apakah kekerasan mendapatkan penghargaan atau hukuman Aspek penting yang ke tujuh adalah penghargaan dan hukuman. Penghargaan adalah pemberian dukungan positif pada pelaku tindak kekerasan. Seorang pelaku kekerasan mungkin saja akan mendapatkan penghargaan dalam bentuk hadiah uang dalam jumlah besar atau dalam bentuk yang sederhana seperti sebuah tepukan di pundaknya. Sedangkan hukuman adalah pemberian dukungan negatif yang dapat berupa ekspresi kekecewaan hingga hukuman mati.9 Penelitian telah menemukan bahwa aksi kekerasan yanng mendapatkan penghargaan akan meningkatkan efek pembelajaran pikiran dan perilaku agresif. Sebuah meta analisis dari 217 penelitian menunjukkan bahwa kekerasan yang mendapatkan penghargaan akan meningkatkan risiko pembelajaran perilaku agresif Halaman | 11
baik pada dewasa maupun anak-anak. Kekerasan tidak harus selalu diberi penghargaan secara eksplisit untuk dapat meningkatkan efek bahayanya, karena menurut teori pembelajaran sosial, tidak adannya hukuman juga dapat dianggap sebagai suatu bentuk penghargaan. Sehingga aksi kekerasan yang tidak mendapatkan penghargaan maupun hukuman akan tetap dapat memfasilitasi pembelajaran perilaku dan pikiran agresif.9 8.
Konsekuensi dari kekerasan Aspek kekerasan pada tayangan yang ke delapan adalah konsekuensi dari kekerasan. Konsekuensi kekerasan merujuk pada tingkat kesakitan dan cedera yang terjadi sebagai akibat dari aksi kekerasan. Sebagai contoh, seorang korban kekerasan berlumuran darah dan berteriak kesakitan setelah ditusuk dengan sebilah pisau. Suatu reaksi yang menggambarkan bahwa orang tersebut mengalami nyeri yang amat sangat. Sedangkan karakter lain ternyata mendapatkan pukulan di wajahnya dan tidak bergeming sama sekali. Respon seperti ini menggambarkan bahwa tokoh ini tidak mengalami rasa nyeri dari aksi agresif tersebut.9 Beberapa penelitian telah mendokumentasikan bahwa penggambaran nyeri dan penderitaan yang kuat dapat menurunkan respon agresif pada penontonnya. Namun beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa sebuah klip aksi kekerasan yang menggambarkan cedera serius dapat menyebabkan peningkatan perilaku agresif. Tetapi efek ini terbatas pada subjek yang sedang marah atau pada subjek dengan kerentanan untuk melakukan perilaku agresi yang ditempatkan di lingkungan dengan banyak penanda kekerasan. Sebagai simpulan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggambaran penderitaan atau penderitaan dapat berfungsi sebagai inhibitor perilaku agresif pada sebagian besar penonton. 9
9.
Humor yang menyertai aksi kekerasan Aspek penting yang terakhir adalah humor. Humor dapat digunakan dengan berbagai cara dalam program kekerasan. Sebagai contohnya, seorang pelaku kekerasan dapat saja mengungkapkan suatu lelucon setelah, saat atau setelah membunuh korban yang tidak bersalah. Selain itu konsekuensi dari kekerasan dapat ditampulkan dengan cara yang komikal dan mengundang tawa. 9 Penelitian menunjukkan bahwa humor dapat meningkatkan desensitisasi terhadap kekerasan. Sebuah penelitian menemukan bahwa cuplikan aksi kekerasan Halaman | 12
yang disertai humor secara signifikan memiliki tingkat distres yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan cuplikan aksi kekerasan yang tidak disertai humor. Penelitian lain menunjukkan bahwa acara dengan aksi kekerasan yang disertai humor secara signifikan dianggap tidak terlalu serius dan tidak terlalu kejam dibandingkan acara dengan tingkat humor yang rendah. Sebagai simpulan, cuplikan aksi kekerasan yang disertai dengan humor dapat meningkatkan risiko terjadinya desensitisasi dan perilaku kekerasan pada penontonnya. 9 Tujuan Untuk mengetahui definisi dan konsep kekerasan, definisi dan konsep agresivitas, jenis-jenis tayangan di televisi, pengaruh tayangan kekerasan di televisi pada penontonnya dalam konteks budaya Indonesia, sehingga dapat menjadi dasar dalam pembuatan instrumen pengukuran derajat kekerasan pada tayangan televisi. Metode Pembuatan instrumen terdiri dari 6 tahapan, yaitu : 1) konseptualisasi rancangan alat ukur; 2) Penyusunan desain alat ukur; 3) Pengujian alat ukur; 4) Revisi; 5) Pengumpulan data; dan 6) evaluasi dan pengawasan proses. Yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan bagian awal dari rangkaian proses pembuatan instrumen penilai tayangan kekerasan di televisi yaitu konseptualisasi dan penyusunan deasin alat ukur. Untuk menjamin kredibilitas, transferabilitas, dependabilitas, dan konfirmabilitas hasil penelitian maka dilakukan proses triangulasi, member check, dan peer debriefing. Desain Tahap pertama, konseptualisasi rancangan alat ukur,
bertujuan untuk
mendefinisikan subjek dan variabel yang akan diukur serta menghasilkan indikatorindikator yang dapat disusun menjadi suatu alat ukur. Tujuan ini dapat dicapai dengan metode yang sebagian besar merupakan metode kualitatif sebagai berikut : 1.
Telaah literatur (literature review)
2.
Panel ahli (Expert Review)
3.
Diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion)
4.
Wawancara mendalam (Indepth interview) Halaman | 13
5.
Cognitive Interview
6.
Workshop Pada penelitian ini menggunakan ke-enam metode di atas. Telaah literatur
dilakukan dengan mengumpulkan berbagai dokumen yang terkait dengan permasalahan tayangan kekerasan dari berbagai disiplin ilmu, laporan, instrumen penilaian tayangan kekerasan yang sudah ada. Tim peneliti membuat rangkuman dari literatur-literatur tersebut dan mempresentasikannya dalam pertemuan. Proses Cognitive Interview dilakukan pada berbagai item yang akan dijadikan bagian dari instrumen. Cognitive Interview bertujuan mengetahui latar belakang pemikiran, konsep, dan proses berpikir mengenai tayangan kekerasan. Tim peneliti untuk menyamakan pandangan, pengertian, dan proses tentang tayangan kekerasan di televisi dan dampaknya. Kemudian workshop dilakukan untuk menyusun panduan wawancara. Hasil telaah literatur dan Cognitive Interview yang telah dilakukan kemudian didiskusikan oleh tim peneliti dengan berbagai ahli lainnya seperti ahli kesehatan masyarakat, psikater, dan ahli pembuat kuesioner. Panduan wawancara menekankan pada hal-hal yang masih perlu diklarifikasi, diperjelas, atau diketahui dengan lebih mendalam (terlampir). Panduan wawancara digunakan dalam Expert Review, wawancara mendalam, dan diskusi kelompok terfokus. dilakukan untuk mengetahui pendapat para ahli dalam bidang-bidang yang terkait dengan definisi dan konsep kekerasan, definisi dan konsep agresivitas, jenis-jenis tayangan di televisi, pengaruh tayangan kekerasan di televisi pada penontonnya serta hubungan antara tayangan televisi dan kebudayaan. Peserta Expert Review Peserta penelitian yang terlibat merupakan para ahli atau pemerhati tentang kekerasan/ tayangan kekerasan dalam bidang masing-masing. Para ahli tersebut berasal dari bidang Psikiatri anak dan remaja, Psikologi sosial, Ilmu Komunikasi, Kriminologi, Komisi Penyiaran Indonesia, Antropologi dan Sosiologi. Peserta diundang melalui surat dengan memberi rincian latar belakang penelitian dan mengundang untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.
Halaman | 14
Wawancara Mendalam dan Diskusi Kelompok Mendalam Wawancara mendalam direncanakan dilakukan terhadap ahli Sinematografi untuk memahami alasan pembuatan tayangan kekerasa. Diskusi kelompok terarah direncanakan dilakukan pada remaja sebagai kelompok yang paling terdampak oleh tayangan kekerasan. Dalam wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah Sebelum wawancara dan fokus group discussion, peserta menerima surat undangan untuk kesedian berpartisipasi dalam penelitian yang selanjutnya memberikan informasi lebih lanjut tentang definisi dan konsep kekerasan, definisi dan konsep agresivitas, jenis-jenis tayangan di televisi, pengaruh tayangan kekerasan di televisi pada penontonnya serta hubungan antara tayangan televisi dan kebudayaan. Dalam daftar pertanyaan dibahas pertanyaan-pertanyaan yang terbuka mengenai kekerasan dan agresivitas yang terkait dengan tayangan telivisi yaitu kekerasan secara umum, tayangan kekerasan di televisi, beberapa indikator terhadap pelaku kekerasan, korban kekerasan dan konsekuensi kekerasan terhadap korban kekerasan, dibenarkan / tidak dibenarkan oleh norma sosial /aturan hukum, keberadaan senjata, penggambaran kekerasan, derajat realisme, penghargaan dan hukuman, dan kekerasan yang disertai humor. Analisis Analisis mengacu pada teori Miles dan Huberman. Analisis terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/ verifikasi. Hasil wawancara mendalam dan kelompok diskusi terarah pertama kali dibuat dalam bentuk transkripsi, kemudian dilakukan reduksi dengan tujuan menyederhanakan, memusatkan perhatian dan transformasi data kasar hasil temuan di lapangan. Tahap selanjutnya dilakukan pengelompokan berdasarkan tema-tema (predetermin kategori) sesuai variabel yang telah disusun sebagai proposisi teoretis. Data yang telah dikelompokkan sesuai tema-tema tersebut, kemudian dianalisis. Strategi khusus yang dilakukan untuk menguji konsep kepercayaan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1)
Teknik verifikasi atau triangulasi. Halaman | 15
Triangulasi mengacu pada pendekatan untuk pengumpulan data dengan bukti yang sengaja dicari dari berbagai sumber-sumber independen yang berbeda dan sering dengan cara yang berbeda. Metode triangulasi dapat juga dilakukan dengan triangulasi cara pengumpulan data, misal hasil wawancara mendalam ditriangulasi dengan FGD, wawancara mendalam kemudian ditriangulasi dengan observasi atau telaah dokumen. Pada penelitian ini data yang didapatkan pada wawancara mendalam ditriangulasikan dengan FGD, dan dilakukan pengumpulan data dari berbagai disiplin ilmu. Untuk menjamin otentitas data dilakukan dengan mengambil rekaman saat wawancara dan FGD berlangsung, audio visual saat FGD dan adanya dokumentasi kegiatan. 2)
Melakukan member check. Member check dilakukan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan interpretasi, dengan mengonfirmasi informan untuk pengecekan apakah ada halhal yang kurang sesuai.Member check ini dilakukan selama proses koding dan kategorisasi ataupun mengonfirmasi hasil pada peserta.
3)
Melakukan peer debriefing Peer debriefing merupakan usaha peneliti untuk memahami fenomena melalui perspektif orang lain. Merupakan salah satu teknik yang penting dalam penelitian kualitatif. Peer debriefing membutuhkan peneliti untuk bekerja sama dengan satu atau beberapa orang yang memiliki pandangan yang berimbang tentang penelitian. Orang yang dipilih memeriksa transkrip peneliti, laporan akhir dan metodologi umum. Setelah itu umpan balik diberikan untuk meningkatkan kredibilitas. Dalam penelitian ini, para anggota tim peneliti menjadi peer debriefing.
4)
Bracketing. Dalam hal ini penulis menghindari prasangka, bias, asumsi, teori, atau pengalaman sebelumnya untuk melihat dan menggambarkan fenomena,. Penulis berusaha jujur dan waspada tentang perspektif, pengalaman yang sudah ada dan keyakinan sendiri.
Halaman | 16
Hasil Pada awal penelitian, dilakukan Penyusunan Rencana Kerja dan Timeline Penelitian yang dihadiri oleh anggota tim peneliti. Kemudian dilakukan Telaah Literatur untuk membentuk konsep dan menyamakan persepsi awal mengenai kekerasan, agresivitas, tayangan kekerasan, dan pengaruh tayangan kekerasan terhadap perilaku agresif. Terbagi dalam dua tahap, yaitu tahap persiapan dan tahap presentasi. Pada tahap selanjutnya dalam Penelitian ini dilakukan 3 wawancara mendalam terhadap ahli sinematografi, antropologi dan sosiologi serta 3 diskusi kelompok terarah pada kelompok akademisi dan kelompok pelajar kelas X dan XI dari SMU Negeri 8 Bandung. Diskusi kelompok terarah dengan kelompok akademisi dihadiri oleh ahli di bidang psikiatri anak dan remaja, psikologi sosial, hukum dan kriminologi, ilmu komunikasi dan perwakilan KPID Jawa Barat. Wawancara semi terstruktur berlangsung sekitar 45 menit sampai 60 menit dan untuk diskusi kelompok terarah berlangsung selama 70 menit. Hasil diskusi kelompok terarah adalah sebagai berikut: Definisi Kekerasan Kekerasan adalah perbuatan atau perilaku yang dilakukan dengan sengaja seperti memukul, meninju, menendang, mencekik, menembak, menghina atau berkata kasar yang bertujuan untuk menyebabkan rasa sakit dan mencederai orang lain atau diri sendiri baik yang berdampak fisik maupun non-fisik. “Definisi kekerasan itu yang di atur oleh berbagai peraturan perundang – undangan menggunakan istilah penganiayaan adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit dan untuk menimbulkan suatu luka pada orang lain” – Bidang Hukum (Pidana dan Kriminologi) “Konsep kekerasan menurut saya adalah suatu perilaku yang bisa mencelakakan orang lain dan atau merugikan orang lain. Mencelakakan orang lain itu kekerasan kontak fisik terutama ada kontak fisik antara A dan B, seseorang dengan orang lain, yang bisa merugikan orang lain” – Antropologi “Bentuk kekerasan dapat berupa verbal dan non verbal.” – Komisi Penyiaran Indonesia (KPID) Jawa Barat
Halaman | 17
Tayangan Kekerasan Sebagian besar responden mendefinisikan tayangan kekerasan sebagai gambar/rangkaian gambar dan/atau suara/rangkaian suara yang menampilkan perbuatan atau perilaku yang dilakukan dengan sengaja seperti memukul, meninju, menendang, mencekik, menembak, menghina atau berkata kasar yang bertujuan untuk menyebabkan rasa sakit dan mencederai orang lain atau diri sendiri baik yang berdampak fisik maupun non-fisik. “Kekerasan itu didefinisikan sebagai gambar atau rangkaian gambar, suara atau rangkaian suara yang menampilkan perilaku atau tindakan yang menimbulkan rasa sakit” – Komisi Penyiaran Indonesia (KPID) Jawa Barat Tayangan yang sadis (dibunuh, dicekek, atau ditembak). Yang selanjutnya kekerasan ini kalau didalam yang kita lihat itu bukannya kekerasan terhadap manusia tetapi juga kekerasan terhadap binatang
- Komisi Penyiaran Indonesia (KPID) Jawa Barat
Ahli sinematografi mendefinisikan tayangan kekerasan sebagai gambar/rangkaian gambar, suara/rangkaian suara dan/atau narasi yang dibuat dengan tujuan memberikan kesan/impresi kekerasan. Dari sudut pandang sinematografi, suatu adegan kekerasan yang bertujuan untuk memberikan kesan/impresi selain kesan kekerasan, misalnya kesan humor tidak dianggap sebagai suatu tayangan kekerasan. “Nah kadang-kadang walaupun misalkan ada contoh sketsa ada orang mau duduk kemudian kursinya ditarik lalu dia jatuh terus sama temennya kepalanya dipukul itu sebenernya mau deliver pesan komedi tapi memang dengan cara seperti itu kalau itu dilakukan di apa namanya di dunia nyata itu akan jadi kekerasan tapi ketika di dalam tayangan film mungkin tidak tidak jadi kekerasan gitu jadi tolak ukurnya” – Ahli Sinematografi Pelajar SMU mendefinisikan tayangan kekerasan sebagai tayangan yang memberikan kesan kekerasan bagi penontonnya. Dari sudut pandang pelajar SMU, adegan apapun apabila ditangkap sebagai kekerasan oleh penontonnya dianggap sebagai suatu tayangan kekerasan. “Cara penilaian penonton, bagaimana cara orang memandang, kekerasan disebut kekerasan kalo si penonton mengatakan itu kekerasan, penonton harus sesuai, harus diawasi”- Pelajar SMU Kelas X
Halaman | 18
Jenis Kekerasan Kekerasan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu kekerasan fisik dan non-fisik. Kekerasan fisik dapat berupa kekerasan verbal dan non verbal. Kekerasan non-fisik dapat berupa kekerasan psikis. “Bentuk kekerasan dapat berupa verbal dan non verbal, sedangkan untuk jenis kekerasan sendiri dapat berupa kekerasan fisik, psikis (non fisik) dan seksual.
Kekerasan fisik
(kekerasan yang disebabkan oleh tindakan secara fisik dan berdampak secara fisik, seperti tindakan menyerang, memukul, meninju, menendang, mencekik, menembak dan lain-lain yang menimbulkan efek seperti menyeringai, rasa sakit dan lain sebagainya yang tindakannya dapat dilihat dengan kasat mata. Kekerasan psikis (non fisik) tidak terlalu terlihat, dapat verbal dan non verbal, kalau verbal itu kebanyakan kata – kata. Non fisik ini bisa kata – kata, gambar atau visual” – Komisi Penyiaran Indonesia (KPID) Jawa Barat “Dalam peraturan perundang – undangan diberlakukan istilah tindak kekerasan yaitu kekerasan fisik, psikis, kekerasan emosional, seksual, penganiayaan berat dan ringan atau seterusnya. Sedangkan dari kajian hukum pidana dikaitkan dengan kriminologi terdiri dari kekerasan psikis dan kekerasan seksual” - Bidang Hukum (Pidana dan Kriminologi) Bentuk tayangan kekerasan yang memiliki dampak negatif pada penonton Tayangan kekerasan yang memilik dampak negatif pada penonton adalah : (1) menimbulkan rasa sakit/jatuh sakit/luka, (2) saling membunuh, (3) terdapat kekerasan dalam rumah tangga, (4) child abuse, (5) kekerasan seksual, (6) bullying, (7) Tayangan yang sadis (dibunuh dicekek atau ditembak), (8) kekerasan terhadap binatang, (9) menyerang, memukul, meninju, menendang, mencekik, menembak dan lain sebagainya (10) menayangkan peristiwa – peristiwa yang traumatik misalkan bencana, atau peperangan dan lain sebagainya. (11) mengatakan sesuatu perkataan yang kasar/penolakan/pengabaian Halaman | 19
“Sebuah tanyangan dianggap kekerasan bila melibatkan dua pihak yang memang mereka berusaha saling membunuh, terus juga kalau kekerasan dalam rumah tangga biasanya itu dilakukan oleh satu pihak suami atau istri, terus juga ada korban bencana biasanya maksudnya kekerasan itu lebih ke korbannya mati bagaimana wujud korban itu diperlihatkan ketika dirumah sakit apakah korbannya itu banyak atau tidak misalkan apakah masih ada darah dan lain sebagainya terus yang selanjutnya adalah batasan apakah kekerasan itu ditolerir dalam aturan – aturan itu manusiawi atau tidak makanya ada kekerasan yang biasa atau yang sadis didalam tayangan itu. Tayangan yang sadis (dibunuh dicekek atau ditembak). Yang selanjutnya kekerasan ini kalau didalam yang kita lihat itu bukannya kekerasan terhadap manusia tetapi juga kekerasan terhadap binatang. jadi yang kita lihat bukan hanya kekerasan yang melibatkan satu kelompok atau orang yang punya kekuatan memaksa orang lain untuk melakukan tindakan tertentu. bentuknya menyerang, memukul, meninju, menendang, mencekik, menembak dan lain sebagainya dan berdampak secara fisik misalkan efeknya nanti keliatan nyengir, rasa sakit dan lain sebagainya dan tindakannya juga bisa dilihat dengan kasat mata. Terus non fisik juga kekerasan visual ini, kenapa kita sebut kekerasa visual karna dalam beberapa hal televisi itu misalkan banyak menayangkan peristiwa – peristiwa yang traumatik misalkan bencana, atau peperangan dan lain sebagainya. Tayangan yang sadis misalnya kasus Siska Yofie itu dibunuh dicekek atau ditembak gitu tapi ini dibunuh dengan cara yang sadis diseret dari motor tapi diperlihatkan. Yang selanjutnya kekerasan ini kalau didalam yang kita lihat itu bukannya kekerasan terhadap manusia tetapi juga kekerasan terhadap binatang.” – Komisi Penyiaran Indonesia (KPID) Jawa Barat
Dampak Tayangan Kekerasan Semua responden berpendapat bahwa tayangan kekerasan memiliki dampak bagi penonton. “Tayangan kekerasan bisa menimbulkan dampak psikologis pada keluarga apalagi yang menontonnya anak – anak itu bisa menimbulkan depresi ketakutan dan lain sebagainya” Komisi Penyiaran Indonesia (KPID) Jawa Barat Apa dampaknya? Halaman | 20
Hampir semua responden berpendapat bahwa kekerasan berdampak negatif bagi penontonnya. Dampak negatif tayangan kekerasan diantaranya adalah ketakutan, sulit mempercayai orang lain, meningkatnya perilaku agresif dan menganggap kekerasan sebagai suatu hal yang wajar untuk dilakukan. “Saya ingin menambahkan juga bahwa nanti kalau dalam media televisi dampak negatif kekerasan media itu dibagi dalam beberapa paling tidak pertama dampak agresor, jadi ini katanya sifat jahat anak akan semakin meningkat walaupun tadi saya setuju bahwa tergantung anaknya kalau anaknya sifatnya baik mah segimanapun mungkin akan lambat peroses terjadinya dampak itu berpengaruh. Yang kedua dampak korban, anak menjadi penakut dan makin sulit mempercayai orang lain ..., anak mulai tidak peduli dengan kesulitan orang lain .., itu kalau misalnya melihat di tayangan televisi banyak sekali adegan anti sosial yang menunjukkan tidak dibentukkannya sifat kebersamaan diantara temen. Yang keempat dampak nafsu, meningkatnya keinginan anak untuk melakukan cara kekerasan dalam mengatasi persoalan” - Ilmu Komunikasi, bidang televisi/Jurnalisme televisi “Menjadi pengen masuk kedalam film tersebut, dirumah sering merasa degdegan, menjadi sering waspada....”- Pelajar SMU Kelas X “Ada dorongan emosional untuk memukul orang setelah menonton film yang bertema kekerasan....”- Pelajar SMU Kelas X Ahli antropologi dan ahli sosiologi berpendapat bahwa tayangan kekerasan banyak menimbulkan efek negative tetapi juga dapat memberikan dampak positif seperti mendorong perilaku berhati-hati dan mencegah penontonnya melakukan pelanggaran moral agar tidak menjadi korban kekerasan. Efek negatif dari suatu tayangan dapat dikurangi jika terdapat penjelasan dari tayangan kerasan tersebut. “Yah ada orang kasian iba gitu untuk mendoakan ini yah. Ya mungkin ada bantuan secara nyata ada bantuan bagi korban itu real. Kalau di film gitu yah film kan pura – pura gitu yah, nah selain kasihan yah itu dampaknya bisa menguatkan keimanan dan ketakwaan dia pembentukan jiwa. Nah itu yang bisa meningkatkan moral, pusat pembelajaran lah bagi pembentukan diri nah itu yang positifnya bagi penonton” - Antropologi “….Tujuan dari media itu kan dia punya fungsi sebenarnya untuk kontrol. Bisa fungsi sosialisasi. Sosialisasi tu bisa positif bisa negatif. Selama tayangan kekerasan itu menjadi Halaman | 21
pola dan tidak diimbangi dengan (hm) konter norma bahwa tayangan itu hm kalau misalnya gini dalam hm film itu kan ada tayangan kekerasan tapi kemudian diimbangi satu-satu paparan bahwa ini tidak boleh ya jadi ada keseimbangan makanya saya melihat polanya temanya kekerasan aja itu itu gak ada konter sehingga kalau terus menerus dilakukan itu menjadi norma sesuatu yang biasa gitu…”- Sosiolog Bagaimana Tayangan Kekerasan dapat Menimbulkan Dampak Hampir semua responden berpendapat bahwa tayangan kekerasan dapat menimbulkan dampak melalui dua mekanisme, yaitu mekanisme densensitisasi (membuat penontonnya menjadi terbiasa dengan kekerasan dan menganggap kekerasan sebagai hal yang wajar) dan mekanisme identifikasi/pembelajaran sosial (membuat penontonnya meniru dan menganggap perilaku kekerasan sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan masalah). “Dampak negatif bagi masyarakat adalah yang tadi sudah kita bahas juga langsung dan tidak langsung saya juga bisa melihat sebentar dari yang mungkin tadi sudah kita bahas juga learning teori dan desensitasi begitu juga dapat mengakibatkan fear ketakutan pada orang yang menontonnya yah jadi secara langsung mungkin bisa terjadi pada anak – anak biasanya karna tadi sesuai dengan tingkat kognitifnya biasanya mereka imitasi yang sangat kuat yah dibandingkan pada orang – orang dewasa, orang dewasa kan sudah bisa formal operasional berarti dia sudah tahu sebab akibat kalau dia mengimitasi langsung mungkin dia akan kena pukul orang.” – Psikiatri Anak & Remaja. “Tayangan kekerasan bisa menimbulkan dampak psikologis pada keluarga apalagi yang menontonnya anak – anak itu bisa menimbulkan depresi ketakutan dan lain sebagainya” Komisi Penyiaran Indonesia (KPID) Jawa Barat “Mungkin kita harus melihat konteks usia penonton karena kadang ada level – level tertentu itu film besar pengaruhnya terutama pada anak – anak karena dari aspek kognitif perkembangan anak tertentu itu mereka di level perkembangan tertentu beda tingkatan – tingkatannya, sebagai contoh usia anak – anak 6 tahun ke bawah pada umumnya mereka tidak bisa membedakan mana yang real mana yang tidak sehingga mereka, justru terpengaruh dengan hal – hal fisik atau non fisik karna itu ada imajinasi maka kalau kita nonton film – film, katakanlah film smack down jelas bagaimana pengaruhnya terhadap perubahan anak” - Ilmu Komunikasi, Bidang Televisi/Jurnalisme Televisi “Terus jam tayangnya juga pas jam tayang itu jangan dimana anak-anak tuh masih Halaman | 22
nonton hm usia tujuh sampai sembilannya tuh usia yang itu suka meniru apa yang dia lihat lagian yang namanya berita kriminal biasanya lebih rame dari pada berita ( ) soalnya kan jadi rame gitu kaya ada pestol ada” – Pelajar SMU kelas XI “Ya membuat ingin meniru tindakan kekerasan tersebut kadang tanpa sadar ingin mengikuti tindakan kekerasan tersebut....” – Pelajar SMU Kelas X “...Jadi mereka mengidentifikasikan diri dengan pelaku sehingga emosi marah itu seolah – olah tergantikan oleh para pelaku karna kalau enggak katanya itu justru akan memunculkan katakanlah demonstrasi – demonstrasi ketidakpuasan terhadap ini....”Pelajar SMU Kelas X Kelompok yang Terkena Dampak Tayangan Kekerasan Hampir semua responden berpendapat bahwa tayangan kekerasan memiliki dampak pada semua kelompok penonton, terutama pada kelompok anak-anak dan remaja. “Tayangan kekerasan itu tentunya ditonton oleh anak – anak dan itu pastilah ada dampaknya” – Psikiatri anak dan remaja. “Mungkin kita harus melihat konteks usia penonton karena kadang ada level – level tertentu itu film besar pengaruhnya terutama pada anak – anak karena dari aspek kognitif perkembangan anak memiliki tingkatan – tingkatan yang berbeda” – Ilmu Komunikasi, bidang televisi/Jurnalism televisi “Kita itu ada pembagian sebagai penonton itu ada klasifikasi yah dan juga didalam undang – undang pertama yang ditekankan itu adalah kelompok tertentu yaitu anak – anak dan anak – anak itu juga dibagi dalam kelompok ada anak dari 2-5 tahun, terus juga ada anak dari 6-11 tahun, dan remaja dari 11-17 tahun. Nah ini kita asumsikan sebagai kelompok yang paling rentan terhadap dampak media.” - Bidang Hukum (Pidana dan Kriminologi) “Tayangan kekerasan itu tentunya ditonton oleh anak – anak dan itu pastilah ada dampaknya pada anak – anak itu jadi kalau ada satu tayangan kekerasan yang memberikan dampak kepada anak – anak dalam bentuk meniru kegiatan tersebut dia bisa meniru dalam contoh menyerang orang lain dan juga pada tayangan itu mungkin tayangan itu bisa menunjukkan suatu ekspresi kemarahan yang melukai orang lain sehingga itu bisa saja ketika anak – anak menonton dia bisa menirunya” – Komisi Penyiaran Indonesia (KPID) Jawa Barat Halaman | 23
Ahli antropologi berpendapat bahwa kelompok penonton yang rentan terkena dampak adalah penonton dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. “Saya kira, kelompok masyarakat miskin yang paling rentan, karena kualitas SDM nya yang rendah. Yang paling utama itu adalah daya beli rendah atau tingkat pengangguran. Kalau menurut saya orang yang menganggur tuh karna tidak punya penghasilan yah pak itu masuk golongan rendah golongan miskin.” – Antropologi Indikator : Pelaku Kekerasan Pelaku kekerasan memiliki kontribusi terhadap dampak dari suatu adegan kekerasan. Tokoh populer yang dan tokoh yang memiliki banyak kemiripan, baik secara fisik dan nonfisik dengan penonton akan cenderung lebih banyak ditiru apabila melakukan suatu tindakan kekerasan. “....atau tokoh yang kita sukai”- Pelajar SMU Kelas X “Ini tentang identifikasi penonton terhadap tokoh, jadi ada tokoh agresor tokoh korbannya dan ada pada anak – anak tertentu justru lebih pro terhadap korban sehingga muncul perasaan sifat sosial, tapi pada anak tertentu dia memposisikan dia sebagai agresor, nah ini juga cukup menarik kita tidak bisa melihat ada stimulus ada sebuah respon tapi disini ada proses kalau disini kan proses indentifikasi dirinya terhadap siapa ?” -
Ilmu
Komunikasi, bidang televisi/Jurnalism televisi “Mungkin fans misal itu akan karna kalau kita sudah kata orang sudah seneng gitu yah kadang-kadang kita juga gak ada filter lagi oh dia begitu saya juga akan meniru …”Sosiolog Indikator : Korban Kekerasan dan konsekuensi kekerasan terhadap korban kekerasan Korban kekerasan memiliki kontribusi terhadap dampak dari suatu adegan kekerasan. Apabila tokoh populer dan tokoh yang memiliki banyak kemiripan dengan penonton menjadi korban kekerasan, maka akan lebih memunculkan rasa cemas dan takut pada penontonnya. Tokoh lemah yang menjadi korban kekerasan akan menimbulkan rasa kasihan dan iba pada penontonnya. “Yah ada orang kasian iba gitu untuk mendoakan ini yah. Ya mungkin ada bantuan secara nyata ada bantuan bagi korban itu real. Kalau di film gitu yah film kan pura – pura gitu yah, nah selain kasihan yah itu dampaknya bisa menguatkan keimanan dan ketakwaan Halaman | 24
dia pembentukan jiwa. Nah itu yang bisa meningkatkan moral, pusat pembelajaran lah bagi pembentukan diri nah itu yang positifnya bagi penonton” - Antropologi Konsekuensi yang dialami korban kekerasan berupa ekspresi seperti tersiksa atau tidak tersiksa akan memberikan kontribusi terhadap dampak dari suatu adegan kekerasan. “ Dari segi victimnya yah korbannya memang korbannya itu ekspresinya itu seperti yang tersiksa sekali barangkali sangat berdampak atau sama sekali juga tidak tersiksa dan pelakunya itu melakukannya dengan hati yang dingin sekali kalau di film itu mungkin dampaknya akan beda juga, saya pikir tergantung pelaku dan korban tergantung juga pada penontonnya sendiri.” - Psikiatri Anak & Remaja Indikator : Dibenarkan / tidak dibenarkan oleh norma sosial /aturan hukum Beberapa responden berpendapat bahwa tayangan kekerasan akan berkontribusi terhadap munculnya dampak negatif terhadap penonton apabila pelaku kekerasan tidak dihukum. “....Kalau saya melihatnya bahwa kita bisa memandang dari pelaku kekerasan itu, apakah yang seperti tadi kita sudah diskusikan, apakah dia sudah mendapat pujian atau reward, tapi apakah pelaku kekerasan itu dihukum. misalnya kekerasan saya teringat kalau ayah dan suami saya suka sekali dengan film india karna dilihat disitu bahwa tidak ada reward pada pelaku kekerasan maksudnya pelaku kekerasan itu ada suatu tujuan dia itu misalnya mau menang, heroik gitu kan itu akan berbeda juga mungkin dampaknya. Jadi kalau misalnya pelaku kekerasan itu dihujat dan seperti pahlawan berarti bisa gitu yah.” – Psikiatri Anak & Remaja “Ada proses pembenaran. Di TV juga begitu jadi kalau yang melakukan di TV kan gak dihukum, coba kalau dihukum di televisi itu karena itu ada dicerita sinetron seri jadi penghukuman pelaku kejahatannya diujung. Jadi di hari ini belum dihukum si anak yang jahat itu dihukumnya nanti pada episode terakhir. Begitu yang berbuat jahat dihukum, baik dihukum oleh polisi atau Tuhan ketabrak misalnya dia gak nonton. Resiko film seri seperti itu makanya berbahaya film seri itu buat anak – anak terutama karna ada unsur pembenaran.” - Ilmu Komunikasi, bidang televisi/Jurnalism televisi. "Iya pasti beda kalau kita lihat dari teori sosial learning. Kan penguatan itu kan bisa dilakukan ketika kita melihat reward dan punishmentnya. Kalau seandainya direward, dalam pengertian dibiarkan…" - Sosiolog Halaman | 25
Indikator : Keberadaan Senjata Keberadaan/penggunaan senjata pada suatu adegan kekerasan memiliki kontribusi terhadap dampak dari suatu adegan kekerasan “Etika jurnalisitik maka KPI itu hanya mengeluarkan guidance secara garis besar, misalkan boleh ada kekerasan itu ditampilkan, demonstrasi itu boleh disiarkan karna itu wujud kontrol sosial tapi yang tidak boleh misalkan di close up dekat, orang bawa parang aja di close up, terus orang yang ditusuknya diperlihatkan itu tidak boleh. Kalau longsor itu masih boleh kalau longsor tidak terlalu jelas kan, yang jelas ada peristiwa gitu kan tapi tidak dijelaskan secara detail. Jadi yang jelas pertama patokannya adalah gambar, yang kedua adalah suara, terus fisik dan non fisik. Non fisik ini bisa kata – kata, gambar atau visual.” – Komisi Penyiaran Indonesia (KPID) Jawa Barat “Tadi juga sudah dijawab kalau menurut saya seperti yang tadi durasinya dan caranya mungkin cara kekerasan itu terjadi misalnya memakai senjata atau dia hanya memukul saja itu juga berbeda dampaknya terhadap penontonnya gitu.” – Psikiatri Anak & Remaja “Ada pak, ada pengaruhnya itu. Itu kan anak – anak nah ini bahayanya anak – anak itu antara pake tangan kosong dengan pake senjata.” “Saya pikir yang paling mudah didapat pisau misalnya atau golok kan paling mudah didapat oleh si pelaku lah gitu yah. Itu contoh karna kalau seperti pistol itu kan susah.” Antropologi Indikator : Pengambaran Kekerasan Penggambaran kekerasan mencakup visualisasi, jarak dengan kamera, proses, efek suara dan penggunaan kalimat atau kata yang kasar memiliki kontribusi terhadap dampak yang akan timbul akibat suatu tayangan kekerasan. “Etika jurnalisitik maka KPI itu hanya mengeluarkan guidance secara garis besar, misalkan boleh ada kekerasan itu ditampilkan, demonstrasi itu boleh disiarkan karna itu wujud kontrol sosial tapi yang tidak boleh misalkan di close up dekat, orang bawa parang aja di close up, terus orang yang ditusuknya diperlihatkan itu tidak boleh. Kalau longsor itu masih boleh kalau longsor tidak terlalu jelas kan, yang jelas ada peristiwa gitu kan tapi tidak dijelaskan secara detail. Jadi yang jelas pertama patokannya adalah gambar, yang kedua adalah suara, terus fisik dan non fisik. Non fisik ini bisa kata – kata, gambar atau visual.” – Komisi Penyiaran Indonesia (KPID) Jawa Barat Halaman | 26
“Kemudian juga tayangan yang bersifat verbal tadi seperti yang sudah kita bicarakan bisa menyakiti orang lain dengan kata – kata, marah – marah kepada teman ada juga sekarang yang saya lihat di tv – tv itu, tayangan kekerasan yang punya geng – geng yang bisa membuat orang lain itu tersudutkan dan seperti anak – anak itu yah banyak sekali pasien saya itu yang diserang oleh anak – anak geng – geng lain gitu.” - Psikiatri Anak & Remaja “Kemudian kalau dari perspektif differential association atau learning teori memang tidak dibahas mengenai bakatnya, lebih fokus terhadap belajar seperti tadi dikemukakan seperti proses belajar sama dengan pada proses belajar seperti umumnya belajar untuk melakukan kejahatan yah itu sama aja untuk belajar melakukan hal yang lain ada proses internalisasinya ada proses netralisasinya pembenarannya kenapa saya melakukan hal ini itu kan ada proses itu gitu jadi juga memang tidak serta merta disini juga itu dikatakan tergantung pada durasi dan intensitas yah saya sendiri belum pernah melakukan penelitian itu tapi tidak right away tidak begitu langsung ditiru kecuali kalau memang betul tadi dikatakan tentang kekerasan seksual karna kami pernah melakukan penelitian dengan mahasiswa beberapa kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak itu terjadi setelah menyaksikan video porno jadi itu tadi arousal jadi lebih ke nafsu yang terbangkitkan oleh stimulasi dari luar” - Bidang Hukum (Pidana dan Kriminologi) “Kalau tadi buat alat ukur sesuai dengan realita itu yang paling banyak ditiru, hm terus apalagi ada hal lagi gak yang harus kita masukin ke alat ukur kita”Durasi dari suatu adegan kekerasan Durasi dari suatu adegan kekerasan memiliki kontribusi terhadap dampak dari suatu tayangan kekerasan. “Yah saya setuju betul – betul, usia dan lama menonton atau durasi. Disamping itu juga bicara soal dampak kekerasan, kalau saya mencatat ada 4. Resiko dampak kekerasan terhadap anak dari tayangan televisi.” - Ilmu Komunikasi, bidang televisi/Jurnalism televisi “Jadi yang lebih didekatkan sosial itu adalah learning teori yang mengatakan bahwa perilaku itu dipelajari dan intensitas jadi lewat tv dan disitu ditegaskan bahwa penemuan perilaku dipelajari dan itu sangat tergantung dari durasi jadi sama kaya belajar biasa harus rajin belajar jadi memang teorinya ada. Disamping teori kontrol juga bisa Halaman | 27
menjelaskan ketiadaan kontrol atau lemahnya kontrol personal itu adalah yang didampingi dengan nilai itu ketiadaan personal dan lemahnya kontrol sosial plus ada peluangnya juga itu menimbulkan penyimpangan perilaku.” - Bidang Hukum (Pidana dan Kriminologi) Indikator : derajat realisme Suatu tayangan kekerasan dengan derajat realisme yang tinggi memiliki kontribusi terhadap dampak dari suatu adegan kekerasan dan dampaknya akan digambarkan secara nyata pula terutama pada anak-anak. “Kemudian di formal operasional itu orang dewasa sudah bisa tahu abstract thinking gitu, ini real atau enggak gitu tayangan – tayangan yang dia tonton. Jadi kalau tidak real untuk apa dilakukan, banyak pertimbangan – pertimbangan yang sudah dimiliki oleh kognisi seorang yang dewasa dan juga kalau tidak langsung itu bisa terjadi dari proses belajar itu tadi yah kan kalau kita mengubah perilaku seseorang itu harus ada repeated yang berulang – ulang, juga kalau kita terus menuntut menonton televisi seperti pak Dekan bilang kalau berulang – ulang itu memang terjadi suatu proses belajar yang terjadi, dalam penelitian dikatakan kalau dia sudah menonton televisi sejak umur 8 tahun ternyata tingkat perilaku kriminalnya lebih tinggi daripada anak yang tidak menonton tayangan kekerasan.” – Psikiatri Anak & Remaja “Satu lagi iklan jangan salah, kita pernah lihat iklan anak masuk kulkas dan itu cuma beberapa menit dan itu langsung di cut. kejadian bu kejadian betul anak masuk kulkas. Sebenarnya bukan kekerasan itu sebenarnya kelembutan karna es batu tapi kalau mati kan itu kekerasan. iklan itu bahaya. Yah sangat banyak sekali, AC Comforter ada adegan pukul – pukulan itu juga hampir lebih dari 60% ada dimensi yang bermasalah dari iklan entah kekerasan entah porno atau mistik yang kaya gitu dan kekerasan memang lebih dominan diantara 3 unsur yang tadi.” - Ilmu Komunikasi, bidang televisi/Jurnalism televisi. Indikator : reward dan punishment Adanya pembenaran ataupun tanpa adanya hukuman terhadap pelaku kekerasan akan memberikan kontribusi terhadap dampak dari suatu adegan kekerasan, dimana dampak tersebut dapat berupa dampak agresor yang membahayakan karena adanya unsur pembenaran. Halaman | 28
“Ada proses pembenaran. Di tv juga begitu jadi kalau yang melakukan di tv kan gak dihukum, coba kalau dihukum di televisi itu karena itu ada dicerita sinetron seri jadi penghukuman pelaku kejahatannya diujung. Jadi di hari ini belum dihukum si anak yang jahat itu dihukumnya nanti pada episode terakhir. Begitu yang berbuat jahat dihukum, baik dihukum oleh polisi atau Tuhan ketabrak misalnya dia gak nonton. Resiko film seri seperti itu makanya berbahaya film seri itu buat anak – anak terutama karna ada unsur pembenaran.” - Ilmu Komunikasi, bidang televisi/Jurnalism televisi. Indikator : Humor Adegan kekerasan disertai dengan humor memberikan kontribusi terhadap dampak dari suatu adegan kekerasan dan tayangan humor yang mengandung kekerasan memberikan kontribusi terhadap dampak dari suatu adegan. “Larangannya misalkan kata-kata yang dapat mencederai harkat dan martabat manusia patokannya seperti kata – kata itu cabul atau kata – kata yang menghina kepada hal tertentu misalnya kelompok agama, juga menghina kepada Tuhan dan ini banyak sekali kita temukan yang terutama kita temukan di program – program reality show yang banyak menggunakan kata – kata misalkan YKS, ANTV, yah komedi yang kita menyebutnya komedi tepung, komedi konyol.” – KPID Jawa Barat “Kalau menurut saya apapun bentuk kekerasan tidak boleh ditayangkan sebaiknya sekalipun dalam humor yah dalam guyonan atau dalam kelompoknya si Sule teh OVJ misalkan sekalipun itu. Nah itu kan ada pukulan – pukulan nah karna itu canda tapi oleh anak – anak itu diikuti itu ditiru dan dia mendapatkan kesenangan yah. ...... Jadi kalau menurut saya mah kalau misalnya dalam guyonan atau humor gitu lawakan kekerasan nya tidak muncul. Kekerasannya juga ada tapi sebetulnya tidak perlu gitu lah itu bahaya jangankan disitu di permainan bola juga.” “Kekerasan yang bukan humor, tapi sebetulnya yang humor juga bisa ditiru gitu sebetulnya tapi yang paling ini bukan humor.” - Antropologi Hasil telaah yang dilakukan oleh 6 ahli yaitu ahli di bidang psikiatri anak dan remaja, psikologi sosial, hukum dan kriminologi, ilmu komunikasi dan perwakilan KPID Jawa Barat, wawancara mendalam terhadap ahli sinematografi, antropologi dan sosiologi serta 3 diskusi kelompok terarah yang dilakukan dengan kelompok akademisi Halaman | 29
dan kelompok pelajar menjadi dasar untuk proses penyusunan draft Instrumen Pengukuran Derajat Kekerasan Pada Tayangan Televisi. Simpulan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui definisi dan konsep kekerasan, definisi dan konsep agresivitas, jenis-jenis tayangan di televisi, pengaruh tayangan kekerasan di televisi pada penontonnya dalam konteks budaya Indonesia, sehingga dapat menjadi dasar dalam pembuatan instrumen pengukuran derajat kekerasan pada tayangan televisi. Pada penelitian ini hampir semua responden memiliki konsep yang sama dalam mendefinisikan kekerasan dan tayangan kekerasan. Hampir seluruh responden pada penelitian ini berpendapat bahwa kekerasan adalah perbuatan atau perilaku yang dilakukan dengan sengaja seperti memukul, meninju, menendang, mencekik, menembak, menghina atau berkata kasar yang bertujuan untuk menyebabkan rasa sakit dan mencederai orang lain atau diri sendiri baik yang berdampak fisik maupun non-fisik. Sementara tayangan kekerasan adalah sebagai gambar/rangkaian gambar dan/atau suara/rangkaian suara yang menampilkan perbuatan atau perilaku yang dilakukan dengan sengaja seperti memukul, meninju, menendang, mencekik, menembak, menghina atau berkata kasar yang bertujuan untuk menyebabkan rasa sakit dan mencederai orang lain atau diri sendiri baik yang berdampak fisik maupun non-fisik. Dua konsep ini merupakan hal yang sangat penting dalam penyusunan instrumen agar variabel-variabel yang disusun sebagai item instrumen sesuai dengan konsep teori dan spesifik. Kekerasan sendiri terdiri dari beberapa macam, pada penelitian ini hampir semua responden berpendapat bahwa kekerasan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu kekerasan fisik dan non-fisik. Kekerasan fisik dapat berupa kekerasan verbal dan non verbal. Kekerasan non-fisik dapat berupa kekerasan psikis. Untuk pengaruh tayangan kekerasan terhadap penonton, hampir semua responden berpendapat bahwa kekerasan berdampak negatif bagi penontonnya. Dampak negatif tayangan kekerasan diantaranya adalah ketakutan, sulit mempercayai orang lain, meningkatnya perilaku agresif dan menganggap kekerasan sebagai suatu hal yang wajar untuk dilakukan. Halaman | 30
Dalam memberikan dampak negatif terhadap penontonnya, ada beberapa indikator yang bisa dilihat diantaranya adalah pelaku kekerasan yang merupakan tokoh populer, korban kekerasan yang menunjukan ekspresi menyedihkan, pembenaran perilaku kekerasan oleh masyarakat, keberadaan senjata, penggambaran kekerasan yang mendetail, derajat realisme, durasi yang panjang, adanya punish dan reward serta tayangan kekerasan yang ditampilkan dalam bentuk humor. Daftar Pustaka 1.
WHO. World Health Organization : Third Milestones of a Global Campaign for Violence Prevention Report. Geneva : WHO Library Cataloguing-in-Publication Data; 2007.
2.
Siever LJ. Neurobiology of Aggression and Violence. Am J Psychiatry 2008; 165; 429442.
3.
Hidayat T. Agresivitas di Masyarakat Ditinjau dari Aspek Psikiatri.
4.
Carnagey NL, Anderson CA, Bartholow BD. Media Violence and Social Neuroscience : New Question and New Opportunities. Current Directions in Psychological Science 2007.
5.
Beresin EV. Media Violence and Youth. Academic Psychiatry 1999;23:111-114.
6.
Elvinaro A, Kolama L, Karlina S. Komunikasi Massa : Suatu Pengantar. Bandung : Simbiosa Rekatama Media; 2007.
7.
Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatric : Behaviour sciences/clinical psychiatric. 10th ed. Philadelphia:Lippincott Williams&Wilkins. 2007.
8.
Strenziok M, Krueger F, Deshpande G, Lenroot RK, Van Der Meer E, Grafman J. Fronto-parietal regulation of media violence exposure in adolescents : a multi method study. SCAN 2010.
9.
Smith SL, Donnerstein E. Harmfull Effects of Exposure to Media Violence : Learning of Aggression, Emotional Desensitization, and Fear. Dalam Geen RG, Donnerstein E. Human Aggression : Theories, Research, And Implication for Social Policy. San Diego : Academic Press; 1997.
10. WHO. World Report on Violence and Health. Geneva : WHO Library Cataloguing-inPublication Data; 2002. Halaman | 31
11. Archer T, Oscar-Berman M, Blum K, Gold M. Neurogenetics and Epigenetics in Impulsive Behaviour : Impact on Reward Circuitry. J Genet Syndr Gene Ther 2012; 3(3): 1000115. 12. Victoroff J. Human Aggression. Dalam Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P (editor). Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry. Ed 9. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2010. 13. Seo D, Patrick CJ, Kenneally PJ. Role of Serotonin and Dopamine System Interactions in the Neurobiology of Impulsive Aggression and its Comorbidity with other Clinical Disorders. Aggress Violent Behav 2008; 13(5) : 383-395.
Halaman | 32