2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ascidian Ascidian merupakan nama bagi kelompok hewan yang termasuk ke dalam Kelas Ascidiacea, yang menyusun hampir sebagian besar jenis-jenis dalam Subfilum Urochordata dari Filum Chordata. Anatomi dari urochordata berbeda dengan hewan chordata lainnya, terutama vertebrata. Pada fase larva, urochordata memiliki tali syaraf (neural tube) dan notochord, namun akan hilang pada fase dewasa sehingga menyebabkan urochordata termasuk ke dalam invertebrata. Subfilum Urochordata ini terdiri dari empat kelas, yaitu Ascidiacea (ascidian), Sorbreacea (sorberacean), Thaliacea, dan Appendicularia (larvacean). Dari keempat kelas tersebut, Kelas Ascidiacea adalah kelas terbesar yang paling beragam (McClintock dan Baker, 2001). Ascidian ditemukan tersebar hampir di semua perairan laut, mulai dari zona dangkal litoral sampai zona abysal yang dalam, mendiami perairan tropis dan subtropis bahkan perairan dingin Antartika serta hidup dalam perairan bersih sampai tercemar berat. Kelompok tersebut ditemukan lebih melimpah dan beragam pada habitat dengan perairan yang relatif terlindung dan tercemar oleh bahan-bahan organik (Abrar, 2004). Kehadiran ascidian juga dibatasi oleh salinitas perairan yang berubah-ubah (fluktuasi) atau berkurang dari kadar normal air laut (30-32 ‰), namun beberapa jenis dapat bertahan dan ditemukan dalam jumlah melimpah (Abrar dan Manuputty, 2008). Ascidian ini merupakan invertebrata di ekosistem terumbu karang yang banyak menghasilkan senyawa bioaktif untuk farmakologi di mana hewan ini dapat berasosiasi dengan mikroba
4
5
fotosintetik dan mempunyai potensi molekular yang besar, karena kandungan metabolit sekundernya yang merupakan substansi bioaktif ini sangat berguna sebagai pertahanan diri organisme yang memproduksinya juga bagi kehidupan manusia, yaitu sebagai antitumor/antikanker dan antibakteri/ antimikroba (Khoeri, 2009). Di alam, ascidian dimanfaatkan untuk menyaring bahan pencemar dari perairan, seperti logam berat dan bakteri. Kemampuan berbagai jenis ascidian untuk menyerap vanadium dan logam berat lainnya dari air laut merupakan salah satu keanehan fisiologi yang membedakan biota tersebut dari sebagian besar hewan lainnya (Michibata et al., 1986). Racun vanadium yang ada dalam tubuh ascidian digunakan untuk menghindari penempelan epibiota di tubuh biota tersebut (Stoecker, 1978). Selain itu, manusia juga dapat memanfaatkannya dalam bidang embriologi (ilmu mempelajari perkembangan embrio) serta mempelajari kekerabatan mereka yang dekat dengan hewan bertulang belakang (Estradivari et al., 2009). Ascidian merupakan biota hermafrodit yang dapat menghasilkan sel telur dan sperma dalam satu individu yang sama. Semua jenis ascidian melepaskan spermanya langsung di dalam perairan. Beberapa sel telur dilepaskan dan mengalami pembuahan secara eksternal. Setelah sel telur dibuahi akhirnya berkembang di perairan terbuka menjadi tadpole yang merupakan bentuk larva dari ascidian. Larva tersebut mengalami tahap free swimming dengan adanya notochord dan neural tube. Selain itu, ada juga sel telur yang dibuahi secara internal dan dierami sampai mereka menjadi larva tadpole, kemudian dilepaskan. Dalam hitungan jam, larva yang dilepaskan akan berubah bentuk menjadi ascidian
6
yang mendiami dasar perairan (substrat) dan dengan cepat akan kehilangan notochord dan neural tube (Colin dan Arneson, 1995). Siklus hidup dari ascidian disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Siklus Hidup Ascidian (Hickman et al., 1993 in Abrar, 2004)
2.1.1.Klasifikasi dan Morfologi Ascidian Didemnum molle Secara umum, ascidian dijumpai pada terumbu karang, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, sedangkan pada substrat pasir, lumpur, dan patahan karang keragamannya berkurang dan hanya ditempati oleh jenis-jenis ascidian tertentu (Monniot et al., 1991; Colin dan Arneson, 1995). Salah satu jenis ascidian yang mendominasi perairan Kepulauan Seribu adalah Didemnum molle (Setyawan et al., 2011). Berikut ini adalah sistem klasifikasi Didemnum molle (Monniot et al., 1991):
Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Urochordata Kelas : Ascidiacea Ordo : Aplousobranchiata
7
Famili : Didemnidae Genus : Didemnum Spesies : Didemnum molle
Didemnum molle merupakan salah satu ascidian lunak yang paling sering muncul dan berada di dalam ekosistem terumbu karang, berbentuk membulat tampak seperti individu soliter pada pandangan sekilas, tetapi biota tersebut berkoloni yang tersusun oleh zooid yang sangat kecil tertanam dalam substrat. Warna dari biota ini umumnya hijau yang disebabkan oleh alga simbion yang ada pada tubuhnya (Allen, 1996). Visualisasi dari Didemnum molle disajikan pada Gambar 2C, sedangkan struktur morfologi ascidian secara umum ada pada Gambar 2A dan 2B.
C Gambar 2. (A) Bentuk dan Struktur Tubuh Ascidian Dewasa; (B) Organ Dalam Ascidian Dewasa; (C) Didemnum molle [Foto: Ulfa]
Menurut Colin dan Arneson (1995), Didemnum molle biasanya berada di area terumbu karang dan bebatuan di Samudera Pasifik dan Hindia. Biota ini
8
merupakan salah satu ascidian yang dapat hidup secara berkoloni dengan tubuhnya yang sangat lunak berwarna hijau dan keputihan. Warna hijau dari biota tersebut berasal dari alga Prochloron yang ada di dalam jaringan tubuhnya. 2.1.2.Pemanfaatan dan Senyawa yang Terkandung Kelas Ascidiacea merupakan satu-satunya kelas dari urochordata yang mewakili dalam literatur produk alami yang menunjukkan adanya metabolisme asam amino yang dominan (McClintock dan Baker, 2001). Ascidian telah banyak menarik perhatian sebagai salah satu sumber zat antikanker, antivirus, dan antitumor. Sebagai contohnya di Thailand telah ditemukan alkaloid (ectinascidin) yang berasal dari Ecteinascidia thurstoni yang bersifat sitotoksik untuk sel kanker payudara, paru-paru, dan jaringan nasofaring (Suwanborirux et al., 2001; Rinehart, 2000). Di Karibia, anggota Famili Didemnidae, yaitu Trididemnum solidum diketahui memiliki senyawa didemnim-B yang bersifat antivirus dan antitumor (Rinehart, 2000). Selain itu, ascidian juga mempunyai senyawa kimia untuk perlindungan dari radiasi UV. Sejumlah metabolit pun berasal dari ascidian seperti seri didemnidae berupa isolasi alkaloid dari Didemnum conchyliatum, ekstrak dari ascidian Ecteinascidia turbinate yang berisi alkaloid biologis aktif ecteinascidin, alkaloid tambjamine dari jenis Sigillina signifera, didemnim depsipeptide dari jenis Trididemnum solidum, dan alkaloid polyandrocarpidine dari jenis Polyandrocarpa sp. Adapula metabolit ascidian yang berpotensi sebagai antifouling yaitu alkaloid eudistomin dari jenis Eudistoma olivaceum, dan pelindung UV serta antioksidan berupa asam amino seperti mycosporine (McClintock dan Baker, 2001). Tabel 1
9
menunjukkan jenis-jenis ascidian yang umum ditemukan di perairan Indonesia dan memiliki potensi untuk dimanfaatkan (Abrar, 2004).
Tabel 1. Jenis dan Beberapa Bentuk Pemanfaatan Ascidian Jenis Pemanfaatan Lissoclinum patella Hasil ekstrak terdiri dari Ulit-hyacyclamide, Patellamides, Ascidicyclamides, dan Lissoclamides untuk pengobatan kanker dan leukemia Lissoclinum bistratum Ekstrak berupa polyether dengan dua fungsi Carboxamide, dalam bentuk bubuk Lyophilized merupakan toksik untuk investigasi paralisis mulut juga racun pada udang tingkat rendah Artemia salina Hampir semua jenis Bioindikator kondisi perairan, sehingga sering digunakan sebagai biota uji Bioassay Jenis dari Famili Styelidae Sebagai hidangan makanan laut (sea food) di beberapa negara (Jepang, Prancis, Yunani, Itali, dan Chili)
2.2. Biofouling Penempelan jasad renik akuatik atau umum dikenal dengan istilah biofouling pada sarana transportasi (kapal, perahu) dan bangunan yang ada di laut, dapat mengganggu kegiatan operasi alat serta mengurangi daya guna sarana tersebut. Biota penempel ini merupakan fenomena yang kehadirannya dapat menimbulkan kerugian dan kerusakan pada berbagai infrastruktur, seperti penghambatan laju kapal, gangguan presisi, kerusakan peralatan bawah air, dan mempercepat pelapukan kontruksi bangunan bawah air. Biofouling secara umum dibagi menjadi dua, yaitu microfouling (bakteri) dan macrofouling (teritip). Pencemaran (fouling) juga dapat menyebabkan permasalahan korosif logam, rusaknya struktur bangunan dan bahan pada bangunan pantai seperti dermaga, anjungan minyak, pelabuhan, dan tambak. Dalam rangka memperkecil dampak dari biofouling pada struktur bangunan yang selalu terendam air, dilakukan perlindungan dengan menggunakan antifouling. Beberapa antifouling yang digunakan memiliki sifat toksik/beracun pada
organisme laut. Sebagai contoh, konsentrasi tributyltin (TBT) dapat membunuh biota laut dalam seketika. Tahapan pertumbuhan biofouling disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Tahapan Pertumbuhan Biofouling pada Substrat