BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan salah satu kebutuhan manusia yang sangat absolut dan vital, artinya kehidupan manusia dipengaruhi dan ditentukan oleh eksistensi tanah. Kehidupan manusia di dunia tidak dapat dipisahkan dengan tanah, bahkan dapat dikatakan bahwa manusia tidak akan hidup tanpa adanya tanah. Hal ini karena hampir sebagian besar aktivitas dan kehidupan manusia bersentuhan dengan tanah. Tanah dijadikan tempat tinggal manusia, tempat untuk mencari dan tempat pemberi makan, tempat manusia dilahirkan, tempat manusia dimakamkan, dan tempat arwah leluhurnya. Bahkan, secara religius dikatakan bahwa manusia adalah berasal dari tanah, sehingga mereka kelak akan kembali kepada tanah. Mengenai eratnya hubungan antara manusia dengan tanah, B. Ter Haar Bzn membagi menjadi dua sebagaimana dikutip oleh J. Andy Hartanto dalam bukunya berjudul Problematika Hukum Jual Beli Tanah Belum Bersertifikat, yakni pertama, hubungan masyarakat dengan tanah, baik ke luar maupun ke dalam; dan kedua, hubungan perseorangan dengan tanah. “ Berdasarkan atas berlakunya ke luar, maka masyarakat sebagai kesatuan, berkuasa memungut hasil dari tanah dan menolak orang lain di luar masyarakat tersebut untuk berbuat seperti itu. Dan sebagai kesatuan juga bertanggungjawab terhadap orang orang yang di luar masyarakat atas perbuatan dan pelanggaran di bumi masyarakat tersebut. Hak atas tanah yang demikian disebut sebagai “Hak Yasan Komunal” yang oleh Van Vollenhoven disebut “beschikkingrecht”. Di sisi lain, jika seorang anggota masyarakat menaruh hubungan perseorangan atas tanah yang berdasarkan
2
hak pertanahan perseorangan tersebut ikut mendukungnya, maka hak pendukung tersebut disebut sebagai hak milik. Dengan demikian tanah dapat menjadi milik seseorang atau badan, dan menjadi bagian dari benda warisan atau harta perusahaan.”1 Kepemilikan tanah sebagaimana disebut di atas juga diakui dalam Hukum Pertanahan Nasional Indonesia, bahkan sejak sebelum adanya UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Sebelum berlakunya UUPA, hukum tanah di Indonesia bersifat dualisme, artinya selain diakui berlakunya hukum tanah adat yang bersumber dari Hukum Adat, diakui pula peraturan-peraturan mengenai tanah yang didasarkan atas Hukum Barat. Oleh karenanya, pada waktu itu dikenal adanya dua golongan besar hak milik atas tanah, yaitu hak milik menurut Hukum Adat dan hak milik menurut Hukum Perdata Barat yang dinamakan Hak Eigendom. Saat ini, kedua macam hak milik tersebut, sesuai dengan ketentuan konversi dalam UUPA telah dikonversi atau diubah menjadi hak milik. Konversi hak-hak atas tanah adalah perubahan hak atas tanah sehubungan dengan berlakunya UUPA. Hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA diubah menjadi hak-hak atas tanah yang ditetapkan dalam UUPA sehingga sekarang hanya ada satu macam hak milik atas tanah. UUPA secara tegas mengatur mengenai konversi hak-hak atas tanah yang semula diatur menurut ketentuan hukum yang berlaku sebelum berlakunya UUPA menjadi 1
J. Andy Hartanto, 2012, Problematika Hukum Jual Beli Tanah Belum Bersertifikat, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, hlm. 8
3
hak-hak atas tanah menurut ketentuan UUPA. Dalam ketentuan konversi Pasal II UUPA dinyatakan, bahwa Hak Agrarische Eigendom, Milik Yasan, Andarbeni, Hak atas Druwe, Hak atas Druwe desa, Pesini, Grant Sultan Landerijenbezirecht, Altijddurende, Erfpacht, Hak Usaha bekas tanah partikelir dan hak lainnya dengan nama apa pun menjadi hak milik.2 Dalam UUPA, pengertian hak milik dirumuskan dalam Pasal 20 UUPA, yakni:3 (1) Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh, yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan Pasal 6; (2) Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang tersebut dengan jelas menegaskan bahwa hak milik atas tanah dapat dialihkan kepada pihak lain. Cara yang dapat ditempuh untuk dapat dilaksanakannya peralihan tersebut adalah dengan cara jual beli, tukar menukar, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik seperti disebutkan dalam Pasal 26 UUPA. Namun, cara peralihan yang paling lazim dilakukan dalam masyarakat adalah dengan cara jual beli. Jual beli hak milik atas tanah, atau biasa disebut jual beli tanah, adalah suatu perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak milik (penyerahan tanah
2 Adrian Sutedi, 2007, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 2 3 Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
4
untuk selama-lamanya) oleh penjual kepada pembeli, yang pada saat itu menyerahkan harganya kepada penjual.4 Pengertian jual beli tanah menurut Hukum Adat merupakan perbuatan pemindahan hak, yang sifatnya tunai, riil, dan terang. Sifat tunai berarti bahwa penyerahan hak dan pembayaran harganya dilakukan pada saat yang sama. Sifat riil berarti bahwa jual beli dianggap telah terjadi dengan penulisan kontrak jual beli di muka Kepala Kampung serta penerimaan harga oleh penjual, meskipun tanah yang bersangkutan masih berada dalam penguasaan penjual. Sifat terang dipenuhi pada umumnya pada saat dilakukannya jual beli itu disaksikan oleh Kepala Desa. Sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, jual beli hak milik atas tanah dilakukan oleh para pihak di hadapan PPAT yang bertugas membuat aktanya. Dengan dilakukannya jual beli di hadapan PPAT, dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan hukum yang gelap, yang dilakukan secara sembunyi-sembuyi). Akta Jual Beli yang ditandatangani para pihak membuktikan telah terjadi pemindahan hak dari penjual kepada pembelinya dengan disertai pembayaran harganya, dengan demikian telah memenuhi syarat tunai dan menunjukkan bahwa secara nyata atau riil perbuatan hukum jual beli yang bersangkutan telah dilaksanakan.5 Ketentuan ini saat ini termaktub di dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
4 Effendi Perangin, 1986, Hukum Agraria di Indonesia: Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, CV Rajawali, Jakarta, hlm. 13 5 Adrian Sutedi, Op. Cit., hlm. 76-77
5
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa dengan dibuatnya Akta Jual Beli, maka sifat tunai dalam jual beli hak milik atas tanah menurut hukum adat telah terpenuhi. Menurut Soerjono Soekanto, maksud dari kata tunai mungkin berarti harga tanah dibayar secara kontan, atau baru dibayar sebagian. Dalam hal pembeli tidak membayar sisanya, maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah, akan tetapi atas dasar hukum utang piutang.6 Pendapat yang sama mengenai pengertian tunai juga disampaikan oleh Effendi Perangin dalam bukunya yang berjudul Hukum Agraria di Indonesia, bahwa dengan dilakukannya jual beli tanah, maka hak milik atas tanah beralih kepada pembeli. Sejak itu menurut hukum, pembeli telah menjadi pemilik yang baru. Harga tanah yang dibayar itu bisa seluruhnya, tetapi dapat juga sebagian. Namun, meskipun baru dibayar sebagian, menurut hukum dianggap telah dibayar penuh. Sisa harga yang menurut kenyataannya belum dibayar, dianggap sebagai utang pembeli pada bekas pemilik, atas dasar perjanjian utang-piutang yang dianggap terjadi antara pembeli dan bekas pemilik segera setelah jual-beli tanah tersebut dilakukan. Perjanjian utang-piutang itu tidak ada hubungan hukumnya dengan jual beli tanah tadi. Ini berarti, bahwa jika kemudian pembeli tidak membayar sisa harganya, maka bekas pemilik tidak dapat menuntut pembatalan jual beli dan dengan demikian diserahkannya kembali tanah yang bersangkutan. Penyelesaian pembayaran sisa harga tersebut harus dilakukan menurut hukum perjanjian utang-piutang.7
6 7
Soerjono Soekanto, 2002, Hukum Adat Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 189 Effendi Perangin, Op.Cit., hlm. 15-16
6
Pengertian tunai menurut Maria S.W. Sumardjono pun mendukung pendapat di atas, bahwa yang dimaksud dengan tunai adalah bahwa penyerahan hak oleh penjual dilakukan bersamaan dengan pembayaran oleh pembeli dan seketika itu juga hak sudah beralih. Harga yang dibayarkan itu tidak harus lunas, selisih harga dianggap sebagai utang pembeli kepada penjual yang termasuk dalam lingkup hukum utang-piutang.8 Berdasarkan pada pengertian tunai menurut para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Akta Jual Beli dapat dibuat oleh PPAT dalam hal jual beli hak milik atas tanah dilakukan secara lunas maupun secara tidak lunas (baru dibayar sebagian). Dalam hal jual beli tersebut dilaksanakan secara tidak lunas, maka sisa harga yang belum dibayar diperhitungkan sebagai utang-piutang antara pembeli dengan penjual, dan untuk pembuktiannya dapat dibuatkan akta pengakuan utang atau semacamnya. Namun demikian, banyak PPAT yang menganggap bahwa pembuatan Akta Jual Beli baru dapat dilakukan jika jual beli hak milik atas tanah tersebut dilakukan secara lunas. Dalam hal jual beli hak milik atas tanah dilakukan secara tidak lunas, maka akta yang dibuat adalah Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli. Dalam pelaksanaannya, pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli ini mempunyai banyak kekurangan. Di samping karena tidak adanya pengaturan yang jelas mengenai Perjanjian Pengikatan Jual Beli dalam sistem hukum di Indonesia, dalam prakteknya pembuatan akta ini juga banyak menimbulkan masalah. Dengan adanya Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli, 8
Maria S.W. Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi & Implementasi, Kompas, Jakarta, hlm. 119
7
maka hak milik atas tanah yang diperjualbelikan belum beralih kepada pembeli. Akta yang menjadi bukti telah diadakannya janji untuk mengadakan jual beli tersebut pun tidak dilakukan pendaftaran ke Kantor Pertanahan setempat. Akibatnya, seringkali terjadi masalah di dalam masyarakat, misalnya pihak penjual mengalihkan hak milik atas tanah tersebut kepada pihak lain tanpa sepengetahuan pembeli sehingga tanah tersebut kemudian menjadi hak milik pihak ketiga, bahkan yang paling ektrim adalah pihak penjual melarikan seritifikat hak milik atas tanah yang menjadi objek perjanjian tersebut. Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengambil judul Kajian tentang Pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli dalam Jual Beli Hak Milik atas Tanah. B. Rumusan Masalah Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengapa notaris membuat Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli dalam jual beli hak milik atas tanah? 2. Bagaimana notaris mengartikan istilah “tunai” yang merupakan sifat jual beli hak milik atas tanah? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang diharapkan tercapai dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui dan menganalisis alasan notaris membuat Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli dalam jual beli hak milik atas tanah;
8
2. Mengetahui dan menganalisis dasar pemikiran notaris mengartikan istilah “tunai” yang merupakan salah satu sifat dari jual beli hak milik atas tanah. D. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukan oleh penulis, penulis menemukan sejumlah tesis yang membahas mengenai topik yang serupa. Namun, dari sejumlah tesis tersebut tidak ditemukan adanya kesamaan yang identik. Berikut akan dijelaskan perbedaannya: 1. Pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah dan Bangunan oleh Notaris, ditulis oleh Indra Gani dari Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 2012;9 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pengikatan jual beli atas tanah dan bangunan dan mengetahui kekuatan pembuktian akta perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat di hadapan notaris, serta mengetahui
cara
penyelesaian
sengketa
akibat
terjadinya
wanprestasi dalam perjanjian pengikatan jual beli tanah dan bangunan yang dibuat di hadapan notaris. 2. Tinjauan tentang Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Milik atas Tanah Berdasarkan Akta Notaris di Kota Banjarmasin, ditulis oleh
9
Indra Gani, 2012, Pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah dan Bangunan oleh Notaris, Tesis, Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada
9
Sumalia Novia dari Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 2013;10 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kekuatan hukum dari perjanjian pengikatan jual beli hak milik atas tanah berdasarkan akta notaris dan untuk mengetahui tentang perlindungan hukum yang diterima oleh para pihak dalam perjanjian pengikatan jual beli berdasarkan akta notaris. Jika dilihat, kedua penelitian di atas memiliki kemiripan satu sama lain. Penelitian tersebut dilakukan guna memperdalam mengenai perjanjian pengikatan jual beli atas tanah, baik itu untuk jual beli yang dilakukan secara lunas maupun tidak lunas. Namun, keduanya berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Penelitian yang dilakukan oleh penulis lebih khusus menyoroti perjanjian pengikatan jual beli dalam jual beli atas tanah yang dilakukan secara tidak lunas. Penelitian yang dilakukan oleh penulis ini juga menggunakan teori Hukum Adat dalam pembahasannya, karena yang menjadi objek penelitian adalah berkaitan dengan pertanahan. 3. Analisis Yuridis pada Pembuatan Akta Jual Beli yang dilakukan di saat Jual Beli Dibayarkan secara Tidak Lunas di Hadapan PPAT Kabupaten Sleman DIY, ditulis oleh Anindita dari Program Studi
10 Sumalia Novia, 2013, Tinjauan tentang Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Milik atas Tanah Berdasarkan Akta Notaris di Kota Banjarmasin, Tesis, Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada
10
Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 2013;11 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan yang menyebabkan pembuatan Akta Jual Beli hak atas tanah yang dilakukan secara belum lunas dapat dibuat di hadapan PPAT di Kabupaten Sleman DIY dan akibat hukum mengenai pembuatan Akta Jual Beli hak atas tanah yang dilakukan secara belum lunas oleh PPAT Kabupaten Sleman DIY terhadap klien. Penelitian ini secara garis besar hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis karena sama-sama membahas mengenai pembuatan akta dalam jual beli hak atas tanah. Namun, sebenarnya
penelitian
yang
dilakukan
oleh
penulis
lebih
mempertanyakan tentang penelitian yang dilakukan oleh saudara Anindita tersebut, bahwa apakah memang benar dalam jual beli hak atas tanah yang dilakukan secara tidak lunas sama sekali tidak dapat atau tidak diperbolehkan dibuat Akta Jual Beli sehingga harus dibuat dalam bentuk Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli. E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
11 Anindita, 2013, Analisis Yuridis pada Pembuatan Akta Jual Beli yang dilakukan di saat Jual Beli Dibayarkan secara Tidak Lunas di Hadapan PPAT Kabupaten Sleman DIY, Tesis, Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada
11
1. Secara teoritis Penelitian ini dilakukan guna memperdalam penelitian-penelitian yang telah ada sehingga diharapkan mampu memberikan kontribusi pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya ilmu kenotariatan mengenai pembuatan akta dalam jual beli hak milik atas tanah. 2. Secara praktis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi yang signifikan bagi notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat berkaitan dengan pembuatan akta dalam jual beli hak milik atas tanah, serta menambah pengetahuan bagi para pihak berkaitan dengan akta tersebut. Bagi pemerintah dan instansi yang berwenang, penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan masukan dalam mengambil suatu kebijakan hukum, terutama yang menyangkut masalah pembuatan akta yang berkaitan dengan pertanahan.