ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
SKRIPSI
HUBUNGAN POLA KONSUMSI BAHAN PANGAN PREBIOTIK DAN PELAYANAN DASAR DENGAN KEJADIAN ISPA PADA ANAK BALITA BERAT BADAN RENDAH UMUR 2 - 5 TAHUN (Studi di Kecamatan Geger Kabupaten Bangkalan)
Oleh :
ROHMAT ANSORI
UNIVERSITAS AIRLANGGA FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT SURABAYA 2010
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
SKRIPSI
HUBUNGAN POLA KONSUMSI BAHAN PANGAN PREBIOTIK DAN PELAYANAN DASAR DENGAN KEJADIAN ISPA PADA ANAK BALITA BERAT BADAN RENDAH UMUR 2 - 5 TAHUN (Studi di Kecamatan Geger Kabupaten Bangkalan)
Oleh :
ROHMAT ANSORI 100610168
UNIVERSITAS AIRLANGGA FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT SURABAYA 2010
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
PENGESAHAN
Dipertahankan di Depan Tim Penguji Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga dan diterima untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.KM) Pada tanggal 2 Juli 2010
Mengesahkan Universitas Airlangga Fakultas Kesehatan Masyarakat
Dekan,
Prof. Dr. J. Mukono, dr., M.S., M.PH NIP.
Tim Penguji : 1. Prof. Soedjajadi Keman, dr., MS., Ph.D 2. Annis Catur Adi, Ir., M.Si 3. Poerwaningsih, S.KM., M.Kes
Skripsi
ii
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.KM) Departemen Gizi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga
Oleh :
ROHMAT ANSORI NIM 100610168
Surabaya, 7 Juli 2010
Skripsi
Mengetahui,
Menyetujui,
Ketua Departemen,
Pembimbing,
Dr. Sri Adiningsih, dr., M.S., M.CN NIP. 195006261978032001
Annis Catur Adi, Ir., M.Si NIP.196903011994121001
iii
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi yang berjudul HUBUNGAN POLA KONSUMSI BAHAN PANGAN PREBIOTIK DAN PELAYANAN DASAR DENGAN KEJADIAN ISPA PADA ANAK BALITA BERAT BADAN RENDAH UMUR 2 - 5 TAHUN (Studi di Kecamatan Geger Kabupaten Bangkalan) telah terselesaikan. Skripsi ini dibuat sebagai salah satu persyaratan akademis untuk memperoleh gelar Sarjana di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. Penelitian ini dilakukan di daerah pedesaan yang termasuk daerah rawan pangan di Kabupaten Bangkalan. Kekurangan gizi lebih banyak dialami oleh anak Balita di daerah pedesaan. Penelitian ini dengan sampel anak Balita dengan BBR yang cenderung memiliki imunitas termasuk terhadap penyakit infeksi, salah satunya ISPA. Prebiotik dan pelayanan dasar (termasuk imunisasi dasar dan vitamin A dosis tinggi) merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan imunitas pada anak Balita sehingga dapat menekan kejadian penyakit infeksi termasuk ISPA. Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dorongan, semangat, dan saran dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada Annis Catur Adi, Ir., M.Si selaku Dosen Pembimbing yang dengan penuh kesabaran, kearifan dan sangat bijaksana dalam memberikan bimbingan, arahan dan dorongan yang tidak henti-hentinya kepada penulis di sela-sela kesibukan beliau, kepada orang tua anak Balita sampel penelitian yang telah bersedia menjadi responden serta menjadikan anaknya menjadi sampel penelitian dan kepada mbak Ira yang telah membantu dan membimbing selama penelitian. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis ucapkan kepada : 1. Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga 2. Dr. Sri Adiningsih, dr.,M.S.,M.CN selaku Ketua Departemen Gizi Kesehatan.
iv Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
3. Prof.
Dr. Clara M. Kusharto, M.Sc dkk yang telah memberikan saya
kesempatan untuk bergabung dalam penelitian hibah stategis yang membantu proses terselesaikannya skripsi saya. 4. Kepada Bapak Djamin, Ibu Karminah, dan Ibu Suci tercinta yang telah memberikan dorongan dan semangat. 5. Ibu Mariam, Ibu Evi, Ibu Anita dan Ibu Nita yang telah membantu selama selama penelitian di Geger. 6. Para dosen yang telah memberikan ilmu dan membuka cakrawala pengetahuan kepada penulis. 7. Kepala Bagian Tata Usaha Fakultas Kesehatan Masyarakat beserta staf. 8. Sahabatku Reza Dwiki Aditya, Adi Setyawan, Dwi Priyono, Yudha Andhaka S., Thoyyibul Ardhan, Ukki Imawan Liananda, Ali Yusron dan seluruh teman-teman seperjuangan angkatan 2006, angkatan 2007, yang tidak dapat dituliskan satu persatu. Terima kasih atas saran, dorongan semangat dan kerjasamanya. 9. Adikku tercinta Ratih Kusuma Dewi yang telah memberi dukungan dan semangat. 10. Kepada teman satu bimbingan, Rina dan Sundari yang saling berbagi informasi dan pengetahuan. 11. Semua pihak yang turut membantu yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan dan belum mencapai kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Surabaya, Juli 2010
Peneliti
v Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
ABSTRACT
Children under five with malnutrition have low immunity so have higher risk attacked by infectious diseases, including acute respiratory infection (ARI). ARI become one of infectious diseases with the highest second visit in health service in District Geger. The purpose of this study was to analyze the relationship between prebiotic food consumption patterns and basic services (basic immunization and high-dose vitamin A) with the ARI incidence of Children under five with underweight ages 2 to 5 years. Type of research was observational analytic with cross sectional research design in the District Geger, Bangkalan. Population was children under five with underweight in four villages (N=54). Large samples were calculated with simple random sampling (n = 30) and classified Children under five with underweight. Data were collected through a questionnaire tool, microtoise, digital scales, and Food Frequency. Data were analyzed using a computer program by chi square statistic test. The results showed that there were no significant difference between sex, nutritional status and age group with the incidence of ARI (ρ> 0.1). In addition there were significant relationships between basic services (basic immunization and High Doses of Vitamin A) with the incidence of ARI (ρ <0.1) but there were no significant correlation between the prebiotic food consumption patterns with ARI (ρ> 0.1). Suggestion of this research is to increase basic immunization coverage especially BCG, DPT and measles for increasing immunity in order to reducing morbidity of ARI. Other Suggestion is to maintain coverage of high-dose vitamin A capsules to increase immunity so that reducing infectious diseases, including ARI. Keywords: ARI, basic services, prebiotic, underweight
vi Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
ABSTRAK
Anak Balita dengan malnutrisi memiliki imunitas yang rendah sehingga sering terserang penyakit infeksi termasuk ISPA (infeksi saluran pernafasan akut). ISPA menjadi salah satu penyakit infeksi dengan kunjungan kedua tertinggi di pelayanan kesehatan di kecamatan Geger. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan pola konsumsi bahan pangan prebiotik dan pelayanan dasar (imunisasi dasar dan vitamin A dosis tinggi) dengan kejadian ISPA pada anak Balita berat badan rendah umur 2 - 5 tahun. Jenis penelitian ini observasional analitik dengan desain penelitian cross sectional yang dilakukan di Kecamatan Geger Kabupaten Bangkalan. Populasi penelitian adalah anak Balita berat badan rendah (BBR) di empat desa terpilih yaitu Desa Geger, Campor, Kampak dan B. Dejeh (N=54). Besar sampel diambil dengan cara simple random sampling (n=30) dan termasuk anak Balita BBR. Data dikumpulkan melalui alat bantu kuesioner, microtoise, timbangan digital, dan Food Frequency. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan program komputer dengan uji statistik chi square. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara jenis kelamin, status gizi dan kelompok umur terhadap kejadian ISPA (ρ > 0,1). Ada hubungan signifikan antara Pelayanan Dasar (Imunisasi Dasar dan Vitamin A Dosis Tinggi) dengan kejadian ISPA (ρ < 0,1), namun tidak terdapat hubungan signifikan antara pola konsumsi prebiotik dengan kejadian ISPA (ρ > 0,1). Saran yang dapat diberikan yaitu peningkatan cakupan imunisasi dasar utamanya imunisasi BCG, DPT dan campak dalam menurunkan morbiditas ISPA. Perlu dipertahankan cakupan pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi untuk meningkatkan imunitas anak Balita terhadap penyakit infeksi. Kata kunci : ISPA, pelayanan dasar, prebiotik, berat badan rendah
vii Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL
i
HALAMAN PENGESAHAN
ii
HALAMAN PERSETUJUAN
iii
KATA PENGANTAR
iv
ABSTRACT
vi
ABSTRAK
vii
DAFTAR ISI
viii
DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR GAMBAR
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
xvii
DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN DAN ISTILAH
xviii
BAB I PENDAHULUAN
1
1.1 Latar Belakang
1
1.2 Identifikasi Masalah
3
1.3 Rumusan Masalah
5
BAB II TUJUAN DAN MANFAAT
7
2.1 Tujuan Penelitian
7
2.1.1 Tujuan Umum
7
2.1.2 Tujuan Khusus
7
2.2 Manfaat Penelitian
8
2.2.1 Bagi Peneliti
8
2.2.2 Bagi Instansi Terkait
8
2.2.3 Bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair
8
2.3.4 Bagi Masyarakat
8
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
10
3.1 Status Gizi
10
3.1.1 Pengertian Status Gizi
10
3.1.2 Antropometri Gizi
10
viii
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
3.2 Kurang Energi Protein (KEP)
14
3.2.1 Faktor yang Mempengaruhi KEP
15
3.2.2 Dampak KEP
16
3.2.3 Klasifikasi KEP
17
3.3 Imunisasi
19
3.3.1 Tujuan Imunisasi
10
3.3.2 Jenis Imunisasi Dasar
20
3.3.3 Tata Cara Pemberian Imunisasi
24
3.4 Vitamin A
25
3.4.1 Pengertian
25
3.4.2 Fungsi Vitamin A
26
3.5 Prebiotik
29
3.5.1 Pengertian
29
3.5.2 Manfaat Prebiotik bagi Imunitas
30
3.5.3 Sumber Prebiotik
34
3.6 Sistem Kekebalan Tubuh Manusia
36
3.7 ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut)
37
3.7.1 Pengertian ISPA
37
3.7.2 Klasifikasi ISPA Berdasarkan Lokasi Anatomik
39
3.7.3 Klasifikasi ISPA Golongan Umur 2 Bulan - 5 Tahun
39
3.7.4 Etiologi ISPA
40
3.7.5 Gejala ISPA
40
3.7.6 Faktor yang Mempengaruhi ISPA
42
BAB IV KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
55
4.1 Kerangka Konseptual
55
4.2 Hipotesis Penelitian
56
BAB V METODE PENELITIAN
57
5.1 Jenis dan Rancang Bangun Penelitian
57
5.2 Populasi Penelitian
57
ix
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
5.3 Sampel, Besar Sampel, dan Cara Pengambilan Sampel
58
5.3.1 Sampel
58
5.3.2 Besar sampel
58
5.3.3 Cara Pengambilan Sampel
59
5.4 Lokasi dan waktu penelitian
61
5.4.1 Lokasi Penelitian
61
5.4.2 Waktu Penelitian
62
5.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
62
5.5.1 Variabel Penelitian
62
5.5.2 Definisi operasional
62
5.6 Teknik Dan Instrumen Pengumpulan Data
65
5.6.1 Teknik Pengumpulan Data
65
5.6.2 Instrumen Pengumpulan Data
65
5.7 Proses Manajemen, Teknik Pengolahan dan Teknik Analisis Data
66
5.7.1 Proses Manajemen Data
66
5.7.2 Teknik Pengolahan Data
66
5.7.3 Teknik Analisis Data
68
BAB VI HASIL PENELITIAN
69
6.1 Gambaran Umum Wilayah Penelitian
69
6.1.1 Keadaan Geografis
69
6.1.2 Keadaan Demografi
69
6.1.3 Sarana Kesehatan
70
6.1.4 Data Tenaga Kesehatan
71
6.2 Karakteristik Anak Balita
71
6.2.1 Umur
71
6.2.1 Jenis Kelamin
72
6.2.3 Status Gizi
72
6.3 Karakteristik Keluarga
74
6.3.1 Jumlah Anggota Keluarga
74
6.3.2 Pendidikan Orang Tua
75
6.3.3 Umur Ibu
76 x
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
6.3.4 Pekerjaan Utama Orang Tua
77
6.4 Pola Konsumsi Bahan Pangan Prebiotik
77
6.5 Imunisasi Dasar
80
6.5.1 Distribusi Imunisasi BCG
80
6.5.2 Distribusi Imunisasi Hepatitis B
80
6.5.3 Distribusi Imunisasi DPT
81
6.5.4 Distribusi Imunisasi Polio
82
6.5.5 Distribusi Imunisasi Campak
82
6.6 Vitamin A Dosis Tinggi
83
6.7 Kejadian ISPA Selama 3 Bulan Terakhir
83
6.8 Faktor Risiko ISPA Berdasakan Karakteristik Anak Balita 84 6.8.1 Kejadian ISPA Berdasarkan Umur
84
6.8.2 Kejadian ISPA Berdasarkan Jenis Kelamin
84
6.8.3 Kejadian ISPA Berdasarkan Status Gizi
85
6.9 Hubungan Pola Konsumsi Bahan Pangan Prebiotik dengan Kejadian ISPA
86
6.10 Hubungan Pelayanan Dasar (Imunisasi Dasar dan Vitamin A Dosis Tinggi) dengan Kejadian ISPA
86
BAB VII PEMBAHASAN 7.1 Karakteritik Anak Balita
88
7.1.1 Umur
88
7.1.2 Jenis Kelamin
88
7.1.3 Status Gizi
89
7.2 Karakteristik Keluarga Sampel penelitian
91
7.2.1 Jumlah Anggota Keluarga
91
7.2.2 Pendidikan Orang Tua
92
7.2.3 Umur Ibu
92
7.2.4 Pekerjaan Utama Orang Tua
93
7.3 Pola Konsumsi Bahan Pangan Prebiotik
93
7.4 Imunisasi Dasar
94
7.4.1 Distribusi Imunisasi BCG
94
7.4.2 Distribusi Imunisasi Hepatitis B (HB)
95
xi
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
7.4.3 Distribusi Imunisasi DPT
96
7.4.4 Distribusi Imunisasi Polio
97
7.4.5 Distribusi Imunisasi Campak
98
7.5 Vitamin A Dosis Tinggi
98
7.6 Kejadian ISPA Selama 3 Bulan Teakhir
99
7.7 Faktor Risiko ISPA Berdasarkan Karakteristik Balita
100
7.7.1 Kejadian ISPA Berdasarkan Umur
100
7.7.2 Kejadian ISPA Berdasarkan Jenis Kelamin
101
7.7.3 Kejadian ISPA Berdasarkan Status Gizi
102
6.8 Hubungan Pola Konsumsi Bahan Pangan Prebiotik dengan Kejadian ISPA
103
6.9 Hubungan Pelayanan Dasar (Imunisasi dan Vitamin A Dosis Tinggi) dengan Kejadian ISPA BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN
105 107
8.1 Kesimpulan
107
8.2 Saran
108
DAFTAR PUSTAKA
108
LAMPIRAN
xii
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
DAFTAR TABEL No
Judul Tabel
Halaman
Tabel 3.1
Penilaian Status Gizi berdasarkan Indeks BB/U,TB/U, BB/TB Standart Baku Antropometeri WHO-NCHS
17
Tabel 3.2
Interpretasi Status Gizi Berdasarkan Tiga Indeks Antropometri (BB/U,TB/U, BB/TB Standart Baku Antropometeri WHO-NCHS)
19
Tabel 3.3
Tata cara pemberian imunisasi pada bayi
24
Tabel 3.4
Kandungan fruktan pangan
35
Tabel 5.1
Proporsi jumlah sampel di masing-masing desa
61
Tabel 5.2
Pemberian skor imunisasi dasar (BCG, DPT, dan campak) dan vitamin A dosis tinggi
67
Tabel 5.3
Pengkategorian pelayanan dasar
67
Tabel 5.4
Cara skoring pengolahan data pola konsumsi bahan pangan prebiotik
68
Tabel 5.5
Pengkategorian pola konsumsi bahan pangan prebiotik
68
Tabel 6.1
Pembagian penduduk berdasarkan jenis pekerjaan tahun 2008
70
Tabel 6.2
Sarana pelayanan kesehatan yang ada di Kecamatan Geger tahun 2008
70
Tabel 6.3
Sarana pelayanan kesehatan dengan peran serta masyarakat tahun 2008
70
Tabel 6.4
Jumlah tenaga kesehatan yang ada di Kecamatan Geger tahun 2008
71
Tabel 6.5
Distribusi sampel penelitian menurut kelompok umur tahun 2009
71
Tabel 6.6
Distribusi sampel penelitian menurut jenis kelamin tahun 2009
72
Tabel 6.7
Distribusi sampel penelitian berdasarkan indikator BB/U tahun 2009
73
xiii
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
No
Judul Tabel
Halaman
Tabel 6.8
Distribusi sampel penelitian berdasarkan indikator TB/U tahun 2009
73
Tabel 6.9
Distribusi sampel penelitian berdasarkan indikator BB/TB tahun 2009
74
Tabel 6.10
Distribusi anggota keluarga sampel penelitian menurut jumlah anggota keluarga tahun 2009
74
Tabel 6.11
Distribusi tingkat pendidikan ayah sampel penelitian tahun 2009
75
Tabel 6.12
Distribusi tingkat pendidikan ibu sampel penelitian tahun 2009
76
Tabel 6.13
Distribusi umur ibu sampel penelitian tahun 2009
76
Tabel 6.14
Distribusi pekerjaan utama orang tua anak Balita tahun 2009
77
Tabel 6.15
Pola konsumsi (jenis dan frekuensi) bahan pangan prebiotik pada anak Balita tahun 2009
78
Tabel 6.16
Distribusi imunisasi BCG pada anak Balita tahun 2009
80
Tabel 6.17
Distribusi imunisasi Hepatitis B pada anak Balita tahun 2009
81
Tabel 6.18
Distribusi imunisasi DPT pada anak Balita tahun 2009
81
Tabel 6.19
Distribusi imunisasi Polio pada anak Balita tahun 2009
82
Tabel 6.20
Distribusi imunisasi Campak pada anak Balita tahun 2009
82
Tabel 6.21
Distribusi vitamin A dosis tinggi pada anak Balita dalam 6 bulan terakhir tahun 2009
83
Tabel 6.22
Distribusi kejadian ISPA pada anak Balita selama 3 bulan terakhir tahun 2009
83
Tabel 6.23
Tabulasi silang kejadian ISPA dengan kelompok umur tahun 2009
84
Tabel 6.24
Tabulasi silang kejadian ISPA dengan jenis kelamin tahun 2009
85
xiv
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
No
Judul Tabel
Halaman
Tabel 6.25
Tabulasi silang kejadian ISPA dengan status gizi kurang dan buruk
85
Tabel 6.26
Tabulasi silang kejadian ISPA dengan pola konsumsi bahan pangan prebiotik tahun 2009
86
Tabel 6.27
Tabulasi silang kejadian ISPA dengan pelayanan dasar (imunisasi dasar dan vitamin A dosis tinggi) tahun 2009
87
xv
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
DAFTAR GAMBAR
No
Judul Gambar
Halaman
Gambar 1.1
Jumlah Penderita, Incidence Rate (IR) & Case Fatality Rate (CFR) ISPA di Jawa Timur pada tahun 2001-2006
3
Gambar 4.1
Kerangka konseptual hubungan pola konsumsi bahan pangan prebiotik dan pelayanan dasar dengan kejadian ISPA pada anak Balita berat badan rendah umur 2 - 5 tahun
55
Gambar 5.1
Alur pengambilan sampel
61
xvi
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
DAFTAR LAMPIRAN No
Judul lampiran
1
Tabulasi silang pola konsumsi bahan pangan prebiotik dengan kejadian ISPA
2
Tabulasi silang pelayanan dasar dengan kejadian ISPA
3
Tabulasi silang jenis kelamin dengan kejadian ISPA
4
Tabulasi silang status gizi dengan kejadian ISPA
5
Tabulasi silang kelompok umur dengan kejadian ISPA
6
Dokumentasi
7
Surat ijin penelitian
xvii
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN DAN ISTILAH
Daftar Arti Lambang < > % / Km² m IU Fe ml 0C Z-score ─ & + ± O2 CO2 CO Hb n d Z P N s/d α ρ
= kurang dari = lebih dari = persen = per = kilometer persegi = meter = international unit = ferum = milliliter = derajat celcius = standar deviation score = minus = dan = plus = kurang lebih = oksigen = karbondioksida = karbonmonoksida = hemoglobin = besar sampel = derajat ketepatan = standar deviasi = proporsi = populasi = sampai dengan = tingkat kesalahan = nilai signifikasi
Daftar Singkatan dkk ASI Jateng BBR PMT HB BCG DPT DT FOS GOS
= dan kawan-kawan = air susu ibu = jawa tengah = berat badan rendah = pemberian makanan tambahan = hepatitis B = bacillus calmette guarin = difteri, pertusis, tetanus = difteri, tetanus = fruktooligosakarida = galaktoologosakarida xviii
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
SD SSB BB U TB Depkes RI KEP Persagi BBLR WHO NCHS ISPA Dinkes Jatim Kepmenkes AFP ml KVA SK IR CFR Kab BBSR PSTU g
= standar deviasi = skor simpang baku = berat badan = umur = tinggi badan = departemen kesehatan = republik Indonesia = kurang energi protein = persatuan ahli gizi Indonesia = berat bayi lahir rendah = world health organization = national center for health statistics = infeksi saluran pernapasan akut = dinas kesehatan = Jawa Timur = keputusan menteri kesehatan = acute flaccid paralysis = milliliter = kurang vitamin A = surat kelutusan = incidence rate = case fatality rate = kabupaten = berat badan sangat rendah = pendek tak sesuai umurnya = gram
Daftar Istilah spp
= species
xix
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Masa bayi dan anak-anak merupakan masa yang rentan terhadap terjadinya suatu penyakit, hal ini dikarenakan sistem daya tahan (kekebalan) tubuhnya masih belum sempurna sehingga berbagai penyakit dimungkinkan dapat mengganggu kesehatan pada bayi dan anak (Depkes RI, 1997). ISPA bersama-sama dengan malnutrisi dan diare merupakan penyebab kesakitan dan kematian utama pada anak Balita di negara berkembang (Sharma, 1998). ISPA merupakan penyakit infeksi pada saluran pernapasan yang datang secara mendadak serta menimbulkan kegawatan atau kematian. ISPA akan semakin berbahaya jika diderita oleh anak-anak. Selama bertahun-tahun ISPA merupakan masalah kesehatan anak dan penyumbang terbesar penyebab kematian anak Balita (Said, 2006). ISPA mengakibatkan sekitar 20% - 30% kematian anak Balita (Depkes RI, 2000). Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA pada tahun 2005 menempatkan ISPA pneumonia sebagai penyebab kematian anak Balita sebanyak 23,6 % yang merupakan proporsi terbesar dari seluruh kematian pada anak Balita (Depkes RI, 2007). Host, lingkungan dan sosiokultural merupakan beberapa variabel yang dapat mempengaruhi insiden dan keparahan penyakit infeksi saluran pernafasan akut (Sharma, 1998). Penyebab ISPA terdiri dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia (Depkes RI, 2006). Penularannya melalui kontak langsung dengan penderita atau melalui udara pernapasan dengan Gejala umumnya
1 Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
2
adalah batuk, kesulitan bernafas, sakit tenggorokan, pilek, sakit telinga, dan demam (Depkes RI, 2006). Pada tingkat yang lebih berat terjadi kesukaran bernapas, tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun dan meninggal bila tidak segera diobati. Usia anak Balita adalah kelompok yang paling rentan dengan infeksi saluran pernapasan. Anak Balita dengan gizi kurang atau berat badan rendah (BBR) memiliki risiko ISPA lebih tinggi. Status gizi anak Balita dapat dipengaruhi oleh pola asuh dan pelayanan kesehatan (Supariasa dkk, 2002). Pola asuh dari orang tua dapat mempengaruhi konsumsi baik konsumsi vitamin mineral, konsumsi sumber energi maupun konsumsi pangan fungsional (prebiotik dan probiotik). Konsumsi pangan fungsional (prebiotik dan probiotik) sering terdapat pada makanan atau minuman formulasi khususnya makanan dan minuman untuk anak Balita karena fungsinya dapat meningkatkan imunitas anak Balita sehingga anak Balita
lebih tahan terhadap penyakit infeksi.
Makanan sumber prebiotik dapat diperoleh dari konsumsi makanan pokok sehari-hari. Asupan harian prebiotik dapat ditingkatkan melalui konsumsi secara rutin beberapa jenis pangan seperti bawang prei, bawang putih, bawang bombay, gandum dan produk gandum, asparagus, dan pisang (NICUS, 2008 dalam Adi, 2010). Imunisasi merupakan faktor penting dalam pencegahan ISPA. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
3
mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Anak Balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat (Depkes RI, 2001). Pemberian vitamin A yang dilakukan bersamaan dengan imunisasi akan menyebabkan peningkatan titer antibodi yang spesifik yang berada berada dalam nilai yang cukup tinggi (Depkes RI, 2001). Vitamin A berfungsi meningkatkan kekebalan tubuh sehingga anak Balita tidak mudah terserang infeksi. Pada anak Balita kekurangan vitamin A, lapisan sel yang menutupi trakea dan paru-paru mengalami keratinisasi, tidak mengeluarkan lendir sehingga mudah dimasuki mikroorganisme atau virus dan menyebabkan infeksi saluran pernafasan (Almatsier, 2004). 1.2 Identifikasi Masalah ISPA sebagai penyebab utama kematian pada bayi dan anak Balita diduga karena pnemonia dan merupakan penyakit yang akut serta kualitas penata laksanaannya masih belum memadai (Dinkes Jatim, 2006).
Gambar 1.1 Jumlah Penderita, Incidence Rate (IR) & Case Fatality Rate (CFR) ISPA di Jawa Timur pada tahun 2001-2006 Sumber : Dinas Kesehatan Jawa Timur 2006
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
4
Jumlah yang tercatat tersebut belum seluruh penderita yang ditemukan. Baru pada tahun 2006 kasus yang ditemukan bisa mencakup 92,85% dari perkiraan kasus. Sedangkan jumlah penderita pnemonia keseluruhan tahun 2006 sebesar 114.858, dengan jumlah anak Balita penderita pnemonia yang dilaporkan di Jawa Timur tahun 2006 sebanyak 98.050, yang dapat ditangani 93.215 (95,07 %), dibandingkan pada tahun 2005 terjadi kenaikan dimana jumlah penderita pnemonia pada anak Balita pada tahun 2005 sebesar 89.410, yang mendapatkan penanganan sebesar 62.629 (70,05 %) (Dinkes Jatim, 2006). Tahun 2007, CDR ISPA sebesar 63,3 %, sedangkan pada tahun 2008 angka CDR sebesar 70,7 % (Dinkes Kab. Bangkalan, 2009). Angka CDR dari tahun 2007 ke 2008 mengalami peningkatan sebesar 7,4 %. ISPA Pneumonia pada tahun 2007 cakupannya sebesar 52 % dari sasaran yang ditemukan, yaitu 10 % dari jumlah anak Balita yang ada. Sedangkan pada tahun 2008 penemuan ISPA pneumonia sebesar 139 % dari sasaran (Dinkes Kab. Bangkalan, 2009) Kecamatan Geger merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bangkalan. Kecamatan Geger termasuk daerah rawan pangan sehingga lebih rentan terhadap penyakit kurang gizi. Kecamatan ini memiliki cakupan penemuan ISPA yang baik. Penemuan kejadian ISPA di kecamatan Geger sudah melampui target sasaran yaitu 10% dari jumlah anak Balita yang ada. Cakupan penemuan ISPA tahun 2008 sebesar 102 % (Puskesmas Geger, 2008).
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
5
ISPA masih menjadi salah satu penyakit infeksi dengan kunjungan tertinggi di pelayanan kesehatan yang ada di Kecamatan Geger. Pada tahun 2008 kunjungan ISPA berada pada peringkat ke-2 setelah penyakit Diare. Berdasarkan data 15 penyakit dengan kunjungan terbanyak sampai bulan Oktober 2009, dari bulan Januari sampai Oktober ISPA selalu menempati peringkat 5 besar untuk semua jenis penyakit. Tetapi bila berdasarkan penyakit infeksi, ISPA selalu menduduki peringkat 3 besar (Puskesmas Geger, 2009). Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian penyakit ISPA adalah faktor ekstrinsik dan intrinsik. Faktor ekstrinsik terdiri dari ventilasi, kepadatan hunian, jenis lantai, luas jendela, letak dapur, penggunanaan jenis bahan bakar dan kepemilikan lubang asap. Sedangkan faktor intrinsik terdiri dari umur, jenis kelamin, status gizi, status imunisasi, pemberian vitamin A pada saat anak Balita dan pemberian ASI (Dinkes Jateng, 2001). Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan pola konsumsi bahan pangan prebiotik terhadap kejadian ISPA pada anak Balita BBR umur 2 – 5 tahun. Selain itu penulis tertarik melakukan penelitian tentang pelayanan dasar (imunisasi dasar dan vitamin A dosis tinggi) dengan kejadian ISPA pada anak Balita BBR umur 2 – 5 tahun. 1.3 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah dari penelitian ini yaitu apakah ada hubungan pola konsumsi bahan pangan prebiotik dan pelayanan dasar
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
6
(imunisasi dasar dan vitamin A dosis tinggi) dengan kejadian ISPA pada anak Balita BBR umur 2 - 5 tahun?
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
0BAB II TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
2.1 Tujuan Penelitian 2.1.1 Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis hubungan pola konsumsi bahan pangan prebiotik dan pelayanan dasar (imunisasi dasar dan vitamin A dosis tinggi) dengan kejadian ISPA pada anak Balita berat badan rendah umur 2 - 5 tahun. 2.1.2 Tujuan Khusus 1. Mempelajari karakteristik anak Balita yang meliputi umur, jenis kelamin, dan status gizi. 2. Mempelajari karakteristik keluarga yang meliputi jumlah anggota keluarga, pendidikan orang tua (ayah dan ibu), umur ibu, dan pekerjaan utama orang tua. 3. Mempelajari pola (jenis dan frekuensi) konsumsi bahan pangan prebiotik anak Balita BBR umur 2 – 5 tahun. 4. Mempelajari jenis imunisasi dasar yang telah diperoleh anak Balita BBR umur 2 – 5 tahun. 5. Mempelajari konsumsi vitamin A dosis tinggi anak Balita BBR umur 2 – 5 tahun. 6. Mempelajari kejadian ISPA pada anak Balita BBR umur 2 – 5 tahun. 7. Menganalisis faktor risiko ISPA pada anak Balita BBR umur 2 - 5 tahun ditinjau dari karakteristik anak Balita.
7 Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
8
8. Menganalisis hubungan pola konsumsi prebiotik dan pelayanan dasar (imunisasi dasar dan vitamin A dosis tinggi) dengan kejadian ISPA pada anak Balita BBR umur 2 - 5 tahun. 2.2 Manfaat Penelitian 2.2.1 Bagi Peneliti 1. Menambah pengetahuan dan pengalaman penulis dibidang kesehatan khususnya gizi masyarakat. 2. Sebagai
wahana
peningkatan
dan
pengembangan
pengetahuan,
ketrampilan dan pengalaman dalam mengaplikasikan ilmu yang diperoleh selama perkuliahan. 2.2.2 Bagi Instansi Terkait 1. Menambah
informasi
dan
masukan
mengenai
faktor
yang
mempengaruhi kejadian ISPA pada anak Balita BBR umur 2-5 tahun. 2. Memberikan informasi bagi pembuat kebijakan dalam pengembangan program intervensi kesehatan dalam mengurangi prevalensi penyakit infeksi berupa penyakit ISPA. 2.2.3 Bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair 1. Menambah pengetahuan dan penelitian ilmiah yang dapat menjadi perbendaharaan kepustakaan. 2.3.4 Bagi Masyarakat 1. Penelitian diharapkan dapat memberi informasi kepada masyarakat yang berhubungan dengan program intervensi ISPA.
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
9
2. Memperoleh informasi tentang pentingnya konsumsi prebiotik dan pelayanan dasar (imunisasi dasar dan vitamin A dosis tinggi) dalam mempertahankan tubuh terhadap infeksi khususnya ISPA.
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Status Gizi 3.1.1 Pengertian Status Gizi Status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujutan dari nutriture dalam bentuk variable tertentu (Supariasa dkk, 2002). Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh status keseimbangan antara jumlah asupan (intake) zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan (requirement) oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis (pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan, dan lainnya). 3.1.2 Antropometri Gizi 1. Pengertian Antropometri Gizi Antropometri gizi berhubungan dengan penggunakan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi (Supariasa dkk, 2002). Antropometri adalah pengukuran dimensi tubuh seperti berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, tebal lemak bawah kulit untuk menentukan status gizi (akut atau kronik) (Adiningsih dkk, 2009). Antropometri sangat umum
digunakan
untuk
mengukur
status
gizi
dari
berbagai
ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi.
10 Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
11
2. Keunggulan dan Kelemahan Antropometri Gizi Menurut Supariasa dkk (2002) keunggulan antropometri gizi yaitu : a. Prosedurnya sederhana, aman dan dapat digunakan dalam jumlah sampel yang besar. b. Relatif tidak membutuhkan tenaga ahli, tetapi cukup dilakukan oleh tenaga yang sudah dilatih dalam waktu singkat dapat melakukan pengukuran antropometri. c. Alatnya murah, mudah dibawa, tahan lama, dapat dipesan dan dibuat di daerah setempat. d. Metode ini tepat dan akurat, karena dapat dibakukan. e. Dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi di masa lampau. f. Umumnya dapat mengidentifikasi status gizi sedang, kurang, dan gizi buruk, karena sudah ada ambang batas yang jelas. g. Metode antropometri dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode tertentu, atau dari satu generasi ke generasi berikutnya. h. Metode antropomentri gizi dapat digunakan untuk penapisan kelompok yang rawan terhadap gizi. Disamping memiliki keunggulan, antropometri memiliki kelemahan, menurut Supariasa dkk (2002) kelemahan dari antropometri gizi adalah : a. Tidak sensitif Metode ini tidak dapat mendeteksi statu gizi dalam waktu singkat. didamping itu tidak dapat membedakan kekurangan gizi tertentu seperti zink dan Fe.
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
12
b. Faktor di luar gizi (penyakit, genetik, dan penurunan penggunaan energi) dapat menurunkan spesifikasi dan sensitivias pengukuran antropometri. c. Kesalahan yang terjadi pada saat pengukuran dapat mempengaruhi presisi, akurasi dan validitas pengukuran antropometri gizi. d. Kesalahan
ini
terjadi
karena
pengukuran,
perubahan
hasil
pengukuran baik fisik maupun komposisi jaringan, analisis dan asumsi yang keliru. e. Sumber kesalahan biasanya berhungan dengan latihan petugas yang tidak cukup, kesalahan alat atau alat tidak ditera, dan kesulitan pengukuran. 3. Jenis Parameter Antropometri Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter (Supariasa dkk, 2002). Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia, antara lain umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul, dan tebal lemak bawah kulit. a. Umur (U) Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan penentuan umur akan menyebabkan interprestasi status gizi menjadi salah (Supariasa dkk, 2002). Hasil pengukuran tinggi badan dan berat badan yang akurat, menjadi tidak berarti bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat. Kesalahan yang sering muncul adalah adanya kecenderungan untuk memilih angka yang
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
13
mudah seperti 1 tahun; 1,5 tahun; 2 tahun. Oleh sebab itu penentuan umur anak perlu dihitung dengan cermat. Ketentuannya adalah 1 tahun adalah 12 bulan, 1 bulan adalah 30 hari. Jadi perhitungan umur adalah dalam bulan penuh, artinya sisa umur dalam hari tidak diperhitungkan (Depkes RI, 2004). b. Berat Badan (BB) Berat badan merupakan antropometri yang terpenting dan paling sering digunakan pada bayi baru lahir (neonetus) (Supariasa dkk, 2002). Pada masa-masa bayi dan balita, berat badan dapat dipergunakan untuk melihat laju pertumbuhan fisik maupun status gizi, kecuali terdapat kelainan klinis seperti dehidrasi, asites, edema dan adanya tumor. Berat badan menggambarkan jumlah dari protein, lemak, air, dan mineral pada tulang. Berat badan sangat peka terhadap perubahan yang mendadak baik karena penyakit infeksi maupun konsumsi makanan
yang menurun. Berat badan ini dinyatakan
dalam bentuk indikator BB/U (Berat Badan menurut Umur) atau melakukan penilaian dengam melihat perubahan berat badan pada saat pengukuran dilakukan, yang dalam penggunaannya memberikan gambaran keadaan kini. Berat badan paling banyak digunakan karena hanya memerlukan satu pengukuran, hanya saja tergantung pada ketetapan umur, tetapi kurang dapat menggambarkan kecenderungan perubahan situasi gizi dari waktu ke waktu.
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
14
c. Tinggi Badan (TB) Tinggi badan merupakan parameter yang penting bagi keadaan yang telah lalu dan keadaan sekarang jika umur tidak diketahui dengan tepat. Disamping itu tinggi badan merupakan ukuran kedua yang penting, karena dengan menggabungkan berat badan terhadap tinggi badan (Quac stick), faktor umur dapat dikesampingkan (Supariasa dkk, 2002). Tinggi badan memberikan gambaran fungsi pertumbuhan yang dilihat dari keadaan kurus kering dan kecil pendek. Tinggi badan sangat baik untuk melihat keadaan gizi masa lalu terutama yang berkaitan dengan keadaan berat badan lahir rendah dan kurang gizi pada masa balita. Tinggi badan dinyatakan dalam bentuk Indikator TB/U (Tinggi Badan Menurut Umur), atau juga indikator BB/TB (Berat Badan Menurut Tinggi Badan)
jarang dilakukan
karena perubahan tinggi badan yang lambat dan biasanya hanya dilakukan setahun sekali. Keadaan indikator
ini pada umumnya
memberikan gambaran keadaan lingkungan yang tidak baik, kemiskinan dan akibat tidak sehat yang menahun (Depkes RI, 2004). 3.2 Kurang Energi Protein (KEP) Kekurangan Energi Protein (KEP) disebabkan oleh kekurangan makan sumber energi secara umum dan kekurangan sumber protein (Almatsier, 2004). KEP adalah masalah gizi yang disebabkan karena masukan energi dan protein di dalam tubuh tidak mencukupi kebutuhan (Wirjatmadi, 2007).
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
15
3.2.1 Faktor yang Mempengaruhi KEP Pada umumnya KEP lebih banyak terdapat di daerah pedesaan dari pada di daerah perkotaan (Almatsier, 2004). Faktor langsung penyebab gizi kurang yaitu konsumsi makanan dan tingkat kesehatan (penyakit infeksi) (Persagi 1999 dalam Supariasa dkk, 2002). KEP dipengaruhi oleh masukan makanan yang kurang karena kemiskinan, masukan makanan kurang karena penyakit yang bisa menyebabkan muntah dan gangguan pada saluran pencernaan
sehingga
mengganggu
penyerapan
energi
dan protein
(Wirjatmadi, 2007). Penyebab tidak langsung terjadinya KEP yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Ketiga faktor ini saling berhubungan (Soekirman, 2000). Ketahanan pangan terkait dengan ketersediaan pangan, harga pangan dan daya beli keluarga serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan. Pola pengasuhan berupa sikap atau perilaku pengasuh lainnya. Ketahanan pangan dan pola pengasuhan berhubungan dengan keadaan ibu baik dalam kesehatan ibu (fisik dan mental), status gizi, pendidikan umum, pengetahuan tentang pengasuhan anak yang baik, sifat pekerjaan sehari-hari dan lain sebagainya. Sedangkan faktor tidak langsung lainnya yaitu pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan dan lain-lain. Setidaknya ada 4 faktor yang melatar belakangi KEP, yaitu masalah sosial, ekonomi, biologi dan lingkungan. Kemiskinan salah satu determinan sosial ekonomi, merupakan akar ketiadaan pangan, tempat mukim yang
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
16
berjejalan, kumuh dan tidak sehat serta ketidakmampuan mengakses fasilitas kesehatan. Ketidaktahuan, baik yang berdiri sendiri maupun yang berkaitan dengan kemiskinan, menimbulkan salah paham tentang cara merawat bayi dan anak yang benar, juga salah mengerti mengenai penggunaan bahan pangan tertentu dan cara memberi makan anggota keluarga yang sedang sakit (Arisman, 2004). 3.2.2 Dampak KEP KEP pada anak-anak merupakan masalah kesehatan yang serius. KEP pada anak-anak dapat menghambat pertumbuhan, rentan terhadap penyakit terutama penyakit infeksi dan mengakibatkan rendahnya tingkat kecerdasan (Almatsier, 2004). KEP dapat berdampak pada kematian anak. Suatu analisis terpadu dari 8 penelitian di 5 negara berkembang menunjukkan adanya hubungan antara anak umur 6 bulan – 5 tahun memiliki risiko kematian meningkat lebih besar pada mereka yang menderita KEP berat (marasmus dan kwashiorkor) yang diukur dengan BB/U. Anak dengan KEP ringan, sedang dan berat menurut BB/U berturut-turut meningkat 2,5; 4,6; dan 8,4 kali risiko kematian bayi dan anak yang tidak menderita kurang gizi (Soekirman, 2000). KEP juga berkaitan dengan menurunnya produktivitas kerja. Anak usia pra-sekolah yang memperoleh PMT tinggi protein dan tinggi energi, dalam perjalanan tumbuh kembangnya berjalan dengan baik sampai dewasa dan bahkan tes kapasitas fisik lebih baik dibandingkan dengan yang mendapatkan PMT rendah protein dan rendah energi (Soekirman, 2000).
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
17
3.2.3 Klasifikasi KEP Berat badan dan tinggi badan adalah salah satu parameter penting untuk menentukan status kesehatan manusia, khususnya yang berhubungan dengan status gizi. Penggunaan Indikator BB/U, TB/U dan BB/TB merupakan indikator status gizi untuk melihat adanya gangguan fungsi pertumbuhan dan komposisi tubuh (Depkes RI, 2004). Penggunaan berat badan dan tinggi badan akan lebih jelas dan sensitif dalam menunjukkan keadaan gizi kurang bila dibandingkan dengan penggunaan BB/U. Dinyatakan dalam BB/TB, menurut standar WHO bila prevalensi kurus/wasting < -2 SD diatas 10 % menunjukan suatu daerah tersebut mempunyai masalah gizi yang sangat serius dan berhubungan langsung dengan angka kesakitan (Depkes RI, 2004). Tabel 3.1 Penilaian status gizi berdasarkan indikator BB/U,TB/U, BB/TB Standar Baku Antropometeri WHO-NCHS No
Indikator
1
BB/U
2
TB/U
3
BB/TB
Batas Pengelompokan < -3 SD - 3 s/d <-2 SD - 2 s/d +2 SD > +2 SD < -3 SD - 3 s/d <-2 SD - 2 s/d +2 SD > +2 SD < -3 SD - 3 s/d <-2 SD - 2 s/d +2 SD > +2 SD
Sebutan Status Gizi Gizi buruk Gizi kurang Gizi baik Gizi lebih Sangat Pendek Pendek Normal Tinggi Sangat Kurus Kurus Normal Gemuk
Sumber : Depkes RI 2004.
Data baku WHO-NCHS indikator BB/U, TB/U dan BB/TB disajikan dalan dua versi yakni persentil (persentile) dan skor simpang baku (standar
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
18
deviation score = z). Menurut Waterlow dkk, gizi anak-anak di negaranegara yang populasinya relatif baik (well-nourished), sebaiknya digunakan persentil, sedangkan di negara untuk anak-anak yang populasinya relatif kurang (under-nourished) lebih baik menggunakan skor simpang baku (SSB) sebagai persen terhadap median baku rujukan (Djumadias, 1990). Indikator BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini (saat diukur) karena mudah berubah. Namun indikator BB/U tidak spesifik karena BB selain dipengaruhi oleh U juga dipengaruhi oleh TB. Indikator BB/U di dalam ilmu gizi dikelompokkan ke dalam kelompok Berat Badan Rendah (BBR) atau underweight. Menurut tingkat keparahannya BBR dapat dikelompokkan ke dalam kategori BBR tingkat ringan (mild), sedang (moderat), dan berat (severe). BBR tingkat berat atau sangat berat (berat badan sangat rendah = BBSR) sering disebut sebagai status gizi buruk (Soekirman, 2000). Indikator TB/U menggambar status gizi masa lalu kurang gizi kronis. Hal ini karena dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh bersamaan dengan bertambahnya umur. Pertambahan tinggi badan atau panjang badan kurang sensitif dalam waktu yang singkat. Pengaruh kurang gizi terhadap pertumbuhan tinggi badan baru terlihat dalam waktu yang cukup lama. Bagi yang TB/U kurang menurut WHO dikategorikan stunted yang diterjemahkan sebagai Pendek Tak Sesuai Umurnya (PSTU). Seseorang yang mengalami PSTU kemungkinan keadaan gizi masa lalu tidak baik dan keadaan sosial ekonomi yang tidak baik pula (Soekirman, 2000).
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
19
Indikator BB/TB menggambarkan secara spesifik dan sensitif terhadap status gizi saat ini. Berat badan berkorelasi linier dengan tinggi badan, artinya dalam keadaan normal perkembangan berat badan akan mengikuti pertambahan tinggi badan pada percepatan tertentu (Soekirman, 2000). Tabel 3.2 Interpretasi status gizi berdasarkan tiga indikator antropometri (BB/U,TB/U, BB/TB Standart Baku Antropometeri WHONCHS) No 1
2
3
Indikator yang digunakan BB/U TB/U BB/TB Rendah Rendah Normal Rendah Tinggi Rendah Rendah Normal Rendah Normal Normal Normal Normal Tinggi Rendah Normal Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Normal Tinggi Rendah Tinggi Tinggi Normal Tinggi
Interpretasi Normal, dulu kurang gizi Sekarang kurang ++ Sekarang kurang + Normal Sekarang kurang Sekarang lebih, dulu kurang Tinggi, normal Obese Sekarang lebih, belum obese
Sumber : Depkes RI 2004. Keterangan : untuk ketiga indikator ( BB/U,TB/U, BB/TB) Rendah : < -2 SD Standar Baku Antropometri WHO-NCHS Normal : -2 s/d +2 SD Standar Baku Antropometri WHO-NCHS Tinggi : > + 2 SD Standar Baku Antropometri WHO-NCHS
3.3 Imunisasi Imunisasi juga dikenal dengan nama vaksinasi atau inokulasi. Bahan yang digunakan untuk memproduksi imunitas disebut vaksin yaitu suatu produk biologis yang terbuat dari kuman, komponen kuman (bakteri, virus atau riketsia), atau racun kuman (toxoid) yang telah dilemahkan atau dimatikan dan akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu (Depkes RI, 2008). Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
20
terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau sakit ringan (Depkes RI, 2008). Menurut Gupte (2004) Imunisasi adalah cara memproduksi imunitas aktif buatan untuk melindungi diri melawan penyakit tertentu dengan memasukkan suatu zat ke dalam tubuh melalui penyuntikan atau secara oral. 3.3.1 Tujuan Imunisasi Menurut Kepmenkes (2005) dalam Depkes RI (2008) tujuan imunisasi yaitu turunnya angka kesakitan, kecacatan dan kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan Imunisasi. Imunisasi diberikan pada anak dapat melindungi anak dari penyakit tertentu dan membasmi penyakit tersebut dari muka bumi (Gupte, 2004). Penyakit pada anak yang sudah diberi vaksin cenderung tidak berbahaya, setidaknya penyakit lebih ringan dibandingkan jika anak tersebut tidak diberi vaksin sama sekali. 3.3.2 Jenis Imunisasi Dasar 1. Polio Pemberian vaksin polio menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit poliomyelitis (Depkes RI, 2008). Polio (Poliomyelitis) merupakan penyebab utama paralisis pada tungkai kaki dan kelumpukan pada anak-anak (Gupte, 2004). Polio adalah penyakit pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh satu dari tiga virus yang berhubungan, yaitu virus polio type 1, 2, atau 3. Secara klinis penyakit polio adalah anak di bawah umur 15 tahun yang menderita lumpuh layu akut (acute flaccid paralysis/AFP). Penyebaran penyakit adalah melalui kotoran manusia (tinja) yang terkontaminasi. Kelumpuhan dimulai dengan gejala demam, nyeri otot
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
21
dan kelumpuhan terjadi pada minggu pertama sakit. Kematian bisa terjadi jika otot-otot pernapasan terinfeksi dan tidak segera ditangani (Depkes RI, 2008). Menurut Mansjoer dkk (2000) ada 2 jenis vaksin polio, yaitu vaksin polio salk (berisi virus polio yang telah dimatikan dan diberikan secara suntikan) dan vaksin sabin (berisi vaksin hidup yang telah dilemahkan dan diberikan dalam bentuk pil atau cairan. Vaksin polio yang pada umumnya digunakan di Indonesia adalah vaksin polio jenis Sabin yang cara pemberiannya dengan diteteskan langsung kemulut (2 tetes / 0,1 ml) atau dengan menggunakan sendok yang berisi air gula. 2. Campak Vaksin Campak yaitu vaksin untuk pemberian kekebalan aktif terhadap penyakit campak. Campak adalah penyakit yang disebabkan oleh virus measles, disebarkan melalui droplet bersin atau batuk dari penderita. Gejala awal penyakit adalah demam, bercak kemerahan, batuk, pilek, conjunctivitis (mata merah), selanjutnya timbul ruam pada muka dan leher, kemudian menyebar ke tubuh, tangan serta kaki (Depkes RI, 2008). 3. Hepatitis B Vaksin Hepatitis B ditujukan untuk pemberian kekebalan aktif terhadap infeksi yang disebabkan oleh virus hepatitis B (Depkes RI, 2008). Imunisasi HB diberikan sedini mungkin setelah bayi lahir. Imunisasi ini diberikan sebanyak 4 kali.
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
22
Hepatitis B adalah penyakit yang disebabkan oleh virus hepatitis B yang merusak hati. Penyebaran penyakit terutama melalui suntikan yang tidak aman, dari ibu ke bayi selama proses persalinan dan melalui hubungan seksual. Infeksi pada anak biasanya tidak menimbulkan gejala. Gejala yang ada adalah lemah, gangguan perut dan gejala lain seperti flu, urine menjadi kuning, kotoran menjadi pucat. Warna kuning bisa terlihat pula mata ataupun kulit. Penyakit ini bisa menjadi kronis dan menimbulkan Cirrhosis hepatis, kanker hati dan menimbulkan kematian (Depkes RI, 2008). 4. BCG (Bacillus Calmette Guarin) Pemberian vaksin BCG menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit tuberkulosis (Depkes RI, 2008). Kandungan vaksin terdiri dari bakteri hidup yang dilemahkan dari biakan Bacillus Calmette Guerine (Mansjoer dkk, 2000). Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan Mycobacterium tuberculosa menyebar melalui pernapasan lewat bersin atau batuk. Gejala awal adalah lemah badan, penurunan berat badan, demam dan keluar keringat pada malam hari. Gejala selanjutnya adalah batuk terus menerus, nyeri dada dan dapat terjadi batuk darah (Depkes RI, 2008). Menurut Gupte (2004), berdasarkan Lokakarya Nasional di New Delhi yang diadakan oleh Indian Academy of Pediatrics, menunjukkan hanya sedikit sekali bukti yang ditemukan bahwa BCG memberikan perlindungan pada anak terhadap penyakit tuberkulosis. Terakhir, ada beberapa bukti bahwa BCG juga memberikan perlindungan melawan
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
23
lepra (penyakit yang sifatnya progresif dan menular yang ditandai dengan terserangnya kulit dan saraf) dan leukemia (sejenis kanker darah) (Gupte, 2004). 5. DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus) Vaksin DPT adalah vaksin yang memberikan kekebalan secara simultan terhadap penyakit difteri, pertusis, dan tetanus dalam waktu yang bersamaan (Depkes RI, 2008). Kontraindikasinya usia di atas 7 tahun, demam (>380C), dan sakit berat (terutama kelainan neurologis). Riwayat reaksi berat terhadap pemberian DPT sebelumnya berupa syok, kejang, penurunan kesadaran, atau gejala neurologis lainnya. Efek samping yang mungkin terjadi berupa demam, nyeri, bengkak lokal, abses steril, syok, dan kejang. Bila terjadi reaksi berlebihan maka imunisasi berikutnya dengan diberikan DT saja (Mansjoer dkk, 2000). Difteri
adalah
penyakit
yang
disebabkan
bakteri
Corynebacterium diphteriae dengan gejala panas ± 38oC disertai adanya selaput tipis putih keabu-abuan pada tenggorokan (laring, faring, tonsil) yang tak mudah lepas dan mudah berdarah. Dapat disertai nyeri menelan, leher membengkak seperti leher sapi (bull neck) dan sesak nafas disertai bunyi (stridor) dan pada pemeriksaan apusan tenggorok atau hidung terdapat kuman difteri (Depkes RI, 2008). Pertusis adalah penyakit
yang disebabkan oleh bakteri
Bordetella pertusis dengan gejala batuk beruntun dan pada akhir batuk menarik nafas panjang terdengar suara yang khas, biasanya disertai muntah. Serangan batuk lebih sering pada malam hari. Akibat batuk
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
24
yang berat dapat terjadi pedarahan selaput lendir mata (conjunctiva) atau pembengkakan di sekitar mata (oedema periorbital). Lamanya batuk bisa mencapai 1-3 bulan dan penyakit ini sering disebut penyakit 100 hari. Pemeriksaan laboratorium pada apusan lendir tenggorokan dapat ditemukan kuman pertusis (Bordetella pertussis) (Depkes RI, 2008). Tetanus adalah penyakit disebabkan oleh Clostridium tetani yang terdiri dari tetanus neonatorum dan tetanus. Tetanus neonatorum adalah bayi lahir hidup normal dan dapat menangis dan menetek selama 2 hari kemudian timbul gejala sulit menetek disertai kejang rangsang pada umur 3-28 hari. Tetanus dengan gejala riwayat luka, demam, kejang rangsang, risus sardonicus (muka setan), kadang-kadang disertai perut papan dan opistotonus (badan melengkung) pada umur di atas 1 bulan (Depkes RI, 2008). 3.3.3 Tata Cara Pemberian Imunisasi Tabel 3.3 Tata cara pemberian imunisasi pada bayi Vaksin
Pemberian Imunisasi
BCG
1x
DPT/HB
3x (DPT/HB 1, 2, 3)
Polio
4x (Polio1, 2, 3, 4)
Campak
1x
Hepatitis B
1x Hep.B 0
Selang Waktu Pemberian
Umur
Tempat Suntikan
0-11 Bulan
Lengan kanan atas
4 minggu
2 – 11 Bulan
Paha tengah luar, intramuskular
4 minggu
0-11 bulan 9-11 bulan 0-7 hari
Diteteskan di mulut Lengan kiri atas, Subkutan Paha tengah luar, intramuskular
Sumber : Depkes RI 2008.
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
25
3.4 Vitamin A 3.4.1 Pengertian Vitamin A merupakan nama generik yang menyatakan semua retinoid dan prekusor/provitamin A/karotenoid yang mempunyai aktivitas biologik sebagai retinol (Almatsier, 2004). Vitamin A adalah salah satu zat gizi mikro yang diperlukan oleh tubuh yang berguna untuk meningkatkan daya tahan tubuh (imunitas) dan kesehatan mata (Depkes RI, 2007). Anak yang menderita kurang vitamin A bila terserang campak, diare atau penyakit infeksi lainnya, penyakit tersebut akan bertambah parah dan mengakibatkan kematian. Vitamin A adalah suatu kristal alkohol berwarna kuning dan larut dalam lemak atau pelarut lemak. Di dalam tubuh, vitamin A berfungsi dalam beberapa bentuk ikatan kimia aktif, yaitu retinol, retinal, dan asam retinoat. Vitamin A tahan terhadap panas cahaya dan alkali, tetapi tidak tahan terhadap asam dan oksidasi. Suhu tinggi dapat merusak vitamin A. Bentuk aktif vitamin A hanya terdapat pada pangan hewani. Sedangkan pada pangan nabati hanya prekusor vitamin A (dalam bentuk alfa, beta, gama serta dan kriptosantin). Beta-karoten adalah bentuk vitamin A yang paling aktif yang terbentuk dari dari 2 molekul retinol yang saling berikatan. Karotenoid terdapat pada tumbuhan hijau yang berfungsi sebagai katalisator dalam fotosintesis yang dilakukan klorofil (Almatsier, 2004).
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
26
3.4.2 Fungsi Vitamin A Vitamin A berfungsi dalam berbagai fungsi faali tubuh, diantaranya yaitu : 1. Penglihatan Dalam mata terdapat dua jenis sel yaitu sel yang berperan untuk melihat dalam cahaya terang yaitu cone cell dan sel yang berperan untuk melihat dalam cahaya redup yaitu rod cell (Moehji, 2002). Pada rod cell terdapat pigmen yang peka terhadap cahaya yaitu rodopsin (ikatan retinal dengan opsin), sehingga mata masih dapat melihat dalam keadaan cahaya redup (Intensitas rendah). Cahaya yang masuk ke retina, rodopsin akan terurai menjadi opsin dan retinol. Selanjutnya retinol akan terbentuk lagi menjadi retinal dengan bantuan enzim dan kembali membentuk rodopsin. Jumlah
retinol
di
dalam
darah
menentukan
kecepatan
pembentukan kembali rodopsin yang kemudian bertindak sebagai reseptor di dalam retina (Almatsier, 2004). Sebagian retinol pada saat terurai akan hilang dan harus diganti oleh darah. kekurangan vitamin A akan mengakibatkan gangguan gangguan pada rodopsin dan akhirnya terjadi degradasi. Orang yang bersangkutan akan mengalami kesulitan melihat di tempat gelap. Gradasi kekurangan vitamin A menimbulkan gejala sesuai stadium penyakitnya. Stadium pertama dari xerofthalmia disebut buta malam atau niktalopia (Putra, 2004)
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
27
2. Diferensiasi Sel Vitamin A berfungsi untuk pertumbuhan jaringan, terutama jaringan epitel. Jaringan ini berfungsi sebagai barrier menghadapi infeksi (epitel kulit) dan epitel pada intestinal berguna untuk absorbsi (Putra, 2004). Membran mukosa pada kornea, mulut, traktus, gastrointestinal, traktus respiratorius dan traktus urogenital berfungsi membersihkan benda asing. Tanpa vitamin A, epitel menjadi kering, rata dan kasar, proses ini disebut keratinisasi. Hal ini akan mempercepat timbulnya infeksi karena epitel dan membran mukosa rusak, timbulnya penyakit seperti diare, gangguan absorbsi atau pneumonia. Perubahan sifat dan fungsi sel merupakan salah satu karakteristik dari kekurangan vitamin A yang terjadi pada tiap tahap perkembangan tubuh, seperti pada tahap pembentukan sperma dan sel telur, pembuahan, pembentukan struktur dan organ tubuh, pertumbuhan dan perkembangan janin, masa, bayi, anak-anak, dewasa dan masa tua (Almatsier, 2004). Sel-sel yang sering mengalami diferensiasi adalah sel epitel khusus, terutama sel globet, yaitu kelenjar yang mensintesis dan mengeluarkan mukus atau lendir. Bila terjadi infeksi, sel globet akan mengeluarkan lebih banyak mukus yang akan mempercepat pengeluaran mikroorganisme tersebut (Almatsier, 2004). Kekurangan vitamin A menghalangi fungsi sel-sel kelenjar yang mengeluarkan mukus dan digantikan oleh sel-sel epitel bersisik dan kering (keratinized). Kulit menjadi kering dan kasar dan luka sukar sembuh. Membran mukosa tidak dapat mengeluarkan cairan
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
28
mukus dengan sempurna sehingga mudah terserang bakteri (infeksi). keratinisasi konjungtiva mata (selaput yang melapisi kelopak dan bola mata) merupakan salah satu tanda khas kekurangan vitamin A. 3. Fungsi Kekebalan Vitamin A berperan dalam fungsi kekebalan tubuh manusia dan hewan
meskipun
belum
diketahui
secara
pasti
mekanismenya
(Almatsier, 2004). Retinol berpengaruh terhadap pertumbuhan dan diferensiasi limfosit B (leukosit yang berperan dalam proses kekebalan humoral). selain itu kekurangan vitamin A menurunkan respon antibodi yang tergantung pada sel-T (limfosit yang berperan pada kekebalan seluler). Sebaliknya infeksi dapat memperburuk kekurangan vitamin A. Menurut Almatsier (2004) dalam kaitannya vitamin A dan fungsi kekebalan ditemukan bahwa : (1) ada hubungan kuat antara status vitamin A dan risiko terhadap penyakit infeksi pernafasan ; (2) hubungan antara kekurangan vitamin A dan diare belum begitu jelas; (3) kekurangan vitamin A pada campak cenderung menimbulkan komplikasi yang dapat berakibat kematian. 4.
Pertumbuhan dan Perkembangan Vitamin A berpengaruh terhadap sintesis protein, dengan demikian terhadap pertumbuhan sel (Almatsier, 2004). Vitamin A dibutuhkan untuk perkembangan tulang dan sel epitel yang membentuk Email dalam pertumbuhan gigi. Pada kekurangan vitamin A, pertumbuhan tulang terhambat dan bentuk tulang tidak normal. Pada
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
29
anak-anak kekurangan vitamin A, terjadi kegagalan dalam pertumbuhan vitamin A dalam hal ini berperan sebagai asam retinoat. 5. Pencegahan Kanker dan Penyakit Jantung Kemampuan retinoid mempengaruhi perkembangan sel epitel dan kemampuan meningkatkan aktivitas sistem kekebalan diduga berpengaruh dalam pencegahan kanker, terutama kanker kulit, tenggorokan, paru-paru, payudara dan kantung kemih (Almatsier, 2004). Disamping itu beta-karoten yang bersama vitamin E dan C berperan sebagai antioksidan diduga dapat pula mencegah kanker paru-paru. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa vitamin A berperan dalam pencegahan dan penyembuhan penyakit jantung (Almatsier, 2004). Mekanisme yang menunjukkan proses tersebut belum diketahui dengan pasti. 6. Fungsi Lainnya Defisiensi vitamin A juga menyebabkan berkurangnya nafsu makan (Almatsier, 2004). Hal ini mungkin karena perubahan pada jonjot rasa pada lidah. Vitamin A juga berperan dalam pembentukan sel darah, kemungkinan melalui interaksi dengan besi. 3.5 Prebiotik 3.5.1
Pengertian Prebiotik Prebiotik yaitu bahan makanan jenis karbohidrat yang tidak dicerna yang mempunyai pengaruh baik terhadap host dengan memicu aktivitas, pertumbuhan yang selektif atau keduanya terhadap satu jenis atau lebih bakteri penghuni kolon (Sudarmo, 2004). Fruktooligosakarida (FOS),
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
30
inulin, galaktoologosakarida (GOS), dan karbohidrat terkait lainnya memiliki manfaat yang penting pada kesehatan kita. Prebiotik merupakan kelompok oligosakarida seperti rafinosa, stakhios,
galakto-oligosakarida,
frukto-oligosakarida,
inulin,
serta
beberapa jenis peptida dari protein yang tidak dapat dicerna, sehingga mencapai usus (Inggrid 2002 dalam Gsanturi, 2002). Karbohidrat kelompok ini dikenal sebagai prebiotik yaitu bahan tambahan pangan yang tidak dapat dicerna namun memiliki dampak kesehatan karena secara selektif menstimulasi pertumbuhan dan atau aktivitas satu atau beberapa bakteri dalam kolon (Gibson dan Roberford 1995 dalam Hidayat, 2009). Sejumlah
bakteri
yang
distimulasi
tersebut
mencakup
berbagai
Lactobacillus dan Bifidobacteria (Hidayat, 2009). 3.5.2
Manfaat Prebiotik bagi Imunitas Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui aktivitas fungsional dari prebiotik selama kondisi fermentasi invivo. Secara umum dikatakan bahwa prebiotik menghasilkan pengaruh spesifik terhadap populasi
microbial,
laju
pertumbuhan,
asimilasi
substrat,
dan
menghasilkan asam lemak rantai pendek. Indikasi ini kemudian digunakan untuk menguji potensi sejumlah karbohidrat terkait potensinya sebagai stimulan pertumbuhan spesifik dari anggota mikroflora campuran (Hidayat, 2009). Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa mikroflora usus pada bayi
yang mendapat ASI, didominasi oleh
bifidobacteria
(Bacteroides spp., Clostridium spp. dan Enterobacteriaceae dalam jumlah
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
yang
lebih
banyak).
Tingginya
proporsi
31
bifidobacteria
tersebut
berhubungan dengan risiko infeksi intestinal yang lebih rendah. Terdapat bukti-bukti bahwa oligosakarisa pada ASI dapat mendukung proliferasi bifidobacteria dan lactobacilli dalam usus, sehingga berkontribusi dalam pertahanan alamiah untuk melawan infeksi. Oleh karena komposisi dan struktur oligosakarisa ASI tidak dapat direproduksi secara penuh oleh industri makanan, prebiotik telah dipertimbangkan untuk difortifikasikan ke dalam formula bayi. Bayi yang diberi formula susu sapi yang telah disuplementasi dengan fruktosaoligosakarida dan galaktoologosakarida mengalami peningkatan jumlah bifidobacteria dalam feces setelah 28 hari pemberian makan (NICUS, 2007 dalam Adi, 2010). Prebiotik merupakan nutrisi yang sesuai bagi bakteri baik atau probiotik, tapi tidak cocok bagi bakteri jahat, sehingga bisa meningkatkan bakteri baik dalam usus (Gsanturi, 2002). Bakteri-bakteri ini mampu memetabolisme gula prebiotik secara invivo menjadi laktat, asetat dan asam organik lainnya yang bersifat antagonistic terhadap bakteri-bakteri competitor di usus (Wang dan Gibson 1993 dalam Hidayat, 2009). Jadi, prebiotik secara sendiri atau bersama-sama dengan bakteri probiotik dalam bentuk sinbiotik direkomendasikan untuk memperbaiki kesehatan pencernaan manusia (Tuohy, Probert, Smejkal dan Gibson 2003 dalam Hidayat, 2009). Prebiotik dan probiotik membentuk sinbiotik atau eubiotik yang memungkinkan mikroflora usus lebih baik karena probiotik tumbuh lebih subur sehingga mikroekosistem mikroflora usus lebih stabil. Keuntungan
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
32
dari kombinasi ini adalah meningkatkan daya tahan hidup bakteri probiotik oleh karena substrat yang spesifik telah tersedia untuk fermentasi sehingga tubuh mendapatkan manfaat yang lebih sempurna dari kombinasi ini (Colin, 1999 dalam Sudarmo, 2004). Probiotik kini telah diketahui dapat meningkatkan mekanisme daya tahan tubuh dengan menciptakan barier imunologi dalam saluran cerna. Bila saluran cerna sehat, tubuh juga akan sehat. Perubahan komposisi flora usus dengan penggunaan probiotik membuka therapeutic
dan
modulasi
imunitas
yang
kemungkinan efek bermanfaat
bagi
kesehatan anak (Khomsan, 2007). Pemberian makan disertai susu fermentasi yang mengandung lactobacillus casei atau lactobacillus acidophilus dapat memproduksi imunostimulasi pada host dengan mengaktivasi makrofag dan limfosit. Hal ini berhubungan dengan bahan yang diproduksi oleh organisme-organisme ini selama proses fermentasi yaitu beberapa bahan metabolit, peptida dan enzim (Erika dkk, 1991). Tambahan probiotik pada makanan sehari-hari merupakan cara yang efektif untuk mengurangi demam, flu dan angka kejadian batuk, serta menurunkan durasi dari penggunaan antibiotik pada usia 3-5 tahun (Gregory
dkk,
2009).
Susu
formula
bayi
yang
mengandung
Bifidobacterium lactis atau Lactobacillus reuteri, dapat menurunkan risiko diare, gejala gangguan saluran pernapasan, demam dan parameter kelainan lainnya (Cornelius dan Van Niel , 2004).
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
33
Pada saluran cerna manusia, probiotik menginduksi kolonisasi dan dapat tumbuh di lambung, duodenum dan ileum. Pada epitel ileum manusia,
mikroorganisme
ini
dapat
menginduksi
aktivitas
immunomodulatory, termasuk pengambilan CD4+ T Helper cells. Probiotik menginduksi sistem imun, produksi musin, down regulation dari respon inflamasi, sekresi bahan antimikroba, pengaturan permeabilitas usus, mencegah perlekatan bakteri patogen pada mukosa, stimulasi produksi immunoglobulin dan mekanisme probiotik lainnya (Cornelius dan Van Niel, 2004). Molekul CD4+ berperan amat penting dalam sistem kekebalan tubuh, molekul ini paling banyak terdapat pada sel limfosit T helper. Sel limfosit T helper merupakan subset sel limfosit T yang membantu sel lainnya dalam sistem pertahanan tubuh (Abbas, 2005 dan Roit, 2001 dalam Yasa dkk, 2008). Salah satu bentuk Imunoglobulin adalah Imunoglobulin A (IgA) yang dihasilkan oleh sel limfosit B. IgA merupakan imunoglobulin utama yang ditemukan pada mukosa, sehingga disebut juga sebagai secretory immunoglobulin (SIgA). Bila dilihat luasnya jaringan mukosa pada manusia, IgA memiliki peran penting dalam mekanisme pertahanan tubuh. IgA merupakan pertahanan primer tubuh, terdapat banyak pada air liur, air mata, sekresi bonchus, mukosa hidung, cairan prostat, sekresi vagina dan mukus dari usus halus (Markun, 1987).
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
3.5.3
34
Sumber Prebiotik Terdapat klasifikasi khusus sehingga bahan makanan dapat digolongkan sebagai prebiotik. Bahan makanan yang diklasifikasikan prebiotik yaitu tidak dihidrolisis dan tidak diserap dibagian atas traktus gastrointestinal, substrat yang selektif untuk satu atau sejumlah mikroflora komensal yang menguntungkan dalam kolon, jadi memicu pertumbuhan bakteri yang aktif melakukan metabolisme, dan mampu merubah mikroflora kolon menjadi komposisi yang menguntungkan kesehatan (Colin, 1999; Mc Farlene, 1999; Roberfroid, 1998; Roberfroid, 2000 dalam Sudarmo 2004). Komponen pangan yang secara ilmiah terbukti memberikan manfaat sebagai prebiotik mungkin baru inulin, oligofruktosa, laktulosa, galaktooligosakarida (GOS) dan fruktosaoligosakarida (FOS). Oleh karena struktur kimianya, prebiotik tersebut tahan terhadap pencernaan di dalam usus halus, dan mencapai usus besar tetap dalam kondisi tidak tercerna sehingga difermentasi oleh bakteri. Fermentasi ini menstimulasi pertumbuhan Bifidobacteria, spesies yang digunakan dalam probiotik. Asupan harian prebiotik dapat ditingkatkan melalui konsumsi secara rutin beberapa jenis pangan seperti bawang prei, artichoke, bawang putih, bawang bombay, gandum dan produk gandum, asparagus, dan pisang. Belum ada rekomendasi khusus mengenai kecukupan prebiotik. Namun, dosis 4-20 gram per hari telah menunjukkan efikasi. Prebiotik potensial lain yang hingga saat ini masih dalam penelitian di antaranya xylooligosaccharides, lactitol,soyoligosaccharides, glucooligosaccharides,
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
35
isomalto oligosaccharides dan gentiooligosaccharides (NICUS, 2007 dalam Adi, 2010). Gibson dkk (2004) dan Roberfroid (2005) dalam Venter (2007) juga menyatakan bahwa hingga saat ini baru inulin-type fructants, galactooligosaccharides dan lactulose yang terbukti sebagai prebiotik, meskipun beberapa jenis komponen peptida, protein dan lemak tertentu dianggap berpotensi sebagai prebiotik. Spesies tanaman yang mengandung fruktan ditemukan dalam sejumlah famili mono dan dicotyledonous seperti Liliaceae, Amaryllidaceae, Gramineae dan Compositae (Kaur dkk, 2002 dalam Adi, 2010). Beberapa sumber utama inulin sebagaimana disajikan pada Tabel 3.4. Tabel 3.4 Kandungan fruktan pangan Pangan yang Mengandung Fruktan Bekatul Roti putih Pasta Cereal dari biji utuh Muffin (kue) Crasker Crisbread Tepung 100 % rye roti Rye crispbread Chicory roots Onion Leek Asparagus Jerusalem artichoke Globe artichoke Bawang putih Pisang
Skripsi
Ukuran porsi (g) 4g 2 potong (65 g) 1 mangkok (165 g) 1 mangkok ( 60 g) 1 mangkok (65 g) 2 buah (40 g) 2 buah (30 g) 100 g 2 potong (65 g) 2 buah ( 30 g) ½ mangkok (75 g) 2 buah (35 g) ½ mangkok (85 g) 6 buah (90 g) ½ mangkok (75 g) 1 sedang (120 g) 1 biji ( 3 g) 1 buah sedang ( 90 g)
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
Kandungan Fruktan g/100 g g/serving 1,4 -4,0 0,1 0,7 – 2,8 1,8 1,4 – 4,1 2,5 0,8 – 3,2 1,9 0,6 – 2,2 1,4 0.8 – 3,4 1,4 1,0 - 3,8 1,1 0,5 – 1,0 0,1 0,35 – 0,63 0,4 0,4 – 0,72 0,2 35,7 – 47.,5 30,4 1,1 – 10,1 2,1 3,0 – 10.0 5,6 1,4 – 4,1 2,6 16,0 -20,0 15,0 2,0 -6,8 5,5 9,0 – 160 0,5 0,3 – 0,7 0,6
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
3.6
36
Sistem Kekebalan Tubuh Manusia Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang
melindungi
tubuh
terhadap
pengaruh
biologis
luar
dengan
mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor. Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas, organisme akan melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus sampai cacing parasit, serta menghancurkan zat-zat asing lain dan memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat dan jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti biasa (Anonim, 2010). Menurut Munasir dan Nia (2009) secara garis besar sistem kekebalan tubuh manusia dibagi 2 jenis yaitu : 1. Kekebalan tubuh tidak spesifik Kekebalan tubuh tidak spesifik adalah sistem kekebalan tubuh yang ditujukan untuk menangkal masuknya berbagai zat asing dari luar tubuh yang dapat menimbulkan kerusakan/penyakit, seperti bakteri, virus, parasit atau zat berbahaya lainnya. Yang termasuk sistem kekebalan atau pertahanan tubuh tidak spesifik ialah a. Pertahanan fisik : kulit, selaput lendir b. Kimiawi : enzim, keasaman lambung c. Mekanik : gerakan usus, rambut getar selaput lendir d. Fagositosis : pemusnahan kuman/zat asing oleh sel darah putih e. Zat komplemen yang berfungsi pada berbagai proses pemusnahan kuman/zat asing.
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
37
Kerusakan pada sistem pertahanan ini akan memudahkan masuknya kuman/zat asing ke dalam tubuh, misalnya kulit yang luka, gangguan keasaman lambung, gangguan gerakan usus atau gangguan proses pemusnahan kuman/zat asing oleh leukosit (sel darah putih). 2. Kekebalan tubuh spesifik Apabila kuman/zat asing yang masuk tidak dapat ditangkal oleh sistem kekebalan tubuh tidak spesifik, maka diperlukan sistem kekebalan dengan tingkat yang lebih tinggi atau sistem kekebalan spesifik . Ada 2 jenis kekebalan spesifik, yaitu : a. kekebalan selular (sel limfosit T) b. kekebalan humoral (sel limfosit B yang memproduksi antibodi). Kekebalan ini hanya berperan pada kuman/zat asing yang sudah dikenal, artinya jenis kuman/zat asing tersebut sudah pernah atau lebih dari satu kali masuk ke dalam tubuh manusia. 3.7
ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut)
3.8.1 Pengertian ISPA ISPA adalah infeksi saluran pernapasan (pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah) yang berlangsung sampai 14 hari. Yang dimaksud dengan saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung sampai gelembung paru, beserta organ-organ disekitarnya seperti : sinus, ruang telinga tengah dan selaput paru (Rasmaliah, 2004). Istilah ISPA mengandung tiga unsur, yaitu infeksi, saluran pernafasan dan akut. Pengertian atau batasan masing-masing unsur adalah sebagai berikut:
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
1.
38
Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
2.
Saluran pernapasan adalah organ yang mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Dengan demikian ISPA secara otomatis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan ini maka jaringan paru-paru termasuk dalam saluran pernafasan (respiratory tract).
3.
Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari ini. Batas 14 hari ini diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongakan ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari (Depkes RI, 2000). ISPA adalah radang akut saluran pernafasan atas maupun bawah
yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus, maupun riketsia, tanpa atau disertai radang parenkim paru (Alsagaaft dan Mukty, 2006). Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paruparu atau alveoli. Terjadi pneumonia, khususnya pada anak, sering kali bersamaan dengan proses infeksi akut pada bronkus, sehingga biasa disebut dengan Bronchopneumonia. Gejala penyakit tersebut adalah nafas yang cepat dan sesak karena paru-paru meradang secara mendadak (Depkes RI, 2000)
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
39
3.8.2 Klasifikasi ISPA Berdasarkan Lokasi Anatomik Klasifikasi ISPA berdasarkan lokasi anatomik dibagi menjadi 2 yaitu: 1. ISPA bagian atas (Non Pneumonia) Yaitu infeksi yang menyerang hidung sampai epiglotis, misalnya Rhinitis akut, Faringitis akut, dan Sinusitis akut. 2. ISPA bagian bawah (Pneumonia) Yaitu infeksi yang menyerang organ saluran pernapasan mulai bagian bawah epiglottis sampai alveoli paru, misalnya Trakeitis, Bronkitis, Bronkiolitis dan Pneumonia (Depkes RI, 1996). ISPA Non pneumonia merupakan penyakit
infeksi saluran
pernafasan akut yang ditandai dengan gejala ingus encer, hidung tersumbat, bersin-bersin, demam, sakit kepala, nyeri sendi dan otot, nafsu makan hilang/menurun, nyeri tenggorokan dengan rasa gatal dan batuk kering (Depkes RI, 2001) 3.8.3 Klasifikasi ISPA Golongan Umur 2 Bulan - 5 Tahun 1. Pneumonia Berat Bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan di dinding dada bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik nafas (pada saat diperiksa anak harus dalam keadaan tenang, tidak menangis atau meronta). 2. Pneumonia Sedang Bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah: a. Untuk usia 2 bulan-12 bulan = 50 kali per menit atau lebih
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
40
b. Untuk usia 1-4 tahun = 40 kali per menit atau lebih. 3. Bukan Pneumonia Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada napas cepat (Depkes RI, 1996). 3.8.4 Etiologi ISPA Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebabnya antara lain genus streptokokus, pneumokokus,
Hemofilus,
Bordetella
dan
stafilokokus,
Korinenakterium.
Virus
penyebabnya antara lain golongan Miksovirus, Adenovirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpevirus (Alsagaaft & Mukty, 2006) 3.8.5 Gejala ISPA 1. Gejala dari ISPA Ringan Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut : a. Batuk b. Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misal pada waktu berbicara atau menangis). c. Pilek, yaitu mengeluarkan lender atau ingus dari hidung. d. Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37 0C atau jika dahi anak diraba. 2. Gejala dari ISPA Sedang Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
41
a. Pernafasan lebih dari 50 kali per menit pada anak yang berumur kurang dari satu tahun atau lebih dari 40 kali per menit pada anak yang berumur satu tahun atau lebih. Cara menghitung pernafasan ialah dengan menghitung jumlah tarikan nafas dalam satu menit. Untuk menghitung dapat digunakan arloji. b. Suhu lebih dari 39 0C (diukur dengan termometer). c. Tenggorokan berwarna merah. d. Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak. e. Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga. f. Pernafasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur). g. Pernafasan berbunyi menciut-ciut. 3. Gejala dari ISPA Berat Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala-gejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut : a. Bibir atau kulit membiru. b. Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu bernafas. c. Anak tidak sadar atau kesadaran menurun. d. Pernafasan berbunyi seperti orang mengorok dan anak tampak gelisah. e. Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernafas. f. Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba.
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
42
g. Tenggorokan berwarna merah. 3.8.6 Faktor yang Mempengaruhi ISPA Berdasarkan Depkes RI (2001), Secara umum terdapat 3 (tiga) faktor risiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku. Secara umum ISPA dapat dipengaruhi oleh faktor sebagai berikut : 1. Status Gizi Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor risiko yang penting untuk terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adanya hubungan antara gizi buruk dan infeksi paru, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat pneumonia. Disamping itu adanya hubungan antara gizi buruk dan terjadinya campak dan infeksi virus berat lainnya serta menurunnya daya tahan tubuh anak terhadap infeksi (Depkes RI, 2001). Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan serangannya lebih lama (Depkes RI, 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Chandra pada tahun 1979 menunjukkan bahwa kekurangan gizi akan meningkatkan kerentanan dan beratnya infeksi suatu penyakit. Penelitian lain yang dilakukan oleh Pio dkk (1985) menunjukkan adanya hubungan antara kekurangan zat
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
43
gizi dan ISPA karena kekurangan gizi akan cenderung menurunkan daya tahan balita terhadap serangan penyakit. Penelitian di Cikutra Bandung yang dilakukan oleh Kartasasmitha pada tahun 1993 juga menunjukkan kecenderungan kenaikan prevalensi dan insidensi pada anak dengan gizi kurang (Depkes RI, 2001). 2. Pemberian ASI Eksklusif ASI adalah suatu komponen yang paling utama bagi ibu dalam memberikan pemeliharaan yang baik terhadap bayinya, untuk memenuhi pertumbuhan dan perkembangan psikososialnya. Karena sesuatu yang baik tidaklah harus mahal bahkan bisa sebaliknya, terbaik dan termurah yaitu ASI. Karena ASI bisa membuat anak lebih sehat, tapi juga cerdas dan lebih menyesuaikan diri dengan lingkungan (Depkes RI, 2001). Bayi yang baru lahir secara alamiah mendapat imunoglobulin (zat kekebalan tubuh) dari ibunya lewat ari-arinya. Tubuh bayi dapat membuat sistem kekebalan tubuh sendiri waktu berusia sekitar 9-12 bulan. Sistem imun bawaan pada bayi menurun namun sistem imun yang dibentuk oleh bayi itu sendiri belum bisa mencukupi sehingga dapat mengakibatkan adanya kesenjangan zat kekebalan pada bayi dan hal ini akan hilang atau berkurang bila bayi diberi ASI. Kolostrum mengandung zat kekebalan 10-17 kali lebih banyak dari susu matang. Zat kekebalan pada ASI dapat melindungi bayi dari penyakit mencret atau diare, ASI juga menurunkan kemungkinan bayi terkena penyakit infeksi, telinga, batuk, pilek, dan penyakit alergi. Bayi yang diberi ASI eksklusif akan
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
44
lebih sehat dan jarang sakit dibandingkan dengan bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif (Depkes RI, 2001). Penelitian yang dilaksanakan oleh Pisacane membuktikan bahwa pemberian ASI memberikan efek yang tinggi terhadap ISPA. Sedang penelitian yang dilakukan oleh Shah juga menunjukkan bahwa ASI mengandung bahan-bahan dan anti infeksi yang penting dalam mencegah invasi saluran pernapasan oleh bakteri dan virus. Walaupun balita sudah mendapat ASI lebih dari 4 bulan namun bila status gizi dan lingkungan kurang mendukung dapat merupakan risiko penyebab pneumonia bayi (Depkes RI, 2001). 3. Umur ISPA dapat menyerang semua manusia baik pria maupun wanita pada semua tingkat usia, terutama pada usia kurang dari 5 tahun karena daya tahan tubuh anak Balita lebih rendah dari orang dewasa sehingga mudah menderita ISPA. Umur diduga terkait dengan sistem kekebalan tubuh. Bayi dan anak Balita merupakan kelompok yang kekebalan tubuhnya belum sempurna, sehingga masih rentan terhadap berbagai penyakit infeksi. Semakin muda usia anak makin sering mendapat serangan ISPA. Sejumlah studi yang besar menunjukkan bahwa insiden penyakit pernapasan oleh virus melonjak pada bayi dan usia dini anak-anak dan tetap menurun terhadap usia. Insiden ISPA tertinggi pada umur 6 –12 bulan (Depkes RI, 2001).
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
45
4. Kelengkapan Imunisasi Bayi dan anak Balita yang pernah terserang campak dan selamat akan mendapat kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, BCG dan campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA diupayakan dengan pemberian imunisasi lengkap. Bayi dan
anak Balita yang
mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat (Depkes RI, 2001). Hasil penelitian yang berhubungan dengan status imunisasi menunjukkan bahwa ada kaitan antara penderita pneumonia yang mendapatkan imunisasi tidak lengkap dan lengkap, dan bermakna secara statististik.
Menurut
penelitian
yang
dilakukan
Tupasi
(1985)
menyebutkan bahwa ketidakpatuhan imunisasi berhubungan dengan peningkatan penderita ISPA. Penelitian lain yang dilakukan oleh Sievert pada tahun 1993 menyebutkan bahwa imunisasi yang lengkap dapat memberikan peranan yang cukup berarti mencegah kejadian ISPA (Depkes RI, 2001). Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan pemberian imunisasi campak dan pertusis (DPT). Dengan imunisasi campak yang efektif sekitar 11% kematian pneumonia anak Balita dapat dicegah dan
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
46
dengan imunisasi pertusis (DPT) 6 % kematian pneumonia dapat dicegah (Depkes RI, 2001). 5. Jenis Kelamin Antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan memiliki insiden terhadap penyakit pneumonia yang berbeda. jenis kelamin laki-laki memiliki risiko pneumonia lebih tinggi dari pada perempuan (Depkes RI, 2001). Laki-laki merupakan salah satu faktor yang meningkatkan insiden dan kematian akibat ISPA. Bila dihubungkan dengan status gizi, sesuai dengan status gizi, sesuai dengan analisa data Susenas 1998 yang meyatakan bahwa secara umum status gizi anak Balita perempuan lebih baik dibanding balita laki-laki. Perbedaan prevalensi tersebut belum dapat dijelaskan secara pasti, apakah karena faktor genetika, perbedaan dalam hal perawatan dan pemberian makanan atau yang lainnya. Sehingga kekurangan gizi dapat menurunkan daya tahan tubuh terhadap infeksi. Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 2002-2003 mencatat bahwa anak Balita yang mempunyai gejala-gejala pneumonia dalam dua bulan survei pendahuluan sebesar 7,7% dari jumlah anak Balita yang ada (14.510) adalah anak Balita laki-laki. Sedangkan jumlah anak Balita perempuan yang mempunyai gejala-gejala pneumonia sebesar 7,4%. Selama masa anak-anak, laki-laki dan perempuan mempunyai kebutuhan energi dan gizi yang hampir sama. Kebutuhan gizi untuk semua jenis umur pada usia 10 tahun pertama adalah sama, sehingga
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
47
diasumsikan kerentanan terhadap masalah gizi dan konsekuensi kesehatannya akan sama pula. Anak perempuan mempunyai keuntungan biologis dan lingkungan yang optimal. Perempuan mempunyai keuntungan yang diperkirakan sebesar 0,15 – 1 kali lebih di atas anak laki-laki dalam hal tingkat kematian (Koblinsky det al, 1997). 6. Berat Badan Lahir Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama pada bulan-bulan pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernapasan lainnya (Depkes RI, 2001). Penelitian menunjukkan bahwa berat bayi kurang dari 2500 gram dihubungkan dengan meningkatnya kematian akibat infeksi saluran pernafasan dan hubungan ini menetap setelah dilakukan adjusted terhadap
status
pekerjaan,
pendapatan,
pendidikan.
Data
ini
mengingatkan bahwa anak-anak dengan riwayat berat badan lahir rendah tidak mengalami rate lebih tinggi terhadap penyakit saluran pernapasan, tetapi mengalami lebih berat infeksinya (Depkes RI, 2001). 7. Pemberian Vitamin A Kekurangan vitamin A terutama terjadi pada anak Balita (Almatsier, 2004). Kekurangan vitamin A (KVA) menghalangi fungsi sel-sel kelenjar sehingga kulit menjadi kering, kasar dan luka sukar
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
48
sembuh. Membran mukosa tidak dapat mengeluarkan cairan mukus dengan sempurna sehingga mudah terserang bakteri (infeksi). Vitamin A berpengaruh terhadap fungsi kekebalan tubuh manusia (Almatsier, 2004). Balita yang mendapat vitamin A lebih dari 6 bulan sebelum sakit maupun yang tidak pernah mendapatkannya adalah sebagai risiko terjadinya suatu penyakit sebesar 96,6% pada kelompok kasus dan 93,5% pada kelompok control (Depkes RI, 2001). Pada KVA, fungsi kekebalan tubuh menurun sehingga mudah terserang infeksi. Lapisan sel yang menutupi trakea dan paru-paru mengalami keratinisasi, tidak mengeluarkan lendir sehingga mudah dimasuki mikroorganisme atau virus dan menyebabkan infeksi saluran pernafasan (Almatsier, 2004). 8. Kepadatan Hunian Pemanfaatan atau penggunaan rumah perlu sekali diperhatikan. Banyak rumah yang secara teknis memenuhi syarat kesehatan, tetapi apabila penggunaannya tidak sesuai dengan peruntukannya, maka dapat terjadi gangguan kesehatan. Misalnya rumah yang dibangun untuk dihuni oleh empat orang tidak jarang dihuni oleh lebih dari semestinya. Hal ini sering dijumpai, karena biasanya pendapatan keluarga itu berbanding terbalik dengan jumlah anak atau anggota keluarga. Dengan demikian keluarga yang besar seringkali hanya mampu membeli rumah yang kecil dan sebaliknya. Hal ini sering tidak mendapat perhatian dan terus membangun rumah menjadi sangat sederhana dan sangat kecil bagi yang kurang mampu (Slamet, 2000).
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
49
Mikroba tak dapat bertahan lama di dalam udara. Keberadaannya di udara tak bebas dimungkinkan karena aliran udara tidak terlalu besar. Oleh karena itu, mikroba dapat berada di udara relatif lama. Dengan demikian kemungkinan untuk memasuki tubuh semakin besar. Hal ini dibantu pula oleh taraf kepadatan penghuni ruangan, sehingga penularan penyakit infeksi lewat udara sebagian besar terlaksana lewat udara tak bebas (Slamet, 2000). Berdasarkan
Keputusan
Menteri
Kesehatan
RI
Nomor
829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, luas ruang tidur minimal 8 meter, dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak di bawah umur 5 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Victoria pada tahun 1993 menyatakan bahwa makin meningkat jumlah orang per kamar akan meningkatkan kejadian ISPA. Semakin banyak penghuni rumah berkumpul dalam suatu ruangan kemungkinan mendapatkan risiko untuk terjadinya penularan penyakit akan lebih mudah, khususnya bayi yang relatif rentan terhadap penularan penyakit (Depkes RI, 2001). 9. Ventilasi Berdasarkan
Keputusan
Menteri
Kesehatan
RI
Nomor
829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, luas penghawaan atau ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari luas lantai.
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
50
Pertukaran hawa (ventilasi) yaitu proses penyediaan udara segar dan pengeluaran udara kotor secara alamiah atau mekanis harus cukup. Berdasarkan Peraturan Bangunan Nasional, lubang hawa suatu bangunan harus memenuhi aturan sebagai berikut, (1) Luas bersih dari jendela/ lubang hawa sekurang-kurangnya 1/10 dari luas lantai ruangan, (2) Jendela/ lubang hawa harus meluas ke arah atas sampai setinggi minimal 1,95 m dari permukaan lantai, (3) Adanya lubang hawa yang berlokasi di bawah langit-langit sekurang-kurangnya 0,35% luas lantai yang bersangkutan (Mukono, 2000). Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Yang pertama adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang bersifat racun akan meningkat.
Tidak
cukupnya
ventilasi
juga
akan menyebabkan
kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri, patogen (bakteribakteri penyebab penyakit). Fungsi kedua dari ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena terjadi aliran udara yang terus menerus. Fungsi lain adalah untuk menjaga agar ruangan rumah selalu tetap di dalam kelembaban yang optimum (Notoatmodjo, 1997).
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
51
10. Jenis Lantai Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lubis (1985), jenis lantai setengah plester dan tanah akan banyak mempengaruhi kelembaban rumah. Dan hasil pengukuran kelembaban yang dilakukan oleh Harijanto (1997) menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara kejadian pneumonia bayi yang bertempat tinggal di rumah yang berkelembaban memenuhi syarat (kurang 60%) dan tidak memenuhi syarat (60%). Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, lantai rumah harus kedap air dan mudah dibersihkan. Seperti diketahui bahwa lantai yang tidak rapat air dan tidak didukung dengan ventilasi yang baik dapat menimbulkan peningkatan kelembaban dan kepengapan yang akan memudahkan penularan penyakit (Depkes RI, 2001). 11. Kepemilikan Lubang Asap Pembakaran yang terjadi di dapur rumah merupakan aktivitas manusia yang menjadi sumber pengotoran atau pencemaran udara. Pengaruh terhadap kesehatan akan tampak apabila kadar zat pengotor meningkat sedemikian rupa sehingga timbul penyakit. Pengaruh zat kimia ini pertama-tama akan ditemukan pada sistem pernafasan dan kulit serta selaput lendir, selanjutnya apabila zat pencemar dapat memasuki peredaran darah, maka efek sistemik tak dapat dihindari (Slamet, 2000). Berdasarkan
Keputusan
Menteri
Kesehatan
RI
Nomor
829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, dapur yang sehat harus memiliki lubang asap dapur. Lubang asap dapur
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
52
yang tidak memenuhi persyaratan menyebabkan gangguan terhadap pernapasan dan mungkin dapat merusak alat-alat pernapasan, lingkungan rumah menjadi kotor, dan gangguan terhadap penglihatan/ mata menjadi pedih. 12. Jenis Bahan Bakar Masak Aktivitas manusia berperan dalam penyebaran partikel udara yang berbentuk partikel-partikel kecil padatan dan droplet cairan, misalnya dalam bentuk asap dari proses pembakaran di dapur, terutama dari batu arang. Partikel dari pembakaran di dapur biasanya berukuran diameter di antara 1-10 mikron. Polutan partikel masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui sistem pernafasan, oleh karena itu pengaruh yang merugikan langsung terutama terjadi pada sistem pernafasan (Fardiaz, 1992). Jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak jelas akan mempengaruhi polusi asap dapur ke dalam rumah yang dapurnya menyatu dengan rumah dan jenis bahan bakar minyak relatif lebih kecil risiko menimbulkan asap daripada kayu bakar. 13. Keberadaan Anggota Keluarga Yang Merokok Polusi udara oleh CO terjadi selama merokok. Asap rokok mengandung CO dengan konsentrasi lebih dari 20.000 ppm selama dihisap. Konsentrasi tersebut terencerkan menjadi 400-500 ppm. Konsentrasi CO yang tinggi di dalam asap rokok yang terisap mengakibatkan kadar COHb di dalam darah meningkat. Selain berbahaya terhadap orang yang merokok, adanya asap rokok yang
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
53
mengandung CO juga berbahaya bagi orang yang berada di sekitarnya karena asapnya dapat terisap (Fardiaz, 1992). Semakin banyak jumlah rokok yang dihisap oleh keluarga semakin besar memberikan risiko terhadap kejadian ISPA, khususnya apabila merokok dilakukan oleh ibu bayi (Depkes RI, 2001). 14. Keberadaan Anggota Keluarga yang Menderita ISPA Kuman penyakit ISPA ditularkan dari penderita ke orang lain melalui udara pernapasan atau percikan ludah penderita. Pada prinsipnya kuman ISPA yang ada di udara terhisap oleh pejamu baru dan masuk ke seluruh saluran pernafasan. Dari saluran pernafasan kuman menyebar ke seluruh tubuh apabila orang yang terinfeksi ini rentan, maka ia akan terkena ISPA (Depkes RI, 1996). 15. Faktor Perilaku Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktek penanganan ISPA di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga lainnya. Bila salah satu atau beberapa anggota keluarga mempunyai masalah kesehatan, maka akan berpengaruh terhadap anggota keluarga lainnya (Depkes RI, 2001). Peran aktif keluarga/masyarakat dalam menangani ISPA sangat penting karena penyakit ISPA merupakan penyakit yang ada sehari-hari di dalam masyarakat atau keluarga. Hal ini perlu mendapat perhatian serius karena penyakit ini banyak menyerang balita, sehingga ibu balita dan anggota keluarga yang sebagian besar dekat dengan balita
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
54
mengetahui dan terampil menangani penyakit ISPA ini ketika anaknya sakit. Keluarga perlu mengetahui serta mengamati tanda keluhan dini pneumonia dan kapan mencari pertolongan dan rujukan pada sistem pelayanan kesehatan agar penyakit anak balitanya tidak menjadi lebih berat. Praktek penanganan ISPA tingkat keluarga yang kurang/buruk akan berpengaruh pada perjalanan penyakit dari yang ringan menjadi bertambah berat (Depkes RI, 2001).
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB IV KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
4.1 Kerangka Konseptual Karakteristik balita 1. Umur 2. Jenis kelamin 3. Status gizi
Prebiotik
Sumber pangan fungsional Probiotik
Konsumsi
Sumber energi (Protein, lemak, dan karbohidrat)
Status gizi
Imunitas
Morbiditas ISPA Sumber vitamin dan mineral
Karakteristik keluarga 1. Jumlah anggota keluarga 2. Pendidikan orang tua 3. Umur ibu 4. Pekerjaan utama orang tua
Pelayanan dasar gizi dan kesehatan 1. Imunisasi Dasar 2. Vitamin A dosis tinggi Pola asuh 1. Pemberian makanan 2. Akses pelayanan kesehatan 3. Higiene
Gambar 4.1 Kerangka konseptual hubungan pola konsumsi bahan pangan prebiotik dan pelayanan dasar dengan kejadian ISPA pada anak Balita berat badan rendah umur 2 - 5 tahun. Keterangan :
tidak diteliti
55 Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
56
Morbiditas ISPA disebabkan imunitas anak Balita yang rendah. Sedangkan faktor risiko ISPA dapat berasal dari karakteristik anak Balita yaitu umur, jenis kelamin dan status gizi. Imunitas dapat dipengaruhi oleh konsumsi bahan pangan fungsional (prebiotik dan probiotik), status gizi dan pelayanan dasar (imunisasi dasar dan vitamin A dosisi tinggi). Prebiotik merupakan sejenis polisakarida yang mendukung pertumbuhan bakteri probiotik yang merupakan bakteri yang mendukung imunitas tubuh utamanya di usus. Probiotik dapat menjadi immunodulator sehingga mendukung sistem kekebalan tubuh lain termasuk terhadap serangan penyakit ISPA. Imunisasi dasar utamanya BCG, DPT dan campak merupakan stimulator meningkatkan kekebalan tubuh terhadap penyakit di saluran nafas karena imunisasi tersebut dapat melindungi saluran nafas dari infeksi. Vitamin A merupakan vitamin yang dapat berfungsi dalam proses differensiasi sel termasuk sel globet yang merupakan sel yang mengeluarkan lendir yang berfungsi dalam pengeluaran antigen, termasuk di saluran nafas. Selain itu vitamin A dapat merangsang pembentukan imunoglobulin yang merupakan produk imunitas tubuh. 4.2 Hipotesis Penelitian 1. H1 : ada hubungan antara pola konsumsi bahan pangan prebiotik dengan kejadian ISPA pada anak Balita BBR umur 2 – 5 tahun. 2. H1 : ada hubungan antara pelayanan dasar (imunisasi dasar dan vitamin A dosis tinggi) dengan kejadian ISPA pada anak Balita BBR umur 2 – 5 tahun.
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB V METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah bagian dari penelitian hibah strategis Dikti dengan judul “Efikasi PMT Biskuit Fungsional (berbasis protein ikan, isolate kedelai serta prebiotik dan probiotik) pada Balita Kurang Gizi Tahun 2009”. 5.1 Jenis dan Rancang Bangun Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional dimana peneliti tidak memberikan perlakuan kepada sampel penelitian. Penelitian mencari korelasi antara variabel-variabel yang sudah terjadi. Analisis dinamika korelasi dilakukan antara fenomena atau variabel yang diteliti, yaitu antara variabel
tergantung
(dependent
variable)
dengan
variabel
bebas
(independent variable (Notoatmojo, 2002). Desain penelitian penelitian
adalah
cross
sectional
dengan
mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time approach) (Notoatmojo, 2002). Pengertian cross sectional berarti tiap subyek penelitian diobservasi sekali saja dan pengukuran terhadap status karakter atau variabel subyek pada saat pemeriksaan. Hal ini tidak mengandung arti bahwa subyek penelitian dilakukan pada waktu yang sama. 5.2 Populasi Penelitian Populasi awal adalah seluruh anak Balita BBR di Kecamatan Geger Kabupaten Bangkalan. Populasi penelitian adalah anak Balita BBR yang
Skripsi
57
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
58
berusia 2-5 tahun sebanyak 54 di desa terpilih. Distribusi populasi di masingmasing desa terpilih yaitu Desa Campor sejumlah 13, Desa Kampak sejumlah 13, Desa B. Dejeh sejumlah 14, dan Desa Geger sejumlah 14. 5.3 Sampel, Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel 5.3.1 Sampel Sampel penelitian adalah anak Balita BBR (nilasi Z-Score BB/U < 2 SD) umur 2-5 tahun yang berada di desa terpilih. 5.3.2 Besar sampel Besar sampel dihitung dengan rumus Simple Random sampling dibawah ini : Z21-α/2 x P (1-P) x N n= {d 2 x (N-1) }+ {Z21-α/2 x P (1-P)} (Lemeshow dkk, 1990) Keterangan : n d Z P N
= Besar sampel = Derajat ketepatan yang diinginkan ( 0,1 ) = Z 1-α/2 = Standar deviasi sesuai dengan derajat kemaknaan ( 1,62 ) = Proporsi sifat tertentu ( 0,5) = Anak Balita BBR berdasarkan data petugas kesehatan di 4 desa terpilih. Berdasarkan rumus di atas maka dapat dihitung jumlah sampelnya n=
(1,62)2 x 0,5 x (1-0,5) x 54 {(0,1) x (54-1)} + {(1,62)2 x 0,5 x (1-0,5)} 2
n=
35,4294 (0,53 + 0,6561)
n=
35,4294 1,1861
n = 29,8705 (dibulatkan 30)
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
59
5.3.3 Cara Pengambilan Sampel Dalam pengambilan sampel penelitian menggunakan beberapa tahapan. Adapun tahapan yang dilakukan dilakukan yaitu : 1. Pemilihan Kecamatan Kecamatan yang dipilih dalam penelitian ini adalah Kecamatan Geger Kabupaten Bangkalan. Pemilihan Kecamatan tersebut didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut : a. Rekomendasi petugas kesehatan Dinas Kesehatan Kota Bangkalan. b. Kecamatan Geger termasuk daerah rawan pangan. c. Prevalensi anak Balita BGM pada tahun 2008 dan 2009 di atas standar 5% (BGM tahun 2008 sebesar 5,95% dan BGM tahun 2009 sebesar 6,028%). d. Kejadian ISPA pada tahun setiap tahun selalu menempati 10 besar penyakit infeksi yang diderita anak Balita. 2. Pemilihan Desa di Kecamatan terpilih Desa yang menjadi tempat penelitian adalah Desa Geger, Desa Banyuning Dejeh, Desa Campor, dan Desa Kampak. Pemilihan desa didasarkan berdasarkan rekomendasi petugas kesehatan di Puskesmas Geger. 3. Screening di Desa terpilih Screening dilakukan dengan tujuan untuk mencari populasi penelitian. Populasi adalah anak Balita dengan umur 2-5 tahun yang mengalami BBR (Z-Score BB/U < -2 SD). Screening anak Balita umur 2-5 tahun yang mengalami BBR berdasarkan data petugas kesehatan
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
60
(bidan desa). Dari hasil Screening didapatkan 54 anak Balita yang menjadi populasi penelitian. Distribusi populasi di masing-masing desa yaitu Desa Geger sebanyak 14 anak Balita, Desa B. Dejeh sebanyak 14 anak Balita, Desa Campor sebanyak 13 anak Balita dan Desa Kampak sebanyak 13 anak Balita. 4. Penentuan jumlah sampel Sampel penelitian harus memenuhi kriteria Z-Score WHONCHS BB/U < -2 SD. Dari 54 populasi dilakukan screening ulang dengan menggunakan timbangan digital untuk mengukur BB dan microtoise untuk mengukur TB dalam rangka penentuan status gizi berdasarkan kriteria yang ditetapkan. Dari screening didapatkan 34 anak Balita yang memenuhi kriteria Z-Score WHO-NCHS dengan indikator BB/U dan kriteria pemeriksaan kesehatan. Jumlah sampel penelitian dihitung dengan menggunakan rumus Simple Random sampling dan didapatkan jumlah sampel sebanyak 30 anak Balita. 5. Penentuan distribusi sampel di masing-masing Desa Cara pengambilan sampel di masing-masing desa secara proportional random sampling sehingga tiap anggota kelompok mempunyai kemungkinan yang sebanding dengan besar relatif dari kelompok-kelompok yang dimasukkan dalam sub-sampel (Nazir, 2003). Cara pengambilan sampel dengan menggunakan proportional random sampling dapat dilihat pada Tabel 5.1.
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
61
Tabel 5.1 Proporsi jumlah sampel di masing-masing desa Desa Kampak B. Dejeh Geger Campor Total
Populasi 13 14 14 13 54
Proporsi (13/54) x 30 (14/54) x 30 (14/54) x 30 (13/54) x 30
Sampel 7,22 dibulatkan 7 7,78 dibulatkan 8 7,78 dibulatkan 8 7,22 dibulatkan 7 30
Adapun alur pengambilan sampel yang digunakan dapat dilihat pada gambar 5.1. Purposif
Kecamatan geger
Purposif
Desa Campor, Geger, B. Dejeh dan Desa Kampak
Screening
Populasi : 54 anak Balita BBR menurut data petugas kesehatan
Rumus Simple Random Sampling dan memenuhi kriteria BB/TB < -2 dan BB/U < -2
Sampel penelitian sejumlah 30
Proportional Random Sampling Desa Kampak 7 balita
Desa Campor 7 balita
Desa B. Dejeh 8 balita
Desa Geger 8 balita
Gambar 5.1 Alur pengambilan sampel 5.4 Lokasi dan waktu penelitian 5.4.1 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian terpilih sebanyak 4 desa di Kecamatan Geger Kabupaten Bangkalan. Lokasi Penelitian adalah di Desa Campor, Desa Campak, Desa Geger dan Desa B. Dejeh yang termasuk daerah Kecamatan Geger Kabupaten Bangkalan.
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
62
5.4.2 Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama 6 bulan. Waktu penelitian mulai bulan Desember 2009 sampai Juni 2010. Pengambilan data di lapangan dilakukan selama 1 bulan. 5.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 5.5.1 Variabel Penelitian Independent variable penelitian adalah pola konsumsi prebiotik dan pelayanan dasar (imunisasi dasar dan vitamin A dosis tinggi) serta karakteristik anak Balita (umur, jenis kelamin dan status gizi), sedangkan dependent variable yaitu kejadian ISPA. 5.5.2 Definisi Operasional No 1.
Skripsi
Variabel Karakteristik anak Balita, meliputi a. Umur
Definisi operasional
Usia individu (dalam bulan) yang terhitung mulai dilahirkan.
b. Jenis kelamin
Pengelompokan berdasarkan fungsi alat kelamin.
c. Status gizi
Ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujutan dari nutriture dalam bentuk variable tertentu.
Cara pengukuran
Skala data dan Hasil pengukuran
Wawancara a) Ratio, dinyatakan dalam bulan. dengan alat b) Interval, dinyatakan dalam : bantu kuesioner. 1 = 2 tahun (25 – 36 bulan) 2 = 3 tahun (37 – 48 bulan) 3 = 4 tahun (49 – 60 bulan) Wawancara Nominal, dinyatakan dalam : dengan alat 1 = laki-laki bantu kuesioner. 2 = perempuan Menggunakan a) Ordinal, klasifikasi berdasarkan alat bantu BB/U yaitu : 1 = > + 2 SD (Gizi Lebih) berupa 2 = -2 SD s/d +2 SD (Gizi Baik) timbangan berat 3 = -3 SD s/d < -2 SD (Kurang gizi) badan digital 4 = < -3 SD (Gizi Buruk) dan microtoise.
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
(Sumber
: Standar baku antropometri WHO-NCHS dalam Depkes RI 2004)
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
No
Variabel
Definisi operasional
Cara pengukuran
63
Skala data dan Hasil pengukuran b) Ordinal, klasifikasi berdasarkan TB/U yaitu : 1 = > + 2 SD (Tinggi) 2 = -2 SD s/d +2 SD (Normal) 3 = -3 SD s/d <-2 SD (Pendek) 4 = < -3 SD (Sangat Pendek) (Sumber : Standar baku antropometri WHO-NCHS dalam Depkes RI 2004)
c) Ordinal, klasifikasi berdasarkan BB/TB yaitu : 1 = > + 2 SD (Gemuk) 2 = -2 SD s/d +2 SD (Normal) 3 = -3 SD s/d <-2 SD (Kurus) 4 = < -3 SD (Sangat Kurus) (Sumber : Standar baku antropometri WHO-NCHS dalam Depkes RI 2004)
2.
Karakteristik keluarga a. Jumlah anggota keluarga b. Pendidikan orang tua (ayah dan ibu
c. Umur ibu
d. Pekerjaan utama orang tua
Skripsi
Banyaknya jiwa yang tinggal satu rumah dengan responden. Sekolah formal yang pernah diselesaikan oleh orang tua.
Usia individu (dalam tahun) yang terhitung mulai dilahirkan. Sumber penghasilan utama keluarga.
Wawancara a) Rasio, dinyatakan dalam jiwa. dengan alat b) Ordinal, dinyatakan dalam : bantu kuesioner. 1= ≤4 2= ≥5 Wawancara Ordinal, dinyatakan dalam : dengan alat 1 = Tidak sekolah bantu kuesioner. 2 = Tidak tamat SD
Wawancara dengan alat bantu kuesioner. Wawancara dengan alat bantu kuesioner.
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
3 = Tamat SD 4 = Tidak tamat SLTP 5 = Tamat SLTP 6 = Tidak tamat SLTA 7 = Tamat SLTA 8 = PT (perguruan tinggi) Ratio, dinyatakan dalam tahun.
Nominal, dinyatakan dalam : 1 = Tidak bekerja (IRT) 2 = Petani tanpa lahan 3 = Petani punya lahan 4 = Buka toko atau dagang 5 = PNS 6 = TNI/Polri 7 = Pegawai swasta 8 = Buruh pabrik 9 = Buruh lainnya 10 = Nelayan 11 = Sopir/ojek
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
No
Variabel
Cara pengukuran
Skala data dan Hasil pengukuran
3.
Kejadian ISPA
Radang akut saluran pernafasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus, maupun riketsia, tanpa atau disertai radang parenkim paru selama 3 bulan terakhir.
Wawancara dengan alat bantu kuesioner.
Nominal, dinyatakan dalam : 1 = tidak (tidak menderita ISPA) 2 = ya (menderita ISPA)
4.
Pola konsumsi bahan pangan prebiotik
jenis dan frekuensi makanan berpotensi mengandung prebiotik.
Wawancara dengan alat bantu food frequency.
5.
a. BCG
Vaksin dengan tujuan untuk memberikan kekebalan aktif terhadap M. tuberculosa.
Catatan bidan.
Ordinal, dinyatakan dalam : 1 = Tidak pernah 2 = Jarang/musiman 3 = Bulanan (1/beberapa kali per bulan) 4 = Mingguan (1/beberapa kali per minggu) 5 = Harian (minimal 1 kali sehari) Ordinal, dinyatakan dalam : 1 = tidak dapat (0 kali) 2 = dapat (1 kali)
b. Hepatitis B
Vaksin dengan tujuan untuk memberikan kekebalan aktif terhadap infeksi virus hepatitis B. Vaksin dengan tujuan untuk memberikan kekebalan secara stimulan terhadap difteri, pertusis dan tetanus. Vaksin dengan tujuan untuk memberikan kekebalan aktif terhadap Poliomyilitis.
Catatan bidan.
Ordinal, dinyatakan dalam : 1 = tidak dapat (0 kali ) 2 = ya, tidak lengkap (0 - 3 kali) 3 = ya, lengkap (4 kali)
Catatan bidan.
Ordinal, dinyatakan dalam : 1 = tidak dapat (0 kali ) 2 = ya, tidak lengkap (0 - 2 kali) 3 = ya, lengkap (3 kali)
Catatan bidan.
Ordinal, dinyatakan dalam : 1 = tidak dapat (0 kali ) 2 = ya, tidak lengkap (0 - 3 kali) 3 = ya, lengkap (4 kali)
c. DPT
d. Polio
Skripsi
Definisi operasional
64
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
No
Variabel e. Campak
6.
Vitamin A dosis tinggi
Definisi operasional Vaksin dengan tujuan untuk memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit campak. Jumlah kapsul kapsul vitamin A dosis tinggi yang dikonsumsi balita selama 6 tahun terakhir.
Cara pengukuran
65
Skala data dan Hasil pengukuran
Catatan bidan.
Ordinal, dinyatakan dalam : 1 = tidak dapat (0 kali) 2 = dapat (1 kali)
Catatan bidan.
Ordinal, dinyatakan dalam : 1 = tidak dapat (0 kali) 2 = dapat (1 kali)
5.6 Teknik Dan Instrumen Pengumpulan Data 5.6.1 Teknik Pengumpulan Data Teknik pegumpulan dengan cara mengumpulkan data primer dan data sekunder. 1. Data primer yaitu kejadian ISPA ,berat badan (BB) dan tinggi badan (BB), pola konsumsi bahan pangan prebiotik, karakteristik anak Balita (umur, jenis kelamin, status gizi), dan karakteritik keluarga (jumlah anggota keluarga, pendidikan orang tua, umur ibu, dan pekerjaan utama orang tua) 2. Data sekunder yaitu catatan bidan berupa data imunisasi dasar dan vitamin A dosis tinggi pada sampel penelitian. 5.6.2 Instrumen Pengumpulan Data Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Data BB dan TB dikumpulkan dengan pengukuran langsung yaitu timbangan digital untuk mengukur BB dan microtoise untuk mengukur TB.
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
66
2. Data karakteristik anak Balita dan karakteristik keluarga dikumpulkan dengan kuesioner melalui wawancara. 3. Pola konsumsi bahan pangan prebiotik dikumpulkan dengan food frequency. 4. Data imunisasi dasar dan vitamin A dosis tinggi didapat dari cacatan bidan setempat. 5. Data kejadian ISPA dikumpulkan dengan kuesioner melalui wawancara. 5.7 Proses Manajemen, Teknik Pengolahan dan Teknik Analisis Data 5.7.1 Proses Manajemen Data Manajemen data merupakan suatu tahapan yang penting dalam proses penelitian yang memerlukan analisis data setelah data terkumpul. Manajemen data bertujuan untuk memperoleh data yang bersih sehingga siap untuk dianalisis. Adapun tahapan manajemen data yaitu pengumpulan data, editing data, koding data, memasukkan data ke komputer (entry data), pembersihan data (clearing data), transformasi data dan kemudian analisis data. 5.7.2 Teknik Pengolahan Data Keterangan lebih lanjut tentang cara mengolah data yang berupa variabel pelayanan dasar (imunisasi dasar dan vitamin A dosis tinggi) dan pola konsumsi prebiotik adalah sebagai berikut : 1. Pelayanan Dasar (imunisasi dasar dan vitamin A dosis tinggi) Variabel pelayanan dasar yang diteliti imunisasi dasar dan vitamin A dosis tinggi. Skor dihitung berdasarkan konsumsi vitamin A dosis tinggi dan imunisasi dasar yang diperoleh. Berdasarkan literatur,
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
67
imunisasi dasar yang berpengaruh terhadap kejadian ISPA adalah imunisasi BCG, DPT, dan campak. Variabel imunisasi dasar (BCG, DPT, dan campak) dan vitamin A dosis tinggi pengolahannya dengan cara pemberian skor seperti tersaji pada Tabel 5.2. Tabel 5.2 Pemberian skor imunisasi dasar (BCG, DPT, dan campak) dan vitamin A dosis tinggi Pelayanan Kesehatan Dasar Imunisasi BCG Imunisasi DPT
Imunisasi Campak Vitamin A dosis tinggi
1. 2. 1. 2. 3. 1. 2. 1. 2.
Kategori
Skor
tidak dapat dapat tidak dapat ya, tidak lengkap ya, lengkap tidak dapat dapat 0 kali 1 kali
0 2 0 1 2 0 2 0 2
Pengkategorian pelayanan dasar menggunakan sistem skoring dengan nilai minimal 0 dan maksimal 8. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5.3. Tabel 5.3 Pengkategorian pelayanan dasar Skor 0–3 4–6 7–8
Jenis kategori Rendah Sedang Tinggi
2. Pola (jenis dan frekuensi) Konsumsi Bahan Pangan Prebiotik Hasil penelitian diambil 31 jenis makanan sumber prebiotik dengan Food Frequency.
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
68
Tabel 5.4 Cara skoring pengolahan data pola konsumsi bahan pangan prebiotik Frekuensi Harian Mingguan Bulanan
Skor 3 2 1
Skor maksimal (skor x 31) 93 62 31
Pengkategorian pola konsumsi bahan pangan prebiotik dibagi menjadi 3 yang tersaji pada Tabel 5.5. Tabel 5.5 Pengkategorian pola konsumsi bahan pangan prebiotik kriteria 1 2 3
Skor 0 s/d 31 32 s/d 62 63 s/d 93
5.7.3 Teknik Analisis Data Variabel dependen
Kejadian ISPA (Nominal)
Skripsi
Pola Konsumsi prebiotik (Ordinal)
Variabel independen
Uji Statitik Chi Square
Pelayanan dasar (Ordinal)
Chi Square
Jenis Kelamin Balita (Nominal)
Chi Square
Umur Balita (Ordinal)
Chi Square
Status Gizi Balita (Ordinal)
Chi Square
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB VI HASIL PENELITIAN
6.1 Gambaran Umum Wilayah Penelitian 6.1.1 Keadaan Geografis Kecamatan Geger dengan luas wilayah ± 123.400 Km² yang berada di tengah-tengah Kabupaten Bangkalan. Wilayah Kecamatan Geger berada pada ketinggian antara 75 - 100 m diatas permukaan air laut. Kecamatan Geger terbagi menjadi 13 desa dan 77 kelurahan. Di wilayah Kecamatan Geger terdapat dataran tinggi ± 75 % yaitu Desa Geger, Desa Kombangan, Desa Lerpak, Desa Batobella, Desa Batogubang, Desa Kampak dan Desa Dabung. 35 % adalah dataran rendah seperti Desa Kompol, desa Campor. Adapun batas – batas wilayah Kecamatan Geger adalah : 1. Disebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Sepulu dan Klampis. 2. Disebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Kokop, Kecamatan Galis dan Konang 3. Disebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Tanah Merah, Kecamatan Burneh dan Kecamatan Galis 4. Disebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Arosbaya. 6.1.2 Keadaan Demografi Jumlah penduduk di kecamatan Geger tahun 2008 sebesar 57.258 jiwa yang terdiri dari 24.672 jiwa penduduk laki-laki (43.089%) dan 32.586 jiwa penduduk perempuan ( 56.911 ) jadi penduduk dapat dilihat perbandingan
69 Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
70
penduduk laki terhadap perempuan ( Sex ratio ) berarti penduduk perempuan lebih besar. Tabel 6.1 Pembagian penduduk berdasarkan jenis pekerjaan tahun 2008 Jenis Pekerjaan Peternak Industri kecil Petani Pedagang Buruh PNS Transportasi Pensiunan ABRI
Jumlah (orang) 19.160 11.358 1.732 716 290 261 140 35 13
Persentase (%) 56,85 33,70 5,14 2,12 0,86 0,77 0,42 0,10 0,04
6.1.3 Sarana Kesehatan Sarana pelayanan kesehatan yang ada di Kecamatan Geger ada dua macam yaitu sarana kesehatan berbasis pemerintah dan sarana kesehatan dengan peran serta masyarakat. Tabel 6.2 Sarana pelayanan kesehatan yang ada di Kecamatan Geger tahun 2008 Jenis
Jumlah (unit) 1 4 7 1
Puskesmas Pustu Polindes Pusling
Tabel 6.3 Sarana pelayanan kesehatan dengan peran serta masyarakat tahun 2008 Jenis Dukun bayi Kader kesehatan Guru UKS Kader usila Kelompok usia lanjut Posyandu Posyandu lansia
Skripsi
Jumlah 40 orang 29 orang 41 orang 7 orang 5 kelompok 63 buah 5 buah
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
71
6.1.4 Data Tenaga Kesehatan Tenaga kesehatan merupakan aspek penting dalam peningkatan derajat kesehatan. Tanpa sumber daya kesehatan yang cukup dalam hal kuantitas dan kualitas, kesehatan yang optimal tidak akan terwujud dengan mudah. Tabel 6.4 Jumlah tenaga kesehatan yang ada di Kecamatan Geger tahun 2008 Jenis Dokter Dokter Gigi SKM Bidan induk Bidan desa Perawat Perawat gigi Sanitarian Tenaga administrasi
Jumlah (orang) 2 1 1 2 9 8 1 1 2
6.2 Karakteritik Anak Balita 6.2.1 Umur Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi anak Balita. Kategori kelompok umur dalam penelitian ini dibagi menjadi 3 yaitu umur 2 tahun, 3 tahun dan 4 tahun. Distribusi kelompok umur sampel penelitian secara lengkap disajikan pada Tabel 6.5. Tabel 6.5 Distribusi sampel penelitian menurut kelompok umur tahun 2009 Umur anak Balita 2 tahun (25 – 36 bulan) 3 tahun (37 – 48 bulan) 4 tahun (49 – 60 bulan) Total
Jumlah (jiwa) 13 11 6 30
Persentase (%) 43,3 36,7 20 100
Berdasakan distribusi kelompok umur, anak Balita yang menjadi sampel penelitian kebanyakan berumur 2 tahun dengan persentase 43,3 %.
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
72
Sedangkan anak Balita yang berumur 4 tahun jumlahnya paling sedikit yaitu sebanyak 6 jiwa atau 20 %. Berdasarkan umur dalam bulan, anak Balita sampel penelitian paling banyak berumur 27 bulan yaitu sebesar 23,3 %. Balita dengan umur paling kecil yaitu 25 bulan dan anak Balita paling besar berumur 58 bulan. 6.2.2 Jenis Kelamin Jenis kelamin merupakan faktor penting dalam penentuan status gizi balita. Jenis kelamin laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan interpretasi dalam penentuan status gizi sehingga ketersediaan data jenis kelamin sangat diperlukan. Distribusi sampel penelitian menurut jenis kelamin secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 6.6. Tabel 6.6 Distribusi sampel penelitian menurut jenis kelamin tahun 2009 Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Total
Jumlah (jiwa) 12 18 30
Persentase (%) 40 60 100
Tabel 6.6 menunjukkan jenis kelamin responden yang paling banyak adalah laki-laki dengan jumlah 18 jiwa atau 60 %. Sedangkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 12 jiwa atau 40 %. 6.2.3 Status Gizi 1. Berdasarkan Indikator BB/U Status gizi anak Balita berdasarkan WHO-NCHS dengan indikator berat badan menurut umur dibedakan menjadi 4 kategori status gizi yaitu gizi lebih, gizi baik, kurang gizi dan gizi buruk. Pada penelitian ini status gizi anak Balita hanya ada 2 yaitu gizi kurang dan gizi buruk karena
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
73
sampel adalah anak Balita BBR. Status gizi sampel penelitian berdasarkan indikator BB/U tersaji dalam Tabel 6.7. Tabel 6.7 Distribusi sampel penelitian berdasarkan indikator BB/U tahun 2009 Status gizi BB/U Gizi kurang Gizi buruk Total
Jumlah (jiwa) 25 5 30
Persentase (%) 83,3 15,7 100
Balita sampel penelitian sebagian besar mengalami kurang gizi yaitu sebanyak
25 jiwa atau 83,3 %. Sampel penelitian ada yang
mengalami gizi buruk yaitu sebanyak 5 jiwa atau 15,7 %. 2. Berdasarkan Indikator TB/U Status gizi anak Balita berdasarkan WHO-NCHS dengan indikator tinggi badan menurut umur dibedakan menjadi 4 kategori status gizi yaitu tinggi, normal, pendek dan sangat pendek. Sebagian besar sampel penelitian mengalami status gizi pendek sebanyak 14 jiwa (46,7 %). Sedangkan anak Balita dengan status gizi sangat pendek sebanyak 12 jiwa (40 %) dan normal sebanyak 4 jiwa (13,3 %). Data status gizi anak Balita dengan indikator TB/U dapat dilihat pada Tabel 6.8. Tabel 6.8 Distribusi sampel penelitian berdasarkan indikator TB/U tahun 2009 Status gizi TB/U Normal Pendek Sangat pendek Total
Jumlah (jiwa) 4 14 12 30
Persentase (%) 13,3 46,7 40 100
3. Berdasarkan Indikator BB/TB Stunting dapat dipantau dengan indikator berat badan menurut tinggi badan. Status gizi sampel penelitian / anak Balita, berdasarkan
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
indikator
74
BB/TB WHO-NCHS dibedakan menjadi 4 kategori yaitu
gemuk, normal, kurus dan sangat kurus. Tabel 6.9 Distribusi sampel penelitian berdasarkan indikator BB/TB tahun 2009 Status gizi BB/TB Jumlah (jiwa) Persentase (%) Normal 25 83,3 Kurus 2 6,7 Sangat kurus 3 10 Total 30 100 Tabel 6.9 menggambarkan sebagian besar anak Balita yang menjadi sampel penelitian berdasarkan indikator BB/TB memiliki status gizi normal yaitu sebanyak 25 jiwa (83,3 %). Anak Balita dengan status gizi kurus dan sangat kurus masing yaitu 2 jiwa (6,3 %) dan 3 jiwa (10 %). 6.3 Karakteristik Keluarga 6.3.1 Jumlah Anggota Keluarga Jumlah anggota keluarga dapat berkaitan dengan distribusi makanan yang ada dalam keluarga atau rumah tangga tersebut. Dari kuesioner didapatkan hasil jumlah anggota keluarga sampel penelitian yang tersaji pada Tabel 6.10. Tabel 6.10 Distribusi anggota keluarga sampel penelitian menurut jumlah anggota keluarga tahun 2009 Jumlah anggota keluarga ≤4 ≥5 Total
Jumlah (jiwa) 9 21 30
Persentase (%) 30 70 100
Tabel 6.10 menunjukkan bahwa sebagian besar anak Balita sampel penelitian berada pada keluarga dengan jumlah lebih sama dengan dari 5 jiwa. Anak Balita yang berada pada jumlah keluarga tersebut sebanyak 21
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
75
jiwa (70 %). Sedangkan anak Balita yang berada pada jumlah anak Balita kurang dari sama dengan 4 jiwa hanya sebanyak 9 jiwa atau 30 %. Sebagian besar anak Balita sampel penelitian berada pada keluarga dengan jumlah anggota keluarga 5 jiwa yaitu sebesar 10 anak Balita (33,3 %). Anak Balita pada keluarga dengan jumlah anggota keluarga 6 jiwa sebesar 23,3 %, dengan jumlah 7 jiwa sebesar 10 % dan dengan jumlah 9 jiwa sebesar 3,3 %. Anak Balita dengan jumlah keluarga ideal yaitu 4 jiwa sebanyak 7 anak Balita (23,3 %). Hanya ada 2 anak Balita dengan jumlah keluarga 3 jiwa (10 %). 6.3.2 Pendidikan Orang Tua Pendidikan merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan untuk mengkaji status gizi maupun status kekebalan tubuh balita. Pendidikan dapat dikaitkan dengan tingkat pengetahuan yang dipunyai oleh seseorang. Data pendidikan dari hasil kuesioner dibedakan menjadi dua yaitu pendidikan ayah dan pendidikan ibu. Tabel 6.11 Distribusi tingkat pendidikan ayah sampel penelitian tahun 2009 Tingkat pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Perguruan Tinggi (PT) Total
Jumlah (jiwa) 5 3 12 8 1 1 30
Persentase (%) 16,7 10 40 26,7 3,3 3,3 100
Tabel 6.11 menunjukkan mayoritas pendidikan ayah sampel penelitian adalah tamatan SD yaitu sebanyak 12 jiwa (40 %). Sedangkan frekuensi pendidikan yang paling sedikit yaitu SLTA dan PT yaitu masing-
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
76
masing sebanyak 1 jiwa (3,3 %). Tingkat pendidikan ibu sampel penelitian dapat dilihat pada Tabel 6.12. Tabel 6.12 Distribusi tingkat pendidikan ibu sampel penelitian tahun 2009 Tingkat pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Perguruan Tinggi (PT) Total
Jumlah (jiwa) 4 7 12 3 3 1 30
Persentase (%) 13,3 23,3 40 10 10 3,3 100
Tingkat pendidikan ibu yang menjadi sampel penelitian tidak jauh berbeda dengan tingkat pendidikan ayah. Mayoritas ibu anak Balita berpendidikan tamat SD yaitu sebanyak 12 jiwa (40 %). Sedangkan yang berpendidikan PT jumlahnya paling sedikit yaitu sebanyak 1 jiwa atau 3,3%. 6.3.3 Umur Ibu Dari hasil wawancara didapatkan distribusi umur ibu yang menjadi sampel penelitian berdasarkan kelompok umur. Umur ibu dikelompokkan menjadi 4 kriteria seperti terdapat pada Tabel 6.13. Tabel 6.13 Distribusi umur ibu sampel penelitian tahun 2009 Umur ibu balita 11 – 20 tahun 21 – 30 tahun 31 – 40 tahun 41 – 50 tahun Total
Jumlah (jiwa) 2 14 13 1 30
Persentase (%) 6,7 46,7 43,3 3,3 100
Tabel 6.13 terlihat rata-rata ibu anak Balita yang menjadi sampel penelitian berumur 21 - 30 tahun dan 31 – 40 tahun yaitu masing-masing sebanyak 14 jiwa (46,7 %) dan 13 jiwa (43,3 %). Sedangkan distribusi umur
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
77
ibu anak Balita 11 – 20 tahun dan 41 - 50 tahun yaitu masing-masing 2 jiwa (6,7 %) dan 1 jiwa (3,3 %). Ibu anak Balita kebanyakan berada pada umur 35 tahun yaitu sebanyak 7 jiwa atau 23,3 %. Ibu anak Balita dengan umur paling muda berumur 18 tahun. Sedangkan ibu anak Balita paling tua berumur 45 tahun. 6.3.4 Pekerjaan Utama Orang Tua Pekerjaan utama yaitu pekerjaan yang menjadi sumber penghasilan utama keluarga. Dari kuesioner didapat hasil pekerjaan utama orang yang disajikan pada Tabel 6.14. Tabel 6.14 Distribusi pekerjaan utama orang tua anak Balita tahun 2009 Pekerjaan utama orang tua Petani tanpa lahan Petani punya lahan Buka toko atau dagang PNS Pegawai swasta Buruh lainnya Ojek/sopir Total
Jumlah (jiwa) 9 6 6 2 1 2 4 30
Persentase (%) 30 20 20 6,7 3,3 6,7 13,3 100
Pekerjaan utama orang tua dari sampel penelitian yaitu petani tanpa lahan sendiri yaitu sebanyak 9 jiwa atau 30 %. Sedangkan pekerjaan yang paling sedikit yang dijalani sampel penelitian yaitu pegawai swasta 1 jiwa atau 3,3 %. 6.4 Pola Konsumsi Bahan Pangan Prebiotik Prebiotik merupakan makanan yang dapat meningkatkan kekebalan tubuh atau imunitas tubuh. Konsumsi prebiotik dapat diperoleh dari produk buatan dan dapat diperoleh dari sumber makanan sehari-hari. Pola konsumsi
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
78
prebiotik untuk anak Balita yang menjadi sampel penelitian tersaji pada Tabel 6.15. Tabel 6.15 Pola konsumsi (jenis dan frekuensi) bahan pangan prebiotik pada anak Balita tahun 2009
Tidak pernah
Sumber prebiotik
Gandum dan olahannya 1. Roti 2. Biskuit, cookies, wafer 3. Mie instan Jagung dan olahannya 1. Jagung Umbi-umbian 1. Ubi jalar 2. Kentang 3. Ketela 4. Garut Kacang-kacangan dan olahannya 1. Kedelai 2. Kacang hijau 3. Kacang tanah 4. Tempe 5. Tahu Sayuran Hijau Daun 1. Bayam 2. Kangkung 3. Sawi 4. Kacang Panjang Sayuran selain sayur hijau 1. Wortel 2. Tomat 3. Asparagus 4. Kubis 5. Buncis
Skripsi
Frekuensi Bulanan Mingguan Harian (1 / (1 / Jarang/ (minimal beberapa beberapa 1 x per musiman kali kli per hari) perbulan) mgg n % n % n % n %
n
%
2 1 3
6,7 7 23,3 3,3 5 16,7 10 12 40
6 20 4 13,3 2 6,7
7 7 7
23,3 8 26,7 23,3 13 43,3 23,3 6 20
3
10
5
16,3
8 26,6
3 10 2 6,7 5 16,7 0 0
4 3 1 0
13,3 10 3,3 0
2 1 3 0
21 70 6 26,7 6 20 18 60 4 13,3 11 36,7 0 0 0 0 0 0 0 0
1 3 3 1 1
3,3 10 10 3,3 3,3
0 2 6 7 7
0 0 0 6,7 1 3,3 20 6 20 23,3 22 73,3 23,3 22 73,3
0 0 4 13,3 7 23,3 24 80
5 16,7 2 6,7 7 23,3 0 0
1 1 1 1
3,3 3,3 3,3 3,3
12 14 10 5
40 12 40 46,7 9 30 33,7 5 16,7 16,7 0 0
3 10 10 33,3 3 10 9 30 27 90 2 6,7 29 96,7 1 3,3 8 26,6 12 40
1 3 0 0 1
3,3 10 0 0 3,3
10 8 1 0 6
33,3 26,7 3,3 0 20
4 13,3 10 33,3 6 12 3 24
20 15 40 12 10 18 80 6
50 40 60 20
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
6,7 3,3 10 0
6 20 7 23,3 0 0 0 0 3 10
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
79
Lanjutan Tabel 6.15 Pola konsumsi (jenis dan frekuensi) bahan pangan prebiotik pada anak Balita tahun 2009
Sumber prebiotik
Tidak pernah N
Sayuran pelengkap 1. Bawang prei 2. Bawang Putih 3. Bawang Merah Buah-buahan 1. Pisang 2. Mangga 3. Pepaya 4. Apel 5. Jeruk 6. Jambu biji
%
7 23,3 0 0 0 0 4 2 4 8 5 7
13,3 6,7 13,3 26,7 16,7 23,3
Frekuensi Bulanan Mingguan Harian (1 / (1 / (minimal Jarang/ beberapa beberapa 1 x per musiman kali kli per hari) perbulan) mgg n % n % n % n % 3 0 0
10 0 0
13 20 15 14 17 15
43,3 66,7 50 46,7 56,7 50
1 0 0
3,3 0 0
7 8 8
23,3 12 40 26,7 22 73,3 26,7 22 73,3
5 16,7 3 10 2 6,7 2 6,7 2 6,7 3 10
4 2 6 4 4 2
13,3 6,7 20 13,3 13,3 6,7
4 13,3 3 10 3 10 2 6,7 2 6,7 3 10
Konsumsi harian tertinggi yaitu sumber prebiotik jenis kacangkacangan dan olahannya (berupa tahu dan tempe) dan sayuran pelengkap (berupa bawang merah dan bawang putih) sebesar 73,3 %. Konsumsi harian tertinggi kedua yaitu makanan olahan dari bahan dasar gandum (tepung terigu) berupa biskuit, cookies atau wafer sebesar 43,3 %. Konsumsi sumber prebiotik yang dikonsumsi mingguan yang paling tinggi yaitu konsumsi sayuran hijau berupa kangkung sebanyak 46,7 %. Sedangkan tertinggi kedua yaitu sawi dan wortel masing-masing sebesar 33,3%. Untuk konsumsi bulanan yang tertinggi yaitu ketela dan pisang masing-masing sebesar 16,7 %.
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
80
6.5 Imunisasi Dasar 6.5.1 Distribusi Imunisasi BCG Imunisasi BCG merupakan imunisasi yang ditujukan untuk menimbulkan kekebalan terhadap penyakit TB. Klasifikasi imunisasi BCG dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu tidak dapat (0 kali) dan dapat (1 kali). Distribusi imunisasi BGC pada anak Balita sampel penelitian tersaji pada Tabel 6.16. Tabel 6.16 Distribusi imunisasi BCG pada anak Balita tahun 2009 Imunisasi BCG Tidak dapat Dapat Total
Jumlah (jiwa) 2 28 30
Persentase 6,7 % 93,3 % 100 %
Dari Tabel 6.16 terlihat masih ada anak Balita sampel penelitian yang tidak mendapatkan imunisasi BCG yaitu sebanyak 2 jiwa (6,7 %). Sedangkan anak Balita yang mendapat imunisasi BCG sebesar 93,3 % atau sejumlah 28 jiwa. 6.5.2 Distribusi Imunisasi Hepatitis B (HB) Imunisasi HB untuk menimbulkan kekebalan terhadap virus hepatitis. Dikatakan lengkap jika anak Balita sudah mendapatkan imunisasi ini sebanyak 4 kali. Klasifikasi anak Balita yang mendapatkan imunisasi HB pada sampel penelitian dibedakan menjadi 3 yaitu tidak dapat (0 kali), ya, tidak lengkap (1 – 3 kali) dan ya, lengkap (4 kali).
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
81
Tabel 6.17 Distribusi imunisasi Hepatitis B pada anak Balita tahun 2009 tahun 2009 Imunisasi hepatitis B Tidak dapat (0 kali) Ya, tidak lengkap (0 - 3 kali) Ya, lengkap (4 kali) Total
Jumlah (jiwa) 3 6 21 30
Persentase (%) 10 20 70 100
Anak Balita yang menjadi sampel penelitian masih ada yang belum mendapatkan imunisasi HB sebanyak 3 jiwa (10 %). Sedangkan anak Balita yang mendapatkan imunisasi HB tidak lengkap sebanyak 6 jiwa (20 %) dan anak Balita dengan imunisasi HB lengkap sebanyak 21 jiwa (70%). 6.5.3 Distribusi Imunisasi DPT Imunisasi DPT merupakan salah satu imunisasi yang diberikan secara
cuma-cuma
oleh
pemerintah
kepada
bayi.
Imunisasi
ini
menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit dipteri, batuk rejan dan tetanus. Pada penelitian ini klasifikasi imunisasi dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu tidak dapat (0 kali), ya, tidak lengkap (1-2 kali) dan ya, lengkap (3 kali). Cakupan imunisasi DPT pada anak Balita yang menjadi sampel penelitian secara lengkap tersaji pada Tabel 6.18. Tabel 6.18 Distribusi imunisasi DPT pada anak Balita tahun 2009 Imunisasi DPT Tidak dapat (0 kali) Ya, tidak lengkap (1-2 kali) Ya, lengkap (3 kali) Total
Jumlah (jiwa) 3 6 21 30
Persentase (%) 10 20 70 100
Distribusi imunisasi DPT pada sampel penelitian tidak berbeda dengan distribusi imunisasi HB. Pada Tabel 6.18 terlihat bahwa anak Balita yang tidak mendapat imunisasi DPT sebanyak 3 jiwa (10 %), imunisasi
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
82
DPT tidak lengkap 6 jiwa (20 %) dan anak Balita dengan imunisasi DPT lengkap sebanyak 21 jiwa (70 %). 6.5.4 Distribusi Imunisasi Polio Imunisasi polio diberikan kepada anak Balita sebanyak 4 kali. Imunisasi ini di Indonesia diberikan dalam bentuk tetes. Klasifikasi imunisasi polio pada penelitian ini yaitu tidak dapat (0 kali), ya, tidak lengkap (1-3 kali) dan ya, lengkap (4 kali). Pada anak Balita tidak ada yang tida mendapat imunisasi polio. Tetapi masih ada anak Balita yang mendapat imunisasi polio tidak lengkap sebanyak 2 jiwa (6,7 %). Sedangkan anak Balita dengan imunisasi polio lengkap yaitu sebanyak 28 jiwa atau 93,3 %. Adapun distribusi imunisasi polio pada anak Balita yang menjadi sampel penelitian tersaji pada Tabel 6.19. Tabel 6.19 Distribusi imunisasi Polio pada anak Balita tahun 2009 Imunisasi Polio Tidak dapat (0 kali) Ya, tidak lengkap (1-3 kali) Ya, lengkap (4 kali) Total
Jumlah (jiwa) 0 2 28 30
Persentase (%) 0 6,7 93,3 100
6.5.5 Distribusi Imunisasi Campak Imunisasi campak adalah imunisasi untuk menberikan kekebalan aktif terhadap penyakit campak. Imunisasi ini diberikan 1 kali pada bayi umur di bawah 9 bulan. Klasifikasi imunisasi campak dan distribusinya dapat dilihat pada Tabel 6.20. Tabel 6.20 Distribusi imunisasi Campak pada anak Balita tahun 2009 Imunisasi Campak Tidak dapat (0 kali) Dapat (1 kali) Total
Skripsi
Jumlah (jiwa) 3 27 30
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
Persentase (%) 10 90 100
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
83
Anak Balita yang mendapat imunisasi campak sebanyak 27 jiwa (90 %) dari 30 jiwa yang menjadi sampel penelitian. Sedangkan anak Balita yang tidak mendapat imunisasi campak sebanyak 3 jiwa atau 10 %. 6.6 Vitamin A Dosis Tinggi Vitamin A dosis tinggi merupakan program pemerintah yang diberikan 2 kali pada tiap tahunnya yaitu pada bulan Februari dan Agustus. Dalam penelitian ini diamati konsumsi vitamin A dosis tinggi pada anak Balita sampel penelitian selama 6 bulan terakhir. Tabel 6.21 Distribusi vitamin A dosis tinggi pada anak Balita dalam 6 bulan terakhir tahun 2009 Vitamin A dosis tinggi Tidak dapat (0 kali) Dapat (1 kali) Total
Jumlah (jiwa) 0 30 30
Persentase (%) 0 100 100
Dari Tabel 6.21 terlihat semua anak Balita sampel penelitian sudah mengkonsumsi vitamin A dosis tinggi. 6.7 Kejadian ISPA selama 3 Bulan Terakhir ISPA merupakan penyakit infeksi yang sering masuk 10 besar penyakit yang diderita anak Balita. Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian, kejadian ISPA pada sampel penelitian tersaji pada Tabel 6.22. Tabel 6.22 Distribusi kejadian ISPA pada anak Balita selama 3 bulan terakhir tahun 2009 Kejadian ISPA Ya Tidak Total
Jumlah (jiwa) 18 12 30
Persentase (%) 60 40 100
Berdasarkan Tabel 6.22 terlihat bahwa selama 3 bulan terakhir sebelum penelitian diadakan, anak Balita yang mengalami ISPA sebanyak 18
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
84
jiwa (60 %). Sedangkan anak Balita yang tidak mengalami lebih kecil yaitu sejumlah 12 jiwa atau 40 %. 6.8 Faktor Risiko ISPA Berdasarkan Karakteristik Anak Balita 6.8.1 Kejadian ISPA Berdasarkan Umur Umur merupakan salah satu faktor risiko terjadinya ISPA. Pada penelitian ini dilakukan uji statistik untuk mengetahui perbedaan umur dengan kejadian ISPA. Tabel 6.23 merupakan hasil tabulasi silang antara kelompok umur dengan kejadian ISPA pada sampel penelitian. Tabel 6.23 Tabulasi silang kejadian ISPA dengan kelompok umur tahun 2009
Kelompok Umur 2 tahun 3 tahun 4 tahun Total
Kejadian ISPA Tidak Ya n % n 3 23,1 10 7 63,3 4 2 33,3 4 21 40 18
% 76,9 36,4 16,7 60
Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square dengan tingkat kemaknaan 90 % (α = 0,1) diperoleh nilai signifikasi ( ρ ) sebesar 0,201. Nilai signifikasi ( ρ ) lebih besar dari pada alfa ( α ) sehingga tidak ada perbedaan kejadian ISPA antara umur 2 tahun, 3 tahun dan 4 tahun. 6.8.2 Kejadian ISPA Berdasarkan Jenis Kelamin Salah satu faktor yang menjadi faktor risiko kejadian ISPA pada anak Balita adalah faktor jenis kelamin. Tabel 6.24 merupakan tabulasi silang antara jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) dengan kejadian ISPA pada anak Balita yang menjadi sampel penelitian.
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
85
Tabel 6.24 Tabulasi silang kejadian ISPA dengan jenis kelamin tahun 2009
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Total
Kejadian ISPA Tidak Ya n % n 6 50 6 6 33,3 12 12 40 18
% 50 66,7 60
Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square dengan dengan tingkat kemaknaan 90 % (α = 0,1) diperoleh nilai signifikasi ( ρ ) sebesar 0,458. Jadi tidak ada perbedaan kejadian ISPA pada anak Balita umur 2 - 5 tahun antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan. 6.8.3 Kejadian ISPA Berdasarkan Status Gizi Pada penelitian ini dilakukan uji statistik untuk mengetahui perbedaan kejadian ISPA dengan status gizi anak Balita penelitian yaitu status gizi kurang dan buruk. Hasil tabulasi silang antara status gizi dan kejadian ISPA tersaji pada Tabel 6.25. Tabel 6.25 Tabulasi silang kejadian ISPA dengan status gizi kurang dan buruk tahun 2009
Status Gizi Gizi kurang Gizi buruk Total
Kejadian ISPA Tidak Ya n % n 11 44 14 1 20 4 21 70 9
% 56 80 30
Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square dengan dengan tingkat kemaknaan 90 % (α = 0,1) diperoleh nilai signifikasi ( ρ ) sebesar 0,622. Jadi tidak ada perbedaan kejadian ISPA pada anak Balita umur 2 - 5 tahun antara anak Balita dengan status gizi kurang dan anak Balita dengan status gizi buruk.
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
86
6.9 Hubungan Pola Konsumsi Bahan Pangan Prebiotik dengan Kejadian ISPA Prebiotik merupakan bahan makanan yang mendukung imunitas anak Balita, utamanya imunitas dalam saluran cerna. Pada penelitian ini dilakukan uji statistik untuk melihat hubungan antara pola (jenis dan jumlah) konsumsi prebiotik dengan kejadian ISPA. Skor pola konsumsi prebiotik dibagi menjadi 3 kelompok yaitu 0 s/d 31, 32 s/d 62 dan 63 s/d 93 yang tersaji dalam hasil tabulasi silang dengan kejadian ISPA pada Tabel 6.26. Tabel 6.26 Tabulasi silang kejadian ISPA dengan pola konsumsi bahan pangan prebiotik tahun 2009 Pola konsumsi bahan pangan prebiotik 0 – 31 32 – 62 63 – 93 Total
Kejadian ISPA Tidak Ya n % n 5 38,5 8 7 41,2 10 0 0 0 12 40 18
% 61,5 58,8 0 60
Berdasarkan hasil uji statistik dengan nilai alfa ( α ) sebesar 10 % (0,1), nilai signifikasi sebesar 1,000. Nilai ρ > α, maka tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pola konsumsi prebiotik dengan kejadian ISPA. 6.10 Hubungan Pelayanan Dasar (Imunisasi Dasar dan Vitamin A Dosis Tinggi) dengan Kejadian ISPA Imunisasi dasar dan vitamin A dosis tinggi merupakan cara memberikan kekebalan tubuh terhadap serangan penyakit. Pada penelitian ini mencari hubungan antara pelayanan dasar (imunisasi dan vitamin A dosis tinggi) dengan kejadian ISPA pada anak Balita kurang gizi umur 2 – 5
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
87
tahun. Hasil tabulasi silang antara pelayanan dasar dengan kejadian ISPA dapat dilihat pada Tabel 6.27. Tabel 6.27 Tabulasi silang kejadian ISPA dengan pelayanan dasar (imunisasi dasar dan vitamin A dosis tinggi) tahun 2009 Skor pelayanan gizi dasar dan kesehatan Rendah (0 – 3) Sedang (4 – 6) Tinggi (7 – 8) Total
Kejadian ISPA Tidak Ya n % n 0 0 1 0 0 5 12 50 12 12 40 18
% 100 100 50 60
Uji statistik Chi Square dengan tingkat kemaknaan 90 % ( α = 0,1 ) untuk melihat hubungan antara pelayanan dasar (imunisasi dasar dan vitamin A dosis tinggi) dengan kejadian ISPA. Dari uji didapatkan nilai signifikasi 0,057. Nilai ρ < α sehingga berdasarkan uji statistik ada hubungan signifikan antara pelayanan dasar (imunisasi dasar dan vitamin A dosis tinggi) dengan kejadian ISPA.
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB VII PEMBAHASAN
7.1 Karakteritik Anak Balita 7.1.1 Umur Umur merupakan variabel penting dalam penentuan status gizi (Supariasa dkk, 2002). Kesalahan penentuan umur akan berdampak pada kesalahan interprestasi status gizi. Penelitian ini memiliki sampel dengan kriteria status gizi yang didasarkan pada status gizi dengan indeks utama BB/U sehingga umur sangat vital dalam penelitian ini. Bayi dan anak Balita merupakan kelompok yang kekebalan tubuhnya belum sempurna, sehingga masih rentan terhadap berbagai penyakit infeksi. Semakin muda usia anak, maka akan semakin sering mendapat serangan ISPA. Insiden ISPA tertinggi pada umur 6 –12 bulan (Depkes RI, 2001) Dari hasil yang telah diperoleh, distribusi balita terbanyak pada sampel penelitian terdapat pada kelompok umur 2 tahun yaitu sebesar 43,3%. Semakin bertambahnya umur yaitu umur 3 tahun dan 4 tahun, distribusi jumlah anak Balita semakin sedikit. Pada kelompok umur 3 tahun terdapat 36,7 % dan pada kelompok umur 4 tahun jumlah anak Balitanya paling sedikit yaitu sebesar 20 %. 7.1.2 Jenis Kelamin Jenis kelamin merupakan faktor terpenting dalam penentuan status gizi. Kesalahan penentuan jenis kelamin akan mengakibatkan kesalahan penentuan interprestasi status gizi yang dialami anak Balita. Penelitian ini
88 Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
89
merupakan penelitian dengan kriteria utama status gizi sehingga faktor jenis kelamin tidak bisa ditinggalkan. Jenis kelamin laki-laki memiliki risiko terkena ISPA pneumonia lebih tinggi dari pada perempuan (Depkes RI, 2001). Bila dihubungkan dengan status gizi, sesuai dengan analisis data Susenas 1998 yang mengatakan secara umum status gizi anak Balita perempuan lebih baik dibandingkan status gizi laki-laki. Distribusi sampel penelitian antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan ada perbedaan. Jumlah jenis kelamin perempuan sebesar 60 % dan jenis kelamin laki-laki sebesar 40 %. Jadi jumlah kelamin perempuan lebih besar 1 ½ dari pada jumlah kelamin laki-laki. 7.1.3 Status Gizi Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan anak Balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan anak Balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, anak Balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan serangannya lebih lama (Depkes RI, 2001). Berat badan dan tinggi badan adalah salah satu parameter penting untuk menentukan status kesehatan manusia, khususnya yang berhubungan dengan status gizi. Penggunaan Indeks BB/U, TB/U dan BB/TB merupakan indikator status gizi untuk melihat adanya gangguan fungsi pertumbuhan dan komposisi tubuh (Depkes RI, 2004).
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
90
Indikator BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini (saat diukur) karena mudah berubah (Soekirman, 2000). Berdasarkan indikator BB/U terlihat jumlah anak Balita dengan gizi kurang lebih besar 5 kali dari pada jumlah anak Balita yang mengalami gizi buruk. Dari sampel distribusi status gizi BB/U menggambarkan bahwa sampel penelitian sudah sesuai karena sampel penelitian mengalami kurang gizi atau BBR. Indikator TB/U menggambar status gizi masa lalu kurang gizi kronis (Soekirman, 2000). Berdasarkan hasil yang didapat dengan indikator TB/U, didapatkan jumlah anak Balita yang memiliki status gizi normal sebanyak 13,3 %, Pendek sebanyak 46,7 % dan sangat pendek sebanyak 40 %. Seseorang yang mengalami TB/U pendek atau sangat pendek (stunting), kemungkinan keadaan gizi masa lalu tidak baik dan keadaan sosial ekonomi yang tidak baik pula (Soekirman, 2000). Penggunaan BB/TB akan lebih jelas dan sensitif dalam menunjukkan keadaan gizi kurang bila dibandingkan dengan penggunaan BB/U (Depkes RI, 2004). Dari hasil penelitian, berdasarkan indikator BB/TB anak Balita sampel penelitian sebagian besar memiliki status gizi normal. Sedangkan anak Balita dengan status gizi pendek 6,7 % dan anak Balita dengan sangat pendek 10 %. Berat badan berkorelasi linier dengan tinggi badan, artinya dalam keadaan normal perkembangan berat badan akan mengikuti pertambahan tinggi badan pada percepatan tertentu (Soekirman, 2000). KEP atau kekurangan gizi pada anak-anak merupakan masalah kesehatan yang serius. KEP pada anak-anak dapat menghambat
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
91
pertumbuhan, rentan terhadap penyakit terutama penyakit infeksi dan mengakibatkan rendahnya tingkat kecerdasan (Almatsier, 2004). Anak Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan anak Balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang (Depkes RI, 2001). KEP atau kekurangan gizi dapat berdampak pada kematian anak (Soekirman, 2000). Anak Balita dengan kurang gizi menjadikan morbiditas terhadap penyakit infeksi semakin tinggi dan menyebabkan mortalitas menjadi tinggi pula jika tidak segera ditangani. 7.2 Karakteristik Keluarga Sampel penelitian 7.2.1 Jumlah Anggota Keluarga Sebagian besar sampel penelitian pada jumlah keluarga di ≥ 5 jiwa. Ada sejumlah 70 % yang berada dalam kelompok keluarga dengan jumlah anggota lebih dari sama dengan 5 jiwa. Sesuai dengan program keluarga berencana, keluarga yang baik adalah keluarga dengan jumlah anak 2 orang. Pada sampel penelitian ada keluarga yang sudah sesuai dengan program KB yaitu memiliki anak 4 sejumlah 23,3 %. Jumlah anggota keluarga dapat dihubungkan dengan kecukupan makanan yang dikonsumsi oleh anak Balita. Selain itu, menurut Slamet (2000) biasanya pendapatan keluarga itu berbanding terbalik dengan jumlah anak atau anggota keluarga. Dengan demikian anak Balita yang berada pada keluarga yang besar dengan pendapat yang kurang mengakibatkan asupan gizinya lebih rendah.
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
92
7.2.2 Pendidikan Orang Tua Pendidikan orang tua (ayah dan ibu) anak Balita sampel penelitian sebagian besar berpendidikan rendah dan tidak berpendidikan, yaitu tidak tamat SD dan tamat SD serta tidak sekolah dengan persentase ± 75%. Namun ada 3,3 % orang tua anak Balita yang menjadi sampel penelitian yang memiliki pendidikan tinggi yaitu lulusan Perguruan Tinggi. Menurut Soekirman (2000) pendidikan umum berhubungan dengan ketahanan pangan keluarga dan pola pengasuhan anak. Kedua faktor tersebut merupakan penyebab tidak langsng terjadinya KEP. Pendidikan rendah yang dimiliki orang tua berdampak pada status gizi balitanya karena berhubungan pola asah, asih dan asuh kepada anak Balitanya. Pendidikan orang tua yang rendah dapat menggangu tumbuh kembang balita. Sehingga dapat mempengaruhi status gizi dan status imunitas anak Balita. 7.2.3 Umur Ibu Semua ibu berada pada kelompok usia produktif yaitu umur 15 – 50 tahun. Ibu anak Balita termuda berumur 18 tahun dan yang tertua berumur 45 tahun, yang merupakan umur produktif meski risiko terhadap kehamilan yang berbeda. Ibu anak Balita sebagian besar pada kelompok umur 21 – 30 tahun sebanyak 46,7 % yang merupakan umur paling produktif untuk hamil dan melahirkan. Terdapat 43,3 % ibu anak Balita dengan umur 31 – 40 tahun yang masih memiliki kemungkinan kehamilan yang aman meski tidak seaman kelompok umur 21 - 30 tahun.
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
93
7.2.4 Pekerjaan Utama Orang Tua Sebagian besar pekerjaan utama orang tua anak Balita sampel penelitian yaitu petani (50 %). Dari 50 % petani, 30 % adalah petani tanpa lahan yaitu petani yang mengolah lahan milik orang lain. Kondisi geografis mendukung untuk pertanian karena berada pada daerah tropis dengan curah hujan tinggi sepanjang tahun. Lahan pertanian ada yang menggunakan sawah irigasi dan ada yang tergantung dengan curah hujan. Banyak tanaman pertanian yang sesuai untuk ditanam di daerah Geger, mulai dari tanaman tahunan atau tanaman keras (mangga, jambu mente, durian, rambutan dan lain-lain) sampai tanaman palawija serta masih banyak lagi tanaman pertanian yang sesuai untuk wilayah Geger. Selain itu kondisi administrasi yang merupakan daerah pedesaan sehingga mata pencaharian utama cenderung sebagai petani. 7.3 Pola Konsumsi Bahan Pangan Prebiotik Prebiotik merupakan salah satu pangan fungsional yang dapat meningkatkan kekebalan tubuh. Prebiotik merupakan nutrisi yang sesuai bagi bakteri baik, tapi tidak cocok bagi bakteri jahat, sehingga bisa meningkatkan bakteri baik dalam usus (Gsanturi, 2002). Prebiotik secara bersama-sama dengan bakteri probiotik dalam bentuk sinbiotik direkomendasikan untuk memperbaiki kesehatan pencernaan manusia (Tuohy, Probert, Smejkal dan Gibson 2003 dalam hidayat, 2009). Makanan atau minuman anak Balita kerap kali difortifikasi dengan penambahan prebiotik jenis FOS, GOS dan inulin. Makanan atau minuman yang sering difortifikasi antara lain susu, bubur, biskuit dan lain-lain. Asupan
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
94
harian prebiotik dapat ditingkatkan melalui konsumsi secara rutin beberapa jenis pangan seperti bawang prei, artichoke, bawang putih, bawang bombay, gandum dan produk gandum, asparagus, dan pisang (NICUS, 2008). Bahan makanan yang paling sering dikonsumsi oleh sampel penelitian yaitu bahan makanan olahan kacang-kacangan yaitu tahu dan tempe serta bahan sayur pelengkap yaitu bawang merah dan bawang putih yang masingmasing dikonsumsi oleh 73,3% balita sampel penelitian. Padahal kandungan prebiotik pada tempe masih tergolong rendah. Sedangkan kandungan prebiotik bawang merah dan bawang putih memang tinggi tapi konsumsi harian sangat kecil karena merupakan bumbu dalam masakan. Bahan makanan olahan yang mengandung sumber prebiotik yang dikonsumsi harian oleh 43,3% responden yaitu biskuit/cookies/wafer. Bahan makanan ini merupakan sumber prebiotik karena berbahan dasar tepung terigu (bahan olahan gandum). Konsumsi sumber prebiotik yang dikonsumsi mingguan yang paling tinggi yaitu konsumsi sayuran hijau berupa kangkung sebanyak 46,7 % anak Balita. Sedangkan tertinggi kedua yaitu sawi dan wortel masing-masing sebesar 33,3 % anak Balita. Untuk konsumsi bulanan yang tertinggi yaitu ketela dan pisang yaitu sebesar 16,7 % anak Balita. 7.4 Imunisasi Dasar 7.4.1 Distribusi Imunisasi BCG Imunisasi BCG merupakan jenis imunisasi dasar yang diberikan pemerintah yang diberikan secara gratis. Pemberian vaksin BCG menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit tuberkulosa (Depkes RI,
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
95
2008). Bakteri penyebab tuberkulosa yaitu Mycobacterium tuberculosis dapat menyerang saluran pernafasan yaitu paru-paru. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi salah satunya imunisasi BCG, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA (Depkes RI, 2001). Distribusi imunisasi BCG di tempat penelitian masih rendah. Dari 30 sampel masih ada anak Balita yang belum mendapatkan imunisasi BCG sebanyak 6,67 %. Hal ini akan meningkatkan risiko penyakit ISPA semakin tinggi karena imunisasi merupakan faktor risiko terjadinya ISPA. Masih adanya anak Balita yang tidak mendapatkan imunisasi dapat dikarenakan kesadaran orang tua balita yang masih rendah akan pentingnya imunisasi, petugas kesehatan yang tidak terjun langsung kelapangan dan faktor geografis yaitu jauhnya rumah bidan. 7.4.2 Distribusi Imunisasi Hepatitis B (HB) Vaksin Hepatitis B ditujukan untuk pemberian kekebalan aktif terhadap infeksi yang disebabkan oleh virus hepatitis B (Depkes RI, 2008). Pada sampel penelitian yang mendapatkan imunisasi HB lengkap sebesar 70 %. Sedangkan yang mendapatkan imunisasi HB tidak lengkap sebanyak 20% dan masih ada anak Balita yang tidak mendapatkan imunisasi HB. Cakupan yang masih rendah dapat dikarenakan persepsi masyarakat yang masih rendah tentang pentingnya imunisasi ini. Ibu anak Balita masih takut karena efek yang ditimbulkan yaitu rasa panas karena imunisasi ini bersamaan dengan pemberian imunisasi DPT sehingga anak akan
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
96
menangis. Selain itu dapat berasal dari rendahnya kesedaran ibu dan dari faktor petugas kesehatan yang kurang peduli dengan masyarakatnya. Kelengkapan imunisasi dasar termasuk imunisasi HB memiliki peran dalam perjalanan penyakit ISPA meskipun memiliki peran yang lebih kecil dalam kejadian ISPA dibanding dengan imunisasi BCG, campak dan DPT. Anak Balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat (Depkes RI, 2001). 7.4.3 Distribusi Imunisasi DPT Vaksin DPT adalah vaksin yang memberikan kekebalan secara simultan terhadap penyakit difteri, pertusis, dan tetanus dalam waktu yang bersamaan (Depkes RI, 2008). Salah satu cara paling efektif untuk menurunkan kematian akibat ISPA adalah dengan pemberian imunisasi pertusis (DPT) (Depkes RI, 2001). Pemberian imunisasi DPT sekarang digabung dengan pemberian imunisasi HB sehingga disebut DPT-HB. Distribusi imunisasi DPT pada sampel penelitian masih rendah. Anak Balita yang mendapatkan imunisasi DPT lengkap sebesar 70 %. Dari 30 sampel penelitian yang mendapatkan imunisasi tidak lengkap sebanyak 20%. Sedangkan anak Balita sampel penelitian masih ada yang tidak mendapatkan imunisasi DPT yaitu sebanyak 10 %. Rendahnya imunisasi DPT dapat dikarenakan persepsi masyarakat tentang imunisasi DPT yang menyakiti anaknya. Hal ini karena bayi yang yang mendapatkan imunisasi DPT akan menangis seletah beberapa jam lamanya karena efek panas yang ditimbulkan. Selain itu imunisasi DPT yang rendah dapat dikarenakan
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
97
akses terhadap pelayanan kesehatan yang jauh dari rumah bayi. DPT sering mengakibatkan efek samping buat bayi. Jika bayi setelah diimunisasi DPT mengalami kontraindikasi yang dirasa petugas kesehatan berbahaya, maka untuk imunisasi selanjtnya tidak akan diberikan pada bayi. 7.4.4 Distribusi Imunisasi Polio Pemberian vaksin polio menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit poliomyelitis (Depkes RI, 2008). Polio (Poliomyelitis) merupakan penyebab utama paralisis pada tungkai kaki dan kelumpukan pada anakanak (Gupte, 2004). Meskipun vaksin BCG tidak berhubungan langsung dengan kejadian ISPA. Namun, anak Balita
yang mempunyai status
imunisasi lengkap seperti imunisasi polio, bila menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat (Depkes RI, 2001). Semua sampel penelitian sudah mendapatkan imunisasi Polio. Tapi ada yang mebdapatkan imunisasi polio tidak lengkap yaitu sebanyak 6,7 %. Distribusi imunisasi ini sudah tinggi karena vaksin polio diberikan secara tetes tanpa menimbulkan kontraindikasi yang membahayakan bayi setelah menerima imunisasi. Anak Balita yang belum mendapatkan imunisasi polio lengkap bisa karena akses terhadap pelayanan kesehatan yan relatif jauh. Pendidikan dapat berpengaruh juga karena mayoritas sampel penelitian pendidikannya masih rendah sehingga pengetahuan tentang imunisasi masih rendah pula.
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
98
7.4.5 Distribusi Imunisasi Campak Vaksin Campak yaitu vaksin untuk pemberian kekebalan aktif terhadap penyakit campak (Depkes RI, 2008). Imunisasi campak salah satu cara paling efektif untuk mencegah mortalitas tehadap penyakit ISPA (Depkes RI, 2001). Pemberian imunisasi campak secara bersama-sama dengan imunisasi lainnya akan semakin menurunkan kejadian ISPA dan kematian akibat ISPA pada bayi dan anak Balita. Dari 30 sampel penelitian, sejumlah 90% anak Balita sudah mendapatkan imunisasi campak yang diberikan sekali selama bayi. Sedangkan sisanya 10% tidak mendapatkan imunisasi. Anak Balita yang mendapatkan imunisasi campak, sekitar 11% kematian pneumonia (ISPA) balita dapat dicegah Depkes RI, 2001). Masih adanya anak yang tidak mendapatkan imunisasi campak dapat diakibatkan pengetahuan orang tua yang rendah, akses terhadap pelayanan kesehatan yang sulit dan jauh serta petugas kesehatan yang tidak langsung terjun ke rumah anak Balita yang akan diimunisasi. 7.5 Vitamin A Dosis Tinggi Vitamin A berperan dalam fungsi kekebalan tubuh manusia dan hewan meskipun belum diketahui secara pasti mekanismenya (Almatsier, 2004).
Retinol
tampaknya
berpengaruh
terhadap
pertumbuhan
dan
diferensiasi limfosit B (leukosit yang berperan dalam proses kekebalan humoral). selain itu kekurangan vitamin A menurunkan respon antibodi yang tergantung pada sel-T (limfosit yang berperan pada kekebalan seluler).
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
99
Ada hubungan kuat antara status vitamin A dan risiko terhadap penyakit infeksi pernafasan (Almatsier, 2004). Selama 6 bulan terakhir konsumsi vitamin A dosis tinggi pada balita sampel penelitian sudah baik karena semua anak Balita mendapatkan vitamin A dosis tinggi. Vitamin A dosis tinggi cakupannya lebih baik dapat diakibatkan karena vitamin A tidak menimbulkan efek negatif pada bayi ketika bayi atau anak Balita mengkonsumsi. Selain itu anak Balita yang tidak dapat datang ke tempat pembagian vitamin A, vitamin A tersebut akan diberikan pada lain waktu atau dititipkan ketetangga terdekat. 7.6 Kejadian ISPA Selama 3 Bulan Terakhir Anak Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan anak Balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang (Depkes RI, 2001). Pada penelitan ini yang menjadi sampel penelitian adalah anak Balita dengan status kurang gizi sehingga kejadian ISPA lebih tinggi dari pada anak Balita dengan gizi normal. Sebagian besar anak Balita mengalami ISPA selama 3 bulan terakhir yaitu sejumlah 60 %. Selain karena anak Balita mengalami kekurangan gizi, Kejadian ISPA yang tinggi bisa karena faktor higiene lingkungan yang mendukung ISPA dan cakupan imunisasi lengkap yang masih rendah. ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) merupakan penyakit infeksi pada saluran pernapasan yang datang secara mendadak serta menimbulkan kegawatan atau kematian. ISPA akan semakin berbahaya jika diderita oleh anak-anak. Selama bertahun-tahun ISPA merupakan masalah kesehatan anak dan penyumbang terbesar penyebab kematian anak Balita (Said, 2006).
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
100
Penelitian Myrnawati (2003) juga menemukan bahwa 20-30% kematian anak Balita disebabkan oleh ISPA. 7.7 Faktor Risiko ISPA Berdasarkan Karakteristik Balita 7.7.1 Kejadian ISPA Berdasarkan Umur ISPA dapat menyerang semua manusia baik pria maupun wanita pada semua tingkat usia, terutama pada usia kurang dari 5 tahun karena daya tahan tubuh anak Balita lebih rendah dari orang dewasa sehingga mudah menderita ISPA. Umur diduga terkait dengan sistem kekebalan tubuh. Bayi dan anak Balita merupakan kelompok yang kekebalan tubuhnya belum sempurna, sehingga masih rentan terhadap berbagai penyakit infeksi. Semakin muda usia anak makin sering mendapat serangan ISPA (Depkes RI, 2001). Pada penelitian ini, dengan menggunakan uji statistik, tidak ada berbedaan antara umur 2 tahun, 3 tahun dan 4 tahun terhadap kejadian ISPA. Hal ini dapat dikarenakan higiene sanitasi antara ketiga kelompok umur tersebut sama karena berada pada lingkungan yang hampir seragam. Anak Balita dengan umur 2 tahun keatas akan memiliki lingkungan fisik yang hampir sama seperti polusi udara dan kondisi lingkungan perumahan. Selain itu masih ada faktor lain yang menjadi faktor risiko ISPA baik dari lingkungan, individu anak Balita maupun dari perilaku. Penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang menyebutkan ada perbedaan kejadian ISPA untuk umur yang berbeda. Penelitian ini juga tidak seperti penelitian yang dilakukan oleh Taisir (2005) yang menyatakan ada hubungan antara umur dengan kejadian ISPA. Faktor umur tidak menjadi
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
101
faktor risiko terjadinya ISPA di Geger dapat dikarenakan adanya faktor pengganggu seperti BBLR, sanitasi, dan ASI eksklusif. Pada sampel penelitian semakin tinggi umur balita yang menderita ISPA semakin sedikit. Pada umur 2 tahun sejumlah 10 balita dengan ISPA. Sedangkan pada umur 3 dan 4 tahun yang terkena ISPA masing-masing sejumlah 4 balita. 7.7.2 Kejadian ISPA Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko terjadinya ISPA (Depkes RI, 2001). Anak perempuan mempunyai keuntungan biologis dan lingkungan yang optimal. Perempuan mempunyai keuntungan yang diperkirakan sebesar 0,15 – 1 kali lebih di atas anak laki-laki dalam hal tingkat kematian (Koblinsky dkk, 1997). Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square tidak ada perbedaan kejadian ISPA pada balita umur 2 - 5 tahun antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Jadi jenis kelamin laki-laki tidak berbeda dengan jenis kelamin perempuan dalam risio terkena ISPA. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang ada yaitu jenis kelamin laki-laki merupakan faktor risiko ISPA. Kejadian ISPA pada jenis kelamin laki-laki dan peremuan tidak berbeda pada penelitian ini dapat dikarenakan faktor perancu yang ada pada lingkungan sampel penelitian. Faktor tersebut dapat berasal dari ASI yang diberikan ibu anak Balita tidak sesuai dengan anjuran, anak Balita BBLR, dan imunisasi yang tidak memadai. Selain itu masih ada faktor lainnya yang dapat berasal dari faktor lingkungan, faktor individu anak ,serta faktor perilaku.
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
102
7.7.3 Kejadian ISPA Berdasarkan Status Gizi Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square, tidak ada perbedaan kejadian ISPA pada balita umur 2 - 5 tahun antara anak Balita dengan status gizi kurang dan anak Balita dengan status gizi buruk. Hal ini disebabkan karena cakupan anak Balita yang mempunyai status gizi kurang jauh lebih besar bila dibandingkan dengan status gizi buruk. Sebagian besar anak Balita mempunyai status gizi yang kurang yaitu sebesar 83,3%. Sedangkan yang mempunyai status gizi buruk sebesar 15,7 %. Selain itu dapat dikarenakan kurang spesifik indikator status gizi yang digunakan karena menggunakan indikator BB/U yang cenderung menggambarkan kondisi gizi saat ini. BB tidak hanya dipengaruhi oleh umur tapi oleh oleh tinggi badan. Tidak signifikannya dengan uji statistik dapat dikarenakan faktor risiko ISPA pada anak Balita dapat berasal dari faktor lain diantaranya BBLR, pemberian ASI eksklusif, lingkungan fisik tmpat tinggal. Anak Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan anak Balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan anak Balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, anak Balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan serangannya lebih lama (Depkes RI, 2001).
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
103
6.8 Hubungan Pola Konsumsi Bahan Pangan Prebiotik dengan Kejadian ISPA Prebiotik yaitu bahan makanan jenis karbohidrat yang tidak dicerna yang mempunyai pengaruh baik terhadap host dengan memicu aktivitas, pertumbuhan yang selektif atau keduanya terhadap satu jenis atau lebih bakteri penghuni kolon (Sudarmo, 2004). Asupan harian prebiotik dapat ditingkatkan melalui konsumsi secara rutin beberapa jenis pangan seperti bawang prei, artichoke, bawang putih, bawang bombay, gandum dan produk gandum, asparagus, dan pisang. Prebiotik dan probiotik membentuk sinbiotik yang memungkinkan mikroflora usus lebih baik karena probiotik tumbuh lebih subur sehingga mikroekosistem mikroflora usus lebih stabil (Colin, 1999 dalam Sudarmo, 2004). Probiotik kini telah diketahui dapat meningkatkan mekanisme daya tahan tubuh dengan menciptakan barier imunologi dalam saluran cerna. Perubahan komposisi flora usus dengan penggunaan probiotik membuka kemungkinan efek therapeutic dan modulasi imunitas yang bermanfaat bagi kesehatan anak (Khomsan, 2007). Probiotik dapat menurunkan
risiko
terhadap berbagai penyakit infeksi termasuk infeksi saluran nafas (Cornelius W dan Van Niel MD., 2004). Probiotik dalam epitel ileum manusia dapat menginduksi aktivitas immunomodulatory, termasuk pengambilan CD4+ T Helper cells (Cornelius W dan Van Niel MD., 2004). Molekul CD4+ berperan amat penting dalam sistem kekebalan tubuh, molekul ini paling banyak terdapat pada sel limfosit T helper. Sel limfosit T helper merupakan subset sel limfosit T yang
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
104
membantu sel lainnya dalam sistem pertahanan tubuh (Abbas, 2005 dan Roit, et al., 2001 dalam Yasa dkk, 2008). Probiotik dapat menginduksi sistem imun dan stimulasi produksi immunoglobulin dan mekanisme probiotik lainnya (Cornelius W dan Van Niel MD., 2004). Salah satu bentuk Imunoglobulin adalah Imunoglobulin A (IgA) yang berperan penting dalam imunitas tubuh (Markun, 1987). IgA salah satunya terdapat banyak sekresi bronkus dan mukosa hidung sehingga berperan dalam perlindungan terhadap ISPA. Berdasarkan hasil uji statistik tidak terdapat hubungan antara pola konsumsi prebiotik dengan kejadian ISPA. Pada penelitian ini pola konsumsi prebiotik yang dikaji hanya berdasarkan jenis dan frekuensinya. Belum ada rekomendasi khusus mengenai kecukupan prebiotik. Namun, dosis 4-20 gram per hari telah menunjukkan efikasi (NICUS, 2007 dalam Adi, 2010). Hasil penelitian tidak signifikan terhadap uji statistik dapat dikarenakan penelitian hanya berdasarkan jenis dan frekuensi sumber prebiotik yang dimakan, bukan berdasarkan jumlah (kuantitas) yang dimakan. Jenis dan frekuensi belum tentu menggambarkan kuantitas dari prebiotik yang dimakan. Peneliti melakukan penelitian berdasarkan kualitas dikarenakan belum ada rekomendasi yang pasti tentang kuantitas prebiotik yang direkomendasikan yang dapat meningkatkan kesehatan dan kekebalan tubuh.
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
6.9
105
Hubungan Pelayanan Dasar (Imunisasi Dasar dan Vitamin A Dosis Tinggi) dengan Kejadian ISPA Berdasarkan uji statistik terdapat hubungan antara pelayanan dasar dengan kejadian ISPA. Pelayanan dasar yang diteliti adalah imunisasi DPT, campak, BCG dan vitamin A dosis tinggi yang merupakan cara memberikan kekebalan tubuh terhadap serangan penyakit infeksi termasuk ISPA. Imunisasi sangat berguna dalam menentukan ketahanan tubuh bayi terhadap gangguan penyakit. Para ahli kesehatan menyebutkan bahwa di banyak negara, dua penyebab utama tingginya angka kematian anak adalah gangguan gizi dan infeksi. Hal ini dapat dicegah dengan imunisasi yang merupakan hal mutlak dalam memelihara kesehatan dan gizi anak (Moehji, 2003). Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, BCG dan campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan anak Balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat (Depkes RI, 2001). Vitamin A berpengaruh terhadap fungsi kekebalan tubuh manusia (Almatsier, 2004). Anak Balita yang mendapat vitamin A lebih dari 6 bulan sebelum sakit maupun yang tidak pernah mendapatkannya adalah sebagai resiko terjadinya suatu penyakit sebesar 96,6% pada kelompok kasus dan
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
106
93,5% pada kelompok kontrol (Depkes RI, 2001). Pada KVA, fungsi kekebalan tubuh menurun sehingga mudah terserang infeksi. Lapisan sel yang menutupi trakea dan paru-paru mengalami keratinisasi, tidak mengeluarkan lendir sehingga mudah dimasuki mikroorganisme atau virus dan menyebabkan infeksi saluran pernafasan (Almatsier, 2004). Vitamin A berperan dalam fungsi kekebalan tubuh manusia dan hewan meskipun belum diketahui secara pasti mekanismenya (Almatsier, 2004). Retinol berpengaruh terhadap pertumbuhan dan diferensiasi limfosit B (leukosit yang berperan dalam proses kekebalan humoral). selain itu kekurangan vitamin A menurunkan respon antibodi yang tergantung pada sel-T (limfosit yang berperan pada kekebalan seluler). Sebaliknya infeksi dapat memperburuk kekurangan vitamin A.
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 Kesimpulan Dari penelitian tentang hubungan pola konsumsi prebiotik dan pelayanan dasar (imunisasi dasar dan vitamin A dosis tinggi) dengan kejadian ISPA pada balita BBR umur 2 - 5 tahun didapatkan kesimpulan sebagai berikut : 1.
Sampel penelitian sebagian besar berumur 2 tahun dengan jenis kelamin perempuan dan mengalami gizi kurang.
2.
Sebagian besar anak balita sampel penelitian berada pada keluarga besar, pendidikan orang tua rendah, Ibu anak Balita pada kelompok umur produktif dan mayoritas pekerjaan utama orang tua petani.
3.
Konsumsi pangan prebiotik harian tertinggi yaitu jenis kacang-kacangan dan olahannya serta sayuran pelengkap.
4.
Dari ke-5 imunisasi dasar, ada anak Balita yang belum mendapatkan imunisasi atau mendapatkan imunisasi belum lengkap.
5.
Seluruh anak Balita sudah mengonsumsi vitamin A dosis tinggi selama 6 bulan terakhir.
6.
Sebagian besar anak Balita sampel penelitian mengalami ISPA selama 3 bulan terakhir.
7.
Tidak ada perbedaan kejadian ISPA antara kelompok umur, jenis kelamin dan status gizi.
107 Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
8.
108
Tidak ada hubungan antara pola konsumsi bahan pangan prebiotik terhadap kejadian ISPA namun ada hubungan antara pelayanan dasar terhadap kejadian ISPA.
8.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian maka saran yang bisa diberikan adalah : 1. Sosialisasi program Keluarga Berencana dengan jumlah anak sebanyak 2 jiwa. 2. Peningkatan konsumsi prebiotik dengan pemberian makanan tambahan misalnya PMT berbasis pangan lokal seperti umbi-umbian, buah-buahan utamanya pisang, dan kacang-kacangan. 3. Peningkatan cakupan imunisasi dasar utamanya DPT, BCG dan campak untuk mengurangi infeksi ISPA. 4. Mempertahankan cakupan vitamin A dosis tinggi untuk mencegah penyakit infeksi seperti ISPA.
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
109
DAFTAR PUSTAKA
Adi, A.C. 2010. Prebiotik dan Imunitas. Bogor (paper tidak dipublikasikan) Adiningsih, S. Lailatul M, Trias M, Siti R.N. 2009. Buku Panduan Praktikum Gizi. Surabaya : Departemen Gizi Kesehatan FKM Unair Almatsier, S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta ; PT Gramedia Pustaka Utama Anonim. 2010. Imunitas. www.wikipedia.org (sitasi tanggal 20 Juni 2010) Arisman, M.B. 2004. Gizi dalam Daur Kehidupan : Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC Alsagaaft, H., Mukty H.A. 2006. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : AUP Baliwata, Y.F. 2004. Pengantar Pangan Dan Gizi. Jakarta: Penebar Swara. Barata, K.M. dan I. Rengganis. 2009. Imunologi Dasar. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Cornelius W. and Van Niel. 2004. Probiotics: Not Just For Treatment Anymore. Pediatrics. New York : John Wiley and Son Depkes RI. 1996. Program Penaggulangan Penyakit ISPA. Jakarta : Direktorat P2ML Depkes RI. 1997. Buku Kader Usaha Perbaikan Gizi Keluarga. Jakarta Depkes RI. 2000. Informasi tentang ISPA pada Anak Balita. Jakarta: Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat. Depkes RI. 2000. Pedoman Program Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Untuk Penanggulangan Pneumonia Pada Balita. Jakarta : Direktorat Jenderal PPM & PLP Depkes RI. 2001. Pedoman Pemberantasan Penyakit ISPA. Jakarta Depkes RI. 2001. Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas Berdasarkan Gejala. Jakarta : Departemen kesehatan dan kesejahteraan sosial. Depkes RI. 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Direktorat Jendral Bina Kesehatan masyarakat
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
110
Depkes RI. 2006. Pedoman Pemberian Kapsul Vitamin A Dosis Tinggi. Jakarta Depkes RI., 2007. Profil Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta Depkes RI. 2007. Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta : Litbangkes Depkes RI Depkes RI. 2008. Buku Informasi Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan. www.depkes.go.id (sitasi tanggal 13 Maret 2010) Dinkes Jateng. 2001. Buletin Epidemiologi Provinsi Jawa Tengah. Semarang Dinkes Jatim. 2006. Profil Kesehatan Jawa Timur. Surabaya Dinkes Kabupaten Bangkalan. 2008. Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Bangkalan 2008. Bangkalan : Dinkes Kabupaten Bangkalan Dinkes Kabupaten Bangkalan. 2009. Kejadian ISPA dari tahun 2006 – 2009. Bagian P2 & PL Djumadias, A. 1990. Aplikasi Antropometri sebagai Alat Ukur Status Gizi. Bogor : Puslitbang Gizi Bogor. Erika I, Tarja R., Marketta J., Pekka S., Timo K. 1991. A Human Lactobacillus Strain (Lactobacillus Casei sp Strain GG) Promotes Recovery From Acute Diarrhea in Children. Pediatrics Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: Penerbit Kanisius Gregory J.L., Shuguang, Mohamed E.M., Cheryl R, Arthur C.O. 2009. Probiotic Effects on Cold and Influenza Like Symptom Incidence and Duration in Children. Pediatrics Gsanturi. 2002. Probiotik dan Prebiotik untuk Kesehatan. www.gizi.net (sitasi tanggal 18 April 2010) Gupte, S. 2004. Panduan Perawatan Anak. Jakarta: Pustaka Populer Obor Hidayat. 2009. Mengenal Prebiotik. www.nurhidayat.lecture.ub.ac.id (sitasi tanggal 18 April 2010) Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan Khomsan, A., 2007. Probiotik Dapat Meningkatkan Imunitas Anak. http://health.groups.yahoo.com/group/asiforbaby/message/11278 (sitasi 6 Mei 2010)
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
111
Koblinsky, M., Judith T and Jill G. 1997. Kesehatan Wanita: Sebuah Perspektif Global. Terjemahan Adi Utarini. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Lemeshow S., D.W. Hosmer Jr., J. Klar, and S.K.L Lwangga, 1990. Adequcy of Sample Size in Health Study. New York : John Wiley and Son Mansjoer, A. Suprohaita, Wahyu I.W, Wiwiek S. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius Markum M.S. Suhardjono, Endang S., J. Roesma. 1987. Nefropati Imunoglobulin A. No. 47, hal : 7. Cermin Dunia Kedokteran Moehji, S. 2003. Ilmu Gizi dan Penanggulangan Gizi Buruk. Jakarta: Papas Sinar Sinanti Mukono J. 2000. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Surabaya: Airlangga University Press Munasir Z. Nia K, 2009. Air Susu Ibu dan Kekebalan Tubuh. http://www.idai.or.id/asi/artikel.asp?q=20091130104136 (sitasi 6 Mei 2010) Myrnawati. 2003. Penelitian Kualitas Tatalaksana Kasus ISPA. Jakarta: Disertasi IKM Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia Notoatmodjo, S. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT. Rineka Cipta Notoatmojo, S. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta Puskesmas Geger. 2008. 15 Penyakit Terbanyak Puskesmas Geger Tahun 2008. Geger Puskesmas Geger. 2009. 15 Penyakit Terbanyak Puskesmas Geger Tahun 2009. Geger Putra, A.K. 2004. Defisiansi Vitamin A pada Mata. Jakarta : Majalah kedokteran Atmajaya Rasmaliah. 2004. Infeksi Saluran Pernafasan Akut Penanggulangannya. FKM Universtias Sumatera Utara
(ISPA)
dan
Said, M. 2006. Pneumonia Penyebab Utama Mortalitas Anak Balita. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
112
Sharma, S. 1998. Indoor Air Quality and Acute Lower Respiratory Infection in Indian. Environmental Health Perspective Journal: Vol 106 p 291 -297. http://ehp.niehs.nih.gov/docs/1998/106p291 - 297sharma/abstract.html (sitasi 6 Mei 2010) Slamet, J.S. 2000. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya. Jakarta : Depkes RI Soesatyo, M.H.N.E. 1993. Mucosal Immunity: Role of Gut-Associated Lymphoid Tissue (GALT) in IgA Response. Jilid XXV, no.4,. Berkala Ilmu Kedokteran. Sudarmo, S.M. 2004. Probiotik pada Bayi dan Anak (Pengobatan dan Pencegahan Penyakit Gastrointestinal). Surabaya : Airlangga University Press (AUP) Sukarni, M. 2000 kesehatan keluarga dan lingkungan. Yogyakarta : Kaninus Supariasa, I.D.N., B. Bakri, I. Fajar, 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta ; Penerbit Buku Kedokteran EGC Taisir. 2005. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Kelurahan Lhok Bengkuang Kecamatan Tapaktuan Aceh Selatan Tahun 2005. Universitas Sumatra Utara Venter, C.S. 2007. Prebiotic : an Update. Journal of Family Ecology and Consumer Sciences, vol 35, 2007 Wirjatmadi, B. 2007. Modul Pendampingan Balita Gizi Kurang : Tanda dan Penyebab Masalah Kurang Gizi pada Balita. Surabaya : Pokja PGKM FKM Unair dengan Dinas Kesehatan Kota Surabaya Yasa, I.W.P.S., Ketut S., Anak Agung G.S.D., I Nyoman M.A. 2008. Hubungan Positif Antara Ulkus Kaki Diabetik dengan Persentase Sel Bermarkah CD4+ Pembawa Malondialdehid. Bali : Universitas Udayana
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Lampiran 1. Tabulasi silang pola konsumsi bahan pangan prebiotik dengan kejadian ISPA infeksi ISPA Tidak prebio
17 - 27
Count % within prebio
28 -38
Count % within prebio
39 - 49
Count % within prebio Count
Total
% within prebio
Total
ya
tidak
2
5
7
28,6% 5
71,4% 7
100,0% 12
41,7% 5 45,5%
58,3% 6 54,5%
100,0% 11 100,0%
12 40,0%
18 60,0%
30 100,0%
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value ,531(a) ,546
2 2
Asymp. Sig. (2-sided) ,767 ,761
1
,501
df
,452 30
a 4 cells (66,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,80. Symmetric Measures
Nominal by Nominal N of Valid Cases
Phi Cramer's V Contingency Coefficient
Value ,133 ,133
Approx. Sig. ,767 ,767
,132
,767
30
a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Lanjutan lampiran 1. Tabulasi silang pola konsumsi bahan pangan prebiotik dengan kejadian ISPA (setelah dimampatkan) infeksi ISPA Tidak prebio
< 32 32 - 62
Total
Count % within prebio Count % within prebio Count % within prebio
Total
ya
tidak
5
8
13
38,5% 7
61,5% 10
100,0% 17
41,2% 12 40,0%
58,8% 18 60,0%
100,0% 30 100,0%
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association
1
Asymp. Sig. (2-sided) ,880
,000
1
1,000
,023
1
,880
Value ,023(b)
df
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
1,000 ,022
1
,590
,882
N of Valid Cases
30 a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5,20. Symmetric Measures
Nominal by Nominal
Phi Cramer's V Contingency Coefficient
Value -,027
Approx. Sig. ,880
,027 ,027
,880 ,880
N of Valid Cases
30 a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Lampiran 2. Tabulasi silang pelayanan dasar dengan kejadian ISPA
infeksi ISPA tidak yankes1
rendah (0 - 3) sedang (4 - 6) tinggi (7 - 8)
Total
Total
ya
tidak
0 0
1 5
1 5
12 12
12 18
24 30
Chi-Square Tests
Value 5,000(a) 7,110
Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
2 2
Asymp. Sig. (2-sided) ,082 ,029
1
,038
df
4,287 30
a 4 cells (66,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,40. Symmetric Measures
Value Nominal by Nominal
Phi Cramer's V Contingency Coefficient
Approx. Sig.
,408 ,408 ,378
,082 ,082 ,082
N of Valid Cases
30 a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Lampiran 3. Tabulasi silang jenis kelamin dengan kejadian ISPA
infeksi ISPA tidak jenis kelamin balita
laki-laki
Count % within jenis kelamin balita
perempuan
Count % within jenis kelamin balita
Total
tidak
6
6
12
50.0%
50.0%
100.0%
6
12
18
33.3%
66.7%
100.0%
12
18
30
40.0%
60.0%
100.0%
Count % within jenis kelamin balita
Total
ya
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association
1
Asymp. Sig. (2-sided) .361
.284
1
.594
.831
1
.362
Value .833(b)
df
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.458 .806
1
.296
.369
N of Valid Cases
30 a Computed only for a 2x2 table b 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.80. Symmetric Measures
Nominal by Nominal
Phi Cramer's V Contingency Coefficient
Value .167
Approx. Sig. .361
.167 .164
.361 .361
N of Valid Cases
30 a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Lampiran 4. Tabulasi silang status gizi dengan kejadian ISPA
infeksi ISPA tidak kriteria status gizi who-nchs bb/u
gizi kurang
Count % within kriteria status gizi who-nchs bb/u
gizi buruk
Count % within kriteria status gizi who-nchs bb/u
Total
Count % within kriteria status gizi who-nchs bb/u
Total
ya
tidak
11
14
25
44.0%
56.0%
100.0%
1
4
5
20.0%
80.0%
100.0%
12
18
30
40.0%
60.0%
100.0%
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
1
Asymp. Sig. (2-sided) .317
.250
1
.617
1.080
1
.299
Value 1.000(b)
df
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.622 .967
1
.318
.326
30
a Computed only for a 2x2 table b 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.00. Symmetric Measures
Nominal by Nominal N of Valid Cases
Phi Cramer's V Contingency Coefficient
Value .183 .183
Approx. Sig. .317 .317
.180 30
.317
a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
lampiran 5. Tabulasi silang kelompok umur dengan kejadian ISPA
infeksi ISPA tidak umur (ordinal)
2 tahun
Count % within umur (ordinal)
3 tahun
Count % within umur (ordinal)
4 tahun
Count % within umur (ordinal)
Total
Count % within umur (ordinal)
Total
ya
tidak
3
10
13
23.1% 7
76.9% 4
100.0% 11
63.6% 2
36.4% 4
100.0% 6
33.3% 12
66.7% 18
100.0% 30
40.0%
60.0%
100.0%
Chi-Square Tests
Value 4.223(a) 4.277
Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
2 2
Asymp. Sig. (2-sided) .121 .118
1
.386
df
.751 30
a 3 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.40. Symmetric Measures
Nominal by Nominal N of Valid Cases
Phi Cramer's V Contingency Coefficient
Value .375 .375
Approx. Sig. .121 .121
.351 30
.121
a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Lanjutan lampiran 5. Tabulasi silang kelompok umur dengan kejadian ISPA (setelah dimampatkan)
ispa tidak umur
2
Count
3-4
% within umur Count
Total
% within umur Count % within umur
Total ya
tidak
3 23,1%
10 76,9%
13 100,0%
9 52,9%
8 47,1%
17 100,0%
12
18
30
40,0%
60,0%
100,0%
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association
1
Asymp. Sig. (2-sided) ,098
1,635
1
,201
2,827
1
,093
Value 2,738(b)
df
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
,141 2,646
1
,100
,104
N of Valid Cases
30 a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5,20. Symmetric Measures
Nominal by Nominal
Phi Cramer's V Contingency Coefficient
N of Valid Cases
Value -,302
Approx. Sig. ,098
,302
,098
,289 30
,098
a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Lampiran 6. Dokumentasi
gambar 1. Saat wawancara dengan responden
Gambar 2. Saat penimbangan berat badan anak Balita
Gambar 3. Saat pengambilan tinggi badan anak Balita
Skripsi
HUBUNGAN POLA KONSUMSI....
ANSORI, ROHMAT