Vol. V September-Oktober 2011 Edisi 71
LIPUTAN KHUSUS
ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM UNTUK PULAU-PULAU KECIL DI KAWASAN TIMUR INDONESIA Simposium Pembangunan Penelitian Untuk Rekomendasi Kebijakan: Sebuah Karya Dari Timur Mengentaskan Kemiskinan Melalui Kepemimpinan Perempuan, Mengapa Tidak? Pemikiran Ulang PNPM Perdesaan Di Papua: Tanggapan Terhadap Tantangan Daerah Terpencil
DAFTAR ISI CONTENTS BaKTINews adalah media pertukaran pengetahuan tentang pembangunan di Kawasan Timur lndonesia.Tujuan BaKTINews adalah mempromosikan praktik cerdas pembangunan dari berbagai daerah di Kawasan Timur Indonesia agar dapat diketahui oleh khalayak luas dan menginspirasi pelaku pembangunan di berbagai daerah dalam upaya menjawab berbagai tantangan pembangunan. BaKTINews terbit setiap bulan dalam dua bahasa, Indonesia dan lnggris, untuk memudahkan pembaca dalam mendapatkan informasi pembangunan dari Kawasan Timur Indonesia. BaKTINews disirkulasi melalui pos kepada pembaca dengan target utama adalah para pelaku pembangunan yang berdomisili di daerah kepulauan dan daerah terpencil. Tidak dikenakan biaya apapun untuk berlangganan BaKTINews agar lebih banyak masyarakat yang dapat mengakses informasi pembangunan melalui majalah ini. Selain dalam bentuk cetak, BaKTINews juga dapat diakses di website BaKTI: www.bakti.org dan dikirimkan melalui email kepada pelanggan yang dapat mengakses internet. BaKTINews dikelola oleh Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia [BaKTI). Seluruh artikel BaKTINews adalah kontribusi sukarela para pelaku pembangunan dari berbagai kalangan dan daerah yang ingin berbagi pengetahuan dengan khalayak luas. BaKTINews is a knowledge exchange media platform for development issues in eastern Indonesia. BaKTINews aims to promote development smart practices from different regions in eastern Indonesia so that the practices become known to a wider audience and inspire development stakeholders in other regions in their efforts to answer development challenges. BaKTINews is published monthly in two languages, Indonesian and English, to facilitate readers who don't understand indonesian to gain a better understanding of development in eastern Indonesia. BaKTINews is sent by post to readers and rhe main target is development stakeholders living in isolated regions and island regions. BaKTINews is provided free of charge so the development community can access relevant development information easily. BaKTINews is also provided in an electronic version that can be accessed on www.bakri.org and can be sent electronically to subscribers with internet access. BaKTINews is managed by the Eastern Indonesia Knowledge Exchange (BaKTI). All articles are contributed voluntarily by development stakeholders from different areas in eastern Indonesia who wish to share their information with a wider audience.
Editor MILA SHWAIKO VICTORIA NGANTUNG Forum KTI ZUSANNA GOSAL ITA MASITA IBNU Events at BaKTI SHERLY HEUMASSE Website of the Month STEVENT FEBRIANDY Database & NGO Profile AFDHALIYANNA MA’RIFAH Website AKRAM ZAKARIA Smart Practices CHRISTY DESTA PRATAMA Info Book SUMARNI ARIANTO Design Visual & Layout ICHSAN DJUNAID Pertanyaan dan Tanggapan Redaksi JI. DR.Sutomo No.26 Makassar 90113 P : 62-411-3650320-22 F :62-411-3650323 SMS BaKTINews 085255776165 E-mail:
[email protected] Anda juga bisa menjadi penggemar BaKTINews di Facebook : www.facebook.com/yayasanbakti
1
3
Pulau-pulau Kecil adalah Kedaulatan Bangsa Small Islands are the Strength of the Nation
6
Mereka yang Berjuang Sendiri untuk Adaptasi Perubahan Iklim Those who struggle alone to adapt to climate change
8
Dari Sorgum Hingga Air Laut Menjadi Tawar
11
Memberi Pengetahuan Solusi Atas Masalah
13
Mengentaskan Kemiskinan Melalui Kepemimpinan Perempuan, Mengapa Tidak?
15
Pemikiran Ulang Pnpm Perdesaan Di Papua: Tanggapan Terhadap Tantangan Daerah Terpencil
16
Warga Diminta Merawat Negaranya
17
JiKTI Updates Simposium Pembangunan Penelitian Untuk Rekomendasi Kebijakan: Sebuah Karya Dari Timur
21
PEACH Updates Kesejahteraan dan Keberpihakan The Budget for People's Prosperity
24
Event di BaKTI Langkah Berani Mümine
25
Workshop Mata Pencharian Nantu The Nantu Livelihoods Workshop
27
batukar.info Updates
28
Peluang
28
Website Bulan ini
29
Profil LSM Yayasan Persekutuan Pelayanan Masirey
30
Kegiatan di BaKTI
31
Info Books
Berkontribusi untuk BaKTINews BaKTINews menerima artikel tentang kemajuan pembangunan, pembelajaran dari suatu kegiatan, praktik cerdas pembangunan, hasil-hasil penelitian yang dapat diaplikasikan, dan teknologi tepat guna dari berbagai daerah di Kawasan Timur Indonesia (Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua). Panjang artikel adalah 1.000-1.100 kata,menggunakan Bahasa Indonesia maupun lnggris,ditulis dengan gaya populer. Foto-foto penunjang artikel sangat dibutuhkan. Tim editor BaKTINews akan melakukan edit terhadap setiap artikel yang akan dimuat untuk kesesuaian tempat dan gaya bahasa. Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat. BaKTINews accepts articles about development programs, lessons learnt from an activity, development smart practices, research results that can be applied, and applied technology from different stakeholders and regions in eastern Indonesia (Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, and Papua). Articles should be 1,000-1, 100 words, in either Indonesian or English, and written in a popular style. Articles should also be sent with photos that illustrate the article.The editors of BaKTINews will edit every article for reasons of space and style. BaKTINews does not provide payment to writers for articles.
”Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim untuk Pulau-Pulau Kecil di Kawasan Timur Indonesia” Lombok, 17-19 Oktober 2011
TERIMA KASIH KAMI UCAPKAN KEPADA PARA MITRA YANG TELAH MENDUKUNG TERSELENGGARANYA KEGIATAN INI/ WE WOULD LIKE TO EXPRESS OUR GRATITUDE FOR THE SUPPORT OF THE FOLLOWING PARTNERS
KEMENTERIAN NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL
AID
Menjadi Pelanggan BaKTINews Subscribing to BaKTINews Untuk berlangganan BaKTINews, silakan mengirimkan data diri anda (organisasi, posisi, nomor HP, alamat email) lengkap dengan alamat lengkap yang disertai dengan kode pos melalui email
[email protected] atau SMS 085255776165. Bagi yang berdomisili di Makassar, Anda dapat mengambil BaKTINews di Display Corner Gedung BaKTI pada setiap hari kerja.
INDONESIA MARINE AND CLIMATE SUPPORT (IMACS) PROJECT
BaKTINews diterbitkan oleh Yayasan BaKTI dengan dukungan Pemerintah Australia. BaKTINews is published by The BaKTI Foundation with support of the Government of Australia. Pandangan yang dikemukakan tak sepenuhnya mencerminkan pandangan Yayasan BaKTI maupun Pemerintah Australia. The views expressed do not necessarily reflect the views of Yayasan BaKTI and the Government of Australia.
To subscribe to BaKTINews please send us your full contacts details (including organization. position, HP number and email address) with full postal address to
[email protected] or SMS to 085255776165. For those living in Makassar, please stop by the BaKTI office and pick up your copy from the display corner from Monday to Friday.
2
ional Diskusi Reg
Forum KTI
ADAP H R E T I S A ADAPT AHAN IKLIM PERUB ULAU-PULAU UNTUK P ASAN W A K I D L I KEC NESIA O D N I R U TIM -18 Oktober 2011
PULAU-PULAU KECIL AD
Small Islands are
Lombok, 17
M
asyarakat yang hidup di pulau-pulau kecil menjadi kelompok yang paling terpengaruh oleh dampak dari dari perubahan pada lingkungan akibat perubahan pola-pola cuaca dan iklim, karena mereka sangat bergantung pada hasil alam. Ancaman kenaikan permukaan air laut atau ketidakpastian musim tanam akibat cuaca tidak menentu berpengaruh langsung ke penghidupan keluarga. Namun demikian masyarakat ini juga telah adalah kelompok yang memiliki kearifan lokal dan motivasi yang paling kuat untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungannya. Demikian hasil resume yang dibacakan oleh Armi Susandi, Pokja Adaptasi Perubahan Iklim dari DNPI. Resume ini adalah hasil dari Diskusi Regional Forum KawasanTimur Indonesia (Forum KTI) Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim untuk Pulau-Pulau Kecil Di kawasan Timur Indonesia yang berlangsung di Sengigi, Lombok Barat, NTB. Jika mengacu pada hasil talkshow yang digelar di acara tersebut dengan menghadirkan narasumber berkompeten terkait tema diskusi, sangat jelas, pulau-pulau terkecil di Indonesia masih jauh dalam perhatian negara, bukan saja pada eksistensi keberadaannya tetapi juga pada kehidupan masyarakat yang tinggal di sana. Orang Pulau demikian sebutan bagi masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil di Indonesia, akan sangat identik dengan ketertinggalan dalam pembangunan, kesejahteraan yang minim, akses yang sulit dijangkau, dan resiko keselamatan hidup yang rawan. ”Alasannya bisa saja karena akses yang jauh dan keterbatasan negara dalam memantau keberadaan dan kondisi pulau-pulau kecil kita. Sehingga yang terjadi, pengawasan dan perhatian terhadap kawasan itu tidak maksimal. Padahal pulau-pulau kecil Indonesia adalah bagian dari negara ini, dan banyak penduduknya di sana hidup dalam kemiskinan,” ungkap Dr. Ir. Alex. SW Retraubun, MSc, Wakil Menteri Perindustrian dan juga sebagai Steering Committee dalam Diskusi Regional FKTI (Forum Kawasan Timur Indonesia, dalam sebuah wawancara setelah rehat acara talkshow. Dalam sebuah kesempatan talkshow dengan tema, “Pencarian alternative penghidupan bagi masyarakat di pulau-pulau kecil,” Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (KP3K) Sudirman Saad, mengungkapkan, sebanyak 7,8 juta jiwa yang bermukim di 10.639 desa pesisir atau 23% dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia masuk kategori warga miskin yang berpenghasilan hanya 1 dolar AS per hari. Hal ini menjadi nilai tambah kerentanan lainnya yang harus dihadapi keseharian masyarakat pulau-pulau kecil dan pesisir. “Selain masalah kemiskinan, di pulau-pulau kecil dan pesisir juga identik dengan tingginya kerusakan sumber daya alam, rendahnya kemandirian organisasi soasial desa, serta rendahnya infrastruktur desa juga kesehatan lingkungan di pemukiman. Sehingga ini semakin memperparah kerentanan mereka,” tambah Sudirman. Dia memberikan contoh, karena terdesaknya kebutuhan hidup yang harus dihadapi masyarakat yang tinggal di lingkungan seperti ini, sejumlah perusakan terhadap hutan mangrove dan juga perusakan terumbu karang yang dilakukan masyarakat memperburuk kondisi alam mereka. Namun dia juga mengakui, salah urus dan kebijakan yang tepat juga menjadi soal utama rusaknya ekologis yang sering dihadapi pulau-pulau kecil dan pesisir di Indonesia.
3
News
Oktober - November 2011
Communities living on small islands are the most affected by the effects of environmental changes because they are so dependent on natural resources. The threat of rising sea levels or disrupted planning seasons due to weather changes has an immediate impact on family lives. However, these are also the people with the local wisdom and the strongest motivation to adapt to the changes in their environment. This was the statement delivered by Armi Susandi, a member of the Working Group for Climate Change Adaptation from the National Council for Climate Change, at the closing of the Eastern Indonesia Forum Regional Discussion on Climate Change Adaptation and Small Islands in Eastern Indonesia in Sengiggi, Lombok Barat, NTB. When we look at the results of the talk shows presented at the event, all featuring the most relevant resource people in their fields, it is clear that the smallest islands in Indonesia are not receiving enough of the nation's attention, not only in terms of the islands themselves but also the people who live there. Island people will continue to be synonymous with lagging development, minimal welfare, poor access, and riskprone lives. "The reason might be because of remote access and the limitations of the state in monitoring the situation and condition of our small islands. If this is the case, supervision and attention to these regions is not optimal even though these small islands are part of Indonesia and many of their residents live in poverty," said Dr. Ir. Alex. SW Retraubun, MSc, Vice Minister of Industry and also speaking as a member of the Steering Committee of the Regional Dicussion, during an interview after a talkshow session. In one talkshow with the theme “Alternative Livelihoods for Communities on Small Islands”, the Director General for Marine, Coastal Regions and Small Islands (KP3K), Sudirman Saad, stated that over 7.8 million people living in 10,639 coastal villages, or 23% of Indonesia's total poor population, are living on US$1 a day. This is just one more form of vulnerability experienced by communities on small islands. "In addition to problems of poverty, small islands and coastal areas also synonymous with the great damage to natural resources, dependant village organizations, poor rural infrastructure, and poor environmental health in inhabited areas. So this exacerbates their vulnerability," added Sudirman. He gave an example that because needs are so pressing for people who live in these environments, destruction of mangrove forests and coral reef caused by Volume V - edisi 71
DALAH KEDAULATAN BANGSA
e the Strength of the Nation
humans to fulfill these needs then lead to worse natural “Kejadian bencana gempa dan tsunami di Aceh tahun 2004 misalnya, conditions. But he also admitted, mismanagement and kita baru disadarkan betapa berartinya mangrove bagi keselamatan appropriate policies are also a major cause of ecological masyarakat kita yang hidup di pulau-pulau dan pesisir ketika harus damage to small islands and coastal areas in menghadapi gelombang besar. Masyarakat yang tinggal dengan Indonesia. mangrove yang masih bagus, korbannya tidak banyak jika dibandingkan "The earthquake and tsunami in Aceh in 2004 showed dengan masyarakat yang tidak mempunyai mangrove. Tapi ini hanya us how mangroves contribute to public safety for those who salah satu contoh, tentang kondisi yang terjadi wilayah pesisir dan pulaulive on islands and coastal areas facing big waves. People pulau kecil di Indonesia,”tandas Sudirman. living with mangroves were safer, the victims were fewer Berdasarakan fakta tersebut, Sudirman selaku Dirjen KP3K mengaku when compared with communities without mangroves. But telah berupaya menginisiasi suatu program inovatif dalam mengurangi this is just one example of conditions in coastal areas and kerentanannya yaitu Pengembangan Desa Pesisir Tangguh (PDPT). PDPT small islands in Indonesia,” Sudirman said. diharapkan bisa menata dan meningkatkan kehidupan desa Based on these facts, as the pesisir/nelayan berbasis masyarakat. Director General of KP3K, Sudirman Dalam data DKP disebutkan, initiated an innovative program to sasarannya adalah 6.639 Desa pesisir, 16 reduce the vulnerability called cluster desa dengan kriteria mempunyai Strong Coastal Village potensi lokal unggul, mempunyai kondisi Development (PDPT). PDPT will lingkungan permukiman kumuh, terjadi hopefully regulate and improve the degradasi lingkungan permukiman lives of the coastal village fishermen kumuh, rawan bencana dan perubahan with a community-based approach. iklim. PDPT akan lebih mefokuskan diri In the DKP data mentioned, the pada coastal village community dimana target is 6,639 coastal villages and partisipasi komunitas desa pesisirlah yang 16 village clusters that meet the akan menentukan keberhasilan dan criteria of having local potential, keberlanjutan program ini. slum-like environmental conditions, Bisa jadi DKP telah melakukan sesuatu environmental degradation, and untuk kesejahteraan dan kedaulatan bagi prone to disasters and climate pulau-pulau kecil untuk Indonesia, namun change. PDPT will be more focused masyarakat yang tinggal di pulau-pulau on coastal village communities kecil, meski tidak banyak, jauh sebelumnya where the participation of village sudah melakukan berbagai upaya dalam communities will determine the mempertahankan hidupnya yang lebih success and sustainability of this baik. Termasuk mencari alternatif ekonomi program. lebih dari satu. Menurut Program Director It could be that DKP has done Locally Managed Marine Area (LMMA) something for the welfare and Indonesia Cliff Marlessy, seperti yang sovereignty for small islands to dilansir Koran Kompas (18/10/2011), Indonesia, but the people who live disebutkan, dalam menghadapi dampak ALEX S.W. RETRAUBUN, on small islands, though few, have perubahan iklim, masyarakat pulau kecil Steering Committee Diskusi Regional FKTI been trying to creative a better life yang terisolasi dengan pulau besar akan for a long time, including by finding berbahaya jika hanya mengandalkan satu economic alternatives. According to sumber ekonomi. Sebab, ketika satu sumber itu gagal, tidak ada lagi yang the Program Director of Locally Managed Marine Areas bisa mereka harapkan, sementara daerah mereka terisolasi. Pemerintah (LMMA) Indonesia, Cliff Marlessy, as quoted by Kompas seharusnya bisa mendorong upaya ini lebih baik lagi. newspaper (18/10/2011), in the face of climate change Karena sebagai masyarakat yang tinggal di kepulauan saat ini, sangat impacts, small isolated island communities far from large sulit hanya mengandalkan penghidupan dengan mencari ikan di laut. islands will be in danger if there is only one economic source. Ketika musim air gelombang pasang dan badai datang, ini akan Because, when one source fails, it becomes a hopeless case menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan dan ekonomi masyarakat in these isolated areas. Governments should encourage tersebut. Cliff juga memberikan contoh yang telah ditunjukkan these efforts more. masyarakat Pulau Tanimbar Kei, di Kecamatan Kei Kecil Barat, Kabupaten For people who live on the islands at this time, it is very Maluku Tenggara, dapat hidup mandiri secara ekonomi, dan mereka juga
News
Oktober - November 2011
Volume V - edisi 71
4
mempunyai ketahanan pangan yang baik, karena mereka mempunyai tujuh sumber ekonomi, yakni ikan, kopra, tripang, sirip hiu, sejenis kerang-kerangan, yakni lola dan abalone, serta rumput laut. Data BaKTI menyebutkan, sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau lebih dari 17.500 buah dan garis pantai sepanjang 81.000 km, Indonesia memang merupakan salah satu negara di dunia yang akan mengalami dampak serius dari perubahan iklim global ini. Berdasarkan catatan stasiun pasang surut di KTI khususnya Kupang, Biak dan Sorong maka elevasiparas muka air laut di kawasan tersebut meningkat sejak tahun 1990 hingga kini. Dalam periode 2005-2007, Indonesia telah kehilangan 24 pulau kecil (Kementerian Kelautan dan Perikanan). Dari jumlah pulau tersebut 3 pulau di Papua dan satu pulau di Sulawesi Selatan. Dengan peningkatan 8-30 cm permukaan laut, diprediksikan Indonesia akan kehilangan 2000 pulau kecil pada tahun 2030. Sementara Alex juga mengatakan bahwa memberikan nama atas pulau-pulau kecil terluar di Indonesia juga sangat penting. Karena dengan demikian konsukuensinya pemerintah bisa tahu, bahwa Indonesia juga termasuki pulau-pulau kecil yang berpenghuni dan tidak berpenghuni itu adalah status kedaulatan negara. Kini ada 92 pulau telah diberi tanda kedaulatan dengan simbol Patung Soekarno Hatta melalui ekspedisi Garis Depan Nusantara.
difficult to simply rely on a living made by fishing in the sea. When the seasonal tides and storms come, they have an adverse effect on the life and economy of the community. Pak Cliff also provided examples from Tanimbar Kei Island, in the subdistrict of Kei Kecil Barat, Maluku Tenggara, where communities are economically independent and have good food security, because they have seven economic resources, namely fish, copra, sea cucumbers, shark fin, a shellfish (trochus and abalone), and seaweed. BaKTI's data mentions that as an archipelago of islands with more than 17,500 pieces and 81,000 km coastline, Indonesia is really one of the countries in the world that will experience the serious impacts of global climate change. Based on the record of tidal stations in eastern Indonesia, particularly Kupang, Biak and Sorong, the sea level in the region has risen from 1990 to present. In the period 2005-2007, Indonesia lost 24 small islands (Ministry of Maritime Affairs and Fisheries). Of these, three islands were in Papua and one in South Sulawesi. With an increase of 80-30 cm in sea level, it's predicted Indonesia will lose 2000 small islands by 2030. Pak Alex also said that giving names to the outermost small islands in Indonesia is also very important. Because the government will then know that Indonesia's sovereignty includes small islands both inhabited and uninhabited. Currently there are 92 islands have been marked with the symbol of the sovereignty, a statue of Soekarno Hatta, as a result of the Archipelago Frontier expedition.
Tawaran dan solusi untuk tantangan pembangunan yang terkait dengan adaptasi, yaitu : Solutions for development challenges associated with adaptation: 1.
Perencanaan pembangunan yang lebih komprehensif, terpadu dan berkelanjutan, dengan tidak melupakan kearifan lokal. Kebijakan yang diimplementasikan hendaknya berpihak kepada masyarakat pesisir serta memastikan adanya sinergi antara program dan anggaran pemerintah, lembaga mitra internasional serta masyarakat.
1.
More comprehensive, integrated and sustainable development planning, without forgetting local wisdom. Policies that are implemented should be procoastal communities and ensure synergy between programs and budgets, international partner institutions and the community.
2.
Mendorong pulau‐pulau yang berdekatan untuk bekerja sama dan
2.
Encourage adjacent islands to work together and reinforce each other, relying on the product and comparative advantages of each island. This collaboration should be the beginning of the selfsufficiency movement which can encourage other islands to do the same.
3.
Food insecurity should not be with an emphasis on rice as the only food commodity, but encourage the consumption of other food commodities in accordance with culture, history and local natural conditions.
4.
Encourage the promotion and replication of the 12 smart practices presented during the Regional Discussion, which constitute solutions to challenges in the field of water supply, electricity supply, food security and coastal zone management of small islands, as well as environmental education, to various areas of eastern Indonesia and at a national level.
5.
Support national strategic plans for development in the lagging regions and coastal and small islands in eastern Indonesia by the Government of Indonesia, especially the Ministry of Disadvantaged Areas, Ministry of Maritime Affairs and Fisheries and the National Council on Climate Change, through the adaptation efforts raised.
saling menguatkan, dengan mengandalkan produk dan kelebihan komparatif yang dimiliki oleh masing‐masing pulau. Kerjasama ini merupakan permulaan dari gerakan kemandirian pulau yang diharapkan mendorong pulau‐pulau lain untuk melakukan hal serupa. 3.
Kerawanan pangan hendaknya dilihat tidak hanya dengan menekankan pada beras sebagai satusatunya komoditi pangan, tapi mendorong konsumsi komoditi‐komoditi pangan lain yang sesuai dengan budaya, sejarah dan kondisi alam setempat.
4.
Mendorong promosi dan replikasi 12 inisiatif cerdas yang diangkat lewat Diskusi Regional ini, yang merupakan tawaran solusi untuk tantangan di bidang penyediaan air bersih, penyediaan listrik, ketahanan pangan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil serta pendidikan lingkungan hidup, ke berbagai wilayah Kawasan Timur Indonesia dan tingkat nasional.
5.
Mendukung rencana strategi nasional untuk pembangunan di kawasan daerah tertinggal, pesisir, dan pulau‐pulau kecil di Kawasan Timur Indonesia yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal RI, Kementerian Kelautan dan Perikanan RI dan Dewan Nasional Perubahan Iklim, melalui upaya‐upaya adaptasi yang diangkat dalam Diskusi Regional ini.
5
News
Oktober - November 2011
Volume V - edisi 71
ional Forum
Diskusi Reg
KTI
TERHADAMP I S A T P A D A HAN IKLUILAU PERUBAU LAU-P N UNTUK P KAWASAIA KECIL DIIN ONES TIMUR17-18 ODktober 2011 Lombok,
MEREKA YANG BERJUANG SENDIRI UNTUK ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM Those who struggle alone to adapt to climate change
“
Saya tidak menyangka, ternyata alang-alang liar yang sering saya lihat di Maluku bahkan di samping halaman rumah saya adalah sorgum yang bisa dikonsumsi, dan gizinya bernilai tinggi. Ini sesuatu yang baru dan berarti buat daerah saya,” ujar Dr. Hesina Johana Huliselan, salah satu peserta Diskusi Regional FKTI (Forum KawasanTimur Indonesia) dengan tema, “Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim untuk Pulau-Pulau Kecil di (KTI) KawasanTimur Indonesia, yang berlangsung pada 17-18 Oktober, di Senggigi, Lombok Barat, NTB (Nusa Tenggara Barat). Hesina adalah satu dari 144 peserta di wilayah 12 provinsi timur Indonesia yang mengikuti kegiatan tersebut. Dia merupakan peserta dari kalangan akademisi, anggota Pokja Forum KTI, dan pemerintah daerah (mantan Sekda Ambon), yang mengikuti sesi diskusi paralel di acara tersebut. Dalam diskusi, beberapa tema yang mengedepankan upaya adaptasi perubahan iklim oleh masyarakat digulirkan. Salah satu sesi diskusi yang diikuti Hesina tentang, “Sorgum bergizi, sorgum berduit,” yang dilakukan oleh Maria Loretha, 42, petani asal NTT. Hadirnya Tata, demikian sapaan akrab Maria Loretha, dalam ruang tersebut cukup memberikan inspirasi bagi sejumlah peserta lainnya yang mempunyai kondisi alam di wilayahnya kurang lebih sama dengan di NTT. Termasuk Maluku, dimana Hesina tinggal. “Saya pikir ini akan bagus jika dikembangkan lebih baik lagi di Maluku. Karena dalam penjelasan ibu Maria tadi, tanaman ini cukup tahan terhadap perubahan iklim. Bagus untuk memikirkan ketahanan pangan kita berikutnya,”jelas Hesina. Ini hanyalah salah satu respon positif yang mencuat dalam rangkaian diskusi paralel yang disebut oleh Erna Witoelar, Anggota Dewan Penasihat BaKti, selaku tuan rumah penyelenggara acara ini,sebagai development market place (bursa pembangunan). Dalam konferensi Pers yang dilakukan menjelang acara tersebut, Erna menjelaskan arti diadakannya bursa pembangunan sebagai wadah mempertemukan para pihak, yaitu masyarakat, akademisi, pemerintah terkait,LSM dan praktisi isu perubahan iklim.Sehingga dari forum ini memunculkan sisi penawaran dan sisi permintaan dari berbagai bidang terkait adaptasi di pulau-pulau kecil dan pesisir. “Memang kegiatan yang berlangsung dua hari ini tidak langsung menjawab persoalan yang begitu kompleks, tapi dengan berdiskusi, bertemu, mudah-mudahan bisa menghasilkan keputusan dan kerjasama yang konkret di antara mereka pada berikutnya,” jelas Erna.
"I had no idea that the wild grass that I often see in Maluku, even next to my backyard, is sorghum, which can be consumed and has high nutritional value. This is something new and meaningful for my area," said Dr. Johana Hesina Huliselan, one participant the Eastern Indonesia Forum Regional Discussion with the theme "Small Islands in Eastern Indonesia and Adaptation to Climate Change”, which took place on 17-18 October 2011, in Senggigi, Lombok, NTB (West Nusa Tenggara). Hesina is one of 144 participants from the 12 provinces in eastern Indonesia who attended the event. She attended many of the parallel discussion sessions at the event representing academics, Working Group of the Eastern Indonesia Forum, and regional government (former Secretary of Ambon City). In the discussion, several themes that promote climate change adaptation efforts by community kept coming up. One of the discussion sessions that Ibu Hesina attended focused on "nutrition-rich and cash-rich sorghum” and featured Maria Loretha, 42, a farmer from NTT. The presence of Tata, Maria’s nickname, was enough to inspire a number of other participants with similar natural conditions in their area, including Maluku, where Hesina live. "I think it would be great if it developed better in Maluku. As Maria explained, this plant is fairly resistant to climate change. Good to think about food security," explained Hesina. This was just one positive response that stood out from the discussion sessions christened by Erna Witoelar, a BaKTI Board of Trustees Member (organizer of this event) as a development market place. In a press conference ahead of the event, Ibu Erna explained the meaning of development as a vehicle to bring together the various parties (the public, academia, government agencies, NGOs) active in climate change issues. This forum was held to bring together the supply and demand sides of climate change adaptation in small islands and coastal areas.
ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM UNTUK PULAU-PULAU KECIL DI KAWASAN TIMUR INDONESIA Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat, Bapak Badrul Munir membuka dengan resmi acara Konferensi Regional Forum KTI (kiri). Para peserta dari berbagai pelaku pembangunan di KTI dan perwakilan lembaga donor hadir dalampertemuan ini (kanan), dan sambutan dari bapak Sudirman Saad
News
Oktober - November 2011
Volume V - edisi 71
6
KONFERENSI PERS Ibu Erna Witoelar (Anggota Dewan Penasihat Yayasan BaKTI), Bapak , Bapak Willi Toisuta (Ketua Dewan Penasihat Yayasan BaKTI) dan Ibu Caroline Tupamahu (Direktur Eksekutif Yayasan BaKTI) menjawab berbagai pertanyaan wartawan seputar pelaksanaan kegiatan dan isu-isu perubahan iklim di KTI. Pameran Adaptasi Perubahan Iklim ramai dikunjungi ini, menghadirkan 10 stand dari berbagai institusi yang memiliki program yang bersentuhan dengan adaptasi peru bahan iklim. Senada juga diungkapkan Ketua Dewan Pembina Yayasan BaKTI, Willy Toisuta. Diskusi regional ini tidak hanya memperlihatkan duduk soal dampak perubahan iklim yang dihadapi masyarakat pulau-pulau kecil, tetapi juga untuk membahas mata pencaharian alternatif sebagai bentuk adaptasi masyarakat pulau-pulau kecil terhadap perubahan iklim. Mendengarkan pengalaman masyarakat yang terkena dampak menjadi lebih penting dan diharapkan bias mudah dipahami. “Dari sini, kami berharap pemerintah dan lembaga terkait yang peduli terhadap dampak perubahan iklim masyarakat pulau-pulau kecil dan pesisir bisa mencari dan menyusun strategi nasional dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan ketahanan pangan, serta percepatan pembangunan di pulau-pulau kecil,” jelas Willy. Lebih dari itu, semua pihak bisa melihat dengan jelas duduk persoalan perubahan iklim secara umum terutama dampaknya bagi kehidupan masyarakat, dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim yang dilakukan masyarakat di pulau-pulau kecil. “Masyarakat kita yang berada di pulau-pulau kecil atau pesisir adalah objek yang dekat dengan perubahan iklim. Mereka perlu sentuhan informasi, pengetahuan dan pemahaman terhadap perubahan iklim yang ada. Sebagian dari mereka telah mempunyai upaya sendiri dalam mengatasinya dengan kearifan lokal yang dimiliki, namun itu pun belum cukup, jika tidak ada pengetahuan dan akses informasi yang memadai dalam mendukung kegiatan mereka. Diskusi regional ini jelas strategis bagi peserta untuk bisa saling berkomunikasi dan merespon,”tambah Erna yang juga dikenal sebagai aktivis lingkungan ini. Kegiatan diskusi regional FKTI ini sudah kali keduanya, dihadiri unsur pemerintah, aktivisi LSM, akademisi, dan mitra donor pembangunan. Acara ini diselenggarakan oleh Yayasan BaKTI dengan dukungan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pengembangan Daerah Tertinggal, Dewan Nasional Perubahan Iklim, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, KOMPAS, dan beberapa mitra pembangunan internasional.
"Of course these two days of activities will not be able to directly answer the many complex questions question, but by discussing and meeting, hopefully we can produce come concrete decisions and cooperation for the future," said Ibu Erna. The Chairman of the BaKTI Board of Trustees, Willy Toisuta, expressed a similar sentiment. This regional discussion not only showed how climate change impacts are affecting small island communities, but also how alternative livelihoods is a form of adaptation within communities on small islands to. Listening to the experience of peoples affected is very important. "From here, we hope the government and related agencies who care about the impacts of climate change on small island and coastal area communities can seek and develop a national strategy to face the challenges of climate change and food security, and achieve acceleration of development in small islands," explained Pak Willy . Moreover, all parties can clearly see the positioning of climate change issues in general, especially the impact on people's lives, and adaptation to climate change impacts already being practiced by the communities on small islands. "Our communities located on small islands or the coast are the objects closest to climate change. They need information, knowledge and understanding of climate change. Some of them have their own efforts to deal with it using local wisdom, but it’s not enough if they have no knowledge of and access to sufficient information to support their activities. This regional discussion is clearly strategic for participants to communicate and respond to each other," added Ibu Erna, who is also well known as a environmental activist. The Eastern Indonesia Forum Regional Discussion has been held twice and this time was attended by representatives of the government, NGO activists, academics, donors and development partners. The event was organized by BaKTI with support from the Ministry of Maritime Affairs and Fisheries, Ministry of Disadvantaged Areas, the National Council on Climate Change, Government of West Nusa Tenggara Province, KOMPAS as media partner, and several international development partners.
PANTAI SENGGIGI Acara Pembukaan Diskusi Regional Forum KTI dilaksanakan di tepi pantai Senggigi, Lombok.
7
News
Oktober - November 2011
Volume V - edisi 71
ional Forum
Diskusi Reg
KTI
TERHADAMP I S A T P A D A HAN IKLUILAU PERUBAU LAU-P N UNTUK P KAWASAIA KECIL DIIN ONES TIMUR17-18 ODktober 2011 Lombok,
DARI SORGUM HINGGA AIR LAUT MENJADI TAWAR
C
ontoh budi daya sorgum yang dilakukan Tata seperti menyentak sebagian peserta tentang arti makanan lokal bagi ketahanan pangan di suatu wilayah. Kehadiran Tata juga menjelaskan tentang sesuatu yang telah lama ditinggalkan dalam budaya bertani di wilayah NTT, yang kini dikenal sebagai provinsi yang mempunyai tingkat kerawanan pangan tinggi tersebut. Dalam sebuah wawancara di sela rehat acara diskusi, Tata menjelaskan, betapa sulitnya dia mendapatkan bibit sorgum (Sorghum spp). Sorgum adalah sejenis gandum atau padi-padian, yang sesungguhnya tanaman lokal di NTT. Dulunya tanaman ini sangat mudah ditemukan di ladang-ladang petani, namun kini sorgum telah menjadi tanaman langka dan jarang dikonsumsi lagi oleh masyarakat NTT. Bahkan, Maria perlu “berjuang” lama dalam mendapatkan jenis bibit sorgum sebelum membudidayakannya dengan tekun di areal miliknya seluas 6 hektar, di desa terpencil Pajinian-Adonara Barat, Flores Timur. “Perkenalan saya terhadap sorgum itu di tahun 2007, saat tetangga saya mengantarkan bolu kukus sorgum. Rasanya enak dan gurih. Saya bertanyalah, kuenya dibuat dari apa, ketika dijelaskan kue itu berasal dari sorgum, saya tidak mengetahuinya dengan baik. Saya pun, meminta tetangga saya memberikan bibitnya untuk saya tanam. Tapi itu sangat sedikit, tidak cukup untuk kebutuhan konsumsi keluarga saya. Saya pun mulai mencarinya di tetanggatetangga saya. Sejak itu saya tahu, ternyata dulu di NTT para petani suka menanaman dan mengkonsumsinya. Banyak warga NTT mengkonsumsi sorgum. Tapi itu dulu. Cerita ini saya dapat dari para orang tua tetangga saya. Nyatanya, hingga kini saya sulit mendapatkan bibit sorgum. Saya baru mendapatkan enam jenis bibit sorgum yang kini tengah saya budidayakan,” jelas Sarjana Hukum, Universitas Merdeka Malang ini. Hingga kini, Tata tidak bisa memahami, kenapa tanaman yang justru cocok ditanam di NTT tidak dikembangkan dan dibudidayakan dengan baik oleh pemerintah setempat. Padahal sudah sangat jelas, tanaman ini sangat cocok di tanam di lahan kering seperti halnya NTT. Dia menilai masyarakat dan pemerintah, bahkan selalu menyamakan panganan wajib itu sama dengan beras. Padahal makanan pokok, yang selama ini dikonsumsi orang Timor-Flores adalah ubi, keladi, jagung lokal, pisang dan sorgum. “Sayangnya kebijakan pertanian yang sering diambil adalah berasinasi, dan jagung hibrida yang tidak awet disimpan masyarakat. Jadi kini saya bisa memahami kenapa sorgum kini sulit sekali didapat, saya tidak tahu bagaimana cara berpikir pemerintah,”jelas Tata, lagi.
Kondisi yang digambarkan Tata adalah kenyataan yang kini dihadapi para petani di sejumlah wilayah Indonesia. Terutama para petani di daerah kering, pesisir dan kepulauan kecil seperti di wilayah Timor-Flores dimana Tata tinggal. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah seringkali tidak bisa menangkap apa yang sesungguhnya dibutuhkan masyarakat. Bantuan pertanian yang diberikan, misalnya, lebih mengedepankan nilai proyek dibandingkan membangun kesinambungan ketahanan pangan masyarakat setempat. Masalah ini pula mendapatkan sorotan tajam dari Illyas Dg. Laja, dari Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu Indonesia. “Kebijakan pemerintah di pertanian memaksakan petani untuk menanam komoditi ekspor yang karaktek tanamannya tidak sesuai dengan budaya, geografis dan iklim di suatu wilayah. Kadang hal itu justru merusak lingkungan dan mematikan karaktek petani setempat,” jelas Illyas dalam salah satu acara talk show bertema, “Ketahanan Pangan dan Perubahan Iklim,” yang juga menjadi salah satu menu dalam rangkaian kegiatan tersebut. Keluhan ini, kemudian dijawab oleh DR Ir Haryono MSc, Kepala Litbang Departemen Pertania RI, selaku pembicara dalam talk show tersebut bahwa pemerintah pusat tidak mempunyai wewenang dalam memcampuri kebijakan Pemda. Pusat hanya lebih mefokuskan pada kebijakan swasembada beras sebagai tanaman yang dipercaya menghasilkan makanan pokok bangsa ini, sementara pada tanaman spesifik seperti halnya jagung dan lainnya, termasuk sorgum, pengaturannya menjadi wewenang pemerintah daerah. Kendati jelas soal ketahanan pangan di sebagian besar wilayah Indonesia termasuk NTT, misalnya lebih disebabkan tidak tepatnya kebijakan pertanian yang dikeluarkan, seringkali perubahan iklim menjadi kambing hitam favorit untuk dipersalahkan atas terjadinya duduk persoalan kerawanan pangan di suatu wilayah, seperti yang dialami NTT. Nixon Balukh Sp, MSi, selaku Badan Ketahanan Pangan Provinsi NTT, yang juga menjadi pembicara dalam talk show tema yang sama menjelaskan, di provinsinya kini tengah mengalami gagal tanam dan panen, yang memang lebih banyak disebabkan adanya perubahan iklim. Sebagai catatan saja, Provinsi NTT kini dikategorikan sebagai provinsi rawan pangan yang parah. Dalam berita BBC Indonesia yang dilansir baru-baru ini menyebutkan dalam satu atau dua bulan ke depan 10.000 di sembilan kabupaten provinsi ini akan mengalami kerawanan pangan yang parah. Hal ini disebabkan para petani mengalami gagal tanam dan panen karena musim
PENCARIAN ALTERNATIF PENGHIDUPAN BAGI MASYARAKAT DI PULAU-PULAU KECIL Pembicara: Dr. Sudirman Saad, Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil KKP RI Cliff Marlessy, The Locally-Managed Marine Area (LMMA) Network Indonesia H. Hamzah, BAPPEDA Provinsi Nusa Tenggara Barat
News
Oktober - November 2011
Volume V - edisi 71
8
DEVELOPMENT MARKETPLACE Para Presenter pada acara Development Marketplace (kiri-kanan) MARIA LORETHA dari NTT, ALBERT NIMORE dari CONSERVATION INTER dari KOPERNIK, MURNIATI dari Pulau Tanakeke Sulsel, YOSEPH ELSOIN dari LMMA, AGUS DERMAWAN dari KKP RI, SIMON MORIN dari LMMA, TIBURTIUS HANI dari BUR
tidak menentu. Berita lainnya yang dilansir Viva news menyebutkan Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) membangun kantor bupati baru senilai Rp33 miliar ketika puluhan ribu warga yang menetap di 150 desa yang tersebar di 32 kecamatan dilaporkan terancam rawan pangan serius. Memperlihatkan keironian ini menjadi penting dalam melihat duduk persoalan perubahan iklim dan masyarakat kecil yang terkena dampaknya. Fenomena perubahan alam bernama perubahan iklim semakin memperparah akumulasi persoalan soal ketahanan pangan yang lebih banyak disebabkan salah urus dan tidak tepatnya kebijakan yang dikeluarkan. “Tanaman jagung hibrida yang sering disodorkan pemerintah kepada para petani, misalnya, justru tidak bisa disimpan dalam waktu lama untuk petani menghadapi musim paceklik, misalnya. Tidak seperti jagung-jagung lokal, bahkan sorgum. Tapi hingga kini, saya masih sulit mendapatkan bibitbibit panganan lokal ini. Petugas PPL juga tidak aktif untuk melakukan pembinaan kepada petani terkait dengan tanaman lokal. Makanya, begitu saya mendapatkan beberapa bibit sorgum, saya menyimpan, mengembangkan dan membudidayakannya. Saya juga menawarkan tetangga dan petani lainnya di sekitar saya bibit-bibit sorgum yang saya miliki jika mereka berminat menanamnya,” tandas Tata. Contoh adaptasi perubahan iklim yang dilakukan Maria Loretha alias Tata, hanyalah satu dari sekian contoh yang telah dilakukan masyarakat pulau-pulau kecil dan pesisir dalam menghadapi perubahan iklim. Tidak semua petani di NTT bisa secerdas Tata yang berusaha mencari tahu sendiri kebutuhan yang diminatinya, dan juga tentu saja punya modal serta lahan yang baik. Sekarang ini Tata sibuk menularkan pengetahuannya dalam bertanam sorgum ke sejumlah petani yang berminat menanam. Dia bahkan dengan suka cita akan memberikan bibitnya secara gratis. Selain Tata, ada juga seorang guru muda, Murniati SPd, asal Langkese, yang mengajar di pulau kecil bernama Tanakeke, Kecamatan Mappakasunggu, Kabupaten Takalar, Sulawesi
Selatan. Kendati dia bukanlah orang asli pulau tersebut, namun melihat kondisi pesisir pulau ini yang mengalami abrasi membuatnya cukup prihatin. Seperti halnya Tata, tanpa dibantu siapa pun, Murni mulai berinisiasi untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat. Dia memulai melalui muridnya. Sebagai catatan, di kepulauan ini hanya ada sekitar 250-an murid SD dan SMP. Sementara gurunya hanya ada enam orang dan kini ada tambahan dua lainnya di sana, termasuk dirinya. “Saya masuk ke pulau itu di tahun 2007. Niatnya hanya ingin mengajar anak-anak itu, karena mereka butuh guru. Karena di pulau dan jauh, saya dan kawan-kawan guru memang harus tinggal di sana. Saya sangat menyukai pulau itu, sehingga setiap ada waktu, saya sempatkan keliling dari pantai ke pantai. Pantai yang ada bakaunya begitu indah. Kondisinya jauh lebih baik. Mudah sekali menemukan biotanya di sana. Tapi sebaliknya pantai yang sudah kehilangan bakau makin tergerus ombak tiap kali musim gelombang laut naik. Menurut cerita para orang tua di sana, dulu kawasan pantai pulau ini memang dipenuhi pohon bakau. Mereka masih menemukan burung-burung, monyet, kerang bakau, ikan. Masyarakat di sini juga di sini tidak perlu khawatir kalau air laut mulai naik ke permukaan,“ jelas Murni. Dari hasil “jalan-jalan” dan “ngobrol” dengan para ibu dan orang tua di sana terkait dengan kondisi pantai di pulau itulah, membuatnya mulai berpikir, dia harus melakukan sesuatu. Dia ingin yang memulai langkah tersebut bukan dirinya, tapi anakanak, murid-muridnya. Murni pun mulai memasukkan muatanmuatan kesadaran tentang arti pentingnya hutan bakau bagi kawasan pantai di kepulauan kepada murid-muridnya. Pada pelajaran IPA, dia membawa muridnya ke lapangan. Dia meminta kepada para muridnya memberikan catatan perbedaan kehidupan yang mereka temukan di pantai yang banyak bakau dan pantai yang jarang tanaman bakau. Pelajaran Bahasa Indonesia dia meminta kepada murid-muridnya untuk menuliskan hasil pengamatannya tentang dua kondisi tersebut. “Dari sana mereka mulai berpikir sendiri. Misalnya dia bilang ke saya, Bu, ternyata kalau pantai kita ada mangrove sangat baik
KETAHANAN PANGAN DAN PERUBAHAN IKLIM Pembicara: Muhrizal Sarwani, Kepala Balai Besar Litbang Pertanian RI Fary Francis, Anggota DPR RI Ilyas Dg. Laja, Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu Indonesia Nixon Balukh, Kantor BKPPP Provinsi Nusa Tenggara Timur
9
News
Oktober - November 2011
Volume V - edisi 71
RNATIONAL - PAPUA, SANTOSO JANUWARSONO dari PLN NTB, JERICO PARDOSI dari UNICEF, ADI RIPALDI dari Sekolah Peruahan Iklim BMKG, LINCOLN SIHOTANG RUNG INDONESIA, AKHDARY DJ. SUPU dari YAYASAN PALU HIJAU.
menjaga lingkungan rumah kita dari abrasi pantai, atau kalau kita tanam bakau pasti akan banyak kehidupan lagi yang tumbuh di pulau ini, sehingga bisa dimanfaatkan oleh penduduk sekitar. Tanpa saya suruh dan minta, di suatu hari Minggu pagi, mereka mengajak saya untuk menanam pohon bakau. Bibitnya kami ambil dari pohon-pohon bakau sekitar pulau,” jelas Murni yang berasal dari keluarga besar guru ini. Hasilnya kini, wajah Tanakeke jauh lebih hijau, dan pantainya mulai terjaga. Pohon-pohon bakau yang mereka tanam sejak 2007 kini bertumbuhan dengan sangat baiknya. Murni selalu mengatakan itu adalah hasil ide, kerja dan kepedulian para muridnya. Kini kegiatan menghidupkan kembali bakau di kepulauan itu tidak hanya dilakukan oleh murid-murid Murni, tapi hampir keseluruhan warga kepulauan tersebut, termasuk para ibu di sana. Kisah Murni, ini diminati sejumlah peserta yang saat itu berada dalam bursa pembangunan. Sesi yang dia presentasikan bertema, “Aksi di pesisir untuk keberlanjutan hidup.” Beberapa peserta lain menanyakan proses-proses awal bagaimana Murni menemukan ide dan mengajak serta masyarakat di sana, terutama anak-anak. Dia juga cukup mahir menjelaskan tentang cara-cara menanam bakau yang baik dan benar. Selain Murni dan Tata, ada Yosep Elsoin yang menceritakan tentang kearifan lokal yang dimiliki masyarakat adat Tanimbar Kei, satu-satunya wilayah yang penduduknya mayoritas beragama Hindu di Kawasan Timur Indonesia. Di daerah ini terbentuk beberapa Kelompok Pelestari Kampung yang bededikasi tinggi dalam melestarikan alam dan mendapat dukungan penuh dari masyarakat dan juga para petinggi adat di sana. Perpaduan aturan adat (dikenal dengan sebutan sasi) dan pendekatan adaptasi membuat populasi Trochus di daerah itu meningkat tajam. Pemberdayaan ekonomi alternatif di daerah ini seperti pengelolaan rumput laut, kini mengalami banyak perkembangan. Di kampung Ohoiren, populasi biota laut langka seperti sea cucumbers dan trochus turut meningkat dengan adanya aturan adat atau sasi.
Berdekatan dengan Tanimbar ada Simon Morin di wilayah Meos Mangguandi, sebuah kampung di Distrik Kepulauan Padaido, Kabupaten Biak Numfor, Papua adalah satu dari sekian banyak kelompok masyarakat pesisir di timur Indonesia yang hingga sekarang memegang teguh aturan-aturan tersebut, yang juga dikenal sebagai Sasi. Sasi di wilayah ini digunakan untuk menjaga ketersedian pasokan ikan dan juga melindungi beberapa jenis ikan yang mulai jarang terlihat. Secara perlahan, perubahan kualitas hidup terumbu karang di Kepulauan Padaido, khususnya di Meos Mangguandi, mulai terlihat. Kini terumbu karang semakin ramai dihuni oleh berbagai jenis ikan. Sementara di Sulawesi Tengah, para peserta juga belajar dari Anwari warga desa Togean, Kabupaten Tojo Unauna. Dia bersama Yayasan Palu Hijau dan Sekolah Tinggi Perikanan Kelautan Palu, menginisiasi adanya desalinisasi air laut menjadi air tawar. Kisah ini pun cukup diminati, karena sebagian peserta juga tinggal di kepulauan yang jauh dari daratan, dan masalah mendapatkan air bersih menjadi kendala utama dalam menjalani keharian mereka. Anwari menjelaskan, jauh sebelum dipasangnya demplot penelitian desalinasi air bersih oleh Bappeda Kabupaten Tojo Unauna pada tahun 2008, masyarakat Togean harus menggunakan air hujan untuk kebutuhan MCK. Sementara untuk kepentingan memasak dan minum mereka harus mendayung 4-6 jam ke pulau tetangga untuk mendapatkan air bersih. Kecamatan Togean merupakan kepulauan dengan luas 229,51 km2. Setidaknya ada 20 pulau kecil, terdiri dari 14 desa, 11 diantaranya berada di pesisir pantai. Masalah mendapatkan air bersih adalah kendala utama bagi penduduk sekita terutama dusun Togean tersebut. Kini, meski masih dengan keterbatasan, sebuah wadah penampung air laut yang telah ”menyulap” menjadi air tawar lewat proses desalinasi, telah memenuhi kebutuhan air bersih bagi warga desa yang dikelilingi laut ini. Proses desalinisasi yang dimaksud adalah ada sebuah bak penampung air laut, dengan penutup yang dibuat dari atap seng atau kaca untuk memungkinkan terjadinya presipitasi. Hasilnya adalah gram dan
PERCEPATAN PEMBANGUNAN DI PULAU-PULAU KECI Pembicara: Suprayoga Hadi, Deputi KPDT RI Agus Salim Dasuki, Deputi KPDT RI Charles Keppel, Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara
News
Oktober - November 2011
Volume V - edisi 71
10
KETAHANAN PANGAN DAN PERUBAHAN IKLIM Pembicara: Ibu Wahyuningsih Darajati, BAPPENAS Bapak Ari Muhammad, Dewan Nasional Perubahan Iklim Bapak La Beloro, Forum Kahedupa Toudani (FORKANI)
embun (air tawar). Sebuah wadah dengan luas penampang kaca 3,70 meter persegi dapat menampung air laut sebanyak 675 liter. Air tawar yang dihasilkan dalam kurun waktu 6 jam (jam 9 pagi hingga jam 3 petang) adalah 37,5 liter. Siap melayani kebutuhan warga desa Togean. Termasuk kisah-kisah masyarakat kepulauan Raja Ampat yang secara kreatif menggunaka kapal yang diberinama Kalibia, guna menyebarkan kesadaran dan pengetahuan tentang arti lingkungan yang baik bagi alam sekitar dan manusa. Albert Nebore membawakannya secara menarik saat membawakan sesi Kalabia : Melayarkan sumber pengetahuan dari pulau ke pulau.
MEMBERI PENGETAHUAN SOLUSI ATAS MASALAH ”Dari hasil diskusi ini, jelas sekali di tataran komunitas lebih siap jika kita mendengar upaya-upaya mereka sejauh ini. Contoh-contoh seperti ini sebenarnya yang kita butuhkan untuk lesson and learn adaptasi perubahan iklim di masyarakat, karena sejauh ini di Indonesia belum pernah banyak menampilkan pengalamanpengalaman cerdas yang solutif seperti yang ditunjukkan dalam forum ini. Mudahmudahan ini bisa membuka mata berbagai pihak terutama pengambil kebijakan untuk meresponnya dengan baik,” tutur Arif Muhammad, dari DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim). Arif menambahkan pendekatan yang dilakukan dalam merespon kebutuhan masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim tidak harus menggunakan teknologi tinggi. Kearifan lokal dan juga upaya sederhana seperti yang terungkap dalam forum bisa dijadikan media, dan pemerintah serta sektor terkait diharapkan bisa meresponnya dengam cepat. ”DNPI sendiri telah melakukan berbagai macam kajian tentang kerentanan dampak perubahan iklim di berbagai daerah di Indonesia. Dokumennya sangat lengkap, dan kami selalu membaginya kepada Pemda yang bersangkutan. Tapi yang menjadi soal adalah, bagaimana kemudian ini ditanggapi oleh Pemda untuk menindaklanjutinya. Kebanyakan kadang hanya jadi dokumen, karena dianggap tidak mempunyai nilai strategis untuk kepentingan politik, atau alasan yang sering di dengar belum menjadi prioritas utama, tau anggaran terbatas,”jelas Arif lagi. Padahal upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, jelas Arif lagi membutuhkan kerjasama yang kuat diantara sektor-sektor pembangunan. Kedua upaya tersebut membutuhkan sumber dana yang cukup besar. Keterbatasan anggaran bisa diantisipasi melalui pengalokasian anggaran oleh tiap sektro. Sektor yang dianggap berhubungan langsung dengan dampak perubahan iklim misalnya, harus direspon dengan cepat. Dia juga mengingatkan agar rantai birokrasi proses perumusan program dan strategi implementasi bisa dipersingkat guna meredam atau mengurangi dampak perubahan iklim. Senada juga diungkapkan Ir. H. La Sara, Msi, Phd dari Sulawesi Tenggara. Upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dari pemerintah terkadang hanya berbasis proyek dan bukan pada kesinambungan keberlanjutan yang tuntas, baik yang dikonkretkan dalam sebuah kebijakan yang dikeluarkan maupun dengan implementasinya. ”Tapi saya pikir, mempertemukan pihak-pihak dari berbagai unsur yang berhubungan langsung dengan isu perubahan iklim sudah tepat. Saya pikir ini menjadi langkah awal yang bagus dalam melihat duduk persoalan dampak perubahan iklim di masyarakat pulau-pulau kecil ini lebih konkret,”tandasnya. Bagi La Sara yang juga anggota JIKTI dan seorang akademisi, hasil diskusi yang diikutinya jelas akan menjadi bahan yang berguna untuk bisa disebar dan dibahas kembali bersama kolega akademisinya dan juga sesama anggota JIKTI dari berbagai daerah di Indonesia Timur. Lebih dari itu jika meminjam kata-kata dari Dr Ir Alex SW Retraubun, MSc, Wakil Menteri Perindustrian RI dan Steering Committee diskusi regional FKTI ini, bahwa masyarakat pulau-pulau di Indonesia adalah bagian dari kedaulatan bangsa. Jadi seharusnya segala persoalan yang mengancam terhadap kepulauan tersebut harus direspon secara serius. Apalagi perubahan iklim jelas telah mengancam eksistensi hidup dan kehidupan masyarakat di sana. 11
News
Oktober - November 2011
Dr. Armi Susandi, (Wakil Ketua Pokja Adaptasi Perubahan Iklim) memberikan sambutan sekaligus menutup acara dengan resmi.
Volume V - edisi 71
DISKUSI PRAKTIK CERDAS ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM Para peserta aktif memberi masukan saran dan gagasan bagaimana menghadapi laju perubahan iklim dan bagaimana praktik cerdas dapat menjadi solusi untuk menjawab tantangannya.
Para peserta juga dibawa untuk bisa melihat kerja BMKB NTB dalam melakukan sekolah lapang iklim untuk para petani sekitar. Sekolah ini memadupadankan teknologi dan kearifan lokal dalam memperkirakan iklim yang akan terjadi dalam beberapa bulan ke depan. Di Sekolah Iklim para petani belajar melihat tanda-tanda iklim dengan alat sederhana yang dibuat. Setelah memperkirakan kecenderungan iklim yang akan terjadi di beberapa bulan kemudian, para petani dibekali pengetahuan untuk menentukan jenis tanaman apa yang cocok untuk ditanam. Banyak lagi beberapa diskusi lainnya yang diikuti peserta dari awal hingga selesai.
DEVELOPMENT MARKETPLACE DUA BELAS INISIATIF CERDAS dari masyarakat dan LSM lokal serta yang didukung oleh lembaga donor dan LSM Internasional di Kawasan Timur Indonesia. Dipresentasikan selama dua hari dan mendapat respon baik serta sangat menginspirasi para peserta. Kegiatan ini membuka ruang komunikasi dan replikasi.
PT. PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA
KOPERNIK
KEMENTERIAN KELAUTAN & PERIKANAN RI DAN USAID-IMACS
MARIA LORETA ADONARA, NTT
SEKOLAH LAPANG IKLIM BMKG NTB
MASYARAKATKEPULAUAN RAJA AMPAT DAN CONSERVATION INTERNATIONAL INDONESIA
LMMA INDONESIA - TANIMBAR KEI
LMMA INDONESIA PPM MEOS MANGGUANDI
KOMUNITAS MASYARAKAT MBELILING, FLORES, NTT DAN BURUNG INDONESIA
News
UNICEF MANGROVE ACTION PROJECT
Oktober - November 2011
YAYASAN PALU HIJAU
Volume V - edisi 71
12
LOKAKARYA KONSULTASI REGIONAL
Mengentaskan Kemiskinan Melalui Kepemimpinan Perempuan, Mengapa Tidak?
“Kami bangga menjadi pemimpin perempuan karena mendapat kesempatan dalam pengambilan keputusan dan mendorong perubahan masa depan yang adil dan setara”. D emik ian sebagian besar hal-hal yang dibanggakan oleh para pemimpin perempuan yang berkumpul di Makassar pada 17 November Silam dalam sebuah Konstulasi Regional Program Pengentasan Kemiskinan Melalui Kepemimpinan Perempuan. Tak kurang dari lima puluh pemimpin perempuan yang hadir saat itu adalah para pimpinan lembaga pemerintah, aktivis kemanusiaan, aktivis perempuan, peneliti, pengelola usaha mikro, dan politikus dari berbagai daerah di KTI. Tujuan dari lokakarya ini adalah untuk mendapatkan input/masukan dari individu ataupun dari Civil Society Organisations (CSOs) mengenai program “Pengentasan Kemiskinan Melalui Kepemimpinan Perempuan” yang
13
News
Oktober - November 2011
akan dilaksanakan oleh divisi Desentralisasi, Pengentasan Kemiskinan dan Pengembangan Perdesaan, Australian Aid. Sejauh ini konsep awal program telah disetujui dan diharapkan melalui kerjasama para mitra dapat dipastikan bahwa rancangan program baru ini akan menggabungkan kebutuhan masyarakat, pengalaman, dan rekomendasi para pelaku pembangunan agar menjadi sebuah program efektif bagi penguatan suara dan pengaruh dalam kebijakan untuk perempuan miskin. Semua yang hadir dalam acara konsultasi ini merasa optimis bahwa kepemimpinan perempuan dapat mengentaskan kemiskinan di daerah selama ada upaya nyata untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan dan s u m b e rd ay a m a n u s i a , m e n i n g k a t k a n p a r t i s i p a s i perempuan dalam bidang politik dan dalam proses pembangunan, dan menciptakan koordinasi antar lembaga
Volume V - edisi 71
Bapak PETRARCA KARETJI, Direktur Desentralisasi, Pengentasan Kemiskinan dan Pengembangan Perdesaan, Australian AID, memberikan sambutan dan sekaligus membuka kegiatan dengan resmi.
Tentang Program “Pengentasan Kemiskinan Melalui Kepemimpinan Perempuan”
agar terwujud kemitraan yang sinergis. Disamping itu keterlibatan media massa juga sangat diperlukan dalam meningkatkan pemahaman yang lebih baik mengenai isuisu perempuan atau kesetaraan gender dan agar gerakan yang ada bisa mendapatkan dukungan yang lebih masif dari masyarakat luas. Peserta lokakarya diharapkan untuk terus saling berkomunikasi setelah lokakarya di masing-masing provinsi dan mulai memikirkan beberapa hal seperti, kegiatan apa saja yang harus ada pada tiap tahapan siklus pengembangan program, bagaimana membuat rancangan secara bersama, apakah menggunakan Forum yang sudah ada, dan apa usulan konkrit untuk terus terlibat dalam penyusunan rancangan program ini. Pertemuan lanjutan diharapkan untuk dilaksanakan pada bulan Januari 2012 dan peserta Lokakarya terus diikutkan pada proses pengembangan program.
Program ini bertujuan untuk memperkuat suara dan pengaruh perempuan dengan cara memberikan dukungan kepada organisasiorganisasi perempuan dan organisasi yang bergerak di bidang gender ditingkat nasional serta mitra lokalnya; memobilisasi sumber daya; dan menjalin koalisi dengan berbagai pihak lain di sektor pemerintah maupun swasta. Organisasi-organisasi tersebut akan didukung untuk mengidentifikasi solusi dan mengadvokasikan reformasi kebijakan dan peraturan di tingkat nasional maupun daerah, yaitu solusi dan reformasi yang dapat meningkatkan kehidupan kaum perempuan miskin di sejumlah bidang sasaran. Ada empat bidang tematik sasaran, yaitu: meningkatkan akses lapangan kerja dan menghapus diskriminasi di tempat kerja bagi kaum perempuan meningkatkan akses perempuan terhadap program-program pemerintah dengan perlindungan sosial memperbaiki kondisi bagi buruh migran perempuan ke luar negeri, memperkuat kepemimpinan kaum perempuan untuk memperjuangkan hak-haknya terkait kesehatan dan reproduksi. Organisasi-organisasi tersebut akan didukung untuk melaksanakan kegiatan percontohan di tingkat nasional ataupun di tingkat daerah dalam rangka mengidentifikasi dan mengujicobakan solusi-solusi inovatif di keempat bidang tersebut. Dukungan juga diberikan untuk melakukan advokasi berbagai pelajaran yang dapat direplikasi (diadopsi) di daerah-daerah lain ataupun di tingkat nasional. Selain itu, organisasi-organisasi ini akan didukung untuk mengumpulkan fakta/bukti yang kuat melalui kegiatan-kegiatan percontohan untuk terus memperbaiki kinerjanya dan memperkuat kegiatan advokasinya.
FOR MORE INFORMATION Untuk informasi lebih lanjut mengenai program “Pengentasan Kemiskinan Melalui Kepemimpinan Perempuan”, silakan menghubungi. Tanya McQueen Women in Leadership Unit Manager Decentralisation, Poverty Reduction & Rural Development Section Email
[email protected]
News
Oktober - November 2011
Volume V - edisi 71 14
Kegiatan penyaluran dan PNPM Mandiri Respek KMP Ekonomi disertai Pengarahan oleh pendamping Distrik pirime LanyJaya, Papua Sumber foto : http//2.bp.blogs.com
PEMIKIRAN ULANG PNPM PERDESAAN DI PAPUA:
TANGGAPAN TERHADAP TANTANGAN DAERAH TERPENCIL
P
apua adalah daerah Indonesia paling timur yang paling besar dengan penghuni yang paling jarang. Papua juga adalah daerah yang paling miskin. UU desentralisasi Indonesia, terutama UU Otonomi Khusus Papua di tahun 2001 telah memastikan bahwa daerah itu menerima sumber daya fiskal yang signifikan, memberi jaminan penerimaan yang jauh lebih baik dibanding sebagian besar provinsi lain. Akan tetapi Papua juga memiliki tingkat kemiskinan per kapita tertinggi di Indonesia-dengan lebih dari 40 persen rumah tangga yang hidup di bawah garis kemiskinan (tiga kali lipat rata-rata nasional). Gubernur Papua yang pertama kali dipilih secara langsung meluncurkan suatu strategi pembangunan pedesaan, RESPEK, untuk memacu pembangunan dengan penekanan kepada bidang pangan dan gizi, pendidikan dasar, kesehatan dasar, mata pencaharian, dan infrastruktur pedesaan. Di tahun 2008, RESPEK digabungkan dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM Mandiri) pemerintah nasional yang didukung oleh Bank Dunia. PNPM menggunakan pendekatan pembangunan yang didorong oleh pemberdayaan masyarakat, pemberian dana hibah langsung bagi masyarakat setempat untuk mendanai prioritas pembangunan lokal – umumnya infrastruktur kegiatan sosial dan ekonomi berskala kecil, pendidikan dan kesehatan, dan kredit mikro kepada kelompok wanita-yang diterapkan melalui mekanisme yang menjamin keterlibatan yang luas dan transparansi. Setelah berjalan hampir lima tahun, waktunya dirasa perlu untuk melihat kembali sejauh mana Program RSPEK yang telah terintegrasi dengan PNPM, membawa manfaat bagi masyarakat Tanah papua. Sebuah kajian portofolio jangka menengah telah dilakukan untuk menindaklanjuti masalah-masalah penerapan, termasuk dampak tolak ukur kualitas PNPM di papua dan pengembangan strategi penerapan alternatif bagi sebagian besar daerah terpencil. Selain itu sebuah kajian untuk keseluruhan rangkaian kegiatan juga dilakukan untuk mengetahui tingkat efektivitas dan relevansi kegiatan serta menemuka celah-celah operasi atau analisis yang ada. Lokakarya Temuan Misi Lapangan yang diadakan di Makassar ini bertujuan mengumpulkan para pemangku 15
News
Oktober - November 2011
kepentingan portofolio PNPM Support Facility (PSF) di Papua, dengan memusatkan pada PNPM Rural atau RESPEK untuk: (i) melakukan kajian atas status terakhir penerapan proyek PNPM Rural dan RESPEK, melakukan analisis temuan dari misi lapangan yang sedang berlangsung, dan menemukan keprihatinan kualitas utama; (ii) melakukan brainstorm untuk menemukan solusi yang kritis dan inovatif untuk menghadapi tantangantantangan pelaksanaan; (iii) melakukan pembicaraan dengan para mitra dan mengusulkan potensi penyesuaian terhadap rancangan penerapan dan/atau strategi pengawasan untuk tanggapan yang lebih baik untuk kebutuhan dari daerah-daerah terpencil; (iv) menemukan celah analisis/evaluasi dalam portofolio Papua; dan (v) secara singkat meninjau keseluruhan 'rangkaian' aktivitas yang sekarang terpusat pada PSF untuk mambahas keterpaduan, relevansi dan efektivitas. Peserta yang hadir adalah para pemangku kepentingan Pemerintah Indonesia seperti Kementerian Dalam Negeri, Pokja Pengendali PNPM, perwakilan NMC PNPM Perdesaan, donordonor dan proyek-proyek utama (Ausaid, AIPD, IFAD, Oxfam), mitra dari pemerintah lokal, para Koordinator Provinsi, PMD, dan BAPPEDA, beberapa Bupati dari Papua, fasilitator kecamatan, perwakilan Universitas Cenderawasih dan Universitas Negeri Papua, organisasi kemasyarakatan, Lembaga Swadaya Masyrakat, serta organisasi keyakinan Mitra-mitra PNPM dan wakil-wakil OMS/NGO juga hadir untuk membawa bahan-bahan dari karya mereka untuk ditampilkan pada sesi Belajar 'Poster' pada petang hari, di mana para peserta secara informal mengenal dan mempelajari secara singkat berbagai program dan bhan informasi serta membahas dengan para wakil yang hadir tentang karya-karya mereka di Papua.
INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION Natasha Hayward (Senior Social Development Specialist) The World Bank – PNPM Mandiri Support Facility (PSF) Jl. Diponegoro No. 72, Jakarta, 10310, Ph (62-21) 314-8175, Fax (62-21) 3190-3090 Email:
[email protected] Volume V - edisi 71
Warga Diminta Merawat Negaranya Oleh Mansetus Balawala
D
ua warga negera berkebangsaan Inggris, Keith Hooper dan Ellen selama sepekan mengunjungi Yayasan Kesehatan untuk Semua (YKS). Dalam kunjungan tersebut, keduanya berkesempatan mengunjungi Puskesmas Ritaebang, Kecamatan Solor Barat dan Pustu Laka, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur yang menjadi wilayah kerja YKS. Kunjungan ke kedua daerah ini bertujuan untuk melihat langsung kondisi kesehatan masyarakat dan fasilitas kesehatan yang tersedia. Usai kunjungan, keduanya mengaku cukup prihatin melihat fasilitas kesehatan yang masih sangat minim. Mereka mengkritisi peralatan rontgen yang belum dimiliki setiap Puskesmas yang mereka kunjungi. Pada hal alat rontgen ataupun alat pemindai atau scan tiga dimensi seperti USG merupakan hal yang mutlak diperlukan dalam banyak situasi darurat.“Di Inggris, setiap 20.000 penduduk dapat dilayani oleh sebuah klinik yang dilengkapi setidaknya lima orang dokter umum,” ujar Keith yang diamini Ellen. Persoalan yang paling sering disoroti oleh kedua Keith dan Ellen yang adalah penggemar sepeda motor ini adalah perilaku warga yang membuang sampah di sembarang tempat dan merokok di fasilitas publik. Menurut mereka, bila perilaku ini terjadi di Inggris maka bukan tidak mungkin bila penjara penuh dengan manusia-manusia yang melakukan pelanggran seperti ini. “Warga Indonesia harus bisa merawat negaranya sendiri dengan tidak membuang sampah di sembarang tempat, termasuk merokok di fasilitas publik. Kebiasaan merokok di tempat umum akan mengganggu orang lain karena merasa tidak nyaman ketika sedang berada atau menggunakan fasilitas publik yang sama. Kita perlu menyadari bahwa utuk membangun fasilitas publik seperti gedung dan jalan, dibutuhkan dana. Memang dapat dimakhlumi bila sebagian besar jalan dan bangunan publik di Indonesia masih rusak lama baru dapat diperbaiki, namun untuk menjaga kebersihan lingkungan tidak lah membutuhkan dana yang besar, bahkan dapat dikatakan tidak membutuhkan dana sama sekali. ”Yang dibutuhkan cukup kesadaran dari warga untuk membuang sampah pada tempatnya,” imbuh Kith. Saat ditanyai tentang perbedaan fasilitas pelayanan kesehatan antara Indonesia dan negara asalnya, Inggris, Keith mengatakan memang fasilitas kesehatan di Inggris jauh lebih baik ketimbang di Indonesia. Di Inggris, jelas Keith, fasilitas kesehatan dan pendidikan yang disediakan pemerintah memberikan layanan gratis kepada siapa saja. Bahkan untuk keadaan darurat sekalipun hanya disediakan satu nomor telepon layanan yakni 999. Bagi yang menelpon ke nomor ini, si penelpon tinggal memberitahukan situasi darurat yang dialami kemudian akan dipandu menghadapi situasi sambil menunggu kedatangan layanan darurat, seperti polisi, ambulans, atau pemadam kebakaran. Pemerintah Inggris juga menyediakan beberapa helikopter untuk mengevakuasi warganya yang terserang wabah atau situasi darurat massal dalam tempo yang singkat ketika menerima
News
Oktober - November 2011
pengaduan masyarakat ke nomor 999. Pengerahan helikopter ini dapat juga dapat dilakukan untuk situasi-situasi yang terjadi pada tempat yang di mana akses jalan ke wilayah tersebut sulit dilalui transportasi darat dalam waktu yang cepat. Puskesmas Ritaebang adalah salah satu dari sarana kesehatan yang dikunjungi Keith dan Ellen. Di Puskesmas Ritaebang, mereka disambut oleh Dokter Rony Hadiyento yang kemudian menjelaskan secara detail semua fasilitas kesehatan di Puskesmas itu dan mengantar mereka meninjau setiap ruangan yang ada. “Ini merupakan suatu hal yang baik bagi kita karena telah mendengarkan kondisi layanan kesehatan di Inggris dan bisa belajar dari mereka untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di Solor”, ujar Rony. ”Kami berharap, Keith dan Ellen juga dapat berbagi pengalaman mereka dari Solor sekembalinya mereka ke Inggris dan membuka mata dunia tentang kondisi nyata yang dialami masyarakat di pedalaman Indonesia,” sambung dokter Ronny . Merasa Senang Merawat Negara Selain melihat sarana kesehatan dan menghadiri beberapa kegiatan sosial yang dilaksanakan warga di Larantuka, Keith dan Ellen juga berkesempatan melihat dari dekat Bengkel YKS yang disediakan untuk mendukung program Manajemen Zero Breakdown Motorcycle untuk Pelayanan Kesehatan di Pedesaan. Sekedar mengingatkan kembali, inisiatif Zero Breakdown
Mansetus Balawala bersama Keith dan Ellen
Motorcycle ini merupakan salah satu Praktik Cerdas yang diangkat dalam Pertemuan Forum KTI ke-empat yang diadakan di Makassar tahun 2009 silam. Baik Keith maupun Ellen merasa sangat terkesan atas praktik cerdas ini dan berjanji membantu melakukan penggalangan dana untuk mendukung keberlanjutan program YKS. Mereka sedang berupaya agar di masa depan dapat memberi bantuan beberapa unit sepeda motor baru dan mengembangkan fasilitas kantor YKS. Setelah beberapa hari melakukan kunjungan ke Timor dan flores, Keith dan Ellen meminta kepada warga Indonesia terutama masyarakat Nusa Tenggara Timur untuk merawat fasilitas yang telah ada. ”Walaupun masih sangat minim, namun inilah fasilitas yang kita miliki sehingga keberadaannya perlu dijaga dan bahkan kualitas layanannya harus tetap ditingkatkan walaupun masih banyak keterbatasan”, pungkas Keith.
INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION Penulis adalah Pengurus Yayasan Kesehatan untuk Semua (YKS) dan dapat dihubungi melalui email pada alamat
[email protected],id Volume V - edisi 71
16
SIMPOSIUM PEMBANGUNAN
PENELITIAN UNTUK REKOMENDASI KEBIJAKAN
SEBUAH KARYA DARI TIMUR S
uatu pagi di akhir November suasana sebuah pertemuan terasa berbeda. Tak kurang dari seratus limapuluh orang tampak antusias berbincang, beberapa tampak berjabat tangan dengan hangat. Ada tiga kamera dengan para jur kamera di beberapa sudut ruangan, siap merekam gambar. Sebuah kamera, berdiri anggun di atas dolly tepat di depan panggung. Kesibukan kecil tampak di tepi panggung, tempat di mana seorang sutradara bersama para awak filmnya bersiap memulai kegiatan. Tak lama kemudian sang sutradara berdiri, memberi aba-aba, ”Camera roll and action!”. Simposium Pembangunan yang diadakan Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia (JiKTI) pun dimulai. Selama dua hari, 30 Oktober dan 1 November 2011 untuk pertama kalinya, para peneliti dari duabelas provinsi di Kawasan Timur Indonesia berkumpul di di Hotel Grand Clarion Makassar untuk saling bertukar informasi mengenai hasil-hasil dan perkembangan penelitian yang telah dilakukan. Para peneliti yang hadir dalam simposium ini tidak hanya berasal dari kalangan akademisi, melainkan juga dari berbagai organisasi masyarakat sipil dan lembaga penelitian. “Penelitian Untuk Rekomendasi Kebijakan: Sebuah Karya Dari Timur” adalah tema simposium yang dipilih dari tujuan JiKTI.
17
News
Oktober - November 2011
Walaupun merupakan kegiatan akhir dari program “Pengembangan Sektor Pengetahuan Untuk Kebijakan” dengan dukungan The Asia Foundation, simposium ini menjadi langkah awal bagi para peneliti di Kawasan Timur Indonesia untuk berbagi hasil-hasil penelitian dan saling berdiskusi untuk memperkaya dan mempertajam berbagai penelitian yang tengah berjalan. Simposium yang dibuka secara resmi oleh pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang diwakili Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah, mempresentasikan tak kurang dari tigapuluh hasil penelitian yang dilakukan oleh anggota JiKTI. Simposium ini terbagi ke dalam empat sesi diskusi yang membahas tema-tema khusus. Seluruh peserta sangat bersemangat dalam memberi masukan dan mendengarkan paparan-paparan hasil penelitian dan perkembangan beberapa kegiatan. Berbagai pertanyaan dan masukan yang muncul menjadi penanda tingginya antusiasme para peneliti untuk berbagi hasil penelitian dan memberi masukan dalam meningkatkan kualitas hasil penelitian di masa depan. Diskusi-diskusi kecil penuh semangat juga berlangsung dalam sesi presentasi poster.
Volume V - edisi 71
Sebuah talkshow juga diadakan dalam Simposium ini dan mengangkat topik diskusi Kebutuhan Penelitian Dan Dukungan Terhadap Sektor Pengetahuan. Narasumber dalam talkshow ini adalah Petrarca Karetji (Australian AID), Kharisma Nugroho (The Asia Foundation), Rizal Malik (The World Bank). Sesi ini dipandu oleh John Theodore Weohau (AIPD Australian AID). Pendekatan unik 'pembuatan film' dengan menghadirkan sutradara sebagai pemandu acara dan para
awak pembuat film dalam simposium ini berhasil memberi nuansa yang berbeda dan membuat acara ini menyenangkan. Sebagian besar peneliti yang hadir dalam kegiatan ini sangat berharap agar simposium semacam ini dapat diadakan secara berkala di masa depan. Apalagi tidak banyak ruang dan kesempatan bagi para peneliti di Kawasan Timur Indonesai untuk bertemu dan menunjukkan hasil penelitian mereka.
TEMA KHUSUS, NARASUMBER DAN MODERATOR, SERTA RINGKASAN RUMUSAN
·
Untuk memacu peningkatan IPM-KTI, setiap daerah dituntut agar mampu secara fokus pada indikatorindikator pembentuk IPM utama pada masing-masing daerah;
STRATEGI PENINGKATAN POSISI IPM DAERAH DI KTI
·
Pengalaman keberhasilan meningkatkan kinerja IPM pada sejumlah daerah di KTI, menunjukkan pentingnya perencanaan dan penganggaran yang konsisten. Yaitu, perencanaan yang benar-benar berbasis dan mengacu pada upaya peningkatan IPM, disertai dukungan anggaran yang tepat dan proporsional;
·
Namun diatas semua upaya, perencanaan dan penganggaran seperti yang dimaksud diatas, nampaknya keberpihakan dan komitmen Kepala Daerah sebagai Pimpinan Tertinggi Pemerintahan Daerah merupakan sebiah keniscayaan.
Narasumber : Prof. Dr. Ir. Hj. Winarni Monoarfa, MA. (Ketua Pokja Forum KTI, Kepala BAPPEDA Provinsi Gorontalo), Abdul Rahman Syebubakar (UNDP), Dr. Agussalim (JiKTI Sulsel), Simon Pieter Sugijono (JiKTI Maluku). Moderator : Abdul Madjid Sallatu Ringkasan rumusan: ·
·
Sejauh ini, upaya peningkatan IPM-KTI terus dilakukan dan dintegrasikan dalam perencanaan pembangunan di daerah masing-masing, serta juga dilakukan secara inovatif sesuai dengan kondisi daerah. Disadari hasilnya belum terlalu memuaskan, oleh karena tantangan peningkatan IPM-KTI memang sangat besar; Kinerja IPM tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan capaian MDGs dan pembangunan sumberdaya manusia secara umum. Oleh karena itu diperlukan kesadaran bahwa untuk mencapai kinerja peningkatan secara berkesinambungan, dibutuhkan wawasan pembangunan jangka panjang;
News
Oktober - November 2011
KEBIJAKAN BERBASIS PENELITIAN Narasumber : Dr. Takdir Saili (JiKTI Sulawesi Tenggara), Drs. Frederik H. Krey (Forum Data Papua), Dr. Ir. Budhi Santoso, MA. (Kementerian PPN/ Bappenas), Wilson M.A. Therik, SE.,MSi. (JiKTI NTT), Dr. Agussalim (JiKTI Sulsel), Simon Pieter Sugijono (JiKTI Maluku). Moderator : Abdul Rahman Farisi, SE.,MSi. (JiKTI Sulsel) Ringkasan Rumusan: · Dukungan penelitian dan rekomendasi kebijakan yang secara operasional dapat diimplementasikan, sangat dibutuhkan untuk pembangunan KTI baik secara terintegrasi maupun pada masing-masing daerah;
Volume V - edisi 71
18
·
Sepatutnya disadari bahwa penelitian membutuhkan data yang valid, agar rekomendasi kebijakannya bisa dipertanggung-jawabkan. Mewujudkan hal ini masih merupakan tantangan bagi para peneliti di KTI, disamping kapasitas dan kompetensi penelitian para peneliti itu sendiri;
percepatan penanggulangan kemiskinan di daerah. Dengan demikian direkomendasikan agar BaKTI dapat meningkatkan kerjasama dengan donor agency dalam rangka membentuk suatu lembaga seperti ”Research Council KTI”.
·
Kajian kebijakan pembangunan masih perlu ditata dan dikembangkan secara lebih terstruktur dan terprogram untuk menjamin efektifitas pembangunan KTI. Untuk maksud tersebut, diharapkan JiKTI dengan dukungan Yayasan BaKTI mampu memainkan perannya secara signifikan;
PENGEMBANGAN EKONOMI BERBASIS KOMODITAS UNGGULAN DAERAH
·
·
·
19
Dalam kaitan itu pula, kolaborasi antar lembaga penelitian dan antar tenaga peneliti di KTI perlu dibangun dan diperkuat, termasuk dalam menghasilkan wacana-wacana pembangunan yang penting; Ke depan, di KTI masih perlu didorong dan dikembangkan terus interaksi dan dialektika antara elit p e n g e t a h u a n d a n p e n g e t a h u a n e l i t, u ntuk menghasilkan penelitian dengan nilai dan bobot akademik yang sebaik-baiknya. Agar supaya JiKTI lebih maksimal di dorong untuk menjadi mitra strategis dengan pemda di masingmasing focal point dalam rangka mendorong
News
Oktober - November 2011
Narasumber : Drs. Abdul Madjid Sallatu, MA. (Pokja Forum KTI), Noldy Tuerah SE.,MA.,PhD. (Kepala Bappeda Provinsi Sulawesi Utara), Dr. Ahmad Zaini, MA (JiKTI NTB), Herry Kopalit SPi. MSi. (JiKTI Papua Barat) Ringkasan Rumusan: · Perhatian kita dan penguasaan terhadap tahap perkembangan komoditas unggulan pada setiap daerah sangat penting, agar 'value-chain' yang memungkinkan dikembangkan dapat dilakukan lebih efektif; ·
Diperlukan kearifan dan kecermatan berpikir untuk menggunakan komoditas unggulan sebagai pemicu laju pertumbuhan ekonomi daerah. Oleh karena tidak selalu memberikan kemanfaatan ekonomi yang sebesar-besarnya pada pelaku utama produksi (petani misalnya) jika usaha tersebut dibiarkan berdiri sendiri.
Volume V - edisi 71
·
Komoditas unggulan memberi peluang yang besar bagi daerah-daerah di KTI untuk memberikan kontribusi pada perekonomian nasional jika ditunjang oleh infrastruktur yang tersedia dan insentif yang memadai
·
Melalui komoditas unggulan, daerah-daerah di KTI dapat memainkan peran dalam perekonomian global jika ditunjang dengan kebijakan pemerintah yang menlindungi kepentingan masyarakat local, jaringan pemasaran yang jelas dan terus menjaga stabilitas
·
Perlu SDM yang ahli dan professional terhadap produkproduk unggulan di KTI
·
Perlu membangun partnership untuk mengembangkan komoditas unggulan daerah yang memberi nilai bagi semua pihak.
INTERKONEKSI DAERAH DI KTI Narasumber : Prof. Dr. Aminuddin Ilmar (Sekjen Badan Kordinasi Pemerintah Regional Sulawesi), Irwan Bempah SP.,MP. (JiKTI Gorontalo), Gustri Reza Eka Saputra (Bank Indonesia Makassar), Jemmy Manan (JiKTI Papua Barat) Moderator : Dr. Aida Taridala (JiKTI Sulawesi Tenggara). Ringkasan Rumusan: · Peluang kebijakan ekonomi nasional, sepatunya dimanfaatkan untuk semakin menguatkan interkoneksitas daerah di KTI, terutama dalam memanfaatkan Koridor Ekonomi yang ada saat ini;
POLICY PAPER PERENCANAAN PEMBANGUNAN BERBASIS PENELITIAN: REKOMENDASI UNTUK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DI SULAWESI TENGGARA, SULAWESI SELATAN, DAN NUSA TENGGARA BARAT
S
ebagai bagian dari hasil pelaksanaan program “Pengembangan Sektor Pengetahuan Untuk Kebijakan” yang didukung oleh The Asia Foundation, Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia (JiKTI) mengeluarkan sebuah Policy Paper dan memilih tiga dari puluhan hasil penelitian yang dilakukan oleh para peneliti di Kawasan Timur Indonesia.
Optimalisasi Bank Data Hasil Penelitian dalam Mendukung Perencanaan Pembangunan di Provinsi Sulawesi Tenggara Ma'ruf Kasim, PhD dan Dr. Takdir Saili Staf Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan UNHALU dan Staf Pengajar Jurusan Peternakan Fapert UNHALU dan Focal Point JiKTI Sulawesi Tenggara
·
Dalam menjamin mutu produk pemasaran komoditas yang dihasilkan daerah-daerah di KTI maka perlu penetapan branding komoditas, misalnya komoditas jagung Sulawesi
Desain Strategi untuk Mengakselerasikan Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Sulawesi Selatan
·
Penjaminan keamanan dalam pengembangan ekonomio daerah ini perlu ditindak-lanjuti
Agussalim Peneliti pada PSKMP – Universitas Hasanuddin dan Focal Point JiKTI Sulawesi Selatan
·
Mengelola sumberdaya bersama dalam kawasan yang mempunyai kepentingan bersama untuk menghindari konflik dengan cara; (1) inisiasi yang berasal dari daerah (2) mengusung program bersama (3) dikelola secara bersamasama
·
Interkoneksi di KTI perlu didukung dengan jaringan infrastruktur transportasi yang memadai dan teknologi infrastruktur. Disini peran pemerintah juga penting.
·
JiKTI dapat dijadikan sebagai media inter-koneksitas.
News
Oktober - November 2011
Dr. Ahmad Zaini, MA., Dr. Dahlanuddin, M.Rur.Sc., dan Moh. Taqiuddin, S.Pt.,M.Si Tim Penulis dari Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia Focal Point NTB
Volume V - edisi 71
20
PEACH UPDATE
Kesejahteraan dan Keberpihakan The Budget for People's Prosperity
D
i mana Wakum Arobaya ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membacakan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2012, Agustus lalu? Mungkin sedang menggali ippere (ubi jala), di kebun yang berjarak tujuh kilometer dari kampungnya. Apakah RAPBN 2011 yang diklaim para ahli, tidak berpihak pada rakyat, pada akhirnya akan menyentuh kehidupan seorang Wakum Arobaya, petani di Enarotali, Papua, misalnya? Barangkali bagi Wakum Arobaya, 'keberpihakan anggaran' adalah kehadiran sebuah jalan desa di dekat kebun yang dapat dimasuki kendaraan. Misalnya., sebuah fasilitas publik yang ia butuhkan untuk menjual hasil kebunnya di Enarotali. Enarotali adalah pasar terdekat, yang jauhnya 25 kilometer dari tempat ia tinggal, Di sisi lain, bagi pemerintah, persoalan pengadaan infrastruktur, peningkatan pelayanan publik, tidak sesederhana menyediakan dana untuk memenuhi prioritas tersebut. Dari waktu ke waktu, persoalan yang terpetakan mengenai perencanaan dan penganggaran tidak selesai dengan 'drop' dana dalam jumlah besar dari pemerintah pusat maupun sumber lain. Bahkan dengan dana yang besar pun, masih ada persoalan penyerapan anggaran (pada sektor-sektor publik) yang menggantung. Sehingga keberpihakan anggaran, bukan soal lebih besar atau lebih sedikitnya dana yang diberikan pada suatu daerah dibandingkan dengan jumlah penduduk misalnya. Karena isu perencanaan dan penganggaran, di banyak daerah - bukan saja di Papua atau Papua Barat - juga meliputi persoalan kurang kuatnya kapasitas manajemen, inkonsistensi perencanaan dan penganggaran, serta begitu melekatnya kebijakan penganggaran dengan dinamika politik, sesuatu yang masih harus terus dipelajari bangsa ini. Perlu dibangun cara pandang bahwa keberpihakan anggaran bukan sekedar mentransfer sejumlah dana pembangunan dengan memperhitungkan populasi penduduk, tapi juga memperhatikan hal lain seperti mengejawantahkan prioritas yang tumbuh dari masyarakat serta mengawalnya hingga eksekusi berupa kebijakan dan penyaluran
21
News
Oktober - November 2011
Where was Wakum Arobaya when President Susilo Bambang Yudhoyono read the Draft of General Revenues And Expenditure Budget 2012 , last August? He might be was digging ippere (sweet potato), on his field, which is located seven kilometers from his kampong. Will the 2011 RAPBN, which experts claim is not pro-people, in the end touch the life of Wakum Arobaya, a farmer in Enarotali, Papua, for example ? Perhaps for Wakum Arobaya, the 'pro-people budget' for example, is the appearance of a country road, a street close to the field that vehicles can use. This is what he needs to sell his crops in Enarotali. Enarotali is the nearest market, which is located 25 kilometer from his village. On the other hand, for the government, infrastructure provision and public service improvement is not as simple as providing funds to fulfill those priorities. The issues surrounding budgeting and planning are not solved by a huge amount of funds from national government or other resources. Even with small fund allocation, the budget absorption (in the public sector) is still an unsolved issue. So the pro-people budget is not about bigger or smaller chunks of funds passed to the regions in comparison to population, as one example of an indicator. Because planning and budgeting issues, in many areas - not only in Papua or Papua Barat - also consist of weak management capacities, inconsistency in planning and budgeting, and budgeting intertwined with political dynamics, something that still has to be studied by this nation. It is necessary to start investing a common understanding that the pro-people budgeting is not as simple as transferring development funds, of which the amount is based on the regional population, but also take into consideration the significance of making a real effort
Volume V - edisi 71
dana. Keberpihakan anggaran dapat berupa konsistensi perencanaan pembangunan, juga dan komitment politik untuk membantu, memperkuat kapasitas pengelolaan pemerintahan yang berorientasi pada kebijakan dan penganggaran yang propeople. Dengan sederhana keberpihakan anggaran untuk kesejahteraan berarti tersedianya mekanisme untuk menampung kebutuhan seorang Wakum Arobaya dan orangorang lain yang serupa kepentigannya terhadap pembangunan. . Ada orang-orang yang berwewenang seperti Eduard Fonataba, Bupati Kabupaten Sobe, Airmati, Rumbuay, Marinawa dan Isirawa (Sarmi), Papua. Iwan Bokings, Bupati Boalemo, Gorontalo. Mereka menunjukkan komitment keberpihakan itu ada. Masih sporadis, individual, sehingga belum menjadi p e r g e r a k a n g e n e r a s i . Ta p i b e l u m t e r l a m b a t u n t u k mensinergikannya.
to prioritize the needs of the grassroots, by monitoring the process from the day of approval, to when it is executed in the form of policies and disbursement of fund. Pro-people budgets can manifest in consistent plans for development, a commitment to assist, strengthening the management capacity of provincial, city and district governments, which are aimed at pro-people budgeting and policies. The bottom line is the availability of mechanisms to accommodate requirement of people like Wakum Arobaya and other people that share similar hopes. There are people in power like Eduard Fonataba, the district head of Sobe, Airmati, Rumbuay, Marinawa and Isirawa (Sarmi), Papua and Iwan Bokings, Regent of Boalemo, Gorontalo. They are real signs of commitment that we're talking about. But as yet, it is sporadic, individual, and not yet a movement of this generation. But it not too late to start synergizing.
NEWS:
NEWS:
Meneropong Kesejahteraan di Provinsi Papua: Papua, negeri dengan banyak pembelajaran berharga.
A closer look on Papua, a land with many valuable lessons.
“Papua itu banyak uangnya,” pernyataan Gamawan Fauzi, Menteri dalam Negeri, beberapa waktu lalu. “Dengan dana 3 trilyun, dan penduduk 800 ribu jiwa, berapa pangsa seorang kalau uang itu dibagi setiap tahun?” (detik.com, 24/10/11)*
“Papua has a lot of money,” stated Gamawan Fauzi, Dalam Negeri Minister, sometime ago. "With funds of 3 trillion, and 800 thousand people, how much is the portion per individual if that amount of money is divided every year?" (detik.com, 24/10/11)*
Terlepas dari angka yang tidak tepat, pernyataan ini bukan saja menjadi opini politis, tapi menguak persoalan yang semestinya telah dipelajari dari wilayah Papua menyangkut upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Yaitu persoalan manajemen penganggaran.
Apart from his imprecise data, this statement is not only political opinion, but also uncovers an issue in Papua which should be studied concerning efforts to enhance the prosperity of the people.The budgeting management issue.
Kurangnya pengawasan pemerintah telah mendorong otonomi khusus di Papua dan Papua Barat keluar jalur. Pemerintah pusat mungkin telah sengaja mengabaikan pemerintah daerah di Papua, menurut Adriana Elisabeth peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
The government's lack of supervision has knocked special autonomy in Papua and Papua Barat off track. Central government may have deliberately neglected local governments in Papua, stated Adriana Elisabeth, Indonesian Institute of Sciences (LIPI) researcher.
"Sejak tahun-tahun transisi awal (status khusus Papua otonomi), “Since the early transition years [of Papua's special tidak pernah ada pendampingan dan panduan yang jelas dari autonomy status], there has never been support and clear pemerintah pusat ke pada pemerintah Papua tentang guidance from central government to local Papuans on how bagaimana mereka harus menangani dana otonomi khusus," they should handle the special autonomy funds,” Adriana said . kata Adriana. “ This caused special "Hal ini menyebabkan dana autonomy funds to be not Kuncuran Dana Otonomi Khusus (Milyar Rupiah) otonomi khusus tidak utilized optimally.” (Jakarta dimanfaatkan secara optimal." Post 11/22/2011) 3,500.00 (Jakarta Post 11/22/2011) 3106.2 Fiscal resources allocated by 3,000.00 2,761.60 2694.9 Besarnya sumber daya fiskal central government to yang dialokasikan pemerintah Papua and Papua Barat as 2,500.00 2609.8 pusat ke Provinsi Papua, Papua special allocation funds, are Barat sebagai dana alokasi khusus, 2,000.00 often used as an argument to seringkali dijadikan argumentasi assume that poverty and 1470 untuk menganggap persoalan 1331.2 1,500.00 potential conflict problems kemiskinan dan potensi konflik 1154.9 should have been solved. sudah sepatutnya selesai. 1,000.00 828,5 800 800 1118.5 On the other hand, for a long Di sisi lain, untuk waktu 500.00 time military management 600 600 600 panjang manajemen a la militer influenced monetary 330 adalah manajemen yang 0.00 planning and budgeting in 2008(APBN-P) 2009(APBN-P) 2010(APBN-P) 2011(RAPBN) mempengaruhi kebijakan Irian Jaya. Decentralization, perencanaan keuangan dan plus the Special Autonomy Dana otonomi khusus Dana otonomi Dana otonomi Dana otonomi penganggaran di Irian Jaya. status, began with awkward lnfrastruktur Papua khusus Papua khusus Papua khusus lnfrastruktur Otonomi Daerah plus Otonomi Barat Papua Barat governance management in Sumber: Litbang Kompas/BIM/TGH, dari BPS dan Kementerian Keuangan. khusus, dimulai dari kerikuhan Papua. A sturdy foundation
News
Oktober - November 2011
Volume V - edisi 71
22
managerial dalam pemerintahan Provinsi Papua. Pondasi yang kokoh untuk secara professional mengelola sumber daya fiskal di Papua, kemudian Papua Barat tidak tersedia. Sehingga - mengutip Adriana, penting bagi pemerintah pusat untuk membantu dan mementori pejabat pemerintah lokal dalam perencanaan pembangunan.
Indikator Kesejahteraan Welfare indicator
for professionally managing huge fiscal resources given to Papua, then later Papua Barat, was not available. Quoting Adriana, it was vital central government assist and mentor local government officials on development planning.
Sebelum Otonomi Daerah Before decentralization
Sesudah Otonomi Daerah After decentralization
Kemiskinan (ribu orang Poverty (thousand people)
970,9
761,6
Kemiskinan (persen) Poverty (percent)
46,4
36,8
Penganggur (orang) Unemployement (people)
63,645
28,559
Rp. 8,98 juta
Rp. 13,21 juta
PDRB perkapita GDP percapita Pertmbuhan ekonomi tanpa migas Economic growth exc.oil and gas Indeks Pertumbuhan Manusia Human Development Index
2,2%
16,9%
58,8
64,53
Sumber: Litbang Kompas/BIM/TGH, dari BPS dan Kementerian Keuangan
Link: http://us.finance.detik.com/read/2011/10/24/170920/1751366/4/gamawan-papua-itu-banyak-uangnya?f990101mainnews http://www.thejakartapost.com/news/2011/11/22/papua-s-special-autonomy-funds-going-waste-say-experts.html Mari mempertajam diskusi tentang Pengelolan Keuangan Publik dengan bergabung di Jaringan Pengelolaan Keuangan Publik, www.batukar.info
Selamat Hari Natal dan Tahun Baru
23
News
Oktober - November 2011
Volume V - edisi 71
SPECIAL EVENT AT BaKTI
Langkah Berani Mümine M
ümine berumur 14 tahun, seperti kebiasaan anak seumurnya, Mümine masih senang bermain dengan teman-teman sebayanya. Anak remaja ini tinggal bersama dengan keluarganya di pegunungan Makedonia, Semenanjung Balkan di Eropa Selatan. Setelah menyelesaikan sekolah dasar di sekolah setempat, Mümine membantu keluarganya di perkebunan tembakau. Bila melihat Mümine dan keluarganya, semua kelihatan normal-normal saja, sama dengan kehidupan satu keluarga menengah kebawah di belahan dunia lain. Yang mengejutkan adalah selain sumber penghasilan dari bekerja di perkebunan tembakau, sumber penghasilan lain untuk keluarganya ialah mendapatkan uang dari hasil penjualan anak gadisnya ke pria-pria yang tertarik untuk dijadikan calon istri.Tidak banyak pilihan Mümine setelah menyelesaikan sekolah dasar. Ia harus menuruti keinginan keluarga untuk 'dijual' kepada pria yang mengingininya sebagai istri. Disinilah keberanian Mümine untuk lepas dari budaya desa tempat dimana ia tinggal. Ia berani untuk melawan budaya tersebut dan memutuskan untuk menentukan hidupnya sendiri dan akan meneruskan ke sekolah menengah supaya bebas. Belum banyak anak gadis yang seberuntung Mümine, yang bisa bersikpa dan berani melawan budaya ditempatnya. Cerita Mümine adalah film yang diputar pada acara hasil kerjasama CINEMATICA dan BaKTI. Mengusung tema event BaKTI ”Berbagi untuk Perubahan”, Rumah Ide Makassar bekerjasama dengan Yayasan BaKTI kembali mengadakan kegiatan bulanan CINEMATICA bertema "PERNIKAHAN USIA MUDA" yang diadakan di Backyard BaKTI, tanggal 28 Oktober 2011. Pernikahan dini atau pernikahan muda merupakan fenomena sosial yang sering terjadi dibeberapa daerah di dunia, termasuk Indonesia. Padahal di balik pernikahan dini/pernikahan di usia muda banyak hal yang mengancam seperti kesehatan reproduksi ataupun kesiapan mereka untuk memiliki anak dan membina keluarga. Tapi saat ini banyak berkembang penyebabpenyebab lain dari suatu pernikahan dini. Fenomena pernikahan anak di bawah umur bila diibaratkan seperti fenomena gunung es, sedikit terekspos di permukaan dan sangat marak di dasar atau di tengah masyarakat luas. Seharusnya pemerintah harus berkomitmen serius dalam menegakkan hukum yang berlaku terkait pernikahan anak di bawah umur sehingga pihak – pihak yang ingin melakukan pernikahan dengan anak di bawah umur berpikir dua kali terlebih dahulu sebelum melakukannya. Seusai pemutaran film acara dilanjutkan dengan sesi diskusi yang dibawakan oleh Samsir Bachrir, moderator dari Rumah Ide Makassar dan pengantar diskusi mengenai pernikahan usia muda dibawakan oleh Prof. Dr. Nurul Ilmi Idrus. Prof. Ilmi mengemukakan bahwa di dalam Undang-Undang Pernikahan di Indonesia, ada kondisi tertentu yang meloloskan pernikahan dini dengan syarat, yaitu apabila perempuan hamil diluar nikah dan kondisi biologis perempuan sehingga memungkinkan dilakukannya pernikahan usia muda. Di budaya Bugis sendiri dikenal adanya mahar atau sompa dan dui' menre (uang yang dipakai dalam pernikahan). Semakin cepat sang anak menikah, maka makin tinggi martabat orangtua sebab dianggap mampu mengontrol anaknya. Nilai
News
Oktober - November 2011
virginitas di masyarakat yang tinggi menyebabkan para orangtua menikahkan anak perempuannya di usia muda, sebab anak perempuan yang masih muda umurnya dan perawan dianggap memiliki 'harga' yang tinggi bagi orangtua. Ini merupakan dampak dari pandangan negatif generasi konvensional mengenai pendidikan seks. Lalu Prof. Ilmi menambahkan bahwa ada pula stigma di masyarakat terhadap usia nikah. Perempuan yang lambat menikah ditakutkan akan menjadi 'perawan tua'. Namun stigma ini berbeda di lingkup desa dan perkotaan. Jika anak perempuan dilamar di usia muda, orangtua akan merasa bangga, sebab beban untuk menghidupi sang anak sudah tidak menjadi tanggungan orangtua lagi. Pernikahan dini dulunya adalah sebuah trend, khususnya di daerah pedesaan. Pendidikan yang tinggi perlahan dapat menenggelamkan trend di sebagian kalangan ini. Namun pada beberapa kasus, seperti di daerah Kajang, Bulukumba yang cukup terkenal juga dengan tradisi pernikahan usia muda, dimana menikahkan anak perempuannya setelah lulus SD (Sekolah Dasar) dan tidak memperkenankan sang anak untuk melanjutkan pendidikan. Para orangtua di daerah tersebut menikahkan anaknya dengan keluarga terdekat. Terakhir narasumber menyampaikan bahwa menurut pendapat orangtua, pendidikan seks dianggap dapat menstimulasi anak untuk melakukan hubungan seks, sehingga hal tersebut menjadi tabu. Padahal tujuannya adalah agar anak mampu mengontrol tubuhnya dalam faktor biologis. Pendidikan seks pun sebenarnya telah disesuaikan dengan jenjang usia anak. Dampak pernikahan dini adalah sang anak akan kehilangan masa remajanya, meningkatkan laju pertumbuhan penduduk dan meningkatkan angka kematian bagi ibu dan anak. Memang di daerah perkotaan umumnya dimana pendidikan dianggap lebih penting dapat menunjang pemikiran seperti itu dikalangan laki-laki maupun perempuan, namun untuk lingkup pedesaan yang cukup sudah akses pendidikan dan biaya yang mahal menjadikan hal tersebut bukan menjadi faktor utama, bahkan cenderung tidak diperhitungkan. Selain itu, sebenarnya pemerintah harus semakin giat mensosialisasikan undang -undang terkait pernikahan anak di bawah umur beserta sanksi-sanksi bila melakukan pelanggaran dan menjelaskan resiko -resiko terburuk yang bisa terjadi akibat pernikahan anak di bawah umur kepada masyarakat, diharapkan dengan upaya tersebut, masyarakat tahu dan sadar bahwa pernikahan anak di bawah umur adalah sesuatu yang salah dan harus dihindari. Upaya pencegahan pernikahan anak dibawah umur dirasa akan semakin maksimal bila anggota masyarakat turut serta berperan aktif dalam pencegahan pernikahan anak di bawah umur yang ada di sekitar mereka. Sinergi antara pemerintah dan masyarakat merupakan jurus terampuh sementara ini untuk mencegah terjadinya pernikahan anak di bawah umur sehingga kedepannya di harapkan tidak akan ada lagi anak yang menjadi korban akibat pernikahan tersebut dan anak – anak Indonesia bisa lebih optimis dalam menatap masa depannya kelak. Sehingga langkah berani Mümine tidak sia-sia dan menolong anak-anak senasib diluar sana.
Volume V - edisi 71
24
Yayasan Adudu Nantu International
Workshop Mata Pencharian Nantu The Nantu Livelihoods Workshop YANI bekerjasama dengan masyarakat hutan Nantu baru-batu ini mengembangkan program mata pencaharian jangka panjang. Artikel singkat ini adalah mengenai sebuah workshop yang akan diadakan bulan November ini untuk mengidentifikasi pilihan-pilihan utama mata pencaharian di Nantu. Nonvi Pandeirot dan rekan-rekan sekerja di YANI berdiri hampir satu jam, menyambut perahu demi perahu yang ditumpangi warga desa. Mereka adalah anggota komunitas Nantu, yang diundang oleh YANI untuk diskusi tentang mata pencharian. Nonvi berharap ada tigapuluh peserta yang datang, namun hampir tujuhpuluh orang muncul dalam acara itu, duduk bersama di bangku-bangku yang disediakan di kantor lapangan Adudu. Ada beberapa orang lagi yang datang saat workshop sudah dimulai beberapa dari seberang sungai Ada juga yang datang dengan berjalan kaki atau mengendarai sepeda motor menempuh perjalanan tujuh kilometer, menunjukkan betapa besarnya tertariknya masyarakat pada kegiatan ini. ”Kami sangat gembira dengan respon mereka, apalagi ada beberapa perempuan juga yang datang,” kata Pandeirot, ”Kami pikir, ini betul-betul menggambarkan betapa besarnya keinginan warga desa untuk membantu menentukan pilihan-pilihan mata pencaharian mereka” Workshop komunitas, yang berlangsung tanggal 10 November, mewakili sebagian besar forum untuk program mata pencaharian jangka panjang YANI di Nantu. Program ini bertujuan mengembangkan keamanan finansial yang lebih baik dalam komunitas di sektiar Nantu dan mengurangi pengrusak an hutan oleh berbagai praktik dengan memperkenalkan usaha-usaha alternatif yang berpenghasilan 25
News
Oktober - November 2011
YANI is currently collaborating with local communities around the Nantu forest to develop a long-term livelihoods program. This brief article describes a recent community workshop to shortlist preferred livelihoods options. Nonvi Pandeirot and her YANI colleagues stood for close to an hour on the riverbank, welcoming longboat after longboat of villagers.These were members of Nantu communities, whom YANI had invited for a discussion on livelihoods. Nonvi had expected thirty participants, but close to seventy eventually turned up, bunching together on benches at the Adudu field station. Even more trickled in as the workshop got underway, some wading from across the river. Others walked or rode motorbikes from as far as seven kilometers away, which underscored the level of community interest. “We were really happy with the turnout, and especially with the number of women who showed up.” Pandeirot said,“We think this really illustrates how much villagers would like help with their livelihood options.” The community workshop, which took place on the evening of November 10, represents a major forum for YANI's long-term livelihoods program in Nantu. This program aims to develop greater financial security in communities around Nantu and reduce destructive forest practices by introducing alternative, higher-income enterprises. It has already received the blessing of the Ministry for Research and Technology, Gorontalo Provincial Government and regional representatives from the National Directorate of Forest Protection and Nature Conservation. To empower community stakeholders and reinforce local Volume V - edisi 71
lebih tinggi. Upaya ini telah mendapatkan restu dari Kementerian Riset dan Teknologi, Pemerintah Provinsi Gorontalo, dan perwakilan dari Direktorat Nasional Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Untuk memperkuat pemangku kepentingan komunitas dan meningkatkan rasa kepemilikan terhadap program, tim YANI telah mengadopsi pendekatan yang sangat kolaboratif dalam perencanaan program. Sebagian besar keputusan program, sepreti pemilihan usaha, dibuat bersama-sama dan setelah melalui konsultasi dengan para pemuka masyarakat. ”Kami ingin masyarakat merasa bahwa ini juga adalah proyek mereka”, tambah Pandeirot, ”dan bahwa mereka punya peran yang besar dalam membangun konsensus untuk bertindak”. Terkait hal tersebut, workshop YANI ini menunjukkan keberhasilan yang luar biasa. Atmosfirnya sangat positif dan diskusi mengenai pilihan-pilihan mata pencaharian berlangsung sangat baik dan penuh semangat hingga malam hari, sebagian besar diskusi diadakan dalam dialek setempat. Para peserta berdebat mengenai cocok tidaknya melaksanakan agribisnis, seperti perkebunan kakao, jati, cabe, beternak, dan dengan antusias merespon ide untuk mendirikan minimarket desa. Para penduduk desa memberi berbagi masukan tambahan dari nilam hingga pembuatan mebel. Juga ada ketertarikan yang besar saat seorang insinyur mikrohidro yang diundang YANI menerangkan tentang potensi lokal untuk membangun instalasi listrik. Pembahasan terus berlanjut hingga waktu makan malam, dimana para tetua membawa masukan-masukan tentang bagaimana skema kerjanya nanti dijalankan. Pada akhir workshop, YANI mengadakan pemungutan suara sederhana dari setiap pilihan utama partisipan. Irman Tailiki, seorang anggota Kepolisian Darah yang bertuas dalam tim patroil Nantu dan keluarganya juga berasal dari daerah terseubt, membantu memfasilitasi proses pemungutan suara. Setiap peserta diminta memilih tiga pilihan mata pencaharian dan total pemungutan suara untuk setiap pilihan yang dihitung kemudian menunjukkan pilihan-pilihan yang paling popular. Hasilnya mengejutkan semua yang hadir. Beberapa warga desa memilih jagung, selama bertahun-tehun ini menjadi mata pencaharian utama (tapi penghasilannya rendah) bagi kebanyakan keluarga. Sebagian besar memilih beternak dan berkebun kakao. Setelah workshop usai Pak Taliki berujar, sejak bekerja bersama warga desa selama beberapa tahun dengan YANI, ia melihat pemungutan suara ini menunjukkan bagaimana pendapat warga yang telah matang mengenai mata pencaharian. Bagi tim YANI, ini adalah salah satu indikasi bahwa kerja mereka memperkenalkan mata pencaharian alternatif telah membuahkan hasil. Dalam beberapa bulan ke depan, Nonvi dan temantemannya, dengan masukan dari komunitas, akan membuat diagnosa yang lebih terperinci tentang pilihan-pilihan utama mata pencaharian. Ini nantinya akan membantu dalam menentukan bagaimana kemungkinan kondisi fisik, pemasaran, dan keuangan dari masing-masing pilihan. Kesimpulankesimpulan mereka akan dipresentasikan dalam diskusi tahun depan di workshop yang kedua, yang harapannya juga dapat menjadi dialog yang vibran.
ownership, the YANI team adopts a highly collaborative approach to program planning. Major program decisions, such as enterprise selection, are made jointly and after consultation with community leaders. “We want the communities to feel that this is ultimately their project,” Pandeirot added, “and that they have a huge role in building a consensus for action.” In this respect, YANI's workshop on the 10th proved an unqualified success. The atmosphere was overwhelmingly positive, and the discussion on livelihoods options progressed at a lively clip throughout the evening, much of it in the local dialect. Participants debated the merits of agribusinesses, like cocoa, livestock, teak, and chilli, and responded enthusiastically to the idea of a village minimarket. Villagers suggested various additional ideas from nilam (patchouli) to furniture manufacturing. There was also widespread interest as a micro-hydro engineer invited by YANI explained local potential for power generation. Debate continued over a dinner of rice and fish, with elders bringing forward suggestions for how the scheme should run. At the end of the workshop, YANI conducted a simple democratic vote of participants' livelihoods preferences. Irman Taliki, a member of the regional police's Nantu patrol team whose family comes from the area, helped to facilitate the voting process. Each participant could choose up to three preferred livelihood options, and total votes for each option were then tallied at the end to identify the most popular options. The results surprised everyone. Few villagers had chosen corn, for years the primary (but low-income) livelihood for most households. A large majority had picked livestock and cocoa instead. Pak Taliki said afterwards that, having worked with the villagers for many years with YANI, he considered the vote showed local thinking on livelihoods had matured. For the YANI team, this was yet another indication that their work encouraging alternative livelihoods was bearing fruit. In the upcoming months, Nonvi and her colleagues will perform, with community input, a detailed diagnostic on the shortlisted livelihoods. This exercise will help determine the physical, market and financial feasibility for each option. Their conclusions will be presented for discussion early next year at a second workshop, which promises to be yet another vibrant dialogue.
INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION Yayasan Adudu Nantu International Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected]
News
Oktober - November 2011
Volume V - edisi 71
26
UPDATES Diskusi Regional Forum Kawasan Timur Indonesia: Adaptasi terhadap Perubahan Iklim di Pulau-Pulau Kecil KTI
S
iapa yang tidak tahu dengan Komunitas Online terbesar di Indonesia yaitu Kaskus Community Online. Disana user bisa bertukar informasi, berdiskusi dan bertukar pikiran tentang tema atau topik tertentu tanpa melihat jarak dan waktu yang memisahkan mereka. b a t u k a r. i n f o s e b a g a i b u r s a pengetahuan online pertama di KTI memiliki fitur grup atau jaringan dimana para pelaku pembangunan dapat bertukar ide serta pikiran dan dapat berdiskusi dengan anggota lainnya khususnya mengenai isu-isu pembangunan di KTI. Saat ini sudah ada beberapa grup/jaringan diskusi yang aktif di batukar.info Anda bisa melihat ke:
http://www.batukar.info/ komunitas/jaringan
Dan bisa bergabung dengan salah satu jaringan di bawah ini: http://www.batukar.info/ komunitas/jaringan
Pengelolaan Keuangan Publik http://www.batukar.info/komunitas/ groups/pfm-pengelolaan-keuanganpublik
JiKTI (Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia) http://www.batukar.info/komunitas/ groups/jaringan-peneliti-kti-jikti
Kampanye Komodo Digelar di Sydney Negara Perlu Menyediakan Kebutuhan Dasar Manusia Bandara Lombok Dukung Kawasan Ekonomi Khusus Kontribusi Harga Pangan pada Laju Inflasi Pemberdayaan Belum Efektif Wisman ke Sulsel Menurun Penyusunan RAPBN 2012 Akomodir Percepatan NTT Polman Usulkan Taman Hutan Rakyat Lahan Tandus Hasilkan Rp.756 Juta Pangkep Masih Daerah Termiskin Buta Aksara di Sulsel Tembus Setengah Juta Statistik Batukar.info Agustus 2011 16,072 Visits. 13,632 Absolute Unique Visitors. 26,896 Pageviews. 1.73 Average Pageviews. 81.78% Bounce Rate 80.31% New Visits
27
News
Masyarakat yang hidup di pulau-pulau kecil menjadi kelompok yang paling terpengaruh oleh dampak dari dari perubahan pada lingkungan akibat perubahan pola-pola cuaca dan iklim, karena mereka sangat bergantung pada hasil alam. Ancaman kenaikan permukaan air laut atau ketidakpastian musim tanam akibat cuaca tidak menentu berpengaruh langsung ke penghidupan keluarga. Namun demikian masyarakat ini juga telah adalah kelompok yang memiliki kearifan lokal dan motivasi yang paling kuat untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungannya.
http://www.batukar.info/content/diskusi-regional-forum-kawasan-timur-indonesia-adaptasiterhadap-perubahan-iklim-untuk-pulau
LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA 2010
BaKTI Event: CINEMATICA, Pernikahan Usia Muda: Langkah Berani Mumine
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2010 merupakan laporan keenam yang bersifat nasional. Laporan pertama diterbitkan tahun 2004, dan selanjutnya diterbitkan pada tahun 2005, 2007, 2008, dan 2009. Penerbitan Laporan Tahun 2010 ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai kemajuan yang telah dicapai Indonesia, serta menunjukkan komitmen bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita Deklarasi Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2000 yang lalu.
Mümine berumur 14 tahun, seperti kebiasaan anak seumurnya, Mümine masih senang bermain dengan teman-teman sebayanya. Anak remaja ini tinggal bersama dengan keluarganya di pegunungan Makedonia, Semenanjung Balkan di Eropa Selatan. Setelah menyelesaikan sekolah dasar di sekolah setempat, Mümine membantu keluarganya di perkebunan tembakau. Bila melihat Mümine dan keluarganya, semua kelihatan normal-normal saja, sama dengan kehidupan satu keluarga menengah kebawah di belahan dunia lain. Yang mengejutkan adalah selain sumber penghasilan dari bekerja di perkebunan tembakau, sumber penghasilan lain untuk keluarganya ialah mendapatkan uang dari hasil penjualan anak gadisnya ke pria-pria yang tertarik untuk dijadikan calon istri. Tidak banyak pilihan Mümine setelah menyelesaikan sekolah dasar. Ia harus menuruti keinginan keluarga untuk 'dijual' kepada pria yang mengingininya sebagai istri. Disinilah keberanian Mümine untuk lepas dari budaya desa tempat dimana ia tinggal. Ia berani untuk melawan budaya tersebut dan memutuskan untuk menentukan hidupnya sendiri dan akan meneruskan ke sekolah menengah supaya bebas.
http://www.batukar.info/referensi/laporan-pencapaiantujuan-pembangunan-milenium-di-indonesia-2010
Assessing the odds of achieving the MDGs How many countries are on target to achieve the Millennium Development Goals by 2015? How many countries are off target, and how far are they from the goals? And what factors are essential for improving the odds that off-target countries can reach the goals? This paper examines these questions and takes a closer look at the diversity of country progress. The authors argue that the answers from the available data are surprisingly hopeful. In particular, two-thirds of developing countries are on target or close to being on target for all the Millennium Development Goals. Among developing countries that are falling short, the average gap of the top half is about 10 percent. For those countries that are on target, or close to it, solid economic growth and good policies and institutions have been the key factors in their success. With improved policies and faster growth, many countries that are close to becoming on target could still achieve the targets in 2015 or soon after. http://www.batukar.info/referensi/assessing-oddsachieving-mdgs
The Little Data Book 2011 Peristiwa-peristiwa di dunia internasional mendominasi perkembangan ekonomi Indonesia selama triwulan terakhir. Prospek pertumbuhan global telah melemah dan krisis hutang pemerintah di zona Euro telah meningkat. Gejolak pasar dan penghindaran risiko di dunia internasional juga telah meningkat, walaupun masih berada jauh di bawah kondisi pada akhir tahun 2008. Pasarpasar saham berjatuhan dan negara ekonomi berkembang utama (emerging markets) mengalami aliran keluar modal, memberikan tekanan terhadap nilai tukar mata uang mereka. Kinerja perekonomian domestik Indonesia tetap kuat, tetapi seperti di negara lainnya di kawasan, pasar keuangan Indonesia juga tidak kebal terhadap gejolak saat ini. http://www.batukar.info/referensi/perkembangantriwulanan-perekonomian-indonesia-masa-bergejolakoktober-2011
Oktober - November 2011
http://www.batukar.info/komunitas/articles/bakti-eventcinematica-pernikahan-usia-muda-langkah-berani-mumine
Mendorong Pembangunan Manusia di Provinsi Gorontalo Mutu dan status pembangunan manusia di Provinsi Gorontalo dalam beberapa tahun belakangan ini terus memperoleh perhatian dari berbagai kalangan. UNDP, misalnya menilai walaupun masih terpaut jauh dari capaian nasional, mutu pembangunan manusia di daerah terus membaik dan mengalami peningkatan yang cukup signifkan. Memang, perbandingan antar provinsi menempatkan Provinsi Gorontalo dalam kelompok bawah dalam mutu pembangunan manusia. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Gorontalo secara agregat bahkan masih tertinggal dibandingkan provinsi lainnya. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik Tahun 2006, Provinsi Gorontalo menempati posisis 25 dari 33 provinsi di Indonesia. Walaupun demikian, provinsi ini mengalami trend perbaikan IPM dari tahun ketahun. Tahun 2010 IPM Provinsi Gorontalo meningkat menjadi 70,28, bandingkan dengan capaian tahun 2006 sebesar 68. Poin peningkatan yang besar ini mendapat penghargaan Human Development Awards dari Menko Kesra. Demikian halnya di tingkat kecamatan, sebagian besar kecamatan di Provinsi Gorontalo berada dalam status menengah atas, hanya 25 persen kecamatan yang berada dalam status menengah-bawah. Perhitungan IPM pada 40 kecamatan yang dilakukan tahun 2006 menemukan adanya 15 kecamatan yang IPMnya berada dibawah rata-rata provinsi. http://www.batukar.info/komunitas/blogs/mendorongpembangunan-manusia-di-provinsi-gorontalo
Volume V - edisi 71
PELUANG OPPORTUNITY
BEASISWA The Norwegian Government Scholarship for Master's and PhD Students from Developing Countries, Norway
T
he main objective of the Quota Scheme is to contribute to capacity building through education that will benefit the home country of the students when they return.The Quota Scheme is also intended to strengthen relations between Norway and the selected countries and thus contribute to internationalisation at Norwegian institutions of higher education. Most universities and university colleges in Norway participate in the Quota scheme. The institutions involved are allocated a certain number of students under the programme each year. The scheme normally includes courses at Master's and Ph.D. level in addition to certain professional/Bachelor's degrees. Most of the Norwegian institutions offer courses and educational programmes in English. Study Subject(s): Courses offered by Quota Scheme Course Level:Master's and PhD, Professional/Bachelor's degrees. Scholarship Provider:The Norwegian Government Scholarship can be taken at: Norway Eligibility: As a student, you must apply directly from your home country. You must have stayed at least one year in your home country directly prior to the planned course of study at the Norwegian university /university college. To be eligible to apply for the Quota Scheme, you must be able to find your home country on this list. Students usually apply for degree programmes that serve as a continuation of their studies in their home country or for courses which can be a joint part of a degree programme in their home countr y (joint degree or sandwich programmes). Most of the programmes offered are at Master's or PhD level, but the Quota Scheme also offers certain Bachelor's study programmes. All candidates should typically have the following basic qualifications: * Secondary school certificates * Minimum two years of higher education from their home country Some exceptions apply for certain professional educational courses at Bachelor's level. How to Apply Online Scholarship Application Deadline 1 December 2011 Click here to detail application: http://siu.no/eng/Front-Page/Programmeinformation/Development-cooperation/QuotaScheme/%28view%29/4670
News
Oktober - November 2011
WEBSITE BULAN INI
GREENMAP INDONESIA http://www.greenmap.or.id/
P
eta Hijau adalah organisasi jaringan pegiat peta hijau (green map) di Indonesia. Website ini adalah wadah jaringan komunitas pemeta hijau di seluruh Indonesia untuk menjalin komunikasi dan bertukar informasi. Materi-materi dalam website ini didesain untuk membantu berbagai inisiatif membangun jaringan peta hijau baru. Green Map adalah peta yang dibuat oleh komunitas lokal yang memetakan potensi alam dan budaya suatu kawasan. Dengan menggunakan metode yang mudah diadaptasi serta konsep ikon Green Map sebagai bahasa visual global untuk menyoroti sumberdaya-sumberdaya kehidupan. Green Map memetakan segala tempat dan fenomena, baik yang bernilai positif maupun negatif untuk membantu masyarakat melihat, menilai, menghubungkan, serta peduli terhadap lingkungan tempat mereka berada. Dalam website Greenmap Indonesia, tersedia panduan bagi user yang belum mengerti tentang konsep Peta Hijau dan beberapa berita yang berhubungan dengan isu-su lingkungan. Juga terdapat fasilitas untuk mengunduh Green Map Widgets, Diskusi Online, aplikasi penemu Green Map di sekitar Anda, dan Resources yang berisi berbagai informasi seputar aktivitas Green Map.
CLIMATE ACTION NETWORK http://www.climatenetwork.org/ The Climate Action Network (CAN) adalah jaringan dunia yang beranggotakan lebih dari 700 NGO dari 90 negara di dunia yang berusaha untuk mempromosikan aksi pemerintah dan masyarakat yang berjuang untuk menciptakan keseimbangan alam tanpa keterlibatan manusia dalam rangka adaptasi terhadap perubahan iklim. Setiap anggota CAN bekerja dengan anggota lainnya dalam pertukaran informasi dan berkoordinasi dengan NGO lokal di masing-masing negara dalam mengembangkan strategi adaptasi perubahan iklim. Selain membicarakan banyak isu mengenai perubahan iklim, website ini meneydiakan sekali data dan informasi terkait perubahan iklim. Fitur utama website ini adalah Policy and Information yang menyajikan laporan penelitian dari jaringan CAN di seluruh dunia, juga News Release untuk mengakses berita terkini tentang perubahan iklim, Media Centre menyajikan berbagai penjelasan dan diskusi perubahan iklim dalam bentuk video, Eco Newsletter, dan kalender Events. Juga tersedia fitur Voice Blog untuk mengakses informasi terkini dari berbagai belahan bumi tentang perubahan iklim dalam bentuk tulisan, foto, dan video.
Volume V - edisi 71
28
PROFIL LSM
Sekolah Perempuan - Mosintuwu Institute
PEREMPUAN BERBICARA, DUNIA MENDENGARKAN “Perempuan harus bicara, berbicara saja seringkali tidak didengar, apalagi kalau tidak bicara, pasti tidak dianggap ada” Heni, Warga Sekolah Perempuan di wilayah Pamona. “Seringkali perempuan diremehkan kalau bicara di depan umum. Saya pernah mengalami di rapat desa. Banyak pandangan mata yang mencibir. Bahkan ada yang bilang. '”Perempuan tau apa? Harusnya didapur saja'”, kisah Ibu Teti yang langsung diiyakan oleh semua warga Sekolah Perempuan di wilayah Poso Pesisir. “Kalau sudah begitu, perempuan jadi sangat tidak percaya diri untuk berbicara apalagi keluarkan pendapat” sambung ibu Be'a , warga Sekolah Perempuan Lage. "Jadi, tidak ada cara lain, berani bicara. Perempuan harus bicara" Komentar-komentar ini bermunculan dalam seluruh kelas di Sekolah Perempuan di Pamona, Poso Pesisir, Poso Kota, dan L a g e. K e i n g i n a n u n t u k m e ny a m p a i k a n p e n d a p a t , mengeluarkan aspirasi, memberikan saran dalam masyarakat seringkali dihalangi oleh pandangan sinis soal kemampuan perempuan. Bukan cuma cara berbicara tetapi juga isi pembicaraan. Hal nilah yang menjadi perhatian Mosintuwu Institute, sebuah Lembaga yang terdiri dari kumpulan orangorang yang bekerja untuk upaya perdamaian saat dan paska konflik di Kabupaten Poso dan sekitarnya. Pada Maret 2011 Mosintuwu Institute mendirikan Sekolah Perempuan yang warganya (sebutan untuk siswa) adalah perempuanperempuan yang umumnya kaum Ibu. Tahun pertama di sekolah ini adalah proses belajar bersama para perempuan untuk dapat mengetahui, memperoleh akses sekaligus berjuang bersama melintasi batas identitas atas hakhak ekonomi, sosial, budaya dan sipil politik (ekosob dan sipol). Pada tahun kedua diharapkan lulusan Sekolah Perempuan dapat mengorganisir bahkan mengadvokasi diri dan komunitas di wilayahnya dalam perjuangan atas hak atas tanah dan sumber daya alam melalui organisasi/serikat perempuan. Di tahun ke tiga, diharapkan ada komitmen bersama perempuan se-Kabupaten Poso dalam Kongres Perempuan Poso untuk perdamaian dan perjauangan hak ekosob dan sipol. Mosintuwu Institute berdiri atas keprihatinan terhadap peristiwa kekerasan yang mengatasnamakan agama dan adanya kepentingan ekonomi politik dibalik konflik kekerasan yang berakhir pada pengelolaan sumberdaya alam yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin dan marginal. Lembaga ini didirikan dengan visi pencapaian kedaulatan rakyat di wilayah pasca konflik atas hak ekonomi, sosial, budaya dan hak sipil politik, khususnya dalam konteks masyarakat pasca konflik dan misi menggali, memperkuat, mengembangkan wacana kedaulatan rakyat atas hak Ekosob dan hak sipol dalam konteks masyarakat pasca konflik. Dengan memilih perumpuan dan anak-anak sebagai target utama program mereka. Kata Mosintuwu sendiri diambil dari bahasa Pamona (salah satu suku di Poso) yang berarti bekerja bersama-sama. Meski beralamat di Tentena, Mosintuwu Institute memiliki cita-cita untuk menjangkau beberapa wilayah lainnya di Sulawesi
29
News
Oktober - November 2011
Tengah, terutama Kabupaten Poso, Kabupaten Morowali, Kabupaten Banggai, dan Kabupaten Tojo Una-una. Selain Sekolah Perempuan yang saat ini sudah ada di 16 desa, 5 kecamatan di Kabupaten Poso, Mosintuwu Institute juga mendirikan sanggar anak untuk mengembangkan aktifitas dan kreatifitas anak, melakukan kampanye EKOSOB dan Hak SIPOL melalui media alternative mereka (www.perempuanposo.com), Advokasi dan pengorganisasian di desa-desa serta melakukan training, seminar dan workshop. ”Sejak terima materi ketrampilan berbicara dan bernalar, saya sudah mulai berani bicara di rapat jemaat di Gereja” kata ibu Tini. Dengan penuh semangat ia bercerita ”Betul, sekarang sudah lebih percaya diri, karena kita sudah diajar, tinggal praktek. Banyak tempat prakteknya, di rumah saat berkomunikasi dengan suami atau dengan keluarga. Di pertemuan PKK atau Dasa Wisma, tidak lagi diam dan setuju saja. Bahkan kalau nanti di rapat desa, saya juga mau bicara. Sudah lama saya ingin mengusulkan soal penataan saluran air di kampung dan apotik hidup. Saluran air yang jorok itu bikin penyakit malaria jadi penyakit langganan disini. Saya dulu tidak berani bicara karena malu, takut salah. Tapi sekarang saya sudah tahu bagaimana mau bicara dari awal sistematikanya seperti apa dan bagaimana cara bicara. Saya sudah tahu caranya, karena Sekolah Perempuan” Secara keseluruhan, kurikulum di Sekolah Perempuan membangun kepercayaan diri warga sekolah perempuan untuk terlibat secara aktif dalam proses-proses pembangunan dan dinamika masyarakat dengan cara menyampaikan ide, gagasan, pendapat, suara mereka secara jelas, dengan baik dan tepat. Pengetahuan dan ketrampilan perempuan, termasuk pendapat dan perspektif perempuan harus tersampaikan, disuarakan agar tidak disenyapkan. Hanya dengan demikian, suara perempuan dapat menjadi suara perubahan bagi dunia yang lebih baik. Ibu Asnah, ketua kelas Sekolah Perempuan di Poso Kota bahkan mengatakan "sekarang, kalau ada rapat desa, kalau perempuan tidak diundang, temui kepala desa, minta diundang. Kalau tetap tidak diundang, datang, ikut pertemuan dan bicara. Itu tugas warga Sekolah Perempuan, mulai sekarang"
INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION Untuk informasi dan memulai kerja sama silahkan menghubungi : Mosintuwu Institute Jl. Watumpoga'a No. 13 Pamona - Pamona Utara, Tentena Kab. Poso - Sulawesi Tengah Telp. 0458 -21765
www.perempuanposo.com Kontak Person : Lian Gogali (Direktur)
[email protected]
Volume V - edisi 71
KEGIATAN DI BaKTI
30 November 2011
Presentasi & Diskusi Inovasi Cerdas Program Sejuta Kantong Air Kabupaten Wajo Masih mengusung tema besar event BaKTI ''Berbagi untuk Perubahan'', Yayasan BaKTI bekerjasama dengan FIPO Sulsel mengadakan Presentasi dan Diskusi Inovasi Cerdas Program Sejuta Kantong Air Kabupaten Wajo bagi para pelaku pembangunan di Sulawesi Selatan agar dapat saling belajar dan mendorong munculnya inovasi dan replikasi dari inovasi cerdas ini. Acara yang di backyard BaKTI menghadirkan Ir.H. A. Sederhana, MP., Asisten II Bupati Wajo dan Ir. H. Darwin A. Tjukke, MP., Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wajo, sebagai narasumber dan Ahmad Syam dari FIPO sebagai moderator. Sebanyak 40 peserta yang hadir dalam kegiatan ini berasal dari kalangan pemerintah, LSM, media dan mahasiswa.
22 November 2011
Pelatihan Penulisan Artikel Feature Yayasan BaKTI mengadakan Pelatihan Penulisan Feature bagi Sahabat BaKTI di ruang pertemuan BaKTI Makassar. Pelatihan ini merupakan salah satu aktivitas Sahabat BaKTI. Seorang penulis muda handal Makassar, M. Aan Mansyur menjadi narasumber dalam pelatihan ini. Pelatihan ini diikuti oleh 30 Sahabat BaKTI.
30 November 2011
Presentasi & Diskusi Inovasi Cerdas Program Sejuta Kantong Air Kabupaten Wajo Masih mengusung tema besar event BaKTI ''Berbagi untuk Perubahan'', Yayasan BaKTI bekerjasama dengan FIPO Sulsel mengadakan Presentasi dan Diskusi Inovasi Cerdas Program Sejuta Kantong Air Kabupaten Wajo bagi para pelaku pembangunan di Sulawesi Selatan agar dapat saling belajar dan mendorong munculnya inovasi dan replikasi dari inovasi cerdas ini. Acara yang di backyard BaKTI menghadirkan Ir.H. A. Sederhana, MP., Asisten II Bupati Wajo dan Ir. H. Darwin A. Tjukke, MP., Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wajo, sebagai narasumber dan Ahmad Syam dari FIPO sebagai moderator. Sebanyak 40 peserta yang hadir dalam kegiatan ini berasal dari kalangan pemerintah, LSM, media dan mahasiswa.
BaKTI menyediakan fasilitas Ruang Pertemuan bagi para pelaku pembangunan untuk melaksanakan seminar, lokakarya, rapat, dan diskusi. Reservasi ruangan dapat dilakukan melalui email dengan menghubungi
[email protected] atau telepon 0411 3650320-22, atau berkunjung langsung ke Kantor BaKTI, Jl. Dr. Sutomo 26 Makassar.
News
Oktober - November 2011
Volume V - edisi 71
30
INFO BUKU Difusi Inovasi Daerah Penulis Author Basir Kadir, Ahmad Syam, A. Mattingarangau T, Milawaty, Saiful Rijal Yunus, Dasman
Penerbit Publisher FIPO-FAJAR
Deskripsi fisik Physical Description viii+245 hal, 15 x 23 cm
ISBN 978-602-95604-3-5
Buku ini memuat informasi mengenai hasil monitoring dan evaluasi kinerja Kabupaten/Kota se-Sulawesi Selatan dalam Rangka Otonomi Awards 2011. Selain memuat filosofi penyelenggaraan otonomi award, hasil monev, analisis keberhasilan suatu kabupaten/kota dalam meraih penghargaan. Buku ini juga berisi program-program best practice terpilih sebagai bentuk apresiasi kepada daerah yang memiliki prestasi dan kinerja terbaik dalam bentuk inovasi dan daya kreatif yang kedepannya diharapkan dapat direplikasi oleh daerah lain.
Reinvensi Pembangunan Ekonomi Daerah Penulis Author A.B. Susanto, A.B. Ghifari, Agung Budilaksono, Aloysius Susanto, Ermaya Suradinata, Himawan Wijanarko, J. Supranto, Karmaji, Ribka Oyong, Siti Nurbaya dan Sukendra Martha
Penerbit Publisher Esensi
Deskripsi fisik Physical Description xv+292, 16 x 24 cm ISBN 978-979-075978-9
Perekonomian daerah yang berkembang pastinya akan berdampak pada perkembangan ekonomi nasional pula. Era desentralisasi memberilan ruang yang luas bagi daerah untuk berkembang dan memanfaatkan potensi wilayah untuk kemajuan daerah dan memakmuran rakyatnya. Buku ini merangkum berbagai informasi reinvensi pembangunan ekonomi berdasarkan beberapa pendekatan dalam mengambil suatu kebijakan dengan semangat entrepreneurship, yaitu enterprising the government.
Ekspedisi Jejak Peradaban NTT Penerbit Publisher Kompas
Deskripsi fisik Physical Description xx+276 hal, 15 x 23 cm
ISBN 978-979-709572-7
Berdasarkan indeks Pembangunan Manusia, Nusa Tenggara Timur jauh tertinggal dibanding daerah lain di Indonesia. Meski memiliki tanah yang kaya, alam yang indah, padang sabana yang luas dan tanah yang subur kemiskinan masih membelit sebagian besar warganya. Buku ini adalah upaya menyelami kehidupan masyarakat NTT yang butuh sedikit saja sentuhan tangan dingin untuk dapat menghasilkah berbagai komoditas dari sumber daya alam yang ada demi kemakmuran segenap masyarakat NTT.
Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi Tenggara Penerbit Publisher PPLH Regional Sulawesi, Maluku dan Papua
Deskripsi fisik Physical Description xxi+223 hal, 15 x 23 cm
ISBN 978-979-979783-4
Masyarakat dengan kearifan local lingkungan akan selalu menjaga lingkungan tetap lestari sehingga dapat menyediakan barang dan jasa bagi masyarakatnya. Buku ini menyajikan kearifan local lingkungan yang digali dari praktek-praktek masyarakat Sulawesi Tenggara selama bertahun-tahun dalam mengelola sumber daya alam mereka seperti orang Tolaki yang memandang hutan sebagai pelindung tanah, Masyaraka Kadeoha di Kolaka Utara yang melestarikan hutan dengan sebutan pinobahoako bera gigino dan beberapa kearifan lokal lainnya.
Buku-buku tersebut diatas tersedia di Perpustakaan BaKTI