Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner
_____________________________________________________________________________________________
ADAPTASI TEKNOLOGI BUDIDAYA AYAM BURAS DI LAMPUNG M ARSUDIN SILALAHI, R.D. T AMBUNAN dan N. D. SURETNO Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung
ABSTRACT The Assesment on Adaptation of Technology on Native Chicken Husbandry in Lampung The assesment on adaptation technology of native chicken husbandry was conducted in Gading Rejo in the regency of Tanggamus and Tanjung Karang Timur in Bandar Lampung. To each of the 10 cooperative farmers involved in this assesment activity distributed a package of chickens (10 hens and 1 cock). The chickens were managed according to the semi-intensive technology package introduced such as concentrate feeding, housing, chicken brooder and vaccination. The hypothesis in this experiment was improving the managements of native chicken can increase their production. The porpose of this assesment is to study the effect of adaptation technology introduction on the chicken productivity and the income of farmers. Monitoring periodically had been done for two week each month and then its data were analized descriptively. Result showed that there were an increasing in egg production about 78.41%, lay in frecwency 54.84%, hatchability 10.2% and decreasing of mortality rate about 17.5% as compared to traditional management Key words: Management, performance, native chicken
PENDAHULUAN Propinsi Lampung dengan luasan lahan yang cukup luas, berpeluang dalam pengembangan produksi ternak ayam buras terutama di lingkungan pedesaan. Sebagian besar masyarakat petani pemelihara ayam buras secara tradisional dengan jumlah pemilikan sekitar 2 sampai dengan 5 ekor (PRABOWO et al., 1992), sehingga perkembangan ayam buras sangat lamban yang berakibat produktivitasnya rendah (SUBIHARTA et al., 1992). Menurut data Dinas peternakan Propinsi Dati I Lampung (1996) pada tahun 1996 populasi ternak ayam buras di Propinsi Lampung adalah 14.068.375 ekor, sedangkan 45% (6.260.459 ekor) dari populasi ayam buras terdapat di Kabupaten Lampung Selatan, dimana Kabupaten Tanggamus masih merupakan bagian dari Lampung selatan. Untuk Kodya Bandar Lampung populasi ayam buras menurun drastis dari 213.087 ekor (1995) menjadi 96.165 ekor (1996). Salah satu penyebab penurunan populasi ini adalah karena wabah penyakit tetelo (ND) (DARMINTO, 1993). Data perkembangan pemotongan ternak ayam buras di masing - masing Kabupaten Dati II di Propinsi Lampung pada tahun 1996, menunjukkan bahwa pemotongan ayam buras hampir dua kali jumlah populasi ternak ayam yang ada (populasi 14.068.375 ekor, dipotong 25.474.043 ekor) sedangkan untuk Kodya Bandar Lampung hampir sepuluh kali jumlah populasi ternak ayam buras pada tahun yang sama. Dari kenyataan tersebut, terlihat bahwa pengembangan ayam buras di Propinsi Lampung sangat perspektif untuk dikembangkan.
Secara alami ayam buras dapat mencukupi keseimbangan kebutuhan nutrisi pakan pada pemeliharaan secara tradisional (ekstensif) berasal dari sumber daya yang tersedia di lingkungan sekitarnya (W ILUTO, 1986). Adanya perubahan pola pemeliharaan menjadi semi-intensif dewasa ini berarti mengubah lingkungan hidupnya. Pemeliharaan intensif dengan pemberian pakan secara rasional memberi respon positip meskipun aspek efisiensi ekonominya perlu dikaji (W IHANDOYA dan M ULYADI, 1986). Semakin intensif pemeliharaan yang dilakukan akan cenderung semakin tinggi ketergantungan peternak terhadap input produksi dari luar (SABRANI, 1986). Pengembangan ayam buras di pedesaan tidak terlepas dari beberapa kendala yang perlu dicarikan jalan keluarnya. Kendala tersebut dibedakan menjadi tiga aspek utama. 1) menyangkut sifat bawaan dari ternaknya (ayam buras) yang meliputi laju pertumbuhan yang lambat, produksi telur sedikit, adanya sifat mengeram dan mengasuh anak sehingga membutuhkan waktu relatip lama bertelur kembali, fertilitas dan daya tetas yang rendah serta kematian tinggi terutama priode anak. 2) menyangkut motivasi peternaknya dalam pemeliharaan ayam buras belum mengarah ke ekonomi yang efisien, pengetahuan tentang pengelolaan reproduksi dan pembibitan masih rendah, masih terjadi pengurasan atau pengrusakan bibit karena peternak justru menjual ayam yang berkualitas baik agar mendapat nilai tukar rupiah yang tinggi, serta belum adanya pedoman kebutuhan baku tentang pakan ayam. Oleh karena itu salah satu upaya memberdayakan ayam buras perlu adanya standarisasi pakan ayam buras agar mampu menunjang pengembangan secara cepat. 3)
_____________________________________________________________________________________________ Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
513
____________________________________________________________________________________________________________________
adalah peran pemerintah dalam kebijakan penyediaan dana dan pembinaan yang berkesinambungan terhadap peternak di pedesaan. Bertitik tolak dari informasi dan kenyataan di atas, kajian adaptasi teknologi dilakukan dengan tujuan untuk melihat dampaknya terhadap produktivitas ayam buras dan pendapatan peternak. MATERI DAN METODE Pengkajian dilakukan pada September 1999 sampai Juni 2000 di Desa Bulurejo, Kecamatan Gadingrejo, Kabupaten Tanggamus dan Desa Campang Raya, Kecamatan Tanjung Karang Timur, Kodya Bandar Lampung. Sebanyak 110 ekor ayam dara yang siap bertelur (perbandingan 10 ekor ayam dara dan 1 ekor jantan) dibagikan kepada 10 peternak koperator yang termasuk dalam kriteria: kooperatif, mampu berkomunikasi dengan pembina (penyuluh dan peneliti), memiliki induk ayam buras minimal sebanyak 5 ekor, mempunyai lahan untuk kandang, mampu menyediakan pakan untuk ternak yang dipelihara dan bersedia mengembalikan ayam buras sebanyak 2 kali jumlah ternak yang diterima kepada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung dalam jangka waktu 1 tahun. Peternak koperator terpilih terlebih dahulu dilatih tentang teknologi budidaya yang diaplikasikan. Paket teknologi budidaya ayam buras semi intensif yang diaplikasikan adalah: perkandangan dan perlengkapan kandang, pakan, introduksi pejantan, introduksi indukan buatan, vaksinasi. Peternak koperator membuat kandang ayam dilokasi dengan ukuran dan bentuk yang dianjurkan dilengkapi dengan tempat pakan dan minum serta sarang tempat bertelur. Kandang yang dianjurkan adalah kandang panggung dengan pelataran (ren) ukuran 4m x 6m.
Pakan konsentrat diformulasikan dengan menggunakan bahan baku yang tersedia di lokasi pengkajian. Pakan konsentrat tersebut didistribusikan ke setiap peternak koperator (kelompok tani) setiap minggu sambil mengadakan pertemuan kelompok. Bahan penyusun ransum percobaan dengan kandungan nutrisi pada Tabel 1. Daya tetas dapat ditingkatkan terutama dengan menyediakan pejantan dengan rasio pejantan : betina sekitar 1 : 10. Indukan ayam (brooding house) diintroduksikan untuk menekan kematian anak ayam. Setiap peternak koperator diharuskan membuat indukan ayam berkapasitas minimal 30 ekor. Setelah menetas anak ayam dipelihara dalam indukan selama 6-8 minggu dengan sumber pemanas dari listrik atau lampu minyak tanah. Untuk mencegah penyakit terutama tetelo, program vaksinasi dilakukan dengan pola umum yaitu: Pada umur 4 hari, 4 minggu, dan diulang setiap 4 bulan. Pada tahap awal semua ayam yang dipelihara di kedua wilayah, baik peternak koperator maupun tidak sebagai peserta vaksinasi Lasota. Pengumpulan data teknis dan biologis dilakukan melalui monitoring secara berkala tiap 2 minggu. Untuk melihat respon peternak terhadap paket teknologi ayam buras semi-intensif yang diaplikasikan, dilakukan monitoring pengumpulan data yang meliputi: data sosio ekonomis yaitu perubahan tingkat pendapatan sebelum dan sesudah pengkajian serta data tekno biologis yaitu: mengenai pemeliharaan ayam buras yang meliputi data produktivitas ayam buras sebelum dan sesudah pengkajian. Data sekunder dan data monitoring dianalisis secara deskriptif. Dalam pelaksanaan pengkajian disamping adanya peluang serta kekuatan tentunya banyak dijumpai kelemahan dan ancaman, untuk itu digunakan Analisis SWOT.
Tabel 1. Bahan Penyusun dan kandungan nutrisi ransum ayam buras Umur (minggu)
Uraian Jenis bahan (%): Konsentrat Jagung giling Bekatul Mineral Egg Stimulan Kandungan nutrisi: Metabolisme energi (kkal/kg) Protein (%)
0 – 20 *
20 **
30,0 45,5 24,5 0,5 -
5,5 33,0 60,5 0,5 0,5
2.600-2.700 15-16
2.400-2.600 13-14
* Fomula ransum anjuran WAHYU (1978). ** Formula ransum anjuran SINURAT (1991)
_____________________________________________________________________________________________ 514
Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner
_____________________________________________________________________________________________ HASIL DAN PEMBAHASAN Produktivitas ayam buras Introduksi paket teknologi budidaya ayam buras mengasilkan perbaikan mulai dari tersedianya kandang terpisah dari rumah, rasio jantan dan induk betina mendekati rasio 1 : 10, teknik budidaya ayam buras dan peningkatan produksi. Dari kuesioner yang disebarkan kepada peternak 70% diantaranya mengatakan produksi ayam mereka meningkat, 20% mengatakan agak meningkat dan 10% mengatakan hampir sama dengan tingkat produksi sebelum dilakukannya aplikasi teknologi. Keragaan produksi ayam buras sebelum dan sesudah aplikasi teknologi Tabel 2. Setelah pengkajian terjadi peningkatan produksi telur sebesar 15,22% per priode bertelur. Sebaran jumlah telur per induk per priode meningkat dari 7-13 butir sebelum pengkajian menjadi 7-15 butir setelah pengkajian. Peningkatan jumlah telur dan jumlah sebaran telur dimungkinkan oleh perbaikan kualitas dan kuantitas pakan. Peningkatan ini masih rendah dibandingkan hasil pengkajian yang dilakukan oleh KETAREN et al. (1992) yang mencapai peningkatan jumlah telur per priode per ekor sebesar 20,19%. Hasil pengamatan ISKANDAR et al. (1989) menunjukkan bahwa dengan memisahkan anak ayam segera setelah menetas dapat meningkatkan produksi telur/induk/tahun dari 52 butir menjadi 115 butir, yakni dengan meningkatkan hari bertelur dari 108 hari menjadi 220 hari. Apabila ayam induk hanya diberi kesempatan bertelur saja (tanpa mengeram dan mengasuh anak) dapat meningkatkan produksi telur/induk/tahun menjadi 132 butir dengan lama bertelur 248 hari. Rendahnya produksi telur pada pengkajian ini mungkin disebabkan kualitas bibit yang didistribusikan kepada peternak koperator adalah rendah.
Setelah pengkajian terlihat bahwa frekwensi bertelur persatuan waktu meningkat sebesar 54,84% per tahun dari rata - rata 3,1 menjadi 4,8 kali. Peningkatan ini terjadi akibat adanya perbaikan pakan dan diterapkannya indukan buatan. Hasil ini masih dapat ditingkatkan dengan menggunakan mesin tetas untuk mengeramkan telur, sehingga priode bertelur dapat ditingkatkan dan induk tidak mengerami telur. Peningkatan produksi telur sebagai akibat adanya aplikasi teknologi budidaya ayam buras adalah sebesar, 154,84% x 115,22% - 100% = 78,41%. Dalam pengkajian ini umumnya peternak koperator belum bisa menerima teknik penggunaan indukan, sejumlah peternak merasa kasihan kepada anak-anak ayam sehingga membiarkan induknya mengasuh anaknya antara satu sampai dua minggu, setelah itu barulah anak ayam tersebut dipisahkan dari induk dan ditempatkan dalam kandang indukan selama 6-8 minggu. Persentasi kematian anak ayam dalam kandang indukan cukup tinggi yaitu 40-60% pada awal pengkajian, kemudian berangsur - angsur menurun. Tingginya mortalitas disebabkan seringnya listrik mati (Nopember 1999 hingga Desember 1999), sedangkan anakan yang telah dilepas dari indukan mati karena hilang, dimakan predator seperti musang dan biawak, serta motivasi peternak masih rendah karena usaha ayam buras masih usaha sambilan bagi peternak koperator. Pendapatan peternak Untuk mengetahui tingkat keuntungan dari peternak ayam buras dapat dilihat dari pemanfaatan ternak, daya tetas dan daya hidup anak hasil penetasan awal Maret 2000, sebelum dan sesudah pengkajian disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 2. Keragaan produksi ayam buras di Tanjung Karang Timur dan Gading Rejo Bandar Lampung Uraian
Sebelum pengkajian
Sesudah pengkajian
Perkembangan (%)
3,1 7 - 13 9,2
4,8 7 – 15 10,6
54,84 15,22
Frekwensi bertelur (kali/tahun) Sebaran jumlah telur (butir/priode/ekor) Jumlah telur rata - rata (butir/priode/ekor)
Tabel 3 Pemanfaatan telur, dan kinerja biologis sebelum dan sesudah pengkajian Uraian Ditetaskan (%) Dikonsumsi (%) Daya tetas (%) Daya hidup anak sampai awal Maret 2000 (%)
Sebelum pengkajian 96 4 81,4 -
Sesudah pengkajian 86 14 91,6 79,5
_____________________________________________________________________________________________ Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
515
____________________________________________________________________________________________________________________
Tabel 3 memperlihatkan jumlah telur yang ditetaskan semakin kecil. Hal ini disebabkan telur yang ditetaskan terlebih dahulu di seleksi sehingga persentase telur konsumsi atau dijual semakin besar. Telur ukuran besar diatas rata - rata dan ukuran kecil disarankan untuk dikonsumsi atau dijual untuk membeli konsentrat. Sebaliknya sebelum pengkajian umumnya seluruh telur dieramkan oleh induk dengan menggunakan sangkar berbentuk kotak atau seadanya. Setelah pengkajian terlihat adanya kenaikan persentase daya tetas sebesar 10,2%. Tingginya persentase daya tetas setelah pengkajian dimungkinkan adanya introduksi pejantan dan perlakuan seleksi terhadap telur yang ditetaskan, serta penerapan sangkar yang berbentuk kerucut yang terbuat dari bambu. Menurut GULTOM et al. (1982), sangkar kerucut dapat meningkatkan daya tetas 16,54% dibandingkan dengan sangkar kotak. Daya tetas tersebut diduga masih dapat ditingkatkan jika peternak koperator mau memilih telur tetasnya sesuai dengan anjuran YUWANTA (2000). Pada Tabel 4. apabila kita kalikan peningkatan produksi telur dengan jumlah telur yang ditetaskan dan dihubungkan dengan persentasi daya hidup anak maka tampak bahwa sumbangan ayam buras belum dapat dikalkulasikan karena anak ayam belum terjual. Namun apabila kita asumsikan yang diproduksi adalah telur konsumsi dan biaya vaksin dan biaya lain-lain dianggap sama sebelum dan sesudah pengkajian, maka dari Tabel 4 terlihat bahwa besarnya sumbangan ayam buras terhadap pendapatan peternak sekitar Rp. 3.752/ekor/tahun setelah introduksi teknologi budidaya ayam buras.
adalah wadah bagi petani dapat belajar dan saling memberi informasi. Kelompok tani peternak ayam buras ini telah dikunjungi oleh beberapa instansi, antara lain dari balai latihan, instansi-instansi pemerintah, peserta - peserta kursus pemeliharaan ayam buras yang dilakukan oleh pemerintah dan kunjungan patani dari luar anggota kelompok.
Pertemuan kelompok
3.
Menurut SOEMANTO et al. (1991), pendekatan melalui pembinaan kelompok adalah salah satu cara yang dianggap paling efektip dan efisien dalam memperkenalkan teknologi baru kepada petani, karena pesan-pesannya kepada setiap petani dapat dilakukan secara intensif, disamping adanya kegiatan kelompok seperti pembelian obat - obatan, vaksin dan pakan ayam, pengobatan dan pelaksanaan vaksinasi. GULTOM et al, (1989), menyatakan bahwa pertemuan kelompok
Peluang pengembangan berdasarkan analisis swot Kekuatan 1.
2.
3.
Tersedianya sumber daya manusia, lahan dan pakan ternak ayam buras serta peralatan dan perkandangan dilokasi pengkajian. Adanya tenaga peneliti yang siap mengintroduksikan paket teknologi budidaya ayam buras kepada peternak koperator. Adanya kelompok tani yang mengadakan pertemuan (pengajian) yang rutin untuk membahas hal-hal yang terjadi dalam kelompok tani ternak, arisan.
Kelemahan Permodalan 1. 2.
Peternak yang umumnya berpendidikan dan berpengetahuan rendah. Peralihan musim terutama pada bulan Juli-Agustus ayam buras umumnya terserang penyakit tetelo (ND). Belum terjangkaunya penyediaan dana dan pembinaan yang berkesinambungan terhadap peternak di pedesaan oleh pemerintah.
Peluang 1. Akses pemasaran yang saat ini masih cukup besar. 2. Optimalisasi melalui penerapan paket teknologi dan tatalaksana untuk meningkatkan pendapatan peternak.
Tabel. 4. Analisis biaya produksi dan pendapatan sebelum dan sesudah pengkajian Uraian Harga pakan, Rp./kg Kebutuhan pakan, kg/ekor/tahun Harga telur, Rp./butir Produksi telur, butir/ekor/tahun Penghasilan dari telur, Rp./tahun Biaya Pakan, Rp./tahun Keuntungan, Rp./ekor/tahun
Sebelum pengkajian 600 26 700 28,52 19,964 15,600 4,364
Sesudah pengkajian 1,000 27,5 700 50,88 35,616 27,500 8,116
_____________________________________________________________________________________________ 516
Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner
_____________________________________________________________________________________________ Ancaman 1. 2. 3. 4.
Produksi dan produktivitas ayam buras rendah. Peternak: motivasi pemeliharaan belum mengarah ke ekonomi yang efisien. Rendahnya pengetahuan peternak terhadap jenis jenis penyakit serta pencegahannya. Ternak ayam buras sampai saat ini masih diusahakan secara sambilan.
Strategi Pengembangan 1.
2.
Pengembangan teknologi budidaya ayam buras semi-intensif guna meningkatkan produksi, produktivitas dan pendapatan petani. Menempatkan ayam buras sebagai usaha pokok. KESIMPULAN
Dari uraian pengkajian adaptasi teknologi budidaya ayam buras tersebut diatas dapat disimpulkan: 1. Perubahan sistem pemeliharaan ayam buras dari ekstensif ke semi-intensif dengan menerapkan paket teknologi mampu meningkatkan produksi, produktivitas ayam buras dan pendapatan peternak. 2. Pola pengembangan peternakan ayam buras perlu diubah dari orientasi produksi menjadi orientasi agribisnis yang dikembangkan berdasarkan skala ekonomi. Oleh karena itu ayam buras harus dikelola dengan konsep ekonomi efisien dengan sentuhan teknologi, modal usaha, tenaga kerja dan kemauan serta kemampuan yang tinggi. 3. Secara umum dari aspek tingkat adopsi teknologi maupun aspek finansial memperlihatkan adanya kemajuan yang telah dicapai oleh peternak koperator. Namun demikian masih diperlukan penyempurnaan optimalisasi, keberlanjutan menuju kemandirian peternak. DAFTAR PUSTAKA DINAS PETERNAKAN PROPINSI DATI I LAMPUNG , 1996. Statistik Peternakan Propinsi Daerah Tk I Lampung. Dinas Peternakan Propinsi Daerah Tk I Lampung. Bandar Lampung
GULTOM,D; D. YULISTIANI, SUBIHARTA , WILUTO D. dan D. PRAMONA.1989.Tingkat adopsi teknologi oleh peternak kelompok tani ternak ayam buras di Jawa Tengah. Dalam prosiding seminar nasional tentang unggas lokal. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang. ISKANDAR. S, B. WIBOWO, E. JUARINI, AP. SINURAT dan P. SITORUS, 1989. Budidaya ayam buras di pedesaan dalam usaha ternak terpadu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. KETAREN. PP, M. RANGKUTI DAN AMBAR ROESYAT, 1992. Gelar teknologi budidaya ayam buras di Kecamatan Lainea, Kabupaten Kendari, Sulawesi Tenggara. Dalam prosiding gelar teknologi program keterkaitan penelitian - penyuluhan 1991-1992 Sulawesi Tengah dan Tenggara. PRABOWO, A., A. T IKUPADANG . M.SABRANI dan UKA KUSNADI, 1992. Prospek Pengembangan Ayam Buras di Sulawesi Selatan. Prosiding pengolahan komunikasi hasil - hasil penelitian unggas dan aneka ternak. Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor. SABRANI, M. 1986. Alternatif teknologi dan pengembangan ayam buras. Dalam prosiding temu tugas pengembangan ayam buras di Jawa Tengah. Balai Informasi Pertanian Ungaran Jawa Tengah. SINURAT, A. P. 1991. Penyusunan Ransum Ayam Buras. Wartazoa 2: (1-4) Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. SUBIHARTA , D. M. YUWONO dan D. WILUTO , 1992. Pengaruh bentuk kandang indukan terhadap penampilan ayam buras priode starter. Dalam: prosiding pengolahan dan komunikasi hasil-hasil penelitian unggas dan aneka ternak. Balai Penelitian Ternak. Ciawi Bogor SUMANTO , JUARINI E., WIBOWO, B., SINURAT, AP., M URTISARI dan SANTOSO . 1991. Tingkat adopsi teknologi usaha ayam buras di Desa Pangradin Kabupaten Bogor. Ilmu Peternakan 4:(4). WAHYU , J. 1978. Cara Pemberian dan Penyusunan Ransum Unggas. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor WIHANDOYO , dan M ULYADI . 1986. Ayam buras pada kondisi pedesaan dan pemeliharaan yang memadai. Dalam prosiding temu tugas pengembangan ayam buras di Jawa Tengah. Balai Informasi Pertanian Jawa Tengah. WILOTO , D. 1992. Beberapa aspek yang mempengaruhi produktivitas ayam buras. Dalam prosiding temu tugas sub sektor peternakan. Balai Informasi Pertanian Ungaran. Jawa Tengah.
_____________________________________________________________________________________________ Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
517