115
STRATIFIKASI SOSIAL DALAM PENENTUAN HUKUM ISLAM (ANALISA PEMIKIRAN IMĀM ABŪ AL-MAWĀHIB 'ABD AL-WAHHĀB ALSYA’RĀNIY) Oleh: Samsul Arifin Abstrak : Today, the lack of in reviewing the literatures of classical Islam was elaborated with the social science disciplines, prompting many parties to reduce and actualized to the present times that no other intended that the teachings of Islam in tune with the times. Is not Islam according to human civilization until the end of time. It seems to be vital in assessing and researching the treasures of classical Islam which eventually gave birth to new theories which along with human civilization. Abū al-Wahhab ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Musa ibn Maula Abū 'Abd AlZughāliy Oral Sultan ibn' Aliy al-Syāfi'iy al-Mishriy, or which is known as AlSya'rāniy priests, scholars' great life in 1493 M, a scholars' Sufi, Ibn arabi admirers, but on the other hand he jurisprudent. One concept is dignity al mizan fiqihnya. Al-Sya'rāniy reveal the social aspects which, according to differ between one human being to another. In sociology, this reality is called social stratification, relation with the law, according to alSya'rāniy application of Islamic law refers to the principle of the levels that occurred in the community (social stratification). al-Sya'rāniy implementing the concept that he offered in accordance with the Islamic law studies Sociology of Law, which directs the opinion of the mujtahid Imams according to social stratification with the measurements. The measure used as a benchmark or standardization in determining the law for every member of society, at least two things. The first measure in the abstract. Like the values of faith, kewara'an and devotion. Second, the size concretely. Such as, wealth, knowledge and strength. Keywords: Social Stratification, Islamic Law A. Pendahuluan Sebagai disiplin ilmu yang bergumul dengan nilai dan prinsip dasar 1, fiqh2 merupakan ilmu yang cukup tua. Kelahirannya bersamaan dengan agama Islam
Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Bondowoso (FAI UNIBO), email:
[email protected] 1 Prinsip-prinsip dasar ilmu Fiqh. Pertama prinsip tauhid, surat al-Imrān ayat 64. Kedua, hubungan makhluq dan kholiq tanpa ada pelantara, surat al-Ghāfir ayat 60. Ketiga prinsip rasional, surat Thāha ayat 114. Keempat, prinsip membentengi aqidah, surat al-Furqān ayat 63. Kelima, prinsip penyucian jiwa, surat al-Māidah ayat 6. Keenam, prinsip persaudaraan, surat al-Qashash ayat 77. Ketujuh, prinsip keadilan, surat al-Hujurāt ayat 13. Kedelapan, prinsip amar ma‟ruf nahi mungkar, surat al-Imrān ayat 16. Kesembilan, prinsip syuro, surat al-Imrān ayat 199. Kesepuluh, prinsip toleransi, surat al-Mumtahanah ayat 8. Kesebelas, prinsip kemerdekaan, surat al-Baqarah ayat 256. Keduabelas, prinsip gotong-royong. (Baca: Pengantar Ilmu Fiqh, Prof. T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, Bulan Bintang, 1967) 2
. Fiqh, secara bahasa mempunyai arti mengerti atau memahami. Secara epistimologi Ilmu Fiqh adalah pengetahuan atau sekumpulan hukum-hukum tentang tindak laku manusia yang bersifat praktis
116
yang dibawa oleh nabi Muhammad saw. Meskipun belum dibukukan pada waktu itu, namun pada prakteknya, fiqih sudah ada ketika masa ke-rasul-an Muhammad SAW. Baru pada awal abad II Hijriyah, ilmu yang satu ini bisa dikodifikasikan. Hal ini dapat dibuktikan dengan data sejarah bahwa sekitar awal abad II Hijriyah telah tersusun kitab fiqh yang bernama Muwaththa’ karangan Imam Mālik.3 Bahkan lebih jelas lagi, al-Ghazāliy memberi komentar sebagaimana yang dikutib dalam kitab Ihyā' Ulum al-Dīn. Menurutnya, bila kita menelusuri lebih mendalam, sesungguhnya ilmu-ilmu keIslaman khususnya ilmu fiqh dan usūl fiqh, sudah ada pada zaman Rasulullah dan telah berakar dalam pribadi beliau.4 Dengan konsep metodologinya sendiri5, ilmu fiqh tumbuh menjadi ilmu yang paling berpengaruh di kalangan masyarakat muslim, melebihi cabang-cabang ilmu keislaman lainnya. Pernyataaan ini dapat dilacak, misalnya dari pernyataan Isma‟īl al-Zarnūjiy dalam Ta’līm al-Muta’allim bahwa fiqh merupakan ilmu yang paling utama dan dapat menunjukkan umat ke jalan kebaikan dan ketaqwaan.6 Terlepas dari statemen di atas, yang perlu diketahui bahwa pada dasarnya perkembangan fiqh dapat dibagi menjadi lima fase. Fase pertama, masa Rasulullah. Masa ini berjalan selama 22
tahun dan beberapa bulan lamanya, yaitu sejak
yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Abdul Wahhāb Khallāf, „Ilm Usūl al-Fiqh, Dâr al-Fikr, hlm. 11, dan lihat: Abū Zahrah, „Ilm Usūl al-Fiqh, Dār al-Fikr al-„Arabi, hlm 6 3
Abū Zahrah, Tārīhk al-Madzahib, hal. 132. Selain kitab Muwaththa’ juga terdapat kitab fiqh Dari kalangan madzhab Hanafiyah, yaitu kitab Fiqh al-Akbār karangan Abū Yusūf dan Abū Hasan murid Dari Imam Abū Hanīfah (baca : Dhuhā al-Islām, Ahmad Amin, hal. 193). Dari golongan madzhab Syāfi‟iyah terdapat kitab al-Umm karangan monumental Imam Syāfi‟i yang merupakan pendiri madzhab Syāfi‟iyah. Dari kalangan Hanābilah terdapat kitab Musnad ibn Hanbal. Muhammad Abū Zahra, Tārikh Madzāhib al-Fiqhiyyah, al-Madani, hlm. 351 4
Muhammad ibn Muhammad al-Ghazāliy, Ihya' Ulum al-Dīn, jilid I, Maktabah Istiqomah, hlm.
33 5
. Di dalam disiplin ilmu, metodologi fiqh disebut juga Usūl Fiqh. yaitu ilmu yang membahas kaidah-kaidah fiqh secara ijmaliyyah (global) dalam upaya menggali hukum-hukum Dari dalil-dalil yang terperinci. Ilmu ini dikodifikasikan sekitar awal abad kedua. Menurut al-Syarakhsi, orang yang pertama kali dalam mengarang ilmu usūl fiqh adalah Imam Abū Hanīfah, yang pada akhirnya menjadi cikal bakal kitab Risālah milik Imam Syāfi'i, akan tetapi karangannya tidak sampai kepada kita. (Muhammad ibn Ahmad al-Syrakhsi, Usūl al-Syarakhsi, Dār al-Kitab al-‟Arabi, Mesir, 1373 H, jilid I, hlm. 3). Namun, menurut kesepakatan ulama', orang yang pertama kali dalam mengarang ilmu usūl fiqh adalah Imam Syāfi‟i, yaitu kitab al-Risālah. 6
. al-Zarnuji, Ta’līm al-Muta’alim, hal 7. tt. Dalam setiap fan ilmu, terdapat slogan-slogan. Ilmu Nahwu (tata bahasa arab) misalnya, di antara slogannya adalah setiap ungkapan yang menggunakan tata bahasa arab tidak akan dipahami tanpa ilmu ini, atau imu Shorrof (morfologi), yang terkenal dengan slogannya ash-Shorf Ummul Ulum an-Nahwu Abuha (ilmu Shorrof adalah induk dari segala ilmu) dan lain-lain
117
Rasulullah diutus sebagai rasul, yaitu pada tahun 610 M sampai beliau wafat pada tahun 632 M.7 Fase kedua, masa penafsiran dan penyempurnaan. Yaitu di masa sahabat selama kurang lebih 90 tahun lamanya, mulai Rasulullah wafat pada tahun 11 H sampai akhir abad I H.8 Fase ketiga, masa kodifikasi (pembukuan) teks-teks hukum dan di masa ini pula masa tersebar luasnya Imam-Imam ahli ijtihad (ahli hukum) dan di masa ini pula disebut masa perkembangan legislasi hukum Islam. Masa ini berjalan selama 250 tahun , yaitu tahun 100 H sampai tahun 350 H.9 Fase keempat, masa taqlīd
10
. Di masa inilah merupakan kebalikan masa
sebelumnya, karena kalau masa sebelumnya ahli hukum mampu mencurahkan
7
Tipologi tasyri’ di masa ini masih dibilang kondusif, dalam arti segala problematika yang berkembang mudah terjawab. Hal ini disebabkan baginda Nabi masih hidup. Dalam masa ini pula ijtihad masih belum ada. Kalaupun ada, keputusan hukumnya masih ada di tangan baginda Nabi. Seperti dalam peristiwa ketika para sahabat bepergian tanpa Nabi. Dalam perjalanan mereka tertimpa hal-hal yang mewajibkan mandi. Diantara sahabat (Amr bin Ash) bertayamum karena dia hanya menjumpai air yang dingin. Karena khawatir menjadi mudlorot atas dirinya, maka dia bertayamum. sahabat yang lainnya juga mengikutinya. Hanya perbedaannya, Amr bin Ash tidak mengulangi sholatnya sedangkan yang lainnya mengulangi sholatnya. Ketika peristiwa ini dihaturkan kepada Nabi, ternyata baginda Nabi meng”iya”kan perbuatan mereka. (Tafsir Rowai’u al-Bayan, Syaikh Aliy ash-Shobuniy, hal 486, Dar al-Kutub alIlmiyah tt) 8 Dalam masa ini terdapat para sahabat-sahabat Nabi. Diantara mufti-mufti Madinah adalah Zaid ibn Tsabit (wafat 45 H), Ubay ibn Ka‟b (wafat 21 H), Abdullah ibn Umar (wafat 73 H), Aisyah (wafat 57 H). Diantara mufti Makkah adalah Abdullah ibn Abbas (wafat 68 H). Diantara mufti kota Kufah adalah Ali ibn Abi Tholib (wafat 40 H), Abdullah ibn Mas‟ud (wafat 32 H). Di kota Bashroh yang bertindak sebagi mufti di sana adalah sahabat Abu Musa al-Asy‟ari (wafat 44 H) dan di kota Syam terdapat sahabat Mu‟adz ibn Jabal (wafat 18 H) dan Ubadah ibn Shomit (wafat 34 H) dan di kota Mesir terdapat Abdullah ibn Amr (wafat 65 H) 9 Dalam periode ini terdapat imam-imam besar dalam membangun Fiqh Islam yang lebih terkenal dengan Empat Madzhab. Pertama Imam Abu Hanifah (Kufah 80 H – 150 H) karangan terbesarnya adalah al-Khoroj, walaupun sebagian pendapat ada yang mengatakan yang mengarang adalah Abu Yusuf, murid imam Abu Hanifah sendiri. Kedua, Imam Malik (Madinah, 93 H – 179 H), beliau adalah murid dari Muhammad ibn Syihab az-Zuhri. Karangan terbesarnya adalah al-muwaththo’. Ketiga Imam Syafi‟i (150 H – 204 H), sebelum berguru kepada imam Malik, beliau berguru kepada mufti alHarom Muslim ibn Kholid. Karangan terbesarnya adalah al-Um (kitab fiqh) dan kitab ar-Risalah (kitab ushul fiqh). Keempat, Imam Ahmad ibn Hambal (164 H – 241 H), beliau murid dari Imam Syafi‟i. karangan terbesarnya adalah kitab al-Musnad. Namun sebagian pendapat mengatakan bahwa beliau adalah seorang ahli hadits. Hal ini dikarenakan kitab al-Musnad yang dikarangnya memuat hadits-hadits. (Baca: Tarikh Madzahib al-Islamiyah, Abu Zahroh, 130-346 ) 10
. Taqlīd merupakan istilah dalam ilmu Usūl Fiqh yang mempunyai arti mengikuti madzhab tertentu. Sedangkan orangnya disebut muqallid. Periode ini melahirkan fuqoha‟-fuqoha‟ yang notabeni menguatkan madzhabnya masing-masing. Adapun dari kalangan Madzhab Hanafiyah, muncul nama Abdul Hasan Ubaidullah al-Hasan al-Karkhi, Abul Laits Nash ibn Muhammad as-Samarqondhi, Abu Ishaq Ibrahim ibn ash-Shafar, Fakhruddin Hasan ibn Manshur al-Auzjandi al-Farghani dan lain-lain. Dari kalangan madzhab Malikiyah, muncul nama Muhammad ibn Yahya ibn Lubabah al-Andalusi, Yusuf ibn Umar ibn Bar, Abu Said Khalaf ibn Abi Qosim al-Azdi, Abul Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusy al-Qurthubi dan lain-lain. Dari kalangan madzhab Syafi’iyah, muncul nama Abu
118
tenaga dan pikirannya untuk mendapatkan hukum dari hasil kesimpulan teks-teks al-Qur’an dan Hadīts.11 Tapi masa ini, umat Islam hanya mengekor hasil periode sebelumnya, sehingga masa ini disebut “masa buntu dan beku”. Masa ini dimulai dari pertengahan abad ke 4 H sampai pada masa akhirnya, karena masa sekarang tetap seperti itu.
yang belum diketahui batas
12
Muhammad Iqbal, pemikir asal Pakistan, menengarai ada tiga faktor penyebab pemasungan fungsi nalar ijtihad itu. Pertama: merebaknya isu penafsiran longgar yang dikembangkan oleh paham rasionalisme. Kalangan rasionalis dinilai telah mengundang sikap antipati kelompok pemikir Islam lain dengan melakukan penafsiran longgar terhadap agama. Tak hanya itu, isu rasionalisasi yang mereka kembangkan dinilai lepas begitu saja dari konteks sejarah sehingga menimbulkan perlawanan pihak konservatif. Sebagai dampaknya, para ulama‟ saat itu lalu khawatir wilayah ijtihad dimasuki mereka yang tak cukup memiliki kompetensi melakukannya. Sebagai langkah preventif, mereka kemudian memberikan kriteria persyaratan super ketat bagi seorang mujtahid. Kondisi seperti inilah yang kemudian mengesankan pintu ijtihad sudah ditutup. Kedua: Asketisisme atau tren hidup bertapa yang melanda dunia tashawuf menyebabkan suburnya penafsiran eskapisme yang cenderung mengabaikan dimensi alam nyata. Pada gilirannya, kecenderungan seperti ini mereduksi diskursus
Ishak Ibrahim ibn Ahmad al-Marwazi, Abul Ma‟ali Abdul Malik ibn Abdullah al-Juwaini, Abul Qosim Abdul Karim ibn Muhammad al-Qozwini ar-Rofi‟i, Muhyiddin Abu Zakariya Yahya ibn Syaraf ibn Muri an-Nawawi dan lain-lain. Sedangkan dari kalangan madzhab Hambali, lahir sosok Abdul Malik alMaimuni, Abu Bakar al-Marwadzi, Abu Bakar al-Khollal dan lain-lain. (Baca: Tarikh Tasyri’ al-Islami, Khudhari Bik) 11
Al-Qur‟an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW yang bernilai ibadah sebab membacanya. Sedangkan Hadits adalah setiap sesuatu yang muncul dalam diri Rasulullah baik itu perkataan, perbuatan, ketetapan ataupun sifat kepribadiannya di waktu sudah terutusnya Beliau ataupun sebelumnya. (baca: Mannaul Qoththon, 21 dan Ushulul Hadits,19) 12
. A. Sjinqithy Djamaluddin, Sejarah Legislasi Islam (terj), hal 14-15, lebih rincih lagi DR. Khudlāri Beik membagi masa perkembangan Hukum Islam menjadi enam fase. Fase pertama, legislasi hukum pada masa Rasulullah saw., masa ini berakhir sampai beliau wafat. Fase kedua, legislasi hukum pada masa kibār al-shahābah (sahabat besar), yaitu masa khulafā'u al-rāsyidin. Masa ini berakhir hingga pada masa tābi'in. Fase ketiga, legislasi pada masa shighār al-shahābah (sahabat kecil). Masa ini berakhir sampai masa Imam madzhab. Fase keempaat, masa Imam madzhab. Masa ini berakhir pada abad III Hijriyah. Fase kelima, masa pensyarahan terhadap kitab kitab madzhab. Masa ini berakhir bersamaan dengan berakhirnya Daulah al-'Abbāsiyyah di Baghdad dan penyerangan tentara Tartar atas kerajaankerajaan Islam. Fase keenam, legislasi hukum pada masa talfiq. Masa ini tetap hingga pada saat ini. (lihat : Tārīkh al-Tasyrī’ al-Islāmy, DR. Khudlāri Beik hal .4)
119
intelektual dan nalar ijtihad. Pra kondisi seperti ini lalu memunculkan kecenderungan menutup kran berpikir untuk mengembangkan wacana agama ke arah yang lebih kreatif dan dinamis. Ketiga: Pembumihangusan Baghdad, kota seribu satu malam, oleh tentara Mongol dari Asia Tengah. Tragedi berdarah yang terjadi pada abad ke-13 M ini bukan saja melumpuhkan pusat kebudayaan Islam tetapi juga berdampak pada melemahnya kesatuan umat. Lalu untuk merajut kembali kesatuan pandangan umat Islam saat itu, para juris Islam lebih sreg menutup pintu ijtihad untuk menghindari munculnya keragaman pendapat.13 Walapun demikian adanya, sesungguhnya dinamika pemikiran fiqh dari masa ke masa mengalami perkembangan yang cukup signifikan, meskipun tidak setenar ulama‟ tempo dulu, ini dapat dilihat dari banyaknya intelektual muslim dalam meneliti karya-karya klasik yang kemudian mengelaborasikan
kepada
cabang-cabang ilmu yang lainnya, semisal DR. Muhammad Utsmān Syabīr yang memadukan perekonomian klasik dan perekonomian modern,14 Prof. Nasr Hāmid Abū Zaid, pemikir kelahiran Mesir yang dengan jenius mengungkap teori-teori ta‟wil dan tafsir dengan dipadukan teori modern.15 Bahkan, kecendrungan saat ini banyak pemikir yang menyingkap ilmu alam dengan dipadukan ilmu keislaman. Penulis melihat kecendrungan pemikir kontemporer dalam mengkaji hazanah Islam klasik yang kemudian diaktualisasikan ke zaman sekarang adalah tiada lain bertujuan agar ajaran agama Islam selaras dengan perkembangan zaman. Bukankah agama Islam sesuai dengan peradaban manusia sampai akhir masa. Melihat kenyataan di atas, tampaknya menjadi urgen dalam mengkaji dan meneliti khazanah Islam klasik yang pada akhirnya melahirkan teori-teori baru yang seiring dengan peradaban manusia. Oleh sebab itu, penulis mencoba mengkaji
13
Muhammad Khalid Mas‟ud, Iqbal’s Reconstruction of Ijtihad, Iqbal Academy Pakistan, Lahore, hlm 86. Lain halnya Fazlur Rahmān, menurutnya tertutupnya pintu ijtihad disebabkanoleh dua hal. Pertama, ketidakserasian hubungan antara sunnah, ijma' dan ijtihad. Kedua, pembebanan dokrin teologis mayoritas terhadap hukum. Fazlur Rahmān, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Rajawali Pres, 1997, hlm. 88 14
.
Lihat Fiqh al-Mu’āmalah al-Muā’shirah, DR. Muhammad Utsmān Syabīr, al-Nafais,
Yordania 15
. Lihat Mafhūm al- Nāsh, Prof. Nasr Hāmid Abū Zaid, al-Haiah al-Mishriyyah al-Ammah.
1993
120
sekaligus meneliti khazanah Islam klasik, yaitu tentang pemikiran Imam alSya‟rāniy yang dikaitkan ilmu sosial. Penulis sengaja mengkaji pemikiran Imam al-Sya‟rāniy karena ada anggapan sementara bahwa karya monumentalnya, al-Mīzān al-Kubrā terlalu melampaui jauh ke depan, bahkan ada sebagian kalangan yang mengklaim bahwa kitab ini tidak mu‟tabarah. Sesungguhnya pemikiran al-Sya‟rāniy dalam kitab al-Mīzān al-Kubrā memiliki nilai yang lebih, paling tidak perlu adanya kajian yang mendalam. Semisal komentarnya tentang qiyās, dengan begitu bijaknya al-Sya‟rāniy mampu mengarahkan pendapat-pendapat ulama‟ yang pro dan kontra tentang metode qiyas, juga al-Sya‟rāniy membahas metode kasyf sebagai salah satu metode bagi kalangan sufi dan masih banyak lagi buah pikirnya yang perlu adanya penelitian. Hingga saat ini pengkajian terhadap buah pikiran al-Sya‟rāniy sangatlah minim. Lebih-lebih yang berkaitan dengan Sosialogi Hukum. Oleh karena itu, penulis mencoba mengkaji dan meneliti tentang corak pemikiran Imam al-Sya‟rāniy yang berkaitan dengan Sosiologi Hukum. B. Riwayat Hidup Imām Abū Al-Mawāhib 'Abd Al-Wahhāb Al-Sya’rāniy al-Sya‟rāniy merupakan nisbat (afiliansi) yang dimiliki oleh banyak orang. Sebagian besar nisbat al-Sya‟rāniy diambil dari kata sya’r yang berarti rambut, julukan yang di tujukan bagi orang yang lebat atau panjang rambutnya. Untuk Abū al-Mawāhib yang mempopulerkan pemikiran-pemikiran Muhyiddīn Ibnu 'Arabi di dunia Arab ini tidak mengikuti nisbat tersebut. Ia juga dinisbatkan ke tempat kediamannya pada masa kecil, Saqiyah Abū Sya‟rah, desa di propensi al-Manūfiyah, Mesir. Karenanya, sebagian ulama' ada yang menyebutnya al-Sya‟rāwiy.16 al-Sya‟rāniy mempunyai nama lengkap, yaitu Abū al-Wahhāb ibn Ahmād ibn Muhammad ibn Mūsā ibn Maulā Abū 'Abdillah Al- Zughāliy Sultan Ilisan ibn 'Aliy al-Syāfi'iy al-Mishriy.17 Dalam keterangan Al-Sya‟rāniy sendiri, masih ia
16
. Khoiruddin al-Zirikyā, al-I'lām Qāmus Tarajim, Dar al-'Ilm al-Malayin, 180
17
. Kahhalah, Mu’jam al-Muallifīn, (VI/ 218)
121
berdarah biru Hāsyimiyyah 'Alāwiyyah melalui Muhammad ibn 'Aliy bin Abī Thālib, yang terkenal dengan sebutan Muhammad ibn al-Hanafiyyah.18 Ia ber-kunyah (nama yang diawali dengan kata-kata Abū atau ummu) Abū Mawāhib, kunyah idealisme bagi kalangan shūfī yang telah menjadi tokoh yang ketermuka. Di samping itu, ia juga memiliki kunyah lain yaitu Abū 'Abdirrahmān sebagai nisbat kepada putranya.19 Dari segi keluarga, al-Sya‟rāniy
memang lahir di lingkungan shufi.
Kakeknya yang kelima, Mūsā yang memiliki nama lain, yaitu Abū 'Imrān yang punya ikatan spiritual dengan tokoh shūfī terkenal yang sekaligus gurunya dalam tasaw.uf, Syaikh Abū Madyān al-Maghrābiy, kemudian setelah menyempurnakan tahapan-tahapan tharīqahnya, Abū Madyān memerintahkannya hijrah ke Shāid Mesir dan mendiami daerah Hiw. Keluarga al-Sya‟rāniy terus mendiami Shāid sampai permulaan abad ke sembilan Hijriyah yang kemudian berpindah bersama pimpinan mereka Ahmad (kakek al-Sya‟rāniy ) ke Saqiya Sya‟rah, di daerah Manūfiyah. Di sana, Ahmad mendirikan zawiyah untuk mengajar dan beribadah sampai wafat pada tahun 828 H. al-Sya‟rāniy dilahirkan di Qalqasyandah pada tanggal 27 Ramadhan 898 H/1493 M. Setelah empat puluh dari kelahirannya Ia berpindah ke desa ayahnya, Saqiyah Abī Sya‟rah. Ibnu 'Imād dalam kitabnya, Syadarat al-Dzahab menjelaskan bahwa kehidupan al-Sya‟rāniy terbagi menjadi dalam lima fase. Fase pertama adalah ketika ia tingal di rumahnya, Abū Sya‟rah sampai 13 tahun . Fase kedua, ketika ia berpindah ke Kairo setelah berusia 13 tahun. Fase ketiga, sejak ia melakukan mujāhadah dan memutus ikatan-ikatan duniawi. Fase keempat, sejak ia memasuki dunia thāriqah kepada masyāyikh shūfiyah pada waktu itu. Fase kelima, di mana ia mencapai kesempurnaan dan kematangannya. Di samping itu, al-Sya‟rāniy memang sosok yang menawan, ini terbukti bahwa zawiyah-nya berkumpul seratus orang cacat seperti tuna netra, ia tanggung
18
. Ibn al-'Imad, Syadzarat al-Dzahab fi Akhbār man Dzahab, Dar al-Fikr, VIII/372
19
Op. Cit, Kahhalah, 218
122
beban hidup mereka. Kebiasaannya ini berlangsung sampai ia wafat di Kairo pada tahun 973 h/1565 m dalam usia 75 tahun.20 Sebagai bukti popularitasnya, beberapa gelar diberikan kepadanya seperti alFaqīh, al-Muhaddits, al-ushūliy, al-shūfī, al-'Abid, al-Zāhid, al-Murabbi (sang pendidik) dan al-Musallik (sang yang memberi petunjuk bagi orang-orang yang melakukan suluk). Tentu hal ini bukanlah gelar semata yang tanpa bukti. Memang al-Sya‟rāniy memang layak dengan dengan gelar itu. Dan perlu diingat, al-Sya‟rāniy tidak seperti tokoh shūfī yang lain. Popularitasnya dalam tasawuf tidak menjadikannya menjauhi fiqh. Dalam hal ini ia berkata: “sebaiknya memperbanyak menela‟ah kitab-kitab fiqh. Tidak seperti pengikutpengikut tasawuf yang begitu tampak mereka secercah cahaya tharīqah, lalu tidak menelaahnya. Mereka berkata: “ fiqh merupakan hijāb (penghalang ke jalan Allah )”, ini adalah tanda kebodohan mereka “21 C. Corak pemikirannya; Tinjauan dari segi sosiologi hukum Diakui atau tidak, dalam kenyataan sosial, setiap anggota masyarakat berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Dari perbedaan tersebut berdampak kepada perbedaan hak dan kewājiban. Dalam Pembahasan Hukum, perbedaan lapisan-lapisan yang dalam Masyarakat membawa dampak yang signifikan dalam penerapan hukum di masyarakat. Berangkat dari kenyataan di atas, al-Sya‟rāniy mengawali pembahasannya tentang perbedaan-perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan Imam mujtahid. Adalah suatu fenomena yang tidak bisa terbantahkan lagi, bahwa di alam raya ini diciptakan dalam bentuk-bentuk yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Perbedaan ini akan terus menjadi sesuatu yang niscaya selama manusia dibedakan oleh karakter, cara berfikir, latar belakang pendidikan dan lingkungan yang mengitarinya. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan hukum, Prof. Dr. Soerjono Soekanto S.H., M.A, dalam bukunya, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, memberikan kesimpulan yang cukup menarik menurutnya, semakin tinggi kedudukan seseorang dalam stratifikasi, semakin sedikit hukum mengaturnya dan begitu pula sebaliknya 20 21
Ibid,374 Ibid, VIII/373
123
semakin rendah kedudukan seseorang dalam stratifikasi, semakin banyak hukum mengaturnya. Kesimpulan di atas, sesungguhnya berpangkal pada kenyataan yang ada. Realitas di atas, menggambarkan betapa rapuhnya kontrol sosial yang terjadi di masyarakat. Betapa tidak, hukum yang berfungsi sebagai pencipta kestabilan sosial tidak terwujud. Lain halnya menurut al-Sya‟rāniy, beliau berpendapat bahwa prodak prodak hukum haruslah disesuaikan dengan status mukallaf22. al-Sya‟rāniy mendasarkan kepada firman Allah yang artinya; "Allah tidak membebani mukallaf di luar kemampuanya"23 Sebagaimana yang telah diketahui, dalam Islam terdapat ahli-ahli hukum atau disebut mujtahid. Setiap mujtahid menelorkan hukum yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Sesuai dengan kapasitas keilmuan dan sosial yang mengitarinya, perbedaan hukum yang bermunculan dikalangan ulama' bukan berarti hukum yang satu lebih unggul daripada hukum yang lain. Semua prodak-prodak hukum tersebut tidak lepas dengan lima hukum Islam, yaitu 22
wājib, mandūb. muharram, makrūh, mubāh.24 Dari sinilah, al-Sya‟rāniy
Yang dimaksud di sini adalah hokum syara‟ atau syari‟at. Hukum Syara‟ atau hukum syar‟i adalah kata majemuk yang tersusun dari dua kata, yakni kata “hukum” dan kata syar‟i. kata hukum berasal dari kata arab yang mempunyai arti secara etimologi memutuskan, menetapkan, memerintah dan menyelesaikan. Kata hukum dan kata lain yang berakar darinya terdapat dalam al-Qur‟ān 88 kali. Sedangkan kata “syara'” secara etimologis berati jalan, jalan yang dapat dilalui air. Maksudnya adalah jalan yang dilalui manusia dalam menuju kepada Allah. Dalam al-Qur‟ān kata ini disebutkan sebanyak 5 kali. Adapun definisinya sudah dijelaskan dalam bab II (Baca: al-Hasani, Fath al-Rahman, Dar al-Fikr, hlm. 236) 23 . QS. Al-Baqarah, 286 24 DR. Wahbah al-Zuhailiy memaparkan definisi wājib sebagai berikut: Suatu tuntutan untuk berbuat dengan tuntutan tegas dengan dalil yang menunjukkan ketegasan perbuatan tersebut. Dengan ungkapan lain sebagaimana yang dipaparkan oleh al-Ghazāliy bahwa wajib adalah Perbuatan yang mendapatkan pujian (pahala) bagi yang mengerjakannya dan mendapat dosa bagi orang yang meninggalkannya dengan disengaja. Sedangkan mandūb ulama' usūl al-fiqh memberikan definisi sebagai berikut: Suatu tuntutan Syāri' untuk berbuat dengan tuntutan yang tidak tegas. al-Ghazāliy mendeskripkan definisi bahwa mandūb adalah Perbuatan yang mendapatkan pujian (pahala) bagi yang mengerjakannya dan tidak mendapat celaan bagi orang yang meninggalkannya. Harām atau muharram didefinisikaan sesuatu yang oleh Syāri' dituntut untuk meninggalkannya secara tegas. Sebagian ulama' usul mendifinisikan harām adalah sesuatu yang diberi pahala bagi yang meninggalkannya dan diberi siksa bagi yang mengerjakannya. Seperti berzina dan lain-lain. Adapun makrūh, Ulama' usūl al-fiqh memberi definisi sebagai berikut: Makrūh adalah sesuatu yang oleh Syāri' dituntut untuk meninggalkannya secara tidak tegas. Sebagian ulama' usūl al-fiqh mendifinisikan makrūh adalah sesuatu yang diberi pahala bagi yang meninggalkannya dan tidak mendapat apa-apa bagi yang mengerjakannya. Sedangkan difinisi mubāh menurut para pakar sebagai berikut: Mubāh adalah sesuatu yang Syāri' memberikan pememilihan kepada mukallaf antara mengerjakan maupun meninggalkan Imam al-Āmidiy memberikan definisi mubāh, yaitu sesuatu yang tidak dipuji ataupun dicela bila mengerjakannya atau meninggalkannya.
124
dengan fatwanya mampu mengkrucutkan prodak-prodak hukum dengan status hukumnya dengan mengklasifikasinya menjadi tiga bagian. Pertama, tasydīd (memberatkan). Kedua, tawassuth (pertengahan). Ketiga, takhfīf (meringankan). Hukum tasydīd diungkapkan oleh al-Sya‟rāniy
dengan kata-kata hāram, tidak
boleh. Hukum tawassuth, oleh al-Sya‟rāniy diungkapkan melalui tulisannya dengan perincian yang menengah-nengahi antara tasydīd dan takhfīf. Sedangkan hukum takhfīf, diungkapkan oleh al-Sya‟rāniy dengan kata-kata boleh. Sedangkan untuk
yang tawassuth,
al-Sya‟rāniy tidak begitu jelas
memaparkan konsep yang satu ini. Namun, dalam prateknya al-Sya‟rāniy menerapkan konsep ini. Meskipun begitu, al-Sya‟rāniy ketika membahas lima hukum Islam (wājib, mandūb. muharram, makrūh, mubāh), beliau menyatakan bahwa lima hukum tersebut berpangkal pada persoalan amar dan nahiy yang pada akhirnya muncul konsep tasydīd dan takhfīf. Sedangkan mubāh dikatagorikan sebagai pertengahan di antara keduanya.25 Bila mubāh merupakan pertengahan diantara tasydīd dan takhfīf, maka bisa disimpulkan bahwa mubāh adalah konsep tawassuth. Adapun contoh kasus hukum yang mana didalamnya terdapat tawassuth, dan takhfīf
tasydīd,
adalah seperti dalam persoalan perbedaan pendapat di
kalangan ulama' tentang tanah upeti dan pajaknya. Menurut Imam yang tiga adalah wājib zakat, karena pajak adalah harta bendanya. Sedangkan
10% adalah
keuntungannya. Berbeda menurut Imam Abū Hanīfah, tidak wājib mengeluarkan 10% dari upeti, karena antara 10% dan pajak tidak bisa berkumpul jadi satu atas diri seseorang. Adapun tanaman milik orang, sedangkan tanahnya milik orang lain. Maka menurut Imam Al-Syāfi'iy, Imam Mālik, Imam Ahmad, Imam Abū Yūsuf dan Imam Muhammad adalah wājib 10% bagi pemilik tanaman. Sementara menurut Imam Abū Hanīfah, 10% wājib bagi pemilik tanah. Adapun pendapat yang pertama adalah musyaddid (memberatkan). Sedangkan pendapat yang kedua adalah mukhaffif (meringankan) dan pendapat yang lain adalah mutawassith (sedang).26
25
al-Sya‟rāniy, Al-Mīzān al-Kubrā , Toha Semarang, juz II, hlm. 6
26
Ibid, hlm. 6
125
Kemudian hukum tasydīd, tawassuth dan takhfīf diemplementasikan kedalam prodak hukum yang sudah dimodifikasi oleh ulama' terdahulu dan pada akhirnya diarahkan pada mukallaf sesuai dengan kadar kemampuan, lebih spektakuler lagi alSya‟rāniy mampu memetak-metakkan hadits hukum pada tiga muara (tasydīd, tawassuth, takhfīf ). Tercatat 173 persoalan dalam kitab al-Mīzān al-Kubrā yang terdapat haditsnya, dalam setiap persoalan terkadang terdapat 2 hadits bahkan lebih. Hal ini membuktikan konsistensi pemikiran beliau bahwa ''Tidak ada pertentangan antara 2 pendapat atau 2 hadits selama masih berakar pada satu sumber''.27 Dalam penerapan hukum, tidak terlepas dari tiga unsur. Pertama, mukallaf. Kedua, produk hukum. Ketiga yang menentukan dalam penerapan hukum, dalam hal ini muftiy. Dalam konsep mukallaf, terbagi menjadi dua bagian dari segi kecakapan atau kelayakan menerima pembebanan hukum. Pertama, ahliyyah al-wujūb. Didalam ahliyyah al-wujūb terdapat dua keadaan. Pertama, ahliyyah al-wujūb al-Naqishāh, yaitu kelayakan seorang insan dalam hak-haknya, tidak kewājiban-kewājibannya. Seperti, janin dalam kandungan ibunya. Kedua, ahliyyah al-wujūb al-kāmilah. Yaitu kelayakan atau kecakapan seorang insan dalam hak-hak dan kewājibannya secara sempurna. Seperti manusia mulai sejak lahir sampai akhir hayatnya. Bila melihat klasifikasi ini, sepertinya buah pikiran al-Sya‟rāniy tidak dapat dikatakan bersebrangan dalam membagi atau mengklasifikasikan mukallaf. Apalagi bila dikaitkan dengan teori 'Awāridl, baik itu 'awāridl samāwiyyah. Yaitu sesuatu yang baru datang yang mempengaruhi kecakapan seseorang yang bersifat alami tanpa diusahakan oleh manusia. Seperti, gila, ediot, lupa dan lain-lain. Ataupun 'awārid kasbiyyah, yaitu sesuatu yang baru datang yang mempengaruhi kecakapan seseorang yang bersifat tidak alami, maksudnya diusahakan oleh manusia. Seperti, mabuk, bangkrut dan lain-lain. Sedangkan klasifikasi tasydīd dan takhfīf
yang ditawarkan al-Sya‟rāniy,
sesungguhnya pernah digariskan oleh ulama‟ usūl al-fiqh dalam teori azīmah dan rukhshah. Walaupun al-Sya‟rāniy tidak mengakui teori tasydīd dan takhfīf sama dengan teori rukhshah dan azīmah. Menurutnya, istilah yang dipakai dalam konsep 27
Ibid, hlm. 19
126
azīmah dan rukhshah adalah “mutlak”. Maksudnya, azīmah adalah tasydīd (memberatkan) dan diperuntukkan orang yang kuat.28 Rukhshah adalah takhfīf (meringankan) dan diperuntukkan untuk kalangan orang-orang yang lemah. Lain halnya dalam konsep usūl al-fiqh, azīmah adalah hukum asal. Sedangkan rukhshah adalah hukum dispensasi dari hukum asal karena ada sebab. Penulis melihat apa yang ditawarkan al-Sya‟rāniy berupa konsep rukhsah dan azīmah yang berbeda dengan konsep yang terterah dalam ilmu usūl al-fiqh, barang kali al-Sya‟rāniy memandang rukhshah dan azīmah (baca: tasydīd dan takhfif) adalah sama-sama hukum asal. Maksudnya, prodak-prodak hukum yang dihasilkan para ulama‟ mujahid adalah hukum asal. Dari berbagai pendapat yang muncul, oleh al-Sya‟rāniy diklasifikasikan menjadi azīmah (baca: tasydīd) dan rukhshah (baca: takhfīf) Mengenai penerapan hukum Islam, dan penerapan ini berhubungan erat dengan seorang muftī. Seorang muftī harus memenuhi semua persyaratan ijtihad, juga harus memenuhi beberapa syarat lain, yaitu mengetahui secara persis kasus yang dimintakan fatwanya, mempelajari psikologis peminta fatwa dan masyarakat lingkungannya, agar dapat diketahui daripada fatwa tersebut.29 Dari penerapannya persyaratan-persyaratan tersebut, rupanya terdapat salah satu titik persamaan yaitu, seharusnya seorang mufti mampu lihat sosial seorang mufti. Dengan kata lain, seorang ahli fatwa harus mampu mengarahkan mustaftī dengan pendapat atau fatwa yang sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing mukallaf (mustaftī), sebagaimana yang diungkapkan al-Sya‟rāniy dalam kitabnya.30
28
Menurut pakar ilmu usūl al-fiqh, rukhshah dapat didefinisikan hukum-hukum yang disyari'atkan Allah berdasarkan atas udzur mukallaf. DR. Abdul Wahhāb Khallāf memberikan deskripsi rukhshah sebagai berikut: Rukhshah adalah hukum yang disyariatkan Allah untuk meringankan mukallaf dalam suatu kondisi tertentu yang menghendaki keringanan tersebut. Sedangkan definisi „azimah: "‟Azīmah adalah hukum yang disyari'atkan Allah sejak awal secara universal yang tidak tertentu pada seorang mukallaf dan tidak pula pada kondisi yang tertentu”. 29
Imam Ahmad mengumukan syarat-syarat bagi muftī, yaitu : Pertama, niat. Jika tidak disertai niat, maka ia dan ucapannya tidak mendapatkan nūr (pencerahan). Kedua, bertindak atas dasar ilmu, penuh santun, wibawa dan ketenangan. Ketiga, mempunyai kekuatan untuk menghadapi dan mengetahui persoalan yang akan dikeluarkan fatwanya. Memiliki ilmu yang cukup. Sebab, jika tidak didukung ilmu yang memadai, maka ia akan dilecehkan dan menjadi bahan guncingan orang. Keempat mengetahui kondisi sosiologis masyarakat. 29. Prof. DR. Muhammad Abū Zahrah, Ushul Fiqh, hlm. 402 30
Ibid, hlm. 17
127
Apa yang ditawarkan oleh al-Sya‟rāniy, sesungguhnya adalah sama dengan apa yang telah ditawarkan oleh para ahli dalam masalah sosiologi hukum. Menurut mereka, hukum memang bersifat universal tidak pandang bulu. Namun hukum ada yang bersifat individualistik, itu pun ada tujuan-tujuan tertentu, yakni kemaslahatan umat.31 D. Analisa Sosiologi Hukum; Stratifikasi sosial dalam penentuan hukum Islam Dalam kajian sosiologi, tingkatan-tingkatan dalam masyarakat jika disimpulkan menjadi tiga tingkatan. Pertama, kelas atas (Cupper Class). Kedua, kelas menengah (Middle Class). Ketiga, kelas bawah (Lower Class). Stratifikasi sosial yang telah dipaparkan tadi, bila dikaitkan dengan hukum akan memberikan kesimpulan: 1. Semakin tinggi kedudukan seseorang dalam stratifikasi, semakin sedikit hukum yang mengaturnya. 2. Semakin rendah kedudukan seseorang dalam stratifikasi, semakin banyak hukum yang mengaturnya. Apa yang telah disimpulkan dalam kajian sosiologi hukum berbeda dengan apa yang telah disimpulkan oleh al-Sya‟rāniy. Menurutnya, hukum haruslah diposisikan (diterapkan) kepada manusia sesuai dengan kadar kemampuannya. Kadar kemampuan seseorang oleh al-Sya‟rāniy dapat diukur dengan berbagai hal. Pertama, diantara diukur dengan ketaqwaan. Hal ini dapat dilacak dalam kitabnya bagaimana beliau mengarahkan suatu hukum sesuai dengan kadar orang wara’ tersebut, seperti hukum menduga-duga buah yang akan dizakatkan. Menurut pendapat Imam yang tiga adalah sunnah, jika nampak kebaikan buahnya karena membuat senang bagi pemilik dan fakir miskin dan karena memurnikan tanggung jawabnya. Lain halnya menurut Imam Abū Hanīfah, mengira-ngira adalah tidak sah. Dari dua prodak hukum ini terdapat hukum yang memberatkan, yaitu pendapat yang difatwakan oleh Imam Abū Hanīfah. Pendapat ini diperuntukkan untuk kalangan khās, yaitu orang wara’.32 Kadar kemampuan juga diukur dari segi kekayaan. Dalam hal ini alSya‟rāniy memberi contoh kasus Perbedaan ulama' tentang barang yang bisa di 31
Alvin S. Jonhson, Sosiologi Hukum, Rineka Cipta, hal. 158
32
Ibid, hlm. 6
128
jadikan alat untuk membayar zakat Menurut, Imam yang tiga ( Imam al-Syāfi'iy, Imam Mālik, Imam Ahmad), ada lima macam yang bisa di jadikan alat untuk menunaikan zakat fitrah antara lain: gandum bur, gandum syair, kurma, zabib dan keju dengan catatan menjadi makanan pokok. Sedangkan menurut Imam Abū Hanīfah, tidak boleh mengeluarkan zakat fitrah dengan keju, namun kalau memakai harga dari keju tersebut hukumnya boleh. Yang perlu digaris bawahi disini adalah pendapat Imam Abū Hanīfah yang membolehkan zakat dengan harga barang. Hukum ini menurut komentar al-Sya‟rāniy layak baik untuk kalangan orang kaya. Ketiga, kadar kemampuan seseorang bisa diukur dengan derajat oleh Allah, yakni Nabi. Dalam hal ini mencontohkan dalam kasus hukum zakat fitrah. Menurut kesepakatan ulama‟ yang empat, hukum zakat fitrah adalah wājib. Lain halnya menurut Imam al-'Asham dan lainnya adalah sunnah. Dari prodak hukum oleh alSya‟rāniy diarahkan sesuai dengan tempatnya. Artinya hukum kesunnahan mengeluarkan zakat fitrah untuk Nabi. Keempat, kadar kemampuan seseorang dapat
diukur dengan sifat bijak
sebab kedalaman ilmunya. Dalam hal ini al-Sya‟rāniy memberi contoh dalam kasus perselisihan pendapat dikalangan ulama' tentang pemberian zakat kepada orang yang mampu bekerja. Menurut pendapat Imam Abū Hanīfah dan Imam Mālik, boleh memberikan zakat kepada yang mampu bekerja. Namun, menurut Imam al-Syāfi'iy dan Imam Ahmad, tidak boleh memberikan zakat kepeda orang yang mampu bekerja. al-Sya‟rāniy memberi hukum yang kedua bagi kalangan orang yang bijak sebab kedalaman ilmunya.33 Keempat, ukuran tersebut oleh al-Sya‟rāniy dikerucutkan lagi menjadi dua bagian. Pertama, orang kuat. Kedua, lemah. Adapun yang dimaksud kuat di sini adalah orang yang memiliki derajat yang tinggi. Derajat yang tinggi disebabkan banyak faktor sebagaimana yang telah dituturkan. Begitu pula sebaliknya. Dari empat ukuran sekaligus contohnya, dapatlah diambil benang merah, bahwa tingkatan-tingkatan atau stratifikasi sosial dalam Islam menurut Imam alSya‟rāniy dapatlah diukur dengan dua hal. Pertama, ukuran secara abstrak. Seperti nilai keimanan, kewara‟an, dan lain-lain. Kedua, ukuran secara kongkrit. Seperti,
33
Ibid, hlm. 16
129
kekayaan, keilmuan dan lain-lain.
Al-hasil, Penentuan khās dan 'awām ini
berdampak pada penerapan hukum pada seorang mukallaf. E. Penutup Pemikiraan al-Sya‟rāniy tentang penerapan hukum Islam yang tertuang dalam kitab al-Mīzān al-Kubrā mengacu kepada prinsip tingkatan-tingkatan yang terjadi di masyarakat (stratifikasi sosial), yaitu mengarahkan pendapat para Imam mujtahid sesuai dengan stratifikasi sosial dengan ukuran-ukurannya.
Adapun
ukuran yang dijadikan patokan atau standarisasi dalam menentukan hukum bagi setiap anggota masyarakat, setidaknya dua hal. Pertama ukuran secara abstrak. Seperti nilai keimanan, kewara‟an dan ketaqwaan. Kedua, ukuran secara kongkrit. Seperti, kekayaan, keilmuan dan kekuatan raga. Wallahu a’lam
130
DAFTAR PUSTAKA Abu Zaid, Nasr Hamid, 1930. Mafhum al- Nash, Dar al-Fikr, al-Haiah al-Mishriyah alAmmah. al-Sya‟rari, tt. Abu al-Mawahib Abd al-Wahhab Bin Ahmad, al- Mizan al-Kubra, dar al-Fikr, Bairut Lebanon. ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi, 1967. Pengantar Ilmu Fiqh, Bulan Bintang. ash-Shobuniy, tt. Aliy, Tafsir Rowai’u al-Bayan, Dar al-Kutub al-Ilmiyah Amin, Ahmad, 1973. Dhuha al-Islam, Nahdloh al-Misriyyah al-Ghozali, Muhammad ibn Muhammad, Istiqomah.
Ihya' Ulum al-Din, jilid I, Maktabah
al-Syrakhsi, Muhammad ibn Ahmad, Usul al-Syarakhsi, 1973 H. Dar al-Kitab al-Arobi, Mesir. Beik, Muhammad Khudlari, tt. Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, Dar al-Fikr, Bairut Lebanon. Kahhalah, Mu’jam al-Muallifīn, Dar al-Fikr, Bairut Khollaf, Abdul Wahab, 1978. Usul al-Fiqh, Dar al-Ilmi, Mesir. Khoiruddin al-Zirikyā, al-I'lām Qāmus Tarajim, Dar al-'Ilm al-Malayin Mas‟ud, Muhammad Khalid, Iqbal’s Reconstruction of Ijtihad, Iqbal Academy Pakistan, Lahore. Rahman, Fazlur, 1997. Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Rajawali Pres. Syabir, Muhammad Utsman, Fiqh al-Mu’amalah al-Mua’shirah , ar al-Nafais, Yordania Wahbah al- Zuhaili, , 1986. Usul al-Fiqh al-Islami, Dar al-fikr, Bairut Lebanon Zahro, Abu, tt. Tarikh al- Madzahib al-Islami, al-Madani, Mesir. --------------, tt. Usul al-Fiqh, dar al-Fikr, bairut, Lebanon.