BAB II LANDASAN TEORITIS
A. Pengertian Belajar Matematika Belajar adalah proses perubahan perilaku berkat pengalaman dan latihan, artinya tujuan kegiatan belajar adalah perubahan tingka laku, baik yang menyangkut pengetahuan, ketrampilan maupun sikap, bahkan meliputi segenap aspek organisme atau pribadi (Djamarah dan Zain, 2006: 10). Sedangkan menurut Slameto (2003: 2) bahwa
“ belajar
ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”. Menurut Hudojo (1988: 3), matematika berkenaan dengan ide abstrak yang tersusun secara hirarkis dan penalaran deduktif. Selanjutnya Abdurahman (2003: 252) mengemukakan bahwa: “matematika adalah salah satu cara untuk menemukan jawaban terhadap suatu masalah, suatu cara menggunakan informasi, menggunakan pengetahuan tentang bentuk dan ukuran, menggunakan pengetahuan tentang menghitung, dan yang paling penting adalah memikirkan dalam diri manusia itu sendiri dalam melihat dan menggunakan hubunganhubungan”. Berdasarkan beberapa pendapat di atas bahwa belajar matematika adalah suatu proses perubahan tingkah laku yang diharapkan dan dilakukan secara sengaja dan berkelanjutan dalam upaya menyesuaikan diri dengan lingkungan yang membawah kepada
9
pemahaman tentang ide-ide abstrak yang terorganisir secara sistematis, hirarkis serta penilaian deduktif untuk mencapai pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang baru. a. Konsep Mengajar merupakan suatu proses interaksi antara guru dan siswa. Guru memilih pengetahuan, kemampuan atau ketrampilan, serta sikap yang relevan dengan tujuan pendidikan, dan apa yang dipilih guru itu harus bermakna. Terjadinya interaksi antara guru dan siswa bila ada kecocokan apa yang dipilih guru untuk disajikan kepada siswa dan siswa mempunyai niat untuk belajar. Adapun
belajar
merupakan
suatu
proses
mendapatkan
pengetahuan
atau
pengalaman, pengetahuan atau pengalaman ini mampu mengubah tingkah laku seseorang sehingga tingkah laku orang itu tetap tidak akan berubah lagi dengan modifikasi yang sama. Matematika merupakan suatu ilmu yang berhubungan dengan, atau menelaah tentang bentuk-bentuk geometri dan struktur-struktur abstrak serta hubungan-hubungan di antara mereka. Untuk dapat memahami struktur-struktur serta hubungan-hubungan tentu saja diperlukan pemahaman konsep-konsep yang terdapat di dalam matematika itu. Dengan demikian, belajar matematika berarti belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur yang terdapat dalam bahasan yang dipelajari, serta mencari hubunganhubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur tersebut. Hudojo (2001: 135) mengemukakan bahwa: Suatu konsep matematika adalah suatu ide abstrak yang memungkinkan kita mengklasifikasikan apakah obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa serta mengklasifikasikan apakah obyek-obyek dan peristiwa-peristiwa itu termasuk atau tidak termasuk ke dalam ide abstrak tersebut.
10
Agar supaya belajar matematika terjadi, bahasan matematika seyogyanya tidak disajikan dalam bentuk yang sudah tersusun secara final, melainkan siswa dapat terlibat aktif di dalam menemukan konsep-konsep, struktur-struktur sampai kepada teorema atau rumus. Misalnya untuk menanamkan konsep pecahan, sajian berjalan dari pengalaman yang sudah diketahui siswa menuju ke defenisi pecahan. Defenisi tidak diberikan dalam bentuk final, namun siswa harus mencoba merumuskan sendiri dari hasil pengalamannya dengan bahasanya sendiri. Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, belajar matematika itu memerlukan pemahaman konsep-konsep, konsep-konsep ini akan melahirkan teorema atau rumus. b. Prosedur Belajar matematika adalah suatu proses perubahan tingkah laku yang dilakukan secara sengaja dan berkelanjutan dalam upaya menyesuaikan diri dengan lingkungan yang membawah kepada pemahaman tentang ide-ide abstrak yang terorganisir secara sistematis, hirarkis serta penilaian deduktif untuk mencapai pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang baru. Maka dalam proses belajar mengajar guru dituntut mempunyai kemampuan menyajikan materi dalam kondisi yang menyenangkan sehingga siswa menjadi senang dan tertarik untuk mempelajari dan dapat menyelesaikan masalah-masalah yang diberikan oleh guru.
11
Dalam menyajikan suatu materi guru harus mempunyai suatu prosedur (jalannya interaksi) yang direncanakan, didesain untuk mencapai tujuan secara optimal, maka dalam melakukan interaksi perlu ada prosedur, atau langkah-langkah sistematik dan relevan. Untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran yang satu dengan yang lain, mungkin akan membutuhkan prosedur dan desain yang berbeda pula. c. Isi Struktur model intelektual dari J. P. Guilford adalah model 3 dimensi, yang mana masing-masing berfungsi pada setiap perbuatan intelektual. Salah satu dari model 3 dimensi tersebut adalah Isi. Guilford (dalam Ruseffendi, 2006: 115) mengemukakan bahwa setiap kali perbuatan operasi terjadi, perbuatan itu dapat mengenai salah satu dari dimensi isi yang banyaknay 4 buah, yaitu: 1. Isi gambaran (figural contents) ialah isi yang diamati berkenaan dengan bentuk seperti: segi empat, dadu dan lain-lain. 2. Isi simbul (symbolic contents) ialah isi yang berkenaan dengan representasi benda nyata atau abstrak yang berupa huruf, angka, tanda, dan semacamnya yang biasanya berkenaan dengan suatu system. Misalnya: + adalah simbul operasi tambah pada bilangan dan lainlain. 3. Isi semantic (semantic contents) ialah isi berkenaan dengan ide atau kata yang menimbulkan pengertian verbal bila ide atau kata itu sampai kepada fikiran manusia. Kata atau ide matahari, kucing, pohon, hijau, dan lain-lain, bila dibaca atau didengar akan menimbulkan gambaran verbal pada fikiran manusia.
12
4. Isi behavioral (behavioral contents) ialah berupa penampilan perbuatan (reaksi) sebagai akibat dari tindakan orang lain. Dengan mengetahui teori inteligensi dari Guilford ini, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kemampuan mental anak itu beraneka ragam, maka agar anak itu lebih berhasil dalam belajar, guru harus menggunakan beraneka metode dan pendekatan, misalnya antara abstrak dan konkrit, antara ceramah dan menemukan sendiri, dan lain-lain. B. Hasil Belajar Matematika Seseorang dikatakan belajar bila dapat diasumsikan dalam diri seseorang itu terjadi proses kegiatan yang mengakibatkan perubahan tingka laku. Berhasilnya seseorang dalam belajar, merupakan gambaran menguasai materi pelajaran. Hudojo (1988: 144) menyatakan bahwa: “hasil belajar adalah kemampuan menyusun hubungan antara bagian-bagian informasi yang telah diperoleh, dengan dapat menampilkan pemahaman dan penguasaan bahan pelajaran yang telah dipelajari”. Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar matematika adalah kemampuan menyusun hubungan antara bagian-bagian informasi yang telah diperoleh dengan dapat menampilkan pemahaman konsep, dan penguasaan bahan pelajaran yang telah dipelajari. Hasil belajar pada siswa dapat diamati melalui skor hasil tes belajar, yaitu siswa telah dapat menyatakan hubungan antara bagian-bagian pelajaran serta dapat menampilkannya. Kegiatan dan usaha untuk mencapai perubahan itu disebut proses belajar, sedangkan perubahan yang dapat diukur dan di amati itu merupakan hasil belajar yang disajikan dalam skor.
13
a. Pemahaman Matematika Pemahaman matematika adalah salah satu tujuan penting dalam pembelajaran, memberikan pengertian bahwa materi-materi yang diajarkan kepada siswa bukan hanya sebagai hafalan, namun lebih dari itu. Dengan pemahaman siswa dapat lebih mengerti akan konsep materi pelajaran itu sendiri. Pemahaman matematika juga merupakan salah satu tujuan dari setiap materi yang disampaikan oleh guru, sebab guru merupakan pembimbing siswa untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. Hal ini sesuai dengan Hudoyo (1985: 24) yang menyatakan: “Tujuan mengajar adalah agar pengetahuan yang disampaikan dapat dipahami peserta didik“. Pendidikan yang baik adalah usaha yang berhasil membawa siswa kepada tujuan yang ingin dicapai yaitu agar bahan yang disampaikan dipahami sepenuhnya oleh siswa. Pemahaman matematika penting untuk belajar secara bermakna, tentunya para guru mengharapkan pemahaman yang dicapai siswa tidak terbatas pada pemahaman yang bersifat hafalan, tetapi lebih ke belajar bermakana karena dengan belajar bermakna siswa akan belajar memahami apa yang sudah diperolehnya, dan dikaitkan dengan keadaan lain sehingga apa yang ia pelajari akan lebih dimengerti. Menurut Utari (1987: 22) istilah pemahaman sebagai terjemahan dari istilah understanding yang mana mempunyai tingkatan ke dalam arti yang berbeda.
Pemahaman
siswa terhadap materi pembelajaran dibedakan menjadi beberapa tingkatan. Tingkatan pemahaman meniru dan intuitif merupakan tingkatan paling dasar, dimana siswa baru
14
sekedar tahu tentang suatu konsep dari pengalaman sehari-hari. Tingkatan berikutnya yaitu pemahaman
instruksional,
dimana
siswa
sudah
memahami rumus dan dapat
menggunakannya, tetapi belum atau tidak tahu alasannya. Selanjutnya tingkat pemahaman observasi, pemahaman pencerahan, dan pemahaman formal akan dilalui siswa sebelum sampai pada tingkat pemahaman yang tertinggi, yaitu pemahaman rasional. Menurut Skemp (dalam Utari, 1987: 24) terdapat dua jenis pemahaman konsep matematika, yaitu pemahaman instrumental dan pemahaman relasional. Pemahaman instrumental adalah pemahaman atas konsep yang saling terpisah dan hanya hapal rumus dalam perhitungan sederhana. Pemahaman relasional artinya pemahaman yang memuat suatu skema atas struktur yang dapat dipergunakan pada penyelesaian yang lebih luas, serta pemakaiannya lebih bermakna. Sejalan dengan hal tersebut Patria (2007: 12) mengatakan yang dimaksud dengan pemahaman konsep adalah kemampuan siswa yang berupa penguasaan sejumlah materi pelajaran, dimana siswa tidak sekedar mengetahui atau mengingat sejumlah konsep yang dipelajari, tetapi mampu mengungkapkan kembali dalam bentuk lain yang mudah dimengerti, memberikan interpretasi data dan mampu mengaplikasikan konsep yang sesuai dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Sedangkan menurut Wahyudin (2001: 1) pemahaman instruksional adalah pemahaman dimana siswa tahu suatu rumus dan dapat menggunakannya, tetapi belum atau tidak tahu alasanya, sedangkan pada pemahaman relasional siswa telah menguasai konsep dan dapat menerapkannya pada situasi yang relevan maupun lebih kompleks.
15
Pemahaman menurut Hamalik (Rosnawati, 2008: 29) adalah kemampuan melihat hubungan-hubungan antar berbagai faktor atau unsur dalam situasi yang problematik. Aspek pemahaman yang dikuasai oleh siswa sebagai pelajar adalah pemahaman terhadap proses dan produk apa saja yang dapat diperoleh siswa setelah mengalami pembelajaran. Pemahaman produk dapat meliputi semua produk matematika, yaitu pemahaman konsep, postulat, rumus, hukum, pernyataan, teorema, dan lain-lain. b. Ketrampilan Matematika Erman (2003: 197) mengatakan bahwa ketrampilan matematika mencakup dua hal, yaitu: 1. Ketrampilan kognitif Ketrampilan kognitif berupa kecepatan mengerjakan soal-soal matematika, misalnya perhitungan matematika dengan menggunakan aturan atau pola tetentu, atau soal-soal matematika yang proses pengerjaannya sudah rutin. Lebih cepat siswa dapat mengerjakan soal-soal tersebut dikatakan lebih trampil. Soal-soal seperti ini kebanyakan berkenaan dengan jenjang kognitif atau pengetahuan. 2. Ketrampilan psikomotorik Ketrampilan matematika yang bersifat psiomotorik berupa ketrampilan fisik dalam menggunakan alat-alat matematika dengan tepat, cepat, sistematik, dan benar. Misalnya trampil menggunakan sepasang mistar segitiga, atau jangka dalam melukis bangun geometri, garis bagi sudut, garis sejajar, garis tegak lurus, dan trampil menggunakan kalkulator dan lain-lain.
16
Untuk mengevaluasi ketrampilan kognitif bisa dilakukan dengan tes lisan atau tertulis, sedangkan untuk mengevaluasi ketrampilan psikomotorik digunakan tes perbuatan. Untuk hal terakhir ini bisa dilakukan melalui observasi dengan menggunakan pedoman observasi. Sementara Gagne (dalam Turmudi dkk, 2001: 35) mengemukakan bahwa ketrampilan adalah kemampuan memberikan jawaban dengan tepat dan cepat, misalnya melakukan pembagian bilangan yang cukup besar, menjumlahkan pecahan, dan melukis sumbu sebuah ruas garis. Berdasarkan penjelasan di atas, seorang guru benar-benar dituntut untuk bisa memberikan pengetahuan, kemampuan atau ketrampilan kepada siswa agar siswa dapat menyelesaikan masalah yang diberikan oleh guru dengan cepat, tepat, sistematik dan benar. Karena untuk menjalankan tugas pendidikan guru merupakan unsur yang paling penting dimana seorang guru harus mampu menimbulkan semangat belajar secara individual, karena masing-masing siswa mempunyai perbedaan dalam pengalaman, kemampuan sehingga dapat memberikan kebebasan kepada siswa untuk mengembangkan ketrampilan yang dimilikinya dengan penuh inisiatif dan kreatif. c. Operasi Hitung Matematika Dalam operasi hitung matematika peneliti membatasi pada: penjumlahan pecahan, pengurangan pecahan, perkalian pecahan dan pembagian pecahan. 1. Penjumlahan pecahan a) Penjumlahan pecahan berpenyebut sama
17
Penjumlahan dua pecahan atau lebih dapat dilakukan jika pecahan-pecahan tersebut memiliki penyebut yang sama. Untuk setiap pecahan
a c dan dengan b ≠ 0, selalu berlaku: b b
a c a+c + = dengan b ≠ 0 b b b
b) Penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama Jika penjumlahan dua pecahan atau lebih memiliki penyebut yang berbeda, maka penyebut-penyebut itu harus disamakan terlebih dahulu dengan mengunakan KPK penyebut-penyebut tersebut. Untuk setiap pecahan
a c ad bc ad + bc + = + = dengan b ≠ 0 dan d ≠ 0. b d bd bd bd
2. Pengurangan pecahan a) Pengurangan pecahan berpenyebut sama Pengurangan dua pecahan atau lebih dapat dilakukan jika pecahan-pecahan tersebut memiliki penyebut yang sama. Untuk setiap pecahan
a c dan dengan b ≠ 0, selalu berlaku: b b
a c a−c - = dengan b ≠ 0 b b b
b) Pengurangan pecahan berpenyebut tidak sama Jika pengurangan dua pecahan atau lebih memiliki penyebut yang berbeda, maka penyebut-penyebut itu harus disamakan terlebih dahulu dengan mengunakan KPK penyebut-penyebut tersebut.
18
3. Perkalian pecahan a) Hasil perkalian dua pecahan diperoleh dengan mengalikan pembilang dengan pembilang dan penyebut dengan penyebut. Untuk setiap pecahan
a c dan dengan b ≠ 0 dan d ≠ 0, selalu berlaku: b d
a c axc x = dengan b ≠ 0 dan d ≠ 0 b d bxd
b) Dalam perkalian pecahan, bila terdapat pecahan campuran, maka pecahan campuran itu harus dinyatakan sebagai pecahan biasa. b d (cxa) + b d a x = x dengan c ≠ 0 dan e ≠ 0 c e c e
4. Pembagian pecahan a) Membagi dengan suatu pecahan, sama artinya dengan mengalikan dengan kebalikan pecahan tersebut. a c a d : = x dengan b ≠ 0, c ≠ 0, dan d ≠ 0 b d b c
b) Bila dalam pembagian pecahan terdapat pecahan campuran, maka pecahan campuran itu harus dinyatakan sebagai pecahan biasa. e a d d (exc) + d a :c = : = x b e e e b (exc) + d
19
C. Pembelajaran Berbasis Masalah a. Pengertian Pembelajaran berbasis masalah merupakan terjemahan dari Problem Based Learning (PBL) yang merupakan suatu strategi pembelajaran, yang dimulai dengan menghadapkan siswa pada masalah nyata atau masalah yang disimulasikan. Menurut Herman (2004), pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu pendekatan
pembelajaran yang diawali dengan
menghadapkan
siswa
pada
suatu
Permasalahan matematika. Dengan segenap pengetahuan dan kemampuan yang dimilikinya, siswa dituntut untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dengan pembelajaran berbasis masalah, siswa mendapat kemampuan belajar tahan lama yang meliputi kemampuan untuk menemukan dan menggunakan sumber bahan ajar yang tepat. Dalam strategi ini, siswa berkelompok untuk mempelajari sebuah masalah dan membuat berbagai macam solusinya. Dalam memecahkan suatu permasalahan diperlukan kemampuan karena dalam kehidupan nyata masalah yang bermunculan tidaklah selalu sama bentuknya sehingga diperlukan kemampuan matematika siswa. Yang menjadi pokok dari efektivitas dalam pembelajaran berbasis masalah menurut Peterson (Tresnowatini, 2003: 13) adalah kemampuan siswa untuk bekerjasama dalam memecahkan permasalahan yang diberikan. Dalam hal ini guru berperan sebagai motivator siswa untuk menyatukan bakat dan pemikiran mereka serta mengarahkan mereka untuk memecahkan atau mengatasi konflik ketika bekerjasama. Gallagher (Tresnowatini, 2003: 16) mengemukakan bahwa, berdasarkan riset mengindikasikan bahwa siswa yang terlibat dalam pembelajaran berbasis masalah
20
mempunyai ingatan informasi yang lebih lama, mempunyai pemahaman konsep yang lebih bagus, dan lebih memiliki arah pembelajaran diri daripada mereka yang diajari dengan metode tradisional. Koschman dan Ryan (Tresnowatini, 2003: 16) menyatakan bahwa, pembelajaran berbasis masalah menciptakan kelas yang kooperatif, kelas yang berpusat pada siswa, menggantikan pengajaran guru dengan tipe kerja individual. Orientasi pembelajaran berbasis masalah adalah untuk merangsang siswa berlatih berpikir tingkat tinggi, berorientasi pada masalah otentik sehingga bermakna, dan penciptaan suasana belajar kondusif secara terbuka dan demokratis. b. Ciri-ciri Model Pembelajaran Berbasis Masalah 1. Pengajuan Masalah Menurut Arends (Nurhayati Abbas, 2000: 13) masalah yang diajukan harus memenuhi kriteria. a) Autentik, yaitu masalah harus berakar pada kehidupan nyata siswa. b) Jelas, yaitu masalah dirumuskan dengan jelas, dalam arti tidak menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya menyulitkan penyelesaian bagi siswa. c) Mudah dipahami, yaitu masalah yang diberikan harusnya mudah dipahami siswa dan disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa. d) Luas dan sesuai dengan tujuan pembelajaran. Luas artinya masalah tersebut harus mencakup seluruh materi pelajaran yang akan diajarkan sesuai dengan waktu, ruang dan sumber yang tersedia.
21
e) Bermanfaat, yaitu masalah tersebut harus bermanfaat bagi siswa sebagai pemecah masalah dan guru sebagai pembuat masalah. 2. Keterkaitannya dengan berbagai disiplin ilmu. Masalah yang diajukan hendaknya melibatkan berbagai disiplin ilmu. 3. Penyelidikan yang autentik Dalam penyelidikan siswa menganalisis dan merumuskan masalah, mengembangkan dan meramalkan hipotesis, mengumpulkan, dan menggambarkan hasil akhir. 4. Menghasilkan dan memamerkan karya /hasil. Siswa bertugas menyusun hasil belajarnya dalam bentuk karya dan memamerkan hasil karyanya. 5. Kolaborasi. Pada model pembelajaran ini, tugas-tugas belajar berupa masalah diselesaikan bersamasama antar siswa. c. Langkah-langkah Model Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk mengetahui bagaimana langkah-langkah model pembelajaran berbasis masalah di bawah ini dikemukakan langkah-langkah yang dirumuskan Ibrahim dkk (2000:10). a) Orientasi siswa pada masalah b) Mengorganisasi siswa dalam belajar c) Membimbing penyelidikan individual dan kelompok d) Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
22
e) Menulis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah yang terurai dalam tabel di bawah ini: Langkah-langkah model pembelajaran
Kegiatan yang dilakukan guru
berbasis masalah 1. Orientasi siswa pada masalah
-
Guru
menjelaskan
pembelajaran,
tujuan
menjelaskan
longistik yang dibutuhkan, dan memotivasi siswa untuk terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah 2. Mengorganisasi siswa dalam belajar
-
Guru
membagi
siswa
dalam
siswa
dalam
kelompok -
Guru
membantu
mendefinisikan dan mengorganisir tugas-tugas
belajar
yang
berhubungan dengan masalah 3. Membimbing penyelidikan individual
-
dan kelompok
Guru
mendorong
mengumpulkan
siswa
untuk
informasi
yang
sesuai, melaksanakan eksperimen dan
penyelidikan
mendapatkan
untuk
penjelasan
dan
pemecahan masalah 4. Mengembangkan
dan
menyajikan
-
hasil karya
Guru
membantu
merencanakan
dan
siswa
dalam
menyiapkan
karya yang sesuai 5. Menganalisis
dan
mengevaluasi
proses pemecahan masalah
-
Guru
membantu
siswa
untuk
melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses yang mereka gunakan
23
d. Metode Pemecahan Masalah Pemecahan masalah dalam pelajaran matematika memegang peranan penting dalam pendidikan matematika. Pemecahan ini diberikan dalam bentuk soal cerita. Soal cerita adalah suatu terapan matematika, yaitu suatu masalah dalam kehidupan sehari-hari yang dalam pemecahannya menggunakan langkah-langkah tertentu, seperti dikutip dalam buku pedoman umum matematika sekolah menengah pertama. Soal cerita dapat disajikan dalam bentuk lisan maupun tulisan. Dalam mengerjakan soal cerita, seorang siswa melakukan kerja membaca dan memahami soal, dari membaca itu diharapkan siswa dapat menceritakan kembali soal tersebut dengan kata-katanya sendiri, menentukan apa yang belum diketahui, apa yang diketahui dari situasi soal yang diberikan. Langkah ini yang dinamakan abstraksi. Dalam langkah ini siswa mengambil bilangan-bilangan yang ada dan menentukan hubungannya dalam bentuk hubungan matematika, apabila hubungan yang dimaksud telah ditentukan, siswa menyusun rencana penyelesaiannya. Dalam hal ini siswa berusaha membuat model matematika. Kemampuan bahasa dan kemampuan memahami soal cerita kalimat matematika yang berhasil dibuat siswa.
24
akan
terlihat
dari