AD Rintiwi
El Principe The Missing Person
Adrintiwi Press
El Príncipe The Missing Person Oleh: AD Rintiwi Copyright © 2012 by AD Rintiwi
Penerbit AD Rintiwi Press adrintiwi.wordpress.com
[email protected]
Desain Sampul: Febby Valency Gambar Diambil dari Twitter
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
Prologue
Langit Desember tertutup awan kelabu. Udara dingin dan basah menambah suram sebuah villa tua di lereng bukit tak bernama. Di samping villa itu ada sebuah ayunan dan sederet pohon besar berusia ratusan tahun yang daunnya berguguran setelah hujan. Daun-daun melayang melewati seorang gadis kecil yang duduk tertunduk di ayunan, sendirian, seperti hantu. Sebuah bola bergulir ke kakinya yang menggantung, tetapi ia tak peduli. Rambut panjangnya menutupi wajahnya dengan misterius. “Hei, apakah kau sesuatu yang hidup?” Gadis kecil itu menegakkan kepalanya dengan marah. Seorang anak laki-laki seumurannya kini berdiri di hadapannya. Anak itu tampak sangat pucat dan ringkih. Jika ada angin bertiup, tubuhnya akan berhamburan seperti dandelion.
“Maaf.…boleh tau, namamu siapa?” anak lakilaki itu mengulurkan tangannya. “Aku Mike.” “Kara,” sahut gadis kecil itu merunduk tak bersemangat. “Oh, pantas kamu kesepian, namamu Kara sih.” Gadis itu menegakkan kepala lagi penuh teror. “Maksudku, sebatang kara. Aku emang agak puitis,” anak laki-laki itu berimprovisasi. “Aku nggak kesepian, kok. Orang tuaku cuma mengantar kakakku ke bandara sebentar….” “Semua jadwal penerbangan di-delay karena cuaca buruk. Mereka pasti lama. Mendingan kita main ke tempat yang lebih nggak seram….” Mike mengajak Kara bangkit dari ayunan. Kara diajak menuju puncak bukit dimana berdiri sebuah villa bergaya arsitektur asing, berdinding putih, dan dikelilingi taman bunga yang sangat indah. “Hei, siapa yang kau bawa itu?” Muncul seorang wanita berusia tiga puluhan yang cukup cantik, namun wajahnya kusut seperti perangai aslinya, dari dalam villa itu. Di teras depan telah berkumpul anak-anak seumuran Mike yang tergabung dalam tim teater anak. “Kasihan, bu, dia nggak ada kawannya....”
Wanita itu memandang Kara dengan sikap enggan yang berlebihan. “Sebentar lagi kita mulai latihan. Taruh saja anak ini di… sesukamulah....” “Mungkin dia bisa gabung, bu. Kebetulan peran Sang Putri kan kosong,” usul Mike. “Apa kau bilang?” “Namanya Kara, dia tinggal di villa penjajah Belanda di bawah situ, bu....” Tiba-tiba terjadi sesuatu pada wanita itu, seperti tersambar petir. Kemudian ia menarik senyum lebar, dan suaranya menjadi halus. “Oh, anak Hera...Ibumu teman SMA tante, loh.” Ia berubah menjadi judes lagi saat menyuruh anaknya dengan lirih, “Mike, ambilkan air putih! Aku sesak napas melihat anak ini!” Lirikan Kara mencerminkan rasa simpatinya pada akting wanita yang menyedihkan itu. Dengan senyum mencibir, Mike mematuhi perintah ibunya. “Tante Roanna, kenapa ada hantu di sini?” kata salah satu anak. Ia anak laki-laki bergigi besar dan ‘agak’ tonggos. “Oh, Bob, dia bukan hantu. Dia cuma agak tomboi,” Roanna menarik Kara agar berdiri di depan anak-anak itu. “Perkenalkan, anak-anak. Dia….”
“Kara,” kata Kara datar dan tak acuh. “Hmm…dia pemeran nenek sihir yang lebih cocok dibanding Lisa,” gumam Bob. Amarah Kara sudah hampir membuncah, tapi Mike membawa segelas air putih (yang seharusnya untuk ibunya). “Makasih,” Kara menyerobot segelas air putih itu dan meneguk habis isinya. Semua anak yang menontonnya cuma bisa ternganga, termasuk Roanna. “Hihihihihi...akulah si Penyihir dari Timur!” Latihan drama menjadi mencekam saat Kara diikutsertakan sebagai pemeran Nenek Sihir. Suara tawanya benar-benar mirip hantu, membuat anakanak teater itu bergidik ngeri. “Anak-anak, kita break dulu, ya,” putus Roanna, ibu Mike, pada akhirnya. Ia sendiri tak tahan dengan rasa takutnya pada gadis kecil itu. Awan gelap telah terusir dari langit, membuat sore menjadi ramah dan hangat. Sementara anakanak lain bermain di halaman yang dipenuhi bunga, Kara menyendiri di pojok teras. Tak lama kemudian Mike datang. “Hei, kamu sekolahnya di mana?” “SMP 7....”
“Ooh, aku di SMP 6. Kelas?” “Tujuh satu....” “Waw! Pasti anak pinter! Aku juga kelas tujuh. Eh, kalau gitu aku bisa kan belajar bareng kamu?” Mike ingin mengakrabkan diri, tapi Kara tak menggubris, membuatnya salah tingkah. “Nggak apa-apa kan, di sini agak lama?” Mike mengganti topik pembicaraan. “Kenapa?” Kara heran. Mike membawanya berlari ke belakang villa, menuju hutan lebat yang dipenuhi pohon misterius. Cabang-cabang keringnya menyerupai cakar monster, lekuk-lekuk dahannya seperti ular raksasa, dan sinar yang menembus celah atap hutan seperti pasanganpasangan mata jahat yang bersinar. Dan setelah itu,
