PP No.19/2010 dan Reposisi Gubernur: Menemukan Kembali “The Missing Middle”? Oleh: Robert Endi Jaweng Manajer Hubungan Eksternal KPPOD
Pengantar Keberadaan Gubernur dan Propinsi sebagai lingkungan kerja Gubernur sepanjang sewindu desentralisasi dan otonomi daerah dinilai kurang signifikan, baik jika dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya (khususnya Orba) maupun jika ditempatkan dalam proporsi yang semestinya. Sedemikian lemahnya kedudukan, peran dan fungsi Gubernur tersebut, sebagian pakar/pengamat menyebut keberadaannya antara ada dan tiada. Hal ini bisa dilihat baik dalam status propinsi sebagai daerah otonom dan Gubernur sebagai Kepala Daerah yang lebih menjalankan wewenang “sisa” atas urusan lintas Kabupaten/Kota dan urusan yang tidak dapat diselenggarakan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota maupun dalam statusnya sebagai wilayah administrasi dan kedudukan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah. Tulisan ini hendak menaruh perhatian pada posisi terakhir tersebut, yakni posisi Gubernur sebagai wakil pusat dalam rangka menjalankan asas penyelenggaraan pemerintahan dekonsentrasi. Sesuai sifatnya yang praktis dan berfokus pada masalah, tulisan ini akan mengangkat sisi-sisi permasalahan umum posisi Gubernur tersebut baik dalam hubungan vertikal dengan Kabupaten/ Kota, hubungan “horizontal” dengan instansi vertikal di daerah maupun problem internal yang mempengaruhi efektifitas kerja Gubernur itu sendiri. Semua itu coba ditempatkan dalam lingkungan persoalan beragam, terutama segi desain administrasi pemerintahan dan segi sistem politik.
Ilustrasi Masalah Pada suatu kesempatan, di depan rombongan anggota Komisi II DPR yang berkunjung ke Jawa Barat, Gubernur Ahmad Heryawan menyampaikan keluhan soal sulitnya berkoordinasi dengan Kabupaten/Kota. Pasalnya, di era otonomi (sejak UU No.22/1999 hingga UU No.32/2004), hirarki antar pemerintahan terputus. Propinsi, sebagai intermediate government, kehilangan peran lantaran jalur relasi antara JakartaKabupaten/Kota sering bersifat langsung1. Melihat kenyataan di lapangan, kisah ini jelas tak hanya ada di Jawa Barat tetapi merata di berbagai tempat lainnya. Dalam hampir setiap hubungan bermasalah pusat-daerah, ketiadaan peran propinsi menjadi faktor pengaruh yang signifikan. Wujud masalah sering berupa konflik kewenangan, miskoordinasi perencanaan dan kebijakan, inefektivitas pengawasan (perda), hingga pengabaian pejabat Kabupaten/Kota terhadap setiap undangan rapat di propinsi. Begitu parahnya, propinsi kerap kali mengidap sindrom inferioritas (minder) ketika berhubungan dengan pihak Kabupaten/Kota. Ini adalah wujud masalah pertama dari disfungsi Gubernur sebagai Wakil Pusat dalam menjalankan peran vertikal (koordinasi, pembinaan dan pengawasan) atas Kabupaten/Kota. Dalam arah horizontal, yakni mengkoordinasi perwakilan Kementerian/LPNK di daerah, derajat persoalan jauh lebih tinggi. Di sini, kiprah Gubernur nyaris tak terdengar. Instansi vertikal tersebut hampir-hampir tidak punya kaitan apa pun dengan Propinsi kecuali karena “kebetulan” mereka berlokasi di yurisdiksi tersebut. Komunika-
si, koordinasi dan pertanggungjawaban kerja sepenuhnya kepada induk masing-masing di Jakarta, sementara Gubernur--setidaknya merujuk komunikasi pribadi saya dengan sedikit Gubernur--hanya mendapat tembusan surat, laporan, dll untuk sejumlah kasus terbatas. Dalam hal pelaksanaan program/proyek, disfungsi Gubernur ini menyebabkan tidak terkoordinasinya kegiatan daerah dengan proyek sektoral, bahkan cenderung tumpang tindih dan terkesan rebutan lahan. Sementara terkait contoh masalah ketiga, yakni di internal Gubernur/Propinsi itu sendiri, wujudnya lebih terkait dengan tiadanya aparat pendukung pelaksanaan dekonsentrasi di propinsi. Selama ini, dalam menjalankan asas pemerintahan tersebut, Gubernur justru menggunakan SKPD (Dinas/LTD) di Pemda Propinsi, yang merupakan perangkat daerah dan mendapat gaji/tunjangan dari anggaran daerah (APBD Propinsi). Selain merupakan bentuk misalokasi anggaran, hal ini berimplikasi terganggunya konsentrasi kerja sebagai perangkat daerah, dan tak optimalnya kerja dekonsentrasi. Selain itu, sistem semacam ini hanya memperparah tingkat ketaatan Kabupaten/Kota terhadap Gubernur/Propinsi karena menganggap bahwa yang melaksanakan dekonsentrasi di lapangan ternyata sama-sama sebagai perangkat daerah, bukan aparat pusat. Sebab Pokok Faktor pengaruh dibalik lahirnya berbagai masalah di atas tentu saja bersifat kompleks. Namun, hemat saya, faktor pokok setidaknya terkait dengan desain administrasi pemerintahan. Dalam desain administrasi, sebagaimana telah banyak di-
1) Sering terlihat bahwa Jakarta lebih senang berurusan langsung dengan 491 Kab/Kota ketimbang mengurus 33 Propinsi dan “mewakilkan” pengurusan 491 Kab/Kota tersebut ke Propinsi. Demikian sebaliknya, Kab/Kota sering melangkahi Propinsi untuk secara langsung berhubungan dengan Pusat, bahkan aparat Pemda/DPRD/Kepala Daerah Kab/Kota lebih familiar dengan Jakarta ketimbang ibu kota Propinsi mereka.
22
diskusikan dalam kuliah “Dekonsentrasi dan Field Administration”2, lemahnya kedudukan, peran dan fungsi Gubernur ini antara lain berakar pada masalah pengaturan status wilayah administrasi sebagai lingkungan kerja Gubernur, termasuk tidak jelasnya pilihan model wilayah administrasi. Hal ini bisa dilihat pada Perubahan UUD 1945, UU No.22/1999 hingga penggantinya dalam UU No.32/2004. Ketidakjelasan status wilayah dan model dekonsentrasi tadi menyebabkan tidak kokohnya pula kedudukan Gubernur, baik dalam arah kerja “horizontal” maupun vertikal sebagaimana diulas di atas.
kedudukan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Daerah (PP No.19/2010). PP ini sekaligus mengisi kekosongan hukum lantaran setelah satu dekade pelaksanaan desentralisasi kita belum juga memiliki regulasi khusus yang mendasari tugas, wewenang dan keuangan Gubernur, selain PP No.39/2001 yang diganti PP No.7/2008 tentang Dekonsentrasi. Bahkan, PP ini dibaca lebih jauh sebagai upaya pengaturan materi hukum baru atas sesuatu yang tidak diatur atau sekurangnya belum secara jelas diatur dalam Perubahan UUD 1945 maupun UU No.32/2004.
PP No.19/2010: Sebuah Solusi?
Hemat saya, dari isi keseluruhan PP tersebut, setidaknya terdapat empat klausul penting yang patut disitir dalam halaman yang terbatas ini. Pertama, sebagai Wakil Pusat, Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden. Garis akuntabilitas ini terkait dengan sumber wewenang dan tugas Gubernur (baik bersifat kebijakan maupun manajerial) yang bersumber dari pusat dalam kerangka dekonsentrasi. Dalam kaitan itu, Presiden melalui Mendagri melakukan evaluasi atas laporan pelaksanaan tugas Gubernur tersebut. Substansi pertanggungjawaban di sini dimaknai secara administrasi pemerintahan dan bukan dalam kerangka politis yang berujung pada sanksi atau konsekuensi pemberhentian dari jabatan.
Guna menyikapi aneka masalah di atas, pemerintah belum lama ini menerbitkan regulasi
Kedua, penegasan pilihan integrated prefectoral system dalam organisasi pemerintahan daerah. Ar-
Sementara di ranah politik, yang sesungguhnya masih terkait dengan desain administrasi tadi, sistem rekuitmen Gubernur melalui pemilihan langsung (pilkada langsung) tampak tidak simetris dengan konsep Wakil Pusat3. Dari tinjauan politik, fragmented administration selama ini sesungguhnya dipengaruhi pula oleh divided government yang berakar pada asimetri politik lokal. Kita tahu, saat ini tidak satu pun propinsi di negeri ini yang diisi Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) dari partai/koalisi partai yang sama. Dengan garis politik berbeda, program dan arah kebijakan tentu menjadi beragam, bahkan disiplin hirarkial (administrasi) tersisihkan oleh ketaaatan politik kepada garis partai. Di masa Orde Baru, keteraturan berpemerintahan amat terjamin sebagai hasil perpaduan desain administrasi dan struktur politik yang monolitik.
2) Lihat Irfan Ridwan Maksum, “Seluk Beluk Pemerintahan Daerah: Mencari Alternatif Memperkuat Negara Bangsa”, Fisip UI Press, 2008, hlm.97-114 (Bab III), Eko Prasojo dkk, “Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah”, DIA Fisip UI, 2006, hlm.8-10. 3) Diskusi soal ini dapat dibaca pada artikel Eko Prasojo, “Kontroversi Pengangkatan Gubernur“ Kompas, 21 Desember 2007 yang merupakan “sambungan“ artikel sebelumnya, yakni “Kontroversi Kewenangan Gubernur“, Kompas, 23 Agustus
33
tinya, dalam konstruksi perwilayahan, tidak saja adanya keseragaman batas yurisdiksi berbagai instansi vertikal dengan propinsi yang berimplikasi pada otoritas koordinasi Gubernur atas perangkat teknis pusat tersebut (integrated field administration), tetapi juga berhimpitnya daerah otonom dengan wilayah administrasi propinsi yang berimplikasi secara jabatan pada dwifungsi Gubernur sebagai Kepala Daerah dan Wakil Pemerintah.
cara menemukan kembali peran propinsi sebagai intermediate government yang ”hilang” selama ini (meski dengan tetap mewaspadai bergesernya bandul ke titik ekstrim lain seperti resentralisasi kekuasaan ke tangan Gubernur). Dengan demikian, tertib pemerintahan ditegakkan, koordinasi vertikal maupun horizontal diharapkan berjalan efektif, perencanaan pembangunan dapat terangkai sistematis antar daerah dan antar tingkat pemerintahan.
Ketiga, penataan struktur relasi antar tingkat pemerintahan. Sebagai sesama daerah otonom, jelas tak ada hubungan hirarkial antara Propinsi dengan Kabupaten/Kota karena memang tidaklah logis suatu entitas otonom menjadi subordinat dari entitas otonom lainnya. Tapi, sebagai wilayah kerja Gubernur dalam kedudukannya sebagai Wakil Pusat maka desain hubungan Propinsi dengan Kabupaten/Kota jelas bertingkat. Maka, Gubernur berkewenangan penuh melakukan sejumlah tugas pengawasan, pembinaan dan koordinasi terhadap suatu Kabupaten/Kota, antar Kabupaten/Kota, maupun antar Kabupaten/Kota dengan Propinsi sendiri.
Meski patut memberi apresiasi atas kehadiran instrumen regulasi tersebut, catatan kritis tetap memiliki ruang lebar. PP ini boleh jadi efektif dari sisi pembenahan administrasi. Namun, di ranah praktik penyelenggaraan pemerintahan, instrumen regulasi dan kelembagaan administrasi tentu diuji dalam ruang politik yang sering kali justru lebih berperan. Dalam konteks itu, saya melihat bahwa penguatan posisi Gubernur tersebut boleh jadi tidak banyak faedahnya jika proses rekruitmen politik (pengisian jabatan Gubernur) masih sepenuhnya berdasar pemilihan langsung.
Keempat, pemberian sumber daya dan perangkat kerja. Kalau selama ini Gubernur tidak memiliki suatu organisasi tersendiri guna menjalankan tugas dekonsentrasi tetapi dibantu oleh perangkat daerah yang tentu digaji dari pos anggaran daerah/ APBD (korupsi terselubung), dalam PP ini diatur pembentukan Sekretariat yang betugas membantu Gubernur dan dibiayai APBN melalui skema dana dekonsentrasi. Klausul ini mengakhiri campur aduk sumber pendanaan dan status keorganisasian dari pelaksanaan dekonsentrasi sepanjang sepuluh tahun terakhir. Melihat sejumlah klausul di atas, PP ini diposisikan sebagai instrumen administrasi yang bertujuan merekatkan fragmented administration dengan
Wacana pengangkatan Gubernur oleh Presiden mungkin terlalu ekstrim dan menabrak Konstitusi (UUD 1945 Pasal 18 ayat 4), tapi menyerahkan sepenuhnya proses rekruitmen dalam kerangka pilkada langsung juga tidak simetris dengan konsep Gubernur sebagai Wakil Pusat tadi. Perlu dipikirkan mekanisme keterlibatan pusat di suatu tahapan proses tertentu, seperti menyangkut persetujuan atas calon yang diusul partai untuk kemudian diserahkan kepada rakyat guna memilih. Bahkan, sebagai konsesus, perlu dipikirkan untuk mengamandemen Konstitusi menuju penataan ulang status Propinsi, kedudukan Gubernur, dan sistem rekruitmen agar simetris dalam kerangka efektifitas pelaksanaan asas dekonsentrasi yang bermakna strategis bagi keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan saat ini. *****
44
Bacaan Pendukung: Andy Ramses dan La Bakry (Ed), ”Pemerintahan Daerah di Indonesia”, Mipi dan Pemprov DKI Jakarta, 2009 Irfan Ridwan Maksum, “Seluk Beluk Pemerintahan Daerah: Mencari Alternatif Memperkuat Negara Bangsa”, Fisip UI Press, 2008 Eko Prasojo dkk, “Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah”, DIA Fisip UI, 2006. Eko Prasojo, “Kontroversi Pengangkatan Gubernur“, Harian Kompas, 21 Desember 2007 Eko Prasojo, “Kontroversi Kewenangan Gubernur“, Harian Kompas, 23 Agustus 2004. Bhenyamin Hoessein, ”Format Dekonsentrasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Indonesia”, Makalah Seminar MIPI dan APPSI, 28 Maret 2008. Muchlis Hamdi, ”Ruang Lingkup Kewenangan dan Tugas Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat”, Makalah, Tanpa Tahun. UNDP, ”The Missing Link: The Province and It’s Role in Indonesia’s Decentralization”, Policiy Issues Paper, May 2009.
55