MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------
RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 13/PUU-VIII/2010 DAN PERKARA NOMOR 20/PUU-VII/2010 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4/PNPS/1963 TENTANG PENGAMANAN TERHADAP BARANG-BARANG CETAKAN YANG ISINYA DAPAT MENGGANGGU KETERTIBAN UMUM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 ACARA MENDENGAR KETERANGAN PEMERINTAH DAN AHLI DARI PEMERINTAH SERTA PIHAK TERKAIT (III)
JAKARTA SENIN, 10 MEI 2010
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------
PERIHAL
RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 13/PUU-VIII/2010 DAN PERKARA NOMOR 20/PUU-VIII/2010
Pengujian Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum dan UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. PEMOHON PERKARA NOMOR 13/PUU-VIII/2010 -
Muhammad Chozin Amirullah, S.PI., MAIA., dkk PERKARA NOMOR NOMOR 20/PUU-VIII/2010
-
Gusti Agung Ayu Ratih (Institut Sejarah Sosial Indonesia) dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri ACARA Mendengar Keterangan Pemerintah dan Ahli dari Pemerintah serta Pihak Terkait (III) Senin, 10 Mei 2010, Pukul 14.00 – 16.18 WIB Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Moh. Mahfud MD. Achmad Sodiki Muhammad Alim. Ahmad Fadlil Sumadi. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. M. Arsyad Sanusi Maria farida Indrati M. Akil Mochtar Harjono
Alfius Ngatrin dan Cholidin Nasir.
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
1
Pihak yang Hadir: Pemohon (Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010): - M. Chozin Kuasa Hukum Pemohon (Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010): -
Gatot Goei, S.H. Mulyadi M. Philiang A. Wakil Kamal Hesty Komala Ningrum, S.H. Guntoro
Pemohon (Perkara Nomor 20/PUU-VIII/2010): - Wilmar Farid Kuasa Hukum Pemohon (Perkara Nomor 20/PUU-VIII/2010): -
Nursyahbani Katjasungkana Nurkholis Hidayat Fajri Partama Rinto Tri Hasworo Nur Annisa Rizki Virza Roy Hizzal Taufik Basari
Pemerintah: - Mualimin Abdi (Kasubdit Pembelaan, Penyiapan dan Pendampingan pada Sidang MK, Kementerian Hukum dan Ham) - Cholilah (Direktur Litigasi dari Kementerian Hukum dan HAM) - Fachmi (Direktur TUN JAMDATUN) - Febrytrianto. (Kejaksanaan Agung Republik Indonesia) Ahli dari Pemerintah: - Andi Hamzah Pihak Terkait: - Muhammad Amari (Jaksa Agung Muda Inteljen) - Muhammad Yusuf (Direktur Sospol) - I Gede Sudiatmaja (Kasubdit Pengawasan Mas Media)
2
- Saiful Bahri (Kasubdit Sandi dan Komunikasi) - Harlan Mardite (Kepala Sub Bagian Laporan) - Anggit Anggraini
3
SIDANG DIBUKA PUKUL 14.00 WIB
1.
KETUA: MOH MAHFUD MD. Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi untuk mendengarkan keterangan Pemerintah, keterangan Ahli dalam Perkara Nomor 13/PUUVIII/2010 dan Nomor 20/PUU-VIII/2010 dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Kepada Para Pemohon, Pemohon Nomor 13 dulu untuk atau dipersilakan untuk memperkenalkan diri, siapa yang hadir dan dihadirkan pada sidang ini, silakan.
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: GATOT GOEI (PERKARA NOMOR 13/PUU-VIII/2010) Terima kasih Bapak Ketua, assalamualaikum wr.wb. Perkenalkan saya Gatot dari Tim Advokasi, di sebelah kiri saya ada Bapak Mulyadi M. Philiang dan kami ditemani juga oleh Bapak Bapak A. Wakil Kamal di sebelah kanan saya. Di belakang saya ada Ibu Hesty Komala Ningrum, terus ada Guntoro masih sebagai tim advokasi dan ada Pemohon Prinsipal M. Chozin, Ketua Umum PB. HIMI MPO dan untuk Saksi dan Ahli saat ini kami belum mengajukan Bapak Ketua. Untuk di persidangan berikutnya saja kami akan mengajukan. Terima kasih Bapak Ketua.
3.
KETUA: MOH MAHFUD MD. Silakan Perkara Nomor 20.
4.
KUASA HUKUM PEMOHON: NURSYAHBANI KATJASUNGKANA (PERKARA NOMOR 20/PUU-VIII/2010)
Assalamualaikum wr.wb.
Majelis Hakim Yang kami muliakan, perkenankanlah kami perkenalkan kami anggota Kuasa Hukum dari Perkara Nomor 20, saya sendiri Nursyahbani Katjasungkana, kemudian rekan kami Nurkholis Hidayat, sebelah paling kanan, dan kemudian Fajri Partama, dan selanjutnya Rinto Tri Hasworo, Nur Annisa Rizki, dan Virza Roy Hizzal serta Taufik Basari yang hadir pada sidang siang hari ini, dan kami juga menghadirkan Prinsipal yaitu Saudara Wilmar Farid. Terima kasih yang Mulia, assalamualaikum wr.wb.
4
5.
KETUA: MOH MAHFUD MD. Baik, Pemerintah
6.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI (KASUBDIT, PENYIAPAN PEMBELAAN DAN PENDAMPINGAN PADA SIDANG MK, DEP HUKUM DAN HAM) Terima kasih yang Mulia, Assalamualaikum wr.wb. Pemerintah hadir, saya sendiri Mualimin Abdi dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, di samping saya Ibu Cholilah, Direktur Litigasi dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kemudian di samping kirinya Bapak Dr. Fachmi, S.H., M.H. Direktur TUN JAMDATUN, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, kemudian disamping krinya lagi ada Bapak Febrytrianto, S.H., M.H. dari Kejaksanaan Agung Republik Indonesia. Terima kasih Yang Mulia. .
7.
KETUA: MOH MAHFUD MD. Berikutnya, silakan.
8.
PIHAK TERKAIT: INTELIJEN)
MOH.
AMARI
(JAKSA
AGUNG
MUDA
Terima kasih.
Assalamualaikum wr.wb
Dari Pihak Terkait, pada hari ini yang hadir adalah yang pertama saya sendiri Muhammad Amari Jaksa Agung Muda Intelijen, kemudian yang kedua Saudara Muhammad Yusuf, Direktur Sospol, yang ketiga saudara I Gede Sudiatmaja Kasubdit Pengawasan Mas Media, selanjutnya Saudara Drs. Saiful Bahri, Kasubdit Sandi dan Komunikasi, kemudian Saudara Harlan Mardite Kepala Sub Bagian Laporan Saudara Anggit dan Ahli Bapak Prof.Dr. Andi Hamzah. Terima kasih. 9.
KETUA: MOH MAHFUD MD. Baik, sekarang kita lanjutkan untuk mendengarkan keterangan dari Pemerintah. Karena hari ini akan ada dua Ahli yang di hadirkan, tetapi yang satu belum hadir maka kita serahkan dulu kepada Pemerintah untuk memberikan keterangan dan tanggapan terhadap dua Permohonan ini. Jadi sekaligus terhadap Perkara Nomor 13 dan Perkara Nomor 20, sesudah itu nanti kalau ahli yang satu sudah datang kita ambil sumpah.
5
Oh ya dipersilakan dalam waktu singkat saja kepada Pemohon Nomor 13 dan Nomor 20 untuk menyampaikan pokok permohonan. Jadi mengapa dan pasal apa saja yang di persoalkan i dan diakhiri dengan petitum. Untuk itu silakan kepada Pemohon Nomor 13. 10.
KUASA HUKUM PEMOHON: GATOT NOMOR13/PUU-VIII/2010)
GOEI
(PERKARA
Terima kasih Bapak Ketua dan Anggota Mahkamah Konstitusi yang kami muliakan. Perkenankan kami Tim Advokasi Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat disingkat TAKBIR, Himpunan Mahasiswa Islam, Majelis Penyelamat Organisasi menyampaikan pokok-pokok permohonan yang kami ajukan. Pertama-tama kami ingin menyampaikan bahwa kami mendapatkan kuasa dari Muhammad Chozin Amirullah dan kemudian Adhel Setyawan, Eva Irma Mudzalifah dan Syafrimal Akbar Dalumenthe dan terakhir penulis Muhidin M. Dahlan. Kami telah mendapatkan kuasa dan berdasarkan surat kuasa yang diberikan, kami mengajukan permohonan berdasarkan hak-hak konstitusi Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945, yang diatur dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F dan Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Dimana kami meyakini bahwa Pasal 1 sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 dan Pasal 30 ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung telah merugikan hak konstitusional dari Para Pemohon. Berikut petitum yang kami ajukan dalam permohonan; 1. Mengabulkan seluruh permohonan Para Pemohon; 2. Menyatakan Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 Jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang dan Pasal 30 ayat (3) Huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28F dan Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945; 3. Menyatakan Pasal 1 dan seterusnya Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 dan Pasal 30 ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat; 4. Memohon segera dilakukannya pencatatan atas dikabulkannya putusan perkara a quo dalam berita acara. Demikian Bapak Ketua yang kami sampaikan, terima kasih.
6
11.
KETUA: MOH MAHFUD MD. Silakan Perkara Nomor 20.
12.
KUASA HUKUM PEMOHON: NURSYAHBANI KATJASUNGKANA (PERKARA NOMOR 20/PUU-VIII/2010) Terima kasih Ketua. Perkenankanlah rekan kami untuk membacakan ringkasan permohonan dan kami akan membacakannya di mimbar, jika diperkenankan. Terima kasih.
13.
KETUA: MOH MAHFUD MD. Silakan tapi singkat ya? Karena sudah pernah dibahas di sidang sebelumnya. Sekarang pada pokok-pokoknya saja.
14.
KUASA HUKUM PEMOHON: TAUFIK BASARI (PERKARA NOMOR 20/PUU-VIII/2010) Baik terima kasih saya akan menyampaikan secara singkat. Assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera bagi kita semua. Yang kami muliakan Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, yang kami hormati perwakilan pemerintah serta Pihak Terkait dan pengunjung sidang sekalian. Buku adalah pelita ilmu, melarang buku berarti memadamkan cahaya pengetahuan. Itulah yang terjadi saat ini, dimana tangan kekuasaan melalui Jaksa Agung dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 4/PNPS/Tahun 1963 dan Pasal 30 ayat (3) huruf c UndangUndang Kejaksaan Republik Indonesia melarang buku yang merupakan sumber pengetahuan. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang terhormat, dalam kesempatan sidang Yang Mulia ini, Para Pemohon mengajukan permohonan uji materili dan uji formil atas Undang-Undang Nomor 4/PNPS Tahun 1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan serta uji materiil atas Pasal 30 ayat (3) huruf c Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Pemohon 1 yakni Institut Sejarah Sosial Indonesia adalah yayasan yang menerbitkan karya buku John Rosa berjudul “Dalih Pembunuhan Masal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto.” Sementara Pemohon 2, Ibu Rhoma Dwi Aria Yuliantri, seorang peneliti dan penulis buku yang bersama-sama Muhidin M. Dahlan menulis buku sebuah hasil penelitian berjudul “Lekra Tidak Membakar Buku, Suara Senyap Kebudayaan, Harian Rakyat 1950-1965.”
7
Buku terbitan Pemohon 1 dan buku karya Pemohon 2 dilarang dengan SK Jaksa Agung tertanggal 22 Desember 2009, dengan mempergunakan dasar hukum undang-undang yang kami uji saat ini. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang terhormat, melarang buku dan memberikan kekuasaan kepada negara untuk menentukan pendapat mana yang benar dan pendapat mana yang salah, merupakan ciri negara otoriter. Apalagi kita ketahui bahwa Undang-Undang Nomor 4/PNPS 1963 yang dijadikan dasar melarang buku adalah undangundang yang memang melatarbelakangi kelahirannya atau ashbabul nuzulnya, merupakan undang-undang yang dibuat untuk melindungi kepentingan penguasa. Sebelum ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969, Undang-Undang Nomor 4/PNPS 1963 merupakan Penetapan Presiden yang dirancang agar Pemerintah dapat menyensor terbitan yang tidak sejalan dengan revolusi Indonesia. Bagian konsideran PNPS Nomor 4 Tahun 1963 menyatakan bahwa. “barang-barang cetakan yang menjadi sasaran ketentuan ini adalah yang akan membawa pengaruh buruk terhadap usaha-usaha mencapai tujuan revolusi. Bagian ini juga menyatakan bahwa dibutuhkan suatu pengaturuan untuk menyelamatkan jalannya revolusi Indonesia dari pengaruh asing, disalurkan lewat barang-barang cetakan yang dimasukan di Indonesia dari luar negeri. Bagian dari penjelasan umum menyatakan bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk menghentikan peredaran penerbitan-penerbitan yang merusak kepercayaan rakyat kepada revolusi, pimpinannya dan sosialisme dan membahayakan kepentingan rakyat dan negara yang sedang membina sosialisme. Pertanyaanya, apakah kita masih dalam revolusi? Apakah kita sedang menyelamatkan jalannya revolusi Indonesia? Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang kami hormati. Sejarah menunjukkan saat Penetapan Presiden itu dibuat, negara kita diujung masa darurat dalam suatu masa dinamakan demokrasi terpimpin. Setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 1999-2002, negara kita memberikan pengakuan tegas akan penghormatan hak asasi manusia, penegakkan negara hukum dan perwujudan demokrasi. Masihkah kita harus kembali pada demokrasi terpimpin, dimana arti demokrasi ditentukan oleh penguasa? Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang terhormati Dalam melakukan pelarangan buku Jaksa Agung juga mempergunakan Pasal 30 ayat (3) huruf c undang-undang kejaksaan RI. Padahal sebagai hasil dari reformasi Undang-Undang Kejaksaan tidak lagi memberikan kewenangan pengamanan terhadap barang cetakan. Betul bahwa Undang-Undang Kejaksaan yang lama yakni UndangUndang Nomor 5 Tahun 1991 memberikan kewenangan pengamanan
8
terhadap barang cetakan. Namun kewenangan pengamanan ini telah dicabut dengan Undang-Undang Kejaksaan yang baru, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, dengan mengantinya menjadi kewenangan pengawasan. Siapa pun paham bahwa pengawasan berbeda dengan pengamanan. Dengan menghidupkan kembali kewenangan pengamanan yang telah diganti dengan pengawasan, kita sedang mundur jauh ke belakang, menjauh demokrasi dan nilai-nilai yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang terhormat. Buku terbitan dan karya dari Para Pemohon merupakan dua dari ribuan buku yang dilarang berdasarkan Undang-Undang Nomor 4/PNPS Tahun 1963 sejak diberlakukannya undang-undang tersebut. Dan dua, dari 22 buku yang dilarang Jaksa Agung sejak tahun 2006. Patut dicatat bahwa buku yang diterbitkan Pemohon 1 merupakan buku kajian sejarah. Buku ini merupakan terjemahan dari buku asli berjudul free tax formers murder the September thirty movement and the Soeharto cup the the attack Indonesia karya John Rosa seorang asisten profesor history University of British, Colombia Vancover, Kanada. Buku ini diterbitkan pertama kali oleh the University of the Lous Counsion University Press {sic{ pada tahun 2006. Buku ini ditulis berdasarkan penelitian selama 4 tahun, dengan metodologi yang ketat kemudian diterbitkan setelah melalui proses seleksi yang melibatkan ahliahli sejarah dan proses penyuntingan yang memastikan bahwa isinya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tidak sembarangan penerbit universitas seperti Lous Counsion University meloloskan sebuah buku untuk diterbitkan. Buku ini juga ditetapkan sebagai salah satu dari tiga buku terbaik di bidang ilmu sosial pada International Convention of Asia Scholar tahun 2007 sebuah pertemuan ahli-ahli tentang Asia yang terbesar di dunia. Begitu pula halnya dengan buku karya Pemohon 2. Buku ini juga merupakan kajian sejarah yang meneliti peristiwa di seputar tahun 19501965, berdasarkan literatur-literatur kepustakaan. Buku ini pun dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Banyak dari buku-buku yang dilarang berdasarkan UndangUndang a qou merupakan buku-buku yang memiliki nilai pengetahuan ataupun kesusastraan yang luar biasa, yang akan berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan budaya di Indonesia. Apakah kita sebagai bangsa tidak malu bertindak seperti bangsa Bar-Bar yang dalam sejarah pernah membakar buku, serta penghancuran peradaban Bagdad oleh tentara Mongol atau bertindak seperti penguasa otoriter di abad pertengahan yang melarang buku agar informasi dan pengetahuan dapat ditentukan arahnya hanya oleh penguasa.
9
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Terakhir, kami Pemohon berharap agar sidang ini dapat mengembalikan nilai-nilai kehidupan kita sesuai dengan norma-norma yang telah dibangun Undang-Undang Dasar 1945. Untuk itu dalam permohonan ini kami mengajukan petitum sebagai berikut; A. Dalam Pengujian Formil 1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian UndangUndang Para Pemohon; 2. Menyatakan Undang-Undang Nomor4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan Yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 1 ayat (3) UUD 1945; 3. Menyatakan Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya; 4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia. B. Dalam Pengujian Materil 1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian UndangUndang Para Pemohon; 2. Menyatakan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 1 ayat (3), Pasal 28 dan Pasal 28E (3) Undang-Undang Dasar 1945; 3. Menyatakan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya; 4. Menyatakan Frasa “pengawasan” dalam Pasal 30 ayat (3) huruf (c) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 apabila ditafsirkan sebagai “Pengamanan” atau “Pelarangan”; 5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia. Atau jika Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (Ex Aequo et Bono). Sebagai penutup kami ingin memberikan pernyataan sebagai berikut; Lawanlah buku dengan buku, jangan lawan dengan kekuasaan,
berikanlah kepercayaan kepada masyarakat untuk menentukan buku mana yang layak dibaca dan buku mana yang tidak layak dibaca. Jangalah nilai kebenaran dan sumber pengetahuan ditentukan hanya berdasarkan kehendak kekuasaan. Itulah upaya kita untuk mendewasakan membangun peradaban. Terima kasih, wassalamualaikum. wr.wb.
masyarakat
dan
10
15.
KUASA HUKUM PEMOHON: NURSYAHBANI KATJASUNGKANA (PERKARA NOMOR 20/PUU-VIII/2010) Ketua Majelis Hakim yang kami hormati.
16.
KETUA: MOH MAHFUD MD. Ya.
17.
KUASA HUKUM PEMOHON: NURSYAHBANI KATJASUNGKANA (PERKARA NOMOR 20/PUU-VIII/2010) Perkenalkanlah Prinsipal akan memberikan tambahan untuk dua atau tiga menit.
18.
KETUA: MOH MAHFUD MD. Silakan.
19.
PEMOHON: WILMAR FARID Terima kasih Majelis Hakim yang sangat kami muliakan. Ada dua yang ingin saya sampaikan, saya dari Institut Sejarah Sosial Indonesia, kami ini Lembaga Penelitian yang dibentuk oleh para ahli sejarah, ahli sastra dan ahli budaya. Kami bertahun tahun mengabdi di lembaga perguruan tinggi, menghasilkan kader kader peneliti, menghasilkan banyak karya sehingga ketika larangan itu sampai kepada kami, sungguh mengejutkan. Karena hasil karya selama bertahun tahun dihargai dengan pelarangan. Ini juga salah satu alasan yang mendorong kami untuk mempersoalkan UndangUndang Nomor 4/PNPS/1963. Kami sadar bahwa pembatasan terhadap hak hak asasi manusia yaitu ada dan perlu dan penting, jadi saya tidak menyangka dan saya kira kita di dalam posisi yang sama untuk menghadapi isu seperti pornografi anak misalnya. Jadi pembatasan untuk itu begitu terang, tetapi menurut hemat kami Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 bukanlah undang undang semacam itu. Karena kewenangan yang diberikan kepada Kejaksaan Agung itu terlalu besar, melampui batasbatas yang mungkin bahkan melampui bidang keahliannya sendiri. Saya sendiri, latar belakang saya sejarah dan buku ini kebetulan yang dilarang ini adalah buku yang saya ikut sunting, dan seperti yang tadi diuraikan adalah hasil penelitian yang panjang. Jadi di kalangan kami saja perdebatan itu masih berlangsung terus tetapi dengan adanya Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 timbul pertanyaan batas batas kewenangan kami sebagai orang yang menjalankan penelitian sejarah, itu sampai dimana? Yaitu dasar yang membuat kami pertanyakan itu dan
11
menurut penilaian berdasarkan hasil sidang dan lain-lain. Kami menilai bahwa Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 memang bertentangan dengan konstitusi. Hal terakhir, hal kedua yang ingin saya sampaikan. Soal kewenangan tadi, yang kami pikir bertentangan bukan hanya dengan prinsip demokrasi tetapi juga dengan Undang Undang Dasar, yang merupakan sebuah kenyataan dari bangsa yang bekas dan ingin lepas dari penjajahan dan yang termasuk dari penjajahan pikiran. Saya pikir begitu, terima kasih. 20.
KETUA: MOH MAHFUD MD. Baik, cukup ya?
21.
KUASA HUKUM PEMOHON: NURSYAHBANI KATJASUNGKANA (PERKARA NOMOR 20/PUU-VIII/2010) Ya, cukup.
22.
KETUA: MOH MAHFUD MD. Sebelum saya undang Pemerintah untuk memberi keterangan tanggapan. Majelis akan mengesahkan dulu alat bukti sebanyak 15 yang diajukan oleh Pemohon dari Nomor 20 yaitu, bukti P-1 sampai P-12 dari fotokopi Penpres, fotokopi undang-undang, buku Dalil Pembunuhan Masal, fotokopi Keputusan Kejaksaan Agung buku “Lekkra Tak Membakar Buku,” fotokopi Keputusan Kejaksaan Agung Nomor 14, fotokopi Keputusan Kejaksaan Agung Nomor 14 Tahun 2009, kemudian fotokopi Keputusan Kejaksaan Agung Nomor 14, 12 Tahun 2009. Kemudian fotokopi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009. Fotokopi Salinan Akta Pendirian Nomor 17 Akta Notaris tentang Pendirian Insitut Akta, Pendirian Institut Sejarah Sosial dan fotokopi surat dari Prof. Mike Loat dari University California Barclay. Jadi ini P-1 sampai P1-2 dinyatakan disahkan sebagai bukti yang diajukan di persidangan. KETUK PALU 3 X
Silakan kepada Pemerintah untuk menyampaikan tanggapannya 23.
PEMERINTAH: FACHMI KEJAKSAAN AGUNG)
(DIREKTUR
TUN
JAMDATUN,
Assalamualaikum wr. wb.
12
Yang Mulia Ketua Majelis Mahkamah Konstitusi, kami akan membacakan opening statement Pemerintah terhadap registrasi Perkara Nomor 13 dan Nomor 20 sebagai berikut:
OPENING STATEMENT PEMERINTAH ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 4/PNPS/1963 TENTANG PENGAMANAN TERHADAP BARANG-BARANG CETAKAN YANG ISINYA DAPAT MENGGANGGU KETERTIBAN UMUM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 Sehubungan dengan permohonan pengujian (constitusional review) ketentuan Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4/PNPS/Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan Yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum serta Pasal 30 ayat 3 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang dimohonkan oleh : 1. Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi; dkk, yang dalam hal ini memberi kuasa kepada A. Wakil Kamal, SH.,MH. dkk, Tim Advokasi Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat HMI-PMO (TAKBIR HMI), sesuai registrasi di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUUVIII/2010. 2. Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk, yang dalam hal ini memberi kuasa kepada Taufik Basari,SH.,LL.M., dkk. Tim Advokasi Tolak Pelarangan Buku, sesuai registrasi di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-VIII/2010. Untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon. Perkenankan Pemerintah menyampaikan keterangan pendahuluan (opening statement) sebagai berikut : 1. Pokok permohonan register 13/PUU-VIII/2010, pada intinya menyatakan, mohon untuk menghemat waktu tadi sudah disebutkan, jadi kami sudah tidak usah bacakan pendapat ini, bahwa : 2. Para Pemohon dalam Register Perkara Nomor 20/PUU-VIII/2010, juga sama tidak dibacakan lagi. Bahwa terhadap tanggapan Para Pemohon tersebut di atas, Pemerintah dapat memberikan penjelasan sebagai berikut : 1. Uraian tentang kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon akan dijelaskan secara lebih rinci dalam keterangan Pemerintah secara lengkap yang akan disampaikan pada persidangan berikutnya atau melalui Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2 Bahwa kewenangan sensor buku yang dilakukan oleh Kejaksaan dalam tugas, pokok dan fungsinya untuk melakukan pelarangan dan pengawasan barang cetakan, tidak dapat dilepaskan dari 3 (tiga) aspek tinjauan yaitu :
13
a. Aspek filosofis Bahwa secara filosofis, Hak Asasi Manusia juga mengalami pembatasan secara kodratnya. Pasal 29 ayat (2) Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Right) Tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III), yang kemudian dalam pembatasan implementasi HAM tersebut di Indonesia dimuat juga dalam TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 Pasal 1 Piagam HAM tentang “Pandangan dan Sikap Bangsa terhadap HAM” yang bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal dan nilai kultur budaya bangsa serta berdasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945”, namun dalam Pasal 36-nya juga dimuat pembatasan terhadap Hak Asasi Manusia termasuk hak untuk hidup sebagai berikut, “Di dalam menjalankan hak dan kebebasannya
setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis”.
Juga dalam perspektif asas legalitas, ini dianggap sebagai salah satu wujud dari perjanjian antara penguasa dan individu itu. Dalam artian, kebebasan individu sebagai subyek hukum mendapatkan jaminan perlindungan kontraktual melalui asas legalitas ,melalui asas legalitas
inilah terjadi suatu pembenaran kepada negara untuk memberikan batasan-batasan terhadap kebebasan hingga menjatuhkan pidana (baik preventif maupun represif) sehingga ada kepastian hukum;
b. Aspek historis Bahwa pembatasan HAM sudah dilakukan pada masa konstitusi Indonesia sebagaimana tercermin dalam konstitusi-konstitusi yang pernah berlaku, yaitu UUD 1945 sebelum perubahan, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, dan UUD 1945 sesudah perubahan, yang tampaknya ada kecenderungan untuk tidak memutlakkan hak asasi manusia, dalam arti bahwa dalam hal-hal tertentu, atas perintah konstitusi, hak asasi manusia dapat dibatasi oleh suatu undang-undang. Bahwa kewenangan Kejaksaan RI melakukan sensor buku sejak masa (menteri) Jaksa Agung sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 PNPS Nomor 4 Tahun 1963 (sampai saat ini masih berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945), UU Nomor 15 Tahun 1961 tentang Kejaksaan, UU Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan hingga UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, masih memiliki kewenangan sensor buku terhadap barang cetakan/buku yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum (vide Pasal 30 ayat 3 huruf c);
14
c. Aspek yuridis Bahwa kewenangan sensor buku oleh Kejaksaan RI merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembatasan terhadap kebebasan mengeluarkan pendapat baik lisan maupun diatur dalam beberapa ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, Pasal 30 ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 1 dan Pasal 6 UU Nomor 4 PNPS Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan Yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta beberapa Konvensi Internasional yang memberikan batasan sebagai rambu-rambu terhadap Kebebasan Pers, 3. Bahwa terhadap dalil permohonan Para Pemohon dalam Perkara Nomor 20/PUU-VIII/2010 yang menyatakan Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan masyarakat dan berkehidupan ketatanegaraan karena diterbitkan di masa demokrasi terpimpin saat tidak ada “rule of law” ketika negara dalam keadaan bahaya agar Pemerintah dapat menyensor terbitan, terutama terbitan asing yang tidak sejalan dengan revolusi Indonesia, Pemerintah berpendapat bahwa anggapan Para Pemohon tersebut diatas, tidak beralasan dan tidak berdasarkan hukum karena : a. Bahwa semua Penpres yang dibuat oleh Pemerintah pada masa demokrasi terpimpin sudah diseleksi melalui Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk Legislatif Negara di Luar Produk MPRS yang Tidak Sesuai dengan UUD 1945, yang hasilnya menyebutkan terdapat beberapa Penpres yang dinyatakan dicabut atau batal dan ada yang dilanjutkan atau tetap diberlakukan sebagai undang-Undang dengan diundangkan kembali. UU Nomor 4/PNPS/1963 adalah salah satu dari Penpres yang dinyatakan dapat diteruskan dan diundangkan kembali melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 yang merupakan produk zaman Orde Baru; b. Dengan demikian maka undang-undang a quo yang berasal dari Penetapan Presiden, telah dibahas dan disahkan oleh DPR sebagai undang-undang, dalam hal ini PNPS Nomor 4/PNPS/1963 yang telah melalui legislative review berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966, sehingga Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969 telah menetapkannya menjadi undang-undang. Dengan demikian, menurut Pemerintah, Undang-Undang Nomor 4/PNPS/Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan Yang Isinya Ketertiban Umum yang telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang
15
Nomor 5 Tahun 1969 telah sesuai dengan semangat pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (vide dasar “menimbang” Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969). 4. Bahwa terhadap dalil permohonan Pemohon Perkara Nomor 20/PUUVIII/2010 yang menyatakan karena sebagian dari UU Nomor 4 Tahun 1963 (Pasal 2 ayat (3) sudah dicabut oleh Undang-Undang Nomor.40 Tahun 1999 tentang Pers, maka pertimbangan yang digunakan untuk membatalkan penerapan undang-undang itu terhadap penerbitan pers merupakan alasan yang kuat untuk membatalkan pula penerbitannya terhadap penerbitan buku. Dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut : a. Bahwa penerapan Undang-Undang Nomor 4/PNPS/Tahun 1963 yang dicabut oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers tersebut adalah terhadap buletin-buletin, surat-surat kabar harian, majalah-majalah dan penerbitan berkala, bukan terhadap buku-buku; b. Bahwa walaupun penerapan Undang-Undang Nomor 4/PNPS/Tahun 1963 terhadap buletin-buletin, surat-surat kabar harian, majalahmajalah dan penerbitan berkala telah dicabut oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, akan tetapi pers sebagai lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia juga terikat kepada peraturan-peraturan dalam UU Pers tersebut dalam hal ini berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah; c. Bahwa dengan demikian walaupun buletin-buletin, surat-surat kabar harian, majalah-majalah dan penerbitan berkala telah dicabut penerapan Undang-Undang Nomor 4/PNPS/Tahun 1963 namun bukan berarti tidak ada pembatasan dalam penerbitannya karena buletin-buletin, surat-surat kabar harian, majalah-majalah dan penerbitan berkala tersebut tetap harus tunduk kepada peraturanperaturan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. 5. Bahwa terhadap dalil permohonan Para Pemohon yang pada pokoknya menyatakan bahwa kewenangan preventif (pelarangan dan pengawasan barang cetakan) yang dimiliki Kejaksaan tidak diterapkan melalui sebuah proses hukum yang benar dan tepat sesuai due process of law sehingga hak konsitusional Para Pemohon untuk mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dirugikan,
16
Pemerintah berpendapat bahwa bahwa dalil permohonan Para Pemohon menunjukkan ketidakpahaman dan masih sempitnya sudut pandang Para Pemohon terhadap kewenangan dan mekanisme Kejaksaan dalam keikutsertaaannya sebagai penyelenggara negara dalam bidang penegakkan hukum sebagai lembaga eksekutif. Kejaksaan RI sesuai amanat Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI pada Pasal 30 ayat 3 huruf c secara tegas diberi wewenang untuk turut melaksanakan ketertiban dan ketentraman umum, yang salah satunya memiliki kewenangan sesuai amanat undang-undang untuk bertindak secara preventif dalam menjaga ketertiban dan ketentraman umum dengan melakukan pengawasan dan pelarangan barang cetakan/sensor buku, sehingga sebagai sebuah institusi, Kejaksaan tidak hanya melulu melakukan kewenangannya secara represif lewat a fair due process of law dalam mekanisme sistem peradilan pidana. Karenanya, berdasarkan argumentasi Pemerintah tersebut, permohonan Para Pemohon tersebut tidak beralasan dan tidak berdasar, karena kewenangan preventif Kejaksaan itu telah pula dilembagakan dalam Clearing House untuk menjamin objektifitas dan untuk menghindari penafsiran sepihak atau monopoli tafsir. Clearing House Kejaksaan Agung RI mempunyai tugas pokok memberikan masukan saran/pendapat kepada Jaksa Agung RI tentang isi/materi tentang larangan beredarnya barang cetakan tertentu yang pelaksanaannya berpedoman kepada Petunjuk Pelaksanaan Nomor : Juklak001/A/JA/3/2003 tentang pelaksanaan Clearing House dan dalam Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Jaksa Agung RI Nomor JUKLAK001/A/J.A.3.2003 Tanggal 25 Maret 2003 pada angka 4 poin 4.1 dan 4.2 dijabarkan lebih lanjut mengenai pengertian “mengganggu ketertiban umum” sehingga parameter yang dijadikan rambu-rambu dalam pelarangan barang cetakan menjadi objektif. Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, memutus dan mengadili permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 4/PNPS/ Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan Yang Isinya Undang-Undang Nomor 5 Dapat Mengganggu Ketertiban Umum jo Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang, dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
17
1. Menolak permohonan pengujian Para Pemohon untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian Para Pemohon tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard); 2. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan; 3. Menyatakan Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 4 PNPS Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan Yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang dan Pasal 30 ayat (3) huruf c UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2) dan (3) dan Pasal 28F, Pasal 28I (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Namun demikian, apabila Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono). Atas perhatian Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, kami mengucapkan terima kasih. Jakarta , 10 Mei 2010. KUASA HUKUM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI
JAKSA AGUNG RI
PATRIALIS AKBAR
HENDARMAN SUPANDJI
Terima kasih. 24.
KETUA : PROF. DR. MAHFUD, MD, S.H. Selanjutnya Pihak Terkait.
25.
PIHAK TERKAIT INTELIJEN)
:MOH.
AMARI
(JAKSA
AGUNG
MUDA
Terima kasih Yang Mulia.
Assalamualaikum wr. wb.
Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Yang terhormat para Pemohon, Jaksa Pengacara Negara, serta para hadirin sekalian yang kami muliakan.
18
Dengan hormat perkenankanlah kami menyampaikan pendapat hukum dari Pihak Terkait atas permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan Yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum dan Pasal 30 ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 16/2004 Tentang Kejaksaan. Sebenarnya pendapat hukum yang akan kami sampaikan ini secara substansi tidak berbeda jauh dengan apa yang telah kami sampaikan pada sidang terdahulu Perkara Nomor 6/PUU-VIII/2010, karena obyek materinya sama yaitu permohonan pengujian UndangUndang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang Cetakan Yang Isinya Dapat Menganggu Ketertiban Umum dan UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Namun demikian ada beberapa catatatn tambahan pada pendapat hukum kami ini. Gambaran umum. Undang-Undang Dasar 1945 selanjutnya disingkat dengan UUD 1945, secara tegas menyebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, prinsip penting negara hukum adalah supremasi hukum yang dilaksnakana oleh para aparat penegak hukum. Salah satu kewenangan yang diiberikan kepada Kejaksaan dalam rangka melindunghi kepentingan umum yaitu adalah dalam bidang keteriban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan pengawasan dan peredaran barang cetakan sebagaiman diamanatkan dalam Pasal 30 ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Kewenangan Kejaksaan dalam hal ini melakukan pengawasan peredaran barang cetakan harus juga dilihat secara historis, sosiologis, tidak hanya aspek yuridisnya saja. Setelah berlakunya Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1963 tentang Pengamanan terhadap Barang Cetakan Yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (1), dikatakan bahwa Menteri, Jaksa Agung berwenang untuk melarang peredaran barang cetakan yang dianggap dapat menggangu ketertiban umum. Penetapan Presiden tersebut kemudian dikuatkan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang. Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia serta para hadirin sekalian yang berbahagia. Yang pertama adalah fakta hukum. Bahwa Kejaksaan harus mendudukan setiap orang sebagai warga negara yang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya, dalam rangka turut menjaga dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum kepada setiap orang.
19
Negara begitu bunyinya meliputi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasarkan atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Dalam pembukaan itu diterima aliran pengertian negara persatuan, negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya, jadi negara mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan. Kewenangan Kejaksaan dalam melakukan pengawasan barang cetakan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, Pasal 30 ayat (3) huruf c, sudah melalui proses yang disetujui oleh DPR dan Presiden sebagaimana tersebut di dalam konsideran mengingat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, dengan demikian tidak dapat dinyatakan bahwa keberadaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Karena negara sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, wajib melindungi setiap warga negaranya. Bahwa ketentuan dalam Pasal 30 ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik indonesia tidak bertentangan dengan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 dengan alasan sebagai berikut: Aspek Yuridis Secara yuridis Kejaksaan Republik Indonesia mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana bunyi Pasal 30 ayat (3) huruf c UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yaitu dalam dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum. Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan pengawasan peredaran barang cetakan. PNPS Nomor 4 Tahun 1963 tersebut yang dibuat oleh Pemerintah pada masa demokrasi terpimpin sudah diseleksi melalui Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk Legislatif Negara Di luar Produk MPRS Yang Tidak Sesuai Dengan Undang-Undang Dasar 1945, yang hasilnya menyebutkan terdapat beberapa Penpres yang dinyatakan dicabut atau batal dan ada yang dilanjutkan, atau tetap diberlakukan sebagai undang-undang dengan diundangkan kembali, Undang-Undang tentang Pengamanan Terhadap Barang Cetakan Yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum adalah salah satu dari Penpres yang dinyatakan dapat diteruskan dan diundangkan kembali melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai UndangUndang. Aspek Historis Bahwa sejarah berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia tidak bisa dilepaskan dari keanekaragaman, suku, bangsa serta
20
keanekaragaman agama yang diikat dalam satu ikatan sesuai dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, kemudian bersama-sama mengikrarkan diri sebagai konstitusional yang dituangkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Bahwa salah satu bentuk perlindungan negara kepada warga negaranya adalah memberikan perlindungan di bidang ketertiban dan ketentraman umum dalam rangka menjaga keutuhan bangsa sesuai dengan kesepakatan para Bapak pendiri bangsa kita. Bahwa negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Negara harus mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan, negara menurut pengertian pembukaan itu menghendaki persatuan meliputi segala bangsa Indonesia seluruhnya. Sehingga untuk itulah salah satu implementasi dari prinsip doktrin tindakan negara act of state doctrin berupa kewenangan Kejaksaan untuk melakukan pengawasan terhadap barang cetakan. Aspek sosiologis Bahwa sampai saat ini peran negara di dalam masyarakat untuk menjaga ketertiban umum sekaligus tetap menjaga kepentingan umum harus tetap dijalankan. Bahwa tafsir ketertiban umum tidak bisa dimonopoli oleh negara sebagai dalil untuk merepresi masyarakatnya. Pembatasan hanya dapat dilakukan apabila menyangkut soal-soal penyebaran, kebencian yang justru membahayakan hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Adapun definisi mengganggu ketertiban umum, saya ulang adapun definisi mengganggu ketertiban umum tidak hanya di atur dalam Penjelasan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 PNPS Tahun 1963, tetapi juga diatur pada undang-undang lain yang mengatur tentang kebebasan menyampaikan pendapat seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dimana semuanya pada pokoknya mempunyai definisi yang sama dengan definisi mengganggu ketertiban umum sebagaimana termuat di dalam Undang-Undang Nomor 4 PNPS Tahun 1963. Aspek lingkungan strategis Bahwa saat ini kebebasan merupakan hak asasi manusia yang dijamin dan diakui baik secar universal maupun nasional. Namun demikian kebebasan mengeluarkan pendapat dan kebebasan menyampaikan pikiran yang dituangkan di dalam suatu hasil karya cipta yang telah memasuki dan berada di ranah publik, maka kebebasan berkreasi harus berkompromi atau memperhatikan bidang-bidang lain serta kepentingan orang lain dan masyarakat secara keseluruhan.
21
Untuk itulah negara mengaturnya dan meletakan Jaksa Agung sebagai leading sector dalam hal pengawasan barang cetakan sebagaimana diamanatkan di dalam undang-undang ini. Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang kami hormati serta Saudara sekalian yang berbahagia Pendapat hukum Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”Apabila dikaitkan dengakn konsep pemikiran Montesqieu
menyatakan bahwa kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif harus dipisahkan dan bebas dari kekuasaan lainnya. Pemisahan ini dimaksudkan untuk menghindari penyimpangan kekuasaan yang disebabkan adanya pemusatan kekuasaan pada lembaga atau kekuasaan tertentu dan memberikan perlindungna bagi warga negara dari kesewenang-wenangan kekuasaan. Bahwa prinsip dari ajaran montesqieu mengenai trias politica menyatakan bahwa wewenang yang satu harus dipisahkan dari wewenang yang lain. Di satu sisi beberapa ahli hukum berpendapat bahwa ajaran Montesqieu sudah ditinggalkan oleh banyak Negara. Dalam hubungan ini, Dr. E Utrecht mengemukakan pelajaran Montesqieu diterima hampir di semua negara-negara di Eropa Barat masih juga hanya sebagian dari pelajaran tersebut menjadi dasar ketatanegaraan. Demikian juga di Indonesia, pada zaman sekarang rupanya teori Montesqieu seluruhnya hanya dipraktikan di Amerika Serikat, tetapi di situ pun telah timbul kesukaran dan seterusnya. Adanya definisi tentang mengganggu ketertiban umum adalah dalam rangka kepastian hukum, hal tersebut tidak diatur dalam penjelasan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 PNPS 1963 tapi juga diatur dalam undang-undang lain yang mengatur tentang kebebasan mengeluarkan pendapat seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 dan seterusnya. Semuanya itu adalah untuk menjamin adanya perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, di antara warga negara Indonesia. Kejaksaan dalam menggunakan wewenangnya berupa pengawasan barang cetakan adalah untuk menjamin proses penegakan hukum dan juga sebagai bentuk jaminan negara adanya perlakan yang sama di hadapan hukum serta perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia. Penegakan hukum berfungsi sebagai pelayanan hukum kepada masyarakat pencari keadilan. Menurut Jeremy Benhtam penegakkan hukum adalah sentral dari eksistensi, hak penegakan hukum dapat pula dimaknai sebagai usaha melaksanakan hukum sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanaanya agar tidak terjadi pelanggaran dan jika terjadi pelanggaran maka sesegera mungkin untuk memulihkan hukum yang dilanggar supaya ditegakan kembali.
22
Sebagai penjabaran lebih lanjut dari Undang-Undang Dasar 1945 tersebut selanjutnya pada Undang-Undang Nomor 4 PNPS Tahun 1963 tentang Pengamanan terhadap Barang Cetakan Yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum serta Pasal 30 ayat (3) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 mengandung prinsip adanya kekuasaan Negara yang dijalankan oleh Jaksa Agung untuk melakukan pengawasan terhadap barang cetakan. Hak konstitusi tidaklah bersifat sebebas-bebasnya melainkan ada batasnya. Setiap orang wajib tunduk pada batasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Batasan ini berfungsi sebagai jaminan, pengakuan serta penghormatan atas kebebasan orang lain dan memenuhi tuntutan keadilan dengan pertimbangan moral atau nilai-nilai agama keagamaan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis sebagaimana dimaksud Pasal 28C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Maka pengawasan terhadap barang cetakan yang dijalankan oleh Kejaksaan sesuai dengan amanat undang-undang bukanlah merupakan penyalagunaan wewenang karena amanat dari undangundang dimaksud untuk melindungi kepentingan masyarakat terhadap kebebasan yang telah disalahgunakan. Wewenang Kejaksaan untuk melakukan pengawasan terhadap barang cetakan dilakukan secara profesional dengan memperhatikan kepentingan umum. Bahwa dalam melaksanakan pengawasan barang cetakan, praktik selama ini telah dibentuk sebuah badan bernama clearing house. Komposisi keanggotaan clearing house tidak memonopoli dari unsur Kejaksaan saja tapi juga melibatkan institusi lain seperti Kepolisian, Badan Intelejen Negara, TNI, Departemen Agama, Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Komunikasi dan Informasi bahkan juga melibatkan unsur para ahli atau kelompok masyarakat yang menguassi bidangnya sesuai dengan objek kajian, seperti misalnya barang-barang cetakan yang diteliti berkaitan dengan masalah agama Islam, maka akan dapatkan dan dimintakan dari Majelis Ulama Indonesia. Dalam menjalankan tugas tersebut Kejaksaan RI dapat menerima laporan masyarakat, permintaan itu pemintaan dari instansi lain maupun pro aktif sendiri dan sangat selektif sekali menggunakan kewenangan tersebut. Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kebebasan yang bertanggung jawab tetapi bukan kebebasan yang sebebas-bebasnya. Hak konstitusional tidaklah bersifat sebebas-bebasnya, melainkan ada batasnya. Setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, batasan ini berfungsi sebagai jaminan pengakuan serta penghormatan atas kebebasan orang lain dan memberi tuntutan terhadap keadilan dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keagamaan, ketertiban umum, dalam suatu masyrakat demokratis sebagaimana dimaksud pada Pasal 28J.
23
Menurut Jimly Asshidiqie dalam komentarnya mengenai Pasal 28J, semua jenis hak asasi manusia dapat dibatasi; 1. Asalkan dengan undang-undang. 2. Pembatasan dengan undang-undang itu haruslah dengan maksud semata-mata: a. untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. b. Untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keagamaan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis dan seterusnya. Pemerintah yang memiliki legitimasi adalah Pemerintah yang mampu melindungi kepentingan umum. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU/VII/2009 tanggal 19 April 2010, ada beberapa pertimbangan hukum yang dapat dikaitkan dengan masalah kewenangan Kejaksaan terhadap pengawasan barang cetakan yang dapat menggaggu ketertiban umum. Dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dinyatakan bahwa Pimpinan Pusat Muhammadiyah selaku Pihak Terkait mempunyai pendapat alasan sosiologis hanya produk hukum seperti Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1995 mutlak diperlukan dalam rangka menjaga tatanan masyarakat yang tertib, aman dan damai. Peraturan yang dimaksud dalam undang-undang tersebut bukanlah merupakan bentuk intervensi negara terhadap kebebasan yang diyakini dan melaksanakan suatu ajaran agama bagi warga negara, tetapi peraturan tersebut memperkokoh sendi-sendi kehidupan sosial dan menegakkan prinsip-prinsip kebersamaan hak warga negara di depan hukum. PENUTUP Negara sesuai dengan kewenangannya yang ada padanya tidak boleh mendiamkan saja terhadap salah satu seorang warga negaranya yang menuntut kebebasan mengeluarkan pendapat tetapi dapat mengganggu ketertiban umum sehingga secara keseluruhan dapat mengganggu sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, bangsa, dan agama ini. Negara memang menjamin warga negaranya yang menjalankan hak-hak dan kebebasannya tetapi tetap harus tunduk pada pembatasanpembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang. Tujuan pembatasan tersebut semata-mata menjamin pengakuan serta penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejateraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. Sebagaimana diamanatkan pada Undang-Undang Dasar 1945 maupun Pasal 29 The Universal Declaration of Human Right.
24
Demikian pendapat hukum kami dan atas perhatiannya kami sampaikan, terima kasih. Terima Kasih yang Mulia. 26.
KETUA: MOH. MAHFUD. MD. Baik, terima kasih Saudara Pihak Terkait. Berikutnya kita akan mendengarkan keterangan Ahli Prof Andi Hamzah, untuk itu dimohon (…)
27.
KUASA HUKUM PEMOHON: NURKHOLIS HIDAYAT Yang Mulia mohon izin untuk menanggapi dari Pemerintah sebentar saja.
28.
KETUA: MOH. MAHFUD. MD. Nanti saja sekaligus. Prof Andi Hamzah dimohon untuk maju dulu untuk mengambil sumpah. Pak Arsyad.
29.
HAKIM ANGGOTA: M. ARSYAD SANUSI Saudara Ahli, ikuti lafal sumpah. Bismillahirrahmanirrahim, demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya. Terima kasih.
30.
AHLI DARI PEMERINTAH: ANDI HAMZAH
Bismillahirrahmanirrahim, demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya. 31.
KETUA: MOH. MAHFUD. MD. Silakan duduk Pak Andi. Baik persilakan Prof. Andi maju ke podium boleh milih duduk, dipersilakan.
25
32.
AHLI PEMERINTAH:. ANDI HAMZAH
Assalamualaikum wr.wb.
Saya mulai dengan suatu moto de’etterna conflict on tre {sic}. Jadi ini dikatakan Prof Lawder dari Prancis pada Tahun 1901. Ada pertentangan abadi antara kebebasan dengan kekuasaan, ada pertentangan antara kepentingan umum dan kebebasan individu. Jika kepentingan individu sangat diutamakan, maka mengurangi kepentingan umum. Demikianlah sehingga harus ada keseimbangan dan keserasian antar dua kepentingan. Sangat keliru jika kita mengartikan suatu adagium hukum secara harfiah. Adagium hukum praduga tidak bersalah, Inggris presumtion of innocence Perancis présomption d'innocence, Belanda vermoeden van onschuld. Adagium ni tidak dapat diartikan secara harfiah karena ada ketentuan dalam KUHAP. Seseorang ditangkap, ditahan dijadikan tersangka jika ia diduga keras telah melakukan delik tindak pidana. Menurut pendapat saya arti presumtion of innocence Ini ialah hak-hak tersangka masih ada padanya sampai ada putusan hakim yang tetap. Misalnya istri belum dapat minta cerai jika suami menjadi tersangka, terdakwa tindak pidana diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih. Pidana penjara 5 tahun atau lebih adalah salah satu alasan untuk minta cerai. Begitu pula ada hakim semua orang sama di depan hukum, maksudnya adalah hal yang sama. Dalam hal yang sama jika diartikan harfiah mengapa ada keistimewaan di Belanda sampai sekarang dan Indonesia Tahun 50-an yang terdakwa yang berstatus Menteri, jadi Mahkamah Agung dalam tingkat pertama dan terakhir dan Jaksa Agung yang menjadi penyidik dan penuntut umum. Mengapa dalam KUHAP Rusia terbaru, tahun 2004 dan KUHAP Georgia tahun 2008 juga Presiden dan Gubernur Bank Central melakukan tindak pidana delik, jaksa menjadi penyidik bukan Polisi. Begitu pula, kebebasan mengeluarkan pendapat, selama masih dalam pikiran tidak dapat dilarang. Begitu pula jika isi pikiran telah dikeluarkan dalam bentuk ucapan dan tulisan sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan orang lain dan dilindungi. Hukum pidana melarang perbuatan penghinaan, fitnah 310, 311 dan seterusnya, pemerasan 368 KUHP, pengancaman 369, penghasutan 160 semuanya dapat berupa ucapan atau tulisan, walaupun tidak berakibat apa-apa. Tidak semua perbuatan yang dilarang hukum pidana adalah perbuatan jahat atau buruk. Dipidana orang naik sepeda motor tanpa helm, ini sama sekali bukan perbuatan jahat atau buruk. Tapi negara menghendaki adanya ketertiban umum dan keselamatan dalam berlalu lintas. Ada badan sensor film, dengan maksud kebebasan berekspresi tidak mengganggu ketentraman masyarakat. Tentu jika suatu film dilarang beredarnya akan merugikan produsen. Akan tetapi negara
26
mencegah akibat yang jauh merugikan yaitu terganggunya ketentraman masyarakat. Kejaksaan Agung, Jaksa Agung dimanapun memang mempunyai dua fungsi yaitu represif dan preventif. Misalnya Pasal 1 UndangUndang Kepolisian Polisi Wet berbunyi Polisi Belanda berbunyi verkruh general {sic} adalah kepala kepolisian prepentif dan kepala kepolisian represif. Bagian reprentif di kejaksaan ialah Jaksa Agung Muda Intelejen. Penelitian barang cetakan dan barang cetakan berupa yang menganggu ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dapat dilarang peredarannya sebagai upaya tindakan preventif terjadinya tindak pidana sebab akibatnya. Ada kepentingan umum dan kebebasan individu, perlu ada keseimbangan dan keserasian. Kebebasan individu sangat dijunjung tinggi di dunia barat akan tetapi suatu kebebasan yang dapat menganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dapat dibatasi misalnya, nazisme dilarang di Jerman. Menyangkut ideologi hanya dua negara yang mencantumkan dalam KUHP yaitu RRC memandang rong-rongan terhadap komunisme adalah kejahatan yang sangat serius, sebaliknya Indonesia pada Tahun 1998 mencantumkan di dalam KUHP penyebaran ideologi komunisme, marxisme dan segala bentuknya merupakan tindak pidana. Ideologi adalah pikiran manusia dan semua orang boleh menganutnya namun juika diekpresikan dapat menanggu ketertiban umum, maka dibatasi dan bahkan dilarang. Pikiran yang belum dilarikan tidak dapat dilarang, akan tetapi suatu pikiran yang anti Islam misalnya yang telah dilahirkan dalam bentuk buku yang isinya mengenai ketidakbenaran Islam itu dengan mengajak orang lain untuk meninggalkannya sangat membahayakan ketertiban umum, dapat timbul reaksi bahkan berbentuk kekerasan tak terkendali. Pada tahun 1969 seorang guru SMA di Makasar mengucapkan dalam kelas bahwa “Nabi Muhammad itu banyak istrinya, jadi dia pezina. Dalam waktu 24 jam Makasar terbakar, gereja-gereja dirusak, yang pertama menyerbu adalah tukang-tukang becak yang bukan Islam fanatik. Bagaimana mencegah ucapan seperti itu dibukukan dan diedarkan secara luas? Apalagi jika beredar di internet? Memang terjadi kerugian bagi penulis dan penerbit tetapi di pihak lain akan timbul reaksi yang mengerikan. Kebebasan mengeluarkan pendapat harus dihormati, tetapi juga tapi ada batasnya, bahkan beberapa konferensi internasional membatasi kebebasan itu seperti national security and public order, keamanan nasional, ketertiban umum, expression for wall all to national rasial al regis helter {sic} pemidanaan terhadap hasutan menimbulkan kebencian ras dan agama, insideman to violence and crime. Hasutan
27
untukmmelakukan kekerasan dan kejahatan, attack of the founders and religion. Serangan terhadap pendiri agama. Public health and moral, kesehatan umum dan moral. right owner and reputation or others. hak kehormatan dan nama baik seseorang yang memuat delik penghinaan. fair administration of justice, delik-delik yang bersangkutan dan contem of court. Larangan peredaran buku yang berjudul “Enam Jalan Menuju Tuhan,” oleh Jaksa Agung jelas sesuai dengan konvensi tersebut pada butir 1, 2, 3, 4 dan 6. Sebagai kesimpulan, memang ada pembatasan mengeluarkan pendapat baik nasional maupun internasional. Untuk mencegah penyalahgunaan oleh eksekutif untuk tujuan politik maka sebelum Jaksa Agung memutuskan larangan perlu didengar lebih dulu pendapatpendapat tokoh independen seperti alim ulama, cerdik pandai, sosiolog, budayawan, pinalis atau pakar hukum pidana, kriminolog dan sebagainya. Sebagaimana halnya dengan badan sensor film. Tadi sudah disebut ada clearing house itu yang perlu diperluas dengan anggota masyarakat independen yang lain. Ada pendapat yang sangat berbahaya yang Mahkamah Agung sendiri pernah menyebutnya sebagai alasan hukum dalam putusannya, yaitu jika suatu hal tidak dilarang berarti boleh. Pendapat ini sungguhsungguh sangat berbahaya. Jika umpamanya Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon maka dapat diartikan bahwa pendapat itu mengedarkan seperti buku “Enam Jalan Menuju Tuhan, boleh. Karena tidak ada larangan. Sesudah Mahkamah Konstitusi memutuskan pasal mengenai penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan konstitusi maka ramailah menghina Presiden dan Wakil Presiden sampai ada yang mengibaratkan seperti kerbau, di tengah kota dengan tulisan “Si Buyo” Sekian terima kasih.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
33.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Baik, terima kasih Prof. Andi Hamzah. Sekarang dipersilakan kepada Pemohon untuk menyampaikan tanggapan atau pertanyaan baik kepada Pemerintah, kepada Pihak Terkait, maupun kepada Ahli untuk itu dipersilakan Pemohon Perkara Nomor 13.
34.
KUASA HUKUM VIII/2010
PEMOHON:
PERKARA
NOMOR
13/PUU
Terima kasih Yang Mulia, assalamualaikum wr. wb.
28
Pertama, saya ingin menanggapi dan meminta klarifikasi kepada Wakil Pemerintah, berkaitan dengan keterangan yang disampaikan tadi. Apakah substansi keteranagn yang disampaikan di forum tadi sudah mendapatkan persetujuan dari yang memberikan kuasa yaitu Presiden Republik Indonesia sebagai kepala pemerintahan? Apakah sudah dikonfirmasi isi substansinya? Karena ini sangat penting dan sangat berkaitan dengan citra, wibawa, martabat, integritas, kredibilitas kepala pemerintahan. Kami dalam permohonannya, dalam substansi permohonan bahwa pasal-pasal yang diatur, ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Percetakan Yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2004, khususnya Pasal 30 ayat (3). Apakah substansi yang disampaikan tadi sudah konfirmasi? Karena ini sangat berbahaya bagi citra dan wibawa Presiden, kalau besok dan nantinya dalam media massa bahwa Presiden setuju atas pelarangan buku, karena ini ada image dianggap Presiden SBY anti demokrasi, otoriter dan masih bersifat pasif. Ini perlu pertanggungjawaban dalam menghadapi masyarakat yang madani, masyarakat yang beradab kita harus jujur. Seharusnya Pemerintah harus jujur, kalau memang ada ketentuan undang-undang yang sudah bertentangan dengan prinsipprinsip demokrasi, prinsip-prinsip negara hukum seharusnya kita harus elegan. Karena ini harus belajar kepada akan dicontoh oleh anak cucu kita ke depan, itu pertanyaan perlu dikonfirmasi. Yang kedua, saya tanyakan kepada Ahli Prof. Andi Hamzah. Apa yang disampaikan Prof tadi sesungguhnya, kalau ada cetakan buku yang mengandung fitnah sudah ada pasal yang berkaitan dengan fitnah. Kalau itu mencemarkan nama baik sudah ada Pasal 310 dan seterusnya. Kalau kemudian ada isi buku yang bertentangan atau menghina agama sudah ada ketentuan tentang penghinaan agama. Kalau ada ketentuan berkaitan pencabulan ada kasus, ada Undang-Undang Pornografi yang diuji kemudian ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Banyak ketentuan-ketentuan lain, kalau ada substansi buku yang bertentangan dengan ada dugaan tindak pidana ada pasal-pasal untuk bisa dilakukan berkaitan dengan due proces of law sebagai prinsipprinsip negara hukum. Saya kira itu Prof, kan sudah jelas ada ranahnya tersendiri. Apakah perlu masih diberi kewenangan kepada Kejaksaan Agung, karena ini berpotensi sewenang-wenang, bahkan berpotensi penyalahgunaan kekuasaan, kewenangan, abuse of power. Saya kira kita harus sadar hari ini bahwa kita masuk kepada peradaban baru yang lebih demokratis, lebih terbuka dan lebih jujur. Terima kasih.
29
35.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Perkara Nomor 20, silakan.
36.
KUASA HUKUM PEMOHON: TAUFIK BASARI (PERKARA NOMOR NOMOR 20/PUU-VIII/2010) Terima kasih Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Yang pertama saya ingin meminta satu klarifikasi juga, karena ada hal yang mesti diluruskan supaya tidak sesat di sini. Tadi keterangan dari perwakilan Pemerintah selalu menggabungkan kata pengawasan dengan pelarangan ketika menyebutkan Pasal 30 ayat (3) huruf c Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004, bukan Nomor 5 Tahun 1991. Sepanjang yang kami baca dan kami pahami, tidak ada satu pun kewenangan yang menyatakan Kejaksaan memiliki, maaf tidak ada klausul yang menyatakan Kejaksaan memiliki kewenangan pelarangan di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004. Kenapa pula selalu disambungkan pengawasan dan pelarangan sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut? Saya pikir itu harus dijelaskan agar tidak sesat. Yang kedua, ada kaitannya dengan itu pertanyaan kami kepada ahli Prof. Andi Hamzah. Prof ini juga kan memahami kewenangan Kejaksaan tentunya sebagai Ahli Pidana. Nah kembali pertanyaan yang sama, karena Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 telah mengganti istilah dari pengamanan menjadi pengawasan. Lantas di manakah di dalam Undang-Undang Kejaksaan tersebut yang memberikan kewenangan pelarangan kepada Kejaksaan yaitu yang A. Yang B-nya kami mohon penjelasan, apakah istilah pengawasan dan pelarangan itu sama? Ataukah saya ganti kalimatnya, apakah pengawasan bisa diartikan sebagai pelarangan dalam konteks hukum Pidana. Yang ketiga, kembali kepada Prof. Andi Hamzah. Sebagai Ahli yang juga seorang akademisi tentu Prof Andi Hamzah juga beberapa kali menulis buku akademik. Bagaimana Prof. Andi Hamzah dapat menjelasakan sebuah proses akademik, dapat dinilai kemudian ditentukan pendapat mana yang benar dan pendapat yang mana yang salah oleh kekuasaan melalui tangan Jaksa Agung, sehingga proses akademik yang sudah berlangsung begitu dapat dilarang sedemikian rupa dengan tangan kekuasaan. Karena menurut kami pelarangan oleh Jaksa Agung bagian dari penggunaan kekuasaan. Itu dari saya mungkin kalau ada dari yang lain.
30
37.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Ya, silakan masi ada Mba Nur? Tidak? oh silakan.
38.
KUASA HUKUM VIII/2010)
PEMOHON
(PERKARA
NOMOR
20/PUU-
Ada beberapa tanggapan pertama buat keterangan dari pihak Pemerintah. Pertama, terkait dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969, bahwa perlu kami tegaskan bahwa dalam penjelasan ada kata-kata perlunya penyempurnaan dan perbaikan yang harus dilakukan terhadap beberapa penetapan-penetapan Presiden. Dengan demikian menurut kami adalah menjadi sebuah hal yang penting untuk dilakukan sebuah review jika ternyata hingga sampai saat ini penyempurnaan atau perbaikan tersebut tidak pernah dilakukan terhadap Penetapan PNPS Nomor 4/1963. Ini yang pertama. Yang kedua, bahwa kemudian kalaupun terdapat sebuah screning terhadap penetapan-penetapan sesuai denga Tap MPRS tahun 1966, menurut kami tentunya adalah tidak cukup beralasan lagi jika kemudian saat ini telah ada Tap MRP Tahun 1998 terkait dengan hak asasi manusia dan politik hukum yang lebih menghargai demokrasi dan hak asasi manusia. Jadi adalah sebuah keharusan, kemudian kita untuk melakukan review terhadap Penetapan Presiden 4/1963 ini. Untuk Ahli, ada beberapa pertanyaan. Mengenai ketertiban umum, bahwa ketertiban umum berdasarkan Penjelasan Pasal 1 dikatakan di situ ada kata frase pada sewaktu-waktu atau pada suatu saat, yang menurut hemat kami di sini adalah bersifat kondisional, yang dalam penjelasannya terkait kondisional adalah bagaimana terkait dengan reviolusi sosialisme dan norma susila. Apakah kemudian pada suatu-waktu yang bersifat kondisional ini, berdasarkan keahlian Saudara, terkait dengan hukum pidana bisa bertentangan dengan sifat kepastian hukum dari sebuah norma, itu yang saya pertanyakan. Berikutnya saya minta klarifikasi terkait dengan Undang-Undang Kepolisian Belanda, Pasal 1 di mana Polisi tadi mempunyai tugas preventif dan refersif. Apakah dalam undang-undang tersebut juga mengatur tentang Kejaksaan? Atau hanya Kepolisian saja? Karena yang saya tahu, Kejaksaan hanya berfungsi sebagai tugas prisekutorial, tidak mempunyai tugas untuk yang bersifat preventif apalagi melalui pengawasan. Terima kasih. 39.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Cukup? Silakan.
31
40.
KUASA HUKUM PEMOHON: NURSYAHBANI KATJASUNGKANA (PERKARA NOMOR 20/PUU-VIII/2010) Kepada Ahli. Tadi dimulai dengan pernyataan bahwa ada tension yang panjang sekali dan selalu terjadi di masyarakat, atau bahwa kebebasan itu selalu akan berhadapan dengan kekuasaan atau bertentangan dengan kekuasaan dan kepentingan umum itu bertentangan dengan kepentingan individu. Dari perspektif hak asasi manusia, seharusnya kekuasaan yang diberikan kepada negara, itu justru seharusnya menjaga, memproteksi, mempromosikan, memenuhi kebebasan warga negara dan bukan menggunakan kekuasaan itu untuk menindas kebebasan warga negara. Nah, saya mempertanyaakan atau bertanya kepada Ahli, bagaimana pendapat Ahli mengenai perspektif ini yang dianut secara universal, bahwa justru tugas negara dengan kekuasannya itu menjaga kebebasan warga negara. Terima kasih
41.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Baik, silakan kepada Pemerintah. Untuk Pemerintah tidak banyak pertanyaannya yang pokok itu masalah persetujuan Presiden atas materi keterangan dan juga bagaimana bisa terjadi penyamaan antara pelarangan dan Pengawasan. silakan.
42.
PEMERINTAH: FACHMI (DIREKTUR TUN JAMDATUN) Kejaksaan dan Menkumham diberikan surat kuasa khusus oleh Presiden untuk mewakili Pemerintah dalam menanggapi gugatan Nomor 13 dan Nomor 20 ini. Dan tentu saja substansinya, yang disusun pihak Pemerintah, dalam hal ini yang mewakili pemerintah yaitu Kejaksaan Agung dan Kementerian Hukum dan HAM. Kementrian Hukum dan HAM sudah dikoordinasikan dan isinya tentu sudah.., substansinya tentu sudah disetujui oleh yang memberikan kuasa khusus kepada yang diberi kuasa. Dengan diberikannya Kuasa berarti dia sudah percaya apa yang diberikan kita sampaikan di dalam jawaban gugatan terhadap permohonan Pemohon. Kemudian pengawasan, yang termasuk di dalam Pasal 30 ayat (3) huruf c. Pelaksanaannya tetap mengacu kepada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1963, tidak mungkin Kejakasaan mengawasi terus memelototi terus undang undang terebut. Tentu harus ada tindakan, tindakan itu dalam bentuk tindakan preventif. Jadi kalau mengawasi atau hanya
32
memelototi saja itu berarti memang tidak ada gunanaya undang undang itu dan tidak bisa diimplementasikan. Implementasinya adalah pengamanan tindakan preventif untuk pelaksanaan daripada Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tersebut. Mungkin itu jawaban Pemerintah, terima kasih Pak. 43.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Baik, kepada Ahli Prof. Andi Hamzah.
44.
AHLI DARI PEMERINTAH: ANDI HAMZAH Mengenai pertanyaan, mengapa tidak dipakai saja yang refresif itu, itu kalau penghinaan, fitnah, ada Pasal 310, 311 sampai sekian. Kalau pemerasan ada Pasal 368, kalau pengancaman ada Pasal 369, kalau penghasutan ada Pasal 160, itu tindakan represif. Apalagi Kejaksaan Indonesia sama dengan Belanda menganut asas oportunitas. Jadi sistem ini mengatakan the public perscuter may desain conditionally or unconditionally make percusion court or not. Penuntut Umum dapat memutuskan dengan syarat atau tanpa syarat untuk melakukan penuntutan ke pengadilan. Jadi kalau masih ada yang lebih ringan, yaitu prefensi melarang buku itu jangan sampai timbul akibat lebih jauh, reaksi terjadinya tindak pidana, adanya main hakim sendiri dan seterusnya. Sehingga lebih baik dipakai tindakan preventif lebih dulu itu daripada tindakan represif. Kemudian mengatakan tadi, Pasal 1 Undang-Undang Kepolisian Belanda, Politie Wet bukan polisi, Pak. Ini Jaksa Agung, Jaksa Agung dalam Undang-Undang Kepolisian Pasal 1 procureur general. Kalau procureur general di Belanda itu biasanya jaksa, Jaksa Tinggi, jaksa tetapi ada pengadilan tinggi adalah kepala polisi preventif dan refrensif di dalam Undang-Undang Kepolisian. Jadi di Belanda, Perancis dan yang lain lainnya itu, Jaksa Agung mengapa lain? Kepolisin preventif dan refresif, jadi ada wewenagnya di bidang perfensi. Di sini juga ada wewenangnya di bidang prefensi disebut dalam Undang-Undang Kejaksaan dengan adanya Jaksa Agung Muda intelejen itu. Kemudian dari Ibu ini.., bahwa memang negara harus melindungi warga negaranya, satu persatu. Tetapi tidak boleh warga negara itu yang dilindungi itu memakai kebebasannya, sebebas bebasnya sehingga mengganggu orang lain. Jadi misalnya kita ini, bahkan sudah banyak toleransi di masyarakat kita. Misalnya ada layar tancap, di orang Betawi. Bebas untuk menyanyi pakai load speaker digantung di pohon itu, sampai seluruh kampung tidak bisa tidur, sampai pagi, itu masih di toleransi. Coba itu terjadi di dunia barat, coba itu terjadi Belanda pasti dilarang. Karena mengganggu ketertiban orang lain. Inilah yang dimaksud dengan itu bahwa memang harus ada keseimbangan antara kebebasan individu dan dan kepentingan umum yang mau dilindungi.
33
Saya kira tidak ada lagi yang saya kemukakan di sini. 45.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Ada satu Prof, ini, bagaimana sebuah produk proses akademik itu bisa dinilai melalui prosedur kekuasaan?
46.
AHLI DARI PEMERINTAH: ANDI HAMZAH Ya, jadi bagaimana suatu akademik itu? Ya kalau akademik itu misalnya kalau kita ini guru besar ya? kan ada peneliti di Dikti ya? Menilai angka kredit apa ini layak sebagai profesor atau tidak. Di situ penilaian untuk akademik. Sekarang, kalau ini mengenai tulisan, maka caranya telah mengusulkan tadi agar sebelum Jaksa Agung memutuskan larangan itu mendengar dulu satu tim yang banyak pakar di situ. Ada pakar hukum pidana, yang namanya Panelis, ada sosiolog, ada kriminolog, ada alim ulama, ada budayawan. Di situ bisa ditarik kesimpulan kalau mereka mengatakan ini memang wajar untuk dilarang dengan demikian Jaksa Agung mendapat dukungan masyarakt luas bahwa pelarangan ini bukan kemauan Pemerintah saja, tapi juga masyarakat menghendaki. Demikian usul saya, terima kasih.
47.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Ya, demikian jabawan dari Pemerintah dan Ahli. Mungkin Pak Hakim ada yang (...)
48.
KUASA HUKUM VIII/2010)
PEMOHON
(PERKARA
NOMOR
20/PUU-
NOMOR
20/PUU-
Pak Ketua, ada yang belum dijawab 49.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Mana yang belum dijawab?
50.
KUASA HUKUM VIII/2010)
PEMOHON
(PERKARA
Terkait dengan penjelasan Pasal 1 tentang public order, ketertiban umum, di situ ada penekanan yang pada suatu saat yang bersifat kondisional yang merujuk pada penjelasan Pasal 1 tersebut adalah yang mengganggu revolusi sosialisme. Kalau kita bayangkan dalam saat ini, maka kita bisa bilang bahwa buku-buku yang justru saat ini mengkampanyekan sosialisme seharusnya tidak dilarang karena
34
penjelasan tesebut juga berbicara tentang harusnya memproteksi jalannya revolusi sosialisme dan yang lain-lain. Jadi saya mempertanyakan dalam sudut ilmu pidana mengenai kepastian hukum dan lain-lain dari Pasal 1 ini. Terima kasih. 51.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Ya, silakan Ahli,
52.
KUASA HUKUM PEMOHON: TAUFIK BASARI (PERKARA NOMOR NOMOR 20/PUU-VIII/2010) Ada satu lagi Majelis soal pengawasan Saya tadi minta ditunjukan, termasuk juga dari Pemerintah juga tidak menjawab. Di dalam Undang-Undang Kejaksaan, saya tidak membicarakan Undang-Undang Nomor 4/PNPS Tahun 1963. Di dalam Undang-Undang Kejaksaan, pasal mana yang memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk melakukan pelarangan, pertanyaan saya itu. Tunjukanlah, kalau ada tunjukanlah, kalau tidak ada, harus jujur katakan tidak ada. Terima kasih.
53.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Pasal yang memberi kewenangan kepada Kejaksaan untuk melakukan pelarangan.
54.
PEMERINTAH: FACHMI (DIREKTUR TUN JAMDATUN) Tadi saya sebutkan bahwa dari Pasal 30 ayat (3) butir c tersebut memang di situ disebutkan pengawasan. Tapi pengawasan itu saya sebut bukan hanya memolototi, tentu ada tindakan. Tindakan itu kita laksanakan dengan Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963. Itu jawabannya.
55.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Oke, baik, tidak harus sependapat karena nanti Majelis Hakim yang akan memberikan penilaian akhir. Silakan, Prof. Andi Hamzah, masalah kondisional tadi.
56.
AHLI DARI PEMERINTAH: ANDI HAMZAH Yang tercipta zaman orde lama itu selalu ada revolusi, sosialisme, dan seterusnya. Selalu begitu, otomatis, semua Penpres, undang-undang
35
yang ke luar begitu. Dengan demikian menurut pendapat saya, setelah disaring oleh MPRS dan telah dijadikan undang-undang, maka hanya materinya yang diambil. Pertimbangannya tidak perlu diambil lagi karena sudah tidak sesuai dengan keadaan sekarang, itu pendapat saya. 57.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Baik, kalau begitu Majelis Hakim. Ada, Pak Akil, Pak Alim. Ya, silakan Pak Akil.
58.
HAKIM ANGGOTA: M. AKIL MOCHTAR Kepada Ahli ya? Kalau kita melihat Undang-Undang Kejaksaan Pasal 30 ayat (3) huruf c itu memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk melakukan pengawasan terhadap peredaran barang cetakan. Tetapi kalau kita melihat Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 itu, itu mengenai pengamanan terhadap barang-barang cetakan yang isinya dapat menggangu keteriban umum. Sebagaimana kita ketahui di dalam hukum pidana itu kan banyak sekali atau secarta definitif yang dimaksud dengan mengganggu keteriban umum berdasarkan KUHP itu ada bermacam-macam. Nah tetapi kalau kita melihat pasal-pasal yang diatur di dalam PNPS Nomor 4 Tahun 1963 ini, ini satu tidakan yang dapat diambil, yang tidak memerlukan adanya satu akibat. Nah sedangkan misalnya satu karya cetakan yang isinya dinilai oleh Kejaksaan sebagai institusi yang diberikan kewenangan itu, pelarangannya didasarkan atas bahwa ini kalau beredar asumsinya atau akibatnya yang akan timbul, yang akan bisa menggangu ketertibnan umum. Di bagian lain tindakan-tindakan yang menggangu ketertiban umum, di dalam KUHP dan Putusan Mahkamah Konstitusi juga sudah di berikan beberapa catatan haruslah merupakan delik materiil, haruslah ada akibat gitu sehingga pertimbangan sujektifitasnya sangat bisa dihindarkan. Artinya pertanggujawaban pidana itu, itu diakibatkan oleh satu perbuatan, apakah perbuatan itu lahir dari pikiran dalam bentuk buah karya? Nah ini tidak PNPS ini. Nah saya ingin satu pendapat Ahli, sebagai Ahli Pidana satu tindakan yang tidak menimbulkan akibat materiil sebagaimana yang ditentukan dalam KUHP seperti ini, apakah secara langsung memberikan kewenangan adalah satu tindakan pemberian, katakanlah cek kosong saja begitu kepada institusi itu dengan satu penilain yang subjektif kondisinya harus tetap dipertahankan seperti itu, dengan perubahan dan perkembangan nilai yang terjadi. Apakah PNPS ini tidak sebaiknya misalnya masuk di dalam satu undang-undang tersendiri karena dia berkaitan dengan kebebasan berpikir dan berpendapat yang secara langsung mengurangi kebebasan hak-hak asasi dari pada warga negara,
36
maka dia harus perlu diatur dengan undang-undang yang tentu konsderannya menjiwai konstitusi yang juga telah mengalami perubahan. Saya ingin pendapat Ahli dari sisi itu, terima kasih. 59.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Pak Alim.
60.
HAKIM ANGGOTA: M. ALIM Terima kasih Pak Ketua. Saya tujukan kepada Ahli. Ahli tadi mendengarkan bahwa para Pemohon merasa keberatan berhubung dengan, tanpa melalui suatu proses peradilan Kejaksaan Agung bisa menetapkan satu buku ibaratnya menjadi, ditetapkan menjadi buku yang terlarang diedarkan. apakah menurut Ahli mereka yang mendapat keputusan, karyanya mendapat keputusan dari Jaksa Agung yang sifatnya keep, konkret, individual dan final. Mereka tokh bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan PTUN yang bisa memberikan satu putusan apa benar, berdasar hukum ini larangan yang dilakukan, penetapan Kejaksaan Agung atau tidak? Itu kan merupakan suatu due proces of law kalau menurut saya. Bagaimana kalau menurut Ahli? Terima kasih Pak Ketua.
61.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Pak Fadlil.
62.
HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Masih sekitar due proces of law, yang di sini dalam kasus ini maksud saya Pemohon itu sebenarnya kalau saya menangkap sebagian keberatannya adalah letaknya justru di sini, di due proces of law itu. Jadi bahwa kebebasan untuk menyatakan pendapat itu adalah hak asasi, oke. Bahwa ekspresi dari hak asasi itu boleh dibatasi oke begitu ya? Tapi pembatasannya itu harus dengan undang-undang. Ini sampai sejauh ini oke, tapi ketika ada suatu lembaga yang bernama Kejaksaan Agung itu diberi kewenangan untuk mengawasi, sepertinya mengawasi ini merupakan bagian dari fungsi negara dalam mewujudkan public order, juga melindungi warga negara dari apa namanya, seranganserangan yang tadi disebut tadi ada penghinaan dan seterusnya itu. Pengawasan ini tentu berbeda dengan pelarangan, tadi saya sudah mendengar seperti itu dari Pemohon. Pelarangan sebenarnya merupakan suatu tindakan kelanjutan dari pengawasan yang tadi oleh Kejaksaan
37
sepertinya dipandang sebagai suatu hal yang tidak ada gunanya, kalau Kejaksaan itu hanya melototi ini saja begitu, Di sinilah lalu muncul satu soal, apakah pelarangan itu merupakan tindakan yang masih dalam ruang lingkup administratif atau pelarangan itu sudah masuk dalam ranah yang bersifat karena ada kerugiankerugian yang lain? Misalnya sebagai penerbit misalnya ada kerugian material yang bersifat perdata, sebagai intelektual yang meneliti ada kerugian-kerugina yang immaterial yang tidak bisa dinilai, yang bisa jadi pelarangan ini kalau dilakukan dengan tidak memperhatikan aspek-aspek hukum administrasi yang lain akan mengarang kesewenang-wenangan. Oleh karena itu due proces of law sebenarnya diharapkan meniadakan tindakan kesewenangan-wenangan dari negara ini terhadap pelarangan ini. Pertanyaannya adalah, bagaimana pandangan Ahli dan juga pandanan dari Pemerintah, terkait dengan soal pelarangan yang sebenarnya merupakan kewenangan yang bersifat yuridis yang harus didasarkan kepada undang-undang sebagai suatu implementasi dari ide negara hukum itu di Indonesia yang tadi ditanyakan hukum materiilnya justru ada pada undang-undang di PNPS itu? Bagaimana kecenderungan memandang kecenderungan dari warga negara yang makin demokratis ini, yang semula merupakan satu tindakan yang cukup sepihak dari kewenangan negara terhadap warga negaranya, yang sekarang diinginkan oleh warga negara itu haru diproses melalui due proces of law. Kalau perlu melalui mekanisme yudisial, tadi katakan saja ada ide dari Prof. Andi Hamzah bagaimana kalau cleaning house-nya diperluas content-nya tapi Pemohon juga menghendaki tidak cukup untuk diperluas serta itu masih ada nilai-nilai subjektivitas yang tinggi. Bagaimana kalau ini dilakukan melalui kewenangan Kejaksaan di bidang, substansinya sendiri tugas pokoknya sendiri yaitu dalam rangka ranah hukum pidana. Terima kasih. 63.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Terima kasih Bapak Ketua Kepada Ahli Hukum Pidana. Kalau pemahaman saya, hukum pidana itu syarat dengan nilai. Nilai buruk sebagaimana tadi dicontohkan bahwa pakai helm itu tidak ada nilainya, tapi itu ada satu hal yang dipertaruhkan yaitu keselamatan dan kepentingan umum. Persoalan nilai, keselamatan atau kepentingan umum atau juga ketertiban umum ini saya kira juga akhirnya juga bukan barang yang statis, barang yang dinamis. Sekarang dengan perubahan-perubahan yang kita alami sekarang ini, apakah tidak akan ada tempat bahwa ukuran-ukuran ketertiban umum, kepentingan umum juga mengalami dinamitasi, apalagi terkait dengan gerakan-gerakan terkait dengan adanya suatu jaminan-jaminan hak asasi manusia dewasa ini, itu yang pertama.
38
Yang kedua ini larangan yang dilakukan oleh Kejaksaan ini, lalu melakukan penyitaan larangan terbit. Kaitannya dengan proses biasa, sebetulnya kok proses biasa itu tingkatnya masih dakwaan, ini sudah didakwa, diputuskan sendiri dilakukan sendiri, ini yang dilakukan oleh buku-buku itu. Apakah mekanisme peringatan juga tidak ada di situ? Karena kalau ada mekanisme peringatan tentunya juga ada hak jawab bagi mereka yang diperingatkan, ada pembelaan dan sebagainya. Yang berikutnya adalah kalau toh ini mungkin, seiring dengan pertanyaan salah satu hakim masuk ke PTUN, karena ranah daripada larangan ini tidak hanya persoalan formal, kenapa diterbitkan tanpa izin lalu, tapi substansi. Padahal kalau PTUN itu nanti kaitannya substansi itu sudah, karena juga ada hal-hal yang berkaitan sudah merupakan perbuatan pidana, apakah itu menghasutkan, penghinaan, dan lain sebagainya itu substansi. Padalah itu yang dinilai oleh Kejaksaan, kalau PTUN apakah PTUN menilai substansi itu? Kita kan menilai bahwa itu termasuk substansi dari penodaan agama, termasuk substansi dari porno dan lain sebagainya Sebagai ahli bagaimana menghadapi persoalan ini yang itu menurut saya di depan mata. Terima kasih.
64.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Bu Maria.
65.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Terima Kasih Pak Ketua. Saya mau menanyakan pada Pemohon Perkara Nomor 20, di sini di dalam halaman Nomor 14 Anda mengajukan alasan-alasan pengujian formil. Nah di dalam angka 45-48 ini dijelaskan di sini bahwa pengujian formil itu diajukan oleh karena adanya situasi yang sudah berbeda daripada saat pembentukan Penpres ini sampai saat ini. Kalau kita memakai, alasan ini apakah dengan demikian tidak semua undang-undang yang pernah ada itu kemudian menjadi hilang? Karena kalau formal, maka formal itu di sini dikatakan ada Kerangka acuan ya? Sebagaimana sejarah (suara tidak jelas) kita dan bahkan di sini ada, apa bagian konsideran Penpres Nomor 4 Tahun 1963 yang menyatakan bahwa pengaruh buruk terhadap usaha-usaha mencapai tujuan revolusi, bagian ini menyatakan bahwa dibutuhkan suatu pengaturan untuk menyelamatkan jalannya revolusi Indonesia. Mungkin pada saat undang-undang ini dibuat Perpres ini dibuat memang memang seperti itu. Nah sehingga kalau kita melihat seperti sekarang, saya selalu mengatakan konsideran itu biasanya berisi kalimat-kalimat bahasa
39
Malaikat ya, sulit untuk diterjemahkan begitu itu karena masih tujuannya sangat muluk-muluk begitu. Tapi kalau kita melihat seperti ini kemudian, apakah dengan berbedanya Undang-Undang Dasar ya? Berbedanya sistem ketatanegaraan, kalau dulu kedaulatannya di tangan rakyat dilaksanakan oleh MPR, sekarang berbentuk Undang-Undang Dasar. Apakah kemudian pengujian formal ini beralasan? Oleh karena kalau sekarang, memang kalau dulu tidak ada aturan pembentukan undang-undang. Tapi sekarang dengan adanya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pembentukan UndangUndang, maka tentunya ini sudah tidak bisa berlaku, tapi saya rasa secara formal dengan adanya ketentuan peralihan dalam setiap UndangUndang Dasar, secara formal itu tetap beda ya laku. Kecuali kalau bagian substansinya, mungkin substansinya akan berbeda dari UndangUndang Dasar yang lalu dengan Undang-Undang Dasar sekarang. Saya minta penjelasan di sini. 66.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Baik, saya persilakan Ahli dulu yang paling banyak mendapatkan pertanyaan. Baru nanti Pemerintah mungkin kalau mau menjawab itu juga Pemohon.
67.
AHLI DARI PEMERINTAH: ANDI HAMZAH Hakim Konstitusi, Akil Mochtar, memang delik tindak pidana itu ada dua macam, ada yang formil ada yang materiil. Formil itu dengan mengucapkan, sudah terjadi delik tidak perlu ada akibat. Banyak di dalam KUHP yang begitu demikian itu. Dengan mengucapkan saja, kamu cantik sekali persis monyet di Ragunan, sudah tindak pidana tidak ada akibat, tidak gatal-gatal juga tidak, itu sudah tindak pidana. Begitu juga penghasutan. Menghasut orang supaya melakukan tindak pidana, menghasut orang supaya menyerbu toko-toko sebagainya, tidak ada orang dengar dianggap orang gila sudah tidak dipidana itu namanya delik formil. Dan semua negara punya delik formil seperti itu penghinaan, penghasutan, pengancaman, pemerasan, yang diperas tidak apa-apa, ya sudah terjadi tindak pidana. Bahkan pencurian juga termasuk delik formil . Delik materiil seperti pembunuhan harus ada yang mati, itu delik pembakaran harus ada terjadi kebakaran. Ya ada 2 macam, dalam hal ini pelarangan ini ada kaitannya dengan delik formil itu. Sudah saya katakan tadi bahwa Jaksa itu boleh memilih, apakah saya langsung tuntut pidana dengan resiko ini, ini atau cukup saya prefensi (mencegah) supaya jangan timbul akibat yang tidak diharapkan. Oleh karena itu masuk di bidang intelejen, Jaksa Agung Muda Intelejen. Intelejen itu juga kan membuat perkiraan-perkiraan, kalau begini apa
40
akan terjadi, membuat pencegahan-pencegahan, memang tugasnya demikian. Kemudian juga misalnya lebih anu lagi. Badan Sensor Film, itu sudah ada sejak Undang-undang Ordonansi Film, film ordonansi, itu sudah ada tahun 1940 sama Belanda sudah ada, ada sensor film itu juga pencegahan. Bahkan kalau Jaksa Agung itu masih penegak hukum, bahkan dimana pun di dunia ini Jaksa Agung ini masih penegak hukum tertinggi. Kalau BSF itu orang-orang kumpulan orang-orang, bukan penegak hukum tapi dia bisa melarang adanya beredarnya suatu film, bahkan dapat memotong dan sebagainya itu. Ini mengenai delik materiil dan (suara tidak jelas). Yang ditakutkan perhitungan intelijennya akibat akan timbul, kalau ini beredar, itu kan? Memang tentu itu subjektif, perkiraan intelejen maka itu tadi juga ada apa namanya BIN di situ, ada orang BIN di sana di clean house itu, bisa terjadi. Berdasarkan pengalaman yang lalu memang terjadi, belum sampai demikian, hanya satu guru SMA mengucapkan kata Tom tidak membuat buku, maka bisa dibakar. Itu dikawatirkan terjadi seperti itu. Bagaimana kalau Front Pembela Islam yang keluar? Kemudian mengenai keputusan, keputusan ini memang keputusan administratif. Jadi saya sependapat dari yang mulia hakim agung Hakim Konstitusi ini. Bisa juga dituntut di TUN, ini ada macam-macam sebenarnya bahkan bisa dituntut perdata, kalau merasa dirugikan misal tuntut Jaksa Agung, negara ganti kerugian perdata. Jadi macam-macam segi hukum tidak timbul sini, administratif, perdata dan pidana. Kemudian mengenai pengawasan. Pengawasan itu untuk mencegah beredar bukan melarang, mencegah beredar. Menurut keterangan dari JAMINTEL ini sekarang ini di kantor pos sudah ada 2 ton, 4 ton gambar porno, majalah porno. Ada 4 ton, bayangkan kalau dimasukkan Indonesia ini? 4 ton majalah-majalah porno, ini ya memang ini ada masalah khas Indonesia mengenai porno ini. Karena di Paris di kios-kios banyak dijual itu. Dijual di Paris, teman saya dari Kejaksaan beli, ada di jual di Paris, di Amsterdam ada toko sex. Jadi sini memang ada hal khusus seperti yang saya katakan tempo hari bahwa ada tiga hal yang tiap negara akan berbeda tidak masalah itu tidak netral. Mengenai penghinaan itu semua negara ada itu, mengenai penghasutan ada semua. Tapi ada tiga hal negara akan berbeda, itu kesusilaan, ada negara makin hal makin lunak seperti Belanda, Jepang dan sebagainya. Ada negara makin lama makin kencang, tapi Indonesia ada UndangUndang Pornografi. Kemudian masalah delik agama. Indonesia makin hari makin keras dan negara lain seperti RRC tidak ada delik agama, menghina agama boleh-boleh saja. Yang ketiga ideology, delik ideologi. Hampir semua negara tidak mengatur delik ideologi, hanya dua Negara mengatur yaitu RRC positif, menghina komunisme adalah kejahatan serius. Indonesia persis terbalik, mengajarkan, menyebarkan komunisme tindak pidana menurut KUHP
41
setelah 1998. Jadi buku, buku yang ini sebenarnya sudah melanggar KUHP karena di sini ada palu arit di depan. Ini penyebaran ajaran komunisme, ada terbayang ada palu arit. Ini kalau dipidanakan, banyak orang yang belum membaca barangkali tambahan KUHP sesudah 1998 itu, zaman Presiden Habibie Menteri Kehakiman Muladi, disitulah masuknya. Ada itu sudah menjadi tindak pidana. Tidak berarti orang mengajar di kelas dipidana, Fakultas Ekonomi pasti mengajar marxisme, sosiologi, guru sosiologi dosen sosiologi harus pasti mengajar marxisme. Tapi itu bukan menyebarkan, itu sebagai ilmu pengetahuan boleh saja. Kita boleh membaca ajaran-ajaran marxisme tapi kita tidak boleh provokasi orang ini ajaran bagus sekali supaya orang anut, ini tindak pidana menurut KUHP. Lalu dibaca sendiri, ya tidak apa-apa, boleh mengajar, jangan diartikan menjadi luas. Kemudian larangan terbit tadi, apakah tidak ada peringatan? Bagaimana mau diperingati, sudah keluar, sudah keluar jadi buku apa yang mau diperingati? Saya kira cukup itu saja yang bisa saya kemukakan. 68.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Pemerintah mau menjawab atau mau menjawab secara tertulis dalam kesimpulan, silakan boleh pilih.
69.
PEMERINTAH: FACHMI (DIREKTUR TUN JAMDATUN) Biar lebih lengkap kita jawab dalam Kesimpulan tertulis saja Pak.
70.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Ada pertanyaan dari Ibu Maria,
71.
KUASA HUKUM PEMOHON: TAUFIK BASARI (PERKARA NOMOR 20/PUU-VIII/2010) Baik menjawab pertanyaan dari Hakim KONstitusi Prof. Maria. Seperti sudah kami jelaskan dalam permohonan, kami melihat bahwa Undang-Undang Nomor 4 PNPS Tahun 1963 itu awalnya adalah Penetapan Presiden, dibuatnya di masa darurat, dibuatnya dalam kondisi yang seperti itu dulu, kita semua bisa lihat sejarahnya. Nah kemudian undang-undang ini mengalami screening dengan TAP MPR Nomor 19 Tahun 1966 yang kemudian ditetapkan menjadi undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969, dengan ukuran saat itu. UUD saat itu sebelum perubahan dan kondisi sosial politik orde baru, yang baru lahir pada saat itu.
42
Nah, yang berikutnya kita sudah tahu juga bahwa, kita mengalami perubahan yang UUD 1945 tahun 1999 sampai tahun 2002, di mana ada tambahan ukuran ada penghormatan terhadap hak asasi manusia, ada penetapan terhadap demokratisasi, ada penegasan terhadap negara hukum dan sebagainya. Nah ukuran UUD perubahan tentu ada perbedaan dengan UUD yang lama plus kondisinya juga sangat berbeda. Nah kami melihat ada amanat di dalam Pasal 2, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 yang menegaskan perlu dilakukan perbaikan dan penyempurnaan terhadap Penetapan Presiden yang dijadikan undangundang itu. Nah oleh karena itulah, maka pertanyaannya dimanakah dimana diujinya selain bukan di Mahkamah Konstitusi ini, dengan ukuran UUD pasca perubahan. Jadi kami pikir ketika ada yang melakukan permohonan, menguji meminta ada pengujian kembali dengan ukuran pada saat ini Penetapan Presiden yang dahulu maka Penetapan Presiden itu, dalam hal ini Nomor 4 Tahun 1963 maka menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melihatnya dengan ukuran sekarang. Kami untuk mendukung argumentasi ini, kami juga siap menghadirkan Saksi Sejarah, bagaimana proses Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1963 ini kemudian ditetapkan menjadi undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969. Akan kami hadirkan pelaku sejarahnya, yang mudah-mudahan bisa membuka ruang sejarahnya bagaimana kondisi politik saat itu, yang bisa kita lihat bahwa memang ada sesuatu yang janggal di situ. Kami harap di sidang ini bisa membuka sejarah pada saat penetapan undang-undang tersebut. Mungkin ada tambahan? 72.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 20/PUU-VIII/2010 Sedikit tambahan Majelis. Bahwa salah satu yang dimandatkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 adalah perlunya perbaikan dan penyempurnaan, itu yang pertama. Yang kedua, bahwa maka dalam konteks saat ini bahwa Mahkamah Konstitusilah yang paling tepat untuk melakukan perbaikan penyempurnaan terhadap norma-norma yang ada secara formil, itu menjadi yang dimungkinkan. Saya kemudian merujuk kepada pertimbangan Majelis Hakim Konstitusi terkait dengan penggunaan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pembuatan Undang-Undang, yang itu tidak satu-satunya untuk menjadi sebagai bahan untuk mengukur sebuah proses formil atau harmonisasi terhadap perundang-undangan. Yang itu ada termuat dalam Putusan judicial review PNPS 1 Tahun 1963. Jadi kami melihat bahwa ini adalah sebuah argumentasi bertingkat yang tadi telah disampaikan oleh rekan kami dan sampai saat ini dengan norma
43
yang ada, dengan politik hukum yang baru dengan adanya TAP MPR Tahun 1998, tentu ini berbeda sekali dengan Tap MPR 1966 yang menscreening pada saat itu PNPS-PNPS produk demokrasi terpimpin. Terima kasih. 73.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, kalau demikian jawaban Anda. Berarti Anda tidak hanya mengatakan pengujian formil semata ya? Jadi pengujian formil itu dikaitkan dengan pengujian materiil itu. Karena kalau formil itu pembentukan yang dulu, kalau sekarang kan tidak. Jadi kalau Anda pas kedua-duanya, maka itu. Karena dalam alasan formil Anda, itu dilihat pada kaitan sejarah pembentukannya, jadi bukan pembentukan dengan materinya ya? Terima kasih.
74.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 20/PUU-VIII/2010 Di sini juga ada permohonannya juga materiil dan formil. Terima kasih.
75.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Ya, baik, nanti sidang berikutnya kalau memang mau mengajukan Ahli atau Saksi, sidang akan dibuka lagi untuk meng-clear kan persoalan tadi. Apakah latar belakang suatu undang-undang itu, kalau situasi sosiolog politisnya berubah atau undang-undangnya juga jadi tidak valid lagi. Sehingga itu artinya, misalnya semua undang-undang, termasuk UUPA yang dianggap revolusioner itu sampai sekarang harus dicabut. Undang-Undang Dasar 1945 juga tidak ada lagi karena “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa.” Dulu karena dijajah lalu lahir Undang-Undang Dasar itu, apa sekarang juga itu tidak sah? Misalnya begitu. Nanti kita clear-kan. Karena ini menarik, dari sudut akademis juga. Oleh karena itu sidang ditunda dan akan dijadwalkan kembali sesudah nanti Panitera memastikan ahli-ahli atau saksi yang harus akan dihadirkan kembali di sidang berikutnya. Baik Pemerintah maupun Pihak Terkait, maupun Para Pemohon boleh mengajukan itu lagi.
76.
KUASA HUKUM PEMOHON: NURSYAHBANI KANTJASUNGKANA (PERKARA NOMOR 20/PUU-VIII/2010) Ya, satu pertanyaan terkahir untuk Saksi.
44
77.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Untuk Ahli, silakan.
78.
KUASA HUKUM PEMOHON: NURSYAHBANI KANTJASUNGKANA (PERKARA NOMOR 20/PUU-VIII/2010) Baik, terima kasih Ketua Majelis yang kami muliakan. Saya tertarik dengan kata main hakim sendiri. Tadi yang diucapkan oleh Saksi Ahli. Nah ini dihubungkan dengan tafsir yang digunakan oleh Pemerintah dari kata “pengawas” melompat kepada kata “pelarangan.” Dengan menggunakan wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang PNPS, itu tadi dari Pemerintah. Nah, ada jarak yang jauh sekali, baik dari segi sosiologis, filosofis maupun yuridis antara Undang-Undang Kejaksaan yang sudah mengganti kata “pengamanan” dengan sekedar “pengawasan” dengan kata “pelarangan” yang digunakan oleh Undang-Undang PNPS, sehingga dengan mengikuti tafsir yang digunakan oleh Pemerintah dan juga saya kira Kejaksaan Agung, itu kemudian terjadi fungsi pengawasan itu menjadi fungsi eksekusi. Dengan melarang, nah apakah itu tidak merupakan main hakim sendiri, itu pertanyaan saya.
79.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Silakan Ahli.
80.
AHLI DARI PEMERINTAH: ANDI HAMZAH. Saya ini kira bukan main hakim sendiri, main hakim sendiri itu terjadi di kerusuhan di dalam masyarakat, bukan oleh penegak hukum. Ini saya sudah berkali-kali katakan bahwa ini fungsi berhenti bukan fungsi represif. Kemudian juga saya perlu tambahkan, bahwa banyak sekali undang-undang yang pertimbangannya sesuai dengan situasi politik, ekonomi, zaman, waktu dibuat, yang kemudian masih tetap berlaku sampai sekarang, tapi hendaklah dibaca hanya materinya isinya saja yang berlaku. Pertimbangannya tidak sesuai lagi dengan keadaan. Misalnya saja, Belanda membuat undang-undang Tahun 1948, melarang membawa senjata api, bom sampai pidana mati. Pertimbangan Belanda itu untuk TNI, untuk para pejuang Republik ini, mau dihukum mati membawa senjata tanpa izin, itu tahun 1948. Undang-undang itu kemudian diambil alih oleh Republik Indonesia menjadi Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951, bunyinya persis, larangan membawa senjata api, bahan peledak dengan pidana 45
mati. Sekarang diterapkan kepada DI/TII pemberontak dan dulu Belanda membuat untuk TNI sebenarnya. Masih tetap sama itu. Jadi saya kira khusus untuk Indonesia banyak sekali undang-undang semacam ini yang sudah tadi dikemukakan Yang Mulia Ketua bahwa Undang-Undang Dasar itu sebenarnya membuat situasi seperti itu, kemerdekaan adalah hak segala bangsa karena kita belum berhak merdeka. Jadi situasi waktu itu dan sekarang berbeda. Masalahnya adalah isinya yang perlu, apakah masih perlu dipakai atau tidak? Mungkin maksudnya sebenarnya pada tahun 1963 itu jayajayanya PKI, justru mungkin maksudnya untuk lawan-lawan PKI dipakai ini dan segala macam itu. Tapi terbalik sesudah G30S dipakai untuk mereka. Sekian dan terima kasih. 81.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Baik, memang sidang ini tidak harus mengambil kesepakatan antar pihak, dikemukakan saja semua pendapat yang analitis, sehingga nanti Mahkamahlah nanti yang akan menyaring berbagai pendapat itu juga melalui perdebatan-perdebatan yang forumnya tersedia di Mahkamah ini. Baiklah sidang ditutup untuk kemudian akan, kalau masih mau mengajukaN Ahli, kami beri waktu paling lama satu minggulah untuk menyampaikan nama-nama ahli dan saksi kepada semua Terkait, Pemerintah, Pemohon 1, 2, dan seterusnya. Dan kalau dalam seminggu itu tidak ada berarti sidang-sidang ini dianggap cukup dan jadwal sidang berikutnya adalah pengucapan putusan dengan menunggu kesimpulan-kesimpulan akhir, terhitung dua minggu sesudah kepastian sesudah kepastian ada sidang atau tidak itu nanti. Baik dengan demikian sidang dinyatakan selesai. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 16.18 WIB
Jakarta, 11 Mei 2010 Kepala Biro Administrasi Perkara dan Persidangan
Kasianur Sidauruk 46