ABSTRAK
ANALISIS INCOME INCREASING DISCRETIONARY ACCRUAL PADA PERIODE SEBELUM DAN SETELAH GO PUBLIC (Survei Pada Perusahaan Yang Terdaftar Go Public di BEI) Oleh : Ikrimah Rifqi Afifah NPM. 113403246 Dibimbing Oleh : H. Tedi Rustendi, S.E., M.Si., Ak., CA R.Neneng Rina. A., S.E., M.M., Ak., CA
Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dengan tujuan untuk mengetahui apakah indikasi income increasing discretionary accrual terjadi pada periode sebelum dan setelah go public pada perusahaan yang terdaftar IPO di BEI tahun periode 2010-2012. Penelitian ini dilakukan mengingat peristiwa go public merupakan salah satu peristiwa penting bagi perusahaan dalam mencetak masa keemasan untuk menjaga kelangsungan usahanya ditengah pesatnya perkembangan pasar modal dan ketatnya persaingan bisnis menjelang MEA 2015. Metode Penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan Uji Beda Paired T- Test yang menguji rata-rata dua sampel dua tahun sebelum dan dua tahun setelah go public. Model Accrual yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Jones yang telah dimodifikasi. Hasil pengujian terhadap 32 sampel penelitian perusahaan yang go public pada periode 2010-2012 menemukan bahwa manajemen laba dengan Income Increasing Discretionary Accrual (IIDA) tidak terindikasi pada periode sebelum dan setelah go public.
Kata Kunci: Discretionary Accrual, Go Public, Income Increasing, Total Accrual
1
1. PENDAHULUAN
Dalam perekonomian modern, Pasar modal berperan sebagai financial nerve-centre (pusat saraf keuangan) yang menyediakan berbagai alternatif investasi bagi para investor selain alternatif investasi lainnya, seperti: menabung di bank, membeli emas, asuransi, tanah bangunan, dan sebagainya. Berdasarkan Keputusan Presiden No.53 tahun 1990, Keputusan Menteri Keuangan No.1548/KMK.013/1990, Peraturan Pemerintah No.8 tahun 1995 yang merupakan serangkaian regulasi pasar modal menegaskan pasar modal sebagai salah satu institusi keuangan yang bertindak sebagai penghubung antara investor dengan perusahaan ataupun institusi pemerintah melalui perdagangan instrumen jangka panjang yang dianggap efektif bagi perusahaan untuk mengumpulkan dana dalam membiayai kegiatan operasionalnya dengan cara menerbitkan Saham maupun Obligasi dan lainnya. Ketatnya persaingan usaha mengharuskan perusahaan (emiten) memiliki dana yang cukup, apalagi menghadapi pasar bebas dengan adanya kebijakan MEA yang berlaku mulai tahun 2015. Salah satu alternatif dalam pemenuhan modal usaha adalah dengan memperoleh dana dari pasar modal atau yang biasa dikenal go public. Kegiatan go public adalah salah satu alternatif bagi perusahaan yang sedang berkembang, dimana dana yang diperoleh dari go public tersebut biasanya digunakan untuk keperluan ekspansi dan juga untuk pelunasan hutang dengan maksud untuk meningkatkan posisi keuangan perusahaan di samping memperkuat struktur permodalan. Kegiatan go public sendiri dilakukan dengan harapan dapat menjaga kontinyuitas perusahaan (going concern) sehingga perusahaan dapat tumbuh menjadi perusahaan besar. Namun, untuk mencapai hal tersebut tidaklah mudah diperlukan
strategi
yang
matang,
tidak
sedikit
perusahaan
yang
mengalami
underperformance setelah go public. Sebagaimana yang diungkapkan Martono dalam Handayani (2012) paling tidak harus dipenuhi dua hal: (1) profesionalisme dalam pengelolaan perusahaan dan (2) tambahan modal untuk melakukan peningkatan kapasitas produksi. Untuk masuk dalam pasar modal, perusahaan dituntut mempunyai keunggulan yang spesifik dalam pengendalian manajemen intern perusahaan. Terutama kemampuan untuk 2
menghasilkan laba. Kemampuan perusahaan dapat dibuktikan apabila hasil laporan keuangan
perusahaan
menunjukkan
perolehan
laba
yang
tinggi
dari
aktivitas
operasionalnya. Laba perusahaan yang memadai menjadi salah satu syarat agar perusahaan dapat memasuki pasar modal. Berdasarkan Teori Keagenan (agency theory), ada ketidakseimbangan informasi yang tinggi antara investor dengan emiten dalam kegiatan IPO. Rao (1993) dalam Handayani (2012) menyatakan bahwa pada periode sebelum terjadinya IPO, hampir tidak ada pemberitahuan apapun mengenai perusahaan yang bersangkutan baik di media massa maupun media elektronik. Satu-satunya sumber informasi yang dapat digunakan oleh para investor adalah dokumen prospektus sebagai syarat yang ditetapkan Bapepam-LK untuk perusahaan yang akan melakukan penawaran perdana saham di pasar modal. Hal tersebut memungkinkan manajemen untuk berperilaku oportunistik untuk melakukan manipulasi terhadap kinerjanya. Selain itu, dalam penyusunannya, laporan keuangan yang dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan investasi disusun atas dasar akrual, hal tersebut dipilih karena dianggap lebih rasional dan adil dalam mencerminkan kondisi keuangan perusahaan secara rill, namun disisi lain penggunaan dasar akrual memberikan keleluasaan kepada pihak manajemen untuk memilih metode akuntansi mana yang akan digunakan, selama hal tersebut tidak menyimpang dari aturan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku. Keterbatasan informasi yang dimiliki para investor mengharuskan mereka untuk mengandalkan laporan keuangan yang ada dalam Prospektus untuk melakukan penilaian atas kinerja emiten sebelum IPO dan juga menilai kemungkinan adanya manajemen laba. Hasil penelitian yang dilakukan Rahmawati (2006) dalam Dewi (2013) membuktikan bahwa semakin tinggi informasi asimetri, maka semakin tinggi kemungkinan manajemen melalukan earning management. Manajemen laba sendiri memiliki banyak pendekatan, umumnya ada tiga pendekatan yang biasa digunakan dalam manajemen laba. Pertama, increasing income,cara ini memungkinkan peningkatan laba selama beberapa periode dan biasanya banyak ditemukan dalam kegiatan IPO. Gordon dalam Riahi & Belkaoui (2011) mengungkapkan kenyataan atas adanya hubungan antara informasi akuntansi dan harga penawaran saham perdana (IPO) yang mengarahkan pada suatu anggapan bahwa pemilik 3
usaha (issuers) memiliki inisiatif untuk memilih metode-metode akuntansi tertentu yang dapat meningkatkan penerimaan (proceeds) pada saat IPO melalui pengaturan tingkat keuntungan yang dilaporkan. Hal tersebut memungkinkan terjadi mengingat peran laba sangat menentukan baik tidaknya kinerja suatu perusahaan selain itu, laba yang berkualitas akan mencerminkan kelanjutan laba (sustainable earnings) di masa depan, yang ditentukan oleh komponen akrual dan kas dan dapat mencerminkan kinerja keuangan perusahaan yang sesungguhnya. Oleh karena itu, tidaklah heran apabila laba yang tinggi memiliki ketertarikan sendiri bagi para investor. Meskipun terdapat ukuran-ukuran lain yang juga digunakan untuk mengevaluasi kinerja perusahaan, seperti return saham, EVA, dan CFO, namun laba tetap berperan penting dimata para investor dan akademisi dunia bisnis. Kedua, Big Bath. Strategi ini dilakukan melalui penghapusan (write-off) sebanyak mungkin pada satu periode. Periode yang dipilih biasanya periode dengan kinerja yang buruk atau peristiwa saat terjadi satu kejadian yang tidak biasa seperti perubahan manajemen, merger atau restrukturisasi. Strategi ini juga seringkali dilakuakan setelah strategi peningkatan laba pada periode sebelumnya. Oleh karena sifat big bath yang tidak biasa dan tidak berulang, pemakai cenderung tidak memperhatikan dampak keuangannya. Hal ini memberikan kesempatan untuk menghapus semua dosa masa lalu dan memberikan kesempatan untuk meningkatkan laba di masa depan. Ketiga, Income Smoothing yang merupakan bentuk umum manajemen laba. Pada strategi ini, manajer
meningkatkan atau menurunkan laba yang dilaporkan untuk
mengurangi fluktuasinya. Perataan laba juga mencakup tidak melaporkan bagian laba pada periode baik dengan menciptakan cadangan atau “bank” laba dan kemudian melaporkan laba ini saat periode buruk. Banyak perusahaan menggunakan bentuk manajemen laba ini. Barth, Elliot dan Finn (1999) dalam Irawan & Gumanti (2009) meneliti hubungan antara laba perusahaan sebelum go public dan harga saham. Hasil penelitian menunjukkan perusahaan dengan keuntungan yang konsisten memiliki harga saham yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki laba tidak konsisten. Hal tersebut menjelaskan kenapa manajer kerapkali menggunakan metode akuntansi tertentu untuk
4
mengatur besaran laba perusahaan pada periode menjelang go public yang biasa disebut dengan earning management. Dari sekian banyak peristiwa yang identik dengan praktek manajemen laba, manajemen laba pada saat IPO menarik untuk diteliti melihat peran laba akuntansi sangat menentukan besarnya dana yang dapat diakumulasi perusahaan dan terbatasnya informasi yang diperoleh investor untuk perusahaan yang baru menawarkan sahamnya di pasar modal. Meskipun secara prinsip praktek manajemen laba tidak menyalahi prinsip-prinsip akuntansi yang diterima umum, namun adanya praktek ini dapat mengikis kepercayaan masyarakat dan investor terhadap laporan keuangan eksternal dan menghalangi kompetesi aliran modal di pasar modal. (Scoot et al, 2001 dalam Handayani, 2012). Hingga Maret 2015 Bursa Efek Indonesia telah mencatat sebanyak 508 perusahaan yang terdaftar go public, hal tersebut mengindikasikan kebutuhan perusahaan akan pasar modal semakin tinggi dan membuat banyak perusahaan berlomba-lomba untuk menerbitkan saham melalui aktifitas Initial Public Offering (IPO). BAPEPAM dan LK telah mencatat 293 aksi penawaran saham umum perdana pasca krisis ekonomi tahun 1998, jumlah ini terbilang cukup intens bila melihat kondisi perkembangan perekonomian Indonesia saat ini. Salah satu perusahaan yang tedeteksi melakukan manipulasi dalam pelaporan keuangan (financial reporting) dengan menaikkan laba (income-increasing) adalah PT. Kimia Farma Tbk. Perusahaan yang melakukan IPO pada tahun 1999 tersebut merupakan salah satu produsen obat-obatan milik pemerintah di Indonesia. Pada audit 31 Desember 2001, manajemen Kimia Farma melaporkan adanya laba bersih sebesar Rp 132 milyar, dan laporan tersebut di audit oleh Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM). Akan tetapi, Kementrian BUMN dan Bapepam menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu besar dan mengandung unsur rekayasa. Setelah dilakukan audit ulang pada tanggal 3 Oktober 2002 laporan keuangan Kimia Farma 2001 disajikan kembali (restated), karena telah ditemukan kesalahan yang cukup mendasar dalam penilaian persediaan barang dan jasa dan kesalahan pencatatan penjualan untuk tahun yang berakhir per – 31 Desember 2001. Pada laporan keuangan yang baru, keuntungan yang disajikan hanya sebesar Rp 99,56 miliar, atau lebih
5
rendah sebesar Rp 32,6 milyar atau 24,7% dari laba awal yang dilaporkan. Kesalahan tersebut mengakibatkan overstated laba pada laba bersih untuk tahun yang berakhir. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Tri Wijayanti (2007) menemukan hasil pada satu tahun sebelum, saat, dan satu tahun setelah penawaran perdana dan periode dua tahun setelah penawaran perdana tidak terjadi manajemen laba. Selain itu hasil penelitian Irawan Gumanti (2009) juga menunjukan perusahaan tidak terindikasi melakukan earning management pada periode sebelum dan setelah go public. Waspodo (2011) menemukan dalam hasil penelitiannya bahwa perusahaan selama periode 2002-2007 tidak terbukti melakukan manajemen laba dan tidak menerapkan income increasing discretionary accruals pada satu tahun sebelum IPO dan tidak melakukan manajemen laba dengan menerapkan income decreasing discretionary accruals pada periode satu tahun dan dua tahun setelah IPO. Diah Fika (2011) meneliti praktek manajemen laba pada seluruh perusahaan yang terdaftar di BEI tahun 2002-2008. Hasil penelitian tidak dapat memberikan bukti adanya praktek manajemen laba sebelum IPO dan tidak terjadi penurunan return saham setelah IPO sebagai akibat dari manajemen laba periode sebelum penawaran. Sementara itu hasil penelitian lainnya menunjukkan hasil yang berbeda. Irawan Gumanti (2001) melakukan penelitian pada perusahaan yang terdaftar IPO di BEJ pada periode 1995-1997 dan menemukan bahwa earning management ditemukan pada periode dua tahun sebelum go public. Maylianawati & Ekawati (2005) menemukan hasil bahwa manajer melakukan manajemen laba dengan menerapkan income increasing discretionary accruals pada periode setahun sebelum IPO dan setahun setelah IPO. Aminul Amin (2007) yang meneliti manajemen laba dengan variabel underpricing dan pengukuran kinerja perusahaan menemukan hasil bahwa perusahaan yang melaksanakan IPO terindikasi melakukan kebijakan earning management tiga tahun sebelum melaksanakan IPO dan tiga tahun setelah melaksanakan IPO dengan cara memainkan komponen-komponen accrual. Novius (2011) meneliti perusahaan yang terdaftar IPO antara tahun 2005-2009 dan menemukan pendapatan perusahaan mengalami kenaikan yang tinggi pada periode 2 tahun setelah IPO. Terbukti pada periode saat IPO manajemen cenderung melakukan manajemen laba untuk menarik investor dan pada saat setelah IPO tidak terjadi perbedaan discretionary 6
accruals. Selain itu Rahmana (2011) menemukan hasil nilai DA pada periode sebelum IPO bernilai positif yang artinya perusahaan teruji melakukan income increasing discretionary accruals pada periode sebelum IPO. Hasil penemuan Herman & Raharjo (2013) juga menemukan pada perusahaan yang melakukan IPO selama periode 2001-2011 ditemukan adanya indikasi manajemen laba yang diproksikan dengan ROA pada saat IPO. Begitu juga dengan hasil temuan Rahmadhani (2014) yang menemukan bahwa perusahaan terindikasi melakukan earning management pada periode tiga tahun sebelum dan tiga tahun setelah IPO melalui discretionary accrual. Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, permasalahan yang akan di bahas dalam penelitian ini adalah : Apakah indikasi income increasing discretionary accrual terjadi pada periode sebelum dan setelah go public pada perusahaan yang terdaftar di BEI tahun periode 2010-2012 ?
2. METODE PENELITIAN
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif untuk menguji ada tidaknya indikasi manajemen laba dengan income increasing discretionary accruals pada periode sebelum dan setelah go public untuk perusahaan yang listing di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2010-2012. Rentang waktu tersebut dipilih karena keterbatasan data yang diperoleh dengan pertimbangan penetapan Standar Akuntansi Keuangan per 1 Januari tahun 2009 rata-rata dipenuhi perusahaan pada tahun berikutnya yaitu tahun 2010. Penelitian ini bersifat event study dengan analisa cross-section yang akan mengamati adanya manajemen laba pada periode dua tahun sebelum go public dan dua tahun setelah go public. Pada penelitian ini, periode sebelum peristiwa dinamakan sebagai periode estimasi (estimation period). Periode peristiwa (event period) disebut dengan periode pengamatan (windows period). Lamanya periode estimasi dalam penelitian ini selama dua tahun. Sedangkan periode pengamatan yang digunakan adalah empat tahun, yaitu dua tahun sebelum go public (Tahun T-2 dan T-1) dan dua tahun setelah go public) (Tahun T+1 dan T+2). 7
Dalam penelitian ini earning management
dengan pendekatan income increasing
discretionary accruals diukur dengan pendekatan total accruals (TA), dimana discretionary accrual digunakan sebagai proksi dari earning management yang mengacu pada penelitian terdahulu. Menurut Healy total accruals terdiri dari discretionary accrual dan non-discretionary accruals. Untuk lebih jelasnya operasionalisasi variabel akan dijelaskan pada Tabel 3.1. Dalam penelitian ini penulis menggunakan 2 variabel, adapun variabel tersebut adalah : 1. IIDA (Income Increasing Discretionary Accruals) sebelum go public sebagai variabel pertama (X1), dengan menggunakan proksi discretionary accruals. 2.
IIDA (Income Increasing Discretionary Accruals) setelah go public sebagai variabel kedua (X2), dengan menggunakan proksi discretionary accruals. Tata cara perhitungan manajemen laba dengan menggunakan model Jones yang
dimodifikasi adalah : 1. Total akrual dihitung terlebih dahulu dengan rumus sebagai berikut :
TAit = NIit - CFOit 2. Menghitung tingkat accrual
yang normal, total akrual sebuah perusahaan i
dipisahkan menjadi non-discretionary accrual (tingkat akrual yang normal) dan discretionary accrual (tingkat akrual yang tidak normal) dengan rumus sebagai berikut :
TAit = NDAit - DAit 3. Memisahkan discretionary accrual dengan non-discretionary accrual dengan rumus model estimasi akrual Jones yang dimodifikasi. 4. Menghitung besarnya tingkat discretionary accrual (tingkat akrual hasil rekayasa laba), yang dihitung dengan model estimasi Jones.
8
Tabel 1 Gambaran Operasionalisasi Variabel Variabel
Definisi Operasional
Indikator
Income increasing discretionary accruals Sebelum go public (X1)
-Income Increasing salah satu strategi manajemen laba dengan meningkatkan laba yang dilaporkan pada periode kini untuk membuat perusahaan dipandang lebih baik (Subramanyam & J.Wild, 2014)
-Discretionary Accrual adalah akrual yang nilainya ditentukan oleh kebijakan/ diskresi manajemen. (Supriyono, 2012) Income increasing discretionary accruals Setelah go public (X2)
Total accruals Model Jones :
Ukuran
Skala
Rupiah
Rasio
TAit = NDAit + DAit
Model Jones yang dimodifikasi : TAit/Ait-1 = α1 (1/Ait-1) + α 2 (ΔREVit/Ait-1 – ΔRECit/Ait-1) + α 3 (PPEit/Ait-1) + εit Keterangan : TAit = total accruals perusahaan i pada tahun t ΔREVit = perubahan pendapatan dari tahun t-1 ke tahun t (REVtREVt-1) ΔRECit = perubahan nilai bersih piutang dari tahun t-1 ke tahun t (RECt-RECt-1) PPEit = aktiva tetap perusahaan i pada tahun t Ait-1 = total aktiva perusahaan i tahun t-1 εit = error term perusahaan i tahun t Non-discretionary accrual NDAit = α1(1/Ait-1) + α 2 (ΔREVit/Ait-1– ΔRECit/Ait-1) + α 3 (PPEit/Ait-1) Discretionary accrual DAit = TAit / Ait-1 – [α1(1 / Ait-1) + α2 (∆REVit / Ait-1 - ∆RECit / Ait-1) +α3(PPEit / Ait- 1)]
3. PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan untuk menguji secara empiris apakah perusahaan yang go public di Bursa Efek Indonesia tahun periode 2010-2012 terindikasi melakukan income increasing discretionary accruals pada periode sebelum dan setelah go public. Pendekatan total accrual digunakan dalam penelitian ini sejalan dengan model awal yang dikembangkan oleh Healy (1985); DeAngelo (1986); Aharony et al (1993) dan Freidlan (1994) memodifikasi model DeAngelo (1986) dalam Gumanti (2009) dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian yang secara spesifik memungkinkan untuk kasus uji total accrual 9
dalam IPO. Healy dan DeAngelo dalam Gumanti (2009) berpendapat bahwa total accrual terdiri dari discretionary accrual dan non-discretionary accrual, dimana total accrual digunakan sebagai proxy dari discretionary accrual karena discretionary accrual tidak mudah terobservasi. Pendekatan ini berasumsi bahwa komponen non-discretionary accrual cenderung stabil sepanjang waktu, sehingga yang layak untuk dipertimbangkan adalah komponen discretionary accrual. Karena salah satu alasan utama perusahaan go public adalah pesatnya pertumbuhan, maka perlu dilakukan penyesuaian terhadap pengukuran discretionary accrual. Penyesuaian dilakukan untuk mengurangi kemungkinan bahwa pengukuran discretionary accrual sepenuhnya dipengaruhi oleh pertumbuhan.
3.1 Income Increasing Discretionary Accrual Sebelum Go Public Tabel 2 Nilai Discretionary Accrual Sebelum Go Public Tgl Pendaftaran
Kode
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
12-Jan-10 28-Jun-10 9-Jul-10 19-Aug-10 26-Okt-2010 10-Nov-10 29-Des-2010 11-Feb-11 6-Apr-11 11-Apr-11 23-Mei-2011 30-Mei-2011 12-Jul-11 12-Jul-11 11-Okt-2011 8-Nov-11 17-Nov-11 6-Des-2011 14-Des-2011 21-Des-2011 12-Jan-12 1-Feb-12 28-Jun-12 5-Jul-12 6-Jul-12 9-Jul-12 10-Jul-12 11-Okt-2012 2-Nov-12 8-Nov-12 12-Nov-12 18-Des-2012
EMTK ROTI IPOL BRAU TBIG KRAS MFMI GIAA MBSS SRAJ BULL JAWA SDMU ALDO SUPR ARII GEMS ABMM ERAA BAJA TELE ESSA TRIS KOBX TOBA MSKY GLOB NELY TAXI BSSR ASSA WIIM
SEBELUM GO PUBIC DAit (T-2) (T-1) (61,339) 28,366 (38,805) 42,473 49,212 188,434 (624,028) (640,182) 85,653 58,641 (185,797) (241,155) (595) (4,209) 439,762 (732,839) 75,540 (72,749) (3,033) (19,889) (195,244) 42,092 (105) 9,766 (6,605) 10,862 (9,035) 11,077 35,681 (11,532) 869 (80,835) (37,260) 195,107 (690,995) 205,244 (115,920) (529,723) (5,154) 127,025 179,723 51,126 (11,107) (30,030) 44,156 (19,600) (168,365) (44,433) (66,050) (158,954) (213,343) 43,889 3,506 554,944 15,945 (7,020) 51,271 (110,968) 20,480 64,837 140,589 (55,641) 24,321 197,656
10
Tabel 2 menunjukkan hasil pengujian terhadap nilai discretionary accrual, untuk dua tahun sebelum go public (DA T-2) PT ABM Investama Tbk. (ABMM) dengan kode industri 41-49 sebagai perusahaan yang terdaftar IPO pada 6 Desember 2011 ini teruji sebagai perusahaan dengan nilai DA paling rendah. Artinya perusahaan yang melakukan investasi strategis di sektor terkait energi seperti sumber daya (resources), jasa (services) dan infrastruktur (infrastructure) ini merupakan perusahaan yang paling teruji tidak melakukan manajemen laba dengan income increasing discretionary accruals untuk periode dua tahun sebelum go public. Sedangkan nilai DA paling tinggi untuk dua tahun setelah go public (DA T-2) adalah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk.(GIAA) yang IPO di BEI pada tanggal 11 Februari 2011 dengan kode industri 71-79. PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk merupakan perusahaan yang teruji melakukan IIDA paling tinggi untuk periode dua tahun sebelum go public. Hal tersebut tidaklah mengherankan mengingat PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. merupakan salah satu dari 30 besar maskapai penerbangan di dunia dengan total asset pada saat go public sebesar Rp 18.009.967.000.000,00 dan terus meningkat pasca dua tahun setelah go public menjadi Rp 38.640.181.000.000,00. Sedangkan nilai discretionary accrual untuk satu tahun sebelum go public (DA T-1) PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) teruji sebagai perusahaan dengan nilai DA paling rendah, hal ini menunjukkan adanya indikasi manajemen laba dengan pendekatan income decreasing discretionary accruals dengan taxion motivation mengingat pada tahun sebelumnya PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) merupakan perusahaan dengan nilai DA paling tinggi. Sementara nilai DA paling tinggi untuk satu tahun sebelum go public adalah nilai DA milik PT Global Teleshop Tbk. (GLOB). Perseroan dengan Kode industri 91-99, pada awalnya bernama PT Pro Empower Perkasa (PEP) yang merupakan perusahaan agen Nokia, yang kemudian pada tahun 2011 membeli Aset dari PT Cipta Multi Usaha Perkasa (CMUP), perusahaan ini teruji paling tinggi melakukan income increasing discretionary accruals pada periode satu tahun sebelum go public.
11
3.2 Income Increasing Discretionary Accrual Setelah Go Public Tabel 3 Nilai Discretionary Accrual Setelah Go Public No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Tgl Pendaftaran 12-Jan-10 28-Jun-10 9-Jul-10 19-Aug-10 26-Okt-2010 10-Nov-10 29-Des-2010 11-Feb-11 6-Apr-11 11-Apr-11 23-Mei-2011 30-Mei-2011 12-Jul-11 12-Jul-11 11-Okt-2011 8-Nov-11 17-Nov-11 6-Des-2011 14-Des-2011 21-Des-2011 12-Jan-12 1-Feb-12 28-Jun-12 5-Jul-12 6-Jul-12 9-Jul-12 10-Jul-12 11-Okt-2012 2-Nov-12 8-Nov-12 12-Nov-12 18-Des-2012
Kode
EMTK ROTI IPOL BRAU TBIG KRAS MFMI GIAA MBSS SRAJ BULL JAWA SDMU ALDO SUPR ARII GEMS ABMM ERAA BAJA TELE ESSA TRIS KOBX TOBA MSKY GLOB NELY TAXI BSSR ASSA WIIM
SETELAH GO PUBLIC Dait (T+1) (T+2) (2,799) 3,822,569 (41,098) (8,303) (173,997) (151,383) (279,913) (588,357) (107,854) (210,361) 562,938 (1,165,051) 12,012 (11,656) (1,377,512) 905,620 (125,099) (18,433) (3,540) 4,778 918,598 (434,281) (74,729) 107,416 (15,988) 28,267 (13,714) (12,465) 205,228 (55,448) (491,373) 180,500 665,281 (681,973) (1,440,368) (72,432) (187,067) 565,034 28,909 (256,342) 880,221 315,253 (872) 48,291 (15,455) 10,135 (880,307) 267,811 (786,167) 569,705 (975,633) 501,524 (154,167) 96,958 (32,698) (2,005) 101,542 (106,928) (324,579) (65,288) (9,377) (28,656) 114,206 (110,537)
Sementara itu Tabel 3 menunjukkan Nilai discretionary accrual pada periode setelah go public. Hasil pengujian terhadap nilai DA pada satu tahun setelah go public (DA T+1) perusahaan dengan nilai DA paling rendah adalah PT ABM Investama Tbk. (ABMM). Nilai DA tersebut menjelaskan bahwa PT ABM Investama Tbk. (ABMM) merupakan perusahaan yang paling teruji tidak melakukan income increasing discretionary accruals untuk periode satu tahun sebelum go public. Sedangkan
12
perusahaan yang
memiliki nilai DA paling tinggi pada periode satu tahun setelah go public adalah PT Buana Listya Tama Tbk. (BULL) dengan kode industri 71-79. Sedangkan perusahaan yang teruji memiliki nilai DA paling rendah untuk dua tahun setelah go public (DA T+2) adalah PT Krakatau Steel (Persero) Tbk.(KRAS) dengan Kode industri 31-39 (industri kimia dan industri dasar) yang merupakan perusahaan baja terbesar di Indonesia. PT Krakatau Steel (Persero) Tbk.(KRAS) merupakan perusahaan yang paling teruji tidak melakukan income increasing discretionary accruals pada periode dua tahun setelah go public. Sedangkan perusahaan yang paling tinggi memiliki nilai DA adalah PT Elang Mahkota Teknologi Tbk. (EMTK) dengan kode industri 71-79, PT Elang Mahkota Teknologi Tbk. (EMTK) merupakan perusahaan yang teruji paling tinggi melakukan income increasing discretionary accruals pada periode dua tahun setelah go public. Peningkatan laba PT Elang Mahkota Teknologi Tbk. (EMTK) tersebut terjadi akibat pengambilalihan 84,77% saham stasiun pemancar televisi nasional, Indosiar, serta peluncuran layanan TV berbayar digital, NexMedia yang mencakup kawasan metropolitan Jakarta Raya (Jabodetabek). 3.3 Income Increasing Discretionary Accrual Sebelum dan Setelah Go Public Nilai discretionary accruals (DA) dalam penelitian ini digunakan sebagai proksi tindakan manajemen laba yang mencerminkan keputusan manajemen yang abnormal. Indikasi income increasing discretionary accruals akan terdeteksi apabila nilai DA>0 bernilai positif begitupun sebaliknya jika nilai DA<0 maka perusahaan tidak terindikasi melakukan income increasing discretionary accruals. Secara operasional dalam riset akuntansi, discretionary accruals merupakan error term yang muncul dalam persamaan total accruals yang berpotensi untuk mengungkap cara-cara untuk menurunkan atau menaikkan laba perusahaan, karena cara-cara tersebut kurang mendapat perhatian untuk diketahui oleh pihak luar (outsiders). Adapun hasil pengujian Paired Sample T-test dengan tingkat signifikansi 5% terhadap discretionary accrual (DA) pada periode dua tahun sebelum go public dan dua tahun setelah go public diperoleh nilai -t hitung > -t tabel (-1.082) > -(2.039) dan nilai Sig. > α 13
(0.288 > 0,05), sedangkan untuk pengujian terhadap nilai discretionary accrual pada periode setahun sebelum go public dan setahun setelah go public diperoleh nilai t hitung > t tabel (1.037) > (-2.039) nilai Sig. > α (0.308 > 0,05). dari hasil pengujian tersebut maka dapat diambil keputusan bahwa H0 diterima, yang artinya Perusahaan yang terdaftar IPO di BEI tahun 2010-2012 tidak terindikasi melakukan manajemen laba dengan menerapkan income-increasing discretionary accrual pada periode sebelum dan setelah go public. Pengujian earning management dengan income increasing discretionary accruals di dalam penelitian ini didasarkan pada nilai discretionary accruals yang dihitung dengan menggunakan pendekatan total accrual. Model Total Accrual yang digunakan adalah model Jones yang dimodifikasi karena dianggap lebih baik dalam mendeteksi manipulasi laba karena menggunakan variabel yang lebih banyak dari model yang lainnya seperti model Healy,etc. model Jones yang dimodifikasi dengan memasukan PPE(gross PPE) bukan perubahan PPE untuk megontrol porsi akrual total terkait dengan biaya depresiasi nondiscretioner (nondiscretionary depreciation expense) dan tambahan pendapatan dikurangi dengan piutang dari total aktiva perusahaan, dengan pendekatan tersebut earning management metode income increasing discretionary accruals terjadi jika DA>0. Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya Wijayanti (2007) yang menggunakan data perusahaan manufaktur yang IPO pada tahun 2000-2002 dengan menggunakan model yang digunakan Fischer dan Rosenzwig (1995) menunjukkan hasil pada satu tahun sebelum, saat, dan satu tahun setelah IPO. Begitupun dengan hasil temuan Irawan & Gumanti (2009) yang menggunakan data perusahaan yang melakukan IPO pada tahun 2000-2005 di BEI dengan menggunakan model Jones yang menemukan perusahaan tidak terindikasi melakukan earning management pada periode sebelum dan setelah go public. Lego Waspodo (2011) menemukan hasil bahwa perusahaan selama periode 20022007 tidak terbukti melakukan manajemen laba tidak menerapkan income increasing discretionary accrual pada satu tahun sebelum IPO. Diah Fika (2011) meneliti praktek manajemen laba pada seluruh perusahaan yang terdaftar di BEI tahun 2002-2008. Hasil penelitian tidak dapat memberikan bukti adanya praktek manajemen laba sebelum IPO dan tidak terjadi penurunan return saham setelah IPO sebagai akibat dari manajemen laba periode sebelum penawaran. 14
Selain itu, hasil analisa statistik deskriptif dalam penelitian ini menunjukkan nilai yang cukup signifikan antara nilai maksimum dan nilai minimum data yang disajikan. Perbedaan yang mencolok tersebut disebabkan oleh adanya perusahaan yang secara keseluruhan lebih besar dibandingkan dengan perusahaan yang lainnya.
4. PENUTUP 4.1 Simpulan Penelitian ini merupakan Analisis Income Increasing Discretionary Accrual (IIDA) pada periode sebelum dan setelah go public. Berdasarkan hasil pengujian statistik deskriptif dan Uji Paired Sample T-Test dapat diambil kesimpulan bahwa Hasil pengujian terhadap 32 sampel penelitian perusahaan yang go public
pada periode 2010-2012 dengan
menggunakan pendekatan total accrual model Jones yang dimodifikasi tidak menunjukkan adanya indikasi income increasing discretionary accrual, pada periode sebelum dan setelah go public. 4.2 Saran Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang nantinya dapat menjadi saran yang bisa dijadikan masukan bagi instansi maupun pihak yang concern terhadap penelitian ini. Keterbatasan tersebut antara lain : 1. Penelitian ini hanya menggunakan periode pengamatan manajemen laba dengan income increasing discretionary accruals yang relatif pendek, yakni dua tahun sebelum IPO dan dua tahun setelah IPO. Penelitian selanjutnya dapat memeperpanjang periode penelitian agar hasil penelitian lebih signifikan. 2. Jumlah sampel dalam penelitian ini hanya 32 perusahaan. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat menambah jumlah sampel penelitian dengan memasukkan semua sektor yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Hal ini dikarenakan di dalam penelitian ini tidak disertakan perusahaan jenis industri keuangan dan property, real estate dan konstruksi. 3. Penelitian ini tidak membedakan perusahaan berdasarkan ukuran perusahaan sehingga terjadi perbedaan yang cukup signifikan. Penelitian selanjutnya dapat mempertimbangkan ukuran perusahaan agar tidak terjadi perbedaan signifikan. 15
4. Penelitian selanjutnya dapat mengaitkan analisis earning management dengan pendekatan income increasing discretionary accruals dengan indikator lain seperti kinerja keuangan, return saham, EVA, nilai perusahaan, dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA Amin. (2007). Pendeteksian Earning Management, Underpricing dan Kaitannya dengan Nilai Perusahaan Perdana Serta Kinerja Perusahaan Pasca-IPO. Simponesium Akuntansi X Aryani. Dwi Sepata. (2011). Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Informasi Akuntansi. Bram, (2012). Pengertian Penawaran Umum/ Initial Public Offering (IPO). [Online]. Tersedia: http://www.wahyubram.wmk.web.id/index.php/informasi-umum/11pengertian-penawaran-umum--initial-public-offering--ipo-?format=pdf. diakses pada 6 April 2015 Bursa
Efek Indonesia. (2010). [Online]. Tersedia: http://www.idx.co.id/idid/beranda/informasi/bagiperusahaan/bagaimanamenjadiperusahaantercatat.aspx. diakses pada 16 April 2015 Dominic. H.T. (2008). Berinvestasi di Bursa Saham “Mengapa Orang Awam pun Bisa Melakukannya”. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Enterprise, Jubilee. (2015). Trik Membuat Skripsi & Statistik dengan Word dan SPSS. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Gabriella. (2014). Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Earning Management Pada Perusahaan Yang Melakukan IPO di Bursa Efek Indononesia. Skripsi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung Gitosudarmo, Indriyo dan Basri. (2002). Manajemen Keuangan. Yogyakarta: BPFE Gumanti, Tatang Ari. (2003). Earning Management Dalam Penawaran Saham Perdana Di Bursa Efek Jakarta. Jurnal Riset Akuntani Indonesia Gumanti, Tatang Ari dan Irawan, Moh. Adi. (2009). Indikasi Earning Management pada Initial Public Offering. Jurnal Universitas Jember Herman, Ridha Yani dan Raharjo, Shiddiq Nur. (2013). Manajemen Laba Melalui Transaksi Pihak Istimewa Di Sekitar Penawaran Saham Perdana. Jurnal Universitas Diponegoro. Harrison Jr, Walter. T et.al. (2012). Akuntansi Keuangan Internasional Financial Reporting Standards-IFRS Edisi ke delapan Jilid I. Jakarta: Erlangga Hery (chen). (2013). Teori Akuntansi Suatu Pengantar. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 16
____. (2014). Analisis Laporan Keuangan Pendekatan Rasio Keuangan. Jakarta: CAPS (Center for Academic Publishing Service) Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-22/PM/2004 Tentang Pedoman Bentuk Dan Isi Prospektus Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana. 2004. Jakarta. Kontan
id. (2015, 29 Juni). Kurs BI USD/IDR. [Online]. http://pusatdata.kontan.co.id/makroekonomi/kurs_bi. diakses 29 Juni 2015.
Tersedia:
Muhiba, Meim Listia Rafiqa dan Solihin, Wahyu Adi. (2013). Manajemen Laba Dan Evaluasi Kinerja Keuangan Perusahaan Di Sekitar IPO. BKK Akuntansi FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta. Novius, Andri. (2011). Earning Management Dalam Penawaran Saham Perdana Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia.Skripsi Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial UIN Suska Riau. Nuwa, Maria Fatma Doy. (2004). Hubungan Manajemen Laba dengan Kinerja Operasi dan Return Saham di Sekitar IPO. Skripsi Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang. Pearce, John. A., dan Robinson, Richard. B. (2014). Manajemen Strategis Buku Satu.Ed. 12. Jakarta: Salemba Empat. Rahmadhani, Trie Ayu. (2014). Pendeteksian Earning Management Menjelang Dan PascaIPO Pada Perusahaan Yang Terdaftar Di BEI. Skripsi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. Riahi, A. Belkaoui. (2011). Accounting Theory Buku Satu. Jakarta: Salemba Empat. _______________. (2011). Accounting Theory Buku Dua. Jakarta: Salemba Empat. Saftiana, Yulia dan Agustina, Ling Ling. (2004). Manajemen Laba Dalam Penawaran Saham Perdana (IPO) Pada Perbankan di Bursa Efek Jakarta. Jurnal Universitas Sriwijaya. Simamora, Henry. (2000). Akuntansi Basis Pengambilan Keputusan. Jakarta: Salemba Empat. Simaremare, Elison. Skripsi Universitas Maritim Raha Haji Tanjungpinang. Analisis Earning Management Dan Underperformance Pada Perusahaan Yang Melakukan Kebijakan IPO di Indonesia. [Online]. Tersedia: http:// jurnal.umrah.ac.id/?p=3192. Diakses pada 25 Juni 2015. Slmbolon, Harry A. (2013). Pasar Modal Indonesia.[Online]. Tersedia: http://akuntansiterapan.com/2013/11/01/pasar-modal-indonesia/. Diakses pada 29 Juni 2015. Subagyo, Oktavia, dan Marianna. (2011). Pengaruh Dizcretionary Accruals Dan Beban Pajak Tangguhan Terhadap Manjemen Laba. Jurnal Universitas Kristen Krida Wacana Subardi, Agus dan Lita Kusumasari. (2001). Mengenal Pasar Modal dan analisisTeknikal . Jurnal Akuntansi dan Manajemen STIE YKPN, Februari. Subramanyam, K.R., dan Wild, John J. (2014). Analisis Laporan Keuangan (Financial Statement Analysis) Buku Satu. Ed. 10. Jakarta: Salemba Empat. Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Bisnis. Cetakan ke-16. Bandung: Alfabeta 17
________. (2013). Statistika Untuk Penelitian, Cetakan ke-23. Bandung: Alfabeta. Sulistyanto, Sri. (2008). Manajemen Laba: Teori dan Model Empiris. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana. Supriyono. (2012). Akrual Diskresioner. [Online]. Tersedia: https://www.academia.edu/6348629/Akrual_Diskresioner. diakses pada 29 Juni 2015 Undang-undang No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. 1995. Jakarta Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 2007. Jakarta Utama, Tony Tan. (2004). Pengaruh Manajemen Laba Terhadap Kinerja Operasi Perusahaan Sebelum dan Sesudah Penawaran Saham Perdana. Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang. Wahyudiono, Bambang. (2014). Mudah Membaca Laporan Keuangan. Jakarta: Raih Asa Sukses Waspodo, Lego. Jurnal Universitas Lampung. Fenomena Manajemen Laba dalam IPO (Initial Public Offering); Studi dengan Menggunakan Model Aharony dan Friedlan. [Online]. Tersedia: http://ejournal.umum.ac.id/index.php/jrak/article/view/519. diakses pada 29 Juni 2015 Widyaningdyah, Agnes. U. (2001). Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Earning Management Pada Perusahaan Go Public Di Indonesia. Jurnal Akuntansi & Keuangan Universitas Kristen Petra. Yulianti, Riana. (2012). Analisis Pengaruh Manajemen Laba (Earning Management) Pada Kinerja Perusahaan Yang Melakukan IPO. Skripsi Universitas Dian Nuswantoro Semarang.
18